37
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, KONSEP DAN PENERAPANNYA DI SEKOLAH MENENGAH (disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan) Oleh : ARIFINA YULIA W. (080210103030) LINA DWI SELVITASARI (090210102030) CYNTHIA NOVARINDA (090210102068) YAYUK SUSENO (120210201028) JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

pendidikan multikultural

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pengantar ilmu pendidikan

Citation preview

Page 1: pendidikan multikultural

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, KONSEP DAN PENERAPANNYA DI

SEKOLAH MENENGAH

(disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan)

Oleh :

ARIFINA YULIA W. (080210103030)

LINA DWI SELVITASARI (090210102030)

CYNTHIA NOVARINDA (090210102068)

YAYUK SUSENO (120210201028)

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU MPENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2012

Page 2: pendidikan multikultural

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan

ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu

beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan

berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan,

perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk

menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari

multikulturisme tersebut.

Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung

konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada

dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial

budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain

sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat

"multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultur" tersebut berhadapan

dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan

nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh

keragaman etnis dan budaya tersebut.

Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam,

yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya

yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.

Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh

perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang

pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat,

mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau

perbedaan SARA tersebut.

Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik

berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk

masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus

untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi,

Page 3: pendidikan multikultural

budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan

multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep

pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,

status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.

Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga

pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya

untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya,

agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang

berwawasan multikultural akan membantu siswa mengerti, menerima dan

menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat

penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-

institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi

generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan

kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu

juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan

masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama

dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat

diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang

mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pendidikan multikultural?

2. Apa peran pendidikan multicultural ?

3. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural dalam negara Indonesia?

4. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural dalam kegiatan

pembelajaran?

5. Bagaimana penerapan pendidikan multikultural di tingkat sekolah

menengah?

Page 4: pendidikan multikultural

1.3 Tujuan dan Manfaat

1. Menegetahui pengertian pendidikan multikultural.

2. Mengetahui peran pendidikan multikultural

3. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural dalam negara Indonesia.

4. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural dalam kegiatan

pembelajaran.

5. Mengetahui penerapan pendidikan multikultural di tingkat sekolah

menengah.

Page 5: pendidikan multikultural

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan

dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk

seluruh siswa. Sebagai sebuah gerakan pembaharuan, istilah   pendidikan

multicultural masih dipandang asing bagi masyarakat umum, bahkan

penafsiran terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multicultural juga

masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan.

Seperti pendapat Andersen dan Cusher (1994) sebagaimana dikutip

Mahfud ( 2008 ), bahwa pendidikan multicultural diartikan sebagai pendidikan

mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez (1989 ), mengartikan

pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial,

politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam

pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan

merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,

status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses

pendidikan.

Ahli lain, Sleeter dan Grant ( 2007,2009 ) dan Smith ( 1998 ) sebagaimana 

dikutip Zamroni (2011) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai suatu

pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara

holistik memberikan kritik dan menunjukkan kelemahan-kelemahan,

kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia

pendidikan( Zamroni, 2011: 144)

Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan

lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan

multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :

Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang

bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa

memandang latar belakang yang ada.

Page 6: pendidikan multikultural

Prinsip kedua: pendidikan multikultural mengandung dua dimensi:

pembelajaran (kelas)  dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak

bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang

komprehensif

Prinsip ketiga: pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan

yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem

kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam

pendidikan.

Prinsip keempat: berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan

multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh

kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki

Prinsip kelima: pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik

untuk seluruh siswa, tanpa memandang latar belakangnya.

Konsep multikulturakisme menekankan pentingnya memandang dunia dari

bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai

kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global.

Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan sekolah di mana

berbagai perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual,

keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai

sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu proses

yang rumit dan kompleks, karena tidak semua faktor yang terlibat bisa

dikendalikan oleh guru. Dalam analisisnya, Maurianne Adams and Barbara J.

Love (2006). Menyebutkan bahwa ada empat faktor yang terdapat dalam

proses pembelajaran, yaitu :

1). Faktor bawaan siswa,

2) Faktor bawaan guru,

3) Faktor pedagogy, dan

4) Faktor isi kurikulum.

Page 7: pendidikan multikultural

Faktor-faktor dalam pembelajaran tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut :

1. Faktor pertama; guru, ketika guru memasuki suatu kelas, sudah memiliki

bawaan sendiri-sendiri, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat

sangat pribadi.

2. Kedua; siswa, demikian pula siswa juga memiliki bawaan sendiri-sendiri,

ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat sangat pribadi.

3. Ketiga; kurikulum, bisa dipersepsi dan memiliki dampak berbeda untuk

setiap individu siswa.

4. Keempat; pedagogy, di tangan guru berbeda bisa memiliki makna dan

dampak yang berbeda pula. Keempat faktor tersebut harus diramu oleh

seorang guru dalam suatu proses.

Kegagalan dalam proses meramu guru menyebabkan siswa dengan status

sosial ekonomi rendah tidak dapat mengikuti pembelajaran sebagaimana

mereka siswa yang datang dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Demikian pula

halnya bagi siswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda akan

gagal beradaptasi dalam proses pembelajarannya.

Pendidikan multikultural merupakan suatu proses transformasi yang

tentunya membutuhkan waktu panjang untuk mencapai maksud dan tujuannya.

Menurut Zamroni ( 2011 ) disebutkan beberapa tujuan yang akan

dikembangkan pada diri siswa dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :

1. Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah

dipelajari.

2. Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas fihak lain  yang

dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta

terus mengkaji bagaimana cara menghilangkannya

3. Siswa memahami bahwa setiap ilmu  pengetahuan bagaikan sebuah

pisau bermata dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau

meningkatkan keadilan sosial.

4. Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan

yang dimiliki dalam kehidupan.

Page 8: pendidikan multikultural

5. Siswa  merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan

ilmu pengetahuan yang dikuasainya.

6. Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan

apa yang dipelajari.

7. Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan

berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.

Sehingga Pendidikan Multikultural dapat diartikan proses pengembangan

sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses,

perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan

heterogenitas secara humanistik.

Pada pembelajaran dapat berarti proses pendidikan yang

diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu

mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya

pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak

mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan

berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku

bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.

2.2 Peran Pendidikan Multikultural

1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.

Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa

ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain

dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya

beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya

secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya.

Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada

pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama

berbeda.

Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau

menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak

Page 9: pendidikan multikultural

mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun,

karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama

dengan orang lain yang berbeda agama.

2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah

Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa

yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat

bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di

sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap

ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan

terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh

mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca

ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap

apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang

ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai

teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan

berbahasa agar kita semakin kaya  wawasan.

3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah

Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender

dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap

siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan

jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan

sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik

tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia

yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun

yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik

terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.

4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta

perbedaan sosial

Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh

mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status

Page 10: pendidikan multikultural

sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah.

Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang

ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan

perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang

kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki.

Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun

saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan

saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu

waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti

asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga

sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan.

Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan

material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun

yang menjadi obyek empati.

5. Membangun sikap antideskriminasi etnis

Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai

etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis

mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis

yang semula  mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif

terhadap etnis yang berbeda.

6. Menghargai perbedaan kemampuan

Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam

psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik

dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana

orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal

masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami

kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian

warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang

meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu

sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang

lemah. Yang unggul akan merasa  jumawa dengan keunggulannya sehingga

Page 11: pendidikan multikultural

bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah

akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya

dibiasakan  pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas

agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya

tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang

memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh

teman-temannya.

7. Menghargai perbedaan umur

Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan

kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini,

terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai

umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya

siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan

dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada

deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah

dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan

ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai. Seharusnya yang

lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan,

demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang

muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang

lebih tua.

2.3 Penerapan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku

bangsa, golongan maupun budaya lokal perlu menyusun konsep

pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat

identitas nasional, Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah

diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan

memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah

kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang

selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Dengan demikian,

Page 12: pendidikan multikultural

pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada

siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap

multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur,

agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa

membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama

membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan

global dan nation dignity yang kuat.

Menurut Hamid Hasan (2000), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia

memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan

ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan

guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam

menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses,

belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan

sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang

memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum,

baik sebagai proses maupun sebagai hasil.

Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan

pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat

prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan

filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan

berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan

evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai pendidikan

tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan

objek studi harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat,

kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah

dan nasional.

2.4 Penerapan Pendidikan Multikultural dalam Kegiatan Pembelajaran

Dari aspek metode strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek

penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis

Page 13: pendidikan multikultural

buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana

dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai

“praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.”

Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146)

menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: 

a) Lingkungan fisik (physical environment),

b) Lingkungan sosial (human environment), dan

c) Gaya pengajaran guru (teaching style).

Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang

aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman,

guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan

kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar

belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif

untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat

diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar

siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Dalam

proses pembelajaran guru tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan lain-

lain.

Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran

guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru

merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru

dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a

teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat

berpengaruh bagi ada tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan

membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter,

demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak

memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang

diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya

kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk

menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang

menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan

Page 14: pendidikan multikultural

sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas.

Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih

cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004:

3).

Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam

strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan

penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru

misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain

dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga

dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga

dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara itu,

melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan

diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam

pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek  dan

kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai

agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui  observasi

dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di

masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang

terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan

mediasi bila ada konflik di antara mereka.

Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan

memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman

dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk

melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural

dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan

empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa.

Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar

berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik

sekaligus.

Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan

beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki

Page 15: pendidikan multikultural

status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan

anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan

kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh

kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas

harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa.

Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi:

a) Guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai

manusia,

b) Guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda

otoriter, demokratis, dan bebas untuk meningkatkan hak-hak siswa,

c) Guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan

sipil, dan

d) Guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi

hak-hak minoritas.

Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak

mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui

bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).

Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru

memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994:

6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu:

a. Memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas,

b. Terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,

c. Siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan

gender;

d. Memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas,

e. Mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan

f. Berorientasi pada program dan masa depan.

Selain itu, ada beberapa aspek lain menurut James A. Bank, pendidikan

multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu : Aspek konsep, gerakan,

dan proses.

Page 16: pendidikan multikultural

1. Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide

yang memandang semua siswa tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial

mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural

lainnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas.

2. Aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai

usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan

sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok

kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang

dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti

metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah.

3. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami

sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai

oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan

tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus.

Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap

(attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan

kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap

responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi

konflik.

Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek

pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang

bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan

menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran

perspektif kultural.

Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan

pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi,

stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan

media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan

perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi

antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan

Page 17: pendidikan multikultural

teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika

kultural.

Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan

pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman

nilai-nilai tersebut hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di

dalam proses pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran.

Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah

Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri,

Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air,

Menghargai prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta damai, Percaya Diri,

Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.

Beberapa contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada

proses pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang

kuliah untuk menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru

atau dosen (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif),

pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas atau ruang kuliah

(nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika

pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara

bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan

Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti sosial

pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-

lain.

Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat

nilai-nilai budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi

untuk diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam

kurikulumnya, kegiatan-kegiatan siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran

ataupun perkuliahan.

2.5 Penerapan pendidikan multikultural ditingkat Sekolah Menengah

Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan

menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan

Page 18: pendidikan multikultural

kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui

pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi

hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk

membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan

memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah

terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif

dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma

keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan.

Pendidikan multikultur melalui pendidikan kewarganegaran dan

Pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design

perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau

penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses

pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati

hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan

budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur

harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes,

non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan

portofolio siswa. Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat

dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:

1. Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-

perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur

masyarakatnya

2. Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik,

multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi

dan kekuatan bangsa

3. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu

warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa

dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik

dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan

budaya mereka.

Page 19: pendidikan multikultural

4. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara

untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga

pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.

5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan

mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa

membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.

Adanya kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka pembelajaran

multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap

dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua

anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa,

bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil

dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.

Sejalan dengan konsepsi ini, Jhon Dewey merekomendasikan tiga hal yang

harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum. “Pertama,

hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan

masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk

mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin

hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”.

Agar pendidikan multikultur ini dapat menghasilkan output atau lulusan

yang tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada pada setiap

institusi pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga

mampu menerapkan nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan

menghargai keberadaan perbedaan yang ada maka penanaman nilai-nilai ini

tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama saja

tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran lain. Dimana penanaman

nilai multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau pendidik baik dalam

pembelajaran di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari.

Adapun contoh penanaman nilai multikultur antara lain tidak membeda-

bedakan siswa, membentuk kelompok diskusi secara heterogen, pengambilan

keputusan secara demokratis, memberi kebebasan bagi siswa dalam

mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai budaya dan bahasa serta

Page 20: pendidikan multikultural

juga dapat dimasukkan ke dalam ekstra kurikuler seperti ekskul Bahasa

Indonesia dan Karya Ilmiah Remaja, Pembinaan Pribadi dan adapula yang

memberikan film (acara nonton film bersama) namun sasarannya hanya pada

siswa yang bermasalah dan suka “ngegeng”.

Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam

sebuah design pengembangan kurikulum yang integratif, sequentif dan

didukung dengan lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan

kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur.

Pendidikan multikultur, secara substantif harus bisa menjadi bagian

integral baik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan

mata pelajaran Pendidikan Agama, ekstrakurikuler ataupun mata pelajaran

lain sebagai pendidikan nilai. Tema-tema multikultur harus disajikan

dalam skope yang komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai

kompetensi yang telah disepakati dan ditetapka

Page 21: pendidikan multikultural

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan dapat menjadi

solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat. Dengan

kata lain pendidikan multikultural menjadi sarana alternatif pemecahan konflik

sosial budaya.

Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik pendidikan multikultural

juga signifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercabut dari akar budaya

yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas sosial budaya di era

globalisasi. Oleh karena itu, sebagai landasan pengembangan kurikulum

pendidikan nasional dalam melaksanakan kurikulum sebagai titik tolak dalam

proses belajar mengajar atau memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang

harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, maka pendidikan

melalui landasan kurikulum multikultural menjadi sangat penting. Dengan

demikian, pendidikan multikultural ini bisa dimasukkan secara integral dalam

semua mata pelajaran. Walaupun dalam format kurikulum nasional belum

menjadi suatu mata pelajaran yang mandiri (berdiri sendiri), tetapi bersifat

integratif dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan

Agama.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat disempurnakan pada pemakalah selanjutnya.

Karena dalam makalah ini mungkin terdapat kesalahan baik dalam penulisan kata

maupun yang lain yang belum dapat penulis temukan. Selain itu Agar tujuan

pendidikan multikltural dapat dicapai, maka diperlukan adanya peran dan

dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil

kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan kurikulum dengan

pendekatan multikultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu

memahami konsep pendidikan multikultural dalam perspektif global agar nilai-

nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus

dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan melalui

Page 22: pendidikan multikultural

pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik akan lebih mudah

memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku

humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta didik diharapkan

menjadi “generasi multikultural” di masa yang akan datang untuk menghadapi

kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan kedisiplinan,

kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran dalam berperilaku

sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan.

Page 23: pendidikan multikultural

DAFTAR PUSTAKA

Al Arifin, Akhmad Hidayatullah. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam

Praksis Pendidikan di Indonesia, dapat diakses secara online di

http://ulilalbabjong.wordpress.com/2012/01/23/implementasi-pendidikan-

multikultural-dalam-praksis-pendidikan-di-indonesia/

Buchori, Mochtar.Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara online di

http://paramadina.wordpress.com/2007/03/04/pendidikan-multikultural/

Dixon,Gloria M. Ameny dan Mc Neese.Pendidikan Multikutyural. Dapat diakses

asecara online di http://shiningallspark.web.id/pendidikan-multikultural-di-

sekolah.html

Hanum, Farida. Pentingnya Pendidikan Multikultural dalam Mewujudkan

Demokrasi di Indonesia, dapat diakses secara online di

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/

pentingnya-pendidikan-multikultural-dalam-mewujudkan-demokrasi-di-

indonesia.pdf

Hasan, Hamid S. Multikulturalisme Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional,

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Diakses 3 Oktober 2012.

Larasati ayu , Minten. Pengertian Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara

online di http://.kompasiana.com/2012/01/31/pengertian-pendidikan-

multikultural/

Larasati ayu , Minten. Tujuan Pendidikan Multikultural, dapat diakses online di

http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/22/tujuan-pendidikan-multikultural/

Mahfud, Choirul, 2009, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, 2008, Pendidikan Multikultural Konsep dan

Aplikasi, Jogjakarta: A-Ruzz Media.

Page 24: pendidikan multikultural

Nogo welan, kamelia. Makalah Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara

online di http://kameliaq.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-

multikultural.html

Saifudin, Miftachul. Implementasi pendidikan Multikultural di Indonesia, dapat

diakses online di http://id.shvoong.com/books/dictionary/2177284-

implementasi-pendidikan-multikultural-di-indonesia/