Upload
nguyendang
View
266
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
HASAN BASRI NST
PENDIDIKANPANCASILA
BUNG HATTA UNIVERSITY PRESS
ii
PENDIDIKAN PANCASILA
BUNG HATTA UNIVERSITY PRESS
iii
Sanksi pelanggaran pasal 44: Undang-undang No. 7 Tahun1987 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun1982 tentang hak cipta.
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hakmengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjarapaling lamaT (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyakRp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaanatau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat | (satu), dipidana dengan pidanapenjara paling lama 5 (Iima) tahun dan/atau denda palingbanyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
iv
PENDIDIKAN PANCASILA
Hasan Basri Nst
PenerbitBung Hatta University Press
2011
v
Judul : PENDIDIKAN PANCASILA
Penulis : Hasan Basri NstSampul : Hasan Basri NstPerwajahan: Bung Hatta University PressDiterbitkan oleh Bung Hatta University Press Juni 201IAlamat Penerbit:Badan Penerbit Universitas Bung HattaBung Hatta University Press Gedung Rektorat LI.III(LPPM) Universitas Bung HattaJl. Sumatra Ulak Karang Padang, Sumbar, IndonesiaTelp. (075 I ) 7 05 I 67 8 8xt.323, Fax. (075 I ) 7 0 5 547 5e-mail: [email protected] Cipta dilindungi Undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atauseluruhnya isi buku ini tanpa izin tertulis penerbitIsi diluar tanggung jawab percetakan
Cetakan Pertama : Juni 20l lPerpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hasan Basri NstPENDIDIKAN PANCASILAoleh :Hasan Basri NstBung Hatta University Press, Juni 2011
218 Hlm + xii; 14,8 cm
ISBN 978 - 602 - 8899 - 47 - 5
vi
SAMBUTAN REKTORUNIVERSITAS BUNG HATTA
Visi Universitas Bung Hatta adalah Menjadikan
Universitas Bung Hatta Bermutu dan Terkemukadengan Misi utamanya meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang berada dalam jangkauan fungsinya.Mencermati betapa beratnya tantangan Universitas BungHatta terhadap dampak globalisasi, baik yang bersumber darituntunan internal maupun eksternal dalam meningkatkan dayasaing lulusan perguruan tinggi, maka upaya peningkatankualitas lulusan Universitas Bung Hatta adalah suatu hal yangharus dilakukan dengan terencana dan terukur. Untukmewujudkan hal itu, Universitas Bung Hatta melalui LembagaPenelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat merancangprogram kerja dan memberikan dana kepada dosen untukmenulis buku, karena kompetensi seorang dosen tidak cukuphanya menguasai bidang ilmunya dengan kualifikasi 52 dan53. Kita dituntut untuk memahami elemen kompetensi yangbisa diaplikasikan dalam proses pembelajaran, melakukanriset dan menuangkan dalam bentuk buku.
Saya ingin menyampaikan penghargaan kepada saudara
Hasan Basri Nst yang telah menulis buku "PENDIDIKANPANCASILA' Harapan saya buku ini akan tetap eksissebagai wahana komunikasi bagi kelompok dosen dalambidang "PPKN" sehingga dapat dijadikan sebagai sumberbahan ajar untuk mata kuliah yang diampu dan menambahkhasanah ilmu pengetahuan mahasiswa.
vii
Tantangan ke depan tentu lebih berat lagi, karenakendala yang sering dihadapi dalam penulisan buku adalahtidak dipunyai hasil-hasil riset yang bernas. Kesemuanya itu
menjadi tantangan kita bersama terutama para dosen diUniversitas Bung Hatta.
Demikian sambutan saya, sekali lagi saya ucapkanselamat atas penerbitan buku ini. Semoga Tuhan yang Maha
Kuasa meridhoi segala upaya yang kita perbuat bagimemajukan pendidikan di Universitas Bung Hafta.
Padang, Juni 2011Rektor
Prof. Dr. lr. Hafrizal Syandri, MS
i
KATA PENGANTAR
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menetapkan bahwa kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat Pendidikan
Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/ U/ 2000 tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa. Kemudian keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa
Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib
diberikan dalam kurikulum setiap Program Studi/ Kelompok Program Studi.
Kurikulum baru yang diterapkan di Jurusan PSP dan BDP Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta sejak Tahun Ajaran 2010/
2011, khusus untuk kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
mengintegrasikan mata kuliah Pancasila ke dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dengan beban 3 SKS. Realita ini mengakibatkan pembahasan
Pancasila dalam perkuliahan waktunya semakin terbatas.
Oleh karena itu penyusun berinisiatif untuk menyajikan buku Pendidikan
Pancasila ini sebagai pengkayaan materi bagi para mahasiswa khususya di Jurusa
PSP dan BDP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta.
Terima kasih untuk para senior yang pemikirannya menjadi sumber bagi
penulisan buku ini. Semoga hasil karyanya berguna dan menjadi kebajikan disisi
Allah SWT.
Semoga Bermanfaat
Padang, Maret 2011
Penyusun,
Hasan Basri Nst.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I LANDASAN DAN TUJUAN
PENDIDIKAN PANCASILA 1
1. Landasan Pendidikan Pancasila 1
1.1. Landasan Historis 1
1.2. Landasan Kultural 6
1.3. Landasa Yuridis 7
1.4. Landasan Filosofis 8
2. Tujuan Pendidikan Pancasila 8
2.1. Tujuan Nasional 8
2.2. Tujuan Pendidikan Nasional 9
2.3. Tujuan Pendidikan Pancasila 9
BAB II PERTUMBUHAN PAHAM KEBANGSAAN INDONESIA 12
1. Masa Kejayaan Nasional 12
1.1. Masa Kejayaan Sriwijaya 12
1.2. Kerajaan Majapahit 13
2. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajahan 14
2.1. Perjuangan Sebelum Abad XX 14
2.2. Kebangkitan Nasional 16
2.3. Sumpah Pemuda 1928 17
2.4. Perjuangan Bangsa Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang 17
3. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 26
3.1. Proses Perumusan Pancasila dan UUD 1945 26
3.2. Proklamasi Kemerdekaan dan Maknanya 29
3.3. Proses Pengesahan Pancasila Dasar Negara
dan UUD 1945 Sidang PPKI 31
4. Perjuangan Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan
Indonesia 34
iii
4.1. Masa Revolusi Fisik 34
4.2. Masa Demokrasi Liberal 35
4.3. Masa Orde Lama 37
4.4. Masa Orde Baru 39
4.5. Masa Reformasi 40
BAB III SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945 43
1. Pengertian, Kedudukan, Sifat dan Fungsi UUD 1945 43
1.1.Pengertian Hukum Dasar 43
1.2.Pengertian UIID 1945 45
1.3.Kedudukaan UUD l945 46
1.4.Sifat UUD 1945 48
1.5.Fungsi UUD 1945 49
2. Pembukaan UUD 1945 49
2.1. Makna dari Pembukaan UUD 1945 49
2.2. Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945 50
2.3. Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945 53
2.4. Hubungan Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945 dengan Batang Tubuh UUD 1945 55
3. Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945 57
3.1. Sistem Pemerintahan Negara RI 57
3.2. Kelembagaan Negara 62
3.3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan
HAM menurut UUD 1945 66
3.4. Lambang-Lambang Persatuan Indonesia 70
3.5. Perubahan UUD 1945 75
3.6. Kedudukan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan 76
BAB IV DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945 77
1. Awal Kemerdekaan 77
2. Masa Orde Lama 79
3. Masa Orde Baru 81
4. Masa Reformasi 86
iv
BAB V PANCASILA SEBAGAI SISTEM F1LSAFAT 89
1. Pengertian Sistem 89
2. Pengertian Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Asal Istilah Filsafat 89
BAB VI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA 98
1. Pengertian Nilai, Moral dan Norma 98
2. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis 103
3. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan
Negara RI 104
4. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila 107
BAB VII PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI 129
1. Pengertian Ideologi 129
2. Makna Ideologi bagi Negara 130
3. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain 132
3.1. Liberalisme 134
3.2. Sosialisme 135
4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka 135
BAB VIII PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA 139
1. Pengertian Paradigma 135
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional 140
2.1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum 140
2.2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasl Politik 143
2.3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi 140
DAFTAR PUSTAKA 152
1
BAB I
LANDASAN DAN TUJUAN
PENDIDIKAN PANCASILA
1. Landasan Pendidikan Pancasila
1.1.Landasan Historis
a. Ideologi Liberalisme
Perjanjian luhur bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri
Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 belum sempat
dijelaskan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia karena sebagian
wilayah Republik Indonesia masih berada di bawah kekuasaan pemerintah
pendudukan asing, yakni Jepang dan Sekutu yang menerima penyerahan
pasukan-pasukan Jepang itu. Pemerintah Sekutu sendiri belum mengakui
eksistensi Negara RI, bahkan menganggap pemerintah RI sebagai boneka-
boneka atau kaki-tangan Jepang yang mendukung fasisme. Padahal,
sesungguhnya faham fasisme justru merupakan musuh besar negara yang
berkedaulatan rakyat.
Kesalah pengertian pemerintah Sekutu tersebut tidak dapat
dipandang remeh karena dapat menghilangkan legitimasi Republik
Indonesia sebagai negara nasional baru. Pemerintah harus mengeluarkan
pernyataan politik resmi mengenai sifat negaranya ini. Dalam proses
diplomasi untuk mendapat pengakuan internasional atas eksistensi negara
RI, dikeluarkan Maklumat Politik tanggal 1 November 1945 yang memuat
kebijaksanaan pemerintah, baik tentang politik luar negeri, khususnya
terhadap kerajaan Jepang dan Belanda, maupun mengenai politik dalam
negeri tentang berbagai suku dalam bangsa Indonesia.
Untuk memperoleh citra demokratis yang baik terhadap dunia luar,
pemerintah Republik Indonesia selanjutnya mengeluarkan maklumat lain,
pada tanggal 3 November sebagai kelanjutan dari Maklumat X tanggal
16 Oktober, yang mengizinkan terbentuknya partai-partai politik, asalkan
tetap bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan. Kesempatan
membentuk partai-partai politik tersebut menyebabkan bangkitnya
2
berbagai partai politik yang didasarkan kepada ideologi golongan. Adanya
berbagai ideologi golongan itu sendiri sesungguhnya mencerminkan aneka
ragam orientasi dan cita-cita politik dalam masyarakat Indonesia, seperti
tradisi leluhur, tradisi Islam, tradisi Jawa Hindu, nasionalisme radikal,
komunisme, sosialisme, demokrat, modernis dan sekular.
Secara perlahan, sejak diberlakukannya sistem partai banyak
tersebut, telah berubah pula titik berat kekuasaan. Pusat kekuasaan tidak
lagi berada dalam tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945, tetapi pada parlemen. Dalam pemerintahan diadakan jabatan
perdana menteri. Presiden tidak lagi langsung menjalankan kekuasaan
eksekutif melainkan hanya berfungsi sebagai tokoh pemersatu.
Sementara itu, berbagai golongan mulai menafsirkan sendiri
Pancasila menurut pandangannya masing-masing. Hal itu dimungkinkan
oleh karena belum adanya proses pendidikan politik dengan bahan yang
baku, yang berorientasi pada wawasan kebangsaan, seperti yang telah
disepakati para pendiri negara kesatuan Republik Indonesia.
Pengalaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dalam
periode demokrasi parlementer tersebut telah menimbulkan benturan dan
pergolakan yang sangat mengganggu stabilitas kehidupan nasional.
Pelbagai tafsiran golongan terhadap Pancasila telah semakin jauh dari
konsensus para pendiri Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara merdeka
mengalami pasang-surut.
Dalam mengarungi pasang-surut itu bangsa Indonesia pernah
mempraktikkan tiga Undang-Undang Dasar (UUD), yaltu UUD 1945,
Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat), dan UUD Sementara 1950.
Untuk mempersiapkan UUD) yang tetap, telah diadakan Pemilu tahun
1955, yang berhasil membentuk konstituante pada tahun 1956 untuk
menentukan dasar negara.
Namun, pembicaraan mengenai dasar negara dalam Konstituante
tersebut seakan-akan merupakan pengulangan pembahasan tentang topik
serupa dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI periode Mei sampai
3
dengan Agustus 1945. Sama sekali tidak terdapat kesan bahwa masalah
dasar negara sesungguhnya sudah selesai disepakati pada tanggal 18
Agustus 1945. Suasana sidang konstituante seakan-akan bendak
membentuk negara baru.
Konstituante ini berhasil merumuskan kesepakatan mengenai hak
asasi manusia dan beberapa masalah lainnya, tetapi mengalami kemacetan
sewaktu membahas dasar negara, antara dasar negara Islam dengan
Pancasila atau nasionalisme. Dalam pemungutan suara, jumlah suara yang
diperoleh ternyata relatif seimbang, pada hal tata tertib rapat
mengharuskan adanya dua pertiga suara agar dapat diambil keputusan
yang sah. Oleh karena masing-masing golongan tidak bersedia
berkompromi lebih lanjut, terjadilah kemacetan dalam proses pengambilan
keputusan. Kemacetan dalam pengambilan keputusan tentang dasar negara
dapat menimbulkan krisis ekonomi Negara Republik Indonesia.
Itulah pengalaman berpolitik yang mewarnai kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia sampai tahun 1959, sebagai konsekuensi dari pilihan
sistem demokrasi liberal, yang pada dasarnya diambil pada bulan Oktober
1945 untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pemerintah
Indonesia bukan pendukung fasisme Jepang yang bertentangan dengan
semangat demokrasi zaman baru. Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD
1945 dan membubarkan konstituante membawa kehidupan kenegaraan
memasuki periode baru, periode demokrasi terpimpin antara tahun 1959-
1965, yang memberi peranan mengemuka kepada ideologi komunisme.
b. Ideologi Komunisme
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, diberlakukan kembali UUD
1945, yang memuat Pancasila sebagai dasar negara. Seyogiyanya, sejak
saat itu Pancasila dapat kita hayati dan kita amalkan secara murni dan
konsekwen.
Namun, justru selama periode 1959-1965 terjadilah penafsiran baru
serta terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang juga menyimpang dan
konsensus nasional 18 Agustus 1945. Penyimpangan tersebut bersumber
dari konsepsi Nasakom, singkatan dari nasionalisme, agama, dan
4
komunisme, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan dimanfaatkan
oleh Partai Komunis Indonesia dengan menafsirkan Pancasila sebagai
marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi Indonesia. Pancasila
dipandang sekedar sebagai alat pemersatu, yang berarti bahwa kalau
persatuan sudah terbentuk Pancasila tidak diperlukan lagi.
Pandangan seperti itu jelas tidak sesuai dengan konsensus bangsa
ketika pertama kali Pancasila disepakati. Betapapun orang Indonesia sudah
bersatu, selama bangsa Indonesia masih majemuk, selama itu alat
pemersatu masih diperlukan. Kalaupun sudah bersatu, persatuan harus
dijaga dan dipertahankan.
Tantangan besar menjelang tahun 1966 sebagai puncak gerakan anti
Pancasila adalah pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia. Partai Komunis Indonesia sekali lagi mencoba mendirikan
suatu Republik Indonesia. Dengan menggunakan oknum-oknum militer
yang dapat dipengaruhinya, PKI melakukan pembunuhan terhadap tokoh-
tokoh pimpinan TNI Angkatan Darat di Jakarta dan Yogyakarta dini hari
tanggal 1 Oktober 1965, yang mereka nilai menghalangi niatnya.ABRI
dan rakyat Indonesia yang Pancasilais berhasil menumpas pemberontakan
itu dan menyelamatkan negara Pancasila.
c. Penyalahgunaan Agama
Selain paham liberalisme dan komunisme tersebut, penyimpangan
terhadap Pancasila juga dilakukan oleh berbagai pihak yang
menyalahgunakan ajaran agama. Golongan ekstrim keagamaan cenderung
mengartikan Pancasila dengan sila pertama saja dan selanjutnya
menganggap sila pertama identik dengan agama. Pandangan ini dapat
menyesatkan karena dengan menekankan satu sila semata-mata, maka sila-
sila yang lain akan dilupakan dan menjurus ke arah negara teokrasi.
Para penganut paham ini bukan saja tidak toleran
terhadap penganut agama lainnya tetapi juga bisa tidak toleran terhadap
sesama penganut agama itu sendiri.
Pandangan keagamaan yang sempit seperti itu tidaklah sesuai dengan
paham kebangsaan. Untuk mencegah berlanjutnya penyalahgunaan ajaran
5
agama itu sebagai warga negara Republik Indonesia yang bertanggung
jawab, seluruh umat beragama mengambil langkah-langkah yang jelas
untuk mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang disepakati
oleh para pendiri negara. Keadaan tersebut bukan saja telah menimbulkan
kesengsaraan rakyat banyak, dan munculnya konflik ideologi melainkan
juga telah menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan. Pengalaman
berkonflik selama dua puluh tahun antar berbagai ideologi golongan telah
menyadarkan bangsa kita tentang pentingnya pendidikan politik yang
diupayakan oleh para pendiri Republik Indonesia, serta langkah-langkah
yang perlu diambil untuk masa depan. Salah satu pusat perhatian para
pendiri negara yang perlu tetap dipelihara adalah proses modernisasi
politik Indonesia. Masyarakat mulai menerima dan menghayati wawasan
bahwa sumber legitimasi kekuasaan negara bukanlah berasal dari sumber
kekuasaan sakral yang tidak dapat diganggu gugat, seperti diyakini dalam
sistem feodalisme masa silam, tetapi dari kesepakatan bersama seluruh
rakyat itu sendiri. Dalam kenyataannya, dalam bidang politik rakyat
mengorganisasi diri dalam pelbagai kekuatan sosial-politik, yang
berwenang melahirkan rangkaian konsensus nasional.
Kesadaran politik masyarakat tentang sumber kekuasaan negara yang
bercorak konstitusional ini bisa kita pandang sebagai hasil pendidikan
politik selama dua puluh tahun pertama berdirinya Republik Indonesia dan
merupakan kekayaan rohani bangsa Indonesia. Modernisasi kehidupan
politik yang menggerakan mentalitas budaya politik masyarakat seperti itu
pada gilirannya akan menyumbangkan kesadaran politik yang lebih
modem lagi dalam langkah menuju penghayatan nilai-nilai Pancasila pada
periode sesudahnya.
d. Tantangan Masa Depan dan Pergantian Generasi
Selain adanya kebutuhan untuk mencegah berulangnya paham
golongan yang sempit tersebut, kita juga menghadapi tantangan besar dan
masa depan, yaitu dunia yang semakin terbuka terhadap pengaruh dari luar
6
serta timbulnya generasi baru yang sama sekali tidak pernah mengalami
pahit getirnya mendirikan serta mempertahankan Republik Indonesia dan
berbagai jenis ancaman ideologis tersebut. Dalam suasana baru ini, bahkan
paham negara kebangsaan itu sendiri dapat menjadi surut karena proses
globalisasi.
Dalam suasana yang semakin melonggar tersebut, jika semangat
persatuan dan kesatuan serta kebersamaan tidak dipelihara dengan sebaik-
baiknya, dan jika persatuan, kesatuan, serta kebersamaan itu tidak
terwujud dan berbuah dalam kesejahteraan serta keadilan, negara nasional
dapat terancam bahaya perpecahan dalam proses disintegrasi nasional
yang amat berbahaya. Karena itu, pembangunan nasional yang bertumpu
pada trilogi pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas nasional (stabilitas
politik dan stabilitas ekonomi) harus benar-benar berhasil. Pendidikan
politik yang berdasarkan Pancasila merupakan bagian dalam rangka
mewujudkan Trilogi Pembangunan itu.
1.2.Landasan Kultural
Terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia dan pembangunan
politik yang mengikutinya tidak hanya merupakan peristiwa politik, tetapi
juga merupakan peristiwa budaya. Aspek budaya pertama, ialah bahwa
perubahan dan kesatuan-kesatuan etnis kepada kesatuan baru, yaitu negara
kebangasan mengimplikasikan perubahan identitas masyarakat. Individu harus
mendefinisikan dirinya secara baru daläm suatu sistem politik yang baru.
Identitas dengan basis kesukuan, agama, atau sistem budaya tertentu barulah
menjadi identitas berdasarkan nasionalisme. Ia harus commited kepada
kepentingan yang lebih luas: bangsa dan negara. Oleh C. Geertz proses ini
disebut “revolusi integrative”.
Pancasila sebagai ideologi di sini berperan sebagai referensi bagi
pembentukan identitas baru sebagai warga negara. Sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan kategori baru yang mengatasi batasan-batasan
berdasarkan agama tertentu. Kemanusiaan menunjukkan pada nilai universal.
Kedua prinsip ini mencerminkan peralihan dari lingkup yang partikularistik
7
kepada yang universalistik, sebagai gejala dari modernisasi. Prinsip persatuan
Indonesia menunjuk kepada referensi kelompok yang baru dan ikatan yang
baru. Sedangkan kerakyatan dan keadilan sosial merupakan prinsip yang
dituntut dan status baru sebagai warga negara yang sama.
1.3.Landasa Yuridis
Dalam wacana politik Indonesia interpretasi terhadap Pancasila
mengalami berbagai macam perkembangan serta dinamika yang sebenarnya
justru hal tersebut menunjukkan sifat Pancasila yang terbuka, aktual, dinamis
serta reformatif yang senantiasa dikembangkan selaras dengan aspirasi
masyarakat sebagai kausa materialis Pancasila itu sendiri. Perkembangan
tersebut bukan berarti hilangnya dasar yuridis perkuliahan Pancasila
melainkan justru sebagai dasar yang memperkuat atas pelaksanaan
perkuliahan Pancasila.
a. Undang-Undang Dasar 1945
Sesuai dengan isi yang terkandung dalam UUD 1945, bahwa setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31) ayat (1)
serta pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan Pendidikan
Nasional dalam suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dalam
undang-undang, ayat (2). Selain itu yang terpenting lagi adalah berkaitan
dengan tujuan negara secara khusus yaitu “Pemerintah negara Indonesia.
memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa”
sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Pelaksanaan Pendidikan Nasional diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989, yang memuat tentang sistem pendidikan nasional
Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
“…..Pendidikan nasiona1 adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Undang-
Undang tersebut sudah seharusnya dalam sistem pendidikan nasional itu
8
sendiri wajib mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai Pancasila
secara ilmiah dan objektif.
1.4.Landasan Filosofis
a. Membentuk keseimbangan kepribadian yaitu unsur mental spntual
(kerohanian), religius (Ketuhanan) serta kemanusiaan dengan unsur di
bidang kemampuan intelektualnya di bidangnya masing-masing
termasuk kecerdasan dan keterampilannya.
b. Membentuk manusia susila, berjiwa Pancasila, bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, berjiwa ksatria,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, serta
bertanggungjawab atas kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa
Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
c. Menumbuhkan kecerdasan berfikir serta mengembangkan kesadaran
tentang kedudukan ilmu pengetahuan dalam hidup kemanusiaan.
d. Menumbuhkan kesadaran untuk mengabdikan diri kepada kebenaran
dan kenyataan. Maka hal ini sesuai dengan semangat kebebasan
mimbar dan kebebasan akademis yang dijiwai oleh hikmat
kebijaksanaan. Maka dengan pengetahuan filsafat Pancasila secara
ilmiah akan membentuk rasa tanggungjawab moral terhadap ilmu
pengetahuan demi kebahagiaan dan kemanfaatan masyarakat, bangsa
dan umat manusia.
e. Dengan pengetahuan filsafat Pancasila maka akan memperdalam
kesadaran akan persatuan Indonesia, kesadaran kemanusiaan,
kesadaran tentang Ketuhanan serta kesadaran dan kehormatan yang
sama terhadap keyakinan agama demi kepentingan inasyarakat, bangsa
dan kemanusiaan.
2. Tujuan Pendidikan Pancasila
2.1.Tujuan Nasional
Dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan
tujuan nasional negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
9
Agustus 1945 yaitu: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam bentuk suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan dalam permusyawaratan/
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2.2.Tujuan Pendidikan Nasional
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hubungan
langsung dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri ialah bahwa
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung pokok-pokok pikiran
yang dijelmakan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu di
dalam pasal-pasalnya.
Sehubungan dengan kehendak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dapat dilihat penjelmaannya dalam pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang
Dasar 1945.
1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran
nasional yang diatur dengan undang-undang.
2.3.Tujuan Pendidikan Pancasila
Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dikatakan bahwa: Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada
moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang
10
bersifat kemanusiaan yang adil dan beradap, perilaku yang mendukung
persatuan bangsa daiam masyarakat yang beraneka agama kebudayaan dan
beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan yang
mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan
golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat, ataupun kepentingan
diatasi melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung
upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalau kita artikan kompetensi sebagai seperangkat tindakan inteligen,
penuh tanggungjawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dapat dianggap mampu melaksanàkan tugas-tugas dalam bidang okupasi
tertentu, maka kompetensi lulusan pendidikan Pancasila adalah seperangkat
tindakan inteligen, penuh tanggung jawab seorang warga negara dalam
memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
dengan menerapkan pemikiran yang berlandasarkan Pancasila. Sifat inteligen
yang dimaksud tampak pada kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak,
sedangkan sifat penuh tanggungjawab diperlihatkan sebagai kebenaran
tindakan ditilik dari nilai iptek, etik ataupun kepatutan agama dan budaya.
Pendidikan Pancasila yang berhasil, akan membuahkan sikap mental
bersifat inteligen, penuh tanggung jawab dari peserta didik dengan perilaku
yang:
a. beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
c. mendukung persatuan bangsa.
d. mendukung kerakyatan. yang mengutamakan kepentingan bersama
di atas kepentingan perorangan.
e. mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial.
Warga negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersikap mental seperti
tersebut di atas melalui Pendidikan Pancasila diharapkan mampu:
Memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-
cita dan tujuan nasional yang digariskan dalam UUD 1945.
11
Pada saatnya dapat menghayati filsafat dan pandangan hidup Pancasila,
sehingga menjiwai tingkah lakunya selaku warga negara Republik Indonesia.
Diharapkan melalui Pendidikan Pancasila warga negara Republik Indonesia,
akan menjadi manusia Indonesia terlebih dahulu, sebelum menguasai,
memiliki Iptekkes yang dipelajarinya. Kita mendambakan warga negara
Indonesia yang unggul dalam penguasaan iptekkes, namun kita tidak
mengingini warga Negara Kesatuan Republik Indonesia kehilangan jati
dirinya (Pancasila) apalagi tercabut dari akar budayanya.
12
BAB II
PERTUMBUHAN PAHAM KEBANGSAAN INDONESIA
1. Masa Kejayaan Nasional
1.1.Masa Kejayaan Sriwijaya
Sebelum negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka
(sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) diproklamirkan,pada abad ke
VII muncullah suatu kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya, di bawah
kekuasaan bangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam Prasasti Kedukan Bukit
di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 Caka atau 683
M, dalam bahasa Melayu kuno dan huruf Pallawa. Kerajaan itu adalah
kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci lalulintas
laut di sebelah barat dikuasainya seperti selat Sunda (686), kemudian selat
Malaka (775). Pada zaman itu kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan
besar yang cukup disegani di kawasan Asia Selatan. Perdagangan dilakukan
dengan mempersatukan pedagang dengan pengrajin dan pegawai raja yang
disebut Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam
koperasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya.
Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus
pajak, harta benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis
pembangunan gedung-gedung dan patung patung suci sehingga pada saat itu
kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan
nilai Ketuhanan.
Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu
Universitas Agama Büdha, yang sangat terkenal di negara lain di Asia.
Banyak musyafir dari negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di
Universitas tersebut terutama tentang agama Budha dan bahasa Sanskerta
sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar
tamu dari India yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita
tentang kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada
kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi ‘marvuat vanua Criwijaya
siddhayatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur) .
13
1.2.Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman
keemasannya pada pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah
Mada yang dibantu oleh laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk
menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu
membentang dari semenanjung melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian
Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan
damai dalam satu kerajaan. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365).
Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular
mengarang buku Sutasoma, dan di dalam buku itulah kita jumpai seloka
persatuan nasional yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang bunyi lengkapnya
“Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun
berbeda, namun satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan
yang berbeda. Hal mi menunjukkan adanya realitas kehidupan agama pada
saat itu, yaitu agama Hindu dan Budha. Bahkan salah satu bawahan
kekuasaannya yaitu Pasai justru telah memeluk agama Islam. Toleransi positif
dalam bidang agama dijunjung tinggi sejak masa bahari yang telah silam.
Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada dalam
sidang Ratu dan Menteri-menteri di Paseban Keprabuan Majapahit pada tahun
1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai
berikut:
“Saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara
bertakluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjung, Haru,
Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan ”.
Selain itu dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk
senantiasa mengadakan hubungan bertetangga dengan baik dengan kerajaan
Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Menurut prasasti Brumbung (l329)
dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat
seperti Rakryan I Hino, I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan
14
nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang
dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan Majapahit.
Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan
banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara
kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor
keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada
permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai
memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang
Kertaning Bumi” pada permulaan abad XVI (1520).
2. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajahan
2.1.Perjuangan Sebelum Abad XX
Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka
berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan
dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan
Demak, dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa ke nusantara. Mereka
itu antara lain orang Portugis yang kemudian diikuti oleh orang orang Spanyol
yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah.
Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang pada awalnya berdagang
adalah orang-orang bangsa Portugis. Namun lama kelamaan bangsa Portugis
mulai menunjukkan peranannya dalam bidang perdagangan yang meningkat
menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh
Portugis.
Pada akhir abad ke XVI bangsa Belanda datang pula ke Indonesia
dengan menempuh jalan yang penuh kesulitan. Untuk menghindarkan
persaingan di antara mereka sendiri (Belanda), kemudian mereka mendirikan
suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (Verenigde Oost Indische
Compagnie), yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “Kompeni’.
Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan
sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram di bawah
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan
dan menyerang ke Batavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidak
15
berhasil meruntuhkan Batavia namun Gubemur Jenderal J.P. Coen tewas
dalam serangan Sultan Agung yang kedua itu.
Beberapa saat setelah Sultan Agung mangkat maka Mataram menjadi
bagian kekuasaan kompeni, bangsa Belanda mulai memainkan peranan
politiknya dengan licik di Indonesia. Di Makasar yang memiliki kedudukan
yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan
timbullah perlawanan dari rakyat Makasar di bawah Hasanuddin. Menyusul
pula wilayah Banten (sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukkan pula oleh
kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati di Jawa
Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya tidak mampu meruntuhkan
kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian pula ajakan Ibnu Iskandar
pimpinan armada dari Minangkabau untuk mengadakan perlawanan bersama
terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat. Perlawanan
bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar-pencar dan tidak memiliki
koordinasi tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak
menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada
awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis dan kaya akan hasil rempah-
rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat
kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada abad itu sejarah mencatat bahwa Belanda berusaha dengan keras
untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia.
Mereka ingin membulatkan hegemoninya sampai ke pelosok-pelosok
nusantara kita. Melihat praktek-praktek penjajahan Belanda tersebut maka
meledaklah perlawanan rakyat di berbagai wilayah nusantara, antara lain :
Patimura di Maluku (1817), Baharudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di
Minangkabau (1821- 1837). Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1825-
1830), Jlentik, Panglima Polim, Teuku Tjik di Tiro, Teuku Umar dalam
perang Aceh (1860), anak Agung Made dalam perang Lombok (1894- 1895).
Sisingamangaraja di tanah Batak (1900), dan masih banyak perlawanan rakyat
di berbagai daerah di nusantara. Dorongan akan cinta tanah air menimbulkan
semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda, namun sekali lagi
karena tidak adanya kesatuan dan persatuan di antara mereka dalam
16
perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas
dan menimbulkan banyak korban.
Penghisapan mulai memuncak ketika Belanda mulai menerapkan
sistem monopoli melalui tanam paksa (1830- 1870) dengan memaksakan
beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Penderitaan rakyat
semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap
penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat
untuk memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.
2.2.Kebangkitan Nasional
Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan
kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri
Republik Filipina (1898), yang dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas
Rusia di Tsunia (1905), gerakan Sun Yat Sen dengan Republik Cinanya
(1911). Partai Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di
Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu
kebangkitan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo
dengan Budi Utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan
nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan
kemerdekaan dan kekuatannya sendiri.
Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 inilah yang
merupakan pelopor pergerakan nasional, sehingga segera setelah itu
muncullah organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi
pergerakan nasional itu antara lain: Serikat Dagang Islam (SDI) (1909), yang
kemudian dengan cepat mengubah bentuknya inenjadi gerakan politik dengan
mengganti namanya menjadi Serikat Islam (SI) tahun (1911) di bawah H.O.S.
Cokroaminoto.
Berikutnya muncullah Indische Partij (1913), yang dipimpin oleh tiga
serangkai yaitu: Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat
(yang kemudian lebih dilcenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro). Sejak
semula partai ini menunjukkan keradikalannya, sehingga tidak dapat berumur
panjang karena pemimpinnya dibuang ke luar negeri (1913).
17
2.3.Sumpah Pemuda 1928
Dalam situasi yang menggoncangkan itu muncullah Partai Nasional
Indonesia (PNI) (1927) yang dipelopori oleh Soekarno, Ciptomangunkusumo,
Sartono, dan tokoh lainnya. Mulailah kini perjuangan nasional Indonesia
dititik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas yaitu
Indonesia merdeka. Tujuan itu diekspresikannya dengan kata-kata yang jelas,
kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya
antara lain: Muh. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, serta tokoh-
tokoh muda lainnya. Perjuangan rintisan kesatuan nasional kemudian diikuti
dengan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang isinya satu bahasa,
satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia Raya pada saat ini
pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai penggerak kebangkitan
kesadaran berbangsa.
Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti
bentuknya dengan Partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931).
Kemudian golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta dan St. Syahrir
mendirikan PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan
semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
2.4.Perjuangan Bangsa Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
Setelah Netherland diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5
Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wihelmina dengan
segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga
pemerintahan Belanda masih dapat berkomunikasi dengan pemerintahan
jajahan di Indonesia.
Janji Belanda tentang Indonesia merdeka dikelak kemudian hari dalam
kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi
kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggai 10 Maret 1940,
kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
18
Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang
Pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”. Akan tetapi dalam
perang melawan Sekutu Barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis,
Belanda, dan negara Sekutu lainnya) nampaknya Jepang semakin terdesak.
Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka
pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu
menjanjikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari.
Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari Ulang Tahun
Kaisar Jepang beliau memberikan hadiah ‘ulang tahun’ kepada bangsa
Indonesia yaitu janji kedua pemerintah Jepang berupa ‘kemerdekaan tanpa
syarat’. Janji itu disampaikan kepada bangsa Indonesia seminggu sebelum
bangsa Jepang menyerah dengan Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi
Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di seluruh Jawa dan Madura), No. 23
dalam janji kemerdekaan yang kedua tersebut bangsa Indonesia
diperkenankan untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan dianjurkan
kepada bangsa Indonesia untuk berani mendirikan negara Indonesia merdeka
di hadapan musuh-musuh Jepang yaitu Sekutu termasuk kaki tangannya Nica
(Netherlands Indie Civil Administration), yang ingin mengembalikan
kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Bahkan Nica telah melancarkan
serangannya di pulau Tarakan dan Morotai.
Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka
sebagai realisasi janji tersebut dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk
menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
Dokuritu Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua,
wakil ketua serta para anggota sebagai berikut:
Pada waktu itu susunan Badan Penyelidik itu adalali
sebagai berikut:
Ketua (Kaicoo) : Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat
Ketua Muda : Iclubangse (seorang anggota luar biasa) (Fuku Kaicoo
Tokubetsu Iin)
19
Ketua Muda : R.P. Soeroso (Merangkap Kepala) (Fuku Kaicoo atau
Zimukyoku Kucoo)
Enampuluh (60) orang anggota biasa (Iin) bangsa Indonesia (tidak
termasuk ketua dan ketua muda), yang kebanyakan berasal dan pulau Jawa,
tetapi terdapat beberapa dari Sumatera, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang
peranakan Eropa, Cina, Arab. Semuanya itu bertempat tinggal di Jawa, karena
Badan Penyelidik itu diadakan oleh Saikoo Sikikan Jawa.
Nama para anggota itu menurut nomor tempat duduknya dalam sidang
adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno
2. Mr. Muh. Yamin
3. Dr. R. Kusumah Atmaja
4. R. Abdulrähim Pratalykrama
5. R. Aris
6. K. H. Dewantara
7. K. Bagus H. Hadikusuma
8. M.P.H. Bintoro
9. A.K. Moezakir
10. B.P.H. Poerbojo
11. R.A.A Wiranatakoesoema
12. Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar
13. Oeij Tjiang Tjoei
14. Drs. Muh. Hatta
15. Oei Tjong Hauw
16. H. Agus Salim
17. M. Soetardjo Kartohadikusumo
18. R.M. Margono Djojohadikusumo
19. K.H. Abdul Halim
20. K.H. Masjkoer
21. R. Soedirman
22. Prof. Dr. P.A.H. Djayadiningrat
23. Prof. Dr. Soepomo
24. Prof. Ir. Roeseno
25. Mr. R.P. Singgih
31. Dr. R. Boentaran M
32. Liem Koen Hian
33. Mr. J. Latuharhary
34. Mr. R. Hindromartono
35. R. Soekarjo Wirjopranoto
36. Hadji Ah. Sanoesi
37. A.M. Dasaat
38. Mr. Tan Eng Hoa
39. Ir. R.M.P. Soerachman
Tjokroadisurjo
40. R.A.A.Soemitro Kolopaking
Poerbonegoro
41. K.R.M.T.H. Woeiyaningrat
42. Mr. A. Soebardjo
43. Prof. Dr. R. Djenal Asiki
Widjayakoesoema
44. Abikoesno
45. Parada Harahap
46. Mr. R.M. Sartono
47. K.H.M. Mansoer
48. K.R.M.A. Sosrodiningrat
49. Mr. Soewandi
50. K.H.A. Wachid Hasyim
51. P.F. Dahier
52. Dr. Soekiman
20
26. Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso
27. R.M.T. A. Soejo
28. R. Ruslan Wongsokusumo
29. R. Soesanto Tirtoprodjo
30. Ny. R.S.S. Soemario
Mangunpoespito
53. Mr.K.R.M.T. Wongsonegoro
54. R. Oto Iskandar Dinata
55. A. Baswedan
56. Abdul Kadir
57. Dr. Samsi
58. Mr. A.A. Maramis
59. Mr. Samsoedin
60. Mr. R. Sastromoeljono
(Sekretariat Negara, 1995 )
Sidang BPUPKI Pertama
Sidang BPUPKI pertama dilaksanakan selama empat hari, berturut-
turut yang tampil untuk berpidato menyampaikan usulannya adalah sebagai
berikut (a) tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin, (b) tanggal 31 Mei 1945
Prof. Soepomo dan (c) tanggal 1 Juni 1945 Jr. Soekarno.
a) Mr. Muh. Yamin (29 Mel 1945).
Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan
calon rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut : I. Peri Kebangsaan, II.
Peri Kemanusiaan, III. Peri Ketuhanan, IV. Peri Kerakyatan (A.
Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan) dan V Kesejahteraan
rakyat (Keadilan Sosial).
Selain usulan tersebut pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin
menyerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan
sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan
Pembukaan yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Untuk membentuk
Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan, dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
21
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan
Indonesia, dan rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
b) Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
Berbeda dengan usulan Mr. Muh. Yamin, Prof. Dr. Soepomo
mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
1) Teori negara perseorangan (Individualis), sebagaimana diajarkan oleh
Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacques Rousseau (abad 18), Herbert
Spencer (abad 19), H.J. Laski (abad 20). Menurut paham ini, negara
adalah masyarakat hukum (Legal society) yang disusun atas kontrak
antara seluruh individu (contract social). Paham negara ini banyak
terdapat di Eropa dan Amerika.
2) Paham negara kelas (Class theory) atau teori ‘golongan’. Teori ini
sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara adalah
alat dari suatu golongan (suatu klas) untuk menindas klas lain. Negara
kapitalis adalah alat dari kaum borjuis, oleh karena itu kaum Marxis
menganjurkan untuk meraih kekuasaan agar kaum buruh dapat ganti
menindas kaum borjuis.
3) Paham negara integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam
Muller, Hegel (abad 18 dan 19). Menurut paham ini negara bukanlah
untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin
kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara
adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau
anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan
merupakan kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting
dalam negara adalah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak
memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar,
tidak memandang kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi
negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu
persatuan .
22
Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar filsafat negara Indonesia
Soepomo mengusulkan hal-hal sebagai berikut:
2) Saya mengusulkan pendirian negara nasional yang bersatu dalam arti
totaliter sebagaimana yang saya uraikan tadi, yaitu negara yang tidak
akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, akan tetapi yang
mengatasi semua golongan, baik golongan besar atau kecil. Dalam
negara yang bersatu itu urusan agama diserahkan kepada golongan-
golongan agama yang bersangkutan.
3) Kemudian dianjurkan supaya para warga negara takluk kepada Tuhan,
supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan.
4) Mengenai kerakyatan disebutkan sebagai berikut: untuk menjamin
supaya pimpinan negara, terutama kepala negara terus-menerus bersatu
jiwa dengan rakyat dalam susunan pemerintahan negara Indonesia
harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Kepala negara akan
terus bergaul dengan badan permusyawaratan supaya senantiasa
mengetahui dan merasakan rasa keadilan dan cita cita rakyat.
5) Menurut Prof. Soepomo dalam lapangan ekonomi negara akan bersifat
kekeluargaan juga, oleh karena kekeluargaan itu sifat masyarakat timur
yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong-menolong,
sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi
negara Indonesia yang makmur, bersatu, berdaulat, adil.
6) Mengenai hubungan antar bangsa, Prof. Soepomo membatasi diri dan
menganjurkan supaya negara Indonesia bersifat negara Asia Timur
raya, anggota dan kekeluargaan Asia Timur Raya.
c) Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI pertama berikutnya adalah
pidato dari Ir. Soekarno, yang disampaikannya dalam sidang tersebut secara
lisan tanpa teks. Beliau mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima
prinsip yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2) Internasionalisme (perikemanusiaan)
3) Mufakat (demokrasi)
23
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
Lima prinsip sebagai dasar negara tersebut kemudian oleh Soekarno
diusulkan agar diberi nama “Pancasila” atas saran salah seorang teman beliau
ahli bahasa. Berikutnya menurut Soekarno kelima sila tersebut dapat diperas
menjadi “Tri Sila” yang meliputi (1) Sosio nasionalisme yang merupakan
sintesa dari “Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri Kemanusiaan
(internasionalisme), (2) Sosio demokrasi yang merupakan sintesa dari
“Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial, serta (3) Ketuhanan.
Berikutnya beliau juga mengusulkan bahwa “Tri Sila.” tersebut juga dapat
diperas menjadi “Eka Sila” yang intinya adalah “gotong royong”.
Beliau mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia atau “Philosophische grondslag” juga
pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau sebagai
‘weltanschauung’ dan di atas dasar itulah kita dirikan negara Indonesia.
Sangat menarik untuk dikaji bahwa beliau dalam mengusulkan dasar
negara tersebut selain secara lisan juga dalam uraiannya juga membandingkan
dasar filsafat negara
“Pancasila” dengan ideologi-ideologi besar dunia seperti liberalisme,
komunisme, chauvinisme, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideologi besar
dunia lainnya .
Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945)
Hari pertama sebelum sidang BPUPKI Kedua dimulai, diumumkan oleh
ketua penambahan 6 anggota baru Badan Penyelidik yaitu: (1) Abdul Fatah
Hasan, (2) Asikin Natanegara, (3) Soerjo Hamidjojo, (4) Muhammad Noor,
(5) Besar, dan (6) Abdul Kaffar.
Selain tambahan anggota BPUPKI Ir. Soekarno sebagai Ketua Panitia
Kecil melaporkan hasil pertemuannya yang dilakukan sejak tanggal 1 Juni
yang telah lalu. Menurut laporan itu pada tanggal 22 Juni 1945 Ir. Soekarno
mengadakan pertemuan antara Panitia Kecil dengan anggota-anggota badan
Penyelidik. Yang hadir dalam pertemuan itu berjumlah 38 anggota, yaitu
24
anggota-anggota yang bertempat tinggal di Jakarta dan anggota-anggota
Badan Penyelidik yang merangkap menjadi anggota Tituoo Sangi In dari luar
Jakarta, dan pada waktu itu Jakarta menjadi tempat rapat Tituoo Sangi In.
Pertemuan antara 38 orang anggota itu diadakan di gedung kantor besar Jawa
Hooko Kai (Kantornya Bung Karno sebagai Honbucoo/ Sekretaris Jenderal
Jawa Hooko Kai). Mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang,
dan populer disebut “Panitia Sembilan” yang anggotanya adalah sebagai
berikut:
1. Ir. Soekarno 6. Mr. Soebardjo
2. Wachid Hasyim 7. Kyai Abdul Kahar Moezakir
3. Mr. Muh. Yamin 8. Abikoesno Tjokrosoejoso
4. Mr. Maramis 9. Haji Agus Salim
5. Drs. Moh. Hatta
Panitia sembilan ini setelah mengadakan pertemuan secara masak dan
sempurna telah mencapai suatu hasil yang baik yaitu suatu modus atau
persetujuan antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan. Modus atau
persetujuan tersebut tertuang dalam suatu rancangan Pembukaan Hukum
Dasar, rancangan Preambul Hukum Dasar yang dipermaklumkan oleh Panitia
kecil Badan Penyelidik dalam rapat BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945.
Panitia Kecil Badan Penyelidik menyetujui sebulat-bulatnya rancangan
Preambule yang disusun oleh panitia sembilan tersebut. Adapun bagian
terakhir naskah Preambule tersebut adalah sebagai berikut:
“……….maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalamsuatu hukum dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu negaraRepublik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkankepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagipemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil danberadab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta denganmewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Terdapat hal yang sangat menarik perhatian juga yaitu pemakaian istilah
‘hukum dasar’ yang kemudian diganti dengan istilah Undang-Undang Dasar.
Hal mi menurut keterangan Prof. Soepomo dalam rapat tanggal 15 Juli 1945,
25
bahwa istilah hukum dalam bahasa Belanda ‘recht’ itu meliputi yang tertulis
dan tidak tertulis. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah hukum yang
tertulis. Oleh karena itu tidak lagi digunakan istilah hukum dasar untuk
rancangan yang harus disusun oleh Panitia Perancang yang dibentuk dalam
rapat 11 Juli, adapun istilah yang benar adalah Undang-Undang Dasar.
Beberapa keputusan penting yang patut diketahui dalam rapat BPUPKI kedua
adalah sebagai berikut: dalam rapat tanggal 10 Juli antara lain diambil
keputusan tentang bentuk negara. Dari 64 suara (ada beberapa anggota yang
tidak hadir) yang pro Republik 55 orang yang meminta kerajaan 6 orang
adapun bentuk lain dan blanko 1 orang.
Pada tanggal 11 Juli 1945 keputusan yang penting adalah tentang luas
wilayah negara baru, terdapat tiga usul, yaitu (a) Hindia Belanda yang dulu,
(b) Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (Borneo Inggris),
Irian Timur, Timor Portugis dan pulau-pulau sekitarnya, dan (c) Hindia
Belanda ditambah Malaya, akan tetapi dikurangi dengan Irian Barat.
Berdasarkan hasil pemungutan suara dari 66 orang suara yang memilih
(a) Hindia Belanda ada 19, yang memilih (b) yaitu daerah yang terbesar yaitu
jumlah yang terbanyak yaitu 39, sedangkan yang naemilih (c) ada 6 lain-lain
daerah I serta blangko 1. Jadi pada waktu itu angan-angan sebagian besar
anggota Badan Penyelidik adalah menghendaki Indonesia Raya yang
sesungguhnya yang mempersatukan semua kepulauan Indonesia yang pada
bulan Juli 1945 itu sebagian besar wilayah Indonesia kecuali Irian, Tarakan
dan Morotai yang masih dikuasai Jepang.
26
Keputusan-keputusan lain adalah untuk membentuk panitia kecil yaitu:
(1) Panitia perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno,
(2) Panitia ekonomi dan keuangan yang diketuai oleh Drs. Moh. Hatta, dan (3)
Panitia pembelaan tanah air diketuai oleh Abikusno Tjokrosoejoso. Pada
tanggal 14 Juli Badan Penyelidik bersidang lagi dan Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar melaporkan hasil pertemuannya. Susunan Undang-
Undang Dasar yang diusulkan terdiri atas 3 bagian, yaitu (a) Pernyataan
Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan di muka dunia atas penjajahan
Belanda, (b) Pembukaan yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila
dan (c) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar .
3. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
3.1.Proses Perumusan Pancasila dan UUD 1945
Kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia membawa hikmah bagi bangsa
Indonesia. Menurut pengumuman Nanpoo Gun (Pemerintah Tentara Jepang
untuk seluruh daerah Selatan), tanggal 7 Agustus akan dibentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau ‘Dokuritu Zyunbi Iinkai’.
Untuk keperluan membentuk panitia itu pada tanggal 8 Agustus Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Dr. Radjiman diberangkatkan ke Saigon atas
panggilan Jenderal Besar Terauchi, Saiko Sikikan untuk Daerah Selatan
(Nanpoo Gun), jadi penguasa tersebut juga meliputi kekuasaan wilayah
Indonesia. Menurut Soekarno, Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus
memberikan kepadanya 3 cap yaitu:
1) Soekarno diangkat sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan,
Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua, Radjiman sebagai Anggota.
27
2) Panitia persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus itu.
3) Cepat atau tidaknya pekerjaan Panitia diserahkan sepenuhnya kepada
Panitia
Panitia Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritu Zyunbi Iinkai itu terdiri
atas 21 orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Adapun susunan keanggotaan
PPKI tersebut adalah sebagai berikut:
1) Ir. Soekarno (Ketua)
2) Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
Adapun anggota-anggotanya sebagai berikut:
3) dr. Rajidman Widiodiningrat
4) Ki Bagus Hadikoesoemo
5) Oto Iskandardinata
6) Pangeran Purbojo
7) Pangeran Soerjohamodjojo
8) Soetardjo Kartohamidjojo
9) Prof. Dr. Mr. Soepomo
10) Abdul Kadir
11) Drs. Yap Tjwan Bing
12) Dr. Mohammad Amir (didatangkan dari Sumatera)
13) Mr. Abdul Abbas (didatangkan dari Sumatera)
14) Dr. Ratulangi (didatangkan dari Sulawesi)
15) Andi Pangerang (didatangkan dari Sulawesi)
16) Mr. Latuharhary
17) Mr. Pudja (didatangkan dari Bali)
28
18) A.H. Hamidan (didatangkan dari Kalimantan)
19) R.P. Soeroso
20) Abdul Wachid Hasyim
21) Mr. Mohammad Hassan (didatangkan dari Sumatera)
Berbeda dengan Badan Penyelidik (Dokuritu Zyunbi Tioosakai), dalam
susunan kepanitiaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritu
Zyunbi Iinkai) tidak duduk seorangpun bangsa Jepang, demikian pula dalam
kantor tata usahanya.
Sekembalinya dari Saigon pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kemayoran
Ir. Soekarno mengumumkan di muka orang banyak bahwa bangsa Indonesia
akan merdeka sebelum jagung berbunga (secepat mungkin), dan kemerdekaan
bangsa Indonesia bukan merupakan hadiah dari Jepang melainkan merupakan
hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itulah maka ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kemudian menambahkan sejumlah
anggota atas tanggung jawabnya sendiri. Agar dengan demikian sifat Panitia
Persiapan Kemerdekaan itu berubah menjadi badan pendahuluan bagi Komite
Nasional. Dalam bathinnya sebagai Komite Nasional, Panitia Persiapan
Kemerdekaan itu menyelenggarakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dan kemudian memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini
untuk tidak dilupakan bahwa anggota-anggotanya datang dan seluruh
kepulauan Indonesia sebagai wakil-wakil daerah masing-masing, kemudian
ditambah dengan enam orang lagi sebagai wakil golongan yang terpenting
dalam masyarakat lndonesia. Oleh karena itu Panitia Persiapan Kemerdekaan
29
Indonesia yang pada hakikatnya juga sebagai Komite Nasional memiliki sifat
representif, sifat perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut bahwa Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang semula adalah merupakan badan bentukan
Pemerintah Tentara Jepang, kemudian sejak Jepang jatuh dan kemudian
ditambahnya enam anggota baru atas tanggungan sendiri maka berubahlah
sifatnya dari badan Jepang menjadi badan nasional sebagai badan pendahuluan
bagi Komite Nasional. Adapun enam anggota baru tambahan tersebut adalah :
(1) Wiranatakusuma, (2) Ki Hadjar Dewantara, (3) Kasman Singodimejo, (4)
Sajuti Melik, (5) Mr. Iwa Kusuma Sumantri, dan (6) Mr. Achmad Soebardjo.
3.2. Proklamasi Kemerdekaan dan Maknanya
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka kesempatan itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh para pejuang kemerdekaan bangsa
Indonesia. Namun terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaan serta
waktu Proklamasi. Perbedaan itu terjadi antara golongan pemuda antara lain:
Sukarni, Adam Malik, Kusnaini, Syahrir, Soedarsono, Soepomo, dkk. Dalam
masalah ini golongan pemuda lebih bersikap agresif yaitu untuk menghendaki
kemerdekaan secepat mungkin. Perbedaan itu memuncak dengan
diamankannya Ir. soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, agar tidak
mendapat pengaruh dari Jepang. Setelah diadakan pertemuan di Pejambon
Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan diperoleh kepastian bahwa Jepang
telah menyerah maka Dwitunggal Soekarno-Hatta setuju untuk
dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan, akan tetapi dilaksanakan di
Jakarta.
30
Untuk mempersiapkan proklamasi tersebut maka pada tengah malam,
Soekarno-Hatta pergi ke rumah Laksamana Maeda di Oranye Nassau
Boulevard (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1) di mana telah berkumpul di sana;
B.M. Diah, Bakri, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, dkk.,
untuk menegaskan bahwa pemerintah Jepang tidak campur tangan tentang
prokramasi. Setelah diperoleh kepastian maka Soekarno-Hatta mengadakan
pertemuan pada larut malam dengan Mr. Achmad soebadjo, Soekarni, Chaerul
Saleh, B.M. Diah, Sayuti Melik, Dr. Buntaran, Mr. Iwa Kusumasumantri dan
beberapa anggota PPKI untuk merumuskan redaksi naskah proklamasi. Pada
pertemuan tersebut akhirnya konsep Soekarnolah yang diterima dan diketik
oleh Sayuti Malik.
Kemudian pagi harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan
Timur 56 Jakarta, tepat pada hari Jum'at legi, jam 10 pagi waktu Indonesia
Barat (jam 11.30 waktu Jepang), Bung Karno dengan didampingi Bung Hatta
membacakan naskah Proklamasi dengan khidmat dan diawali dengan pidato,
sebagai berikut :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-
hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus 2605Atas Nama Bangsa Indonesia
Soekarno Hatta
Makna proklamasi sebagai titik kulminasi perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia dan titik tolak bagi pertumbuhan bangsa Indonesia
31
selanjutnya. Secara ilmiah proklamasi kemerdekaan mengandung pengertian
sebagai berikut:
a. Dari sudut ilmu hukum (secara Yuridis) merupakan saat tidak
berlakunya lagi tertib-tertib hukum kolonial, dan saat mulai berlakunya
tertib hukum nasional.
b. Secara politis ideologis mengandung arti bahwa bangsa Indonesia
terbebas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk
menentukan nasib sendiri dalam suatu negara proklamasi Republik
Indonesia.
3.3.Proses Pengesahan Pancasila Dasar Negara dan UUD 1945
Sidang PPKI
Sehari setelah Proklamasi keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945, PPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Sebelum sidang resmi
dimulai, kira-kira 20 menit dilakukan pertemuan untuk membahas beberapa
perubahan yang berkaitan dengan rancangan naskah Panitia Pembukaan UUD
1945 yang pada saat itu dikenal dengan nama Piagam Jakarta, terutama yang
menyangkut perubahan sila pertama Pancasila. Dalam pertemuan tersebut
syukur Alhamdulillah para pendiri negara kita bermusyawarah dengan moral
yang luhur sehingga mencapai suatu kesepakatan, dan akhirnya
disempurnakan sebagaimana naskah Pembukaan UUD 1945 sekarang ini.
1) Sidang Pertama (18 Agustus 1945)
Sidang pertama PPKI dihadiri 27 orang dan menghasilkan
keputusan-keputusan sebagai berikut :
a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi :
32
a. Setelah melakukan beberapa perubahan pada Piagam Jakarta yang
kemudian berfungsi sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
b. Menetapkan rancangan Hukum Dasar yang telah diterima dari
Badan Penyelidik pada tanggal 17 Juli 1945, setelah mengalami
berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam
Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama.
c. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai
badan musyawarah darurat.
Tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat, dalam masa
transisi dari pemerintahan jajahan kepada pemerintahan nasional, hal itu
telah ditentukan dalam pasal IV Aturan Peralihan. Adapun keanggotaan
Komite Nasional adalah PPKI sebagai intinya ditambah dengan
pemimpin-pemimpin rakyat dari semua golongan, aliran dan lapisan
masyarakat, seperti : Pamong, Praja, Alim ulama, Kaum Pergerakan,
Pemuda, Pengusaha/pedagang, cendikiawan, wartawan dan golongan
lainnya. Komite Nasional tersebut dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945
dan diketuai oleh Mr. Kasman Singodimedjo. Komite Nasional ini
kemudian dinamakan dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Adapun perubahan yang menyangkut Piagam Jakarta menjadi
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:
Piagam Jakarta Pembukaan UUD 1945
1. Kata mukaddimah
2. Dalam suatu hukum dasar
3. ...... dengan berdasarkepada Ketuhanan dengankewajiban menjalankansyariat Islam bagipemeluk-pemeluknya
4. ..... menurut dasarkemanusiaan yang adildan beradap
Diganti
-------
-------
-------
Pembukaan
dalam suatu UUD negara
...... dengan berdasarkankepada Ketuhanan YangMaha Esa
..... kemanusiaan yangadil dan beradap
33
Adapun perubahan yang menyangkut pasal pasal UUD sebagai
berikut :
Rancangan Hukum Dasar UUD 1945
(1) Istilah "Hukum Dasar"
(2) dalam rancangan dua orangWakil Fresiden
(3) Presiden harus orangIndonesia Asli yangberagama Islam.
(4) Dalam rancangandisebutkan selama perangpimpinan perang, dipegangoleh Jepang denganpersetujuan PemerintahanIndonesia.
diganti
diganti
diganti
Undang-Undang Dasaratas usul Soepomoseorang Wakil Presiden
Presiden harus orangIndonesia asli
dihapuskan
Demikianlah berbagai perubahan yang menyangkut Piagam Jakarta
menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta pasal-pasalnya.
2) Kedua (19 Agustus 1945)
Pada sidang kedua PPKI berhasil menentukan ketetapan berikut:
(1) Tentang daerah Propinsi, dengan pembagian sebagai berikut:
a. Jawa Barat
b. Jawa Tengah
c. Jawa Timur
d. Sumatera
e. Borneo
f. Sulawesi
g. Maluku
h. Sunda Kecil
(2) Untuk sementara waktu kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan
seperti sekarang.
(3) Untuk sementara waktu kedudukan kota dan Gemeente diteruskan
seperti sekarang.
34
Hasil yang ketiga dalam sidang tersebut adalah dibentuknya
Kementerian, atau Departemen yang meliputi 12 Departemen, sebagai
berikut:
a) Departemen Dalam Negeri
b) Departemen Luar Negeri
c) Departemen Kehakiman
d) Departemen Keuangan
e) Departemen kemakmuran
f) Departemen Kesehatan
g) Departemen Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan
h) Departemen Sosial
i) DepartemenPertahanan
j) DepartemenPenerangan
k) Departemen Perhubungan
l) Departemen Pekerjaan Umum.
3) Sidang Ketiga (12 Agustus 1945)
Pada sidang ketiga PPKI dilakukan pembahasan terhadap agenda
tentang "Badan Penolong Keluarga Korban Perang". Adapun keputusan
yang dihasilkan adalah terdiri atas delapan pasal. Salah satu dari pasal
tersebut yaitu pasal 2 dibentuklah suatu badan yang disebut "Badan
Keamanan Rakyat" {BKR).
4) Sidang Keempat (22 Agustus 1945)
Pada sidang keempat PPKI membahas agenda tentang Komite
Nasional Partai Nasional Indonesia, yang pusatnya berkedudukan di
Jakarta.
4. Perjuangan Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan Indonesia
4.1.Masa Revolusi Fisik
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata bangsa
Indonesia masih menghadapi kekuatan Sekutu yang berupaya untuk
menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu pemaksaan
untuk mengakui pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
35
Selain itu Belanda secara licik mempropagandakan kepada dunia luar bahwa
negara proklamasi RI hadiah Fasis Jepang.
Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia Internasional, maka
pemerintah RI mengeluarkan 3 buah maklumat:
1. Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang
menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa waktunya
(seharusnya berlaku selama 6 bulan). Kemudian Maklumat tersebut
memberikan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh
Presiden kepada KNIP.
2. Maklumat pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, tentang pembentukan
partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat
dari anggapan pada saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multi
partai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya agar dunia Barat menilai
bahwa Negara Proklamasi sebagai negara Demokratis.
3. Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, yang intinya Maklumat
itu mengubah sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer
berdasarkan asas demokrasi liberal.
Keadaan yang demikian ini telah membawa ketidak stabilan di bidang
politik. Berlakunya sistem demokrasi liberal adalah jelas-jelas merupakan
penyimpangan secara konstitusional terhadap UUD 1945, serta secara
ideologis terhadap Pancasila. Akibat penerapan sistem kabinet Parlementer
tersebut maka pemerintahan Negara Indonesia mengalami jatuh bangunnya
kabinet sehingga membawa konsekuensi yang sangat serius terhadap
kedaulatan negara Indonesia saat itu.
4.2. Masa Demokrasi Liberal
Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bunda (KMB) maka
ditandatangani suatu persetujuan (Mantelresolusi) oleh Ratu Belanda
Yuliana dan Wakil Pemerintah RI di kota Den Haag pada tanggal 27
Desember 1949, maka berlaku pulalah secara otomatis anak-anak
persetujuan hasil KMB lainnya dengan Konstitusi RIS, antara lain :
36
a. Konstitusi RIS menentukan bentuk negara serikat (federalis) yaitu 16
negara bagian {pasal 1 dan 2).
b. Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintahan berdasarkan asas
demokrasi liberal dimana menteri-menteri bertanggungjawab atas
seluruh kebijaksanaan pemerintah kepada Parlemen (Pasal 118 ayat 2).
c. Mukadimah Konstitusi RIS telah menghapuskan sama sekali jiwa dan
semangat maupun isi Pembukaan UUD 1945, Proklamasi
Kemerdekaan sebagai naskah Proklamasi yang terinci.
Sebelum persetujuan KMB, bangsa Indonesia telah memiliki
kedaulatan, oleh karena itu persetujuan 27 Desember 1949 tersebut
bukannya penyerahan kedaulatan melainkan 'pemulihan kedaulatan' atau
'pengakuan kedaulatan'.
Terbentuknya Negara Kesatuan RI Tahun 1950
Berdirinya negara RIS dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia
adalah sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten terhadap
deklarasi Proklamasi yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
negara persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV,
bahwa Pemerintahan Negara .....' yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah negara Indonesia .....' yang
berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis
secara spontan dan rakyat untuk membentuk negara kesatuan yaitu dengan
menggabungkan diri dengan negara Proklamasi RI yang berpusat di
Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara bagian RIS saja. Pada suatu
ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara bagian saja yaitu:
1. Negara bagian RI Proklamasi
2. Negara Indonesia Timur [NIT)
3. Negara Sumatera Timur (NST)
Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan negara RI tanggal 19
Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan
Konstitusi Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.
Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita-
cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyatannya masih
37
berorientasi kepada pemerintah yang berasas demokrasi liberal sehingga
isi maupun jiwanya merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Sistem multi partai dan kabinet parlementer berakibat silih bergantinya
kabinet yang rata-rata hanya berumur 6 atau 8 bulan. Ha1 ini berakibat
tidak mampunya pemerintah untuk menyusun program serta tidak
mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan,
bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan
keamanan serta penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
b. Secara ideologis Mukadimah Konstitusi Sementara 1950, tidak
berhasil mendekati perumusan otentik Pembukaan UUD 1945, yang
dikenal sebagai Declaratian of Independence bangsa Indonesia.
Demikian pula perumusan Pancasila dasar negara juga terjadi
penyimpangan. Namun bagaimanapun juga UUDS 1950, adalah
merupakan suatu strategi ke arah negara RI yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.
4.3.Masa Orde Lama
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan
pada bidang politik, ekonomi, sosial, maupun hankam. Keadaan seperti itu
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Makin berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian
Indonesia.
2. Akibat silih bergantinya kabinet, maka Pemerintah tidak mampu
menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan terutama
pembangunan bidang ekonomi.
3. Sistem Liberal yang berdasarkan UUDS 1950 mengakibatkan kabinet
jatuh bangun, sehingga pemerintah tidak stabil.
4. Pemilu 1955 ternyata tidak mampu mencerminkan dalam DPR suatu
perimbangan kekuasaan politik yang sebenarnya hidup dalam
38
masyarakat. Misalnya masih banyak kekuatan-kekuatan sosial politik
dari daerah-daerah dan golongan yang belum terwakili dalam DPR.
5. Faktor yang paling menentukan adanya Dekrit Presiden adalah karena
Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang tetap bagi negara
RI, ternyata gagal, walaupun telah bersidang selama dua setengah
tahun. Bahkan separoh anggota sidang menyatakan tidak akan hadir
dalam pertemuan-pertemuan Konstituante. Hal ini disebabkan
Konstituante yang seharusnya bertugas untuk membuat UUD negara
RI ternyata membahas kembali dasar negara. Atas dasar hal-hal
tersebut maka Presiden sebagai badan yang harus bertanggung jawab
menyatakan bahwa hal-hal yang demikian ini mengakibatkan keadilan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan serta
keselamatan negara, nusa dan bangsa. Atas dasar inilah maka Presiden
akhirnya mengeluarkan Dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli
1959, yang isinya :
1. Membubarkan Konstituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Tidak berlakunya
lagi UUDS tahun 1950.
3. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya.
Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945 berlaku
kembali di Negara Republik Indonesia hingga saat ini.
Pengertian Dekrit
Dekrit adalah suatu putusan dari organ tertinggi (kepala negara atau
organ lain) yang merupakan penjelmaan kehendak yang sifatnya sepihak.
Dekrit dilakukan bilamana negara dalam keadaan darurat, keselamatan
bangsa dan negara terancam oleh bahaya. Iandasan hukum Dekrit adalah
'Hukum Darurat'.
Puncak peristiwa tersebut yaitu meletusnya pemberontakan Gestapu
PKI atau dikenal dengan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965
untuk merebut kekuasaan yang sah negara RI yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945, disertai dengan pembunuhan yang keji dari para
39
Jenderal yang tidak berdosa. Pemberontakan PKI tersebut berupaya untuk
mengganti secara paksa ideologi dan dasar filsafat negara Pancasila
dengan ideologi komunis Marxis.
Berkat lindungan Allah yang Maha Kuasa maka bangsa Indonesia
tidak goyah walaupun akan diganti dengan ideologi komunis secara paksa.
Hal ini dikarenakan Pancasila telah merupakan pandangan hidup bangsa
serta sebagai jiwa bangsa. Atas dasar peristiwa tersebut maka 1 Oktober
1965 diperingati bangsa Indonesia sebagai "Hari Kesaktian Pancasila".
4.4.Masa Orde Baru
Suatu tatanan masyarakat serta pemerintah sampai saat meletusnya
pemberontakan G 30 S PKI dalam sejarah Indonesia disebut sebagai masa
"orde Lama". Maka tatanan masyarakat dan pemerintahan setelah
meletusnya G 30 S PKI sampai tahun 1998 disebut sebagai "Orde Baru",
yaitu suatu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang menuntut
dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen-
Munculya "Orde Baru" diawali dengan munculnya aksi-aksi dari seluruh
masyarakat antara lain Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia [KAMI), Kesatuan Aksi Guru
Indonesia (KAGI), dan lain sebagainya. Gelombang aksi rakyat tersebut
muncul di mana-mana dengan suatu tuntutan yang terkenal dengan
"Tritura" atau {Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat), sebagai perwujudan
dari tuntutan rasa keadilan dan kebenaran. Adapun isi "Tritura" tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
2. Pembersihan Kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI
3. Penurunan harga.
Karena Orde lama akhirnya tidak mampu lagi, menguasai pimpinan
negara, maka presiden/panglima Tertinggi memberikan kekuasan penuh
kepada panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Soeharto, yaitu dalam
bentuk suatu "Surat Perintah 11 Maret 1966" (Super Semar). Tugas
40
pemegang Super Semar cukup berat, yaitu untuk memulihkan keamanan
dengan jalan menindak pengacau keamanan yang dilakukan oleh PKI
beserta ormas-ormasnya, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya serta
mengamankan 15 menteri yang memiliki indikasi terlibat G 30 S PKI dan
lain-lainnya .
Sidang MPRS lV/ 1966, menerima dan memperkuat Super Semar
dengan dituangkan dalam Tap No. IX/MPRS/1966. Hal ini berarti
semenjak itu Super Semar tidak lagi bersumberkan Hukum Tata Negara
Darurat akan tetapi bersumber pada kedaulatan rakyat (Pasal I ayat 2 UUD
1945). Pemerintah Orde Baru kemudian melaksanakan Pemilu pada tahun
1971 dan terbentuknya MPR tahun 1973. Adapun misi yang harus
diemban berdasarkan Tap. No. X/MPR/1973 meliputi:
1. Melanjutkan pembangunan lima tahun dan menyusun serta
melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN.
2. Membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi
Pancasila.
3. Melaksanakan Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif dengan
orientasi pada kepentingan nasional.
Demikianlah Orde Baru berangsur-angsur melaksanakan program-
programnya dalam upaya untuk merealisasikan pembangunan nasional
sebagai perwujudan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
4.5.Masa Reformasi
Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa
Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia
terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi
goyah. Terutama praktek-praktek pemerintahan di bawah orde baru hanya
membawa kebahagiaan semu, ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk
sistem ekonomi menjadi kapitalistik di mana kekuasaan ekonomi di
Indonesia hanya berada pada sebagian kecil penguasa dan konglomerat.
Terlebih lagi merajalelanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, serta
41
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di kalangan para pejabat dan
pelaksana pemerintahan negara membawa rakyat semakin menderita.
Para wakil-wakil rakyat yang seharusnya membawa amanat rakyat
dalam kenyataannya tidak dapat berfungsi secara demokatis, DPR serta
MPR menjadi mandul karena sendi-sendi demokrasi telah dijangkiti
penyakit nepotisme. Sistem politik dikembangkan ke arah sistem
"Birokratik Otoritarian" dan suatu sistem "Korporatik". Sistem ini ditandai
dengan konsentrasi kekuasaan dan paritisipasi di dalam pembuatan
keputusan-keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan
penguasa negara, kelompok militer, keiompok cerdik cendekiawan dan
kelompok wiraswastawan oligopolistik dan bekerjasama dengan
masyarakat bisnis internasional. Keadaan yang demikian membawa
ekonomi rakyat menjadi tidak tersentuh dan semakin parah. Pada sisi lain
rakyat dikelabui dengan berbagai macam program yang mengatas
namakan rakyat, namun dalam kenyataannya hanya menguntungkan
sekelompok kecil yaitu para elit ekonomi dan para pejabat, sehingga
hampir di seluruh tanah air banyak pejabat melakukan praktek KKN untuk
kepentingan pribadi.
Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik
bagi negara dan aparat pelaksana negara dalam kenyataannya digunakan
sebagai alat legitimasi politik, semua kebijaksanaan dan tindakan penguasa
mengatas namakan Pancasila, bahkan kebijaksanaan dan tindakan yang
bertentangan sekalipun diistilahkan sebagai pelaksanaan Pancasila yang
murni dan konsekuen. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan
hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya "Reformasi” di
segala bidang terutama bidang politik, ekonomi dan hukum.
Awal keberhasilan gerakkan Reformasi tersebut ditandai dengan
mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian
disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie
menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan
42
pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie
inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan
rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama
pengubahan 5 paket uu Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan
reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu
diwujudkan UU Anti Monopoli, UU Persaingan Sehat, UU Kepailitan, UU
Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan Konsumen, UU
Perlindungan Buruh dan lain sebagainya. Dengan demikian reformasi
harus diikuti juga dengan reformasi hukum bersama aparat penegaknya
serta reformasi pada berbagai instansi pemerintahan.
Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan
tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang
dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu secepatnya dan diawali
dengan pengubahan:
a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU
No./1969 jis. UU No. 5/ 1975 dan UU No. 2/1985)
b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/1975,jo, UU
No. 3/ 1985).
c. UU tentang Pemilihan Umum UU No. 1611969 jis UU No.4/ 1975,
UU No. 2/1980, dan UU No. 1/ 1985).
Reformasi terhadap UU Politik tersebut di atas harus benar-benar
dapat mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak
pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR .
43
BAB III
SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD 1945
1. Pengertian, Kedudukan, Sifat dan Fungsi UUD 1945
1.1.Pengertian Hukum Dasar
Undang-Undang Dasar dari sesuatu Negara hanyalah merupakan
sebagian saja dari hukum dasar negara itu dan bukanlah merupakan satu-
satunya sumber hukum. Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis,
sedang di samping Undang-Undang Dasar berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis yang merupakan sumber hukum lain, misalnya kebiasaan-
kebiasaan, traktat-traktat dan sebagainya.
Oleh karena itulah di dalam ketatanegaraan dikenal dua macam hukum
dasar yaitu :
a. Hukum dasar tertulis yaitu Undang-Undang Dasar;
b. Hukum dasar yang tidak tertulis (umumnya disebut "konvensi").
Hukum dasar tertulis (UUD) adalah piagam-piagam tertulis yang
sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap oleh pembuatnya
menjadi asas fundamental dari pada negara pada waktu itu.
Berhubung karena hukum dasar tertulis ini dengan sengaja diadakan,
maka Undang-Undang Dasar ini lebih terang dan tegas daripada hukum dasar
tidak tertulis. Selain itu hukum dasar tertulis lebih menjamin kepastian hukum
daripada yang tidak tertulis. Oleh karena cara pembuatannya melalui suatu
badan tertentu yang mempunyai tingkat tertinggi dalam suatu negara,
menyebabkan sulitnya untuk mengadakan perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar, sehingga dengan demikian Undang-Undang Dasar adalah
bersifat lebih kaku (rigid) jika dibandingkan dengan hukum dasar tak tertulis.
Oleh karenanya hukum. dasar tak tertulis adalah lebih luwes (soepel) dan
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Negara-negara yang mempunyai
Undang-Undang Dasar tertulis misalnya : Amerika Serikat (1789), Perancis
(1791), Uni Sovyet (1918), Indonesia (1945), dan lain-lain. Pada waktu
sekarang hampir semua negara di dunia mempunyai Undang-Undang Dasar.
44
Suatu pengecualian adalah negara Inggris yang tidak mempunyai
Undang-Undang Dasar tertulis. Pemerintahan negara ini didasarkan kepada
hukum dasar tak tertulis yang disebut "konvensi" yaitu kebiasaan
ketatanegaraan yang pada umumnya sudah tua sekali, misalnya:
a. Piagam Magna Charta, tahun 1215;
b. Petition of Right, tahun 1628;
c. The Habeas Corpus Act, tahun 1679;
d. Bill of Rights, tahun 1689;
e. Piagam Weshminster, tahun 1931;
Walaupun induk Negara Commonwealth Inggris ini tidak mempunyai
Konstitusi Tertulis, namun tidaklah berarti bahwa negara-negara anggota
commonwealth juga tidak mempunyai undang-undang Dasar; Negara India
bahkan mempunyai Undang-Undang Dasar yang amat panjang isinya (395
pasal).
Seperti telah dijelaskan, konstitusi tak tertulis itu bersifat kurang
tegas/terang dan juga tidak sistematis. Tetapi sebaliknya ia tidak kaku
(soepel=elastic atau flexible) seperti Undang-Undang Dasar (tertulis) yang
bersifat kaku (rigid) melainkan bersifat luwes, mudah diubah sehingga mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan.
Cara Timbulnya Undang-Undang Dasar
Negara-negara modern memperoleh undang-undang Dasar mereka
dengan melalui beberapa cara seperti berikut:
Cara Pemberian (Grants)
Undang-Undang Dasar yang diperoleh dengan cara pemberian terdapat
pada negara-negara yang berbentuk Kerajaan. Negara-negara monarkhi yang
mula-mula bersifat mutlak, lambat laun sebagai akibat faham demokrasi
berubah sifatnya menjadi negara monarkhi yang konstitusional.
Raja-raja dari negara-negara monarkhi kemudian seorang demi
seorang memberikan undang-undang dasar kepada rakyatnya, dimana ia
berjanji akan menjalankan kekuasaannya dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar yang diberikannya itu. Undang-
45
Undang Dasar yang diberikan Raja itu disebut Undang-Undang Dasar Oktroi
(misalnya UUD Kerajaan Jepang).
Cara Pembuatan Dengan Sengaja (Deliberate Creation)
Dalam hal ini pembuatan suatu undang-undang Dasar dilakukan
setelah sesuatu negara baru didirikan. Negara Amerika serikat adalah negara
yang pertama membuat Undang-Undang Dasar tertulis. Konstitusi Amerika
serikat disusun oleh Majelis Konstituante di kota Philadelphia pada 1 Maret
1781 dan disahkan pada 17 September 1787 oleh sidang Konstituante
tersebut.Negara-negara baru banyak pula yang mengikuti jejak Amerika
serikat membuat Undang-Undang Dasar sendiri, misalnya negara R.I dengan
UUD 1945.
Cara Revolusi (Revolution)
Salah satu cara untuk menggulingkan suatu pemerintahan Negara yang
tidak disenangi rakyatnya ialah mengadakan revolusi melalui suatu perebutan
kekuasaan (coup d'Etat). Pemerintah baru yang lahir akibat revolusi lalu
membuat Undang-Undang Dasar yang diusahakan mendapat persetujuan
rakyatnya. Negara-negara ,yang membuat Undang-Undang Dasar setelah
melalui suatu revolusi adalah misalnya: Perancis (1791), Uni Soviet (1918),
dan Spanyol (1932).
1.2.Pengertian UUD 1945
Bila kita menyebut UUD 1945, tentu yang kita maksudkan ialah
keseluruhan naskah yang meliputi:
1. Pembukaan
2. Pasal 1 sampai dengan 37, Aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal,
dan 2 ayat Aturan Tambahan.
3. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
Naskahnya yang resmi pernah dimuat dalam“Berita Republik Indonesia"
suatu penerbitan resmi pemerintah Republik Indonesia yang terbit pada
tanggal 15 Februari 1946. Undang-Undang Dasar 1945 ini disahkan oleh
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus
46
1945 dan mulai berlaku untuk pertama kali pada tanggal 18 Agustus 1945
tersebut. Undang-Undang Dasar inilah yang kini berlaku di Tanah Air kita.
Di samping hukum dasar yang tertulis terdapat juga hukum dasar yang
tidak tertulis. Menurut penjelasan UUD 1945, yang dimaksud dengan hukum
dasar yang tidak tertulis ialah "aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara". Aturan-aturan dasar ini biasanya
disebut konvensi.
Dari uraian di atas kini anda semakin jelas, bukan? Kini kita telah
mempunyai pengertian yang sama tentang apa yang dimaksud dengan
Undang-Undang Dasar 1945 itu. Pengertian ini sesuai dengan sumbernya yang
resmi (otentik).
Kini kita telah mempunyai bahasa yang sama tentang pengertian UUD
1945. Jadi yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 ialah hukum
dasar tertulis yang diwujudkan dalam naskah resmi, yang lengkapnya meliputi
pembukaan, pasal-pasal 1 sampai dengan 37, Aturan peralihan, dan Aturan
Tambahan serta Penjelasannya.
1.3.Kedudukaan UUD l945
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 ini mengikat, mengikat pemerintah,
mengikat setiap lembaga negara dan lembaga masyarakat, serta mengikat
setiap warganegara Indonesia. Jadi kita semua tanpa kecuali harus tunduk dan
patuh pada UUD 1945. Undang-undang Dasar ini berisi norma-norma dasar
kenegaraan. Norma-norma ini merupakan petunjuk hidup atau ketentuan-
ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati. UUD 1945 ini dapat
diibaratkan sebagai rel di atas mana kita semua harus berjalan. Siapapun yang
keluar dan rel ia akan mengalami bahaya. Tidak beda dengan kereta api yang
keluar dari relnya.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum "tertinggi"
yang resmi. Artinya, segala peraturan yang lebih rendah tingkatannya harus
bersumber pada UUD 1945. Oleh kerena itu tata tertib kerja, tata tertib
Perguruan Tinggi, tata tertib keluarga, masyarakat dan negara harus
mencerminkan isi UUD 1945.
47
Bagi kita, UUD1945 berfungsi sebagai alat pengontrol. Apakah
peraturan lain yang lebih rendah sesuai atau tidak, apakah kita termasuk warga
negara yang baik atau bukan dapat diukur dari hakekat isi UUD 1945.
Jadi UUD 1945 mempunyai kedudukan tertinggi dalam tata urutan
peraturan perundangan di negara Republik Indonesia. Ia merupakan hukum
dasar yang mengikat kita semua. Tidak ada kecualinya, siapapun harus tunduk
dan melaksanakan UUD ini.
Seperti telah dijelaskan UUD 1945 ditetapkan dan disahkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945. Dalam ayat 2 Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan
bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk,
Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Dari Aturan
Tambahan ini dapatlah disimpulkan bahwa status UUD 1945 adalah
sementara. Sesungguhnya menurut rencana pembuat UUD 1945, sebelum 17
Agustus 1946 kiranya dapat diharapkan akan telah tersusun suatu Undang-
Undang Dasar tetap yang disusun oleh badan yang berwenang, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum sebagairnana ditetapkan
dalam UUD 1945 itu sendiri. Amatlah disayangkan suasana politik waktu itu
tidaklah memungkinkan pelaksanaan rencana tersebut.
Pada tanggal 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden, UUD 1945 telah
dinyatakan berlaku kembali dan tidak berlakunya lagi UUDS-1950 di
Indonesia. Ketentuan ayat 2 Aturan Tambahan UUD-1945 tidak juga dapat
dilaksanakan dengan segera, karena MPR belum dapat dibentuk. MPRS yang
dibentuk berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, kemudian dengan
Ketetapannya No. XX\MPRS/1966 telah menyatakan Dekrit Presiden tersebut
sebagai sumber tertib hukum bagi beriakunya kembali UUD-1945.
Akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1972 MPR hasil Pemilihan Umum (3
Juli 1971) baru dapat dibentuk setelah pelantikan anggota-anggotanya oleh
Presiden RI. Dalam Sidang Umum tanggal 22 Maret 1973. MPR telah
menetapkan Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1973. Pasal 3 TAP MPR No.
V/MPR/ 1973 mengatakan tetap berlaku TAP MPRS No. XX\ MPRS\1966.
Dengan demikian MPR hasil Pemilu telah menetapkan UUD 1945 menjadi
UUD Negara Republik Indonesia.
48
1.4. Sifat UUD 1945
Undang-Undalg Dasar 1945 bersifat singkat dan kenyal. Apa artinya?
Mengapa dibuat demikian? Apakah keuntungannya dari sifat ini? Memang
benar UUD 1945 ini termasuk UUD yang singkat karena isinya hanya 37
pasal ditambah dengan empat pasal Aturan Peralihan, dan dua ayat Aturan
Tambahan. Aturan-aturan yang dimuat di dalamnya hanyalah yang pokok-
pokok saja, atau hanyalah merupakan garis-garis besar saja. Dapatkah kita
mengatakan karena singkatnya itu berarti tidak lengkap? Atau tidak
sempurna? Tentu tidak! Meskipun isinya singkat tetapi sangat padat. Aturan-
aturan yang pokok ini cukup berisi prinsip-prinsip yang dasar. Ia dapat
dijabarkan ke dalam peraturan-peraturan lain yang lebih rendah secara lengkap
dan terperinci.
Sebagai suatu negara yang masih harus berkembang, Negara Republik
Indonesia harus hidup dinamis. Dalam keadaan ini diperlukan UUD yang
mampu menyesuaikan diri dengan segala kondisi dan situasi, sehingga ia tetap
dapat dijadikan rel yang tidak kunjung akhir. Artinya meskipun masyarakat
terus berubah dengan cepat, tetapi selalu berjalan di atas rel yang tetap. Untuk
ini Undang-Undang Dasar 1945 lah yareg paling sesuai untuk kita bangsa
Indonesia.
Diandaikan sebagai rel kereta api, UUD 1945 rnerupakan re1 yang tepat.
ia dapat dijalani oleh segala jenis kereta api. Kalau kita sekarang belum
mempunyai kereta api tercepat dan satu saat akan memilikinya, relnya tidak
perlu diubah.
Sifat UUD 1945 yang singkat dan kenyal ini banyak membawa
keuntungan. Yang jelas, dengan berdasar pada aturan-aturan yang sangat
pokok itu sejumlah peraturan lain yang lebih rendah dapat dibuat. Peraturan-
peraturan yang lebih rendahlah yang akan menterjemahkannya lebih panjang;
ini mudah dibuat. Berlainan dengan peraturan perundangan yang lebih rendah
tingkatnya, yang lebih mudah dibuat dan diubah, undang-undang dasar tidak
mudah dapat diubah. Demikian pemikiran yang berkembang dimasa Orde
Baru.
49
MPR bahkan dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983 pasal 104
menegaskan, bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945,
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta
akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen.
Tentu kita dapat menyimpulkan bahwa UUD 1945 benar-benar bersifat
singkat dan kenyal. sifat ini sesuai sekali dengan gerak kehidupan bangsa
Indonesia. Dengan UUD 1945 kita dapat menyesuaikannya dalam segala
zaman. UUD 1945 akan dapat berlaku pada zaman apapun nanti. Kepastian
hukumnya akan tetap dapat dijamin.
1.5.Fungsi UUD 1945
Konstitusi Negara atau Undang-Undang Dasar adalah peraturan Negara
dan merupakan batang tubuh sesuatu negara yang memuat ketentuan-
ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada peraturan-
perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh Negara itu.
2. Pembukaan UUD 1945
2.1.Makna dari Pembukaan UUD 1945
Di muka telah dikemukakan dengan jelas bahwa UUD 1945 merupakan
Sumber hukum tertinggi dalam Negara Republik Indonesia. Pembukaan UUD
1945 rnerupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan isi
UUD 1945, pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari daya pendorong
dan cita-cita serta tekad perjuangan bangsa Indonesia. Ia juga merupakan
sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral dalam kehidupan bernegara
Indonesia dan dalam pergaulan masyarakat dunia.
Jika anda membaca pembukaan UUD 1945, tentu akan anda temukan
rumusan kata-kata yang padat, penuh dan khidmat. Memang isinya hanya
meliputi empat alinea saja. Akan tetapi isi empat alinea (bait) itu penuh
dengan rumusan nilai-nilai yang berlaku umum dan tahan lama.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai yang juga
dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa beradab di dunia ini. Bagi bangsa
Indonesia sendiri nilai-nilai ini akan dapat menampung gerak maju kehidupan
masyarakat.
50
Oleh karena begitu tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 ini, ia akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa Indonesia
sepanjang masa. Untuk membuktikan betapa indahnya dan khidmatnya
rumusan-rumusan kata-kata dalam pembukaan tersebut, anda diharapkan
membacanya dengan cermat. Resapkanlah hakekat dari rumusan kata-kata itu.
pada akhirnya, anda akan sampai pada kesimpulan betapa luhur cita-cita yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut.
2.2.Makna Alinea-alinea dalam Pembukaan UUD 1945
Alinea Pertama dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang
berbunyi: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" menunjukkan
keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah
"kemerdekaan lawan penjajahan". Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa
Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang
paling depan untuk menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya
harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat
menjalankan hak kemerdekaannya yang merupakan hak asasinya. Di situlah
letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Alinea ini juga mengandung suatu pernyataan subyektif, yaitu aspirasi
bangsa Indonesia sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan. Dalil
tersebut di atas meletakkan tugas kewajiban kepada bangsa/pemerintah
Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan
mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Sudah jelas pendirian yang sedemikian itu yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar akan tetap menjadi landasan pokok dalam
mengendalikan politik luar negeri kita.
Alasan bangsa Indonesia menentang penjajahan, karena bertentangan
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini berarti bahwa setiap hal atau
51
sifat, yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia.
Alinea Kedua yang berbunyi : "Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur" menunjukkan kebanggaan dan penghargaan kita atas perjuangan
bangsa Indonesia selama itu. Ini juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan
sekarang tidak dapat dipisahkan dari keadaan kemarin dan langkah yang kita
ambil sekarang akan menentukan keadaan yang akan datang.
Dalam alinea itu jelas apa yang dikehendaki, atau diharapkan oleh para
"pengantar" kemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap
bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Alinea ini menunjukkan adanya ketepatan dan ketajaman penilaian:
a. bahwa perjuangan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang
menentukan;
b. bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk
menyatakan kemerdekaan ;
c. bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih
harus diisi dengan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.
Alinea Ketiga yang berbunyi : "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaanya", bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil
dan materiil bangsa Indonesia untuk mengatakan kemerdekaannya, tetapi juga
menjadi keyakinan/ kepercayaan, menjadi motivasi spritualnya, bahwa
maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah
yang Maha Kuasa.
52
Dengan ini digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan
kehidupan yarg berkeseimbangan, keseimbangan kehidupan materiil dan
spritual, keseimbangan kehidupan di dunia dan di akhirat.
Alinea ini memuat motivasi spritual yang luhur serta suatu pengukuhan
dari proklamasi Kemerdekaan.
Alinea ini menunjukkan pula ketakwaan bangsa Indonesia terhadap
Tuhan yang Maha Esa. Berkat ridho-Nyalah bangsa Indonesia berhasil dalam
perjuangan kemerdekaannya.
Alinea Keempat berbunyi : "Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip
dasar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya
merdeka itu.
Tujuan perjuangan negara Indonesia dirumuskan dengan "Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia seluruh tumpah darah
Indonesia" dan untuk "memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan
kehidupan bangsa", dan "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Sedangkan
prinsip dasar yang harus dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah
dengan : menyusun kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
53
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan
kepada Pancasila.
Dengan rumusan yang panjang dan padat, alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar sekaligus menegaskan:
1) Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi
tujuannya, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksalakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial;
2) Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan Rakyat;
3) Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
kebijaksanaan dan permusyawaratan/ perwakilan dan Keadilan sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Itulah uraian penjelasan mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang menjiwai batang tubuh Undang-Undang Dasar dan harus menjiwai
para penyelenggara negara.
2.1. Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD 1945
1. Pokok Pikiran Pertama: Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pokok pikiran ini menegaskan bahwa dalam "pembukaan"
diterima aliran pengertian negara persatuan. Negara yang melindungi dan
meliputi segenap bangsa dan wilayah seluruhnya. Jadi negara mengatasi
segala faham golongan, mengatasi segala faham perorangan, negara
menurut pengertian Pembukaan UUD 1945 tersebut menghendaki
persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Hal ini
menunjukkan pokok pikiran persatuan. Dengan pengertian yang lazim,
negara penyelenggara negara dan setiap warga negara wajib
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan ataupun
54
perorangan. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Ketiga
Pancasila.
2. Pokok Pikiran Kedua : Negara hendak mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pokok pikiran ini menempatkan suatu tujuan atau cita-cita yang ingin
dicapai dalam Pembukaan, dan merupakan suatu kausa finalis (sebab
tujuan), sehingga dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang
harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada
tujuan itu yang didasari dengan bekal persatuan. Ini merupakan pokok
pikiran keadilan sosial yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
sosial dalam kehidupan masyarakat. Pokok pikiran ini merupakan
penjabaran Sila Kelima pancasila.
3. Pokok Pikiran Ketiga : Negara yang berkedaulatan rakyat,
berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Pokok pikiran ini dalam "Pembukaan” mengandung konsekuensi logis
bahwa sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus
berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan berdasarkan permusyawaratan/
perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat bahwa
kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
permusyawaratan Rakyat. Pokok pikiran yang merupakan Dasar Politik
Negara. Pokok pikiran ini merupakan penjabaran Sila Keempat, Pancasila.
4. Pokok Pikiran Keempat : Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pokok pikiran keempat dalam "Pembukaan" ini mengandung konsekuensi
logis Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur. Hal ini menegaskan pokok pikiran
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung pengertian taqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dan pokok pikiran kemanusiaan yang adil dan
beradab yang mengandung pengertian menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia atau nilai kemanusiaan yang luhur. Pokok pikiran
55
keempat ini merupakan Dasar Moral Negara yang pada hakikatnya
merupakan suatu penjabaran dari Sila Pertama dan Sila Kedua Pancasila.
Empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
menurut Penjelasan Undang-Undang Dasar ini, merupakan penjelasan logis
dari inti alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Atau dengan lain perkataan
bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain adalah merupakan
penjabaran dari Dasar Filsafat Negara Pancasila.
Dalam pokok pikiran yang pertama ditekankan tentang aliran bentuk
negara persatuan, pokok pikiran kedua tentang cita-cita negara yaitu keadilan
sosial dan pokok pikiran ketiga adalah merupakan dasar politik negara
berkedaulatan rakyat. Bilamana kita pahami secara sistematis maka pokok
pikiran I, II dan III memiliki makna kenegaraan sebagai berikut: negara ingin
mewujudkan suatu tujuan negara yaitu melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia (pokok pikiran I). Agar terwujudnya tujuan
negara tersebut maka dalam pelaksana negara harus didasarkan pada suatu
kedaulatan rakyat (pokok pikiran II dan III).
Dalam kehidupan kenegaraan mendasarkan pada suatu dasar moral yaitu
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta kemanusiaan yang adil
dan beradab (pokok pikiran IV). Sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu
negara sudah semestinya memiliki suatu cita-cita yang. ingin dicapai yaitu
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pokok pikiran keempat)
sehingga pokok pikiran ini merupakan suatu dasar cita-cita. Negara. Maka
untuk mencapai cita-cita kenegaraan yaitu suatu keadilan dalam hidup
bersama (keadilan sosial), negara mewujudkan dalam suatu dasar tujuan
negara yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
(pokok pikiran I).
2.2. Hubungan Pokok-pokok Pikiran dalamn Pembukaan UUD 1945
dengan Batang Tubuh UUD 1945
Karena pokok-pokok pikiran itu menurut penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945, ”meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia serta mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar
56
negara, baik yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis", sedangkan
pokok-pokok pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasalnya oleh Undang-
Undang Dasar 1945, maka dapatlah disimpulkan bahwa suasana kebatinan
Undang-Undang Dasar 1945 bersumber atau dijiwai oleh dasar fatsafah
Pancasila. Di sinilah arti dan fungsi pancasila sebagai dasar negara.
Selain dari apa yang diuraikan di muka dan sesuai pula dengan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri, ialah bahwa : Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Pembukaan UUD 1945
dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
1. Dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan dengan memperhatikan hubungan antara Pembukaa''
dengat Batang Tubuh Undang-Undang Dasar sendiri, maka dapatlah
disimpulkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan; bahkan merupakan rangkaian
kesatuan nilai dan norma yang terpadu.
2. Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari rangkaian pasal-pasal yang
merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang tidak lain adalah
pokok-pokok pikiran, yaitu : Persatuan Indonesia, Keadilan Sosial,
Kedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang tidak lain adalah sila-sila
dari Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri memancarkan nilai-
nilai yang luhur yang telah mampu memberikan semangat kepada dan
terpancang dengan khidmat dalam perangkat Undang-Undang Dasar
1945.
3. Semangat (Pembukaan) dan yang disemangati (pasal-pasal Undang-
Undang Dasar 1945 serta Penjelasannya) pada hakekatnya merupakan
57
satu rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan Kesatuan serta
semangat yang demikian itulah yang harus diketahui, dipahami, dan
dihayati oleh setiap insan Indonesia.
3. Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 1945
3.1. Sistem Pemerintahan Negara RI
Sebelum diamandemen Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
dijelaskan dengan terang dan sistematis dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945. Di dalam Penjelasan itu dikenal 7 {tujuh) buah kunci pokok.
1. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan MPR
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di
bawah MPR.
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, dan mereka tidak
bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas (kekuasaan terbatas).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Ini mengandung arti bahwa
negara termasuk di dalamnya. Pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang
lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh
hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Tekanan
pada hukum (recht) di sini dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan (macht).
prinsip dan sistem ini di samping akan tampak dalamn rumusan pasal-
pasalnya, jelas terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang memakai Undang-
Undang Dasar 1945 dan hukum dasar yang tidak tetulis.
Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud bukanlah sekedar
sebagai negara hukum dalam arti formal, lebih-lebih bukanlah negara hanya
sebagai polisi lalu lintas atau penjaga malam, yang menjaga jangan sampai
58
terjadi pelanggaran dan menindak para pelanggar hukum. Pengertian negara
hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti
luas, yaitu negara hukum dalam arti material.
Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti material itu,
setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan ataupun
landasan, ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan lain dasar hukum
(rechtmatigheid). Harus selalu diusahakan agar setiap tindakan negara
(pemerintah) itu selalu memenuhi kedua kepentingan atau landasan tersebut.
Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila
ada pertentangan kepentingan atau salah satu kepentingan atau landasan itu
tidak dipenuhi.
Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yaang tidak terbatas). Sistem ini memberikan
ketegasan bahwa cara pengendalian Pemerintah dibatasi oleh ketentuan-
ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan
dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis-garis
besar dari haluan negara, undang-undang, dan sebagainya.
Dengan demikian system ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem
negara hukum seperti yang dikemukakan di muka. Dengan landasan kedua
sistem itu sistem negara hukum dan sistem konstitusional diciptakanlah
sistem mekanisme hubungan tugas dan hukum antara lembaga-lembaga
negara, yang dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan
sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian cita-cita
nasional.
"Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
(Vetretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan
Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara
(Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang
tertinggi, sedang presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-
garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh
59
Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah
"mandataris" dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan majelis.
Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet" kepada "Majelis".
Demikian diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.
Di sinilah terjelmanya pokok pikiran kedaulatan rakyat yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai pemegang
kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat
menentukan jalannya negara dan bangsa, yaitu berupa :
menetapkan Undang-Undang Dasar;
menetapkan garis-garis besar dari haluan negara;
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan kewenangan yang demikian itu, menetapkan Undang-Undang
Dasar dan Garis-Garis Besar dari Haluan Negara, maka kekuasaan MPR luas
sekali. Ini adalah logis, karena MPR adalah pemegang kedaulatan Negara.
Sebagai badan yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat, maka segala
keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi
seluruh rakyat.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : "Di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara
yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan
tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concenration of power and
responsibily upon the President)".
Sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis Presiden bukan
saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas untuk
melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan
Negara ataupun ketetapan lairnya. Oleh karena itu presiden adalah
Mandataris Majelis. Presidenlah yang memegang tanggungjawab atas
jalannya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggungiawab itu
adalah kepada Majelis, bukan kepada badan lain.
Namun berdasarkan amandemen UUD 1945 tahun 2002 dijelaskan
bahwa kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
(Pasal 1 ayat 2).MPR hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD,
60
melantik Presiden dan Wakil presiden serta menghentikan Presiden/Wakil
Presiden sesuai masa jabatan atau jika melanggar konstitusi.
Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan sebagai
berikut :
"Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus
mendapat persetujuan Dewan perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-
Undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan
belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, presiden harus bekerja
bersarna-sama dengan Dewan, akan tetapi presiden tidak bertanggung jawab
kepada Dewan, artinya kedudukan presiden tidak tergantung dari Dewan".
Menurut sistem pemerintahan kita, presiden tidak bertanggungjawab
kepada DPR. Tetapi Presiden bekerjasama dengan Dewan. Dalam ha1
penbuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR, presiden tidak
dapat membubarkan DPR seperti pada sistem Parlementer, namun DPR pun
tidak dapat menjatuhkan Presiden, karena Presiden tidak bertanggungjawab
kepada DPR.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : "Presiden
mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara, Menteri-menteri
itu tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukannva tidak tergantung dari Dewan, akan tetapi tergantung dari
Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden".
Pengangkatan dan pemberhentian Menteri-menteri Negara adalah
sepenuhnya wewenang Presiden. Menteri-menteri tersebut tidak
bertanggungjawab kepada DPR, tetapi bertanggungjawab kepada Presiden.
oleh karenanya status mereka adalah sebagai pembantu presiden. Meskipun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa menteri-menteri Negara itu adalah
pegawai tinggi biasa oleh karena dengan petunjuk dan persetujuan Presiden,
Menteri-menteri inilah yang pada kenyataannya menjalankan kekuasaan
pemerintahan di bidangnya masing-masing. Inilah yang disebut sistem
Kabinet Presidensial.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :
61
"Meskipun Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator" artinya kekuasaan tidak tak terbatas".
Di atas telah ditegaskan bahwa ia bertanggungjawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-
sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, pasal 17 ayat 1
dijelaskan : ”Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu
oleh menteri-menteri negara.Kemudian pada pasal 2 berbunyi sebagai berikut
:”Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri
negara.Menteri-menteri negara itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.Kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan
Perwakilan Rakyat”.
Menurut sistem ini kekuasaan presiden tidak tak terbatas ditekankan lagi
di samping sudah tegas dalam kunci sistem yang ke-2- sistem pemerintahan
Konstitusional, bukan bersifat absolut dengan menunjukkan fungsi/peranan
Dewan Perwakilan Rakyat dan fungsi/peranan para Menteri sebagai
pembantu presiden, yang dapat mencegah kemungkinan kemerosotan
kekuasaan pemerintahan di tangan Presiden ke arah kekuasaan mutlak
(absolutisme).
Sesuai dengan sistem ini, maka kedudukan dan peranan DPR adalah
kuat. Bukan saja ia tidak dapat dibubarkan oleh Presiden (seperti halnya
dalam sistem parlementer) dan juga bukan saja ia memegang wewenang
memberikan persetujuan kepada Presiden dalam membentuk undang-undang
dan menetapkan APBN, tetapi DPR adalah juga badan yang rnemegang
pengawasan terhadap pemerintah dalam hal ini Presiden yang efektif.
1. DPR yang anggota-anggotanya adalah anggota MPR mempunyai
wewenang memanggil MPR untuk mengadakan persidangan istimewa
untuk meminta pertanggung jawaban Presiden. Apabila DPR menganggap
presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-
Undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Jadi sesuai dengan sistem ini, maka kebijaksanaan atau tindakan Presiden
dibatasi oleh adanya pengawasan yang efektif oleh DPR. Sistem atau
62
mekanisme ini merupakan sarana preventif untuk mencegah pemerosotan
sistem konstitusional menjadi absolutisme.
Demikian juga sistem "kekuasaan presiden tidak tak terbatas" itu,
ditunjukkan dengan adanya fungsi dan peranan para Menteri Negara sebagai
pembantu presiden yang cukup besar pula.
Seperti dijelaskan di muka Menteri bukan pegawai tinggi biasa, tetapi
Menteri-menteri adalah yang terutama menjalankan kekuasaan/pemerintah di
bidangnya. Di bidangnya, Menteri dianggap mengetahui seluk beluk masalah
yang dihadapinya, sehingga Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap
Presiden dalam menentukan politik negara yang rnengenai departemennya".
Dengan penjelasan yang demikian itu tidaklah berarti mengurangi wewenang
dan tanggungjawab Presiden dan juga tidak berarti bahwa dengan demikian
Presiden hanya didikte saja oleh Menteri-menteri. Dengan sistem ini yang
ingin ditonjolkan adalah bahwa Menteri-menteri itu adalah juga "pemimpin-
pemimpin negara", yang membantu Presiden agar dalam sistem pemerintahan
sesuai Undang-Undang Dasar-Negara Hukum, Pemerintahan Konstitusional,
dan sebagainya, sehingga dapat dicegah agar jalannya pemerintahan negara
yang terletak pada satu orang ialah Presiden tidak cenderung menjurus ke
absolutisme.
Dalam sistem ini sekaligus juga ingin ditekankan perlunya daya guna dan
hasil guna kerja pemerintah, dengan menyatakan dalam Penjelasan sebagai
berikut:
"Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam
pemerintahan negara para Menteri bekerjasama satu sama lain seerat-eratnya
di bawah pimpinan presiden".
Dalam kerangka inilah sistem pemerintahan negara lndonesia memiliki
kabinet yang dipimpin oleh presiden.
3.2. Kelembagaan Negara
Hubungan tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan lembaga-
lembaga Tinggi Negara menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/ 1978, adalah
sebagai berikut :
63
1. Lembaga Tertinggi Negara adalah Majelis permusyawaratan Rakyat
(MPR). MPR sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia
adalah pemegang kekuasaan Negara Tertinggi dan pelaksana dari
Kedaulatan Rakyat. MPR memilih dan mengangkat presiden/
mandataris dan wakil Presiden untuk membantu presiden. MPR
memberikan mandat kepada Presiden untuk melaksanakan Garis-garis
Besar Haluan Negara dan putusan-putusan MPR lainnya. MPR dapat
memberhentikan Presiden sebelum masa jabatannya karena :
a. Atas permintaan sendiri
b. Berhalangan tetap (mangkat, berhenti atau tidak dapat
melaksanakan kewajiban dalam masa jabatan).
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR dan pada
akhir jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan
Haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 di hadapan Sidang
MPR. Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan
Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden dalam rnelaksanakan haluan Negara
yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan MPR.
Apabila Wakil Presiden berhalangan tetap, maka Presiden dan
atau Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta MPR inengadakan
Sidang Istimewa untuk memilih Wakil Presiden. Dalam pidato
pertanggungjawaban Presiden/ Mandataris MPR pada tanggal 12
Maret 1973 ditegaskan, bahwa baik MPRS dahulu maupun MPR hasil
Pemilu tahun 1971 adalah Lembaga Tertinggi Negara, penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia.
Menurut UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, Presiden
merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR
dan DPR oleh karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat ( pasal 6 A
ayat 1).Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR tetapi dipilih
langsung oleh rakyat.
64
2. Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang sesuai dengan urutan-urutan
yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut.
a. Presiden
Presiden adalah penyelenggara Kekuasaan Pemerintahan
Negara Tertinggi di samping MPR, yang dalam melakukan
kewajibannya dibantu oleh Wakil Presiden. Hubungan kerjasama
antara Presiden dengan lembaga-lembaga lainnya dibantu oleh
Wakil Presiden. Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat membentuk Undang-Undang termasuk menetapkan
Undang-Undang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan Presiden juga
tidak dapat membubarkan DPR. Presiden harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara DPR.
b. Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
DPA adalah Badan Penasehat pemerintah yang berkewajiban
memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden. Di samping itu
DPA berhak mengajukan usul dan wajib memajukan pertimbangan
kepada presiden. Dalam UUD 1945 hasil amandemen DPA tidak
ada lagi.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR yang seluruh anggotanya adalah juga anggota MPR
berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden
dalam rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR
menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara,
maka DPR menyampaikan Memorándum untuk mengingatkan
Presiden. Jikalau dalam waktu tiga bulan presiden tidak
memperhatikan memorándum DPR tersebut, maka DPR
menyampaikan Memorandum yang kedua. Apabila dalam waktu
satu bulan Memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan
65
oleh presiden, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah Badan yang memeriksa tentang tanggungjawab
keuangan negara, yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas
pemerintah.
BPK memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada
DPR. Cara-cara pemberitahuan itu lebih lanjut ditentukan bersama
oleh pimpinan BPK dengan pimpinan DPR dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 pasal 23 E
ayat (1) disebutkan bahwa “ Untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri “.Hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan Dewan
Perwakilan Daerah, sesuai dengan kewenangannya pasal 23 E ayat
(2).Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang pasal 23
E ayat (3).Fungsi BPK menjadi sangat penting oleh karena agenda
utama reformasi adalah memberantas KKN.
e. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah suatu Badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas
dari pengaruh kekuasaan Pemerintah dan pengaruh-pengaruh
Iainnya. Mahkamali Agung dapat memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak,
kepada lembaga-lembaga tinggi negara.
Mahkamah Agung juga memberikan nasihat hukum kepada
Presiden sebagai Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi.
Di samping itu Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji
66
secara material hanya terhadap peraturan-peraturan
perundangundangan di bawah Undang-Undang.
3.3. Hubungan Negara dengan Warga Negara dan HAM Menurut UUD
1945
Dalam pasal 26 UUD 1945 disebutkan, bahwa yang menjadi warga
negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disyahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Hal ini berarti
bahwa yang dapat menjadi warga negara Indonesia ialah juga orang-orang
dan keturunan bangsa asing. Hal tersebut diatur dalam suatu Undang-Undang
Kewarganegaraan (antara lain, Undang-Undang No. 62 tahun 1958).
Selanjutnya pasal 27 UUD 1945 menjelaskan hak-hak azasi manusia. Dalam
pasal ini ditegaskan sebagai berikut: Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan tidak ada kecualinya.
Ketentuan inipun mengandung asas demokrasi dalam negara, yang
berarti tidak membeda-bedakan warga negara yang satu dengan yang lain,
tanpa memandang kedudukan, jabatan, keturunan ataupun kekayaannya.
Semuanya berhak menikmati perlindungan hukum atas diri pribadi, jiwa,
kehormatan dan harta bendanya. Sebaliknya tiap warga negara dibebankan
kewajiban untuk menaati peraturan yang dikeluarkan oleh Negara. Tertib
hukum harus dilaksanakan tanpa kecuali.
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupanyanglayak bagi kemanusiaan ( pasal 27 ayat 2 ).
Ketentuan ini adalah sesuai dengan sila ke-5 dan
Dasar Negara Pancasila yakni Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Adapun hak-hak warga negara lainnya yang merupakan hak azasi
manusia tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 yang mengatakan:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.
67
Rincian hak-hak asasi manusia dalam pasal-pasal UUD 1945 adalah
sebagai berikut:
a. Hak atas Kebebasan untuk Mengeluarkan Pendapat Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.
Declaration of Human Right, Pasal 19:
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-
pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-
pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.
Convenant on Civil and Political Right, Pasal 19.
b. Hak atas Kedudukan yang Sama di dalam Hukum Undang-Undang
Dasar 1945 , Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Declaration of Human Right, Pasal 7:
Sekalian orang adalah sama terhadap Undang-Undang dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Sekalian
orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan
yang memperkosa pernyataan ini dan terhadap segala
hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam ini. Convenant on
Civil and Political Right, Pasal 26.
c. Hak atas Kebebasan Berkumpul Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Declaration of Human Right, Pasal 20:
1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan
berapat.
68
2) Tiada seorang juapun dapat dipaksakan memasuki salah satu
perkumpulan.
Convenant on Civil and Political Right, Pasal 21.
d. Hak atas Kebebasan Beragama Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29:
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Declaration of Human Right, Pasal 18:
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan
agamanya, dalam hal mi termasuk kebebasan untuk menyatakan agama
atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya
beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
e. Hak atas Penghidupan yang Layak Undang-Undang Dasar 1945, Pasal
27 (2), Pasal 34
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34
ayat 2).
Declaration of Human Right, Pasal 25:
1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan
dan keadaan baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya, terrnasuk
soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya,
serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan
di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau
mengalami kekurangan nafkah lain-lain karena keadaan di luar
kekuasaannya.
2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan
istimewa, semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun
di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama
69
Convenant on Economic, Social and Cultural Right,
Pasal 11.
f. Hak atas Kebebasan Berserikat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Declaration of Human Right , Pasal 23 ayat (4):
Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja
untuk melindungi kepentingannya.
Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Pasal 8
Convenant on Civil and Political Right, Pasal 22.
g. Hak atas Pengajaran
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31:
1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Declaration of Human Right, Pasal 26:
Convenant on Economic, Social and Cultural Right, Pasal 13.
h. Hak atas Kewarganegaraan
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 26:
1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia
asli, dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara.
2) Hal hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan
undang-undang.
Declaration of Human Right, Pasal 15:
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
Declaration of Human Rights, Pasal 29 termuat
pernyataan:
70
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap sesuatu masyarakat
di mana ia mendapat kemungkinan untuk mengembangkan
pribadinya dengan penuh dan bebas.
Convenant on Civil and Political Rights, Pasal 24.
Dalam proses reformasi dewasa ini perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia merupakan target vital, karena pada masa orde baru banyak
pelanggaran hak hak asasi manusia yaitu pembatasan atas hak asasi bidang
politik misalnya dengan asas tunggal, hak asasi dalam mengemukakan
pendapat dan lain sebagainya. Oleh karena itu untuk merealisasikan
reformasi dalam hal perlindungan atas hak-hak asasi manusia MPR
melalui Sidang Istimewa menetapkan suatu ketetapan No. XVII/MPR/
1998 tentang hak-hak asasi manusia yang akhirnva akan diwujudkan
dalam suatu Undang-Undang.
3.4. Lambang-Lambang Persatuan Indonesia
PERATURAN PEMERINTAR No. 66 TAHUN 1951
TENTANG
LAMBANG NEGARA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MENIMBANG : bahwa menurut Undang-Undang Dasar perlu ditetapkan
Lambang Negara untuk Republik Indonesia;
MENGINGAT : Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia;
MENDENGAR : Dewan Menteri dalam rapatnya tanggal 10 Juli 1951.
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN: Peraturan Pemerintah tentang Lambang Negara.
Pasal 1
Lambang Negara Republik Indonesia terbagi atas 3 bagian, yaitu
1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah
kanannya.
71
2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher
Garuda.
3. Semboyan ditulis pada pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Pasal 2
Perbandingan-perbandingan ukuran adalah menurut gambar tersebut dalam
pasal 6. Warna terutama yang dipakai adalah tiga, yaitu Merah, Putih, dan
kuning-emas, sedang dipakai pula warna hitam dan warna yang
sebenarnya pada alam. Warna emas dipakai untuk seluruh burung
garuda,dan Merah Putih di dapat pada ruangan perisai di tengah-tengah.
Pasal 3
Garuda yang digantungi perisai dengan memakai paruh, sayap, ekor dan
cakar mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
Sayap Garuda berbulu 17 dan ekornya berbulu 8.
Warna, perbandingan-perbandingan ukuran dan bentuk Garuda adalah
seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam pasal 6.
Pasal 4
Di tengah perisai yang berbentuk jantung itu, terdapat sebuah garis hitam
tebal yang maksudnya melukiskan katulistiwa (equator).
Lima buah ruang pada perisai itu masing-masing mewujudkan dasar
Pancasila.
I. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa terlukis dengan nur cahaya di ruang
tengah berbentuk bintang yang bersudut lima.
II. Dasar Kerakyatan dilukiskan dengan kepala banteng
sebagai lambang tenaga rakyat.
III. Dasar Kebangsaan dilukiskan dengan pohon beringin, tempat
berlindung.
IV. Dasar Perikemanusiaan dilukiskan dengan tali rantai bermata bulatan
dan persegi.
V. Dasar Keadilan Sosial dilukiskan dengan kapas dan padi, sebagai tanda
tujuan kemakmuran.
72
Pasal 5
Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam
bahasa Jawa Kuno, yang berbunyi BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Pasal 6
Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik
Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran ini.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan ini dengan penetapan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Oktober 1951
Diundangkan
Pada tanggal 28 Nop. 1951
MENTERI KEHAKIMAN,
ttd
(M. NASROEN)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
(SOEKARNO)
PERDANA MENTERI,
ttd
(SOEKIMAN WIRJOSANDJOJO)
73
LAMPIRAN PADA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 66
TAHUN 1951
(Lembaran Negara Nomor 111 Tahun 1951)
WARNA PERBANDINGAN UKURAN
Seluruh burung Garuda, bintang Nur Cahaya,
kapas, padi dan rantai = kuning-emas Jarak a - b = 5
Ruangan perisai di tengah-tengah = merah-putih c - d = 12
(kiri atas dan kanan bawah) = merah “ e - f = 13 ½
(kanan atas dan kiri bawah) = putih ” g - h = 16
Dasar atas dan kiri bawah = hitam “ i - j = 41/2
Kepala Banteng = hitam “ k -1 = 5
Pohon beringin = hijau “ l- m = 6
Pita = hitam “ p – q = 17
JUMLAH BULU:
Pada tiap-tiap sayap = 17 Kecil di bawah perisai = 19
Pada ekor = 8 Kecil di leher = 45
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 1951 tentang Lambang
Negara.
Menurut Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Sementara Republik Indonesia,
maka Pemerintahlah yang menetapkan Lambang Negara.
Penjelasan pasal demi pasal:
P.1. Mengambil gambar hewan untuk Lambang Negara bukanlah sesuatu
yang aneh. Misalnya untuk Lambang Republik India diambil lukisan
singa, lembu, kuda dan gajah, seperti tergambar pada tiang Maharaja
Priyadafsi Asyeka berasal dari Sarnath dekat Benares.
Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti
hidup dalam mythologi, symbologi dan kesusasteraan Indonesia dan
seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke-6 sampai
abad ke-16. Perisai adalah asli, sedangkan arti semboyan yang
dituliskan dengan huruf Latin berbahasa Jawa Kuno menunjukkan
peradaban klasik.
74
P.2. Warna kemegahan emas bermaksud kebesaran bangsa atau
keluhuran Negara. Warna-warna pembantu dilukiskan dengan hitam
atau meniru seperti yang sebenarnya dalam alam.
P.3. Burung Garuda, yang digantung perisai itu, ialah lambang tenaga
pembangunan (Creatief vermogen) seperti dikenal pada peradaban
Indonesia.
Burung Garuda dan mythologi menurut perasaan Indonesia
berdekatan dengan burung elang rajawali. Burung itu dilukiskan di
candi Dieng, Prambanan dan Penataran. Adakalanya dengan
memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan
bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi Jawa Timur
rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa
dan bercakar. Lihatlah lukisan di candi Mendut, Prambanan dan di
candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur.
Umumnya maka garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan
dan mythologi Indonesia.
Lencana garuda pernah dipakai oleh prabu Airlangga pada abad
kesembilan, dengan bernama GARUDAMUKHA. Menurut patung
Belahan beliau dilukiskan dengan mengendarai garuda.
Pergerakan Indonesia Muda (1928) pernah memakai panji-panji
sayap garuda yang di tengah-tengahnya berdiri sebilah keris di atas
tiga girisan garis. Sayap garuda berbulu 17 (tanggal 17) dan ekornya
berbulu 8 (bulan 8= Agustus).
P.4. Perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban
Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan
melindungi diri. Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan
lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah yaitu lambang
perjuangan dan perlindungan. Dengan mengambil bentuk perisai itu,
maka Republik Indonesia berhubungan Iangsung dengan peradaban
Indonesia asli.
Dengan garis yang melukiskan katulistiwa (equator) itu, maka
ternyatalah bahwa Republik Indonesia satu satunya Negara Asli
75
yang merdeka berdaulat di permukaan bumi berhawa panas; garis
khatulistiwa melewati Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian.
3.5. Perubahan UUD 1945
Pasal terakhir dari UUD 1945 yaitu pasal 37 berbunyi
sebagai berikut:
1. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3
daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada
jumlah anggota yang hadir.
Dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/ 1983 tentang Referendum
ditegaskan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945,
tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta
akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 1).
Namun apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, maka
terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum (Pasal 2).
Referendum dilaksanakan oleh Presiden/Mandataris MPR yang diatur dengan
Undang-Undang (Pasal 3).
Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR
dalam Pasal 105 menjelaskan bahwa, apabila ada kehendak MPR untuk
mengajukan usul perubahan UUD 1945, maka usul tersebut harus diajukan
oleh sekurang-kurangnya 4 Fraksi seutuhnya (dalam MPR terdapat 5 Fraksi)
dengan daftar nama dan tanda tangan seluruh anggotanya. Untuk
pengambilan Keputusan secara mufakat terhadap kehendak untuk
mengusulkan perubahan UD 1945 sebagaimana dimaksud di atas, maka
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang terdiri dari seluruh
Fraksi harus hadir.
Untuk pengambilan Keputusan dengan suara terbanyak terhadap
kehendak untuk mengusulkan perubahan UndangUndang Dasar 1945, maka
sekurang-kurangnya 2/3 dan jumlah anggota Majelis harus hadir.
Putusan terhadap kehendak untuk mengusulkan perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, diambil:
a. Secara mufakat dalam Rapat yang dihadiri oleh seluruh Fraksi, atau
76
b. Atas persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
3.6. Kedudukan Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan
Aturan Peralihan dari UUD 1945 terdiri dan 4 pasal yang berikut:
Pasal I : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan
menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah
Indonesia;
Pasal II : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru rnenurut Undang-
Undang Dasar ini;
Pasal III : Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia;
Pasal IV : Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.
Pada akhir UUD 1945 dicantumkan Aturan Tambahan yang terdiri dari 2 ayat
yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya,
Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk,
Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Adapun Aturan Peralihan itu adalah termasuk dalam lingkungan Hukum
Transitoir, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu masa peralihan (peralihan
dari suatu Pemerintahan Negara kepada Pemerintahan Negara yang lain).
77
BAB IV
DINAMIKA PELAKSAAAN UUD 1945
1. Awal Kemerdekaan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu.
Yang pertama antara 1945 sampai tanggal 17 Agustus 1950, yaitu sejak
ditetapkannya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada
tanggal 18 Agustus 1945 sampal dengan mulai berlakunya UUDS 1950. Pada
tanggal 27 Desember 1949 sampal 17 Agustus 1950, UUD 1945 berlaku dalam
Negara Bagian RIS (yakni RI Yogyakarta). Yang kedua adalah dalam kurun
waktu 1959 sampai sekarang, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita
telah dapat mencatat dan menarik pengalaman-pengalaman tentang gerak
pelaksanaan dari UndangUndang Dasar 1945 itu, termasuk juga penyimpangan-
penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Dalam kurun waktu 1945-1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam pancaroba, dalam
usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita
proklamasikan, sedangkan pihak kolonialis Belanda justru ingin menjajah kembali
bekas jajahannya yang telah merdeka itu. Segala perhatian bangsa dan negara
diarahkan untuk memenangkan perang kemerdekaan.
Sistem Pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-
Undang 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat
diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat
dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV
yang menyatakan bahwa:
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional”.
Namun ada satu penyimpangan konstitusional yang prinsipil yang dapat dicatat
78
dalam kurun waktu 1945 - 1949 itu, ialah perubahan sistem Kabinet Presidensial
menjadi sistem Kabinet Parlementer.
Berdasarkan usul Badan Pekeija Komite Nasional Indonesia Pusat
(BPKNIP) pada tanggai 11 November 1945, yang kemudian disetujui oleh
Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember
1945, sistem Kabinet Presidensial tersebut diganti dengan sistem Kabinet
Parlementer.
Sejak saat itu kekuasaan Pemerintah (eksekutif) dipegang oleh Perdana
Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai anggota Kabinet.
Secara bersama-sama atau sendiri, Perdana Menteri dan para Menteri
bertanggungjawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan sistem Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan penyimpangan sistem ini jelas pengaruhnya terhadap stabilitas poitik dan
stabilitas Pemerintah.
Akhirnya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun pihak
“Republik Proklamasi” terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain
dan yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus dan didirikan berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 yang di tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi Negara Federasi RIS
berdasarkan pada konstitusi RIS. UndangUndang Dasar 1945 berlaku hanya di
Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan
Ibukota Yogyakarta.
Untunglah Negara Federasi RIS ini hanya berlangsung sangat sementara.
Berkat kesadaran para pemimpin RIS dengan dipelopori oleh pimpinan-pimpinan
yang “republikan”, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Federasi RIS
kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang
Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberii nama
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Menurut Undang-Undang Dasar ini
sistem Pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan Parlementer bukan
sistem kabinet Presidensial. Menurut sistem Pemerintahan Parlementer ini maka
Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan “tidak
79
dapat diganggu gugat”. Yang bertanggungjawab adalah Perdana Menteri, ialah
bertanggungjawab kepada Parlemen.
Penentuan sistem yang demikian ini sebenarnya bersumber pada landasan
pemikiran yang lain dari yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang menganut sistem Parlementer
berpijak pada landasan pemikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada
kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut
sistem Presidensial berpijak pada landasan demokrasi Pancasila, yang berintikan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, di mana Presiden bertanggungjawab kepada
pemberi mandat, MPR, tidak kepada Parlemen.
2. Masa Orde Lama
Konstituante yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
bertugas rnenyusun Undang-Undang Dasar yang tetap, ternyata telah mengalami
kemacetan total dan bahkan mempunyai akibat yang sangat membahayakan
keutuhan bangsa dan negara. Maka dengan dasar alasan yang kuat dan dengan
dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia dikeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Diktum Dekrit Presiden itu adalah:
1) Menetapkan pembubaran Konstituante;
2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari
tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang
Dasar Sementara 1950;
3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri
atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan
Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Dalam Orde Lama, Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA
dan BPK belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang seperti yang
80
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya lembaga-lembaga
tersebut masih dalam bentuk sementara. Belum lagi kita kupas mengenai
berfungsinya lembaga-lembaga tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang
kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah
menggunakan kekuasaan itu dengan tidak semestinya. Presiden telah
mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang-
Undang (artinya dengan persetujuan DPR) dalam bentuk Penetapan Presiden
tanpa persetujuan DPR.
MPRS telah mengambil keputusan untuk mengangkat seseorang
sebagai Presiden seumur hidup, yang jelas bertentangan dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan masa jabatan Presiden 5 tahun.
Hak Budget DPR tidak berjalan, artinya Pemerintah tidak mengajukan
Rancangan Undang-Undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR
sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan dalam tahun
1960 Presiden waktu itu telah membubarkan DPR, karena DPR tidak dapat
menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah.
Itulah beberapa kasus penyimpangan yang serius terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Penyimpangan-penyhnpangan ini jelas bukan saja telah
mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945, melainkan ternyata telah mengakibatkan memburuknya
keadaan politik dan keamanan serta kemerosotan di bidang ekonomi, yang
mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang gagal oleh G 30 S/PKI.
Pemberontakan G 30 S/PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan
kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat, telah mendorong lahirnya
Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dengan gagalnya perebutan
kekuasan 030 S/PKI itu telah dapat diungkapkan dan dibuktikan - baik melalui
sidang-sidang pengadilan maupun bahan-bahan keterangan lainnya bahwa
PKI-lah yang mendalangi secara sadar dan terencana “Coup d’etat” itu.
Perbuatan jahat tersebut bukan saja telah menimbulkan korban jiwa dan benda
81
yang cukup besar, bukan saja bertentangan dan melanggar ketentuan Undang-
Undang Dasar dan hukum yang berlaku, tetapi jelas mempunyai tujuan untuk
merubah dan meniadakan dasar falsafah negara Pancasila dengan dasar
falsafah yang lain.
Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, PKI telah dua kali
mengkhianati negara, bangsa dan dasar negara yang sama-sama kita cintai dan
kita agungkan bersama. Atas dasar itulah maka rakyat menghendaki dan
menuntut dibubarkannya PKI. Namun Pimpinan Negara waktu itu, tidak mau
mendengarkan dan tidak mau memenuhi tuntutan rakyat, sehingga timbullah
apa yang disebut: “situasi konflik” antara rakyat di satu pihak dan Presiden di
lain pihak. Keadaan semakin meruncing, keadaan ekonomi dan keamanan
makin tidak terkendalikan.
3. Masa Orde Baru
Dengan dipelopori oleh Pemuda/Mahasiswa, rakyat menyampaikan
“Tri Tuntutan Rakyat” (Tritura), yaitu:
1) Bubarkan PKI,
2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur PKI;
3) Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi.
Gerakan memperjuangkan TRITURA ini makin hari
semakin meningkat sehingga Pemerintah/Presiden waktu itu boleh dikatakan
tidak dapat menguasai keadaan lagi.
Dalam situasi yang demikian itulah Presiden waktu itu pada tanggal 11
Maret 1966 mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal TNI
Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat yang intinya memberikan
wewenang kepadanya untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk
menyelamatkan keadaan. Lahirnya Surat Penintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR) ini dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya ORDE BARU.
SUPERSEMAR pada tahun 1966 dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/ 1966 dan Jenderal Soeharto menjadi pengemban TAP. IX/MPRS/
1966.
82
Dengan berlandaskan kepada SUPERSEMAR itu, pengemban
SUPERSEMAR telah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang
ditanggapi dan disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat. Dan
dengan semangat SUPERSEMAR itu pula Orde Baru mengambil langkah-
langkah, koreksi dengan cara-cara yang konstitusional terutama dalam
menegakkan, mengamankan dan mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Sungguh telah banyak langkah-langkah yang dilakukan dan berhasil
dilakukan oleh Orde Baru dalam rangka menegakkan Undang-Undang Dasar
1945 selama 10-12 tahun terakhir ini (1966-1978). Orde Baru telah berhasil
menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi-koreksi terhadap
penyimpangan-penyimpangan, kekacauan-kekacauan dan keadaan-keadaan
buruk diberbagai bidang selama Orde Lama melalui cara yang konstitusional,
artinya melalui Sidang-sidang MPR, yaitu Sidang Umum MPR(S) ke 1V
tahun 1966 dan Sidang Istimewa tahun 1967.
Sejumlah Ketetapan yang bersifat prinsipil telah dihasilkan dalam
Sidang Umum MPR(S) tahun 1966 itu, seperti TAP IX/ MPRS/66 yang
mengukuhkan SUPERSEMAR, TAP XXV/MPRS/ 66 mengenai pembubaran
PKI dan ormas-ormasnya (semacam pengukuhan keputusan Pengemban
Supersemar), TAP XII/ MPRS/66 tentang pembaharuan landasan politik luar
negeri, TAP XXIII/MPRS/66 tentang pembaharuan landasan di bidang
ekonomi dan pembangunan, dan sejumlah TAP-TAP lainnya yang
menyangkut atau berisi masalah-masalah yang sifatnya koreksi dan
pembaharuan terhadap keadaan yang lama.
Sidang Istimewa MPR(S) tahun 1967 diadakan atas perrnintaan DPR
yang menganggap bahwa Presiden waktu itu telah dengan sungguh-sungguh
melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Kenaudian Sidang
Istimewa MPR(S) telah memutuskan menarik kembali mandat MPR(S) dari
Presiden Soekarno waktu itu, karena dianggap telah tidak dapat menjalankan
haluan negara dan keputusan-keputusan Majelis sebagai layaknya dan
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
83
Kemudian pada Sidang Umum MPR(S) tahun 1968, MPR(S) telah
mengangkat Jenderal Soeharto Pengemban TAP IX sebagai Presiden (tetap)
sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.
Sejak itulah pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 diusahakan untuk dapat
berlangsung sebaik-baiknya secara mumi dan konsekuen. Dalam rangka ini
diusahakan pembentukan kelembagaan negara MPR, DPR, DPA, BPK dan
Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pembentukan lembaga-
lembaga tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Karenanya
Pemerintah bersama DPR berusaha keras dan berhasil dalam waktu yang
ditentukan membuat Undang-undangnya.
Terbentuklah berbagai Undang-Undang yang mengatur pembentukan
MPR, DPR, DPA, BPK dan juga Mahkamah Agung, yaitu:
1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwkilan Rakyat Daerah, yang kemudian dirubah dengan Undang-
undang No. 5 tahun 1975;
2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan
Agung, yang kemudian dirubah dengan UndangUndang No. 4 Tahun
1978;
3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan
Badan Pemeriksa Keuangan;
4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965, yang menjadi
landasan kerja bagi Mahkamah Agung dan Badan-badan Pengadilan
lainnya.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, maka
penyusunan/pembentukan badan-badan perwakilan rakyat serta DPR RI,
DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II harus dilakukan melalui pemilihan
umum. Undang-Undang Pemilihan Umum itu juga telah dapat dihasilkan.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilihan Umum tadi telah diadakan pemilihan
umum pada tahun 1971 (yang pertama dalam Orde Baru), untuk memilih
84
anggota-anggota DPR-RI, DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II.
Dengan hasil pemilihan umum tahun 1971 itu terbentuklah DPR-RI, DPRD
tingkat I dan DPRD tingkat II , kemudian terbentuklah MPR pada tahun
1972, yang anggota-anggotanya terdiri dan seluruh anggota DPR hasil
Pemilihan Umum, utusan-utusan daerah yang dipilih oleh DPRD tingkat I dan
utusan-utusan golongan-golongan baik dan ABRI maupun non ABRI yang
mewakili berbagai golongan fungsionil, termasuk koperasi dan organisasi
yang berkecimpung di bidang ekonomi, seperti yang dikehendaki oleh
Undang-Undang Dasar 1945.
MPR hasil Pemilu tahun 1971 telah mengadakan Sidang Umumnya
pada tahun 1973 dan telah berhasil melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dengan baik yaitu: membuat GBHN
tahun 1973-1978 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun.
Demikian pula DPA telah dibentuk berdasarkan UndangUndang DPA yang
pertama kali pada tahun 1967 sebagai badan pertimbangan Presiden yang
(sesuai dengan Undang-undangnya) mempunyai masa jabatan sama dengan
masa jabatan Presiden.
BPK akhirnya pada tahun 1973 telah dapat dibentuk berdasarkan
Undang-Undang BPK yang dihasilkan pada tahun 1973 itu. Pelaksanaan
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang lain juga diusahakan berjalan
sebaik-baiknya , menyangkut anggaran belanja. Orde Baru sudah sejak 1967
melaksanakan ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu,
dan telah berlaku setiap tahun sampai sekarang. Mungkin telah dapat dianggap
sebagai konvensi (hukum dasar tidak tertulis, sebagai pelengkap Undang-
Undang Dasar) bahwa RAPBN itu diajukan oleh pemerintah kepada DPR
pada permulaan bulan Januari, 3 bulan sebelum berlakunya tahun anggaran
baru. Dan DPR dapat menyelesaikan tugasnya (memberikan persetujuan) satu
bulan, sebelum mulainya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam bidang kegiatan legislatif (pembentukan UndangUndang juga
telah berjalan dengan baik melalui “partnership” yang lugas antara pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan dan semangat
Undang-Undang Dasar 1945.
85
Dewan Perwakilan Rakyat ternyata telah dapat berfungsi dengan
intensif dan efektif, baik dalam melaksanakan “kekuasaan” legislatifnya
maupun hak budgetnya. DPR yang menurut ketentuan Undang-Undang Dasar
bersidang sedikitnya sekali dalam 1 tahun, ternyata telah menggunakan
waktunya hampir seluruh tahun (4 kali masa sidang dalam setahun) untuk
persidangan.
Dalam hubungan ini dapat dicatat juga bahwa selama Orde Baru ini
telah banyak dihasilkan Undang-Undang dalam rangka rnelaksanakan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping Undang-
undang mengenai Lembaga-lembaga Negara seperti yang telah disebutkan
tadi, dapat dikemukakan misalnya Undang-Undang Partai Politik dan
Golongan Karya dan UndangUndang Pokok Pers sebagai pelaksanaan pasal
28 UndangUndang Dasar 1945. Demikian juga Undang-Undang mengenai
pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Pokok Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Perkawinan dan lain-lain adalah pelaksanaan dari ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945.
Namun selama Orde Baru ini baik pemerintah maupun DPR telah
melaksanakan fungsinya dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Dasar
itu dalam 12 tahun (1966-1978) telah mulai terbina dan terpelihara dengan
baik. Mekanisme kepemimpinan nasional yang lima tahunan telah dapat
berjalan dengan baik (dua kali dalam 12 tahun terakhir ).
Mekanisme lima tahunan itu secara garis besar meliputi kegiatan-
kegiatan kenegaraan sebagai berikut:
1) MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusan-utusan daerah dan
golongan-golongan sebagai hasil Pemilu berdasarkan Undang-
Undang, mengadakan Sidang Umum sekali dalam 5 tahun (demikian
juga Pemilu diadakan sekali dalam 5 tahun).
2) Dalam Sidang Umum tersebut, MPR melaksanakan tugasnya:
- menetapkan GBHN;
- memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa 5 tahun dengan
tugas untuk melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR.
86
4. Masa Reformasi
Makna “Reformasi secara etimologis berasal dan kata ‘reformation’
dengan akar kata ‘reform’ yang secara semantik bermakna ‘make or become
better by removing or putting right what is bad or wrong” (Oxford Advanced
Learner’s Dictionary of Current English,, 1980). Secara harfiah reformasi
memiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau
bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat .
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-
penyimpangan. Masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi
penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi ‘nepotisme, kolusi,
dan korupsi’ yang tidak sesuai dengan makna dan semangat Pembukaan
UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
b. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas
(landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan
untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-
citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan ideologis yang jelas maka
gerakan reformasi akan mengarah kepada anarkisme, disintegrasi bangsa
dan akhirnya jatuh pada suatu kehancuran bangsa dan negara Indonesia,
sebagaimana yang telah terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia.
c. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu
kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan
reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu
perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan struktural yang ada
karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan
pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah di
tangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2). Reformasi
harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara
87
hukum dalam arti yang sebenamya sebagairnana terkandung dalam
penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi
manusia, peradilan yang bebas dari penguasa, serta legalitas dalam arti
hukum. Oleh karena itu reformasi sendiri harus berdasarkan pada kerangka
hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu
perubahan ke arah transparansi dalam setiap kebijaksanaan dalam
penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manifestasi bahwa
rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan untuk rakyatlah segala
aspek kegiatan negara.
d. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta
keadaan yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus
mengarah pada suatu kondisi kehidupan rakyat yang lebih baik dalam
segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan
ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai
manusia.
e. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia
yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan
kesatuan bangsa.
Pada masa reformasi telah terjadi dua kali perubahan terhadap UUD
1945 oleh MPR. Perubahan pertama tanggal 19 Oktober 1999. Pasal-pasal
yang dirobah ialah Pasal 5 (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 (2), pasal 14, pasal
15, pasal 17 (2) dan pasal 17 (3), pasal 20 dan pasal 21.
Perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000. Yang dirobah ialah : Pasal
18, pasal 18 A, pasal 18 B, pasal 19, pasal 20 (5), pasal 20 A, pasal 22 A,
pasal 22 B, Bab LX A, pasal 25 E, Bab X, pasal 26 (2) dan pasa1 26 (3), pasal
27 (3), Bab X A, Pasal 28 A, pasal 28 B, pasal 28 C, pasal 28 D, pasal 28 E,
pasal 28 F, pasal 28 G, pasal 28 H, pasal. 28 I, pasal 28 3, Bab XII, Pasal 30,
Bab XV, Pasal 36 A, pasal 36 B dan pasal 36 C.
Perubahan ketiga tanggal 10 November 2001.Yang dirobah ialah : Pasal
1 (2), pasal 1 (3), pasal 3 (1), pasal 3 (2), pasal 3 (3), pasal 6 (1), pasal 6 (2),
pasal 6A (1), pasal 6A (2), pasal 6A (3), pasal 6A (5), pasal pasal 7A, pasal
88
7B (1), pasal 7B (2), pasal 7B (3), pasal 7B (4), pasal 7B (5), pasal 7B (6),
pasal 7B (7), pasal 7C, pasal 8 (1), pasal 8 (2), pasal 11 (2), pasal 11 (3), pasal
17 (3), Bab VIIA, pasal 22C (1), pasal 22C (2), pasal 22C (3), pasal 22C (4),
pasal 22D (1), pasal 22D (2), pasal 22D (3), pasal 22D (4), pasal 22E (1),
pasal 22E (2), pasal 22E (3), pasal 22E (4), pasal 22E (5), pasal 22E (6), pasal
23 (1), pasal 23 (2), pasal 23 (3), pasal 23A, pasal 23C, pasal 23E (1), pasal
23E (2), pasal 23E (3), pasal 23F (1), pasal 23F (2),pasal 23G (1), pasal 23G
(2), pasal 24 (1), pasal 24 (2), pasal 24A (1), pasal 24A (2), pasal 24A (3),
pasal 24A (4), pasal 24A (5), pasal 24B (1), pasal 24B (2), pasal 24B (3),
pasal 24B (4), pasal 24C (1), pasal 24C (2), pasal 24C (3), pasal 24C (4),
pasal 24C (5) dan pasal 24C (6).
Perubahan keempat tanggal 10 Agustus 2002.Yang dirobah ialah : Pasal
2 (1), pasal 3 (2), pasal 3 (3), pasal 8 (3), pasal 11 (1), pasal 16, Bab IV, pasal
23B, pasal 23D, pasal 25A, pasal 31 (1), pasal 31 (2), pasal 31 (3), pasal 31
(4), pasal 31 (5), pasal 32 (1), pasal 32 (2), Bab XIV, pasal 33 (4), pasal 33
(5), pasal 34 (1), pasal 34 (2), pasal 34 (3), pasal 34 (4), pasal 37 (1), pasal
37 (2), pasal 37 (3), pasal 37 (4), pasal 37 (5), Aturan Peralihan pasal I, pasal
II, pasal III dan Aturan Tambahan pasal I, pasal II.
89
BAB V
PANCASILA SEBAGAI SISTEM F1LSAFAT
1. Pengertian Sistem
Berfikir secara kefilsafatan pada hakikatnya tidak bersifat fragmentaris dan
acak. Perenungan kefilsafatan yang dicirikan secara komprehensif, universal serta
runtut senantiasa merupakan suatu keseluruhan yang bersistem. Hal ini
dimaksudkan bahwa pemikiran kefilsafatan senantiasa memiliki bagian-bagian
dan di antara bagian-bagian tersebut senantiasa berhubungan antara satu dengan
lainnya. Hubungan tersebut terjalin dalam suatu kerjasama yang saling
ketergantungan. Maka bilamana dirinci ciri-ciri sistem adalah sebagai berikut:
a. Suatu kesatuan bagian-bagian.
b. Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri.
c. Saling berhubungan (saling ketergantungan).
d. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan
sistem.
e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Jadi pemikiran kefilsafatan yang bersifat rasional dan runtut pastilah
merupakan suatu sistem. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan memiliki bagian-
bagian, yang berada dalam suatu jalinan hubungan, terdapat fungsi-fungsi bagian,
bersifat kompleks serta empiris. John Locke (1632-1704), yang membagi
pengalaman menjadi dua macam aliran yaitu: Pengalaman lahiriah (‘sensation’)
dan pengalaman batiniah (‘reflexion’). Kedua sumber pengalaman itu
menghasilkan idea-idea tunggal (‘simple ideas’), namun roh membentuk idea
majemuk.
2. Pengertian Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Asal Istilah Filsafat
Perkataan dan istilah di dalam bahasa Arab ialah falsafah. Secara etimologi
perkataan falsalah berasal dan bahasa Yunani philosophia, yang terdiri atas dua
suku kata, yakni philen artinya: “mencari” atau “mencintai” dan sophia artinya
“kebenaran” atau “kebijaksanaan”.
90
Jadi kata majemuk “philophia” berarti “daya upaya pemikiran manusia
untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan”. Dan istilah tersebut jelas bahwa
orang yang berfilsafat ialah orang yang mencintai kebenaran atau mencari
kebenaran dan bukan memiliki kebenaran. Bila kita kaji bahwa kebenaran itu
adalah relatif sifatnya, karena ada yang dianggap benar pada waktu sekarang ini,
mungkin pada masa datang hal itu tidak benar lagi. Jadi kebenaran mutlak adalah
di tangan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Prof. H. Muhammad Yamin, S.H bahwa perkataan Yunani
philosophos itu mula-mula dibentuk karena hendak menandingi kata sophos, yang
berarti “Si tahu” atau “Si pandai” karena merasa telah memegang kebenaran
dalam genggamannya. Sedangkan philo-sophos dalam segala kerendahan hati
hanya mencintai dan masih bergerak di tengah jalan menuju kebenaran.
Mencari kebenaran dan tidak memiliki kebenaran itulah tujuan semua filsafat, dan
akhirnya mendekati kebenaran sebagai kesungguhan. Tetapi kebenaran yang
sesungguhnya atau mutlak hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam arti praktis, filsafat ialah alam berpikir atau alam pikiran. Berfilsafat ialah
berpikir, tetapi. berpikir secara mendalam, artinya berpikir sampai ke akar-
akarnya dan dengan sungguh-sungguh tentang hakikat sesuatu.
Ilmu filsafat merupakan induk dari ilmu-ilmu vak, dapat mengatur dan
menyelesaikan masalah hubungan dan perbedaan batas-batas antara ilmu-ilmu vak
lainnya.
Beberapa Definisi Filsafat
a. Plato (427 SM - 348 SM), Ahli filsafat Yunani:
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli.
b. Aristoteles (382 SM - 322 SM), murid Plato: Filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-
iimu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi politik dan estetika.
c. Al-Farabi (870 - 950 SM), ahli Filsafat Islam: Filsafat ialah ilmu
pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
d. Immanuel Kant (1724 - 1804) ahli filsafat Katolik: Filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dan segala pengetahuan yang
di dalamnya tercakup empat persoalan:
91
1) Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: “metafisika”)
2) Apakah yang seharusnva kita kerjakan? (jawabnya: “etika”)
3) Sampai di manakah harapan kita? (jawabnya: “agama”)
4) Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: “antropologi”).
Dari bermacam-macam definisi filsafat yang dikemukakan oleh para
ahli, seorang ahli filsafat Indonesia, Drs. Hasbullah Bakry, mengambil
kesimpulan sebagai berikut : “Ilmu filsafat ialah ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan,alam semesta dan
manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu”.
Prof. H. Muhammad Yamin, S.H, berpendapat: “Filsafat ialah
pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya dan dalam
kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan”.
Jadi, jelaslah bagi kita tiap-tiap manusia mendapatkan
kepribadiannya dan dapat mengalami kesungguhan karena menempuh jalan
memusatkan pikiran dalam segala hubungan cabang pikiran, pada
hakikatnya sudah ikut membentuk philosophie, juga menolak atau tidak
menerima pemusatan pemikiran orang lain sekalipun juga sudah ikut pula
membentuk filosofi. Kedua-duanya adalah cara perjalanan atau pemakaian
hikmah yang ada pada manusia. Dengan demikian dapatlah kita simpulkan,
bahwa apa yang disebut: filsafat ialah suatu usaha pemikiran manusia yang
sungguh-sungguh, secara sistematis dan radikal untuk mencari kebenaran
sesuai dengan ruang dan waktu.
Jadi makna filsafat dapat ditinjau dari dua segi yakni segi etimologis
yang terdiri atas kata philos artinya “sahabat”, dan sofia artinya:
kebijaksanaan. Filsafat artinya ajaran atau orang yang mencapai taraf
persahabatan dan mencintai kebijaksanaan. Makna kedua ialah suatu
aktivitas pikir yang rnenghasilkan kebenaran atau kebijaksanaan yang
kemudian menjadi keyakinan atau pandangan hidup orang itu atau suatu
bangsa.
Sumber dan filsafat yang ada di dunia mi sesuai dengan istilahnya
ialah manusia; dalam hal ini akal dan pikiran manusia yang sehat, yang
92
berusaha keras dengan sungguh-sungguh mencari kebenaran dan akhirnya
mendekati kebenaran.
Oleh karena manusia itu adalah makhluk Tuhan, meskipun manusia
itu tinggi martabatnya, mempunyai dignity akan tetapi tidak sempurna;
maka kebenaran yang dapat dicapai oleh akal pildran manusia itu tidak
sempurna adanya. Kebenaran yang dicapai manusia bersifat relatif atau
nisbi. ini tidak berarti bahwa setiap hasil pemikiran manusia itu tak ada yang
benar, semuanya serba salah. Tidak! Hasil pemikiran manusia itu
kebenarannya tidak mutlak.
Sedangkan ajaran agama atau agama-agama samawi mempunyai
kitab suci bersumber dan Tuhan Yang Maha Esa, yang disampaikan kepada
seluruh umat manusia untuk menjadi pedoman hidupnya melalui wahyu
dengan perantara Rasul-rasulNya atau utusan Tuhan. Ajaran-ajaran agama
mengandung kebenaran mutlak bersifat sempurna dan lengkap isinya serta
berlaku secara universal, tidak terikat dengan ruang dan waktu. Ajaran
agama lebih luas dan lengkap isinya, baik kaidah-kaidah pokok, norma-
norma kebenaran, petunjuk-petunjuk pelaksanaannya secara teknik maupun
sanksi-sanksinya yang tegas dan jelas atau pahala dan dosa serta siksa
tercantum di dalamnya.
3. Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila Sebagai Filsafat Negara.
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak
di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat
dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak
tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak
kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakter berpikir
filsafat yang pertama adalah filsafat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak
puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandangan ilmu itu sendiri. Dia
ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia
ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin
yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
93
Dari contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa filsafat dalam
kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan, bukan saja karena sejarahnya
yang panjang ke belakang dalam catatan-catatan yang ada. Melainkan juga
karena ajaran filsafat malahan telah menguasai kehidupan manusia masa
kini, bahkan telah menjangkau masa depan umat manusia dalam bentuk-
bentuk ideologi. Manusia, bangsa-bangsa dan negara-negara yang ada dalam
zaman modem ini semuanya hidup sebagai pengabdi setia nilai-nilai filsafat
tertentu, sebagai ideologi nasional masing-masing.
Demikian pula bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai
dengan sejarah perjuangan yang cukup panjang. Bangsa Indonesia sudah
ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu kesatuan.
Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa Barat persatuan dan kesatuan itu
dipecah oleh mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya
raya ini.
Perjalanan sejarah yang sangat panjang ini menempa bangsa
Indonesia untuk membangun suatu bangsa yang merdeka. Berkat
perjuangan yang gigih dari seluruh rakyat Indonesia pada zaman penjajahan
Jepang dibentuk suatu badan yang berusaha untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Badan mi diberi nama Dokuritsu Junbi Cosakai
atau dalam bahasa Indonesia diartikan Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, atau disingkat BPUPKI. Badan ini
diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintahan Jepang. Pada
tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin diminta oleh ketua Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan untuk menyampaikan pidatonya.
Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar negara yang sekaligus
sesudah berpidato menyerahkan teks pidatonya beserta rancangan undang-
undang dasar.
Pada tanggal 1 Juni, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara.
Kita kutip sebagian kecil dari pidato beliau mengenai filsafat negara
Indonesia. “Menurut anggapan saya yang diminta Paduka tuan Ketua yang
mulia ialah, dalam bahasa Belanda, Philosofische grondslag dan pada
Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen filsafat,
94
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk
didirikan di atasnya gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan undang-undang dasar yang
diberi nama Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi Pancasila sebagai
filsafat bangsa Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya
Undang-Undang Dasar 1945, dan menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Sebagai dasar filsafat atau dasar kerohanian negara, yang merupakan cita-
cita bangsa, Pancasila harus dilaksanakan atau diamalkan yang mewujudkan
kenyataan dalam penyelenggaraan hidup kenegaraan, kebangsaan, dan
kemasyarakatan kita.
Arti Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak
bagi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak ada tempat
bagi warga negara Indonesia untuk pro dan kontra, karena Pancasila sudah
ditetapkan sebagai filsafat bangsa Indonesia. Setelah kita memahami
pengertian filsafat secara umum dan membandingkannya dengan filsafat
Pancasila, marilah kita kutip beberapa pendapat para ahli mengenai definisi
filsafat sebagai dasar pemikiran selanjutnya. Definisi tentang filsafat itu
banyak sekali, berbeda menurut rumusan dan tekanan yang diberikan oleh
setiap filsuf. Namun persamaan yang umum dapat kita temukan.
Fungsi Filsafat Pancasila
Bagian terdahulu telah kita uraikan pengertian dan bagian dari
berbagai sistem filsafat Pancasila. Dalam bagian mi akan kita lanjutkan
tentang fungsi dan filsafat Pancasila itu dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk itu perlu kita kaji tentang ilmu-ilmu yang erat kaitannya
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini lebih dahulu diuraikan,
karena untuk terus menguraikan fungsi filsafat maka harus diketahui tentang
arti dari ilmu-ilmu apa saja yang harus diikat dan disatukan oleh filsafat itu
dalam kehidupan bernegara.
Pengertian fungsi filsafat secara umum, dapat kita
simpulkan sebagai berikut:
95
a) memberi jawaban atas pertanyaan yang bersifat fundamental atau
mendasar dalam kehidupan bernegara;
b) mencari kebenaran yang bersifat substansi tentang hakikat negara, ide
negara atau tujuan bernegara; dan
c) berusaha menempatkan dan menjadi perangka dari berbagai ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan bernegara.
1) Pertanyaan apa saja yang bersifat fundamental dalam kehidupan
bernegara itu? Kira-kira jawabannya ialah segala aspek yang erat
kaitannya dengan kehidupan masyarakat bangsa tersebut dan yang
berkaitan dengan kelangsungan hidup dari negara bersangkutan.
Oleh karena itu, fungsi Pancasila sebagai filsafat dalam kehidupan
bernegara, haruslah memberikan jawaban yang mendasar tentang
hakikat kehidupan bernegara. Hal yang fundamental dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, susunan politik atau sistem
politik dari negara, bentuk negara/ susunan perekonomian dan dasar-
dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Semua yang tersebut di atas
haruslah mampu dijelaskan oleh filsafat. Dalam hal ini Pancasila
yang dikaji dari sudut fungsinya telah mampu memberikan
jawabannya. Semua yang di atas itu sudah tertuang dalam berbagai
ketentuan kita bernegara.
2) Filsafat Pancasila harus mampu memberikan dan mencari kebenaran
yang substansi tentang hakikat negara, ide negara, dan tujuan negara.
Dasar negara kita adalah lima dasar dalam mana setiap silanya
berkaitan dengan sila yang lain. Kelima sila itu merupakan kesatuan
yang utuh, dan tidak terbagi dan tidak terpisahkan. Saling
memberikan arah dan dasar kepada sila yang lainnya. Karenanya
Pancasila sebagai dasar negara. Misalnya kita lihat sila pertama:
Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan sinar dan pedoman pada
sila yang empat di bawahnya. Begitu seterusnya kalau kita bicarakan
fungsi Pancasila sebagai pemberi dasar yang menjawab pertanvaan
“hakikat negara’.
96
Tujuan negara akan selalu kita temukan dalam setiap konstitusi
negara bersangkutan. Karenanya tidak selalu sama dan bahkan ada
kecenderungan perbedaan yang jauh sekali antara tujuan di satu
negara dengan negara lain. Sebagai contoh tujuan negara-negara di
Eropa Barat sudah barang tentu sangat berbeda dengan tujuan
negara-negara di Eropa Timur. Begitu juga tujuan negara Indonesia
tidak akan sama dengan tujuan negara tetangga dekat kita misalnya
Malaysia dan Singapura. Karena filsafat negara harus mampu
memberikan jawaban tentang tujuan negara itu. Bagi Indonesia
secara fundamental tujuan itu ialah Pancasila dan sekaligus menjadi
dasar berdirinya negara ini.
3) Pancasila sebagai filsafat bangsa harus mampu memberikan
perangka dan pemersatu dari berbagai ilmu yang dikembangkan di
Indonesia. Fungsi filsafat akan terlihat jelas, kalau di negara itu
sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara. Sebagai contoh di
dunia Barat yang liberal, kita menemukan pengembangan ilmu
pengetahuan yang didasari dan bertujuan pengembangan liberalisme
itu dalam semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga di negara-
negara komunis, kita menemukan pengembangan ilmu pengetahuan
yang bertujuan untuk mengembangkan filsafat komunis itu sendiri
dan setiap ilmu itu haruslah mendasari dirinya dengan filsafat
negaranya.
Bagi kita Pancasila harus mampu menjawab fungsi filsafat
Pancasila itu sebagai perangka dan pemersatu ilmu pengetahuan. Untuk
itu, permasalahannya terletak di atas pundak para ilmuwan dan
pengendali kekuasaan negara. Dua kutub ini haruslah menjalin dirinya
menjadi satu dasar dan satu arah. Di satu pihak ilmuwan haruslah
rnenggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan mendasarkan diri dan
bertujuan untuk inemfungsikan Pancasila sebagai filsafat pemersatu dari
ilmu pengetahuan; Di sisi lain penguasa negara atau pemerintahan
haruslah berketepatan hati dan selalu bijaksana dalam memberikan arah,
bimbingan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
97
bernegara. Hal ini perlu kita telaah, karena negara tidak mungkin
terpisahkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang selalu dikaji dan dikembangkan oleh para ilmuwan haruslah
seirama dan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintahan dan kekuasaan
politik yang sedang berjalan. Dalam hal ini ilmuwan dan pemegang
kendali kekuasaan harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah
tulang punggung kemajuan negara jangan sampai salah arah dan salah
bimbingan, sehingga pengembangan ilmu itu menjauh dari dasar negara
atau filsafat negara. Ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
mensejahterakan manusia itu haruslah selalu di bawah kendali filsafat
negara. Jangan hanya filsafat negara itu bagaikan dasar substansi yang
statis, dia adalah dinamis dan dia adalah pedoman dan cermin
pengembangan ilmu pengetahuan.
Di dunia sekarang ini banyak kita temukan kepincangan antara
dasar negara dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Dasar negaranya
tinggal secara konstitusional dalam undang-undang dasar negara,
sedangkan ilmu pengetahuan berjalan menurut arah dan dasar di mana
ilmu itu dikajinya. Karenanya banyak para ilmuwan kurang bijaksana
dalam penggalian iimu pengetahuan, mereka hanya berorientasi pada
ilmu itu sendiri. Mereka lupa dan memandang tidak relevan untuk
menyesuaikan dan mengkaji ilmu itu dengan filsafat negaranya. Dalam
hal ini terlihat kepincangan dalam berbagai aspek kehidupan sosial ini
sangat buruk akibatnya untuk masa yang panjang. Akhirnya keadaan ini
akan membawa negara pada keadaan serba dilematis; dalam kehidupan
sosial dari negara tersebut.
98
BAB VI
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
1. Pengertian Nilai, Moral dan Norma
Pengertian Nilai
Menilai artinya menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan
ini dapat mengatakan, berguna atau tidak berguna benar atau tidak benar,
indah atau tidak indah, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Ini
semua dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu
jasmani, cipta, karsa, dan rasa serta kepercayaan.
Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna (nilai kegunaan), benar
(nilai kebenaran/logis), baik (nilai moral dan ethis) dan nilai religus (nilai
agama).
Dengan demikian dapat pula dibedakan nilai material (nilai kebendaan)
dan nilai spritual (nilai keroharian). Kalau kita perhatikan inti isi Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka terkandung nilai-
nilai:
a. “Nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan
nilai keadilan”.
b. “Nilai Ideal, nilai material, nilai spritual, nilai pragmatis dan nilai positif.
c. ”Nilai Logis, nilai estetis, nilai etis, nilai sosial, dan nilai religius”.
Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Pancasila
Dalam pandangan hidup suatu bangsa terkandung konsep dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa itu, terkandung pikiran-
pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa rnengenai wujud kehidupan
yang dianggp baik. Pandangan hidup suatu bangsa adalah suatu kristalisasi
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini
kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia adalah Pancasila.
99
Pengertian Moral
Moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Moral, mengenai moral artinya bantuan berupa sokongan bathin
(bukan berupa uang atau benda). Jadi, moral adalah membicarakan tingkah
laku manusia yang dilakukan dengan sadar dari sudut baik dan buruk. Moral
dihubungkan dengan etik dan etiket yang membicarakan tentang tata susila
dan tata sopan santun.
Tata susila adalah budi pekerti manusia tentang budi baik dan buruk,
salah dan benar dari sikap, perbuatan dan kelakuan. Dengan perkataan lain
adalah falsafah tentang praktek kehidupan manusia. Tata sopan santun adalah
penilaian baik dan buruk, benar dan salah digantungkan pada pihak lain.
Tata susila berusaha berbuat baik karena hati kecilnya menganggap baik dan
bersumber dalam hati nuraninya lepas hubungan dari pengaruh orang lain
berarti tata sopan santun adalah berbuat baik sekedar lahir saja tidak
bersumber dan perasaan hati, hanya sekedar menghargai orang lain dalam
pergaulan.
Jadi tata susila berasal dari dalam diri manusia dan memberi pengaruh
ke luar sedangkan tata kesopanan berasal dari luar manusia dan memberi
pengaruh ke dalam. Moral meliputi hidup manusia seluruhnya, hidup manusia
dalam diri sendiri dan dalam hidup bersama yaitu dalam keluarga, masyarakat,
bangsa dan dalam negara serta duniapun meliputi hidup manusia terhadap
Tuhan sebagai makhluk-Nya.
Pengertian Norma
Norma (kaedah) adalah petunjuk tingkah laku/ prilaku yang harus
dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan
suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah
ancaman/ akibat yang akan diterima apabila norma (kaedah) tidak dilakukan.
Dari hubungan nilai, norma, dan sangsi dalam pengalaman Pancasila
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Bahwa sebelum dilaksanakan pengamalan perlu diperhatikan terlebih
dahulu pengertian dari Pancasila. Untuk tidak menimbulkan keraguan dan
kekaburan, maka perlu pengertian yang jelas dan harus
100
dipertanggungjawabkan. Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan
pokok kaedah negara yang fundamental, harus dipertanggungjawabkan
secara juridis konstitusional, artinya dalam pengamalannya harus sesuai
dengan peraturan perundangan yang ada dan yang berlaku, yang
merupakan tertib hukum (hukum positif) negara. Pelaksanaannya bersifat
perintah (imperatif) dalam pengertian harus bersumber dan tidak boleh
menyimpang atau melampaui peraturan perundangan tersebut. Bila
bertentangan atau menyimpang akan mendapat ganjaran atau sanksi
berupa hukuman. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menjamin objektivitasnya.
Segalanya harus berdasarkan dan berorientasi bukan menyimpang atau
membuat tafsiran sendiri.
Pancasila harus dipertanggungjawabkan secara religius, karena
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila dasar yang meliputi dasar
keroharian dan keduniawian, sifat religius lebih menonjol. Pancasila harus
dipertanggungjawabkan secara filosofis karena sebagai filsafat negara dan
bangsa untuk mencari kebenaran. Kebenaran yang dituntut di sini adalah
kebenaran yang relatif (nisbi) bukan kebenaran mutlak (absolut).
Kebenaran yang mutlak ada pada Tuhan sesuai dengan sifat Tuhan itu
sendiri. Pancasila dipertanggungjawabkan secara sosiologis karena
mengatur dan menyangkut manusia dalam segala aspek sesuai dengan
kemanusiaan yang merupakan identitas dan manusia itu sendiri.
Sebaliknya Pancasila dapat juga dipertanggungjawabkan secara moral/
etis, karena Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk-petunjuk hidup
sehari-hari sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan.
Oleh sebab itu pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa berarti melaksanakan Pancasila dalam hidup sehari-hari.
Pengamalan dalam hidup sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan
pengamalan dalam kehidupan kenegaraan dan hidup kemasyarakatan
dalam negara. Jadi harus serasi dan harmonis.
Karena corak dan ragam dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat
jamak (pluralistis), bermacam ragam maka sukar dibuat peraturan-
101
peraturan secara terperinci dan menyeluruh, sebagaimana peraturan
perundangan negara. Oleh sebab itu pengamalannya diserahkan kepada
kesadaran dari masyarakat itu sendiri terhadap Pancasila asal tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan adat kebiasaan yang ada).
Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara disebut pengamalan
Pancasila secara obyektif, sedangkan pengamalan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa disebut pengamalan secara subyektif.
Pengamalan Pancasila secara subyektif meliputi bidang yang luas antara
lain ekonomi politik, sosial budaya, hankam, agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Meliputi juga lingkungan hidup pribadi,
hidup keluarga, hidup kemasyarakatan dan lain-lain.
Kesemuanya harus dipertanggung jawabkan secara obyektif, secara
filosofis, secara sosiologis dan secara moral dan etis sesuai dengan
keadaan dan kapan dilaksanakan, ditentukan waktu dan tempat, baik
sendiri maupun bersama-sama.
b. Pancasila sebagai dasar dan arah dalam menyelesaikan masalah-masalah
konkrit menggambarkan adanya lompatan dari nilai-nilai filosofis ke nilai
praktis. Untuk itu kita menyebutnya sebagai pengamalan Pancasila. Dalam
kehidupan sehari-hari kita dapat melihat bahwa suatu pengamalan nilai
fillosofis itu, memerlukan bentuk-bentuk yang sesuai dengan kebutuhan
tempat dan waktu serta keadaan, tanpa menyimpang dari pengertian
filosofis yang dijadikan dasar dan arah. Di dalam pengamalan Pancasila ini
dibedakan antara:
1) Pengamalan obyektif: pengamalan di bidang kehidupan
negara/masyarakat yang penjelmaannya berupa ketentuan-ketentuan
hukum positif yaitu : pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-
Undang Organik serta peraturan dan pelaksanaannya termasuk pula
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dianut dalam kehidupan
masyarakat.
102
2) Pengamalan subyektif: pengamalan yang dilakukan oleh manusia,
manusia sebagai pribadi, warga negara, warga
rnasyarakat dan penyelenggara negara/ pemerintahan.
Pengamalan secara subyektif inilah yang utama (primer). Bahkan
yang menentukan artinya pengamalan obyektif hanya dapat berlangsung
dengan baik apabila terlebih dahulu pengamalan subyektif dapat baik.
Untuk menuju terwujudnya pengamalan subyektif yang baik, maka secara
bertahap sebaiknya ditempuh melalui pendidikan.
Sebab melalui pendidikan inilah, kepada para subyektif (manusia-
manusianya) akan dapat diberikan pengertian dan pengetahuan yang tepat
mengenai arti dan makna daripada Pancasila.
Dan hanya dengan pengetahuannya yang tepat atau yang baik,
barulah dapat dtharapkan tumbuhnya kesadaran, dan kemudian dan rasa
kesadaran dtharapkan adanya rasa ketaatan dan kemampuan untuk
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kenyataan hidup sehari-.hari.
Situasi ideal dalam pengamalan Pancasila yang seharusnya dapat
kita capai adalah, bagaimana kita semua dalam mengamalkan Pancasila itu
tidak hanya sekedar didasarkan pada kewajiban hukum saja melainkan
juga berdasarkan pada kewajiban moral atau etis.
Kewajiban moral atau etis di dalam mengamalkan Pancasila
mengandung makna bahwa hati nurani kita sendirilah yang mewajibkan
diri kita masing-masing untuk selalu berorientasi kepada nilai-nilai
Pancasila itu, yaitu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut
agama/ kepercayaan kita masing-masing, memandang sesama manusia
sebagai makhluk yang sama harkat dan derajatnya, mendahulukan
persatuan dan kesatuan masyarakat/bangsa, segala sesuatu
dimusyawarahkan demi tercapainya keadilan di mana masing-masing
dapat memiliki apa yang memang menjadi haknya.
2. Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis
Ada tatanan nilai dalam kehidupan bernegara: yaitu yang disebut sebagai (1)
nilai dasar; (2) nilai instrumental dan (3) nilai praksis. Kelihatannya konsep ini
103
berguna untuk menata pemahaman kita. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita
terima sebagai dalil yang bersifat banyak sedikitnya mutlak. Kita menerima nilai
dasar sebagai suatu hal yang tidak dipertanyakan lagi. Semangat kekeluargaan
bisa kita sebut sebagai nilai dasar, sifatnya mutlak, dan tidak akan berubah lagi.
Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum dari nilai dasar itu, biasanya dalam
wujud norma sosial ataupun norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi
dalam lembaga-lembaga. Sifatnya dinamis dan dalam istilah sekarang,
kontekstual, yaitu sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental
ini walaupun lebih rendah dari nilai dasar, namun tidak kalah pentingnya, karena
nilai instrumental inilah yang menjabarkan nilai dasar yang umum itu dalam
wujud yang konkrit serta sesuai dengan zaman. Nilai instrumental merupakan
semacam tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum itu.
Betapapun pentingnya nilai-nilai dasar tersebut, namun sifatnya belum
operasional, artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk pada adanya
undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lanjut,
sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran lanjut mi kita namakan nilai
instrumental.
Nilai instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang
dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas
yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh
berten.tangan dengan nilai-nilai dasar yang dijabarkannya.
Dokumen konstitusional yang disediakan untuk penjabaran secara kreatif dan
nilai-nilai dasar itu adaiah GBHN, yang merupakan kewenangan MPR, peraturan
perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya.
Apapun bentuknya, ada satu syarat yang merupakan conditio sine qua non
yang harus dipenuhi penjabaran ini, yaitu dimufakati seluruh bangsa. Tolok ukur
kebenaran dalam nilai dasar Pancasila adalah kebersamaan, kekeluargaan,
persatuan, dan kesatuan. Gagasan-gagasan perseorangan dan golongan sampai ia
menjadi kesepakatan bersama, baik secara formal maupun secara informal. Dalam
104
Orde Baru, disebut sebagai “konsensus nasional”. Pengamalan Pancasila itu
melalui rangkaian konsensus nasional yang tidak putus-putusnya.
Kehidupan ber Pancasila itu memang merupakan kehidupan yang penuh
dengan dialog, dengan musyawarah, dengan mufakat. Diperlukan kesabaran,
keterbukaan, kearifan dan ketekunan, yang juga dituntut pada setiap bentuk
negara yang hendak menegakkan demokrasi. Nilai yang sudah memperoleh
kesepakatan rnasyarakat, perlu kita bakukan, untuk kita masyarakatkan serta kita
budayakan selanjutnya. Nilai-nilai yang masth belum memperoleh kesepakatan
masyarakat, kita kaji kembali untuk kemudian kita ajukan kembali dalam
bentuknya yang sudah disempurnakan.
Cepatnya perkembangan nilai-nilai instrumental ini bisa mempunyai suatu
dampak negatif, yaitu timbulnya rasa tidak pasti mengenai konsep-konsep yang
kita anut. Namun memang demikianlah suatu resiko masyarakat yang sedang
berubah.
Nilai praksis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam
kenyataan. Nilai praksis mi seyogyanya sama semangatnya dengan nilai dasar dan
nilai instrumental di atásnya. Lebih dari itu, nilai praksis inilah yang
sesungguhnya akan merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai
instrumental itu sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat ataukah tidak.
Jika kita renungkan, maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya
Soepomo menghendaki agar semangat kekeluargaan itu terwujud, baik sebagai
nilai dasar, sebagai nilai instrumental maupun sebagai nilai praksis. Untuk itu kita
memerlukan penjabarannya, dan beliau menghendakinya dalam wujud undang-
undang. Dengan lain perkataan, menegakkan semangat kekeluargaan adalah
melalui penegakkan hukum, melalui, “rule of law” dalam suatu negara yang
bersifat kekeluargaan.
3. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara RI
Dari demikian banyak pembahasan yang berkenaan dengan Pancasila
sebagai pandangan hidup dan sebagai dasar negara, masalah yang kita hadapi
105
sehubungan dengan nilai dasarnya adalah nilai-nilai mana yang merupakan niiai
dasar yang tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi?
Nilai dasar Pancasila yang abadi itu kita temukan dalam empat alinea
Pembukaan UUD 1945.
Alinea pertama memuat keyakinan kita kepada kemerdekaan sebagai hak segala
bangsa, sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penghapusan
penjajahan adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari keyakinan kita ini.
Kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan adalah rangkai aksioma tempat
bertumpunya seluruh wawasan kenegaraan pada tataran formal, serta seluruh
wawasan kita tentang kehidupan kebangsaan secara substantial.
Ada perbedaan arti antara “negara” dan “bangsa”. “Negara adalah suatu
organisasi kekuasaan yang meliputi unsur-unsur rakyat, wilayah, pemerintah serta
kedaulatan. Sedangkan “bangsa” adalah kesatuan tekad dari rakyat untuk hidup
bersama mencapai cita-cita dan tujuan bersama, terlepas dari perbedaan etnik, ras,
agama ataupun golongan asalnya. Kesadaran kebangsaan adalah perekat yang
akan mengikat batin seluruh rakyat.
Alinea kedua memuat cita-cita nasional sekaligus cita-cita kemerdekaan kita itu;
yaitu suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pengertian-pengertian singkat yang terdapat dalam alinea ini harus diberi makna
filsafati yang rnendasar. Rakvat Indonesia dalam negara Indonesia yang kita
bentuk itu ingin hidup dalam suasana yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur. Inilah nilai yang merupakan tolok ukur terakhir apakah negara yang kita
bentuk itu sudah sesuai dengan apa yang kita harapkan apa belum.
Alinea ketiga, memuat watak aktif dari rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaan, untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas, bukan dengan
keangkuhan yang bersifat chauvinistis, tetapi dengan sikap religius, dengan
kesadaran akan rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorongkan oleh keinginan
luhur. Bangsa yang ingin kita bangun bukanlah bangsa yang pasif, yang pasrah
kepada nasibnya, tetapi bangsa yang aktif, yang percaya kepada dirinya serta
berbuat secara nyata untuk mengubah nasibnya itu.
Namun nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sekular, yang hanya
tahu dengan apa yang nyata kelihatan. Nasionalisme kita adalah nasionalisme
106
yang sarat dengan niiai religi serta kemanusiaan. Nasionalisme kita bukanlah
nasionalisme yang berkehendak mengagresi bangsa lain, tetapi nasionalisme yang
terbatas pada tuntutan pengakuan akan eksistensi dirinya sebagai bangsa.
Alinea keempat memberi arahan mengenai tujuan negara, susunan negara, sistem
pemerintahan dan dasar negara.
Tujuan negara kita jelas: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
turnpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan
kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Susunan Negara Republik
Indonesia jelas-jelas disebutkan berkedaulatan rakyat, yang berarti sumber dan
seluruh otoritas kenegaraan dalam Republik ini adalah Rakyat.
Sistem Pemerintahan kita juga jelas, yaitu sistem pemerintahan
konstitusional, yang secara padat dirumuskan sebagai “disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”.
Kemerdekaan bukanlah sekedar suatu konsep filosofis, tetapi juga suatu konsep
yuridis dengan pengertian yang pasti dan dirumuskan dalam konstitusi. Semua
kegiatan pemerintah harus mempunyai alasan pembenar dalam konstitusi sebagai
hukum dasar tertulis, yang dapat dikembangkan dalam hukum tidak tertulis yang
tumbuh praktek penyelenggaraan negara. Akhirnya. Dasar Negara kita tercantum
dalam lima sila, yang rumusannya sudah kita kenal benar.
Makna nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat
kita cari dalam berbagai sumber. Sumber pertama jelas adalah Penjelasan UUD
1945. Jika kita ingin lebih dalam memahaminya, kita harus membaca risalah
sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Dan jika ingin mempunyai perspektif kesejarahan yang lebih lengkap, kita
harus mendalami keseluruhan gerakan kemerdekaan nasional, khususnya sejak
awal abad ke 20. Rumusan-rumusan dalam UUD 45 tidaklah timbul mendadak
dalam ruang sidang BPUPKI di Jalan Pejambon Jakarta dalam tahun 1945 itu.
Seperti halnya dengan sejarah pemikiran filsafati lainnya, ada akar sejarah, akar
sosiologis serta akar kulturalnya.
Itulah nilai-nilai dasar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang kita anut, yang tidak ingin dan tidak boleh kita ubah lagi. Mengutip
107
terminologi para ahli hukum, mengubah nilai-nilai dasar itu berarti membubarkan
negara.
4. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
Nilai Ketuhanan YME
Prof. Dr. Notonegoro, membagi riilai menjadi 3 yakni:
a. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan dan aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 macam yakni:
a. Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur akal manusia
(ratio, budi, cipta);
b. Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoels, dan
aesthetis);
c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/
kemauan manusia (will, karsa, ethic);
d. Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tertinggi
dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada
kepercayaan/ keyakinan manusia.
Jadi yang mempunyai nilai itu tidak hanya sesuatu yang berwujud
benda material saja, tetapi juga sesuatu yang tidak berwujud benda material.
Bahkan sesuatu yang bukan benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat
tinggi dan mutlak bagi manusia.
Nilai material secara relatif lebih mudah diukur dengan alat-alat
pengukur, misalnya alat pengukur berat (gram), alat pengukur panjang
(meter), alat pengukur luas (meter persegi), alat pengukur isi (liter), dan
sebagainya.
Sedangkan nilai rohari tidak dapat diukur dengan menggunakan alat-
alat pengukur tersebut di atas, tetapi diukur dengan “budi nurani manusia”,
karena itu lebih sulit dilakukan. Hal ini terlebih lagi apabila dipermasalahkan
apakah ada perwujudan budi nurani yang universal.
108
Manusia yang mengadakan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat
keroharian menggunakan budi nurani dengan dibantu oleh indera, akal,
perasaan, kehendak, dan oleh keyakinan. Sampai sejauh mana kemampuan
dan alat-alat bantu ini bagi manusia dalam memantulkan penilaiannya tidak
sama bagi manusia yang satu dengan yang lain, dipengaruhi situasi dan
keadaan manusia yang bersangkutan.
Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam
segala perbuatannya. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa ada orang-orang
yang dengan sadar berbuat lain daripada kesadaran nilai dengan alasan yang
lain pula. Dalam bidang pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam
bentuk/norma/ukuran (normatif), sehingga merupakan suatu perintah/
keharusan, anjuran atau merupakan larangan, tidak diinginkan atau celaan.
Segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dan
sebagainya, diperintahkan/ dianjurkan. Sedangkan segala sesuatu yang
sebaliknya (tidak benar, tidak indah, tidak baik dan sebagainya) dilarang/tidak
diinginkan atau dicela. Dan uraian yang telah dikemukakan kiranya, jelas
bahwa nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan
setiap manusia.
Nilai berada dalam hati nurani, suatu hati atau kata kati
dan pikiran sebagai sesuatu keyakinan/kepercayaan yang bersumber dari
berbagai dasar, aspek atau sumber.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dengan adanya dasar Ketuhanan maka Indonesia mengakui dan percaya
kepada adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi sebab adanya
manusia dan alam semesta serta segala hidup dan kehidupan di dalamnya.
Dasar ini menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk Indonesia untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya/
kepercayaannya, sebagai tercantum dalam pasal 29 UUD 1945. Hal ini berarti,
bahwa negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan lebih kurang
230 juta penduduk yang menganut beberapa agama (Islam, Kristen-Protestan,
Kristen-Katolik, Hindu dan Budha) menghendaki semua agama itu hidup
tenteram, rukun dan saling menghormati.
109
Dengan demikian, semua agama yang diakui di RI dapat bergerak dan
berkembang dengan leluasa.
Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh
karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap
hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu
dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sadar bahwa agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan
pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka
dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaannya itu kepada orang lain.
Dengan rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tersebut di
atas tidak berarti bahwa negara memaksa agama atau suatu kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebab agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan hingga tidak dapat
dipaksakan dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk agama dan
kepercayaan tertentu.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untiik memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
rnenurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah
merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia,
karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian
negara atau bukan pemberian golongan.
110
Sila pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila ini
mengandung dua pengertian pokok yaitu pengertian tentang Ketuhanan dan
tentang Yang Maha Esa.
Ketuhanan
Ketuhanan berasal dan kata Tuhan yakni Allah, zat Yang Maha Esa,
Pencipta segala kejadian termasuk Pencipta semua Makhluk. Oleh karena itu,
Tuhan sering disebut juga Sebab Yang Pertama yang tidak disebabkan lagi.
Alam beserta kekayaannya seperti sumber-sumber minyak bumi, batubara,
besi, air, udara dan lain-lainnya merupakan ciptaan-Nya. Demikian pula
makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia,
semuanya berasal dan Tuhan dan nantinya akan kembali kepada Tuhan.
Yang Maha Esa
Yang Maha Esa berarti Yang Maha Satu atau Yang Maha Tunggal dan
tidak ada yang mempersekutukannya. Dia esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-
Nya dan esa dalam perbuatan-Nya. Oleh karena kekhususan-Nya itu, maka
tidak ada yang menyamai-Nya. Dia Maha Sempurna.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa kita
bangsa Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
Alam Semesta beserta isinya, baik benda mati maupun makhluk hidup.
Kepercayaan dan ketakwaan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa itu bersifat
aktif. Artinya kita harus selalu berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala laranganNya menurut ajaran agama dan kepercayaan kita
masing-masing.
Seluruh warga negara Indonesia apakah dia si A dari Tapanuli ataukah
Si B dari puncak pegunungan Jaya Wijaya, bebas mengikuti agama dan
kepercayaan masing-masing dengan saling menghormati serta penuh toleransi.
Dalam hidup kenegaraan kita, arti sila pertama yang demikian itu tergambar
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ketiga yang berbunyi
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya hal itu
111
dijabarkan dalam pasal 29 batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi:
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Apabila dirinci sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka setidaknya ada
beberapa kewajiban moral dan tingkah laku yang harus ditunjukkan ditengah –
tengah masyarakat antara lain :
a) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b) Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan
hidup.
c) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Internasionalisme ataupun perikemanusiaan adalah penting sekali bagi
kehidupan suatu bangsa dalam negara yang merdeka dalam hubungannya
dengan bangsa-bangsa lain.
Manusia adalah makhluk Tuhan, dan Tuhan tidak mengadakan
perbedaan antara sesama manusia. Pandangan hidup demikian menimbulkan
pandangan yang luas, tak terikat oleh batas-batas negara atau bangsa sendiri,
melainkan negara selalu harus membuka pintu bagi persahabatan dunia atas
dasar persamaan derajat. Manusia mempunyai hak-hak yang sama; oleh
karena itu tidaklah dibenarkan manusia yang satu menguasai manusia lain,
ataupun bangsa yang satu menguasai bangsa yang lain. Berhubung dengan itu
maka dasar itu tidak membenarkan adanya penjajahan di atas bumi, karena hal
yang demikian bertentangan dengan perikemanusiaan serta hak setiap bangsa
menentukan nasibnya sendiri.
112
Sesungguhnya manusia itu sejak dilahirkan mempunyai hak yang tidak
dapat dirampas dan dihilangkan. Hak-hak itu harus dihormati oleh siapapun.
Golongan manusia yang berkuasa tidaklah diperkenankan memaksakan
kehendaknya yang bertentangan dengan hak seseorang. Juga pemerintah
sesuatu negara harus menjunjung tinggi hak-hak manusia itu. Tidak seorang
penduduk pun dapat diperlakukan melampaui batas perikemanusiaan,
misalnya dipidana secara ganas, keji atau dihina. Manusia harus bebas dari
rasa ketakutan/kesengsaraan.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Juga nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Kebangsaan dan
perikemanusiaan mempunyai hubungan yang erat.
“Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dandiperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk TuhanYang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, warna kulit, dansebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesamamanusia, sikap tenggang rasa dan “tepo seliro”, serta sikap tidak semena-menaterhadap orang lain”.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan
berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah
sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain”.
Sila kedua Pancasila berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sila ini terdiri atas tiga pengertian pokok yaitu pengertian tentang
kemanusiaan, adil dan tentang beradab.
Kemanusiaan
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yang merupakan makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Tuhan manusia dikarunia jasmani dan
rohani, yang keduanya merupakan satu kesatuan serasi, yang sering disebut
pribadi manusia. Artinya dalam pribadi manusia terdapat jasmani dan rohani
113
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Salah satu tidak ada,
berarti bukan manusia.
Jasmani memiliki kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur,
dan nafsu-nafsu jasmaniah. Jasmani juga mempunyai indera yang
menyebabkan kita dapat melihat, mencium, mendengar, mengecap dan
meraba.
Rohani memiliki akal, perasaan, kemauan dan kepercayaan. Dengan
akal, perasaan dan kemauan, manusia dapat memecahkan dan menimbang-
nimbang persoalan yang dihadapinya, dan sekaligus melaksanakan hasil
pertimbangan itu dengan alat rohani ini, manusia sebagai warga masyarakat
dapat maju dan berkembang. Di samping itu manusia masih memiliki
kepercayaan. Dengan kepercayaan ini, manusia dapat menjangkau hal-hal
yang tidak dapat dicapai oleh akal dan kemampuan yang lain seperti misalnya
percaya terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Adil
Adil mengandung arti objektif atau sesuai dengan adanya, misalnya kita
memberikan sesuatu kepada orang karena memang sesuatu itu merupakan
haknya. Jadi kita tidak subjektif, tidak berat sebelah, tidak pilih kasih. lebih-
lebih lagi, seorang yang bersifat adil tidak akan sewenang-wenang. Orang
yang demikian akan memperlakukan orang lain dengan penuh kebijaksanaan.
Sifat adil ini tidak hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diri kita sendiri.
Sering kita terlalu mudah menunjuk kesalahan orang lain dan sering lupa
menunjuk kekurangan diri sendiri.
Beradab
Beradab berasal dari kata adab yang secara bebas berarti budaya,
beradab berarti berbudaya. Manusia yang beradab berarti manusia yang
tingkah lakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kebudayaan. Nilai-nilai budaya
tidak lain ialah hal-hal yang luhur, yang dijunjung tinggi oleh manusia, yang
karena luhurnya itu dijadikan pedoman, ukuran, atau tuntutan untuk diikuti.
Kalau sesuai, berarti baik, kalau tidak sesuai, berarti tidak baik.
Kebudayaan merupakan hasil yang luhur dari manusia selama berabad-abad.
Oleh karena itu, wujudnya sering juga disebut peradaban manusia. Misalnya,
114
kesenian, candi, sampai kebiasaan-kebiasaan hidup merupakan wujud dari
kebudayaan. Demikian pula nilai-nilai yang mendasari sikap yang luhur dan
terpuji, seperti sikap berani karena benar, berani berkorban untuk negara, itu
semua juga merupakan wujud kebudayaan, wujud peradaban. Demikian pula
orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, mereka adalah
orang yang berbudaya, orang yang beradab. Apabila ia membandingkan orang
yang mengutamakan kepentingan masyarakat, maka orang yang
mengutamakan masyarakat itulah yang lebih beradab, lebih berbudaya.
Sebabnya ialah karena ia memenangkan kepentingan yang lebih besar (lebih
luas) daripada kepentingan yang lebih kecil (lebih sempit).
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Keseluruhan pengertian tentang sila kedua dari Pancasila ini, dengan
rnemperhatikan uraian di muka, jelaslah merupakan suatu kebulatan
pengertian yang lengkap tentang manusia. Secara lain dapat dikatakan bahwa
manusia bebas keinginannya, tetapi terikat oleh keterbatasan dan tanggung
jawabnya kepada masyarakat dan negara, dibatasi juga oleh lingkungannya.
Itu semua disebabkan manusia tidak hidup sendiri. Walaupun dia ingin hidup
sendiri, tetapi hal itu tidak mungkin. Dia akan selalu bergantung pada
lingkungannya, baik berupa orang-orang lain ataupun alam sekitarnya.
Sebagai bangsa, kita juga selalu bergantung pada bangsa-bangsa lain di
dunia. Demikian halnya bangsa lain, sebagian bergantung pada bangsa kita.
Misalnya kita memerlukan mesin dari Jerman, sebaliknya bangsa itu perlu
bahan mentah dari Indonesia. Oleh karena itu, selain manusia pada hakikatnya
sama, maka bangsa-bangsa di dunia pada hakikatnya juga sama derajatnya.
Sampai di sini dapat kita mengerti mengapa dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dinyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan”. Begitu pula dalam pasal-pasal pada batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945, banyak diungkapkan hal-hal yang menunjukkan bahwa manusia
di bumi Indonesia itu pada hakikatnya sama. Persamaan itu antara lain
diungkapkan dalam hal berkumpul, menerima pendidikan, hubungannya
115
dengan hukum, dan dalam mengusahakan kesejahteraan, di samping sama
pula dalam menjalankan kewajiban untuk membela negara dan bangsa
Indonesia yang sangat beraneka ragam ini.
Akan kita jabarkan isi sila kedua ini lebih rinci agar jelas pengertiannya.
Sehingga, akan mudah mewujudkannya dalam sikap di dalam praktek. Hal itu
berarti, sebagai nilai luhur, dapat diamalkan dalam hidup sehari-hari.
Apabila dirinci, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu dapat dijabarkan
lebih kurang menjadi beberapa kewajiban moral atau tuntunan tingkah laku.
Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah:
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia;
b. Saling mencintai antara sesama manusia;
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa;
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain;
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
g. Berani membela kebenaran dan keadilan;
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagian dari seluruh umat manusia,
karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama
dengan bangsa lain.
Nilai Persatuan Indonesia
Sila Persatuan Indonesia
Dengan dasar kebangsaan (nasionalisme) dimaksudkan bahwa bangsa
Indonesia seluruhnya harus memupuk persatuan yang erat antara sesama
warga negara, tanpa membeda-bedakan suku atau golongan serta berdasarkan
satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama. Prinsip kebangsaan itu
merupakan ikatan yang erat antara golongan dan suku bangsa. Atas prinsip itu
pembinaan bahasa dan kesenian daerah akan maju, memperkaya hidup kita
dan mengisi perkembangan kebudayaan Indonesia seluruhnya.
116
Kebangsaan meliputi seluruh golongan dan daerah di Indonesia serta
unsur-unsur kebudayaan dan tata hidupnya. Dasar kebangsaan mi adalah
penting sekali dan harus dibina, tanpa melupakan bahwa di dunia ada bangsa
lain yang terdiri atas semua manusia dan seluruhnya membentuk satu keluarga
umat manusia.
Kebangsaan Indonesia itu bukanlah paham kebangsaan yang sempit,
yang hanya mengagungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain.
Paham kebangsaan kita adalah satu dasar kebangsaan yang menuju kepada
persaudaraan dunia, yang menghendaki bangsa-bangsa itu saling hormat-
menghormati dan harga-menghargai. Paham kebangsaan yang dianut bangsa
Indonesia ialah:
a. Ke dalam menggalang kepentingan seluruh rakyat dengan tidak membeda-
bedakan suku atau golongan;
b. Ke luar: tidak mengagungkan bangsa sendiri, namun dengan berdiri tegas
atas dasar kebangsaan sendiri juga menuju ke arah hidup berdampingan
secara damai, berdasar atas persamaan derajat antar bangsa serta berdaya
upaya untuk melaksanakan terciptanya perdamaian dunia yang kekal dan
abadi, serta membina kerjasama untuk kesejahteraan umat manusia.
Oleh karena paham kebangsaan ini mengandung pengakuan hak hidup
dan perkembangan setiap bangsa di dunia, maka paham ini menentang segala
macam penjajahan dalam bentuk apapun juga, baik penjajahan politik,
ekonomi maupun penjajahan dalam bentuk lainnya.
Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di
atas kepentingan pribadi atau golongan.
Menurut kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi,
berarti bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan negara dan bangsa, apabila diperlukan. Oleh karena sikap rela
berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa itu dilandasi oleh rasa cinta
kepada tanah air dan bangsanya, maka dikembangkanlah rasa kebangsaan
berkebangsaan dan bertanah air Indonesia, dalam rangka memelihara
117
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika,
dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Sila ketiga Pancasila berbunyi: “Persatuan Indonesia”. Sila
ini mengandung dua pokok pengertian yaitu pengertian tentang persatuan dan
tentang Indonesia.
Persatuan
Persatuan berasal dan kata satu yang berarti utuh, tidak pecah belah,
persatuan mengandung pengertian disatukannya berbagai macam corak yang
beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Dengan perkatan lain, hal-hal yang
beraneka ragam itu, setelah disatukan, menjadi sesuatu yang serasi, utuh dan
tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Indonesia
Yang dimaksud dengan Indonesia ialah Indonesia dalam
pengertian geografis dan bangsa. Indonesia dengan pengertian geografis
berarti bagian bumi yang membentang dari 950 - 1410 Bujur Timur dan dari 6°
Lintang Utara sampai 110 Lintang Selatan. Sedangkan Indonesia dalam arti
bangsa ialah bangsa yang secara politis hidup dalam wilayah tersebut.
Persatuan Indonesia
Sila Persatuan Indonesia mengandung arti persatuan bangsa yang
mendiami wilayah Indonesia. Persatuan ini didorong untuk mencapai
kehidupan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat.
Sebagaimana arti sila yang lain, sila ini mempunyai sifat yang dinamis yaitu
sifat yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, masing-masing menempati wilayahnya. Demikian pula
manusia yang mendiami kepulauan nusantara ini, lambat-laun berkembang
menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan yang bermukim di wilayah bumi yang
lain menjadi bangsa-bangsa lain seperti misalnya bangsa Malaysia, Jepang,
Prancis, dan sebagainya.
118
Secara khusus pertumbuhan tersebut berkembang menjadi
persatuan bangsa Indonesia, yang tahap-tahapnya seperti berikut:
Kebangkitan Nasional
Kesadaran nasional bangkit pada tahun 1908, dirintis oleh Budi Utomo.
Tokoh-tokohnya berasal dan berbagai suku dan berjuang untuk
mengembangkan berbagai bidang kehidupan secara keseluruhan, baik bidang
ekonomi, politik, sosial budaya maupun bidang-bidang lain. Itulah sebabnya
gerakan itu memiliki sifat nasional.
Sumpah Pemuda
Proses kebangkitan nasional itu berkembang terus dan salah satu
hasilnya adalah Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober
1928 di Jakarta. Bunyi sumpah itu ialah:
a. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah Indonesia.
b. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
c. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa
Indonesia.
Kesadaran sebagai satu bangsa adalah pangkal kesadaran akan harga
diri sebagai bangsa Indonesia yang memiliki dan bersatu dengan wilayah
Indonesia. Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia, antara ketiganya
tidak dapat dipisahkan.
Proklamasi Kemerdekaan RI
Sejarah perjuangan yang panjang akhirnya meledak dalam bentuk
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan itu, bangsa Indonesia
memberitahukan kepada dunia akan kemerdekaannya setelah berjuang lama
dan memakan banyak korban. Pemberitahuan itu berisi tiga hal yaitu:
a. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
b. Bangsa Indonesia mendirikan negara Republik Indonesia.
119
c. Bangsa Indonesia akan mewujudkan kesejahteraan hidup, serta akan
mencapai terselenggaranya perdamaian dunia yang abadi.
Ketiga hal itu tidak lain merupakan wujud dari persatuan Indonesia
yang harus kita pertahankan dan perjuangkan. Apabila dikaji lebih lama hal-
hal yang berhubungan dengan makna persatuan Indonesia itu, terdapat
beberapa prinsip lagi yang harus dikemukakan yaitu:
Prinsip Bhineka Tunggal Ika
Prinsip ini mengharuskan kita untuk mengakui bahwa bangsa
Indonesia, baik segi suku, bahasa, agama, dan lain-lain sungguh sangat
beragam, sangat bhineka. Hal itu mewajibkan kita untuk tetap bersatu
(tunggal ika) sebagai Indonesia. Membina persatuan bangsa ini benar-
benar tugas yang berat tetapi mulia.
Prinsip Nasionalisme Indonesia
Kita mencintai bangsa kita, Indonesia. Itu tidak berarti kita
mengagung-agungkan bangsa sendiri, tidak. Kita tetap mencintai bangsa
kita. Di samping kita itu juga menghargai bangsa-bangsa lain. Mereka
mempunyai hak hidup yang sama seperti Indonesia. Oleh karena itu kita
harus saling menghargai antara semua bangsa. Di dunia yang luas ini,
bangsa Indonesia, merupakan satu bagiannya. Demikian pula bangsa-
bangsa lain.
Prinsip Kebebasan Warga Negara dalam Rangka Persatuan Bangsa
Manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah
bebas.
Kebebasan itu dibatasi oleh keadaannya sendiri. Misalnya
kemampuan jasmani dan roharinya terbatas. Di samping itu juga,
kebebasan dibatasi oleh alam lingkungan yang menjadi sumber
kebutuhannya. Misalnya, kita ingin makan, sangat bergantung pada adanya
makanan. Ada lagi yang membatasi kebebasan yaitu tuntutan masyarakat,
bangsa dan negara di mana kita menjadi warganya, seperti misalnya pasal
30 ayat I Undang-Undang Dasar 1945 yang bunyinya : “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.
120
Demikianlah kita mengakui kebebasan perseorangan, tetapi
kebebasan itu harus teratur dengan baik, artinya bertanggung jawab
kepada kepentingan bersama. Di dalam menuntut hak, kita harus ingat
akan kewajiban.
Prinsip Wawasan Nusantara
Dan seluruh uraian di muka, pada dasarnya dapat dirangkum
menjadi satu dalam bentuk prinsip Wawasan Nusantara. Pokok pengertian
dan Wawasan Nusantara ialah bahwa Indonesia merupakan (1) kesatuan
politik, (2) kesatuan sosial-budaya, (3) kesatuan ekonomi, dan (4) kesatuan
pertahanan dan keamanan.
Demikianlah uraian tentang persatuan Indonesia. Di dalam
persatuan itu terkandung bagian-bagian yang saling bertemu secara serasi
sehingga merupakan kebulatan yang utuh. Sebagaimana sila-sila
sebelumnya, sila Persatuan Indonesia merupakan nilai yang luhur dari
bangsa kita. Karena itu, nilai luhur itu hendaknya menjadi tuntunan dalam
praktek tingkah laku kita sehari-hari.
Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila Persatuan
Indonesia antara lain adalah:
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
c. Cinta tanah air dan bangsa;
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia;
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber
Bhineka Tunggal Ika.
Nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
Dasar mufakat, kerakyatan atau demokrasi menunjukkan bahwa negara
Indonesia menganut paham demokrasi. Paham demokrasi berarti bahwa
kekuasaan tertinggi (kedaulatan) untuk mengatur negara dan rakyat terletak di
tangan seluruh rakyat. Dalam UUD 1945 dinyatakan “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
121
Rakyat” (dalam UUD 1945 sebelum diamandemen). Kerakyatan yang
dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Demokrasi Indonesia seperti yang
dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 adalah demokrasi yang tercantum
dalam Pancasila sebagai sila ke-4 dan dinamakan Demokrasi Pancasila.
Menurut Ketetapan MPR No. II/MPR/ 1988, asas demokrasi di
Indonesia ialah demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-
bidang politik, sosial dan ekonomi, serta yang dalam penyelesaian masalah-
masalah nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan
permusyawaratan untuk mencapai mufakat.
Selanjutnya dalam Ketetapan MPR No. I/MPR/ 1983, ditegaskan
bahwa pengambilan keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin
dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan apabila hal ini tidak
mungkin, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Mufakat dan/atau putusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak
sebagai hasil musyarawah, haruslah bermutu tinggi yang dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan dasar negara
Pancasila dan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
sebagai termaktub dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan Undang
Undang Dasar 1945.
Musyawarah menuju ke arah persatuan dengan mengutamakan ikut
sertanya semua pihak serta berpangkal tolak pada sikap harga-menghargai
setiap pendirian para peserta. Setiap peserta musvawarah mempunyai hak dan
kesempatan yang sama bebas untuk mengemukakan pendapat, melahirkan
kritik yang bersifat membangun tanpa tekanan dari pihak manapun.
Rapat untuk dapat mengambil keputusan, memerlukan quorum; apabila
quorum tidak tercapai, maka rapat ditunda sampai paling banyak 2 (dua) kali
dengan selang waktu paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam.
Apabila setelah dua kali penundaan masih juga quorum belum tercapai
maka:
a. Jika terjadi di dalam Rapat Panipurna permasalahannya menjadi batal.
122
b. Jika terjadi dalam Rapat Badan Pekerja, Komisi dan Panitia Ad Hoc,
pemecahannya diserahkan pada pemimpin.
Setelah dipandang cukup diberikan kesempatan kepada Para anggota
mengemukakan pendapat serta saran sebagai sumbangan pendapat dan
pikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan, maka
pemimpin rapat mengusahakan secara bijaksana agar rapat segera dapat
mengambil putusan. Untuk mencapai apa yang dimaksud, maka pemimpin
rapat ataupun panitia yang diberi tugas untuk itu wajib membuat kesimpulan
dan rumusan/naskah putusan yang mencerminkan pendapat-pendapat yang
hidup dalam rapat.
Keputusan Berdasarkan Mufakat
Hakikat dan musyawarah untuk mufakat dalam kemurniannya adalah
suatu tata ciri khas yang bersumber pada inti paham Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
untuk merumuskan dan/ atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak
rakyat, dengan jalan mengemukakan hikmat kebijaksanaan yang tiada lain
daripada pikiran (ratio) yang sehat yang mengungkapkan dan
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat
sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukan pemerintah negara
terrnaksud dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
pengaruh-pengaruh waktu, oleh semua wakil/utusan yang mencerminkan
penjelmaan seluruh rakyat, untuk mencapai keputusan berdasarkan kebulatan
pendapat (mufakat) yang diiktikadkan untuk di1aksankn secara jujur dan
bertanggungjawab.
Segala keputusan diusahakan dengan cara musyawarah untuk mufakat
di antara semua piliak. Apabila hal tersebut tidak dapat segera terlaksana,
maka pemimpin rapat dapat mengusahakan/berdaya-upaya agar rapat dapat
berhasil mencapai mufakat.
Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah bilamana diambil dalam
rapat dihadiri oleh lebih dan separuh jumlah anggota rapat. Pengambilan
Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak (quorum). Keputusan berdasarkan
suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak
123
mungkin diusahakan karena adanya pendirian dari sebagian peserta
musyawarah yang tidak dapat didekatkan lagi atau karena faktor waktu yang
mendesak.
Dengan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga
negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari
perlunya selalu memperhatikan dan mengutamakan kepentingan negara dan
kepentingan masyarakat.
Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka
pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak
lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama
terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat.
Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat
kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Sila keempat dari
Pancasila berbunyi: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila ini mengandung empat pengertian
pokok yaitu pengertian tentang kerakyatan, hikmat kebijaksanaan,
permusyawaratan dan tentang perwakilan.
Kerakyatan
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yang berarti sekelompok manusia
yang mendiami suatu wilayah tertentu. Kerakyatan berarti suatu prinsip yang
mengakui bahwa kekuasan tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan
disebut juga kedaulatan rakyat, artinya rakyat yang berdaulat, berkuasa. Hal
ini disebut juga demokrasi yang berarti rakyat yang memerintah.
Hikmat Kebijaksanaan
Hikmat kebijaksanaan berarti suatu sikap yang dilandasi dengan
penggunaan pikiran sehat dengan selalu mempertimbangkan kepentingan
persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan rakyat akan dijamin dengan
sadar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik sesuai
dengan hati nurani yang murni. Dengan uraian di atas, maka hasil dan suatu
124
perbuatan atau kebijaksanaan akan baik dan benar karena dihadapi dengan
mempergunakan seluruh daya manusia yang tinggi.
Permusyawaratan
Permusyawaratan. berarti suatu tata cara yang khas Indonesia untuk
merumuskan dan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat
sehingga tercapai keputusan berdasarkan mufakat. Pelaksanaan dan
kebenaran ini, memerlukan semangat mengutamakan kepentingan nasional
dibandingkan dengan kepentingan daerah, golongan, dan pribadi. Hal ini
memerlukan pula itikad yang baik dan ikhlas, dilandasi oleh pikiran yang
sehat serta ditopang oleh kesadaran bahwa kepentingan bangsa dan negara
mengalahkan kepentingan yang lain. Oleh karena itu, diperlukan kesediaan
untuk mengembangkan sebagian pamrih-pamrih tertentu agar kepentingan
nasional dapat terpenuhi. Kemudian dituntut pula tanggung jawab yang tinggi
dan semua pihak untuk melaksanakan semua keputusan yang telah diambil
bersama.
Perwakilan
Perwakilan berarti suatu tata cara untuk mengusahakan ikut sertanya
rakyat mengambil bagian urusan bernegara. Bentuk keikutsertaan itu ialah
badan-badan perwakilan, baik di pusat seperti MPR dan DPR maupun di
daerah yang berwujud DPRD. Keanggotaan badan-badan perwakilan itu
ditentukan melalui suatu pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan
rahasia. Di sinilah diperlukan kedewasaan dan kesadaran warga masyarakat
agar dapat memilih wakil-wakilnya dengan tepat. Hal itu sangat penting agar
kepentingannya dapat terpenuhi.
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat ini mengandung arti bahwa rakyat dalam menjalankan
kekuasaannya, dilakukan melalui perwakilan, jadi tidak langsung. Keputusan-
keputusan yang diambil oleh wakil-wakil itu dilakukan melalui musyawarah
yang dipimpin oleh akal sehat serta penuh rasa tanggung jawab baik kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
125
Hal itu semua sumbernya dapat diperiksa pada Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:
“maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. ..“
Petunjuk-petunjuk yang nyata dan wujud pengamalan sila Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, antara lain adalah:
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat;
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama;
d. Musyawarah untuk mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan;
e. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah;
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur;
g. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam pidato 1 Juni 1945 ditegaskan bahwa prinsip kesejahteraan
adalah prinsip tidak adanya kemiskinan di alam Indonesia Merdeka. Keadilan
sosial adalah sifat masyarakat adil dan makmur kebahagiaan buat semua
orang, tidak ada penghisapan, tidak ada penindasan dan penghinaan;
semuanya bahagia, cukup sandang pangan. Tidak dengan sendirinya kita
dapat mencapai kesejahteraan ini, walau telah ada perwakilan rakyat. Di
negara-negara Eropa dan Amerika telah ada Badan Perwakilan,
Parlementaire Democratie, tetapi justru di sanalah kapitalis merajalela. Hal
ini disebabkan yang dinamakan demokrasi di sana hanyalah demokrasi politik
126
saja, tak ada keadilan sosial, tak ada demokrasi ekonomi. Seorang pemirnpin
Prancis, Jean Jaures menggambarkan tentang demokrasi politik itu sebagai
berikut: Di dalam Demokrasi Parlementer tiap orang boleh memilih, boleh
menjadi anggota parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?
Wakil kaum buruh mempunyai hak politik itu di dalam parlemen, ia
dapat menjatuhkan Menteri; akan tetapi jika hari ini ia berhasil menjatuhkan
Menteri, besok pagi di tempat ia bekerja, di dalam pabrik, ia dapat dilempar
keluar jalan raya, dijadikan penganggur yang tidak mendapat makanan suatu
apapun.
Oleh karena itu dalam Pidato 1 Juni 1945 diusulkan kepada sidang
‘supaya mencari demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi
permusyawaratan yang memberi hidup, yakni demokrasi politik dan ekonomi
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah
lama mengharapkan kedatangan Ratu Adil. Yang dimaksud dengan paham
Ratu Adil; ialah keadilan sosial, rakyat ingin hidup sejahtera, rakyat yang
tadinya nierasa dirinya kurang makan dan kurang pakaian, menciptakan dunia
baru yang di dalamnya ada keadiian, di bawah pimpinan Ratu Adil.
Oleh karena itu jika memang benar-benar kita mengerti, mengingat dan
mencintai rakyat Indonesia, kita harus terima prinsip keadilan sosial, yang
bukan saja persamaan politik, tetapi juga di atas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-
baiknya”.
Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat diwujudkan dalam Bab XIV
UUD 1945 yang berjudul: “Kesejahteraan Sosial” yang terdiri atas pasal 33
dan 34.
Dalam pasal 33 ditegaskan bahwa:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas-asas
kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
127
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Sedangkan dalam pasal 34 ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara. Sila kelima dari Pancasila berbunyi:
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila mi mengandung dua
pengertian pokok yaitu pengertian tentang keadilan sosial dan tentang seluruh
rakyat Indonesia.
Keadilan Sosial
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
segala bidang kehidupan baik material maupun spritual. Artinya keadilan itu
tidak untuk golongan kaya saja tetapi juga untuk si miskin; bukan hanya
untuk para pemimpin juga untuk rakyat yang dipimpin; tidak hanya untuk
orang Jawa tetapi untuk orang Mentawai. Demikian pula yang kita usahakan,
tidak hanya makanan dan pakaian tetapi juga sampai kepada kebutuhan untuk
menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seluruh Rakyat Indonesia
Seluruh rakyat Indonesia berarti setiap orang yang menjadi rakyat
Indonesia baik yang berdiam di wilayah kekuasaan Republik Indonesia
maupun warga negara Indonesia yang berada di negara lain.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila inii secara bulat berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat
perlakuan yang adil dalam bidang hukum, poitik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
pengertian keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain tersirat bahwa
cita-cita bangsa Indonesia ialah untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makrnur, material dan spritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara
kesatuan Republik Indonesia.
Seperti halnya sila-sila yang lain, sila kelima juga merupakan nilai
luhur dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, merupakan tuntutan tingkah
128
laku kita semua. Petunjuk-petunjuk nyata dan wujud pengamalan sila
Keadilan Sosiai bagi Seluruh Rakyat Indonesia antara lain adalah:
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan.
b. Bersikap adil;
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;
d. Menghormati hak-hak orang lain;
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain;
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain;
g. Tidak bersifat boros;
h. Tidak bergaya hidup mewah;
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum;
j. Suka bekerja keras;
k. Menghargai karya orang lain;
l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
129
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
1. Pengertian Ideologi
Filsafat merupakan suatu ajaran nilai atau kebenaran yang dijadikan
keyakinan atau pandangan hidup suatu bangsa. Bagi suatu bangsa, kebenaran ini
dijadikan dasar negara atau ideologi negara.
Setelah kita mengkaji pengertian filsafat dari uraian di atas, selanjutnya marilah
kita kaji pengertian tentang ideo1ogi dan ideologi Pancasila.
Ideologi berasal dan kata ideo artinya: cita-cita dan logy berarti: “pengetahuan,
ilmu dan paham”. Menurut W. White definisi dari ideologi ialah: The sun of
political ideas or doctrines of a distinguishable class or group of people; artinya:
Ideologi ialah soal cita-cita politik atau doktrin atau ajaran dari suatu lapisan
masyarakat atau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan.
Sedangkan Menurut pendapat Harol H. Titus, definisi dari ideologi itu
adalah: A term used for amy group of ideas concerning various political and
economic issues and social philosphies often applied to a systematic scheme of
ideas held by groups or classes; artinya: suatu istilah yang dipergunakan untuk
sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi,
filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang
cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat.
Adapun ideologi negara itu termasuk dalam golongan Ilmu Pengetahuan
Sosial, dan tepatnya dapat digolongkan ke dalam ilmu politik atau Political
Sciences sebagai anak cabangnya.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara dihubungkan dengan fungsinya
sebagai dasar negara, yang merupakan landasan idiil bangsa Indonesia dan negara
Republik Indonesia dapatlah disebut pula sebagai ideologi nasional atau lebih
tepat ideologi negara. Artinya Pancasila merupakan satu ideologi yang dianut oleh
negara atau pemerintah dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, bukan milik atau
monopoli seseorang ataupun sesuatu golongan masyarakat tertentu.
130
2. Makna Ideologi bagi Negara
Berbagai literatur menunjukkan kepada kita bahwa fikiran hidup bernegara
bisa ditata secara hirarkis dari tataran yang paling abstrak dan merupakan
aksioma, sampai pada yang paling konkrit yang bersifat praktek empirik yang
dapat diuji. Hal ini penting untuk kita kaji sejenak, agar kita bisa menempatkan di
mana posisi ideologi.
Ada berbagai pilihan dalam menata fikiran secara hirarkis itu. Salah satu
pilihan, yang cukup sederhana, adalah jika kita menatanya secara berurutan:
falsafah, ideologi, politik dan strategi. Falsafah dan ideologi termasuk dalam
tataran nilai dasar, sedangkan politik dan strategi termasuk dalam tataran nilai
instrumental.
Falsafah merupakan hasil pemikiran manusia yang paling tinggi, yang
timbul dari upaya yang tidak kenal henti mencari kebenaran yang paling dasar.
Kebenaran itu dicari karena kecintaan kepada kebenaran itu sendiri. Manusia
menemukan berbagai kebenaran abadi melalui upaya berfilsafat ini, seperti
kejujuran, kebahagiaan, kesetiakawanan ataupun cintakasih. Berdasarkan hakikat
kebenaran tertinggi yang diperoleh, disusunlah sistem filsafat yang sesuai.
Falsafah berbeda dari agama, yang nilai-nilai tertingginya tidak diperoleh melalui
upaya refleksi kritis manusia, tetapi dari keimanan terhadap wahyu supranatural.
Falsafah dapat mendukung agama. Ideologi adalah berada satu tingkat lebih
rendah dan falsafah. Berbeda dengan falsafah, yang digerakkan oleh kecintaan
kepada kebenaran, dan sering tanpa pamrih apapun juga, maka ideologi
digerakkan oleh tekad untuk mengubah keadaan yang tidak diinginkan, menuju ke
arah keadaan yang diinginkan. Dalam ideologi sudah ada suatu komitmen, sudah
terkandung wawasan masa depan yang dikehendaki dan hendak diwujudkan
dalam kenyataan.
Jika falsafah merupakan kegemaran dari sebagian kecil orang saja, karena
memang tidak semua orang mempunyai kecenderungan pribadi mencari
kebenaran tertinggi itu, maka ideologi diminati oleh lebih banyak manusia.
Menurut Edward Shils, salah seorang pakar mengenai ideologi ini, jika manusia
sudah mencapai suatu taraf perkembangan intelektual tertentu, maka
kecenderungan menyusun ideologi ini merupakan suatu ciri dasar
131
kemanusiaannya.Hal ini ada benarnya, karena manusia adalah makhluk yang
berfikir, yang selalu bertanya: mengapa? Dengan lain perkataan, semakin cerdas
dan semakin terdidik warga masyarakat, semakin meningkat kebutuhannya akan
wawasan ideologis ini.
Oleh karena ideologi merupakan wawasan yang hendak diwujudkan, maka
ideologi selalu berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai
falsafah yang mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang
menangani dunia nyata yang hendak diubah.
Menurut Frans Magnis Suseno ideologi sebagai suatu sistem pemikiran
dapat dibedakan kepada ideologi tertutup dan ideologi terbuka.Ideologi tertutup
ciri-cirinya sebagai berikut : Merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk
mengubah dan memperbarui masyarakat.Atas nama ideologi dibenarkan
pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat.Isinya bukan
hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan
kongkrit dan operasional yang keras yang diajukan dengan mutlak.Ideologi
terbuka mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya
tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya
masyarakat itu sendiri.Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang
melainkah hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut.Nilai-nilai itu
sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Politik, yang juga bisa kita terjemahkan sebagai kebijaksanaan, menyangkut
asas serta dasar bagaimana mewujudkan ideologi itu ke dalam kenyataan,
khususnya dengan membangun kekuatan yang diperlukan, serta untuk
mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan.
Tingkat terakhir, strategi menyangkut upaya untuk secara berencana
mencapai tujuan yang ditetapkan ideologi ke dalam kenyataan, yang berubah
secara terus-menerus. Strategilah yang menjembatani falsafah-ideologi dan
kebijaksanaan, yang sifatnya abstrak, dengan kenyataan konkrit.
Dalam masyarakat yang stabil, empat tataran fikir manusia ini berhubungan secara
dinamis dan tersusun hirarkis. Dari falsafah dan ideologi diperoleh apa yang kita
sebut sebagai stabilitas, sedang dari kebijaksanaan dan strategi kita peroleh yang
kita sebut sebagai dinamika. Edward Shils, mengungkapkan adanya keuntungan
132
tatanan berfikir demikian, yaitu adanya “a constant process of orderly
selfrevision’, atau suatu proses berkesinambungan dan upaya memperbaharui diri
secara tertib.
Selanjutnya, menurut Edward Shils, ada lima syarat teoretikal yang harus
dipenuhi, jika tatanan demikian akan kita wujudkan, yaitu:
a. Adanya taraf konsensus yang tinggi mengenai nilai-nilai sosial bersama
yang hendak diwujudkan itu. Tanpa konsensus jelas tidak mungkin ada
ketertiban yang mantap.
b. Pembedaan yang jelas antara nilai dan norma yang melaksanakannya, agar
supaya pelanggaran norma dalam kenyataan tidak sekaligus dianggap
sebagai pelanggaran nilai, yang mendasarinya.
c. Relatif tidak adanya perpecahan dan kesenjangan di antara golongan yang
ada dalam masyarakat.
d. Adanya stabilitas pola kelembagaan untuk proses legislatif, yang
menjabarkan norma-norma itu dalam peraturan perundangan yang mengikat
seluruh warga masyarakat secara adil.
e. Akhirnya, adanya stabilitas pola kelembagaan untuk menampilkan keluhan
serta menyelesaikan masalah yang melatar belakanginya.
3. Perbandingan Ideologi Pancasila dengan Ideologi Lain
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada
hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau permikiran
seseorang atau sekelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia,
namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta
nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum
membentuk negara. Dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi
(bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia
sendiri, sehingga bangsa Indonesia merupakan kausa materialis (asal bahan)
Pancasila.
Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh
para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan
ideologi bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai
133
ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya
bangsa, dan bukan mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain.
Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan serta kepercayaan-kepercayaan
yang bersifat sistematis yang memberikan arah dan menyangkut tingkah laku
sekelompok manusia tertentu, dalam pelbagai bidang kehidupan. Hal ini
menyangkut berbagai bidang kehidupan yaitu:
a. Bidang politik, termasuk di dalamnya bidang hukum, pertahanan dan
keamanan.
b. Bidang sosial
c. Bidang kebudayaan
d. Bidang keagamaan.
Maka ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau citacita yang
menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan
bangsa yang bersangkutan, pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang
antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
a. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan
kenegaraan.
b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia,
pandangan hidup, pegangan hidup yang harus dipelihara dikembangkan,
diamalkan, dilestarikan kepada generasi penerus bangsa, diperjuangkan
dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Namun hendaklah diketahui bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara adalah diangkat dan pandangan hidup masyarakat Indonesia,
kemudian menjadi pandangan hidup bangsa dan pada gilirannya menjadi
suatu dasar filsafat negara yang sekaligus sebagai suatu ideologi bangsa dan
negara. Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tumbuh dan
berkembang melalui dan dalam pandangan hidup masyarakat dan bangsa
Indonesia sendiri dan melalui wakil-wakil bangsa dalam lembaga pembentuk
negara dengan suatu kesepakatan serta perjanjian yang luhur diangkat
menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu ideologi
Pancasila berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa itu sendiri
134
sehingga antara Pancasila dengan bangsa Indonesia merupakan suatu
kesatuan yang mutlak karena menyangkut kehidupan bangsa. Sebagai suatu
ideologi, maka Pancasila merupakan sumber cita-cita, harapan nilai-nilai serta
norma-norma yang dianggap baik, sehingga ideologi Pancasila pada
hakikatnya demi kesejahteraan hidup bangsa Indonesia.
Dasar yuridis formal ideologi Pancasila tersimpul dalam Pembukaan UUD
1945, dalam suatu kalimat “…. dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, dst “. pada hakikatnya memiliki makna dasar filsafat negara yang sekaligus
sebagai asas kerokhanian negara dan konsekuensinya sebagai ideologi bangsa dan
negara Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara menyatakan suatu cita-cita
yang ingin dicapai sebagai titik tekanannya dan mencakup nilai-nilai yang
menjadi dasar dan pedoman negara dan kehidupannya. Pancasila sebagai ideologi
negara memiliki konsekuensi bahwa segala sesuatu tujuan dalam bidang
pemerintah ataupun semua yang berhubungan dengan hidup kenegaraan harus
dilandasi dalam hal titik tolak pelaksanaannya, dibatasi dalam gerak
pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya yaitu dengan asas
kerokhanian Pancasila. Dengan menyatakan cita-cita yang ingin dicapai ini
sumbernya adalah pada sila kelima yaitu untuk mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat yang dengan sendirinya diliputi dan dijiwai oleh keempat sila
lainnya.
Selanjutnya dalam rangka penerapan ideologi di bidang kenegaraan adalah
politik, karena ideologi merupakan suatu asas kerokhanian dan bersifat asasi,
sedangkan politik adalah suatu kebijaksanaan yaitu pelaksanaan ideologi selaras
dengan keadaan, kondisi, waktu serta tempat. Oleh karena itu dengan bersumber
pada ideologi Pancasila dapat dikembangkan berbagai macam kebijaksanaan
bidang politik..
3.1 Liberalisme
Teori individualistik mengajarkan bahwa negara adalah masyarakat
hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh perorangan
dalam masyarakat itu (contract social).
135
Teori individualistik ini diterapkan di negara-negara Eropa Barat dan
Amerika. Teori individualistik dipelopori oleh Thomas Hobbes (1988-1978),
John Locke (1632-1704), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Herbert
Spencer (1820-1903) dan Harold Joseph Laski (1893-1950). Susunan negara
yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropa Barat dan Amerika.
3.2 Sosialisme
Teori golongan/teori kelas dipelopori Karl Marx (1818-1883), Friedrich
Engels (1820-1895) dan Lenin (1870-1924). Teori golongan menganggap
bahwa negara adalah alat dari suatu golongan/kelas untuk menindas kelas
yang lain. Kelas/golongan ekonomi kuat menindas golongan/ekonomi lemah.
Golongan borjuis menindas golongan proletar (kaum buruh). Marx
menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan
negara agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum borjuis. Teori ini
diterapkan di Negara-negara komunis dalam bentuk diktator proletariat.
4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun
bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi
Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi
serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi
Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya,
namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki
kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang
senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat.
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar yang
bersifat tetap dan tidak berubah sehingga tidak langsung bersifat operasional, oleh
karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplitasi dilakukan dengan
menghadapkannya pada berbagai masalah yang selalu silih berganti melalui
refleksi yang rasional sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan
demikian penjabaran ideologi dilaksanakan dengan interpretasi yang kritis dan
136
rasional. Sebagai suatu contoh keterbukaan ideologi Pancasila antara lain dalam
kaitannya dengan kebebasan berserikat berkumpul sekarang terdapat 48 partai
politik, dalam kaitan dengan ekonomi (misalnya ekonomi kerakyatan), demikian
pula dalarn kaitannya dengan pendidikan, hukum, kebudayaan, Iptek, hankam dan
bidang lainnya.
Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang
terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai
berikut:
Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai dasar tersebut adalah
merupakan essensi dari sila-sila Pancasila yang sifatnya universal, sehingga dalam
nilai dasar tersebut terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan
benar. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
sehingga oleh karena Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila
maka Pembukaan UUI) 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan
tertib hukum tertinggi, sebagai sumber hukum positif sehingga dalam negara
memiliki kedudukan sebagai ‘Staatsfundamentalnorm’ atau Pokok Kaidah Negara
yang Fundamental yang terlekat pada kelangsungan hidup negara. Sebagai
ideologi terbuka nilai dasar inilah yang bersifat tetap dan oleh karena Pembukaan
UUD 1945 juga memuat sifat yang tetap dan terlekat pada kelangsungan hidup
negara, sehingga mengubah Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai dasar
ideologi Pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran negara. Adapun nilai
dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang di
dalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara negara, hubungan antar
lembaga penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya.
Nilai Instrumental yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran
serta lembaga pelaksananya. Nilai instrumental ini merupakan eksplisitasi,
penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian dalam
pelaksanaan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misainva GBHN yang lima tahun
sekali senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman serta aspirasi
masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai lembaga pelaksana
dan lain sebagainya.
137
Nilai Praktis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu
realisasi pengamalan yang bersifat nyata, dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pengamalan praksis inilah maka
akan nampak apakah penjabaran serta eksplisitasi nilai-nilai dasar ideologi
Pancasila itu sesuai atau tidak dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan
dan teknologi serta dinamika masyarakat.
Suatu ideologi selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa
cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggap baik, juga harus
memiliki norma yang jelas karena ideologi harus mampu direalisasikan dalam
kehidupan praksis yang merupakan suatu pengalaman nyata. Oleh karena itu
Pancasila sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka memiliki tiga dimensi
yaitu:
1) Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut
bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung
dalam Pancasila). . Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila
mampu memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi
para pendukungnya untuk berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan .
2) Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu
dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam
norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi
dalam negara Indonesia serta merupakan Staatsfundamentalnorm (Pokok
Kaidah negara yang Fundamental). Dalam pengertian ini ideologi Pancasila
agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki
norma yang jelas .
3) Dimensi Relistis, yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila
selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila harus
mampu dijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (kongkrit)
138
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan negara.
Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat ‘utopis’
yang hanya berisi ide-ide yang bersifat mengawang, melainkan suatu
ideologi yang bersifat ‘realistis’ artinya mampu dijabarkan dalam segala
aspek kehidupan nyata.
Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi terbuka,
maka sifat ideologi Pancasila tidak bersifat ‘utopis’ yaitu hanya merupakan sistem
ide-ide belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Demikian pula
ideologi Pancasila bukanlah merupakan suatu ‘doktrin’ belaka yang bersifat
tertutup yang merupakan norma-norma yang beku, melainkan di samping
memiliki idealisme Pancasila juga bersifat nyata dan dinamis. Akhirnya Pancasila
juga bukan merupakan suatu ideologi yang ‘pragmatis yang hanya menekankan
segi praktis belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka ideologi Pancasila yang
bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar (hakikat sila-sila Pancasila)
yang bersifat universal dan tetap, adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa
dieksplisitkan secara dinamis, terbuka dan senantiasa mengikuti perkembangan
zaman serta dinamika aspirasi para pendukungnya.
139
BAB VIII
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Pengertian Paradigma
Secara terminologis yang dimaksud dengan pengertian Paradigma berasal
dari Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific
Revolution (1970: 94), yang inti sarinya bahwa paradigma adalah suatu asumsi-
asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (sumber nilai) sehingga merupakan
suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan. Sehingga
dengan demikian paradigrna merupakan suatu dasar yang fundamental (suatu
dasar ontologis) dari suatu ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat,
ciri serta karakter ilmu itu sendiri. Oleh karena itu dalam pengertian yang lebih
populer yang digunakan dalam berbagai bidang termasuk dalam hukum, politik,
ekonomi, budaya serta bidang-bidang lainnya yang dimaksud dengan pengertian
Paradigma yaitu suatu sumber nilai, kerangka berfikir, orientasi dasar, sumber
asas serta dasar arah dan tujuan dan pengembangan, perubahan serta proses suatu
bidang tertentu, termasuk proses reformasi.
Secara historis telah kita pahami bersama bahwa para pendiri negara telah
menentukan suatu asas, sumber nilai serta sumber norma yang fundamental dari
negara Indonesia yaitu Pancasila, yang bersumber dari apa yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai yang merupakan pandangan hidup
sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan adalah ada secara objektif dan melekat pada bangsa
Indonesia yang merupakan pandangan dalam kehidupan bangsa sehari-hari.Maka
dalam kehidupan politik kenegaraan dewasa ini yang sedang melakukan reformasi
bukan berarti kita akan mengubah cita-cita, dasar nilai serta pandangan hidup
bangsa melainkan melakukan perubahan dengan menata kembali dalam suatu
platform yang bersumber pada nilai-nilai dan sila-sila tersebut dalam segala
bidang , antara lain dalam bidang hukum, politik, ekonomi, serta bidang-bidang
lainnya.
140
Reformasi dengan melakükan perubahan dalam berbagai bidang yang sering
diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan perubahan
terhadap sumbernya itu sendiri. Mungkinkah reformasi total dewasa ini akan
mengubah kehidupan bangsa Indonesia menjadi tidak berketuhanan, tidak
berkemanusiaan, tidak berpersatuan, tidak berkerakyatan serta tidak berkeadilan,
dan kiranya hal itu tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu justru sebaliknya
reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan
bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma
Reformasi Total tersebut.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
2.1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap
pembaharuan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses
reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundangan-undangan.
Agenda yang lebih kongkret yang diperjuangkan oleh para pelaku reformasi
yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan
pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya
kekuatan Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah
selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun
penegakkannya dirasakan semakin menjauh dari nilái-nilai kemanusiaan,
kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu
menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya
bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintahan.
Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum akan sangat menentukan
terhadap berbagai bidang lainnya misalnya: politik, ekonomi maka bangsa
Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang
mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa
dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja
melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan
141
dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang
merupakan dasar cita-cita reformasi.
Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang
merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut
“Staatsfundamentalnorm”. Dalam negara Indonesia “Staatsfundamentalnorm”
tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-
cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan
perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka
Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya
dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, atau Pancasila harus
merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi-materi dalam
suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan
diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan Iptek serta
perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai
Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum
itu tidak berada pada situasi vacum.
Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan
masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam
pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus tetap
sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum Pancasila itu
dapat dipandang sebagai “Cita-cita hukum” yang berkedudukan sebagai
Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum
Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun sebagai regulatif.
Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum
yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar
yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan nilainya
sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya
Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang
adil ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan
142
pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia
termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum
disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di
Indonesia .
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian ;
(1) Sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata
cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya
Undang-undang, Permen, Perda; dan
(2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan
materi atau isi suatu norma hukum . Pancasila yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral pada haklkatnya
merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan
demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan
Indonesia yang tersusun secara hierarkis.
Dalam susunan yang hierarkis ini Pancasila menjamin keserasian atau
tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang-undangan baik
secara vertikal maupun horizontal. ini mengandung konsekuensi jikalau terjadi
ketidak serasian atau pertentangan satu norma hukum dengan norma hukum
lainnya yang secara hierarkis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai
sumbernya, berarti terjadi inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan
ketidaklegalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang lebih rendah itu
batal demi hukum .
Selain sumber nilai yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan
pembaharuan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada
dalam masyarakat terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang
dikehendakinya. Menurut Johan Galtung suatu perubahn serta pengembangan
secara ilmiah harus mempertimbangkan tiga unsur (1) nilai, (2) teori (norma),
dan (3) fakta atau realitas empiris .
Oleh karena itu dalam reformasi hukum dewasa ini selain Pancasila
sebagai paradigma pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan
sumber nilai, terdapat unsur pokok yang justru tidak kalah pentingnya yaitu
kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat
143
bersifat dinamis baik menyangkut aspirasinya, kemajuan peradaban serta
kemajuan Iptek maka perubahan dan pembaharuan hukum harus mampu
mengakomodasikannya dalam norma-norma hukum dengan sendirinya selama
hal tersebut tidak bertentangan dengan nilai hakiki yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila. Dengan demikin maka upaya untuk reformasi hukum akan
benar-benar mampu mengantarkan manusia ketingkatan harkat dan martabat
yang lebih tinggi sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab.
2.2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasl Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah
sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu Pembukaan
UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “. . . . maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjjaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Jikalau dikaitkan dengan makna alinea II tentang cita-cita negara dan
kemerdekaan yaitu demokrasi (bebas, bersatu, berdaulat, adil) dan (makmur)
kemakmuran dasar politik ini menunjukkan kepada kita bahwa bentuk dan
bangunan kehidupan masyarakat yang bersatu (sila III), demokrasi (sila 1V),
berkeadilan dan berkemakmuran (sila V) serta negara yang memiliki dasar-
dasar moral Ketuhanan dan kemanusiaan.
Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila
sebagai fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara
kita dalam kenyataannya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian
berdasarkan nilai-nilai tersebut. Dalam realisasinya baik pada masa orde lama
maupun masa orde baru, negara mengarah pada praktek otoritarianisme yang
mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada Presiden.
Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabarkan dalam
Pasal-pasal UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Kedaulatan adalah
144
di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya dalam Majelis Permusyawaratan
Rakyat”.
Pasal 2 ayat (2) menyatakan,
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dan daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.
Pasal 5 ayat (1) menyatakan,
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 6 ayat (2) menyatakan,
“Presiden dan Wakil Presiden dipilIh oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara terbanyak”.
Rangkaian keempat pasal tersebut terkesan sangat unik, karena
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat
merupakan lembaga tertinggi negara untuk menjalankan kedaulatan rakyat,
serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) berkuasa memilhi Presiden. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) susunan dan kedudukannya justru diatur dengan
undang-undang yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan
Rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat suatu pertanyaan
mendasar berkaitan dengan mekanisme demokrasi yaitu bagaimana MPR
sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kekuasaan tertinggi, namun
ditentukan oleh Presiden bersama-sama dengan DPR yang kekuasaannya di
bawah MPR. Hal ini bilamana dipahami secara harfiah akan menimbulkan
interpretasi negatif. Oleh karena itu harus dipahami berdasarkan semangat dari
UUD 1945 yang merupakan esensi pasal-pasal itu:
a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
b. Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
145
d. Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri
maupun bersama-sama lembaga lain, kekuatannya berada di bawah
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau produk-produknya.
Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai
esensial yang terkandung dalam Pancasila maka kedaulatan tertinggi negara
adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan
negara. Oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijak dalam
reformasi politik.
Reformasi atas Sistem Politik
Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang
Politik yang berlaku selama Orde Baru yaitu:
a. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU No.
16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2/1985).
b. UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No. 3/ 1975, jo. UU
No. 3/ 1985).
c. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No.4/1975. UU
No. 2/1980, dan UU No. 1/1985).
Oleh karena itu untuk melakukan reformasi atas sistem politik harus
juga melalui reformasi pada UndangUndang yang mengatur sistem politik
tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan
sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
Susunan Keanggotaan MPR
Target yang sangat vital dalam proses reformasi dewasa ini adalah
menyangkut penjabaran sistem kekuasaan rakyat dalam sistem politik
Indonesia. Walaupun gelombang protes dari masyarakat yang merupakan
aspirasi murni dari rakyat untuk melakukan perubahan terhadap susunan
keanggotaan DPR, MPR tidak mungkin dilakukan hanya dengan sekedar
copot dan diganti dengan orang lain yang dianggap aspiratif tanpa melalul
dasar-dasar aturan normatif dan konstitusional. Oleh karena itu untuk
melakukan perubahan terhadap susunan keanggotan MPR, DPR maka terlebih
dahulu harus melakukan reformasi terhadap peraturan perundangan yang
merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR, DPR.
146
Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD pada masa Orde Baru termuat dalam UU No. 2/1985 sebagai berikut:
a. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPR,
ditambah dengan anggota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai
kelompok yang lain” dalam jumlah yang sama.
b. Utusan golongan diangkat oleh Presiden, sedangkan utusan daerah
ditetapkan oleh DPRD Tingkat I yang didalamnya harus termasuk
Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I.
c. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD Tingkat I dan
Tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui
Pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh
Presiden.
d. Kata “ditambah” seperti termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR
Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang notabene diangkat dan sekedar
sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota MPR
yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dan
fraksi ABRI yang juga tidak dipilih melalui Pemilu.
Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-
Undang Politik No. 2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak
mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat
sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945.
Berdasarkan kenyataan susunan keanggotaan MPR, DPR dan DPRD
tersebut di atas maka rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah
sistem politik tersebut melalui Sidang Istimewa MPR tahun 1998, yang
kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Politik Tahun 1999. Undang-
Undang No. 4 Tahun 1999 yang mengatur tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD.
Perubahan yang telah dilakukan antara lain Pasal 2 ayat (2) yang
menyatakan bahwa jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang. Anggota
DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang. Utusan Daerah sebanyak 135
147
orang, yaitu 5 orang dan setiap Daerah Tingkat I. Utusan Golongan
sebanyak 65 orang.
Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya adalah pada Pasal 2,
ayat (3) yaitu Utusan daerah dipilih oleh DPR, dan sebagaimana diketahui
bahwa DPR adalah merupakan hasil Pemilu jadi bersifat demokratis. Kalau
pada UU No. 2/1985 dipilih dan diangkat oleh Presiden.
Demikian pula perubahan atas penentuan Utusan Golongan tertuang
dalam Pasal 2, ayat (6) bahwa Utusan Golongan diusulkan oleh golongan
masing-masing kepada DPR untuk ditetapkan. Adapun jenis dan jumlah wakil
dan masing-masing golongan ditetapkan oleh DPR Pasal 2, ayat (5).
Susunan Keanggotaan DPR
Perubahan atas isi keanggotaan DPR tertuang dalam
Undang-Undang No. 4 Pasal 11 sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas:
a. Anggota partai politik hasil Permilu
b. Anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 11 ayat (3) menjelaskan:
a. Anggota partai politik hasil Pemilu sebanyak 462 orang.
b. Anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
Berdasarkan Sidang Istimewa MPR tahun 1998, untuk keanggotaan
ABRI akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan dan hasil
musyawarah saat itu masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi
demi persatuan dan kesatuan bangsa.Saat ini tidak ada lagi anggota aktif
ABRI di DPR.maupun DPRD.
Susunan Keanggotn DPRD Tingkat I
Reformasi atas Undang-Undang Politik yang mengatur Susunan
Keanggotaan DPRD Tingkat I, tertuang dalam Undang-Undang Politik No. 4
Tahun 1999, sebagai berikut:
Pasal 18 ayat (1) bahwa pengisian anggota DPRD I dilakukan melalui
Pemilu dan pengangkatan.
Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas:
a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.
148
b. anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD I
ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100
orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Demikianlah kiranya upaya untuk mengembalikan tatanan demokrasi
pada dasar nilai kedaulatan di tangan rakyat dituangkan dalam Undang-
Undang Politik Tahun 1999.
Susunan Keanggotaan DPRD II
Reformasi atas susunan keanggotaan DPRD II tertuang dalam Undang-
Undang Politik No. 4 Tahun 1999, sebagai berikut:
Pasal 25 ayat (1) menyatakan : pengisian anggota DPRD II dilakukan
berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan.
Pasal 25 ayat (2) menyatakan DPRD II terdiri atas:
a. anggota partai politik hasil Pemilihan Umum.
b. anggota ABRI yang diangkat.
Pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa jumlah anggota DPRD II
ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45
orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.
Dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen 4 kali,
maka telah dilakukan perubahan terhadap undang-undang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratn Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 yang kemudian dirubah lagi dengan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 pada tanggal 29 Agustus 2009.Dalam
undang-undang ini MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum.Dimasa orde baru lembaga DPD ini belum
dikenal.Pada masa itu anggota “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan
daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang” ( pasal 2 ayat 2 ).
149
Setelah 4 kali amandemen UUD 1945, maka anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dipilih langsung oleh rakyat (pasal 22E).Demikian
pula Gubernur, Bupati dan Walikota juga dipilih langsung oleh rakyat pada
Pemilukada.Pada pasal 18 (4), berbunyi : “ Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan
kota dipilih secara demokratis.
Demikianlah perubahan atas Undang-undang tentang Susunan
Keanggotaan MPR, DPR, DPD dan DPRD agar benar-benar mencerminkan
nilai Kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila yang
merupakan paradigma demokrasi.
2.3 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Tidak terwujudnya pelembagaan proses politik yang demokratis,
mengakibatkan hubungan pribadi merupakan mekanisme utama dalam hubungan
sosial, politik dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan atas sistem hubungan
kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi tumbuh
berkembangnya hubungan antara penguasa politik dengan pengusaha, bahkan
antara birokrat dengan pengusaha . Terlebih lagi karena lemahnya sistem kontrol
kelembagaan berkembang pula penguasa sekaligus sebagai pengusaha, yang
didasarkan atas birokrasi dan wibawa keluarga penguasa. Kondisi yang demikian
ini jelas tidak mendasarkan atas nilai-nilai Pancasila yang meletakkan
kemakmuran pada paradigma demi kesejahteraan seluruh bangsa. Bangsa sebagai
unsur pokok serta subjek dalam negara yang merupakan penjelmaan sifat kodrat
manusia individu makhluk sosial, adalah sebagai satu keluarga bangsa. Oleh
karena itu perubahan dan pengembangan ekonomi harus diletakkan pada
peningkatan harkat martabat serta kesejahteraan seluruh bangsa sebagai satu
keluarga. Sistem ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat menurut Moh.
Hatta, adalah rnerupakan pilar (soko guru) ekonomi Indonesia.
Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokratik
otoritarian” yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam
membuat keputusan-keputusan nasional hampir sepenuhnya berada di tangan
penguasa bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat. Adapun
150
kelompok pengusaha oligopolistik didukung oleh pemerintah bekerjasama dengan
masyarakat bisnis internasional, dan terlebih lagi kuatnya pengaruh otoritas
kekuasaan keluarga pejabat negara termasuk Presiden .
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya
mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan
bersama seluruh bangsa, dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan
sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada era ekonomi global dewasa ini
dalam kenyataannya tidak mampu bertahan. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia
dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk, sehingga
kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat.
Dalam kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada
masa krisis dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis
pada usaha rakyat. Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada
kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang yaitu
oleh sekelompok konglomerat, sedangkan bilamana mengalami kebangkrutan
seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi
pengusaha pada masa krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak
membantu pengusaha yang sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang
berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang
mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut: (1)
Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan
program “social safety net” yang populer dengan program Jaringan Pengaman
Sosial (JPS). Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah, maka pemerintah harus secara konsisten menghapuskan KKN, serta
mengadili bagi oknum pemerintah masa orde baru yang melakukan pelanggaran.
Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha. (2) Program
rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan perlindungan
hukum serta Undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu pembenahan dan
penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan
merupakan jantung perekonomian. (3) Transformasi struktur, yaitu guna
memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk mendorong
151
percepatan perubahan struktural (structural transformation). Transformasi
struktural ini meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi
modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem
ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada kemandirian, dari orientasi dalam
negeri ke orientasi ekspor . Dengan sendirinya intervensi birokrat pemerintahan
yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi
harus segera diakhiri. Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya
terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan
dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat mengurangi kesenjangan
ekonomi.
152
DAFTAR PUSTAKA
BP-7 Pusat. 1993. Pancasila Sebagai Ideologi.
Dirjen Dikti. 1995. UUD 1945, P4, GBHN.
El- Muhtaj Majda 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia :
Kencana.
Kaelan. 1999. Filsafat Pancasila. Penerbit: Paradigma.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Penerbit:Paradigma.
Kansil, 1984. Pancasila dan UUD 1945. Penerbit : Pradnya Paramita.
Notonagoro, 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh.
Sekretariat Negara R.I 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-UsahaPersiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ).
Usman Oetojo, 1991. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dalam Berbagai BidangKehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara : BP-7 Pusat.
Wijaya, A.W. 1985. Pedoman Pokok dan Materi Perkuliahan Pancasila PadaPerguruan Tinggi. Penerbit: Akademi Presindo.
...................... 1989. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan UUD Negara IndonesiaDalam Lintasan Sejarah Dua Dasawarsa. Penerbit C.V. Fajar Agung.
Winarno, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan : Sinar Grafika Offset.
Zaelani Sukaya Endang dkk, 2002. Pendidikan Kewarganegaraan.PenerbitParadigma.
BIOGRAFI PENULIS
Hasan Basri Nst, lahir di Kotonopan tanggal 28September 1949, dari seorang Ibu bernama Hj. SitiMaryam Lubis dan ayah H. Baginda Mangaraja MuliaNasution. Menyelesaikan Pendidikan Dasar danMenengah , SR, SMP dan SMA di Panyabungan.Tahun 1969 melanjutkan pendidikan di FakultasPeternakan Universitas Andalas, Padang. Semasamahasiswa aktif pada berbagai kegiatankemahasiswaan dan kemasyarakatan. Di antaranya
tahun 1971 – 1972 menjadi Ketua Senat Mahasiswa Faterna Unand. Tahun 1973 -1974 Ketua I Dewan Mahasiswa Unand.Tahun 1974 – 1978 menjadi Ketua KNPISumatera Barat. Tahun 1977 – 1992 menjadi Anggota DPRD Tk I SumateraBarat. Menyelesaikan pendidikan sarjana tahun 1980. Diangkat sebagai dosenKopertis Wilayah X pada tahun 1985. Mengajar mata kuliah Kewiraan/Pendidikan Kewarganegaraan setelah mengikuti Kursus Dosen Kewiraan yangdilaksanakan Lemhanas tahun 1994/ 1995. Juga mengajar mata kuliah Pancasilasetelah mengikuti Kursus Dosen Pancasila yang dilaksanakan Dikti Tahun 1995.Di samping mata kuliah tersebut di atas juga mengajar mata kuliah PendidikanKoperasi dan mata kuliah Klimatologi di Fakultas Perikanan Universitas BungHatta. Menulis beberapa diktat, hasil penelitian dan lain-lain. Di tengah-tengahmasyarakat aktif berkoperasi, membangun sarana ibadah, perkumpulan sosial dansebagainya.Bersama dengan istri melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islamyang kelima tahun 2010.