Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Peredaran Rokok Ilegal Di Kota
Tanjungpinang
Oleh:
Riska Syafi Ismawati1, Irman, S.H.,M.H
2, Ayu Efritadewi, S.H.,M.H
3
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Peredaran rokok ilegal semakin marak di Indonesia khususnya di Kota Tanjungpinang.
Peredaran rokok ilegal ini mengalami kenaikin yang signifikan di tahun 2018, rokok ini
memiliki nilai jual yang lebih rendah dan meningkatkan daya beli yang tinggi di
masyarakat. Peredaran rokok ilegal dikatakan sebagai suatu pelanggaran karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sangat
berpotensi merugikan negara. Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah
bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap peredaran rokok ilegal di Kota
Tanjungpinang. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh instansi yang
berwenang terhadap pelanggaran peredaran rokok ilegal tersebut. Metode
penelitian ini menggunakan metode normatif empiris dengan menggunakan
analisis data yang berbentuk kualitatif. Pada dasarnya peredaran rokok ilegal di
Kota Tanjungpinang terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
rokok-rokok yang tidak boleh diperjualbelikan di kawasan yang bukan merupakan
kawasan bebas (FTZ) di Kota Tanjungpinang bahkan sebagian besar dari
masyarakat Kota Tanjungpinang khususnya pedagang rokok tidak tau kawasan
yang termasuk kawasan bebas (FTZ) di Kota Tanjungpinang, padahal peraturan
perundang-undangan terkait cukai dan kepabeanan secara tegas mengatur sanksi
pidana dan sanksi administrasi bagi pelanggaran peredaran rokok ilegal tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah penegakan hukum
pidana terhadap peredaran rokok ilegal di Kota Tanjungpinang belum efektif
karena rokok ilegal tersebut masih beredar dan sangat mudah didapati di Kota
Tanjungpinang.
Kata Kunci: Penegakan Hukum Pidana, Peredaran Rokok Ilegal.
2
PENDAHULUAN
Industri rokok di Indonesia telah mempengaruhi dampak perekonomian
yang tidak kecil di tengah masyarakat. Sejarah panjang industri rokok sejak
zaman penjajahan telah membuat industri ini bertahan dan produknya beredar
cukup merata di Indonesia. Peredaran sendiri dapat diartikan sebagai penyebaran
suatu objek ke beberapa tempat. Peredaran rokok semakin marak di Indonesia
terutama rokok ilegal, rokok ini memiliki nilai jual yang lebih rendah dan
meningkatkan daya beli yang tinggi di masyarakat.
Peredaran rokok ilegal di Kota Tanjungpinang pada tiga tahun terakhir ini
memiliki angka yang cukup tinggi dan mengalami peningkatan yang cukup
signifikan serta potensi kerugian negara mengalami peningkatan ditiap tahunnya.
Pada tahun 2016 penangkapan rokok ilegal berjumlah 1.363.232 batang rokok
yang kemudian pada tahun 2017 jumlah tangkapan mengalami sedikit penurunan
yaitu 811.029 batang rokok namun potensi kerugian negara mengalami
peningkatan yakni Rp. 442.601.200,- dan di tahun 2018 jumlah tangkapan rokok
ilegal mengalami peningkatan yang cuku jauh yaitu 5.087.544 batang rokok.1
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 Tentang Tata
Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Dan
Pembebasan Cukai menegaskan sanksi terhadap pelanggaran peredaran rokok
khusus kawasan bebas (FTZ) tersebut yang dijelaskan pada Pasal 112 yang
1 Benny Wiranto Sihombing Selaku Pelaksana Pemeriksa Pengawasan dan Penindakan,
Kantor Pengawasan dan Pelayan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Kota Tanjungpinang, 18
Februari 2019.
3
berbunyi:2
“Dalam hal ditemukan peredaran barang kena cukai dengan tulisan
“Khusus Kawasan Bebas” diluar Kawasan Bebas, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan
Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat
(2) dan Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ayat (2) dan Pasal 104 ayat (2) bertanggungjawab atas pelangggaran
tersebut;
b. Direktur Cukai atas nama Direktur Jenderal menyampaikan
permintaan kepada Badan Pengusahaan Kawasan untuk melakukan
pencabutan terhadap keputusan mengenai penetapan jumlah dan jenis
barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (5),
Pasal 103 ayat (4), dan Pasal 104 ayat (3);
c. Dalam hal pencabutan terhadap keputusan penetapan jumlah dan jenis
barang kena cukai sebagaimana tersebut pada huruf b belum
ditetapkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melayani
pengeluaran barang kena cukai dari Pabrik yang bersangkutan ke
Kawasan Bebas.
Secara khusus, pelanggaran tindak pidana dibidang cukai di atur dalam
Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai. Sanksi terhadap pelanggaran dibidang cukai
ini dijelaskan pada Pasal 54 Undang-Undang tersebut yang berbunyi:3
“Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual atau menyediakan
untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran
atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling
banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa masih banyak peredaran
rokok ilegal di Kota Tanjungpinang, baik dari individu bahkan produsen yang
membawa masuk barang tersebut ke wilayah Kota Tanjungpinang. Rokok ilegal
yang masuk tersebut berupa rokok tanpa pita cukai dan rokok khusus kawasan
2 Pasal 112 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/PMK.04/2012
Tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai. 3 Pasal 54 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.
4
bebas. Hal ini sebenarnya memberikan kerugian yang cukup besar bagi
pendapatan Negara karena pendapatan yang bisa dibilang cukup besar salah
satunya adalah dari pajak dan cukai rokok. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan membahas lebih lanjut penelitian ini dengan judul:
“Penegakan Hukum Pidana Terhadap Peredaran Rokok Ilegal Di Kota
Tanjungpinang”
BAHAN DAN METODE
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif empiris, dimana
penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik karena
mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum. Adapun penelitian hukum
normatif-empiris (terapan) mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan
hukum positif (perundang–undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan
yang telah ditentukan.4
b. Data dan Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.5 Data
ini juga diperoleh secara langsung oleh penulis melalui responden dengan
cara pengumpulan data, kuesioner dan wawancara dengan para pihak yang
terkait permasalahan yang penulis teliti.
4 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung, 2004, hal 53. 5 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal, 30.
5
b. Data Skunder, yaitu data yang diperoleh penulis dari berbagai studi
kepustakaan serta peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur serta
pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini, yang
terdiri dari:6
1. Bahan Hukum Primer
Bahan- bahan hukum yang mengikat yang bersumber dari kajian dan studi
kepustakaan yang diperoleh dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan
Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai.
2. Bahan Hukum Skunder
Bahan yang bersumber dari buku-buku yang berkaitan dengan yang akan
penulis teliti.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lainnya.
c. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, kuesioner, observasi dan
6 Annisa Dwi Khairani, 2017, Penegakan Hukum Terhadap Penyelundupan Rokok Dan
Minuman Keras Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai Selat Panjang Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas
Hukum, Volume IV Nomor 2 Oktober 2017.
6
dilengkapi dengan dokmentasi.
d. Pengolahaan Data
Penyusunan data, Klasifikasi data, Pengolahan data, Interpretasi hasil
pengolahan data.
e. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu jenis penelitian yang
temuan-temuan tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan
lainnya, tetapi menggunakan kata-kata untuk menjelaskan data yang didapat.7
PEMBAHASAN
Penegakan Hukum Pidana Terhadap Peredaran Rokok Ilegal Di Kota
Tanjungpinang.
Peredaran rokok ilegal di Kota Tanjungpinang tidak mengalami penurunan
yang signifikan, terlebih pada tahun 2018 mengalami peningkatan yang cukup
tinggi dimana potensi kerugian Negara mencapai Rp.1.427.548.200,- dari hasil
tangkapan Bea dan Cukai Kota Tanjungpinang. Pada dasarnya, Bea dan Cukai
Kota Tanjungpinang memiliki tugas untuk mengamankan kebijaksanaan
pemerintah yang berkaitan dengan lalu lintas barang yang masuk atau keluar
daerah pabean dan pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan negara
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal merupakan
kewenangan pihak Bea dan Cukai yang dalam hal ini adalah Pejabat Bea dan
Cukai. Pejabat Bea dan Cukai berwenang mengambil tindakan yang diperlukan
atas barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena
7 Afrizal, Meotode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Dalam Berbagai Disiplin Ilmu, Rajawali Press, Cet I, Jakarta, 2014, hlm. 12.
7
cukai berupa penghentian, pemeriksaan, penegahan dan penyegelan untuk
melaksanakan Undang-Undang Cukai. Namun, apabila masyarakat melihat
tindakan pelanggaran di bidang cukai, masyarakat berhak untuk melaporkan ke
pihak bea cukai.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Kota Tanjungpinang melakukan penangkapan rokok-rokok ilegal dengan
beberapa cara, yaitu:
1. Operasi Pasar, yaitu dengan mendatangi tempat-tempat yang menjual
rokok;
2. Patroli Laut, yaitu dengan mengitari laut yang merupakan wilayah Kota
Tanjungpinang;
3. Boatzoeking, yaitu melaksanaan pemerikasaan sarana pengangkut laut;
dan
4. Pemeriksaan Kapal Penumpang.
Barang hasil tangkapan yang merupakan rokok ilegal tersebut dapat
langsung menjadi Barang Milik Negara (BMN) yang kemudian dilakukan
pemusnahan dan pembekuan kuota rokok terhadap pengusaha rokok khusus
kawasan bebas (FTZ). Terhadap sanksi yang cukup berat, pihak bea dan cukai
menyerahkan laporan kejadian kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti dan
dalam pengawasannya, pihak bea dan cukai juga melakukan koordinasi dengan
pihak kepolisian. Terkait jenis rokok dan kuota rokok yang dimiliki pengusaha
rokok khusus kawasan bebas, Kantor Pegawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
Tipe Madya Pabean B Kota Tanjungpinang bekerjasama dengan Badan
Pengusaha Kawasan Kota Tanjungpinang. Badan Pengusaha Kota Tanjungpinang
8
memiliki kewenangan untuk menetapkan kuota rokok bagi pengusaha rokok
khusus kawasan bebas (FTZ).
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Benny Wiranto
Sihombing selaku Pelaksana Pemeriksa Pengawasan dan Penindakan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Kota
Tanjungpinang sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait
peredaran rokok ilegal sudah tepat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai
memang mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran peredaran rokok
ilegal, namun pihak bea dan cukai dalam 3 (tiga) tahun terkhir belum memberikan
sanksi pidana bagi pelaku tersebut karena atas dasar pertimbangan pejabat bea dan
cukai yang dalam hal ini adalah pihak penyidik. Sanksi yang diberikan oleh bea
dan cukai sejauh ini hanya berupa sanksi administrasi, diantaranya menutup salah
satu distributor dari 2 distributor yang direkomendasikan oleh pihak Bea dan
Cukai Kota Tanjungpinang ke pusat karena melanggar aturan yang berlaku.
Barang hasil penindakan oleh pihak Bea dan Cukai dapat langsung ditetapkan
menjadi Barang Milik Negara (BMN) yang kemudian dilakukan pemusnahan dan
pembekuan kuota rokok terhadap pengusaha rokok kawasan bebas (FTZ).
Kendala yang dihadapi pejabat bea dan cukai dalam menegakkan sanksi
yang berlaku terkait peredaran rokok ilegal tersebut adalah daerah pengawasan
yang luas dan kawasan FTZ yang bersifat enclave (daerah kantong) sehingga
kemungkinan terjadi peredaran rokok FTZ di luar kawasan bebas (FTZ). Kota
Tanjungpinang yang merupakan pusat pelayanan bagi daerah disekitarnya, dan
juga sebagai kota transit Internasional bagi penduduk yang menuju Negara
9
tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Negara lainnya. Hal ini
membuat Kota Tanjungpinang menjadi jalur keluar masuknya barang termasuk
dari Negara luar.
Wilayah Kota Tanjungpinang yang ditetapkan sebagai kawasan bebas (FTZ) yaitu
meliputi Daerah Dompak 1.300 ha dan Senggarang 1.333 ha dengan luas
seluruhnya 2.633 ha. Tidak terdapat pembatas yang secara jelas menunjukkan
bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan bebas (FTZ).8 Kawasan bebas (FTZ)
yang masih satu daratan dengan kawasan lain yang bukan merupakan kawasan
bebas (FTZ) di Kota Tanjungpinang ini menyebabkan rokok ilegal tersebut
dengan mudah beredar di kawasan yang bukan merupakan kawasan bebas di Kota
Tanjungpinang.
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan bersama Bapak M.
Effendi selaku Staf Bidang Perizinan BP Kawasan Kota Tanjungpinang, sejauh
ini di Kota Tanjungpinang belum ada pelanggaran yang dilakukan oleh produsen
rokok khusus kawasan bebas terkait kuota rokok yang diberikan. Penetapan kuota
rokok (jumlah dan jenis barang) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 102 ayat (4), Pasal 103 ayat (4), Pasal 104 ayat
(3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47 Tahun 2012 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 Tentang Tata
Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan
Pembebasan Cukai dengan mempertimbangkan secara wajar dan ditetapkan dalam
8 Ibid. hal 16
10
keputusan Badan Pengusahaan Kawasan yang tembusannya ditujukan kepada
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pelanggaran dibidang cukai merupakan masalah yang cukup dilirik di
Kota Tanjungpinang karena angka kerugian negara yang disebabkan oleh
pelanggaran tersebut cukup tinggi. Dari jumlah penduduk di Kota Tanjungpinang,
penulis memberikan kuesioner kepada 85 (delapan puluh lima) orang informan
yang terdiri dari 40 (empat puluh) orang pedagang di Kota Tanjungpinang dan 45
(empat puluh lima) orang perokok yang bertempat tinggal di Kota Tanjungpinang
yang penulis jabarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel II.
Jumlah Informan Pedagang dan Perokok di Kota Tanjungpinang
No. Narasumber Informan Jumlah
1. Pedagang (kecil s.d menengah) 40 40
2. Perokok 45 45
Sumber: Lembar Kuesioner Peredaran Rokok Ilegal di Kota Tanjungpinang
tahun 2019
Informan yang penulis peroleh seperti pada tabel 2 tersebut didapat
melalui kuesioner yang penulis berikan kepada pedagang dan perokok yang
berada di beberapa wilayah Kota Tanjungpinang yang bukan merupakan kawasan
bebas (FTZ). Selain pedagang, penulis juga memperoleh data dari hasil kuesioner
yang penulis berikan kepada perokok yang ada di Kota Tanjungpinang. Penulis
memperoleh data berupa faktor-faktor perokok mengkonsumsi rokok ilegal
tersebut melalui kuesioner dengan persentase sebagai berikut:
11
Tabel III.
Faktor Perokok Mengkonsumsi Rokok Ilegal di Kota Tanjungpinang
No. Alasan Frekuensi Persentase (%)
1. Faktor Ekonomi 35 77,8
2. Faktor Lingkungan 10 22,2
3. Faktor Keluarga - -
TOTAL 45 100
Sumber: Lembar Kuesioner Perokok di Kota Tanjungpinang tahun 2019
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan
alasan perokok mengkonsumsi rokok ilegal tersebut yaitu mencapai 77,8% atau
35 (tiga puluh lima) orang dari 45 (empat puluh lima) orang informan yang
penulis ambil. Harga rokok ilegal yang dijual dengan harga murah menjadikan rokok
ini diminati masyarakat Kota Tanjungpinang, dimana faktor ekonomi merupakan
alasan utama perokok untuk mengkonsumsi rokok ilegal tersebut. Rokok ilegal
sejatinya tidak dikenakan cukai atau tidak dipungut cukainya, itulah yang
membuat rokok ilegal dapat dijual dengan harga murah.
Pada faktor berikutnya, faktor lingkungan merupakan alasan perokok
mengkonsumsi rokok ilegal tersebut yaitu mencapai 22,2% atau sebanyak 10
(sepuluh) orang dari informan yang penulis ambil. Faktor lingkungan menjadi
alasan perokok mengkonsumsi rokok ilegal yaitu lingkup pergaulan perokok atau
konsumen rokok ilegal tersebut sangat berpengaruh bagi perokok karena dari sini
perokok juga memperoleh rokok ilegal tersebut. Faktor keluarga bukan
merupakan alasan perokok mengkonsumsi rokok ilegal karena tidak ada keluarga
yang menyarankan keluarganya untuk merokok.
Dilihat dari data-data yang penulis peroleh, faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:
1. Faktor Hukum
12
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 mengatur tentang sanksi pidana yang
dikenakan terhadap pelanggaran peredaran rokok pada Pasal 54 yang
berbunyi:
“Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual atau menyediakan
untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran
atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling
banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Aturan ini menegaskan bahwa sanksi bagi setiap orang yang menawarkan,
menyerahkan, menjual atau menyediakan rokok ilegal yang dalam hal ini adalah
rokok yang tidak dibubuhi tanda pelunas cukai atau tidak dilekati pita cukai
dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda. Terkait peredaran rokok ilegal
berupa rokok khusus kawasan bebas (FTZ) yang diperjualbelikan di kawasan
yang bukan merupakan kawasan bebas (FTZ) juga dikenakan sanksi sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
47/PMK.04/2012 Tentang Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang
Ke Dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan
Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Dan Pembebasan Cukai
menegaskan sanksi terhadap pelanggaran peredaran rokok khusus kawasan
bebas (FTZ) tersebut yang dijelaskan pada Pasal 112 yang berbunyi:9
“Dalam hal ditemukan peredaran barang kena cukai dengan tulisan
“Khusus Kawasan Bebas” diluar Kawasan Bebas, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan
Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat
9 Pasal 112 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/Pmk.04/2012
Tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai.
13
(2) dan Pengusaha Pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ayat (2) dan Pasal 104 ayat (2) bertanggungjawab atas pelangggaran
tersebut;
b. Direktur Cukai atas nama Direktur Jenderal menyampaikan
permintaan kepada Badan Pengusahaan Kawasan untuk melakukan
pencabutan terhadap keputusan mengenai penetapan jumlah dan jenis
barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (5),
Pasal 103 ayat (4), dan Pasal 104 ayat (3);
c. Dalam hal pencabutan terhadap keputusan penetapan jumlah dan jenis
barang kena cukai sebagaimana tersebut pada huruf b belum
ditetapkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melayani
pengeluaran barang kena cukai dari Pabrik yang bersangkutan ke
Kawasan Bebas.
Undang-Undang sudah mengatur secara tegas sanksi-sanksi terhadap
pelanggaran rokok ilegal tinggal bagaimana pihak-pihak terkait mampu
menjalankan fungsi dan kewenangannya dan begitu juga dengan masyarakat
tentang kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku. Menurut Bapak Benny
Wiranto Sihombing selaku Pelaksana Pemeriksa Pengawasan dan Penindakan
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Kota Tanjungpinang, aturan yang berlaku terkait peredaran rokok ilegal
sudah tepat.
2. Faktor Penegakan Hukum
Penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan dan peranan. Faktor ini
meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Dari
hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Benny Wiranto
Sihombing selaku Pelaksana Pemeriksa Pengawasan dan Penindakan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Kota
Tanjungpinang dan Bapak Bapak M. Effendi selaku Staf Bidang Perizinan
BP Kawasan Kota Tanjungpinang, instansi terkait sudah menegakkan aturan
yang berlaku terkait cukai dan kepabedanan. Kantor Pengawasan dan
14
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Kota Tanjungpinang adalah
yang berwenang untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Departemen
Keuangan di bidang cukai dan kepabeanan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 Tentang Cukai.
Kantor Bea dan Cukai melakukan penegakan hukum dengan beberapa
cara, yaitu:
a. Operasi Pasar,
b. Patroli Laut;
c. Boatzoeking atau pemerikasaan sarana pengangkut laut; dan
d. Pemeriksaan Kapal Penumpang.
Menurut beliau, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe
Madya Pabean B Kota Tanjungpinang sudah menegakkan hukum
sebagaimana mestinya. Berdasarkan hasil wawancara penulis sanksi yang
diberikan pihak Bea dan Cukai Kota Tanjungpinang berupa pemusnahan dan
pembekuan kuota rokok terhadap pengusaha rokok kawasan bebas (FTZ).
Salah satu tindakannya yaitu berupa pembekuan kuota rokok terhadap PT.
Batu Karang yang mengedarkan Barang Kena Cukai (BKC) berupa hasil
tembakau khusus kawasan bebas merk UN sebanyak 358.400 batang ke luar
kawasan bebas.
Bapak Benny menegaskan bahwasanya pengenaan sanksi terhadap rokok
sejuah ini hanya berupa sanksi administrasi saja bukan sanksi pidana bagi
pengedar rokok ilegal tersebut. Pengenaan sanksi bagi pengedar rokok ilegal
tersebut merupakan pertimbangan dari penyidik Bea dan Cukai apakah perlu
15
untuk dikenakan sanksi pidana sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak.
Terkait penegakan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Pasal
33 ayat (1) pihak bea dan cukai memiliki kewenang atas barang kena cukai,
yang berbunyi:
“Pejabat bea dan cukai berwenang:
a. Mengambil tindakan yang diperlukan atas barang kena cukai
dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai
berupa penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk
melaksanakan undang-undang ini;
b. Mengambil tindakan yang diperlukan berupa tidak melayani
pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya; dan
c. Menegah barang kena cukai, barang lainnya yang terkait dengan
barang kena cukai, dan/atau sarana pengangkut.”
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe Madya Pabean B Kota
Tanjungpinang bekerjasama dengan pihak Badan Pengusahaan Kawasan Kota
Tanjungpinang terkait penetapan kuota rokok khusus kawasan bebas (FTZ) di
Kota Tanjungpinang. Apabila terdapat jumlah dan jenis rokok yang tidak
sesuai yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan maka terhadap
barang tersebut dapat dimusnahkan. Pengenaan sanksi tersebut dapat
dikatakan supaya rokok-rokok di kawasan bebas (FTZ) mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi masyarakat kawasan bebas tersebut agar tidak terjadi
penumpukan barang yang dalam hal ini adalah rokok khusus kawasan bebas
yang nantinya malah beredar di wilayah yang bukan merupakan kawasan
bebas.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,
dan seterusnya. Dalam hal ini, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe
16
Madya Pabean B Kota Tanjugpinang memiliki beberapa sarana dan fasilitas
pendukung sebagai berikut:
1. Kapal Patroli;
2. Narkotika Tes;
3. Senjata Api;
4. Sarana Intelijend; dan
5. Sarana Pendukung lainnya.
Seluruh sarana dan fasilitas yang dimiliki Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Kota Tanjungpinang seperti
yang disebutkan di atas dipergunakan untuk mendukung pengawasan dan
penindakan yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai Kota Tanjungpinang
dan sarana dan fasilitas yang dimiliki ini masih berfungsi dengan baik.
4. Faktor Masyarakat
Kepatuhan masyarakat akan hukum atau peraturan yang berlaku akan
memperkecil pelanggarang serta kejahatan yang terjadi. Pergaulan hidup
manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada
hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan
tenteram.10
Sebanyak 77,8% masyarakat Kota Tanjungpinang mengkonsumsi
rokok ilegal tersebut dikarenakan faktor ekonomi. Data yang juga penulis
peroleh dari kuesioner tersebut adalah tentang sosialisasi serta himbauan oleh
instansi terkait. Dari informan yang penulis ambil terdapat 75% pedagang
mengatakan belum mendapatkan sosialisasi dan himbauan dari instansi terkait
10
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.
67.
17
tentang rokok ilegal tersebut dan 25% pedagang lain mengatakan sudah
pernah mendapatkan sosialisasi dan himbauan.
Dari data di atas menjelaskan bahwa sebagian besar penyebab rokok
ilegal tersebut masih beredar adalah kurangnya pengetahuan perokok dan
khususnya pedagang di Kota Tanjungpinang tentang rokok ilegal tersebut,
mulai dari kurangnya sosisalisasi serta himbauan instansi terkait kepada para
pedagang tentang rokok ilegal. Namun, berdasarkan teori fiksi hukum
dikatakan bahwa suatu norma hukum diberlakukan, maka pada saat itu pula
setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum
tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat
besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya
kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan
adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Merokok dapat
dikatakan juga sebagai kebudayaan karena sejak dulu rokok sudah
berkembang di Indonesia begitu juga Kota Tanjungpinang.
Faktor lingkungan merupakan alasan perokok mengkonsumsi rokok
ilegal selain dari faktor ekonomi. Dikatakan bahwa rokok ilegal ini mereka
peroleh mulai dari lingkungan sekitar yang pada akhirnya mereka konsumsi
terus menerus mengingat harga rokoknya yang cenderung murah. Dari data
yang penulis peroleh sebanyak 22,2% perokok mengkonsumsi rokok ilegal
18
tersebut karena faktor lingkungan. Penjual rokok ilegal tersebut merupakan
pedagang kecil sampai dengan menengah, yang mana warung-warung kecil
kebanyakan berada dilingkungan tempat tinggal perokok tersebut.
KESIMPULAN
Penegakan hukum pidana terhadap peredaran rokok ilegal di Kota Tanjungpinang
dapat dikatakan kurang efektif karena berdasarkan hasil wawancara penulis bersama
Bapak Benny Wiranto Sihombing selaku Pelaksana Pemeriksa Pengawasan dan
Penindakan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Kota Tanjungpinang, dalam 2 (dua) tahun terakhir pihak bea dan cukai Kota
Tanjungipinang belum pernah memberikan sanksi pidana kepada pelaku pelanggaran
peredaran rokok ilegal tersebut. Pelanggaran peredaran rokok ilegal di Kota
Tanjungpinang sejatinya terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat Kota
Tanjungpinang terhadap sanksi, aturan yang berlaku terkait cukai dan kepabeanan
dan juga terkait daerah-daerah yang merupakan kawasan bebas (FTZ).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004).
Afrizal, Meotode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, Cet I,
2014).
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010).
19
JURNAL
Annisa Dwi Khairani, 2017, Penegakan Hukum Terhadap Penyelundupan Rokok
Dan Minuman Keras Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bea Cukai Selat
Panjang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang
Cukai, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume IV Nomor 2,
2017.
PERATURA PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/PMK.04/2012
Tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari
Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai