37
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Arifianto Efendi 1) , Evy Ariska Novelia 2) , Muhammad Arafiq 3) , Tri Utami Nurul Hidayah 4) , Windra Kurniawan 5) , Zulfiyansyah 6) 1) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] 2) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] 3) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] 4) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] 5) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] 6) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatan email: [email protected] Abstrak—Korupsi sebagai kejahatan luar biasa memiliki dampak masif kepada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karenanya, diperlukan upaya penegakan hukum tindak pindana korupsi yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah serta norma moralitas yang berlaku dalam masyarakat menjadi bagian dari upaya mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga serta aparat penegak hukum yang tegas diperlukan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dalam mengawal penegakan hukum menjadi tonggak penting tegaknya hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: penegakan hukum, tindak pidanakorupsi. 1. PENDAHULUAN Tindak pidana korupsi telah lama ada di Indonesia. [1]

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia_fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tipikor,penegakan hukum

Citation preview

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIAArifianto Efendi1), Evy Ariska Novelia2), Muhammad Arafiq3), Tri Utami Nurul Hidayah4), Windra Kurniawan5), Zulfiyansyah 6) 1) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]) Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi Reguler, 9E STAN, Tangerang Selatanemail: [email protected]

AbstrakKorupsi sebagai kejahatan luar biasa memiliki dampak masif kepada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karenanya, diperlukan upaya penegakan hukum tindak pindana korupsi yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah serta norma moralitas yang berlaku dalam masyarakat menjadi bagian dari upaya mencegah dan memberantas korupsi. Lembaga serta aparat penegak hukum yang tegas diperlukan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan. Peran serta masyarakat dalam mengawal penegakan hukum menjadi tonggak penting tegaknya hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.Kata Kunci: penegakan hukum, tindak pidanakorupsi.

1. [23]

2. PENDAHULUANTindak pidana korupsi telah lama ada di Indonesia. Sejak zaman kerajaan-kerajaan terdahulu, korupsi telah terjadi meski tidak secara khusus menggunakan istilah korupsi. Setelah zaman kemerdekaan, Korupsi pun makin menjamur di Indonesia. masih terjebak dengan cengkraman korupsi. Indonesia sulit lepas dari ganasnya korupsi. Korupsi menyerang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tidak heran adanya korupsi menjadi ancaman stabilitas pembangunan nasional.Indonesia mengkategorikan tindak pidana korupsi. sebagai tindak pidana kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal ini karena tindak pidana korupsi memiliki daya hancur yang luar biasa dan dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Tak heran, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain. Di Indonesia terdapat empat lembaga yang berfungsi sebagai penegak hukum tindak pidana korupsi. Lembaga-lembaga tersebut yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keempat lembaga tersebut berwenang dalam melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi.Upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi oleh pemerintah melalui keempat lembaga tersebut memang masih menemui banyak kendala. Disamping para pelakunya yang cerdik berlindung di balik hukum, para aparat penegak hukum juga masih kelihatan canggung menjalankan tugasnya. Kurangnya sinergi antara ketiga lembaga tersebut membuat pemberantasan korupsi menjadi kurang efektif. Selain itu, pemerintah terkesan belum berani dan tegas dalam menindak para koruptor di negeri ini. Beberapa perilaku aparat penegak hukum sering gagal dalam menyelesaikan kasus korupsi. Banyak kasus korupsi yang tidak diproses dengan alasan kesalahan administrasi atau kurang cukup bukti. Terdapat dua faktor yang menjamin penegakan hukum berjalan efektif yaitu, faktor hukum dan faktor aparat penegak hukum. Kedua faktor ini yang akan menentukan efektifitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Faktor hukum dalam upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak awal kemerdekaan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan aparat penegak hukum berfungsi sebagai lembaga yang dapat menjalankan peraturan perundang-undangan dan melakukan proses peradilanJurnal ini akan membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan untuk mendasari penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi dan norma norma, baik hukum maupun moral, dalam masyarakat serta masalah yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia.3. LANDASAN TEORI2.1 Pengertian KorupsiMenurut Wordnet Princeton Education korupsi adalah lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain).Colin Nye ( 1967:416) mendefinisikan korupsi sebagai berikut:

corruption is behaviour that deviates from the formal duties of a public role (elective or appointive) because of private-regarding (personal, close family, private clique) wealth or status gains.Definisi terbaru dengan elemen-elemen yang sama diberikan oleh Mushtaq Khan(1996:12):corruption is behaviour that deviates from the formal rules of conduct governing the actions of someone in a position of public authority because of private-regarding motives such as wealth, power, or status.

Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi meliputi : a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).c. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).d. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).e. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001: pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.f. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).g. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).h. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001): menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).j. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;k. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001).l. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).m. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).

2.2 Penegakan hukum Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek yang terbatas atau sempit. Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dai sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan law enforcement ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah penegakan peraturan dalam arti sempit.Berdasarkan pengertian di atas, yang dimaksud dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum sebagai pedoman perilaku dalam upaya membaerantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi oleh semua subjek hukum yaitu masyarakat maupun aparat hukum.Menurut Undnag-Undang Dasar 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3), Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, negara harus melindungi kepentingan rakyatnya sebagaimana tercantum dalam alinea IV UUD 1945 amandemen: untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Bentuk penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia meliputi aspek formil dan materil berupa peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yaitu norma hukum dan norma moral.

4. PEMBAHASAN3.1 Peraturan Terkait Tindak Pidana KorupsiPeraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi telah banyak dibuat dan berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tersebut dibuat bertujuan untuk meberantas tindak pidana korupsi. Banyaknya peraturan perundang-undangan korupsi yang pernah dibuat dan berlaku di Indonesia menarik untuk disimak tersendiri untuk mengetahui dan memahami lahirnya tiap-tiap peraturan perundang-undangan tersebut, termasuk untuk mengetahui dan memahami kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

a. Delik Korupsi dalam KUHPKUHP tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi, namun KUHP telah mengatur banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara dimana pengaturan tersebut dijadikan sebacai acuan pembuatan undang-undang pemberantasan korupsi.Delik korupsi yang ada di dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada kaitannya dengan delik jabatan.Berikut beberapa delik korupsi yang diadopsi dari KUHP. Delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Delik penyuapan memberikan atau menjanjikan sesuatu Pasal 5 UU NO. 31 Tahun 1999 JO. UU NO. 20 Tahun 2001yang diadopsi dari Pasal 209KUHP (SUAP AKTIF). Delik penyuapan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dan Advokat Pasal 6 UU NO. 31 Tahun 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN 2001 yang diadopsi dari Pasal 210 KUHP (SUAP AKTIF). Delik dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam menyerahkan alat keperluan TNI dan Kepolisian RI Pasal 7 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 387 dan 388 KUHP. Delik Pegawai Negeri menggelapkan Uang dan Surat Berharga Pasal 8 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 415 KUHP. Delik Pegawai Negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi Pasal 9 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 416 KUHP. Delik Pegawai Negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar untuk meyakinkan/membuktikan di muka pejabat yang berwenang Pasal 10 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 417 KUHP. Delik Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan, Pasal 11 UU. No.31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 418 KUHP. Delik Pegawai Negeri atau penyelenggara negara, hakim dan advokat menerima hadiah atau janji (suap pasif), Pegawai Negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan, Pasal 12 UU. No.31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 419, 420, 423, 425, 435 KUHP.

b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/ Peperpu/013/1950.Pada masa awal kemerdekaan, Peraturan yang secara khusus mengatur pemberantasan korupsi adalah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti dengan Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Dalam peraturan ini, korupsi dikategorikan ke dalam dua perbuatan, yaitu: Korupsi sebagai perbuatan pidana. Korupsi sebagai perbuatan pidana dijelaskan sebagai :1) Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.3) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Pepperpu ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP. Korupsi sebagai perbuatan lainnya;Korupsi sebagai perbuatan bukan pidana atau perbuatan lainnya dijelaskan sebagai,1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

c. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentangTindakPidanaKorupsi.Undang-undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibuat karena adanya pertimbangan penyesuaian perubahan Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang Pemberantasan yang dibuat berlandaskan UU Keadaan Bahaya. bahwa dari keadaan bahaya menuju keadaan normal. Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke dalam Undang-undang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi tindak pidana.Undang-undang ini dianggap para pakar hukum memiliki beberapa celah dalam menangani tindak pidana korupsi sehingga perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang dapat lebih memberatkan hukumannyadan memudahkan dalam membuktikan prosedur tindak pidana korupsi.

d. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pada pemerintahan Orde Baru, masyarakat menuntut adanya hukuman yang setimpal dan memberatkan pada pelaku tindak pidana korupsi. Pada tahun 1970 Presiden membentuk komisi 4 dengan tujuan membentuk Rencana Undang-undang baru yang dapat lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Asas legalitas dikedepankan dalam pembuatan Undang-undang ini dimana tercermin dengan adanya pemikiran untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik dan keinginan untuk memasukkan ketentuan berlaku surut.Rencana Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi tersebut akhirnya disetujui dan disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 29 Maret 1971, dan diundangkan pada hari itu, termuat dalam Lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, dengan nama Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Setelah runtuhnya rezim orde baru dan seiring dengan gerakan reformasi yang timbul dari ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan Presiden Soeharto selama hampir 32 tahun, ditetapkanlah TAP No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Hal ini sebagai bentuk upaya-upaya untuk memfungsikan Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara sesuai dengan yang diharapkan bersama, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan dalam memberikan kontrol sosial, dan menghapus praktek-praktek yang menyuburkan KKN.Melalui TAP tersebut, MPR mengamanatkan bahwa para penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara.Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, para penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka dan dapat dipercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek KKN.Selain itu, diamanatkan pula bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.f. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme memberikan suatu definisi baru atas tindak pidana atau kriminalisasi mengenai Kolusi dan Nepotisme. Lahirnya undang-undang ini memperkenalkan suatu terminologi tindak pidana baru atau kriminalisasi atas pengertian Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang ini memiliki tujuan yang sama dengan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yaitu untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab

g. UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lahir untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efektif. Undang-Undang ini terdiri dari:1) Ketentuan Umum2) Tindak Pidana Korupsi3) Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi4) Penyidikan, penuntuutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan5) Peran Serta Masyarakat, dan6) Ketentuan Peralihan7) Ketentuan Lain-lainPerumusan Undang-Undang tipikor dimaksudkan untuk menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit seiring perkembangan tekonologi dalam transaksi finansial. Tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini dirumuskan sedimikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.1. sifat melawan hukum secara formil: yang dimaksud melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). 2. sifat melawan hukum secara materil: Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya.

Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Ketentuan pidana yang termuat dalam bab II dan bab III menentukan ancaman pidana minimu khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemerataan pidana. Undnag-undang ini juga memuat pidana penjara bagi pelaku tindak pidana lorupsi yang tidak daat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.Aparat penegak hukum juga diatur kewenanganyna untuk meperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim sesuai dengan tingkat penangan perkaran untuk dapat langsung meminta keterangam tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.Disamping itu, undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, an penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan.

h. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Indonesia seperti halnya dengan negara-negara lain, memberi perhatian besar terhadap kejahatan lintas negara yang terorganisir seperti pencucian uang (Tuanakotta, 2007). Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan ataumenyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindakpidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananyasusah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasamemanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sahmaupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanyamengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistemkeuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapatdiketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidanatersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atauorganisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapatmenurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan danpemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasanhukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakanhukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindakpidana.Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakinkompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yangsemakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkantelah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, FinancialAction Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standarinternasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahandan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidanapendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendationsdan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenaiperluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagangpermata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perludilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateralatau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan ataumelibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.Dikutip dari Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.a. SejarahIndonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belumdinyatakan sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadisurga dan sasaran kegiatan pencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soehartomasih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidakpernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karenapelarangan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modalasing yang sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia (Sjahdeini, 2007).Dengan kata lain, kriminalisasi perbuatan pencucian uang justru merugikan masyarakat Indonesia karena akan menghambat pembangunan.Negara Indonesia ini memang memiliki kondisi yang menguntungkan sekali bagipara pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah sistemdevisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan bank, belum memadainya perangkathukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas, dan lainnya (Siahaan, 2002).Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebasuntuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesiasesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yangmengatur agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat olehBank Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964. BerlakunyaPP No 1 Tahun 1982 ini memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagipembangunan nasional dengan mengundang para investor asing untuk menanamkanmodalnya di Indonesia, akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitumaraknya kegiatan pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagaicara pencucian uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehinggamenyulitkan pihak berwenang yang ingin melacaknya.Sistem kerahasiaan bank dan kelemahan perangkat hukum di Indonesia jugamerupakan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang (Swastika, 2011). Adanyapengaturan kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk menyimpan uang hasilkejahatannya tanpa harus takut akan dilacak oleh pihak berwenang. Selain itu kondisiyang mengakibatkan negara ini menjadi surga kegiatan pencucian uang adalah karenaIndonesia masih membutuhkan likuiditas, sehingga dunia perbankan Indonesia masihmemandang pentingnya dana-dana asing untuk masuk dan diinvestasikan di Indonesia.Sementara ada pihak-pihak asing tertentu yang hanya setuju untuk melakukan investasidi Indonesia jika dijamin tidak diusut asal usul dananya.Beberapa kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat Indonesia didesak olehdunia internasional untuk segera memberlakukan UU pencucian uang danmengkriminalisasi kegiatan pencucian uang.Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatanpidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah denganUU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadiperubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang diIndonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah menyatakanpraktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan ada sanksi bagiorang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua adalah dibentuknyaunit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasankegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis TransaksiKeuangan (PPATK).b. Prinsip Mengenali NasabahPenelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukanoleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturanperundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan pentingkhususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa danmelaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit)sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepadapenyidik.Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakanhukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risikooperasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karenatidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidanauntuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yangbaik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secaraoptimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil danterpercaya.c. Proses Pencucian UangPraktek pencucian uang merupakan tindak pidana yang amat sulit dibuktikan.Hal ini dikarenakan kegiatannya yang amat kompleks dan beragam, akan tetapi parapakar telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang ini ke dalam tiga tahap yangmasing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali juga dilakukan secara bersama-samayaitu placement, layering dan integration (Yunus Husein, 2001).1) PlacementPlacement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkandari suatu aktivitas kejahatan, misalnya dengan mendepositokan uang tersebut kedalam sistem keuangan atau perbankan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai dari luar sistem keuangan masuk ke sistem keuangan. Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: Penempatan dana dalam bentuk tabungan, giro, deposito Pembayaran angsuran kredit Setoran modal secara tunai Penukarnan uang Pembelian polis asuransi Pembelian produk sekuritas atau surat-surat berharga2) LayeringLayering diartikan sebagai pelapisan atau memisahkan hasil kejahatan darisumbernya, yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapantransaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana daribeberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnyamelalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkanatau mengelabui sumber dana haram tersebut. Berbagai cara dapat dilakukandalam tahap ini yang tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciriasli atau asal-usul uang tersebut. Seringkali terjadi bahwa si penyimpan dana di suatu rekening justru bukanlah pemilik sebenarnya dan si penyimpan dana tersebut sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan-menyimpan sebelumnya. Upayanya antara lain sebagai berikut: melakukan transfer dana hasil placement darisuatu rekening ke beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya dandapat dilakukan berkali-kali memecah-mecah jumlah dananya yang tersimpan dibank menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktifdengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relative kecil namun dengan frekuensi tinggi untuk menghindari pelaporan transaksi tunai. Transaksi dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda untuk kepentingan satu orang tertentu (smurfing).3) IntegrationAdapun tahap integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagailegitimate explanation bagi hasil kejahatan44. Disini uang hasil kejahatan yangtelah melalui tahap placement maupun layering dialihkan atau digunakan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekalidengan aktivitas kejahatan yang menjadi sumber uang tersebut. Pada tahapintegration ini, uang yang telah diputihkan dimasukkan kembali ke dalamsirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan ketentuan hukum.Cara-cara yang lazim dilakukan antara lain: Menggabungkan uang yang telah dicuci dengan uang yang sah untuk kegiatan bisnis atau investasi yang sah Melakukan setoran modal bank dengan sumber dana dari perusahaan yang diciptakan untuk menampung hasil uang haram dan sumber dana yang sah Sumbangan untuk kegiatan social melalui yayasan seperti rumah sakit, sekolah, amal dan pendirian tempat ibadah dari uang hasil pencucian Pemanfaatan lain untuk kegiatan tertentu seperti pembelanjaan untuk konsumtif NoPelakuAset

1. Tubagus Chaeri Wardana17 Bidang Tanah dan Bangunan tersebar di Kuta dan Ubud an Sendiri

2. Djoko SusiloRumah di perumahan elite Harvestland Jalan Raya Kuta. Lahan seluas 7.000 meter persegi di Desa Sudimara, Tabanan.

3. Angelina SondakhTanah seluas 1.000 meter persegi Jalan Pantai Nelayan, Kuta Utara

4. Fuad Amin ImronKondominium 50 - 60 kamar di jalan utama penghubung Denpasar dan Kuta

5. Hadi PoernomoAneka Lovina Villas & Spa , Pantai Lovina, menggunakan nama anak pertama Hadi, Ratna Permata Sari (belum disita)

Tabel Contoh Pencucian Uang Koruptor di Bali

d. Tindak Pidana Pencucian Uang Tindak pidana pencucian uang aktif (Pasal 3)Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkandengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lainatas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuanmenyembunyikan atau menyamarkan asal usul HartaKekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uangdengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dandenda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah). Tindak pidana pencucian uang pasif (Pasal 5)(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasaipenempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakanHarta Kekayaan yang diketahuinya atau patutdiduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendapaling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidakberlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakankewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 4Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asalusul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, ataukepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yangdiketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindakpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang denganpidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

3.2 Norma MoralitasBanyak masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada krisis moral. Tragisnya, sumber krisis justru berasal dari lembaga yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang notabene lembaga-lembaga inilah yang seharusnya mengemban amanat rakyat. Setiap hari kita disuguhi berita-berita ketidak-amanahan yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dipercaya rakyat untuk melaksanakan pemerintahan ini.Moralitas memegang kunci sangat penting dalam mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui moralitas pula krisis dapat diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian warganegaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar, warna sekaligus penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.Moralitas dapat dianalogikan dengan seorang kusir kereta kuda yang mampu mengarahkan ke mana kereta akan berjalan. Arah perjalanan kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan hendak dituju. Orang yang bermoral tentu mengerti mana arah yang akan dituju, sehingga pikiran dan langkahnya akan diarahkan kepada tujuan tersebut, apakah tujuannya hanya untuk kesenangan duniawi diri sendiri saja atau untuk kesenangan orang lain atau lebih jauh untuk kebahagiaan ruhaniah yang lebih abadi, yaitu pengabdian pada Tuhan. Moralitas juga dapat dikategorikan menjadi moralitas objektif dan subjektif.1. Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi. Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi. Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi. 2. Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati. Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas. Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia. Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral. Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia). Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penazaman hati nurani. Penekanan kepada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu tindakan yang buruk, bukan hanya soal takut.Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2012 adalah ada 14 mantan narapidana korupsi kembali menjadi pejabat di Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang. Namun, dari aspek moral dan etika, pengangkatan kembali ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Promosi jabatan bagi mantan narapidana korupsitentu menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya. Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme hukuman sosial diterapkan bagi koruptor. Contoh-contoh hukuman sosial yang bisa diterapkan adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran, mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik, mengucilkan dari pergaulan masyarakat.Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, perlu kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan. Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah perlawanan publik atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara. Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti dipenjara secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu. Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya.

3.3 Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan, dan Pencegahan Korupsi di IndonesiaDalam buku ajar pendidikan dan budaya antikorupsi oleh pusdiklatnakes kementerian kesehatan, Ada sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Pengadilan.a. KepolisianBerdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian di samping berfungsi dalam Harkamtibnas, perlindungan dan pengayoman, pelayanan masyarakat namun juga bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana.

b. KejaksaanMenurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, termasuk di antaranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Undang-undang ini terbit dengan pertimbangan penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Saat ini korupsi telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga harus ditangani secara luar biasa (extraordinary measures). Persepsi publik terhadap kejaksaan dan kepolisian dan atau lembaga pemerintah dipandang belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam penanganan kasus-kasus korupsi sehingga masyarakat telah kehilangan kepercayaan (losing trust). Selain itu, korupsi terbukti telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan (Santoso P., 2011)Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan KPK mempunyai tugas:a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.KPK menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mempunyai kewenangan:a. mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dane. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan KPK berwenang:a. melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publikb. mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaanc. mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsid. membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPKPasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/ataub. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana KPK berwenang:a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;b. c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hokum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap kota madya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pengadilan Tipikor diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:a. tindak pidana korupsi;b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atauc. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

3.4 Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesiaa. Indeks Persepsi Korupsi Pada masa pemerintahan Presiden SBY mulai dari periode pertama (KIB I) sampai dengan periode kedua (KIB II) dapat dilihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diberikan oleh Transparancy International berada pada tren peningkatan. Diawali pada tahun 2004 awal pemerintahan SBY-JK, IPK masih bernilai 2 dari skala 10 meningkat menjadi 32 dari skala 100 menjelang akhir pemerintahan SBY-Boediono di tahun 2013. Data perkembangan IPK dari tahun 2004-2013 dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Sumber : Bappenas (2013)

Dan kemudian, melihat IPK ditahun 2014 yang merupakan tahun peralihan pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK, IPK meningkat dari yang sebelumnya 32 menjadi 34 dari skala 100. Dan Indonesia berada di urutan 107 peringkat dunia namun masih jauh dari negara serumpun, Malaysia, yang berada di posisi 50 dunia. Berikut IPK yang diberikan oleh Transparancy International di tahun 2014 :

Sumber:http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014 b. Data Tindak Pidana Korupsi Jumlah Perkara Tindak Pidana KorupsiDari data pada website anti corruption clearing house (ACCH) yang dimiliki oleh KPK menunjukkan data Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang ditangani KPK per 31 Maret 2015 adalah penyelidikan 25 perkara, peyidikan 60 perkara, penuntutan 38 perkara, inkracht 8 perkara, dan eksekusi 9 perkara. Dan dengan demikian maka total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2014 adalah penyelidikan 658 perkara, peyidikan 402 perkara, penuntutan 314 perkara, inkracht 277 perkara, dan eksekusi 287 perkara. Berikut gambar dan tabel TPK yang ditangani KPK sampai dengan Maret 2015 :

Sumber : www.acch.kpk.go.id (2015)

TPK berdasarkan Jenis PerkaraData ACCH KPK menunjukkan per 31 Oktober 2014, KPK melakukan penanganan korupsi yang sebagiannya dari jenis perkara penyuapan yaitu sebesar 16 kasus, korupsi pengadaan barang/jasa sebanyak 13 kasus, TPPU sebanyak 5 kasus, pungutan sebanyak 5 kasus, perijinan sebanyak 4 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 4 kasus, dan merintangi proses KPK 2 kasus. Data penanganan TPK berdasarkan jenis perkara dari tahun 2004-214 dapat dilihat dari gambar dan tabel dibawah ini :

Sumber : www.acch.kpk.go.id (2015)

TPK berdasarkan Profesi/JabatanDilihat dari profesi atau jabatan maka hampir semua bidang pemerintahan tidak ada yang luput dari korupsi. Eksekutif, legislatif, yudikatif dan pihak swasta atau pribadi pun ada yang tersangkut dengan kasus korupsi. Apabila melihat data pada tahun 2014 maka akan dijumpai berbagai pihak yang tersangkut korupsi antara lain : Anggota DPR dan DPRD 4 perkara, Kepala Lembaga/Kementerian 9 perkara, Gubernur 2 perkara, Walikota/Bupati dan Wakil 12 perkara, Eselon I, II, dan III 2 perkara, Hakim 2 perkara, Swasta 15 perkara, dan lain-lain 8 perkara. Berikut data penanganan TPK berdasarkan profesi/jabatan dari tahun 2004-2014 :

Sumber : www.acch.kpk.go.id (2015)

TPK berdasarkan InstansiBerdasarkan data ACCH KPK, Kementerian/Lembaga Lebih Banyak Kasusnya di tahun 2014. Data Per 31 Oktober 2014, menunjukkan penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan kementerian/lembaga sebanyak 23 perkara, instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yakni sebanyak 13 perkara, disusul di Pemerintah Provinsi yakni sebanyak 11 perkara, dan DPR RI 2 perkara. Berikut data penanganan TPK berdasarkan instansi dari tahun 2004-2014 :

Sumber : www.acch.kpk.go.id (2015)

TPK berdasarkan WilayahApabila melihat data penanganan TPK berdasarkan wilayah dari tahun 2004-2011 maka pemerintah pusat masih mendominasi perkara TPK yang ditangani oleh KPK disusul kemudian Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selanjutnya apabila melihat data penanganan TPK berdasarkan wilayah untuk tahun 2014 maka dapat dilihat pola yang hampir sama yaitu masih didominasi oleh pemerintah pusat sebanyak 18 perkara, lalu diikuti oleh Jawa Barat 8 perkara, Banten 5 perkara, Papua 4 perkara, Sumut dan Riau Kepri masing-masing 3 perkara. Berikut data penanganan TPK berdasarkan wilayah dari tahun 2004-2011 :

Sumber : www.acch.kpk.go.id (2015)

c. Permasalahan dan Hambatan Pelemahan KPKPelemahan KPK adalah isu nasional yang akhir-akhir ini mengemuka. Isu ini semakin mengahangat ketika muncul istilah cicak vs buaya jilid I, jilid II dan jilid III yang baru saja terjadi di tahun 2015 ini.Terkait isu pelemahan KPK ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan sedikitnya ada 11 upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak berdirinya pada tahun 2003. Upaya pelemahan KPK ini muncul, karena banyak pihak yang dirugikan dan tidak suka dengan keberadaan KPK. "Sejak berdiri tahun 2003, dalam pantauan ICW terdapat sedikitnya 11 upaya pelemahan KPK yang dilakukan oleh para koruptor maupun pendukungnya," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Langkun saat konferensi pers peringatan 11 tahun KPK, di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 29 Desember 2014.Pertama, pengajuan uji materiil (judicial review) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Sedikitnya ada tujuh judicial review (JR) UU KPK berpotensi melemahkan KPK yang diajukan ke MK. Terakhir adalah JR UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut korupsi dengan UU pencucian uang.Kedua, Penolakan Anggaran KPK oleh DPR. Seperti halnya pada anggaran gedung baru KPK yang pernah tertahan sehingga tidak bisa dicairkan. Namun, setelah mendapatkan dukungan publik, dana gedung baru tersebut disetujui. "Usulan KPK mengajukan anggaran untuk membuat penjara dan kantor perwakilan di daerah juga pernah ditolak DPR," sebut Tama.Ketiga, Pemilihan Calon Pimpinan KPK. DPR pernah memilih Antasari Azhar sebagai Ketua KPK jilid II meski rekam jejaknya dinilai bermasalah oleh LSM. Keempat, Pengusulan dan Pembahasan Regulasi oleh DPR maupun pemerintah. Sejumlah rancangan UU pernah diusulkan dibahas di DPR, meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya Revisi UU KPK, RUU KUHP dan RUU KUHAP.Kelima, Penarikan tenaga Penyidik yang diperbantukan di KPK. Pada tahun 2009, sejumlah penyidik dan pejabat KPK yang berasal dari Kepolisian pernah ditarik kembali ke Mabes Polri. Keenam, Kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap pimpinan atau pegawai KPK. "Muncul upaya kriminalisasi terhadap Bibit Samad dan Chandra Hamzah dan Novel Baswedan meskipun akhirnya gagal.Ketujuh, Intimidasi terhadap pegawai, pejabat dan pimpinan KPK. Contohnya, gedung KPK pernah diancam bom pada tahun 2009. Selain itu, pada tanggal 5 Oktober 2012, penyidik Kepolisian pernah mengepung gedung KPK untuk menangkap Novel Baswedan. Kedelapan, upaya pembubaran KPK. Beberapa anggota DPR seperti Achmad Fauzi, Marzuki Alie dan Fahri Hamzal pernah menyatakan supaya KPK dibubarkan.Kesembilan, menghalang-halangi proses penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK. Seperti halnya pada kasus korupsi pengadaan Simulator Mabes Polri. Kesepuluh, intervensi dan delegitimasi kewenangan KPK. Pada tahun 2009, pasca Antasari Azhar non aktif sebagai ketua KPK, komisi III DPR pernah meminta KPK tidak mengambil kebijakan strategis.Kesebelas, Pengurangan hukuman (remisi dan pembebasan bersyarat) terhadap pelaku korupsi yang dijerat KPK. Berdasarkan catatan ICW, setidaknya ada 48 terpidana korupsi yang ditangani KPK yang kemudian dibebaskan oleh pemerintah sebelum waktunya melalui remisi dan pembebasan bersyarat yang dinilai kontroversial.

Perselisihan Norma HukumBeberapa norma hukum dalam pelaksanaannya mungkin saja terjadi perselisihan ataupun pertentangan. Hal ini bisa terjadi karena setiap norma hukum yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan memiliki latar belakang, pertimbangan dan tujuan masing-masing. Sehingga dapat saja terjadi perbedaan kondisi, tujuan dan urgensi seketika aturan itu dibuat.Adapaun contoh pertentangan norma hukum yang terjadi adalah terkait pemahaman keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; berkaitan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pendapat ahli hukum mengatakan asas posterior derogate legi priori (undang-undang yang lebih baru mengalahkan yang lebih lama pembuatannya. Secara kronologis, UU KN diundangkan pada tanggal 5 April 2003, UU BUMN diundangkan pada tanggal 19 Juni 2003, dan UU PT diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2007. Dari kronologi pengundangan jelas bahwa UU BUMN dan UU PT (lex posteriori) diundangkan setelah adanya UU KN (lex apriori). Dengan menggunakan asas lex posteriori derogat legi apriori, aturan hukum yang seharusnya digunakan adalah UU BUMN dan UU PT. Tidak perlu ada keraguan lagi bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan dan disertakan sebagai modal PERSERO merupakan kekayaan PERSERO. Dengan demikian, unsur delik merugikan keuangan negara seyogyanya dianggap tidak ada.Namun, Mahkamah Konstitusi ternyata mempunyai pertimbangan lain. Pada putusannya tanggal 18 September 2014 MK menolak semua permohonan penggugat secara keseluruhan dan tetap memasukkan BUMN termasuk dalam bagaian Keuangan Negara.Satu contoh lagi adalah ketika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemerintah mengenai pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara, 31 Juli 2012. Putusan ini mengakhiri polemik pembelian saham yang berlangsung sejak pertengahan 2011 dan berujung pada Sengketa Kewenangan Lembaga Negara antara pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan DPR.Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) tidak perlu terjadi apabila Kementerian Keuangan dan DPR memahami dengan baik mekanisme dan proses pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peran eksekutif dan komisi/Badan Anggaran DPR dalam APBN tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Kewenangan BPK diatur dalam UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan amandemen UUD 45.

Moral Penegak HukumPenegak hukum adalah penentu dari tegak dan berhasilnya penegakan hukum. Wibawa hukum ada di tangan para penegak hukum ini. Dengan demikian kewibawaan dan keluhuran budi dari para penegak hukum tersebut harus sungguh-sungguh dijaga dan dipelihara. Satu kasus saja namun tamparannya begitu terasa bagi semua penegak hukum, yaitu kasus Akil Mochtar.Akil Mochtar terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar). Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini sehingga menguatkan putusan penjara seumur hidup. Dalam pertimbangan majelis hakim kasasi disebutkan bahwa perbuatan Akil dinilai telah meruntuhkan wibawa MK. Diperlukan usaha yang sulit dan memerlukan waktu lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada MK. Selain itu, Akil merupakan ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat yang mencari keadilan. Menurut hakim, Akil seharusnya memberikan contoh teladan yang baik dalam masalah integritas.

Kesamaan Persepsi Memandang KorupsiKorupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah hal lazim yang sudah dimaklumi bersama. Namun ternyata dalam praktiknya, ada beberapa kebijakan yang diambil oleh pengambil kebijakan yang belum mencerminkan kesamaan persepsi ini. Salah satu hal yang mencerminkan ketidaksamaan persepsi antara para penyelenggara negara adalah adanya wacana pemberian remisi bagi koruptor (terpidana kasus korupsi).Di pertengahan Maret 2015 lalu Komisi III DPR RI dan Menkumham Yasonna Laoly berencana akan membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Revisi PP 99 2012 ini adalah usulan yang ajukan eksekutif (pemerintah). Menkumham Yasonna berkilah dengan mengatakan bahwa konsep remisi yang diwacanakannya bukan untuk mengurangi hukuman bagi pelakuextraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Tetapi, kata dia, secara luas gagasan ini untuk memperbaiki sistem praperadilan.Namun apapun alasannya, yang jelas wacana ini menjadi kemunduran dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah digaungkan bersama semua elemen bangsa. Banyak pihak yang menolak wacana ini, namun sampai saat ini pemerintah bergeming, dan beralasan bahwa wacana ini masih dalam kajian.

5. KESIMPULANa. Berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan oleh pemerintah sejak kemerdekaan, baik dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi.b. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), oleh karena itu upaya mengatasinya harus extraordinary pula. Seluruh elemen bangsa, pemerintah dan masyarakat harus berperan dan bertanggung jawab dalam memberantas korupsi. c. Upaya penegakan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi baru akan efektif ketika hukum benar-benar ditegakkan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.d. Terkait dengan permasalahan dan hambatan yang dihadapi KPK khususnya yang terkait pelemahan KPK, terbukti bahwa masyarakat dan rakyat Indonesia adalah benteng yang sangat kuat yang menjadi pelindung bagi KPK. Hal ini merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya kehadiran KPK dan semangat ini harus selalu dijaga guna mengawal proses pemberantasan korupsi kedepannya.

DAFTAR REFERENSI[1] BUKU AJAR PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTIKORUPSI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan, 2014[2] Buku Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.[3] Husein, Yunus. 2001. Telaah Penyebab Indonesia Masuk Dalam List Non Cooperative CountriesAnd Territories Oleh FATF On Money Laundering. Jakarta[4] Maryanto. 2012. Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah CIVIS[5] Swastika, Benny. 2011. Tinjauan Hukum Asas Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia[6] Sjahdeini, Sutan Remy. 2007.Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan. Pembiayaan Terorisme. PT. Pustaka Utama Grafitri. Jakarta.[7] Siahaan, N.H.T. 2002.Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Pustaka SinarHarapan.[8] Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[10] Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen[11] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[12] Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.[13] Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.[14] Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.[15] Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Akses internet

[17] http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf(diakses tanggal 27 April 2015)[18] http://mahathir71.blogspot.com/2012/04/sifat-melawan-hukum-rechtswdrig-unrecht.html(diakses tanggal 27 April 2015)[19] http://www.jokowinomics.com/2015/02/20/berita/ekonomi/jumlah-kasus-korupsi-indonesia-meroket-di-tahun-2014/ (diakses tanggal 27 April 2015)[20] http://hukum.kompasiana.com/2014/12/05/dari-data-tranparency-international-tahun-2014-ada-kemajuan-pemberantasan-korupsi-di-indonesia--690432.html (diakses tanggal 27 April 2015) [21] http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014 (diakses tanggal 27 April 2015)[22] http://acch.kpk.go.id/ (diakses tanggal 27 April 2015) [23] http://news.metrotvnews.com/read/2015/03/26/377149/senin-dpr-menkumham-bahas-wacana-remisi-koruptor (diakses tanggal 27 April 2015)[24] http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/19381651/Kasasi.Akil.Ditolak.Kuasa.Hukum.Akan.Pelajari.Putusan.MA (diakses tanggal 27 April 2015)[25] http://kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/penalaran-dan-argumentasi-hukum.html (diakses tanggal 27 April 2015) [26] http://publications.feb.ugm.ac.id/node/27 (diakses tanggal 27 April 2015)[27] http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/00269-uji-materi-uu-keuangan-negara-ditolak-mk-beri-batas-bisnis/ (diakses tanggal 27 April 2015)[28] http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/29/338097/ini-11-upaya-pelemahan-kpk-versi-icw (diakses tanggal 27 April 2015)