penelitian eksperiment

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

A. JUDUL PENELITIAN

Pengaruh Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif Dengan Setting Kelas Kooperatif Group Investigation Dalam Meremidiasi Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 SingarajaB. IDENTITAS PENELITI

NAMA

: Azria

NIM

: 0713011067

JURUSAN

: Pendidikan Matematika

FAKULTAS: MIPA

C. PENDAHULUAN

C.1 Latar Belakang

Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan sumber daya manusia, maka pemerintah Indonesia bersama kalangan swasta telah menempuh berbagai macam upaya, pengembangan kuantitas dan kualitas fasilitas belajar mengajar, melakukan perubahan atau revisi kurikulum secara berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tetapi kenyataannya upaya pemerintah tesebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Selama ini, sistem pendidikan cenderung menggunakan pola pikir dengan paradigma keseragaman. Semua harus seragam seperti : kurikulum, buku, sistem ujian dan sebagainya. Sistem ujian bersama (nasional) misalnya, menimbulkan kecemasan di kalangan guru yaitu kecemasan pada soal yang diujikan materinya belum diajarkan. Akibatnya, para guru lebih berorientasi pada penghabisan materi pelajaran daripada pemahaman materi (Suharta, 2002). Pola pembelajaran seperti ini sangat kering, hanya bersifat informatif, dan bukan mengajar yang sebenarnya sehingga siswa tidak belajar dengan bermakna. Dampaknya adalah kualitas pendidikan yang masih sangat memprihatinkan.

Hal ini dapat dilihat dari hasil studi yang berskala internasional maupun nasional yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia sangat kurang. Dari ukuran Human Development Index (HDI) menunjukkan rendahnya kualitas SDM Indonesia yakni berada pada peringkat 109 dari 174 negara yang diukur (Mendiknas dalam Sudjana, 2002). Rata-rata NEM Nasional tingkat SLTP dan SMU untuk semua mata pelajaran yang diebtanaskan kecuali PPKn dalam empat tahun terakhir selalu dibawah 6,0 (Depdiknas dalam Sudjana, 2002). Diduga bahwa rendahnya tingkat pemahaman siswa sebagi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya NEM tersebut. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, krisis yang melanda dunia pendidikan sebagian besar berkutat di sekitar masalah kesulitan para siswa menguasai/memahami isi materi pelajaran yang menjadi substansi kurikulum (Gardner dalam Santyasa, 2003).

Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah suatu proses pembentukan pengertian (pemahaman) dari pengalaman-pengalaman dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya atau prior knowledge (Tobin dalam Sadia, 1997). Belajar haruslah dilihat sebagai perubahan konsepsi siswa, di mana proses perubahan itu memerlukan pembentukan makna (pemahaman) yang aktif oleh pelajar. Di sisi lain, mengajar bukan hanya sekedar mentransmisikan pengetahuan, namun lebih merupakan suatu upaya untuk melakukan negosiasi makna-makna (Sadia, 1995). Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuan. Mengajar berarti partisipasi dengan pembelajaran dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan (pemahaman), bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi (Suparno, 1997).

Pemahaman yang dimaksud bukan hanya sekedar mengingat suatu informasi/konsep atau kemampuan mengikuti dan melaksanakan proses pembelajaran, tetapi implikasinya lebih daripada itu yaitu suatu pemahaman nyata atau kemampuan untuk mengungkapkan suatu konsep, menerapkan pengetahuan kepada permasalahan yang lebih khusus, dan membangun penjelasan (Elmore dalam Killen, 1998). Perkins dan Blythe (dalam Killen, 1998) mengungkapkan bahwa pemahaman adalah suatu kemampuan dalam memvariasikan penyampaian gagasan pemikiran pada suatu topik/konsep, seperti dalam menjelaskan, mengemukakan bukti, fakta dan contoh, mengeneralisasikan, menggunakan, menganalogikan, dan menggambarkan suatu topik dalam suatu teknik. Seseorang dikatakan memahami apabila dia dapat menunjukkan unjuk kerja pemahaman tersebut pada level kemampuan yang lebih tinggi baik pada konteks yang sama maupun pada konteks yang berbeda (Gardner dalam Santyasa, 2003; Willis dalam Santyasa, 2003). Pemahaman merupakan kemampuan untuk menangkap arti dari apa yang tersaji, kemampuan untuk menterjemahkan dari satu bentuk ke bentuk lainnya dalam kata-kata, angka, maupun, intepretasi berbentuk penjelasan, ringkasan, prediksi, dan hubungan sebab-akibat (Suparno, 2001).

Matematika sebagai bagian dari pendidikan formal mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan SDM yang bermutu. Namun kenyataannya sampai saat ini matematika masih dianggap pelajaran yang sulit, banyak rumus, serta perhitungan-perhitungan yang terkesan membosankan. Kenyataan inilah yang menyebabkan minat siswa dalam belajar matematika relatif rendah yang akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar siswa.

Bagi siswa, belajar matematika tampak hanya untuk kepentingan menghadapi ulangan umum atau ujian. Materi pelajaran matematika dirasakan sebagai beban yang penuh dengan hafalan rumus-rumus. Hal ini akan menyebabkan rendahnya minat dan motivasi belajar siswa. Konsekuensinya, proses dan produk pembelajaran matematika sampai saat ini selalu menjadi sorotan baik oleh para praktisi maupun para teoritisi pendidikan. Mereka mensinyalir bahwa produk dan proses pembelajaran matematika masih berkategori rendah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas proses pembelajaran matematika dewasa ini dapat dilihat dari pelaksaan pembelajaran yang tidak lebih dari kegiatan pembelajaran yang bersifat reguler. Sedangkan produk pembelajaran matematika salah satunya dapat diartikulasikan dari perolehan NEM/NUAN Matematika SMP yang dari tahun ke tahun masih berkategori rendah. Sebagai contoh, di kabupaten Buleleng pada tahun pelajaran 2004/2005 dari 22 SMP yang mengikuti UN mata pelajaran matematika, NEM rata-ratanya hanya 3,51 (tertinggi 4,35 dan terendah 3,20) dengan stanrad seviasi (SD) = 0,4 (Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, 2001), sedangkan pada tahun pelajaran 2005/2006 dari 20 SMP yang mengikuti UN mata pelajaran matematika, NUAN rata-rata nya hanya 3,63 (tertinggi 5,72 dan terendah 2,57) dengan standar deviasi (SD) = 0,9 (Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, 2002).

Secara garis besar faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran dpat dikelompokkan atas faktor internal dan faktor eksternal. Yang tergolong faktor internal ialah segala faktor yang bersumber dari dalam diri pebelajar seperti faktor fisiologis yang mencakup pendengaran, penglihatan, dan kondisi fisiologis serta faktor psikologis yang mencakup kebutuhan, kecerdasan, motivasi, perhatian, berpikir, dan ingatan. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah segala faktor yang bersumber dari luar diri pebelajar seperti faktor lingkungan belajar yang mencakup lingkungan alam, fisik dan sosial serta faktor sistem penyajian yang mencakup kurikulum, bahan belajar, dan metode penyajian atau kemasan pembelajaran (Mappa & Anisah Basieman, 1994). Gardner (1999) mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi penghalang bagi pemahaman siswa sehingga siswa kesulitan dalam menguasai isis materi pelajaran, yaitu: (1) pemilihan metode pembelajaran yang kurang tepat, (2) substansi kurikulum yang tidak mengacu pada kebermanfaatannya bagi siswa di masa yang akan datang, (3) perumusan tujuan pembelajaran yang tidak terfokus pada pemahaman.

Kesalahan yang sifatnya substansial ini menghambat pemahaman siswa dan tidak jarang menimbulkan salam pemahaman (misunderstanding) atau miskonsepsi bagi siswa. Kesalahan-kesalahan ini dapat terjadi juga pada pembelajaran matematika yang pada hakekatnya sangat didasari oleh pemahaman konsep siswa. Salah satu faktor penyebab rendanya tingkat pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika berasal dari faktor internal. Faktor internal tersebut adalah pola belajar yang bersifat hafalan belaka, bertahan pada pola pikir intuitif, menerapkan pengetahuan sehari-hari mereka, bertahan dengan miskonsepsi-miskensepsi yang dibawa sejak duduk di bangku pendidikan yang lebih rendah bahkan yang telah bertahan dalam pikiran sejak masa kanak-kanak. Pola-pola pikir tersebut sering memperkuat miskonsepsi dan bahkan akan menimbulkan miskonsepsi baru.

Berg (1991) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika siswa memasuki kelas dengan pengalaman dan pengetahuan yang terbentuk dari intuisi dan teori siswa sebagian besar miskonsepsi. Secara alamiah siswa mengamati berbagai fenomena gejala alam di lingkungannya, siswa mencoba untuk menafsirkannya dan menggambarkan konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan domain pengalaman mereka. Konsepsi siswa ini diberi nama atau label yang bermacam-macam antara lain : prakonsepsi, konsepsi siswa (students conseptions), alternative framework, prior knowledge, misconseption, dan everyday knowledge (Berg, 1991). Gabel dalam Berg 1991 menyatakan bahwa terdapat tiga sumber yang dapat menjadi penyebab miskonsepsi siswa, yaitu: (1) lingkungan alam tempat anak tumbuh dan berkembangn, (2) bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran sains, (3) petunjuk formal (formal instruction).

Dari hasil penelitian terungkap bahwa para siswa yang telah memperoleh pelajaran matematika secara sering menggunakan konsepsi yang dimiliki sebelum pembelajaran yang masih berlabel miskonsepsi. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa telah lama menjadi perhatian dan pertimbangan para praktisi dalam merancang dan mengimplementasikan pembelajaran untuk pemahaman. Ausebel (dalam Suastra, 1998) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Ausebel mengemukakan tiga asumsi yang saling berkaitan, yaitu: (1) pengetahuan awal adalah suatu variabel yang terpenting, (2) derajat pengetahuan awal siswa harus diketahui dan diukur dalam rangka meningkatkan prestasi belajar secara optimal, dan (3) pembelajaran hendaknya secara optimal dikaitkan dengan derajat pengetahuan awal siswa.

Pengemasan pembelajaran merupakan salah satu faktor eksternal yang sangat mempengaruhi kualitas belajar siswa. Dari pengemasan pembelajaran inilah dapat dilihat kreatifitas guru dalam mengajar. Namun pada sisi lain, dewasa ini pengemasan pembelajaran matematika di sekolah tampaknya semata-mata berorientasi kepada materi yang tercantum pada kurikulum dan buku teks.

Faktor eksternal lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah faktor bahan belajar. Gagne (dalam Mappa & Anisah Basiemen, 1994) mengemukakan lima kategori yang perlu dimiliki oleh suatu materi ajar, yaitu: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi koginitif, sikap, dan keterampilan motorik. Sedangkan menurut Taba (1990) yang dikutip oleh Mappa & Anisah Basieman (1994) memperkenalkan tiga tahapan strategi pengorganisasian meteri ajar yang terdiri dari tiga tahapan prosen berpikir, yaitu: pembentukan konsep, interpretasi konsep, dan aplikasi prinsip. Hasil penelitian Santyasa, dkk (1996) menyatakan penerapan modul berupa paket materi ajar dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Materi ajar yang dikembangkan haruslah sesuai dengan pandangan konstruktivisme yang dalam penyajiannya memperhatikan konsepsi awal siswa. Ausebel seperti dikutip dalam Suparno (2001) menyarankan cara-cara untuk memaksimalkan hasil belajar dengan menyajikan dan menata bahan materi ajar secara terurut dengan menggunakan pendahuluan yang jelas merangsang penemuan hal yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif siswa. Bahan pendahuluan ini berfungsi sebagai pengatur awal, harus bersifat inklusif dan berhubungan dengan apa yang telah diketahui siswa.

Dilihat dari faktor lingkungan belajar terutama lingkungan sosial yaitu suasana hubungan timbal balik antara segenap warga pembelajaran, baik antar siswa maupun antar siswa dengan guru (Mappa & Anisah Basieman, 1994). Para siswa memasuki ruangan kelas dengan latar belakang kemampuan dan pengetahuan yang heterogen. Faktor internal ini mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar, terdapat siswa yang sangat mudah belajar, sementar dilain pihak banyak siswa kesulitan untuk berhasil meraih kesuksesan akademik. Sedangkan format penilaian yang digunakan dalam menilai ketuntasan belajar siswa adalah ketuntasan belajar klasikal. Dalam kegiatan-kegiatan akademik, siswa yang kurang mapu selalu berada pada urutan terbawah, selalu memperoleh feedback negatif, dan tidak mendapatkan peluang meraih kesuksesan (Salvin, 1995). Suasana belajar yang penuh dengan kompetitif mengakibatkan munculnya aktivitas-aktivitas membela diri yang berbau antisosial yang akhirnya bermuara pada munculnya perilaku negatif.

Dalam rangka menumbuhkan situasi yang mendukung proses belajar, maka hakikat dan kualitas interaksi belajar menjadi sangat penting. Oleh karena itu perlu diciptakan suasana kelas yang penuh dengan toleransi, menyediakan peluang kepada siswa untuk saling membantu satu sama lain, dan memfasilitasi para siswa agar secara akademik mereka sukses bersama. Dengan perkataan lain, praktek pembelajarn sangat memerlukan rancangan pembelajaran yang bernuansa kolabirasi. Salah satu kemasan pembelajaran yang memiliki aspek kolaborasi adalah kemasan pembelajaran berorientasi model belajar kooperatif (Salvin, 1995). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa struktur kooperatif dibandingkan dengan struktur kompetisi dan usaha individual, lebih menunjang komunkasi antar siswa sehingga meningkatkan pertukaran informasi yang lebih efektif dan pada akhirnya membantu tercapainya hasil belajar yang lebih tinggi (Suparno, 2001).

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika memerlukan pemecahan masalah yang memiliki karakteristik khusus dan keterampilan-keterampilan interpretasi konsep serta keterampilan proses yang ternyata sering menyulitkan pekerjaan secara individual. Seesuai dengan pandangan konstruktivisme maka hal yang paling penting dilakukan untuk mencapai suatu pemahaman konsep adalah rekonstruksi (membangun kembali) pengetahuan kognitif. Dengan merekonstruksi pengetahuan kognitif siswa diharapkan akan terbentuk pemahaman konsep siswa yang bermuara pada hasil belajar siswa. Tampaknya kualitas proses pembelajaran matematika khususnya pembelajaran matematika SMP, perlu dioptimalisasi terutama dalam upaya meremidiasi miskonsepsi yang dialami oleh para siswa. Salah satu model pembelajaran yang menekankan pada proses remidiasi miskonsepsi siswa adalah model rekonstruksi pengetahuan kognitif (MRPK) (Santyasa, 2003).

Mode rekonstruksi pengetahuan kognitif yang didasari oleh model pembelajaran perubahan konseptual (conceptual change) adalah suatu model pembelajaran yang mengaktifkan secara bersinergis antara pengetahuan awal dan motivasi belajar. Strategi pengaktifan tersebut tertuang dalam pesan pembelajaran dengan menggunakan strategi-strategi konflik kognitif melalui demonstrasi, analogi, konfrontasi, dan contoh-contoh tandingan. Pesan pembelajaran bermuatan model pembelajaran perubahan konseptual dikemas dalam teks ajar matematika. Teks ajar matematika yang bermuatan model pembelajaran perubahan konseptual berfungsi sebagai refutational text matematika. Prinsip refutational text adalah teks penolakan terhadap gagasan-gagasan siswa yang miskonsepsi, penuntun pengkonstruksian pemahaman konseptual siswa secara mendalam, dan penerapan pemahaman tersebut pada level kemampuan kognitif yang lebih tinggi.

Dalam meremidiasi miskonsepsi siswa sudah seharusnya memperhatikan dan memanfaatkan segala potensi, faktor yang mempengaruhi serta fasilitasd belajar siswa terutama potensi keragaman siswa. Lingkungan belajar kooperatif konstruktivistik merupakan lingkungan belajar yang bebas, beragam, realnes, yang dapat menumbuhkan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar. Selain itu dapat meningkatkan berbagai interaksi antar individu, meningkatkan proses pembelajaran, dan meningkatkan hasil belajar secara optimal (Bennett, 1991)Dalam Santyasa, 2001 ). Dari berbagai teknik pembelajaran kooperatif yang ada, salah satu teknik pendekatan kooperatif yang paling futuristik adalah teknik pembelajaran kooperatif group investigation ( GI ). Pembelajaran kooperatif konstruktivistik, group investigation dikembangkan oleh John Dewey dari pandangan filosofi pendidikan ( Mappa & Anisah Basieman, 1994 ).

group investigation ( GI ) adalah salah satu setting pembelajaran yang mendukung model rekonstruksi pengetahuan kognitif. Model ini mengusut inteaksi antara pengetahuan awal siswa, motivasi belajar siswa, interaksi sosial siswa dan pesan pembelajaran ( Dole & Sinatra dalam Santyasa, 2003 )

Kolaborasi antara model rekonstruksi pengetahuan kognitif ( MRPK ) dengan teknik teknik belajar kooperatif diduga dapat sebagai alternatif pemecahan masalah pembelajaran matematika di SMP. Berangkat dari paradigma yang dianut sekarang ini, maka model rekonstruksi pengetahuan kognitif akan dikomparasikan dengan model pembelajaran linier. Model pembelajaran linier yang dimaksud adalah model pembelajaran yang terungkap di lapangan yang secara reguler dan rutin diterapkan oleh para guru selama ini. Kedua model ii akan dikomparasikan pada setting kelas yang sama yaitu dengan mengambil setting kelas kooperatif group investigation. Ide ini dituangkan dalam suatu penelitian dengan judul Pengaruh Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif Dengan Setting Kelas Kooperatif Group Investigation Dalam Meremidiasi Miskonsepsi dan Meningkatkan Hasil Belajar Matematika. Uji komparatif MRPK dilaksanakan dalam pembelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri yang ada di kota Singaraja pada semester I ( Ganjil ) tahun ajaran 2007 / 2008.C.2 Rumusan Masalah

Permasalahan permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah terdapat perbedaan hasil remidiasi miskonsepsi antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier ?

2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstrusi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier ?

C.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan perbedaan hasil remidiasi miskonsepsi antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier.

2. Mendeskripsikan perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstrusi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belaar dengan model pembelajaran linier.

C.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Hasil pengembangan teks ajar matematika bermuatan model pembelajaran perubahan konseptual ( refutational text ) yang teruji secara empirik kelayakan dan keunggulan komparatifnya akan memberikan manfaat besar sebagai perangkat pembelajaran matematika SMP berorientasi perubahan konseptual. Perangkat pembelajaran semacam ini keberadaannya masih sangat langka.

2. Informasi mengenai pengetahuan awal dan miskonsepsi siswa akan sangat bermanfaat bagi para guru matematika SMP dalam menetapkan strategi pembelajaran konsep yang dapat merubah miskonsepsi menuju konsepsi yang benar.

3. Bagi para siswa, penelitian ini akan sangat bermanfaat karena secara tidak langsung mereka terbantu dalam mengukuti pembelajaran konsep konsep matematika yang sangat memberi peluang bagi mereka yang kreatif akan dapat meremidiasi miskonsepsi serta meningkatkan hasil belajar secara lebih optimal.

4. Dikembangkannya teks ajar matematika bermuatan model pembelajaran perubahan konseptual (refutational text) akan menambah lengkapnya sumber belajar bagi siswa, utamanya yang menyangkut sumber belajar perubahan konseptual.

C.5 Asumsi Penelitian

Pada penelitian ini perlu diungkapkan beberapa asumsi sebagai landasan berpikir sehingga kebenaran penelitian ini terbatas sejauh asumsi-asumsi berikut berlaku. Asumsi-asumsi yang digunakan dijelaskan sebagai berikut:

1. Skor yang diperoleh siswa dalam menjawab tes yang diberikan mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya

2. Variabel-variabel lain yang terdapat pada masing-masing individu dan di luar individu, selain variabel-variabel yang diteliti dianggap sama pengaruhnya terhadap kelas yang dibandingkan.

C.6 Keterbatasan Penelitian

Karena terbatasnya kemampuan, biaya, waktu dan tenaga maka penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Adapun keterbatasan-keterbatasannya adalah sebagai berikut:

1. Populasi pada peelitian ini hanya terbatas pada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Singaraja semester I tahun ajaran 2007/20082. Dalam penelitian ini hanya diteliti hasil belajar matematika siswa.

D. KAJIAN PUSTAKA

D.1 Pengertian Belajar

Belajar merupakan masalah yang ukup kompleks, sehingga sukar untuk didefinisikan secara sempurna. Definisi belajar sangat bergantung pada teori belajar yang dianut. Dalam pandangan belajar yang dikemukakan oleh para konstruktivis, belajar bukanlah penambahan informasi baru secara sederhana, tetapi melibatkan interaksi anatara pengetahuan baru ddengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Tetapi dari hasil penelitian Piaget tentang bagaimana anak memperoleh pengetahuan, sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak ( Bordner dalam Santyasa, 2003 ). Artinya, bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh anak yang didasarkan atas struktur kognitif atau skema skema yang telah ada sebelumnya ( prior knowledge ). Jadi, dalam proses pembelajaran siswa itu sendirilah yang seharusnya aktif secara mental untuk membangun pengetahuannya.

Menurut aliran konstruktivisme proses pembelajaran adalah memberikan tekanan kepada pengkonstruksian makna pengetahuan yang telah ada sebelumnya dan input input sensori yang baru serta menekankan pada pentingnya hubungan hubungan oleh pebelajar di dalam mengkonstruksi makna. Proses konstruksi makna bisa terjadi antara ide ide yang telah mereka miliki dan input input yang dipilih. Dapat juga trejadi antara pengalaman mereka sebelumnya dalam dunia mereka sehari hari dan ide ide baru yang mereka temukan di sekolah. Belajar menurut pandangan konstruktivisme adalah merupakan modifikasi dari ide-ide yang ada pada diri siswa, karena itu sebagai pengembangan pengertian tentang belajar adalah suatu proses pembentukan pengertian dari pengalaman pengalaman dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya ( Tobin dalm Santyasa, 2003 ). Sebagai konsekuensi dari pengertian itu, maka guru harus memberi pengertian yang besar terhadap prior knowledge siswa dalam upaya mengoptimalkan proses belajara siswa.

Sebagai implikasi dalam pembelajaran matematika, pebelajaran tidak dipandang sebagai penerimaan pengetauan secara pasif dari suatu program instruksional tetapi harus dilihat sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya. Belajar harus dipandang sebagai perubahan konsepsi siswa yang memerlukan pembentukan makna yang akatif oleh pebelajar. Di sisi lain, mengajar bukan proses mentransmisikan pengetahuan tetapi lebih merupakan suatu negosiasi makna makna pengetahuan.

D.2 Proses Belajar Mengajar

Mappa & Anisah Baiseman ( 1994 ) mendefinisikan konsep mengajar sebagai berikut :

1. Mengajar sebagai ilmu ( teaching as a science ) artinya terdapat landasan yang mendasari kegiatan mengajar baik dari filsafat ilmu maupun teori teori belajar mengajar, sifatnya metodologis dan prosedural.

2. Mengajar sebagai teknologi ( teaching as a technology ) yaitu penggunaan perangkat alat yang dapat dan harus diuji secara empiris.

3. Mengajar sebagai suatu seni ( teaching as an art ) yang mengutamakan performance / penampilan guru secara khas dan unik yang bersal dari sifat sifat khas guru dan perasaan serta nalurinya.

4. Mengajar sebagai pilihan nilai ( wawasan kependidika guru ) bersumber pada pilihan nilai atau wawasan kependidikan yang dianut guru. Wawasan tersebut terpulang pada tujuan umum pendidikan nasional yang dapat ditelusuri kepada rumusan rumusan yang formal maupun kepada asumsi asumsi konseptual atau filosofinya yang mendasar.

5. Mengajar sebagai keterampilan (teaching as a skill ) yaitu suatu proses penggunaan seperangkat keterampilan secara terpadu.

Selanjutnya T. Raka Joni seperti yang dikutip Sukra Warpala ( 2002 ) merumuskan pengertian mengajar sebagai penciptaan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen komponen yang saling mempengaruhi, yaitu (1) tujuan instruksional yang ingin dicapai, (2) guru dan peserta didik yang memainkan peranan senada dalam hubungan sosial tertentu, (3) materi yang diajarkan, (4) bentuk kegiatan yang dilakukan serta (5) sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia. Perbuatan mengajar merupakan perbuatan yang kompleks. Mengajar menuntut keterampilan tingkat tinggi karena dapat mengatur beerbagai komponen dan menyelaraskannya untuk terjadinya proses belajar yang efektif.

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep belajar. Oleh karena itu, perwujudan proses belajar mengajar dapat terjadi dalam berbagai model. Bruce Joyce dan Marshall Weil (dalam Nasution, 1994) mengklasifikasikan model model belajar menjadi empat kelompok, yaitu ( 1 ) proses informasi, ( 2 ) perkembangan pribadi, ( 3 ) interaksi sosial dan ( 4 ) modifikasi tingkah laku.

Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu ( Mappa & Anisah Basieman, 1994 ). Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Interaksi dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas,tidak sekedar hubungan antara guru dan siswa, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sdang belajar.

Pengertiam proses belajar mengajar, hal yang pertama kali dilakuakan adalah merumuskan tujuan pembelajaran baik tujuan pembelajaran umum ( TPU ) maupun khusus ( TPK ). Setelah itu langkah berikutnya adalah menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut. Selanjutnya menentukan metode mengajar yang merupakan wahana pengembangan materi pelajaran sehingga dapat diterima oleh siswa. Kemudian menentukan alat peraga pengajaran yang dapat digunakan untuk memperjelas dan mempermudah penerimaan materi pelajaran oleh siswa serta dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Langkah yang terakhir adalah menentukan alat evaluasi yang dapat mengukur tercapainya tujuan yang hasilnya dapat dijadikan umpan balik bagi guru dalam meningkatkan kualitas mengajarnya maupun kuantitas belajar siswa ( Uzer, 1995 ). Dengan demikian, jelaslah bahwa belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

D.3 Implikasi Model Konstruktivisme dalam Belajar Mengajar

Bertolak dari pandangan konstruktivis bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pebelajar maka penganut konstruktivis menghendaki adanya pergeseran yang tajam dalam perspektif bagi individu yang berdiri di muka kelas sebagai guru suatu pergeseran dari seorang yang mengajar menjadi seorang fasilitator atau menjadi mediator yang kreatif dalam proses pembelajaran. Suatu pergeseran dari mengajar dengan pembebanan menjadi mengajar melalui negosiasi ( Bodner, 1988 ). Hal ini sangat penting karena pengetahuan matematika sebagai pengetahuan fisik dan logika matematik tidak dapat ditransfer secara utuh dari guru ke siswa. Kaum konstruktivis menyarankan bahwa pembelajar membangun pengetahuannya sendiri dan ini sangat dipengaruhi oleh apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Aliran konstruktivisme menganjurkan agar para pendidik selalu mengenali muridnya dalam hal pengetahuan awalnya dan untuk menyediakan pengalaman yang akan membantu mereka untuk membangun pengetahuan tentang alam ( Duit dalam Santyasa, 2002 ). Wawancara pada siswa, peta konsep, jurnal siswa, tes diagnostik maupun tes pilihan ganda pemahaman konsep adalah teknik yang telah dipakai untuk tujuan-tujuan tersebut. Melalui teknik tersebut guru dapat memancing siswa melalui pertanyaan-pertanyaan, agar siswa menyampaikan gagasan-gagasan yang mereka bawa sebelum pembelajaran. Dari sini guru dapat menyusun suatu strategi pembelajaran yang cocok diterapkan di kelas itu.

Model konstruktivis juga menekankan pentingnya aliran informasi dua arah antara guru dan siswa melalui suatu interaksi antara proses belajar mengajar. Terdapat suatu indikasi bahwa guru yang konstruktivis selalu mempertanyakan jawaban siswa apakah jawaban itu benar atau salah. Mereka menuntut agar siswa dapat memberikan penjelasan atas jawaban yang dikemukakannya, dan mendorong siswa untuk merefleksikan pengetahuannya, yang merupakan bagian esensial dari proses pembelajaran (Bodner dalam Santyasa, 2002)

Penganut konstruktivis beragumentasi bahwa ketidakseimbangan memegang peranan penting dalam proses belajar. Para siswa perlu mengetahui dan menyadari bahwa ada suatu permasalahan sebelum mereka mau menerima suatu penjelasan. Dalam memecahkan permasalahan yang disadari terdapat lima faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang di dalam memecahkan masalah yaitu: kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, transmisi sosial, dan pengaturan sendiri atau ekuilibrasi. Namun ekuilibrasi merupakan proses pengatur sendiri (internal) yang mengkoordinir pengaruh dari faktor-faktor yang lain (Dahar, 1989). Dan equilibrasi merupakan suatu proses konstruktif.

Model belajar konstruktivis dirancang dengan mengikuti alur pemikiran dari panhdangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar melalui proses asimilasi dan akomodasi. Adapun langkah-langkah kegiatan belajar dalam model belajar konstruktivis adalah sebagai berikut (Sadia, 1996).

Pertama, guru memilih suatu pengalaman belajar yang mendukung konsep yang akan dipelajari siswa.

Kedua, para siswa menyusun pengertian pribadinya terhadap pengalaman belajar yang disajikan guru. Pengetahuan yang dibangun atau dikonstruksinya harus bermakna bagi pebelajar itu sendiri. Dalam membangun pengetahuannya yang masih berupa konsepsi-konsepsi alternatif, dipengaruhi oleh pengetahuan awalnya (prior knowledge). Dalam hal ini harus dipertimbangkan adanya kesenjangan antara pengetahuan yang dibangun oleh masing-masing individu pebelajar.

Ketiga, bangunan pengetahuan yang telah dikonstruksi oleh masing-masing individu pebelajar dievaluasi melalui diskusi. Dalam kegiatan ini, masing-masing pebelajar mengemukakan gagasannya dan guru hanya berperan sebagai fasilitator atau mediator. Pada saat munculnya miskonsepsi-miskonsepsi siswa gu4ru hanya menggunakan strategi pengubahan konseptual untuk mengubah miskonsepsi-miskonsepsi tersebut menuju ke suatu konsep yang benar. Ada 4 strategi alternative yang dapat ditempuh yaitu : (1) demonstrasi, (2) analogi, (3) konfrontatif atau konflik kognitif, dan (4) contoh-contoh tandingan.

Keempat, dari evaluasi pada langkah ketiga di atas masing-masing individu pebelajar akan merekonstruksipengertiannya atau konsepsinya dalam hubungannya dengan konsistensi mereka dengan pengalaman aslinya serta dalam hubungannya dengan kemampuan mereka untuk membuat ramalan yang dapat diuji melalui eksperimen. Konsepsi-konsepsi yang sesuai dengan kriteria matematika akan diterima. Konsepsi atau gagasan siswa yang tidak diterima secara matematika perlu dimodifikasi untuk dieliminasi konsistensinya sampai dapat diterima secara matematika. Proses rekonstruksi terhadap gagasan atau konsepsi siswa yang belum dapat diterima secara matematika dapat berlangsung secara berulang, sampai akhirnya konsepsi siswa dapat diterima sebagai konsepsi matematika.Empat langkah pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan pada bagan/gambar 1

Gambar 1 Model Belajar Konstruktivis

(Sadia, 1996 : 20)

D.4 Peran Pengetahuan Awal (Prior Knowledge) dalam Belajar

Harlen (Sadia, 1995) membedakan antara pengetahuan pribadi (personal knowledge) dan pengetahuan umum (public knowledge). Pengetahuan pribadi merupakan pemahaman kita sendiri tentang bagaimana keadaan di sekitar kita menurut pandangan kita sendiri dan diperlihatkan dalam tindakan kita. Pengetahuan umum adalah pengetahuan eksternal dan dimiliki oleh masyarakat.

Sebelum siswa memperoleh pelajaran matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan awal. Pengetahuan awal tersebut adalah merupakan pengetahuan pribadi mereka, yaitu gagasan-gagasan yang terbentuk melalui belajar informal dalam proses memahami pengalaman-pengalaman sehari-hari. Gagasan-gagasan anak ini ada yang menyebut childrens science, misconception, alternative framework, childrens ideas atau prior knowledge (Osborne dalam Sutrisna, 1991). Gagasan-gagasan anak tersebut pada umumnya sangat resisten. Karena itu, guru perlu mengetahui dan memahami gagasan-gagasan siswanya sebelum melaksanakan proses pembelajaran di kelas, agar guru dapat menyiapkan strategi pembelajaran untuk dapat membentuk konsep matematika.

Jika guru tidak menyadari akan pengetahuan awal yang dibawa anak-anak ke dalam kelas, dan terus mengajar untuk memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang didasarkan atas latar belakang yang diasumsikan sendiri, maka tidak mengherankan jika konsepsi anak terhadap suatu topic tetap miskonsepsi. Pembentukan pengertian berimplikaasi bahwa pebelajar akan melakukan refleksi terhadap pengalaman dan apa yang telah dia diketahui (Tobin dalam Santyasa, 2002). Pengetahuan awal digunakan untuk membuat pengertian atas pengalaman, dan sebagai konsekwensinya guru harus memberi perhatian yang khusus terhadap prior knowledge dari setiap siswa dalam kelas. Prior knowledge sebagai konstruksi personal mempunyai pengaruh yang penting dalam belajar matematika. Melalui pengetahuan awal tersebut pebelajar akan menggunakannya untuk 1) menginterpretasikan ide ide yang dipelajari, 2) mengkaitkan ide ide yang dipelajari dengan apa yang telah diketahuinya dan diyakininya. (Gustone dalam Sadia, 1996 )

Konsepsi siswa pada umumnya berbeda dengan konsepsi ilmuan. Konsepsi ilmuan bersifat ilmiah, lebih canggih, lebih kompleks, dan melibatkan lebih banyak hubungan antar konsep. Jika konsepsi siswa bertentangan dengan konsepsi para ilmuan, maka disebut miskonsepsi. Nama lain dari istilah miskonsepsi yang digunakan oleh para peneliti di antaranya adalah instuisi (Intuitions), konsep alternatif ( Alternative conceptions), kerangka alternatif (Alternative Framework), dan teori naf ( Driver dalam Santyasa, 2002).

Miskonsepsi siswa sering muncul karena mereka hanya menggunakan pola pikir intuitif atau akal sehat ( common sense ), dan tidak menggunakan pola pikir ilmiah dalam menaggapi dan menjelaskan permasalahan yang mereka hadapi.

Berg ( 1991) menyatakan bahwa miskonsepsi siswa merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan sendirinya cukup logis dan lumayan konsisten, walaupun tidak cocok dengan pendapat ilmuan. Dawson ( 1992 ) menyebutkan, miskonsepsi memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) tidak dapat digeneralisasikan, 2) dibangun (dikonstruksi) atas dasar akal sehat (common sense), 3) merupakan eksplanasi pragmatis dari suatu realita, 4) tidak problematic dan sering dalam bentuk resep, 5) pengertian hanya ditujukan pada jaminan keberhasilan tindakan.

Penelitian penelitian terhadap miskonsepsi siswa menunjukkan bahwa pada umumnya miskonsepsi siswa bersifat resisten dalam pembelajaran ( Berg, 1991). Dalam arti bahwa gagasan gagasan siswa yang miskonsepsi cukup sulit untuk dirubah. Oleh karena itu, guru perlu memahami sifat dan karakteristik konsep awal siswanya agar mereka dapat menyiapkan strategi pembelajaran yang tepat untuk mengubah miskonsepsi siswa.

Cara untuk mengubah suatu konsepsi awal siswa antara lain ( Sutrino, 1991): 1) memperluas tentang penerapan suatu kensepsi, 2) mendiferensiasi suatu miskonsepsi, 3) membangun jembatan pengalaman menuju konsepsi baru, 4) membuka problem yang konseptual, 5) menggunakan model analogi simulasi, dan 6) membangun konsepsi alternatif yang baru. Semua cara cara tersebut akan bermuara pada terjadinya ketidakseimbangan yang selanjutnya akan mendorong siswa untuk melakukan modifikasi dan restruksi gagasannya yang miskonsepsi.

D.5 Belajar Sebagai Perubahan Konsepstual

Model pembelajaran adalah suatu pedoman untuk merancang kegiatan pendidikan, menguraikan cara cara pembelajaran (belajar mengajar ) dalam upaya mencapai jenis jenis tujuan tertentu. Suatu model mencakup rasional yaitu teori yang melandasinya dan memaparkan kebaikannya serta alasan alasannya, yang dapat dilengkapi dengan bukti bukti yang mendukungnya (Mappa & Anisah Basieman,19994). Weil dan Joyce (Sumantri, 1999) secara khusus mengelompokkan model model pembelajaran ke dalam empat kelompok, yaitu : 1) kelompok model pemrosesan informasi, 2) kelompok model personal, 3) kelompok model sosial, dan 4) kelompok model perilaku.

Perspektif filosofis menggambarkan proses perubahan pengetahuan yang terjadi pada para pebelajar. Perspektif psikologi kognitif mendeskripsikan proses perubahan pengetahuan sebagai proses transformasi secara gradual dari struktur yang satu ke struktur yang lain (Siegler dalam Santyasa, 2002). Perubahan konseptual terjadi melalui proses transformasi dan penghalusan (rifining) pengetahuan awal untuk menjadi semakin sempurna (sophisticated forms). Perubahan substansi ini terjadi secara perlahan, relatif stabil, dan bertahan beberapa lama sebelum konsep-konsep baru terbentuk secara lengkap. Para pendidik di bidang matematika telah mengadopsi paham konstruktivistik kognitif tentang pengetahuan. Perspektif pendidikan matematika tentang pengetahuan konsisten dengan perspektif psikologi kognitif dan teori Piagetian. Perspektif-perspektif ini menjelaskan bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan. Menurut perspektif konstruktivistik, pengetahuan tidak ditransmisikan dari guruke pebelajar tetapi dikonstruksi oleh para individu melalui proses asimilasi dan akomodasi (Dole & Sinatra dalam Santyasa, 2002). Perspektif psikologi sosial tentang perubahan mendasarkan diri pada dua gagasan yang saling mempengaruhi, yaitu keyakinan dan sikap. Keyakinan dan sikap dapat diwakili oleh citra mental atau seperangkat pengalaman dan prilaku yang bisa bernilai positif atau negatif. Untuk menyediakan kerangka kerja teoritik untuk memahami secara lebih baik tentang keyakinan, psikolog sosial mengadopsi teori dan metodologi psikologi kognitif. Perspektif psikologi sosial ini dilukiskan sebagai elaboration likelihood model (ELM) (Santyasa, 2003). ELM, sama halnya Model Perubahan Konseptual (CCM), menyatakan bahwa proses yang mengarahkan perubahan keyakinan secara relatif kuat dan permanen sulit diwujudkan. Individu-individu mungkin tidak termotivasi untuk memroses pesan tertentu karena mereka mungkin tidak tertarik dengan topic itu. Individu-individu mungkin tidak melihat relevansi personal mengenai isu tersebut, atau mereka mungkin tidak memiliki suatu taruhan (stake) akan hasil atau akibat yang ditimbulkan isu tersebut.

Berdasarkan kesamaan perspektif mengenai landasan teoretik model-model perubahan menurut pandangan filosofis, psikologi kognitif, pendidikan matematika, dan psikologi sosial, kemudian dikembangkan model pengkonseptualan baru yang disebut Cognitive Reconstruction of Knowlrdge Model, model rekonstruksi pengetahuan kognitif (MRPK).

D.6 Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif

Model rekonstruksi pengetahuan kognitif mulai dengan pengusutan interaksi karakteristik-karakteristik pebelajar.

Karakteristik individu yang pertama berkaitan dengan konsepsi-konsepsi yang dimiliki atau pengetahuan awal berkenaan dengan ide, topic, kejadian atau fenomena. Pengetahuan awal dapat memberikan cara pemrosesan informasi baru (Guzzetti dalam Santyasa, 2003) dan juga dapat mempengaruhi interpretasi individu dari kejadian-kejadian yang sama (Gaskins dalam Santyasa, 2002). Tiga kualitas relevan konsepsi yang dimiliki pebelajar yang mempengaruhi kemungkinan perubahan, yaitu strength, coherence, dan commitment. Semakin kuat ide yang dimiliki, maka semakin kurang adanya kemungkinan proses perubahan. Semakin kurang koheren konsepsi yang dimiliki, semakin mudah adanya kemungkinan berubah.

Karakteristik individu yang kedua adalah motivasi pebelajar untuk memroses informasi baru. Hewson & Thorley (Santyasa, 2002) menggunakan istilah dissatisfaction yang merupakan tonggak munculnya motivasi untuk berubah. Konflik atau ketidakcocokan muncul dari adanya anomali antara konsepsi yang dimiliki dan data baru. Konflik kognitif juga dapat muncul ketika dua pandangan mengalami kontradiksi satu dengan yang lainnya. Namun individu dapat pula memiliki motivasi mengubah idenya tanpa harus mengalami ketidakcocokan ide. Hal ini dapat terjadi apabila individu memiliki suatu taruhan terhadap hasil, memiliki minat terhadap suatu topik (Dole & Sinatra dalam Santyasa, 2002), secara emosional banyak terlibat dalam suatu topik atau tugas, memiliki self-efficacy yang tinggi berkaitan dengan topic dan tugas. Self-efficacy berpengaruh langsung terhadap ketekunan, dan self-efficacy berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap prestasi (Santyasa, 2002; Santyasa, 2003).

Gambar 2 Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif

(Dole & Sinatara dalam Santyasa, 2002 : 13)Karakteristik individu yang ketiga, yang merupakan bagian dari motivasi, adalah konteks sosial. Para siswa mungkin termotivasi memroses suatu pesan karena kelompok mereka menunjukkan perhatian pada suatu topik. Konteks tersebut di mana pesan dianggap mengandung suatu variasi variabel-variabel konteks sosial. Interaksi dengan anggota suatu komunitas, sekolah, kelompok sebaya bisa memotivasi individu untuk memroses informasi. Teman sebaya berfungsi sebagai sebuah model. Model peniruan teman sebaya (peer coping model) dan model penguasaan teman sebaya (peer mastery model) masing-masing berpengaruh positif terhadap self-efflcacy, motivasi, regulasi diri, dan prestasi (Schunk dalam Santyasa, 2002).

Karakteristik pesan merupakan seperangkat variabel yang unik, seperti format, organisasi dan tugas yang dimuat oleh pesan tersebut. Variabel-variabel ini berinteraksi dengan konsepsi dan motivasi pebelajar. Pesan harus comprehensible, plausible, coherent, dan secara retorika mendurvng (compel) individu (Santyasa, 2002; Santyasa, 2003). Pesan bersifat comprehensible, artinya secara konseptual tidak begitu sulit, dan mengandung konsep-konsep yang berkaitan dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki individu. Pesan bersifat plausible, artinya mengandung konsep yang masuk akal dan benar. Pesan coherent, artinya dapat menyediakan penjelasan mengenai fenomena dan ide-ide yang link dalam keseluruhan konsep. Suatu pesan secara retorika adalah compelling dengan individu, artinya pemakaian bahasa, sumber-sumber informasi yang membentuk argumentasi itu, dan dasar pembenaran yang disediakan harus meyakinkan.

Pengkonseptulisasian konsepsi yang telah ada, motivasi dan pesan yang diberikan dapat membentuk suatu sistem pembelajaran yang dinamis dan menarik. Proses perubahan konseptual melalui CCM mulai dengan motivasi pembelajaran, tetapi proses perubahan konseptual melalui ELM mulai dengan pesan pembelajaran. Jika interaksi antara karakteristik-karakteristik pebelajar dan pesan terjadi dalam cara yang positif, maka individu akan suka memroses informasi. Narnun dianjurkan agar pemrosesan informasi berjalan dengan sendirinya dalam seperangkat kesatuan dari keterlibatan kognitif rendah ke keterlibatan metakognitif yang tinggi untuk menghasilkan elaborasi tinggi. Elaborasi tinggi terjadi apabila individu-individu terlibat dengan penuh upaya dan pemrosesan informasi secara analitik (Santyasa, 2002; Santyasa, 2003). Di lain pihak, elaborasi rendah terjadi mclalui pemrosesan informasi secara heuristik dan keterlibatan yang bersifat superficialKeterlibatan individu dalam elaborasi tinggi tidak hanya akan terjadi dalam strategi-strategi kognitif menghubungkan dan membandingkan konsepsi konsepsi yang tclah ada dengan informasi baru, tetapi juga mereka hendaknya merefleksikan tentang apa dan mengapa mereka memikirkannya. Mereka hendaknya memikirkan secara dalam tentang argumentasi-argumentasi baik yang selaras maupun yang bertentangan berkaitan dengan pesan itu. Hal ini adalah bentuk tertinggi keterlibatan metakognitif yang akan mcnghasilkan kemungkinan perubahan konseptual yang kuat. Suasana kelas di mana individu mengalami keterlibatan metakognisi secara maksimal disebut intentional learners in inquiring classrooms. Dalam kelas seperti itu, para siswa sadar akan ide-ide mereka dan memiliki kontrol terhadap belajar mereka.

Jadi pemrosesan informasi dengan keterlibatan metakognisi tinggi, akan menghasilkan perubahan konseptual yang relatif kuat dan tahan lama. Tetapi jika pemrosesan informasi melalui keterlibatan kognisi yang bersifat dangkal, maka pcrubahan konseptual terjadi relative lemah, sementara, dan rentan untuk perubahan lebih lanjut. Tugas facilitator adalah menggali dan mengidentifikasi pengetahuan awal siswa, mengorganisasikan pesan pembelajaran secara optimal, memotivasi siswa, dan mcnyediakan lingkungan kelas yang menantang terjadinya perubahan konseptual secara maksimal. Langkah-langkah pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2003) adalah (1) identifikasi tujuan, (2) pengorganisasian refutational text, (3) identifikasi dan klarifikasi pengetahuan awal, (4) identifikasi dan klarifikasi miskonsepsi, (5) revisi tujuan dan refutational text,, (6) rancangan pembelajaran, (7) implementasi rancangan pembelajaran, (8) evaluasi. Implementasi program pembelajaran perubahan konseptual mengikuti langkah-langkah (Sadia, 1996): (a) orientasi pengalaman belajar, (b) eksplorasi ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide siswa, (d) review ide-ide siswa, (e) aplikasi ide-ide siswa. Langkah restrukturisasi ide-ide siswa dilakukan dalam tiga tahapan (Santyasa, 2003): (i) klarifikasi pertukaran ide-ide siswa, (ii) penyajian demonstrasi, analogi, konfrontasi, dan contoh-contoh tandingan sebagai strategi konflik kognitif, (iii) restrukturisasi ide-ide baru.

Pada bagian ini, disajikan empat variabel yang potensial dalam kerangka MRPK sebagai strategi perubahan konseptual dalam pembelajaran konsep-konsep matematika. Variabel-variabel tersebut, adalah (1) demonstrasi, (2) analogi, (3) konfrontatif, dan (4) contoh-contoh tandingan. Penerapan model belajar dengan strategi demonstrasi (Berg, 1991; Santyasa , 1996), analogi (Berg, 1991; Sadia, 1996), konfrontasi atau konflik kognitif (Sadia, 1996) dan contoh-contoh tandingan (Berg, 1991), dapat menyediakan konflik kognitif yang cukup efektif untuk membantu pemahaman dan meremidiasi miskonsepsi siswa. Dalarn penerapannya sebagai strategi pembelajaran perubahan konseptual, strategi-strategi tersebut dapat diterapkan sendiri-sendiri atau secara terpadu.

D.7 Model Pembelajaran Linier (MPL)

Berdasarkan pernasalahan-permasalahan pendidikan yang m lapangan, yang secara umum mempermasalahkan waktu terkait dengan masalah kuantitas bahan yang perlu diajarkan dan tuntutan kurikulum menjadi alasan utama guru dalam memmilih suatu model pembelajaran yang sering dugunakan dalam segala pokok bahasan. Model pembelajaran linier adalah model pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran sehari-hari. Model pembelaiaran linier sangat jarang menerapkan strategi pengaktif pengetahuan awal dann motivasi belajar. Disain pembelajaran bersifat linier dan dirancang dari part to whole (Santyasa, 2003). Pembelajaran linier berarti bahwa satu langkah mengikuti langkah yang lain, di mana langkah kedua tidak bisa dilakukan sebelum langkah pertama dikerjakan dengan lengkap (Santyasa, 2003). Pesan pembelajaran matematika dalam model pembelajaran linier mengutamakan informasi konsep dan prinsip, serta latihan soal-soal. Latihan soal-soal lebih hanyak menekankan pada tuntutan kemampuan kognitif pada level aplikasi dan analisis. Penekanan aspek pemahaman sangat jarang ditemukan, bahkan sajian strategi pengaktif perubahan konseptual hampir tidak pernah ditemukan dalam pesan-pesan pembelajaran yang digunakan selama ini.Secara garis besar, model pembelajaran linier dapat dilukiskan seperti pada gambar 3

Gambar 3 Model Pembelajaran Linier

Secara umun model pembelajaran linier dilaksanakan dengan : (1) desain pembelajaran masih bersifat static mekanistik, (2) pembelajaran konsep masih didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa, (3) pembelajaran sering mengabaikan pengetahuan awal siswa, (4) pembelajaran sering mengabaikan strategi konflik kognitif, (5) pembelajaran sering mengabaikan penerapan strategi pembelajaran perubahan konseptual, (6) pembelajaran konsep-konsep matematika sering bersifat dekontekstual, (7) pembelajaran yang bertumpu pada konsep rote learning (belajar hafalan) yang hanya mentoleransi respon-respon yang bersifat konvergen, (8) pembelajaran masih berorientasi pada ajang pengasahan keterampilan siswa. yang bersifat artificial (tiruan), (9) pembelajaran masih meneruskan kebiasaan menggunakan unitary ways of knowing yang hanya bertumpu pada kemampuan siswa di bidang Iinguistic dan logical/mathematical melalui penerapan metode ceramah dan tanya jawab yang bersifat tradisional, (10) pengukuran hasil pembelajaran lebih banyak menekankan penerapan penilaian standar, (11) pembelajaran belum menerapkan secara optimal model belajar kooperatif (Santyasa, 2003).D.8 Model Pembelajaran Kooperatif Group Investigation

Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran dengan pembentukan kelompok-lcelompok kecil dalam suatu kelas yang sesungguhnya. Dalam pembelajaran kooperatif; siswa bekerja bersama dalam pembelajaran, bertanggungjawab pada pembelajaran kelompoknya seperti juga sebagai tanggung jawab individualnya. Tujuan pembelajaran akan tercapai jika semua siswa dalam kelompoknya mencapai tujuan pembelajaran (Slavin, 1995). Terdapat tiga konsep sentral dalam pembelajaran kooperatif yaitu penghargaan kelompok, tanggung jawab individual dan kesempatan yang sama dalam kelompok untuk sukses. Widiarsa (dalam Yasa, 2002) mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh dari pembelajaran dengan pendekatan kooperatif adalah sebagai berikut.1). Meningkatkan hubungan antar individu, karena siswa berpeluang sama untuk terlibat secara aktif, interaksi yang lebih banyak, saling berbagi tanggung jawab, dan saling mengisi.2). Memberikan dukungan pada interaksi sosial, karena akan tertanam sikap saling menghargai pendapat teman yang merupakan cerminan dari sikap ilmiah, meningkatkan ketekunan, ketabahan, dan keuletan dalam mengerjakan tugas.

3) Memupuk rasa percaya diri dan meningkatkan aktualitas konsep diri masing-masing siswa.

4). Meningkatkan produktivitas akademik.

5). Memperluas perspektif intelektual siswa.

6). Merangsang kemampuan berpikir siswa.

7). Meluruskan pandangan siswa

8). Membentuk sikap siswa untuk tidak menjadi egosentris.

Salah satu model pembelajaran yang termasuk ke dalam pembelajaran kelompok kooperatif yang paling futuristik adalah model pembelajaran kooperatif group investigation . Ide pembelajaran kooperatif group investigation bermula dari perspektif filosofis terhadap konsep belajar bahwa untuk dapat belajar seseorang hares memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey dalam bukunya Semocrasy and Education rnenggagas konsep pendidikan bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob dalam Santyasa, 2003) adalah: (1) siswa hendaknya aktif; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokrasi sangat penting; (6) kegiatan helajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata di luar kelas dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut. Dewey menganjurkan agar dalam lingkungan belajar guru menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Tanggungjawab utama para guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran. Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam pendekatan group investigation untuk pembelajaran kooperatifSetelah John Dewey, Thelen mengembangkan prosedur yang lebih tepat untuk membantu siswa bekerja dalam kelompok. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar pribadi (Arends, 1998 dalam Santyasa, 2003). Dalam pendekatan group investigation siswa dikelornpokkan secara heterogen atas jenis kelamin dan etnik. Siswa memilih sendiri topik yang akan diipelajari, dan kelompok merurnuskan penyelidikan dann menyepakati pembagian kerja untuk menangani konsep-konsep penyelidikan yang telah dirumuskan. Guru berperan sebagai salah salu sumber belajar siswa. Hasil kerja kelompok dilaporkan sebagai bahan diskusi kelas. Dalam diskusi kelas ini diutamakan keterlibatan pertukaran pemikiran dari para siswa. Evaluasi kegiatan dilakukan melalui akumulasi upaya kerja individual selama penyelidikan dilakukan. Konsep penting dalarn pendekatan group investigation yang bersipat humanis ini adalah (Santyasa, 2003): 1) menghindarkan evaluasi menggunakan tes, 2) learning by doing, 3} membangun motivasi instrinsik, 4) mengutamakan pilihan siswa, 5) memperlakukan siswa sebagai orang yang bertanggung jawab, 6) pertanyaan-pertanyaan terbuka, 7) mendorong rasa saling menghormati dan saling membantu, dan 8) rnembangun konsep diri yang positif.Model ini mulai dengan menghadapkan siswa dengan permasalahan-permasalahan yang merangsang motivasi siswa. Selanjutnya siswa menganalisis peranan yang dituntut, mengorganisasikan, melaksanakan dan melaporkan hasilnya. Terakhir, kelompok mengevaluasi solusinya dikaitkan dengan tujuan yang sudah ditentukan pada diskusi kelompoknya. Suasana kelas dengan model pembelajaran group investigation bernuansa demokratis, dipengaruhi oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan dari pengalaman kelompok dalam batas-batas dan dalam hubungannya dengan gejala yang diidentifikasi oleh guru sebagai objek untuk dipelajari (Killer, 1998; Surnantri, 1999).

Tahapan-tahapan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran kooperatif group investigation adalah sebagai berikut (Slavin 1995).

1) Tahap Grouping, yaitu tahap mengidentifikasi topik yang akan di-investigasi serta rnernbagi siswa ke dalam keIompok investigasi, dengan jumlah anggota tiap kelompok 3 - 4 orang.Pada tahap ini

a). siswa mengamati sumber, memilih topik, dan memutuskan kategori-kategori topik permasalahan;

b). siswa bergantung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki;

c). guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 3 4 orang berdasarkan ketrampilan dan heteroginitas.

2) Tahap Planning, yaitu tahap perencanaan tugas-tugas pembelajaran

Pada tahap ini seluruh siswa bersama-sama merencanakan tentang:

a). apa yang akan mereka pelajari ?

b). bagaimana mereka belajar ?

c). siapa dan melakukan apa ? (pembagian tugas anggota kelompok)

d). untuk tujuan apa mereka menyelidiki topik tersebut ?

3). Tahap Investigazation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa

Pada tahap ini:

a). siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan terkait dengan pernlasalahan-permasalahan yang diselidiki;

b). masing-masing kelompok memberikan masukan pada setiap kcgiatan kelompok;

c). siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan mempersatukan ide dan pendapat.

4). Tahap Organizing, yaitu tahap persiapan laporan akhir.

Pada tahap ini:

a). anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam proyeknya masing-masing;

b). anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana akan mempresentasikannya;

c). wakil dari masing-masing kelompok membentuk perencanaan panitia diskusi kelas (menentukan siswa yang sebagai pemimpin, moderator, notulis) dalam presentasi hasil investigasi.

5). Tahap Presenting, yaitu tahap penyajian laporan akhir.

Pada tahap ini:

a). penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi bentuk penyajian;

b). kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar (audiens),

c). audiens mengevaluasi, mengklarifikasi, dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang disajikan.

6). Tahap Evaluating, yaitu penilaian proses kerja dan hasil proyck siswa.

Pada tahap ini:

a). siswa menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman afekti fnya;

b). guru dan siswa berkolaborasi mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan;

c). penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa.

D.9 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dan yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Terdapat perbedaan hasil remediasi miskonsepsi antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier ?

2) Terdapat perbedaan basil belajar antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier?

E. METODELOGI PENELITIAN E.1 Jenis penelitianPenelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (kuasi eksperimen). Mengingat tidak semua variabel (gejala yang muncul) dan kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat.E.2 Populasi penelitian

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Singaraja tahun ajaran 2006/2007, yang terdiri dari 8 kelas. Distribusi populasi dapat dilihat pada tabel F.1

Tabel 1 Distribusi Populasi Penelitian

NoSumber PopulasiJumlah siswa

1. Kelas VIII A38

2. Kelas VIII B40

3. Kelas VIII C39

4. Kelas VIII D37

5. Kelas VIII E36

Jumlah 190

(Sumber: TU SMP Negeri 2 Singaraja)

E.3 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian/wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Dalam penelitian ini sampel populasi diambil dengan teknik purposive random sampling, yaitu pengambilan sampel random berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pada pengambilan sampel ini siswa kelas VIII E tidak diikut sertakan karena merupakan kelas unggulan dengan kemampuan terbaik atau di atas kemampuan siswa pada kelas lain. Sedangkan tujuh kelas lainnya ditentukan secara acak sehingga ketujuh kelas diasumsikan mempunyai kemampuan yang relatif homogen. Dari tujuh kelas ini diambil dua kelas secara acak, kemudian dari kedua kelas tersebut kemudian diundi untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil pengundian didapatkan dua kelas yaitu kelas VIII E dan VIII D.

Untuk memperoleh dua kelompok yang setara, individu-individu pada masing-masing kelas yaitu, kelas VIII E dan VIII D yang diperoleh sebagai sampel akan dimatching (tandingkan, dipasangkan, pensejajaran) dengan menggunakan nilai raport matematika semester sebelumnya sebagai dasar. Adapun dipilih pola ini karena sesuai dengan pendapat yang menyatakan:

Cara yang terbaik untuk menyeragamkan kedua kelompok adalah dengan memasang-masangkan individu dalam salah satu karakteristik atau kelompok sifat sebagai suatu keseluruhan, kemudian memilih dan menugaskan masing-masing dalam pasangan itu ke kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Sutrisno Hadi dalam Wiguna, 2005).

Prosedur matching adalah sebagai berikut :

C.1 Nilai raport matematika masing-masing kelas sampel diurut dari nilai yang tertinggi ke nilai terendah, dengan tujuan mempermudahkan pensejajaran antara kedua kelas sampel.

C.2 Jika pada setiap kelas, nilai tertentu hanya diisi oleh satu orang siswa, maka siswa tersebut langsung dipasangkan.

C.3 Jika nilai tertentu masing-masing kelas diisi oleh siswa yang sama banyak, maka penentuan pasangan siswa dari suatu kelas dilakukan secara acak.

C.4 Jika nilai tertentu pada kedua kelas berbeda, maka penentuan banyak pasangan ditentukan oleh banyak siswa pada suatu kelas yang memiliki nilai tersebut lebih sedikit dan pasangannya seperti pada butir tiga (3)

C.5 Siswa yang tidak memiliki pasangan datanya tidak dianalisis.

Setelah dimatching, kembali dilakukan pengundian secara acak untuk menentukan kelas mana yang menjadi kelompok kontrol dan kelas mana yang digunakan sebagai kelas eksperimen. Setelah dilakukan pengundian, dalam penelitian ini diputuskan kelas VIII E sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII D sebagai kelas kontrol dengan banyak siswa masing-masing kelas yang datanya dianalisis adalah 39 orang.E.4 Variabel Penelitian

Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut:

1). Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model rekonstruksi pengetahuan kognitif dengan setting kelas kooperatif group investigation yang dikenakan pada kelompok eksperimen sebagai suatu perlakuan.

2). Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah meremidiasi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

E.5 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2006/2007 di SMP Negeri 4 Singaraja. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model rekonstruksi pengetahuan kognitif dengan setting kelas kooperatif group investigation dalam meremidiasi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

Dalam penelitian ini unit eksperimennya berupa kelas sehingga digunakan desain eksperimen semu. Dalam desain eksperimen semu penempatan subjek ke dalam kelompok yang dibandingkan tidak dilakukan secara acak. Individu subjek sudah ada dalam kelompok yang dibandingkan sebelum diadakannya penelitian.

Desain eksperimen semu yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain perbandingan kelompok statis. Desain ini diawali dengan pemilihan kelompok subjek atau kelas yang sudah terbentuk tanpa campur tangan peneliti. Kedua kelompok diberikan pre-test untuk mengetahui tingkat kemampuan dan penguasaan siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Langkah selanjutnya peneliti memberikan perlakuan eksperimental kepada salah satu kelompok subjek atau kelas (kelas eksperimen) berupa penerapan model rokonstruksi pengetahuan kognitif dengan setting kelas kooperatif group investigation dan pembelajaran konvensional kepada kelas kontrol. Kemudian peneliti memberikan post test kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil post test dari kedua kelas kemudian dibandingkan.

Dalam penelitian ini desain eksperimen semu yang digunakan adalah kelompok kontrol tidak sepadan (Selvila dkk, 1993:112). Langkah-langkah tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

EO1

X

O2

KO1

O2

Gambar 4Keterangan

E: Kelas eksperimen

K: Kelas kontrol

X : Perlakuan berupa penerapan pendekatan SAVI melalui tahapan pembelajaran 4P

O1: Pre-test

O2: Post-test

Dari gambar 4 di atas terlihat semua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang yang diberi post test. Kelompok dipilih sebagaimana telah terbentuk dan tidak dilakukan pengacakan individu. Karena kelompok dipilih sebagaimana adanya, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga penelitian ini dapat digambarkan perlakuan yang diberikan secara benar (Sevila dalam Wiguna, 2005)

E.6 Prosedur Penelitian

Untuk dapat mengungkapkan secara tuntas mengenai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, maka langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.

Tahap Ia. Menentukan sampel yaitu berupa kelas dari populasi yang tersedia dengan cara mengacak. Proses pengundian dilakukan dihadapan guru matematika SMP Negeri 4 Singaraja.

b. Sampel yang telah terpilih dilakukan pola matching untuk mendapatkan kelompok yang setara berdasarkan prosedur matching di atas.

c. Setelah dilakukan matching kelas yang terpilih sebagai sampel kembali diundi untuk ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tahap II

a Menentukan materi-materi yang dibahas selama penelitian. Pada penelitian ini dibahas pokok bahasan Persamaan garis Lurus dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel. Penentuan kedalaman materi dan urutan materi berdasarkan pertimbangan dan kerjasama dengan guru mata pelajaran. Materi-materi tersebut dimuat dalam dua satuan pembelajaran yang selanjutnya dibagi menjadi beberapa rencana pembelajaran.b Menyusun dan merancang paket perangkat pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan LKS tentang pokok bahasan Persamaan garis Lurus dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel yang mendukung model pembelajaran baik pada MRPK maupun pada MPL. Dalam hal ini menyusun teks ajar konvensional dan refutational text.c Melaksanakan pre-test (tes awal) untuk mengidentifikasi atau menggali prior knowledge (pengetahuan awal) siswa serta hasil belajar matematika siswa pada pokok bahasan Persamaan garis Lurus dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel.d Revisi (penyempurnaan) Rancangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran refutational teks dan LKS perubahan konseptual berdasarkan hasil identifikasi prior knowledge pembelajaran matematika siswa, sehingga terbentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, refutational text, teks ajar konvensional, LKS perubahan onseptual, dan LKS konvensional.

e Menerapkan model pembelajaran model rekonstruksi pengetahuan kognitif (MRPK) pada kelas eksperimen dan model pembelajaran linear (MPL) pada kelas kontrol dengan perbandingan rancangan pembelajaran seperti pada tabel 2 dan perbandingan sajian (proses) belajar seperti pada tabel 3

f Evaluasi model pembelajaran dilakukan terhadap hasil remidiasi miskonsepsi siswa, hasil belajar siswa, dan respon siswa. Evaluasi hasil remidiasi miskonsepsi dan hasil belajar siswa dilakukan terhadap siswa di kelas eksperimen dan juga di kelas kontrol.

Prosedur penelitian yang ditempuh digambarkan pada gambar 5

Tabel 2 Perbandingan Rancangan Pembelajaran MRPK dan MPLRancangan Pembelajaran

No.Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif (MRPK)Model Pembelajaran Linier (MPL)

(1)(2)(3)

1.Rancangan belajar dengan setting kooperatif GI :

1. anggota kelompok 4 orang

2. siswa merumuskan tujuan investigasi kelompok

3. siswa merumuskan proses-proses penemuan konsep dan prinsip

4. siswa menyepakati pembagian tugas dalam kelompok

5. merencanakan penyusunan laporan hasil penemuanRancangan belajar dengan setting kooperatif GI :

a anggota kelompok 4 orang

b siswa merumuskan tujuan investigasi kelompok

c siswa merumuskan proses-proses penemuan konsep dan prinsip

d siswa menyepakati pembagian tugas dalam kelompok

e merencanakan penyusunan laporan hasil penemuan

2.Rancangan pembelajaran yang bersifat siklus (recursive)Rancangan pembelajaran yang bersifat linier

3.Rancangan Refutational Text :

a Sajian miskonsepsi

b Konsep-konsep atau prinsip-prinsip teoritik yang menolak miskonsepsi

c Strategi-strategi pengaktifan perubahan konseptual (strategi konflik kognitif)

d Pembuktian teoritik yang mendorong siswa membandingkan kesesuaian miskonsepsi

e Contoh-contoh kontekstual (mengaitkan konsep dan prinsip dunia nyata)

f Pertanyaan-pertanyaan menantang siswa menerapkan pemahamannyaRancangan teks konvensional

1. sajian konsep dan prinsip secara informatif

2. strategi-strategi pembelajaran yang menuntut siswa untuk memperoleh pengetahuan konsep atau prinsip

3. pembuktian prinsip dan formulasi-formulasi secara teoritik matematis4. contoh-contoh dekontektual (mengaitkan konsep dan prinsip dengan konsep atau prinsip teoritik yang lain)

5. pertanyaan-pertanyaan yang menggiring siswa menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh

4.Rancangan Lembar Kerja Siswa (LKS):1. pertanyaan-pertanyaan yang menyediakan peluang bagi siswa mengkonstruksi ide-ide baru

2. pertanyaan-pertanyaan yang menyediakan peluang bagi siswa untuk melakukan penyelidikan dengan fasilitas refutational text, demonstrasi, analogi, konfrontasi, dan contoh-conto tandingan

3. pertanyaan-pertanyaan yang menyediakan peluang bagi siswa membandingkan kesesuaian miskonsepsi dan keampuhan pemahaman

4. pertanyaan-pertanyaan yang menyediakan peluang bagi siswa untuk merekonstruksi ide-ide baru

5. pertanyaan-pertanyaan yang menyediakan peluang bagi siswa untuk menggunakan pemahamannyaRancangan Lembar Kerja Siswa (LKS):a pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban konvergen

b pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa memperoleh pengetahuan dan pemahaman dari teksc pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa memanggil pengetahuan dan pemahaman yang telah disimpan

d pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa membuktikan formulasi-formulasi secara toritik

e pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang telah disimpan

Tabel 3 Perbandingan Sajian (Proses) Belajar MRPK dan MPL

Sajian (Proses) Belajar

No.Model Rekonstruksi Pengetahuan Kognitif (MRPK)Model Pembelajaran Linier (MPL)

(1)(2)(3)

1.Orientasi pengalaman belajarOrientasi pengalaman belajar

2.Dengan fasilitas refutational text dan LKS model perubahan konseptual, siswa belajar dalam setting kooperatif Group InvestigationDengan fasilitas teks konvensional dan LKS model konvensional, siswa belajar dengan setting kooperatif Group Investigation

3.Melakukan eksplorasi ide-ide berdasarkan fasilitas belajar perubahan konseptual dalam setting belajar kooperatif Group InvestigationMelakukan eksplorasi ide-ide berdasarkan fasilitas belajar konvensional dalam setting belajar kooperatif Group Investigation

4.Menstrukturisasi ide-ide baru :a klarifikasi pertukaran ide-ide baru

b melakukan demonstrasi, menemukan analogi, melakukan konfrontasi, menemukan contoh-contoh tandingan untuk menguji ide-ide baru

c melakukan restrukturisasi ide-ide baru

d mereviu ide-ide baru

e aplikasi ide-ide baruMenstrukturisasi ide-ide baru :

1. klarifikasi pertukaran ide-ide baru2. melakukan diskusi untuk mempercepat perolehan ide-ide baru

3. melakukan diskusi untuk berlatih diseputar perolehan ide-ide baru

4. aplikasi ide-ide baru

5.Merumuskan laporan hasil investigasiMerumuskan laporan hasil perolehan ide-ide baru

6.Mempresentasikan hasil penemuanPresentasi perolehan ide-ide baru

E.7 Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini dalam proses pembelajaran di kelas menggunakan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Perangkat pembelajaran yang digunakan ada 2, yaitu : refutational text dan teks ajarkonvensional1) Refutational text (teks sangkalan)

Refutational text (teks sangkalan) adalah teks ajar yang bermuatan model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2003). Teks ajar ini dimulai dengan penyajian miskonsepsi yang disusun berdasarkan prior Knowlegde dari siswa yang digali melalui pre test. Selanjutnya miskonsepsi-miskonsepsi tersebut ditolak dengan menyajikan konsep-konsep atau prinsip-prinsip teoritik. Kemudian disajikan konsep baru sebagai strategi pengaktifan pengetahuan awal yang berfungsi sebagai strategi untuk memunculkan konflik kognitif dalam diri siswa.2) Teks Ajar KonvensionalTeks ajar konvensional adalah bentuk bahan ajar yang sering digunakan oleh guru selama ini. Teks ajar ini dimulai dengan penyampaian konsep dan prinsip secara informatif, kemudian pembuktian-pembuktian prinsip dan formulasi-formulasi secara teoritik. Contoh-contoh yang disajikan adalah contoh dekontektual yang bertujuan untuk mengaitkan konsep atau prinsip dengan konsep atau prinsip yang lainnya.

Sedangkan instrumen penelitian yang digunakan yaitu instrumen untuk pengukuran sebelum dan setelah intervensi ada dua instrumen, yaitu:

a. Tes Pemahaman Konsep

Tes pemahaman konsep digunakan berupa tes essay yang digunakan untuk mengetahui prior knowledge, miskonsepsi, dan hasil remidiasi miskonsepsi siswa. Tes pemahaman konsep diberikan dua kali pada pre-tes dan post-tes. Tes pemahaman konsep terintegrasi langsung pada tes hasil belajar tetapi dengan focus dan teknik penilaian yang berbeda dengan penilaian tes hasil belajar.

b. Tes Hasil Belajar

Hasil belajar siswa diukur dengan tes pemahaman konsep dan tes aplikasi-analisis konsep. Tes aplikasi konsep digunakan sebagai instrumen untuk mengumpulkan data tentang tingkat kemampuan siswa dalam mengaplikasikan dan menganalisis konsep. Tes ini diberikan dua kali sebagai pre-tess dan post-test. Soal-soal dari tes ini berjumlah 13 butir dengan tingkat aplikasi konsep (C#) sebanyak 8 butir dan tingkat analisis konsep (C$) sebanyak 5 butir.

Penilaian standar soal-soal dengan tingkat pemahaman konsep (C2) berupa soal essay tersebut menggunakan rubrik penilaian seperti yang dikembangkan dari Santyasa (2003) yang diikthisarkan pada tabel 3.3

Tabel 4 Rubrik Penilaian Tingkat Pemahaman Konsep

skorKriteria

4Jawaban benar, alasan benar, dsertai petunjuk prinsip, rumus atau perhitungan

3Jawaban benar, alasan benar

2Jawaban benar, tanpa alasan atau alasan salah

1Menjawab tetapi miskonsepsi

0 Tidak menjawab

Sedangkan standar penilaian soal-soal pada tingkat aplikatisi konsep (C3 dan C4) yang berupa soal essay ended equation menggunakan rubrik penilaian (Santyasa, 2003) seperti pada tabel 3.4Tabel 5 Rubrik Penilaian Tingkat Aplikasi-analisis Konsep

SkorKriteria

5Menunjukkan penyelesaian soal dengan lengkap dan benar

4Menunjukkan penyelesaian soal, sedikit cacat tetapi memuaskan

3Menunjukkan penyelesaian soal dengan cacat serius tetapi hampir memuaskan

2Menunjukkan penyelesaian soal dengan banyak cacat dan tidak memuaskan

1Mencoba penyelesaian soal tetapi salah semua

0Tidak mencoba penyelesaian soal sama sekali

Mengingat suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 1998:160).

Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk mendapat gambaran secara empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen penelitian. Untuk tujuan data yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan uji: validitas tes, reabilitas tes, daya beda tes, dan tingkat kesukaran tes.

E.7.1 Validitas tes

Validitas tes berasal dari kata Validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar dalam Wiguna, 2005). Sebuah tes dikatakan valid atau sahih jika tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur (Arikunto, 2002). Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya di evaluasi (Suherman dalam Wiguna, 2005).

Suatu item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyatakan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebuah item mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran antara validitas item dengan skor total dapat diartikan sebagai korelasi. Sehingga untuk mengetahui validitas item digunakan rumus korelasi (Arikunto, 2002).

Rumus korelasi yang digunakan untuk menguji validitas item adalah rumus korelasi produc momen dengan angka kasar yang dirumuskan sebagai berikut.

(Arikunto,2002)

Keterangan:

Rxy = kofesien korelasi

N = jumlah sampel

X= skor butir

Y = skor total

Dengan kriteria standar (Mehrens, dalam Santyasa, 2004)

rxy> 0,30 berarti valid (dapat langsung digunakan)

0,20rxy0,30 berarti valid tapi harus direvisi

0,20rxy berarti tidak valid (gugur).

E.7.2 Tingkat kesukaran tes

Derajat kesukaran adalah kemampuan tes tersebut dalam menjaring banyaknya subyek peserta tes yang dapat menjawab dengan betul (Arikunto, 2002: 230). Untuk mengukur tingkat kesukaran tes hasil belajar digunakan rumus (Nurkancana, 1990: 157) berikut.

Keterangan:

DK= derajat kesukaran

nH= jumlah kelompok atas (27% dari atas)

nL= jumlah kelompok bawah (27% dari bawah)

WH= jumlah kelompok atas yang menjawab salah

WL= jumlah kelompok bawah yang menjawab salah

Kriteria pengujian: suatu tes berkategori baik dan dapat digunakan jika derajat kesukaran bergerak antara 25% sampai dengan 75% (25% ( DK ( 75%). Klasifikasi derajat kesukaran yang umum dipakai (Subana dan Sudrajat, 2001) adalah:

DK = 0,00 berarti terlalu sukar;

0,00 ( DK ( 0,30; berarti sukar;

0,30 ( DK ( 0,70 berarti sedang;

0,70 ( DK ( 1,00 berarti mudah,

DK = 1 berarti terlalu mudah.E.7.3 Konsistensi internal

Setelah melakukan uji coba lapangan, maka dilakukan analisis sehingga ditentukan taraf konsistensi internal tes hasil belajar. Konsistensi internal instrumen meliputi dua uji yaitu korelasi skor butir dengan skor total dan reabilitas tes.

E.7.3.1 Korelasi antara skor butir dengan skor total

Korelasi skor butir dengan skor total pada tes hasil belajar Matematika dianalisis dengan teknik korelasi product moment dengan persamaan sebagai berikut (Arikunto, 2002).

Keterangan:

N= jumlah sampel

X= skor butir

Y= skor total

Klasifikasi pengujian (Mahrens & Lehman dalam Santyasa, 2004) yang digunakan adalah rxy ( 0,30 berarti valid (dapat dengan langsung digunakan); 0,20 ( rxy ( 0,30 berarti valid (tetapi harus direvisi kembali; rxy ( 0,20 berarti tidak valid (gugur)

E.7.3.2 Reabilitas tes

Reabilitas tes berhubungan dengan kepercayaan dan keajegan hasil tes (Arikunto, 2002: 81). Suatu tes dapat dikatakan mempunyai tingkat kepercayan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Untuk instrumenyang skor butirnya bukan 1 dan 0 dalam mencari indeks reabilitas menggunakan rumus alpha (Arikunto, 2002: 81). Adapun rumus Alpha Cronbach adalah sebagai berikut (Arikunto, 2002: 104).

Keterangan:

n= jumlah butir tes

r11= koefisien reabilitas

= jumlah varian skor tiap-tiap butir tes

= varian total

Kriteria internasional mensyaratkan: r11 ( 0,80.

Kriteria normatifnya (Mahrens & Lehman, 1984 dalam Santyasa, 2004) adalah:

0,00 ( r11 ( 0,19 berarti sangat rendah;

0,20 ( r11 ( 0,39 berarti rendah;

0,40 ( r11 ( 0,59 berarti sedang;

0,60 ( r11 ( 0,79 berarti tinggi;

0,80 ( r11 ( 1,00 berarti sangat tinggiE.7.4 Analisis data

Data penelitian ini berupa data kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Oleh karena itu maka untuk mengolah data digunakan analisis statistik inferensial dan analisa statistik deskriptif.

Data prior knowledge siswa tetang pokok bahasan Persamaan garis Lurus dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel dianalisis secara kuantitatif yang kemudian dideskripsikan secara naratif. Presentase jumlah siswa pada setiap jawaban per soal pemahaman konsep dengan alasan yang dikemukakan siswa, digunakan untuk mengetahui prior knowledge dan miskonsepsi siswa. Sedangkan jumlah miskonsepsi seswa per individu pada seluruh soal pemahaman konsep pokok bahasan Persamaan garis Lurus dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel digunakan untuk menggali hasil remidiasi miskonsepsi siswa.

Data mengenai hasil belajar dianalisis dengan statistik deskriftif, kualifikasi hasil belajar dilakukan dengan menggunakan pedoman konversi norma absolut (PAP) skala 5 yang diikhtisarkan pada tabel 3.4

Tabel 6 Tabel Pedoman Konvensi Nilai Absolut Skala Lima

Tingkat penguasaanKualifikasi

85 100

70 84

55 69

40 54

0 39Sangat baik

Baik

Cukup

Kurang

Sangat kurang

Untuk keprluan uji komparatif antara model rekontruksi pengetahuan kognitif dan model pembelajaran linier dengan setting kelas yang sama yaitu group investigetsion, data hasilbel;ajar dan data hasil remediasi miskonsepsi siswa yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANAVA) satu jalur dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1) Uji Normalitas

Untuk menguji normalitas sebaran skor-skor hasilremediasi miskonsepsi dan hasil belajar siswa digunakan analisis chi-kuadrat (Subana, M., 2001:149) dengan rumus sebagai berikut.

dengan: = frekwuensi observasi, = frekwuensi harap, k = Banyaknya kelas.

Kreteria pengujian pada taraf signifikan 5% adalah data berdistribusi normal jika . Sedangkan jika, data tidak berdistribusi normal.2) Uji Homogen Varians

Homogenitas varians untuk kedua kelompok sampel di ujidengan menggunakan uji F (Sudjana, 1996:249) dengan rumus sebagai berikut.

dengan varians terbesar = kuadrat SD kelompok sampel yang bernilai lebih besar, dan varias terkecil = kuadrat SD kelompok sampel yang bernilai lebih kecil.

Kriteria pengujian pada taraf signifikan 5%adalah kedua sampel homogen jika . Sedangkan jikamaka kedua sampel adalah heterogen. Dengan = taraf signifikan, = jumlah anggota kelompok sampel yang harga variansnya lebih besar, dan = jumlah anggota kelompok sampel yang harga variansnya lebih kecil.3) Uji Hipotesis Untuk keperluan uji kmparatif ntara MRPK dan model pembelajaran linier dalam meremidiasi dan meningkatkan hasil belajar siswa digunakan dengan analisis varians (ANAVA) satu jalur. Hasil remediasi miskonsepsi dan hasil belajar siswa yang diuji adalah gain factor dari skor pre-test dan post test dengan rumus sebagai berikut.Untuk hasil remediasi miskonsepsi siswa dengan rumus :

(dimodifikasi dari hake, 1998:39)

Untuk hasil belajar siswa dihitung dengan rumus :

(dimodifikasi dari hake, 1998:39)

dengan : = skor pada pretest, = skor pada posttest,

= skor peningkatan maksimum

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut.Hipotesis 1 :

Terdapat perbedaan hasil remediasi miskonsepsi antara kelompok siswa yang belajar dengan model tekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan modellinier.Secara statistik hipotesis inidirumuskan sebagai berikut :

Ho : melawan Ha :

dengan : = rata-rata gain factor hasil remediasi miskonsepsi siswa pada kelas eksperimen.

= rata-rata gain factor hasil remediasi miskonsepsi siswa pada kelas kontrol.

Hipotesis 2 :

Terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang belajar dengan model rekonstruksi pengetahuan kognitif dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran linier.

Secara statistik hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut:

Ho : melawan Ha :

dengan : = rata-rata gain factor hasil belajar siswa pada kelas eksperimen.

= rata-rata gain factor hasil belajar siswa pada kelas kontrol.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis varians (ANAVA) satu jalur dengan langkah pertama menyusun tabel persiapan (Arikunto, 2002:291) seperti tabel 7Tabel 7 tabel Persiapan Analisis VariansSumber Varians (SV)Jumlah Kuadrat (JK)Derajat Kebebasan (db)Mean Kuadrat (MK)F

Antara Kelompok (K)

Dalam Kelompok (d)

Total

dengan : = data tiap kelompok

= jumlah subjek dalam kelompok

k = banyaknya kelompk

N = jumlah subjek seluruhnya

Setelah harga F hitung (F) diperoleh, harga F ini dibandingkan dengan pada tabel dengan taraf signifikansi 5% atau 1%.

Kriteria pengujian : jika , maka Ho ditolak atau Ha diterima.

Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mencari besarnya pengaruh model rekonstruksi pengetahuan kognitif (MRPK) terhadap hasil remediasi miskonsepsi (pada hipotesis I), dan terhadap hasil belajar siswa (pada hipotesis II). Langkah-langkah perhitungan adalah dengan terlebih dahulu mencari varians di luar MRPK (VL) yang diduga mempengaruhi hasil belajar siswa (pada hipotesis II). Setelah itu, dihitung varians MRPK (VD), dan varians total (VT) dengan rumus sebagai berikut :

1) varians luar (VL) =

2) varians MRPK (VD) =

3) varians total (VT) = +VD

4) persentase VL =

5) persentase VD =

DAFTAR PUSTAKADaftar Pustaka

Arifin, Mulyati et.al. 2003. Strategi Belajar Mengejar Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia: Common Text Book.

Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Edisi Revisi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Karso, dkk. 1993/1994. Dasar-Dasar Pembelajaran MIPA. Jakarta: Depdikbud.

Heller, P. Keith. R. & Anderson, S. 1992. Teaching problem solving trough cooperative grouping. Part 1: Group versus individual problem solving. American journal of physics. 60(7).

Jacob, G.M., Lee, G.S., & Ball, J. 1996. Learning Cooperatif Learning Via Cooperatif Learning A Sourcebook of Lesson Plans for Teacher Education of Cooperatif Learning. Singapore: SEAMEO Regional Langunge Center.

Dahar, R.W, & Liliasari. 1986. Interaksi Belajar Mengajar MIPA. Jakarta: Universitas Terbuka, Depdikbud.Nurkanca, I W. dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.Sariyasa. 2006. Pemecahan Masalah Dalam Matematika. Makalah dalam Seminar Akademik HMJ Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja 14 Oktober 2006.Suharta, I Gusti Putu. 2004. Perencanaan Dan Pelaksanaan Pembelajaran Matematika yang Beorientasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah dalam Semiloka Implementasi KBK dalam pembelajaran di Sekolah, IKIP Negeri Singaraja. 23 Nopember 2004.Diana Yusa, I Made. 2007. Studi Komparatif Penerapan Individual Problem Solving Dan Group Problem Solving Terhadap Kinerja Pemecahan Masalah Siswa Kelas X Sma Negeri 1 Busungbiu Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi (Tidak diterbitkan). Jurusan Pendidikan Fisika. Fakultas Pendidikan MIPA. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.Klarifikasi Miskonsepsi

Evaluasi

Aplikasi ide-ide Baru

Eksplorasi ide-ide siswa melalui diskusi kelompok

Orientasi Pengalaman Belajar

Implementasi Program Pembelajaran

Rancangan Pembelajaran

Identifikasi dan Klarifikasi pengetahuan awal

Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi

Rancangan Isi Teks

Identifikasi Tujuan

Terjadi perubahan konseptual secara lemah

Tidak terjadi perubahan konseptual

Terjadi perubahan konseptual secara kuat

KEHADIRAN ISYARAT DI LUAR POKOK

YA TIDAK

RENDAH

KETERLIBATAN/KEIKUSERTAAN

TINGGI

Mendorong secara retorika

Masuk akal, benar, berguna

koheren

Dapat dipahami

PESAN

Kebutuhan berpikir

Konteks sosial

Relevansi personal dan kelompok

Ketidakpuasan/ ketidakseimbangan

MOTIVASI

komitmen

koherensi

kekuatan

Pengetahuan awal

Evaluasi terhadap konstruksi baru

Konstruksi dimodifikasi

Strategi baru

Proses lanjutan

Konsep telah dipelajari secara bermakna

Konsep diterima secara logika

Guru sebagai fasilitator

Diskusi kelompok

Pengetahuan awal

evaluasi

Konstruksi pribadi

Proses mental

Penyajian pengalaman belajar yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari

Merancang model pembelajaran dan perangkat-perangkat administrasi pembelajaran (SP, RP, LKS).

Menyusun rancangan teks ajar dan refutational text

Pre-test (tes awal

Identifikasi prior knowledge pelajaran matematika siswa

Revisi refutational text dan LKS perubahan konseptual

Implementasi Model Pembelajaran MRPK dan MPL dengan rancangan pembelajaran serta sajian (proses belajar) seperti tabel 3.1

Evaluasi (post test)