14
Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150 Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa E. Sunardi Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jln. Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor 45363 Sari Paleomagnetisme berperan memunculkan suatu jenis stratigrafi baru yang didasarkan atas fenomena pembalikan nonperiodik polaritas medan magnet bumi. Karena fenomena tersebut bersifat global, maka dapat dijadikan dasar yang potensial bagi korelasi geologi, dan dikenal sebagai satuan kronostratigrafi polaritas magnet. Arah magnetisasi remanen yang terbalik terhadap medan magnet bumi telah lama di- ketahui semenjak masa awal sejumlah riset permulaan paleomagnetik. Perkembangan modern skala waktu polaritas geomagnet (GPTS), yang diinisiasi pada sekitar tahun 1960-an, mengikuti kemajuan dalam metode penarikan yang lebih akurat. Rekaman paleomagnetik yang diperoleh untuk batuan berumur tiga juta tahun di daerah Sangiran, turut mengoreksi penelitian magnetostratigrafi yang sebelumnya, serta diperolehnya posisi stratigrafi batas-batas dan kejadian baru polaritas geomagnet. Berdasarkan korelasi rekaman variasi sekular di Mojokerto dan Sangiran, telah disusun magnetostratigrafi formasi-formasi berumur Plistosen di Mojokerto. Stratigrafi polaritas geomagnet untuk masa empat juta tahun terakhir di sekitar Cekungan Bandung dapat berguna bagi pedoman posisi isokron dalam korelasi stratigrafi. Kata kunci: paleomagnetisme, kronostratigrafi polaritas magnet, isokron, korelasi stratigrafi AbstrAct Palaeomagnetism has a role to make a new stratigraphic nomenclature based on the earth magnetism of a nonperiodic reversal polarity phenomenon. Since this phenomenon has a global impact, it can be used as a potential correlation, known as the Magnetic Polarity Chronostratigraphy Unit. Remanent magnetism direction having reversal polarity against present earth magnetic field has long been known since early palaeomagnetic studies. Modern development of geomagnetic polarity time scale (GPTS), initiated in early 1960’s has followed the advancement of radiometric dating which is more accurate. A palaeomagnetic record obtained in the past of 3 Ma of rock in the Sangiran Area, East Java, has contributed in making a correction of previous magnetostratigraphy researches as well as a new level stratigraphy boundary and a new event of geomagnetic polarity. Based on the correlation record of secular variation in Mojokerto and Sangiran, the magnetostratigraphy of formations of Pleistocene age at Mojokerto has been arranged. The geomagnetic polarity stratigraphy of the past 4 Ma of the rocks in the Bandung Basin and its surrounding areas can be used as a guidance of isochronous position in the stratigraphy correlation. Keywords: paleomagnetism, magnetic polarity chronostratigraphy, isochron, stratigraphic correlation Naskah diterima 18 Februari 2010, revisi kesatu: 24 Februari 2010, revisi kedua: 19 Maret 2010, revisi terakhir: 11 Juni 2010 137

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi:

Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa

E. Sunardi

Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran

Jln. Raya Bandung-Sumedang Km.21, Jatinangor 45363

Sari

Paleomagnetisme berperan memunculkan suatu jenis stratigrafi baru yang didasarkan atas fenomena pembalikan nonperiodik polaritas medan magnet bumi. Karena fenomena tersebut bersifat global, maka dapat dijadikan dasar yang potensial bagi korelasi geologi, dan dikenal sebagai satuan kronostratigrafi polaritas magnet. Arah magnetisasi remanen yang terbalik terhadap medan magnet bumi telah lama di- ketahui semenjak masa awal sejumlah riset permulaan paleomagnetik. Perkembangan modern skala waktu polaritas geomagnet (GPTS), yang diinisiasi pada sekitar tahun 1960-an, mengikuti kemajuan dalam metode penarikan yang lebih akurat. Rekaman paleomagnetik yang diperoleh untuk batuan berumur tiga juta tahun di daerah Sangiran, turut mengoreksi penelitian magnetostratigrafi yang sebelumnya, serta diperolehnya posisi stratigrafi batas-batas dan kejadian baru polaritas geomagnet. Berdasarkan korelasi rekaman variasi sekular di Mojokerto dan Sangiran, telah disusun magnetostratigrafi formasi-formasi berumur Plistosen di Mojokerto. Stratigrafi polaritas geomagnet untuk masa empat juta tahun terakhir di sekitar Cekungan Bandung dapat berguna bagi pedoman posisi isokron dalam korelasi stratigrafi.

Kata kunci: paleomagnetisme, kronostratigrafi polaritas magnet, isokron, korelasi stratigrafi

AbstrAct

Palaeomagnetism has a role to make a new stratigraphic nomenclature based on the earth magnetism of a nonperiodic reversal polarity phenomenon. Since this phenomenon has a global impact, it can be used as a potential correlation, known as the Magnetic Polarity Chronostratigraphy Unit. Remanent magnetism direction having reversal polarity against present earth magnetic field has long been known since early palaeomagnetic studies. Modern development of geomagnetic polarity time scale (GPTS), initiated in early 1960’s has followed the advancement of radiometric dating which is more accurate. A palaeomagnetic record obtained in the past of 3 Ma of rock in the Sangiran Area, East Java, has contributed in making a correction of previous magnetostratigraphy researches as well as a new level stratigraphy boundary and a new event of geomagnetic polarity. Based on the correlation record of secular variation in Mojokerto and Sangiran, the magnetostratigraphy of formations of Pleistocene age at Mojokerto has been arranged. The geomagnetic polarity stratigraphy of the past 4 Ma of the rocks in the Bandung Basin and its surrounding areas can be used as a guidance of isochronous position in the stratigraphy correlation.

Keywords: paleomagnetism, magnetic polarity chronostratigraphy, isochron, stratigraphic correlation

Naskah diterima 18 Februari 2010, revisi kesatu: 24 Februari 2010, revisi kedua: 19 Maret 2010, revisi terakhir: 11 Juni 2010

137

Page 2: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

138 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

Latar Belakang

Pendahuluan radiometri berkorelasi langsung ataupun tidak lang- sung dengan skala waktu polaritas geomagnet dalam kolom magnetostratigrafi, atau secara tidak langsung

Paleomagnetisme telah memberikan pengaruh yang begitu besar pada perkembangan ilmu ke- bumian pada tiga puluh tahun terakhir. Pada awal masa perkembangannya, studi di berbagai mandala kontinen yang berbeda turut berkontribusi pada re- juvenasi hipotesis/teori apungan benua (continental drift) dan pada masa awal perkembangan teori tek- tonik lempeng (plate tectonic).

Pada perkembangan berikutnya, paleomagnet- isme berperan memunculkan suatu jenis stratigrafi baru yang didasarkan atas fenomena pembalikan nonperiodik polaritas medan magnet bumi (polarity reversal of the geomagnetic field), yang pada masa kini kemudian dikenal dengan nama stratigraphy polaritas magnet (magnetostratigraphy, magnetic polarity stratigraphy). Stratigrafi polaritas magnet (selanjutnya disebut magnetostratigrafi) adalah suatu interval susunan batuan beku atau stratifikasi batuan sedimen yang dicirikan oleh arah kemagnetan batuan, baik dalam arah kemagnetan geomagnet saat ini (normal polarity) atau berarah 180° dari arah medan magnet bumi saat ini (reverse polarity).

Cara dan teknik stratigrafi yang baru ini sungguh sangat mempengaruhi wacana mengenai tektonik lempeng dengan memberikan suatu kronologi dalam penafsiran anomali magnetik di lempeng samudra (Vine dan Matthews, 1963). Dalam tiga puluh tahun terakhir, skala waktu polaritas geomagnet (Geomag- netic Polarity Time Scale-GPTS) telah menjadi salah satu pokok bagi pengalibrasian waktu geologi. Suatu jembatan korelatif antara biozonasi dan umur abso- lut serta interpolasi antarumur absolut telah sukses diperlihatkan untuk masa Kenozoikum dan Akhir Mesozoikum melalui GPTS ini. Pada skala waktu Trias-Kuarter paling akhir, profil anomali magnetic cekungan samudra dengan laju pemekaran yang relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut. Penelitian magnetostratigrafi serta paleolatitude juga digunakan sebagai kalibrasi dalam rekonstruksi Skala Waktu Geologi 2009 (Gradstein dan Ogg. 2004; Walker dan Geissman, 2009).

Stratigrafi polaritas magnet pada daratan mau- pun yang diperoleh dari batuan inti kerak samudra menjadi “penghubung” antara GPTS dan biozo- nasi (dalam hal ini, juga batas-batas stage geologi). Umur-umur absolut yang didapat dari penarikhan

berkorelasi dengan biozonasi. Dipandang dari sisi kepentingannya dalam kalibrasi waktu geologi, untuk memahami laju proses-proses geologi, maka kontribusi stratigrafi polaritas magnet terhadap ilmu kebumian menjadi jelas.

Sifat berpasangan medan magnet bumi dalam arah yang berlawanan (dipole) memiliki arti bahwa kejadian pembalikan polaritas (polarity reversal) terjadi dalam waktu yang bersamaan secara global (globally synchronous), sementara proses pemba- likannya sendiri terjadi dalam kisaran waktu 104- 108 tahun (Butler, 1992). Oleh karena alasan itu, stratigrafi polaritas magnet menyediakan suatu time lines stratigrafi yang berlaku global dalam tingkat resolusi waktu yang sedemikian tinggi. Tiga teknik yang termasuk dalam magnetostratigrafi, adalah (Butler, 1992):

• Stratigrafi magnet batuan (rock magnetic stra- tigraphy), menggunakan sifat-sifat magnetik tanpa pengarahan, misalnya suseptibilitas magnet dan intensitas induksi remanen untuk keperluan korelasi;

• Stratigrafi paleointensitas magnet (paleointen- sity magnetic stratigraphy), mempergunakan rekaman intensitas paleomagnet;

• Stratigrafi variasi sekular magnet (secular variation magnetic stratigraphy), memper- gunakan perubahan arah sekularitas medan magnet bumi, diterapkan dalam korelasi stratigrafi sedimen Kuarter.

Mengelompokkan batuan berdasarkan waktu, dan melibatkan penyusunan sistematis stratifikasi ke dalam satuan-satuan bernama masing-masing berhubungan dengan interval waktu geologi yang spesifik. Arah prinsip konstruksi suatu skala waktu geologi yang terstandar, adalah untuk menetapkan jenjang-jenjang satuan kronostratigrafi (skala inter- nasional), yang dapat dipakai sebagai standar refe- rensi dimana pun batuan yang ada di bumi dapat di hubungkan/korelasikan (di-interelasikan).

Paling tidak, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu skala waktu geologi standar layak secara operasional adalah:

1. Menunjukkan setiap umur di berbagai tempat. 2. Menunjukkan umur, baik secara luas dan

bersifat umum, maupun secara detail dan

Page 3: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

139

terkait dengan waktu atau umur tertentu yang spesifik.

3. Bersifat konsisten, sehingga tidak sering menjadi subjek perubahan.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa diasum- sikan material referensi yang ideal bagi skala waktu geologi seharusnya adalah suatu penampang strati- grafi tunggal yang memiliki urut-urutan stratifikasi yang lengkap, yang merepresentasikan seluruh umur/ waktu geologi, dan tanpa gap pada interval rekaman stratigrafinya. Hubungannya dengan penyusunan suatu kerangka stratigrafi sebagai metode korelasi stratigrafi yang konsisten, dan akurat, ditandai oleh keseragaman polaritas magnet sebagai suatu unit kronostratigrafi.

Permasalahan

Paleomagnetisme merupakan suatu studi medan geomagnet purba sepanjang skala waktu geologi berdasarkan sifat kemagnetan batuan (rock magne- tism). Medan magnet bumi merupakan besaran vek- tor yang perilakunya berubah temporal dalam hal intensitas dan arah, perubahan terbesar dan paling drastis adalah fenomena pembalikan polaritas (re- versal). Karena fenomena tersebut bersifat global, maka dapat dijadikan dasar yang potensial bagi korelasi. Kombinasi pengukuran paleomagnet de- ngan radiometri atau pendekatan kronologi lainnya merupakan salah satu teknik dating yang potensial.

Skala waktu polaritas geomagnet pertama kali ditetapkan pada sekitar tahun 1960-an berdasarkan kombinasi studi paleomagnet batuan vulkanik muda dengan penarikan K-Ar dating, dan menunjukkan bahwa pembalikan medan geomagnet terjadi secara global. Skala waktu pembalikan geomagnet ini, hingga kini telah mengalami beberapa kali revisi. Revisi terutama dilakukan untuk menentukan umur absolut sebagai batas polaritas berdasarkan data isotop dan kalibrasi astronomis.

P e n y e m p u r n a a n y a n g d i l a k u k a n u n t u k mendapatkan umur nisbi maupun mutlak se- sungguhnya untuk mendapatkan rekaman kro- nostratigrafi dengan resolusi tinggi. Berdasarkan data polaritas, penarikhan radiometri, dan posisi stratigrafi tersebut selanjutnya dapat direkonstruksi yang dikenal sebagai stratigrafi polaritas magnet (magnetostratigrafi).

Berdasarkan syarat-syarat dan dasar pemikiran tersebut, satuan stratigrafi selanjutnya mengarah

pada suatu resolusi stratigrafi yang tinggi dan tidak lagi bicara tentang kisaran umur. Sebagai contoh penerapan terhadap unit stratigrafi gunung api (sebagai genetik) dan sekuen stratigrafi (sebagai high resolution stratigraphy). Pada IUGS guide unit tersebut secara hati-hati diusulkan sebagai unconformity bounded unit/stratigraphy (Salvador, 1994).

Kronostratigrafi yang dimaksud dalam hal ini adalah pengertian levelling (chronostratigraphic level) dengan banyak aspek pendekatan yang sifat dasarnya ada dua, absolut dan relatif (relatif misal- nya paleontologi/penetapan biostratigrafi). Kedua sifat dasar tersebut (time) terkait dengan/constrain (ruang) lokal, regional, dan global. Misalnya Neo- gen atau Paleogen pada Tertiary Classification.

Merujuk pada Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), dasar pemikiran dan tujuan pembagian satuan kronostratigrafi telah secara eksplisit terdapat di dalam Bab VI pasal 50 dan 53, yang menerangkan bahwa klasifikasi atau penggolongan stratifikasi batuan secara sistematis berdasarkan interval waktu geologi adalah suatu klasifikasi kronostratigrafis. Disepakati pula bahwa keseragaman polaritas magnet adalah sebagai suatu unit kronostratigrafi. Interval waktu tersebut dapat ditentukan berdasarkan geokronologi atau metode indikator/penunjuk (kesamaan) waktu yang lain. Klasifikasi stratigrafi demikian dipakai sebagai kerangka waktu bagi penyusunan urutan peristiwa geologi lokal, regional, dan global. Interval waktu dalam hal ini mengarah pada usaha refining sebagai suatu chronostratigraphic level (dengan pengertian yang sebaiknya high resolution).

Satuan-satuan kronostratigrafi telah diterima luas sebagai tradisi berdasarkan panjangnya waktu satuan-satuan lithostratigrafi dan biostratigrafi. Saat ini dikenal juga suatu unit formal lainnya, yaitu satuan kronostratigrafi polaritas magnet yang merupakan satuan waktu geologi yang didasarkan atas medan magnet remanen pada batuan. Dengan demikian, perlu pemikiran bahwasanya satuan kro- nostratigrafi polaritas magnet dapat dimasukkan ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996. Tujuan dan Lokasi Studi

Studi kasus ini dibuat dengan tujuan selain un- tuk memberikan pemahaman tentang penerapan satuan stratigrafi polaritas magnet sebagai satuan

Page 4: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

106

110

112

112

114

114

140 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

kronostratigrafi juga disajikan sebagai penelaahan tentang perkembangan penelitian paleomagnet- isme-magnetostratigrafi di Indonesia.

Lokasi studi yang diambil sebagai bahan dalam studi kasus serta penerapan satuan stratigrafi po- laritas magnet adalah di Sangiran, Mojokerto, dan sekitar Cekungan Bandung (Gambar 1). Penelitian di daerah Sangiran, Jawa Tengah, dan Mojokerto, Jawa Timur, tertuju pada formasi-formasi berumur Plio-Plistosen yang dimaksudkan untuk menentu- kan umur dan posisi stratigrafi fosil Pithecanthro- pus. Penelitian yang berlokasi di daerah Bandung, Jawa Barat, diambil mengingat lokasi tersebut dapat dipandang sebagai suatu laboratorium alam yang khas. Dengan demikian penelitian ilmu kebu- mian dengan berbagai pendekatan yang melibatkan Geologi Kuarter, Paleomagnetisme, Geokronologi, Geokimia, Petrologi, Palinologi, dan Vulkanologi dapat berkontribusi bagi pemahaman kronostrati- grafi Kuarter Cekungan Bandung.

Metodologi

Metodologi dalam studi ini terdiri atas dua tahapan penting, yaitu:

• Pemercontohan paleomagnetik. Percontoh material geologi untuk studi ini (material

reference) diambil dari bor dan singkapan yang terorientasi, sehingga posisinya dapat dikenali seperti semula. Orientasi tersebut sangat penting, mengingat langkah selan- jutnya dalam interpretasi paleomagnetik adalah menghubungkannya dengan koor- dinat geografis saat ini. Percontoh diambil dengan bor khusus untuk memperoleh batuan inti.

• P r o s e d u r l a b o r a t o r i u m . U n t u k b a h a n analisis, batuan inti dibuat sedemikian rupa berbentuk silinder atau kubus (dengan diameter dan tinggi/panjang tertentu) yang sesuai bagi sample holder. Bahan analisis tersebut diukur berat dan volumenya, serta natural remanent magnetic (NRM), dan magnetic susceptibility. Demagnetisasi dilakukan dengan cara thermal dan al- ternating field (Zijderveld, 1967), untuk mendapatkan karakteristik remanence magnetization, yang selanjutnya didetermi- nasi dengan prosedur principal component analysis (PCA) (Kirschvink,1980) untuk menghitung arah. Penetapan level-level stratigrafi ditentukan berdasarkan bukti- bukti radiometrik, dan kemudian ditentukan skala waktu polaritas geomagnet berdasar- kan sifat polaritas yang dihasilkan.

o o o o o

-6o

LAUT JAWA -6o

Bandung

Sangiran Mojokerto

-8o

U

B T

S

SAMUDRA HINDIA

-8o

0 Km 170 Km

o o o o o

Gambar 1. Lokasi penelitian sebagai bahan dalam studi kasus serta penerapan satuan stratigrafi polaritas magnet di Sangiran, Mojokerto dan sekitar Cekungan Bandung.

Page 5: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

141

haSil, PeMbahaSan, dan diSkuSi

Perkembangan Penelitian di Bidang Paleomag- netisme

Arah magnetisasi remanen (Natural Remanent Magnetization – NRM) yang terbalik terhadap medan magnet bumi yang berlaku telah lama di- ketahui semenjak masa awal riset-riset permulaan paleomagnetik. Brunhes (1906, dalam Opdyke & Channell, 1996) telah melaporkan arah-arah mag- netisasi batuan lava berumur Pliosen dari Perancis yang memberikan arah magnetisasi ke selatan de- ngan inklinasi ke arah atas, kemudian mempertalikan fenomena tersebut dengan adanya anomali lokal medan geomagment.

Brunhes memperlihatkan bahwa efek pemang- gangan pada daerah kontak dengan batuan beku turut termagnetisasi dengan arah polaritas yang sama dengan batuan beku yang menerobosnya. Pada saat aliran lava mengekstrusi atau saat retas mengintrusi batuan samping, temperatur batuan atau sedimen yang diterobosnya akan meningkat hingga melampaui blocking temperature mineral-mineral magnetik. Pada saat itu, magnetisasi pada mineral atau batuan tersebut akan mengalami penyesuaian (reset/adjusted) sesuai dengan arah medan magnet yang berlaku pada saat baking efek itu terjadi.

Penelitian Brunhes ini diikuti kemudian oleh Matsuyama (1929) pada batuan vulkanik dari daerah Jepang dan Cina utara. Dalam studinya ini, dilibat- kan beragam percontoh lava yang memiliki arah kemagnetan terbalik terhadap medan geomagnet saat ini. Matsuyama mengaitkan pembalikan medan magnet ini dengan fenomena reversal medan magnet bumi, dan memisahkan percontoh-percontoh batu- annya ke dalam dua kelompok: Kelompok pertama yang berumur Plistosen, dengan NRM sesuai dengan arah medan magnet bumi saat ini. Kelompok yang kedua memiliki arah kemagnetan antipodal (berla- wanan) terhadap arah kemagnetan batuan kelompok pertama dan juga terhadap arah medan geomagnet yang berlaku saat ini, kebanyakan merupakan batuan lava yang berumur lebih tua dari Plistosen. Hal ini menjadi semacam petunjuk pertama bahwa polaritas kemagnetan bumi kemungkinan berasosiasi dengan umur-umur geologi tertentu. sehingga umur relatif dan posisi stratigrafi batuan-batuan vulkanik teruji secara stratigrafis.

Studi Matsuyama menunjukkan bahwa batuan dan sedimen berumur Pleistosen Awal dan Kuarter memiliki pengarahan magnet normal, sedangkan yang memiliki arah kemagnetan terbalik muncul dalam batuan berumur Pleistosen Awal dan Pliosen. Einarsson and Sigurgeirsson (1955) menggunakan kompas magnet untuk mendeteksi lava-lava dengan arah kemagnetan terbalik di Eslandia, dan mulai melakukan pemetaan distribusi zona polaritas kemagnetan pada sekuen batuan. Mereka menun- jukkan adanya ketebalan yang mirip pada batuan yang memiliki polaritas normal dan terbalik. Hal ini mengimplikasikan bahwa medan magnet memiliki bias polaritas yang kecil pada zaman Kenozoikum.

Suatu studi yang dilakukan oleh Opdyke dan Runcorn (1956) pada aliran lava di pegunungan San Francisco Arizona Utara menunjukkan bahwa semua lava muda yang diobservasi memiliki polaritas magnet normal, sedangkan yang secara stratigrafis lebih tua umumnya terdiri atas lava yang memi- liki polaritas berlawanan (reversal). Berdasarkan hasil studi ini maka diasumsikan bahwa kejadian reversal polaritas medan magnet bumi terjadi di sekitar batas Plio-Plistosen. Berdasarkan penelitian Hospers (1951) di Eslandia, lava muda umumnya termagnetisasi secara normal, sedangkan yang tua memiliki polaritas reversal, dan di bagian bawahnya kembali menunjukkan polaritas normal. Mereka membagi lava Plio-Plistosen ini ke dalam tiga zo- nasi magnet, yaitu N1-R1-N2 (Normal1, Reversal1, Normal2). Mereka kemudian mengkorelasikan N2 dengan umur Astian dan R1 dengan Vilanfranchian, serta menduga bahwa glasiasi paling awal terjadi di Eslandia pada umur Pliosen.

Magnetometer yang dapat dipergunakan untuk mengukur kemagnetan batuan beku telah ada se- menjak sebelum Perang Dunia II, yang kemudian dikembangkan pula suatu magnetometer yang dapat mengukur NRM batuan sedimen. Blackett (1956) mengembangkan magnetometer statik yang lebih sensitif. Studi paleomagnetik pada batuan sedimen dipelopori sejak penelitian Creer drr. (1954) yang mendokumentasikan enam belas zonasi perulangan polaritas suatu strata setebal 3000 m. Batuan ini mengalami koreksi kemiringan akibat pelipatan untuk menunjukkan magnetisasi sebelum terjadinya pelipat- an. Selain itu, penelitian ini juga melaporkan adanya pembalikan polaritas pada batuan Devon dan Trias.

Page 6: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

142 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

Perkembangan modern skala waktu polari- tas geomagnet (GPTS) yang diinisiasi pada ta- hun 1960an mengikuti kemajuan dalam metode penarikhan Kalium-argon (K-Ar) yang lebih akurat untuk batuan beku. Secara umum, batuan beku yang berasal dari umur yang sama, namun diperoleh dari berbagai lokasi yang berbeda, memiliki kesamaan arah polaritas magnet. Penentuan umur dan polaritas magnet dari berbagai batuan beku yang semakin ba- nyak dikompilasika menuntun kita untuk mengem- bangkan pertama kalinya suatu skala waktu polaritas geomagnet dalam interval 0 hingga 5 juta tahun.

Bila terdapat penentuan umur yang pendek dan arah polaritas magnet, interval polaritas diperkirakan memiliki durasi dalam kisaran satu juta tahun. Inter- val polaritas semacam ini disebut sebagai epoch po- laritas, dan dinamai menurut nama peneliti-peneliti penting dalam sejarah penelitian kemagnetan bumi. Selain itu, ternyata di dalam interval epoch polaritas tersebut juga kemudian dijumpai interval-interval singkat fenomena pembalikan polaritas geomagnet yang terekam. Interval yang durasinya lebih pendek ini kemudian dikenal dengan event polaritas, dan dinamai menurut lokasi pertama kalinya percontoh batuan diperoleh. Saat ini diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara epoch polaritas dan event polaritas. Dimungkinkan adanya suatu interval polaritas dalam beragam spektrum durasi waktu.

Skala waktu polaritas geomagnet terutama didasarkan atas penarikhan K-Ar dan penentuan polaritas geomagnet batuan beku. Tiga ratus lima puluh empat penentuan umur dan polaritas batuan dipergunakan untuk menyusun skala waktu ini.

Paleomagnetisme yang didapat dari batuan inti (core) laut dalam memberikan informasi penting bagi sekuen polaritas geomagnet untuk masa lima juta tahun. Hasil penentuan batuan sedimen menun- jukkan bahwa akumulasi sedimen terlihat menerus tanpa rumpang yang signifikan.

Geologi Kuarter dan Geomagnetisme

Hingga sekitar 15-20 tahun lalu, para ahli pa- leomagnetik dan ahli magnetik batuan berkonsen- trasi terutama dalam mengkarakterisasi sifat-sifat magnetik dari hanya sejumlah kecil spesies mineral magnetik. Yang diteliti secara intensif adalah mineral magnetit yang mengandung substitusi titanium, yang terbentuk pada temperatur tinggi dan berasosiasi dengan batuan beku. Mineral ini berperan penting

dalam studi paleomagnetik di batuan kerak benua dan pada perkembangan hipotesis pemekaran kerak samudra, mineral ini terbentuk pada temperatur tinggi dan stabil terpreservasi dalam temperatur yang rendah.

Selain mineral-mineral magnetit yang terbentuk pada temperatur tinggi, mineral-mineral magnetik yang terbentuk dalam temperatur rendah turut pula diselidiki, terutama yang berasosiasi dengan sedimen-sedimen berwarna kemerahan seperti pada umumya sedimen terestrial, yang didominasi oleh hematit.

Perkembangan penelitian magnetisme yang terkait dengan aspek lingkungan, berfokus pada sedimen dan penerapannya pada beragam ling- kungan Kuarter telah turut merangsang penelitian yang berorientasi pada pengenalan dan identifikasi pembentukan mineral-mineral magnetik serta proses magnetisme yang membentuknya.

Periode geologi Kuarter yang dimulai sekitar 2,6 juta tahun lalu, merupakan suatu periode sejarah bumi yang baru terjadi dan tengah berlangsung. Periode Kuarter merupakan suatu kurun waktu yang dinamis, dicirikan oleh perubahan iklim yang signifikan, ekspansi dan kontraksi daratan-daratan es seukuran benua, terjadinya naik-turun permukaan laut global, migrasi dan kepunahan fauna serta flora, tak ketinggalan pula evolusi dan pertumbuhan popu- lasi manusia modern.

Rangkaian perubahan iklim bumi dan biosfir yang dramatis ini seringkali terekam jejak alamiah- nya sebagai fenomena variasi fisis, kimia, dan isotop dalam sedimen atau es. Rekaman jejak tersebut, bila dapat dimunculkan dan dibaca, memungkinkan kita untuk dapat di antaranya mengidentifikasi waktu, laju, dan mekanisme perubahan iklim dan lingkung- an di masa lampau.

Informasi tersebut semakain lama semakin terasa penting dan kritis. Hal itu memberikan kita suatu ikatan dan perspektif baik bagi pemahaman kita mengenai bumi saat ini dan nilai prediktif untuk masa mendatang, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim global.

Butiran mineral-mineral magnetik, terutama oksida besi dan sulfida, umumnya banyak terdapat dalam sedimen berumur Kuarter, tanah, debu, dan organisme, meskipun hadir dalam konsentrasi minor. Oleh karenanya, yang melatarbelakangi analisis ma- terial Kuarter adalah bahwa proses-proses lingkung-

Page 7: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

143

an turut menyimpan rekaman susunan kemagnetan alam, dan merefleksikan proses-proses yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

Penelitian PaleoMagnetiSMe dan Stratigrafi

PolaritaS Magnet

Sangiran, Mojokerto, dan Pegunungan Selatan

Pada awal tahun 1990 an, dilakukan beberapa riset bersama antara Faculty of Science Kobe Uni- versity dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, untuk penelitian magnetostratigrafi forma- si-formasi batuan yang mengandung fosil hominid dari daerah Sangiran dan Mojokerto (Hyodo drr., 1992&1993).

Penelitian yang tertuju pada formasi-formasi berumur Plio-Plistosen tersebut dilakukan untuk menentukan umur dan level stratigrafi fosil Pithe- canthropus di Sangiran dan Mojokerto. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya rekaman variasi sekular arah medan geomagnet dari kedua daerah dalam pola yang konsisten. Rekaman paleomagnetik yang diperoleh untuk batuan yang berumur tiga juta tahun lalu di daerah Sangiran turut mengoreksi penelitian magnetostratigrafi sebelum- nya, serta diperolehnya level stratigrafi batas-batas dan event baru polaritas geomagnet (Gambar 2).

Berdasarkan korelasi rekaman variasi sekular di Mojokerto dan Sangiran, maka magnetostratigrafi formasi-formasi berumur Pleistosen di Mojokerto telah dapat disusun. Zonasi stratigrafi bagi ke- beradaan Pithecanthropus di Sangiran berkisar dari batas bawah event Jaramilo hingga batas Brunhes- Matsuyama, dan level stratigrafi bagi Homo Mo- jokertensis terletak pada batas bawah event Jaramilo (Gambar 2).

Studi paleomagnetisme untuk kepentingan tek- tonik telah diterapkan pula di Jawa pada pertengahan tahun 2000 an (Ngkoimani drr., 2006). Studi yang melibatkan paleomagnetisme dan geokronologi ini dilakukan pada percontoh batuan Formasi An- desit Tua yang tersusun atas aliran lava, kubah lava, dan intrusi subvulkanik di sekitar Yogyakarta (Pegunungan Selatan Jawa Bagian Tengah). Penen- tuan umur dengan radiometri K-Ar pada batuan di daerah Pegunungan Selatan menunjukkan kisaran umur antara Kapur hingga Miosen Akhir. Demag- netisasi dengan cara alternating field pada percontoh

batuan memperlihatkan intensitas NRM yang arah remanennya konsisten. Analisis kemagnetan batuan menunjukkan bahwa remanen magnetik dibawa oleh mineral magnetit atau titanomagnetit.

Penafsiran data paleomagnetik mengimplika- sikan bahwa sebagian Jawa bagian tengah secara tektonis berasal dari suatu tempat di selatan posisi saat ini. Hasil penentuan umur absolut dan posisi paleogeografi setidaknya menunjukkan adanya tiga paleoposisi Jawa bagian tengah (Gambar 3). Hasil lain studi ini menunjukkan bahwa pada Akhir Kapur (75,87±4,06 jtl.) hingga Eosen (47,42±3,19 jtl.) paleoposisi Jawa bagian tengah berada sekitar 16 - 20° Lintang Selatan, sedangkan pada umur Oligosen (29,63±2,26 jtl. – 25,35±0,65 jtl.) terletak antara 12 - 13° Lintang Selatan. Selanjutnya, pada umur Miosen terletak sekitar 10 - 11° Lintang Selatan.

Penemuan sejarah kemagnetan bumi dan im- plikasi tektonik pada Formasi Andesit Tua tidak hanya menambah informasi geokronologi batuan beku di Jawa, tetapi juga memperbaharui pemaham- an evolusi tektonik Jawa. Cekungan Bandung

Daerah Bandung yang berlokasi di Jawa bagian barat, dipandang sebagai suatu laboratorium alam yang khas.

Daya tarik utama Cekungan Bandung secara geologis adalah cekungan ini merupakan suatu dataran tinggi zona fisiografi Bandung (van Bem- melen, 1949), yang tersusun oleh berbagai batuan vulkanik serta endapan fluvio-lakustrin. Cekungan ini dikelilingi oleh kerucut-kerucut gunung api Kuarter dan kubah-kubah lava, sebagai ciri aktivitas vulkanik yang aktif.

Karena secara umum skema kronologi batuan vulkanik di Cekungan Bandung belum didasarkan atas penarikhan radiometri, penentuan umur ra- diometri dengan beragam teknik memiliki kontribusi untuk kronostratigrafi Plio-Plistosen. Di samping batuan vulkanik, studi paleomagnetik pada batuan sedimennya akan membantu korelasi sekuen kro- nostratigrafi dengan standar skala waktu polaritas geomagnet (Mankinen dan Darlymple, 1979; Cande dan Kent, 1992, 1995).

Studi geokimia dan petrologi batuan vulkanik di Jawa Barat pada umumnya ditujukan untuk mengungkap keterkaitannya dengan kerangka tek- tonik, serta sistem palung busur dari Busur Sunda

Page 8: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

SG5

144 Jurnal G

eologi Indonesia,Vol. 5 N

o. 2 Juni 2010: 137-150

Not

opur

o F

. (P

oh

jaja

r F

.)

Pu

can

gan

Fo

rmat

ion

(S

ang

iran

Fo

rmat

ion

) K

abuh

F.

(Bap

ang

F.)

K

alib

eng

Fo

rmat

ion

(P

uten

F

orm

atio

n)

Mar

ine

Lag

oona

l H

omin

id f

ossi

ls

Hom

inid

foss

il

Mar

ine

Flu

viat

ille

Puca

ngan

For

mat

ion

Kab

uh F

orm

atio

n

SANGIRAN

MOJOKERTO

LITHOLOGY Polarity DECLINATION

Fission

DECLINATION

Polarity LITHOLOGY

Upper Lahar AAA

track age

0,25

0,49

(Myr)

-90 0 90 180 2700 -90 0 90 180 2700

(Myr) 0,73

Gravel bed

Sand & gravel

200

300

Upper T.

Middle T.

0,58 0,71 0,71

0,73

Sand & gravel

SG4

Lower T. Grenzbaak Zone

T11 T10

T9

0,78 1,16

0,90

0,97

S. & gravel SG3

Mollusc.III ML3

200

100

T8

T6 T7

T4 T5

T2 T3 T1

Lower Lahar

Balanus Limestone Upper T.

Nodule

Middle T.

1,49 1,51

1,67

1,87

?

2,48

0,90

0,97

1,67

Sand pipe A

S. & gravel B

Molluscan Horizon II

SP

SG2 SG1

Ml2

100

0 m

Lower T.4

Lower T.3

Lower T.2

Lower T.1

0 m

2,99

2,92

3,01

3,05

N R I N&I R&I

Silty Sandy

Alteration of sand & tuffaceous sand

Homo modjokertensis (see Fig.10)

Vertebrate fossils

Levels paleomagnetically corresponding to Formation-boundaries in Sangiran

Gambar 2. Rekaman paleomagnetik yang diperoleh untuk batuan yang berumur tiga juta tahun lalu di daerah Sangiran dan Mojokerto. Zonasi stratigrafi bagi keberadaan Pithecanthropus di Sangiran berkisar dari batas bawah even Jaramilo hingga batas Brunhes-Matuyama, dan level stratigrafi bagi Homo mojokertensis terletak pada batas bawah even Jaramilo.

Page 9: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

LE

GE

ND

A

U

B

T

Mio

sen,

6 -

11

jt t

ahun

, 100 -

110 L

S

S

Oli

gose

n, 2

4 -

25 jt

tahu

n, 1

20 - 13

0 LS

0 12

5 25

0 50

0 75

0 K

ilom

eter

s

Kap

ur A

khir

- E

osen

, 75

- 47

jt ta

hun,

160 -

200 L

S

PAL

EO

PO

SIS

I JA

WA

BA

GIA

N T

EN

GA

H

100o 0’

0’’E

10

5o 0’0’

’E

110o

0’0’

’E

115o

0’0’

’E

120

o 0’

0’’E

12

5 o 0’

0’’E

Gam

bar

3. H

asil

pen

entu

an u

mur

abs

olut

dan

pos

isi p

aleo

geog

rafi

, men

unju

kkan

ada

nya

tiga

pal

eopo

sisi

Jaw

a ba

gian

teng

ah. A

khir

Kap

ur (

75,8

7±4,

06 jt

l.) h

ingg

a E

osen

(4

7,42

±3,1

9 jt

l.), p

aleo

posi

si J

awa

bagi

an te

ngah

ber

ada

seki

tar

16-2

0° L

inta

ng S

elat

an, s

edan

gkan

pad

a um

ur O

ligo

sen

(29,

63±2

,26

jtl.

– 25

,35±

0,65

jtl.)

terl

etak

ant

ara

12-1

3° L

inta

ng S

elat

an. S

elan

jutn

ya,

pada

um

ur M

iose

n te

rlet

ak s

ekit

ar 1

0-11

° L

inta

ng S

elat

an. (

Dat

a da

ri N

gkoi

man

i drr

., 20

06).

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

145

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 10: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

146 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

(Whitford drr., 1979; Hutchinson, 1982; Sendjaja drr., 2009). Selain itu, studi petrologi dan geokimia di daerah Cekungan Bandung dan Jawa Barat juga dapat ditujukan untuk mengungkap variasi temporal batuan vulkanik Neogen, serta mengetahui evolusi kondisi mantel bagian atas vulkanisme di daerah ini (Sunardi dan Kimura, 1997; Sendjaja, 2009).

Meskipun daerah Bandung dan sekitarnya me- miliki tataan geologi yang menarik, akan tetapi studi yang berkaitan dengan paleomagnetisme sedikit sekali. Penelitian geologi yang dilaksanakan penulis lebih berkonsentrasi pada kepentingan geologi lo- kal, sehingga dilakukan sebagai riset multi disiplin yang melibatkan paleomagnetisme, penentuan umur radiometri, petrografi, dan geokimia.

Daerah studi ini dipilih karena batuan vulkanik di sekitar Bandung tersebar secara ekstensif (Gambar 4). Percontoh batuan yang diambil dan dikumpulkan dipergunakan baik sebagai bahan penarikhan K-Ar maupun sebagai analisis paleomagnetik (Sunardi, 1997). Kedua teknik ini apabila dilakukan secara independen akan memberikan hasil yang ambivalen.

Untuk penentuan posisi stratigrafi batuan vul- kanik, dilakukan penelitian secara gabungan antara bukti-bukti penarikhan umur radiometri dengan hasil korelasi magnetostratigrafi. Penelitian ini dapat dianggap sebagai penentuan stratigrafi polaritas magnet batuan vulkanik yang pertama dilakukan di Indonesia secara komprehensif.

Batuan vulkanik Miosen Akhir yang diambil sebagai percontoh terdiri atas lava dan breksi-tuf berkomposisi andesitis-basaltis (Alzwar drr, 1992), di antaranya diambil dari daerah Gunung Kromong dan Cipicung.

Vulkanik Kuarter Tua merupakan produk Gu- nung Api Sunda. Lokasi percontoh batuannya yang tersebar di Cijalu, Cikujang, Gunung Batu, Cilame, dan Batu Nyusun merupakan aliran lava yang di- jumpai menjadi lava Gunung Tangkuban Parahu. Singkapan aliran lava Kuarter Muda dari Gunung Tangkuban Parahu tersebar di Cicariang, Kasoma- lang, Dago, Cisarua, dan Maribaya.

Aliran dan kubah lava untuk seluruh unit erupsi vulkanik Plio-Plistosen di Cekungan Bandung berturut-turut berasosiasi dengan Krono Gilbert, Subkrono Mammoth, Subkrono Kaena, Krono Gauss, Krono Matuyama, Subkrono Jaramilo, dan Krono Brunhes. Fenomena ekskursi arah paleomag- netik yang terjadi pada Krono Brunhes dijumpai pula

pada urut-urutan lava dari berbagai lokasi percontoh batuan. Hal ini memperlihatkan terjadinya berbagai variasi arah medan geomagnet yang terekam baik pada waktu yang sama dan waktu yang berbeda.

Aktivitas vulkanisme Gunung Tangkuban Parahu terekam baik sejak Plistosen Akhir, sekitar 156 ribu tahun lalu hingga saat ini. Erupsi paling akhir tercatat tahun 1992 yang menghasilkan lumpur dan abu gunung api. Penentuan umur berdasarkan metode penarikhan K-Ar untuk lokasi yang berbeda mem- berikan umur mulai dari 39 ± 3 ribu tahun sampai 46 ± 5 ribu tahun.

Umur rata-rata yang dihitung dari seluruh peng- ukuran adalah 43 ± 4 ribu tahun. Umur ini me- ngonfirmasikan hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Dam dan Suparan (1992). Hasil penelitian mereka yang berdasarkan penarikhan 14C menunjukkan adanya influks batuan vulkaniklastika dalam jumlah besar secara episodik di Cekungan Bandung pada masa 40-50 ribu tahun lalu sehingga dapat menjadi petunjuk terjadinya kolaps Gunung Tangkuban Parahu. Dengan demikian, hasil K-Ar 43 ± 4 ribu tahun dianggap sebagai umur ekskursi geomagnet untuk daerah Cekungan Bandung.

Ekskursi geomagnet pada sekitar 43 ± 4 ribu tahun lalu yang dijumpai pada penelitian ini dapat dikorelasikan dengan ekskursi Laschamp (Bonhom- met dan Babkine, 1969; Chauvin drr., 1989; Levi drr., 1990), dengan umur 42,9 ± 3,9 ribu tahun.

Hasil studi paleomagnetik, penarikhan K-Ar, petrografi, dan geokimia di Cekungan Bandung menunjukkan stratigrafi polaritas magnet aliran dan kubah lava yang berumur Plio-Plistosen. Selain itu diperoleh pula sejarah variasi arah kemagnetan un- tuk empat juta tahun lalu sebagai pedoman dalam ko- relasi stratigrafi isokron. Sejarah vulkanisme Kuarter di Cekungan Bandung selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima belas unit vulkanik yang berasosiasi dengan kronozona Gilbert, Gauss, Matsuyama, dan Brunhes. Unit vulkanik yang berasosiasi dengan kronozona Gilbert pada dasarnya bersifat kalk-alkali (low-K), seperti halnya unit vulkanik di Selacau- Paseban, yang berumur rata-rata 4,1 juta tahun dan memiliki polaritas geomagnet reversal (Gambar 5).

Tiga unit vulkanik yang bersifat kalk-alkali (low-K) ditemui pada batuan di lokasi Cipicung dan Gunung Kromong, yang masing-masing secara berturut-turut menunjukkan umur 3,3 juta tahun, 3,1 juta tahun dan 2,9 juta tahun. Lava dari Cipicung

Page 11: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

U

B

T

Cij

alu

S

Cik

ajan

g

Kas

omal

ang

Gn.

batu

Cis

arua

M

arib

aya

Cila

me

Dag

o B

atun

yusu

n

Pas

eban

Cic

adas

S

elac

au

Cip

icun

g G

. Kro

mon

g

Gam

bar 4

. Lok

asi c

onto

h ba

tuan

yan

g di

ambi

l dan

dip

ergu

naka

n ba

ik u

ntuk

pen

arik

han

K-A

r mau

pun

anal

isis

pal

eom

agne

tik.

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

147

Page 12: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Cande dan Kent (1995) Sunardi (1996)

Polarity Umur K -Ar Polarity

Chrons Polarity (jtl.) Sub -Chrons

Umur K -Ar Unit Vulkanik (jtl.) Polarity

Kasomalang0.043 N-I Cicariang 0.045 N Curug Dago 0.156 N Curug Cisarua

0.508 N Gunung Batu

1.093 N-I Batu Nyusun

1.726 R Curug Cicadas

2.872 N Kromong Barat

3.073 R Kromong Timur 3.323 I(W) Cipicung

Paseban

4.077 R 4.088 R Selacau

BR

UN

HE

S

0.493 0.504 Emperor

0.780

0.990 0.107 Jaramilo 1.201 1.211 Cobb Mountain

1.770

Olduvai 1.950 2.140 2.150 Reunion 1 2.420 2.441 Reunion 2 2.581

3.040 3.110 Kaena 3.220 3.330 Mammoth 3.500

4.180

4.290 Cochiti

4.480

4.620 Nunivak 4.800 4.890 Sidufall 4.980

Thvera

M

AT

UY

AM

A

G

AU

SS

G

ILB

ER

T

148 Jurnal G

eologi Indonesia,Vol. 5 N

o. 2 Juni 2010: 137-150

TE

RT

IAR

Y

PAL

EO

GE

NE

EO

CE

NE

NE

OG

EN

E

ME

OC

EN

E

PALE

OO

ENE

OL

IGO

CE

NE

25

18

MAGNETIC

AGE POLARITY

CENOZOIC PICKS

(Ma) PERIOD

1 C1 QUATER

2 C2 NERY

EPOCH AGE

MOLOGENE CALABRIAN

PLEISTOCENE PIACENZIAN

(Ma)

0,01 1,0

2A C2A

5 3 C3

L PLIOCENE

E

PIACENZIAN

ZANCLEAN

2,6

5,2

3A C3A MESSINIAN

7,2 4

C4

10 4A

C4A 5

C5

5A

L TORTONIAN

SERRAVALLIAN

11,6

0.062

N

Maribaya

15 5B

C5A

C5B

M LANGHIAN

12,0

5C C5C 5D C5D 5E

C5E

20 6 C6

6A C6A

6B C6B

6C C6C

7 C7 7A C7A

8 C8

9 C9 10 C10

30 11 C11 12

C12

13

C13

35 15 C15

16 C16 17

C17

40 C18

19 C19

20 C20

45

21

BURDIGALIAN

E

AQUTANIAN

L CHATTIAN E RUPELIAN

L PRIABONIAN

BARTONIAN

M

LUTETIAN

16,0

20,4 22,0 22,4 22,0

27,2

40,4

50

22

C21

C22

40,6

23 C23

24

C24

55

25 C25

26

60 C26

27 C27

28 C28

E YPRESIAN

L THANETIAN

M SELANDIAN

E DANIAN

55,0

50,7

61,7

65 29

30

C29

C30

65,5

STRATIGRAFI POLARITAS GEOMAGNET

2009 GEOLOGIC TIME SCALE CEKUNGAN BANDUNG

Gambar 5. Stratigrafi polaritas geomagnet untuk masa 4 jt. terakhir di sekitar Cekungan Bandung serta posisinya dalam Skala Waktu Geologi 2009, yang dapat digunakan bagi pedoman posisi isokron dalam korelasi stratigrafi.

Page 13: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi Polaritas Magnet sebagai Satuan Kronostratigrafi: Studi Kasus di Cekungan Bandung serta Daerah Mojokerto dan Sangiran, Jawa (E. Sunardi)

149

menunjukkan arah medan paleomagnetik transisi pada reversal Mammoth bagian bawah, lava dari Kromong timur menunjukkan polaritas reversal dalam kronozona Gauss, sedangkan lava Kromong barat menunjukkan polaritas normal dalam kro- nozona Gauss.

Aliran lava yang berasal dari Cicadas, di bagian timur Cekungan Bandung, dikelompokkan ke dalam seri toleit (low-K), yang menunjukkan umur 1,7 juta tahun dan merupakan bagian dari kronozona Matsuyama. Lava dari Batu Nyusun bersifat kalk- alkali (medium-K), dan menunjukkan umur 1,09 juta tahun, yang kemungkinan berkaitan dengan medan geomagnet transisi selama reversal Jaramilo bagian bawah dalam kronozona Matsuyama.

Aliran lava yang dihasilkan oleh Gunung Tang- kuban Parahu dikelompokkan ke dalam seri toleit (high-K), dengan kisaran umur antara 156 - 43 ribu tahun. Penelitian paleomagnet memperlihatkan ada- nya dua masa akuisisi kemagnetan remanen yang dimiliki oleh batuan vulkanik. Periode pertama berkisar antara 156 - 45 ribu tahun, dan polaritas umumnya bersifat normal sesuai dengan kemag- netan polaritas normal pada kronozona Brunhes. Periode yang kedua berumur rata-rata 43 ribu tahun, berasosiasi dengan periode ekskursi geomagnet Laschamp.

keSiMPulan

Rekaman paleomagnetik yang diperoleh untuk

batuan yang berumur tiga juta tahun di daerah Sa- ngiran, turut mengoreksi penelitian magnetostrati- grafi sebelumnya.

Zonasi stratigrafi bagi keberadaan Pithecan- thropus di Sangiran berkisar dari batas bawah event Jaramilo hingga batas Brunhes-Matsuyama, dan level stratigrafi bagi Homo Mojokertensis terletak pada batas bawah event Jaramilo.

Stratigrafi polaritas geomagnet untuk masa empat juta tahun terakhir di Cekungan Bandung dapat berguna bagi pedoman posisi isokron dalam korelasi stratigrafi.

Stratigrafi polaritas geomagnet dalam penelitian ini tidak berasal dari urutan stratigrafi yang menerus, namun masing-masing unit vulkanik telah dapat ditentukan umur absolutnya melalui penarikhan

radiometri. Lebih jauh lagi dari penelitian petrologi dan geokimia, batuan vulkanik di sekitar Cekungan Bandung telah berhasil dikarakterisasi.

Penetapan kronostratigrafi yang baru dari penelitian ini dapat dikembangkan sebagai standar korelasi, khususnya untuk stratigrafi Plio-Plistosen, di Pulau Jawa, yang secara litologis umumnya di- dominasi oleh batuan vulkanik.

Stratigrafi polaritas magnet menyediakan suatu time lines stratigrafi yang berlaku global dalam tingkat resolusi waktu yang sedemikian tinggi. De- ngan demikian penetapan kronostratigrafi tersebut juga dapat diterapkan di Indonesia.

Ucapan Terima Kasih---Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Billy G. Adhiperdana, M.Si. serta Staf Laborato- rium Sedimentologi dan Geologi Kuarter, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, atas bantuannya dari mulai pengumpulan acuan serta diskusi hingga tulisan ini dapat

diselesaikan.

acuan

Alzwar, M., Akbar, N. dan Bachri, S. 1992. Geological

Map of the Garut and Pameungpeuk Quadrangle, Java. Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia.

Blackett, P.M.S., 1956. Lectures on Rock Magnetism. Weizmann Science Press of Israel, Jerusalem, 131 h.

Bonhommet, N. dan Babkine, J., 1969. Paleomagnetism and potassium-argon age determination of the Laschamp geomagnetic polarity event. Earth and Planetary Science Letters, 6, h. 43.

Brunhes, B., 1906. Dalam: Opdyke, N.D., dan Channell, J.E.T. 1996. Magnetic Stratigraphy. Academic press, 343 h.

Butler, R.F., 1992. Paleomagnetism: Magnetic Domains to Geologic Terranes. Blackwell Science Inc., 237 h.

Cande, S. C. dan Kent, D.V., 1992. A new geomagnetic polarity timescale for the Late Cretaceous and Cenozoic. Journal of Geophysical Research, 97, h.13.917-13.951.

Cande, S. C. dan Kent, D.V., 1995. Revised calibration of the geomagnetic polarity timescale for the Late Cretaceous and Cenozoic. Journal of Geophysical Research, 100. No.B4, h.6093-6095.

Chauvin, A., Duncan, R. A., Bonhommet, N., dan Levi, S., 1989. Paleointensity of the Earth’s magnetic field and K-Ar dating of the Louchardière volcanic flow, central France: New evidence for the Laschamp excursion. Geophysical Research Letters, 16, h. 1189.

Creer, K. M., Irving, E., dan Runcorn, S. K., 1954. The direction of the geomagnetic field in remote epochs in

Page 14: Penelitian Magnetostratigrafi dan Penerapan Satuan Stratigrafi ...oaji.net/articles/2014/1150-1408342548.pdf · relatif konstan dijadikan sebagai standar komparatif GPTS tersebut

150 Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 5 No. 2 Juni 2010: 137-150

Great Britain. Philosophical Transactions of the Royal Society London Serie A, 250, h. 144–156.

Dam, M. A. C. dan Suparan, P., 1992. The Geology of Bandung Basin, West Java, Indonesia. Geological Research and Development Centre Special Publication, 13, 79 h.

Einarsson, Tr. dan Sigurgeirsson. T., 1955. Rock magnetism in Iceland. Nature, 175, h. 892.

Gradstein, F.M. dan Ogg, J.G., 2004. Geologic Time Scale 2004 – why, how, and where next! Lethaia, 37, h. 175- 181. Oslo.

Hospers, J., 1951. Remanent magnetism of rocks and the history of the geomagnetic field, Nature, 168, h.1111- 1112.

Hutchinson, C. S., 1982. Indonesia. Dalam: Thorpe, R. S. ed., "Andesite", John Willey & Sons. Chichester, h.207-224.

Hyodo, M., Sunata, W., and Susanto, E. E., 1992, A Long- Term Geomagnetic Excursion from Plio-Pleistocene Sediments in Java. Journal of Geophysical Research., 97(B6), h.9323–9335.

Hyodo, M., Watanabe, N., Sunata, W., Susanto, E.E., dan Wahyono H., 1993, Magnetostratigraphy of Hominid Fossil Bearing Formations in Sangiran and Mojokerto, Java. Anthropological Science, 101(2), h.157-186.

Kirschvink, J. L., 1980. The least-squares line and plane and the analysis of paleomagnetic data. Geophysical Journal of the Royal Astronomical Society, 62, h.699-718.

Levi, S., Audonsson, H., Duncan, R. A., Kristjansson, L., Gillot, P.-Y., dan Jakobsson, L., 1990. Late Pleistocene geomagnetic excursion in Icelandic lavas: confirmation of the Laschamp excursion. Earth and Planetary Sci- ence Letters, 96, h.443.

Mankinen, E.A. dan Dalrymple, G.B., 1979. Revised geo- magnetic polarity time scale for the interval 0-5 m.y. B.P. Journal of Geophysical Research, 84, h.615-626.

Martodjojo, S. dan Djuhaeni, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia IAGI, Jakarta, 25h.

Matsuyama, M., 1929. On the direction of magnetization of basalt in Japan, Tyozen and Manchuria. Proceedings of the Imperial Academy of Japan, 5, h.203-205.

Ngkoimani, LO. Bijaksana, S., dan Abdullah, C.I., 2006. Paleo-Magnetic and Geo-chronological Constraints on the Cretaceous Miocene Tectonic Evolution of Java,

International Geoscience Conference Proceedings, Jakarta 06-SOT-11, 4 h.

Opdyke N. D. dan Runcorn S. K., 1956. New Evidence for Reversal of the Geomagnetic Field near the Pliocene- Pleistocene Boundary. Science, 123(3208), h.1126.

Salvador, A., (eds.), 1994, International Stratigraphic Guide: A Guide to Stratigraphic Classification, Terminology, and Procedure. International Union of Geological Sci- ences and Geological Society of America, 214 h.

Sendjaja, Y.A. Kimura, J,-I, dan Sunardi, E., 2009. Across- arc geochemical variation of Quaternary Lavas in West Java, Indonesia: Mass balance elucidation using Arc Basalt Simulator model. Island Arc, 18, h.201-224.

Sendjaja, Y.A., 2009. Geochemistry of Late Cenozoic lavas in West Java, Indonesia: Origin of Arc Magmatism and its implication to tectonic development. Dr.Sc. Thesis, Graduate School of Science and Engineering, Shimane University, Japan.

Sunardi, E., 1997. Magnetic Polarity Stratigraphy of the Plio-Pleistocene volcanic rocks around the Bandung Basin, West Java, Indonesia. Dr.Sc. Thesis, Osaka City University. Japan.

Sunardi, E. dan Kimura, J., 1997. Temporal chemical variations of the late Neogene volcanic rocks around the Bandung Basin, West Java, Indonesia: An inferred timetable resolving the evolutionary history of the upper mantle. Journal of Mineralogy Petrology and Economic Geology, 93, h.103-128.

Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office, Den Haag, Vol I, IA and IB, 732 h.

Vine F.D. dan Matthews, D.H., 1963. Magnetic anomalies over oceanic ridges. Nature, 199, h.947–949.

Walker, J.D. dan Geissman, J.W., (compilers,), 2009. Geologic Time Scale: Geological Society of America, doi: 10.1130/2009.CTS004R2C. Geological Society of America.

Whitford, D. J., Nicholls, I. A., dan Taylor, S. R., 1979. Spatial variations in the geochemistry of Quaternary lavas across the Sunda arc in Java and Bali. Contribu- tion to Mineralogy Petrology, 70, h.341-356.

Zijderveld, J. D. A., 1967. A demagnetization of rocks: Analysis of results. Dalam: Collinson, D.W., Creer, K.M., dan Runcorn S. K., (eds.), Methods in Paleomag- netism, Elsevier, Amsterdam, h.254-286.