24
PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS Aisyah Shaumasari Maulana (110110120060) Kelas A Hukum Udara dan Ruang Angkasa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 1. Pendahuluan Pada 17 Juli 2014, Malaysia Airlines MH 17 jatuh di wilayah desa Hrabove, timur Ukraina, menewaskan 298 orang didalamnya. Jatuhnya pesawat ini menimbulkan kegemparan di seluruh dunia setelah diketahui bahwa penyebabnya adalah hantaman rudal anti pesawat yang diluncurkan dari wilayah tersebut. Hrabove adalah wilayah yang berada di Donetsk Oblast, Donbass, 40 KM dari perbatasan Rusia-Ukraina, dimana di wilayah tersebut sedang terjadi konflik bersenjata antara Ukraina dan pemberontak Pro- Rusia. Insiden ini terjadi 31 tahun setelah insiden penembakan pesawat Korean Airlines penerbangan 007 oleh Uni Soviet, yang menjadi pencetus diadopsinya pasal 3 bis dalam Chicago Convention 1944 oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun 1984, serta dibentuknya Manual Concerning Safety Measures Relating to Military Activities Potentially Hazardous to Civil Aircraft Operations oleh ICAO 1

PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tulisan ini membahas insiden penembakan pesawat MH 17 dilihat dari sudut pandang Chicago Convention 1944 –khususnya aspek-aspek hukum dalam pasal 3 bis, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apakah terdapat suatu keadaan dimana pasal 3 bis tidak berlaku dan negara dapat menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil? Apakah entitas bukan negara seperti separatis pro-Rusia terikat dengan ketentuan pasal 3 bis?

Citation preview

Page 1: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17

DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU

ANALISIS

Aisyah Shaumasari Maulana (110110120060)

Kelas A Hukum Udara dan Ruang Angkasa

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

1. Pendahuluan

Pada 17 Juli 2014, Malaysia Airlines MH 17 jatuh di wilayah desa Hrabove, timur Ukraina,

menewaskan 298 orang didalamnya. Jatuhnya pesawat ini menimbulkan kegemparan di

seluruh dunia setelah diketahui bahwa penyebabnya adalah hantaman rudal anti pesawat yang

diluncurkan dari wilayah tersebut. Hrabove adalah wilayah yang berada di Donetsk Oblast,

Donbass, 40 KM dari perbatasan Rusia-Ukraina, dimana di wilayah tersebut sedang terjadi

konflik bersenjata antara Ukraina dan pemberontak Pro-Rusia.

Insiden ini terjadi 31 tahun setelah insiden penembakan pesawat Korean Airlines

penerbangan 007 oleh Uni Soviet, yang menjadi pencetus diadopsinya pasal 3 bis dalam

Chicago Convention 1944 oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) pada tahun

1984, serta dibentuknya Manual Concerning Safety Measures Relating to Military Activities

Potentially Hazardous to Civil Aircraft Operations oleh ICAO pada tahun 1990 (yang

disusun menyusul terjadinya penembakan pesawat Iran Air penerbangan 655 oleh kapal

perang Vincennes milik Amerika Serikat di selat Hormuz tahun 1988).

Pasal 3 bis memuat prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil,

serta menekankan bahwa dalam hal pencegatan pesawat, keamanan orang-orang di pesawat

tersebut harus diutamakan. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah penembakan pesawat

MH 17 dilihat dari sudut pandang Chicago Convention 1944 –khususnya aspek-aspek hukum

dalam pasal 3 bis. bertanggungjawab atas penembakan MH 17 karena hal tersebut hanya

dapat dijawab melalui investigasi yang sedang berjalan. Tulisan ini bermaksud menjawab

1

Page 2: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

pertanyaan-pertanyaan: Apakah terdapat suatu keadaan dimana pasal 3 bis tidak berlaku dan

negara dapat menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil? Apakah entitas

bukan negara seperti separatis pro-Rusia terikat dengan ketentuan pasal 3 bis?

2. Insiden Penembakan

2.1. Kronologi

Penerbangan MH 17 dioperasikan dengan pesawat jenis Boeing 777-2H6ER, nomor seri

28411, serta nomor registrasi 9M-MRD. Pada Kamis, 17 Juli 2014, pesawat Malaysia

Airlines penerbangan 17 terbang dari bandara internasional Schiphol Amsterdam, Belanda,

melalui Gate G03 pada pukul 10.13 UTC. Pesawat tersebut dijadwalkan tiba di Kuala

Lumpur International Airport pada 18 Juli 2014 waktu Malaysia (pukul 22.00, 17 Juli 2014

UTC).

Berdasarkan rencana penerbangan, MH 17 akan terbang melewati teritori Ukraina pada flight

level 330 (33.000 kaki) dan kemudian berubah menjadi FL 350 saat di wilayah

Dnipropetrovsk. Ketika tiba di Dnipropetrovsk, pada pukul 12.35 UTC, Dnipropetrovsk Air

Control (Dnipro Control) menanyakan kepada kru MH 17 apakah pesawat tersebut bisa naik

ke FL 350 sesuai rencana, serta untuk menghindari pesawat lain yang saat itu sedang terbang

di FL 330 yaitu Singapore Airlines Flight 351 yang sedang en route dari Copenhagen menuju

Singapura. Kru MH 17 meminta untuk tetap berada di FL 330, dan Dnipro Control

menyetujuinya. Kemudian pesawat Singapore Airlines flight 351 diminta untuk naik ke FL

350.

Pada pukul 13.00 UTC, kru MH 17 meminta penyimpangan jalur sejauh 20 nautical miles (37

KM) menuju ke utara karena kondisi cuaca. Permintaan ini pun disetujui oleh Dnipro

Control. Kru kemudian meminta untuk naik ke FL 340, yang kemudian ditolak, sehingga MH

17 tetap berada di level 330. Pada 13.10 UTC, Dnipro Control menyadari bahwa pesawat MH

17 berada di 3.6 nautical miles (6,7 KM) utara dari jalur seharusnya, lalu meminta kru untuk

kembali ke jalur. Pada 13.19, Dnipro Control mengontak Russian Air Control (Rostov-on-

Don/RND) melalui telepon dan meminta konfirmasi untuk mentransfer komunikasi MH 17

kepada Russian Air Control. Setelah mendapatkan izin, Dnipro Control mencoba untuk

2

Page 3: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

mengontak kru MH 17, dan memberikan detail tentang jalur Rostov-on-Don pada 13.20

UTC. Setelah MH 17 tidak merespon beberapa panggilan, Dnipro Control mengontak lagi

RND untuk menanyakan apakah RND bisa melihat pesawat MH17 di radar. RND

mengkonfirmasi bahwa pesawat tersebut hilang dari radar.

Dalam laporan dari Dutch Safety Board, diketahui bahwa rekaman data penerbangan terakhir

ada pada 13.20 UTC. Pesawat jatuh di sekitar Hrabove, dekat Torez di Donetsk Oblast, timur

Ukraina, dengan serpihan yang menyebar sejauh 50 kilometer persegi.

2.2. Reaksi Masyarakat Internasional dan Investigasi

Jatuhnya pesawat MH 17 menuai kecaman internasional. Kepala negara-negara bergantian

mengungkapkan belasungkawa secara resmi kepada pemerintah Belanda dan Malaysia, dua

negara yang warganegaranya paling banyak menjadi korban. Ungkapan belasungkawa

tersebut disampaikan beserta kecaman, dimana banyak kepala negara-negara Eropa

mengungkapkan perlunya ada investigasi terkait insiden tersebut, menyebut penembakan

tersebut sebagai “tindakan dari gangster internasional”1, serta mendesak Rusia yang diduga

kuat sebagai dalang dari kelompok separatis di Donetsk untuk “mengakhiri peperangan”.2

Pada 27 Juli 2014, ketika jenazah korban pertama tiba di bandara Eindhoven, Belanda,

perdana menteri Belanda Mark Rutte beserta raja Willem-Alexander menetapkan hari

berkabung nasional dan memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di seluruh

Belanda.3

Sementara itu, ICAO mengirim tim ahli untuk membantu National Bureau of Incidents and

Accidents Investigation of Civil Aircraft (NBAAII) Ukraina, yang mana menurut ICAO

merupakan negara yang harus menyelenggarakan investigasi berdasarkan pasal 26 Chicago

Convention 1944.4 Dewan Keamanan PBB melangsungkan rapat darurat untuk

membicarakan krisis di Ukraina. Sebuah pernyataan yang dirilis oleh Inggris mendesak

dibentuknya “investigasi internasional yang independen dan teliti” terhadap insiden ini, serta

menekankan perlunya “semua pihak yang terkait untuk memberikan akses langsung terhadap

1 <http://www.swedishwire.com/politics/19485-a-first-class-international-gangster-crime-swedens-foreign-minister-carl-bildt-> [diakses pada 22 Oktober 2015]2 <http://www.nytimes.com/2014/07/19/world/europe/malaysia-airlines-plane-ukraine.html?_r=0> [diakses pada 22 Oktober 2015]3 <http://news.yahoo.com/dutch-mourn-first-mh17-bodies-flown-netherlands-113521569--finance.html> [diakses pada 22 Oktober 2015]4 <http://www.icao.int/Newsroom/Pages/Ukraine-requests-ICAO-assistance-in-MH17-accident-investigation.aspx > [diakses pada 22 Oktober 2015]

3

Page 4: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

investigator ke wilayah jatuhnya pesawat untuk menentukan penyebab utama insiden

tersebut”.5 Pada 21 Juli, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 2166 untuk

menginvestigasi aspek-aspek kriminal dari insiden jatuhnya MH 17.

Tim investigasi internasional gabungan yang terdiri dari investigator dari Belgia, Australia,

Ukraina, Malaysia dan Belanda dibentuk untuk mencari siapa yang bertanggungjawab atas

jatuhnya pesawat MH 17, serta mengupayakan keadilan bagi keluarga korban.6 Beberapa

laporan dan analisis independen dirilis menyusul terjadinya penembakan MH 17 ini. Salah

satunya adalah policy brief yang dirilis oleh Clingendael Belanda, yang mengungkapkan

bahwa insiden ini disebabkan oleh setidaknya empat faktor, yaitu: (1) lemahnya

pemerintahan Ukraina yang berakibat pada konflik internal, (2) ikut campurnya Rusia, (3)

adanya misil anti pesawat jarak jauh di tangan separatis, serta (4) adanya pesawat sipil yang

melewati wilayah konflik.7 Pada Oktober 2015, investigator Belanda (Dutch Safety Board)

dalam laporannya menyatakan bahwa penyebab jatuhnya pesawat MH 17 adalah misil buatan

Rusia, meskipun laporan tersebut tidak menentukan siapa yang bertanggungjawab

menembakkan misil tersebut, karena memerlukan investigasi lebih lanjut.8

2.3. Sikap Ukraina dan Rusia

Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan sebuah

aksi terorisme, serta menekankan perlunya ada investigasi internasional terkait hal tersebut.9

Setahun kemudian, menanggapi laporan Dutch Safety Board yang mengungkapkan bahwa

misil yang menembak MH 17 adalah buatan Rusia, perdana menteri Ukraina Arseny

Yatseniuk menyatakan bahwa ia tidak ragu bahwa misil tersebut ditembak oleh tentara Rusia,

5 <http://www.un.org/News/Press/docs//2014/sc11481.doc.htm> [diakses pada 23 Oktober 2015]6 <http://www.forbes.com/sites/paulroderickgregory/2015/04/02/is-the-mh17-joint-investigation-team-avoiding-the-question-of-kremlin-guilt/> [diakses pada 23 Oktober 2015]7 Barend ter Haar. Lessons of the MH17 Disaster. 2014. <http://www.clingendael.nl/sites/default/files/Lessons-of-the-MH17-disaster.pdf>8 “Tuesday’s report was not designed to assign blame to who specifically was responsible for the missile strike, which will be the subject of a subsequent international investigation.” <http://www.usnews.com/news/articles/2015/10/13/dutch-investigators-russian-missile-shot-down-malaysian-airlines-flight-mh-17> [diakses pada 23 Oktober 2015]9 <http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/ukraine/10974784/Malaysia-Airlines-crash-President-Poroshenko-calls-shooting-down-of-Malaysian-plane-an-act-of-terrorism.html> [diakses pada 23 Oktober 2015]

4

Page 5: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

karena “drunken separatists” atau “separatis mabuk”10 tidak mungkin bisa mengoperasikan

misil tersebut.11

Rusia menyangkal tuduhan dari Ukraina dan negara-negara barat bahwa Rusia mengirim

senjata dan pasukan untuk membantu kaum separatis di Ukraina. Kementerian Pertahanan

Rusia bersikeras bahwa tuduhan Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya terkait

dengan keterlibatannya dalam gerakan separatis tidak terbukti karena intelijen Amerika

Serikat tidak merilis dokumen apapun yang membuktikan demikian.12 Sebaliknya, Rusia

menuduh Ukraina yang menembakkan misil dan mengakibatkan jatuhnya pesawat MH 17.

Surat kabar Rusia, Novaya Gazeta, pada Mei 2015 mempublikasikan suatu laporan yang

dirilis oleh sekelompok insinyur militer Rusia yang isinya menyimpulkan bahwa pesawat

MH 17 ditembak menggunakan peluncur BUK-M1 dan misil 9M38M1. Laporan tersebut

juga menyebutkan bahwa dilihat dari sebaran serpihan pesawat, misil tersebut tidak mungkin

diluncurkan dari Snizhne (wilayah Ukraina yang dikuasai separatis Pro-Rusia), melainkan

dari Zaroschschenskoe, suatu wilayah Ukraina dimana terdapat peluncur misil anti pesawat

milik Ukraina.13

Pada Juli 2015, Malaysia mengajukan sebuah resolusi PBB untuk membentuk pengadilan

internasional untuk mengadili tersangka pelaku penembakan pesawat MH 17. Meskipun

pengajuan ini mendapatkan suara mayoritas di Dewan Keamanan (11 negara setuju, 3

abstain), proposal ini diveto oleh Rusia.14

3. Pasal 3 bis Chicago Convention 1944 dan peristiwa penembakan MH 17

3.1. Pasal 3 Bis Sebagai Customary International Law

10 Maksudnya adalah pasukan separatis pro-Rusia11 <http://www.euractiv.com/sections/global-europe/ukrainian-pm-accuses-russia-shooting-down-flight-mh17-318462> [diakses pada 23 Oktober 2015]12 <http://sputniknews.com/russia/20140724/191186319/US-Claims-of-Flight-MH17-Downing-by-Militia-Remain-Unfounded-.html> [diakses pada 23 Oktober 2015]13 Novaya Gazeta, Mei 201514 <http://www.cbc.ca/news/world/malaysia-airlines-mh17-russia-rebukes-push-for-un-tribunal-1.3146029> [diakses pada 23 Oktober 2015]

5

Page 6: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

Menyusul adanya beberapa insiden penembakan pesawat sipil, pada awal tahun 1955, Majelis

Umum PBB mengadopsi Resolusi 92715 yang menghimbau negara-negara anggota PBB

untuk melakukan langkah yang diperlukan untuk menghindari insiden tersebut dan juga

menekankan peran organisasi-organisasi internasional terkait hal ini. Berdasarkan working

paper yang dipresentasikan Majelis Umum pada 1956, hukum nasional dari beberapa negara

masih mengandung ketentuan yang cukup brutal, yaitu menghendaki pesawat sipil untuk

dicegat dan ditembak jatuh tanpa peringatan, apabila pesawat-pesawat tersebut tidak

mendapatkan izin dari otoritas pengatur lalulintas udara (ATC), menyimpang dari jalur, atau

memasuki daerah larangan/prohibited area.16 Beberapa negara sepakat bahwa penggunaan

kekuatan senjata terhadap pesawat sipil melanggar hukum internasional, namun beberapa

negara lainnya sepakat sebaliknya.

Setelah diskusi yang panjang tentang prinsip larangan penggunaan kekuatan bersenjata, pasal

3 bis akhirnya diadopsi oleh ICAO setelah jatuhnya pesawat Korean Airlines penerbangan

007 pada 1983. Pasal 3 bis diadopsi melalui konsensus pada 10 Mei 1984, dan mulai enter

into force pada 1 Oktober 1998, dengan 143 negara peserta.

Pasal 3 bis memuat ketentuan sebagai berikut:

a) The contracting States recognize that every State must refrain from resorting to the use of weapons against civil aircraft in flight and that, in case of interception, the lives of persons on board and the safety of aircraft must not be endangered. This provision shall not be interpreted as modifying in any way the rights and obligations of States set forth in the Charter of the United Nations.

b) The contracting States recognize that every State, in the exercise of its sovereignty, is entitled to require the landing at some designated airport of a civil aircraft flying above its territory without authority or if there are reasonable grounds to conclude that it is being used for any purpose inconsistent with the aims of this Convention; it may also give such aircraft any other instructions to put an end to such violations. For this purpose, the contracting States may resort to any appropriate means consistent with relevant rules of international law, including the relevant provisions of this Convention, specifically paragraph a) of this Article. Each contracting State agrees to publish its regulations in force regarding the interception of civil aircraft.

c) Every civil aircraft shall comply with an order given in conformity with paragraph b) of this Article. To this end each contracting State shall establish all ecessary provisions in its national laws or regulations to make such compliance mandatory for any civil aircraft registered in that State or operated by an operator who has his principal place of business

15 UNGA Resolution 927, Question Of The Safety Of Commercial Aircraft Flying In The Vicinity Of, Or Inadvertently Crossing, International Frontiers16 Huang Jiefang, “Aviation Safety and ICAO”, Kluwer International Law, 2009, hlm 86

6

Page 7: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

or permanent residence in that State. Each contracting State shall make any violation of such applicable laws or regulations punishable by severe penalties and shall submit the case to its competent authorities in accordance with its laws or regulations.

d) Each contracting State shall take appropriate measures to prohibit the deliberate use of any civil aircraft registered in that State or operated by an operator who has his principal place of business or permanent residence in that State for any purpose inconsistent with the aims of this Convention. This provision shall not affect paragraph a) or derogate from paragraph b) and c) of this Article.

Dua kata yang bersifat operative, yaitu “recognize” dan “refrain” digunakan oleh ICAO

dalam ketentuan ini:

Contracting States recognize that every State must a) refrain from resorting to the useof weapons against civil aircraft in flight. . .

Namun terdapat pula beberapa negara yang sebetulnya lebih menghendaki penggunaan kata

yang bersifat lebih tegas, misalnya dengan mengubahnya menjadi:17

Contracting States shall ensure that every State must a) not resort to the use of weapons against civil aircraft in flight. . .

Penggunaan kata-kata yang bersifat operative oleh ICAO ialah karena terjadi diskusi yang

sengit antara negara-negara. Sehingga yang digunakan adalah kata-kata yang kurang lebih

dapat diterima oleh kebanyakan negara anggota.18

Apakah pasal 3 bis merupakan prinsip hukum kebiasaan internasional? Suatu pernyataan

yang muncul dalam diskusi di Majelis Luar Biasa ICAO tahun 1984 menyatakan bahwa “no

delegation challenged the fact that the prohibition of the use of force against civil aircraft is

already part of general international law”19 menggambarkan bahwa negara-negara telah

sepakat larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil merupakan suatu

prinsip hukum kebiasaan internasional.

Pada saat dirumuskannya pasal 3 bis tahun 1984, beberapa komentator yang ikut dalam

perumusan menyatakan bahwa ketentuan yang terkandung dalam pasal ini bukanlah “suatu

hukum baru”, melainkan pengakuan atas “adanya aturan yang mengikat semua pihak dan

17 Jiefang, Ibid, hlm 8618 Ruwantissa Abeyratne, Convention on International Civil Aviation A Commentary, Montreal: Springer, 2014, hlm 6819 Abeyratne, Ibid, hlm 68

7

Page 8: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

pelarangan penggunaan kekuatan senjata terhadap pesawat sipil saat terbang”20. Terminologi

“recognize” dan “every state” pun sengaja digunakan agar efek dari ketentuan ini tidak

terbatas hanya pada negara-negara peserta Chicago Convention 1944.21 Abeyratne juga

menyatakan bahwa perumusan pasal 3 bis bertujuan untuk “mengkodifikasikan suatu hukum

kebiasaan internasional yang sudah ada”22

3.2. Apakah terdapat keadaan yang mengecualikan ketentuan pasal 3 bis?

Pasal 3 bis huruf a memuat ketentuan sebagai berikut:

...This provision shall not be interpreted as modifying in any way the rights and obligations of States set forth in the Charter of the United Nations.

Hak dan kewajiban yang tertera dalam Piagam PBB sebagaimana yang dimaksud di

ketentuan tersebut adalah hak dan kewajiban yang tertera dalam pasal 51 Piagam PBB

tentang Self-defense.23 Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah dengan memasukkan

ketentuan demikian, ICAO bermaksud memberikan hak bagi negara untuk menggunakan

kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil berdasarkan prinsip self-defense?

Selain itu, terdapat pula pasal 89 Chicago Convention 1944 yang memberikan negara-negara

peserta kebebasan untuk melakukan tindakan di ruang udaranya terlepas dari segala

ketentuan yang ada dalam Chicago Convention 1944, dalam hal terjadinya perang dan darurat

nasional (khusus untuk kasus darurat nasional, dengan memberitahu ICAO terkait status

tersebut).24 Dengan kata lain, setiap tindakan negara peserta di ruang udaranya terikat dengan

ketentuan Chicago Convention 1944, kecuali dalam hal perang dan darurat nasional.25

Apakah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3 bis huruf a serta pasal 89 tersebut berarti hukum

internasional memperbolehkan negara untuk melakukan tindakan yang membahayakan

pesawat sipil dalam keadaan-keadaan tertentu, yaitu dalam hal self-defense, perang, dan

darurat nasional?

20 Guillaume, G., “The Destruction on 1 September 1983 of the Korean Airlines Boeing (Flight KE 007)”, ITA Magazine No. 0-18, September 1984 dalam Jiefang, Op.Cit., hlm 8821 Jiefang, Loc.Cit., hlm 8922 Lihat Abeyratne, Op.Cit., hlm 68: “The Protocol, which entered into force on 1 October 1998, and currently has 143 parties, is commonly regarded as codifying existing rules of customary international law.”23 Brian E Foont, “Shooting Down Civillian Aircraft: Is There an International Law?”, 72:4 Journal of Airlaw and Commerce Southern Methodist University School of Law, hlm 711 (2007)24 Abeyratne, Op.Cit., hlm 14825 Abeyratne, Ibid

8

Page 9: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

Pertama-tama terkait dengan prinsip self-defense yang telah menjadi customary international

law, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa:

“a use of force that is proportionate under the law of self-defense, must, in order to be lawful, also meet the requirements of the laws applicable in armed conflict which comprise in particular the principles and rules of humanitarian law.”26

Mahkamah menegaskan bahwa penggunaan use of force dengan tujuan pertahanan diri atau

self-defense, harus memperhatikan prinsip dan peraturan hukum yang berlaku dalam konflik

bersenjata, yaitu prinsip dan peraturan hukum humaniter. Prinsip dan pengaturan dalam

hukum humaniter internasional terkait use of force, seperti yang dimaksud oleh Mahkamah,

terdiri dari tiga aspek:27

1. Necessity/Keperluan

Prinsip ini mengharuskan suatu tindakan use of force atau penyerangan ditujukan

kepada target yang merupakan military objective atau objek yang berkontribusi secara

efektif dalam aktivitas militer musuh, dan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan

keuntungan tertentu terhadap penyerang dalam perang.28 Suatu pesawat sipil yang

digunakan untuk tujuan militer oleh teroris dengan bom bunuh diri, misalnya, dapat

memenuhi syarat ini. Namun demikian, apabila terdapat keraguan apakah pesawat

tersebut merupakan termasuk ke dalam kategori military object atau bukan, maka

seharusnya pesawat tersebut tidak boleh diserang.29

2. Distinction/Pembedaan

Prinsip kedua mengharuskan penyerang untuk melakukan pembedaan antara orang

sipil dan kombatan, serta antara military objective dan civilian objects.30 Additional

Protocol I mendefinisikan military objectives sebagai “suatu objek yang berdasarkan

sifat, lokasi, tujuan atau kegunaannya memberikan kontribusi yang efektif terhadap

suatu aksi militer dan penghancuran, pengambilalihan secara total atau sebagian

terhadapnya dapat memberikan keuntungan militer tertentu”. Dalam sekilas, apabila

26 Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons Case, Advisory Opinion, [1996] I.C.J. Rep. 226, dalam Par Rory Stephen Brown, “Shooting Down Civillian Aircraft: Illegal, Immoral and Just Plane Stupid”, Revue Quebecoise de Droit International, 2007, hlm 82 (2007)27 Brown, Ibid.28 Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 August 194929 Major Darren C Huskisson, “The Air Bridge Denial Program and The Shootdown of Civil Aircraft Under International Law”, 2005, dalam Brown, Op.Cit., hlm 8430 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts, June 8, 1977,

9

Page 10: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

norma hukum perang ini diterapkan di masa damai, dapat dikatakan bahwa suatu

pesawat sipil yang dibajak untuk tujuan militer termasuk kedalam kategori military

objective. Meskipun demikian, setiap serangan secara sembarang terhadap suatu objek

yang melibatkan orang-orang sipil merupakan tindakan yang melanggar hukum

internasional, dimana hal ini telah dijadikan sebagai prinsip hukum kebiasaan

internasional berdasarkan pendapat Mahkamah dalam Legality of the Threat or Use of

Nuclear Weapons Case (1996).31

3. Proportionality/Proporsionalitas

Prinsip ini mengharuskan kombatan untuk:

Refrain from deciding to launch any attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated.

Pada intinya prinsip ini menekankan keharusan bagi penyerang untuk melakukan

serangkaian antisipasi dan pertimbangan terkait resiko serangan tersebut terhadap

warga sipil dengan keuntungan militer yang akan didapat. Sehingga disimpulkan

bahwa penyerangan terhadap pesawat sipil dapat dilegitimasi ketika keuntungan

militer yang akan didapatkan cukup substansial.32 Namun dalam hal pesawat sipil,

pada prakteknya persyaratan yang dimandatkan prinsip ini cukup sulit dipenuhi,

kecuali untuk hal-hal yang sangat jarang seperti apabila teroris menggunakan pesawat

sipil dan mengubahnya menjadi lethal projectile yang dapat membunuh jauh lebih

banyak warga sipil di daratan. Dalam hal pembajakan pesawat sipil oleh teroris pun,

persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi. International Commission of the Red Cross

dalam Commentary nya menyatakan bahwa “it is not legitimate to launch an attack

which only offers potential or indiscriminate advantages”.33

Sehingga apabila dikembalikan kepada pertanyaan: Apakah ICAO bermaksud memberikan

hak bagi negara untuk menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil berdasarkan

prinsip self-defense? Jawabannya adalah ya. Namun dengan persyaratan ketat yang diberikan

31 Brown, Op.Cit., hlm 8532 Huskisson, Op.Cit., hlm 15033 International Committee of the Red Cross, “Commentary, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), 8 June 1977”

10

Page 11: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

oleh Mahkamah Internasional seperti yang telah dipaparkan diatas, rasanya cukup sulit untuk

menemukan kondisi-kondisi dimana suatu penembakan pesawat sipil sah menurut hukum

internasional. Lagipula, pertimbangan dari sisi kemanusiaan juga perlu dikedepankan,

mengingat penembakan terhadap pesawat sipil berarti membunuh orang-orang tidak bersalah

yang berada di dalam pesawat.34

Dalam kasus MH 17, apabila dibuat suatu asumsi bahwa pelaku penembakan menggunakan

kekuatan bersenjata terhadap pesawat MH 17 dengan dasar self-defense, maka jelas

penggunaan kekuatan bersenjata tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum

internasional. Sebab pelaku penembakan telah gagal memenuhi ketiga prinsip diatas. Sebagai

sebuah pesawat yang sedang digunakan untuk kegiatan penerbangan sipil normal, tidak ada

military advantage yang akan didapatkan oleh pelaku dengan menembak jatuh MH 17.

Pelaku penembakan juga jelas mengabaikan prinsip distinction dan proportionality, dengan

tidak melakukan tindakan apapun untuk memastikan apakah pesawat tersebut merupakan

military objective atau civilian object, dan melakukan penembakan dengan sembarang begitu

saja.

Selanjutnya terkait dengan pasal 89 Chicago Convention 1944 yang berbunyi:

In case of war, the provisions of this Convention shall not affect the freedom of action of any of the contracting States affected, whether as belligerents or as neutrals. The same principle shall apply in the case of any contracting State which declares a state of national emergency and notifies the fact to the Council.

Sesungguhnya belum ada pembedaan secara pasti antara situasi perang dan darurat nasional.35

Beberapa ahli hukum menganggap perbedaannya ialah bahwa dalam situasi perang terdapat

karakteristik internasional, lebih tepatnya konflik bersenjata antar negara, sedangkan situasi

darurat nasional mencakup permasalahan internal suatu negara saja.36 Dilihat dari kalimat

terakhir pasal 89, ketika suatu negara menetapkan status darurat nasional maka harus

memberitahukan ICAO terkait penetapan tersebut, sementara dalam hal perang,

pemberitahuan tidak diperlukan.

Abeyratne menyebut pasal ini memiliki “ominous nuance” atau “nuansa membahayakan”

karena perlindungan yang disediakan Konvensi terhadap pesawat sipil seolah-olah benar-

34 Jiefang, Op.Cit., hlm 10035 Jiefang, Loc.Cit., hlm 9536 Natalino Ronziti, Gabriella Venturini, The Law of Air Warfare: Contemporary Issue, Utrecht: Eleven International Publishing, 2006, hlm 132

11

Page 12: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

benar dihilangkan dalam pasal ini, sehingga seolah-olah memperbolehkan negara untuk

melakukan intervensi atau penyerangan terhadap pesawat sipil pada saat perang.37

Apakah “freedom of action” yang dimaksud dalam pasal 89 dapat diinterpretasikan sampai ke

taraf dimana negara dapat melakukan hal demikian (menyerang dan mengintervensi pesawat

sipil)? Pada nyatanya, tidak. Pasal 89 dapat mengecualikan segala ketentuan yang ditetapkan

oleh Chicago Convention 1944 kecuali yang bersifat customary, salah satunya adalah

ketentuan dalam pasal 3 bis.38 Pasal 89 mengizinkan dan tidak mewajibkan negara untuk

melaksanakan “freedom of action” yang dimaksud, misalnya negara dapat menjalankan

beberapa ketentuan Chicago Convention 1944 saja dengan menutup ruang udaranya bagi

seluruh penerbangan dalam periode tertentu saat terjadinya darurat nasional.39

Lagipula, penyerangan warga sipil dan objek sipil secara sembarang dalam perang tidak

hanya melanggar pasal 3 bis saja, namun juga melanggar jus cogens40. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa, ketentuan pasal 89 sama sekali tidak melegitimasi penyerangan terhadap

pesawat sipil meskipun terlihat seolah-olah demikian.

Dengan demikian, apabila pelaku penembakan MH 17 menggunakan pasal 89 sebagai dasar

penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat MH 17, tindakan tersebut tetap tidak dapat

dibenarkan. Memang benar di wilayah Donetsk sedang terjadi serangkaian konflik bersenjata

antara separatis dengan pemerintah, yang berdasarkan hukum humaniter internasional

termasuk ke dalam “perang” seperti yang dimaksud dalam pasal 89. Namun bukan berarti

siapapun dapat menembaki pesawat di langit Donetsk dengan sesuka hati tanpa

memperhatikan apakah pesawat tersebut merupakan pesawat sipil atau bukan, karena pelaku

penembakan pun terikat dengan ketentuan pasal 3 bis dan jus cogens yang melarang tindakan

demikian.

3.3. Apakah pasal 3 bis berlaku bagi aktor non-negara?

Mengingat bahwa konflik di Ukraina terjadi antara kelompok separatis (atau dapat dikatakan

“kelompok pemberontak”) –yang diduga kuat didalangi oleh Rusia, melawan tentara Ukraina,

maka kemungkinan pelaku penembakan dapat dipersempit menjadi: separatis pro-Rusia,

37 Abeyratne, Op.Cit., hlm 67738 Jiefang, Op.Cit., hlm 9639 Jiefang, Ibid.40 Larangan untuk menyerang warga sipil tertera dalam berbagai instrumen hukum internasional yang saat ini telah menjadi jus cogens, diantaranya Geneva Convention dan UN Charter

12

Page 13: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

tentara Ukraina, atau barangkali tentara Rusia. Tentara Ukraina maupun tentara Rusia,

sebagai pasukan bersenjata yang bertindak atas nama suatu negara, tentu statusnya jelas di

bawah hukum internasional. Ukraina dan Rusia adalah pihak dalam Chicago Convention

1944, sehingga dengan logika yang sederhana pun dapat disimpulkan bahwa Ukraina dan

Rusia terikat ketentuan pasal 3 bis. Namun bagaimana dengan kelompok separatis yang

notabene bukan merupakan suatu entitas negara?

Sebagai hukum kebiasaan internasional, ketentuan pasal 3 bis tentu mengikat seluruh negara.

Ketika membicarakan kelompok pemberontak dalam ruang lingkup hukum internasional,

dikenal dua terminologi yaitu “insurgent” dan “belligerent”. Insurgency mencakup

pemberontakan terbatas baik dalam intensitas, struktur keorganisasian maupun dalam jangka

waktu konflik. Misalnya, suatu kumpulan massa yang tidak terstruktur dan sporadis yang

melakukan perlawanan terhadap suatu pemerintahan tertentu. Sedangkan belligerency

mencakup pemberontakan yang lebih terstruktur dan serius, yang menimbulkan suatu konflik

bersenjata intens seperti halnya perang. Hukum internasional mengakui belligerent sebagai

subjek hukum internasional, sehingga memikul kewajiban internasional/international

obligations seperti halnya negara, tetapi tidak mengakui insurgent/kelompok pemberontak

sebagai subjek hukum internasional.

Namun suatu kelompok pemberontak/insurgent dapat disebut sebagai belligerent dan

memperoleh statusnya sebagai subjek hukum internasional. Antonio Cassese menyatakan

bahwa:41

International law only establishes certain loose requirements for eligibility to become an international subject. In short, (1) rebels should prove that they have effective control over some part of the territory, and (2) civil commotion should reach a certain degree of intensity and duration (it may not simply consist of riots or sporadic and short-lived acts of violence). It is for states (both that against which the civil strife breaks out and other parties) to appraise – by granting or withholding, if only implicitly, recognition of insurgency – whether these requirements have been fulfilled.

Konflik Ukraina dimulai sejak November 2013 ketika presiden Ukraina yang didukung

Rusia, Viktor Yanukovych, melonggarkan hubungan ekonominya dengan Uni Eropa

kemudian mempererat hubungan ekonomi dengan Rusia. Keputusannya ini membangkitkan

41 Andrew Clapham, “Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations” 88:863, International Review of the Red Cross, hlm 492 (2006)

13

Page 14: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

protes di Kiev yang berubah menjadi kerusuhan yang berakibat kematian beberapa orang.

Beberapa minggu kemudian, yaitu pada Februari 2014, Yanukovych diturunkan dari

jabatannya sebagai presiden. Menyusul diturunkannya Yanukovych, sekelompok warga

Ukraina pro-Rusia yang bersenjata menguasai bandara dan instalasi penting lainnya di

Ukraina. Konflik di Ukraina terus berlangsung hingga presiden Rusia Vladimir Putin

menandatangani suatu perjanjian yang menyatakan bahwa Crimea (suatu wilayah di Ukraina)

adalah bagian dari Rusia. Ini terjadi setelah separatis mengklaim bahwa melalui suatu

referendum, 97% warga Crimea ingin bergabung dengan Rusia. Terpicu oleh kemenangan di

Crimea, separatis pun menguasai banyak wilayah di timur Ukraina yang berbatasan dengan

Rusia, diantaranya Kharkiv, Donetsk dan Luhansk. Konflik bersenjata di wilayah-wilayah

tersebut terus terjadi hingga saat ini.

Dengan demikian, separatis pro-Rusia sebagai kelompok pemberontak yang melawan

pemerintahan Ukraina yang sah telah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan agar menjadi

belligerent karena telah memenuhi unsur-unsur yang diutarakan oleh Cassese diatas. Unsur-

unsur tersebut yaitu: (1) separatis pro-Rusia telah memiliki kontrol yang efektif terhadap

beberapa wilayah di Ukraina, diantaranya Kharkiv, Donetsk dan Luhansk; (2) intensitas

konflik bersenjata antara separatis pro-Rusia dengan Ukraina telah mencapai tingkat yang

cukup untuk mengklasifikasikan pemberontak sebagai administrasi beligerensi. Sehingga

separatis pro-Rusia juga merupakan subjek hukum internasional, yang terikat dengan

kewajiban internasional yang tertera dalam pasal 3 bis dan hukum kebiasaan internasional

lainnya mengenai larangan penggunaan kekuatan senjata terhadap pesawat sipil.

4. Kesimpulan

Penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil dengan dasar self-defense

sebenarnya diperbolehkan karena hal tersebut merupakan hak setiap negara yang

dijamin dalam pasal 51 piagam PBB, asal dengan memenuhi prinsip-prinsip use of

force dalam hukum humaniter yang ketat. Prinsip tersebut yaitu prinsip

necessity/keperluan, distinction/pembedaan, dan proportionality/proporsionalitas.

Dengan persyaratan yang ketat tersebut, cukup sulit untuk menemukan keadaan yang

memperbolehkan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil, kecuali

dalam kasus yang ekstrim. Dalam kasus MH 17, apabila pelaku penembakan

menggunakan self-defense sebagai dasar penggunaan kekuatan bersenjata terhadap

14

Page 15: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

pesawat MH 17, hal tersebut tetap tidak dapat dibenarkan karena pelaku penembakan

telah abai memenuhi prinsip-prinsip penggunaan use of force tersebut.

Apabila penembak pesawat MH 17 menggunakan pasal 89 Chicago Convention yang

menghendaki freedom of actions negara di wilayah udaranya pada saat perang dan

darurat nasional, hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan. Karena freedom of actions

yang dimaksud dalam pasal 89 tidak dapat ditafsirkan hingga ke taraf dimana negara

dapat dengan bebas menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil di

wilayah udaranya, meskipun pada saat perang atau darurat nasional. “Pengecualian

dari ketentuan Chicago Convention” seperti yang tertera dalam pasal 89 juga bukan

berarti negara tidak terikat dengan seluruh ketentuan Chicago Convention, melainkan

masih terikat dengan ketentuan Chicago Convention yang merupakan hukum

kebiasaan internasional, misalnya pasal 3 bis.

Separatis pro-Rusia sebagai kelompok pemberontak, termasuk ke dalam kategori

belligerent sehingga merupakan subjek hukum internasional. Hal ini berarti separatis

pro-Rusia pun memiliki kewajiban internasional seperti halnya negara. Dengan

demikian, separatis pro-Rusia pun terikat dengan ketentuan pasal 3 bis terkait dengan

larangan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap pesawat sipil.

DAFTAR PUSTAKA

15

Page 16: PENEMBAKAN PESAWAT MALAYSIA AIRLINES PENERBANGAN MH 17 DIKAITKAN DENGAN PASAL 3 BIS CHICAGO CONVENTION 1944: SUATU ANALISIS - Aisyah Shaumasari Maulana

Abeyratne, Ruwantissa. Convention on International Civil Aviation A Commentary, Montreal:

Springer, 2014

Brown, Par Rory Stephen. “Shooting Down Civillian Aircraft: Illegal, Immoral and Just Plane

Stupid”, Quebec: Revue Quebecoise de Droit International, 2007

Clapham, Andrew. “Human Rights Obligations of Non-State Actors in Conflict Situations” Vol. 88

Number 863. Geneva: International Review of the Red Cro, 2006.

Foont, Brian E. “Shooting Down Civillian Aircraft: Is There an International Law?”, Vol. 72 Number

4. Dallas: Journal of Airlaw and Commerce Southern Methodist University School of Law,

2007.

Huskisson, Major Darren C. “The Air Bridge Denial Program and The Shootdown of Civil Aircraft

Under International Law”, 2005

Jiefang, Huang. Aviation Safety And ICAO. Alphen aan den Rijn: Kluwer International Law, 2009.

Natalino Ronziti, Gabriella Venturini. The Law of Air Warfare: Contemporary Issue, Utrecht: Eleven

International Publishing, 2006

16