141
PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL Oleh Achmad Madjedi Hasan NPM L2F04542 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Magister Ilmu Hukum Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2005

Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

  • Upload
    mh98

  • View
    8.483

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN

GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Oleh

Achmad Madjedi Hasan

NPM L2F04542

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh Magister Ilmu Hukum

Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

2005

Page 2: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN

GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Oleh

Achmad Madjedi Hasan

NPM L2F04542

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Magister Hukum

Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum ini telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal

seperti tertera dibawah ini

Bandung, Februari 2005

Prof. DR. H. Yudha Bhakti, S.H., M.H. Prof. DR. Djuhaendah Hasan, S.H. Anggota Tim Pembimbing Ketua Tim Pembimbing

Page 3: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

iii

Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Prof. DR. Rukmana Amanwinata S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Page 4: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doctor), baik di Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penulisan saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, Februari 2005

Yang membuat pernyataan,

Achmad Madjedi Hasan

NPM L2F04542

Page 5: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

v

ABSTRAK

Bumi Indonesia diketahui mengandung berbagai kekayaan alam dengan jumlah

yang cukup dan selama beberapa tahun kegiatan industri perminyakan senantiasa diusahakan agar tetap aktif. Namun demikian, kedudukan bersaing Indonesia untuk menarik modal investasi untuk proyek berisiko tinggi (risk capital) cenderung menurun selama dua dasawarsa terakhir. Sementara persepsi investor terhadap potensi mendapatkan cadangan minyak tambahan di Indonesia masih tetap tinggi, faktor penyebabnya diperkirakan pertimbangan komersial, khususnya masalah keamanan, kepastian hukum dan kesucian kontrak.

Tesis ini mengkaji salah satu dari masalah yang dikedepankan tersebut, yaitu kesucian kontrak, khususnya apakah dan bagaimana asas pacta sunt servanda dapat diterapkan terhadap Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil (KBH) dan akibat hukum dari diberlakukannya peraturan perundang-undangan baru dalam kontrak yang berjalan, mengingat peran ganda Pemerintah dalam kontrak. Pembahasan meliputi beberapa aspek teori dan praktis dari kontrak, termasuk kontrak minyak dan gas bumi (migas), kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil dan dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah.

Kajian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah merupakan salah satu pihak dalam KBH, karena itu Pemerintah terikat untuk menerapkan asas pacta sunt servanda dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan baru terhadap KBH. Peraturan perundang-undangan baru tidak seharusnya diberlakukan terhadap KBH yang berjalan, apabila akan menimbulkan perubahan terhadap persyaratan komersial kontrak. Disarankan agar kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh departemen-departemen dalam pemerintahan diharmonisasikan dan disinkronisasikan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan kontradiksi kebijakan. Demikian pula, naskah kontrak KBH agar disempurnakan untuk mengurangi ambuigitas yang akan menfasilitasi penerapan asas pacta sunt servanda dan memberikan kepastian hukum.

Asas persamaan dan manfaat bersama merupakan dasar yang fundamental untuk investasi. Kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan asas pacta sunt servanda, dapat menjadi kontra produktif, apabila hasilnya adalah penolakan terhadap keperluan untuk meningkatkan kegiatan migas.

Page 6: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

vi

ABSTRACT

Indonesia is endowed with large deposits of natural riches and an active

petroleum industry has been maintained for many years. However, Indonesia’s competitive position for securing risk capital has been deteriorating steadily for the past two decades. While the investor’s perception of the potential for additional oil reserves within Indonesia remains to be good, the contributing factor to decline is the commercial consideration, namely security, law enforcement and contract sanctity.

This thesis examines one of those issues, namely contract sanctity, in particular whether and as to how the principle of pacta sunt servanda could be applied to the Government in the Production Sharing Contract (PSC) and legal implications on new law and regulations on the existing contract, given the government’s dual role in the contract. The discussion includes theoretical and practical aspects of contract including petroleum contract, Indonesia’s upstream petroleum activities, the government’s position in the PSC and impacts of changed government’s policy.

The study concludes that the Government is a party of the PSC therefore it is bound to observe pacta sunt servanda in putting into effect new laws and regulations on the PSC. New laws and regulations shall not be put into effect on the ongoing PSC, if their application will change the commercial terms of the contract. The study recommends that any policy and new law and regulation shall be harmonized and synchronized in order to avoid overlapping and conflicting policies. Also, the contract text shall be improved to eliminate ambuigity, thereby facilitating the application of pacta sunt servanda and ensuring legal certainty.

The principle of equity and mutual benefits is the fundamental basis of investment. Government policies that fail to observe the principle of pacta sunt servanda can be counter-productive when the result is a denial of the need to increase the petroleum activities.

Page 7: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

vii

KATA PENGANTAR

Perkenanlah penulis memanjatkan puji syukut ke hadirat Allah SWT atas rahmat

dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu kepada penulis, untuk

menyelesaikan studi program magister hukum. Lebih dari 40 tahun penulis telah

menjalani masa bakti dengan profesi di lingkungan kegiatan hulu minyak dan gas bumi

dalam berbagai kapasitas, kecuali sebagai ahli hukum. Kuliah yang cukup padat selama

empat semester telah memberikan wawasan baru kepada penulis dalam melihat

permasalahan yang menyangkut industri minyak dan gas bumi di tanah air.

Tesis ini membahas hasil kajian mengenai penerapan asas pacta sunt servanda

dalam kontrak pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia. Topik ini

dipilih sebagai tanggapan atas keprihatinan penulis melihat kecenderungan menurunnya

kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Berbagai macam insentif ekonomi untuk

mendorong investasi telah diberikan oleh Pemerintah, namun belum berhasil mencapai

sasarannya. Dari hasil kajian ditemukan bahwa masalah kesucian kontrak ini belum

mendapatkan perhatian Pemerintah dalam membuat kebijakan, khususnya yang bersifat

sektoral. Harapan penulis selanjutnya, tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengambil

putusan dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Penelitian dan penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih kepada Ibu Prof. DR. Djuhaendah Hasan S.H., Ketua Bidang Kajian Hukum

Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana dan Bapak Prof. DR. H.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, S.H., M.H. atas kebaikan, bimbingan dan pengarahan pada

penyusunan tesis ini dan Bapak-bapak Prof. DR. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.,

Page 8: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

viii

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Prof. DR. H. Man Suparman

Sastrawidjaja, S.H., S.U., Dekan Fakultas Hukum dan para dosen bidang kajian hukum

bisnis Universitas Padjadjaran.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para sahabat,

khususnya Bapak-bapak H. Widyawan S.H. dan H. Hoesein Wiriadinata S.H., MCL atas

kebaikan yang mengizinkan penulis menggunakan fasilitas perpustakaan di Kantor

Konsultan Hukum Wiriadinata & Widyawan, Bapak Drs. H. Hoezif Abubakar, mantan

Vice President Finance PT Caltex Pacific Indonesia, yang telah memberikan informasi

berupa catatan-catatan dan dokumen-dokumen mengenai kegiatan pengusahaan minyak

dan gas bumi di Indonesia sebelum tahun 1966 dan para senior executive Kontraktor

Bagi Hasil di Indonesia yang telah bersedia diwawancarai.

Ucapan terima kasih ini disampaikan pula kepada dua orang anak penulis Nedia

dan Rizki beserta para menantu Didi dan Dea dan lima orang cucu Digo, Dimas,

Yasmine, Idzan dan Frea yang telah memberikan dukungan moral. Akhirulkata,

penulis ingin mempersembahkan tesis ini sebagai kenang-kenangan terhadap

almarhumah Hj Jani Maslian, yang telah mendampingi penulis sebagai isteri selama 38

tahun.

Februari 2005

A. Madjedi Hasan

Page 9: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul i Lembar Pengesahan ii Lembar Pernyataan iv Abstrak v Abstract vi Kata Pengantar vii Daftar Isi ix Daftar Singkatan xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian 1 B. Identifikasi Masalah 7 C. Tujuan Penelitian 7 D. Kegunaan Penelitian 8 E. Kerangka Pemikirian 8

1. Pasal 33 UUD 1945 8 2. Hukum sebagai sarana pembangunan 9 3. Teori Hukum Perjanjian 10 4. Penanaman Modal Asing 12 5. Kontrak Bagi Hasil 13

F. Metode Penelitian 16

BAB II SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS BUMI

A. Kontrak sebagai dasar perikatan 18 B. Pihak-pihak dalam perjanjian 20 C. Pemerintah sebagai subyek hukum perdata 21 D. Pemberian Kuasa 24 E. Asas-asas Hukum Perjanjian 26 F. Asas pacta sunt servanda 28 G. Klausula rebus sic stantibus 32 H. Kontrak pengelolaan minyak dan gas bumi 35 I, Kontrak Bagi Hasil 39

Page 10: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

x

BAB III KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

A. Perkembangan Pengusahaan Migas 41 1. Masa sebelum proklamasi kemerdekaan 41 2. Masa awal kemerdekaan 48 3. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 51 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 62

B. Ketentuan Pokok Kontrak Bagi Hasil 68 1. Hak dan Kewajiban Kontraktor 69 2. Hak dan Kewajiban PERTAMINA/Badan Pelaksana 72

C. Kegiatan Hulu Migas 74 D. Permasalahan berasal dari penafsiran kontrak 81

BAB IV ASAS PACTA SUNT SERVANDA DIHUBUNGKAN DENGAN KONTRAK BAGI HASIL

A. Kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil 84 1. Dalam Kontrak 5A 84 2. Sebelum UU Migas 85 3. Setelah diundang-undangkannya UU Migas 89

B. Asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil 91 C. Dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah 94

1. Pengutamaan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri 94 2. Perpajakan 99 3. Penerapan asas pacta sunt servanda berlandaskan kepentingan 107 dan manfaat bersama

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 117 B. Saran 117

DAFTAR PUSTAKA 119

Page 11: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

xi

DAFTAR SINGKATAN

A. Peraturan perundang-undangan

UUD 1945 = Undang-undang Dasar 1945 UU Bagi Hasil = Undang-undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil UU Migas 1960 = Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi UUPK = Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang

Pengesahan “Perjanjian Karya” antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaco Overseas Petroleum Company (Topco); PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia; PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia

UU Bagi Hasil Perikanan = Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan UUPMA = Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang

Penanaman Modal Asing UU Kehutanan 1967 = Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang

Kehutanan UU Pertambangan = Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan UU Pertamina = Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang

PERTAMINA UU Pertanian = Undang-undang Nomor 12 Tahun 1982 Tentang

Pertanian UU Industri = Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang

Industri UUPPh = Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

UUPPN 1984 = Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

UUPPN 1994 = Undang-undang Nomor 11 Tahun 1984 Tentang Perubahan Atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

UUPPN 2000 = Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Perubahan Atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

UU Migas 2001 = Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi PP 41/1982 = Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 Tentang

Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan

Page 12: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

xii

Pemerintah Dari Hasil Operasi PERTAMINA Sendiri Dan Kontrak Production Sharing

PP KBH = Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

PP Pertamina = Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO)

PPBP = Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

PP Migas = Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

Keppres 14A 1980 = Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Anggaran Belanja Negara

Keppres 22/1989 = Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi

Keppres APBN 1995 = Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Keppres 18/2000 = Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah

Inpres No. 1/1976 = Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 Tentang Sinkronisasi Tugas-tugas Keagraian dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum

KMK 267/1978 = Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/ 1978 Tentang Tata Cara Menghitung and Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalty Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Dibidang Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA

KMK 572/1989 = Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572/KMK.04/ 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.Oleh Kontraktor Yang Beroperasi Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA

Page 13: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

xiii

B. Akronim

APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Pelaksana = Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan

Gas Bumi BBM = Bahan Bakar Minyak BHMN = Badan Hukum Milik Negara BUMN = Badan Usaha Milik Negara EOR-JOB = Enhanced Oil Recovery Joint Operating Body

Contract CPP PSC = The Coastal Plain Pekanbaru between PERTAMINA

And TexacoOverseas Petroleum Company and California Asiatic OiCompany

DIM = Daftar Inventarisasi Masalah Ditjen Migas = Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Pajak = Direktorat Jenderal Pajak DKPP = Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina DMO = Domestic Market Obilgation DPR = Dewan Perwakilan Rakyat FTP = First Tranche Petroleum Indische Mijnwet = Indische Mijnwet Tahun 1899 IGA = Indonesian Gas Association IMA = Indonesian Mining Association Inpres = Instruksi Presiden IPA = Indonesian Petroleum Association IRS = Internal Revenue Service JOA-PSC = Joint Operating Agreement - Production Sharing Contract KBH = Kontrak Bagi Hasil Keppres = Keputusan Presiden KK = Kontrak Karya KKS = Kontrak Kerja Sama KPS = Kontrak Production Sharing (KPS) KUH Perdata = Kitab Undang-undang Hukum Perdata LNG = Liquefied Natural Gas (Gas alam yang dicairkan) Migas = Minyak dan Gas Bumi MPR = Majelis Permusyawaratan Rakyat PERMIGAN = Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Nasional PERMINA = Perusahaan Minyak Nasional PERTAMIN = Perusahaan Pertambangan Minyak Indonesia PERTAMINA = Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Negara (P/T. PERTAMINA (Persero)) PLN = Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN (Persero)) PLTP = Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi PN = Perusahaan Negara POD = Plan of Development (Rencana Pengembangan

Lapangan) PPh = Pajak Penghasilan PPN = Pajak Pertambahan Nilai

Page 14: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

xiv

PSC = Production Sharing Contract PT = Perseroan Terbatas RKA = Rencana Kerja dan Anggaran RPTK = Rencana Penggunaan Tenaga Kerja TAC = Technical Assistance Contract USD = US Dollar

Page 15: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Bumi Indonesia diketahui mengandung berbagai kekayaan alam dengan jumlah

yang cukup. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa “bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945

menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.

Dengan penduduk lebih dari 200 juta, Indonesia membutuhkan pembangunan

ekonomi nasional yang menurut Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen (yaitu ayat 4),

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, kemakmuran segala

orang. Untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional, Indonesia

membutuhkan penanaman modal yang berkesinambungan dalam bidang penggalian

kekayaan alam, pembangunan infrastruktur, meningkatkan ekspor dan memperkuat

necara pembayaran luar negeri. Faedah dari penanaman modal, khususnya asing terasa

untuk bidang-bidang usaha yang bersifat padat modal, seperti proyek-proyek

pertambangan, pembangunan industri berat dan lain-lain yang memerlukan modal dan

biaya yang besar, ketrampilan (skill) dan teknologi.

Dalam rangka upaya menggalakkan penanaman modal dalam awal orde baru,

pada tahun 1967 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967

1

Page 16: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

2

Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA). Pengertian penanaman modal asing

menurut Pasal 1 UUPMA ialah penanaman modal asing secara langsung, dalam arti

bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal

tersebut. Selanjutnya, Pasal 2 UUPMA menyatakan bahwa pengertian modal asing

dalam UUPMA ialah:

1). Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa

Indonesia yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan

perusahaan di Indonesia. Persetujuan Pemerintah ini berupa izin penanaman

modal asing sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UUPMA.

2). Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang

asing dan bahan-bahan yang diimpor dari luar kedalam wilayah Indonesia,

selama alat-alat tersebut tidak dibiayai oleh kekayaan devisa Indonesia.

3). Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan UUPMA diperkenankan di

transfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia.

Pasal 6 UUPMA mengatur bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman

modal asing secara penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup rakyat banyak seperti pelabuhan, produksi dan transmisi tenaga listrik untuk

umum, telekomunikasi, transportasi, sarana air minum dan bidang-bidang yang

menduduki peranan penting dalam pertahanan negara. Namun Peraturan Pemerintah

Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan

dalam rangka PMA kemudian menetapkan dibukanya bidang-bidang usaha tersebut

dengan persyaratan bahwa dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun setelah berproduksi

secara komersial pemegang saham asing diwajibkan menjual sebagian sahamnya

kepada warga negara atau perusahaan Indonesia.

Page 17: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

3

Selanjutnya, Pasal 8 mengatur bahwa penanaman modal asing dalam bidang

pertambangan hanya mungkin dilaksanakan atas dasar kerja sama dengan Pemerintah

melalui kontrak karya atau bentuk lain yang akan ditentukan oleh Pemerintah. Dengan

demikian UUPMA membedakan antara bidang-bidang usaha yang terbuka bagi

penanaman modal asing dalam dua pola pengusahaan, yaitu:

1). Penanaman modal asing atas bidang-bidang usaha yang terbuka untuk PMA;

2). Penanaman modal asing atas dasar kerja sama dengan Pemerintah.

Dalam pola penanaman modal asing untuk bidang-bidang usaha yang terbuka,

Pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang memberikan izin dan kemudahan-

kemudahan untuk jangka waktu tertentu kepada investor berupa hak-hak atas tanah (hak

pakai, hak guna bangunan dan hak usaha), dan kelonggaran-kelonggaran meliputi

bidang perpajakan, bea masuk terhadap barang-barang kapital, izin penggunaan tenaga

kerja asing, mentransfer keuntungan dalam valuta asli, dan lain-lain. Penanaman modal

dilakukan melalui badan usaha yang dibentuk berdasarkan Undang-undang RI dan

berdomisili dan beroperasi di bagian terbesar Indonesia. Menurut Undang-undang

Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU

Pertambangan), badan usaha PMA dapat berbentuk usaha patungan (joint venture), di

mana mitra pihak Indonesia dapat terdiri perusahaan swasta, BUMN dan BUMD.

Selain UUPMA, badan usaha PMA dan lain-lain tunduk pada kebijakan sektoral yang

dikeluarkan oleh masing-masing Departemen, seperti tercantum dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Industri (UU Industri), Undang-undang Nomor 5 Tahun

1967 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan 1967), Undang-undang Nomor 12 Tahun

1982 Tentang Pertanian (UU Pertanian), dan sebagainya. UUPMA tidak menetapkan

persyaratan lain mengenai jumlah investasi, ekuitas maupun pinjaman, dan hal itu

diserahkan pada investor berdasarkan skala ekonomi dan pertimbangan bisnis.

Page 18: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

4

Dalam pola penanaman modal asing di bidang pertambangan ini, Pemerintah

mempunyai peran ganda, yaitu sebagai regulator dan pelaku bisnis. Pola ini dilandasi

pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pertama kali diterapkan dalam Perjanjian Karya

(Contract of Work) di bidang minyak dan gas bumi yang ditanda tangani pertama kali

dalam tahun 1963 berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960), dan yang kemudian diganti

dengan Kontrak Production Sharing (KPS).1 Perjanjian Karya juga diterapkan dalam

bidang pertambangan umum untuk bahan galian vital dan strategis (golongan I dan II)

seperti pertambangan batu bara, tembaga, emas dan sebagainya.

Peran pemerintah sebagai pelaku bisnis dapat berbentuk langsung sebagai pihak

dalam perjanjian seperti Perjanjian Karya bidang pertambangan umum (cq Departemen

Pertambangan) atau melalui perusahaan negara (BUMN) seperti dalam bidang minyak

dan gas bumi dan pembangkitan tenaga listrik panas bumi. Dengan peran ganda

tersebut kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) antara

instansi Pemerintah yang mengatur dan Departemen Teknis atau BUMN yang

menjalankan kebijakan Pemerintah dalam pengusahaan dapat menimbulkan berbagai

permasalahan dengan mitra usahanya penanam modal asing.

Penelitian berikut berusaha mengkaji aspek benturan kepentingan akibat peran

ganda Pemerintah dan BUMN yang melaksanakan kebijakan Pemerintah dihubungkan

dengan tiga asas yang bersifat keperdataan dalam hukum perikatan atau hukum kontrak,

yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat persetujuan dan asas kebebasan

berkontrak. Studi kasus difokuskan pada penanaman modal asing di bidang

1 Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaco Overseas Petroleum Company (Topco); PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia; PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia (UUPK).

Page 19: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

5

pertambangan, khususnya minyak dan gas bumi (migas), suatu komoditas penting yang

telah menunjang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam empat dasawarsa

terakhir.

Industri minyak dan gas bumi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup lama,

yaitu sudah ada sejak tahun 1871, lima tahun setelah pemboran minyak pertama kali

oleh Colonel Drake di Titusville Pensylvania (Amerika Serikat). Demikian pula,

peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengusahaan telah juga

mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik dan ekonomi. Sampai dengan

dikeluarkannya Indische Mijinwet pada tahun 1899 pengusahaan minyak dan gas bumi

dilakukan berlandaskan izin konsesi dari pemilik tanah atau para sultan. Pada tahun

1899 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Indische Mijnwet yang kemudian

mengalami amendemen beberapa kali.

Setelah proklamasi kemerdekaan, dalam melaksanakan amanat Pasal 33 UUD

1945, pada tahun 1951 pemerintah berdasarkan mosi Tengku Mohammad Hasan

memutuskan untuk tidak mengeluarkan izin konsesi baru untuk pertambangan minyak

bumi berdasarkan Indische Mijnwet Tahun 1899 (sering disebut sebagai “5A-

Contracten”). 2 Namun baru pada tahun 1960 Pemerintah berhasil mengeluarkan

Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 (UU Migas 1960) menggantikan Indische

Mijnwet, yang memberi hak eksklusif kepada negara untuk menggali sumber minyak

dan gas bumi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 ini, pada tahun

1962 dan 1963 ditandatangani enam Perjanjian Karya antara tiga perusahaan negara

(PERMIGAN, PERTAMIN dan PERMINA) dengan empat perusahaan asing (Pan

American, Shell, Stanvac dan Caltex) meliputi lima wilayah pertambangan, tiga

2 T.N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law International, The Hague, 2000, hlm 46

Page 20: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

6

diantaranya telah berproduksi. Perjanjian Karya yang sering juga disebut Kontrak

Karya (“KK”) yang disahkan sebagai Undang-undang Nomor.14 Tahun 1963 tersebut

menetapkan bahwa perusahaan swasta tersebut akan bekerja sebagai kontraktor

perusahaan negara untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi.3

Jumlah perusahaan asing yang menandatangani perjanjian dengan perusahaan

negara terus meningkat, semuanya dalam bentuk Kontrak Production Sharing atau

Kontrak Bagi Hasil (“KBH”), yang menggantikan Perjanjian Karya.4 Dimulai dengan

kontrak lepas pantai pertama antara IIAPCO dan PERMINA pada bulan Agustus 1966,

sampai dengan akhir tahun 2003 telah ditandatangani 340 KBH, 170 diantaranya masih

aktif dan sisanya telah dikembalikan dan sekitar 40 kontrak dalam tahapan produksi5.

Prospek dan lajunya pengembangan minyak dan gas bumi banyak ditentukan

oleh keberhasilan Indonesia menarik investasi modal yang diperlukan. Karena posisi

kompetitif Indonesia dalam menarik modal untuk berinvestasi di proyek berisiko tinggi

(risk capital) cenderung menurun dalam dua warsa terakhir, maka satu-satunya cara

untuk membalikkan kecenderungan menurun tersebut menjadi positif ialah melakukan

perbaikan yang memberikan dampak cukup berarti bagi pengembalian modal para

investor.

Keberhasilan program ini memerlukan iklim usaha yang menarik dan menuntut

adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak investor. Selain persyaratan kontrak,

3 Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983, hlm 41 Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash Publishing, Los Angeles,

1973, hlm 74 4 Catatan: Dalam peraturan perundang-undangan istilah Kontrak Production Sharing pertama kali digunakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA, yang diterjemahkan dari Production Sharing Contract, istilah yang digunakan dalam kontrak-kontrak yang ditanda tangani sejak tahun 1966. Istilah lain yang digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. Dan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas bumi, digunakan istilah Kontrak Bagi Hasil. Selanjutnya, dalam penulisan tesis ini digunakan istilah Kontrak Bagi Hasil yang disingkat menjadi “KBH”. 5 US Embassy, Petroleum Report 2002 - 2003, Jakarta, March 2004, Appendix 15.

Page 21: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

7

penciptaan iklim usaha yang menarik menuntut adanya kepastian hukum dalam

melaksanakan kontrak kerja sama. Masalah kepastian hukum dalam era reformasi ini

banyak menimbulkan pertanyaan bagi para penanam modal asing, mengingat banyaknya

peraturan perundang-undangan yang diundangkan yang tampaknya justru memicu

benturan-benturan dengan mengikis persyaratan komersial kontrak kerja sama antara

investor dengan Pemerintah atau BUMN, yaitu dalam arti mengurangi hak-hak investor

secara finansial yang telah disepakati dalam kontrak kerja sama..

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan dalam penelitian meliputi hal-hal berikut:

1). Bagaimana penerapan asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil

dihubungkan dengan hak investor?

2) Bagaimana akibat hukum kontrak yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-

undangan lama saat kontrak ditanda tangani dihubungkan dengan

dikeluarkannya undang-undang baru dalam KBH yang sedang berjalan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1). Melalui kajian peraturan perundang-undangan dan makna tiga asas dalam hukum

kontrak sesuai dengan asas hukum nasional dan internasional menemukan

implikasi hukum diberlakukannya peraturan perundang-undangan baru terhadap

KBH yang sedang berjalan. Peraturan perundang-undangan ini meliputi antara

lain Undang-undang tentang perpajakan, kehutanan dan migas.

2). Menemukan upaya-upaya mengurangi (mitigation measures) dampak yang

merugikan dari peraturan perundang-undangan baru terhadap pelaksanaan KBH.

Page 22: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

8

D. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada pengembangan teori ilmu hukum kontrak terutama dalam hal ini

mengenai kontrak-kontrak pertambangan minyak dan gas bumi, serta dapat melengkapi

kepustakaan pada pengajaran hukum bisnis.

Secara praktis hasil penelitian dimaksudkan untuk bahan masukan bagi

pemegang otoritas di pemerintahaan dalam menetapkan kebijakan agar iklim usaha di

bidang minyak dan gas bumi tetap kondusif untuk investasi. Hasil penelitian juga

merupakan bahan masukan kepada pelaku bisnis di bidang pertambangan minyak dan

gas bumi.

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran berikut. Dua

kerangka pemikiran yang pertama adalah Pasal 33 UUD 1945 dan hukum sebagai

sarana pembangunan masyarakat. Kerangka pemikiran berikutnya adalah teori dan

sejumlah asas dalam hukum perjanjian dan prasayarat untuk menciptakan iklim usaha

yang dapat menunjang keberhasilan dari penanaman modal asing, khususnya

penyelenggaraan Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi.

1. Pasal 33 UUD 1945

Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa cabang-cabang

produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh Negara dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penafsiran ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dalam perkembangan perundang-undangan

kita selama ini cukup sulit, mengingat sesungguhnya kata-kata “dikuasai oleh Negara”

Page 23: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

9

dapat mempunyai berbagai pengertian, yaitu mulai dari kepemilikan dan pengelolaan

secara langsung atau tidak langsung oleh negara hingga pengertian bahwa yang

terpenting negara tetap mengatur dan mengatasi cabang-cabang produksi yang penting

bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Pengertian yang terakhir inilah yang tampaknya menjadi landasan bagi kebijakan

Pemerintah mengundang modal swasta untuk berpartisipasi dalam pengusahaan

kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi, sesuai dengan pemikiran tokoh

proklamator Bung Hatta sebagai berikut:

“Dikuasai negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal… Cita-cita yang tertanam dalam pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah… Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi. Kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk mengerahkan pekerja dan capital nasional. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri… Kesempatan yang dibuka bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka di Indonesia ialah supaya mereka ikut serta mengembangkan kemakmuran bangsa kita, bangsa Indonesia”.6

2. Hukum sebagai sarana pembangunan

Pemikiran Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum merupakan

sarana pembangunan masyarakat, dimana hal ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa

adanya keteraturan atau ketertiban itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan

dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan

hukum yang dapat berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam

6 Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm 201 – 204.

Page 24: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

10

arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau

pembaharuan.7

3. Teori Hukum Perjanjian

Hukum Perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUH Perdata, yang mulai

berlaku pada tanggal 30 April 1847 (St.No. 23/1847).8 Pasal 1313 KUH Perdata

memberikan definisi “Perjanjian” atau “Persetujuan” sebagai “suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 9

Dengan menganut sistem terbuka, Hukum Perjanjian memberikan kebebasan seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan

tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Hukum Perjanjian berlaku

sekurang-kurangnya tiga prinsip atau asas yang bersifat universal, yaitu:

1) Asas konsensualisme, yang berarti bahwa hal-hal itu terjadi melalui persesuaian

kehendak atau konsensus para pihak.

2) Asas kekuatan mengikat persetujuan, di mana para pihak harus memenuhi apa

yang mereka tarima sebagai kewajiban masing-masing atau sebagaimana Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “persetujuan merupakan undang-

undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya”.

3) Asas kebebasan berkontrak, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas

mengadakan persetujuan dengan siapa saja yang dikehendaki, menentukan isi,

daya kerja dan persyaratan-persyaratan persetujuan sesuai dengan pandangan

sendiri, menuangkannya dalam bentuk tertentu atau tidak dan tunduk pada

7 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 4. 8 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm 3 9 Lihat Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Itermasa, Jakarta, 2001, hlm 1 yang menamakan perjanjian sebagai persetujuan atau dua kata tersebut adalah sejenis. Perkataan kontrak mempunyai arti lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Page 25: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

11

ketentuan-ketentuan perundang-undangan tertentu yang dipilih. Asas ini sangat

erat hubungannya dengan asas konsensualisme.

Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan

bahwa “janji itu mengikat” (“pacta sunt servanda”) dan “kita harus memenuhi janji

kita” (promissorum implendorum obligati). Falsafah ini terdapat juga dalam sebuah

pantun Melayu yang mengatakan “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya”

(Mariam Darus Badrulzaman10).

Asas yang telah secara universal diterima dalam kontrak atau perjanjian

komersial internasional, “pacta sunt servanda” merupakan landasan (cornerstone) dari

lex mercatoria. Berdasarkan asas ini yang juga sering disebut “asas kesucian kontrak”

(sanctity of contract), setiap pihak dalam perjanjian bertanggung jawab untuk hal-hal

yang tidak dijalankan, meskipun kegagalan itu diluar kekuasaannya dan tidak dapat

dilihat lebih dahulu pada waktu penandatanganan perjanjian.

Feenstra dan Ahsman menyatakan bahwa pacta sunt servanda yang

diperkenalkan dalam ilmu hukum pada abad XII merupakan adagium yang

dipergunakan dalam perjuangan mengenai apa yang sekarang disebut konsensualisme;

hal ini juga sesuai dengan apa yang ditambahkan pada formulasi lengkap, betapapun

persetujuan-persetujuan itu nuda atau tidak sempurna. Formulasi ini akan berhadapan

dengan klausula “rebus sic stantibus”, suatu persyaratan yang dianggap diterima secara

diam-diam bahwa kita tidak akan memenuhi janji-janji dalam hal terjadi perubahan-

perubahan di dalam situasi dan kondisi. 11 Implementasi rebus sic stantibus harus

tunduk pada persyaratan kontrak, dan apabila tidak dijelaskan dalam kontrak, maka 10 Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 83-84. 11 Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003 , hlm 65 -99 yang menyadur tulisan Feenstra, R. dan Ahsman, M, Contract Aspecten Van de begrippen contract en contractvrijheid in historich perspectief, Kluwer-Deventer de Nederlands, hlm 3 – 25.

Page 26: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

12

tunduk pada persyaratan force majeure berdasarkan ketentuan perundang-undangan

(khususnya KUH Perdata).

Selanjutnya, Hans Wehberg menyatakan bahwa pacta sunt servanda sebagai

prinsip dasar hukum (general principles of law) ditemukan dalam semua bangsa.

Prinsip tersebut mengikuti cara yang sama, apakah dia berhubungan dengan kontrak

antar negara atau antara negara dengan perusahaan swasta. Kesucian kontrak

merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial; menurut Wehberg tidak akan ada

hubungan ekonomi antara negara dengan perusahaan asing tanpa prinsip pacta sunt

servanda12.

4. Penanaman Modal Asing

Dalam penanaman modal, penciptaan iklim usaha yang menarik bagi investor

merupakan prasyarat (prerequisite), yang pada gilirannya menuntut adanya kepastian

hukum dalam melaksanakan kontrak kerja sama. Berdasarkan premise ini, dalam

UUPMA terdapat pasal-pasal yang mengandung ketentuan-ketentuan berupa

kelonggaran-kelonggaran yang meliputi berbagai bidang (seperti perpajakan, transfer

dari pendapatan dan modal, dan aspek-aspek operasional) dan pemberian jaminan. Jika

dibandingkan dengan undang-undang penanaman modal yang terdahulu (Undang-

undang Nomor 78 Tahun 1958, yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-

undang Nomor 15 Tahun 1960), UUPMA lebih memberikan jaminan kepada

perusahaan modal asing.

Misalnya, Pasal 9 UUPMA menetapkan bahwa Pemerintah tidak akan

melakukan tindakan-tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh

atas perusahaan-perusahaan modal asing, atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak

12 Wehberg, Hans, Pacta Sunt Servanda, http://tldk.uni-koeln.de/php/pub, 2 Agustus 2004.

Page 27: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

13

menguasai dan/atau mengurus perusahaan asing yang bersangkutan. Dalam hal

kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian, Pemerintah akan memberikan

ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah

pihak, dan apabila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui forum

arbitrase.13

5. Kontrak Bagi Hasil

Model Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang mulai diperkenalkan pada awal tahun

1960an merupakan penemuan bangsa Indonesia yang telah diterima oleh banyak negara

di dunia untuk penanaman modal asing dalam bidang pertambangan minyak dan gas

bumi. Diciptakannya KBH tersebut bertujuan untuk menampung aspirasi bangsa

Indonesia yang ingin tetap menggali dan mengolah kekayaan alamnya sesuai dengan

amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, namun karena keterbatasan dana terpaksa harus

bekerja sama dengan pihak swasta.

Pendirian tiga BUMN (PERMIGAN, PERTAMIN dan PERMINA) pada awal

tahun 1960an merupakan langkah penting dalam upaya pemerintah untuk ikut serta

langsung dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Untuk

meningkatkan efisiensi, pada tahun 1969 ketiga perusahaan negara tersebut dilebur dan

digabung menjadi PERTAMINA dan status dan tugas PERTAMINA di bidang minyak

dan gas bumi kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971

Tentang PERTAMINA (UU Pertamina).

Dari pandangan fiskal tidak terdapat perbedaan yang besar antara sistem konsesi

dan KBH. Perbedaan kedua sistem tersebut lebih bersifat simbolis dan filosofis. Seperti

dinyatakan oleh Daniel Johnston bahwa di Perancis kekayaan bahan galian (mineral

13 Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hlm 13.

Page 28: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

14

wealth) tidak dimiliki oleh perorangan tetapi oleh Negara untuk kepentingan rakyat,

namun demikian sistem fiskal migas yang berlaku di negara tersebut tidak berdasarkan

pembagian hasil produksi tetapi menggunakan sistem konsesi dengan royalti/pajak.14

Selanjutnya, kajian terhadap Undang-undang Minyak dan Gas Bumi di beberapa

negara oleh Thomas Waelde dan W.T. Onorato menunjukkan bahwa KBH tidak

ditemukan dalam negara-negara maju atau liberal tetapi umumnya ditemukan pada

negara-negara sedang berkembang (developing countries) yang memiliki kemampuan

dana dan teknologi yang terbatas tetapi juga menganggap unsur “kedaulatan”

(sovereignty) penting dalam pengelolaan kekayaan alam. 15 Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa KBH dapat diterima oleh kedua belah pihak, karena berhasil

mengakomodasi kepentingan politik pemerintah dan kepentingan komersial kontraktor.

Dalam pelaksanaan selama 40 tahun, kegiatan pertambangan minyak dan gas

bumi di Indonesia mengalami pasang surut. Selain faktor eksternal, berbagai kendala

yang dihadapi dalam penyelenggaraan KBH juga berasal dari dalam seperti perbedaan

interpretasi atas beberapa ketentuan dalam kontrak dan diterbitkannya peraturan

perundang-undangan baru, yang sering memicu benturan-benturan dengan mengikis

persyaratan komersial kontrak kerja sama investasi antara investor dengan Pemerintah

atau BUMN. Dari data yang dihimpun dapat disimpulkan bahwa sejak awal tahun

1980an kegiatan minyak dan gas bumi di sektor hulu cenderung menurun dan

14 Johnston, Daniel, Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, PennWell Books, Tulsa, Oklahoma, 1994, hlm 22 15 Waelde, T.W.., The Current Status of International Petroleum Investment: Regulating, Licensing, Taxing and Contracting, Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy University of Dundee Dundee, July 1995, dan Onorato, W.T. Legislative Frameworks Used to Foster Petroleum Development, World Bank Washington D.C., Feb 1995.

Page 29: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

15

membandingkannya dengan kegiatan di negara lain mengisyaratkan bahwa posisi

bersaing Indonesia dalam menarik “risk capital” terus menurun.16

Disamping risiko kegagalan yang umumnya lebih besar dari usaha-usaha bisnis

lainnya, pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi hingga mencapai tahap

produksi membutuhkan waktu yang lama serta dana yang besar. Namun demikian,

ditopang dengan iklim usaha yang kondusif, penambangan bahan galian ini masih tetap

menarik dan dapat memberikan keuntungan yang layak bagi Negara.

Kemunduran yang berkepanjangan ini bukan diakibatkan harga minyak di

pasaran dunia atau tidak tersedianya risk capital (penanaman modal pada proyek

berisiko tinggi) di dunia untuk kegiatan minyak dan gas bumi, mengingat kedua faktor

tersebut hakekatnya berlaku sama bagi semua negara. Karena iklim politik di Indonesia

pada saat itu (zaman orde baru) cukup stabil, maka iklim politik nampaknya juga bukan

merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tersebut. Di pihak lain, persepsi para

investor tentang potensi minyak dam gas bumi di Indonesia masih cukup optimis.

Dengan demikian faktor yang nampaknya masih tinggal adalah pertimbangan komersial,

yaitu faktor-faktor yang memberi dampak kurang menguntungkan terhadap

pengembalian modal investor (investor’s return)17.

Sejak diperkenalkannya persyaratan komersial dalam KBH yang berkaitan

dengan pembagian keuntungan mengalami beberapa kali penyesuaian, yang semuanya

ditujukan meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, pada awal rumusan bagi hasil

(setelah pengembalian biaya) dalam KBH adalah 65% untuk Negara dan 35% untuk

kontraktor, yang kemudian diubah menjadi 85% untuk Negara dan 15% untuk

16 Madjedi Hasan, Petroleum Contract – Indonesia’s Issues and Challenges, Petromin, Singapore, December 2001, hlm 20. 17 Ibid.

Page 30: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

16

kontraktor.18 Demikian pula, sejalan dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang

perpajakan dan penggunaan lahan, terdapat berbagai desakan dari instansi yang

bersangkutan agar ketentuan tersebut juga diberlakukan terhadap KBH yang sering kali

berdampak merugikan penerimaan dan kegiatan kontraktor.

Selanjutnya, survai yang dilakukan oleh PriceWaterhouseCoopers di antara para

pimpinan perusahaan minyak di Indonesia menunjukkan bahwa ketidakjelasan

mengenai peran pemerintah pusat dan daerah setelah diundang-undangkannya Undang-

undang Otonomi Daerah dan campur tangan berbagai instansi pemerintah dalam

pelaksanaan KBH terutama diberlakukannya berbagai peraturan perundang-undangan

baru terhadap KBH yang sedang berjalan, menduduki peringkat teratas di antara 10

permasalahan yang dipandang sangat mempengaruhi iklim investasi di bidang minysk

dan gas bumi.19

F. Metode Penelitian

1) Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menitikberatkan

penelitian pada data kepustakaan dan data sekunder.20

2) Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dengan sasaran mendapatkan

gambaran fakta-fakta disertai analisis mengenai peraturan perundang-

undangan yang berlaku dihubungkan dengan teori-teori dan prinsip-prinsip

hukum serta kebiasaan internasional.

18 Penyesuaian pertama dilakukan pada akhir tahun 1973 mengikuti melonjaknya harga minyak dari dibawah US$ 2.00 menjadi diatas US$ 10.00 per barrel akibat dari perang di Timur Tengah. Penyesuaian kedua dilakukan pada pada tahun 1976 setelah terjadinya krisis keuangan PERTAMINA. 19 PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5. 20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers (Jakarta, 1990), hlm 5.

Page 31: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

17

3) Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan, terdiri dari:

a) Penelitian kepustakaan (library research)

Dalam tahapan ini akan dikaji bahan hukum primer berupa bahan hukum

seperti peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan

dengan penanaman modal dan pertambangan di Indonesia, teori-teori

hukum yang relevan dan biasa digunakan, bahan hukum sekunder yang

meliputi referensi hukum dan non-hukum berupa makalah, hasil

penelitian, karya tulis dari kalangan hukum dan non-hukum serta bahan

hukum tersier berupa kamus, ensiklopedia.dan artikel di media cetak. 21

b) Penelitian lapangan

Penelitian ini mendukung data kepustakaan yang bertujuan mendapatkan

pandangan pimpinan perusahaan di bidang minyak dan gas bumi,

profesional dan tokoh bisnis terhadap perkembangan investasi di bidang

energi dan sumber daya mineral.

4). Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan melalui studi dokumen dan survai

berupa wawancara atau questionnaire di antara para pimpinan atau eksekutif

industri minyak dan gas bumi yang beroperasi di Indonesia.

5). Metoda Analisis Data

Data primer dan data sekunder akan dianalisis dengan metode kualitatif

normatif, sementara data empirik akan dianalisis dengan metode kuantitatif,

kedua-duanya kemudian akan disajikan dalam bentuk deskriptif.

21 Ibid, hlm 13, di mana dikatakan bahwa bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

Page 32: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

BAB II

SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENGELOLAAN

MINYAK DAN GAS BUMI

A. Kontrak sebagai dasar perikatan

Istilah “kontrak” berasal dari bahasa Inggerís, yaitu “contract”, sementara dalam

bahasa Belanda disebut dengan “overeenkomst“, yang diterjemahkan dengan istilah

“perjanjian”. Pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUH

Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih. Subekti menamakan perjanjian sebagai persetujuan atau dua

kata tersebut adalah sejenis dan kata “kontrak” mempunyai arti lebih sempit, karena

ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.22

Banyak pihak merasakan bahwa rumusan dalam KUH Perdata ini kurang lengkap,

karena tidak menjelaskan adanya asas konsensualisme, yang menimbulkan akibat hukum.

Karena itu Soedjono Dirdjosisworo berusaha memberi definisi yang sederhana tetapi cukup

jelas sebagai berikut:

“Kontrak adalah suatu janji atau seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya.”23

Selanjutnya, Black’s Law Dictionary memberikan definisi “contract” sebagai suatu

perjanjian antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban yang dapat ditegakkan

atau diakui oleh hukum. 24

22 Subekti, loc. cit. 23 Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sisstem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 29. 24 Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, 7th. Edition, West Group, St. Paull Minn, 1999, hlm 318: “An agreement between two or more person creating obligations that are enforceable or otherwise recognizable at law.”

18

Page 33: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

19

Lebih lanjut, Black Law’s Dictionary mengutip pernyataan William R Anson bahwa

istilah “kontrak” digunakan secara acak juga untuk menyatakan tiga macam hal, yaitu satu

rangkaian tindakan-tindakan operasional dari para pihak yang menimbulkan hubungan

hukum baru, dokumen yang dilaksanakan oleh para pihak sebagai bukti akhir telah

dijalankannya oleh para pihak tindakan-tindakan operasional, dan hubungan hukum akibat

dari tindakan operasional, yang terdiri dari hak atau hak-hak pribadi and kewajibannya,

yang disertai dengan kekuasaan, hak istimewa dan kekebalan, dan hubungan hukum ini

sering disebut “kewajiban”.25

Kemudian, Samuel Williston dalam Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa

kontrak adalah suatu janji, atau satu rangkaian janji, di mana hukum akan berlaku mutlak

kalau ingkar, yang menurut hukum hal tersebut merupakan tugas. Definisi ini tidak

memuaskan karena memerlukan definisi lebih lanjut mengenai peristiwa (circumstances) di

mana diberikan kewajiban hukum terhadap janji itu. Tetapi jika dikehendaki adanya

definisi mengenai tindakan-tindakan operasional, maka seluruh hukum mengenai

pembentukan kontrak akan perlu dipadatkan dalam satu kalimat.26

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kontrak merupakan suatu

persetujuan tertulis dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban hukum secara bersama-

sama dilandasi pada saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang.

Menurut namanya, kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bernama dan

tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd) adalah perjanjian yang mempunyai nama

25William R Anson, Principles of the Law of Contract: “The term contract has been used indifferently to refer to three different tthings(1) the series of operative acts by the parties resulting for new legal relations; (2) the physical document executed by the parties as the lasting evidence of their having performed the necessary operationve acts and also as an operative fact in itself; (3) the legal relations resulting from the operative acts, consisting of a right or rights in personam and their corresponding duties, accompanied by certain powers, privileges and immunities. The sum of these legal relations is often called obligation” 26 Samuel Williston, A treatise on the Law of Contracts: “A contract is a promise, or a set of promises, for breach of which the law gives a remedy, or the performance of which the law in some way recognize as a duty. This definition may not be entirely satisfactoriy since it requires a subsequent definition of the circumstances under which the law does in fact attach legal obligations to promise. But if a definiton were attempted which should cover these operative facts, it would require compressing the entire law relating to the formation of contracts into a single sentence.”

Page 34: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

20

sendiri, yaitu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang atau merupakan

perjanjian yang terdapat dan dikenal dalam KUH Perdata dan undang-undang lain.

Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) merupakan perjanjian yang timbul,

tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini antara lain adalah Kontrak Bagi Hasil,

Kontrak Karya di bidang migas dan pertambangan non-migas, Kontrak Operasi Bersama

Panas Bumi antara PERTAMINA dan Investor dan Kontrak Jual Beli Listrik antara PLN

dan PERTAMINA dan Investor. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan

berkontrak27 Perjanjian tidak bernama ini diatur dalam satu ketentuan di KUH Perdata,

yaitu Pasal 1319 yang menyatakan:

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.”

Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak tidak bernama ini tunduk

pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata dan berbagai peraturan yang

mengaturnya. Karena merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada

perjanjian tidak bernama ini berlaku asas “Lex specialis derogaat lex generalis”

B. Pihak-pihak dalam perjanjian

Di dalam KUH Perdata pihak-pihak dalam perjanjian dapat dibedakan dalam tiga

golongan sebagaimana ditetapkan dalam pasal-pasal berikut:

1. Pasal 1315 jo. Pasal 1340, yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.

2. Pasal 1318 yang menetapkan para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak

dari padanya sebagai akibat peralihan berdasarkan atas hak khusus.

3. Pihak ketiga yang telah menyatakan kehendaknya atau kemauannya untuk

mempergunakannya. (Pasal 1317). 27Mariam Darus Badrulzaman, et.al, op. cit., hlm 67.

Page 35: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

21

Para pihak yang mengikatkan diri tersebut adalah subjek hukum perdata. Menurut

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto28, dengan subjek hukum dimaksudkan adalah

setiap yang menjadi pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari pribadi kodrati, pribadi

hukum dan pejabat atau tokoh, sementara Black’s Law Dictionary memberikan pengertian

tentang “persona” (person) adalah (1) manusia; (2) badan (seperti perusahaan) yang diakui

hukum mempunyai hak dan kewajiban manusia; dan (3) badan yang hidup dari manusia. 29

Selanjutnya John Salmond sebagaimana yang dikutip dalam Black’s Law Dictionary

memberikan pengertian bahwa dari teori hukum, “persona” adalah setiap pribadi yang

mampu mempunyai hak dan kewajiban. Sesuatu yang mampu adalah “persona”, apakah dia

manusia atau bukan, yang tidak mampu bukanlah “persona”, meskipun dia manusia.

Persona adalah yang susbstansinya memiliki hak dan kewajiban. Hanya dengan cara seperti

ini persona memiliki arti dalam hukum, dan ini merupakan pandangan yang eksklusif di

mana kepribadian (personality) mendapatkan pengakuan hukum.30

C. Pemerintah sebagai subjek hukum perdata

Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa subjek hukum dalam perjanjian perdata

dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam KHU Perdata, ketentuan-ketentuan

mengenai badan hukum (definisi dan kewenangannya) diatur dalam Pasal 1653 sampai

dengan Pasal 1665. Dalam Pasal 1653 dinyatakan sebagai berikut:

“Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuaaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang

28 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-sendi Hukum dan Tata Hukum, Alumni Bandung, 1982, hlm 50. 29 Black, Henry Campbell, op. cit., hlm 1162: “a person is (1) a human being; (2) an entity (such as corporation) that is recognized by law as having the rights and duties of a human being; (3) the living of body of a human being.” 30 Ibid; John Salmond, Jurisprudence 318 (Glenville L. Williams ed., 10th. ed 1947): “So far as legal theory is concerned, a person is any being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is a person, whether a human being or not, and no being that is not so capable is a person, even though he be a man. Persons are the substances of which rights and duties are the attributes. It is only in this respect that persons possess juridical significance, and this is the exclusive point of view from which personality receives legal recognition.”

Page 36: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

22

diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.”

Selanjutnya, Pasal 1654 KUH Perdata menegaskan kewenangan badan hukum untuk

melakukan perbuatan-perbuatan perdata sebagai berikut:

“Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.”

Lebih lanjut, Pasal 1655 KUH Perdata menetapkan kewenangan pengurus badan

hukum sebagai berikut:

“Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya dan untuk bertindak dalam sidang pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.”

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah merupakan jenis badan

hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum. Dengan demikian Pemerintah selaku badan

hukum dapat melakukan tindakan perdata dan sebagai subjek hukum perdata Pemerintah

dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga, dapat pula digugat atau menggugat di

pengadilan perdata. 31

Kegiatan Pemerintah dalam kegiatan bisnis antara lain membeli barang yang

dibutuhkan baik bersifat habis pakai maupun barang kapital, menggunakan jasa

pengangkutan, jasa konsultasi dan lain-lain, melakukan kerja sama dengan pihak swasta

untuk pembangunan sarana, dan sebagainya. Dalam perjanjian ini kedudukan para pihak

adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum perdata, Pemerintah harus memposisikan

dirinya sejajar dengan mitranya dalam pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang

tercantum dalam kesepakatan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya sering sulit untuk

31 Lihat Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001 hlm 42, yang mengutip Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1962, hlm 164, dimana dinyatakan bahwa negara, propinsi, kotapraja, dan lain sebagainya adalah badan hukum; hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara histories.

Page 37: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

23

menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan komersial (acts jure gestionisi) dan

kapan pemerintah menjalankan kegiatan pemerintahaan (acts jure imperil).

Masalah lain yang berkaitan dengan Pemerintah sebagai subjek hukum perdata

adalah siapa yang dimaksud dengan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama

Pemerintah. Dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) hal ini tidak menimbulkan masalah

karena telah dicantumkan dalam anggaran dasar PT.

Menurut Bagir Manan, hingga saat ini belum ada hukum nasional yang mengatur

secara umum mengenai badan-badan atau lembaga yang merupakan badan hukum, namun

tidak berarti sama sekali tidak pengaturannya. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat

digunakan pemahaman dan hukum positif di Belanda, sehingga yang merupakan badan

hukum dalam perbuatan keperdataan yang dilakukan Pemerintah adalah Negara Republik

Indonesia, Daerah Propinisi atau Daerah Kabupaten dan Kota, bukan Pemerintah Republik

Indonesia dan juga bukan Pemerintah Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota.32

Lebih lanjut Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa rujukan untuk mengetahui

siapa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pasal 1655 KUH Perdata dan Keputusan

Presiden No. 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (Keppres APBN 1995), yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam

Pasal 4 ayat (1) Keppres APBN 1995 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

Departemen/Lembaga adalah lembaga tertinggi/tinggi negara, kantor menteri kordinator dan

kantor menteri negara, departemen, kejaksaan agung, sekretariat negara dan lembaga

pemerintah non-departemen. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (4) Keppres APBN 1995 dinyatakan

bahwa pengeluaran beban anggaran belanja negara dilakukan dengan penerbitan surat

keputusan otorisasi (SKO), sementara Pasal 16 menetapkan bahwa Menteri/Ketua Lembaga

yang menguasai bagian anggaran mempunyai wewenang otorisasi, di antaranya untuk 32 Lihat Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm 59, yang mengutip Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah UNPAD, Bandung, Nomor 3 Volume 14 Tahun 1986, hlm 23.

Page 38: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

24

menetapkan pejabat yang diberi wewenang untuk menanda tangani SKO (sering disebut

Pimpinan Proyek).33

Dengan demikian, Hikmahanto Juwana menyimpulkan bahwa pihak yang dapat

menandatangani kontrak bisnis yang berdimensi publik sebagai wakil Pemerintah adalah

Menteri atau Ketua Lembaga atau Pimpinan Proyek. Keppres APBN 1995 tersebut tidak

mengatur tentang kewenangan dari pejabat-pejabat di daerah dan juga dalam praktik sering

dijumpai bahwa para pejabat pemerintah yang menandatangani kontrak bisnis ini sangat

beragam, yang kesemuanya menyebutkan bahwa pihak yang menandatangani bertindak

untuk dan atas nama Pemerintah.

Sebagai contoh adalah kasus Ibnu Hartomo selaku Deputi Dewan Pertahanan

Keamanan Nasional mengeluarkan Promissory Notes sejumlah US$ 3 milyar atas nama

Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1985, padahal dia tidak berwenang untuk

melakukan hal tersebut.34 Disarankan oleh Hikmahanto Juwana agar Pemerintah

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pejabat mana

yang berhak untuk mewakili Pemerintah apabila Pemerintah menjadi pihak dalam sebuah

kontrak bisnis.

D. Pemberian Kuasa

Menurut KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana

seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya,

untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUH Perdata). Dengan

menyelenggarakan suatu urusan dimaksudkan adalah melakukan suatu perbuatan hukum,

yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau menelorkan suatu akibat hukum. Pemberian

kuasa itu menerbitkan “perwakilan”, yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk

33 Ibid, hlm 44 - 45 34 Sudargo Gautama, Aneka Perkara Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 59 - 65

Page 39: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

25

melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti itu ada juga yang dilahirkan oleh

atau menemukan sumbernya pada undang-undang.

Orang yang menerima kuasa atau penerima kuasa melakukan perbuatan hukum

tersebut atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga mewakili pemberi kuasa.

Artinya menurut Subekti adalah apa yang dilakukan adalah atas tanggungan pemberi kuasa

dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu

menjadikan hak dan kewajiban pemberi kuasa, atau bahwa kalau yang dilakukan itu berupa

membuat suatu perjanjian, maka pemberi kuasalah yang menjadi pihak dalam perjanjian

itu.35

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu

kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan

pemberi kuasa (Pasal 1795 KUH Perdata). Penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun

yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara

secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada

keputusan wasit (Pasal 1797 KUH Perdata).

Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa penerima

kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan

perjanjiannya (Pasal 1799 KUH Perdata). Sebagaimana telah diuraikan di muka, dalam

perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga, yang

memperoleh hak dan menerima kewajiban dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah orang

yang memberi kuasa, dan ia menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian itu; karena itu ia

berhak menuntut langsung pihak lawannya.

Pasal 1807 KUH Perdata menetapkan pemberi kuasa diwajibkan memenuhi

perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang ia telah

35 Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 141

Page 40: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

26

berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu

kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.

E. Asas-asas Hukum Perjanjian

Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia telah

mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak yang pertama

adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan sampai dengan tahun 1963

dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas

1960 dan UU Migas 2001. Karena itu kegiatan usaha hulu migas tersebut tunduk pada asas-

asas Hukum Perjanjian baik yang universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH

Perdata.

Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat universal,

yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas

konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda dan

itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat didalam Pasal

1320, yang menyatakan bahwa:

“Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang”.

Dengan demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya sudah sah

apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas

untuk menjadikannya sah. Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada faham

individualisme yang lahir dalam zaman Yunani dan berkembang pesat dalam zaman

Page 41: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

27

reinaissance. Faham ini berpandangan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apa

yang dikehendakinya. Asas kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar dalam

Principles of International Commercial Contracts, seperti tercantum dalam Article 1.1

UNIDROIT yang berbunyi:

“The parties are free to enter into a contract and to determine its content”.36

Di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan muncul pemikiran apakah kebebasan

berkontrak ini harus tetap dipertahankan sebagai asas esensial di dalam Hukum Perjanjian

Indonesia. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tetap

perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional.37

Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang mutlak, karena

dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara lain oleh undang-undang,

ketertiban umum dan kesusilaan. Seperti dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan

berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi

mempunyai nilai absolut seperti satu abad yang lalu.38

Selanjutnya, di dalam setiap perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan

selalu tersirat adanya itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik merupakan asas bahwa

para pihak harus melaksanakan substansi kontrak, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan

atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik ini tidak terbatas pada waktu mengadakan

hubungan hukum, akan tetapi juga pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.

Menurut Subekti, itikad baik merupakan suatu sendi yang terpenting dalam hukum

perjanjian. Apabila pada awalnya di tanah air para ahli hukum menganggap itikad baik

bersifat subyektif, maka di Belanda pengertian itikad baik telah berkembang yang

memandang bahwa itikad baik itu juga bersifat obyektif. Misalnya, dalam Nieuwe 36 UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7. 37 Mariam Darus Badrulzaman, et. al, op.cit, hlm 85 38 Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.

Page 42: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

28

Burgerlijk Wetbboek (NBW) pengertian itikad baik itu juga mengandung asas kepantasan

dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian selain terletak pada hati

sanubari manusia, itikad baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

timbul dari suatu hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma

kepatutan dan keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan

kerugian pihak lain.39

Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa hukum itu selalu mengejar dua tujuan, yaitu

menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kalau ayat pertama

Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian

hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga Pasal 1338 KUH Perdata harus dipandang

sebagai suatu tuntutan keadilan.40

F. Asas pacta sunt servanda

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua atribut,

yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk

melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak atau manfaat berupa tuntutan

dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Karena itu dalam setiap

perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya untuk melaksanakan

kewajibannya dan juga menghormati hak pihak lain.

Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan

bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda) dan “kita harus memenuhi janji kita”

(promissorum implendorum obligati). Falsafah ini juga terdapat dalam syari’at Islam,

sebagaimana dalam Surat Al Maidah ayat pertama yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina

39 Subekti, Hukum Perjanjian, op. cit. hlm 41 Lihat juga, Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung, Bandung, 1979 hlm 85. 40 Subekti, loc. cit.

Page 43: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

29

aamanuu aufuu bil ‘uqud” yang artinya “wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-

janji itu” dan Surat Al Isra ayat 34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda kana mas

uulan” yang artinya “dan penuhilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan

ditanyakan [dimintakan pertanggungjawaban]”. Namun, syari’at Islam juga sangat

memperhatikan kesadaran individu dengan motif, aspirasi, kesadaran yang baik dan itikad

baik. Dengan itikad baik seseorang tidak akan mengambil keuntungan dari kesulitan orang

lain yang tidak terlihat sebelumnya, karena hal itu bukan merupakan bagian dari hal yang

disepakati.

Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari premise

bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan.

Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa seorang harus berinteraksi dan bekerja

sama dengan orang lain, yang berarti bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai,

yang pada gilirannya akan memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah

setiap individu memiliki hak, di mana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat

dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan miliknya, maka tidak

ada alasan mengapa dia harus dicegah untuk melepaskan haknya yang kurang penting

seperti melalui kontrak.41

Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII, masih

beberapa abad sebelum prinsip nudus consensus obligat, pacta nuda servanda sunt ini

diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda mempunyai arti yang besar sejak

abad XVI, bukan saja di bidang hukum privat melainkan juga dalam bidang-bidang hukum

tata negara dan hukum internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu

perjanjian pada awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sumpah. Namun di

bawah pengaruh kaum ahli teologi moral sedikit demi sedikit telah dikembangkan prinsip, 41 Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey, F.W. trans., Oxford, 1916 – 25 dan Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB Document ID: 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub

Page 44: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

30

bahwa persetujuan-persetujuan yang tidak dikuatkan dengan pengangkatan sumpah juga

mempunyai kekuatan mengikat.42

Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu sekarang telah

menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa kita terikat pada janji-janji

dan kesanggupan-kesanggupan kontraktual, bukan saja harus dipenuhi secara moral, tetapi

juga merupakan kewajiban hukum. Hal ini harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku

sendirinya, sehingga tidak perlu dipersoalkan lebih lanjut.

Dengan meningkatnya pergaulan hidup, maka kebutuhan akan kontrak yang

beraneka ragam juga meningkat. Pergaulan hidup yang berbasiskan tatanan tukar-menukar

barang-barang dan jasa-jasa memerlukan suatu kebebasan tertentu untuk mengadakan

hubungan-hubungan kontraktual. Hal ini pada gilirannya memerlukan peningkatan

kepercayaan dan kepastian bahwa perjanjian-perjanjian tersebut dipenuhi sebagaimana

mestinya. Tanpa kepercayaan ini dan tanpa kepastian bahwa janji-janji dan kesanggupan-

kesanggupan sedemikian ini akan dipenuhi, maka masyarakat tidak dapat berkembang

dengan baik. Dengan hilangnya kepastian, maka lalu-lintas ekonomi juga tidak akan

berjalan lancar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima sebagai

salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan perjanjian antara

negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap perjanjian (Treaty)

mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 43 Para pihak berkewajiban

untuk melaksanakan suatu kontrak sedemikian rupa menurut yang telah disepakati,

meskipun pelaksanaan tersebut menjadi tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu

pihak. Ketentuan ini merupakan aturan dasar (basic rule) dari "lex mercatoria", yang

dimaksudkan untuk menjamin perdagangan. 42 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm 104. 43 UN Conventions on the Law of Treaties, Viena (23 May 1969), Artcile 26: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”

Page 45: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

31

Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum kontinental

maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan kepastian perdagangan dan

telah diintengrasikan dalam hukum internasional. Karena itu adagium ini dapat dipandang

bagian dari hukum kebiasaan, yang penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa.

Meskipun banyak pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa

prinsip kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu dianggap sebagai

suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan memberikan kompensasi (ganti rugi).

Sebagaimana dikatakan oleh Hans Wehberg, adagium pacta sunt servanda sebagai

prinsip hukum yang umum dijumpai di semua negara dan akan diberlakukan sama, apakah

itu dalam perjanjian antara negara atau kontrak antara negara dan perusahaan swasta.

Kehidupan masyarakat internasional tidak hanya didasarkan pada hubungan antara negara

tetapi juga meliputi hubungan antara negara dan perusahaan asing. Tanpa asas pact sunt

servanda, upaya menyelesaikan sengketa melalui proses peradilan akan sia-sia.44

Pada saat ini, prinsip tersebut di atas tidak memiliki ciri yang mutlak (absolute).

Lingkupnya dibatasi dengan pengecualian, yang diberikan oleh hukum, misalnya, perbuatan

yang tidak mungkin baik secara hukum maupun fisik dan memperkaya diri secara tidak adil.

Hak suatu pihak untuk mengundurkan diri dari kontrak bertentangan dengan prinsip

kesucian kontrak (sanctity of contracts). Kepentingan terutama para pihak pada saat

kontrak ditutup, adalah dengan menghormatinya. Namun demikian, meskipun ada itikad

baik dalam membuat dan menutup kontrak oleh para pihak, mungkin dapat terjadi kontrak

tersebut dilaksanakan tidak sempurna atau dalam beberapa hal tidak dilaksanakan sama

sekali. Dalam situasi demikian, pihak yang dirugikan dilengkapi dengan perangkat hukum

lengkap dengan cara penanggulannya. Tindakan yang paling drastis karena tidak memenuhi

persyaratan kontrak adalah pemutusan kontrak.

44 Wehberg, Hans, loc. cit.

Page 46: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

32

G. Klausula rebus sic stantibus

Secara umum dapat dikatakan bahwa kontrak-kontrak perdagangan internasional

memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat kewajiban dan pihak yang tidak melakukannya

bertanggung jawab untuk membayar kerugian. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip pacta

sunt servanda, yang berarti bahwa masing-masing pihak bertanggung jawab atas

kegagalannya melakukan kewajiban, meskipun penyebabnya berada di luar kekuasaannya

dan tidak dilihat sebelum menandatangani perjanjian.

Namun, dalam pelaksanaan sering dijumpai bahwa penerapan asas tersebut

memberikan hasil yang berlawanan dari sasarannya. Hal ini disebabkan oleh karena situasi

pada saat kontrak dibuat telah berubah sedemikian sehingga para pihak tidak dapat

melaksanakan kontrak, atau kesepakatan menjadi lain apabila hal tersebut sudah dapat

diramalkan akan terjadi. Karena itu sebagai suatu pengecualian, kewajiban untuk

memenuhi janji mungkin dapat dimaafkan apabila peristiwa yang luar biasa telah

menyebabkan kewajiban tersebut tidak dapat dilaksanakan. Pengecualian ini kemudian

melahirkan doktrin rebus stic stantibus, yang diartikan bahwa kewajiban dalam suatu

perjanjian akan berakhir (atau disesuaikan) apabila situasi berubah.

Menurut Liu Chengwei, aspek penting dari doktrin ini adalah memberikan perhatian

pada perubahan yang bertentangan dengan harapan atau ekspektasi para pihak, sehingga

mengalahkan maksud dari perjanjian. Dengan demikian, masalah yang dikedepankan disini

adalah adanya dua pilihan, yaitu penerapan secara kaku pacta sunt servanda menjaga

kesucian kontrak atau penerapan klausula rebus sic stantibus.45 Dalam hal ini Goldman

berpandangan bahwa pacta sunt servanda hakekatnya berarti bahwa kontrak-kontrak yang

45 Chengwei, Liu, Remedies for Non-performance: Perspective from CSIG, UNIDROIT Principle and PECL, Chapter 19 Change of Circumstances, September 2003, diakses dari http://cisgw3.law.pace.edu/cisg/biblio/ chengwei-79 html.

Page 47: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

33

secara hukum sah dan berjalan harus dihormati. Dengan demikian kontrak tidak dapat

diganggu gugat maupun diubah.46

Konsep rebus sic stantibus diakui dalam hukum internasional dan berkembang pada

abad XVIII dalam hukum privat, tetapi mendapat banyak kritik karena tidak kejelasan dan

tidak kepastiannya. Konsep ini harus ditafsirkan secara sempit, karena dapat berdampak

negatif terhadap kesucian kontrak (contract sanctity). Dengan makin menguatnya faham

liberalisme pada abad XIX yang menghendaki kebebasan berkontrak, klausula rebus sic

stantibus kehilangan pengaruhnya di negara-negara dengan sistem hukum kontinental (civil

law). Klausula rebus sic stantibus ini umumnya ditemukan dalam hukum internasional

publik.47

Dengan perubahan pemikiran hukum dalam abad XX yang berlandaskan pada ide

itikad baik dan persamaan, hukum kontrak telah meninggalkan doktrin kewajiban mutlak

dan sistem hukum mulai memberikan kepada salah satu atau kedua belah pihak untuk tidak

melaksanakan kewajibannya apabila suatu kontrak menjadi tidak mungkin dilaksanakan.

Menurut Liu Chengwei, perubahan ini berbeda untuk setiap negara; dalam banyak negara

pelepasan melaksanakan kewajiban ini ditampung dengan konsep “force majeure”,

sementara di Inggerís diterapkan “doctrine of frustration”. Hak untuk memberlakukan

force majeure sebagai alasan untuk tidak melaksanakan tidak dapat hanya diasumsikan,

tetapi harus dinyatakan dalam kontrak. 48

Selanjutnya, Liu Chengwei menyatakan bahwa dalam abad XX sejumlah teori baru

telah dikembangkan, misalnya imprevision, frustration of common venture, impracticability

dan Wegfall de Geschaftsgrundlage. Teori-teori ini menampung untuk situasi yang mutlak

di mana perubahan yang tidak diharapkan akan menyebabkan pelaksanaannya menjadi 46 Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex Mercatoria, Lew ed. Contemporary Problems in Internacional Arbitration, London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub. 47 Chengwei, Liu, loc. cit. 48 Ibid

Page 48: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

34

sangat mahal jauh diatas yang diantisipasi. Di beberapa sistem hukum, seperti Perancis

situasi tersebut tidak memberikan efek. Di sistem yang lain, seperti di Ingerís situasi

tersebut mungkin sinonim dengan “impossibility”, sementara di Jerman atau Amerika

pengadilan dapat melakukan penyesuaian kontrak.49

Hukum kontrak di Perancis tidak memberikan keringanan untuk perubahan situasi

yang menyulitkan pelaksanaan kontrak tetapi masih dapat dijalankan. Doktrin imprevision

hanya diterapkan oleh Pengadilan Tata Usaha untuk kontrak-kontrak yang berkaitan dengan

kepentingan atau perusahaan-perusahaan publik (public entities). Dalam kontrak-kontrak

komersial, harga kontrak yang disepakati tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga atau

depresiasi mata uang. Doktrin imprevision ini dikembangkan dari asas “itikad baik” dalam

French Civil Code oleh Counsel d”Etat berkaitan dengan kontrak-kontrak yang

menyangkut pelayanan kepada publik. 50

Selanjutnya, hukum kontrak Swiss banyak mempunyai persamaan dengan Perancis.

Misalnya, Swiss Federal Tribunal telah menghentikan kontrak-kontrak jangka panjang

disebabkan oleh adanya perubahan situasi yang mendasar dan tidak dapat dilihat

sebelumnya berdasarkan asas itikad baik dalam Swiss Civil Code. Hanya terhadap

perubahan-perubahan yang tidak (tidak dapat) diantisipasi ini dan berdampak terhadap dasar

kontrak dan merubah secara mendasar kewajiban atau memperkaya salah satu pihak secara

tidak adil yang dapat diberikan keringanan; dengan demikian klausula rebus sic stantibus

diterapkan sangat terbatas.51

49 Ibid 50 Nassar, Nalga, Sanctity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, 1995, p. 193. TLDB Document ID 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed., Transnacional Rules in Internacional Comercial Arbitration, ICC Oubl. Nr. 480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html 51 Ibid

Page 49: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

35

H. Kontrak pengelolaan migas

Kegiatan usaha hulu migas adalah industri padat modal dan berisiko tinggi. Sampai

saat ini kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di negara-negara berkembang (developing

countries) didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Situasi ini tidak akan

banyak berubah meskipun kemampuan dan keahlian di negara-negara berkembang ini telah

meningkat, karena masih dibutuhkannya risk capital dan teknologi.

Usaha eksploitasi sumber daya migas di negara-negara berkembang ini

menghubungkan pemerintah, pemilik sumber daya migas dan perusahaan swasta

multinasional yang menyediakan dana, teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk

mengembangkan sumber daya ini dalam suatu sektor bisnis di mana taruhannya dan risiko

maupun potensi mendapatkan keuntungan cukup tinggi. Karena itu pertanyaan-pertanyaan

seperti bagaimana kemitraan itu dibina dan bagaimana keuntungan itu dibagikan merupakan

masalah-masalah mendasar yang dikedepankan oleh para pihak yang berkontrak.

Melihat perkembangan di Indonesia dan di negara-negara berkembang, dalam

perjalanannya hubungan ini sering mengalami perubahan karena beberapa faktor berikut:

1). Tujuan dari kedua pihak yang berkontrak tidak saja berbeda tetapi sering kali

bertentangan. Negara-negara yang memiliki sumber daya akan senantiasa berusaha

menggunakan penanaman modal asing untuk mengembangkan sumber daya yang

dipunyai untuk perkembangan ekonomi nasionalnya, sementara motivasi

perusahaan-perusahaan asing adalah mendapatkan keuntungan dan memaksimalkan

investasinya dengan risiko yang paling kecil.

2). Kontrak pengelolaan migas adalah berjangka panjang (lebih dari 30 tahun). Selama

kontrak berjalan kedudukan kedua pihak dapat berubah dan keseimbangan

kekuasaan dapat bergeser dari satu pihak ke pihak lain.

Page 50: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

36

3). Hubungan ini rentan terhadap perubahaan-perubahan di luar, seperti perubahaan-

perubahaan harga minyak, politik internasional dan peristiwa-peristiwa lain.

Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi para pihak yang berkontrak untuk

menjaga hubungan yang stabil dan saling menguntungkan.

Sebelum tahun 1950-an, kegiatan pengusahaan migas ini berbentuk perjanjian

konsesi yang memberikan kepada perusahaan-perusahaan asing hak yang sangat luas

dengan berbagai kemudahan, sementara pembayaran royalti kepada Negara sebagai pemilik

sumber daya relatif kecil, atau hubungan Pemerintah dan perusahaan tidak seimbang.

Meningkatnya rasa kebangsaan menimbulkan upaya dari Negara pemilik sumber daya

untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih seimbang baik mengenai kepentingan, hak,

kewajiban maupun manfaat para pihak. Salah satu contoh bentuk hubungan ini adalah

seperti yang diatur dalam Perjanjian Karya atau Kontrak Bagi Hasil, yaitu hubungan antara

pemilik sebagai penguasa dan investor sebagai kontraktor.

Dari substansinya, kontrak-kontrak pengelolaan migas moderen mengandung unsur-

unsur perdata dan publik. Unsur perdata merupakan akibat logis dari sifat kontrak dan

komersial dari transaksi, sementara unsur publik meliputi kendali pemerintah, partisipasi

negara, penyediaan kebutuhan minyak dalam negeri dan keselamatan kerja dan

perlindungan lingkungan.

Naskah kontrak cukup kompleks untuk mengatur hubungan yang berjangka panjang

ini yang dibuat berdasarkan keadaan pada saat ditandatangani dan asumsi-asumsi yang

dipergunakan baru dapat diuji kebenarannya beberapa tahun kemudian. Karena itu, apabila

kerangka kerja yang mengelilingi kegiatan pengusahaan dipandang sebagai bagian dari

proses yang dinamis, di mana perubahan pola dalam hubungan pemerintah dan perusahaan

akan menggeser posisi tawar menawar kedua pihak, maka tidak dapat dihindari akan

terjadinya ketidakpuasan atas persyaratan kontrak. Desakan dari pemerintah yang minta

Page 51: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

37

perbaikan persyaratan untuk meningkatkan penerimaan tidak saja berasal dari perubahan-

perubahan jangka panjang dalam industri migas internasional tetapi dapat juga dari

perkembangan setempat yang memperkuat posisi tawar menawar pemerintah tuan rumah.

Fenomena ini merupakan sifat yang melekat dalam kegiatan pengusahaan migas sesuai

dengan tahapannya.

Pada umumnya, dalam tahapan eksplorasi, posisi tawar menawar pemerintah relatif

agak lemah, dan akan menguat setelah ditemukan cadangan yang dapat dikembangkan

secara komersial. Di lain sisi, selama masih tidak tersedianya dana untuk eksplorasi dan

pengembangan, posisi pemerintah untuk negosiasi kembali relatif juga lemah. Posisi tawar

menawar pemerintah akan menguat apabila penanaman modal asing tidak diperlukan lagi.

Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia; misalnya permintaan Pemerintah untuk

mengubah rumusan bagi hasil mengikuti keberhasilan eksplorasi dan melonjaknya harga

minyak pada awal tahun 1970-an. Demikian pula, pada awal tahun 1980-an, Pemerintah

memberlakukan Keppres 14A pada kegiatan Kontrak Bagi Hasil yang menjadi tanggung

jawab Kontraktor. Di lain waktu, ketika Indonesia membutuhkan peningkatan kegiatan

eksplorasi untuk mengimbangi menurunnya kapasitas produksi, Pemerintah mengeluarkan

berbagai kebijakan baru untuk menarik investasi melalui pemberian insnetif tambahan.

Argumentasi antara kedua pihak pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan persepsi

mengenai risiko, yaitu siapa yang harus menanggungnya dan bagaimana risiko tersebut

harus diberi imbalan pada proses tawar menawar awal. Perubahan-perubahan persepsi

mengenai risiko ini selama kegiatan berjalan akan menimbulkan elemen ketidakpastian dan

ketegangan antara para pihak. Investor tentu mengharapkan agar investasi dalam proyek

yang berisiko tinggi ini diberi imbalan melebihi dari proyek yang tidak berisiko.

Investor asing cenderung untuk menekankan kesucian kontrak, yang dipandang

merupakan prinsip dasar yang melandasi partisipasi mereka dalam kegiatan ini. Investor

Page 52: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

38

asing ini memerlukan jaminan tidak saja berupa manfaat untuk pemegang sahamnya, tetapi

juga untuk meyakinkan sponsor dari proyek tersebut (bank, lembaga keuangan, dan lain-

lain) bahwa proyek tersebut akan menghasilkan penerimaan yang cukup untuk membayar

pinjaman. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila persyaratan dalam perjanjian investasi

dihormati oleh pemerintah tuan rumah.

Di sisi lain pemerintah akan menanggapinya bahwa investor asing ini tentu saja

selalu menghormati kontrak karena persyaratannya telah dirundingkan dalam keadaan yang

telah menguntungkan mereka. Kontrak ini dibuat dengan beberapa ketidakpastian

mengenai mutu dan harga dari komoditas; dengan demikian pemerintah umumnya

menghendaki kontrak tersebut cukup fleksibel dan dapat diamendemen dengan berubahnya

keadaan politik dan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Karena itu pemerintah

memandang kontrak sebagai dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai acuan dan

diamendemen dengan berkembangnya hubungan antara para pihak. Hal ini yang kemudian

sering menimbulkan perbenturan dalam kontrak-kontrak berjangka panjang.

Kemungkinan memang selalu terbuka bahwa Pemerintah dapat mempergunakan

kekuasaannya melalui haknya mengeluarkan peraturan perundang-undangan, termasuk

melakukan modifikasi atas persyaratan atau kewajiban kontrak dengan dalih untuk

kepentingan publik. Menurut Zhigue Gao, apabila hal ini dilakukan, maka dampak dari

tindakan sepihak ini hanya akan memperburuk citra Pemerintah di antara para investor.52

Para pakar dari negara tuan rumah umumnya berpendapat bahwa kontrak-kontrak

tersebut seharusnya diatur oleh hukum nasional negara tuan rumah berdasarkan prinsip-

prinsip hukum perdata internasional dan kontrak tersebut dapat diamendemen oleh

Pemerintah untuk kepentingan publik. Di lain pihak para pakar dari negara-negara Barat

52 Gao, Zhigue, International Offshore Petroleum Contracts, Towards the Compatibility of Energy Need and Sustainable Development, Dissertation Doctor of Science Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, UMI Dissertation Services, Ann Rabor, Michigan, July 1993, hlm 502.

Page 53: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

39

berpendapat bahwa kontrak-kontrak ini adalah perjanjian internasional dan karena itu

tunduk pada asas hukum pacta sunt servanda. 53

Perbedaan pendapat ini menurut Zhiguo Gao akan terus berlanjut sepanjang masih

adanya perbenturan kepentingan. Namun, terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut

terdapat satu kesamaan pandangan bahwa kesucian kontrak tidak pernah diperlakukan

sebagai asas yang mutlak baik dalam teori maupun praktek.54 Sebagaimana dikatakan oleh

R.Y. Jennings baik asas pengambilan hak maupun asas pacta sunt servanda tidak harus

dipandang secara mutlak maupun tidak bersyarat dalam penerapannya. 55

Selanjutnya, Zhigue Gao juga menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya hanya

beberapa (itupun kalau ada), kontrak-kontrak migas yang tidak mengalami perubahan atau

masih dalam bentuk aslinya. Perubahan-perubahan ini meliputi terutama persyaratan fiskal

yang dilakukan melalui undang-undang atau perundingan kembali untuk mencapai

keseimbangan antara kepentingan Pemerintah dan perusahaan.56

I. Kontrak Bagi Hasil

Kontrak Bagi Hasil telah dikenal lama dan diterapkan secara luas di Indonesia, yaitu

perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Kontrak bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum

Adat setempat. Menurut aturan Hukum Adat rumusan bagi hasil ditetapkan atas persetujuan

kedua belah pihak. Karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan

jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka rumusan bagi hasil ini umumnya tidak

menguntungkan bagi pihak penggarap.

Dalam rangka untuk melindungi golongan petani ekonomis lemah, maka pada tahun

1960 dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU 53 Gao, Zhigue, op. cit., hlm 503 54 Ibid 55 Jennings, R.Y., State Contracts in International Law, British YB International Law, 1961, hlm 156: “Neither the principle of acquired rights nor the principle of pacta sunt servanda is therefore to be regarded as being necessary absolute or unconditional in its application.” 56 Gao, Zhigue, loc. cit.

Page 54: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

40

Bagi Hasil). UU Bagi Hasil ini menetapkan aturan perjanjian bagi hasil, antara lain

mengenai rumusan bagi hasil, jangka waktu perjanjian, bentuk perjanjian dan siapa-siapa

yang diperbolehkan menjadi penggarap. Pada tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan.

Konsep Bagi Hasil ini kemudian dikembangkan secara nasional untuk kegiatan hulu

migas dari Hukum Perjanjian, dengan pemikiran asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338

KUH Perdata). Menurut Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip oleh T.N.

Machmud, skema bagi hasil juga sudah diterapkan dalam industri, dan pengembangan

sumber daya pertanian dan kehutanan pada tahun 1960an, namun minat untuk

menerapkannya sangat sedikit. Disamping situasi ekonomi dan politik di Indonesia pada

saat itu yang tidak kondusif untuk penanaman modal asing, persyaratan komersialnya juga

dipandang tidak realistik.57

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dasar dari Kontrak Bagi

Hasil di Indonesia adalah Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit

Berdasarkan Bagi Hasil, dan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Fasilitas

Proyek Yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil. Transaksi

demikian dalam faktanya adalah pinjaman modal, barang dan jasa (dalam bentuk pabrik

atau seluruh proyek) yang akan dibayar kembali dengan produksi. Proyek ini tidak berjalan

dengan baik, karena kurang perencanaan, kecuali satu proyek penambangan nikel di

Pomala, Sulawesi antara P.N. Tambang Umum dan SUNIDECO. 58

57 T.N. Machmud, op. cit., hlm 44, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Mining Law, University of Padjadjaran Law School, Bandung, 1974, hlm 7. 58 Ibid

Page 55: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

BAB III

KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DI

INDONESIA

A. Perkembangan pengusahaan minyak dan gas bumi

Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum pengusahaan

minyak dan gas bumi di Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan

politik dan ekonomi. Bab berikut membahas perkembangan pengusahaan minyak dan

gas bumi (migas) yang dapat dibagi dalam empat kurun waktu, yaitu masa sebelum

proklamasi kemerdekaan, masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1963, selama

masa berlakunya UU Migas 1960 dan masa setelah dikeluarkannya UU Migas 2001.

Pembahasan meliputi konsep-konsep dasar penyelenggaraan kegiatan usaha hulu

minyak dan gas bumi dan analisis peran politik dalam menetapkan kebijakan dan

karakter produk hukum yang menjadi landasan kegiatan pertambangan bahan galian

(mineral) di Indonesia.

1. Masa sebelum proklamasi kemerdekaan

Industri migas di Indonesia dimulai ketika Jan Reerink mulai melakukan

pemboran untuk mencari minyak di selatan Cirebon (Jawa Barat). Meskipun berhasil

menemukan minyak, Jan Reerink terpaksa menghentikan usahanya setelah lima tahun,

karena kekurangan modal dan hasil penemuannya dipandang tidak komersial. Upaya

pencarian minyak ini kemudian dilanjutkan oleh A.J. Zijlker, seorang manajer dalam

perkebunan tembakau di Sumatera Utara, yang mendapatkan konsesi dari Sultan

Langkat.

41

Page 56: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

42

Pada tahun 1885 Zijlker berhasil menemukan minyak di Telaga Said (Aceh)

dalam jumlah yang cukup untuk dipasarkan (komersial). Dengan penemuan ini Zijlker

kemudian membentuk Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van

Petroleumbronnen in Nederlansch Indie yang kemudian berganti nama menjadi Royal

Dutch Company.59 Tahun 1885 ini kemudian dipandang sebagai hari jadi industri migas

di Indonesia.

Penemuan minyak di Sumatera Utara ini kemudian diikuti dengan kegiatan-

kegiatan di bagian lain Indonesia, antara lain di Kalimantan Timur berdasarkan izin

konsesi yang diberikan oleh Sultan Kutei, dan Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Pada

awal abad dua puluh ini terdapat sekitar 18 perusahaan yang aktif mencari minyak,

antara lain Shell Transport and Trading Company. Pada tahun 1907 Shell dan Royal

Dutch bergabung menjadi perusahaan dengan nama Royal Dutch-Shell, yang tumbuh

dengan pesat dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan lain.

Royal Dutch-Shell kemudian membagi kegiatannya dalam tiga perusahaan yang

masing-masing bergerak dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran dan

transport. Melalui anak perusahaannya Bataafssche Petroleum Maatschappij (BPM),

Royal Dutch-Shell Group mendominasi kegiatan hulu migas di tanah air dengan 44

konsesi meliputi wilayah seluas 3.2 juta hektar.60

Dalam bidang peraturan perundang-undangan, Pemerintah Hindia Belanda pada

tahun 1899 mengeluarkan Indische Mijnwet yang mengatur kegiatan pertambangan

bahan galian termasuk minyak bumi. Dengan undang-undang ini semua bahan galian

menjadi dikuasai oleh Pemerintah dan kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan

dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal. Menurut Indische 59 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 42 - 43 60 Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press, Kualalumpur, 1982, hlm 2–3.

Page 57: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

43

Mijnwet, konsesi hanya diberikan kepada warga negara Belanda, penduduk Belanda dan

Hindia Belanda, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan di negeri Belanda atau

Hindia Belanda. Dengan demikian, hak para Sultan untuk mengeluarkan izin konsesi

ditiadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Selain di negeri Belanda, penemuan minyak di Indonesia juga menarik perhatian

perusahaan minyak raksasa dari Amerika Serikat. Misalnya, Jersey Standard melalui

perusahaan afiliasinya yang didirikan di negeri Belanda (Nederlandsche Koloniale

Petroleum Maatscahppij atau NKPM) memperoleh konsesi diberbagai daerah di

Indonesia, umumnya merupakan daerah-daerah yang dianggap tidak prospektif oleh

Royal Dutch-Shell. Kegiatan eksplorasi NKPM gagal menemukan minyak dalam

jumlah komersial dan upaya Jersey Standard untuk memperoleh konsesi tambahan di

Jambi dan Sumatera Selatan ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Penolakan ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Pemerintah Belanda

dan Amerika Serikat, dan sebagai balasan terhadap tindakan Pemerintah Hindia

Belanda, pada tahun 1920 US Congress mengeluarkan “Mineral Leasing Act”, yang

memberikan wewenang kepada Pemerintah Federal untuk menolak permintaan akan

konsesi diatas tanah-tanah yang dikuasai pemerintah (public lands) oleh perusahaan-

perusahaan asing, khususnya yang berasal dari negara-negara yang menolak

memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.

Undang-undang itu terutama ditujukan kepada Belanda yang menolak

permintaan Jersey Standard dan Inggeris yang juga menolak memberikan konsesi

kepada perusahaan Amerika di wilayah jajahannya di Mesopotamia61. Berdasarkan

“Mineral Leasing Act of 1920” ini Pemerintah Federal Amerika Serikat menolak

61 Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991, hlm 195.

Page 58: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

44

permintaan Royal Dutch-Shell Group memperoleh konsesi di tanah-tanah yang dikuasai

oleh Pemerintah Federal dan yang diperuntukkan bagi penduduk keturunan Indian

(Indian lands)62.

Ketika menolak permohonan Jersey Standard, Pemerintah Belanda sebenarnya

mengalami suatu dilema. Di satu pihak, Pemerintah Belanda merasa perlu untuk

memberi proteksi kepada kepentingan Royal Dutch-Shell di Hindia Belanda terhadap

pesaing utamanya, yaitu Jersey Standard, sementara di sisi lain pemberian konsesi akan

menimbulkan praktik monopoli yang mendapat tentangan di negeri Belanda mengingat

adanya saham Inggerís yang cukup besar di perusahaan tersebut. Sebagai tindak

penyelamatan pada bulan Mei 1913 Pemerintah Belanda membekukan untuk sementara

Indische Mijinwet.63

Setelah menunggu cukup lama Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyetujui

untuk memberikan konsesi kepada NKPM, tetapi di wilayah-wilayah yang mereka

sebenarnya tidak minta, sementara wilayah-wilayah yang diminta diberikan kepada

Royal Dutch Shell Group. Kegiatan eksplorasi NKPM di wilayah baru ini cukup

berhasil dan menjadikan NKPM produsen minyak kedua di samping Royal Dutch-Shell.

Pada saat Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memberikan konsesi kepada NKPM

(1925), perusahaan multinasional lain dari Amerika Serikat, yaitu Standard Oil of

California mulai mengirimkan tenaga ahlinya ke Hindia Belanda untuk melakukan

survai geologi di berbagai wilayah yang kemudian diikuti dengan pengajuan

permohonan untuk memperoleh konsesi di Kalimantan Timur. Seperti halnya dengan

NKPM, Standard of California harus menunggu lebih dari 10 tahun untuk memperoleh

konsesi, itupun tidak di Kalimantan Timur (wilayah yang diminta) melainkan di

62 Knowles, Ruth Sheldon, op.cit., hlm 46 63 Ibid, op.cit., hlm 45

Page 59: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

45

Sumatera Tengah, di wilayah yang tidak dikehendaki oleh Royal Dutch-Shell Group

karena dianggap tidak prospektif.

Menurut R.H. Hopper dalam mempertimbangkan permohonan Jersey Standard

dan Standard of California, Pemerintah Hindia Belanda mendasarkan keputusannya

pada “policy of prudence”. Dengan kebijakan yang penuh kehati-hatian ini, prioritas

untuk memperoleh konsesi diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah

memiliki kilang minyak, terutama untuk daerah-daerah di sekitar kilang minyak.

Kebijakan semacam ini diambil untuk memberikan kesempatan pada perusahaan yang

memiliki kilang mendapatkan suplai bahan baku untuk diolah. Di satu sisi kebijakan

yang bertujuan melindungi kelangsungan suplai bahan baku untuk kilang-kilang

pengolahan minyak yang sudah ada, cukup beralasan; namun di sisi lain kebijakan

tersebut dipandang diskriminatif yang bertujuan melindungi kepentingan Pemerintah

Kolonial Belanda dan perusahaan-perusahaan Belanda. 64

Untuk peraturan pelaksanaan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan

Mijnordonantie pada tahun 1 Mei 1907, yang kemudian diperbaharui dengan

Mijnordonantie 1930 yang dikeluarkan pada 1 Juli 1930. Selain itu Pemerintah Hindia

Belanda juga mengeluarkan Mijn Politie Reglement yang khusus mengatur Pengawasan

Keselamatan Kerja Pertambangan dan yang hingga kini masih berlaku disamping

peraturan-peraturan keselamatan kerja lain.65

Pasal-pasal yang penting dalam Indische Mijnwet antara lain:

1). Pasal 13 yang menetapkan jangka waktu konsesi untuk 75 tahun;

64 Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983, hlm 22, yang memuat tulisan Dr. R.H. Hopper seorang mantan Executive Caltex, yang berlatar belakang pendidikan ahli geologi tetapi juga seorang penulis sejarah yang banyak menulis tentang kegiatan eksplorasi dan sejarah budaya di berbagai daerah di Indonesia. 65 Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia, Indonesia Mining Association (IMA), Jakarta, 1993, hlm 7.

Page 60: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

46

2). Pasal 16 yang menetapkan bahwa pemegang konsesi mempunyai hak untuk

mengendalikan bahan galian dalam wilayah konsesinya yang berada diatas dan

dibawah permukaan tanah.

3). Bab VI yang mengatur penerimaan Pemerintah, yaitu berasal dari pajak

perseroan, iuran tetap (vast recht) yang dihitung berdasarkan luas wilayah

konsesi, dan pungutan hasil kotor pertambangan (cijns).

Dalam tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menambahkan Pasal 5A pada

Indische Mijnwet. Penambahan Pasal 5A ini merupakan perubahan yang cukup

mendasar, karena dengan ketentuan baru ini:

1). Pemerintah berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi selama hal

ini tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik

atau pemegang hak konsesi;

2). Pemerintah dapat melakukan sendiri eksplorasi dan eksploitasi atau mengadakan

perjanjian dengan perorangan atau perusahaan di mana perusahaan wajib

melaksanakan eksploitasi atau eksplorasi dan eksploitasi; dan

3). Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan

undang-undang (ketentuan ini kemudian hanya diberlakukan untuk kegiatan

eksploitasi berdasarkan amendemen tahun 1918).66

Dengan berlandaskan pada Pasal 5A tersebut, Pemerintah Hindia Belanda

kemudian melaksanakan sendiri usaha pertambangan migas. 67 Dalam pelaksanaannya

Pemerintah mengadakan kontrak dengan perusahaan migas dalam bentuk kontrak, yang

dapat berbentuk Kontrak Eksplorasi (Kontrak 5AE) atau Kontrak Eksplorasi dan

66 Lihat Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerhan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret 1996, hlm 10. 67 Departemen Pertambangan, 40 Tahun Peranan Perambangan dan Energi di Indonesia 1945 - 1985, Majalah Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1985, hlm 224

Page 61: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

47

Eksploitasi (Kontrak 5AEE). Kontrak 5A ini memuat persyaratan tertentu antara lain

jangka waktu berlakunya 40 tahun. Berbeda dengan konsesi, Kontrak 5A dimuat dalam

Staatsblad (Lembaran Negara) karena migas dianggap sebagai bahan galian yang

penting.68

Dengan ketentuan tersebut Pemerintah dapat melaksanakan pengawasan bidang

usaha ini secara langsung. Jika dengan konsesi murni pengawasan berupa perizinan,

peraturan perpajakan dan lalu lintas devisa, maka dengan Pasal 5A ini pengawasan

diperluas dengan kekuasaan mengendalikan produksi minyak dan pembagian

keuntungan. Di samping kewajiban membayar pajak perseroan sesuai dengan

Ordonansi Pajak Perseroan 1925, iuran tetap dan pungutan hasil pertambangan

(kewajiban akibat ketentuan perundang-undangan), perusahaan minyak wajib

menyerahkan bagian Pemerintah dari hasil usahanya, yang dihitung atas laba bersih

(jumlah produksi komersial dikurangi biaya eksplorasi dan produksi) menurut satu

rumusan yang ditetapkan dalam kontrak (kewajiban yang timbul dari kontrak).69

Menjelang pecahnya Perang Dunia II produksi minyak Indonesia setiap hari

telah mencapai 350 ribu barrel dengan lima kilang pengolahan minyak di Pangkalan

Susu (Sumatra Utara), Plaju dan Sei Gerong (Sumatera Selatan), Wonokromo (Jawa

Timur) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Sebagian besar produksi minyak di ekspor

dan dengan tingkat produksi tersebut Indonesia menduduki peringkat kelima di antara

negara produsen minyak di dunia. 68 Lihat Rokan III 5A Exploratie en Exploitatie Contract antara Pemerintah dan Nerderlandsche Pacific Petroleum Maatschapij, 12 Agustus 1949. Bagian Pemerintah diluar pajak, iuran tetap dan pungutan dihitung sebagai berikut: 25% pertama = 10%; 10% kedua = 15%; 10% ketiga = 20%; 10% keempat = 25% Diatas 55% = 30% Jumlah = 25% dari laba bersih. 69 Ibid

Page 62: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

48

Menjelang berakhirnya perang perjuangan kemerdekaan, Pemerintah Belanda

mengeluarkan ketentuan mengenai pemberian insentif untuk usaha rehabilitasi, berupa

kelonggaran dalam penggunaan devisa yang diatur dalam suatu pengaturan keuangan

yang dikenal dengan “Let Alone Agreement”. Pengaturan ini merupakan penyimpangan

dari peraturan umum yang berlaku dalam lalu lintas devisa dengan memberikan

kebebasan kepada perusahaan minyak untuk menahan dan mengeluarkan valuta asing

berasal dari hasil ekspor minyak bumi, mengeluarkan biaya dalam valuta asing untuk

keperluan rehabilitasi dan melakukan ekspor dan impor untuk keperluan operasinya.70

2. Masa awal kemerdekaan (1945 – 1963)

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia lahir sebagai negara merdeka dengan

membawa semangat baru untuk melakukan pembaruan terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, antara lain Indische

Mijnwet. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri perang kemerdekaan,

Indonesia sepakat untuk menjamin hak para investor asing, namun demikian Pemerintah

juga ingin mendapatkan porsi yang lebih besar dari hasil penggalian kekayaan alamnya

karena merasa tidak mendapatkan hasil pembagian keuntungan yang adil dari sistem

konsesi. Keinginan ini cukup beralasan dan didukung dengan perkembangan di dunia

setelah selesainya Perang Dunia II. Misalnya, pada tahun 1948 Venezuela mempelopori

undang-undang minyak baru yang memberikan pembagian keuntungan 50–50 antara

Pemerintah dan perusahaan minyak internasional71. Prinsip pembagian keuntungan

(profit sharing principle) ini kemudian menyebar ke negara-negara produsen minyak di

Timur Tengah, yang pada tahun 1959 di Cairo menyelenggarakan konferensi pertama

70 Departemen Pertambangan, loc.cit. 71 Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London, 1986, hlm 12

Page 63: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

49

Negara Produsen Arab, di mana dicapai kesepakatan agar negara-negara produsen

minyak bersatu.

Di dalam negeri, pada tahun bulan Agustus 1951 Dewan Perwakilan Rakyat

menerima mosi dari Tengku Mohamad Hasan, yang pada intinya minta agar Pemerintah

membekukan pemberian izin konsesi baru sampai dikeluarkannya undang-undang baru

tentang pertambangan menggantikan Indische Mijnwet. Dalam mosi tersebut, DPR juga

memberi tugas yang sulit kepada Komisi Pertambangan untuk memutuskan apakah

Pemerintah harus mengembalikan konsesi BPM di Sumatera Utara, di mana ditemukan

minyak untuk pertama kali di Indonesia. Pengembalian konsesi tersebut ke BPM

mendapat tatangan terutama dari Serikat Buruh yang berafiliasi dengan partai komunis

dan beberapa partai-partai politik baik di daerah maupun di pusat. Berbagai komisi

dibentuk dan menyelidiki masalah tersebut tanpa memberikan hasil.

Dengan situasi demikian, kegiatan eksplorasi di Sumatera praktis terhenti dan

fasilitas produksi dan kilang minyak yang dibangun sebelum Perang Dunia menjadi

terbengkalai dan menjadi puing-puing. Pembangunan kembali baru dapat dimulai pada

akhir 1957 setelah pimpinan Angkatan Darat mengangkat Ibnu Sutowo untuk

mengambil alih berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya dan Perang. Keputusan

ini merupakan cikal bakal berdirinya PERMINA yang setelah bergabung dengan PN

PERTAMIN dan PN PERMIGAN menjadi PERTAMINA. Dengan bantuan dari

Refican (Canada), rehabilitasi sarana produksi dapat diselesaikan yang ditandai dengan

pengiriman produksi minyak dari lapangan Katapa (Sumatera Utara) yang pertama

setelah berakhirnya Perang Dunia pada 24 Mei 1958. Pengiriman minyak 13 ribu barrel

Page 64: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

50

ke Jepang merupakan “test case” untuk melihat tanggapan Royal Dutch-Shell yang

mungkin masih merasa memiliki hak sebagai pemegang konsesi.72

Dengan dibekukannya pemberian konsesi baru dan adanya tuntutan untuk

melakukan nasionalisasi dari kelompok yang berafiliasi dengan partai komunis, kegiatan

mencari ladang minyak baru di daerah-daerah lain juga praktis terhenti dan kegiatan

industri migas yang beroperasi pada saat itu (Shell, Stanvac dan Caltex) terbatas pada

pengembangan ladang-ladang yang sudah ditemukan sebelumnya. Seperti yang dicatat

oleh Fabrikant:

“Selama tahun 1950 terjadi pengurangan di industri migas dan kegiatan eksplorasi praktis terhenti. Pengurangan in sebagian karena berkurangnya peluang ekspor, tetapi juga karena tuntutan untuk melakukan nasionalisasi seluruh lapangan migas, yang menyebabkan pemerintah menolak menandatangani kontrak konsesi baru dan membatasi pemegang konsesi pada daerah yang ada. Juga, keberadaan panitia negara yang dibentuk pada tahun 1951 untuk membuat undang-undang pertambangan Indonesia yang selaras dengan keadaan sekarang, kesemuanya itu telah menyebabkan perusahaan-perusahaan merasa bahwa mereka beroperasi dalam masa peralihan perundang-undangan (legal twilight zone). 73

Setelah menunggu hampir sembilan tahun, pada tanggal 26 Oktober 1960,

Pemerintah akhirnya mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang untuk menggantikan Indische Mijnwet. Dengan Peraturan Pemerintah tersebut

kegiatan pertambangan diatur dalam dua undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor

37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan (UUP) dan Undang-undang Nomor 44 Prp

Tahun1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960). Sasaran

72 Departemen Pertambangan, op.cit., hlm 236 73 Lihat T.N. Machmud, op. cit., hlm 47, yang mengutip Fabrikant, Robert, Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol 16, 1975: “During the 1950s an overall retrenchment took place in the petroleum industry and exploration activities virtually ceased. Partly, this slowdown was attributed to a shortage of export opportunities. But also significant were the increasing demands for nationalization of all petroleum fields, which prompted the government to refrain from signing new concession contracts and to confine concessionaires to existing acreage. Also the existence of a state commission which had been formed in 1951, inter alia, to draft ‘an Indonesia mining law in harmony with present conditions’ all of which caused the companies to believe that they were operating in a legal twilight zone”.

Page 65: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

51

kedua undang-undang ini adalah meletakkan dasar bagi terciptanya struktur hukum

pertambangan yang dapat menggalakkan kegiatan pertambangan sesuai dengan amanat

dalam Undang-undang Dasar.

Melihat dibutuhkan waktu hampir sembilan tahun sejak dikeluarkannya mosi

Tengku Mohamad Hasan untuk menyelesaikan undang-undang pengganti Indische

Mijnwet 1899, tampak bahwa pembahasan mengenai undang-undang ini menunjukkan

adanya perdebatan dan pertentangan yang berkepanjangan. Persoalan pokok bersumber

pada menetapkan peran modal asing dalam pengusahaan migas, karena Pemerintah tidak

memiliki dana dan ketrampilan untuk melaksanakannya. Dalam iklim politik perang

dingin, dimensi politik pertentangan dalam menyikapi upaya mengganti Indische

Mijnwet 1899 meliputi dua kelompok, yaitu:

1). Kelompok yang didominasi oleh aliran yang pro Uni Sovyet yang menuntut

dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing; dan

2). Kelompok yang melihat diperlukannya modal asing untuk membantu Indonesia

meningkatkan kegiatan pengusahaan kekayaan alamnya.

3. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1960

Pasal 3 UU Migas 1960 menetapkan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi

hanya dapat dilaksanakan oleh Negara yang pengoperasiannya dilakukan oleh

Perusahaan Negara. Termasuk dalam kegiatan pertambangan adalah eksplorasi,

eksploitasi, pengolahan, transportasi dan penjualan. Hal ini berarti bahwa Pemerintah

tetap memegang “Hak Penguasaan” dan Perusahaan Negara mendapatkan “Kuasa

Pertambangan”.

Page 66: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

52

Struktur penguasaan dan pengusahaan migas menurut UU Migas 1960 dan UU

Pertamina dapat digambarkan dalam bagan berikut:74

Menyadari bahwa kegiatan industri migas memerlukan dana yang besar dan

ketrampilan, dalam Pasal 6 UU Migas 1960 ditetapkan bahwa Menteri Pertambangan

dapat menunjuk pihak ketiga sebagai kontraktor dari Perusahaan Negara bilamana

Perusahaan Negara tidak dapat melakukannya sendiri karena tidak tesedianya dana atau

lain-lain. Selanjutnya, Perusahaan Negara wajib mengikuti pedoman, petunjuk dan

74 Tim Bimasena, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Bimasena, Jakarta, Juni 2002, hlm 18.

NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pemegang Hak Penguasaan

Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia dan

Penyelenggara Pengusahaan Pertambangan

Departemen yang bidang tugasnya meliputi

Pertambangan Migas selaku tata usaha,

pengawas pekerjaan dan pelaksanaan Pengusahaan

Pertambangan Migas termasuk pengawasan hasil pertambangannya

PERTAMINA Pemegang Kuasa Pertambangan

(menerima pendelegasian penyelenggaraan pengusahaan pertambangan Migas)

Pasal 33 UUD 1945

Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA

Wilayah Kuasa Pertambangan yang diusahakan sendiri oleh PERTAMINA

Wilayah Kuasa Pertambangan yang diusahakan oleh Badan Usaha atau

Bentuk Usaha Tetap sebagai Kontraktor PERTAMINA

PERTAMINA Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

Perjanjian Karya & KBH

Page 67: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

53

kondisi-kondisi yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dalam melakukan

Perjanjian Karya dengan kontraktor.75

Dalam Peraturan Peralihan (Pasal 22 UU Migas 1960) ditetapkan bahwa semua

hak pertambangan yang diberikan kepada perusahaan bukan milik negara yang

diperoleh berdasarkan undang-undang sebelum berlakunya UU Migas 1960 akan tetap

berlaku dan dapat dilanjutkan untuk waktu yang tidak lama, yang akan ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah. Pada saat UU Migas 1960 dikeluarkan, terdapat tiga

perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, yaitu Royal Dutch-Shell, Stanvac dan

Caltex dan menurut Pasal 22 UU Migas 1960 ketiga perusahaan multinasional tersebut

diberikan prioritas (preferential treatment) untuk ditunjuk sebagai kontraktor.

Sebagaimana telah diantisipasi, tanggapan tiga perusahaan asing tersebut adalah

negatif, karena sebagai perusahaan multinasional apapun yang disepakati di Indonesia

akan mempengaruhi aset mereka di negara lain yang melibatkan cadangan lebih besar.

Perundingan untuk mencapai kesepakatan berjalan cukup lama; persoalan pokok dalam

mencapai kesepakatan adalah rumusan bagi hasil dan keinginan perusahaan-perusahaan

untuk tetap memegang kendali operasi dan hak eksklusif untuk menetapkan harga

minyak.

Setelah berunding lebih dari satu tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan

Keputusan Presiden, yang menetapkan pembagian keuntungan 60% untuk Pemerintah

dan harga jual minyak dan produk (BBM) ditetapkan bersama-sama dengan Pemerintah.

Meskipun iklim politik Indonesia pada tahun 1962 tidak kondusif untuk penanaman

modal asing, potensi menemukan minyak di Indonesia masih cukup mempunyai daya

tarik bagi perusahaan-perusahaan internasional yang lain. Pada bulan Juni 1962, setelah 75 Dalam naskah perjanjian, Perjanjian Karya ini diterjemahkan sebagai Contract of Work, yang kemudian dalam banyak tulisan diterjemahkan sebagai Kontrak Karya, suatu istilah yang kemudian digunakan dalam UUPMA.

Page 68: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

54

berunding beberapa lama Pan American Oil Company (anak perusahaan Standard of Oil

Indiana) menanda tangani Perjanjian Karya dengan PN PERTAMIN untuk wilayah

kerja di Riau berbatasan dengan wilayah kerja Caltex. Persyaratan dalam Perjanjian

Karya ini mengacu pada Keputusan Presiden, yaitu rumusan bagi hasil keuntungan 60-

40 yang dihitung dengan menggunakan harga minyak yang sebenarnya direalisasikan

(realized price).

Dengan tidak adanya kemajuan dalam perundingan, pada bulan April 1963

Presiden Sukarno mengeluarkan pemberitahuan kepada tiga perusahaan minyak asing

yang beroperasi di Indonesia bahwa mereka diberi waktu tujuh minggu untuk membuat

keputusan, menerima atau menolak tawaran Pemerintah, dan apabila dalam jangka

tersebut tidak tercapai kesepakatan maka Pemerintah akan mengambil tindakan sepihak.

Ultimatum ini cukup mengejutkan pemerintah Amerika Serikat, Inggerís dan Belanda,

yang mengkhawatirkan terseretnya Indonesia dalam pengaruh Uni Sovyet. Menghadapi

ultimatum ini Presiden Kennedy memutuskan untuk mengirimkan utusan khususnya,

William Wyatt yang akan bertindak sebagai mediator. Pertemuan tiga hari yang

dilakukan di Tokyo akhirnya menghasilkan kesepakatan, di mana ketiga perusahaan

minyak tersebut sepakat untuk menyerahkan kembali konsesinya dan menjadi

kontraktor dengan persyaratan yang sama dengan Perjanjian Karya antara Pan American

Oil Company dan PERTAMIN.76

Perjanjian Karya antara PN PERMIGAN dan Royal Dutch-Shell, antara PN

PERTAMIN dan Caltex, dan antara PN PERMINA dan Stanvac meliputi lima wilayah

kerja diundang-undangkan sebagai Undang-undang Nomor. 14 Tahun 1963 setelah

76 Lihat Heads of Agreement tanggal 1 Juni 1963 antara Pemerintah Republik Indonesia, Caltex Pacific Oil Company, PT Stanvac Indonesia dan PT Shell Indonesia. Pokok-pokok kesepakatan yang terrcapai antara lain: pembagian laba operasi 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk Perusahaan, jaminan pendapatan minimum untuk Pemerintah, Kewajiban Penyediaan Minyak untuk pasaran dalam negeri, nilai tukar mata uang, pokok-pokok menyangkut pengalihan aset kilang dan pemasaran dalam negeri..

Page 69: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

55

mendapat persetujuan DPR. Perjanjian Karya tersebut menetapkan jangka waktu

kontrak selama 20 tahun untuk wilayah-wilayah yang sudah berproduksi dan 30 tahun

untuk wilayah-wilayah baru dekat dengan wilayah-wilayah yang sudah berproduksi.

Disepakati pula bahwa pemasaran BBM dalam negeri akan dialihkan dalam waktu lima

tahun dan kilang atau fasilitas pengolahan akan dialihkan dalam waktu sepuluh tahun

berdasarkan harga kompensasi yang disepakati bersama. Karena Caltex tidak terlibat

dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran BBM dalam negeri, ketentuan ini hanya

berlaku untuk Royal Dutch-Shell dan Stanvac.

Dengan tercapainya kesepakatan, dalam keterangannya William Wyatt

menjelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak ikut dalam perundingan atau

bertindak sebagai arbitrator, tetapi menurutnya kehadiran wakil Pemerintah Amerika

Serikat telah memberi kesan kepada Pemerintah Indonesia bahwa Pemerintah Amerika

Serikat sangat menaruh perhatian pada tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, menurut

Wyatt pembagian laba 60/40 sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pembagian

keuntungan 50/50 yang berlaku di Timur Tengah. Hal ini disebabkan bahwa dalam

menghitung keuntungan Indonesia menggunakan harga penjualan yang sebenarnya dan

tanpa ada pungutan lain, sementara di Timur Tengah digunakan “posted price”, yaitu

harga yang disepakati kedua pihak.77

Ketiga Perusahaan Negara di atas didirikan sebelum tahun 1963 dengan berbagai

latar belakang. Misalnya, PERMINA didirikan oleh Angkatan Darat untuk

mengoperasikan lapangan-lapangan minyak Shell sebelum Perang Dunia di Sumatera

Utara, sementara PERTAMIN didirikan untuk mengambil alih lapangan-lapangan

minyak di Jambi dan Bunyu yang dahulu dioperasikan oleh Nederland Indische

77 Lihat Petroleum Intellegence Weekly, Mc.Graw Hill, New York, 10 Juni 1963, hlm 4-5.

Page 70: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

56

Aardolie Maatschappij (NIAM), perusahaan patungan antara Pemerintah dan Shell, dan

habis masa konsesinya.78 PERMIGAN yang didominasi oleh kelompok berhaluan kiri

didirikan untuk mengoperasikan lapangan-lapangan Shell di Jawa Tengah (Cepu) yang

setelah berakhirnya Perang Dunia II tidak dikembalikan.79

Dengan latar belakang dan kepentingan kelompok yang berbeda, ketiga

Perusahaan Negara tampak tidak bersatu dan tidak memiliki visi yang sama dalam

menjalankan misinya. Setelah peristiwa G-30S, PERMIGAN diambil alih oleh

PERTAMINA yang kemudian disusul dengan digabungkannya PERTAMIN dan

PERMINA pada tahun 1968 menjadi PERTAMINA. Kedudukan, misi dan organisasi

PERTAMINA kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971

Tentang PERTAMINA (UU Pertamina).

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Karya yang berdasarkan UU Migas 1960,

Indonesia mempunyai landasan baru dalam mengembangkan sumber minyak dan gas

buminya. Namun perkembangan politik dalam negeri masih dipenuhi dengan

pertentangan antara kelompok yang bersimpati kepada Blok Barat dan kelompok yang

bersimpati kepada Blok Timur. Tuntutan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-

perusahaan asing terus dilontarkan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Partai

Komunis dan baru berhenti setelah terjadinya peristiwa G-30S. Ketidakstabilan politik

ini akhirnya memicu Shell untuk menjual semua asetnya di Indonesia kepada

PERMINA pada akhir tahun 1965 yang terdiri dari dari tiga kilang minyak dan

lapangan-lapangan minyak di Sumatera Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan

Selatan, dan Irian Jaya.

78 Departemen Pertambangan, op. cit., hlm 232. 79 Ibid, hlm 260.

Page 71: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

57

Perdebatan mengenai Perjanjian Karya juga terus berlanjut antara dua kelompok,

yaitu yang setuju dengan Perjanjian Karya dan kelompok yang menganggap Perjanjian

Karya tidak lebih baik dari sistem konsesi. Kelompok yang tidak setuju dengan

Perjanjian Karya dipelopori oleh Ibnu Sutowo yang memimpin PERMINA dan

menjabat Menteri Negara Urusan Perminyakan dalam Kabinet Sukarno. Dalam

wawancara dengan Ruth Sheldon Knowles, Ibnu Sutowo menamakan Perjanjian Karya

sebagai “dressed-up concession agreements”.

Dalam pernyataannya Ibnu Sutowo menjelaskan sebagai berikut:

“Perbedaan yang penting antara sistem konsesi dan bukan konsesi adalah masalah kepemilikan minyak. Prinsip pokok dalam sistem konsesi adalah minyak dimiliki oleh pemerintah dalam bentuk geologi di dalam bumi, tetapi segera seseorang memproduksinya maka dia menjadi pemilik minyak tersebut. Dengan lain kata, minyak yang berada di kepala sumur dimiliki oleh perusahaan asing dan perusahaan membayar pajak 60 persen dari keuntungan penjualan minyak. Dalam perjanjian karya, setiap kita membutuhkan minyak kita dapat memintanya tetapi maksimum hanya 20 persen dari produksi. Dua aspek ini menunjukkan bahwa perjanjian karya tidak lebih baik dari sistem konsesi. Tetapi jika kita berpegang pada prinsip bahwa minyak dimiliki oleh rakyat Indonesia, maka yang pertama kendali manajemen operasi perminyakan harus berada di tangan Indonesia.” 80

Selanjutnya, menurut Ibnu Sutowo cara untuk menghilangkan perbenturan

kepentingan (conflict of interest) antara perusahaan minyak asing dan pemerintah tuan

rumah adalah menggunakan sistem bagi hasil produksi (production sharing system) dan

perusahaan minyak nasional memegang kendali manajemen. Perjanjian bagi hasil akan

80 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 74 – 75 yang mengutip pernyataan Ibnu Sutowo: “The most important thing in the difference between a concession and a non-concession is the matter of ownership of the oil. The fundamental principle underlying a concession, and highly favored by foreign oil companies, is that oil is owned by the government in its natural geological form, but as soon as man has done something to it, he is the owner of the oil. In the other words, oil at the well-head becomes foreign property and the company pays a tax in the form of 60 percent of the profits from the sale of the oil. Under the work contracts, whenever we want oil we have to request it from the foreign oil company, and we can ask for and obtain a maximum of only 20 percent of gross production. These two aspects indicate that the work contract is no better than the old concession, and this should be opposed. Furthermore, if we are to adhere to the principle that the oil belongs to the Indonesian people, then, first of all, the management of the oil fields must be placed into Indonesian hands”.

Page 72: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

58

menghilangkan sengketa mengenai harga minyak yang dipergunakan untuk menghitung

keuntungan, yaitu artifisial atau dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan minyak untuk

kerugian pemerintah.

Dari pandangan lain, Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana yang dikutip oleh

T.N. Machmud menyatakan bahwa dari segi praktek memang Perjanjian Karya

memberikan hak dan kewajiban kepada Kontraktor sama dengan pemegang konsesi.

Misalnya, penerapan peraturan keselamatan kerja Mijn Politie Reglement tidak berbeda

dan hanya perlu mengganti kata-kata pemegang konsesi menjadi kontraktor. Namun

demikian Mochtar Kusumaatmadja tidak dapat menyetujui bahwa Kontrak Karya dan

konsesi itu sama, berdasarkan dua alasan. Alasan yang pertama ialah jangka waktu

dalam Kontrak Karya lebih terbatas, dan alasan kedua yang lebih penting dipandang dari

segi hukum ialah hak kontraktor dalam Kontrak Karya sangat berbeda dengan hak

dalam konsesi. Berdasarkan Indische Mijnwet hak konsesi adalah “right in rem” yang

dapat dijadikan jaminan, sementara hak kontraktor dalam Kontrak Karya adalah rights

in personam yang tidak dapat dijadikan jaminan. Dalam Kontrak Bagi Hasil hak

Kontraktor adalah sama dengan Kontrak Karya, yaitu “rights in personam”.81

Selanjutnya, mengkaji Article 6 dari Perjanjian Karya antara PN PERTAMIN

dan PT Caltex Pacific Indonesia dapat disimpulkan bahwa pengalihan kepemilikan

minyak (Transfer of Oil Title) berada di tempat penjualan (point of sale) dan bukan di

kepala sumur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sutowo. Untuk minyak yang dijual ke

pihak ketiga atau pihak yang tidak berafiliasi dengan Kontraktor, maka point of sales ini

adalah pelabuhan penerima (di luar negeri) dan untuk yang dijual ke perusahaan yang

berafiliasi dengan Kontraktor atau Perusahaan Negara point of sales ini adalah

81 T.N. Machmud, op.cit., hlm 50, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, op. cit. hlm 57

Page 73: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

59

pelabuhan ekspor. Dengan demikian, dalam Perjanjian Karya maka minyak yang dijual

ke pihak ketiga selama dalam transit ke pelabuhan penerima di luar negeri masih

menjadi milik Perusahaan Negara.82

Lebih lanjut, Article 8 Perjanjian Karya menetapkan adanya “Value Committee”,

terdiri dari wakil-wakil Perusahaan Negara (PN) dan Kontraktor untuk mengkaji

kebenaran harga minyak yang dipergunakan untuk perhitungan laba apabila PN

meragukan kebenaran harga tersebut. Apabila wakil para pihak dalam Value Committee

gagal mencapai kesepakatan, maka akan ditunjuk orang ketiga yang mempunyai

reputasi internasional dan mengenal industri migas internasional. Baik Perjanjian Karya

maupun Kontrak Bagi Hasil menggunakan harga minyak yang direalisasikan oleh

Kontraktor dalam menghitung bagian masing-masing, kecuali Perusahaan Negara dapat

memperoleh harga yang lebih tinggi.

Kemudian, kewajiban Kontraktor temasuk komitmen, penyiapan Rencana Kerja

dan Anggaran yang harus disetujui Pemerintah dan Pertamina, dan sistem pelaporan

lebih dirinci apabila dibandingkan dengan Kontrak 5A. Semua fakta tersebut

mendukung pandangan Mochtar Kusumaatmadja bahwa dari aspek hukum Perjanjian

Karya tidak sama dengan sistem konsesi. Karena itu substansi perdebatan pro dan

kontra mengenai Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil tampak lebih bersifat politis.

Salah satu pihak yang menyetujui Perjanjian Karya ialah Slamet Bratanata yang

menjadi Menteri Pertambangan dalam Kabinet Suharto yang pertama. Menurut Slamet

Bratanata rumusan pembagian keuntungan (bukan produksi) sebagaimana tertera dalam

Perjanjian Karya sudah cukup bagi Indonesia dan cara yang tercepat untuk

82 Article 6 COW: “…… Title to such crude oil and products shall pass at and the value thereof shall be calculated from the point of sale. Subject to the other provision of this Article 6 PN shall have the right to receive at Contractors’ normal Sumatran export port up to twenty percent (20%) of each grade and quality of crude oil produced by Contractors from the Area less the quantity of crude oil physically lost or rendered useless or required and used for the operations ………….”

Page 74: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

60

mengembangkan minyak dan gas bumi adalah dengan membagi wilayah-wilayah kerja

dalam blok-blok yang kecil dan menawarkannya melalui tender terbuka dengan

pembayaran bonus pada saat penandatanganan perjanjian83.

Sebagai Direktur Utama PERMINA (juga merangkap sebagai Direktur Jendral

Migas), pada bulan Agustus 1966 Ibnu Sutowo menandatangani Kontrak Bagi Hasil

dengan IIAPCO, sebuah perusahaan minyak dari Amerika Serikat untuk wilayah lepas

pantai laut Jawa, yang kemudian diikuti dengan Refican (Canada) dan dua perusahaan

dari Jepang, yaitu Japan Petroleum Exploration Company dan Kyushu untuk wilayah

kerja di lepas pantai Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.84

Pada saat bersamaan, Menteri Pertambangan mengusulkan kepada Presiden agar

meneruskan Perjanjian Karya dan mengalihkan bentuk kontrak-kontrak yang sudah

ditandatangani oleh PERMINA menjadi Perjanjian Karya. Perselisihan antara kedua

pejabat tinggi tersebut mencapai puncaknya dalam awal tahun 1967 ketika Presiden

Suharto memberitahukan kepada Menteri Pertambangan bahwa beliau telah

memutuskan untuk menerima Kontrak Bagi Hasil dan menempatkan Direktorat Jendral

Minyak dan Gas langsung dibawah kabinet. Sebagai tindak lanjut, Presiden juga

mengangkat Menteri Pertambangan baru Sumantri Brodjonegoro menggantikan Slamet

Bratanata dan menempatkan kembali Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi dibawah

Menteri Pertambangan.

Salah satu masalah yang menjadi keberatan bagi perusahaan minyak asing untuk

menandatangani Kontrak Bagi Hasil pada awalnya adalah adanya ketentuan bahwa

83 Ibid 84 Catatan Penulis: Sejarah KBH sebenarnya dimulai pada tahun 1961, yaitu pada saat penandatanganan perjanjian kerja sama antara PERMINA dan Asamera untuk suatu wilayah pertambangan di Sumatra Utara. Namun baru pada bulan Agustus 1966, bentuk KBH mulai digalakkan untuk diterapkan di Indonesia menggantikan Perjanjian Karya dengan ditandatanganinya kontrak lepas pantai pertama antara IIAPCO dan PERMINA.

Page 75: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

61

manajemen berada di tangan PERTAMINA. Menanggapi hal ini, Ibnu Sutowo

menjelaskan kepada Donald Todd (Direktur IIAPCO yang menandatangani Kontrak

Bagi Hasil yang pertama) bahwa PERTAMINA tidak bermaksud melakukan interupsi

terhadap kegiatan operasi dalam melaksanakan haknya sebagai manajemen dalam

Kontrak Bagi Hasil, namun PERTAMINA memandang perlu tersedianya hak tersebut

untuk membuat keputusan bilamana dipandang perlu.85

Dalam upaya agar konsep Kontrak Bagi Hasil dapat diterima, Ibnu Sutowo

menerapkan strategi dasar untuk mulai menawarkan konsep tersebut kepada perusahaan-

perusahaan kecil, yang umumnya baru, tidak memiliki aset di negara asalnya dan khusus

didirikan untuk menangani Kontrak Bagi Hasil. Untuk mendukung strategi ini, dalam

melaksanakan pengawasan PERMINA tidak mencampuri terlalu ke dalam operasi

kontraktor sebagaimana yang dijanjikan oleh Ibnu Sutowo. Hal ini pada gilirannya

memberikan daya tarik kepada perusahaan-perusahaan minyak multinasional untuk

akhirnya bersedia menerima klausula “manajemen ditangan Perusahaan Negara” dalam

Kontrak Bagi Hasil. Sampai dengan tahun 1968 lebih dari 15 Kontrak Bagi Hasil telah

ditandatangani, lima diantaranya adalah perusahaan-perusahaan multinasional.

Dengan meningkatnya kebutuhan akan “risk capital”, lingkup kerja sama

minyak dan gas bumi telah berkembang meliputi lapangan-lapangan yang dioperasikan

PERTAMINA dan wilayah pertambangan yang awalnya dicadangkan untuk

PERTAMINA. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai ragam kontrak, seperti

Technical Assistance Contract (TAC), Enhanced Oil Recovery Joint Operating Body

Contract (EOR-JOB) dan Joint Operating Agreement (JOA-PSC). Meskipun bentuknya

85 Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 76: “In explaining his concept of Indonesian management control, Genereal Ibnu said: ‘This doesn’t mean that we insist on making every decision, but we do insist on being able to make any decision we find necessary.”

Page 76: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

62

berbeda, berbagai turunan kontrak tersebut semuanya mengacu pada ketentuan dan

persyaratan dalam Kontrak Bagi Hasil tentang pembagian hasil operasi.

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

Menghadapi era globalisasi dan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif

bagi penanaman modal di bidang migas, pada tahun 1999 Pemerintahan Habibie

mengajukan Rencana Undang-undang Tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas

2001) untuk menggantikan UU Migas 1960 dan UU Pertamina. RUU Migas 2001 ini

sebenarnya sudah mulai disiapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam

Kabinet Pembangunan VI tetapi baru dapat diselesaikan pada awal tahun 1998 oleh satu

tim yang dibentuk oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam Pemerintahan Habibie

(Kuntoro Mangkusubroto). Dalam persiapan, tim juga minta masukan dari kalangan

masyarakat yang tergabung dalam berbagai asosiasi bisnis dan organisasi profesi seperti

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Indonesian Petroleum Association,

Indonesian Gas Association, dan lain-lain.

Dalam jawaban atas pemandangan umum fraksi-fraksi DPR, pada tanggal 24

Maret 1999 Menteri Pertambangan dan Energi menjelaskan pola pikir yang mendasari

penyusunan RUU Migas 2001, yaitu semua yang merugikan rakyat baik secara langsung

maupun tidak langsung perlu diakhiri dengan menata kembali sektor yang mempunyai

peran yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan rakyat. Untuk mencapai sasaran

tersebut perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara peran Pemerintah dan peran

perusahaan86.

86 Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah Atas Pengantar Musyawarah Fraksi-fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.

Page 77: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

63

Dalam RUU Migas 2001 yang disampaikan kepada DPR, perubahan mendasar

yang diusulkan antara lain:

1). Mencabut hak pertambangan yang diberikan kepada PERTAMINA dan

dibentuknya Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi

(Badan Pelaksana) untuk melaksanakan penyelenggaraan pengusahaan

menggantikan PERTAMINA. Dengan demikian, semua Perjanjian Kerja Sama

Migas akan dilakukan oleh Badan Pelaksana sebagai wakil Pemerintah.

2). Menghapuskan hak-hak eksklusif atau monopoli PERTAMINA untuk mengolah

dan memasarkan produk minyak dan gas di dalam negeri dan membuka

partisipasi swasta untuk kegiatan hilir tersebut dan dibentuknya Badan Pengatur

Kegiatan Hilir Migas sebagai regulator dalam kegiatan hilir.

3). Mengurangi subsidi BBM dengan menyerahkan harga BBM dalam negeri

kepada mekanisme pasar.

4). Mengalihkan status PERTAMINA yang didirikan dengan UU Pertamina

menjadi Persero dan memberlakukan PERTAMINA sama dengan perusahaan-

perusahaan lain. Pengalihan ini dilakukan dengan tujuan agar PERTAMINA

tidak dibebani dengan tugas pengaturan dan pengawasan dan dapat mefokuskan

usahanya dalam bisnis untuk menjadikannya perusahaan minyak terkemuka di

dunia.

5). Memisahkan kegiatan transportasi gas dari kegiatan eksplorasi dan produksi

untuk meningkatkan pemanfaatan gas dalam negeri.

6). Mengizinkan bentuk perjanjian lain disamping Kontrak Bagi Hasil untuk

kegiatan hulu.

Page 78: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

64

7). Membagi penerimaan negara dari kegiatan migas antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

8). Meningkatkan ketrampilan perusahaan nasional dan penggunaan produk dan jasa

dalam negeri secara transparan melalui pemberian kesempatan yang sama bagi

seluruh industri.

Sebagaimana telah diantisipasi, perdebatan mengenai RUU ini cukup ramai baik

di dalam sidang DPR maupun di luar forum DPR. Pada dasarnya dapat dibedakan tiga

kelompok dalam menyikapi RUU tersebut, yaitu mereka yang tidak melihat urgensinya

mengganti UU Migas 1960, mereka yang memandang perlu diadakan pembaruan dan

penataan kembali secara komprehensif untuk memperbaiki iklim usaha yang kondusif

dalam situasi dunia yang sudah berubah, dan mereka yang setuju untuk mengganti UU

Migas 1960 dan pembaruan tetapi tidak setuju dengan penataan yang komprehensif,

termasuk penghapusan monopoli dan dialihkannya tugas pengawasan kepada bukan

BUMN. Mereka yang tidak menyetujui RUU berpendapat bahwa untuk menciptakan

iklim usaha yang kondusif cukup dilakukan dengan menghilangkan KKN dan

memperbaiki kinerja PERTAMINA.

Termasuk dalam kelompok yang tidak menyetujui RUU Migas 2001 ini ialah

PERTAMINA sendiri yang merasa tidak pernah diikut sertakan dalam membuat RUU

Migas 2001 tersebut. Sampai dengan berakhirnya Pemerintahan Habibie RUU Migas

2001 ini gagal mendapatkan persetujuan dari DPR. Dari Daftar Inventarisasi Masalah

(DIM) yang disiapkan oleh DPR diketahui bahwa permasalahan pokok adalah

berhubungan dengan penghapusan monopoli dan liberalisasi pemasaran BBM dalam

Page 79: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

65

negeri, dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama kepada bukan BUMN, dan

diizinkannya bentuk perjanjian diluar Perjanjian Bagi Hasil87.

Setelah dilakukan perbaikan redaksional, RUU Migas 2001 ini kemudian

diajukan kembali kepada DPR baru, sementara dengan Direksi baru sikap

PERTAMINA dalam menanggapi RUU Migas 2001 juga berubah, yaitu menyerahkan

sepenuhnya kepada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melalui perdebatan

yang cukup lama akhirnya dalam Rapat Paripurna pada tanggal 23 Oktober 2001 DPR

menyetujui RUU Migas 2001 yang kemudian di undang-undangkan sebagai Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Dibandingkan dengan RUU Migas 2001 yang diajukan dalam Pemerintahan

Habibie UU Migas yang disahkan ini tidak mengalami perubahan yang mendasar.

Seperti pada masa persidangan yang terdahulu, pokok-pokok masalah yang

diperdebatkan adalah penghapusan monopoli dan liberalisasi pemasaran BBM dalam

negeri dan kewenangan atau dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama

kepada bukan BUMN.

Dengan telah diundang-undangkannya UU Migas 2001, maka konsep

penguasaan dan pengusahaan migas adalah sebagai berikut:

1). Migas yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia

merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara (penguasaan).

2) Negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan

pengusahaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi atau Pemerintah adalah

pemegang Kuasa Pertambangan.

87 Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.

Page 80: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

66

3) Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan

Pelaksana untuk melaksanakan penyelenggaraan pengusahaan.

4) Pelaksanaan penyelenggaraan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan

Pelaksana diwujudkan dengan melakukan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan

Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap. KKS dapat berupa Kontrak Bagi

Hasil atau bentuk-bentuk lainnya. UU Migas 2001 tidak menjelaskan lebih

lanjut mengenai bentuk-bentuk lain, dan hanya menetapkan bahwa:

a). Pengendalian sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai titik

penyerahan;

b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; dan

c). Modal serta risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk

Usaha Tetap.

Struktur Penguasaan dan Pengusahaan Migas menurut UU Migas 2001 dapat

digambarkan dengan bagan berikut:88

88 Tim Bimasena, op. cit., hlm 20

NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pemegang Hak Penguasaan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia

PEMERINTAH Pemegang Kuasa Pertambangan

(Penyelenggara atas Hak Penguasaan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia dalam bentuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas – Pasal 33 UUD 1945

BADAN PELAKSANA Kuasa PEMERINTAH untuk

menandatangani dan Mengendalikan Manajemen Operasi Kegiatan Usaha

Hulu (Merupakan badan bentukan

Pemerintah)

Wilayah Kerja (WK)Penetapan dari

Penawaran WK oleh Menteri

Lelang umum dan penetapan WK oleh Menteri

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

Kontrak Kerja Sama

Page 81: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

67

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan Pelaksana dalam menanda

tangani KKS bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa dari pemegang Kuasa

Pertambangan, yaitu Pemerintah. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam UU Migas

1960, di mana Kuasa Pertambangan berada di Perusahaan Negara.

Sebagai tanggapan terhadap disahkannya RUU Migas 2001 tersebut dalam Rapat

Paripurna sejumlah 11 orang anggota DPR mengajukan “Minderheidsnota”, yang

intinya menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima, tidak menyetujui dan tidak

ikut bertanggung jawab atas disahkannya RUU Migas 2001 menjadi undang-undang.

Menurut 11 orang anggota DPR tersebut, RUU Migas 2001 memiliki kelemahan

strategis yang sangat mendasar, yaitu bertentangan atau sekurang-kurangnya tidak

sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Selain dari pada itu para

anggota DPR berpendapat bahwa:

1). RUU Migas 2001 telah mengabaikan peran serta daerah-daerah penghasil migas.

2). RUU Migas 2001 tidak mengandung klausula yang tegas yang bertujuan

memberdayakan perusahaan-perusahaan nasional.

3). Kebijaksanaan untuk menyerahkan harga minyak kepada mekanisme pasar akan

menimbulkan konflik antar Daerah.

4). Tidak melihat urgensinya untuk mengganti UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.

5). Mengkhawatirkan implikasi hukum bilamana terjadi persengketaan dengan

investor karena dialihkannya hak pertambangan ke Pemerintah (Badan

Pelaksana).

Dari sejarah perkembangan pengusahaan migas di tanah air lebih dari satu abad

tampak bahwa pembuatan undang-undang yang mengaturnya sarat dengan kepentingan

politik penguasa. Konsep yang menunjukkan adanya kekuasaan negara atas kekayaan

Page 82: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

68

alam merupakan faktor utama dalam menetapkan produk hukum dan kebijakan

Pemerintah.

B. Ketentuan pokok dalam Kontrak Bagi Hasil

Baik Kontrak 5A, Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil dapat

digolongkan sebagai perjanjian timbal balik. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan

Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengembangan

sumber daya, Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-ketentuan

yang lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan Kontrak 5A pada zaman

pemerintahan Hindia Belanda. Kecuali tentang pasal-pasal yang mengatur wilayah

kerja dan komitmen minimum kontraktor mengenai biaya dan rencana kerja dalam

tahapan eksplorasi, naskah Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-

ketentuan baku yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

berkontrak dan persyaratan-persyaratan komersial.

Untuk Kontrak Bagi Hasil, ketentuan pokok ini pertama kali diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja

Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (PP KBH). Persyaratan ini kemudian

diperbaharui dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor

35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Migas), di

mana ditetapkan bahwa Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-

ketentuan pokok sebagai berikut:

1). Penerimaan negara

2). Wilayah kerja dan pengembaliannya;

3). Kewajiban Kontraktor untuk mengeluarkan dana;

4). Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;

Page 83: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

69

5). Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;

6). Penyelesaian perselisihan;

7). Kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari hasil produksi yang menjadi

haknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

8). Berakhirnya kontrak;

9). Kewajiban pasca pertambangan;

10). Keselamatan dan kesehatan kerja;

11). Pengelolaan lingkungan hidup;

12). Pengalihan hak dan kewajiban;

13). Pelaporan yang diperlukan;

14). Rencana pengembangan lapangan;

15). Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;

16). Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;

17). Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

Selanjutnya, Pemerintah memberikan perlakuan khusus atau lex specialis

terhadap Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Dengan adanya perlakuan

khusus ini, semua ketentuan-ketentuan atau kesepakatan yang tercantum dalam kontrak

tidak akan pernah berubah, karena keluarnya peraturan perundang-undangan yang

berlaku umum (lex generalis). Kalaupun akan diubah harus terlebih dahulu dilakukan

kesepakatan baru antara para pihak untuk tercapainya jaminan kepastian hukum.

1. Hak dan Kewajiban Kontraktor

Hak dan Kewajiban para pihak dalam model Kontrak Bagi Hasil diatur dalam

Section I dan V, yang antara lain menetapkan Kontraktor bertindak sebagai operator dan

bertanggung jawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kegiatan

Page 84: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

70

operasi. Dalam pelaksanaannya, Kontraktor berkewajiban menyampaikan Rencana

Kerja dan Anggaran (RKA) untuk mendapatkan persetujuan PERTAMINA

(berdasarkan UU Migas 2001 beralih ke Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak

dan Gas Bumi atau Badan Pelaksana), disamping kewajiban melaporkan hasil kegiatan

eksplorasi dan produksi dan hasil keuangan.

Kewajiban Kontraktor pokok yang lain adalah memberikan bantuan teknis

termasuk tenaga asing, mengendalikan peralatan yang dibeli, melakukan pelatihan,

melaporkan hasil operasi dan menyerahkan data operasi, dan menyediakan kebutuhan

dalam negeri (Domestic Market Obligation) yang dibatasi tidak melebihi 25% dari

bagian laba yang merupakan hak kontraktor. Untuk penyerahan DMO ini Kontraktor

menerima imbalan sebesar USD 0.20 untuk setiap barrel DMO. Sebagai insentif untuk

menggalakkan kegiatan, sejak akhir tahun 1970, dalam kontrak-kontrak yang ditanda

tangani setelah itu imbalan DMO ini dinaikkan menjadi 10% dari harga pasar dan untuk

wilayah-wilayah yang sulit menjadi 15%.

Imbalan untuk Kontraktor atas usaha dan investasinya diberikan melalui hak

mendapatkan pengembalian biaya dan pembagian laba berupa produksi. Rumusan bagi

hasil untuk laba pada awalnya adalah 65% untuk Negara dan PERTAMINA dan 35%

untuk Kontraktor. Termasuk dalam 65% penerimaan Negara pajak penghasilan dan

pajak atas dividen serta pajak-pajak lain seperti PBB, dsbnya. Dalam perjalanannya,

atas permintaan Pemerintah rumusan bagi hasil ini mengalami beberapa kali perubahan.

Perubahan yang pertama terjadi pada akhir tahun 1973 setelah meletusnya

perang di Timur Tengah yang menaikan harga minyak lebih dari lima kali. Untuk

Perjanjian Karya perubahan dilakukan dengan mekanisme pembayaran tambahan yang

dikaitkan dengan tingkatan harga dan produksi, sementara untuk Kontrak Bagi Hasil

Page 85: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

71

dengan mengubah rumusan bagi hasil untuk harga minyak diatas USD 5.00/barrel.

Perubahan yang kedua terjadi pada awal tahun 1976 setelah terjadi krisis keuangan

PERTAMINA yang dimulai pada tahun 1975 dan diberlakukan baik untuk Perjanjian

Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Selain mengubah rumusan bagi hasil menjadi

85%/15%, perubahan juga dilakukan dengan memisahkan penerimaan Negara dalam

dua kelompok, yaitu:

1) Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam

Peraturan Perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian; dan

2) Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk

bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik sumber daya

minyak dan gas bumi, kewajiban Kontraktor menyerahkan sebagian dari hak

produksi untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iuran pembangunan daerah

(pajak bumi bangunan), bonus dan lain-lain.

Pemisahan penerimaan Negara menjadi Pajak Perseoran dan Bukan Pajak

Perseroan tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan para Kontraktor dari Amerika

Serikat dalam rangka memenuhi peraturan perpajakan di Amerika Serikat sehingga

kontraktor dapat memperoleh kredit pajak (tax credit) atas bagian produksi yang

diserahkan kepada Negara. Menurut US Internal Revenue Service ruling (IRS ruling

atau peraturan perpajakan Amerika Serikat), bagian produksi yang diserahkan tidak

dapat diberlakukan sebagai pembayaran pajak, tetapi hanya sebagai royalti yang tidak

dapat digunakan untuk memperoleh kredit pajak.

Persyaratan lain yang ditetapkan oleh IRS untuk dapat memperoleh kredit pajak

ini adalah adanya bukti pembayaran yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan

perpajakan yang umum berlaku dan tidak ada pembatasan pengembalian biaya (cost

Page 86: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

72

recovery ceiling). Untuk mengakomodasi usulan sebagai kompensasi atas kesediaan

Kontraktor menerima perubahan rumusan bagi hasil, Pemerintah juga menghapuskan

ketentuan yang membatasi pengembalian biaya. Hal ini juga berarti dihapuskannya

jaminan minimum penerimaan Negara dari setiap produksi.

Dihapuskannya cost recovery ceiling ini memang tidak mengubah penerimaan

Negara yang berasal dari lapangan-lapangan dengan cadangan atau produksi yang besar,

tetapi berdampak pada penemuan-penemuan dengan cadangan yang kecil. Dengan tidak

adanya jaminan penerimaan minimum, maka PERTAMINA sering menolak usulan

Kontraktor untuk mengembangkan penemuan dengan kandungan cadangan yang kecil.

Menyadari dampak negatifnya pada kapasitas produksi Indonesia, pada akhir tahun

1980-an mengusulkan untuk memberlakukan kembali pembatasan pengembalian biaya,

tetapi dengan mekanisme yang lain, yaitu dengan menyisihkan sebagian produksi

terlebih dahulu (First Tranche Petroleum atau FTP) untuk dibagikan menurut rumusan

yang disepakati dan sisa produksi setelah dikurangi FTP dapat dipergunakan untuk

pengembalian biaya kontraktor.

Dampak negatif dari perubahan rumusan bagi hasil ini pada tahun 1976 dan

perbedaan penafsiran adalah menurunnya kegiatan eksplorasi yang baru mulai

meningkat kembali setelah Pemerintah memberikan insentif tambahan untuk

pengembangan lapangan-lapangan baru. Insentif ini berupa perubahan rumusan bagi

hasil menjadi 80%/20% untuk penemuan-penemuan yang marginal (dibawah 10

ribu/barrel per hari) dan mendorong penggunaan teknologi yang lebih maju untuk

meningkatkan cadangan yang dapat diambil. Untuk wilayah kerja yang terpencil dan

laut dalam (dikenal sebagai frontier areas), rumusan bagi hasil untuk minyak menjadi

65%/35%, atau sama dengan yang berlaku pada saat KBH diperkenalkan pertama kali

Page 87: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

73

pada pertengahan tahun 1960an. Insentif ini hanya diberikan untuk kontrak-kontrak

baru.

2. Hak dan Kewajiban PERTAMINA/Badan Pelaksana

Berbeda dengan Perjanjian Karya, dalam Kontrak Bagi Hasil ditetapkan bahwa

PERTAMINA atau Badan Pelaksana memegang kendali atas manajemen; namun

demikian, apa yang dimaksudkan dengan manajemen tidak dijelaskan secara rinci dalam

naskah kontrak. Dari Section V dan IV The Coastal Plain Pekanbaru Production

Sharing Contract between PERTAMINA and Texaco Overseas Petroleum Company

and California Asiatic Oil Company (CPP PSC) dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksudkan manajemen berada ditangan PERTAMINA adalah kewenangan

memberikan persetujuan atas RKA (termasuk Rencana Pengembangan Lapangan). 89

Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 PP KBH. Selanjutnya Pasal 11 PP KBH

menyatakan kewajiban Kontraktor untuk minta persetujuan PERTAMINA mengenai

Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK). Baik naskah Kontrak Bagi Hasil maupun

PP KBH tidak mengatur kewajiban Kontraktor minta persetujuan terlebih untuk

pembelian barang dan peralatan dan pengadaan jasa.

89Section V CPP PSC: “Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations contenmplated hereunder; however, Pertamina shall assit and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program.” Section IV. (1.3) CPP PSC: “At least three (3) months prior to the beginning of each Contract Year or at such other times as otherwise mutually agreed by the Parties Contractor shall prepare and submit for approval to Pertamina a Work Program and Budget for the Contract Area setting forth the Petroleum Operations which Contractor proposes to carry out during the existing Contract Year.” Section IV. (1.4) CPP PSC: “Should Pertamina wish to propose a revision as to certain specific features of said Work Program and Budget, it shall within thirty (30) days after receipt thereof so notify Contractor specifying is reasonable details its reasons therefor. Promptly thereafter, the Parties will meet and endevaor to agree on the revisions proposed by Pertamina. In any event, any portion of the Work Program as to which Pertamina has not proposed a revision shall in so far as possible be carried out as prescribed herein” Section IV (1.6) CPP PSC: “Pertamina agrees that the approval of a proposed Work Program will not be unreasonably withheld.”

Page 88: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

74

Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf (b) PP Migas disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan pengendalian manajemen operasi adalah pemberian persetujuan atas

Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), Rencana Pengembangan Lapangan (Plan of

Development atau POD) serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut.

Suatu hal yang tampak masih memerlukan penafsiran adalah lingkup pengawasan

terhadap realisasi RKA dan POD, khususnya menjawab pertanyaan apakah pengawasan

dilaksanakan melalui “post audit” seperti yang diterapkan dalam Perjanjian Karya atau

tetap mengsyaratkan agar Kontraktor minta persetujuan terdahulu untuk merealisasikan

setiap kegiatan dalam RKA dan POD, sebagaimana yang telah berjalan sebelum UU

Migas 2001. Kesepakatan para pihak dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan ini

penting dalam rangka penciptaan iklim investasi yang kondusif dan kesucian kontrak.

Lebih lanjut, Section V.1.3 (b) CPP PSC menetapkan bahwa PERTAMINA

berkewajiban membantu Kontraktor dalam pelaksanaan Rencana Kerja dengan

menyediakan sarana, suplai dan tenaga kerja, mendapat visa, izin kerja, transportasi, dan

perlindungan keamanan dan hak memasuki wilayah kerja apabila diminta oleh

Kontraktor. Selain hasil finansial dari kegiatan operasi, hak PERTAMINA seperti

diatur dalam Section V ini meliputi kepemilikan data asli yang didapat dari kegiatan

operasi dan dapat menggunakan peralatan yang ada untuk keperluan PERTAMINA

setelah persetujuan dari Kontraktor.

C. Kegiatan hulu migas

Dengan meningkatnya jumlah kontrak kerja sama dalam bentuk Perjanjian

Karya dan Kontrak Bagi Hasil, produksi minyak dan gas Indonesia melonjak dari sekitar

600 ribu barrel setiap hari pada akhir tahun 1967 menjadi 1.7 juta barrel pada tahun

1975 dan pada tahun 1977 Indonesia melakukan ekspor yang pertama gas alam cair

Page 89: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

75

(LNG). Data statistik sebagaimana terlihat dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa kegiatan

eksplorasi dan tingkat keberhasilan cenderung menurun dengan makin matangnya

Wilayah Kerja yang sudah berproduksi dan beralihnya kegiatan eksplorasi ke Wilayah

Kerja baru dengan sasaran yang umumnya lebih tersembunyi dan sulit. Dampak

menurunnya kegiatan eksplorasi tersebut ialah menurunnya kapasitas produksi

Diharapkan kecenderungan menurunnya kegiatan eksplorasi ini dapat dihentikan

dengan mulai bekerjanya kontrak-kontrak baru yang ditanda tangani. Namun demikian,

peningkatan produksi (kalau ada) diperkirakan untuk sementara, kecuali ditemukan

ladang-ladang baru dengan cadangan yang besar.

Sementara itu produksi gas relatif stabil dan cenderung meningkat dengan

ditemukannya lapangan-lapangan gas baru di Sumatera Selatan, Sulawesi dan Papua.

Dengan penemuan-penemuan ini cadangan gas telah melebihi cadangan minyak, dan

dalam waktu dekat ini akan merupakan sumber devisa utama.

Tabel 1

Kegiatan Eksplorasi dan Produksi

Tahun KPS Baru

TAC Baru

Seismik Juta km

Sumur Eksplorasi

Ladang Baru

Investasi Expl/Dev. Juta USD

Produksi Minyak *) Barrel/Hari

ProduksiGas TCF

1997 19 10 388 100 28 1,840 1,418 3,164 1998 15 7 260 145 21 2,068 1,401 3,166 1999 4 0 175 89 19 1,311 1,351 2,979 2000 1 4 166 82 34 1,289 1,272 3,068 2001 8 2 284 62 ? 1,158 1,214 2,807 2002 1 4 150 73 20 1,119 3,180 2003 5 0 < 150 51 13 1,124 1,150 3,300

*) Tidak termasuk kondensat

Sumber: Dirjen Migas & US Petroleum Report

Page 90: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

76

Khusus mengenai kontrak-kontrak baru, data dari Direktorat Jenderal Minyak

dan Gas Bumi (Ditjen Migas) menunjukkan bahwa pada tahun 2002 Pemerintah

menawarkan 17 blok baru, tetapi hanya satu yang diminati dan ditutup dengan kontrak,

yaitu blok dilepas pantai Muara Bakau di Selat Makasar (Konsorsium Enilasmo

Company di Indonesia & Unocal Indonesia). Komitmen kerja dari konsorsium tersebut

antara lain kesediaan melakukan investasi sebesar USD 35 juta selama enam tahun

pertama untuk eksplorasi.

Rendahnya minat terhadap tender tersebut disebabkan blok yang ditawarkan

bukan merupakan wilayah yang dianggap prospektif oleh investor. Mengambil

pengalaman tersebut, maka dalam tender berikutnya lima dari 11 blok yang ditawarkan

adalah wilayah yang diminati dan diusulkan oleh investor untuk dimasukkan dalam

tender. Dari hasil tender, tujuh blok ternyata diminati oleh investor dan enam

diantaranya telah menanda tangani kontrak. Komitmen kerja dan investasi dari ketujuh

blok tersebut berjumlah USD174 juta. Sebagaimana pada kontrak sebelumnya, pola

bagi hasil untuk lima kontrak yang baru disesuaikan dengan kesulitan wilayah kerja,

yaitu mengacu pada paket insentif yang diterbitkan pada awal tahun 1990an.

Seperti terlihat dalam Tabel 1, kontrak migas baru yang ditanda tangani dalam

dua tahun terakhir berada jauh dibawah periode 1997 – 1999 baik dari segi jumlah

kontrak maupun besarnya komitmen kerja dan investasi. Disamping itu, sebagian besar

pengikut dan pemenang tender kali ini adalah perusahaan dalam negeri dan muka baru.

Dari enam kontraktor, empat diantaranya adalah perusahaan dalam negeri dan dua

berasal dari Singapura dan Malaysia.

Hasil ini menunjukkan meningkatnya kesediaan investor dalam negeri

menanamkan “risk capital”. Disisi lain, hasil ini menunjukkan menurunnya minat

Page 91: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

77

investor asing untuk menanamkan “risk capital” di Indonesia. Kecenderungan ini juga

terlihat dari meningkatnya perusahaan migas asing melepaskan kontraknya di Indonesia,

yang kemudian membuka kesempatan bagi pengusaha dalam negeri untuk mengambil

alih. Pada umumnya para kontraktor asing yang saat ini beroperasi di Indonesia

menfokuskan usahanya untuk memperbaiki produksi (dan arus kas) dari aset yang ada

dan belum bersedia melakukan investasi yang besar dan berisiko tinggi.

Kemampuan finansial perusahaan dalam negeri masih perlu dibuktikan melalui

pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan komitmen dalam kontrak berupa program

kerja dan investasi. Pengalaman pahit PERTAMINA dengan para pemegang kontrak

TAC dari dalam negeri seyogyanya tidak terulang untuk menjamin terlaksananya

program eksplorasi. Dari hampir 40 perusahaan dalam negeri yang memiliki TAC

(kecuali dua) telah mengalihkan kontraknya kepada perusahaan asing, sementara 65%

dari TAC tidak berjalan karena kesulitan mendapatkan pendanaan atau mitra usaha.

Alasan tidak berjalannya TAC bermacam-macam; selain terbatasnya dana untuk

memulai (termasuk pembayaran bonus), banyak pemegang TAC dari dalam negeri tidak

memiliki komitmen untuk mengambil risiko. 90

Tabel 2 berikut adalah data statistik mengenai kegiatan eksplorasi,

pengembangan dan produksi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. 91

Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2, pangsa Indonesia di antara 15 negara

produsen migas di dunia cenderung menurun sejak akhir tahun 1970-an. Data ini

mencerminkan bahwa kedudukan atau posisi bersaing Indonesia menarik risk capital

90 Madjedi Hasan, op.cit., hlm 30 91 ibid, hlm 23

Page 92: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

78

untuk kegiatan usaha hulu migas cenderung memburuk (deteriorating), yang berdampak

dengan menurunnya kapasitas produksi Indonesia.92

Tabel 2

Indonesia’s Percent Share of a Group of 15 Countries*

Activity 1974 1977 1982 1987 1992 1997

Production 27% 27% 18% 14% 13.6% 11.4% Exploratory Wells 34% 24% 21% 11% 10% 9.4% Seismic Surveys NA 21% 18% 8% 8% NA Development Wells 46% 52% 38% 37% NA NA SLC Price - $/B 6.50 12.80 34.93 17.69 17.35 19.05 *) Columbia, Trinidad, Norway, UK, Angola, Cameron, Egypt, Nigeria, Tunisia,

Malaysia, Pakistan, Thailand, Australia, New Zealand.

Penyebab utama menurunnya kegiatan minyak dan gas bumi di tanah air ini

tidak disebabkan oleh berkurangnya persepsi investor terhadap potensi sumber daya

migas di Indonesia, turunnya harga minyak atau gejolak politik, tetapi oleh

pertimbangan komersial, yaitu faktor-faktor yang memberi dampak negatif pada laju

pengembalian modal kontraktor, seperti tata cara administrasi, cara-cara penentuan

harga minyak, menjelang masa berakhirnya kontrak dan lain-lain. 93

Memburuknya iklim usaha ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya

birokrasi yang berdampak pada pelaksanaan program kerja karena keterlibatan

PERTAMINA yang dirasakan berlebihan dalam melaksanakan hak manajemen.

Penyebab yang lain ialah meningkatnya kebijakan sektoral dari Departemen Teknis 92 ibid, hlm 22 93 ibid, hlm 20: “This prolonged regression of Indonesia’s competitive position was clearly not attributable to crude oil market conditions or the amount of available risk capital for worldwide oil industry ventures. Also, Indonesia’s political climate had been stable during that time; therefore, Indonesia’s relative political climate did not seem to be contributing to the decline. The investor’s perception of the potential for additional oil exploration, development and enhanced oil recovery within Indonesia was considered to be good to excellent. All the possible factors of significance appear to be eliminated except for commercial consideration, namely those factors impacting adversely on the investor’s return such as contract terms, administrative procedure, crude pricing practices, approaching contract termination dates, etc.”

Page 93: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

79

dalam pemerintahan dalam pelaksanaan kontrak. Misalnya, melalui kekuasaan

perundang-undangan, kepada PERTAMINA dan Kontrak Bagi Hasil diberlakukan

Keppres tentang tatacara pengadaan barang dan jasa yang awalnya diperuntukan untuk

instansi pemerintahan. Diberlakukannya Keppres tersebut menimbulkan biaya ekonomi

yang tinggi akibat birokrasi dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 94

Kesimpulan yang sama dapat dilihat dari hasil survai yang dilakukan oleh

PriceWaterhouseCoopers. Survai yang dilakukan dalam awal tahun 2002 melibatkan

sebelas pimpinan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Survai yang diadakan

menghadapi dikeluarkannya UU Migas 2001 bertujuan memperoleh gambaran

mengenai pandangan para eksekutif terhadap hari depan industri migas di Indonesia dan

permasalahan-permasalahan apa yang menjadi kendala operasional. Hasil survai

PriceWaterHouse Coopers disajikan dalam Tabel 3.95

Table 3

Hasil Survai PriceWaterhouseCooper Peringkat Parameter untuk Investasi di Indonesia

1 = Paling menarik 5 = Paling tidak menarik

Parameter Nilai Peringkat

Geological Prospectivity 1.7 Paling menarik The existing PSC framework 2.6 Trained workforce 3.4 Foreign Ownership Regulatory 3.5 Contract and Project approval process 3.6 Infrastructure 4.1 Regulatory framework 4.5 Paling Tidak Menarik

94 Lihat Madjedi Hasan, op.cit, hlm 23 - 26. 95 PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5.

Page 94: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

80

Kesimpulan dari hasil survai adalah bahwa faktor yang paling menarik untuk

investasi di bidang migas adalah “geological prospectivity”. Pandangan ini juga

didukung oleh survai yang dilakukan oleh Robertson Research pada tahun 2001 di

antara 85 perusahaan multinational di 46 negara diluar Amerika Utara menempatkan

Indonesia dalam 10 besar untuk eksplorasi setelah Iran, Libya, Aljazair, Australia,

Brazil, Inggris, Mesir dan Angola.96 Kerangka kontrak dalam bentuk Kontrak Bagi

Hasil bukan merupakan kendala, meskipun mereka mengharapkan adanya beberapa

perbaikan dalam persyaratan komersial dengan penambahan insentif untuk

pengembangan sumber daya gas bumi.

Namun demikian, para eksekutif tersebut juga menyatakan keprihatinannya

melihat terganggunya stabilitas Kontrak Bagi Hasil dalam beberapa tahun terakhir ini,

terutama yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan (regulatory framework).

Diharapkan agar Pemerintah segera melakukan tindakan-tindakan perbaikan dan

menjaga agar ketentuan-ketentuan dalam kontrak dipatuhi (contract sanctity) untuk

perbaikan iklim investasi.

Hal ini mengisyaratkan bahwa iklim usaha yang sehat perlu segera diwujudkan.

Kecenderungan yang meningkat untuk bergabung, konsolidasi dan akusisi yang terjadi

di industri migas dalam 5 tahun terakhir menempatkan anggaran eksplorasi hanya di

beberapa tangan, karena itu jumlah pemain yang mencari lahan eksplorasi berkurang.

Penyesuaian persyaratan kontrak yang lebih besar perlu diantisipasi menghadapi

kompetisi yang makin ketat untuk mendapatkan “risk capital”.97

Selanjutnya, hasil survai PriceWaterhouseCoopers melaporkan adanya 10

permasalahan pokok yang dihadapi industri migas dewasa ini, lima yang teratas adalah:

96 Oil and Gas Journal, 29 March 2000. 97 Madjedi Hasan op.cit., hlm 28

Page 95: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

81

1). Tidak adanya kejelasan mengenai peran daerah dan pusat setelah dikeluarkannya

Undang-Undang Otonomi Daerah.

2). Intervensi instansi Pemerintah lain seperti dalam bidang perpajakan.

3) Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

4) Hubungan masyarakat.

5). Keamanan meliputi aset, personalia dan hak milik.

Untuk melengkapi analisis, wawancara telah pula dilakukan melibatkan

beberapa Senior Executive empat Kontraktor Kontrak Bagi Hasil yang beroperasi di

Indonesia. Seperti hasil survai PriceWaterhouseCoopers, para Senior Executive

berpendapat bahwa Indonesia masih tetap menarik dari segi prospek dan kerangka

kontrak. Menurut mereka, persoalan pokok yang segera memerlukan perbaikan adalah

masalah-masalah yang berhubungan dengan keamanan, kepastian hukum dan kesucian

kontrak.

Masalah-masalah yang dikedepankan dalam aspek kepastian hukum adalah

berkaitan dengan integritas peradilan dan penegakan hukum di Indonesia, sementara

masalah berkaitan dengan kesucian kontrak adalah diberlakukannya ketentuan-

ketentuan baru pada kontrak yang sedang berjalan dan berdampak pada penerimaan

Kontraktor. Tidak adanya kepastian hukum dan kesucian kontrak telah menyulitkan

para investor untuk mengevaluasi prospek investasi di Indonesia.

D Permasalahan berasal dari penafsiran kontrak

Sebagaimana diketahui dalam setiap hubungan kontraktual, kemungkinan

terjadinya perselisihan antara para pihak akan selalu terbuka yang meliputi berbagai

ragam masalah. Dalam hal pelaksanaan KBH di Indonesia, permasalahan tersebut dapat

dikelompokkan berdasarkan sumbernya, yaitu yang berasal dari penafsiran ketentuan-

Page 96: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

82

ketentuan dalam kontrak dan yang berasal dari faktor eksternal seperti kebijakan

Pemerintah. Berikut ini akan disajikan beberapa permasalahan dari kelompok pertama,

sementara permasalahan yang berasal dari kebijakan Pemerintah akan dibahas dalam

Bab IV.

Untuk penyelesaian permasalahan berasal dari perbedaan penafsiran, baik

Kontrak Bagi Hasil maupun kontrak yang terdahulu telah memberikan forum untuk

menyelesaikannya, yaitu forum arbitrase apabila gagal mencapai kesepakatan melalui

konsultasi. Perbedaan penafsiran yang dominan dalam akhir tahun 1970-an dan awal

tahun 1980-an dan berdampak negatif terhadap upaya peningkatan kapasitas produksi

Indonesia adalah penentuan status komersial penemuan-penemuan dengan cadangan

yang marjinal dan insentif untuk pengembangan lapangan-lapangan baru dan penerapan

teknik produksi lanjutan untuk meningkatkan pengurasan cadangan (secondary

recovery).

Perbedaan penfasiran ini berasal tidak diberikannya definisi yang jelas dalam

kontrak atau tidak jelasnya parameter yang dijadikan acuan, misalnya apa yang disebut

dengan lapangan baru dan secondary recovery dan kriteria teknis untuk

mendapatkannya. Kemudian parameter keekonomian apa yang seharusnya digunakan

dalam menentukan status komersial, apakah yang umum digunakan seperti Net Present

Value, Internal Rate of Return dan Payout, atau cadangan minimum yang akan diterima

oleh PERTAMINA. Jika yang pertama yang dijadikan acuan, maka putusan akhir ada

pada Kontraktor, sementara dalam hal yang kedua PERTAMINA yang akan

menentukan. Namun, mengingat bahwa modal investasi dan risiko kegagalan

sepenuhnya merupakan beban Kontraktor, maka sudah sewajarnya apabila parameter

keekonomian umum yang dipergunakan.

Page 97: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

83

Permasalahan ini yang berdampak dengan tertundanya pengembangan lapangan-

lapangan baru dan proyek-proyek untuk meningkatkan pengurasan cadangan akhirnya

dapat diselesaikan melalui mediasi Pemerintah dengan memasukkan kembali ketentuan-

ketentuan mengenai pembatasan pengembalian biaya yang dihapuskan dalam KBH

generasi II melalui mekanisme First Tranche Petroleum (FTP). Dengan mekanisme ini

jumlah produksi yang dapat dipergunakan untuk pengembalian biaya dibatasi, sehingga

Pemerintah akan selalu menerima hasil produksi dari setiap penemuan yang

dikembangkan. Meskipun demikian, masalah tersebut masih muncul dari waktu ke

waktu.

Permasalahan ini disebabkan masih adanya perbedaan antara pemilik sumber

daya dan kontraktor dalam memperkirakan jumlah cadangan migas yang dapat

diproduksikan. Perkiraan besarnya cadangan dari suatu penemuan bersifat dinamis,

yang berubah sesuai dengan tahapan pengembangan pada saat dilakukan penilaian. Dari

segi teknik, perkiraan besarnya cadangan yang dapat diambil tersebut cukup kompleks

karena dipengaruhi berbagai faktor teknologi, finansial dan politik.

Perkiraan besarnya cadangan dan waktu eksploitasinya cenderung pesimistik,

karena definisi mengenai cadangan yang dapat diambil (recoverable reserves) erat

kaitannya dengan parameter ekonomi tertentu, misalnya harga minyak, makin tinggi

harga minyak makin besar cadangan yang dapat diambil. Alasan yang lain adalah

adanya fakta bahwa metodologi yang dipergunakan dalam membuat perkiraan belum

mampu memprediksi perkembangan teknologi dalam teknik penambangan dan proses.

Namun demikian, berbagai asosiasi profesi dan institusí telah menerbitkan semacam

pedoman yang seharusnya dapat dijadikan acuan dalam KBH.

Page 98: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

BAB IV

ASAS PACTA SUNT SERVANDA DIHUBUNGKAN DENGAN

KONTRAK BAGI HASIL

A. Kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil

Mengingat kompleksitas hubungan pemerintah tuan rumah dan perusahaan

asing, maka kemungkinan terjadinya perselisihan mengenai persyaratan kontrak akan

selalu terbuka yang meliputi berbagai masalah. Permasalahan yang rumit adalah yang

berasal dari kebijakan Pemerintah.

Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah timbulnya pertanyaan-pertanyaan

mengenai apakah dan bagaimana asas pacta sunt servanda dapat diterapkan dalam

Kontrak Bagi Hasil dihubungkan dengan hak investor dan bagaimana akibat hukum atas

kontrak yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan lama saat kontrak

ditanda tangani dihubungkan dengan dikeluarkannya undang-undang baru dalam KBH

yang sedang berjalan?

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka pertama-tama harus

ditentukan terlebih dahulu kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil. Dalam

pembahasan perlu dibedakan keadaan sebelum UU Migas 1960, selama UU Migas 1960

dan setelah dikeluarkannya UU Migas.

1. Dalam Kontrak 5A

Dalam Kontrak 5A ini para pihak dalam kontrak adalah Pemerintah (diwakili

oleh Kepala Dinas Pertambangan) dan perusahaan minyak yang ditunjuk. Dalam

perjanjian ini kedudukan para pihak adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum

perdata, Pemerintah harus memposisikan dirinya sejajar dengan mitranya dalam

84

Page 99: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

85

pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang tercantum dalam kesepakatan. Sebagai

subjek hukum perdata Pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga dan dapat

pula digugat atau menggugat di pengadilan perdata.

2. Sebelum UU Migas 2001

Abrar Saleng berpandangan bahwa menurut UU Migas 1960 kedudukan

Pemerintah berada di atas para pihak, karena PERTAMINA yang bertindak sebagai

pihak yang menandatangani kontrak. Dengan kedudukan demikian, Pemerintah dapat

memposisikan dirinya sebagai pembimbing atau pengawas yang dapat mencegah

timbulnya sengketa. Kalaupun terjadi sengketa, Pemerintah dapat menjadi mediator

atau wasit sebelum sengketa para pihak di bawa ke forum arbitrase98

Pendapat bahwa Pemerintah dapat memposisikan sebagai pembimbing atau

pengawas yang dapat mencegah sengketa tentunya hanya berlaku pada penyelesaian

sengketa yang berkaitan dengan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam kontrak, tetapi

tidak untuk permasalahan yang berasal dari perubahan kebijakan Pemerintah.

Sebagaimana akan dibahas di bawah sebagian permasalahan dalam pelaksanaan Kontrak

Bagi Hasil yang berdampak negatif pada kegiatan hulu berasal dari perubahan kebijakan

Pemerintah ini. Masalah-masalah yang dapat dikedepankan antara lain usulan

perubahan rumusan bagi hasil dan kebijakan Pemerintah mengenai harga minyak,

penerapan Keppres Nomor 14A dalam kegiatan Kontrak Bagi Hasil dan perpajakan,

khususnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai.99

Analisis kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil dapat juga ditinjau

dari sudut pandang berikut. Meskipun tidak diundang-undangkan sebagai undang-

undang seperti pada Perjanjian Karya, penandatanganan kontrak dilakukan setelah 98 Abrar Saleng, op. cit., hlm 160 – 161. 99 Lihat Madjedi Hasan, op. cit., hlm 23 – 27.

Page 100: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

86

mendapatkan persetujuan Presiden yang merupakan mandataris MPR. Sebagai tanda

persetujuan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pertambangan ikut menandatangani

Kontrak Bagi Hasil. Penandatanganan oleh Pemerintah dalam naskah perjanjian ini

baru dilakukan setelah diundang-undangkannya UU Pertamina dan mengacu pada

Penjelasan Pasal 12 UU Pertamina yang menyatakan:

“Dalam mengadakan kerja sama ini harus diusahakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi Negara. Dengan sendirinya Pemerintah hanya akan menyetujui kerja sama ini setelah Dewan Komisaris Pemerintah mengizinkan Perusahaan mengadakan kerja sama. Setiap Kontrak Production Sharing yang telah disetujui oleh Presiden diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”100

Menurut T.N. Machmud, keikutsertaan Pemerintah menandatangani Kontrak

Bagi Hasil tidak harus diartikan bahwa Pemerintah merupakan pihak dalam perjanjian,

melainkan lebih pada penunjukan berlakunya perjanjian.101 Pandangan T.N. Machmud

ini tampaknya hanya melihat permasalahannya dari segi naskah formal kontrak.

Dengan melandasi penafsiran pada konsep penguasaan dan pengusahaan berdasarkan

baik UU Migas 1960 dan UU Pertamina maupun UU Migas 2001, maka keikutsertaan

Pemerintah menandatangani kontrak dapat juga diartikan sebagai jaminan Pemerintah

bahwa PERTAMINA akan mentaati dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan

kontrak.

Dari struktur organisasi PERTAMINA dapat disimpulkan bahwa sebagaimana

ditetapkan dalam UU Pertamina, Pemerintah berperan aktif dalam membuat kebijakan

umum. Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Komisaris Pemerintah untuk

100 Penandatanganan KBH dilakukan setelah Menteri Pertambangan dan Energi mendapat persetujuan dari Presiden. Selanjutnya, dalam Perjanjian Karya, pihak yang menandatangani Perjanjian atas nama Pemerintah adalah Direktorat Minyak dan Gas Bumi yang bernaung dibawah Departemn Perindustrian Dasar. Selain memberikan pengesahan, penandatangan ini juga memuat pernyataan bahwa Pemerintah akan mentaati kesepakatan dalam kontrak sebagaimana terlihat dari pernyataan berikut: “The Directorate of Oil and Gas of The Ministry of Basic Industry/Mining, acting for and on behalf of the Republic of Indonesia, hereby approves the within and foregoing Contract and agrees to be bound by its provisions.” 101 T.N. Machmud, op. cit. hlm 56

Page 101: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

87

Pertamina (DKPP) menetapkan kebijaksanaan umum PERTAMINA, mengawasi

pengurusan PERTAMINA dan mengusulkan kepada Pemerintah langkah yang perlu

diambil dalam rangka menyempurnakan pengurusan PERTAMINA termasuk susunan

Direksi PERTAMINA.

Selanjutnya, Pasal 16 ayat (2) sampai dengan ayat (6) UU Pertamina

menetapkan bahwa anggota DKPP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan

bertanggung jawab kepada Presiden. Anggota DKPP terdiri atas tiga anggota, yaitu

Menteri dalam bidang pertambangan sebagai Ketua, Menteri Keuangan sebagai Wakil

Ketua dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai anggota. Apabila

dipandang perlu Presiden dapat menambah sebanyak-banyaknya dua orang Menteri.

Dengan demikian diharapkan Menteri yang merangkap anggota DKPP akan

mempertimbangkan dampak dari kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh

Departemen Teknis yang dibawah pimpinannya terhadap pelaksanaan KBH.

Lebih lanjut, menurut UU Migas 1960 PERTAMINA dan perusahaan-

perusahaan milik Negara sebelum dilebur (PERMINA, PERTAMIN dan PERMIGAN)

merupakan wakil Pemerintah selaku Pemegang Hak Kekuasaan Wilayah Hukum

Pertambangan Indonesia. Sebagai pemegang Kuasa Pertambangan, PERTAMINA

menerima pendelegasian penyelenggaraan pengusahaan pertambangan migas. Kepada

PERTAMINA disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang

mengenai pertambangan migas (Pasal 11 ayat (1) UU Pertamina). Dengan demikian,

para calon penanam modal hakekatnya hanya mempunyai satu pilihan apabila ingin

melakukan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, yaitu bekerja sama dengan

PERTAMINA. Ditambah dengan persyaratan pokok yang dibakukan, hal ini

mengurangi lingkup asas kebebasan berkontrak.

Page 102: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

88

Sebagai wakil Pemerintah, PERTAMINA wajib mengikuti kebijakan yang

digariskan oleh Pemerintah dalam melakukan kerja sama dan melaksanakan hak dan

kewajibannya dalam Kontrak Bagi Hasil atau Perjanjian Karya. Misalnya, Pasal 12 ayat

(2) UU Pertamina menetapkan bahwa syarat-syarat kerja sama dalam bentuk Kontrak

Bagi Hasil akan diatur oleh Pemerintah dan kontrak akan mulai berlaku setelah disetujui

oleh Presiden, persetujuan mana dicerminkan dengan ikut menandatangani kontrak.

Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) UU Pertamina menetapkan bahwa PERTAMINA

wajib menyetor ke Kas Negara 60% dari penerimaan bersih usaha atas hasil Kontrak

Bagi Hasil sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor, seluruh hasil yang

diperoleh dari Perjanjian Karya dan 60% dari penerimaan bonus Perusahaan yang

diperoleh dari hasil Kontrak Bagi Hasil. Dengan mendapatkan hanya retainer fee untuk

perannya dalam melaksanakan Kontrak Bagi Hasil, ketentuan ini dapat diartikan bahwa

ultimate beneficiary dari Kontrak Bagi hasil adalah Pemerintah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan Pemerintah dan

PERTAMINA dalam KBH meliputi pemberian kuasa, yang diatur dalam KUH Perdata.

Pemberian kuasa ini menerbitkan perwakilan di mana PERTAMINA sebagai penerima

kuasa adalah pihak yang mewakili pemberi kuasa (Pemerintah) untuk melakukan

perbuatan hukum. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan

Pemerintah sebagai pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari

perbuatan yang dilakukannya itu menjadilah hak dan kewajiban Pemerintah, yaitu pihak

yang memberi kuasa. Dalam hal ini, karena yang dilakukan oleh PERTAMINA berupa

membuat (menutup) suatu perjanjian (KBH), maka sebagaimana dikatakan oleh Subekti

Pemerintah sebagai pemberi kuasa yang menjadi pihak dalam KBH itu. 102

102 Subekti, op.cit, hlm 141

Page 103: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

89

3. Setelah diundang-undangkannya UU Migas 2001

UU Migas yang diundang-undangkan pada akhir tahun 2001 lebih menegaskan

kedudukan dan peran Pemerintah dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Dalam UU

Migas 2001 ini Pemegang Kuasa Pertambangan kembali kepada Pemerintah, di mana

Pemerintah kemudian membentuk Badan Pelaksana yang akan menerima kuasa dari

Pemerintah untuk menandatangani dan mengendalikan manajemen operasi kegiatan

usaha hulu.

Dengan berlakunya UU Migas 2001, kedudukan PERTAMINA sebagai pihak

yang berkontrak digantikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Badan Pelaksana yang

dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan

Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PPBP). Tugas Badan

Pelaksana sebagaimana ditetapkan dalam PPBP adalah sebagai berikut:

1). Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal

penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerja sama;

2). Melakukan penandatanganan kontrak kerja sama;

3). Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama

kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk

mendapatkan persetujuan;

4). Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan, selain yang

tercantum pada angka 3) di atas;

5). Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

6). Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai

pelaksanaan kontrak kerja sama;

Page 104: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

90

7). Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Badan Pelaksana didirikan dalam bentuk badan hukum milik negara (BHMN),

suatu konsep badan hukum yang baru diperkenalkan keberadaannya di Indonesia dan

sudah mulai diterapkan di beberapa Perguruan Tinggi Indonesia sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan

Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Berdasarkan UU Migas 2001 dan PP BP Migas

tersebut, maka Negara sebagai pemegang kekuasaan berwenang memberikan kuasa

kepada badan usaha (dalam hal ini Badan Pelaksana) untuk melakukan pengusahaan

pengelolaan atas bahan galian yang ada dalam Wilayah Hukum Pertambangan

Indonesia. Dengan melakukan kerja sama dengan badan hukum perdata dalam suatu

kontrak, maka penguasa Negara atau Pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting

bertindak sebagai organ dari badan publik yang berupa badan hukum perdata.103

Bertolak dari pendapat di atas, maka Negara dalam Kontrak Bagi Hasil

berdasarkan UU Migas 2001 menjadi subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.

Kedudukan aparatur Pemerintah selaku subjek pendukung hak dan kewajiban dalam

hubungan kontraktual mempunyai karakter khusus, sebab Pemerintah tidak bertindak

sebagai pemegang kekuasaan publik, tetapi sebagai pihak yang bersifat keperdataan.

Posisi Pemerintah sebagai subjek hukum ini dipertegas dalam Pasal 94 ayat (1)

PP Migas beserta penjelasannya yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan

penandatangan Kontrak Kerja Sama, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang

berkontrak dan sebagai pihak yang berkontrak Pemerintah menjamin bahwa Badan

Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam KKS atau Kontrak lain yang terkait

103 Lihat Abrar Saleng, op. cit., hlm 58, yang mengutip Kranenburg, R. en Vegting, W.G., Inleiding in het Nederlandsxhe Administratiefrecht, NV H.D. Theenk Willink & Zoon, Haarlem, 1955. hlm 16.

Page 105: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

91

dengan KKS. Selanjutnya Pasal 94 ayat (2) dan (3) PP Migas menetapkan bahwa

penandatanganan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilaksanakan

setelah mendapat persetujuan Menteri atas nama Pemerintah dan secara tertulis akan

dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat beserta salinan naskah kontrak setelah

ditandatangani.104

B. Asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun bukan merupakan pihak

yang terlibat langsung dalam Kontrak Kerja Sama (KKS), Pemerintah sebagai pihak

yang memberi kuasa memperoleh segala hak dan memikul segala kewajiban yang

timbul dari KKS. Pemerintah adalah stakeholder yang paling berkepentingan dan

Badan Pelaksana (atau PERTAMINA sebelum UU Migas 2001) hanya merupakan

kepanjangan tangan dari Pemerintah dalam hubungan kontraktual. Dengan demikian

Pemerintah mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai pihak maupun sebagai

pemegang kekuasaan.

Sebagai pihak yang berkontrak, hubungan Pemerintah dan Kontraktor dalam

kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar dalam melakukan perbuatan

perdata. Hubungan kesederajatan ini merupakan jaminan bahwa kedudukan badan

pemerintahan yang bersangkutan tidak dalam kedudukan yang diistimewakan, baik pada

penyusunan maupun pada pelaksanaan kontrak Dengan ini para pihak diharapkan 104 Pasal 94 PP Migas: “(1). Dalam melaksanakan penandatangan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang berkontrak dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. (2) Penandatanganan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menteri atas nama Pemerintah. (3) Badan Pelaksana memberitahukan secara tertulis Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan melampirkan salinannya.” Penjelasan Pasal 94 ayat (1) PP Migas: “Sebagai pihak yang berkontrak, dalam melakukan penandatanganan Kontrak Kerja Sama, Pemerintah menjamin bahwa Badan Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam Kontrak Kerja Sama atau Kontrak lain yang terkait dengan Kontrak Kerja Sama.”

Page 106: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

92

menerapkan asas pacta sunt servanda ini dalam melaksanakan kewajiban dan haknya,

yang juga berlaku bagi Pemerintah mengingat bahwa dalam faktanya peran Pemerintah

sangat menentukan.

Seperti diuraikan di muka, kesucian kontrak secara mutlak baik dalam teori

maupun praktek itu sulit diwujudkan, namun demikian.penerapan asas pacta sunt

servanda tetap merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial dan bisnis dan hubungan

internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, asas pacta sunt servanda ini

juga telah dijadikan landasan dalam Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dinyatakan dalam

preamble Kontrak Bagi Hasil yang berbunyi sebagai berikut:

”dengan pertimbangan janji bersama, perjanjian dan keadaan yang oleh para pihak akan dilaksanakan dan dipatuhi, maka para pihak sepakat dengan hal-hal berikut.”105

Para pihak juga sepakat untuk melakukan kewajibannya dengan itikad baik demi

kepentingan bersama, sebagaimana ditunjukkan dalam pasal-pasal berikut mengenai

kewajiban masing-masing pihak.

“Section V.1.2 ayat (d) CPP PSC: Kontraktor bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan melaksanakan Rencana Kerja yang harus dikerjakan dengan cakap (workmanlike) dan dengan menggunakan metode keilmuan yang tepat, dan Kontraktor wajib mengambil langkah-langkah untuk melindungi navigasi dan perikanan dan wajib mencegah pencemaran di laut atau sungai. Kontraktor mengerti bahwa Rencana Kerja dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kewajiban Pemerintah yang dibebankan kepadanya berdasarkan Hukum Internasional.

Section V.1.3 ayat (a) CPP PSC: PERTAMINA bertanggung jawab atas kendali manajemen operasi, namun PERTAMINA berkewajiban membantu dan melakukan konsultasi dengan Kontraktor mengingat bahwa Kontraktor bertanggung jawab atas Rencana Kerja.”106

105 Preamble PSC: “Now, therefore, in consideration of the mutual promises, covenants and conditons, hereinafter set out, to be performed and kept by the parties hereto, it is hereby stipulated and agreed by and between the parties hereto as follows:” 106 Section V.1.2.d CPP PSC:

Page 107: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

93

Selanjutnya, Section XI CPP PSC menetapkan pentingnya saling berkonsultasi

dalam melakukan operasi migas dan menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan

musyawarah.107

Dari pasal-pasal tersebut tersirat kehendak dan komitmen para pihak untuk

memelihara hubungan yang dilandasi pada kepentingan bersama dalam Kontrak Bagi

Hasil. Fenomena ini juga dijumpai dalam kontrak-kontrak migas di dunia, seperti yang

diungkapkan oleh Zhiguo Gao seperti berikut:

“Istilah “kepentingan bersama” dinyatakan beraneka ragam dalam perjanjian-perjanjian. Dalam kasus Cina, asas “persamaan dan manfaat bersama” dinyatakan sebagai dasar untuk hubungan ekonomi dan perdagangan luar negeri. Jadi asas manfaat bersama ditekankan berulang-ulang dalam semua perundingan kontrak dan diulangi dalam kontrak.”108

Selanjutnya, mengutip pernyataan Mochtar Kusumaatmadja, Zhiguo Gao

menyatakan bahwa di Indonesia KBH juga menerapkan “principles of mutual good will

and good faith”.109 Dengan menjadikan prinsip itikad baik dan hal timbal balik

(reciprocity) sebagai fundasi dari keberhasilan usaha, Zhiguo Gao mengartikan

“Contractor shall be responsible for the preparation and execution of the Work Program which shall be implemented in a workmanlike manner and by appropriate scientific methods, and Contractor shall take the necessary precautions for protection of navigation and fishing and shall prevent extensive pollution of the sea or rivers. It is also understood that the execution of the Work Program shall be exercised so as not to conflict with Government obligations imposed on the Government by International Law.” Section V.1.3.a CPP PSC: “Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations contemplated hereunder; however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program.” 107 Section XI: “Periodically, Pertamina and Contractors shall meet to discuss the conduct of Petroleum Operations envisaged under this Contract and will make every effort to settle amicably any problem arising therefrom.” 108 Gao, Zhigue, op.cit, hlm 507: “The term ‘mutuality of interests’ is expressed variously in agreements. In the Chinese case, the principle of ‘equity and mutual benefits’ is expressed as the fundamental basis of foreign economic and trade relations. So the ‘principle of mutual benefit’ is repeatedly emphasized in all contract negotiations annd reiterated throughout the contract.” 109 Ibid, yang mengutip M. Kusumaatmadja, Indonesia’s National Policy on Offshore Mineral Resources: Some Legal Issues, Ocean Yearbook 9, The University of Chicago Press, Chicago, 1991, hlm 97 – 98.

Page 108: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

94

kepentingan bersama sebagai “fair government take and a fair return for oil

companies”.110

C. Dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah

Sebagaimana telah diuraikan dimuka, salah satu sifat yang melekat dari kontrak

pengelolaan migas adalah hubungan kontraktual yang panjang dan rentan terhadap

perubahan-perubahan eksternal seperti perkembangan politik internasional dan dalam

negeri termasuk kebijakan pemerintah. Dalam Bab ini akan disajikan dua kasus

permasalahan dalam pelaksanaan KBH yang menyangkut perubahan kebijakan

pemerintah yang berdampak pada kegiatan eksplorasi dan produksi migas.

1. Pengutamaan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri.

Sebagaimana telah disebutkan, salah satu masalah pokok yang dikedepankan

dalam survai PriceWaterhouseCoopers adalah adanya intervensí dari instansi

pemerintahan lain ke dalam pelaksanaan KBH. Intervensi instansi Pemerintah lain

dalam kegiatan langsung operasi KBH sebenarnya mulai terlihat dengan

diberlakukannya Keppres Nomor 10 Tahun 1980 dan Nomor 14A Tahun 1980 yang

sebenarnya diperuntukkan untuk pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan.

Keppress 14A ini menetapkan bahwa pembelian barang di atas Rp 500 juta harus

melalui Tim Pengendalian Pengadaan Barang-Barang/Peralatan Pemerintah yang

dikenal sebagai Tim Pengendali yang diatur dalam Keppres No. 10 Tahun 1980.111

Ketentuan tersebut berlaku untuk BUMN termasuk PERTAMINA dan KBH, tetapi

tidak diberlakukan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi dalam Perjanjian Karya.

110 Ibid. 111 Madjedi Hasan, op. cit., hlm 26.

Page 109: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

95

Pemerintah membenarkan kebijakannya untuk menerapkan Keppres 14A Tahun

1980 pada operasi KBH dengan dalih “untuk kepentingan umum”, yaitu demi

pembangunan nasional dan promosi produk dalam negeri sesuai dengan amanat Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengingat bahwa Pemerintah pada akhirnya

membayar 85% dari biaya.112 PERTAMINA juga berpandangan bahwa karena kendali

atas manajemen di KBH berada di tangan PERTAMINA dan karena PERTAMINA

milik Pemerintah, maka PERTAMINA wajib mengikuti tata cara yang telah ditetapkan

oleh Pemerintah.

Pemberian perlakuan khusus (preference) kepada produk dalam negeri bukan hal

yang unik bagi Indonesia, karena dalam kenyataan banyak negara berkembang telah

menerapkannya. Kontraktor KBH umumnya tidak berkeberatan untuk mempromosikan

penggunaan fasilitas di dalam negeri dan produk dalam negeri, tetapi sangat keberatan

dengan tata cara pengadaan yang harus diikuti. Kewajiban untuk memberi perlakuan

khusus pada produk dan jasa dalam negeri sudah diatur dalam kontrak baik Perjanjian

Karya maupun KBH, seperti yang terlihat dalam Section V ayat (1.2.q) CPP PSC yang

ditanda tangani pada tahun 1971, di mana ditetapkan kewajiban kontraktor sebagai

berikut:

“Kontraktor berkewajiban memberikan perlakuan istimewa kepada barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan di Indonesia atau diberikan oleh warga negara Indonesia, asalkan barang-barang dan jasa-jasa yang ditawarkan sama keadaannya dalam hal kualitas, harga, persediaan dan jumlahnya.”113

112 Pernyataan bahwa Pemerintah menanggung 85% dari biaya operasi sebenarnya kurang tepat, karena seluruh biaya investasi dilakukan oleh Kontraktor dan risiko kegagalan sepenuhnya merupakan beban Kontraktor. 113 Section V ayat (1.2.q) CPP PSC: “Contractor shall give preference to such goods and services which are produced in Indonesia or rendered by Indonesian nationals, provided such goods and services are offered at equally advantageous conditions with regard to quality, price, availabilityat the time and in the quantities required.”

Page 110: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

96

Ketentuan mengenai promosi kepentingan nasional juga ditetapkan dalam

kontrak yang terdahulu, yaitu Perjanjian Karya dimana kewajiban ini dijabarkan lebih

rinci dari pada ketentuan dalam KBH termasuk program pengembangan masyarakat

(Community Development). Misalnya, dalam Article 14 Perjanjian Karya, Kontraktor

diwajibkan mempersiapkan setiap waktu studi mengenai kemungkinan kegiatan yang

berkaitan dengan promosi pertumbuhan dan industrialisasi ekonomi Indonesia, dan akan

bekerja sama dalam mendorong produksi dan manufakturing barang-barang, peralatan

dan suplai yang bermutu yang dibutuhkan oleh Indonesia.114

Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini tidak diberlakukan dalam Perjanjian Karya,

karena Kontraktor memegang kendali manajemen operasi. Namun hal ini tidak berarti

bahwa tidak adanya pengawasan Pemerintah terhadap pemanfaatan barang dan jasa

dalam negeri. Dalam melakukan pengawasan atas Perjanjian Karya, Direktorat Jenderal

Minyak dan Gas Bumi menerbitkan daftar barang-barang yang dilarang diimpor dan

mensyaratkan pendaftaran bagi perusahaan-perusahaan jasa luar negeri yang akan

beroperasi di Indonesia, tetapi tata cara pengadaan barang dan jasa diserahkan

sepenuhnya kepada Kontraktor.

Keberatan Kontraktor KBH mengikuti Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 tersebut

adalah terhadap tata cara, khususnya adanya berbagai lapisan yang harus dilalui untuk

mendapatkan persetujuan dan proses negosiasi untuk mendapatkan harga yang rendah

114 Article 14 Perjanjian Karya: “………. Contractors will, all other conditions, including design, quality, prices and delivery date, being equal, give priority to utilization of goods produced domestically. Contractors will be prepared at all times to study the possibility of further activities, in and related to the field of mineral oil and gas, which might assist in promoting the growth and industrilization of the Indonesian economy, and will cooperate in the encouragement of the production and manufacture within Indonesia of goods, equipment, materials and supplies of a type and quality which are needed in the country and which will assist in the conduct of the operations, such as, for example, improved agricultural and diary products required for the use of Contractors’ employees, and will assist in securing and making available the latest and most modern information, advice and training in these fields. Contractors will utilize qualified Indonesian subcontractors to the maximum extent they are available at competitive terms, and ……….”

Page 111: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

97

telah menunda program pengadaan barang dan jasa, yang pada gilirannya memberi

dampak pada pelaksanaan program kerja. Menyadari dampak negatif pada kegiatan

minyak dan gas bumi, Pemerintah menanggapinya dengan meningkatkan otorisasi

pembelanjaan yang diberikan kepada KBH dan menyederhanakan proses mendapatkan

persetujuan (Keppres Nomor 16 Tahun 1994, Keppres Nomor 6 Tahun 1999 dan

Keppres Nomor18 Tahun 2000).

Dampak dari diberlakukannya Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini íalah

tertundanya proyek-proyek pengembangan yang berakibat menurunnya investasi untuk

eksplorasi dan pengembangan. Misalnya untuk tahun 1984 investasi barang-barang

kapital menurun menjadi USD 1,286 milyar atau 23,6% dibawah tahun 1983. Dampak

jangka panjang adalah menurunnya kapasitas produksi.115

Dalam hal ini Pemerintah tampak telah memperlakukan KBH sebagai salah satu

unit kegiatan dari pemerintahan dan menempatkan posisi PERTAMINA tidak sejajar

atau berada di atas Kontraktor. Kebijakan publik yang bertujuan melindungi produk dan

jasa domestik dalam rangka penciptaan lapangan kerja cukup beralasan; namun di sisi

lain pelaksanaan kebijakan tersebut dipandang oleh para investor berlebihan yang

merugikan baik investor maupun negara. Mengkaji kesepakatan dalam KBH, tindakan

yang menjadikan kegiatan KBH sebagai salah unit kegiatan pemerintahan dan

kedudukan PERTAMINA berada diatas Kontraktor tidak sejalan dengan ketentuan-

ketentuan dalam kontrak seperti ditunjukkan dalam pasal-pasal berikut:

1). Section I.1 yang menetapkan bahwa Kontraktor bertanggung jawab kepada

PERTAMINA untuk melaksanakan operasi menurut ketentuan dalam kontrak,

dan ditunjuk sebagai satu-satunya perusahaan yang melakukan operasi

115 US Embassy, Petroleum Report 1984, Jakarta, 1985

Page 112: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

98

perminyakan. Selanjutnya Kontraktor berkewajiban menyediakan dana dan

teknologi untuk melakasanakan operasi dan menanggung beban risiko.

2). Section V ayat (1.3.a) CPP PSC tentang kewajiban PERTAMINA menetapkan

bahwa PERTAMINA bertanggung jawab atas kendali manajemen operasi,

namun, PERTAMINA berkewajiban membantu dan melakukan konsultasi

dengan Kontraktor mengingat Kontraktor bertanggung jawab atas Rencana

Kerja.

3). Section V ayat (1.3.c) CPP PSC menyatakan bahwa PERTAMINA berkewajiban

membantu dan melancarkan pelaksanaan Rencana Kerja dari Kontraktor dengan

menyediakan fasilitas, suplai dan personalia termasuk tetapi tidak terbatas pada

pemberian visa, izin kerja, transportasi, perlindungan keamanan dan hak-hak

untuk memasuki yang mungkin diminta oleh Kontraktor dan tersedia dari

sumber-sumber lain dibawah kendali PERTAMINA.116

Penafsiran tentang PERTAMINA memegang kendali atas manajemen operasi

Kontrak Kerja Sama yang pada awalnya diartikan hubungan paralel yang bersifat kerja

sama dan koordinasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Sutowo yang

memperkenalkan KBH tampak telah bergeser menjadi hubungan para pihak yang tidak

116CPP PSC Section I.1: “Contractor shall be responsible to PERTAMINA for the execution of such operations in accordance with the provisions of this Contract, and is hereby appointed and constituted the exclusive company to conduct Petroleum Operations; Contractor shall provide all the financial and technical assistance required for such operations; Contractor shall carry the risk of Operating Cost required in carrying out operations and shall therefore have an economic interest in the development of the Petroleum deposits in the Contract Area. Section V.1.3.a: “Pertamina shall have and be responsible for the management of operations contenplated hereunder, however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is responsible for the Work Program”; Section V.1.3.c: “Pertamina shall otherwise assist and expedite Contractor’s execution of the Work Program by providing facilities, supplies and personnel including, but not limited to, supplying or otherwise making available all necessary visas, work permit, transportation, security potection and rights of way and asessments as may be requested by Contractor and made available from the resources under Pertamina’s control. In the event …….”

Page 113: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

99

sejajar dengan PERTAMINA/Pemerintah seolah-olah mempunyai kewenangan

membuat putusan yang menentukan (determining vote). 117 Di Malaysia, ketentuan

tentang manajemen yang sama dengan KBH Indonesia, namun dalam prakteknya

dilakukan melalui “joint operating committee”, terdiri dari wakil-wakil Petronas

(BUMN) dan Kontraktor dengan putusan berdasarkan mufakat. Dalam memanfaatkan

produk dalam negeri, Petronas menerbitkan tata cata dan aturan yang disepakati oleh

kedua pihak.118

Di Cina, ketentuan mengenai manajemen menyatakan bahwa fungsí manajemen

dilakukan oleh Joint Management Committee (JMC), terdiri dari wakil-wakil BUMN

dan Kontraktor dan putusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat. JMC juga

menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa, termasuk menentukan perlakuan

khusus untuk produk domestik melalui standardisasi muatan lokal (local content).119

2. Perpajakan

Pembayaran pajak Kontraktor merupakan isu yang sering dibahas dan

dipermasalahkan, meskipun salah satu maksud dari diadakannya Kontrak Bagi Hasil

adalah untuk menghindari permasalahan ini melalui pembagian produksi. Dalam

naskah kontrak KBH generasi I (sebelum tahun 1977), ketentuan mengenai perpajakan

agak berbeda antara satu kontrak dengan kontrak yang lain, namun demikian terdapat

satu pengertian yang sama bahwa termasuk dalam bagian dari minyak yang menjadi hak

PERTAMINA adalah seluruh pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah, dan karena itu

PERTAMINA membebaskan Kontraktor dari pembayaran pajak tersebut. Pajak-pajak

117 Lihat Knowles, Ruth Sheldon, loc. cit. 118 T.N. Machmud, op. cit. 96-97 119 Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in China, Oil & Gas Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet & Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK), hlm 231-239

Page 114: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

100

ini adalah pajak perseroan dan pajak-pajak keuntungan termasuk dividen dan lain-lain

yang dikenakan oleh Pemerintah120 Kemudian dalam KBH generasi II penerimaan

Pemerintah ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu berupa Pajak Perseroan dan

Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti, dan Penerimaan Bukan Pajak termasuk

didalamnya pajak impor, pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, pungutan-

pungutan. Berikut ini beberapa permasalahan mengenai perpajakan yang timbul dengan

berubahnya kebijakan Pemerintah.

a. Pajak Perseroan

Dalam hal ini masalah yang dikedepankan adalah adanya kekhawatiran

Kontraktor atas tax liability dalam hal PERTAMINA tidak melakukan pembayaran

kepada Negara Sebagaimana dikatakan oleh Fabrikant, meskipun ketentuan dalam

kontrak menyebutkan bahwa Kontraktor dibebaskan dari utang pajak ketika

PERTAMINA telah menerima produksi yang menjadi haknya, Menteri Keuangan selalu

dapat mengenakan pajak-pajak kepada perusahaan dalam hal PERTAMINA tidak

membayarkan atas namanya kepada Kas Negara.121

Kekhawatiran ini kemudian terhapus dengan dikeluarkannya UU Pertamina, di

mana Pasal 15 menetapkan:

120 Kontrak Bagi Hasil antara PERMINA dan Conoco tanggal 12 Mei 1967 menyatakan ketentuan tentang perpajakan ini sebagai berikut: “the portion of crude oil of which Pertamina is entitled to take and receive hereunder shall be inclusive of all income taxes payable to the Republic of Indonesia, such as Company tax, income taxes or taxes based on income or profits including all dividend, withholding, and other taxes imposed by the Government of Indonesia on the distribution of income or profits by the Company. PERMINA agrees to pay and discharge such taxes for the account of the Company.” Kontrak Bagi Hasil antara PERTAMINA dan Trend Exploation Limited tanggal 15 Ojtober 1970: “The Company shall be subject to the Indonesia Income Tax Laws and shall comply with the requirements of the law………. Pertamina shall pay on behalf of the Company, the Company’s Indonesian Income Tax out of Sixty-Five per cent (65%) or Sixty-Seven and one-half per cent (67.5%) as the case may be of the value of Crude Oil produced and saved and not used in Petroleum Operations after deducting Operating Costs…..” 121 Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspects of Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973, hlm 39 – 57.

Page 115: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

101

1). Kewajiban PERTAMINA menyerahkan kepada Kas Negara 60% dari

pendapatan bersih dari kegiatan Kontrak Bagi Hasil sebelum dilakukan

pembagian antara PERTAMINA dan Kontraktor;

2). Pembayaran ini akan membebaskan PERTAMINA dan Kontraktor dari

kewajiban pembayaran pajak seperti ditetapkan dalam undang-undang.

Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan adanya amendemen dalam Kontrak

Bagi Hasil yang memisahkan komponen penerimaan PERTAMINA dari pajak dan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/1978 Tentang Tata Cara

Menghitung dan Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan

Royalti Oleh Kontraktor Yang Beroperasi Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Minyak dan

Gas Bumi dengan PERTAMINA tertanggal 19 Juli 1978.122

Selanjutnya, membandingkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang

Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun

2000 (UUPh) dan UU Migas 2001, tampak bahwa UUPPh yang berlaku tidak secara

khusus mengatur perlakuan pajak yang berlaku di KBH. Meskipun saat ini belum

122 Lihat Section V.3 (b) CPP PSC “Pertamina shall except with respect to Contractor’s obligation to pay Indonesian Corporate Tax and the Tax on Interest, Dividends and Royalty as set forth in paragraph (a) of subsection 1.2 of this Section, assume and discharge all Indonesian taxes of Contractor including transfer tax, import and export ruties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor, its contractors and subcontractors, exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by Contractor or its Affiliates rendering services in connection therewith provided such services shall be charged at cost. Pertamina shall not be obliged to pay taxes on tobacco, liquor and personnel income tax; and income tax and other taxes not listed above of contractors and subcontractors. The obligations of Pertamina.hereunder shall be deemed to have been complied with by the delivery to Contractors, within one hundred and twenty (120) days alter the end of each Calendar Year, of documentary proof in accordance with the Indonesian fiscal laws that liability for the above mentioned taxes has been satisfied, except that with respect to any of such liabilities which Contractor may be obliged to pay directly, Pertamina shall reimburse it within sixty (60) days after receipt of invoice therefor. Pertamina should be consulted prior to payment of such taxes by Contractor or by any other party on Contractor’s behalf. Section V. (1.2) (s): “Contractor shall be subject to and shall pay the Government of the Republic of Indonesia the Indonesian Corporate Tax and the Tax on Interest, Dividends and Royalty imposed on its income pursuant to the Indonesian tax laws. Contractor shall comply with the requirements of the law in particular with respect to filing of returns, assessments of tax, and keeping and showing of books and records.”

Page 116: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

102

menimbulkan permasalahan, perlakuan semacam ini dapat menimbulkan masalah

(khususnya kontrak-kontrak baru) karena karakteristik dari sektor hulu yang

memerlukan perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan perlakuan pajak yang

netral.

Misalnya, dalam UUPPh ditetapkan bahwa amortisasi atas pengeluaran untuk

memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun di

bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode

satuan produksi amortisasi. Jika ketentuan dalam Pasal 11A ayat (4) ini diberlakukan

terhadap KBH, perlakuan pajaknya menjadi tidak netral karena pada saat perusahaan

mulai berproduksi, pembebanan amortisasinya tidak akan dapat kembali secara penuh.

KBH tidak mengenal adanya kompensasi kerugian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)

UUPPh, di mana dikatakan bahwa kompensasi kerugian dapat dikompensasikan selama

lima tahun berturut-turut.123

Dalam sistim akuntansi KBH semua pengeluaran pada masa eksplorasi diperoleh

kembali melalui mekanisme perhitungan "costs recovery" yang dapat diperoleh kembali

tanpa pembatasan. Mekanisme dalam KBH ini lebih tepat, mengingat masa eksplorasi

membutuhkan waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun); jika kompensasi kerugian di

sektor hulu diberlakukan aturan yang umum maka ketentuan ini tidak akan mendorong

investasi. Industri hulu di sektor migas memerlukan modal yang besar dengan risiko

yang tinggi dan waktu yang cukup lama untuk mencapai tahapan produksi, sehingga

diperlukan perlakuan pajak yang netral.124

Selanjutnya, Pasal 31 ayat (4) UU Migas 2001 dan Pasal 53 PP Migas

menetapkan kewajiban Kontraktor membayar pajak berdasarkan salah satu dari dua 123 Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis Indonesia, 22 November 2004 124 Ibid

Page 117: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

103

pilihan yang ada, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada

saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Pertanyaan yang kemudian

timbul adalah ketentuan yang mana yang berlaku bagi industri migas di sektor hulu?

Ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU Migas 2001 dan Pasal 53 PP Migas tidak memberikan

kepastian hukum terhadap kegiatan di sektor migas industri hulu. Hal ini

mengisyaratkan perlu dikajinya kembali ketentuan tersebut untuk memberikan kepastian

hukum dan perlakuan yang sama antara kontrak yang lama dan yang baru.

b. Pajak Pertambahan Nilai

Masalah perpajakan yang lain dan masih belum terselesaikan adalah mengenai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 1984), yang berlaku efektif pada tanggal

1 April 1984 tetapi kemudian ditangguhkan sampai 1 Januari 1986. PPN ini

menggantikan Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-undang

Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-undang

Nomor 35 Tahun 1953

Sejak diundang-undangkannya, UUPPN 1984 telah mengalami dua perubahan.

Perubahan pertama adalah pada akhir tahun 1994 dengan dikeluarkannya Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun

1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah yang mulai berlaku 1 Januari 1995 (UUPPN 1995). Perubahan kedua

adalah tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan

Page 118: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

104

Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 2000).

Berbeda dengan pajak penjualan, PPN dikenakan atas nilai tambah yang timbul

pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa

tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN sudah dikenakan pada setiap tingkat mata

rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan secara

bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali

pajak yang telah dibayar (kredit pajak) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga presentase

beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku.

Dalam hal ini panjang pendek jalur produksi atau jalur distribusi tidak mempengaruhi

presentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen. Oleh karena itu mekanisme

pemungutannya juga berbeda dengan pajak yang digantikannya.125

Khusus untuk kegiatan pengusahaan migas berdasarkan Kontrak Bagi hasil

berlaku ketentuan-ketentuan berikut:126

1). Minyak dan gas bumi tidak dikenakan PPN;

2). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang telah berproduksi, PPN dan Pajak Penjualan

Barang Mewah dibayar kembali (restitusi) dari PERTAMINA;

3). Kegiatan pemboran bukan obyek dari PPN (Surat Menteri Keuangan Nomor S-

1107/MK/1985 tanggal 27 September 1985);

4). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang belum berproduksi, pembayaran PPN

ditangguhkan sampai dimulainya produksi (Keppres Nomor 22 Tahun 1989,

tanggal 24 Mei 1989 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor

125 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 30 – 31. 126 Lihat Abas Kartadinata, Tax Regulations for Production Sharing Contractors, Perhimpunan Pengelola Akutansi dan Keuangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Jakarta, 1991.

Page 119: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

105

572/KMK.04/1989). Kemudahan ini akan berakhir sesuai dengan jangka waktu

penundaan yang telah diberikan paling lambat 31 Desember 1999).

Meskipun masih berpendapat bahwa kewajiban membayar PPN adalah beban

dan tanggung jawab PERTAMINA/Badan Pelaksana, Kontraktor KBH mematuhi

ketetapan pajak tersebut dengan melakukan pembayaran PPN sesuai dengan tata cara

yang telah ditetapkan. Hal-hal yang dipermasalahkan adalah mekanisme untuk

pengembalian PPN yang dibayarkan, khususnya mengenai waktu pengembalian yang

cukup lama. Restitusi PPN yang seharusnya dilakukan paling lambat 60 hari, dalam

kenyataannya sampai berbulan-bulan, dan ini merupakan indikasi kurangya koordinasi

antara instansi satu dan instansi lainnya. Dalam jangka panjang hal ini berdampak pada

meningkatnya kebutuhan akan modal kerja, yang kemudian ditambah dengan kendala

administratif dalam pemeriksaan dan persiapan dokumen-dokumen yang berkaitan

dengan restitusi telah mengurangi minat untuk berinvestasi.127

Kemudian, dengan berakhirnya kemudahan yang diberikan dalam Keppres

Nomor 22 Tahun 1989, maka meningkatnya kebutuhan akan modal kerja untuk proyek

yang berisiko tinggi atau “risk capital” dirasakan sangat memberatkan bagi Kontrak

Bagi Hasil yang masih dalam tahapan eksplorasi. Permasalahan mengenai PPN ini

makin menjadi kompleks dengan perubahan status PERTAMINA menjadi Persero dan

tidak lagi mewakili Pemerintah dalam KBH, sementara peraturan pelaksanaan belum

dikeluarkan. Sejak bulan Mei 2003, PERTAMINA tidak lagi dalam kedudukan untuk

memberikan restitusi PPN kepada KBH dan yang kemudian disusul dengan peraturan

bahwa mulai 1 Januari 2004, KBH tidak lagi menjadi Pemungut PPN. Dengan tidak

127 Pandangan yang sama dikemukakan oleh Indonesian Petroleum Association (IPA), Indonesian Gas Assoction (IGA) dan Indonesian Mining Association (IMA) dalam Pre-Conference Dialog # 2, yang diselenggarakan oleh Bimasena di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2004 dan dihadiri oleh wakil Direktorat Jenderal Pajak.

Page 120: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

106

menjadi Pemungut PPN, maka KBH tidak memiliki bukti pembayaran PPN, sehingga

tidak dapat mengajukan klaim pembayaran kembali PPN yang telah dibayarkan.128

Dari hasil wawancara juga ditemukan adanya beberapa perkara sengketa antara

Direktorat Jenderal Pajak dan Operator Kontrak Bagi Hasil mengenai pengenaan PPN

untuk wilayah kontrak yang belum berproduksi, salah satu diantaranya adalah Amoseas

Indonesia lawan Direktorat Jenderal Pajak. Perkara ini dimulai dengan diterimanya

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN oleh Amoseas Indonesia Inc.

selaku Operator dari beberapa KBH yang telah dikembalikan karena tidak menemukan

cadangan minyak yang komersial. Dalam putusannya nomor 01/B/PK/PJK/2003

tanggal 29 September 2003 yang mengadili peninjauan kembali perkara Amoseas

Indonesia Inc. lawan Direktur Jenderal Pajak, Mahkamah Agung membatalkan putusan

Pengadilan Pajak tanggal 3 Mei 2002 Nomor 0144/PP/A/M.V/16/2002 yang

menerapkan ketentuan Pasal II huruf (a) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994

Tentang Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam amar putusan, Mahkamah Agung memerintahkan Direktur Jenderal Pajak

mengembalikan PPN yang telah disetor sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai masa pajak Desember 1999. Sampai dengan

penulisan tesis ini, pengembalian pajak yang telah disetor tersebut belum dilaksanakan

oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini kemudian menimbulkan rasa keprihatinan

mengenai ketidakpatuhan Direktur Jenderal Pajak atas putusan Mahkamah Agung.

128 Ibid: Dari informasi yang disampaikan oleh IPA dalam Pre-Conference Dialog # 2 (13 Oktober 2004) diketahui bahwa sampai dengan 1 September 2004 utang restitusi yang harus dibayarkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada KBH telah mencapai hampir Rp 1 trilyun.

Page 121: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

107

c. Pajak Impor

Masalah lain yang berkaitan dengan pungutan Negara ini adalah mengenai pajak

impor dan bea masuk Sesuai dengan Section V.1.3.b, semua pungutan Negara diluar

Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti sudah termasuk dalam

bagian Pemerintah Bukan Pajak, karena itu pungutan-pungutan ini sepenuhnya

merupakan beban Pertamina (atau Badan Pelaksana setelah UU Migas 2001). Dalam

pelaksanaan, sebelum UU Migas 2001 pajak impor termasuk PPN dibebaskan melalui

fasilitas “master list” dengan Angka Pengenal Importir (API) milik PERTAMINA,

karena peralatan menjadi milik PERTAMINA.

Karena bukan merupakan perusahaan Badan Pelaksana tidak dapat bertindak

sebagai importir sebagaimana halnya dengan PERTAMINA, yang mengakibatkan KBH

tidak dapat menggunakan fasilitas pembebasan pajak impor dan bea masuk. Untuk

mengatasi permasalahan tersebut, maka sebagai solusi sementara PERTAMINA

menyetujui untuk KBH sebelum tahun 2002 menggunakan API PERTAMINA

sehingga KBH tersebut masih mendapatkan pembebasan pajak impor dan bea masuk.

Persetujuan PERTAMINA tersebut dibatasi untuk barang-barang operasional (Kategori

I), tetapi tidak untuk barang-barang kapital (Kategori II).

3. Penerapan asas pacta sunt servanda berlandaskan kepentingan dan

manfaat bersama

Dari kasus-kasus tersebut, terlihat banyak peraturan perundang-undangan baru

yang penerbitannya tidak dikordinasikan atau dikonsultasikan terlebih dahulu dengan

unit atau departemen yang mewakili Pemerintah dan mengawasi pelaksanaan KBH.

Dalam masalah pengutamaan produk dalam negeri, selain tidak sesuai dengan ketentuan

dalam kontrak pemberlakuan Keputusan Presiden Tentang Pedoman Pelaksanaan

Page 122: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

108

Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah terhadap Kontrak Bagi Hasil telah

menyulitkan pemisahan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan kontrak, yaitu

investor atau kontraktor sebagai penyandang dana dan pelaksana rencana dan program

kerja, dan PERTAMINA sebagai manajemen. Hal ini berdampak pada tidak

tercapainya salah satu tujuan Kontrak Bagi Hasil, yaitu keseimbangan dalam mengelola

sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang meliputi tanggung jawab yang

jelas dari masing-masing pihak yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan

strategi kontrak pengelolaan migas. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan kesadaran

bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, dan harus

dijalankan dengan penuh kehati-hatian (prudent).

Selain menfasilitasi mobilisasi modal pelaksanaan tata kelola kontrak

pengelolaan sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang dilandasi pada asas

pacta sunt servanda akan menjamin penggunaan modal yang efisien yang akan

mendukung terciptanya operasi yang efisien pula. Sebagai suatu sistem, tata kelola

KBH yang baik seharusnya juga melakukan pengecekan dan perimbangan kewenangan

dan pengendalian kegiatan para pihak yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang

salah dan peluang penyalahgunaan wewenang. Proses tersebut tidak dipengaruhi oleh

pihak di luar sistem tetapi harus transparan, agar mencapai tujuan kontrak pengelolaan,

yaitu pencapaian dan pengukuran kinerja masing-masing pihak dalam kontrak.

Selanjutnya, dalam masalah perpajakan sekalipun diakui bahwa terhadap

Kontrak Bagi Hasil diberlakukan ketentuan perpajakan yang bersifat lex specialis,

dalam kenyataan Ditjen Pajak mempunyai pertimbangan lain untuk menerapkan

kebijakan umum, seperti halnya dengan tata cara pembayaran PPN. Dihapuskannya

perlakuan khusus (lex specialis) di sektor migas menyusul diberlakukannya peraturan

Page 123: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

109

perpajakan oleh Ditjen Pajak telah menyebabkan perhitungan pola bagi hasil produksi

migas tidak lagi memasukkan besaran pajak yang harus ditanggung Kontraktor KBH

atau pemberlakuan pajak ini tidak sesuai dengan kesepakatan dalam KBH.

Berlandaskan pada asas pacta sunt servanda Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam

Kontrak Bagi Hasil harus menjamin kekuatan hukum kontrak bagi hasil yang telah

ditandatangani, termasuk kepastian pemberlakuan sejumlah pajak.

Kebijakan perpajakan yang mengabaikan adagium lex specialis derogat legi

generalis dapat kontra produktif apabila hasilnya adalah penolakan terhadap keperluan

untuk meningkatkan kegiatan migas. Karena itu agar kebijakan-kebijakan yang dibuat

oleh Pemerintah efektif dan sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka sejumlah kebijakan

dan peraturan yang dikeluarkan oleh departemen-departemen harus diharmonisasikan

untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan kontradiksi kebijakan. Misalnya,

dalam UUPPh perlu ditambahkan ketentuan yang memberikan perlakuan pajak khusus

terhadap kegiatan di industri hulu sektor migas agar dapat dijamin kepastian hukum.

Penambahan aturan ini harus didasarkan atas pertimbangan utama memberikan aturan

yang sifatnya netral terhadap industri hulu di sektor migas. Jika pendekatan ini yang

dipilih, sebaiknya hal ini diberlakukan terhadap kontrak-kontrak yang lama sehingga

kepastian hukum dapat diciptakan. Perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan

perlakuan pajak yang netral kepada kegiatan pencarian dan pengembangan sumber daya

migas diterapkan hampir di semua negara-negara berkembang dan maju.

Dari kajian terhadap data penyelesaian sengketa tampak bahwa sampai saat ini

belum tercatat kasus sengketa di bidang migas yang diajukan kepada forum arbitrase.

Investor KBH cenderung memilih penyelesaian sengketa secara musyawarah baik

secara langsung maupun melalui forum asosiasi seperti Indonesian Petroleum

Page 124: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

110

Association. Namun demikian dampak dari negosiasi yang berkepanjangan adalah

sama, yaitu dihindarinya Indonesia sebagai tujuan investasi, sementara sikap investor

KBH tersebut dapat berubah meninggalkan cara musyawarah dalam penyelesaian

sengketa. Dengan potensi menemukan cadangan migas masih tetap tinggi tetapi

sasarannya lebih tersembunyi dan terletak di laut dalam dan wilayah-wilayah terpencil,

kegiatan eksplorasi yang aktif perlu digalakkan dalam iklim usaha dengan jaminan

adanya kepastian hukum.

Menanggapi keluhan para investor migas mengenai kesucian kontrak,

Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengambil pelajaran dari penyelesaian sengketa

di forum arbitrase atau pengadilan internasional. Baik asas kesucian kontrak maupun

klausula rebus sic stantibus diakui dalam putusan forum arbitrase atau pengadilan

internasional dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan kontrak-kontrak

berjangka panjang. Misalnya, dalam perkara Texas Overseas Petroleum

Company/California Asiatic Oil Company lawan Pemerintah Libya (1978), putusan

Mahkamah Arbitrase mengakui asas kesucian kontrak ini dengan mendasarkan

putusannya pada itikad baik dalam perjanjian tertulis antara para pihak. 129

Selanjutnya, meskipun beberapa putusan arbitrase internasional mengakui

klausula rebus sic stantibus, seperti dalam perkara Pemerintah Kuwait lawan American

Independent Oil Company (Aminoil) pada tahun 1982, penerapannya memerlukan

pembuktian yang kuat bahwa perubahan yang terjadi tidak atau tidak dapat diantisipasi.

Dalam putusannya, tindakan Kuwait melakukan nasionalisasi dapat dibenarkan dengan

129 Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaption in the International Investment Projects: Appplicable Legal Principles and Industry Practices, Oil, Gas & Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue # 02, March 2003, University of Dundee, http://www.gasandoil.com/ogel/samples/, hlm 20. Maitrise En Droit International Et Europeen, Texaco/Calasiatic c/ Gouvernement Libyen, Sentence Arbitrale Au Fond, 19 Janiver 1977. www.pict-pcti.org/publications/Bibliographies/Arb_Cases.doc

Page 125: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

111

memberikan kompensasi kepada Aminoil berupa ganti rugi dan potensi kehilangan laba

(lucrum cessans).130

Dalam perkara Slovakia lawan Hongaria di International Court of Justice

mengenai sengketa proyek bersama bendungan Gabcikovo-Nagymaros di sungai Donau,

pecahnya Cekoslovakia menjadi dua negara (Ceko dan Slovakia) diakui sebagai change

of circumstances. Namun, perubahan itu tidak ada kaitannya dengan objek dari proyek

dan maksud dari Budapest Treaty (1977) yang merupakan dasar kesepakatan untuk

pembangunan proyek bendungan tersebut; dengan demikian alasan Hongaria untuk

membatalkan proyek bendungan tersebut tidak dapat diterima. Juga perubahan standar

lingkungan merupakan hal yang seharusnya sudah diantisipasi dan karena itu tidak dapat

dijadikan alasan oleh Hungaria untuk membatalkan proyek.131

Di dalam negeri, dalam perkara PERTAMINA dan PLN lawan Karaha Bodas

Company L.L.C dan PLN lawan Himpurna California Energy dan Patuha, putusan

Pemerintah untuk menunda proyek tersebut karena krisis moneter diterima sebagai

“force majeure”, tetapi hanya diberlakukan untuk investor. Pertamina dan PLN tidak

dalam posisi untuk menggunakan Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tentang penundaan

sejumlah proyek infrastuktur sebagai landasan untuk pembebasan kewajibannya, dan

karena itu Pertamina dan PLN harus dianggap telah ingkar janji. Putusan ini dapat

diartikan bahwa klaim PERTAMINA dan PLN agar dibebaskan dari kewajibannya

berdasarkan klausula rebuc sic stantibus tidak diterima. 132

130 Abba Kolo, loc. cit. 131 International Court of Justice, Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Summary of the Judgement of 25 September 1997, http://www.lawschool.cornell.edu/library/cijwww/ icjwww/docket/ihs/iHS_summaries/ihssummary/1997 132 Dalam putusannya Mahkamah Arbitrase Internasional perkara Karaha Bodas menetapkan bahwa bantahan Pertamina dan PLN yang menyatakan bahwa mereka juga berhak dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan (deprive) arti penting dari Artikel 15.2 (JOC) dan Seksi 9.2 (ESC) yang menyatakan

Page 126: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

112

Sebagaimana dinyatakan oleh Abba Kolo bahwa meskipun mengakui klausula

rebus sic stantibus hukum internasional tidak memberikan definisi yang jelas mengenai

kondisi untuk penerapannya. 133 Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan adanya

persepsi yang asimetris antara negara-negara maju atau pemilik modal dan negara-

negara berkembang atau pemilik sumber daya alam dalam mencari cara yang terbaik

untuk mencapai integrasi ekonomi internasional.134

Adanya kepentingan Pemerintah yang sering berubah ini mengisyaratkan

diperlukannya suatu dialog yang berkesinambungan antara para pihak. Dilandasi pada

kepentingan bersama (mutuality of interests), para pihak harus bersedia menerima

keterbatasannya dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang

keberhasilan usaha. Semacam proses interaksi yang dintegrasikan dalam kontrak

diperkirakan dapat memberikan suatu dasar untuk mengatur perubahan tanpa berusaha

untuk menetapkan dengan pasti hubungan yang akan datang. Dalam hal ini sangat

penting untuk para pihak mengetahuinya dari awal hal-hal yang pokok dalam kontrak,

terutama hal-hal yang mempunyai kemungkinan akan berubah selama kontrak berjalan

dan yang berpotensi menimbulkan sengketa. Misalnya, kemungkinan adanya perubahan

dalam sistem perpajakan, impor dan tata ruang perlu diantisipasi dan garis besar cara

penyelesaian diakomodasi dalam kontrak.

Seperti dalam Joint Operation Contract (JOC) antara investor dengan

PERTAMINA dan Energy Sales Contract (ESC) antara investor dengan PERTAMINA

dan PLN dalam proyek Pembangkitan Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), disepakati

bahwa kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tindakan Pemerintah (Government Related Event) bukan merupakan keadaan kahar bagi Pertamina dan PLN. 133 Abba Kolo, loc. cit. 134 Lihat Banani, Dinesh D, International Arbitration and Project Finance in Developing Countries: Blurring the Public/Private Distinction, Boston College International & Comparative Law Review www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/26_2/0.

Page 127: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

113

untuk menyesuaikan harga jual-beli listrik jika terjadi perubahan dalam kebijakan

Pemerintah yang memperburuk kelayakan ekonomi proyek tersebut. Selanjutnya, untuk

mencegah terulangya pengalaman pahit PERTAMINA dengan sejumlah TAC, sanksi

yang lebih berat juga perlu dipertimbangkan untuk melindungi kepentingan Pemerintah

terhadap investor yang tidak melakukan kewajibannya karena tidak memiliki dana.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kontrak Bagi Hasil harus menjamin

kepastian dan memenuhi keadilan bagi kedua pihak yang berkontrak. Para pihak yang

mengadakan KBH ini tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH

Perdata dan berbagai peraturan yang mengaturnya (Pasal 1319 KUH Perdata). Karena

merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada KBH ini juga berlaku

asas “Lex specialis derogaat lex generalis”.

Dalam pelaksanaannya peranan itikad baik dan penerapan asas pacta sunt

servanda mempunyai arti yang sangat penting sekali. Sebagaimana dinyatakan oleh

Subekti, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari suatu

hubungan hukum (perjanjian) harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan

keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian

pihak lain. Syarat atau tuntutan kepastian hukum tercermin dalam ayat pertama Pasal

1338 KUH Perdata (yaitu janji itu mengikat), sementara ayat ketiga Pasal 1338 KUH

Perdata harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan.135

Kepada Pemerintah diharapkan agar pemberlakuan peraturan perundang-

undangan baru kepada KBH diselaraskan dengan tujuan dan sasaran KBH. Di sisi lain

kepada investor dituntut untuk memenuhi seluruh kewajibannya dalam kontrak, baik

berupa kewajiban fiskal maupun janji-janji lain seperti pemberian prioritas kepada

135 Subekti, loc. cit.

Page 128: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

114

penggunaan atau pemanfaatan produk dalam negeri. Misalnya, pada waktu menetapkan

persyaratan dalam pengadaan barang atau jasa untuk mendukung operasi KBH, investor

dari luar negeri diharapkan bersedia mempertimbangkan kemampuan dan kedudukan

bersaing dari perusahaan-perusahaan pendukung dan jasa dalam negeri dan menghindari

penetapan persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan jasa luar negeri.

Untuk mengurangi permasalahan dengan penafsiran, pengertian mengenai

berbagai istilah atau parameter yang dijadikan acuan atau bench mark dalam

pelaksanaan kontrak didefinisikan lebih jelas. Misalnya, istilah-istilah seperti lapangan

baru, status komersial dan lain-lain perlu diperjelas. Demikian pula, istilah

“manajemen” dalam kontrak diperjelas meliputi lingkup tugas dan kewenangan serta

tanggung jawab. Seperti yang terjadi pada awal tahun 1980an ambiguitas mengenai

klausula manajemen ini telah menimbulkan celah hukum yang menuju ke birokrasi dan

“inefficiency” yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Penerapan asas pacta sunt

servanda akan lebih efektif apabila fungsi manajemen ini dilakukan melalui Joint

Management Committee yang terdiri dari BP Migas dan investor dan putusan dilakukan

dengan musyawarah dan mufakat, sebagaimana yang dipraktekkan di Malaysia dan

Cina.

Mengingat kesulitan untuk menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan

komersial (acts jure gestionisi) dan kapan ia menjalankan kegiatan pemerintahaan (acts

jure imperil), maka untuk kontrak-kontrak berjangka panjang dengan pihak swasta luar

negeri yang melibatkan aset-aset yang dimiliki atau dikuasai negara atau yang

menyangkut kewajiban atau semacam jaminan negara, seringkali terdapat permintaan

dari investor untuk memasukkan ketentuan tambahan yang menetapkan bahwa

pelaksanaan kontrak merupakan perbuatan bersifat komersial dan bukan perbuatan

Page 129: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

115

kenegaraan dan tidak digunakannya hak kekebalan negara dalam penyelesaian hukum.

Ketentuan tambahan tentang pelepasan hak kekebalan negara tersebut dimaksudkan agar

memberikan semacam perasaan lebih nyaman atau comfort bagi pihak yang menanam

modal dan khususnya pihak pemberi pinjaman atau penyandang dana. Ketentuan

semacam itu dijumpai dalam JOC dan ESC antara investor dengan PERTAMINA dan

PLN dalam proyek PLTP.

Selama ini KBH migas yang berlaku memang tidak memuat klausul tentang

pelepasan hak kekebalan negara. Hal ini lebih berkenaan dengan dipergunakannya dana

sendiri untuk membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Akan tetapi, dengan

makin langkanya dana sendiri (own equity) bagi proyek pengembangan dan eksploitasi

migas, perlu diantisipasi adanya permintaan untuk memasukkan klausul tentang

pelepasan hak kekebalan negara dalam KKS migas. Sektor migas dan sektor keuangan

merupakan industri yang dinamis, penuh dengan perubahan, terutama perubahan akibat

makin langkanya dana sendiri untuk membiayai proyek-proyek yang padat modal.

Salah satu contoh juga bekaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan swasta

nasional. Terbatasnya dana mungkin akan mengharuskan perusahaan yang

bersangkutan untuk mencari pendanaan dari institusi keuangan di luar negeri untuk

membiayai kegiatan pengembangan (development) dan eksploitasi migas. Sebagaimana

yang terjadi pada JOC dan ESC dalam PLTP, para penyandang dana umumnya

mensyaratkan agar klausul waiver of sovereign immunity dalam KKS, disamping

ketentuan tentang dipergunakannya arbitrasi internasional.

Dalam pengelolaan sumber daya migas Indonesia telah berhasil menggeser

keseimbangan kearah yang lebih menguntungkan bagi pihak pemerintah. Secara umum

Kontrak Bagi Hasil sama dengan kontak-kontrak bisnis lainnya, namun demikian ada

Page 130: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

116

keunikan tersendiri mengingat yang menjadi salah satu pihak dalam kontrak adalah

Pemerintah. Apa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah memelihara iklim yang

kondusif untuk investasi. Meskipun penerapannya secara mutlak sulit, asas pacta sunt

servanda merupakan hal esensial dalam menciptakan iklim insvetasi yang kondusif ini.

Kebijakan Pemerintah dalam suatu bidang perlu diselaraskan dan disinkronisasikan

dengan kebijakan di bidang lain demi tercapainya hasil yang optimum. Investor dan

pemerintah harus dapat membina empathy dalam motif dan kedudukan masing-masing

pihak, sehingga sistem bagi hasil dalam industri migas dapat melanjutkan perannya

sebagai sesuatu yang mengikat kepentingan-kepentingan para pihak yang berbeda.

Page 131: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di muka, hasil penelitian kepustakaan dan kajian atas kegiatan

pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dapat dirangkum dengan beberapa

kesimpulan dan saran berikut.

A. Kesimpulan

1). UU Migas 2001 lebih menegaskan kedudukan Pemerintah Republik Indonesia

dalam Kontrak Bagi Hasil, yaitu sebagai salah satu pihak yang berkontrak secara

tidak langsung (indirect contracting party). Dengan pacta sunt servanda

sebagai landasan Kontrak Bagi Hasil, Pemerintah terikat untuk senantiasa

menerapkan asas tersebut dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan

baru yang akan berdampak pada berubahnya persyaratan komersial KBH.

2). Dengan kedudukan Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dan berdasarkan

adagium les specialis derogat legi generalis, maka peraturan perundang-

undangan baru yang dikeluarkan setelah suatu Kontrak Bagi Hasil

ditandatangani tidak dapat diberlakukan pada Kontrak Bagi Hasil tersebut,

apabila pemberlakuannya akan mengubah persyaratan komersial kontrak.

2. Saran

1). Dalam mengemban amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat, maka

pemberlakukan peraturan perundang-undangan baru kepada KBH yang sedang

berjalan harus selaras dan sinkron dengan tujuan dan sasaran KBH.

117

Page 132: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

118

2). Untuk menfasilitasi penerapan pacta sunt servanda, naskah Kontrak Bagi Hasil

disarankan agar disempurnakan dengan menghilangkan “ambiguity”, antara lain

dengan memberikan definisi yang lebih jelas terhadap beberapa istilah dan

menambah ketentuan-ketentuan yang lebih memberikan perlindungan kepada

para pihak dalam hal terjadi perubahan baik yang berasal dari faktor internal

maupun eksternal.

Page 133: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1962

Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960.

Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London, 1986.

Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey, F.W. trans., Oxford, 1916 – 25, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.

Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2001.

Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972.

Johnston, Daniel, Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, PennWell Books, Tulsa, Oklahoma, 1994.

Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash Publishing, Los Angeles, 1973.

Kranenburg, R. en Vegting, W.G., Inleiding in het Nederlandsche Administratiefrecht, NV H.D. Theenk Willink & Zoon, Haarlem, 1955

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994.

Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976.

Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979.

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press Kualalumpur, 1982.

Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934, TLDB Document ID: 105700, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub

119

Page 134: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

120

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-sendi Hukum dan Tata Hukum, Alumni Bandung, 1982

Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.

Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Itermasa, Jakarta, 2001.

Sudargo Gautama, Aneka Perkara Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Alumni, Bandung, 1999.

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung, Bandung, 1979.

Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991.

Disertasi:

Gao, Zhigue, International Offshore Petroleum Contracts, Towards the Compatibility of Energy Need and Sustainable Development, Dissertation Doctor of Science Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, UMI Dissertation Services, Ann Arbor, Michigan, July 1993.

Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangitan Pertambangan Indonesia, Pidato Ilmiah Penganugerhan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret 1996.

T.N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law International, The Hague, 2000.

Jurnal, Makalah dan Laporan:

Abas Kartadinata, New PSC – Indonesia: Impact of New Tax Laws and Regulations, Petroleum Lawyers Luncheon, October 26, 1984.

Abas Kartadinata, Tax Regulations for Production Sharing Contractors, Perhimpunan Pengelola Akutansi dan Keuangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Jakarta, 1991.

Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaption in the International Investment Projects: Appplicable Legal Principles and Industry Practices, Oil, Gas &

Page 135: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

121

Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue # 02, March 2003, University of Dundee, http://www.gasandoil.com/ogel/samples/

Anton Tjahjono, Improving Investment Climate for the Gas Industry, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004

Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Majalah Ilmiah UNPAD, Bandung, Nomor 3 Volume 14 Tahun 1986.

Banani, Dinesh D, International Arbitration and Project Finance in Developing Countries: Blurring the Public/Private Distinction, Boston College International & Comparative Law Review, http://www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/26_2/0

Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November 1983.

Chengwei, Liu, Remedies for Non-performance: Perspective from CSIG, UNIDROIT Principle and PECL, Chapter 19 Change of Circumstances, September 2003, http://cisgw3.law.pace.edu/cisg/biblio/ chengwei-79 html.

Departemen Pertambangan, 40 Tahun Peranan Pertambangan dan Energi di Indonesia 1945 - 1985, Majalah Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1985.

Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.

Direktorat Jenderal Pajak, Kebijakan PPN di bidang Migas dan Panas Bumi, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004.

Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspects of Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973.

Fabrikant, Robert, Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol 16, 1975.

Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex Mercatoria, Lew ed. Contemporary Problems in International Arbitration, London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.

Hamel, Eugene, Fiscal and Tax Update – Remarks From Indonesian Petroleum Association, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004

Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed., Transnational Rules in International Commercial Arbitration, ICC Oubl. Nr. 480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html

Page 136: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

122

Indonesian Mining Association, Mining Taxation - Proposal, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004.

Jennings, R.Y., State Contracts in International Law, British YB International Law, 1961

Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in China, Oil & Gas Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet & Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK).

Madjedi Hasan, Petroleum Contract – Indonesia’s Issues and Challenges, Petromin, Singapore, December 2001.

Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah Atas Pengantar Musyawarah Fraksi-fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.

Nassar, Nalga, Sanctity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, 1995, p. 193. TLDB Document ID 105700, http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html

Onorato, W.T. Legislative Frameworks Used to Foster Petroleum Development, World Bank, Washington D.C., Feb 1995.

Petroleum Intellegence Weekly, Mc. Graw Hill Publication, New York, 10 June 1963.

PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002.

Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis Indonesia, 22 November 2004

Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia, Indonesia Mining Association (IMA), Jakarta, 1993

Tim Bimasena, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Bimasena, Jakarta, Juni 2002

US Embassy, Petroleum Report 1984, Jakarta, 1985

US Embassy, Petroleum Report 2002 – 2003, Jakarta, March 2004.

Waelde, T.W.., The Current Status of International Petroleum Investment: Regulating, Licensing, Taxing and Contracting, Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy University of Dundee, Dundee, July 1995.

Wehberg, Hans, Pacta Sunt Servanda, http://tldk.uni-koeln.de/php/pub, 2 Agustus 2004.

Page 137: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

123

Kamus

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 7th ed., West Group, St Paul, Minnesota, 1999.

Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

Kontrak

Rokan III 5A Exploratie en Exploitatie Contract tussen Gouvernemen en Nerderlandsche Pacific Petroleum Maatschapij, 12 Agustus 1949.

Heads of Agreement, Government of Republic of Indonesia, PT Caltex Pacific Indonesia Company, PT Stanvac Indonesia and PT Shell Indonesia, 1 Juni 1963.

Contract of Work between P.N. Pertambangan Minyak Indonesia and P.T. Caltex Pacific Indonesia, 25 September 1963.

Contract of Work between P.N. Pertambangan Minyak Indonesia and California Asiatic Oil Company and Texaco Overseas Petroleum Company, 25 September 1963.

The Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional (PERMINA) and Continental Overases Oil Company, May 12 1967

The Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) and Trend Exploation Limited 15 October 1970:

The Coastal Plain Production Sharing Contract between Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara and Texaco Overseas Petroleum Company and California Asiatic Oil Company.

Peraturan perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Indische Mijnwet (Staatsblad 1899 Nomor 214).

Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.

Page 138: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

124

Undang-undang Nomor 15 Prp Tahun 1960 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing.

Undang-undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan.

Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan Perjanjian Karya antara PN PERTAMIN dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaxo Overseas Petroleum Company (Topco), PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia, PN PERMIGAN dengan PT Shell Indonesia.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965 Pencabutan Undang-undang No. 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 15 Prp Tahun 1960.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Negara.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1974 Tentang Perubahan Pasal 19 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Page 139: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

125

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

Mijnordonantie Tentang Pelaksanaan Indische Mijnwet (Staatsblad 1930 No. 38).

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1982 Tentang Kewajiban dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi PERTAMINA Sendiri dan Kontrak Production Sharing.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam rangka PMA.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undan-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO).

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit Berdasarkan Bagi Hasil.

Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1963 Tentang Fasilitas Proyek Yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil.

Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1974 Tentang Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA.

Page 140: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

126

Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1974 Tentang Wilayah Kuasa Pertambangan PERTAMINA.

Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1980 Tentang Team Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah.

Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.

Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 Tentang Penagguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara.

Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Dalam Rangka Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Proyek dan Kegiatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Bidang Infrastruktur.

Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1997.

Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.

Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 2000 Tentang Pokok-Pokok Organisasi PERTAMINA.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.012/1978 Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Perseroan Dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalti Yang Terhutang Oleh Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) Di Bidang Minyak dan Gas Bumi dengan PERTAMINA.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 572/KMK.04/1989 Tentang Penundaan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Pencarian Dan Pemboran Sumber Minyak, Gas Bumi dan Panas Bumi Untuk Yang Belum Berproduksi.

Page 141: Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Kontrak

127

Konvensi

United Nations Convention on the Law of Treaties, Signed at Vienna 23 May 1969, Entry into Force: 27 January 1980.

Putusan Pengadilan dan Mahkamah Arbitrase

Maitrise En Droit International Et Europeen, Texaco/Calasiatic c/ Gouvernement Libyen, Sentence Arbitrale Au Fond, 19 Janiver 1977. www.pict-pcti.org/publications/Bibliographies/Arb_Cases.doc

International Court of Justice, Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Summary of the Judgement of 25 September 1997, www.lawschool.cornell.edu/library/cijwww/icjwww/docket/ihs/ iHSsummaries/ihssummary/1997

Mealey’s International Arbitration Rep, Himpurna California Energy Ltd. (Bermuda) v PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (Indonesia), A-26 December 1999, www.mealeys,com/.

Mealey’s International Arbitration Rep, Patuha Power Ltd. (Bermuda) v PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (Indonesia), B-14 December 1999, www.mealeys,com/.

Derains & Associes, Final Award in an Arbitration Procedure Under the Uncitral Arbitration Rules Karaha Bodas Company v Pertamina and PLN (18 November 2000), www.karahabodas.com/legal/FinalArb.pdf.

Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor 01/B/PK/PJK/2003 Tanggal 29 September 2003 Mengenai Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor 0144/PP/A/M.V/16/2002 Antara Amoseas Indonesia Inc Melawan Direktur Jenderal Pajak.