14
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada. Menindak lanjuti konferensi tersebut, pada tanggal 7 sampai 10 Juni 1994 lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional bertemu di Salamanca, Spanyol, untuk memperluas tujuan PUS (EFA) dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakan pendekatan pendidikan inklusif (inclusive education), agar sekolah- sekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan

PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar

pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari

diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan

internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan

mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara

hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang

kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan

tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan

bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan

untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990.

Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa

semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang

sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa

memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada.

Menindak lanjuti konferensi tersebut, pada tanggal 7 sampai 10 Juni 1994 lebih

dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional

bertemu di Salamanca, Spanyol, untuk memperluas tujuan PUS (EFA) dengan

mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk

menggalakan pendekatan pendidikan inklusif (inclusive education), agar sekolah-

sekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan

Page 2: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

2

pendidikan khusus. Dalam Pernyataan Salamanca tersebut ada enam hal yang

ditekankan, yaitu: (1) hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan

temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat

mengikuti sekolah, (2) hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya

dalam kelas-kelas inklusif, (3) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan

yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual, (4) pengayaan dan

manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan

pendidikan inklusif, (5) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan

berkualitas yang bermakna bagi setiap individu, dan (6) keyakinan bahwa

pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya

pada keefektifan biaya.

Tanpa adanya akselerasi, sasaran tidak bisa tercapai dan ketidakseimbangan

antar negara semakin terbentang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan dasar akan

pendidikan merupakan hal yang penting (Fasli Djalal, 2002:1). Menyadari akan

pentingnya pendidikan, para partisipan yang tergabung dalam World Education

Forum bertemu di Dakar, Senegal bulan April 2000 dan mengikrarkan akan

pentingnya pendidikan untuk semua. Komitmen ini merupakan penguatan atas

Deklarasi Dunia mengenai PUS (EFA) yang diselenggarakan di Jomtien, tahun

1990. Komitmen dalam pertemuan Dakar terdiri dari enam tujuan pendidikan,

sebagai berikut: (1) meningkatkan dan memperluas pendidikan anak-anak secara

menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang kurang beruntung, (2) semua anak-anak

pada tahun 2015 khususnya perempuan, anak-anak dengan kondisi yang

memprihatinkan dan yang merupakan etnis minoritas harus bisa memperoleh dan

menempuh pendidikan dasar berkualitas baik secara cuma-cuma, (3) program yang

bersifat keahlian dan tepat guna akan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan

Page 3: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

3

pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa, (4) pada tahun 2015 diharapkan

akan ada peningkatan sekitar 50% untuk tingkat baca tulis orang dewasa,

khususnya wanita, dan akses yang menunjang keseimbangan akan pendidikan yang

berlanjut untuk semua orang dewasa, (5) menghilangkan isu gender dalam

pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keseimbangan

gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Hal ini akan berfokus pada akses

seimbang dan menyeluruh untuk wanita dalam pendidikan dasar yang berkualitas

baik, dan (6) memperbaiki semua aspek dalam kualitas pendidikan sehingga semua

hasilnya bisa dinikmati oleh semua pihak, terutama dalam baca tulis, menghitung

dan keterampilan siap pakai. Dari ke enam tujuan pendidikan tersebut jelaslah

bahwa pendidikan harus diselenggarakan untuk semua. Kata semua anak secara

literal dan jelas ditujukan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang

kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan layanan pendidikan khusus.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab VI Pasal 32 dikemukakan, bahwa: (1)

pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat

kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,

mental, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) pendidikan

layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau

terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,

bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) ketentuan mengenai

pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah. Apabila dicermati, maka isi yang terkandung di dalam pasal ini telah

sejalan dengan pernyataan Salamanca. Ayat 1 mengakomodasi tentang pendidikan

Page 4: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

4

bagi anak yang berkebutuhan khusus permanen, sedangkan ayat 2 bagi anak yang

berkebutuhan khusus temporer.

Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikan khusus belum ditetapkan, tetapi

berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) draft akhir Bab II Pasal 12

tentang Pendidikan Terpadu dan Inklusif dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan

terpadu dan inklusif bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik

berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem

persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikannya,

(2) pendidikan terpadu dan inklusif dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan

dasar, menengah, dan tinggi, (3) penyelenggaraan pendidikan terpadu dan inklusif

dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan

kemampuan sekolah, (4) sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan

inklusif perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang

diperlukan peserta didik berkelainan, (5) peserta didik yang mengikuti pendidikan

terpadu dan inklusif berhak mendapatkan penilaian secara khusus sesuai dengan

kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan, (6) pemerintah

mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu

dan inklusif, dan (7) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

sampai dengan ayat (6) diatur oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah.

Selain Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pendidikan

inklusif, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Dikdasmen, Dit PLB membuat

kebijakan dan pengembangan program PLB yang di dalamnya mengakomidasi

tentang pendidikan inklusif, sebagai berikut:

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yan mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian

Page 5: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

5

dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusif harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep inklusi ini juga diperkuat adanya konvensi tentang hak-hak anak luar biasa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensi yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan isi yang terkandung dalam kebijakan di atas jelaslah bahwa

pendidikan inklusif bukan hanya isu internasional tetapi juga isu nasional. Hal ini

terbukti dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan

inklusif sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus.

Keinginan tersebut adalah keinginan yang wajar dari pemerintah, mengingat jumlah

anak berkebutuhan khusus yang bersekolah relatif masih sedikit. Data resmi

Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan yang

sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari

populasi anak penyandang disabiltas di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat

PSLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak berkebutuhan khusus

yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikannya.

Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya

angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih

buruknya sistem pendataan.

Salah satu populasi anak berkebutuhan khusus permanen adalah anak tunanetra.

Dengan kondisi kelainan yang dimiliki anak tunanetra, secara empirik

menunjukkan bahwa wujud pendidikan inklusif yang ada di Indonesia sampai saat

ini banyak diikuti oleh anak-anak tunanetra. Secara historis, pendidikan inklusif di

Indonesia sudah dimulai dengan pendidikan integrasi yang diperuntukkan bagi

siswa tunanetra tahun 1978-an. Sampai dengan saat ini telah banyak tunanetra yang

Page 6: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

6

secara akademis berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum. Banyaknya

tunanetra yang telah berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum secara

konseptual dapat ditelusuri beberapa argumentasi yang memperkuat prospektif anak

tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah inklusif. Pertama dari sisi

akademis, bahwa adanya hambatan penglihatan (visual handicapped), tidak

memberikan pengaruh signifikan untuk menghambat aksesibilitas akademis anak

tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum. Hardman, et.al (1992: 28),

menjelaskan bahwa kapasitas inteligensi anak tunanetra sama dengan anak-anak

melihat, kalaupun ada hambatan terletak pada pengembangan fungsi kognitifnya

(cognitive function development). Kedua dari sisi keterampilan sosial (social skills),

bahwa keterbatasan fungsi penglihatan tidak memberikan dampak yang signifikan

terhadap keterampilan sosial anak tunanetra, dimana pada batas-batas tertentu anak

tunanetra relatif dapat mengembangkan keterampilan sosial dengan lingkungan.

Ketiga dari mobilitas, dimana dengan setting pendidikan inklusif banyak

memberikan peluang bagi tunanetra untuk melakukan mobilitas bersama siswa lain

(siswa melihat) dan hal ini akan memberikan pengayaan terhadap penguasaan dasar

orientasi dan mobilitas.

Dari paparan tersebut, maka secara konseptual kebijakan pemerintah Indonesia

untuk mengembangkan pendidikan inklusif sebagai salah satu layanan pendidikan

yang memiliki perspektif, sangat memungkinkan untuk diikuti oleh anak tunanetra.

Dari perspektif isu-isu internasional, bahwa keikutsertaan anak tunanetra dalam

mengikuti pendidikan inklusif merupakan wujud dari Education for All (EFA),

human right, dan pernyataan Salamanca - sebagai kesepakatan internasional tentang

pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di

dalamnya anak tunanetra.

Page 7: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

7

B. Rumusan Masalah

Pendidikan inklusif memiliki landasan formal baik yang berskala internasional,

nasional, maupun lokal. Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkebutuhan

khusus dididik bersama-sama dengan anak-anak lainnya untuk mengoptimalkan

potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan, bahwa di dalam

masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat

dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus

perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak pada umumnya untuk

mendapatkan layanan pendidikan di sekolah terdekat.

Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua

anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun

perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya anak

tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, tetap dalam batas-batas

tertentu memerlukan layanan pendidikan khusus, termasuk dalam layanan

bimbingan dan konseling. Hasil penelitian Mega (2005: 89), memunculkan temuan

bahwa faktor utama kegagalan siswa tunanetra dalam menyelesaikan studi di

sekolah inklusif, banyak ditentukan oleh faktor-faktor non akademis, seperti

rendahnya motivasi, persepsi yang salah tentang lingkungan, pembentukan konsep

diri pada siswa tunanetra, dan kurang terampilnya siswa tunanetra dalam

mengembangkan interaksi sosial, seperti dengan teman sebaya, dengan guru, dan

orang-orang baru di sekolah. Selain itu temuan lapangan juga menunjukkan bahwa

intervensi pendidikan di sekolah inklusif yang belum mengakomodir karakteristik

tunanetra, diakibatkan masih rendahnya pemahaman tentang ketunanetraan, baik

menyangkut aspek filosofis, konseptual, maupun teknikal.

Page 8: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

8

Berdasarkan fenomena di atas, tampak belum adanya kesejalanan antara

penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dengan prinsip pendidikan inklusif,

khususnya dalam pengembangan layanan bimbingan dan konseling. Berangkat dari

permasalahan tersebut, menggiring perlunya pemikiran akademis-ilmiah akan arti

pentingnya layanan bimbingan dan konseling yang kontekstual dengan

permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif.

Berangkat dari kerangka berpikir tersebut, permasalahan pokok penelitian ini

adalah: “Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam

pembelajaran dan layanan bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah

penyelenggara perintis pendidikan inklusif?”

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk menjabarkan rumusan masalah di atas, perlu dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Permasalahan apa saja yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti

pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

b. Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan

oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis

pendidikan inklusif?

c. Bagaimana penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan

oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis

pendidikan inklusif?

d. Apa kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?

Page 9: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

9

e. Bagaimana rumusan program bimbingan dan konseling serta strategi intervensi

untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara

perintis pendidikan inklusif?

f. Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling

terhadap kegiatan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis

pendidikan inklusif?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan

konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan layanan

bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan

inklusif.

2. Tujuan Khusus

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data lapangan

yang berkenaan dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti

pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

b. Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh

guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis

pendidikan inklusif.

c. Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh

konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan

inklusif.

Page 10: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

10

d. Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

e. Rumusan program dan strategi intervensi bimbingan dan konseling untuk

memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara

perintis pendidikan inklusif.

f. Kontribusi penerapan prinsip bimbingan dan konseling terhadap kegiatan

belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan

inklusif.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dalam tataran teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan

manfaat ke arah pengembangan filosofis konseptual tentang penerapan konsep-

konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan belajar bagi siswa

tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Pandangan

filosofis dimaksudkan untuk memberikan pandangan mendasar (grounded

theory) tentang bagaimana seharusnya program bimbingan dan konseling bagi

siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif

dirumuskan dan dilaksanakan. Pandangan konseptual meletakan prinsip-prinsip

pengembangan program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

2. Manfaat Praktis

Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

kontribusi sebagai berikut:

Page 11: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

11

a. Bagi Dinas Pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menyumbangkan pemikiran bagi para pembuat kebijakan dalam bidang

Pendidikan Luar Biasa pada khususnya, tentang pentingnya program

bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara

pendidikanm inklusif.

b. Bagi Kepala Sekolah Umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan tentang bagaimana merumuskan program bimbingan

dan konseling bagi siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan di

sekolahnya.

c. Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan

pemikiran operasional tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep

bimbingan dan konseling dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

d. Bagi Konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan

pemikiran operasional untuk melaksanakan layanan bimbingan dan

konseling sesuai dengan kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah

penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

F. Kerangka Penelitian

Paradigma baru tentang layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus

telah menempatkan pendidikan inklusif sebagai model alternatif layanan

pendidikan yang memiliki perspektif, baik dari sisi yuridis, konseptual, maupun

operasional. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pearpoint & Forest dalam Fern

Aefsky (1995: 5), bahwa: “beberapa guru percaya bahwa inklusi akan

menghilangkan labeling, pendidikan khusus, dan kelas khusus tetapi tidak akan

Page 12: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

12

menghilangkan dukungan dan layanan yang diperlukan oleh anak-anak di sekolah

umum”. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pendidikan inklusif membantu

perkembangan semua anak dengan cara yang berbeda-beda (Heston, M., 2004:2)

Ketika inklusi yang baik dilaksanakan, anak yang memerlukan inklusi tidak

berada sendirian. Dalam kurikulum inklusif termasuk di dalamnya keterlibatan

orang tua, siswa dalam membuat pilihan, dan banyaknya keterlibatan orang lain

(Heston, M., 2004:1). Hal inilah yang menggambarkan arti penting layanan

pendidikan yang melibatkan kerjasama semua pihak. Kerjasama kemitraan dalam

penanganan pendidikan bagi anak tunanetra di sekolah inklusif, merupakan

implementasi dari konsep pendekatan multidisipliner. Misalnya, ketika guru

pembimbing melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, maka ia tidak bisa

berjalan sendiri melainkan harus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti

dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), guru kelas, psikolog, dokter, bahkan

orang tua.

Pendidikan inklusif memiliki peranan strategis dalam memfasilitasi

pengembangan potensi yang dimiliki siswa tunanetra. Smith, D.J (1998: 21),

mengemukakan bahwa: ”sangat memungkinkan bagi siswa-siswa yang masih muda

yang memiliki kecacatan untuk lebih mudah diakomodasi dalam seting integrasi,

karena kurikulum di sekolah dasar memberikan tantangan yang tidak begitu banyak

bagi anak-anak seperti ini. Selanjutnya sekolah tingkat lanjutan pertama dan

lanjutan atas diperuntukkan bagi siswa-siswa penyandang kecacatan yang usianya

lebih tua”. Selanjutnya program pendidikan segegrasi dapat mengakibatkan rendah

diri anak dalam statusnya di dalam masyarakat yang mungkin dapat berpengaruh

terhadap perasaan dan pikirannya dalam melakukan sesuatu. Rasa rendah diri

Page 13: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

13

berpengaruh terhadap motivasi anak untuk belajar dan ada kecenderungan untuk

tertinggal dalam perkembangan mental dan belajarnya (Aefsky, F., 1995;15).

Salah satu komponen utama dalam layanan pendidikan bagi siswa tunanetra di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah layanan bimbingan dan

konseling. Fokus dari layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah memfasilitasi

pengembangan fungsi-fungsi psikologis siswa tunanetra dalam upaya mengatasi

permasalahan pembelajaran dan sekaligus mengembangkan potensi anak tunanetra.

Secara empirik, layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah

penyelenggara perintis pendidikan inklusif belum berjalan sebagaimana mestinya.

Kenyataan ini mengharuskan layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan

berdasarkan analisis kontekstual karakteristik siswa tunanetra dan pengelolaan

sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.

Kerangka penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, divisualisasikan dalam

gambar berikut:

Page 14: PENERAPAN KONSEP-KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING

14

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian

Rekomendasi program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis

pendidikan inklusif

TUNANETRA KONSELOR GURU

• Permasalahan pembelajaran siswa tunanetra

• Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling

• Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru

• Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor