Upload
others
View
7
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN MODIFIKASI AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH DI BANK JAMBI SYARIAH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperolah
Gelar Magister Ekonomi Islam Pada Konsentrasi Perbankan dan
Lembaga Keuangan Syariah
Oleh:
Indo Makkatapsyah NIM : MLK. 15.2771
PASCASARJANA
STUDI EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019
MOTTO
كى ثبنجبطم إنب أ انكى ثي آيا نب تأكها أي ب انزي يب أي
كى تشاض ي تجبسح ع تك انه فسكى إ نب تقتها أ
ب ثكى سحي كب
Artinya: “Hai orang-orang beriman janganlah kalian memakan harta-harta
di antara kalian secara tidak benar kecuali atas dasar perniagaan dengan
didasari saling rela di antara kalian”.(QS. An-nisa:29).1
1Al-Quran danTerjemahan,Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta:
LajnahPentashihMushaf al-Qur‟an, 2001), hlm. 187.
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, atas segala karunia dan ridho-NYA, sehingga tesis dengan
judul “Penerapan Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah Di Jambi
Syariah” ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Magister Ekonomi Islam (M.E) dalam
bidang Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:
1. Bapak Dr. Novi Mubyarto, M.E dan bapak Dr. H. Sayyid Syech, M.Si.
atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada
penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosenpembimbing penulis.
2. Bapak Rektor Dr. H. Hadri Hasan dan Direktur Pascasarjana UIN STS
Jambi Bapak Prof. Dr. Mukhtar, M.Pd STS Jambi dan seluruh civitas
akademika Program Pascasarjana UIN STS Jambi atas segala bantuan
yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswi
3. Bapak Dr. Nazori Madjid, S.Ag,. M.Si yang telah memberikan masukan
dan saran pada saat seminar proposal dan seminar hasil tesis.
4. Ketua program studi Pascasarjana UIN STS Jambi Bapak Dr. Nazori
Madjid, S.Ag,. M.Si.
5. Bapak dan Ibu Pimpinan Bank Jambi Syariah serta seluruh karyawan
Bank Jambi Syariah yang telah banyak membantu dalam memberikan
data dan informasi terkait dengan penyusunan tesis ini.
6. Ayahanda H. Abu Hurairah (alm) engkau menjadi alasan saya sampai
dititik ini, dan Ibunda Hj. Indo Umming, serta Saudara-saudaraku
sekalian yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih yang
tak terhingga dukungan dan doanya, Abang sekaligus Orang tua saya
Zainal Abidin dan Ambok Pangiuk, S,Ag, M,Si yang telah membantu
dalam menyelesaikan studi ini baik dari segi materil, moril, fikiran,
tenaga, terimakasih banyak yang tak terhingga, untuk suami Zulkifli dan
anandaku Mastagena Dakhaera Noer yang telah memberikan
semangat, dukungan dan doanya. Akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini, dan penulis berharap kritik dan saran dari
semua pihak yang sifatnya membangun untuk kemajuan ilmu
pengetahuan. Terimakasih.
Abstrak
Indo Makkatapsyah “Penerapan Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah” Penelitian ini bertujuan untuk; pertama, mengetahui sistem penerapan
modifikasi akad melalui proses pembiayaan murabahah yang di setujui oleh BI,
DSN/MUI, dan mekanisme yang dijalankan oleh bank jambi syariah dengan tetap
melihat hak dan kewajiban baik bank maupun nasabah, kedua, mengetahui sistem
modifikasi akad pembiayaan terhadap pemenuhan kebutuhan bank yang optimal
dan dapat diketahui suatu keadilan (kepatuhan syariah) dari prinsip kontrak akad
pelengkap yang dikenal dengan murabahah bil wakalah di bank jambi syariah,
ketiga, mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi nasabah
dengan tetap menggunakan pembiayaan murabahah dalam pelaksanaan akad
tersebut.
Untuk mengetahui hal-hal tersebut, penelitian ini dilakukan melalui
paradigma kualitatif dengan mengandalkan wawancara mendalam, observasi
terhadap penerapan modifikasi akad pada pembiayaan murabahah di bank jambi
syariah, dan studi dokumentasi untuk mendapatkan data-data yang otentik,
sedangkan analisisnya dengan teknik reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Temuan penelitian adalah pertama, pembiayaan syariah berupa
penyediaan dana dalam bentuk mudharabah, musyarakah dalam bentuk
musyarakah mutanaqisah, ijarah dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, jual
beli murabahah, salam dalam bentuk salam paralel, dan istishna, qordh, dan
transaksi multijasa dan modifikasi akad pembiayaan murabahah di bank jambi
syariah. Dalam aplikasi yang dilakukan bank jambi syariah yang terjadi adanya
kesepakatan awal, dimana nasabah meminta kepada bank untuk melakukan
pendanaan uang berupa pembiayaan dan pembelian atas barang itu sendiri
merupakan kehendak nasabah sendiri melalui akad wakalah sehingga tidak ada
fee atau upah didalam akad tersebut. Kedua, permintaan atas penyediaan
pembiayaan adalah nasabah dan keinginan atau permintaan untuk membeli atau
mencari barang itu sendiri adalah nasabah dalam konteks ini tidak ada fee dalam
akad benar adanya sehingga di sebut “ murabahah bil wakalah non bil ujroh”
artinya nasabah menggunakan jasa bank, dan ini menurut kepatuhan syariah tidak
melanggar hukum syariah. Ketiga, faktor motivasi nasabah mempengaruhi
permintaan pembiayaan memiliki pandangan bahwa proses pembiayaan
murabahah sederhana, simpel, cepat diproses, memberikan bimbingan hingga
akhir, pelayanan yang diberikan optimal dengan penawaran produk yang sesuai
kebutuhan masyarakat sekarang ini (modern), serta faktor primordial yang paling
menentukan adalah faktor menjalankan syariah islam.
Kata kunci: Penerapan, Modifikasi Akad, Pembiayaan, Murabahah.
Penerapan Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah
Indo Makkatapsyah Fakultas Ekonomi Syariah UIN Jambi
E-Mail: [email protected]
Abstrak
This research aims to, first, know the system for implementing contract
modification through a murabahah financing process approved by BI, DSN/MUI,
and a mechanism run by jambi syariah bank. Second, know the system of
financing contract modification to fulfill optimal bank needs and know a justice (
sharia compliance) from the principle of a supplementary contract contract known
as murabahah bil wakalah at jambi syariah bank. Third, know what factors
influence costomer motivation by continuing to use murabahah financing in the
implementation of the contract.
To know these things, This research was carried out through a qualitative
paradigm by relying on in-depth interviews, observations on the application of
contract modifications to murabahah financing at jambi syariah bank, and
documentation study to obtain authentic data, while the analysis is with data
reduction techniques, data presentation, and conclusion drawing.
This research findings of this study, first, sharia financing in the form of
provision of funds in the form of murabahah, musyarakah in the form of
musyarakah mutanaqisah, ijarah in the form of ijarah muntahiya bittamlik,
murabahah sale, greentings in the form of parallel greentings, istishna, qordh, and
multi-service transactions, and modification of murabahah financing contract
abnormally jambi. In the application carried out by jambi syariah bank, there was
an initial agreement, where the customer asked the bank to fund money in the
form of financing and furchasing the goods themselves is the will of the
customers themselves through the wakalah contract offered by the bank, so there
is no wage in the contract. Second, the demend for financing is the customer, and
the desire to buy or search for the item itself is the customer so that it this context
there is no wage in the true contract with “ murabahah bil wakalah non bil ujroh”
meaning that the customer uses bank services, and this according to sharia
compliance is not violating sharia low. Third, customer motivation factors
influence the demand for financing have the view that the murabahah financing
process is simple, quick to process, provided optimally with product offerings that
are in line with the needs of to day‟s society, and the most deciseve primordial
factors practice Islamic sharia.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi allah swt yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan tesis ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga terlimpahkan buat baginda tercinta nabi muhammad
saw yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapakan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga peulis mampu
menyelesaikan pembuatan tesis ini sebagai tugas akhir penulis dalam
menyelesaikan studi ini.
Penulis tentu menyadari bahwa tesis ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kejurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk tesis ini, agar tesis ini
nantinya dapat menjadi tesis yang lebih baik lagi. Kemudian apa bila terdapat
banyak kesalahan pada tesis ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen pembimbing, dosen penguji, ketua sidang, yang telah memberikan
saran kepada penulis sehingga tesis ini dapat diperbaiki sebagaimana mestinya.
Demikian, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi
penulis.
Jambi, 28 juni 2019
Indo Makkatapsyah
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i NOTA DINAS............ ........................................................................... ii PENGESAHAN .................................................................................. iii PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ................................................ iv MOTTO............ .................................................................................... vi PERSEMBAHAN ................................................................................. iv ABSTRAK ..... ....................................................................................... vii ABSTRACT..... ..................................................................................... viii KATA PENGANTAR ............................................................................ ix DAFTAR ISI………. ............................................................................. x BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................. 1 B. Rumusan Masalah .................................................... . 11 C. Batasan Masalah ...................................................... .. 11 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................ 11 E. Kerangka Teori............................................................. 13 F. Penelitian Relevan........................................................ 99
BAB II : METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian................................................ 101 B. Situasi Sosial dan Subjek Penelitian......................... 102 C. Jenis dan Sumber Data.............................................. 102 D. Teknik Pengumpulan Data.......................................... 103 E. Teknik Analisis Data................................................... 105 F. Rencana dan Waktu Penelitian................................. 107
BAB III : GAMBARAN UMUM PENELITIAN
A. Sejarah Bank Jambi Syariah .................................... 108 B. Sruktur Organisasi dan Keadaan Di bank Jambi
Syariah................................... .................................. 110 C. Produk- Produk Bank Jambi Syariah.................... .... 110
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Proses Penerapan Akad Pembiayaan Murabahah di Bank Jambi Syariah............................................... 121
B. Konsep Kepatuhan Pada Pembiayaan Murabahah.. 123 C. Faktor Motivasi Nasabah Menggunakan Pembiayaan
Murabahah di Bank Jambi Syariah............................. 143
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................... 148 B. Saran-saran .............................................................. 149 C. Kata Penutup ............................................................ 149
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN CURRICULUM VITAE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam gerakan islamisasi sistem keuangan, Khususnya perbankan, di
dunia Islam pada beberapa dekade. Belakangan ini memunculkan sejumlah
persoalan, di antaranya dengan adanya pengembangan akad. Sebagaimana
diketahui, pada dasarnya produk-produk perbankan Islam (islamic banking) di
perbankan syariah di Indonesia khususnya, didasarkan pada bentuk-bentuk akad
muamalah klasik dengan berbagai modifikasi dan pengembangan di dalamnya.
Akad muamalah klasik yang dimaksud adalah akad-akad muamalah (bisnis) yang
telah ada pada masa kedatangan Islam, di mana umat Islam kemudian tetap
mempertahankannya karena dinilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akad-
akad yang pada dasarnya sudah ada dan dipraktikkan pada masa pra-Islam
tersebut kemudian pada era selanjutnya- ditulis dan dibukukan oleh para ulama,
baik fikih maupun hadis, bersamaan dengan tren kodifikasi (tadwin), pembukuan
dan pembakuan) dikala itu.
Dimana akad-akad muamalah yang pada dasarnya bukan didesain untuk
akad perbankan tersebut pada gilirannya perlu disesuaikan dengan sistem
operasional yang biasa dikenal dalam dunia perbankan. Dengan demikian
diperlukan adanya transformasi akad-akad muamalah klasik agar dapat diterapkan
dalam dunia perbankan. Transformasi tersebut dapat berupa pengembangan,
modifikasi, ataupun kombinasi terhadap akad-akad yang ada sesuai dengan
kebutuhan sehingga tercipta instrumen keuangan yang efisien dan operasional.
Kendatinya sejauh manakah transformasi akad-akad muamalah tersebut di dalam
mematuhi nilai-nilai substanstif ajaran Islam sehingga pengembangan, modifikasi,
ataupun kombinasi yang terjadi tetap konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang
menjadi titik tolak konsep bank syariah itu sendiri. Permasalahan ini perlu
diangkat mengingat penerapan akad-akad muamalah dalam perbankan syariah
disinyalir tidak sepenuhnya sesuai dengan syariat Islam, setidaknya dalam
pandangan sebagian kalangan. Keislaman sebuah bank tidak semata-mata karena
bank tersebut tidak lagi memungut bunga ataupun penghasilan lainnya yang tidak
halal, akan tetapi kesesuaian akad-akad yang diterapkan di dalamnya dengan
ketentuan-ketentuan syariah juga merupakan faktor yang harus diperhitungkan.2
Dimana Perjanjian adalah sarana hukum terpenting yang pernah
dikembangkan untuk menjamin keamanan ekonomi dan kestabilan masyarakat.
Setiap orang terlibat dengan perikatan dan perjanjian, oleh karenanya perjanjian
adalah salah satu sumber perikatan yang terpenting. Islam sebagai agama yang
komprehensif memberikan aturan yang jelas mengenai perikatan dan perjanjian
untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan. Dalam hukum Islam ada
beberapa istilah yang mengandung konsep perikatan. Pertama, ditemukan istilah
“hukum akad”. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hukum akad itu tidak lain
adalah akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian.3
Perikatan (al-iltizam) dan perjanjian (al-‘aqd) dalam hukum Islam dikenal
dengan beberapa istilah yang mengandung konsep tersebut, yakni hukum ‘aqd, al-
daman dan al-iltizam.4 Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hukum akad itu
tidak lain adalah akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian. Ahli-ahli hukum
Islam membedakan hukum akad menjadi dua; yaitu 1) hukum asli akad, yakni
akibat-akibat logis dari adanya akad yang merupakan tujuan pokok disyariatkan
akad. 2) hukum tambahan akad, yaitu kewajiban dan hak yang timbul dari adanya
akad itu. Menurut Anwar, hukum akad tambahan menggambarkan konsep
perikatan dalam hukum Islam, karena di dalamnya terkandung adanya kewajiban
dan hak bagi masing-masing pihak. Sedangkan menurut al-Zarqa‟, hukum akad
tambahan di kalangan fukaha klasik itu merupakan perikatan dalam hukum Barat.
Untuk menunjukkan perikatan, para fukaha juga menggunakan istilah al-
daman (tanggung jawab), yang sesungguhnya dapat dibandingkan dengan
perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum dalam hukum Barat.
2 Jamal Abdul Aziz, Transformasi Akad Muamalah Klasik Dalam Produk Perbankan Syariah,
Jurusan Syariah STAIN Purwokerto, 2012. Jurnal akses tanggal 28 juni 2019 3 Syamsul Anwar, Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam (Suatu Kajian Asas Hukum, dalam
Laporan Penelitian, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2000. Hal.36-39 4 Muslim, Fiqh Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia. Mataram: LKIM IAIN Mataram. 2006.
Hal.60
Selanjutnya, istilah iltizam juga digunakan untuk perikatan-perikatan yang timbul
dari kehendak sepihak dan kadang-kadang juga untuk perikatan yang timbul dari
perjanjian tersebut.5 agar dapat dinilai sebagai akad secara syar„i, akad harus
berlangsung dalam konteks yang sesuai dengan syariah. Sehingga Akad dapat
melahirkan suatu konsekuensi atau implikasi hukum sesuai dengan konteksnya.
Sebagaimana dalam pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup
segala yang diinginkan orang untuk dilakukan, baik itu yang muncul karena
kehendak sendiri (iradah munfaridah), seperti wakaf, perceraian dan sumpah,
maupun yang memerlukan dua kehendak (iradatain) untuk mewujudkannya,
seperti buyu’ (jual-beli), ijarah (sewa-menyewa), wakalah (perwakilan) dan rahn
(gadai). Oleh karena itu, kita juga harus melihat suatu akad atau perjanjian atau
kesepakatan dari akad yang membangunnya yang melahirkan sebuah kekuatan
hukum.
Seperti halnya dalam konteks hukum Islam terutama tentang hukum
penggunaan modifikasi akad atau transformasi akad dalam fatwa DSN-MUI
(Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) bahwa Modifikasi
sebenarnya tidak akan melanggar prinsip-prinsip hukum Islam dalam bidang
muamalah. Dikarenakan dalam fikih muamalah, ijtihad bersifat “terbuka luas”,
artinya segala sesuatu boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau
melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam Al-quran dan Sunnah Nabi.
Inilah yang memungkinkan hukum perikatan Islam dapat mengikuti
perkembangan zaman.
Sehingga dapat dilihat dari realitas perkembangan ekonomi
konvensional, yang dianggap tidak akomodatif dan responsif terhadap
berbagai variasi transaksi modern. Begitu pula sebaliknya, apabila DSN-
MUI proaktif merespon dinamika ekonomi konvensional berarti
memerlukan proses ijtihad.6 Dimana salah satu pilar terpenting untuk
menciptakan produk perbankan dan keuangan syariah dalam menjawab
5 Al-Sanhuri, Abdur Razzaq, Masadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami, Dirasah Muqaranah bi al-Fiqh
al-Garbi. Tk.: Dar al-Hana Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, 1958. Hal. 9-10 6 Ibid., hal.202
tuntunan kebutuhan masyarakat modern adalah dengan pengembangan
modifikasi akad. Untuk itu, bentuk akad tunggal sudah tidak mampu lagi
merespon transaksi keuangan kontemporer. Sehingga metode modifikasi
akad dalam bentuk multi akad (hybrid contract) yang seharusnya menjadi
unggulan dalam pengembangan produk yang tidak sederhana diantaranya
adalah terhadap penerapan modifikasi akad (al-„uqud al-murakkabah) ini.
Pada mulanya, akad hanya digunakan untuk transaksi antara
perseorangan. Namun dalam perkembangan, konsep akad banyak
digunakan untuk mengembangkan berbagai produk keuangan atau bisnis
syariah yang melibatkan institusi lembaga dan perusahaan. DSN-MUI
(Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan13
fatwa terbarunya tentang ekonomi dan keuangan syariah yang berasal
dari dua kali pleno DSN-MUI yang diselenggarakan pada tanggal 19
September 2017 (7 fatwa) dan 22 Februari 2018 (6 fatwa). Fatwa tersebut
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu fatwa
terkait akad dan produk. Adapun yang terkait 6 akad di antaranya, meliputi
fatwa induk atau payung yang terkait akad, yaitu: akad jual beli, akad jual
beli murabahah, akad ijarah, akad wakalah bil ujroh, akad syirkah, akad
mudharabah. Sedangkan fatwa terkait produk ada 7 fatwa, diantaranya
tentang Uang Elektronik Syariah, Layanan Pembiayaan Berbasis
Teknologi Informasi, Pedoman Penjamin Simpanan Nasabah Bank
Syariah, Pembiayaan Ultra Mikro berdasarkan Prinsip Syariah,
Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun Aset (EBA) berdasarkan Prinsip
Syariah, sekuritisasi berbentuk EBA surat partisipasi (EBA-SP)
berdasarkan prinsip Syariah, Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus
berdasarkan Prinsip Syariah. Sejak dikeluarkan fatwa pertama tahun
2000, hingga kini telah keluar 116 fatwa dan belum ada fatwa yang ditarik.
Hanya saja ada penambahan 13 fatwa baru tersebut, sehingga total fatwa
yang ada sekarang berjumlah 122 fatwa yang sudah dibuat. Terkait
Industri syariah, keuangan syariah, dan ekonomi syariah.7 Bahkan, dari
fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut, tidak sedikit yang mengadopsi konsep
akad untuk dijadikan sebagai landasan transaksi (underlying transaction)
sehingga keabsahannya terlegitimasi.
Dari keseluruhan fatwa DSN-MUI, ada yang murni hasil penggalian
hukum (ijtihad istinbathi) dan ada yang mengadopsi prinsip-prinsip akad
yang termuat dalam fiqh muamalah seperti yang telah dijelaskan di atas.
Bentuk pengadopsian akad-akad ke dalam fatwa DSN-MUI adalah dalam
rangka menerapkan prinsip-prinsip akad (ijtihad thatbiqi) ke dalam
lembaga keuangan atau bisnis syariah. Pengadopsian akad-akad
muamalah ke dalam fatwa DSN-MUI ada yang bersifat tunggal (al-„aqd al-
fardliyah) dan ada yang bersifat modifikasi akad, yaitu perpaduan antara
akad satu dengan lainnya dengan tetap memperhatikan ketentuan
batasan-batasan (hudud wa dlawabith) yang telah ditetapkan oleh
syariah.8
Secara umum pembiayaan bank syariah dengan akad jual beli atau
murabahah masih mendominasi, yakni mencapai 54,03% di tahun 2018.
Akad pembiayaan murabahah ini memiliki peranan dalam
mengimplementasikan prinsip syariah. Hal ini karena akad pembiayaan
murabahah dalam fiqih dan praktek bank syariah mengalami modifikasi
sehingga berbeda dengan murabahah dalam konsep fiqih.9 Hal ini dilihat
dari segi Bay’ al-murabahah dengan berbagai derivasinya (seperti: bay’ muajjal,
bay’ salam, dan bay’ istisnha’ ) yang merupakan suatu akad muamalah paling
favorit di antara akad-akad lainnya di perbankan syariah. Jika dilihat dari
konsep yang ada bahwa Akad murabahah adalah akad jual beli barang dengan
harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati. Jika dilihat dalam penerapan
7 https://sharianews.com/posts/dsn-mui-terbitkan-13-fatwa-baru-terkait-akad-dan-aktivitas
serta-produk-lks129. Reporter : Aldiansyah Nurrahman Editor : Ahmad Kholil. Akses tgl. 26 feb 2019
8Ibid.,hal. 204
9 Artikel bisnis.com. 02. Januari 2018. bank syariah: akad jual beli lebih diminati. Akses tanggal
28 Juni 2019
akad pembiayaan murabahah yang menimbulkan akad wakalah yang timbul
akibat akad ini, Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli antara
bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk
membeli barang. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi
kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa
harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah
memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan suatu barang.10
Berkenaan
dengan konsep akad Wakalah ini para ulama sudah sepakat mengenai bolehnya
akad wakalah karena dalam prakteknya di perbankan syariah akad ini
dipergunakan untu kegiatan tolong menolong.11
Akad ini diperbolehkan karena
konsep dari kegiatan tolong menolong dan dalam dunia perbankan syariah, akad
ini dipergunakan sebagai wadah untuk mempertemukan pihak yang mempunyai
modal dengan pihak yang memerlukan modal, dan bank mendapat fee dari jasa
tersebut.12
Karena nasabah menggunakan jasa bank seperti halnya dalam transfer
uang, nasabah dikenakan biaya administrasi oleh pihak bank.
Dalam perkembangannya, bank syariah mempraktekkan murabahah yang
sudah dimodifikasi yaitu murabahah dengan kuasa membeli. Transaksi tersebut
bertujuan untuk menghindari terjadinya penggabungan suatu akad yang
melahirkan suatu akibat hukum tertentu dengan memperhatikan batasan-batasan
hak dan kewajiban bagi setiap yang berakad yaitu baik pihak bank maupun
nasabah serta menghindari larangan riba yang diharamkan oleh syariat. Bank-
bank Islam yang ada pada zaman sekarang ini mempraktekkan transaksi tertentu
yang disebut “jual beli murabahah dengan orang yang memerintahkan untuk
membeli barang (bay’ul muraabahah lil aamir bisy-syiraa’) sebagai alternatif
bagi transaksi-transaksi riba yang dijalankan oleh bank-bank konvensional. Pada
saat akad murabahah diperaktikkan di bank syariah, akad murabahah tidak lagi
merupakan akad yang berdiri sendiri. Pada umumnya, akad murabahah disertakan
10
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah,(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 28.. 11
Antonio, Muhammad Syafi‟i, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema
Insani.hal. 240-243 12
Nuhyatia, Indah, 2013, Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah Pada Produk Jasa Bank Syariah,
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3 Nomor 2. Hal.96.
secara pararel dengan janji (al wa’d) pemberian kuasa (akad wakalah). Penyertaan
akad ini dalam literatur disebut „aqd al-murabahah li al-amir bi al-syira’ yang
secara harfiah berarti akad murabahah yang disertai dengan perintah untuk
membeli13
Dan ini dalam konsep perbankan syariah disebut “murabahah bi
wakalah” dimana ketika bank melakukan perwakilan kepada pihak
nasabah, bank berkewajiban untuk memberikan upah (fee) kepada pihak
nasabah, karena dikatakan bahwa bank yang meminta untuk diwakilkan
kepada pihak nasabah artinya bank telah menggunakan jasa nasabah.
Sedangkan Dari penganalisaan penulis tentang modifikasi akad dalam
proses penerapan pembiayaan yang terjadi pada Bank 9 Jambi Syariah
terdapat akad hasil modifikasi yang hukumnya masih bergantung dari
bagaimana bentuk modifikasi akadnya tersebut. Sehingga pada pritest
awal peneliti oleh ibu marlina susanti selaku analisis selaku pelaksanaan
pembiayaan di bank Jambi Syariah,14 bahwa peneliti menemukan suatu
hipotesis pada pritest awal dengan adanya identifikasi pada aplikasi
proses penerapan pembiayaan akad murabahah yang dilakukan oleh
pihak bank, dimana terdapat penyertaan akad wakalah yang menimbulkan
adanya hak atas nasabah dalam memperoleh upah (fee) yang diberikan
oleh pihak bank, karena nasabah diberi kuasa untuk membeli barang yang
diinginkannya melalui akad wakalah. Sementara jika dilihat dari akad
murabahah yang membangunnya yaitu akad wakalah ini menimbulkan
spekulasi pembiayaan, dimana pada konsep biaya operasional bank
selain dari biaya beban yang dikelompokkan diantaranya terdapat beban
penyisihan, estimasi, administrasi, personalia, penurunan nilai aset, pajak
yang ditaanggung, dan juga berbagai biaya operasional lainnya meliputi
semua biaya yang tidak termasuk kedalam kelompok biaya-biaya di atas,
tetapi diperlukan juga untuk keberhasilan operasi bank yang
13
Mubarok, Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah: Akad Jual Beli, Bandung, Simbiosa
Rekatama Media. 2017 Hal.233 14
Wawancara Kepada Pihak Bank Jambi Syariah bersama Marlina Susanti,SE, Bagian Analis Pembiayaan pada Bank Jambi Syariah, tgl. 23 Maret 2016.
bersangkutan, seperti biaya penggunaan kendaraan sendiri oleh
nasabah.15 ini tidak diberikan oleh pihak bank, dan ini seharusnya
diberikan oleh pihank bank, dengan didukung adanya ketidaktersediaan
barang yang disediakan oleh pihak bank. Ini yang menjadi rancu apakah
dalam proses penerapan modifikasi akad pembiayaan tersebut tidak
melanggar hukum syariah yang berkaitan dengan penyertaan akad
wakalah tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari sistem biaya operasional biaya transportasi
nasabah untuk mencari atau membeli barang dibebankan kepada
nasabah, seharusnya jika bank ingin melakukan keterwakilan tersebut
maka bank harus melakukan estimasi-estimasi biaya yang akan diberikan
kepada nasabah sebagai biaya operasional atau transportasi bagi
nasabah, seperti yang tercantum dalam model perjanjian pembiayaan di
bank syariah pada akad transaksi wakalah pasal 3 tentang hak penerima
kuasa bahwa “Nasabah sebagai pihak yang diberi kuasa oleh bank
syariah, maka nasabah berhak mendapat upah atau fee dari pihak
bank”16.
Jika dilihat dari biaya operasional yang terkait di atas merupakan
beban operasional bagi bank, sementara dengan proses pembiayaan
yang ada pada penjelasan di atas bahwa beban operasional yang ada
menjadi pendapatan operasional bank yang biasa di sebut dengan istilah
perbankan yaitu BOPO (Beban operasional pendapatan operasonal).17
Meskipun begitu nasabah tetap melakukan kesepakatan sehingga yang
menjadi motivasi nasabah tetap menggunakan sistem pembiayaan ini apa
yang menyangkut semakin banyaknya permintaan dalam produk ini di
banding produk lain yang ditawarkan oleh bank jambi syariah.
15
Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 198. 16
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, Panduan Teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah,(Yogyakarta: UII Press, 2009), hal. 165. 17
Wawancara Kepada Pihak Bank Jambi Syariah bersama Marlina Susanti,SE, Bagian Analis Pembiayaan pada Bank Jambi Syariah, tgl. 23 Maret 2016.
Jika dilihat dari konsep keadilan yang merupakan salah satu
perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank
konvensional menurut Kamal Khair, bahwa pada bank syariah
menawarkan keadilan dalam pembiayaan untuk sebuah usaha, kerugian
ditanggung bersama berdasarkan prinsip keadilan sedangkan laba dibagi
berdasarkan nisbah yang disepakati sebelumnya.18 Sementara yang
dikatakan keadilan itu belum mendekati suatu kesempurnaan bagi
masyarakat khususnya bagi masyarakat awam. Dimana keberadaan akad
dapat ditelaah dengan melihat beberapa kaedah atau prinsip utama hukum
muamalah dalam Islam, di antaranya: Pertama, pada dasarnya segala bentuk
muamalah adalah boleh kecuali yang ditentukan selain dari Al-quran dan Sunnah.
Kedua, muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur
paksaan. Ketiga, muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari mudharat dalam kehidupan masyarakat. Keempat,
muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-
unsur penganiayaan, unsur mengambil kesempatan dalam kesempitan.19
Pada prakteknya hal ini tidaklah mudah, mengingat setiap
melakukan pembiayaan dalam akad memiliki suatu manajemen tersendiri.
Akad tunggal maupun modifikasi akad yang dilakukan pada Bank Jambi
Syariah memiliki konsekuesi pada praktik antara pembiayaan murabahah
bil wakalah dan wakalah bil ujrah, karena praktik manajemen yang
dijalankan oleh Bank Jambi Syariah menggunakan pembiayaan
murabahah bil wakalah dan bukan menggunakan sistem pembiayaan
akad wakalah bil ujrah.
Dengan demikian, untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan
tersebut, penulis bermaksud mengadakan penelitian yang mengarah pada
fenomena di atas, dengan mengangkat suatu penelitian ilmiah yang
18
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia, Dalam Perspektif Fikih Ekonomi, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012),hal. 28. 19
Baasyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: UII
Press. 1993. Hal.10
berbentuk tesis dengan judul: Penerapan Modifikasi Akad Pembiayaan
Murabahah Di Bank Jambi Syariah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis mengambil
sebuah permasalahan yang akan diteliti dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses penerapan modifikasi akad pembiayaan murabahah
di Bank Jambi Syariah?
2. Bagaimana konsep kepatuhan pada akad pembiayaan murabahah di
bank Jambi Syariah?
3. Apa saja faktor yang menjadi motivasi nasabah dalam menggunakan
pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah?
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terfokus pada penelitian, dan guna
menghindari perluasan pokok masalah ini, maka penulis hanya
membatasi pokok permasalahan pada Perspektif Terhadap Modifikasi
Akad Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dengan adanya perumusan masalah di atas, diharapkan adanya
suatu kejelasan yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam tesis ini. Tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sistematika penerapan modifikasi akad
pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan sisi kepentingan nasabah
dengan melihat faktor yang menjadi motivasi nasabah dalam
menggunakan pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah.
3. Untuk mendeskripsikan bahwa sebagai masyarakat yang
membutuhkan sistem pembiayaan tentu membutuhkan pemenuhan
kebutuhan dari bank secara optimal dan dapat diketahui prinsip
kepatuhan dalam distribusi kontrak akad yang dikenal dengan
murabahah bil wakalah dalam pembiayaan akad murabahah di bank
Jambi Syariah.
Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya bagi penulis Perspektif Terhadap Modifikasi
Akad Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah.
2. Sebagai sebuah sumbangan kontribusi pemikiran yang berkenaan
dengan Perspektif Terhadap Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah
Di Bank Jambi Syariah.
3. Sebagai persyaratan untuk menyelesaikanProgram Pasca Sarjana (S2)
dalam Konsentrasi (PLKS) Perbankan dan Lembaga Keuangan
Syariah.
E. Kerangka Teori
1. Konsep Akad Dan Modifikasi Akad
a. Pengertian Akad.
Menurut bahasa akad mempunyai beberapa arti diantaranya
adalah aqdu yang berarti mengikat dan ahdu yang berarti janji.Hal ini
sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran yang berbunyi :
تقي يحت ان انه اتقى فئ ذ فى ثع أ ثهى ي Artinya: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) Nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”(Q.S.Ali Imran:76).
فا ثبنعقد آيا أ ب انزي يب أي Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu” (Q.S. Al-Maidah:1).
Kata ahdu di dalam ayat al-Qur‟ an di atas mengacu kepada
ungkapan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau tidak
mengerjakannya dan tidak ada kaitannya dengan orang lain. Perjanjian
yang dibuat seseorang tidak memerlukan persetujuan pihak lain, baik
setuju maupun tidak persetujuan pihak lain tidak akan mempengaruhi janji
yang dibuat oleh pihak yang terkait dalam perjanjian.20Sedangkan
perkataan aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yang
maksudnya adalah seseorang yang mengadakan sebuah perjanjian yang
kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan
pula suatu janji yang berhubungan dengan janji (ahdu) dari dua orang
yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian akad merupakan pertalian ijab dan kabul yang
yang dilakukan dua orang atau lebih dan dapat berpengaruh pada hak
kepemilikan pada objek akad.Ijab yang dimaksud disini adalah pernyataan
pertama yang diungkapkan salah satu pihak yang mengandung keinginan
20
Sholikul Hadi, Fiqh Muamalah, Nora Interprise, Kudus, 2011. Hal.45
secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan kabul merupakan
pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuan untuk
mengikatkan diri. Dengan demikian setiap pihak yang ingin mengikatkan
diri dalam sebuah akad disebut dengan mujib dan pihak lain setelah ijab
disebut qabil.21
b. Tujuan Akad
Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih
tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang
hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad.Tujuan akad
selain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, juga dalam rangka
mengamalkan surat al-Baqarah ayat 275, karena di dalam firman tersebut
ditegaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Namun apabila akad dilakukan niatnya bukan karena Allah dan
hanya untuk keuntungan semata, maka hasilnya pun sesuai dengan apa
yang diniatkannya.22
c. Rukun-Rukun Akad
Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua
belah pihak hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh akad, rukun-rukun
akad adalah sebagai berikut:
1). Aqid, adalah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak
terdiridari satu orang, terkadang lebih dari beberapa orang. Kedua belah
pihak yang melakukan akad harus sudah mencapai usia baligh,
bertanggung jawab dan dapat mengelola objek akad dengan baik.
2). Ma‟qud alaih, adalah benda-benda yang diakadkan. Seperti benda-
benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah, dalam akad
gadai, hutang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3). Maudhu‟ al-aqd, adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Seandainya berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
21
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996.hal.63 22
9 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana, Jakarta, 2012. Hal.90
4). Sighat al-aqd, adalah ijab dan kabul. Ijab adalah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul adalah
perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan
setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul adalah bertukarnya sesuatu
dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu
terkadang tidak berhadapan. Ijab dan Kabul boleh dinyatakan dalam
bentuk ucapan maupun tulisan.10
d. Syarat-Syarat Terjadinya Akad
Syarat-syarat terjadinya akad merupakan syarat yang melekat pada
unsur-unsur pembentuk terjadinya sebuah akad yang ditentukan syara‟
yang wajib disempurnakan. Di antaranya:
1). Syarat-syarat yang bersifat umum, adalah syarat-syarat yang wajib
sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang
harus dipenuhi dalam berbagai macam akad diantaranya yaitu:
a). Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak, tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan karena boros atau lainnya.
b). Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c). Akad itu diizinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai
hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d). Tidak boleh melakukan akad yang dilarang syara‟, seperti jual beli
mulasamah.
e). Akad dapat memberikan manfaat.
f). Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila
orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah
ijabnya.
e. Macam-Macam Akad
Akad terbagi menjadi bermacam-macam menurut sudut pandang
yang berbeda. Ditinjau dari sudut pandangnya akad terbagi menjadi
beberapa macam, yaitu:
1). Akad ditinjau menurut sifatnya.
Menurut sifatnya akad dinilai halal, haram berdasarkan tuntutan
Syar‟i dan pelaku akad. Jika dilihat menurut sifatnya akad terbagi menjadi
dua macam, yaitu:
a). Akad yang sah dan tidak sah
Akad yang sah adalah akad yang telah memenuhi syarat dan
rukunnya dan berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan dari akad
tersebut. Akad yang tidak sah adalah akad yang tidak adalah akad yang
tidak memenuhi syarat dan rukunnya dan tidak berakibat hukum dari yang
ditimbulkan akad tersebut.
b). Akad yang terlaksana (nafidz) dan tertangguhkan (mawquf).
Akad yang terlaksana adalah akad yang dilangsungkan dengan
memenuhi syarat dan rukunnya dan tidak ada penghalang untuk
pelaksanaanya. Akad tertangguhkan adalah akad yang dilakukan
seseorang yang cakap bertindak hukum tetapi tidak memiliki kekuasaan
untuk melaksanakannya. Seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil
yang sah bila mendapatkan izin dari walinya dan batal jika tidak
mendapatkan izin dari walinya.
c). Akad yang mengikat (lazim) dan tidak mengikat (ghair lazim). Akad yang mengikat adalah akad yang salah satu pelaku akadnya
tidak memiliki hak fasakh (pembatalan) tanpa ada kerelaan pelaku akad
lain. Akad bisa dibatalkan jika ada kesepakatan dari kedua belah pihak.
Akad yang tidak mengikat adalah akad yang berdasarkan sifatnya bisa
dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pelaku akad.
2). Akad yang ditinjau menurut kebersambungan hukumnya dengan
sighatnya. Yang dimaksud dengan hukum akad adalah dampak-dampak
syar‟i yang ditimbulkan pada akad. Jika dilihat menurut kebersambungan
hukumnya dengan sighatnya akad ini dibagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
(a). Akad yang terlaksana seketika (munjiz). Akad munjiz adalah akad
yang sighatnya cukup untuk terlaksananya akad dan melahirkan dampak
seketika. Dengan sekedar dijalankannya sighat yang sah oleh dua pelaku
akad, makatelah sempurna, sehingga pembeli mempunyai barang yang
dijual dan penjual memiliki harga.
(b). Akad yang disandarkan kepada waktu mendatang.
Akad yang disandarkan kepada waktu mendatang adalah akad
yang sighatnya menunjukkan pengadaan akad semenjak keluarnya sighat
tersebut, namun dampaknya tidak mengikutikecuali di waktu mendatang
dan ditentukan oleh kedua pelaku akad. Dilihat dari bisa atau tidaknya
akad menerima penyandaran, maka akad ini dibagi menjadi beberapa
macam, yaitu: Pertama, akad yang sesuai sifatnya tidak dapat
dilaksanakan kecuali dengan disandarkan pada waktu mendatang seperti
wasiatdan isha‟ . Kedua, akad yang tidak bisa disandarkan, seperti akad
jual beli dan pembebasan hutang. Ketiga, akad yang bisa disandarkan,
adalah akad yang boleh dilaksanakan secara serta merta dan juga secara
disanarkan kepada waktu mendatang seperti akad muzara‟ahdan ijarah.
(c). Akad-akad yang tergantung (muallaq).
Akad-akad yang tergantung adalah akad yang memerlukan syarat
dan keberadaannya terkait dengan keberadaan sesuatu yang lain dan
keberadaan akad tergantung adanya perkara di waktu mendatang.
Dari sisi bisa atau tidaknya digantungkan, akad ini dibagi dalam
beberapa macam, yaitu: Pertama, akad yang tidak bisa digantungkan,
adalah akad-akad pengalihan kepemilikan yang terjadi pada benda atau
manfaat dengan adanya ganti atau tidak. Seperti akad jual beli, hibah dan
ijarah.Kedua, akad yang bisa digantungkan dengan setiap syarat. Akad ini
boleh digantungkan sebab penggantungan pada bagian akad tidak
mengakibatkan kerugian pada salah satu pelaku akad dan karena
sebagian akad, seperti akad cerai, wasiat dan wakalah. Ketiga, akad-akad
yang tidak bisa digantungkan dan bisa digantungkan dengan setiap
syarat, adalah akad yang bisa digantungkan namun dengan syarat yang
sesuai dengan akad.
Syarat yang sesuai adalah yang sesuai dengan tuntutan syari‟at
atau urf, adalah antara syarat dan hal yang digantungkan menimbulkan
sebab akibat yang sesuai dengan penggantungan tersebut, seperti akad
kafalah dan hiwalah.
(d). Akad ditinjau menurut jenis dan dampaknya
Setiap akad memiliki dampak tertentu yang mengikutinya. Dampak
ini adalah tujuan pelaku akad dalam mengadakan sebuah akad. Tujuan
dari adanya akad adakalanya memiliki tujuan lebih dari satu, sehingga
memiliki lebih dari satu klasifikasi.
Adapun klasifikasi akad tersebut yaitu:
(1). Akad pengalihan kepemilikan (uqud at-tamlik), yaitu akad yang
bertujuan mengalihkan kepemilikan barang atau manfaat dengan atau
tanpa ganti, seperti akad jual beli, sewa dan muzara‟ah.
(2). Pengguguran (isqathat), yaitu akad yang dimaksudkan untuk
menggugurkan hak manusia. Jika pengguguran tanpa disertai ganti
disebut isqath mahdhah (pengguguran murni), dan jika disertai ganti
disebut isqath (pengguguran) yang dimaknai tukar menukar, seperti akad
memerdekakan budak dan perceraian yang dilakukan oleh istri dengan
membayar kompensasi dari cerainya.
(3). Akad penyerahan (uqud at-tafwidh wa ithlaq), yaitu akad yang
memuat penyerahan kepada orang lain dan memberikan kuasanya untuk
melakukan suatu pekerjaan yang tadinya terlarang sebelum penyerahan
ini, seperti wakalah dan izin kepada anak kecil melakukan sebagian
aktifitas jual beli.
(4). Akad pembatasan (taqdiyat), yaitu akad yang tasharufnya
dimaksudkan untuk mencegah seseorang dari tasharruf yang sebelumnya
dibolehkan baginya, seperti memberhentikan pengelola wakaf dan
penerima wasiat.
(5). Akad pemberian kepercayaan (uqud at-tautsiqat), yaitu akad yang
tujuannya adalah memberikan jaminan pada orang yang berhutang atas
hutangnya dari orang yang berhutang, seperti akad kafalah dan hiwalah.
(6). Akad syirkah (uqud asy-syirkah), yaitu akad yang bertujuan
melakukan kerjasama dalam pekerjaan dan laba, seperti mudharabahdan
muzara‟ah.
(7) Akad penjagaan (uqud al-hifzhi), yaitu akad yang bertujuan menjaga
harta, seperti akad wadi‟ah.
e). Akad dilihat dari segi ada atau tidaknya qismah (pembagian). Yaitu:
Akad musammah adalah akad-akad yang telah ditetapkan syara‟dan
diberikan hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah dan ijarah. Akad
ghairu musammah adalah akad-akad yang belum diberikanistilah-istilah
dan belum ditetapkan hukumnya.
f). Akad ditinjau dari segi dilarang atau tidaknya.
(1). Akad masyru‟a dalah akad yang dibenarkan oleh syara‟ untuk dibuat
dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad jual beli dan
sewa-menyewa.
(2). Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara‟ untuk dibuat,
seperti akad jual beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur.
g). Akad dilihat dari segi tukar menukar hak
(1). Akad mua‟awadhah, adalah akad-akad yang berlaku atas dasar timbal
balik, seperti akad jual beli dan sewa menyewa.
(2). Akad tabarruat, adalah akad-akad berdasarkan pemberian dan
pertolongan, seperti hibah dan ijarah (pinjaman).
(3). Akad yang mengandung tabarru‟ pada permulaan tetapi menjadi
mu‟awadhah pada akhirnya, seperti kafalah (tanggungan), qardh.
h). Akad dilihat dari segi dibayarkan ganti atau tidak.
(1). Akad dhaman, adalah barang tanggung jawab pihak kedua sesudah
barang-barang itu diterimanya, seperti akad jual beli.
(2). Akad amanah, adalah tanggung jawab dipegang oleh yang empunya
atau bukan oleh yang memegang barang tersebut, seperti syirkah dan
wakalah.
(3) Akad yang dipengaruhi beberapa unsur, dari satu segi mengharuskan
dhaman, dari segi yang lain merupakan amanah, seperti ijarah dan rahn.
f. Berakhirnya Akad,
Akad yang putus atau batal adalah akad yang sudah sah adanya
kemudian dilepaskan ikatan akadnya, baik dengan keinginan maupun
tidak. Diakhirinya akad terdapat dua macam sebab, yaitu fasakh
(pembatalan) dan infisakh (batal demi hukum). Fasakh adalah
melepaskan ikatan akad dari kedua belah pihak baik dengan keinginan
sendiri maupun tidak. Sedangkan Infisakh adalah akad yang dapat
melepaskan ikatannya sendiri apabila tidak mungkin diteruskan dan dapat
lepas pula ikatan akadnya yang secara terus menerus masih berlaku,
seperti akad sewa menyewa dan akad pinjam meminjam, apabila benda-
benda yang dipinjamkan atau yang disewakan itu hilang atau tidak ada
lagi maka akad dapat lepas dengan sendirinya. Akad yang mengikat
seperti akad jual beli dan akad ijarah cara membatalkannya sama dengan
mengakadkannya, yaitu harus dengan persetujuan kedua belah pihak.
Persetujuan kedua belah pihak ini mempunyai dua gambaran. Pertama,
memperhatikan kepentingan orang orang yang berakad itu sendiri yang
kemudian berakibat masing-masing pihak kembalikepada keadaan seperti
sebelum berakad. Kedua, memperhatikan kepentingan orang ketiga untuk
melindungi haknya dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kedua
belah pihak.
Akad yang tidak mengikat seperti akad syirkah dan akad wakalah
dapat dilepaskan ikatan akadnya atas keinginan salah satu pihak selama
tidakbersangkutan dengan hak orang ketiga, seperti dalam masalah
menjualbarang-barang yang digadai harus ada persetujuan diantara orang
yangmenjual dan membeli dengan orang yang ketiga (pemegang
agunan).Sedangkan akad yang mengikat seperti akad gadai (rahn), maka
dapatdilepaskan ikatan akadnya dengan kehendak orang yang
memegang gadai(murtahin), tidak bisa dilepaskan ikatan akadnya atas
kehendak rahin.
Para ulama fiqih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir
apabila:
1. Berakhirnya masa berlaku akad apabila akad itu mempunyai masa
tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad apabila akad itu sifatnya
mengikat.
3. Dalam akad yang bersifat mengikat, akad dianggap berakhir apabila:
a). Jual beli itu batal, seperti terdapat salah satu rukun atau syarat yang
tidak terpenuhi.
b). Berlakunya khiyar syarat, aib dan rukyah.
c). Akad itu dilaksanakan oleh satu pihak.
d). Tidak tercapainya tujuan akad itu secara sempurna.
4. Salah satu pihak meninggal dunia.23
2. Akad-Akad Muamalah Klasik Dalam Produk Perbankan Syariah
Akad muamalah klasik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
bentuk-bentuk perikatan bisnis atau kebendaan yang biasa dipahami dan
dipraktikkan oleh masyarakat muslim periode awal dan kemudian
diformulasikan serta dibakukan dalam kitab-kitab fikih yang muncul
kemudian. Masa ini berkisar antara abad I H hingga abad III/IV H.
Munculnya kitab-kitab fikih, dengan berbagai aliran (mazhab) yang
menyertainya, menjadikan ajaran-ajaran hukum cenderung terbakukan.
Ajaran hukum yang tadinya bersifat opsional dan fleksibel menjadi
cenderung bersifat pasti dan monolitik. Adapun bentuk-bentuk muamalah
klasik tersebut adalah sewa menyewa (al-ijarah), penempaan (al-
istisnha‟), jual beli (al-bay‟), penanggungan (al-kafalah), pemindahan
utang (al-hiwalah), pemberian kuasa (al-wakalah), perdamaian (al-sulh),
persekutuan (al-shirkah), bagi hasil (al-mudarabah), hibah (al-hibah),
gadai (rahn), penggarapan tanah (al-muzara‟ah), pemeliharaan tanaman
23
http://eprints.stainkudus.ac.id. Akses tgl. 28 feb 2019
(al-musaqah), penitipan (al-wadi‟ah), pinjam pakai (al-„ariyah), pembagian
(al-qismah), wasiat (al-wisaya) , dan perutangan (al-qard) .24
Selanjutnya, akad-akad muamalah klasik yang diadopsi dan
dikembangkan dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut:25
a. Akad-akad yang Berbasis Jual Beli:
Bay al-murabahah: jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati; atau menjual kembali barang
dagangan dengan tambahan harga yang merepresentasikan keuntungan
bagi penjual. Syarat bay‟al-murabahah: (i) penjual memberi tahu biaya
modal (harga awal) kepada nasabah; (ii) akad pertama harus sah sesuai
dengan syarat dan rukunnya; (iii) akad harus terbebas dari riba; (iv)
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat sesudah
pembelian;(v) penjual harus menjelaskan segala hal yang terkait dengan
pembelian, Misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
Bay‟ murabahah di perbankan syariah biasanya mengambil bentuk
murabahah kepada pemesan pembelian murabahah KPP, yakni penjual
bank mengadakan barang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pembeli yang memesannya. Dalam praktiknya transaksi secara kredit
selalu mendominasi sistem ini. Kendati menjual barang yang tidak dimiliki
pada dasarnya dilarang, termasuk bay‟al-fuduli, namun para ulama
modern cenderung membolehkan, sebab dalam konteks murabahah
seperti ini belum ada barang berbeda dengan menjual tanpa kepemilikan
barang.26
Bay al-Salam: jual beli barang yang penyerahannya dilakukan di
kemudian hari, sementara pembayaran dilakukan di muka. Dalam dunia
perbankan syariah, dikenal istilah salam paralel, yakni menerapkan dua
transaksi bay al-salam sekaligus, antara bank dengan nasabah dan antara
24
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Hal. 73 25
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek. Jakarta:
Alvabet, 1999. Hal. 5 dan Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik.
Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Hal. 83 26
Antonio, Bank Syariah, hal. 103-104
bank dengan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya. Sebagian
ulama modern membolehkan transaksi semacam ini dengan syarat akad
salam yang kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang
pertama.
Sebagian lainnya mengingatkan agar transaksi semacam ini diwaspadai
terutama jika ia dilaksanakan secara terus menerus, karena yang
demikian ini akan menjurus kepada riba.Bay‟al-salam biasanya diterapkan
pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek,
yakni 2-6 bulan. Dalam hal ini bank sebagai perantara antara petani
dengan pihak ketiga, seperti Bulog dan pedagang grosir. Bank bertindak
sebagai pembeli (dengan memesan di muka beserta pembayarannya)
hasil pertanian, seperti padi, jagung, dan cabai dari para petani untuk
kemudian dijual lagi kepada Bulog (yang juga telah memesan sebelumnya
beserta pembayarannya). Inilah yang disebut dengan salam paralel.
Manfaat yang diperoleh oleh bank adalah keuntungan yang didapat dari
selisih antara harga jual dengan harga ketika membeli. Hanya saja
aplikasi semacam ini tampaknya belum diterapkan dalam perbankan
syariah di Indonesia.
Bay‟ al-Istisnha : kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Pembuat barang yang menerima pesanan dari pembeli akan
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau mengadakan barang
menurut spesifikasi yang sudah disepakati lalu menjualnya kepada
pembeli. Bay al-istisnha pada dasarnya merupakan varian dari bay‟ al-
salam, sehingga ketentuan hukumnya juga sama di antara keduanya.
Biasanya akad ini diterapkan dalam bidang manufaktur. 27
b. Akad-Akad yang Berbasis Prinsip Bagi Hasil
1). Musharakah: akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(keahlian) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan mereka. Dalam dunia
27
Ibid,. hal. 111
perbankan akad ini diterapkan pada: (i) pembiayaan proyek, di mana
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu
proyek dan setelah selesai nasabah mengembalikan dana tersebut
beserta bagi hasil yang disepakati untuk bank; (ii) modal ventura, dimana
bank menanamkan modalnya dalam jangka waktu tertentu. Setelah itu
bank akan melakukan divestasi (menjual bagian sahamnya), baik secara
sekaligus maupun bertahap. Sistem semacam ini disebut dengan
musharakah mutanaqisah.
2). Mudarabah: akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (sahibal-mal) menyediakan seluruh modal, sementara pihak
lainnya menjadi pengelola (mudarib). Keuntungan dibagi menurut
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama
ia tidak disebabkan oleh kelalaian pengelola. Mudarabah ada dua macam:
(i) mudarabah mutlaqah dan (ii) mudarabah muqayyadah. (restricted atau
specified mudarabah). Dalam dunia perbankan sistem ini diaplikasikan
pada: (i). Penghimpunan dana, meliputi: (a) tabungan berjangka, seperti:
deposito biasa dan tabungan yang dimaksudkkan untuk tujuan tertentu;
dan (b) deposito spesial (special investment): dana yang dititipkan
nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya: murabahah saja atau
ijarah saja. (ii) Pembiayaan, mencakup: (a) Modal kerja, seperti: untuk
perdagangan dan jasa; dan (b) investasi khusus mudarabah
muqayyadah.28
28
Ibid,. hal. 96
c. Akad-Akad Jasa Perbankan lainnya:
1). Wadi‟ah.
Berangkat dari konsep wadi‟ ah yad al-damanah, bank syariah
mengaplikasikannya dalam bentuk: current account (giro) dan saving
account (tabungan berjangka). Nasabah bertindak sebagai penitip
(muwaddi‟) sementara bank berfungsi sebagai penerima jasa titipan
(mustawda‟). Pada dasarnya semua keuntungan yang dihasilkan dari aset
yang dititipkan tersebut sepenuhnya menjadi milik bank. Sebagai
imbalannya pemilik aset mendapatkan jaminan keamanan di samping juga
fasilitas-fasilitas giro lainnya. Akan tetapi pihak bank tidak dilarang
memberikan bonus dengan catatan tidak dipersyaratkan sebelumnya
serta tidak ditentukan prosentasenya secara advance, tetapi semata-mata
merupakan kebijakan dari bank. Apabila ketentuan-ketentuan semacam
ini dilanggar akan mengarah kepada riba.
2). Ijarah.
Dalam dunia perbankan syariah dikenal adanya akad al-ijarah al-
muntahiyah bi al-tamlik (IMB, financial lease with purchase option) yang
dalam dunia keuangan dikenal dengan hire purchase. Akad ini merupakan
perpaduan antara jual beli dan sewa atau lebih kongkritnya adalah akad
sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang sewa di tangan penyewa.
Akad ini umum digunakan di bank syariah karena lebih sederhana dari sisi
pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan oleh urusan
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya. Manfaat
yang didapat bank adalah keuntungan biaya sewa dan kembalinya uang
pokok.
3). Wakalah:
Akad perwakilan antara dua belah pihak. Dalam perbankan wakalah
biasanya diterapkan untuk melakukan transfer dana dari nasabah ke
alamat di tempat lain.29
4). Kafalah:
Akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga
keuangan akad ini diterapkan untuk membuat garansi atas suatu proyek
(performance bonds), partisipasi dalam tender (tender bonds), atau
pembayaran lebih dulu (advance payment bonds).
5). Hawalah:
Akad pemindahan hutang atau piutang satu pihak kepada pihak
lain. Dalam dunia perbankan akad hawalah diterapkan pada factoring
(anjak piutang), post-dated check, dan bill discounting.
6). Rahn:
Akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain.
Dalam lembaga keuangan akad ini diterapkan sebagai produk pelengkap
dan juga sebagai produk yang berdiri sendiri. Sebagai produk pelengkap
maksudnya adalah sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral)
terhadap produk lain, seperti dalam pembiayaan murabahah bank dapat
menahan barang nasabah sebagai jaminan. Sebagai produk tersendiri,
yakni yang terepresentasikan dalam lembaga pegadaian syariah. Manfaat
bagi bank adalah menjaga kemungkinan nasabah lalai atau teledor
dengan pembiayaan yang diberikan bank.
7). Qard:
Akad pinjam meminjam (uang) antara satu pihak dengan pihak lain.
Dalam lembaga keuangan/perbankan, produk ini tidak memberikan
keuntungan finansial. Produk ini diterapkan: (i) Sebagai produk pelengkap
bagi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang
relatif pendek. Ia akan mengembalikan secepatnya dana tersebut. Produk
29
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek. Jakarta:
Alvabet, 1999. Hal. 204
ini hanya diberikan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya; (ii) sebagai fasilitas bagi nasabah yang memerlukan dana
cepat, karena ia tidak dapat menarik dananya disebabkan tersimpan
dalam bentuk deposito; (iii) sebagai produk untuk menyumbang usaha
yang sangat kecil atau untuk kepentingan sosial. Skema yang disediakan
adalah dalam bentuk al-qard } alhasan.
Oleh karena sifatnya yang tidak memberikan keuntungan finansial,
maka dana al-qard tidak bisa diambil dari danadana nasabah. Untuk
kepentingan pertama dan kedua, membantu keuangan nasabah secara
cepat dan berjangka pendek, maka sumber dananya diambil dari modal
bank. Sedangkan untuk tujuan yang terakhir, membantu Usaha Mikro dan
Sektor Sosial, sumber dananya diambil dari zakat, infak, dan sedekah. Di
samping juga dana-dana yang bersifat meragukan.30
3. Metode Dan Prosedur Transformasi Akad Muamalah Dalam
Perbankan Syariah.
Transformasi akad muamalah dalam perbankan syariah didasarkan
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi. Sebagai
pengganti bunga, sistem bagi hasil (profit sharing) yang terepresentasikan
dalam akad mudarabah dan musharakah diyakini lebih adil dan islami.
b. Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada
memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah.
c. Memberikan zakat. Atas dasar prinsip-prinsip tersebut bank syariah
menjalankan operasionalnya dan sekaligus mengembangkan produk
produknya melalui transformasi akad-akad muamalah klasik ke dalam
bentuk akad-akad yang applicable dalam dunia perbankan.
Adapun metode yang selama ini ditempuh dalam melakukan
transformasi adalah sebagai berikut:
1). Transformasi Dengan Cara Modifikasi Akad Klasik Islami Secara
Terbatas.
30
Ibid,. hal. 133
Transformasi ini dilakukan sekedar membuat akad klasik tersebut
(applicable) dalam institusi perbankan. Dalam hal ini, nama akad tetap
sama dengan nama klasiknya, hanya teknik dan prosedur
pelaksanaannya saja yang dimodifikasi. Misalnya akad mudarabah,
musharakah, dan bay‟ al-murabahah.
Akad mudarabah, misalnya, yang dalam konsep awalnya adalah
kerjasama usaha antara penyedia modal (sahibulmal) dengan pelaksana
usaha (mudarib) dengan kesepakatan keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama; kemudian dimodifikasi menjadi akad tiga pihak
antara bank, nasabah, dan nasabah peminjam. Jika dilihat dari pihak
nasabah penyimpan dana, bank adalah mudarib; sementara jika dilihat
dari pihak nasabah peminjam, bank adalah sahibul-mal. Di samping itu
secara administratif akad mudarabah mempersyaratkan adanya agunan
(jaminan) yang diserahkan oleh nasabah pengguna dana. Tentu saja
syarat-syarat seperti ini tidak dikenal dalam akad mudarabah klasik. Hal
yang hampir sama juga terjadi pada akad musharakah. Pembagian
keuntungan (profit sharing) lazimnya juga dilakukan tiap bulan
sebagaimana layaknya nasabah bank yang harus mengangsur kreditnya
setiap bulan. Jika di bank konvensional angsuran tiap bulan mencakup
dua komponen pembayaran, angsuran pinjaman pokok dan bunga;
angsuran di bank syariah pun juga meliputi dua komponen pembayaran,
yakni angsuran modal pokok dan bagi hasil. Padahal tidak semua usaha
yang dibiayai oleh bank dapat langsung menghitung keuntungannya
setiap bulannya.
2). Transformasi Dengan Penciptaan Akad Baru Yang Diderivasi Dari
Akad Klasik
Dalam hal ini nama akad berbeda dengan akad-akad muamalah
klasik, bahkan mungkin tidak pernah dikenal sebelumnya. Misalnya akad
al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik, musyarakah mutanaqisah, dan salam
paralel. Nama-nama akad ini belum pernah dikenal dalam akad-akad
muamalah klasik. Akad-akad ini tampaknya baru dikenal semenjak
munculnya bank-bank Islam.
Dalam melakukan transformasi akad tersebut, baik memodifikasi
akad klasik ataupun menciptakan akad yang baru, para ulama dan praktisi
perbankan selalu mendasarkan diri pada beberapa prinsip: (i) produk baru
diupayakan selalu diangkat dari akad-akad muamalah; (ii) integral dengan
transaksi riil; (iii) akomodatif terhadap kebutuhan nasabah; (iv) kompetitif
dalam dunia perbankan; dan (v) dapat mengakses teknologi yang terus
berkembang.31
4. Legitimasi Akad-Akad Klasik Islami Transformatif Perbankan
Syariah Dalam Perspektif Hukum Islam
Meskipun telah melalui kajian yang mendalam oleh Dewan
Pengawas Syariah dan dipraktikkan juga oleh bank-bank Islam pada
umumnya di seluruh dunia, namun bukan berarti akad-akad muamalah
yang dipraktikkan di bank syariah tidak ada problem hukumnya sama
sekali. Beberapa produk bank syariah yang berbasis akad muamalah tidak
lepas dari kritik berkenaan dengan keabsahannya dalam hukum Islam. Di
antara akad-akad tersebut adalah sebagai berikut:
a. Akad murabahah
Kendati secara formal bank syariah tidak memungut bunga, namun
sebagian produk yang ditawarkannya dinilai oleh sebagian kalangan tidak
berbeda dengan bunga. Di antaranya adalah produk yang berkenaan
dengan bay al-murabahah. Nasabah yang butuh mesin fotokopi misalnya,
datang ke sebuah bank syariah. Bank kemudian Membelikannya seharga
50 juta dan setelah memberitahukan harga yang sebenarnya, ia kemudian
menjualnya kepada nasabah tersebut dengan tambahan (murabahah,
mark up) 10 juta yang akan dibayar dalam waktu satu tahun dengan
diangsur setiap bulannya. Terlepas dari adanya persetujuan di antara
keduanya, sebagai cerminan dari kerelaan, hal ini tampak tidak ada
31
Ibid,. hal. 198
bedanya dengan orang yang me minjam uang 50 juta di bank
konvensional dengan bunga 20 persen satu tahun.
Dalam kasus murabahah KPP, yang umum diterapkan diperbankan
syariah, di mana bank hanya akan memesan barang yang dibutuhkan
nasabah manakala telah dicapai kesepakatan terlebih dulu dengan
nasabah mengenai harga barang beserta margin keuntungan bagi bank,
tampak peran bank lebih sebagai penyedia dana daripada sebagai
penjual. Dalam murabahah KPP, penjual dalam hal ini bank syariah tidak
betul-betul memiliki barang yang dijualnya kepada nasabah, melainkan
hanya memesannya kepada pihak ketiga. Padahal postulat yang
mendasari produk murabahah ini adalah bahwa bunga pinjaman (hutang
piutang) adalah haram, sedangkan keuntungan jual beli hukumnya halal.
Atas dasar postulat tersebut, maka bank syariah tidak meminjamkan uang
tetapi menjual barang untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi dalam
praktiknya ternyata justru terjadi pergeseran peran, dari penjual barang
menjadi penyedia dana. Dana yang dipinjamkan untuk membeli barang
tersebut berbasis pada keuntungan yang telah ditentukan sebelumnya
(predetermined return) bagi pihak bank. Hal ini tentu saja tidak ada
bedanya dengan pembiayaan yang berbasis bunga tetap yang diterapkan
di bank konvensional.
Di samping itu, karakter akad murabahah yang dipraktikkan di
perbankan syariah lainnya adalah adanya penambahan harga (hutang)
sesuai dengan penambahan waktu pembayaran. Para teoritisi perbankan
Islam berargumen bahwa tidak ada ayat dalam Qur`an dan juga Sunnah
Nabi yang secara khusus melarang penambahan harga (hutang) atas
dasar penambahan tempo pembayaran semacam itu. Dalam pandangan
mereka, riba hanya terjadi dalam konteks transaksi keuangan, yakni
hutang piutang, di mana pihak yang berhutang berkewajiban membayar
lebih dari nilai nominal hutangnya. Oleh karena akad murabahah bukan
merupakan transaksi keuangan murni, sebab yang diterima nasabah
bukanlah uang tetapi barang, maka di dalam akad murabahah (yang
berbasis jual beli) tidak akan terjadi riba.
Jika hukum Islam membolehkan akad pembiayaan murabahah
sebagaimana dipraktikkan dalam perbankan syariah semacam itu, lalu
masih adakah landasan moral untuk tidak mengizinkan bunga tetap dalam
hutang piutang, Oleh karena itu, sebagian ulama cenderung
mengharamkan akad murabahah semacam itu karena hampir tidak ada
bedanya dengan pembungaan uang. Bahkan sebagian penulis
menyatakan bahwa akad-akad murabahah sebenarnya tidak pernah
dikenal atau disebut-sebut dalam literatur-literatur awal tentang bank
Islam. Akad ini baru muncul pada masa-masa belakangan ini saja. Para
konseptor awal bank Islam, seperti Muhammad Nejatullah Siddiqi dan
Muhammad Uzair, menekankan bank Islam sebagai bank yang berbasis
bagi hasil, bukannya berbasis (mark up) sepertiakad-akad murabahah ini.
Akan tetapi ironisnya, justru akad-akad murabahahlah yang mendominasi
transaksi di bank-bank syariah, baik di dunia Islam maupun di Indonesia
sendiri.32
b. Akad bay’ al-salam dan bay’ al-istishna’
Kritik terhadap kedua akad ini pada dasarnya hampir sama dengan kritik
terhadap akad murabahah KPP yang diterapkan dalam perbankan
syariah, yakni dalam hal transaksi penjualan barang yang tidak atau
belum dimiliki oleh pihak penjual. Bay‟ al-salam dan bay‟ al-istisnha yang
dipraktikkan di perbankan adalah salam paralel dan istishna‟paralel. Di
dalam kedua akad ini transaksi jual beli juga bukan terhadap barang yang
dimiliki pihak pembeli, karena bank selaku penjual hanya memesan
kepada pihak ketiga.
c. Akad mudarabah
Dari aspek yuridis-filsofis, akad mudaabah bukanlah sebuah
konsep yang diciptakan dari dalam Islam sendiri. Ia sebenarnya berasal
32
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation (Leiden-New York-Koln: E.J. Brill, 1996), hal. 93.
dari tradisi pra-Islam yang kemudian diterima oleh Islam, atau sekurang-
kurangnya tidak bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Dengan
ungkapan lain, mudarabah merupakan praktek yang tidak ada dasarnya
dalam Islam. Selain itu, jika dicermati, al-Qur`an memposisikan riba (yang
dilarang karena merupakan eksploitasi sosial) berlawanan dengan
sadaqah (sebagai perilaku altruistik yang dianjurkan), bukannya riba
dengan mudarabah. Oleh karena itu, mudarabah seyogyanya tidak dilihat
sebagai satu-satunya konsep paling islami yang mendasari sistem
perbankan syariah. Sehingga perubahan mendasar terhadapnya
senantiasa terbuka demi terwujudnya suatu lembaga perbankan yang
lebih islami dan sekaligus efisien.
Di samping itu, dari aspek praktisnya konsep mudarabah yang
diterapkan oleh perbankan syariah, pada taraf tertentu justru
menyebabkan inefisiensi dan sekaligus sangat beresiko. Pada produk
pembiayaan investasi, misalnya, karena bank syariah sejak semula
menganut prinsip mudarabah, maka seolah-olah harus memposisikan
dirinya sebagai sahibal-mal yang menyediakan seluruh dana kepada
investor (pengusaha), selaku mudarib. Jika hal ini betul-betul dijalankan,
tentu saja akan banyak dana yang mesti dikeluarkan untuk menilai
kelayakan proyek tersebut seperti memantau kinerjanya setiap saat agar
dapat diketahui keuntungan ataupun kerugian yang didapat sehingga
dalam pembagian keuntungan ia tidak dirugikan; dan sebagainya.
Menyadari akan rumitnya persoalan yang dihadapi, maka bank syariah
cenderung menghindari pembiayaan investasi dengan cara mudarabah
dan sebagai gantinya digunakan skema musharakah mutanaqisah. Jadi,
konsep mudarabah sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat diterapkan.
Di samping itu, menurut ketentuan normatifnya dalam kitab fikih, di
dalam akad mudarabah pihak sahibual-mal tidak diperkenankan meminta
barang jaminan dari pihak mudarib untuk memastikan pengembalian
modal atau modal beserta keuntungannya. Oleh karena hubungan antara
sahibul-mal dengan mudarib merupakan hubungan kepercayaan, maka
jaminan semacam itu harus dihindari. Apabila pihak sahibul-mal
memaksakan adanya jaminan semacam itu dengan memasukkannya
dalam persyaratan akad, maka akad menjadi tidak sah menurut Malik dan
Syafi‟i. Dalam praktiknya, bank-bank syariah meminta jaminan semacam
ini dari nasabah, sebab dalam logika perbankan setiap pemberian dana
(pinjaman) kepada nasabah harus ada jaminan (agunan) yang bisa
dipegang oleh bank untuk menjamin dana yang dipinjam tersebut tidak
akan tidak dilunasi. Kendati hukum Islam tidak memperkenankan pihak
sahibul-mal meminta jaminan dari pihak mudarib, namun bank-bank
syariah tetap saja melakukannya dalam berbagai bentuk. Alasannya
jaminan tersebut tidak untuk memastikan modalnya dikembalikan, tetapi
untuk memastikan bahwa mudarib akan bekerja sesuai dengan yang
disepakati dalam akad.33
d. Akad musharakah
Oleh karena pada hakekatnya hampir sama dengan akad
mudarabah, kritik terhadap penerapan akad musyarakah di perbankan
syariah hampir sama dengan yang terjadi pada penerapan akad
mudarabah. Di antaranya adalah tentang keharusan adanya jaminan dari
pihak nasabah yang diserahkan kepada pihak bank. Jaminan ini
dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan bank terkait dengan dana
yang disalurkan kepada nasabah. Padahal, menurut empat mazhab, salah
satu pihak dalam akad musyarakah tidak boleh meminta jaminan kepada
pihak lain, sebab akad ini dasarnya adalah kepercayaan. Seorang sharik
(anggota shirkah) adalah orang yang dipercaya. Bahkan menurut al
Sarakhsi (ulama Hanafiyah), manakala salah satu pihak dalam akad
musharakah mempersyaratkan adanya jaminan, maka akad tersebut
dinilai tidak sah (batal). Praktiknya, bank-bank syariah umumnya
mempersyaratkan adanya jaminan semacam ini.34
33
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: ibid,. hal. 54 34
Idid,. Hal. 61-66
Demikianlah sebagian akad perbankan syariah yang dalam
penilaian sebagian kalangan dinilai kurang islami, bahkan sebagiannya
dinilai tidak ada bedanya dengan bunga. Akad-akad lainnya sebenarnya
juga bukan berarti tidak ada problem hukum sama sekali. Secara umum
yang dihadapi akad-akad perbankan syariah adalah pada modifikasi
dalam aspek teknis aplikasinya di dunia perbankan. Sebagian kalangan
menganggap modifikasi tersebut telah menyimpang atau sekurangnya
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang dijunjung tinggi oleh
para teoritisi perbankan syariah sendiri.
5. Modifikasi Akad (Multi Akad).
a. Pengertian.modifikasi akad
Modifikasi akad adalah merupakan suatu inovasi, kreatifitas para
praktisi perbankan dalam mengadopsi akad-akad muamalah ke dalam
fatwa DSN/MUI yang bersifat akad tunggal dengan tetap memperhatikan
batasan-batasan yang telah di tetapkan oleh syariah dengan
mempempertahankan bentuk fungsi asli dari akad tersebut.35
Sedangkan Akad atau al-„aqd yaitu perikatan, perjanjian, dan
permufakatan atau al-ittifaq. Secara etimologi (bahasa) mempunyai
beberapa arti, antara lain: Mengikat yaitu mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung,
kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda atau sambungan
yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
Akad juga bermakana انعيد (janji). Menurut ulama fiqh, setiap akad
mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai
sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli
dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh
dibatalkan kecuali disebabkan hal hal yang dibenarkan syara‟.36
35
http.www.hospot.repository.unisba.ac.id, Akses tgl. 29 Maret 2017 36
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah : Panduan Teknis Pembuatan Akad atau Perjanjian Pembiayaan pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2009, hal. 18.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-qur‟an surah Al-Imran : 76 yaitu
sebagai berikut:
تقي يحت ان انه اتقى فئ ذ فى ثع أ ثهى ي Artinya:”(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nyadan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Imran :76)
Dalam Al-Qur‟an mengacu kepada janji yang telah dibuat
seseorang baik terhadap sesama manusia maupun terhadap Allah. Jika
pernyataan ini kepada seseorang maka pernyataan ini mengacu kepada
seseorang yang mengerjakan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan orang lain. Perjanjian yang dibuat sesorang tidak memerlukan
persetujuan pihak lain, baik setuju maupun tidak setuju. Tidak
berpengaruh kepada janji yang dibuat oleh orang tersebut, seperti yang
dijelaskan dalam Surah Ali-Imran ayat 76, bahwa janji tetap mengikat
orang yang membuatnya.37
Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak; lebih dari satu; lebih
dari dua; atau berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa
Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari
satu.38Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu al-‟uqud al-murakkabah yang berarti akad
ganda (rangkap). Al-‟uqud almurakkabah terdiri dari dua kata al-‟uqud
(bentuk jamak dari „aqd) dan almurakkabah. Kata „aqd sudah dijelaskan
secara khusus pada bagian sebelumnya. Sedangkan kata Al-murakkabah
(murakkab) secara etimologi berarti al-jam‟u, yakni mengumpulkan atau
menghimpun. Kata murakkab sendiri berasal dari kata "rakkabayurakkibu-
tarkiban" yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang
lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah.
37
http.www.repository.unisba.ac.id,Multi Akad Dalam Hukum Islam.Akses tgl. 3 April 2017 38
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Edisi Kedua, hal. 671.
Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah
sebagai berikut:
1. Himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama.
Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama)
dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkib).
2. Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan
dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basith) yang tidak memiliki
bagian-bagian.
3. Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu
dengan yang lainnya.
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab.Pengertian
pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal
sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal
itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu.
Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya
beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan
dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana
setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat
kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu
istilah tertentu.
Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya
beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan
dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana
setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat
kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu
istilah tertentu.
Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk
menjelaskan maksud al-‟uqud al-murakkabah dalam konteks fikih
muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Nazih Hammad
adalah:bahwa kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad
yang mengandung dua akad atau lebih seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, surf (penukaran mata uang),
syirkah, mudharabah dan lainnya, sehingga semua akibat hukum akad-
akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.39
Sedangkan menurut Al-„Imrani akad murakkab adalah himpunan
beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad baik secara
gabungan maupun secara timbal balik sehingga seluruh hak dan
kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu
akad.40
Selain istilah akad murakkab, ada beberapa istilah lain yang
digunakan ahli fikih yang memiliki hubungan, kemiripan, dan kesamaan
dengan pengertian akad murakkab. Istilah-istilah itu antara lain al-‟uqud al-
mujtami‟ah, al-‟uqud al-muta‟addidah, al-‟uqud al-mutakarrirah, al-‟uqud al-
mutadakhilah, al-‟uqud al-mukhtalithah. Berikut penjelasan pengertian dari
beberapa istilah yang mirip dengan murakkab ini sebagai berikut:
a. Al-ijtima‟ (mujtami‟ah); kata ini mengandung arti terhimpun atau
terkumpul, lawan dari terpisah.
Sesuatu yang terhimpun dari beberapa bagian meski tidak menjadi
satu bagian adalah arti dari kata ijtima‟.Dengan begitu al-‟uqud al-
mujtami‟ah berarti terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu
akad.Sekilas ada persamaan antara istilah murakkab dan mujtami‟ah,
yaitu adanya unsur terhimpunnya beberapa akad dalam satu
akad.Bedanya, dalam murakkab beberapa akad itu lebur menjadi satu
akad (transaksi) yang memiliki implikasi dan satu akibat
hukum.Sedangkan dalam mujtami‟ah, belum tentu terjadi peleburan
akad.Artinya, dalam ijtima‟ beberapa akad itu dapat melebur menjadi satu
39
Nazih Hammad, Al-‟uqud al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2005), cet. ke-1, hal. 7.
40Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-„Imrani, Al-Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah,
(Beirut:: Darul Qalam, tt), hal. 46.
akad dan dapat pula akad-akad tersebut berdiri sendiri-sendiri. Dalam
kondisi pertama, akad mujtami‟ah dapat disebut dengan dan merupakan
salah satu bentuk akad murakkab; sedangkan dalam kondisi kedua (tidak
melebur menjadi satu), ia tidak dapat dikategorikan akad murakkab.
Contoh akad mujtami‟ah adalah akad sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli
(ba‟i) yang digabungkan menjadi satu meskipun kedua akad tetap eksis.
Dengan demikian, pengertian ijtima‟ (mujtami‟ah) lebih luas
daripada murakkab, karena ijtima‟ mencakup murakkab dan tidak
murakkab. Ulama pun tidak sekata atas penggunaan istilah ijtima‟ ini. Al-
Imrani tampaknya membedakan istilah murakkab dan mujtami‟ah, seperti
diuraikan di atas.Akan tetapi Nazih terlihat mempersamakan istilah
murakkab dan mujtami‟ah.Dalam beberapa pembahasan, Nazih
mencampuradukkan antara istilah akad murakkab dan akad mujtami‟ah.
b. Al-Ta'addud. Kata ta'addud berarti berbilang dan bertambah.
Ta'addud dalam terminologi akad adalah adanya tambahan jumlah
syarat, akad, pelaku, harga, objek, atau sejenisnya.Istilah ta'addud lebih
umum dari pada murakkab. Akad murakkab yang diartikan sebagai
terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu akad, adalah makna dari
terbilang (ta'addud) dalam akad. Bedanya, ta'addud mengandung
persoalan-persoalan yang tidak termasuk dalam tujuan akad murakkab,
seperti berbilangnya dua pihak, atau dalam harga, benda, atau
lainnya.Karena itu ada perbedaan mendasar antara murakkab dan
ta'addud, di mana murakkab mengandung konsekuensi satu, sedangkan
ta'addud konsekuensinya bisa berbilang.
c. Al-tikrar. Al-tikrar berarti berulang.
Kata ini digunakan untuk menunjukkan adanya proses terhimpun
atau terulangnya sesuatu. Sedangkan secara terminologi Al-tikrar
diartikan sebagai mengulangi sesuatu yang telah dilakukan.Dalam hal
akad Al-tikrar berarti mengulangi akad yang telah dilakukan
sebelumnya.Bedanya dengan murakkab dalam akad, kalau Al-tikrar meski
berarti pula mengumpulkan tetapi maksud yang paling tetap untuk istilah
ini adalah mengulangi akad yang sudah dilakukan dalam beberapa
transaksi.Sedangkan dalam murakkab yang terjadi adalah terhimpunnya
dua akad atau lebih menjadi satu akad atau transaksi.
d. Al-tadakhul. Al-tadakhul secara bahasa berarti masuk.
Masuknya (al-wuluj), sesuatu pada sesuatu yang lain,keserupaan
beberapa hal dan dan saling meliputi. Al-tadakhul juga berarti masuknya
suatu bagian pada bagian yang lain. Arti terakhir ini lebih spesifik karena
yang masuk adalah suatu bagian pada bagian yang lainnya, sedangkan
pengertian pertama lebih luas karena mencakup masuknya sesuatu.pada
sesuatu yang lain. Sesuatu itu dapat berupa bagian atau suatu yang utuh.
Dalam terminologi fikih, Al-tadakhul diartikan sebagai terhimpunnya
suatu hal tertentu dalam dua ketentuan hokum agama (syar'i) dan cukup
hanya melakukan salah satu ketentuan hukum tersebut pada umumnya
boleh dipilih, namun akibat hukum keduanya atau salah satunya dapat
tercapai.Dari pengertian ini, al-tadakhul mengandung pula makna
pengumpulan. Akan tetapi pengumpulan akad di sini dapat tercukupi
dengan salah satu akadnya, tanpa akad yang lain. Sementara pada
murakkab, kedua akad atau lebih tidak bisa dipisahkan satu dari yang
lainnya.Keduanya digabungkan menjadi satu transaksi tersendiri yang
berakibat hukum pada objek transaksi dengan akibat yang satu.Jadi jelas,
perbedaan mendasarnya bahwa murakkab meniscayakan leburnya dua
atau lebih akad menjadi satu yang memiliki akibat hukum yang satu pula
(dalam arti tidak bisa dipisahkan), namun akad-akad tersebut harus
dilaksanakan.
e. Al-Ikhtilath. Kata ini memiliki makna yang sama dengan al-jam‟u. Al
Ikhtilath berarti terhimpun, terkumpul, insert (tadakhul), dan melebur.
Al-Ikhtilath berarti terhimpunseperti contoh seseorang
mencampurkan sesuatu pada yang lain, maka keduanya tercampur atau
terkumpul. Tercampurnya dua hal itu bisa berakibat melebur menjadi satu
sehingga kedua hal itu tidak bisa dibedakan seperti tercampurnya barang-
barang cair, dan bisa juga dibedakan seperti dikumpulkannya suatu
hewan dengan hewan yang lain.
Multi akad („uqud mukhtalithah) mengandung arti seperti akad
murakkab, yaitu akad-akad yang terhimpun dalam satu akad yang
menimbulkan akibat hukum satu akad.U„qud mukhtalithah (contract
mixed) adalah menghimpun beberapa akad modern di mana satu akad
melebur dengan akad lainnya. Dengan kata lain akad yang terdiri dari
peleburan beberapa akad yang berbeda menjadi satu akad.Contoh akad
yang mukhtalith adalah kost (mengontrak rumah). Beberapa akad yang
ada di dalamnya adalah akad sewa untuk ruangan tinggal, akad bekerja
sebagai pembantu, akad jual beli berkenaan dengan makanannya, dan
akad wadi'ah berkenaan dengan penitipan barang-barang (amti‟ah).
Akad mukhtalith digunakan pula untuk menyebutkan akad
murakkab. Keduanya memiliki makna yang sama, hanya saja berbeda
dari sisi kedalaman maknanya saja. Kata murakkab lebih spesifik dan
khusus untuk menyebut multi akad ketimbang mukhtalith yang dapat pula
mengandung arti yang lain. Baik pada akad murakkab maupun mukhtalith
dimaksudkan untuk menyatakan terhimpunnya dari beberapa akad
menjadi satu akad dan berimplikasi hukum satu pada objek akadnya.
6. Macam-macam Multi Akad
Al-„Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-‟uqud al-
mutaqabilah, al-‟uqud al-mujtami‟ah, al-‟uqud al-mutanaqidhah wa al-
mutadhadah wa al-mutanafiyah, al-‟uqud al-mukhtalifah, al-‟uqud al-
mutajanisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama;
al-‟uqud al-mutaqabilah, al-‟uqud al-mujtami‟ah, adalah multi akad yang
umum dipakai. Berikut penjelasan dari macam-macam multi akad sebagai
tersebut.
a. Akad Bergantung atau Akad Bersyarat (al-‟uqud al-mutaqabilah)
Taqabul menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan
berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-‟uqud al-Mutaqabilah adalah multi
akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana
kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua
melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung
dengan akad lainnya.
Dalam tradisi fikih, model akad seperti ini sudah dikenal lama dan
praktiknya sudah banyak.Banyak ulama telah membahas tema ini, baik
yang berkaitan dengan hukumnya, atau model pertukarannya; misalnya
antara akad pertukaran (mu'awadhah) dengan akad tabarru‟, antara akad
tabarru' dengan akad tabarru' atau akad pertukaran dengan akad
pertukaran.Ulama biasa mendefinisikan model akad ini dengan akad
bersyarat (isytirath aqd bi aqd).
b. Akad Terkumpul (al-‟uqud al-mujtami‟ah)
Al-‟uqud al-mujtami‟ah adalah multi akad yang terhimpun dalam
satu akad.Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti
contoh "Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain
kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu".
Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya
dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad
terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum
dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad
dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu
imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
c. Akad Berlawanan
Mutanaqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh
seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan
dengan yang pertama.Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu
berkata lagi sesuatu itu salah.Perkataan orang ini disebut mutanaqidhah,
saling berlawanan.Dikatakan mutanaqidhah karena antara satu dengan
yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
d. Akad berbeda (al-‟uqud al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat
hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya.Seperti perbedaan
akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa
diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya.
Contoh lain, akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus
diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijarah, harga
sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang
mutanaqidhah, mutadhadah, dan mutanafiyah terletak pada keberadaan
akad masing-masing.Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat
meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun
berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat.Sedangkan untuk kategori
berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara
akad-akad yang membangunnya.
e. Akad sejenis (al-‟uqud al-mutajanisah)
Al-‟uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di dalam
hukum dan akibat hukumnya.Multi akad jenis ini dapat terdiri dari satu
jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa
jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad jenis ini dapat
pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau
berbeda.
7. Hukum Multi Akad
Akad memiliki peranan yang penting dalam bertransaksi. Para
fuqaha ketika memperkenalkan konsep akad tentu dengan menyandarkan
pada dalil-dalil syari‟ at (al-ruju‟ ila al-Qur‟an wa al-sunnah) untuk
menentukan keabsahannya. Tujuan akad adalah agar nilai-nilai syariat
yang ada di balik akad itu, yaitu berupa kepastian bentuk transaksi dapat
dicapai sehingga terhindar dari praktik transaksi yang manipulatif.
Pada mulanya, akad hanya digunakan untuk transaksi antara
perseorangan.Namun dalam perkembangan, konsep akad banyak
digunakan untuk mengembangkan berbagai produk keuangan atau bisnis
syariah yang melibatkan institusi lembaga dan perusahaan.DSN-MUI
(Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga
fatwa Islam di bidang ekonomi mengeluarkan13 fatwa terbarunya tentang
ekonomi dan keuangan syariah yang berasal dari dua kali pleno DSN-MUI
yang diselenggarakan pada tanggal 19 September 2017 (7 fatwa) dan 22
Februari 2018 (6 fatwa).Produk keuangan atau bisnis syariah mengalami
perkembangan yang sangat dinamis seiring dengan perkembangan
ekonomi kontemporer masyarakat global. Model transaksi yang begitu
variatif tersebut, seolah-olah menjadi keniscayaan yang tidak
terhindarkan. Konsekuensinya, lembaga keuangan atau bisnis syariah
yang mulai populer di kalangan masyarakat kontemporer, “dipaksa” untuk
mengikuti perkembangan model transaksi yang cenderung bebasnilai itu.
Keadaan yang pelik bagi pemangku kebijakan ekonomi Islam seperti
DSN-MUI.
Apabila DSN-MUI resisten terhadap realitas perkembangan
ekonomi konvensional, akan dianggap tidak akomodatif dan responsif
terhadap berbagai variasi transaksi modern. Begitu pula sebaliknya,
apabila DSN-MUI proaktif merespon dinamika ekonomi konvensional
berarti memerlukan proses ijtihad41yang tidak sederhana diantaranya
adalah terhadap penerapan multi akad (al-„uqud al-murakkabah).
Dari keseluruhan fatwa DSN-MUI, ada yang murni hasil penggalian
hukum (ijtihad istinbathi) dan ada yang mengadopsi prinsip-prinsip akad
yang termuat dalam fiqh mu‟amalah. Bentuk pengadopsian akad-akad ke
dalam fatwa DSN-MUI adalah dalam
41
DSN-MUI dalam melakukan ijtihad hukum mengacu pada pedoman penetapan fatwa
yang ditetapkan berdasarkan SK Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada Bab II yang menyatakan bahwa: (1) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur‟an, Sunnah (hadits), ijma‟, dan qiyas; (2) Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif; (3) Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan komisi fatwa. Ketentuan tersebut adalah untuk menjelaskan tentang dasar hukum dan sifat fatwa.Artinya, setiap keputusan fatwa harus mengacu pada sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Rasul yang mu‟tabarah.Kemudian jika suatu persoalan (fakta) secara langsung tidak dijelaskan dalam kedua sumber hukum tesebut, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma‟ dan qiyas. Dalam pedoman dinyatakan bahwa sebelum fatwa ditetapkan diperlukan peninjauan terlebih dulu terhadap pendapat imam madzhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut secara seksama berikut dalil-dalilnya. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-qath‟iyyat) hendaklah disampaikan sebagaimana adanya. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka (a) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat-pendapat mazhab melalui metode al-jam‟ wa al-tawfiq; dan (b) Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah al-madzahib dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqh muqaran. Untuk masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama‟i (kolektif) melalui metode bayani, ta‟lili (qiyas, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-dzarî‟ah.Penetapan fatwâ harus senantiasa memerhatikan kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan maqashid al-syariah.Di samping itu, kaidah-kaidah lainnya yang secara spesifik juga mendasari penetapan fatwaDSN-MUI yaitu kaidah pemisahan halal-haram (tafriq al-halal min al-haram) dan peninjauan kembali (i‟adah al-nazhar).Diakses dari http://fahmi-salim.blogspot.co.id/2012/06/pidato-pengukuhan-dr-hc-kh-maruf-amin.html. Burhanuddinakses.tgl.25April 2017.
rangka menerapkan prinsip-prinsip akad (ijtihad thatbiqi) ke dalam
lembaga keuangan/bisnis syariah. Pengadopsian akad-akad mu‟amalah
ke dalam fatwa DSN-MUI ada yang bersifat tunggal (al-„aqd al-fardliyah)
dan ada yang bersifat multi akad, yaitu perpaduan antara akad satu
dengan lainnya dengan tetap memerhatikan ketentuan batasan-batasan
(hudud wa dlawabith) yang telah ditetapkan oleh syariah.
Pendekatan multi akad pada satu sisi merupakan suatu kebutuhan,
namun pada sisi yang lain dikhawatirkan bertentangan dengan prinsip al-
qu‟an dan al-hadits. Disebut kebutuhan sebab tanpa multi akad, praktek
ekonomi syariah kontemporer sulit mengimbangi dan sulit hadir menjadi
alternatif bagi transaksi keuangan modern. Akan tetapi, apabila multi akad
yang diberlakukan dengan tidak memperhatikan hudud wa dlawabith
syariah, jelas akan melanggar syariah.42
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum
dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai‟ dan salaf
yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi.Akan tetapi jika
kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai‟ maupun salaf
diperbolehkan.Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara
sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu)
hukumnya boleh.Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari
hukum akad-akad yang membangunnya.Bisa jadi akad-akad yang
membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram
ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Ketentuan seperti ini
pernah diutarakan oleh al-Syatiby, menurutnya:“Penelitian terhadap
hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari sesuatu kumpulan
(akad) tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri”.
Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama
dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain,
42
Burhanuddin Susamto, Tingkat Penggunaan Multi Akad Dalam Fatwa Dewan Syari‟ah
Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, jurnal, al-ihkam, Vol .1 1 No.1 Juni 2016, akses tgl 18 April 2017.
hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum
dari multi akad.
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi
akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan
hukum akad yang membangunnya.Artinya setiap muamalat yang
menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang
membangunnya adalah boleh.Ketentuan ini memberi peluang pada
pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.Ketentuan ini
berlaku umum, sedangkan beberapa hadist Nabi dan nash-nash lain yang
mengharamkan multi akad adalah ketentuan pengecualian.Hukum
pengecualian ini tidak bisa diterapkan dalam segala praktik muamalah
yang mengandung multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat
terutama berkaitan dengan hukum asalnya.Perbedaan ini menyangkut
apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk
dipraktikkan.Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut;
membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah,
ulama Syafi‟iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah
dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak
diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang
mengharamkan atau membatalkannya.
Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia
adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang
haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang
disyariatkan.
Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan transaksi multi
akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-
sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya.Ketika ada
dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi
mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu.Karena itu,
kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku
yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian
yang telah disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa
hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau
dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap
akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak
bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram
secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas
keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh
mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu
pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.
Al-Syatiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat
dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan
(ta‟abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran
hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan
substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifat ila ma‟any). Dalam hal
ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang
telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru,
karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan
melaksanakan (ta‟abbud).
Konsekuensi hukum akad yang tidak sah terbagi menjadi dua, yaitu
gugur (bathl) dan rusak (fasid).Gugur (bathl) terjadi ketika pada saat mulai
berakad sudah tidak sesuai dengan rukun dan syarat yang ditetapkan
syar‟i. Sedangkan akad fasid berbeda dengan bathl, karena fasid hanya
akan terjadi apabila akad yang sebelumnya sah, namun karena ada sebab
tertentu yang merusak kerelaan (uyub al-ridla) sehingga menyebabkan
akad menjadi fasid.43
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan
kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah
dalam surat al-Maidah ayat (1) yaitu:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-
akad”. (QS. Al-Maidah : 1). Akhir kalimat di atas adalah akad-akad („uqud).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar orang yang beriman memenuhi
akad antar mereka.Kata akad ini disebutkan secara umum, tidak
menunjuk pada akad tertentu.Artinya, secara prinsip semua akad
diperbolehkan oleh Allah dan orang mukmin wajib memenuhi akad
itu.Karena itu, al-Jashash menafsirkan ayat ini bahwa orang mukmin
dituntut memenuhi akad-akad, termasuk akad jual beli, sewa menyewa,
nikah, dan segala yang termasuk dalam kategori akad. Jika ada
perbedaan mengenai boleh tidaknya suatu akad, sah dan berlakunya
suatu nadzar, ayat di atas dapat dijadikan dalil, karena keumuman ayat
menunjukkan kebolehan segala bentuk akad, termasuk akad penjaminan
(kafalah), sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya.
Nash lain yang menjadi dasar pendapat kelompok ulama ini adalah
surat an-Nisa: ayat 29 yaitu:
كى ثبنجبطم إنب أ انكى ثي آيا نب تأكها أي ب انزي يب أي
كى تشاض ي تجبسح ع تكArtinya: “Hai orang-orang beriman janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian secara tidak benar kecuali atas dasar perniagaan dengan didasari saling rela di antara kalian”.(QS. An-nisa:29)
Makna arti ayat di atas menjelaskan bahwa dalam perniagaan
hanya disyaratkan suka sama suka. Ini berarti bahwa suka sama suka
adalah dasar kehalalan memperoleh sesuatu. Jika kerelaan menjadi dasar
bagi kehalalan, maka setiap aktivitas yang didasari kerelaan menjadi halal
43
Ibid., hal 207
berdasarkan petunjuk al-Qur'an, selama tidak mengandung sesuatu yang
diharamkan seperti perniagaan atas objek yang diharamkan, babi,
khamar, barang najis dan sebagainya.Dari sini dapat disimpulkan bahwa
hukum asal dari akad adalah boleh.
Berangkat dari sini, semua kegiatan sosial muamalah hukumnya
boleh kecuali yang telah nyata jelas disebutkan keharamannya.
Pertimbangan lain dari pendapat pertama ini adalah tidak ditemukannya
keterangan yang mengharamkan semua jenis akad atau syarat dalam
agama. Yang dijelaskan adalah secara umum tentang halalnya akad dan
tidak dijelaskan keharamannya, kecuali atas objek tertentu.Karena tidak
ada penjelasan yang menyatakan haram, maka akad hukumnya halal.
Ulama lain, terutama dari kalangan Dhahiriyyah mengharamkan
multi akad. Menurut kalangan Dhahiriyah hukum asal dari akad adalah
dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama.Kalangan
Dhahiriyah beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa
yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan
dalam nash-nash agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak
ada dasarnya dalam agama. Dan perbuatan seperti ini dianggap
melampaui batas agama, seperti dinyatakan dalam al-Qur‟an surat al-
Baqarah ayat 229 yaitu:
يتعذ ي ى انظبن فأنئك حذد انه
artinya: “ Dan barang siapa melampaui ketentuan-ketentuan Allah, maka merekalah orang-orang yang dhalim”.(QS. Al-Baqarah : 229).
Mendasarkan pada argument di atas, kalangan Dhahiriyah
menyimpulkan bahwa hukum asal dari akad adalah dilarang, kecuali yang
dinyatakan kebolehannya oleh agama dan pada intinya, kebolehan multi
akad yang didasarkan atas prinsip hukum asal dari akad adalah boleh dan
hukum multi akad diqiyaskan dengan hukum akad-akad yang
membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang
membatasinya. Artinya, meskipun multi akad diperbolehkan, ada batasan-
batasan yang tidak boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi rambu
bagi multi akad agar tidak terjerumus kepada praktik muamalah yang
diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana dijelaskan pada bagian
sebelumnya adalah garis batas bagi praktek multi akad yang tidak boleh
dilewati.
8. Batasan-batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh
dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi
dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan
diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama
adalah sebagai berikut:
a. Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad
yangdilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba‟i) dan pinjaman, dua
akad jual beli dalam satu akad jual beli, dan dua transaksi dalam satu
transaksi.
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya
diketahui oleh kedua belah pihak.Jika salah satu di antaranya tidak jelas,
maka hukum dari akad itu dilarang.Imam al-Syafi‟i memberi contoh, jika
seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat
dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual
beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.Sehingga
harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima
adalah pinjaman („ariyah).Sehingga penggunaan manfaat dari seratus
tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman.
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara
akad salaf (memberi pinjaman atau qardh) dan jual beli, meskipun kedua
akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan
menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari
terjurumus kepada riba yang diharamkan.Hal itu terjadi karena seseorang
meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan
ratus dengan harga seribu.Dia seolah memberi seribu dan barang
seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia
memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama
jugasepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh
dalam satu transaksi.Semua akad yang mengandung unsur jual beli
dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti
antara ijarah dan qardh, salamdan qardh, sharf dan qardh, dan
sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun
menurut al-„Imrâni tidak selamanya dilarang.Penghimpunan dua akad ini
diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan
untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang
memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian
ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu
qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh.
Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu
akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Banyak pendapat dari para ulama mengenai maksud dari dua jual
beli dalam satu jual beli.Pendapat yang dipilih (rajih) dalam hal ini adalah
pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan
ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba.Pendapat ini
menafsirkan bahwa seseorang menjual sesuatu dengan dibayar secara
cicil, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada yang menjual
dengan harga lebih rendah secara kontan.Akad seperti ini merupakan
hilah dari terjerumus pada riba, dan sebenarnya tidak terjadi akad jual beli
dalam transaksi tersebut.
Jual beli seperti di atas dilarang manakala sebuah akad yang
mengandung dua jual beli, salah satu dari jual beli itu dinyatakan sah dan
mengikat (lazim) sebelum para pihak berpisah namun tidak ditentukan jual
beli manakah yang dinyatakan sah dan mengikat tersebut. „illatlarangan
bentuk jual beli ini adalah ketidakpastian yang timbul dari ketidakjelasan
nilai harga.
b. Multi akad sebagai hilah ribawi
Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan
jual beli „inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.
1). Al-„Inah
Contoh „inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga
seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali
kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai.Pada transaksi
ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hilah riba
dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak faktual dalam
akad ini.Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat
tidak ditemukan dalam transaksi ini.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang
yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali
kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan
tambahan atas qardh baik dengan hilah atau lainnya. Demikian pula
dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan
kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang
bertujuan riba fadhl atau riba nasa', bukan bertujuan pada harga dan
barang.
Demikian pula dengan transaksi kebalikan „inah juga diharamkan.
Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai
dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak.
Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba.
2). Hilah riba fadhl.
Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg
beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000).- dengan
syarat bahwa ia dengan harga yang sama (Rp 10.000).- harus membeli
dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih
banyak (misalnya 3 kg) atau lebih sedikit (misalnya 1 kg). Transaksi
seperti ini adalah model hîlah riba fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman
Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas
sempurna 1 kg dengan kurma kualitas rendah 2 kg, 2 kg dengan 3 kg dan
seterusnya. Praktek seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar
ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu
pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli
pertamadengan kedua harus dipisah.Jual beli kedua bukanlah menjadi
syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri.Hadis di
atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan,
apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
c. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba,
hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah
boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun
membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi
dilarang seperti:
1. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad jual dan salaf.Larangan ini disebabkan karena upaya
mencegah (dzariah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi
ribawi.
Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya
penghimpunan akad jual beli (mu‟awadhah) dengan pinjaman (qardh)
apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak
disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan
qardh yang mengandung riba.
Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman
(muqridh).Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan
persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh,
seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang
lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh),
atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi
tambahan kuantitas atau kualitas obyek qardh saat mengembalikan.
Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur riba.
Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah
atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang
diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya
hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur riba di dalamnya.
2. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak
belakang atau berlawanan.
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-
akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling
berlawanan atau bertolak belakang.Larangan ini didasari atas larangan
Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli.Dua akad ini mengandung
hukum yang berbeda.Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental
dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf
adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan
kasih sayang serta tujuan mulia.Karena itu, ulama Malikiyah melarang
multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual
beli dengan ju‟alah, sharf, musaqah, syirkah, qiradh, atau nikah.Sebagian
ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-Malikiyah membolehkan.
Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan
hilangnya keabsahan akad.Dari dua pendapat ini, pendapat yang
membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul.
Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang
berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya
kewajiban dan hasil.Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan
satu waktu, sementara hukumnya berbeda.Sebagai contoh tergabungnya
antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya.Akad-akad yang
berlawanan (mutadhadah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu
transaksi.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa keharaman multi
akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal yaitu; dilarang agama atau
hilah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan
ketidakjelasan (jahalah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi akad
yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek yang
sama. Dengan kata lain, multi akad yang memenuhi prinsip syariah adalah
multi akad yang memenuhi standar atau dhawabit atau sebagaimana yang
telah ditetapkan secara prinsip hukum syara‟ sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas.44
Jika dilihat dari suatu langkah inovatif pengembangan produk
financing (pembiayaan) dan funding (pendanaan) bagi otoritas jasa
keuangan syariah merupakan sebuah keniscayaan. Dengan jalan
mencermati berbagai alur dan skema akad yang sudah ada di fiqih,
berbagai terobosan baru dapat dengan mudah kita temukan dan
selanjutnya diimplementasikan. Tradisi Bahtsul Masail di kalangan
Nahdliyin amat sangat membantu guna menemukan langkah inovatif
tersebut. Produk turunan ini selanjutnya kita sebut sebagai
modifikasi. Karena objek akad pembiayaan di dalam fiqih umumnya
dilakukan melalui tiga cara, yakni murabahah, mudlarabah dan
musyarakah, maka sasaran modifikasi yang terbanyak dalam Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Syariah juga senantiasa berfokus pada wilayah ini.
Pencurahan fokus ini tentu saja tetap dengan memperhatikan beberapa
hal, yaitu:
a. Upaya mewujudkan sistem ekonomi zero riba (sistem bebas riba).
b. Tidak menabrak aturan fiqih, khususnya madzhab fiqih yang dipegang
teguh oleh mayoritas umat Islam Indonesia, yaitu bermadzhab
Syafi‟iyah.
c. Maslahah dalam mengembangkan kualitas pengamalan ajaran agama
Umat Islam yang menghendaki kewajiban menjauhi praktik riba.
d. Tidak menimbulkan keguncangan ekonomi negara.
e. Memiliki daya saing dibanding Sistem Kredit bank konvensional dan
pelan-pelan mampu menggantikan peran bank konvensional sebagai
soko guru ekonomi nasional.
Kelima dlawabith ini menjadi bahan pertimbangan dasar untuk
memulai melakukan modifikasi-modifikasi tersebut. Selanjutnya OJK
44
Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syari‟ah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia:Konsep dan Ketentuan (dhawabith) dalam Perspektif Fiqh,Dosen FSH-UIN Syahid dan IIQ Jakarta, akses tgl. 11 Maret 2017 atauhttp//www. Ekonomisyariah / download / artikel / makalah / 20IAEI_Multi_Akad_hasanuddin.pdf
Syariah perlu melakukan istiqra' (cara membaca versi lain) terhadap
simbol-simbol ekonomi yang selama ini berkembang dan berlaku di
negara tercinta ini, kemudian diubah agar sesuai dengan simbol ekonomi
berbasis fiqih dengan status hukumnya yang dibenarkan menurut
kerangka hukum fiqih.
Ada banyak alasan untuk melakukan modifikasi dan diversifikasi
usaha dan fiqih yang memiliki semangat كا صانح نكم انشيا ان
(cocok atau selaras dengan zaman dan tempat) harus senantiasa
memperhatikan itu. Sampai di sini, maka apresiasi terhadap keberadaan
kajian-kajian ekonomi syariah dan bahtsul-masail sangat diperlukan untuk
melakukan diversifikasi usaha dan modifikasinya tersebut.
9. Gambaran Modifikasi
Seorang pelaku usaha dalam membangun usahanya sudah barang
tentu menghabiskan modal yang tidak sedikit. Setelah langkah
membangun selesai, langkah membangun kepercayaan publik terhadap
produk usahanya juga memerlukan strategi pengorbanan banyak waktu.
Untuk itu, bila terdapat permasalahan dalam usaha, baik permasalahan
personal antar-pemodal, atau antara pemodal dengan karyawan, tidak
mungkin dijadikan sebagai alasan yang tepat untuk menutup usaha
tersebut. Langkah menutup merupakan tindakan yang tidak bijak dan
dibenci oleh syariat agama kita karena bisa masuk unsur tadlyi‟u al-amwal
(menyia-nyiakan harta). Apalagi bila usaha sudah mulai beranjak
berkembang, maka sebuah langkah simultan dan terus menerus
istiqamah terjun mengembangkannya adalah sebuah pilihan bijak. Nabi
SAW bersabda:
إ الله يشضى نكى ثلاثب ، يكش نكى ثلاثب ، فيشضى نكى أ تعجذ لا
تششكا ث شيئب ، أ تعتصا ثحجم الله جيعب لا تفشقا ، يكش
نكى قيم قبل ، كثشح انسؤال ، إضبعخ انبل
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT ridlo kepada kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara. 1) Allah ridla hendaknya kalian menyembah-Nya, dan 2) tidak mensukutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta 3) hendaknya kalian semua berpegang teguh terhadap agama Allah dan jangan berpecah belah. Dan Allah membenci atas kalian tiga perkara: 1) perdebatan 2) banyak tanya, dan 3) menyia-nyiakan harta. HR.45
Berdasarkan hadits di atas, kita mengetahui bahwa langkah
menyia-nyiakan harta, adalah dibenci oleh Allah SWT. Masuk salah satu
harta adalah usaha/kegiatan produksi yang bisa menopang ekonomi
rumah tangga, daerah atau bahkan negara. Dengan demikian,
menghentikan operasinya adalah termasuk bagian dari menyia-nyiakan
harta tersebut.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan agar sebuah
usaha tidak terhenti usahanya, yaitu: 1) melakukan pilihan diversifikasi
usaha, 2) melakukan modifikasi sistem, dan 3) melakukan derivatisasi
produk, serta 4) dalam kondisi terpaksa menjual seluruh aset perusahaan
dan melakukan langkah remunerasi dan perpindahan kepemilikan.
Diversifikasi usaha merupakan sebuah langkah pembukaan cabang
baru untuk menghasilkan produk yang benar-benar baru dan belum
pernah diproduksi sebelumnya oleh perusahaan. Contoh misalnya,
sebuah Perusahaan Motor Honda mengeluarkan produk beberapa jenis
motor pilihan konsumen: (a) motor sport, (b) motor elegan, (c) motor
khusus untuk kaum pria, (d) motor khusus untuk kalangan umum, (e)
motor khusus kaum difable, dan (f) motor khusus kalangan anak-anak.
Warna dan tujuan produknya tetap sama, namun wilayah sasar
pasaran yang berbeda dari pabrikan yang sama, ini disebut sebagai
diversifikasi usaha. Biasanya langkah ini ditempuh oleh pabrik untuk
kepentingan mendominasi produk di pasaran, sehingga harga pemasaran
menjadi bisa ditekan dan harga asesoris tambahan serta onderdil
45Imam Muslim Abi Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Syarah Nawawi „ala Muslim, Daru al-Fikr, Juz: 12, hal: 375
kendaraan menjadi murah. Selain diversifikasi, juga diperlukan langkah
modifikasi sistem.
Ada berapa jenis kendaraan sepeda dengan merk Jupiter,misalnya,
Kenapa setiap orderdil dalam Yamaha selalu murah bila dibandingkan
dengan Suzuki dan Honda? Padahal tampilan luar sama-sama mengalami
perubahan asesoris. Itulah yang dimaksud dengan modifikasi sistem.
Tampilannya beda, namun esensinya tetap sama.46
10. Klasifikasi Akad Atau Perjanjian
Akad memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang
berbeda-beda. Di sini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:
a. Dari Segi Taklifi
Berkaitan dengan soal perjanjian ada beberapa hukum syariat yang
ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, perjanjian terbagi menjadi
lima:
1). Akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu
menikah, memiliki bekal untuk menikah dan khawatir dirinya akan berbuat
maksiat kalau tidak segera menikah.
2). Akad sunnah. Seperti meminjamkan uang, memberi wakaf dan
sejenisnya. Dan inilah dasar dari segala bentuk akad yang disunnahkan.
3). Akad mubah Seperti perjanjian jual beli, penyewaan dan sejenisnya.
Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk perjanjian pemindahan
kepemilikan baik itu yang bersifat materi atau fa-silitas.
4). Akad makruh. Seperti menjual anggur kepada orang yang masih
diragukan apakah ia akan membuatnya menjadi minuman keras atau
tidak. Dan inilah dasar hukum dari setiap bentuk akad yang diragukan
akan bisa menyebabkan kemaksiatan.
5). Akad haram. Yakni perdagangan riba, menjual barang haram seperti
bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya.
46
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri, P. Bawean, Jatim. Pdf.akses tgl.26 feb 2019
b. Dari Sudut Pandang Sebagai Harta (Akad Material) Atau Bukan
Material.
Kalau ditinjau dari sudut sebagai harta atau bukan, akad
terklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
1). Akad harta dari kedua belah pihak disebut sebagai perjanjian materi,
seperti jual beli secara umum, jual beli salm dan sejenisnya. Demikian
juga perjanjian terhadap fasilitas, seperti penyewaan dan peminjaman
barang. Karena fasilitas termasuk harta atau dijustifikasikan sebagai harta
menurut mayoritas para ulama, berbeda dengan pendapat kalangan
Hanafiyah.
2). Akad selain harta dari kedua belah pihak. Yakni akad yang terjadi
terhadap satu pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan
senjata antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir harbi, akad
penjaminan, wasiat dan sejenisnya.
3). Akad harta dari satu pihak dan selain harta dari pihak lain Seperti akad
khulu‟, akad jizyah, akad pembebasan denda, dan sejenisnya.
Yang terkuat dari semua akad itu adalah akad selain harta dari kedua
belah pihak. Karena akad yang bersifat material bisa dibatalkan karena
adanya cacat pada barang kompensasinya. Seperti transaksi uang
dengan barang dagangan. Sementara akad non material hanya bisa
dibatalkan bila terjadi hal yang mencegah berlangsungnya akad tersebut.
c. Dilihat Dari Sudut Pandang Sebagai Akad Permanen Atau Non
Permanen.
Dilihat dari sudut permanen atau tidaknya, akad diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu:
1). Akad permanen dari kedua belah pihak yakni akad yang terjadi di
mana masing-masing dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan
akad tersebut tanpa kerelaan pihak lain. Seperti akad jual beli, sharf, salm,
penyewaan dan sejenisnya.
2). Akad non permanen dari kedua belah pihak yakni bahwa salah satu
dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad
tersebut. Contohnya, syirkah, wikalah, peminjaman, menanam modal
dengan sistem qiradh, wasiat dan sejenisnya.
3). Akad permanen dari salah satu pihak namun non permanen pada
pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan,
penjaminan dan sejenisnya.
Di antara hukum yang berlaku pada akad permanen adalah tidak
ada pilihan (khiyar) yang bersifat selamanya, dan tidak ada pula
pembatalan setelah kematian salah satu yang terlibat dalam akad atau
keduanya, salah satu menjadi gila atau pingsan dan sejenisnya. Lain
halnya dengan akad non permanen. Kalangan Hanafiyah berpendapat lain
dalam soal penyewaan. Mereka menyatakan: “Penyewaan itu terbatalkan
setelah kematian. Karena akad itu berlangsung pada fasilitas barang, dan
fasilitas itu mun-cul sedikit demi sedikit. Fasilitas yang diambil setelah
wafatnya pemilik barang tentu saja belum ada ketika terjadi akad. Maka
dengan sendirinya dalam akad penyewaan batas itu setelah kema-tian
pemilik.
d. Dilihat dari sudut pandang apakah ada syarat penyerahan barang
langsung atau tidak.
Dilihat dari keharusan adanya penyerahan barang langsung atau
tidak, perjanjian/akad terbagi menjadi dua yaitu:
1). Akad yang tidak mengharuskan serah terima barang secara langsung
pada saat akad, seperti jual beli secara umum, wikalah, hiwalah dan lain-
lain.
2). Akad yang mengharuskan serah terima barang secara langsung. Dan
akad semacam ini, terbagi pula menjadi tiga yaitu:
a). Akad yang disyaratkan harus ada serah terima barang secara
langsung untuk memindahkan kepemilikan, seperti hibah dan peminjaman
uang. Dalam semua perjanjian ini kepemilikan tidak berpindah hanya
berdasarkan akad, tetapi harus ada serah terima barang secara langsung,
menurut mayoritas para ulama terkecuali kalangan Malikiyah.
b). Akad yang mensyaratkan serah terima barang secara langsung
sebagai syarat sahnya, seperti sharf (Money Changer), jual beli salm dan
penjualan komoditi yang ribawi. Dalam sharf (Money Changer) dan
penjualan komoditi ribawi harus ada penyerahan barang langsung dan
juga pembayarannya dalam satu waktu, kalau tidak akad jual beli itu
rusak. Namun dalam jual beli salm harus didahulukan pembayaran harga
modal dalam waktu akad, kalau tidak, jual beli itu juga rusak. Sebagian
kalangan Malikiyah membolehkan penangguhan pembayaran harga
modal itu hingga tiga hari. Karena sesuatu yang dekat dengan sesuatu,
dianggap sama hukumnya dengan sesuatu tersebut.
c). Akad yang akan menjadi permanen bila ada serah terima barang
secara langsung, seperti hibah dan pegadaian, maka mayoritas ulama
berpendapat bahwa akad-akad itu tidak dianggap permanen dengan
sekedar akad tersebut, tetapi dipersyaratkan serah terima barang untuk
menjadikan akad tersebut permanen. Orang yang menghibahkan
barangnya berhak untuk membatalkan hibahnya sebelum ada serah
terima barang menurut mayoritas ulama. Namun sebagian ulama
Malikiyah tidak berpendapat demikian. Demikian juga penggadaian itu
dianggap batal menurut mayoritas ulama bila orang yang menggadai
barang menggagalkannya sebelum diterima barang oleh pihak yang
menerima gadaian. Demikian seterusnya.
e. Dari Sudut Pandang Apakah Ada Kompensasinya Atau Tidak.
Berkaitan dengan ada atau tidak adanya kompensasi, perjanjian/akad
terbagi menjadi dua:
1). Akad dengan kompensasi, seperti jual beli, syirkah, penyewaan,
pernikahan dan sejenisnya.
2). Akad sukarela, seperti hibah, penitipan, sponsorship dan sejenisnya.
Pengaruh dari klasifikasi ini adalah sebagai berikut:
1). Adanya syarat untuk harus mengetahui bentuk kompensasi dalam
berbagai akad dengan kompensasi. Komoditi berharga, uang
pembayaran, upah dan sejenisnya. Dalam semua perjanjian tersebut
kompensasi-kompensasi itu harus diketahui, kecuali dalam soal mahar
atau kompensasi khulu‟. Ketidaktahuan soal mahar atau kompensasi
khulu‟ tidak membatalkan akad. Karena ada barometernya, yaitu mahar
standar. Adapun akad sukarela, karena memang tidak membutuhkan
kompensasi, tidak mengapa bila ada ketidakjelasan kompensasinya bila
hendak diberikan, atau ada sedikit manipulasi, karena semua itu didasari
oleh kemu-dahan dan tanpa batasan.
2). Wajibnya menunaikan apa yang menjadi perjanjian kedua belah pihak
yang terikat, dalam perjanjian dengan kompensasi, berdasarkan firman
Allah:
فا ثبنعقد آيا أ ب انزي يب أي
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” [Al-Maidah : 1]
Karena dengan tidak ditunaikannya perjanjian itu pasti akan terjadi
kerugian pada pihak lain yang terikat, yakni hilangnya secara sia-sia
segala kompensasi yang dia berikan sebagai imbalannya. Lain halnya
dengan akad sukarela di mana pemberian kompensasi itu hanya
dianjurkan, tidak diwajibkan. Karena orang yang melakukan akad tersebut
hanya berbuat baik. Orang yang sekedar melakukan amal kebajikan, tentu
tidak diwajibkan dituntut kompensasi apa-apa.
f. Dari sudut pandang legalitasnya.
Dipandang dari legalitasnya, akad terbagi menjadi dua:
1. Akad legal atau akad yang sah. Yakni akad yang secara mendasar dan
aplikatif memang disyariatkan. akad yang memenuhi rukun-rukunnya
dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh
konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli, sewa menyewa dan
sejenisnya, apabila seluruh rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya
sudah terpenuhi.
2. Akad ilegal atau akad yang batal. Yakni akad yang diang-ap ajaran
syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah.
Batasannya adalah segala akad yang pada asalnya dan secara
aplikatifnya tidak disyariatkan, seperti akad orang gila, anak kecil yang
belum baligh, atau akad usaha terhadap barang yang haram seperti
bangkai, darah, daging babi dan sejenisnya. Atau akad yang secara
asal disyariatkan, tetapi secara aplikatif tidak disyariatkan, seperti akad
dengan orang di bawah paksaan, akad untuk barang yang tidak
diketahui dalam akad dengan kompensasi.
Kalangan Hanafiyah membedakan antara akad yang secara asal
dan secara aplikatif tidak disyariatkan, dan itu mereka sebut akad batil,
dengan perjanjian yang secara asal disyariatkan namun secara
aplikatifnya tidak, dan itu mereka sebut sebagai akad yang rusak.
Berdasarkan pembedaan ini, terbentuk beberapa hasil praktis berkaitan
dengan adanya konsekuensi terhadap akad rusak atau batil alias ilegal. Di
antara konsekuensi tersebut menurut kalangan al-Hanafiyah adalah
sebagai berikut: Berpindahnya kepemilikan dalam akad rusak dengan
serah terima barang bila direlakan oleh penjual. Si pembeli boleh secara
bebas mengoperasikan barang tersebut dengan menghibahkannya,
menyedekahkannya dan sejenisnya, kecuali menggunakan fasilitasnya.
Pemindahan kepemilikan tersebut tentunya dengan kompensasi harta
yang sama, bukan dengan pelafalan harga tertentu saja.
Bagi penjual, keuntungan dari perjanjian usaha penjualan rusak
tersebut tetap baik adanya, lain halnya dengan pembeli. Alasan
pembedaan itu menurut para ulama bahwa uang itu tidak bisa ditentukan
dengan pembatasan nilai melalui pelafalan saja, sehingga tidak mungkin
dinyatakan jelek, lain halnya dengan barang.
Akad jual beli yang rusak itu masih bisa diperbaiki, kalau
kerusakannya dianggap ringan, yakni bila tidak menyentuh inti akad,
seperti ketidaktahuan batas waktu pembayaran dalam soal khiyar (waktu
tenggang menentukan transaksi), dalam harga dan sejenisnya. Adapun
apabila kerusakan itu berat, yakni yang sudah menyentuh inti perjanjian,
seperti dalam hal barang yang akan dijadikan obyek perjanjian atau
kompensasi dari barang tersebut, karena semua itu tidak bisa menerima
perbaikan menurut kesepakatan para ulama.
Adanya khiyar dalam sebuah akad rusak sama halnya dengan
adanya pada sebuah akad normal. Baik perjanjian yang menggunakan
hak pilih menentukan persyaratan atau hak pilih untuk tidak mengambil
barang karena cacat.47
47http.hotspot. Disalin dari buku Ma La Yasa‟ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih
Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof.Dr.Abdullah al-Muslih dan Prof.Dr.Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta hal. hal.32-38. Akses tgl.26 feb 2019
B. Implementasi Prinsip-Prinsip Akad Dalam Perbankan Syariah
1. Perjanjian Menurut KUH Perdata
Lembaga perbankan adalah full regulated institution apalagi
perbankan syariah selain terikat oleh rambu-rambu hukum positif sistem
operasional bank syariah juga terkait erat dengan hukum Allah, yang
pelanggarannya berakibat kepada kemudharatan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena uniknya peraturan yang memagari seluruh transaksi
perbankan syariah tersebut, dalam kajian ini akan dicoba dibahas
mengenai pelaksanaan akad terutama murabahah yangdilaksanakan di
bank syariah. Kajian ini dilakukan dengan melihat kesesuaiannya dengan
hukum positif di Indonesia, yaitu hukum adat, hukum perdata KUH
Perdata dan Hukum Islam.
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst.
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Menurut Pasal 1313
KUH Perdata perjanjian diberi pengertian sebagai “suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Perumusan itu terlalu luas dan kurang lengkap.
Sudikno Mertokusumo memberi pengertian perjanjian sebagai
berikut: “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Suatu perjanjian agar dapat berlaku mengikat harus dibuat secara
sah dengan memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
menurut Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa untuk sahnya
perjanjian harus memenuhi empat syarat sebagai berikut: (1) Sepakat
mereka yang mengikatkan diri; (2) Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal.
Syarat sah perjanjian tersebut dibedakan menjadi dua yaitu syarat
pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, syarat yang berkaitan
dengan subyek perjanjian. Sementara itu, syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif yaitu syarat yang berkenaan dengan objek
perjanjian. Pembedaan syarat ini berkenaan dengan akibat apabila
persyaratan tersebut tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif ini tidak dipenuhi
maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan sewaktu-waktu. Hal ini
berarti bahwa selama belum ada pembatalan makaperjanjian itu tetap
berjalan dan tetap mengikat para pihak sampai perjanjian tersebut
dibatalkan oleh hakim atas permintaan salah satu pihak. Sementara itu,
jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal
demi hukum, yaitu sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu
perjanjian. Apabila syarat sah perjanjian tersebut sudah terpenuhi semua
maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah. Hukum perjanjian
dalam KUH Perdata berdasarkan kesepakatan atau konsensus kedua
belah pihak walaupun dalam perjanjian jual beli barang dan harga belum
diserahkan.48
2. Akad Menurut Hukum Islam
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian. Ditinjau
dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan
suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah
perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara‟, yang
menetapkan persetujuan kedua belah pihak.
Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar Basyir
adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang
dibenarkan syara‟ yang menetapkan akibat-akibat hukum.Ijab adalah
pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan
kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa
yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad. Hal ini sesuai dengan
ketentuan hukum yang hidup dalam Quran surat Al-Maidah [5]: ayat 1,
yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah janjimu kepada Allah dan dengan sesamamu”.
48
Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan Akad Murabahah -- Wardah Yuspin. Jurnal ilmu hukum. Akses tgl.05 maret 2019
Dalam Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan
syarat akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang
membentuk akad, yang harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi,
terdiri dari:
a. Subjek Akad
Pihak yang berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling sedikit
duaorang yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk
melakukan perbuatanhukum sendiri.
b. Objek yang diakadkan
Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam
akadjual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan
harganya. Agarsesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan
syarat sebagai berikut: (1) Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek
akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan. Barang yang belum
wujud tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat kebanyakan
fukaha sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada
sesuatu yang belum berwujud; (2) Dapat menerima hukum akad. Dalam
akad jual beli misalnya, barang yang diperjualbelikanharus merupakan
benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli; (3)
Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus dapat ditentukan dan
diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad. Ketidakjelasan
objek akad mudah menimbulkan sengketa kemudian hari sehingga tidak
memenuhi syarat menjadi objek akad. Adanya syarat ini diperlukan agar
pihak-pihak bersangkutan dalam melakukan akad benar-benar atas dasar
kerelaan bersama. Oleh karenanya, adanya syarat ini disepakati fuqaha;
(4) Dapat diserahkanpada waktu akad terjadi. Objek akad harus dapat
diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus dapat
diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada saat yang telah
ditentukan dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang
benar-benar ada dibawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.
Dari empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar
dapat disebutkan bahwa sesuatu dapat menjadi objek akad apabila dapat
menerima hukum akad dan tidak mengandung unsur-unsur yang mungkin
menimbulkan sengketa di kemudian hari antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Syarat yang disebut terakhir mengharuskan objek akad itu
telah terwujud, jelas dan dapat diserahkan.
c. Akad/Sighat terdiri dari: (a) Serah (ijab) atau penawaran; (b) Terima
(qabul) atau penerimaan.
Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan
akad, siapa saja yang memulainya. Kabul ialah jawaban pihak yang lain
sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud
dengan sighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang
merupakan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan
dengan cara lisan, tulisan, isyarat maupun perbuatan yang telah menjadi
kebiasaan dalam ijab dan kabul.
Sementara itu, syarat adalah unsur yang membentuk keabsahan
rukun akad. Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya rukun dan syarat akad, syarat sahnya perjanjian adalah:
(1). Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya.
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan
yang melawan hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan
dengan hukum syariah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada
kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan
perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu
merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka
perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
(2). Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada pilihan, dalam
hal ini tidak boleh ada unsur paksaan dalam membuat perjanjian tersebut.
Maksudnya perjanjian yang diadakan dan para pihak haruslah
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing
pihak ridha atau rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan
lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak.
Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak
bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
(3). Isi perjanjian harus jelas dan gamblang.
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang
tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang telah
mereka perjanjikan dikemudian hari.
Dengan demikian pada saat pelaksanaan atau penerapan
perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang
mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang
sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi
maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan
perjanjian menurut KUH Perdata, menurut hukum Islam perjanjian juga
berdasarkan kata sepakat, dengan ayarat objek perjanjian haruslah
berwujud, hak milik dan dapat dikenai hukum akad.
3. Perjanjian Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat perjanjian bersifat riil, yaitu perjanjian itu baru
akan terjadi apabila terjadi penyerahan kongkrit terhadap objek dari
perjanjian tersebut, jadi perjanjian itu terjadi bukan hanya dengan adanya
kata sepakat saja. Contohnya pada perjanjian jual beli, perjanjian jual beli
baru dinyatakan berlangsung apabila terdapat penyerahan yang nyata
pada objek jual beli,misalnya terdapat penyerahan harga yang disebut
panjar untuk menyatakanbahwa perjanjian jual beli tersebut telah
disepakati, jadi perjanjian terjadi tidakhanya berdasarkan kata sepakat
saja tetapi dengan penyerahan objek perjanjiansecara nyata.49
C. Produk dan Pembiayaan Murabahah
1. Produk Bank Syariah
4. Produk Penghimpunan Dana dari Masyarakat (Funding)
Jenis-jenis produk perbankan syariah yang ditawarkandi bidang
penghimpunan dana dari masyarakat (funding) hampir sama dengan
produk funding yang ada di bank konvensional. Seperti nama produk yang
ditawarkan kedua lembaga perbankan tersebut sama-sama bernama giro,
tabungan dan deposito. Namun perbedaannya adalah dari segi prinsip
dan akad yang digunakan sehingga jenis keuntungan yang diberikan
kepada masyarakat pun juga berbeda. Untuk lebih jelasnya berikut ini
penulis akan menjelaskan berbagai produk funding yang ada di bank
syariah.
1). Giro Syariah
Giro merupakan simpanan pada bank yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan. Pada bank syariah
produk giro dikenal dengan nama giro syariah. Giro syariah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini Dewan
Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro
yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan
prinsip wadiah dan mudharabah.
(a). Giro Wadiah
Giro wadi‟ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip
wadiah, yakni titipan dana yang berasal dari pihak ketiga (nasabah) pada
bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, Bilyet Giro, kartu ATM, serta sarana perintah
pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang
49
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007: 55 – 67. Akses tgl.05 maret 2019
memiliki simpanan giro wadiah akan memperoleh nomor rekening dan
disebut juga dengan giran (pemegang rekening giro) wadiah.
Giro wadiah menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana
bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan
mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik.
Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil
karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan bank yang diperoleh
dengan penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga kerugian
yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank
diperbolehkan memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah,
selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus tidak
ditetapkan dimuka. Ada beberapa alasan masyarakat menyimpan dana
dalam bentuk simpanan giro wadiah antara lain :
a) Faktor keamanan dalam menyimpan dana.
b) Kemudahan dalam melakukan transaksi pembayaran.
c) Berjaga-jaga apabila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendadak.
(b). Giro Mudharabah.
Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip mudharabah. Prinsip mudharabah
mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah. Perbedaan utama dari kedua bentuk mudharabah itu
terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana
kepada bank dalam mengelola dananya, baik dari sisi waktu, tempat
maupun objek investasinya. Dalam hal ini banksyariah bertindak sebagai
mudharib (pengelola dana). Sedangkan nasabah bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik dana).
Nasabah pemilik rekening giro mudharabah berhak memperoleh
bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal pembukaan
rekening. Bank syariah menanggung semua biaya operasional giro
dengan menggunakan nisbah bagi hasil yang menjadi haknya. Di samping
itu bank syariah tidak diperkenankan mengurangi nisbah nasabah tanpa
persetujuan nasabah. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi
hasil giro mudharabah dibebankan langsung ke rekening giro mudharabah
pada saat perhitungan bagi hasil.
Rekening giro mudharabah ini hanya bisa dimiliki oleh para
pengusaha yang memiliki aliran keuangannya rutin cuma beberapa kali
saja dalam kurun waktu tertentu. Karena dalam akad mudharabah jangka
waktu investasi harus jelas, agar perhitungan bagi hasilnya lebih mudah
dilakukan oleh bank syariah selaku pihak pengelola dana yang
dinvestasikan oleh nasabah.50
2). Tabungan Syariah
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan
yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan
Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan
bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan
prinsip wadiah dan mudharabah.
a). Tabungan Wadiah
Tabungan merupakan jenis simpanan yang sangat populer di
lapisan masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kota hingga
masyarakat pedesaan. Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah
Nomor 21 tahun 2008 tabungan adalah simpanan berdasarkan wadiah
dan atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati
(buku tabungan, slip penarikan, ATM dan sarana lainnya), tetapi tidak
dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
50
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), Ed. 3, hlm. 294
Tabungan wadiah adalah produk bank syariah berupa simpanan
dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk
keamanan dan pemakainnnya, seperti giro wadiah, tetapi tidak sefleksibel
giro wadiah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek.
Seperti halnya dengan giro wadiah, tabungan wadiah juga menggunakan
akad wadiah yad dhamanah dimana bank boleh menggunakan dana
nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam
kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak
menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang
jangka pendek. Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan
dana ini menjadi milik bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi
tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan
insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan
sebelumnya. Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka.51
b). Tabungan Mudharabah
Tabungan mudharabah merupakan salah satu produk
penghimpunan dana oleh bank syariah yang menggunakan akad
mudharabah muthlaqah. Sama halnya dengan giro mudharabah, dalam
tabungan mudharabah, bank syariah juga bertindak sebagai mudharib
(pengelola dana) sedangkan nasabahnya bertindak sebagai shahibul maal
(pemilik dana). Bank syariah memiliki kebebasan dalam mengelola dana,
dengan kata lain nasabah tidak ada memberikan batasan-batasan kepada
bank syariah dalam mengelola dananya.
Setelah bank syariah mengelola dana nasabah, maka insya Allah
bank syariah akan memperoleh keuntungan dari investasi yang
dilakukannya. Setelah bank syariah mendapatkan keuntungan, maka bank
syariah juga akan membagi keuntungan tersebut dengan nasabahnya.
Sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di awal pembukaan
rekening. Sesuai dengan akad yang digunakannya yaitu mudharabah,
51
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 74
maka dana tabungan mudharabah sifatnya berjangka. Dengan begitu
jangka waktunya harus jelas dan disepakati di awal, sehingga dana
tabungan mudharabah tidak bisa ditarik kapan saja si nasabah
membutuhkannya. Contoh produknya adalah tabungan haji, tabungan
pendidikan dan lain-lain.52
3. Deposito Syariah
Selain giro dan tabungan syariah, produk perbankan syariah
lainnya yang termasuk produk penghimpunan dana (funding) adalah
deposito. Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah
deposito yang yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini,
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang
berdasarkan prinsip mudharabah.
Deposito merupakan dana nasabah yang ada pada bank yang
penarikannya dapat dilakukan pada saat jatuh tempo atau jangka waktu
yang ditentukan. Misalnaya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya. Pada
produk deposito ini bank menggunakan prinsip bagi hasil.
Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, bank syariah
juga bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan
nasabahnya bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Jika akad
yang digunakan mudharabah muthlaqah, maka bank syariah juga bisa
memiliki kebebasan dalam mengelola dana, dengan kata lain nasabah
tidak ada memberikan batasan-batasan kepada bank syariah dalam
mengelola dananya. Namun apabila akad yang digunakan mudharabah
muqayyadah, maka bank syariah tidak akan bisa memiliki kebebasan
dalam mengelola dana nasabah.
Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, setelah bank
syariah mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank syariah akan
memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Setelah bank
syariah mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan membagi
52
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta : LPFE Usakti, 2009), hlm.130
keuntungan tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan kesepakatan
nisbah bagi hasil di awal pembukaan rekening.
b. Produk Penyaluran Dana kepada Masyarakat (Financing)
1). Produk pembiayaan perbankan syariah derdasarkan prinsip jual-
beli
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual
beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan
atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian
barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan
(margin).Aplikasinya dengan menggunakan akad murabahah, salam dan
istishna‟.53
a). Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual (bank syariah)
dan pembeli (nasabah). Harga yang disepakati adalah harga jual
sedangkan harga pokok harus diberitahukan kepada nasabah. Bank
syariah dapat memberikan potongan harga jika nasabah mempercepat
pembayaran cicilan dan melunasi piutang murabahah sebelum jatuh
tempo. Dan jika bank mendapatkan potongan dari pemasok maka itu
merupakan hak pembeli (nasabah), namun jika potongannya didapatkan
setelah akad terjadi maka potongan itu dibagi menurut kesepakatan atau
sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah. Dalam konsep ini bank
dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan atau agunan antara
lain yaitu barang yang dibeli nasabah. Bank syariah juga dapat meminta
urbun sebagai uang muka. Dalam konsep ini nasabah memiliki kewajiban
membayar sesuai dengan harga jual (harga pokok + margin) yang sudah
disepakati baik secara tunai maupun cicilan sesuai dengan
kesepakatannya.
53
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2009),hlm.8
b). Pembiayaan Salam
Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan pembayaran
dimuka menurut syarat-syarat tertentu, atau jual beli sebuah barang untuk
diantar kemudian dengan pemayaran di awal.Salam juga didefinisikan
sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli
(muslam) dan penjual (muslam ilaih) dengan pembayaran dimuka dan
pengiriman barang oleh penjual dibelakang. Spesifikasi (ciri-cirinya seperti
jenis, kualitas, jumlahnya) dan harga barang harus disepakati pada awal
akad. Dalam konsep ini bank bisa bertindak sebagai penjual dan pembeli.
Bila bank bertindak sebagai penjual, maka bank memesan kepada pihak
lain untuk menyediakan barang pesanan (Salam paralel). Syaratnya
adalah akad kedua terpisah dari akadyang pertama dan akad yang kedua
dilakukan setelah akad pertama sah. Kemudian spesifikasi dan harga
barang harus disepakati di awal akad. Harga barang tidak dapat berubah
selama jangka waktu akad dan jika bank sebagai pembeli dapat meminta
jaminan untuk menghindari risiko yang merugikan.
Konsep salam paralel ini biasanya diaplikasikan pada pembiayaan
bagi para petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan.
Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan
cabe, dan bank juga tidak berniat untuk untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai simpanan persediaan atau inventory, maka dilakukanlah
akad salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang
apasar induk atau grosir. Konsep salam juga dapat diaplikasikan dalam
pada pembiayaan bidang industri misalnya produk garmen (pakaian jadi)
yang ukuran barang tersebut sudah dikenal oleh umum.54
c). Pembiayaan Istishna‟
Istishna‟ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang
juga bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa
pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu
tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum
54
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 169
yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank
dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual. Jika bank bertindak
sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara istishna maka hal ini disebut
istishna paralel.
Dalam prinsip ini, pembuat barang mnerima pesanan dari pembeli.
Kemudian pembuat barang berusaha melalui orang alain untuk membuat
atau membeli barang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati
kemudian menjualnya kepada pembeli. Menurut Jumhur Fuqaha, istishna
merupakan suatu jenis khusus dari akad salam. Biasanya konsep ini
dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian istishna mengikuti
ketentuan dan aturan dalam konsep akad salam.
Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip sewa-
menyewa.
Prinsip sewa menyewa pada dasarnya adalah pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah
terbagi atas dua macam yaitu:
1) Pembiayaan Ijarah
Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank
syariah) dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa
atas objek sewa yang disewakannya.
2) Pembiayaan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank
syariah) dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa
atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi pemindahan hak milik
obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad yang disepakati di
awal.
c. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian
hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian
hasil usaha ini dapat terjadi antara pihak bank dengan nasabah
penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana.
Bentuk akad yang berdasarkan prinsip ini adalah:
1) Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama pemilik modal (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola
(mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua
jenis:
a) Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,
waktu, dan daerah bisnis.
b) Mudharabah Muqayyadah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib
dimana mudharib memberikan batasan kepada shahibul maal mengenai
tempat, cara, dan obyek investasi.
2) Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berarti kemitraan dalam suatu usaha dan dapat
diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan,
serta menikmati hak dan tanggung jawab yang sama. Dengan kata lain
merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Dua jenis musyarakah:
a). Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi
lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau
lebih.
b). Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua
orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal
musyarakah.
d. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip
pinjam meminjam yang bersifat sosial
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha
kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan
shadaqah.
Pembiayaan yang menggunakan akad qardh hanya untuk
membantu dan memberikan kemudahan kepada orang yang sedang
mengalami kesusahan dalam keuangan. Menurut Sabiq haram bagi yang
memberikan bantuan untuk mengambil keuntungan, apalagi
mengeksploitasi karena ini digolongkan kepada riba. Ketentuan ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagaimana riwayat dari al-Harith bin
Abi Usamah dari Ali r.a yang artinya: “setiap akad qardh dilaksanakan
dengan mengambil keuntungan , maka ia tergolong kepada riba.” 55
e. Produk Pelayanan Jasa (Fee Based Income Product)
1) Wakalah
Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.
2) Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh bank syariah (penanggung) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban nasabah (pihak kedua atau yang
ditanggung). Contoh produknya adalah garansi bank.
3) Sharf
Sharf adalah jual beli atau pertukara mata uang. Asalnya mata
uang hanya emas dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak
disebut dirham. Kedua mata uang tersebut disebut dengan mata uang
intrinsik. Zaman sekarang mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan
kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang seperti itu disebut dengan
55Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), hlm. 179
mata uang menurut nilai nominal. Pertukaran mata uang boleh dilakukan
asalkan transaksinya dilakukan dalam jumlah yang sama dan dalam
waktu yang bersamaan.
4) Hawalah
Adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Kontrak hawalah dalam perbankan
biasanya diterapkan pada factoring (anjak piutang), post-dated check,
dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
5) Rahn
Adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau
sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn
adalah semacam jaminan utang atau gadai.
2. Pembiayaan Murabahah.
a. Pengertian
Pembiayaan adalah suatu penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan hal itu, berdasarkan kesepakatan antara bank
dengan pihak yang dibiayai dengan syarat atau tagihan dibayar di waktu
yang telah ditentukan.
Dalam prinsip jual beli diaplikasikan dalam skema murabahah
(deferred payment sale), yaitu pembelian barang oleh bank untuk nasabah
dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (investory) dengan
pembayaran ditangguhkan dalam jangka dibawah satu tahun (short run
financing).
Menurut Undang-undang nomor 10 tahun 1998 Pasal1 ayat 12
“pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil”.56
5. Murabahah.
Jual beli menurut pengertian etimologi (kebahasaan) adalah saling
menukar. Menurut terminology atau pengertian syariat jual beli ialah tukar
menukar harta (semua yang dimiliki dan dimanfaatkan) atas dasar saling
rela atau memindahkan milik (yang bukan hak milik) dengan ganti (bukan
pemberian atau hibah) yang dapat dibenarkan (bearti bukan jual beli
terlarang).
akad adalah suatu perikatan antara ijab dan Kabul dengan cara
yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum
pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pada pihak pertama mengenai isi
perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak
kedua yang menerimanya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau
beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Jika
perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut
diistilahkan dengan perbuatan hukum.57
Salah satu skim pembiayaan dalam konteks fiqh yang paling
banyak digunakan oleh perbankan Islam adalah skim pembiayaan jual beli
murabahah. Transaksi murabahah ini dalam sejarah Islam lazim tejadi dan
dilakukan pada masa Rasulullah dan para sahabatnya. Sejak awal
munculnya dalam kajian fiqh, kontrak ini tampaknya telah digunakan murni
untuk tujuan dagang.58
Menurut beberapa kitab fiqh, murabahah adalah salah satu dari
bentuk jual beli yang bersifat amanah.Jual beli ini berbeda dengan jual beli
musawwamah (tawar menawar).Murabahah terlaksana antara penjual dan
56
Ahmad Dahlan, Bank Syariah, Yogyakarta: Teras, 2012, hal. 191 57
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2012), hal. 124. 58
Karnaen Perwaatmadja, Prinsip Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Risalah Masa, 1992), hal. 73.
pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual yang
diketahui oleh pembeli dan keuntungan penjual pun harus diberitahukan
oleh pembeli dengan dasar antara pembeli dan penjual sama-sama ridho
sebagaimana sabda rasulullah saw dalam hadits riwayat Ibnu Majah, no.
2186 yang mengartikan bahwa “sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika
dilakukan atas dasar suka sama suka” („an-taraḍ in).
Murabahah berasal dari perkataan Ribh yang berarti
pertambahan.Secara pengertian umum diartikan sebagai suatu penjualan
barang seharga barang tersebut ditambah dengan keuntungan yang
disepakati.Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya
kembali dengan keuntungan tertentu. Dengan ungkapan lain, Ibn Rusyd
mengartikan murabahah sebagai jual beli barang dengan harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati.59
Rukun murabahah adalah suatu elemen yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada
salah satu elemen tersebut maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah.
Dalam murabahah, rukun-rukunnya terdiri dari:
1. Ba‟i adalah penjual (pihak yang memiliki barang).
2. Musytari adalah pembeli (pihak yang akan membeli barang).
3. Mabi‟ adalah barang yang akan diperjualbelikan.
4. Tsaman adalah harga.
5. Ijab Qabul adalah pernyataan timbang terima.
Rukun-rukun ini pula yang harus diterapkan dalam pelaksanaan
perbankan syariah. Sedangkan syarat-syarat murabahah terdiri dari:
1. Pihak yang berakad yaitu ba‟i dan musytari harus cakap hukum atau
baligh (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela).
2. Khusus untuk mabi‟ persyaratannya adalah harus jelas dari segi sifat,
jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam
kategori barang haram.
59
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia; Perspektif Fiqih Ekonomi, cet.1, (Yogyakarta: Fajar media Press, 2012), hal. 200.
3. Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula sistem
pembayarannya, semuanya dinyatakan di depan sebelum akad resmi
(ijab qabul) dinyatakan tertulis.
Dalam operasional perbankan Islam, dengan adanya murabahah ini
maka para klien (nasabah) membeli suatu komoditi menurut rincian
tertentu dan menghendaki agar bank mengirimkannya kepada mereka
berdasarkan imbuhan harga tertentu menurut persetujuan awal antara
kedua pihak.Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan
prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang
ada di semua bank Islam. Dalam Islam, jual beli sebagai sarana tolong
menolong (tabarru‟) antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah
SWT.
Berkenaan dengan pembiayaan murabahah ini dalam kegiatan
perbankan syariah, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan Fatwa No.
04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah. Ketentuan umum murabahah
sebagai berikut:
1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki
atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal dan biaya-biaya
lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.
3. Adanya informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun
presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat
sah murabahah.
4. Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada
pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak nampak pada barang,
tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama, antara penjual dan pembeli pertama haruslah sah,
jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah.
Teknis mekanisme pembiayaan murabahah dalam penyaluran
pembiayaan murabahah lembaga keuangan bertindak sebagaimana
berikut:
a. Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi
murabahah dengan nasabah.
b. Bank dapat membiayai sebagaian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya.
c. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan
barang yang dipesan nasabah.
d. Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan
tanpa diperjanjikan di muka.60
Terdapat juga pengembangan dari aplikasi pembiayaan murabahah
dalam bank syariah atau BMT, yaitu dalam hal pengadaan barang. Dalam
hal ini bank atau BMT menggunakan media akad wakalah untuk
memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama
bank kepada supplier atau pabrik. Skema pengembangan dengan akad
wakalah dari pembiayaan murabahah telah banyak mengalami
pengembangan. Adapun gambar skema pengembangan pembiayaan
murabahah dapat dilihat sebagai berikut :
Dalam hal ini, apabila pihak bank mewakilkan kepada nasabah
untukmembeli barang dari pihak ketiga (supplier), maka kedua pihak
harusmenandatangani kesepakatan agency (agency contract), dimana
pihak bank
60Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2015), hal. 47.
memberi otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya untuk
membelikomoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain
nasabah menjadiwakil bank untuk membeli barang.Kepemilikan barang
hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank.
Selanjutnya nasabah memberikan informasi kepada pihak bank bahwa Ia
telahmembeli barang, kemudian pihak bank menawarkan barang tersebut
kepadanasabah dan terbentuklah kontrak jual beli. Sehingga barang pun
beralihkepemilikan menjadi milik nasabah dengan segala resikonya.61
Sementara jika dilihat dari model perjanjian pembiayaan di bank syariah
pada akad transaksi wakalah pada pasal 3 tentang hak penerima kuasa
bahwa “nasabah sebagai pihak yang diberi kuasa oleh bank syariah,
maka nasabah berhak mendapat upah atau fee dari pihak bank”62
61Taqhiyuddin,Tinjauan Umum Tentang Murabahah, akses tgl. 24 April 2017 62
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah, Panduan Teknis Pembuatan Akad/Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah,(Yogyakarta: UII Press, 2009),hal. 165.
6. Dasar Hukum Akad Murabahah
Adapun landasan hukum murabahah dari Al-Qur‟an dapat
ditemukan antara lain pada Surat An-Nisa' ayat 29: yaitu:
كى ثبنجبطم إنب أ انكى ثي آيا نب تأكها أي ب انزي يب أي
نب ت كى تشاض ي تجبسح ع تك انه فسكى إ قتها أ
ب ثكى سحي كبArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-nisa:29).
Ayat ini menjelaskan secara tegas bagi semua muslim yang
beriman kepada Tuhannya untuk selalu memperhatikan makanan yang
mereka peroleh agar terhindar dari laknat Allah SWT yaitu jalan yang
haram dalam memperoleh makanan tersebut. Selanjutnya Allah SWT
memberikan solusi melalui perniagaan atau jual beli yang dipraktekkan
atas dasar keridhoan di antara kedua belah pihak.
Firman Allah QS al Maidah (5) : 1
فا ثبنعقد آيا أ ب انزي يب أي
Artinya: “hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...”63
63QS. Al-Maidah Ayat 1.
d. Alasan menggunakan akad murabahah
1. Secara teknis perbankan, murabahah merupakan akad penjualan
benda oleh bank dengan harga yang telah disepakati, yang
pembayarannya dilakukan secara tangguh (berhutang). Dengan
demikian, nasabah berkewajiban membayar harga benda yang dibeli.
2. Sampai dengan pelunasannya, sebagaimana kewajiban membayar
hutang. Produkmurabahah ini merupakan produk pembiayaan di mana
pihak bank dapat sebagai mediasi antara pihak yang berkepentingan,
yaitu nasabah dan pemasok, maksudnya dalam hal ini adalah apabila
nasabah menginginkan memiliki atau membeli sesuatu barang dari
developer (pemasok) sementara nasabah belum memiliki dana yang
cukup untuk dapat membelinya, maka bank dalam hal ini memberikan
bantuan berupa pembiayaan dengan cara membeli barang yang
diinginkan oleh nasabah terlebih dahulu dari developer, kemudian pihak
bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah dengan harga
sesuai dengan pembelian pihak bank dari pihak developer dengan
metode angsuran dan ditambah keuntungan bagi pihak bank yang telah
disepakati antara pihak bank dan pihak nasabah.
3. Dalam kondisi keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, dimana
kegiatan bisnis banyak mengalami kesulitan seperti pada saat krisis
ekonomi, maka dengan transaksi murabahah bank tidak turut memikul
resiko akibat kerugian usaha nasabah. Nasabah tetap berkewajiban
membayar hutangnya baik dalam keadaan untung ataupun dalam
keadaan rugi.
4. Pembiayaan murabahah memungkinkan adanya dhomman (jaminan),
karena sifat dari pembiayaan murabahah merupakan jual beli yang
pembayarannya tidak dilakukan secara tunai, maka tanggungan
pembayaran tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh
nasabah. Bank syariah memberlakukan prinsip kehati-hatian dengan
mengenakan dhomman pada nasabah.
5. Kesepakatan (akad) dalam pembiayaan murabahah ketika telah terjadi,
maka besarnya harga sudah tidak dapat berubah lagi, namun untuk
menghindari terjadinya wanprestasi yang dilakukan pihak nasabah yaitu
tidak membayar ataupun terlambat mengangsur pembiayaan
murabahah maka dalam perjanjian tersebut telah disetujui sebuah
klausul tentang pembayaran denda yang harus dibayar oleh nasabah.
Denda yang diterima oleh pihak bank bukan merupakan salah satu
unsur pendapatan banksyariah karena denda yang diperoleh tersebut
digunakan sebagai danasosial yang salah satunya disalurkan melalui
Qard al-Hasan.
6. Apabila nasabah mempercepat kewajiban pembayarannya satu atau
lebih sebelum jatuh tempo, maka bank diperbolehkan mengurangi
bagian keuntungannya.Perhitungan sisa hutang mengikuti ketentuan
bank yang berlaku.
7. Peran bank selaku penjual (ba‟i) dalam pembiayaan murabahah lebih
tepat digambarkan sebagai pembiayaan dan bukan penjual barang,
karena bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil risiko atas
barang. Pihak bank hanya memberikan sejumlah uang yang dikreditkan
kerekening nasabah sesuai dengan plafond yang diminta nasabah dan
proses pengikatan akad tersebut dilakukan oleh pihak bank dan pihak
calon nasabah dimana diawal kesepakatan akad pihak bank telah
memberitahukan harga jual yaitu plafond yang diminta oleh nasabah
dan harga beli yang merupakan keuntungan (margin) untuk pihak
bank.64
Ketentuan tentang pembiayaan murabahah yang tercantum dalam
fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan umum tentang murabahah
1).Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2). Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariat islam.
64
http/www.com/Keharusan Akad Pembiayaan Murabahah Al-Wakalah Dalam Proses Pemberian Pembiayaan Warung Mikro Di PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan/jurnal.pdf. Askes 9 Maret 2017.
3). Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya
4).Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri
dan pembelian ini harus sah dan bebas riba
5).Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang
6).Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini
bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada
nasabah berikut biaya yang diperlukan
7). Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati .
8).Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
9).Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip menjadi milik bank.
b. Ketentuan murabahah kepada nasabah.
1). Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu
barang atau asset kepada bank.
2). Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih
dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3). Bank kemudian menawarkan aset tersebut, ia harus membeli terlebih
dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
4). Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar
uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5). Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil
bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6). Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh
bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7). Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang
muka, maka sebagai berikut:
a). Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
b). Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut,
dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
8). Jaminan dalam murabahah diperbolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya. Disini bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
9.Hutang dalam murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain tang dilakukan nasabah dengan pihak
ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang
tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan hutangnya kepada bank. Jika nasabah menjual barang
tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi
seluruh angsurannya. Kemudian jika penjualan barang terseut
menyebabkan kerugian, nasabah harus tetap menyelesaikan hutangnya
sesuai kesepakatan awal.Ia tidak boleh memperlambat pembayaran
angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.65
e. Wakalah
Wakalah menurut bahasa artinya menyerahkan sesuatu. Dalam
istilah syara‟ berarti “seseorang yang menyerahkan sesuatu urusannya
kepada orang lain, pada apa yang boleh diwakilkan menurut syara‟, agar
orang yang mewakilkan itu dapat melakukan sesuatu yang diserahkan
kepadanya selagi yang menyerahkan itu masih hidup”. Dalam hal ini
memiliki arti bahwa wakalah adalah memberikan kuasa kepada orang lain
untuk menyelesaikan sesuatu kepada orang lain.
65
Taqhiyuddin, Murabahah Bil Wakalah, dan Penjelasan Fatwa DSN MUI No.4/DSN-MUI/Iv/2000 Tentang Murabahah.akses tgl. 27 April 2017.
a. Landasan hukum
1) Al-Qur‟an
Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Kahfi ayat 19
menyebutkantentang perihal wakalah:
كذنك بعثناىى نيتساءنا بينيى قال قائم ينيى كى نبثتى و قانا ربكى بعض ي يا أ ا نبثتى قانا نبثنا ي أعهى ب
دينة فهينظز أييا أسكى رقكى ىذه إنى ان فابعثا أحدكى ب بكى أحدا نا يشعز نيتهطف طعايا فهيأتكى بزسق ينو
Artinya: “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka salingbertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antaramereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamuberada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergike kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihatmanakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawamakanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut danjanganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi ayat 19).
2). Hadist.
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw., mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Harits.”(Malik no. 678, kitab al Muwaththa‟, bab Haji) Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada
orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan
unta, membagi kandang hewan, dan lain-lainnya.66
Rukun dan syarat wakalah
Adapun rukun dan syarat-syarat berwakil menurut madzab Syafi‟i
dalam buku fiqh Muamalah karya Helmi Karim dapat dijelaskan sebagai
berikut:
66
digilib.uinsby.ac.id. Bab 2 murabahah bil wakalah.pdf. akses tgl. 26 feb 2019
a) Muwakil, orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang
diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya, disyaratkan:
1) Harus seorang pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuai yang
ia wakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermafaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
b) Wakil, disyaratkan bahwa wakil sah melakukan apa yang diwakilkan
kepadanya, tak ubahnya orang yang berwakil pula, disyaratkan: 1) Cakap
hukum 2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya. 3) Wakil
adalah orang yang diberi amanat. c) Muwakil fiih, sesuatu yang
diwakilkan, disayaratkan: 1) Menerima penggantian, artinya boleh
diwakilkan kepada orang lain mengerjakannya.
Rukun dan syarat wakalah
Adapun rukun dan syarat-syarat berwakil menurut madzab Syafi‟i
dalam buku fiqh Muamalah karya Helmi Karim dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a) Muwakil, orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa yang
diwakilkan, sebab milik atau dibawah kekuasaannya, disyaratkan:
1) Harus seorang pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuai yang
ia wakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni
dalam hal-hal yang bermafaat baginya seperti mewakilkan untuk
menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
b) Wakil, disyaratkan bahwa wakil sah melakukan apa yang diwakilkan
kepadanya, tak ubahnya orang yang berwakil pula, disyaratkan:
1) Cakap hukum.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
c) Muwakil fiih, sesuatu yang diwakilkan, disayaratkan:
1) Menerima penggantian, artinya boleh diwakilkan kepada orang lain
mengerjakannya.
2) Dimiliki oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu.
3) Diketahui dengan jelas.
d) Sighat, berati lafal wakil yaitu ucapan dari orang yang berwakil yang
menyatakan bahwa ia rela berwakil.
Pengertian Murabahah bil wakalah
Murabahah bil wakalah adalah jual beli dengan sistem
wakalah.Dalam jual beli sistem ini pihak Lembaga Keuangan
mewakilkanpembeliannya kepada nasabah, dengan demikian akad
pertama adalah akadwakalah setelah akad wakalah berakhir yang
ditandai dengan penyerahanbarang dari nasabah ke Lembaga Keuangan
Syariah kemudian pihaklembaga memberikan akad murabahah.
Sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No:04/DSNMUI/ IV/2000 pasal 1 ayat 9: “jika bank hendak mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli
murabahahharus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik
bank”.Sesuai dengan ketentuan Fatwa DSN MUI akad murabahah bil
wakalah dapat dilakukan dengan syarat jika barang yang dibeli oleh
nasabah sepenuhnya sudah milik lembaga keuangan syariah, kemudian
setelahbarang tersebut dimiliki lembaga keuangan syariah maka akad
murabahahdapat dilakukan.
Akad murabahah bil waakalah adalah jual beli dimana lembaga
keuangan syariah mewakilkan pembelian produk kepada nasabah
kemudian setelah produk tersebut di dapatkan oleh nasabah kemudian
nasabah memberikannya kepada pihak lembaga keuangan syariah.
Setelah barang tersebut di miliki pihak lembaga dan harga dari barang
tersebut jelas makapihak lembaga menentukan margin yang didapatkan
serta jangka waktu pengembalian yang akan disepakati oleh pihak
lembaga keuangan syariah dan nasabah.
Rukun Murabahah bil Wakalah
Dalam rukun murabahah bil wakalah sama dengan akad
murabahah, namun perbedaan dalam akad murabahah bil wakalah
terdapat wakil dalam pembelian barang.
a) Pembeli (musytary)
b) Penjual (ba‟i)
c) Barang yang dibeli
d) Harga barang, harus diketahui secara jelas yaitu harga beli dan margin
yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga kedua belah
pihak akan melakukan keputusan harga jual dan jangka waktu
pengangsuran.
e) Muwakil atau pemberi kuasa adalah pihak yang memberikan kuasa
kepada pihak lain.
f) Wakil adalah pihak yang diberikan kuasa oleh muwakil dalam pembelian
barang.
g) Taukil atau objek akad
h) Shigat atau ijab dan Qabul.
Syarat Murabahah Bil Wakalah
a) Barang yang diperjual belikan harus halal dan bebas dari najis
b) Penjual memberitahu modal yang akan diberikan kepada nasabah
c) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan
d) Kontrak harus bebas dari riba
e) Penjual harus memberitahu atau menjelaskan bila terjadi cacat atas
barang sesudah pembelian
f) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian tersebut dilakukan secara utang.
g) Objek barang yang akan dibeli harus jelas dan diwakilkan kepada
nasabah yang mengajukan pembiayaan dengan akad murabahah bil
wakalah.
h) Tidak bertentangan dengan syariat islam.
Aplikasi murabahah bil wakalah. Dimana Nasabah mengajukan
pembiayaan murabahah bil wakalah kepada bank syariah dengan
membawa persyaratan. Lembaga Keuangan Syariah Negosiasi dan
membuat persyaratan Akad wakalah untuk membeli barang, untuk
akad jual beli kredit bayar angsuran nasabah menyediakan jaminan.
Kemudian Bank Syariah mewakilkan pembelian barang kepada
nasabah. Nasabah membeli barang dari suplier atas nama Bank
Syariah. Setelah akad wakalah selesai selanjutnya dilakukan akad jual
beli secara kredit. Dan nasabah membayar angsuran secara kredit
kepada Bank Syariah.
11. Studi Relevan
Sejauh pengetahuan penulis belum ada karya tulis yang khusus
membahas tentang Problematika Kandungan Modifikasi Akad Pada
Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah, namun dengan
demikian ada beberapa penelitian yang sudah membahas tentang
secara keseluruhan akad-akad dalam perbankan, di antaranya:
Andi Ridwansyah bahar putra (2013) tentang “Transaksi Jual Beli
Kendaraan Melalui Bank Syariah Dengan Menggunakan Akad
Murabahah”.Disini Andi Ridwansyah bahar putra sebatas membahas,
konsep hukum jual beli kendaraan melalui bank syariah dengan
menggunakan akad murabahah, dan menyelesaikan masalah antara
bank dengan nasabah yang melakukan wanprestasi pada akad
murabahah.
Kemudian ada Roifah Azzifathur (2015) “Implementasi Pembiayaan
Murabahah Bil Wakalah Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Peternak
Sapi Pada Lembaga Keuangan Syariah Asri Cabang Sendang”. Disini
perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan permasalahannya
yaitu Roifah Azzifathur membahas tentang penggunaan akad
murabahah bil wakalah untuk pembelian sapi perah, karena mayoritas
penduduk di daerah sendang bekerja sebagai peternak hewan sapi
perah, dan cara meningkatkan peternak sapi di daerah sendang
dengan melakukan pembiayaan akad murabahah.
Kemudian lagi ada, Subchan Achmad, 2014 tentang ”Implikasi
Wakalah pada Akad Murabahah oleh Bank BCA Syariah Semarang”
disini peneliti membahas pada proses pelaksanaan wakalah pada
akad murabahah oleh Bank BCA Syariah Semarang, dan implikasi
wakalah terhadap akad pembiayaan murabahah sesuai dengan prinsip
syariah oleh Bank BCA Syariah Semarang.
Adapun persamaan antara penelitian yang saya ambil adalah
terletak pada sama-sama meneliti tentang pembiayaan murabahah, dalam
hal ini perbedaannya adalah lokasi penelitian yang dilakukan peneliti yaitu
di Bank 9 Jambi Syariah, kemudian menurut analisa pada hipotesa awal
menemukan adanya identifikasi bahwa terdapat penyertaan akad wakalah
yang mendampingi akad murabahah yang menimbulkan spekulasi adanya
bank yang tidak memberikan hak nasabah berupa upah (fee), dengan
tidak mengeluarkan biaya-biaya estimasi didalam akad tersebut,
sementara bank menggunakan jasa nasabah dengan memberiakn
wakilnya untuk membeli suatu barang. kemudian setelah kesepakatan
terjadi kemungkinan besar nasabah sudah mengetahui motif terjadinya
pembiayaan padanya sehingga menjadi suatu pertanyaan bagi peneliti
untuk mengetahui mengapa nasabah tetap saja melakukan transaksi akad
pembiayaan murahabah pada Bank Jambi Syariah sementara nasabah
mengetahui proses dan akad yang terjadi adanya unsur spekulasi.
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bank Jambi Syariah. Dengan
mengangkat pembahasan tentang Penerapan Modifikasi Akad Pada
Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi Syariah.
2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Dalam penelitian ini
mengambil bentuk penelitian populasi dimana yang menjadi jumlah
populasi adalah pihak Direksi bank syariah dan DPS di Bank Jambi
Syariah yang berjumlah 2 orang dan penelitian ini kurang dari 100 orang,
maka diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian
populasi yaitu pihak DPS Bank Jambi Syariah 2 orang, Ketua atau
anggota MUI Propinsi Jambi 1 orang dan sejumlah pihak dari karyawan
Bank Jambi Syariah terdiri dari 1 orang. Ditambah dengan 2 orang
nasabah yang melakukan pembiayaan murabahah di bank Jambi Syariah.
Jadi jumlah sampel seluruhnya berjumlah 7 orang.67
Penelitian kualitatif deskriptif tidak dikenal konsep “keterwakilan”
contoh atau sampel dalam rangka generalisasi yang berlaku bagi
populasi.68 Validitas dan orisinalitas seluruh data informan yang terkumpul
dipaparkan secara representatif hanya kepada 3 orang informan kunci
(key informan). Hal itu dilakukan agar dalam satu paradigma pemikiran
yang spesifik lebih memudahkan dalam menarik dan memaparkan
generalisasinya. Posisi sebagai subjek peneliti yang akan mengambil dan
menganalisis informasi yang ada dengan mempertimbangkan sesuai atau
67
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian Sebagai Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), hal. 108-109. 68
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian, hal. 108.
tidak dengan kriteria informan yang telah ditentukan terhadap informan
bertujuan, selanjutnya baru ditetapkan.69
Penelitian populasi ini dilakukan dengan melihat semua liku-liku
yang ada dalam populasi, subjeknya meliputi semua di dalam populasi.
Objek pada populasi diteliti, hasinya dianalisis, disimpulkan dan
kesimpulan itu berlaku untuk keseluruhan populasi.70
B. Situasi Sosial dan Subjek Penelitian
Obyek penelitian dapat dinyatakan sebagai situasi sosial penelitian
yang ingin diketahui apa yang terjadi di dalamnya. Pada obyek penelitian
ini, peneliti dapat mengamati secara mendalam tentang Penerapan
modifikasi akad pada pembiayaan murabahah di bank Jambi Syariah. 71
Subjek penelitian ini adalah pengambil kebijakan di bank Jambi
Syariah, ketua dan anggota MUI Propinsi, pimpinan atau pegawai dan
beberapa nasabah yang melakukan pembiayaan murabahah di bank
Jambi Syariah. Sedangkan rumusan masalah yang dikaji adalah
mengenai Penererapan modifikasi akad pada pembiayaan murabahah di
bank Jambi Syariah.
C. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Data primer dalam penelitian ini adalah data wawancara dan
observasi mengenai sistematika penerapan akad pada pembiayaan
murabahah di bank Jambi Syariah dan ketertarikan nasabah melakukan
pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah. Sementara data
sekunder dalam penelitian ini adalah data yang sumber data penelitiannya
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Dalam
penelitian ini, data sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumen, dan
data-data yang dimiliki Bank Jambi Syariah mengenai gambaran
69
Noeng Muhadjir., Metode Penelitian Kualitatif, cet 8, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), hal. 42. 70
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian, hal. 91. 71
Sugiyono., Prosedur Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 215.
umumnya.
2. Sumber Data
Sedangkan sumber data dalam penelitian ini orang dan materi yang
terdapat di Bank Syariah Jambi yang meliputi: pimpinan, nasabah, Arsip,
dan Peristiwa atau kejadian.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memaparkan
pengawasan dan problematika pada Bank Syariah Jambi dengan usaha
untuk mencapai pengertian pada teori, data dan fakta. Penererapan
modifikasi akad pada pembiayaan murabahah di bank Jambi Syariah
dengan pelaksanaan pembiayaan akad murabahah, sehingga konsep
yang dibangun dapat berkesinambungan. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah normatif-idealis-deduktif yaitu langkah analisis
dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.
Dalam hal ini, diuraikan pandangan regulasi lembaga pengawas lalu dicari
substansi permasalahannya dan mendeskripsikan dalam kenyataan
sesungguhnya. Pendekatan ini dilakukan dengan mengacu kepada
persoalan kajian kritik kultural yang telah ada, sehingga dengan
kenyataan yang ada penelitian lanjutan dengan tidak bermaksud
menghakimi dan dapat memberi rekomendasi (problem solving) boleh
tidaknya atau benar salahnya suatu persoalan terhadap masalah yang
dihadapi pada lembaga perbankan Syariah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Ada berbagai macam teknik pengumpulan data dalam proses
penelitian. Untuk memudahkan dalam pengumpulan data, peneliti
langsung melakukan proses wawancara dengan terlebih dahulu observasi
atau survey. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif. Instrumen
Pengumpulan Data (IPD) yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Observasi
Metode observasi atau disebut juga dengan pengamatan
merupakan kegiatan pemuatan perhatian semua objek dengan
menggunakan seluruh indera.72 Penulis menggunakan metode
pengamatan terlibat (partisipant observation) yang diakrabi untuk
memahami keadaan yang sebenarnya, sehingga konsep regulasi yang
dilakukan dapat dilihat di lapangan mengenai teknis pembiayaan
murabahah, pengawasan DPS dan konsep Kepatuhan akad pada
pembiayaan murabahah di bank Jambi Syariah.
2. Wawancara
Wawancara mendalam (depth interview) adalah sebuah dialog
yang dilaksanakan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.73 Wawancara yang dimaksudkan untuk memperoleh
keterangan langsung dari subjek penelitian (sumber informasi pilihan)
tentang teknis pembiayaan murabahah, problematika tentang multi akad
pada pembiayaan murabahah, faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan multi akad pada pembiayaan murabahahdan motivasi
ketertarikan nasabah melakukan pembiayaan murabahah dengan aturan
yang dibuat oleh pihak Bank Jambi Syariah.
3. Dokumentasi
Dokumentasi sebagai cara mencari data dan menguraikan hal-hal
atau variabel-variabel yang merupakan catatan manuskrip, buku, surat
kabar, majalah, notulen rapat, dan sebagainya.74 Dokumentasi penulis
gunakan untuk memperoleh semua data-data yang berhubungan dengan
gambaran umum mengenai teknis penerapan pembiayaan murabahah,
dengan mengacu pada sistematika penerapan modifikasi akad pada
pembiayaan murabahah di bank Jambi Syariah.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan atau memecahkan suatu
keseluruhan menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih
kecil. Menurut Sofian Effendi dan Chris Manning, analisis data adalah
72
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian, hal. 234. 73
Ibid., hal. 236. 74
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian, hal. 149.
proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca
dan di interpretasikan.Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis domain (domain analysis).
Artinya analisis hasil penelitian ini ditargetkan untuk memperoleh
gambaran seutuhnya dari subjek yang diteliti. Adapun langkah-langkah riil
dalam analisis domain tersebut antara lain: pertama, menganalisis dan
memilih pola hubungan istilah tertentu atas dasar informasi atau fakta
yang ada di lapangan. Kedua, menyiapkan lembaran kerja analisis
domain. Ketiga, memilah-milah data yang sama yang diperoleh dari
lapangan. Keempat, mencari istilah-istilah yang sama dan membuat
kategori-kategori simbolik. Kelima, menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang telah disusun. Dan keenam, menguji draft daftar domain
dengan draft pertanyaan yang telah disusun.75
Penelitian kualitatif harus mengungkap kebenaran yang objektif.
Karena itu keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat
penting. Melalui keabsahan data kredibilitas (kepercayaan) penelitian
kualitatif dapat tercapai. Dalam penelitian ini untuk mendapatkan
keabsahan data dilakukan dengan triangulasi. Adapun triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu.76 Dalam memenuhi keabsahan data penelitian ini
dilakukan triangulasi dengan sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan
sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam penelitian kualitatif. Triangulasi dengan sumber yang dilaksanakan
pada penelitian ini yaitu membandingkan hasil wawancara dengan isi
dokumen yang berkaitan.77
75
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 97 76
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 173. 77
Ibid., hal. 178.
Model analisis data yang digunakan adalah:
1. Data Reduksi
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat
secara teliti dan rinci. Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data dengan cara
merangkum, atau mengumpulkan data-data. Data reduksi yang di ambil peneliti
terkait nasabah melakukan pembiayaan murabahah di Bank Jambi
Syariah,.78
2. Data Display
Setelah data dideduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data.
Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola
hubungan, sehingga akan semakin mudah di fahami. Menguraikan jawaban-
jawaban yang diberikan pihak nasabah dengan bank 9 syariah dalam
melakukan pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah.
3. Penarikan Kesimpulan
Dalam hal ini peneliti mengemukakan beberapa kesimpulan dari hasil
wawancara. Sebagaimana yang diungkapkan. Penarikan kesimpulan dan
verifikasi adalah Kesimpulan awal yang di kemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah jika di temukan bukti kuat dan mendukung pada tahap awal di
dukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang dapat dipercaya.
F. Rencana dan Waktu Penelitian
Rencana waktu penelitian akan dilaksanakan dalam bulan terhitung
dari bulan agustus 2014 hingga 2016
No Kegiatan Agustus Februari Maret April Mei
Minggu ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
78
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2008), hlm. 247
1. Persiapan
penelitian
√ √
2. perencanaan √ √ √
3. Pelaksanaan √ √ √ √
4. Pengolahan
data
√ √ √ √ √
5. Penyusunan
data
√ √ √
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Bank Jambi Syariah
Krisis moneter dan ekonomi yang dialami oleh Indonesia sejak juli
1997, yang disusul dengan krisi politik nasional telah membawa dampak
besar dalam perekonomian nasional. Kondisi ini ditandai dengan
menurunnya kegiatan ekonomi dan juga yang didominasi oleh bank-bank
konvensial mengalami kesulitan yang yang begitu parah. Keadaan
tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia terpaksa mengambil
tindakan untuk merestrukturisasi dan merekapitulasi sebagian- sebagain
bank- bank di Indonesia.
Pada tahun 1945, PT Bank Pembangunan Daerah Jambi didirikan
berdasarkan Akta Notaris Adipura Perlindungan No. 6 Tanggal 12
Februari 1959, yang kemudian disempurnakan melalui Akta Notaris
Habro Purwanto NO. 70 Tanggal 12 Oktober 1959 dimuat pada tambahan
berita Republik Negara Indonesia No. 110.140 tanggal 29 Desember
1959.
Pada tahun 1993,Bank Pembangunan Daerah Jambi
menyesuaikan kegiatannya sesuai ketentuan Undang-undang Republik
IndonesiaNo. 07 tahun 1992 tentang Perbankan melalui Peraturan Daerah
Tingkat I Provinsi Jambi No 13 Tahun 1992 tanggal 30 November dan
pengesahan Menteri dalam Negeri No.548.25.-434 tanggal 23 Maret
1993.
Selanjutnya pada tahun 1964, Sebagai dari tindak lanjut dari
terbitnya undang- undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1962 tentang
pembangunan Daerah Jambi berubah menjadi Bank Pembangunan
Daerah Jambi dengan spesifikasi kegiatannya sebagai bank
pembangunan daerah berdasarkan peraturan daerah tingkat I provinsi
Jambi No.3 Tahun 1963 dengan pengesahan Menteri Dalam Negeri No.
9/32/127-164 tanggal 25 September 1964.
Pada tahun 2007 Bank Pembangunan Daerah berubah status
menjadi Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Provinsi
Jambi ni.2 Tahun 2006 dan berdasarkan Akta Notaris Robert Faisal, SH
no.01 tanggal 1 februari 2007, kemudian disahkan oleh Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui surat
no.w20-00061 HT.01.01-TH.2007 dan diumumkan dalam tambahan Berita
Negara Republik Indonesia No 55 Tanggal 10 Juli 2007 serta Keputusan
Gubernur Bank Indonesia No.9/59/KEP.GBI/2007 tanggal 13 November
2007.79
Mengikuti perkembangannya hingga pada tanggal 15 Agustus
2011 berdasarkan Akta Notaris M.Zen Nomor 133 Bank Jambi Syariah
resmi didirikan, dan operasionalnya dimulai pada tanggal 3 Januari 2012
dan diresmikan langsung oleh Gubernur Jambi, yaitu H. Hasan Basri
Agus.80
1. Lokasi Bank Jambi Syariah
Adapun batas Lokasi Bank Jambi Syariah berdasarkan hasil
wawancara penulis dengan Pelaksana UmumBank Jambi syariah adalah
sebagai berikut:
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan rumah penduduk.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan usaha perbengkelan.
79
Dokumen Bank Jambi Syariah 80
Hasil Wawancara pribadi dengan Lina Marlina, SE pada tanggal 24 Mei2016
3. Sebelah Utara berbatasan dengan jalan raya Kap.Pattimura dan
berhadapan dengan Hotel Amanah
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Grand Hotel Kantor Bank Jambi
Syariah terletak di Pusat Kota jambi yang beralamat di Jl.
Kap.Pattimura N0 70-71 dengan luas tanah 272 m3 dan luas
bangunan 272m.3 Ruangannya terdiri 2 lantai. Lantai pertama
digunakan sebagai Ruang Operasional, dan lantai kedua ruang
birokrasi.81
81
Hasil Wawancara pribadi dengan Lina Marlina, SE pada tanggal 24 Mei 2016
B. Visi Misi Unit Usaha Syariah Bank Jambi Syariah
1. Visi
Menjadi Bank Umum Syariah yang terkemuka di Wilayah Provinsi
Jambi yang tumbuh secara sehat dan handal melayani mitra usaha.
2. Misi
a). Mengembangkan bisnis Usaha Usaha syariah dan memperkuat
permodalan secara berkesinambunganuntuk menuju peningkatan Unit
Usaha Syariah menjadi bank Umum Syariah pada tahun 2020.
b). Meningkatkan status Unit Usaha Syariah Bank Umum Syariah pada
ahun 2020 melalui tahap-tahap :
1). Mendirikan Bank Umun Syariah baru atau akuisisi Bank lain
2). Mengkonvensi bank hasil akuisisi menjadi bank Umum Syariah
3). Menjadi Spin Off Unit Usaha Syariah bank Jambi ke bank Umum
syariah baru atau bank syariah hasil konvensi
c). Mengembangkan bisnis umum secara secara professional, sehat, dan
berkesinambungan
d). Penetapan Strategi jangka panjang pengembangan bisnis unit Usaha
syariah Bank Jambi yang mengaju pada peta perjalanan( Road map) yang
selanjutnya akan ditingkatkan menjadi Bank Umum Syariah pada tahun
2020 selambat-selambatnya sampai dengan tahun 2023 dimana
komitmen pemegang saham untuk menambah setoran modal kepada
Bank Jambi secara bertahap.82
C. Sruktur Organisasi dan Keadaan Pegawai bank Jambi Syariah
1. Struktur Organisasi Bank Jambi Syariah
Untuk mengolah Bank Jambi Syariah dengan baik dan berjalan
dengan lancar, tentunya bank ini memiliki struktur kepemimpinan atau
struktur organisasi, dimana kedudukan birokrasi dalam tubuh Bank
Syariah itu dijabat oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya
masing-masing.
82
Dokumen Bank Jambi Syariah
Sesuai dengan wawancara penulis dengan Pelaksana Umum yang
bernama Anggraini,S.Sosadalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Cabang: secara umum mengatur dan bertanggung jawab
pada perusahaan secara keseluruhan
b. Kepala pemasaran: Memimpin, mengawasi, dan bertanggungjawab
atas terlaksananya kelancaran kerja dibagian pembiayaan dan
pendanaan, memasarkan produk Bank sesuai dengan Syariah Islam
kepada nasabah dengan layanan prima sehingga memungkinkan untuk
diperolehnya laba sesuai target dengan tetap memperhatikan
kelancaran dan keamanan asset bank serta menciptakan produk baru
yang sesuai dengan Syariah Islam.
c. Kepala operasiaonal dan pelayanan: Memimpin, mengawasi dan
bertanggungjawab atas terlaksananya kelancaran kerja dibagian
operasional serta memberikan laporan rutin berkala atas pekerjaannya
kepada Direksi.
d. Pelaksana teller: Membantu dan melayani nasabah dalam hal
menerima setoran, penarikan uang dan transaksi lainnya yang
berhubungan dengan bank yang dilakukan dalam counter teller.
e. Pelaksana umum: Melaksanakan tugas pencatatan,
pengadministrasian, serta pembinaan dalam kepersonaliaan,
mengawasi ketersediaan perlengkapan layanan dibidang personalia
dan umum.
f. Pelaksana costumen Service: Memberikan pelayanan kepada setiap
nasabah atau tamu dengan baik dan islami serta memberikan informasi
yang dibutuhkan secara jelas, baik secara langsung ataupun tidak
langsung.
g. Pelaksana ADM Pembiayaan, Legal dan Pelaporan: Mengatur,
mengawasi dan melaksanakan kegiatan administrasi dan dokumentasi
pemberian pembiayaan serta melakukan kegiatan untuk mengamankan
posisi bank dalam memberikan pembiayaan sesuai dengan hukum
yang berlaku.
2. Keadaan Pegawai Bank Jambi Syariah
Berdasarkan jumlah personalia yang ada dalam struktur organisasi
diatas, bahwa jumlah pegawai yang ada dilingkungan bank jambi syariah
berjumlah 12 orang yang rata-rata berpendidikan Sarjana, satu orang
yang berpendidikan Magister yakni Bapak Achmad Jais SE.,M.EI, beliau
menduduki posisi sebagai Pimpinan Cabang Jmabi Syariah. Dan diantara
12 orang pegawai di Bank Jambi Syariah ada seorang pegawai yang
sudah menyelesaikan pendidikan Magister yakni Ibu Marlina Susanti S.E.
sebagai salah satu Pelaksana Administrasi Pembiayaan.
Untuk lebih jelasnya keadaan pegawai yang ada dilingkungan
BankJambi Syariah, dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:83
Tabel I
Keadaan Pegawai Bank Jambi Syariah
No Nama Pendidikan Jabatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hj. Rosiqoh SE
H. Achamad Jais, SE,M.EI
Siti Rugaya,SE
Ferdini lily Anur,SE
Firsan Sadli, SE
Marlina Susanti SE,ME.I
Kiki febriantama SE
Wilza Utama SE
Univ.Bung Hatta
S2 IAIN STS Jambi
S1 Universitas Jambi
S1 Universitas Jambi
S1 Universitas Jambi
S2 IAIN Jambi
S1 Universitas Jambi
S1 Universitas Jambi
Pimpinan Cabang
Kepala pemasaran
Kepala operasional
dan pelayanan
Audit Internal
Pelaksana Analis
pembiyaan
SDA
SDA
SDA
83
Dokumen Bank Jambi Syariah
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18
19.
Badryah SE
M.Achsi Anthony, SE
Devi Muthia Rizqi,SE
Deasy Apriana,SE
Ulfi Yuniarto, S.Pd
Sri Mawarni, S.kom
Ayu Anggarini,S.Sos
Putri Piscelia Ramadhanty
Lia Afriyanti, SE
Teng Weyla Permata Sari
A.Md
Muhammad Adifitra
S1 Universitas Jambi
S1 Universitas Jambi
S1 Unversitas Jambi
S1 STIE KBP Padang
S1 Universitas Jambi
STIMIK Nurdin Hamzah
UPN Veteran
Yogyakarta
Mahasiswa
S1 Universitas Jambi
S1 Universitas Jambi
S1Universitas Jambi
Head Teller
Pelaksana ADM
Pembiyaan, legal dan
pelaporan.
SDA
SDA
Pelaksana Teller
Pelaksana IT,
Akuntansi dan
Pelaporan
Pelaksana Umum
Pelaksana costumer
Service
SDA
Pelaksan PPT, kliring
RTGS dan Setelmen
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Praktik Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah Di Bank Jambi
Syariah.
Paparan tentang jual beli murabahah dalam Lembaga Keuangan
Syariah merupakan konsep dan praktik murabahah yang banyak
dituangkan dalam berbagai literatur klasik, di mana komoditas atau barang
yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu
negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang
tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan
keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat dikatakan praktik
tersebut adalah transaksi jual beli biasa. Kelebihannya terletak pada
pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut
kejujuran penjual dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
Dalam praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kontemporer,
termasuk perbankan syariah, bentuk murabahah dalam fikih klasik
tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan
pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dikenal dengan murabahah li al-
amir bi alsyira‟, yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang
kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria
tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas barang tersebut secara
murabahah,yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat
keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan
pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan
kemampuan finansial yang dimiliki.
Mengenai kedudukan hukum praktik murabahah li al-amir bi al-
syira‟ ulama kontemporer berbeda pendapat.Ada yang memperbolehkan
dan ada juga yangmelarang atau mengharamkan. Di antara ulama
yangmengakui keabsahan atau kebolehan murabahah li al-amir bi al-syira
adalah Sami Hamud, Yusuf al-Qaradhawi,„Ali Ahmad Salus, Shadiq
Muhammad Amin, Ibrahim Fadhîl, dan lainnya. Adapun argumentasi
mereka sebagai berikut:
Pertama, hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah
kecuali terdapat nas shahih dan sharih yang melarang dan
mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah, hukum asalnya
adalah haram kecuali ada nas yang memerintahkan untuk melakukannya.
Oleh karena itu, dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan dalil yang
mengakui keabsahandan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah dalil
yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil
yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal hukumnya.
Kedua, keumuman nas Al-quran dan Al-Hadist yang menunjukkkan
kehalalan segala bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang
melarangnya. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, dalam surah al-Baqarah
ayat 275, yang berbunyi yaitu:
انشيطب ب يقو انزي يتخجط إلا ك انشثب لا يقي يأكه انزي
ى قبنا إ س رنك ثأ ان انجيع ي أحم انه ب انجيع يثم انشثب
أيش يب سهف ى فه فبت عظخ ي سث جبء ي حشو انشثب ف
ب خبنذ ى في نـئك أصحبة انبس عبد فأ ي إنى انه
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) ribatidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". (QS. Al-baqarah:275)
Dimana Allah menghalalkan segala bentuk jual beli secara umum,
baik jual beli muqayadhah (barter), sharf (jual beli mata uang/valas), jual
beli salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya. Semua
jenis jual beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang
dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli yang haram kecuali terdapat nas
dari Allah dan Rasul-Nya yang mengharamkannya.
Ketiga, terdapat pendapat ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini,
di antaranya pernyataan Imam al-Syafi‟i dalam kitab al-Umm, “dan ketika
seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain,
dan berkata, “Belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin
sekian, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual
beli tersebut diperbolehkan”. Namun demikian, orang yang meminta untuk
dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan
kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah,
sebaliknya, jika tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”.
Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Imam al-Syafi‟i
memperbolehkan transaksi murabahah li al-amir bi al-syira‟, dengan syarat
pembeli atau nasabah memiliki hak khiyar, yakni hak untuk meneruskan
atau membatalkan akad. Selainitu, penjual juga memiliki hak khiyar,
dengan demikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah pihak.
Keempat, transaksi muamalah dibangun atas asas maslahah. Hukum
Islam tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di
dalamnya,seperti riba, penimbunan (ihtikar), penipuan, danlainnya, atau
diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan atau
permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat
spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur
kemaslahatan. Jika terdapat maslahat, maka sangat dimungkinkan
transaksi tersebut diperbolehkan.Seperti halnya diperbolehkannya akad
istishna, padahal merupakan jual beli atau bay‟ al-ma‟dum (obyek tidak
ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan
didapatkan, tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan
masyarakat.
Kelima, pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini
dimaksudkan untuk memudahkan persoalan hidup manusia. Syariat Islam
datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban
yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di
antaranya, (Q.s. al-Nisa[4]: 28), yang berbunyi:
أ يخفف عكى يشيذ ٱنه
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu”(Q.s. al-Nisa[4]: 28)
نا يزيد بكى ان عسزيزيد انهو بكى انيسز
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.s. al Baqarah [2]: 185).
Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih kompleks, jadi
mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari
kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang
banyak sebagaimana yang ingin diwujudkan oleh syarak.
Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan
praktik murabahah li al-amir bi alsyira‟ antara lain: Muhammad Sulayman
al-Asyqar, Bakr
ibn „Abd Allâh Abu Zayd, Rafiq al-Mishri, dan lainnya. Berikut ini argumen
yang memperkuat pendapat mereka antara lain:
Pertama, transaksi murabahah di LKS atau bank syariah sebenarnya
bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli, tapi hanya sekadar hilah
atau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa maksud
dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk mendapatkan
uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai. Sementara,
pihak LKS atau bank syariah tidak membeli barang melainkan hendak
menjualnya kepada nasabah dengan cara cicilan, sehingga dapat
dimaknai bahwa LKS atau bank syariah sebenarnya tidak sungguh-
sungguh membeli barang tersebut.
Kedua, tidak ada satu orang pun dari ulama terdahulu (salaf) yang
membolehkan murabahah, bahkan ada yang menyatakan keharaman
murabahah.
Ketiga, transaksi murabahah termasuk jual beli „inah yang diharamkan.
Jual beli „inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual
beli.
Keempat, transaksi murabahah termasuk bay„atan fi bay„ah. Rasulullah
Saw. Telah melarang bentuk jual beli bay„atan fi bay„ah dalam sebuah
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Nasa‟i, dan al-Tarmidzî.
Untuk mengetahui apakah transaksi murabahah termasuk bay„atan fi
bay„ah, maka perlu mengetahui maksud dari model akad tersebut.
Menurut Imam al-Syafi‟î, bay„atan fi bay„ah maksudnya adalah seorang
penjual berkata, “Saya menjual barang ini kepada kamu Rp 100.000,-
secara tempo dan Rp 50.000,- secara kontan, terserah mau pilih yang
mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti
dan jual beli mengikat salah satu pihak.
Kelima, bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual
barang yang tidak atau belum dimilikinya (bay‟ al-ma‟dum), di mana pihak
bank syariah dan nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah.
Untuk mewujudkan kesepakatan tersebut, mereka membuat transaksi
janji: pihak bank berjanji untuk menjual barang dan pihak nasabah berjanji
untuk membeli barang. Keharusan nasabah untuk membeli karena
perjanjian berubah menjadi transaksi yang sebenarnya, padahal
barangnya belum ada. Bentuk ini bertentangan dengan kaidah umum
syariat yang melarang jual beli pada barang yang tidak dimiliki.
Keenam, bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah
mewajibkan transaksi dengan sekadar janji. Apabila janji tersebut tidak
sampai menjadi suatu keharusan, maka tidak ada masalah dalam
transaksimurabahah. Tapi apabila janji untuk membeli itumenjadi suatu
keharusan, maka para ulama banyak yang menolaknya, karena dasar
keharusan membeli tersebut tidak ada dalam kaidah umum syariat dan
tidak boleh mewajibkan transaksi hanya dengan sekadar janji.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani
mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk
pembiayaan melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank” dan
juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil
ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah
transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi.Sedangkan untuk
menghindari praktik murabahah yang akan terjebak pada praktik hilah,
bay‟ „inah, bay„atan fi bay„ah, dan bay‟ al-ma‟dum, maka para ulama
kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di Lembaga
Keuangan Syariah sebagai berikut:
1) Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga,
tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk
margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui bersama.
Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih tinggi dari hargatunai, maka
sebelum para pihak berpisah, pilihan harga tersebut harus telah disepakati
agar terhindar dari bay„atan fi bay„ah;
2) Pemberi pembiayaan dalam hal ini bank atau Lembaga Keuangan
Syariah lainnya, harus telah membeli komoditas atau barang dan
menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga
sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak demikian,
maka akan terjadi bay‟ al-ma‟dum (menjual belikan sesuatu yang belum
ada atau yang dimiliki). Namun demikian, bila pembelian langsung ke
pihak supplier tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan
untuk memanfaatkan nasabah sebagai agen atau wakil dengan
menggunakan akad wakalah untuk membeli komoditas yang diperlukan
atas nama pemberi pembiayaan. Dalam kasus seperti ini, selama barang
tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen, maka tidak boleh
dilakukan akad jual beli komoditas atau barang antara nasabah dan pihak
pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan
komoditasnya pun, risiko atas rusak atau hilangnya barang masih ada
pada pihak pemberi pembiayaan hingga dilakukan akad jual beli antara
kedua belah pihak;
3). Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik
nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model
perjanjian seperti ini masuk kategori bay‟ „inah yang diharamkan oleh
sebagian besar ulama.
pasar.
1. Proses Modifikasi Akad Pada Pembiayaan Murabahah di Bank
Jambi Syariah.
Dalam praktiknya pembiayaan akad murabahah di perbankan
syariah sesuai dengan aturan fatwa MUI merupakan penjual suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba (margin).84 Nasabah
mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset
kepada Bank. Jika Bank menerima permohonan tersebut, ia harus
membeli terlebih dahulu secara sah dengan pedagang, bank kemudian
menawarkan asset tersebut kepada nasabah, dan nasabah harus
menerimanya sesuai dengan janji yang telah disepakati, karena secara
hukum janji tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak harus
membuat kontrak jual beli. Bank diperbolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menanda tangani kesepakatan awal
pemesanan.
Dalam modifikasi produk yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
menurut bapak DSN (Dewan Pengawas Syariah) bahwa:
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, dimana produk yang ditawarkan mereka berupa: (1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, dalam bentuk musyarakah mutanaqisah (2) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyya bittamlik, (3) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dalam bentuk salam paralel, dan istishna`,(4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk
84
Fatwa DSN-MUI No.04/DSN-MUI /MUI/IV/2000
piutang qordh, dan (5) Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah dalam transaksi multijasa.85
Bank Jambi Syariah yang secara resmi berdiri pada tahun 2012,
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dari segi tabungan
maupun pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), penyertaan (musyarakah), jual beli (albai‟/murabahah) dan
sewa (ijarah dan sewa dan ijarah wa iqtina). Terjadinya peningkatan
permintaan pembiayaan oleh nasabah pada Bank Jambi Syariah, hal ini
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Perkembangan Permintaan Pembiayaan Akad Murabahah Bank Jambi
Syariah (dalam ribuan rupiah/milyar).
Sumber : Data Diolah Peneliti Bank Jambi Syariah 201686
Dari tabel di atas terlihat perkembangan jumlah nasabah maupun
jumlah pembiayaan yang diminta terus mengalami peningkatan. Pada
tahun 2016 total pembiayaan Rp. 128.228..651.000 dengan nasabah
sebanyak 249 orang. Tahun 2017 sebanyak 429 orang, dan Oktober 2018
pembiayaan yang telah disalurkan sebesar Rp.140.244.514.000 dengan
jumlah nasabah sebanyak 494 orang.
Proses awal dalam menentukan akad pembiayaan murabahah
pada Bank Jambi Syariah terlebih dahulu ada persetujuan persyaratan
yang diajukan Bank kepada nasabah, setelah itu barulah proses akad
85
Wawancara bersama Drs, Ahmad Tarmizi selaku Dewan Pengawas Syariah di Bank 9 Jambi
Syariah pada tanggal 30 Februari 2016. 86
www,bankjambisyariahblogspot.com/2016/03/bjb-syariah.html
Produk 2016 2017 2018
Jumlah Pembiayaan
Nasabah Jumlah Pembiayaan
Nasabah Jumlah Pembiayaan
Nasabah
Murabahah 125.020.139 247 128.300.395 423 139.214.319 490
Istishna 3.208.512 2 2 760.128 2 2 969.695 2
Ijarah - - - - 60.500 1
Musyarakah - - - - 1.214.332 1
Total 128.228.651 249 129.060.523 425 140.244.514 494
dapat dillaksanakan setelah proses akad media pertengahan memenuhi
syarat, sebagaimana wawancara bersama Marlina Susanti SE selaku
analis pembiayaan di Bank Jambi Syariah sebagai berikut:
Akad itu media pertengahan, artinya ada proses dulu diawalnya yang dilakukan nasabah terhadap bank, syaratnya sesuai dengan ketentuan bank, kemudian dilengkapi, ada analisis atau verifikasi data,hingga proses sampai dengan rekomendasi dari pimpinan, disetujui, setelah itu baru penjadwalan untuk orang yang setelah diberi tahu menurut SP3 (surat pemberitahuan persetujuan pembiayaan), Nasabah menyejetujui persyaratan yang diajukan Bank/atas permintaan bank, setelah itu barulah proses akad, dah proses akad inilah yang dinamakan media pertengahan, dimana syarat dan saksinya sesuai dengan ketentuan dari Fatwa DSN, barulah ada proses pencairan dana. Untuk proses ini secara mudah dan cepat ada pencairan, kalau proses yang memang benar-benar proses itu diberlakukan menurut standar operasional prosedur/SOP.87
2. Konsep kepatuhan pada pembiayaan murabahah di bank jambi
syariah
Jika dilihat secara konsep halal secara bahasa artinya adalah
diperbolehkan oleh syara‟ atau kebalikan dari haram. Sebagai lembaga
keuangan yang melekat kepadanya nama shariah sudah semestinya
dalam operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan shariah atau
prinsip-prinsip shariah. Prinsip tersebut adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Shariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Bank syariah
harus menerapkan prinsip-prinsip tersebut sehingga dapat menjalankan
bisnis berbasis pada keuntungan yang halal.
Pihak yang mengawasi penerapan prinsip tersebut adalah Dewan
Pengawas Shariah (DPS). DPS berperan dalam mengawal dan
memastikan bank syariah menjalankan bisnis pada keuntungan yang
halal. Apabila terdapat suatu transaksi yang diragukan kehalalannya,
maka manajemen bank syariah meminta pendapat kepada DPS. DPS
kemudian melakukan rapat untuk membahas dan memutuskan status
87
Wawancara bersama Marlina Susanti, SE, selaku analis pembiayaan di Bank Jambi Syariah pada
tanggal 30 Februari 2016.
hukum transaksi tersebut. Dalam hal ini bank syariah wajib mengikuti
pendapat yang dikeluarkan oleh DPS.
kemudian bank menjalankan amanah yang dipercayakan oleh
nasabah.Amanah adalah sesuatu yang harus dijaga karena adanya
transaksi perjanjian ataupun tidak adanya transaksi perjanjian. Amanah
karena adanya transaki perjanjian, contohnya akad wadiah dan ijarah.
Amanah yang tidak ada transaksi perjanjian, contohnya barang temuan
yang disimpan oleh orang yang menemukannya.88 Bank syariah harus
amanah dalam menjalankan bisnis dan mengelola dana nasabah yang
dipercayakan kepadanya.Sebagaimana yang dikatakan oleh Irawan89,
menurutnya; Menggunakan standar AAOIFI telah memaparkan kajian
risetnya terhadap shariah compliance bank-bank syariah Indonesia.
Terdapat empat hal yang harus dipertimbangkan yaitu:
1. Kontrak, transaksi,
2. kesepakatan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Islam
3. Alokasi keuntungan
4. Pembayaran kerugian yang berhubungan dengan rekening.90
Dalam memastikan kesesuaian praktik jual beli murabahah yang
dilakukan bank jambi syariah apakah telah sesuai dengan ketentuan
syariah yang ditetapkan oleh DSN atau tidak, maka Dewan Pengawas
Syariah (DSN) melakukan pengawasan secara periodik. Pengawasan
tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No 8/19/
DPBs tahun 2006 tentang pedoman pengawasan Syariah dan tata cara
pelaporan pengawasan bagi DPS berupa sebagai berikut:
1. Memastikan barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh
syariah Islam.
2. Memastikan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan
harga jual senilai harga beli ditambah dengan keuntungan yang
88digilib.uinsby.ac.id.shariah complience.theory.pdf. akses tgl. 27 feb 2019 89
Irawan handi,10 prinsip kepuasan pelanggan. PT. Elex Media komputindo.Jakarta, 2003. Hal.37
disepakati. Dalam hal nasabah membiayai sebagian dari harga barang
tersebut, maka akan mengurangi tagihan bank kepada nasabah.
3. Meneliti, akad wakalah telah dibuat oleh bank secara terpisah dari akad
murabahah apabila bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang tersebut dari pihak ketiga. Akad jual beli murabahah
harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank yang
dibuktikan dengan faktur atau kwitansi jual beli yang dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah
adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang
atau aset kepada bank.91
Peran Bank Islam dalam akad murabahah dapat dijelaskan secara
lebih tepat dengan istilah ”pembiayaan” dari pada istilah “penjual” barang.
Bank tidak menangani barang dari peran para ”penjual buku”. Bank tidak
menangani barang, dan juga tidak menanggung resiko dalam hubungan
ini. Kerja bank hampir secara penuh terkait dengan penanganan dokumen
terkait. Kontrak penjualan adalah formalitas.
Akan tetapi dalam praktiknya di bank syariah, mekanisme
pembiayaan murabahah (mark up pricing) selalu menimbulkan kontroversi
di kalangan ulama dan ahli ekonomi Islam sendiri. Mereka berpendapat
bahwa bank-bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya,
temyata bukan meniadakan bunga dan membagi risiko, tetapi tetap
mempertahankan praktik pembebanan bunga, namun dengan label
„islam‟.92 Sehingga sistem ini sangat dekat kemiripannya dengan sistem
kredit bank konvensional yang menghitung bunganya secara fixed/flat
rate, terutama karena adanya faktor mark-up yang menggunakan suku
bunga sebagai patokan, atau benchmark sehingga perbankan syariah
bisa bersaing dengan bank-bank konvensional yang berbasis bunga.
91
Rizal Yaya, Akuntansi Perbankan Syariah, hal. 184 92
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal. 117.
Selain itu juga masih banyak bank syariah yang memasukkan unsur
bonus giro, bagi hasil tabungan dan deposito sebagai cost of fund‟.93
dalam menetapkan margin, sehingga jatuhnya lebih tinggi atau sama
dengan bunga pinjaman. Kemudian penghitungan margin murabahah
(mark up pricing), bank syariah cenderung menghitung margin
keuntungan dan konversi suku bunga pasar bank konvensionaL Yang
meagakibatkan harga jual murabahah (mark up pricing) enderung lebih
mahim dan harga jual yang diberikan oleh bank-bank konvensional.
Dalam praktiknya, barangkali tingginya profit margin yang diambil
oleh bank syariah adalah untuk mengantisipasi naiknya suku bunga di
pasar (inflasi). Sehingga kalau terjadi kenaikan suku bunga yang besar,
maka bank syariah tidak mengalami kerugian secara riil. Namun demikian,
apabila suku bunga di pasar tetap stabil atau bahkan turun, maka margin
murabahah akan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga
pada bank konvensional. Dengan penetapan profit margin murabahah
yang tinggi, secara tidak langsung akan menyebabkan inflasi lebih besar
daripada yang disebabkan oleh suku bunga. Oleh karena itu, perlu dicari
format yang tepat agar nilai penjualan dengan murabahah tidak mengacu
pada sikap mengantisipasi kenaikan suku bunga selama masa
pembayaran angsuran. Karena, mengkaitkan profit margin murabahah
dengan bunga bank konvensional, tetaplah bukan cara yang baik.94
Mengenai sistem pembiayaan akad murabahah dimana Bank
Jambi Syariah sebagai perantara untuk pembiayaan akad murabahah
karena sifatnya jual beli, bukan memberikan pinjaman uang untuk
pembelian berbagai keperluan seperti renovasi rumah, pembelian
93
Cost of Fund merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank atas dana yang dihimpun sebelum
diperthitungkan besarnya ketentuan cadangan likuiditas wajib (reserve requirment), yang
disyaratkan oleh bank sentral. Biaya ini meliputi biaya bunga dana, biaya bunga yang dibayarkan
kepada nasabah simpanan baik dalam bentuk giro, deposito tabungan dan biaya prornosi serta
biaya lainya yang dikeuarkan untuk memperoleh dana tersebut. Lihat Wiroso. Jual Bell
Murabahah (Yogyakarta: UlI Press, 2005), him. 88. lihat juga H. Masyhud Au, Asset Liability
Management Menyiasati Risiko Pasar dan Risiko Operasional dalam Perbankan (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2004), hal. 275 94
Muhammad., Manajemen Bank... haI. 139-140.
kendaraan, pembelian peralatan rumah tangga, karena bank ini
mempunyai keterbatasan fasilitas dimana bank bukan tempat menjual dan
membeli barang, sebagaimana wawancara bersama H. Hermanto Harun,
Ph.D selaku Ketua Komisi Fatwa MUI kota Jambi sebagai berikut:.
Objek perilaku bank dalam memberikan pelayanan pembiayaan perlu ada pertimbangan pada instansi atau lembaga lainnya, seperti pihak asuransi, leasing dan lainnya sehingga perlu ada pertimbangan atas kerja instansi lain dan tidak boleh saling mengganggu, artinya masing-masing lembaga telah memiliki kerja pada masing-masing bidang.95
Dalam kontrak murabahah pada Bank Jambi Syariah lebih banyak
permintaan dari nasabah untuk meminjam uang daripada melakukan
kontrak akad jual bel murabahah, hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan
nasabah tentang pembiayaan akad murabahah yang begitu minim akan
tetapi diperjelas kembali oleh pihak bank. Nasabah hanya mengetahui bila
akad pembiayaan murabahah hampir sama dengan pinjaman pada sistem
perbankan konvensional. sebagaimana wawancara bersama Marwan
Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Dalam kontrak murabahah pada Bank Jambi Syariah kepada nasabah lebih dominan pihak bank menawarkan pola pembiayaan dengan sistem akad yang disepakati. Umumnya pihak bank meminta kepada nasabah sebelum meminjam uang untuk melakukan akad wakalah terlebih dahulu baru melakukan kontrak akad jual beli murabahah.96
Dalam praktik perbankan syariah umumnya diketahui bahwa arti
murabahah adalah proses dari membeli oleh klien yang disertai janji
untuk”membeli”terkait dengan pembayaran dimuka untuk menjamin
bahwa klien benar-benar ingin membeli dan bahwa ia akan melengkapi
pembelian itu kalau bank telah “mengirimkan” barangnya dalam keadaaan
”janji untuk membeli” juga dinyatakan bahwa klien berjanji menyimpulkan
penjualan dan kontrak pembelian (kontrak penjualan murabahah dengan
keuntungan yang disepakati) segera setelah bank memberi tahu klien
95
Wawancara H. Hermanto Harun, Ph.D selaku Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Jambi pada
tanggal 31 April 2017. 96
Wawancara Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 03 Juli 2017.
bahwa barangnya siap dikirimkan, atau dokumen yang berkaitan dengan
barang-barang telah tiba.
Pada pembiayaan murabahah, nasabah mengetahui tentang pola
akad pembiayaan murabahah dengan pihak bank selaku penyedia dana
dan penyedia barang yang menyediakan keperluan konsumen atau
nasabah, karena praktik bank syariah hampir sama dengan pinjaman
dengan menggunakan sistem bunga. sebagaimana wawancara bersama
Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Pembiayaan murabahah pada Bank Jambi Syariah umumya nasabah sebenarnya sudah mengetahui bila sistem di perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil bila itu akad pembiayaan kerjasama dan apabila bank menggunkan sistem akad pembiayaan murabahah maka nasabah benar-benar ingin membeli barang melalui bank selaku penyedia barang sesuai yang tertera dalam kontrak penjualan murabahah dengan keuntungan yang disepakati.97
Dalam perjanjian akad kontrak yang di jelaskan setelah pihak bank
memberikan informasinya kepada nasabahnya bahwa distributor siap
mengirimkan barang atau setelah dokumen tiba di bank. Bank tidak
menunggu barangnya tiba untuk mengujinya sebelum mengirimkan
barang kepada nasabah. Pada kenyataanya, kondisi ini luput dari
perhatian bank karena seharusnya hal itu juga merupakan tanggung
jawab bank dalam memenuhi kebutuhan nasabah sebagai pembeli,
sebagaimana wawancara bersama Sururuddin selaku Nasabah Bank
Jambi Syariah sebagai berikut:
Setahu saya kontrak akad murabahah itu dimana setelah nasabah menandatangi akad murabahah, bank akan melakukan kewajiban kepada distributor dan pihak bank telah “mengirimkan” barangnya dalam keadaaan ”janji untuk membeli” juga dinyatakan bahwa nasabah berjanji menyimpulkan penjualan dan kontrak pembelian (kontrak penjualan murabahah dengan keuntungan yang disepakati) segera setelah bank memberi tahu nasabah bahwa barangnya siap dikirimkan, atau dokumen yang berkaitan dengan barang-barang telah tiba sampai kepada nasabah.98
97
Wawancara Sururuddin selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 05 Juli 2017. 98
Wawancara Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 03 Juli 2017.
Sebelum menanda tangani perjanjian kontrak akad murabahah
dimana nasabah menegaskan bahwa ia tidak dapat meminta bantuan
kepada bank atas pemintaan nasabah atas barang sesuai kontrak akad
murabahah tentang jual beli antara pihak bank dengan nasabah. Kontrak
akad murabahah terjadi ketika nasabah menyetujui pemintaan bank untuk
melakukan akad murabahah bil wakalah terlebih dahulu, baru setelah
selesai melakukan akad wakalah, baru melakukan akad murabahah.
Sebagaimana wawancara bersama Sururuddin selaku Nasabah Bank
Jambi Syariah sebagai berikut:.
Nasabah berkeinginan bilamana akad murabahah itu terjadi, maka nasabah berkehendak untuk membeli barang atas barang yang diinginkannya sendiri, karena menurutnya dengan membeli barang sendiri, ketika uang telah dikreditkan oleh bank, nasabah dapat memenuhi kebutuhan yang lainnya jika uang yang di kreditkan masih tersisa. Sehingga keuntungan atas barang yang dibelinya sesuai dengan keinginannya.99
Menurut Cecep Maskanul Hakim memaparkan tentang penerapan
penerapan pembiayaan murabahah di Bank Syariah dimana murabahah
yang dikenal dalam syariah sebagai transaksi mengalami inovasi ketika
diterapkan dalam perbankan syariah. Hal ini disebabkan berbagai
ketentuan yang ada, selain ketentuan perbankan, juga belum
mengakomodir sifat-sifat yang ada dalam murabahah, baik ketentuan
hukum maupun perpajakan. Usaha ini memerlukan pengertian dan
pemahaman semua pihak tentang manfaat dan keunggulan transaksi ini
dibanding transaksi dalam perbankan konvensional. Apabila tidak
demikian, maka keunggulan dan manfaat perbankan syariah bagi
masyarakat dan ekonomi nasional jadi tidak nampak.100
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara Marlina Susanti dimana
pada kenyataannya proses akad murabahah yang terjadi pada bank
Jambi syariah menurut analis pembiayaan ini terjadi bahwa ketentuan
99
Wawancara Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 03 Juli 2017. 100
Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, Catatan Kritis Terhadap Dinamika
Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia, (Banten, Shuhuf Media Insani, 2011), hal. 80.
awal akad murabahahsebenarnya adalah kontrak jual beli antara nasabah
dengan pihak bank, namun kondisi ini tidak memungkinkan pihak bank
dalam menyediakan barang, karena memang bank bukan tempat jual beli
barang dan juga bukan sebagai tempat penyedia barang yang memiliki
kerjasama dengan distributor, dan hal inilah yang menjadi keterbatasan
pihak bank untuk menyediakan barang, karena dibatasi oleh undang-
undang perbankan, sebagaimana wawancara bersama Marlina Susanti
SE, selaku analis pembiayaan Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Karena adanya dukungan atas ketidaktersediaan barang yang kami miliki, dilengkapi dengan adanya berkeinginan nasabah bilamana akad murabahah itu terjadi, maka nasabah meminta kepada pihak bank selaku penyandang dana untuk menyediakan uang atau pembiayaan kepada nasabah sesuai keinginan nasabah,agar dapat membeli barang dengan sendirinya krena disinilah letak kepuasan bagi konsumen dengan kesepakatan pihak bank dengan nasabah untuk mengambil keuntungan yang disepakati dengan nominal keuntungan itu dibayar secara lunas atau angsuran/kredit.101
Ketika melihat pada teori dan pengertian murabahah sendiri, sudah
banyak sekali pakar ekonomi Islam yang membahasnya, diantaranya
Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibn Rusyd, yang mengatakan
bahwa Ba‟i al murabahah adalah jual beli barang pada harga asalnya
dengan tambahan keuntungan yang disepakati.102
Mengacu pada tujuan Murabahah, tampaknya berakar pada dua
alasan yakni: Pertama, mencari pengalaman, dimana satu pihak yang
berkontrak (pemesan pembelian) meminta pihak lain yaitu pembeli untuk
membeli sebuah barang. Pemesan berjanji untuk mengganti membeli
barang tersebut dan memberinya keuntungan. Pemesan memilih sistem
pembelian ini yang biasanya dilakukan secara kredit, lebih karena ingin
mencari informasi dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap
barang tersebut. Kedua, mencari pembiayaan. Dalam operasi perbankan
101
Wawancara Marlina Suanti, SE selaku analis Pembiayaan Bank Jambi Syariah pada tanggal 07
Juni 2017. 102
Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtasyid, Vol II, (BeirutDarul Qalam, tt), hal. 216.
syari‟ah, menurut Muhammad Syafi‟i Antonio motif pemenuhan
pengadaan barang atau modal kerja merupakan alasan utama yang
mendorong datang ke bank. Pada gilirannya pembiayaan yang diberikan
akan membantu memperlancar arus kas dari nasabah bersangkutan yang
membutuhkan dana segar.103
Perlu diketahui bahwa praktik akad murabahah yang ada di Bank
Jambi Syariah dimana aplikasinya adalah nasabah mewakilkan kepada
Bank Syariah untuk membeli Barang yang diperlukan oleh Nasabah,
sebagaimana hasil wawancara bersama Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku
Dewan Pengawas Syariah pada Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Pada praktiknya akad murabahah yang terjadi pada Bank Jambi Syariah ini didahulukan dengan akad wakalah, setelah akad wakalah selesai barulah berlanjut dengan akad murabahah, karena bank jika ia menjadi pembeli atas nama bank sendiri maka bank kehilangan fungsinya. Sehingga ini didukung oleh kehendak nasabah yang menginginkan untuk melakukan pembelian barang dengan sendirinya dengan penawaran akad wakalah, bentuk diwakilkan kepada nasabah disertai dengan adanya surat kuasa yang diberikan oleh bank, dan baik pihak bank maupun nasabah menyetujui kesepakatan itu, karena adanya keinginan nasabah yang lainnya yang ingin dipenuhinya. Ketika akad wakalah terlaksana kedua belah pihak (nasabah dan bank) sepakat dan Dewan Pengawas Syariah Cabang Jambi bentuk perwakilan dari nasabah yang dilakukan bank jambi syariah adalah akad murabahah bil wakalah berupa Akad Wakalah Non Bil Ujroh dan tidak terdapat (fee) atau upah didalamnya, dan itu juga disepakati dan diketahui pihak nasabah. Karena bentuk akad yang terdapat di bank jambi syariah adalah transparansi yang di utamakan memberikan pelayanan yang sesuai dengna keinginan nasabah demi kepuasan konsumen itu snediri..104
Dalam konteks akad murabahah bahwa akad yang dipergunakan
dalam perjanjian jual beli barang dan keuntungan (marjin) yang disepakati
oleh penjual dan pembeli. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya, dimana bank
membeli barang yang diperlukan oleh nasabah atas nama bank sendiri
103
Muhammad Syafi‟i Antonio, 2001, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2009), hal. 102. 104
Wawancara bersama Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku Dewan Pengawas Syariah pada Bank Jambi Syariah pada tanggal 16 Mei 2017.
kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual
yaitu harga pokok barang di tambah keuntungan. Dalam memperoleh
barang yang dibutuhkan oleh nasabah, bank dapat mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga untuk dan atas
nama bank. Dan kemudian menjual barang tersebut dijual kepada
nasabah. Dalam hal ini akad murabahah baru dapat dilakukan setelah
secara prinsip barang tersebut menjadi milik bank. Dan ini dikatakan
dalam konteks murabahah dalam teorinya bahwa akad murabahah bil
wakalah itu merupakan akad dimana bank yang meminta kepada nasabah
untuk membeli barang artinya bank yang menggunakan jasa nasabah
sehingga bank yang seharusnya memberikan fee kepada pihak nasabah,
akan tetapi pada prakteknya di lapangan di bank jambi syariah bahwa
murabahah bil wakalah itu merupakan akad dimana nasabah yang
meminta untuk diwakilkan kepada pihak bank dengan bentuk penyediaan
uang atau pendanaan uang yang dilakukan oleh piahk bank. Sehingga
nasabah tidak mendapaatkan fee di dalam akad yang dilakukannya
tersebut, yang menyangkut akan akad wakalah didalamnya.
Dalam bentuk murabahah adalah bentuk pembiayaan dengan
prinsip jual beli barang yang telah ada, dengan menentukan harga jual
dari harga perolehan ditambah margin yang telah disepakati bersama.
Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005
tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pengertian
murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati. Sedangkan dalam pasal 20
angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan murabahah adalah
pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal
(pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual
beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-
mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Pembayaran oleh nasabah dapat dilakukan secara tunai atau
tangguh (pada akhir periode atau secara angsuran). Jangka waktu
pembayaran harga barang oleh nasabah kepada bank ditentukan
berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah.Bank dapat meminta
nasabah untuk membayar uang muka saat menanda tangani kesepakatan
awal pemesanan barang oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang
yang diminta oleh bank kepada nasabah.105
Secara prinsip hukum dalam teori akad murabahah bil wakalah bila
dalam konteksnya bank yang mewakilkan kepada nasabah, maka yang
terjadi adalah prinsip hukum terhadap teori wakalah bil ujroh yang
seyogyanya nasabah juga harus mendapat perhatian khusus atas kerja
pada gaji dan upah dari usaha nasabah dalam mendapatkan barang yang
diinginkan, karena bank telah menggunakan jerih payah nasabah atas
pekerjaannya mencari barang. Hal ini sebagaimana hasil wawancara
bersama Drs A. Tarmizi, M.Ag selaku Dewan Pengawas Syariah pada
Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Idealnya sesuai Fatwa DSN-MUI dalam akad murabahah adalah bank menjual barang tersebut atas nama bank sendiri. Sehingga yang harusnya berhubungan langsung dengan dialer adalah bank melalui mandat/kuasa yang diserahkan kepada nasabah dengan tidak menghilangkan sifat asli dari fungsi akad tersebut. Maka dari itu harus ada namanya akad wakalah bahwa bank diwakilkan kepada nasabah. Akad wakalah itu harus dipenuhi dalam kontrak pada akad murabahah setelah akad wakalah selesai dilakukan baru akad murabahah dilaksanakan. Maka diperlukan surat menyurat yang lengkap. Seperti surat yang menyatakan bahwa bank diwakilkan kepada nasabah, objek dan harganya yang jelas serta itu tadi tidak menghilangkan sifat asli dari akad tersebut.106
Sebagaimana di perjelas oleh bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag tentang proses
penerapan yang dilakukan oleh pihak bank 9 Jambi Syariah bahwa:
105
Muhammad,Audit dan Pengawasan Syariah dan Bank Syariah..., hal. 65-66. 106
Wawancara bersama Drs. A.Tarmizi M.HI selaku Dewan Pengawas Syariah pada Bank Jambi Syariah pada tanggal 10 Mei 2016.
“Pertama, Nasabah dan bank 9 jambi menandatangani perjanjian umum ketika bank 9 jambi berjanji untuk menjual dan nasabah berjanji untuk membeli barang tertentu pada tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang. Kedua, bank 9 jambi syariah selanjutnya menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank 9 jambi atas permintaan nasabah sendiri didukung dengan adanya ketidakketersediaan barang oleh bank, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak serta memberikan surat kuasa berupa surat keterangan untuk mengambil alih kekuasaan dalam membeli barang. Ketiga, bank 9 jambi melakukan pengkreditan uang kepada nasabah sesuai kesepakatan awal, dan ini dilakukan setelah akad wakalah selesai dilakukan. Kemudian nasabah membeli komoditas barang atas nama bank 9 jambi ke pihak supplier, pada tahap ini risiko komoditas masih ada pada bank 9 jambi. Keempat, Nasabah menginformasikan kepada bank 9 jambi bahwa ia akan membeli komoditas atau barang atas nama bank 9 jambi, setelah itu baru melakukan akad murabahah setelah akad wakalah selesai dilakukan, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, dan pembayaran dilakukan oleh nasabah langsung kepada supplier atas nama bank tetapi kepemilikan barang masih atas nama bank 9 jambi, barulah terjadi akad murabahah dan melakukan penyampaian penawaran untuk membeli barang tersebut dari bank 9 jambi. Kelima, Nasabah menginformasikan kembali kepada bank 9 jambi bahwa ia telah membeli komoditas atau barang atas nama bank 9 jambi, setelah itu baru melakukan akad murabahah setelah akad wakalah selesai dilakukan, Dimana bank 9 jambi syariah dan nasabah melakukan transaksi barang secara
murabahah yaitu dengan kesepakatan pembayaran secara cicilan atau tangguh.
Maka kepemilikan dan resiko atas barang beralih ke pihak nasabah. sehingga
tidak ada fee atau upah didalam akad tersebut maka kepemilikan dan risiko barang telah beralih ke tangan nasabah.”107
Sehingga dapat diperjelas pula dalam konsep Jual beli murabahah
yang merupakan salah satu skema pembiayaan di perbankan syariah
yang paling dominan dibandingkan skema pembiayaan lain. Ada tiga
model atau tipe penerapan jual beli murabahah di perbankan, yaitu:
Pertama, tipe konsisten terhadap fikih muamalat. Dalam tipe ini, bank
membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian
107
Wawancara bersama Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku Dewan Pengawas Syariah pada
Bank Jambi Syariah pada tanggal 10 Mei 2016.
dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan
sesuai kesepakatan bank dan nasabah.
Kedua, mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan
langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran
dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier.
Ketiga, bank melakukan perjanjian murabahah dengan nasabah, dan
pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri
barang yang akan dibelinya. Dari ketiga tipe tersebut, Tipe II dan Tipe III
paling sering dipakai oleh perbankan syariah karena motivasi efektivitas
prosedur dan juga pertimbangan efisiensi, terutama dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Sementara tipe I justru dihindari padahal tipe inilah
yang paling ideal dalam konteks fikih muamalat.
Pada pembiayaan murabahah di bank jambi syariah ini, nasabah
yang mengajukan permohonan harus memenuhi syarat sah perjanjian
yaitu, unsur yaitu syarat subjektif (kemampuan nasabah), sehat jasmani
dan rohani. Objek murabahah tersebut juga harus tertentu dan jelas dan
merupakan pemilik yang penuh dari pihak bank. Dalam pelaksanaannya,
pembelian objek murabahah tersebut dapat dilakukan oleh pembeli
murabahah sebagai wakil dari pihak bank dengan menggunakan akad
wakalah atau perwakilan. Setelah akad wakalah dilakukan, dimana
pembeli nasabah bertindak untuk membeli dengan atas nama bank.
Setelah akad wakalah selesai dan objek murabahah tersebut secara
prinsip telah menjadi hak milik bank maka barulah terjadi akad kedua
antara bank dengan pembeli murabahah yaitu akad murabahah. Hal ini
dimungkinkan dan tidak menyalahi syariah Islam, dan masih dalam
kesesuaian prinsip-psinsip syariah (shariah complience). karena dalam
Dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 Tanggal 1 April 2000 tentang
murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah
sebagai berikut: pada bagian pertama angka 9 disebutkan bahwa “jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang
secara prinsip, menjadi milik bank”. Diperjelas dalam wawancara oleh
bapak Dewan Pengawas Syariah bapak Drs A. Tarmizi dimana:
Dikatakan bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam akad murabahah di Bank Jambi Syariah sudah sesuai dengan fatwa MUI, walaupun harga jual objek akad yang merupakan harga beli ditambah keuntungan (ribhun) biasanya lebih mahal dari pemberian kredit kepemilikan pada bank konvensional tetapi pada murabahah nasabah diuntungkan dalam hal tidak dikenakannya bunga dalam murabahah ini sehingga nasabah tidak akan rugi apabila ada kenaikan dan penurunan suku bunga pasar. Sementara pada murabahah yan dipergunakan adalah harga jual yang tidak akan berubah selama masa akad. Dengan demikian, nasabah sejak awal sudah mengetahui jumlah cicilan yang akan dibayarkan selama masa akad dan tidak akan mengalami kenaikan ataupun penurunan.108
Sebagaimana yang diuraikan tentang pembiayaan murabahah bil
wakalah maka murabahah bil wakalah adalah jual beli dengan sistem
wakalah. Dalam jual beli sistem ini pihak penjual mewakilkan
pembeliannya kepada nasabah untuk diserahkan kepada pihak bank.,
dengan demikian akad pertama adalah akad wakalah setelah akad
wakalah berakhir yang ditandai dengan penyerahan barang dari nasabah
ke Lembaga Keuangan Syariah kemudian pihak lembaga memberikan
akad murabahah. Sesuai dengan ketentuan Fatwa DSN MUI akad
murabahah bil wakalah dapat dilakukan dengan syarat jika barang yang
dibeli oleh nasabah sepenuhnya sudah milik lembaga keuangan syariah,
kemudian setelah barang tersebut dimiliki lembaga keuangan syariah
maka akad murabahah dapat dilakukan.
Dalam praktik yang dijalankan oleh Bank Jambi Syariah harus
dibedakan konteks akad pembiayaan antara akad murabahah bil wakalah
dengan konteks akad pembiayaan wakalah bil ujrah. Akad murabahah bil
wakalah adalah jual beli dimana lembaga keuangan syariah mewakilkan
pembelian produk kepada nasabah kemudian setelah produk tersebut di
dapatkan oleh nasabah kemudian nasabah memberikannya kepada pihak
lembaga keuangan syariah. Setelah barang tersebut di miliki pihak
108
Wawancara dengan bapak Drs A. Tarmizi pada tanggal 16 Mei 2017
lembaga dan harga dari barang tersebut jelas maka pihak lembaga
menentukan margin yang didapatkan serta jangka waktu pengembalian
yang akan disepakati oleh pihak lembaga keuangan syariah dan
nasabah.109
Sedangkan masalah wakalah bil ujrah sendiri memiliki pengertian
dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan
pemberian ujrah atau fee kepada pihak bank.110Di dalam mekanisme
syariah terdapat suatu akad yang sering digunakan oleh nasabah yang
menggunakan jasa bank sebagai perantara dalam akad ini, ketentuan
dan pelaksanaan dalam akad ini setelah terjadinya akad tersebut terdapat
suatu imbalan atau fee dari nasabah kepada bank sebagai balas jasa dari
pelaksanaan akad ini.111
Dalam ketentuan akad wakalah tersebut dalam penerapan pada
bank syariah terdapat kodifikasi yang menjadi konsep terjadinya akad
wakalah bil ujrah antara lain dari akad wakalah (wakil) dengan akad ijarah
(sewa menyewa) dan ujrah (upah), dimaksudkan adalah dimana didalam
perpaduan akad wakalah tersebut nasabah sebagai piihak pembeli yang
akan membeli suatu produk yang ditawarkan oleh bank, nasabah meminta
bank untuk membelikan produk yang dibeli oleh nasabah tersebut dan
setelah proses akad wakalah tersebut terlaksana bank sebagai pihak yang
menjual meminta suatu imbalan atau disebut juga dengan fee atau ujrah
kepada pihak nasabah sebagai pihak yang diwakilkan bank. Akan tetapi
menurut dewan pengawas syariah Dr. A.A. Miftah, M.Ag bahwa:
“Akad wakalah yang dilaksanakan oleh bank 9 jambi syariah adalah murabahah bil wakalah non bil ujroh yaitu tidak terdapat fee didalamnya. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ahmad Tarmizi selaku Dewan Pengawas Syariah Di Bank Jambi Cabang Syariah bahwa yang dipraktekkan di Bank Jambi Syariah menurut konsep kepatuhan sistem
109
Fatwa Dewan Syariah Nasional Sesuai dengan ketentuan No:04/DSN-MUI/IV/2000 pasal 1 ayat 9 menyatakan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. 110
Fatwa Dewan Syariah Nsional Sesuai dengan ketentuanNo. 34/DSN-MUI/IX/2002. 111
Sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur tentang Perbankan Syariah UU No. 21 tahun 2008 pasal 2 ayat 3 yang menyatakan bahwa akad ini disebut Wakalah Bil Ujrah.
perwakilan oleh pihak bank kepada nasabah imbalan atau pemberian ujrohnya tidak terdapat didalamnya karena Bank Jambi Syariah menggunakan “Murabahah Bil Wakalah Non Bil Ujroh”, dan tidak terdapat fee didalamnya tetapi sifatnya transparansi, karena adanya kehendak nasabah sendri dalam membeli barang dan melakukan pengajuan permintaan atas penyediaan atau pendanaan uang untuk melakukan pembiayaan bagi pihak nasabah. sehingga Hal ini dimungkinkan dan tidak menyalahi syariah Islam, dan masih dalam kesesuaian prinsip-psinsip syariah (shariah complience). karena dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 Tanggal 1 April 2000 tentang murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: pada bagian pertama angka 9 disebutkan bahwa jika bank bendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi milik bank. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam penerapan akad pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah telah sesuai dengan fatwa MUI dan memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah (shariah complience)112
Secara jika peran DPS tidak optimal dalam melakukan pegawasan
syariah terhadap praktik syariah yang berakibat pada pelanggaran syariah
complience, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat
menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat
kepada bank syariah bersangkutan. Hal inilah yang dikatakan oleh Shanin
A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation Jadi
menurutnya resiko terbesar menghadapi sistem keuangan global
bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang
lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang
bagaimana operasional kerjanya, Di sinilah, peran DPS perlu
dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segala produk dan sistem
operasinal bank syariah benar-benar sesuai syariah.113
Dari seluruh proses kontrak akad murabahah pada bank Jambi
Syariah pada kenyataannya bank yang diminta kepada nasabah dengan
112
Wawancara bersama Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku dewan pengawas syariah di bank jambi syariah pada tanggal 10 Mei 2016 113
Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki dampak terhadap risk manajemen,.pdf. Akses tgl. 29 feb 2019
suka dan kerelaan untuk memenuhi akad wakalah bahwa bank diwakilkan
oleh nasabah. Akad wakalah itu harus dipenuhi dalam kontrak pada akad
murabahah yang menyatakan bahwa bank diwakilkan oleh nasabah, objek
dan harganya yang jelas. Sedangkan menurut peneliti sendiri, ciri dari
murabahah yakni suatu transaksi dimana pihak pemilik modal (lembaga
keuangan) memposisikan dirinya sebagai penjual dan peminjam modal
(nasabah) berada pada posisi sebagai pembeli.
Dalam kegiatan jual beli itu sendiri, barang yang dijual haruslah
sudah menjadi milik penuh dari penjual sehingga tidak diperbolehkan
menjual barang yang bukan miliknya, selanjutnya ada upah yang harus
dibayar oleh pihak nasabah yang diwakilkan oleh pihak bank, dan menurut
analisa penulis bahwa pembiayaan murabahah bil wakalah dan wakalah
bil ujrah harus dibedakan beban operasional terhadap pendapatan
operasional bank (BOPO) yaitu perbandingan antara biaya operasional
dan pendapatan operasional. Semakin rendah tingkat rasio BOPO, maka
semakin baik kinerja manajemen bank karena lebih eesien dalam
menggunakian sember daya.114 Berdasarkan aturan main pada sistem
perlakuan akuntansi PSAK 102 dan ED PSAK 108 yaitu beban penurunan
nilai (bank tidak mengeluarkan fee) atas beban operasonal bank syariah
yang itu tentunya masuk dalam sistem akuntansi perbankan syariah
menjadi rentabilitas atau keuntungan pendapatan bank syariah.115
Akan tetapi yang dipraktekkan di bank jambi Syariah menurut
Dewan Pengawas Syariah Cabang Jambi bapak Tarmizi bahwa:
“Bentuk perwakilan yang dilakukan nasabah berupa “Wakalah Non Bil Ujroh” dan tidak terdapat fee didalamnya sehingga Hal ini dimungkinkan dan tidak menyalahi syariah Islam, dan masih dalam kesesuaian prinsip-psinsip syariah (shariah complience). karena dalam Dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 Tanggal 1 April 2000 tentang murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: pada bagian pertama angka 9 disebutkan bahwa jika bank bendak mewakilkan
114
Slamet Riyadi, Banking Assets and Liability management, (Jakarta, Faultas Ekonomi UI, 2006),hal.159. 115
Sri Nurhayati - Wasilah, Akuntansi Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta, Salemba Empat, 2011),hal.176-177.
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi milik bank. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam penerapan akad pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah telah sesuai dengan fatwa MUI dan memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah (shariah complience)”116.
Menurut Rita Kumalasari selaku nasabah dalam bahwa beban
operasional merupakan beban yang terjadi dalam rangka memperoleh
pendapatan operasi misalnya, beban perlengkapan, beban gaji, beban
sewa, beban iklan, beban asuransi dan beban yang seharusnya menjadi
tanggung jawab bank.117 Pengertian beban operasional lain bisa juga dari
biaya yang harus dikeluarkan bank yang langsung terkait dengan upaya
memperoleh dana pihak ketiga.118 Berdasarkan pengertian dia atas dapat
dijelaskan secara matematik sederhana bahwa beban operasional
merupakan beban/biaya yang harus dikeluarkan oleh bank dalam kegiatan
operasionalnya guna mendapatkan pendapatan operasi dalam bentuk
biaya tenaga kerja, biaya administrasi, penyisihan penghapusan aktiva
produktif (PPAP), biaya sewa, biaya perlengkapan dan lain-lainnya.
Dengan sistem ini maka bank syariah sulit mewujudkan sistem
keadilan pengupahan, karena wakalah bil ujrah, dari bentuk perwakilan
dari nasabah kepada bank. Sedangkan murabahah bil wakalah,
perwakilan bank kepada nasabah, maka yang harus mendapatkan ujrah
adalah nasabah yang diwakilkan oleh pihak bank karena ada jasa dan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh yang diwakilkan. Bank seyogyanya
memberikan ujroh (honorarium dan atau biaya transport) kepada wakil
nasabah tersebut. Akan tetapi pada umumnya, pembayaran ujroh kepada
nasabah yang menjadi wakil tersebut tidak dipraktikkan oleh bank jika
keterangan tersebut sesuai seperti yang dijelaskan di atas jika benar
adanya bank yang meminta untuk diwakilkan kepada pihak nasabah.
116
Wawancara oleh bapak Drs. Tarmizi tanggal 10 Mei 2016 117
Rita Kumalasari, blogspot.in/?m=1 akses tanggal 17 Mei 2015. 118
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan, Edisi Ketiga (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006)),hal.280.
Padahal, jika pembelian barang atau jasa apa pun namanya yang
dibutuhkan itu dilakukan tidak sekali, bahkan berulang kali seperti
pembelian material bangunan akan memungkinkan munculnnya biaya-
biaya perolehan barang atau jasa lebih tinggi.119
Keterbatasan fungsi perbankan syariah dalam pembiayaan tersebut
barang atau produk yang akan di beli oleh nasabah harus terlebih dahulu
milik bank. Bank tidak bisa lansung memproses ketempat tujuan
pembelian produk tersebut, maka harus dengan perwakilan nasabah
(wakalah) dengan atas nama bank yang kemudian produk tersebut dijual
kepada nasabah. Sehingga kedudukan akad dalam bank syariah itu
antara akad wakalah bil ujrah dan murabahah bil wakalah terdapat suatu
perbedaan pada kedudukan suatu akad, dimana jika wakalah bil ujrah
memberi kedudukan akad yang bertujuan untuk memudahkan dalam
pengiriman suatu transaksi antar nasabah. Sedangkan dalam akad
murabahah bil wakalah kedudukan tersebut bertujuan dalam memberikan
pelayanan dan fasilitas pembayaran dari suatu bank kepada nasabah.
Praktik ini pun menurut analisa penulis tidak adanya keperpihakan
dan kurangnya keadilan bagi bank syariah kepada nasabah ketika akad
murabahah bil wakalah ini diterapkan, karena posisi akad wakalah bil
ujrah dan murabahah bil wakalah terdapat perbedaan dalam unsur beban
biaya. Bila akad wakalah bil ujrah terlaksana, maka ada jasa atau
pemberian imbalan dari nasabah kepada pihak bank, dan yang
seharusnya pun terjadi ketika terjadi transaksi pada akad murabahah bil
wakalah, pihak bankharus memberi fee atau upah dalam proses
mewakilkannya kepada pihak nasabah, jadi ada proses memberi dan
menerima jasa atau upah atas terjadinya transaksi, dalam hal ini pihak
bank hanya mendapatkan suatu kemudahan dalam pembiayaannya tanpa
adanya balas jasa ataupun pertimbangan upah yang diberikan kepada
nasabah.
119
M. Nizarul Alim, Muhasabah Keuangan Syari‟ah, (Solo, Jembatan Ilmu, 2011),hal.82
Oleh karena itu bila ingin melihat konsep keadilan dalam akad
wakalah bil ujrah dan murabahah bil wakalah jika akad wakalah bil ujrah
dilihat adil dan merata dalam hubungan nasabah dengan bank langsung
ada konpensasi biaya yang diberikan nasabah kepada pihak bank yaitu
berupa fee sebagai balas jasa nasabah. Sedangkan murabahah bil
wakalah diniilai kurang adanya keadilan atau pemerataan dalam
hubungan nasabah dengan bank., karena dalam perwakilannya pihak
bank yang memberikan amanat kepada nasabah tidak memberikan fee
atau upah dari pihak bank kepada nasabah. Sehingga tideak ada
keberpihakan kepada nasabah, karena sesungguhnya posisi bank
menawarkan keadilan dalam setiap pembiayaan usaha dan kerugian pun
ditanggung bersama berdasarkan prinsip keadilan.120
Jadi dalam hal in pun penulis menyadari pentingnya memperhatikan posisi
pembiayaan dalam transaksi akad murabahah ini karena juga harus
memperhatikan pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana
melalui transaksi jual beli yang saling menguntungkan dan tidak kalah
pentingnya bagi pemangku kepentingan bila dalam proses jual beli,
barang harus terganti dengan uang, jadi bukan uang terganti dengan
uang. Dalam hal ini ketika nasabah tidak memiliki uang dan dia
membutuhkan barang maka pemilik modal (lembaga keuangan) harus
memberikannya barang. Tidak dibenarkan memberi nasabah uang
kemudian nasabah berkewajiban mengembalikannya dengan beberapa
uang tambahan dengan nominal yang ditentukan, meskipun bank
berkeyakinan dapat memprediksi keuntungan yang akan diperoleh.
3. Motivasi Nasabah Menggunakan Pembiayaan Murabahah Di Bank
Jambi Syariah
Dalam konsep bahwa motivasi adalah suatu dorongan kehendak
yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk
mencapai tujuan tertentu. Motivasi berasal dari kata motif yang berarti
120
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Dalam Perspektif Fikih Ekonomi, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), hal.26
"dorongan" atau rangsangan atau "daya penggerak" yang ada dalam diri
seseorang. Menurut Weiner yang dikutip Elliot et al bahwa motivasi
didefenisikan sebagai kondisi internal yang membangkitkan kita untuk
bertindak, mendorong kita mencapai tujuan tertentu, dan membuat kita
tetap tertarik dalam kegiatan tertentu.121Motivasi dapat diartikan sebagai
dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang yang diindikasikan
dengan adanya; hasrat dan minat; dorongan dan kebutuhan; harapan dan
cita-cita; penghargaan dan penghormatan. Motivasi adalah sesuatu apa
yang membuat seseorang bertindak. Menurut Maslow menyatakan
bahwa motivasi merupakan dampak dari interaksi seseorang dengan
situasi yang dihadapinya dan Menurut A. Maslow teori motivasi
merupakan kebutuhan primer dimana sesungguhnya individu itu saling
melengkapi dan sistemik.122
Saat ini perkembangan di bidang jasa, khususnya perbankan
sedang pesat. Jasa merupakan kegiatan yang dapat diidentifikasikan
secara tersendiri, yang pada hakekatnya bersifat tidak teraba, yang
merupakan pemenuhan, kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan
produk atau jasa laen. Dahulu nasabah mencari bank, sekarang bank
yang mencari nasabah, maka bank dituntut untuk mampu menawarkan
produk-produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginan nasabah atau
masyarakat. Tentunya tidak ada unsur bunga atau ribawi, khususnya
kegiatan yang banyak memfokuskan menarik dan menyalurkan uang dari
dan kepada nasabah. Keberagaman produk dan jasa yang ditawarkan
oleh lembaga keuangan syariah, tidak hanya memberikan kesempatan
yang luas bagi konsumen untuk memilih produk yang dibutuhkan
nasabah, namun juga menimbulkan keraguan karena banyaknya produk
yan ditawarkan. Motivasi nasabah untuk memilih produk adalah manfaat
121
B. Berelson and G. Stainer, Human Behavior: An Inventory of Scientific Findings (New York: Harcaurt Brace 1964), hal. 240. 122
A. Maslow, Motivation nad Personality (New York: Harper, 1954), hal.130.
yang diperoleh dari produk tersebut, tidak ada kerugian baginya dalam
melakukan transaksi ini khususnya.123
Jika dilihat Banyaknya permintaan dari faktor sisi penawaran bank
syariah terhadap akad pembiayaan murabahah pada Bank Jambi Syariah
dikarenakan jenis pembiayaan murabahah dibandingkan dengan jenis
pembiayaan yang lain, maka pembiayaan murabahah dinilai lebih minim
risikonya dibandingkan dengan jenis pembiayaan bagi hasil. Selain itu
pengembalian yang telah ditentukan sejak awal juga memudahkan bank
dalam memprediksi keuntungan yang akan diterima, sebagaimana
wawancara bersama bapak sururuddin selaku nasabah di Bank Jambi
Syariah sebagai berikut:
Dominannya permintaan terhadap akad pembiayaan murabahah pada Bank Jambi Syariah diakui oleh pihak nasabah kalau sistem pembiayaan murabahah bisa dikatakan tidak memiliki resiko kerugian, karena jenis pembiayaan ini mempunyai pendapatan yang telah ditentukan, dalam bahasa perbankan murabahah adalah merupakan salah satu bentuk jenis natural certainty contract yaitu kontrak berupa required rate of proflt atau tingkat keuntungan yang disepakati antara nasabah dan pihak bank124
Sebagaimana wawancara bersama bapak sururuddin selaku
nasabah di Bank Jambi Syariah sebagai berikut: Dalam kontrak akad
murabahah yang menjadi motivasi belaiu dalam melakukan permintaan
pembiayaan murabahah pada bank Jambi 9 Syariah di antaranya:
“Pertama, karena nasabah merasa dalam proses pembiayaannya itu prosesnya cepat dibandingkan pada pinjaman kredit pada bank konvensional dan kedua, pelayanan pegawai Bank Jambi Syariah dengan jasa pelayanan yang optimal dari account officer, yang langsung bertatap muka dengan calon debitur. Account officer ini mampu berkomunikasi dengan baik, memberikan penjelasan-penjelasan mengenai jenis pembiayaan yang diminta oleh calon debitur serta memberi bimbingan dalam setiap prosedur pembiayaan”.125
123
Citra Dwiratih Aviza, Factor Yang Mempengaruhi Keputusan Mitra Dalam Memilih Menggunakan Produk Pembiayaan Murabahah Di Bmt Berkah, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2014, akses tgl 3 aprol 2017. 124
Wawancara bersama sururuddin selaku nasabah di Bank Jambi Syariah pada tanggal 30 juni 2016. 125
Wawancara sururuddin selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 30 Juni 2017.
Faktor permintaan dari sisi nasabah terhadap pembiayaan
murabahah adalah administrasi sederhana, pelayanan pegawai bank yang
tidak memakan waktu lama dan jauh lebih mudah prosesnya
dibandingkan dari sistem kredit pada bank konvensional, sebagaimana
wawancara bersama Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah
sebagai berikut:.
Faktor permintaan kontrak pembiayaan murabahah dari sisi nasabah karena dinilai lebih simpel dan mudah dalam proses transakasinya dibandingkan dengan jenis pembiayaan bagi hasil. Hal ini lebih disebabkan kemiripan operasional murabahah dengan jenis kredit konsumtif yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dimana masyarakat telah terbiasa dengan hal ini, karena pola pembiayaan murabahah yang lebih relatif mirip dengan pola pada pembiayaan kredit yang berbasis bunga.126
Selain faktor sisi permintaan dari pihak bank dan sisi permintaan
nasabah pada pembiayaan murabahah diatas, maka faktor yang yang
turut menentukan ikut mempengaruhi permintaan terhadap pembiayaan
murabahah pada bank syariah ada dua hal yaitu margin murabahah dan
nilai pembiayaan berbanding lurus dengan bunga kredit bank
konvensional.
Hal ini tidak terlepas dari persoalan kajian murabahah yang
mendorong pembiayaan yang berbasis bagi hasil dengan skim jual beli
bank mendapatkan keuntungan yang terbesar tentu berasal dari
keuntungan murabahah. Faktor–faktor itulah yang membuat banyak
perbankan syariah lebih suka untuk menerapkan konsep pembiayaan
murabahah karena paling sederhana. Akan tetapi pembiayaan murabahah
ini justru menimbulkan permasalahan baru, karena pada akhirnya
menimbulkan salah persepsi di kalangan masyarakat bahwa pembiayaan
murabahah yang ada di perbankan syariah sangat mirip dengan sistem
pinjaman kredit bank konvensional yang menghitung bunganya secara
fixed/flat rate, terutama karena adanya faktor mark-up yang menggunakan
126
Wawancara Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 03 Juli 2017.
suku bunga sebagai patokan, atau benchmark sehingga perbankan
syariah bisa bersaing dengan bank-bank konvensional yang berbasis
bunga. 127
Sistem penentuan margin pada perbankan syariah, meskipun
dikatakan nilai marginnya tetap pada nilai angsuran pertahun dan tidak
terpengaruh pada fluktuasi tingkat bunga, namun pada kenyataannya
margin yang ditetapkan bank syariah terlihat lebih besar nilainya jika
dibandingkan dengan tingkat bunga pada perbankan syariah. Bahkan
“seolah-olah” penetapan persentase margin perbankan syariah seperti
hendak menyamakan dengan tingkat fluktuasi suku bunga di masa depan.
Hal ini jelas dari kutipan penulis yang dipaparkan dalam penelitian
Nizamul Alim yang meneliti tentang ekspektasi pada pembiayaan bank
syariah. Dari wawancara yang dituliskan langsung dalam penelitiannya
tersebut salah seorang narasumber yang dalam hal ini adalah nasabah
yang melakukan pembiayaan menyatakan:
Saya rasa tidak ada bedanya, malah hitungan bagi hasil plus biaya administrasi di total lebih besar dari bunga kredit seperti di bank konvensional. Setiap bulan saya selalu membayar dengan jumlah rupiah yang sama sebagai konsekuensi akad kesepakatan keuntungan yang terjadi pada saat akad. Padahal usaha yang saya lakukan kadang satu bulan belum menerima pendapatan karena masih menjadi piutang.128
Namun selain dua faktor terhadap sisi permintaan nasabah pada
pembiayaan murabahah ada faktor lain yang turut mempengaruhi
terhadap pembiayaan murabahah yaitu alasan karena keyakinan
menjalankan Syariat Islam dan memulai sesuatu dari yang baik dan halal
dan menentramkan di bank syariah, sebagaimana wawancara bersama
Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah sebagai berikut:.
Kehadiran perbankan syariah yang berkiblat pada ajaran Islam di Indonesia, memberi peluang dan pangsa pasar yang lebih besar untuk
127
Mohamad Heykal, Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penetapan Margin Murabahah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah, Studi Kasus PT Bank Syariah Mandiri, ((Purwokerto Unsued, 2010), hal. Xxxx. 128
Nizarul Alim, StudiKesenjangan Ekspektasi (Expectation Gap) Pada Pembiayaan Syariah: Pendekatan Kualitatif-Interpretatif. ((Purwokerto Unsued - Tidak Dipublikasikan. 2010), hal. 23.
berkembang dan banyak masyarakat yang menganggap bahwa sistem bagi hasil pada bank syariah tidak berbeda dengan sistem bunga yang dijalankan perbankan konvensional. Oleh karena itu saya meminjam dan melakukan pembiayaan apapun namaya dengan alasan memanfaatkan jasa perbankan syariah semata-mata karena faktor menjalankan syariat Islam dan ini menjadi motivasi bagi masyarakat tidak lagi memiliki perspektif yang sempit dalam memandang kinerja perbankan syariah .129
129
Wawancara Marwan Sodik selaku Nasabah Bank Jambi Syariah pada tanggal 03 Juli 2017.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah
dikemukakan pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa:
1. Dalam proses penerapan yang dilakukan bank 9 jambi syariah yang terjadi
adanya kesepakatan awal, dimana nasabah meminta kepada bank untuk
melakukan pendanaan uang berupa pembiayaan dan pembelian barang atas
kehendak nasabah sendiri melalui akad wakalah disertai dengan pemberian
surat kuasa dengan pemindahan kuasa atau mandat kepada nasabah, kemudian
bank melakukan pengkreditan uang kepada nasabah atas barang yang akan
dibeli hingga telah dibeli oleh pihak nasabah kepada pihak supplier, dengan
tetap mempertahankan hak barang atas nama bank dengan tetap
memperhatikan fungsi asli dari akad wakalah tersebut, berfungsinya akad
dalam pemberian kuasa, kemudian barang diserahkan nasabah kepada bank
setelah itu baru terjadi akad murabahah setelah akad wakalah selesai dilakukan.
Dimana bank 9 jambi syariah dan nasabah melakukan transaksi barang secara
murabahah yaitu dengan kesepakatan pembayaran secara cicilan atau tangguh.
Maka kepemilikan dan resiko atas barang beralih ke pihak nasabah. sehingga
tidak ada fee atau upah didalam akad tersebut. Adapun pembiayaan syariahnya
berupa penyediaan dana dalam bentuk mudharabah, musyarakah dalam bentuk
musyarakah mutanaqisah, ijarah dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, jual
beli murabahah, salam dalam bentuk salam paralel, dan istishna, qordh, dan
transaksi multijasa dan modifikasi akad pembiayaan murabahah di bank jambi
syariah.
2. Pada konsep kepatuhan syariah dalam proses pembiayaan murabahah
di Bank Jambi Syariah dilihat dari konteks modifikasi akadnya menurut
analisa penulis memiliki re-interpretasi, permintaan atas penyediaan
pembiayaan adalah nasabah dan keinginan atau permintaan untuk membeli
atau mencari barang itu sendiri adalah nasabah dalam konteks ini tidak ada fee
dalam akad benar adanya sehingga di sebut “ murabahah bil wakalah non bil
ujroh” dikarenakan nasabah yang menggunakan jasa bank, dan menurut
kepatuhan syariah ini tidak menyalahi syariah Islam, dan masih dalam
kesesuaian prinsip-psinsip syariah (shariah complience). karena dalam
fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 Tanggal 1 April 2000 tentang
murabahah, sebagai landasan syariah transaksi murabahah adalah
sebagai berikut: pada bagian pertama angka 9 disebutkan bahwa jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang
secara prinsip, menjadi milik bank. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan penerapan akad pembiayaan
murabahah di Bank 9 Jambi Syariah telah sesuai dengan fatwa MUI
dan memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah (shariah complience).
3. Faktor yang mempengaruhi motivasi nasabah dalam melaksanakan akad
pembiayaan murabahah di anataranya: Pertama, nasabah memperoleh barang
yang diinginkannya melalui pembiayaan dari bank. Kedua, akad pembiayaan
murabahah merupakan akad pembiayaan yang minim resiko bagi nasabah
dibanding produk yang lain. Ketiga, nasabah merasa dalam proses pembiayaan
akad murabahah proses administrasi sederhana, simpel, mudah bertransaksi,
cepat diproses, dan menjalankan amanah. Keempat, pelayanan yang diberikan
pegawai Bank secara optimal, santun dan ramah serta transparansi dengan
memberikan bimbingan dalam setiap prosedur pembiayaan yang dijalankan
oleh pihak nasabah. Kelima, Nasabah dapat mengangsur pembayaran dengan
jumlah angsuran yang tidak akan berubah pada masa perjanjianya. Keenam,
faktor primordial yang paling menentukan adalah adanya pemanfaatan jasa
perbankan syariah yang semata-mata karena bank menjalankan sistem akad
pembiayaan dengan berbasis syariah.
B. Saran-saran
Sebagai saran-saran untuk menyempurnakan penelitian ini, harapan
penulis kepada pembaca menyarankan untuk lebih dapat mempromosikan produk
akad pembiayaan murabahah yang berdasarkan syariah, sehingga masyarakat
yang ingin melakukan jual beli murabahah tidak ragu-ragu. Adapun kepada pihak
Bank Jambi Syariah agar lebih memperhatikan tekhnis kontrak akad yang dibuat,
agar masyarakat dapat memahami proses-proses yang harus dilalui dalam
pembiayaan jual beli murabahah.
Hal tersebut tidak terlepas pproses sistematika penerapan murabahah
dalam Bank Jambi Syariah dimana murabahah yang dikenal dalam bank syariah
dan dengan dukungan fatwa yang telah dikeluarkan Dewan Syariah Nasional MUI
telah melegalkan bentuk transaksi yang mengalami inovasi ketika diterapkan
dalam perbankan syari‟ah. Hal ini disebabkan berbagai ketentuan yang ada, selain
ketentuan perbankan, juga belum mengakomodir sifat-sifat yang ada dalam
murabahah, baik ketentuan hukum maupun perpajakan. Usaha ini memerlukan
pengertian dan pemahaman semua pihak tentang manfaat dan keunggulan
transaksi ini dibanding transaksi dalam perbankan konvensional.
Apabila tidak demikian, maka keunggulan dan manfaat perbankan syari‟ah
bagi masyarakat dan ekonomi nasional jadi tidak nampak, karena perbankan
syariah bukan diperuntukkan hanya kalangan orang muslim saja, tapi juga berlaku
bagi orang non Muslim. Hal ini membuktikan bila apa yang diputuskan oleh fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI benar-benar telah memperhatikan aspek hukum
dan kemanusiaan dengan mengedepankan kemaslahatan umat manausia.
C. Kata Penutup
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, akhirnya tesis ini dapat
terselesaikan, dengan harapan semoga apa yang telah penulis sampaikan dalam
tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan khususnya bagi penulis
sendiri. Sekiranya terdapat kekurangan dalam tulisan ini, baik dalam pembahasan
isi, bahasa maupun metode penulisan. Hal itu dikarenakan oleh keterbatasan dari
kemampuan penulis untuk memberikan yang terbaik, karena penulis hanyalah
seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan atau kekhilafan.
Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan
memberikan bantuan secara moril maupun materil kepada penulis, sehingga tesis
ini dapat terselesaikan dengan baik dan dengan harapan mendapat Ridho dari
Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
B. Buku
Al-Quran dan Terjemahan, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta:
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur‟an, 2001.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
2007.Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:
Raja Grafindo, 2004.
Alaudin Al-Kasani, Badai’ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syara’i, Jilid, IV, Beirut:
Darul Ilmi, tt..
Al-„Imrâni, Al-Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Beirut:: Darul Qalam, tt.
A. Djazuli dan Yadi Yanuari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan), Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-„Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-
Murakkabah, Beirut: Darul Ilmi, tt.
Abdullah Saeed, Bank Syariah Studi Kritis Tentang Riba Dan Bunga, terjemahan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
A. Maslow, Motivation nad Personality, New York: Harper, 1954.
Bank Indonesia, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Jakarta: Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006.
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Yogyakarta: UII-Press, 1990.
B. Berelson and G. Stainer, Human Behavior: An Inventory of Scientific
Findings, New York: Harcaurt Brace 1964.
Burhanuddin Susanto, Tingkat Penggunaan Multi Akad Dalam Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fakultas Syari’ah UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang,Jurnal, al-Ihkam, Vol .1 1 No.1, 2016.
Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, Catatan Kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia, Banten, Shuhuf
Media Insani, 2011.
C.S.T Kamsil, dkk, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-, 2002.
Citra Dwiratih Aviza, Factor Yang Mempengaruhi Keputusan Mitra Dalam
Memilih Menggunakan Produk Pembiayaan Murabahah Di BMT Berkah,
Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Dwi Suwiknyo, Analisis Laporan Keuangan Perbankan Syariah, Yogyakarta:
Pustaka.Pelajar, 2010.
Fatwa Dewan Syariah Nasional sesuai dengan ketentuan No.DSN-MUI
No.04/DSN-MUI /MUI/IV/2000.
Fatwa Dewan Syariah Nasional sesuai dengan ketentuan No. 34/DSN-
MUI/IX/2002.
Fatwa Dewan Syariah Nasional sesuai dengan ketentuan No.: 84/DSN-
MUI/XII/2012.
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekskstual, Cet. 1, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
H. Masyhudi, Asset Liability Management Menyiasati Risiko Pasar dan Risiko
Operasional dalam Perbankan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004.
.
Hasanudin Maulana, Modifikasi Akad Dalam Transaksi Kontemporer, Jurnal
akses 19 April 2017.
Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Imamul Arifin, Membuka Cakrawala Ekonomi, Jakarta: Setia Purna Inves 2007.
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal asy-Syamiyin Jil. 4,
Beirut,: Dar-Al-Kutub Al-Ilmiah), Terj. Ahmad Muhammad Syakir, tt
Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2002.
Karnaen Perwaatmadja, Prinsip Operasional Bank Syariah, Jakarta : Risalah
Masa, 1992.
Liaquat Au Khan Niazi, Islamic Law of Contract, Pakistan: Research Cell Dyal
Sir Trust Library, 1990.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 1994.
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta:
UII Press, 2004.
Mohammad Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzab, Semarang: Asy-Syifa, 1993.
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, Beirut:: Darul Qalam, 1988.
Muhammad Firdaus NH, dkk, Konsep & Implentasi Bank Syariah, Jakarta:
Renaisan, 2005.
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank
Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Muhammad. Manajemen Pembiayaan Mudharabah di bank Syariah strategi
mernaksimalkan Return dan meminimalkan risiko Pembiayaan di Bank Syariah
Sebagai Akibat Masalah Agency, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah (Panduan Teknis
Pembuatan Akad Atau Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), Yogyakarta:
UII Press, 2009.
Muhammad, Audit dan Pengawasan Bank Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2010.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo, 2015.
Mohamad Heykal, Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penetapan
Margin Murabahah Untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah, Studi Kasus
PT Bank Syariah Mandiri, Purwokerto: Unsued, 2010.
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia; Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Yogyakarta: cet.I: UII Press, 2005.
M. Nizarul Alim, Muhasabah Keuangan Syari’ah, Solo, Jembatan Ilmu, 2011.
Noeng Muhadjir., Metode Penelitian Kualitatif, cet 8, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000.
Nazih Hammad, Al-Uuqud al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islamy, Damaskus: Dar
al-Qalam, 2005.
Nizarul Alim, Studi Kesenjangan Ekspektasi (Expectation Gap) Pada
Pembiayaan Syariah: Pendekatan Kualitatif-Interpretatif. Purwokerto: Unsued,
2010.
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah, Jakarta: PKES
Publishing,
2008.
Rahmadi Ustman, Produk Dan Akad Perbankan Syariah Di Indonesia
implementasi dan Aspek Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakri, 2009.
Rachmat Syafe‟i, MA. Fiqh Muamalah, Bandung: Setia, 2000.
Reza Perdana Putra Rachmat, Dewan Pengawas Syariah (DPS) Atas Kerugian
Bank Syariah Dalam Tinjauan Hukum Korporasi”, Program Magister Ilmu
Hukum Ekonomi Universitas Indonesia), jurnal, www//http//com.id. 2016.
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank
Kaum Neorevivalis, Terj. Jakarta: Paramadina, 2004.
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba
and its Contemporary Interpretation. Leiden-New York-Koln: E.J. Brill, 1996.
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999.
Syukri Isha‟, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia; Dalam Perspektif Fikih
Ekonomi, Cet.1, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012. Hal. 276
Slamet Riyadi, Banking Assets and Liability management, Jakarta, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2006.
Sri Nurhayati-Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat,
2011.
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Dalam Perspektif Fikih Ekonomi,
Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012.
Suharsimi Arikunto., Prosedur Penelitian Sebagai Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Sugiyono., Prosedur Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Tariqullah Khan dan Habib Alimed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah. Terj. Pentama, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Timur Kuran, The Economic System in Contemporary Islamic Thought:
Interpretation and Assesment, Vol. 2 no. 1International jurnal of Meddle East
Studies, 1986.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai
Pustaka, 1996.
Undang-Undang Perbankan Syariah. 21 tahun 2008.
Veithsal Rivai, Islamic Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi
Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa,
Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,
2012.
Wiroso. Jual Bell Murabahah, Yogyakarta: UlI Press, 2005.
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem
Hukum Nasional Di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2010.
Zainul al-Ihkam, Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia :
Peluang dan Tantangan, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, - Volume XI No.
2009.
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2003..
C. Internet
www,bankjambisyariahblogspot.com/2016/03/bjb-syariah.html
http://www. Taqhiyuddin, Tinjauan Umum Tentang Murabahah, akses tgl. 24
April 2017.
http://www. Sofyan al-Hakim, Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah Di
Indonesia.Pdf akses tgl 6 Maret 2017
http://documentbankjambisyariahblogspot.com/2016/03/bjb-syariah.html.
http://fahmi-salim.blogspot.co.id/2012/06/pidato-pengukuhan-dr-hc-kh-maruf-
amin. html. Burhanuddin akses tgl.25 April 2017.
http://www. Burhanuddin Susanto, Tingkat Penggunaan Multi Akad Dalam Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fakultas
Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, jurnal, al-ihkam, Vol .1 1 No.1
Juni 2016, akses tgl 18 april 2017
http://www. Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer
Pada Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia:Konsep dan Ketentuan
(dhawabith) dalam Perspektif Fiqh,Dosen FSH-UIN Syahid dan IIQ Jakarta,
akses tgl. 11 Maret 2017
http://www. Ekonomisyariah / download / artikel/makalah /20IAEI_Multiakad_
hasanuddin. pdf.
http://www. Multiakad Menurut Hukum Islam dan KUH Perdata, jurnal,
repository.unisba.ac.id,. akses 27 Maret 2017.
http://hasn87.blogspot.co.id/jurnal/2013/11/blog-post_5.html Nur Hasan, Hybrid
Contract, akses tgl 8 April 2017.
http://www. Ustadz Kholid Syamhudi, Lc, Artikel. Ekonomisyariat.
com.blogspot.co.id /jurnal/2013/11/blog-post
http://hasn.blogspot.co.id/jurnal/2013/11/blog-post_5.html Hadist Shahih HR.
ahmad.https ://ahsanaproperty.com /2015/08/25/ hukum-menggabungkan- dua-
akad- dalam- satu- akad- al-uqud- al-murakkabah. Akses tgl. 3 April 2017
Http/www.com./Undang-Undang_dan_Peraturan_Perbankan_Syariah, Mengatur,
Mengawasi, Melindungi, Untuk Industri Keuangan Yang Sehat/Ojk.Pdf akses tgl.
8 Sep 2016.
http://dedesandi69.blogspot.com/2013/03/ pengawasan_26.html. Akses tgl 10
Februari 2015.
Http://Download. Portalgaruda. Org/Article. Php.Article = Kepatuhan - Syariah-
Shariah-Compliance-Inovasi-Produk-Bank-Syariah-Di-Indonesia Akses tgl 13
februari 2016.
http.www.repository.unisba.ac.id, Multi Akad Dalam Hukum Islam. Akses tgl. 3
April 2017.
http://fahmi-salim.blogspot.co.id/2012/06/pidato-pengukuhan-dr-hc-kh-maruf-
amin. html. Burhanuddin tgl.25 april 2017.
http://Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer Pada
Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia:Konsep dan Ketentuan (dhawabith)
dalam Perspektif Fiqh,Dosen FSH-UIN Syahid dan IIQ Jakarta, akses tgl. 11
Maret 2017 atauhttp//www. Ekonomisyariah / download / artikel / makalah /
20IAEI_Multi_Akad_hasanuddin.pdf
http/www.com/Keharusan Akad Pembiayaan Murabahah Al-Wakalah Dalam
Proses Pemberian Pembiayaan Warung Mikro Di PT. Bank Syariah Mandiri
Cabang Medan/jurnal.pdf. Askes 9 Maret 2017.
http/www.com/Taqhiyuddin, Murabahah Bil Wakalah, dan Penjelasan Fatwa
DSN MUI No.4/DSN-MUI/Iv/2000 Tentang Murabahah. akses tgl. 27 April
2017.
http://pdfsearchpro.com/bank-syariah-pdf.html, diakses: 16 April 2015.
http://pdfsearchpro.com/-Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young,
peran DPS belum optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya
pengawasan DPS memiliki dampak terhadap risk manajemen,.pdf.
DAFTAR KEY INFORMAN
No Nama Informan Jabatan
1. Hermanto Harun Ph.D Ketua Fatwa MUI Kota Jambi
2. Dr. A.A. Miftah, M.Ag DPS Bank Jambi Syariah
3. Drs. Tarmizi Sibawaihi .,M.HI
DPS Bank Jambi Syariah
4. Marlina Susanti., SE Analis Pembiayaan Bank Jambi Syariah
5. Sururuddin Nasabah Bank Jambi Syariah
6. Marwan Sodik Nasabah Bank Jambi Syariah
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
Judul : Penerapan Modifikasi Akad Pembiayaan Murabahah di Bank Jambi Syariah.
DAFTAR WAWANCARA
1. Kapan sejarah berdirinya Bank Jambi Syariah.
2. Bagaimana struktur organisasi serta tugas masing-masing pimpinan
dan karyawan di Bank Jambi Syariah.
3. Berapa macam bentuk sistem pembiayaan pada Bank Jambi Syariah.
4. Apakah yang menjadi kriteria pemohon dalam mengajukan
pembiayaan akad murabahah di Bank Jambi Syariah.
5. Bagaimana sistematika dalam proses modifikasi penerapan
pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah dan bagaimana dalam
perspektif hukum syariah.
6. Apa saja faktor yang mempengaruhi nasabah tetap menggunakan
pembiayaan murabahah di Bank Jambi Syariah.
Daftar riwayat hidup CURRICULUM VITAE
Nama : Indo Makkatapsyah Tempat tanggal lahir Tempat Tanggal Lahir : Inhil, 12 juli 1989 Jenis kelamin : Perempuan No. Hp : 0852-6667-2323 Alamat : Villa Duren Mas F.14 Simp. Sei. Duren Mendalo. Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Status : Kawin Email.com : [email protected] Pendidikan formal : SDN 006 Inhil
MTsN.1 Inhil
SMAN.1 Inhil
S.1 UIN Sts Jambi
Prestasi : Juara 1 olahraga tenis meja tingkat kacamatan.
Juara 2 olahraga tenis meja tingkat kabupaten (porseni)
Organisasi Sekretaris osis MTsN 1 InhiL Tahun Ajaran 2003-2005
Sekretaris osis SMAN 1 InhiL Tahun Ajaran 2006-2008
Demikian curriculum vitae yang saya buat dengan data yang sebenar-
benarnya. Hormat saya, Indo makkatapsah NIM. MLK. 15.2771