Upload
duongdat
View
253
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENERAPAN PENDEKATAN ECLECTIC
DALAM PEMBELAJARAN PPKN
(Studi Kasus di SMP N 7 Surakarta)
Skripsi
Oleh:
NIKEN BUDININGTYAS
NIM: K6405004
PROGRAM PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik serta sistem
pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta
didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga yang lain. Pendidikan
yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit, harus
dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
peserta didik secara utuh.
Guru yang efektif ialah guru yang memiliki keunggulan dalam mengajar
yakni sebagai fasilitator, unggul dalam menjalin suatu hubungan atau relasi
maupun komunikasi dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, serta
memiliki kelebihan dalam membangun relasi serta berkomunikasi dengan pihak
lain seperti orang tua, komite sekolah maupun pihak terkait yang berkompeten
dalam segi administrasi sebagai guru, juga mampu bersikap profesional. Sikap-
sikap professional itu meliputi keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan
untuk mengikuti perkembangan zaman.
Pada masa yang lampau kelas yang dipandang baik adalah kelas yang
tenang, murid-murid selalu patuh pada guru, duduk tenang, diam, memperhatikan
guru, mencatat dan menghafalkan meteri pelajaran dengan baik. Namun kini
gambaran kelas yang baik telah berubah, dimana ketertiban kelas bukan
merupakan tujuan, melainkan merupakan kondisi untuk mencapai tujuan. Kelas
yang baik adalah kelas yang didalamnya murid-murid dapat melakukan kegiatan
atau aktivitas belajar yang meliputi aktivitas mental, fisik dan emosional secara
optimal dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Aktivitas tersebut seperti
berfikir, mengingat, berfantasi, berdiskusi, kerja kelompok, mengadakan
percobaan atau eksperimen, menahan atau mengendalikan diri dalam pergaulan
dengan teman, saling menghormati sesama murid dalam kelas dan lain
3
sebagainya.
Perubahan tersebut membawa pula perubahan pada letak tanggung jawab
belajar. Apabila dahulu adanya tanggungjawab belajar terpusat hanya pada guru,
kini murid yang harus belajar sendiri. Tugas guru adalah sebagai fasilitator dan
motivator belajar murid. Maka keberhasilan belajar murid ditentukan bersama
oleh murid itu sendiri dan guru.
Menyikapi hal tersebut, kini guru harus lebih kreatif dalam kegiatan
belajar mengajar sebagai fasilitator dan motivator yang baik, yakni dengan
pengelolaan kelas yang tepat sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran,
sehingga dapat menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa
didik, agar keberhasilan proses belajar mengajar dapat tercapai. Apalagi dijaman
globalisasi seperti sekarang ini, persaingan dalam bidang pendidikan semakin
kompetitif. Berkenaan hal tersebut, para akademisi tidak memiliki pilihan lain
selain berjuang meraih peluang untuk bisa mengatasi tantangan globalisasi yang
beraneka ragam dengan menjadi pendidik lebih kreatif dan inovatif. Hal ini
didukung oleh banyaknya ahli luar negeri yang membahas hal tersebut dan
menuangkannya dalam journal internasional seperti yang tercantum dibawah ini:
Management education has been undergoing a major transformation. One of the characteristics of this transformation is internationalization. This article has briefly discussed various dimensions of internationalization of management education. It has also attempt to identify major trends in the internationalization process, together with their implications of business management education. Given the global restructuring of politics as well as economies, it appears that educational institutions have no choice but to rise to the challenge of globalization. It appears that educational institutions and other providers of management education have no choice but to rise to the challenge of global competition. Internationalization requires a new mindset; it requires both commitment and a reasonable level of competence and, among other things, at least a minimum level of competence in international business on the party of faculty as well as students. However, different institutions may meet this requirement in different ways. For example, it may be done “by inserting an international business course into the core curriculum or by demanding that an international component be taught in every course offered. Similarly, different modes and modalities for delivery are also possible. (Basu Sharma and Judy Ann Roy, 1996:5-13)
4
Pengelolaan kelas harus dikuasai oleh seorang guru sebagai pengajar dan
pendidik demi tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar.
Pengelolaan kelas sering disebut sebagai Managemen Kelas. Menurut Sobri, Asep
Jihad, dan Charul Rochman (2009:2), pengelolaan adalah “Serangkaian kegiatan
merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan
mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber
daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan organisasi”.
Dari uraian tersebut, maka yang dimaksud pengelolaan kelas adalah
penyelenggaraan kelas, pengaturan kelas atau pengurusan kelas, yaitu
kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam menyelenggarakan kelas. Hal ini
sesuai dengan pengertian pengelolaan kelas oleh Sobri, Asep Jihad dan Charul
Rochman (2009:46), yaitu: “Kegiatan mengelola kelas merupakan upaya yang
dilakukan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agar tujuan
pembelajaran bisa tercapai secara efektif dan efisien. Hal ini menyangkut strategi
pembelajaran, pemanfaatan media, tempat duduk dan lain-lain”.
Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih
dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan
efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar memahami pola-pola
pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai
alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa pendekatan tersebut menurut weber
dalam buku susunan Iskandar, “diklasifikasikan kedalam tiga pengertian, yaitu
berdasarkan pendekatan otoriter (autority approach), pendekatan permisif
(permissive approach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.” (2009:211)
Pendapat tersebut senada dengan Martinis Yamin dan Maisah (2009:65-
67) yang mengemukakan bahwa, “Terdapat sejumlah konsep tentang pengelolaan
kelas yang sebagian diantaranya tidak lagi dianggap memadai, misalnya
pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas semata-mata sebagai upaya
untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan permissive yang terlalu lemah. Bagi
yang tidak memusatkan perhatian pada usaha ini akan dikemukakan tiga
pandangan yang tampaknya memberi harapan, baik dari penalarannya maupun
5
berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga
pendekatan tersebut adalah: Behavior-Modification Approach yang
mengemukakan asumsi bahwa semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang
“kurang baik” merupakan hasil proses belajar. Socio-Emosional-Climate
Approach yang mengasumsikan bahwa dalam proses pembelajaran yang efektif
mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat hubungan
interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara peserta didik. Serta
Group Processes Approach yang memiliki asumsi pokok bahwa pengalaman
belajar sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, sehingga tugas guru
yang utama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok
yang produktif dan kohesive.”
Apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang telah
diuraikan tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap
objek yang sama. Oleh Martinis Yamin dan Maisah, penerapan ketiga pendekatan
tersebut dinyatakan sebagai penerapan pendekatan eclectic, “…seyogyanya
seorang guru menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach).” (2009:68)
Kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris – Indonesia , memiliki arti
sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai sumber”. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau Eclectic Aproach adalah, suatu cara
yang digunakan sebagai jalan untuk mencapai suatu tujuan dengan memilih hal
yang paling sesuai dengan kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang
berkaitan.
Seorang guru seyogyanya menggunakan pendekatan eclectic dikarenakan
dengan menerapkan pendekatan ini dalam proses pembelajaran, maka akan
mempermudah guru dalam menyampaikan materi pelajaran yang disampaikan.
Sebab penerapan pendekatan ini, menuntut guru untuk lebih pro-aktif dalam
mengenal karakteristik peserta didik. Sehingga dengan lebih mengetahui karakter
peserta didik, seorang guru akan lebih mudah dalam memilah dan memilih
metode mengajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam suatu kelas
yang setiap individu-nya memiliki karakter yang beragam. Dengan penerapan
6
pendekatan eclectic yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maka tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Untuk maksud itu seorang guru diharuskan menguasai berbagai
pendekatan dalam pengelolaan kelas yang potensial. Dalam hal ini pendekatan
yang dimaksud adalah pendekatan perubahan tingkah laku, penciptaan iklim
sosio-emosional dan proses kelompok. Dan untuk dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan, tentunya seorang guru diharuskan mampu memilih
pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik dalam
masalah pengelolaan kelas.
Hal tersebut seperti yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah
(2009:68) bahwa, “Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan
pengelolaan yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik
yang baik dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik;
pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran
tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta
didik serta antar peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila
seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.”
Pendekatan eclectic adalah pendekatan yang relevan untuk diterapkan
dalam dunia pendidikan saat ini. Karena melihat fenomena yang terjadi sekarang
ini, banyak guru melalaikan tugas mereka dalam membentuk penerus bangsa yang
unggul baik dalam prestasi maupun budi pekerti. Mayoritas dari mereka hanya
merasa berkewajiban untuk mentransfer ilmu dan lalai dalam hal internalisasi
nilai-nilai yang positif untuk membentuk karakter peserta didik yang unggul
dalam budi pekerti. Untuk itulah diperlukan pendekatan eclectic dalam
pengelolaan kelas, karena penerapan pendekatan tersebut menuntut guru agar
lebih mengenal dan mendalami karakter peserta didik, sehingga guru lebih mampu
memilah dan memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Dengan penerapan pendekatan eclectic yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, maka akan memudahkan guru dalam hal internalisasi nilai-nilai yang positif
7
agar tingkah laku siswa yang baik dapat terus ditingkatkan, sehingga budi pekerti
yang luhur dari peserta didik dapat diwujudkan. Dan penerapan pendekatan
eclectic juga dapat membantu guru dalam mencapai tujuan belajar yang efektif
dan efisien karena secara tidak langsung membuat siswa lebih menurut dan patuh.
Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan eclectic
adalah pendekatan yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena tujuan utama dari penyampaian
materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah menciptakan karakter siswa didik
yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik tingkah laku
sehari-hari.
Dari observasi yang telah penulis lakukan di SMP N 7 Surakarta, terbukti
bahwa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, pengajar menggunakan
Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Pembelajaran, sehingga relevan untuk
penulis jadikan sebagai tempat penelitian.
Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan sebelumnya oleh Ade
Tatang M, yang dimuat dalam sebuah situs di internet pada 13 Januari 2009 yang
berjudul “Berbagai macam Pengelolaam Kelas dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan RPP”. Dalam jurnal tersebut, disebutkan beberapa pendekatan-
pendekatan dalam Pengelolaan Kelas yaitu:
1. Pendekatan Pengubahan tingkah laku
Yang mengatakan bahwa semua tingkah laku baik yang sesuai
maupun tidak sesuai adalah hasil belajar.
2. Pendekatan Iklim Sosio Emosional
Yang didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pengelolaan kelas
yang efektif merupakan fungsi dari hubungan yang positif antara guru
dengan siswa dan antara siswa dengan siswa, dengan guru sebagai penentu
utama hubungan interpersonal dan iklim kelas.
3. Pendekatan Proses Kelompok
Yang memiliki empat asumsi dasar, yaitu:
a. Kegiatan sekolah berlangsung dalam suasana kelompok,
8
b. Tugas pokok guru adalah mempertahankan dan mengembangkan
suasana kelompok yang efektif dan produktif,
c. Kelas adalah suatu sistem sosial yang memiliki ciri-ciri
sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial masing-masing siswa,
d. Tugas pengelola kelas adalah mengembangkan dan
mempertahankan kondisi yang dimaksud.
Pendekatan eclectic dilaksanakan oleh guru dengan jalan mewujudkan
suasana kelas yang menyenangkan, interaktif, komunikatif dan mengutamakan
budaya tutur yang santun, agar keteladanan guru dapat tertanam secara otomatis
sehingga menjadi karakter yang mempribadi pada setiap murid. Seperti yang
terjadi di SMP N 7 Surakarta, dengan adanya guru PPKn yang mengajar
menggunakan pendekatan eclectic, telah membuat siswa memiliki kesadaran diri
untuk disiplin terhadap setiap peraturan yang ada tanpa ada paksaan dari pihak
manapun. Ini membuktikan bahwa cara guru menyampaikan materi pelajaran
dengan membiasakan budaya tutur yang santun serta memberi teladan bagi
peserta didik, lebih efektif dalam menanamkan karakter disiplin diri yang
mempribadi pada diri peserta didik, daripada menerapkan peraturan dengan sanksi
yang keras tanpa toleransi. Contoh keteladanan guru di SMP N 7 Surakarta adalah
mereka senantiasa disiplin dalam managemen waktu, dan senantiasa
menyampaikan materi pelajaran dengan bahasa yang menyenangkan dan
membuat siswa tertarik dengan materi yang disampaikan. Setiap pagi sebelum
memulai pelajaran, guru yang mengajar tidak lupa memberikan motivasi-motivasi
bagi peserta didik agar lebih bersemangat dalam menjalani kegiatan belajar
mengajar. Hal ini sesuai dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI
(Pasal 40, Huruf a dan c) yang berbunyi:
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :
a) Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, dan dialogis;
c) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan
kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
9
Dalam PP, No 19 Tahun 2005, tentang STANDAR NASIONAL
PENDIDIKAN, BAB IV (Pasal 19, ayat 1), disebutkan bahwa “Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik”.
Secara implicit keberhasilan belajar akan di kaji dari sudut pandang
“Disiplin Kelas”, karena merupakan suatu permasalahan yang penting dalam
pengelolaan kelas yang merupakan salah satu kriteria dalam menilai kualitas
keberhasilan mengajar seorang guru. Ini dikuatkan oleh pendapat:
The foremost concern of new teachers is managing the classroom effectively, but, too often, managing effectively is seen as simply dealing with misbehavior. To view good classroom management as a set of strategies for disciplining student is to misunderstand the basis on which good management rests. Effective classroom managers are distinguished by their success in preventing problems from arising in the first place, rather than by special skills in dealing with problems once they occur. Good management practice begins on the first day of school with carefully organized, systematic plans for accomplishing classroom tasks and activities. Good managers also make clear their expectation for students work and behavior, rules and procedures, routines for checking and monitoring student academic work, procedures for grading and giving feedback to students, incentives and deterrens, methods for grouping student, and a whole variety of seemingly minor but essential procedures. Proactive planning helps avert behavior problems by providing students with ways to be successful. (Carolyn M. Evertson, dalam Ornstein, C.Allan, 1990:350)
Artikel tersebut memperlihatkan bahwa hal utama yang harus dikuasai
oleh seorang guru yang masih baru adalah kemampuan dalam mengelola kelas,
karena ketika menghadapi situasi yang baru seorang guru mayoritas memiliki
tantangan dalam hal mengendalikan siswa dan menciptakan iklim yang kondusif
dalam kelas. Akan tetapi mayoritas guru meremehkan hal ini dan menganggap
pengelolaan kelas yang baik cukup dilakukan dengan memberikan hukuman dan
tindakan tegas pada peserta didik yang melanggar peraturan.
Untuk melihat pengelolaan kelas yang baik sebagai satu paket strategi
10
untuk mendisiplinkan siswa, adalah dengan tidak menyalah-artikan dasar utama
yang merupakan tujuan dari pengelolaan yang baik. Pengelola kelas yang efektif
dibedakan oleh kesuksesannya dalam mencegah berkembangnya suatu
permasalahan sejak pertama terjadi, daripada oleh kemampuan khusus yang
dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada suatu ketika.
Praktek pengelolaan yang baik dimulai sejak hari pertama di sekolah, dengan
pengorganisasian yang hati-hati, perencanaan yang sistematis untuk
menyelesaikan tugas serta aktivitas kelas. Pengelola yang baik juga menyatakan
dengan benar harapannya tentang pekerjaan dan tingkah laku siswa yang
diinginkan, peraturan dan prosedurnya, kebiasaan untuk mengecek dan memonitor
pekerjaan akademik siswa, prosedur untuk meningkatkan prestasi dan pemberian
umpan balik pada siswa, penghargaan dan pemberian ketakutan, metode untuk
mengelompokkan siswa, dan memperhatikan hal-hal yang kecil namun
merupakan prosedur yang penting. Perencanaan yang pro-aktiv dapat membantu
dalam mencegah permasalahan yang timbul dengan menyediakan jalan menuju
kesuksesan bagi siswa.
Keberhasilan pendidikan yang dilihat dari meningkatnya kedisiplinan
siswa yang selaras dengan perkembangan karakter siswa di jaman globalisasi
seperti sekarang ini, juga disetujui oleh beberapa ahli pendidikan yang dituangkan
dalam sebuah journal internasional yaitu:
Thus one of the features of the current higher education environment, as far as management teaching is concerned, is the polarization of teaching and research into increasingly local disciplines and sub-discipline while at the same time extending the boundary of the meta discipline of management to increased knowledge domains in the pursuit of relevance and legitimation. For individual academics this polarization is reflected in the increasingly local focus of their individual subject areas narrow down and increasingly seek legitimation from within their own knowledge domains. Thus increased localization is the direction of polarization for individual academics, whereas for business schools as the whole the polarity is towards increased globalization as the schools compete and recognition through the vaunting of their universal specialism and relevance.The localization of focus for academics as far as teaching is concerned can be seen to be manifest in the increasing number of discipline studied, research and taught in business school, together with the increasing separation of these disciplines from each other. Increasingly these discipline as taught as discrete subject, with
11
little or no overlap between them, and with little perceived relationship and relevance of one to another. (David Crowter and Chris Carter, 2002:268-278)
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis telah mengkaji masalah
pengelolaan kelas sebagai bagian dari pengelolaan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan eclectic, dengan judul “PENERAPAN PENDEKATAN
ECLECTIC DALAM PEMBELAJARAN PPKN (Studi Kasus di SMP N 7
Surakarta)”, sehingga mendapatkan hasil penelitian yang semoga memberi
manfaat, agar mutu pendidikan di Indonesia dapat terus ditingkatkan dari waktu
ke waktu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn
di SMP N 7 Surakarta?
2. Bagaimanakah kendala-kendala pelaksanaan pendekatan eclectic dalam
pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta?
3. Mengapa pendekatan eclectic diterapkan dalam pembelajaran PPKn di
SMP N 7 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan uraian perumusan masalah diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui praktik penerapan pendekatan eclectic dalam
pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dijumpai pada pelaksanaan
pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta.
3. Untuk mengetahui alasan penerapan pendekatan eclectic dalam
pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta.
12
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
Ilmu Pengetahuan Sosial, dan menambah khasanah pustaka.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Bagi penulis, merupakan sarana untuk dapat mengembangkan gagasan atau
pikiran dalam menerapkan teori-teori dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Bagi Program PKn sebagai bahan masukan untuk pengayaan khasanah materi
perkuliahan.
c. Bagi siswa SMP N 7 Surakarta pada khususnya maupun siswa diseluruh
nusantara pada umumnya agar mendapat pengajaran serta pendidikan yang
lebih baik.
13
BAB II
LANDASAN TORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Pendekatan Eclectic
a. Pengertian Pendekatan Eclectic
Pengertian dari “Pendekatan Eclectic”, tentunya tidak terlepas dari
pengertian “Pendekatan” dan “Eclectic”. Pendekatan secara umum dapat
diartikan dengan “cara yang digunakan untuk mendekati atau meraih
sesuatu”.
Sedangkan kata “eclectic” dalam kamus bahasa Inggris–Indonesia,
memiliki arti sebagai kata sifat yaitu, “bersifat memilih dari berbagai
sumber”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pendekatan Eclectic atau
Eclectic Aproach adalah, suatu cara yang digunakan sebagai jalan untuk
mencapai suatu tujuan dengan memilih hal yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan mengambil dari berbagai sumber yang berkaitan.
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Martinis Yamin dan
Maisah (2009:68) yang menyatakan bahwa, “…seyogyanya seorang guru
menggunakan pendekatan eclectic (Eclectic Approach). Untuk maksud itu
seorang guru seharusnya; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan
kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan perubahan tingkah laku,
penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok, serta dapat memilih
pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai dengan baik
dalam masalah pengelolaan kelas. Pendekatan perubahan tingkah laku
dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan adalah
menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik dan/atau menghilangkan
tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan penciptaan iklim
sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah
peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar
peserta didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang
guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.”
12
14
Selain pendapat tersebut, Soedomo Hadi (2005:81) juga
menambahkan bahwa, “Di dalam melaksanakan pendekatan-pendekatan
tersebut, guru tidak harus memilih salah satu pendekatan saja, tetapi dapat
juga mengkombinasikan beberapa pendekatan, sesuai dengan situasi dan
kondisinya. Dalam hal ini berarti guru menggunakan pendekatan eclectic”.
Masih menurut Soedomo Hadi (2005:86), menyatakan bahwa,
“Pendekatan-pendekatan tersebut adalah ibarat sudut pandang yang berbeda
terhadap masalah yang sama. Oleh karena itu, guru harus bersikap eclectic.
Untuk itu harus; Menguasai pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang
potensial (3 pendekatan tersebut) serta dapat menggunakan pendekatan yang
tepat dan melaksanakan prosedur dengan baik dalam masalah pengelolaan
kelas.”
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pendekatan eclectic adalah sebuah pendekatan dalam pengelolaan kelas
yang bersumber dari tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan perubahan
tingkah laku, pendekatan iklim sosio emosional dan pendekatan proses
kelompok, yang dalam penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik.
b. Jenis Pendekatan Eclectic
Dalam pendekatan eclectic terdapat beberapa pendekatan yang
dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai
tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus benar-benar
memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses Belajar
Mengajar (PBM) sebagai alternative terbaik yang dipilih-nya. Beberapa
pendekatan tersebut menurut weber dalam Iskandar (2009:211) ialah,
“…pendekatan otoriter (autority approach), pendekatan permisif
(permissive approach) dan pendekatan modifikasi tingkah laku.”
Soedomo Hadi (2005:66) dalam bukunya yang berjudul
“Pengelolaan Kelas”, menyebutkan bahwa, “Banyak konsep tentang
pengelolaan kelas, di mana sebagian diantaranya telah dianggap tidak
memadai, misalnya; Pandangan otoriter, yang melihat pengelolaan kelas
15
semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib (buku resep,
intimidasi). Dan pandangan permisif, yang memusatkan perhatian pada
usaha untuk memaksimalkan kebebasan siswa. Sedangkan pandangan-
pandangan yang nampaknya memberi harapan, baik dari aspek penalaran
maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui penelitian-penelitian,
dapat diuraikan sebagai berikut; Pendekatan behavior modification,
Pendekatan socio emotional climate, dan Pendekatan group process.”
Pendapat tersebut senada dengan Martinis Yamin dan Maisah
(2009:65-67) yang mengemukakan bahwa, “Terdapat sejumlah konsep
tentang pengelolaan kelas yang sebagian diantaranya tidak lagi dianggap
memadai, misalnya pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas
semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan
permissive yang terlalu lemah. Bagi yang tidak memusatkan perhatian pada
usaha ini akan dikemukakan tiga pandangan yang tampaknya memberi
harapan, baik dari penalarannya maupun berdasarkan informasi yang
diperoleh melalui penelitian-penelitian. Tiga pendekatan tersebut adalah:
Behavior-Modification Approach yang mengemukakan asumsi bahwa
semua tingkah laku, yang “baik” maupun yang “kurang baik” merupakan
hasil proses belajar. Socio-Emosional-Climate Approach yang
mengasumsikan bahwa dalam proses pembelajaran yang efektif
mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam arti terdapat
hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara
peserta didik. Serta Group Processes Approach yang memiliki asumsi
pokok bahwa pengalaman belajar sekolah berlangsung dalam konteks
kelompok sosial, sehingga tugas guru yang utama dalam pengelolaan kelas
adalah membina dan memelihara kelompok yang produktif dan kohesive.”
Apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang
telah diuraikan tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda
terhadap objek yang sama. Oleh Martinis Yamin dan Maisah, penerapan
ketiga pendekatan tersebut dinyatakan sebagai penerapan pendekatan
16
eclectic, “…seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan eclectic
(Eclectic Approach).” (2009:68)
Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan
perubahan tingkah laku perlu digunakan oleh guru bila tujuan tindakan
pengelolaan yang akan dilakukan adalah untuk menguatkan tingkah laku
peserta didik yang baik atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang
kurang baik; pendekatan penciptaan iklim sosio-emosional perlu
dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan
hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta didik;
sedangkan pendekatan proses kelompok perlun dijalankan bila seorang guru
ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
c. Penerapan Pendekatan Eclectic Oleh Guru
Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan
perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun dalam
sebuah artikel di internet yang berjudul “Memahami Perilaku Individu”,
menyebutkan bahwa, “Tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku
peserta didik (behavioral changes). Oleh sebab itu, agar perilaku peserta
didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya harus
dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya
perilaku para peserta didik. Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat
dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: behaviorisme dan
holistik atau humanisme.”
Masih dalam situs yang sama, penjelasan kedua pendekatan
tersebut ialah sebagai berikut, “Mekanisme pembentukan perilaku menurut
aliran Behaviorisme yang memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan
mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu
dalam lingkungan. Dan mekanisme pembentukan perilaku menurut aliran
Holistik (Humanisme) yang memandang bahwa terbentuknya perilaku itu
patilah memiliki suatu tujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif,
tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan
17
suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan.”
Hal tersebut diperkuat oleh gagasan seperti tersebut dibawah ini:
Pengelolaan pendidikan merupakan serangkaian kegiatan merencanakan mengorganisasikan, memotivasi, mengendalikan, dan mengembangkan segala upaya didalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau bisa juga diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan/organisasi pendidikan. (Sobri, Asep jihad dan Charul Rochman, 2009:3)
Sehingga dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa,
pengelolaan pendidikan merupakan proses pencapaian tujuan pendidikan
melalui kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, dan
pengendalian. Dan dalam pengelolaan terhadap siswa, harus memperhatikan
beberapa prinsip dasar seperti yang tersebut dibawah ini:
Dalam mengelola siswa terdapat empat prinsip dasar, yaitu: siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, social ekonomi, minat dan seterusnya, oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan psikomotor. (Sobri, Asep Jihad, dan Charul, 2009:48)
Hal tersebut semakin memberikan sebuah pandangan bahwa dalam
pengelolaan kesiswaan, terdapat sebuah tujuan untuk mengatur berbagai
kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah
dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tujuan pendidikan
sekolah. Dan memang dalam hal pengelolaan kesiswaan, guru akan
memperoleh banyak tantangan dikarenakan keadaan siswa dalam sebuah
kelompok memiliki kemampuan yang beraneka ragam. Hal ini seperti
dipaparkan sebagai berikut:
18
Siswa dalam suatu kelompok kelas biasanya memiliki kemampuan yang beragam, terutama dalam menerima sejumlah pengalaman belajar termasuk didalamnya materi yang harus dikuasainya. Oleh karena itu guru hendaknya memahami tentang karakteristik terutama berkenaan dengan kemampuan belajar. (Sobri, Asep Jihad dan Charul Rochman, 2009:111)
Untuk itulah, setiap guru perlu menguasai perihal psikologi
pendidikan yang dapat diimplikasikan dengan jalan menerapkan pendekatan
eclectic dalam pengelolaan kelas, agar guru dapat dengan mudah
mengetahui karakteristik setiap anak didik yang beragam.
Hal ini senada dengan pernyataan dari Iskandar (2009:1) yaitu,
“Upaya menciptakan proses pembelajaran yang bermutu dan berhasil, dapat
dilakukan dengan mewujudkan perilaku psikologis proses pengajaran dan
pembelajaran antara pendidik dan peserta didik, agar dapat berjalan secara
efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pembelajaran”.
Di dalam proses pengajaran dan pembelajaran terjadi proses (interaksi) antara pendidik dengan peserta didik, dalam interaksi ini terdapat peristiwa psikologis yang dijadikan rambu-rambu oleh para pendidik dalam memperlakukan perserta didik secara efektif dan efisien. Para tenaga pendidik dituntut untuk memahami dan menguasai teori dan aplikasi psikologi pendidikan agar mereka melaksanakan pengajaran dalam proses pendidikan secara berdayaguna dan berhasil guna. (Iskandar, 2009:7)
Sesuai dengan hal tersebut, maka dengan memahami psikologi
pendidikan, seorang guru atau dosen (pendidik) melalui pertimbangan-
pertimbangan psikologisnya diharapkan dapat:
1) Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.
2) Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
3) Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
4) Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
5) Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
6) Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.
7) Menilai atau mengevaluasi hasil pembelajaran yang adil. (Iskandar,
2009:7-8)
19
Pentingnya psikologi pendidikan dalam dunia pendidikan memang
tidak boleh dikesampingkan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika guru
mengetahui perihal psikologi pendidikan secara lebih mendalam. Psikologi
pendidikan memiliki arti seperti tersebut dibawah ini:
Psikologi Pendidikan dapat diartikan sebagai salah satu cabang psikologi yang secara khusus mengkaji perilaku individu dalam konteks situasi pendidikan dengan tujuan untuk menemukan berbagai fakta, generalisasi dan teori-teori psikologi berkaitan dengan pendidikan, yang diperoleh melalui metode ilmiah tertentu, dalam rangka pencapaian efektivitas proses pendidikan. (Akhmad Sudrajat, 2009).
Tanpa pengetahuan dan pemahaman tentang psikologi dalam
proses pendidikan, mustahil proses pengajaran dan pembelajaran akan
berjalan dengan lancar. Hal ini senada dengan sebuah pernyatan sebagai
berikut:
Agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka setiap orang yang terlibat dalam pendidikan tersebut seyogyanya dapat memahami tentang perilaku individu, kelompok, maupun social sekaligus dapat menunjukkan perilakunya secara efektif. Dengan demikian mempelajari dan memahami Psikologi Pendidikan merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. (Iskandar, 2009:11).
2. Tinjauan Tentang Pembelajaran
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran memiliki pengertian yang sama dengan proses
belajar mengajar. Oleh karena itu mendefinisikan proses belajar mengajar
sama halnya dengan mendefinisikan pembelajaran. Lebih jelasnya, penulis
jabarkan sebagaimana berikut dibawah ini, yaitu:
1) Pengertian Proses
Pengertian “proses” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah, “Runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu,
rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan
produk”.
20
“Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi antara
semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar-mengajar yang
satu sama lainnya saling berhubungan (interdependent) dalam ikatan
untuk mencapai tujuan.” (Uzer Usman, 2009:5).
Menurut Makmun (2004:156) proses belajar mengajar
merupakan, “Suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam
rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada
siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan
interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak.”
Proses pembelajaran adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan siswa (peserta didik). Kegiatan belajar yang dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Guru bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk merancangkan sejumlah pengalaman belajar. (Cronbach dalam Iskandar, 2009:98)
2) Pengertian Belajar
Sardiman (2001:3) berpendapat bahwa “Belajar diartikan
sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dari pengalaman yang
diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang
merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar
untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat
membawa perubahan tingkah laku maupun perubahan serta kesadaran
diri sebagai pribadi.”
Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dan individu dengan lingkungannya. Burton menyatakan, “learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”. (W.H. Burton dalam Uzer Usman, 2009:5)
Daryanto (2009:194) juga memberikan definisi tentang belajar
sebagai berikut, “Suatu proses usaha yang dilakukan setiap individu
21
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.” Keharusan bagi manusia untuk senantiasa belajar
memang tidak bisa ditawar lagi. Pentingnya belajar juga dipaparkan oleh
banyak ahli seperti tersebut dibawah ini:
Begitu pentingnya belajar maka Islam sebagai agama rahmah li al-alamin sangat mewajibkan umatnya untuk selalu belajar. Bahkan, Allah mengawali menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupannya. Betapa pentingnya belajar, karena itu dalam Al-Qur’an Allah berjanji akan meningkatkan derajat orang yang belajar daripada yang tidak. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:29)
Masih menurut Quraish Shihab dalam Baharuddin dan Esa Nur
Wahyuni (2008:31), “Iqra’ berasal dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari kata menghimpun inilah lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri
sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Berbagai makna
yang muncul dari kata tersebut sebenarnya secara tersirat menunjukkan
perintah untuk melakukan kegiatan belajar, karena dalam belajar juga
mengandung kegiatan-kegiatan seperti mendalami, meneliti, membaca,
dan lain sebagainya.”
Hal ini sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Charunie
Baroroh (2009:23), yang menyatakan bahwa, “Al Qur’an memiliki arti
sebagai bacaan, yang berasal dari kata ‘qara’a’ yang berarti ‘membaca’,
mupun ‘iqra’ yang memiliki arti ‘bacalah, telitilah, dalamilah’. Al-Qur’an
adalah bacaan yang Allah Tuhan turunkan kedunia dan dibawa oleh
malaikat Jibril untuk diberikan kepada utusan-Nya yang terkasih
Rasullullah Muhammad SAW untuk disampaikan/dijelaskan kepada
manusia, akan pentingnya bagi kehidupan dunia dan kehidupan yang
akan datang/akhirat”. Hal yang menarik disini adalah selain dengan
22
senantiasa membaca dan meneliti serta mendalami, cara manusia belajar
yang paling unik adalah dengan meniru. Maka dari itu, keberadaan
seseorang sebagai figur teladan bagi orang disekelilingnya merupakan
hal yang penting. Hal ini seperti dijabarkan sebagai berikut:
Karena tabiat manusia yang cenderung untuk meniru, maka teladan yang baik merupakan hal yang paling penting dalam membentuk perilaku manusia. Oleh sebab itu, salah satu tujuan Nabi Muhammad Saw., diutus oleh Allah adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dengan memberikan teladan bagi umatnya, bukan hanya dalam hal beribadah tetapi juga dalam perilaku kehidupan sehari-hari. (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2008:35)
3) Pengertian Mengajar
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moril yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. (Uzer Usman, 2009:6)
Penjelasan tersebut diperkuat oleh Nana Sudjana (2009:29) yang
menjelaskan bahwa, “Mengajarpun pada hakikatnya merupakan suatu
proses, yang mencakup proses mengatur, mengorganisasi lingkungan
yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong
siswa melakukan proses belajar. Pada tahapan berikutnya mengajar
adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam
melakukan proses belajar.” Sehingga dapat dikatakan bahwa mengajar
tidak semata-mata membutuhkan kemampuan dalam penguasaan
terhadap materi yang disampaikan saja. Namun seorang pengajar juga
harus memiliki kemampuan dalam menciptakan kondisi kelas yang
kondusif. Hal ini senada dengan pendapat seperti tersebut dibawah ini:
Agar mampu mengelola interaksi belajar mengajar, guru harus menguasai bahan atau materi, mampu mendisain program belajar mengajar, mampu menciptakan kondisi kelas yang kondusif,
23
terampil memanfaatkan media dan memilih sumber serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai dasar bertindak. (Sardiman, 2001:170)
4) Pengertian Proses Belajar Mengajar
Uzer Usman (2009:4) berpendapat bahwa, “Proses belajar
mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu
merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar.
Dalam hal ini bukan hanya memiliki makna penyampaian pesan berupa
materi pelajaran, melainkan juga mencakup penanaman sikap serta nilai
pada diri siswa yang sedang belajar.” Ini diperkuat oleh pendapat sebagai
berikut:
Dalam proses belajar mengajar, kegiatan interaksi antara guru dan siswa merupakan kegiatan yang cukup dominan. Kemudian di dalam kegiatan interaksi antara guru dan siswa dalam rangka transfer of knowledge dan bahkan juga transfer of values, akan senantiasa menuntut komponen yang serasi antara komponen yang satu dengan yang lain. Serasi dalam hal ini berarti komponen-komponen yang ada pada kegiatan proses belajar mengajar itu akan saling menyesuaikan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan belajar bagi anak didik. (Sardiman, 2001:170)
Dari pernyataan tersebut, dapat terlihat secara jelas bahwa yang
dimaksud dengan proses belajar mengajar adalah proses pembelajaran.
Adapun hal tersebut ditegaskan oleh Daryanto (2009:168), dalam
pernyataannya sebagai berikut, “Dalam pelaksanaan pengelolaan
kegiatan belajar mengajar atau pembelajaran harus memahami prinsip
pembelajarannya terlebih dahulu, sehingga dengan dasar tersebut akan
mendapatkan hasil pengelolaan yang optimal.”
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Cronbach dalam
Iskandar (2009:98) yang menyebutkan bahwa, “Proses pembelajaran
adalah seperangkat kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa atau
24
peserta didik. Dan dapat pula dijabarkan sebagai kegiatan belajar yang
dilaksanakan siswa di bawah bimbingan guru. Dalam hal ini guru
bertugas merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada saat
mengajar. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru dituntut untuk
merancangkan sejumlah pengalaman belajar. Yang dimaksud dengan
pengalaman belajar disini adalah segala yang diperoleh siswa sebagai
hasil dari belajar (learning experience). Belajar ditandai dengan
mengalami perubahan tingkah laku, karena mengalami pengalaman
baru”. Sebagai penguat, ada pula pendapat perihal proses pembelajaran
seperti tersebut dibawah ini:
Proses pembelajaran merupakan suatu rangkaian interaksi antara siswa dengan guru dalam rangka mencapai tujuannya. Maknanya terjadi perilaku belajar pada siswa dan perilaku mengajar pada pihak guru yang terjadi hubungan interaktif yang bersifat mengikat antara aktivitas kedua belah pihak. (Makmun, 2004:156)
Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu: belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Dengan kata lain pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. (Asep Jihad dan Abdul Haris, 2008:11)
Ditambahkan pula oleh Iskandar (2009:123), “Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
senantiasa berpartisipasi secara aktif, serta memberikan ruang bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian yang sesuai dengan bahkat, minat
serta tidak terlepas dari perkembangan fisik dan psikologis peserta
didik.”
25
b. Pengertian Pengelolaan Pembelajaran
Martinis Yamin dan Maisah (2009:164) menjelaskan bahwa,
“Pengelolaan pembelajaran baik dalam kelas maupun di luar kelas, di dalam
upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, meliputi beberapa kegiatan
yakni pengelolaan tempat belajar atau ruang kelas, pengelolaan siswa,
pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan materi pembelajaran,
pengelolaan sumber belajar, serta pengelolaan strategi dan evaluasi
pembelajaran.”
Hal tersebut senada dengan pendapat Nana Sudjana (2009:21),
yang memaparkan bahwa, “Mengelola atau melaksanakan program belajar-
mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah dibuat. Dalam
pelaksanaan proses belajar-mengajar, kemampuan yang dituntut untuk
dimiliki oleh seorang guru adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan
menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah
disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas
dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar-mengajar dihentikan,
ataukah diubah metodenya, apakah mengulang dulu pelajaran yang lalu,
manakala para siswa belum dapat mencapai tujuan pengajaran.”
Daryanto (2009:167) juga berpendapat bahwa, “Pengelolaan
kegiatan belajar mengajar merupakan proses pembelajaran utuh dan
menyeluruh yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi
pembelajaran, termasuk evaluasi programnya dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan seperti yang telah ditentukan.” Hal ini diperkuat oleh pendapat
seperti tersebut dibawah ini:
Pengelolaan kelas dan pengelolaan pembelajaran adalah dua kegiatan yang sangat erat hubungannya, namun dapat dan harus dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pembelajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pembelajaran; menyusun rencana pembelajaran, memberi informasi, bertanya, menilai dan lain sebagainya, maka manajemen kelas menunjukkan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses pembelajaran. (pembinaan “report”, menghentikan perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas,
26
pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh penetapan norma kelompok yang produktif, dan sebagainya). Dengan kata lain, di dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya dua kelompok masalah yaitu masalah pengajaran dan masalah pengelolaan kelas. Masalah pengelolaan kelas harus ditanggulangi dengan tindakan korektif pengelolaan, sedangkan masalah pembelajaran harus ditanggulangi dengan tindakan korektif instruksional. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:36)
c. Tujuan Pembelajaran
Hamzah B. Uno (2008:34) menjelaskan bahwa, “Tujuan
pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran
muaranya pada tercapainya tujuan pembelajaran.”
Ada beberapa pendapat dalam Hamzah (2008:35) yang
mengemukakan definisi tujuan pembelajaran seperti tersebut dibawah ini:
1. Robert F. Mager, tujuan pembelajaran adalah sebagai perilaku yang
hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi
dan kompetensi tertentu.
2. Kemp, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik
yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan
dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang
diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang kongkrit serta
dapat dilihat dan fakta yang tersamar.
3. Fred Percival dan Henry Ellington, tujuan pembelajaran adalah
suatu pernyataan yang jelas dan menunjukkan penampilan atau
keterampilan siswa tertentu yang diharapkan dapat dicapai sebagai
hasil belajar.
Swardi (2008:32) turut menjelaskan bahwa, “Tujuan pembelajaran
atau tujuan instruksional terdiri dari tujuan pembelajaran umum dan tujuan
pembelajaran khusus. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, istilah tujuan
pembelajaran umum merupakan kompetensi, sedangkan tujuan
pembelajaran khusus merupakan indicator kompetensi”.
27
Masih senada dengan pernyataan tersebut, Sardiman (2001:25)
menyatakan bahwa, “Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu
diciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar yang lebih kondusif.
Hal ini akan berkaitan dengan mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu
usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses
belajar.” Ada beberapa pendapat dalam menyatakan tujuan belajar seperti
tersebut dibawah ini:
Mengenai tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim dinamakan dengan instructional effect, yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedang tujuan-tujuan lebih merupakan hasil sampingan yaitu: tercapai karena siswa “menghidupi (to life ini) suatu sistem lingkungan belajar tertentu seperti contohnya, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi istilah nurturant effect. Jadi guru dalam mengajar, guru harus sudah memiliki rencana dan menetapkan strategi belajar-mengajar untuk mencapai instructional effects, maupun kedua-duanya. (Sardiman, 2001:26) Tujuan instruksional pada umumnya dikelompokkan kedalam tiga katagori, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational Objectives. Klasifikasi tujuan tersebut memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari tingkah laku siswa. Hal ini memberikan pula petunjuk bagi guru dalam menentukan tujuan-tujuan dalam bentuk tingkah laku yang diharapkan dari dalam diri siswa. (Uzer Usman, 2009:34) Tujuan dalam proses belajar-mengajar merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pengajaran berfungsi sebagai indicator keberhasilan pengajaran. Tujuan ini pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan pengalaman dan kegiatan belajar dalam proses pembelajaran. Isi tujuan pembelajaran pada
28
hakikatnya adalah hasil belajar yang diharapkan. (Nana Sudjana, 2009:30)
Tidak terlepas dari penjelasan tentang tujuan belajar, disini Nana
Sudjana (2009:34-35) juga menjelaskan bahwa, “Terdapat dua criteria
keberhasilan pengajaran. Kriteria disini dimaksudkan sebagai ukuran
ataupun patokan-patokan dalam menentukan tingkat keberhasilan suatu
pengajaran. Mengingat pengajaran merupakan suatu proses yang dinamis
untuk mencapai suatu tujuan yang telah dirumuskan, maka kita ditentukan
dua criteria yang bersifat umum, yakni: criteria ditinjau dari sudut prosesnya
dan criteria ditinjau dari sudut hasil yang dicapainya. Criteria dari sudut
proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah
merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar
mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri, dan tujuan
yang telah ditetapkan tercapai secara efektif. Sedangkan criteria dari segi
hasil atau produk menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kedua criteria tersebut tidak bisa
berdiri sendiri tetapi harus merupakan hubungan sebab dan akibat. Dengan
kata lain, pengajaran tidak semata-mata output oriented tetapi juga proses
oriented.”
Sebagai tindak lanjut dari pernyataan yang terdahulu, Nana
Sudjana (2009:35-37) menjabarkan bahwa, “Untuk mengukur keberhasilan
pengajaran dari sudut prosesnya dapat dikaji melalui beberapa persoalan,
yaitu: Pertama, apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih
dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu
proses yang bersifat otomatis dari guru disebabkan telah menjadi pekerjaan
rutin?; Kedua, apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia
melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan
tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan,
kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri?;
Ketiga, apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat
penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah
29
terbatas kepada satu kegiatan belajar saja?; Keempat, apakah siswa
mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar
yang dicapainya, ataukah ia tidak mengetahui apakah yang ia lakukan itu
benar atau salah?; Kelima, Apakah proses pengajaran dapat melibatkan
semua siswa dalam kelas ataukah hanya siswa tertentu yang aktif belajar?;
Keenam, apakah suasana pengajaran atau proses belajar mengajar cukup
menyenangkan dan merangsang siswa belajar ataukah suasana yang
mencemaskan dan menakutkan?; Ketujuh, apakah kelas memiliki sarana
belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi laboratorium belajar ataukah
kelas yang hampa dan miskin dengan sarana belajar, sehingga tidak
memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang optimal?”.
Nana Sudjana (2009:37-39) juga menerangkan bahwa, “Asumsi
dasar ialah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar
yang optimal pula. Ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang
dicapai. Makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran,
makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu. Berikut ini adalah
beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan
keberhasilan pengajaran ditinjau dari segi hasil atau produk yang dicapai
siswa, yaitu: Pertama, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses
pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara
menyeluruh (komprehensif) yang terdiri atas unsur kognitif, afektif dan
psykomotorik secara terpadu pada diri siswa, ataukah hasil belajar yang
bersifat tunggal (single facts) dan terlepas satu sama lain, sehingga tidak
membentuk satu integritas pribadi?; Kedua, apakah hasil belajar yang
dicapai siswa dari proses pengajaran mempunyai daya guna dan dapat
diaplikasikan dalam kehidupan siswa, terutama dalam pemecahan masalah
yang dihadapinya, ataukah suatu hasil yang sifatnya samar-samar sehingga
tak banyak dan tak dapat diterapkan?; Ketiga, apakah hasil belajar yang
diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya serta
cukup mempengaruhi perilaku dirinya, ataukah bersifat incidental masuk
dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan?; Keempat, apakah yakin
30
bahwa perubahan yang ditunjukkan oleh siswa merupakan akibat dari proses
pengajaran, ataukah perubahan itu sebagai akibat lain di luar proses
pengajaran?”.
Menurut UNESCO dalam Iskandar (2009, 104-105), terdapat
empat pilar belajar, yaitu:
1. “Learning to know” belajar untuk mengetahui.
2. “Learning to do” belajar untuk aktit, prinsip belajar learning to do
bermakna “live long educational” kegiatan belajar sepanjang hidup.
Dalam isalam kita kenal melalui sabda rasulullah S.A.W menyatakan
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Makna disini adalah
bahwa belajar merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia apabila
ingin menjadi manusia seutuhnya melalui belajar aktif (active
learning). Kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus
menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
3. “Learning to be” belajar untuk menjadi; makna dari learning to be
adalah proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa,
mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau
masyarakat terdidik yang mandiri. Makna belajar disini bukan hanya
menulis, menghafal, membaca tetapi melalui belajar seseorang
mendapatkan jati diri dan kebahagiaan. Kegiatan belajar disini
dimaksudkan untuk mendapat pengetahuan untuk berproduktifitas
melalui kerja yang sesuai dengan kompetensi (kemampuan) yang
kita miliki.
4. “Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.
Menurut Bloom dalam Iskandar (2009, 105-106) menjabarkan
bahwa, “Belajar merupakan suatu komponen ilmu pendidikan yang
berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat
eksplisit maupun implicit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan
belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan
pada ranah-ranah:
31
1. Kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan,
penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan,
pemahaman, penerapan, ana;isis, sisntesis dan evaluasi.
2. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi dan
reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari
kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan
pembentukan pola hidup.
3. Psikomotorik, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan
jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan
terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan
kreatifitas.”
Iskandar (2009:164) menjelaskan bahwa, “Pendidikan dan
pengajaran merupakan suatu proses yang sengaja dan sadar tujuan. Artinya
proses belajar mengajar merupakan proses interaksi yang terikat, terarah
pada tujuan, dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Tujuan pendidikan dan pengajaran diartikan sebagai suatu bentuk usaha
untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa sebagai subjek
belajar, sehingga memberi arah kemana proses belajar mengajar itu harus
dibawa dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan harus dirumuskan dan
harus memiliki deskripsi yang jelas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang diinginkan.”
Masih memiliki keterkaitan dengan penjabaran yang terdahulu,
Martinis dalam Iskandar (2009:173-174) menyatakan bahwa, “Ranah afektif
merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai,
dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan
terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu
memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang kompleks yang
merupakan factor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani.
Dalam literature tujuan afektif disebut sebagai: minat, sikap hati, sikap
menghargai, sistem nilai serta kecenderungan emosi.”
32
Menurut Bloom dalam Iskandar (2009:174-176), “Terdapat
beberapa dimensi-dimensi afektif yang perlu diperhatikan siswa (peserta
didik) dan guru (pendidik) dalam proses pembelajaran, sebagai berikut:
1. Sikap Penerimaan (receiving), ini merupakan proses pembentukan
sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang
adanya (stimulus) tertentu. Sikap penerimaan (receiving) dalam
proses pembelajaran berhubungan dengan sikap atau perilaku
membangkitkan, meningkatkan, dan mengarahkan perhatian siswa
(peserta didik). Misalnya mendengar penuh perhatian, kesadaran
akan pentingnya belajar.
2. Responsif (responding), adalah tanggapan (responding) yang
merupakan reaksi aktif dari siswa (peserta didik) dan guru
(pendidik) untuk berpartisipasi. Responsive atau tanggapan dalam
proses pembelajaran dapat ditunjukkan bahwa siswa tidak saja
memperhatikan tetapi secara aktif memberikan (respon) reaksi
gejala tertentu dengan cara tertentu.
3. Penilaian (valuing), merupakan kemampuan untuk memberikan
penilaian terhadap kemauan untuk menerima suatu objek atau
kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut
mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam
bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif. Misalnya
menghargai peranan teori dalam penelitian, memberi perhatian
terhadap orang yang membutuhkan bantuan, menunjukkan
komitmen atau kesungguhan terhadap pentingnya belajar.
4. Organisasi (organization), merupakan kemampuan siswa
mengkonseptualisasi perbedaan nilai-nilai dan menyelesaikan
konflik serta menyusun hubungan antar nilai-nilai tersebut. Disini
ditekankan pada membandingkan, menghubungkan,
mengidentifikasi, menjeneralisasikan dan menyintesiskan
kemudian memilih nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan.
33
5. Pembentukan karakter (characterization), merupakan kemampuan
seseorang untuk menyikapi dan menghayati nilai-nilai yang
mempengaruhi kepribadian, sehingga nilai-nilai tersebut dapat
menjadi acuan, pedoman, dan panduan dalam kehidupan. Konsep
ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, seperti; meyakini
suatu konsep yang memiliki dasar ilmiah yang kuat, konsisten dan
kerja keras dalam belajar.”
Martinis dalam Iskandar (2009, 178-179) juga menjelaskan bahwa,
“Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai
sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional
dapat juga diganti dengan kata pembelajaran, sebagai berikut:
1. Tujuan instruksional umum atau kompetensi dasar. Dalam bahasa
asing biasa disebut goal, terminal objective, dan target objective.
Tujuan terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah
perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu
tujuan terminal diperlukan untuk mencapai tujuan umum.
2. Tujuan instruksional khusus atau indikator, yang dalam istilah
asing dikenal dengan; enabling objectives, subordinate objectives,
dan supportive objectives (tujuan memungkinkan, tujuan
bawahan, tujuan penyangga). Tujuan penyangga melukiskan
perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal) yang
harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan
terminal.”
3. Tinjauan Tentang Disiplin Kelas
a. Pengertian Disiplin
Dalam rangka menciptakan, mempertahankan, dan mengembalikan
kondisi yang optimal untuk menjadikan proses belajar mengajar yang baik,
“disiplin kelas” merupakan salah satu aspek yang besar peranannya.
“Disiplin, disciple, discipline”, artinya “pengikut” atau “penganut”.
Asal mula pengertian disiplin, yaitu suatu keadaan tertib dimana para
34
pengikut tunduk dengan senang hati pada ajaran pemimpinnya.”
(Amatembun dalam Soedomo Hadi, 2005:58)
Menurut Oteng Sutisna (1989:109), “Disiplin adalah esensial bagi
semua kegiatan kelompok yang terorganisasi. Para anggota harus
mengendalikan keinginan-keinginan pribadi masing-masing dan bekerja
sama untuk kebaikan semua”.
Sedangkan menurut Piet Sahertian & Ida Aleida Sahertian
(1992:106) menjelaskan bahwa, “Disiplin sebenarnya merupakan akibat dari
pengelolaan kelas yang efektif.” Selain pendapat yang tersebut sebelumnya,
terdapat beberapa pendapat yang menjabarkan perihal disiplin seperti
tersebut dibawah ini:
Dalam arti luas disiplin mencakup setiap macam pengaruh yang ditunjukkan untuk membantu peserta didik agar dia dapat mamahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan juga penting tentang cara menyelesaikan tuntutan yang mungkin ingin ditunjukkan peserta didik terhadap lingkungannya. (Martinis Yamin dan Maisah, 2009:47-48) Disiplin timbul dari kebutuhan untuk mengadakan keseimbangan antara apa yang ingin dilakukan oleh individu dan apa yang diinginkan individu dari orang lain sampai batas-batas tertentu dan memenuhi tuntutan orang lain dari dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan dari perkembangan yang lebih luas. (Martini Yamin dan Maisah, 2009:48)
Menurut Wikipedia dalam Martinis Yamin dan Maisah (2009:48)
mengemukakan bawa, “Disiplin merupakan bentuk pelatihan yang
menghasilkan suatu karakter atau perilaku khusus yang menghasilkan
perkembangan moral, fisik dan mental untuk tujuan tertentu”. Dengan
disiplin para peserta didik bersedia untuk tunduk dan mengikuti peraturan
tertentu dan menjauhi larangan tertentu.
Bertitik tolak dari pengertian diatas, maka dapat dirumuskan bahwa
disiplin kelas adalah, keadaan tertib dimana guru dan murid-murid yang
tergabung dalam suatu kelas tunduk kepada peraturan-peraturan atau tata-
tertib yang telah ditetapkan dengan senang hati.
35
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Soedomo
Hadi (2005:59) bahwa “Disiplin kelas adalah keadaan tertib di mana guru
dan siswa-siswa yang tergabung dalam suatu kelas tunduk pada peraturan-
peraturan atau tata tertib yang telah ditentukan sebelumnya dengan senang
hati. Guru harus sadar, bahwa suasana tertib dalam kelas merupakan suatu
syarat penting bagi proses belajar-mengajar yang efektif”.
b. Tahap-Tahap Disiplin Kelas
Martinis Yamin dan Maisah (2009:52-60) menjelaskan bahwa,
“Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru yang merupakan tahapan
dalam menciptakan disiplin kelas yang mengerucut pada terciptanya disiplin
diri setiap siswa didik, yaitu: Pertama dengan pengenalan peserta didik,
yang mana berintikan apabila guru makin baik mengenal peserta didik
makin besar kemungkinan guru untuk mencegah terjadinya pelanggaran
disiplin. Dan yang kedua dengan melakukan tindakan korektif, yang dalam
hal ini guru harus segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan
yang ada dan konsekuensinya dan kemudian melaksanakan sanksi yang
seharusnya berlaku. Ketiga yaitu dengan melakukan tindakan penyembuhan,
yaitu tindak lanjut apabila terlanjur terjadi pelanggaran oleh siswa. Dan
yang terakhir ialah tertib ke arah siasat, yang berintikan bahwa pengalaman
dasar dalam disiplin akan menjadi pedoman bagi keteraturan hidup, karena
disiplin diri sendiri hanya akan tumbuh dalam suatu suasana di mana antara
guru dan peserta didik terjalin sikap persahabatan yang berakar pada dasar
saling menghormati dan saling mempercayai.”
Masih menurut Martinis Yamin dan Maisah (2009:53-55) yang
menjelaskan bahwa, “Awali melakukan tindakan dan bukan ceramah, yang
dipraktikkan dengan bila ada seseorang peserta didik melakukan tindakan
yang dapat mengganggu kelas, lakukan tindakan menghentikan kegiatan
tersebut secara tepat dan segera. Kedua, Do not bargain, dikarenakan tak
ada untungnya membuka forum diskusi dan mencari siapa yang bersalah.
Sekali lagi segera hentikan penyimpangan tingkah-laku peserta didik dengan
tindakan. Ketiga, mulai gunakan kontrol kerja, karena kewajiban guru
36
adalah mencoba menghindarkan hal-hal tersebut dengan melakukan control
sosial dan apabila siswa dekat dengan guru akan memperkecil kesempatan
mereka untuk berbuat nakal dan melanggar tata tertib sekolah. Keempat,
nyatakan peraturan dan konsekuensinya, sehingga apabila peserta didik
melanggar peraturan sekolah, komunikasikan kembali apa aturan yang
dilanggarnya secara jelas dan kemukakan akibatnya bila peraturan yang
telah dibuat dan disepakati bersama dilanggar. Konsekuensi ini dilakukan
secara bertahap dimulai dari peringatan, teguran, memberi tanda cek,
disuruh menghadap kepala sekolah dan atau dilaporkan kepada orang tuanya
tentang pelanggaran yang dilakukannya di sekolah.”
Tahapan ketiga dalam penciptaan Disiplin Kelas, adalah melakukan
tindakan penyembuhan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan
dalam tindakan penyembuhan ini adalah:
1) Mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk
menerima dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari
pelanggaran yang dibuatnya.
2) Membuat rencana yang diperkirakan paling tepat tentang langkah-
langkah yang akan ditempuh dalah mengadakan kontak dengan
peserta didik.
3) Menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik tersebut yang
disetujui bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan.
4) Bila saatnya bertemu dengan peserta didik jelaskanlah maksud
pertemuan tersebut, dan jelaskan pula manfaat yang mungkin
diperoleh oleh peserta didik maupun oleh sekolah.
5) Tunjukkanlah kepada peserta didik bahwa guru pun bukan orang yang
sempurna dan tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan dalam
berbagai hal.
6) Guru berusaha untuk membawa peserta didik kepada masalahnya
yaitu pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku di sekolah.
37
7) Bila pertemuan yang diadakan dan ternyata peserta didik responsif
maka guru bisa mengajak peserta didik untuk melaksanakan diskusi
pada saat lain tentang masalah yang dihadapinya.
8) Pertemuan guru dan peserta didik harus sampai kepada pemecahan
masalah dan sampai kepada “Kontak” yang diterima peserta didik
dalam rangka memperbaiki tingkah laku peserta didik tentang
pelanggaran yang dibuatnya.
9) Melakukan kegiatan tindak lanjut. (Martinis Yamin dan Maisah,
2009:57-58)
Dan yang merupakan tahapan keempat pendiptaan Disiplin Kelas
adalah Tertib ke Arah Siasat. Hal ini akan tumbuh subur bila:
1) Guru bersikap “hangat” dalam membina sikap persahabatan dengan
semua peserta didik. Menghargai mereka dan menerima mereka
dengan berbagai keterbatasan.
2) Guru bersikap adil sehingga mereka diperlakukan sama tanpa tumbuh
rasa dianak tirikan atau dipisahkan.
3) Guru bersikap objektif terhadap kesalahan peserta didik dengan
melakukan sanksi sesuai dengan tata tertib peserta didik melanggar
disiplin yang telah disetujui bersama.
4) Guru tidak menuntut para peserta didik untuk mengikuti aturan-aturan
yang di luar kemampuan peserta didik untuk mengikutinya.
5) Guru tidak menghukum peserta didik di depan teman-temannya
sehingga menyebabkan mereka kehilangan muka.
6) Dapat diciptakan suatu kondisi sehingga setiap peserta didik merasa
berhasil dalam segi-segi tertentu dan tidak senantiasa berada dalam
situasi kegagalan dan kekecewaan.
7) Suasana kehidupan di sekolah tidak mendorong peserta didik kearah
tingkah laku yang dikehendaki.
8) Pada saat-saat tertentu disediakan penghargaan dan hadiah bagi
peserta didik yang bertingkah-laku sesuai dengan tuntutan disiplin
38
yang berlaku sebagai tauladan yang baik. (Martinis Yamin dan
Maisah, 2009:57-58)
Sikap guru yang demokratis merupakan kondisi bagi terbinanya
tertib kearah siasat. Sikap ini akan memberi kesempatan peserta didik untuk
ikut terlibat menegakkan disiplin sekolah, ikut dipikirkan dan ditetapkan
bersama.
d. Penerapan Disiplin Kelas
Secara umum kedisiplinan murid di kelas dan di sekolah saling
berhubungan erat. Murid yang disiplin di kelas biasanya juga disiplin di
sekolah. Sebaliknya murid yang kurang disiplin di kelas juga kurang disiplin
di sekolah. Kedisiplinan merupakan sikap yang harus dibina hingga menjadi
kepribadian setiap peserta didik. Hal ini senada dengan pendapat seperti
tersebut dibawah ini:
Yang sangat berperan penting dalam pembentukan sikap adalah faktor perasaan atau emosi, dan faktor reaksi atau respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap akan selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi dan menghindari sesuatu. (Robert S. Ellis dalam Ngalim Purwanto, 1990:141)
Dari pernyataan tersebut, maka secara sederhana dapat dinyatakan
bahwa apabila siswa menyenangi sesuatu yang dalam hal ini adalah kondisi
maupun keadaan di sekolah maupun dikelas, maka mereka akan menuruti
dan melaksanakan peraturan yang ada sehingga kedisiplinan dapat terwujud.
Sedangkan apabila siswa tidak senang terhadap segala hal yang ada di
sekolah maupun di kelas, maka mereka akan cenderung menjauhi atau
menghindari hal-hal yang sesuai dengan peraturan sehingga menghambat
terciptanya kedisiplinan baik di kelas maupun sekolah.
Selanjutnya beberapa karakteristik murid yang disiplin di ruang
kelas menurut Chumdari dan Sutini (1996:60-61) adalah memiliki sifat-sifat
sebagai berikut:
1) Memasuki ruangan kelas sebelum guru masuk kelas dan masuk kelas
39
dengan baik.
2) Mematuhi peraturan kelas dengan baik.
3) Berperilaku baik selama mengikuti pelajaran.
4) Mempergunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya.
5) Mengikuti pelajaran dengan tertib.
6) Menghargai atau menghormati pendapat orang lain.
7) Mengajukan pertanyaan kepada guru dengan tertib atau baik.
8) Meninggalkan kelas dengan ijin guru.
9) Menjaga lingkungan kelas tetap bersih dan rapih.
10) Bersikap sosial kepada guru dan teman-temannya, dan sebagainya.
Sedangkan karakteristik murid yang disiplin di sekolah, menurut
Chumdari dan Sutini (1996:61-62) mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Datang tepat pada waktunya atau sebelum sekolah masuk.
2) Mengikuti upacara dengan tertib dan khidmad.
3) Ikut serta menjaga kebersihan tembok dan sebagainya.
4) Menempatkan dan merawat perlengkapan sekolah dengan baik.
5) Minta ijin bila meninggalkan sekolah.
6) Hormat dan berlaku sopan terhadap siapapun.
7) Bersikap ramah kepada guru, kepala sekolah, dan sebagainya.
8) Mengenakan pakaian sesuai ketentuan sekolah atau seragam.
9) Bersikap bersahabat dan suka menolong.
10) Menggunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya, dan sebagainya.
e. Gangguan Disiplin Kelas
Problema-problema disiplin kelas dalam rangka pengelolaan kelas
menyangkut dua masalah pokok, yaitu (1) masalah individual, dan (2)
masalah kelompok. Tindakan seorang guru akan lebih efektif dalam
mengangani disiplin kelasnya apabila ia dapat mengidentifikasi secara
tepat hakekat masalah yang dihadapinya sehingga ia dapat memilih strategi
penanggulangannya secara tepat.
Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel dalam Chumdari dan Sutini
(1996:67) menjelaskan bahwa, “Terdapat empat macam problema
40
individual yang didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku
individu merupakan upaya untuk mencapai tujuan yakni terpenuhinya
kebutuhan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga
diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi melalui cara-
cara yang wajar, maka individu itu akan berusaha mencapainya dengan
cara-cara lain yang tidak wajar, dengan kata lain ia akan berbuat tidak
wajar / asosial (tak disiplin). Empat problema tersebut adalah sebagai
berikut; Attention-getting behavior (tingkah laku untuk menarik perhatian),
semisal dengan cara membadut di kelas (aktif), atau berbuat serba lamban
sehingga perlu mendapat bantuan ekstra dari guru (pasif); Power-seeking
behavior (tingkah laku untuk mencari kekuasaan), misalnya dengan selalu
mendebat atau kehilangan kendali emosional (aktif) marah-marah,
menangis, atau (pasif) selalu lupa pada peraturan-peraturan penting di
kelas; Revenge-seeking behavior (tingkah laku untuk membalas dendam),
misalnya dengan menyakiti hati orang lain, seperti mengata-ngatai,
mencubit, menggigit, memukul dan sebagainya; Peragaan
ketidakmampuan, misalnya dalam bentuk sama sekali menolak untuk
mencoba melakukan apapun, karena yakin hanya akan mengalami
kegagalan.”
Menurut Lois V. Johnson dan Mary A. Bany dalam buku susunan
Chumdari dan Sutini (1996:68) menerangkan bahwa, “Terdapat empat
katagori problema kelompok yang dihadapi guru dalam pembinaan disiplin
kelas. Empat katagori tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, kelas
kurang kohesif, (kurang akrab) karena perbedaan jenis kelamin, suku/ras,
tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya; Kedua, kesebalan/pelanggaran
terhadap norma-norma yang telah sebelumnya disepakati bersama.
Misalnya sengaja berbicara keras-keras di ruang baca perpustakaan, dan
sebagainya; Ketiga, kelas memberi respon negatif terhadap salah seorang
anggotanya, semisal mengejek salah seorang teman yang kurang benar
menjawab pertanyaan dari guru; Keempat, kelas kurang mampu
menyesuaikan diri dengan situasi baru, seperti perubahan jadwal, guru
41
kelas diganti sementara oleh guru piket, dan sebagainya.” Begitu banyak
karakteristik kelompok dalam sebuah kelas, maka dari itu tentunya
membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Hal ini seperti dijelaskan
dibawah ini:
Dalam pembinaan disiplin kelas, perlu diingatkan bahwa setiap problema harus ditanggapi secara berbeda. Problema individual, individu pelaku yang dijadikan sasaran. Sedangkan problema kelompok tindakan korektif harus ditujukan kepada kelompok. Sebab diagnosis yang keliru akan mengakibatkan terjadinya tindakan korektif yang keliru pula. (Chumdari dan Sutini, 1996:68)
4. Tinjauan Tentang Keterkaitan Pendekatan Eclectic dengan Disiplin Kelas
a. Indikator Pengelolaan Kelas Yang Baik
Pengelolaan kelas yang baik, dapat dilihat dari terciptanya
efektivitas dalam proses pembelajaran oleh seoarng guru. Hal ini seperti
yang dipaparkan oleh Martinis Yamin dan Maisah (2009:17) bahwa,
“Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan keberhasilan (atau
kegagalan) kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Efektivitas tugas dari segi proses menyangkut
perilaku pimpinan yang dinilai dari proses kerjanya berdasarkan standar
penampilan dalam membuat perencanaan, mengorganisir, memotivasi, dan
mengawasi. Efektivitas tugas dilihat dari segi karakteristik kepribadian,
kemampuan, sikap, keteladanan dan keterbukaan. Sedangkan efektifitas
tugas dari segi hasil yaitu menempatkan tingkat penyelesaian tugas dalam
pencapaian tujuan yang muaranya pada mutu produk dan mutu pelayanan.”
Masih berkaitan dengan pendapat tersebut, Iskandar (2009:95) turut
menjelaskan bahwa, “Efektivitas proses pembelajaran banyak bergantung
kepada kesiapan dan cara mengajar yang dilakukan pendidik (guru/dosen),
sedangkan kesiapan cara belajar yang dilakukan oleh peserta didik
(siswa/mahasiswa) itu sendiri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun
kelompok.”
Indikator pengelolaan kelas yang baik, mampu dilihat dari
pengelola kelas yang baik dan efektif, karena tentunya pengelolaan kelas
42
yang baik adalah pengelolaan kelas yang dijalankan oleh pengelola kelas
yang baik dan efektif. Disiplin kelas yang terwujud dengan ditanganinya
gangguan kelas dengan baik, merupakan salah satu indikator yang menonjol
dari pengelolaan kelas yang berhasil. Sebab dengan pengelolaan kelas yang
tepat dan sesuai dengan kebutuhan kelas, maka dapat meminimalisir bahkan
mengatasi gangguan yang terjadi didalam kelas. Sehingga dengan dapat
diatasinya gangguan kelas yang terjadi, seperti keributan yang diakibatkan
oleh aktivitas peserta didik yang kurang produktif, kedisiplinan dan
keteraturan dalam kelas dapat diwujudkan.
Dalam proses pembelajaran, peserta didik perlu diupayakan
pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi di dalam proses
pembelajaran. Karena dengan meningkatkan pengembangan aktivitas siswa
yang positif dan produktif, dapat memacu pada terciptanya kreativitas dan
berkembangnya daya nalar peserta didik sehingga dapat meningkatkan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dan untuk dapat meningkatkan
aktivitas siswa, dibutuhkan adanya motivasi-motivasi yang akan menarik
minat siswa untuk melakukan hal-hal yang positif dan produktif sesuai
dengan yang direncanakan dalam tujuan pembelajaran. Berkaitan dengan
hal tersebut, upaya yang dapat dilakukan oleh guru sebagai seorang
pendidik dalam membangkitkan motivasi belajar peserta didik dalam proses
pembelajaran, seorang guru sebagai pengajar dan pendidik perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya
menarik dan berguan bagi dirinya;
2) Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan
kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak
dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut;
3) Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;
4) Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun
sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan;
5) Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa;
43
6) Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti:
perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau
subyek tertentu.
7) Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan
memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru
peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian
rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta
mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga
mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri. (E. Mulyasa
dalam Iskandar, 2009:97).
b. Kaitan Pengelolaan Kelas dengan Pendekatan Eclectic
Pendekatan eclectic merupakan bagian dari pengelolaan kelas.
Diharapkan dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam Pengelolaan
Kelas atau managemen kelas, mampu memberi kontribusi yang positif
dalam menciptakan keberhasilan proses pengelolaan kelas. Beberapa teori
ahli yang mendukung gagasan ini adalah:
Menurut Daryanto dalam buku “Panduan Proses Pembelajaran
Kreatif dan Inovatif” (2009:201), “Mengajar yang dapat membawa siswa
belajar efektif, adalah belajar yang didalamnya terdapat aktivitas mencari,
menemukan dan melihat pokok masalah, serta siswa berusaha memecahkan
masalah termasuk berpendapat.”
Hal tersebut dapat dilakukan dengan menempuh beberapa langkah
sebagai berikut:
1) Belajar secara aktif
2) Gunakan metoda dan media yang bervariasi
3) Motivasi terus
4) Pertimbangan perbedaan individu
5) Buat perencanaan sebelum mengajar
6) Pengaruh guru yang sugestif
7) Guru harus memiliki keberanian menghadapi siswa
8) Guru harus mampu menciptakan suasana yang demokratis
44
9) Berikan masalah yang merangsang untuk berpikir
10) Pelajaran perlu diintegrasikan
11) Perlu dihubungkan dengan kehidupan nyata
12) Berikan kebebasan untuk mengamati, mencoba, dan belajar sendiri
13) Pengajaran remedial. (Daryanto, 2009:201)
Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pula oleh guru
apabila ingin mewujudkan mengajar yang efektif, seperti tersebut dibawah
ini:
Dan ada pula beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh guru dalam mewujudkan mengajar yang efektif yaitu, pertama dengn penguasaan materi pelajaran, kemudian dengan memiliki rasa cinta pada yang diajarkan (materi/pekerjaan/siswa), dan didukung dengan pengalaman pribadi dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, menggunakan variasi metode dalam mengajar, selalu menambah ilmu, serta tidak lupa memberi pujian dan dorongan semangat pada siswa. (Daryanto, 2009:201).
Memang dalam kegiatan belajar peserta didik, guru harus dapat
menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif dalam kegiatan belajar
peserta didik. Kata kunci berhasilnya kegiatan pendidikan terletak pada
kegiatan mengajar guru yang dapat menciptakan proses belajar siswa
berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Masih menurut Daryanto (2009:203), menyatakan beberapa ciri
individu (guru dan siswa) yang kreatif sehingga mampu mendorong
terwujudnya proses belajar yang efektif, yakni sebagai berikut:
1. Hasrat keingintahuan yang cukup besar
2. Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru
3. Panjang akal
4. Keinginan untuk menemukan dan meneliti
5. Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit
6. Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan
7. Memiliki dedikasi bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas
8. Berpikir fleksibel
45
9. Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi
jawaban lebih banyak
10. Kemampuan membuat analisa dan sintesis
11. Memiliki semangat bertanya serta meneliti
12. Memiliki daya abstraksi yang cukup baik
13. Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas
Muhammad Ridwan (13 September 2007, 11:09) dalam sebuah
jurnal di internet memberi definisi pengelolaan kelas sebagai, “suatu
kegiatan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses
belajar, yang didalamnya mencakup pengaturan orang (siswa) dan fasilitas,
serta segala aktivitas yang dikerjakan dari mulai terjadinya kegiatan
pembelajaran di dalam kelas sampai berakhirnya pembelajaran di dalam
kelas”.
Senada dengan pernyataan tersebut, Dede Sudjadi (8 Januari 2009,
06:20) dalam sebuah situs di internet, turut menyatakan sebagai berikut,
“Pengelolaan Kelas, didefinisikan sebagai: Perangkat kegiatan guru untuk
mengembangkan tingkah laku siswa yang diinginkan dan mengurangi
tingkah laku yang tidak diinginkan. Seperangkat kegiatan guru untuk
mengembangkan hubungan interpersonal yang baik dan iklim sosio
emosional kelas yang positif. Seperangkat kegiatan guru untuk
menumbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif.”
Ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Chumdari dan Sutini
(1996:13-19), ialah sebagai berikut: “Inti pelaksanaan pendekatan berdasar
studi psikologi pada hakekatnya bertujuan untuk menguatkan tingkah laku
murid yang baik, atau menghilangkan tingkah laku yang kurang baik.”
Dalam buku “Membangun Kompetensi Belajar”, yang disusun oleh
A. Suhaenah Suparno (2000:54), memuat pandangan seorang tokoh
behaviourisme terkenal, yakni Skinner. Mengajar menurut Skinner adalah,
“Serangkaian penataan penguatan dibawah apa pengubahan perilaku
berlangsung. Tugas guru adalah mengubah perilaku yang dimulai dengan
proses menyadari adanya tujuan yang berbentuk perubahan serta menguasai
46
teknik-teknik mengajar untuk mencapainya”. Oleh karena itu, guru harus
pandai memilah dan memilih teknik mengajar yang sesuai agar dapat
membawa murid pada perubahan perilaku yang baik. Bila seorang guru
telah dapat membawa murid pada perubahan perilaku yang baik, barulah ia
dikatakan professional dalam mengajar. Hal tersebut dikuatkan pula oleh
pendapat seperti tersebut dibawah ini:
Salah satu indikator yang menyatakan bahwa guru, dosen (pendidik) yang professional adalah memiliki kemampuan mengelola kelas, yaitu menyediakan suasana yang kondusif untuk berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Apabila belum kondusif, maka seorang guru atau dosen (pendidik) harus berupaya seoptimal mungkin untuk menguasai, mengatur dan membenahi, serta menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Iskandar, 2009:209) Menciptakan iklim belajar yang kondusif. Efektivitas dan efisiensi pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dan dosen (pendidik) dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga peserta didik dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan. (Iskandar, 2009:210)
c. Kaitan Pengelolaan Kelas dengan Disiplin Kelas
Keterkaitan disiplin kelas dengan pengelolaan kelas terlihat jelas
dari penjelasan mengenai indikator-indikator pengelolaan kelas yang baik
dan efektif. Terciptanya disiplin kelas yang baik merupakan salah satu tolok
ukur keberhasilan tindakan pengelolaan kelas yang dilakukan oleh seorang
pengelola kelas (guru). Gagasan ini didukung oleh pendapat para ahli
sebagai berikut:
Chumdari dan Sutini (1996:54) berpendapat bahwa, “Masalah
disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam managemen
kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting
dalam menilai kualitas kepemimpinan seorang guru”.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Suharsimi Arikunto (1989:67)
menjelaskan bahwa, “Pengelolaan kelas adalah suatu usaha yang dilakukan
oleh penanggung jawab kegiatan pembelajaran yang dimaksud untuk
47
mencapai kondisi yang kondusif dan optimal sehingga dapat terlaksana
kegiatan pembelajaran yang diharapkan”. Usaha uang dimaksud tentunya
adalah upaya guru dalam menciptakan kondisi kelas yang disiplin.
Menurut Chumdari dan Sutini (1996:55), “Bagaimanapun
pengertian kita tentang disiplin kelas, setiap guru menyadari bahwa suasana
yang tertib dalam kelas merupakan suatu prasyarat penting bagi proses
mengajar dan belajar yang efektif”.
Pengelolaan kelas lebih berkaitan dengan dengan upaya-upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar (pembinaan rapport, penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif), didalamnya mencakup pengaturan orang (peserta didik) dan fasilitas. (Akhmad Sudrajat, 24 Januari 2008, 08:32)
Rudolf Dreikurs dan Pearl Cassel dalam Ahmad Rohani (2004:125)
menjelaskan bahwa, “Empat kelompok masalah dalam pengelolaan kelas
yang individual, didasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku individu
merupakan upaya pencapaian tujuan pemenuhan keputusan untuk diterima
kelompok dan kebutuhan untuk mencapai harga diri. Bila kebutuhan ini
tidak lagi dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lumrah dalam masyarakat
kelas, maka individu yang bersangkutan akan berusaha mencapainya dengan
cara-cara lain. Dengan kata lain, dia akan berbuat tidak baik”.
Empat tingkah laku yang merupakan permasalahan individual
dalam pengelolaan kelas menurut Dreikurs dan Cassel dalam Ahmad
Rohani (2004:125), diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tingkah laku yang ingin mendapatkan perhatian orang lain, misalnya
membatu di kelas (aktif), atau dengan berbuat serba lamban sehingga
perlu mendapat pertolongan ekstra (pasif).
2. Tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan, misalnya selalu
mendekat atau kehilangan kendali emosional marah-marah, menangis
(aktif), atau selalu “lupa” pada aturan-aturan penting di kelas (pasif).
48
3. Tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain, misalnya seperti
mencaci-maki, memukul, menggigit, dan lain sebagainya (kelompok
ini tampaknya kebanyakan dalam bentuk aktif/pasif).
4. Peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk sama sekali menolak
untuk menolak untuk mencoba melakukan apapun karena yakin
bahwa hanya kegagalanlah yang menjadi bagiannya.
Pentingnya pengelolaan kelas dalam meraih keberhasilan proses
belajar mengajar, sesuai dengan pendapat Piet Sahertian & Ida Aleida
(1992:106) yang menerangkan bahwa, “Pengelolaan kelas sangat erat
hubungannya dengan keberhasilan dalam situasi belajar mengajar. Maka
guru diharapkan terampil untuk menciptakan dan memaklumi kondisi
belajar yang optimal dan mengembalikannya ke kondisi yang optimal
dengan cara mendisiplinkan dan melakukan kegiatan remedial.”
d. Kaitan Pendekatan Eclectic dengan Disiplin Kelas
Antara disiplin kelas dan pendekatan eclectic, terdapat keterkaitan
yang kuat. Dengan menerapkan pendekatan eclectic, diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahan gangguan disiplin kelas.
Oteng Sutisna (1989:109) memaparkan bahwa, “Disiplin adalah
esensial bagi semua kegiatan kelompok yang terorganisasi. Para anggota
harus mengendalikan keinginan-keinginan pribadi masing-masing dan
bekerja sama untuk kebaikan semua”.
Piet Sahertian & Ida Aleida (1992:106) juga menjelaskan bahwa,
“Disiplin sebenarnya merupakan akibat dari pengelolaan kelas yang
efektif.”
Dalam buku “Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif”
(Daryanto, 2009:46-47), terdapat hasil sebuah penelitian yang relevan
dengan masalah penciptaan kedisiplinan kelas yang berkaitan dengan
pendekatan mengajar guru dalam pengelolaan kelas yang menggunakan
konsep psikologi pendidikan, ialah sebagai berikut, “Salah satu model
pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Rogers, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975,
49
mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang
mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri
guru yang fasilitatif adalah:
1. Merespon perasaan siswa
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk
memantapkan kebutuhan segera dari siswa)
7. Tersenyum pada siswa
Dari penelitian ini diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka
bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya
untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika
yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan
disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa
menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.”
Situasi kelas yang pelajar-pelajarnya termotivasi dapat mempengaruhi sikap belajar dan tingkah laku pelajar. Pelajar yang termotivasi untuk belajar akan sangat tertarik dengan berbagai tugas belajar yang sedang mereka kerjakan, menunjukkan ketekunan yang tinggi, variasi aktivitas belajar merekapun akan lebih banyak. Disamping keterlibatan mereka dalam belajar lebih besar, mereka juga kurang menyukai tingkah laku yang negatif yang dapat menimbulkan masalah disiplin kelas. Oleh karena itu, dalam upaya menjaga dan meningkatkan disiplin kelas maka motivasi pelajar mesti dikembangkan. (Robert J. Songgok, Senin 09 Juni 2008, 05:17)
Sedangkan pemberian motivasi itu sendiri, merupakan bagian yang
penting dari penerapan pendekatan psikologikal dalam pengelolaan kelas.
Seperti dengan pemberian reinforcement atau penguatan-penguatan yang
diharapkan mampu menjadi motivator bagi siswa didik untuk mengikuti
peraturan yang ada, sehingga mampu terwujud adanya disiplin kelas.
50
Sebagai implementasi hal tersebut, terkait kuat dengan pelaksanaan
disiplin kelas yang tergantung pada senang atau tidak senang-nya siswa
terhadap peraturan yang ada sehingga menentukan tingkah laku siswa untuk
melaksanakan atau justru menghindari peraturan yang ada. Karena inti dari
disiplin adalah “kesadaran untuk melaksanakan peraturan yang ada”.
Dari penjabaran diatas, maka hubungan atau keterkaitan antara
Pendekatan Eclectic, Pengelolaan Kelas dan Disiplin kelas, dapat dinyatakan
secara ringkas sebagai berikut: Dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang
relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada saat ini sebagai salah satu
bagian dari kegiatan pengelolaan kelas, diharapkan mampu mewujudkan
disiplin kelas yang merupakan salah satu tolok ukur penting keberhasilan
tindakan pengelolaan kelas.
5. Dasar Hukum Pengelolaan Kelas Sebagai Implikasi Penyelenggaraan
Pendidikan Di Indonesia
Segala hal yang berlaku dalam suatu negara tidak pernah terlepas dari
payung hukum yang mengayominya. Begitu pula halnya dengan pelaksanaan
pendidikan di Indonesia, ada aturan hukum yang melandasi
penyelenggaraannya. Aturan yang mengatur pengelolaan kelas sebagai salah
satu wujud penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain:
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003, tentang
“Sistem Pendidikan Nasional”. (Pasal 40, ayat 2), yang menyatakan bahwa:
“Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban : a) menciptakan suasana
pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b)
mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu
pendidikan; dan c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi,
dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.” Aturan
ini merupakan dasar seorang guru dalam mengelola kelas secara baik dengan
menciptakan iklim kelas yang menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis,
serta mampu menjadi teladan bagi siswa didiknya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 19 Tahun 2005 tentang
“Standar Nasional Pendidikan” (Pasal 19 ayat 1, 2 dan 3) yang menyatakan
51
bahwa:
a. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
b. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam proses
pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.
c. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses
pembelajaran yang efektif dan efisien.
Aturan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan guru dalam mengelola
kelas agar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik.
B. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan acuan yang digunakan di dalam melakukan
suatu penelitian. Pada penelitian ini kerangka berfikir dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pengelolaan kelas harus dikuasai oleh seorang guru sebagai pengajar dan
pendidik demi tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar.
Dan yang dimaksud pengelolaan kelas adalah penyelenggaraan, pengurusan,
kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam kelas, mencakup kegiatan-
kegiatan menciptakan dan memelihara kondisi-kondisi yang optimal bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan efisien. Hal ini sesuai
52
dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, BAB XI (Pasal 39, ayat 1 dan 2),
yang berbunyi:
1. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang
proses pendidikan pada satuan pendidikan.
2. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi.
Dalam pengelolaan kelas dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih
dan digunakan oleh guru agar murid-murid dapat mencapai tujuan belajar dengan
efektif dan efisien. Salah satu pendekatan yang penulis kaji adalah “Pendekatan
Eclectic”, dalam pengelolaan kelas atau managemen kelas, sebagai alternative
terbaik dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien. Pendekatan ini
pada hakekatnya bertujuan untuk menguatkan tingkahlaku murid yang baik, atau
menghilangkan tingkah laku yang kurang baik. Karena perilaku baik maupun
kurang baik, sama-sama merupakan hasil dari proses belajar.
Penulis tertarik mengkaji pendekatan eclectic, karena menurut penulis
pendekatan ini adalah pendekatan yang paling baik digunakan terutama dalam
menyampaikan materi pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan”.
Karena tujuan utama dari penyampaian materi ini adalah menciptakan karakter
siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam praktik
tingkah laku sehari-hari.
Penerapan pendekatan ini dalam pengelolaan kelas, dilaksanakan oleh
guru dengan jalan mewujudkan suasana kelas yang menyenangkan, interaktif,
komunikatif dan mengutamakan budaya tutur yang santun, agar keteladanan guru
dapat tertanam secara otomatis sehingga menjadi karakter yang mempribadi pada
setiap murid. Hal ini sesuai pula dengan UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003,
BAB XI (Pasal 40) yang berbunyi:
53
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :
1. Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, dan dialogis;
2. Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu
pendidikan; dan
3. Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan
kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Selain pasal tersebut, pelaksanaan pengelolaan kelas dengan pendekatan
yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar menjadi kegiatan yang
menyenangkan dan interaktif, didukung pula dengan adanya PP, No 19 Tahun
2005, tentang STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN, BAB IV (Pasal 19, ayat
1), yang berbunyi: “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik”.
Dan secara implicit keberhasilan belajar penulis kaji dari sudut pandang
“Disiplin Kelas”. Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang
penting dalam pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan
suatu kriteria penting dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru.
Sebagai gambaran pemikiran untuk memecahkan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
54
Interaksi
Gb. 1 Skema Kerangka Berpikir
Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Kelas Oleh Guru
SISWA GURU
Pengelolaan Kelas Oleh Guru
Guru Menghadapi Kendala “Gangguan Disiplin Kelas”
Guru Mengupayakan Pemecahan Masalah
Terwujud Disiplin Kelas
Preventif (Pencegahan) Kuratif (Penindakan)
Tujuan Pembelajaran Tercapai
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti yang
dipersiapkan dengan baik dalam suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan melakukan verifikasi terhadap kebenaran suatu peristiwa atau pengetahuan
dan memakai metode-metode ilmiah untuk mencapai suatu tujuan penelitian, yang
terdiri dari:
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di SMP N 7 Surakarta yang beralamat di
Jl. Mr. Sartono No. 34 Surakarta, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten/Kodya
Surakarta. Alasan pemilihan tempat penelitian adalah, karena penulis pernah
menjadi bagian dari instansi tersebut selama masa PPL sehingga memudahkan
penulis dalam memperoleh hasil penelitian. Selain itu, penulis telah memiliki
ikatan emosional dengan siswa sebagai obyek penelitian, sehingga data yang akan
penulis dapatkan lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Waktu Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan terhadap permasalah yang telah
dirumuskan pada bab terdahulu membutuhkan waktu selama 8 (delapan) bulan,
yakni mulai bulan Mei 2009 sampai bulan Desember 2009.
Tabel 1. Jadwal Penelitian
2009 No Jenis Kegiatan
Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
1 Pengajuan Judul
2 Pembuatan proposal
3 Perijinan Penelitian
4 Pengumpulan Data
5 Analisis data
6 Pembuatan Laporan
54
56
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian merupakan suatu keadaan dari hasil pencarian atas
sesuatu yang dilakukan secara sistematis, dimana pencarian tersebut dimaksudkan
untuk mendapatkan pemecahan masalah.
Adapun data yang digunakan bersifat kualitatif, yaitu “Riset kualitatif
memusatkan pada diskripstif, data yang dikumpulkan berujud kata-kata dalam
kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah.
Berisi catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung
penyajian”. (HB. Sutopo, 1996:35).
Hakikat penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran
mereka tentang dunia sekitarnya, mendekati atau berinteraksi dengan orang-orang
yang berhubungan dengan focus penelitian dengan tujuan mencoba memahami,
menggali pandangan dan pengalaman mereka untuk mendapatkan informasi atau
data yang diperlukan. (Iskandar, 2009:24)
Panelitian deskriptif merupakan bentuk penelitian yang digunakan untuk
menjelaskan peristiwa yang terjadi pada masa sekarang sebagaimana adanya pada
saat penelitian dilakukan, mengenai gambaran secara tepat mengenai sifat-sifat
individu, keadaan atau kelompok tertentu antara suatu gejala lain di masyarakat.
Sedangkan data yang digunakan bersifat kualitatif karena data yang digunakan
berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar
angka. Seperti yang dijelaskan oleh H.B. Sutopo (1996 : 35) bahwa :
Berdasarkan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yang menekan pada masalah proses dan makna (persepektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada sekedar pertanyaan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka.
Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Lexy J. Moleong (1995:137) yang
mengutip pendapat Bogdan dan Tylor, penelitian kualitatif adalah sebagai berikut
“Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
57
Sesuai dengan penjelasan tersebut maka dalam penelitian ini
memusatkan perhatian pada masalah penerapan pendekatan eclectic dalam
pembelajaran PPKn di SMP N 7 Surakarta. Pelaksanaan dari penelitian deskriptif
dalam penyusunan skripsi ini tidak terbatas hanya pada waktu pengumpulan data
saja melainkan juga dilakukan ketika proses penganalisaan data yang diakhiri
dengan penarikan kesimpulan. Tapi selain penggunaan pendekatan kualitatif
deskriptif, pengumpulan data dalam penelitian ini juga memanfaatkan pendekatan
kuantitatif sebagai pelengkap atau pendukung. Karena sebelum melakukan
pengumpulan data dengan teknik wawancara, penelitian ini memanfaatkan
kuesioner sebagai instrument untuk memperoleh data awal sebelum melakukan
wawancara secara mendalam.
Hal tersebut seperti dipaparkan oleh Iskandar (2009:31) bahwa,
“…pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dilakukan secara bersama-sama
dalam sebuah penelitian, dengan cara kerjanya dilakukan secara bertahap dan
desainnya adalah memberikan manfaat pada salah satu paradigma penelitian,
sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap atau pendukung saja”.
Dalam hal ini, pendekatan kuantitafif melengkapi pendekatan kualitatif sebagai
pendekatan utama dalam penelitian di SMP N 7 Surakarta.
2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian merupakan cara yang ditempuh pada saat proses
pencarian atas sesuatu yang dilakukan dengan sistematis dalam rangka
mendapatkan pemecahan masalah. Sesuai dengan masalah yang penulis teliti,
penelitian ini termasuk penelitian studi kasus dengan tipe tunggal terpancang.
Studi kasus tunggal terpancang adalah suatu penelitian mengenai
fenomena dalam kehidupan nyata yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu yang
telah ditentukan sebelumnya. Fenomena dalam penelitian ini terjadi pada satu
lokasi (tunggal) yaitu keluarga besar SMP N 7 Surakarta. Terpancang pada tujuan
untuk mengetahui perubahan tingkah laku disiplin siswa saat kegiatan belajar
mengajar berlangsung, ketika guru mengelola kelas dengan menerapkan
pendekatan eclectic serta sejauh mana disiplin kelas dapat terwujud dengan
adanya penerapan pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas. Sehingga tujuan
58
penelitian ini terbatas pada aspek perubahan tingkah laku siswa, dalam hal ini
kedisiplinan siswa sewaktu proses belajar mengajar berlangsung dengan
diterapkannya pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas oleh guru mata
pelajaran PPKn.
C. Sumber Data
Menurut HB. Sutopo (1996:23) sumber data dalam penelitian kualitatif
dapat berupa manusia dan tingkah lakunya, peristiwa, dokumen, arsip dan benda-
benda lainnya.
Dalam penelitian kualitatif ada beberapa sumber data yang dapat
digunakan, antara lain:
1. Informan
“Informan adalah orang yang memberikan informasi. Dengan pengertian
ini maka informan dapat dikatakan sama dengan responden, apabila pemberian
keterangannya karena dipancing oleh pihak peneliti. Istilah ‘informan’ ini banyak
digunakan dalam penelitian kualitatif” (Suharsimi Arikunto, 2006:145). Jadi
informan adalah orang yang mengetahui dan memahami tentang permasalahan
yang ada dan bersedia memberikan informasi pada peneliti. Dalam hal ini
informan yang peneliti ambil terdiri dari:
a) Siswa SMP N 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2009-2010:
1) 10 Orang Siswa Kelas 7 SMP N 7 Surakarta
2) 10 Orang Siswa Kelas 8 SMP N 7 Surakarta
3) 10 Orang Siswa Kelas 9 SMP N 7 Surakarta
b) Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMP N 7 Surakarta Tahun Pelajaran
2009-2010:
1) Prasmani, S.Pd
2) Dimyati, A.Md
3) Sri Prihandajatin
4) Aisah, S.Pd
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada daftar informan (lampiran:1,
halaman:103)
59
2. Dokumen dan arsip
Dokumen ada dua yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi, dokumen
pribadi yaitu tulisan tentang diri seseorang yang ditulisnya sendiri, sedang
dokumen resmi adalah dokumen yang dikeluarkan suatu instansi. Sumber arsip
merupakan informasi yang dapat diperoleh peneliti tentang subjek yang akan
diteliti. Macam-macam dokumen yang digunakan disini meliputi seluruh
dokumen resmi tentang hal-hal yang terkait dengan kegiatan pendidik dalam
pengelolaan kelas yaitu antara lain:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim
Pendidikan Nasional
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
c. RPP guru SMP N 7 Surakarta, yang tercantum dalam perangkat mengajar
(lampiran:2, halaman:104)
3. Tempat dan peristiwa
Kegiatan penelitian kualitatif tidak lepas dari wawancara dan observasi
yang akan melibatkan tempat, pelaku dan peristiwa yang terjadi. Hal ini dilakukan
agar peneliti dapat berhasil sesuai dengan tujuan. Melalui tempat dan peristiwa
peneliti dapat memperoleh data yang sesuai dengan masalah yang diteliti yaitu
dengan menggunakan wawancara maupun observasi. Dalam penelitian ini lokasi
yang dijadikan tempat penelitian adalah kelas-kelas yang ada di SMP N 7
Surakarta.
Peristiwa yang peneliti amati adalah segala kegiatan yang terjadi di SMP
N 7 Surakarta, yang berkaitan dengan penerapan pendekatan eclectic. Semisal
interaksi yang terjadi antara guru dan siswa dalam PBM PPKn di SMP N 7
Surakarta, maupun kegiatan yang dilakukan antara guru dan siswa di SMP N 7
Surakarta di luar proses belajar mengajar yang mencerminkan penerapan
pendekatan eclectic.
60
D. Teknik Pengumpulan Data
“Teknik pengumpulan data adalah suatu kegiatan yang terarah dengan
mencari bahan-bahan yang umumnya telah ditentukan lebih dahulu dalam
program research”. (Sutrisno Hadi, 2000:8). Dalam penelitian ini, teknik
pengumpulan data yang dipergunakan merupakan penggabungan dari pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memanfaatkan kuesioner
sebagai instrument untuk memperoleh data awal yang dipergunakan untuk
melakukan wawancara mendalam dengan key informan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Iskandar (2009:31) yang
menyatakan bahwa, “pada tahap pertama peneliti menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, sedangkan
pada tahap kedua peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik
pengumpulan data seperti teknik observasi dan teknik wawancara secara
mendalam dan terfokus kepada subjek penelitian yang berkompeten dengan
permasalahan penelitian tersebut.” Oleh karena itu, disini peneliti turut
menggunakan kuesioner sebagai salah satu instrument dalam pengumpulan data
awal sebelum ditindak lanjuti dengan wawancara secara mendalam, karena
paradigma utama dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sehingga
paradigma kwantitatif hanya berfungsi sebagai pelengkap saja.
“Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau
hal-hal yang ia ketahui” (Suharsimi Arikunto, 2006:151). Dalam penelitian ini,
kuesioner hanya digunakan sebagai instrument untuk memperoleh data awal
sebelum melakukan wawancara secara mendalam. Dan jenis kuesioner yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup, karena peneliti sudah
menyediakan jawaban sehingga responden tinggal memilih. Kuesioner dalam
penelitian ini, dibagikan kepada siswa dan guru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada angket penelitian untuk siswa (lampiran:3, halaman:144) dan angket
penelitian untuk guru (lampiran:4, halaman:147)
Untuk lebih jelasnya, beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain:
61
1. Pengamatan (Observasi)
Observasi adalah “Studi yang sengaja dan sistematis tentang fenomena
social dengan jalan pengamatan dan pencatatan” (Kartini Kartono, 1996:42).
Dalam reseach kualitatif, observasi dapat dilakukan dengan cara observasi
berperan dan tidak berperan.
Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi tak berperan, karena
peneliti secara langsung ke lokasi penelitian guna mendapatkan gambaran yang
jelas dalam wawancara. Selain itu, penulis ikut mengalami peristiwa yang terjadi
sehingga lebih membantu dalam menjawab permasalahan yang ada di SMP N 7
Surakarta mengenai perubahan tingkah laku disiplin siswa dengan diterapkannya
pendekatan eclectic kaitannya dengan pencapaian tujuan pembelajaran yang
efektif dan efisien.
2. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan suatu teknik dalam rangka mencari informasi
melalui percakapan atau dialog guna memperoleh jawaban atas pertanyaan yang
diajukan. Seperti dipaparkan oleh Suharsimi Arikunto (2006:155) bahwa,
“Interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan,
adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh
informasi dari terwawancara.”
Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara secara mendalam.
Mendalam karena informan penelitian sekaligus obyek yang diteliti adalah siswa
SMP yang mayoritas masih lugu dan polos, sehingga membutuhkan penelusuran
secara perlahan dan hati-hati. Dan dengan wawancara secara mendalam, maka
data yang diperoleh lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, terlebih
peneliti memiliki ikatan emosional yang kuat sebagai mantan mahasiswa PPL
terhadap informan. Namun penulis juga mempergunakan wawancara terbuka atau
secara langsung karena informan penelitian yang lain adalah guru PPKn di SMP
N 7 Surakarta, sehingga diperlukan wawancara formal untuk perolehan data.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada pedoman wawancara untuk siswa
(lampiran:5, halaman:149) dan pedoman wawancara untuk guru (lampiran:6,
halaman:150).
62
3. Dokumentasi
Dokumentasi dan arsip merupakan sumber data yang sangat penting
artinya dalam penelitian kualitatif, terutama bila sasarannya sangat berkaitan
dengan peristiwa yang sedang di pelajari. Dalam penelitian ini, penulis membuat
beberapa dokumentasi yang berupa gambar (cetak foto) antara penulis dengan
informan, yang dapat dilihat secara jelas dalam foto-toto penelitian (lampiran:7,
halaman:151).
E. Teknik Sampling (Cuplikan)
Teknik sampling adalah “Suatu bentuk khusus atau proses bagi
pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi”. (HB
Sutopo, 1996:52)
Teknik pengambilan sampling dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu: purposif sampling, internal sampling, time sampling,
dan snow ball sampling. Sehingga dalam penelitian kualitatif sample ditujukan
oleh peneliti sendiri dengan mempertimbangkan bahwa sample itu dimengerti,
jujur, dapat dipercaya, dan datanya bersifat objektif.
Kemudian teknik cuplikan atau sampling yang biasa digunakan adalah
teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan
berdasarkan konsep teoritis yang digunakan dan keingintahuan pribadi peneliti.
Oleh karena itu cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive
sampling. Purposive sampling digunakan karena dalam penelitian ini
menggunakan sampel yang dianggap mengetahui secara mendalam mengenai
dampak dilaksanakannya pendekatan pengelolaan kelas, yaitu siswa yang diajar
oleh guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang menerapkan
pendekatan eclectic ketika proses belajar mengajar dilaksanakan, serta guru itu
sendiri sebagai pribadi yang mengajar dengan memilih eclectic demi mewujudkan
tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien.
63
F. Validitas Data
Validitas data atau kesahihan data merupakan kebenaran data dari kancah
peneliti. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan maksud supaya hasil penelitiannya
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, karena validitas data menunjukkan
mutu seluruh proses pengumpulan data dalam penelitian. Data yang telah
dikumpulkan, diolah, dan diuji kesahihannya melalui teknik pemeriksaan tertentu.
Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yaitu:
1. Trianggulasi
Mengenai pengertian trianggulasi, Lexy J. Moleong (1995:178)
berpendapat bahwa trianggulasi adalah, “tehnik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai bahan pembanding terhadap data itu.”
Dalam penelitian ini penulis melakukan trianggulasi data dengan
mengadakan pengecekan antara pernyataan yang diungkapkan oleh guru lewat
wawancara formal dengan pernyataan yang dijabarkan oleh murid lewat
wawancara non-formal. Dan dari kedua macam pernyataan tersebut, penulis
kroscek dengan metode pengamatan atau observasi yang penulis lakukan ketika
kegiatan penelitian berlangsung dengan mengikuti jalannya kegiatan belajar
mengajar mata pelajaran PPKn di dalam kelas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada trianggulasi data (lampiran:8, halaman:155).
2. Informan Review
Informan review adalah “cara dalam usaha pengembangan validitas
dimana peneliti yang sudah mendapatkan data dan berusaha menyusun sajian
datanya walaupun mungkin masih utuh dan menyeluruh. Sehingga unit-unit
laporan yang telah disusun dikomunikasikan dengan informan, khususnya
informan pokok (Key Informan)”. (HB Sutopo, 1996:70)
Dalam hal ini, penulis memiliki beberapa informan pokok (Key
Informan) yang merupakan siswa SMP N 7 Surakarta yang merasakan dan
mengalami perubahan kondisi psikis dengan diterapkannya pendekatan eclectic
dalam pengelolaan kelas oleh guru mereka. Sehingga apabila dalam pengumpulan
data terjadi kehilangan data, semisal ada beberapa data yang tercecer, penulis
64
meminta bantuan pada informan pokok untuk memberikan keterangan yang
menyempurnakan hasil penelitian.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif biasanya dilakukan bersamaan
dengan proses pengumpulan data sampai diperoleh suatu kesimpulan, sehingga
analisis data tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Lexy J.
Moleong (1995:103) analisis data adalah “Proses pengorganisasian dan
pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data”, jadi analisis data diperoleh dengan mengorganisasikan dan mengurutkan
data tersebut ke dalam kelompok tertentu.
Penelitian ini menggunakan analisis data model interaktif (Interactive of
Analysis). Menurut M.B Miles dan A.M Huberman (1999:16) “…Analisis terdiri
dari tiga alur kegiatan yang bersamaan, tiga komponen kegiatan tersebut adalah
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi)”. Tiga hal
tersebut merupakan sesuatu yang menjalin dalam bentuk sejajar untuk
membanguan wawasan umum yang disebut “analisis”.
1. Pengumpulan Data
Proses analisis data dimulai dengan mengumpulkan data, sesuai
dengan teknik pengumpulan data seperti yang dikemukakan sebelumnya,
maka pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan
wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dapat dilakukan sejak
pengumpulan data awal sampai pengumpulan data terakhir.
2. Reduksi Data
Pengertian reduksi data menurut Miles dan Huberman (1999:16) “
Reduksi data diartikan sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian
dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan yang tertulis di lapangan”. Setelah data dikumpulkan
maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data. Reduksi data
65
dilakukan dengan cara membuat suatu abstraksi yaitu membuat rangkuman
yang inti. Kegiatan reduksi data berlangsung selama penelitian berlangsung.
3. Sajian Data
Suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun, yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk
teks naratif.
Proses analisis selanjutnya adalah penyajian data yang mengorganisir
informasi secara sistematis untuk mempermudah peneliti dalam
menggabungkan dan merangkai keterkaitan antara daya dalam menyusun
penggambaran proses serta memahami fenomena yang ada pada obyek
penelitian.
4. Penarikan Kesimpulan
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari hasil wawancara,
observasi dan dokumentasi dapat segera ditarik kesimpulan yang bersifat
sementara. Agar kesimpulan tersebut lebih mantap maka peneliti
memperjuangkan pada waktu obsevasi. Dari observasi tersebut dapat
ditemukan data baru yang dapat mengubah kesimpulan sementara, sehingga
diperoleh kesimpulan yang mantap. Proses analisis dengan model interaktif
dapat ditujukkan dengan bagan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 2. Skema Model Interaktif (H.B Sutopo, 1996:96)
66
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap dalam penelitian dari awal
sampai akhir. Dalam kegiatan ini sejak pembuatan proposal penelitian, mengurus
perijinan, pelaksanaan penelitian di lapangan, analisis data dan pembuatan
laporan. Dijabarkan dalam skema sebagai berikut
Persiapan Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Awal
Pembuatan Proposal Analisis Data Akhir
Penelitian dan Perijinan
Penarikan Kesimpulan
Pembuatan dan
Penggandaan Laporan
Gb.3: Skema Prosedur penelitian
Penjelasan mengenai tahapan penelitian tersebut adalah:
1. Tahap Persiapan Penelitian
Tahap ini kegiatannya adalah merencanakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelaksanaan penelitian. Dari mulai pengajuan judul,
pembuatan proposal penelitian dan mengurus perijinan untuk memperlancar
jalannya penelitian.
2. Tahap Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan data ini peneliti menggunakan tiga teknik yaitu:
pengamatan (observasi), wawancara, dan analisis dokumen. Ketiga teknik ini
digunakan untuk melengkapi data satu dengan lainya sehingga data yang
dkumpulkan benar-benar valid.
3. Tahap Analisis Data Awal
Analisis data awal digunakan untuk mengetahui apakah data yang
tidak dikumpulkan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan yang tidak
67
diperlukan agar data yang sangat diperlukan dapat terpisah dari data yang
tidak berguna.
4. Tahap Analisis Data Akhir
Data yang dianalisis dalam tahap ini adalah data yang diperoleh dalam
pengumpulan data dan merupakan data yang sangat mendukung tujuan
penelitian. Karena data ini sudah dianalisis awal, maka merupakan data yang
valid. Setelah tahap analisis data selesai maka dapat diteliti.
5. Tahap Penarikan Kesimpulan
Setelah semua data dianalisis yang sesuai dengan penelitian kualitatif,
maka tahap selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari apa yang dihasilkan
dalam analis data tersebut. Penarikan kesimpulan harus didasarkan pada
tujuan penelitian dengan didukung olah data yang valid, sehingga hasil
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
6. Tahap Penulisan dan penggandaan Laporan
Dalam tahap ini, semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian
dan hasil yang dicapai, ditulis dan dilaporkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan bentuk laporan harus sesuai dengan aturan yang sudah
ditetapkan.
68
I. OPERASIONAL KEGIATAN GURU YANG DIOBSERVASI
Operasional kegiatan guru yang diobservasi adalah kegiatan guru dalam
kelas yang diamati oleh penulis. Ini adalah serangkaian kegiatan yang merupakan
penerapan dari pendekatan eclectic dalam pengelolaan kelas.
Dijelaskan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Interaksi
II.
III.
IV.
Gb.4: Operasional Kegiatan Guru yang Diobservasi
Penjelasan mengenai operasional kegiatan guru tersebut adalah:
1. Dalam kegiatan pengelolaan kelas oleh guru, terdapat interakasi antara
guru dengan siswa didik.
2. Dari interaksi yang terjadi dalam pengelolaan kelas oleh guru, guru
meghadapi kendala “gangguan disiplin kelas” oleh siswa didik.
Pendekatan Eclectic dalam Pengelolaan Kelas Oleh Guru
SISWA GURU
Guru Menghadapi Kendala “Gangguan Disiplin Kelas”
Guru Mengupayakan Pemecahan Masalah
Terwujud Disiplin Kelas
Preventif (Pencegahan) Kuratif (Penindakan)
Tujuan Pembelajaran Tercapai
Pengelolaan Kelas Oleh Guru
69
3. Menyikapi kendala “gangguan disiplin kelas” tersebut, guru
mengupayakan dua tindakan, yaitu tindakan pencegahan (Preventif)
dengan membuat peraturan di dalam kelas, juga dengan melakukan suatu
bentuk hukuman sebagai bentuk penindakan (Kuratif).
4. Kedua tindakan tersebut baik preventif maupun kuratif, dilakukan oleh
guru dengan mengimplementasikan hal-hal yang terkandung dalam
pendekatan eclectic. Sehingga dalam mengupayakan ketertiban di dalam
kegiatan pengelolaan kelas, guru menggunakan pendekatan eclectic yang
relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada saat ini.
5. Dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dalam
pengelolaan kelas, diharapkan disiplin kelas dapat terwujud.
6. Dengan terwujudnya disiplin kelas dalam kegiatan belajar mengajar di
dalam kelas, maka diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang
berupa perubahan tingkah laku siswa ke arah yang positif.
70
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Keadaan Geografis SMP N 7 Surakarta
Secara geografis, SMP Negeri 7 Surakarta terletak di bagian utara kota
Surakarta, tepatnya di Jl. Mr. Sartono No. 34 Surakarta, kecamatan Banjarsari,
Kabupaten / Kota madya Surakarta dengan nomor telepon (0271) 852674. Lokasi
SMP N 7 Surakarta cukup kondusif untuk proses belajar mengajar karena
daerahnya yang cukup tenang dan nyaman. Walaupun berada di daerah perkotaan,
namun terhindar dari kebisingan jalan raya sehingga mendukung kelancaran
proses belajar mengajar. Hal ini dikarenakan tata letak bangunan yang bagus
sehingga antara lingkungan sekolah dengan dunia luar terpisah secara baik dan
tepat. Dengan demikian maka seluruh elemen pembelajaran dapat melaksanakan
kegiatannya masing-masing dengan lebih fokus dan terhindar dari gangguan dunia
luar.
Gedung SMP Negeri 7 Surakarta menghadap ke utara atau tepatnya
terletak di sebelah selatan Jl. Mr. Sartono No. 34. Gedung SMP N 7 Surakarta
berbentuk persegi panjang dan dikelilingi oleh ruang kelas, ruang perpustakaan,
ruang musik, ruang tata usaha, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
keterampilan, ruang koperasi siswa, ruang aula, ruang laboratorium, ruang
komputer, ruang agama dan terdapat pula lapangan olah raga. Semua ruangan
tersebut tertata secara rapih dan senantiasa terjaga kebersihannya, sehingga sangat
mendukung terlaksananya kegiatan akademik yang kondusif dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran yang optimal.
Untuk menggambarkan secara jelas perihal keadaan geografis SMP N 7
Surakarta, dibawah ini penulis sajikan denah sekolah SMP N 7 Surakarta
berdasarkan hasil observasi, sebagai berikut:
69
71
er
Gb. 5: Denah SMP N 7 Surakarta
1 2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
31
30
29
28
27
26
25 24 23 22 20 19
21 18 17 16
41
42
32
40
39
38
37
36
35
33 34
15
14
13
72
Keterangan:
1. Gerbang I
2. Gerbang II
3. Ruang Multimedia
4. Ruang Kurikulum
5. Ruang Bimbingan Konseling
6. Ruang Tata Usaha
7. Ruang Penerimaan Tamu
8. Ruang Wakil Kepala Sekolah
9. Ruang Kepala Sekolah
10. Ruang Guru
11. Ruang Aula
12. Ruang Karawitan
13. Ruang Keterampilan
14. Ruang Koperasi Siswa
15. Ruang Laboratorium IPA
16. Ruang Komputer
17. Ruang Agama
18. Ruang Kelas VII A
19. Ruang Kelas VII B
20. Ruang Kelas VII C
21. Ruang Kelas VII D
22. Ruang Kelas VII E
23. Ruang Kelas VII F
24. Ruang Kelas VIII A
25. Ruang Kelas VIII B
26. Kamar Mandi (WC)
27. Ruang Kelas VIII C
28. Ruang Kelas VIII D
29. Ruang Kelas VIII E
30. Ruang Kelas VIII F
31. Ruang Perpustakaan
32. Mushola
33. Ruang OSIS
34. Kamar Mandi (WC)
35. Ruang Kelas IX A
36. Ruang Kelas IX B
37. Ruang Kelas IX C
38. Ruang Kelas IX D
39. Ruang Kelas IX E
40. Ruang Kelas IX F
41. Ruang Laboratorium Biologi
42. Lapangan Upacara
Setiap sekolah sudah pasti memiliki visi dan misi tertentu yang bertujuan
sebagai patokan seluruh elemen pembelajaran dalam bertindak, sehingga dapat terus
mingkatkan mutu sekolah dari waktu ke waktu. Adapun visi dari SMP N 7 Surakarta,
adalah “ Unggul dalam prestasi berdasar Iman dan Taqwa”. Sedangkan misi dari
SMP N 7 Surakarta, adalah “Mewujudkan system pendidikan yang merata dan adil.
Mewujudkan system pendidikan yang bermutu serta menghasilkan lulusan cerdas,
71
73
terampil, budaya beriman dan bertaqwa. Dan mewujudkan system pendidikan yang
transparan, akuntabel, partisipatif dan efektif.” Visi dan missi ini, terimplementasi
dalam keseharian seluruh elemen pembelajaran yang berada di SMP N 7 Surakarta,
baik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam kegiatan sekolah secara
umum.
2. Komposisi Guru dan Siswa SMP N 7 Surakarta
Sebagai salah satu elemen pembelajaran yang krusial, keberadaan guru
dalam sebuah instansi pendidikan merupakan hal yang mutlak. Tanpa keberadaan
seorang guru, maka kegiatan pembelajaran tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu
setiap instansi pendidikan pasti membutuhkan sosok seorang guru. Karena sekolah
merupakan salah satu instansi yang bergerak dibidang pendidikan, maka keberadaan
guru dalam sekolah merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Di sebuah sekolah, guru memiliki kedudukan di bawah otoritas Kepala
Sekolah. Oleh karena itu guru bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah. Selain hal
tersebut, guru memiliki tugas melaksanakan Proses Belajar Mengajar secara efektif
dan efisien. Secara lebih terperinci tugas tersebut antara lain:
a. Membuat program rencana pengajaran
b. Membuat satuan pengajaran
c. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar
d. Melaksanakan kegiatan penilaian
e. Mengisi daftar nilai siswa
f. Melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar
g. Menyusun dan melaksanakan program perbaikan
h. Melaksanakan kegiatan pembimbingan
i. Membuat alat pelajaran
j. Menciptakan karya seni
k. Mengikuti perkembangan kurikulum
l. Melaksanakan kegiatan tertentu di sekolah
m. Mengadakan pengembangan
74
n. Membuat LKS
o. Membuat catatan perkembangan siswa
p. Meneliti daftar hadir siswa
q. Mengatur kebersihan kelas
r. Menghitung angka kredit untuk kenaikan pangkat
Selain beberapa tugas tersebut, ada beberapa tugas tambahan lain yang harus
dijalankan oleh guru yang terpilih sebagai wali kelas. Wali kelas adalah guru yang
diberi tanggung jawab untuk mengampu sebuah kelas, sehingga membantu Kepala
Sekolah dalam kegiatan sebagai berikut:
a. Pengelolaan Kelas
b. Penyelenggaraan Administrasi Kelas yang meliputi::
1) Denah tempat duduk siswa
2) Papan absensi siswa
3) Daftar pelajaran kelas
4) Daftar piket kelas
5) Buku absensi siswa
6) Buku kegiatan belajar mengajar
7) Tata tertib siswa
c. Pembuatan statistik siswa
d. Daftar nilai siswa
e. Catatan tentang siswa
f. Pengisian buku laporan pendidikan
Adapun jumlah guru SMP N 7 Surakarta tahun pelajaran 2009 / 2010 adalah
sebanyak 58 orang, yang terdiri dari 52 orang guru tetap dan 6 orang guru honorer.
Untuk lebih jelasnya, lihat tabel.2:
75
Tabel 2 : Daftar guru SMP N 7 Surakarta Th. 2009 / 2010
No Kode Nama dan NIP Mata Pelajaran dan Kelas 1 1 Drs. Karyana, M.M
19641022 198803 1 006 BK
2 2 Dra. Sri Rahayu 19610511 198703 2 005
BK, Kelas VIII (A,B,C,D)
3 3 Drs. Kaswan Darmasto 19600529 198803 1 002
BK, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
4 4 Drs. Sulistyo 19590813 197903 1 003
IPA Fisika, VII (A,B,C,D,E,F)
5 5 Dra. Ratna Istikawati 19620130 198903 2 002
IPS Geografi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F)
6 6 Waluyo 19500408 197703 2 002
Matematika, Kelas VIII (A,B)
7 7 Endang Darmastuti, B.A 19520520 197903 2 004
IPS Sejarah, Kelas VII (A,B,C,D,E,F)
8 8 Sis Dumadi, B.A 19531124 197711 1 001
Matematika, Kelas IX (A,B,C)
9 9 Gomar Sumardjo 19540714 197803 1 007
IPA Biologi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F)
10 10 L.B Woro Sujiatmi, A.Md 19550991 197902 2 001
Bhs. Indonesia, Kelas VII (A,B)
11 11 Deasy Puparita 19600203 198102 2 002
IPA Biologi, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
12 12 Sri Mulyaningsih, R.H 19610101 198303 2 002
Matematika, Kelas IX (D,E,F)
13 13 Surono, S.Pd 19580419 197903 1 005
BK, Kelas VII (A,B,C,D,)
14 14 J.M. Wiwiek Dianawati 19570527 198502 2 002
Bhs. Jawa, Kelas VII (A,B,C,D,E,F); IX (D,E,F)
15 15 Prasmani, S.Pd 19600706 198112 1 004
PPKN, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
16 16 Christiana Dyah S, S.Pd 19510110 198301 2 001
IPA Fisika, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
17 17 E. Harimurni M.A.P, S.Pd 19631221 198403 2 002
Matematika, VIII (E,F)
18 18 R.A, Retno Lesnaming, S.Pd 19611029 198302 2 005
Kesenian Daerah, Kelas VIII (D,E,F); IX (A,B,C,D,E,F)
19 19 Dimyati, A.Md 19550913 198303 1 009
PPKN, Kelas VIII (C,D,E,F)
20 20 Sutrisni, S.Pd IPS Ekonomi, VIII (A,B,C,D,E,F)
76
19690523 198803 2 010 21 21 Drs. Joko Riyanto
19631029 199512 1 001 BK, Kelas VII (E,F)
22 22 Sri Wahyuni, S.Pd 19611007 198302 2 003
Bhs. Indonesia, Kelas VII (E,F)
23 23 Tarmi, S.Pd 19621006 198303 2 008
Bhs. Indonesia, Kelas VII (C,D)
24 24 Giyanto, S.Pd 19610915 198601 1 003
Bhs. Jawa, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F); IX (A,B,C)
25 25 Dwi Atmodjo Chris Gunawan 19610125 198112 1 002
IPA Biologi, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F)
26 26 Sri Lestari 19640718 198112 1 002
Pendidikan Agama, Kelas VII (A,B,C,D,E,F); VIII (A,B,C,F); IX (A,B,C,F)
27 27 Heni Kusmardini, S.Pd 1966064 199003 2 007
Bhs. Indonesia, Kelas IX (D,E,F)
28 28 Sri Yuswati, S.Pd 19680426 199203 2 005
Matematika, Kelas VII (D,E)
29 29 Vera Lucia Soepadi 19600520 198301 2 004
Bhs. Indonesia, Kelas IX (A,B,C)
30 30 Sri Prihandajatih 19550822 198503 2 003
PPKN, Kelas VII (C,D,E,F)
31 31 Giyamtini 19560920 198601 2 001
Seni Budaya, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
32 32 Achir Arjani, S.Pd 19680920 199802 2 001
IPS Geografi, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F)
33 33 Drs. Sri Widodo 19660329 199802 1 002
Matematika, Kelas VIII (C,D)
34 34 Lestari Mahanani, S.Pd 19690324 199802 2 003
Bhs. Inggris, Kelas VII (A,B); VIII (D,E,F)
35 35 Mulyadi 19590706 198601 1 003
Pendidikan Jasmani, Kelas VIII (A,B,C,D,E,F)
36 36 Nur Rokhmawati, S.Ag 19690413 199903 2 004
Pendidikan Agama Islam, Kelas VII F, IX (A,B,C,D,E)
37 37 Sri Wulandari, S.Pd 19701015 199903 2 005
IPS Sejarah, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
38 38 Drs. Gunawati 19680310 200312 1 003
Pendidikan Jasmani, Kelas IX (A,B,C,D,E,F)
39 39 Dian Ekawati, S.Pd 19750125 200501 2 017
Bhs. Inggris, Kelas VIII A, IX (A,B,C)
40 40 Reni Sunarso, S.Pd 19701231 200501 2 036
Bhs. Indonesia, Kelas VIII (A,B,C)
41 41 Agung Wijayanto, S.Psi BK, Kelas VII (E,F), VIII (E,F)
77
19790808 200604 1 008 42 42 F. Dina Swantari, S.Pd
19690619 200711 2 017 IPS Geografi, Kelas VII (A,B,C,D,E,F)
43 43 L.S. Rina Harmastuti 19681207 200701 2 017
Pendidikan Agama Katolik, Kelas VII (A,D,F), VIII (A,D,F), IX (A,D,F)
44 44 Kasih Hanggeni, S.Pd 19711120 200701 1 007
Kesenian Daerah, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C)
45 45 Maryadi, A.M.D 19640808 200701 1 002
Bhs. Inggris, Kelas VIII (E,F), IX (D,E,F)
46 46 Mahmudiyah, S.Pd 19741115 200801 2 014
Bhs. Inggris, Kelas VII (C,D,E,F)
47 47 Eko Supriyadi, S.Pd 19750422 200801 1 005
IPA Fisika, VIII (A,B,C,D,E,F)
48 48 Aisyah, S.Pd 19670425 200801 2 008
PPKN, Kelas VII (A,B), VIII (A,B)
49 49 Septriana Handajani, S.Pd 19690923 200801 1 007
Matematika, Kelas VII (A,B,C)
50 50 Adi Putranto, S.Pd 19700504 200801 1 007
Pendidikan Jasmani, Kelas VII (A,B,C,D,E,F)
51 51 Mustajab, S.Pd 19760208 200801 1 005
Bhs. Indonesia, Kelas VIII (D,E,F)
52 52 Qoribah Rahmawati, S.Pdi 19790120 200902 2 003
Pendidikan Agama Islam, Kelas VIII (A,B,C,D,E), IX F
53 53 Tri Wahyuni TIK, Kelas VIII (D,E,F), IX (A,B,C,D,E,F) 54 54 Moh. Muhtarom, S.E, S.Kom TIK, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII (A,B,C) 55 55 Gideon Yusep P. Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII
(A,B,C,D,E,F) 56 56 Lis Hastutik Matematika, Kelas VII D 57 57 Nivorita Dwi Dayanti, S.Sn Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E,F), VIII
(A,B,C,D,E,F) 58 58 Paderi Siammudin, S.Pdi Seni Budaya, Kelas VII (A,B,C,D,E) dan VIII
F
Dari banyak guru tetap yang mengajar di SMP N 7 Surakarta tersebut, ada
beberapa orang yang diberi tanggung jawab untuk menjadi seorang wali kelas.
Adapun susunan Wali Kelas SMP Negeri 7 Surakarta adalah sebagai berikut, lihat
tabel.3:
78
Tabel 3 : Susunan wali kelas SMP N 7 Surakarta Th. 2009/2010
NO WALI KELAS VII – IX NAMA I Wali Kelas VII :
1. VII A 2. VII B 3. VII C 4. VII D
5. VII E 6. VII F
L.S. Rina Harmastuti, S.Ag Septriana Handayani, S.Pd Sri Lestari Adi Putranto, S.Pd Mahmudiyah, S.Pd Sri Yuswati, S.Pd
II Wali Kelas VIII : 1. VIII A 2. VIII B 3. VIII C 4. VIII D 5. VIII E 6. VIII F
Reni Sunarso, S.Pd Aisyah, S.Pd Sutrisni, S.Pd D.A.C. Gunawan Qoribah, S.Ag Endang Harimurni, M.A.P, S.Pd
III Wali Kelas IX : 1. IX A 2. IX B 3. IX C 4. IX D 5. IX E 6. IX F
Deasy Puparita Sri Wulandari, S.Pd Drs. Gunawan J.M Wiwiek D, S.Pd Sri Mulyaningsih, S.Pd Ch. Dyah Soeprobo, S.Pd
Dari data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) guru
yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMP N
7 Surakarta, yakni:
a. Bapak Prasmani, S.Pd
b. Ibu Dimyati, S,Pd
c. Ibu Sri Prihandajatih
d. Ibu Aisyah, S.Pd
Dan dari keempat guru tersebut, ada salah satu guru yang ditunjuk menjadi
seorang wali kelas. Beliau adalah ibu Aisyah, S.Pd yang mengampu kelas VIII B di
SMP N 7 Surakarta.
79
Selain guru, tentunya elemen yang tidak kalah penting dalam sebuah instansi
pendidikan yang dalam hal ini adalah sekolah, adalah keberadaan siswa atau murid.
Karena tanpa adanya siswa maka guru tidak dapat melaksanakan tugas mereka yaitu
mengajar dan mendidik siswa sebagai anak didiknya.
Jumlah peserta didik di SMP N 7 Surakarta tahun pelajaran 2009/2010
adalah sebanyak 658 orang siswa, yang mana 538 orang siswa diantaranya memeluk
agama Islam (78%), 127 orang siswa diantaranya memeluk agama Kristen (19%), 20
orang siswa diantaranya memeluk agama Katolik (2,9%), dan terdapat 1 orang siswa
yang memeluk agama Hindu (0,1%). Dan bila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
maka terdapat 305 orang siswa yang berjenis kelamin laki-laki di SMP N 7 Surakarta
(45%), dan 381 orang siswa yang berjenis kelamin perempuan di SMP N 7 Surakarta
(56%). Selengkapnya tersaji seperti tabel dibawah ini:
Tabel 4 : Rekapitulasi data siswa SMP N 7 Surakarta Th. 2009/2010
Agama No Kelas Islam Kristen Katolik Hindu
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1 VII A 30 5 0 1 18 18 36 2 VII B 22 14 0 0 15 21 36 3 VII C 28 8 0 0 16 20 36 4 VII D 28 0 8 0 18 18 36 5 VII E 36 0 0 0 16 20 36 6 VII F 29 7 0 0 17 19 36 7 VIII A 31 8 1 0 17 23 40 8 VIII B 26 14 0 0 18 22 40 9 VIII C 26 14 0 0 20 20 40
10 VIII D 33 7 0 0 19 21 40 11 VIII E 40 0 0 0 17 23 40 12 VIII F 34 5 1 0 15 25 40 13 IX A 28 10 2 0 17 23 40 14 IX B 24 14 0 0 15 23 38 15 IX C 25 13 0 0 14 24 38 16 IX D 32 0 6 0 12 26 38 17 IX E 38 0 0 0 16 22 38 18 IX F 28 8 2 0 25 13 38 JUMLAH 538 127 20 1 305 381 686
80
Dari data tersebut, terlihat bahwa jumlah total siswa yang ada adalah
sebanyak 686 murid. Jumlah tersebut cukup besar sehingga menuntut kinerja guru
yang optimal agar dapat mengajar dan membimbing murid secara efektif dan efisien.
Terlebih keberagaman yang ada ditinjau dari segi agama, menuntut guru agar lebih
kreatif dan inovatif dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di kelas, agar mampu
mencapai keberhasilan proses belajar mengajar.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
1. Penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di SMP N 7
Surakarta
Pada suatu sistem pendidikan dibutuhkan kinerja yang baik dari setiap
komponen yang terlibat didalamnya. Termasuk salah satu komponen pendidikan yang
penting adalah seorang guru yang bertugas untuk mendidik dan mengajar peserta
didik. Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik serta sistem
pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik,
bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga yang lain. Pendidikan yang
hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit, harus
dikembalikan pada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta
didik secara utuh. Karena itulah dibutuhkan adanya jiwa dedikasi yang tinggi pada
diri seorang guru sebagai pendidik.
Pada masa yang lampau kelas yang dipandang baik adalah kelas yang
tenang, murid-murid selalu patuh pada guru, duduk tenang, diam, memperhatikan
guru, mencatat dan menghafalkan meteri pelajaran dengan baik. Namun kini
gambaran kelas yang baik telah berubah, dimana ketertiban kelas bukan merupakan
tujuan, melainkan merupakan kondisi untuk mencapai tujuan. Kelas yang baik adalah
kelas yang didalamnya murid-murid dapat melakukan kegiatan atau aktivitas belajar
yang meliputi aktivitas mental, fisik dan emosional secara optimal dalam rangka
mencapai tujuan pengajaran. Aktivitas tersebut seperti berfikir, mengingat, berfantasi,
berdiskusi, kerja kelompok, mengadakan percobaan atau eksperimen, menahan atau
81
mengendalikan diri dalam pergaulan dengan teman, saling menghormati sesama
murid dalam kelas dan lain sebagainya.
Perubahan tersebut membawa pula perubahan pada letak tanggung jawab
belajar. Apabila dahulu adanya tanggungjawab belajar terpusat hanya pada guru, kini
murid yang harus belajar sendiri. Tugas guru adalah sebagai fasilitator dan motivator
belajar murid. Maka keberhasilan belajar murid ditentukan bersama oleh murid itu
sendiri dan guru.
Menyikapi hal tersebut, kini guru harus lebih kreatif dalam kegiatan belajar
mengajar sebagai fasilitator dan motivator yang baik, yakni dengan pengelolaan kelas
yang tepat sehingga dapat menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik
siswa didik, agar keberhasilan proses pembelajaran dapat tercapai.
Yang dimaksud dengan pengelolaan kelas atau managemen kelas adalah
penyelenggaraan kelas, pengaturan kelas atau pengurusan kelas, yaitu kepemimpinan
atau ketatalaksanaan guru dalam menyelenggarakan kelas. Dalam pengelolaan kelas
dikenal beberapa pendekatan yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru agar murid-
murid dapat mencapai tujuan belajar dengan efektif dan efisien. Setiap guru harus
benar-benar memahami pola-pola pendekatan yang digunakan-nya dalam Proses
Pembelajaran sebagai alternatif terbaik yang mereka pilih. Beberapa pendekatan
tersebut adalah pendekatan perubahan tingkah laku (behavioral modification),
pendekatan sosio emosional climate, dan pendekatan group process. Ketiga
pendekatan yang tersebut adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap
objek yang sama. Oleh karena itu seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan
ecletic (Eclectic Approach). Untuk maksud itu seorang guru diharuskan menguasai
pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensial, dalam hal ini pendekatan
perubahan tingkah laku, penciptaan iklim sosio-emosional dan proses kelompok;
serta dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur yang sesuai
dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas.
Pendekatan perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan
yang akan dilakukan adalah menguatkan tingkah laku peserta didik yang baik
82
dan/atau menghilangkan tingkah laku peserta didik yang kurang baik; pendekatan
penciptaan iklim sosio-emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan
adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru dan peserta didik serta antar peserta
didik; sedangkan pendekatan proses kelompok dianut bila seorang guru ingin
kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Dari beberapa pernyataan tersebut, maka dapat dijelaskan secara singkat
bahwa terdapat tiga pendekatan yang relevan untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan saat ini. Dan ketiga pendekatan tersebut, tercover dalam pendekatan
eclectic. Sehingga dengan diterapkannya pendekatan eclectic dalam proses
pembelajaran, dapat membantu guru dalam mencapai tujuan belajar yang efektif dan
efisien.
Pendekatan eclectic adalah pendekatan yang sesuai untuk digunakan dalam
menyampaikan materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, karena tujuan utama
dari penyampaian materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah menciptakan
karakter siswa didik yang baik. Bukan hanya baik dalam teori namun juga dalam
praktik tingkah laku sehari-hari.
Dari wawancara yang telah penulis lakukan terhadap guru PPKn di SMP N 7
Surakarta, penulis mendapati bahwa mereka mengakui telah menerapkan pendekatan
pengelolaan kelas yang sesuai dengan karakteristik pendekatan eclectic. Semisal,
mereka mengakui bahwa dalam menyampaikan materi pelajaran PPKn, pengenalan
karakteristik peserta didik sangat diperlulan agar guru lebih mampu memilah dan
memilih metode yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Dan dalam
mengatasi pesermasalahan yang terjadi dalam kelas, guru senantiasa menerapkan
hukuman atau punishment yang disesuaikan dengan kondisi psikologis anak didik
agar tidak membawa dampak negatif, seperti ada anak yang merasa dipermalukan
didepan teman-temannya sehingga menimbulkan rasa dendam dikemudian hari. Guru
juga mengakui sering memberikan award maupun pujian terhadap anak yang
berprestasi maupun telah melakukan hal yang baik dan membanggakan, agar dapat
dijadikan teladan oleh siswa yang lain. Dan mayoritas guru yang mengajar di SMP N
83
7 Surakarta memang mengakui bahwa mereka memiliki kedekatan yang positif
dengan siswa didiknya, sehingga sering membuka forum baik didalam maupun di
luar kelas sebagai kegiatan sharing dan problem solving terhadap masalah yang
dihadapi siswa. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dalam hasil wawancara pada guru
(lampiran:9, halaman:159)
Dari kegiatan observasi yang telah penulis lakukan di SMP N 7 Surakarta,
penulis melihat bahwa dalam PBM PPKn di SMP N 7 Surakarta, pengajar
menggunakan Pendekatan Eclectic dalam proses belajar mengajar. Dan dengan
diterapkannya pendekatan tersebut, telah memudahkan mereka dalam mengelola
kelas dan mengarahkan peserta didik agar lebih disiplin dan teratur. Dan secara
spesifik, keberhasilan belajar penulis kaji dari sudut pandang “Disiplin Kelas”.
Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting dalam
pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria penting
dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru.
Di SMP N 7 Surakarta, guru yang mengajar mata pelajaran PPKn telah
menerapkan pendekatan eclectic dengan cukup baik dalam proses belajar mengajar.
Pendekatan ini diterapkan oleh mereka dengan jalan senantiasa memberikan motivasi
dalam setiap penyampaian materi pelajaran sebagai bentuk implementasi pendekatan
pengubahan tingkah laku, karena memberikan motivasi pada peserta didik sama
halnya dengan memberikan penguatan yang positif agar tingkah laku siswa yang baik
akan terus terbina dan semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu. Selain hal tersebut,
sebagai bentuk penerapan pendekatan pengubahan tingkah laku, guru di SMP N 7
Surakarta yang mengajar mata pelajaran PPKn juga senantiasa memberikan tindakan-
tindakan pencegahan terhadap disiplin kelas dengan memberikan sanksi kepada
peserta didik yang melanggar peraturan agar menjadi contoh bagi peserta didik yang
lain, namun pelaksanaan pemberian sanksi tersebut memperhatikan kondisi psikis
peserta didik agar tidak memberi kesan mencemarkan nama baik mereka dihadapan
teman sekelasnya.
84
Pendekatan iklim sosio emosional sebagai bagian dari pendekatan eclectic,
juga telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh guru PPKn di SMP N 7 Surakarta
dengan jalan membuka sharing terhadap permasalahan yang dihadapi oleh peserta
didik, dan tidak dibatasi ketika proses belajar mengajar berlangsung. Sehingga diluar
jam mata pelajaran PPKn, peserta didik yang mengalami segala macam permasalahan
dapat menceritakan kesulitan yang mereka hadapi kepada guru mereka baik di ruang
guru maupun dirumah masing-masing melalui telephone cellular. Guru senantiasa
bersikap ramah dan membiasakan budaya tutur yang santun, sehingga membuat siswa
merasa nyaman dan mudah menyayangi guru bahkan benar-benar menganggap guru
di sekolah sebagai pengganti orang tua mereka dirumah. Dengan keadaan yang
demikian, guru lebih mudah memberikan teladan untuk dicontoh siswa didiknya dan
lebih mudah dalam memberikan nasehat maupun arahan yang mampu mendorong
siswa untuk bertingkah laku dengan baik, sehingga disiplin diri yang mempribadi
dalam diri peserta didik dapat terwujud.
Sedangkan pelaksanaan pendekatan proses kelompok sebagai bagian terakhir
dari pendekatan eclectic, telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh guru PPKn di
SMP N 7 Surakarta, dengan jalan membimbing peserta didik ketika menjalankan
forum diskusi dalam proses belajar mengajar. Saat diskusi kelas sedang berlangsung,
guru mendekati setiap kelompok kerja siswa dan mengamati dengan cermat kegiatan
yang dilakukan oleh peserta didik. Apabila ada kelompok yang mengalami kesulitan,
guru segera menghampiri dan memberikan arahan. Dan setiap terdapat kegiatan yang
dirasa kurang efektif ketikan forum diskusi sedang berlangsung, guru seketika
mengendalikan keadaan agar situasi kelas kembali kondusif sehingga kegiatan
kelompok dapat berjalan dengan produktif, seperti apabila ada salah satu peserta
didik yang mengacaukan keadaan dengan mengganggu teman yang lain, maka segera
memberi peringatan dan menegur dengan halus agar anak tersebut kembali
mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya, bila ternyata anak tersebut sudah
selesai mengerjakan, maka langsung diberi kesempatan untuk menjelaskan hasil
kerjanya sebagai perwakilan kelompok. Dengan demikian, maka situasi yang tidak
85
terkendali akan kembali dapat ditangani.
Penerapan pendekatan eclectic di SMP N 7 Surakarta, selain bisa ditemukan
dengan jalan observasi mengikuti kegiatan pembelajaran dalam kelas, juga ditemukan
secara implicit dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun oleh guru
yang mengajar pada mata pelajaran PPKn, dalam hal ini penulis menganalisis RPP
yang disusun oleh Ibu Aisah, S.Pd yang selain merupakan guru mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan juga merupakan seorang wali kelas.
Pada RPP yang disusun oleh Ibu Aisah, S.Pd selaku guru pendidikan
kewarganegaraan, terkandung secara implicit penerapan pendekatan eclectic dalam
pelaksanaan pembelajaran. Hal ini terlihat dari penerapan metode diskusi kelompok
serta pemberian motivasi yang senantiasa dilakukan dalam setiap pertemuan untuk
membahas sebuah kompetensi dasar. Penerapan dari pemberian motivasi dan diskusi
kelompok memperlihatkan praktik pendekatan eclectic yang merupakan pendekatan
behavior modification (pengubahan tingkah laku) dengan jalan pemberian penguatan
atau reinforcement lewat motivasi, serta praktik pendekatan group process (proses
kelompok) dengan menggunakan diskusi kelas sebagai sarana untuk membina anak
didik dalam berlatih menjadi sebuah kelompok untuk menyelesaikan suatu
permasalahan. Dan dalam membina hubungan secara lebih mendalam antara guru
dengan anak didik maupun membantu memperbaiki hubungan antar peserta didik,
guru menggunakan pendekatan sosio emosional climate dengan membuka forum
sharing baik secara formal maupun non-formal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam perangkat mengajar (lampiran:2, halaman:104).
2. Kendala-kendala pelaksanaan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn
di SMP N 7 Surakarta
Kendala-kendala maupun gangguan yang terdapat dalam pelaksanaan
pendekatan eclectic ketika pengelolaan kelas yang merupakan salah satu aspek
pengelolaan pembelajaran, sedang berlangsung, dapat ditinjau dari penciptaan
disiplin kelas. Sebagaimana disebutkan pada pembahasan yang sebelumnya, secara
spesifik, efektifitas serta efisiensi keberhasilan belajar dapat dikaji dari sudut pandang
86
disiplin kelas. Karena masalah disiplin kelas merupakan suatu problema yang penting
dalam pengelolaan kelas oleh seorang guru. Bahkan hal ini merupakan suatu kriteria
penting dalam menilai kualitas keberhasilan mengajar seorang guru.
Untuk dapat melihat secara jelas tentang gangguan disiplin kelas yang dapat
menjadi kendala dalam pelaksanaan pendekatan eclectic pada proses pembelajaran,
dapat dilihat dari pengakuan beberapa siswa didik sebagai key informan yang diambil
dengan proses wawancara dan memadukan pengakuan tersebut dengan hasil
questioner yang dibagikan kepada beberapa siswa lain di SMP N 7 Surakarta.
Dari sudut pandang siswa yang merasakan secara langsung penerapan
pendekatan pengelolaan kelas yang dijalankan oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta
dapat dikatakan bahwa dari pernyataan mereka merupakan pencerminan dari
penerapan pendekatan eclectic yang diterapkan oleh guru dalam proses belajar
mengajar pada materi pendidikan kewarganegaraan. Dan berikut merupakan hasil
wawancara dan observasi terhadap peserta didik di SMP N 7 Surakarta, berkaitan
dengan penerapan pendekatan pengelolaan kelas yang mampu mewujudkan disiplin
kelas pada proses pembelajaran materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Dari wawancara dengan key informan, yaitu beberapa siswa di SMP N 7
Surakarta yang memiliki kedekatan emosional dengan penulis, didapatkan beberapa
pernyataan yang secara singkat memperlihatkan bahwa, “Beberapa siswa didik masih
ada yang melanggar peraturan kelas secara sembunyi-sembunyi, dan perbuatan
tersebut tidak pernah diketahui oleh guru pendidikan kewarganegaraan. Beberapa
pelanggaran tersebut menurut pengakuan mereka antara lain; membaca komik di
kelas ketika guru sedang menerangkan dan apabila guru berpindah posisi mereka
akan segera menutupi buku bacaan tersebut dengan buku pelajaran, tidur dikelas
secara diam-diam dengan posisi seperti orang menundukkan kepala dan meminta
bantuan pada teman disamping tempat duduknya untuk membangunkan jika guru
mendekat atau memberikan pertanyaan, mengerjakan tugas rumah di sekolah dengan
mencuri pekerjaan teman yang telah lebih dahulu selesai mengerjakan, ijin
kebelakang ketika ulangan sedang berlangsung untuk bisa melihat catatan di kamar
87
mandi, dan yang paling sering adalah melakukan pembicaraan selain hal yang
berkaitan dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan ketika diskusi kelas
sedang berlangsung secara diam-diam selama tidak diketahui oleh guru”. Untuk lebih
jelasnya lihat hasil wawancara pada siswa (Lampiran:10, halaman:170)
Dari hal tersebut, memperlihatkan secara jelas bahwa guru kurang teliti
dalam mengelola kelas, namun karena selama ini tindakan tersebut tidak pernah
diketahui oleh guru, tentunya mereka tidak merasakan kekurangan atau kelalaian
tersebut. Kediaman siswa, tidak selamanya berarti “focus” atau sedang berpikir
namun bisa juga berarti “tidur”. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah
gelisah ketika didekati, dapat berarti “menyembunyikan buku bacaan selain buku
pelajaran”. Siswa yang ijin di kamar mandi ketika ujian sedang berlangsung, perlu
diperhatikan secara teliti karena ada kemungkinan bertindak curang dengan melihat
catatan di kamar mandi. Dan yang paling rawan, diskusi kelas merupakan ajang siswa
didik untuk menyampaikan pendapat mereka, namun bila tidak diberi batasan waktu
yang tepat dengan bobot materi yang didiskusikan, akan menjadi kesempatan bagi
siswa untuk memperbincangkan hal lain selain materi yang mereka diskusikan.
Disini, penulis juga memberikan hasil penyebaran questioner pada beberapa
siswa, yang walaupun sudah penulis jelaskan bahwa nama mereka tidak akan penulis
terakan dalam hasil penelitian, namun penulis merasa apa yang mereka jabarkan tidak
seluruhnya sesuai dengan fakta yang ada. Mungkin ada ketakutan dari mereka apabila
mereka menyatakan pendapat yang tidak baik, akan membawa dampak yang tidak
baik pula bagi diri mereka di masa yang akan datang. Namun tidak ada salahnya
apabila penulis jabarkan hasil penyebaran questioner tersebut, agar dapat menjadi
masukan lain bagi seluruh kalangan pendidikan. Dan beberapa pendapat tersebut
antara lain:
“Guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang sering menegur atau
mengingatkan, apabila siswa sedang berbicara dengan teman ketika pelajaran sedang
berlangsung. Dan guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang sering membantu atau
mengarahkan, apabila siswa sedang mengalami kesulitan ketika mengadakan diskusi
88
kelas. Mereka juga sering berpindah posisi dan berkeliling ketika mengajar di kelas.
Guru PKn di SMP N 7 Surakarta memang menyampaikan materi pelajaran dengan
cepat dan tepat serta mudah dimengerti. Dan mereka memang senantiasa memberikan
catatan penting disetiap akhir pelajaran, yang berkaitan dengan materi pelajaran yang
disampaikan. ” Hal ini merupakan bentuk penerapan tindakan pengelolaan kelas yang
memerlukan penguasaan mengenai pendekatan pengelolaan kelas yaitu “Group
Processes Approach”. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi sosial dan dinamika
kelompok. Oleh karena itu maka asumsi pokoknya adalah (1) pengalaman belajar
sekolah berlangsung dalam konteks kelompok sosial, dan (2) tugas guru yang
terutama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara kelompok yang
produktif dan kohesif.
“Bapak/ibu guru PKn, tidak langsung menghukum ketika siswanya lupa
mengumpulkan tugas, melainkan memberikan nasihat dan kesempatan untuk
mengumpulkan tugas tersebut dipertemuan berikutnya. Apabila ada seorang siswa
yang bertindak tidak baik di dalam kelas dan membuat keadaan kelas menjadi tidak
menyenangkan, bapak/ibu guru PKn di SMP N 7 Surakarta langsung menegur anak
yang membuat onar dan kembali mengajar. Yang dilakukan oleh guru PKn di SMP N
7 Surakarta kepada siswa, apabila siswa mendapatkan nilai rendah ketika ulangan
adalah memberikan tugas sebagai nilai tambah. Yang dilakukan guru PKn di SMP N
7 Surakarta apabila ada siswa yang kurang bisa memahami materi pelajaran yang
disampaikan adalah memberi kesempatan untuk bertanya.” Ini merupakan bentuk
penerapan pendekatan pengelolaan kelas oleh guru yang didasarkan pada Behavior-
Modification Approach atau pendekatan modifikasi tingkah laku. Pendekatan ini
bertolak dari psikologi behavioral yang mengemukakan asumsi bahwa (1) semua
tingkah laku, yang “baik” maupun yang kurang “baik” merupakan hasil proses
belajar, dan (2) ada sejumlah kecil proses psikologi yang fundamental yang dapat
digunakan untuk menjelaskan terjadinya proses belajar yang dimaksud. Adapun
proses psikologi yang dimaksud adalah penguatan positif, hukuman, penghapusan,
dan penguatan negatif.
89
“Peserta didik di SMP N 7 Surakarta memang cenderung lebih merasa akrab
dengan bapak/ibu guru PKn yang mengajar mereka di bandingkan dengan perasaan
takut. Dan peserta didik tidak pernah meninggalkan jam pelajaran tanpa ijin terlebih
dahulu kepada bapak/ibu guru PKn yang sedang mengajar. Serta mereka berpakain
rapih di dalam kelas dikarenakan “rasa senang” terhadap peraturan yang ada. Yang
siswa ucapkan saat bapak/ibu guru PKn selesai mengajar mayoritas adalah,
“terimakasih ibu/bapak guru”. Dan mayoritas dari mereka tidak merasa bosan ketika
diajar oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta. Bahkan ada diantara mereka yang
menganggap guru PKn di SMP N 7 Surakarta sebagai sahabat, maupun pengganti
orang tua kandung mereka di rumah.” Perasaan akrab, rasa senang maupun kedekatan
antara siswa dengan guru bahkan adanya perasaan ingin membalas budi dengan
mengucapkan kata “terima kasih” kepada bapak/ibu guru PKn disetiap akhir
pelajaran berlangsung, merupakan bentuk keberhasilan dari penerapan pendekatan
pengelolaan kelas oleh guru yang berakar dari Socio-Emosional-Climate Approach
atau pendekatan iklim sosial kelas. Dengan berlandaskan psikologi klinis dan
konseling, pendekatan pengelolaan kelas ini mengasumsikan bahwa (1) proses
pembelajaran yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-emosional yang baik dalam
arti terdapat hubungan interpersonal yang baik antara guru - peserta didik dan antara
peserta didik, dan (2) guru menduduki posisi terpenting bagi terbentuknya iklim
sosio-emosional yang baik itu.
Dan sikap disiplin yang telah mempribadi dalam setiap diri peserta didik
serta merupakan bukti keberhasilan guru dalam menanamkan kedisiplinan pada
mereka, terlihat dari, “Cara peserta didik dalam menyampaikan pendapat ketika
diskusi kelas sedang berlangsung”, yaitu dengan jalan mengacungkan jari terlebih
dahulu dan berpendapat setelah ditunjuk oleh guru. Dan yang mereka lakukan ketika
melihat ada sampah yang tergeletak di sudut-sudut ruangan kelas adalah membuang
sampah tersebut ketempat sampah. Serta didukung oleh beberapa pernyataan peserta
didik di SMP N 7 Surakarta mengenai alasan mereka mengikuti upacara bendera
yaitu, “Karena dengan mengikuti upacara bendera dapat membuat kita lebih disiplin
90
dan teratur”. Serta terlihat pula dari tindakan yang mereka lakukan apabila ada teman
yang sedang sakit dan butuh untuk diantarkan ke UKS, adalah segera mengantar dan
kembali ke dalam kelas untuk kembali melanjutkan pelajaran. Dan disetiap jam
pelajaran kosong yang mereka lakukan adalah segera mengeluarkan buku materi dan
mempelajari materi yang belum dibahas tanpa disuruh. Untuk lebih jelasnya, lihat
jawaban angket penelitian dari siswa (Lampiran:11, halaman:181).
Pernyataan-pernyataan tersebut, memperlihatkan secara nyata bahwa guru
telah berhasil dalam menerapkan pendekatan eclectic dalam proses pengelolaan kelas
yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Namun kenyataan yang terjadi,
masih terdapat kendala-kendala atau gangguan disiplin kelas yang tidak diketahui
oleh guru dikarenakan mereka kurang teliti dalam memperhatikan detil kecil dari
tingkah laku peserta didik. Namun secara umum, dapat dikatakan guru SMP N 7
Surakarta telah melaksanakan pendekatan eclectic dalam pengelolaan pembelajaran
dengan sangat baik. Mereka memberikan penguatan dan hukuman disesuaikan
dengan kebutuhan siswa, mereka mengarahkan dan membantu siswa dalam kegiatan
diskusi kelas secara kelompok, juga mereka mengendalikan emosi kelas agar stabil
dan tidak terjadi kericuhan. Kekurangan ini, diharapkan akan lebih dibenahi di waktu
yang akan datang.
3. Alasan penerapan pendekatan eclectic dalam pembelajaran PPKn di
SMP N 7 Surakarta
Pendekatan eclectic yang diterapkan dalam pengelolaan pembelajaran PPKn
di SMP N 7 Surakarta, bukanlah tanpa suatu alasan. Disiplin kelas yang terbentuk
pada peserta didik, tidak akan terwujud dengan adanya pemaksaan kehendak dari
guru maupun pelaksanaan peraturan yang ketat dari sekolah. Dengan adanya
penerapan pendekatan eclectic, mampu meningkatkan keberhasilan proses belajar
utamanya dalam pendidikan kewarganegaraan yang terlihat dengan dapat
terwujudnya disiplin pada siswa didik serta dapat dilihat dari sudut pandang guru
PKn di SMP N 7 Surakarta yang mendidik dan mengajar peserta didik dengan
menggunakan pendekatan eclectic agar mampu menciptakan disiplin kelas yang
91
merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan proses belajar. Berikut adalah hasil
wawancara dan observasi peneliti dengan guru PKn di SMP N 7 Surakarta:
“Peserta didik senantiasa memasuki ruangan kelas sebelum guru masuk
kelas. Kemudian mereka memasuki ruangan kelas dengan baik dan tertib. Setelah itu
memberi salam kepada guru secara baik. Dan mereka juga selalu mengikuti acara doa
bersama dengan baik. Serta memberikan penghormatan dengan baik. Jika terjadi
keterlambatan, mereka senantiasa patuh terhadap peraturan yang ada. Dalam
keseharian di ruang kelas, mereka menempatkan peralatan sekolah sesuai dengan
ketentuan. Juga yang paling membuat saya bangga, mereka tidak pernah saling
mengganggu selama pelajaran berlangsung”. Demikian dipaparkan oleh guru SMP N
7 Surakarta. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada jawaban angket penelitian
dari guru (lampiran:12, halaman:184).
Hal tersebut didukung oleh hasil pengamatan saya sendiri ketika melihat
beliau mengajar dikelas. Saya melihat bahwa memang peserta didik berperilaku baik
selama mengikuti pelajaran, mereka memperhatikan pelajaran yang diberikan oleh
guru dan mempergunakan waktu belajar dengan sebaik-baiknya. Mereka juga
mengikuti pelajaran dengan tertib. Meminjam barang milik teman dengan ijin adalah
hal yang sering saya dapati dan apabila mereka saling meminjam maka akan segera
mengembalikan. Peserta didik juga terlihat ceria dalam menyambut setiap tugas yang
diberikan guru dan segera mengerjakan dengan semangat.
Guru PKn di SMP N 7 Surakarta menambahkan, “Siswa yang saya ajar
senantiasa bekerja atau belajar dengan jujur. Saya tidak pernah mendapati mereka
mencontek maupun berbuat curang baik ketika ujian maupun mengerjakan tugas
kelas dan pekerjaan rumah. Mereka juga selalu menghargai atau menghormati
pendapat orang lain. Saya membiasakan mereka untuk selalu tertib dalam kegiatan
diskusi, yaitu dengan mengajukan pertanyaan dengan tertib dan baik serta
mengacungkan jari terlebih dahulu serta menjawab setelah dipersilahkan. Siswa di
SMP N 7 Surakarta ini memang cukup baik dalam tindakan meninggalkan kelas
dengan ijin guru, saya jarang melihat mereka bolos bahkan saya juga jarang
92
mendapati mereka bermain di jam kosong. Murid-murid selalu menjaga kebersihan
meja atau tempat duduknya. Bukankan ini merupakan hal yang cukup baik dan
memperlihatkan tindakan partisipasi mereka dalam menjaga kebersihan kelas?”.
Secara singkat, hasil wawancara penulis dengan Ibu Aisah, S.Pd, beliau
adalah salah seorang guru PKn di SMP N 7 Surakarta, berkaitan dengan masalah
penerapan pendekatan pengelolaan kelas pada disiplin kelas ialah sebagai berikut,
“Menurut saya pengelolaan kelas yaitu mengelola apa yang ada dalam kelas, baik
siswanya yang utama juga alat-alat yang ada didalamnya. Kesemuanya itu tidak lain
harus dikuasai untuk mendukung sistem pembelajaran. Dan yang paling utama harus
dikuasai oleh seorang guru agar dapat mengelola kelas dengan baik adalah dengan
memiliki penguasaan terhadap karakter siswa. Didalam hal tersebut, penting sekali
penguasaan pada psikologi pendidikan. Karena dengan hal tersebut akan membantu
sekali dalam pengelolaan kelas. Menurut saya dengan mengetahui karakter per siswa
didik kita akan lebih menguasai pengelolaan kelas. Bila sebagai seorang guru kita
terlalu dekat atau terlalu jauh sama anak sangat tidak bagus, sebagai pendidik yang
mengarahkan perilaku siswa dan sebagai pengajar yang melakukan transfer ilmu
kepada siswa, kita harus bisa menyeimbangkan kedudukan kita dengan siswa didik.
Tidak terlalu jauh tapi juga tidak terlalu dekat. Jadi peserta didik bisa menghargai dan
menyayangi guru. Masalah kedisiplinan, dapat dibina dengan menerapkan peraturan
yang ada dengan tegas dan ditindak lanjuti dengan baik, sehingga ada pemantauan
dan evaluasi. Sementara ini kebanyakan peraturan kelas dibuat oleh sekolah, namun
ada juga yang merupakan kesepakatan dengan siswa didik bahkan orang tua atau wali
murid. Ada banyak sekali faktor yang harus dikorelasikan dalam mewujudkan
kedisiplinan peserta didik. Sementara ini, banyak anak yang berani mengutarakan
pendapat kepada guru. Itu semua tidak terlepas dengan adanya pemberian motivasi
dan juga keterbukaan antara guru dengan peserta didik.”
Beberapa fakta tersebut merupakan bukti dari diakuinya sikap disiplin
peserta didik oleh guru PKn di SMP N 7 Surakarta. Sehingga memang antara
pernyataan yang dikemukakan oleh guru dan siswa, memiliki kesesuaian dan
93
memang benar adanya dalam pengamatan saya selaku peneliti. Menurut peserta didik,
guru PKn di SMP N 7 Surakarta dalam cara mereka mengajar di kelas,
mencerminkan penerapan pendekatan eclectic yang baik dan relevan, sehingga
membuat peserta didik menjadi betah dan tidak merasa bosan dalam mengikuti proses
belajar mengajar. Dan menurut pandangan guru PKn di SMP N 7 Surakarta, peserta
didik menjadi jauh lebih disiplin dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi
pelajaran yang diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan
dengan dunia pendidikan sekarang ini karena mendorong guru agar lebih mampu
mengenal karakteristik tiap anak didik, sehingga turut meningkatkan keberhasilan
proses belajar mengajar PKn di SMP N 7 Surakarta. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada trianggulasi data (lampiran:8, halaman:155).
C. Temuan Studi
Berdasarkan data penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menemukan
beberapa temuan studi yaitu :
1. Memang benar adanya bahwa dengan diterapkannya
pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan pada
saat ini, mampu menciptakan disiplin kelas sehingga dapat memberi
kemudahan dalam mencapai keberhasilan proses pembelajaran pada PBM
PKn di SMP N 7 Surakarta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan Ade Tatang M. Dalam hasil penelitian tersebut, disebutkan
beberapa pendekatan-pendekatan dalam Pengelolaan Kelas yaitu:
Pendekatan Pengubahan tingkah laku, yang mana pendekatan pegubahan
tingkah laku ini didasarkan pada suatu teori yang mengatakan bahwa semua
tingkah laku baik yang sesuai maupun tidak sesuai adalah hasil belajar.
Kemudian ada pula Pendekatan Iklim Sosio Emosional yang didasarkan
pada suatu keyakinan bahwa pengelolaan kelas yang efektif merupakan
fungsi dari hubungan yang positif antara guru dengan siswa dan antara siswa
dengan siswa, dengan guru sebagai penentu utama hubungan interpersonal
94
dan iklim kelas. Dan yang terakhir adalah Pendekatan Proses Kelompok,
yang mana pendekatan ini mendasarkan pada prinsip-prinsip psikologi sosial
dan dinamika kelompok. Empat asumsi dasar yang diadopsi dari pendekatan
proses kelompok, yaitu; kegiatan sekolah berlangsung dalam suasana
kelompok, tugas pokok guru adalah mempertahankan dan mengembangkan
suasana kelompok yang efektif dan produktif, kelas adalah suatu sistem
sosial yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh sistem sosial
masing-masing siswa, dan tugas pengelola kelas adalah mengembangkan
dan mempertahankan kondisi yang dimaksud. Dan dengan diterapkannya
ketiga pendekatan ini dalam pengelolaan kelas oleh guru, mampu
mempermudah dalam penciptaan kedisiplinan dan pencapaian tujuan belajar
yang efektif dan efisien. Dan ketiga pendekatan ini, tercover dalam
pendekatan eclectic.
2. Peneliti menemukan bahwa guru PPKn di SMP N 7
Surakarta merasa telah berhasil dalam menerapkan pendekatan eclectic
dalam proses pengelolaan kelas yang merupakan bagian dari proses
pembelajaran. Namun kenyataan yang terjadi, masih terdapat kendala-
kendala atau gangguan disiplin kelas yang tidak diketahui oleh guru
dikarenakan mereka kurang teliti dalam memperhatikan detil kecil dari
tingkah laku peserta didik. Beberapa kelalaian guru antara lain, “Kediaman
siswa, tidak selamanya berarti “focus” atau sedang berpikir namun bisa juga
berarti “tidur”. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah gelisah
ketika didekati, dapat berarti “menyembunyikan buku bacaan selain buku
pelajaran”. Siswa yang ijin di kamar mandi ketika ujian sedang berlangsung,
perlu diperhatikan secara teliti karena ada kemungkinan bertindak curang
dengan melihat catatan di kamar mandi. Dan yang paling rawan, diskusi
kelas merupakan ajang siswa didik untuk menyampaikan pendapat mereka,
namun bila tidak diberi batasan waktu yang tepat dengan bobot materi yang
didiskusikan, akan menjadi kesempatan bagi siswa untuk
95
memperbincangkan hal lain selain materi yang mereka diskusikan.” Tapi
secara umum, dapat dikatakan guru PPKn di SMP N 7 Surakarta telah
melaksanakan pendekatan eclectic dalam pengelolaan pembelajaran dengan
baik. Mereka memberikan penguatan dan hukuman disesuaikan dengan
kebutuhan siswa, mereka mengarahkan dan membantu siswa dalam kegiatan
diskusi kelas secara kelompok, juga mereka mengendalikan emosi kelas agar
stabil dan tidak terjadi kericuhan. Kekurangan ini, diharapkan akan lebih
dibenahi di waktu yang akan datang.
3. Peneliti juga menemukan bahwa disiplin kelas yang
terbentuk dengan adanya penerapan pendekatan pengelolaan kelas sehingga
meningkatkan keberhasilan proses belajar mengajar, adalah disiplin kelas
yang tidak dipaksakan oleh aturan yang terlalu ketat dan tidak dapat
dibentuk dengan sikap otoriter guru sebagai pendidik dan pengajar. Namun
disiplin kelas dapat dibentuk dengan penerapan peraturan yang ada dengan
baik, dan segera di tindaklanjuti secara hati-hati dengan toleransi yang ada
namun tetap tegas sanksinya, dengan peran serta guru yang mengarahkan
dan membimbing untuk peningkatan kedisiplinan dari dalam diri sendiri
sehingga terbentuk “self discipline” atau disiplin diri, dari peserta didik yang
lahir secara naluriah dari diri mereka sendiri dan mempribadi dalam
penerapan kehidupan sehari-hari. Dan menurut pandangan guru PPKn di
SMP N 7 Surakarta, alasan mereka menerapkan pendekatan eclectic dalam
proses pembelajaran adalah, karena peserta didik menjadi jauh lebih disiplin
dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi pelajaran yang
diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan dengan
dunia pendidikan sekarang ini, karena pendekatan tersebut mendorong guru
agar lebih mampu mengenal karakteristik tiap anak didik, sehingga turut
membantu dalam mewujudkan keberhasilan proses belajar mengajar PKn di
SMP N 7 Surakarta.
96
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai penerapan pendekatan eclectic dan
pengaruhnya secara implicit pada disiplin kelas dalam proses pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan di SMP N 7 Surakarta, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dengan penerapan
pendekatan eclectic yang relevan dengan kebutuhan peserta didik, maka
mampu menciptakan disiplin kelas, yang berakar dari terbentuknya
disiplin diri pada diri peserta didik sehingga dapat membantu guru dalam
mewujudkan keberhasilan proses pembelajaran pada mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan di SMP N 7 Surakarta. Dikarenakan
dengan penerapan pendekatan eclectic yang relevan dan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, membuat guru menjadi lebih mudah dalam
menyampaikan materi pelajaran dan peserta didik menjadi lebih mudah
dalam menyerap materi pelajaran yang diajarkan.
2. Praktik penerapan
pendekatan eclectic oleh guru PPKn di SMP N 7 Surakarta, menjumpai
beberapa kendala atau gangguan antara lain: dalam proses pembelajaran
masih terdapat pelanggaran disiplin kelas karena guru kurang
memperhatikan tingkah laku peserta didik secara cermat. Beberapa
kelalaian guru antara lain, “Sikap ‘diam’ yang ditunjukkan oleh siswa,
tidak selamanya berarti ‘focus’ atau sedang berpikir namun bisa juga
berarti ‘tidur’. Siswa yang terlalu memperhatikan buku dan mudah
95
97
gelisah ketika didekati, dapat berarti ‘menyembunyikan buku bacaan
selain buku pelajaran’. Siswa yang ijin ke kamar mandi sewaktu ujian
sedang berlangsung, perlu diperhatikan secara teliti karena ada
kemungkinan bertindak curang dengan melihat catatan di kamar mandi.
Dan yang paling rawan, diskusi kelas merupakan ajang peserta didik
untuk menyampaikan pendapat, namun bila tidak diberi batasan waktu
yang tepat dengan bobot materi yang didiskusikan, akan menjadi
kesempatan bagi siswa untuk memperbincangkan hal lain selain materi
yang mereka diskusikan.” Kekurangan ini, diharapkan akan lebih
dibenahi di waktu yang akan datang.
3. Alasan guru PPKn
di SMP N 7 Surakarta dalam menerapkan pendekatan eclectic dalam
proses pembelajaran adalah, karena peserta didik menjadi jauh lebih
disiplin dan tertib, serta lebih mudah menerima setiap materi pelajaran
yang diberikan dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang relevan
dengan dunia pendidikan sekarang ini, dikarenakan pendekatan tersebut
mendorong guru agar lebih mampu mengenal karakteristik tiap anak
didik, sehingga turut membantu dalam mewujudkan keberhasilan proses
belajar mengajar PKn di SMP N 7 Surakarta.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana tersebut diatas, maka implikasi dari
penelitian ini adalah :
1. Dengan diterapkannya pendekatan eclectic yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik oleh guru, dapat memberi dampak yang positif
bagi terciptanya disiplin kelas dalam proses pembelajaran dan
memudahkan guru saat menyampaikan materi pelajaran pada peserta
didik karena dapat memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan
98
siswa, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan proses belajar
mengajar pada PBM PKn di SMP N 7 Surakarta.
2. Penerapan pendekatan eclectic yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik menuntut keluwesan guru dalam mengenal karakteristik peserta
didik. Karena apabila guru kurang teliti dalam mengenal karakteristik
peserta didik, penerapan pendekatan eclectic ini justru dapat menjadi
celah bagi peserta didik yang ingin melakukan tindakan yang tidak
disiplin, seperti tidur di dalam kelas ketika diberi kesempatan untuk
berdikusi maupun membaca buku selain buku materi pelajaran ketika
guru menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan metode
ceramah. Sehingga pelaksanaan pendekatan eclectic harus diimbangi
dengan lebih meningkatkan ketelitian guru dalam pelaksanaan
pendekatan tersebut hingga detil terkecil, agar mampu menghindari
kelalaian guru yang menjadi kesempatan bagi siswa untuk melakukan
hal-hal yang merupakan tindakan tidak disiplin.
3. Diterapkannya pendekatan eclectic dalam pembelajaran juga berdampak
pada perwujudan self discipline. Dengan adanya penerapan pendekatan
eclectic, dapat membantu mewujudkan keberhasilan proses belajar
mengajar sehingga disiplin kelas tidak perlu dijalankan dengan terlalu
ketat dan otoriter. Disiplin kelas yang terbentuk dengan penerapan
peraturan yang ada dengan baik dan segera di tindaklanjuti secara hati-
hati dengan toleransi yang ada namun tetap tegas sanksinya, dibantu
dengan peran serta guru yang mengarahkan dan membimbing untuk
peningkatan kedisiplinan dari dalam diri sendiri, dapat membentuk “self
discipline” atau disiplin diri, dari peserta didik yang lahir secara naluriah
dari diri mereka sendiri dan mempribadi dalam penerapan kehidupan
sehari-hari.
99
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti
dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Kepada pihak SMP
N 7 Surakarta, semoga lebih meningkatkan pengarahan pada seluruh staf
pengajar agar penerapan pendekatan pengelolaan kelas dapat terus
dijalankan dan dikembangkan seperti dengan apa yang telah diterapkan
sebelumnya oleh guru pendidikan kewarganegaraan sehingga dapat
bermanfaat untuk mata pelajaran yang lain.
2. Kepada guru
pendidikan kewarganegaraan yang telah menerapkan pendekatan
pengelolaan kelas dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat
lebih meningkatkan kualitas dan terus mencari inovasi baru dalam
rangka pengembangan penerapan pendekatan pengelolaan kelas
sehingga semakin mempermudah dalam mengenal karakter peserta didik
dan mendukung dalam penyampaian materi pelajaran guna
meningkatkan kualitas pembelajaran, serta memperbaiki kelalaian yang
tidak disadari karena kurang teliti memperhatikan detil terkecil dari
tingkah laku peserta didik.
3. Kepada seluruh
kalangan akademisi yang membaca karya tulis ini, semoga dapat
memetik manfaat. Sehingga diharapkan jangan hanya dijadikan sebagai
sebuah wacana tanpa tindak lanjut. Terutama bagi mahasiswa FKIP
sebagai seorang calon guru, semoga dengan membaca karya tulis ini,
100
terketuk untuk meneliti lebih jauh mengenai penerapan pengelolaan
kelas yang semakin berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan
perkembangan zaman dan sesuai dengan perkembangan peserta didik
yang berbeda dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA
A, Suhaenah Suparno. 2000. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.
Ahmad Rohani. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Akhmad Sudrajat. 2009. Psikologi Pendidikan. Kuningan: PE-AP Press.
Asep Jihad dan Abdul Haris. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Baharuddin dan Esa. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. Basu Sharma and Judy Ann Roy. 1996. “Aspects of the internationalization of
management education,” Journal of Management Development [Vol.15, No.1, pp:5-13]. MBC University Press.
Ch. Baroroh. 2009. Hukum Islam Suatu Pengantar. Surakarta: UNS Press. Chumdari dan Sutini. 1996. Managemen Kelas. Surakarta: FKIP UNS.
Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta: Publisher.
David Crowther and Chris Carter. 2002. “Legitimating irrelevance: management education in higher education institutions”, The International Journal of Educational Management [pp:268-278]. MBC UP Limited.
Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta: Gaung Persada Press.
101
Kartini Kartono. 1996. Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Lexy J Moleong. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Madya
Karya.
Martinis Yamin dan Maisah. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran . Jakarta: Gaung Persada Press.
Makmun, Abin Syamsudin. 2004. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Milles, Mathew B & A. Hubberman. 1999. Analisis Data Kualitatif terjemah Tjejep
Rohendi Rohidin. Jakarta :UI Press. Ngalim Purwanto. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana. 2009. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo Offset. Ornstein, C. Allan.1990. Strategies for Effective Teaching. USA, Harper & Co.
Publisher Inc. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. Sahertian, Piet & Ida Aleda. 1992. Supervisi Pendidikan dalam Program Inservice
Education. Jakarta: Rineka Cipta. Sobri, Asep dan Charul. 2009. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Multi Pressindo. Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan Kelas. Surakarta: UNS Press. Suharsimi Arikunto. 1989. Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
102
Sutisna, Oteng. 1989. Administrasi Pendidikan (Dasar-dasar teoritis untuk praktek professional). Bandung: Angkasa.
Sutopo HB. 1996. Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta:
UNS. Sutrisno Hadi. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM. Swardi. 2008. Manajemen Pembelajaran. Surabaya: Tempina Media Grafika. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Uno, Hamzah B. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Uzer Usman. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/teknik-pengelolaan-kelas/ http://atmmuharam.blogspot.com/2009/01/pengelolaan-kelas.html http://dedesudjadimath.blogspot.com/2009/01/berbagai-macam-pengelolaan-kelas-dan.html http://laisalax.multiply.com/journal/item/23 http://sn2dg.blogspot.com/2008/06/motivasi-dalam-belajar-mandiri.html
103