89
 BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA II AUDITORAT II.A KONSEP HASIL PEMERIKSAAN ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PADA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Nomor : ....................…… Tanggal : 2006

Penerimaan Negara_LHP BPK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 1/89

 

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA II

AUDITORAT II.A

KONSEP HASIL PEMERIKSAAN

ATAS

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

PADA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Nomor : ....................……Tanggal : 2006

Page 2: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 2/89

 BPK KHP Gabungan PPN

i

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI iResume Hasil Pemeriksaan 1

BAB I Pendahuluan

1.  Dasar Pemeriksaan ………………………………………………... 13

  2.  Tujuan Pemeriksaan ………………………………………………. 13

  3.  Lingkup Pemeriksaan …………………………………………….. 13

  4.  Jenis Pemeriksaan ………………………………………………… 13

  5.  Standar Pemeriksaan ……………………………………………… 13

  6.  Jangka Waktu Pemeriksaan ………………………………………. 13

  7.  Obyek dan Periode Pemeriksaan …………………………………. 14

  8. 

Metode Pemeriksaan ……………………………………………… 14BAB II Gambaran Umum

1.  Organisasi dan Tata Kerja ………………………………………... 16

  2.  Tugas Pokok dan Fungsi DJP …………………………………….. 18

  3.  Uraian Pajak Pertambahan Nilai …………………………………. 20

  4.  Pengujian Sistem Pengendalian Intern …………………………… 21

  5.  Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak ………………………… 29

  6.  Hambatan Pemeriksaan…………………………………………… 32

BAB III Hasil Pemeriksaan

A.  Potensi Penerimaan PPN

1.  KPP belum menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran sebesar

Rp196.882,56 juta yang belum dipertanggungjawabkan oleh

PKP penjual dalam SPT Masa

PPN......................................................................................... 33

  2.  DJP belum mengenakan PPN atas obyek Pajak Pertambahan

 Nilai sebesar Rp129.807,47 juta dan USD 77,298.10............. 35

  3.  Pengkreditan Pajak Masukan sebesar Rp21.482,40 tidak

sesuai dengan ketentuan.......................................................... 39

  4.  Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak fiktif senilai

Rp13.137,52 juta..................................................................... 43

  5.  Sanksi denda administrasi belum atau kurang dikenakan

sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp38.207, 65

 juta belum terealisasikan......................................................... 45

  6.  Pengurangan/penghapusan sanksi yang tidak sesuai

ketentuan formal dan material mengakibatkan potensi

 penerimaan negara sebesar Rp14.401,42 juta tidak dapat

direalisasikan.......................................................................... 51

  7.  KPP belum melakukan peneguran dan pemeriksaan kepada

Page 3: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 3/89

 BPK KHP Gabungan PPN

ii

21 PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama

dua tahun berturut-turut sehingga potensi penerimaan negara

sebesar Rp251.217,30 juta belum terealisasikan.................... 54

  8.  KPP belum mengukuhkan WP yang memiliki omzet lebih

dari 600 juta sebagai PKP, sehingga potensi penerimaan

negara senilai Rp143.614,15 juta belum dapatdirealisasikan........................................................................... 56

  9.  KPP belum melakukan upaya klarifikasi atas selisih omzet

yang dilaporkan, sehingga potensi penerimaan PPN sebesar

Rp737.614,69 juta dari ekualisasi omzet PPh dan PPN

 belum dapat direalisasikan...................................................... 58

  10.  Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah

PKP belum dilakukan secara optimal..................................... 59

  B.  Pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi

1.  Pengkreditan pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan

yang berlaku............................................................................ 62  2.  Penyelesaian keberatan; peninjauan kembali; banding tidak

sesuai dengan ketentuan.......................................................... 64

  3.  KPP tidak aktif dalam melaksanakan penagihan atas

ketetapan pajak yang telah dikeluarkan................................... 66

  4.  KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah

 penanganan atas indikasi penerbitan dan penggunaan faktur

fiktif senilai Rp8.105,36 juta................................................... 67

  5.  Penerbitan dua SKP yang tidak sesuai dengan ketentuan

sehingga putusan bandingnya diterima yang mengakibatkan

indikasi kerugian negara sebesar Rp2.017,32 juta.................. 67

  6.  Penyelesaian SPTLB PPN, penerbitan SPMKP dan

Pemberian SPMIB serta koreksi fiskus tidak sesuai dengan

ketentuan sehingga potensi pengeluaran negara akibat

adanya imbalan bunga sebesar Rp718.300.887,00 yang

seharusnya tidak terjadi........................................................... 68

  7.  Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang

 pajak................................................................................... ...... 70

  C.  Pelayanan dan pengawasan

1.  Keterlambatan Penyelesaian Permohonan Keberatan,

Penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan

Pembayaran Pajak (SKPKPP) Atas Keputusan

Keberatan dan Surat Perintah Membayar Imbalan

Bunga (SPMIB)...............................................................  70

  2.  Konfirmasi dan penelitian faktur pajak dan SSP dalam

 pemberian restitusi/kompensasi sebesar Rp5.661.007,68 juta

 berdasarkan nota dinas Kanwil Wajib Pajak Besar tidak

sesuai dengan Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pajak....... 72

Page 4: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 4/89

 BPK KHP Gabungan PPN

iii

  3.  Faktur pajak dan SSP yang tidak dilakukan konfirmasi atau

 jawaban konfirmasi belum diterima, namun tetap

diperhitungkan oleh petugas pajak sebesar Rp390.694,61

 juta............................................................................... ........... 73

  4.  Penagihan atas tunggakan PPN senilai Rp10.033,76 juta

 belum dilakukan secara optimal.............................................. 76  5.  KPP Cikarang Satu belum membukukan SPMIB atas

 pembayaran imbalan bunga sebesar Rp6.871,82 juta dalam

laporan penerimaan pajak....................................................... 77

  6.  Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen

sumber..................................................................................... 77

  7.  Pengkreditan pajak masukan masa tidak sama sebesar

Rp158,68 belum dilakukan penelitian..................................... 78

  8.  Pengkreditan faktur pajak masukan tidak sesuai dengan

ketentuan sebesar Rp554,22 juta............................................. 78

  9. 

Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yangdiduga sebagai penerbit dan pengguna faktur pajak tidak sah

(fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal.......................... 79

  10.  Kelemahan dalam pengadministrasian buku register

keberatan, buku restitusi, dan buku jawaban klarifikasi serta

administrasi dokumen perpajakan tidak tertib........................ 81

  11.  Kegiatan Ekstensifikasi pengusaha kena pajak dan

 pemanfaatan data equalisasi omzet PPh dan PPN kurang

efektif dilakukan................................................................. ..... 83

  12.  Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib

 pajak sebesar Rp597,14 juta............................................  84

 

Page 5: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 5/89

 BPK KHP Gabungan PPN

1

HASIL PEMERIKSAAN

ATAS

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PADA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

RESUME HASIL PEMERIKSAAN

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 23 E dan F serta UU No.5 Tahun 1973, Badan Pemeriksa Keuangan

Republik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai pada

Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman

kepada Standar Audit Pemerintahan tahun 1995 dan ditujukan untuk mengetahui dan menilai sistem

 pengendalian intern, penetapan target penerimaan PPN, tata usaha penegelolaan penerimaan PPN dan

indikasi pelanggaran atau penyimpangan ketentuan perpajakan. Pemeriksaan dilaksanakan denganmenerapkan metodologi pendekatan risiko untuk menilai efektivitas pengendalian dan pendekatan uji

 petik atas entitas dan dokumen untuk memperoleh kesimpulan hasil pemeriksaan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik ( sampling ) atas realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai

(PPN) pada 12 KPP yaitu KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Wajib Pajak Besar Dua, KPP Jakarta Penjaringan,

KPP Jakarta Sawah Besar Satu, KPP Jakarta Setia Budi Satu, KPP Jakarta Tanjung Priok, KPP Cikarang Satu,

KPP Cimahi, KPP Medan Belawan, KPP Surabaya Krembangan, KPP Bandung Karees dan KPP Sidoarjo

Timur TA 2004 dan 2005 

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa masih terdapat potensi penerimaan pajak yang belum digali,

 pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi serta beberapa kelemahan pelayanan kepada wajib

 pajak dan pengendalian intern.

Berikut adalah temuan-temuan pemeriksaan yang perlu mendapat perhatian:

I.  Potensi penerimaan pajak yang belum terealisir sebesar Rp1.546.365,20 juta dan

USD77,298.10

DJP tidak memungut pajak sesuai ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan potensi

 penerimaan pajak yang belum terealisir sebesar Rp1.546.365,20 juta dan USD77,298.10 dengan

temuan-temuan sbb :

A.  DJP tidak melakukan koreksi atas penggunaan FP masukan sebesar Rp196.882,56 juta yang

 penyerahannya belum dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual (Ref Temuan

A.1)

DJP telah memberikan persetujuan penggunaan faktur pajak masukan sebesar

Rp196.882.565.309,04 yang dilakukan oleh PKP pembeli meskipun PKP penjual belum

mempertanggungjawabkan dan melaporkan pajak yang telah dipungut dari PKP pembeli

Page 6: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 6/89

 BPK KHP Gabungan PPN

2

dimaksud ke kas negara sehingga penerimaan PPN sebesar Rp196.882565.309,04 belum

terealisir.

Hal tersebut disebabkan oleh :

1.  Petugas pajak yang menangani permasalahan dimaksud tidak tegas dalam menjalankan

aturan perpajakan yang berlaku;

2.  Pengawasan KPP terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah;

3.  Pengawasan atasan langsung kurang.

B.  Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak dikenakan PPN

oleh DJP sebesar Rp129.807,46 juta dan USD77,298.10 (Ref Temuan A.2).

Penyerahan yang tidak dikenakan PPN tersebut meliputi:

1.  Peredaran atau penghasilan dari usaha yang tidak atau kurang dilaporkan sebesar

Rp844.350.111,00

2.  Penghasilan dari luar usaha berupa penghasilan atas sewa tanah, penjualan aktiva, dan

 pendapatan pemberian kredit kendaraan dengan nilai PPN sebesar Rp1.465.106.213,20

dan USD77,298.10.

3.  Pemanfaatan BKP dan JKP luar negeri dengan nilai PPN sebesar Rp11.880.139.014,00.

4.  Penyerahan BKP kepada cabang serta penyerahan BKP/JKP lainnya dengan nilai PPN

sebesar Rp114.856.142.511,07.

Hal ini mengakibatkan penerimaan PPN sebesar Rp129.807.468.941,75 dan USD77,298.10

 belum dapat direalisasikan.

Hal tersebut terjadi karena :

1.  Petugas pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan adanya obyek

yang belum dikenakan PPN.

2.  Petugas pajak tidak sepenuhnya memahami dan kurang tegas dalam menerapkan aturan

dalam melakukan melakukan pemeriksaan.

3.  Kurang optimalnya pemanfaatan data dalam penggalian potensi terhadap obyek PPN

yang ada.

4.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan

C.  Sejumlah Faktur Pajak (FP) masukan sebesar Rp16.034,88 juta yang tidak sesuai ketentuan

(Ref Temuan A.3a-c, A.3e, A.3f) dan DJP tidak melakukan koreksi sebesar Rp5.447,51 juta

 juta atas selisih ekualisasi pembelian (Ref Temuan A.3d)

Penggunaan FP masukan tersebut meliputi:

1.  Konfirmasi PM senilai Rp546.046.698,00 yang belum mendapat jawaban namun tetap

dikreditkan atau diakui dalam perhitungan PPN terutang.

2.  Konfirmasi PM sebesar Rp89.933.895,00 yang dijawab tidak ada dan tidak disertai

 prosedur alternatif seperti uji arus piutang dan barang, namun tetap dikreditkan atau

diakui dalam perhitungan PPN terutang.

Page 7: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 7/89

 BPK KHP Gabungan PPN

3

3.  Pajak masukan sebesar Rp762.534.554,00 yang dikreditkan namun tidak didukung

dengan bukti yang sah, seperti tidak adanya SSP lembar ke-2, tidak tercantumnya bukti

dalam sistem komputerisasi (SIP Web) DJP.

4.  FP yang tidak dilakukan penelitian atas selisih ekualisasi pembelian dan pajak masukan

sebesar Rp5.447.515.318,00.

5.  Pengkreditan PM sebesar Rp2.407.075.116,00 melebihi batas waktu yang ditentukan

yaitu 3 bulan setelah akhir tahun takwim untuk pengkreditan PM sebelum tahun 2000 dan

3 bulan setelah akhir masa pajak untuk pengkreditan PM tahun 2000 dan sesudahnya.

6.  PM sebesar Rp12.229.289.666,02 yang tidak seharusnya dikreditkan atas penyerahan

yang mendapat fasilitas dibebaskan atau tidak dikenakan PPN

Hal tersebut mengakibatkan penerimaan PPN sebesar Rp21.482.395.337,02 belum dapat

direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan karena :

1.  Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan

 pajak masukan terutama dalam pemeriksaan.2.  Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan

 pengkreditan pajak masukan.

3.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.

D. FP yang diindikasikan fiktif sebesar Rp13.137,52 juta (Ref Temuan A.4) diperhitungkan oleh

DJP dalam perhitungan pajak terutang atas wajib pajak.

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar

Rp13.137.525.873,00 dan penyelesaiannya menjadi berlarut-larut serta berpotensi

menimbulkan kerugian negara.

Hal tersebut terjadi karena :

1.  Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan

 pajak masukan yang diduga fiktif.

2.  Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pajak

masukan yang diduga fiktif.

3.  Kurang optimalnya pemanfaatan data WP dalam penanganan pajak masukan yang diduga

fiktif .

4.  Pembinaan dan pengawasan atasan langsung kurang.

E.  DJP tidak mengenakan sanksi denda sebesar Rp38.207,65 juta kepada WP yang tidak

melakukan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan (Ref Temuan A.5).

1.  Terdapat penyampaian SPT yang terlambat/tidak disampaikan oleh Wajib Pajak namun

 belum dikenakan sanksi denda administrasi sehingga sehingga potensi penerimaan negara

sebesar Rp6.001.800.000,00 belum dapat direalisasikan.

Page 8: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 8/89

 BPK KHP Gabungan PPN

4

2.  Terdapat keterlambatan dalam pembayaran SPT Masa PPN yang belum dikenakan sanksi

denda administrasi sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp24.892.036.694,46

 belum dapat direalisasikan.

3.  Pemeriksa pajak di KPP Jakarta Tanjung Priok kurang mengenakan sanksi atas Pajak

Masukan yang berdasarkan hasil konfirmasi dinyatakan tidak ada sebesar

Rp7.046.932,00.

4.  Terdapat kekurangan pengenaan sanksi sebesar Rp7.029.858.054,98 atas keterlambatan

 pembuatan faktur.

5.  Terdapat pembuatan faktur pajak yang tidak memenuhi syarat namun KPP Cimahi tidak

mengenakan sanksi sebesar Rp2.957.135,00.

6.  Terdapat kekurangan perhitungan sanksi atas kompensasi yang seharusnya tidak boleh

dilakukan yaitu sebesar Rp20.207.494,00 di KPP Pratama Sawah Besar Satu dan

Rp253.753.075,00 di KPP Jakarta Setiabudi Satu.

Hal tersebut mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp38.207.659.385,44  belum dapat

direalisasikan.Hal tersebut terjadi karena :

1.  Petugas lalai dalam mengawasi ketepatan waktu pelaporan SPT Masa PPN dan

 pembayarannya;

2.  Pemeriksa pajak tidak teliti dalam menghitung sanksi yang seharusnya dikenakan; dan

3.  Kurangnya pengawasan atasan langsung terhadap pelaksanaan tugas bawahannya

F.  DJP mengurangkan sanksi denda yang telah dikenakan terhadap WP tidak sesuai dengan

ketentuan formal dan material sebesar Rp14.401.426.576,00 (Ref Temuan A.6).

DJP telah memberikan pengurangan sanksi denda kepada wajib pajak yang tidak memenuhi

ketentuan formal dalam pengajuan permohonan serta memberikan pertimbangan keputusan

secara materi yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Atas pemberian pengurangan sanksi denda dimaksud mengakibatkan potensi penerimaan

sebesar Rp14.401.426.576,00 belum dapat direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan oleh:

a.  Fiskus salah dalam menafsirkan ketentuan perpajakan

 b.  Kurangnya pengawasan langsung atas proses penghapusan/pengurangan sanksi

administrasi

G.  PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN dua tahun berturut-turut namun memiliki

omset PPh dengan potensi PPN sebesar Rp251.217,30 juta (Ref Temuan A.7).

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp251.217.304.517,40 belum

dapat direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan :

1.  Pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP lemah.

Page 9: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 9/89

 BPK KHP Gabungan PPN

5

2.  Pemanfaatan data equalisasi peredaran usaha badan dan penyerahan PPN oleh petugas

 pajak masih kurang.

3.  Pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan kewajiban

 perpajakan PKP masih kurang.

H.  Sejumlah wajib pajak yang memiliki omset lebih dari Rp600 juta setahun yaitu sebesar

Rp1.195.932,84 juta belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan potensi

PPN sebesar Rp143.614,15 juta (Ref. Temuan A.8)

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp143.614.154.393,16 belum

dapat direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan:

1.  Belum optimalnya usaha petugas pajak dalam memanfaatkan data omzet PPh dalam

upaya pengukuhan PKP.

2.  Kurangnya koordinasi antar seksi terkait.

3.  Pengawasan atasan langsung atas kegiatan pemantauan omzet WP masih kurang.

I.  Omset PPh lebih besar dibandingkan omset PPN senilai Rp6.146.789,98 juta menimbulkan

 potensi PPN sebesar Rp737.614,69 juta. Omset PPN dan PPh tidak harus selalu sama, namun

apabila terdapat selisih perlu ditelusuri lebih lanjut apakah selisih tersebut seharusnya

dikenakan PPN atau tidak (Ref. Temuan A.9)

Hal tersebut mengakibatkan belum dapat direalisasikannya potensi PPN sebesar

Rp737.614.699.147,12.

Hal tersebut disebabkan:

1.  Belum optimalnya usaha dalam menggunakan semua data/informasi yang tersedia

terutama data omzet PPh dan PPN baik data fisik maupun data SIP.

2.  Pengawasan atasan langsung atas pemantauan omzet WP masih kurang.

J.  Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah PKP belum dilakukan secara

optimal (Ref. Temuan A.10).

Hal tersebut mengakibatkan kesempatan negara untuk mendapatkan penerimaan dari

orang/badan yang berpotensi terjaring menjadi WP/PKP tidak dapat direalisasikan.

Hal tersebut terjadi karena:

1.  Usaha petugas pajak dalam rangka penambahan jumlah PKP belum optimal.

2.  Koordinasi antar seksi yang terkait dengan penambahan jumlah PKP khususnya SeksiPDI dan Seksi PPN kurang optimal.

II.  Pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar Rp36.204,07 juta dan sanksi yang

belum di kenakan sebesar Rp18.311,15 juta.

Pengeluaran negara yang tidak seharusnya dilakukan sebesar Rp36.204,07 juta antara lain terdiri

dari temuan-temuan sebagai berikut :

Page 10: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 10/89

 BPK KHP Gabungan PPN

6

K.  DJP menyetujui penggunaan FP masukan tidak sesuai ketentuan sebesar

Rp16.532.597.953,23 dalam pemberian restitusi. (Ref Temuan B.1)

Penggunaan FP masukan tidak sesuai ketentuan tersebut meliputi:

1.  Pengkreditan pajak masukan yang tidak memperhitungkan penyerahan yang PPN-nya

dibebaskan / tidak terhutang.

2.  Pengkreditan pajak masukan terlalu besar atas pembelian bahan bakar minyak.

3.  Pengkreditan pajak masukan melewati batas tiga bulan.

4.  Pengkreditan PPN impor / pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum

dijawab.

5.  Koreksi pengkreditan pajak masukan sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri.

6.  Pengkreditan faktur pajak masukan yang dibuat lebih dari empat bulan dari tanggal

 penyerahan barang atau pembayaran.

Keadaan tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar

Rp16.532.597.953,23 dan potensi penerimaan negara sebesar Rp18.311.146.823,73 yang

 berasal dari penagihan kembali beserta sanksinya belum dapat direalisasikan.Keadaan diatas disebabkan oleh:

1.  Fiskus lalai dalam melakukan pemeriksaan atas pajak masukan yang dapat dikreditkan

2.  Kurangnya pengawasan dari atasan langsung

L.  DJP mengurangkan/menghapuskan sanksi denda dan mengabulkan permohonan keberatan

sebesar Rp4.200,53 juta tidak sesuai ketentuan (Ref Temuan B.2a dan B.2d).

DJP mengurangkan/menghapuskan sanksi denda senilai Rp1.943.617.340,00 atas pemakaian

FP masukan yang berasal dari PKP Penjual yang diduga oleh Kantor Pusat DJP sebagai

 penerbit FP fiktif. Selain itu DJP juga mengabulkan surat permohonan peninjauan kembali

atas sanksi administrasi yang tidak memenuhi ketentuan formal senilai Rp2.256.917.094,00.

Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sejumlah

Rp4.200.534.434,00 kepada wajib pajak.

Keadaan diatas disebabkan oleh:

1.  Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai

dalam melaksanakan tugasnya

2.  Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang

menjadi bawahannya

M.  DJP mengabulkan keberatan wajib pajak tanpa menggunakan dasar dan bukti yang kuat (Ref

Temuan B.2b dan B.2c).

DJP mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak atas penyerahan BKP dan JKP yang

dikenakan PPN tanpa menggunakan dasar dan bukti yang kuat sehingga menimbulkan

indikasi pengeluaran negara yang tidak perlu dan atau indikasi kerugian negara sebesar

Rp1.757.533.299,72.

Page 11: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 11/89

 BPK KHP Gabungan PPN

7

Hal tersebut mengaibatkan indikasi pengeluaran negara yang tidak perlu dan atau indikasi

kerugian negara sebesar Rp1.757.533.299,72.

Keadaan diatas disebabkan oleh:

1.  Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai

dalam melaksanakan tugasnya

2.  Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang

menjadi bawahannya

 N.  Terdapat tunggakan pajak (piutang pajak) sebesar Rp3.586,99 juta yang telah daluarsa (Ref

Temuan B.3).

DJP tidak melakukan penagihan tunggakan pajak sebesar Rp3.586.989.526,00 sesuai

tahapan-tahapan yang telah ditetapkan dalam ketentuan sehingga sesuai dengan undang-

undang nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

tunggakan pajak sejumlah tersebut tidak dapat ditagih lagi ke wajib pajak.

Keadaan diatas mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp3.586.989.526,00 yang tidak

dapat direalisasikan.

Keadaan diatas disebabkan oleh

1.  Pelaksanaan penagihan tidak dilakukan secara optimal

2.  Pengawasan atasan langsung yang masih kurang

O.  Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak sebesar Rp8.105,37 juta dari penerbit yang

diindikasikan fiktif (Ref Temuan B.4).

Sistem Informasi Perpajakan (SIP) menunjukkan data bahwa terdapat satu wajib pajak yang

melakukan penyerahan BKP/JKP sebesar Rp8.105.366.563,00 dan faktur pajak masukannyatelah diperhitungkan oleh PKP pembeli namun wajib pajak tersebut belum melaporkan

 penyerahannya. Data master file wajib pajak pada SIP tidak memberikan informasi yang

lengkap atas wajib pajak tersebut. Pada saat BPK melakukan pengecekan fisik ke alamat

wajib pajak, BPK tidak menemukan keberadaan wajib pajak tersebut. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa wajib pajak tersebut adalah penerbit FP fiktif.

Keadaan diatas mengakibatkan potensi kerugian negara minimal senilai Rp8.105.366.563,00.

Keadaan diatas disebabkan oleh:

1.  Pengawasan KPP Jakarta Penjaringan terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah.

2.  KPP Jakarta Penjaringan dan Kantor Wilayah DJP Jakarta V kurang sungguh-sungguh

dalam menindaklanjuti masalah faktur pajak fiktif.

3.  Kurangnya pengawasan atasan langsung

P.  Hasil pemeriksaan DJP terhadap kewajiban perpajakan wajib pajak tidak sah (Ref Temuan

B.5).

Pemeriksaan oleh DJP kepada satu wajib pajak menghasilkan dua Surat Ketetapan Pajak

(SKP) PPN terdiri dari SKPKB dan SKPLB atas masa pajak yang sama. Wajib pajak

Page 12: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 12/89

 BPK KHP Gabungan PPN

8

mengajukan banding dan keputusan banding menyebutkan bahwa SKP tersebut tidak sah

serta negara harus memberikan imbalan bunga kepada wajib pajak sebesar

Rp2.017.323.330,00.

Keadaan tersebut diatas disebabkan karena KPP Jakarta Cakung Satu tidak memperhatikan

konsekuensi hukum dari ketentuan yang berlaku dalam penerbitan SKP PPN.

Q. Potensi pengeluaran negara akibat adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak terjadi (Ref

Temuan B.6).

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui terdapat potensi pengeluaran negara akibat adanya

 pemberian imbalan bunga.

Kondisi tersebut mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar Rp966.027.578,00.

Hal tersebut disebabkan oleh aparat pajak yang lalai dan kurangnya pengawasan atasan

langsung.

R.  Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang pajak (Ref Temuan B.7).Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat penerbitan SPMKP

sebesar Rp23.381.091,00 yang tidak memperhitungkan hutang pajak sebesar

Rp67.720.836,00.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar R67.720.896,00.

Hal tersebut disebabkan oleh petugas yang tidak teliti dalam menjalankan tugasnya seta

 pengawasan atasan langsung masih lemah.

III. Pelayanan ke wajib pajak dan Sistem Pengendalian Intern DJP lemah

Kualitas pelayanan DJP ke wajib pajak dan Sistem Pengendalian Intern DJP mengandung

kelemahan dengan temuan-temuan sebagai berikut :

S.  DJP terlambat dalam menyelesaikan permohonan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak

serta dalam menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak

(SKPKPP) dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) (Ref Temuan C.1).

Sesuai ketentuan, keberatan harus diselesaikan paling lama 12 bulan sejak tanggal surat

keberatan diterima. Sedangkan SKPKPP dan SPMIB harus diterbitkan paling lama 1 bulan

sejak keputusan diterima.

Hal tersebut mengakibatkan:

1.  Permohonan keberatan WP harus diterima.

2.  Citra pelayanan KPP menjadi kurang baik bagi WP terutama bagi yang mengajukan

keberatan dan restitusi hasil keberatan serta yang berhak atas imbalan bunga.

Keadaan tersebut disebabkan:

1.  Kurangnya pengawasan terhadap pengajuan permohonan keberatan yang telah masuk.

2.  Petugas pajak yang bersangkutan lalai.

3.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan langsung.

Page 13: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 13/89

 BPK KHP Gabungan PPN

9

 

T.  Kebijakan Kakanwil Wajib Pajak Besar untuk melakukan konfirmasi dan penelitian FP serta

SSP dalam pemberian restitusi/kompensasi sebesar Rp5.661.007,69 juta dengan

menggunakan teknik sampling dengan jumlah sampel 25 – 30 FP/SSP menyalahi ketentuan

yang ditetapkan Dirjen Pajak.Langkah tersebut dituangkan pada Nota Dinas Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Besar No

 ND-13/WPJ.19/BD.0401/2003 dan No ND-14/WPJ.19/BD.04/2002. SE Dirjen No.SE-

755/PJ/2001 dan Kep Dirjen No.KEP-359/PJ/2003 mengatur bahwa konfirmasi harus

dilakukan terhadap seluruh faktur pajak dengan nilai diatas Rp500.000,00 (Ref Temuan C.2).

Hal tersebut mengakibatkan restitusi sebesar Rp5.661.007.686.701,00 tidak dapat diyakini

kewajarannya.

Hal tersebut disebabkan adanya kebijakan Kanwil DJP XIX berupa nota dinas tentang

 prosedur kerja pemberian restitusi.

U.  Penetapan SKP oleh DJP tidak dilakukan berdasarkan konfirmasi atau jawaban konfirmasi

atas faktur pajak dan SSP senilai Rp390.694,61 juta yang mengakibatkan FP dan SSP

sejumlah tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya (Ref Temuan C.3). Hal tersebut tidak

sesuai dengan beberapa Keputusan dan Surat Edaran Dirjen Pajak.

Hal tersebut mengakibatkan:

1.  Pemberian restitusi sebesar Rp166.833.281.737,00 tidak dapat diyakini kebenarannya.

2.  PPN yang dipungut oleh pemungut PPN sebesar Rp200.728.699.587,00 tidak dapat di

yakini kebenarannya.

3.  Perhitungan penjualan ekspor sebesar Rp23.132.629.155,00 tidak dapat di yakini

kebenarannya

Kondisi di atas disebabkan

1.  Adanya kebijakan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dengan Nota Dinas Nomor:: ND-

14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002.

2.  Pemeriksa pajak tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan.

3.  Pengawasan dan pengendalian atasan langsung masih kurang.

V.  Proses penagihan tunggakan pajak sebesar Rp10.033,76 juta oleh DJP kurang optimal dan

tidak mengikuti tahapan waktu sesuai prosedur yang telah ditetapkan (Ref Temuan C.4). Hal

tersebut dapat mengakibatkan tertundanya penerimaan negara serta terdapat risiko tunggakan

 pajak menjadi daluarsa.

Hal tersebut mengakibatkan tertundanya penerimaan negara sebesar Rp10.033.769.151,00.

Kondisi di atas disebabkan KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya krembangan tidak

sungguh-sungguh dalam melakukan penagihan aktif .

Page 14: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 14/89

 BPK KHP Gabungan PPN

10

W.  DJP belum membukukan SPMIB sebesar Rp6.871,82 juta ke dalam Laporan Penerimaan

Pajak Tahun Anggaran 2004 dan 2005 sehingga realisasi penerimaan pajak disajikan lebih

tinggi sejumlah tersebut (Ref Temuan C.5).

Hal tersebut mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat

diyakini kewajarannya.Kondisi di atas disebabkan seksi penerimaan dan keberatan KPP Cikarang I Belum

membukukan pengeluaran restitusi atas pembayaran imbalan bunga.

X.  Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen sumber (Ref. Temuan C.6).

Fiskus dalam melakukan pemeriksaan terhadap PT Denso Indonesia mengkreditkan faktur

 pajak cacat karena pada KKP ditemukan bahwa faktur pajak masukan yang dilampirkan

merupakan blanko kosong yang diisi sendiri oleh fiskus.Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib

Pajak besar Dua.

Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat

diyakini kebenarannya.

Kondisi di atas disebabkan pemeriksa tidak memperhatikan dokumen – dokumen yang

diperlukan dalam penyusunan kertas kerja pemeriksa

Y.  Pengkreditan pajak masukan masa tidak sama sebesar Rp158,68 belum dilakukan penelitian

(Ref Temuan C.7).

Hasil reviu terhadap LPP dan KKP pemeriksa pajak, diketahui bahwa pengkreditan pajak

masukan masa pajak sebelumnya, sebagian besar pajak masukan adalah untuk masa tidak

sama yaitu sebesar Rp.158.685.434,00 dari sejumlah Rp.160.416.691,00 yang di kreditkan

untuk masa pajak juli 2003

Kondisi di atas mengakibatkan pajak masukan dalam negeri masa tidak sama sebesar

Rp158.685.434,00 belum dapat diyakini kebenarannya.

Kondisi tersebut disebabkan pemeriksa pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan dan

kurangnya pengendalian dan pengawasan atasan terhadap hasil pemeriksaan.

Z.  Pengkreditan faktur pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp554,22 juta (Ref

. Temuan C.8).

Dari hasil pemeriksaan kertas kerja pemeriksaan (KKP) dan Laporan Pemeriksaan Pajak

(LPP) atas PT. Mbangun Praja Industri pada Kanwil DJP Jawa Bagian Barat satu (KPP

Cimahi) di ketahui terdapat pajak masukan selama tahun 2003 yang tidak sesuai dengan

 jumlah pembelian bahan baku yang dilaporkan selama tahun 2003 oleh WP. Dari penelusuran

lebih lanjut atas KKP fiskus, pada saat pemeriksaan tidak melakukan equalisasi antara

 pembelian yang dilaporkan dalam SPT PPh badan dengan faktur pajak masukan yang

dilaporkan dalam SPT masa PPN. Sehingga terdapat faktur pajak masukan sebesar

Rp554.226.565,80 tidak dapat diyakini kebenarannya.

Page 15: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 15/89

 BPK KHP Gabungan PPN

11

Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp554.226.565,80 tidak dapat

di yakini kebenarannya.

Kondisi di atas disebabkan fiskus tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang

dilaporkan dalam SPT PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT

masa PPN.

AA.  Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yang diduga sebagai penerbit dan pengguna

faktur pajak tidak sah (fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal (Ref. Temuan C.9).

Melihat kondisi sekarang ini dengan makin banyaknya peredaran faktur pajak yang diduga

tidak sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak sah dan banyak digunakan oleh PKP

lain sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang disetorkan ke kas negara, maka sudah

seharusnya dalam rangka tertib administrasi perpajakan serta dalam rangka pengamanan

 penerimaan negara dari sektor pajak pada umumnya dan dari sektor PPN pada khususnya,

Ditjen Pajak harus memberikan perhatian ekstra terhadap penanganan masalah tersebut.

 Namun berdasarkan data serta dokumen yang diberikan, penanganan yang seharusnyadilakukan secara berkesinambungan pada kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan.

Hal tersebut mengakibatkan penerimaan negara tidak dapat segera terealisir dan potensi

kerugian negara dikemudian hari semakin besar atas keterlambatan penanganan pengguna

dan penerbit faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif).

Keadaan di atas disebabkan karena KPP, Kanwil, dan Karikpa kurang memberikan perhatian

yang lebih mendalam atas penanganan PKP penerbit dan pengguna faktur pajak yang diduga

fiktif.

BB.  Kelemahan dalam pengadministrasian buku register keberatan, buku restitusi, dan buku

 jawaban klarifikasi serta administrasi dokumen perpajakan tidak tertib (Ref. Temuan C.10).

Dalam rangka tertib administrasi dibidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme

 pengawasan atas pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pelaksanaan kegiatan

tersebut dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya

masih ditemukan adanya kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di

KPP dan Kanwil. Selain itu terdapat penatausahaan dan administrasi dokumen perpajakan

tidak tertib sebagai akibat adanya reorganisasi dari KPP Paripurna menjadi KPP Pratama.

Hal tersebut mengakibatkan:

1.  Buku register tersebut tidak informatif sehingga fungsi pengawasan yang diemban tidak

dapat berjalan dengan baik.2.  Sistem administrasi dokumen perpajakan tidak tertib

3.  Ketidakjelasan petugas yang bertanggungjawab atas dokumen/laporan-laporan KPP

Paripurna.

4.  Fungsi-fungsi KPP yaitu pelayanan, administrasi dan pemeriksaan tidak dapat

dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

Hal tersebut disebabkan:

Page 16: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 16/89

 BPK KHP Gabungan PPN

12

1.  Tidak adanya pemahaman terhadap pentingnya pengendalian informasi yang disajikan

dalam rangka menunjang pelaksanaan fungsi pengawasan.

2.  Tidak adanya aturan baku yang mengatur tentang tanggung jawab pejabat struktural dan

 pelaksana KPP lama dalam rangka persiapan reorganisasi KPP.

CC.  Kegiatan Ekstensifikasi pengusaha kena pajak dan pemanfaatan data equalisasi omzet PPh

dan PPN kurang efektif dilakukan (Ref. Temuan C.11)

Hal tersebut mengakibatkan penambahan WP terdaftar dan penerimaan pajak tidak dapat

mencapai rencana yang diberikan serta peningkatan penerimaan pajak dari ektensifikasi dan

intensifikasi tidak akan terwujud.

Hal tersebut disebabkan:

1.  Tidak adanya laporan ekstensifikasi WP secara periodik, sehingga mekanisme

 pengendalian tidak berjalan sebagaimana mestinya.

2.  Kurangnya perhatian terhadap pemanfaatan data intern seperti equalisasi omzet PPh dan

PPN serta data PKP yang 2 tahun berturut-turut tidak menyampaikan SPT Masa PPN.

DD.  Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib pajak sebesar Rp597,14 juta

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas 2 berkas WP, diketahui terdapat penerbitan ketetapan

yang merugikan WP (Ref. Temuan C.12).

Hal tersebut mengakibatkan WP dirugikan sebesar Rp597.140.515,00

Keadaan tersebut disebabkan oleh:

1.  Tidak adanya kebijakan pemeriksaan yang dapat mencegah pemeriksaan yang tumpang

tindih..

2.  Petugas pajak tidak teliti dan cermat dalam melakukan pemeriksaan.

3.  Kurangnya koordinasi dan komunikasi antara bidang PPN dan fungsional pemeriksa

Kanwil.

4.  Kurangnya pengawasan atasan langsung. 

Jakarta, Maret 2006

Badan Pemeriksa Keuangan

Penanggungjawab Audit

Drs. Luhut P. Siahaan

NIP 24000273

Page 17: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 17/89

 BPK KHP Gabungan PPN

13

BAB I

PENDAHULUAN

1.  Dasar Pemeriksaan

a.  Undang-undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan-Republik Indonesia.

 b.  Rencana Kegiatan Pemeriksaan BPK-RI Tahun Anggaran 2005.

c.  Surat Tugas Badan Pemeriksa Keuangan No 64/ST/IV-XII.1/10/2005 tanggal 10 Oktober

2005.

2.  Tujuan Pemeriksaan

Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui dan menilai apakah:

a.  struktur pengendalian intern entitas telah dirancang dan dilaksanakan secara memadai untuk

mencapai tujuan pengendalian.

 b.   proses penetapan target penerimaan PPN sudah dilakukan secara memadai.c.  tata usaha pengelolaan penerimaan PPN sudah dilakukan dengan baik.

d.  terjadi indikasi pelanggaran ketentuan perpajakan dibidang PPN dan tata usaha penerimaan

PPN

3.  Lingkup Pemeriksaan.

Sasaran pemeriksaan meliputi :

a.  Perencanaan

 b.  Realisasi penerimaan dan restitusi PPN

c.  Kegiatan pemeriksaan PPN

d.  Kegiatan pemrosesan keberatan, banding, dan peninjauan kembali (PK) PPN

e.  Kegiatan Pengawasan Administratif.

f.  Kegiatan ekstensifikasi

4.  Jenis Pemeriksaan.

Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu

5.  Standar Pemeriksaan

Standar pemeriksaan adalah Standar Audit Pemerintah (SAP) Tahun 1995

6.  Jangka Waktu Pemeriksaan

Pemeriksaan dilaksanakan dalam dua tahap pemeriksaan, yaitu:

-  Tahap pertama dilaksanakan dari tanggal 17 Oktober sampai dengan 25 Nopember 2005

-  Tahap kedua dilaksanakan dari tanggal 12 Desember sampai dengan 31 Desember 2005

Page 18: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 18/89

 BPK KHP Gabungan PPN

14

7.  Obyek dan Periode Pemeriksaan .

a.  Obyek Pemeriksaan.

Pemeriksaan dilakukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada sepuluh Kantor Wilayah (Kanwil)

Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Sembilan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak

(Karikpa) dan 12 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:

No. Kanwil Karikpa KPP

1. Kanwil XIX Wajib Pajak (WP) Besar - KPP WP Besar Dua

2. Kanwil DJP Jakarta V Karikpa Jakarta Empat KPP Jakarta Penjaringan

KPP Jakarta Tanjung Priok

3. Kanwil DJP Jakarta IV Karikpa Jakarta Satu KPP Jakarta Cakung Satu

4. Kanwil DJP Jakarta I - KPP Jakarta Sawah Besar

Satu

5 KanwilDJP Jakarta III Karikpa Jakarta Dua KPP Setia Budi satu

6. Kanwil DJP Jawa Bagian Barat II Karikpa Bandung Satu KPP Cimahi

Karikpa Bandung Dua KPP Bandung Karees

7. Kanwil DJP Jawa Bagian Barat III Karikpa Karawang KPP Cikarang satu

8. Kanwil Sumbagut I Karikpa Medan Satu KPP Medan Belawan

9. Kanwil DJP Jabagtim II Karikpa Mojokerto KPP Sidoarjo Timur

10 Kanwil DJP Jabagtim I Karikpa Surabaya

Satu

KPP Surabaya Krembangan

 b.  Periode waktu pemeriksaan

Periode waktu pemeriksaan adalah Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (sampai dengan saat

 pemeriksaan).

8.  Metode Pemeriksaan.

Metodologi yang digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan PPN adalah sebagai berikut:

a.  Pendekatan Risiko

Pemeriksaan atas  pengelolaan PPN didahului dengan melakukan  pemahaman atas kegiatan

entitas, dalam hal ini unit di Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan sistem pengelolaan

PPN meliputi : rencana  dan  realisasi, pemeriksaan dan restitusi,  pengawasan administrasi,

 pemeriksaan, penyelesaian keberatan dan pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi Wajib

 pajak  Pemahaman atas sistem yang ada ditujukan untuk menilai r i siko pengendalian dengan

mengindentifikasi bentuk-bentuk pengendalian yang diperlukan dalam kegiatan PPN dan

mengindentifikasi kelemahan  dalam rancangan pengendalian yang telah ada. Selanjutnya

dilakukan pengujian atas pengendalian (test of control ) untuk menentukan tingkat efektivitas

dari sistem pengendalian yang ada.

Page 19: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 19/89

 BPK KHP Gabungan PPN

15

Pemahaman dan pengujian atas  pengendalian  ini dilakukan dengan wawancara, mereview

dokumen dan catatan entitas serta melakukan pengamatan atas aktivitas organisasi.

Hasil pemahaman dan pengujian pengendalian ini akan menentukan tingkat keandalan Sistem

Pengendalian Intern (SPI)  kegiatan operasional PPN sesuai dengan kriteria dan ketentuan

yang berlaku.

Hasil penilaian r isiko pengendalian ini digunakan dalam penentuan jumlah sampel dokumen

 per  pajak an yang akan di uji secara mendalam untuk mencapai tujuan pemeriksaan.

 b. Pendekatan Sampling

Berdasarkan hasil pengujian pengendalian, pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan

 pengujian secara uji petik atas unit-unit dan dokumen dalam populasi di entitas yang akan

diuji.

Kesimpulan pemeriksaan diproses berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik yang

hasilnya dijadikan dasar untuk menggambarkan kondisi dari populasinya. BPK memilih

sampel pemeriksaan pada 12 KPP atau 6,8% dari 176 KPP seluruh di seluruh Indonesia.Pemeriksaan sampel dokumen yang diuji menggunakan metode non statistical  sampling  

dengan memperhatikan tingkat r isiko yang ada  pada entitas antara lain:  restitusi yang

nilainya besar, PKP yang memiliki peredaran usaha besar tetapi Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar (SKPKB) kecil, dan Pengusaha K ena Pajak  yang sering menerima restitusi. 

c.  Pengelompokan temuan pemeriksaan

Temuan pemeriksaan dikelompokan dalam tiga kelompok, yaitu :

1.  Temuan yang mengakibatkan potensi pajak yang masih harus dipungut atau diterima oleh

Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Termasuk dalam kelompok temuan ini antara lain

adanya obyek-obyek Pajak Pertambahan Nilai yang belum diperhitungkan oleh petugas

 pajak pada saat pemeriksaan. Sanksi denda administrasi yang harus dikenakan terhadap

wajib pajak, maupun obyek Pajak Pertambahan Nilai yang bisa diperoleh dari kegiatan

ekstensifikasi.

2.  Temuan yang menyangkut pengeluaran keuangan negara yang seharusnya tidak perlu

terjadi. Termasuk dalam kelompok temuan ini antara lain pemberian restitusi yang

 berlebih kepada wajib pajak .

3.  Temuan yang berkaitan dengan Sistem Pengendalian Intern dan pelayanan. Termasuk

dalam temuan ini berhibungan dengan kelemahan-kelemahan Sistem Pengendalian Intern

dalam pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh DJP. Pelayanan kepadawajib pajak dan proses keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.

Page 20: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 20/89

 BPK KHP Gabungan PPN

16

BAB II

GAMBARAN UMUM

1.  Organisasi dan Tata Kerja

Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu unit eselon I di Departemen Keuangan. Unit kerja

di Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut :

1)  Kantor Pusat DJP

Susunan organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak diatur dalam Keputusan Menteri

Keuangan RI Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Departemen Keuangan.

Susunan organisasi Kantor Pusat Ditjen Pajak adalah sebagai berikut :

-  Sekretariat Direktorat Jenderal;

-  Direktorat Potensi dan Sistem Perpajakan;

-  Direktorat Peraturan Perpajakan;-  Direktorat Pajak Penghasilan;

-  Direktorat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;

-  Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

-  Direktorat Pemeriksaan, Penyedikan dan Penagihan Pajak;

-  Direktorat Penyuluhan Perpajakan

2)  Kantor Wilayah (Kanwil) DJP

Susunan organisasi Kanwil Direktorat Jenderal Pajak selain Kanwil DJP Pajak Wajib Pajak

Besar dan Kanwil Khusus didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor

473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 tentang Perubahan lampiran I,II,III,IV dan V

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan

Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan

Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah

dengan Keputusan Menteri Keuangan Np 519/KMK.01/2003. Susunan organisasi Kanwil

DJP adalah sebagai berikut :

a. Bagian Umum;

 b. Bidang Administrasi dan Kerjasama Perpajakan;

c. Bidang Pajak Penghasilan;d. Bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;

e. Bidang Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

f. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak;

g. Kelompok Jabatan Fungsional.

Page 21: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 21/89

 BPK KHP Gabungan PPN

17

Sedangkan Kanwil XIX DJP Wajib Pajak Besar Kanwil DJP Jakarta I diatur dalam

Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002 Keputusan Menteri Keuangan Nomor

167/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005 dengan struktur organisasi sebagai berikut :

-  Bagian Umum;

-  Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi;

-  Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak;

-  Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat;

-  Bidang Keberatan dan Banding;

-  Kelompok Jabatan Fungsional.

3)  Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23

Juli 2001, susunan organisasi Karikpa adalah sebagai berikut:

-  Sub Bagian Umum;

-  Kelompok jabatan Fungsional.

4)  Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dibawah koordinasi Kanwil Ditjen Pajak sesuai dengan

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001

sebagaimana terakhir dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor-

473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 tentang Perubahan Lampiran I, II, III dan IV

Keputusan Menteri Keuangan No.443/KMK.01/2001. Susunan organisasi KPP sebagai

 berikut :

-  Sub Bagian Tata Usaha;

-  Seksi Pajak Penghasilan (PPh) Badan;

-  Seksi PPh Orang Pribadi;

-  Seksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL);

-  Seksi Pemotongan dan Pemungutan (Potput) PPh;

-  Seksi Penerimaan dan Keberatan (Penkeb);

-  Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDIP);

-  Seksi Penagihan;

-  Seksi Tata Usaha Perpajakan.

Departemen Keuangan melakukan reorganisasi KPP dengan melakukan pemekaran Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) dan pembentukan KPP baru.KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Jakarta Sawah Besar I diatur dalam Keputusan Menteri

Keuangan No.65/KMK.01/2002 dan Keputusan Menteri Keuangan No.167/KMK.01/2005

susunan organisasi KPP sebagai berikut :

-  Subbagian Umum;

-  Seksi Pengolahan Data dan Informasi;

-  Seksi Pelayanan;

Page 22: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 22/89

 BPK KHP Gabungan PPN

18

-  Seksi Penagihan;

-  Seksi Pemeriksaan;

-  Seksi Pengawasan dan Konsultasi I;

-  Seksi Pengawasan dan Konsultasi II;

-  Seksi Pengawasan dan Konsultasi III;

-  Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV;

-  Kelompok Jabatan Fungsional.

2.  Tugas Pokok dan Fungsi DJP

1)  Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak

Tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak adalah melaksanakan sebagian tugas pokok

Departemen Keuangan di bidang penerimaan negara yang berasal dari pajak sesuai dengan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tugas merumuskandan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan sesuai dengan

kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

 berlaku. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Direktorat Jenderal Pajak

menyelenggarakan fungsi:

-   penyiapan perumusan kebijakan di bidang Perpajakan;

-   pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan

 perundang-undangan yang berlaku

-   perumusan standar, norma, pedoman, criteria, dan prosedur di bidang perpajakan

-   pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan

-   pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.

2)  Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak

Kantor Wilayah Ditjen Pajak mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan pengendalian

 pelaksanaan tugas pokok direktorat jenderal di wilayah kerjanya berdasarkan kebijaksanaan

teknis yang ditetapkan direktur jenderal. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, kantor

wilayah mempunyai fungsi :

-  Pemberian bimbingan, koordinasi dan pengembangan teknis pelaksanaan tugas direktorat

 jenderal yang ada dalam wilayah wewenangnya;

-  Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan;-  Pemantauan, pengolahan dan penyajian informasi perpajakan, register dan evaluasi data

wajib pajak serta ekstensifikasi wajib pajak;

-  Penyelesaian keberatan wajib pajak;

-  Evaluasi dan pembinaan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pemeriksaan, penyidikan dan

 penagihan pajak;

-  Pemeriksaan dan penyidikan pajak;

Page 23: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 23/89

 BPK KHP Gabungan PPN

19

-  Pengawasan terhadap unit-unit operasional di wilayah kerjanya masing-masing;

-  Pengurusan tata usaha dan rumah tangga kantor wilayah.

Sedangkan Kanwil Kantor Wilayah (Kanwil) XIX DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP

Jakarta I, fungsinya adalah sebagai berikut:

-  Pemberian bimbingan dan evaluasi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak;

-  Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan;

-  Bimbingan konsultasi dan pembinaan penggalian potensi perpajakan serta pemberian

dukungan teknis komputer;

-  Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan;

-  Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama perpajakan, serta pemberian bantuan hukum;

-  Bimbingan pemeriksaan dan penagihan, serta pelaksanaan dan administrasi penyidikan;

-  Bimbingan pelayanan dan penyuluhan, serta pelaksanaan hubungan pelayanan

masyarakat;

-  Penyelesaian keberatan dan pelaksanaan urusan banding;-  Pembetulan surat ketetapan pajak;

-  Pelaksanaan administrasi Kantor Wilayah

3)  Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak

Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan dan

 penyidikan di bidang perpajakan berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan direktur

 jenderal pajak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak

mempunyai fungsi :

-  Penyusunan program dan pelaksanaan pemeriksaan, serta penyusunan laporan hasil

 pemeriksaan wajib pajak;

-  Pengumpulan dan penelaahan bukti permulaan serta pelaksanaan penyidikan terhadap

tindak pidana perpajakan;

-  Pengurusan tata usaha dan rumah tangga.

4)  Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dibawah koordinasi Kanwil DJP dimana tugas Kantor

Pelayanan Pajak adalah melaksanakan kegiatan operasional pelayanan perpajakan di bidang

Pajak penghasilan, pajak pertambahan Nilai, Pajak penjualan atas Barang mewah, dan pajakTidak langsung Lainnya dalam daerah wewenangnya berdasarkan kebijaksanaan teknis yang

ditetapkan Direktorat jenderal pajak.

Sedangkan fungsinya adalah :

-  Pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, penggalian potensi

 pajak serta ekstensifikasi wajib pajak;

-  Penatausahaan dan pengecekan surat pemberitahuan tahunan serta berkas wajib pajak;

Page 24: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 24/89

 BPK KHP Gabungan PPN

20

-  Penatausahaan dan pengecekan surat pemberitahuan masa, serta pemantauan dan

 penyusunan laporan pembayaran masa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Tidak Langsung Lainnya;

-  Penatausahaan penerimaan,penagihan,penyelesaian keberatan dan restitusi Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;

-  Verifikasi dan penerapan sanksi perpajakan;

-  Pengurusan pemberian surat ketetapan pajak;

-  Penyuluhan dan pelayanan konsultasi perpajakan;

-  Pengurusan tata usaha dan rumah tangga Kantor Pelayanan Pajak.

Sedangkan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Jakarta Sawah Besar I, fungsinya adalah sebagai

 berikut :

-  Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, serta

 penyajian informasi perpajakan;

-  Penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan;-  Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat

Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya;

-  Penyuluhan perpajakan;

-  Pelaksanaan registrasi wajib pajak;

-  Pelaksanaan ekstensifikasi;

-  Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;

-  Pelaksanaan pemeriksaan pajak;

-  Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak;

-  Pelaksanaan konsultasi perpajakan;

-  Pelaksanaan intensifikasi;

-  Pelaksanaan administrasi KPP

3.  Uraian Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara umum adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang

dan jasa di dalam negeri (dalam daerah pabean) yang dapat dilakukan oleh orang pribadi, badan

dan pemerintah. PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak

(JKP), ekspor dan impor BKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean,

kegiatan membangun sendiri, dan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan. Subjek pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun untuk obyek pajak impor BKP,

 pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean, dan kegiatan membangun sendiri

dapat dilakukan oleh siapapun tanpa memandang apakah subjek pajak tersebut PKP atau bukan.

Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 mengatur tentang batasan pengusaha kecil

untuk dapat dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil sudah harus menjadi PKP apabila selama

Page 25: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 25/89

 BPK KHP Gabungan PPN

21

satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto

dan/atau penerimaan bruto lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Sistem pemungutan PPN di Indonesia menggunakan indirect credit method   (metode

 pengkreditan tidak langsung). PKP dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah dengan

melaporkan SPT Masa PPN yang dilakukan setiap masa pajak/bulan. Setiap melakukan

 penyerahan, PKP harus memungut PPN kepada pembelinya yang disebut PPN Keluaran dan

 begitu pula saat melakukan pembelian, PKP juga dipungut PPN oleh penjualnya yang disebut

PPN Masukan. PPN Keluaran dan PPN Masukan inilah yang dilaporkan setiap bulannya oleh

PKP dalam SPT Masa PPN. Apabila PPN Keluaran lebih besar daripada PPN Masukan, maka

SPT yang dilaporkan PKP menjadi SPT Masa PPN kurang bayar. PKP harus menyetorkan PPN

kurang bayar untuk suatu masa pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan

melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak yang terutang.

Sebaliknya apabila PPN Masukan lebih besar, maka SPT yang dilaporkan adalah SPT Masa PPN

lebih bayar. Atas kondisi lebih bayar, PKP dapat mengkompensasikan kelebihan bayar tersebut

ke masa pajak berikutnya atau mengajukan restitusi. Untuk dapat memperoleh restitusi, terhadapPKP yang mengajukan permohonan harus dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak. Restitusi

 pajak paling besar diterima terutama oleh eksportir, sebagai konsekuensi pengenaan tarif pajak

0% terhadap ekspor, sementara PPN Masukan atas perolehan/pembelian BKP tetap dapat

dikreditkan. Dalam struktur penerimaan PPN terdapat dua sumber penerimaan, yaitu PPN Dalam

 Negeri dan PPN Impor

4.  Pengujian Sistem Pengendalian Intern

Pelaksanaan pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didahului dengan melakukan

 pemahaman umum atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam pengelolaan PPN, mulai dari

 proses perencanaan, realisasi dan restitusi penerimaan pajak, administrasi, pemeriksaan,

 penyelesaian keberatan, dan pelaksanaan penyisiran wajib pajak. Pemahaman atas SPI ini

dilakukan untuk menilai aspek-aspek Pengendalian Intern dengan cara wawancara, mereviu

dokumen dan catatan entitas serta melakukan pengamatan atas aktivitas dan operasi entitas.

Berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan secara uji petik atas aspek-aspek Pengendalian

Intern khususnya berkaitan dengan PPN, diketahui masih terdapat beberapa kelemahan yang

 perlu diperbaiki dan mendapatkan perhatian sebagai berikut:

1.  Organisasi;

Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu unit eselon I di Departemen Keuangan. Unit

kerja di Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut :a. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak: Susunan organisasi Direktorat Jenderal Pajak

diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni

2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sejak berlakunya

keputusan ini, terdapat

-  1 (satu) Sekretariat Direktorat Jendaral;

-  8 (delapan) Direktorat .

Page 26: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 26/89

 BPK KHP Gabungan PPN

22

 b.  Kantor Wilayah : Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor

443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001, Kantor Wilayah Ditjen Pajak mempunyai tugas

melaksanakan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan tugas pokok direktorat jenderal

di wilayah kerjanya berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan direktur jenderal.

Sedangkan Kanwil Kantor Wilayah (Kanwil) XIX DJP Wajib Pajak Besar diatur dalam

Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002 dan Kanwil DJP Jakarta I diatur

dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 187/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober

2004 tentang Perubahan lampiran I,II,III,IV dan V Keputusan Menteri Keuangan Nomor

443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak

Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan

dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor: 519/KMK.01/2003 sejak berlakunya keputusan ini, terdapat:

-  30 (tiga puluh) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;-  176 ( seratus tujuh puluh enam) Kantor Pelayanan pajak;

-  166 (seratus enam puluh enam) kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan;

-  55 (lima puluh lima) Kantor pemeriksaan dan penyedikan pajak;

-  236 (dua ratus tiga puluh enam) kantor penyuluhan dan pengamatan potensi

 perpajakan.

Untuk periode yang diperiksa (TA 2004 dan 2005) terjadi reorganisasi di lingkungan

DJP. Pelaksanaan di lapangan menunjukkan reorganisasi masih belum berjalan efektif

dimana belum seluruh posisi jabatan dapat terisi, misalnya posisi Kepala KPP yang sudah

lama kosong dan belum ada penggantinya yang definitive dan masih dijabat oleh pejabat

sementara. Selain itu, adanya peralihan tugas dari pejabat atau petugas yang lama ke

yang baru belum berjalan sebagaimana mestinya yang berpengaruh terhadap pelaksanaan

tugas operasional KPP misalnya dari segi pengawasan administrasi perpajakan, dan

 penyimpanan berkas wajib pajak.

Hal tersebut menimbulkan adanya risiko pelaksanaan tugas dan fungsi KPP.

2.   Rencana Penerimaan Perpajakan

Penyusunan rencana penerimaan pajak terutama dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran

dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dengan memperoleh masukan dari Direktorat Jenderal

Pajak. Penetapan rencana penerimaan pajak setiap tahunnya dilakukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai

 berikut:

1.  Pembicaraan pendahuluan yang dilakukan oleh Pemerintah (d.h.i Departemen Keuangan)

dan DPR pada tahap ini dibicarakan mengenai:

Page 27: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 27/89

 BPK KHP Gabungan PPN

23

1)  Asumsi dasar yang dipakai dalam penyusunan proyeksi penerimaan seperti

 pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat suku bunga SBI, harga minyak per barel,

 produksi minyak dan kurs US dollar terhadap Rupiah.

2)  Pokok-pokok kebijakan fiscal dan moneter

Setelah memperoleh kesepakatan dengan DPR maka langkah selanjutnya

Departemen Keuangan membuat proyeksi penerimaan perpajakan. Unit kerja yang

 berperan dalam proses ini adalah DJAPK dengan memperoleh masukan dari DJP,

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Bappeki (tim Tarif). Kemudian dilakukan :

a.  Rapim Menteri Keuangan dengan semua unit eselon I di lingkungan Departmen

Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas dan Menko Perekonomian. Hasil dari

Rapim ini akan menghasilkan Nota Keuangan (NK) dan RAPBN yang akan

disampaikan Presiden ke DPR.

 b.  Penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN oleh Presiden ke DPR

c.  Pemandangan umum oleh fraksi-fraksi di DPR dan pembahasan dengan Panitia

Anggaran di DPRd.  Penetapan RAPBN menjadi Undang-undang APBN

Dari proses penyusunan rencana penerimaan pajak unit kerja yang berperan adalah

DJAPK sebagai pihak yang merumuskan perencanaan penerimaan dan sedangkan

DJP sebagai pihak pelaksana.

Perhitungan rencana penerimaan perpajakan untuk PPN menggunakan metode

estimasi makro  yaitu melakukan estimasi menggunakan elastisitas penerimaan

 perpajakan terhadap tax base dan asumsi dasar ekonomi makro. Adapun prosesnya

adalah sebagai berikut:

a.  Menetapkan baseline untuk PPN yaitu dengan terlebih dahulu menghitung dan

menetapkan tingkat sensitivitas atau elastisitas untuk jenis pajak PPN,

menetapkan tax base misalnya tingkat konsumsi dalam negeri serta pertumbuhan

tax base. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:

Baseline = Elastisitas x Pertumbuhan taxbase x Realisasi penerimaan pajak

tahun sebelumnya.

 b.  Menetapkan rencana penerimaan yang berasal dari measure  yaitu target

 penerimaan karena adanya aspek kebijakan dan administrasi perpajakan misalnya

kebijakan pemeriksaan, kegiatan ekstensifikasi, canvassing, penagihan dan lain-

lain. Usulan target penerimaan dari factor ini berasal dari Direktorat Jenderal

Pajak.

Sementara itu, pembagian rencanaan penerimaan pajak pada Direktorat Jenderal Pajak

kepada masing-masing kanwil dilakukan setelah menerima penetapan target penerimaan

sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN. Rencana penerimaan pajak yang menjadi

kewajiban DJP adalah untuk PPh Non Migas, PPN dan Pajak Lainnya. Khusus untuk

 penerimaan PPh Migas dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK).

Page 28: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 28/89

 BPK KHP Gabungan PPN

24

Terhadap penerimaan pajak yang merupakan tugas DJP, Dirjen Pajak membagi rencana

dimaksud untukmasing-masing kanwil. Metoda perhitungan rencana penerimaan untuk

masing-masing kanwil dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa metoda.

Tahun 2004

Dari metoda yang ada DJP membagi rencana penerimaan pajak menggunkanan metoda

berdasarkan usulan kanwil dan sisanya dibagi proporsional sesuai kontribusi

 penerimaan tahun 2003.

Metode tersebut yang dipilih dengan alasan antara lain:

a.  Mempertimbangkan usulan kanwil;

 b.  Mempertimbangkan realisasi tahun sebelumnya;

c.  Mempertimbangkan potensi masing-masing kanwil;

d.  Kenaikan terhadap usulan kanwil rasional.

Disamping itu terdapat faktor penyesuaian distribusi penerimaan, antara lain :

a.  Mutasi wajib pajak ke LTO; b.  Pemberlakuan PPN dan PPnBM di Batam;

c.  Pemekaran kanwil dan KPP;

d.  PDRB setempat.

Tahun 2005

Dalam tahun 2005 metode perhitungan rencana penerimaan pajak untuk masing-masing

kanwil dilakukan dengan menggunakan pembobotan 3 variabel , yaitu :

a.  Usulan rencana penerimaan masing-masing kanwil (50%);

 b.  Realisasi tahun 2004 berdasarkan prognosa kanwil yang disesuaikan dengan wajib

 pajak yang pindah (40%);

c.  PDRB setempat (10%).

Alasan dipilihnya metode pembobotan antara lain :

a.  Mempertimbangkan usulan kanwil;

 b.  Mempertimbangkan peranan penerimaan berdasarkan laporan kanwil;

c.  Mempertimbankan potensi masing-masing daerah berdasarkan data statistik.

Dari metode yang digunakan di tahun 2004 dan 2005 diatas diketahui bahwa DJP belum

mempunyai pegangan yang pasti dalam membagi rencana penerimaan pajak kepada

masing-masing kanwil. Karena itu masih dimungkinkan adanya ketidaktepatan dalammembagi rencana penerimaan untuk masing-masing kanwil.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:

a.  DJP bukanlah pembuat atau pihak yang mengusulkan penerimaan pajak. Pihak yang

 banyak berperan dalam proses penyusunan rencana penerimaan adalah DJAPK

Page 29: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 29/89

 BPK KHP Gabungan PPN

25

(Departemen Keuangan). Dalam proses selanjutnya penetapan target tersebut tidak

lepas dari proses politik melalui pembahasan dan persetujuan DPR.

 b.  Penetapan target sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi makro, tingkat elastisitas,

 jenis dan pertumbuhan tax base yang digunakan.

c.  Dengan merubah asumsi, angka elastisitas dan pertumbuhan akan sangat berpengaruh

terhadap target penerimaan yang diusulkan.

3.   Kebijakan:

a.  Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan perpajakan

dilakukan ekstensifikasi (canvassing) Wajib Pajak. Ekstensifikasi adalah kegiatan yang

dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah wajib pajak dan atau Pengusaha Kena

Pajak (PKP) terdaftar. Pelaksanaan ekstensifikasi dimulai dengan pencairan data dapat

 bersumber dari data intern DJP berupa bank data KPP dan KP PBB ataupun dari ekstern

DJP berupa data dari Pemda, PLN, telkom, developer maupun pihak-pihak lain. Data

tersebut digunakan dalam rangka memperoleh indikasi adanya penghasilan kena pajakyang belum dilaporkan karena wajib pajak yang bersangkutan belum memiliki Nomor

Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor S-132/PJ.44/200 tentang

ekstensifikasi dan intensifikasi untuk optimal penerimaan pajak dari para pengusaha

antara lain melakukan penyisiran (canvassing) ke pusat perdagangan/mal untuk

membandingkan data yang diperoleh dari pengelola/pemilik dengan keadaan di lapngan.

Hasil penyisiran dikelompokkan yang sudah ber NPWP dan yang belum ber NPWP

untuk ditindaklanjuti dengan meneliti pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas regester himbauan dan register penerbitan Surat

 perintah pemeriksaan pajak (SP3) masih terdapat surat himbauan yang tidak direspon

calon wajib pajak dan belum ditindaklanjuti dengan penerbitan SP3.

Dengan demikian kegiatan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan pengusaha kena

 pajak terdaftar belum optimal.

 b.  Kebijakan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPP Wajib Pajak Besar Dua mengacu pada

kebijakan Kepala Kanwil XIX DJP WP Besar dengan Nota Dinas No. ND-

14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002 yang menyebutkan antara lain bahwa

metode pemeriksaan sederhana terhadap SPT Masa PPN tahun berjalan yang menyatakan

lebih bayar (restitusi) agar dilaksanakan dengan menerapkan pemeriksaan terarah ( focusaudit ) melalui teknik sampling dengan pengambilan sampel yang representatif. Nota

Dinas tersebut diterbitkan berdasarkan surat Direktur P4 Nomor. S-589/PJ.7/2002

tanggal 1 Oktober 2002

Kebijakan pemeriksaan yang demikian dilaksanakan dengan mengambil sampel atas

faktur pajak masukan dan SSP PPN impor yang dikreditkan dalam SPT PPN. Sampel

diambil berdasarkan nilai transaksi yang besar dan ukuran sampel yang diambil adalah

Page 30: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 30/89

 BPK KHP Gabungan PPN

26

dikelompokkan yang berisiko tinggi dengan jumlah berkisar 25 s.d 30 faktur pajak dan

atau SSP PPN impor dari seluruh faktur pajak yang dikreditkan.

Berdasarkan SE DJP Nomor SE 775/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 menyatakan

 bahwa dalam setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak, konfirmasi faktur pajak merupakan

 prosedur yang wajib dilakukan khusussnya yang menyangkut pembelian dan penjualan.

Dengan demikian kebijakan pemeriksaan dengan metode sampling dengan pengambilan

sampel yang representatif kemungkinan resiko terjadinya kerugian negara.

4.   Prosedur:

 Prosedur pemeriksaan yang dilanggar atau prosedur penyelesaian keberatan yang dilanggar

 sehingga ada resiko terjadinya kerugian negara

1.  Pengajuan permohonan keberatan yang sudah lebih dari 12 bulan belum ada keputusan

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas

suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil,Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan

 perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling

lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas

keberatan yang diajukan. Berdasarkan pemeriksaan terhadap berkas penyelesaian

keberatan, diketahui masih terdapat pengajuan permohonan keberatan PPN yang sudah

lebih dari 12 Bulan sejak permohonan keberatan diajukan belum ada keputusannya.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (KUP) Pasal 26 Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling

lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan

atas keberatan yang diajukan dan Ayat (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan,

maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

 Prosedur penyelesaian keberatan yang dilanggar sehingga ada resiko terjadinya kerugian

negara.

2.  Keterlambatan penerbitan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

(SKPKPP) atas Keputusan Keberatan dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga

(SPMIB).Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) diberikan kepada wajib pajak yang

mempunyai kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan

 banding yang diterima sebagian atau seluruhnya; atau kelebihan pembayaran sanksi

administrasi dan/atau karena pengurangan sebagai akibat diterbitkan Keputusan

Keberatan atau Putusan Banding sehingga masih terjadi keterlambatan penerbitan surat

ketetapan pajak.

Page 31: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 31/89

Page 32: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 32/89

 BPK KHP Gabungan PPN

28

 

5.   Pencatatan:

 Kelemahan Dalam Pengadministrasian Buku Register Keberatan, Buku Restitusi, dan Buku

 Jawaban Klarifikasi

Penertiban administrasi di bidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme pengawasan atas

 pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan. Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berjalan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya masih ditemukan adanya

kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di KPP dan Kanwil yang tidak

dapat memberikan suatu informasi yang representatif guna menunjang pelaksanaan

 pengawasan terhadap pelaksanaan pemrosesan suatu keputusan pajak antara lain Buku

Register Keberatan dan Keputusan Keberatan, Buku Restitusi/Pemberian Bunga, Buku

Jawaban Klarifikasi Faktur Pajak. Seharusnya petugas yang mengadministrasikan buku

 pengawasan tersebut dapat menginformasikan hal-hal yang dapat menunjang pelaksanaan

tugas pengawasan.

Tidak tersedianya register pengawasan yang memadai berisiko lemhanya mengakibatkansehingga fungsi pengawasan yang diemban tidak dapat berjalan dengan baik.

6.   Pengawasan:

 Pelaksanaan Pengawasan dan Penelitian atas PKP yang Diduga Sebagai Pengguna dan

 Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif) Belum Dilaksanakan Secara Maksimal

Peredaran faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak

sah dan banyak digunakan oleh PKP lain sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang

disetorkan ke kas negara, maka sudah seharusnya dalam rangka tertib administrasi perpajakan

serta dalam rangka pengamanan penerimaan negara dari sektor pajak pada umumnya dan dari

sektor PPN pada khususnya, Ditjen Pajak harus memberikan perhatian ekstra terhadap

 penanganan masalah tersebut. Namun secara kenyataan berdasarkan data serta dokumen yang

diberikan, penanganan yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan pada

kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan SE-29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003 tentang

langkah-langkah pengamanan faktur pajak tidak sah (fiktif)

Hal tersebut berisiko terjadinya kerugian negara akibat keterlambatan penanganan pengguna

dan penerbit faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif).

7.   Pelaporan:

a.  Pemanfaatan Sistem Informasi. Intarnet untuk faktur Pajak Keluaran belum memadai.

Pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai fiskus melakukan konfirmasi Pajak Masukan

melalui Intranet Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menguji kebenaran

 pengkerditan Pajak Masukan . Apabila hasil konfirmasi melalui intranet menunjukkan

 bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual belum melaporkan pajak keluarannya, maka

Page 33: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 33/89

Page 34: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 34/89

 BPK KHP Gabungan PPN

30

 

Jumlah penerimaan pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam tahun anggaran

2005 sampai dengan 7 Nopember 2005 sebesar Rp212.059,11 milyar dan Tahun Anggaran 2004

sebesar Rp 223.359,30 milyar.

Dibandingkan dengan rencana Tahun Anggaran 2005 sebesar Rp 282.923,50 milyar realisasi

dibawah target atau 74,95%, sedangkan Tahun Anggaran 2004 ditargetkan sebesar Rp 222.471,10

milyar atau realisasi melampauai 100,40 %.

Penerimaan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam APBN Tahun 2005 sebesar Rp 102,96

milyar, meliputi PPN Dalam Negeri, PPN Impor, PPnBM Dalam Negeri, PPnBM impor dan PPN

& PPnBM lainnya. Perkembangan rencana penerimaan PPN dalam APBN Tahun 2005

menunjukan bahwa PPN Dalam Negeri sebesar Rp 52.318,3 milyar, PPN Impor sebesar Rp

41.556,9 milyar, PPnBM Dalam Negeri sebesar Rp 5.99 milyar , PPnBM impor sebesar Rp 2.80

milyar serta PPN & PPnBM lainnya sebesar Rp 0,2 milyar.

Rencana dan realisasi penerimaan pajak pada 12 KPP yang diperiksa adalah sebagai berikut :

(dalam jutaan rupiah)

TA 2004 TA 2005KPP Jenis Pajak

Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %

WP Besar Dua PPh 11,982,178.00 11,419,088.50 95.30 13,332,261.87 9,603,470.56 72.03

PPN 14,299,536.80 15,186,358.40 106.20 18,711,443.60 12,677,753.80 67.75

Pajak Lainnya 2,811.00 3,012.00 107.15 2,993.45 1,140.54 38.10

Jumlah 26,284,525.80 26,608,458.90 101.23 32,046,698.92 22,282,364.90 69.53

Jakarta Penjaringan PPh 461,606.42 414,316.05 89.76 658,928.33 348,316.53 52.86

PPN 564,532.60 696,464.37 123.37 904,893.31 557,608.29 61.62

Pajak Lainnya 19,129.40 4,534.06 23.70 10,997.04 5,586.53 50.80

Jumlah 1,045,268.42 1,115,314.48 106.70 1,574,818.68 911,511.35 57.88

Jakarta Sawah

Besar PPh 522,199.20 412,663.64 79.02 383,959.93 256,253.52 66.74

PPN 747,568.81 576,005.90 77.05 534,414.99 424,822.30 79.49

Pajak Lainnya 4,443.37 2,253.98 50.73 1,670.57 531.61 31.82

Jumlah 1,274,211.38 990,923.52 77.77 920,045.49 681,607.43 74.08

Cikarang Satu PPh 758,486.20 628,789.28 82.90 1,033,774.70 517,173.36 50.03

PPN 1,123,154.81 1,445,076.13 128.66 654,408.30 370,730.43 56.65

Pajak Lainnya 363.75 1,289.22 354.42 21,307.80 636.07 2.99

Jumlah 1,882,004.76 2,075,154.63 110.26 1,709,490.80 888,539.86 51.98

Jakarta Tj. Priok PPh 802,625.70 413,428.57 51.51 705,857.57 447,464.74 63.39

PPN 873,137.90 1,096,395.52 125.57 1,424,668.76 901,209.63 63.26

Pajak Lainnya 895.10 140.05 15.65 2,896.25 106.67 3.68

Jumlah 1,676,658.70 1,509,964.14 90.06 2,133,422.58 1,348,781.04 63.22

Page 35: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 35/89

 BPK KHP Gabungan PPN

31

TA 2004 TA 2005KPP Jenis Pajak

Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %

Jakarta Setiabudi

Satu

PPh 1,772,918.08 1,491,519.94 84.13 1,862,398.37 1,536,596.13 82.51

PPN 1,446,960.46 907,872.65 62.74 1,161,468.24 828,351.55 71.32

Pajak Lainnya (9,690.71) 4,502.22 (46.46) 5,943.68 4,745.09 79.83

Jumlah 3,210,187.83 2,403,894.81 74.88 3,029,810.29 2,369,692.77 78.21

Medan Belawan PPh 225,000.05 206,111.92 91.61 386,128.05 176,539.22 45.72

PPN (6,229.20) (521,410.28) 8,370.42 (233,829.44) (430,437.71) 184.08

Pajak Lainnya 391.65 (2,362.09) (603.11) 649.08 (155.99) (24.03)

  Jumlah 219,162.50 (317,660.45) (144.94) 152,947.69 (254,054.48) (166.11)

Cimahi PPh 566,631.00 415,777.00 73.38 697,134.00 262,025.00 37.59

PPN 481,545.00 712,766.00 148.02 551,603.00 200,995.00 36.44

Pajak Lainnya 9,114.00 10,240.00 112.35 13,050.00 9,171.00 70.28Jumlah 1,057,290.00 1,138,783.00 107.71 1,261,787.00 472,191.00 37.42

Surabaya

Krembangan PPh 371,865.89 361,745.52 97.28 467,489.11 309,977.67 66.31

PPN 352,692.56 353,329.64 100.18 436,685.45 312,135.96 71.48

Pajak Lainnya 7,414.25 40,141.08 541.40 44,120.39 32,332.28 73.28

Jumlah 731,972.70 755,216.24 103.18 948,294.95 654,445.91 69.01

Cakung Satu PPh 655,193.48 606,882.25 92.63 879,221.99 610,971.84 69.49

PPN 722,569.61 680,771.30 94.22 902,166.00 518,408.67 57.46

Pajak Lainnya (469.89) 118.44 (25.21) 74.26 99.84 134.45

Jumlah 1,377,293.20 1,287,771.99 93.50 1,781,462.25 1,129,480.35 63.40

Sidoarjo Timur PPh 530,473.00 320,735.00 60.46 488,925.00 260,778.00 53.34

PPN 687,543.00 463,821.00 67.46 403,961.00 416,461.00 103.09

Pajak Lainnya 10,645.00 9,374.00 88.06 14,887.00 8,373.00 56.24

Jumlah 1,228,661.00 793,930.00 64.62 907,773.00 685,612.00 75.53

Bandung Karees PPh 628,204.23 535,346.67 85.22 671,907.90 221,367.14 32.95

PPN 546,257.08 573,829.13 105.05 531,643.40 112,826.15 21.22

Pajak Lainnya 8,481.80 7,703.91 90.83 12,578.50 4,476.24 35.59

Jumlah 1,182,943.11 1,116,879.71 94.42 1,216,129.80 338,669.53 27.85

TOTAL 12 KPP PPh 19,277,381.25 17,226,404.34 89.36 21,567,986.82 14,550,933.71 67.47

PPN 21,839,269.43 22,171,279.76 101.52 25,983,526.61 16,890,865.07 65.01

Pajak Lainnya 53,528.72 80,946.87 151.22 131,168.02 67,042.88 51.11

Jumlah 41,170,179.40 39,478,630.97 95.89 47,682,681.45 31,508,841.66 66.08

Page 36: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 36/89

 BPK KHP Gabungan PPN

32

6.  Hambatan Pemeriksaan

Dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK menghadapi beberapa hambatan sebagai berikut:

1.  Adanya kerahasiaan wajib pajak yang tercantum dalam Pasal 34 UU Nomor 6 Tahun 1983

sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan . Berkas pemeriksaan pajak dapat diberikan petugas pajak setelah

memperoleh ijin Menteri Keuangan. Pada setiap tahapan pemeriksaan yang dilakukan oleh

BPK meminta persetujuan nama-nama wajib pajak yang berkas akan diperiksa. Meskipun

ijin tersebut diperoleh tetapi memerlukan waktu yang berpengaruh terhadap kelancaran

 pemeriksaan.

2.  Berkas wajib Pajak yang diperiksa BPK oleh petugas pajak telah dikembalikan ke wajib

 pajak yang bersangkutan. Hal ini berdampak pada kurangnya informasi yang diperlukan saat

melakukan pengujian atas kertas kerja pemeriksaan yang dibuat petugas pajak. Kemudian

 belum seluruh Kertas Kerja pemeriksa yang disusun oleh petugas pajak dapat menyajikan

informasi secara lengkap dan utuh yang dapat menerangkan hasil koreksi yang dilakukan

oleh petugas pajak

Page 37: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 37/89

 BPK KHP Gabungan PPN

33

BAB III

HASIL PEMERIKSAAN 

A. POTENSI PENERIMAAN PPN

Temuan terkait dengan potensi penerimaan PPN

1.  KPP belum menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran sebesar Rp196.882,56 juta yang

belum dipertanggungjawabkan oleh PKP penjual dalam SPT Masa PPN

Pemeriksa pajak melakukan konfirmasi Pajak Masukan melalui Intranet DJP untuk menguji

kebenaran pengkreditan Pajak Masukan. Apabila hasil konfirmasi melalui intranet menunjukan

 bahwa PKP penjual belum melaporkan pajak keluarannya, maka petugas pajak melakukan

klarifikasi atas Pajak Keluaran tersebut ke KPP lain dimana PKP penjual terdaftar. Permintaan

klarifikasi harus ditanggapi oleh KPP yang dimintakan klarifikasi paling lambat satu bulan sejak

tanggal permintaan klarifikasi.

KPP yang dimintakan klarifikasi harus memintakan pertanggungjawaban kepada PKP penjualyang berdasarkan hasil konfirmasi tidak/ belum melaporkan pajak keluarannya dengan

menerbitkan Surat Teguran. Berdasarkan respon dari PKP penjual, KPP bisa menerbitkan surat

ralat kepada KPP yang meminta klarifikasi atau menerbitkan SKPKB jika pajak keluaran tersebut

memang belum dipertanggungjawabkan PKP penjual. Sedangkan bagi PKP penjual yang dalam

 jangka waktu 7 (tujuh) hari tidak merespon. KPP harus menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran

yang belum dilaporkan tersebut.

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap buku pertanggungjawaban atas klarifikasi faktur pajak

“tidak ada” yang ditatausahakan oleh beberapa KPP diketahui bahwa permintaan klarifikasi dari

KPP lain yang dijawab “tidak ada”, yang telah ditindaklanjuti dengan permintaan

 pertanggungjawaban faktur pajak kepada PKP penjual, namun belum direspon oleh PKP penjual

dengan rincian sebagai berikut :

Tabel I.1

Pajak Keluaran yang belum dipertanggungjawabkan

No. Nama EntitasPajak Keluaran yang Belum

Dipertanggungjawabkan (Rp)

1 KPP Cimahi 830.278.855,00

2 KPP Surabaya Krembangan 156.259.887,00

3 KPP Jakarta Penjaringan 13.803.297.846,00

4 KPP Medan Belawan 191.096.090,00

5 KPP Jakarta Setiabudi Satu 58.268.425,00

6 KPP Bandung Karees 1.471.355.779,04

7 KPP Jakarta Tanjung Priok 19.812.686.289,00

8 KPP Sidoarjo Timur 160.559.322.138,00

Jumlah 196.882.565.309,04

Page 38: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 38/89

 BPK KHP Gabungan PPN

34

 

Hal tersebut tidak sesuai dengan :

a.  Pasal 3A ayat (1) UU No. 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.

18 Tahun 2000 yang antara lain menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor

dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang

terutang.

 b.  UU No. 9 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000

1)  Pasal 13 ayat (1) huruf a yang menyatakan : Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah

saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun

Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

dalam hal-hal sebagai berikut apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain

 pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

2)  Pasal 13 ayat (2), yang menyatakan : “Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalamSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berupa bunga 2% (dua persen) sebulan untuk

selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutang pajak, atau

 berakhirnya masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

c.  Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001

menyatakan bahwa permintaan klarifikasi harus dijawab paling lambat 1 (satu) bulan sejak

tanggal pengiriman surat klarifikasi. Jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut sudah termasuk

 jangka pengiriman himbauan dan penerbitan SKPKB/SKPKBT kepada PKP Penjual.

Jawaban atas permintaan klarifikasi harus disertai dengan penjelasan. Bagi kantor yang

dimintakan klarifikasi dalam hal faktur pajak tidak atau belum dipertanggung jawabkan

sebagai Pajak Keluaran oleh PKP Penjual maka akan segera diterbitkan surat tegoran kepada

PKP Penjual agar waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat tegoran PKP segera

melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila

sampai batas waktu yang ditetapkan pada surat tegoran PKP Penjual tidak

mempertanggungjawabkannya, maka KPP wajib menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar/Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Kondisi di atas mengakibatkan potensi penerimaan yang bisa digali dari pertanggungjawaban

faktur pajak senilai Rp196.882.565.309,04 belum dapat direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan oleh :

a.  Petugas pajak yang menangani permasalahan dimaksud tidak tegas dalam menjalankan aturan

 perpajakan yang berlaku;

 b.  Pengawasan KPP terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah;

c.  Pengawasan atasan langsung kurang.

Page 39: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 39/89

Page 40: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 40/89

 BPK KHP Gabungan PPN

36

1).  Penyerahan ke kawasan berikat yang seharusnya dikenakan PPN.

2).  Penyerahan atas kapas yang seharusnya dikenakan PPN.

3).  Fasilitas atas tidak dikenakannya PPN sudah tidak berlaku, sehingga penyerahan yang

dilakukan sudah seharusnya dikenakan PPN.

Hal ini terjadi pada KPP Jakarta Cakung Satu, KPP WP Besar Dua, dan KPP Bandung

Karees dengan potensi PPN sebesar Rp114.856.142.511,07.

e.  Berdasarkan equalisasi dengan pembelian BKP diketahui terdapat pembelian dan retur

 pembelian yang belum dikenakan PPN.

Hal ini terjadi pada KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees dengan potensi PPN

sebesar Rp761.731.092,00.

Hal tersebut tidak sesuai dengan :

a.  Undang-undang No.16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada :

1).  Pasal 13 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahunsesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau

Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak

atau kurang dibayar,

2).  Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan

untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau

 berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan

diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan

3).  Pasal 14 yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan

Pajak apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;

Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai

1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat

waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

 b.  Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 8tahun 1983, mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai pada :

1).  Pasal 4 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang

Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena

Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di

Page 41: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 41/89

 BPK KHP Gabungan PPN

37

dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,

2).  Pasal 16 C yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan

membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang

 pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang

 batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan

3).  Pasal 16D yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva

oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk

diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat

 perolehannya dapat dikreditkan.

c.  Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.04/2000 tentang Tata cara perhitungan,

 pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN atas pemanfaatan BKP tak berwujud dan/atau

JKP dari luar pabean pada :

1).  Pasal 2 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut oleh orang

 pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau JasaKena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena

Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut,

2).  Pasal 3 yang menyatakan :

a).  Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena

Pajak dari luar Daerah Pabean adalah dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:

(1). saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara

nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;

(2). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena

Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;

(3). saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa

Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau

(4). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena

Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang

memanfaatkannya;

 b).  Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau

Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan

atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya

kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.,dan

3).  Pasal 4 yang menyatakan bahwa :

a).  Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus

disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling

lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.

Page 42: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 42/89

 BPK KHP Gabungan PPN

38

 b).  Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa

Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.

d.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor.527/KMK.03/2003 Tentang Jasa Di Bidang Angkutan

Umum Di Darat Dan Di Air Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai Menteri

Keuangan Republik Indonesia pada Pasal 5 yang menyatakan bahwa :

1).  Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan jasa Angkutan Umum di Laut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah penyerahan Jasa Angkutan Laut yang dilakukan

dengan cara:

a).  ada perjanjian lisan atau tulisan; dan

 b).  Kapal dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan atau

untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Laut,

dalam satu perjalanan (trip).

2).  Tidak termasuk dalam pengertian perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

adalah tiket, bill of lading, konosemen, dokumen pengangkutan di air, karcis atau bukti pembayaran Jasa Angkutan penumpang Kapal.

Hal tersebut mengakibatkan potensi PPN sebesar Rp129.807.468.941,75 dan USD 77,298.10

 belum dapat direalisasikan.

Hal tersebut terjadi karena :

a.  Petugas pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan adanya obyek yang

 belum dikenakan PPN.

 b.  Petugas pajak tidak sepenuhnya memahami dan kurang tegas dalam menerapkan aturan

dalam melakukan melakukan pemeriksaan.

c.  Kurang optimalnya pemanfaatan data dalam penggalian potensi terhadap obyek PPN yang

ada.

d.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.

Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

a.  Atas permasalahan pada butir a, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di

KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees.

 b.  Atas permasalahan pada butir b, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Surabaya Krembangan dan KPP Bandung Kareesdan akan melakukan penelitian atas permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan, KPP Medan

Belawan, KPP Jakarta Setiabudi Satu, dan KPP Sidoarjo Timur. Sedangkan atas

 permasalahan di KPP Cimahi, DJP memberikan tanggapan bahwa penghasilan di luar usaha

tersebut bukan merupakan obyek PPN.

c.  Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Medan Belawan dan masih akan melakukan penelitian atas

Page 43: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 43/89

 BPK KHP Gabungan PPN

39

 permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Jakarta Setiabudi Satu dan KPP Jakarta Tanjung

Priok. Semenetara itu, atas permasalahan di KPP Bandung Karees dan KPP Surabaya

Krembangan, DJP memberikan tanggapan bahwa PPN atas BKP dan JKP Luar Negeri

tersebut telah dibayar;

d.  Atas permasalahan pada butir d, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Bandung Karees dan masih akan melakukan penelitian atas

 permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu.

e.  Atas permasalahan pada butir e, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di

KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees.

BPK-RI menyarankan agar DJP :

a.  Meningkatkan kemampuan petugas pajak terkait dengan peningkatan ketelitian dalam

 pemeriksaan, pemahaman dan ketegasan dalam penerapan peraturan perpajakan.

 b.  Meningkatkan kegiatan pemanfaatan data WP terutama dalam menggali potensi perpajakan

yang ada.c.  Meningkatkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung.

d.  Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai sesuai dengan ketentuan yang

 berlaku.

3.  Pengkreditan Pajak Masukan sebesar Rp21.482,40 tidak sesuai dengan ketentuan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan baik terhadap fungsi penatausahaan maupun

 berkas pemeriksaan dan keberatan diketahui terdapat pengkreditan Pajak Masukan (PM) yang

tidak sesuai dengan ketentuan. Atas pengkreditan dimaksud seharusnya masih bisa dilakukan

tindak lanjut untuk selanjutnya didapatkan potensi penerimaan PPN. Permasalahan terkait dengan

 pengkreditan PM dan potensi yang ada yaitu :

a.  Konfirmasi PM yang belum mendapat jawaban namun tetap dikreditkan atau diakui dalam

 perhitungan PPN terutang.

Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees, KPP Cimahi, dan KPP Jakarta Penjaringan dengan

 potensi PPN sebesar Rp546.046.698,00.

 b.  Konfirmasi PM yang dijawab tidak ada dan tidak disertai prosedur alternatif seperti uji arus

 piutang dan barang, namun tetap dikreditkan atau diakui dalam perhitungan PPN terutang.

Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees dengan potensi PPN sebesar Rp89.933.895,00.

c.  Pajak masukan yang dikreditkan namun tidak didukung dengan bukti yang sah, seperti tidakadanya SSP lembar ke-2, tidak tercantumnya bukti dalam sistem komputerisasi (SIP Web)

DJP. Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees dan KPP Surabaya Krembangan dengan

 potensi PPN sebesar Rp762.534.554,00.

d.  Berdasarkan equalisasi dengan data pembelian diketahui PM terlalu besar dikreditkan. Hal ini

terjadi pada KPP Bandung Karees dan KPP Jakarta Tanjung Priok dengan potensi PPN

sebesar Rp5.447.515.318,00.

Page 44: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 44/89

 BPK KHP Gabungan PPN

40

e.  Pengkreditan PM melebihi batas waktu yang ditentukan yaitu 3 bulan setelah akhir tahun

takwim untuk pengkreditan PM sebelum tahun 2000 dan 3 bulan setelah akhir masa pajak

untuk pengkreditan PM tahun 2000 dan sesudahnya. Hal ini terjadi pada KPP Jakarta

Setiabudi Satu dan KPP Medan Belawan dengan potensi PPN sebesar Rp2.407.075.116,00.

f.  PM yang tidak seharusnya dikreditkan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan

atau tidak dikenakan PPN

Sesuai ketentuan apabila dalam melakukan penyerahan BKP/JKP diketahui terdapat

 penyerahan yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN maupun

 penyerahan yang tidak dikenakan PPN, harus dilakukan perhitungan kembali atas pajak

masukan yang tidak seharusnya dikreditkan 

Hal ini terjadi pada KPP Jakarta Penjaringan, Jakarta Tanjung Priok, dan KPP Medan

Belawan dengan potensi PPN sebesar Rp12.229.289.666,02.

Hal tersebut tidak sesuai dengan :

a.  Undang-Undang No.18 Tahun 2000 tanggal 8 Agustus 2000 tentang Perubahan Kedua atasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada :

1).  Pasal 5 A yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang dalam Masa

Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut yang tata caranya ditetapkan

oleh Menteri Keuangan,

2).  Pasal 9 Ayat (9) yang menyatakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum

dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada

Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang

 bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan

 pemeriksaan, dan

3).  Pasal 16 B ayat (3) yang menyatakan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan

Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya

dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

 b.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 tanggal 22

Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak Pasal 9 huruf a yang menyatakan

Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang :

1).  telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagaiPemeriksa Pajak;

2).  bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersikap terbuka, sopan,

dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela; dan

3).  menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang

sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang Wajib Pajak.

Page 45: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 45/89

 BPK KHP Gabungan PPN

41

c.  Keputusan Direktur Jenderal Pajak No KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi

Perpajakan (SIP) lampiran 1.4.1.3.4. yang menyatakan Apabila dalam jangka waktu 1 (satu)

 bulan sejak tanggal pengiriman permintaan klarifikasi dikirimkan melalui faksimile jawaban

klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau

arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya maka Faktur Pajak yang

dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat

dikreditkan. Faktur Pajak yang dianggap absah berdasarkan pengujian arus uang dan arus

 barang tersebut harus dibuatkan berita acara dan ditanda tangani oleh petugas pemeriksa dan

 pejabat yang berwenang yaitu :

1).  Kepala Seksi PPN dan PTLL dalam hal yang melakukan konfirmasi adalah Kantor

Pelayanan Pajak.

2).  Ketua Kelompok Pemeriksa Pajak dalam hal yang melakukan konfirmasi adalah

Pemeriksa Pajak.

3).  Kepala Bidang PPN dalam hal konfirmasi dilakukan oleh unit fungsional di Kanwildalam rangka proses keberatan.

Berita acara tersebut dilampirkan dalam kertas kerja pemeriksaan

d.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.5/1989 tanggal 6 Juli 1989 tentang

Pengamanan Pemberian Restitusi PPN/PPnBM angka 2 yang menyatakan peningkatan

 pelayanan kepada WP hendaknya jangan meninggalkan kewaspadaan untuk mengamankan

 pemberian restitusi. Sehubungan dengan itu "Konfirmasi" atas Faktur Pajak Masukan yang

diminta kembali dipandang perlu dilakukan.

e.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 12/PJ.54/1995 tanggal 3 April 1995

Tentang Tata Cara Pengurangan PPN Atau PPN Dan PPN BM Untuk Barang Kena Pajak

yang dikembalikan (Seri PPN 11-95).

f.  Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 04/PJ.7/2000 tanggal 12 April 2000 tentang

Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000 Point 1.5 huruf b.

g.  Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-16/PJ.5/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang

Penghitungan Kembali Pajak Masukan yang Telah Dikreditkan

h.  Surat Edaran Direktur Jenderal pajak Nomor SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001

menyatakan bahwa dalam setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak, konfirmasi Faktur pajak

merupakan prosedur yang wajib dilakukan  khususnya yang menyangkut pembelian dan

 penjualan.

i.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ.52/2002 tanggal 21 Oktober 2002,angka 1 yang menyatakan Setiap Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa Pajak dalam

rangka pemeriksaan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi diwajibkan untuk melakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1).  Melaksanakan konfirmasi Faktur Pajak Melalui SIP (program PK-PM);

2).  Melakukan Konfirmasi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan sistem Monitoring Pelaporan

Pembayaran Pajak (MP3) atau kepada unit atau instansi yang terkait;

Page 46: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 46/89

 BPK KHP Gabungan PPN

42

3).  Melakukan konfirmasi atas Dokumen PIB dan PEB kepada unit atau instansi terkait. Bagi

Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa dan Penyidik Pajak yang sudah dapat

melaksanakan Program PK-PM melalui intranet agar memanfaatkan data PIB dan PEB

 pada Intranet Direktorat Jenderal Pajak;

4).  Melakukan analisa perbandingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak yang

 bersangkutan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

5).  Melakukan analisa terhadap SPT Masa PPN untuk masa 6 (enam) bulan terakhir;

6).  Mewaspadai PKP-PKP yang non efektif (NE) PKP yang melaporkan SPT Masa PPN

 Nihil, yang kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan menunjukkan jumlah

 peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar.

Hal tersebut mengakibatkan potensi PPN sebesar total Rp21.482.395.247,02 belum dapat

direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan karena :a.  Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan pajak

masukan terutama dalam pemeriksaan.

 b.  Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pengkreditan

 pajak masukan.

c.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.

Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

a.  Atas permasalahan pada butir a, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan. Sedangkan atas permasalahan di KPP Bandung

Karees, DJP memberikan tanggapan bahwa atas pajak masukan sebesar Rp8.571.776,00

memang tidak dikreditkan oleh Tim Pemeriksa sedangkan sisanya masih akan dilakukan

 penelitian.

 b.  Atas permasalahan pada butir b, DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di

KPP Bandung Karees, pajak masukan senilai Rp23.015.284,00 telah dilaporkan sedangkan

sisanya masih akan diteliti.

c.  Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Surabaya Krembangan dan akan melakukan penelitian atas

 permasalahan di KPP Bandung Karees.

d.  Atas permasalahan pada butir d, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan diKPP Bandung Karees, sedangkan atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok, DJP

memberikan penjelasan bahwa selisih sebesar Rp393.686.299,00 merupakan denda tambahan

dari DJBC yang tidak dapat dibiayakan.

e.  Atas permasalahan pada butir e, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Medan Belawan dan KPP Jakarta Setiabudi Satu.

Page 47: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 47/89

 BPK KHP Gabungan PPN

43

f.  Atas permasalahan pada butir f, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan dan akan melakukan penelitian atas permasalahan

di KPP Medan Belawan dan KPP Jakarta Tanjung Priok.

BPK-RI menyarankan agar DJP :

a.  Meningkatkan kemampuan petugas pajak terkait dengan peningkatan ketelitian dalam

 pemeriksaan, pemahaman dan ketegasan dalam penerapan peraturan perpajakan.

 b.  Meningkatkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung.

c.  Memberikan sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

d.  Melakukan upaya untuk merealisasikan potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di

maksud.

4.  Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak fiktif senilai Rp13.137,52 juta

Salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar adalah berasal dari penerimaan pajak.

 Namun, dengan semakin banyaknya indikasi digunakannya faktur pajak yang tidak sah (fiktif), perlu dilakukan upaya pengamanan penerimaan pajak, khususnya PPN serta mencegah penerbitan

dan penggunaan faktur pajak fiktif. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan

Surat Edaran (SE) yang berisi daftar wajib pajak - wajib pajak yang diduga sebagai penerbit/

 pengguna faktur pajak fiktif. Daftar tersebut terus menerus di up date  berdasarkan laporan dari

KPP/ Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak/ Kantor Wilayah. Selain itu KPP harus waspada

terhadap wajib pajak yang diindikasikan sebagai penerbit atau pengguna faktur pajak fiktif.

Dengan adanya penerbit maupun pengguna faktur pajak fiktif maka negara dapat dirugikan,

karena faktur pajak fiktif digunakan oleh beberapa Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk

dikreditkan terhadap pajak keluarannya sehingga penerimaan negara menjadi berkurang dan

 pajak yang seharusnya diterima oleh negara menjadi tidak terealisasikan. Berdasarkan hasil

 pemeriksaan, terdapat Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masih mengkreditkan faktur pajak dari

wajib pajak-wajib pajak yang diduga sebagai penerbit faktur pajak fiktif sebagai berikut :

Faktur Pajak Masukan fiktif yang dikreditkan

No. Nama KPP

Faktur Pajak Masukan Fiktif Yang

Dikreditkan (Rp)

1 KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu 1.025.719.512,00

2 KPP Surabaya Krembangan 226.650.472,00

3 KPP Jakarta Penjaringan 3.034.880.603,00

4 KPP Jakarta Setiabudi Satu 2.036.234.810,00

5 KPP Jakarta Tanjung Priok 6.788.878.862,00

6 KPP Sidoarjo Timur 25.161.614,00

Jumlah 13.137.525.873,00

Atas pengkreditan faktur pajak masukan fiktif tersebut, KPP yang bersangkutan belum

melakukan tindak lanjut untuk mengoreksinya.

Page 48: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 48/89

 BPK KHP Gabungan PPN

44

Hal tersebut tidak sesuai dengan:

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003

Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan Dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah

(Fiktif) Direktur Jenderal Pajak, yang antara lain menyatakan bahwa sehubungan dengan semakin

 banyaknya jawaban atas permintaan konfirmasi Faktur Pajak yang menyatakan bahwa Faktur

Pajak yang dimintakan konfirmasi diindikasikan sebagai Faktur Pajak yang tidak sah (fiktif),

maka dalam rangka tertib administrasi dan pengamanan penerimaan PPN serta mencegah

 penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak fiktif, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:

•  Huruf (c) angka 5 dan angka 9 yang antara lain menetapkan bahwa langkah-langkah yang

harus dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar dalam melakukan konfirmasi atas

kebenaran Faktur Pajak pemeriksa mewaspadai pengkreditan Pajak Masukan tersebut untuk

keperluan restitusi dan agar dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Wajib Pajak

adalah penerbit dan atau pengguna Faktur Pajak fiktif, maka terhadap penerbit Faktur Pajak

fiktif agar dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan. Sedangkan terhadap pengguna Faktur

Pajak fiktif agar dihimbau untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuaidengan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur Pajak tersebut

karena secara formal dan material tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-

undang PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT Masa PPN terdapat PPN yang kurang

dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar dengan menggunakan SSP. Apabila

 pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT Masa PPN sesuai batas waktu yang

ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib Pajak itu dilakukan penyidikan.

•  Huruf (d) angka 4 yang antara lain menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh

Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak agar dalam hal PKP yang diperiksa adalah

 penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal PKP

yang diperiksa adalah pengguna Faktur Pajak fiktif agar dihimbau untuk membetulkan SPT

Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak

mengkreditkan Faktur Pajak tersebut karena secara formal dan material tidak memenuhi

ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT

Masa PPN terdapat PPN yang kurang dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar

dengan menggunakan SSP. Apabila pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT

Masa PPN sesuai batas waktu yang ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib

Pajak itu dilakukan penyidikan.

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar Rp13.137.525.873,00dan penyelesaiannya menjadi berlarut-larut serta berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Hal tersebut terjadi karena :

a.  Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan pajak

masukan yang diduga fiktif.

Page 49: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 49/89

 BPK KHP Gabungan PPN

45

 b.  Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pajak masukan

yang diduga fiktif.

c.  Kurang optimalnya pemanfaatan data WP dalam penanganan pajak masukan yang diduga

fiktif .

d.  Pembinaan dan pengawasan atasan langsung kurang.

Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

a.  DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok;

 b.  DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas permasalahan di KPP Pratama Jakarta

Sawah Besar Satu, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP Jakarta Setiabudi Satu;

c.  DJP memberikan tanggapan atas permasalahan di KPP Sidoarjo Timur bahwa WP yang

 bersangkutan telah melakukan pembetulan dan menyetor kekurangan PPN pada bulan April

2005;

d.  DJP memberikan tanggapan atas permasalahan di KPP Surabaya Krembangan bahwa KPP

Surabaya Krembangan telah menerbitkan SKPKBT atas nama PT Abdi Bina Suryamassebesar Rp409.721.000,00 pada tanggal 27 Oktober 2005 dan SKPKB atas nama PT Bukit

Kimindo Sejati.

BPK-RI menyarankan DJP agar :

a.  Meneliti pajak masukan yang diduga fiktif tersebut dan bila terbukti, pajak yang kurang

dibayar agar segera ditagih kembali;

 b.  Mendorong KPP yang bersangkutan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa),

Kantor Wilayah DJP, Direktorat PPN dan PTLL dan Direktorat Informasi Perpajakan lebih

serius dan sungguh-sungguh dalam penanganan masalah faktur pajak fiktif.

5.  Sanksi denda administrasi belum atau kurang dikenakan sehingga potensi penerimaan

negara sebesar Rp38.207, 65 juta belum terealisasikan

Sebagai upaya pengawasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan maka bagi PKP yang tidak

melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikenakan sanksi

administrasi. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan, KPP masih belum/kurang mengenakan

sanksi sebagai berikut:

a.  Terdapat penyampaian SPT yang terlambat/tidak disampaikan oleh Wajib Pajak namun

 belum dikenakan sanksi denda administrasi sehingga sehingga potensi penerimaan negara

sebesar Rp6.001.800.000,00 belum dapat direalisasikan. Hal ini terjadi di KPP Cakung, KPPPratama Jakarta Sawah Besar Satu, dan KPP Medan Belawan.

 b.  Terdapat keterlambatan dalam pembayaran SPT Masa PPN yang belum dikenakan sanksi

denda administrasi sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp24.892.036.694,46 belum

dapat direalisasikan, dengan rincian sebagai berikut:

Page 50: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 50/89

 BPK KHP Gabungan PPN

46

Rincian sanksi administrasi terlambat bayar SPT Masa per KPP

SanksiNo KPP

2004 2005

1 Medan Belawan 111.170.638,00 26.447.135,00

2 Jakarta Cakung Satu 206.198.444,00 300.411.409,003 WP Besar Dua 2.542.262.463,14 10.813.871,82

4 Pratama Sawah Besar Satu 452.260.094,00 -

5 Surabaya Krembangan 62.283.183,00 29.395.454,00

6 Jakarta Penjaringan 665.657.753,00 198.378.919,00

7 Jakarta Tg. Priok - 586.390.167,60

8 Sidoarjo Timur 586.515.783,00 913.487.416,00

9 Cikarang Satu 193.880.689,00 68.337.391,00

10 Cimahi 178.818.363,36 212.546.559,96

11 Jakarta Setia Budi Satu 12.792.409.894,78 2.994.674.906,40

12 Bandung Karees 1.380.950.177,00 378.745.982,00

Jumlah 19.172.407.482,28 5.719.629.211,78

Jumlah 2004 + 2005 24.892.036.694,06

c.  Pemeriksa pajak di KPP Jakarta Tanjung Priok kurang mengenakan sanksi atas Pajak

Masukan yang berdasarkan hasil konfirmasi dinyatakan tidak ada sebesar Rp7.046.932,00.

d.  Terdapat kekurangan pengenaan sanksi sebesar Rp7.029.858.054,98 atas keterlambatan

 pembuatan faktur dengan rincian sebagai berikut :

Rincian Sanksi Terlambat Membuat faktur per KPP

 No KPPKekurangan Sanksi

(Rp)

1. Cimahi 203.379.734,00

2. Surabaya Krembangan 6.420.802.299,00

3. Jakarta Setiabudi Satu 28,644.752,00

4. Jakarta Tanjung Priok 154.803.067,00

5. Sidoarjo Timur 100.439.463,98

6. Bandung Karees  117.307.184,00

7. Pratama Sawah Besar Satu 4.490.555,00

Total 7.029.858.054,98

Page 51: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 51/89

 BPK KHP Gabungan PPN

47

e.  Terdapat pembuatan faktur pajak yang tidak memenuhi syarat namun KPP Cimahi tidak

mengenakan sanksi sebesar Rp2.957.135,00.

f.  Terdapat kekurangan perhitungan sanksi atas kompensasi yang seharusnya tidak boleh

dilakukan yaitu sebesar Rp20.207.494,00 di KPP Pratama Sawah Besar Satu dan

Rp253.753.075,00 di KPP Jakarta Setiabudi Satu.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang terakhir kali telah

diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan

(KUP) pada :

a.  Pasal 3 yang menyatakan :

1).  Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan

menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani

serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar

atau dikukuhkan.

2).  Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib

menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain

Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri

Keuangan.

3).  Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil

sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

4).  Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :

a).  untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir

Masa Pajak;

 b).  untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir

Tahun Pajak.

5).  Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka

waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.

6).  Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat

Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak

dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

7).  Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SuratPemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat

Teguran.

8).  Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus

dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Page 52: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 52/89

 BPK KHP Gabungan PPN

48

9).  Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan

atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

10). Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak

Pajak Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."

 b.  Pasal 7 yang menyatakan :

1).  Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi

administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat

Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat

Pemberitahuan Tahunan.

2).  Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan."c.  Pasal 9 yang menyatakan :

1).  Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak

yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling

lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.

2).  Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan

harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun

Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.

3).  Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau

ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,

dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang

dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian

dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

4).  Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus

dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

5).  Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan

untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

d.  Pasal 13 yang menyatakan :

1).  Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya

Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut :

Page 53: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 53/89

 BPK KHP Gabungan PPN

49

a).  apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak

atau kurang dibayar;

 b).  apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan

 pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

c).  apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih

lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen);

d).  apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak

dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

2).  Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa

 bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan,

dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak

atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.3).  Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa

kenaikan sebesar :

a).  50 % (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar

dalam satu Tahun Pajak;

 b).  100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak

atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi

tidak atau kurang disetorkan;

c).  100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.

4).  Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat

Pemberitahuan menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

 perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat

terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,

tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.

5).  Apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi

 berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak

atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebutdipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

e.  Pasal 14 yang menyatakan :

1).  Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :

a).  Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

Page 54: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 54/89

Page 55: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 55/89

 BPK KHP Gabungan PPN

51

5.  Pemeriksa pajak tidak teliti dalam menghitung sanksi yang seharusnya dikenakan; dan

6.  Kurangnya pengawasan atasan langsung terhadap pelaksanaan tugas bawahannya

Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

1.  Atas permasalahan pada butir a, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu dan KPP Medan Belawan sedangkan atas

 permasalahan di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu akan diteliti lebih lanjut.

2.  Atas permasalahan pada butir b, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Cikarang Satu, KPP WP Besar Dua, KPP

Cimahi, KPP Pratama Sawah Besar Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta

Penjaringan, KPP Medan Belawan, KPP Jakarta Setiabudi Satu, dan KPP Bandung Karees

sedangkan atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok masih akan diteliti lebih lanjut.

Sementara itu atas permasalahan di KPP Sidoarjo Timur, DJP memberikan tanggapan

 bahwa atas STP sebesar Rp492.509.468,00 tidak perlu diterbitkan sedangkan sisanya

sebesar Rp1.008.841.228,00 akan diterbitkan.3.  Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok.

4.  Atas permasalahan pada butir d, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Jakarta Setiabudi Satu, KPP Sidoarjo, KPP Jakarta Tanjung Priok,

KPP Surabaya Krembangan, KPP Pratama Sawah Besar Satu dan KPP Bandung Karees.

5.  Atas permasalahan pada butir f, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas

 permasalahan di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu sedangkan atas permasalahan di

KPP Jakarta Setiabudi Satu masih akan dilakukan penelitian.

BPK-RI menyarankan DJP agar segera:

1.  Menerbitkan STP kepada WP yang bersangkutan atas belum atau kurangnya pengenaan

sanksi denda administrasi sebesar Rp38.207.659.385,44.

2.  Memberi sanksi kepada petugas dan pemeriksa yang terbukti lalai dalam menjalankan

tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3.  Meningkatkan pengawasan atasan langsung.

6.  Pengurangan/penghapusan sanksi yang tidak sesuai ketentuan formal dan material

mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp14.401,42 juta tidak dapat

direalisasikanBerdasarkan penelitian terhadap berkas pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi Wajib

Pajak, terdapat pengurangan atau penghapusan sanksi yang seharusnya tidak diberikan oleh

 peneliti keberatan sebagai berikut:

a.  Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi tidak memperhatikan ketentuan formal.

Penelitian terhadap berkas peninjauan kembali Wajib Pajak pada Bidang Keberatan Kanwil

DJP WP Besar tidak memperhatikan tanggal dan formalitas dari surat permohonan

Page 56: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 56/89

 BPK KHP Gabungan PPN

52

 peninjauan kembali dari Wajib Pajak sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan

negara sebesar Rp45.582.314,00

 b.  Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi tidak sesuai ketentuan yang berlaku sebagai

 berikut:

Berdasarkan penelitian terdapat pengurangan/penghapusan sanksi administrasi yang tidak

seharusnya kepada Wajib Pajak karena tidak memenuhi aspek material yaitu tidak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku dengan rincian sebagai berikut:

Penghapusan/pengurangan Sanksi Tidak Sesuai Ketentuan

No. KPP Nilai Potensi

(Rp)

Keterangan

1. KPP Jakarta Penjaringan 510.750.499,00 Peneliti salah menge-nakan sanksi dan

mengkreditkan faktur pajak tidak sah

2. KPP Sidoarjo Timur 157.798.316,00 Peneliti mengabulkan keberatankarena alasan likuiditas WP

2. KPP WP Besar Dua 13.687.295.447,00 Peneliti mengabulkan keberatankarena alasan likuiditas WP

Total 14.355.844.262,00

Hal tersebut diatas tidak sesuai dengan:

a.  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun

2000 Pasal 36 ayat (1) huruf a yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan

atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut

dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. b.  Undang-undang Nomor 08 Tahun 1983 jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang

Pajak Pertambahan Nilai Pasal 9 ayat (9) yang menyatakan Pajak Masukan yang dapat

dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama,

dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah

 berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan

 belum dilakukan pemeriksaan.

c.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 Tanggal 22 Desember 2000 Pasal 1

ayat (1) yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan

Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda,

dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan Wajib Pajak atau bukan

karena kesalahan Wajib Pajak.

d.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003

Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan Dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak

Sah (Fiktif).

Page 57: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 57/89

 BPK KHP Gabungan PPN

53

e.  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 597/KMK.04/1994 tanggal 21

Desember 1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan,

Penyetoran, Dan Pelaporannya pada :

1).  Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak

 berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, adalah saat yang diketahui

terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :

a).  saat Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak secara nyata digunakan

oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena

Pajak tersebut;

 b).  saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak

dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak

 berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut;

c).  saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud atau penggantian Jasa Kena Pajak

ditagih oleh pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau JasaKena Pajak tersebut;

d).  saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak

dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena

Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.

2).  Pasal 3 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut oleh orang

 pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa

Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena

Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.

3).  Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, harus disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya pada

tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.

4).  Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai

yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak terjadinya penyetoran.

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp14.401.426.576,00 belum

dapat direalisasikan

Hal tersebut disebabkan oleh:a.  Fiskus salah dalam menafsirkan ketentuan perpajakan

 b.  Kurangnya pengawasan langsung atas proses penghapusan/pengurangan sanksi administrasi

DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan, DJP masih

akan melakukan penelitian sedangkan atas permasalahan di KPP WP Besar Dua dan KPP

Page 58: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 58/89

 BPK KHP Gabungan PPN

54

Sidoarjo Timur, DJP memberikan tanggapan bahwa pengurangan/penghapusan sanksi tersebut

telah sesuai ketentuan.

BPK-RI menyarankan DJP agar:

1.  Menerbitkan SKPKB/SKPKBT atas sanksi yang seharusnya tidak dikurangkan tersebut;

2.  Memberikan sanksi kepada petugas yang terbukti dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan

ketentuan yang berlaku; dan

3.  Meningkatkan pengawasan atasan langsung.

7. KPP belum melakukan peneguran dan pemeriksaan kepada 21 PKP yang tidak

menyampaikan SPT Masa PPN selama dua tahun berturut-turut sehingga potensi

penerimaan negara sebesar Rp251.217,30 juta belum terealisasikan

Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa terdapat 21 PKP yang selama dua tahun berturut-turut

sejak Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2004 tidak menyampaikan SPT masa PPN, sedangkan

 pada data equalisasi peredaran usaha PPh dengan penyerahan PPN Tahun 2002, 2003, 2004ternyata diketahui bahwa PKP bersangkutan masih melakukan kegiatan usaha dengan data omzet

dengan data sebagai berikut :

 Nilai Omzet PPh PKP yang Tidak Menyampaikan SPT Masa PPN 2 Tahun Berturut-turut

 No KPP Jumlah PKP Nilai Omzet PPh (Rp)

1 Surabaya Krembangan 6 99.241.786.697,00

2 Medan Belawan 8 177.759.443.954,00

3 Jakarta Tanjung Priok 7 217.977.156.840,00

  Jumlah 21 494.978.387.491,00

PKP tersebut diatas oleh petugas pajak belum ditindaklanjuti dengan menerbitkan surat teguran

dan pemeriksaan untuk mengetahui dan menagih potensi PPN yang kurang dibayar.

Adapun potensi PPN atas PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN tersebut adalah sebesar

Rp251.217.304.517,40 dengan rincian sebagai berikut :

No KPP Omzet

(Rp)

Potensi PPN

(Rp)

Denda

(Rp)

Total Potensi

(Rp)

1 2 3 4 = 3 x 10% 5 = 3 x 2 % 6 = 4 + 5

1 Surabaya Krembangan 99.241.786.697 9.924.178.669,70 1.984.835.733,94 11.909.014.403.40

2 Medan Belawan 177.759.443.954 17.775.944.395,00 3.555.188.879,08 21.331.133.274,00

3 Jakarta Tanjung Priok 1.816.476.307.000 181.647.630.700,00 36.329.526.140,00 217.977.156.840,00

Total 251.217.304.517,40

Hal tersebut tidak sesuai dengan :

a.  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

 pada :

Page 59: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 59/89

 BPK KHP Gabungan PPN

55

1).  Pasal 13 ayat (1) huruf b yang menyatakan dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah

saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun

Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam

hal apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan

 pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

2).  Pasal 14 Ayat (1) huruf f yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan

Surat Tagihan Pajak apabila Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena

Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak

mengisi selengkapnya Faktur Pajak.dan

3).  Pasal 14 Ayat (4) yang menyatakan Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing

dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar

Pengenaan Pajak.

 b.  Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 tentang tata cara pemeriksaan, padaPasal 2 ayat (1) huruf a

1).  Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila Pengusaha yang

telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur

Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

2).  Ayat (4) bahwa terhadap pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf d, huruf, e dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda

sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

c.  SE DJP Nomor SE-01/Pj.7/2003 tanggal 1 April 2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak

yang antara lain menyatakan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan terhadap wajib pajak yang

tidak menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 selama dua tahun berturut-turut dan atau

SPT masa PPN selama tiga bulan berturut-turut dalam suatu tahun pajak.

Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp251.217.304.517,40 belum

dapat direalisasikan.

Hal tersebut disebabkan :

a.  Pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP lemah.

 b.  Pemanfaatan data equalisasi peredaran usaha badan dan penyerahan PPN oleh petugas pajak

masih kurang.c.  Pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan kewajiban

 perpajakan PKP masih kurang.

Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

1.  Atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok, DJP masih akan melakukan penelitian.;

Page 60: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 60/89

 BPK KHP Gabungan PPN

56

2.  Atas permasalahan di KPP Surabaya Krembangan, DJP memberikan tanggapan bahwa DJP

setuju untuk melakukan penelitian/pemeriksaan atas 2 WP sedangkan atas 4 WP lainnya

 berdasarkan peraturan perundangan yang ada tidak dilakukan tindak lanjut.

3.  Atas permasalahan di KPP Medan Belawan, DJP memberikan tanggapan bahwa berdasarkan

hasil penelitian, DJP setuju untuk melakukan penelitian/pemeriksaan atas 7 WP sedangkan 1

WP lainnya pindah ke KPP lain.

BPK-RI menyarankan DJP agar :

1.  Segera merealisasikan himbauan kepada wajib pajak untuk melaporkan SPT Masa PPN dan

menindaklanjuti dengan usulan pemeriksaan jika masih belum memasukkan SPTnya.

2.  Meningkatkan pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP.

3.  Memanfaatkan data equalisasi peredaran usaha PPh dan PPN secara optimal.

4.  Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan

kewajiban perpajakan PKP.

5.  Memberikan sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam melaksanakan tugasnyasesuai ketentuan yang berlaku.

8.  KPP belum mengukuhkan WP yang memiliki omzet lebih dari 600 juta sebagai PKP,

sehingga potensi penerimaan negara senilai Rp143.614,15 juta belum dapat direalisasikan

Dalam upaya menambah jumlah PKP, KPP melakukan berbagai upaya baik melalui intensifikasi

maupun ekstensifikasi. Dalam kaitan dengan usaha melalui intensifikasi, salah satu yang dapat

dilakukan adalah dengan memanfaatkan data internal yang ada baik secara fisik maupun data

dalam Sistem Informasi Perpajakan yaitu data peredaran usaha (omzet) yang dilaporkan melalui

SPT PPh.

Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa masih terdapat wajib pajak yang memiliki omzet lebih

dari Rp600 juta tetapi belum atau terlambat dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dengan

total omzet sebesar Rp1.195.932.849.793,00 dan potensi penerimaan negara yang belum dapat

direalisasikan sebesar Rp143.614.154.393,16 dengan rincian sebagai berikut :

Potensi PPN atas WP yang belum/terlambat dikukuhkan sebagai PKP

KPP DPP (Rp) Potensi PPN (Rp) Sanksi (Rp) Total Potensi (Rp)

(1) (2) (3) = (2) * 10% (4) = (2) * 2% (5) = (3) + (4)

KPP Cikarang Satu 11.477.345.173,00 1.147.734.517,30 229.546.903,46 1.377.281.420,76

KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu 105.442.650.384,00 10.544.265.038,40 2.108.853.007,68 12.653.118.046,08

KPP Surabaya Krembangan 273.574.636.700,00 27.357.463.670,00 5.573.705.145,00 32.931.168.815,00

KPP Jakarta Penjaringan 584.131.938.908,00 58.413.193.890,80 11.682.638.778,16 70.095.832.668,96

KPP Medan Belawan 28.326.783.392,00 2.832.678.339,20 566.535.667,84 3.399.214.007,04

KPP Jakarta Setiabudi Satu 98.149.950.392,00 9.814.995.039,20 1.962.999.007,84 11.777.994.047,04

KPP Bandung Karees 94.829.544.844,00 9.482.954.484,40 1.896.590.896,88 11.379.545.381,28

Total 1.195.932.849.793,00 119.593.284.979,30 24.020.869.413,86 143.614.154.393,16

Page 61: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 61/89

Page 62: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 62/89

 BPK KHP Gabungan PPN

58

e.  Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam menjalankan tugasnya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

9.  KPP belum melakukan upaya klarifikasi atas selisih omzet yang dilaporkan, sehingga

potensi penerimaan PPN sebesar Rp737.614,69 juta dari ekualisasi omzet PPh dan PPN

belum dapat direalisasikan

Salah satu kegiatan dalam rangka melaksanakan extra effort adalah dengan melakukan ekualisasi

data, terutama peredaran usaha (omzet) di dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dengan

SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Peredaran usaha yang dilaporkan oleh WP belum tentu sama antara yang tercantum dalam SPT

PPN dan SPT PPh. Perbedaan tersebut antara lain terjadi karena kesalahan WP dalam mengisi

 jumlah peredaran usaha dalam SPT-nya sehingga ada kemungkinan nilai PPh terutang atau PPN

yang terutang dilaporkan terlalu kecil. Namun perbedaan juga bisa disebabkan oleh adanya

 perbedaan obyek dari kedua jenis pajak tersebut.

Atas perbedaan omzet tersebut, KPP seharusnya melakukan himbauan kepada WP untukmengklarifikasi atau untuk memperjelas adanya selisih omzet dimaksud. Untuk WP yang

memberi respon namun belum bisa menjawab selisih yang ada dan yang sama sekali tidak

merespon, seharusnya KPP tetap melakukan upaya penelitian sampai dengan tindakan

 pemeriksaan untuk mengklarifikasi selisih omzet yang ada.

Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa KPP Cikarang Satu, KPP Pratama Jakarta Sawah Besar

Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta Penjaringan, KPP Medan Belawan, dan KPP

Sidoarjo Timur masih belum melaksanakan upaya untuk mengklarifikasi selisih omzet antara

yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh dan SPT PPN senilai Rp6.146.789.159.559,33  dengan

 potensi penerimaan PPN dari ekualisasi omzet sebesar Rp737.614.699.147,12 dengan rincian

sebagai berikut : 

Potensi PPN dari Ekualisasi Omzet PPh dan PPN

KPP

Total Selisih Omzet

(Rp) Potensi PPN (Rp) Sanksi (Rp) Total Potensi (R

Cikarang Satu 136.268.478.592,00 13.626.847.859,20 2.725.369.571,84 16.352.217.43

Pratama Jakarta sawah Besar Satu 2.279.981.938.201,00 227.998.193.820,10 45.599.638.764,02 273.597.832.58

Surabaya Krembangan 1.302.830.510.039,00 130.283.051.003,90 26.056.610.200,78 156.339.661.20

Jakarta Penjaringan 213.864.175.983,00 21.386.417.598,30 4.277.283.519,66 25.663.701.11

Medan Belawan 335.023.644.036,00 33.502.364.403,60 6.700.472.880,72 40.202.837.28

Sidoarjo Timur 1.878.820.410.433,33 187.882.041.043,33 37.576.408.208,67 225.458.449.52

Total 6.146.789.159.559,33 614.678.915.955,93 122.935.783.191.19 737.614.699.14

Hal ini tidak sesuai dengan

1.  Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

Undang No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 13

ayat (1) beserta penjelasannya.

Page 63: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 63/89

 BPK KHP Gabungan PPN

59

2.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2000 tanggal 12 April 2000 tentang

Kebijakan Pemeriksaan, yang antara lain menyatakan bahwa pemeriksaan khusus harus

dilakukan untuk seluruh jenis pajak (all taxes) dan dilaksanakan terhadap wajib pajak

 berdasarkan persetujuan atau instruksi Direktur Pemeriksaan Pajak dalam rangka

 pemeriksaan untuk tujuan lain, misalnya berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap SPT Masa

PPN untuk suatu tahun pajak yang diketahui terdapat jumlah perbedaan peredaran usaha

antara SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN tahun yang bersangkutan (equalisasi PPh dan

PPN)

3.  Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000 point 3.1. Kriteria pemeriksaan khusus huruf C

 point (4) menyebutkan bahwa wajib Pajak berdasarkan persetujuan atau instruksi Direktur

Pemeriksaan Pajak dalam rangka pemeriksaan untuk tujuan lain.

Hal tersebut mengakibatkan belum dapat direalisasikannya potensi PPN sebesar

Rp737.614.669.147,12.

Hal tersebut disebabkan:

1.  Belum optimalnya usaha dalam menggunakan semua data/informasi yang tersedia terutama

data omzet PPh dan PPN baik data fisik maupun data SIP. 

2.  Pengawasan atasan langsung atas pemantauan omzet WP masih kurang.

DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Pratama

Jakarta Sawah Besar Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP

Medan Belawan, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut, sedangkan atas permasalahan di

KPP Sidoarjo Timur, DJP masih akan melakukan penelitian.

BPK-RI menyarankan DJP agar:

a.  Segera menerbitkan surat himbauan kepada WP yang memiliki selisih peredaran usaha;

 b.  Melakukan penelitian dan atau pemeriksaan atas selisih omzet yang terjadi;

c.  Meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kegiatan pemantauan omzet WP dan

d.  Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam menjalankan tugasnya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

10. Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah PKP belum dilakukan secara

optimalDalam upaya peningkatan penerimaan PPN dilakukan kegiatan Ekstensifikasi (canvassing ) Wajib

Pajak yaitu kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak dan atau

Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar serta untuk menghitung besarnya angsuran Pajak

Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan dan penyetoran pajak dalam suatu masa pajak.

Page 64: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 64/89

 BPK KHP Gabungan PPN

60

Pelaksanaan ekstensifikasi dimulai dengan pencarian data yang dapat bersumber dari data intern

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupa bank data KPP dan KP PBB ataupun dari ekstern DPJ

 berupa data dari Pemda, PLN, Telkom, Developer, maupun pihak-pihak lain.

Data-data tersebut digunakan dalam rangka memperoleh indikasi adanya penghasilan kena Pajak

atau penyerahan yang belum dilaporkan karena Wajib Pajak yang bersangkutan belum memiliki

 NPWP atau NPPKP. Indikasi tersebut bisa berupa data rekening telepon atau rekening listrik

yang tinggi, data transaksi jual beli tanah, dan lain sebagainya.

Berdasarkan data tersebut, KPP menerbitkan surat himbauan kepada calon Wajib Pajak untuk

segera mendaftarkan diri sebagai WP dan atau PKP.

Surat himbauan tersebut harus direspon oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 14 hari, jika tidak,

maka diterbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3).

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Register Himbauan dan Register Penerbitan SP3 di KPP

Cikarang Satu dan KPP Jakarta Penjaringan, diketahui bahwa belum semua himbauan yang tidak

direspon dilakukan pemeriksaan (diterbitkan Surat Perintah Penugasan Pemeriksaan/ SP3)

sebagaimana terlihat dalam tabel berikut;

Data SP3 yang diterbitkan untuk kegiatan canvassing

KPP/

Tahun

Total Himbauan yang

tidak direspon/kempos

SP3 yang

diterbitkan

%

KPP Cikarang Satu

2004 125 11 8,8%

2005 206 35 16,99%

KPP Jakarta Penjaringan

2004 1738 375 21%2005 1092 319 29%

 

Selain itu, terkait dengan angka perkembangan jumlah PKP yang terdaftar di KPP Jakarta

Penjaringan diketahui bahwa jumlah PKP terdaftar sampai dengan 1 November 2005 sebanyak

3.312 PKP. Pada periode pemeriksaan BPK yaitu tahun 2004 dan 2005 (s.d September) terjadi

 pengurangan jumlah PKP sebanyak 1000 PKP jauh lebih banyak dibandingkan jumlah

 pertambahannya sebanyak 327 PKP. Selain itu dari penelitian lebih lanjut diketahui bahwa dari

 penambahan sebanyak 327 PKP, angka penambahan PKP melalui usaha aktif petugas pajak

sebanyak 11 PKP jauh lebih rendah dibandingkan angka penambahan PKP karena adanya

kesadaran WP sendiri untuk dikukuhkan sebagai PKP sebanyak 316 PKP. Perinciannya adalah

sebagai berikut :

Data Pengukuhan PKP pada KPP Jakarta Penjaringan

Pengukuhan PKPTahun

Aktif Petugas Kesadaran WP Jumlah

Pengurangan

PKP

2004 10 157 167 9

Page 65: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 65/89

 BPK KHP Gabungan PPN

61

2005 1 159 160 991

Jumlah 11 316 327 1000

Hal tersebut tidak sesuai dengan

a.  Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 06/PJ.9/2001 tanggal 11 Juli 2001 tentang

Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak yang antara lain menyebutkan

 bahwa :

1)  Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah

Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal

Pajak (DJP).

2)  Pemeriksaan adalah Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) yang dilakukan untuk

tujuan lain dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan atau

 pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan atau untuk penentuan besarnya

 peredaran usaha ataupun jumlah pajak yang harus dibayar dalam tahun berjalan.

 b.  SE Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.7/2004 tanggal 6 Agustus 2004 tentang Pemeriksaan

Sederhana Lapangan dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak butir 2 yang mengatur

mengenai kriteria pemeriksaan bahwa PSL ekstensifikasi dilaksanakan terhadap calon Wajib

Pajak yang apabila lebih dari 14 hari sejak tanggal pengiriman Surat Pemberitahuan untuk

mendaftarkan diri:

1)  menanggapi dengan menyatakan tidak wajib mempunyai NPWP dan atau belum perlu

dikukuhkan sebagai PKP;

2)  tidak menanggapi karena Surat Pemberitahuan kembali pos;

3)  menanggapi dengan menyatakan sudah memiliki NPWP dan atau NPPKP tetapi

 berdasarkan Master File DJP ternyata tidak terdaftar atau nama dan alamatnya berbeda.

Kondisi tersebut mengakibatkan kesempatan negara untuk mendapatkan penerimaan dari

orang/badan yang berpotensi terjaring menjadi WP/PKP tidak dapat direalisasikan.

Hal tersebut terjadi karena :

a.  Usaha petugas pajak dalam rangka penambahan jumlah PKP belum optimal.

 b.  Koordinasi antar seksi yang terkait dengan penambahan jumlah PKP khususnya Seksi PDI

dan Seksi PPN kurang optimal.

DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Cikarang Satu dan KPP JakartaPenjaringan, DJP setuju dan akan akan melakukan tindak lanjut.

BPK-RI menyarankan DJP agar :

a.  Meningkatkan usaha ekstensifikasi PKP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 b.  Meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kegiatan ekstensifikasi.

Page 66: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 66/89

 BPK KHP Gabungan PPN

62

 

2.  PENGELUARAN NEGARA YANG TIDAK SEHARUSNYA TERJADI

Temuan berhubungan dengan pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi

1.  Pengkreditan pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Hasil pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 12 (dua belas) Kantor Pelayanan

Pajak (KPP) di Jakarta dan luar Jakarta diketahui terdapat pengkreditan pajak masukan yang tidak

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut terjadi di KPP Jakarta Cakung Satu, KPP

Jakarta Tanjung Priok, KPP Jakarta Penjaringan, KPP Wajib Besar Dua, KPP Bandung Karees,

KPP Sidoarjo Timur, dan KPP Surabaya Krembangan. Adapun temuan sehubungan dengan

 permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:

a.  Pengkreditan pajak masukan yang tidak memperhitungkan penyerahan yang PPN-nya

dibebaskan / tidak terhutang

Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi secara proposional atas pajak

masukan yang telah dikreditkan oleh WP dimana dalam seluruh penyerahan yang dilaporkanoleh WP terdapat penyerahan yang PPN-nya dibebaskan

Hal tersebut terjadi pada

1)  KPP Jakarta Cakung Dua dengan koreksi pajak masukan senilai Rp19.134.498,74.

2)  KPP Sidoarjo Timur dengan koreksi pajak masukan senilai Rp870.925.309,99.

 b.  Pengkreditan pajak masukan terlalu besar atas pembelian bahan bakar minyak

Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas selisih nilai pembelian bahan

 bakar minyak antara nilai PPN dengan nilai PPh Ps. 22 Pertamina yang tercantum dalam SPT

PPh Badan sebesar Rp137.563.640,00. Hal tersebut terjadi pada KPP Jakarta Cakung Dua

c.  Pengkreditan pajak masukan melewati batas tiga bulan

Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan

yang melewati batas waktu tiga bulan. Hal tersebut terjadi pada

1)  KPP Jakarta Penjaringan

Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan 2 faktur pajak masukan senilai Rp

13.604.625,00 dengan lama pengkreditan 14 bulan.

2)  KPP Wajib Pajak Besar Dua

Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan 5 faktur pajak masukan senilai

Rp4.735.701,00 yang lama pengkreditannya lebih dari 3 bulan

3)  KPP Sidoarjo Timur

Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan SSP PPN Jasa Luar Negeri yang disamakansebagai faktur pajak standar yang dibayar pada bulan Mei 2003 dan dikreditkan pada

 bulan Desember 2002 senilai Rp300.252.371,00

d.  Pengkreditan PPN impor / pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum

dijawab

Page 67: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 67/89

 BPK KHP Gabungan PPN

63

Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditkan PPN impor /

 pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum dijawab. Hal tersebut terjadi

 pada

1)  KPP Jakarta Tanjung Priok

Pengkreditan PPN Impor senilai Rp1.207.909.655,00 yang konfirmasinya dijawab tidak

ada.

2)  KPP Bandung Karees

Pengkreditan PPN Impor senilai Rp2.792.304,00 yang belum dijawab klarifikasinya dan

faktur pajak masukan senilai Rp168.555.354,00 yang konfirmasinya dijawab tidak ada

e.  Koreksi pengkreditan pajak masukan sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri.

Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan

yang berkaitan dengan kegiatan membangun sendiri. Hal tersebut terjadi pada KPP Surabaya

Krembangan senilai Rp663.176.174,00.

f.  Pengkreditan faktur pajak masukan yang dibuat lebih dari empat bulan dari tanggal

 penyerahan barang atau pembayaranAtas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan

dimana tanggal pembuatan fakturnya lebih dari empat bulan dari tanggal pembayaran atau

tanggal penyerahan (yang mana yang lebih dulu). Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Besar

Dua sebesar Rp13.143.947.420,50.

Hal tersebut tidak sesuai dengan

a.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000,

tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan

Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak.

 b.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

 Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah pada pasal 9 ayat (9) yang menyebutkan bahwa Pajak Masukan yang

dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang

sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah

 berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan

 belum dilakukan pemeriksaan.

c.  Surat Edaran Nomor SE-32/PJ.5/93 tanggal 3 Nopember 1993, untuk kasus-kasus yang

menyangkut masalah konfirmasi Faktur Pajak yaitu konfirmasi Faktur Pajak yang sudah

mendapat jawaban yang menyatakan "Tidak Ada" dan konfirmasi yang belum dijawab,Kepala KPP berkewajiban untuk menerbitkan SKKPP, sebelum batas waktu penyelesaian

restitusi dengan syarat PKP yang bersangkutan harus memberikan Bank Garansi

d.  Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 387/PJ./2002 tentang “Pengenaan PPN Atas Kegiatan

membangun sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan Oleh

Orang Pribadi Atau Badan Yang Hasilnya Digunakan Sendiri Atau Digunakan Pihak Lain”

Page 68: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 68/89

 BPK KHP Gabungan PPN

64

 pasal 5 ayat (4): Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun

sendiri tidak dapat dikreditkan

e.  Pasal 1 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000 tentang Saat

Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan

Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak

 Nomor KEP-323/PJ/2001

Keadaan tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar

Rp16.532.597.953,23 dan potensi penerimaan negara sebesar Rp18.311.146.823,73 yang berasal

dari penagihan kembali beserta sanksinya belum dapat direalisasikan.

Keadaan tersebut disebabkan oleh:

a.  Fiskus lalai dalam melakukan pemeriksaan atas pajak masukan yang dapat dikreditkan.

 b.  Kurangnya pengawasan dari atasan langsung

Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penelitian kembali dan apabila berdasarkan

hasil penelitian tersebut diketahui terdapat kelebihan pemberian restitusi maka akan diterbitkan

surat ketetapan pajak.

BPK-RI menyarankan agar menagih kembali pengeluaran negara yang tidak seharusnya

dikeluarkan, meningkatkan pembinaan kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan

 pemeriksaan, dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas hasil kerja bawahannya.

2.  Penyelesaian keberatan; peninjauan kembali; banding tidak sesuai dengan ketentuan

Hasil pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 12 (dua belas) Kantor Pelayanan

Pajak (KPP) di Jakarta dan luar Jakarta diketahui terdapat penyelesaian keberatan; peninjauan

kembali; banding yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Besar

Dua, KPP Jakarta Tanjung Priok, KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP

Cimahi. Adapun permasalahan sehubungan dengan hal tersebut adalah sebagai berikut:

a.  Terdapat indikasi kerugian negara yang berasal dari pemberian pengurangan atau

 penghapusan sanksi administrasi yang tidak seharusnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Tanjung Priok diketahui terdapat kerugian

negara yang berasal dari pemberian pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang

tidak seharusnya diberikan kepada WP akibat pajak masukan yang berasal dari PKP penjualyang diduga fiktif yaitu sebesar Rp1.943.617.340,00

 b.  Potensi penerimaan negara dari penyerahan BKP dan sanksi administrasi yang hilang akibat

 pengabulan sebagian permohonan keberatan

Berdasarkan hasil pemeriksaan berkas keberatan pada KPP Cimahi diketahui terdapat

 permohonan keberatan yang diterima sebagian oleh peneliti keberatan yang seharusnya

menurut BPK RI permohonan keberatan tersebut tidak diberikan karena penjualan kapas dan

Page 69: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 69/89

 BPK KHP Gabungan PPN

65

 benang kepada pihak ketiga merupakan penyerahan BKP yang terutang PPN sehingga

terdapat potensi penerimaan negara yang belum terealisir sebesar Rp611.565.041,72.

c.  Indikasi kerugian negara atas PPN Jasa Luar Negeri yang belum dikenakan

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Penjaringan diketahui terdapat pengabulan

keberatan; banding WP atas koreksi fiskus atas obyek PPN Jasa Luar Negeri dengan nilai

sebesar Rp11.459.682.582,00 atas pemanfaatan jasa luar negeri yang belum dikenakan PPN

atas Jasa Luar Negeri sebesar Rp1.145.968.258,00.

d.  Pengabulan surat permohonan peninjauan kembali atas sanksi administrasi yang tidak

memenuhi ketentuan formal dan berakibat pada pemberian imbalan bunga

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Wajib Pajak Besar Dua diketahui terdapat

 pengabulan surat permohonan peninjauan kembali atas sanksi administrasi sebesar

Rp2.256.917.094,00 yang tidak memenuhi ketentuan formalitas yaitu tidak menyebutkan

nilai perhitungan pajak menurut WP. Pengabulan permohonan peninjauan kembali

mengakibatkan pemberian imbalan bunga sebesar Rp406.245.077,00.

Hal tersebut tidak sesuai dengan :

1)  Undang-Undang Nomor 16 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal

36 ayat (1) dan (2) yang antara lain menyatakan “Direktur Jenderal Pajak dapat

mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan

yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi

tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; dan

mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Tata cara pengurangan,

 penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur

dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

2)  Keputusan Menteri Keuangan No 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 Tentang

Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau

Pembatalan Ketetapan Pajak pasal 2 ayat 3 : “Setiap permohonan pengurangan atau

 pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus

menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan Wajib Pajak seharusnya terutang.

Keadaan diatas mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp6.368.044.365,72

Keadaan diatas disebabkan oleh:

a.  Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai dalammelaksanakan tugasnya

 b.  Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang

menjadi bawahannya

Page 70: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 70/89

 BPK KHP Gabungan PPN

66

Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:

a.  Atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok dan KPP Jakarta Penjaringan, DJP

menyatakan akan melakukan penelitian kembali atas permasalahan tersebut

 b.  Atas permasalahan di KPP Wajib Pajak Besar Dua, DJP menyatakan bahwa permohonan

Peninjauan Kembali (PK) telah memenuhi ketentuan formal sesuai dengan Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000, permohonan PK tidak mengharuskan adanya

 perhitungan jumlah pajak terutang menurut WP

BPK-RI menyarankan agar menagih kembali atas pengeluaran negara yang tidak seharusnya

dikeluarakan, meningkatkan pembinaan kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan

 pemeriksaan, dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kerja bawahannya.

3.  KPP tidak aktif dalam melaksanakan penagihan atas ketetapan pajak yang telah

dikeluarkan

Hasil pemeriksaan diketahui terdapat kerugian negara akibat ketetapan pajak yang sudah tidakdapat ditagih kembali (daluarsa). Hal tersebut terjadi pada :

a.  KPP Bandung Karees

Terdapat ketetapan pajak yang kegiatan penagihannya tidak dilanjutkan dengan tahap

 penagihan berikutnya atau tidak ada tindakan pencegahan daluarsa sebesar

Rp336.063.102,00

 b.  KPP Surabaya krembangan

Diketahui terdapat ketetapan pajak yang telah diajukan penghapusan tunggakan karena

daluarsa akibat tindakan penagihan sebesar Rp3.250.926.424,00

Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak,

termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10

(sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian

Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.

Keadaan diatas mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp3.586.989.526,00 yang tidak dapat

direalisasikan.

Keadaan diatas disebabkan oleh

a.  Pelaksanaan penagihan tidak dilakukan secara optimal

 b.  Pengawasan atasan langsung yang masih kurang

Atas permasalahan tersebut DJP telah melakukan upaya penagihan secara aktif dan telah

diusulkan penghapusan utang pajak

Page 71: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 71/89

 BPK KHP Gabungan PPN

67

 

BPK-RI menyarankan agar mengoptimalkan pelaksanaan penagihan, meningkatkan pembinaan

kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan pemeriksaan, dan meningkatkan

 pengawasan atasan langsung atas hasil kerja bawahannya.

4.  KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah penanganan atas indikasi

penerbitan dan penggunaan faktur fiktif senilai Rp8.105,36 juta

Hasil pemeriksaan diketahui terdapat indikasi penerbitan faktur pajak oleh PKP yang diduga

sebagai penerbit faktur pajak fiktif. Namun sampai berakhirnya pemeriksaan tanggal 30

Desember 2005 KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah penanganan atas

indikasi penerbitan faktur fiktif dengan jumlah pajak keluaran masa Januari 1999 sampai dengan

Desember 2004 senilai Rp8.105.366.563,00 tersebut.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003

tanggal 4 Desember 2003 Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan DanPenggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif) Direktur Jenderal Pajak, yang antara lain

menjelaskan Wajib Pajak yang perlu diwaspadai yang diindikasikan sebagai penerbit atau

 pengguna Faktur Pajak fiktif.

Keadaan diatas mengakibatkan potensi kerugian negara minimal senilai Rp8.105.366.563,00.

Keadaan diatas disebabkan oleh:

a.  Pengawasan KPP Jakarta Penjaringan terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah.

 b.  KPP Jakarta Penjaringan dan Kantor Wilayah DJP Jakarta V kurang sungguh-sungguh dalam

menindaklanjuti masalah faktur pajak fiktif.

c.  Kurangnya pengawasan atasan langsung.

Atas permasalahan tersebut DJP menyatakan akan melakukan pemeriksaan dan selanjutnya

dilakukan penyidikan.

BPK-RI menyarankan agar

a.  Segera melakukan penelitian dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan.

 b.  Meningkatkan pengawasan atasan langsung.

5.  Penerbitan dua SKP yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga putusan bandingnya

diterima yang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp2.017,32 juta

Dari hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Cakung Satu diketahui terdapat kesalahan formal atas

 penerbitan dua SKP yang mengakibatkan putusan banding memenangkan wajib pajak sehingga

negara diharuskan membayar bunga sebesar Rp2.017.323.330,00 

Page 72: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 72/89

 BPK KHP Gabungan PPN

68

Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang No.16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(KUP), dalam penjelasan pasal 17 B ayat (1) dinyatakan bahwa “Surat ketetapan pajak tersebut

dapat berupa surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau 

Surat Ketetapan Pajak Nihil

Keadaan tersebut di atas mengakibatkan indikasi kerugian negara atas pembayaran imbalan

 bunga sebesar Rp2.017.323.330,00.

Keadaan tersebut diatas terjadi karena KPP Jakarta Cakung Satu tidak memperhatikan

konsekuensi hukum dari ketentuan yang berlaku dalam penerbitan SKP PPN.

Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan pembinaan/perbaikan dimasa yang akan datang

dan penyempurnaan sistem agar dalam satu masa tidak dapat diterbitkan dua SKP

BPK-RI menyarankan agar KPP Jakarta Cakung Satu melakukan kajian hukum mengenai

 penerbitan dua SKP dalam masa pajak yang sama.

6.  Penyelesaian SPTLB PPN, penerbitan SPMKP dan Pemberian SPMIB serta koreksi fiskus

tidak sesuai dengan ketentuan sehingga potensi pengeluaran negara akibat adanya imbalan

bunga sebesar Rp718.300.887,00 yang seharusnya tidak terjadi

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui terdapat potensi pengeluaran negara akibat adanya

 pemberian imbalan bunga. Hal tersebut terjadi di KPP Wajib Besar Dua, KPP Bandung Karees,

dan KPP Cimahi. Adapun temuan sehubungan dengan permasalahan dimaksud adalah sebagai

 berikut:

a.  Penyelesaian SPTLB PPN melewati batas waktu yang ditentukan

Berdasarkan hasil penelitian data print out SPTLB dan register penerbitan SKPLB diketahui

 pada KPP Bandung Karees terjadi keterlambatan penyelesaian SPTLB atas 6 WP sehingga

menimbulkan potensi kerugian negara akibat pemberian imbalan bunga sebesar

Rp662.222.607,00.

 b.  Penerbitan SPMKP dan pemberian SPMIB tidak sesuai ketentuan

Dari hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat SPMKP yang terlambat

diterbitkan selama 1 bulan sehingga terdapat potensi pemberian imbalan bunga sebesar

Rp28.039.140,36. Disamping itu KPP Cimahi kurang memperhitungkan jangka waktu pembayaran SPMIB selama 1 bulan sehingga terdapat kekurangan pemberian imbalan bunga

sebesar Rp28.039.140,40.

c.  Koreksi fiskus tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan dikabulkannya keberatan

WP

Atas permasalahan diatas, fiskus tidak mengadministrasikan pemeriksaannya dalam kertas

kerja pemeriksaan sebagai bukti-bukti pemeriksaan yang mengakibatkan dikabulkannya

Page 73: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 73/89

 BPK KHP Gabungan PPN

69

 pengajuan keberatan yang diajukan WP. Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Pajak Besar

Dua yang mengakibatkan pemberian bunga sebesar Rp247.726.691,00.

Hal tersebut tidak sesuai dengan:

a.  Pasal 17B ayat (1) UU No.9 Tahun 1994 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16

tahun 2000 yang antara lain menetapkan “Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan

 pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan

surat ketetapan pajak selambat-lambatnya dua belas bulan sejak permohonan diterima,

kecuali untuk kegiatan tertentu yang ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak”.

 b.  Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Meuangan No.05/KMK.03/2005 tentang Tata Cara

Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak yang antara lain mengatur “Kelebihan

 pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak

Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d

c.  Keputusan Menteri Keuangan No.683/KMK.03/2001 tentang Tata Cara Pemberian ImbalanBunga Kepada Wajib Pajak Tanggal 1 Januari 2002 pasal 7 huruf c dan d yang menyatakan

 bahwa SKPIB dan SPMIB yang berhubungan dengan imbalan bunga akibat dari kelebihan

 pembayaran dari putusan Keberatan dan Banding diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan

sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima dan imbalan bunga

dari putusan pengurangan sanksi administrasi diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak

Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi diterbitkan.

d.  Surat Edaran Dirjen Pajak SE-01/PJ.7/2002 Tanggal 19 Februari 2002 tentang Kebijaksanaan

Pemeriksaan PPN Dan PPn BM :

-  Nomor 4.5 : Untuk Setiap Kegiatan Pemeriksaan Harus Dibuat Kertas Kerja Pemeriksaan

(KKP)

-  Nomor 4.6 : KKP adalah dasar untuk membuat Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP);

Kondisi tersebut mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar Rp966.027.578,00. 

Keadaan diatas disebabkan oleh:

a.  Aparat pajak yang bersangkutan lalai dalam menjalankan tugasnya;

 b.  Kurangnya pengawasan atasan langsung.

Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut :a.  DJP akan menindaklanjuti permasalahan di KPP Bandung Karees dengan penelitian kembali;

 b.  DJP menyatakan bahwa penerbitan SPMKP di KPP Cimahi tidak terlambat

c.  Atas permasalahan di KPP Wajib Pajak Besar Dua, DJP menyatakan bahwa peneliti

mengabulkan keberatan WP tersebut karena kasus tersebut tidak didukung bukti yang kuat

dan apabila dibawa ke pengadilan, kemungkinan besar akan dimenangkan wajib pajak,

sehingga akan mengakibatkan kerugian negara/imbalan bunga yang lebih besar lagi.

Page 74: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 74/89

 BPK KHP Gabungan PPN

70

 

BPK-RI menyarankan agar DJP memberikan sanksi kepada para petugas yang lalai dalam

melakukan pemeriksaan dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas hasil kerja

 bawahannya.

7.  Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang pajak

Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat penerbitan SPMKP sebesar

Rp23.381.091,00 yang tidak memperhitungkan hutang pajak sebesar Rp67.720.836,00.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan bahwa:

a.  wajib pajak berhak meminta kembali kelebihan pembayaran pajak apabila tidak mempunyai

utang pajak.

 b.  Dalam hal wajib pajak masih mempunyai utang pajak harus langsung diperhitungkan untuk

melunasi terlebih dahulu pajak yang terutang

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp23.381.091,00

Kondisi tersebut disebabkan petugas pelaksana pada Seksi Penerimaan dan Keberatan tidak teliti

dalam melaksanakan tugasnya serta pengawasan atasan langsung masih lemah.

Atas permasalahan tersebut DJP tidak sependapat dengan BPK dimana Wajib Pajak telah

mengirimkan faksimili SSP dan rekening koran atas pembayaran tunggakan pajak yang menjadi

kewajibannya sebesar Rp 67.720.896,00

BPK-RI menyarankan agar dilakukan penelitian ulang atas SSP pembayaran PPN wajib pajak dan

dilakukan konfirmasi ke bank yang menerima pembayaran SSP tersebut

C. PELAYANAN DAN PENGAWASAN

Temuan yang berhubungan dengan pelayanan dan pengawasan adalah sbb :

1.  Keterlambatan Penyelesaian Permohonan Keberatan, Penerbitan Surat Keputusan

Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) Atas Keputusan Keberatan danSurat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB)

Berdasarkan pemeriksaan terhadap data penyelesaian keberatan di SIP, diketahui terdapat 25

 pengajuan permohonan keberatan PPN yang sudah lebih dari 12 bulan sejak permohonan

keberatan diajukan belum ada keputusannya pada KPP Pratama Jakarta Sawah Besar I.

Dari pemeriksaan atas penyelesaian SPMKP dan penerbitan SPMIB di KPP Cimahi, diketahui

 bahwa telah terjadi keterlambatan penerbitan. Dua penerbitan SKPKPP atas keputusan keberatan

Page 75: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 75/89

 BPK KHP Gabungan PPN

71

yang diterima melebihi batas waktu yang ditentukan. Keputusan keberatan diterbitkan tanggal 18

Maret 2005, sementara SKPKPP terbit tanggal 22 Juni 2005 atau terlambat 2 bulan. Penerbitan 14

SPMIB atas 4 Wajib Pajak melewati jangka waktu yang ditetapkan, karena menunggu

 permohonan imbalan bunga yang diajukan oleh WP dan tidak mengacu ke saat keputusan

keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi diterbitkan. Keterlambatan

 penerbitan berkisar antara 25 hari sampai 24 bulan.

Keadaan tersebut tidak sesuai dengan:

a.  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) yang menyatakan apabila surat keberatan tidak diberi keputusan

dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, maka

keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

1)  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/KMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran

Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan

sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d.

2)  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 683/KMK.03/2001 tentang Tata Cara Pemberian

Imbalan Bunga Kepada WP Pasal 7 huruf c dan d dan Peraturan Menteri Keuangan

 No.40/PMK.03/2005 Tentang Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga Kepada WP yang

menyatakan bahwa SKPIB dan SPMIB yang berhubungan dengan imbalan bunga akibat

dari kelebihan pembayaran dari putusan Keberatan dan Banding diterbitkan paling lambat

1 (satu) bulan sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima dan

imbalan bunga dari putusan pengurangan sanksi administrasi diterbitkan paling lambat 1

(satu) bulan sejak Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

diterbitkan

Keadaan tersebut mengakibatkan

a.  Permohonan keberatan WP harus diterima.

 b.  Citra pelayanan KPP menjadi kurang baik bagi WP terutama bagi yang mengajukan

 permohonan keberatan dan restitusi hasil keberatan serta yang berhak atas imbalan bunga.

Keadaan tersebut disebabkan:a.  Kurangnya pengawasan terhadap pengajuan permohonan keberatan yang telah masuk.

 b.  Petugas pajak yang bersangkutan lalai.

c.  Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan langsung.

Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penelitian lebih lanjut dan di masa mendatang

 jangka waktu penerbitan akan lebih diperhatikan.

Page 76: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 76/89

Page 77: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 77/89

 BPK KHP Gabungan PPN

73

yang dilaporkan dalam SPT masa PPN serta meneliti kebenaran formal faktur pajak dan atau

dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Hal tersebut mengakibatkan restitusi sebesar Rp5.661.007.686.701,00 tidak dapat diyakini

kewajarannya.

Hal tersebut disebabkan adanya kebijakan Kanwil DJP XIX berupa nota dinas tentang prosedur

kerja pemberian restitusi.

Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa  pemeriksaan restitusi PPN tetap melakukan

konfirmasi atas faktur pajak masukan yang dikreditkan oleh Wajib Pajak, namun dengan

menggunakan sampling dan pedoman penelitian tersebut merupakan implementasi dari

rekomendasi tim IMF.

BPK-RI menyarankan agar :

a.  Dilakukan konfirmasi ulang terhadap seluruh faktur pajak masukan dan SSP PPN Impor yang

telah direstitusi. Dan apabila terdapat faktur pajak masukan yang belum dapat

dipertanggungjawabkan PKP penjual atau terdapat faktur pajak masukan yang cacat agar

dikoreksi dan dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

 b.  Mencabut nota dinas kepala kanwil XIX wajib pajak besar Nomor: ND-

14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002 dan Nomor: ND-

13/WPJ.19/BD/2003sehingga peraturan mengenai tata cara pemberian restitusi PPN dapat

diterapkan kembali di KPP WP Besar Dua sesuai yang tercantum dalam Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak No.SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001atau menetapkan

ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengakomodir

 Nota Dinas tersebut namun tetap mempertimbangkan prinsip ke hati-hatian (konservatife)

dalam memberikan restitusi PPN sehingga dapat mengamankan keuangan negara.

3.  Faktur pajak dan SSP yang tidak dilakukan konfirmasi atau jawaban konfirmasi belum

diterima, namun tetap diperhitungkan oleh petugas pajak sebesar Rp390.694,61 juta

a.  Pajak masukan Impor dan PPN dibayar sendiri belum dilakukan konfirmasi baik ke bank

tempat pembayaran maupun ke KPKN sebesar Rp109.946.139.255,00. Hal tersebut terjadi

 pada KPP Wajib Pajak Besar Dua sebesar Rp45.203.670.095,00, KPP Cimahi sebesar

Rp62.861.085.540,00, dan Kanwil DJP Jawa Bagian Barat II sebesar Rp111.516.451,00

untuk pajak masukan impor, sedangkan untuk PPN dibayar sendiri pada Kanwil DJP Jawa

Bagian Barat II sebesar Rp1.769.867.169,00

 b.  Faktur pajak masukan tidak seluruhnya dilakukan konfirmasi ke Kantor Pelayanan Pajak

(KPP) tempat Pengusaha Kena Pajak (PKP) tersebut terdaftar sebesar Rp23.665.024.282,00.

Hal tersebut terjadi pada KPP Sidoarjo Timur yaitu sebesar Rp1.218.483.711,00 dan Karikpa

mojokerto sebesar Rp22.446.540.571,00

Page 78: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 78/89

Page 79: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 79/89

 BPK KHP Gabungan PPN

75

menyatakan setiap Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa Pajak dalam rangka

 pemeriksaan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi diwajibkan untuk melakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1).  Melaksanakan konfirmasi Faktur Pajak Melalui SIP (program PK-PM);

2).  Melakukan Konfirmasi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan sistem Monitoring Pelaporan

Pembayaran Pajak (MP3) atau kepada unit atau instansi yang terkait;

3).  Melakukan konfirmasi atas Dokumen PIB dan PEB kepada unit atau instansi terkait. Bagi

Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa dan Penyidik Pajak yang sudah dapat

melaksanakan Program PK-PM melalui intranet agar memanfaatkan data PIB dan PEB

 pada Intranet Direktorat Jenderal Pajak;

4).  Melakukan analisa perbandingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak yang

 bersangkutan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

5).  Melakukan analisa terhadap SPT Masa PPN untuk masa 6 (enam) bulan terakhir;

6).  Mewaspadai PKP-PKP yang non efektif (NE) PKP yang melaporkan SPT Masa PPN

 Nihil, yang kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan menunjukkan jumlah peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar.

Kondisi di atas mengakibatkan:

a.  Pemberian restitusi sebesar Rp166.833.281.737,00 tidak dapat diyakini kewajarannya.

 b.  PPN yang dipungut oleh pemungut PPN sebesar Rp200.728.699.587,00 tidak dapat di yakini

kebenarannya.

c.  Perhitungan penjualan ekspor sebesar Rp23.132.629.155,00 tidak dapat di yakini

kebenarannya

Kondisi di atas disebabkan

a.  Adanya kebijakan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dengan Nota Dinas Nomor:: ND-

14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002.

 b.  Pemeriksa pajak tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan.

c.  Pengawasan dan pengendalian atasan langsung masih kurang.

Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa akan dilakukan tindak lanjut berupa

konfirmasi ulang, melakukan uji arus uang dan barang untuk jawaban konfirmasi faktur pajak

yang belum diterima, dan melengkapi bukti copy SSP.

BPK-RI menyarankan DJP agar :

a.  Dilakukan konfirmasi ulang terhadap seluruh faktur pajak masukan dan SSP PPN Impor yang

telah direstitusi. Dan apabila terdapat faktur pajak masukan yang belum dapat

dipertanggungjawabkan PKP penjual atau terdapat faktur pajak masukan yang cacat agar

dikoreksi dan dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Page 80: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 80/89

 BPK KHP Gabungan PPN

76

 b.  Mencabut nota dinas kepala kanwil XIX wajib pajak besar ND-14/WPJ.19/BD.04/2002

tanggal 7 Oktober 2002 sehingga peraturan mengenai tata cara pemberian restitusi PPN dapat

diterapkan kembali di KPP WP Besar Dua sesuai yang tercantum dalam Surat Edaran

Direktur Jenderal Pajak No.SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001atau menetapkan

ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengakomodir

 Nota Dinas tersebut namun tetap mempertimbangkan prinsip ke hati-hatian (konservatif)

dalam memberikan restitusi PPN sehingga dapat mengamankan keuangan negara.

c.  Memberi sanksi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan

yang berlaku.

4.  Penagihan atas tunggakan PPN senilai Rp10.033,76 juta belum dilakukan secara optimal

a.  Berdasarkan pemeriksaan uji petik terhadap laporan kegiatan penagihan 100 WP penunggak

terbesar pada KPP Surabaya Krembangan diketahui tunggakan atas kohir PPN senilai

Rp9.969.411.671 belum sepenuhnya dilakukan tindakan penagihan aktif sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. b.  KPP Cakung satu belum melakukan upaya penagihan sesuai ketentuan atas SKPKB yang

dikeluarkan kepada PT Dwidaya Tunggal Prakarsa sebagai pengguna faktur pajak fiktif.

Berdasarkan data kartu hutang pajak, sampai dengan akhir pemeriksaan, atas SKPKB tersebut

 belum dilakukan pembayaran serta tidak dilakukan upaya penagihan.

Hal di atas tidak sesuai dengan :

a.  UU No.16 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakn pasal 9 ayat (3): Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar, SKPKBT dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang

menyebabkan jumlah pajak yang harus di bayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka

waktu1 (satu) bulan sejak diterbitkan.

 b.  Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-20/PJ/1995 tentang jadwal waktu tindakan

 penagihan pajak.

Kondisi di atas mengakibatkan tertundanya penerimaan negara sebesar Rp10.033.769.151,00

Kondisi di atas disebabkan KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya Krembangan tidak sungguh-

sungguh dalam melakukan penagihan aktif .

Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penagihan aktif sesuai ketentuan yang berlaku.

BPK-RI menyarankan agar KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya Krembangan lebih optimal

dalam melakukan penagihan aktif.

Page 81: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 81/89

 BPK KHP Gabungan PPN

77

5.  KPP Cikarang Satu belum membukukan SPMIB atas pembayaran imbalan bunga sebesar

Rp6.871,82 juta dalam laporan penerimaan pajak.

Berdasarkan buku register pencairan restitusi yang di tatausahakan oleh Seksi Penerimaan dan

Keberatan, diketahui terdapat pembayaran imbalan bunga (PIB) atas PPN sebesar

Rp6.640.390.237.00 tahun 2004 dan Rp.231.431.920 pada tahun 2005. Namun PIB tersebut

 belum dicantumkan dalam laporan penerimaan pajak yang disampaikan KPP ke Kanwil.

Hal di atas tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-11/PJ/1994

tentang pedoman Induk Tata usaha penerimaan dan restitusi pajak (TUPRP) dan SE No-

5/PJ.9/1995 tentang penyesuaian pedoman induk TUPRP, Bab VII pembukuan dan pelaporannya

dijelaskan pada butir 1.4 tentang pembukuan pengembalian pajak/pembayaran bunga.

Kondisi di atas mengakibatkan laporan penerimaan pajak KPP Cikarang Satu tidak

menggambarkan kondisi yang sebenarnya, yaitu nilai SPMIB yang dilaporkan kurang sebesar

Rp6.640.390.237 untuk tahun 2004 dan sebesar Rp231.431.920,00 untuk tahun 2005.

Kondisi di atas disebabkan seksi penerimaan dan keberatan KPP Cikarang Satu belum

membukukan pengeluaran restitusi atas pembayaran imbalan bunga.

Atas permasalahan tersebut DJP akan menindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.

BPK-RI menyarankan agar segera dilakukan pembukuan terhadap pengeluaran restitusi atas

 pembayaran imbalan bunga.

6.  Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen sumber

Fiskus dalam melakukan pemeriksaan terhadap PT Denso Indonesia mengkreditkan faktur pajak

cacat karena pada KKP ditemukan bahwa faktur pajak masukan yang dilampirkan merupakan

 blanko kosong yang diisi sendiri oleh fiskus.Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Pajak besar

Dua.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor.KEP-741/PJ/2001

tanggal 12 Desember 2001 tentang petunjuk pelaksanaan pemeriksaan kantor pada :

a.  Pasal 1 angka 9 yang menyatakan Kertas Kerja Pemeriksaan Pajak adalah catatan secara rinci

dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang

ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dankesimpulan yang diambil sehubungan dengan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

b.  Pasal 17 yang menyatakan Kertas kerja Pemeriksaan harus disimpan di Seksi Tata Usaha

Perpajakan pada Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak setelah Pemeriksaan Pajak diselesaikan.

Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat

diyakini kebenarannya.

Page 82: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 82/89

Page 83: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 83/89

 BPK KHP Gabungan PPN

79

ketahui terdapat pajak masukan selama tahun 2003 yang tidak sesuai dengan jumlah pembelian

 bahan baku yang dilaporkan selama tahun 2003 oleh WP. Dari penelusuran lebih lanjut atas KKP

fiskus, pada saat pemeriksaan tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan

dalam SPT PPh Badan dengan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN

sebesar Rp554.226.565,80.

Hal di atas tidak sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No-SE-04/PJ.7/2000 tentang

kebijaksanaan pemeriksaan tahun 2000 point 1.5 huruf b menyatakan ”pemeriksaan Sederhana

Lapangan (PSL) dan pemeriksaan lengkap (PL) untuk seluruh jenis pajak yang menjadi

kewajibannya. Adapun pendekatan pemeriksaan yang disarankan antara lain melakukan cross cek

antara pajak masukan yang dikreditkan dengan jumlah pembelian yang dilaporkan dalam daftar

 perhitungan rugi laba dan neraca, misalnya pembelian bahan baku/pembantu dan pembelian

aktiva tetap atau lainnya.

Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp554.226.565,80 belum dapat diyakini kebenarannya.

Kondisi di atas disebabkan fiskus tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan

dalam SPT PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN.

Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa tidak terdapat faktur pajak masukan yang

tidak seharusnya diperhitungkan.

BPK-RI menyarankan agar dilakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan dalam SPT

PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN dan apabila terdapat

selisih agar dilakukan koreksi terhadap hasil pemeriksaan fiskus.

9.  Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yang diduga sebagai penerbit dan

pengguna faktur pajak tidak sah (fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal

Melihat kondisi sekarang ini dengan makin banyaknya peredaran faktur pajak yang diduga tidak

sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak sah dan banyak digunakan oleh PKP lain

sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang disetorkan ke kas negara, maka sudah seharusnya

dalam rangka tertib administrasi perpajakan serta dalam rangka pengamanan penerimaan negara

dari sektor pajak pada umumnya dan dari sektor PPN pada khususnya, Ditjen Pajak harusmemberikan perhatian ekstra terhadap penanganan masalah tersebut. Namun berdasarkan data

serta dokumen yang diberikan, penanganan yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan

 pada kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan. Permasalahan yang terjadi antara lain adalah

sebagai berikut:

a.  Himbauan pembetulan kepada 22 PKP pengguna faktur pajak yang diduga fiktif yang tidak

direspon, namun terhadap PKP tersebut tidak segera dilakukan penyidikan, PKP penerbit

Page 84: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 84/89

Page 85: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 85/89

 BPK KHP Gabungan PPN

81

Atas permasalahan tersebut DJP akan dilakukan penelitian dan tindak lanjut sesuai ketentuan

yang berlaku.

BPK-RI menyarankan agar DJP lebih intensif dan cepat tanggap dalam penanganan masalah

 penerbitan dan penggunaan faktur pajak yang diduga fiktif, sehingga keuangan negara tidak akan

dirugikan.

10. Kelemahan dalam pengadministrasian buku register keberatan, buku restitusi, dan buku

 jawaban klarifikasi serta administrasi dokumen perpajakan tidak tertib

Dalam rangka tertib administrasi dibidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme pengawasan

atas pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat

 berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya masih ditemukan

adanya kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di KPP dan Kanwil DJP.

Selain itu terdapat penatausahaan dan administrasi dokumen perpajakan tidak tertib sebagaiakibat adanya reorganisasi dari KPP Paripurna menjadi KPP Pratama. Kondisi masing-masing

diuraikan sebagai berikut:

a.  Buku register keberatan dan keputusan keberatan tidak dapat memberikan suatu informasi

yang representatif guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan

 pemrosesan permohonan keberatan yang diajukan WP yang telah diberikan suatu keputusan.

Terdapat pemisahan pengadministrasian antara informasi mengenai nomor dan tanggal

 permohonan keberatan Wajib Pajak dengan nomor dan tanggal SKP yang diajukan keberatan,

serta tidak dicantumkannya nomor dan tanggal surat keputusan keberatan, sebagai kontrol

tidak terlewatinya jatuh tempo penyelesaian permohonan keberatan/peninjauan kembali.

Kondisi ini terjadi di KPP Jakarta Tanjung Priok dan Kanwil DJP Jakarta V.

 b.  Buku restitusi/pemberian bunga tidak dapat memberikan suatu informasi yang representatif

guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian

restitusi/pemberian imbalan bunga yang telah diberikan suatu keputusan. Format buku yang

diadministrasikan tidak menginformasikan tanggal dan nomor SKPLB, PLB, SKIB

diterbitkan, nomor dan tanggal permohonan, nomor dan tanggal data hutang pajak, sebagai

kontrol tidak terlewatinya jangka tempo penerbitan SPMKP dan kompensasi hutang pajak.

Kondisi ini terjadi di KPP Jakarta Tanjung Priok.

c.  Buku jawaban klarifikasi faktur pajak belum dapat memberikan suatu informasi yang

representatif guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap PKP yang menerbitkanfaktur pajak karena tidak dapat diketahui siapa yang harus diberi himbauan atau diterbitkan

ketetapan serta menyulitkan pengawasan pemberian jawaban. Hal tersebut terlihat dari tidak

adanya pencatatan transaksi dengan lawan transaksi dalam buku jawaban klarifikasi. Nomor

dan tanggal surat teguran kepada PKP Penjual tidak diadministrasikan dalam buku register

 jawaban konfirmasi sehingga tidak dapat dipastikan semua jawaban konfirmasi dengan

Page 86: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 86/89

Page 87: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 87/89

Page 88: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 88/89

 BPK KHP Gabungan PPN

84

 

12. Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib pajak sebesar Rp597,14 juta

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas 2 berkas WP, diketahui terdapat penerbitan ketetapan yang

merugikan WP. Kondisinya adalah sebagai berikut:

a.  PT Maju Mustika Garment dengan NPWP 01.280.850.7-424 adalah perusahan yang bergerak

di bidang usaha industri garment atau pakaian jadi. Untuk Tahun Pajak 2001 telah dilakukan

 pemeriksaan all taxes oleh fungsional pemeriksa Kanwil DJP Jawa Barat Bagian II. Untuk

Masa Pajak Januari s.d. September serta masa Oktober 2001 juga telah dilakukan

 pemeriksaan PPN oleh KPP Bandung Karees. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPP

Bandung Karees untuk Masa Pajak Januari s.d. September 2001 diterbitkan SKPKB PPN

dengan nilai sebesar Rp400.762.989,00 sedangkan untuk Masa Pajak Oktober 2001

diterbitkan SKPLB dengan nilai sebesar Rp1.435.947.068,00. Pada saat dilakukan

 pemeriksaan oleh fungsional pemeriksa Kanwil, WP sedang dalam proses keberatan atas

SKPKB hasil pemeriksaan KPP Bandung Karees. Atas hasil pemeriksaan Kanwil telah

diterbitkan ketetapan berupa SKPKBT Masa Pajak Januari s.d. September 2001 sebesarRp1.304.601.388,00 dan SKPLB Masa Pajak November-Desember 2001 sebesar

Rp186.232.864,00. Atas permohonan keberatan WP terhadap SKPKB Masa Januari-

September 2001 telah ada keputusannya yaitu menerima sebagian keberatan WP dari semula

Rp400.762.989,00 menjadi sebesar Rp177.443.292,00.

Penerbitan SKPKBT ternyata tidak hanya mendasarkan pada data baru saja, tetapi juga

menambah koreksi positif berdasarkan pada data yang lama yang telah diperiksa oleh KPP

Bandung Karees, padahal pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Kanwil tersebut, WP sedang

mengajukan keberatan. Dengan adanya pemeriksaan ganda tersebut WP dirugikan sebesar

Rp512.510.133,00 yang berasal dari nilai SKPKBT Rp1.304.601.388,00 dikurangi

 perhitungan SKPKBT berdasarkan data baru saja sebesar Rp792.091.255,00.

 b.  PT Lamindo Ekaperdana, NPWP : 01.642.853.4-011.000 adalah perusahaan yang bergerak di

 bidang usaha jasa pengangkutan crude oil dari sumber minyak ke stasiun pengumpul. Pada

Tahun Pajak 2002 WP diperiksa oleh KPP Jakarta Setiabudi Satu. Hasil pemeriksaan

menghasilkan SKPKB PPN sebesar Rp503.897.066,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK-

RI diketahui petugas pajak terlalu tinggi menetapkan sanksi administrasi Pasal 13 ayat (2)

UU KUP sebesar Rp84.630.382,00.

Keadaan tersebut tidak sesuai dengan:a.  Seharusnya pemeriksaan yang dilakukan DJP tidak tumpang tindih dan berulang-ulang, yang

dapat berakibat merugikan WP.

 b.  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)

Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan bahwa sanksi administrasi bunga sebesar 2% sebulan

untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau

Page 89: Penerimaan Negara_LHP BPK

7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK

http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 89/89