23
PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Putusan KPPU Nomor: 2/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Price Handling oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang) JURNAL OLEH: TETTY MARLINA DEBORA SIHALOHO NIM : 140200443 DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN YANG

DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN

1999TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

(Studi Putusan KPPU Nomor: 2/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Price

Handling oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana

Gemilang)

JURNAL

OLEH:

TETTY MARLINA DEBORA SIHALOHO

NIM : 140200443

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Page 2: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

CURRICULUM VITAE

A. Data Pribadi

Nama Lengkap TETTY MARLINA DEBORA

SIHALOHO

Jenis Kelamin Perempuan

Tempat, Tanggal

Lahir Sidamanik, 29 Januari 1996

Kewarganegaraan Indonesia

Status Belum Menikah

Identitas NIK KTP. 1208096901960001

Agama Kristen Protestan

Alamat Domisili Jalan Taduan No. 116 Kel. Sidorejo

Kec. Medan Tembung

Alamat Asal Pondok Rendah Kel. Batang Terap

Kecamatan Perbaungan

No.Telp 081372994254

Email [email protected]

B. Pendidikan Formal

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK

2001 - 2007 SD Negeri No. 091428 - -

2007 - 2010 SMP Negeri 3 Siboring-borong - -

2010 - 2013 SMA SW.YP HKBP Pematang Siantar IPA -

2014 - 2018 Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3,28

C. Data Orang Tua

Nama Ayah/Ibu : Binsar Sihaloho / Herlina Silitonga

Pekerjaan : Karyawan BUMN / Karyawan BUMN

Alamat : Pondok Rendah Kel. Batang Terap Kecamatan

Perbaungan

Page 3: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

ABSTRAKSI

Ningrum Natasya Sirait*

Mahmul Siregar**

Tetty Marlina Debora Sihaloho***

Dalam dunia usaha, merupakan hal yang sangat umum apabila pelaku usaha melakukan kesepakatan diantara mereka. Sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur kurang adil terhadap dalih pemeliharaan persaingan yang sehat. Namun tidak semua perjanjian berakibat negatif. Tulisan ini membahas tentang penetapan harga (price fixing)sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penetapan harga yang dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan bagaimana penerapan hukum terkait Price Handling dalam Putusan KPPU No. 20/KPPU-I/2016 tentang dugaan Price Handling yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder guna memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Salah satu perjanjian yang dilarang adalah Penetapan harga. Pengaturan mengenai perjanjian yang dilarang ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Paktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun dalam undang-undang ini tidak mengatur jelas bagaimana cara untuk membuktikan bahwa suatu perjanjian penetapan harga tersebut telah terjadi.

Penggunaan indirect evidence sebagai bukti petunjuk dalam pembuktian terjadinya suatu perjanjian yang dilarang merupakan hal yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sulitnya menemukan adanya bukti langsung perjanjian antar pihak pelaku usaha. Sehingga dengan konsep indirect evidence dapat melihat bahwa pelaku usaha saling berkomunikasi dan apakah perbuatan pelaku usaha menunjukkan adanya dampak kerugian yang signifikan.

Kata kunci: Perjanjian, Perjanjian yang dilarang, Persaingan Usaha, Penetapan Harga.

P

* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Mahasiswa Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Page 4: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

ABSTRACT

Ningrum Natasya Sirait*

Mahmul Siregar**

Tetty Marlina Debora Sihaloho***

In the business world, it is very common that business actors make an

contract between them. Now there are many contracts and business activities

that contain unfair elements to the pretense of maintaining healthy competition.

But not all agreements are negative. This paper discusses about price fixing as

illegal contract in Law No.5/1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and

Unhealthy Business Competition. The main problem in writing this thesis is how

the price fixing is prohibited based on Law no.5/1999 and how the application of

the law concerning Price Handling in Decision of KPPU no. 20 / KPPU-I / 2016

regarding the alleged Price Handling conducted by PT. Artha Samudra Kontindo

and PT. Sarana Gemilang.

The research method used is normative legal research conducted by

researching reference materials or secondary data in order to obtain the required

i.e covering primary, secondary and tertiary law material that related to the

problem. The results of the research are presented descriptively in order to

obtain an explanation of the issues discussed.

One of the Illegal contract is Price Fixing. The regulation of this prohibited

agreement is governed by Article 5 of Law No.5/1999 on the prohibition to

perform monopoly and Unhealthy Business Competition. But in this law does not

set clear how to prove that a price fixing has occurred.

The use of indirect evidence as evidence guidance in the proof of a illegal

contract is a very apropriate thing. This is due to the difficulty of finding direct

evidence of contract between business actors. So with the concept of indirect

evidence can see that business actors communicate with each other and

communicate with each other and whether business actors show significant loss

impacts.

Keywords: Contract, Illegal Contract, Business Competition, Price Fixing

____________________

* Thesis advisor of Law University of North Sumatera

** Thesis advisor of Law University of North

*** Student of Faculty of Law University of North Sumatera

Page 5: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan hukum ekonomi

Indonesia dengan sendirinya harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa

perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi ekonomi

dalam wujud ekonomi kerakyatan.1

Dalam usaha mencapai tujuan tersebut maka negara Indonesia

memainkan peranan penting dalam menyusun laju perekonomian nasional.

Perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari sistem free fight

liberalism yang mengeksploitasi manusia atau dominasi perekonomian oleh

negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan melakukan pemusatan

kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja.2 Konsentrasi pemusatan

kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha memberikan pengaruh buruk

pada kepentingan umum masyarakat. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi

pemusatan kekuatan ekonomi yang secara langsung akan berakibat pada pasar

dan keinginan untuk bersaing.3

Persaingan usaha yang sehat akan memberi akibat positif bagi pelaku

usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan

efisensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkannya. Dengan

demikian tentu saja konsumen memperoleh manfaat dari persaingan yang sehat

itu,yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan peningkatan kualitas

produk.4

Dalam dunia usaha persaingan merupakan conditio sine qua non atau

persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar.5 Walaupun

1 Rachmadi Usman,S.H., Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,(Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2004), hal. 10

2 Ningrum Natasya Sirait I, Hukum Persaingan Di Indonesia UU No.5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa

Press, 2011), hal. 1-2

3Ibid., hal. 5

4 Hermansyah, Op.Cit.,hal. 10

5 Hermansyah, Op.Cit.,hal. 9

Page 6: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

2

persaingan akan berdampak terhadap pelaku usaha yang kalah di pasar tetapi

persaingan tetap dianggap sebagai mekanisme yang tepat untuk mencapai

kesejahteraan.6Tanpa ada persaingan, tidak akan dapat diketahui apakah kinerja

yang dijalankan sudah mencapai tingkat yang optimal.7

Demikian juga akibatnya terhadap masyarakat dapat kehilangan haknya

untuk membeli suatu produk dengan harga yang bersaing dan terbatasnya

pilihan untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik, pasokan

barang yang terbatas serta pasokan barang yang kurang beraneka ragam.8

Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

perjanjian-perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang

kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan

dalih pemeliharaan persaingan yang sehat.9 Adalah hal yang umum bahwa

pelaku usaha melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri. Perjanjian

diantara mereka tidak semuanya berakibat negatif bagi persaingan dan mungkin

saja menghasilkan keuntungan. Perjanjian dapat mengurangi resiko usaha,

menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika melakukan

riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan distribusi.

Disamping itu, perjanjian yang bersifat horizontal diantara pelaku usaha

yang bersaing dapat saja mengakibatkan berkurangnya proses persaingan.

Perjanjian ini akan mengurangi keinginan yang inovatif, terjadinya dominasi

pasar ataupun berupaya membatasi masuknya pesaing baru. Pelaku usaha dan

pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produk sehingga menyebabkan

harga naik, menetapkan harga yang sama dan merugikan kepentingan

konsumendan perekonomian.10

6 Andi Fahmi Lubis II dkk, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, (Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), 2017), hal. 25

7 Ningrum Natasya Sirait II, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di

Indonesia, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hal. 7

8 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Marger dalam Perspektif Monopoli,(Jakarta:Raja

Grafindo Persada, 2002), hal. 8

9 Ibid., hal. 23

10 Ningrum Natasya Sirait III, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 21-22

Page 7: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

3

Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ditentukan secara jelas dan terstruktur

mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan.

Ketiga hal ini memang secara substansial berpotensi atau membuka peluang

besar untuk terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

apalagi sebagian besar transaksi bisnis memang didasarkan pada perjanjian

antara pelaku usaha.11

Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau

jasa yang akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan

anti persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha

diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.12 Pasal 5 ayat (1)

melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa bagi konsumen atau jasa

bagi konsumen atau pelanggannya.

Jurnal ilmiah ini membahas mengenai perjanjian penetapan harga (price

fixing) berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dugaan penetapan harga

yang terdapat dalam Putusan KPPU Nomor 20/KPPU-I/2016 tentang Tarif

Handling yang dilakukan oleh PT.. Artha Samudra Kontindo dan PT.. Sarana

Gemilang pada Kawan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai

Belawan.

11

Hermansyah, Op.Cit.,hal. 24

12 Rachmadi, Op.Cit.,hal. 44

Page 8: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

4

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia

Persaingan usaha adalah salah satu faktor yang penting dalam

menjalankan roda perekonomian suatu negara dan persaingan ditentukan oleh

kebijakan persaingan (competition policy). Negara memang tidak dapat berjalan

dan maju tanpa adanya dunia usaha yang berkembang secara pesat dan

efisien.13 Kebutuhan akan adanya suatu kebijakan dari suatu undang-undang

persaingan usaha menjadi faktor menentukan jalannya proses persaingan.

Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya

kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan

cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.14 Dengan ini maka Undang-

undang Antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan struktur

ekonomi yang dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang

dalam penjelasannya menyatakan bahwa “Ekonomi diatur oleh kerjasama

berdasarkan prinsip gotong royong”.15

Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan tujuan utama Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999, diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan

membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2) dan menjamin

sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien

(Pasal 3). Oleh karena itu, bagian pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

(UUD 1945) yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b Undang-undang No. 5

Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan

nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada

sistem persaingan bebas dan adil dalam Pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang

13

Ahmad Yani, op.cit., hal. 1

14 Ibid., hal. 89

15 Knud Hansen, op.cit., hal. 119

Page 9: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

5

sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha,

khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.16

Jadi tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dirinci dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pertama, untuk menjaga kepentingan

umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Kedua, menjaga

kepentingan umum yang merupakan tujuan di luar ekonomi, yang memberikan

rasa aman dan pasti padasemua pelaku usaha dan masyarakat di dalam

berusaha dan meningkatkan ekonomi nasional.

Dalam pelaksanaannya, pelaku usaha khususnya Komisi Pengawas

Persaingan Usaha perlu memperhatikan kedua tujuan tersebut, agar semua

pihak yang yang berkaitan dnegan pelaksanaan Undang-undang Antimonopoli

mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu meningkatkan ekonomi nasional

dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang merupakan tujuan dari Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.17

B. Perjanjian yang Dilarang Dalam UU No. 5 Tahun 1999

Bahwa untuk mencegah terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian

tertentu dengan pelaku usaha lainnya.18 Apabila perjanjian-perjanjian yang

dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang

demikian diacam batal demi hukum atau dianggap tidak ada karena yang

dijadikan sebagai objek perjanjian adalah hal-hal yang dilarang oleh undang-

undang.19

Beberapa perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 sebagai berikut:20

a. Oligopoli

b. Penetapan harga

16

Ibid., hal. 117

17 Ibid., hal. 93

18 Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 23

19 Rachmadi Usman I, Op.Cit., hal. 40

20 Perjanjian yang dilarang dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999

Page 10: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

6

c. Deskriminasi harga dan diskon Pembagian wilayah

d. Pemboikotan

e. Kartel

f. Trust

g. Oligopsoni

h. Integrasi vertikal

i. Perjanjian tertutup

j. Perjanjian dengan luar negeri

Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau

jasa yang akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan

anti persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha

diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.21

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap

hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara langsung

menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-

perusahaan di pasar. Dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun

mendekati biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga meningkat dan lebih

efisien sehingga kesejahteraan pun akan meningkat. Namun ketika perusahaan-

perusahaan melakukan kesepakatan harga maka harga akan naik jauh diatas

produksi. Tentu kenaikan harga ini akan berpengaruh akan penurunan

kesejahteraan konsumen.22

Pada prinsipnya tujuan utama atau target yang ingin dicapai produsen

dengan cara menetapkan harga, adalah untuk menguasai atau mendominasi

pasar secara bersama sambil memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin

karena dengan menetapkan harga para produsen sadar bahwa produk mereka

dibutuhkan oleh konsumen, dan kebutuhan itu sedemikian besar serta praktis

tidak ada pesaing baru yang akan memproduksi produk tersebut dalam waktu

dekat. Dengan demikian, pada kondisi permintaan dan penawaran produk yang

tidak elastis tersebut, produsen-produsen yang terlibat dalam perjanjian

21

Rachmadi, Op.Cit.,hal. 44

22 Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap

Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha,” Setara Press, Malang 2013, hal. 46

Page 11: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

7

penetapan harga dapat menikmati keuntungan dan dominasi pasar secara

maksimal. Keuntungan itu diperoleh dengan cara menetapkan harga jual diatas

harga pasar yang sebelumnya tidak ada terjadi perjanjian penetapan harga.23

Perjanjian penetapan harga horizontal (price fixing) diatur secara tegas

dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan:

1) Pelaku usaha dilarang memuat pejanjian dengan pelaku usaha pesaing

untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus

dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang

sama.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang

mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan

suatu harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada

pasar bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan

usaha diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.24Artinya,

perjanjian perjanjian penetapan harga bersama-sama merupakan sebuah

perilaku yang sangat terlarang dalam hukum persaingan usaha, karena

penetapan harga bersama-samaselalu menghasilkan harga yang senantiasa

berada di atas harga yang bisa dicapai melalui persaingan usaha yang sehat.25

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian

terhadap larangan membuat perjanjian penetapan harga antar pelaku usaha,

sepanjang perjanjian yang diadakan tersebut tidak menimbulkan persaingan

usaha tidak sehat dengan pelaku usaha pesaingnya. Ketentuan dalam Pasal 5

23

Andi Fahmi Lubis II, Op.Cit., hal. 68

24 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal. 136

25 Rachmadi Usman II, Op.Cit., hal 213

Page 12: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

8

ayat (2) menyatakan, bahwa ketentuang larangan price fixing sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku atau dikecualikan bagi:26

a Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture).

b Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku, contohnya

penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh

pemerintah.

Pembuktian adanya perjanjian diantara pelaku usaha independen yang

sedang bersaing dalam menetapkan harga atas barang dan atau jasa menjadi

hal yang sangat penting. Perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar

tersebut dilakukan secara bersama-sama. Bukti yang diperlukan adalah bukti

penetapan harga secara bersama-sama disepakati dan para pelaku usaha

mematuhi kesepakatan tersebut.27

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak mengatur tentang

bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian. Akibatnya, berkaitan

dengan perjanjian penetapan harga, apabila tidak terdapat bukti langsung,

misalnya perjanjian tertulis atau lisan maka KPPU tidak dapat menggunakan

Undang-undang ini. Maka KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan KPPU

Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 (Penetapan Harga). Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai

bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence).

Bukti langsung (direct evidence) adalah bukti yang dapat diamati

(observable elemens) dan dapat menunjukkan bahwa telah terjadinya suatu

perjanjian penetapan harga atau barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha yang

bersaing. Di dalam bukti tesebut terdapat kesepakatan dan substansi dari

kesepakatan tersebut. Sedangkan bukti tidak langsung (indirect evidence)

merupakan suatu bukti yang secara tidak langsung menyatakan adanya

kesepakatan penetapan harga. Bukti tidak langsung ini dapat digunakan

26

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 142

27 Rachmadi Usman II, Op.Cit., hal. 230

Page 13: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

9

terhadap terjadinya suatu keadaan/kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas

pemberlakuan suatu perjanjian yang tidak tertulis.28

Adapun yang termasuk bukti tidak langsung adalah:29

1. Bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan kesepakatan,

2. Bukti ekonomi yang bertujuan sebagai “upaya untuk mengeyampingkan

kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga yang bersifat

independen”.

Analisis dari aspek ekonomi penting dalam upaya mendeteksi perbuatan

prakter perjanjian yang horizontal. Dalam melakukan analisis ekonomi, ada dua

tahapan yang harus dilakukan yaitu: Analisis Struktural yang diarahkan pada

pembuktian apakah kesepakatan tersebut mungkin terjadi di pasar

bersangkutandan, Analisis Perilaku atau Perubahan yang ditujukan untuk

membuktikan apakah perilaku di pasar bersangkutan bukan perilaku bersaing.30

Terhadap pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dapat dikenakan sanksi administratif oleh KPPU berupa pembatalan perjanjian

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a31 serta ganti rugi

bagi pihak yang dirugikan sampai pada denda antara Rp 5.000.0000.000 (lima

miliar rupiah) hingga Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima milliar rupiah) sesuai

dengan ketentuan pidana pokok pada Pasal 48 angka (2). Selain itu, pengadilan

juga dapat mengenakan pidana tambahan, diantaranya pencabutan izin usaha,

penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian pada pihak lain.

28

Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 141

29 Andi Fahmi Lubis II, Op.Cit., hal. 75

30 Andi Fahmi Lubis III, Op. Cit., hal. 391

31 Pasal 47 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: “Penetapan pembatalan

perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;”

Page 14: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

10

C. ANALISIS PRICE FIXING TERHADAP PUTUSAN KPPU PERKARA

NOMOR 20/KPPU-I/2016

1. Kasus Posisi Putusan

Pada bulan Desember 2016, Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Republik Indonesia menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penetapan Tarif Handling

di Kawasan Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan yang dilakukan

oleh:

1. Terlapor I: PT. Artha Samudra Kontindo berkedudukan di Jalan Pulau Nias

Selatan Nomor 5-6, KIM Tahap II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten

Deli Serang, Sumatera Utara. Beroperasi sejak bulan Juli 2013.

2. Terlapor II: PT. Saran Gemilang berkedudukan di Gudang BGR Jalan Titi

Pahlawan Simpang Kantor Medan Marelan, Sumatera Utara, Indonesia dan

Komplek Vila Gading, Jalan Sungai Kampar I Nomor 2 Semper, Cilincing,

Jakarta Utara. Beroperasi sejak bulan Mei 2015.

Tindakan penetapan tarif handling ditempat penimbunan terkait dengan

barang yang tidak dikuasai (BTD) berupa Kontainer 20 FT, 40 FT, dan Over

Height/ Over Width/ Over Length di KPP Bea Cukai Belawan yang dilakukan oleh

PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang menyebabkan tidak

adanya persaingan harga atau tarif yang kompetitif di antara pelaku usaha yang

mengelola tempat penimbunan pabean di KPP Bea Cukai Belawan.

Hal ini juga mengakibatkan konsumen dalam pengguna jasa Ekspedisi

Menggunakan Kapal Laut (EMKL) pemilik barang yang masuk dalam

pengelolaan tempat penimbunan pabean di KPP Bea Cukai Belawan harus

menerima tarif yang telah ditentukan. Maka kesimpulan dan rekomendasi

berdasarkan verifikasi, klarifikasi, penelitian, analisis, dan penilaian Tim

Investigator menyimpulkan terdapat dugaan Pelanggaran Ketetuan Pasal 5 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Artha

Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang.

Page 15: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

11

2. Analisis Hukum Putusan

Dalam pemenuhan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, unsur pelaku terpenuhi dan sesuai dengan yang

dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 pelaku usaha

adalah PT. Artha Samudra Kontindo/Terlapor I dan PT. Sarana

Gemilang/Terlapor II yang pada faktanya bahwa kedua pihak tersebut

merupakan pelaku usaha yang bersaing.

Dalam pemenuhan Unsur Perjanjian, bila mengacu pada Pasal 1 angka 7

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu

atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak

tertulis”. Dalam hal ini Tim Investrigator menemukan perjanjian penetapan harga,

namun Majelis Komisi menilai esensi dari pasal tersebut adalah apakah terdapat

perbuatan mengikatkan diri satu pelaku usaha atau lebih kepada pelaku usaha

lain. Maka harus dilakukan pembuktian bahwa apakah para pihak terlapor

terbukti mengikatkan diri atau tidak.

KPPU mengeluarkan kebijakan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011

tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Penetapan

Harga) yang menjelaskan mengenai bukti langsung (hard evidence) dan bukti

tidak langsung (indirectevidence/circumstantial evidence). Apabila melihat dari

defenisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam peraturan KPPU, bukti

petunjuk merupakan pengetahuan majelis Komisi yang diketahui dan diyakini

kebenarannya. Indirect Evidence merupakan suatu bukti petunjuk dalam

menangani perkara persaingan usaha. Bukti tidak langsung merupakan suatu

bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan

harga melalui bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan

kesepakatan dan bukti ekonomi.

Bukti komunikasi yang terdapat dalam persidangan bahwa kesepakatan

yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dengan DPW ALFI/ILFA

Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang dengan DPW ALFI/ILFA Sumatera

Utara dilakukan secara terpisah dan pada waktu yang berbedaserta tidak

terdapat bukti telah terjadi atau dilakukannya pertemuan dan/atau pembahasan

komunikasi terkait tarif handling yang dilakukan oleh para terlapor baik secara

Page 16: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

12

efektif dan/atau tidak langsung. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada

komunikasi yang dilakukan oleh para pihak terlapor.

Penekanan oleh pihak Tim Invertigator bukan pada kesepakatan bersama

tentang tarif handling TPP antara PT. Artha Samudra Kontindo dengan DWP

ALFA/ILFA Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang denganDWP ALFA/ILFA

Sumatera Utara tetapi komponen tarif dan besaran yang sama antara kedua

pihak terlapor tersebut. Pada pelaksanaannya PT. Artha Samudra

Kontindo/Terlapor I menetapkan tarif handling TPP sepenuhnya sesuai dengan

tarif dalam kesepakatan. Sedangkan PT. Sarana Gemilang/Terlapor II

menetapkan tarif handling TPP untuk komponon trucking dan

storage/penyimpanan saja. Meskipun begitu PT. Sarana Gemilang/Terlapor II

tetap menggunakan kompononen yang sama dengan PT. Artha Samudra

Kontindo/Terlapor I.

Pada dasarnya, Direktori Jenderal Bea Cukai tidak ada menetapkan

aturan terkait tarif di TPP, maka penetapan tarif diserahkan kepada pengelola

TPP. Oleh karena itu, terdapat persamaan penetapan harga antara pihak

Terlapor I dan Terlapor I karena melakukan kerja sama dengan pengguna jasa

yang sama yaitu PT. ALFI/ILFA Sumatera Utara.Bukti ekonomi yang terdapat

dalam fakta persidangan bahwa pihak Terlapor II tidak sepenuhnya menerapkan

tarif yang telah ditetapkan. Dengan adanya perbedaan besaran tarif pada

komponen tarif handling yang diterapkan dan/atau digunakan oleh PT. Sarana

Gemilang/Terlapor II menunjukkan bahwa isi kesepakatan dimaksud tidak

secara efektif sepenuhnya dilaksanakan oleh seluruh pihak yang membuat

kesepakatan.

Bahwa dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

terdapat kata “mengikatkan diri”, artinya saling mengikatkan diri sehingga jika

ada perjanjian yang telah dilakukan kemudian diikuti oleh orang/pihak lain, maka

hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan aktif saling mengikatkan diri.

Pada faktanya, besaran tarif pada komponen tarif handling yang diterapkan

dan/atau digunakan oleh PT. Sarana Gemilang/Terlapor II menunjukkan bahwa

isi kesepakatan dimaksud tidak secara efektif sepenuhnya dilaksanakan,

sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kedua pihak terlapor saling mengikatkan

diri.

Page 17: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

13

Dalam pemenuhan unsur pasar bersangkutan berdasarkan Pasal 1

angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199932 menekankan pada konteks

horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Menurut

pasal ini cakupan pengertian pasar bersangkutan meliputi 2 (dua) perspektif,

yaitu pasar berdasarkan produk33 dan pasar berdasarkan geografis34. Produk

market di dalam objek perkara a quo merupakan Barang yang Dinyatakan Tidak

Dikuasai yaitu barang yang tidak dikeluarkan dari jangka waktu 30 (tiga puluh

hari) hari sejak penimbunan. Cakupan geografis dalam perkara a quo adalah

Kawasan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan.

Dalam dunia persaingan usaha, sangat sulit untuk menemukan perjanjian

tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar bersangkutan. Maka

untuk membuktikanya, Komisi harus lebih bekerja keras dalam memutus sebuah

perkara persaingan usaha. Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara, menyatakan bahwa indirect evidence merupakan

suatu bukti petunjuk dalam membuktikan perkara persaingan usaha. Pada

prakteknya, indirect evidence ini dijadikan cara utama untuk membuktikan

terjadinya perjanjian yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat dalam putusam

KPPU yang sering sekali menggunakan metode indirect evidence.

Pembuktian secara indirect evidence tentu menjadi perdebatan hakim

dalam hal pembuktian, dikarenakan metode ini digunakan untuk membuktikan

perjanjian yang tidak tertulis. Sementara hakim hanya berpatokan pada alat bukti

yang ditentukan oleh hukum acara perdata, dimana dalam perdata dikatakan

perjanjian yang mempunyai kekuatan yang mengikat adalah perjanjian yang

tertulis. Namun untuk membuktikan bahwa telah terjadinya kolusi dalam

persaingan usaha, penggunaan metode pembuktian ini sangatlah tepat. Hal ini

32

Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999: “ Pasar bersangkutan adalah pasar yang

berkaitan dengan jangkauan daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa

yang sama atau sejenis atau substitusi dari batang dan atau jasa tersebut.

33 Ningrum Natasya Sirait, Paper Presentasi Proseding Seminar Universitas Pelita

Harapan, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Harapan, 2015) menyatakan “Pasar berdasarkan

produk sebagai produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bias

menjadi subtitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi subtitusi sebuah produk jika

keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut”.

34Ibid., menyatakan “Pasar berdasarkan geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku

usaha dapat meningkatkan hargnya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa

kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah

tersebut”.

Page 18: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

14

dikarena Komisi dapat membuktikan perjanjian yang tidak tertulis melalui bukti

komunikasi yangmungkin dilakukan diam-diam oleh para pelaku usaha.

Di indonesia juga dikenal asas unus testis nullus testis (satu bukti

bukanlah bukti). Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti lain yang akan

menjadi pendukung bagi bukti yang lain. Penulis sepakat dengan putusan Majelis

Komisi yang menyatakan bahwa, Pihak Terlapor I dan Terlapor II tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan melakukan kesepakatan terkait penetapan Tarif

Handling di TPP. Karena pembuktian dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan syarat yang bersifat kumulatif.

Apabila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan bahwa suatu

perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan dalam

Pasal 5 tersebut.

Page 19: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

15

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam tulisan ini, maka

penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah

perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat menghambat pelaku usaha lain

memasuki pasar bersangkutan termasuk perjanjian Penetapan Harga.

Perjanjian ini dilarang karena dapat mengakibatkan iklim usaha menjadi tidak

kondusif dan tidak ada lagi jaminan adanya kepastian kesempatan berusaha

yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku

usaha kecil.Pelaku usaha dikatakan melakukan sebuah perjanjian baik

tertulis maupun tidak tertulis, harus dibuktikan bahwa perbuatan satu pelaku

usaha dengan pelaku usaha lain saling mengikatkan diri. Maka penggunaan

Indirect Evidence dan sebagai bukti petunjuk untuk membuktikan hal ini

merupakan cara yang sangat tepat, karena metode ini digunakan

menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga melalui analisis

komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan kesepakatan dan

analisis ekonomi yang akan menjelaskan adanya dampak kerugian yang

signifikan dari perbuatan para pelaku usaha.

2. Penetapan harga yang dilarang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 memiliki unsur-unsur yang bersifat kumulatif. Untuk menyatakan

suatu perbuatan merupakan sebuah penetapan harga yang dilarang dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus dibuktikan apakah suatu

perbuatan memenuhi unsur-unsur tersebut. PT. Artha Samudra Kontindo dan

PT. Sarana Gemilang dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

melanggar ketentuan dalam pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 berdasarkan Putusan KPPU Nomor 20/KPPU-I/2016 terkait

Penetapan Tarif Handling yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo

dan PT. Sarana Gemilang pada Kawasan Tempat Penimbunan Pabean

(TPP) KPP Bea Cukai Belawan. Karena berdasarkan pembuktian yang

dilakukan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tidak terpenuhi.

Page 20: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

16

B. Saran

1. Hendaknya KPPU melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan KPPU

Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 (Penetapan Harga)mengenai penggunaan Pembuktianindirect

evidence terhadap perjanjian penetapan harga. Karena pada dasarnya,

pembuktian perjanjian tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999. Oleh karena itu KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan KPPU

Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 namun peraturan pedoman tersebut hanya mengatur mengenai

cara membuktikan perjanjian secara tidak langsung saja.

2. Berdasarkan tugas yang diberikan kepada KPPU sesuai dengan Pasal 35

huruf (e) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa

KPPU dapat “memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan

Pemerintah”, hendaknya KPPUmemberikan saran serta merekomendasikan

kepada Direktori Jendral Bea dan Cukai untuk melakukan penghitungan tarif

handling pada Kawasan Tempat Penimbunan (TPP) Kantor Pengawasan dan

Pelayanan Bea Cukai Belawan (KPPBC Belawan).

Page 21: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

17

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Nugroho,Susanti Adi.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam tepri dan

praktik serta penerapan hukumnya. Jakarta : Kencana

Prenadamedia Group. 2014.

Lubis, AndiFahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.

Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009.

______________. Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2017.

Hansen, Knud dkk.Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Jakarta: GTZ & Katalis. 2002

Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group. 2008.

Juwana, Hikmahanto. Peran Lembaga Peradilan Dalam MenanganiPerkara

Persaingan Usaha. Jakarta: Partnertship for Business

Competition. 2003.

Margono, Suyud. Hukum Antimonopoli. Jakarta : Sinar Grafika. 2013.

Meyliana, Devi.Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap

Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha,”.

Malang : Setara Press. 2013.

Sirait,Ningrum Natasya. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya Di

Indonesia. Jakarta: ELIPS. 1999.

Page 22: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

18

_____________. Persaingan Usaha dan HukumPersaingan Usaha dan

HukumYang Mengaturnya di Indonesia.Jakarta: Partnership for

Business Competition. 2001.

_____________. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan: Pustaka

Bangsa Press. 2003.

_____________. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. Jakarta: The Indonesia

Netherlands Legal Reform Program. 2010.

_____________. Hukum Persaingan Di Indonesia UU No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.Medan: Pustaka Bangsa Press.2011.

Siswanto,Arie. Hukum Persaingan Usaha.Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.

______________. Hukum Persaingan Usaha. Ciawi : Ghalia Indonesia. 2004.

Usman,Rachmadi. 2004.Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

______________. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Banjarmasin: Sinar

Grafika. 2013.

Widjaja,Gunawan. Seri Hukum Bisnis Marger dalam Perspektif Monopoli.

Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2002

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Pengajuan Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.

3. Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara di KPPU.

4. Surat Nomor: 2640/-1.811.33 pada tanggal 4 Desember 2001 tentang

Penyesuaian Tarif Angkutan.

Page 23: PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN …

19

C. JURNAL/ARTIKEL/INTERNET

Andi Fahmi Lubis. 2013. Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel. Jurnal

Hukum Bisnis (Volume 32 No 5.)

Ningrum Natasya Sirait. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Medan: Modul Kuliah

Program Sarjana (S1).

______________2015. Paper Presentasi Proseding Seminar Universitas Pelita

Harapan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Harapan.

http://www.proweb.co.id diakses pada 16 Maret 2018.

http://www.en.m.wikipedia.org diakses pada 9 April 2018.