Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) SEBAGAI PERJANJIAN YANG
DILARANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1999TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(Studi Putusan KPPU Nomor: 2/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Price
Handling oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana
Gemilang)
JURNAL
OLEH:
TETTY MARLINA DEBORA SIHALOHO
NIM : 140200443
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
CURRICULUM VITAE
A. Data Pribadi
Nama Lengkap TETTY MARLINA DEBORA
SIHALOHO
Jenis Kelamin Perempuan
Tempat, Tanggal
Lahir Sidamanik, 29 Januari 1996
Kewarganegaraan Indonesia
Status Belum Menikah
Identitas NIK KTP. 1208096901960001
Agama Kristen Protestan
Alamat Domisili Jalan Taduan No. 116 Kel. Sidorejo
Kec. Medan Tembung
Alamat Asal Pondok Rendah Kel. Batang Terap
Kecamatan Perbaungan
No.Telp 081372994254
Email [email protected]
B. Pendidikan Formal
Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK
2001 - 2007 SD Negeri No. 091428 - -
2007 - 2010 SMP Negeri 3 Siboring-borong - -
2010 - 2013 SMA SW.YP HKBP Pematang Siantar IPA -
2014 - 2018 Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3,28
C. Data Orang Tua
Nama Ayah/Ibu : Binsar Sihaloho / Herlina Silitonga
Pekerjaan : Karyawan BUMN / Karyawan BUMN
Alamat : Pondok Rendah Kel. Batang Terap Kecamatan
Perbaungan
ABSTRAKSI
Ningrum Natasya Sirait*
Mahmul Siregar**
Tetty Marlina Debora Sihaloho***
Dalam dunia usaha, merupakan hal yang sangat umum apabila pelaku usaha melakukan kesepakatan diantara mereka. Sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur kurang adil terhadap dalih pemeliharaan persaingan yang sehat. Namun tidak semua perjanjian berakibat negatif. Tulisan ini membahas tentang penetapan harga (price fixing)sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penetapan harga yang dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan bagaimana penerapan hukum terkait Price Handling dalam Putusan KPPU No. 20/KPPU-I/2016 tentang dugaan Price Handling yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder guna memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.
Salah satu perjanjian yang dilarang adalah Penetapan harga. Pengaturan mengenai perjanjian yang dilarang ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Paktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun dalam undang-undang ini tidak mengatur jelas bagaimana cara untuk membuktikan bahwa suatu perjanjian penetapan harga tersebut telah terjadi.
Penggunaan indirect evidence sebagai bukti petunjuk dalam pembuktian terjadinya suatu perjanjian yang dilarang merupakan hal yang sangat tepat. Hal ini dikarenakan sulitnya menemukan adanya bukti langsung perjanjian antar pihak pelaku usaha. Sehingga dengan konsep indirect evidence dapat melihat bahwa pelaku usaha saling berkomunikasi dan apakah perbuatan pelaku usaha menunjukkan adanya dampak kerugian yang signifikan.
Kata kunci: Perjanjian, Perjanjian yang dilarang, Persaingan Usaha, Penetapan Harga.
P
* Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
***Mahasiswa Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
ABSTRACT
Ningrum Natasya Sirait*
Mahmul Siregar**
Tetty Marlina Debora Sihaloho***
In the business world, it is very common that business actors make an
contract between them. Now there are many contracts and business activities
that contain unfair elements to the pretense of maintaining healthy competition.
But not all agreements are negative. This paper discusses about price fixing as
illegal contract in Law No.5/1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and
Unhealthy Business Competition. The main problem in writing this thesis is how
the price fixing is prohibited based on Law no.5/1999 and how the application of
the law concerning Price Handling in Decision of KPPU no. 20 / KPPU-I / 2016
regarding the alleged Price Handling conducted by PT. Artha Samudra Kontindo
and PT. Sarana Gemilang.
The research method used is normative legal research conducted by
researching reference materials or secondary data in order to obtain the required
i.e covering primary, secondary and tertiary law material that related to the
problem. The results of the research are presented descriptively in order to
obtain an explanation of the issues discussed.
One of the Illegal contract is Price Fixing. The regulation of this prohibited
agreement is governed by Article 5 of Law No.5/1999 on the prohibition to
perform monopoly and Unhealthy Business Competition. But in this law does not
set clear how to prove that a price fixing has occurred.
The use of indirect evidence as evidence guidance in the proof of a illegal
contract is a very apropriate thing. This is due to the difficulty of finding direct
evidence of contract between business actors. So with the concept of indirect
evidence can see that business actors communicate with each other and
communicate with each other and whether business actors show significant loss
impacts.
Keywords: Contract, Illegal Contract, Business Competition, Price Fixing
____________________
* Thesis advisor of Law University of North Sumatera
** Thesis advisor of Law University of North
*** Student of Faculty of Law University of North Sumatera
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan hukum ekonomi
Indonesia dengan sendirinya harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa
perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi ekonomi
dalam wujud ekonomi kerakyatan.1
Dalam usaha mencapai tujuan tersebut maka negara Indonesia
memainkan peranan penting dalam menyusun laju perekonomian nasional.
Perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari sistem free fight
liberalism yang mengeksploitasi manusia atau dominasi perekonomian oleh
negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan melakukan pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja.2 Konsentrasi pemusatan
kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha memberikan pengaruh buruk
pada kepentingan umum masyarakat. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi
pemusatan kekuatan ekonomi yang secara langsung akan berakibat pada pasar
dan keinginan untuk bersaing.3
Persaingan usaha yang sehat akan memberi akibat positif bagi pelaku
usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan
efisensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkannya. Dengan
demikian tentu saja konsumen memperoleh manfaat dari persaingan yang sehat
itu,yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan peningkatan kualitas
produk.4
Dalam dunia usaha persaingan merupakan conditio sine qua non atau
persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar.5 Walaupun
1 Rachmadi Usman,S.H., Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia,(Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hal. 10
2 Ningrum Natasya Sirait I, Hukum Persaingan Di Indonesia UU No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2011), hal. 1-2
3Ibid., hal. 5
4 Hermansyah, Op.Cit.,hal. 10
5 Hermansyah, Op.Cit.,hal. 9
2
persaingan akan berdampak terhadap pelaku usaha yang kalah di pasar tetapi
persaingan tetap dianggap sebagai mekanisme yang tepat untuk mencapai
kesejahteraan.6Tanpa ada persaingan, tidak akan dapat diketahui apakah kinerja
yang dijalankan sudah mencapai tingkat yang optimal.7
Demikian juga akibatnya terhadap masyarakat dapat kehilangan haknya
untuk membeli suatu produk dengan harga yang bersaing dan terbatasnya
pilihan untuk mendapatkan barang dan jasa dengan kualitas terbaik, pasokan
barang yang terbatas serta pasokan barang yang kurang beraneka ragam.8
Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan
perjanjian-perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang
kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan
dalih pemeliharaan persaingan yang sehat.9 Adalah hal yang umum bahwa
pelaku usaha melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri. Perjanjian
diantara mereka tidak semuanya berakibat negatif bagi persaingan dan mungkin
saja menghasilkan keuntungan. Perjanjian dapat mengurangi resiko usaha,
menciptakan efisiensi dan mendorong inovasi, efisiensi biaya ketika melakukan
riset penelitian bersama sampai pada pengembangan jaringan distribusi.
Disamping itu, perjanjian yang bersifat horizontal diantara pelaku usaha
yang bersaing dapat saja mengakibatkan berkurangnya proses persaingan.
Perjanjian ini akan mengurangi keinginan yang inovatif, terjadinya dominasi
pasar ataupun berupaya membatasi masuknya pesaing baru. Pelaku usaha dan
pesaing dapat juga berjanji untuk membatasi produk sehingga menyebabkan
harga naik, menetapkan harga yang sama dan merugikan kepentingan
konsumendan perekonomian.10
6 Andi Fahmi Lubis II dkk, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, (Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), 2017), hal. 25
7 Ningrum Natasya Sirait II, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di
Indonesia, (Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001), hal. 7
8 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Marger dalam Perspektif Monopoli,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2002), hal. 8
9 Ibid., hal. 23
10 Ningrum Natasya Sirait III, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 21-22
3
Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ditentukan secara jelas dan terstruktur
mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan.
Ketiga hal ini memang secara substansial berpotensi atau membuka peluang
besar untuk terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
apalagi sebagian besar transaksi bisnis memang didasarkan pada perjanjian
antara pelaku usaha.11
Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau
jasa yang akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan
anti persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha
diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.12 Pasal 5 ayat (1)
melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa bagi konsumen atau jasa
bagi konsumen atau pelanggannya.
Jurnal ilmiah ini membahas mengenai perjanjian penetapan harga (price
fixing) berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dugaan penetapan harga
yang terdapat dalam Putusan KPPU Nomor 20/KPPU-I/2016 tentang Tarif
Handling yang dilakukan oleh PT.. Artha Samudra Kontindo dan PT.. Sarana
Gemilang pada Kawan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai
Belawan.
11
Hermansyah, Op.Cit.,hal. 24
12 Rachmadi, Op.Cit.,hal. 44
4
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia
Persaingan usaha adalah salah satu faktor yang penting dalam
menjalankan roda perekonomian suatu negara dan persaingan ditentukan oleh
kebijakan persaingan (competition policy). Negara memang tidak dapat berjalan
dan maju tanpa adanya dunia usaha yang berkembang secara pesat dan
efisien.13 Kebutuhan akan adanya suatu kebijakan dari suatu undang-undang
persaingan usaha menjadi faktor menentukan jalannya proses persaingan.
Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan
cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.14 Dengan ini maka Undang-
undang Antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan struktur
ekonomi yang dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang
dalam penjelasannya menyatakan bahwa “Ekonomi diatur oleh kerjasama
berdasarkan prinsip gotong royong”.15
Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 menyebutkan tujuan utama Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999, diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2) dan menjamin
sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien
(Pasal 3). Oleh karena itu, bagian pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b Undang-undang No. 5
Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan
nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada
sistem persaingan bebas dan adil dalam Pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang
13
Ahmad Yani, op.cit., hal. 1
14 Ibid., hal. 89
15 Knud Hansen, op.cit., hal. 119
5
sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha,
khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.16
Jadi tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dirinci dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pertama, untuk menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Kedua, menjaga
kepentingan umum yang merupakan tujuan di luar ekonomi, yang memberikan
rasa aman dan pasti padasemua pelaku usaha dan masyarakat di dalam
berusaha dan meningkatkan ekonomi nasional.
Dalam pelaksanaannya, pelaku usaha khususnya Komisi Pengawas
Persaingan Usaha perlu memperhatikan kedua tujuan tersebut, agar semua
pihak yang yang berkaitan dnegan pelaksanaan Undang-undang Antimonopoli
mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu meningkatkan ekonomi nasional
dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang merupakan tujuan dari Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.17
B. Perjanjian yang Dilarang Dalam UU No. 5 Tahun 1999
Bahwa untuk mencegah terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, undang-undang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian
tertentu dengan pelaku usaha lainnya.18 Apabila perjanjian-perjanjian yang
dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang
demikian diacam batal demi hukum atau dianggap tidak ada karena yang
dijadikan sebagai objek perjanjian adalah hal-hal yang dilarang oleh undang-
undang.19
Beberapa perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 sebagai berikut:20
a. Oligopoli
b. Penetapan harga
16
Ibid., hal. 117
17 Ibid., hal. 93
18 Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 23
19 Rachmadi Usman I, Op.Cit., hal. 40
20 Perjanjian yang dilarang dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999
6
c. Deskriminasi harga dan diskon Pembagian wilayah
d. Pemboikotan
e. Kartel
f. Trust
g. Oligopsoni
h. Integrasi vertikal
i. Perjanjian tertutup
j. Perjanjian dengan luar negeri
Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau
jasa yang akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan
anti persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha
diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.21
Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap
hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara langsung
menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-
perusahaan di pasar. Dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun
mendekati biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga meningkat dan lebih
efisien sehingga kesejahteraan pun akan meningkat. Namun ketika perusahaan-
perusahaan melakukan kesepakatan harga maka harga akan naik jauh diatas
produksi. Tentu kenaikan harga ini akan berpengaruh akan penurunan
kesejahteraan konsumen.22
Pada prinsipnya tujuan utama atau target yang ingin dicapai produsen
dengan cara menetapkan harga, adalah untuk menguasai atau mendominasi
pasar secara bersama sambil memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin
karena dengan menetapkan harga para produsen sadar bahwa produk mereka
dibutuhkan oleh konsumen, dan kebutuhan itu sedemikian besar serta praktis
tidak ada pesaing baru yang akan memproduksi produk tersebut dalam waktu
dekat. Dengan demikian, pada kondisi permintaan dan penawaran produk yang
tidak elastis tersebut, produsen-produsen yang terlibat dalam perjanjian
21
Rachmadi, Op.Cit.,hal. 44
22 Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap
Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha,” Setara Press, Malang 2013, hal. 46
7
penetapan harga dapat menikmati keuntungan dan dominasi pasar secara
maksimal. Keuntungan itu diperoleh dengan cara menetapkan harga jual diatas
harga pasar yang sebelumnya tidak ada terjadi perjanjian penetapan harga.23
Perjanjian penetapan harga horizontal (price fixing) diatur secara tegas
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan:
1) Pelaku usaha dilarang memuat pejanjian dengan pelaku usaha pesaing
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus
dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang
mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan
suatu harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada
pasar bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan
usaha diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.24Artinya,
perjanjian perjanjian penetapan harga bersama-sama merupakan sebuah
perilaku yang sangat terlarang dalam hukum persaingan usaha, karena
penetapan harga bersama-samaselalu menghasilkan harga yang senantiasa
berada di atas harga yang bisa dicapai melalui persaingan usaha yang sehat.25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian
terhadap larangan membuat perjanjian penetapan harga antar pelaku usaha,
sepanjang perjanjian yang diadakan tersebut tidak menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dengan pelaku usaha pesaingnya. Ketentuan dalam Pasal 5
23
Andi Fahmi Lubis II, Op.Cit., hal. 68
24 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal. 136
25 Rachmadi Usman II, Op.Cit., hal 213
8
ayat (2) menyatakan, bahwa ketentuang larangan price fixing sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku atau dikecualikan bagi:26
a Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture).
b Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku, contohnya
penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh
pemerintah.
Pembuktian adanya perjanjian diantara pelaku usaha independen yang
sedang bersaing dalam menetapkan harga atas barang dan atau jasa menjadi
hal yang sangat penting. Perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar
tersebut dilakukan secara bersama-sama. Bukti yang diperlukan adalah bukti
penetapan harga secara bersama-sama disepakati dan para pelaku usaha
mematuhi kesepakatan tersebut.27
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak mengatur tentang
bagaimana cara membuktikan adanya suatu perjanjian. Akibatnya, berkaitan
dengan perjanjian penetapan harga, apabila tidak terdapat bukti langsung,
misalnya perjanjian tertulis atau lisan maka KPPU tidak dapat menggunakan
Undang-undang ini. Maka KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan KPPU
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 (Penetapan Harga). Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai
bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence).
Bukti langsung (direct evidence) adalah bukti yang dapat diamati
(observable elemens) dan dapat menunjukkan bahwa telah terjadinya suatu
perjanjian penetapan harga atau barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha yang
bersaing. Di dalam bukti tesebut terdapat kesepakatan dan substansi dari
kesepakatan tersebut. Sedangkan bukti tidak langsung (indirect evidence)
merupakan suatu bukti yang secara tidak langsung menyatakan adanya
kesepakatan penetapan harga. Bukti tidak langsung ini dapat digunakan
26
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 142
27 Rachmadi Usman II, Op.Cit., hal. 230
9
terhadap terjadinya suatu keadaan/kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas
pemberlakuan suatu perjanjian yang tidak tertulis.28
Adapun yang termasuk bukti tidak langsung adalah:29
1. Bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan kesepakatan,
2. Bukti ekonomi yang bertujuan sebagai “upaya untuk mengeyampingkan
kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga yang bersifat
independen”.
Analisis dari aspek ekonomi penting dalam upaya mendeteksi perbuatan
prakter perjanjian yang horizontal. Dalam melakukan analisis ekonomi, ada dua
tahapan yang harus dilakukan yaitu: Analisis Struktural yang diarahkan pada
pembuktian apakah kesepakatan tersebut mungkin terjadi di pasar
bersangkutandan, Analisis Perilaku atau Perubahan yang ditujukan untuk
membuktikan apakah perilaku di pasar bersangkutan bukan perilaku bersaing.30
Terhadap pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
dapat dikenakan sanksi administratif oleh KPPU berupa pembatalan perjanjian
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a31 serta ganti rugi
bagi pihak yang dirugikan sampai pada denda antara Rp 5.000.0000.000 (lima
miliar rupiah) hingga Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima milliar rupiah) sesuai
dengan ketentuan pidana pokok pada Pasal 48 angka (2). Selain itu, pengadilan
juga dapat mengenakan pidana tambahan, diantaranya pencabutan izin usaha,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
28
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 141
29 Andi Fahmi Lubis II, Op.Cit., hal. 75
30 Andi Fahmi Lubis III, Op. Cit., hal. 391
31 Pasal 47 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: “Penetapan pembatalan
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;”
10
C. ANALISIS PRICE FIXING TERHADAP PUTUSAN KPPU PERKARA
NOMOR 20/KPPU-I/2016
1. Kasus Posisi Putusan
Pada bulan Desember 2016, Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Penetapan Tarif Handling
di Kawasan Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan yang dilakukan
oleh:
1. Terlapor I: PT. Artha Samudra Kontindo berkedudukan di Jalan Pulau Nias
Selatan Nomor 5-6, KIM Tahap II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten
Deli Serang, Sumatera Utara. Beroperasi sejak bulan Juli 2013.
2. Terlapor II: PT. Saran Gemilang berkedudukan di Gudang BGR Jalan Titi
Pahlawan Simpang Kantor Medan Marelan, Sumatera Utara, Indonesia dan
Komplek Vila Gading, Jalan Sungai Kampar I Nomor 2 Semper, Cilincing,
Jakarta Utara. Beroperasi sejak bulan Mei 2015.
Tindakan penetapan tarif handling ditempat penimbunan terkait dengan
barang yang tidak dikuasai (BTD) berupa Kontainer 20 FT, 40 FT, dan Over
Height/ Over Width/ Over Length di KPP Bea Cukai Belawan yang dilakukan oleh
PT. Artha Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang menyebabkan tidak
adanya persaingan harga atau tarif yang kompetitif di antara pelaku usaha yang
mengelola tempat penimbunan pabean di KPP Bea Cukai Belawan.
Hal ini juga mengakibatkan konsumen dalam pengguna jasa Ekspedisi
Menggunakan Kapal Laut (EMKL) pemilik barang yang masuk dalam
pengelolaan tempat penimbunan pabean di KPP Bea Cukai Belawan harus
menerima tarif yang telah ditentukan. Maka kesimpulan dan rekomendasi
berdasarkan verifikasi, klarifikasi, penelitian, analisis, dan penilaian Tim
Investigator menyimpulkan terdapat dugaan Pelanggaran Ketetuan Pasal 5 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT. Artha
Samudra Kontindo dan PT. Sarana Gemilang.
11
2. Analisis Hukum Putusan
Dalam pemenuhan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, unsur pelaku terpenuhi dan sesuai dengan yang
dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 pelaku usaha
adalah PT. Artha Samudra Kontindo/Terlapor I dan PT. Sarana
Gemilang/Terlapor II yang pada faktanya bahwa kedua pihak tersebut
merupakan pelaku usaha yang bersaing.
Dalam pemenuhan Unsur Perjanjian, bila mengacu pada Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis”. Dalam hal ini Tim Investrigator menemukan perjanjian penetapan harga,
namun Majelis Komisi menilai esensi dari pasal tersebut adalah apakah terdapat
perbuatan mengikatkan diri satu pelaku usaha atau lebih kepada pelaku usaha
lain. Maka harus dilakukan pembuktian bahwa apakah para pihak terlapor
terbukti mengikatkan diri atau tidak.
KPPU mengeluarkan kebijakan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011
tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Penetapan
Harga) yang menjelaskan mengenai bukti langsung (hard evidence) dan bukti
tidak langsung (indirectevidence/circumstantial evidence). Apabila melihat dari
defenisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam peraturan KPPU, bukti
petunjuk merupakan pengetahuan majelis Komisi yang diketahui dan diyakini
kebenarannya. Indirect Evidence merupakan suatu bukti petunjuk dalam
menangani perkara persaingan usaha. Bukti tidak langsung merupakan suatu
bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan
harga melalui bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan
kesepakatan dan bukti ekonomi.
Bukti komunikasi yang terdapat dalam persidangan bahwa kesepakatan
yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo dengan DPW ALFI/ILFA
Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang dengan DPW ALFI/ILFA Sumatera
Utara dilakukan secara terpisah dan pada waktu yang berbedaserta tidak
terdapat bukti telah terjadi atau dilakukannya pertemuan dan/atau pembahasan
komunikasi terkait tarif handling yang dilakukan oleh para terlapor baik secara
12
efektif dan/atau tidak langsung. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada
komunikasi yang dilakukan oleh para pihak terlapor.
Penekanan oleh pihak Tim Invertigator bukan pada kesepakatan bersama
tentang tarif handling TPP antara PT. Artha Samudra Kontindo dengan DWP
ALFA/ILFA Sumatera Utara dan PT. Sarana Gemilang denganDWP ALFA/ILFA
Sumatera Utara tetapi komponen tarif dan besaran yang sama antara kedua
pihak terlapor tersebut. Pada pelaksanaannya PT. Artha Samudra
Kontindo/Terlapor I menetapkan tarif handling TPP sepenuhnya sesuai dengan
tarif dalam kesepakatan. Sedangkan PT. Sarana Gemilang/Terlapor II
menetapkan tarif handling TPP untuk komponon trucking dan
storage/penyimpanan saja. Meskipun begitu PT. Sarana Gemilang/Terlapor II
tetap menggunakan kompononen yang sama dengan PT. Artha Samudra
Kontindo/Terlapor I.
Pada dasarnya, Direktori Jenderal Bea Cukai tidak ada menetapkan
aturan terkait tarif di TPP, maka penetapan tarif diserahkan kepada pengelola
TPP. Oleh karena itu, terdapat persamaan penetapan harga antara pihak
Terlapor I dan Terlapor I karena melakukan kerja sama dengan pengguna jasa
yang sama yaitu PT. ALFI/ILFA Sumatera Utara.Bukti ekonomi yang terdapat
dalam fakta persidangan bahwa pihak Terlapor II tidak sepenuhnya menerapkan
tarif yang telah ditetapkan. Dengan adanya perbedaan besaran tarif pada
komponen tarif handling yang diterapkan dan/atau digunakan oleh PT. Sarana
Gemilang/Terlapor II menunjukkan bahwa isi kesepakatan dimaksud tidak
secara efektif sepenuhnya dilaksanakan oleh seluruh pihak yang membuat
kesepakatan.
Bahwa dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
terdapat kata “mengikatkan diri”, artinya saling mengikatkan diri sehingga jika
ada perjanjian yang telah dilakukan kemudian diikuti oleh orang/pihak lain, maka
hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan aktif saling mengikatkan diri.
Pada faktanya, besaran tarif pada komponen tarif handling yang diterapkan
dan/atau digunakan oleh PT. Sarana Gemilang/Terlapor II menunjukkan bahwa
isi kesepakatan dimaksud tidak secara efektif sepenuhnya dilaksanakan,
sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kedua pihak terlapor saling mengikatkan
diri.
13
Dalam pemenuhan unsur pasar bersangkutan berdasarkan Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199932 menekankan pada konteks
horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Menurut
pasal ini cakupan pengertian pasar bersangkutan meliputi 2 (dua) perspektif,
yaitu pasar berdasarkan produk33 dan pasar berdasarkan geografis34. Produk
market di dalam objek perkara a quo merupakan Barang yang Dinyatakan Tidak
Dikuasai yaitu barang yang tidak dikeluarkan dari jangka waktu 30 (tiga puluh
hari) hari sejak penimbunan. Cakupan geografis dalam perkara a quo adalah
Kawasan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan.
Dalam dunia persaingan usaha, sangat sulit untuk menemukan perjanjian
tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar bersangkutan. Maka
untuk membuktikanya, Komisi harus lebih bekerja keras dalam memutus sebuah
perkara persaingan usaha. Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara, menyatakan bahwa indirect evidence merupakan
suatu bukti petunjuk dalam membuktikan perkara persaingan usaha. Pada
prakteknya, indirect evidence ini dijadikan cara utama untuk membuktikan
terjadinya perjanjian yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat dalam putusam
KPPU yang sering sekali menggunakan metode indirect evidence.
Pembuktian secara indirect evidence tentu menjadi perdebatan hakim
dalam hal pembuktian, dikarenakan metode ini digunakan untuk membuktikan
perjanjian yang tidak tertulis. Sementara hakim hanya berpatokan pada alat bukti
yang ditentukan oleh hukum acara perdata, dimana dalam perdata dikatakan
perjanjian yang mempunyai kekuatan yang mengikat adalah perjanjian yang
tertulis. Namun untuk membuktikan bahwa telah terjadinya kolusi dalam
persaingan usaha, penggunaan metode pembuktian ini sangatlah tepat. Hal ini
32
Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999: “ Pasar bersangkutan adalah pasar yang
berkaitan dengan jangkauan daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan jasa
yang sama atau sejenis atau substitusi dari batang dan atau jasa tersebut.
33 Ningrum Natasya Sirait, Paper Presentasi Proseding Seminar Universitas Pelita
Harapan, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Harapan, 2015) menyatakan “Pasar berdasarkan
produk sebagai produk pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bias
menjadi subtitusi dari produk tersebut. Produk lain menjadi subtitusi sebuah produk jika
keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang kenaikan harga dari produk tersebut”.
34Ibid., menyatakan “Pasar berdasarkan geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku
usaha dapat meningkatkan hargnya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru atau tanpa
kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku usaha lain di luar wilayah
tersebut”.
14
dikarena Komisi dapat membuktikan perjanjian yang tidak tertulis melalui bukti
komunikasi yangmungkin dilakukan diam-diam oleh para pelaku usaha.
Di indonesia juga dikenal asas unus testis nullus testis (satu bukti
bukanlah bukti). Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti lain yang akan
menjadi pendukung bagi bukti yang lain. Penulis sepakat dengan putusan Majelis
Komisi yang menyatakan bahwa, Pihak Terlapor I dan Terlapor II tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan kesepakatan terkait penetapan Tarif
Handling di TPP. Karena pembuktian dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan syarat yang bersifat kumulatif.
Apabila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan bahwa suatu
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan dalam
Pasal 5 tersebut.
15
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam tulisan ini, maka
penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sehingga dapat menghambat pelaku usaha lain
memasuki pasar bersangkutan termasuk perjanjian Penetapan Harga.
Perjanjian ini dilarang karena dapat mengakibatkan iklim usaha menjadi tidak
kondusif dan tidak ada lagi jaminan adanya kepastian kesempatan berusaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku
usaha kecil.Pelaku usaha dikatakan melakukan sebuah perjanjian baik
tertulis maupun tidak tertulis, harus dibuktikan bahwa perbuatan satu pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain saling mengikatkan diri. Maka penggunaan
Indirect Evidence dan sebagai bukti petunjuk untuk membuktikan hal ini
merupakan cara yang sangat tepat, karena metode ini digunakan
menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga melalui analisis
komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan kesepakatan dan
analisis ekonomi yang akan menjelaskan adanya dampak kerugian yang
signifikan dari perbuatan para pelaku usaha.
2. Penetapan harga yang dilarang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 memiliki unsur-unsur yang bersifat kumulatif. Untuk menyatakan
suatu perbuatan merupakan sebuah penetapan harga yang dilarang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 harus dibuktikan apakah suatu
perbuatan memenuhi unsur-unsur tersebut. PT. Artha Samudra Kontindo dan
PT. Sarana Gemilang dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar ketentuan dalam pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 berdasarkan Putusan KPPU Nomor 20/KPPU-I/2016 terkait
Penetapan Tarif Handling yang dilakukan oleh PT. Artha Samudra Kontindo
dan PT. Sarana Gemilang pada Kawasan Tempat Penimbunan Pabean
(TPP) KPP Bea Cukai Belawan. Karena berdasarkan pembuktian yang
dilakukan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tidak terpenuhi.
16
B. Saran
1. Hendaknya KPPU melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan KPPU
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 (Penetapan Harga)mengenai penggunaan Pembuktianindirect
evidence terhadap perjanjian penetapan harga. Karena pada dasarnya,
pembuktian perjanjian tidak diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Oleh karena itu KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan KPPU
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 namun peraturan pedoman tersebut hanya mengatur mengenai
cara membuktikan perjanjian secara tidak langsung saja.
2. Berdasarkan tugas yang diberikan kepada KPPU sesuai dengan Pasal 35
huruf (e) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
KPPU dapat “memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
Pemerintah”, hendaknya KPPUmemberikan saran serta merekomendasikan
kepada Direktori Jendral Bea dan Cukai untuk melakukan penghitungan tarif
handling pada Kawasan Tempat Penimbunan (TPP) Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea Cukai Belawan (KPPBC Belawan).
17
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Nugroho,Susanti Adi.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam tepri dan
praktik serta penerapan hukumnya. Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group. 2014.
Lubis, AndiFahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009.
______________. Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2017.
Hansen, Knud dkk.Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Jakarta: GTZ & Katalis. 2002
Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Juwana, Hikmahanto. Peran Lembaga Peradilan Dalam MenanganiPerkara
Persaingan Usaha. Jakarta: Partnertship for Business
Competition. 2003.
Margono, Suyud. Hukum Antimonopoli. Jakarta : Sinar Grafika. 2013.
Meyliana, Devi.Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap
Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha,”.
Malang : Setara Press. 2013.
Sirait,Ningrum Natasya. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya Di
Indonesia. Jakarta: ELIPS. 1999.
18
_____________. Persaingan Usaha dan HukumPersaingan Usaha dan
HukumYang Mengaturnya di Indonesia.Jakarta: Partnership for
Business Competition. 2001.
_____________. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan: Pustaka
Bangsa Press. 2003.
_____________. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. Jakarta: The Indonesia
Netherlands Legal Reform Program. 2010.
_____________. Hukum Persaingan Di Indonesia UU No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.Medan: Pustaka Bangsa Press.2011.
Siswanto,Arie. Hukum Persaingan Usaha.Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
______________. Hukum Persaingan Usaha. Ciawi : Ghalia Indonesia. 2004.
Usman,Rachmadi. 2004.Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
______________. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Banjarmasin: Sinar
Grafika. 2013.
Widjaja,Gunawan. Seri Hukum Bisnis Marger dalam Perspektif Monopoli.
Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2002
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU.
3. Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara di KPPU.
4. Surat Nomor: 2640/-1.811.33 pada tanggal 4 Desember 2001 tentang
Penyesuaian Tarif Angkutan.
19
C. JURNAL/ARTIKEL/INTERNET
Andi Fahmi Lubis. 2013. Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel. Jurnal
Hukum Bisnis (Volume 32 No 5.)
Ningrum Natasya Sirait. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Medan: Modul Kuliah
Program Sarjana (S1).
______________2015. Paper Presentasi Proseding Seminar Universitas Pelita
Harapan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Harapan.
http://www.proweb.co.id diakses pada 16 Maret 2018.
http://www.en.m.wikipedia.org diakses pada 9 April 2018.