31
PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR KOMITMEN PRESIDEN JOKO WIDODO DALAM MEREKOGNISI EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA Anggalih Bayu Muh. Kamim**, Muhammad Fawwaz Rifasya**, ** Departemen Politik & Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. E-mail: [email protected] ** Departemen Politik & Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. E-mail: [email protected] Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 mengamanatkan wilayah kawasan hutan menjadi dua bagian, yakni hutan hak dan hutan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mulai dilaksanakan pada masa Joko Widodo mulai menjabat pada tahun 2014. Joko Widodo melalui janji politiknya berusaha mengakui eksistensi hutan adat lewat pelaksanaan kebijakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Akan tetapi, sampai dengan berakhirnya masa jabatan Joko Widodo pada tahun 2019, realisasi pengakuan hutan adat cenderung stagnan. Bahkan, pasca terpilihnya kembali Joko Widodo pada tahun 2019, perencanaan pembangunan yang terkait dengan pelaksanaan hutan adat semakin berkurang. Kajian ini ingin melihat proses perubahan kebijakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 pasca pemilu tahun 2014 dan 2019 yang akan memperlihatkan tarik-menarik kepentingan koalisi penguasa di lingkaran Joko Widodo dengan koalisi masyarakat sipil yang fokus pada pengawalan masyarakat hukum adat. Kajian ini adalah desk study yang dilakukan dengan menelusuri artikel jurnal, dokumen pemerintahan, laporan berbagai organisasi masyarakat sipil yang terkait dengan pengawalan isu masyarakat adat. Analisis data dilakukan melalui tahapan reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa komitmen kepemimpinan Joko Widodo untuk melaksanakan kebijakan pengakuan atas hutan adat stagnan baik pasca pemilu tahun 2014 dan 2019 akibat koalisi penguasa cenderung mendominasi proses perubahan kebijakan. Pengakuan terhadap hutan adat terhambat dengan koalisi penguasa lingkaran Joko Widodo yang juga terkait dengan kepentingan ekonomi yang meminggirkan pengakuan hutan adat.

PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR KOMITMEN

PRESIDEN JOKO WIDODO DALAM MEREKOGNISI EKSISTENSI MASYARAKAT

HUKUM ADAT DI INDONESIA

Anggalih Bayu Muh. Kamim**, Muhammad Fawwaz Rifasya**,

** Departemen Politik & Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Gadjah

Mada.

E-mail: [email protected]

** Departemen Politik & Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Gadjah

Mada.

E-mail: [email protected]

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 mengamanatkan wilayah kawasan

hutan menjadi dua bagian, yakni hutan hak dan hutan negara. Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut mulai dilaksanakan pada masa Joko Widodo mulai menjabat pada tahun 2014. Joko

Widodo melalui janji politiknya berusaha mengakui eksistensi hutan adat lewat pelaksanaan

kebijakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Akan tetapi, sampai dengan

berakhirnya masa jabatan Joko Widodo pada tahun 2019, realisasi pengakuan hutan adat

cenderung stagnan. Bahkan, pasca terpilihnya kembali Joko Widodo pada tahun 2019,

perencanaan pembangunan yang terkait dengan pelaksanaan hutan adat semakin berkurang. Kajian

ini ingin melihat proses perubahan kebijakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35 Tahun 2012 pasca pemilu tahun 2014 dan 2019 yang akan memperlihatkan tarik-menarik

kepentingan koalisi penguasa di lingkaran Joko Widodo dengan koalisi masyarakat sipil yang

fokus pada pengawalan masyarakat hukum adat. Kajian ini adalah desk study yang dilakukan

dengan menelusuri artikel jurnal, dokumen pemerintahan, laporan berbagai organisasi masyarakat

sipil yang terkait dengan pengawalan isu masyarakat adat. Analisis data dilakukan melalui tahapan

reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan

bahwa komitmen kepemimpinan Joko Widodo untuk melaksanakan kebijakan pengakuan atas

hutan adat stagnan baik pasca pemilu tahun 2014 dan 2019 akibat koalisi penguasa cenderung

mendominasi proses perubahan kebijakan. Pengakuan terhadap hutan adat terhambat dengan

koalisi penguasa lingkaran Joko Widodo yang juga terkait dengan kepentingan ekonomi yang

meminggirkan pengakuan hutan adat.

Page 2: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Keywords: Hutan Adat, Perubahan Kebijakan, Koalisi Penguasa.

Abstract

Decision of the Constitutional Court No. 35 of 2012 mandates the area of forest areas into

two parts, namely "private forest" and state forest. The Constitutional Court's decision was

implemented when Joko Widodo took office in 2014. Joko Widodo through his political pledge

sought to recognize exist customary forests through implement the Constitutional Court's Decision

Number 35 of 2012. However, until the end of Joko Widodo's term in 2019 , realize recognition of

customary forests tends to be stagnant. In fact, after the re-election of Joko Widodo in 2019,

development planning related to implement customary forests has diminished. This study wants to

see the process of policy changes implement the Constitutional Court Decree No. 35 of 2012 after

the 2014 and 2019 elections that will show attract the interests of the ruling coalition in Joko

Widodo's circle with a civil society coalition that focuses on escorting the customary law

community. This study is a desk study carried out by tracing journal articles, government

documents, reports of various civil society organizations related to escorting indigenous issues.

Data analysis was carried out through the stages of data reduction, data presentation, verification

and conclusion drawing. The results showed that Joko Widodo's leadership commitment to carry

out a policy of recognition of customary forests was stagnant both after the 2014 elections and

2019 due to the ruling coalition tending to dominate the process of policy change. Recognition of

customary forests is hampered by a coalition of ruling circles Joko Widodo which is also linked to

economic interests that marginalize the recognition of customary forests.

Keywords: customary forests, policy changes, the ruling coalition.

PENDAHULUAN

Kajian ini akan mendalami terkait perubahan kebijakan dalam subsistem yang ada dalam

kebijakan pengakuan hutan adat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 pada

periode pertama Presiden Joko Widodo dan melihat policy changes yang terjadi pasca pemilu

2019. Pendalaman terhadap subsistem kebijakan dalam pengakuan hutan adat menarik untuk

melihat bagaimana tarik menarik kepentingan antara koalisi masyarakat dan koalisi penguasa

memanfaatkan seperangkat sumber daya dan sistem kepercayaannya untuk memastikan policy

changes yang terjadi menguntungkan pihaknya.

Page 3: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Perubahan kebijakan pasca pelaksanaan Putusan MK 35/2012 dalam pengakuan hutan adat

selama masa Presiden Joko Widodo pada periode 2014-2019 dan pasca pemilu 2019 menjadi titik

tolak yang menarik untuk melihat tarik menarik antar koalisi dalam subsistem kebijakan terjadi,

sehingga mungkin hanya akan menguntungkan koalisi penguasa. Pendalaman terhadap perubahan

kebijakan pengakuan hutan adat pada masa periode pertama kekuasaan dan setelah terpilihnya

kembali Presiden Joko Widodo dalam pemilu 2019 dilakukan untuk menggali bagaimana koalisi

penguasa telah menyebabkan rekognisi atas wilayah ulayat terhambat dan menghadapi banyak

masalah.

Pengakuan atas hutan adat sendiri dilakukan sebagai bentuk perjuangan dari koalisi

masyarakat untuk mendorong perubahan kebijakan yang ditandai dengan keluarnya Putusan MK

No 35 Tahun 2012. Koalisi masyarakat mendorong uji materi terhadap pengujian UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan disebabkan telah menyebabkan komunitas adat kehilangan

wilayahnya akibat penyerobotan lahan oleh negara untuk pemberian konsesi perkebunan dan

pertambangan (Bisariyadi, Wijayanti, Ayu, & Putri, 2015). Putusan MK No 35 tahun 2012

memang tidak mengabulkan semua tuntutan koalisi masyarakat, tetapi setidaknya langkah yang

dilakukan telah mendorong adanya perubahan kebijakan. Putusan MK tersebut telah

mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan memperkuat tanggungjawab pemerintah dan

pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat (Bisariyadi et al., 2015).

Pasca Putusan MK No 35 Tahun 2012, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mengeluarkan beberapa kebijakan yang mendukung proses pengakuan hutan adat. Pemerintahan

SBY mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut--‐II/2013 yang diterbitkan

tepat dua bulan setelah Putusan MK 35, surat edaran ini ditujukan kepada gubernur,

bupati/walikota dan kepada Dinas yang membidangan urusan kehutanan. Akan tetapi, menurut

surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat

Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti

rugi oleh Masyarakat Hukum Adat (Bisariyadi et al., 2015).

Surat edaran tersebut mengatur pengakuan hutan adat harus ditetapkan oleh Menteri

Kehutanan, dengan syarat keberadaan masyarakat hukum adat terlebih dahulu ditetapkan melalui

peraturan daerah provinsi. Surat edaran tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam

Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa

perda pengakuan hak ulayat adalah perda kabupaten. Keluarnya surat edaran pada tahun 2013

Page 4: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

tersebut menjadi konsekuensi dari ditolaknya uji materi atas Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan (Bisariyadi et al., 2015).

Peraturan berikutnya yang diterbitkan pada masa pemerintahan SBY adalah Peraturan

Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut--‐II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.44/Menhut--‐ Ii/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini

secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK 35 (Bisariyadi et al., 2015).

Masyarakat hukum adat didefinisikan oleh Permenhut tersebut sebagai “ Sekelompok orang yang

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.” Sedangkan, Wilayah Masyarakat hukum

adat adalah “ Tempat berlangsungnya hidup dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat hukum

adat yang bersangkutan yang letak dan batasnya jelas serta dikukuhkan dengan Peraturan

Daerah.” Koalisi masyarakat mempermasalahkan pula Permenhut yang dibuat pada masa SBY.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Permenhut tersebut telah menihilkan status

masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum (Bisariyadi et al., 2015).

Selain Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri

Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat

Hukum Adat. Surat edaran tersebut mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat. Tanah adat

dimaknai sebagai tanah ulayat, yakni “ Sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat

dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun

kesultanan (Sultan Ground). Menurut, dimasukkannya tanah kerajaan sebagai bentuk tanah ulayat

akan memberikan implikasi serius. Upaya penghidupan kembali status tanah swapraja telah

mencederai substansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

(Bisariyadi et al., 2015).

Di penghujung masa pemerintahan SBY dikeluarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

tentang Desa. Undang-undang tersebut memberi ruang terhadap pengakuan desa adat berdasarkan

genealogi dan teritorial. Peraturan terakhir yang dibuat dalam kepemimpinan SBY terkait dengan

hutan adat adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri

Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata

Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan (Bisariyadi et al.,

2015). Peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan

penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan di daerah, Bupati/Walikota membentuk

Page 5: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Unsur Dinas

Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan

Hutan, Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, Camat

dan Lurah setempat (Bisariyadi et al., 2015).

Pemilu tahun 2014 mendorong koalisi masyarakat yang mengawal pelaksanaan Putusan MK

35/2012 untuk membangun kontrak politik dengan calon Presiden Joko Widodo- Jusuf Kalla.

AMAN mendorong Joko Widodo untuk memasukkan pengesahan RUU Masyarakat Adat,

kebijakan turunan Putusan MK 35/2012 dan berbagai janji politik terkait dengan pengakuan hutan

adat dalam Nawa Cita. Setelah terpilih, Presiden Joko Widodo juga menjadikan proses sertifikasi

lahan, pengakuan hutan adat & desa adat dan RUU Masyarakat Adat sebagai bagian penting dari

Rencana Pembangunan Menengah (Diana, Elisabeth, & Arumingtyas, 2018).

Akan tetapi, kenyataannya janji politik yang dibuat dengan koalisi masyarakat tidak

mendorong adanya perubahan kebijakan yang mempercepat pengakuan hutan adat. Dari 9,3 juta

hektar peta partisipatif sampai dengan Maret tahun 2018 baru sebanyak 24.378, 84 hektar hutan

adat. Stagnasi pemerintahan Joko Widodo dalam periode pertama untuk pelaksanaan Putusan MK

35/2012 terganjal koalisi penguasa dan lingkarannya yang menghambat adanya rekognisi wilayah

ulayat (Diana et al., 2018). Belum disahkannya RUU Masyarakat adat yang terganjal koalisi

penguasa yang menghambat perubahan kebijakan memunculkan permasalahan tersendiri.

Bahkan bagian dari koalisi masyarakat justru mengkritik langkah sertifikasi lahan yang

diusung oleh Presiden Joko Widodo yang dianggap memperparah kondisi tanah adat. Program

sertifikasi lahan di Papua misalnya dikritik disebabkan terjadi tanpa konsultasi dengan masyarakat

adat. Penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) dilakukan secara sepihak tanpa menghormati

hak-hak masyarakat adat, termasuk mengabaikan konflik agraria yang belum terselesaikan. Selain

itu, tanah-tanah yang didaftarkan dan dilegalisasikan melalui BPN di daerah, terindikasi memiliki

konflik-konflik penguasaan dan pemilikan, terutama obyek tanah di program nasional transmigrasi

dan sawah baru. Program sertifikasi lahan justru dikhawatirkan akan merubah tanah komunal

menjadi property right bagi individu atau bahkan badan usaha tertentu (Diana et al., 2018).

Kurang didengarnya koalisi masyarakat dalam pengakuan hutan adat semasa periode

pertama Presiden Joko Widodo menyebabkan AMAN mengungkapkan kekecewaan pada

pemerintahan. AMAN mencatat beberapa poin penting yang menjelaskan bahwa periode pertama

pemerintahan Joko Widodo kurang memihak dengan proses pengakuan hutan adat, yakni:

Page 6: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Pertama, berbagai kasus pelanggaran HAM masih dialami oleh masyarakat adat. Sampai

dengan tahun 2018, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat 262 orang bagian

komunitas adat telah dikriminalisasi (Siringoringo, 2018).

Kedua, target pemerintah mempercepat penetapan status hutan adat sesuai mandat Putusan

MK 35/2012 belum tercapai pemerintahan ini dalam komitmen menargetkan penetapan hutan

kelola masyarakat termasuk hutan adat seluas 12,6 juta hektar. Sayangnya, realisasinya hingga

tahun 2018 baru mencapai 27.000–an hektar.

Ketiga, belum ada desa adat yang ditetapkan pemerintah pusat. Dari 133 desa adat yang telah

diakui eksistensinya melalui produk hukum daerah, belum ada satupun mendapatkan registrasi dan

kode desa dari Kementerian Dalam Negeri. Hal tersebut terjadi disebabkan adanya umpang tindih

fungsi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa. Selain itu, Kementerian Desa

juga tak memiliki nomenklatur dalam pengaturan desa adat secara jelas hingga terjadi kemandulan

dalam mengimplementasikan UU Desa Nomor 6/2014.

Keempat, peraturan perundang-undangan soal masyarakat adat masih tumpang tindih dan

saling menyandera. Regulasi yang ada belum menjawab kebutuhan bahkan menjadi penyebab

utama pengabaian dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Kementerian Kelautan dan Perikanan

(KKP) misalnya mengeluarkan Permen Nomor 8/2018 tentang pedoman pengakuan Masyarakat

Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara substantif sama dengan Permendagri

52/2014 (Siringoringo, 2018).

Pemilu 2019 menjadi momentum bagi koalisi masyarakat yang berkepentingan terhadap

pelaksanaan Putusan MK 35/2012 dengan tidak menunjukan dukungan pada salah satu calon

presiden dan wakil presiden. Koalisi masyarakat berpandangan bahwa siapa pun pemenang pemilu

2019 yang diuntungkan hanyalah pihak koalisi penguasa. Pemilu tahun 2019 memberikan

kemenangan kepada Joko Widodo yang membuatnya fokus untuk mengembangkan investasi

dalam skla besar. Pasca pemilu, Joko Widodo membacakan pidato pemenangannya di Sentul,

Bogor pada 14 Juli 2019 yang berisikan dorongan untuk memperkuat iklim investasi.

Koalisi masyarakat sangat menyayangkan pidato yang menunjukan arah kepemimpinan

Joko Widodo lima tahun mendatang yang meminggirkan isu masyarakat adat dan pelestarian

lingkungan. Keberpihakan pemerintahan terpilih dalam meningkatkan capaian investasi

menunjukan seberapa kuat tarik menarik kepentingan yang memenangkan koalisi penguasa dalam

perubahan kebijakan. Kajian ini akan lebih jauh menggali perubahan kebijakan melalui tarik-

Page 7: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

menarik kepentingan antar koalisi. Kajian ini dilakukan melalui kerangka advocacy coalition

framework yang akan menunjukan bagaimana policy changes dalam pelaksanaan Putusan MK

35/2012 semasa masa pemerintahan Joko Widodo dan pasca terpilihnya kembali menunjukan

problem serius dalam pengakuan hutan adat.

KERANGKA TEORI

Kajian ini dibingkai dengan kerangka advocacy coalition framework yang dibuat oleh

Paul A. Sabatier dan Jenkins-Smith pada tahun 1988 untuk menjelaskan proses perubahan

kebijakan sebagai konflik atas masalah kebijakan. ACF secara umum mengasumsikan bahwa para

aktor tertarik pada diri sendiri dan rasionalitas untuk mempengaruhi perubahan kebijakan dengan

meminjam beberapa asumsi dari psikologi sosial (Weible & Sabatier, 2005). Aktor dalam koalisi

kebijakan akan menimbang kerugian dan keuntungan sebagai sistem kepercayaan untuk

menyaring persepsi, dan terlalu menekankan pengaruh dan persaingan dengan koalisi yang lain.

Semua ini dilakukan untuk memperkuat kohesi kelompok dan bersikap antipati terhadap

kepentingan koalisi lain (Weible & Sabatier, 2005).

Sistem kepercayaan tiap koalisi berpusat pada keyakinan inti kebijakan yang bersifat

normatif berdasar persepsi atas nilai dan masalah pada seputar subsistem kebijakan. Sabatier dan

Jenkins-Smith (1999) mendefinisikan 11 komponen keyakinan inti kebijakan mulai dari

keseriusan dan penyebab masalah pada instrumen dan tingkat kebijakan yang disukai oleh

pemerintah. Keyakinan inti kebijakan berfungsi sebagai filter persepsi utama bagi para pelaku

dalam suatu subsistem kebijakan untuk menentukan sekutu dan lawan mereka, sumber potensial

dari koordinasi, dan juga akan berguna bagi pemberian saran/informasi (Weible & Sabatier, 2005).

Dengan kata lain, ACF meramalkan bahwa keyakinan inti kebijakan akan menyusun

pilihan aktor atas interaksi jaringan dan interaksi ini akan terjadi terutama dengan aktor lain yang

serupa keyakinan inti kebijakannya dalam koalisi kebijakan. Bahkan, ACF mendefinisikan koalisi

kebijakan sebagai seperangkat aktor dalam subsistem kebijakan dari berbagai institusi mereka

yang (a) memiliki keyakinan inti kebijakan yang sama dan (b) terlibat dalam suatu tingkat

koordinasi tindakan bersama yang dilakukan untuk menerjemahkan keyakinan tersebut ke dalam

kebijakan publik (Weible & Sabatier, 2005). ACF memperkirakan bahwa apabila masalah

kebijakan yang kontroversial muncul, maka suatu subsistem kebijakan akan memiliki dua atau

Page 8: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

lebih koalisi yang komposisinya akan tetap stabil dari waktu ke waktu disebabkan adanya tekanan

terhadap pentingnya loyalitas dalam ekspresi in-group & out-group feeling.

ACF berusaha mensintesiskan fitur-fitur terbaik dari pendekatan top down dan bottom up

untuk menjelaskan proses perubahan kebijakan yang diusung oleh berbagai koalisi. ACF

setidaknya memiliki empat premis dasar. Pertama, memahami proses perubahan kebijakan dan

peran pembelajaran di dalamnya membutuhkan perspektif waktu satu dekade atau lebih. Kedua,

cara paling berguna untuk memikirkan perubahan kebijakan dalam rentang waktu tertentu adalah

melalui fokus pada subsistem kebijakan, yaitu interaksi antaraktor dari berbagai lembaga yang

mengikuti, dan berusaha untuk mempengaruhi, keputusan pemerintah di berbagai lini kebijakan

(H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Ketiga, subsistem harus termasuk dimensi antarinstitusi publik, setidaknya untuk

kebijakan dalam negeri. Keempat, kebijakan atau program publik dapat dikonseptualisasikan

dengan cara yang sama sebagai sistem kepercayaan, yaitu sebagai daftar prioritas nilai dan asumsi

tentang bagaimana mewujudkan perubahan. Fokus pada rentang waktu satu dekade atau lebih

datang langsung dari temuan tentang fungsi pembelajaran subsistem kebijakan. Konsepsi tentang

subsistem kebijakan harus diperluas tidak terbatas pada birokrasi, parlemen, dan kelompok-

kelompok kepentingan di satu tingkat pemerintahan, perlu dimasukkan pula para pelaku di

berbagai tingkat pemerintahan, serta jurnalis, peneliti, dan analis kebijakan yang memainkan peran

penting dalam evaluasi gagasan pada kebijakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Subsistem kebijakan biasanya melibatkan aktor dari semua tingkatan pemerintahan.

Pendalaman terhadap perubahan kebijakan di tingkat nasional mungkin akan sedikit menyesatkan.

Inovasi kebijakan dapat terjadi pertama kali di tingkat daerah dan kemudian berkembang menjadi

program nasional; bahkan setelah intervensi nasional, inisiatif daerah biasanya berlanjut.

Kebijakan/program publik perlu dipahami pula dengan menggabungkan pemahaman mengenai

bagaimana mencapai tujuan tiap koalisi dalam subsistem kebijakan bisa dikonseptualisasikan

dalam banyak cara yang sama seperti sistem kepercayaan. Mereka terlibat penyusunan prioritas,

persepsi atas besaran masalah, dan persepsi mengenai seberapa jauh instrumen kebijakan yang ada

akan menyelesaikannya, dan lain-lain (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Pemetaan terhadap

keyakinan dan kebijakan menjadi penting untuk melakukan penilaian atas peran informasi teknis

dan sistem kepercayaan pada perubahan kebijakan.

Page 9: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Peta sistem kepercayaan dalam ACF dapat dibagi menjadi suatu kerangka kerja. Faktor

eksternal berupa kondisi yang relatif stabil dan lainnya keadaan dinamis yang mempengaruhi atau

memberikan kendala dan peluang terhadap koalisi dalam subsistem kebijakan. Kondisi relatif

stabil itu seperti keadaan geografis, nilai-nilai yang sudah lama tertanam kuat, konstitusi, dan

budaya. Kondisi yang dinamis dalam ACF tersebut misalnya perubahan sosial-ekonomi, opini

publik dan keadaan pemerintahan yang menyediakan beberapa sumber utama perubahan kebijakan

(H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Di dalam subsistem, ACF mengasumsikan bahwa aktor

dapat masuk ke sejumlah koalisi advokasi yang terdiri dari orang-orang dari berbagai organisasi

pemerintah dan swasta yang memiliki berbagai kepercayaan normatif dan kausal dan sering

bertindak bersama.

Sistem kepercayaan berbagai koalisi diorganisasikan ke dalam hirarki yang

mengambarkan suatu keyakinan dengan tingkat yang lebih tinggi membatasi keyakinan yang lebih

spesifik. Pada level tertinggi, keyakinan inti merupakan sistem kepercayaan bersama mencakup

aspek ontologis dan keyakinan secara normatif, seperti sifat yang dirasakan manusia atau nilai

kebebasan individu atau kesetaraan sosial yang beroperasi hampir lintas hampir semua domain

kebijakan.

Pada tingkat berikutnya adalah kepercayaan 'inti kebijakan' yang mewakili komitmen

normatif dasar koalisi dan persepsi dominan di seluruh subsistem kebijakan. Mereka termasuk

nilai-nilai seperti kepentingan pembangunan ekonomi vs. perlindungan lingkungan (H. C. Jenkins-

Smith & Sabatier, 1994).

Keyakinan inti akan menjadi penyebab utama dan strategi untuk mewujudkan nilai inti

dalam subsistem kebijakan, seperti pembagian wewenang yang tepat antara pemerintah dan pasar,

tingkat pemerintahan yang paling cocok untuk berurusan dengan masalah, dan instrumen

kebijakan dasar yang akan digunakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Akhirnya, aspek

sekunder dari sistem kepercayaan koalisi dalam suatu subsistem kebijakan secara spesifik yang

terdiri dari sejumlah besar keyakinan sempit tentang keseriusan dalam menyelesaikan masalah

atau kepentingan relatif dari berbagai kondisi yang bersifat sebab akibat seperti karakteristik di

lokasi tertentu, preferensi kebijakan terkait peraturan yang diinginkan, alokasi anggaran, desain

lembaga tertentu, dan evaluasi kinerja berbagai aktor.

Keyakinan inti kebijakan koalisi dalam subsistem kebijakan kurang begitu kuat dipegang

biasanya. Sementara, beberapa proses perubahan kebijakan hampir tidak ada dan karenanya sangat

Page 10: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

sulit untuk dimodifikasi. Sebagian besar koalisi advokasi pada dasarnya melibatkan elemen

empiris yang dapat berubah selama periode waktu dengan bertahap. Keyakinan sekunder dapat

diasumsikan lebih mudah disesuaikan dalam kondisi terbaru yang menyebabkan perlu ada

perubahan strategi dalam mendorong perubahan kebijakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier,

1994).

Pada titik waktu tertentu, setiap koalisi mengadopsi strategi atau strategi yang melibatkan

penggunaan instrumen pedoman (perubahan dalam aturan, anggaran, personel, atau informasi)

untuk mencoba mengubah perilaku satu atau lebih lembaga pemerintah untuk membuat mereka

lebih konsisten dengan tujuan kebijakannya. Strategi yang saling bertentangan dari berbagai

koalisi biasanya dimediasi oleh aktor ketiga yang disebut broker kebijakan. Mereka berperan untuk

menemukan beberapa kompromi yang masuk akal yang akan mengurangi konflik yang intens (H.

C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Di mana, hasil akhirnya adalah satu atau lebih program

pemerintah yang pada gilirannya menjadi keluaran kebijakan. Output ini dimediasi oleh faktor

lainnya untuk menghasilkan berbagai dampak pada masalah yang akan diselesaikan dan

memperkirakan efek sampingnya.

Atas dasar persepsi keputusan dan dampak yang dihasilkannya serta informasi baru,

setiap koalisi advokasi dapat merevisi sistem kepercayaan terutama dalam aspek sekunder dan/

atau mengubah strateginya. Jalan terakhir mungkin melibatkan mencari penyelesaian secara

institusional atau bahkan keluar dari subsistem untuk mencari perubahan dalam koalisi pemilihan

yang berada pada kondisi dominan. Kerangka kerja mengasumsikan bahwa pembelajaran akan

dilaksanakan secara instrumental, yaitu bahwa anggota dari berbagai koalisi berusaha untuk

memahami lebih baik dunia untuk memajukan tujuan kebijakan mereka. Mereka akan menolak

informasi yang menunjukkan bahwa kepercayaan inti kebijakan mereka mungkin tidak valid atau

tidak dapat dicapai. Mereka juga akan menggunakan analisis kebijakan formal terutama untuk

menopang dan menguraikan keyakinan itu atau menyerang kepercayaan pandangan lawan mereka

(H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Pembelajaran semacam itu hanya terdiri dari salah satu kekuatan yang memengaruhi

kebijakan berubah seiring waktu. Argumen dasar ACF adalah bahwa sementara pembelajaran

berorientasi kebijakan merupakan aspek penting dari perubahan kebijakan, dan seringkali dapat

mengubah keyakinan sekunder aspek sistem kepercayaan koalisi, perubahan dalam aspek inti

kebijakan dari program pemerintah biasanya merupakan hasil dari gangguan faktor non-kognitif

Page 11: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

eksternal ke subsistem, seperti kondisi sosial-ekonomi atau munculnya koalisi baru dalam

subsistem kebijakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Ada beberapa hipotesis yang bisa

digunakan untuk membantu melihat bekerjanya kerangka kerja ini. Tiga hipotesis mengenai

koalisi semuanya didasarkan pada premis bahwa faktor utama yang menyatukan koalisi adalah

kesepakatan atas keyakinan inti kebijakan. Hal ini disebabkan koalisi sangat tahan terhadap

perubahan susunan sekutu dan lawan dalam suatu subsistem akan tetap stabil selama periode satu

dekade atau lebih. Hipotesis 1, Hipotesis 2 dan 3 pada dasarnya adalah pernyataan kembali yang

mendasari premis tentang stabilitas keyakinan inti koalisi kebijakan dan keinginannya untuk

menerjemahkan keyakinan itu ke dalam program pemerintahan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier,

1994).

Hipotesis 4 berpendapat bahwa atribut inti kebijakan program semacam itu tidak akan

berubah selama koalisi dominan yang melembagakan kebijakan itu tetap berkuasa meski aspek-

aspek dari program-program itu mungkin berubah. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk

mengubah atribut inti kebijakan-kebijakan pemerintah adalah melalui beberapa kejutan yang

berasal di luar yang subsistem yang secara fundamental mengubah distribusi sumber daya politik

di antara koalisi dalam subsistem (Hipotesis 5). Empat hipotesis terakhir berurusan dengan kondisi

yang kondusif bagi pembelajaran kebijakan yang berorientasi lintas sistem kepercayaan, yaitu

antar koalisi. Hal ini didasarkan pada premis bahwa koalisi yang menolak mengubah keyakinan

inti kebijakan atau aspek sekunder penting dari sistem kepercayaan mereka, atau hanya

menyesuaikan dengan kondisi empiris yang kuat untuk mendorong mereka melakukan perubahan

sistem kepercayaan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Tabel 1. Hipotesis Kerangka Kerja ACF

Rentetan Hipotesis Kerangka ACF

Hipotesis 1 Apabila keyakinan inti kebijakan dalam suatu subsistem

kebijakan mengalami perselisihan, maka susunan koalisi

akan cenderung agak stabil selama satu dekade atau lebih.

Hipotesis 2 Aktor dalam koalisi advokasi akan menunjukan konsensus

terhadap masalah yang berkaitan dengan keyakinan inti

kebijakan, tetapi kurang pada hal keyakinan sekunder.

Page 12: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Hipotesis 3 Aktor atau koalisi akan meminggirkan aspek sekunder dari

sistem kepercayaannya, apabila mengakui adanya

kelemahan pada keyakinan inti kebijakan.

Hipotesis 4 Atribut keyakinan inti dari program pemerintah tidak

mungkin direvisi secara signifikan selama koalisi advokasi

yang melembagakannya masih berkuasa.

Hipotesis 5 Atribut keyakinan inti kebijakan dari program pemerintah

tidak mungkin harus diubah tanpa adanya gangguan dari

faktor eksternal subsistem seperti perubahan sosial-

ekonomi, perubahan susunan koalisi atau output dari

subsistem lain.

Hipotesis 6 Pembelajaran kebijakan lintas sistem kepercayaan

kemungkinan besar terjadi adanya konflik tingkat

menengah di antara kedua koalisi. Hal ini mensyaratkan

bahwa masing-masing memiliki sumber daya teknis untuk

terlibat dalam debat semacam itu; dan bahwa konflik terjadi

antara aspek-aspek sekunder dari satu sistem kepercayaan

dan elemen inti dari dua sistem kepercayaan.

Hipotesis 7 Masalah kebijakan dengan basis data kuantitatif dan teori

yang ada ajan memudahkan proses pembelajaran kebijakan

di seluruh sistem kepercayaan dibandingkan data dan teori

dalam kerangka kualitatif yang cukup subjektif.

Hipotesis 8 Masalah yang melibatkan keadaan alamiah lebih kondusif

untuk pembelajaran kebijakan lintas sistem kepercayaan

dibandingkan problem sosial apalagi yang melibatkan

sistem politik disebabkan harus aktif menggunakan strategi

yang terkendali.

Hipotesis 9 Pembelajaran kebijakan lintas sistem kepercayaan

kemungkinan besar akan terjadi dalam forum bergengsi

yang memaksa para profesional dari berbagai koalisi ikut

dan menerapkan norma-normanya.

Page 13: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Sumber: (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994)

Di sisi lain, pemilihan umum yang mengubah peta aktor secara kritis, tetapi bukan seluruh

koalisi pemerintahan, tetapi masih bisa memantik perubahan penting dalam subsistem kebijakan

dan dikombinasikan dengan faktor lain. Perubahan keyakinan inti kebijakan ini khususnya dalam

pemilihan yang melibatkan pencalonan kepala eksekutif dengan substansi tertentu yang diusung.

Sementara kebanyakan orang yang diangkat secara politis mungkin hanya menimbulkan

riak dalam suatu subsistem, mereka yang menggabungkan pengetahuan luas tentang suatu

subsistem dengan keterampilan teknis dan politik dapat menghasilkan gelombang kekuatan dalam

perubahan kebijakan. Pemilihan anggota legislatif pun dapat merubah komposisi koalisi advokasi

dalam subsistem kebijakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Titik tolak pemilu sebagai perubah koalisi advokasi di pemerintahan dalam upaya

pengkajian pelaksanaan Putusan MK 35/2012 pasca menangnya Joko Widodo pada pemilu 2014

dan 2019 menjadi menarik untuk dilakukan karena mematahkan hipotesis pertama kerangka kerja

ACF. Proses perubahan koalisi penguasa yang berubah pasca kemenangan Jokowi di kedua pilpres

mempengaruhi tiap koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan melakukan berbagai perubahan

strategi dan keyakinan inti berkaitan dengan pelaksanaan Putusan MK 35/2012. Pendalaman lebih

lanjut terkait dengan tarik menarik antar koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan pengakuan

hutan adat perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pemerintahan Joko Widodo menaruh

komitmen kuatnya dalam merekognisi hak-hak ulayat.

Tarik Menarik Kepentingan Antar Koalisi Kebijakan dalam Pelaksanaan Putusan Mk

35/2012

Pelaksanaan Putusan MK 35/2012 pasca berakhirnya masa Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono meninggalkan setidaknya dua sumber daya penting bagi koalisi advokasi dalam

subsistem kebijakan pengakuan hutan adat. Program publik yang didorong oleh pemerintahan

Yudhoyono telah mendorong proses pemetaan partisipatif bersama dengan jaringan koalisi

masyarakat untuk memetakan kembali wilayah-wilayah ulayat. Hasil pemetaan partisipatif

kemudian diinventarisir oleh Badan Registrasi Wilayah Adat. Program lain yang berhasil

diimunculkan semasa pemerintahan Yudhoyono adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Page 14: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

tentang Desa yang salah satu substansinya mendorong adanya pengakuan desa adat (Bisariyadi et

al., 2015).

Munculnya dua program pelaksanaan Putusan MK 35/2012 telah menjadi sumber daya

politik penting bagi koalisi dalam subsistem kebijakan untuk memperkuat sistem kepercayaannya.

Aktor-aktor dalam koalisi advokasi terutama aliansi pengawal masyarakat adat akan mendorong

perubahan strategi dan keyakinan inti untuk terus mendorong pelaksanaan Putusan MK 35/2012

berikut dengan kekurangannya. Keyakinan inti berupa perlu segera diakuinya hak-hak atas tanah

ulayat dalam pengelolaan hutan adat terus mendorong koalisi advokasi tetap berjalan solid (Weible

& Sabatier, 2007). Berakhirnya masa pemerintahan Yudhoyono dan akan berlangsungnya pemilu

2014 mendorong koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan mulai melalui kontestasi. Koalisi

pemerintahan yang tersisa hanyalah institusi publik yang sementara waktu menjalankan kekuasaan

tanpa arahan aktor-aktor politik.

Momentum perubahan komposisi aktor-aktor dalam subsistem kebijakan menyebabkan

koalisi advokasi subsistem kebijakan Putusan MK 35/2012 setidaknya terbelah jadi tiga koalisi

pemerintahan (formal), koalisi aktor-aktor politik dan koalisi masyarakat adat. Koalisi masyarakat

adat yang paling berkepentingan terhadap pelaksanaan Putusan MK 35/2012 melakukan

pemahaman dan penguatan sistem kepercayaan internalnya untuk menanggapi adanya perubahan

kebijakan yang terjadi akibat adanya faktor eksternal dinamis berupa pergantian rezim kekuasaan

(Weible & Sabatier, 2007). Koalisi masyarakat adat kemudian melakukan pembelajaran lintas

sistem kepercayaan untuk merubah strategi, demi memastikan Putusan MK 35/2012 akan berjalan

dengan baik .

Sistem kepercayaan secara umum menjadi pendorong pemilihan strategi dan sumber daya

untuk memastikan bahwa proses pembelajaran di internal koalisi advokasi terjadi, sehingga tetap

menjaga loyalitas sampai Putusan MK 35/2012 terlaksana secara penuh. Sistem kepercayaan yang

diperkuat oleh koalisi masyarakat adat juga dilakukan untuk memastikan bahwa perubahan

kebijakan menguntungkan mereka (H. Jenkins-Smith, Silva, Gupta, & Ripberger, 2014). Loyalitas

dan proses pembelajaran kebijakan yang terbangun di internal koalisi masyarakat adat mendorong

mereka kompak untuk memilih strategi memihak pada salah satu kontestan pemilihan presiden

dan wakil presiden 2014. Koalisi masyarakat adat memanfaatkan sistem kepercayaan akan

perubahan kebijakan yang koheren dan juga hubungan sosial untuk menyelesaikan masalah

kebijakan (H. Jenkins-Smith et al., 2014).

Page 15: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Koalisi masyarakat adat di bawah AMAN kemudian secara terbuka menyatakan

dukungan pada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Ramadhiani, 2014). Upaya memberikan

dukungan kepada Jokowi-JK pada pemilu 2014 menjadi strategi koalisi masyarakat adat untuk

merespon faktor eksternal yang dinamis berupa perubahan rezim, demi memastikan kontestan

yang didukungnya akan menjadi partner yang mendukung pelaksanaan Putusan MK 35/2012

secara konsekuen dalam subsistem kebijakan. Keyakinan inti mengenai pentingnya pengakuan hak

ulayat dalam pengelolaan hutan berusaha dikontestasikan dengan bentuk sumber daya dukungan

pemilih masyarakat adat bagi Jokowi-JK. Perjuangan kebijakan yang diarahkan oleh keyakinan

inti dan proses pembelajaran berorientasi kebijakan telah mendorong koalisi masyarakat adat

mengerahkan sumber dayanya, demi memenangkan proses perubahan kebijakan (H. Jenkins-

Smith et al., 2014).

Pada 23 Mei 2014 bahkan AMAN melakukan deklarasi dukungan terbuka bagi Jokowi-

JK yang dianggap akan berkomitmen dalam melaksanakan Putusan MK 35/2012. Sebelum

menyatakan deklarasi dukungan pada Jokowi-JK, AMAN pun sempat melakukan kajian internal

tentang partisipasi masyarakat adat pada pemilu legislatif dan penelitian mendalam yang

menunjukan 70% masyarakat adat mendukung Joko Widodo pada pilpres 2014. AMAN juga

menganggap bahwa Jokowi pada pemilu 2014 adalah sosok yang tidak memiliki kontroversi

dengan masyarakat adat di Indonesia (Jeffar, 2014). Proses pembelajaran berorientasi kebijakan

yang dilakukan oleh koalisi masyarakat adat menunjukan bahwa sistem kepercayaan berhasil

diperkuat dalam merespon faktor eksternal yang dinamis. Hal itu menunjukan kohesivitas koalisi

masyarakat adat dalam menanggapi setiap kondisi eksternal yang berpengaruh bagi subsistem

kebijakan (Weible, Sabatier, & McQueen, 2009). Keberhasilan proses pembelajaran berorientasi

kebijakan membawa koalisi masyarakat adat cenderung kohesif dalam mengawal pelaksanaan

Putusan MK 35/2012.

Koalisi masyarakat adat juga memanfaatkan jaringan kolaboratif berdasarkan ideologi

untuk memaksimalkan akses mereka terhadap sumber daya politik. Penguatan keyakinan inti

menjadi pendorong bekerjanya struktur jaringan kebijakan. Ideologi menjadi konsensus bersama

di antara aktor-aktor dalam koalisi masyarakat adat untuk memanfaatkan jejaringnya untuk

memenangkan perubahan kebijakan. Mekanisme kerja jaringan kolaboratif bergantung pada

kecenderungan tiap aktor dan konteks kelembagaan yang mendukung upaya memperbesar akses

terhadap sumber daya politik, demi memenangkan perubahan kebijakan (A. D. Henry, 2011).

Page 16: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Koalisi memanfaatkan jejaring kolaboratif untuk menerjemahkan keyakinan kepada

kebijakan dan strategi (A. D. Henry, 2011). Jejaring AMAN menjadi penggerak penting dalam

pemanfaatan momentum pemilu 2014. AMAN juga mengirim kader-kader dari masyarakat adat

untuk mengikuti pemilu legislatif, demi memperkuat akses sumber daya politik yang akan

mendorong penguatan pelaksanaan Putusan MK 35/2012. AMAN bahkan pada tanggal 16-17

Desember 2013 mengadakan Konsolidasi Nasional Perutusan Politik Masyarakat Adat yang

dihadiri oleh 71 calon legislatif dari berbagai jalur (DPRD II, DPRD I, DPR RI dan DPD RI).

Pertemuan tersebut menghasilkan kontrak politik antara AMAN dengan caleg dan adanya sebuah

rencana kerja untuk mendukung caleg-caleg menghadapi Pemilu tanggal 9 April 2014 (Anonim,

2014).

Koalisi aktor politik yang berada di belakang calon presiden dan calon wakil presiden

Joko Widodo dan Jusuf Kalla akhirnya juga melakukan perubahan strategi dan penguatan sistem

kepercayaan internal. Koalisi advokasi kemudian melakukan proses pembelajaran berorientasi

kebijakan untuk menyesuaikan adanya faktor eksternal dinamis berupa adanya dukungan dari

aliansi masyarakat adat dalam pemilu 2014. Keyakinan inti koalisi aktor politik untuk

memenangkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tetap menjadi hal yang utama, sedangka keyakinan

sekunder disesuaikan untuk menerima adanya masukan baru bagi sistem kepercayaan koalisi.

Perubahan terhadap keyakinan sekunder yang mendukung keyakinan inti dalam sistem

kepercayaan koalisi menunjukan adanya proses pembelajaran berorientasi kebijakan sesuai

dengan Hipotesis 5 dari kerangka ACF. Hal ini juga menunjukan berlakunya Hipotesis 5 dari

kerangka ACF yang menyatakan bahwa perubahan keyakinan inti kebijakan akan mempengaruhi

penataan komposisi koalisi yang menunjukan meleburnya aliansi masyarakat adat dan aktor-aktor

politik di belakang Jokowi-JK (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Koalisi yang telah melebur kemudian membangun kontrak politik yang harus dijalankan

oleh Jokowi-JK, apabila memenangkan pemilu 2014. Pertama, pengesahan RUU Masyarakat

Adat. Kedua, pembentukan satuan tugas masyarakat adat. Ketiga, meninjau ulang berbagai

peraturan sektoral yang mengganjal pemenuhan hak masyarakat adat. Keempat, membentuk

mekanisme nasional penyelesaian sengketa (Permana, 2019). Kelima, melaksanakan putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012 yang membedakan hutan adat dengan hutan

negara. Terakhir, memulihkan korban-korban kriminalisasi. Jokowi-JK akhirnya memenangkan

pemilu 2014 dengan selisih suara 8,4 juta suara dengan calon Prabowo-Subianto dan Hatta Rajasa

Page 17: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

yang tidak bisa dilepaskan dari dukungan aliansi masyarakat adat. Aliansi masyarakat adat

kemudian menaruh harapan pada Jokowi-JK untuk melaksanakan janji-janji politiknya (Permana,

2019).

Setelah proses pemilu, maka terjadi ada faktor eksternal dinamis berupa adanya

pergantian rezim baru yang akan mempengaruhi sistem kepercayaan koalisi dalam subsistem

kebijakan. Pergantian rezim sebagai faktor dinamis telah membuktikan lagi berlakunya Hipotesis

5 kerangka kerja ACF yang mendorong adanya perubahan komposisi koalisi advokasi dalam

subsistem kebijakan. Jokowi-JK bersama dengan aktor-aktor politiknya telah berkuasa dan

menjadi bagian dari koalisi pemerintahan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Keyakinan inti

dari koalisi pemerintahan pun berubah untuk merespon faktor eksternal dinamis yang harus

dihadapi berupa rezim politik baru. Keyakinan inti dari koalisi pemerintahan berubah untuk fokus

melaksanakan janji-janji politik Jokowi-JK yang sering disebut sebagai Nawacita. Koalisi

masyarakat adat juga mengalami proses pembelajaran berorientasi kebijakan untuk terus

memperjuangkan keyakinan intinya tentang perlunya segera pelaksanaan Putusan MK 35/2012

secara penuh (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Koalisi pemerintahan kemudian menafsirkan keyakinan intinya menjadi serangkaian

strategi dan program publik. Mereka melakukan penguatan sistem kepercayaan untuk semua level

institusinya publiknya, agar memiliki kohesi dan loyalitas dalam melaksanakan Nawacita Jokowi-

JK. Penafsiran terhadap keyakinan inti dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk menjadi dasar bagi program turunan termasuk

dalam hal pelaksanaan Putusan MK 35/2012 (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2015).

Penguatan sistem kepercayaan koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan menjadi mekanisme

pendorong koordinasi bagi pelaksanaan Nawacita yang bagiannya akan melaksanakan Putusan

MK 35/2012. Penyusunan RPJMN 2015-2019 bisa dikatakan sebagai katalog sistem kepercayaan

yang telah membantu penafsiran keyakinan inti koalisi pemerintahan yang dibagiakan bagi aktor-

aktor di dalamnya. Proses pembelajaran berorientasi kebijakan dilakukan di bawah arahan Jokowi-

JK untuk mengarahkan persepsi subjektif dari aktor untuk mencapai konsensus mengenai

pentingnya pelaksanaan Nawacita (Matti & Sandström, 2011).

Koalisi masyarakat juga melakukan proses penguatan sistem kepercayaan untuk

memastikan internal mereka solid dalam memastikan pelaksanaan janji politik Jokowi-JK

mengenai pengakuan hak-hak ulayat dalam pengelolaan hutan adat. Koalisi masyarakat kemudian

Page 18: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

menafsirkan pula keyakinan intinya menjadi serangkaian strategi dan program untuk memastikan

Jokowi-JK melaksanakan komitmennya mengenai pelaksanaan Putusan MK 35/2012 (Matti &

Sandström, 2011). Koalisi masyarakat kemudian melaksanakan serangkaian dialog dan turun ke

jalan untuk meraih atensi koalisi pemerintahan dalam pelaksanaan Putusan MK 35/2012

(Konsorsium Pembaharuan Agraria, 2019).

Langkah-langkah yang ditempuh oleh koalisi masyarakat telah mendorong berlakuknya

Hipotesis 9 dari kerangka kerja ACF yang membuat tiap koalisi advokasi dalam subsistem

kebijakan kemudian duduk dalam forum profesional untuk membangun kompromi dalam

pelaksanaan kebijakan Putusan MK 35/2012 (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Forum

profesional yang ada menyebabkan beberapa aktor dari koalisi masyarakat bekerjasama dengan

koalisi penguasa untuk merumuskan keyakinan inti masing-masing menjadi program. Forum

profesional seolah menjadi jalan bagi proses kompromi dalam bentuk lain dari koalisi masyarakat,

demi berlangsungnya pelaksaan Putusan MK 35/2012 (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Forum profesional kemudian mendorong koalisi pemerintahan mengeluarkan program reforma

agraria pada 24 Agustus 2016 (Anonim, 2016). Forum profesional lagi-lagi menjadi policy broker

yang berusaha mempertemukan keyakinan sekunder yang berbeda dari tiap koalisi advokasi dalam

subsistem kebijakan (Weible & Sabatier, 2007).

Proses pergeseran terhadap struktur keanggotaan koalisi advokasi dalam subsistem dapat

meningkatkan kemungkinan perubahan kebijakan pelaksanaan Putusan MK 35/2012 lebih besar.

Pola keanggotaan mungkin relatif stabil dari waktu ke waktu, tetapi faktor eksternal yang dinamis

kenyataannya dapat mendorong proses kompromi dan perubahan komposisi. Hal ini telah

membantah proposisi dari yang menyatakan bahwa pola keanggotaan koalisi seharusnya relatif

stabil dari waktu ke waktu disebabkan faktor eksternal tidak akan cukup mempengaruhi

pembuatan kebijakan. Pergeseran koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan juga telah

menyebabkan adanya redistribusi sumber daya politik terutama bagi koalisi pemerintahan. Hirarki

kemudian muncul dalam proses pemanfaatan sumber daya politik dalam upaya pelaksanaan

Putusan MK 35/2012. Sayangnya, akibat dari redistribusi sumber daya politik dan kurangnya

penguatan sistem kepercayaan dalam koalisi pemerintahan menyebabkan pelaksanaan Putusan

MK 35/2012 mengalami hambatan dari daerah sampai pusat (Nohrstedt, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Henry (2015) dengan melihat pengakuan hutan adat di

Kutai Barat dari tingkat pusat sampai daerah tidak konsisten dan kurang maksimal. Buruknya

Page 19: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

penguatan sistem kepercayaan dari koalisi pemerintahan menyebabkan penafsiran terhadap

keyakinan inti kebijakan menjadi bermasalah. Tumpang tindih berbagai peraturan mengenai

kawasan hutan dan hak ulayat menyebabkan pelaksanaan Putusan MK 35/2012. Tumpang tindih

peraturan menyebabkan kurangnya komitmen daerah pada perlindungan masyarakat adat yang

terdampak konsesi pertambangan batu bata di Kutai Barat (J. Henry, 2015). Koalisi pemerintahan

juga kenyataannya kurang dapat mengkoordinir kementerian di bawahnya dalam melaksanakan

Putusan MK 35/2012. Safitri (2014) menjelaskan bahwa kebijakan yang dibuat oleh koalisi

pemerintahan bersifat involutif. Presiden sendiri kurang memantau pelaksanaan Putusan MK

35/2012 dengan baik. Proses pemetaan tidak diikuti dengan penetapan dan pengakuan secara

langsung oleh pemerintah pusat (Safitri, 2014).

Pengakuan masyarakat adat melalui regulasi daerah juga realitasnya tidak mudah

dilakukan. Riset yang dilakukan oleh Andiko (2017) di Kajang Sulawesi Selatan menunjukan

bahwa pengakuan masyarakat adat melalui produk hukum daerah tergantung komitmen pemimpin

daerah baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatifnya. Pengorganisasian masyarakat

dalam bentuk kelompok dan komunitas juga menghadapi kendala keberagaman kepentingan

individu dalam kelompok masyarakat adat tersebut. Dialog yang berulang kali dilakukan dalam

upaya menyamakan pemahaman dan membuat kesepakatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan

secara mandiri oleh masyarakat berjalan bertahap. Proses pembelajaran berorientasi kebijakan

realitasnya harus dilakukan secara bertahap untuk memperkuat sistem kepercayaan koalisi

advokasi (Andiko, 2017).

Koalisi pemerintahan dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan sektoral dalam

problem agraria yang justru memperparah kondisi bagi masyarakat adat. Kantor Staf Presiden

belum berhasil dalam mengkoordinasikan kementerian/lembaga yang berkaitan dengan

pelaksanaan Putusan MK 35/2012. KSP memang menjadi dapur bagi koalisi pemerintahan dalam

menafsirkan keyakinan inti menjadi program dan strategi pelaksanaan Putusan MK 35/2012. Akan

tetapi, KSP gagal dalam memperkuat sistem kepercayaan koalisi pemerintahan dan melakukan

redistribusi sumber daya politik secara proporsional (Arizona, 2017).

Koalisi pemerintahan justru melakukan redistribusi sumber daya politik kepada aktor-

aktor ekonomi yang bisa memperkuat posisinya. Hal ini menyebabkan makin tidak digubrisnya

keberadaan koalisi masyarakat adat. Para pejabat di Kementerian ATR/ BPN, Kementerian LHK,

Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Desa, dan

Page 20: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Kementerian KKP, termasuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, kerap memberikan

hak dan lisensi serta mengeluarkan ragam keputusan (HGU, HGB, HPL, HPH, HTI, Taman

Nasional, ijin lokasi usaha perkebunan, ijin usaha pertambangan, penunjukkan dan penetapan

kawasan hutan secara sepihak, pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan

pariwisata/real estate/resort/hotel, dan sebagainya), yang berakibat pada peminggiran dan

penyingkiran rakyat petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan serta perkotaan

dari tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya (Konsorsium Pembaharuan Agraria, 2019).

Koalisi pemerintahan juga sama sekali tidak berbuat banyak terhadap revisi UU

Kehutanan yang akan menjadi bagian dari pelaksanaan Putusan MK 35/2012. Koalisi

pemerintahan justru menghasilkan kebijakan Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017 tentang

Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan meminggirkan pemenuhan hak-hak ulayat

(Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 2018). Perpres tersebut tidak akan menyelesaikan wilayah

yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh melalui status penunjukan. Masyarakat adat

yang sudah berada di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan juga terancam menghadapi

“ressettlement.” Hadirnya pula Peraturan Presiden No. 86/2018 justru menyebabkan wilayah adat

tidak dikategorikan sebagai objek reforma agraria, sehingga masyarakat adat tidak dapat menjadi

subjek hukumnya. Belum adanya jaminan terhadap pengakuan atas hak ulayat memperlihatkan

bagaimana koalisi pemerintahan justru berkompromi dengan aktor-aktor lain untuk berbagai

sumber daya politik yang bisa memperkuat kedudukannya (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,

2018).

Dorongan koalisi masyarakat adat untuk mempercepat legislasi RUU Masyarakat Adat

kepada koalisi pemerintahan juga tidak mendapatkan respon yang baik. Forum profesional yang

telah dibentuk kenyataannya lebih banyak berpihak atau bahkan menjadi bagian dari koalisi

pemerintahan. Forum profesional menjadi jalan terakhir proses kompromi dalam subsistem

kebijakan yang lebih banyak menguntungkan koalisi pemerintahan. Forum profesional

memanfaatkan peranannya dalam pengambilan keputusan dan sumber dayanya untuk

menguntungka koalisi pemerintahan (Weible et al., 2009). Enam menteri yang ditunjuk oleh

Presiden Joko Widodo untuk mewakili koalisi pemerintah dalam pembahasan RUU Masyarakat

Adat kenyataannya tidak kunjung menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU

Masyarakat Adat. Hingga menjelang akhir tahun 2018, tidak diketahui secara pasti apa yang

Page 21: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

menghambat Pemerintah dalam menyediakan DIM RUU Masyarakat Adat (Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara, 2018).

Anehnya RUU Masyarakat Adat justru muncul dari inisiatif DPR. Akan tetapi, hasil

kajian dari Yayasan Madani Berkelanjutan (2019) terhadap para legislator yang terlibat dalam

pembuatan RUU Masyarakat Adat menunjukan bahwa tidak ada kaitan antara daerah pemilihan

anggota legislatif yang ada masyarakat adatnya dengan komitmen mereka untuk mempercepat

pembuatan regulasi tersebut. Meskipun, mayoritas anggota parlemen yang terlibat dalam

pembuatan regulasi tersebut memiliki respon positif terhadap pembuatan RUU Masyarakat Adat

(Yayasan Madani Berkelanjutan, 2019).

Koalisi masyarakat justru menghadapi berbagai problem serius akibat dari tidak

dijalankannya Putusan MK 35/2012. Redistribusi sumber daya kepada aktor-aktor ekonomi oleh

koalisi pemerintahan menyebabkan memburuknya kondisi yang harus dihadapi masyarakat adat

di akar rumput. Masyarakat menghadapi tingkat okupansi lahan yang sangat tinggi akibat

penggusuran, kehilangan tempat tinggal, kekerasan dan kriminalisasi (Komisi Untuk Orang Hilang

dan Korban Tindak Kekerasan, 2018). Data dari Kontras menunjukan bahwa pada tahun 2017

terdapat 81 kelompok warga menghadapi sengketa tanah adat. Banyak perkebunan dan lahan mata

pencaharian warga serta penyempitan lokasi kawasan hutan adat sehingga warga kesulitan dalam

mengakses bahan-bahan kebutuhan untuk kehidupan sehari-harinya (Komisi Untuk Orang Hilang

dan Korban Tindak Kekerasan, 2018).

Grafik 1. Jumlah Korban Okupasi Lahan

Sumber: Kontras, 2018.

Page 22: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Data dari Kontras menunjukan Sengketa lahan yang masih tinggi menjadi dominasi

penyebab dari kriminalisasi. Hal ini karena pengerusakan tanah adat oleh perusahaan-perusahaan

swasta diberbagai daerah diantaranya; Sumatera Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Jambi,

NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah,

mengundang kemarahan warga dengan melakukan berbagai macam aksi dan perlawanan terhadap

pihak perusahaan dan aparat kepolisian. Tindakan Kriminalisasi warga juga diikuti dengan

kekerasan dan Intimidasi oleh aparat kepolisian dan TNI (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban

Tindak Kekerasan, 2018).

Grafik 2. Data Kriminalisasi Warga

Sumber: Kontras, 2018.

Upaya pengakuan desa adat melalui undang-undang desa juga menghadapi kendala

disebabkan adanya perbedaan keyakinan sekunder dari tiap aktor dalam koalisi masyarakat.

Pembelajaran berorientasi kebijakan yang fokus untuk memperkuat keyakinan inti mengenai

pengakuan desa adat belum terlaksana dengan baik. Aktor-aktor dalam koalisi masyarakat sendiri

menghadapi keyakinan sekunder yang berbeda-beda dalam upaya mengakui desa adat sesuai

dengan UU No. 6/2014. Menurut Arsyad, Sunito dan Kartodiharjo (2016), setidaknya ada

beberapa diskursus berbeda yang dilihat aktor-aktor dalam koalisi masyarakat dalam memandang

pengakuan desa adat dalam UU Desa.

Pertama, diskursus pengakuan desa adat yang merupakan penjabaran dari tuntutan

pengakuan desa yang beragam sebagai konter terhadap kebijakan penyeragaman desa yang terjadi

Page 23: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

selama ini (Arsyad, Sunito, & Kartodiharjo, 2016). Aktor utama dari diskursus ini adalah aktivis

gerakan masyarakat adat bersama aktivis gerakan pembaruan agraria. Kedua, pandangan mengenai

pemerintahan desa, UU desa dianggap lebih diarahkan mengatur mengenai pemerintahan desa

sebagaimana telah diatur pada kebijakan-kebijakan sebelumnya. Diskursus ini lebih banyak

diusung oleh pemerintah yang dipelopori oleh Kementerian Dalam Negeri (Arsyad et al., 2016).

Ketiga, sudut pandang mengenai urgensi penegasan posisi kepala desa dan insentif yang

lebih baik. Diskursus ini diusung oleh para asosiasi kepala desa se-indonesia (Arsyad et al., 2016).

Keempat, diskursus demokratisasi pedesaan, yakni perbaikan sistem representasi warga desa,

pemberian otononomi penyelenggaraan pemerintahan kepada desa dan alokasi khusus pendanaan.

Diskursus ini diusung oleh lembaga swadaya masyarakat yang selama ini bekerja di isu

pemberdayaan masyarakat desa. Kelima, diskursus penyelenggaraan pembangunan desa dan

kawasan perdesaan yang lebih baik. Aktor utama dari diskursus ini adalah para lembaga donor dan

pemerintah. Diantara para aktor yang terlibat dalam proses penyusunan UU Desa tersebut di atas,

yang paling keras pertentangannya adalah mereka yang menghendaki UU Desa mengakui

keberagaman desa dengan memasukkan desa adat sebagai wujud dari pengakuan terhadap

keberagaman versus mereka yang menghendaki UU Desa mengatur pemerintahan desa tanpa ada

lagi nomenklatur desa adat (Arsyad et al., 2016).

Menurut Sukirno (2019), Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari koalisi

pemerintahan memiliki perbedaan pandangan dengan aliansi masyarakat dalam pelaksanaan

Putusan MK 35/2012. Keyakinan sekunder dari Kementerian Kehutanan melihat bahwa hutan adat

bukan lagi hutan negara diartikan bahwa hutan adat dengan demikian keluar dari kawasan hutan.

Pandangan Kementerian Kehutanan ini menunjukkan bahwa hutan negara disamakan dengan

kawasan hutan (Sukirno, 2019). Koalisi masyarakat memiliki keyakinan sekunder yang berbeda

dengan memahami bahwa hutan adat yang saat ini bukan bagian dari hutan negara, tidak berarti

bukan bagian dari kawasan hutan. Hutan adat tetap dalam kawasan hutan, akan tetapi hutan adat

adalah milik masyarakat hukum adat. Hal tersebut menyebabkan koalisi pemerintah mempunyai

kewenangan untuk terlibat dalam proses pemberdayaan kepada masyarakat hukum adat, agar

fungsi-fungsi kehutanan dapat berjalan dengan baik (Sukirno, 2019).

Koalisi masyarakat kemudian mengadakan evaluasi terhadap kontrak politiknya dengan

Jokowi-JK. Koalisi masyarakat mengadakan Seminar dan Lokakarya Advokasi bertajuk Wajah

Pemerintahan Jokowi-JK dan Masa Depan Masyarakat Adat pada masa akhir kepemimpinan Joko

Page 24: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Widodo. Lokakarya tersebut menjadi titik balik bagi proses pembelajaran berorientasi kebijakan

bagi koalisi masyarakat. Berbagai panel diskusi menjadi bahan perubahan keyakinan sekunder

untuk berbalik mengkritisi Jokowi-JK akibat kontrak politiknya dilanggar (Siringoringo, 2018).

“Permusuhan” dalam subsistem kebijakan ditandai oleh tingkat konflik yang meningkat. Koalisi

akan lebih mungkin menggunakan informasi ilmiah sebagai strategi untuk melawan koalisi

pemerintahan. Forum profesional kenyataannya tidak efektif menjadi broker kebijakan dan mereka

lebih cenderung mengandalkan kerangka analisis yang berbeda (Weible et al., 2009).

Koalisi lebih cenderung menggunakan ilmu pengetahua dan informasi saintifik untuk

proses pembelajaran lintas koalisi. Forum profesional yang mendapatkan informasi yang

multidisiplin dan perubahan sistem kepercayaan merubah keyakinan inti dan sekunder (Weible et

al., 2009). Sayangnya, adanya faktor eksternal dinamis berupa akan diadakannya pemilu 2019

menyebabkan forum profesional belum mampu menyelesaikan pelaksanaan Putusan MK 35/2012

secara penuh semasa rezim Jokowi-JK (Setyorini, 2018). Proses pembelajaran berorientasi

kebijakan selama rezim Jokowi-JK menyebabkan koalisi masyarakat melakukan perubahan

kembali dari keyakinan sekunder, demi memperkuat sistem kepercayaannya. Faktor eksternal

dinamis berupa pemilu 2019 ditanggapi koalisi masyarakat dengan menyatakan netral dan tidak

memihak dengan salah satu kontestan politik. Hipotesis 5 kerangka ACF kembali bekerja dalam

proses perubahan kebijakan (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Koalisi masyarakat merespon pemilu 2019 dengan memperkuat sistem kepercayaannya

dan fokus pada mengembangkan kader-kadernya dalam pemilu legislatif. Koalisi masyarakat

melakukan proses penafsiran keyakinan inti menjadi strategi dan program. Koalisi masyarakat

menyatakan netral terhadap kontestasi pemilihan presiden disebabkan kedua calon yang

bertanding dalam pemilu tidak memiliki visi-misi yang berpihak pada pemenuhan hak-hak ulayat

(Gabrillin, 2019). Berdasarkan proses pembelajaran berorientasi kebijakan, koalisi masyarakat

menganggap bahwa calon presiden Joko Widodo belum mampu memenuhi janjinya dalam pemilu

2014 (Alaidrus, 2019).

Koalisi masyarakat lebih fokus untuk menggunakan strategi baru untuk fokus

mengirimkan kader-kadernya dalam parlemen untuk mempercepat pelaksanaan Putusan MK

35/2012 secara penuh. Koalisi masyarakat ingin memanfaatkan sumber daya politiknya yang

dimilikinya sendiri untuk memastikan bahwa pelaksanaan Putusan MK 35/2012 bisa berjalan

secara penuh lewat jalan parlemen (Anonim, 2019). Kongres Masyarakat Adat Nusantara V pada

Page 25: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

14-19 Maret 2019 di Kampong Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara menghasilkan

sejumlah agenda politik. AMAN mendorong dan mendampingin anggota AMAN terlibat dalam

kontestasi pemilu legislatif. Ada 185 kader AMAN mengikuti pemilu DPR, DPD, dan DPRD

provinsi juga kabupaten/kota. Ada 36 caleg terpilih menjadi anggota DPRD kabupaten/kota,

provinsi, dan DPD. Capaian ini tanpa pengoptimalan bentuk-bentuk partispasi lain di pemilu

(Sadikin, 2017).

Pemilu 2019 akhirnya membawa kemenangan pada Joko Widodo dengan wakil barunya

Ma’ruf Amin. Kondisi eksternal dinamis berupa pemilu 2019, realitasnya tidak menyebabkan

perubahan kebijakan pelaksanaan Putusan MK 35/2012 berjalan dengan baik. Koalisi

pemerintahan yang diisi oleh orang yang sama berkuasa kembali menyebabkan pola keyakinan

sekunder institusi publik tetap sama. Forum profesional yang menjadi broker kebijakan masih

didominasi oleh orang-orang yang sama (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994). Hal ini

menyebabkan bekerjanya Hipotesis 4 dari kerangka ACF. Atribut keyakinan inti dari program

pemerintah kenyataannya tidak akan dirubah disebabkan koalisi advokasi yang melembagakannya

masih berkuasa (H. C. Jenkins-Smith & Sabatier, 1994).

Bahkan, koalisi pemerintahan pasca pemilu 2019 justru semakin kuat untuk fokus

memperbesar investasi besar-besaran dibandingkan memenuhi tuntutan-tuntutan dari aliansi

masyarakat adat. Hasil kajian yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan (2019)

menunjukan bahwa Jokowi-Ma’ruf memang memiliki visi dan misi terhadap pengelolaan

lingkungan berkelanjutan, tetapi masih minim. Berdasarkan kajian terhadap 5 isu, maka dari 260

butir penjabaran program aksi visi misi Jokowi-Maruf, hanya sekitar 20 persen yang membahas

isu terkait Lingkungan hidup yang berkelanjutan (Yayasan Madani Berkelanjutan, 2018).

Sebanyak 17 persen diantaranya adalah isu terkait pengelolaan hutan dan gambut yang

berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, dan penegakan hukum, sedangkan isu

perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat serta energi baru terbarukan (EBT) hanya

berkisar 3 persen. Perlindungan hak masyarakat adat tidak ditemukan pembahasan tentang

Rancangan Undang-undang masyarakat adat dan hutan adat serta penanganan polusi, dan tambang

di sektor EBT (Yayasan Madani Berkelanjutan, 2018).

KESIMPULAN

Page 26: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Artikel ini telah berkontribusi dalam melihat pentingnya faktor eksternal yang dinamis

berupa perubahan rezim yang mempengaruhi proses pembelajaran berorientasi kebijakan dan

mendorong pergeseran komposisi koalisi advokasi dalam subsistem kebijakan. Kajian telah

menjelaskan bagaimana Hipotesis 1 dalam kerang ACF yang menjelaskan bahwa komposisi

koalisi advokasi tidak mungkin berubah selama satu dekade atau lebih tidak terbukti dalam

perubahan kebijakan Putusan MK 35/2012.

Kajian ini justru telah menunjukan bagaimana koalisi masyarakat dan koalisi pemerintahan

masing-masing melakukan penguatan sistem kepercayaan dan merumuskan ulang strategi untuk

merespon faktor eksternal berupa pelaksanaan pemilu 2014 dan 2019 dalam perubahan kebijakan

pengakuan hutan adat. Proses pembelajaran berorientasi kebijakan pra pemilu 2014 dan menjelang

pemilu 2019 menunjukan bagaimana koalisi masyarakat terus berusaha melakukan perubahan

komposisi dalam subsistem untuk mendukung perubahan kebijakan yang menguntungkan

pihaknya dalam pengakuan hutan adat.

Kajian ini juga menunjukan bagaimana koalisi pemerintahan memberi tanggapan terhadap

proses pemilu 2014 & 2019, demi menjalankan keyakinan sekundernya dalam tampuk kekuasaan.

Koalisi pemerintahan yang sempat membangun kompromi dengan koalisi masyarakat pra pemilu

2014, realitasnya setelah terpilih Joko Widodo dan aktor-aktor politik di belakangnya melakukan

perubahan keyakinan sekunder. Penguatan sistem kepercayaan koalisi penguasa tidak hanya

dilakukan melalui proses pembelajaran berorientasi kebijakan, tapi juga dengan redistribusi

sumber daya politik yang menguntungkan pihaknya.

Proses redistribusi sumber daya politik yang demikian menyebabkan forum profesional

yang seharusnya menjadi broker kebijakan untuk mempertemukan kompromi dengan koalisi

masyarakat justru lebih banyak menguntungkan penguasa. Joko Widodo dan koalisinya dalam

menanggapi faktor eksternal dinamis berupa pemilu 2019 juga menerapkan keyakinan sekunder

yang sama untuk meraih tampuk kekuasaan untuk periode keduanya. Koalisi masyarakat pun

melakukan proses pembelajaran berorientasi kebijakan kembali dan mengatur ulang strategi untuk

tidak mendukung kontestan pemiu siapapun disebabkan Joko Widodo belum menepati janji

politiknya. Koalisi masyarakat dengan perangkat saintifik memutuskan mengirim sendiri kader-

kadernya untuk maju dalam pemilu legislatif tahun 2019, demi memperjuangkan pelaksanaan

Putusan MK 35/2012. Setelah memenangkan pemilu 2019, koalisi pemerintahan yang membuat

Page 27: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Jokowi kembali berkuasa tidak membuat adanya dorongan untuk serius dalam melaksanakan janji-

janji politiknya mengenai pelaksanaan Putusan MK 35/2012.

Page 28: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

DAFTAR PUSTAKA

Alaidrus, F. (2019). Visi Misi Jokowi & Prabowo Dinilai Belum Perhatikan Masyarakat Adat.

Retrieved October 6, 2019, from https://tirto.id/visi-misi-jokowi-prabowo-dinilai-belum-

perhatikan-masyarakat-adat-de2o

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. (2018). Catatan Akhir Tahun 2018 Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara: Senjakala Nawacita dan Masa Depan Masyarakat Adat. Jakarta.

Andiko. (2017). Studi Perbandingan Proses Pengakuan Hak dan Perizinan Pengelolaan dan

Pemanfaatan Hutan Serta Kawasan Hutan Untuk Masyarakat dan Perusahaan. Batam.

Anonim. (2014). Surat Edaran Sekjen AMAN untuk Pemilu 2014. Retrieved October 6, 2019,

from http://www.aman.or.id/2014/02/surat-edaran-sekjen-aman-untuk-pemilu-2014/

Anonim. (2016). Kang Oji, Konsisten Jadi ‘Pendekar’ Reforma Agraria. Retrieved October 6,

2019, from http://ksp.go.id/kang-oji-konsisten-jadi-pendekar-reforma-agraria/

Anonim. (2019). 2014 Dukung Jokowi, Aliansi Masyarakat Adat Pilih Netral di Pilpres 2019.

Retrieved October 6, 2019, from https://www.solopos.com/2014-dukung-jokowi-aliansi-

masyarakat-adat-pilih-netral-di-pilpres-2019-969578

Arizona, Y. (2017). TANTANGAN MASALAH PERTANAHAN ERA PRESIDEN JOKO

WIDODO. Bhumi, 3(1), 136–143.

Arsyad, I., Sunito, S., & Kartodiharjo, H. (2016). ANALISIS AKTOR DALAM

PEMBENTUKAN KEBIJAKAN PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

PASCA PUTUSAN MK 35 (Studi atas Peran AMAN dan Jaringannya dalam Mendorong

Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Melalui UU Desa dan RUU PPMHA). Sodality: Jurnal

Sosiologi Pedesaan, 224–232.

Bisariyadi, Wijayanti, W., Ayu, A., & Putri, I. P. (2015). LAPORAN PENELITIAN KEBIJAKAN

HUKUM PEMISAHAN HUTAN ADAT DARI HUTAN NEGARA PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI (PUTUSAN NOMOR 35/PUU-X/2012). Jakarta.

Diana, E., Elisabeth, A., & Arumingtyas, L. (2018). Apa Kabar Hutan Adat Setelah 5 Tahun

Putusan Mahkamah Konstitusi? Retrieved October 5, 2019, from

https://www.mongabay.co.id/2018/05/20/apa-kabar-hutan-adat-setelah-5-tahun-putusan-

mahkamah-konstitusi/

Gabrillin, A. (2019). Jokowi dan Prabowo Dinilai Sama-sama Tak Perhatikan Hak Masyarakat

Adat. Retrieved October 6, 2019, from

Page 29: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

https://nasional.kompas.com/read/2019/02/10/14325401/jokowi-dan-prabowo-dinilai-sama-

sama-tak-perhatikan-hak-masyarakat-adat

Henry, A. D. (2011). Ideology, Power, and the Structure of Policy Networks. The Policy Studies

Journal, 39(3), 361–383.

Henry, J. (2015). ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN HUTAN DAN MASYARAKAT ADAT

TERHADAP PERTAMBANGAN BATU BARA DI KAMPUNG TUKUL KECAMATAN

TERING KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR. Universitas Atmajaya

Yogyakarta.

Jeffar. (2014). Suara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Untuk Jokowi-JK. Retrieved

October 6, 2019, from http://www.aman.or.id/2014/05/suara-aliansi-masyarakat-adat-

nusantara-aman-untuk-jokowi-jk/

Jenkins-Smith, H. C., & Sabatier, P. A. (1994). Evaluating the Advocacy Coalition Framework.

Journal of Public Policy, 14(2), 175–203.

Jenkins-Smith, H., Silva, C. L., Gupta, K., & Ripberger, J. T. (2014). Belief System Continuity

and Change in Policy Advocacy Coalitions: Using Cultural Theory to Specify Belief Systems,

Coalitions, and Sources of Change. The Policy Studies Journal, 42(4), 484–508.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. (2018). Catatan Evaluasi 4 Tahun

Kinerja Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla Kabinet Indonesia Kerja Sektor Hak Asasi

Manusia HAM Bukan Prioritas. Jakarta.

Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2019). MASA DEPAN REFORMA AGRARIA MELAMPAUI

TAHUN POLITIK" CATATAN AKHIR TAHUN 2018 KONSORSIUM PEMBARUAN

AGRARIA CATATAN AKHIR TAHUN 2018 KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA EDISI

PELUNCURAN. Jakarta.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. (2015). Nawacita dan RPJMN sebagai Kesatuan

Rencana Pembangunan Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta.

Matti, S., & Sandström, A. (2011). The Rationale Determining Advocacy Coalitions: Examining

Coordination Networks and Corresponding Beliefs. The Policy Studies Journal, 39(3), 385–

410.

Nohrstedt, D. (2011). Shifting Resources and Venues Producing Policy Change in Contested

Subsystems: A Case Study of Swedish Signals Intelligence Policy. The Policy Studies

Journal, 39(3), 461–484.

Page 30: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Permana, R. H. (2019). Politik AMAN, janji Jokowi, dan ayunan suara masyarakat adat. Retrieved

October 6, 2019, from https://www.alinea.id/pemilu/politik-aman-janji-jokowi-dan-ayunan-

suara-masyarakat-adat-b1Xbo9hIE

Ramadhiani, A. (2014). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Dukung Jokowi, Ini Alasannya.

Retrieved October 6, 2019, from

https://nasional.kompas.com/read/2014/05/23/1218537/Aliansi.Masyarakat.Adat.Nusantara.

Dukung.Jokowi.Ini.Alasannya

Sadikin, U. H. (2017). Agenda Politik Masyarakat Adat 2017-2022: Optimalkan Partisipasi

Pemilu. Retrieved October 6, 2019, from https://rumahpemilu.org/agenda-politik-

masyarakat-adat-2017-2022-optimalkan-partisipasi-pemilu/

Safitri, M. A. (2014). Kembali ke Daerah: Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. In Diskusi memperingati setahun

Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantar

(AMAN) (pp. 1–10).

Setyorini, V. P. (2018). Suara Masyarakat Adat Nusantara di pesta demokrasi. Retrieved October

6, 2019, from https://pemilu.antaranews.com/berita/782419/suara-masyarakat-adat-

nusantara-di-pesta-demokrasi

Siringoringo, J. (2018). Jokowi-JK Gagal Penuhi Janjinya kepada Masyarakat Adat! Retrieved

October 5, 2019, from http://www.aman.or.id/2018/12/jokowi-jk-gagal-penuhi-janjinya-

kepada-masyarakat-adat/

Sukirno. (2019). REKONSTRUKSI REGULASI UNTUK AKSELERASI PENETAPAN

HUTAN ADAT. Jurnal Hukum Progresif, 7(1), 81–97.

Weible, C. M., & Sabatier, P. A. (2005). Comparing Policy Networks: Marine Protected Areas in

California. The Policy Studies Journal, 33(2), 181–202.

Weible, C. M., & Sabatier, P. A. (2007). A Guide to the Advocacy Coalition Framework. In F.

Fischer, G. J. Miller, & M. S. Sidney (Eds.), Handbook of Public Policy Analysis: Theory,

Politics, and Methods (pp. 123–136). New York: CRC Press Taylor & Francis Group.

Weible, C. M., Sabatier, P. A., & McQueen, K. (2009). Themes and Variations : Taking Stock of

the Advocacy Coalition Framework. The Policy Studies Journal, 37(1), 121–140.

Yayasan Madani Berkelanjutan. (2018). ANALISIS DOKUMEN VISI & MISI JOKO WIDODO-

MA’RUF AMIN 2019-2024. Jakarta.

Page 31: PENGAKUAN HUTAN ADAT JALAN DI TEMPAT, MENAKAR …surat edaran tersebut justru memunculkan masalah baru disebabkan justru memperkuat Surat Edaran No. S.75/Menhut‐II/2004 tentang Masalah

Yayasan Madani Berkelanjutan. (2019). Menakar Keberpihakan Wakil Rakyat pada Isu

Lingkungan Seri Pertama: Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Jakarta.