Upload
duongtuyen
View
264
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
\
PENGALAMAN ADAPTASI GURU TULI DALAM MENGAJARKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA SISWA TULI DI ISLAMIC SPECIAL
SCHOOL BEKASI
Skripsi ini Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh:
SYADZA ROSE MAWADDAH
NIM: 1113104000010
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I Keperawatan di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Juli 2017
Syadza Rose Mawaddah
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
PENGALAMAN ADAPTASI GURU TULI DALAM MENGAJARKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA SISWA TULI DI ISLAMIC SPECIAL
SCHOOL BEKASI
Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun oleh;
Syadza Rose Mahwaddah
NIM. 1113104000010
Jakarta, 10 Juli 2017
Pembimbing I, Pembimbing II
Mardiyanti, S. Kep, Ns, M. Kep, MD Puspita Palupi, S.Kep, Ns, M.Kep,Sp. Mat
NIP.19810208 201101 2 006 NIP.19801119 2011012 006
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH\JAKARTA
1438 H/2017 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul
PENGALAMAN ADAPTASI GURU TULI DALAM MENGAJARKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA SISWA TULI DI ISLAMIC SPECIAL
SCHOOL BEKASI
Telah disetujui dan dipertahankan dihadapan penguji oleh :
Syadza Rose Mawaddah
NIM. 1113104000010
Pembimbing I, Pembimbing II
Mardiyanti, S. Kep, Ns, M. Kep, MDS Puspita Palupi, S.Kep, Ns, M.Kep,Sp. Mat
NIP.19810208 201101 2 006 NIP.19801119 2011012 006
Penguji I Penguji II
Waras Budi Utomo, S.Kep, Ns, MKM Karyadi, S.Kep, PhD
NIP. 19790520 200901 1 012 NIP.19710903 200501 1 007
Penguji III Penguji IV
Mardiyanti, S. Kep, Ns, M. Kep, MDS Puspita Palupi, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp. Mat
NIP.19810208 201101 2 006 NIP.19801119 2011012 006
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi dengan judul
PENGALAMAN ADAPTASI GURU TULI DALAM MENGAJARKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA SISWA TULI DI ISLAMIC SPECIAL
SCHOOL BEKASI
Telah disusun :
Syadza Rose Mawaddah
NIM : 1113104000010
Mengetahui,
Ketua program studi ilmu keperawatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Maulina Handayani, S.Kp,M.Sc
NIP. 19790210 2005012 002
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. H., Arif Sumantri, S.KM., M.Kes
NIP. 196 50808 198803 1002
v
RIWAYAT HIDUP
Nama : Syadza Rose Mawaddah
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Mei 1996
Alamat : Jl. Tipar Cakung RT 017 RW 007 No. 26, Kel. Cakung
Barat, Kec. Cakung, Jakarta Timur, 13910
Telepon/Email : 089621187957 / [email protected]
Nama Ayah/Ibu : Dahlim, SH / Marhamah
Riwayat Pendidikan
1. 2013-2017 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. 2010-2013 PonPes Husnul Khotimah Kuningan, Jawa Barat
3. 2007-2010 SMPIT Insan Mubarak Boarding School, jKarta
4. 2001-2007 SDIT Baiturrahman, Jakarta
5. 1999-2001 TK Al-Abror
Riwayat Organisasi
1. Bendahara OSIS SMPIT Insan Mubarak (2007-2008)
2. Ketua OSIS SMPIT Insan Mubarak (2008-2009)
3. Anggota OSIS PonPes Husnul Khotimah Bidang Bahasa (2011-2012)
4. Anggota PSDM BEM FKIK UIN Jakarta (2013-2014)
5. Anggota PSDM KomDA FKIK UIN Jakarta (2013-2014)
6. Anggota Kaderisasi KAMMI Komsat MedSos UIN Jakarta (2013-2015)
7. Koordinator Akhwat PSDM KomDa FKIK UIN Jakarta (2014-2015)
8. Anggota KOMINFO DEMA UIN Jakarta (2014-2015)
9. Koordinator Kemahasiswaan DEMA FKIK UIN Jakarta (2015-2016)
10. Koordinator Kaderisasi Kaderisasi KAMMI Komsat MedSos UIN Jakarta
(2015-2016)
Anggota POK KAMMI Daerah Tangerang Selatan (2016-2017)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
vi
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juli 2017
Syadza Rose Mawaddah, NIM 1113104000010
PENGALAMAN ADAPTASI GURU TULI DALAM MENGAJARKAN
PENDIDIKAN ISLAM PADA SISWA TULI DI ISLAMIC SPECIAL
SCHOOL BEKASI
ABSTRAK
Sekitar 10% penduduk di Indonesia mengalami tuli. Keterbatasan pendengaran
yang dialami penyandang tuli menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam
berkomunikasi, yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan bahasa, sosial
dan emosional, serta prestasi akademik. Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) negeri
untuk siswa tuli umumnya bukan penyandang tuli. Namun, salah satu Islamic
Special School di Bekasi, lebih memilih pengajar tuli untuk menjadi guru walaupun
tidak memilki kualifikasi sebagai guru. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi bagaimana pengalaman adaptasi para guru tuli dalam mengajarkan
agama Islam kepada siswa tuli serta mengeksplorasi hambatan-hambatan yang
dialami. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain fenomonologi
deskriptif. Partisipan terdiri dari enam orang yang dipilih menggunakan teknik
purposive sampling berdasarkan asas kesesuaian dan kecukupan. Teknik analisis
data pada penelitian ini menggunakan metode Colaizzi. Dalam mengajarkan
pendidikan agama kepada siswa tuli, para partisipan mengalami hambatan dalam
berkomunikasi dengan siswa yang cukup besar serta hambatan dalam penggunaan
Bahasa Indonesia, baik itu lisan maupun tulisan.
Akan tetapi para partisipan mampu beradaptasi dan mengatasi hambatannya dengan
baik, dengan cara berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, gesture, serta
gambar/media visual. Para partisipan juga terus meningkatkan kemampuan mereka
dalam menggunakan bahasa isyarat. Seluruh partisipan mengatakan bahwasannya
dalam memberikan pengajaran PAI bagi siswa tuli lebih baik tidak hanya
menggunakan bahasa isyarat, tetapi juga dengan gesture dan gambar..
Kata kunci : Tuli, Pengalaman, Pengajaran PAI.
Referensi : 6 ( Tahun 1964- 2016)
NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
vii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Undergraduate Thesis, July 2017
Syadza Rose Mawaddah, NIM 1113104000010
ADAPTATION EXPERIENCE OF DEAF TEACHER IN TEACHING
ISLAMIC EDUCATION IN DEAF STUDENTS AT THE ISLAMIC
SPECIAL SCHOOL BEKASI
ABSTRACT
Approximately 10% of the population in Indonesia is deaf. Because of their
limitation in listening, deaf people faced hardship in communication that ultimately
impact on language, social and emotional development, and also academic
achievement. The teacher of special needs education for deaf students usually is a
normal people, but at one of Islamic Special School at Bekasi, the teacher that
teaching the deaf students was the deaf teachers eventhough they don’t qualified
as a teacher. This study aims to explore how the experience of adaptation of deaf
teachers in teaching Islam to deaf students and its difficulty. This research is a
qualitative research with descriptive phenomonology design. The participants
consisted of six people selected by using purposive sampling technique based on
the principle of conformity and adequacy. Data analysis technique in this research
using Colaizzi method. In teaching islamic education to deaf students, the
participants face so many limitedness in their ability both of communication and
language, both oral and written. Even though, they can face it well with
communicate using sign language, gesture, and picture/visual media. And the deaf
teacher always improve their ability in sign language. In their opinion of islamic
education of deaf students, all of the participants concur that using sign language,
gustre, and picture are more effective.
Keywords: Deaf, Experience, Teaching, Islamic education
Reference: 6 (Year 1964- 2016)
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik dan hidayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Pengalaman Adaptasi Guru Tuli dalam Mengajarkan Pendidikan Islam
pada Siswa Tuli di Islamic Special School Bekasi”. Shalawat serta salam
senantiasa kita limpahkan kepada Rasul kita Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam
menyusun skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Maulina Handayani, S,Kp., MSc selaku Ketua Program Studi dan Ibu
Ernawati, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Yenita Agus, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Mat.,PhD, selaku pembimbing akademik
yang selalu memberikan nasehat dan motivasi selama proses pendidikan di
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas IslamNegeri Syarif
Hidayatullah.
4. Ibu Ns. Mardiyanti M.Kep., MDS, selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Puspita
Palupi, S.Kep.,Sp.KMat, selaku pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu
serta dengan sabar memberikan bimbingan, saran, dan kritikan dalam penulisan
skripsi ini.
ix
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah
memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama 4 tahun, serta
seluruh staf dan karyawan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Orang tuaku tercinta, Ayahanda Dahlim Haminasa dan Ibunda Marhamah yang
telah mendidik, menasehati, mendoa’kan penulis, serta mendukung baik moril
maupun materil kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman PSIK 2013 yang telah memberikan masukkan, semangat, dan
inspirasi selama proses perkuliahan hingga saat ini.
8. Teman-teman “kosanners”, yang telah melalui suka maupun duka penyusunan
proposl skripsi ini bersama-sama, serta terus memberikan motivasi, semangat,
maupun masukkan yang sangat berguna dalam penyusunan proposal skripsi
ini.
9. Pihak LAZNAS BSM yang telah memberikan banyak sekali bantuan kepada
saya, baik moril maupun materil.
10. Semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini.
Penulis berdo’a semoga semua kebaikan yang telah diberikan mendapat
balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
dalam skripsi ini. Oleh karena itu segala kritikan dan saran yang membangun akan
penulis terima dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 10 Juli 2017
Syadza Rose Mawaddah
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN JUDUL ...................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN............................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4. Manfaat ..................................................................................................... 6
1.5. Ruang Lingkup ......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1. Konsep Tuli .............................................................................................. 7
2.1.1. Pengertian .......................................................................................... 7
xi
2.1.2. Klasifikasi ......................................................................................... 7
2.1.3. Karakteristik Tunarungu ................................................................. 11
2.1.4. Dampak Ketunarunguan.................................................................. 14
2.2. Teori Adaptasi ........................................................................................ 15
2.2.1. Adaptasi dalam Keperawatan .......................................................... 15
2.2.2. Adaptasi dalam Psikologi ................................................................ 17
2.3. Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).......................... 19
2.3.1. Metode Pembelajaran pada Anak secara Umum ............................ 19
2.3.2. Pendidikan Agama Islam ................................................................ 21
2.3.3. Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi Anak Tuli ............................. 23
2.4. Kerangka Teori ....................................................................................... 27
BAB III DEFINISI ISTILAH ............................................................................... 28
3.1. Definisi Istilah ........................................................................................ 28
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 29
4.1. Desain Penelitian .................................................................................... 29
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 31
4.3. Partisipan Penelitian ............................................................................... 31
4.4. Instrumen Penelitian ............................................................................... 32
4.5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 33
4.5.1. Pengumpulan Data .......................................................................... 33
4.5.2. Proses Pengumpulan Data ............................................................... 33
4.6. Analisa Data ........................................................................................... 36
4.7. Etika Penelitian ....................................................................................... 39
BAB V HASIL PENELITIAN.............................................................................. 41
5.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ......................................................... 41
xii
5.2. Hasil Penelitian ........................................................................................... 41
5.2.1. Karakteristik Partisipan........................................................................ 41
5.2.2. Analisis Tematik .................................................................................. 42
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 57
6.1. Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi ................................................... 57
6.2. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 68
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 69
7.1. Kesimpulan ................................................................................................. 69
7.2. Saran ........................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
xiii
DAFTAR BAGAN
Halaman
2.1 Kerangka Teori 27
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Analisis Tematik
xv
DAFTAR SINGKATAN
UU : Undang-Undang
HR : Hadits Riwayat
BPS-SUSENAS : Badan Pusat Statistik Survey Sosial Ekonomi Nasional
BPS-PPLS : Badan Pusat Statistik Pendataan Program Perlindungan
Sosial
SLB : Sekolah Luar Biasa
UIN : Universitas Islam Negeri
Cps : cycles per second
Hz : Hertz
dB : desibel
JaBoDeTaBek : Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi
PAI : Pendidikan Agama Islam
TAP MPR : Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
DEPDIKNAS : Departemen Pendidikan Nasional
DEPDIKBUD : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
DEPAG : Departemen Agama
TCL : teacher centered learning
SLI : Sign Language Interpreter
SIBI : Sistem Bahasa Isyarat Indonesia
BISINDO : Bahasa Isyarat Indonesia
DPD Gerkatin : Dewan Pengurus Daerah Gerakan untuk Kesejahteraan
Tunarungu Indonesia
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Anatomi telinga 9
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1. Karakteristik partisipan 4
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 20 tahun
2003 menyatakan bahwasannya setiap warga negara dijamin haknya dalam
mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk pendidikan agama. Selain
itu, hukum dari mempelajari agama Islam bagi seorang muslim adalah
fardhu ‘ain, baik bagi itu muslim perempuan maupun laki-laki, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi
طلب العلم فريضة على كل مسل
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih
oleh Syaikh Albani da[ lam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)
Namun pada kenyataannya, tidak semua anak mampu memperoleh
haknya itu dengan mudah. Seperti halnya bagi anak-anak tuli. Data dari
BPS-SUSENAS (1995) dalam Penelitian Irwanto, dkk (2010) mengenai
analisis penyandang disabilitas di Indonesia menunjukkan bahwasannya
sekitar 10% dari total penduduk di Indonesia atau sekitar 603.740 jiwa
mengalami tuli dan bisu. Dan apabila dikaitkan dengan latar belakang
pendidikan, hanya sekitar 0,04% penyandang tuli yang mengenyam
perguruan tinggi. Sedangkan 0,12% penyandang tuli tidak tamat SD dan
0,38% tidak sekolah. (Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Menurut Moores (dalam Hallahan dan Kauffman, 2006), definisi dari
tunarungu adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar, dan hal
ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat
frekuensi dan intensitas. Sedangkan Dwijosumarto dalam Somantri (2007)
mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang mampu
mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi
dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli
2
adalah seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam
taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan
kurang dengar adalah seseorang yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan
maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
(Mangunsong, 2009)
Oleh karena keterbatasan yang dimiliknya, penyandang tuli termasuk
anak-anak seringkali menghadapi hambatan-hambatan serta kesulitan dalam
memproses bahasa melalui pendengaran (Brill, MacNeil, & Newman, 1986
dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Hal itu tentu berdampak pada
kehidupan mereka, karena keterbatasan penyandang tuli dalam pemrosesan
bahasa merupakan salah satu hambatan yang paling besar untuk terjadinya
kesulitan komunikasi. Dan diantara dampak kesulitan dalam berkomunikasi
yang paling jelas dirasakan adalah dalam hal perkembangan bahasa,
perkembangan sosial dan emosional, serta perkembangan intelektual dan
prestasi akademik (Mangunsong, 2009). Dalam perkembangan bahasa,
seringkali wicara anak tuli sulit dipahami. Hal itu dikarenakan berbagai
faktor, seperti terjadinya masalah dalam menghasilkan suara, kualitas suara
yang buruk, ketidakmampuan membedakan nada, dan juga masalah yang
berkaitan dengan konten dan struktur dan bahasa (Oyers & Frankman, 1975
dalam Suran & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong 2009). Kemudian dalam
hal perkembangan sosial dan emosional, sebagai makhluk sosial manusia
tentu perlu untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Namun, oleh karena keterbatasan mereka dalam pemilihan bahasa yang
digunakan, menyebabkan mereka memiliki masalah dalam menemukan
orang yang dapat diajak bercakap-cakap (Cambra, 1996; Charlson. dkk,
1992; dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila banyak anak tuli yang berisiko mengalami kesepian
(Mangunsong, 2009). Sedangkan dalam hal perkembangan intelektual,
Moores (dalam Hallahan & Kauffman, 2006) menyimpulkan bahwasannya
anak tuli dan anak normal mempunyai kemampuan kognitif dan
intelektualitas yang sama. Namun demikian, untuk prestasi akademik yang
memang banyak bergantung pada bahasa menyebabkan prestasi pendidikan
penyandang tuli menjadi lebih rendah dari anak-anak normal dan pada
akhirnya mereka mengalami keterbelakangan yang serius. (Mangunsong,
2009)
Untuk itu, pelayanan pendidikan dan pengajaran yang diberikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tuli tentulah tidak sama
dengan anak-anak normal. Anak-anak berkebutuhan khusus perlu untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan yang lebih khusus dan bervariasi, baik
itu dari segi materi, metode, alat, evaluasi, serta strategi pengajaran yang
memang harus disesuaikan dengan kondisi anak (Mangunsong, 2009).
Sebagaimana halnya yang diungkapkan dalam UU Sisdiknas nomor 20
tahun 2003 pasal 5 ayat 2 yang berbunyi “Warga Negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan social berhak memperoleh
pendidikan khusus.” Termasuk halnya dalam mempelajari Islam. Namun,
mempelajari Islam bagi para penyandang tuli tidaklah mudah, banyak
masalah yang dapat menghambat mereka dalam mempelajari Islam.
Berdasarkan penelitian Mardiyanti & Haryanthi, L. Putu (2016), dikatakan
bahwasannya terdapat tiga hal yang menjadi masalah sehingga
menyebabkan para penyandang tuli kesulitan dalam mempelajari Islam,
antara lain : (1) Terbatasnya bahasa isyarat yang digunakan dalam
mempelajari Islam. Hal ini dapat terlihat dari kondisi muslim tuli di
Indonesia ang sangat berbeda dengan negara-negara lain yang memang
sudah maju. Seperti halnya di Amerika, muslim tuli di Amerika sudah
terfasilitasi oleh adanya suatu organisasi yang memang menyediakan
banyak akses bagi para muslim tuli untuk belajar Islam, seperti misalnya
penjelasan tentang Al Qur’an bagi mereka serta tersedianya banyak
penerjemah bahasa isyarat yang menjelaskan khutbah pada saat sholat
Jum’at. Sedangkan semua akses itu belum ada yang ditemukan di Indonesia,
bahkan penerjemah bahasa isyarat sendiri belum sepenuhnya mampu
menjelaskan Islam kepada para muslim tuli; (2) Terbatasnya kemampuan
membaca para penyandang tuli (buta huruf). Oleh karena ketidakmampuan
para penyandang tuli dalam menerima informasi melalui pendengaran,
menyebabkan mereka kesulitan dalam mempelajari bahasa. Sehingga pada
akhirnya mereka pun mengalami keterbatasan pula dalam membaca; dan (3)
Tidak adanya dukungan dari masyarakat bagi penyandang tuli yang ingin
belajar Islam. MisalnaDari penjelasan ustadz, banyak dari mereka yang
memiliki kepercayaan bahwasannya, penyandang tuli akan masuk Surga
walau mereka tidak mempelajari Al-Qur’an secara menyeluruh serta hanya
mengikuti orang lain dalam mengerjakan sholat tanpa paham apa itu
maknanya. Namun, ada pula yang beranggapan bahwasannya ustadz
mengatakan seperti itu karena ustadz sendiri pun tidak tahu bagaimana cara
menjelaskan tentang Islam dan Al Qur’an kepada para penyandang tuli.
Salah satu Islamic Special School di Bekasi berbeda dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB) lainnya, yang mana dalam melakukan pengajaran,
sekolah liuar biasa ini menjadikan para penyandang tuli sebagai pengajar
anak-anak tuli disana, tidak seperti SLB pada umumnya yang menggunakan
orang normal dalam mengajarkan anak-anak tuli (Martiasari, 2015 &
Sulastri, 2015). Walaupun pada dasarnya, para guru ini tidak memenuhi
kualifikasi yang cukup sebagai pengajar, namun bagi para penyandang tuli,
berkomunikasi sesama tuli menggunakan bahasa isyarat lebih mudah
mereka pahami, mengingat bahasa isyarat merupakan bahasa utama mereka.
(Mardiyanti & Haryanthi, 2016) Dan dari studi pendahuluan yang dilakukan
kepada 10 orang guru tuli di Islamic Special School ini didapatkan hasil
bahwasannya mereka semua baru mengenal Islam secara mendalam setelah
mereka bergabung dengan sekolah ini, serta saat ini mereka memberikan
pengajaran Agama Islam kepada anak-anak tuli bersamaan mereka belajar
disana. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana
pengalaman adaptasi yang dialami guru tuli disana dalam mengajarkan
pendidikan Islam kepada anak-anak tuli.
1.2. Rumusan Masalah
Mendapatkan pendidikan agama adalah hak segala anak. Termasuk
halnya mendapatkan pendidikan agama Islam. Dan sebagai seorang muslim,
mempelajari agama hukumnya adalah wajib, karena dengan mempelajari
agama manusia dapat memenuhi kebutuhan ruhiyahnya. Namun, terdapat
sebagian orang yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan haknya
mempelajari ilmu agama. Seperti halnya para penyandang tunarungu atau
tuli. Saat ini diketahui sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia
mengalami tunarungu. Tunarungu itu sendiri adalah kondisi dimana
individu tidak mampu mendengar, dan hal ini tampak dalam wicara atau
bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi dan intensitas.
Karena keterbatasan penyandang tuli dalam memperoleh informasi
melalui suara dan pendengaran, mereka menghadapi banyak masalah dalam
mempelajari agama Islam, antara lain terbatasnya bahasa isyarat yang
digunakan dalam mempelajari Islam, terbatasnya kemampuan membaca
para penyandang tuli (buta huruf), serta tidak adanya dukungan dari
masyarakat bagi penyandang tuli yang ingin belajar Islam. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajarnya perlu diperhatikan dan
diberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran yang lebih khusus, baik itu
materi, metode, alat, evaluasi, maupun strategi pengajarannya. Selain itu,
saat ini penelitian yang ada mengenai pembelajaran bagi anak tuli hanyalah
pengajaran yang diberikan oleh orang normal dan belum ada penelitian yang
meneliti tentang bagaimana guru tuli dalam mengajarkan anak tuli. Oleh
karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti hal ini. Peneliti tertarik pada
pengalaman adaptasi yang dialami para guru tuli dalam mengajar anak-anak
tuli disana.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman
adaptasi para guru tuli dalam mengajarkan agama Islam kepada siswa tuli dan
mengeksplorasi hambatan-hambatan yang dialami serta bagaimana mereka
mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang bagaimana
adaptasi yang dialami penyandang tuli khususnya di sekolah sesuai
dengan keterbatasannya, sehingga masyarakat dapat membantu
penyandang tuli dalam beradaptasi dan berpartisipasi dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan.
b. Bagi perawat adalah agar perawat mengetahui bagaimana memberikan
asuhan keperawatan komunitas yang tepat bagi para penyandang tuli
sesuai dengan adaptasi dan kebutuhan mereka.
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman adaptasi yang dialami para guru
tuli dalam mengajarkan Pendidikan Islam kepada anak-anak tuli di salah satu
Islamic Special School di Bekasi. Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi langsung serta wawancara mendalam yang
dilakukan kepada para sampel yaitu para guru tuli untuk mengetahui bagaimana
pengalaman adaptasi yang mereka alami dalam mengajarkan pendidikan agama
Islam kepada siswa tuli.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Tuli
2.1.1. Pengertian
Tunarungu atau tuli menurut Suharmini (2009) adalah suatu keadaan
dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran
sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau
rangsang lain melalui pendengaran. Sedangkan menurut Murni Winarsih
(2007) tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan
mendengar dari yang ringan sampai berat, baik itu digolongkan ke dalam
tuli (tidak mampu mendengar) maupun kurang dengar.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasannya
pengertian penyandang tuli adalah seseorang yang mengalami kekurangan
ataupun kehilangan kemampuan pendengarannya, baik itu sebagian maupun
menyeluruh. Dan oleh karena ketidakmampuannya dalam menerima
rangsangan suara, mereka mengalami hambatan dan kesulitan dalam
memahami perkembangan bahasa, sehingga mereka cenderung untuk
kesulitan dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi.
2.1.2. Klasifikasi
Dalam kehidupan, penyandang tuli seringkali disamaartikan dengan
penyandang tunawicara. Namun, pada kenyataannya batasan kemampuan
wicara seorang penyandang tuli dimulai berdasarkan saat mulainya terjadi
ketulian mereka. Hallahan dan Kauffman (2006) membagi tuli menjadi dua
kategori, yaitu prelingual deafness dan postlingual deafness. Prelingual
deafness merupakan suatu kondisi seseorang dimana ketulian sudah ada
sejak lahir atau terjadi sebelum dimulainya perkembangan bicara dan
bahasa. Sedangkan postlingual deafness adalah suatu kondisi dimana
8
seseorang mengalami ketulian setelah ia sudah mampu menguasai wicara
dan bahasa.
Selain berdasarkan kemampuan wicara, penyandang tunarungu juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan seberapa besar mereka kehilangan
pendengaran serta seberapa besar mereka bisa mendengar suara, yang mana
hal itu dapat dilihat dari batasan kuantitatif frekuensi dan intensitasnya.
Frekuensi dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per second) atau hertz (Hz).
Seseorang dengan pendengaran normal dapat mendengar dengan frekuensi
18-18.000 hertz, dimana pembicaraan biasa berada pada batas 100-1000
hertz. (Cline & Frederickson, 2002)
Kemudian, batasan kuantitatif kemampuan mendengar penyandang
tuli dapat pula diukur menggunakan audiometri. Audiometri merupakan alat
yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau
seberapa besar hilangnya pendengaran, dan ditunjukkan dalam satuan
desibel (dB). Klasifikasi kemampuan mendengar penyandang tuli apabila
diukur dengan audiometri adalah sebagai berikut:
a. Kelompok 1: adalah seseorang yang mengalami kehilangan
pendengaran yang ringan (20-30 dB). Orang-orang dengan kehilangan
pendengaran sebesar ini masih mampu berkomunikasi dengan
menggunakan pendengarannya. Karena kelompok ini merupakan
ambang batas antara orang yang sulit mendengar dengan orang normal.
b. Kelompok 2: hilangnya pendengaran yang marginal (30-40 dB). Orang-
orang dengan gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti
suatu pembicaraan pada jarak beberapa meter. Pada kelompok ini,
orang-orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar,
namun harus dilatih.
c. Kelompok 3: hilangnya pendengaran yang sedang (40-60 dB). Dengan
bantuan alat dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa
belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.
d. Kelompok 4: seseorang yang kehilangan pendengarannya sudah berat
(60-75 dB). Orang-orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa
9
menggunakan teknik-teknik khusus. Pada gangguan ini mereka sudah
dianggap sebagai ‘tuli secara edukatif’. Mereka berada pada ambang
batas antara selut mendengar dengan tuli.
e. Kelompok 5: hilangnya pendengaran yang parah (>75 dB). Orang-orang
dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa dengan hanya semata-mata
mengandalkan telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar
sekalipun.
Dari berbagai klasifikasi diatas, dapat disimpulkan bahwasannya
kelompok 1, 2, dan 3 masih tergolong dalam kategori sulit mendengar.
Sedangkan kelompok 4 dan 5 sudah termasuk dalam kategori tuli. Kesulitan
dalam pendengaran pun berbanding lurus dengan semakin kesulitannya
seseorang untuk berbicara (Mangunsong, 2009). Oleh karena itu, semakin
parahnya tingkat kehilangan pendengaran anak, akan semakin memaksa
anak untuk tidak berkomunikasi secara oral, melainkan lebih banyak
mengandalkan mata dan menggunakan bagian tubuh lain, seperti wajah dan
isyarat tangan.
Gangguan pendengaran juga dapat dikalisfikasikan berdasarkan
anatomis tubuh, meliputi ketulian yang bersifat konduktif dan ketulian
K=yang bersifat sensorineural. Pada kelompok lain juga terdapat ketulian
campuran (mixed hearing loss) dan ketulian karena masalah pada sentral
auditoris (central hearing loss).
10
F
y
Gambar 2.1. Anatomi telinga
Sumber: Josephine, 2013
Pada kasus tuli konduktif (conductive deafness), kehilangan
pendengaran disebabkan oleh adanya gangguan transmisi suara dari saluran
auditoris ke telinga dalam. Kerusakan telinga biasanya terjadi pada saluran
luar telinga, misalnya disebabkan oleh terjadinya malformasi, penyumbatan,
pecahnya gendang telinga, gendang telinga tidak dapat melakukan vibrasi,
ataupun karena adanya gangguan pada telinga tengah. Dan pada kasus ini,
kerusakan dapat diperbaiki secara medis atau dengan pembedahan, serta
dalam kehidupannya masih dapat dibantu dengan alat bantu dengar.
(Mangusnong, 2009)
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan
sensorineural atau yang juga biasa dikenal dengan istilah kerusakan
11
perseptif merupakan kerusakan kerusakan telinga bagian dalam atau
kerusakan pada syaraf pendengaran yang berfungsi menyampaikan
rangsang ke otak. Kerusakan sensorineural ini tidak dapat diperbaiki secara
medis, dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan
penggunaan alat bantu dengar serta dukungan pendidikan. (Mangunsong,
2009)
Ketulian campuran merupakan campuran antara ketulian konduktif
dan ketulian sensorineural. Dan untuk penanganan kasus ini, perbaikan yang
bisa dilakukan adalah pada ketulian konduktifnya saja (Mangunsong, 2009).
Sedangkan pada ketulian karena adanya masalah pada auditoris pusat
merupakan masalah ringan yang bersifat neurologis pada cerebral cortex
yang berdampak pada persepsi, kemampuan organisasi dan pemahaman
terhadap suara dan bukan karena kehilangan kemampuan untuk
mendengarkan bunyi-bunyian. Sebagian anak yang diperkirakan memiliki
kesulitan belajar seringkali mengalami ketulian pusat (control deafnessi),
sama halnya dengan anak-anak yang mengalami gangguan atau hambatan
bahasa, dari tingkat rendah sampai parah. (Ashman & Elkins, 1998)
2.1.3. Karakteristik Tunarungu
Untuk dapat memahami suatu peristiwa tidaklah sulit bagi anak
normal, hal itu dikarenakan mereka dapat memahami pendengaran,
penglihatan, serta segala sesuatu yang sempat terekam di otak melalui
persepsi visual. Berbeda dengan anak-anak yang memang memiliki
beberapa kekurangan dan keterbatasan, seperti halnya anak tunarungu. Dan
berikut beberapa masalah yang biasa dihadapi oleh anak tunarungu dari segi
kebahasaannya antara lain:
a. Miskin kosakata (bahasa terbatas)
b. Sulit mengartikan ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan atau
sindiran.
12
c. Kesulitan dalam mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan, pandai,
mustahil, dan lain-lain.
d. Kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa. (Rochanah, 2009 dalam
Arum, 2014)
Menurut Telford dan Sawrey (1981) ketunarunguan juga dapat
tampak melalui simtom-simtom seperti sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis
2. Kegagalan berespons apabila diajak berbicara
3. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi
4. Mengalami keterbelakangan di sekolah.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, sangat penting bagi para
orangtua maupun para guru untuk mengetahui keadaan dan kondisi anak-
anaknya, baik itu saat sedang berada di rumah, di sekolah, maupun di
tempat-tempat lainnya. Dan berikut adalah indikator terjadinya gangguan
pendengaran pada anak, yang biasanya ditandai dengan gejala antara lain:
1. Reaksi lambat terhadap intruksi atau berulang kali menanyakan apa
yang harus ia lakukan padahal baru saja diberitahu
2. Melihat anak lain untuk mengikuti apa yang mereka lakukan
3. Secara konstan meminta orang lain untuk mengulangi apa yang baru
saja mereka katakan
4. Kadang-kadang mampu mendengar, kadang-kadang tidak, terutama
ketika sedang mengalami flu, sakit, ataupun ketika berada di posisi
tertentu
5. Sering salah menginterpretasi informasi, pertanyaan, dan pembicaraan
orang, atau hanya berespon pada hal yang dikatakan paling akhir
6. Tidak mampu mengindentifikasi sumber suara atau pembicara,
terutama pada saat kondisi ramai
13
7. Memiliki kecenderungan melamun atau menunjukkan konsentrasi dan
perhatian yang payah, terutama selama diskusi kelompok atau ketika
sedang dibacakan cerita dengan suara keras
8. Membuat komentar atau jawaban yang tidak sesuai, tidak mengikuti
topik pembicaraan
9. Perkembangan bahasa terlambat, bahasa tidak gramatikal untuk usianya
10. Sulit mengulangi suara, kata-kata, lagu, irama, atau untuk mengingat
nama orang dan tempat
11. Memperdengarkan suara yang terlalu lembut atau keras tanpa
menyadarinya
12. Membuat kesalahan dalam berbicara (misalnya menghilangkan
konsonan di akhir-akhir kata)
13. Bingung dengan kata-kata yang bunyinya hampir sama (contoh: pahit,
jahit, kait)
14. Melihat wajah pembicara dari jarak dekat atau membaca bibir
pembicara
15. Menyeringai atau menunjukkan ketegangan ketika diajak bicara
16. Mengeluhkan adanya suara bising di telinganya
17. Memegang kepala dengan cara yang aneh ketika diajak bicara
18. Terkadang menjadi terganggu selama pelajaran yang membutuhkan
kemampuan mendengar
19. Sering mengalami batuk, pilek, demam, sakit tenggorokan, tonsilitis,
sinusitis, alergi, atau gangguan pada telinga
20. Prestasinya lebih rendah dari potensinya
21. Memiliki masalah perilaku di rumah dan di kelas
22. Suka menarik diri dari teman-temannya.
(Ashman & Elkins, 1998; Cline & Frederickson, 2002; Suran & Rizzo,
1979; dalam Mangunsong 2009)
14
2.1.4. Dampak Ketunarunguan
Seberapa jauh dampak ketunarunguan terhadap pendidikan anak
sangat dipengaruhi oleh hakekat kerusakan secara kualitatif, derajat
ketunaan dan saat terjadinya. Dan yang paling parah adalah apabila
kerusakan pendengaran terjadi pada rentang frekuensi manusia, bukan
hanya pada suara musik ataupun suara yang rendah. Dampak tunarungu
antara lain adalah:
1. Perkembangan bahasa
Interdependensi antara pendengaran dengan perkembangan bahasa
sangat besar dan merupakan masalah yang besar bagi anak tunarungu.
Kepandaian berbicara berhubungan dengan tingkat kerusakan
pendengaran dan usia awal munculnya kerusakan pendengaran tersebut
(Hallahan & Kauffaman, 2006 dalam Mangunsong 2009). Marschark
mengatakan bahwasannya anak yang mengalami prelingual deafness
yang parah akan sulit mengembangkan kepandaian berbicara meskipun
sudah melalui terapi intensif (Hallahan & Kauffman, 2006 dalam
Mangunsong, 2009)
2. Perkembangan intelektual dan prestasi akademik
Perkembangan konsep dan kemampuan berpikir abstrak pada anak
tunarungu pada soal-soal yang tidak mengandalkan bahasa ternyata
memiliki kesamaan dengan anak normal (Furth, 1971; Venon, 1967;
dalam Suran & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong 2009).
Pendapat Avery (1967), Birch (1975), dan Kirk (1972) (dalam
Cartwright 1984, dalam Mangunsong, 2009) mengatakan bahwa
penguasaan bahasa dan pembentukan konsep dasar anak tunarungu
sangat dipengaruhi oleh bentuk kerusakan pendengaran, usia
dimulainya, derajat kehilangan pendengaran, fungsi kognitif,
ada/tidaknya kondisi kecacatan lain dan jumlah stimulasi yang tersedia
bagi anak yang bersangkutan.
3. Perkembangan sosial dan emosional
15
Perkembangan sosial dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya untuk berkomunikasi, demikian pula pada anak
tunarungu. Misalnya, pada remaja tunarungu, perkembangan sosialnya
dipengaruhi berbagai hal yang saling berhubungan, dan salah satunya
adalah pemilihan bahasa yang digunakan dalam hubungannya dengan
orang lain. (Gregory dalam Marschark & Clark, 1998 dalam
Mangunsong 2009)
2.2. Teori Adaptasi
2.2.1. Adaptasi dalam Keperawatan
Adaptasi atau penyesuaian diri adalah suatu cara mengubah diri
sesuai dengan keadaan lingkungan, dan juga mengubah lingkungan sesuai
dengan keadaan/keinginan diri (Gerungan, 2006). Sedangkan menurut
Sarafino (2006) adaptasi adalah proses penyesuaian diri terhadap beban
lingkungan agar organisme dapat bertahan hidup. Jadi, dapat disimpulkan
pada hakikatnya inti dari adaptasi adalah penyesuaian. Aminuddin (2000)
mengatakan penyesuaian itu dilakukan demi mencapai beberapa tujuan,
yaitu:
a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan,
b. Menyalurkan ketegangan sosial,
c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial, dan
d. Bertahan hidup.
Sedangkan menurut Semium (2006), tujuan dari adaptasi atau
penyesuaian diri antara lain:
a. Menghadapi tuntutan kesadaran secara sadar,
b. Menghadapi tuntutan kesadaran secara realistik,
c. Menghadapi tuntutan kesadaran secara objektif, dan
d. Menghadapi tuntutan kesadaran secara rasional.
16
Menurut Roy dalam Potter & Perry (2005) sistem adaptasi memiliki
empat model adaptasi yang akan berdampak terhadap respon adaptasi,
antara lain:
a. Fungsi fisiologis; Sistem adaptasi fisiologis diataranya adalah
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit,
indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin.
b. Konsep diri; Bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi sosial
dalam berhubungan dengan orang lain.
c. Fungsi peran; Proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana
peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam
berhubungan dengan orang lain.
d. Interdependen; Kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang
kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara
interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.
Roy mendefinisikan bahwasannya tujuan dari asuhan keperawatan
adalah dilihat dari peningkatan dan respon adaptasi sesuai dengan empat
model adaptasi tersebut. Seseorang dikatakan mampu beradaptasi dengan
baik apabila ia mampu berespon secara positif terhadap rangsangan yang ia
terima, baik itu rangsangan dari dalam (interna) maupun dari luar (eksterna)
(Nursalam, 2008). Perubahan atau rangsangan internal, eksternal, dan juga
stimulus yang dialami bergantung dari kondisi koping individu. Peran
perawat adalah meningkatkan perilaku adaptif klien dengan manipulasi
stimulasi fokal, konstektual, dan residual. Tingkat adaptasi fokal ditentukan
oleh stimulus fokal konstektual dan juga residual. Stimulus fokal adalah
suatu repons yang diberikan secara langsung terhadap input yang masuk.
Penggunaan fokal pada umumnya bergantung pada tingkat perubahan yang
berdampak terhadap kehidupan seseorang. Stimulus konstektual adalah
semua stimulus lain yang merangsang seseorang baik internal maupun
eksternal, serta mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan
17
secara subjektif disampaikan oleh individu. Sedangkan stimulus residual
adalah karakteristik atau riwaat seseorang dan timbul secara relevan sesuai
dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara objektif.
Terdapat pula dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy yaitu:
a. Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat
mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia.
b. Respon yang tidak adaptif dimana manusia tidak dapat mengontrol dari
terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tid ak dapat
mencapai tujuan yang akan diraih. (Potter & Perry, 2005)
2.2.2. Adaptasi dalam Psikologi
Adaptasi atau penyesuaian diri menurut Schneiders (1964)
merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi
dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologi yang tepat.
Sedangkan Harlock dalam Gunarsa (2004) mendefinisikan adaptasi sebagai
subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada umum atau kelompoknya,
dan apanila orang mampu tersebut memperlihatkan sikap dan perilaku yang
menyenangkan, berarti orang tersebut diterima oleh kelompok dan
lingkungannya. Gerungan (1991) juga mendefinisikan adaptasi sebagai
suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian berarti
mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti
mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan keinginan pribadi.
Schneiders (1964) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang
baik meliputi beberapa aspek sebagai berikut :
a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebih
Hal ini ditekankan dengan adanya kontrol dan ketenangan emosi
individu yang memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan
secara inteligen dan dapat menentukan berbagai kemungkinan
18
pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada
emosi sama sekali, tetapi lebih kepada kontrol emosi ketika menghadapi
situasi tertentu.
b. Tidak terdapat mekanisme psikologis
Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang
dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu
mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak
berharga untuk dicapai.
c. Tidak terdapat perasaan frustrasi personal
Penyesuaian dikatakan normal ketika seseorang bebas dari frustasi
personal. Perasaan frustasi membuat seseorang sulit untuk bereaksi
secara normal terhadap situasi atau masalah. Individu yang mengalami
frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan. Jika
individu mengalami frustasi, maka akan sulit bagi individu untuk
mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah
laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
d. Kemampuan untuk belajar
Aspek ini menjelaskan bahwasannya proses dari penyesuaian yang
normal bisa diidentifikasikan dengan pertumbuhan dan perkembangan
dalam pemecahan situasi yang penuh dengan konflik, frustasi atau stres.
Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu merupakan proses
belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil
dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres.
e. Pemanfaatan pengalaman masa lalu
Dalam proses pertumbuhan dan perubahan, penggunaan pengalaman di
masa lalu itu penting. Ini merupakan salah satu cara dimana organism
belajar. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun
pengalaman orang lain melalui proses belajar Individu dapat melakukan
19
analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan
mengganggu penyesuaiannya.
f. Sikap realistik dan objektif
Aspek yang keenam ini mengindikasikan bahwasannya penyesuaian
yang normal secara konsisten berhubungan dengan sikap realistik dan
objektif. Sikap yang realistik dan objektif adalah berdasarkan
pembelajaran, pengalaman masa lalu, pemikiran rasional mampu
menilai situasi, masalah atau keterbatasan personal seperti apa adanya.
Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang
rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu
sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
g. Pertimbangan rasional dan pengarahkan diri
Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan
terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi
pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam
kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal.
Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik apabila
individu dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan
situasi yang menimbulkan konflik.
2.3. Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
2.3.1. Metode Pembelajaran pada Anak secara Umum
Menurut Usman (2004), metode pembelajaran merupakan salah
satu strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru untuk
menghadapi masalah belajar mengajar sehingga tujuan pengajaran dapat
tercapai dengan baik. Dengan pemanfaatan metode yang efektif dan
efisien, guru akan mampu mencapai tujuan pengajaran. Usman (2004)
juga membagi metode pembelajaran menjadi beberapa macam antara
lain:
a. Metode proyek
20
Merupakan cara penyajian pelajaran yang berttik tolak pada suatu
masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi pemecahannya secara
keseluruhan dan bermakna.
b. Metode eksperimen
Metode eksperimen (percobaan) adalah cara penyajian pelajaran
dimana peserta didik melakukan percobaan dengan mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu yang dapat dipelajari. Peserta didik
dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran atau mencoba
mencari suatu hukum atau dalil dan menarik kesimpulan atau proses
yang dialaminya itu.
c. Metode tugas atau resitasi
Adalah metode penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan
tugas tertentu agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. Metode
ini diberikan apabila materi pelajaran yang banyak tidak sebanding
dengan waktu yang sedikit.
d. Metode diskusi
Metode diskusi adalah cara penyajian pelajaran, dimana peserta
didik dihadapkan pada suatu masalah yang bersifat problematis untuk
dibahas dan dipecahkan secara bersama. Dalam diskusi terjadi
interaksi, tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah
dan peserta didik menjadi aktif.
e. Metode demonstrasi
Adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan memperagakan atau
mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi, atau benda
tertentu yang sedang dipelajari, baik itu sebenarnya ataupun tiruan
dengan lisan.
f. Metode tanya jawab
Tanya jawab memungkinkan terjadinya komunikasi yang bersifat
dua arah sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dan
peserta didik.
g. Metode latihan
21
Merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu. Metode ini dapat juga digunakan untuk
memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan, dan
keterampilan.
h. Metode ceramah
Adalah metode yang telah lama dipergunakan sebagai alat
komunikasi lisan antara guru dengan peserta didik dalam proses belajar
mengajar. Metode tersebut harus dapat meningkatkan pemahaman
peserta didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh guru.
2.3.2. Pendidikan Agama Islam
2.3.2.1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut A. Tafsir (2012) pendidikan dalam arti luas adalah
pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, yaitu aspek jasmani,
akal, dan hati (ruhani). Kemudian secara umum, pendidikan juga dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai di masyarakat dan kebudayaan (Zuharini, dkk. 1992).
Sedangkan menurut S. Muhibin (2002) pendidikan merupakan suatu
proses pemeliharaan dan pemberi latihan, yang mana dalam proses ini
diperlukan adanya ajaran tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran peserta didik.
Pendidikan agama menurut S. Muhibin (2002) ialah salah satu
sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan manusia sebagai hamba Allah SWT, yang mana
menggunakan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman, Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu kehidupan di dunia
maupun di akhirat. Menurut Daradjat, D (1996) pendidikan agama
merupakan suatu proses pendidikan melalui ajaran-ajaran Islam, yaitu
berupa bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar nantinya
setelah selesai dari pendidikan agar dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang telah menyeluruh, serta
22
menjadikan ajaran Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi
keselamatan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Daradjat, D (1993) juga mengatakan dalam bukunya Ilmu Jiwa
Agama, bahwasannya pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa
kecil dulu. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah
mendapatkan didikan agama maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan
merasakan pentingnya agama dalam hidupnya.
2.3.2.2. Faktor-Faktor dalam Pendidikan Agama Islam
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung berhasil atau
tidaknya pendidikan agama Islam menurut Ningtyastuti (2011), antara
lain:
1. Pendidik
Pendidik dalam pendidikan agama Islam adalah setiap orang
dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas
pendidikan dirinya dan orang lain. Hal itu berarti bahwa pendidik
merupakan sifat yang lekat pada setiap orang karena pada hakikatnya
setiap orang bertanggung jawab atas pendidikan itu sendiri.
2. Peserta didik
Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam
arti ada yang dibimbing, diajari, atau dilatih dala peningkatan
keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran
agama Islam.
3. Dasar yuridis dan hukum
Dasar pendidikan agama Islam diatur oleh perundang-undangan
yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama Islam pada anak. Dasar yuridis formal
tersebut antara lain:
23
a. Dasar Ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama:
Ketuhanan Yang Maha Esa; hal itu berarti Pancasila mengatur
bahwasannya setiap warga negara Indonesia harus memiliki
Tuhan. Dan seseorang yang memiliki Tuhan tentu perlu untuk
mengetahui tentang agama dan Tuhannya.
b. Dasar Operasional, yaitu terdapat dalam TAP MPR NO.
IV/MPR 1973 yang kemudian dikokohkan dalam TAP MPR
NO. IV/MPR 1978. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983
diperkuat oleh TAP MPR No. II/MPR/1988 dan TAP MPR No.
II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang
pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan
Agama Islam secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum
sekolah-sekolah formal, mulai dari Sekolah Dasar hingga
Perguruan Tinggi.
c. Segi Religius. Yang dimaksud dengan segi religius adalah dasar
yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri. Menurut ajaran
Islam, pendidikan agama adalah perintah Allah dan merupakan
perwujudan ibadah kepada-Nya.
2.3.3. Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi Anak Tuli
2.3.3.1. Tujuan Pembelajaran PAI
Tujuan pembelajaran PAI bagi anak tunarungu antara lain adalah
untuk:
a. Menumbuhkembangkan aqidah melalui pemberian, pemupukan,
dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman anak tentang agama Islam sehingga
kelak akan menjadi manusia muslim yang terus berkembang
keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia berakhlak mulia, yaitu manusia
yang produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi
24
(tasammuh) serta menjaga harmoni serta personal dan sosial.
(DEPDIKNAS, 2006)
2.3.3.2. Ruang Lingkup dan Bahan Pembelajaran PAI
Ruang lingkup pendidikan agama Islam meliputi keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan antara:
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan sesama manusia.
c. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
d. Hubungan manusia dengan akhluk dan lingkungannya.
(DEPDIKBUD, 2007)
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran pendidikan agama Islam
meliputi lima unsur pokok, yaitu Al Qur’an, Aqidah, Syari’ah, Akhlak,
dan Tarikh (sejarah). Namun, pada anak berkebutuhan khusus seperti
tunarungu, diberikan penekanan lebih terhadap tiga hal yaitu:
a. Kepercayaan (i’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman.
b. Perbuatan (‘amaliyah), yang terbagi dalam dua bagian: (1) masalah
ibadah, berkaitan dengan rukun Islam, seperti syahadat, shalat,
zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah SWT; (2) masalah Mu’amalah, berkaitan
dengan interaksi manusia dengan sesamanya.
c. Etika (khulukiyah), berkaitan dengan kesusilaan, budi pekerti, serta
adab atau sopan santun yang menjadi perhiasan bagi seseorang.
(DEPDIKBUD, 2007)
2.3.3.3. Fungsi Pembelajaran PAI
Pendidikan Agama Islam bagi anak-anak berkebutuhan khusus
seperti tuli memiliki fungsi antara lain:
25
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan
anak kepada Allah SWT sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
b. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak yang memiliki bakat
khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang
secara optimal sehingga nantinya dapat bermanfaat tidak hanya
bagi dirinya tetapi juga orang lain.
c. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,
kekurangan, serta kelemahan siswa dalam keyakinan,
pemahaman, dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari.
d. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya asing yang dapat membahayakan
dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia
Indonesia seutuhnya.
e. Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
dan sehingga nantinya mengubah lingkungannnya sesuai dengan
ajaran Islam.
f. Sumber nilai, yaitu untuk memberikan pedoman hidup untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. (DEPAG,
2003)
2.3.3.4. Metode Pembelajaran PAI bagi Anak Tuli
Untuk menghadapi anak yang memang meiliki kekurangan,
metode pembelajaran yang paling tepat digunakan adalah TCL (Teacher
Centered Learning), karena apabila anak-anak yang memiliki
kekurangan dibiarkan dan memintanya untuk belajar secara mandiri
maka yang terjadi adalah anak tersebut akan hanya bermain-main
dengan temannya. Dengan pembelajaran yang berpusat pada guru, maka
26
siswa yang memiliki kekurangan tersebut dapat dibimbing oleh guru
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Selanjutnya, para guru
hanya fokus pada perilaku siswa. (Smart, 2012)
Selain itu, oleh karena kekurangan dan keterbatasan anak
tunarungu terletak pada pendengaran dan percakapannya, metode
pembelajaran PAI menurut DEPAG (2003) yang sesuai dengan anak
tunarungu antara lain adalah:
a. Dalam pengembangan materi PAI bagi anak tunarungu tidak
dalam bentuk ceramah sebagaimana anak “awas” (umum)
lainnya, tetapi dengan cara percakapan. Jadi guru harus lebih aktif
dalam percakapan. Apalagi yang menyangkut ibadah, dengan
mengucapkan lafal atau bacaan.
b. Materi hendaklah lebih menarik bagi anak. Dalam hal ini
kreativitas dan inovasi guru sangat diperlukan. Penyampaian
materi hendaklah dari hal yang abstrak ke yang kongkrit, dari
yang mudah ke yang sulit.
c. Materi PAI hendaklah disesuaikan dengan kemampuan anak,
serta dilakukan pengelompokkan sesuai dengan kemampuannya.
Anak yang pandai harus disendirikan dari anak yang
berkemampuan sedang atau kurang.
Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahswasannya
metode pembelajaran PAI bagi anak tunarungu masih belum aplikatif,
dikarenakan pengajaran diatas tidak menggunakan bahasa isyarat
sebagaimana bahasa utama bagi penyandang tuli. (Yuniati, 2011
27
2.4. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Kerangka teori tentang metode pengajaran agama
Islam oleh guru tuli kepada anak-anak tuli.
Dampak tunarungu:
a. Perkembangan bahasa
b. Perkembangan
intelektual dan prestasi
akademik
c. Perkembangan sosial
dan emosional
Pembelajaran Pendidikan PAI.
Metode pembelajaran PAI bagi
anak tunarungu:
a. TCL (teacher centered
learning)
b. Tidak dalam bentuk
ceramah. Tapi lebih
banyak percakapan
c. Materi dibuat lebih
menarik
d. Materi disesuaikan
dengan kemampuan
anak (kelompokkan anak
sesuai kemampuan)
Siswa tuli
Guru tuli Penyandang Tuli: adalah
suatu keadaan dari
seorang individu yang
mengalami kerusakan
pada indera pendengaran
sehingga menyebabkan
tidak bisa menangkap
berbagai rangsang suara,
atau rangsang lain
melalui pendengaran
Pengalaman adaptasi
mengajar
4 model adaptasi:
a. Fungsi fisiologis
b. Konsep diri
c. Fungsi peran
d. Interdependen
Respon adaptasi:
a. Respon adaptif
b. Respon
maladaptif
Teori adaptasi
keperawatan Calista Roy
28
(Suharmini, 2009); Mangusnsong (2009); Smart
(2012); DEPAG (2003)
28
BAB III
DEFINISI ISTILAH
3.1. Definisi Istilah
Untuk memperjelas istilah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan definisi istilah, yaitu:
1. Tuli atau tunarungu adalah suatu keadaan dari seorang individu yang
mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan
tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain
melalui pendengaran.
2. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-
unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3. Pendidikan agama merupakan salah satu sistem kependidikan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan manusia sebagai
hamba Allah.
4. Pengalaman yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pengalaman para
guru tuli mengenai kegiatan pembelajaran pendidikan Agama Islam
kepada para anak-anak tuli usia sekolah di Islamic Special School.
29
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi deskriptif. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk & Miller
dalam Moleong (2013) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif
yang dipertantangkan dengan pengamatan kuantitatif. Menurut Strauss &
Corbin (dalam Cresswell, 1998), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak
dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik
atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Sedangkan Bogdan &
Taylor dalam Moleong (2013) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan
individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sehubungan dengan
itu, Kirk & Miller (1986) juga mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamnetal
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi deskriptif yaitu
penelitian yang secara langsung untuk mendeskripsikan persepsi
pengalaman hidup mereka secara luas dan mendalam (Holloway, 2008).
Makna fenomenologi itu sendiri adalah pendekatan filosofis untuk
mempelajari fenomena (penampilan) dan pengalaman manusia (Holloway,
2008). Pendekatan fenomenologi berusaha mencari "esensi" makna dari
suatu fenomena yang dialami oleh beberapa individu. Untuk menerapkan
30
riset fenomenologis, peneliti bisa memilih antara fenomenologi
hermeneutik yaitu yang berfokus pada "penafsiran" teks-teks kehidupan dan
pengalaman hidup atau fenomenologi transendental dimana peneliti
berusaha meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan prasangka
tentang fenomena tersebut. Prosedurnya yang terkenal adalah Epoche
(pengurungan), yakni suatu proses dimana peneliti harus mengesampingkan
seluruh pengalaman sebelumnya untuk memahami semaksimal mungkin
pengalaman dari para partisipan. Analisisnya berpijak pada horizonalisasi,
dimana peneliti berusaha meneliti data dengan menyoroti pernyataan
penting dari partisipan untuk menyediakan pemahaman dasar tentang
fenomena tersebut (Cresswell, 2014). Sedangkan hal yang akan dikaji
adalah deskripsi mengenai pengalaman orang lain dan apa maknanya bagi
mereka (Saryono & Anggraeni, 2010).
Spiegelberg (1975) dalam Streubert & Carpenter (2011)
mengidentifikasi tiga langkah proses untuk fenomenologi deskriptif, yaitu
tahap intuisi, analisis, dan deskripsi. Langkah pertama yaitu intusi, peneliti
sepenuhnya terlibat dalam investigasi fenomena. Proses dimana peneliti
mulai mengetahui tentang fenomena seperti yang dijelaskan oleh para
partisipan. Pada tahap intuisi ini peneliti sebagai instrumen dalam proses
wawancara. Peneliti menjadi alat untuk pengumpulan data dan
mendengarkan keterangan partisipan melalui proses wawancara. Langkah
kedua yaitu analisis, dimana peneliti mendengarkan deskripsi individu
tentang pengalamannya dari hasil transkripsi kemudian mengidentifikasi
esensi dari fenomena yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh dan
bagaimana data disajikan. Peneliti akan membedakan fenomena tersebut
berkaitan dengan elemen-elemen atau unsur, kemudian mengeksplorasi
hubungan dan koneksi dengan fenomena yang berdekatan yang dialami
partisipan. Langkah ketiga yaitu deskripsi, dimana pada tahap ini peneliti
akan mengkomunikasikan dan memberi penjelasan secara tertulis dan lisan,
juga elemen-elemen penting dari fenomena tersebut. Peneliti akan
menguraikan penjelasan dengan mengklasifikasikan atau
31
mengkelompokkan pada tiap fenomena tersebut. Peneliti akan menghindari
upaya untuk menggambarkan fenomena sebelum waktunya.
Penelitian ini didasarkan pada fokus masalah yang diteliti, memilih
partisipan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai
kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas
temuannya (Sugiyono, 2013). Melalui penelitian dan pendekatan ini
diharapkan peneliti dapat menggali informasi dan memperoleh penjelasan
terkait pengalaman adaptasi para guru tuli dalam mengajarkan pendidikan
Islam kepada siswa tuli di salah satu Islamic Special School di Tambun,
Bekasi.
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu Islamic Special School yang
terletak di Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi pada bulan Februari
hingga April tahun 2017. Dan dari hasil studi pendahuluan yang peneliti
lakukan di sekolah tersebut pada hari Senin, 12 Desember 2016, didapatkan
data dari 9 orang pengajar di sekolah tersebut, diketahui bahwasannya 7
orang pengajar mengalami tuli. Dan sebagai seorang guru, sudah kewajiban
mereka untuk mengajarkan pendidikan khususnya pendidikan Islam, bagi
para murid mereka, yang juga mengalami tuli.
4.3. Partisipan Penelitian
Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling dan snowball sampling. Teknik purposive sampling
adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2010). Sedangkan teknik snowball sampling adalah
teknik pengambilan sampel sember data, yang pada awalnya jumlahnya
sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah
sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu memberikan data yang
memuaskan, maka peneliti perlu mencari orang lain yang dapat digunakan
32
sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sumber data akan semakin
besar, seperti bola salju yang menggelinding (Sugiyono, 2010). Ciri-ciri
khusus sampel purposive menurut Lincoln & Guba (1985) dalam Sugiyono
(2010) antara lain yaitu: 1) Emergent sampling design/sementara; peneliti
memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang
diperlukan; 2) Serial selection of sample/menggelinding seperti bola salju;
berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya,
peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan
memberikan data yang lebih lengkap; 3) Continuous adjustment or focusing
the sample/disesuaikan dengan kebutuhan; unit sampel yang dipilih semakin
lama semakin terarah sejalan dengan makin terarahnya penelitian; 4)
Selection to the point of redunancy/dipilih sampai jenuh; penentuan unit
sampel ditentukan apabila dianggap apabila sampel ditambah lagi tidak
memberikan informasi yang baru. Dan kriteria inklusi partisipan dalam
penelitian ini yaitu:
a. Para guru tuli muslim yang telah mengajar anak-anak tuli muslim
tminimal selama 3 bulan
b. Berdomisili di wilayah kerja Islamic Special School, Tambun, Bekasi
c. Bersedia dan kooperatif menjadi partisipan penelitian.
4.4. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai
pengamat langsung, selain itu peneliti juga dibantu dengan pedoman
wawancara mendalam (in depth interview) dalam bentuk pertanyaan, alat
bantu perekam (handycam dan handphone), alat pencatat dan catatan
lapangan (fieldnote).
33
4.5. Teknik Pengumpulan Data
4.5.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Februari hingga April
2017. Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara mendalam
berdasarkan pedoman wawancara, yang mana dalam pelaksanaannya
peneliti dibantu oleh 2 orang interpreter/penerjemah bahasa isyarat.
Pengumpulan data juga dilakukan peneliti menggunakan bantuan alat
perekam (handycam dan handphone), alat pencatat, dan membuat catatan
lapangan (fieldnote) saat wawancara berlangsung. Dalam hal ini peneliti
menggunakan rekaman suara penerjemah yang menerjemahkan jawaban
dari partisipan ke dalam oral. Peneliti juga mencatat beberapa pernyataan
penting ke dalam buku catatatn. Selain itu, peneliti juga melakukan
observasi langsung/observasi partisipan bagaimana kegiatan belajar
mengajar di Islamic Special School tersebut dari bulan November hingga
April.
4.5.2. Proses Pengumpulan Data
1. Tahap Persiapan Pengumpulan Data
Rangkaian proses pengumpulan data pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus perizinan
terlebih dahulu kepada pemilik sekolah.
b. Setelah perizinan selesai, peneliti mulai masuk kedalam lingkungan
Islamic Special School ini dan melakukan obsevasi untuk melakukan
pengamatan yang bertujuan untuk pemilihan partisipan. Selain itu,
peneliti juga ikut berpartisipasi turun langsung dalam interaksi mengajar
antara para guru dan siswa tuli.
c. Setelah mengamati langsung dan berpartisipasi selama beberapa hari,
peneliti mulai mendata partisipan yang sesuai dengan kriteria, lalu
mengadakan pertemuan dengan partisipan untuk melakukan inform
34
consent dan menjelaskan tujuan serta manfaat dari penelitian ini. Proses
ini dilakukan hanya secara oral. Hal ini dikarenakan peneliti memang
sudah mengenal baik lingkungan serta seluruh para partisipan disana.
2. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data
Salah satu metode pengumpulan data yang oleh diambil peneliti untuk
penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview).
Menurut Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2010) teknik wawancara itu
sendiri adalah teknik pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu. Teknik wawancara ini juga dilakukan apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden. Hal ini
dikarenakan teknik pengumpulan data dengan wawancara ini mendasarkan
diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau setidaknya pada
pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. (Sugiyono, 2010)
Peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur, dimana
dalam pelaksnaannya teknik ini lebih bebas bila dibandingkan dengan
wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2010). Dan oleh
karena dalam melakukan wawancara peneliti perlu mendengarkan secara
teliti dan mencatat dengan benar apa yang dikemukakan oleh informan,
dalam pelaksanaannya peneliti akan menggunakan alat perekam untuk
membantu dokumentasi wawancara. Namun, sebelum melakukan
wawancara penting bagi peneliti untuk meminta izin kepada partisipan
mengenai penggunaan alat perekam, serta menjelaskan alasan
penggunaannya.
Selama melakukan wawancara mendalam peneliti juga membuat
catatan lapangan (fieldnote) yang merupakan catatan tertulis tentang apa
yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan
data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan yang
35
dibuat peneliti juga berisi deskripsi terkait tanggal, waktu, dan informasi
dasar tentang suasana saat wawancara seperti tatanan lingkungan. Interaksi
sosial, dan aktivitas yang berlangsung selama wawancara dilakukan.
(Bogdan & Biklen dalam Moleong, 2013).
Dalam melakukan wawancara, peneliti harus berperan aktif
mendengarkan, empati, fleksibel dan tanggap merekam dan mencatat, serta
lebih banyak mendengarkan dan menindaklanjuti jawaban partisipan saat
wawancara dilakukan secara langsung berhadapan muka (face to face).
Selain itu, hal lain yang juga penting diperhatikan seorang peneliti saat
mewawancarai partisipan adalah intonasi suara, kecepatan berbicara,
sensifitas pertanyaan, kontak mata, serta kepekaan nonverbal (Saryono &
Anggraeni, 2010). Hal itu dikarenakan dengan mempersiapkan kemampuan
seperti diatas dapat meningkatkan rasa kepercayaan partisipan kepada
pewawancara sehingga membuat mereka menjadi lebih terbuka dalam
menceritakan segala pengalaman mereka dalam belajar dan mengajarkan
pendidikan agama Islam. Berikut
rangkaian proses pengumpulan data yang peneliti lakukan:
a. Setelah menemukan partisipan yang cocok, peneliti melakukan
wawancara mendalam kepada para partisipan sesuai kesepakatan
waktu dan tempat dibantu oleh penerjemah. Namun, sebelum
wawancara kepada partisipan, peneliti melakukan wawancara
terlebih dahulu kepada salah seorang guru tuli juga disana.
Wawancara ini bertujuan untuk menguji pedoman wawancara yang
akan dilakukan kepada partisipan yang sebenarnya. Setelah
mengolah data hasil uji coba pedoman wawancara dan hasil dari
pertanyaan wawancara tersebut dirasa sudah cukup baik, peneliti
pun memulai wawancara kepada para partisipan yang sebenarnya.
Pada saat wawancara, peneliti menggunakan alat perekam suatra
serta fieldnote untuk mempermudah peneliti dalam mengolah data
nantinya.
36
b. Pada saat yang bersamaan dengan wawancara, peneliti juga
melakukan observasi langsung proses belajar mengajar disana, serta
mengobservasi bagaimana para guru tuli beradaptasi dan menyikapi
diri dengan para siswa disana.
c. Setelah peneliti mendapatkan hasil, baik itu melalui wawancara,
dokumentasi, mupun observasi langsung, peneliti mentranskip data
yang diperoleh.
4.6. Analisa Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam ketegori,
menjabarkan ke dalam unit-unit melakukan sintesa, menyusun kedalam
pola, memillih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
(Sugiyono, 2010). Adapun tahapan proses analisi data kualitatif terdapat
beberapa model analisis. Salah satunya menggunaka model Colaizzi (1978,
dalam Streubert & Carpenter, 2011). Langkah-langkah analisis data
kualitatif dari Colaizzi 1978 (dalam Streubert & Carpenter, 2011) adalah
sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan fenomena yang diteliti. Peneliti mencoba memahami
fenomena gambaran konsep penelitiannya dengan cara memperkaya
informasi melalui studi literatur. skema, atau metaphor yang terkait
dengan data. Dalam penelitian ini, fenomena yang ingin diteliti adalah
berupa pengalaman adaptasi yang dialami para guru tuli pada saat
mengajar pendidikan Islam pada siswa tuli.
b. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul,
proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya. Peneliti
menggunakan perekam suara serta catatan lapangan untuk membantu
dokumentasi dan proses analisa data.
37
c. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-
peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan
pendekatan dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk
penelitiannya sendiri. Dalam pengumpulan data, peneliti banyak
menggunakan masukan-masukan dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Misalnya saja, dalam berkomunikasi dengan para guru tuli
menyertakan penerjemah.
d. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai
pengkritik yang memberikan saran-saran atau pembelaan yang akan
memberikan pernyataan-pernyataan kritis terhadap analisis yang
dilakukan peneliti. Dalam penyusunan dan pelaksanaan penelitian ini,
peneliti selalu mendiskusikan hasil dari penelitian dengan dosen yang
ahli dalam bidang ini.
e. Melakukan upaya konstan menemukan kasus-kasus negatif.
Pemahaman tentang pola dan kecenderungan yang telah diidentifikasi
akan meningkat bila kita memberikan pula perhatian pada kasus-kasus
yang tidak sesuai dengan pola umum tersebut.
f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking in
rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan
yang berbeda. Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian
untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data. Setelah
proses analisa data pertama selesai, peneliti kembali ke partisipan untuk
melakukan rechecking kembali.
Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif
menggunakan istilah yang berbeda dengan kuantitatif. Menutut Sugiyono
(2010), uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji,
credibility (validity internal), transferability (validity eksternal),
defendability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas).
1. Uji kredibilitas
38
Terdapat beberapa macam uji kredibilitas antara lain perpanjangan
pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman
sejawat, analisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi, dan
membercheck.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cara membercheck
sebagai uji kredibilitas. Setelah memperoleh data, peneliti
mendiskusikan kembali hasil penelitian kepada pemberi data. Hal ini
bertujuan agar informasi yang diperoleh dan digunakan dalam penulisan
laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan.
(Moleong, 2013)
2. Uji transferability
Transferability ini merupakan validitas eksternal dalam penelitian
kuantitatif. Hal ini berarti apakah hasil dari penelitian ini dapat
digunakan oleh situasi sosial lain atau tidak. Oleh karena itu, supaya
orang lain dapat memahami hasil penelitian dengan baik sehingga dapat
memutuskan bisa atau tidaknya hasil dari penelitian ini diaplikasikan di
tempat lain, dalam pembuatan laporannya, penting bagi peneliti untuk
menyusunnya secara rinci, jelas, sistematis, serta dapat dipercaya.
3. Uji depenability
Pengujian ini dilakukan dengan melakukan audit terhadap
keseluruhan proses penelitian. Tata cara itu dilakukan oleh auditor atau
pembimbing yang sudah ahli di bidangnya untuk mengaudit keseluruhan
aktivitas penelitian dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu dalam
melakukan penelitian, peneliti penting untuk membuat transkip data,
baik itu data wawancara, observasi, maupun dokumentasi. Karena
apabila seorang peneliti tidak memilki dan tidak dapat menunjukkan
‘jejak aktivitas lapangannya’, maka depenabilitas penelitiannya patut
diragukan. (Sanafiah Faisal, 1990 dalam Sugiyono 2010)
4. Uji konfirmability
Pengujian ini biasa dikenal juga dengan uji obyektivitas. Sesuai
dengan namanya, suatu penelitian dikatakan lolos uji konfirmability
39
atau penelitian tersebut dikatakan obyektif yaitu apabila hasil dari
penelitian itu disepakati oleh banyak orang. Dalam penelitian kualitatif,
uji konfirmability ini mirip dengan uji depenability, sehingga dalam
pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.
4.7. Etika Penelitian
Oleh karena subjek dari penelitian ini adalah manusia, dalam
pelaksanaannya seorang peneliti sangat penting untuk mempehatikan etika
dari pelaksanaan penelitian itu sendiri, serta memperhatikan dan memahami
hak dasar asasi manusia. Menurut Milton (1999), ada empat aspek utama
yang perlu dipahami oleh seorang peneliti, antara lain:
1. Respect for human dignity
Prinsip ini menekankan bahwasannya peneliti perlu untuk menghormati
harkat dan martabat manusia. Dalam penelitian ini, sebelum dimulai
penelitian, peneliti menanyakan terlebih dahulu kesediaan partisipan
untuk menjadi subyek penelitian. Kemudian, apabila ia bersedia,
selama penelitian, peneliti menjamin ia mendapatkan hak dan
jaminannya dari perlakuan dan tindakan yang diberikan selama
penelitian.
2. Respect for privacy and confidentiality
Prinsip ini adalah untuk menghormati dan menjaga privasi dan
kerahasiaan subyek penelitian. Selama penelitian, seorang peneliti
penting untuk selalu menjaga privasi dan kerahasiaan subyek
penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti merahasiakan sekolah yang
diteliti demi menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin akan
terjadi setelah penelitian. Selain itu, peneliti juga merahasiakan
identitas para partisipan dengan hanya menggunakan inisial partisipan
dalam pembuatan hasil laporan penelitian.
3. Respect for justice and inclusiveness
40
Prinsip ini berarti menekankan pada keadilan dan inklusivitas. Selama
penelitian peneliti harus berdikap inklusif kepada para subyek
penelitian, serta harus bersikap adil, baik itu sebelum, selama, maupun
sesudah penelitian. Dalam melakukan proses pengambilan data dan
penelitian, peneliti bersikap adil kepada setiap partisipan, tanpa
membeda-bedakan sedikitpun.
4. Balancing harms and benefits
Prinsip ini memiliki arti bahwasannya dalam melakukan penelitian
kepada subyek penelitian, peneliti harus memperhitungkan manfaat dan
kerugian yang akan ditimbulkan dari penelitian ini bagi mereka.
Peneliti meyakinkan bahwa partisipasan dalam penelitian ataupun
informasi yang telah diberikan tidak akan dipergunakan untuk hal-hal
yang dapat merugikan subyek dalam bentuk apapun.
41
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada enam
partisipan melalui proses ana\lisis data dan hasil wawancara mendalam, ditemukan
tema yang selanjutnya dideskripsikan dalam bentuk tabel dengan penvajian hasil
penelitian sebagai berikut.
5.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Islamic Special School ini merupakan sebuah tempat dimana anak-anak tuli
menemukan makna dirinya melalui proses pembelajaran Illahi, alam, dan home
involved. Sekolah yang memiliki misi membantu anak-anak berkebutuhan khusus
menemukan makna diri dan potensinya sehingga bermanfaat bagi kehidupan serta
menjadi anak yang berhati mulia dan berhati lembut seperti yang diajarkan oleh
Rasul Muhammad SAW ini beralamat di Taman Bumyagara F9 No.14 Mustika
Jaya Kota Bekasi.
Sekolah ini saat ini mempunyai 10 guru, yang terdiri dari 3 guru hearing dan
7 guru tuli. Serta memiliki 27 murid, yang terdiri dari 4 siswa down syndrom
hearing, dan sisanya tuli
5.2. Hasil Penelitian
5.2.1. Karakteristik Partisipan
Partisipan penelitian merupakan para guru tuli yang telah mengajarkan
anak-anak tuli di Islamic Special School ini selama minimal 3 bulan.
Karakteristik dari partisipan antara lain adalah nama, usia, agama, pendidikan
terakhir, dan lama mengajar. Peneliti melakukan wawancara mendalam pada
enam orang partisipan setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
Karakteristik partisipan yang peneliti dapatkan sebagai berikut:
42
No Nama Usia Agama Pendidikan
terakhir
Lama mengajar
1 Tn. B 22 tahun Islam SMA – SLB 1 tahun 8 bulan
2 Tn. F 27 tahun Islam SMA - SLB 2 tahun
3 Tn. A 25 tahun Islam SMA - SLB 11 bulan
4 Ny. I 34 tahun Islam SMP - SLB 3 tahun 6 bulan
5 Tn. J 27 tahun Islam SMA - SLB 4 tahun
6 Tn. M 42 tahun Islam SMP - SLB 3 tahun 6 bulan
Tabel 5.1 Karakteristik Partisipan
5.2.2. Analisis Tematik
Dari hasil analisa tematik partisipan, peneliti mendapatkan empat tema,
antara lain: (1) alasan guru tuli mengajar siswa tuli; (2) perasaan guru tuli
pertama kali mengajar siswa tuli; (3) hambatan guru tuli dalam mengajar siswa
tuli; (4) strategi guru tuli dalam mengatasi hambatan mengajar; (5) pengajaran
Pendidikan Agama Islam bagi siswa tuli, serta (6) harapan guru tuli dalam
mengajar siswa tuli. Tema-tema yang telah didapatkan ini terdiri atas beberapa
kategori. Berikut penjelasan secara detail mengenai tema-tema tersebut.
Tema 1. Alasan guru tuli mengajar siswa tuli
Alasan dan motivasi para guru mengajar dalam mengajarkan siswa tuli
bermacam-macam, diantaranya: (1) permintaan mengajar oleh pemilik sekolah;
(2) rasa kagum kepada pemilik sekolah; (3) keinginan membantu anak-anak tuli
belajar; (4) keinginan untuk belajar dan mengajar melalui bahasa isyarat.
Berikut uraiannya.
a. Permintaan mengajar oleh pemilik sekolah
Alasan pertama guru tuli mengajar siswa tuli di sekolah tersebut adalah
karena permintaan langsung dari pemiliki sekolah yakni Ny. G agar mereka
mau mengajar disana. Hal ini dinyatakan oleh dua dari enam partisipan.
Berikut pernyataannya:
43
“...awalnya Ny. G datang ke sini..rumah..minta bantuan Bagus
ngajar. Tapi awalnya dia ga tau ngajarnya gimana caranya. Sulit
pertama kali ngajar. Tapi pelan-pelan, proses. Pertama-tama awalnya
ga nyambung. Bingung. Oh sebabnya Ny. G minta dia...” (P1)
“...pertama, liat-liat sekolah untuk anak-anak. Melakukan
kunjungan. Pertama, aku, Joan. Oh dulu diajak Joan untuk lihat anak-
anak di sekolah. Kedua, ketemu Ny. G. Inget oh dulu ada liat Ny. G di
youtube. Isyaratnya bagus. Oh luar biasa banget Ny. G tuh. Linguistik,
isyarat, ahli. Ilmunya banyak sudah, paham banyak. Aku merasa hormat
banget sama Ny. G. Terus, oh dulu dia ngebantuin service komputer di
sekolah ini. Terus katanya oh dia ada kemampuan untuk service, IT
bisa. Terus dia izin sama Ny. G mau pulang. Terus Ny. G nawarin
ngajar kerja disini. 2 bulan dia pulang dulu. Kesini lagi, langsung
ngajar..” (P2)
Satu dari enam orang partisipan mengungkapkan bahwasannya pada
awalnya tujuan ia datang ke Islamic Special School tersebut adalah untuk
belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, setelah beberapa waktu ia belajar, ia
ditawarkan langsung oleh pemilik sekolah untuk mengajar disana. Berikut
ungkapan yang disampaikan partisipan tersebut:
“...karena disini ada akses isyarat. Banvak informasi. Sehingga
dia bisa berkembang lebih dari dulu-dulu. Jadi dia jadi jelas, iya dulu
pertama-tama pengen belajar isyarat aja. Soalnya dulu kan dia oral.
Tapi Ny. G terus minta dia buat ngajar, jadinya sambil ngajar juga...”
(P3)
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya alasan guru tuli
mengajar siswa tuli disana salah satunya adalah karena permintaan langsung
dari pemilik sekolah agar mereka mengajar di sekolah tersebut.
b. Rasa kagum kepada pemilik sekolah
Alasan dan motivasi salah seorang partisipan adalah karena rasa
kagumnya dengan bahasa isyarat Ny. G, sehingga ia merasa nyaman dan
tertarik mengajar disana. Ia menyatakan pada awalnya ia merasa ragu
karena ia belum lancar menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, oleh
karena ada salah seorang temannya yang juga mengajar di sekolah tersebut,
ia pun memantapkan hati utuk mengajar disana. Berikut ungkapannya:
44
“...Ny. G itu bahasanya wuuah. Terus dia ngerasa nyaman.
Terus udah lama-lama, saya sms Okky. Mau kerja di sekolah ini.
Awalnya saya agak ragu-ragu, soalnya belum lancar bahasa isyarat.
Tapi karena Okky ajak juga, ada Okky. Saya tanya adik saya, kata dia
terserah, yaudah saya kerja..”. (P4)
c. Keinginan untuk belajar dan mengajar bahasa isyarat
Satu dari enam partisipan mengatakan bahwasannya alasan ia mengajar
disana adalah karena di Islamic Special School ini belajarnya menggunakan
bahasa isyarat, sedangkan dahulu selama di SLB ia tidak mendapatkan akses
bahasa isyarat sama sekali. Sehingga ia pun menjadi tertarik untuk
mempelajari bahasa isyarat dan juga mengajar anak-anak tuli menggunakan
bahasa isyarat. Berikut pernyataannya.
“...sebab dulu akses ga ada. Di SLB umum tuh cuma ada oral-
oral. Kalo disini tuh Galuh membangun sekolah ini tujuannya untuk
mengajar anak-anak tuli dan guru tuh mengajarkan isyarat. Itu pertama
kali tuh. Itu penting untuk anak-anak tuli. Menyerap informasi.
Sebabnya karena di sekolah ini menggunakan bahasa isyarat, jadi
tertarik pengen belajar dan mengajar, semuanya..” (P5)
d. Keinginan membantu anak-anak tuli belajar
Satu dari enam partisipan mengatakan bahwasannya alasan ia mengajar
di sekolah tersebut adalah karena ia tertarik mengajar anak-anak. Hal itu
disebabkan karena dulu selama ia sekolah di SLB, guru-gurunya mengajar
tanpa menggunakan akses isyarat. Sehingga, di sekolah ini ia berpikir
bahwa ini adalah kesempatan untuknya untuk bisa membantu mengajar
anak-anak tuli. Berikut pernyataannya.
“...Tertarik ngajar anak-anak. Sebab dulu sekolah di SLB, guru-
gurunya ngajar, akses isyarat tuh ga ada. Ini kesempatan untukku untuk
bisa ngajar bantu anak-anak...” (P6)
Tema 2. Perasaan guru tuli pertama kali mengajar siswa tuli
45
Berbagai macam perasaan dirasakan para partispan sewaktu mereka
pertama kali mengajar anak-anak tuli di Islamic Special School ini. Diantaranya
ada yang merasakan perasaan senang, bingung, dan juga merasakan takut.
Berikut uraiannya.
a. Bingung
Tiga dari enam partisipan mengatakan bahwasannya, sewaktu pertama
kali mengajar, yang mereka rasakan adalah kebingungan. Hal itu
dikarenakan pada saat itu mereka belum pernah mengajar anak-anak.
Berikut pernyataan para partisipan
“...Sulit pertama kali ngajar. Pas ngajar, awalnya bingung
harus gimana.. ga paham..” (P1)
“...Bingung. Dia ga paham gimana caranya ngajar. Setiap anak
kan kemampuannya beda-beda kan ya. Pertama bingung. ..” (P3)
“...Bingung. Saya ga tau ngajar gimana. Terus belum bisa
bahasa isyarat.. jadi bingung.. ngomongnya bingung, ngajarnya
bingung..” (P4)
b. Senang
Dua dari enam partisipan menyatakan bahwasannya dengan berbagai
alasan, perasaan mereka sewaktu pertama mengajar, adalah senang. Seorang
partisipan menyatakan bahwasannya ia merasakan senang dikarenakan ia
bertemu dengan banyak teman yang menggunakan bahasa isyarat yang
sama, yaitu Bisindo. Berikut pernyataannya.
“...Seneng. Ketemu banyak temen yang pake isyarat sama.
Sebab tuli sama, besok-besok pake isyarat sama-sama. kuat nantinya..”
(P2)
Partisipan yang lainnya mengatakan bahwasannya pada saat pertama
kali mengajar, ia merasakan senang karena di Islamic Special School ini,
anak-anak dan para guru mampu berkomunikasi dengan baik, yaitu
menggunakan bahasa isyarat. Tidak seperti di SLB, yang hampir tidak
pernah ada komunikasi anatara murid dengan guru. Karena menurutnya,
46
komunikasi antara pengajar dan pelajar adalah yang terpenting. Berikut
pernyataanya.
“...Perasaannya luar biasa. Anak-anak tuh komunikasinya pake
bahasa isyarat. Dulu soalnya waktu di SLB komunikasi sama guiru-
guru ga ada. Tapi di sekolah ini tuh, siswa sama guru bisa saling
komunikasi. Yang penting tuh komunikasi dengan guru gimana. Senang
katanya..” (P6)
c. Takut salah
Satu orang partisipan merasakan perasaan takut salah pada saat pertama
kali mengajar siswa tuli di Islamic Special School ini. Hal ini dikarenakan,
pada saat dulu ia mengatakan tidak ada yang mengajarkannya bahasa, lebih
tepatnya bahasa Indonesia, sehingga pada saat mengajar siswa ia merasakan
perasaan takut salah. Berikut pernyataannya.
“... merasa sulit. Berat banget. Sebab dulu ga ada yang ngajarin
aku bahasa Indonesia. Takut salah. Sebab kan baru belajar. Anak-anak
sekarang kan ada akses isyarat..” (P5)
Tema 3. Hambatan guru tuli dalam mengajar siswa tuli
Dalam mengajar siswa tuli, para partisipan mengalami beberapa
hambatan, antara lain: sulit berkomunikasi dengan siswa yang cukup besar,
hambatan dalam membuat laporan tertulis, belum mampu menemukan
minat dan bakat siswa tuli, perbedaan isyarat menyebabkan komunikasi
antar guru tidak nyambung, serta bingung karena perubahan proses
mengajar.
a. Sulit berkomunikasi dengan siswa yang cukup besar
Bagi para guru tuli, mayoritas hambatan yang paling banyak dirasakan
adalah terkait dengan komunikasi. Khususnya komunikasi dengan para
siswa yang sudah agak besar. Tiga dari enam partisipan mengatakan hal
tersebut. Hal itu dikarenakan, bagi para partisipan, bahasa isyarat yang
47
sudah dikuasai anak-anak yang memang sudah belajar bahasa isyarat sejak
dini ini sudah sangat tinggi, sehingga seringkali mereka kesulitan. Berikut
pernyataannya.
“...Kalo yang kecil-kecil masih bisa. Kalo yang sudah besar,
sulit, bahasanya udah tinggi. Ayyas, Pasha, bahasanva udah tinggi..”
(P1)
“...Mengajar yang besar-besar belum bisa karena bahasanya
dalam...” (P2)
Selain komunikasi dengan siswa yang sudah cukup besar tidak
nyambung, salah seorang partisipan juga mengatakan bahwasannya
seringkali ia merasakan hambatan apabila mengajar anak-anak. Hal itu
dikarenakan, pada saat belajar, anak-anak seringkali tidak fokus. Berikut
pernyataannya.
“...Anak-anak suka ga fokus kalau belajar. Komunikasi kadang-
kadang suka ga nyambung sama anak-anak yang sudah besar...” (P4)
b. Hambatan dalam membuat laporan dan materi tertulis
Salah satu keterbatasan penyandang tuli adalah dari segi bahasa, baik itu
lisan maupun tulisan. Dan salah satu hambatan dalam mengajar yang
dirasakan tiga dari enam partisipan guru tuli di Islamic Special School
Bekasi adalah dalam membuat laporan maupun materi pembelajaran
tertulis. Berikut pernyataannya.
“...Nulis laporan susah. Baru belajar bahsa Indonesia. Jadi
susah.” (P4)
“...buat laporannya katanya bingung selalu hambatan.
Kesulitan dia kalau buat laporan raport, sama materi..” (P5)
“...Buat materi tuh sama kurikulum yang bingung. bahasa
indonesianya. Masih suka kebalik-balik...” (P6)
c. Belum mampu menemukan minat dan bakat siswa tuli
Sebagai seorang guru, dalam melakukan pengajaran sangat penting
untuk dapat mengetahui minat serta bakat anak didiknya. Dan bagi salah
seorang partisipan guru tuli di sekolah ini, hal itu merupakan hambatan yang
48
seringkali ia hadapi dalam mengajarkan para siswa. Ia mengatakan
bahwasannya ia belum mampu mencari kemampuan siswa yang berbeda-
beda. Berikut pernyataannya.
“...Masing-masing anak kemampuannya beda. Jadi dia harus
mencari celahnya. Belum mahir mencari celah..” (P3)
d. Perbedaan isyarat menyebabkan komunikasi tidak nyambung
Selain itu, dalam menyesuaikan diri dengan sesama pengajar, satu dari
enam partisipan mengatakan bahwaannya ia dahulu tidak nyambung
berkomunikasi dengan mereka. Hal itu dikarenakan ia belum mengenal
siapapun disana dan karena bahasa isyarat tiap guru berbeda. Sehingga
akhirnya ia mempelajari bahasa isyarat bisindo terlebih dahulu. Berikut
pernyataannya.
“... Ga kenal dulu semuanya. Dia belajar isyarat bisindo dulu
untuk komunikasi. Setiap guru isyaratnya beda-beda. Jadi ga nyambung
sama guru-gurunya...” (P1)
e. Bingung karena perubahan posisi mengajar
Salah seorang pasrtisipan merasakan kebingungan dengan ketetapan di
Islamic Special School Bekasi sewaktu pertama kali mengajar disana. Hal
itu dikarenakan ia sempat dipindah posisikan dalam mengajar. Pada
awalnya ia diminta untuk mengajar siswa autis dan down syndrom. Akan
tetapi tidak lama kemudian, ia diminta untuk mengajar siswa tuli. Berikut
pernyataannya.
“...Saya ngajar down syndrom sama tuli dituker-tuker. Bingung.
Akhirnya mbak ira lebih sering bantu anak-anak autis dan down
syndrom...” (P4)
Tema 4. Strategi guru tuli dalam mengatasi hambatan mengajar
a. Memperhatikan pengajar lain terlebih dahulu dalam mengajar
49
Salah seorang partisipan mengatakan bahwasannya sewaktu pertama
kali tiba di Islamic Special School Bekasi, ia beradaptasi dengan
memperhatikan pengajar lain terlebih dahulu, khususnya dalam mengajar.
Berikut pernyataannya.
“...Pertama memperhatikan temen-temennya dulu, baru
kemudian sambil belajar...” (P3)
b. Mengatasi hambatan dengan bantuan interpreter
Dalam mengatasi hambatan yang dirasakan, empat dari enam partisipan
mengatakan bahwasannya mereka menggunakan bantuan penerjemah
(interpreter), baik itu penerjemah bahasa isyarat yang disediakan pihak
sekolah ataupun para guru yang hearing. Berikut pernyataannya.
“...Tanya sama Pak M sama Mbak G. Nanti diajari isyarat yang
dalam anak-anak besar...” (P2)
“...Biasanya minta bantuan Mbak. G. Nanti dibantu buat.
dikoreksi..” (P4)
“...dibantuin Tn.P, dan Mbak G juga bantu. (tertawa)..” (P5)
Selain bertanya kepada penerjemah ataupun pengajar lain yang hearing,
memperbanyak belajar dan membaca juga dapat mengatasi hambatan yang
dirasakan partisipan. Berikut pernyataannya.
“...Solusinya tuh baca banyak. Terus tanya-tanya sama yang
lain, Ny. G...” (P6)
c. Semakin giat mempelajari Bisindo
Dalam berkomunikasi, bahasa isyarat yang digunakan di lingkungan
Islamic Special School ini adalah menggunakan Bisindo. Sehingga, demi
mengatasi hambatan yang ia rasakan, salah seorang dari enam orang
partisipan mengatakan bahwa ia harus semakin giat mempelajari bahasa
isyarat Bisindo. Berikut pernyataanya.
“...Sambil terus belajar bisindo sambil ngajar. Karena anak-
anak bahasanya sudah tinggi..” (P1)
50
“...Dia ngajar ama anak-anak oral. Tapi kata Ny. G kan ga
boleh oral ya, harus isyarat. Jadi ya sambil ngajar belajar isyarat
dulu...” (P3)
d. Terus berlatih mencari minat dan bakat siswa
Untuk mengatasi hambatan yang ia rasakan, satu orang partisipan
mengatakan bahwasannya ia harus terus berlatih mencari minat dan bakat
para siswa tuli. Berikut pernyataannya.
“...Jadi dia harus terus berlatih mencari celahnya. Perhatikan
siswa terus...” (P3)
e. Menggunakan gesture tubuh
Selain menggunakan bahasa isyarat, salah satu cara berkomunikasi yang
juga digunakan di lingkungan Islamic Special School ini adalah dengan
menggunakan gesture. Oleh karena itu, cara ini diungkapkan oleh salah
seorang partisipan sebagai salah satu cara untuk mengatasi hambatan.
Berikut pernyataannya.
“...Pake gesture tubuh juga, biar nyambung. Biar anak-anak
paham...” (P4).
f. Menggunakan cara sendiri yang mudah dipahami siswa
Salah seorang dari enam orang partisipan mengatakan bahwasannya
cara ia mengatasi hambatan yang ia rasakan adalah dengan tetap mengikuti
kurikulum namun dengan cara penyampainnya sendiri yang mudah
dipahami siswa. Berikut pernyataannya.
“...pake cara sendiri untuk ngajarin anak-anak, kadang-kadang
ikut kurikulum sedikit. Ditambah inisiatif sendiri...” (P6)
Tema 5. Pengajaran pendidikan agama islam bagi siswa tuli
Mendapatkan pendidikan agama Islam merupakan hak setiap siswa,
termasuk didalamnya siswa tuli. Pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi
51
siswa tuli terbagi atas beberapa kategori, diantaranya: merasakan senang;
senang tetapi merasakan kesulitan; perasaan takut salah; di SLB tidak ada
pelajaran agama; ilmu agama tidak berkembang; pengajaran agama
menggunakan isyarat; pengajaran pelajaran lain menggunakan visual dan
gesture; pengajaran pelajaran lain mengikuti kesukaan siswa; pengajaran
pelajaran lain dikorelasikan dengan kehidupan nyata. Berikut uraiannya.
a. Merasakan senang
Perasaan yang dirasakan para guru tuli ketika memberikan pengajaran
Pendidikan Agama Islam berbeda-beda. Empat dari total enam partisipan
mengatakan bahwasannya mereka merasakan senang pada saat mengajari
Pendidikan Agama Islam kepada siswa tuli di Islamic Special School
Bekasi. Alasannya pun bermacam-macam, ada yang senang karena senang
mengajar anak-anak ataupun karena memang senang mengajarkan agama.
Berikut pernyataannya.
“...Senang kalo ngajar anak-anak. Merasa senang kalo ngajar
anak-anak. Ngajar apa aja ke anak-anak senang. Ngajarin alif ba ta tsa.
Nyambung sih kalo sama anak-anak..” (P1)
“...saya seneng ngajarin agama anak-anak. Sambil belajar.
dulu ga ada belajar agama. Teladan. Jadi kita beri teladan ke anak-
anak, bisa mengajarkan contoh yang baik ke anak-anak.. Dulu agama
di SLB, iqro, Cuma pakai buku doang. Al fatihah, oral. Disini pake
isyarat ” (P2)
“...Senang saya, kalu ngajar agama. Soalnya itu penting banget
untuk anak-anak. Anak-anak di sekolah ini belajar agama dari kecil.
saya dulu agama ga jelas...Sebab dulu ga ada. Sekarang anak-anak ada
akses isyarat. Belajar agama bisa. Jadi seneng...” (P5)
“...senang sekali saya. Agama itu penting. Intinya agama. Jadi
seneng anak-anak bisa belajar agama...Saya tuh pengen anak-anak di
sekolah tuh biar tau islam sejak dini...” (P6)
b. Senang tetapi merasakan kesulitan
Satu dari enam orang partisipan mengatakan bahwasannya ia merasakan
senang pada saat mengajarkan agama pada siswa tuli, akan tetapi dalam
pelaksanaannya ia merasakan kesulitan. Berikut pernyataannya.
52
“...Saya senang ngajar dua-duanya. Agama lebih sulit. Anak-
anak sering beberapa tidak memahami agama Susah kalau ditanya
Allah dimana, sama di Arab, di Mekkah. Pelan-pelan. Tiap anak beda-
beda bisanya, tapi agama penting. Jadi pelan-pelan. Saya harap anak-
anak tau Allah, nanti ‘pulang’ gimana. Tau. dasarnya bertahap-
bertahap melalui bahasa isyarat..” (P3)
c. Perasaan takut salah
Selain perasaan senang, perasaan lain yang juga dirasakan para guru tuli
pada saat mengajarkan Pendidikan Agama Islam keada siswa tuli adalah
perasaan takut salah. Berikut pernyataannya.
“... takut salah. Butuh proses lumayan. Prosesnya lumayan lama. Saya
baru belajar huruf hijaiyah disini. Udah bisa, tapi takut kalo ngajar
agama...” (P4)
d. Di SLB tidak ada pelajaran agama
Tiga dari enam partisipan mengatakan bahwasannya berdasarkan
pengalaman mereka terdahulu, di SLB tidak ada pelajaran agama. Berikut
pernyataannya.
“...Di SMA, ga ada yang ngajar agama. TK sampai SMA ga ada
yang ngajar...” (P1)
“...agama ga ada. Di SLB pelajaran tulis banyak di papan tulis.
Saya ga paham..” (P4)
“...Di sekolah SLB tuh ga ada yang ngajar dulu. Agama ga ada
yang ngajar..” (P6)
e. Ilmu agama tidak berkembang
Sedangkan menurut dua partisipan, di SLB ada pelajaran agama. Akan
tetapi, oleh karena cara penyampaian pengajaran yang tidak menggunakan
bahasa isyarat membuat anak-anak menyerap ilmu tidak maksimal. Berikut
pernyataannya.
“...Di SLB pake oral semua. Jadi ga bisa berkembang...” (P2)
53
“...cuma pake buku doang. Isyarat tuh ga ada. Anak-anak ga
paham. Tulis di papan tulis. Hapal, hapal. Tapi gatau, lupa...” (P5)
f. Pelajaran kurang jelas
Salah seorang partisipan mengatakan bahwasannya di SLB pelajaran
Pendidikan Agama Islam yang diberikan tidak jelas, serta guru seringkali
tidak merespon dengan baik siswa yang memiliki rasa ingin tahu tentang
pelajaran. Berikut pernyataannya.
“...Kebanyakan ga jelas. Nanya sama gurunya aja malah, halah
palingan kamu ga ngerti baca apa...” (P3)
g. Pengajaran agama menggunakan isyarat
Semua partisipan menjawab bahwasannya menurut mereka pengajaran
pendidikan agama islam yang diberikan di Islamic Special School ini
menggunakan bahasa isyarat. Berikut pernyataannya.
“..Baru mulai belajar agama di di sekolah ini. Sebab ada
aksesnya, katanya. Kalo dulu di sekolah ga ada aksesnya. Pake isyarat.
Kalo agama pake isyarat kalo disini..” (P1)
“...Kalo di sekolah ini pake isyarat paham. Untuk ngajar agama,
liat kondisi anak-anaknya. Liat keseharian anak-anaknya. Lebih
aplikatif...” (P2)
“...Dengan isyarat pastinya. Pertama ngajarin siapa
penciptanya. Kenal Allah dulu. Alif ba ta tasa, huruf hijaiyah. Ngajarin
agama, Lewat isyarat...” (P3)
“...Harus pake isyarat. Jadi paham. Jadi ngerti. Kalo agama,
belajar huruf hijaiyah a ba ta tsa pake isyarat. Al qur’an pake isyarat...”
(P4)
“...Pake isyarat. Al qur’an isyarat. Dari kehidupan sehari-hari.
Sikap baik. Agama, pake isyarat, teladan yang baik...” (P5)
“...Pake bahasa isyarat. Lebih kyk cerita-cerita sih. Pake
bahasa isyarat...” (P6)
h. Pengajaran pelajaran lain menggunakan visual dan gesture
54
Empat dari enam partisipan mengatakan bahwasannya untuk pengajaran
pelajaran selain Pendidikan Agama Islam disampaikan melalui bahasa
isyarat, visual gambar maupun langsung di alam, dan juga gesture. Berikut
pernyataannya.
“...Kalo yang lain ada yang isyarat, ada yang gambar, ada yang
di alam...” (P1)
“...Kalo ngajar yang lain, kata-kata, Isyarat juga...” (P3)
“...Kalo yang lain isyarat juga, visual juga. Gesture...” (P4)
“...Pertama isyarat. Ga usah katanya dulu. Baru katanya. Kalo
ga paham A-P-E-L. Kalau masih ga paham, warna-warna...” (P5)
i. Pengajaran pelajaran lain mengikuti kesukaan siswa
Salah seorang dari enam orang partisipan mengatakan bahwasannya
dalam penyampaian pelajaran lain selain Pendidikan Agama Islam harus
disesuaikan dengan kesukaan siswa. Berikut pernyataannya.
“...Kalo ngajar yang lain sesuai sama kesukaannya anak...”
(P2)
j. Pengajaran pelajaran lain dikorelasikan dengan kehidupan
Kemudian salah seorang pasrtisipan mengatakan bahwasannya untuk
pengajaran selain Pendidikan Agama Islam disampaikan dengan
dikorelasikan dengan kehidupan nyata. Berikut pernyataannya.
“...Dikorelasiin sama kehidupan sehari-hari...” (P6)
Tema 6. Pengajaran pendidikan agama islam bagi siswa tuli
Metode pengajaran agama lebih baik menggunakan isyarat; harapan
agar siswa tuli mengenal Allah melalui isyarat; harapan agar guru SLB
menyampaikan aspirasi ke pemerintah terkait bahasa isyarat bisindo.
a. Metode pengajaran agama lebih baik menggunakan isyarat
55
Semua partisipan menjawab bahwasannya metode dan cara yang paling
baik untuk pengajaran agama adalah dengan menggunakan bahasa isyarat.
Berikut pernyataannya.
“...Guru-guru menjelaskan agamanya dengan isyarat. Kalo
disini kan pake isyarat, jadi lebih nyaman, lebih nyambung...” (P1)
“...Kalo di sekolah ini pake isyarat paham. Enak kalo kaya gitu,
anak-anak nyambung, nyaman. Kalo cuma oral sering ga nyambung...”
(P2)
“...Dengan isyarat pastinya. Paje isyarat, kuat. Nyaman.
Komunikasi bisa...” (P3)
“...Iya itu yang pasti isyarat. Kayak di sekolah ini...” (P4)
“...Al qur’annya pake isyarat. Jadi hati tuh merasa bergetar.
Nyawanya ada. Kalo di SLB kayak kosong...” (P5)
Selain dengan dengan bahasa isyarat, pengajaran agama juga perlu
untuk dikorelasikan dan dianalogikan dengan kehidupan sehari-hari.
“...Bilingual. Nulis ditambah dengan isyarat. Dianalogikan
kayak tadi aja...” (P6)
b. Harapan siswa tuli mengenal Allah melalui Isyarat
Untuk pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi anak-anak tuli, lima
dari enam partisipan guru tuli berharap agar penyampaiannya dapat
dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat. Berikut pernyataannya.
“...Kenal Allah terlebih dahulu melalui bahasa isyarat...” (P3)
“...anak-anak tuh harus tau agama sejak kecil. Cara dakwah
lewat isyarat...” (P6)
Selain dengan isyarat, para guru yang mengajarkan agama diharapkan
agar lebih bersabar dalam mengajar. Berikut pernyataannya.
“...Guru harus bersabar. Guru-guru menjelaskan agamanya
dengan isyarat. Kalo disini kan pake isyarat, jadi lebih nyaman, lebih
nyambung...” (P1)
56
Selain pengajaran agama dengan isyarat pula, para guru diharapkan
dapat memberikan teladan sikap yang baik bagi murid-muridnya. Karena
yang terpenting dalam kehidupan sehari-hari adalah sikap yang dabik dan
sopan. Berikut pernyataannya.
“...Anak tuli lebih nyaman diajarin lewat isyarat. Jadi
harapanya biar guru-guru SLB ngajarinnya pake isyarat. Guru harus
jadi contoh dihadapan muridnya...” (P4)
“...Aku harap besok-besok anak-anak belajar seperti disini.
Berusaha belajar al qur’an pake isyarat. Terus sikap sehari-hari harus
baik. Anak-anak sopan...” (P5)
c. Harapan guru SLB menyampaikan aspirasi ke pemerintah
Salah seorang dari enam partisipan mengatakan bahwasannya ia
berharap agar para guru SLB dalam menyampaikan aspirasi ke pemerintah
agar kelak pengajaran bagi siswa tuli dapat menggunakan bahasa isyarat,
khususnya isyarat bisindo. Karena itu lebih mudah dipahami siswa. Berikut
pernyataannya.
“...Guru SLB bilang ke pemerintah untuk pengajaran untuk
berubah menggunakan bisindo...” (P2)
57
BAB VI
PEMBAHASAN
Bab ini menjabarkan beberapa bagian yang terkait dengan hasil
penelitian yang telah diperoleh. Bagian pertama menjabarkan pembahasan hasil
penelitian yaitu membandingkan dengan konsep, teori, dan berbagai penelitian
sebelumnya yang terkait dengan hasil penelitian itu untuk memperkuat
pembahasan interpretasi hasil penelitian. Sedangkan bagian kedua
mengemukakan berbagai keterbatasan selama proses penelitian dengan
membandingkan pengalaman selama proses penelitian yang telah dilakukan
dengan proses yang telah seharusnya dilakukan sesuai dengan aturan.
6.1. Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi
Penelitian ini menghasilkan 6 tema, yaitu: alasan guru tuli mengajar
siswa tuli, perasaan guru tuli pertama kali mengajar siswa tuli, hambatan
guru tuli dalam mengajar siswa tuli, strategi guru tuli dalam mengatasi
hambatan mengajar, pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa tuli,
serta harapan guru tuli dalam mengajar siswa tuli. Tema tersebut
teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian. Berikut penjelasan secara rinci
tentang masing-masing tema yang telah dihasilkan dari penelitian ini:
Tema 1. Alasan guru tuli mengajar siswa tuli
Alasan dan motivasi mengajar para partisipan guru tuli di
sekolah ini adalah karena sebagai seorang yang tuli, mereka pernah
mengalami dan merasakan bagaimana proses kegiatan belajar
mengajar yang diberikan di SLB pada umumnya. SLB pada
umumnya selama ini menggunakan orang normal dalam
mengajarkan anak-anak tuli (Martiasari, 2015 & Sulastri, 2015), dan
dalam pengajarannya pun menggunakan oral/wicara. Sedangkan
menurut pengalaman yang mereka rasakan bahwasannya
komunikasi, terlebih pengajaran melalui oral sangatlah tidak efektif
58
bagi anak-anak tuli. Menurut Tubbs dan Moss (2008) penyandang
tuli menggunakan suatu sistem isyarat tangan yang amat
komprehensif sehingga dapat menggantikan bahasa lisan secara
harfiah. Hasil penelitian Albert Mahrabian (1971) tentang bahasa
non verbal juga menjelaskan bahwasannya tingkat kepercayaan dari
pembicaraan seseorang hanya 7 persen berasal dari bahasa verbal,
38 persen dari vocal suara dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia juga
menambahkan jika terjadi pertentangan antara apa yang di ucapkan
seseorang dengan perbuatannya maka orang cenderung
mempercayai hal-hal yang bersifat non verbal. Pesan yang bersifat
non verbal ini selain berupa bahasa isyarat yang di tunjukkan dengan
ekspresi muka juga dapat berupa bahasa tubuh misalnya emblems
(symbol yang di buat oleh gerakan badan), gerakan mata, sentuhan,
maupun tekanan suara. (Cangara, 2005).
Oleh karena pengalaman itulah mereka jadi memiliki
motivasi tersendiri untuk mengajari anak-anak tuli dengan “bahasa
ibu” yang memang dapat dipahami anak-anak tuli, yaitu bahasa
isyarat. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Notoatmodjo
(2005). Ia mengatakan bahwa pengalaman merupakan guru yang
baik, yang menjadi sumber pengetahuan dan juga meupakan suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Selain itu,
pengalaman juga dapat diartikan sebagai memori episodik, yaitu
memori yang menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa yag
terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang
berfungsi sebagai referensi otobiografi. (Syah, 2003)
Selain itu, alasan para guru menerima tawaran mengajar
yang diberikan oleh Ny. G adalah oleh karena kekaguman mereka
atas prestasi-prestasi dan pengalaman serta pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki oleh beliau. Sehingga, pada saat tawaran
itu datang, tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak tawaran
59
tersebut. Hal ini sejalan dengan teori emosi dalam ilmu psikologi.
Pengertian emosi sendiri menurut Chaplin (2002, dalam Safaria,
2009) adalah suatu keadaan yang terangsang dari organisme,
mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam
sifatnya, dan perubahan perilaku. Emosi juga cenderung terjadi
dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau
menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu. Kemudian, salah satu
fungsi emosi menurut Coleman dan Mammen (1974, dalam
Rakhmat, 1994) adalah pembangkit energi (energizer). Emosi
sebagai pembangkit energi memberikan kegairahan dalam
kehidupan manusia. Artinya ketika seseorang merasakan emosi,
maka tubuhnya akan tergerak untuk melakukan apa yang
dirasakannya, dalam hal ini emosi membangkitkan dan
memobilisasi energi manusia.
Tema 2. Perasaan guru tuli pertama kali mengajar siswa tuli
Kemudian, sewaktu pertama kali mengajar, perasaan para
guru tuli pun berbeda-beda. Beberapa partisipan merasakan senang.
sedangkan partisipan lainnya cenderung merasakan perasaan
negatif, baik itu perasaan bingung ataupun takut. Para partisipan
yang merasakan senang dikarenakan dahulu saat mereka di SLB
mereka kesulitan untuk berkomunikasi dan belajar. Hal itu
dikarenakan, sistem pengajaran yang ditekankan di SLB
menggunakan komunikasi oral. Berbeda dengan apa yang
diterapkan di sekolah ini yang menggunakan bahasa isyarat yang
memang lebih mudah dipahami bagi para penyandang tuli. Yanuar
(2012) mengatakan bahwasannya salah satu unsur kebahagiaan
adalah kepuasan hidup. Pengertian dari kepuasan hidup sendiri
merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji
60
secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Kepuasan hidup merupakan hasil dari perbandingan antara segala
peristiwa yang dialami dengan apa yang menjadi tumpuhan harapan
dan keinginan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin
terpenuhinya kebutuhan dan harapan seseorang maka semakin
tinggi pula tingkat kepuasannya, yang juga akan berbanding lurus
dengan semakin meningkatnya tingkat kebahagiaan seseorang. Oleh
karena itulah, dua dari enam orang partisipan merasakan senang
sewaktu pertama kali mengajar di Islamic Special School Bekasi
setelah mereka mengetahui bagaimana cara pengajaran disana yang
sangat berbeda dengan metode oral yang diterapkan SLB pada
umumnya.
Selain perasaan senang, empat dari enam partisipan
merasakan perasaan bingung dan takut salah sewaktu pertama kali
mengajar di Islamic Special School ini. Salah seorang partisipan
menyatakan bahwasannya alasan perasaan takut salah tersebut
dikarenakan dahulu selama di SLB tidak ada yang mengajarkan
partisipan tersebut bahasa, sehingga pada saat pertama kali
mengajari anak-anak ia merasakan takut salah. Selain itu, partisipan
lain mengatakan bahwasannya alasan ia merasakan bingung
sewaktu pertama kali mengajar adalah karena partisipan tersebut
tidak memiliki latar belakang dan pengalaman mengajar.
Sebagaimana Middlebrook (1974) yang mengatakan bahwasannya
tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut
Tema 3.Hambatan guru tuli dalam mengajar siswa tuli
Sejalan dengan pengertian belajar menurut Skinner dalam
Barlow (1985) yang mengatakan bahwasannya belajar merupakan
61
suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang
berlangsung secara progresif. Menurut Roy, yang dikutip oleh
Nursalam (2003), mekanisme belajar merupakan suatu proses
didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan
suatu informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit.
Sewaktu pertama kali mengajar, para guru seringkali mengalami
hambatan dalam hal komunikasi dengan siswa. Hal ini dikarenakan
keterbatasan bahasa mereka sehingga seringkali terjadi
kesalahpahaman dalam penyampaian pesan antara guru ke murid.
Kemampuan penyandang tuli dalam berbahasa dan berbicara
berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya, karena
kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan
mendengar. Karena penyandang tuli tidak bisa mendengar bahasa,
maka mereka mengalami hambatan dalam berkomunikasi. (Somad
dan Hernawati, 1995). Kemudian, dua orang partisipan juga
mengatakan bahwasannya hambatan yang mereka rasakan adalah
dalam hal kepenulisan dan pembuatan laporan. Somad dan
Hernawati (1995) juga mengatakan bahwasannya alat komunikasi
terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga penyandang
tuli pun akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini.
Tema 4. Strategi guru tuli dalam mengatasi hambatan mengajar
Penyesuaian diri para guru tuli pada saat mengajar siswa tuli
pendidikan islam ditunjukkan melalui respon adaptasinya. Roy
dalam Potter dan Perry (2005) mengklasifikasikan empat macam
model adaptasi yang berdampak terhadap respon adaptasi, antara
lain:
a. Fungsi fisiologis; Sistem adaptasi fisiologis diataranya adalah
oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit,
indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin.
62
Karena keterbatasan penyandang tuli dalam fungsi fisiologis,
yakni indera pendengaran, penyandang tuli dalam beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya tentu berbeda
dengan yang tidak tuli. Mereka memiliki cara tersendiri untuk
beradaptasi. Misalnya saja, dalam berkomunikasi, penyandang tuli
lebih merasa nyaman apabila berkomunikasi menggunakan bahsa
isyarat, yang memang merupakan bahasa yang lebih mereka pahami.
Dan mereka akan cenderung merasakan kebingungan apabila
menggunakan bahasa yang berbeda. Tidak hanya bahasa isyarat
dengan oral, satu orang partisipan mengatakan bahkan bahasa
isyarat yang berbeda juga menjadi hambatan bagi mereka dalam
beradaptasi.
b. Konsep diri; Bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi
sosial dalam berhubungan dengan orang lain.
Sama halnya dengan adaptasi fungsi fisiologis, oleh karena
hambatan dalam berkomunikasi, penyandang tuli cenderung
exlusive dan membatasi hubungan sosial hanya dengan sesama tuli
ataupun orang normal yang mampu menggunakan bahasa isyarat.
Satu orang partisipan mengatakan bahwasannya mereka lebih
nyaman berinteraksi dengan yang menggunakan bahasa isyarat.
c. Fungsi peran; Proses penyesuaian yang berhubungan dengan
bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi
sosial dalam berhubungan dengan orang lain.
Sebagai seorang guru, para partisipan memiliki peran yang
sangat penting dalam lingkungan sosialnya. Para guru harus bisa
menyesuaikan diri tidak hanya kepada para murid yang juga tuli,
tetapi juga kepada para wali murid, sesama pengajar, dan juga aturan
yang berlaku.
d. Interdependen; Kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang
kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara
interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.
63
Respon adaptasi seseorang juga dapat dilihat dari kemampuan
interdependennya, apakah ia mampu diterima dengan baik di
lingkungannya. Dan dalam penelitian ini, semua partisipan memiliki
respon adaptasi interdependen yang baik.
Dalam mengatasi masalah dalam berkomunikasi, seringkali para
pertisipan meminta bantuan pengajar lain yang mampu mendengar
ataupun interpreter yang disediakan pihak sekolah. Berdasarkan
hasil penelitian yang ditulis oleh Ari Sugiyanto (2014) didapatkan
informasi bahwasannya pemaknaan penyampaian informasi bagi
penyandang tuli lebih bermakna apabila diberikan oleh SLI (Sign
Language Interpreter). Hal itu dikarenakan pemaknaan
penyampaian informasi yang disampaikan oleh SLI
diinterpretasikan oleh penyandang tuli melalui simbolik, yang
meliputi sensassi, persepsi, memori, dan berpikir. Kemudian,
partisipan lainnya mengatakan, untuk mengatasi hambatannya,
seringkali mereka menggunakan gesture dalam menyampaikan
informasi. Gesture menunjukkan gerakan sebagian anggota badan
seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna.
Pesan dari gesture seringkali mengungkapkan makna mendorong
atau membatasi, menyesuaikan atau mempertimbangkan, responsif
atau tak responsif, perasaan positif atau negatif, memperhatikan atau
tidak memperhatikan, melancarkan atau tidak resptif, serta
menyetujui atau menolak (Sugiyanto, Ari. 2014) Sedangkan
partisipan yang lainnya mengatakan bahwa untuk mencegah
hambatan itu timbul kembali, ia selalu meningkatkan kemampuan
bahasa isyaratnya, yaitu dengan mempelajari bahasa isyarat lebih
giat lagi, sebagaimana pengertian belajar menurut Sudjana (2010)
yang merupakan suatu proses yang diarahkan kepada tujuan, proses
berbuat melalui berbagai pengalaman. Kemudian, salah satu
pasrtisipan lainnya mengajar dengan caranya sendiri sesuai dengan
kemampuan siswa. Hal itu sesuai dengan prinsip belajar yang
64
disampaikan oleh Djamarah (2008), bahwasannya setiap siswa harus
diberikan kesempatan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Tema 5. Pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa tuli
Dalam mengajarkan agama, lima dari enam partisipan
merasakan kebahagiaan. Mereka merasakan senang karena memang
menyukai mengajar anak-anak dan menginginkan agar para siswa
mampu memahami agama sejak dini. Rasulullah SAW juga
bersabda bahwasannya salah satu jalan seorang hamba Allaah untuk
menggapai kebahagiaannya adalah dengan senantiasa mempelajari
dan memahami agama. Hal itu dikarenakan mempelajari terlebih
mengajari agama akan membuat dada terasa lapang dan Allaah akan
meridhainya. Sabda tersebut berbunyi, “Jika Allaah menghendaki
seorang hamba menjadi baik,maka Allaah akan menjadikannya
mengerti tentang agama ” (Dr. ‘Aidh al-Qarni, 2016).
Salah satu partisipan juga mengatakan bahwasannya alasan
perasaan senang dan bahagia yang ia rasakan ketika mengajarkan
siswa tuli pelajaran agama adalah karena ia memiliki keinginan
untuk mampu memberikan contoh yang baik bagi siswa.
Kebahagiaan pada hakikatnya dikatakan sebagai pengalaman
positif, kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala
tingkah laku manusia (Argyle dalam Bekhet, dkk. 2008).
Selain perasaan senang, salah seorang partisipan
mengatakan bahwasannya ia merasakan takut salah pada saat
mengajari siswa tuli pelajaran agama. Alasan dia merasakan
perasaan itu adalah karena pada saat semasa sekolah dahulu ia tidak
pernah mendapatkan pelajaran agama. Lauster (1992) mengatakan
bahwasannya kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup.
Menurut Wills dalam Ghufron (2010), keprcayaan diri adalah
65
keyakinan bahwa seseorang mampu menanggulangi suatu masalah
dengan situasi terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang dapat
menyenangkan bagi orang lain. Lauster (1992) juga menambahkan
bahwasannya kepercayaan diri pada hakikatnya berhubungan
dengan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu yang baik.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan hasil yang
bertentangan dengan teori yang ada. Berdasarkan teori yang peneliti
dapat dari Kurikulum Pendidikan Luar Biasa KEMENDIKBUD,
diketahui bahwasannya di setiap SLB terdapat kurikulum
pengajaran PAI. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang telah
disampaikan oleh beberapa orang partisipan. Tiga dari enam
partisipan guru tuli yang kesemuanya pernah merasakan pendidikan
di SLB mengatakan, bahwasannya selama mereka mengenyam
pendidikan di SLB, mereka tidak mendapatkan pelajaran PAI.
Kemudian, dua dari enam partisipan mengatakan bahwasannya di
SLB tempat mereka menuntut ilmu dahulu, ada pelajaran PAI, akan
tetapi, dalam pengajarannya, para guru menggunakan bahasa oral.
Sehingga para murid tuli sangat sulit memahami pelajaran.
Kemudian, satu dari enam partisipan mengatakan bahwa dahulu di
SLB ia mendapatkan pengajaran PAI. akan tetapi, pengajaran yang
disampaikan tidak jelas dan tidak dapat dipahami siswa, serta para
guru kurang memperhatikan muridnya. Sedangkan, semua
partisipan memiliki jawaban yang sama terkait pengajaran PAI di
sekolah ini. Mereka mengatakan bahwasannya di Islamic Special
School Bekasi ini, pengajaran PAI diberikan menggunakan bahasa
isyarat, tepatnya isyarat BISINDO.
Empat dari enam partisipan mengatakan, bahwasannya di
Islamic Special School, pengajaran pelajaran-pelajaran selain PAI
diberikan melalui bahas isyarat, gesture, serta pembelajaran di alam.
Mangunsong (2014) mengatakan bahwasannya bagi penyandang
66
tuli, komunikasi menggunakan sistem manual /isyarat lebih mudah
mereka pahami dibandingkan dengan oral. Selain lebih mudah
dipahami, bahasa isyarat juga lebih mudah mengungkapkan maksud
serta isi hati dan pikiran penyandang tuli. Selain menggunakan
isyarat tangan, gesture juga dapat mempermudah penyampaian
informasi bagi penyandang tuli. Meadow (1995) juga mengatakan
bahwasannya gesture dapat mempermudah menyampaikan maksud
kepada orang lain. Kemudian, lingkungan yang berada di sekitar
anak-anak, baik itu yang ada di sekolah ataupun luar sekolah dapat
dijadikan sumber belajar. (Usman, 2002) Satu dari enam partisipan
mengatakan bahwa dalam mengajari anak-anak, mereka fokus pada
apa kesukaan serta kemampuan anak. Dan satu partisipan lain
mengatakan bahwa dalam belajar materi lebih mudah ditangkap
siswa apabila pelajaran dikorelasikan dengan kehidupan sehari-hari.
Tema 6. Harapan guru tuli dalam mengajar siswa tuli
Terkait metode yang paling tepat dalam pembelajaran PAI
bagi anak-anak tuli, semua partisipan memil iki jawaban yang sama
yaitu bahasa isyarat. Marschack (1993) mengatakan bahwa studi-
studi psikologi menunjukkan buruknya perkembangan kognitif dan
sosial anak tuli apabila mereka tidak diberikan akses kepada
komunikasi yang berbentuk mediasi visual. Hal itu dikarenakan
keterbatasan penyandang tuli dalam hal bahasa menyebabkan
mereka lebih mudah memperoleh pelajaran apabila disampaikan
menggunakan “bahasa ibu” mereka, yaitu bahasa isyarat, serta
ditambah dengan penyampaian materi melalui media visual, seperti
gambar, dan lain sebagainya. Conrad (1979 dalam Mangunsong
2014) juga menyebutkan bahwa metode oral tidak memungkinkan
sebagaian besar anak tuli untuk mempertahankan hubungan dengan
67
teman sebaya (peer) mereka di dalam aspek dasar kurikulum
sekolah. Hal itu disebabkan, karena pada hakikatnya, kategori
penyandang tuli dibagi atas beberapa kelompok, sehingga akan
berbeda kemampuan oral antara anak tuli kelompok satu dengan
kelompok lainnya. Misalnya saja anak-anak tuli dengan kelompok
satu yang masih bisa mendengar dan hanya disebut sebagai
gangguan pendengaran, tidak bisa disamakan dengan anak tuli
kelompok dua yang hanya bisa mendengar dalam jarak beberapa
meter. Begitupun dengan kelompok tiga yang masih bisa mendengar
apabila dibantu menggunakan alat bantu dengar, tidak bisa
disamakan kemampuan oralnya dengan anak-anak di kelompok
empat dan lima yang memang tetap tidak bisa mendengar walaupun
dengan alat bantu dengar sekalipun.
Kemudian, penelitian Katz (1967 dalam Mangunsong
2014) juga membandingkan anak tuli yang orangtuanya tuli (dua-
duanya menggunakan komunikasi manual/isyarat) dengan anak tuli
(komunikasi manual) yang orangtuanya tidak menggunakan
komunikasi manual, menunjukkan bahwa anak tuli dari orangtua
yang juga tuli memiliki gambaran diri yang lebih positif, memiliki
kesuksesan akademik yang lebih besar, kemampuan membaca yang
lebih baik, kematangan pribadi, tanggung jawab, kemandirian,
sosiabilitas, serta bahasa tertulis yang lebih baik. Oleh karena itu,
lima dari enam guru memiliki harapan agar kedepannya, para
pengajar bagi anak-anak tuli agar lebih memperhatikan pengajaran
bagi anak-anak tuli, yaitu dengan menggunakan bahasa isyarat atau
bahasa yang memang lebih anak-anak pahami, bukan pengajar
pahami. Kemudian, satu dari enam partisipan memilki harapan agar
para pengajar di SLB menyampaikan kepada pemerintah mengenai
kurikulum serta cara pengajaran yang tepat bagi anak-anak tuli agar
68
kelak tidak lagi menggunakan kurikulum oral, tetapi menggunakan
isyarat, khususnya isyarat BISINDO.
6.2. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan pengalaman proses penelitian, peneliti menyadari
masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Semua partisipan dalam penelitian ini adalah para penyandang tuli yang
berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Dan oleh karena peneliti belum
menguasai bahasa isyarat sepenuhnya, jadi dalam pengambilan data
peneliti menyewa beberapa orang interpreter (penerjemah bahasa
isyarat).
2. Pengambilan data dilakukan pada saat hari kerja, sehingga semua guru
disana memiliki tugas untuk mengajar anak-anak. Oleh karena itu, pada
saat melakukan wawancara seringkali kondisi lingkungan tidak terlalu
kondusif, karena seringkali pada saat wawancara diganggu oleh anak-
anak atau partisipan memilki kesibukan lain.
69
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman adaptasi para
guru tuli dalam memberikan pengajaran PAI kepada anak-anak tuli di Islamic
Special School Bekasi. Partisipan ynag telah diwawancarai berjumlah enam
orang. Tema yang teridentifikasi sejumlah enam tema, yaitu : alasan guru tuli
mengajar siswa tuli, perasaan guru tuli pertama kali mengajar siswa tuli,
hambatan guru tuli dalam mengajar siswa tuli, strategi guru tuli dalam
mengatasi hambatan mengajar, pengajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa
tuli, serta harapan guru tuli dalam mengajar siswa tuli . Tema-tema yang telah
didapatkan ini terdiri atas beberapa kategori. Berikut penjelasan secara detail
mengenai tema-tema tersebut.
Motivasi mengajar para partisipan mengajar adalah karena rasa kagum
para partisipan kepada pemilik sekolah yaitu Ny. G dan permintaan Ny. G agar
mereka bekerja disana, karena tertarik ingin belajar bahasa isyarat, dan ingin
membantu anak-anak tuli belajar bahasa isyarat agar memudahkan mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat pertama kali bekerja disana, mayoritas
partisipan merasaan perasaan senang. Akan tetapi, oleh karena keterbatasan
ilmu yang dimiliki, ada partisipan yang merasakan takut dan berat pada saat
pertama kali mengajar. Pada saat pertama kali mengajar disana, beberapa orang
partisipan menggatakan bahwasannya sambil mengajar mereka sambil belajar
bahasa isyarat. Untuk adaptasi dengan sesama pengajar, para partisipan dapat
beradaptasi dengan baik, walau masih harus belajar bahasa isyarat untuk
mempermudah komunikasi. Dan dalam beradaptasi dengan aturan-aturan
sekolah, mayoritas partisipan tidak memiliki masalah. Hanya beberapa
partisipan saja yang sempat merasakan kebingungan.
70
Selama mengajar, hambatan yang dirasakan para partisipan adalah
kesulitan berkomunikasi dengan siswa yang sudah cukup besar, penulisan dan
pembuatan laporan, serta belum mampunya partisipan dalam menemukan celah
kemampuan anak. Dan dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, para
partisipan akan meminta bantuan penerjemah atau pengajar lain yang hearing,
lebih giat belajar isyarat dan menggunakan gesture, terus mencari celah
kemampuan anak, dan menggunakan cara mengajar sendiri.
Dalam mengajarkan PAI, dengan berbagai alasan, mayoritas para
partisipan merasakan perasaan senang. Akan tetapi ada pula partisipan yang
mengungkapkan perasaan takut salah dalam mengajarkan PAI kepada anak-
anak tuli. Menurut para partisipan, pengajaran PAI di SLB kurang maksimal
bagi anak-anak tuli, baik itu karena sulit dimengerti karena pengajarannya
menggunakan oral ataupun cara mengajar yang tidak jelas serta guru yang tidak
perhatian. Bahkan beberapa partisipan mengungkapkan bahwasannya dahulu di
SLB, mereka tidak mendapatkan Pendidikan Agama Islam (PAI). Hal itu sangat
berbeda dengan pengajaran yang diberikan di Islamic Special School Bekasi
yang menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya. Dan untuk
pengajaran pelajaran lain di Islamic Special School Bekasi menggunakan
bahasa isyarat, visual, gesture, mengikuti bakat dan minat anak-anak, serta
dikorelasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan para guru tuli bagi pengajaran PAI bagi anak-anak tuli adalah
dengan menggunakan isyarat, karena itu adalah menurut para partisipan metode
itu adalah yang paling cocok untuk mengajarkan PAI bagi anak-anak tuli.
Kemudian, salah satu partisipan juga berharap agar para guru di SLB dapat
menyampaikan ke pemerintah agar kelak kurikulum yang digunakan dalam
pengajaran bagi anak-anak tunarungu dapat menggunakan bahasa isyarat.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwasannya bagi penyandang tuli, penggunaan
sistem komunikasi isyarat/manual menggambarkan kesuksesan yang lebih
besar.
71
7.2. Saran
1. Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada
perawat tentang bagaimana membantu adaptasi penyandang tuli di
sekolah, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan komunitas di
SLB dengan baik dan dapat diterima oleh penyandang tuli.
2. Masyarakat
Diharapkan masyarakat lebih perhatian dan lebih memahami berbagai
keterbatasan yang dimiliki tuli. Masyarakat diharapkan juga dapat
membantu adaptasi penyandang tuli dalam berpartisipasi di kegiatan
sosial kemasyarakatan.
3. Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa
keperawatan dalam mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai
bagaimana para penyandang disabilitas khususnya tuli dalam memenuhi
semua kebutuhannva, khususnya di bidang sosial dan kesehatan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman. Dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balaik Pustaka
Aminuddin. 2000. Pengantar apresiasi Kara Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Analisa, L. Wulan. 2011. Analisis Pengaruh Motivasi Kerja dan Lingkungan Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan DISPERINDAG Kota Semarang. Skripsi.
Fakultas Ekonomi: Universitas Diponegoro Semarang.
Arum, D., M., P. 2014. Visualisasi Tuntunan Sholat untuk Tunarungu Berbasi
Media Interaktif. Semarang
Ashman, A., & Elkins, J. 1998. Educating Children With Special Needs. Australia:
Prentice Hall Australia Pty Ltd.
Bekhet, A. K & Niewski, J. A. 2008. Happiness: Theoritical and Empirical
Consideration Nursing. Forum
Cline, T., & Frederickson, N. 2002. Special Educational Needs: Inclusion And
Diversity. Philadelpia: Open University Press.
Cresswell, J. 1998. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches.
Thousand Oaks CA: Sage Publications.
Cresswell, J. W. 2014. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memiloh Diantara
Lima Pendekatan Edisi 3. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Dzakiah. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang
Daradjat, Dzakiah, dkk. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
DEPAG RI. 2003. Pedoman Umum PAI Sekolah Umum dan Sekolah Luar Biasa.
Jakarta: DEPAG.
DEPDIKBUD. 2007. Kurikulum Pendidikan Luar Biasa, Mapel – PAI SDLB.
Jakarta: t p.
DEPDIKNAS. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLB. Jakarta:
BSNP.
DEPKES RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Djamarah, S. Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
73
DPD GERKATIN DKI Jakarta. 2010. Berkenalan dengan Bahasa Isyarat
Indonesia (BISINDO)
Gerungan, W.A. 2006. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco
Hallahan, D.P., & Kauffman, J. M. 2006. Exceptional Learner: An Intorduction To
Special Education (International Edition: 10th Ed). Boston: Allyn And Bacon.
Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Holloway, Immy. 2008. A-Z Qualitative Research in Healthcare, Second Edition.
British: Blackwell Publishing.
Irwanto, dkk. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Sebuah
Desk Review. Depok: Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. 2008. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kirk, Jarome & Marc. L., Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative
Research. Vol.1. Beverly Hills: Sage Publication.
Mangunsong, Frieda. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus,
Jilid Kesatu, Cetakan Pertama. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana
Pengukuran Dana Pendidikan Psikologi (LPSP3) Kampus Baru UI.
Mardiyanti & Haryanthi, L. Putu. 2016. How Deaf and Mute People Learn Islamic
Value in Indonesian Context. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
Martiasari, Nenda. 2015. Pendidikan Agama Islam pada Anak Tunarungu di SLB-
B Ngudi Hayu Srengat Blitar. Tulungagung: FITK IAIN Tulungagung.
Milton, C. L. 1999. Ethical Issues from Nursing Theoretical Perspectives. Nursing
Science Quarterly.
Moleong, J., Lexy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Mulyasin, E. 2004. Kurikulum Berbasi Kompetensi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ningtyastuti, Wulan. 2011. Metode pembelajaran Pendidikan Islam di SLB Austik
Fajar Yogyakarta. Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Yogyakarta.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
74
Poerwandari, E. K. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Edisi Ketiga. Depok: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Potter, P. A & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta:
EGC
Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology : Biopsychosocial Interactions Fifth
Edition. USA: John Wiley & Sons
Saryono & Anggraeni, Mekar Dwi. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam
Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Schneider, A.A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt,
Rinehart and Winston
Semium, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Yogyakarta.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah Pesan kesan dan Keserasian Al-
Qur’am. Jakarta: Lentera Hati
Smart, Aqila. 2012. Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran dan Terapi
untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kata Hati.
Somantri, Hj. T. Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika
Aditama.
Streubert, Helen J. & Carpenter, Dona Rinaldi. 2011. Qualitative Research in
Nursing: Advancing the Humanistic Imperative. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
Sudjana, Nana. 2010. Dasar-dasar Proses Belajar. Bandung: Sinar Baru.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R &D. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa
Publisher.
Sulastri, Sri. 2015. Pembelajaran Pendidik Wantu Wirawan Salatiga. Salatiga:
FTIK IAIN Salatiga.
Suran, B. G., & Rizzo, J. V. 1979. Special Children: An Integrative Approach.
Glenview: Scotts, Foresman and Co.
75
Swarjana, I,. Ketut. 2015. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.
Yogyakarta: ANDI.
Syah, Muhibin . 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Syaikh Muhammad Nshiruddin A Bani. _. Shahih Sunan Ibnu Majah. Jilid 1.
Jakarta: Pustaka Azzzam
Tafsir, Ahmad. 2008. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2012. Filsafat Pendidiakn Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Telford, C. W., & Sawrey, J. M. 1981. The Exceptional Individual. 4th Ed. New
Jersey: Prentice Hall Inc.
Thaha, Nasrudin. 1983. Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara.
Tubbs, Stewart. L & Sylvia, Moss. 2008. Human Communication Prinsip Prinsip
Dasar. Bandung: Remaja Rodakarya
Undang-Undang Dasar 1945. 1998. Jakarta: Apollo
Usman, M,. Basrudin. 2004. Methodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta:
Ciputat Press.
UU No. 20 tahun 2003 Sisdiknas. 2003. Bandung: Citra Umbara
Winarsih, Murni. 2007. Intervensi Dini bagi Anak Tunarungu dalam Pemerolehan
Bahasa. Jakarta: Dirjen Dikti.
Y. Yuniati. 2011. Pengembangan Perangkat Lunak Pembelajaran Bahasa Isyarat
Bagi Penderita Tunarungu Wicara. Jurnal Generic, vol. 6, pp. 29- 32..
Zuharini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
76
Pedoman Wawancara Mendalam
Pengalaman Adaptasi Guru Tuli dalam Mengajarkan Pendidikan Islam
pada Siswa Tuli di Islamic Special School Bekasi
A. Petunjuk Umum
1. Tahap perkenalan
2. Ucapkan terima kasih kepada partisipan atas ketersediaan dan waktu
yang telah diluangkan untuk pelaksanaan wawancara
3. Jelaskan maksud dan tujuan wawancara mendalam
B. Petunjuk Wawancara Mendalam
1. Wawancara dilakukan oleh seorang pewawancara
2. Informan bebas menyampaikan pengalaman, pendapat, dan saran
partisipan sangat bernilai
3. Pernyataan partisipan tidak bernilai benar dan salah
4. Semua hasil wawancara akan dijaga kerahasiaannya
5. Wawancara itu akan direkam dengan alat perekam untuk membantu
pencatatan hasil wawancara
C. Identitas Partisipan
1. Nama partisipan (inisial) :
2. Usia :
3. Pendidikan ;
4. Lama mengajar :
D. Pertanyaan Wawancara
1. Fase awal mengajar di sekolah
a. Bagaimana perasaan bapak/ibu dalam mengajar siswa tuli di TLH?
1) Apa sajakah alasan dan motivasi Anda dalam mengajar di TLH?
77
2) Bagaimana perasaan Anda sewaktu pertama kali mengajar di
TLH, khususnya mengajarkan PAI? Dapatkah Anda jelaskan
lebih dalam terkait perasaan Anda?
3) Bagaimana Anda menyesuaikan diri sewaktu pertama kali
mengajar siswa-siswa disana?
4) Bagaimana Anda menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan
disana? Khususnya kepada sesama teman sejawat pengajar
disana?
5) Bagaimana Anda menghadapi dan menyesuaikan diri atas segala
tuntutan dan peraturan yang diterapkan oleh sekolah?
2. Fase perjalanan dan pengalaman mengajar
a. Hambatan
1) Menurut Anda, hambatan apa yang paling besar yang Anda
rasakan sewaktu mengajarkan PAI di TLH?
2) Bagaimana bapak/ibu menangani hambatan-hambatan yang ada
dalam pembelajaran PAI bagi murid di TLH?
b. Sistem dan metode PAI
1) Bagaimana perbedaan perasaan Anda antara mengajarkan PAI
dengan pelajaran lain di TLH?
2) Menurut Anda, apa yang membedakan metode pengajaran PAI
dengan pengajaran pelajaran lainnya di TLH?
3) Apa yang membedakan pembelajaran PAI di TLH dengan
sekolah-sekolah luar biasa lainnya?
4) Berdasarkan pengalaman Anda, menurut Anda metode apa yang
paling cocok dalam pembelajaran PAI bagi anak tunarungu?
5) Apa harapan bapak/ibu mengenai pengajaran bagi SISWA tuli,
khususnya pengajaran PAI?
78
Analisis Tematik
No Pernyataan Signifikan
Kategori Tema
Informan
P1 P2 P3 P4 P5 P6
1 Ny. G minta ngajar disini Permintaan mengajar oleh pemilik
sekolah
Alasan guru tuli
mengajar siswa tuli
√ √ √
2 Tertarik karena ngeliat Ny. G bahasa
isyaratnya wuuah
Rasa kagum kepada pemilik
sekolah
√
3 Tertarik ngajar anak-anak. Ini kesempatan
untukku untuk bisa ngajar bantu
Keinginan membantu anak-anak
tuli belajar
√
4 Karena di sekolah ini tuh belajarnya lewat
isyarat. Jadi tertarik pengen belajar dan
mengajar
Keinginan untuk belajar dan
mengajar bahasa isyarat
√
5 Bingung. Saya ga tau ngajar gimana
Bingung Perasaan guru tuli
pertama kali mengajar
siswa tuli
√ √ √
6 Seneng Senang √ √
7 Merasa sulit. Berat banget Takut salah √
79
Sebab dulu ga ada yang ngajarin aku
bahasa Indonesia. Takut salah
8 Kalo yang sudah besar, sulit, bahasanya
udah tinggi
Sulit berkomunikasi dengan siswa
yang cukup besar
Hambatan guru tuli
dalam mengajar siswa
tuli
√ √ √
9 Buat laporannya katanya bingung Hambatan dalam membuat
laporan dan materi tertulis
√ √ √
10 Masing-masing anak kemampuannya beda.
Jadi dia harus mencari celahnya
Belum mahir mencari celah
Belum mampu menemukan minat
dan bakat siswa tuli
√
11 Setiap guru isyaratnya beda-beda
Ga nyambung sama guru-gurunya.
Perbedaan isyarat menyebabkan
komunikasi tidak nyambung
√
12 Saya ngajar down syndrom sama tuli
dituker-tuker. Bingung. Akhirnya mbak ira
lebih sering bantu anak-anak autis dan
down syndrom.
Bingung karena perubahan posisi
mengajar
√
80
13 Pertama memperhatikan temen-temennya
dulu, baru kemudian sambil belajar
Memperhatikan pengajar lain
terlebih dahulu dalam mengajar
Strategi guru tuli dalam
mengatasi hambatan
mengajar
√
14 Minta bantuan penerjemah
Mengatasi hambatan dengan
bantuan interpreter
√ √ √ √
15 Sambil terus belajar bisindo Semakin giat mempelajari bisindo √ √
16 Jadi dia harus terus berlatih mencari
celahnya. Perhatikan siswa terus
Terus berlatih mencari minat dan
bakat siswa
√
17 Pake gesture tubuh, biar nyambung Menggunakan gesture tubuh √
18 Pake cara sendiri untuk ngajarin anak-
anak. Ditambah inisiatif sendiri
Menggunakan cara sendiri yang
mudah dipahami siswa
√
19 Senang Merasakan senang Pengajaran Pendidikan
Agama Islam bagi
siswa tuli
√ √ √ √
20 Senang tapi sulit Senang tetapi merasakan kesulitan √
21 Takut salah Perasaan takut salah √
22 Di SMA, ga ada yang ngajar agama Di SLB tidak ada pelajaran agama √ √ √
23 Isyarat tuh ga ada Ilmu agama tidak berkembang √ √
81
Jadi ga bisa berkembang
24 Kebanyakan ga jelas
nanya sama gurunya aja malah, halah
palingan kamu ga ngerti baca apa
Pelajaran kurang jelas √
25 Kalo di sekolah ini pake isyarat paham Pengajaran agama menggunakan
isyarat
√ √ √ √ √ √
26 Kalo yang lain isyarat juga, visual juga.
Gesture.
Pengajaran pelajaran lain
menggunakan visual dan gesture
√ √ √ √
27 Kalo ngajar yang lain sesuai sama
kesukaannya anak
Pengajaran pelajaran lain
mengikuti kesukaan siswa
√
28 Dikorelasiin sama kehidupan sehari” Pengajaran pelajaran lain
dikorelasikan dengan kehidupan
√
29 Iya itu yang pasti isyarat. Kayak di sekolah
ini
Metode pengajaran agama lebih
baik menggunakan isyarat
Harapan guru tuli
dalam mengajar siswa
tuli
√ √ √ √ √ √
30 Kenal Allah terlebih dahulu melalui bahasa
isyarat
Harapan siswa tuli mengenal
Allah melalui isyarat
√ √ √ √ √
82
31 Guru SLB bilang ke pemerintah untuk
pengajaran untuk berubah menggunakan
bisindo
Harapan guru SLB
menyampaikan aspirasi ke
pemerintah
√