55
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya pertumbuhan populasi di dunia memunculkan pertanyaan bagaimana kebutuhan makanan dapat dipenuhi. Hal tersebut sangat jelas bahwa peningkatan suplai makanan penting untuk memenuhi kebutuhan gizi untuk setiap orang. Pengembangan metode produksi, pascapanen, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pemasaran yang lebih baik sangat penting untuk menghasilkan penggunaan buah-buahan, sayuran, dan produk pertanian lainnya yang lebih efisien (Larousse, 1997). Tujuan utama pengolahan makanan adalah untuk mengawetkan makanan yang mudah rusak dalam bentuk stabil yang dapat disimpan dan dikirim ke pasar yang jauh selama berbulan-bulan. Pengolahan juga dapat merubah makanan menjadi bentuk yang baru atau yang lebih bermanfaat dan membuat makanan tersebut lebih mudah untuk disiapkan (Anonim, 2007a). Salah satu metode dasar untuk pengolahan buah dan sayuran adalah pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan pencegahan rekontaminasi.

pengalengan garap

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pengalengan garap

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingginya pertumbuhan populasi di dunia memunculkan pertanyaan

bagaimana kebutuhan makanan dapat dipenuhi. Hal tersebut sangat jelas bahwa

peningkatan suplai makanan penting untuk memenuhi kebutuhan gizi untuk setiap

orang. Pengembangan metode produksi, pascapanen, penyimpanan, pengolahan,

pengemasan, penyimpanan dan pemasaran yang lebih baik sangat penting untuk

menghasilkan penggunaan buah-buahan, sayuran, dan produk pertanian lainnya yang

lebih efisien (Larousse, 1997).

Tujuan utama pengolahan makanan adalah untuk mengawetkan makanan

yang mudah rusak dalam bentuk stabil yang dapat disimpan dan dikirim ke pasar

yang jauh selama berbulan-bulan. Pengolahan juga dapat merubah makanan menjadi

bentuk yang baru atau yang lebih bermanfaat dan membuat makanan tersebut lebih

mudah untuk disiapkan (Anonim, 2007a).

Salah satu metode dasar untuk pengolahan buah dan sayuran adalah

pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan

menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan pencegahan rekontaminasi.

Kualitas makanan yang dikalengkan tidak hanya dipengaruhi oleh proses panas tetapi

juga metode-metode preparasi, misalnya preparasi yang melibatkan pencucian,

trimming, sortasi, blanching, pengisian dalam kontainer, dan penjagaan head space di

dalam kaleng dengan penutupan vakum (Luh, 1975).

Tujuan dari proses pengalengan adalah untuk membunuh mikroorganisme

dalam makanan dan mencegah rekontaminasi. Panas merupakan agensia umum yang

digunakan untuk membunuh mikroorganisme. Penghilangan oksigen digunakan

bersama dengan metode lain untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang

memerlukan oksigen. Dalam pengalengan konvensional buah dan sayur, ada tahapan

Page 2: pengalengan garap

proses dasar yang sama untuk kedua tipe produk. Perbedaannya mencakup operasi

khusus untuk beberapa buah atau sayuran, urutan tahapan proses yang digunakan

dalam operasi dan tahapan pemasakan atau blanching (Anonim, 2007a).

B. Tujuan Praktikum

Mengetahui dan mempelajari proses pengalengan buah dan sayuran

Page 3: pengalengan garap

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Buah-buahan merupakan bakal buah suatu bunga yang masak. Bagian yang

dapat dimakan biasanya bagian daging yang menyelubungi seluruh bagian biji.

Walaupun demikian biji-bijinya sendiri atau bagian vegetative tanamannya yang

merupakan bagian bukan buah juga dapat dimakan (Norman, 2008). Buah-buahan

juga dapat dibedakan menjadi dua golongan menurut penggunaannya. Buah sayuran

secara teknis adalah buah tetapi dimakan sebagai sayuran. Nilai makanan dan sifat-

sifat yang lainnya dari buah sayuran seperti sayuran- sayuran pada umumnya

(Winarno, 1997).

Apel (Pyrus malus) dapat hidup subur di daerah yang mempunyai temperatur

udara dingin. Tumbuhan ini di Eropa dibudidayakan terutama di daerah subtropis

bagian Utara. Sedang apel lokal di Indonesia yang terkenal berasal dari

daerah Malang, Jawa Timur. Atau juga berasal dari daerah Gunung Pangrango, Jawa

Barat. Di Indonesia, apel dapat tumbuh dan berkembang dengan baik apabila

dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian sekitar 1200 meter di atas

permukaan laut. Tumbuhan apel dikatagorikan sebagai salah satu anggota keluarga

mawar-mawaran dan mempunyai tinggi batang pohon dapat mencapai 7-10 meter.

Daun apel sangat mirip dengan daun tumbuhan bunga mawar. Berbentuk bulat telur

dan dihiasi gerigi-gerigi kecil pada tepiannya. Pada usia produktif, apel biasanya akan

berbunga pada sekitar bulan Juli. Buah apel yang berukuran macam-macam tersebut

sebenarnya merupakan bunga yang membesar atau mengembang sehingga menjadi

buah yang padat dan berisi. Klasifikasi buah apel

Regnum : Plantae (Tumbuhan)

     Sub Regnum : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

    Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Page 4: pengalengan garap

Sub Kelas : Dialypetalae

Ordo : Rosales

Famili : Rosaceae (suku mawar-mawaran)

    Genus : Pyrus

      Spesies : Pyrus malus L.

Buah apel mempunyai bermacam-macam varietas dan memiliki ciri-ciri

tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan antara lain Romebeauty, Manalagi,

Anna,Princess Noble, dan Wangli/Lali Jiwo. Pada beberapa varietas apel, aroma

terasa sangat tajam. Citarasa, aroma, maupun tekstur apel sebenarnya dihasilkan dari

kurang lebih 230 komponen kimia, termasuk pula beragam asam seperti asam asetat,

format serta 20 jenis asam lain. Selain itu, ada kandungan alkohol berkisar 30 – 40

jenis, ester seperti etil asetat sekitar 100 jenis, karbonil seperti formaldehid dan

asetaldehid (Ikrawan, 1996).

Senyawa fitokimia pada buah apel yang berfungsi sebagai antioksidan adalah

senyawa fenolik, golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan

asam-asam organik polifungsional. Apel juga mengandung betakaroten. Betakaroten

memiliki aktivitas sebagai provitamin A yang berguna untuk menangkal serangan

radikal bebas penyebab berbagai penyakit degenerative (Wahono,2011)

Menurut USDA Nutrient database (2010) nilai kandungan gizi Apel per 100 g

(3.5 oz) Energi 218 kJ (52 kcal) Karbohidrat 13,81 g, Gula 10,39 g, Diet serat 2,4 g,

Lemak 0,17 g, Protein 0,26 g, Air 85,56 g, Vitamin A equiv. 3 mg (0%), Thiamine

(Vit. B1) 0.017 mg (1%), Riboflavin (Vit. B2) 0,026 mg (2%), Niacin (Vit. B3) 0,091

mg (1%), Asam pantotenat (B5) 0,061 mg (1%), Vitamin B6 0,041 mg (3%), Folat

(B9 Vit.) 3 mg (1%), Vitamin C 4.6 mg (8%), Kalsium 6 mg (1%), Besi 0,12 mg

(1%), Magnesium 5 mg (1%), Fosfor 11 mg (2%), Kalium 107 mg (2%), Seng 0,04

mg (0%).

Adapun beberapa manfaat dari buah apel yang dipaparkan oleh Direktorat

Budidaya dan Pascapanen Buah (2012) diantaranya sebagai berikut :

Page 5: pengalengan garap

1. Untuk mencegah kanker usus, ini merupakan manfaat buah apel yang jarang

dibicarakan orang. Berdasarkan hasil penelitian pada seekor tikus yang diberi

makan kulit apel ternyata mengurangi resiko 43% terkena kanker usus atau

saluran pencernaan. Diketahui bahwa kandungan berupa pectin-lah yang

menyebabkan kesehatan saluran cerna tetap terjaga.

2. Untuk mengurangi berat badan, khusus bagi yang menjalankan diet sebaiknya

masukkan apel dalam daftar makanan diet anda karena dengan

mengkumsumsi minimal 3 buah apel sehari akan mempercepat proses

penurunan badan anda.

3. Untuk mencegah kanker paru-paru. Ini adalah hasil dari penelitian pada

10.000 orang secara acak dimana ditemukan hasil bahwa dengan

mengkomsumsi apel secara rutin maka akan mengurangi resiko terkena

kanker paru-paru sampai 50% lebih rendah dari yang tidak

mengkomsumsinya.

4. Sebagai pengontrol diabetes. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa apel

memiliki kandungan berupa pectin yang berfungsi mensuplai galacturonic

acid yang diyakini mampu menurunkan kebutuhan tubuh

melepaskan insulin yang umunya dikenal sebagai penyebab diabetes

5. Manfaat buah apel dalam memperkuat tulang. Peneliti asal prancis telah

menemukan kesimpulan dari hasil penelitiannya bahwa apel memiliki 2

kandungan yang dapat menyebabkan tulang semakin kuat dan padat,

yaitu phloridzin dan baron.

6. Sebagai penurun kolestrol darah. Karena mampu menurunkan kolesterol

hingga 16%

7. Mencegah penyakit asma. Bahkan dengan mengkomsumsi minimal sekali saja

sebulan bagi anak-anak efek dari apel ini sudah bisa dibuktikan dalam

mengurangi resiko penyakit asma dan juga dikatakan bahwa ibu yang sering

mengkomsumsi apel pada saat hamil akan mampu mengurangi resiko asma

pada anaknya dibanding yang tidak mengkomsumsinya.

Page 6: pengalengan garap

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang

terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika

Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika

Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa

Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber

karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun tongkolnya),

diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah

tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung

tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku

pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam

sebagai penghasil bahan farmasi. (Adi,2012 ). Kandungan Gizi Jagung per 100 gram

bahan Kalori : 355 Kalori,Protein : 9,2 gr,Lemak : 3,9 gr, Karbohidrat : 73,7 gr,

Kalsium : 10 mg, Fosfor : 256 mg, Ferrum : 2,4 mg, Vitamin A : 510 SI, Vitamin

B1 : 0,38 mg, Air : 12 gr (Adi,2012).

Perubahan warna yang utama pada sayuran dan buah-buahan disebabkan oleh

reaksi browning (pencoklatan). Reaksi pencoklatan terdiri atas pencoklatan

(browning) enzimatis dan non enzimatis. Browning enzimatis disebabkan oleh

aktifitas enzim phenolase dan poliphenolase. Pada buah dan sayuran utuh, sel-selnya

masih utuh, sehingga substrat yang terdiri atas senyawa-senyawa fenol terpisah dari

enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning. Apabila sel pecah akibat

terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan) substrat dan enzim akan

bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi browning

enzimatis. Pembentukan warna coklat disebabkan oksidasi senyawa-senyawa fenol

dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase membentuk quinon, yang

selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen berwarna coklat). Untuk

terjadinya reaksi browning enzimatis diperlukan adanya 4 komponen fenolase dan

polifenolase (enzim), senyawa-senyawa fenol dan polifenol (substrat), oksigen dan

ion tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Untuk menghindari terjadinya reaksi

browning enzimatis dapat dilakukan dengan mengeliminasi (menghilangkan) salah

Page 7: pengalengan garap

satu atau beberapa komponen tersebut. Browning non enzimatik terutama disebabkan

reaksi Maillard, yaitu reaksi yang terjadi antara gula pereduksi (melalui sisi keton dan

aldehid yang reaktif) dengan asam-amino (melalui gugus amina). Reaksi ini banyak

terjadi selama penyimpana bahan pangan. Reaksi non enzimatik browning yang lain

adalah karamelisasi dan oksidasi asam askorbat. Reaksi browning dapat dicegah

dengan menambahkan senyawa-senyawa anti pencoklatan, antara lain senyawa-

senyawa sulfit, asam-asam organik dan dengan blanching/blansir (Santoso,2006).

Senyawa-senyawa sulfit misalnya natrium bisulfit, SO Natrium 21 sulfit dan

lain-lain mempunyai kemampuan untuk menghambat reaksi browning baik enzimatis

maupun non enzimatis. Penghambatan terhadap browning enzimatis terutama

disebabkan kemampuannya untuk mereduksi ikatan disulfida pada enzim, sehingga

enzim menjadi tidak aktif, sedangkan penghambatan reaksi browning non enzimatis

disebabkan kemampuannya untuk bereaksi dengan gugus aktif gula pereduksi,

sehingga mencegah reaksi antara gula pereduksi tersebut dengan asam amino

(Santoso,2006).

Penambahan asam-asam organik dapat menghambat browning enzimatik

terutama disebabkan efek turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim

fenolase dan polifenolase mempunyai pH optimum pada pH 5 - 7, dibawah kisaran

pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Asam-asam organik yang dapat ditambahkan

adalah asam askorbat, asam malat, asam sitrat dan asam erithorbat. Disamping

menurunkan pH penambahan asam askorbat yang bersifat pereduksi kuat sehingga

berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam askorbat, maka oksigen

yang merupakan pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan

asam sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang

merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat (Santoso,2006).

Blansir adalah proses pemanasan dengan suhu tinggi (80 - 1000C), dengan

menggunakan uap atau air Panas. Blansir umumnya dilakukan terhadap buah dan

sayuran. Tujuan proses blansir adalah sebagai berikut:

Page 8: pengalengan garap

a. Menginaktifkan enzim-enzim yang terdapat dalam buah dan sayuran yang dapat

menyebabkan perubahan flavor dan rasa serta warna selama penyimpanan.

Menurut Desrosier (1988), enzim masih dapat mempertahankan aktifitasnya pada

suhu serendah -730C, walaupun pada suhu tersebut kecepatan reaksinya sangat

rendah. Oleh karena itu penyebab kerusakan buah-buahan dan sayuran selama

pembekuan, penyimpanan beku dan thawing sebagian besar disebabkan oleh

aktifitas enzim.

b. Mengerutkan dan melemaskan bahan pangan, sehingga memudahkan pengolahan

selanjutnya.

c. Menurunkan kontaminasi mikroba awal.

d. Menghilangkan kotoran-kotoran pada permukaan bahan dan mengusir udara atau

mengurangi kadar oksigen dari jaringan bahan pangan.

Kalsium merupakan nutrisi tanaman yang paling sering diasosiasikan dengan

kualitas buah dan kekerasan buah. Keterlibatan kalsium dalam beberapa proses

fisiologi dan biokimia diasosiasikan dengan pelunakan buah (Sams (1999) dalam

Dedy,2012)). Kalsium merupakan kation utama dari lamela tengah dinding sel,

dimana kalsium pektat merupakan unsur utama. Kalsium berhubungan erat dengan

kekuatan mekanis suatu jaringan. Konsentrasi kalsium dalam jaringan yang sehat

pada berbagai macam tanaman berkisar antara 0.2 persen hingga beberapa persen

(Epstein, 1972). Ferguson dan Drobak (1988) menyatakan kalsium dapat mereduksi

atau menunda kerusakan dinding sel. Pengaruh ini biasanya diekspresikan pada

penundaan pelunakan buah diasosiasikan dengan aktifitas poligalakturonase. Kalsium

juga mempertahankan fungsi membran. ( Luna-Guzman dan Barrett (2000) dalam

sylviana,2005)) melaporkan pengaruh pengerasan yang disebabkan kalsium klorida

dapat dijelaskan dengan:

1. kompleks dari ion kalsium dengan dinding sel dan pektin lamela tengah.

2. penstabilan membran sel oleh ion kalsium.

3. pengaruh kalsium pada tekanan turgor sel.

Page 9: pengalengan garap

Tekstur buah-buahan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan padatan

terlarut total,dan perbedaan kandungan patinya. Tekstur buah-buahan juga tergantung

pada ketegangan, ukuran, bentuk, dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang,

dan susunan tanamannya. Dengan dinding sel yang tegang dan kuat dipertahankan

suatu tekstur yang kokoh (Pantastico, 1986).

Ferguson (1984) melaporkan perlakuan kalsium pada jaringan sel apel

memberikan efek pada komposisi dinding sel, penguatan mekanis dan fungsi

membran. Larutan 0.14 g/L CaCl2 merupakan konsentrasi untuk memperpanjang

masa simpan serta meminimalkan risiko kerusakan permukaan buah apel ‘Golden

Delicious’. Perlakuan perendaman buah dengan larutan kalsium lebih efektif jika

dikombinasikan dengan perlakuan panas. Lurie dan Klein (1992) melaporkan buah

apel ‘Anna’ menyerap kalsium lebih efektif dengan perlakuan panas sebelum

perendaman dalam larutan kalsium. Kombinasi perlakuan CaCl2 dan perlakuan panas

pada buah apel 'Lobo' meningkatkan pH. Pada saat akhir masa penyimpanan

kekerasan buah apel yang diberi perlakuan lebih tinggi dan gejala kerusakan lebih

rendah dibandingkan kontrol (Dris et al., 2000).

Dengan berkembangnya teknologi pangan mempengaruhi beragam kemasan

produk makanan. Kemasan produk pangan mempunyai arti penting dan luas untuk

sebuah produk pangan. Pengemasan suatu produk pangan sendiri dimaksudkan untuk

membatasi antara bahan pangan dengan keadaan normal sekelilingnya, untuk

menunda proses dalam jangka waktu yang diinginkan. Dengan demikian pengemasan

memberikan peranan yang utama dalam mempertahankan bahan pangan dalam

keadaan bersih dan higienis (Syarief, 2001).

Salah satu metode dasar untuk pengawetan buah dan sayuran adalah

pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan

menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan pencegahan rekontaminasi.

Kualitas makanan yang dikalengkan tidak hanya dipengaruhi oleh proses panas tetapi

juga metode-metode preparasi, misalnya preparasi yang melibatkan pencucian,

Page 10: pengalengan garap

trimming, sortasi, blanching, pengisian dalam kontainer, dan penjagaan head space di

dalam kaleng dengan penutupan vakum (Luh, 1975).

Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang

tertutup rapat dan disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan yang

paling umum dilakukan karena bebas dari kebusukan, serta dapat mempertahankan

nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Proses pemanasan kaleng yang dianggap aman

adalah yang dapat menjamin bahan makanan tersebut telah bebas dari karena bakteri

tersebut menghasilkan toksin yang mematikan dan paling tahan terhadap pemanasan

(Annonymous, 2009). Menurut (Widjanarko (2000) dalam Dedy 2012), berdasarkan

pH-nya makanan kaleng dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

o Makanan asam rendah : pH 5,0 atau lebih

o Makanan cukup asam : pH 4,5 – 5,0

o Makanan asam : pH 3,7 – 4,5

o Makanan sangat asam : pH 3,7 atau kurang

Bahan pangan mempunyai mikroflora yang spesifik, organism tertentu akan

spesifik untuk golongan bahan tertentu pula. Organism ini masuk kedalam bahan

pangan selama operasi pengalengan baik melalui tanah, dari zat penyusun maupun

peralatannya. Berdasarkan alat penggolongan asiditas bahan pangan, dimungkinkan

untuk membuat pedoman umum yang berhubungan dengan organism pembusuk yang

sesuai untuk tujuan keberhasilan proses pengalengan (Norman, 2008). Menurut

Winarno (1997) tanda-tanda kerusakan makanan kaleng ditandai dengan kondisi

permukaan yang tidak berbentuk bahkan cekung dan produknya menjadi asam serta

pH sangat rendah.

Sayuran pada umumnya mengandung banyak karbohidrat dan memiliki pH 5-

7. Jadi, berbagai tipe bakteri, jamur dan yeast dapat tumbuh jika kondisinya sesuai.

Mikroorganisme dalam sayuran berasal dari beberapa sumber, misalnya dari tanah,

air, udara, ternak, insekta, burung atau peralatan dan bervariasi tergantung tipe

sayuran. Jumlah dan tipe mikrobia bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan dan

Page 11: pengalengan garap

kondisi dari pemanenan. Umumnya sayuran dapat memiliki 103-5 mikroorganisme

per square cm atau 104-7 per gram. Beberapa tipe bakteri antara lain bakteri asam

laktat, Coryneforms, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas, Micrococcus,

Enterococcus, dan Sporeformers. Sayuran juga memiliki berbagai tipe jamur

seperti Alternaria, Fusarium, dan Aspergillus (Marhaendita, Sefani, 2007).

Tujuan dari proses pengalengan adalah untuk membunuh mikroorganisme

dalam makanan dan mencegah rekontaminasi. Panas merupakan agensia umum yang

digunakan untuk membunuh mikroorganisme. Proses pengolahan dengan suhu tinggi

telah diaplikasikan dalam makanan kaleng dan dapat mempertahankan daya awet

produk pangan hingga 6 bulan atau lebih (Hariyadi, dkk., 2000). Penghilangan

oksigen digunakan bersama dengan metode lain untuk mencegah pertumbuhan

mikroorganisme yang memerlukan oksigen. Dalam pengalengan konvensional buah

dan sayur, ada tahapan proses dasar yang sama untuk kedua tipe produk.

Perbedaannya mencakup operasi khusus untuk beberapa buah atau sayuran, urutan

tahapan proses yang digunakan dalam operasi dan tahapan pemasakan atau blanching

(Luh, 1975).

Meskipun proses pengalengan berbeda untuk produk yang satu dengan yang

lain, dasar tahapan penanganan, preparasi dan perlakuan panas hampir sama untuk

sebagian besar buah dan sayuran (Smith, 1997). Kerusakan makanan kaleng dapat

disebabkan oleh mikroba pembusuk atau mikroba patogen. Kerusakan makanan

kaleng yang diawetkan dengan pemanasan dapat disebabkan oleh adanya sisa

Mikroorganisme yang masih bertahan hidup setelah proses pemanasan, atau karena

masuknya mikroba dari luar melalui bagian kaleng yang bocor setelah proses

pemanasan. Penyebab yang pertama menunjukkan bahwa makanan kaleng tersebut

tidak cukup proses pemanasan-nya (under process) (Kusnandar, dkk., 2000).

Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap,

diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium,

exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desrosier, 1988). Persiapan

bahan dilakukan dengan pemilihan bahan-bahan yang akan dikalengkan,

Page 12: pengalengan garap

pencucian,pemotongan menjadi bagian-bagian tertentu, dan persiapan bahan untuk

pengolahan selanjutnya (Luh dan Woodroof,1975). Pencucian bertujuan untuk

memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran,

minyak, tanah, dan sebagainya serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba

awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi (Lopez, 1981).

Pengisian bahan pangan ke dalam wadah harus memperhatikan ruangan pada bagian

dalam atas kaleng (head space). Head space adalah ruang kosong antara permukaan

produk dengan tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan

produk selama disterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan

kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space bervariasi tergantung jenis

produk dan jenis wadah. Umumnya untuk produk cair dalam kaleng, tingginya head

space adalah sekitar 0.25 inci, sedangkan bila wadah yang digunakan adalah gelas jar,

direkomendasikan head space yang lebih besar. Bila dalam pengalengan tersebut

ditambahkan medium pengalengan, tinggi head space tidak boleh kurang dari 0.25

inci, tetapi bila produk dikalengkan tanpa penambahan medium, diperkenankan

produk diisikan sampai hampir penuh dengan meninggalkan sedikit ruang head space

(Muchtadi, 1994). Pengisian bahan ke dalam harus seragam dengan tujuan untuk

mempertahankan keseragaman rongga udara (head space), memperoleh produk yang

konsisten, dan menjaga berat bahan secara tetap. Gelas jars adalah padatan amorf dari

suatu larutan silica oksida, kalsium, natrium, dan elemen lain. Bahan mentah gelas

terutama adalah pasir, soda, abu, dan batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Wadah

gelas untuk bahan pangan dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu gelas bermulut

lebar (wide mouth) dan gelas berleher sempit (narrow neck). Gelas jars hendaknya

diperiksa terlebih dahulu terutama pada bagian penutupan, karena produk kalengan

akan membusuk bila penutupan tidak sempurna. Pemeriksaan gelas jars juga

dilakukan terhadap ada/tidaknya keretakan, goresan atau bagian finish yang tidak

sempurna, sedangkan tutup diperiksa apakah dapat menutup dengan baik atau tidak.

Setelah pemeriksaan tersebut, gelas jars beserta tutupnya dicuci dalam air sabun yang

hangat, kemudian dibilas dengan air bersih, setelah itu gelas jars direndam dalam air

Page 13: pengalengan garap

mendidih sekurang-kurangnya 15 menit.Apabila tidak, akan menimbulkan kerusakan

pad akaret atau gasket tutup, tutup gelas jars dapat juga direndam dalam air panas

tersebut. Apabila pengisian produk akan dilakukan dalam keadaan panas, maka gelas

jars juga harus dijaga agar tetap dalam keadaan panas. Menurut Muchtadi (1994),

penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran sebagian besar oksigen

dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak bereaksi dengan produk sehingga dapat

mempengaruhi mutu, nilai gizi, dan umur simpan produk kalengan. Exhausting juga

dilakukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan produk selama proses

sterilisasi sehingga kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk

meningkatkan suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal (initial

temperature). Penutupan wadah dilakukan setelah proses penghampaan udara

(exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pembusukan.

Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi adalah operasi yang paling penting

dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan

mikroba pembusuk dan patogen,tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi

cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya,teksturnya, dan citarasa sesuai yang

diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang

cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga

membuat produk menjadi terlalu masak. Sterilisasi pada sebagian besar makanan

kaleng biasanya dilakukan secara komersial. Sterilisasi komersial adalah sterilisasi

yang biasanya dilakukan terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik,

atau botol. Bahan pangan yang disterilkan secara komersial berarti semua mikroba

penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam makanan tersebut telah

dimatikan, demikian juga mikroba pembusuk. Spora bakteri non-patogen yang tahan

panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi

bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif berproduksi), sehingga keberadaannya

tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal. Makanan

yang telah dilakukan sterilisasi komersial memiliki daya simpan yang tinggi

(Hariyadi, 2000).

Page 14: pengalengan garap

Menurut Muchtadi (1994), sterilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya:

(1) jenis mikroba yang dihancurkan,

(2) kecepatan perambatan panas ke dalam titik dingin,

(3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah,

(4) ukuran dan jenis wadah yang digunakan,

(5) suhu dan tekanan yang digunakan untuk proses sterilisasi, dan

(6) keasaman atau pH produk yang dikalengkan.

Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan

kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi

pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang

ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk

pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi

dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi

anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba

tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan

kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama

proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk

mempertahankan kondisi anaerobik ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan

kedap udara.

Operasi sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas yang dapat

berasal dari air panas (mendidih) atau dengan menggunakan uap air panas bertekanan

selama waktu yang ditentukan. Produk dalam kemasan disterilisasi dengan

menggunakan ketel uap (retort). Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer,

berbentuk bejana tertutup dan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal

dari sumber di luar retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau

steam generator. Menurut Muchtadi (1994), berdasarkan derajat keasaman atau pH

produk pangan, operasi sterilisasi dapat digolongkan menjadi dua kelas, yaitu produk

yang disterilisasi pada suhu 212˚F (100˚C) yang merupakan suhu air mendidih pada

Page 15: pengalengan garap

tekanan atmosfer dan produk yang harus disterilisasi. Pada suhu lebih tinggi dari

212˚F(100˚C). Bahan pangan yang asam (pH ˂ 4.5) seperti sari buah, buah-buahan,

beberapa macam sayuran, umumnya disterilisasi dengan cara memanaskan wadah

dalam waktu yang cukup agar suhu pada titik dingin mencapai 200˚F atau lebih.

Dengan cara ini, mikroba yang dapat membusukkan bahan pangan asam telah dapat

hancur. Golongan bahan pangan lainnya yang memiliki pH ˃ 4.5 seperti sayuran yang

tidak asam, sup, daging, dan hasil olahannya, ikan, dan unggas, dilakukan sterilisasi

pada suhu tinggi dibawah tekanan, agar diperoleh tingkat sterilitas yang memadai.

Ketahanan panas bakteri yang penting dalam sterilisasi komersial disebutkan pada

Tabel di bawah ini.

Untuk bahan pangan yang tergolong tidak asam dapat ditambahkan larutan

garam atau larutan gula yang diasamkan sebagai mediumnya, sehingga sterilisasi

dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah (misalnya hanya pada suhu 100˚C,

tekanan atmosfer) sehingga mutu produk dapat lebih dipertahankan. Menurut Reuter

Page 16: pengalengan garap

(1993), kerusakan mutu pangan selama proses sterilisasi adalah rendah ketika bahan

pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat.

Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas,

keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang

digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan

harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang

diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba

patogen dan mikroba pembusuk. Untuk itu, guna memastikan tidak aktifnya enzim

yang terdapat pada bahan pangan dan tercapainya waktu sterilisasi yang singkat,

proses pre-sterilisasi dapat dilakukan dengan proses blansir. Proses sterilisasi

komersial dengan menggunakan panas di desain untuk melindungi kesehatan

konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat

menyebabkan kerugian secara ekonomis (Smith, 1997).

Setelah melewati semua tahapan maka kemasan kaleng harus segera

didinginkan untuk mempertahankan mutu selain itu untuk mencegah lewat

pemasakan (over cooking) dari bahan pangan, mencegah tumbuhnya spora-spora dari

bakteri perusak bahan pangan yang belum mati, jika tidak maka akan menghasilkan

flavor dan tekstur yang tidak disukai atau tidak sesuai. Kaleng didinginkan dalam air

mengalir dan dibiarkan semalam. Pendinginan dilakukan sampai suhunya sedikit di

atas suhu kamar, maksudnya agar air yang menempel pada dinding wadah cepat

menguap, sehingga terjadinya karat dapat dicegah (Terra, 2011).

Tahapan akhir adalah penyimpanan. Penyimpanan bertujuan agar makanan

yang dikalengkan tidak berubah kualitasnya maupun kenampakannya sampai saat

akan diangkut / dipasarkan. Suhu penyimpanan yang dapat mempertahankan kualitas

bahan yang disimpan adalah 15oC. Suhu penyimpanan yang tinggi dapat

mempercepat terjadinya korosi kaleng, perubahan tekstur, warna, rasa serta aroma

makanan kaleng. Penyimpanan yang baik adalah penyimpanan yang dilakukan pada

suhu rendah, RH rendah, serta terdapat ventilasi atau pertukaran udara di dalam

ruangan penyimpanan harus baik (Larousse, 1997).

Page 17: pengalengan garap
Page 18: pengalengan garap

BAB III

METODE PRAKTIKUM

A.Bahan dan Alat

Alat :

Pisau

Talenan

Baskom

Gelas jar

Panci

Autoklaf

Kompor

Thermometer

Tissue atau kain lap

B. Prosedur Praktikum

Bahan :

Apel Baby corn Larutan garam 1%,

2%,3% Larutan gula pH 3 dan 4 Larutan CaCl2 1% Air

Buah atau sayur

dikupas, disortasi, dicuci

dan potong

Buah Sayur

direndam CaCl2

1%, selama 20 menit

Hot water blanching 900C

Baby corn : Asam sitrat pH 2 dan 4, selama 3 menit

Alat penyapit

Sendok

Timbangan

Gelas ukur

Page 19: pengalengan garap

disteam blanching 1 dan

3 menit

dimasukan dalam gelas jar

dicuci

diexhausting 800 C selama 5 menit

Larutan pengisi 700 C

Buah : larutan gula pH 3 dan 4

Sayur : larutan garam 1,2,3 %

Dilakukan pendinginan pada air mengalir

disterilisasi 1150 C selama 10 menit

Dilakukan pengamatan (hari 1,3,dan 5) terhadap warna buah, larutan, aroma, tekstur dan rasa

Page 20: pengalengan garap

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum acara pengalengan ini dilakukan pengamatan terhadap salah

satu jenis buah dan sayur yaitu apel dan baby corn dengan perlakuan baby corn pada

berbagai konsentrasi perlakuan yaitu larutan garam 1%, 2 % dan 3% sedangkan apel

dengan larutan gula dengan pH 3 dan 4. Dilakukan pengamatan terhadap parameter

warna buah dan warna larutan, aroma, tekstur dan rasa.

1. Warna buah

Dari perlakuan yang berbeda pada masing-masing kelompok yaitu kelompok I

(baby corn,larutan garam 1%), kelompok 2 ( baby corn,larutan garam 2%), kelompok

3 ( baby corn,larutan garam 3 %), kelompok 4 ( apel, larutan gula pH 3) dan

kelompok 5 ( apel,larutan gula pH 4) dilakukan selama 3 kali pengamatan pada hari

ke-1, ke-3 dan ke-5 didapatkan hasil yang dapat dilihat pada table.

Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5 kelompok

panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 3 3 3 2 1 3 4 4 3 2 4 3 4 1 12 3 3 3 2 1 3 4 4 3 1 3 3 4 2 13 3 3 3 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 1 14 3 3 3 2 2 3 4 4 2 1 3 4 4 1 15 3 3 3 2 1 3 3 4 2 2 3 3 3 1 16 3 4 2 2 1 3 3 4 2 2 3 3 4 2 17 4 3 4 2 1 3 3 4 4 1 4 3 3 1 18 3 4 4 2 1 3 3 4 2 2 4 3 3 2 19 3 3 3 1 1 3 3 3 3 2 4 3 3 4 210 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 111 4 3 3 2 1 3 4 4 2 1 3 4 4 2 112 4 3 4 2 1 3 3 4 2 2 4 3 3 1 113 4 4 4 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 2 114 3 3 4 2 1 3 3 4 2 1 4 3 3 2 115 4 3 3 1 1 3 3 3 2 2 3 3 3 2 1

Page 21: pengalengan garap

Jumlah 50 48 49 28 17 45 49 57 34 23 53 47 51 26 16

Rata-rata 3.33

3.2 3.27 1.86 1.13 3 3.27 3.8 2.26 1.53 3.53 3.13 3.4 1.73 1.06

Keterangan :

1= Coklat

2= Kuning kecoklatan

3= Kuning

4= Putih kekuningan

5= Putih

Dari rata-rata nilai yang dihasilkan pada tiap perlakuan rata-rata pada hari

pertama baby corn dengan pemberian larutan 1%,2% maupun 3% memberikan nilai

rata-rata yang hampir sama yaitu 3.33, 3.2, dan 3.27 dengan artian warna buah yang

dihasilkan pada hari pertama dalam larutan garam dengan masing-masing konsentrasi

tersebut memberikan warna kuning. Hal tersebut dikarenakan warna asli dari baby

corn sendiri adalah kuning. Hingga pada pengamatan hari ke-3 dan ke-5 nilai rata-rata

dari respon panelis yang diberikan masih berkisar pada nilai 3 artinya warna dari

baby corn yang disimpan dalam larutan garam yang dikalengkan ini tidak mengalami

perubahan warna yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan pada tahapan proses

sebelumnya telah dilakukan blansir atau pemanasan dengan suhu tinggi pada suhu 900

C dengan uap panas. Menurut Desrosier (1988) perlakuan tersebut mengakibatkan

enzim-enzim yang terdapat dalam buah dan sayur menjadi inaktif. Sehingga

perubahan warna selama penyimpanan dapat dihambat. Selain itu, Penambahan asam

sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang

merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat.

Pada perlakuan apel dengan larutan gula pH 3 dan 4 hari ke-1 respon panelis

terhadap warna apel yang diberikan yaitu 1.86 dan 1.13 artinya warna dari buah apel

saat pengalengan dihari pertama menunjukan warna coklat yang sedikit kuning.

Sedangkan pada hari pengamatan ke-3 respon yang diberikan oleh panelis meningkat

Page 22: pengalengan garap

terhadap warna yaitu dengan nilai rata-rata 2.26 dan 1.53 namun menurun lagi pada

hari pengamatan ke-5 dengan nilai rata-rata pada apel dengan pH 3 sebesar 1.73

sedangkan pada pH 4 yaitu 1.06. Perubahan warna pada sayur dan buah disebabkan

oleh reaksi browning. Reaksi tersebut terbagi atas pencoklatan enzimatis dan non

enzimatis. Seperti yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa pada buah dan

sayuran utuh, sel-selnya masih utuh, sehingga substrat yang terdiri atas senyawa-

senyawa fenol terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning.

Apabila sel pecah akibat terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan)

substrat dan enzim akan bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga

terjadi reaksi browning enzimatis. Pembentukan warna coklat disebabkan oksidasi

senyawa-senyawa fenol dan polifenol oleh enzim fenolase dan polifenolase

membentuk quinon, yang selanjutnya berpolimerisasi membentuk melanin (pigmen

berwarna coklat). Dalam apel sendiri terkandung senyawa fenolik yang berperan

sebagai antioksidan.

Untuk terjadinya reaksi browning enzimatis diperlukan adanya 4 komponen

fenolase dan polifenolase (enzim), senyawa-senyawa fenol dan polifenol (substrat),

oksigen dan ion tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Untuk menghindari

terjadinya reaksi browning enzimatis dapat dilakukan dengan mengeliminasi

(menghilangkan) salah satu atau beberapa komponen tersebut. Pada hari pengamatan

pertama buah apel yang diamati oleh panelis cenderung memberi respon coklat

sedikit kuning. Hal ini dapat disebabkan karena pada tahap pengupasan dan

pemotongan buah apel mengalami kontak dengan oksigen yang cukup lama sehingga

terbentuklah reaksi pencoklatan sebelum diblansir. Untuk itu dalam tahapan

prosesnya dilakukan penambahan asam-asam organik dan dengan blanching/blansir.

Namun pada hari pengamatan ke-3 respon warna dari panelis cenderung lebih baik.

Hal ini dikarenakan pH optimum buah dan sayur berkisar antara 5-7. dibawah kisaran

pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Oleh karena itu respon panelis cenderung lebih

baik karena tidak memberikan penurunan warna coklat dari pengamatan hari

sebelumnya. Berbeda halnya dengan pengamatan pada hari ke-5 yang memberikan

Page 23: pengalengan garap

penurunan nilai dari hari sebelumya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kaleng

sudah dimasuki oleh oksigen kembali karena proses buka tutup selama pengamatan

dan waktu pemanasan yang kurang sehingga enzim masih bekerja. Selain itu juga,

dapat dikarenakan selama penyimpanan terdapat bagian buah yang tidak tercelup

seluruhnya pada larutan gula. Fungsi larutan gula sendiri salah satunya pada beberapa

bahan pangan seperti apel dapat mencegah pencoklatan.

2. Warna larutan

Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok

panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 4 3 3 4 4 1 2 1 4 4 1 2 2 4 42 3 2 2 4 4 1 3 1 4 4 1 2 2 4 33 3 2 2 4 4 1 2 1 4 4 1 2 1 4 44 4 3 3 4 3 1 2 1 4 4 1 2 3 4 45 3 3 3 4 4 1 2 1 4 3 1 2 2 3 36 2 3 2 3 1 1 2 1 4 3 1 2 2 3 37 3 2 3 2 1 1 2 2 4 3 1 2 2 4 38 4 3 2 4 3 1 3 3 4 3 1 2 2 4 39 4 3 3 4 4 2 2 2 5 3 3 3 2 4 410 4 3 3 3 3 2 3 2 4 3 1 2 2 4 411 4 3 3 3 3 2 3 4 5 4 1 2 3 4 412 3 2 3 3 3 2 2 2 5 3 1 2 1 4 413 4 3 4 3 2 2 2 1 5 3 3 3 2 4 414 3 2 2 4 4 1 2 1 5 4 2 3 3 4 415 3 3 4 2 1 1 2 1 5 4 1 2 2 4 4Jumlah 51 40 42 51 44 20 35 25 66 52 20 33 31 58 55Rata-rata 3.4 2.6

72.8 3.4 2.93 1.33 2.33 1.6

74.4 3.46 1.33 2.2 2.06 3.8

63.67

Keterangan :

1= Tidak jernih

2= Sedikit jernih

3= Agak jernih

Page 24: pengalengan garap

4= Jernih

5= Sangat jernih

Seperti halnya pengamatan pada parameter warna buah. Perlakuan yang

diberikan sama saja hanya parameter yang diamati berbeda. Dalam hal ini parameter

yang diamati adalah warna larutan. Penambahan larutan garam dan gula sendiri

bertujuan sebagai bahan pemanis, pemberi flavor, mengurangi rasa asam, membantu

dalam pengawetan bahan karena sifat osmotiknya, mengusir udara dan gas dari

wadah dan bahan serta mengurangi tekanan selama pengolahan dan pada beberapa

bahan pangan misalnya apel penambahan larutan gula bertujuan untuk mencegah

pencoklatan. Untuk pengalengan sayuran, digunakan larutan garam. Penambahan

garam ke dalam wadah dapat berbentuk larutan garam atau tablet garam, kemudian

ditambahkan air secukupnya untuk memperoleh konsentrasi yang diinginkan. Selama

pengamatan yang dilakukan pada hari ke-1, ke-3 dan ke-5 warna larutan dari semua

perlakuan mengalami penurunan terhadap respon panelis. Dari warna agak jernih

yang berkaitan dengan konsentrasi larutan semakin tidak jernih sejalan dengan

bertambahnya lama penyimpanan. Perubahan tersebut dapat dikarenakan adanya

kontaminasi mikroba atau karena adanya reaksi antara produk dengan kaleng.

3. Rasa

Page 25: pengalengan garap

Keterangan :

1 = Tidak enak

2= Sedikit enak

3= Agak enak

4= Enak

5= Sangat enak

Pengujian terhadap rasa pada masing-masing perlakuan pada baby corn dan

apel dengan treatment yang serupa dengan pengujian sebelumnya didapatkan hasil

baby corn dengan pemberian larutan garam 1%,2% dan 3% pada hari ke-1

memberikan rata-rata nilai sebesar 2.6, 2, dan 1.8. pada hari pengamatan ke-3

didapatkan nilai rata-rata sebesar 1.1 dan 1. Nilai yang sama juga diberikan pada hari

ke-5 yaitu 1.1 dan 1. Dengan kata lain selama masa penyimpanan respon panelis

terhadap rasa dari baby corn ini rendah atau panelis tidak menyukai rasa dari baby

Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok

panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 4 2 3 4 4 1 1 1 3 2 1 1 1 1 12 1 2 2 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 13 3 2 3 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 14 1 1 1 4 4 1 1 1 4 3 1 1 1 1 15 2 2 1 4 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 16 3 2 1 3 3 1 1 1 3 3 1 1 1 1 17 1 2 1 4 3 1 1 1 3 3 1 1 1 1 18 3 1 1 3 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 19 3 2 2 3 4 1 1 1 2 3 1 1 1 1 110 2 2 1 4 4 1 1 1 3 3 1 1 1 1 111 2 3 3 3 4 1 1 1 3 4 1 1 1 1 112 2 3 1 3 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 113 3 3 3 4 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 114 2 2 1 3 3 1 1 1 4 3 1 1 1 1 115 2 1 3 3 3 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1Jumlah 34 30 27 53 54 15 15 15 49 45 15 15 15 15 15Rata-rata 2.6 2 1.8 3.5 3.6 1 1 1 3.2 3 1 1 1 1 1

Page 26: pengalengan garap

corn yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena masih adanya spora-spora dari

bakteri perusak bahan pangan yang belum mati, yang dapat menghasilkan flavor yang

tidak disukai. Hal lain juga mungkin dikarenakan pada proses pembuatannya kurang

steril dan kurang cepat dalam prosesnya dalam artian ada waktu tunggu sehingga

berdampak besar pada kerusakan produk selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat

pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-5 nilai yang diberikan panelis sama. Hal ini

terjadi karena panelis enggan untuk mecicipi rasa dari produk karena dari

kenampakannya sudah terlihat ditumbuhi jamur dan tercium bau tidak enak yang

kurang diminati panelis.

Hal yang sama juga didapatkan dari nilai rata-rata terhadap apel pada hari ke-1,

ke-3 dan ke-5. Respon panelis mengalami penurunan dari agak enak menjadi tidak

enak. Hal ini juga sama halnya dengan baby corn. Namun pada pengamatan hari ke-3

produk apel tersebut masih dikatakan lebih baik dari baby corn sehingga panelis

masih bersedia memberikan penilaian.

4. Aroma

Hari Ke-1 Ke-2 Ke-3kelompok

panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 3 3 4 4 5 3 4 5 2 2 3 3 4 4 32 2 1 3 4 5 5 5 4 3 3 5 5 5 5 53 3 2 4 4 5 4 5 5 3 3 4 5 5 4 34 3 2 2 3 4 5 5 4 3 3 3 4 4 4 35 2 3 3 3 4 5 5 4 3 2 4 4 4 4 46 2 1 3 4 5 3 3 4 4 3 5 5 4 4 47 3 1 3 4 5 3 3 3 3 4 4 5 4 4 48 2 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 5 5 4 49 3 4 4 4 4 1 1 1 2 3 4 4 4 3 410 3 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 3 411 2 3 4 4 4 3 2 3 4 4 4 5 5 4 312 2 3 3 4 5 4 4 4 4 3 4 5 5 4 313 3 2 3 4 4 3 4 5 2 3 4 4 4 3 414 3 3 3 4 4 4 4 4 3 3 5 5 4 4 4

Page 27: pengalengan garap

15 3 2 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3Jumlah 39 37 54 57 66 53 57 58 46 46 60 66 64 57 55

Rata-rata 2.6 2.46 3.6 3.8 4.4 3.53 3.8 3.86 3.06 3.06 4 4.4 4.26 3.8 3.67

Keterangan :

1 = Tidak kuat

2 = Sedikit kuat

3= Agak kuat

4 = Kuat

5 = Sangat kuat

Dari praktikum yang telah dilakukan didapatkan nilai pada parameter aroma

ada masing-masing perlakuan pada hari ke-1 pada baby corn didapat hasil rata-rata

sebesar 2.6, 2.46,dan 3.6. pada hari ke-3 didapatkan nilai rata-rata 3.53, 3.8, dan 3.86

sedangkan pada hari ke-5 didapatkan nilai rata-rata sebesar 4, 4.4, dan 4.26. Nilai

rata-rata yang didapat pada apel pada hari ke-1 sendiri adalah 3.8 dan 4.4. Pada hari

ke-3 masing-masing sebesar 3.06. Sedangkan pada hari ke-5 didapatkan nilai rata-rata

sebesar 3.8 dan 3.67. Secara keseluruhan pada baby corn terjadi peningkatan aroma

dari agak kuat menjadi kuat dan semakin tinggi konsentrasi larutan garam yang

diberikan rata-ratanya semakin tinggi atau dengan kata lain aromanya lebih kuat

dibandingkan dengan konsentrasi yang paling rendah . Hal ini terjadi karena

terbentuknya senyawa yang berbau tidak sedap dari bakteri-bakteri pembentuk gas.

Bahan pangan mempunyai mikroflora yang spesifik, organism tertentu akan spesifik

untuk golongan bahan tertentu pula. Organism ini masuk kedalam bahan pangan

selama operasi pengalengan baik melalui tanah, dari zat penyusun maupun

peralatannya. Sayuran pada umumnya mengandung banyak karbohidrat dan memiliki

pH 5-7. Jadi, berbagai tipe bakteri, jamur dan yeast dapat tumbuh jika kondisinya

sesuai. Proses sterilisasi yang kurang tepat juga dapat berpengaruh. Kombinasi waktu

dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan

Page 28: pengalengan garap

mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Hal tersebut salah satunya dapat berdampak

pada terbentuknya aroma yang kuat yang menyebabkan penurunan nilai kesukaan

oleh panelis karena dilihat dari perubahan parameter lain selama masa penyimpanan

baby corn tersebut telah mengalami kerusakan dan terbentuknya jamur. Sedangkan

pada apel dengan perlakuan larutan gula dengan pH yang berbeda ( 3 dan 4 )

memberikan nilai yang variatif. Dimana pada pH 3 cenderung tidak memberikan

banyak perubahan. Lain halnya dengan perlakuan larutan gula dengan pH 4 yang

memberikan rata-rata respon panelis menjadi lebih baik. Larutan gula sendiri

memberikan peran dalam pemberi flavor, Mengurangi rasa asam dan membantu

dalam pengawetan bahan, karena sifat osmotiknya. CaCl2 yang diberikan menurut

penelitian yang dilakukan Lurie dan Klein (1992) dapat meningkatkan pH. Menurut

Winarno (1980) tanda-tanda kerusakan makanan kaleng ditandai dengan kondisi

permukaan yang tidak berbentuk bahkan cekung dan produknya menjadi asam serta

pH sangat rendah. Sehingga dengan pH 4 dan dilakukannya proses perendaman

dengan larutan CaCl2 tersebut dapat memperbaiki aroma pada produk selama masa

penyimpanan.

5. Tekstur

Hari Ke-1 Ke-3 Ke-5kelompok

panelisI II III IV V I II III IV V I II III IV V

1 1 1 2 4 3 4 2 3 2 3 4 3 3 3 32 1 1 2 5 4 3 2 1 2 3 2 3 2 4 33 1 1 2 4 3 2 1 1 4 4 3 4 3 4 44 1 2 2 4 4 2 1 1 3 4 3 3 3 3 35 2 3 2 4 4 2 1 1 4 3 3 3 3 4 46 2 1 1 4 3 2 1 2 3 4 2 3 3 4 47 2 1 1 4 3 2 2 2 4 4 3 3 2 3 48 2 1 1 3 2 2 2 2 3 4 3 2 2 4 49 2 1 2 4 4 3 3 4 4 3 3 3 4 4 410 2 2 3 5 4 2 2 2 4 4 2 2 4 4 4

Page 29: pengalengan garap

11 2 2 3 5 4 1 2 2 3 3 2 3 2 4 312 2 2 3 5 4 3 4 3 4 4 3 4 3 4 413 2 2 3 5 4 3 2 3 3 3 3 3 4 4 414 2 2 2 4 4 2 2 1 3 4 3 3 3 4 415 2 2 2 4 4 1 2 2 4 3 3 3 3 3 3Jumlah 26 24 31 64 54 34 30 30 50 53 42 45 44 56 55

Rata-rata 1.73 1.6 2.06 4.26 3.6 2.26 2 2 3.33 3.53 2.8 3 2.93 2.73 3.67

Keterangan

1 = Tidak lunak

2 = Sedikit lunak

3 = Agak lunak

4 = Lunak

5 = Sangat lunak

Penilaian terhadap tekstur dari perlakuan yang masih sama dengan parameter

yang sebelumnya pada masing-masing kelompok didapatkan hasil pada pengamatan

hari pertama pada baby corn dengan larutan garam 1%,2% dan 3% adalah 1.73, 1.6

dan 2.06 sedangkan apel dengan larutan gula ph 3 dan 4 adalah 4.26 dan 3.6.

pengamatan hari ke-3 didapat hasil pada baby corn dengan larutan garam 1%,2% dan

3% adalah 2.26, 2 dan 2 sedangkan apel dengan larutan gula ph 3 dan 4 adalah 3.33

dan 3.53. Sedangkan pada hari ke-5 pengamatan rata-rata nilai yang didapat pada

baby corn dan apel adalah 2.8,3,2.9, 3, 2.73 dan 3.67. jika dilihat dari rata-rata

keseluruhan tekstur dari baby corn dan apel cenderung lebih lunak apel. Hal tersebut

dikarenakan tekstur asal dari buah dan sayur tersebut. Baby corn memiliki tekstur

yang lebih keras dibandingkan apel. Namun, semakin lama tekstur dari baby corn

menjadi lebih lunak. Sedangkan apel cenderung lebih stabil. Menurut Ferguson dan

Drobak (1988) bahwa kalsium dapat mereduksi atau menunda kerusakan dinding sel.

Pengaruh ini biasanya diekspresikan pada penundaan pelunakan buah diasosiasikan

Page 30: pengalengan garap

dengan aktifitas poligalakturonase. Kalsium juga mempertahankan fungsi membran.

Hal tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukannya bahwa perlakuan

kalsium pada jaringan sel apel memberikan efek pada komposisi dinding sel,

penguatan mekanis dan fungsi membran. Namun pada prosedur yang dilakukan pada

praktikum kali ini CaCl2 tersebut hanya direndam selama 20 menit padahal perlakuan

perendaman buah dengan larutan kalsium lebih efektif jika dikombinasikan dengan

perlakuan panas. Lurie dan Klein (1992) melaporkan buah apel ‘Anna’ menyerap

kalsium lebih efektif dengan perlakuan panas sebelum perendaman dalam larutan

kalsium. Kombinasi perlakuan CaCl2 dan perlakuan panas pada buah apel 'Lobo'

meningkatkan pH. Pada saat akhir masa penyimpanan kekerasan buah apel yang

diberi perlakuan lebih tinggi dan gejala kerusakan lebih rendah dibandingkan control.

Sedangkan pada baby corn hanya diberikan asam sitrat. Asam sitrat sendiri lebih

sering ditambahkan untuk meningkatkan warna putih dari beberapa sayuran karena

batas oksidasinya pada peningkatan suhu dari produk yang rentan terhadap

pencoklatan atau pewarnaan merah muda. Hal ini juga terlibat dalam susunan

kompleks pigmen yang tidak berwarna dalam sayuran segar, tetapi dapat menjadi

berwarna akibat oksidasi pada peningkatan suhu.

Page 31: pengalengan garap

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama 5 hari. Perlakuan baby corn

dengan berbagai konsentrasi perlakuan yaitu larutan garam 1%, 2 % dan 3%

sedangkan apel dengan larutan gula dengan pH 3 dan 4. Didapatkan nilai rata-rata

terhadap parameter warna buah terbaik pada baby corn dengan rata-rata nilai 3

menuju 4, warna larutan pada larutan gula dengan kisaran nilai 3 hingga 4, aroma

yang relative sama namun apel dengan larutan gula lebih stabil dengan rata-rata nilai

berkisar antara 3 hingga 3.8, tekstur yang lebih keras pada baby corn dengan kisaran

nilai rata-rata 1 hingga 3 dan rasa yang lebih diminati pada apel dengan larutan gula

dengan kisaran nilai rata-rata 3.

B. Saran

Pengalengan buah dan sayur ini dilakukan karena dapat menjadikan umur

buah menjadi lebih lama lagi, karena pengemasan ini merupakan salah satu teknik

dalam pengawetan makanan (buah dan sayur). Namun tetap perlu diperhatikan, cara

ini tidak sepenuhnya dapat menjaga keawetan dari buah, karena adanya faktor-faktor

Page 32: pengalengan garap

yang dapat mengakibatkan buah dan sayur selama pengalengan menjadi rusak.

Sehingga pada saat pengolahan sebaiknya hal-hal yang dapat mengakibatkan

kerusakan tersebut diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA

Dedy. 2012. Kajian Kerusakan Kemasan Kaleng Buah Nanas. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brwijaya. Malang

Direktorat Jendral Hortikultura. 2012. Manfaat Buah Apel.http://www.inabuy.com/2012/04/jurnal-manfaat-buah-apel-untuk.html diakespada 23 November 2013

Desrosier, Norman W. (2008). The Technology of Food preservation, ThirdEdition (Teknologi Pengawetan Pangan, Edisi Ketiga). Penerjemah: Muchji Mulijohardjo. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Desrosier NW. 1988. Element of Food Technology. Westport, Connecticut : The AVIPublishing Co Company, Inc.

Dris, R., R. Niskanen, and N. El-Assi. 2000. Effect of CaCl2 sprays, heat, andcombined CaCl2-heat treatments on the quality of apples (Malus domesticaBorkh.). Jour. Appl. Hort. 2 : 79-83.www.Horticultureworld.net/2279.htm.

Epstein, Emanuel. 1972. Mineral Nutrition Of Plants Principles and Perspectives.University California. New York.

Ferguson, I, B. 1984. Calcium in plant senescence and fruit ripening. Plant CellEnviron. 7:477-489.

Ferguson,I.B and B.K Drobak. 1988. Calcium and the regulation of plant growth ad senescene. Hort science. 23(2):262-266.

Page 33: pengalengan garap

Hariyadi, P. (Ed). 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Kusnandar, dkk., 2000. Aspek Mikrobiologi Makanan Kaleng. Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Larousse, Jean. 1997. Food Canning Technology. Wiley-VHC, Inc. Canada.

Lopez A. 1981. A Complete Course In Canning. Maryland : Canning Trade.

Luh, Bor, S., Woodroof, J.G., 1975. Commercial Vegetable Processing. The Avi

Publishing Company, Inc. Connecticut.

Luna-Guzman, I. and D. M. Barrett. 2000. Comparison of calcium chloride andcalcium lactate effectiveness in maintaining shelf stability and quality offresh cut cantaloupes. Postharvest Biology and Technology. 19 : 61-72.

Lurie, S., and J. D. Klein. 1992. Calcium and heat treatment to improve storabilityof ‘Anna’ apples. HortScience. 27 : 36-39.

Marhaendita, S,. 2007. Apek Blancing pada Pengalengan Buah dan Sayur. Dalam

kuliah buah dan Gula.(04/175255/TP/8240)

Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi dan Pengawasan Mutu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Pantastico, Er. B. 1986. Susunan Buah-buahan dan Sayur-sayuran. Dalam Er. B.Pantastico (ed.). Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan PemanfaatanBuah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. TerjemahanKamariyani. Gadjah Mada University Press.

Reuter H. 1993. Aseptic Processing of Food : Foods -1nd ed. New Holland. Technomic.

Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Faperta UWIGA. Malang

Sams, C. E. 1999. Preharvest factors affecting postharvest texture. PostharvestBiology and Technology. 15:249-254.

Page 34: pengalengan garap

Smith, Durward. S., Cash, Jerry. N., Nip, Wai-Kit., Hui, Y.H., 1997. Processing Vegetables Science and Technology. Technomc Publishing Company, USA.

Syarief, R., S.Santausa, St.Ismayana B. 2001. Teknologi Pengemasan Pangan.Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Sylviana. 2005. Pembuatan Produk Minuman Jelly Cincau Hitam (Mesona palustris BL) [Skripsi] Bogor:Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Terra. 2011. Pengalengan Cocktail, Cincau Dan Sop Buah . http://beautyramissu.wordpress.com/2011/10/12/pengalengan-cocktail-cincau-dan-sop-buah/ diakses pada 26 November 2013

[USDA] United State Department of Agriculture. 2010. USDA National Nutrient Database for Standard Reference. www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/search/ diakses pada 24 november 2013

Wijaya,adi. 2012. Kandungan dan Manfaat Jagung Bagi Kesehatan. http://permathic.blogspot.com/2012/12/kandungan-dan-manfaat-jagung-bagi.html

Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan. Pusbangtepa-FTDC. IPB. Bogor

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Page 35: pengalengan garap

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI BUAH DAN SAYUR

ACARA 1

PENGALENGAN

Disusun oleh :

Siti Haryati Pertiwi A1M011023

Page 36: pengalengan garap

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN

PURWOKERTO

2013

LAMPIRAN

Page 37: pengalengan garap
Page 38: pengalengan garap