Upload
mikoarifin
View
48
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Penyuntikan obat anestesi lokal secara intraartikular pada saat ini banyak
dilakukan pada penderita Osteoartritis derajat satu dan dua ataupun setelah
tindakan operasi artroskopi. Bupivakain merupakan obat yang efektif digunakan
untuk mengurangi nyeri pada operasi artroskopi dan ditujukan untuk kontrol nyeri
pada perioperasi, artritis inflamasi dan osteoartritis.1-4 Di Amerika, dalam
penelitian yang dilakukan oleh Allen, dilakukan penyuntikan bupivakain 0,25%
intraartikular terhadap 102 pasien untuk mengurangi nyeri setelah dilakukan
tindakan artroskopi dengan hasil hilangnya rasa nyeri hingga mencapai 24 jam
yang diukur dengan menggunakan skor visual analogue scale (VAS).1, 5-8
Bupivakain 0,25% yang disuntikkan intraartikular berdasarkan penelitian Andres
memperlihatkan bahwa obat tersebut efektif sebagai anti nyeri dibandingkan
dengan morfin dengan menurunkan nilai skor VAS sehingga tidak dibutuhkan
analgetik tambahan.4, 6
Penggunaan bupivakain 0,25% sebagai anti nyeri secara tunggal ataupun
dikombinasikan dengan obat lain seperti kortikosteroid mempunyai potensi
nekrosis terhadap kondrosit pada tulang rawan sendi pada pasien osteoartritis.9-12
Sifat toksisitas bupivakain 0,25% bergantung terhadap dosis dan lama paparan.
Mekanisme pasti kondrotoksisitas bupivakain belum sepenuhnya dimengerti,
1
2
tetapi diperkirakan melalui mekanisme proses inflamasi yang diinisiasi oleh
produksi nitric oxide.13
Kondrosit adalah sel matur yang ditemukan pada tulang rawan. Sel ini
membentuk matriks selular tulang rawan, melakukan sejumlah fungsi dalam
tulang rawan termasuk memfasilitasi pergantian cairan melalui lapisan gelatin
yang membentuk tulang rawan.
Tulang rawan sendi lutut terutama berfungsi sebagai pegas pada waktu
sendi tersebut menerima beban. Pada sendi lutut yang merupakan sendi
diarthrodial terdapat lapisan permukaan licin yang dapat memberikan efek
gesekan yang kecil. Pelumasan yang baik, sangat diperlukan selama terjadi
pergerakan sendi, di samping melakukan penyerapan dan menyebarkan beban
yang diterima terhadap struktur penyangga dibawahnya.14
Semua fungsi tersebut dapat dijalani selama tujuh hingga delapan dekade
dengan mengalami sedikit kerusakan, sehingga masih dapat berfungsi secara
normal, akan tetapi dapat juga mengalami kerusakan lebih dini karena cedera,
infeksi, degenerasi kronis dan progresif serta iatrogenik.
Tulang rawan merupakan jaringan ikat yang mempunyai aktifitas
metabolisme yang tinggi, berfungsi untuk mempertahankan keutuhan struktur
normal dari matrik ekstra seluler, dengan cara menyeimbangkan proses anabolik
dan katabolik. Walaupun demikian mempunyai kapasitas yang sangat terbatas
terhadap proses penyembuhan atau regenerasi apabila mengalami suatu
kerusakan.15 Perubahan mikroskopik pada kerusakan tulang rawan salah satunya
dinilai dengan menggunakan skor Mankin yang dikembangkan oleh Mankin, dkk.
1
3
Rentang penilaiannya meliputi struktur organisasi, karakteristik seluler, hilangnya
pewarnaan safranin O dan integritas tidemark. Derajat skala histologi mulai dari 0
(tulang rawan normal) hingga 14 (degradasi tulang rawan berat).
Penderita dengan keluhan nyeri lutut baik karena proses intraartikuler
maupun ekstraartikuler sering mendapatkan pengobatan anestesi lokal seperti
bupivakain. Pemberian bupivakain secara intraartikuler masih dilakukan. Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh yang menguntungkan dan merugikan dari
bupivakain intraartikuler. Pengaruh yang menguntungkan adalah hilang atau
berkurangnya rasa nyeri dengan cepat, sedangkan yang merugikan adalah
timbulnya kerusakan sendi atau kondrolisis.10, 12
Kondrolisis didefinisikan sebagai hilangnya tulang rawan sendi sebagai
akibat dari proses lisis atau disolusi dari matriks tulang rawan dan sel. Keadaan ini
dilaporkan terjadi pada 18 dari 45 pasien yang mendapatkan infus (40%)
bupivakain secara intraartikular dengan menggunakan alat intra articular pain
pump catheter (IAPPPC) di Amerika Serikat.16 Kondrolisis juga dapat terjadi
pada kasus dislokasi sendi yang tidak langsung segera ditangani, sekitar 6% dari
anak-anak yang mengalami dislokasi sendi panggul mengalami kondrolisis,
penyebabnya bisa karena trauma langsung pada tulang rawan saat terjadi
dislokasi.7, 17
Pada penelitian Dragoo J.L., Korotkova T dan Kanwar R, ditemukan
secara invitro pengaruh bupivakain 0,25% dan 0,5% pada rawan sendi
menyebabkan kondrosit nekrosis setelah diberikan bupivakain melalui infus
intraartikular selama 48 jam.14
4
Penggunaan pompa elektronik untuk pemberian bupivakain secara kontinyu
dengan infus anestesi lokal secara intraartikuler baru-baru ini telah dilakukan dan
memberikan efek samping terjadinya kondrolisis dari tulang rawan sendi bahu.18 Pada
penelitian mengenai pengaruh bupivakain terhadap rawan sendi yang dilakukan oleh Chu,
didapatkan hasil bahwa pemberian bupivakain 0,25% dan 0,5% secara invitro
menyebabkan kerusakan rawan sendi.11 Tetapi, dalam penelitian tersebut juga ditekankan
bahwa penelitian secara in vitro tidak memperhitungkan efek pengenceran yang terjadi
pada penyuntikan secara intraartikular.
Pemeriksaan untuk menilai tulang rawan telah dikembangkan oleh Mankin, dkk.
Pemeriksaan ini meliputi penilaian struktur tulang rawan, sel rawan sendi, pewarnaan
safranin O dan tidemark integrity. Hasil dari pemeriksaan ini dinilai dengan skor
modifikasi Mankin yang terdiri dari nilai normal, kerusakan tulang rawan ringan, sedang
dan berat.
Pada penelitian lanjutan dengan menggunakan bupivakain 0,5% yang dilakukan
oleh Chu secara in vivo didapatkan kesimpulan bahwa terjadi pengurangan jumlah
kondrosit dilihat secara histopatologi.10 Data dari penelitian sebelumnya ini memberi dasar
pemberian bupivakain harus dengan dosis rendah dan waktu yang singkat.10 Berdasarkan
penelitian sebelumnya ini, maka didapatkan kurangnya informasi pada pemberian
bupivakain 0,25% terhadap rawan sendi yang dilakukan secara in vivo.
Tema sentral penelitian ini berdasarkan penelitian secara invitro, eksposur
bupivakain 0,25% pada tulang rawan sendi menyebabkan penurunan
metabolisme kondrosit, meningkatkan terjadinya apoptosis dan nekrosis pada
kondrosit yang mengarah kepada degradasi tulang rawan sendi dilihat secara
morfologi. Berdasarkan hal tersebut kemungkinan terjadi perubahan lebih berat pada
5
pasien osteoartritis telah dibuktikan, maka akan dilakukan penelitian dengan cara
menyuntikan bupivakain ke dalam sendi lutut kelinci normal serta dilihat perubahan
histopatologis pada rawan sendi.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana pengaruh penyuntikan intraartikular bupivakain 0,25% dosis tunggal
selama tiga minggu terhadap kerusakan kondrosit pada lapisan tulang rawan sendi lutut
kelinci normal ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dari penyuntikan
bupivakain 0,25% terhadap kondrosit medial condyle femur kelinci.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Secara Teoretis
Sebagai tambahan informasi mengenai pengaruh penyuntikan bupivakain
0,25% secara intraartikular terhadap kondrosit kelinci normal.
1.4.2 Secara Praktis
Dengan mengetahui pengaruh injeksi analgetik intraartikular terhadap
kerusakan rawan sendi, maka : Memberikan dasar rasional dalam pertimbangan
pemberian bupivakain 0,25% secara intraartikular dan pengaruhnya terhadap
kerusakan kondrosit.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1 Anatomi - Histopatologi Tulang Rawan
Tulang rawan sendi mempunyai sifat mekanik yang luar biasa dan daya
tahan yang lama walaupun hanya memiliki ketebalan beberapa milimeter. Struktur
dan komposisi yang unik menjadikan permukaan tulang rawan memiliki gaya
gabungan antara gesekan yang rendah, pelumasan yang baik, shock absorption
dan daya keausan yang rendah yang mampu menahan beban besar berulang-ulang
selama masa hidup seseorang. Karakteristik ini jelas tidak akan tertandingi oleh
material sintetik apapun.19
Tulang rawan sendi merupakan jaringan ikat padat, yang terdiri dari
matriks ekstraselular dan diantaranya tersebar sedikit sel-sel kondrosit. Komponen
dari ekstraselular terdiri dari : proteoglikan, kolagen, air, protein lain dan
glikoprotein. Susunan serta jumlah masing masing komponen sangat bervariasi
yang dijelaskan pada gambar 2.1. Pada gambar tersebut air merupakan komponen
utama, sementara kondrosit hanya berkisar 3%. Sekitar 50% komponen struktural
merupakan kolagen dengan jumlah terbanyak merupakan kolagen tipe II. Tulang
rawan sendi mempunyai sifat seperti karet, berfungsi untuk mengurangi tekanan.
Tulang rawan sendi permukaannya halus yang akan memberikan efek
gesekan yang kecil terhadap gerakan dan stres yang diterima.20
6
7
Gambar 2.1 Komposisi molekular dari tulang rawan sendi.Dikutip dari : Aigner.21
Secara histologis dikenal tiga jenis rawan sendi, yaitu; tulang rawan hialin,
tulang rawan elastik dan tulang rawan fibrous.
1) Tulang rawan hialin merupakan tulang penutup dari permukaan sendi terutama
sendi diarthrodial yang ditemui pada anterior tulang iga, dan menyangga saluran
nafas secara fleksibel. Tulang rawan hialin berwarna putih kebiruan tak tembus
cahaya, elastis, dan fleksibel. Sel-selnya terutama berbentuk sperik dan mengisi
seluruh lakuna, walaupun dalam pewarnaan apus membran sel retraksi dan
konturnya menjadi stelat atau angular. Komposisi sel pada permukaan berbentuk
sperik, sel tampak lebih gepeng dan terletak sejajar permukaan. Di bagian yang
lebih dalam, sel-sel tampak besar dan membulat, tersusun memanjang seperti
kolom. Sitoplasma berisi mitokondria panjang, vakuola, dan kususnya pada sel
matur lebih besar, droplet lemak, dan glikogen, inti berisi satu atau beberapa anak
inti.20
Tidak ada pembuluh darah, pembuluh limfatik dan saraf pada tulang rawan.
Sel 3%
Kolagen15%Air
70-80%
Agrekan 9%
Lain-lain3%
8
2) Tulang rawan elastik, merupakan rawan sendi berwarna kuning, bersifat
fleksibel, elastis, tak tembus cahaya. Perbedaan dengan tulang rawan hialin adalah
pada tulang rawan elastik substansi interstitialnya penetrasi kesegala arah. Tulang
rawan sendi ini terutama terlihat pada telinga. 20
3) Tulang rawan fibrous, merupakan tulang rawan sendi yang tebal dan di dalam
substansi interstitial tersusun oleh serabut kolagen. Tulang rawan fibrous
merupakan jaringan transisional antara tulang rawan hialin dan jaringan kolagen.
Tulang rawan fibrous terjadi pada keadaan yang khusus, misalnya tulang rawan
sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat padat dari kapsul atau ligamen suatu
sendi juga terdapat pada diskus simfisis pubis.20
Pada orang dewasa kebanyakan tulang rawan merupakan jenis hialin
terutama pada sendi diarthrodial. Tebal tulang rawan hialin bervariasi dari area
yang satu ke area yang lain atau dari satu sendi ke sendi yang lain. Pada sendi
yang besar, seperti sendi tebal tulang rawan hialin dapat mencapai 2- 4 mm,
tulang rawan sendi ini dapat mempertahankan fungsi biomekaniknya selama 7 -
8 dekade dengan hanya mengalami sedikit kerusakan. Akan tetapi, dapat juga
mengalami kerusakan yang lebih cepat apabila mengalami ruda paksa, infeksi,
penyakit degeneratif, penyakit metabolik dan peradangan sendi oleh sebab lain.
Proses degenerasi, fibrilasi, dan erosi sering terjadi berlebihan menyebabkan
penipisan tulang rawan dan kadang-kadang merusak tulang dibawahnya.20
Tulang rawan sendi terutama tersusun oleh matriks ekstraseluler yang
besar dengan populasi sel-sel kondrosit yang jarang, tersebar diseluruh jaringan.
Pembentukan dan pemeliharaan tulang rawan sendi tergantung dari kondrosit.
9
Pada masa pertumbuhan sel kondrosit ini terdapat dalam jumlah yang
besar dan pada jaringan yang matur, kira-kira hanya 10% dari volume total
jaringan. Kondrosit mengadakan metabolisme secara aktif dan terus menerus, baik
melalui jalur aerob maupun anaerob. Meskipun sel ini memelihara kestabilan
matriks, namun dapat memberikan respons berupa degradasi matriks ekstra seluler
terhadap berbagai rangsangan. Rangsangan ini berupa mediator yang terlarut
(faktor pertumbuhan, interleukin dan obat-obatan), substansi matriks, beban
mekanik dan tekanan hidrostatik.20
Komponen utama dari matriks ekstra seluler adalah proteoglikan,
kolagen, air, dan protein lain serta glikoprotein dalam jumlah sedikit. Semua
komponen ini menyusun struktur jaringan yang unik dan kompleks serta
mempunyai kemampuan mekanik yang berkaitan dengan fungsi tulang rawan
sendi yaitu menahan tekanan.
Secara histologis, tulang rawan sendi dapat dibagi atas 4 lapisan, yaitu
berikut ini.
1) Lapisan permukaan/tangensial.
Bagian teratas tulang rawan yang terdiri atas serabut kolagen yang tipis
tersusun sejajar di permukaan, kondrosit di sepanjang aksis. Bagian terbawah
daerah ini diisi proteoglikan, merupakan jumlah yang paling sedikit dari seluruh
lapisan. Serabut-serabut ini mempunyai pori-pori yang kecil, dapat dilalui oleh
kebanyakan molekul-molekul cairan sinovial, tetapi tidak dapat dilalui oleh
molekul besar seperti protein dan asam hialuronat. Lapisan ini sangat licin
sehingga ideal untuk pergerakan sendi sebagai gliding.
10
2) Lapisan tengah/transisional.
Merupakan lapisan yang tebalnya sampai kira- kira 500 m di bawah daerah
superfisial, terdiri dari serabut kolagen berdiameter besar, dan tersusun secara
miring tetapi kurang terorganisir. Kondrosit terlihat lebih bulat dari yang di
atasnya.
3) Lapisan dalam/radial.
Merupakan bagian tulang rawan sendi yang paling tebal, terdiri dari
proteoglikan dalam konsentrasi yang tinggi, serta jumlah air yang paling sedikit.
Serabut kolagen mempunyai diameter yang besar, tersusun vertikal menuju
permukaan sendi. Kondrosit berbentuk sferis, dan kadang-kadang tersusun secara
kolumnar.20
Gambar 2.2 Struktur tulang rawan sehat. Keterangan Histologi (A), Skematik (B) Gambaran 4 zona tulang rawan: Zona superfisial tangensial, zona media, zona dalam zona kalsifikasi.
Dikutip dari : Kyle dkk.19
Permukaan sendi
ZST 10-20 %
Zona Media 40-60%
Zona dalam 30 %
Zona Kalsifikasi
Tulang subkondralTidemark
Kondrosit
11
4) Lapisan kalsifikasi.
Lapisan yang memisahkan tulang rawan dari tulang subkondral, ditandai
oleh sel-sel kecil dan piknotik yang tersebar dalam matriks yang di antaranya
mengendap garam apatit, pada pulasan dengan Hematoksilin-Eosin tampak garis
kebiruan yang bergelombang yang disebut tidemark yang merupakan garis pemisah
antara tulang rawan dan subkondral.
Buckwalter menduga bahwa lapisan-lapisan pada tulang rawan sendi ini
berfungsi sebagai alat mekanik untuk mengubah tekanan besar pada permukaan
sendi menjadi tekanan kompresi pada tulang rawan sendi. Lapisan radial dan
transisional terutama menahan beban kompresi.20
Tulang rawan sendi merupakan jaringan terisolasi yang tidak mengandung
persarafan, pembuluh limfe dan tidak vaskuler. Nutrisinya diperoleh melalui
proses difusi. Nutrisi dengan cara difusi keluar dari pembuluh darah sinovial,
menembus membran sinovial dan masuk ke cairan sinovial, melalui matriks hialin
masuk kedalam kondrosit.20
Membran sinovial, merupakan membran tipis yang terdiri dari dua lapisan,
yaitu lapisan intima yang didominasi oleh sel-sel sinoviosit dan lapisan subintima
yang terdiri dari jaringan ikat dalam jaringan lunak. Permukaan intima halus,
basah, bercahaya dengan vili-vili yang kecil dan melipat. Sel-sel intima terdiri atas
sel-sel sinoviosit, sel-sel jaringan ikat, sel lemak, fibroblast, histiosit dan sel mast.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Dogan, dkk, efek pemberian
bupivakain terhadap membran sinovial terjadi inflamasi, hipertropi dan
hiperplasia.22
12
Sel sinovial diperiksa dengan mikroskop elektron, dibedakan dua macam;
yaitu ;
1) sel tipe A, jumlahnya lebih banyak, bersifat seperti makrofag dan berfungsi
memfagositosis bahan yang tidak berguna, dan
2) sel tipe B, jumlahnya tidak banyak, berfungsi mensekresi kompleks protein
asam hialuronat (musin) yang menyebabkan cairan sinovial bersifat kental dan
mempunyai kemampuan sebagai lubrikan.
Cairan sinovial merupakan plasma yang bersifat transudat glukosa dan
elektrolit, berada dalam keadaan seimbang di dalam cairan sinovial dan serum.
Nutrisi tulang rawan hialin bergantung terhadap cairan sinovial yang berdifusi
serta proses kompresi dan dekompresi tulang rawan sendi ketika pergerakan dan
mendapat beban.20
Unsur utama dari tulang rawan (70-80%) adalah air, komponen organik
utama merupakan kolagen dan proteoglikan terutama aggrecan. Kolagen utama
merupakan kolagen tipe II, kolagen yang membentuk serat anyaman dengan
kandungan molekul aggrecan di dalamnya. Beberapa unsur pengganti juga
penting untuk fungsi tulang rawan. Kolagen tipe XI yang berada pada inti serat
kolagen tipe II diduga mempunyai pengaruh terhadap bentuk serat dan untuk
menghambat diameter serat. Sementara kolagen tipe IX berlokasi sepanjang
permukaan kolagen tipe II, mungkin berpengaruh terhadap penyilangan pada
jaringan kolagen. Komponen kolagen minor merupakan kolagen yang membentuk
kolagen tipe II, yang merupakan proteoglikan (bygrican, decorin, fibromodulin).
13
2.1.1.1 Kondrosit
Kondrosit merupakan satu-satunya sel dalam struktur yang membentuk
tulang rawan. Meskipun keberadaannya meliputi seluruh jaringan, jumlah
kondrosit kurang dari 10% total volume. Setiap kondrosit dikelilingi matriks
ekstraseluler dan kontak antar sel hanya sedikit. Kondrosit bergantung kepada
mekanisme difusi untuk mendapatkan nutrisi. Bentuk dan ukuran kondrosit
bervariasi bergantung pada zona posisinya. Sel di permukaan berbentuk elips dan
sejajar dengan permukaan. Sel transisional berbentuk speris dan terdistribusi
secara acak. Sel yang dalam berbentuk kolumnar, berbaris tegak lurus terhadap
tidemark dan zona kalsifikasi.19
Kondrosit merupakan derivat dari sel mesenkim yang fungsi utamanya
adalah mempertahankan matriks ekstraseluler, suatu komponen tulang rawan
sendi yang memberikan sifat suatu bahan yang unik. Kondrosit jarang sekali
membelah setelah pertumbuhan tulang berhenti. Kondrosit aktif secara metabolik
dan dapat berespon terhadap stimulus lingkungan dan mediator terlarut, termasuk
faktor pertumbuhan, interleukin dan beberapa obat-obatan. Dia berespon terhadap
perubahan beban, tekanan hidrostatik, tekanan osmotik dan trauma serta degeratif
artritis.
Kondrosit bertanggung jawab terhadap sifat dari biomekanik dan biologi
jaringan tulang rawan, dengan cara sintesis dan degradasi dari masing-masing
komponen matriks, yang terjadi sepanjang hidup pada sitoplasma dan badan
organel dan dikontrol oleh kondrosit. Kondrosit merupakan sel amuboid yang
secara konstan berubah bentuk dengan pseudopodia, sel-sel di lapisan permukaan
14
kurang aktif dibandingkan sel-sel di lapisan dalam, jumlah sel berkurang sesuai
dengan kedalaman dari permukaan.19, 20, 23
Badan organel yang berperan penting dalam metabolisme kondrosit adalah
mitokondria. Badan organel berbentuk kantung berisi enzim, berfungsi
mengkatalisator pembentukan adenosin trifosfat, sebagai sumber energi dalam
sintesis berbagai material. Ribosom suatu organel kecil dari protein inti
merupakan tempat asam amino bersatu membentuk protein, ribosom dibentuk
dalam anak inti yang berupa ribosom RNA. Inti biasanya satu, tidak mempunyai
membran, sulit dilihat pada sel yang tidak aktif. Inti pada sel yang aktif sering
berganda.20
Gambar 2.3 lapisan kondrosit pada tulang rawan Dikutip dari : Shao, dkk.24
15
Retikulum endoplasmik merupakan struktur membran yang berbentuk
pipa atau kantung, ada dua bentuk yang kasar dan yang halus. Bentuk yang kasar
merupakan tempat melekatnya ribosom dan bertanggung jawab terhadap sifat
basofil.
Dengan demikian kondrosit merupakan sel yang aktif bermetabolisme
untuk mempertahankan integritas dari matriks dan mampu merespon rangsangan
dari luar seperti faktor pertumbuhan, bahan farmasi, beban mekanik, dan
perubahan tekanan hidrostatik.20
2.1.1.2 Matrik Ekstraseluler
Pada tulang rawan sendi normal, 65-80% dari total berat merupakan air.19, 25
Kolagen dan proteoglikan merupakan dua makromolekul utama pada tulang rawan sendi
yang berfungsi untuk menahan beban. Kelas molekul lain yang mengisi sisanya adalah
lemak, fosfolipid, protein dan glikoprotein.
Kandungan air pada tulang rawan sendi bervariasi mulai dari 80% pada
permukaan sendi hingga 65% pada zona dalam. Sedikit sekali presentase jumlah air yang
terkandung di dalam ruang intraseluler. Sekitar 30 % terdapat pada kolagen di ruang
intrafibriler dan pori-pori di dalam molekul mempertahankan keseimbangan. Jaringan
ekstraseluler mengandung cairan yang berisi garam natrium, kalsium, klorida dan kalium.
Arus air di dalam tulang rawan dan melalui permukaan sendi membantu transport nutrisi ke
dalam kondrosit.
Jaringan yang mengandung air mempunyai fungsi biomekanik yang penting pada
tulang rawan. Bersama dengan proteoglikan air memberi tulang rawan sendi kekuatan luar
16
biasa untuk menahan tekanan. Ukuran pori-pori yang kecil dari matriks ekstraseluler
memberi hambatan friksi terhadap aliran air. Gaya tahanan yang tinggi dan tekanan dari air
pada matriks ekstraseluler bertanggung jawab pada kekuatan kompresi dan kemampuan
tulang rawan untuk menahan tingginya beban sendi.
Bermacam-macam kolagen yang disintesa oleh kondrosit membentuk struktur
utama makromolekul ekstraseluler matriks. Kolagen berkontribusi sekitar 60% dari berat
kering tulang rawan dan didistribusikan melalui berbagai macam zona dengan konsentrasi
relatif sama, tetapi dengan orientasi yang berlainan. Struktur kolagen yang unik ini
memberikan kekuatan gaya tarik pada tulang rawan sendi.
Kolagen pada tulang rawan sendi sekitar 90-95% merupakan kolagen tipe II
dengan kontribusi minor oleh tipe V, VI, IX, X dan XI. Semua tipe kolagen dibentuk dari
tiga rantai polipeptida (rantai ) yang membentuk triple helix. Komposisi asam amino dari
rantai polipeptida secara primer adalah glycine dan proline, dengan hydroxyproline yang
memberi stabilitas melalui ikatan hidrogen sepanjang molekul. Sebagai tambahan
hydroxylysine terlibat dalam menciptakan ikatan kovalen yang menstabilkan struktur serat
kolagen.
Serat kolagen berbentuk pita terlihat pada mikroskop elektron terbentuk secara
primer oleh kolagen tipe II, IX dan XI. Ikatan ini meluas ke seluruh jaringan untuk
memberikan kekuatan dan gaya tarik. Hal yang penting anyaman ini juga untuk menahan
proteoglikan yang besar. Tulang rawan mendapat kekuatan kompresi sebagian oleh karena
tertahannya proteoglikan.
17
Gambar 2.4 Skematik anyaman kolagen dalam menahan proteoglikan dan aggrecan sehingga mampu menahan gaya tekanan dan gesekan.
Dikutip dari : Kyle.19
Proteoglikan membentuk 10-15% berat basah dari tulang rawan sendi. Diproduksi
oleh kondrosit. Proteoglikan diproduksi oleh matriks ekstraseluler. Struktur dasar dari
proteoglikan adalah komplek makromolekul yang mengandung inti protein dengan ikatan
kovalen glikosaminoglikan (GAG) pada rantai samping. Ini disebut molekul proteoglikan
aggrecan. Proteoglikan aggrecan berikatan dengan hyaluronat yang berupa suatu ikatan
protein untuk membentuk proteoglikan agregat yang besar.19
2.1.2 Fungsi dan Biologi Tulang Rawan
Tulang rawan sendi merupakan jaringan hidup yang aktif dibentuk dan
dipertahankan oleh kondrosit. Sel ini merupakan derivat dari sel mesenkim yang
berdiferensiasi sebelum 8 minggu masa gestasi. Sel kondrosit dapat hidup atau tanpa ada
18
pembuluh darah, pembuluh limfe, atau saraf. Sel kondrosit berdiri sendiri di dalam matriks
dengan susunan yang teratur dan mampu berinteraksi secara komplek untuk
mempertahankan dan memperbaiki jaringan.19
Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti bagaimana sel kondrosit
memperoleh nutrisi untuk kebutuhan metabolismenya. Tetapi, adanya kontak antara tulang
rawan sendi dan tulang subkondral yang memiliki vaskularisasi tampak sangat penting.
Sebagai tambahan cairan sinovial memberi nutrisi kepada sel kondrosit melalui proses
difusi. Dua halangan terjadinya proses difusi cairan sendi mencapai kondrosit, yaitu cairan
sendi harus melewati sinovium dan matrik ekstraseluler. Metabolisme pada tulang rawan
sendi yang utama berlangsung secara anaerob pada lingkungan dengan kadar oksigen
rendah.
Kondrosit aktif secara metabolik walaupun dalam penampakannya tampak seperti
sel statis. Dasar pengaturan dan perawatan sendi memerlukan kondrosit yang mengubah
makromelukular matriks dengan mengganti komponen matriks yang terdegradasi.
Kondrosit harus dapat merespon perubahan pada komposisi matriks.26
2.1.2.1 Biomekanik
Tulang rawan sendi melayani tubuh manusia dengan menyediakan permukaan
yang dapat digunakan untuk transmisi beban yang dihantarkan ke sendi. Permukaan tulang
rawan sendi lutut menahan rata-rata tiga kali beban tubuh. Pada aktivitas sehari-hari, sendi
lutut dapat menanggung beban sepuluh kali beban tubuh saat berlari dan dua puluh kali
beban tubuh saat melompat. Struktur tulang rawan sendi mampu untuk menyimpan,
mentransmisikan dan menghilangkan energi mekanis saat aktivitas. Tulang rawan sendi
19
harus dapat untuk menyimpan energi apabila tidak ia akan tertekan dan kehilangan
ketebalan yang permanen dan akan kalah oleh gaya tekan dan akan mengalami keausan.
Pada kondisi normal, tulang rawan menyimpan energi saat mengalami deformitas dan akan
menyimpan energi kemudian akan kembali ke bentuk semula tanpa mengalami keausan.
Tekanan dan tarikan yang besar akan berkembang di jaringan tulang rawan saat seseorang
melakukan aktifitas.
Tulang rawan sendi memiliki struktur yang baik dan memiliki kemampuan untuk
menahan tekanan dan tarikan. Anyaman yang dibentuk oleh serat kolagen terutama
berfungsi untuk menahan gaya tarikan tetapi lebih lemah dalam menahan gaya tekan.
Hubungan antara proteoglikan dan air yang terjerat pada anyaman kolagen
memberikan kemampuan untuk bertahan terhadap gaya tekanan, pembengkakan dan gaya
lain dari luar. Proteoglikan mengandung rantai glikosaminoglikan yang lengkap. Rantai ini
mengandung kation dan air yang saling berlawanan. Dengan gaya berlawanan ini, rantai
glikosaminoglikan memegang monomer yang berlebih, sehingga memberi kemampuan
untuk anyaman kolagen menerima air.
Sangat penting untuk mengerti mengenai karakteristik tulang rawan sendi, karena
ini esensial untuk diketahui mengingat tulang rawan tersebut aktif menahan berat badan
selama bertahun-tahun. Fase solid termasuk dalam bingkai kerja kolagen, proteoglikan dan
protein non kolagen. Fase cair, berhubungan dengan kandungan jaringan yang terdiri dari
air sebanyak 65-80 % dari berat keseluruhan. Kandungan biomekanik dari tulang rawan
sendi tergantung dari interaksi kedua fase ini. Secara umum, fase cairanlah yang berperan
terhadap sifat perubahan bentuk yang terjadi pada jaringan.27
20
Matriks yang solid memiliki pori-pori dan permeabel, yang akan memberi jalan air
untuk masuk ke dalam pori-pori saat terjadi tekanan. Tekanan air memberi kekuatan utama
dalam manahan beban, sehingga mengurangi tekanan pada bagian yang solid. Hal ini
dinamakan pelindung stres dari matriks padat. Untuk jaringan tulang rawan yang sehat
lebih dari 95 % beban yang diterapkan dalam kegiatan normal akan ditanggung oleh cairan
interstisial.19
Tulang rawan sendi memiliki sifat viskoelastis. Viskoelastis memiliki arti
kandungan tulang rawan memiliki sifat lentur yang bergantung pada nilai regangan.27
Apabila tegangan kompresi diberikan pada tulang rawan secara terus menerus, maka
kecepatan terjadi deformitas akan semakin meningkat dengan berjalannya waktu. Ada dua
mekanisme yang berhubungan dengan sifat viskoelatis tulang rawan, yaitu: yang
berhubungan dengan arus dan tidak berhubungan dengan arus. Aspek yang tidak
berhubungan dengan arus berasal dari friksi intermolekular antara matriks proteoglikan.
Aspek yang berhubungan dengan arus berasal dari arus cairan interstisial dan resultan gaya
gesek. Tulang rawan pada penyakit sendi degeneratif memiliki permeabilitas dan
kandungan air yang tinggi sehingga kemampuan menahan beban berkurang dan tidak
mampu melindungi matriks ekstraselular.19
2.1.2.2 Metabolisme
Dengan kadar oksigen rendah serta sifat avaskular, tulang rawan sendi ternyata
memiliki metabolisme yang tinggi. Sel kondrosit secara primer bergantung pada jalur
anaerob dalam menghasilkan energi. Sel Kondrosit mensintesis komponen matriks,
termasuk protein dan rantai glikosaminoglikan kemudian mensekresi substansi ini ke
21
matriks ekstraselular. Sebagai tambahan, sel kondrosit bertanggung jawab terhadap
remodeling matriks ekstraseluler melalui sekelompok grup yang mendegradasi enzim.
Oleh karena itu, sel kondrosit yang mempertahankan keadaan matriks ekstraseluler
sehingga selalu berada pada kondisi normal dengan cara menjaga keseimbangan sintesa
komponen matriks melalui mekanisme katabolisme dan pelepasan. Aktivitas metabolik
dari kondrosit dapat berubah oleh kondisi lingkungan secara mekanik dan kimiawi. Sitokin
tampak mempunyai peranan untuk mengontrol keseimbangan sintesis dan degradasi antara
makromolekul matriks. Matriks ekstraseluler mempunyai peranan penting pada transmisi
kimia, elektrik dan mekanis yang dihasilkan saat terjadi muatan dari permukaan sendi.
Kondrosit berespon melalui perubahan pada struktur matriks. Sitokin sebagai pemberi
pesan melalui meknisme autocrine atau paracrine. Tidak begitu diketahui apakah sinyal
elektrik, mekanik atau fisiokemikal yang paling penting pada stimulasi aktivitas kondrosit
aneural.19, 28
Molekul proteoglikan disintesis, dirakit, diberi sulafat dan disekresi ke ekstraselular
matriks oleh kondrosit. Kontrol pada sintesis proteoglikan berespon pada stimuli biokimia,
mekanik dan fisik. Pemelliharaan tulang rawan sendi membutuhkan degradasi dan
pelepasan proteoglikan oleh tulang rawan sendi secara kontinyu. Laju katabolisme
dipengaruhi oleh mediator terlarut seperti interleukin satu yang mengakselerasi degradasi.
Pembebanan sendi juga mempunyai peran; contohnya, imobilisasi telah diketahui
menyebabkan hilangnya proteoglikan dari matriks. Fragmen proteoglikan seperti keratan
sulfat dapat dihitung dalam cairan tubuh seperti konsentrasi cairan sinovial dapat digunakan
untuk menghitung aktivitas katabolisme pada tulang rawan dari sendi tertentu.
22
Sintesis kolagen dan katabolisme kedua dikontrol sebagian oleh enzim. Sebagai
tambahan, faktor pertumbuhan telah diketahui mempunyai peranan pada metabolisme
tulang rawan. Metode bagaimana faktor pertumbuhan berperan pada metabolisme tulang
rawan tidak sepenuhnya diketahui. Namun, sel reseptor permukaan ada pada kondrosit.
Platelet derived growth factort (PDGF), tampak mempunyai sifat membelah pada
kondrosit dan mempunyai peranan pada respon penyembuhan pada osteoartritis dan luka
laserasi.19, 20
Sel kondrosit mensintesis enzim proteolitik yang bertanggung jawab terhadap
pemecahan matriks tulang rawan sendi melalui dua mekanisme, yaitu pergantian normal
dan degenerasi tulang rawan. Proteinase primer melibatkan pergantian tulang rawan
termasuk metalloproteinase (collagenase, gelatinase dan stromelysin) dan cathepsin
(cathepsin B dan D) yang mempunyai kemampuan mendegradasi aggrecan.19
Pergerakan dan pembebanan sendi dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi serta
struktur tulang rawan sendi agar tetap normal. Keseimbangan antara degradasi dan sintesis
oleh kondrosit berubah ketika sendi mendapat beban melebihi atau dibawah rentang
normal. 29 imobilisasi sendi yang lama juga mengarah pada degenerasi tulang rawan. Difusi
normal dari nutrisi akan berkurang. Sebagai tambahan kandungan proteoglikan akan
berkurang dan terjadi perubahan struktur. Mobilisasi kembali akan membalikan perubahan
yang terjadi pada proteoglikan.
2.1.2.3. Perubahan Mikroskopik pada Kerusakan Rawan Sendi
Untuk menilai degradasi tulang rawan, Mankin, dkk mengembangkan tingkatan
skala histologi dengan rentang dari 0 (tulang rawan normal) hingga 14 (degradasi berat).
23
Skoring memperlihatkan hilangnya struktur organisasi (0-6), karakteristik selular (0-3),
hilangnya pewarnaan safranin-O (0-4) dan integritas tidemark (0-1). Sistem penilaian
histopatologi telah diusulkan oleh Osteoarthritis Research Society International
(OARSI).30 Tulang rawan normal berada pada tingkat 0, tingkat kerusakan sendi dibagi
menjadi 6 tingkatan. Tingkat 1 sampai 4 meliputi perubahan pada permukaan rawan sendi
dan tingkat 5 sampai 6 meliputi tulang subkondral. Hal ini penting untuk dicatat bahwa
sistem penilaian secara histologi dinilai pada lokasi tertentu. Pasien mungkin memiliki
tingkat kerusakan sendi pada area yang menahan berat badan. (skor Mankin, Ms > 10;
OARSI tingkat >4), walaupun demikian, ia masih memiliki area yang hampir normal pada
daerah yang tidak menahan beban berat badan. (Ms< 5; OARSI tingkaat 1-2),
bagaimanapun beratnya tingkat pasien dengan osteoartritis.
Tahap degradasi tulang rawan dapat dilihat pada potongan histologi tulang rawan,
tingkatan berdasarkan skor Mankin.32 Pada tulang rawan kontrol (Ms=1, OARSI=0)
diperoleh dari kepala femur pasien yang fraktur pada leher femur, aggrecan
didistribusikan secara merata melalui tulang rawan seperti yang diindikasikan oleh
pewarnaan safranin O (Gambar 2.5) dan Alcian blue. hilangnya aggrecan pada zona
superfisial seperti yang dilihatkan dengan hilangnya pewarnaan safranin O (Gambar 2.5),
merupakan gambaran dengan indikasi OA pertama kali. (Ms=3-4, OARSI=1). Pada
tahapan ini, jaringan kolagen tetap intak, pada dasar dengan pewarnaan sirius (Gambar 2.5).
Aggrecan menghilang hingga mengarah pada berkurangnya tahanan terhadap beban
mekanik dan kerusakan dari jaringan kolagen.33 tahapan selanjutnya adalah erosi dari zona
superfisial. Pada OA dengan Mankin skor 7-10 (OARSI 3),
24
Tabel 2.1 Tabel Skor Histologi Modifikasi Mankin
Subskor NilaiStruktur rawan sendiNormal 0Iregularitas permukaan 1Pannus dan Iregularitas permukaan 2Belahan kearah zona transisional 3Belahan kearah zona radial 4Belahan ke arah zona kalsifikasi 5Disorganisasi lengkap 6Sel rawan sendiNormal 0Pyknosis, degenerasi lemak, hiperselularitas 1Cluster 2Hiposelularitas 3Safranin-ONormal 0Reduksi ringan 1Reduksi moderat 2Reduksi berat 3Tidak tampak pewarnaan 4Tidemark integrityIntak 0Rusak 1
Keterangan :Skor normal : 0-1Kerusakan tulang rawan ringan : 2-5Kerusakan tulang rawan sedang : 6-9Kerusakan tulang rawan berat : 10-14
Dikutip dari: Ostergaard dkk.31
Keterangan pada gambar 2.5. : (A-D) pewarnaan dengan safranin O (orange)
didapatkan gambaran hilangnya proteoglikan pada daerah permukaan saat kerusakan sendi
berlangsung. (E-H) pewarnaan Acian blue/Sirius Red dari Safranin O. Matriks tulang
terwarnai merah (E). Saat proteoglikan hilang, kolagen tulang rawan terwarnai oleh sirius
red (F-H). (J-R) memberikan gambaran degradasi enzim oleh kondrosit artikular. Pada
tulang rawan kontrol, hanya beberapa sel imunopositif untuk MMP-3 atau MMP-9 (J,N,
panah). Pada tingkat kerusakan tulang rawan rendah, kebanyak kondrosit berada pada
daerah dengan proteoglikan yang banyak hilang, dan saat ini memperlihatkan enzim
degradasi dan juga tampak pada matriks (K,O). Saat zona superfisial telah terdegradasi,
25
kondrosit pada zona yang lebih dalam memperlihatkan enzim dengan aktivitas kuat pada
zona permukaan (L-P). Pada kerusakan sendi lanjut, hanya tulang rawan tipis yang tampak
dan sel-sel tampak memperlihatkan enzim yang terdegradasi.
Gambar 2.5 Perubahan mikroskopik pada tulang rawan dengan meningkatnya derajat kerusakan sendi.Dikutip dari : Bronner.33
2.1.3 Bupivakain
Anestetik lokal dengan sebuah rantai amida di antara ujung aromatik dan ikatan
tengah menunjuk pada amino amida dan meliputi lidokain, mepivakain, prilokain,
26
bupivakain, dan etidokain. Anestetik lokal merupakan obat yang menghasilkan
stimulasi blokade konduksi reversibel sepanjang saraf sentral dan perifer.
Peningkatan konsentrasi anestetik lokal secara progresif akan
mempengaruhi transmisi otonomik, somatosensorik, dan somatomotor.
Akibatnya, terdapat blokade saraf otonom, anestesia sensorik dan paralisis
muskuloskeletal pada area yang diinervasi oleh saraf tersebut. Perubahan anestesi
lokal pada keadaan semula diikuti dengan pulihnya konduksi saraf secara spontan
dan lengkap, tanpa adanya bukti terjadinya kerusakan struktur saraf hasil dari efek
agen anestetik lokal.34, 35 35
Gambar 2.6 Bupivakainhydroklorid (monohydrat) Dikutip dari : Stoelting dkk.36
2.1.3.1 Mekanisme Kerja
Anestetik lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat
jalan ion natrium pada saluran natrium di membran saraf. Saluran natrium sendiri
memiliki reseptor spesifik dari molekul anestetik lokal, yang menghasilkan
inhibisi ringan sampai total pada permeabilitas saluran natrium. Kegagalan
permeabilitas saluran natrium meningkat perlahan dari depolarisasi rata-rata
karena itu potensial aksi tidak meluas dan tidak menyebar. Anesetik lokal tidak
merubah membran potensial istirahat dan ambang potensialnya. Pada keadaan
27
istirahat, konsentrasi ion kalium di dalam sel dapat dipertahankan melalui potensi
elektrik yang menjaga agar bagian dalam sel negatif terhadap bagian luar.37
Konsentrasi ion kalium di dalam sel biasanya tiga puluh kali lebih besar
daripada di luar. Ion natrium akan terdorong keluar dari dalam sel melalui
mekanisme yang disebut pompa natrium dan natrium intraseluler akan tetap
rendah. Konsentrasi ion natrium di luar sel biasanya sepuluh kali lebih besar dari
pada konsentrasi di dalam sel. Membran sel saraf umumnya permeabel terhadap
ion kalium namun relatif tidak permeabel terhadap ion natrium. Pada saraf
sensoris dan motoris, stimulasi saraf dapat dianggap sebagai gelombang aktivitas
elektrik yang berjalan sepanjang serabut saraf sebagai akibat dari pertukaran
kation (natrium dan kalium) melalui membran permukaan sel saraf.35, 36
Saluran natrium yang terdiri dari lima subunit (dua subunit alfa, satu
subunit beta, satu subunit gama, dan satu subunit teta). Terdapat H sebagai
subunit alfa yang berhubungan dan mengikat agen anestesi lokal, dengan jenis
ikatan yang stereotipik dan bergantung pada tingkat adaptasi dari saluran natrium
sendiri. Walaupun demikian, subunit beta memodulasi ikatan antara subunit alfa
dan agen anestesi lokal. Molekul anestetik lokal dan reseptor spesifik dengan
ikatan selektif pada subunit alfa (internal gate/H gate) akan menstabilkan saluran
natrium dan mencegah terjadinya depolarisasi. Keadaan ini yang menyebabkan
konduksi saraf tidak menyebar dan mempertahankan saluran natrium pada
keadaan inaktif atau saluran natrium menutup.36 35
28
2.1.3.2 Farmakodinamik
Bupivakain memiliki mula kerja lambat, yaitu 15 menit. Sebuah
perbandingan campuran kimia homolog menunjukan hubungan antara struktur,
sifat fisikokimia dan aktivitas anestesi. Dalam obat-obat seri amida, bupivakain
berbeda dari mepivakain dengan penambahan sebuah golongan butil ke molekul
amina akhir yang membuat bupivakain lebih lipofilik dan lebih banyak ikatan
protein daripada mepivakain. Obat dengan potensi yang tinggi dan durasi kerja
yang lama adalah tetrakain, bupivakain, dan etidokain. Bupivakain memiliki mula
kerja anestesi yang cukup lambat.36
2.1.3.3. Farmakokinetik
Absorpsi dari anestetik lokal bervariasi yang dipengaruhi oleh fungsi
tempat injeksi, dosis, penambahan obat vasokonstriktor, dan kerja dari obat
spesifik. Penambahan vasokonstriktor ke larutan anestetik lokal mengurangi rasio
penyerapan agen pada beberapa tata laksana. Epinefrin akan secara signifikan
mengurangi kadar puncak dalam darah dari prilokain, bupivakain, dan etidokain
yang tercapai setelah blokade saraf perifer, tetapi memiliki pengaruh yang kecil
pada penyerapan obat ini setelah pemberian anestesi epidural lumbar.36
Rasio dan derajat penyerapan vaskuler bermacam-macam di antara agen.
Bupivakain diserap lebih cepat daripada etidokain. Lebih rendahnya kadar puncak
dalam darah etidokain dari bupivakain mungkin berhubungan dengan kelarutan
lemak yang lebih besar dan masukan oleh lemak perifer dari etidokain. Waktu
paruh alfa dan beta dari bupivakain jauh lebih panjang daripada etidokain, yang
29
ditandai dengan lebih lambatnya redistribusi jaringan dan metabolisme dari
bupivakain. Bupivakain dimetabolisme sangat lambat. Terdapat variasi dalam
kecepatan metabolik hepatik dari tiap-tiap senyawa amida, perkiraan tingkatannya
adalah: prilokain (tercepat) > etidokain > lidokain > mepivakain > ropivakain >
bupivakain (terlamban).36
2.1.4 Pengaruh Bupivakain Terhadap Kondrosit
Pada literatur ditemukan berbagai macam hasil penelitian, termasuk
penelitian yang dilakukan oleh Chu, dkk.9 yang menunjukan efek bupivakain
secara invitro hingga menyebabkan kondrotoksisitas pada permukaan tulang
rawan sapi dan kematian sel kondrosit pada 90% hasil pemeriksaan dengan
permukaan tulang rawan yang intak dan 42% disertai kerusakan pada tulang
rawan. Demikian halnya Gomoll, dkk.12 menemukan peningkatan aktivitas
anabolik kondrosit dengan dibuktikan oleh adanya peningkatan penyerapan sulfat
dan peningkatan kandungan proteoglycan pada tulang rawan yang terkena
bupivakain. Grishko, dkk., memperlihatkan pengaruh bupivakain 0,25%
terhadap kondrosit secara invitro, bahwa setelah kondrosit terekspos oleh
bupivakain 0,25% selama 120 jam, kemudian dilakukan pemeriksaan flow
cytometri didapatkan penurunan viabilitas kondrosit yang signifikan seiring
dengan peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis.
Dari tingkat seluler memperlihatkan bahwa bupivakain menginduksi
faktor inflamasi seperti IL-1 dan TNF sehingga meningkatkan nitric oxide yang
30
akan mengaktifkan enzim stromelysin sehingga menyebabkan degradasi dari
tulang rawan.
Lu, dkk., menunjukan bahwa terjadi pertumbuhan kondrosit yang cepat
dan produksi hyaline seperti matriks setelah trauma mekanik pada tulang rawan
akibat proses pengirisan.38 Hal ini memperlihatkan bahwa kondrosit manusia
memiliki kemampuan untuk membagi dan memberi efek katabolik pada trauma
yang berat. Oleh karena itu, beberapa sel kondrosit dapat bertahan hidup,
meningkatkan metabolisme jaringan dan mengisi kembali populasi sel-sel
kondrosit setelah mendapat dosis bupivakain sublethal.
Derajat kerusakan yang terjadi pada daerah tulang rawan berkisar dari
retensi ketebalan struktur tulang rawan, mulai dari hiposelularitas yang ditandai
dengan hilangnya kondrosit pada daerah deep zone serta kekosongan lakuna pada
daerah permukaan serta sub permukaan.10, 33
2.2 Kerangka Pemikiran
Kondrolisis merupakan suatu keadaan yang merugikan yaitu terjadi
kematian kondrosit yang luas dalam waktu singkat serta mengarah pada hilangnya
tulang rawan dan terjadinya degenerasi sendi progresif.39 Bupivakain merupakan
anestetik lokal dengan sebuah rantai amida di antara ujung aromatik dan ikatan
tengah menunjuk pada amino amida dan meliputi lidokain, mepivakain, prilokain,
bupivakain, dan etidokain. Anestetik lokal merupakan obat yang menghasilkan
stimulasi blokade konduksi reversibel sepanjang saraf sentral dan perifer. Secara
invitro pemberian bupivakain 0,25% menyebabkan hilangnya jumlah kondrosit.11 Tidak
31
memperhitungkan efek pengenceran yang terjadi pada penyuntikan secara intraartikular
sehingga masih memerlukan penelitian lanjutan. Dan penelitian yang dilakukan oleh
Gomoll, pemberian bupivakain perinfus intraartikular pada kelinci selama 48 jam
memperlihatkan hasil bahwa ada hubungan antara lamanya kontak dari
bupivakain yang diberikan intra artikular perinfus dengan kondrolisis.12
Penelitian secara invitro apabila kondrosit terekspos oleh bupivakain
0,25% selama 120 jam didapatkan penurunan viabilitas kondrosit yang signifikan
seiring dengan peningkatan jumlah sel yang mengalami apoptosis. Diketahui juga
bahwa bupivakain 0,25% menginduksi kerusakan mitokondria DNA, penurunan
adenosin trifosfat dan level protein mitokondria.40
Data-data dari penelitian sebelumnya ini memberi dasar pemberian bupivakain
harus dengan dosis rendah dan waktu yang singkat.10 Berdasarkan hal ini ingin
diketahui apakah penyuntikan bupivakain 0,25% ke dalam sendi lutut kelinci
dapat menimbulkan pengurangan jumlah kondrosit dari tulang rawan.
Mekanisme terjadinya nekrosis disebabkan eksposur bupivakain pada
tulang rawan sendi sehingga terjadi penurunan metabolisme kondrosit,
meningkatkan terjadinya apoptosis dan nekrosis pada kondrosit yang mengarah
kepada degradasi tulang rawan sendi dilihat secara morfologi.41 Kondrotoksisitas
bupivakain belum sepenuhnya dimengerti, tetapi diperkirakan melalui mekanisme
proses inflamasi yang diinisiasi oleh produksi nitric oxide.13
Bupivakain menyebabkan apoptosis yang bergantung pada dosis dan lama
paparan terhadap kultur sel Schwann dengan menstimulasi produksi reactive
32
oxygen species (ROS).42 ketika ROS ditahan oleh anti oksidan, bupivakain yang
menginduksi apoptosis secara signifikan turut dihambat.42
Gambar 2.7. Alur Kerangka Pemikiran.
2.3 Premis-premis
Berdasarkan teori-teori tersebut di atas maka dalam penelitian ini dapat
disusun premis-premis sebagai berikut :
Premis 1. Pemberian bupivakain 0,25% dengan paparan lama dapat
menyebabkan kerusakan kondrosit.9, 14, 43
Premis 2. Eksposur bupivakain 0,25% pada tulang rawan sendi menyebabkan
mekanisme terjadinya penurunan metabolisme kondrosit.41
Premis 3. Paparan bupivakain 0,25% pada tulang rawan sendi meningkatkan
terjadinya apoptosis dan nekrosis pada kondrosit yang mengarah
kepada degradasi tulang rawan sendi dilihat secara morfologi.14, 16, 41
Injeksi IntraartikularAnestesi lokal (bupivakain 0,25%)SteroidNSAIDInjeksi Bupivakain 0,25% intraartikular-Penurunan Metabolisme kondrosit-Apoptosis-stimulasi reactive oxygen product (ROS)Kerusakan KondrositKerusakan tulang rawan sendi
33
Premis 4. Paparan bupivakain 0,25% selama 120 jam menyebabkan penurunan
viabilitas kondrosit yang signifikan disertai peningkatan jumlah sel
yang mengalami apoptosis.40
Premis 5. Bupivakain menyebabkan apoptosis yang bergantung pada dosis dan
lama paparan terhadap kultur sel Schwann dengan menstimulasi
produksi reactive oxygen species (ROS).42
Premis 6. Sifat kondrotoksisitas dari bupivakain tergantung dosis dan lama
paparan.11, 44
2.4 Hipotesis
Dari premis tersebut maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
Penyuntikan bupivakain 0,25% secara intraartikular pada sendi lutut akan
menimbulkan kerusakan pada kondrosit. ( Premis 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 ).
34
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Bahan/Objek Penelitian
Bahan/Objek penelitian, besar sampel, kriteria inklusi, kriteria eksklusi,
serta bahan dan alat diuraikan sebagai berikut ini:
3.1.1 Objek Penelitian
Bahan penelitian ini adalah kelinci.
3.1.2 Besar Sampel
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini didapat berdasarkan
rumus sampel penelitian dengan hewan percobaan yang mengacu pada aspek etik
penelitian binatang coba. Rumus yang digunakan berdasarkan penghitungan
statistik perbandingan terhadap dua proporsi. 46,47
Berdasarkan penelitian pada penelitian sebelumnya yang dikemukakan oleh
Rosen, dkk, diketahui
1 = 3/11= 0.363636
2 = 1/11= 0.090909
Untuk = 5% (kekeliruan) diperolenilai Z/2 = 1,96
34
35
β = 80% (power) diperoleh nilai Zβ = 0,842
Jika ditetapkan batas kekeliruan yang diinginkan = = (1 -2), melalui rumus
penentuan ukuran sampel untuk perbandingan proporsi diperoleh ukuran sampel
n = 6.849076 atau sebesar 7.
Jumlah sampel selanjutnya ditambah 10-20% dengan tujuan sebagai
cadangan sampel bila terjadi drop-out.
n1 = n/1-y
n = Jumlah sampel
n1 = Jumlah sampel kontrol dengan drop out
y = prosentase drop out
n1 = 7/ 1-0.2
n1 = 9 (jumlah sampel untuk kontrol)
n2 = 9 (jumlah sampel untuk perlakuan)
3.1.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini:
Kelinci putih jantan ras New Zealand
Usia kelinci dewasa muda (7 bulan)
Berat antara 1000 – 1500 gram
Kriteria eksklusi pada penelitian ini:
Adanya fokus infeksi di tempat lain pada kelinci
Kriteria drop out pada penelitian ini
Gambaran histopatologis yang tidak terbaca
36
Kelinci mati saat penelitian berjalan
3.1.4 Bahan dan Alat
Penelitian ini memerlukan beberapa bahan dan alat seperti yang diuraikan
berikut ini:
3.1.4.1 Bahan penelitian
Adapun bahan yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi :
Bupivakain 0.25% vial (dengan nama dagang Marcain, produksi
AstraZeneca, 100 mg pada 20 ml.)
Nacl 0,9 % 500 ml (produksi Sanbe)
Tulang rawan distal femur kelinci
1. Bahan Pulasan terdiri dari :
1) larutan albumin : ½ gram bubuk albumin + 10 ml H2O
2) hematoxylin 1g
3) larutan Weigert A dan B
4) larutan Safranin O 0,1 %
5) larutan Fast green 0,001 %
6) ferric Clorida 29 %
7) farutan karboxyl
8) larutan xylol, alkohol 96%, 80%, 50%
9) larutan HCL 2%, larutan amoniak 2%
37
3.1.4.2 Alat-alat yang dibutuhkan
Adapun alat yang dibutuhkan pada penelitian ini dibedakan alat untuk
preparasi tulang.
Preparasi Tulang
Alat untuk preparasi tulang yang diperlukan:
Sarung Tangan (B Braun®, Jerman)
Timbangan (Digi®, Kanada)
Gergaji besi ukuran 12 inci/30 mm (Sandflex®, Swedia)
Mistar 30 cm (Butterfly®, Cina)
Scalpel dengan blade 23G (Aesculap®, Jerman)
Spidol marker (Snowman®, Jepang)
Alat alat untuk pembuatan preparat
- Kaca Preparat
- Tabung reaksi
- Gelas kaca untuk pewarnaan preparat
- Timbangan mikro
3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental laboratorium
dengan desain rancangan acak lengkap pada hewan percobaan (kelinci)
38
3.2.1. Identifikasi Variabel
Variabel pada penelitian ini meliputi variabel bebas, variabel terikat dan
variabel perancu.
Variabel bebas berupa penyuntikan bupivakain 0,25 % sebanyak 0,2 ml
pada sendi lutut kelinci kelompok perlakuan dan penyuntikan Nacl 0,9 % 0,2 ml
pada kelompok kontrol.
Variabel terikat berupa Skor Modifikasi Mankin.32
Variabel perancu yang bisa mempengaruhi penelitian ini, antara lain :
ketidakseragaman dimensi tulang femur kelinci,
pemotongan bahan sediaan dengan mikrotom,
diameter dari lutut kelinci, dan
dimensi kapsul dan konversi dosis pemberian dengan manusia.
3.2.2 Definisi Operasional
Istilah-istilah pokok dalam topik penelitian ini didefinisikan sebagai
berikut:
Kerusakan kondrosit adalah keadaan di mana berkurangnya jumlah
kondrosit yang disebabkan karena kematian selular tulang rawan yang
dinterpretasikan dengan gambaran histopatologis menurut skor
modifikasi Mankin dengan jumlah skor 0 (normal) hingga 14
(kerusakan rawan sendi berat).
Bupivakain 0,25% merupakan anestesi lokal yang secara invitro
dibuktikan menyebabkan kondrotoksisitas pada permukaan tulang
39
rawan sapi dan kematian sel kondrosit pada 90 % hasil pemeriksaan
dengan permukaan tulang rawan yang intak dan 42% disertai
kerusakan pada tulang rawan.
3.2.3 Kerangka Operasional
Gambar 3.1. Kerangka Alur Penelitian
Kelinci perlakuan Kelinci kontrol
Pengamatan 1 minggu3 kelinci
Pengamatan2 minggu3 kelinci
Pengamatan 3 minggu3 kelinci
18 Kelinci
Acak sederhana
Pemeriksaan histopatologi berdasarkan skor Modifikasi Mankin
Analisis data
Kesimpulan
Penyuntikan 1kali bupivakain
0,25 % 0,2 ml
Penyuntikan 1 kaliNaCl 0,9 %
0,2 ml
Lulus Komite Etik
Terminasi
40
3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.4.1 Persiapan
a. Kelinci putih jantan ras New Zealand dipelihara dalam kandang dan diberi
paparan cahaya matahari selama 12 jam, hewan coba tersebut diberi
makan berupa sayur kangkung sebanyak 3 kali sehari dan minum tanpa
batas. Kebersihan kandang terjaga dengan mengganti sekam padi setiap
harinya. Diperlakukan adaptasi selama 1 minggu sebelum dilakukan
perlakuan
b. Sebanyak 18 kelinci dibagi menjadi 2 kelompok dengan jumlah sama
banyak, dilakukan sampel acak sederhana dengan cara memberi nomor
masing-masing kelinci pada tabel kemudian dilakukan pengambilan tabel
angka acak. kelompok pertama merupakan grup perlakuan yang diberi
injeksi bupivakain 0,25 % 0,2 ml pada lutut kanan dan diberikan makanan
rutin dan air, kelompok kedua merupakan kelompok kontrol yang
diinjeksikan Nacl 0.9 % sebanyak 0,2 ml dan diberikan makanan rutin dan
air.
3.2.4.2 Prosedur Kerja
a. Setelah dilakukan pengelompokan, dilakukan penyuntikan bupivakain ke dalam
sendi lutut kelinci, dengan sebelumnya dilakukan penanganan aseptik dan anti
septik dengan alkohol 70%, dilanjutkan dengan povidone iodine 10%, yang
sebelumnya dilakukan pencukuran bulu pada daerah lutut yang akan dilakukan
penyuntikan. Dengan menggunakan spuit l cc dan jarum G 26 dilakukan
41
penyuntikan bupivakain 0,25 % sebanyak 0,2 ml ke dalam sendi lutut pada bagian
pertengahan antara tulang femur dan tibia sedalam 3 mm yang sebelumnya
dilakukan aspirasi sebagai tanda posisi jarum berada dalam rongga sendi. Dan
penyuntikan pada kelompok kontrol dengan Nacl 0,9 % sebanyak 0,2 ml dengan
teknik yang sama.
b. Kelinci yang sudah disuntik dipelihara dalam kandang yang berbeda. Setelah
mencapai waktu 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu masing masing kelinci
dilakukan pengambilan sampel dengan cara dilakukan terminasi.
c. Hewan coba dilakukan terminasi oleh peneliti dengan sodium pentobarbital
40-60 mg intravena. Efek dalam 1 menit.
d. Hewan coba dalam posisi berbaring oleh peneliti dilakukan tindakan
antisepsis dengan iodine 10 % dan drapping steril. Dilakukan incisi tajam
pada kulit kemudian diseksi otot sampai tampak tulang condyle femur.
Dengan gergaji kecil dilakukan frakturisasi pada condyle femur untuk
mendapatkan bahan berupa tulang rawan pada condyle femur.
e. Jaringan tulang rawan difiksasi ke dalam cairan formalin bufer 10 %. Setelah 24
jam, dilakukan dekalsifikasi dan diproses menjadi parafin blok, yang kemudian
dipotong dengan mikrotom setebal kurang lebih 5 m Pada daerah weight bearing
dan non weight bearing. Setelah itu dilakukan deparafinisasi dan hidrasi dari
sediaan preparat dengan akuades. Dilakukan perendaman preparat pada cairan
Weigert selama 10 menit. Kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit.
Dilakukan pewarnaan dengan Fast Green selama lima menit. Dicuci dengan
larutan asam asetat 1% tidak lebih dari 10-15 detik. Dilakukan pewarnaan 0,1%
42
safranin O selama lima menit. Dibersihkan dengan etil alkohol, etil alkohol absolut
dan xylene masing-masing selama 2 menit, difiksasi dengan menggunakan media
resin. Kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi berdasarkan skor modifikasi
Mankin dengan mikroskop cahaya yang dilakukan oleh dokter konsultan Patologi
Anatomi yang independen dengan tidak mengetahui jenis perlakuan yang
diberikan pada masing-masing kelompok hewan coba
f. Dilakukan pengumpulan data dan tabulasi, kemudian dari data yang
terkumpul dilakukan analisis statistik dengan uji eksak Fisher
3.2.5 Metode Analisis
Prosedur analisis data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a) Melakukan uji normalitas data pengamatan melalui uji Kolmogorov Smirnof,
untuk menentukan apakah analisis dilakukan secara parametrik atau non-
parametrik
b) Melakukan uji kesamaan rata-rata antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol untuk data pengamatan, jika hasil pengujian pada langkah kesatu
menunjukkan data normal, uji kesamaan rata-rata menggunakan statistik
uji t independent. data yang terkumpul dilakukan analisis statistik dengan uji
eksak Fisher
3.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Sebagai lokasi penelitian dalam pemeliharan dan perlakuan pada hewan
coba di Laboratorium Hewan Bagian Farmakologi RSHS. Bagian Patologi
43
Anatomi FKUP/RSHS, sebagai tempat dalam melakukan pembuatan preparat,
serta kegiatan bimbingan dengan konsultan patologi anatomi untuk penilaian data
histologis. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli - Oktober 2012.
3.3. Aspek Etik Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan eksperimen dan intervensi pada binatang
coba, sehingga diperlukan suatu ethical clereance dengan menerapkan prinsip 3R
(Refinement,Reduction,Replacement). Pada saat penelitian, dilakukan pemberian
ketalar intravena sehingga kelinci coba tidak mengalami nyeri. Jumlah kelinci
yang dikorbankan untuk penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan satu
tulang femur pada kelinci untuk dilakukan percobaan. Penggunaan kelinci jantan
jenis New Zealand dengan berat 1000 – 1500 gram pada penelitian ini adalah
karena lebih mudah untuk dilakukan bila mempertimbangkan cara penelitian.
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Setelah dilakukan perlakuan dengan menyuntikan lutut kelinci dengan
bupivacaine 0,25 % sebanyak 0,2 ml dan kelompok kontrol dengan NaCl 0,9 %
sebanyak 0,2 ml, maka setiap minggu, masing-masing 3 ekor kelinci dilakukan
sakrifikasi. Tulang rawan dari condyle medial femur kelinci kemudian dibuat
preparat, diwarnai dengan Safranin O dan dilakukan pemeriksaan histopatologi
dengan menggunakan skor Mankin. Dari pemeriksaan tersebut, maka didapatkan
hasil Skor Mankin yang tampak pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Skor Mankin
Kelompok Nomor Sampel
Total Mankin Skor KategoriMinggu
1Minggu
2Minggu
3Minggu
1Minggu
2Minggu
3
Kelompok Kontrol
1 3 3 7 Ringan Ringan Sedang2 4 6 3 Ringan Sedang Ringan3 3 5 4 Ringan Ringan Ringan
Kelompok Eksperime
n
1 4 7 5 Ringan Sedang Ringan2 3 7 7 Ringan Sedang Sedang3 4 4 7 Ringan Ringan Sedang
44
45
1 2 30
1
2
3
4
5
6
7
3.67
6.006.33
3.33
4.67 4.67Eksperimen
Kontrol
Rat
a-R
ata
Man
kin
Skor
Gambar 4.1 Perbandingan Rata-Rata Mankin Skor Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol
Berdasarkan Tabel 4.1. dan Gambar 4.1., terlihat bahwa rata-rata mankin
skor untuk kelompok eksperimen cenderung lebih tinggi dari kelompok kontrol,
dari minggu pertama hingga minggu ketiga. Dari minggu pertama hingga minggu
kedua, mankin skor pada kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan (3,67
menjadi 6,00). Demikian pula dari minggu kedua hingga minggu ketiga mankin
skor kelompok eksperimen mengalami peningkatan (6,00 menjadi 6,33). Pada
kelompok kontrol, dari minggu pertama ke minggu kedua mengalami peningkatan
(3,33 menjadi 4,67) dan memasuki minggu ketiga masih konstan di 4,67.
46
Normal Ringan Sedang Normal Ringan Sedang Normal Ringan SedangMinggu 1 Minggu 2 Minggu 3
0
1
2
3
-
3
- -
2
1
-
2
1
-
3
- -
1
2
-
1
2
Eksperimen
KontrolFrek
uens
i
Gambar 4.2 Perbandingan Frekuensi Kelinci Berdasarkan Mankin Skor pada
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa dari minggu pertama hingga minggu
ketiga tidak ada satupun kelinci dengan mankin skor pada kategori normal. Di
minggu pertama, semua kelinci pada kelompok normal maupun pada kelompok
eksperimen memiliki mankin skor dalam kategori ringan (masing-masing 3 ekor).
Pada minggu kedua, didapatkan dua ekor kelinci pada kelompok kontrol dengan
kategori mankin skor sedang, dan ditemukan satu ekor pada kelompok
eksperimen dengan kategori sedang. Pada minggu ketiga, frekuensi kategori
mankin skor pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen tidak
mengalami perubahan dari sebelumnya (minggu kedua).
47
4.1.1 Uji Normalitas Data
Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Data
WaktuEksperimen Kontrol
p-value Keterangan p-value KeteranganMinggu 1 0,766 Normal 0,766 NormalMinggu 2 0,766 Normal 0,991 NormalMinggu 3 0,766 Normal 0,960 Normal
Keterangan : p-value diperoleh dari uji Kolmogorov Smirnov
Berdasarkan Tabel 4.2. diperoleh kesimpulan bahwa data mankin skor
pada semua kelompok perlakuan dan waktu memiliki data yang berdistribusi
normal. Dengan hasil ini maka untuk menguji perbandingan akan digunakan uji
parametrik yakni two sample independent t test, sedangkan untuk menguji
perbandingan kategori mankin skor digunakan uji Eksak Fisher (tabel 2x2).
4.1.2 Uji Perbandingan Mankin Skor
Tabel 4.3 Hasil Uji Perbandingan Mankin Skor
Waktu Eksperimen (n=3) Kontrol (n=3) p-value
Minggu 1 3,67 (0,58) 3,33 (0,58) 0,519
Minggu 2 6,00 (1,73) 4,67 (1,53) 0,374
Minggu 3 6,33 (1,15) 4,67 (2,08) 0,292
Keterangan : p-value diperoleh dari uji two sample independen t test
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata mankin skor kelompok
eksperimen pada minggu 1 (3,67) lebih besar dari kelompok kontrol (3,33),
namun perbedaannya dinyatakan tidak bermakna (p > 0,05). Pada minggu 2, rata-
48
rata mankin skor kelompok eksperimen (6,00) masih lebih besar dari kelompok
eksperimen (4,67), dan perbedaannya dinyatakan tidak bermakna (p > 0,05). Pada
minggu 3, rata-rata mankin skor kelompok eksperimen (6,33) masih lebih tinggi
dari kelompok kontrol (4,67), dan perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Dengan demikian, rata-rata mankin skor antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol dinyatakan tidak bermakna, baik pada minggu 1, minggu 2
maupun minggu 3.
Tabel 4.4 Hasil Uji Perbandingan Kategori Mankin Skor
Waktu KategoriEksperimen (n=3) Kontrol (n=3)
p-valuef % f %
Minggu 1Ringan 3 100 3 100
-Sedang 0 0 0 0
Minggu 2Ringan 1 33,3 2 66,7
0,500Sedang 2 66,7 1 33,3
Minggu 3Ringan 1 33,3 2 66,7
0,500Sedang 2 66,7 1 33,3
Keterangan : p-value diperoleh dari uji Eksak Fisher
Tabel di atas menunjukkan bahwa kategorisasi mankin skor antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dan diuji dengan Uji Eksak
Fisher. Pada minggu ke 1, semua kelinci di kelompok eksperimen maupun di
kelompok kontrol memiliki mankin skor dalam kategori ringan sehingga sudah
jelas tidak berbeda bermakna antara keduanya, dan p-value tidak dapat dianalisis.
Pada minggu ke-2 dan minggu ke-3, perbedaan kategori mankin skor antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dinyatakan tidak bermakna (p >
0,05).
49
4.1.3. Uji Hipotesis
Hipotesis :
Penyuntikan bupivakain 0,25 % secara intraartikular pada sendi lutut akan
menimbulkan kerusakan pada kondrosit berdasarkan skor modifikasi Mankin
Faktor yang mendukung
1) Dari hasil penelitian, rata-rata skor Mankin pada hewan coba menunjukan
peningkatan dibandingkan dengan kontrol sejak minggu pertama hingga
minggu ketiga.
2) Terdapat peningkatan skor Mankin pada hewan coba. Dengan skor Mankin
pada minggu pertama sebesar 3,67 meningkat menjadi 4,77 pada minggu
ketiga.
Faktor yang tidak mendukung :
Analisis statistik Uji Eksak Fisher. Pada minggu ke 1, perbedaan kategori
mankin skor antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dinyatakan
tidak bermakna (p>0,05). Demikian pula, pada minggu ke-2 dan minggu ke-3,
perbedaan kategori mankin skor antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol dinyatakan tidak bermakna (p>0,05).
Simpulan
Hipotesis ditolak
50
4.3 Pembahasan
Penelitian secara in vivo selama tiga minggu ini memperlihatkan hasil
bahwa terjadi kerusakan kondrosit dengan berkurangnya densitas kondrosit dalam
waktu tiga minggu setelah penyuntikan bupivakain 0,25%, tetapi tidak bermakna
secara statistik. Permukaan sendi yang telah disuntik bupivakain 0,25% tetap intak
pada pemeriksaan histologis. Hasil ini memperlihatkan bahwa kerusakan
kondrosit yang timbul akibat penyuntikan bupivakain 0,25% ringan dan tidak
menimbulkan kerusakan pada permukaan sendi.
Dari hasil penelitian pada minggu pertama hingga ketiga terlihat bahwa
rata-rata Mankin skor cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dan dari uji
kategori Mankin skor dengan Uji eksak Fisher pada minggu pertama hingga
minggu ketiga tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Hasil ini mungkin
dipengaruhi oleh sifat dari kerapatan kondrosit pada kelinci lebih tinggi
dibandingkan dengan manusia dimana penangkapan safranin O lebih rendah pada
hasil yang didapatkan dengan hewan coba kelinci sehingga mempengaruhi hasil
uji dengan Mankin skor.11
Pada pemeriksaan hasil penelitian dengan metode Mankin skor, dilakukan
perhitungan pada struktur dari rawan sendi, sel rawan sendi, penangkapan dari zat
warna safranin O dan integritas tidemark terdapat subjektifitas dari penilaian
hiposelularitas, hiperselularitas yang keduanya bersifat terbatas pada evaluasi dari
densitas sel yang sangat berpengaruh terhadap kondrotoksisitas dari sel.
51
Dari hasil penelitian secara in vivo ini tidak didapatkan kondrosit yang
nekrosis setelah dilakukan penyuntikan bupivakain 0,25%. Hal ini kemungkinan
dapat dijelaskan oleh sifat kondrotoksisitas dari bupivakain yang tergantung dosis
dan waktu paparan seperti pada penelitian in vitro yang telah dilakukan oleh
Chu.11, 45
Pemberian bupivakain 0,25% satu kali secara intraartikular,
konsentrasinya akan tereduksi oleh berbagai macam faktor, yaitu: cairan sinovial,
perdarahan, integritas dari tulang rawan sendi, penyerapan bupivakain dan
clearance.3, 10 Volume sendi lutut kelinci berkisar 1,5 cc. Dari percobaan yang
dilakukan dengan menyuntikan bupivakain secara intraartikular, maka proses
pengenceran akan terjadi dan konsentrasi bupivakain berkurang. Jumlah zat yang
disuntikkan ini sudah diukur berdasarkan berat badan dan volume cairan sendi.
Pada percobaan yang dilakukan O’Driscoll, dkk, memperlihatkan bahwa
penyuntikan zat NaCl 0,9% ke dalam sendi lutut setiap 0,5 ml akan menghasilkan
gambaran hemartrosis setelah jumlah NaCl yang disuntikan mencapai 2 ml, dan
kerusakan jaringan sinovial setelah jumlah NaCl yang disuntikan rata-rata
berjumlah 4 ml.46 proses penyuntikan zat ke dalam rongga intraartikuler sendiri
akan menimbulkan proses inflamasi yang diawali proses katabolisme akibat
aktifitas interleukin 1 (IL-1) dan Tumor nekrosis faktor (TNF-α) dan kemudian
akan merusak metabolisme kondrosit.40
Konsentrasi maksimal bupivakain dalam darah telah diteliti secara klinis
terjadi saat tiga puluh hingga empat puluh lima menit setelah penyuntikan
52
intraartikular pada sendi lutut.44 Berlawanan dengan pemberian bupivakain
intraartikular secara infus,14 yang akan mengatasi efek pengenceran dibandingkan
injeksi bupivakain 0,25% sebanyak satu kali sehingga hasil penelitian ini tidak
menyebabkan kematian kondrosit dengan cepat.
Pada percobaan yang dilakukan, objek penelitian merupakan tulang rawan
kelinci yang sehat, sehingga terdapat kemungkinan penyerapan dari bupivakain
0,25% yang disuntikan tidak banyak dilakukan oleh tulang rawan tetapi melalui
jaringan sinovial. Hal ini berbeda pada penyuntikan yang dilakukan pada pasien
setelah artroskopi akibat osteoartritis yakni telah timbul suatu kerusakan sendi.
Karena pada penelitian sebelumnya, maka penyuntikan bupivakain lebih
mengakibatkan kerusakan pada sisi tulang rawan telah ada perlukaan
sebelumnya.5, 17 Hal ini dapat dijadikan salah satu dasar alasan pada pasien
dengan osteoartritis derajat satu dan dua yang dilakukan injeksi bupivakain
setelah tindakan artroskopi tidak mengalami perbaikan derajat osteoartritisnya.
Penelitian terhadap hewan coba di laboratorium memungkinkan kita
menggunakan teknik yang canggih dalam mengevaluasi efek in vivo penyuntikan
bupivakain 0,25% secara intraartikular, tetapi tidak ada hewan coba yang secara
tepat menyerupai ketebalan, ukuran, biomekanik, struktur, kemampuan
memperbaiki diri sendiri, kondisi pembebanan serta kinematik tulang rawan sendi
lutut manusia.47
Permukaan tulang rawan sendi lutut manusia lebih tebal dibandingkan
dengan permukaan tulang rawan kelinci hal ini menunjukan bahwa substrat yang
disuntikkan ke dalam sendi dan masuk ke dalam tulang rawan dengan cara difusi
53
akan secara potensial berefek lebih kecil terhadap jaringan pada manusia.11
Beberapa poin penting yang menjadi pertimbangan adalah pada percobaan
dengan menggunakan kelinci sebagai hewan coba. Pada sampel tulang rawan
sendi yang diambil dari medial femoral condyle, densitas kondrosit kelinci sebesar
12,2 % dan hanya 1,7 % pada manusia. Setiap sel kondrosit pada manusia harus
menanggung sekitar 8-10 kali area yang lebih luas terhadap matrik sekitar.47
Sehingga sangat mungkin tulang rawan kelinci lebih tahan terhadap stimulus
berbahaya dibandingkan tulang rawan manusia karena kepadatan sel kondrosit
yang lebih tinggi dibandingkan dengan manusia.9
4.3 Kendala dan Kelemahan Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan beberapa kendala dan kelemahan, antara
lain adalah sebagai berikut.
1) Pada saat penyuntikan bupivakain 0,25% 0,2 ml ke dalam intrartikular
sendi lutut kelinci, pengambilan sudut serta kedalaman harus
diperhitungkan secara hati-hati agar tidak mengenai tulang rawan dan
merusak permukaan tulang rawan.
2) Pada saat pemotongan dan pembuatan preparat dibutuhkan ketepatan saat
melakukan tindakan sehingga permukaan tulang rawan sendi yang dinilai
merupakan suatu area weight bearing
3) Pada pemeriksaan histopatologi penangkapan pewarnaan safranin O oleh
mucin, tulang rawan dan mast cell granules pada kelinci yang digunakan
sebagai kontrol tidak sama dengan contoh pada manusia.
54
4) Pada penelitian ini Mankin skor hanya terbatas untuk menilai densitas sel
dan penilaiannya bersifat subjektif dan kuantitatif, sehingga dibutuhkan
suatu analisis histomorphometric yang digunakan secara sistematis dan
kuantitatif untuk menghitung densitas kondrosit pada regio yang
diinginkan.
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Penyuntikan intraartikular bupivakain 0,25% dosis tunggal tidak
berpengaruh terhadap kerusakan kondrosit berdasarkan skor modifikasi Mankin
pada lapisan tulang rawan sendi lutut kelinci normal dalam periode tiga minggu.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa penyuntikan bupivakain 0,25%
secara intraartikular tidak berpengaruh terhadap kerusakan kondrosit tulang rawan
sendi lutut kelinci, maka diharapkan ada penelitian lebih lanjut dengan melakukan
penyuntikan dengan terlebih dahulu melakukan proses pembilasan cairan sinovial,
penyuntikan berulang dan penelitian mendalam dalam jangka waktu tertentu
sehingga akhirnya dapat diaplikasikan pada manusia di kemudian hari.
1-6, 8-41, 43-45, 47, 48
55
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Allen G, lui A, Johnson D. Postarthroscopy analgesia with intraarticular bupivacaine/morphine. A randomized clinical trial. NCBI. 1993;3(79):475-80.
2. Badner N, Bourne R, Rorabeck C, SJ SM, Doyle J. Intra-articular injection of bupivacaine in knee-replacement operations. Results of use for analgesia and for preemptive blockade. JBJS. 1996;78(5):734-8.
3. Geutjens G, Hambidge J. Analgesic effects of intraarticular bupivacaine after day-case arthroscopy. Arthroscopy. 1994;10(3):299-300.
4. Joshi W, Reuben S, Kilaru P, Sklar J, H M. Postoperative Analgesia for Outpatient Arthroscopic Knee Surgery with Intraarticular Clonidine and/or Morphine. Anesthesia and Analgesia. 2000;90(5):1102-6.
5. Osborne D, Keene G. Pain relief after arthroscopic surgery of the knee: a prospective, randomized, and blinded assessment of bupivacaine and bupivacaine with adrenaline. Arthroscopy. 1993;9(2):177-80.
6. Andres JD, Bellver J, Barrera L, Febre E, Bolinches R. A comparative study of analgesia after knee surgery with intraarticular bupivacaine, intraarticular morphine, and lumbar plexus block. PubMed. 1993;77(4):727-30.
7. Convery PN, Milligan KR, Quin P, Sjovall J, Gustafsson U. Efficacy and uptake of Ropivacaine, and Bupivacaine after single Intraarticular injection in the knee joint. Br J Anaesthesia. 2001;87:570-6.
8. Reuben S, Sklar J. Pain management in patients who undergo outpatient arthroscopic surgery of the knee. JBJS Am. 2000;82-A(12):1754-66.
9. Chu CR, Izzo NJ, Papas NE, Fu FH. In Vitro Exposure to 0,5% Bupivacaine Is Cytotoxic To Bovine Articular Chondrocytes. Arthroscopy. 2006;22:693-9.
10. Chu CR, Coyle CH, Chu CT, Szczodry M, Seshadri V, Karpie JC. In Vivo Effects of Single Intra-Articular Injection of 0.5% Bupivacaine on Articular Cartilage. JBJS. 2010;92:599-608.
11. Chu CR. The Invitro Effects of Bupivacaine on articular chondrocytes. JBJS. 2008;90:639-9.
12. Gomoll AH, Kang RW, Williams JM, Bach BR, Cole BJ. Chondrolysis after continuous intra-articular bupivacaine infusion: an experimental model
56
57
investigating chondrotoxicity in the rabbit shoulder. Arthroscopy. 2006;22(19):813-19.
13. Townshend D, Emmerson K, Jones S, Partington P, Muller S. Intra-articular injection versus portal infiltration of 0.5% bupivacaine following arthroscopy of the knee. JBJS. 2009;91(B):601-3.
14. Dragoo. JL. The Effect of Local Anesthetics Administered Via Pain Pump on Chondrocyte Viability. Am J Sports Medicine. 2008;36(8):1484-8.
15. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apleys system of orthopaedics and fractures. . 8 ed. New York: Oxford University Press Inc; 2001.
16. Anderson SL, Buchko J. Chondrolysis of the Glenohumeral Joint After Infusion of Bupivacaine Through an Intra-articular Pain Pump Catheter: A Report of 18 Cases. The Journal Of Arthroscopy and Related Surgery. 2009;26(4):451-61.
17. Wiater B, Neradilelk. Risk Factors for Chondrolysis of the Glenohumeral Joint: A Study of Three Hundred and Seventy-five Shoulder Arthroscopic Procedures in the Practice of an Individual Community Surgeon. JBJS. 2011;93:615-25.
18. Gomoll AH, Yanke AB, Kang RW, Chubinskaya S, Williams JM, Bach BR. Long-Term Effects of Bupivacaine on Cartilage in a Rabbit Shoulder Model. AJSM. 2008;10(10):1-6.
19. Kyle R, Verma N, Cole J, Bach BR. Articular Cartilage: Structure, Biology, and Function. In: Williams RJ, editor. Cartilage Repair Strategies. New Jersey: Humana Press; 2007. p. 1-12.
20. Driscoll SW, Saris DBF. Articular Cartilage Repair. In: Einhorn TA, O'Keefe RJ, Buckwalter JA, editors. Orthopaedic Basic Science. 3 ed. Rosemont, IL: AAOS; 2007. p. 349-64.
21. Aigner T, Stove J. Collagens—major component of the physiological cartilage matrix, major target of cartilage degeneration, major tool in cartilage repair. Adv Drug Deliv Rev. 2003;55:1569–93.
22. Dogan N, Erdem A, Erman Z, Kizilkaya M. The Effects of Bupivacaine and Neostigmine on Articular Cartilage and Synovium in the Rabbit Knee Joint. International Medical Research. 2004;5(32):513-9.
23. Erggelet C, Mandelbaum BR. Articular Cartilage Biology. In: Erggelet C, Mandelbaum BR, Mrosek EH, Scopp JM, editors. Principles of Cartilage Repair. Berlin: Steinkopff Verlag; 2008. p. 3-5.
58
24. Shao ea. optimal method for tissue decalcification prior to laser capture microdissection RT-PCR that preserves the integrity of the mRNA population. labinvest. 2006;86(10):1089.
25. Mow VC, Ratcliffe A, editors. Structure and Function of Articular Cartilage and Meniscus 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997.
26. Muir H. The Chondrocyte, architect of cartilage. Biomechanic, Structure, Function and Molekular Biology of Cartilage Matrixs Macromolekul. Bioessays. 1995;17:1039-48.
27. Buckwalter JA, Einhorn TA, Simon SR. Orthopaedic Basic Science. Chicago: American Academy of Orthopaedic Surgeons; 2000.
28. Guilak F, Mow VC. The Mechanical Environment of The Chondrocyte: a biphasic finite element model of cell-matrix interaction in articular cartilage. J Biomech. 2000;33:1663-73.
29. Torzilli P, Grigiene R, Borelli J, Helfet D. Effect of Impact load on articular cartilage: cell metabolism and viability, and matrix water content. J Biomech Eng. 1999;121:433-41.
30. Pritzker K, Gay S, Jimenez S, Ostergaard K, Pelletier J, Revell P, et al. Osteoarthritis cartilage histopatology: grading and staging. . PubMed. 2006;14(1):13--29.
31. Ostergaard K, Andersen CB, Petersen J, Bendtzen K, Salter D. Validity of histopathological grading of articular cartilage from osteoarthritic knee joints. Ann Rheum Dis. 1999;58:208-13.
32. Mankin H, Dorfman H, Lipiello L, Zarins A. Biochemical and Metabolic abnormalities in articular cartilage from osteoarthritic human hips. II. Correlation of morphology with biochemical and metabolic data. JBJS Am. 1971;53A:523-37.
33. Bronner F, Carrson M. The patoghenesis of osteoarthritis. In: Helmtrud I, Tilley S, editors. Bone and Osteoarthritis. Newark USA: Springer; 2007. p. 1-18.
34. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4 ed. New York: MC.Graw Hill Lange Medical Books; 2006. p. 324-41.
35. Scurr C, Fieldman S, Soni N. The Basisof Intensive Care. Scientific Foundation of Anaesthesia: . Oxford: Butterworth Heinemann; 1990. p. 636-9.
36. Stoelting RK, Simon CH. Pharmacology and Physiology. Anesthetic Pratice. Philladelphia: Lipincott Wiliam and Wilkins; 2006. p. 79-203.
59
37. Morrow B, Milligan K, Murthy B. Analgesia following day-case knee arthroscopy–the effect of piroxicam with or without bupivacaine infiltration. Anaesthesia. 1995;50(5):461-3.
38. Lu Y, Dhanaraj S, J ZW, 2006;24(6):1261-1270 OR. Minced cartilage without cell culture serves as an effective intraoperative cell source for cartilage repair. J Orthop Res. 2006;24(6):1261-70.
39. Sanders TG, Zlatkin MB, Paruchuri BN, Higgins RW. Chondrolysis of the glenohumeral joint after arthroscopy: findings on radiography and low-field-strength MRI. AJR Am J Roentgenol. 2007;188:1094-8.
40. Goldring MB. Update on the biology of the chondrocyte and new approaches to treating cartilage diseases. SciVerse Science Direct. 2006;20(5):1003-25.
41. Douglas D. Continuous Local Anesthetics May Damage Cartilage. Am J Sports Med. 2011;4:8.
42. Scott DB, Lee A, Fagan D. Acute Toxicity of Ropivacaine Compared With That of Bupivacaine. Anesth Analg. 1989;69:563-9.
43. wongworawat DM, Hasan M, Green LM. Evaluation of Bupivacaine and Triamcinolone acetonide Toxicity On Human Articular Chondrocyte. ABJS. 2010;19:40.
44. Samantha L, Piper BA, Hubert T, Kim. Comparison of Ropivacaine and bupivacaine toxicity in human articular chondrocyes. JBJS. 2008;90(5):986-91.
45. Piper SL, Kim HT. Comparison of ropivacaine and bupivacaine toxicity in human articular chondrocytes. JBJS. 2008;90:986-91.
46. O'Driscoll SW, Kumar A, Salter RB. The effect of the volume of effusion, joint position and continuous passive motion on intraarticular pressure in the rabbit knee. The Journal of Rheumatology. 1983;10(3):360-3.
47. Eggli PS, Hunziker EB, Schenk RK. Quantitation of structural features characterizing weight- and less-weight-bearing regions in articular cartilage: a stereological analysis of medial femoral condyles in young adult rabbits. Anat Rec. 1988;222(3):217-27.
48. Archer CW, Redman S, Khan I, Bishop J, .. KR. Enhancing Tissue Integration In Cartilage Repair Procedures. J Anat. 2006;209(4):481-93;
60
49. Pedoman Penulisan Tesis/Disertasi dan Penulisan Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran 2010-2011. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
61
Lampiran 1
Tabel perhitungan skor Mankin
Kelompok No Sampel
Minggu 1No
Sampel
Minggu 2No
Sampel
Minggu 3
Struktur Sel
Safranin O
Tidemark
Struktur Sel Safrani
n O Tidemark Struktur Sel
Safranin O Tidemark
Kelompok Eksperime
n
1 0 0 3 0 1 0 1 2 0 1 4 1 2 0
2 0 0 4 0 2 4 1 1 0 2 1 2 0 0
3 2 1 0 0 3 3 1 1 0 3 1 1 1 1
Kelompok Kontrol
1 4 0 0 0 1 5 1 1 0 1 3 1 1 0
2 1 1 1 0 2 5 1 1 0 2 2 3 2 0
3 4 0 0 0 3 2 0 0 0 3 2 1 4 0
Lampiran 2
62
Hasil Analisis Statistik
A. UJI NORMALITAS DATA
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
3 3 33,6667 6,0000 6,3333,57735 1,73205 1,15470
,385 ,385 ,385,282 ,282 ,282
-,385 -,385 -,385,667 ,667 ,667,766 ,766 ,766
NMeanStd. Deviation
Normal Parameters a,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
Eks_M1 Eks_M2 Eks_M3
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
3 3 33,3333 4,6667 4,6667,57735 1,52753 2,08167
,385 ,253 ,292,385 ,196 ,292
-,282 -,253 -,212,667 ,438 ,506,766 ,991 ,960
NMeanStd. Deviation
Normal Parameters a,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
Kontrol_M1 Kontrol_M2 Kontrol_M3
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
B. TWO SAMPLES INDEPENDEN T TEST
63
T-Test
Group Statistics
3 3,6667 ,57735 ,333333 3,3333 ,57735 ,333333 6,0000 1,73205 1,000003 4,6667 1,52753 ,881923 6,3333 1,15470 ,666673 4,6667 2,08167 1,20185
KelompokEksperimenKontrolEksperimenKontrolEksperimenKontrol
M1
M2
M3
N Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Independent Samples Test
,000 1,000 ,707 4 ,519 ,33333
,707 4,000 ,519 ,33333
,182 ,692 1,000 4 ,374 1,33333
1,000 3,938 ,375 1,33333
1,565 ,279 1,213 4 ,292 1,66667
1,213 3,124 ,309 1,66667
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumedEqual variancesassumedEqual variancesnot assumed
M1
M2
M3
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
Difference
t-test for Equality of Means
C. FISHER’S EXACT TEST
64
Minggu_1 * Kelompok
Crosstab
3 3 650,0% 50,0% 100,0%
3 3 650,0% 50,0% 100,0%
Count% within Minggu_1Count% within Minggu_1
RinganMinggu_1
Total
Eksperimen KontrolKelompok
Total
Chi-Square Tests
.a
6Pearson Chi-SquareN of Valid Cases
Value
No statistics are computedbecause Minggu_1 is a constant.
a.
Minggu_2 * Kelompok
Crosstab
1 2 333,3% 66,7% 100,0%
2 1 366,7% 33,3% 100,0%
3 3 650,0% 50,0% 100,0%
Count% within Minggu_2Count% within Minggu_2Count% within Minggu_2
Ringan
Sedang
Minggu_2
Total
Eksperimen KontrolKelompok
Total
Chi-Square Tests
,667b 1 ,414,000 1 1,000,680 1 ,410
1,000 ,500
,556 1 ,456
6
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is1,50.
b.
65
Minggu_3 * Kelompok
Crosstab
1 2 333,3% 66,7% 100,0%
2 1 366,7% 33,3% 100,0%
3 3 650,0% 50,0% 100,0%
Count% within Minggu_3Count% within Minggu_3Count% within Minggu_3
Ringan
Sedang
Minggu_3
Total
Eksperimen KontrolKelompok
Total
Chi-Square Tests
,667b 1 ,414,000 1 1,000,680 1 ,410
1,000 ,500
,556 1 ,456
6
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is1,50.
b.
66
Lampiran 3
Gambar alat-alat yang dibutuhkan saat penyuntikan kelinci
Gambar memperlihatkan proses pengambilan bupivakain 0,25% dari sediaan vial
67
Gambar pengguntingan bulu kelinci untuk membersihkan daerah injeksi
Gambar memperlihatkan proses penyuntikan bupivakain sebanyak 0,2 ml pada sendi lutut kelinci
68
Gambar proses pengambilan sampel dari condyle femur kelinci pada minggu pertama, kedua dan ketiga
Gambar hasil sampel dari minggu pertama, kedua dan ketiga pada hewan coba yang dilakukan eksperimen dan kontrol
69
Lampiran 4.
Gambar memperlihatkan uji histopatologi dari preparat dengan bimbingan dr. Anglita Y, SpPA
Gambar histopatologi preparat no 3 pembesaran 100x pada kelompok perlakuan tampak iregularitas dari permukaan. Menunjukkan nilai struktur pada penilaian skor Mankin 2.
70
Gambar histopatologi preparat no 3 pembesaran 400x pada kelompok perlakuan memperlihatkan pannus dan iregularitas dari permukaan
Gambar histopatologi preparat no 6 pembesaran 400x. kelompok perlakuan memperlihatkan struktur rawan sendi terdapat belahan kearah zona radial.
71
Gambar histopatologi preparat no 11 kelompok perlakuan pembesaran 100x memperlihatkan struktur rawan sendi dengan adanya belahan ke arah zona kalsifikasi
ambar histopatologi preparat no 4 pembesaran 100x menggunakan pewarnaan safranin memperlihatkan hasil pewarnaan safranin O dengan nilai skor Mankin reduksi ringan
72
Gambar histopatologi preparat no 8 pembesaran 400x kelompok perlakuan memperlihatkan hasil pewarnaan safranin O dengan nilai berdasarkan skor Mankin reduksi berat.
Gambar histopatologi preparat no 15 pembesaran 400x kelompok perlakuan memperlihatkan hasil pewarnaan safranin O dengan nilai berdasarkan skor Mankin tidak tampak pewarnaan
73
74
75
76
RIWAYAT HIDUP
Nama : Widiyatmiko Arifin Putro
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Bogor/ 18 Maret 1981
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status : Menikah
Institusi : Departemen Orthopaedi dan Traumatologi
RS Hasan Sadikin/FK UniversitasPadjadjaran
Korespondensi :
Alamat : Komplek fajar Raya Blok B2/No 3 Cimahi Utara
Telepon : +628122090025
Email : [email protected]
Pendidikan :
1. TK : TK Mexindo Bogor, 1986-1987
2. SD : SD Negeri Kebon Pedes I Bogor, 1987-1993
3. SMP : SMP Negeri I Bogor, 1993-1996
4. SMA : SMA Negeri I Bogor, 1996-1999
5. Sarjana 1 : Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha
Bandung, 1999-2006
6. PPDS-I : Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi
FK Universitas Padjadjaran Bandung,
2008 - sekarang
76
77
Kegiatan Ilmiah dan Kursus :
1. Peserta Seminar Akupuntur, Peranan Akupuntur Pada Proses Penuaan
dan Cerebral Palsy, 3 Desember 2005, Bandung.
2. Peserta Pelatihan Osteoporosis, 25-26 November 2006, Bandung.
3. Peserta Pelatihan Advanced Cardiac Life Support, 26-28 Januari 2007,
Jakarta.
4. Peserta Pelatihan Advanced Trauma Life Support, 4-6 Mei 2007,
Semarang.
5. Peserta Simposium Penyegar Ilmu Bedah, 1-2 Juni 2007, Bandung.
6. Peserta The 2nd Weekend Scientific Meeting, Enhancement
Profesionalisme In Integrated Medical Services, 30 Juni 2007, Cirebon
7. Peserta Seminar Sehari Penatalaksanaan Diabetes Mellitus, 28 Juli 2007,
Cirebon.
8. Peserta Simposium How To Manage Difficult Cases In Daily Clinical
Practice, 1 September 2007, Cirebon
9. Peserta Pekan Ilmiah Tahunan Tahun Emas Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, 9-10 November 2007, Bandung.
10. Peserta Basic Surgical Skill Course, Januari 2008, Bandung.
11. Peserta AO Spine Seminar, 9 maret 2008, Jakarta
12. Peserta Update on Orthopaedic Treatment, 28 Juni 2008, Lembang,
Bandung
13. Peserta Tata Laksana Penanganan Varises Tungkai, 13 Juni 2009,
Bandung.
78
14. Peserta Shoulder Sport Injury, 3 – 4 Juli 2010, Bandung
15. Update Skill and Spine Knowledge in 3rd National Congress of
Indonesia Pedicle Club, May 2011, Bandung
16. Peserta Hand International Symposium, Februari 2011, Bandung
17. Peserta AO Trauma Course – Principle in Operative Fracture
Management, 9-11 Juni 2011, Jakarta
18. Panitia dan peserta Continuing Orthopaedic Education 59th, Juni 2012,
Bandung
19. Panitia dan Peserta Asia Pacific Orthopaedic Association – Spine
Operative course, Juli 2012, Bandung
20. Peserta AO Spine Course, Oktober 2012, Surabaya
Pengalaman Penelitian :
1. Presentasi Free paper pada acara Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) tahun
2009 di Surbaya dengan judul Penderita Patah Tulang Tibia Plateau
berdasarkan klasifikasi Schatzker yang dirawat di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung Periode Januari 2004-Desember 2008.
2. Presentasi Free Paper pada acara Kongres Nasional PABOI tahun 2010 di
Jakarta dengan judul Korelasi Antara Penggunaan Boot Slab Untuk
Pengelolaan Fraktur Tertutup Shaft Metatarsal Satu Dengan Komplikasi
Nyeri Menetap, Malunion dan Non union Pada pasien Di RSHS Dari Januari
2009-Agustus 2010.
79
3. Presentasi Free paper acara Business Meeting of Indonesian Orthopaedic
Association (IOA) and 60th Continuous Orthopaedic Education (COE) tahun
2011 di Manado, Sulawesi Utara dengan judul Hubungan Antara Lama
Perawatan dan Pola Resistensi Kuman pada pasien Osteomyelitis di Bagian
Orthopaedi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
4. Presentasi Free paper pada acara Kongres Nasional PABOI di Jakarta
November 2012 dengan judul Perbandingan Efektivitas Injeksi Asam
Hialuronat Intraartikular dan Pemberian Glukosamin peroral Terhadap Nyeri
Pada Pasien Osteoartritis Sendi Lutut Di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung.
80