47
PENGARUH DOSIS AROMATASE INHIBITOR MELALUI BIOENKAPSULASI ARTEMIA Artemia sp. TERHADAP KEBERHASILAN MASKULINISASI IKAN NILA MERAH Oreochromis sp. RATNA DEWI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

PENGARUH DOSIS AROMATASE INHIBITOR MELALUI … · RINGKASAN RATNA DEWI. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor melalui Bioenkapsulasi Artemia Artemia sp. terhadap Keberhasilan Maskulinisasi

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH DOSIS AROMATASE INHIBITOR MELALUI

BIOENKAPSULASI ARTEMIA Artemia sp. TERHADAP

KEBERHASILAN MASKULINISASI IKAN NILA MERAH

Oreochromis sp.

RATNA DEWI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENGARUH DOSIS AROMATASE INHIBITOR MELALUI

BIOENKAPSULASI ARTEMIA Artemia sp. TERHADAP

KEBERHASILAN MASKULINISASI IKAN NILA MERAH Oreochromis

sp.

adalah benar merupakan karya sendiri dan belum digunakan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

RATNA DEWI

C14053681

RINGKASAN

RATNA DEWI. Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor melalui Bioenkapsulasi

Artemia Artemia sp. terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah

Oreochromis sp. Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan AGUS

OMAN SUDRAJAT

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis pemberian aromatase

inhibitor melalui bioenkapsulasi dalam artemia Artemia sp. secara perendaman

terhadap keberhasilan maskulinisasi pada ikan nila merah Oreochromis sp.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2009

bertempat di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. Perlakuan aromatase

inhibitor diberikan melalui artemia secara perendaman dengan dosis 1500 mg/l,

1600 mg/l, 1700 mg/l serta kontrol negatif (tanpa perlakuan), dan kontrol positif

(17-α metil testosteron dosis 50 mg/l). Perlakuan aromatase inhibitor masing-

masing dilakukan ulangan sebanyak 3 kali, dan untuk kontrol negatif dan positif

dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Larva sebanyak 60 ekor dimasukkan ke dalam

akuarium berukuran 60x50x40 cm. Perlakuan diberikan pada larva umur 9 hari

selama 5 hari dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, selanjutnya dipelihara di

akuarium sampai hari pemeliharaan ke-14. Selanjutnya larva dibesarkan di dalam

kolam pemeliharaan dalam hapa selama 42 hari, dengan pemberian pakan pelet

komersial dengan frekuensi tiga kali sehari. Parameter uji yang diamati dalam

penelitian ini yaitu persentase rasio kelamin, tingkat kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan pengamatan kualitas air. Desain statistik yang digunakan untuk

menganalisis data yang diperoleh adalah rancangan acak lengkap menggunakan

microsoft excel 2007 dan SPSS versi 16.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan AI 1700 mg/l menghasilkan

rerata persentase jantan tertinggi yaitu sebesar 94,38±1,14%, diikuti perlakuan AI

1600 mg/l yaitu sebesar 85,88±1,08%, kemudian perlakuan AI 1500 mg/l yaitu

sebesar 75,13±2,95%. Perlakuan aromatase inhibitor tersebut berbeda nyata

dengan kontrol yang memiliki persentase jantan sebesar 59,90±3,14%. Persentase

jantan pada perlakuan MT 50 mg/l yaitu sebesar 95,86 ± 1,92%. Nilai tersebut

hampir sama dengan nilai persentase jantan tertinggi yang menggunakan dosis

aromatase inhibitor 1700 mg/l. Aromatase inhibitor tidak meracuni ikan terbukti

dari kelangsungan hidup larva pada masa perlakuan dan masa pemeliharaan. Pada

masa perlakuan, rerata kelangsungan hidup pada perlakuan AI 1500 mg/l yaitu

92,78±4,19%, AI 1600 mg/l yaitu 92,78±7,52%, AI 1700 mg/l yaitu 90,00

±3.33%, kontrol yaitu 90.00±4.71%, dan MT 50 mg/l yaitu 90.00±11.79%. Pada

masa pasca perlakuan, rerata kelangsungan hidup pada perlakuan AI 1500 mg/l

yaitu 77,40±6,87%, AI 1600 mg/l yaitu 76,26±5,57%, AI 1700 mg/l yaitu

77,28±4,88%, kontrol yaitu 77,27±15,83%, dan MT 50 mg/l yaitu 71,81±6,31%.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian aromatase inhibitor

melalui bioenkapsulasi dalam artemia Artemia sp. secara perendaman memiliki

keberhasilan terhadap maskulinisasi ikan nila merah Oreochromis sp. dengan

dosis terbaik yaitu perlakuan aromatase inhibitor dengan dosis 1700 mg/l.

PENGARUH DOSIS AROMATASE INHIBITOR MELALUI

BIOENKAPSULASI ARTEMIA Artemia sp. TERHADAP

KEBERHASILAN MASKULINISASI IKAN NILA MERAH

Oreochromis sp.

RATNA DEWI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

Judul : Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor melalui

Bioenkapsulasi Artemia Artemia sp. terhadap

Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah

Oreochromis sp.

Nama Mahasiswa : Ratna Dewi

Nomor Pokok : C14053681

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen : Budidaya Perairan

Disetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Dinar Tri Soelistyowati Dr. Agus Oman Sudrajat

NIP. 196110161984032001 NIP. 196408131991031001

Diketahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc.

NIP. 196104101986011002

Tanggal Lulus : 5 Januari 2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Pengaruh Dosis Aromatase Inhibitor melalui Bioenkapsulasi Artemia Artemia

sp. terhadap Keberhasilan Maskulinisasi Ikan Nila Merah Oreochromis sp.”

dengan baik. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang

terhormat:

1. Ayahanda H. Muchtar, Ibunda Hj. Sumiyati, kakakku Eman Sumanto,

adikku Dita Rizki Yani dan keluarga besar lainnya serta Adi Witjaksono

atas kasih sayang, doa, dukungan semangat baik moril dan materi.

2. Ibu Dr. Dinar Tri Soelistyowati dan Bapak Dr. Agus Oman Sudrajat selaku

pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan

masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepala Balai Budidaya Air Tawar Jambi Bapak Ir. Supriyadi M.Si serta

staf dan karyawan (Kak niar, Mas Bobh, Aa Oyeng, Mba Endar, Mba Tuti,

Mas Dedh, Mas Arif, Mas Boyun, Mas Firman, Mas Catur, Mas Anto, Pak

Le, Mas Budi, Mas Nasir, Kak Rina, Bang Sholeh, Pak Mashudi, Pak

Halim, Pak Yoyok dan yang lainnya) yang telah memberikan kesempatan

dan fasilitas penelitian kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di

tempat ini, bantuan, kerjasama, persahabatan, serta nasehat-nasehat yang

berarti bagi penulis.

4. Bapak Ir.Ediwarman, M.Si dan Bapak Syofan, S.ST.Pi selaku pembimbing

lapang yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. M. Zairin Junior selaku pembimbing akademik yang telah

banyak memberikan bimbingan akademik selama perkuliahan.

6. Bapak Ir. Dadang Shafrudin, M.Si. selaku dosen penguji tamu yang telah

memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Departemen Budidaya Perairan yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan mengenai akuakultur hingga saat ini.

8. Tata Usaha BDP yang telah banyak membantu selama kuliah di BDP.

9. Inggrika, Arga, Tyas, Dina, Friesca, Eka, Maryam, Dedi Pohang, Galih

Fiel, Angga Yus, Bunda Widy, Phika, Mba Nita, Harry Kumir, Fuad,

Aneto, Pade Jenglotz, Wanyut, Kak Demin dan sahabat-sahabat BDP

lainnya atas dukungan dan persahabatannya, keep solid 42.

10. Seluruh teman-teman BDP, baik kakak kelas ataupun adik kelas, atas

segala bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan persahabatannya.

Nabila’erz tersayang (Mirzah, Deun, Mba Dyah, Mba Fifie, Mba Devi,

Yuli, Tidar, Ovie), terima kasih atas persahabatan, keceriaan dan bantuan

kalian selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat

kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

banyak pihak.

Bogor, Januari 2010

Penulis

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 19 Oktober 1987, adalah anak kedua dari

tiga bersaudara dari ayah bernama H.Muchtar dan ibu Hj. Sumiyati. Pendidikan

formal yang ditempuh penulis yaitu SDN Klender 15 Pagi lulus tahun 1999,

SLTPN 51 Jakarta lulus tahun 2002, SMUN 12 Jakarta, lulus tahun 2005. Penulis

melanjutkan pendidikan tinggi ke Institut Pertanian Bogor tahun 2005 melalui

Jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Setelah satu tahun melalui

program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis masuk pada Program Studi

Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya di Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan.

Selama kuliah di IPB, penulis pernah aktif dalam organisasi sebagai Divisi

Public Care Centre HIMAKUA (Himpunan Mahasiswa Akuakultur) 2006/2007

dan Divisi Olahraga dan Seni HIMAKUA 2007/2008. Penulis melaksanakan

Praktek Lapangan Akuakultur di Central Pertiwi Bahari (CPB) Rembang, Jawa

Tengah pada bulan Juli - Agustus 2008. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian di Balai Budidaya

Air Tawar Jambi, dan menulis skripsi yang bejudul ” Pengaruh Dosis Aromatase

Inhibitor melalui Bioenkapsulasi Artemia Artemia sp. terhadap Keberhasilan

Maskulinisasi Ikan Nila Merah Oreochromis sp.”.

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR TABEL..…………………………………………………………... x

DAFTAR GAMBAR.………………………………………………………...

DAFTAR LAMPIRAN…….………………………………………………...

I. PENDAHULUAN……………………………………………….…….......

xi

xii

1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 1

1.2 Tujuan………………………………………………………………….. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 4

2.1 Ikan Nila Oreochromis sp.………………………………………....... 4

2.2 Diferensiasi Kelamin………………………………………………….. 5

2.3 Sex Reversal Buatan…………………………………………………... 6

2.4 Artemia Artemia sp.…………………………………………………. 7

2.5 17-α metil testosteron…………………………………………………. 7

2.6 Aromatase…………………………………………………………….. 8

2.7 Aromatase Inhibitor…………………………………………………... 8

III. BAHAN DAN METODE………………………………………………... 10

3.1 Waktu dan Tempat……………………………………………………. 10

3.2 Rancangan Perlakuan.………………………………………………… 10

3.3 Kegiatan Percobaan……………….…………………………………... 11

3.3.1 Pengadaan Larva………………………………………………... 11

3.3.2 Penetasan Artemia………………………………………………. 11

3.3.3 Bioenkapsulasi AI pada Artemia secara Perendaman…..………. 11

3.3.4 Tahap Perlakuan……………………………….………………...

3.3.5 Tahap Pasca Perlakuan…………………………………………..

11

12

3.4 Parameter Uji……….…………………………………………………. 12

3.4.1 Persentase Kelamin Jantan ……………………………………... 12

3.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup..…………...……………………... 12

3.4.3 Laju Pertumbuhan……………. ………………………………... 13

3.4.4 Parameter Kualitas Air...………………………………………... 13

3.5 Analisis Statistik….……………………………………………………

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………..

4.1 Hasil…………………………………………………………………...

4.1.1 Nisbah Kelamin Jantan..................................................................

4.1.2 Kelangsungan Hidup.....................................................................

4.1.3 Laju Pertumbuhan.........................................................................

4.1.4 Parameter Kualitas Air………………………..………………....

4.2 Pembahasan……………………………………………………………

V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………...

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….

5.2 Saran…………………………………………………………………...

13

14

14

14

14

15

16

16

20

20

20

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...

LAMPIRAN…………………………………………………………………..

21

25

DAFTAR TABEL Halaman

1.

2.

3.

4.

Kandungan nutrisi Artemia sp.………………………………………........

Karakteristik imidazole…………………………………………………....

Rata-rata laju pertumbuhan ikan nila merah Oreochromis sp...................

Kualitas air saat perlakuan dan pemeliharaan……………………………..

7

9

15

16

DAFTAR GAMBAR Halaman

1.

2.

Histogram rata-rata persentase kelamin jantan ikan nila merah

Oreochromis sp.………………………...................................................

a.Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis

sp. saat perlakuan……………...........……………………..………….......

14

15

b.Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis

sp. pasca perlakuan...…………………………….…………..…………...

15

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

1.

2.

Analisis data persentase kelamin jantan ikan nila merah Oreochromis

sp................................................………………………............................

Analisis data kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp pada

masa perlakuan.......................................…………………………….........

26

27

3. Analisis data kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp pada

masa pasca perlakuan.................…………………………………………..

28

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Analisis data spesific growth rate (laju pertumbuhan bobot harian) ikan

nila merah Oreochromis sp..........................................................................

Data bobot rata-rata ikan nila merah Oreochromis

sp..................................................................................................................

Data panjang rata-rata ikan nila merah Oreochromis

sp.................................................................................................................

Persentase pakan yang digunakan pada pemeliharaan berdasarkan ukuran

ikan...............................................................................................................

Skema dalam penyediaan pakan artemia untuk maskulinisasi...................

Kandungan nutrisi pakan yang digunakan untuk pemeliharaan larva (a)

dan post larva (b).........................................................................................

29

30

31`

32

33

34

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila merah Oreochromis sp. merupakan salah satu komoditas

perikanan budidaya yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan

komoditas penting dalam bisnis akuakultur. Ikan ini memiliki karakteristik yang

mirip dengan ikan kakap merah yaitu memiliki warna tubuh yang menarik serta

memiliki daging yang putih bersih, kenyal, dan tebal. Beberapa hal yang

mendukung pentingnya komoditas nila adalah ikan nila memiliki ketahanan tubuh

yang relatif tinggi terhadap perubahan kualitas air dan serangan penyakit serta

modal yang dibutuhkan untuk budidayanya relatif rendah (Sucipto, 2007).

Pada pasar domestik permintaan ikan nila semakin meningkat seiring

dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat mengkonsumsi ikan sebagai

sumber protein hewani. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2005, tingkat

konsumsi ikan untuk masyarakat di Indonesia mengalami kenaikan sebesar

4,51%, yakni dari 23,95 kg/kapita/tahun menjadi 25,03 kg/kapita/tahun pada

tahun 2006 (Anonim, 2008). Dan untuk pasar ekspor, salah satu pasar yang paling

potensial adalah Amerika Serikat. Saat ini Indonesia baru mampu memasok rata-

rata 8.000 ton ikan nila per tahun. Sementara ikan nila yang diimpor oleh Amerika

Serikat dari berbagai negara pada tahun 2006 sebanyak 158.253 ton (Anonim,

2008).

Adanya permintaan akan ikan nila yang tinggi tersebut membutuhkan

suatu teknologi budidaya yang memadai. Pada ikan ini juga terdapat fenomena

sexual dimorphism dimana laju pertumbuhan ikan jantan lebih baik dibandingkan

betinanya sebesar dua kali lipat (Popma dan Masser, 1999). Menurut Varadaraj

dan Pandian (1990) ikan nila merupakan salah satu spesies ikan yang

perkembangbiakannnya sangat awal (maturasi dini). Ikan ini mulai dapat memijah

pada umur 4-5 bulan dengan bobot antara 100-150 gram (Anonim, 2007). Apabila

ikan sudah mulai memijah maka laju pertumbuhan akan terhambat, karena

energinya digunakan untuk kegiatan reproduksi. Hal ini utamanya terjadi pada

pemeliharaan ikan nila mixed-sex sehingga target pemeliharaan untuk mencapai

ukuran konsumsi yang diinginkan memerlukan waktu yang lebih lama (Varadaraj

dan Pandian, 1990).

Pemeliharaan benih monoseks yang berkelamin jantan akan lebih

menguntungkan dalam manajemen budidaya ikan nila karena selain ikan nila

jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada ikan nila betina,

pemijahan yang tidak terkontrol pun dapat dicegah. Untuk memproduksi ikan nila

monoseks jantan digunakan teknologi maskulinisasi. Proses maskulinisasi ini

dapat menggunakan hormon 17 -metiltestosteron, tetapi hormon ini telah

dilarang penggunaannya. Contreras-Sanchez dan Fitzpatrick (2001) menyatakan

bahwa residu anabolik 17 -metiltestosteron masih tertinggal pada sedimen kolam

setelah tiga bulan penggunaan pada maskulinisasi benih ikan nila. Residu ini

dikhawatirkan dapat menimbulkan ekspos yang tidak diharapkan pada pekerja,

ikan dan organisme lain. Selain itu, Departemen Kelautan dan Perikanan

mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No:

KEP/20/MEN/2003 yang menyatakan bahwa peredaran bahan tersebut telah

dilarang (Anonim, 2003).

Bahan lain yang dapat digunakan untuk maskulinisasi adalah Aromatase

Inhibitor. Aromatase inhibitor merupakan salah satu bahan alternatif pengganti

untuk proses maskulinisasi, dimana bahan ini berfungsi menghambat kerja enzim

aromatase pada proses sintesis androgen menjadi estrogen selama fase diferensiasi

kelamin. Dengan demikian diharapkan estrogen yang mengarahkan proses

pembentukan kelamin betina tidak bekerja sehingga ikan yang dihasilkan

berkelamin jantan. Pemberian aromatase ini dapat dilakukan melalui oral (pakan

alami dan pakan buatan) atau perendaman (Suhanti, 2003). Pemberian aromatase

inhibitor bisa dilakukan juga melalui pengkayaan artemia dengan cara

perendaman yang diberikan sebagai pakan alami. Pada ikan nila merah

(Oreochromis sp.) pemberian aromatase inhibitor melalui artemia dengan dosis

1500 mg/l diperoleh persentase jantan mencapai 70.46% (Tasdiq, 2005). Mengacu

kepada penelitian tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengoptimasi

keberhasilan maskulinisasi dengan meningkatkan dosis aromatase inhibitor

melalui perendaman artemia hingga dosis 1700 mg/l.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis aromatase inhibitor

terbaik melalui pengkayaan (bioenkapsulasi) artemia secara perendaman terhadap

keberhasilan pengarahan kelamin jantan pada ikan nila merah Oreochromis sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Nila Merah Oreochromis sp.

Klasifikasi ikan nila merah menurut Anonim (2009) ialah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Sub-filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Sub-kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis sp.

Bentuk badan nila merah (Oreochromis sp.) yaitu pipih dan ramping. Pada

badan dan sirip ekor ditemukan garis-garis vertikal, sedangkan pada sirip

punggung dan sirip dubur ditemukan garis-garis horizontal. Sisik yang melekat di

sekujur tubuh nila merah agak kasar jika diraba. Nila merah memiliki bola mata

hitam dengan warna kekuningan pada bagian tepinya.

Menurut Anonim (2009), perbedaan jenis kelamin induk ikan nila merah

dapat dilihat pada morfologinya. Induk jantan memiliki ukuran sisik lebih besar

daripada sisik nila betina. Sisik di bagian bawah dagu dan perut berwarna gelap.

Bentuk hidung dan rahang belakang dari ikan nila jantan melebar. Alat kelamin

induk jantan berupa tonjolan memanjang dan meruncing serta pada ujungnya

terdapat satu lubang pengeluaran air seni dan sperma. Apabila bagian perut diurut

akan mengeluarkan cairan berwarna bening. Ikan nila betina memiliki sisik

dibagian bawah dagu dan perut berwarna cerah, bentuk hidung dan rahang

belakang agak lancip. Alat kelaminnya berupa tonjolan di belakang anus dan

terdapat dua lubang. Lubang depan berfungsi untuk mengeluarkan telur,

sedangkan lubang belakang untuk mengeluarkan air seni. Apabila bagian perut

diurut tidak mengeluarkan cairan berwarna bening (Anonim, 2009). Penambahan

setetes pewarna seperti methylene blue atau pewarna makanan pada daerah genital

akan membantu menunjukkan papila dan bukaannya (Popma dan Masser, 1999).

Ikan nila merah termasuk dalam kelompok mouth breeders yaitu

mengerami telur di dalam mulutnya. Telur yang sudah dibuahi pada substrat

kemudian segera diambil oleh induk betina untuk diinkubasi di dalam mulutnya

sampai menetas (Popma dan Masser, 1999). Ikan nila bisa menghasilkan sekitar

400-1000 butir telur setiap pemijahan. Kondisi lingkungan yang optimum untuk

kehidupan ikan nila merah (Popma dan Masser, 1999) adalah kandungan O2 (2,0-

2,5 ppm) pH (6-9) suhu (25oC -28

oC).

Dalam populasi ikan nila, ikan jantan tumbuh lebih cepat dan memiliki

bentuk yang lebih besar dibandingkan ikan betina (Chapman, 2000). Jika kegiatan

reproduksi pada ikan nila betina dapat ditunda maka tingkat pertumbuhan rata-

ratanya akan sebanding dengan populasi monoseks jantan (Bolivar et al., 1993).

Selain jenis kelamin, faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ikan

nila adalah suhu, suplemen pakan, dan kepadatan.

2.2 Diferensiasi Kelamin

Proses diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan

menjadi suatu jaringan yang definitif. Fenotip atau perwujudan kelamin

bergantung pada dua proses, yaitu faktor genetik dan oleh faktor lingkungan.

Kedua proses tersebut secara bersamaan bertanggungjawab pada timbulnya

morfologi, fungsional, maupun tingkah laku pada individu jantan atau individu

betina. Secara genetik, jenis kelamin sudah ditentukan saat pembuahan, namun

pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam keadaan

indiferen, yaitu keadaan dimana bakat-bakat untuk menjadi jantan atau betina

dalam bentuk rudimeter dimana semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan

betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah

aspek-aspek jantan atau betina (Fujaya, 2002).

Fujaya (2002) meyatakan bahwa mekanisme diferensiasi kelamin mula-

mula berawal dari adanya sintesa hormon yang terjadi bila ada perubahan

lingkungan (tidak sesuai dengan kondisi normal atau adanya ketidakseimbangan

antara kondisi dalam dan luar tubuh). Perubahan lingkungan yang terjadi akan

diterima oleh indra, lalu disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu dikirim ke

hipotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisa untuk mengeluarkan

atau melepaskan hormon gonadatropin. Hormon gonadotropin ini masuk ke dalam

darah dan dibawa ke gonad sebagai suatu petunjuk untuk memulai pembentukan

gonad.

Proses determinasi seks pada vertebrata tingkat rendah beragam, labil, dan

mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Gonadal seks pada beberapa

jenis ikan dapat diubah dengan hormon seks bila perlakuan hormon tersebut

dilakukan pada awal tahap pertumbuhan (Redding dan Patino, 1993 dalam

Mazzida, 2002). Diferensiasi seks pada ikan nila terjadi mulai umur 7 hari pasca

larva (Brodie et al., 1999), dan masa diferensiasi berlangsung sampai umur 37

hari setelah menetas (Kwon et al., 2000). Awal mulai diferensiasi seks tersebut

ditandai dengan terdeteksinya produksi aromatase secara positif.

2.3 Sex Reversal Buatan

Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengarahkan kelamin secara

buatan dari ikan jantan secara genetik menjadi ikan betina secara fenotip atau

sebaliknya (Junior, 2002). Dilihat dari proses terjadinya, perubahan jenis kelamin

dapat terjadi secara alami dan buatan. Pada perubahan kelamin yang terjadi secara

alami sifat genetik bawaan dari kromosom tidak mengalami perubahan dan hanya

penampilannya yang berubah, misalnya pada ikan kerapu, kakap, sidat, dll

(Yatim, 1983). Sedangkan pada perubahan kelamin secara buatan (sex reversal),

individu diberikan bahan yang dapat merangsang proses perubahan kelamin

tersebut. Hal terpenting dari penerapan manipulasi seks adalah adanya perubahan

jenis kelamin yang permanen menggunakan cara buatan, dengan mengubah sifat

fenotipnya (tanpa adanya perubahan genetik). Dengan demikian jantan fungsional

akan tetap dipandang sebagai betina secara genetik begitu juga sebaliknya

(Yamazaki, 1983).

Menurut Hepher dan Pruginin (1981) terdapat dua hal yang berhubungan

dengan rekayasa kelamin pada tilapia yaitu seks ditentukan pada stadia akhir

perkembangan (3-4 minggu setelah penetasan) ketika panjang tubuh mencapai 18-

20 mm dan pada masa labil yang pendek setelah menetas dapat dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal.

2.4 Artemia Artemia sp.

Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam

pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan protein yang tinggi.

Hal ini dapat dilihat pada tabel kandungan nutrisi artemia di bawah ini (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan nutrisi Artemia sp. (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995)

Kandungan Nutrisi Nilai

Protein 52.50 %

Karbohidrat 14.80 %

Lemak 23.40 %

Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan artemia berupa

plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk ke mulut. Artemia

dalam mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif (nonselective filter

feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut akan menjadi makanannya.

Akibatnya kandungan gizi artemia sangat dipengaruhi kualitas pakan yang

tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang berukuran

sampai 50 µm (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Makanan disaring dengan

apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah ventral

hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama menggunakan

bagian dari pangkal kaki (Suwignyo et al., 1998).

Artemia bersifat euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt.

Artemia dapat juga bertahan dalam waktu yang singkat dalam air tawar

(Treece,2000).

2.5 17-α metil testosteron

Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk sex reversal ialah hormon

androgen sintetik 17 -metiltestosteron yang memiliki rumus kimia C20H30O2,

berbobot molekul 302,05 (Martin, 1979). Hormon 17-α metil testosteron ini

memaskulinisasi ikan dengan menambahkan level testosterone dalam tubuh ikan.

Hormon 17-metiltestosteron telah diketahui cukup stabil dan efektif diberikan

secara oral. (Yamazaki, 1983). Bahan ini diperkirakan efektif digunakan pada

lebih dari 25 spesies yang telah diuji (Devlin dan Nagahama, 2002).

Saat ini, penggunaan 17-α metil testosteron sudah dilarang. Hal ini

dikarenakan diduga sifat 17-α metil testosteron yang dapat menimbulkan

pencemaran karena sulit terdegradasi, dan karena 17-α metil testosteron dapat

menyebabkan kanker pada manusia. Contreras-Sanchez dan Fitzpatrick (2001)

menyatakan bahwa residu anabolik 17-α metil testosteron masih tertinggal pada

sedimen kolam setelah tiga bulan penggunaan pada maskulinisasi benih ikan nila.

Residu ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ekspos yang tidak diharapkan pada

pekerja, ikan dan organisme lain.

2.6 Aromatase

Aromatase adalah enzim cytochrom P-450 yang mengubah androgen

menjadi estrogen (Graddy et al., 2000). Aktivitas aromatase terdapat di otak yang

mempengaruhi atau berperan dalam pengendalian tingkah laku dan pada ovari

yang mempengaruhi maturasi folikel dan tingkat ovulasi (Silverine et al., 2000).

Menurut Sever et al., (1999) aktivitas aromatase berkorelasi dengan

struktur gonad dimana larva dengan aktivitas aromatase yang rendah akan

mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan larva dengan aktivitas aromatase

yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari. Aromatase memegang

peranan penting dalam produksi estrogen sehingga menimbulkan efek feminisasi.

2.7 Aromatase Inhibitor

Menurut Wozniac et al. (1992) terdapat dua jenis aromatase inhibitor

yaitu aromatase inhibitor steroid dan aromatase inhibitor non steroid. Contoh

dari aromatase inhibitor steroid adalah 1,4,6-androstatrien-3,17-done (ATD) dan

4-hydroxy-androstenedione (4-OHA), sedangkan aromatase inhibitor non steroid

diantaranya adalah imidazole. Aromatase inhibitor non steroid (imidazole) lebih

efektif dibanding aromatase inhibitor steroid (ATD dan 4-OHA).

Secara umum aromatase inhibitor menghambat proses transkripsi dari

gen-gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya

enzim aromatase tidak ada (Sever et al., 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap

androgen mengakibatkan terjadinya perubahan fenotip kelamin betina menyerupai

jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi (Haniffa et al., 2004). Karakteristik

imidazole dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Karakteristik Imidazole

Nama Bahan Kimia

Nama lain

Formula kimia

Sifat fisik

Bentuk

Titik didih/titik leleh

Kelarutan dalam air

Toxicologi

Imidazole

1,3-diaza-2,4-cyclopentadience

1,3-diazole

Glyoxalin

C3H4N2

Bubuk kristal berwarna putih kekuningan

256oC/89-91

oC

> 10%

Non karsinogenik

Sumber : http://physchem.ox.ac.uk/MSDS/IM/imidazole.html

Efektifitas aromatase inhibitor dalam maskulinisasi dipengaruhi dosis,

jenis aromatase inhibitor, lama perlakuan, suhu perlakuan, dan waktu perlakuan

(Brodie et al., 1991). Menurut Kwon et al., (2000) waktu yang paling sensitif

untuk perlakuan aromatase inhibitor pada ikan nila adalah pada minggu pertama

setelah menetas (7-14 hari) atau pada stadia awal perkembangan (early

development) (Brog, 1994) atau saat dimulainya diferensiasi kelamin dan

berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi (Foidart dan Balthazart, 1995).

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2009

bertempat di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

3.2 Rancangan Perlakuan

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian pakan

alami berupa artemia yang telah direndam dalam larutan aromatase inhibitor.

Aromatase inhibitor yang digunakan pada penelitian ini yaitu imidazole.Perlakuan

diberikan selama 5 hari berturut-turut pada hari ke-9 sampai hari ke-13 dengan

frekuensi 3 kali sehari. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kontrol negatif menggunakan artemia tanpa perlakuan dengan aromatase

inhibitor (AI 0 mg/l)

2. Perlakuan pertama menggunakan artemia yang direndam aromatase

inhibitor 1500 mg/l (AI 1500 mg/l)

3. Perlakuan kedua menggunakan artemia yang direndam aromatase

inhibitor 1600 mg/l (AI 1600 mg/l)

4. Perlakuan ketiga menggunakan artemia yang direndam aromatase

inhibitor 1700 mg/l (AI 1700 mg/l)

5. Kontrol positif menggunakan artemia yang direndam hormon sintetik 17-α

metil testosteron dengan dosis 50 mg/l (MT 50 mg/l)

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) terdiri dari tiga perlakuan aromatase inhibitor masing-masing diulang

sebanyak 3 kali, sedangkan untuk kontrol positif dan MT 50 mg/l masing-masing

diulang sebanyak 2 kali. Pada tiap perlakuan dan ulangan digunakan larva dengan

kepadatan 60 ekor per akuarium.

3.3 Kegiatan Percobaan

3.3.1 Pengadaan larva

Induk ikan nila dipijahkan secara massal dalam bak semen berukuran

8x5x1 m, dengan perbandingan antara induk jantan dan betina yaitu 1:3. Induk

diberi pakan berupa pelet dengan frekuensi tiga kali sehari dengan jumlah pakan

sebanyak 1% dari bobot tubuh. Setelah induk memijah, larva yang masih terdapat

kuning telur dimasukkan di dalam akuarium berukuran 60x50x40 cm dengan

aerasi.

3.3.2. Penetasan Artemia

Siste artemia dimasukkan ke dalam air garam dan aerasi dipasang kuat

agar siste tidak mengendap dan tetap tersuspensi. Artemia dibiarkan selama 18

jam untuk kemudian dipanen.

3.3.3 Bioenkapsulasi Aromatase Inhibitor pada Artemia secara Perendaman

Media perendaman artemia dibuat dengan melarutkan aromatase inhibitor

sesuai dengan dosis perlakuan dalam 0,5 ml air. Kemudian diencerkan dengan

menambahkan 1 liter air garam. Misalnya pada dosis aromatase inhibitor 1500

mg/l, aromatase inhibitor sebanyak 1500 mg (1,5 gram) dilarutkan dalam air 0,5

ml, kemudian ditambahkan air garam sebanyak 1 liter. Selanjutnya diaerasi dan

siap digunakan untuk bioenkapsulasi artemia.

Setelah dilakukan penetasan selama 18 jam, artemia disaring dan direndam

dalam formalin 150 ppm selama 30 detik. Selanjutnya artemia dimasukkan dalam

media perendaman aromatase inhibitor dan direndam selama 24 sampai dengan

32 jam (Lampiran 8).

3.3.4 Tahap Perlakuan

Perlakuan diberikan pada larva yang berumur 9 hari selama 5 hari. Larva

yang digunakan dalam perlakuan sebanyak 60 ekor per ulangan dan dimasukkan

ke dalam akuarium yang berukuran 60x50x40 cm. Setelah perlakuan, larva

dipelihara di akuarium sampai larva berumur 14 hari. Pergantian air akuarium

dilakukan setiap hari sebanyak 30-40% volume awal. Analisa kualitas air diuji

pada awal dan akhir perlakuan. Data yang dicatat adalah sintasan.

3.3.5 Tahap Pasca Perlakuan

Setelah larva dipelihara di akuarium selama 14 hari selanjutnya larva

dibesarkan di dalam kolam pemeliharaan berdasar tanah menggunakan hapa

selama 42 hari. Pada tahap pasca perlakuan ikan uji diberikan pakan komersial

berupa bubuk sampai ikan berumur 1 bulan. Setelah itu, ikan diberikan pakan

berupa crumble (Lampiran 9). Pemberian pakan tersebut dilakukan dengan

frekuensi tiga kali sehari. Analisa kualitas air diuji satu kali pada masa

pemeliharaan. Data yang dicatat adalah persentase ikan jantan, kelangsungan

hidup dan pertumbuhan.

3.4 Parameter Uji

3.4.1 Persentase Kelamin Jantan

Pengamatan ini dilakukan saat akhir pemeliharaan dengan mengamati cirri

kelamin sekunder ikan nila uji secara visual. Setelah masa pemeliharaan selama 2

bulan ikan dipanen dan dilihat jenis kelaminnya dengan menggunakan bantuan

methylen blue dengan cara mengolesnya di bagian urogenital sehingga

memperjelas bentuk kelamin ikan. Persentase ikan jantan dihitung dengan cara

membandingkan jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan yang diamati saat

sampling akhir (Junior, 2002):

IJ (%) = %100 Ij

xIs

Keterangan: IJ = Persentase ikan jantan (%)

Ij = Jumlah ikan jantan (ekor)

Is = Jumlah ikan yang diamati (ekor)

3.4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan cara membandingkan

total ikan yang hidup di akhir perlakuan dengan saat tebar, menurut rumus

Effendie (1979):

SR (%) = %100Nt

xNo

Keterangan: SR= Survival Rate (kelangsungan hidup) (%)

Nt = Jumlah ikan pada waktu akhir (ekor)

No= Jumlah ikan pada saat tebar (ekor)

3.4.3 Laju Pertumbuhan

Pertumbuhan ikan nila diamati saat sampling yang dilakukan setiap 14 hari

sekali sebanyak 3 kali. Pengamatan pertunbuhan ini terdiri dari pengamatan

peningkatan bobot harian. Berdasarkan data bobot ikan dilakukan penghitungan

laju pertumbuhan menggunakan rumus Busacker et al. (1990):

α = [(lnWt-lnWo)/t] x 100%

Keterangan: α = Laju pertumbuhan harian (%)

wt = Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram)

w0 = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram)

t = Lama pemeliharaan (hari)

3.4.4 Parameter Kualitas Air

Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada awal dan akhir

pemeliharaan larva di akuarium dan di kolam. Parameter yang diukur adalah suhu,

salinitas, Dissolved Oxygen, pH, amoniak dan nitrit.

3.5 Analisis Statistik

Model yang digunakan untuk menganalisis data statistik yang diperoleh

adalah rancangan acak lengkap menggunakan microsoft excel 2007 dan SPSS

versi 16. Jika hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka akan dilakukan uji duncan

sebagai uji lanjutan.

Uji statistik dilakukan dengan menggunakan rancangan sebagai berikut

(Steel dan Torrie, 1982):

Yij = μ + τi + εij

Keterangan : Yij = Data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Nilai tengah data

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Nisbah Kelamin Jantan

Perlakuan pemberian pakan alami berupa artemia yang telah direndam

dalam larutan aromatase inhibitor selama 24 jam dengan dosis 1500 mg/l, 1600

mg/l, dan 1700 mg/l berpengaruh nyata terhadap pengarahan kelamin jantan

(maskulinisasi) ikan nila merah (P<0,05). Rata-rata persentase jantan berkisar

antara 59,90±3,14% (kontrol) dan 95,86±1,92% (MT). Pada perlakuan aromatase

inhibitor (imidazole) tertinggi yaitu 1700 mg/l dengan persentase jantannya

sebesar 94,38±1,14% (Gambar 1, Lampiran 1).

Gambar 1. Histogram rata-rata persentase kelamin jantan ikan nila merah

Oreochromis sp.

Keterangan: AI 0 mg/l: aromatase inhibitor 0 mg/l; AI 1500 mg/l: aromatase

inhibitor 1500 mg/l; AI 1600 mg/l: aromatase inhibitor 1600 mg/l ; AI 1700 mg/l:

aromatase inhibitor 1700 mg/l; MT 50 mg/l: 17α-methyltestosteron 50 mg/l.

4.1.2 Kelangsungan Hidup

Berdasarkan analisis sidik ragam, rata-rata kelangsungan hidup antar

perlakuan tidak berbeda nyata (Gambar 2a). Kelangsungan hidup rata-rata ikan

nila pada masa perlakuan untuk perlakuan aromatase inhibitor berkisar antara

90% dan 92,8% dan perlakuan MT 50 mg/l yaitu 90% (Lampiran 2).

Berdasarkan analisis sidik ragam, pemberian aromatase inhibitor melalui

bioenkapsulasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0,05) dengan kontrol dan

MT terhadap kelangsungan hidup ikan nila saat pemeliharaan di kolam pasca

a b c d d

perlakuan (Gambar 2b). Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila merah pasca

perlakuan pada dosis 0 mg/l, 1500 mg/l, 1600 mg/l dan 1700 mg/l berkisar antara

76,26±5,57% dan 77,40±6,87%, sedangkan kelangsungan hidup ikan nila merah

pada perlakuan MT 50 mg/l yaitu 71,81±6,31% (Lampiran 3).

(a) (b)

Gambar 2. (a) Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan nila merah

Oreochromis sp. saat perlakuan (b) Histogram rata-rata kelangsungan hidup ikan

nila merah Oreochromis sp. pasca perlakuan

Keterangan: AI 0 mg/l: aromatase inhibitor 0 mg/l; AI 1500 mg/l: aromatase

inhibitor 1500 mg/l; AI 1600 mg/l: aromatase inhibitor 1600 mg/l ; AI 1700 mg/l:

aromatase inhibitor 1700 mg/l; MT 50 mg/l: 17α-methyltestosteron 50 mg/l.

4.1.3 Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan diukur berdasarkan peningkatan bobot harian (Tabel 3,

Lampiran 5,6). Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap laju pertumbuhan bobot

harian pada masa pemeliharaan berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan

aromatase inhibitor, kontrol, dan MT (Lampiran 4). Rata-rata laju pertumbuhan

harian ikan nila merah berkisar antara 11,01±0,07% dan 11,56±0,14%.

Tabel 3. Rata-rata laju pertumbuhan ikan nila merah Oreochromis sp.

Perlakuan Rata-rata Laju Pertumbuhan (%)

AI 0 mg/l 11,01 ± 0,07a

AI 1500 mg/l 11,20 ± 0,18ab

AI 1600 mg/l 11,56 ± 0,14b

AI 1700 mg/l 11,54 ± 0,24b

MT 50 mg/l 11,33 ± 0,01ab

4.1.4 Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air diuji saat awal perlakuan dan akhir perlakuan serta

saat pemeliharaan di kolam pasca perlakuan (Tabel 4). Parameter kualitas air

tersebut masih dalam kisaran optimal bagi pertumbuhan ikan nila. Nilai DO yang

terukur selama masa perlakuan dan pasca perlakuan berada pada kisaran 4-5, dan

nilai suhu berkisar antara 26-33oC. Nilai ammonia berkisar antara 0,02-1,04 mg/l.

Tabel 4. Kualitas air saat perlakuan dan pasca pemeliharaan ikan nila

Parameter Awal perlakuan Akhir perlakuan Pemeliharaan

Ammonia (mg/l) 0,02 1,04 0,52

Nitrit (mg/l) 2 3 5

pH 5,94 6,39 6,96

Salinitas (‰) 0 0 -

Suhu min-max (°C) 26-29 26-29 28-33

DO (mg/l) 4-5 4-5 4,8-5,1

4.2 Pembahasan

Perubahan jenis kelamin secara buatan pada ikan dimungkinkan karena

pada fase pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada

pembentukan steroid sehingga perkembangan gonad tersebut dapat diarahkan

dengan hormon steroid. Pengarahan kelamin jantan (maskulinisasi) dengan

menggunakan aromatase inhibitor telah banyak memberikan keberhasilan.

Pemberian aromatase inhibitor melalui perendaman embrio terhadap nisbah

kelamin ikan nila merah Oreochromis sp. dengan dosis perendaman 20 mg/l

selama 10 jam menghasilkan persentase jantan sebesar 82,22% (Nurlaela, 2002).

Dan pemberian aromatase inhibitor melalui pakan buatan dengan dosis 1500

mg/kg pakan buatan menghasilkan persentase jantan ikan nila merah sebesar

78,63% (Liana, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan AI 1700 mg/l merupakan

perlakuan yang memiliki persentase jantan tertinggi yaitu sebesar 94,38%,

sedangkan perlakuan AI 1600 mg/l memiliki persentase jantan sebesar 85,88%

dan untuk perlakuan AI 1500 mg/l memiliki persentase jantan sebesar 75,13%.

Perlakuan aromatase inhibitor tersebut berbeda nyata dengan kontrol yang

memiliki persentase jantan sebesar 59,90%. Persentase jantan pada perlakuan MT

50 mg/l yaitu sebesar 95,86%. Setelah dilakukan analisis statistik, antara

perlakuan AI 1700 mg/l dan MT 50 mg/l tidak berbeda nyata. Mengacu pada

penelitian sebelumnya (Tasdiq, 2005), pemberian aromatase inhibitor melalui

artemia pada hari ke-9 hingga hari ke-13 dengan dosis 1500 mg/l menghasilkan

persentase jantan tertinggi yaitu sebesar 70,46%. Menurut Nagy et al. (1981),

tingkat keberhasilan suatu bahan dalam mempengaruhi pengarahan jenis kelamin

dipengaruhi oleh umur organisme, waktu pemberian, lama waktu pemberian, dan

dosis pemberian serta faktor lingkungan.

Selain digunakan untuk ikan yang bertelur yaitu ikan nila, pemberian

aromatase inhibitor bisa diberikan juga untuk ikan yang bertelur dan melahirkan

(ovovivipar) diantaranya yaitu ikan gapi dan platy. Pemberian aromatase inhibitor

untuk ikan ovovivipar biasanya diberikan melalui perendaman induk betina

karena telur hasil dari pembuahan sampai menetas menjadi embrio, berada dalam

tubuh induk betina. Supriatin (2005) menyatakan bahwa pemberian aromatase

inhibitor melalui perendaman induk ikan platy Variatus Xiphophorus variatus

dengan dosis 150 mg/l menghasilkan persentase jantan sebesar 67,99%, dan

Mazzida (2002) menyatakan bahwa keberhasilan pemberian aromatase inhibitor

terhadap nisbah kelamin ikan gapi Poecilia reticulate Peters dengan dosis

perendaman induk 50 mg/l selama 10 jam menghasilkan persentase jantan sebesar

54,29%.

Menurut Kwon et al. (2000), periode waktu yang paling sensitif untuk

perlakuan aromatase inhibitor adalah 7-14 hari setelah menetas, tetapi masa

diferensiasi ikan nila masih terjadi hingga 30 hari setelah penetasan telur.

Pemberian artemia yang direndam larutan aromatase inhibitor pada ikan nila

merah saat umur 9-13 hari efektif terhadap maskulinisasi ikan nila merah

(Oreochromis sp.) karena masa pemberian perlakuan masih dalam periode sensitif

diferensiasi kelamin ikan nila merah tersebut.

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pakan alami dapat digunakan

sebagai media aromatase inhibitor dalam mengarahkan pembentukan kelamin,

terbukti dengan adanya peningkatan persentase jantan ikan nila merah setiap

kenaikan dosis. Aromatase inhibitor yang terlarut mampu diserap artemia yang

bersifat non selective filter feeder, dan menghambat aktivitas enzim aromatase

dalam tubuh ikan nila merah.

Keuntungan metode bioenkapsulasi ini dibandingkan dengan metode lain

(perendaman larva dan pakan buatan) adalah adanya penggunaan pakan alami

(artemia) yang mengandung gizi yang lengkap, mudah dicerna dan tidak

mencemari lingkungan. Selain itu, pakan alami yang bergerak tapi tidak begitu

aktif memungkinkan larva untuk memangsanya. Kelemahan metode ini yaitu

biaya yang lebih mahal dibandingkan pemberian aromatase inhibitor melalui

pakan buatan dan perendaman artemia.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, pemberian aromatase inhibitor melalui

bioenkapsulasi dalam artemia dengan dosis 1500 mg/l, 1600 mg/l dan 1700 mg/l

tidak mempengaruhi kelangsungan hidup larva ikan nila merah baik saat

perlakuan maupun pemeliharaan. Kelangsungan hidup larva perlakuan aromatase

inhibitor tidak berbeda nyata dengan kelangsungan hidup larva perlakuan kontrol

yang tidak menggunakan larutan perendaman aromatase inhibitor, begitupun

dengan perlakuan MT 50 mg/l. Aromatase inhibitor tidak meracuni ikan,

dipertegas oleh Tasdiq (2005), tidak ada korelasi antara mortalitas dengan

pemberian aromatase inhibitor. Adanya larva yang mengalami kematian pada

perlakuan dimungkinkan karena saat tersebut merupakan masa kritis larva pada

masa organogenesis morfologis mencapai benih yaitu sampai 21 hari.

Laju pertumbuhan dari ikan nila selama pemeliharaan secara umum

memiliki pola laju pertumbuhan yang hampir sama antar perlakuan yaitu dengan

kisaran 11,01-11,56%. Pemeliharaan pada tahap pembesaran dilakukan di kolam

berdasar tanah yang merupakan media pemeliharaan yang banyak tersedia pakan

alami. Pakan alami tersebut merupakan pakan tambahan bagi ikan yang dapat

membantu pertumbuhan. Suhu yang terjadi saat pemeliharaan di kolam cukup

tinggi yang dapat membantu fotosintesis bagi fitoplankton. Ketersediaan oksigen

akibat fotosintesis dan aerasi saat pemeliharaan cukup optimal sehingga

kebutuhan energi untuk kelangsungan hidup dan metabolisme pertumbuhan ikan

tercukupi dengan baik.

Berdasarkan data hasil kualitas air, diketahui bahwa parameter kualitas air

saat perlakuan dan pasca perlakuan masih dalam batas yang dapat ditoleransi ikan

sehingga kelangsungan hidupnya tinggi. Kisaran suhu pada masa perlakuan yaitu

sebesar 26-29oC masih dalam batas toleransi larva untuk hidup dan tumbuh.

Kandungan racun yang berbahaya dalam budidaya diantaranya adalah

nitrogen. Nitrogen yang dibuang ikan ke perairan, 60-90% dalam bentuk amoniak,

yang sangat toksik dan berbahaya bagi ikan bahkan dapat menyebabkan kematian

ikan. Kadar ammonia pada masa perlakuan dan pasca perlakuan berkisar antara

0,02 sampai dengan 1,04 mg/l. Kadar ammonia sebaiknya berkisar < 0,1 mg/l,

tetapi tingkat toleransi ikan terhadap amoniak (NH3) pada umumnya adalah 0,0-

2,0 mg/l (Boyd, 1990). Selama masa pemeliharaan kandungan ammonia tidak

menunjukkan pengaruh yang buruk terhadap kelangsungan hidup dan

pertumbuhan ikan nila.

Nilai oksigen terlarut (DO) pada saat pemeliharaan berada dalam kisaran

4-5 mg/l. Menurut Popma dan Masser (1999), kondisi lingkungan yang optimum

untuk kehidupan ikan nila merah yaitu kandungan oksigen sebesar 2,0-2,5 mg/l.

Nilai DO pada saat pemeliharaan merupakan nilai optimum bagi ikan nila untuk

hidup dengan baik.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pemberian aromatase inhibitor dengan metode bioenkapsulasi

menggunakan artemia secara perendaman pada ikan nila merah Oreochromis sp.

menghasilkan rata-rata persentase jantan tertinggi dengan dosis 1700 mg/l (94,38±

1,14%) versus control (59,90 ± 3,14%) dan kelangsungan hidup saat perlakuan

sebesar 90% dan laju pertumbuhan sebesar 11,54% sampai umur 56 hari.

5.2 Saran

Aromatase inhibitor, imidazole, dapat digunakan sebagai pengganti

hormon 17α-metil testosteron.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Surat Keputusan Menteri No: KEP. 20/MEN/2003. Larangan

Penggunaan 17α-methyl testosterone (MT). Departemen Kelautan dan

Perikanan.

Anonim. 2007. Budidaya Ikan Nila Merah secara Intensif.

http://msyaban.wordpress.com/2007/10/29/budi-daya-ikan-nila-merah

secara-intensif/ [15 November 2009].

Anonim. 2008. Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Nila; Aspek Pemasaran.

http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=42204&idrb=48401[10 Desember

2009]

Anonim. 2009. Oreochromis niloticus (scientific classification).

http://en.wikipedia.org/wiki/Oreochromis_niloticus [6 Januari 2009]

Bolivar R. B., A. E. Eknatha, H. L. Bolivar. 1993. Growth and reproduction of

individually tagged Nile tilapia (Oreochromis niloticus) of different

strains. Aquaculture 111: 159-169.

Boyd C. E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Birmingham

Publishing Co.

Brodie A., Qing Lu, B. Long. 1999. Aromatase and its inhibitors. Journal of

Steroid Biochemistry and Molecular Biology 69: 205-210.

Brog B. 1994. Androgen in Teleost Fish. Biochem Physiol 109C: 219-245.

Busacker G. P., I. R. Adelman, E. M. Goolish. 1990. Growth. Dalam: Schreck

CB, Moyle PB, editors. Methods for Fish Biology. USA: American

Fisheries Society. Hlm. 363-387.

Chapman F. A. 2000. Culture of hybrid tilapia. Institut of Food and Agricultural

Science Extension, University of Florida.

Contreras-Shanchez W. M., M. S. Fitzpatrick. 2001. Fate of methyltestosteron in

the pond environtment: impact of MT-contaminated soil on tilapia sex

differentiation. Effluents and Poluttion Research 2C (9ER2C). Department

of Fisheries and Wildlife. Oregon State University, USA.

Devlin R. H., Y. Nagahama. 2002. Sex determination and sex diferrentiation in

fish : an overview of genetic, physiological, and environmental influences.

Aquaculture 208: 191-364.

Effendie M. I. 1979. Biologi Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Foidart A., J. Balthazart. 1995. Sexual differentiation of brain and behaviour in

quail and zebra finches: studies with a new aromatase inhibitor. Journal

Steroid Biochemictry Molecular Biology Vol 53 No 1-6: 267-275.

Fujaya Y. 2002. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan.

Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen

pendidikan Nasional. 201 hal.

Graddy L. C., R. C. M. Simmen, F. A. Simmen, A. A. Kowalski, D. R. Schreiber,

D. A. Liberles, M. D. Caraco, S. A. Banner. 2000. Evolution and

functioanl genomics. The Geobiology of Mammalian Aromatase

Department of Chemistry,Animal Science and Diary and Poultry Science,

University Florida, Gainsville.

Haniffa M. A., S. Sridhar, M. Nagarajan. 2004. Hormonal manipulation of sex in

stinging catfish Heteropneustes fossilis (Bloch). Research Communication

Current Science Vol 86 No.7.

Hepher B., Y. Pruginin. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reference

to Fish Culture in Israel. John Willey and Son. New York. 261 p.

Isnansetyo A., Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton;

Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius.

Junior M. Z. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Kwon Y. J., V. Haghpanah, L. M. Kogson-Hurtado, B. J. McAndrew, D. J.

Penman. 2000. Masculinization of genetic female nile tilapia

(Oreochromis niloticus) by dietry administration of an aromatase inhibitor

during sexual differentiation. The Journal of Experimental Zoology

287:46-53.

Liana Y. P. 2005. Efektivitas aromatase inhibitor yang diberikan melalui pakan

buatan terhadap sex reversal ikan nila merah Oreochromis sp. Skripsi.

Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Institut Pertanian Bogor.

Martin C. R. 1979. Textbook of Endocrine Physiology. Oxford University Press.

New York. P.228-267

Mazzida A. N. 2002. Pengaruh aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan

gapi Poecilia reticulate Peters. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Mubinun, M. Jannah, I. Minarti, B. Handoyo, M. Takano. 2007. Manual Produksi

Induk Ikan Nila. BBAT Jambi, Dirjen Budidaya, DKP dan Japan

International Cooperation Agency

Nagy A., M. Beresenyi, V. Canyi. 1981. Sex reversal in carp by oral

administration of methyl testosterone. Can. Journal Fish Aquatic Science

38:725-728.

Nurlaela. 2002. Pengaruh dosis aromatase inhibitor pada perendaman embrio

terhadap nisbah kelamin ikan nila merah Oreochromis sp. Skripsi.

Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Institut Pertanian Bogor.

Popma T., M. Masser. 1999. Tilapia life history and biology. Southern Regional

Aquaculture Center Publication No.283

Sever D. M., T. Halliday, V. Waight, J. Brown, H. A. Davis, E. C. Moriarty. 1999.

Sperm storage in females of the smooth newt (Triturus vulgaris L.):I.

Ultrastructure of the spermathecal during the breeding season. Journal of

Exp. Zoology 283:51-70

Silverine B., M. Baillen, A. Foidart, J. Balthazart. 2000. Distribution of aromatase

activity in the brain and peripheral tissues of passerine and non passerine

avian species. General Comparative Endocrinal 117:34-35.

Steel R. G. D., J. H. Torrie. 1982. Principles and Procedures of Statistics. A

Biometrical Approach. 2nd

edition. CRC Press. Boca Ratio.Florida

Sucipto A. 2007. Pembenihan ikan nila. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi.

Suhanti I. Y. 2003. Sensitivitas periode waktu pemberian aromatase inhibitor

melalui pakan untuk sex reversal pada ikan nila merah Oreochromis sp..

Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Supriatin R. 2005. Efektivitas aromatase inhibitor dalam suhu ruang dan suhu

30oc terhadap nisbah kelamin ikan platy variatus Xiphophorus variatus.

Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Suwignyo S., B. Widigdo, Y. Wardiatno, M. Krisanti. 1998. Avertebrata Air jilid

2. Hal 143-183. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tasdiq M. 2005. Pengaruh pemberian aromatase inhibitor melalui artemia

Artemia sp. terhadap keberhasilan sex reversal pada ikan nila merah

Oreochromis sp. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Treece G. D. 2000. Artemia production for marine larval fish culture. Southern

Regional Aquaculture Center Publication No.702.

Varadaraj K., T. J. Pandian. 1990. Production of all female sterile triploid

Oreochromis mossambicus. Aquaculture 84: 117-123

Wozniac A., S. D. Holman, J. B. Hutchison. 1992. In vitro potency and selectivity

of the non steroidal androgen aromatase inhibitor CGS 16949A compared

to steroidal inhibitors in the brain. J. Steroid Biochem. Mol. Biol. 43: 281-

287

Yamazaki F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture 33:329-

354.

Yatim W. 1986. Genetika. Bandung: Tarsito.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis data persentase kelamin jantan ikan nila merah Oreochromis

sp.

a. Persentase kelamin jantan ikan nila

Perlakuan

Persentase jantan (%)

Rataan (%) Ulangan ke-

1 2 3

AI 0 mg/l 56,80 63,00 59,90 ± 3,14a

AI 1500 mg/l 73,30 72,50 79,50 75,13 ± 2,95b

AI 1600 mg/l 87,50 85,70 84,40 85,88 ±1,08c

AI 1700 mg/l 95,10 92,70 95,30 94,38 ± 1,14d

MT 50 mg/l 93,90 97,80 95,86 ± 1,92d

Catatan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05); rata-rata±SD

b. Analisis ragam (Anova)

Sumber Keragaman DB JK KT F P F table

Perlakuan 4 1997,499 499,375 60,631 0,000 3,838

Galat 8 65,861 8,236

Total 12 2061,997

c. Hasil uji lanjut Duncan

Perlakuan N Pasangan untuk alpha = 0.05

1 2 3 4

Aromatase Inhibitor 0 mg/l 2 59,90

Aromatase Inhibitor1500mg/l 3 75,13

Aromatase Inhibitor1600mg/l 3 85,88

Aromatase Inhibitor1700mg/l 3 94,38

MT 50 mg/l 2 95,86

Sig. 1,00 1,00 1,00 ,58

Lampiran 2. Analisis data kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp.

pada masa perlakuan

a. Kelangsungan hidup pada masa perlakuan

Perlakuan

Kelangsungan hidup (%)

Rataan (%) Ulangan ke-

1 2 3

AI 0 mg/l 93,33 86,67 90,00 ± 4,71

AI 1500 mg/l 88,33 93,33 96,67 92,78 ± 4,19

AI 1600 mg/l 93,33 85,00 100,00 92,78 ± 7,52

AI 1700 mg/l 93,33 90,00 86,67 90,00 ± 3,33

MT 50 mg/l 81,67 98,33 90,00 ± 11,79

b. Analisis ragam (Anova)

Sumber

keragaman DB JK KT F P F tabel

Perlakuan 4 24,929 6,232 0,150 0,958 3,838

Galat 8 331,481 41,435

Total 12 356,410

Kesimpulan: P>0.05 berarti perlakuan perendaman artemia menggunakan

aromatase inhibitor tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup pada

masa perlakuan

Lampiran 3. Analisis data kelangsungan hidup ikan nila merah Oreochromis sp.

pada masa pasca perlakuan

a. Kelangsungan hidup pada masa pasca perlakuan

Perlakuan

Kelangsungan hidup (%)

Rataan (%) Ulangan ke-

1 2 3

AI 0 mg/l 66,07 88,46 - 77,27 ± 15,83

AI 1500 mg/l 84,91 71,43 75,86 77,40 ± 6,87

AI 1600 mg/l 71,43 82,35 75,00 76,26 ± 5,57

AI 1700 mg/l 73,21 75,93 82,69 77,28 ± 4,88

MT 50 mg/l 67,35 76,27 - 71,81 ± 6,31

b. Analisis ragam (Anova)

Sumber

Keragaman DB JK KT F P F tabel

Perlakuan 4 48,874 12,219 0,197 0,933 3,838

Galat 8 496,713 62,089

Total 12 545,588

Kesimpulan: P>0.05. berarti perlakuan perendaman artemia menggunakan

aromatase inhibitor tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup

pada masa pasca perlakuan

Lampiran 4. Analisis data spesific growth rate (laju pertumbuhan bobot harian)

ikan nila merah Oreochromis sp.

a. Data laju pertumbuhan harian ikan nila merah

Perlakuan

Laju pertumbuhan harian (%)

Rataan (%) Ulangan Ke-

1 2 3

AI 0 mg/l 10,96 11,06 11,01 ± 0,07a

AI 1500 mg/l 11,34 11,00 11,27 11,20 ± 0,18ab

AI 1600 mg/l 11,55 11,42 11,70 11,56 ± 0,14b

AI 1700 mg/l 11,82 11,41 11,40 11,54 ± 0,24b

MT 50 mg/l 11,32 11,34 11,33 ± 0,01ab

Catatan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata±SD

b. Analisis ragam (Anova)

Sumber Keragaman

DB JK KT F P F tabel

Perlakuan 4 0,537 0,134 4,796 0,029 3,838

Galat 8 0,224 0,028

Total 12 0,760

Kesimpulan: P<0.05. berarti perlakuan perendaman artemia menggunakan

aromatase inhibitor berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan harian ikan nila

merah (Oreochromis sp.)

c. Hasil uji lanjut Duncan

Perlakuan N Pasangan untuk alpha = 0.05

1 2

Aromatase Inhibitor 0 mg/l 2 11,01

Aromatase Inhibitor 1500 mg/l 3 11,20 11,20

MT 50 mg/l 2 11,33 11,33

Aromatase Inhibitor 1700 mg/l 3 11,54

Aromatase Inhibitor 1600 mg/l 3 11,56

Sig. ,07 ,06

Lampiran 5. Data bobot rata-rata ikan nila merah Oreochromis sp.

a. Data bobot rata-rata ikan nila merah

Perlakuan Ulangan Bobot rata-rata Sampling ke- (g)

0 1 2 3

AI 0 mg/l 1 0,04 1,16 4,30 13,50

2 0,04 1,40 5,30 14,20

AI 1500 mg/l 1 0,04 1,76 6,30 16,40

2 0,04 1,10 4,50 13,80

3 0,04 1,78 6,10 15,80

AI 1600 mg/l 1 0,04 2,05 8,00 18,20

2 0,04 1,91 8,30 17,10

3 0,04 1,70 9,90 19,60

AI 1700 mg/l 1 0,04 2,24 10,80 20,90

2 0,04 1,52 8,30 17,00

3 0,04 1,91 8,80 16,90

MT 50 mg/l 1 0,04 1,76 6,20 16,20

2 0,04 1,74 6,50 16,40

Lampiran 6. Data panjang rata-rata ikan nila merah Oreochromis sp.

a. Data panjang rata-rata ikan nila merah

Perlakuan Ulangan panjang rata-rata sampling ke- (cm)

0 1 2 3

AI 0 mg/l 1 0,8 3,67 6,01 8,61

2 0,8 4,16 6,42 9,00

AI 1500 mg/l 1 0,8 4,49 6,76 9,42

2 0,8 3,70 6,01 8,88

3 0,8 4,47 6,68 9,45

AI 1600 mg/l 1 0,8 4,58 7,63 9,68

2 0,8 4,51 7,72 9,63

3 0,8 4,79 8,06 10,21

AI 1700 mg/l 1 0,8 4,93 8,00 10,45

2 0,8 4,39 7,36 9,97

3 0,8 4,85 7,50 9,68

MT 50 mg/l 1 0,8 4,43 6,74 9,24

2 0,8 4,50 6,84 9,39

Lampiran 7. Persentase pakan yang digunakan pada pemeliharaan berdasarkan

ukuran ikan (Mubinun et al., 2007)

Ukuran Ikan Persentase pakan (%)

Dibawah 0,5 g 25,5

0,5-1,0 g 17,0

1,0-2,0 g 13,6

2,0-5,0 g 10,7

5,0-10,0 g 9,1

10-20 g 7,3

20-30 g 6,9

30-40 g 6,0

40-50 g 5,7

50-100 g 4,0

100-150 g 3,1

150-300 g 2,7

300-450 g 1,9

450-600 g 1,4

600-800 g 1,1

>800 g 0,8

Lampiran 8. Skema dalam penyediaan pakan artemia untuk maskulinisasi

Penetasan Artemia

(±18 jam)

Artemia disaring

Direndam dalam

formalin 150 ppm

selama 30 detik

Dimasukkan dalam

media perendaman

aromatase inhibitor

Direndam selama

24-32 jam

Diberikan kepada

larva

Lampiran 9. Kandungan nutrisi pakan yang digunakan untuk pemeliharaan larva

(a) dan post larva (b)

(a) (b)

Keterangan:

a. Pakan larva setelah perlakuan sampai pemeliharaan hari ke-28

b. Pakan post larva saat pemeliharaan hari ke-29 sampai hari ke-56

kandungan nutrisi persentase (%)

lemak 7,13

abu 10,5

protein 28,29

air 8,86

kandungan nutrisi persentase (%)

lemak 6

abu 13

protein 40

air 11