27
PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Majelis Jemaat merupakan pelayan-pelayan khusus yang mempunyai tempat, kedudukan dan otoritas pemerintahan di dalam gereja 1 .Pelayan-pelayan khusus yang dimaksud adalah Pendeta, Penatua dan Diaken 2 . Menurut Calvin Pendeta dan Penatua bertugas di bidang pendidikan teologi dan menjalankan kepemimpinan gereja sedangkan Diaken bertugas memelihara orang-orang miskin dan sakit 3 . Pertanyaannya adalah bagaimana realita posisi serta kedudukan majelis jemaat laki-laki dan perempuan di dalam Alkitab? menurut Perjanjian Lama, laki-laki dan perempuan setara namun berbeda secara biologis. Secara puitis kesetaraan itu di sampaikan dalam Kitab Kejadian 1:27 yang mencatat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama martabatnya sebagai manusia dan penyandang gambar Allah 4 . Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat mandat yang sama dari Allah untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej.1:26, 28-29) 5 , laki-laki tidak diciptakan di atas perempuan ataupun sebaliknya dan jika dihubungankan dengan pelayanan, keduanya mendapat mandat yang sama untuk melayani Allah dan sesama 6 . Alkitab juga mencatat bahwa ada begitu banyak tokoh perempuan yang berperan dalam dunia pelayanan, misalnya Miriam, saudara perempuan Musa yang dianggap sebagai pemimpin bangsa Israel (Kel 15:20-21), Ester yang menjadi ratu dan Debora yang menjadi hakim (Hakim-Hakim 4:4-9) 7 . Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa perempuan juga memiliki andil dalam dunia pelayanan. Akan tetapi Alkitab mencatat bahwa perempuan pada zaman Perjanjian Lama tidak pernah menjadi Imam dan tidak juga menjadi Tua-Tua Israel (tidak memegang jabatan) 8 . Parahnya lagi dalam Perjanjian Baru perempuan dilarang untuk menjadi 1 Abineno J.L.Ch, Pelayan-Pelayan Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 149. 2 Ibid,. 3 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 103. 4 Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 45. 5 Ibid, 46. 6 Ibid, 59. 7 J.A.C. Rullman, Peraturan Gerdja, (Jakarta: Taman Pustaka Kristen, 1956), 46. 8 Ibid., 48

PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS … · 2013. 6. 26. · PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS

    JEMAAT

    (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan

    Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua)

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Majelis Jemaat merupakan pelayan-pelayan khusus yang mempunyai tempat,

    kedudukan dan otoritas pemerintahan di dalam gereja1 .Pelayan-pelayan khusus yang

    dimaksud adalah Pendeta, Penatua dan Diaken2. Menurut Calvin Pendeta dan Penatua

    bertugas di bidang pendidikan teologi dan menjalankan kepemimpinan gereja sedangkan

    Diaken bertugas memelihara orang-orang miskin dan sakit 3 . Pertanyaannya adalah

    bagaimana realita posisi serta kedudukan majelis jemaat laki-laki dan perempuan di

    dalam Alkitab? menurut Perjanjian Lama, laki-laki dan perempuan setara namun berbeda

    secara biologis. Secara puitis kesetaraan itu di sampaikan dalam Kitab Kejadian 1:27

    yang mencatat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama martabatnya sebagai

    manusia dan penyandang gambar Allah 4 . Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga

    terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat mandat yang sama dari Allah untuk beranak

    cucu dan menguasai alam (Kej.1:26, 28-29)5, laki-laki tidak diciptakan di atas perempuan

    ataupun sebaliknya dan jika dihubungankan dengan pelayanan, keduanya mendapat

    mandat yang sama untuk melayani Allah dan sesama6. Alkitab juga mencatat bahwa ada

    begitu banyak tokoh perempuan yang berperan dalam dunia pelayanan, misalnya Miriam,

    saudara perempuan Musa yang dianggap sebagai pemimpin bangsa Israel (Kel 15:20-21),

    Ester yang menjadi ratu dan Debora yang menjadi hakim (Hakim-Hakim 4:4-9)7.

    Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa perempuan juga memiliki andil dalam dunia

    pelayanan. Akan tetapi Alkitab mencatat bahwa perempuan pada zaman Perjanjian Lama

    tidak pernah menjadi Imam dan tidak juga menjadi Tua-Tua Israel (tidak memegang

    jabatan) 8 . Parahnya lagi dalam Perjanjian Baru perempuan dilarang untuk menjadi

    �������������������������������������������������������������1Abineno J.L.Ch, Pelayan-Pelayan Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 149. 2 Ibid,. 3 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 103. 4Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 45. 5Ibid, 46. 6Ibid, 59. 7J.A.C. Rullman, Peraturan Gerdja, (Jakarta: Taman Pustaka Kristen, 1956), 46. 8Ibid., 48

  • pemimpin dan tidak boleh memerintah laki-laki (lihat. I Tim 2:12, I Kor 14:34-35) 9 dan

    hal tersebut masih terjadi sampai sekarang. Salah satu contohnya adalah kesenjangan

    jender yang terjadi dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat Gereja Protestan Maluku

    (GPM) Pulau Saparua.

    GPM Pulau Saparua terdiri dari 14 jemaat yakni jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha,

    Mahu, Ihamahu, Siri-Sori Serani, Itawaka, Noloth, Porto, Haria, Pia, Ultah, Ou, Boi dan

    Paperu. Jumlah Pendeta yang melayani di GPM pulau Saparua adalah 22 orang, terdiri

    dari 10 Pendeta laki-laki dan 12 Pendeta perempuan10. Enam (6) jemaat diketuai oleh

    pendeta perempuan sedangkan delapan (8) jemaat diketuai oleh pendeta laki-laki 11 .

    Jumlah Penatua dan Diaken yang melayani di GPM Pulau Saparua adalah 457 orang,

    terdiri dari 258 laki-laki dan 199 perempuan12.

    Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa ada kesenjangan jender antara majelis jemaat

    laki-laki dan perempuan, dimana jumlah majelis jemaat laki-laki lebih banyak dari

    majelis jemaat perempuan. Selain itu, terdapat juga fakta bahwa pemegang jabatan

    pimpinan dalam strukutur pelayanan majelis jemaat didominasi oleh kaum laki-laki,

    mulai dari Ketua, Wakil, Sekertaris, Bendahara sampai pada ketua-ketua bidang 13 .

    Bahkan ketua bidang kerumahtanggaan yang asumsinya dipegang oleh kaum perempuan

    juga dipegang oleh kaum laki-laki14. Fakta lainnya adalah seluruh majelis pekerja klasis

    GPM Lease adalah pendeta laki-laki15. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa di dalam

    struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua, terdapat kesenjangan jender

    yang mencolok.

    1.2 Alasan Pemilihan Judul

    Melihat realita tersebut penulis tertarik untuk menelitinya, dengan harapan lewat

    penelitian ini, majelis jemaat GPM pulau Saparua dapat mengetahui dan memahami

    bentuk-bentuk kesenjangan jender yang terdapat di dalam gereja dan faktor-faktor

    �������������������������������������������������������������9Alexander Strauch, Kepenatuaan atau Kependetaan, (Yogjakrta: Andi, 1992),90. 10Informasi didadapt dari mantan ketua klasis GPM Lease via telephone pada hari senin tanggal 12 Mei

    2012 pukul 15.45 WIB 11Ibid,. 12Ibid,. 13Informasi didapat dari salah satu anggota majelis jemaat Saparua-Tiouw pada tanggal 24 april 2012

    pukul 19.50 WIB 14Informasi didapat dari pendeta jemaat GPM Noloth pada tanggal 9 agustus 2012 pukul 15.40 WIT 15Informasi didadapt dari mantan ketua klasis GPM Lease via telephone,..

  • penyebabnya, sehingga pada gilirannya mau bertransformasi dan menyadari, bahwa

    mereka adalah rekan kerja yang setara dan dipanggil untuk saling melengkapi serta

    memperkaya satu dengan yang lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis

    memilih judul penelitian sebagaimana disebutkan di bawah ini :

    PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS

    JEMAAT

    (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan

    Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua)

    1.3 Rumusan Masalah

    Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur

    kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua?

    1.4 Tujuan Penelitian

    Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur

    kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua.

    1.5 Manfaat Penulisan

    Memberi sumbangan pemikiran kepada majelis jemaat GPM pulau Saparua

    tentang bentuk kesenjangan jender yang terdapat dalam struktur kepemimpinan majelis

    jemaat dan faktor-faktor penyebabnya sehingga pada gilirannya mau bertransformasi dan

    manyadari bahwa mereka adalah rekan kerja yang setara dan dipanggil untuk saling

    melengkapi serta memperkaya satu dengan yang lainnya.

    1.6 Metode Penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, dengan metode kualitatif.

    Pendekatan deskriptif adalah pencarian fakta dengan intepretasi yang tepat dengan jalan

    mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam

    masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan,

    sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan

    pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena16, sedangkan metode kualitatif adalah metode

    penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

    �������������������������������������������������������������16Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Balai Aksara, Yudihstira, Saadiyah, 1983), 63-64.

  • subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan

    dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks tertentu17.

    Penulis menggunakan metode kualitatif karena melalui metode ini penulis dapat secara

    langsung meneliti di lapangan tentang fenomena yang diangkat dalam tulisan ini. Data

    penelitian dikumpulkan melalui beberapa teknik dengan sumber data sebagai berikut :

    a. Observasi

    Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena

    sosial dan gejala-gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan 18 .

    Dalam penelitian ini, penulis akan mengobservasi Majelis Jemaat Saparua-

    Tiouw, Tuhaha dan Pia.

    b. Wawancara

    Wawancara adalah suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang

    atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu

    masalah tertentu 19 . Wawancara secara mendalam akan dilakukan bersama

    Ketua dan Sekertaris Klasis GPM Lease serta Pendeta jemaat Noloth, Itawaka,

    Ihamahu, Saparua-Tiouw, Pia dan Tuhaha.

    c. Focus Group Discussion (FGD)

    FGD adalah suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu

    yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Irwanto, 1998) 20 . Tiap

    kelompok terdiri dari tujuh (7) orang Majelis Jemaat laki-laki dan perempuan.

    Kelompok yang dimaksud adalah Majelis Jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha dan

    Pia.

    d. Kepustakaan

    Penulis akan mengumpulkan data melalui kepustakaan dari berbagai buku,

    artikel, jurnal maupun dokumen lainnya yang mendukung penelitian ini.

    Kepustakaan bermanfaat dalam penyusunan landasan teorotis yang manjadi

    tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan guna menjawab

    persoalan pada rumusan masalah penelitian21.

    �������������������������������������������������������������

    17Lexy Moleong, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Balai Aksara, Yudhistira, Sadiyah, 1983),63. 18Kartini Kartono,Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1996), 150. 19Ibid., 187. 20 http://www.scribd.com/doc/88524590/Pp-focus-group-discussion, diunduh pada hari Sabtu tanggal 8

    Agustus 2012, pukul 16.45 WIB 21 http://www.scribd.com/doc/57297015/Pengertian-studi-kepustakaan,diunduh pada hari Sabtu tanggal

    8 Agustus 2012, pukul 16.45 WIB

  • II. PENDEKATAN TEORITIS

    2.1 Majelis Jemaat

    Majelis jemaat adalah pemegang pemerintahan dan pengambil keputusan dalam

    suatu jemaat 1 . Majelis jemaat disebut sebagai persekutuan anggota jemaat yang

    terpanggil menjadi kawan sekerja Allah dalam menjalankan fungsi pelayanan dalam

    gereja. Menurut Calvin di dalam majelis jemaat terdapat tiga (3) jabatan yang

    ditetapkan oleh Kristus sebagai kepala gereja. Tiga (3) jabatan yang dimaksud adalah

    Pendeta, Penatua dan Diaken.

    2.1.1 Pendeta

    Kata pendeta di ambil dari kata “Pasteur, Pastor “(bahasa latin dari kata

    gembala). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendeta didefinisikan

    sebagai pemuka, pemimpin, atau guru agama. Pendeta merupakan pelayan firman

    yang didik secara teologis2. Pendeta adalah seorang pengajar umum dan juga pengajar

    khusus di dalam jemaat dimana ia harus melibatkan diri secara langsung pada tiga

    wadah pelayanan yaitu kelas katekisasi, pendidikan teologi jemaat, dan mimbar3 .

    Pendeta dianggap sebagai pemimpin yang Alkitabiah4. Sebagai pejabat gereja pendeta

    memiliki tugas-tugas khusus. Tugas pendeta adalah melayani pemberitaan firman

    Allah dan sakramen, memimpin katekisasi (pengajaran agama), meneguhkan anggota

    sidi, menabishkan pelayan-pelayan khusus, memberkati dan meneguhkan nikah,

    memimpin pemakaman orang mati, mengembalakan anggota jemaat, memimpin

    sidang jemaat, memimpin jemaat, menjalankan disiplin gereja dan melakukan

    pelayanan diakonia5. Pendeta juga bertugas mengawasi dan melakukan fungsi pastoral

    serta fungsi adminstratif gereja6. Akan tetapi tugas pendeta yang utama dan terpenting

    adalah memberitakan injil dan melayani sakaramen7.

    �������������������������������������������������������������1 M.H. Bolkestein, Azaz-Azaz Hukum Gereja, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1956), 32. 2 Edgar Wals, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 7. 3S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamalo, F. Ukur, Tabah Melangkah STT ke 50, (Jakarta: STT

    Jakarta, 1984), 148-149. 4 Strauch, Kepenatuaan, 179. 5 J.L.Ch. Abineno, Jemaat, 164. 6 Edgar Wals, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, 8-9. 7 M.H. Bolkestein, Azaz-Azaz Hukum Gereja, 74.

  • 2.1.2 Penatua

    Penatua berasal dari bahasa yunani Presybetros yang artinya Imam dan

    Episkopos yang artinya Uskup8 . Alkitab Perjanjian lama mencatat bahwa dalam

    Pentateukh disingung adanya tua-tua orang mesir (Kej 50:7) dan tua-tua Israel.

    Dalam Kitab Ulangan para tua-tua berfungsi sebagai hakim dalam menahan para

    pembunuh (Ul19:12), menjalankan pemeriksaan (Ul 21:2), dan menyelesaikan

    pertikaian perkawinan (Ul 22:15:25:7). Para tua-tua tersebut dihubungkan dengan

    pejabat-pejabat sipil, misalnya kepala suku (Ul:5:23;29:10), para pengatur pasukan

    dari hakim (Yos 8:33) dan pemimpin umat Allah pada saat itu9. Sepanjang sejarah

    Perjanjian Lama, para tua-tua merupakan orang-orang yang dihormati dan

    berwibawa serta mempunyai suara yang menentukan dalam berbagai perkara10.

    Dalam Perjanjian Baru kata Yunanai presybiteros dipakai dalam tua-tua

    agama, tua-tua adat dan pemimpin-pemimpin rumah ibadah Yahudi 11 . Kata

    persybetros menunjukan kelebihan usia dalam arti umur, (Lukas 15:25, Kpr 2:17),

    nenek moyang atau pemimpin-pemimpin agama pada masa lampau (Mat 15:2, Mark

    7:3,5, Ibrani 11:2), para tua-tua bangsa Yahudi (Mat 16:21, Kpr 4:5,8,23; 6:12;

    23:14; 24:1), para penatua dalam jemaat kristen (Kpr 11:30; 14:23) dan para tua-tua

    yang disebut dalam Kitab Wahyu (Wahyu 4:4,10;5:5) 12 . Penatua merupakan

    kumpulan para gembala yang ditetapkan oleh Roh Kudus (Kpr 20:28) dan ditunjuk

    bersama dengan para pendeta untuk mengawasi kehidupan gerejawi13.

    Sebagai pemegang jabatan di dalam gereja, penatua mempunyai tugas-tugas

    khusus. Tugas penatua adalah menjaga dan memelihara jemaat Allah (I Pet 5:8),

    mengunjungi dan mengembalakan kawanan jemaat Allah 14 , memimpin jemaat,

    mengatur rumah Allah (I Tim 3:4-5 ; Titus 1, 7), mengurus setiap kebutuhan umat

    Allah (1 Tim 3:5)15, menjaga kemurnian ajaran (Kpr 20, 29)16serta bersama-sama

    dengan pendeta bertangung jawab terhadap pemberitaan firman, pelayanan

    sakramen17 dan menjalankan disiplin gereja. Menurut Ruller tugas penatua yang

    �������������������������������������������������������������8 J.L.Ch. Abineno , Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 14. 9 Pramudianto, Panduan Pelayan Majelis, (Jakarta: Sirao Credentia Center, 2008), 16. 10 A. N Hendriks, Pengatur Rumah Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 7. 11 De Jonge, Apa Itu, 106. 12 Pramudianto, Panduan Pelayan Majelis, (Jakarta: Sirao Credentia Center, 2008), 16-17. 13 Strauch, Kepenatuaan, 60. 14Ibid., 19. 15 Ibid, 139. 16 A. N Hendriks, Pengatur, 10. 17 M.H. Bolkestein, Azaz-Azaz Hukum Gereja, 84.

  • terpenting adalah perkunjungan rumah tangga 18 , namun sebaiknya perkunjungan

    rumah tangga tidak dilakukan oleh penatua saja, melainkan bersama-sama dengan

    pejabat yang lain (diaken dan pendeta)19.

    2.1.3 Diaken

    Diaken atau syamas berasal dari bahasa yunani “Diakonos”: yang berarti

    pelayanan. Alkitab mencatat bahwa salah satu tugas terpenting diaken adalah

    melakukan pelayanan kasih20. Diaken atau syamas merupakan pelayan-pelayan yang

    mengurus dan membantu orang-orang miskin dan sakit21 . Bolkestein berpendapat

    bahwa diaken merupakan bagian dari penatua, sedangkan Locher berpendapat bahwa

    diaken adalah penatua kelas dua22. Berdasarkan I Korintus 12:8-11 dan Roma 12:4-8,

    Rasul Paulus menyebut beberapa tugas dari diaken antara lain sebagai berikut:

    pelayanan kasih di bidang praktis dan materiil (Roma 12:7 ; I Pet 4:11), menolong

    orang-orang yang sangat membutuhkan, seperti: orang sakit, orang cacad, orang yang

    kesepian, bertanggung jawab atas penerimaan, pengunaan dan pemeliharaan uang

    diakonia 23 , bersama-sama dengan pendeta bertanggung jawab atas pelaksanaan

    pelayanan diakonia serta melayani orang sakit dan orang-orang yang hidup dalam

    kekurangan (Roma 12:8)24.

    2.2 Jender

    2.2.1 Pengertian Jender

    Menurut Fakih Jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki

    maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Webster’s

    New World Dictionary mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara

    laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku25. Stoller mengartikan jender

    sebagai pemisahan manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat sosial

    �������������������������������������������������������������18Ibid, 86. 19J.L.Ch. Abineno, Penatua, 20. 20 J.L.Ch. Abineno, Pembangunan jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi, (Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 1992), 53. 21 De Jonge, Apa Itu , 102. 22Ibid.,105 23Ibid., 106 24 Abineno, Jemaat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),164. 25 Victoria Neufeldt (ed.) Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World

    Clevenland, 1984), 561.

  • budaya dan biologis26. Oakley27 mengartikan jender sebagai perbedaan yang bukan

    biologis dan bukan kodrat Tuhan. Ia mengartikan jender sebagai konstruksi sosial

    pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia28. Pendapat ini dipertegas

    dalam Women’s Studies Encylopedia yang menjelaskan bahwa jender adalah suatu

    konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,

    mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

    berkembang dalam masyarakat29. Dengan kata lain jender merupakan konsep sosial

    yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan30 . Oleh sebab itu dapat

    disimpulkan bahwa jender merupakan perbedaan perilaku (behavior differences)

    antara laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya dalam

    masyarakat dan bukan merupakan kodrat dari Tuhan31.

    2.2.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Jender

    Ketidakadilan Jender adalah suatu sistem dan struktur pelayanan yang

    menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut32 .

    Ketidakadilan jender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni :

    marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban kerja ganda33.

    a. Marginalisasi

    Bentuk manefestasi ketidakadilan jender adalah proses marginalisasi atau

    pemiskinana terhadap kaum perempuan 34 . Ada beberapa mekanisme proses

    penyisihan hak-hak perempuan karena perbedaan jender. Misalnya: kebijakan

    pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi, kebiasaan dan bahkan asumsi ilmu

    pengetahuan35. Sebagai contoh: perempuan hanya memperoleh pekerjaan-pekerjaan

    yang dianggap ringan. Bahkan dalam beberapa kasus jenis pekerjaan domestik yang

    �������������������������������������������������������������26 Robeth Stoller, Sex and Gender: on the development of Masculinity and Femininity (London:

    Hogarth press, 1968), 7. 27 Ia adalah orang yang pertama kali mengembangkan pendekatan analisis gender untuk melihat posisi

    dan kerja kaum perempuan. 28 Aan Oakley, Sex, Gender and Society (London: Temple Smith, 1985), 22. 29 Helen Toerney (Ed), Women’s Studies Encylopedia Vol 1 (New York: Green Wood Press, 1990),

    153. 30 Trisakti Handayani dan Sugiarti, konsep dan teknik penelitian gender (Malang:Universitas

    Muhamadiyah Malang, 2002), 5-6. 31Ibid., 31. 32Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan, 33. 33 Trisakti, Sugiarti, Konsep, 15-19. 34Ibid., 16. 35Ibid.

  • dikhususkan bagi pihak perempuan diambil ahli oleh pihak laki-laki jika pekerjaan

    tersebut berada pada ranah publik. Misalnya dalam hal masak-memasak. Untuk masak

    sehari-hari dirumah diserahkan pada pihak perempuan sedangkan koki di restoran

    yang memperoleh gaji diserahkan pada pihak laki-laki 36 . Contoh lain misalnya

    adanya pekerjaan khusus perempuan seperti: guru kanak-kanak, pekerja pabrik yang

    berakibat pada pengajian yang rendah37.

    Bentuk marginalasi terhadap kaum perempuan tidak terjadi hanya dalam dunia

    pekerjaan tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, gereja, masyarakat dan bahkan

    negara38. Misalnya pemberian hak waris di dalam sebagian tafsir keagamaan, porsi

    untuk laki-laki dan perempuan berbeda, dimana pembagian hak waris untuk laki-laki

    lebih besar dari perempuan39. Hal ini menyebabkan perempuan tergantung secara

    ekonomi kepada laki-laki.

    b. Subordinasi

    Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang

    dilakukan oleh suatu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain40. Subordinasi juga

    diartikan sebagai pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk

    yang irasional dan emosional, oleh sebab itu ia dipandang tidak bisa memimpin dan

    ditempatkan pada posisi yang tidak penting41. Hal yang sama pun terjadi pada zaman

    Perjanjian Baru. Dalam I Timotius 2:1 Paulus mengatakan bahwa “Aku tidak

    mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-

    laki, hendaklah ia berdiam diri”. Dengan bercermin pada ayat tersebut, secara

    kontekstual Paulus dengan tegas melarang kaum perempuan untuk mengajar dan

    memerintah kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak berwenang menjelaskan disiplin

    kepada kaum laki-laki42.Hal ini dipertegas oleh pendapat Hurley yang mengatakan

    bahwa jabatan gerejawi hanya boleh dipegang oleh kaum laki-laki, kaum perempuan

    �������������������������������������������������������������36Mutali’in A, Bias, 34. 37 Trisakti, Sugiarti, konsep, 16. 38Riant Nugroho, Gender, 41. 39Ibid., 42. 40 Julia cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, 1996, 37 Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan,

    (Surakarta : Muhammadiyah University Press,2001), 35. 41Mutali’in A, Bias Jender dalam Pendidikan, 35. 42 Strauch, Kepenatuaan, 80.

  • tidak dapat dan tidak boleh43. Hal ini dikarenakan Allah sering digambarkan dalam

    jender maskulin sebagai laki-laki, bapak dan Raja.

    c. Streotipe

    Streotipe adalah pelebelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau

    jenis kelamin44. Dengan kata lain streotipe adalah suatu bentuk penindasan ideologi

    kultural yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokan kaum perempuan45.

    Streotipe mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan46. Adanya stereotipe tertentu

    yang dikenakan kepada perempuan dalam masyarakat sering membuat mereka tidak

    bebas untuk berperan. Perempuan dibatasi karena dianggap tidak pantas, lemah dan

    tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat47. Menurut Budiman

    kaum perempuan berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Hal ini disebabkan

    adanya streotipe bahwa perempuan itu lemah lembut, sabar, tekun, penurut,

    emosional, irasional dan keibuan.

    Clark juga mengatakan bahwa kaum laki-laki lebih baik menjadi pemimpin

    dalam jemaat Kristen. Hal ini dikarenakan adanya streotipe bahwa kaum laki-laki

    adalah kepala keluarga, oleh sebab itu mereka juga harus menjadi kepala/pemimpin

    dalam jemaat48. Pendapat tersebut bersumber dari tulisan Paulus dalam I Korintus

    11:2-16 mengenai kekepalaan laki-laki dan penundukan diri perempuan. Berdasarkan

    cerminan ayat tersebut Paulus secara tegas dan kontekstual mengatakan bahwa

    penundukan diri perempuan terhadap laki-laki merupakan bagian dari serangkaian

    hubungan penundukan dan kekepalaan. Alkitab mencatat bahwa Allah adalah kepala,

    Kristus adalah kepala dan laki-laki juga adalah kepala. Hanya perempuanlah yang

    tidak disebutkan sebagai kepala 49 . Oleh sebab itu kaum laki-lakilah yang harus

    menjadi kepala/penguasa rohani dalam jemaat Kristen, perempuan tidak boleh

    berkuasa , karena kekuasaan berada pada wilayah laki-laki50.

    �������������������������������������������������������������43Ibid., 78. 44 Riant Nugroho, Gender, 42. 45Mutali’in A, Bias, 37-38. 46Riant Nugroho, Gender, 43. 47Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, 44. 48 Strauch, Kepenatuaan, 76. 49Ibid., 86. 50Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 68.

  • d. Kekerasan Terhadap Perempuan

    Kekerasan (violence) merupakan serangan terhadap fisik maupun integritas

    mental psikologis yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya

    perempuan51. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan, pelacuran, pemukulan

    hingga pada bentuk yang lebih halus yakni pelecehan seksual dan penciptaan

    ketergantungan. Parahnya dalam kasus pelacuran, masyarakat dan pemerintah

    memberikan label tuna susila kepada para pelacur tetapi tidak memberikan label tuna

    susila juga bagi kaum laki-laki yang merupakan konsumennya52.

    Kekerasan terhadap perempuan sering tejadi karena budaya dominasi laki-laki

    terhadap perempuan. Kekersan digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan

    pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukan

    bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan53. Kekerasan ini disebut sebagai gender-

    related violence yang pada dasarnya disebabakan oleh kekuasaan. Hal ini terbukti

    lewat berbagai macam kenyataan di masyarakat yang menunjukan bahwa perempuan

    masih dianggap sebagai objek untuk dinikahi, menjadi harta milik laki-laki, dituntut

    untuk mengabdi, patuh kepada petunjuk dan perintah laki-laki. Perempuan merupakan

    kelompok masyarakat yang tersisih. Hak-hak asasi perempuan mudah dilanggar

    seperti terlihat dari berbagi tindak kekerasan, pemerkosaan dan perdagangan

    perempuan54.

    e. Triple Peran/Beban Kerja Ganda

    Menurut Fakih beban kerja ganda adalah beban kerja yang diterima salah satu

    jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Perempuan dalam hal

    ini sering menerima beban kerja ganda. Selain harus bekerja di ranah domestik

    mereka juga harus melakukan tugas pelayanan di gereja dan masyarakat55. Jika hal

    tersebut terjadi pada kalangan yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup maka

    seringkali beban kerja domestik dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga, namun

    jika terjadi pada kalangan yang memiliki tingkat ekonomi di bawah rata-rata (miskin)

    �������������������������������������������������������������51Riant Nugroho, Gender, 43. 52Mutali’in A, Bias, 41. 53Ibid.,19. 54 Karman, Bunga Rampai, 70. 55 Trisakti/Sugiarti, Konsep, 20.

  • maka beban kerjanya akan menjadi berlipat ganda56. Tugas-tugas yang banyak dan

    padat dalam rumah-tangga membuat perempuan kehilangan kesempatan yang sama

    seperti laki-laki untuk mengembangkan dirinya secara optimal sebagai individu yang

    bebas 57 . Perempuan harus seorang diri melakukan berbagai tugas rumah tangga

    seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan bahkan mengurus suami. Meskipun

    demikian pekerjaan tersebut sama sekali tidak dihargai secara ekonomi bahkan status

    sosialnya dalam masyarakat dianggap lebih rendah58.

    2.3 Penyebab Ketidakadilan Jender

    Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan jender dan perbedaan jender

    telah melahirkan ketidakadilan dan ketidak-setaraan jender. Ketidak-setaraan dan

    ketidakadilan jender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, pemerintah

    dan gereja merupakan akibat dari adanya konstruksi sosial dan budaya tentang laki-

    laki dan perempuan59. Ada beberapa faktor utama yang melatar-belakangi adanya hal

    tersebut.

    a. Pengaruh Budaya dan Dogma Agamawi

    Di banyak negara (termasuk di Indonesia), masyarakat masih menjalani

    kehidupannya dalam pengaruh adat budaya dan dogma agama yang kuat. Umumnya

    budaya yang berkembang di dalam masyarakat adalah budaya patriarkhi. Patriarkhi

    berasal dari dari bahasa Yunani, pater yang artinya bapak dan arche yang artinya

    kekuasaan. Ebert mendefenisikan patriarkhi sebagai organisasi dan divisi dari semua

    praktek dalam pengertian dalam hal jender yang mengistimewakan salah satu jenis

    kelamin atas yang lain dengan kontrol laki-laki atas perempuan dalam hal seksualitas,

    kesuburan dan tenaga kerja60.

    Budaya patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan, dimana

    laki-lakilah yang memegang kekuasaan atas semua peran penting di dalam

    masyarakat, pemerintah, pendidikan, industri, bisnis, perawatan, kesehatan, iklan,

    agama, dan lain sebagainya 61 . Sementara dogma-dogma agama pun kebanyakan

    bersifat patriarkhi yang lebih mengedepankan kaum laki-laki. Dengan begitu maka,

    �������������������������������������������������������������56Riant Nugroho, Gender, 47. 57Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press,

    2007), 78-79. 58Mutali’in A, Bias, 39-40. 59 Trisakti/Sugiarti, Konsep, 11. 60Elisabeth Schussler Fiorenza, But She Said, Messachusetts: Beacon Press Boston, 1992, 110 61Ibid,.

  • berbagai persepsi atau pandangan yang tumbuh dalam masyarakat akan menganggap

    laki-laki sebagai yang lebih utama dan lebih tinggi posisinya daripada perempuan.

    b. Kecenderungan Kaum Perempuan Sendiri untuk Dipimpin

    Oleh Kaum Laki-laki.

    Faktanya ada banyak perempuan yang berjuang untuk mendapatkan

    kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun masih banyak pula perempuan yang tidak

    menyadari bahwa mereka sedang berada dalam kehidupan yang tidak setara dengan

    laki-laki. Mereka justru menganggap bahwa kehidupan yang dijalani setiap hari itu

    sudah menjadi kodrat mereka, termasuk ketika harus selalu berada di dalam keluarga

    dengan peran-peran yang hanya terbatas pada memasak, merawat keluarga, mengasuh

    anak atau sekedar mendampingngi suami. Faktor-faktor di atas merupakan

    penghalang yang kuat, yang membatasi gerak perempuan untuk berperan dan

    memiliki kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki dalam masyarakat dan gereja.

  • III. HASIL PEN ELITIAN DAN ANALISA

    3.1 Gambaran Umum Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua

    Majelis Jemaat Gereja Protestan Malauku (GPM) pulau Saparua merupakan salah

    satu majelis jemaat yang beraliran Calvinis. Secara umum, pengorganisasian majelis

    jemaat GPM pulau Saparua mengikuti sistem dan aturan presbiteral-sinodal. Arti dari

    sistem presbiteral-sinodal adalah bahwa jemaat setempat diperintah atau dipimpin

    oleh sekelompok orang yang memangku jabatan gerejawi, yaitu:� pendeta, penatua

    dan diaken yang juga disebut sebagai majelis jemaat1.

    GPM pulau Saparua terdiri dari 14 jemaat yakni jemaat Saparua-Tiouw, Tuhaha,

    Mahu, Ihamahu, Siri-Sori Serani, Itawaka, Noloth, Porto, Haria, Pia, Ulath, Ou, Boi

    dan Paperu. Tempat penelitian penulis meliputi 6 (enam) jemaat, yakni jemaat

    Saparua-Tiouw, Pia, Tuhaha, Noloth, Itawaka, dan Ihamahu. Penulis memilih enam

    (6) jemaat tersebut berdasarkan data yang terdapat di majelis klasis Lease yang

    mencatat, bahwa di ke-enam jemaat tersebut jumlah majelis jemaat laki-laki lebih

    banyak dari majelis jemaat perempuan, dan bahwa jabatan kepemimpinan

    didimoniasi oleh majelis laki-laki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di

    dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua terdapat masalah

    kesenjangan jender. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi faktor penyebab

    kesenjangan jender dalam struktur kepemimpinan majelis jemaat setempat?.

    3.2. Faktor Penyebab Kesenjangan Jender Dalam Struktur Kepemimpinan

    Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua

    Secara struktural majelis jemaat GPM pulau Saparua terdiri dari badan

    pimpinan harian majelis jemaat (BPHMJ) yang di dalamnya terdapat ketua majelis

    jemaat, wakil, sekertaris, bendahara dan ketua-ketua bidang. Bidang-bidang yang

    dimaksud adalah bidang keesaan pembinaan umat dan hubungan agama-agama,

    bidang pelayanan pendidikan dan pembangunan masyarakat (pelpem), bidang

    pekabaran injil dan komunikasi (pikom), bidang finansial ekonomi (finek) dan bidang

    kerumahtanggan2. Pada umumnya, jabatan ketua bidang dipegang oleh penatua atau

    diaken sedangkan jabatan ketua majelis jemaat hanya boleh dipegang oleh pendeta.

    �������������������������������������������������������������1Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan

    Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 25 2Data didapat dari hasil diskusi bersama majelis jemaat GPM pulau Saparua, pada hari Rabu tanggal 8

    Agustus 2012, pukul 18.00 WIT

  • Faktanya hampir semua jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis

    jemaat GPM pulau Saparua didominasi oleh kaum laki-laki. Sebagai contoh: di dalam

    majelis jemaat Tuhaha struktur pimpinan harian majelis jemaat didominasi oleh kaum

    laki-laki, mulai dari ketua, wakil, sekertaris, bendahara sampai pada ketua-ketua

    bidang3. Tidak hanya jemaat Tuhaha, jemaat Pia, Noloth, Itawaka dan Ihamahu pun

    demikian, hanya jemaat Saparua-Tiouw saja yang melibatkan paling tidak 4

    perempuan dalam struktur pimpinan harian majelis jemaat4.

    Salah seorang majelis jemaat Tuhaha mengatakan bahwa, sejujurnya kaum

    perempuan juga ingin memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis

    jemaat di gereja, namun peluang untuk untuk memegang jabatan tersebut tidak pernah

    didapatinya5. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari pendeta jemaat Tuhaha yang

    mengatakan bahwa yang lebih berpotensi untuk memegang jabatan pimpinan dalam

    struktur pelayanan majelis jemaat di gereja adalah kaum laki-laki 6 . Hal ini

    dikarenakan adanya streotipe bahawa laki-lakilah yang lebih pantas dan layak

    memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat7 . Laki-laki

    lebih berani dan berpengalaman serta memiliki banyak waktu dibanding dengan

    perempuan8.

    Berdasarkan fakta di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam struktur

    kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua terdapat kesenjengan jender yang

    mencolok. Pertanyaannya adalah apakah yang menjadi faktor penyebabnya?.

    Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan diskusi yang dilakukan penulis di enam

    (6) jemaat GPM pulau Saparua, ditemukan beberapa faktor penyebab antara lain

    sebagai berikut :

    3.2.1 Perempuan Sebagai Pencari Nafakah Utama (the bread winner )

    Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kaum laki-laki diidentikan

    sebagai pencari nafkah, namun dalam penelitian di majelis jemaat GPM pulau

    Saparua, ditemukan bahwa justru perempuanlah yang mencari nafkah.

    �������������������������������������������������������������3Hasil wawancara dengan ketua majelis jemaat GPM Tuhaha pada hari Minggu tanggal 5 Agustus

    2012, pukul 13.25 WIT 4Data didapat dari hasil diskusi bersama para majelis jemaat GPM pulau Saparua,.. 5Hasil diskusi bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha pada hari Minggu tanggal 5 Agustus

    2012 pukul 15.25 WIT 6Hasil wawancara dengan ketua majelis jemaat GPM Tuhaha,... ��Hasil wawancara dengan salah seorang majelis jemaat perempuan GPM Pia pada hari Rabu tanggal 8

    Agustus 2012, pukul 16.00WIT�8 Ibid,.

  • Faktanya hampir sebagian besar masyarakat pulau Saparua melimpahkan

    tugas mencari nafkah kepada kaum perempuan. Hal ini dikarenakan sebagian besar

    kaum laki-laki di Saparua tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebagai contoh: kaum

    perempuan di jemaat Pia, Noloth, Itawaka, Ihamahu dan Tuhaha harus berjuang keras

    demi mencukupi kebutuhan keluarga dengan berdagang sagu dan hasil-hasil bumi

    seperti ketela pohon, ubi-ubian dan sayur-sayuran di pasar9 . Pertanyaanya adalah

    bagaimana dengan kaum laki-laki? Dalam wawancara bersama salah seorang majelis

    jemaat Pia, dikatakan bahwa memang laki-laki juga membantu perempuan untuk

    melaksanakan tugas mencari nafkah namun tidak sepenuhnya10. Hal ini dikarenakan

    adanya streotipe bahwa tugas berdagang di pasar adalah tugas perempuan, jika laki-

    laki melakukannya, maka laki-laki tersebut dikatakan tidak jantan.

    Kondisi di atas menyebabkan sebagian besar kaum perempuan di pulau

    Saparua jarang dan bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan majelis

    jemaat di gereja. Kalaupun terlibat, kaum perempuan jarang diberikan kesempatan

    untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat dengan

    alasan tidak mempunyai waktu. Menurut Pendeta jemaat Tuhaha perempuan akan

    kewelahan jika memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis

    jemaat. Hal ini dikarenakan kaum perempuan juga dibebani dengan tugas mencari

    nfakah utama.

    Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa, di dalam

    masyarakat pulau Saparua terjadi ketidakadilan jender dimana perempuan kehilangan

    kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan dirinya secara

    optimal sebagai individu yang bebas karena tugas sebagai pencari nafkah utama

    dalam keluarga.

    3.2.2 “Tugas Ganda” Perempuan

    Selain mencari nafkah, perempuan juga harus mengerjakan tugas-tugas

    domestik yakni mencuci, memasak, menyetrika, mengurus anak, suami dan lain

    sebagainya. Parahnya, perempuan mengerjakan tugas-tugas tersebut secara mandiri

    tanpa bantuan orang lain. Hal ini disebabkan kaum perempun tidak mampu menyewa

    tenaga pembantu karena ekonomi keluarga yang lemah

    �������������������������������������������������������������9Hasil wawancara dengan majelis jemaat GPM Pia, Tuhaha, Ihamahu, Noloth dan Itawaka 10Hasil wawancara dengan salah seorang majelis jemaat GPM Pia,...

  • Dalam wawancara bersama pendeta jemaat Pia dikatakan bahwa, ketika

    perempuan diminta untuk menjadi anggota majelis jemaat mereka selalu menolak

    dengan alasan bahwa tugas yang mereka pikul sangat berat, mereka harus mengurus

    rumah tangga dan juga bekerja mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan

    keluarga11. Berbeda dengan hal di atas salah seorang majelis jemaat Pia mengatakan,

    bahwa sebenarnya, ketika perempuan diminta untuk terlibat dalam struktur pelayanan

    majelis jemaat di gereja, mereka bersedia, sayangnya tidak diijinkan suami dengan

    alasan bahwa sebagai istri, perempuan harus mengerjakan tugas-tugas domestiknya12.

    Hal ini disebabkan adanya streotipe bahwa tugas domestik dalam keluarga hanya

    boleh dilakukan oleh kaum perempuan saja. Padahal tidak seharusnya demikian, jika

    kaum laki-laki bersedia membantu perempuan untuk melakukan tugas-tugas domestik

    dalam keluarga mungkin kaum perempuan pun dapat terlibat dalam struktur

    pelayanan majelis jemaat di gereja.

    Berdasarkan data di atas maka disimpulkan bahwa tugas ganda yang

    dibebankan kepada kaum perempuan telah membuatnya jarang bahkan tidak pernah

    terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja. Kalaupun terlibat jarang

    sekali mendapat kepercayaan untuk memegang jabatan pimpinan.

    3.2.3 Perbedaan Citra Laki-laki dan Perempuan Di Dalam Masyarakat

    dan Gereja

    Sebagian besar majelis jemaat GPM pulau Saparua mengatakan bahwa karunia

    memimpin lebih banyak diberikan kepada kaum laki-laki 13 . Bagi mereka, moto

    penggerak dalam gereja adalah laki-laki 14 . Laki-laki dinilai lebih cepat dalam

    mengambil keputusan dibanding perempuan, laki-laki lebih berpengalaman dari

    perempuan, laki-laki itu kuat, gagah, perkasa dan lebih berani jika dipercayakan

    menjadi pemimpin 15 . Hal ini menyebabkan hampir semua pemegang jabatan

    kepemimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat GPM pulau Saparua

    didominasi oleh kaum laki-laki16.

    �������������������������������������������������������������11Hasil diskusi dengan majelis jemaat Tuhaha,... 12Hasil wawancara dengan majelis jemaat GPM Pia pada hari Rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul

    14.00 WIT 13Hasil diskusi dengan majelis jemaat perempuan Tuhaha,... 14Ibid,. 15Ibid,. 16Data didapat berdasarkan hasil wawancara bersama majelis jemaat Pia, Tuhaha, Itawaka, Noloth, Ihamahu dan Saparua-Tiouw

  • Dalam proses wawancara bersama pendeta jemaat Pia dikatakan, bahwa GPM

    terletak di daerah kepulauan dan sebagaian besar gerejanya berada di daerah-daerah

    terpencil 17 . Dengan demikian yang dibutuhkan adalah pendeta laki-laki bukan

    perempuan. Hal ini disebabkan adanya pencitraan bahwa secara fisik pendeta laki-laki

    lebih kuat dari pendeta perempuan18.

    Berbeda dengan pernyataan di atas, Ketua dan Sekretaris Klasis Lease

    mengemukakan, bahwa dalam ajaran GPM, perempuan diberikan peluang yang sama

    dengan laki-laki untuk terlibat dalam struktur pelayanan majelis jemaat dan

    memegang jabatan pimpinan di dalam gereja 19 . Keduanya pun mengakui bahwa

    sebenarnya perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dari laki-laki, bahkan

    secara intelektual perempuan lebih unggul20. Namun faktanya perempuan yang dinilai

    unggul, jarang mendapat kesempatan untuk memegang jabatan pimpinan dalam

    struktur pelayanan majelis jemaat di gereja. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan

    dari salah seorang majelis jemaat Tuhaha yang mengatakan, bahwa perempuan tidak

    pernah ditawarkan untuk memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan

    majelis jemaat di gereja21. Tawaran selalu diberikan kepada majelis jemaat laki-laki.

    Hal ini disebabkan adanya pencitraan, bahwa perempuan itu lemah secara fisik,

    irasional, dan emosional. Sebagai contoh: dalam proses pemilihan majelis jemaat di

    GPM pulau Saparua, laki-lakilah yang mendapat suara terbanyak, dan parahnya

    sebagian besar calon majelis jemaat yang tidak lolos adalah kaum perempuan22. Tidak

    hanya sampai disitu, perempuan yang lolos pun jarang diberikan kesempatan

    memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis jemaat di gereja23. Hal

    ini dikarenakan budaya patriarkhi yang lebih mengunggulkan kaum laki-laki dari

    perempuan. Selain itu terdapat juga pencitraan bahwa laki-laki lebih berani dan

    memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin, perempuan diangap lemah

    dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam masyarakat dan gereja.

    Berdasarkan fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan citra antara

    laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan gereja telah menciptakan kesenjangan

    �������������������������������������������������������������17Hasil wawancara bersama pendeta GPM Pia, pada hari Selasa tanggal 7 Agustus 2012, pukul 18.00 WIT 18Ibid,. 19Hasil wawancara bersama sekertaris klasis Lease pada hari senin tanggal 6 Agustus 2012, pukul 15.00 WIT. 20Ibid,. 21Hasil wawancara bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha,... 22Hasil wawancara bersama majelis jemaat GPM Tuhaha,... 23Ibid,.

  • jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau

    Saparua.

    3.2.4 Pengaruh Ajaran Gereja dan Penafsiran Alkitab

    Sebagian besar pendeta GPM pulau Saparua mengatakan bahwa Alkitab

    mencatat pemimpin bangsa Israel adalah laki-laki dan bagi mereka hal tersebut masih

    diteruskan sampai sekarang24. Buktinya ketua klasis, ketua majelis jemaat dan ketua

    bidang dalam struktur pelayanan majelis jemaat kebanyakan masih dipegang oleh

    kaum laki-laki. Perempuan jarang diberikan kesempatan untuk memegang jabatan

    tersebut. Hal ini disebabkan adanya tafsiran bahwa penulis kitab semuanya laki-laki,

    tokoh Alkitab pun lebih banyak laki-laki25. Oleh sebab itu wajar bila laki-laki lebih

    diutamakan dan diandalkan dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis

    jemaat di gereja.

    Salah seorang majelis jemaat Saparua-Tiouw mengatakan bahwa yang menjadi

    pemimpin/Imam pada zaman Perjanjian Lama adalah laki-laki, beliau juga

    menambahkan bahwa Alkitab selalu mencerminkan sifat maskulin, sebagai contoh

    anak-anak Yakub yang seharusnya berjumlah 13 orang, disebutkan hanya 12 orang26.

    Dina yang adalah perempuan tidak disebutkan dan parahnya lagi ia tidak mendapat

    sedikit warisan pun dari ayahnya27. Fakta lainnya adalah Allah digambarkan oleh

    Alkitab sebagai sosok maskulin yakni seorang bapa dan raja.

    Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa dari dulu sampai sekarang laki-laki

    lebih diutamakan, diunggulkan, diandalkan dan lebih dipercayakan menjadi pemimpin

    dalam gereja. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Clark yang mengatakan bahwa

    kaum laki-laki lebih baik menjadi pemimpin dalam jemaat Kristen. Hal ini

    dikarenakan adanya stereotipe bahwa kaum laki-laki adalah kepala keluarga, oleh

    sebab itu mereka juga harus menjadi kepala/pemimpin dalam jemaat. Selain itu ada

    �������������������������������������������������������������24Hasil wawancara dengan pendeta jemaat Pia, Tuhaha, Noloth dan Itawaka 25Ibid,. 26Hasil diskusi bersama para majelis jemaat GPM Saparua-Tiouw pada hari rabu tanggal 8 Agustus 2012, pukul 17.00 WIT 27Ibid,.

  • juga tafsiran bahwa Adam yang lebih dahulu diciptakan baru Hawa, dengan demikian

    yang harus menjadi pemimpin adalah laki-laki bukan perempuan28.

    3.2.5 Kecenderungan Kaum Perempuan Dipimpin Oleh Kaum Laki-

    laki

    Berdasarkan wawancara, diskusi dan observasi yang dilakukan, penulis

    menemukan bahwa kebanyakan jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan majelis

    jemaat GPM pulau Saparua dipegang oleh kaum laki-laki. Pertanyaannya adalah

    bagaimana dengan posisi dan kedudukan perempuan? Sebagian besar majelis jemaat

    GPM pulau Saparua menjawab bahwa biasanya posisi dan kedudukan majelis jemaat

    perempuan berada di bawah majelis jemaat laki-laki.

    Dalam observasi yang dilakukan penulis, terlihat bahwa dalam pertemuan-

    pertemuan ibadah, yang lebih berani mengutarakan pendapat adalah kaum laki-laki.

    Hal tersebut diperkuat oleh salah seorang majelis jemaat Pia yang mengatakan bahwa

    dalam rapat-rapat kemajelisan kaum perempuan lebih banyak diam dan sering

    mengikuti keputusan dari majelis laki-laki. Ketika ditanya mengapa demikian? Beliau

    menjawab hal ini dikarenakan jumlah perempuan yang sedikit dalam struktur

    pelayanan majelis jemaat sehingga mereka lebih sering mengikuti keputusan daripada

    memutuskan29.

    Melihat fakta di atas, penulis menganalisa bahwa kaum perempuan di pulau

    Saparua cenderung memberikan diri untuk dipimpin daripada memimpin. Sebagian

    besar mereka beranggapan bahwa yang lebih pantas menjadi pemimpin adalah laki-

    laki. Perempuan selalu berada di bawah pimpinan laki-laki dan lebih sering mengikuti

    keputusan dari kaum laki-laki. Sebagai contoh : salah seorang majelis jemaat

    perempuan pernah ditawarakan untuk menjadi ketua persidangan majelis jemaat Pia,

    sayangnya tawaran tersebut ditolaknya dan didelegasikan kepada kaum lak-laki.

    Ketika ditanya mengapa mendelegasikan tugas tersebut kepada kaum laki-laki?

    Jawaban yang diberikan adalah karena laki-laki yang lebih cocok dan mampu menjadi

    pemimpin, posisi perempuan biasanya dibawahnya, misalnya sekertaris/bendahara.30

    Berdasarkan fakta tersebut penulis menganalisa bahwa citra diri sebagain besar kaum

    perempuan di pulau Saparua tergolong rendah, mereka akan merasa aman jika mereka

    �������������������������������������������������������������28Hasil wawancara bersama majelis jemaat perempuan GPM Tuhaha,... 29 Ibid,. ���Hasil wawancara bersama majelis jemaat perempuan GPM Pia,…�

  • berada dibawah laki-laki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa salah satu

    penyebab perempuan jarang memegang jabatan pimpinan dalam struktur pelayanan

    majelis jemaat di gereja adalah karena kaum perempuan sendiri yang cenderung

    memberi diri dipimpin oleh kaum laki-laki.

    3.2.6 Budaya Patriarkhi Yang Mengakar Dalam Masyarakat dan

    Gereja

    Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab kesenjangan jender dalam

    struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua. Adanya

    budaya patriarkhi yang menomorsatukan laki-laki dalam berebagai macam posisi

    membuat perempuan menjadi tersisih dan terpojokan. Sebagai contoh: dalam

    pemilihan anggota majelis klasis Lease pendeta perempuan pun masuk dalam bakal

    calon, namun sebelum sampai pada proses pemilihan mereka mengundurkan diri

    dengan alasan memberikan kesempatan kepada senior. Parahnya senior yang

    dimaksudkan adalah pendeta laki-laki. Contoh lain misalnya: di dalam struktur

    pelayanan majelis jemaat GPM Noloth seksi kerumahtanggaan yang asumsinya harus

    dipegang oleh perempuan justru dipegang oleh laki-laki31.

    Hal ini disebabkan dalam budaya gereja di Maluku, kepemimpinan lebih sering

    dipercayakan kepada seseorang yang berpengalaman, dalam hal ini laki-laki yang

    lebih dipercaya, karena pada umumnya masyarakat Saparua mengangap bahwa laki-

    lebih berpengalaman daripada perempuan. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan

    tidak berpengalaman. Dalam wawancara bersama ketua klasis Lease, beliau

    mengatakan bahwa dogma GPM mengajarkan kesetaraan dan kemitraan antara laki-

    laki dan perempuan. Menurutnya perempuan dan laki-laki setara meskipun berbeda

    secara biologis. Perempuan juga diberikan peluang dan potensi dari Allah untuk

    menjadi pemimpin dalam gereja, sayangnya apa yang diharapkan tidak sesuai dengan

    yang terjadi di lapangan 32 . Peluang dan potensi yang diberikan tidak digunakan

    sebagaimana mestinya oleh kaum perempuan. Hal ini disebabkan dalam kehidupan

    masyarakat dan gereja di pulau Saparua masih terdapat budaya yang mengajarkan

    bahwa posisi laki-laki lebih tinggi dari perempuan 33 . Sebagai contoh : dalam

    observasi yang penulis lakukan di jemaat Tuhaha, terlihat bahwa guru sekolah minggu �������������������������������������������������������������

    31Hasil wawancara dengan pendeta jemaat Noloth, pada hari jumat tanggal 10 Agustus 2012, pukul 16.00 WIT 32Ibid,. 33Hasil wawancara bersama pendeta jemaat Noloth, Itawaka dan Ihamahu

  • di dominasi oleh kaum perempuan, sedangkan struktur pelayanan majelis jemaat

    didominasi oleh kaum laki-laki. Fakta ini membuktikan bahwa kaum laki-laki

    diidentikan sebagai pemimpin pada aras yang lebih tinggi sedangkan perempuan pada

    aras yang rendah.

    3.3 Rangkuman

    Berdasasrkan data di atas maka dapat disimpulkan, bahwa faktor penyebab

    kesenjangan jender dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM

    pulau Saparua adalah karena pada umumnya di pulau Saparua perempuanlah yang

    bekerja sebagai pencari nafkah utama “the bread winner”. Sebagai akibatnya mereka

    jarang bahkan tidak pernah terlibat dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan

    majelis jemaat di gereja. Tidak hanya sebagai pencari nafkah utama, perempuan juga

    dibebani dengan tugas-tugas domestik di dalam keluarga dan juga didukung oleh

    budaya dan penafsiran Alkitab yang menomorsatukan laki-laki.

    3.4 Refleksi Teologis

    Menurut Perjanjian Lama, majelis jemaat laki-laki dan perempuan setara

    namun berbeda secara biologis. Secara puitis kesetaraan itu di sampaikan dalam Kitab

    Kejadian pasal 1:27 “ maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,

    menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya

    mereka.” Bercermin pada ayat tersebut, kita menemukan bahwa baik laki-laki maupun

    perempuan sama martabatnya sebagai manusia dan penyandang gambar Allah 34 .

    Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terlihat dari fakta bahwa keduanya mendapat

    mandat yang sama dari Allah untuk beranak cucu dan menguasai alam (Kej.1:26, 28-

    29)35. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan diberikan kemampuan yang sama

    untuk melayani Allah dan sesama.

    Alkitab Perjanjian Lama juga mencatat bahwa peran dan kedudukan

    perempuan tidak hanya sebagai istri atau ibu melainkan sebagai mitra kerja laki-laki

    dan bahkan sebagai penasihat hikmat istana, Nabi, dan Hakim36. Contohnya : Debora

    dan Yael (Hakim 4 dan 5) yang memberikan kemenangan kepada bangsa Israel,

    �������������������������������������������������������������34 Karman, Bunga Rampai , 45. 35Ibid,. 36 Risnawaty Sinulingga, “Gender ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen”Jurnal Wawasan,

    Volume 12, Nomor 1 (Juni 2006) 49.

  • Naomi dan Rut yang menunjukan kesetiaannya pada tanah leluhur, Hana yang

    mempersembahkan Samuel, sampai pada Ester, ratu yang mengambil resiko untuk

    menyelamatkan bangsanya. Contoh di atas membuktikan bahwa peran perempuan

    dalam sejarah kehidupan bangsa Israel bukan hal yang kecil37. Perempuan diciptakan

    tidak untuk menjadi pelengkap kehidupan laki-laki dan tidak juga menjadi juru

    selamat melainkan menjadi rekan yang setara. Keduanya tidak berjalan sendiri-sendiri

    melainkan bersatu dalam kontribusi yang berbeda, saling bergantung, dan saling

    melengkapi.

    Sama halnya dengan Perjanian Lama, Perjanjian Baru pun mencatat bahwa

    laki-laki dan perempuan adalah mitra atau patner hidup yang setara dan saling

    melengkapi. Hal ini tercatat dalam 1 Korintus 11:11-12 yang menyebutkan bahwa

    “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada

    laki-laki tanpa perempuan, sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki,

    demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari

    Allah”. Gagasan ini didukung oleh Paulus dalam Gal 3:28 yang menyebutkan bahwa

    “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau

    orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di

    dalam Kristus.” Dengan bercermin pada ayat tersebut kita menemukan bahwa secara

    prinsipil tidak ada tatanan hirarkis tentang hubungan peranan majelis jemaat laki-laki

    dan perempuan. Dalam kondisi ini, majelis jemaat perempuan memiliki hak dan

    kewajiban yang sama dengan majelis jemaat laki-laki, termasuk untuk melakukan

    berbagai peran dan menempati posisi yang sesuai dengan keinginan dan ketrampilan

    dirinya.

    Sebagai mitra kerja, teman kerja atau rekan kerja yang setara, maka majelis

    jemaat perempuan dan laki-laki harus saling menolong dan menopang satu dengan

    yang lain, seperti yang dianjurkan Paulus dalam Galatia 6:2 “bertolong-tolonglah

    menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”.

    �������������������������������������������������������������37Dikutip dari bahan ceramah Pdt. Yolanda Pantau

  • IV. KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan bahwa di

    dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua

    terdapat kesenjangan jender yang mencolok, dimana jumlah majelis jemaat laki-laki

    lebih banyak dari majelis jemaat perempuan dan hampir semua pemegang jabatan

    pimpinan didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan pada umumnya

    perempuan di jemaat GPM pulau Saparua merupakan pencari nafkah utama (the

    bread winner).

    Sebagai akibatnya kaum perempuan jarang dan bahkan tidak pernah terlibat

    dalam struktur pelayanan dan kepemimpinan majelis jemaat di gereja. Hal ini

    dikarenakan sebagian besar waktunya tersita untuk melakukan tugas sebagai pencari

    nafkah utama bagi keluarga. Selain pencari nafkah utama, kaum perempuan di

    Saparua juga dibebani dengan tugas domestik yang dimilikinya. Di samping itu,

    budaya patriarkhi dan penafsiran Alkitab yang mengunggulkan laki-laki juga

    merupakan faktor penyebab kesenjangan jender dalam struktur pelayanan dan

    kepemimpinan majelis jemaat GPM pulau Saparua.

    Oleh sebab itu lewat tulisan ini penulis ingin mengusulkan beberapa hal

    kepada majelis jemaat GPM pulau Saparua sebagai suatu bentuk tindak lanjut dari

    penelitian yang telah penulis lakukan. Saran yang diusulkan kepada majelis jemaat

    GPM pulau Saparua antara lain sebagai berikut :

    a. Perlu adanya perubahan paradigma dari anggota dan majelis jemaat GPM

    pulau Saparua mengenai pembagian tugas domestik-publik dalam keluarga

    dan masyarakat. Jika perempuan sudah melakukan tugas domestik dan

    publik, maka seharusnya laki-laki pun demikian. Jika pihak laki-laki mau

    bekerja sama dan membantu pihak perempuan untuk untuk melaksanakan

    tugas di ranah publik yakni mencari nafkah bagi keluarga dan

    melaksanakan tugas-tugas domestik dalam keluarga, maka secara

    otomatis, perempuan pun dapat terlibat dalam struktur pelayanan dan

    kepemimpinan majelis jemaat di gereja.

    b. Perlu mengadakan sosialisasi mengenai kesetaraan laki-laki dan

    perempuan di berbagai kegiatan misalnya PA, seminar, Diskusi, kotbah

    dan lain-lain sebagainya.

  • c. Lebih banyak mengangkat teks-teks Alkitab yang mengandung unsur

    kemitraan, keadilan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

    sebagai bahan khotbah, PA, diskusi, dan lain-lain.

    d. Mulai memberikan kesempatan dan peluang yang sama bagi kaum

    perempuan sama seperti halnya kepada kaum laki-laki, untuk terlibat

    dalam peran dan kedudukan di gereja baik sebagai majelis jemaat maupun

    badan pengurus organisasi gerejawi.

  • • Kepustakaan

    Abineno,J.L.Ch. 2008. Penatua Jabatannya dan Pekerjaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia

    ---------------------,2003. Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia --------------------,1992. Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gereja.

    Jakarta: BPK Gunung Mulia --------------------,1983. Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia --------------------,1983. Pelayan-Pelayan Khusus : Jakarta: BPK Gunung Mulia Ahmad, Muthali. 2001. Bias Jender dalam Pendidikan. Surakarta: MVP Bolkestein, M.H. 1966. Azas-Azas Hukum Gereja. Djkarta: Badan Penerbit Kristen Daun, Paulus. Pengantar ke Dalam Administrasi Gereja, 51. Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: CV. Rajawali Fakih, Mansor. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist

    Press Hommes, Anne. 1992. Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan

    Masyarakat. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisus Hendriks, A. N. 1981. Pengatur Rumah Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Jonge, Christiaan de. 1999. Apa itu Calvinisme?. Jakarta: BPK Gunung Mulia Karman, Yonky. 2004. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: BPK

    Gunung Mulia Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: MANDAR

    MAJU Kirchberger, G. 1991. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende: Nusa Indah Moleong, Lexy. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

    Rosdakarya Bandung Nazir, Mohammad. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Balai Aksara, Yudihstira,

    Saadiyah Neufeldt (ed.), Victoria. 1984. Webster’s New World Dictionary. New York:

    Webster’s New World Clevenland Nugroho, Riant. 2008. Gender, Jakarta : Pustaka Pelajar

  • Oakley, Aan. 1985. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith Pantau, Yolanda. 2011. “Bagaimana memahami posisi dan peran perempuan dalam

    PL”. Jakarta Pramudianto. 2008.Panduan Pelayan Majelis. Jakarta: Sirao Credentia Center Rullman, J.A.C. 1956. Peraturan Geredja. DJakarta: Taman Pustaka Kwitang Retnowati. 2009. Handout Seminar Dasar. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Sinulingga, Risnawaty. 2006. “Gender ditinjau dari Sudut Pandang Agama

    Kristen”Jurnal Wawasan, Volume 12, Nomor 1 Strauch, Alexander. 2008. Diaken dalam Gereja Penguasa atau Pelayan.

    Yogyakarta: ANDI Strauch, Alexander. 2008. Kepenatuaan atau Kependetaan. Yogyakarta: ANDI Stoller, Robeth. 1968. Sex and Gender: on the development of Masculinity and

    Femininity. London: Hogarth press Sugiarti dan Handayani, Trisakti. 2002. Konsep dan teknik penelitian gender.

    Malang:Universitas Muhamadiyah Sumiyatiningsih, Dien. 2010. “Kepemimpinan Pendidikan dalam Perspetif Jender.

    Semarang” : UNES Semarang

    -----------------------------,1986. “Kedudukan Peranan Wanita dalam Pemerintahan Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”. Salatiga: UKSW

    Toerney, Helen (ed.). 1990.Women’s Studies Encylopedia Vol 1. New York: Green

    Wood Press �

    Usman, Husain. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara Vredenbregt, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT

    GRAMEDIA JAKARTA Wals, Edgar. 2008. Bagaimana Mengelola Gereja Anda. Jakarta: BPK Gunung Mulia