Upload
vuquynh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH KADAR PM10 AMBIEN DENGAN KUALITAS FISIK UDARA
DALAM RUMAH TERHADAP GEJALA ISPA PADA BALITA DI
KELURAHAN LEBAK BULUS TAHUN 2018
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
Hanun Hafiyya
1112101000078
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2018
Hanun Hafiyya
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi
PENGARUH KADAR PM10 AMBIEN DENGAN KUALITAS FISIK
UDARA DALAM RUMAH TERHADAP GEJALA ISPA PADA BALITA DI
KELURAHAN LEBAK BULUS TAHUN 2018
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2018
Disusun Oleh:
Hanun Hafiyya
NIM. 1112101000078
Mengetahui
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes
NIP. 19650808 198803 1 002
Dr. Ela Laelasari, SKM., M.Kes
NIP. 19721002 200604 2 001
iii
PANITIA SIDANG SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
HANUN HAFIYYA
NIM. 1112101000078
Jakarta, September 2018
Penguji I
Izza Hananingtyas, M.Kes
NIP. 1989021620142005
Penguji II
Siti Rahmah Lubis, MKKK
NIP. -
Penguji III
Drs. Suharno, M.Kes
NIP. 196009241985011001
iv
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 25 September 2018
HANUN HAFIYYA, NIM: 1112101000078
Pengaruh Kadar PM10 Ambien dengan Kualitas Fisik Udara dalam Rumah
Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
(xiii + 95 halaman, 21 tabel, 2 bagan, 8 gambar, 4 lampiran)
a
ABSTRAK
Latar Belakang: Kegiatan transportasi dan pembangunan infrastruktur menghasilkan
polutan berupa PM10. Pencemaran udara di DKI Jakarta telah mencapai tahap
berbahaya. Partikulat yang dihasilkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada
masyarakat terutama Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Balita merupakan
kelompok yang paling rentan menerima dampak pencemaran tersebut. Prevalensi ISPA
di Jakarta Selatan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kota administrasi
lainnya. Gejala ISPA dapat terjadi karena pajanan pencemaran udara akibat aktivitas
kendaraan yang tiggi serta pembangunan MRT di Terminal Lebak Bulus.
Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh kadar PM10 dalam udara ambien dengan kualitas
fisik udara terhadap gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
Metode: Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain studi pontong
lintang (cross sectional). Populasi penelitian adalah seluruh balita yang tinggal di area
titik pengambilan sampel PM10. Titik pengambilan sampel diambil pada 5 titik yang
tersebar pada pada radius jarak 200, 500 dan 1000 meter dari titik sumber polutan.
Hasil Penelitian: Proporsi balita yang mengalami gejala ISPA sebesar 63%. Tidak
terdapat hubungan signifikan antara gejala ISPA dengan kadar PM10 (pvalue=0,943);
suhu (pvalue =0,902); pencahayaan (pvalue =0,056); kelembaban (pvalue =0,495); ventilasi
(pvalue =0,353); dan kepadatan hunian (pvalue =0,928).
Kesimpulan: Kadar PM10 ambien di Kelurahan Lebak Bulus masih dalam syarat baku
mutu partikulat, tetapi berpotensi terjadinya peningkatan. Untuk mengurangi kadar
PM10 di udara sebaiknya dilakukan penanaman tumbuhan penyerap debu di sekitar
terminal. Masyarakat disarankan untuk meningkatkan kualitas udara di dalam rumah
dengan penggunaan ventilasi silang, memelihara tumbuhan dan menggunakan masker
di luar rumah.
Kata Kunci : PM10, kualitas fisik udara, ISPA, balita
Daftar Bacaan : 96 (1982-2018)
v
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
FACULTY OF HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
ENVIRONMENTAL HEALTH MAJOR
Undergraduate Thesis, 25 September 2018
HANUN HAFIYYA, NIM: 1112101000078
Effect of Ambient PM10 Level and Physical Air Quality on Symptoms of ARI in
Under-Five Children at Lebak Bulus Village 2018
(xiii + 95 pages, 21 tables, 2 charts, 8 pictures, 4 attachments)
ABSTRACT
Background: Transportation and infrastructure development activities produce
pollutants in the form of PM10. Air pollution in capital city of Indonesia, Jakarta, has
reached a dangerous stage. Those particulate matters cause public health problems such
as Acute Respiratory Infection (ARI). Under-five children is the most vulnerable to
receive the impact of pollution. South Jakarta has the highest prevalence of ARI
compared to other administrative cities. ARI’s symptoms can occur due to air pollution
exposure as consequent to high vehicle activity and MRT construction at Lebak Bulus
Terminal.
Objective: To determine the effect of PM10 level in ambient air and physical air quality
on symptoms of ARI in under-five children at Lebak Bulus Village 2018.
Method: Observational analytic with cross sectional study design. The study
population is all under-five children living in PM10 sampling point area. The sampling
point was taken at 5 points spread over a radius distance of 200, 500 and 1000 meters
from source point of the pollutant (terminal).
Results: The proportion of under-five children who experienced symptoms of ARI is
63%. There is no significant relationship between symptoms of ARI with PM10 levels
(pvalue=0,943); temperature (pvalue=0,902); lighting (pvalue=0,056); humidity
(pvalue=0,495); ventilation (pvalue=0,353); and occupancy density (pvalue=0,928).
Conclusion: Ambient PM10 level in Lebak Bulus Village is still in the particulate
quality standard, but have the potential to increase. To reduce PM10 level, it should be
planted dust absorbing trees around the terminal. The community is advised to improve
the air quality inside the house by using cross ventilation, maintaining plants and using
masks outside the home.
Keywords : PM10, physical air quality, ARI, under-five children
References : 96 (1982-2018)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hanun Hafiyya
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 25 Februari 1993
Agama : Islam
Alamat : Jalan Pemancingan No. 9 A 007/05 Srengseng Kembangan
Jakarta Barat
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1998-1999 : TKIT Al-Furqon
1999-2005 : SDIT Al-Furqon
2005-2008 : Pondok Pesantren Husnul Khotimah
2008-2011 : MAN 4 Jakarta
2012-Sekarang : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
RIWAYAT ORGANISASI
Anggota Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PSDM) BEM Kesehatan Masyarakat
(2014)
Anggota Divisi Sponsorship Seminar Profesi Kesehatan Lingkungan “Combat The
Neglected Tropical Disease Towards a Filariasis-Free Country by 2020” (2015)
PENGALAMAN KERJA
Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) Puskesmas Jombang, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan, Banten (2015)
Praktek Kerja Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Kemuliaan Jakarta Pusat (2016)
PELATIHAN
Peserta Training “Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja” Tahun 2015
Peserta Seminar “Manajemen Kebakaran” tahun 2015
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT penguasa yang di bumi dan langit, yang dengan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kadar
PM10 Ambien dengan Kualitas Fisik Udara dalam Rumah Terhadap Gejala ISPA pada
Balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018”.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti pada kesempatan ini mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Orang tua, ayah dan ibu, keluarga tercinta yang selalu mendoakan serta
mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan FIK dan pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan selama proses penyusunan.
3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM., M.Kes selaku Ketua Peminatan Kesehatan
Lingkungan dan pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan
arahan selama proses penyusunan.
4. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM., M.Kes., Ph.D, selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat.
5. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D, selaku Sekretaris Program Studi
Kesehatan Masyarakat.
6. Ibu Ir. Febriyanti, M.Si selaku pembimbing akademik.
7. Ibu-ibu kader Posyandu Lestari 2, Posyandu Aggrek, Posyandu Mawar 1 dan
Posyandu Mawar 2 yang telah membantu selama penelitian berlangsung.
viii
8. Ibu Izza Hananingtyas, M.Kes, Ibu Siti Rahmah Lubis, M.KKK dan Bapak Drs.
Suharno, M.Kes selaku tim penguji yang telah memberikan masukan untuk
perbaikan skripsi ini.
9. Teman-teman Harus Kurus yang telah meberikan dukungan sepanjang
perjalanan menyusun skripsi.
10. Teman-teman ENVIHSA 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
memberikan do’a dan dukungannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2012 yang saling
medoakan dan memberikan semangat.
Kepada Allah semua kembali, semoga semua bantuan yang peneliti terima menjadi
catatan baik di hadapan Allah SWT dan mendapat imbalan yang berlipat ganda, Amin.
Jakarta, 24 Agustus 2018
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ i
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN ..................................................................................................... xiv
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
1.3. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 7
1.4. Tujuan Penelitian............................................................................................. 8
1.4.1. Tujuan Umum .............................................................................................. 8
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................................................. 8
1.5. Manfaat Penelitian........................................................................................... 8
1.6. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 10
2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut .................................................................. 10
2.1.1. Penyebab ISPA .......................................................................................... 11
2.1.2. Klasifikasi ISPA ........................................................................................ 13
2.1.3. Tanda dan Gejala ISPA ............................................................................. 15
2.1.4. Cara Penularan ISPA ................................................................................. 16
2.1.5. Mekanisme Terjadinya ISPA..................................................................... 16
2.1.6. Faktor Risiko ISPA .................................................................................... 18
2.1.7. Pencegahan ISPA ...................................................................................... 20
2.2. Pencemaran Udara......................................................................................... 21
2.2.1. Outdoor Air Pollution ................................................................................ 21
2.2.2. Indoor Air Pollution .................................................................................. 23
2.3. Partikulat ....................................................................................................... 23
2.3.1. Sumber Partikulat ...................................................................................... 25
2.3.2. Faktor Meteorologis .................................................................................. 26
2.3.3. Dampak Kesehatan .................................................................................... 26
x
2.3.4. Baku Mutu Partikulat................................................................................. 27
2.4. Kualitas Udara dalam Rumah ....................................................................... 28
2.4.1. Kualitas Fisik Udara .................................................................................. 29
2.4.2. Kualitas Kimia Udara ................................................................................ 30
2.4.3. Kualitas Biologi Udara .............................................................................. 31
2.5. Kerangka Teori .............................................................................................. 32
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...................................... 34
3.1. Kerangka Konsep .......................................................................................... 34
3.2. Definisi Operasional ...................................................................................... 36
3.3. Hipotesis ........................................................................................................ 38
METODOLOGI PENELITIAN................................................................................... 39
4.1. Desain Penelitian ........................................................................................... 39
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................................... 39
4.3. Sampel Penelitian .......................................................................................... 41
4.4. Teknik Pengambilan Sampel ......................................................................... 42
4.5. Pengumpulan Data ........................................................................................ 43
4.6. Pengolahan Data ............................................................................................ 46
4.7. Analisis Data ................................................................................................. 46
4.1.1. Analisis Univariat ...................................................................................... 46
4.1.2. Analisis Bivariat ........................................................................................ 47
HASIL PENELITIAN ................................................................................................. 48
5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian........................................................... 48
5.1.1. Letak Geografis ......................................................................................... 48
5.1.2. Kependudukan ........................................................................................... 49
5.2. Analisis Univariat .......................................................................................... 49
5.2.1. Gambaran Karakteristik Balita .................................................................. 49
5.2.2. Gambaran Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
50
5.2.3. Gambaran Kadar PM10 Ambien di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018 50
5.2.4. Gambaran Kualitas Fisik Udara dalam Rumah di Kelurahan Lebak Bulus
Tahun 2018 ............................................................................................................ 51
5.3. Analisis Bivariat ............................................................................................ 54
5.2.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien dengan Gejala ISPA pada Balita ............ 54
5.2.2. Hubungan Suhu dalam Rumah dengan Gejala ISPA ................................ 54
5.2.3. Hubungan Pencahayaan dalam Rumah dengan Gejala ISPA .................... 55
5.2.4. Hubungan Kelembaban dalam Rumah dengan Gejala ISPA .................... 55
5.2.5. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Gejala ISPA ..................................... 56
xi
5.2.6. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA .................................. 56
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 57
6.1. Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 57
6.2. Gambaran Gejala ISPA ................................................................................. 57
6.3. Hubungan Kadar PM10 Ambien dengan Gejala ISPA .................................. 61
6.4. Hubungan Suhu dalam Rumah dengan Gejala ISPA .................................... 64
6.5. Hubungan Pencahayaan dalam Rumah dengan Gejala ISPA ....................... 66
6.6. Hubungan Kelembaban dalam Rumah dengan Gejala ISPA ........................ 67
6.7. Hubungan Ventilasi dalam Rumah dengan Gejala ISPA .............................. 68
6.8. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA ...................................... 71
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 75
LAMPIRAN ................................................................................................................. 83
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien berdasarkan National Ambient Air Quality
Standards US EPA ....................................................................................................... 28
Tabel 2.2 Baku Mutu Udara Ambien berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999 ................. 28
Tabel 2.3 Persyaratan Fisik Kualitas Udara dalam Rumah Berdasarkan Permenkes No.
1077 Tahun 2011 ......................................................................................................... 30
Tabel 2.4 Persyaratan Kimia Kualitas Udara dalam Rumah Berdasarkan Permenkes No.
1077 Tahun 2011 ......................................................................................................... 31
Tabel 2.5 Persyaratan Biologi Kualitas Udara dalam Rumah Berdasarkan Permenkes
No. 1077 Tahun 2011 .................................................................................................. 31
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Besar Sampel Berdasarkan Data Empiris Kaitan PM10
dengan ISPA pada Balita ............................................................................................. 42
Tabel 5.1 Distribusi Balita Menurut Kelompok Usia di Kelurahan Lebak Bulus Tahun
2018.............................................................................................................................. 49
Tabel 5.2 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin di Kelurahan Lebak Bulus Tahun
2018.............................................................................................................................. 50
Tabel 5.3 Distribusi Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
...................................................................................................................................... 50
Tabel 5.4 Distribusi Kadar PM10 Ambien di Kelurahan Lebak Bulus dari Terminal 51
Tabel 5.5 Distribusi Suhu dalam Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018 ...... 51
Tabel 5.6 Distribusi Pencahayaan dalam Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
...................................................................................................................................... 52
Tabel 5.7 Distribusi Kelembaban dalam Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
...................................................................................................................................... 52
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018 .......... 53
Tabel 5.9 Distribusi Kepadatan Hunian dalam Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun
2018.............................................................................................................................. 54
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kadar PM10 Ambien dan Gejala ISPA
...................................................................................................................................... 54
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Suhu dalam Rumah dan Gejala ISPA 54
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan dalam Rumah dan Gejala
ISPA ............................................................................................................................. 55
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban dalam Rumah dan Gejala
ISPA ............................................................................................................................. 55
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ventilasi Rumah dan Gejala ISPA .... 56
Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian dan Gejala ISPA . 56
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Representasi Skematik Distribusi Ukuran Partikel di Udara Ambien
(USEPA, 1996) ............................................................................................................ 24
Gambar 4.1 Peta Koordinat Titik Sampel .................................................................... 40
Gambar 4.2 Dusttrak II Aerosol Monitor 8530 ........................................................... 43
Gambar 4.3 Termohigrometer ..................................................................................... 44
Gambar 4.4 Lux Meter ................................................................................................. 45
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Lebak Bulus ..................................................... 48
Gambar 6.1 Cross ventilation (ventilasi silang) secara denah ..................................... 70
Gambar 6.2 Siasat cross ventilation saat kondisi tidak memungkinkan menempatkan
jendela berhadapan....................................................................................................... 70
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................................... 33
Bagan 2.1 Kerangka Konsep........................................................................................ 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
( ٥٦األعراف: {ول تفسدوا في األرض بعد إصلحها} (
“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya.” (Al-A’Raf: 56)
Allah Swt. telah melarang hamba-Nya untuk tidak melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi dan melakukan
sesuatu yang dapat merugikannya setelah diperbaiki. Karena sesungguhnya
apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan tatanannya, kemudian
terjadi pengrusakan padanya, hal tersebut akan membahayakan semua hamba
Allah Swt. (Ar-Rifa'i, 2005).
Pencemaran udara merupakan dampak dari kerusakan yang terjadi di
muka bumi dan menjadi masalah lingkungan utama yang berisiko terhadap
kesehatan. Pencemaran terjadi karena rusaknya keseimbangan lingkungan
yang menimbulkan berbagai masalah kesehatan di masyarakat. Dengan
mengurangi tingkat polusi udara, negara dapat mengurangi berbagai beban
penyakit. Semakin rendah tingkat polusi udara di suatu daerah, semakin baik
kesehatan kardiovaskular dan pernapasan penduduknya, baik untuk jangka
panjang maupun jangka pendek (WHO, 2016).
Berdasarkan data penelitian WHO yang dilakukan di 632 kota di Asia,
hanya 4 kota yang memenuhi batas bahan pencemar udara yaitu Tezpur-India,
Saporo-Jepang, Arak-Iran dan Tanah Rata-Malaysia. Artinya, 99,4% kota di
Asia memiliki tingkat kadar partikulat di atas baku mutu (Kirk & Scott, 2017).
2
Pencemaran udara partikulat di perkotaan umumnya berasal dari kegiatan
industri dan gas buang kendaraan bermotor.
Aktvitas kendaraan dan industri merupakan sebab utama tingginya
polutan di udara ibu kota, termasuk Jakarta. Menurut data BPS, pada tahun
2002 tercatat beban pencemeran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta
untuk cemaran debu sebesar 15.977,3 ton/tahun dan cenderung mengalami
peningkatan (Samsoedin, et al., 2015). Sumber lainnya berasal dari kegiatan
industri dan pembangunan infrastruktur yang berlangsung di Jakarta.
Menurut data SLHD (Status Lingkungan Hidup Daerah), Indeks Status
Mutu Udara Jakarta Selatan pada tahun 2015 berada dalam kategori
tercemaran dengan kadar PM10 rata-rata 90,729 μg / Nm3 dalam status
berpotensi lebih tercemar. Hal serupa pernah dikemukakan oleh Kepala Pusat
Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Anwar Musaddad. Berdasarkan
hasil riset yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Kemenkes, kadar polusi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah mencapai taraf berbahaya
(Nasrul, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Budi Haryonto,
peneliti Perubahan Iklim dan Kesehatan Lingkungan UI, pada tahun 2010 60%
warga Jakarta mengidap gangguan pernapasan akibat polusi udara. 25,5% di
antaranya yaitu menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Nasrul,
2015). Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian Yusnabeti, Wulandari, &
Luciana (2010), bahwa kadar PM10 yang tinggi meningkatkan risiko terkena
ISPA.
3
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih
dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus,
rongga telinga tengah, pleura) (Kemenkes, 2012). ISPA berada dalam 10
besar penyakit terkait lingkungan di dunia yang menyebabkan kematian,
sehingga penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan baik di negara
berkembang maupun negara maju (WHO, 2016).
ISPA dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu infeksi saluran
pernapasan atas dan bawah, tergantung pada organ utama yang terinfeksi
(hidung, sinus, telinga bagian tengah, laring, faring, trakea, bronkus dan paru-
paru) (Bellos, et al 2010). Populasi yang rentan terserang pneumonia adalah
anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang
yang memiliki masalah kesehatan (Kemenkes, 2016). Kelompok tersebut
rentan karena imun tubuh yang rendah.
Pneumonia termasuk dalam kategori infeksi saluran pernapasan bawah
dan merupakan infeksi penyebab kematian terbesar pada anak di seluruh
dunia. Selama tahun 2015, penumonia menjadi penyebab kematian 920.136
balita di dunia. Jumlah tersebut merupakan 15% dari seluruh jumlah
kematian pada anak berusia di bawah lima tahun (WHO, 2016).
Kejadian ISPA di Indonesia masih tinggi dilihat dari hasil Riskesdas
2013 yaitu dengan prevalensi ISPA sebesar 25%. Angka ini mengalami
penurunan dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar
25,5%. Tetapi ibu kota mengalami hal yang sebaliknya. DKI Jakarta
memiliki prevalensi ISPA sebesar 25,2% sedikit melebihi angka rata-rata
4
Indonesia, mengalami kenaikan sebesar 2,6% dari tahun 2007 dengan
kelompok yang paling banyak menderita ISPA yaitu balita usia 0-59 bulan.
Berdasarkan Riskesdas DKI Jakarta 2013, prevalensi ISPA tertinggi
dimiliki oleh Kota Administrasi Jakarta Selatan sebesar 31,3% dan diikuti
setelahnya oleh Kepulauan Seribu. Jakarta Selatan mengalami kenaikan yang
sangat pesat sejak Riskesdas 2007. Prevalensi ISPA Jakarta Selatan pada
tahun 2007 sebesar 17,7% yaitu yang terendah dari kota administrasi lain.
Sedangkan pada tahun 2013, Jakarta Selatan merupakan kota yang memiliki
prevalensi ISPA tertinggi. Dilihat dari data rekapitulasi MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit) tahun 2017, ISPA merupakan penyakit nomor satu di
Kelurahan Lebak Bulus yang dialami kelompok balita
Faktor utama yang mempengaruhi kejadian ISPA adalah lingkungan.
Indoor dan outdoor air pollution adalah faktor lingkungan utama penyebab
infeksi pernapasan (UNICEF, 2006). Maka dari itu, kualitas udara yang baik
akan menurunkan risiko terjadinya ISPA.
Jakarta Selatan saat ini memiliki beberapa pembangunan infrastruktur
antara lain pembangunan tol, underpass dan MRT (Mass Rapid
Transportation). Ketiga proyek besar ini masih berjalan dalam waktu yang
bersamaan. Tingginya aktivitas kendaraan ditambah pembangunan
infrastruktur meningkatkan konsentrasi polutan di udara termasuk PM10 yang
akhirnya akan menyebabkan dampak kesehatan.
Berdasarkan penelitian Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010),
kadar PM10 yang tinggi meningkatkan risiko terkena ISPA. Hal serupa
diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan di China terhadap anak
5
prasekolah (Liu, et al., 2013) bahwa PM10 berhubungan dengan batuk,
mengi dan dahak terus menerus.
Tidak hanya kualitas udara luar rumah saja, pencemaran udara dalam
rumah dapat berdampak pada kesehatan karena pada umumnya orang lebih
banyak menghabiskan waktu melakukan kegiatan di dalam rumah. Kualitas
udara dalam rumah tidak hanya dilihat dari keberadaan zat pencemar biologis
tetapi juga oleh kondisi fisik dan kegiatan dalam rumah. Pada penelitian
Yusup dan Sulistyorini (2005) dinyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kualitas fisik udara dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Kualitas
fisik udara dalam rumah dapat diukur dengan parameter suhu, pencahayaan,
kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian.
Perubahan suhu ekstrem pada lingkungan akan mempengaruhi fungsi
tubuh. Tubuh akan akan melakukan proses adaptasi agar dapat menerima
perubahan suhu yang terjadi di lingkungan. Hal ini terjadi untuk menjaga
keseimbangan tubuh. Perubahan suhu lingkungan yang ekstrem dapat
merusak keseimbangan tersebut dan berdampak pada kesehatan.
Pencahayaan mempunyai kaitan dengan suhu ruangan. Cahaya yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Pencahayaan
alami juga diperlukan untuk membunuh patogen penyebab penyakit
pernapasan maupun penyakit lainnya. Pertumbuhan dan penyebaran
mikroorganisme di dalam rumah juga dipengaruhi oleh kelembaban, ventilasi
dan kepadatan hunian. Kelembaban yang terlalu rendah atau tinggi dan
ventilasi yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya
pertumbuhan mikroorganisme, termasuk patogen penyebab ISPA. Kepadatan
6
hunian ditentukan dengan banyaknya jumlah penghuni dalam satu kamar
dapat meningkatkan risiko penyebaran ISPA, karena memudahkan
perpindahan patogen dari satu orang ke orang lain.
Proyek MRT dan underpass saat ini berada dalam wilayah Kelurahan
Lebak Bulus. Terminal dalam dan antar kota dengan aktivitas kendaraan yang
sangat tinggi juga berada dalam kelurahan ini. Berdasarkan penelitian
Fauziah, Rahardjo, & Dewi (2017) di terminal Kota Semarang menunjukkan
bahwa semakin banyaknya volume lalu lintas yang ada di terminal,
konsentrasi PM10 di udara ambien semakin meningkat. Penelitian yang
dilakukan di Terminal Pulo Gadung terhadap pekerja yang berada di terminal
menunjukkan bahwa pajanan PM10 berisiko terhadap gangguan kesehatan
(Fauzia & Kusumayati, 2016). Penelitian terkait PM10 akibat pengaruh
aktivitas terminal dan pembangunan di Kelurahan Lebak Bulus belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan pernyataan di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti
pengaruh kadar PM10 pada udara ambien dan kualitas udara dalam rumah
secara fisik (suhu, pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian)
dengan gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus.
1.2. Rumusan Masalah
ISPA merupakan penyakit nomor satu di Kelurahan Lebak Bulus yang
dialami kelompok balita. Kondisi ini dilihat dari trend penyakit yang dialami
balita pada 6 bulan terakhir di tahun 2017. Faktor yang memungkinkan
menjadi penyebabnya beragam, tetapi kualitas udara merupakan faktor utama
7
yang mempengaruhi kejadian ISPA. Keberadaan terminal dan tingginya
aktivitas kendaraan meningkatkan risiko pencemaran oleh PM10.
Pada umumnya balita menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam
rumah atau tidak berada jauh dari rumah. Sehingga kualitas udara menjadi
sangat penting agar terhindar dari ISPA. Kondisi rumah penduduk di
Kelurahan Lebak Bulus sangat beragam baik dilihat dari luas bangunan
maupun jenis bahan bangunannya. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas
udara dalam rumah. Maka dari itu peneliti ingin mengangkat permasalahan
PM10 ambien dari sumber polutan yaitu terminal, dan kualitas udara dalam
rumah terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus
tahun 2018?
2. Bagaimana gambaran kadar PM10 dalam udara ambien di Kelurahan
Lebak Bulus tahun 2018?
3. Bagaimana gambaran kualitas fisik udara dalam rumah (suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) di Kelurahan
Lebak Bulus tahun 2018?
4. Apakah ada hubungan antara kadar PM10 dalam udara ambien dengan
gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018?
5. Apakah ada hubungan antara kualitas fisik udara dalam rumah (suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) dengan
gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018?
8
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh kadar PM10 dalam udara ambien dengan
kualitas fisik udara terhadap gejala ISPA pada balita di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran gejala ISPA pada balita di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018.
2. Diketahuinya kadar PM10 dalam udara ambien di Kelurahan Lebak
Bulus tahun 2018.
3. Diketahuinya gambaran kualitas fisik udara dalam rumah (suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) di
Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018.
4. Diketahuinya hubungan kadar PM10 dalam udara ambien dengan
gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018.
5. Diketahuinya hubungan antara kualitas fisik udara dalam rumah
(suhu, pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian)
dengan gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus tahun
2018.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
untuk pengembangan metode pengelolaan lingkungan dan
penanggulangan pencemaran terutama pada udara.
9
1.5.2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat akan polutan terutama partikel
debu terhadap kesehatan.
1.5.3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya terkait PM10, kualitas udara dan ISPA.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar PM10 dalam
udara ambien dan kualitas udara dalam rumah secara fisik (suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala
ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus yang dilaksanakan pada bulan
Januari hingga Februari 2018. Sasaran penelitian adalah balita usia 0-59
bulan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional. PM10 diukur menggunakan alat Dusttrak II
Aerosol Monitor 8530. Dusttrak merupakan monitor partikulat yang sesuai
untuk pemeriksaan kualitas udara ambien, lingkungan atau indoor. Suhu dan
kelembaban diukur menggunakan termohigrometer, pencahayaan diukur
dengan lux meter, luas ventilasi menggunakan roll meter dan kepadatan
hunian dengan wawancara menggunakan kuesioner.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya
menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan
mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan
faktor pejamu (WHO, 2008).
Dalam Glosarium Data dan Informasi Kesehatan (Depkes, 2006), ISPA
merupakan istilah yang diadaptasi dari Acute Respiratory Infection (ARI).
Istilah ini meliputi tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan
pleura.
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Maka dapat disimpulkan bahwa ISPA merupakan penyakit yang
menyerang organ pada saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli
akibat masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang berlangsung sampai
dengan 14 hari.
ISPA biasanya hanya bersifat infeksi ringan dan dapat sembuh dengan
sendirinya sehingga tidak terlalu membutuhkan intervensi medis lebih lanjut.
Tetapi, jika tidak ditangani dengan baik dan dibiarkan sakit terus menerus,
11
dapat menyebar ke seluruh sistem pernapasan. Titik akhir yang lebih serius
dari penyakit ini adalah perawatan di rumah sakit dan kematian (Elliot &
Fleming, 2009).
2.1.1. Penyebab ISPA
Pada saat ini, lebih dari 50 organisme diidentifikasikan sebagai
penyebab utama atau mempunyai hubungan dengan infeksi saluran
pernapasan (Mandell, et al, 2006). Patogen yang menyebabkan ISPA
antara lain:
1. Virus
Lebih dari 90% infeksi pernapasan disebabkan oleh virus,
antara lain:
• Rhinovirus
25-30 persen penyebab utama infeksi saluran pernapasan atas
yaitu rhinovirus (Simoes, et al, 2006). Rhinovirus juga dapat
memicu serangan asma dan telah dikaitkan dengan infeksi
sinus dan telinga (NCIRD, 2017)
• Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan patogen
pernapasan yang paling penting dalam kehidupan awal anak.
Pada umumnya semua anak memiliki paling sedikit satu
infeksti RSV di usia 2 tahun (Couriel, 1998)
• Virus Parainfluenza
Virus parainfluenza menyebabkan beberapa infeksi saluran
pernapasan atas dan bawah, seperti rhinitis, otitis,
laringotrakeobronkhitis, bronkhiolitis, selesma (common
12
cold) dan pneumonia. Terdapat 4 serotipe virus parainfluenza
(1 sampai 4) dan 2 subtipe (4a dan 4b) (Couriel, 1998).
• Virus Influenza
Influenza tipe A dan B jarang menjadi patogen penyebab
ISPA pada balita dibandingkan dengan RSV dan
parainfluenza. Virus ini biasanya menyebabkan infeksi
saluran pernapasan atas dengan gejala demam tinggi dan
nyeri otot, tetapi juga dapat menjadi penyebab infeksi saluran
pernapasan bawah termasuk pneumonia (Couriel, 1998).
• Adenovirus
Adenovirus adalah penyebab umum dari penyakit
pernapasan, tetapi kebanyakan infeksinya tidak parah. Virus
ini dapat menyebabkan gejala flu seperti, sakit tenggorokan,
bronkitis, pneumonia, diare dan mata merah (konjungtivitis).
Adenovirus dapat menyerang semua kelompok usia, tetapi
bayi dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah
lebih berisiko terkena infeksi yang lebih parah (NCIRD,
2015).
2. Bakteri
Keterlibatan utama bakteri terhadap infeksi saluran
pernapasan pada balita berada di epiglotitis, dengan 90 persen
merupakan bakteri H. influenza tipe b yang mempunyai tingkat
mortalitas tinggi (Evans, 1982). Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia species, Legionella species dan Pneumocystis carinii
13
merupakan patogen bukan virus yang sering menjadi penyebab
pneumonia dan bronkitis akut pada anak maupun orang dewasa
(Graham, et al, 2007).
2.1.2. Klasifikasi ISPA
Secara umum pengelompokkan ISPA pada balita menggunakan
dua sistem klasifikasi yaitu sistem klasifikasi manajemem kasus (case-
management classification system) dan sistem klasifikasi klinis
(clinical classification system) (Graham, et al, 2007).
2.1.2.1. Sistem Klasifikasi Manajemen Kasus
WHO telah mengembangkan pendekatan manajemen kasus
untuk memudahkan petugas kesehatan di daerah pedesaan dalam
menentukan tingkat keparahan ISPA pada balita (Pless, 1994).
Klasifikasi ini biasanya digunakan pada negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan P2PL (2010), ISPA
dikelompokkan menjadi:
1. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun
• Pneumonia sangat berat ditandai dengan batuk dan atau sukar
bernapas serta ditemukan salah satu tanda bahaya, yaitu tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor pada waktu
anak tenang atau gizi buruk.
• Pneumonia berat ditandai dengan batuk dan atau sukar
bernapas serta tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(TDDK).
14
• Pneumonia ditandai dengan batuk dan atau sukar bernapas,
TDDK dan napas cepat.
• Bukan pneumonia ditandai dengan batuk dan atau sukar
bernapas tidak disertai TDDK dan napas cepat.
2. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan
• Pneumonia sangat berat ditandai dengan batuk dan atau sukar
bernapas serta ditemukan salah satu tanda bahaya, yaitu
kurang mau minum, kejang, kesadaran menurun, stridor pada
waktu anak tenang, wheezing, demam atau terlalu dingin.
• Pneumonia berat ditandai dengan batuk dan atau sukar
bernapas, TDDK kuat dan napas cepat
• Bukan pneumonia ditandai dengan batuk pilek biasa tanpa
ada tanda bahaya atau tanda pneumonia.
2.1.2.2. Sistem Klasifikasi Klinis
ISPA dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan organ
yang terinfeksi yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan bawah
(Simoes, et al, 2006).
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi ini merupakan hal yang umum terjadi pada setiap
manusia hingga menjadi penyebab utama hilangnya waktu kerja
pada negara maju. Jika terlambat ditangani, dapat memperparah
keadaan penderita hingga menyebabkan kerusakan organ dan
kematian (Smith, 1999).
15
Patogen infeksi saluran pernapasan atas biasanya
merupakan virus, dengan rinovirus sebagai penyebab dominan.
Infeksi bakteri pada kondisi ini akan memperparah kondisi
hingga menjadi infeksi saluran pernapasan bawah. Contoh
penyakit yang diderita yaitu rhinitis, sinusitis, infeksi telinga
dan faringitis akut atau tonsilofaringitis (Simoes, et al., 2006).
2. Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
Infeksi ini menyerang jalan napas di bawah epiglotis
termasuk di antaranya yaitu laringitis, bronkiolitis, infeksi paru-
paru seperti pneumonia, tuberkulosis dan emfisema (Hart &
Cuevas, 2007). Saat ini patogen utama penyebab infeksi saluran
pernapasan bawah yaitu RSV kemudian virus influenza (Simoes,
et al., 2006).
2.1.3. Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan yang umum
dapat berupa batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorok, pilek, sakit
telinga dan demam. Gejala lain yang timbul sesuai dengan tingkat
keparahan penyakit (P2PL, 2010).
Gejala awal ISPA biasanya berada di hidung dan paru-paru
bagian atas, yaitu berupa kongesti pada sinus atau paru-paru, pilek,
batuk, sakit tenggorokan serta badan terasa sakit dan lelah (Healthline,
2015). Apabila sakit terus berlanjut, kemungkinan akan timbul demam
dan napas cepat (Kemenkes, 2012). Beberapa gejala yang muncul pada
tahapan lanjut ISPA yaitu dapat berupa kesulitan bernapas, pusing,
16
kadar oksigen darah rendah, kehilangan kesadaran (Healthline, 2015)
dan stridor pada waktu anak tenang (P2PL, 2010).
2.1.4. Cara Penularan ISPA
Terdapat dua cara penularan penyakit ISPA yaitu transmisi
melalui udara dan dengan kontak langsung. Transmisi melalui udara
terjadi pada beberapa patogen yang menempel pada droplet nuklei
sehingga dapat dibawa oleh udara. Bahkan patogen lain dapat
menempel pada debu dan menyebar melalui sistem ventilasi (Rhinehart
& Friedman, 1999)
Penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang
diikuti oleh inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius
berbagai ukuran dan dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian
patogen (WHO, 2008).
Transmisi tersebut yaitu melalui kontak langsung, dimana droplet
pernapasan dari orang yang sakit berpindah kepada yang tidak sakit.
Cara ini disebut juga sebagai penyebaran atau transmisi droplet
(Rhinehart & Friedman, 1999). Organisme utama yang ditularkan
melalui droplet yaitu virus pernapasan. Batuk, bersin dan berbicara
menghasilkan droplet mengandung mikroorganisme patogen yang
dapat menyebar hingga 2 meter (Graham, et al, 2007).
2.1.5. Mekanisme Terjadinya ISPA
Sistem pernapasan terdiri dari kumpulan organ yang
dikelompokkan ke dalam saluran pernapasan atas (rongga hidung,
17
faring, laring, trakea) dan saluran udara yang lebih rendah (bronkus,
bronkiolus dan paru-paru). Bagian dalam dari organ-organ ini ditutupi
oleh sel-sel epitel yang merupakan penghalang fisik aktif terhadap
patogen sehingga menjadi bagian penting dari pertahanan tubuh
(Manjarrez-Zavala, et al, 2013).
Proses penyaringan, penghangatan dan pelembaban udara terjadi
pada saluran pernapasan bagian atas. Dalam proses ini, saluran
pernapasan atas terpajan berbagai jenis patogen yang dapat masuk dan
tumbuh di berbagai area. Patogen dapat bersarang dalam hidung, faring,
laring atau trakea dan dapat berpoliferasi jika daya tahan tubuh rendah
(Asih & Effendy, 2002).
Dalam keadaan normal, pertahanan dari sel epitel dapat
mengeluarkan zat-zat asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga
terhindar dari infeksi. Rongga hidung hingga percabangan bronkhial
dilapisi oleh sel epitel batang, bersilia dan berlapis semu. Dalam sel
epitel tersebut terdapat sel goblet yang memproduksi dan mengeluarkan
mukus (lendir) (Muttaqin, 2008).
dr. Herlina Ida Haryaningsih, SpTHT menjelaskan dalam majalah
Tempo (2015) bahwa, partikel debu atau patogen yang masuk ke dalam
tubuh akan melekat pada palut lendir dan partikel yang besar akan
dikeluarkan melalui reflek bersin. Apabila tidak keluar melalui reflek
bersin maka akan menempel pada mukosa sehingga menyebabkan
reaksi alergi, peradangan dan juga infeksi. Peradangan akan
merangsang keluarnya sekret berlebihan, hal ini merupakan media yang
18
baik untuk tumbuhnya bakteri. Karena gerakan silia akan mendorong
palut lendir ke belakang rongga hidung dan menuju faring, maka
patogen dalam hidung akan bergerak menuju saluran pernafasan bawah.
2.1.6. Faktor Risiko ISPA
Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan
seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat (Pusdatin,
2010). Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA antara
lain: faktor demografis berupa usia dan jenis kelamin, pencemaran
udara baik luar maupun dalam, merokok, kepadatan penduduk, gizi
buruk serta berbagai penyakit kronik (Graham, et al, 2007).
Beberapa faktor risiko yang banyak diamati oleh peneli terdahulu,
antara lain:
A. Usia
Bayi merupakan kelompok anak yang paling rentan terkena
pneumonia dibandingkan dengan kelompok anak yang lebih tua
usianya. Di negara berkembang, kejadian ISPA memuncak pada
satu tahun awal kehidupan, tetap tinggi pada tahun kedua, dan
turun drastis setelahnya (Pless, 1994).
B. Jenis Kelamin
Di negara berkembang, kejadian ISPA secara umum lebih tinggi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (sekitar 5-10
persen perbedaan), meski case fatality rate lebih tinggi pada anak
perempuan (Pless, 1994).
19
C. Status Gizi Balita
Status gizi seseorang dapat mempengaruhi kerentanan terhadap
infeksi, demikian juga sebaliknya. Balita merupakan kelompok
rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila
kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi
(Kemenkes, 2012).
D. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR merupakan faktor risiko penting yang mempengaruhi
terjadinya ISPA, banyak bukti yang telah menunjukkan angka
kematian akibat ISPA pada bayi yang lahir dengan berat badan
rendah lebih tinggi dibandingkan dengan yang lahir dengan berat
badan normal (Graham, et al, 2007).
E. Status Imunisasi
Status imunisasi dapat mempengaruhi risiko terjadinya ISPA
pada balita. Hal ini dikarenakan vaksin membantu mengurangi
kematian dengan cara mencegah infeksi secara langsung atau
infeksi akibat komplikasi penyakit lain.
F. ASI Eksklusif
Air susu ibu (ASI) mengandung nutrien, antioksidan, hormon dan
antibodi yang dibutruhkan anak untuk bertahan hidup dan
berkembang, khususnya agar sistem imun anak berfungsi dengan
baik. Bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif lima kali berisiko
mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan yang
20
diberikan secara eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupan
(UNICEF, 2006).
G. Status Sosioekonomi
Status sosioekonomi telah diukur dengan beberapa cara seperti
tingkat prestise kerja, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan.
Dalam beberapa penelitian telah dibuktikan bahwa status
sosioekonomi berpengaruh terhadap peningkatan kerentanan
balita terkena infeksi saluran pernapasan bawah (Pless, 1994).
2.1.7. Pencegahan ISPA
Upaya pencegahan terhadap ISPA dapat dilakukan dengan
imunisasi dan non-imunisasi. Pencegahan dengan imunisasi dapat
membantu mengurangi kematian akibat ISPA pada balita, yaitu:
1. Vaksinasi membantu mencegah infeksi yang dapat langsung
menyebabkan pneumonia, seperti Haemophilus influenzae type b
(Hib).
2. Vaksinasi yang mencegah ISPA sebagai bentuk komplikasi,
seperti vaksin campak.
Upaya pencegahan non-imunisasi juga perlu dilaksanakan demi
menghindari risiko terinfeksi penyakit menular termasuk ISPA.
Pencegahan ini meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian nutri
yang baik, penghindaran pajanan asap rokok dan polusi udara lain yang
berpotensi penularan, penghindaran dari kontak dengan penderita,
menghindari faktor risiko terjadinya ISPA, meperbaiki lingkungan
hidup dan sikap hidup sehat (Misnadiarly, 2008).
21
2.2. Pencemaran Udara
WHO mengartikan pencemaran udara sebagai masuknya gas, uap,
partikulat, atau unsur normal yang berlebihan jumlahnya ke dalam atmosfer
dari sumber alam atau aktivitas manusia (Agarwal, 2005).
Environmental Protection Agency (EPA) memberikan definisi
pencemaran udara sebagai kehadiran kontaminan atau bahan pencemar di
udara yang mengganggu kesehatan dan kesejahteraan manusia, atau
menghasilkan efek lingkungan berbahaya lainnya (Vallero, 2014).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999, pencemaran
udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara
ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya.
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa, pencemaran udara adalah
masuk atau dimasukkannya bahan pencemar dengan jumlah tidak normal ke
dalam udara ambien baik yang dihasilkan dari kejadian alam maupun
kegiatan manusia sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Pencemaran udara dapat dikategorikan menjadi 2 berdasarkan tempat
terjadinya yaitu indoor dan outdoor air pollution.
2.2.1. Outdoor Air Pollution
Berikut adalah bahan pencemar udara yang paling sering
ditemukan:
1. Karbon Monoksida (CO)
22
Dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna bahan-bahan
karbon. Zat ini dapat mempengaruhi kesehatan dengan
menggeser oksigen yang terikat pada hemoglobin dan
mengikatnya menjadi karboksihemoglobin (COHb), sehingga
mengurangi kapasitas darah untuk menyalurkan oksigen ke
dalam tubuh (Sumantri, 2013).
2. Nitrogen Oksida (NOx)
Nitrogen oksida (Nox) merupakan kelompok gas yang terdiri
dari berbagai jumlah molekul oksigen dan nitrogen, dimana
NO2 adalah bentuk yang paling umum ditemukan. Senyawa ini
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya masalah
pernapasan dengan menimbulkan radang pada lapisan paru-
paru dan mengurangi imunitas terhadap infeksi paru (SEPA.,
2013).
3. Belerang Oksida (Sox)
Belerang oksida adalah kelompok senyawa yang terbentuk
dari molekul sulfur dan oksigen, dimana SO2 adalah bentuk
yang paling umum ditemukan. Senyawa ini dapat
menyebabkan kesulitan bernapas apabila terhirup dan dapat
menyebabkan hujan asam ketika bereaksi dengan uap air di
udara (SEPA, 2013).
4. Partikulat
Partikulat udara menggambarkan campuran zat organik dan
anargonik yang kompleks, seperti debu, jelaga, droplet dan
23
asap. Karena ukurannya yang sangat kecil, partikulat dapat
masuk ke dalam udara dan bertahan di atmosfer. Partikulat
dapat berasal dari alam maupun hasil kegiatan manusia
(antropogenik). Ukuran partikel dari sumber antropogenik
sangat kecil sehingga dapat masuk ke dalam sistem pernapasan
dan menimbulkan dampak kesehatan (World Bank, 1999)
2.2.2. Indoor Air Pollution
Pencemaran udara dalam merupakan suatu keadaan adanya
satu atau lebih polutan dalam ruangan yang karena konsentrasinya
dapat berisiko menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya
(Kemenkes, 2011). Pencemaran udara dalam rumah pada negara
berkembang umumnya disebabkan oleh penggunaan bahan bakar
padat. Bahan bakar tersebut menghasilkan polutan dalam
konsentrasi besar akibat pembakaran yang tidak sempurna.
Hal ini dijelaskan dalam beberapa penelitian terkait
pencemaran udara dalam rumah. Penelitian di India menyatakan
bahwa pencemaran udara dalam rumah akibat bahan bakar memasak
berhubungan dengan mortalitas balita (Naz, et al., 2016).
2.3. Partikulat
Partikulat udara (airborne particulate matter) mewakili campuran
kompleks bahan organik dan anorganik. Partikulat udara ini termasuk di
antaranya yaitu debu, kotoran, jelaga, asap dan droplet cairan. Partikulat dapat
dikelompokkan berdasarkan sifat fisik yang mempengaruhi perpindahan dan
24
pengendapan di udara dan sifat kimia yang mempengaruhi dampak kesehatan
(World Bank, 1999).
Pencemaran udara partikulat (particulate air pollution) adalah
campuran partikel padat, cair atau padat dan cair yang tersuspensi dalam
udara. Berdasarkan massa dan komposisinya, partikulat cenderung dibagi
menjadi dua kelompok utama yaitu partikel kasar dan partikel halus (WHO,
2000).
1. Partikel kasar (coarse particle) adalah partikel dengan ukuran diameter
aerodinamis lebih besar dari 2,5 µm. Partikel ini secara mekanis
diproduksi oleh pecahnya partikel padat yang lebih besar.
2. Partikel halus (fine particle) adalah partikel yang kebanyakan
mempunyai diameter aerodinamis lebih kecil dari 2,5 µm. Partikel ini
sebagian besar terbentuk dari gas.
Terdapat partikel yang memiliki ukuran kurang dari 0,1 µm disebut
dengan ultrafine particle. Partikel ini sangat beracun bagi paru-paru meski
Gambar 2.1 Representasi Skematik Distribusi Ukuran
Partikel di Udara Ambien (USEPA, 1996)
25
terbentuk dari bahan yang kurang toksik ketika dalam ukuran yang lebih besar
(MacNee & Donalson, 1999). Hal ini dikarenakan ukurannya yang sangat
kecil sehingga memiliki kemampuan penetrasi yang lebih tinggi dibanding
partikel berukuran lebih besar. Maka dari itu ultrafine particle dapat
menembus jauh ke dalam paru-paru dan peredaran darah.
2.3.1. Sumber Partikulat
Partikulat dapat dihasilkan dari sumber alami atau sumber
buatan manusia (antropogenik).
1. Sumber Alami
Beberapa partikulat berasal dari sumber alami seperti
mikroorganisme, uap air laut, serbuk sari yang terbawa angin,
debu tanah, pasir halus yang terbawa angin dan letusan gunung
berapi atau erupsi geotermal lainnya.
2. Sumber Antropogenik
Partikulat yang berasal dari sumber antropogenik biasanya
dihasilkan dari proses pembakaran termasuk termasuk
pembakaran bahan bakar fosil untuk pembangkit uap,
pemanasan dan kegiatan memasak rumah tangga, pembakaran
di bidang pertanian, pembakaran mesin berbahan bakar diesel
dan berbagai proses industri lainnya.
Partikel yang berasal dari sumber alami pada umumnya merupakan
partikel kasar dan yang berasal dari sumber antropogenik adalah
partikel halus. Tetapi beberapa proses industri yang menghasilkan
debu dalam jumlah besar seperti industri semen, pertambangan,
26
penghancuran batu dan pabrik tepung, cenderung mengeluarkan
partikel yang lebih besar dari 2,5 µm (World Bank, 1999).
2.3.2. Faktor Meteorologis
Persebaran partikulat di udara sangat dipengaruhi oleh faktor
meteorologis seperti suhu, kelembaban, curah hujan, arah dan
kecepatan angin. Pada saat suhu meningkat keadaan lingkungan akan
panas dan kering sehingga memudahkan partikulat terangkat dan
melayang di udara (Cahyadi, dkk., 2016). Hal ini berbanding terbalik
dengan kelembaban relatif udara.
Pada musim kemarau kondisi suhu meningkat sehinga
konsentrasi PM10 berpotensi meningkat. Pada musim hujan
konsentrasi partikulat PM10 akan sangat kecil karena polutan yang ada
di udara akan hilang ketika terkena air hujan.
Pergerakan udara mempengaruhi nasib polutan termasuk
partikulat. Apabila udara dalam keadaan tenang atau kecepatan
angin rendah, konsentrasi polutan akan meningkat. Tetapi jika
terdapat angin besar atau kecepatan angin tinggi, polutan akan terurai
secara cepat sehingga konsentrasinya menjadi rendah (QLD, 2017).
2.3.3. Dampak Kesehatan
Jalur masuk partikulat ke dalam tubuh hanya dapat melalui
saluran pernapasan. Pengendapan partikel dalam beberapa bagian di
sistem pernapasan tergantung pada ukuran partikel, bentuk, densitas
dan pola pernapasan individu (World Bank, 1999).
27
Ukuran partikel secara langsung terkait dengan potensi
partikulat untuk menyebabkan masalah kesehatan. Partikel kecil
kurang dari 10 mikrometer diameter menimbulkan masalah terbesar,
karena bisa masuk jauh ke dalam paru-paru dan beberapa bahkan
mungkin masuk ke dalam aliran darah (USEPA, 2016).
Dampak kesehatan yang ditimbulkan partikulat dapat berupa
akut maupun kronis. Penyakit yang dihubungkan dengan partikulat
yaitu gangguan pernapasan, penyakit paru dan penyakit
kardiovaskular (CVD). Paparan jangka pendek PM10 mempengaruhi
kesehatan pernapasan sedangkan kematian akibat paparan jangka
panjang lebih terlihat pada paparan PM2.5 (WHO, 2013).
2.3.4. Baku Mutu Partikulat
Berdasarkan ukuran partikel atau diameter aerodinamisnya,
partikulat dikenal dengan 3 istilah yaitu TSP (Total Suspended
Particulate), PM10 dan PM2.5. TSP adalah partikel dengan berbagai
ukuran lebih dari 10 µm. Sedangkan PM10 dan PM2.5 merupakan
partikel berukuran kurang dari 10 µm dan 2,5 µm.
Beberapa dekade lalu, TSP digunakan sebagai standar atau baku
mutu partikulat. Tetapi seiring dengan perkembangan metode
pemantauan dan analisis data, terjadi pergeseran fokus terhadap
partikel halus. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, partikel halus yang
dapat memasuki daerah toraks saluran pernapasan merupakan faktor
peyebab gangguan kesehatan. Oleh karena itu, USEPA mengganti
TSP menjadi PM10 dan PM2.5 sebagai standar kualitas udara.
28
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien berdasarkan National
Ambient Air Quality Standards US EPA
Parameter Jenis
Dampak
Waktu
Pengukuran
Baku Mutu
PM2.5 Primer 1 Tahun 12 μg / m3
Sekunder 1 Tahun 15 μg / m3
Primer dan
Sekunder 24 Jam 35 μg / m3
PM10 Primer dan
Sekunder 24 Jam 150 μg / m3
Baku mutu udara ambien yang digunakan di Indonesia telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
Tabel 2.2 Baku Mutu Udara Ambien berdasarkan PP No. 41
Tahun 1999
Parameter Waktu Pengukuran Baku Mutu
PM10 24 Jam 150 μg / Nm3
PM2.5 24 Jam 65 μg / Nm3
1 Tahun 15 μg / Nm3
TSP 24 Jam 230 μg / Nm3
1 Tahun 90 μg / Nm3
2.4. Kualitas Udara dalam Rumah
Udara dalam rumah sangat penting peranannya pada kesehatan balita
karena waktu yang dihabiskan di dalam rumah lebih lama dibanding di luar
rumah. Pada penelitian Sinaga, Suhartono, & Hanani D. (2009) kejadian
pneumonia pada balita di Medan dapat dihubungkan dengan kualitas udara
29
dalam rumah. Oleh karena itu kualitas udara sangat penting untuk
diperhatikan agar tidak berdampak pada kesehatan.
Kualitas udara di dalam ruang rumah dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain, bahan bangunan (misal; asbes), struktur bangunan (misal;
ventilasi), bahan pelapis untuk furniture serta interior (pada pelarut
organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambient air
quality), radiasi dari Radon (Rd), formaldehid, debu, dan kelembaban yang
berlebihan (Kemenkes, 2011). Kualitas udara dalam rumah dapat dibagi
dalam kategori fisik, kimia dan biologi.
2.4.1. Kualitas Fisik Udara
Kualitas fisik udara dalam ruang rumah adalah nilai parameter
yang mengindikasikan kondisi fisik udara dalam rumah seperti
partikulat (Particulate Matter/PM2,5 dan PM10), suhu udara,
pencahayaan, kelembaban, serta pengaturan dan pertukaran udara
(Kemenkes, 2011). Pertukaran udara yang baik dapat dilihat dari
jumlah dan luas ventilasi, penggunaan exhaust fan atau air condition
yang dibersihkan secara berkala. Berdasarkan Permenkes No. 1077
Tahun 2011, rumah harus dilengkapi ventilasi minimal 10% dari luas
lantai. Kualitas fisik udara juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan
hunian di dalam rumah.
Kepadatan atau keramaian memudahkan penyebaran infeksi
pernapasan, sama halnya dengan penyakit menular lain. Kepadatan
dapat ditemukan pada jumlah anggota keluarga atau jumlah penghuni
kamar (Graham, et al, 2007). Berdasarkan penelitian Munaya &
30
Utami (2015) terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan ketentuan rumah sederhana sehat yang diatur
dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002, kebutuhan ruang per orang adalam 9 m2.
Ketentuan ini dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia dalam
rumah.
Parameter Satuan Kadar yang
dipersyaratkan
Suhu oC 18-30
Pencahayaan Lux Minimal 60
Kelembaban % Rh 40-60
Laju Ventilasi m/dtk 0.15-0.25
PM10 μg / m3 35 dalam 24 jam
PM2,5 μg / m3 ≤ 70 dalam 24 jam
2.4.2. Kualitas Kimia Udara
Kualitas kimia udara dalam ruang rumah adalah nilai parameter
yang mengindikasikan kondisi kimiawi udara dalam rumah seperti
Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Ozon, Karbon
dioksida (CO2), Karbon monoksida (CO), Timbal (Plumbum=Pb),
dan Asbes. (Kemenkes, 2011).
Tabel 2.3 Persyaratan Fisik Kualitas Udara dalam Rumah
Berdasarkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011
31
Parameter Satuan Kadar
Maksimal Keterangan
Sulfur dioksida (SO2) ppm 0,1 24 jam
Nitrogen dioksida (NO2) ppm 0,04 24 jam
Karbon monoksida (CO) ppm 9,00 8 jam
Karbondioksida (CO2) ppm 1000 8 jam
Timbal (Pb) μg / m3 1,5 15 menit
Asbes serat/ml 5 Panjang serat
5µ
Formaldehid (HCHO) ppm 0,1 30 menit
Volatile Organic
Compound (VOC)
Ppm 3 8 jam
Environmental Tobacco
Smoke (ETS)
μg / m3 35 24 jam
2.4.3. Kualitas Biologi Udara
Kualitas kimia udara dalam ruang rumah adalah nilai parameter
yang mengindikasikan kondisi biologi udara dalam rumah seperti
bakteri dan jamur. Bakteri patogen yang umum diperiksa yaitu
Legionela, Streptococcus aureus, Clostridium dan bakteri patogen
lain bila diperlukan (Kemenkes, 2011).
Parameter Waktu Pengukuran Kadar Maksimal
Jamur CFU/m3 0
Bakteri Patogen CFU/m3 0
Angka Kuman CFU/m3 < 700
Tabel 2.4 Persyaratan Kimia Kualitas Udara dalam Rumah
Berdasarkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011
Tabel 2.5 Persyaratan Biologi Kualitas Udara dalam Rumah
Berdasarkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011
32
2.5. Kerangka Teori
Berdasarkan penelitian terdahulu dan teori yang telah dijelaskan
sebelumnya, diketahui bahwa kualitas udara baik di dalam maupun luar
rumah berpengaruh terhadap kejadian berbagai penyakit termasuk ISPA.
Faktor lain yang mempengaruhi antara lain karakteristik balita dan
lingkungan sosial ekonomi. Gambaran faktor risiko ISPA tersebut dapat
dilihat dalam Bagan 2-1 Kerangka Teori berikut ini.
33
Faktor lingkungan
luar rumah:
• Suhu
• Kelembaban
• Curah hujan
• Angin
Sumber Alamiah
• Debu Tanah
• Mikroorganis
me
• Serbuk sari
• Aktivitas
gunung berapi
• Erupsi
geotermal
Saluran
Pernapasan
Udara
Ambien
Gejala Infeksi
Saluran
Pernapasan
(ISPA)
Daya Tahan
Tubuh Balita
Karakteristik Balita:
• Jenis Kelamin
• Usia
• Status Gizi
• BBLR
• Status Imunisasi
• ASI Eksklusif
• Riwayat Penyakit
Kualitas Fisik
Udara Dalam
Rumah:
• Suhu
• Pencahayaan
• Kelembaban
• Ventilasi
• Kepadatan
Hunian
Tingkat Sosial
Ekonomi
PM10
Industri
Transportasi
Mekanisasi
Bagan 2.1 Kerangka Teori
34
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan variabel yang akan
diamati atau diukur dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kadar PM10 dalam udara ambien dengan kualitas fisik
udara terhadap gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus. Faktor
yang diteliti yaitu kadar PM10 ambien dan kualitas fisik udara dalam rumah;
suhu, pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian. PM10 dan
kualitas fisik udara merupakan variabel independen dan gejala ISPA pada
balita sebagai variabel dependen.
Tidak semua variabel dalam kerangka teori diamati. Sumber PM10
(alamiah dan kegiatan industri) tidak diukur karena aktivitasnya jarang
ditemukan. PM10 yang dihasilkan didominasi oleh transportasi dan
mekanisasi atau kegiatan pembangunan yang sedang berlangsung di terminal.
Kegiatan ini meningkatkan kadar PM10 di area terminal yang sudah tinggi
akibat kegiatan pembakaran bahan bakar kendaraan. Partikel debu yang
dihasilkan dari kegiatan pembangunan akan terjatuh atau melayang di udara.
Partikel tersebut akan berpindah karena pengaruh angin atau terbawa oleh
pergerakan kendaraan. Sedangkan variabel kualitas udara selain berpengaruh
terhadap partikel debu juga mempengaruhi keberadaan mikroorganisme
penyebab ISPA.
Karakteristik balita dan tingkat sosial ekonomi tidak diteliti karena
fokus penelitian ini yaitu faktor lingkungan fisik terutama udara sebagai
35
media utama penularan ISPA. Faktor lingkungan luar rumah mempengaruhi
kadar PM10 di udara, tetapi tidak diteliti karena kondisi yang homogen dalam
satu wilayah.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Kualitas fisik udara
dalam rumah:
• Suhu
• Pencahayaan
• Kelembaban
• Ventilasi
• Kepadatan
Hunian
Gejala ISPA
pada balita
PM10 ambien
36
3.2. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Gejala ISPA
Keadaan balita yang
ditandai dengan batuk,
pilek dan atau sukar
bernapas disertai atau
tidak disertai dengan
demam, sulit menelan
atau sakit telinga dalam
14 hari terakhir saat di
wawancara (Depkes,
2006).
Kuesioner
Kuesioner terkait
gejala ISPA dengan
wawancara
1. Iya
2. Tidak Ordinal
2 Kadar PM10
Ambien
Hasil pengukuran kadar
PM10 di Kelurahan
Lebak Bulus bulan
Januari tahun 2018
Dusttrak II
Aerosol Monitor
8530
Pengukuran
menggunakan
Dusttrak II Aerosol
Monitor 8530
μg / Nm3 Rasio
3 Suhu dalam
rumah
Besaran yang
menyatakan derajat
panas dingin dalam
celcius pada bagian
rumah yang paling sering
digunakan oleh penghuni
Termohigrometer
Pengukuran
menggunakan
termohigrometer
oC Interval
37
4
Pencahayaan
dalam
rumah
Rata-rata intensitasi
penerangan sinar
matahari yang masuk ke
dalam bagian rumah
yang paling sering
digunakan oleh penghuni
Lux Meter
Pengukuran
menggunakan alat
pengukur intensitas
cahaya lux meter
lux Rasio
5
Kelembaban
dalam
rumah
Persentase jumlah
kandungan air dalam
udara pada bagian rumah
yang paling sering
digunakan oleh penghuni
Termohigrometer
Pengukuran
menggunakan
termohigrometer
%Rh Rasio
6 Ventilasi
Perbandingan luas
lubang penghawaan
permanen selain jendela
dan pintu dengan luas
bagian rumah yang
paling sering digunakan
oleh penghuni
Roll meter
Pengukuran
menggunakan roll
meter
1. Tidak Memenuhi Syarat
(luas ventilasi <10%
luas lantai)
2. Memenuhi Syarat (luas
ventilasi ≥10% luas
lantai)
(Kemenkes, 1999)
Ordinal
7 Kepadatan
Hunian
Jumlah penghuni rumah
dibandingkan dengan
luas rumah
Kuesioner
Kuesioner tentang
jumlah penghuni dan
luas rumah dengan
wawancara
1. Tidak Memenuhi Syarat
(Rasio <9m2)
2. Memenuhi Syarat
(Rasio ≥9m2)
(Menkimpraswil, 2002)
Ordinal
38
3.3. Hipotesis
3.3.1. Ada hubungan kadar ambien PM10 dengan gejala ISPA pada balita di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
3.3.2. Ada hubungan suhu dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
3.3.3. Ada hubungan kelembaban dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
3.3.4. Ada hubungan pencahayaan dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita
di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
3.3.5. Ada hubungan ventilasi dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
3.3.6. Ada hubungan kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018.
39
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini yaitu analitik observasional dengan desain studi
pontong lintang (cross sectional). Pada penelitian ini dilakukan pengukuran
terhadap variabel dependen (gejala ISPA) dan independen (kadar PM10, suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi, kepadatan hunian) secara bersamaan.
Desain studi cross sectional adalah penelitian yang mengukur dan
mengumpulkan variabel sebab (risiko) dan akibat (kasus) pada objek
penelitian secara simultan. Pengumpulan data untuk jenis penelitian ini, baik
untuk variabel independen dan variabel dependen dilakukan secara bersama-
sama (Notoatmodjo, 2010).
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni tahun 2018 di
Kelurahan Lebak Bulus Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan. Berdasarkan
laporan BMKG, pada tahun 2017 musim kemarau dimulai pada bulan Mei.
Pada tahun 2018 musim kemarau juga dimulai dari bulan Mei. Penelitian
tidak dilakukan jika hari sebelumnya turun hujan, maka pengukuran
dilakukan saat 7 hari sebelumnya tidak turun hujan.
40
Terminal Lebak Bulus merupakan titik pusat sumber polutan, yaitu
PM10 karena aktivitas kendaraan yang tinggi dan pembangunan infrastruktur
MRT. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan arah angin rata-rata di
Jakarta Selatan. Berdasarkan Laporan Jakarta Selatan dalam Angka tahun
2015 dan 2016, arah angin rata-rata Jakarta Selatan yaitu ke arah selatan dan
rata-rata kecepatan angin 2,06 m/s dan 2,11 m/s. Berdasarkan laporan cuaca
BMKG, rata-rata kecepatan angin tahun 2018 di sekitar Kelurahan Lebak
Bulus yaitu sebesar 1,52 m/s. Kecepatan angin yang rendah menyebabkan
partikulat tidak terbang terlalu jauh dari sumber polutan. Maka dari itu,
Kelurahan Lebak Bulus yang berada di arah selatan Terminal Lebak Bulus
dijadikan tempat penelitian.
Keterangan :
: Titik pusat polutan
: Radius 500 meter
: Radius 1000 meter
: Titik sampling udara
Sumber : Google Earth
Skala 1:200 m
Gambar 4.1 Peta Koordinat Titik Sampel
41
Berdasarkan SNI 19-7119.6-2005 terkait penentuan lokasi
pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien, terdapat
beberapa kriteria antara lain arah angin dominan, lokasi atau dekat sumber
polutan pada area pemukiman dan minimal satu titik pada arah angin
berlawanan.
Titik pengambilan sampel diambil pada 2 titik dekat dengan terminal,
2 titik masing-masing pada jarak 500 dan 1000 meter dari titik sumber
polutan. Pada penelitian Suhariyono (2002), pengukuran PM10 dilakukan
pada radius 500 meter antar titik dan menunjukkan perbedaan konsentrasi
yang cukup besar. Pada radius 500 meter hanya diambil satu titik karena
sebagian wilayahnya merupakan milik Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Sehingga terdapat 5 area yang tersebar pada wilayah kerja 4 posyandu, yaitu
Posyandu Lestari 2, Posyandu Aggrek, Posyandu Mawar 1 dan Posyandu
Mawar 2.
4.3. Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah balita usia 0-59 bulan yang tinggal di 4
posyandu yang berada di Kelurahan Lebak Bulus. Dalam penelitian ini
jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi proporsi sebagai berikut:
𝑛 = 𝑍1−𝛼 2⁄ √2�� (1 − ��) + 𝑍1−𝛽√𝑃1(1 − 𝑃1) + 𝑃2(1 − 𝑃2)
(𝑃1 − 𝑃2)2
n = besar sampel minimal masing-masing kelompok
1-α = derajat kemaknaan (pada penelitian ini digunakan α=5% ; Z1-α/2=1,96)
1-β = kekuatan uji (pada penelitian ini digunakan β=10% ; Z1-β=1,28)
P1 dan P2= proporsi penelitian sebelumnya
42
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Besar Sampel Berdasarkan Data
Empiris Kaitan PM10 dengan ISPA pada Balita
Penelitian P1 P2 n x 2
(Padmita & Wulandari,
2014) 0,667 0,213 46
(Gertrudis, 2010) 0,727 0,463 142
(Fahimah, et al., 2014) 0,688 0,333 80
(Lindawaty, 2010) 0,746 0,339 60
Berdasarkan perhitungan besar sampel di atas maka didapatkan jumlah
yang diambil sebanyak 60 balita usia 0-59 bulan. Jumlah ini diambil dengan
pertimbangan kesanggupan peneliti.
Jumlah balita pada 4 posyandu yaitu 233 balita, maka proporsi balita
pada masing-masing posyandu:
• Posyandu Lestari 2 = 85/233 x 60 = 22
• Posyandu Anggrek = 60/233 x 60 = 15
• Posyandu Mawar 1 = 50/233 x 60 = 13
• Posyandu Mawar 2 = 38/233 x 60 = 10
4.4. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel ditentukan berdasarkan metode purposive sampling karena
disesuaikan dengan daerah titik pengambilan sampel PM10 dan untuk
memastikan bahwa sampel berada dalam area pengukuran. Metode ini
merupakan teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara
populasi sesuai dengan yang diinginkan peneliti berdasarkan kriteria yang
telah ditentukan. Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
43
1. Responden adalah ibu rumah tangga (IRT) yang memiliki balita.
2. Bertempat tinggal di Kelurahan Lebak Bulus.
3. Responden bersedia diwawancara.
Adapun kriteria eksklusinya, yaitu:
1. Ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah.
2. Ada riwayat gizi buruk.
4.5. Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan wawancara dan
melakukan pengukuran PM10 ambien, suhu, pencahayaan dan kelembaban
menggunakan alat berikut:
A. Pengukuran PM10 Ambien
Pengukuran kadar PM10 menggunakan alat Dusttrak II Aerosol
Monitor 8530. Sebelum melakukan pengukuran dilakukan kalibrasi
alat terlebih dahulu, berikut prosedurnya:
1. Pasang Zero Filter pada bagian inlet instrumen.
2. Nyalakan alat dengan menekan tombol power.
3. Pada layar instrumen, pilih menu setup.
4. Pilih menu Zero Cal untuk kalibrasi kemudian tekan start.
(Sumber: www.tsi.com diakses pada 25 Mei 2018)
Gambar 4.2 Dusttrak II Aerosol Monitor 8530
44
5. Pada layar diberitahukan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan
kalibrasi. Layar akan menampilkan “Zero Cal Complete” saat
kalibrasi selesai.
Sebelum melakukan pengukuran, pilih dan pasang impactor
pada instrument untuk pengukuran PM10. Berikut adalah prosedur
pengukurannya:
1. Lakukan konfigurasi pada menu run mode terlebih dahulu untuk
menentukan berapa lama pengukuran dilakukan. Pada penelitian
ini pengukuran dilakukan selama 30 menit.
2. Pilih menu main untuk kembali ke display utama.
3. Saat instrumen menyala dan tidak melakukan pengukuran tombol
start berwarna hijau, pilih start.
4. Saat melakukan pengukuran, layar akan menampilkan hasil
pengukuran aktual.
B. Pengukuran Suhu dan Kelembaban
Pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan alat
termohigrometer digital. Prosedur pengukurannya sebagai berikut:
(Sumber: www.alatuji.com diakses pada 25 Mei 2018)
Gambar 4.3 Termohigrometer
45
1. Meletakkan termohigrometer pada tempat yang akan di ukur
kelembaban dan suhu udaranya.
2. Nyalakan alat dengan menekan tombol power.
3. Tunggulah tiga sampai lima menit.
4. Amati hasil pengukuran yang terdapat pada layar.
C. Pengukuran Pencahayaan
Pengukuran pencahayaan menggunakan alat lux meter.
Prosedur pengukurannya sebagai berikut:
1. Nyalakan instrumen dengan menekan tombol power.
2. Pilih kisaran range yang akan diukur (2.000 lux, 20.000 lux atau
50.000 lux) pada tombol Range. Pada penelitian ini range yang
dipilih yaitu 2.000 lux.
3. Arahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang akan diukur
kuat penerangannya.
4. Lihat hasil pengukuran pada layar.
D. Pengukuran Ventilasi
Pengukuran luas lantai ruangan yang paling sering digunakan
serta luas ventilasi selain jendela di ruang tersebut. Pengukuran
Gambar 4.4 Lux Meter
46
dilakukan oleh satu atau dua orang dengan merentangkan roll meter dari
satu ujung dengan angka nol ke ujung yang berbeda pada objek yang
diukur dan baca angka yang tertera.
4.6. Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui serangkaian tahapan:
1) Data Coding merupakan kegiatan mengelompokkan data dan memberi
kode pada jawaban kuesioner.
2) Data Editing merupakan kegiatan pengecekan dan perbaikan isian
kuesioner untuk memastikan jawaban pada kuesioner sudah lengkap,
jelas dan relevan, dan konsisten.
3) Data Entry merupakan kegiatan memasukkan data dari kuesioner ke
dalam program komputer.
4) Data Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang
sudah dimasukkan untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-
kesalahan kode atau ketidaklengkapan.
4.7. Analisis Data
4.1.1. Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi masing-
masing variabel. Variabel tersebut meliputi gejala ISPA, kadar PM10,
suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi dan kepadatan hunian. Data
dibedakan berdasarkan jenis variabel yaitu numerik dan kategorik
kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
47
4.1.2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antar 2 variabel,
independen dan dependen. Dalam penelitian ini analisi bivariat
dilakukan untuk melihat hubungan antara kadar PM10, suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian dengan
gejala ISPA. Analisis bivariat yang digunakan yaitu uji parametrik dan
non parametrik, mann-whitney, karena terdapat variabel yang tidak
berdistribusi normal.
Uji parametrik yang digunakan yaitu uji t untuk variabel numerik
dan uji chi-square untuk variabel kategorik. Uji t digunakan untuk
menjawab pertanyaan terkait hubungan kadar PM10, kelembaban dan
pencahayan dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita. Sedangkan
uji chi-square digunakan untuk menjawab hubungan ventilasi dan
kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita. Uji mann-whitney
digunakan untuk menjawab pertanyaan terkait hubungan suhu dengan
gejala ISPA pada balita.
Hipotesis diterima apabila nilai pvalue<0,05, artinya terdapat
hubungan antara variabel independen dengan dependen. Hipotesis
ditolak apabila nilai pvalue>0,05, artinya tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan dependen dan besarnya risiko variabel
independen terhadap variabel dependen dilihat dari nilai OR (Odds
Ratio). Hasil analisis bivariat disajikan dalam bentuk tabel.
48
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.1.1. Letak Geografis
Kelurahan Lebak Bulus berada di Kecamatan Cilandak, Jakarta
Selatan. Kelurahan Lebak Bulus memiliki luas wilayah sebesar 4,11 km2
dengan 9 RW dan 79 RT. Terdapat Terminal Lebak Bulus dan sedang
dilakukan pembangunan Statsiun MRT. Batas-batas wilayah Kelurahan
Lebak Bulus, yaitu:
Utara : Kelurahan Pondok Pinang, Kota Jakarta Selatan
Selatan : Kelurahan Cinere, Kota Depok
Timur : Kelurahan Pondok Labu, Kota Jakarta Selatan
Barat : Kelurahan Cilandak Barat, Kota Jakarta Selatan
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Lebak Bulus
49
5.1.2. Kependudukan
Wilayah Kelurahan Lebak Bulus yang digunakan untuk perumahan
sebesar 92,40%, tertinggi di antara kelurahan lainnya. Populasi
penduduknya yaitu 41.587 jiwa dengan komposisi 20.806 berjenis kelamin
laki-laki dan 20.791 perempuan. Kepadatan penduduk di kelurahan ini
yaitu 10.111,08 jiwa/km2. Terdapat 1 puskesmas, 16 posyandu dan 35
dokter praktek (BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2018).
5.2. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian
terkait gambaran gejala ISPA, kadar PM10 ambien, kualitas fisik udara (suhu,
pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian) dalam rumah di
Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018.
5.2.1. Gambaran Karakteristik Balita
5.2.1.1. Usia
Tabel 5.1 Distribusi Balita Menurut Kelompok Usia
di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
Usia (bulan) Frekuensi Persentase (%)
0 – 11 11 18,33
12 – 35 26 43,33
36 – 59 23 38,33
Total 60 100
Berdasarkan Tabel 5.1, sebagian besar balita merupakan kelompok
usia 12-35 bulan yaitu sebanyak 26 (43,33%) balita, kemudian kelompok
usia 36-59 bulan sebanyak 23 (38,33%) balita dan kelompok 0-11 bulan
dengan jumlah balita 11 (18,33%).
5.2.1.2. Jenis Kelamin
50
Tabel 5.2 Distribusi Balita Menurut Jenis Kelamin di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 37 62
Perempuan 23 38
Total 60 100
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa jumlah balita dengan jenis
kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan balita perempuan
dilihat dari jumlah laki-laki yaitu 37 (62%) dan perempuan 23 (38%).
5.2.2. Gambaran Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan Lebak Bulus
Tahun 2018
Gejala ISPA dilihat dari hasil wawancara dengan responden mengenai
gejala-gejala yang pernah dialami balita dalam 3 pertanyaan yang masing-
masing diberi skor 0-1. Total skor menentukan apakah balita mengalami
gejala ISPA. Berikut adalah hasil analisis ditribusi frekuensi balita yang
mengalami gejala ISPA.
Tabel 5.3 Distribusi Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018
Gejala ISPA Frekuensi Persentase (%)
Iya 38 63
Tidak 22 37
Total 60 100
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa 63% balita di Kelurahan
Lebak Bulus mengalami gejala ISPA dan 37% lainnya tidak.
5.2.3. Gambaran Kadar PM10 Ambien di Kelurahan Lebak Bulus
Tahun 2018
Pengukuran kadar dilakukan di daerah terbuka sesuai dengan SNI 19-
7119.6-2005 untuk menghindari adanya gangguan yang dapat merubah
51
hasil pengukuran. Berikut adalah hasil pengukuran kadar PM10 udara
ambien pada 5 titik pengukuran di Kelurahan Lebak Bulus tahun 2018.
Tabel 5.4 Distribusi Kadar PM10 Ambien di Kelurahan Lebak
Bulus dari Terminal
Jarak Titik Kadar (μg
/ Nm3)
Rata-Rata
Kadar (μg
/ Nm3)
Mean Median
200 meter 1 1,27
1,75
1,317 1,11
2 2,23
500 meter 3 1,51 1,51
1000
meter
4 1,02 1,065
5 1,11
Berdasarkan Tabel 5.4 kadar PM10 tertinggi yaitu berada di jarak 200
meter dari terminal yaitu 2,23 μg / Nm3 dan terendah pada jarak 1000 meter
dari terminal yaitu 1,02 μg / Nm3 dengan kadar rata-rata yaitu 1,317 μg /
Nm3. Artinya, semakin dekat dengan sumber pencemaran semakin tinggi
kadar PM10 ambiennya.
5.2.4. Gambaran Kualitas Fisik Udara dalam Rumah di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018
Pengukuran variabel kualitas fisik udara dilakukan menggunakan alat
ukur yaitu termohigrometer untuk suhu dan kelembaban, lux meter untuk
pencahayaan dan roll meter untuk ventilasi. Sedangkan kepadatan hunian
dilihat dari hasil wawancara dengan responden.
5.2.4.1. Suhu
Tabel 5.5 Distribusi Suhu dalam Rumah di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018
Suhu Mean Median SD Nilai
Min
Nilai
Max 95%CI
Suhu dalam
rumah 32,57 32,05 1,25 30,7 35,1
32,25-
32,90
52
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa rata-rata suhu dalam
rumah di Kelurahan Lebak Bulus yaitu 32,57oC dengan standar deviasi
1,25oC. Suhu dalam rumah terendah yaitu 30,7oC dan yang tertinggi
yaitu 35,1oC. Berdasarkan hasil estimasi interval disimpulkan bahwa
95% diyakini suhu dalam rumah responden adalah 32,25oC sampai
32,90oC.
5.2.4.2. Pencahayaan
Tabel 5.6 Distribusi Pencahayaan dalam Rumah di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
Pencahayan Mean Median SD Nilai
Min
Nilai
Max 95%CI
Pencahayaan
dalam rumah 39,07 30,5 4,31 2 143
30,44-
47,69
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa rata-rata pencahayaan
dalam rumah di Kelurahan Lebak Bulus yaitu 39,07 lux dengan standar
deviasi 4,31 lux. Pencahayaan dalam rumah terendah yaitu 2 lux dan
yang tertinggi yaitu 143 lux. Berdasarkan hasil estimasi interval
disimpulkan bahwa 95% diyakini pencahayaan dalam rumah responden
adalah 30,44 lux sampai 47,69 lux.
5.2.4.3. Kelembaban
Tabel 5.7 Distribusi Kelembaban dalam Rumah di
Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
Kelembaban Mean Median SD Nilai
Min
Nilai
Max 95%CI
Kelembaban
dalam rumah 63,02 62 7 47 77
61,07-
64,96
Berdasarkan Tabel 5.7 diketahui bahwa rata-rata kelembaban
dalam rumah di Kelurahan Lebak Bulus yaitu 63,02%Rh dengan
standar deviasi 7%Rh. Kelembaban dalam rumah terendah yaitu
53
47%Rh dan tertinggi 77%Rh. Berdasarkan hasil estimasi interval
didapatkan bahwa 95% diyakini kelembaban dalam rumah adalah
61,07%Rh sampai 64,96%Rh.
5.2.4.4. Ventilasi
Pengamatan ventilasi dilihat dari jumlahnya dibandingkan
dengan luas ruangan. Menurut Permenkes No. 1077 Tahun 2011,
ventilasi minimal dalam rumah yaitu 10% dari luas lantai. Responden
yang memiliki ventilasi dengan kriteria tersebut dianggap memenuhi
syarat.
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi Rumah di Kelurahan
Lebak Bulus Tahun 2018
Ventilasi Jumlah Persentase (%)
Memenuhi syarat 15 25
Tidak memenuhi syarat 45 75
Total 60 100
Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa jumlah responden yang
memiliki ventilasi memenuhi syarat sebanyak 25%. Jumlah ini lebih
sedikit daripada responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi
syarat yaitu sebanyak 45 responden atau 75%.
5.2.4.5. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dilihat dari hasil wawancara dengan responden
mengenai jumlah penghuni dalam rumah, kemudian dibandingkan
dengan luas rumah. Hasil perhitungan dikelompokkan berdasarkan
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002 yaitu minimal kebutuhan ruang per orang adalah 9
m2. Responden dengan kepadatan hunian dalam rumah sesuai dengan
kriteria tersebut dianggap memenuhi syarat.
54
Tabel 5.9 Distribusi Kepadatan Hunian dalam
Rumah di Kelurahan Lebak Bulus Tahun 2018
Kepadatan Hunian Jumlah Persentase (%)
Memenuhi syarat 35 58,33
Tidak memenuhi syarat 25 41,67
Total 60 100
Berdasarkan Tabel 5.9 kepadatan hunian yang memenuhi syarat
yaitu 35 (58,33%) rumah dan tidak memenuhi syarat sebanyak 25
(41,67%) rumah.
5.3. Analisis Bivariat
5.2.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien dengan Gejala ISPA pada Balita
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kadar
PM10 Ambien dan Gejala ISPA
Gejala
ISPA N Mean pvalue
Tidak 22 1,308 0,943
Iya 38 1,322
Rata-rata kadar PM10 pada balita yang tidak mengalami gejala ISPA
adalah 1,308 μg / Nm3 dan yang mengalami gejala ISPA 1,322 μg / Nm3.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui pvalue yaitu 0,943 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kadar PM10
dengan gejala ISPA.
5.2.2. Hubungan Suhu dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Suhu dalam
Rumah dan Gejala ISPA
Gejala ISPA Mean pvalue N
Tidak 30,86 0,902
22
Iya 30,29 38
Rata-rata suhu dalam rumah balita yang tidak mengalami gejala ISPA
adalah 30,86oC dan yang mengalami gejala ISPA 30,29oC. Berdasarkan
55
hasil uji statistik diketahui pvalue yaitu 0,902 maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan signifikan antara suhu dalam rumah dengan
gejala ISPA.
5.2.3. Hubungan Pencahayaan dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Pencahayaan
dalam Rumah dan Gejala ISPA
Gejala
ISPA Mean SD SE pvalue N
Tidak 36,602 2,222 1,196 0,056
22
Iya 22,824 2,549 1,164 38
Rata- rata pencahayaan rumah balita yang tidak mengalami gejala
ISPA adalah 36,602 lux dengan standar deviasi 2,222 lux, sedangkan yang
mengalami gejala ISPA yaitu 22,824 lux dengan standar deviasi 2,549 lux.
Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,056, artinya pada alpha 5%
tidak ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dalam rumah
dengan gejala ISPA.
5.2.4. Hubungan Kelembaban dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kelembaban
dalam Rumah dan Gejala ISPA
Gejala
ISPA Mean SD SE pvalue N
Tidak 62,14 6,700 1,428 0,495
22
Iya 63,53 7,999 1,298 38
Rata-rata kelembaban dalam rumah pada balita yang tidak mengalami
gejala ISPA adalah 62,14%Rh dengan standar deviasi 6,7%Rh sedangkan
pada yang mengalami gejala ISPA adalah 63,53%Rh dengan standar
deviasi 7,999 =%Rh. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,495, artinya
pada alpha 5% tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban
dalam rumah dengan gejala ISPA.
56
5.2.5. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Gejala ISPA
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ventilasi Rumah
dan Gejala ISPA
Ventilasi
Gejala ISPA Total
pvalue OR
(95%CI) Ya Tidak
N % N % N %
Tidak Memenuhi 27 60 18 40 45 100
0,353 0,545 (0,15-
1,982) Memenuhi Syarat 11 73,3 4 26,7 15 100
Total 38 63,3 22 36,7 60 100
Sebanyak 27 (60%) balita yang mengalami gejala ISPA memiliki
ventilasi yang tidak memenuhi syarat dan 11 (73,3%) balita memiliki
ventilasi memenuhi syarat. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh pvalue
sebesar 0,353, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi
dengan gejala ISPA pada balita.
5.2.6. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA
Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan
Hunian dan Gejala ISPA
Kepadatan
Hunian
Gejala ISPA Total
pvalue OR
(95%CI) Ya Tidak
N % N % N %
Tidak Memenuhi 16 64 9 36 25 100
0,928 1,051 (0,362-
3,051) Memenuhi Syarat 22 62,9 13 37,1 35 100
Total 38 63,3 22 36,7 60 100
Sebanyak 16 (64%) balita yang mengalami gejala ISPA memiliki
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat dan 22 (62,9%) balita
dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Berdasarkan hasil uji
statistik diperoleh pvalue sebesar 0,928, artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita.
57
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
1. Recall bias dapat terjadi ketika responden mengalami kesulitan mengingat
kembali kondisi yang ditanyakan.
2. Bias informasi dapat terjadi ketika pengukuran, meski alat telah dikalibrasi
masih ada kemungkinan terjadi kesalahan analisis dan pembacaan hasil
pengukuran.
3. Pemeriksaan kadar PM10 dalam udara ambien dan kualitas udara dalam
rumah tidak dilakukan bersamaan dan tidak 24 jam karena keterbatasan
jumlah alat.
6.2. Gambaran Gejala ISPA
ISPA merupakan gangguan pernapasan yang mencegah fungsi
pernapasan normal. Pada umumnya bermula sebagai infeksi virus di hidung,
trakea (tenggorokan), atau paru-paru. Iritan yang masuk ke dalam saluran
pernapasan dapat berupa polutan atau partikulat. Apabila partikel PM10
masuk ke dalam tubuh, akan melekat pada palut lendir dan menempel pada
mukosa sehingga menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan juga infeksi.
Jika tidak diobati akan menyebar ke seluruh sistem pernapasan. Infeksi
pernapasan akut mencegah tubuh mendapatkan oksigen dan dapat
menyebabkan kematian.
Tetapi ISPA merupakan penyakit multifaktor, artinya penyebab
terjadinya ISPA tidak hanya karena satu faktor, antara lain yaitu faktor
demografis, karakteristik balita, perilaku serta faktor lingkungan.
58
Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, faktor risiko penyakit ini antara lain
usia, jenis kelamin, tingkat sosioekonomi, perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), daya tahan tubuh balita, juga kebiasaan merokok anggota keluarga.
Lingkungan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya ISPA.
Faktor risiko lingkungan paling utama penyakit ini adalah kualitas udara baik
di luar maupun dalam rumah seperti suhu, kelembaban, keberadaan debu,
curah hujan, angin, keberadaan polutan di dalam rumah dan lainnya.
Menurut Winslow, setiap gram debu jalan mengandung kurang lebih 50
juta bakteri, sedangkan debu yang berada di dalam ruangan diperkirakan
mengandung 5 juta bakteri per gram (Azwar, 1989). Balita sangat rentan
terhadap efek polusi udara. Ketika mereka bernapas melalui mulut, efek
penyaringan dari saluran hidung terlewatkan dan memungkinkan polutan
masuk lebih dalam ke paru-paru. Balita juga memiliki rasio luas permukaan
terhadap volume paru-paru yang relatif tinggi dan laju pernapasan yang lebih
cepat. Artinya balita sudah menyerap jumlah kontaminan yang lebih dari
ukuran tubuh mereka dibandingkan orang dewasa (PSR, 2009).
Penentuan diagnosis penyakit umumnya dilakukan oleh tenaga medis
dengan wawancara medis dan pemeriksaan fisik. WHO telah
mengembangkan klasifikasi ISPA untuk memudahkan petugas kesehatan
berdasarkan gejala-gejala yang dialami balita. Berdasarkan klasifikasi
tersebut, gejala minimal yang dimiliki balita penderita ISPA yaitu batuk pilek
atau juga disebut common cold. Pada penelitian ini gejala ISPA ditentukan
berdasarkan hasil wawancara dengan responden mengenai ada tidaknya
gejala ISPA yang dialami oleh balita. Berdasarkan hasil penelitian dari 60
59
balita di Kelurahan Lebak Bulus, sebagian besar balita mengalami gejala
ISPA. Hal ini juga dapat dilihat pada penelitian di sekitar Terminal Induk Km.
6, warga pemukiman sekitar biasa mengalami gangguan pernapasan seperti
batuk berlendir, sulit bernapas yang menunjukan gejala ISPA (Niswanti, dkk.
2013).
Persentase balita yang mengalami ISPA tertinggi berada di jarak radius
500 meter yaitu 70% balita di area tersebut mengalami ISPA. Meski yang
tertinggi bukan di area yang paling dekat dengan sumber polutan, akan tetapi
penyakit ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga, selain keberadaan
polusi di udara sekitar terminal ada juga faktor lain seperti karakteristik balita,
sanitasi lingkungan rumah, kualitas udara dalam rumah serta kerapatan
pemukiman. Sebagian besar balita di area ini didominasi oleh kelompok 0-11
bulan. Kemungkinan daya tahan tubuh balita belum terbentuk secara baik.
Untuk menghindari peningkatan proporsi balita yang mengalami gejala
ISPA dapat dilakukan pencegahan. Pencegahan untuk mengendalikan ISPA
dapat dibagi menjadi 4 kategori dasar berdasarkan John T. J dalam Simoes,
et al. (2006), yaitu imunisasi patogen spesifik, diagnosis dan pengobatan dini,
perbaikan gizi serta sanitasi lingkungan.
Berdasarkan kriteria eksklusi sampel, tidak ada responden yang
mempunyai riwayat gizi buruk dan dilihat dari hasil wawancara, 85% balita
sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Perlakuan awal terhadap balita yang
sudah mengalami gejala ISPA dapat dilakukan oleh ibu atau keluarga dengan
cara meningkatkan daya tahan tubuh balita dan mencegah agar tidak semakin
60
parah. Apabila tidak dapat ditangani di rumah, harus segera dibawa ke
pelayanan kesehatan untuk penanganan lebih lanjut.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Attirmidzi disebutkan bahwa
sanitasi lingkungan merupakan salah satu upaya menjaga kebersihan dan
dianjurkan untuk tidak meniru orang-orang Yahudi yang suka menumpuk
sampah di halaman rumahnya (Almath, 2008), karena sampah merupakan
sumber berbagai macam penyakit.
طي ب يحب اطي ب، نظيف يحب النظافة، كريم يحب الكرم جواد يحب الجود، إن للا
فوا افنيتكم ول تشبهوا بليهود ف )الترمذي(نظ
“Sesungguhnya Allah swt. itu baik dan menyukai kebaikan, bersih dan
menyukai kebersihan, murah hati dan senang kepada kemurahan hati,
dermawan dan senang kepada kedermawanan. Karena itu bersihkanlah
halaman rumahmu dan jangan meniru orang-orang Yahudi.” (HR.
Attirmidzi)
Selain menjaga sanitasi lingkungan, pencegahan lain yang dapat
dilakukan di rumah yaitu upaya penyehatan udara dalam rumah dengan cara
memiliki ventilasi 10% dari luas lantai ruang, rutin membuka jendela agar
terjadi pertukaran udara, mengatur tata letak ruang, menggunakan exhaust fan,
tidak merokok di dalam rumah serta menghindari penggunaan bahan bakar
rumah tangga yang menghasilkan polutan berbahaya (Kemenkes, 2011).
Membiasakan anak mencuci tangan dan mengganti baju setelah bermain di
luar rumah dapat mencegah debu bertahan di dalam rumah serta penggunaan
masker ketika anak sedang bermain di luar rumah.
61
6.3. Hubungan Kadar PM10 Ambien dengan Gejala ISPA
Pengukuran kadar PM10 dilakukan sewaktu pada pukul 11.00-14.00
WIB dengan menggunakan Dusttrak II Aerosol Monitor 8530 masing-masing
titik selam 30 menit, serta 7 hari sebelumnya tidak hujan karena partikel
terhirup PM10 dapat terbawa air hujan. Hasil pengukuran PM10 di Kelurahan
Lebak Bulus tidak ada yang melewati baku mutu menurut PP No. 41 Tahun
1999 yaitu sebesar 150 µg/m3. Faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain
kecepatan angin saat dilakukan pengukuran berkisar 0,2 m/s. Kecepatan
angin tersebut termasuk dalam kategori tenang menurut Skala Beaufort. Pada
kondisi ini, angin tidak mengangkat debu yang mengendap di permukaan
sehingga kadar debu di titik pengukuran rendah.
Hal lain yang mempengaruhi yaitu kerapatan vegetasi di Kelurahan
Lebak Bulus. Berdasarkan penelitian Lufilah, dkk. (2017) Jakarta Selatan
merupakan wilayah di Jakarta yang memiliki area hijau terluas. Hal ini juga
dapat ditemukan di Kelurahan Lebak Bulus yang memiliki beberapa RTH
(ruang terbuka hijau) dan masih terdapat lahan yang termasuk dalam kategori
vegetasi jarang, sedang maupun lebat seperti rumput, semak dan pepohonan.
Berdasarkan analisis distribusi kadar PM10 pada balita yang mengalami
gejala ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami gejala
ISPA, meski perbedaan rata-ratanya tidak terlalu besar. Berdasarkan jarak
pengukuran dengan terminal, terlihat bahwa semakin jauh semakin rendah
kadar PM10 ambien di udara. Pada penelitian Suhariyono (2002), rata-rata
kadar PM10 yang berada paling dekat dengan sumber polutan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berada di pemukiman.
62
Hal ini dikarenakan jarak terbang partikel besar (PM10) lebih rendah
jika dibandingkan dengan partikel kecil (PM2.5). PM10 hanya dapat bertahan
dalam udara selama berjam-jam, tetapi PM2.5 dapat bertahan berhari-hari
bahkan berminggu-minggu (DEQ, 2006). Tetapi hal tersebut juga
dipengaruhi dengan kondisi lingkungan seperti faktor meteorologis.
Berdasarkan penelitian Aisyiah, dkk. (2014) semakin tinggi suhu udara atau
semakin panas kondisi udara dan kecepatan angin yang berhembus lebih
cepat menyebabkan partikel debu di udara juga semakin tinggi.
Kepadatan penduduk serta kerapatan vegetasi juga mempengaruhi
keberadaan partikel di udara. Semakin padat penduduk dalam suatu wilayah,
mobilisasi akan semakin tinggi sehingga partikel lebih lama bertahan dalam
udara. Kebutuhan lahan akan meningkat seiring bertumbuhnya penduduk
sehingga mengurangi area hijau yang dapat mengurangi jumlah polutan atau
sebagai permukaan tempat partikel terdeposisi.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pajanan PM10 dengan gejala ISPA karena responden
didominasi balita pada usia pra sekolah yaitu di bawah 3 tahun, sehingga lebih
banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Pada penelitian Niswanti, dkk.
(2013) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang kurang erat antara kadar
debu di pemukiman dengan gejala ISPA dilihat dari p = 0,283 dan r = 0,259.
Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Padmita dan Wulandari (2014)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pajanan
PM10 dengan ISPA pada balita. Pada penelitian Cahyadi, dkk. (2016) juga
63
diketahui konsentrasi partikulat debu terhirup berhubungan dengan kejadian
ISPA dengan p = 0,010.
Hasil yang tidak signifikan dapat disebabkan oleh rata-rata kadar PM10
yang tidak jauh berbeda antara balita yang mengalami gejala ISPA dengan
yang tidak mengalami. Pergerakan debu ke pemukiman dapat terhalang oleh
beberapa faktor antara lain pembatas fisik vertikal. Pembatas fisik vertikal
yang dimaksud adalah rumah-rumah, gedung-gedung serta pepohonan. Debu
memiliki sifat menempel pada permukaan, sehingga semakin banyak
permukaan yang membatasi pergerakannya semakin kecil kadarnya di udara.
Meski tidak terdapat hubungan antara partikulat dengan gejala ISPA,
akan tetapi ada potensi meningkatnya PM10 di lokasi penelitian. Pada saat
penelitian, temperatur udara berkisar antara 31-33oC dan kecepatan angin
berkisar antara 2-3 m/s. Kondisi ini berpotensi meningkatkan kadar partikulat
ambien. Pada saat suhu meningkat, kelembaban udara relatif menurun,
sehingga udara menjadi kering dan partikulat mudah terangkat atau melayang
di udara dengan bantuan angin. (Cahyadi, et al., 2016). Apabila di tahun-
tahun berikutnya jumlah penduduk meningkat serta kerapatan vegetasi
berkurang akibat pembangunan, maka akan meningkatkan aktivitas
masyarakat. Aktivitas di terminal pun akan bertambah seiring dengan
kebutuhan mobilisasi manusia. Sehingga akan terjadi pencemaran karena
rusaknya keseimbangan lingkungan.
Hal ini juga berlaku pada pencemaran udara akibat aktivitas industri,
tranportasi, pembangunan infrastruktur serta kegiatan manusia lainnya.
Pengrusakan yang terjadi yaitu berupa pencemaran udara. Seperti halnya
64
yang terjadi pada daerah Kelurahan Lebak Bulus dengan adanya
pembangunan MRT dan kegiatan terminal. Apabila kegiatan-kegiatan
tersebut tidak diimbangi dengan upaya pelestarian lingkungan, pencemaran
udara baik oleh partikulat atau zat lain akan meningkat dan akhirnya
mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar.
Inhalasi merupakan rute utama partikulat masuk ke dalam tubuh. Saat
masuk melalui saluran pernapasan, partikulat menempel pada organ
pernapasan yang berbeda-beda. Pada umumnya partikulat lebih dari 10 µm
disimpan dalam area nasofaring (saluran pernapasan atas – hidung, rongga
hidung dan tenggorokan) sebagian besar karena mekanisme impaksi
(CCOHS, 2018). Oleh karena itu, pencegahan dapat dilakukan dengan
mengurangi atau menyaring debu yang berada dalam udara agar tidak sampai
terhirup, dapat dilakukan dengan cara memakai masker dan penggunaan
ventilasi alamiah ataupun mekanik.
Selain itu, pemeliharaan vegetasi dapat dilakukan untuk mengurangi
debu di udara. Vegetasi dapat mengendalikan aliran udara dengan mereduksi
kecepatan angin, menyaring dan mengarahkan alirannya. Kemampuan pohon
dalam menyaring udara atau menyerap debu berbeda-beda. Jenis pohon yang
paling banyak menyerap debu di Jakarta antara lain pohon lamtoro, kayu
putih dan mimba (Samsoedin, dkk., 2015)
6.4. Hubungan Suhu dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Rumah yang sehat haruslah mempunyai suhu rumah ideal agar suhu
badan dapat dipertahankan. Suhu ruangan harus diatur sedemikian rupa
sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas atau tidak sampai
65
kepanasan (Azwar, 1989). Suhu dalam rumah dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain seperti penggunaan bahan bakar biomassa, ventilasi yang tidak
memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi
geografis serta kondisi topografi (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan hasil analisis beda rata-rata diketahui bahwa balita yang
mengalami gejala ISPA mempunyai suhu rumah rata-rata 30,29oC dan hasil
uji statistik menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara suhu dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini sejalan
dengan penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005). Tetapi berbeda dengan hasil
penelitian Lindawaty (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara suhu dengan gejala ISPA, yaitu kejadian ISPA berisiko
31 kali lebih besar pada balita yang suhu dalam rumahnya tidak memenuhi
syarat dibandingkan dengan yang memenuhi syarat. Kemungkingan karena
hanya sedikit dari responden yang memiliki suhu ideal rumah sehat.
Mikroorganisme memiliki kondisi suhu ideal yang beragam untuk
bertahan hidup. Pada umumnya, bakteri penyebab ISPA memiliki suhu
optimal 35-37oC (Wilson, 2005). Sedangkan berdasarkan Permenkes No.
1077 Tahun 2011 suhu udara dalam rumah yang ideal berkisar antara 18-30oC.
Bila suhu udara dalam rumah di atas persyaratan dapat diturunkan dengan
cara meningkatkan sirkulasi udara dengan menambahkan ventilasi mekanik
buatan dan jika di bawah dapat menggunakan pemanas.
Tingginya suhu udara dalam rumah dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain suhu lingkungan di luar rumah yang berkisar antara 31-
33oC. Berdasarkan laporan BMKG pada tahun 2015 suhu lingkungan rata-
66
rata yaitu 28,01oC, tahun 2016 sebesar 27,91oC dan tahun 2017 sebesar
27,88oC. Jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, suhu pada saat
penelitian lebih tinggi beberapa derajat. Suhu dalam rumah sangat
dipengaruhi oleh suhu udara luar karena panas dari luar dapat diserap dengan
cara konduksi yaitu merambat melalui melalui tembok atau atap. Maka dari
itu pentingnya meningkatkan sirkulasi udara salah satunya dengan
menambahkan ventilasi mekanik (Chandra, 2005).
6.5. Hubungan Pencahayaan dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Syarat rumah sehat yaitu memiliki pencahayaan yang cukup, baik alami
maupun buatan. Cahaya memiliki sifat germicid yaitu membunuh
mikroorganisme, termasuk patogen penyebab ISPA. Sinar ultra violet dari
cahaya matahari juga dapat mensterilkan ruangan dari bakteri udara serta
meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara merangsang pembentukan sel
darah putih (Azwar, 1989).
Pencahayaan dalam ruang yang baik menurut Permenkes No. 1077
Tahun 2011 yaitu ≥60 lux. Nilai pencahayaan yang terlalu rendah dapat
memicu perkembangan patogen penyebab ISPA (Sati, dkk., 2015). Tetapi
pencahayaan yang terlalu tinggi dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada
penghuni rumah dan akan meningkatkan suhu ruangan.
Berdasarkan hasil analisis beda rata-rata diketahui bahwa balita yang
mengalami gejala ISPA mempunyai pencahayaan rumah rata-rata 22,824 lux
dan hasil uji statistik menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pencahayaan dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita.
Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan oleh rata-rata intensitas
67
cahaya dalam rumah balita yang mengalami gejala ISPA dengan yang tidak
mengalami gejala ISPA tidak jauh berbeda. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005). Tetapi hasil yang berbeda dilihat
dari penelitian Suryani (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pencahyaan dengan gejala ISPA.
Rata-rata intensitas cahaya dalam rumah balita di Kelurahan Lebak
Bulus tidak memenuhi persyaratan Permenkes No. 1077 Tahun 2011. Artinya,
sebagian besar balita tinggal dalam rumah dengan intensitas cahaya tidak
memenuhi syarat. Hal ini disebabkan karena penelitian dilakukan pada siang
hari dan pada umumnya responden tidak menyalakan lampu, sehingga
intensitas cahaya yang diukur merupakan pencahayaan alami. Pencahayaan
yang tidak memenuhi syarat disebabkan oleh jarak rumah yang berdekatan
menghalangi masuknya sinar matahari.
6.6. Hubungan Kelembaban dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Berdasarkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011 kelembaban ideal dalam
rumah berkisar antara 40-60%Rh. Kelembaban juga mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya, mikroorganisme penyebab
ISPA memerlukan kelembaban yang cukup tinggi agar dapat bertahan di
dalam droplet statis di udara. Kelembaban berhubungan dengan suhu, artinya
jika suhu semakin rendah maka kelembaban semakin tinggi.
Berdasarkan hasil analisis beda rata-rata diketahui bahwa balita yang
mengalami gejala ISPA mempunyai kelembaban rumah rata-rata 63,53%Rh
dan hasil uji statistik menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban dalam rumah dengan gejala ISPA pada balita.
68
Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan oleh rata-rata kelembaban
dalam rumah balita yang mengalami gejala ISPA dengan yang tidak
mengalami gejala ISPA tidak jauh berbeda. Hasil tersebut didukung oleh
penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005) dan Suryani (2015) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban
dengan gejala ISPA. Hasil yang berbeda ditunjukan oleh penelitian Syam
(2016) dan Gapar (2015) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kelembaban dengan gejala ISPA.
Rata-rata kelembaban dalam rumah baik pada balita yang mengalami
gejala ISPA maupun yang tidak mengalami gejala ISPA tidak memenuhi
syarat yang ditetapkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011. Tingginya
kelembaban dalam rumah disebabkan oleh saat penelitian kelembaban relatif
lingkungan antara 74%Rh sampai 78%Rh dan ventilasi yang kurang
memenuhi syarat. Kelembaban udara lingkungan pada saat penelitian tidak
berbeda jika dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2015
rata-rata kelembaban udara bulan Mei sebesar 72%Rh, tahun 2016 sebesar
82%Rh dan di tahun 2017 sebesar 78%Rh.
6.7. Hubungan Ventilasi dalam Rumah dengan Gejala ISPA
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam ruangan dan
pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup, baik secara alamiah
ataupun dengan cara mekanis. Ventilasi mekanis yaitu dengan bantuan alat
khusus untuk mengalirkan udara seperti exhaust fan atau air conditioner
(Gunawan, 2009). Berdasarkan Kepmenkes No. 829 Tahun 1999 ventilasi
yang dimaksud adalah luas penghawaan atau ventilasi alamiah permanen
69
minimal 10% dari luas lantai. Ventilasi permanen adalah lubang udara yang
selalu terbuka, bukan dengan system buka tutup, artinya selain jendela dan
pintu. Ventilasi ini berada di dekat langit-langit rumah guna untuk
mengeluarkan udara panas di bagian atas dalam ruangan.
Keberadaan ventilasi dalam rumah sangat penting sebagai tempat
pertukaran udara agar dapat menjaga kestabilan suhu dan kelembaban.
Kelembaban merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Pada
umumnya, bakteri patogen memerlukan kelembaban yang cukup tinggi.
Kurangnya ventilasi juga dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2 karena
aliran udara dalam rumah tidak mengalir dengan lancar. Fungsi lain ventilasi
yaitu untuk membebaskan udara ruangan dari mikroorganisme patogen
karena aliran udara terus menerus (Hanifah, 2010).
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan ventilasi menunjukan
bahwa 60% yang mengalami gejala ISPA tidak memenuhi syarat ventilasi
serta hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara ventilasi dengan gejala ISPA pada balita. Hasil yang serupa
diperoleh dari penelitian Gertrudis (2010) bahwa ventilasi tidak memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Namun berbeda
dengan penelitian Lindawaty (2010) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan ISPA pada balita.
70
Pada penelitian ini hanya melihat luas ventilasi tanpa memperhatikan
penggunaan ventilasi silang atau tidak. Ventilasi silang adalah penghawaan
dimana pergerakan udara yang terjadi menyebrang ruangan dengan cara
menyilang, dari bukaan udara masuk (inlet) ke bukaan udara keluar (outlet)
(Latifah, 2015). Ventilasi silang dapat meningkatkan kualitas udara di dalam
ruangan karena selain terjadi pertukaran udara dalam ruang, terjadi pula
proses penguapan yang menurunkan suhu (Frick, dkk., 2011).
Ventilasi silang tidak selalu dapat diterapkan, tergantung pada tata letak
ruang. Terdapat beberapa siasat yang bisa dilakukan apabila ventilasi silang
tidak bisa diterapkan pada dinding berhadapan, yaitu:
Sumber : (Latifah, 2015)
Gambar 6.1 Cross ventilation (ventilasi silang) secara denah
Sumber : (Wicaksono, 2009)
Gambar 6.2 Siasat cross ventilation saat kondisi tidak
memungkinkan menempatkan jendela berhadapan
71
Siasat tersebut hanya dapat dilakukan bagi pemilik rumah yang memiliki
wewenang dalam perubahan konstruksi bangunan rumah. Sebagian
responden pada penelitian merupakan penyewa rumah. Sehingga, cara lain
yang dapat dilakukan agar sirkulasi udara tetap mengalir dengan lancar salah
satunya yaitu membuka jendela atau pintu pada pagi hari.
6.8. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA
Perbandingan jumlah penghuni dalam rumah dibandingkan dengan luas
rumah merupakan rasio kepadatan hunian. Kepadatan hunian ideal
berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
403/KPTS/M/2002 yaitu minimal adalah 9 m2. Pada penelitian ini kepadatan
hunian dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat. Dianggap memenuhi syarat apabila kepadatan hunian
dalam rumah responden lebih dari atau sama dengan 9 m2.
Hasil analisis distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian
menunjukkan bahwa sebagian besar responden memenuhi persyaratan
minimal kebutuhan ruang per orang dan 64% yang mengalami gejala ISPA
tidak memenuhi syarat kepadatan hunian. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
gejala ISPA pada balita, sejalan dengan penelitian Gertrudis (2010) dan Supit
(2016). Hasil yang berbeda terlihat pada penelitian Soesanto, dkk. (2000)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan ISPA pada balita.
Responden pada penelitian ini beragam antara yang memiliki rumah
sendiri dan menggunakan rumah sewa. Rata-rata luas rumah responden
72
dengan kepemilikan pribadi memenuhi persyaratan kebutuhan luas minimum
bangunan dan lahan untuk rumah sederhana dan sehat berdasarkan
Kepmenkimpraswil No. 403/KPTS/M/2002 yaitu 72-90 m2 untuk 4 jiwa.
Sehingga kepadatan hunian responden lebih banyak memenuhi syarat.
Secara teori, kepadatan hunian mempengaruhi penularan penyakit dari
satu manusia ke manusia lainnya, terutama pada balita. Jumlah penghuni
dalam rumah yang berlebihan juga dapat mengganggu kestabilan suhu dan
kelembaban. Peningkatan suhu dan kelembaban terjadi karena uap air dari
keringat atau pernapasan (Darmiah, dkk., 2015). Banyaknya jumlah penghuni
dapat meningkatkan risiko penularan penyakit ISPA karena terjadi kontak
langsung dengan balita atau persebaran melalui aerosol pernapasan infeksius.
Kemungkinan adanya anggota keluarga yang mengalami ISPA dapat juga
mempengaruhi balita mengalami gejala ISPA meski jumlah penghuninya
memenuhi persyaratan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits
riwayat Bukhari dan Muslim mengenai pencegahan penularan penyakit
(Almath, 2008).
)البخرى ومسلم( رض على مصح رد مم ل يو
“Janganlah orang sakit menjenguk orang sehat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini berisi himbauan bagi orang sakit agar tidak berlama-lama dengan
orang sehat untuk menghindari penularan penyakit. Prinsip ini berlaku umum
termasuk apabila ada anggota keluarga yang mengalami ISPA dianjurkan
untuk mengurangi kontak langsung dengan balita atau menggunakan proteksi
selama sakit seperti penggunaan masker.
73
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 60 responden di
Kelurahan Lebak Bulus bulan Mei Tahun 2018 dapat disimpulkan:
1. Distribusi gejala ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus yaitu 63%
dari 60 responden dan persentase ISPA tertinggi pada jarak radius 500
meter sebesar 70%.
2. Kadar PM10 ambien di Kelurahan Lebak Bulus yang tersebar pada 5
titik pengukuran memiliki rata-rata yaitu 1,317 μg / Nm3 dan kadar
tertinggi pada jarak radius 200 meter sebesar 2,27 μg / Nm3.
3. Rata-rata suhu dalam rumah di Kelurahan Lebak Bulus yaitu 32,57oC,
rata-rata pencahayaan dalam rumah yaitu 39,07 lux, rata-rata
kelembaban dalam rumah yaitu 63,02%Rh, terdapat 25% responden
yang memiliki ventilasi memenuhi syarat dan 58,33% responden yang
memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat.
4. Tidak terdapat hubungan signifikan antara gejala ISPA dengan pajanan
PM10 ambien (pvalue=0,943).
5. Tidak terdapat hubungan signifikan antara gejala ISPA dengan suhu
(pvalue=0,902); pencahayaan (pvalue=0,056); kelembaban (pvalue=0,495);
ventilasi (pvalue=0,353); dan kepadatan hunian (pvalue=0,928).
7.2. Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka saran
yang dapat diberikan, yaitu:
74
A. Bagi Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan
Sebaiknya dilakukan penghijauan dengan penanaman tumbuhan
penyerap debu di sekitar terminal untuk mengurangi paparan polusi
udara termasuk PM10 ke area pemukiman yang berpotensi mengalami
peningkatan.
B. Bagi Puskesmas Kelurahan Lebak Bulus
Puskesmas disarankan untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi
terkait dampak polutan udara terhadap kesehatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita serta penyuluhan mengenai
rumah sehat.
C. Bagi Masyarakat Kelurahan Lebak Bulus
1. Masyarakat disarankan untuk menjaga sirkulasi udara di dalam
rumah dan mencegah masuknya polutan ke dalam rumah yaitu
dengan penggunaan ventilasi silang, membuka jendela atau pintu
pada pagi hari dan menutupnya pada siang hari atau saat kegiatan
tranportasi sedang padat.
2. Masyarakat disarankan menggunakan masker pada saat keluar
rumah dan sedang mengalami infeksi saluran pernapasan serta
tidak membawa balita pada siang hari keluar rumah.
D. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebaiknya dilakukan pengukuran PM10 dalam rumah dan memeriksa
variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap gejala ISPA pada Balita.
75
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, S., 2005. Air Pollution. New Delhi: APH Publishing.
Aisyiah, K., Sutikno & Latra, I. N., 2014. Pemodelan Konsentrasi Partikel Debu
(PM10) pada Pencemaran Udara di Kota Surabaya dengan Metode
Geographically-Temporally Weighted Regression. Sains dan Seni Pomits,
2(1), pp. 152-157.
Almath, M. F., 2008. 1100 Hadits Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad. 26 penyunt.
Jakarta: Gema Insani.
Ar-Rifa'i, M. N., 2005. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Kelima penyunt. Jakarta:
Gema Insani Press.
Azhar, K., Dharmayanti, I. & Mufida, I., 2016. Kadar Debu Partikulat (PM2,5)
dalam Rumah dan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Kayuringin Jaya,
Kota Bekasi Tahun 2014. Media Litbangkes, Maret, 26(1), pp. 45-52.
Azwar, A., 1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya.
Bellos, A. et al., 2010. The Burden of Acute Respiratory Infections in Crisis-
affected Populations: A Systematic Review. Conflict and Health, 4(1), p. 3.
BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2018. Kecamatan Cilandak dalam Angka,
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Budiarto, E. & Anggraeni, D., 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
Cahyadi, W., Achmad, B., Suhartono, E. & Razie, F., 2016. Pengaruh Faktor
Meteorologis dan Konsentrasi Partikulat (PM10) Terhadap Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). EnviroScienteae, November, 12(3), pp.
302-311.
Canadian Centre for Occupational Health and Safety, 2018. How Do Particulates
Enter the Respiratory System?. [Online]
Available at: www.ccohs.ca
Chandra, B., 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EKG.
Confer, R. G. & Confer, T. R., 1999. Occupational Health and Safety: Terms,
Definitions and Abbreviations. Washington D.C: Lewis.
Couriel, J., 1998. Infection in Children. Dalam: Infectious Diseases of the
Respiratory Tract. Cambridge: Cambridge University Press.
76
Darmiah, Santoso, I. & Maharso, 2015. Hubungan Kepadatam Hunian dan Kualitas
Fisik Rumah Desa Penda Asam Barito Selatan. Kesehatan Lingkugan, 12(1),
pp. 231-237.
Departemen Kesehatan, 2006. Glosarium Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi.
DEQ, 2006. Air: Particulate Matter. [Online]
Available at: http://www.deq.state.ok.us/factsheets/air/pm.pdf
[Diakses 28 September 2018].
Elliot, A. J. & Fleming, D. M., 2009. Common Respiratory Infections Diagnosed
in General Practice. Dalam: Common Cold. Basel: Birkhauser Verlag, pp. 47-
76.
Evans, A. S., 1982. Epidemiological Concepts. Dalam: Bacterial Infections of
Humans: Epidemiology and Control. New York: Plenum, pp. 1-48.
Fahimah, R., Kusumowardani, E. & Dewi, S., 2014. Kualitas Udara Rumah dengan
Kejadian Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun. Makara Journal Health
Respiratory, April, 18(1), pp. 25-33.
Fauziah, D. A., Rahardjo, M. & Dewi, N. A. Y., 2017. Analisis Tingkat Pencemaran
Udara di Terminal Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5 Oktober,
5(5), pp. 561-570.
Fauzia, N. & Kusumayati, A., 2016. Tingkat Risiko Kesehatan Akibat Pajanan
PM10 pada Populasi Berisiko di Terminal Bus Pulogadung Jakarta Timur
Tahun 2014. [Online]
Available at: http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S55302-
Nurilma%20Fauzia
Frick, H., Ardiyanto, A. & Darmawan, A., 2011. Ilmu Fisika Bangunan.
Yogyakarta: Kanisius.
Gapar, I. G. S., Putra, N. A. & Pujaastawa, I., 2015. Hubungan Kualitas Sanitasi
Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
di Wilayah Kerja Puskesmas IV Denpasar Selatan Kota Denpasar. Ecotrophic,
9(2), pp. 41-45.
Gertrudis, 2010. Hubungan antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT. Indocement,
Citeureup Tahun 2010. Tesis.
Graham, N. M., Nelson, K. E. & Steinhoff, M. C., 2007. The Epidemiology of
Acute Respiratory Infection. Dalam: Infectious Disease Epidemiology.
Burlington: Josh and Bartlett Learning, pp. 699-756.
Gunawan, R., 2009. Rencana Rumah Sehat. Yogyakarta: Kanisius.
77
Gunawan, R., 2009. Rencana Rumah Sehat. Yogyakarta: Kanisius.
Hanifah, E., 2010. Cara Hidup Sehat. Jakarta: Sarana Bangun Pustaka.
Hart, C. A. & Cuevas, L. E., 2007. Acute Respiratory Infection in Children. Revista
Brasileira de Saude Materno Infantil, 7(1), pp. 23-29.
Healthline, 2015. Acute Respiratory Infection. [Online]
Available at: http://www.healthline.com/health/acute-respiratory-
disease#Overview1
[Diakses 21 Januari 2017].
IUPAC, 1990. Glossary of Atmospheric Chemistry Terms. [Online]
Available at: http://old.iupac.org/reports/1990/6211calvert/glossary.html
Kemenkes, 1999. Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan. Jakarta: Kemenkes.
Kemenkes, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 tentang Pedoman
Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah , Jakarta: Kemenkes.
Kemenkes, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut,
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015, Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Kirk, A. & Scott, P., 2017. How High is Air Pollution in Your City and How does
It Compare to The Most Polluted Cities in The World?. [Online]
Available at: http://www.telegraph.co.uk/news/0/high-air-pollution-city-
does-compare-themost-polluted-cities/
[Diakses 2 Juni 2017].
Lapau, B. & Birwin, A., 2017. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Depok: Kencana.
Latifah, N. L., 2015. Fisika Bangunan I. Jakarta: Griya Kreasi.
Lindawaty, 2010. Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi
Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Mampang Prapatan Tahun 2009-
2010. Tesis.
Liu, M.-M.et al., 2013. Effects of Outdoor and Indoor Air Pollution on Respiratory
Health of Chinese Children from 50 Kindergardens. Journal Epidemiology,
23(4), pp. 280-287.
Lufilah, S. N., Makalew, A. D. & Sulistyantara, B., 2017. Pemanfaatan Citra
Landsat 8 Untuk Analisis Indeks Vegetasi di DKI Jakarta. Jurnal Lanskap
Indonesia, 9(1), pp. 73-80.
78
MacNee, W. & Donalson, K., 1999. Particulate Air Pollution: Injurious and
Protective Mechanism in the Lungs. Dalam: Air Pollution and Health.
California: Academia Press, pp. 653-671.
Mandell, L., Woodhead, M. & Ewig, S., 2006. Respiratory Infection. London:
Edward Arnold.
Manjarrez-Zavala, M. E. et al., 2013. Pathogenesis of Viral Respiratory Infection.
Dalam: Respiratory Disease and Infection: A New Insight.
s.l.:https://www.intechopen.com/books/respiratory-disease-and-infection-a-
new-insight/pathogenesis-of-viral-respiratory-infection.
Menkimpraswil, 2002. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
No. 403 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sehat. Jakarta:
Menkisprawil.
Misnadiarly, 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut. Jakarta: Pusat Obor.
Munaya, E. F. & Utami, S. T. B., 2015. Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan
Akut Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari,
Kota Magelang. Jurnal Respirologi Indonesia, 35(1), pp. 19-27.
Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nasrul, E., 2015. Polusi di Jabotabek Bahayakan Anak. [Online]
Available at:
https://republika.co.id/berita/koran/urbana/15/08/25/ntmow623-polusi-di-
jabotabek-bahayakan-anak
[Diakses 1 Juni 2017].
National Center for Immunization and Respiratory Diseases (NCIRD), 2015.
Adenoviruses. [Online]
Available at: https://www.cdc.gov/adenovirus/index.html
[Diakses 22 02 2017].
National Center for Immunization and Respiratory Diseases (NCIRD), 2017.
Common Colds: Protect Yourself and Others. [Online]
Available at: https://www.cdc.gov/features/rhinoviruses/
[Diakses 2 April 2017].
Naz, S., Page, A. & Agho, K. E., 2016. Household Air Pollution and Under-five
Mortality in India (1992–2006). Environmental Health, 15(1), p. 54.
Niswanti, A., Mahreda, E. S., Yamani, A. & Atmowijoyo, T., 2013. Kadar Debu
Ambien di Terminal Induk Km 6 Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan
dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Masyarakat. EnviroScientae, Volume
9, pp. 124-133.
79
P2PL, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2010. Modul
Tatalaksana Standar Pneumonia, Jakarta: Kemenkes.
Padmita, A. C. & Wulandari, R. A., 2014. Exposure to Environmental Factors with
ARI among Children Under Five Years at Hamlet I of Ciampea Village,
Ciampea Sub-District, Bogor 2013. ITMAR, Volume 1, pp. 448-461.
Page, R. M., Cole, G. E. & Timmreck, T. C., 1995. Basic Epidemiological Methods
and Biostatistics: A Practical Guidebook. 1st penyunt. London: Jones and
Barlett.
Pelczar JR, M. J., Chan, E. & Krieg, N. R., 2010. Microbiology: An Application
Based Approach. New Delhi: Tata McGraw Hill.
Pless, I. B., 1994. The Epidemiology of Childhood Disorders. New York: Oxford
University Press.
Prüss-Üstün, A. & Corvalán, C., 2006. Preventing Disease Through Healthy
Environment, France: WHO.
PSR (Physicians for Social Responsibility), 2009. How Air Pollution Contributes
to Lung Disease, Washington: Physicians for Social Responsibility.
Pusdatin, Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, 2010. Pneumonia Balita.
Buletin Jendela Epidemiologi, September.
Queensland Government, QLD, 2017. Air Monitoring: Meteorological Factor.
[Online]
Available at: www.qld.gov.au/environment/pollution/monitoring/air-
monitoring/meteorological-factors
Rhinehart, E. & Friedman, M. M., 1999. Infection Control in Home Care. Maryland:
Aspen.
Rosdiana, D. & Hermawati, E., 2015. Hubungan Kualitas Mikrobiologi Udara
dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita. Respirologi Indonesia,
3(2), pp. 83-96.
Samsoedin, I., Susidharmawan, I. W., Pratiwi & Wahyono, D., 2015. Peran Pohon
dalam Menjaga Kualita Udara di Perkotaan. Jakarta: Forda Press.
Sati, L., Sunarsih, E. & Faisa, A. F., 2015. Hubungan Kualitas Udara dalam
Ruangan Asrama Santriwati dengan Kejadian ISPA di Pondok Pesantren
Raudhatul Ulum dan Al-Ittifaqiah Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2015. Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat, Juli, 6(2), pp. 121-133.
SEPA, Scottish Environmental Protection Agency, 2013. The Chemistry of Air
Pollution. [Online]
Available at:
80
https://www.sepa.org.uk/media/120465/mtc_chem_of_air_pollution.pdf
[Diakses 11 Maret 2017].
Simoes, E. A. F. et al., 2006. Acute Respiratory Infections in Children. Dalam:
Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd Edition. New York:
Oxford University, pp. 483-497.
Sinaga, L., Suhartono, S. & Hanani D., Y., 2009. Analisis Kondisi Rumah Sebagai
Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Puskesmas
Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008.. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 8(1), pp. 26-34.
Smith, C. B., 1999. Upper Respiratory Tract Infection. Dalam: Clinical Infectious
Diseases: A Practical Approach. New York: Oxford University Press, pp.
513-527.
Soesanto, S. S., Lubis, A. & Atmosukarto, K., 2000. Hubungan Kondisi Perumahan
dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Media Litbang Kesehatan,
10(2), pp. 27-31.
Suhariyono, G., 2002. Korelasi Karakteristik Paartikel Debu PM10 / PM2,5 dan
Resiko Kesehatan Masyarakat di Rumah-Rumah Sekitar Industri Semen.
Tesis.
Suhendra, 2017. Pabrik Semen Mengepung Pulau Jawa. Tirto.id, 4 Januari, pp.
https://tirto.id/pabrik-semen-mengepung-pulau-jawa-b9Vx.
Sumantri, A., 2013. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana.
Supit, A. F., Joseph, W. B. S. & Kaunang, W. P. J., 2016. Hubungan antara
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut pada Balita di Desa Talawaan Atas dan Desa Kima Bajo
Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Ilmiah Farmasi, Mei,
Volume 5, pp. 259-265.
Suryani, I., Edison & Nazar, J., 2015. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tidakan
Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), pp. 157-167.
Syam, D. M. & Ronny, 2016. Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan Balaesang
Kabupaten Donggala. Higiene, September, 2(3), pp. 133-139.
Tempo, 2015. Ketahui Mekanisme Asap Menyebabkan ISPA. Tempo, 23 Oktober,
pp. https://m.tempo.co/read/news/2015/10/23/060712539/ketahui-
mekanisme-asap-menyebabkan-ispa.
UNICEF, 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children, Geneva: WHO.
81
United States Environmental Protection Agency (USEPA), 2016. Health and
Environmental Effects of Particulate Matter (PM). [Online]
Available at: https://www.epa.gov/pm-pollution/health-and-environmental-
effects-particulate-matter-pm
[Diakses 31 Maret 2017].
Vallero, D., 2014. Fundamentals of Air Pollution. Oxford: Elsevier.
Wen, C., 1996. The Fundamentals of Aerosol Dynamics. London: World Scientific.
WHO, World Health Organization, 2000. Air Quality Guidelines for Europe, 2nd
Edition. Copenhagen: WHO.
WHO, 1999. Hazard Prevention and Control in the Work Environment: Airborne
Dust. Jenewa: WHO.
WHO, 2008. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yang Cenderung Menjadi Endemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Trust Indonesia.
WHO, 2016. Ambient (Outdoor) Air Quality and Health. [Online]
Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs313/en/
[Diakses 1 Juni 2017].
WHO, 2016. An Estimated 12.6 Million Deaths Each Year are Attributable to
Unhealthy Environments. [Online]
Available at: http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2016/deaths-
attributable-to-unhealthy-environments/en/
[Diakses 22 November 2016].
WHO, 2016. Pneumonia. [Online]
Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/
[Diakses 22 November 2016].
Wicaksono, A. A., 2009. Menciptakan Rumah Sehat. Jakarta: Griya Kreasi.
Wilson, M., 2005. Microbial Inhabitants of Human. Cambridge: Cambridge
University Press.
Winarni, Ummah, B. A. & Salim, S. A. N., 2010. Hubungan Antara Perilaku
Merokok Orang Tua dan Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II
Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan,
6(1).
World Bank, 1999. Pollution Prevention and Abatement Handbook 1998: Toward
Cleaner Production. Washington: World Bank.
World Health Environment (WHO), 2013. Health Effects of Particulate Matter.
[Online]
82
Available at:
http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0006/189051/Health-effects-
of-particulate-matter-final-Eng.pdf
[Diakses 2 April 2017].
Yusnabeti, Wulandari, R. A. & Luciana, R., 2010. PM10 dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. Jurnal Kesehatan Makara, Juni, 14(1), pp. 25-30.
Yusup, N. A. & Sulistyorini, L., 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik
dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, pp. 110-
119.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN
PENGARUH KADAR PM10 DENGAN KUALITAS FISIK UDARA DALAM
RUMAH TERHADAP GEJALA ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN
LEBAK BULUS TAHUN 2018
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya Hanun Hafiyya, Mahasiswi Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini sedang
melakukan pengumpulan data mengenai pengaruh faktor risiko dengan gejala
infeksi saluran pernapasan (ISPA) pada balita di Kelurahan Lebak Bulus.
Pengumpulan data ini ditujukan sebagai bagian dari penyelesaian tugas akhir untuk
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Saya berharap anda bersedia menjadi responden penelitian ini dengan
menjawab pertanyaan yang terdapat pada kuesioner ini. Informasi yang anda
berikan akan dijamin kerahasiaannya. Jika anda bersedia menjadi responden,
silakan menandatangani lembar persetujuan berikut.
No. Responden :
Radius :
Tanggal :
Tanda Tangan :
85
Identitas Responden (Ibu) Kode
A1 Nama :
A2
Alamat:
Identitas Balita
B1 Nama :
B2 Jenis Kelamin : (L/P)
B3 Usia : .......... bulan
Gangguan Saluran Pernapasan
C1
Apakah dalam 14 hari terakhir anak ibu/bapak pernah
mengalami batuk/pilek/sukar bernapas?
a. Iya
b. Tidak
C2 Apakah gejala tersebut dialami sepanjang hari?
a. Iya
b. Tidak
C3
Apakah gejala tersebut disertai demam/sulit menelan/sakit
telinga?
a. Iya
b. Tidak
Kualitas Fisik Udara
D1 Suhu : ……. oC
D2 Kelembaban : ……. %Rh
D3 Pencahayaan : ……. lux
D4 Luas ruangan=…….. m2
D5 Luas ventilasi=…….. m2
D6
Ventilasi 10% dari luas ruangan
a. Iya
b. Tidak
Kepadatan Hunian
E1 Ada berapa penghuni dalam satu rumah? ..... orang
E2 Berapa luas rumah anda? ..... m2
E3 Kepadatan hunian = ......m2/orang
E5 Ada berapa orang yang tidur dalam satu kamar dengan
balita?...... orang
86
Lampiran 2
87
88
Lampiran 3
OUTPUT ANALISIS DATA
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Gejala ISPA
Gejala ISPA
Frekuensi Persentase
Tidak 22 37%
Iya 38 63%
Total 60 100%
89
4. Pajanan PM10
90
5. Suhu dalam Rumah
Test Statisticsa
suhu
Mann-Whitney U 410.000
Wilcoxon W 1151.000
Z -.123
Asymp. Sig. (2-tailed) .902
a. Grouping Variable: ispa
6. Pencahayaan dalam Rumah
91
92
7. Kelembaban dalam Rumah
93
8. Ventilasi Rumah
94
9. Kepadatan Hunian
95
Lampiran 4
FOTO KEGIATAN PENELITIAN