Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH KECERDASAN EMOSI, NARSISME, POLA
ASUH IBU, DAN GENDER TERHADAP TINDAKAN
CYBERBULLYING PADA SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS
DI JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
Indah Niandya
NIM: 1113070000016
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2018M
v
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Oktober 2018
C) Indah Niandya
D) Pengaruh kecerdasan emosi, narsisme, pola asuh ibu, dan gender terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa menengah atas di Jakarta Selatan.
E) xiv + 89 halaman + 26 lampiran
F) Cyberbullying merupakan tindakan bullying yang sedang marak terjadi
dikalangan remaja pengguna internet. Cyberbullying merupakan tindakan yang
sengaja dilakukan oleh kelompok atau individu menggunakan media elektronik
dan ditujukan kepada orang lain yang dianggap lebih lemah. Penelitian ini
mencoba untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi, narsisme dimensi
superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness dan Self-
Sufficiency, pola asuh ibu dimensi otoriter, otoritatif dan permisif dan gender
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 412 siswa terdiri dari 153 siswa
SMAN 90 Jakarta, 158 siswa SMAN 70 Jakarta dan 101 siswa SMAN 6
Jakarta. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi berganda menunjukan
bahwa seluruh variabel yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap
tindakan cyberbullying dengan proporsi varians sebesar 10.4%, sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian. Sementara, hasil
analisis masing-masing variabel secara terpisah menunjukan bahwa variabel
superiority, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif dan gender berpengaruh
signifikan terhadap tindakan cyberbullying, sementara sebelas dimensi lainnya
yaitu kecerdasan emosi, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness,
Self-Sufficiency dan pola asuh otoriter tidak berpengaruh signifikan terhadap
tindakan cyberbullying.
G) Bahan Bacaan: 48; buku: 5 + jurnal: 36 + artikel: 5 + skripsi: 2
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology B) October 2018 C) Indah Niandya D) Emotional intelligence, narcissism, parenting mother style, gender and
socioeconomic status of cyberbullying actions on student high school students
in South Jakarta. E) xiv + 89 pages + 26 attachment F) In these days, cyberbullying is an action that is rife among young internet users.
Cyberbullying was an act of deliberately done by groups or individuals use
electronic media and addressed to other people who are considered to be weak.
The research is trying to determine the influence of emotion intelligence,
narcissism; superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness
and self-sufficiency, mother parenting style; authoritarian, authoritative and
permissive and gender on act of cyberbullying in high school students in South
Jakarta. The sample of this research was 153 students SMAN 90, 158 students
SMAN 70 and 101 students SMAN 6 with total number of sample was 412.
The result of this research using multiple regression analysis showed that all
independent variables significant on the act of cyberbullying with a variance of
10.4 %, another 89,6% was influenced by other factor outside this research.
Analysis using each variable found that superiority, authoritative, permissive
environment and gender have a significant effect on the act of cyberbullying,
while eleven dimensions other emotional intelligence, exhibitionism,
entitlement, authority, exploitativeness, self-sufficiency and authoritarian was
not significant on the act of cyberbullying G) References : 48; books: 5 + journal: 36 + articles online: 5 + thesis: 2
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam dilimpahkan untuk kehadirat
baginda Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang
telah membawa ilmu kepada umat manusia dimuka bumi.
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti sangat menyadari banyak pihak yang
turut berkontribusi baik tenaga, pikiran dan waktu. Untuk itu, pada kesempatan ini
peneliti ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Bapak Jahja Umar, Ph.D selaku Dosen Pembimbing 1, yang telah bersedia
memberikan ilmu, bimbingan, arahan dan motivasi kepada peneliti untuk
segera menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Peneliti mengucapkan
banyak terima kasih semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan pahala
yang berlipat ganda.
3. Bapak Miftahuddin, M.Si selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah bersedia
memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama penyusunan proposal
skripsi. Peneliti mengucapkan banyak terima kasih semoga Allah selalu
memberikan kesehatan dan pahala yang berlipat ganda.
4. Ibu Dr. Natris Idriyani, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik Psikologi
kelas A angkatan 2013, terima kasih atas bimbingannya selama peneliti
menjalani masa perkuliahan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Seluruh Dosen di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah berjasa dalam memberikan ilmu serta wawasan bagi peneliti selama masa
perkuliahan.
6. Kepala Sekolah SMAN 6 Jakarta, Kepala Sekolah SMAN 70 Jakarta dan
Kepala Sekolah SMAN 90 Jakarta yang telah bersedia memberikan izin dan
viii
kesempatan untuk peneliti melakukan penyebaran kuesioner. Tak lupa,
khususnya peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Safari dan
Bapak Jayatin (SMAN 70 Jakarta), Ibu Iis (SMAN 6 Jakarta) dan seluruh guru
SMAN 90 Jakarta, yang telah mempermudah peneliti melakukan proses
administrasi penelitian. Semoga Bapak/Ibu sekalian senantiasa diberi nikmat
sehat dan rejeki yang berlimpah.
7. Kedua orang tua peneliti, Deddy Syamsudin dan Munanih, skripsi ini peneliti
persembahkan kepada ayah dan ibu, dimana skripsi ini merupakan hasil
dukungan, kesabaran dan doa yang tidak pernah putus yang diberikan ayah dan
ibu terhadap peneliti. Serta Kak Nunu dan Ka irul yang telah memberikan
motivasi, dan bantuan baik moril maupun materil kepada peneliti. Tak luput
keponakan peneliti yaitu Altaf Aqeela, yang selalu menjadi penghibur dan
penyemangat saat dirumah.
8. Dan tak akan dilupa Pilih Kelas (PILAS), Ica dan Maya yang selalu membantu
dan memotivasi peneliti dalam proses pengerjaan skripsi ini, serta Erna, Fani,
Gulam, Nada, Septian dan Wulan yang selalu mewarnai hari-hari peneliti
selama duduk dibangku perkuliahan. Terimakasih Guys! Sukses dan bahagia
selalu untuk kita semua PILAS!.
9. Sahabat tercinta khususnya Marita Dwi Ningtyas, i love you so much! Dan
Dyah diu serta Mita, April Endut, Atun, Novi Nenek dan Made yang menjadi
penyemangat peneliti untuk segera mengikuti mereka yang sudah meraih gelar
sarjana terlebih dahulu.
10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu semoga
senantiasa akan dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang berlipat ganda.
ix
Akhir kata, peneliti menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan
penelitian ini. Oleh karena itu segala saran yang membangun sangat peneliti
harapkan sehingga penelitian ini dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti maupun khususnya siapa saja yang
membaca dan terutama yang berkeinginan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Terimakasih.
Jakarta, 12 Oktober 2018
Peneliti
Indah Niandya
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1-12
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 8
1.2.1 Pembatasan masalah ............................................................ 8
1.2.2 Perumusan masalah ............................................................. 8
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 10
1.3.1 Tujuan penelitian ............................................................... 11
1.3.2 Manfaat penelitian ............................................................. 12
BAB 2 LANDASAN TEORI ....................................................................... 13-29
2.1. Bullying dan Cyberbullying ........................................................... 13
2.1.1 Pengertian bullying dan cyberbullying .............................. 14
2.1.2 Aspek-aspek cyberbullying ............................................... 15
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi cyberbullying ............. 16
2.1.4. Pengukuran cyberbullying ................................................. 18
2.2. Kecerdasan Emosi .......................................................................... 19
2.2.1 Pengertian kecerdasan emosi ............................................. 19
2.2.2 Dimensi kecerdasan emosi ................................................ 20
2.2.3 Pengukuran kecerdasan emosi ........................................... 20
2.3. Narsisme ........................................................................................ 20
2.3.1. Pengertian narsisme ........................................................... 20
2.3.2. Dimensi narsisme............................................................... 21
2.3.3. Pengukuran narsisme ......................................................... 22
2.4. Pola Asuh Ibu ................................................................................ 23
2.4.1. Pengertian pola asuh ibu .................................................... 23
2.4.2. Dimensi pola asuh ibu ....................................................... 23
2.4.3. Pengukuran pola asuh ibu .................................................. 25
2.5. Kerangka Berpikir ......................................................................... 25
2.6. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 29
xi
BAB 3 METODE PENEITIAN .................................................................. 32-56
3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ...................... 32
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ................................ 32
3.3. Instrumen Pengumpulan Data ....................................................... 35
3.3.1. Alat ukur cyberbullying ..................................................... 35
3.3.2. Alat ukur kecerdasan emosi ............................................... 36
3.3.3. Alat ukur narsisme ............................................................. 37
3.3.4. Alat ukur pola asuh ibu ...................................................... 38
3.4. Uji Validitas Konstruk ................................................................... 38
3.4.1. Uji validitas konstruk cyberbullying .................................. 40
3.4.2. Uji validitas konstruk kecerdasan emosi ........................... 42
3.4.3. Uji validitas konstruk superiority ...................................... 44
3.4.4. Uji validitas konstruk exhibitionism .................................. 45
3.4.5. Uji validitas konstruk entitlement ...................................... 46
3.4.6. Uji validitas konstruk authority ......................................... 48
3.4.7. Uji validitas konstruk exploitativeness .............................. 49
3.4.8. Uji validitas konstruk self-sufficiency ................................ 50
3.4.9. Uji validitas konstruk pola asuh otoriter ............................ 51
3.4.10. Uji validitas konstruk pola asuh otoritatif ......................... 53
3.4.11. Uji validitas konstruk pola asuh permisif .......................... 54
3.5. Teknik Analisis Data ..................................................................... 56
BAB 4 HASIL PENELITIAN ..................................................................... 60-71
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ............................................. 60
4.2. Analisis Deskriptif ......................................................................... 62
4.3. Kategorisasi Skor........................................................................... 64
4.4. Uji Hipotesis Penelitian ................................................................. 65
4.5. Pengujian Proporsi Varian ............................................................. 71
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...................................... 76-84
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 76
5.2. Diskusi ........................................................................................... 77
5.3. Saran .............................................................................................. 81
5.3.1 Saran teoritis ......................................................................... 81
5.3.2 Saran praktis ......................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 84
LAMPIRAN ......................................................................................................... 89
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Skala Cyberbullying ........................................................ 36
Tabel 3.2 Blue Print Skala Emotional Intelligence Developed ......................... 37
Tabel 3.3 Blue Print skala Narcissistic Personality Inventory (NPI) ............... 37
Tabel 3.4 Blue Print skala Parental Authority Questionnaire (PAQ) .............. 38
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Cyberbullying ................................................... 41
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Kecerdasan Emosi ............................................ 43
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Superiority ........................................................ 45
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Exhibitionism ................................................... 46
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Entitlement ....................................................... 47
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Authority........................................................... 49
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Exploitativeness ............................................... 49
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Self-Sufficiency ................................................. 51
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Pola Asuh Otoriter ........................................... 53
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Pola Asuh Otoritatif ......................................... 54
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Pola Asuh Permisif........................................... 56
Tabel 4.1 Subjek Penelitian Berdasarkan Waktu Penggunaan Internet ............ 61
Tabel 4.2 Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Jejaring Sosial ........................ 61
Tabel 4.3 Subjek Penelitian Berdasarkan Tindakan Cyberbullying yang
Dilakukan dalam 6 Bulan .................................................................. 62
Tabel 4.4 Analisis Deskriptif ............................................................................ 63
Tabel 4.5 Norma Kategorisasi Skor Variabel penelitian .................................. 64
Tabel 4.6 Tabel Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .................................... 64
Tabel 4.7 Model Summary ................................................................................ 66
Tabel 4.8 Tabel Anova Pengaruh Keseluruhan independent variable terhadap
dependent variable ............................................................................ 67
Tabel 4.9 Koefisien Regresi Setiap Variabel .................................................... 68
Tabel 4.10 Proporsi Varian Setiap Variabel ....................................................... 72
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ......................................................... 29
Gambar 4.1 Gambaran Umum Jenis Kelamin Subjek Penelitian ...................... 60
Gambar 4.2 Histogram Residual Tindakan Cyberbullying ................................ 75
Gambar 4.3 Residual Plot Tindakan Cyberbullying .......................................... 75
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian................................................................... 91-93
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian ....................................................................... 94
Lampiran 3 Syntax dan Path Diagram ............................................................. 106
Lampiran 4 Tabel Regresi ................................................................................ 114
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia di bidang teknologi informasi terutama dalam penggunaan
internet berkembang dengan cukup pesat. Fasilitas yang semakin diminati oleh para
pengguna internet adalah social networking atau jejaring sosial. Jejaring sosial
memiliki dampak positif dan dampak negatif bagi para penggunanya. Dampak
positif yang dirasakan pengguna jejaring sosial ialah perasaan kepuasan hidup
karena dapat menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain dan meningkatkan
rasa solidaritas dalam suatu komunitas (group) (Oh, Ozkaya & LaRose, 2014).
Dampak lain dari jejaring sosial adalah dampak negatif seperti penindasan online
yaitu dimana seseorang mengucilkan dan menggertak orang lain yang dianggap
lemah oleh dirinya (Tokunaga, 2010).
Penindasan online sering disebut sebagai cyberbullying yang digambarkan
dengan intimidasi dan pelecehan terhadap orang lain dengan menggunakan
teknologi elektronik, terutama telepon seluler dan internet (Smith, Steffgen,
& Sittichai, 2013). Hasil survei yang dilakukan oleh EU Kids Online tahun 2010
sampai 2014 di tujuh negara Eropa (Belgia, Denmark, Italia, Irlandia, Portugal,
Rumania, dan Inggris) tentang resiko penggunaan media sosial mengalami
peningkatan yaitu perilaku menerima pesan kebencian dari 13% hingga 20% dan
bullying traditional menjadi cyberbullying dari 7% hingga 12% (Hasebrink, 2014).
2
Cyberbullying menurut American Psychological Association (APA) adalah
perilaku yang dilakukan secara verbal seperti mengancam atau melecehkan
seseorang yang dilakukan melalui teknologi elektronik atau internet seperti telepon
seluler, e-mail, dan pesan teks. Bentuk tindakan cyberbullying sangat beragam,
mulai dari mengunggah foto atau membuat postingan yang mempermalukan
korban, mengolok-olok korban dijejaring sosial hingga mengakses akun jejaring
sosial untuk mengancam korban dan membuat masalah seperti ancaman melalui
email dan membuat situs web untuk menyebar fitnah (Rifauddin, 2016).
Kowalski (dalam Doleey, Pyzalski & Cross, 2009) mengemukakan bahwa
cyberbullying merupakan bentuk dari tindakan bullying. Terdapat dua hal yang
saling berhubungan mengenai cyberbullying dan bullying. Pertama, mengenai
ketidakseimbangan kekuasaan, bullying lebih banyak menggunakan kekuatan fisik
dan psikis di dunia nyata, sedangkan cyberbullying menggunakan kekuataan fisik
dan psikis dengan memanfaatkan teknologi dan fitur yang terdapat dijejaring sosial
seperti menyembunyikan identitas diri nya agar korban tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan tindakan pelaku cyberbullying. Kedua, adanya pengulangan,
bullying dilakukan dari waktu ke waktu oleh pelakunya di dunia nyata sedangkan
cyberbullying mengintimidasi orang lain dari waktu ke waktu dengan cara
menggunakan fitur-fitur yang terdapat di jejaring sosial (Doleey, Pyzalski & Cross,
2009).
Cyberbullying merupakan bentuk bully yang lebih parah dibandingkan yang
terjadi di dunia nyata karena cyberbullying dapat menjangkau siapapun dan dapat
diakses kapan pun melalui handphone, laptop, ataupun gadget lainnya (Sameer
3
Hinduja & Justin W. Patchin, 2009). LeBlanc (2011) juga sependapat bahwa
cyberbullying memiliki efek yang lebih parah dibandingkan dengan bullying karena
korban bullying akan merasa aman ketika sudah sampai di rumah, tetapi korban
cyberbullying akan merasa terancam terus menerus dimanapun dirinya berada.
Penelitian terdahulu menemukan bahwa dampak bagi korban cyberbullying
ialah seperti merasa tertekan, bingung, bersalah, takut, kesepian, malu, marah,
sedih, dan merasa harga diri nya rendah (Mishna et al., dalam journal of
cybertherapy & Rehabilitation, 2012). Penelitian lain menyatakan dampak negatif
dari korban cyberbullying adalah masalah perilaku dan fisik yang terkait dengan
pengorbanan interpersonal offline dimana korban akan lebih tertutup, penggunaan
obat-obatan dan alkohol, masalah di sekolah dan dengan teman sebaya, pelecehan
fisik atau seksual, kenakalan dan perilaku agresif (Tokunaga, 2010 ).
Terdapat beberapa faktor remaja melakukan tindakan cyberbullying, seperti
faktor internal yaitu balas dendam, kecemburuan, kebosanan dan terkadang hanya
sekedar iseng untuk mengolok teman sebayanya (Varjas, 2010). Terdapat juga
faktor eksternal seperti status sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orang
tua, keharmonisan keluarga, dan pola asuh (Dake et al, 2003). Perilaku
cyberbullying jika dibiarkan terus-menerus tanpa disadari akan berdampak negatif
bagi pelakunya seperti perasaan bersalah yang berkepanjangan dan menimbulkan
kerugian besar yang berujung pada ranah pidana jika korbannya tidak terima atas
perlakuan yang diberikan oleh pelaku cyberbullying (Rifauddin, 2016).
Penelitian yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(KOMINFO) bekerjasama dengan UNICEF tahun 2014 yang melibatkan 400 anak
4
dan remaja rentang usia 10 hingga 19 tahun menyatakan sebagian besar remaja di
Indonesia 13 persennya mengaku menjadi korban cyberbullying dengan bentuk
hinaan dan ancaman.
Kasus cyberbullying yang pernah menyita banyak perhatian publik ialah
kasus SED siswi SMAN di Kota Medan pada tahun 2016 yang berurusan dengan
seorang polisi wanita (POLWAN). SED dengan sengaja membentak POLWAN
yang ingin menilangnya. Perbuatan SED tersebut ternyata direkam oleh orang yang
tidak dikenal dan disebar luaskan di jejaring sosial. Perbuatan SED berakibat sangat
besar bagi dirinya dimana SED dibully di salah satu jejaring sosial yaitu instagram.
Efek kejadian tersebut membuat SED depresi, mengalami rasa malu yang hebat,
serta efek nya pun berimbas kepada keluarga SED (Kompasiana, 2016).
Vollink, Dehue dan Guckin (2016) menyatakan cyberbullying memiliki
dampak negatif jangka panjang yang luar biasa pada korbannya yaitu, korban akan
terganggu kesejahteraan mentalnya, fungsi sosial dan hasil sekolahnya. Tindakan
cyberbullying bagaikan bola salju dimana tindakan tersebut dapat diulang berkali-
kali oleh satu orang dan berlanjut menjadi banyak orang dan dialami berulang kali
oleh korbanya (Smith & Steffgen, 2013). Ybarra dan Mitchell (2004)
mengemukakan bahwa beberapa pelaku cyberbullying mungkin pernah menjadi
korban bully dengan alasan karena tidak dapat membalas nya secara langsung dan
dapat melakukannya dengan sarana elektronik sebagai bentuk balas dendam
terhadap orang lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi cyberbullying salah satunya ialah
kecerdasan emosi (Barocelli & Ciucci, 2014). Kecerdasan emosi merupakan
5
kemampuan untuk dapat mengenali emosi diri, mengelola emosi, dapat memotivasi
diri, mengenali emosi dalam diri dan orang lain dan mampu mengendalikan
hubungan baik dengan orang lain (Goleman, 1995).
Menurut Wiliard (2005), rendahnya kecerdasan emosi dapat memicu remaja
untuk dengan mudah membuat status yang kasar atau tidak sopan, dan
mengekspresikan kemarahan secara frontal (Flaming) atau mengirim pesan pada
situs jejaring sosial yang sifatnya mengganggu dengan kata-kata kotor atau
ancaman (harassment), atau mengumbar keburukan teman lain di situs media sosial
(denigration) atau berpura-pura menjadi orang lain dengan mengirim pesan-pesan
yang tidak senonoh (impersonation) atau menyebarkan rahasia teman (outing) serta
menipu teman chatting mereka di akun sosial (trickey). Dimana semua hal yang
cenderung dilakukan ketika remaja tidak memiliki atau rendah kecerdasan
emosinya akan mengarah pada tindakan cyberbullying.
Kecerdasan emosi pada diri remaja merupakan aspek yang sangat penting
dalam pembentukan karakter dalam bertindak dan menyikapi semua informasi
secara tepat dalam melakukan interaksi sosial di dunia maya. Dengan kemampuan
mereka dalam mengontrol emosi, mampu berpikir realistik, memahami diri sendiri
dan mampu menampakkan emosi disaat dan tempat yang tepat maka cyberbullying
dapat dicegah. Hasil dari riset yang dilakukan Brackett dan Rivers (2011)
menemukan bahwa kecerdasan emosional merupakan komponen utama upaya
pencegahan dari intimidasi cyberbullying. Hasil dari beberapa penelitian yang telah
disebutkan menjadi latar belakang pemilihan independent variable yaitu
kecerdasan emosi pada penelitian ini.
6
Faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying lainya berasal dari
perilaku narsisme (Ang, Tan & Mansor, 2011). Menurut Donnellan, et.al. (2005)
bahwa orang yang narsisme positif terhadap perilaku kekerasan. Dalam kamus
American Psychologycal Association (APA) narsisme ialah perilaku yang
mencintai diri sendiri secara berlebihan dan egosentris. Individu yang narsisme
mungkin lebih rentan terhadap kekerasan karena mereka cenderung percaya bahwa
mereka memiliki kualitas yang lebih daripada yang orang lain (Locke, 2009).
Menurut penelitian Guo (2016), pelaku cyberbullying memiliki kepribadian
narsisme dimana seseorang tersebut memiliki ciri emosional yang tidak berperasaan
terhadap orang lain, tidak memiliki nilai moral seperti penyesalan atau empati
terhadap orang lain. Kim (dalam Ang, Tan & Mansor, 2011) menyatakan narsisme
signifikan dengan penindasan maya karena narsisme memiliki kecenderungan kuat
untuk menggunakan cara apa pun yang mungkin ada, termasuk mengeksploitasi
orang lain demi meningkatkan kekayaan dan kekuatan mereka meskipun itu di
dunia maya maupun di dunia nyata.
Variabel lain yang mungkin mempengaruhi perilaku cyberbullying ialah
pola asuh. Peran orang tua sangat penting untuk memastikan penggunaan jejaring
sosial (Rosen, Cheever & Carrier, 2008). Wong (2010) menemukan bahwa anak-
anak yang menjadi pelaku cyberbullying secara masif memiliki pemantauan orang
tua yang terbatas, disiplin orang tua yang lebih kuat dan ikatan emosional yang
lebih lemah daripada anak-anak yang tidak melakukan cyberbullying. Remaja yang
mendapat lebih banyak dukungan dari orang tua akan mungkin menghindari
perilaku negatif dan antisosial yang lebih sedikit (Park, Kim, & Cho, 2008).
7
Rosen, Cheever dan Carrier (2008) menyatakan bahwa suatu penelitian
menemukan bahwa pola asuh berhubungan dengan perilaku remaja saat
menggunakan internet. Orang tua dengan pola asuh permisif yaitu memanjakan
cenderung menghasilkan anak yang berani bertemu seseorang dari dunia maya
secara langsung secara diam-diam. Berbeda dengan pola asuh otoritatif, pola asuh
seperti ini cenderung dikaitkan dengan pola asuh anak yang dimana anak mampu
mengungkapkan informasi pribadi mereka di media sosial sedangkan pola asuh
otoriter akan menghasilkan anak yang mampu berbuat negatif dan perilaku beresiko
seperti mem-bully di media sosial.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi cyberbullying ialah faktor
demografis yaitu gender. Vimala (2015) menyatakan perempuan lebih sering
melakukan cyberbullying, dikarenakan sifat jejaring sosial sendiri yang dapat
menyembunyikan identitas (anonimitas) sehingga wanita biasanya lebih sering
menggunakan komunikasi elektronik seperti e-mail dan situs jejaring sosial untuk
melakukan cyberbullying.
Penelitian lain menyatakan laki-laki lebih sering melakukan cyberbullying
dikarenakan anak laki-laki lebih banyak mengakses permainan game online yang
memicu kognisi agresif, dan mereka lebih cenderung mengasosiasikan konsep diri
mereka dengan agresi dimedia sosial (Du, Sun, & fan, 2016). Perbedaan dari
beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menjadikan peneliti ingin meneliti lebih
lanjut mengenai pengaruh gender terhadap cyberbullying.
Peneliti menganggap penting untuk melakukan penelitian tentang perilaku
8
cyberbullying, karena masih kurangnya penelitian tentang cyberbullying di
Indonesia, padahal saat ini Indonesia tengah dihadapkan oleh krisis mental atas
perilaku yang dilakukan remajanya terutama perilaku remaja di jejaring sosial,
digambarkan pada data survey global yang diadakan oleh Latitude News, Negara
Indonesia merupakan Negara dengan kasus cyberbullying tertinggi di dunia setelah
Jepang. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “pengaruh
kecerdasan emosi, narsisme, pola asuh ibu, dan gender terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan”.
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai tindakan cyberbullying
pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Cyberbullying yaitu tindakan
agresif yang sengaja dilakukan oleh kelompok atau individu, menggunakan media
elektronik secara berulang kali dan ditujukan kepada orang lain yang tidak dapat
dengan mudah membela dirinya sendiri (Smith et al, 2006). Dalam penelitian ini
juga dibatasi oleh beberapa faktor yang mungkin di prediksi dapat mempengaruhi
tindakan cyberbullying yaitu kecerdasan emosi, narsisme, pola asuh ibu dan gender.
1.2.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai kecerdasan emosi, narsisme,
pola asuh ibu, dan gender terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah
menengah atas di Jakarta Selatan ?
9
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai kecerdasan emosi terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan ?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai superiority dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai exhibitionism dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai entitlement dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai authority dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai exploitativeness dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai self-sufficiency dimensi dari
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan ?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai pola asuh otoriter dimensi dari
pola asuh ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah
atas di Jakarta Selatan ?
10
10. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai pola asuh otoritatif dimensi
dari pola asuh ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah
menengah atas di Jakarta Selatan ?
11. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai pola asuh permisif dimensi
dari pola asuh ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah
menengah atas di Jakarta Selatan ?
12. Apakah ada pengaruh yang signifikan mengenai gender terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan ?
1.3. Tujuan dan Manfaat
1.3.1. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi, narsisme, pola asuh ibu dan
gender terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan.
2. Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosi terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
3. Untuk mengetahui pengaruh superiority dimensi dari narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
4. Untuk mengetahui pengaruh exhibitionism dimensi dari narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
11
5. Untuk mengetahui pengaruh entitlement dimensi dari narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
6. Untuk mengetahui pengaruh authority dimensi dari narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
7. Untuk mengetahui pengaruh exploitativeness dimensi dari narsisme
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
8. Untuk mengetahui pengaruh self-sufficiency dimensi dari narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
9. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh otoriter dimensi dari pola asuh ibu
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
10. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh otoritatif dimensi dari pola asuh ibu
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
11. Untuk mengetahui pengaruh pola asuh permisif dimensi dari pola asuh ibu
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
12. Untuk mengetahui pengaruh gender terhadap tindakan cyberbullying pada
siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
12
1.3.2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu
pengetahuan baik bagi seluruh civitas academic pada umumnya, pembaca dan
maupun bagi diri peneliti secara khusus mengenai tindakan cyberbullying pada
siswa menengah atas di Jakarta.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai pengaruh kecerdasan emosi, superiority, exhibitionism, entitlement,
authority, exploitativeness, self-sufficiency, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif,
pola asuh permisif, dan gender terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah
menengah atas di Jakarta Selatan. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat
memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya remaja untuk
dapat mencegah tindakan cyberbullying. Diharapkan dengan adanya penelitian ini
dapat membuka wawasan dan memberikan efek yang positif sehingga dapat
mengurangi dan mengantisipasi tindakan cyberbullying dikalangan remaja.
13
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Cyberbullying
2.1.1. Pengertian Bullying dan Cyberbullying
Olweus (dalam Dooley, 2009) mendefinisikan bullying sebagai tindakan agresi
yang sengaja dilakukan oleh satu atau lebih individu secara berulang kali dan
ditujukan pada orang yang lemah dan tidak mampu membela dirinya sendiri. Dua
faktor penting yang membedakan bullying dan agresi yaitu bullying terdiri dari
tindakan berulang dan hubungan korban dengan pelaku ditandai oleh perbedaan
kekuasaan, sementara agresi dapat terjadi antara dua orang dengan kekuatan yang
sama (Olweus dalam Dooley, 2009).
Olweus et al (1994) mencirikan tiga kriteria tindakan bullying, yaitu:
1. Perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja.
2. Perilaku dilakukan berulang dari waktu ke waktu.
3. Perilaku yang dimana dalam hubungan interpersonal ditandai dengan
ketidakseimbangan kekuasaan.
Coloroso (2005) juga menyatakan bahwa terdapat empat unsur yang terkandung
dalam bullying, yaitu ketidakseimbangan kekuatan, adanya keinginan untuk
melukai, repetitif atau dilakukan berulang kali dengan adanya intensi untuk
menyakiti orang lain yang dianggap lebih lemah dan teror berbentuk ancaman atau
melukai secara fisik, kata-kata yang melecehkan, menebar rumor, atau pengucilan.
14
Menurut Gladden et.al. (dalam Tiziana, Gianluca, & Robert, 2016), bullying
ialah perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang terhadap orang lain
yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan penderitaan termasuk fisik,
psikologis, sosial, pendidikan atau hal lain yang membahayakan. Bullying dapat
terjadi di segala tempat seperti di rumah, di sekolah, di tempat kerja, bahkan
didalam dunia maya (cyberbullying).
Menurut Kowalski dan Limber (dalam Utari & Akbar, 2015), terdapat tiga hal
yang membedakan bullying dan cyberbullying. Pertama, pelaku bullying
melakukan tindakan mengancam secara langsung atau secara bertatap muka,
sedangkan pelaku cyberbullying menggunakan internet, sehingga tidak harus
bertatap muka dengan korbannya. Kedua, korban cyberbullying tidak di serang
secara fisik, namun lebih kepada psikis sang korban. Ketiga, tidak seperti bullying,
cyberbullying dapat muncul kapan saja dan secara cepat dapat menyebarkan berita
buruk mengenai korbannya dengan bantuan teknologi internet.
Dalam kamus American Pscyhologycal Association (APA) bullying adalah
tindakan mengancam yang dilakukan terus-menerus dan perilaku agresi fisik atau
pelecehan verbal yang diarahkan kepada orang lain terutama mereka yang lebih
muda, lebih kecil, lebih lemah, atau beberapa situasi lain yang relatif merugikan,
sedangkan cyberbullying ialah tindakan mengancam atau melecehkan secara verbal
yang dilakukan melalui teknologi elektronik seperti ponsel, email, dan pesan teks.
Ketika tindakan mengancam itu dilakukan di media elektronik maka bullying
dikatakan sebagai cyberbullying.
15
Smith et al. (2006) mendefinisikan cyberbullying sebagai tindakan agresif yang
sengaja dilakukan oleh kelompok atau individu, menggunakan media elektronik
secara berulang kali dan ditujukan kepada orang lain yang tidak dapat dengan
mudah membela dirinya sendiri. Menurut Tokunaga (2012) cyberbullying adalah
setiap perilaku yang dilakukan secara berulang kali dengan menyebarkan pesan
yang bersifat permusuhan atau agresif melalui media elektronik oleh seorang
individu atau kelompok sehingga menimbulkan kerugian atau ketidaknyamanan
pada orang lain.
Menurut Hinduja dan Patchin (dalam Guo 2016) mendefinisikan cyberbullying
sebagai penggunaan media elektronik seperti pesan instan, chat room, email, dan
pesan teks sebagai sarana kegiatan agresif misalnya, mengancam, melecehkan,
tidak menghargai, yang dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang menuju
individu tertentu atau sekelompok individu. Sedangkan menurut Willard (2005)
cyberbullying merupakan tindakan menyebarluaskan hal-hal berbahaya seperti
berbicara kejam atau terlibat dalam bentuk kekejaman sosial lain dengan
menggunakan internet atau teknologi informasi komunikasi lainnya.
Pada penelitian ini, peneliti akan fokus membahas perilaku cyberbullying
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Smith (2006) yaitu tindakan agresif yang
sengaja dilakukan oleh kelompok atau individu, menggunakan media elektronik
secara berulang kali dan ditujukan kepada orang lain yang tidak dapat dengan
mudah membela dirinya sendiri.
2.1.2 Aspek-Aspek Cyberbullying
Ada beberapa aspek cyberbullying menurut Smith (2006), yaitu :
16
1. Cyberstalking
Mengirimkan pesan yang mengancam atau mengintimidasi terhadap seseorang
menggunakan teknologi elektronik bertujuan untuk menakut-takuti orang lain.
2. Hacking
Tindakan berpura-pura menjadi orang lain, seperti peretasan email atau jenis
jejaring sosial lain bertujuan untuk membuat orang lain menjadi malu.
3. Recording aggressions
Melakukan serangan dengan menggunakan ponsel, seperti merekam teman
atau orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut.
4. Excluding an online companion
Mengucilkan seorang teman agar tidak boleh masuk kedalam kelompok online.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi cyberbullying
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberbulllying
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying:
1. Kecerdasan emosi
Hasil penelitian yang dilakukan Brackett dan Rivers (2011) menyatakan bahwa
kecerdasan emosional merupakan komponen utama dari pencegahan tindakan
intimidasi cyberbullying, dimana orang yang memiliki kecerdasan emosi yang
baik akan menjauhkan diri dari tindakan cyberbullying sedangkan orang yang
memiliki kecerdasan emosi yang kurang baik akan cenderung bertindak agresi
seperti cyberbullying.
17
2. Narsisme
Menurut Ang, Tan dan Mansor (2011) narsisme dikaitkan dengan sifat
memanifestasikan diri sendiri, dan hal ini berkorelasi positif dengan tindakan
agresi. Narsisme dianggap memiliki pengaruh secara positif terhadap tindakan
cyberbullying, dimana semakin tinggi tingkat narsisme semakin tinggi pula
perilaku cyberbullying (Fan, et al, 2016).
3. Pola asuh
Penelitian yang dilakukan oleh Eastin, Greenberg dan Hofschire (2006)
menyatakan bahwa pola asuh berhubungan dengan perilaku penggunaan
internet pada remaja. Penelitian lain juga menyatakan pola asuh berkorelasi
dengan perilaku remaja didunia maya. Orang tua yang mengabaikan perilaku
anak mereka dan tidak menunjukan tindakan monitoring kepada anak memicu
anak melakukan perilaku negatif di dunia maya (Rosen, Cheever & Carrier,
2008).
4. Traditional bullying
Dalam Sticca et. al. (2013) menyatakan bullying merupakan faktor risiko
longitudinal dari perilaku cyberbullying, dimana mereka yang menyerang
orang lain di dunia nyata sangat mungkin melakukan penyerangan kembali
pada dunia maya.
5. Jenis kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Li (2006) menyatakan perbedaan jenis kelamin
signifikan dalam hal cyberbullying, dimana laki-laki cenderung menjadi pelaku
cyberbullying dibandingkan dengan perempuan. Namun faktor jenis kelamin
18
ini masih menjadi perdebatan dimana hasilnya selalu berbeda disetiap
penelitian seperti pada penelitian Navarro dan Jasinski (2013) berpendapat
bahwa perempuan lebih beresiko melakukan tindakan cyberbullying.
2.1.4 Pengukuran cyberbullying
Aspek-aspek cyberbullying dikembangkan oleh Willard (2005), yang mengacu
pada bentuk-bentuk cyberbullying yaitu perkelahian secara online menggunakan
bahasa kasar (flaming), mengirimkan pesan menghina secara berulang kali
(harrassment), berulang kali mengirimkan ancaman bahaya (cyberstalking),
mengirimkan pernyataan yang tidak benar atau kejam (denigration), membagikan
informasi pribadi orang lain (outing) dan mengungkapkan informasi yang
memalukan secara online (trickery), mengeluarkan seseorang dari grup online
(exclusion).
Dari adanya aspek-aspek yang dikembangkan oleh Willard (2005)
berkembanglah alat ukur cyberbullying salah satunya ialah the cyberbullying
questionnaire (CBQ) terdiri dari 16 item dan diperuntukan untuk anak usia usia 12-
17 tahun yang dimana alat ukur ini dikembangkan oleh Smith (2006).
Terdapat alat ukur lain mengenai cyberbullying yaitu alat ukur yang
dikembangkan oleh Cetin, Yaman & Peker (2011) yang dinamakan cyber victim
and bullying scale (CVBS). Skala tersebut berisi 22 item dengan 3 faktor tersebut
dinamakan cyber verbal bullying, hiding identity and cyber forgery.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang merujuk pada
teori smith (2006) yaitu the cyberbullying questionnaire (CBQ).
19
2.2. Kecerdasan Emosi
2.2.1 Pengertian kecerdasan emosi
Kecerdasan emosional pertama kali diperkenalkan oleh Mayor dan Salovey pada
tahun 1990. Menurut Mayer dan Salovey 1990 (dalam, Schutte et.al. 1998)
kecerdasan emosional ialah penilaian ekspresi emosi, regulasi emosi dan
pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah.
Menurut Goleman (1996) kecerdasaan emosi adalah kemampuan yang
mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri. Kecerdasan emosi berperan dalam membentuk
kemampuan dasar manusia untuk bertahan hidup misalnya kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain,
untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, keterampilan untuk marah
pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat dan demi
tujuan yang benar dan dengan cara yang baik (Goleman, 1996).
Reuven-Bar-On juga mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai susunan
kemampuan non-kognitif, kompetensi, dan keahlian yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan menurut Mashar (2011) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mengenali, mengelola, mengontrol, emosi agar mampu merespon secara positif
setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tertentu. Pada penelitian
ini, peneliti menggunakan teori dari Mayor dan Salovey (1990) yang menyatakan
bahwa kecerdasan emosional ialah penilaian ekspresi emosi, regulasi emosi dan
pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah.
20
2.2.2 Dimensi kecerdasan emosional
Mayer dan Salovey (1990) membagi kecerdasan emosi menjadi tiga komponen
yaitu :
1. Penilaian ekspresi emosi dalam diri dan penilaian emosi pada orang lain.
Komponen penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi menjadi sub-
komponen verbal dan non verbal dan diterapkan pada orang lain dipecah
menjadi sub-komponen persepsi non-verbal dan empati.
2. Regulasi emosi
Memiliki komponen regulasi emosi dalam diri dan regulasi emosi pada orang
lain.
3. Pemanfaatan emosi.
Mencakup komponen perencanaan yang fleksibel, pemikiran kreatif, perhatian
dan motivasi yang diarahkan.
2.2.3 Pengukuran kecerdasan emosi
Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala emotional intelligence
developed dari Salovey dan Mayer (1990) dengan aspek-aspek seperti penilaian
ekspresi emosi dalam diri dan penilaian emosi pada orang lain, regulasi emosi dan
pemanfaatan emosi dengan jumlah item sebanyak 33 item dan menggunakan
bentuk skala likert.
2.3. Narsisme
2.3.1 Pengertian narsisme
Narsisme menurut Kring et.al (2004) adalah orang-orang dengan karakteristik
seperti memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan
21
mereka, mereka terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan yang besar, mereka
menghendaki perhatian dan pemujaan berlebihan yang hampir tanpa henti dan
yakin bahwa mereka hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang istimewa dan
memiliki status tinggi.
Menurut versi DSM III American Psychiatric Association (dalam raskin &
terry, 1998) narsisme didefinisikan dengan beberapa kriteria yaitu rasa sombong
tentang kepercayaan diri atau keunikan diri, keasikan berfantasi akan kesuksesan,
kekuatan, kecermelangan, kecantikan, eksibisionisme, ketidakmampuan untuk
menerima kritik, ketidakpedulian kepada orang lain, hak atau harapan akan bantuan
orang lain tanpa adanya rasa timbal balik, eksploitasi interpersonal dan kurang nya
empati. Individu narsisme juga cenderung egois dan eksploitif, mereka sering kali
memanfaatkan sikap yang dimiliki individu lain untuk keuntungan mereka
(Robbins dan Judge, 2008).
Namun dalam penelitian ini berfokus pada teori narsisme menurut Raskin
dan Terry (1988) yaitu kekaguman pada diri sendiri yang ditandai dengan
kecenderungan ke arah ide-ide yang mengagumkan, kebiasaan berfantasi,
eksibionisme, bersikap defensif dalam menanggapi kritik, hubungan interpersonal
yang ditandai dengan perasaan menuntut hak, bersikap eksploitatif, dan kurangnya
empati.
2.3.2 Dimensi narsisme
Raskin dan Terry (1988) mengidentifikasi enam dimensi dari narsisme, diantaranya
superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness dan Self-
Sufficiency. Dimensi tersebut diantaranya :
22
1. Superiority
Perilaku seseorang yang merasa dirinya lebih hebat dari orang lain dan
menyukai pujian.
2. Exhibitionism
Perilaku bahwa dirinya menjadi pusat perhatian.
3. Entitlement
Perasaan bahwa dirinya memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan dan
penghormatan dari orang lain.
4. Authority
Perilaku bertanggung jawab akan keputusan yang diambil dan kecakapan yang
lebih dibandingkan dengan orang lain.
5. Exploitativeness
Pikiran bahwa diri mampu mengerti orang lain, mampu memanipulasi orang
lain, mampu mengungkapkan diri, merasa bahwa orang lain menyukai cerita
mengenai dirinya dan tidak merasa puas hingga ia mendapatkan apa yang ia
inginkan.
6. Self-sufficiency
Perilaku yang dengan sengaja mengucilkan seseorang dari grup online.
2.3.3 Pengukuran narsisme
Narsisme dapat diukur oleh beberapa cara pengukuran salah satu nya yaitu
narcissistic personality inventory (NPI) yang disusun oleh Raskin dan Terry pada
tahun 1988 yang terdiri dari 40 item, yang memiliki reliabilitas sebesar 0.72 dan
reliabilitas split-hal sebesar 0.80.
23
2.4. Pola Asuh Ibu
2.4.1. Pengertian pola asuh ibu
Darling (1999) menyatakan bahwa pola asuh ialah kegiatan yang kompleks,
mencakup berbagai perilaku spesifik, dimana orang tua bekerja secara individual
dan bersama-sama untuk mempengaruhi tingkah laku anak. Pengasuhan yang baik
memerlukan waktu dan usaha. Bukan hanya kuantitas waktu yang dihabiskan orang
tua dengan anak-anak tetapi kualitas pengasuhan juga sangat penting bagi
perkembangan sang anak (Benzies, Keown, & Magill-Evans, 2009).
Mengasuh, melindungi, membimbing dalam tiap proses perkembangan
anak merupakan tugas dari orang tua. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pola asuh identik dengan istilah pengasuhan yaitu hal cara atau perbuatan
mengasuh. Dalam kata mengasuh terdapat kata menjaga (merawat dan mendidik),
membimbing (membantu dan melatih), memimpin (mengepalai dan
menyelenggarakan).
Dalam penelitian ini peneliti fokus pada teori pola asuh yang dikemukakaan
oleh Baumrind (dalam American Psychologycal Association, 2007) yang
menyatakan bahwa pola asuh adalah semua tindakan yang berkaitan dengan
membesarkan anak, khususnya yang berkenaan dengan cara yang ditempuh orang
tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya.
2.4.2. Dimensi pola asuh ibu
Baumrind (1971) (dalam Santrock, 2011) membagi pola asuh menjadi 3 jenis gaya
pengasuhan :
24
1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)
Gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak untuk
mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka.
Orang tua dengan pola asuh imi menempatkan batasan-batasan kontrol yang
tegas pada anak dan memungkinkan sedikit pertukaran verbal, memukul anak
mereka, menegakan aturan-aturan kaku, tetapi tidak menjelaskan kepada
mereka dan menunjukan kemarahan kepada anak.
2. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting)
Pola asuh otoritatif, mendorong anak-anak mereka menjadi mandiri, dengan
tetap menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan anak. Komunikasi verbal
timbal balik bisa berlangsung dengan lancar dan orang tua bersikap hangat dan
penyayang terhadap anak.
3. Pola Permisif (permissive parenting )
Pola pengasuhan permisif adalah dimana pengaruh anak lebih besar daripada
pengaruh orang tua. Pola pengasuhan permisif dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu :
a. Pengabaian (neglectful)
Gaya pengasuhan ini orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
Gaya ini biasanya mengakibatkan anak tidak kompetenn dalam kehidupan
sosialnya, terutama memunculkan kurangnya rasa percaya diri pad anak.
Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan seperti ini biasanya tidak
bisa menangani kebebasan dengan baik.
25
b. Memanjakan (indulgent)
Pola pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak,
namun tidak terlalu menuntut atau mengobrol. Orang tua macam ini
membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Hasilnya anak tidak pernah mengendalaikan perilakunya sendiri dan selalu
berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang dibesarkan dengan pola
pengasuhan seperti ini jarang belajar menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya, mereka mungkin
mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan dan kesulitan dalam
berhubungan dengan teman sebaya.
2.4.3. Pengukuran pola asuh ibu
Berikut ini instrument yang digunakan dalam mengukur pola asuh orang tua yaitu
Parental Authority Questionnaire (PAQ), Skala pola asuh PAQ disini
dikembangkan oleh Buri (1991). PAQ didesain berdasarkan pengukuran tiga pola
asuh Baumrind yaitu pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif dan pola asuh permisif.
PAQ terdiri atas 30 item dimana masing-masing subskala memiliki 10 item yang
digunakan untuk mengukur setiap dimensi pola asuh.
2.5. Kerangka Berpikir
Kehidupan manusia di era digital seperti sekarang ini tidak lepas dari penggunaan
internet. Ketersediaan internet menjadi suatu bagian penting dalam kehidupan
seseorang. Berbicara mengenai karakteristik internet, ada hal yang menarik dalam
sifat internet yang membuat para penggunanya merasa nyaman dan semakin lekat
menggunakan internet. Internet menyediakan berbagai macam situs jejaring sosial
26
yang dapat mempermudah seseorang melakukan aktivitas di dunia maya seperti
chatting, mengupload foto atau hanya sekedar berkomentar dan membuat status di
jejaring sosial yang dimiliki.
Jejaring sosial memiliki dampak positif salah satunya ialah seseorang
menjadi lebih terbuka untuk mengekspresikan dirinya tanpa harus terbentur norma-
norma sosial yang biasa ditemukan pada interaksi langsung. Tidak hanya hal positif,
jejaring sosial juga menimbulkan dampak negatif yang dilakukan oleh
penggunanya seperti menggunakan kata-kata kasar, kritik yang kejam, kemarahan,
kebencian, bahkan ancaman terhadap orang lain hanya karna ingin membalas
dendam terhadap seseorang atau hanya sekedar untuk mengolok teman nya. Pada
cakupan negatif inilah orang banyak melakukan tindakan cyberbullying.
Pesatnya perkembangan teknologi dan telekomunikasi serta mudahnya
mengakses internet, membuka peluang bagi anak usia remaja, khususnya pada masa
perkembangan remaja awal untuk terlibat dalam tindakan cyberbullying. Menurut
Hurlock (1980) masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami
perubahan dalam sikap dan perilaku seperti meningginya perubahan emosi, remaja
merasa hidupnya dipenuhi masalah sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut
kepuasanyanya sendiri dan remaja menginginkan serta menuntut kebebasan. Hal ini
memperkuat alasan bahwa pelaku aktivitas cyberbullying terbanyak adalah mereka
yang berada pada tahap perkembangan remaja awal.
Tindakan cyberbullying yang dilakukan seseorang menimbulkan dampak
negatif terhadap korbanya dimulai seperti depresi, kecemasan, ketidaknyamanan,
prestasi di sekolah menurun, tidak mau bergaul dengan teman sebayanya,
27
menghindar dari lingkungan sosial, stres berat, melumpuhkan rasa percaya diri
yang memicu tindakan-tindakan menyimpang seperti mencontek, membolos, kabur
dari rumah, bahkan sampai minum minuman keras atau menggunakan narkoba
bahkan yang paling parah ialah sampai berpikir untuk bunuh diri karena tidak
mampu menghadapi masalah yang tengah dihadapinya (Rifauddin, 2016).
Faktor yang mungkin mempengaruhi cyberbullying ialah kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi ialah cara seseorang melakukan penilaian emosi, regulasi emosi
dan pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah dengan baik (Mayor &
Salovey, 1990). Kecerdasan emosi diprediksi memberikan pengaruh signifikan
terhadap tindakan cyberbullying. Seseorang dengan kecerdasan emosi yang baik
akan mampu bertindak dan menyikapi semua informasi secara tepat. Kemampuan
mengontrol emosi, berpikir realistik, serta mampu memanfaatkan emosi dengan
baik diprediksi dapat mencegah tindakan cyberbullying.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi cyberbullying ialah narsisme.
Narsisme menurut kamus American Psychological Association (APA) adalah
perilaku mencintai diri sendiri secara berlebihan dan egosentris. Perilaku narsisme
sangat erat hubungannya dengan perilaku agresi. Orang yang narsisme akan
melakukan hal-hal agresi dan berharap dirinya mendapatkan status dari orang lain.
Kim et al. (2008) menyatakan bahwa individu yang narsisme memiliki
kecenderungan kuat untuk menggunakan cara apa pun yang mungkin ada, termasuk
mengeksploitasi orang lain demi meningkatkan kekayaan dan pengakuan dari orang
lain meskipun itu di dalam dunia online seperti cyberbullying.
28
Faktor lainnya yang mungkin mempengaruhi cyberbullying yaitu pola asuh
ibu. Rosen, Cheever dan Carrier (2008) menyatakan pola asuh yang diterapkan
orang tua akan membentuk perilaku remaja dalam penggunaan internet.
Penggunaan internet dijaman sekarang, jarang melibatkan peran orang tua. Orang
tua sering tidak diikutsertakan dalam kegiatan internet anak karena anak
menginginkan privasi mereka tetap terjaga dari kontrol orang tua (Subrahmanyam
& Greenfield, 2008). Tindakan anak yang menyingkirkan orang tua menyebabkan
tindakan cyberbullying tidak terlihat dibandingkan dengan bullying karena tidak
adanya ruang kontrol dari orang tua terhadap anak. Remaja jarang memberi tahu
orang tua mereka bahwa mereka terlibat dalam cyberbullying karena mereka takut
dihukum, kehilangan hak istimewa seperti komputer ataupun handphone, dan
mereka dapat diisolasi dari teman sebayanya (Bath et al., 2009).
Pada penelitian ini peneliti juga berasumsi bahwa faktor demografis berupa
gender mungkin mempengaruhi tindakan cyberbullying. Perbedaan sikap laki-laki
dan perempuan memiliki perbedaan, dimana biasanya laki-laki lebih sering
bertindak agresi dibandingkan perempuan dikehidupan nyata, membuat peneliti
tertarik untuk melihat perbedaan gender dalam penggunaan media sosial apakah
laki-laki juga bersifat agresi atau perempuan yang lebih bersifat agresi dalam
penggunaan media sosial.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengukur pengaruh
kecerdasan emosi, narsisme, pola asuh ibu, dan gender tindakan cyberbullying.
Berdasarkan asumsi tersebut, kerangka berpikir penelitian ini dapat dijelaskan
melalui bagan ilustrasi 2.1.
29
Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis Mayor
Ho: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosi, superiority,
exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness dan self-sufficiency, pola
asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
Pola Asuh Ibu
Pola asuh otoriter
Pola asuh otoritatif
Narsisme
Exhibitionism
Superiority
Entitlement
Authority
Exploitativeness
Self-Sufficiency
Pola asuh permisif
Kecerdasan emosi
Gender
Tindakan
Cyberbullying
30
Hipotesis minor
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan superiority dari variabel narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
H3: Terdapat pengaruh pengaruh yang signifikan exhibitionism dari variabel
narsisme terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas
di Jakarta Selatan.
H4 : Terdapat pengaruh yang signifikan entitlement dari variabel narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
H5: Terdapat pengaruh yang signifikan authority dari variabel narsisme terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
H6 : Terdapat pengaruh yang signifikan exploitativeness dari variabel narsisme
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
H7: Terdapat pengaruh yang signifikan self-sufficiency dari variabel narsisme
terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta
Selatan.
31
H8: Terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh otoriter dari variabel pola asuh
ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
H9: Terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh otoritatif dari variabel pola asuh
ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
H10: Terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh permisif dari variabel pola asuh
ibu terhadap tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di
Jakarta Selatan.
H11: Terdapat pengaruh yang signifikan gender terhadap tindakan cyberbullying
pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
32
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan
yang terdiri dari tiga sekolah yaitu SMAN 6 Jakarta, SMAN 70 Jakarta dan SMAN 90
Jakarta. Sampel pada penelitian ini sebanyak 412 siswa terdiri dari siswa kelas X dan
XI. Proses pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non probablity
sampling yaitu hanya anggota populasi tertentu yang dapat menjadi subjek penelitian
sehingga tidak semua anggota populasi memiliki kesempatan yang sama, yaitu siswa
yang hanya memiliki smartphone dan siswa yang memiliki media sosial seperti
instagram, facebook dan twitter dll. Pengambilan sampel dilakukan dengan menyebar
kuesioner secara offline atau langsung mengunjungi sekolah yang telah ditetapkan
sebagai populasi penelitian.
3.2. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: cyberbullying, kecerdasan emosi,
superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness dan self-sufficiency,
pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif dan pola asuh permisif, dan gender.
Terdapat dua macam variabel pada penelitian ini yaitu variabel terikat (dependent
variable) yaitu cyberbullying dan variabel bebas (independent variable) yaitu
kecerdasan emosi, superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness,
33
self-sufficiency, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender.
Adapun definisi dari masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Cyberbullying yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tindakan agresif yang
sengaja dilakukan oleh kelompok atau individu, menggunakan media elektronik
secara berulang kali dan ditujukan kepada orang lain yang tidak dapat dengan
mudah membela dirinya sendiri.
2. Kecerdasan emosi, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian ekspresi
emosi, regulasi emosi dan pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah.
3. Narsisme yang dimaksud dalam penelitian ini ialah kekaguman pada diri sendiri
yang ditandai dengan kecenderungan ke arah ide-ide yang mengagumkan,
kebiasaan berfantasi, eksibionisme, bersikap defensif dalam menanggapi kritik,
hubungan interpersonal yang ditandai dengan perasaan menuntut hak, bersikap
eksploitatif, dan kurangnya empati. Terdapat enam dimensi pada narsisme, yaitu :
a. Superiority yaitu perilaku bahwa dirinya lebih hebat dari orang lain dan
menyukai pujian.
b. Exhibitionism yaitu perilaku bahwa dirinya menjadi pusat perhatian.
c. Entitlement yaitu perasaan bahwa dirinya memiliki hak untuk mendapatkan
penghargaan dan penghormatan dari orang lain.
d. Authority yaitu perilaku bertanggung jawab akan keputusan yang diambil dan
kecakapan yang lebih dibandingkan dengan orang lain.
e. Exploitativeness yaitu pikiran bahwa diri mampu mengerti orang lain, mampu
memanipulasi orang lain, mampu mengungkapkan diri, merasa bahwa orang
34
lain menyukai cerita mengenai dirinya dan tidak merasa puas hingga ia
mendapatkan apa yang ia inginkan.
f. Self-sufficiency yaitu perilaku yang dengan sengaja mengucilkan seseorang
dari grup online.
4. Pola asuh ibu yang dimaksud dalam penelitian ini ialah semua tindakan yang
berkaitan dengan membesarkan anak, khususnya yang berkenaan dengan cara
yang ditempuh orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Terdapat tiga
dimensi yang terdapat pada pola asuh ibu yaitu:
a. Pola asuh otoriter yaitu orang tua menempatkan batasan-batasan kontrol yang
tegas pada anak dan memungkinkan sedikit pertukaran verbal, memukul anak
mereka, menegakan aturan-aturan kaku, tetapi tidak menjelaskan kepada
mereka dan menunjukan kemarahan kepada anak.
b. Pola asuh otoritatif yaitu perilaku orang tua yang mendorong anak menjadi
mandiri, tetapi masih menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan mereka.
Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan lancar dan orang tua
bersikap hangat dan penyayang terhadap anak.
c. Pola asuh permisif yaitu pengaruh anak lebih besar daripada pengaruh orang
tua. Dimana pola asuh permisif terdiri dari dua jenis, yaitu pengasuhan yang
mengabaikan (neglectful), dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak dan pengasuhan yang memanjakan (indulgent), dimana orang
tua sangat terlibat dalam kehidupan anak namun tidak terlalu menuntut atau
berkomunikasi dengan anak.
35
3.3. Instrumen pengumpulan data.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuesioner
dengan menggunakan model likert. Cara menjawab kuesioner dengan memberikan
tanda checklist (√) pada salah satu alternatif pilihan jawaban yang telah disediakan.
Dalam penelitian ini terdapat 4 skala pengukuran, skala yang pertama yaitu skala
cyberbullying menggunakan skala The Cyberbullying Questionnare (CBQ; Smith,
2006). Terdapat empat kategori jawaban untuk skala ini yaitu selalu (SL), sering (SR),
hampir tidak pernah (HTP), tidak pernah (TP).
Skala pengukuran kedua dalam penelitian ini skala kecerdasan emosi yang
menggunakan skala Emotional Intelligence Developed (Salovey dan Mayer, 1990).
Item disusun dalam bentuk pernyataan favorable (positif) dan unfavorable (negatif).
Pada skala penelitian ini digunakan empat alternatif pilihan jawaban yaitu sangat tidak
setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S) dan sangat setuju (SS).
Skala pengukuran berikutnya dalam penelitian ini yaitu skala narsisme yang
menggunakan skala Narcissistic Personality Inventory (NPI; Raskin dan Terry, 1988)
dan skala pola asuh ibu yang menggunakan skala Parental Authority Questionnaire
(PAQ; Baumrind 1970). Pada skala penelitian ini digunakan empat alternatif pilihan
jawaban yaitu sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S) dan sangat setuju
(SS).
3.3.1. Alat ukur Cyberbullying.
Skala pengukuran cyberbullying yang digunakan dalam penelitian ini ialah skala the
cyberbullying questionnare (CBQ) yang dibuat dan dikembangkan oleh Smith (2006).
36
Skala ini terdiri atas 16 item yang merupakan model unidimensional. Skala alat ukur
ini menggunakan model Likert 4 poin yaitu “sangat sering” (SS), “sering” (S), “hampir
tidak pernah” (HTP), “tidak pernah” (TP). Adapun blue print dari skala cyberbullying
dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Blue Print Skala cyberbullying Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
Cyberstalking
Mengirimkan pesan yang mengancam atau
mengintimidasi terhadap seseorang
menggunakan teknologi elektronik bertujuan
untuk menakut-takuti orang lain.
1,2,14 3
Hacking Tindakan berpura-pura menjadi orang lain,
seperti peretasan email atau jenis jejaring sosial
lain.
7 1
Recording
Aggressions
Melakukan serangan melalui telepon seluler,
seperti merekam teman dan lain lain.
3,6,8,
9,10,11,
12,15,16
9
Excluding an
online companion
Mengucilkan seorang teman agar tidak boleh
masuk kedalam kelompok online.
4,5,13 3
16
3.3.2. Alat ukur kecerdasan emosi
Skala pengukuran kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala
Emotional Intelligence Developed yang dibuat oleh Mayer dan Salovey (1990). Terdiri
atas 33 item, 13 dari item berasal dari penilaian ekspresi emosi, 10 item berasal dari
regulasi emosi dan 10 berasal dari pemanfaatan emosi. Skala alat ukur ini
menggunakan model Likert 4 poin, yaitu “sangat setuju” (SS), “setuju” (S), “tidak
setuju” (TS) dan “sangat tidak setuju” (STS). Adapun blue print dari skala Emotional
Intelligence Developed dapat dilihat pada tabel 3.2.
37
Tabel 3.2 Blue Print Skala Emotional Intelligence Developed Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
Penilaian ekspresi
emosi
Sub komponen verbal dan non verbal dan
diterapkan pada orang lain dipecah menjadi
sub komponen persepsi non-verbal dan
empati
1,2,3,4,
6,7,8,9,
10,11,12,
13
5 13
Regulasi emosi Regulasi emosi dalam diri dan regulasi
emosi pada orang lain.
14,15,16,
17,18,19,
20,21,22,23
10
Pemanfaatan
emosi
Mencakup komponen perencanaan yang
fleksibel, pemikiran kreatif, perhatian dan
motivasi yang diarahkan.
24,25,26
,27,29,30,
31,32
28,33 10
Total 33
3.3.3. Alat ukur Narsisme
Skala pengukuran narsisme dalam penelitian ini menggunakan skala Narcissistic
Personality Inventory (NPI) yang disusun oleh Raskin dan Terry pada tahun 1988.
Skala ini terdiri dari 40 item dan menggunakan model Likert 4 poin, yaitu “sangat
setuju” (SS), “setuju” (S), “tidak setuju” (TS) dan “sangat tidak setuju” (STS). Adapun
blue print dari skala Narcissistic Personality Inventory (NPI) dapat dilihat pada tabel
3.3.
Tabel 3.3 Blue Print skala Narcissistic Personality Inventory (NPI) Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
Superiority Perilaku bahwa dirinya lebih hebat dari orang lain dan menyukai pujian.
4,9,26,37,40, 15,19,29
8
Exhibitionism Perilaku bahwa dirinya menjadi pusat
perhatian.
2,3,7,20,28,
30, 38
7
Entitlement Perasaan bahwa dirinya memiliki hak untuk
mendapatkan penghargaan dan penghormatan
dari orang lain.
5,14,18
24,25,27
6
Authority Perilaku bertanggung jawab akan keputusan
yang diambil dan kecakapan yang lebih
dibandingkan dengan orang lain.
1,8,10,11
12,32,33,36
8
Exploitativeness Pikiran bahwa diri mampu mengerti orang
lain, mampu memanipulasi orang lain, mampu
mengungkapkan diri, merasa bahwa orang lain menyukai cerita mengenai dirinya dan tidak
merasa puas hingga ia mendapatkan apa yang
ia inginkan.
6,13,16
23,35
5
Self-Sufficiency Perilaku yang dengan sengaja mengucilkan
seseorang dari grup online
17,21,22
31,34,39
6
Total 40
38
3.3.4. Alat ukur pola asuh ibu
Skala pengukuran pola asuh ibu pada penelitian ini menggunakan skala pengukuran
dari Parental Authority Questionnaire (PAQ). Pada skala ini terdapat tiga dimensi
yaitu pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, dan pola asuh permisif yang mengacu pada
teori dari Baumrind. Terdiri dari 30 item, setiap dimensi mewakili 10 item. Skala alat
ukur ini menggunakan model Likert 4 poin, yaitu “sangat setuju”, “setuju”, “tidak
setuju” dan “sangat tidak setuju”. Adapun blue print dari skala Parental Authority
Questionnaire (PAQ) dapat dilihat pada tabel 3.4.
Tabel 3.4 Blue Print skala Parental Authority Questionnaire (PAQ) Dimensi Indikator Item Jumlah
Fav Unfav
Pola asuh otoriter Batasan-batasan kontrol yang tegas, sedikit pertukaran verbal, memukul anak,
menegakkan aturan-aturan kaku, tetapi tidak
menjelaskan kepada mereka dan menunjukan kemarahan kepada anak.
2,3,7,9,12 16,18,25,
26,29
10
Pola asuh otoritatif Mendorong anak menjadi mandiri, tetapi
masih menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal
balik bisa berlangsung dengan lancar dan
orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak.
4,5,8,11,
15,20,22 23,27,30
10
Pola asuh permisif Dimana pengaruh anak lebih besar daripada
pengaruh orang tua.
1,6,10,13,1
4,17,19,21,24,28
10
Total 30
3.3 Uji Validitas Konstruk
Alat ukur untuk setiap variable dalam penelitian ini dilakukan uji validitas konstruk
dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan menggunakan
software MPlus 7.0. CFA merupakan metode statistik yang bisa digunakan untuk
menguji setiap pengukuran suatu konstruk teori. Tahapan dalam CFA diawali dengan
39
merumuskan model teoritis atau hipotesis tentang pengukuran variabel laten, kemudian
model tersebut diuji kebenarannya.
Untuk menguji kebenaran apakah sehimpunan item tersebut mengukur apa yang
hendak diukur, maka perlu dilakukan uji model fit, yaitu dengan melihat residual (S –
Ʃ = 0). Yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan model fit diantaranya adalah
nilai chi-square dan RMSEA. Jika nilai chi-square yang diperoleh tidak signifikan
(p>0.05) maka dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara data
dengan model (model yang diteorikan dapat diterima), yang dalam hal ini adalah model
unidimensional dimana seluruh item hanya mengukur satu konstruk yang sama atau
hanya mengukur satu dimensi yang sama yaitu konstruk yang hendak diukur. Hanya
jika model terbukti fit barulah dapat dilakukan langkah selanjutnya yaitu uji signifikan
terhadap setiap koefisien muatan faktor (faktor loading). Item yang memiliki koefisien
yang signifikan adalah item yang valid mengukur apa yang hendak diukur dan
sebaliknya (Umar, komunikasi pribadi, 23 Agustus 2018).
Jika model yang diuji tidak fit dengan data (p<0.05) maka model dapat
dimodifikasi yaitu dengan cara meniadakan asumsi bahwa kesalahan pengukuran tidak
boleh berkorelasi. Artinya modifikasi model dilakukan dengan mengizinkan korelasi
antara dua eror pada dua item yang berbeda menjadi parameter bebas. Adanya korelasi
antar dua eror menunjukan bahwa item yang bersangkutan bersifat multidimensional
karena selain mengukur konstruk yang hendak diukur kedua item yang bersangkutan
mengukur juga konstruk lain hal ini dikenal dengan istilah bias butir soal (item bias).
40
Setelah diperoleh model fit dan dilakukan uji signifikan terhadap setiap butir soal
atau item (nilai t>1.96) kemudian dilakukan CFA kembali namun hanya dengan
himpunan item yang signifikan saja sedangkan item yang tidak signifikan sebaiknya di
drop. Dengan menggunakan model CFA yang final ini kemudian di estimasi nilai true
score untuk setiap subjek dengan menggunakan pendekatan Bayesian (terutama jika
item nya sedikit) menggunakan software Mplus 7.0. True score yang diperoleh adalah
dalam bentuk skor baku (z-score) dengan mean = 0 dan standar deviasi = 1. Karena z-
score mencakup juga bilangan negatif maka penulis maka penulis mentransformasikan
true score tersebut menjadi T-score dengan rumusnya yaitu:
Dalam hal ini, T-score akan memiliki SD = 10 dan mean = 50 dan diharapkan
seluruh skor merupakan bilangan positif yang memiliki rentangan diperkiraan antara 0
dan 100. Setelah didapatkan faktor skor yang telah diubah menjadi T-score, nilai T-
score inilah yang akan digunakan sebagai data dalam analisis uji hipotesis penelitian.
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Cyberbullying
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel cyberbullying, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 16 item cyberbullying. Perhitungan
awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 235.163, df = 100, P- Value = 0.0000,
RMSEA = 0.057 yang berarti model tidak fit dengan data. Oleh sebab itu, dilakukan
modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran (eror) pada
butir soal.
T-score = (10 x factor score) + 50
41
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 148.654, df = 65, P- Value =
0.0000, RMSEA = 0.056, 90 percent C.I = 0.044 – 0.068, probability RMSEA <=.05
= 0.197 dan CFI = 0.904. Item nomor 8, 9, 10, 11, 15 dan 16 memiliki eror yang saling
berkorelasi. Keenam item ini selain mengukur cyberbullying juga mengukur faktor
lain. Agar bisa diperoleh nilai truescore cyberbullying yang lebih murni maka ada dua
alternatif yaitu mendrop keenam item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi,
tetapi penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis
pola korelasi antar kesalahan pengukuran pada keenam item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya tiga item yaitu 9, 11, dan 16.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item cyberbullying disajikan dalam tabel.
Tabel 3. 5 Muatan Faktor Item Cyberbullying
No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
1 0.482 0.081 5.944 0.000 √
2 0.606 0.061 9.864 0.000 √
3 0.367 0.055 6.649 0.000 √
4 0.502 0.054 9.298 0.000 √
5 0.655 0.041 15.966 0.000 √
6 0.638 0.044 14.386 0.000 √
7 0.514 0.112 4.596 0.000 √
8 0.568 0.050 11.393 0.000 √
10 0.478 0.082 5.844 0.000 √
12 0.575 0.051 11.274 0.000 √
13 0.539 0.048 11.287 0.000 √
14 0.552 0.053 10.450 0.000 √
15 0.545 0.074 7.398 0.000 √
42
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kecerdasan Emosi
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel kecerdasan emosi, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 33 item kecerdasan emosi.
Perhitungan awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 1265.377, df = 495, P-
Value = 0.0000, RMSEA = 0.061 yang berarti model tidak fit dengan data. Oleh sebab
itu, dilakukan modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran
(eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 710.826, df = 324, P- Value =
0.0000, RMSEA = 0.054, 90 percent C.I = 0.048 – 0.059, probability RMSEA <=.05
= 0.118 dan CFI = 0.825. Item nomor 5, 15, 18, 21, 22, 25, 29, 30, 32 dan 33 memiliki
eror yang saling berkorelasi. Kesembilan item ini selain mengukur kecerdasan emosi
juga mengukur faktor lain. Agar bisa diperoleh nilai truescore kecerdasan emosi yang
lebih murni maka ada dua alternatif yaitu mendrop kesembilan item ini atau
menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi,
tetapi penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis
pola korelasi antar kesalahan pengukuran pada kesembilan item tesebut akhirnya
penulis mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni
43
unidimensional) dimana item yang di drop hanya enam item yaitu 5, 15, 21, 29, 30 dan
33 .
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran kecerdasan emosi
disajikan dalam tabel.
Tabel 3. 6 Muatan Faktor Item Kecerdasan Emosi No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
1 0.247 0.058 4.240 0.000 √
2 0.552 0.045 12.320 0.000 √
3 0.466 0.050 9.316 0.000 √
4 0.305 0.052 5.878 0.000 √
6 0.429 0.049 8.781 0.000 √
7 0.361 0.047 7.651 0.000 √
8
9
0.115
0.367
0.051
0.054
2.251
6.746
0.024
0.000
√
√
10
11
0.381
0.469
0.065
0.041
5.911
11.381
0.000
0.000
√
√
12 0.572 0.041 14.052 0.000 √
13 0.303 0.045 6.773 0.000 √
14 0.378 0.063 6.037 0.000 √
16
17
18
19
20
22
23
24
25
26
27
28
31
32
0.380
0.423
0.576
0.402
0.471
0.489
0.566
0.480
0.392
0.499
0.413
0.187
0.598
0.415
0.056
0.051
0.039
0.046
0.047
0.043
0.042
0.050
0.044
0.040
0.046
0.051
0.041
0.045
6.732
8.253
14.934
8.708
9.992
11.413
13.531
9.664
8.968
12.412
8.889
3.627
14.626
9.235
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
44
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Narsisme
1. Dimensi Superiority
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel superiority, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 8 item superiority. Perhitungan awal
CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 25.687, df = 10, P- Value = 0.0042, RMSEA
= 0.062 yang berarti model tidak fit dengan data. Oleh sebab itu, dilakukan modifikasi
dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran (eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 1.975, df = 2, P- Value =
0.3725, RMSEA = 0.000, dan CFI = 1.000. Item nomor 4, 9, 15, 29, 37 dan 40.
memiliki eror yang saling berkorelasi. Keenam item ini selain mengukur kecerdasan
emosi juga mengukur faktor lain. Agar bisa diperoleh nilai truescore kecerdasan emosi
yang lebih murni maka ada dua alternatif yaitu mendrop keenam item ini atau
menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi,
tetapi penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis
pola korelasi antar kesalahan pengukuran pada keenam item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya empat item yaitu 4, 9, 15 dan 37.
45
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran kecerdasan emosi
disajikan dalam tabel.
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Superiority No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
19 0.731 0.068 10.702 0.000 √
26 0.410 0.055 7.406 0.000 √
29 0.770 0.074 10.369 0.000 √
40 0.161 0.060 2.704 0.007 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
2. Dimensi Exhibitionism
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel exhibitionism, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 7 item exhibitionism. Perhitungan
data CFA model satu faktor dari variabel ini diperoleh skor chi-square = 38.033, df =
14, P- Value = 0.0005, RMSEA = 0.065, 90 Percent C.I. = 0.040-0.090, Probability
RMSEA <= .05 = 0.149, CFI = 0.980. Jika melihat nilai P-Value > 0.05, 90 Percent C.I
< 0.05, Probability RMSEA > 0.05 dan CFI = 0.980 (Cumulative Fit Index) mendekati
1.000 artinya model ini sudah fit dengan data.
46
Tabel 3. 8 Muatan Faktor Item Exhibitionism No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
2 0.294 0.050 5.854 0.000 √
3 0.193 0.053 3.657 0.000 √
7 0.733 0.031 23.695 0.000 √
20 0.552 0.038 14.460 0.000 √
28 0.351 0.050 6.972 0.000 √
30 0.966 0.027 36.209 0.000 √
38 0.350 0.050 6.942 0.000 √
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran exhibitionism dapat dilihat
pada tabel di atas. Berdasarkan tabel 3.9 dapat diketahui bahwa semua item bermuatan
positif dan signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria
yang telah dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis
selanjutnya.
3. Dimensi Entitlement
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel entitlement, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 6 item entitlement. Perhitungan awal
CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 16.700, df = 6, P- Value = 0.0105, RMSEA
= 0.066 yang berarti model tidak fit dengan data. Oleh sebab itu, dilakukan modifikasi
dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran (eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 3.382, df = 2, P- Value = 0.1843,
RMSEA = 0.041, dan CFI = 0.993. Item nomor 14, 18, 24, 27 memiliki eror yang saling
47
berkorelasi. Keempat item ini selain mengukur entitlement juga mengukur faktor lain.
Agar bisa diperoleh nilai truescore entitlement yang lebih murni maka ada dua
alternatif yaitu mendrop keempat item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada keempat item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya dua item yaitu 14 dan 24.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran entitlement disajikan
dalam tabel.
Tabel 3. 9 Muatan Faktor Item Entitlement No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
5 0.458 0.059 7.809 0.000 √
18 0.330 0.061 5.402 0.000 √
25 0.626 0.057 10.910 0.000 √
27 0.684 0.059 11.675 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
48
4. Dimensi Authority
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel authority penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 8 item authority. Perhitungan awal
CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 51.942, df = 19, P- Value = 0.001, RMSEA
= 0.065 dan CFI = 0.977 yang berarti model tidak fit dengan data. Oleh sebab itu,
dilakukan modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran
(eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 34.560, df = 14, P- Value = 0.0017,
RMSEA = 0.060, 90 Percent C.I. = 0.035-0.085, Probability RMSEA <= .05 = 0.236,
CFI = 0.985. Item nomor 1 dan 12 memiliki eror yang saling berkorelasi. Kedua item
ini selain mengukur authority juga mengukur faktor lain. Agar bisa diperoleh nilai
truescore authority yang lebih murni maka ada dua alternatif yaitu mendrop kedua item
ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada kedua item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya satu item yaitu 12.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
49
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran authority disajikan dalam
tabel.
Tabel 3. 10 Muatan Faktor Item Authority No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
1 0.405 0.048 8.493 0.000 √
8 0.500 0.043 11.747 0.000 √
10 0.815 0.026 31.397 0.000 √
11 0.623 0.033 18.746 0.000 √
32 0.389 0.047 8.307 0.000 √
33 0.652 0.034 18.995 0.000 √
36 0.828 0.026 31.347 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
5. Dimensi Exploitativeness
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel exploitativeness, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 5 item exploitativeness. Perhitungan
data CFA model satu faktor dari variabel ini diperoleh skor perhitungan awal chi-
square = 5.305, df = 5, P- Value = 0.3798, RMSEA = 0.012, CFI = 0.999. Jika melihat
nilai P-Value > 0.05, RMSEA <0.05 dan CFI (Cumulative Fit Index) mendekati 1.000
artinya model ini sudah fit dengan data.
Tabel 3. 11 Muatan Faktor Item Exploitativeness No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
6 0.537 0.053 10.094 0.000 √
13 0.442 0.055 8.071 0.000 √
16 0.383 0.057 6.677 0.000 √
23 0.485 0.048 10.045 0.000 √
35 0.679 0.052 13.025 0.000 √
50
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran exploitativeness dapat
dilihat pada tabel di atas. Berdasarkan tabel 3.12 dapat diketahui bahwa semua item
bermuatan positif dan signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah
memenuhi kriteria yang telah dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada
analisis selanjutnya.
6. Dimensi Self-Sufficiency
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel self-sufficiency, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 6 item self-sufficiency. Perhitungan
awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 12.792, df = 7, P- Value = 0.0773,
RMSEA = 0.045 dan CFI = 0.961 dengan beberapa item berkorelasi. Oleh sebab itu,
dilakukan modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran
(eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 4.439, df = 2, P- Value = 0.1087,
RMSEA = 0.054, 90 Percent C.I = 0.000-0.124, Probability RMSEA = 0.357 dan CFI
= 0.971. Item nomor 21, 22, 31, dan 34 memiliki eror yang saling berkorelasi. Keempat
item ini selain mengukur self-sufficiency juga mengukur faktor lain. Agar bisa
diperoleh nilai true score self-sufficiency yang lebih murni maka ada dua alternatif
yaitu mendrop keempat item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
51
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada keempat item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya dua item yaitu 22 dan 34.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam mengukur
apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu di-drop atau
tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan
faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya.
Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self-sufficiency disajikan dalam tabel.
Tabel 3. 12 Muatan Faktor Item Self-Sufficiency
No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
17 0.541 0.080 6.755 0.000 √
21 0.345 0.072 4.779 0.000 √
31 0.260 0.068 3.826 0.000 √
39 0.553 0.081 6.866 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
3.4.4. Uji Validitas Konstruk Pola Asuh Ibu
1. Dimensi Pola Asuh Otoriter
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel pola asuh otoriter, penulis melakukan
perhitungan CFA model unidimensional terhadap 10 item pola asuh otoriter.
Perhitungan awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 81.739, df = 30, P- Value
52
= 0.000, RMSEA = 0.065 dengan beberapa item berkorelasi. Oleh sebab itu, dilakukan
modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran (eror) pada
butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 41.024, df = 14, P- Value = 0.0002,
RMSEA = 0.068, 90 Percent C.I = 0.045-0.093, Probability RMSEA = 0.096 dan CFI
= 0.962. Item nomor 2, 3, 7, 9, 12, dan 25 memiliki eror yang saling berkorelasi.
Keenam item ini selain mengukur pola asuh otoriter juga mengukur faktor lain. Agar
bisa diperoleh nilai true score pola asuh otoriter yang lebih murni maka ada dua
alternatif yaitu mendrop keenam item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada keenam item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya tiga item yaitu 2, 3 dan 12.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran pola asuh otoriter
disajikan dalam tabel.
53
Tabel 3. 13 Muatan Faktor Item Pola Asuh Otoriter
No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
7 0.457 0.048 9.448 0.000 √
9 0.595 0.043 13.965 0.000 √
16 0.685 0.038 18.083 0.000 √
18 0.710 0.040 17.783 0.000 √
25 0.617 0.041 15.191 0.000 √
26 0.210 0.055 3.825 0.000 √
29 0.272 0.056 4.892 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
2. Dimensi Pola Asuh Otoritatif
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel pola asuh otoritatif, penulis
melakukan perhitungan CFA model unidimensional terhadap 10 item pola asuh
otoritatif. Perhitungan awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 90.824, df = 33,
P- Value = 0.000, RMSEA = 0.065 dengan beberapa item berkorelasi. Oleh sebab itu,
dilakukan modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran
(eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 38.993, df = 14, P- Value = 0.0004,
RMSEA = 0.066, 90 Percent C.I = 0.042-0.091, Probability RMSEA = 0.130 dan CFI
= 0.979. Item nomor 4, 5, 8, 15, dan 20 memiliki eror yang saling berkorelasi. Kelima
item ini selain mengukur pola asuh otoriter juga mengukur faktor lain. Agar bisa
diperoleh nilai true score pola asuh otoritatif yang lebih murni maka ada dua alternatif
yaitu mendrop kelima item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
54
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada kelima item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya tiga item yaitu 4, 8, dan 20.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujian dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran pola asuh otoritatif
disajikan dalam tabel.
Tabel 3. 14 Muatan Faktor Item Pola Asuh Otoritatif No.
Item
Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
5 0.531 0.038 13.821 0.000 √
11 0.475 0.044 10.785 0.000 √
15 0.469 0.044 10.544 0.000 √
22 0.773 0.030 25.709 0.000 √
23 0.737 0.032 22.675 0.000 √
27 0.654 0.033 19.974 0.000 √
30 0.553 0.041 13.547 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
3. Dimensi Pola Asuh Permisif
Pada penelitian ini uji validitas konstruk variabel pola asuh permisif, penulis
melakukan perhitungan CFA model unidimensional terhadap 10 item pola asuh
55
permisif. Perhitungan awal CFA ini menghasilkan nilai chi-square = 59.818, df = 21,
P- Value = 0.000, RMSEA = 0.067 dengan beberapa item berkorelasi. Oleh sebab itu,
dilakukan modifikasi dengan membebaskan korelasi antara kesalahan pengukuran
(eror) pada butir soal.
Hasilnya didapat model fit dimana chi-square = 20.623, df = 9, P- Value = 0.0144,
RMSEA = 0.056, 90 Percent C.I = 0.024-0.088, Probability RMSEA = 0.336 dan CFI
= 0.966. Item nomor 6, 10, 13, 19, 21 dan 24 memiliki eror yang saling berkorelasi.
Keenam item ini selain mengukur pola asuh permisif juga mengukur faktor lain. Agar
bisa diperoleh nilai true score pola asuh permisif yang lebih murni maka ada dua
alternatif yaitu mendrop keenam item ini atau menggunakan pendekatan bifactor.
Penulis dalam hal ini memilih mendrop item yang itemnya saling berkorelasi, tetapi
penulis berusaha agar tidak semua item tersebut di drop. Dengan menganalisis pola
korelasi antar kesalahan pengukuran pada keenam item tesebut akhirnya penulis
mendapatkan model yang fit tanpa adanya korelasi antar eror (murni unidimensional)
dimana item yang di drop hanya empat item yaitu 13, 19, 21 dan 28.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Pengujian dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien
muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga
sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran pola asuh permisif
disajikan dalam tabel.
56
Tabel 3. 15 Muatan Faktor Item Pola Asuh Permisif
No. Item Estimate S.E T-Value P-Value Signifikan
1 0.438 0.058 7.552 0.000 √
6 0.614 0.045 13.692 0.000 √
10 0.160 0.058 2.748 0.006 √
14 0.382 0.054 7.124 0.000 √
17 0.651 0.044 14.667 0.000 √
24 0.654 0.045 14.490 0.000 √
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa semua item bermuatan positif dan
signifikan, sehingga semua item pada variabel ini telah memenuhi kriteria yang telah
dijelaskan setelah model fit dan dapat diikutsertakan pada analisis selanjutnya.
3.5. Teknik Analisis Data
Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan estimasi faktor skor dari setiap
item yang telah memenuhi kriteria item yang valid untuk mendapat faktor skor pada
setiap variabel. Sehingga, perbedaan kemampuan dari masing-masing item dalam
mengukur apa yang hendak diukur ikut menetukan dalam menghitung faktor skor.
Hasil dari true score (T score) inilah yang akan dianalisis dalam analisis berikutnya.
Sebelum dilakukan analisis statistik, penulis mentransformasikan faktor skor
ke dalam T score, dengan mean = 50 dan standar deviasi (SD) = 10. Dengan demikian,
tidak ada subjek penelitian yang mendapatkan skor negatif dan setiap variabel memiliki
nilai satuan yang sama yang bernilai positif. Adapun rumus T score adalah:
Selanjutnya T score diinput untuk melakukan analisis regresi berganda
(multiple regression analysis). Analisis regresi berganda digunakan ketika terdapat
lebih dari satu independent variable untuk memprediksi dependent variable.
T score = (10 x Factor score) + 50
57
Penulis menggunakan teknik analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis
nihil penelitian. Penelitian ini memiliki variabel sebanyak duabelas variabel
independen, dan memiliki satu variabel dependen. Langkah pertama dalam analisis
regresi berganda adalah mengestimasi parameter yang dalam hal ini merupakan
koefisien b & a. Jika koefisien telah diperoleh maka dapat dibuat persamaan untuk
memprediksi dependent variable. Adapun persamaan regresi yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu:
Keterangan :
Y = Cyberbullying
a = Konstanta
b = Koefisien regresi untuk masing-masing X
X1 = Kecerdasan emosi
X2 = Superiority
X3 = Exhibitionism
X4 = Entitlement
X5 = Authority
X6 = Exploitativeness
X7 = Self-Sufficiency
X8 = Pola asuh otoriter
X9 = Pola asuh otoritatif
X10 = Pola asuh permisif
X11 = Gender
e = Residual
Pertama, peneliti melakukan analisis regresi berganda untuk melihat pengaruh
yang diberikan seluruh independent variable terhadap dependent variable. Untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan independent variable terhadap
Y = a + 𝐛𝟏𝐗𝟏 + 𝐛𝟐𝐗𝟐 + 𝐛𝟑𝐗𝟑 + 𝐛𝟒𝐗𝟒+ 𝐛𝟓𝐗𝟓+ 𝐛𝟔𝐗𝟔 + 𝐛𝟕𝐗𝟕 + 𝐛𝟖𝐗𝟖 +
𝐛𝟗𝐗𝟗 + 𝐛𝟏𝟎𝐗𝟏𝟎 + 𝐛𝟏𝟏𝐗𝟏𝟏 + e
58
dependent variable, peneliti melihat besaran proporsi varians (R²) yang diperoleh
melalui rumus sebagai berikut:
Keterangan :
R² = Proporsi varians yang bisa dijelaskan oleh keseluruhan IV
SSreg = Sum of square regression (jumlah kuadrat regresi)
SSy = Sum of square Y (jumlah kuadrat dari Y)
Selanjutnya untuk melihat signifikansi hasil analisis regresi berganda antara
independent variable terhadap dependent variable maka dilakukan uji F. Model
dikatakan signifikan apabila memiliki taraf signifikansi sebesar <0,05. Adapun proses
uji F dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
F = Taraf signifikansi
R² = Proporsi varians
k = Banyaknya independent variable
N = Jumlah sampel
Selanjutnya peneliti juga melakukan pengujian untuk mengetahui masing-
masing independent variable yang signifikan terhadap dependent variable. Pengajuan
R2 =SSreg
SSy
F =R²/k
(1 − R2)/(N − k − 1)
59
ini dilakukan denga cara uji T, yaitu melihat taraf signifikansi koefisien masing-masing
independent variable. Adapun proses uji T dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
t = Taraf signifikansi koefisien b
b = Koefisien regresi
Sb = Standard error dari b
t =b
Sb
60
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Total sampel pada penelitian ini berjumlah 412 orang yang merupakan siswa kelas X
dan XI dari sekolah menengah akhir (SMA) yang berbeda di Jakarta Selatan. Gambaran
umum subjek pada penelitian berdasarkan faktor demografi, yaitu meliputi jenis
kelamin, penghasilan orang tua, waktu penggunaan internet, jenis jejaring sosial yang
dimiliki dan tindakan terkait cyberbullying yang dilakukan selama 6 bulan terakhir
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4. 1 Gambaran Umum Jenis Kelamin Subjek Penelitian
Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa dari 412 subjek penelitian yang
berpartisipasi dalam penelitian ini, subjek penelitian berjenis kelamin perempuan 261
orang atau 63% dan laki-laki sebanyak 151 orang atau 37%.
37%
63%
JENIS KELAMIN
Laki-Laki Perempuan
61
Tabel 4. 1
Subjek Penelitian Berdasarkan Waktu Penggunaan Internet Karakteristik Subjek penelitian N N (%)
Waktu Penggunaan Internet
1 – 2 jam per hari 7 2
2 – 3 jam per hari 10 2
3 – 4 jam per hari 51 12
4 – 5 jam per hari 67 16
>5 jam per hari 277 68
Total 412 100%
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa dari 412 subjek penelitian terdapat
7 orang atau 2% melakukan penggunaan internet 1-2 jam perhari, 10 orang atau 2%
melakukan penggunaan internet 2-3 jam per hari, 51 orang atau 12% melakukan
penggunaan internet 3-4 jam per hari, 67 orang atau 16% melakukan penggunaan
internet 4-5 jam per hari , dan 277 orang atau 68% melakukan penggunaan internet >5
jam per hari .
Tabel 4. 2
Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Jejaring Sosial Karakteristik Subjek penelitian N N (%)
Jenis Jejaring Sosial
Facebook 2 1
Twitter 12 3
Instagram 315 76
Youtube 43 10
Whatsapp 3 1
Lainnya 37 9
Total 412 100%
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 412 subjek penelitian yang
berpartisipasi terdapat 2 orang atau 1% subjek penelitian menggunakan jejaring sosial
facebook, 12 orang atau 3% subjek penelitian menggunakan jejaring sosial twitter, 315
orang atau 76%, subjek penelitian menggunakan jejaring sosial instagram, 43 orang
atau 10% subjek penelitian menggunakan jejaring sosial youtube, 3 orang atau 1%
62
subjek penelitian menggunakan jejaring sosial whatsapp dan sebanyak 37 orang atau
9% subjek penelitian menggunakan jejaring sosial lainnya.
Tabel 4. 3
Subjek Penelitian Berdasarkan Tindakan Cyberbullying yang Dilakukan dalam
6 Bulan Karakteristik Subjek penelitian N N (%)
Perilaku yang Dilakukan dalam 6 bulan
Membajak akun orang lain. 38 9
Memblokir akun orang lain. 88 21
Menghina seseorang di media
sosial.
79 19
Meng upload foto temen yang
memalukan.
125 30
Menyindir sesorang di timeline
media sosial.
57 14
Tidak melakukan perilaku
cyberbullying.
25 7
Total 412 100%
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 412 subjek penelitian yang
berpartisipasi dalam penelitian ini terdapat 38 orang atau 9% melakukan perilaku
terkait cyberbullying yaitu membajak akun orang lain, 88 orang atau 21% memblokir
akun orang lain, 79 orang atau 19% menghina seseorang di media sosial, 125 orang
atau 30% meng upload foto teman yang memalukan, 57 orang atau 14% menyindir
seseorang di timeline media sosial, dan sebanyak 25 orang atau 7% tidak melakukan
perilaku cyberbullying.
4.2. Analisis Deskriptif
Dalam suatu penelitian, perlu dijelaskan bahwa skor yang digunakan dalam analisis
statistik adalah skor faktor yang dihitung untuk menghindari estimasi bias dari
kesalahan pengukuran. Penghitungan skor faktor pada tiap variabel tidak
menjumlahkan item-item seperti pada umumnya, tetapi menghitung true score pada
63
setiap item. Setelah faktor skor didapatkan, penulis mentranformasikan faktor skor
menjadi T skor. Penggunaan T skor ini bertujuan untuk menyamakan skala pengukuran
yang berbeda-beda dan untuk menghindari nilai minus pada faktor skor agar pembaca
mudah memahami interpretasi hasil penelitian. Adapun T skor dalam penelitian ini
penulis menetapkan skor dengan nilai mean = 50 dan standar deviasi = 10. Langkah
selanjutnya adalah melakukan proses transformasi melalui formula T-score = (F-score
*10) + 50.
Tabel 4.4
Analisis Deskriptif Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Cyberbullying 412 39.40 85.79 50.0000 8.64347
Kecerdasan Emosi 412 16.83 74.73 50.0000 9.07673
Superiority 412 37.94 76.44 50.0000 6.41829
Exhibitionism 412 31.96 72.27 50.0000 9.30246
Entitlement 412 27.41 69.64 50.0000 7.66930
Authority 412 26.35 71.88 50.0000 9.02451
Exploitativeness 412 19.14 72.31 50.0000 7.73864
SelfSufficiency 412 30.43 71.99 50.0000 6.78853
Pola Asuh Otoriter 412 30.18 76.37 50.0000 8.48749
Pola Asuh Otoritatif 412 23.05 67.58 50.0000 8.74217
Pola Asuh Permisif 412 15.83 68.64 50.0000 8.24336
Valid N (listwise) 412
Dari tabel 4.4 dapat diketahui bahwa semua mean pada variable sudah mendekati
angka 50 dan standar deviasi juga mendekati angka 10. Skor terendah dari
cyberbullying 39.40 dan skor tertinggi 85.79. Skor terendah dari kecerdasan emosi
16.83 dan skor tertinggi 74.73. Skor terendah dari superiority 37.94 dan skor tertinggi
76.44, kemudian skor terendah exhibitionism 31.96 dan skor tertinggi 72.27, kemudian
skor terendah untuk entitlement 27.41 dan skor tertinggi 69.64. Skor terendah dari
authority 26.35 dan skor tertinggi 71.88. Skor terendah dari exploitativeness 19.14 dan
skor tertinggi 72.31, kemudian skor terendah self sufficiency 30.43 dan skor tertinggi
64
71.99. Kemudian skor terendah dari pola asuh otoriter 30.18 dan skor tertinggi 76.37.
Semudian skor terendah dari pola asuh otoritatif 23.05 dan skor tertinggi 67.58.
Kemudian skor terendah pola asuh permisif 15.83 dan skor tertinggi 68.64.
4.3 Kategorisasi Skor
Kategorisasi skor variabel bertujuan untuk menempatkan individu dalam kelompok-
kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut
yang diukur. Adapun norma kategori skor variabel dalam penelitian ini dijelaskan pada
tabel di bawah ini:
Tabel 4.5
Norma Kategorisasi Skor Variabel penelitian Kategori Norma
Rendah X < M – SD
Sedang M – SD ≤ X ≤ M + SD
Tinggi X > M + SD
Setelah norma kategorisasi skor pada tabel 4.5 didapatkan maka diperoleh nilai
presentase kategorisasi skor untuk setiap variabel yang terdapat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.6
Tabel Kategorisasi Skor Variabel Penelitian Variabel Rendah Sedang Tinggi
Cyberbullying 50 (12.2%) 308 (74.9%) 53 (12.9%)
Kecerdasan Emosi 44 (10,7%) 320 (77.9%) 48 (11.7%)
Superiority 12 (2.9%) 372 (90.3%) 28 (6.8%)
Exhibitionism 62 (15.0%) 304 (73.8%) 46 (11.2%)
Entitlement 33 (8.0%) 344 (83.5%) 35 (8.5%)
Authority 44 (10.7%) 311 (75.5%) 57 (13.8%)
Exploitativeness 43 (10.4%) 327 (79.4%) 42 (10.2%)
Self-Sufficiency 22 (5.3%) 357 (86.7%) 33 (8.0%)
Pola Asuh Otoriter 52 (12.7%) 310 (75.2%) 50 (12.1%)
Pola Asuh Otoritatif 48 (11.7%) 302 (73.3%) 62 (15.0%)
Pola Asuh Permisif 40 (9.7%) 327 (79.4%) 45 (10.9%)
65
Berdasarkan tabel 4.6 mengenai gambaran skor variabel diatas dapat dilihat
bahwa semua skor variabel dalam kurva normal. Skor pada variabel tindakan
cyberbullying sebanyak 50 orang (12.2%) memiliki skor cyberbullying pada kategori
rendah, 308 orang (74.9%) pada kategorisasi sedang dan 53 orang (12.9%) memiliki
skor cyberbullying pada kategorisasi tinggi.
Dari tabel 4.6 juga dapat dijelaskan bahwa variabel superiority memiliki
perbedaan yang cukup signifikan antara skor kategorisasi rendah dan kategorisasi
tingginya yaitu dimana sebanyak 12 orang (2.9%) berada pada skor kategorisasi
rendah, 372 orang (90.3%) pada kategorisasi sedang dan 28 orang (6.8%) memiliki
skor superiority pada kategorisasi tinggi. Kemudian variable self-sufficiency dimana
sebanyak 22 orang (5.3%) berada pada skor kategorisasi rendah, 357 orang (86.7%)
berada pada kategorisasi sedang, dan 33 orang (8.0%) memiliki skor kategorisasi
tinggi.
Berbeda dengan variabel exhibitionism dimana skor kategorisasi jauh lebih
tinggi dibandingkan kategorisasi rendah yaitu sebanyak 62 orang (15.0%) memiliki
skor exhibitionism pada kategori rendah, 304 (73.8%) pada kategorisasi sedang,
sedangkan 46 orang (11.2%) memiliki skor exhibitionism pada kategori tinggi.
4.4 Uji Hipotesis Penelitian
Pada tahapan uji hipotesis penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis regresi
dengan aplikasi IBM software SPSS 22.0. Terdapat tiga hal yang dapat dilihat dalam
melakukan analisis regresi. Pertama, dengan menggunakan analisis regresi, peneliti
dapat melihat seberapa besar (%) pengaruh yang diberikan independent variable
66
terhadap dependent variabel dengan melihat nilai R-square. Kedua, melihat apakah
seluruh independent variable yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap
dependent variabel melalui uji F. Ketiga, melihat signifikan atau tidaknya koefisien
regresi dari setiap independent variable melalui uji t.
Langkah pertama, peneliti melihat seberapa besar independent variable
berpengaruh terhadap dependent variable dengan melihat besaran R-square. Adapun
besarnya R-square dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.7
Model Summary Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the
Estimate
1 .323a .104 .080 8.29174
Berdasarkan tabel 4.7, dapat dilihat bahwa perolehan R² sebesar 0.104 atau
10.4%. Dengan demikian besarnya pengaruh seluruh independent variable (kecerdasan
emosi, superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness, self-
sufficiency, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif dan gender)
terhadap dependent variable (cyberbullying) ialah 10.4%, sedangkan 89.6% lainnya
dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Setelah mengetahui besar pengaruh
seluruh independent variable terhadap dependent variable, langkah kedua ialah
menghitung signifikansi model penelitian dengan seluruh independent variable melalui
uji F.
67
Tabel 4.8
Tabel Anova Pengaruh Keseluruhan independent variable terhadap dependent
variable
Model Sum of
Squares
Df Mean Square F Sig.
1 Regression 3204.474 11 291.316 4.237 .000b
Residual 27501.157 400 68.753
Total 30705.631 411
Berdasarkan tabel 4.8, dapat diketahui bahwa nilai p (probability) pada kolom
paling kanan sebesar 0.000. Dengan nilai p < 0.05, maka hipotesis nihil yang
menyatakan “Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosi,
superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness dan self-sufficiency,
pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender terhadap
tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan” ditolak.
Artinya ada pengaruh yang signifikan dari kecerdasan emosi, superiority,
exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness, self-sufficiency, pola asuh
otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan.
Oleh sebab itu langkah berikutnya yang diperlukan untuk melihat diantara
kecerdasan emosi, superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness,
self-sufficiency, pola asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender
mana yang dampaknya signifikan dan tidak memprediksi cyberbullying perlu
dilakukan uji t terhadap koefisien regresi dari kecerdasan emosi, superiority,
exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness, self-sufficiency, pola asuh
68
otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.9
Koefisien Regresi Setiap Variabel Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 38.979 5.912 6.593 .000
Kecerdasan emosi -.065 .058 -.068 -1.126 .261
Superiority .331 .074 .245 4.469 .000
Exhibitionism -.069 .050 -.074 -1.376 .170
Entitlement .117 .065 .104 1.814 .070
Authority -.069 .061 -.072 -1.133 .258
Exploitativeness .140 .073 .125 1.914 .056
Self-Sufficiency -.119 .076 -.093 -1.556 .120
Pola asuh otoriter .038 .054 .037 .706 .481
Pola asuh otoritatif .147 .056 .149 2.603 .010
Pola asuh permisif -.144 .062 -.137 -2.331 .020
Gender -2.659 .892 -.148 -2.980 .003
a. Dependent Variable: Cyberbullying
Untuk mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak, dapat dilihat pada
kolom paling kanan. Jika nilai p < 0.05 maka koefisien regresi yang dihasilkan terdapat
pengaruh yang signifikan terhadap cyberbullying, begitupun sebaliknya. Adapun besarnya
koefisien regresi dari masing-masing independent variable terhadap cyberbullying dapat
dilihat pada tabel 4.9. Berdasarkan tabel koefisien regresi diatas juga diperoleh
persamaan regresi sebagai berikut:
Cyberbullying' = 38.979 – 0.065 (kecerdasan emosi) + 0.331 (superiority)*
– 0.069 (exhibitionism) + 0.117 (entitlement) – 0.069 (authority) + 0.140
69
(exploitativeness) – 0.119 (self-sufficiency) – 0.038 (pola asuh otoriter) + 0.147 (pola
asuh otoritatif)* – 0.144 (pola asuh permisif)* – 2.659 (gender)*
Keterangan: tanda (*) menunjukkan variabel signifikan
Dari persamaan regresi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari dua belas
independent variable terdapat lima independent variable yang signifikan terhadap
tindakan cyberbullying dimana nilai p <0.005, yaitu kecerdasan emosi, pola asuh
otoritatif , pola asuh permisif dan gender. Adapun penjelasan dari nilai koefisien regresi
yang diperoleh dari masing-masing independent variable sebagai berikut:
1. Variabel kecerdasan emosi terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar -0.065 dengan nilai P=0.261 (>0.05). Dengan demikian variabel
kecerdasan emosi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
2. Variabel superiority terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien regresi
sebesar 0.331 dengan nilai P=0.000 (<0.05). Dengan demikian variabel kecerdasan
emosi berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying. Nilai koefisien
yang positif menunjukkan arah hubungan, bahwa jika skor superiority semakin
tinggi maka akan semakin tinggi pula skor pada tindakan cyberbullying.
3. Variabel exhibitionism terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien regresi
sebesar -0.069 dengan nilai P=0.170 (>0.05). Dengan demikian variabel
exhibitionism tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
4. Variabel entitlement terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien regresi
sebesar 0.117 dengan nilai P=0.070 (>0.05). Dengan demikian variabel entitlement
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
70
5. Variabel authority terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien regresi
sebesar -0.069 dengan nilai P=0.258 (>0.05). Dengan demikian variabel
entitlement tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
6. Variabel exploitativeness terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar 0.140 dengan nilai P=0.056 (>0.05). Dengan demikian variabel
exploitativeness tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
7. Variabel self-sufficiency terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar -0.119 dengan nilai P=0.120 (>0.05). Dengan demikian variabel
self-sufficiency tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
8. Variabel pola asuh otoriter terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar 0.038 dengan nilai P=0.481 (>0.05). Dengan demikian variabel
pola asuh otoriter tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying.
9. Variabel pola asuh otoritatif terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar 0.147 dengan nilai P=0.010 (<0.05). Dengan demikian variable
pola asuh otoritatif berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying. Nilai
koefisien yang positif menunjukkan arah hubungan, bahwa jika skor pola asuh
otoritatif semakin tinggi maka akan semakin tinggi pula skor pada tindakan
cyberbullying.
10. Variabel pola asuh permisif terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien
regresi sebesar -0.144 dengan nilai P=0.020 (<0.05). Dengan demikian variabel
pola asuh permisif berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying. Nilai
koefisien yang negatif menunjukkan arah hubungan, bahwa jika skor pola asuh
71
permisif semakin tinggi maka akan semakin rendah skor pada tindakan
cyberbullying.
11. Variabel gender terhadap variabel cyberbullying memiliki koefisien regresi
sebesar -2.659 dengan nilai P=0.003 (<0.05). Dengan demikian variabel gender
berpengaruh signifikan terhadap variabel cyberbullying. Variabel gender
menggunakan coding yaitu laki-laki = 0 dan perempuan = 1. Dengan demikian
dilihat dari nilai koefisien yang negatif menunjukan bahwa laki-laki memiliki
tindakan cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan perempuan
4.5 Pengujian Proporsi Varian
Langkah selanjutnya ialah melihat proporsi varians untuk masing-masing independent
variable. Untuk mengetahui proporsi varians dari masing-masing independent
variable, peneliti melakukan perhitungan nilai R2 Change dengan cara melakukan
analisis regresi satu per satu, langkah ini dilakukan untuk mengetahui besarnya R2
Change setiap kali menambahkan independent variable kedalam analisis regresi.
Adapun besar R2 Change untuk masing-masing independent variable pada penelitian
ini dapat dilihat pada tabel berikut:
72
Tabel 4.10
Proporsi Varian setiap Variabel
Model R
Square
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
Kecerdasan emosi .002 .002 .865 1 410 .353
Superiority .046 .044 18.709 1 409 .000
Exhibitionism .046 .001 .293 1 408 .588
Entitlement .052 .006 2.583 1 407 .109
Authority .053 .000 .118 1 406 .731
Exploitativeness .059 .007 2.876 1 405 .091
Self-Sufficiency .063 .003 1.337 1 404 .248
Pola asuh otoriter .066 .003 1.434 1 403 .232
Pola asuh otoritatif .074 .008 3.469 1 402 .063
Pola asuh permisif .084 .011 4.663 1 401 .031
Gender .104 .020 8.881 1 400 .003
Berdasarkan tabel 4.10, penjelasan untuk masing-masing R2 Change adalah sebagai
berikut:
1. Variabel kecerdasan emosi memberikan sumbangan sebesar 0.002 atau 0.2%
terhadap varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak
signifikan, dengan nilai P=0.353 (>0.05).
2. Variabel superiority memberikan sumbangan sebesar 0.044 atau 4.4% terhadap
varians cyberbullying. Sumbangan yang diberikan signifikan, dengan nilai
P=0.000 (<0.05).
3. Variabel exhibitionism memberikan sumbangan sebesar 0.001 atau 0.1% terhadap
varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak signifikan, dengan
nilai P=0.588 (>0.05).
73
4. Variabel entitlement memberikan sumbangan sebesar 0.006 atau 0.6% terhadap
varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak signifikan, dengan
nilai P=0.109 (>0.05).
5. Variabel authority memberikan sumbangan sebesar 0.000 atau 0.0% terhadap
varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak signifikan, dengan
nilai P=0.731 (>0.05).
6. Variabel exploitativeness memberikan sumbangan sebesar 0.007 atau 0.7%
terhadap varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak
signifikan, dengan nilai P=0.091 (>0.05).
7. Variabel self-sufficiency memberikan sumbangan sebesar 0.003 atau 0.3%
terhadap varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak
signifikan, dengan nilai P=0.248 (>0.05).
8. Variabel pola asuh otoriter memberikan sumbangan sebesar 0.003 atau 0.3%
terhadap varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak
signifikan, dengan nilai P=0.232 (>0.05).
9. Variabel pola asuh otoritatif memberikan sumbangan sebesar 0.008 atau 0.8%
terhadap varians cyberbullying. Namun sumbangan yang diberikan tidak
signifikan, dengan nilai P=0.063 (>0.05).
10. Variabel pola asuh permisif memberikan sumbangan sebesar 0.011 atau 1.1%
terhadap varians cyberbullying. Sumbangan yang diberikan signifikan, dengan
nilai P=0.031 (<0.05).
74
11. Variabel gender memberikan sumbangan sebesar 0.003 atau 3.0% terhadap
varians cyberbullying. Sumbangan yang diberikan signifikan, dengan nilai
P=0.020 (<0.05).
Hal lain yang penting dalam melakukan analisis regresi adalah menguji asumsi
normalitas dari variabel residual karena jika ternyata terdapat distribusi frekuensi
residual yang tidak normal maka semua uji signifikan yang sudah dikemukakan di atas
diragukan, oleh sebab itu penulis melakukan uji normalitas sesuai asumsi tersebut.
Hasil analisis regresi yang dapat dipercaya adalah jika distribusi frekuensi dari residual
mengikuti kurva normal. Apabila residual berada disekitar garis harapan untuk kurva
normal, dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi ini memiliki distribusi error atau
residual yang mengikuti kurva normal. Artinya, hasil persamaan regresi beserta
interpretasinya dapat dipercaya.
Berikut adalah gambar “residual plot” yang dihasilkan untuk “dependent
variable” dalam penelitian ini. Berdasarkan gambar 4.2 dan 4.3 dapat dilihat bahwa
secara umum distribusi dari residual yang dihasilkan tidak terlalu jauh berbeda dari
kurva normal.
75
Gambar 4.2 Histogram Residual Tindakan Cyberbullying Gambar 4. 3 Residual Plot Tindakan
Dengan demikian, uji hipotesis dan penelitian dengan analisis regresi pada
tindakan cyberbullying dapat diterima dikarenakan residual berada disekitar garis
harapan untuk kurva normal.
76
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan uji multiple regression,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi,
superiority, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness, self-sufficiency, pola
asuh otoriter, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender terhadap tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas yang tersebar di Jakarta Selatan.
Apabila dilihat dari signifikasi masing-masing independent variabel, terdapat
empat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tindakan cyberbullying yaitu
superiority, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender. Selain itu, terdapat tujuh
variabel yang tidak signifikan yaitu kecerdasan emosi, exhibitionism, entitlement,
authority, exploitativeness, self-sufficiency, dan pola asuh otoriter.
Variabel superiority memiliki koefisien regresi bernilai positif, artinya semakin
tinggi skor superiority individu, maka akan semakin tinggi kecenderungan individu
melakukan tindakan cyberbullying. Variabel pola asuh otoritatif memiliki koefisien regresi
bernilai positif artinya semakin tinggi pola asuh otoritatif maka akan semakin tinggi pula
kecenderungan individu melakukan tindakan cyberbullying. Variabel pola asuh permisif
memiliki koefisien regresi bernilai negatif artinya semakin tinggi pola asuh permisif
maka akan semakin rendah tindakan cyberbullying. Selanjutnya, variabel gender
menunjukan nilai koefisien yang negatif dimana variabel gender menggunakan coding
77
yaitu laki-laki = 0 dan perempuan = 1 menunjukan bahwa laki-laki memiliki tindakan
cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Berdasarkan analisis regresi didapatkan bahwa tindakan cyberbullying yang
dipengaruhi oleh keseluruhan independent variable didapatkan hasil sebesar 10,4%.
Proporsi varians superiority sebesar 4,4%, pola asuh otoritatif sebesar 0,8%, pola asuh
permisif sebesar 1,1%, dan gender sebesar 2,0%.
5.2 Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hal-hal yang memengaruhi tindakan cyberbullying
pada siswa sekolah menengah atas yang tersebar di Jakarta Selatan. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa dari dua belas independent variable
yang diteliti terdapat empat variabel yang signifikan mempengaruhi tindakan
cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Empat variabel
tersebut antara lain superiority, pola asuh otoritatif, pola asuh permisif, dan gender.
Pada penelitian ini superiority berpengaruh signifikan dengan arah positif yang
berarti bahwa jika skor superiority semakin tinggi maka akan semakin tinggi pula skor
pada tindakan cyberbullying. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wasburn et.al (2004) bahwa dimensi dari narsisme yaitu superiority
dikalangan remaja dapat memicu tindakan agresi, dimana remaja tersebut akan
mempromosikan konstruksi diri yang superior melalui dominasi fisik dan psikologis
terhadap orang lain seperti melakukan tindakan cyberbullying.
Kemudian dua dari tiga dimensi pola asuh ibu yaitu dimensi pola asuh otoritatif
dan pola asuh permisif ditemukan adanya pengaruh yang signifikan terhadap tindakan
78
cyberbullying. Pola asuh ibu otoritatif berpengaruh signifikan dengan arah positif
dengan arti bahwa semakin tinggi skor pada pola asuh otoritatif maka akan semakin
tinggi pula skor pada tindakan cyberbullying.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Derebasi (2015)
yang menyatakan pola asuh otoritatif signifikan positif terhadap tindakan cyberbullying.
Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif yaitu mendorong anak menjadi mandiri
dengan tetap masih menggunakan batasan-batasan kontrol terhadap anak ternyata malah
memicu anak untuk melakukan tindakan cyberbullying. Peneliti menyimpulkan bahwa
anak yang di didik mandiri dengan masih diberi batasan kontrol dari orang tua membuat
anak merasa kurang memiliki kebebasan dalam menentukan perilakunya. Sehingga anak
dengan pola asuh otoritatif menyalurkan kekesalanya dengan berbuat agresi terhadap
orang lain.
Bukan hanya pola asuh otoritatif tetapi pola asuh permisif juga ditemukan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tindakan cyberbullying. Hasil penelitian ini
berbanding terbalik dengan teori yang di kemukakaan Baumrind (Dalam Santrock,
1971) yaitu pola asuh permisif dimana orang tua membiarkan anak mereka melakukan
apa saja yang mereka inginkan akan membuat anak jarang menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Pada penelitian ini justru pola
asuh permisif berpengaruh signifikan dengan arah negatif bahwa semakin tinggi skor
pola asuh permisif maka akan semakin rendah skor pada tindakan cyberbullying.
Disini peneliti menyimpulkan bahwa melalui hasil penelitian ini, orang tua
dengan pola asuh permisif dapat membuat anak merasa mempunyai kebebasan untuk
79
melakukan sesuatu, anak tidak merasa tertekan, sehingga anak dapat belajar menghargai
orang lain karena wawasan nya yang terbuka tidak didominasi oleh peran otoritas orang
tua yang kejam yang akan memicu anak melakukan modelling terhadap orang lain.
Sehingga melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif merupakan
salah satu cara untuk menghindari tindakan cyberbullying.
Selanjutnya variabel lain dalam penelitian ini yang signifikan terhadap tindakan
cyberbullying ialah gender. Hasil menyatakan bahwa laki-laki memiliki intensi yang
lebih tinggi dalam tindakan cyberbullying. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Abeele & Cock (2013) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih
kontroversial untuk terlibat dalam kegiatan cyberbullying seperti mengancam atau
menghina seseorang dengan cara panggilan suara atau SMS.
Penelitian lain yang sejalan dengan hasil penelitian ini ialah penelitian dari
Doucett, Jeremy D (2013) yang menyatakan laki-laki signifikan lebih sering melakukan
cyberbullying dibandingkan wanita karena laki-laki lebih sering menggunakan kata-kata
yang menyakitkan dengan anggapan bahwa hal yang mereka lakukan adalah hal biasa
ataupun sekedar bercanda.
Dalam penelitian ini terdapat pula beberapa variabel yang terbukti tidak terdapat
pengaruh yang signifikan terhadap sikap terkait kekerasan dalam berpacaran, yaitu:
kecerdasan emosi, exhibitionism, entitlement, authority, exploitativeness, self-
sufficiency, dan pola asuh otoriter. Hal ini membuat hasil yang didapat dapat dikatakan
bertentangan dengan penelitian yang telah ada.
80
Kecerdasan emosi pada penelitian ini terbukti tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tindakan cyberbullying. Dalam hal ini penulis mengambil
kesimpulan bahwa terdapat faktor lain yang membuat kecerdasan emosi tidak signifikan
terhadap tindakan cyberbullying. Dalam penelitian yang dilakukan oleh García-Sancho,
Salguero dan Berrocal (2014) menyatakan kecerdasan emosi hanya merupakan faktor
mediasi mungkin terdapat faktor lain sehingga tidak didapatkan hasil yang signifikan
sebagai suatu variabel independen yang dapat mempengaruhi langsung tindakan
cyberbullying.
Kemudian terdapat lima variabel narsisme yaitu exhibitionism, entitlement,
authority, exploitativeness, dan self-sufficiency yang dalam penelitian ini tidak terdapat
pengaruh yang signifikan terhadap tindakan cyberbullying. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Derebasi (2015), bahwa dimensi narsisme tidak signifikan
dikarenakan alat ukur yang digunakan narcissistic personality inventory (NPI) tidak pas
digunakan untuk mengukur perilaku penggunaan media sosial dan item pada narcissistic
personality inventory (NPI) hanya mengacu pada persepsi mereka tentang perilaku
mereka dalam kehidupan nyata.
Variabel lain yang ditemukan tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap tindakan
cyberbullying dalam penelitian ini adalah pola asuh otoriter. Hasil penelitian yang
dilakukan peneliti sangat berbanding terbalik oleh penelitian yang dilakukan oleh
Zurcher, et.at (2018) yang menyatakan bahwa pola asuh otoriter signifikan berfungsi
sebagai faktor pemicu cyberbullying khususnya, verbal (kata-kata) yang menyakitkan
dari ibu dikaitkan dengan partisipasi anak laki-laki dalam perilaku cyberbullying.
81
Peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter pada penelitian ini tidak terbukti
signifikan. Pola asuh otoriter pada teori Baumrind (1971) dijelaskan merupakan pola
asuh dengan batasan-batasan kontrol yang tegas pada anak dan memungkinkan sedikit
pertukaran verbal, memukul anak, menegakan aturan-aturan kaku, tetapi tidak
menjelaskan kepada mereka dan menunjukan kemarahan kepada anak. Pada penelitian
ini ditarik kesimpulan bahwa anak remaja tidak ingin memperlihatkan kepada orang lain
bahwa ia memiliki orang tua dengan sifat kasar sehingga pada penelitian ini sampel lebih
banyak mengisi pada pola asuh otoritatif dan permisif. Peneliti mengharapkan pada
penelitian lain agar lebih mengeksplorasi mengenai pola asuh otoriter ini.
5.3 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Peneliti memberikan beberapa saran yang
terbagi menjadi saran teoritis dan saran praktis.
5.3.1 Saran teoritis
Untuk pengembangan penelitian selanjutnya, peneliti memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Didalam penelitian ini hanya didapatkan sumbangan sebesar 10.4% dari
independent variable terhadap dependent variable, masih ada 89.6% lainnya
dipengaruhi oleh variable lain. Apabila pada penelitian selanjutnya hendak
menggunakan variabel yang sama, hendaknya mencari faktor-faktor menarik
lainnya untuk dijadikan variabel independen yang mempengaruhi tindakan
cyberbullying seperti gaya hidup, self-esteem dan dukungan teman sebaya.
82
2. Disarankan pada penelitian berikutnya untuk dapat memperdalam penelitian terkait
tindakan cyberbullying dikalangan anak SMA dengan menggunakan path analysis
dan structural equation model (SEM). Hal ini dilakukan agar pengaruh independent
variable terhadap dependent variable dapat terlihat lebih jelas dan dapat dijelaskan
secara rasional yaitu terdapat dampak langsung dan tidak langsung dengan path
analysis yang diperhitungkan standar kesalahannya dengan menggunakan SEM.
3. Pada penelitian ini, pola asuh menunjukan hasil yang berbeda dari teori, dimana
pola asuh otoritatif memiliki nilai koefisien regresi dengan arah positif, yang berarti
jika orang tua semakin bersikap otoritatif anak akan semakin melakukan tindakan
cyberbullying dan untuk pola asuh permisif memiliki nilai koefisien regresi dengan
arah negatif, yang berarti semakin orang tua bersikap permisif anak akan semakin
tidak melakukan tindakan cyberbullying. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa
peran orang tua sangat penting dalam pembentukan perilaku anak. Adanya
perbedaan hasil penelitian dengan teori yaitu dimana anak dengan pola asuh
permisif seharusnya kesulitan dalam mengendalikan perilakunya ternyata dalam
penelitian ini, anak dengan pola asuh permisif ternyata mampu mengkontrol dirinya
untuk menghindari perilaku cyberbullying. Dari adanya perbedaan hasil penelitian
dengan teori yang ada, peneliti mengharapkan untuk penelitian selanjutnya, dapat
menggunakan variabel pola asuh untuk diteliti kembali.
4. Saran selanjutnya penyebaran kuesioner yang dilakukan secara langsung dengan
cara mengunjungi sekolah yang ingin dijadikan sampel harus sangat diperhatikan
tentang masalah waktu. Waktu penyebaran kuesioner sangat penting karena peneliti
83
menyimpulkan kondisi siswa di pagi hari lebih fit untuk mengisi kuesioner
dibandingkan pada waktu siang hari, banyak siswa yang mengeluhkan kurang
konsentrasi dan kelelahan pada saat pengisian kuesioner.
5. Dalam penelitian selanjutnya peneliti juga harus memastikan bahwa subjek
penelitian mengisi sesuai dengan petunjuk yang sudah ada, sehingga hasil yang
didapat benar dan lebih akurat.
5.3.2 Saran praktis
Untuk dapat mengurangi tindakan cyberbullying pada siswa sekolah menengah atas,
maka peneliti menyarankan beberapa intervensi sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini dimensi superiority signifikan terhadap tindakan cyberbullying.
Jika ditemukan siswa atau anak dengan sikap superiority yang berlebihan orang tua
maupun guru perlu meningkatkan atau memberikan masukan seperti agama dan
motivasi bahwa perilaku tersebut akan menimbulkan efek kurang baik terhadap
orang lain. Tindakan ini dilakukan secara perventif untuk menghindari tindakan
cyberbullying yang dilakukan oleh anak terhadap orang lain.
2. Untuk pihak sekolah ada baiknya melakukan kampanye atau workshop terhadap
siswa dengan tujuan memperluas pengetahuan dan meningkatkan kesadaran bahwa
perilaku cyberbullying memiliki dampak negatif. Jika tindakan cyberbullying
dibiarkan korbannya akan merasa tertekan dan bahkan banyak kasus yang berawal
dari bullying berlanjut menjadi cyberbullying dan membuat korbannya enggan pergi
kesekolah, enggan melakukan sosialisasi dengan orang lain bahkan sampai bunuh
diri.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abeele, M.V., & Cock. (2013). Cyberbullying by mobile phone among adolescents: The
role of gender and peer group status, 38 (1):107-118. doi: 10.1515 /commun-
2013-0006.
Ang, R.P., Tan, K.A., & Mansor A.T. (2011). Normative beliefs about aggression as a
mediator of narcissistic exploitativeness and cyberbullying. Journal of
Interpersonal Violence, 26 (13), 2619-2634. doi: 10.1177/088626051038828.
Baroncelli, A., & Ciucci, E. (2014). Unique effects of different components of traits
emotional intelligence in traditional bullying and cyberbullying. Florence, Itay:
Elseiver Academic Press.
Brackett, M.A., & Rivers S.E. (2011). Classroom emotional climate, teacher affiliation
and student conduct. E-Journal of Classroom Interaction, 46 (1), 27-36.
Retrieved from https://www.jstor.org/stable/pdf/23870549.
Buri, J.R. (1991). Parental authority questionnaire. Journal of Personality Assesment.
57 (1), 110-119.
Calvate, E., Orue, I., Estevez, A., Villardon, L., & Padilla. (2010). Cyberbullying in
adolescents: Modalities and aggressors’ profile. Spain: Elseiver Academic
Press.
Cetin, B., Yaman, E., & Peker, A. (2011). Cyber victim and bullying scale: A study of
validity and reliability. Turkey: Elseiver Academic Press.
Chen, H., & Wong, Y.C. (2015). Internet supervision and parenting in the digital age:
the case of shanghai. Journal of the Open Family Studies. 7 (2), 112-123.
Dake, J.A., Prince, J.H., Telljohann, S.K. (2003). The Nature and Extent of Bullying at
School. Journal of school health, 73 (5), 173-180.
Darling, N. (1999). Parenting style and its correlates. Clearinghouse on elementary
and early childhood education. United State: Education Resources Information
Center.
Doleey, J.J., Pyzalski, J., & Cross, D. (2009). Cyberbullying versus face to face
bullying. Journal of Psychology, 217 (4), 182-18. doi: 10.1027/0044-3409.21
7.4.18.
85
Donellan, M.B., Trzesniewski, K.H., Robins, R.W., Moffitt, T.E., & Caspi, A. (2005).
Low self esteem is relate to aggression, antisocial behavior and delinquency.
Diunduh tanggal 31 Oktober 2017 dari http://journals.sagepub.com.
Du, J., Sun. F., & Fan. X. (2016). Cyberbullying perpetration: a meta-analysis of
gender differences. Journal of Internet Science. 11 (1), 61-81.
Fan, C.Y., Chu, X.W., Zhang, M, & Zhou, Z.K. (2016). Are narcissists more likely to
be involved in cyberbullying? Examining the mediating role of self esteem.
Journal of Interpersonal Violence, 1-24. doi: 10.1177/088626051666653.
Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih
pentng daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Guo, S. (2016). A meta-analysis of the predictors of cyberbullying perpetration and
victimization. Journal of Psychology in the School. 53(4), doi:10.1002/pits,In.
Hasebrink, U. (2014). Children’s changing online experiences in a longitudinal
perspective. London, UK: EU Kids Online.
Hinduja, S., Justin, W.,& Patchin, Ph.D. (2010). Cyberbullying research summary.
Journal of School Health. Retrieved from http://www.cyberbullying.us.
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Hymel, S., & Swearer, S. (2009). Investigating the comparability of a self-report
measure of childhood bullying across countries. Canadian Journal of School
Psychology, 24 (1), 82-93. doi: 0.1177/0829573509331614.
Kring, A.M., Davison, G.C., & Neale, J.M. Abnormal psychology-ninth edition.
Psikologi abnormal edisi ke 9. Noermalasari Fajar (terj). 2004. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Li, Q. (2006). Cyberbullying in schools : a research of gender differences. Journal of
International School Psychology Association, 27 (157), doi:
10.1177/0143034306064547.
Locke, K.D. (2009). Aggresion, narcissism, self-esteem and the attribution of desirable
and humanizing traits to self versus others. Moscow: Elseiver Academic Press
86
Navarro, J.N., & Jasinski, J.L. (2013). Why girls? Using routine activities theory to
predict cyberbullying experiences between girls and boy. Journal of Women &
Criminal Justice, 23 (4), 286-303, doi: 10.1080/08974454.2013.784225.
Oh, H.J., Ozkaya, E., & Larose, R. (2014). How does online social networking enhance
life satisfaction? The relationships among online supportive interaction, affect,
perceived social support, sense of community, and life satisfaction. USA:
Elseiver Academic Press.
Olweus, D.A. (1994). Bullying at school: basic facts and effects of a school based
intervention program. E-Journal of Child Psychology and Psychiatry, 35 (7),
1171-1190. doi: 10.1111/j.1469-7610.1994.tb01229.x
Park, S.K., Kim J.Y., & Cho, C.B. (2008). Prevalence of internet addiction and
correlations with family factors among south Korean adolescents. 43(3), 895-
909. Retrieved from https://web.b.ebscohost.com
Raskin, R. & Hall, C. S. (1979). A narcissistic personality inventory. Psychological
Reports, 45, 590.
Raskin, R., & Terry, H. (1988). A principal components analysis of the narcissistic
personality inventory and further evidence of its construct validity. Journal of
Personality and Social Psychology. 54 (5), 890-902.
Rifauddin, M. (2016). Fenomena cyberbullying pada remaja: Studi Analisis Media
Sosial Facebook. Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khizanah
Al-Hikmah, 4(1), 35-44.
Rosen, L.D., Cheever, N.A., & Carrier, L.M. (2008). The association of parenting style
and child age with parental limit setting and adolescent myspace behavior.
Carson, USA: Elseiver Academic Press.
Rosemary, C. (2014). Adolescent cyberbullying in new Zealand and the implications of
parenting style. University of Canterbury.
Santrock, J.W. Masa perkembangan anak buku dua edisi sebelas. Verawaty Pakpahan
& Wahyu Tanujaya (terj). 2011. Jakarta: Salemba Humanika.
Schutte, N.S., Malouff J.M., Hall, L.E., Haggerty, D.J., Cooper, J.T., Golden, J.C., &
Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional
intelligence. USA : Personality And Individual Differences.
87
Smith, P., Mahdavi, J., Carvalho, M & Tippett, N. (2006). An investigation into
cyberbullying, its forms, awereness and impact, and the relationship between age
and gender in cyberbullying. London : Research Brief.
Smith, P. K., Steffgen, G., & Sittichai R. (2013). The nature of cyberbullying, and an
international network. London: Psychology Press.
Smith, P.K & Steffgen, G. (2013). Cyberbullying through the new media. New York:
Psychology Press
Stica, F., Ruggieri, S., Alsaker, F., & Perren, S. (2013). Longitudinal risk factors for
cyberbullying in adolescene. Journal of Community and Applied Social
Psychology, 23 (2013), 52-67. doi: 0.1002/casp.2136
Subrahmanyam, K., & Greenfield, P. (2008). Online communication and adolescent
relationship. Diunduh tanggal 9 oktober 2017 dari https://www.jstor.org/stable/
pdf/20053122
Tokunaga, R. S. (2010). Following you home from school: A critical review and
synthesis of research on cyberbullying victimization. Computers in Human
Behavior, 26 (3), 277-287.
Utari, P., & Akbar, MA. (2015). Cyberbullying pada media sosial (Studi analisis isi
tentang cyberbullying pada remaja di facebook). Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Vandenbos, G.R. (2015). American psychological association dictionary (2nd Ed).
Washington DC: American Psychological Association.
Varjas, K., Talley, J., Meyers, J., Parris, L., & Cutts, H. (2010). High school students’
perceptions of motivations for cyberbullying: An exploratory study. Western
Journal of Emergency Medicine, 11, 269–273.
Vollink, T., Dehue, F., & Guckin, C.M. (2016). Cyberbullying from theory to
intervention. New York: Routledge.
Wiederhold, B.K. (2012). Journal of cybertheraphy and rehabilitation. Journal of the
International Associations of cyberpsychology, training and Rehabilitation. 5
(1).
Willard, N. (2005). Cyberbullying and cyberthreats. Washington, US: Departement of
education.
88
Ybarra, M.L., and Mitchell, K.J. (2004). Online aggressor/targets, aggressors, and
targets: a comparison of associated youth characteristics. Journal of Child
Psychology and Psychiatry, 45, 1308–1316.
Artikel
Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (KOMINFO). (2018).
Jumlah Pengguna Internet. https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/12
640/ (Diakses pada tanggal 6 Juni 2018)
Cyberbullying terhadap Sonya Depari di Sosial Media (KOMPASIANA). (2016).
https://www.kompasiana.com/khansadewikarima/573ae0ac517a615c076ce99
a/cyberbullying-terhadap-sonya-depari-di-sosial-media (diakses 19 juni 2018)
89
LAMPIRAN
90
91
92
93
LAMPIRAN 2
KUESIONER PENELITIAN
Kuesioner Penelitian
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Selamat Pagi/ Siang/ Sore,
Saya Indah Niandya, mahasiswi Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti saat ini sedang melakukan penelitian untuk
memenuhi tugas akhir skripsi. Peneliti sangat mengharapkan partisipasi dari Anda untuk
mengisi kuesioner ini. Jawaban Anda akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi
kepentingan penelitian ini.
Silahkan Anda mengisi kuesioner ini dengan mengikuti petunjuk pengisian yang
diberikan dan TIDAK ADA JAWABAN BENAR ATAU SALAH dalam kuesioner ini.
Diharapkan Anda mengisi jawaban sesuai dengan keadaan Anda saat ini. Data diri dan
semua jawaban Anda akan diolah secara general bukan perorangan. Data dari penelitian
ini akan dijaga KERAHASIAANNYA dan hanya dipakai untuk keperluan penelitian ini
saja.
Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Setelah selesai mengisi kuesioner
ini, mohon jawaban Anda diteliti kembali agar tidak ada penyataan yang terlewat atau
tidak terjawab. Atas partisipasi Anda, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Indah Niandya
94
Pernyataan Persetujuan Partisipasi.
Dengan ini saya secara sukarela menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini:
Nama/Inisial : ....................................................................
Jenis Kelamin & Usia : ....................................................................
Kelas & Asal Sekolah : ....................................................................
Nomor Telepon : ....................................................................
*Berilah tanda checklist (√) pada jawaban yang menurut anda sesuai dengan diri
anda
Berapa sering anda menggunakan internet :
-2 jam per hari
-3 jam per hari
-4 jam per hari
-5 jam per hari
Jenis jejaring sosial yang lebih sering digunakan :
Di antara perilaku di bawah ini, manakah perilaku yang pernah anda lakukan dalam 6
bulan terakhir ?
Memblokir akun orang lain
Responden
(……………………………………….)
95
SKALA 1
Pada skala ini terdapat sejumlah pernyataan. Baca dan pahami dengan baik setiap
pernyataan. Berilah tanda checklist (√) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia,
yaitu :
TP : Tidak Pernah, jika situasi tidak pernah terjadi pada diri anda
HTP : Hampir Tidak Pernah, jika situasi terjadi 1-2 kali pada diri anda
SR : Sering, jika situasi terjadi 3-4 kali pada diri anda
SS : Sangat Sering, jika situasi terjadi >4 kali pada diri anda
Contoh:
No. Pernyataan TP HTP SR SS
00. Saya orang yang suka bergaul √
Tidak ada jawaban benar atau salah, maka isilah kolom dibawah ini dengan
jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda pada saat ini. Selamat mengerjakan.
Pernyataan
No. Pernyataan TP HTP SR SS
1. Saya mengirimkan pesan yang mengancam
atau menghina melalui e-mail.
2. Saya mengirimkan pesan yang mengancam
atau menghina melalui sms.
3. Memajang atau memasang gambar untuk
memperlakukan teman sekelas di blog
internet.
4. Mengirimkan link untuk membuka gambar
yang berisi cemoohan terhadap orang lain.
5. Menulis lelucon, rumor, gosip, atau
komentar yang mencemooh atau
merendahkan orang lain di internet.
6. Mengupload atau mengeshare rumor, gosip
dll tentang teman sekelas kepada orang
lain agar mereka dapat membacanya.
7. Membobol e-mail orang lain dan mengirim
pesan ke orang lain dengan nama pemilik
96
email tersebut, yang bisa membuat orang
tersebut malu atau menimbulkan masalah.
8 Mengambil gambar atau merekamnya
dengan ponsel ketika sekelompok orang
sedang menertawakan seseorang atau
memaksa orang itu melakukan sesuatu yang
tidak diinginkan.
9. Mengupload atau mengeshare gambar hasil
memotret tersebut kepada orang lain.
10. Merekam video atau memotret dengan
ponsel saat seseorang memukul atau
menyakiti orang lain.
11. Mengupload atau mengeshare video hasil
rekaman tersebut kepada orang lain.
12. Menyebarkan rahasia orang lain atau
kejelekan orang lain berupa foto-foto
melalui internet.
13. Dengan sengaja mengucilkan seseorang
anggota grup online.
14 Mengirimkan pesan berulang kali bertujuan
untuk membuat orang lain takut atau
menakut-nakutkan seseorang.
15. Merekam video atau mengambil gambar
beberapa teman sekelas saat dia sedang
berbicara yang bernuansa sesksual atau
berbicara jorok.
16. Mengupload atau mengeshare video hasil
rekaman tersebut kepada orang lain.
SKALA 2
Pada skala ini terdapat sejumlah pernyataan. Baca dan pahami dengan baik setiap
pernyataan. Berilah tanda cheklist (√) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia,
yaitu :
STS : Sangat tidak setuju
TS : Tidak setuju
S : Setuju
SS : Sangat setuju
97
Contoh:
No.
Pernyataan STS TS S SS
00. Saya orang yang cerdas √
Tidak ada jawaban benar atau salah, maka isilah kolom dibawah ini dengan jawaban
yang paling sesuai dengan diri Anda pada saat ini. Selamat mengerjakan.
Pernyataan
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Saya tahu kapan harus berbicara tentang
masalah pribadi saya kepada orang lain.
2. Ketika saya dihadapkan pada rintangan, saya
ingat bagaimana cara menghadapinya di
waktu yang lalu.
3. Biasanya saya dapat berhasil dengan baik
pada sebagian besar yang saya coba.
4. Orang lain mudah untuk percaya kepada
saya.
5. Saya merasa kesulitan jika harus memahami
pesan yang disampaikan secara isyarat.
6. Beberapa peristiwa penting dalam hidup saya,
telah menuntun saya untuk menentukan mana
yang penting atau tidak penting.
7. Saat mood saya sedang bingung atau gundah,
saya melihat adanya kesempatan.
8 Emosi adalah salah satu hal yang membuat
hidup saya bergairah.
9. Saya menyadari apa yang saya rasakan saat
mengalaminya.
10. Saya berharap segala sesuatunya akan baik-
baik saja.
11. Saya suka berbagi rasa dengan orang lain.
12. Ketika saya mengalami perasaan senang, saya
tahu bagaimana menjaganya.
13. Saya mengatur acara yang disukai orang lain.
14. Saya mencari kegiatan yang membuat saya
bahagia.
98
15. Saya menyadari ketika saya mengirim pesan
dalam bentuk isyarat kepada orang lain.
16. Saya berusaha agar penampilan diri saya baik
didepan orang lain .
17. Saya merasa mudah menyelesaikan sesuatu
ketika suasana hati saya sedang senang.
18. Dengan melihat ekspresi wajah orang lain,
saya mengenali apa yang sedang
dirasakannya.
19. Saya tahu mengapa perasaan saya berubah.
20. Ketika saya merasa senang, saya bisa
menemukan ide-ide baru.
21. Saya dapat mengendalikan emosi saya dengan
baik.
22. Saya dengan mudah memahami apa yang
sedang saya rasakan.
23. Saya memotivasi diri saya dengan
membayangkan bahwa saya pasti berhasil
melewati tantangan tersebut.
24. Saya suka memuji orang lain yang telah
melakukan pekerjaanya dengan baik.
25. Saya sadar akan pesan isyarat yang dikirim
orang lain .
26. Ketika orang lain mencurahkan isi hatinya,
saya hampir merasa seolah-olah telah
mengalami peristiwa ini sendiri.
27. Ketika suasana hati saya berubah, saya
cenderung mengemukakan gagasan baru.
28. Ketika saya menghadapi tantangan berat, saya
mudah menyerah karena yakin akan gagal.
29. Saya tahu apa yang orang lain rasakan hanya
dengan melihat wajah mereka.
30. Saya suka menghibur orang lain yang sedang
dalam kesusahan.
31. Saya membuat diri saya merasa senang agar
bisa membantu orang lain yang sedang
kesusahan.
32. Saya dapat mengetahui bagaimana perasaan
orang lain, hanya dengan memperhatikan
nada suaranya.
99
33. Sulit bagi saya untuk mengerti mengapa
seseorang melakukan hal yang tidak
semestinya.
SKALA 3
Pada skala ini terdapat sejumlah pernyataan. Baca dan pahami dengan baik setiap
pernyataan. Berilah tanda cheklist (√) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia,
yaitu :
STS : Sangat tidak setuju
TS : Tidak setuju
S : Setuju
SS : Sangat setuju
Contoh:
No. Pernyataan STS TS S SS
00. Saya orang yang percaya diri √
Tidak ada jawaban benar atau salah, maka isilah kolom dibawah ini dengan jawaban
yang paling sesuai dengan diri Anda pada saat ini. Selamat mengerjakan.
Pernyataan
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Saya memiliki bakat alami untuk
mempengaruhi orang lain.
2. Kesederhanaan bukan gaya hidup saya.
3. Saya orang yang agak nekat.
4. Ketika orang-orang memuji-muji saya, saya
tersinggung.
5. Dunia pasti lebih nyaman jika saya bisa
mengaturnya.
6. Biasanya saya mampu mencari jalan keluar
pada setiap masalah yang saya hadapi.
7. Saya suka menjadi pusat perhatian.
8 Saya seorang yang sukses.
9. Saya rasa saya orang yang istimewa.
100
10. Saya melihat diri saya sebagai pemimpin yang
baik.
11. Saya tegas.
12. Saya senang jika mengatur orang lain.
13. Saya merasa mudah untuk memerintah orang
lain.
14. Saya selalu mendapatkan penghormatan
karena saya pantas mendapatkannya.
15. Saya senang memamerkan tubuh saya.
16. Saya merasa mudah memahami orang lain.
17. Saya senang jika saya saja yang membuat
keputusan.
18 Saya senang jika semua orang memperhatikan
saya.
19. Saya senang menghabiskan waktu untuk
melihat tubuh saya sendiri.
20. Saya senang menonjolkan diri, jika ada
kesempatan.
21 Saya selalu mengerti apa yang sedang saya
kerjakan.
22. Saya jarang mengandalkan orang lain untuk
menyelesaikan sesuatu.
23. Kebanyakan orang senang mendengar kalau
saya bercerita.
24. Saya berharap banyak dari orang lain.
25. Saya tidak akan pernah puas kalau apa yang
menjadi hak saya belum saya dapatkan.
26. Saya suka dipuji.
27. Saya memiliki kemauan kuat untuk berkuasa.
28. Saya senang mencoba pakaian model baru.
29. Saya suka memandangi diri saya dicermin.
30. Saya senang sekali jika menjadi pusat
perhatian.
31. Saya mampu menjalani hidup dengan cara
yang saya inginkan.
32. Orang lain tampaknya mengakui kehebatan
saya.
33. Kalau boleh pilih saya lebih suka menjadi
pemimpin daripada pengikut.
34. Saya tentu akan jadi orang yang hebat.
35. Saya bisa meyakinkan orang lain sesuai
dengan yang saya inginkan.
101
36. Saya memang terlahir sebagai pemimpin.
37. Saya berharap akan ada orang yang
menuliskan riwayat hidup saya.
38. Saya jengkel jika orang tidak memperhatikan
penampilan saya.
39. Saya lebih mampu dari kebanyakan orang.
40. Saya adalah orang yang serba hebat.
SKALA 4
Pada skala ini terdapat sejumlah pernyataan. Baca dan pahami dengan baik setiap
pernyataan. Berilah tanda Ceklist (√) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia,
yaitu :
STS : Sangat tidak setuju
TS : Tidak setuju
S : Setuju
SS : Sangat setuju
Contoh:
No. Pernyataan STS TS S SS
00. Saya orang yang suka diatur.
Tidak ada jawaban benar atau salah, maka isilah kolom dibawah ini dengan
jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda pada saat ini. Selamat mengerjakan.
Pernyataan
No. Pernyataan STS TS S SS
1. Selagi saya dibesarkan, ibu saya merasa
bahwa rumah yang dikelola dengan baik, anak
harus memiliki jalan mereka sendiri di
keluarga seperti yang orang tua lakukan.
2. Bahkan jika anak anaknya tidak setuju
dengannya , ibu saya merasa bahwa itu untuk
kebaikan kita sendiri, ia merasa apa yang ia
pikirkan selalu benar.
102
3. Kapan pun ibu saya menyuruh melakukan
sesuatu, ia mengharapkan saya melakukannya
segera tanpa banyak bertanya.
4. Ketika saya tumbuh dewasa, begitu kebijakan
keluarga terbentuk, ibu saya mendiskusikan
alasan di balik kebijakan tersebut dengan
anak-anak di dalam keluarga.
5. Ibu saya selalu menjelaskan secara langsung
setiap kali saya merasa bahwa peraturan dan
larangan keluarga tidak masuk akal.
6. Ibu saya selalu merasa bahwa apa yang
dibutuhkan anak adalah bebas mengambil
keputusan dan melakukan apa yang ingin
mereka lakukan, walaupun hal ini tidak sesuai
dengan keinginan orang tua.
7. Seiring tumbuh kembangnya saya, ibu saya
tidak mengizinkan saya mempertanyakan
keputusan apa pun yang telah dibuatnya
8 Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya
mengarahkan kegiatan dan keputusan anak-
anak di keluarga melalui penalaran dan
disiplin.
9. Ibu saya selalu merasa bahwa memakai
kekuatan harus digunakan oleh orang tua agar
anak-anak mereka berperilaku sebagaimana
mestinya.
10. Ketika saya tumbuh dewasa, ibu saya tidak
merasa bahwa saya harus mematuhi peraturan
dan regulasi hanya karena seseorang yang
berwenang telah membuat peraturan tersebut.
11. Ketika saya tumbuh dewasa, saya tahu apa
yang diharapkan ibu saya terhadap saya, tapi
saya juga merasa bebas untuk mendiskusikan
harapan tersebut dengan ibu saya saat saya
merasa itu tidak masuk akal.
12. Ibu saya merasa orang tua yang bijaksana
seharusnya menjadi guru bagi anaknya bukan
hanya menjadi bos dalam keluarga.
13. Ketika saya tumbuh dewasa, ibu saya jarang
memberi saya harapan dan pedoman untuk
perilaku saya.
103
14. Sebagian besar waktu ketika saya tumbuh
dewasa, ibu saya melakukan apa yang anak
anak dalam keluarga inginkan seperti ketika
membuat keputusan di dalam keluarga.
15. Sairing saya tumbuh dewasa, ibu saya secara
konsisten memberi arahan dan bimbingan
dengan cara yang rasional dan obyektif.
16. Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya akan
sangat kesal jika saya mencoba untuk tidak
sependapat dengannya.
17. Ibu saya merasa bahwa sebagian besar
masalah di masyarakat akan terpecahkan jika
orang tua tidak membatasi aktivitas,
keputusan, dan keinginan anak-anak mereka
saat mereka tumbuh dewasa.
18. Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya
membiarkan saya berperilaku seperti yang ibu
saya harapkan, dan jika tidak sesuai dengan
harapannya, ibu saya menghukum saya.
19. Seiring bertambahnya usia, ibu saya
membiarkan saya memutuskan banyak hal
untuk diri sendiri tanpa banyak arahan
darinya.
20. Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya
mempertimbangkan pertimbangan anak-anak
saat membuat keputusan keluarga, tapi dia
tidak mau memutuskan hanya karena anak-
anak menginginkannya.
21. Ibu saya tidak menganggap dirinya
bertanggung jawab untuk mengarahkan dan
membimbing tingkah lakuku saat saya tumbuh
dewasa.
22. Ibu saya memiliki standar perilaku yang jelas
untuk anak-anak nya dirumah saat anaknya
tumbuh dewasa, namun dia bersedia
menyesuaikan standar tersebut dengan
kebutuhan masing-masing anak di keluarga.
23. Ibu saya memberi saya arahan untuk perilaku
dan aktivitas saya saat saya tumbuh dewasa
dan ia mengharapkan saya untuk mengikuti
arahannya, tapi ia selalu bersedia untuk
104
mendengarkan kekhawatiran saya dan
mendiskusikan arah itu dengan saya.
24. Ketika saya tumbuh dewasa, ibu saya
mengizinkan saya untuk membentuk sudut
pandang saya sendiri mengenai masalah
keluarga dan pada umumnya membiarkan
saya memutuskan sendiri apa yang akan saya
lakukan.
25. Ibu saya selalu merasa bahwa sebagian besar
masalah di masyarakat akan terpecahkan jika
orang tua secara ketat dan paksa menangani
anak-anak merek agar mereka tidak
melakukan apa yang seharusnya mereka
lakukan saat mereka tumbuh dewasa.
26. Seiring berjalannya waktu, ibu saya sering
mengatakan kepada saya apa yang ia ingin dan
harapkan dari saya.
27. Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya memberi
arahan yang jelas untuk perilaku dan aktivitas
saya, tapi ia juga mengerti saat saya tidak
setuju dengannya.
28. Saat saya tumbuh dewasa, ibu saya tidak
mengarahkan perilaku, aktivitas, dan
keinginan anak-anak dalam keluarga.
29. Ketika saya tumbuh dewasa, saya tahu apa
yang diharapkan ibu saya terhadap saya dalam
keluarga dan dia berkeras agar saya sesuai
dengan harapan tersebut hanya karena
menghormati otoritasnya.
30. Saat saya tumbuh dewasa, jika ibu saya
mengambil keputusan dalam keluarga yang
menyakiti saya, dia bersedia mendiskusikan
keputusan itu dengan saya dan mengakui jika
ia melakukan kesalahan.
105
LAMPIRAN 3
SYNTAX DAN PATH DIAGRAM
1. Syntax Cyberbullying
TITLE: UJI VALIDITAS DATA CB;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE CB1-CB8 CB10 CB12-CB15;
CATEG ARE CB1-CB8 CB10 CB12-CB15;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
DEFINE: IF CB1>2 THEN CB1=2;
IF CB2>3 THEN CB2=3;
IF CB4>3 THEN CB4=3;
IF CB7>2 THEN CB7=2;
IF CB10>3 THEN CB10=3;
IF CB11>3 THEN CB11=3;
IF CB14>3 THEN CB14=3;
IF CB15>3 THEN CB15=3;
IF CB16>3 THEN CB16=3;
MODEL: CB BY CB1* CB2-CB8 CB10 CB12-CB15;
CB@1;
Path Diagram cyberbullying
106
2. Syntax Kecerdasan Emosi
TITLE: UJI VALIDITAS DATA KE;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE KE1-KE4 KE6-KE14 KE16-KE20 KE22-KE28 KE31-KE32;
CATEG ARE KE1-KE4 KE6-KE14 KE16-KE20 KE22-KE28 KE31-KE32;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
DEFINE: IF KE3<2 THEN KE3=2;
IF KE4<2 THEN KE4=2;
IF KE6<2 THEN KE6=2;
IF KE10<2 THEN KE10=2;
IF KE14<2 THEN KE14=2;
IF KE17<2 THEN KE17=2;
IF KE20<2 THEN KE20=2;
IF KE24<2 THEN KE24=2;
IF KE30<2 THEN KE30=2;
IF KE31<2 THEN KE31=2;
MODEL: KE BY KE1* KE2-KE4 KE6-KE14 KE16-KE20 KE22-KE28 KE31-KE32*;
KE@1;
Path Diagram Kecerdasan Emosi
3. Syntax Superiority
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-SU x VA;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA19 NA26 NA29 NA40;
CATEG ARE NA19 NA26 NA29 NA40;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: SU BY NA19* NA26 NA29 NA40*;
SU@1
107
Path Diagram Superiority
4. Syntax Exhibitionism
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-EX;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA2 NA3 NA7 NA20 NA28 NA30 NA38;
CATEG ARE NA2 NA3 NA7 NA20 NA28 NA30 NA38;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: EX BY NA2* NA3 NA7 NA20 NA28 NA30 NA38*;
EX@1;
Path Diagram Exhibitionism
108
5. Syntax Entitlement
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-EN;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA5 NA18 NA25 NA27;
CATEG ARE NA5 NA18 NA25 NA27;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: EN BY NA5* NA18 NA25 NA27*;
EN@1;
Path Diagram Entitlement
6. Syntax Authority
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-AU;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA1 NA8 NA10 NA11 NA32 NA33 NA36;
CATEG ARE NA1 NA8 NA10 NA11 NA32 NA33 NA36;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: AU BY NA1* NA8 NA10 NA11 NA32 NA33 NA36*;
AU@1;
109
Path Diagram Authority
7. Syntax Exploitativeness
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-EXP;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA6 NA13 NA16 NA23 NA35;
CATEG ARE NA6 NA13 NA16 NA23 NA35;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: EXP BY NA6* NA13 NA16 NA23 NA35*;
EXP@1;
Path Diagram Exploitativeness
110
8. Syntax Self-Sufficiency
TITLE: UJI VALIDITAS DATA NA-SS;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE NA17 NA21 NA31 NA39;
CATEG ARE NA17 NA21 NA31 NA39;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
DEFINE: IF NA34<2 THEN NA34=2;
MODEL: SS BY NA17* NA21 NA31 NA39*;
SS@1;
Path Diagram Self-Sufficiency
9. Syntax Pola Asuh Ibu Otoriter
TITLE: UJI VALIDITAS DATA PAI-OTR;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE PAI7 PAI9 PAI16 PAI18 PAI25 PAI26 PAI29;
CATEG ARE PAI7 PAI9 PAI16 PAI18 PAI25 PAI26 PAI29;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
DEFINE: IF PAI12<2 THEN PAI12=2;
MODEL: PAI BY PAI7* PAI9 PAI16 PAI18 PAI25 PAI26 PAI29*;
PAI@1;
111
Path Diagram Pola Asuh Ibu Otoriter
10. Syntax Pola Asuh Ibu Otoritatif
TITLE: UJI VALIDITAS DATA PAI-OTF;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE PAI5 PAI8 PAI11 PAI22 PAI23 PAI27 PAI30;
CATEG ARE PAI5 PAI8 PAI11 PAI22 PAI23 PAI27 PAI30;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF PAI12<2 THEN PAI12=2;
MODEL: PAI BY PAI5* PAI8 PAI11 PAI22 PAI23 PAI27 PAI30*;
PAI@1;
Path Diagram Pola Asuh Ibu Otoritatif
112
11. Syntax Pola Asuh Ibu Permisif
TITLE: UJI VALIDITAS DATA PAI-PRM;
DATA: FILE=DATA.TXT;
VARIABLE: NAMES ARE CB1-CB16 KE1-KE33 NA1-NA40 PAI1-PAI30;
USEVAR ARE PAI1 PAI6 PAI10 PAI14 PAI17 PAI24;
CATEG ARE PAI1 PAI6 PAI10 PAI14 PAI17 PAI24;
ANALYSIS: !ESTIMATOR=BAYES; FBITERATIONS=20000; PROCESSORS=2;
!DEFINE: IF PAI12<2 THEN PAI12=2;
MODEL: PAI BY PAI1* PAI6 PAI10 PAI14 PAI17 PAI24*;
PAI@1
Path Diagram Pola Asuh Ibu Permisif
113
LAMPIRAN 4
TABEL REGRESI
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Cyberbullying 412 39.40 85.79 50.0000 8.64347
kecerdasanemosi 412 16.83 74.73 50.0000 9.07673
Superiority 412 37.94 76.44 50.0000 6.41829
Exhibitionism 412 31.96 72.27 50.0000 9.30246
Entitlement 412 27.41 69.64 50.0000 7.66930
Authority 412 26.35 71.88 50.0000 9.02451
Exploitativeness 412 19.14 72.31 50.0000 7.73864
SelfSufficiency 412 30.43 71.99 50.0000 6.78853
Pola asuh otoriter 412 30.18 76.37 50.0000 8.48749
Pola asuh otoritatif 412 23.05 67.58 50.0000 8.74217
Pola asuh permisif 412 15.83 68.64 50.0000 8.24336
Valid N (listwise) 412
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .323a .104 .080 8.29174
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 3204.474 11 291.316 4.237 .000b
Residual 27501.157 400 68.753
Total 30705.631 411
a. Dependent Variable: Cyberbullying
b. Predictors: (Constant), GENDER, PRM, SU, EXP, EX, OTR, EN, OTF, SS, kecerdasanemosi,
AU
114
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 38.979 5.912 6.593 .000
Kecerdasan emosi -.065 .058 -.068 -1.126 .261
Superiority .331 .074 .245 4.469 .000
Exhibitionism -.069 .050 -.074 -1.376 .170
Entitlement .117 .065 .104 1.814 .070
Authority -.069 .061 -.072 -1.133 .258
Exploitativeness .140 .073 .125 1.914 .056
Self-Sufficiency -.119 .076 -.093 -1.556 .120
Pola asuh otoriter .038 .054 .037 .706 .481
Pola asuh otoritatif .147 .056 .149 2.603 .010
Pola asuh permisif -.144 .062 -.137 -2.331 .020
Gender -2.659 .892 -.148 -2.980 .003
a. Dependent Variable: CB
Model Summary
Model R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error of
the Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .046a .002 .000 8.64489 .002 .865 1 410 .353
2 .214b .046 .041 8.46403 .044 18.709 1 409 .000
3 .216c .046 .039 8.47135 .001 .293 1 408 .588
4 .229d .052 .043 8.45496 .006 2.583 1 407 .109
5 .230e .053 .041 8.46414 .000 .118 1 406 .731
6 .244f .059 .045 8.44465 .007 2.876 1 405 .091
7 .250g .063 .046 8.44114 .003 1.337 1 404 .248
8 .257h .066 .047 8.43661 .003 1.434 1 403 .232
9 .272i .074 .053 8.41088 .008 3.469 1 402 .063
a. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi
b. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU
115
c. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX
d. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN
e. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN, AU
f. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN, AU, EXP
g. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN, AU, EXP, SS
h. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN, AU, EXP, SS, OTR
i. Predictors: (Constant), kecerdasanemosi, SU, EX, EN, AU, EXP, SS, OTR, OTF
Model Summary
Model R
R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .272a .074 .053 8.41088 .074 3.561 9 402 .000
2 .291b .084 .062 8.37282 .011 4.663 1 401 .031
3 .323c .104 .080 8.29174 .020 8.881 1 400 .003
a. Predictors: (Constant), OTF, SS, EX, OTR, kecerdasanemosi, SU, AU, EN, EXP
b. Predictors: (Constant), OTF, SS, EX, OTR, kecerdasanemosi, SU, AU, EN, EXP, PRM
c. Predictors: (Constant), OTF, SS, EX, OTR, kecerdasanemosi, SU, AU, EN, EXP, PRM, GENDER