Upload
syukri-muhammad
View
2.345
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH KENAIKAN BBM BERSUBSIDI TERHADAP KONDISI DAYA BELI MASYARAKAT KECIL
PENGARUH KENAIKAN BBM BERSUBSIDI TERHADAP
KONDISI DAYA BELI MASYARAKAT KECIL
ANI ATIH
8105118050
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia
PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN
EKONOMI DAN ADMINISTRASI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Nikmat-Nya sehingga Makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan Makalah ini.
Penulis menyadari berbagai keterbatasan yang dimiliki, maka penulis mengharapkan
berbagai masukan, kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan Makalah ini.
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semu pihak yang membutuhkan.
Jakarta, Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat.................................................................................... 3
BAB II : KAJIAN TEORI
A. Definisi BBM (Bahan Bakar Minyak)........................................................... 4
B. Definisi Subsidi BBM................................................................................... 5
C. Kebijakan Sibsidi BBM................................................................................ 6
D. Tujuan Kebijakan Pemerintah Pada subsidi BBM........................................ 6
E. Dampak Kenaikan BBM Bersubsidi pada Masyarakat Kecil....................... 9
BAB III : PEMBAHASAN
A. Penyajian data............................................................................................. 11
B. Pemecahan Masalah.................................................................................... 13
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
B. Saran ......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gejolak harga minyak dunia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2000. Tiga
tahun berikutnya harga terus naik seiring dengan menurunnya kapasitas cadangan. Ada sejumlah
faktor penyebab terjadinya gejolak ini, salah satunya adalah persepsi terhadap rendahnya
kapasitas cadangan harga minyak yang ada saat ini, yang kedua adalah naiknya permintaan
(demand) dan di sisi lain terdapat kekhawatiran atas ketidakmampuan negara-negara produsen
untuk meningkatkan produksi, sedangkan masalah tingkat utilisasi kilang di beberapa negara dan
menurunnya persediaan bensin di Amerika Serikat juga turut berpengaruh terhadap posisi harga
minyak yang terus meninggi. 1[1]
Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah di beberapa negara di dunia dengan
menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan Indonesia, beberapa kali akhirnya DPR
menyetujui rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak. Kebijakan
kenaikan harga BBM tentu saja menimbulkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian
sehingga kebijakan ini menimbulkan banyak protes dari berbagai kalangan. Keputusan
pemerintah menaikkan harga bensin, solar, dan minyak tanah diakibatkan oleh kenaikan harga
minyak mentah dunia dan terbatasnya keuangan pemerintah. Hal ini direspon oleh pasar dengan
naiknya harga barang kebutuhan masyarakat yang lain. Biaya produksi menjadi tinggi, harga
barang kebutuhan masyarakat semakin mahal sehingga daya beli masyarakat semakin menurun.
Secara makro cadangan devisa negara banyak dihabiskan oleh Pertamina untuk mengimpor
minyak mentah. Tingginya permintaan valas Pertamina ini, juga menjadi salah satu penyebab
terdepresinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. 2[2]
Terjadinya hubungan timbal balik antara naiknya biaya produksi dan turunnya daya beli
masyarakat berarti memperlemah perputaran roda ekonomi secara keseluruhan di Indonesia.
Kondisi ini dapat mempengaruhi iklim investasi secara keseluruhan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek naiknya harga BBM tersebut disikapi oleh pelaku
pasar, khususnya pelaku pasar modal sebagai pusat perputaran dan indikator investasi.
Kontroversi kenaikan harga minyak ini bermula dari tujuan pemerintah untuk
menyeimbangkan biaya ekonomi dari BBM dengan perekonomian global. Meskipun
perekonomian Indonesia masih terseok mengikuti perkembangan perekonomian dunia, pada
akhirnya kebijakan kenaikan BBM tetap dilaksanakan. Akibatnya, perilaku investasi di Indonesia
sangat memungkinkan mengalami perubahan. Setiap peristiwa berskala nasional apalagi yang
terkait langsung dengan permasalahan ekonomi dan bisnis menimbulkan reaksi para pelaku pasar
1[1] Republika Online, Selasa 28 Juni 2005
2[2] Metrotvnews.com, 28 September 2005
modal yang dapat berupa respon positif atau respon negatif tergantung pada apakah peristiwa
tersebut memberikan stimulus positif atau negatif terhadap iklim investasi. Berdasarkan pada
argumentasi di atas, maka dimungkinkan akan terjadi reaksi negatif para pelaku pasar modal
setelah pengumuman tersebut. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya bahwa kenaikan harga BBM
ini direaksi positif oleh pelaku pasar, maka kesimpulan sederhana dari dampak peristiwa
pengumuman tersebut adalah bahwa naiknya harga BBM memberikan stimulus positif pada
perekonomian Indonesia.
Dengan berkembangnya kontroversi pro dan kontra terhadap kenaikan harga BBM
tersebut, penelitian ini berusaha mengetahui dampak langsung peristiwa kenaikan BBM terhadap
kondisi masyarakat kecil di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengulas lebih dalam lagi dengan
makalah yang berjudul, “Pengaruh Kenaikan BBM Bersubsidi Terhadap Kondisi Daya Beli
Masyarakat Kecil”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia sebelum dan sesudah
peristiwa kenaikan harga BBM Bersubsidi?
2. Bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil di
Indonesia ?
C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penulisan adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia
sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM Bersubsidi.
2. Untuk mengetahui bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi
masyarakat kecil di Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi BBM (Bahan Bakar Minyak)
Kata BBM sebenanrya tidak asing lagi bagi kita. Menyebutkan BBM setiap orang pasti
mengaitkannya dengan mesin karena tanpa BBM mesin tidak akan berfungsi, sehingga timbul
anggapan bahwa yang berhubungan dengan BBM selalu ada kaitannya dengan mesin.
BBM adalah energi yang terbentuk dari fosil dalam perut bumi yang dapat diperbaharui :
Komoditas BBM :
1) Avgas
2) Avlur
3) Bensin
· Premium
· Pertamax
· Pertamax Plus
4) Minyak tanah
5) Minyak solar
6) Minyak diesel
7) Minyak bakar
8) Biodiesel
9) Pertamina Dex
Dari sekian banyak BBM, bensin dan minyak solar merupakan BBM yang paling vital
fungsinya. Di zaman modern ini, mobilitas manusia sangat tinggi, sehingga vitalnya bensin bagi
perekonomian suatu negara sama vitalnya dengan darah bagi tubuh manusia. Karena tanpa
bensin dan minyak solar dunia yang kita tempati ini seperti akan berhenti berdenyut.3[3]
B. Definisi Subsidi BBM
3[3] Sumber : Kompas, 23 Juli 2007
Istilah subsidi mungkin juga sudah tidak asing lagi bagi kita. Bahwasanya subsidi menurut
bahasa berarti tunjangan. Sedangkan subsidi BBM adalah bayaran yang harus dilakukan oleh
pemerintah pada Pertamina dalam simulasi dimana pendapatan yang diperoleh Pertamina dari
tugas menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan.4[5]
Definisi di atas menunjukkan bahwa subsidi dilakukan untuk membantu warga negara yang
kurang mampu, namun kenyataannya disalahgunakan oleh kalangan kelas menengah keatas. Hal
ini menyebabkan subsidi BBM salah sasaran dalam penyaluran, karena subsidi yang tujuannya
diberikan oleh kelompok yang kurang mampu tapi ternyata lebih banyak dinikmati oleh
golongan masyarakat kelas atas.
Subsidi BBM adalah salah satu contoh suatu kebijakan ekonomi yang tidak adil. Menurut
data dari sebuah survei misalnya, pemilik mobil pribadi rata-rata menikmati subsidi dari BBM
sebesar 1,2 juta perbulan, sangat tidak sebanding dengan apa yang diterima oleh masyarakat
yang kurang mampu terutama yang tidak mempunyai kendaraan bermotor.5[6]
Subsidi memang sangat membantu masyarakat kurang mampu untuk menjangkau harga
BBM. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, subsidi yang diberikan oleh pemerintah akan
menggerogoti keuangan negara dalam APBN. Karena ternyata subdisi tersebut salah sasaran.
Masyarakat kelas atas yang sebenarnya mampu membeli BBM yang secara normal ternyata
malah disubsidi. Sedangkan kendaraan-kendaraan roda dua milik masyarakat kurang mampu
biasanya membeli BBM yang dijual di kios-kios eceran yang harganya pasti lebih mahal dari
SPBU. Harga BBM yang bersubsidi di kios-kios.
4[5] http://www.pu.go.id/publik/pengumuman/ subsidi-pkps-bbm-050907.htm
5[6] http://arsipnalarekonomi.blogspot.com/2008/06
C. Kebijakan Subsidi BBM
Di zaman modern, mesin sangat penting untuk menunjang mobilitas manusia yang semakin
tinggi. Hal ini menyebabkan BBM sangat vital bagi perekonomian suatu negara. Karena tanpa
BBM dunia seakan berhenti berdenyut.
Setelah sekian lama masyarakat difasilitasi oleh pemerintah dengan subsidi BBM, akhirnya
di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diberlakukan gebrakan yang sangat sensasional,
yaitu dengan melaksanakan kebijakan menaikan harga BBM.
Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Hal ini sangat wajar,
karena setiap kebijakan pasti ada pihak yang mendukung dan pihak yang menolak.
Kebijakan ini dikeluarkan karena harga minyak dunia yang melonjak naik dan melihat
fakta yang terjadi dalam masyarakat. Penyaluran BBM kurang merata. Subsidi yang asalnya
diperuntukkan bagi warga masyarakat yang kurang mampu (menengah ke bawah), tapi pada
kenyataannya malah sebagian besar dari BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan yang tidak
berhak, yakni kalangan atas.
D. Tujuan Kebijakan Pemerintah Pada Subsidi BBM
Kebijakan di atas menimbulkan gejolak di dalam masyarakat. Ada yang pro dengan
kebijakan ini dan tidak sedikit yang kontra dengan keputusan ini. Hal ini karena pengaruh-
pengaruh yang timbul dari kebijakan ini. Bagi pihak yang menganggap baik maka mereka akan
setuju dengan kebijakan ini. Begitu juga sebaliknya.
Beberapa tujuan pemerintah dari kebijakan ini antara lain :
1. Mengurangi beban APBN
Dengan dilakukannya kebijakan pengurangan subsidi BBM ini beban yang ditanggung dalam
APBN menjadi berkurang. Berkaca dari tahun 2008 setidaknya APBN seharusnya menanggung
beban subsidi BBM tidak kurang dari Rp. 150 triliun karena kebutuhan BBM dalam negeri
mencapai 1,3 juta barrel perhari sedangkan produksi saat ini hanya 0,95 juta barrel perhari. Jadi
pasokan BBM kita kurang 0,35 juta barrel perhari.
2. Dana subsidi dari APBN bisa dialihkan ke bidang lain
Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam harian bangsa, “Penghematan subsidi
BBM dan listrik nanti dialihkan untuk kebijakan kebutuhan bahan-bahan pokok dan kompensasi
langsung pada masyarakat kurang mampu.”
Sehingga dana dari subsidi BBM ini bisa dimanfaatkan untuk sektor lain yakni stabilitasi harga
kebutuhan pokok dan kompensasi pada masyarakat. Adapun program kompensasi subsidi di
BBM 2008 :
1) Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp. 14,1 triliun (Juni – Desember)
2) Ketahanan pangan dan raskin Rp. 4,2 triliun (Juni – Desember)
3) Tambahan subsidi KUR Rp. 1,0 triliun (Juni – Desember)
4) Dukungan biaya pendidikan anak bagi PNS Gol I/II terutama TNI/Polri
5) Menghindari penyaluran subsidi yang ternyata salah sasaran
Sudah bukan rahasia lagi kalau subsidi yang mulanya bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat yang kurang mampu, tapi ternyata pihak-pihak yang tidak berhak malah menerima
jatah subsidi ini lebih besar dari pada masyarakat kecil. Karena subsidi BBM ternyata banyak
dinikmati oleh :
1) Orang dari kelompok pendapatan menengah dan atas diukur dari pengeluaran mereka untuk
BBM
Distribusi BBM menurut kelompok pengeluaran (orang/bulan)
2) Industri dan transportasi dibanding pengguna rumah tangga
Persentase pengeluaran BBM dari total pengeluaran menurut sektor
3) Subsidi lebih dinikmati oleh kelompok pendapatan menengah ke atas baik menurut kelompok
pengeluaran maupun pengeluaran untuk BBM menurut sektor.
4) Subsidi BBM ternyata mendorong terjadinya pemborosan dalam penggunaan BBM di dalam
negeri dan penyelundupan BBM keluar negeri.6[7]. Kenaikan BBM
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital
dalam semua aktifitas ekonomi. Dampak langsung perubahan harga minyak ini adalah
perubahan-perubahan biaya operasional yang mengakibatkan tingkat keuntungan kegiatan
investasi langsung terkoreksi. Secara sederhana tujuan investasi adalah untuk maksimisasi
kemakmuran melalui maksimisasi keuntungan, dan investor selalu berusaha mananamkan dana
pada investasi portofolio yang efisien dan relatif aman.
Kenaikan harga BBM bukan saja memperbesar beban masyarakat kecil pada umumnya
tetapi juga bagi dunia usaha pada khususnya. Hal ini dikarenakan terjadi kenaikan pada pos-pos
biaya produksi sehingga meningkatkan biaya secara keseluruhan dan mengakibatkan kenaikan
harga pokok produksi yang akhirnya akan menaikkan harga jual produk. Multiple efek dari
kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya overhead pabrik karena naiknya biaya bahan
baku, ongkos angkut ditambah pula tuntutan dari karyawan untuk menaikkan upah yang pada
akhirnya keuntungan perusahaan menjadi semakin kecil. Di lain pihak dengan kenaikan harga
Bahan Bakar Minyak tersebut akan memperberat beban hidup masyarakat yang pada akhirnya
akan menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya beli masyarakat
mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga secara
6[7] http://www.pu.go.id/publik/pengumuman/subsidi-pkps-bbm-050907.htm
keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan laba
perusahaan.
E. Dampak Kenaikan BBM Bersubsidi Terhadap Masyarakat Kecil
Walaupun dampak kenaikan harga BBM tersebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan
inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini dapat
menimbulkan suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kenaikan harga
berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini muncul karena pelaku pasar terutama pedagang
eceran ikut terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dengan cara menaikkan harga barang-
barang dagangannya. Dan biasanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
terjadi ketika isu kenaikan harga BBM mulai terdengar.
Perilaku kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah terjadi kenaikan
harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa), solar, dan minyak tanah dari waktu
ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan naiknya premium sebagai bahan bakar transportasi akan
menyebabkan naiknya tarif angkutan. Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan
mendorong kenaikan harga barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi tersebut
dalam distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar yang mengalami
kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa yang dalam proses produksinya
menggunakan solar sebagai sumber energinya.
Begitu seterusnya, efek menjalar (contagion effect) kenaikan harga BBM terus
mendongkrak biaya produksi dan operasional seluruh jenis barang yang menggunakan BBM
sebagai salah satu input produksinya yang pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke
harga produk yang dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan
kenaikan harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen,
distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran. Gerakan kenaikan
harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam suatu saluran perdagangan
(distribution channel) adakalanya memerlukan waktu (time lag). Tetapi, yang jelas muara dari
akibat kenaikan harga BBM ini adalah konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari
kebanyakan masyarakat ekonomi lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok
sehari-hari dengan membeli barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran,
biasanya kenaikan harga di tingkat eceran (retail price) ini lebih besar dibandingkan dengan
kenaikan harga di tingkat harga produsen (producer price) maupun di tingkat pedagang besar
(wholesale price).
Dampak ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan kita. Justru dampak
tak langsung yang merupakan hasil multiplier effect dapat menyeret ke tingkat inflasi yang
tinggi. Sumbangan inflasi dari BBM akan bertambah besar jika komponen BBM lainnya yang
tidak ditetapkan pemerintah bergerak sesuai selera pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar
apabila pemerintah menaikkan tarif dasar listrik rata-rata.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penyajian Data
Sepertinya rakyat harus menarik napas dalam-dalam menahan impitan kenaikan harga-
harga kebutuhan pokok yang tinggi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi dan menjadi pemicu kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok lainnya. Contoh, penjual sayur-sayuran, menaikkan harga sayur-sayurannya
lantaran ongkos transpornya dan harga sayur-sayuran dari petani sayur sudah naik. Begitu juga,
penyedia jasa angkutan, secara serentak menaikkan ongkos transpor lantaran BBM yang
digunakan sehari-harinya naik, bahkan kenaikannya melebihi dari kenaikan BBM itu sendiri.
Penjual pakaian di pasar-pasar juga ikut menaikkan harga dagangannya dengan alasan
harga pakaian dari industri pakaiannya sudah naik. Tak kalah serunya industri pakaian ini juga
secara otomatis menaikkan harga produknya karena biaya produksi naik lantaran ada sebagian
kegiatan produksinya menggunakan BBM dalam jumlah besar. Belum lagi nanti kalau tarif
listrik naik lantaran PLN dalam memproduksi listriknya juga menggunakan sebagian BBM.
Seluruh fenomena ini merupakan salah satu contoh akibat “air bah” pemicu inflasi yang
merupakan multiplier effect dari kenaikan BBM, karena BBM merupakan salah satu komponen
strategis dalam menggerakkan roda ekonomi seluruh aktivitas perekonomian di negara ini.
Pada awalnya pengurangan subsidi BBM ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan
dalam pemberian subsidi untuk seluruh lapisan masyarakat karena selama ini pemberian subsidi
BBM hanya menguntungkan masyarakat lapisan ekonomi kuat. Tetapi, pada akhirnya akibat
kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut, yang menanggung kenaikan harga BBM adalah
masyarakat lapisan bawah. Program kompensasi yang dijanjikan pemerintah untuk membantu
masyarakat ekonomi lemah akibat kenaikan BBM yang dimulai sejak bulan April 2000 tidak
mengenai sasaran pada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan
program ini telah dilansir media massa hanya merupakan proyek bagi-bagi uang yang tidak
sampai ke sasarannya. Kurangnya perencanaan dan pengawasan penyaluran dana kompensasi
merupakan salah satu penyebab tidak berhasilnya program tersebut.
Kenaikan BBM cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan
multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi
maupun distribusinya menggunakan BBM.
Contoh dampak kenaikan harga BBM pada bulan April 1998 tersebut terhadap inflasi
masih terasa sampai bulan Juli 1998 dengan rata-rata inflasi setiap bulannya sebesar 6,77 persen.
Inflasi bulan Mei 1998 mencapai 5,24 persen dan pada bulan tersebut seluruh kelompok
pengeluaran konsumsi mengalami kenaikan indeks. Kelompok pengeluaran bahan makanan
mengalami kenaikan indeks sebesar 3,90 persen; kelompok pengeluaran makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau 4,00 persen; kelompok pengeluaran perumahan 4,14 persen;
kelompok pengeluaran sandang 4,53 persen; kelompok pengeluaran kesehatan 2,40 persen;
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 1,41 persen; dan kelompok pengeluaran transportasi
dan komunikasi 17,25 persen.
Tekanan inflasi masih dirasakan di bulan Juni 1998, mencapai angka 4,64 persen, dan pada
bulan tersebut seluruh kelompok pengeluaran konsumsi juga mengalami kenaikan indeks. Hal ini
masih terjadi pula pada tingkat inflasi bulan Juli, yaitu sebesar 8,56 persen.
Angka inflasi sebesar 8,56 persen merupakan angka inflasi yang sangat tinggi karena angka
inflasi satu persen saja sudah merupakan cerminan dari gelombang “air bah” dari kenaikan
beberapa jenis barang yang hampir terjadi di seluruh kota yang dihitung angka inflasinya.
Berdasarkan pola kenaikan jenis barang selama ini, angka inflasi satu persen saja biasanya
berasal dari kenaikan harga lebih dari 15 jenis barang yang terjadi serentak di hampir seluruh
kota sampel penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Jenis barang yang sering mengalami fluktuasi harga biasanya berasal dari kelompok bahan
makanan seperti beras, daging ayam ras, ikan segar, telur, tomat sayur, minyak goreng, dan cabai
rawit. Ditambah juga dari kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau seperti
rokok, mi kering instan, nasi lauk, ayam goreng, kue kering, dan berbagai jenis minuman. Semua
itu biasanya ikut mewarnai angka inflasi sebesar satu persen di samping kelompok jenis barang
lainnya.
B. Pemecahan Masalah
1. Dari sisi pelanggan
Daya beli masyarakat akan mengalami penurunan namun hanya bersifat sementara, kurang
lebih sekitar 2 bulan. Hal ini disebabkan pelanggan Indonesia tidak tahan untuk tidak membeli.
Pergeseran pelanggan ini mengakibatkan pelanggan kelas menengah mencari produk lebih
murah dengan kualitar yang bagus, pelanggan kelas bawah mencari yang paling murah dan
pelanggan kelas atas tidak akan terpengaruh.
Pelanggan yang sensitif harga biasanya mencari harga diskon untuk mengatasi penurunan
daya beli mereka. Pada kondisi ini biasanya bermunculan berbagai promo diskon harga yang
merupakan salah satu siasat produsen untuk memanfaatkan situasi pelanggan tersebut.
Sebagai pedagang eceran, kesempatan untuk mendapatkan produk baru dengan harga
terjangkau masih sangat besar. Pedagang tidak usah khawatir kehilangan pelanggan, karena
dapat dipastikan semua pedagang akan menaikan harga. Artinya, potensi pelanggan pindah toko
juga kecil.
Masalah yang paling besar dirasakan oleh pelanggan yang benar-benar tidak mampu
membeli. Namun biasanya masih tetap ada peluang untuk membeli dengan terpaksa, yaitu pada
event-event tertentu seperti Hari Raya. Untuk itu, penjual harus menyediakan barang-barang
lama atau yang tidak laku dengan harga super murah.
2. Dari sisi produsen
Bila dilihat dari sisi produsen, produsen juga tidak mungkin langsung menutup produksi
atau langsung menaikan harga. Dalam hal ini produsen juga akan takut untuk menaikan harga
karena khawatir hasil produksinya tidak terserap pasar.
Produsen dituntut untuk lebih kreatif dengan mencoba memberikan nilai tambah produk
dari berbagai aspek yang tidak menjadikan harga naik. Misalnya pada aspek desain, model dan
aplikasi yang menarik pada produk. Produsen juga harus menyadari bahwa sebisa mungkin
mereka harus menyajikan produk yang terjangkau.
Produsen akan berhati-hati dalam mengkomunikasikan harga ke pengecer. Produsen juga
harus membangun pengertian bahwa produsen dan pengecer harus bisa saling memahami
dampak kenaikan harga.
3. Dari sisi makro
Kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan harga yang terjadi disemua komoditas.
Namun semua sektor akan menuju pada keseimbangan baru, karena pada dasarnya ekonomi
tidak akan berhenti dan inflasi sudah pasti akan terjadi. Hanya membutuhkan waktu beberapa
bulan saja untuk terbiasa dengan kenaikan harga yang terjadi.
Ada sedikit penggembira. Apabila harga naik pada bulan Juni, maka pedagang bisa sedikit
tidak perlu khawatir karena pada bulan Juni-Desember adalah bulan belanja pemerintah. Artinya,
ekonomi sudah pasti berjalan. Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
tergantung dari belanja pemerintah.
Solusi bagi para pedagang adalah wajib bertahan sampai event-event Hari Raya, karena
pada saat ini tidak ada lagi pengaruh kenaikan harga BBM.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
BBM merupakan faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri BBM merupakan
faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri dan rumah tangga. Oleh karrna itu, kenaikan
harga BBM selalu disertai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan lain, karena. Sehingga
dampak kenaikan harga BBM pasti akan sangat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya
masyarakat kecil.
Untuk mengatasi masalah yang timbul dari kenaikan harga BBM, bagi para produsen
adalah dengan cara meningkatkan kreativitas dalam bidang produksi, mencoba memberikan nilai
tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan
aplikasi yang menarik. Hal ini perlu dilakukan agar harga produk tidak ikut naik terlalu tinggi.
B. Saran
Diharapkan agar pemerintah pada saat-saat selanjutnya dapat menjadikan kenaikan harga
BBM sebagai alternatif terakhir untuk menghemat anggaran belanja negara. Karena dampak
yang ditimbulkannya akan sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, Rubrik Pembaca Menulis, Kompas Cybermedia, 20 April 2001.
Majalah Trend Data. Edisi Mei 2002.
Arya Yoga, Dampak Kenaikan Harga BBM. 2008. http://reincarbonated.multiply.com
Jawa Pos Online, 30 Januari 2002. Mensiasati Dampak Kenaikan BBM Bagi Pengusaha Kecil.
M. Lutfi Firdaus, “Bensin, Cairan Penggerak Ekonomi Kategori Kimia Karbon”, dalam Kompas, 23 Juli 2009.
http://www.pu.go.id/publik/pengumuman/ subsidi-pkps-bbm-050907.htm
http://arsipnalarekonomi.blogspot.com/2008/06
http://www.google.co.id/2009/23/6 “Dampak Kebijakan BBM”
Pemerintah Harus Pertimbangkan Dampak Sospol Kenaikan BBM 27 Peb 2012 11:35:53| Politik | Penulis : Supervisor
Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Firdaus mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan dampak sosial dan politik (Sospol, disamping faktor ekonomi sebelum mengambil kebijakan menaikkan harga BBM.
"Pemeritah harus melakukan kebijakan ini secara arif dan bijaksana serta disertai kajian-kajian yang cukup matang dan memadai agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik di kalangan masyarakat," ujarnya di Jakarta, Senin.
Tanpa adanya pertimbangan yang matang, menurut dia, maka ongkos sosial yang akan ditanggung pemerintah akan lebih besar ketimbang hanya sekadar menaikkan harga BBM dengan alasan ekonomi semata.
Selain itu, pemerintah juga harus menjelaskan kepada masyarakat secara transparan dampak negatif dan positif dari rencana kenaikan BBM tersebut.
Pemerintah tidak boleh lagi mengambil suatu kebijakan tanpa ada penjelasan yang memadai kepada masyarakat, karena dampak yang akan dihadapai oleh masyarakat sangatlah besar.
"Pemerintah seharusnya terbuka kepada masyarakat yang telah memilihnya dalam mengambil setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,"ujarnya.
Pemerintah harus memberikan penjelasan yang memadai kepada masyarakat dalam mengambil setiap keputusan, jangan sampai masyarakat hanya menerima keputusan yang mereka tidak tahu sebelumnya sehingga akan menambah berat beban hidup mereka," ujarnya.
Dia mengakui bahwa kenaikan BBM tidak dapat lagi dihindari oleh pemerintah, karena pengaruh pasar minyak dunia yang sudah mencapai 115 dolar AS per barel atau sudah diatas asumsi APBN 2012 sebesar 90 dolar AS per barel.
Karenanya, ia kembali menegaskan, selain pertimbangan ekonomi tentu pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak ongkos sosial dan politik dari kebijakan yang diambil itu.
Dengan kenaikan BBM, sudah barang tentu akan mendorong naiknya tingkat inflasi yang
berpengaruh kepada naiknya harga barang kebutuhan pokok di masyarakat. Listrik dan air akan mengikuti kenaikan.
"Hal ini akan menambah berat beban masyarakat dalam menjalani kehidupannya," katanya.
Selanjutnya dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok tentu akan melemahkan daya beli masyarakat dipasaran nasional, karena tidak bertambahnya penghasilan mereka kecuali kalangan pegawai negeri sipil.
Lebih lanjut dia menuturkan bahwa pemerintah juga harus memastikan ketersediaan pasokan BBM sebelum memutuskan kenaikan harga BBM. Pengawasan yang ketat terhadap distribusi BBM harus dilakukan sehingga tidak menimbulkan kelangkaan BBM di masyarakat.
Pengawasan ketat pemerintah juga perlu dilakukan terhadap adanya spekulan-spekulan yang hanya mencari keuntungan dibalik kesulitan masyarakat.
Terkait rencana konversi BBM ke BBG, ia menambahkan, tentunya pemerintah harus menyiapkan infrastrukturnya.
"Jangan sampai ketidaksiapan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur akan menyebabkan semua rencana pemerintah tidak berjalan dengan baik dan optimal," ujarnya. (*)
Editor : Slamet HP
Pengurangan subsidi BBM sudah dibahas sejak tiga tahun lalu, dengan harapan akan segera dapat direalisir agar dana subsidi bisa dialihkan ke sektor lain yang tak kalah penting.
Namun tarik-menarik isu politik, kepentingan usaha dan tekanan publik, membuat ide ini sangat sulit diwujudkan.
Berita terkait
Demo buruh di Jakarta menentang kenaikan BBM Aksi demo BBM paksa siaran di RRI Cina naikkan lagi harga BBMnya
Link terkait
Topik terkait
Minyak gas , Ekonomi , Politik
Salah satu masalah terbesar yang muncul dari dinaikkannya harga BBM adalah kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen biaya yang naik.
Inflasi tidak mungkin dihindari karena BBM adalah unsur vital dalam proses produksi dan distribusi barang, kata peneliti dan direktur lembaga kajian migas Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto. Tetapi menaikkan harga BBM juga tak bisa dihindari karena beban subsidi membuat negara sulit melakukan investasi bidang lain untuk mendorong tumbuhnya ekonomi.
"Kenaikan harga BBM sampai dengan Rp1.500 akan mengakibatkan inflasi bertumbuh 1,6%, tetapi juga akan mengakibatkan reduksi subsidi sebesar Rp57 triliun," kata Pri.
Jika hitungan itu jadi nyata maka menurut Pri, inflasi tidak akan bergeser terlalu tinggi dibanding target yang dipatok pemerintah untuk tahun ini, 5,3%.
"Tahun lalu inflasi diklaim pemerintah hanya di kisaran 4%-an, tetapi itu kan hasil dari subsidi yang sangat besar, inflasi semu. Kalau sekarang subsidi dikurangi terjadi inflasi, ya sama saja kan," tukasnya.
Inflasi lebih tinggi
Sejumlah pengamat ekonomi lain berpandangan mirip.
"Industri makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%."
Adhi S Lukman
Enny Sri Hartati, Direktur INDEF, lembaga analisis ekonomi, berpendapat harga BBM yang dinaikkan tidak akan mengerek inflasi terlalu tinggi apalagi menyebabkan guncangan ekonomi.
"Hitungan kami cuma 2,2%. Yang jadi faktor pemberat itu adalah proses pengambilan keputusan yang bertele-tele sehingga ekspektasi inflasi malah jauh lebih tinggi dari yang sesungguhnya,"kata Enny.
Akibatnya, dari simulasi kasar yang dilakukan INDEF, inflasi tahun ini bisa meroket hingga 8%, meski 'tidak akan mencapai dua digit'.
Ekonom dari berbagai lembaga lain, termasuk sejumlah bank swasta hingga Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, umumnya meramal inflasi akan mencapai 6-8%, melebihi target pemerintah tahun ini 5,3%.
Ongkos naik
Sejumlah komponen penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga makanan-minuman serta tarif transportasi.
Keduanya mengklaim BBM sebagai salah satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos produksi dan distribusi.
"Industri makan-minum membutuhkan BBM untuk produksi, distribusi dan bahan baku. Kenaikan BBM setinggi Rp1.500 akan menyebabkan kenaikan harga pangan sedikitnya 5-10%," kata Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, GAPPMI.
Beberapa tahun terakhir dunia industri sudah tak lagi menikmati subsidi BBM, tetapi menurut Adhi, naiknya harga minyak dunia juga menjadi pendongkrak meroketnya ongkos produksi.
"Ya kami kan harus menyesuaikan harga juga akhirnya," kilah Adhi.
Meski terbilang besar, kenaikan ini menurutnya jauh lebih ringan dari pada situasi tahun 2008, saat harga BBM juga naik hingga Rp6.000.
"Saat itu situasi global sedang diguncang krisis pangan, jadi harga makanan-minuman tidak terkendali. Harganya naik sampai 15-30%," tambahnya.
Momok kenaikan harga lain muncul dari sektor transportasi, yang selalu menaikkan tarif saat kenaikan harga BBM terjadi.
Buruh termasuk kelompok yang paling rentan kena imbas kenaikan harga BBM.
"Kami tidak punya pilihan karena harga BBM itu merupakan 30% komponen biaya industri transportasi, paling besar dibanding komponen suku cadang atau lainnya," kata Ketua Organisasai Angkutan Darat, Organda DKI, Soedirman.
Dengan harga BBM naik 33%, menurut Soedirman, kenaikan tarif angkutan yang masuk akal adalah 35%, tuntutan yang menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa "terlalu besar dan harus dirundingkan kembali'.
Menurut Hatta, kenaikan tarif angkutan masuk akal bila tak lebih dari 10-20%. Tetapi menurut Soedirman, hitungan itu justru tak bernalar.
"Itulah kalau tak paham soal angkutan tapi berkomentar. Bagaimana pengusaha (angkutan) dituntut peremajaan, memberi layanan yang safety dan nyaman, kalau tarifnya selalu murah?" kritik Soedirman pedas.
Sampai kini, tarif angkutan menyesuaikan dengan penaikan harga BBM baru, belum lagi dibicarakan antara Organda dengan pemerintah.
Subsidi sejati
Apapun pertimbangan menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok.
"Belum karuan naik aja, sudah pada naik semua, sembako dan lain-lain. Orang gaji naik cuma 10-20% ini malah lebih," protes Suryati, seorang buruh anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia, FSPMI asal Bekasi, yang pekan lalu turut berdemo ke depan Istana Merdeka.
Buruh lain, seperti Freddy yang datang dari Pasar Minggu, kurang lebih mengeluhkan hal yang sama.
"Enggak mungkin dalam kondisi begini naikin harga BBM, karena gaji buruh juga belum mencukupi."
Sebaliknya menurut pemerintah, tak mungkin kas negara terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi BBM karena sektor lain menjadi terbengkalai.
Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun.
Padahal itu belum termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara total subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun.
Realisasi subsidi BBM juga cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali.
Tahun 2010 misalnya, subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun kemudian membesar menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana anggaran subsidi Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni Rp165,2 triliun.
Akibatnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih sedikit.
Pengurangan subsidi BBM, menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski belum jelas apa saja bentuknya dan bagaimana realisasinya.
Enny Sri Hartati dari INDEF menilai situasi ini sangat tak adil bagi kelompok miskin.
"Katanya subsidi untuk kaum miskin. Padahal pengertian miskin menurut BPS kan mereka yang tak mungkin punya motor atau mobil, karena pendapatannya hanya Rp300 ribu (per bulan),"tegas Enny.
Pengurangan subsidi BBM, menurut Enny, bisa lebih tepat sasaran kalau kemudian diarahkan pada pembangunan infrastruktur atau program pengentasan kemiskinan lain.
"Itu makna subsidi yang sejati; kembalikan kepada kelompok yang paling miskin, 30 jutaan lho jumlahnya."
DAMPAK DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KENAIKAN BBM (Bahan Bakar Minyak)
TUGAS KETIGA-PEREKONOMIAN INDONESIA
NAMA : CANDRA NOPITA SARI
NPM : 27211949
KELAS : 1 EB23
A.Dampak dari kenaikan BBM sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat, yaitu:1. Pertumbuhan EkonomiApapun pertimbangan menaikkan harga BBM, bagi kalangan miskin atau nyaris miskin, impliaksinya hanya satu: kenaikan harga kebutuhan pokok.”Belum karuan naik aja, sudah pada naik semua, sembako dan lain-lain. Orang gaji naik cuma 10-20% ini malah lebih,” protes Suryati, seorang buruh anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia, FSPMI asal Bekasi, yang pekan lalu turut berdemo ke depan Istana Merdeka. Buruh lain, seperti Freddy yang datang dari Pasar Minggu, kurang lebih mengeluhkan hal yang sama.”Enggak mungkin dalam kondisi begini naikin harga BBM, karena gaji buruh juga belum mencukupi.” Sebaliknya menurut pemerintah, tak mungkin kas negara terus-menerus dipakai untuk menambal subsidi BBM karena sektor lain menjadi terbengkalai. Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tahun lalu besaran subsidi kesehatan hanya Rp43,8 triliun, infrastruktur Rp125,6 triliun, bantuan sosial Rp70,9 triliun, sementara subsidi BBM menyedot dana paling besar, Rp165,2 triliun. Padahal itu belum termasuk subsidi listrik yang berjumlah Rp90 triliun, sehingga secara total subsidi energi APBN 2011 mencapai Rp255 triliun. Realisasi subsidi BBM juga cenderung membengkak dari angka acuan karena konsumsi BBM yang tak terkendali.Tahun 2010 misalnya, subsidi BBM yang mestinya habis pada hitungan Rp69 triliun kemudian membesar menjadi Rp82,4 triliun. Hal sama terulang pada 2011 dimana anggaran subsidi Rp96 triliun kemudian bengkak menjadi hampir dua kali, yakni Rp165,2 triliun. Akibatnya kesempatan berinvestasi dalam bentuk infrastruktur dan pembangunan nonfisik, termasuk kesehatan dan pendidikan, menjadi lebih sedikit. Pengurangan subsidi BBM, menurut pemerintah, akan dialihkan sebagian pada program infratsruktur, meski belum jelas apa saja bentuknya dan
bagaimana realisasinya.Enny Sri Hartati dari INDEF menilai situasi ini sangat tak adil bagi kelompok miskin. “Katanya subsidi untuk kaum miskin. Padahal pengertian miskin menurut BPS kan mereka yang tak mungkin punya motor atau mobil, karena pendapatannya hanya Rp300 ribu (per bulan),”tegas Enny. Pengurangan subsidi BBM, menurut Enny, bisa lebih tepat sasaran kalau kemudian diarahkan pada pembangunan infrastruktur atau program pengentasan kemiskinan lain
2. INFLASI lebih tinggiPengamat ekonomi Aviliani menyatakan, pemerintah harus mewaspadai risiko melambungnya inflasi jika harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan. Dia memperkirakan, kenaikan harga BBM pada kisaran Rp 1.500 hingga Rp 2.000 akan memicu tingkat inflasi nasional menjadi 6,5 persen pada tahun ini. ”Jika kenaikan BBM berkisar Rp 1.500 sampai Rp 2.000 kemungkinan inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2 persen sehingga inflasi nasional akan naik menjadi sekitar 6,5 persen,” kata Aviliani di Jakarta, Minggu (26/2). Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mengumumkan bahwa laju inflasi umum tahun kalender 2011 mencapai 3,79 persen. Bank Indonesia juga memperkirakan jika harga BBM dinaikan pada kisaran Rp 500 hingga Rp 1.500 maka akan menimbulkan inflasi lebih dari 5,5 persen. Diakui Aviliani, pemerintah tidak memiliki pilihan kecuali menaikan harga BBM akibat melambungnya harga minyak mentah dunia. Hal itu terutama setelah Iran menghentikan ekspornya ke negara Eropa. Harga minyak sempat mencapai 115 dolar AS per barel. Menurut dia, inflasi akibat kenaikan harga BBM tidak akan menimbulkan gejolak asalkan rupiah tetap pada kisaran RP 8.500 hingga Rp 9.000 per dolar AS. Selain itu, tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi. “Karena kecenderungan masyarakat Indonesia ketika rupiah menguat, maka konsumsi akan meningkat juga,” ujar Aviliani yang juga Sekretaris Komite Ekonomi Nasional ini. Dengan tingkat konsumsi yang tetap tinggi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan tetap terjaga di kisaran 6 persen pada tahun ini. Sebabnya, sekitar 64 persen angka pertumbuhan nasional ditopang dari konsumsi.Aviliani mengatakan, kenaikan harga BBM senilai Rp 2.000 per liter dari harga sekarang akan menghemat anggaran subsidi sebesar Rp 26 triliun dengan inflasi tinggi. Dia melihat guna menekan inflasi tersebut maka pelarangan penggunaan konsumsi BBM bersubsidi khusus untuk mobil pribadi dinilai lebih kecil risiko inflasinya dibanding kenaikan harga BBM untuk semua kendaraan. “Kalau untuk kenaikan harga BBM, berat. Kenaikan harga akan mendorong inflasi dan berimbas pada masyarakat. Paling signifikan adalah mobil pribadi tidak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. Inflasinya tidak akan sebesar kenaikan harga BBM, dan dana penghematannya lebih besar,” kata Aviliani. Sementara itu, pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, pemerintah harus segera menyesuaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi seiring dengan tren naiknya harga minyak dunia. Dia menjelaskan, krisis finansial yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika, serta ketengangan antara Iran dan negara barat terkait sanksi ekspor minyak Iran menjadi faktor utama pemicu naiknya harga minyak dunia. “Kenaikan BBM Rp 1.500 per liter, akan menjadi kebijakan yang paling realistis,” ujar Kurtubi. Dia memperkirakan, harga minyak dunia akan menembus 120 dolar AS per barel untuk Indonesian Crude Price (ICP), bahkan jika
Selat Hortmutz ditutup akan mencapai 120 dolar AS hingga 130 dolar AS per barel. “Harga ICP tidak akan berhenti di angka 120-130 dolar AS per barel, meksipun Selat Hortmuzt tidak ditutup,” katanya. Jika harga BBM jadi dinaikkan, Kurtubi mengingatkan agar pemerintah segera menyampaikan perubahan APBN-P kepada DPR, mengingat UU APBN 2012 melarang kenaikan harga.
3. Dampak terhadap BuruhPengaruh kenaikan harga BBM akan sangat terasa untuk para buruh nasional. "Kenaikan BBM akan sangat dirasakan oleh kalangan buruh nasional kita, perjuangan mereka kemarin untuk menaikkan upah minimumnya terasa sia-sia," ujar anggota komisi IX DPR RI Herlini Amran. Legislator Partai Keadilan Sejahtera ini melanjutkan, daya beli buruh yang diharapkan naik pasca kenaikan UMK kemarin, seperti tercabik-cabik akibat kenaikan harga BBM. Apalagi, 46 Komponen KHL dalam Permenaker 17/2005 sudah otomatis akan naik nominal harganya. "Contoh sederhana, harga sandang, pangan, sewa kamar pasti dan lain-lainnya pasti akan naik, sedangkan revisi komponen KHL untuk menyesuaikan harga komponen tersebut dilakukan pada akhir tahun," katanya.Kenaikan harga BBM juga dapat berakibat naiknya biaya produksi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga membebankan kenaikan biaya produksi tersebut kepada pekerja, seperti menunda pembayaran gaji, memotong gaji atau mengurangi jumlah pekerja. Anggota DPR asal Kepulauan Riau ini meminta Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (kemenakertras) untuk mengimbau Apindo agar tidak melakukan hal-hal tersebut kepada karyawannya, akibat dampak kenaikan harga BBM yang berdampak pada sektor Industri. Herlini meminta pemerintah sebaiknya mengkaji ulang dampak dari kenaikan harga BBM yang nyata-nyatanya berdampak luas pada masyarakat kelas menengah kebawah seperti kalangan buruh ini. "Jelang kenaikan BBM ini saja, harga obat generik ditetapkan naik 6 sampai 9 persen oleh Kemenkes, salah satu alasannya adalah akibat kenaikan harga BBM," ujarnya.Masih ada solusi lain untuk mengatasi kenaikan harga minyak dunia selain menaikkan harga BBM bila Pemerintah mau kreatif dan tidak selalu mencari solusi yang paling mudah. Seperti melakukan penghematan anggaran dengan melakukan diet ketat untuk tidak belanja hal-hal yang tidak penting, memaksimalkan pendapatan pajak agar tidak bocor dan lain-lainnya. "Asal ada good will saja dari pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM," ujarnya.
4. PengangguranDampak kenaikan harga bahan bakar ini terhadap aktivitas ekonomi dikenal dengan istilah multiplier effect. Misalnya jika BBM naik menjadi Rp 6.000/ liter maka akan menaikkan harga barang dan jasa, karena kenaikan harga bahan bakar itu menjadi komponen penting dalam penentuan harga produk barang dan jasa. Ketika harga barang dan jasa naik, dengan asumsi pendapatan masyarakat tetap maka daya beli masyarakat pun turun. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu naik sebanding dengan kenaikan harga BBM. Akibat lebih lanjut, jika harga barang dan jasa naik maka produk domestik tidak dapat bersaing dengan produk asing yang membanjiri Indonesia. Dampak lebih lanjut adalah penjualan industri
turun, omzet turun, pendapatan masyarakat turun. Akibat lebih lanjutnya adalah PHK dan naiknya angka pengangguran. Dalam waktu yang bersamaan, ketika harga BBM akan naik, muncullah program bantuan tunai yang digulirkan pemerintah dengan tujuan meredam dampak sosial ekonomi masyarakat, yang disebut BLSM. Program bantuan tersebut bersifat konsumtif, sesaat, tampak sebagai kebijakan tambal sulam, tidak dapat memberdayakan ekonomi masyarakat, sering salah sasaran, dan justru akan menghambat tumbuhnya potensi-potensi ekonomi masyarakat.
5. Neraca PembayaranBank Indonesia mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak karena jika tidak dilakukan turut memperbesar defisit neraca pembayaran akibat pembengkakan konsumsi komoditas itu.Satu sisi, dampak dari kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bakal mendorong inflasi di atas target apabila kenaikan di atas Rp1.000 per liter. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan setiap kebijakan pasti ada dampak yang harus ditanggung. Namun, ada dampak positif juga yang diperoleh dari kenaikan harga BBM, karena mengurangi subsidi dan konsumsi masyarakat. “Sebetulnya terus terang situasi kalau tidak dilakukan kenaikan harga, bukan hanya APBN kesulitan. Neraca pembayaran kita pun kesulitan. Mulai tengah tahun lalu neraca migas kita defisit. Padahal dari 50 tahun lalu surplus,” ujarnya. Dia mengutarakan total ekspor migas nasional dibandingkan dengan impor jauh lebih besar impornya. Hal itu, lanjutnya, turut memperketat transaksi berjalan dari neraca pembayaran.
B. Antiklimaks kebijakan Pemerintah menanggapi kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak)Kenaikan harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012, gagal dilaksanakan. Melalui rapat paripurna, DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami perubahan sebesar 15 persen selama enam bulan. Bagi pemerintah yang sudah bersiap-siap menaikkan harga BBM, keputusan tersebut menjadi sebuah antiklimaks. Bagi partai oposisi dan para demonstran yang menolak pilihan kenaikan BBM, tentu saja juga merupakan antiklimaks. Karena meskipun harga BBM tidak jadi naik dalam waktu dekat, tetapi tetap terbuka kemungkinan sewaktu- waktu harga BBM dinaikkan. Meskipun pada ranah legislasi masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan pembatalan Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun faktanya RAPBN-P 2012 sudah disetujui. Persoalannya, bagaimana tindak lanjut putusan tersebut? Ada dua pilar pokok yang harus diperhatikan. Pertama, membenahi politik anggaran. Kedua, mengubah arah kebijakan energi. Tanpa menggarap kedua pilar tersebut, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan terus-menerus diombang-ambingkan oleh fluktuasi harga minyak di pasar dunia.A. Politik AnggaranSebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp1.500. Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat,
maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L). Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian. Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan. Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun. Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun. Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012. Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5 persen pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal, maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan menjadi catatan tersendiri bagi pertanggungjawaban presiden terhadap DPR.Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan. Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom. Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit. Sebagaimana diatur UU, defisit anggaran tidak boleh melewati tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni-Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht. Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23 persen. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8 persen. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.B. Politik EnergiKapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel. Dengan asumsi harga minyak ICP sebesar USD105, maka rumusnya 105 + (105x15 persen) = USD120,75. Jika dihitung mulai Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel. Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3 persen) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM.Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31 persen. Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai tiga kali lipat atau sebesar 96,1 persen. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada
inflasi sebesar 0,9 persen. Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8 persen. Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7 persen. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen, maka didapat perkiraan inflasi sebesar tujuh persen. Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000, inflasi tahun ini akan menjadi sekira 6,8 persen sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1 persen. Jika dibanding dengan periode yang lalu, secara ekonomi, kenaikan kali ini lebih baik. Artinya, dampak makroekonominya cenderung terjaga (manageable). Mengingat kondisi makro kita juga sedang dalam posisi bagus. Di tengah tarik-menarik soal harga BBM, nampaknya tidak akan mempengaruhi penilaian lembaga pemeringkat terhadap prospek perekonomian Indonesia. Standard & Poor’s (S&P) diproyeksikan akan memberikan predikat investment grade kepada kita, dalam beberapa bulan ke depan. Sebagaimana diketahui, dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service, sudah memberikan predikat level investasi pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Jika ketiga lembaga pemeringkat paling besar dunia sudah memberikan predikat tersebut, niscaya modal asing akan semakin deras masuk ke Indonesia, sehingga bunga pinjaman surat utang bisa semakin turun. Dengan demikian, semakin tersedia alternatif pendanaan pembangunan. Momentum tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Salah satunya, untuk mengembangkan politik energi yang baik. Selama ini kita terlalu bertumpu pada energi fosil. Sementara, potensi sumber daya alternatif terbuka sangat lebar, karena Indonesia kaya akan akan sumber daya air, angin dan cahaya matahari. Energi panas bumi (geotermal), merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dikembangkan, mengingat potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28 riub megawatt, sekira 40 persen dari potensi dunia. Nilai tersebut sama dengan 1,1 juta barel minyak per hari. Jika energi panas bumi dikembangkan, paling tidak bisa untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerah Jawa-Bali dan Sumatra. Sehingga, tak menggantungkan pada sumber daya solar dan batu bara.Saat ini, kapasitas terpasang PLTP baru sebesar 1.214 MW. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan strategi "bauran energi", yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada BBM.
Sumber:http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/03/120327_fuelhikeeconomicalimpact.shtmlhttp://economy.okezone.com/read/2012/04/03/279/604643/antiklimaks-kebijakan-bbmhttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/23/17372632/Dampak.Kenaikan.BBM.Sangat.Pengaruhi.Buruh.http://wildanfaizzani.wordpress.com/2012/03/29/pengaruh-kenaikan-harga-bbm/
Mengapa Masyarakat (Perlu) Menolak
Kenaikan Harga BBM?
Oleh: Revrisond Baswir
Dewan Pakar Koalisi Anti Utang
Indonesia adalah negara miskin produsen minyak. Produksi minyak Indonesia,
sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata mencapai di
atas satu juta barrel per hari. Tahun 2003 dan 2004 , produksi minyak Indonesia mencapai
1,09 juta barrel dan 1,15 juta barrel per hari. Sedangkan untuk tahun 2005, produksi
minyak Indonesia diproyeksikan mencapai 1,12 juta barrel per hari.
Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan
harganya jauh lebih tinggi, di ekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor
minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain.
Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai
US$15,2 milyar dan US$19,6 milyar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk
kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 milyar dan US$11,5 milyar.
Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai
US$19,7 milyar dan US$11,3 milyar.
Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan betapa hasil ekspor minyak dan
gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin
produsen minyak, sebenarnya sangat wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah
daripada harga BBM di pasar internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus
menerus di sesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan
memberatkan beban hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan
demikian akan membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Tetapi pemerintah rupanya memiliki pandangan lain. Dalam pandangan pemerintah,
harga BBM yang lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional, yaitu yang
memperoleh subsidi dari negara, selain akan membebani anggaran negara, juga cenderung
menimbulkan distorsi terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap
2
dalam advetorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM yang diterbitkan pemerintah di
berbagai media massa, subsidi BBM diyakini oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya
penyelundupan BBM, pengoplosan BBM, dan merupakan penghambat bagi penggunaan
bahan bakar alternatif.
Sepintas lalu, berbagai alasan pemerintah tersebut memang tampak masuk akal.
Walau pun demikian, sebagai negara miskin produsen minyak, berbagai alasan pemerintah
untuk meniadakan subsidi dan menyesuaikan harga BBM di Indonesia dengan harga BBM
di pasar internasional itu, pada dasarnya cndereung mengada-ada. Mungkin benar bahwa
subsidi BBM cenderung menimbulkan distorsi di pasar. Tapi apa salahnya distorsi pasar,
jika hal tersebut justru bermanfaat untuk meringankan beban hidup rakyat?
Alasan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM, walau pun alasan yang utama
tetap soal pengurangan beban anggaran negara, memang tidak terbatas hanya pada soal
dampak negatif subsidi BBM terhadap bekerjanya mekanimse pasar. Sebagaimana
terungkap dalam advetorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM tadi, yang antara lain
diperkuat dengan data yang bersumber dari Bank Dunia, pemerintah juga menyatakan
bahwa subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran dan lebih banyak “dinikmati oleh
golongan mampu dan orang kaya.”
Alasan pemerintah yang terkesan seolah-olah sangat memihak rakyat banyak dan
kaum miskin itu tentu tampak sangat heroik. Lebih-lebih bila dilengkapi dengan embelembel
akan tetap mempertahan subsidi minyak tanah, memberikan subsidi beras, beasiswa,
dan fasilitas kesehatan bagi kaum miskin. Walau pun demikian, hemat saya, berbagai
alasan pemerintah tersebut, selain cenderung mengeksploitir kaum miskin dan memicu
terjadinya pertentangan kelas, secara keseluruhan justru cenderung menyesatkan dan
berisifat manipulatif.
Kesimpulan tersebut tentu tidak saya buat secara serampangan. Saya setidaktidaknya
mencatat lima alasan mendasar yang dapat dan perlu dipergunakan oleh
masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM secara argumentatif. Sebagaimana akan
saya uraikan di bawah ini, kelima alasan tersebut sesungguhnya tidak hanya perlu diketahui
oleh masyarakat, tetapi juga perlu diketahui oleh pemerintah dan parlemen, yaitu sebagai
titik tolak untuk menyusun kebijakan yang lebih berpihak terhadap kepentingan bangsa dan
perbaikan nasib rakyat.
3
Alasan Pertama: Liberalisasi Ekonomi
Kebijakan peniadaan subsidi BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri,
melainkan berkaitan dengan kebijakan besar liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah
berlangsung di Indonesia. Secara khusus, kebijakan peniadaan subsidi BBM berkaitan
dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus
Washington sebagaimana diperintahkan oleh IMF. Sebagai unsur dari agenda Konsensus
Washington, tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk
memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.
Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan dilakukannya unbundling PT Pertamina,
sebagaimana terungkap dalam Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001,
kebijakan tersebut diharapkan dapat merupakan insentif bagi para investor pertambangan
untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama
perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak
dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell,
sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.
Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan
UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaanperusahaan
multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam
proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.
Dengan demikian, sejalan UU No. 22/2001, yang meniadakan perbedaan antara
perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM
dengan harga bersubsidi jelas sangat bertentangan dengan kepentingan bisnis mereka.
Terutama jika dilihat dari sudut hasrat mereka untuk menjadi pengecer BBM di Indonesia,
penjualan BBM dengan harga bersubsidi tentu sangat bertentangan dengan rencana besar
liberalisasi sektor pertambangan dan gas yang telah mereka perjuangkan sejak lama.
Menyimak agenda tersembunyi di balik kebijakan peniadaan subsidi BBM yang
sedang dilakukan pemerintah, lebih-lebih menyusul keluarnya keputusan Mahkamah
Konstitusi yang menghendaki dilakukannya amandemen terhadap UU No. 22/2001, maka
masyarakat sesungguhnya justru memiliki kewajiban untuk menolak peniadaan subsidi dan
kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut pada dasarnya hanyalah unsur dari proses
sistematis untuk meminggirkan rakyat dan merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme.
4
Alasan Kedua: Struktur Ekonomi
Melencengnya sebagian besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat
golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan
lebih erat kaitannya dengan corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur
sudah sangat timpang.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh
Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan kurang dari US$2 atau
sekitar Rp19.000 per hari, saat in masih berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah seluruh
penduduk. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp5 milyar, yang secara
keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai
bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di negeri ini.
Sebab itu, bila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan,
subsidi kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah itu sendiri, pada dasarnya cenderung
lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota
masyarakat golongan bawah dan orang miskin.
Pertanyaannya, apakah untuk mengakhiri berlanjutnya keberadaan pemerintah yang
cenderung “tidak tepat sasaran” itu kita juga perlu berpikir untuk membubarkan
pemerintah? Jawabannya tentu saja tidak tidak. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah
untuik mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan
keberadaan pemerintah yang cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukanlah meniadakan
pemberian subsidi. Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur
perekonomian Indonesia yang timpang.
Caranya adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi
terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar
bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk
membiaya pendidikan dan kesehatan, dan dengan meningkatkan tarip pajak kendaraan bagi
para pemilik kendaraan pribadi.
Pendek kata, masyarakat perlu menolak pengurangan subsidi dan kenaikan harga
BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi BBM cenderung tidak tepat
sasaran sama sekali tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat
manipulatif.
5
Alasan Ketiga: Beban Utang
Jika dilihat dari segi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran negara, pada dasarnya tidak
dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya subsidi BBM.
Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban APBN terutama dipicu oleh
sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang
dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Sebagaimana diketahui, pembayaran angsuran
pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai
Rp140 – Rp 150 trilyun setiap tahun.
Sebagaimana tampak dalam APBN 2004, angsuran pokok dan bunga utang dalam
negeri menelan sekitar Rp 30 trilyun dan Rp 44 trilyun. Sedangkan angsuran pokok dan
bunga utang luar negeri menelan sekitar Rp 46 trilyun dan Rp 25 trilyun per tahun. Jumlah
itu, bandingkan dengan volume subsidi BBM yang dalam APBN 2004 hanya dianggarkan
sebesar Rp14,5 trilyun atau setara dengan sepersepuluh anggaran pembayaran angsuran
pokok dan bunga utang, meliputi sekitar sepertiga APBN.
Perlu ditambahkan, pembayaran angsuran pokok dan bungan utang dalam negeri
pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik
deposito dengan volume terkecil Rp5 milyar, yang hanya dimiliki oleh sekitar 14.000
orang, sebagaimana saya kemukakan tadi.
Selain itu, sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah, volume subsidi BBM
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tiga tahun terakhir, justru terus menerus
mengalami penurunan. Tahun 2001 volume subsidi BBM masih meliputi 4,7 persen PDB.
Tahun 2002 dan 2003 turun menjadi hanya 1,9 dan 0,7 PDB. Sedang tahun 2004 lalu,
volume subsidi BBM kembali hanya dianggarkan sebesar 0,7 persen PDB.
Artinya, masyarakat memang perlu menolak kenaikan harga BBM, sebab secara de
fracto, relatif terhadap PDB, selama beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah
terus menerus mengalami penurunan. Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat
dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran
negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan
pemerintah terhadap sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan
bunga utang dalam negeri setiap tahunnya.
6
Alasan Keempat: Rejeki Nomplok
Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan
sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai negara
produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari
kenaikkan harga minyak tersebut. Sebagaimana telah saya singgung pada bagian awal
tulisan ini, proyeksi hasil ekspor migas Indonesia untuk tahun 2005 mencapai US$19,7
milyar. Sedangkan proyeksi biaya impor migas Indonesia hanya mencapai US$11,3 trilyun.
Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar
internasional, penerimaan negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan
Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara
signifikan. Anehnya, sebagaimana tampak dalam APBN 2005, volume PPh Migas terhadap
PDB justru diproyeksikan turun dari satu persen menjadi 0,5 persen PDB. Sedangkan
Penerimaan Bukan Pajak Migas turun dari 3,8 persen menjadi hanya 1,8 persen PDB.
Hal itu terutama disebabkan oleh sangat rendahnya asumsi harga minyak dalam
APBN 2005. Sebagaimana diketahui, ketika harga minyak di pasar internasional melonjak
melampaui US$50 per barrel, APBN 2005 hanya mengasumsikan harga minyak sebesar
US$24 per barrel. Dengan demikian, pemerintah sesungguhnya diam-diam menikmati
rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional itu.
Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa besarnya rejeki nomplok yang dinikmati
pemerintah dan untuk apa saja uang itu digunakan? Pada hal, sementara itu, kita terus
menerus dikejutkan oleh semakin tingginya peringkat Indonesia sebagai negara juara
korupsi di dunia. Sebagaimana diumumkan oleh Transparency Internationl, peringkat
Indonesia dalam jajaran negara juara korupsi terus meningkat dari urutan ke tujuh pada
2002, menjadi urutan ke enam pada 2003, dan menjadi urutan ke lima pada 2004.
Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat memang wajib menolak kenaikkan
harga BBM, sebab angka-angka mengenai penghasilan negara dari migas dan volume
subsidi BBM cenderung tidak transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya
peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup
rakyat dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah
menampakkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.
7
Alasan Kelima: Kemiskinan dan Pengangguran
Terakhir, pengurangan subsidi BBM sudah dapat dipastikan akan memicu
terjadinya kenaikkan harga berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat. Hal itu, suka
atau tidak, di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih meliputi 60 persen
penduduk, dan jumlah penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, pasti akan
semakin memperberat beban hidup rakyat.
Sementara itu, sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat sangat
kontraktif, dan susunan tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para
ekonom neoliberal pemuja IMF, sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintahan
yang ada sekarang ini memang memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan
pengangguran secara sungguh-sungguh.
Alih-alih berusaha keras mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah
justru tampak sangat getol membela kepentingan para kreditor dan investor asing di
Indonesia. Tawaran moratorium dan penghapusan sebagian utang luar negeri yang
dikemukakan oleh negara-negara anggota Paris Club, misalnya, cenderung ditanggapi
dengan dingin oleh pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jusuf
Anwar, tindakan tersebut dapat menghambat naiknya rating utang Indonesia dan
menurunkan kepercayaan para investor untuk menanamkan modal mereka di sini.
Intinya, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, saya tidak hanya menyerukan kepada
masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM. Pada saat yang sama, saya juga
mengajak masyarakat untuk mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan
agenda-agenda ekonomi neoliberal di sini, memerangi korupsi dengan memperkarakan
koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap
sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang
lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.
Last but not least, menyusul terjadinya gempa dan gelombang tsunami yang
menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa pada 26 Desember lalu, saya kira masyarakat juga
perlu mendesak pemerintah untuk meningkatkan keseriusannya dalam menanggulangi
bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh
Darussallam dan sekitarnya itu. Wallahu a’lam bisawab.
8
Mengapa Masyarakat (Perlu)
Menolak Kenaikan Harga BBM?
1. Penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari agenda Konsensus Washington untuk
meliberalkan perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan dilakukannya liberalisasi sektor
minyak dan gas sebagaimana terungkap dalam UU Minyak dan Gas No. 22/2001,
penghapusan subsidi BBM sesungguhnya adalah prakondisi bagi masuknya perusahaanperusahaan
multinasional pertambangan minyak dan gas asing ke dalam bisnis eceran
minyak dan gas di Indonesia. Pendek kata, penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari
proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan jalan lurus menuju neokolonialisme.
2. Pemberian subsidi BBM sama sekali tidak melenceng kepada golongan mampu dan orang
kaya. Sebaliknya, struktur perekonomian Indonesia lah sesungguhnya yang terlanjur
sangat timpang. Dalam struktur perekonomian yang sangat timpang, jangankan subsidi
BBM, subsidi pendidikan dan kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah
sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh
golongan tidak mampu dan rakyat miskin. Apakah kita juga perlu berpikir untuk
membubarkan pemerintah?
3. Subsidi BBM sama sekali tidak dapat dikambinghitamkan sebagai penyebab defisit APBN.
Sebagaimana terungkap pada berbagai edisi Nota Keuangan, volume subsidi BBM
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
yaitu dari 4,7% PDB pada 2001, menjadi 1,9% PDB (2002) dan 0,7% PDB (2003 dan
2004). Defisit APBN terutama disebabkan oleh sangat besarnya beban angsuran pokok
dan bunga utang yang dipikul oleh pemerintah. Jumlahnya mencapai Rp145 triliun atau
sekitar sepertiga volume APBN. Selain itu, sejalan dengan naiknya peringkat Indonesia
sebagai negara juara korupsi, defisit APBN juga dipicu oleh sangat besarnya volume
pembocoran dan pemborosan APBN setiap tahunnya.
4. Kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan
sebagai alasan untuk menghapuskan subsidi BBM. Sebab, akibat kenaikan harga minyak
bumi di pasar internasional, pemerintah sesungguhnya menikmati rejeki nomplok yang
sangat besar jumlahnya. Sebagaimana tampak pada perbandingan ekpor dan impor migas
Indonesia tiga tahun terakhir: US$12,0 milyar dan US$6,0 milyar (2002), US$15,2 milyar
dan US$7,8 milyar (2003), US$19,6 milyar dan US$11,5 milyar (2004), hasil ekspor migas
Indonesia ternyata senantiasa lebih besar dari pengeluaran impor migas setiap tahunnya.
5. Penghapusan subsidi BBM dapat dipastikan akan memicu kenaikkan harga kebutuhan
pokok dan biaya hidup rakyat. Di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih
meliputi 60 persen penduduk, dan penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, hal
itu dapat dipastikan akan semakin memperberat beban hidup rakyat. Sementara itu,
sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat kontraktif, dan susunan tim
ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF,
sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintah memang memiliki kesungguhan
dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
http://www.kau.or.id/file/Mengapa%20Masyarakat%20hrs%20mnlk%20BBM%20_REVRISOND_.pdf
kembali