10
1 Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara Terhadap Laju Pengeringan Keping Singkong A.L. Varian Pradipta, Dr. Ir. Engkos A. Kosasih, M.T. Teknik Mesin, Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Depok, 16424. Email: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Singkong memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku etanol. Kelebihan singkong dibandingkan dengan tanaman lain adalah harganya yang ekonomis dan masa panen yang singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai konstanta laju pengeringan (k) sebagai referensi untuk perancangan rotary dryer, juga untuk mengetahui pengaruh laju aliran, temperatur dan kelembaban udara terhadap laju pengeringan singkong. Dalam penelitian ini singkong dikupas dan diiris dengan ketebalan 3mm, kemudian dikeringkan dengan variasi laju aliran udara 340 liter per menit dan 440 liter per menit. Udara yang dialirkan divariasikan pada temperatur heater 60°C, 80°C dan 100°C. Dengan menggunakan dehumidifier, kelembaban udara yang dialirkan juga divariasikan pada temperatur evaporator 10°C, 20°C dan tanpa dehumidifier. Kata kunci: pengeringan, keping singkong, konstanta laju pengeringan ABSTRACT Cassava has a good potential as a feedstock for ethanol. Cassava’s excess compared with the other crops are cheaper and has a short harvest period. The aim of this experimental study was to determine the drying rate constants (k) as a reference for the design of rotary dryer, also to determine the effects of flow rate, temperature and humidity to the cassava’s drying rate. In this study cassava peeled and sliced to a thickness of 3mm, then dried with varied air flow rate of 340 liters per minute and 440 liters per minute. Flowed air temperature was varied at 60°C, 80°C and 100°C. By using a dehumidifier, flowed air humidity also varied at the evaporator temperature 10°C, 20°C and without a dehumidifier. Keywords: drying, cassava chips, drying rate constants 1. Pendahuluan Selama ini, lebih dari 90% kebutuhan energi dunia dipasok dari bahan bakar fosil. Jika eksploitasi terus berjalan dengan angka ini, diperkirakan sumber energi akan habis dalam setengah abad mendatang (Yakinudin, 2010). Salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil adalah dengan bioenergy seperti bioetanol. Sumber bioetanol yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong. Indonesia adalah penghasil singkong keempat di dunia. Pada tahun 2005, produksi singkong Indonesia mampu mencapai 19,5 juta ton dari luas areal 1,24 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2010). Masalah dalam pengembangan bioetanol dari singkong adalah masa pembusukan yang dialami oleh singkong terjadi dengan cepat. Dalam mengatasi hal tersebut dibutuhkan teknologi dryer atau pengering untuk mengeringkan singkong agar dapat tetap awet dan sampai ke investor dengan kualitas yang baik. Teknologi pengeringan juga dapat mengurangi biaya transportasi bahan, dikarenakan material atau benda yang sebelumnya memiliki massa yang berlebih. Setelah melalui proses pengeringan maka kadar air yang terdapat pada bahan berkurang secara signifikan. Singkong memiliki kadar air sekitar 60%. Untuk menghindari pembusukan atau penjamuran, kadar air pada singkong perlu dihilangkan hingga tersisa 8-15% (Chemilo, 2014). Pada penelitian ini singkong dihilangkan kadar airnya hingga mendekati 0% untuk mendapatkan nilai kontanta laju pengeringan (k). Dengan tambahan variasi kelembaban, nilai k akan semakin beragam sehingga pilihan perancangan alat pengering juga dapat lebih bervariasi. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian, metodologi dan prosedur penelitian, hasil penelitian dan analisis data serta kesimpulan dan saran. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Udara Udara merupakan campuran gas yang terdapat pada permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandungi 78% Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

1

Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

Terhadap Laju Pengeringan Keping Singkong

A.L. Varian Pradipta, Dr. Ir. Engkos A. Kosasih, M.T.

Teknik Mesin, Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Depok, 16424.

Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Singkong memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku etanol. Kelebihan singkong dibandingkan dengan tanaman lain

adalah harganya yang ekonomis dan masa panen yang singkat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai

konstanta laju pengeringan (k) sebagai referensi untuk perancangan rotary dryer, juga untuk mengetahui pengaruh laju

aliran, temperatur dan kelembaban udara terhadap laju pengeringan singkong. Dalam penelitian ini singkong dikupas

dan diiris dengan ketebalan 3mm, kemudian dikeringkan dengan variasi laju aliran udara 340 liter per menit dan 440

liter per menit. Udara yang dialirkan divariasikan pada temperatur heater 60°C, 80°C dan 100°C. Dengan menggunakan

dehumidifier, kelembaban udara yang dialirkan juga divariasikan pada temperatur evaporator 10°C, 20°C dan tanpa

dehumidifier.

Kata kunci: pengeringan, keping singkong, konstanta laju pengeringan

ABSTRACT

Cassava has a good potential as a feedstock for ethanol. Cassava’s excess compared with the other crops are cheaper and has

a short harvest period. The aim of this experimental study was to determine the drying rate constants (k) as a reference for the

design of rotary dryer, also to determine the effects of flow rate, temperature and humidity to the cassava’s drying rate. In this

study cassava peeled and sliced to a thickness of 3mm, then dried with varied air flow rate of 340 liters per minute and 440

liters per minute. Flowed air temperature was varied at 60°C, 80°C and 100°C. By using a dehumidifier, flowed air humidity

also varied at the evaporator temperature 10°C, 20°C and without a dehumidifier.

Keywords: drying, cassava chips, drying rate constants

1. Pendahuluan Selama ini, lebih dari 90% kebutuhan energi dunia

dipasok dari bahan bakar fosil. Jika eksploitasi terus berjalan

dengan angka ini, diperkirakan sumber energi akan habis

dalam setengah abad mendatang (Yakinudin, 2010). Salah satu

alternatif pengganti bahan bakar fosil adalah dengan bioenergy

seperti bioetanol. Sumber bioetanol yang cukup potensial

dikembangkan di Indonesia adalah singkong. Indonesia adalah

penghasil singkong keempat di dunia. Pada tahun 2005,

produksi singkong Indonesia mampu mencapai 19,5 juta ton

dari luas areal 1,24 juta hektar (Badan Pusat Statistik, 2010).

Masalah dalam pengembangan bioetanol dari singkong

adalah masa pembusukan yang dialami oleh singkong terjadi

dengan cepat. Dalam mengatasi hal tersebut dibutuhkan

teknologi dryer atau pengering untuk mengeringkan singkong

agar dapat tetap awet dan sampai ke investor dengan kualitas

yang baik. Teknologi pengeringan juga dapat mengurangi

biaya transportasi bahan, dikarenakan material atau benda

yang sebelumnya memiliki massa yang berlebih. Setelah

melalui proses pengeringan maka kadar air yang terdapat pada

bahan berkurang secara signifikan.

Singkong memiliki kadar air sekitar 60%. Untuk

menghindari pembusukan atau penjamuran, kadar air pada

singkong perlu dihilangkan hingga tersisa 8-15% (Chemilo,

2014). Pada penelitian ini singkong dihilangkan kadar airnya

hingga mendekati 0% untuk mendapatkan nilai kontanta laju

pengeringan (k). Dengan tambahan variasi kelembaban, nilai k

akan semakin beragam sehingga pilihan perancangan alat

pengering juga dapat lebih bervariasi. Pada bagian selanjutnya

akan dijelaskan mengenai tinjauan pustaka yang berkaitan

dengan penelitian, metodologi dan prosedur penelitian, hasil

penelitian dan analisis data serta kesimpulan dan saran.

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Udara

Udara merupakan campuran gas yang terdapat pada

permukaan bumi. Udara bumi yang kering mengandungi 78%

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 2: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

2

nitrogen, 21% oksigen, dan 1% uap air, karbon dioksida, dan

gas-gas lain.

Kandungan elemen senyawa gas dan partikel dalam udara

akan berubah-ubah dengan ketinggian dari permukaan tanah.

Demikian juga massanya, akan berkurang seiring dengan

ketinggian. Semakin dekat dengan lapisan troposfer, maka

udara semakin tipis, sehingga melewati batas gravitasi bumi,

maka udara akan hampa sama sekali.

Karakteristik-karakteristik udara seperti kerapatan,

panas jenis, konduktivitas termal, kekentalan kinematik dan

koeffisien pemuaian dipengaruhi oleh temperatur. Sifat dan

karakteristik udara ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Karkteristik udara terhadap temperatur

2.2. Singkong

Singkong adalah tanaman yang tumbuh di daerah tropis

dan rentan terhadap cuaca dingin. Tanaman ini dapat tumbuh

dengan baik pada daerah bercurah hujan tahunan antara 500 –

5000 mm dan terkena sinar matahari terik (Agodzo dan

Owusu, 2002).

Gambar 2.1 Singkong atau ubi kayu

Singkong masuk dalam kelas Dicotiledoneae dan famili

Euphorbiaceae. Berikut ini adalah klasifikasi tanaman

singkong.

Kelas : Dicotiledoneae

Sub Kelas : Arhichlamydeae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Sub Famili : Manihotae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta

Singkong memiliki potensi yang cukup baik sebagai

tanaman bahan baku etanol.

Tabel 2.2 Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol

Tabel 2.2 menunjukkan bahwa tebu sebagai tanaman

penghasil etanol dengan produktifitas tertinggi dan disusul

oleh singkong. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat

berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis.

Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen

singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah.

2.3. Pengeringan

Tujuan dari pengeringan adalah mengurangi kadar air

bahan sampai batas di mana perkembangan mikroorganisma

dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan

terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang

dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama.

Ada dua faktor yang mempengaruhi pengeringan

yaitu faktor yang berhubungan dengan udara pengering dan

faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang

dikeringkan. Faktor-faktor yang termasuk golongan pertama

adalah suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering dan

kelembaban udara. Faktor-faktor yang termasuk golongan

kedua adalah ukuran atau tebal dari bahan, kadar air awal dan

tekanan parsial di dalam bahan. Kelembaban udara

berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Apabila

kelembaban udara tinggi, maka perbedaan tekanan uap air di

dalam dan di luar bahan menjadi kecil sehingga menghambat

pemindahan uap air dari dalam bahan ke luar. Pengontrolan

suhu serta waktu pengeringan dilakukan dengan mengatur

kotak alat pengering dengan alat pemanas, seperti udara panas

yang dialirkan ataupun alat pemanas lainnya. Suhu

pengeringan akan mempengaruhi kelembaban udara di dalam

alat pengering dan laju pengeringan untuk bahan tersebut.

Pada kelembaban udara yang tinggi, laju penguapan air bahan

akan lebih lambat dibandingkan dengan pengeringan pada

kelembaban yang rendah.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 3: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

3

a. Pengaruh temperatur pada proses pengeringan

Laju penguapan air bahan dalam proses pengeringan

sangat ditentukan oleh kenaikan suhu. Semakin besar

perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang

dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke

dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan

lebih banyak dan cepat (Taib, G. et al., 1988).

Semakin tinggi suatu suhu dan kecepatan aliran udara

pengering makin cepat pula proses pengeringan berlangsung.

Dan bila suhu udara pengering makin besar energi panas yang

dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan

yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Jika

kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka makin

cepat pula massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke

atmosfir (Taib, G. et al., 1988). Semakin tinggi suhu yang

digunakan untuk pengeringan, makin tinggi energy yang

disuplai dan makin cepat laju pengeringan. Akan tetapi

pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, yakni

permukaan bahan terlalu cepat kering, sehingga tidak

sebanding dengan kecepatan pergerakan air bahan ke

permukaan. Hal ini menyebabkan pengerasan permukaan

bahan. Selanjutnya air dalam bahan tidak dapat lagi menguap

karena terhalang. Dalam proses pengeringan penggunaan suhu

yang terlalu tinggi dapat merusak struktur dan kandungan dari

bahan yang dikeringkan.

Pengeringan pada suhu dibawah 45oC mikroba dan jamur

yang merusak produk masih hidup, sehingga daya awet dan

mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di

atas 75oC menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk

rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang

berdampak perubahan struktur sel (Setiyo, 2003).

b. Kadar air bahan

Kadar air bahan (moisture content) menunjukkan

banyaknya kandungan air persatuan berat bahan. Dalam hal ini

terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan

tersebut yaitu berdasarkan basis berat kering (dry weight

basis) dan berdasarkan basis berat basah (wet weight basis).

Dalam penentuan kadar air bahan hasil pertanian biasanya

dilakukan berdasarkan wet weight basis. Dalam perhitungan

ini berlaku rumus sebagai berikut:

Basis berat basah (w.w.b) diperoleh dengan membagi

berat air dalam bahan pangan dengan berat total bahan

pangan.

𝑤.𝑤. 𝑏 =𝑀𝑤

𝑀𝑤 + 𝑀𝑑100%

(persamaan 2.1)

Basis berat kering (d.w.b) diperoleh dengan membagi

berat air dengan berat kering bahan pangan.

𝑑.𝑤. 𝑏 =𝑀𝑤

𝑀𝑑100%

(persamaan 2.2)

Hubungan antara w.w.b dengan d.w.b ditunjukkan

oleh persamaan:

𝑑.𝑤. 𝑏 =𝑤.𝑤. 𝑏

100 − 𝑤.𝑤. 𝑏100%

(persamaan 2.3)

c. Keseimbangan kadar air

Udara yang berfungsi sebagai fluida pengering selalu

memiliki kandungan moisture dan mempunyai humiditas

relatif tertentu. Untuk udara dengan humiditas relatif tertentu,

kandungan moisture yang keluar dari pengering tidak dapat

kurang dari equilibrium moisture yang berkaitan dengan

kelembaban udara masuk.

Equilibrium Moisture Content (EMC) merupakan

kandungan air yang terdapat pada suatu bahan yang kemudian

bahan tersebut disimpan di suatu tempat dalam jangka waktu

yang tak menentu. Seperti disebutkan di atas, EMC ini juga

dipengaruhi oleh suhu dan Relative Humidity (RH) di

lingkungan. Kondisi dimana suatu bahan yang sudah

mencapai keseimbangan dengan temperatur udara lingkungan,

ketika bahan tersebut dipindahkan ke lingkungan dengan

temperatur udara atau RH yang berbeda maka bahan tidak

berkeseimbangan dengan lingkungan tersebut dengan kata lain

Moisture Content (MC) akan kembali berubah. Contoh jika

kondisi lingkungan yang baru lebih panas atau RH lebih kecil

maka air dalam bahan tersebut akan menguap atau MC yang

terdapat pada bahan akan turun dan dalam waktu tak tertentu

akan mencapai kondisi dimana EMC yang baru tercipta.

Karena itu syarat dari EMC adalah tekanan uap dari

kandungan air ini adalah sama dengan tekanan uap dari air

murni. Dan jika suatu bahan disimpan dalam suatu tempat

pada suhu dan kelembaban relatif RH yang konstan maka

kadar air bahan tersebut akan menuju suatu keseimbangan

dengan lingkungannya yaitu kondisi EMC.

d. Mekanisme pengeringan bahan

Berikut ini adalah mekanisme keluarnya air dari dalam

bahan selama pengeringan:

1. Perpindahan energi (panas) antar fase dari udara ke

permukaan butiran untuk menguapkan air di permuakaan

butiran.

2. Perpindah energi (panas) dari permukaan butiran ke

dalam butiran secara konduksi.

3. Perpindahan massa air dari bagian dalam ke permukaan

butiran secara difusi dan atau kapiler

4. Perpindahan massa air antar fasa dari permukaan butiran

ke fasa udara pengering.

Proses pengeringan pada bahan dimana udara panas

dialirkan dapat dianggap suatu proses adiabatis. Hal ini berarti

bahwa panas yang dibutuhkan untuk penguapan air dari bahan

hanya diberikan oleh udara pengering tanpa tambahan energi

dari luar. Ketika udara pengering menembus bahan basah,

sebagian panas sensibel udara pengering diubah menjadi panas

laten sambil menghasilkan uap air. Selama proses pengeringan

terjadi penurunan suhu bola kering udara, disertai dengan

kenaikan kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, tekanan uap

dan suhu pengembunan udara pengering. Entalphi dan suhu

bola basah udara pengering tidak menunjukkan perubahan.

e. Hubungan antara massa material dengan laju pengeringan

Dalam suatu proses pengeringan, massa bahan, m terdiri

dari massa bahan kering, mdp dan massa air, mw.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 4: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

4

m = +

(persamaan 2.4)

atau dapat juga dituliskan sebagai:

m - mdp = mw

(persamaan 2.5)

Pengeringan singkong dapat mencapai equilibrium

moisture content (EMC), sehingga nilai moisture content pada

kondisi equilibrium, Xe dapat dianggap nol. (Xe=0)

Moisture content, X merupakan perbandingan antara

massa air yang menguap, mw terhadap massa bahan kering,

mdp. Sehingga dapat dituliskan:

X =

(persamaan 2.6)

Penurunan moisture content terhadap waktu dapat

dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

= - k (X – Xe)

(persamaan 2.7)

dimana k merupakan konstanta laju pengeringan.

Karena nilai Xe = 0, maka dapat dituliskan:

= - k X

(persamaan 2.8)

Nilai moisture content, X pada (persamaan 2.8) dapat

disubstitusikan menggunakan (persamaan 2.6) menjadi:

= - k

-

= k

(persamaan 2.9)

sementara penurunan massa bahan terhadap waktu dapat

dinyatakan dengan persamaan:

= -

(persamaan 2.10)

Turunan dari suatu konstanta selalu bernilai nol. Oleh

karena itu massa dari bahan kering, mdp yang diketahui

nilainya dapat dimasukkan ke dalam (persamaan 2.10)

menjadi:

= -

(persamaan 2.11)

sehingga dapat dituliskan:

=

-

= -

(persamaan 2.12)

Nilai -

dapat disubstitusikan dari (persamaan 2.12)

ke (persamaan 2.9) sehingga didapatkan:

-

= k

-

= k

-

= k

-

= k + −

-

= k + −

(persamaan 2.13)

Dengan menggunakan (persamaan 2.4) yang

disubstitusikan ke (persamaan 2.13), didapatkan persamaan

penurunan massa bahan terhadap waktu sebagai berikut:

-

= k m -

(persamaan 2.14)

atau dapat juga dituliskan sebagai

-

= k (m - mdp)

(persamaan 2.15)

dimana nilai m - mdp merupakan massa air, mw seperti

yang tertulis pada (persamaan 2.5).

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses

pengeringan, penurunan massa bahan terhadap waktu sama

dengan penurunan massa air pada bahan karena massa bahan

kering tidak berubah atau konstan.

3. Metodologi dan Prosedur Penelitian

3.1. Rangkaian alat percobaan

Penelitian yang dilakukan mengikuti skema seperti

pada gambar berikut ini.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 5: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

5

Gambar 3.1 Skema Alat Percobaan

Keterangan:

1. Blower

2. Flowmeter

3. Evaporator

4. Heater

5. Ruang pengeringan (batch dryer)

6. Timbangan Digital

7. Thermocontroller

8. Kompresor

9. Katup Ekspansi

10. Kondensor

3.2. Proses pengeringan

Fungsi dari rangkaian alat percobaan yang terdiri dari

evaporator dan heater ini adalah untuk menurunkan kadar air

dan meningkatkan temperatur dari udara pengering dengan

tujuan meningkatkan laju pengeringan. Berikut ini adalah

skema proses pengeringan pada keping singkong secara

aktual.

Gambar 3.1 Skema proses pengeringan keping singkong pada

diagram psikrometrik

Keterangan :

1 2 Udara pengering melalui evaporator dan mengalami

penurunan temperatur dengan rasio kelembaban

konstan hingga mencapai titik jenuh.

2 3 Penurunan temperatur udara melalui proses

dehumidifying disertai dengan penurunan rasio

kelembaban.

3 4 Udara melalui heater, dipanaskan hingga temperatur

yang diinginkan.

Pada gambar 3.15, proses penurunan rasio kelembaban pada

udara pengering konstan hingga mencapai titik jenuh. Setelah

itu udara mengalami kondensasi sehingga nilai rasio

kelembaban menurun bersama dengan penurunan temperatur

udara. Kemudian udara dipanaskan melalui heater dan

mengalami kenaikan temperatur hingga titik yang diinginkan.

3.3. Variabel acuan dalam pengambilan data

Tiga variabel penting yang dijadikan acuan dalam

pengambilan data yaitu:

1. Flow udara menggunakan 2 variasi, 340 liter/menit dan

440 liter/menit.

2. Kelembaban udara (temperatur evaporator) menggunakan

variasi 10°C, 20°C dan temperatur lingkungan (± 28°C).

3. Temperatur heater menggunakan variasi 60°C, 80°C dan

100°C.

3.4. Langkah-langkah pengambilan data

Berikut ini adalah langkah – langkah yang dilakukan

dalam melakukan pengujian.

1. Melakukan persiapan singkong yaitu pengupasan dan

pemotongan. Mengatur posisi alat dan mencolokkan ke

listrik serta melakukan cek pada alat percobaan untuk

memastikan tidak ada kerusakan. Sebelum melakukan

percobaan, mengatur temperatur dan dry bulb dari

evaporator.

2. Meletakkan alat pengering diatas timbangan.

3. Nyalakan heater dan atur suhu menggunakan temperature

controller sesuai dengan yang dibutuhkan.

4. Menyalakan blower sesuai variasi yang diinginkan, lalu

membiarkan udara panas mengalir untuk menghilangkan

free water yang terdapat pada alat percobaan.

5. Menyalakan timbangan kemudian mengatur kalibrasi

pengukuran di 0 gram.

6. Setelah temperatur heater, temperatur evaporator dan

timbangan sudah stabil, meletakkan singkong yang sudah

di potong kedalam alat percobaan dalam posisi berdiri

agar udara yang mengalir dapat mengenai bagian-bagian

dari singkong secara merata. Secara bersamaan

menyalakan timer dan mencatat massa awal.

Gambar 3.2 Keadaan singkong untuk diletakkan didalam ruang

pengering

7. Pencatatan perubahan massa setiap 10 menit sampai

singkong dalam mencapai keadaan EMC, yaitu keadaan

dimana massa singkong sudah tidak berkurang lagi.

3.4. Pengolahan data

a. Data penurunan massa keping singkong

Penelitian ini menghasilkan data relasi antara penurunan

massa keping singkong terhadap waktu. Selain laju aliran

udara pengering, temperatur evaporator dan temperatur heater,

variabel lainnya yang diukur adalah temperatur lingkungan

dan kelembaban relatif evaporator.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 6: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

6

Tabel 3.1 Data pengeringan keping singkong dengan variasi laju

aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20oC,

dan temperatur heater 80oC.

b. Menentukan rasio kelembaban, ω

Nilai rasio kelembaban dari setiap variasi diperoleh dari

psychrometric chart dengan 2 input, yaitu variabel temperatur

evaporator sebagai dry bulb dan variabel kelembaban relatif.

Tabel 3.2 Nilai rasio kelembaban, ω untuk setiap variasi pengeringan

keping singkong

c. Menentukan fluks massa udara, G

Fluks udara pengering, G merupakan hasil pembagian

luas penampang ruang pengering terhadap laju aliran udara

pengering yang dikalikan dengan massa jenis, ρ udara

pengering pada kondisi temperatur tertentu.

Untuk mendapatkan besar kerapatan udara pengering

pada setiap variasi temperatur heater perlu diketahui luas

penampang ruang pengering. Berikut adalah dimensi dari

ruang pengering yang digunakan untuk penelitian pengeringan

keping singkong.

Gambar 3.3 Dimensi ruang pengering

Berdasarkan rincian dimensi ruang pengering pada

Gambar 3.3, diketahui bahwa luas penampang dari ruang

pengering adalah 0.021 m2. Maka didapatkan besar fluks

udara pengering untuk setiap variasi temperatur heater dan

laju udara seperti tabel berikut.

Tabel 3.3 Fluks, G udara untuk variasi temperatur heater dan

flow udara pengering

d. Menentukan nilai konstanta laju pengeringan, k

Dari hasil perhitungan contoh pengeringan keping

singkong pada variasi laju aliran udara pengering 340

liter/menit, temperatur evaporator 20°C, dan temperatur heater

80°C didapatkan relasi antara massa produk rata-rata, mp

dengan penurunan massa produk terhadap waktu, - dmp/dt

seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3.4 Hasil pengolahan data untuk mendapatkan nilai massa

produk rata-rata, mp dan nilai penurunan massa produk terhadap

waktu, - dmp/dt.

Dari Tabel 3.4, nilai mp dan -dmp/dt dibuat grafik

relasinya seperti gambar berikut dengan mengetahui nilai

fluks, rasio kelembaban dan temperatur heater.

60oC 80oC 100oC

1.067 1 0.946

340 LPM 0.29249991 0.274132999 0.259329817

440 LPM 0.378529295 0.354760352 0.335603293G (kg/s m2)

ρ udara pengering (kg/m3)

T udara pengering

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 7: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

7

Gambar 3.4 Grafik relasi antara massa produk, mp dengan

penurunan massa produk terhadap waktu, - dmp/dt pada variasi laju

aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur evaporator 20°C,

dan temperatur heater 80°C

Grafik pada Gambar 3.4, menunjukkan persamaan y =

0,0094x – 0,2046 dimana 0,0094 merupakan gradien yang

juga merupakan nilai k. Sehingga dapatkan bahwa nilai k dari

variasi laju aliran udara pengering 340 liter/menit, temperatur

evaporator 20°C, dan temperatur heater 80°C adalah 0,0094.

Nilai k dari 18 variasi flow, kelembaban dan

temperatur udara pengering ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3.5 Nilai konstanta laju pengeringan keping singkong, k untuk

setiap variasi laju aliran, kelembaban dan temperatur heater.

e. Membuat grafik pengaruh ω terhadap k

Setelah mengetahui nilai rasio kelembaban, ω dan

konstanta laju pengeringan, k maka dapat diketahui pengaruh

ω terhadap nilai k yang diklasifikasikan berdasarkan

temperatur heater seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3.6 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω

terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k pada temperatur

heater 80°C.

Untuk memudahkan analisa, data pengaruh ω terhadap k

pada Tabel 3.6 dikonversi ke dalam bentuk grafik seperti

gambar berikut.

Gambar 3.5 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi

temperatur heater 80°C.

4. Hasil Pengolahan dan Analisis Data Penelitian pengeringan keping singkong akan

menghasilkan data penurunan massa produk terhadap waktu

dengan mengetahui nilai kelembaban relatif pada dry bulb.

Dari hasil pengolahan data didapatkan nilai rasio kelembaban,

ω dan nilai konstanta laju pengeringan, k. Nilai ω dan k

kemudian diklasifikasikan berdasarkan variasi temperatur

heater.

4.1. Hasil pengolahan data

Dari hasil pengolahan data, berikut adalah tabel-tabel

pengaruh nilai ω terhadap nilai k yang diklasifikasikan

berdasarkan variasi temperatur heater.

Tabel 4.1 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai

konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 60oC.

Tabel 4.2 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai

konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 80oC.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 8: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

8

Tabel 4.3 Klasifikasi pengaruh rasio kelembaban, ω terhadap nilai

konstanta laju pengeringan, k pada temperatur heater 100oC.

4.2. Analisis Data

Masing-masing dari Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3

dibuat grafik untuk mengetahui pengaruh rasio kelembaban, ω

terhadap nilai konstanta laju pengeringan, k dengan

mengetahui besar nilai kerapatan udara, G pada tiap variasi

temperatur heater. Berikut ini adalah analisa pengaruh ω

terhadap nilai k untuk beberapa temperatur heater dan untuk

beberapa fluks aliran udara pengering.

a. Pengaruh ω terhadap nilai k untuk beberapa temperatur

heater

Proses pengeringan membutuhkan waktu yang lebih lama

pada kondisi udara yang lembab. Oleh karena itu idealnya

nilai k akan turun seiring dengan kenaikan ω. Demikian pula

sebaliknya nilai k akan lebih besar pada kondisi ω yang lebih

kecil. Seain itu fluks udara juga mempengaruhi kecepatan

pengeringan. Semakin besar fluks udara maka proses

pengeringan juga akan lebih cepat.

Grafik-grafik berikut ini akan membandingkan perubahan

nilai k yang dipengaruhi oleh ω dan fluks udara pada 3 variasi

temperatur heater.

Gambar 4.1 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi

temperatur heater 60oC.

Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa kurva fluks udara yang

lebih kecil memiliki kemiringan yang lebih besar daripada

kurva pada fluks yang lebih besar. Artinya pengaruh ω

terhadap nilai k pada fluks udara 0,379 kg/s.m2 tidak

menyebabkan kenaikan yang besar. Lain halnya pada fluks

0,292 kg/s.m2, kenaikan nilai k pada ω yang semakin menurun

lebih jelas terlihat.

Gambar 4.2 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi

temperatur heater 80oC.

Gambar 4.2 menunjukkan hasil yang serupa dengan

Gambar 4.1. Dapat dilihat bahwa kurva fluks udara yang lebih

kecil memiliki kemiringan yang lebih besar daripada kurva

pada fluks yang lebih besar. Maka pengaruh ω terhadap nilai k

pada fluks udara 0,355 kg/s.m2 tidak menyebabkan kenaikan

yang besar. Sementara pada fluks 0,274 kg/s.m2, kenaikan

nilai k terhadap penurunan ω terlihat jelas.

Gambar 4.3 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k pada variasi

temperatur heater 100oC.

Berbeda dengan grafik-grafik sebelumnya, pada

temperatur heater 100oC variasi fluks tidak menunjukkan

perbedaan kenaikan nilai k. Nilai k secara keseluruhan pada

fluks aliran yang tinggi tetap lebih besar daripada fluks aliran

yang rendah, namun kenaikan nilai k pada kedua fluks aliran

tidak terlalu menunjukkan perbedaan karena kedua kurva

memiliki kemiringan yang hamper sama.

b. Pengaruh ω terhadap nilai k untuk beberapa fluks aliran

Grafik-grafik berikut ini akan membandingkan perubahan

nilai k yang dipengaruhi oleh ω dan temperatur heater pada 2

variasi fluks aliran.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 9: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

9

Gambar 4.4 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k untuk variasi fluks

aliran 340 liter/menit.

Berdasarkan Gambar 4.4, kemiringan kurva pada variasi

temperatur heater 60oC hampir sama dengan kemiringan kurva

pada variasi temperatur 80oC. Maka kenaikan nilai k terhadap

penurunan kelembaban pada variasi kedua temperatur tersebut

hampir sama. Sedangkan pada temperatur 100oC, nilai k pada

variasi kelembaban udara pengering menunjukkan nilai yang

hampir konstan pada udara yang lembab, lalu sedikit

meningkat ketika kelembaban menipis. Secara keseluruhan,

nilai k yang paling besar pada fluks aliran 340 liter/menit

adalah pada temperatur 100oC.

Gambar 4.5 Grafik pengaruh ω terhadap nilai k untuk variasi fluks

aliran 440 liter/menit.

Pada fluks aliran 440 liter/menit yang ditampilkan oleh

Gambar 4.5, ketiga variasi temperatur masing-masing

memiliki perbedaan kenaikan nilai k yang kecil. Kenaikan

nilai k paling kecil terdapat pada variasi temperatur 60oC

karena kurvanya cenderung datar yang artinya nilai k

cenderung konstan terhadap penurunan kelembaban udara.

Kenaikan nilai k terhadap penurunan kelembaban untuk

flow tinggi cenderung lebih stabil daripada flow rendah. Nilai

k pada pada variasi teperatur 100oC juga selalu lebih tinggi

daripada variasi temperature lainnya. Maka dapat disimpulkan

bahwa untuk perancangan alat pengering sebaiknya

menggunakan aliran 0,336 kg/s.m2 atau flow 440 liter/menit

pada temperatur udara pengering 100oC. Karena kenaikan

nilai k pada variasi tersebut cenderung konstan terhadap

penurunan kelembaban dan nilai k sudah tinggi sejak awal,

sehingga laju pengeringan akan lebih singkat daripada variasi

lainnya.

5. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan dan saran

sebagai berikut.

5.1 Kesimpulan

Nilai konstanta laju pengeringan diperlukan untuk

mendesin suatu alat pengering. Nilai konstanta laju

pengeringan didapatkan dari persamaan grafik pada

analisa data pengeringan keping singkong, yang

merupakan gradien dari persamaan grafik relasi antara

massa keping singkong dengan penurunan massa

singkong terhadap waktu.

Temperatur dan laju aliran udara pengering memiliki

pengaruh yang paling signifikan terhadap perubahan nilai

k, dimana saat temperatur dan laju aliran udara pengering

meningkat, maka nilai k juga meningkat, sehingga

kelajuan pengeringan semakin cepat. Sedangkan

kelembaban udara pengering memiliki pengaruh yang

kecil terhadap perubahan nilai k, dimana saat kelembaban

udara pengering menurun, nilai k mengalami kenaikan

yang kurang signifikan.

Dengan variasi fluks udara tinggi dan temperatur udara

tinggi, kelembaban tidak terlalu berpengaruh terhadap

laju pengeringan. Perancangan alat pengering sebaiknya

menggunakan aliran 0,336 kg/s.m2 atau flow 440

liter/menit pada temperatur udara pengering 100oC untuk

menghasilkan kelajuan maksimum dari pengeringan

keping singkong.

5.2 Saran

Penelitian pengeringan yang selanjutnya akan lebih baik

bila dilakukan berulang kali untuk setiap variasi, sehingga

mendapatkan hasil yang akurat.

Penelitian pengeringan keping singkong akan lebih

mudah bagi praktikan bila direkam dalam bentuk video

karena proses pengambilan data memakan waktu yang

cukup lama.

Alat 4 in 1 Multi-Function Environment Meter kurang

sensitif dalam mengukur RH, sehingga pengguna

selanjutnya harus menunggu sampai angka RH benar-

benar stabil.

Referensi

Badan Pusat Statistik. 2010. Jakarta. Indonesia.

Hasibuan, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Medan:

Universitas Sumatera Utara.

J. T. Nwabanne. 2008. Drying characteristics and engineering

properties of fermented ground cassava. Nigeria:

Nnamdi Azikiwe University.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014

Page 10: Pengaruh Laju Aliran, Temperatur dan Kelembaban Udara

10

Lisboa, M.H. et all., 2002.“A study about particle motion in

rotary dryers”, 2nd Mercosur Congress on

Chemical Engineering.

Mujumdar, A. S. 1995. Handbook of Industrial Drying. New

York: Marcel.

Njie, D.N. et all., 1998. Thermal properties of cassava, yam

and plantain, J. Food Eng. 57: 63-76.

Taib, G. 1988. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil

Pertanian. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.

Yakinudin, Andal. 2010. “Bioetanol Singkong sebagai Sumber

Bahan Bakar Terbaharukan dan Solusi untuk

Meningkatkan Penghasilan Petani Singkong”. Bogor:

Bogor Agricultural University.

Oriola, K. O and A. O. Raji. 2013. “Trends at Mechanizing

Cassava Postharvest Processing Operations” dalam

International Journal of Engineering and

Technology, Volume 3 No. 9, September, 2013.

Nigeria: Publications UK.

Rañola, Roberto F. et all., 2009. “ENHANCING THE

VIABILITY OF CASSAVA FEEDSTOCK FOR

BIOETHANOL IN THE PHILIPPINES” dalam J.

ISSAAS Vol. 15, No. 2:147 -158 (2009). Laguna:

University of the Philippines.

Prihandana, Rama. et all. 2008. Bioetanol Ubi Kayu Bahan

Bakar Masa Depan. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Roy Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta.

(http://www.issaas.org/journal/v15/02/journal-issaas-

v15n2-13-ranola-et_al.pdf) diunduh pada 3 Mei

2010.

Pengaruh laju..., A L Varian Pradipta, FT, 2014