242
1250 PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU TEPUNG CASSAVA TERMODIFIKASI Kasma Iswari 1 , Hervika Fuji Astuti 2 dan Srimaryati 1 1 BPTP Sumatera Barat, 2 Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Andalas ABSTRAK Dalam rangka antisipasi kerawanan pangan, perlu diupayakan pemanfaatan bahan pangan lokal seperti halnya ubikayu sehingga ketergantungan terhadap beras maupun terigu dapat dikurangi. Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) yang diproses dengan memodifikasi sel ubikayu melalui proses fermentasi sehingga dighasilkan tepung mempunyai sifat fisik dan kimia menyamai terigu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2014 diLaboratorium Teknik Pengolahan Pangan &Hasil PertanianUniversitas Andalas, dan Laboratorium BPTP Sumatera Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui mutu MOCAF terbaik dengan perlakuan lama fermentasi (0, 12, 24, 36, 48, 60, dan 72 jam). Rancangan eksperimen yang digunakan adalah menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Mutu tepung MOCAF terbaik diperoleh dengan lama fermentasi 72 jam dengan kadar air chip 10,16, kadar air tepung 10,15 %, kadar protein 1,938 %, kadar lemak 0,806 %, kadar karbohidrat 85,931 %, dan derajat putih 96,419 % yang sudah memenuhi standar SNI 7622-2011. Kata kunci: Ubi Kayu, Fermentasi, Mutu, MOCAF PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk mengatasi masalah pangan adalah diversifikasi pangan dengan pemanfaatan komoditi pangan lokal sebagai bahan baku dengan harga yang cukup murah, sehingga dapat dihasilkan produk baru yang bernilai ekonomis dengan nilai gizi yang terpenuhi dengan baik. Ubikayu merupakan bahan pangan lokal yang dihasilkan dalam negeri sendiri mampu sebagai sumber pangan karena produksinya cukup tinggi. Di Sumatera Barat produksi ubi kayu tahun 2013 mencapai 232.335 ton produksi dengan luas panen 5.580 ha. Pemanfaatan ubikayu sebagai sumber pangan lebih baik dalam bentuk tepung karena mempunyai umur simpan lebih panjang dibandingkan dengan umbi segar dan juga dapat berfungsi sebagai stok pangan (Winarno, 2003). Selain itu tepung dapat berfungsi sebagai nasi (tiwul) atau diolah menjadi produk sekunder lainnya. Tepung dimaksud adalah tepung cassava termodifikasi sering disebut MOCAF (Modified Cassava Flour) yaitu tepung yang dihasilkan dari ubikayu melalui prosses fermentasi dengan mikroba. Misgiarta et al (2010) telah menghasilkan starter Bimo-CF yang mampu memperbaiki karakteristik tepung ubikayu menyamai terigu. Starter Bimo-CF merupakan bibit yang berbentuk tepung (powder) yang digunakan untuk fermentasi ubikayu dalam bentuk chips atau sawut. Starter Bimo-CF mengandung bahan aktif berbagai bakteri asam laktat (BAL) yang aman untuk pangan dan diperkaya dengan nutrisi dan dibuat dengan teknologi yang menghasilkan stabilitas dan efektifitas starter yang tinggi. Subagio (2010), juga telah melakukan serangkaian penelitian tentang MOCAF. Menurutnya prinsip dasar pembuatan tepung Mocaf adalah memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi dengan menggunakan mikroba yaitu bakteri asam laktat (BAL), BAL yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulotik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya

PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU …jambi.litbang.pertanian.go.id/ind/images/PROSIDING/5-mthp.pdf · konsumen. Selama proses fermentasi, terjadi pula penghilangan komponen penimbul

  • Upload
    hoangtu

  • View
    371

  • Download
    38

Embed Size (px)

Citation preview

1250

PENGARUH LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU TEPUNG

CASSAVA TERMODIFIKASI

Kasma Iswari1, Hervika Fuji Astuti2dan Srimaryati1

1BPTP Sumatera Barat, 2Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Andalas

ABSTRAK

Dalam rangka antisipasi kerawanan pangan, perlu diupayakan pemanfaatan bahan pangan lokal seperti halnya ubikayu sehingga ketergantungan terhadap beras maupun terigu dapat dikurangi. Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) yang diproses dengan memodifikasi sel ubikayu melalui proses fermentasi sehingga dighasilkan tepung mempunyai sifat fisik dan kimia menyamai terigu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2014 diLaboratorium Teknik Pengolahan Pangan &Hasil PertanianUniversitas Andalas, dan Laboratorium BPTP Sumatera Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui mutu MOCAF terbaik dengan perlakuan lama fermentasi (0, 12, 24, 36, 48, 60, dan 72 jam). Rancangan eksperimen yang digunakan adalah menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Mutu tepung MOCAF terbaik diperoleh dengan lama fermentasi 72 jam dengan kadar air chip 10,16, kadar air tepung 10,15 %, kadar protein 1,938 %, kadar lemak 0,806 %, kadar karbohidrat 85,931 %, dan derajat putih 96,419 % yang sudah memenuhi standar SNI 7622-2011. Kata kunci: Ubi Kayu, Fermentasi, Mutu, MOCAF

PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah pangan adalah diversifikasi pangan dengan pemanfaatan komoditi pangan lokal sebagai bahan baku dengan harga yang cukup murah, sehingga dapat dihasilkan produk baru yang bernilai ekonomis dengan nilai gizi yang terpenuhi dengan baik. Ubikayu merupakan bahan pangan lokal yang dihasilkan dalam negeri sendiri mampu sebagai sumber pangan karena produksinya cukup tinggi. Di Sumatera Barat produksi ubi kayu tahun 2013 mencapai 232.335 ton produksi dengan luas panen 5.580 ha.

Pemanfaatan ubikayu sebagai sumber pangan lebih baik dalam bentuk tepung karena mempunyai umur simpan lebih panjang dibandingkan dengan umbi segar dan juga dapat berfungsi sebagai stok pangan (Winarno, 2003). Selain itu tepung dapat berfungsi sebagai nasi (tiwul) atau diolah menjadi produk sekunder lainnya. Tepung dimaksud adalah tepung cassava termodifikasi sering disebut MOCAF (Modified Cassava Flour) yaitu tepung yang dihasilkan dari ubikayu melalui prosses fermentasi dengan mikroba. Misgiarta et al (2010) telah menghasilkan starter Bimo-CF yang mampu memperbaiki karakteristik tepung ubikayu menyamai terigu. Starter Bimo-CF merupakan bibit yang berbentuk tepung (powder) yang digunakan untuk fermentasi ubikayu dalam bentuk chips atau sawut. Starter Bimo-CF mengandung bahan aktif berbagai bakteri asam laktat (BAL) yang aman untuk pangan dan diperkaya dengan nutrisi dan dibuat dengan teknologi yang menghasilkan stabilitas dan efektifitas starter yang tinggi.

Subagio (2010), juga telah melakukan serangkaian penelitian tentang MOCAF. Menurutnya prinsip dasar pembuatan tepung Mocaf adalah memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi dengan menggunakan mikroba yaitu bakteri asam laktat (BAL), BAL yang tumbuh akan menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulotik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya

1251

viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Selanjutnya granula pati tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan terimbibisi dalam bahan, dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selama proses fermentasi, terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen (Khususnya pada ketela kuning), dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna Mocaf yang dihasilkan lebih putih dibandingkan warna tepung ubi kayu biasa. Selain itu, proses ini akan menghasilkan tepung yang secara karakteristik dan kualitas hampir menyerupai tepung terigu, sehingga tepung Mocaf ini sangat cocok untuk menggantikan tepung terigu untuk kebutuhan industri makanan.

Dari hasil penelitian tersebut belum ditemukan data tentang lama fermentasi yang dapat menjadi acuan yang jelas dalam pengolahan tepung mocaf.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi ubi kayu terhadap perbaikan mutu MOCAF. Hipotesis yang diajukan adalah lama fermentasi memberikan pengaruh terhadap mutu tepung cassava termodifikasi (Mocaf).

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan pada Maret sampai dengan Juli 2014 di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat dan .Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan & Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia, Biokimia Hasil Pertanian dan Gizi Pangan Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Andalas, Padang.

Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu pengaruh perbedaan lama waktu fermentasi yang terdiri dari : 0, 12, 24, 36, 48, 60, dan 72 jam dengan tiga ulangan. Jenis ubikayu yang digunakan adalah ubi kayu putih. Pengamatan yang dilakukan meliputi rendemen, kadar air tepung, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan derajat putih. Data yang diperoleh dianalisis dengan SPSS menggunakan ANOVA, jika ada beda nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikasi 0,05 %.

Rendemen ditentukan dengan menghitung persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir atau perbandingan produk akhir dengan bahan bahan baku. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (Sudarmadji et al., 1997). Rumus yang digunakan untuk mendapatkan kadar lemak yaitu :

Karbohidrat ditentukan dengan Metode “Carbohydrate by Difference” . Kadar karbohidrat dalam makanan tidak ditentukan secara langsung, tetapi dengan metoda yang disebut “carbohydrate by difference”. Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar karbohidrat yaitu : % Karbohidrat = 100 % - ( % kadar air + % kadar protein + % kadar lemak + % kadar abu).

Derajat Putih sesuai SNI 7622-2011, Tepung MOCAF, Derajat putih MOCAF diukur dengan menggunakan alat ColorFlex EZ. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi dengan standar derajat putih yaitu MgO. Setelah dikalibrasi, masukkan contoh ke dalam wadah contoh yang sama dengan wadah yang digunakan untuk wadah MgO kemudian ukur refleksi indeks dari contoh (A) dan refleksi indeks dari MgO (B). Derajat putih ditentukan dengan cara sebagai berikut :

DP (%) = ................................... (8)

dengan : A = refleksi indeks dari contoh

1252

B = refleksi indeks dari MgO DP = derajat putih

Uji statistik menggunakan program SPSS 17.0. Pengambilan keputusan diterima atau

ditolaknya H0 berdasarkan nilai signifikan yang tertera pada tabel ANOVA dengan ketentuan , jika nilai signifikan lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak sebaliknya jika nilai signifikan kecil dari 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dapat dilanjutkan dengan uji lanjutan yaitu uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Rendemen adalah persentase bahan baku utama yang menjadi produk akhir atau perbandingan produk akhir dengan bahan baku utama. Hasil analisis rata-rata rendemen tepung MOCAF dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Rata-rata Rendemen Tepung MOCAF

No Lama Fermentasi (jam) Rendemen (%) 1 0 Jam 45,464 2 12 Jam 45,064 3 24 Jam 45,817 4 36 Jam 43,262 5 48 jam 42,135 6 60 jam 41,823 7 72 Jam 40,763

Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan lama fermentasi 0 jam (tanpa

fermentasi) yaitu sebesar 45,464 % dan rendemen terendah adalah pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu sebesar 40,763 %. Dapat dilihat bahwa semakin lama waktu fermentasi MOCAF pada masing-masing perlakuan akan menurunkan rendemen MOCAF yang dihasilkan.

Pada proses fermentasi pembuatan MOCAF, ubikayu mengalami perlakuan perendaman. Penurunan rendemen MOCAF dikarenakan selama perendaman terdapat komponen-komponen singkong yang larut dalam air. Selama proses fermentasi terjadi penghancuran selulosa pada ubikayu menjadi bertekstur lembut serta pelubangan dinding granula pati (Darmawan et al, 2013). Semakin lama waktu fermentasi hingga pada waktu tertentu akan semakin banyak pula dinding selulosa yang pecah sehingga mengakibatkan turunnya rendemen MOCAF yang dihasilkan.

Kadar Air Tepung Kadar air dalam bahan pangan menentukan umur simpan bahan pangan tersebut.

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan citarasa pada bahan pangan (Winarno, 2002). Kadar air tepung MOCAF dapat dilihat pada Gambar 1.

1253

Gambar 1. Pengaruh lama fermentasi terhadap Kadar Air Tepung MOCAF

Gambar 1. memperlihatkan bahwa semakin lama fermentasi kadar air cendrung menurun. Kadar air terendah diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 10,146 %, sedangkan kadar air tertinggi pada perlakuan 0 jam (tanpa fermentasi) yaitu 11,201 %. Kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian telah memenuhi standar mutu tepung MOCAF sesuai SNI 7622-2011 dimana kadar air dibawah 13 %.

Rendahnya kadar air pada perlakuan 72 jam disebabkan karena proses fermentasi dapat mengdegradasi pati oleh mikroorganisme yang mampu menyebabkan penurunan bahan dalam mempertahankan air. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin meningkat aktivitas enzim dalam mendegradasi pati sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang terbebaskan, akibatnya tekstur bahan menjadi lunak dan berpori (Aida et al, 2012). Keadaan ini dapat memperbesar penguapan air selama proses pengeringan berlangsung, dengan demikian kadar air akan semakin menurun dalam jangka pengeringan yang sama.

Kadar Abu Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan

dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu ini juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap bertahan selama proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Soebito, 1988). Kadar abu tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh lama fermentasi terhadap Kadar Abu Tepung MOCAF

1254

Kadar abu cendrung meningkat dengan semakin lama fermentasi (Gambar 2) dengan perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan lama fermentasi 0 jam dengan kadar abu 0,223 % dan tertinggi pada lama fermentasi 72 jam dengan kadar abu 0,779 %, standar SNI 7622-2011 menyatakan mutu MOCAF terbaik yang memiliki kadar abu dibawah 1,5 %.

Kadar Protein Protein merupakan molekul makro yang tersusun atas asam-asam amino yang terikat

satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen menjadi unsur utama dan khas penyusun senyawa makro protein karena unsur nitrogen ini tidak ditemukan pada senyawa makro lain seperti karbohidrat dan lemak (Almatsier, 2004). Kadar protein tepung MOCAF dapat dilihat pada Gambar 3.

Kadar protein terendah terdapat pada 0 jam (tanpa fermentasi) yaitu sebesar 1,408 %, sedangkan kadar protein tertinggi pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu sebesar 1,938 %. Tingginya protein yang terkandung dalam tepung juga menjadi bahan pelengkap nilai gizi bagi tepung itu sendiri. Tingginya kadar protein yang dihasilkan juga disebabkan karena kadar air pada perlakuan lama fermentasi 72 jam lebih rendah sehingga komponen yang lain lebih tinggi konsentrasinya. Selain itu selama proses fermentasi berlangsung protein juga mampu meningkat seiring meningkatnya massa sel mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi berlangsung sehingga mampu menambah kadar protein tepung MOCAF yang dihasilkan (Hidayat et al, 2009).

Gambar 3. Pengaruh lama fermentasi terhadap Kadar Protein Tepung MOCAF

Kadar Lemak Lemak merupakan senyawa makro yang memiliki nilai energi tertinggi dibandingkan

dengan karbohidrat dan protein. Lemak juga banyak digunakan sebagai citarasa dan memberikan tekstur yang lebih baik pada produk, namun lemak ini juga mampu sebagai parameter kerusakan bahan makanan dengan ketengikannya. Kadar lemak tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 4. Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan lama fermentasi 72 jam yaitu 0,806 %, sedangkan kadar lemak terendah adalah 0 jam (tanpa perlakuan) yaitu sebesar 0,458 %. Berdasarkan analisis sidik ragam nilai signifikannya yaitu 0,075. Lama fermentasi memberi pengaruh terhadap kadar lemak yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi kadar lemak yang dihasilkan semakin tinggi karena semakin lama waktu fermentasi maka bobot air bahan semakin menurun sehingga kosentrasi komponen lain

1255

lebih meningkat dan juga diduga adanya penambahan lemak dari peningkatan lemak dapat dihasilkan dari perombakkan asam lemak pada ubi kayu yang disebabkan oleh sekresi mikroba itu sendiri. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Tandrianto et al (2014), sebagian besar penyusun massa sel mikroba adalah protein akan tetapi juga terdapat sebagian kecil pospolipid.

Gambar 4. Pengaruh lama fermentasi terhadap Kadar Lemak Tepung MOCAF

Kadar Karbohidrat Kandungan utama dari ubi kayu adalah karbohidrat. Karbohidat pada ubi kayu

sebagian besar adalah pati yang terdiri dari 17 % - 20 % amilosa dan sisanya adalah amilopektin (Muharam, 1992). Karbohidrat pada tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa, dan pati. Pati merupakan komponen utama dalam karbohidrat yang sangat penting dalam menentukan syarat mutu tepung cassava. Kadar karbohidrat tepung MOCAF disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh lama fermentasi terhadap Kadar Karbohidrat Tepung MOCAF

Kadar karbohidrat tepung MOCAF berdasarkan pada Gambar 5 yaitu cenderung menurun. Kadar karbohidrat tertinggi terdapat pada 0 jam (tanpa perlakuan) yaitu 86,597 %, sedangkan kadar karbohidrat terendah terdapat pada perlakuan lama fermentasi 72 jam

1256

yaitu 85,931 %. Semakin lama fermentasi maka kadar karbohidrat yang terkandung dalam tepung semakin menurun.

Derajat Putih Derajat putih menujukkan kemampuan suatu bahan untuk memantulkan cahaya yang

mengenai permukaan bahan tersebut. Derajat putih suatu bahan pangan merupakan tingkat keputihan yang dibandingkan dengan MgO yang memiliki derajat putih 94,6 %. Pengujian derajat putih tepung sangat penting untuk dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang menunjukkan mutu dari tepung cassava tersebut.

Perbedaan nilai derajat putih dipengaruhi oleh perubahan warna serta terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung cassava selama pengeringan. Menurut Muharam (1992), perbedaan kandungan polifenol dan distribusinya di dalam ubi kayu merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya reaksi perubahan warna. Derajat putih merupakan warna dari tepung yang dihasilkan dapat dilihat dengan menggunakan alat ColorFlexEZ. Derajat putih tepung MOCAF disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh lama fermentasi terhadap Derajat Putih Tepung MOCAF

Derajat putih yang tertinggi diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 72 jam dengan hasil 96,419 % dan terendah pada perlakuan 0 jam (tanpa perlakuan) 94,791 %. Hasil derajat putih tersebut mengikuti standar SNI 7622-2011 yang menyatakan mutu MOCAF terbaik memiliki derajat putih diatas 87 %.

Semakin lama waktu fermentasi maka memberi pengaruh nyata yang signifikan terhadap derajat putih tepung MOCAF yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi maka tepung yang dihasilkan akan cenderung semakin putih, hal ini disebabkan adanya degradasi senyawa kompleks oleh mikroorganisme sehingga bahan berpigmen yang ada di dalamnya juga ikut terurai dan larut dalam air. Selain itu, proses fermentasi juga mampu menghambat reaksi maillard yang mampu menyebabkan produk berwarna kecoklatan dengan merombak gula pereduksi menjadi asam-asam organik (Tandrianto et al, 2014),

KESIMPULAN DAN SARAN

Lama fermentasi mempengaryuhi mutu tepung mocaf. Tepung MOCAF yang dihasilkan setelah lama fermentasi 72 jam dapat memenuhi parameter standar SNI 7622-2011, dengan mutu terbaik yang dibuktikan dengan derajat putih lebih putih (96,419 %), kadar air yang rendah, kadar protein dan kadar lemak lebih tinggi.

1257

DAFTAR PUSTAKA

Aida, N, Kurniati LI, dan Gunawan. 2012. Pembuatan Mocaf dengan proses fermnetasi menggunakan Rizhopus orizae dan Saccharomyces serevicaae. Prosiding Semnas Teknik Kimia Soebardjo Brotohrjdono. Surabaya, 21 Juni 2012.

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Darmawan, MR, Andreas, P, Bakti Jos, Sumardiono, S. 2013. Modifikasi ubikayu dengan proses fermentasi menggunakan starter Lactobacillus casei untuk produk pangan. Jurnl Teknologi Kimia Industri vol.2 no.4: 137-145

Hidayat, B, Kalsum1, N dan Surfiana. 2009. Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi yang Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Volume 14, No 2.

Muharam, S. 1992. Sifat Karakteristik Fisiko-Kimiadan Fungsional Tepung Singkong (ManihotEsculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyangraian, dan Penambahan GMS serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar. IPB. Bogor.

Misgiyarta, Suismono, Nur Richana, Suyanti, 2010. Penelitian dan Pengembangan ProdukBerbasis Ubikayu. Kumpulan Makalah Seminar 2010. Pengembangan Industri PengolahanSingkong Terpadu. ISBN: 978-602-973-22-3-6. Semarang, 21 Juli 2010.

Tandrianto,J, Mintoko, DK, dan Gunawan, S. 2014. Pengaruh Fermentasi pada Pembuatan Mocaf (Modified Cassava Flour) dengan Menggunakan lactobacillus plantarum terhadap Kandungan Protein. Jurnal Teknik Pomits Vol. 3, No. 2: 143-145

Subagio. 2010. Proses Produksi Mocal.Download: http://tepungmocal.ning.com.(diakses 5 April 2010).

Sudarmadji, et al. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Soebito, S. 1988. Analisa Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Winarno, F.G. 2003. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

1258

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MESIN TANAM PADI INDO JARWO TRANSPLANTER DI LAHAN PASANG SURUT

KALIMANTAN BARAT

Tommy Purba¹, Ahmad Musyafak¹, Kiki Suheiti²

¹ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat ² Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Jambi

Abstrak

Lahan pasang surut adalah termasuk lahan sub optimal, sehingga perlu aplikasi teknologi budidaya padi yang spesifik untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salah satunya adalah penggunaan mesin-mesin modern untuk meningkatkan efisiensi tenaga dan biaya dalam budidaya padi. Kesulitan mencari tenaga kerja dan mahalnya ongkos tenaga kerja adalah merupakan salah satu kendala utama budidaya padi. Pada tahun 2015 dilakukan pengkajian terhadap kinerja mesin tanam padi Indo Jarwo Transplanter di lahan pasang surut (tipe B) di Kalimantan Barat. Hasil yang diperolah bahwa mesin tanam ini mampu beroperasi dengan baik pada lahan dengan kedalaman lumpur hingga 30 cm dan kondisi air yang macak-macak dengan jumlah tanaman 2-5 batang/lubang dengan jarak tanam dalam satu baris 10-15 cm, walaupun masih ada bagian lahan yang tidak tertanam karena lumpur terlalu dalam. Lahan pasang surut yang akan ditanami menggunakan mesin cukup digelebeg (tidak usah dibajak) agar mesin tidak tenggelam waktu beroperasi. Kapasitas kerja mesin rata-rata 6-7 jam per hektar dengan kebutuhan bahan bakar 5 liter/ha. Hasil perhitungan analisa usaha diperoleh R/C ratio sebesar 1.39.

Kata Kunci: lahan pasang surut, indojarwo transplanter, padi

PENDAHULUAN

Lahan suboptimal pada dasarnya merupakan lahan-lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman, ternak, atau ikan. Kendala tersebut dapat berupa: kesulitan dalam menyediakan air yang cukup, sifat kemasaman tanah yang tinggi (pH rendah) sehingga butuh upaya untuk menetralisir kemasaman tanah tersebut, dinamika pasang-surut genangan air yang sulit diprediksi sehingga dapat menyebabkan gagal tanam maupun gagal panen, lahan terpengaruh oleh intrusi air laut, terdapat lapisan pirit dangkal yang menjadi ancaman karena dapat meracuni sistem perakaran tanaman, sangat miskin unsur hara sehingga membutuhkan dosis pemupukan yang lebih tinggi; dan/atau tanah berbatu sehingga sulit diolah secara mekanis. Kondisi suboptimal ini dapat terjadi secara alami, akibat terkena dampak dari kegiatan manusia di dan/atau sekitar lokasi yang bersangkutan, atau akibat salah kelola pada periode sebelumnya.

Lahan pasang surut termasuk lahan sub optimal, sehingga perlu aplikasi teknologi budidaya padi yang spesifik untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut. Salah satu teknologi yang dapat diaplikaikan di lahan pasang surut ini adalah penerapan mesin tanam-pindah bibit padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja, mempercepat dan mengefisiensikan proses dan menekan biaya produksi (Anonim, 2013). Mesin tanam padi sawah (rice transplanter) walking type 4 baris tanam mulai diintroduksikan di Indonesia sejak 2009 dan hingga kini setidaknya ada beberapa merk dagang dari mesin sejenis antara lain Kubota SPW-48, Yanmar AP-400, Agrindo CRT-45 dan CRT-48, Dae Dong (Korea), Kukje (Korea) dan rice transplanter buatan China. Alsin tersebut didatangkan oleh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja dan mempercepat proses tanam bibit padi dilahan sawah (Anonim, 2011). Penggunaan rice transplanter bermotor akan memberikan dampak mempercepat waktu tanam, lebih seragam

1259

dan apabila dioperasikan dalam luasan skala ekonomi yang optimal akan memberikan keuntungan yaitu biaya tanam lebih murah.

Mesin Indo Jarwo Transplanter dirancang untuk mempercepat waktu dan menurunkan biaya tanam. Selain itu, mesin ini diharapkan dapat mensubstitusi masuknya mesin tanam impor sistem tegel. Untuk menanam 1 ha bibit padi, satu unit mesin tanam Indo Jarwo Transplanter mempunyai kemampuan setara dengan 20 tenaga kerja tanam. Selain itu mesin tanam Indo Jarwo Transplanter mampu menurunkan biaya tanam dan sekaligus mempercepat waktu tanam. Penggunaan mesin tanam Indo Jarwo Transplanter memiliki beberapa keunggulan, dan mampu menghemat biaya usaha tani, khususnya pada kegiatan penanaman dan kecepatan waktu tanam jika dibanding dengan tanam secara manual.

METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitianini dilaksanakan di lahan pasang surutKalimantan Barat di Dusun Parit Madiun kecamatan Sui Kakap kabupaten Kubu Raya pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan percobaan lapang yang menggunakan mesin tanam Indojarwo Transplanter buatan BB Mektan Serpong (Badan Litbang Pertanian). Fokus penelitian untuk menguji penggunaan mesin tanam untuk meningkatkan efisiensi tenaga dan biaya dalam budidaya padi di lahan pasang surut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mesin tanam bermotor atau Indo Jarwo transplanter adalah mesin modern untuk menanam bibit padi yang telah disemaikan pada tempat khusus atau dapok dengan umur tertentu pada sawah siap tanam dengan sistem penanaman yang serentak. Keunggulan mesin ini adalah didesain untuk mendukung sistem tanam jajar legowo 2:1, dengan jumlah baris tanam 4 baris. Jarak tanam antar barisnya 20 cm, jarak tanam legowo 40 cm, dan jarak tanam dalam baris tanam 10 cm/13 cm/15 cm. Sementara itu, jumlah bibit per rumpun mencapai 2-5 tanaman dengan kedalaman 30-60 mm.

Pada awalnya memang ada keraguan apakah mesin tanam ini akan mampu beroperasi di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal :

1. Daya dukung tanah terhadap mesin yang kurang di lahan pasang surut atau lumpur sawahnya cukup dalam sehingga mesin tanam rawan terperosok atau amblas.

2. Ada kesulitan dalam pembuatan dapog persemaian (persemaian pada wadah khusus) karena kesulitan mendapatkan tanah halus untuk media persemaian padi sebagai sarat untuk penanaman menggunakan mesin tanam.

Tempat persemaian atau dapok adalah semacam wadah tempat untuk menyemaikan padi. Padi di semai pada dapok yang mempunyai ukuran tertentu sapai umur padi 15- 20 hari, selanjutnya padi pada dapok diambil atau bisa digulung dan ditempatkan pada tray atau tatakan pada mesin tanam. Selanjutnya pada saat operasi bibit padi tersebut akan diambil atau ditanam oleh lengan penanam padi mesin penanam. Sedangkan penyiapan semaian dapog tidak usah menggunakan tanah yang diayak, cukup menggunakan lumpur sawah atau lumpur yang ada di saluran sebagai media tanam dan ternyata hasilnya cukup bagus. Benih padi mampu tumbuh dengan baik di media lumpur sawah atau lumpur saluran dan pada usia 15 hari sudah dapat ditama menggunakan mesin tanam.

Kemudian bahan dari wadah dapog yang seharusnya menggunakan wadah plastik, menggunakan cetakan dari reng kayu 2 x3, dengan ukuran 18 x 53 yang dibuat memanjang. Pembuatan semaian dapog tersebut dapat dibuat di pekarangan atau dibuat di lahan sawah dengan membuat bedengan yang agak tinggi.

Secara umum mesin tanam ini mampu beroperasi dengan baik di lahan pasang surut. Mesin tanam indojarwo mampu menanam padi dengan jumlah batang antar 2-5 batang per lubang dengan jarak tanam dalam satu baris antar 10 cm hingga 15 cm. Memang ada bagian lahan yang tidak tertanam karena lumpur terlalu dalam. Penerapan mesin ini dilapangan mampu beroperasi dengan baik pada lahan dengan kedalaman lumpur hingga 30 cm dan

1260

kondisi air yang macak-macak. Oleh sebab itu kesempurnaan persiapan tanah sebelum ditanami padi adalah kuncinya. Lahan pasang surut yang akan ditanami menggunakan mesin biasanya cukup digelebeg (tidak usah dibajak) agar mesin tidak tenggelam waktu beroperasi.

Gambar. 1. Mesin Tanam Indojarwo beroperasi di lahan pasang surut tipe B Kalbar

Hasil uji coba menunjukkan kapasitas kerja mesin tanam padi indojarwo di lahan

pasang surut rata-rata antara 6-7 jam per hektar (tergantung kondisi lahannya) lebih besar sedikit berdasarkan hasil uji lapang yang dilakukan oleh BB Mektan pada lahan irigasi sebesar 5,2 jam/ha atau 0.19 ha/jam, Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dalam hal ini bensin adalah sekitar 5 liter per ha. Jadi dalam hali ini lebih cepat dan murah jika dibanding dalam kondisi biasa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan adalah sebesar 30 orang untuk satu hektar lahan di Dusun Parit madiun.

Keunggulan lain mesin ini adalah didesain untuk mendukung sistem tanam jajar legowo 2:1, dengan jumlah baris tanam 4 baris. Jarak tanam antar barisnya 20 cm, jarak tanam legowo 40 cm, dan jarak tanam dalam baris tanam 10 cm/13 cm/15 cm. Sementara itu, jumlah bibit per rumpun mencapai 2-5 tanaman dengan kedalaman 30-60 mm.

Di lahan pasang surut untuk satu hektar membutuhkan 30 orang tenaga tanam dengan ongkos Rp 35.000/ orang. Jadi totalnya adalah sebesar Rp 1.050.000/ha. Jika menggunakan mesin tanam ini maka biaya yang diperlukan antara lain biaya 3 orang operator mesin (1 orang= Rp 100.000) = Rp 300.000 dan biaya bensin dan oli mesin= Rp 100.000 dan ongkos sewa mesin sekitar Rp 300.000 = Total sekitar Rp 750.000. Atau selisih sekitar Rp 300.000. Jika secara tanam biasa, biasanya masih mungkin ada biaya konsumsi untuk 30 orang.

Penanaman dengan mesin tanam ini lebih cepat sekitar 6-7 jam/ha. Sehingga pada saat musim tanam untuk dapat menanam secara serempak akan sangat membantu jika menggunakan mesin tanam. Jika menggunakan tenaga manusia biasanya terjadi rebutan tenaga karena mengejar untuk menanam diawal musim tanam.

Inovasi mesin tanam ini diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat petani dalam menerapkan penanaman padi terutama dengan sistem jajar legowo 2:1. Sehingga salah satu masalah utama terkait langkanya tenaga kerja dapat diatasi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian lapang di lahan pasang surut terlihat bahwa mesin tanam padi Indo Jarwo Transplanter dapat beroperasi dengan baik dan menghasilkan jarak dan kualitas tanam sesuai dengan yang diharapkan. Mesin Indo Jarwo Transplanter dapat beroperasi pada kedalaman olah 30 cm sehingga direkomendasikan untuk lahan pasang surut.

1261

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ucapkan terima kasih kepada Tim Kegiatan Bioindustri kabupaten Kubu Raya BPTP Kalbar dan Tim LLIP BB Mektan Serpong.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., S. Zen, R. Munir, Ardimar, Azwir, dan A.Taher. 2002. Teknologi sistem tanam legowo (bershaf) pada budidaya padi sawah. Makalah disampaikan pada pembahasan rekomendasi Paket Teknologi Pertanian pada tanggal 18 November 2002 di Moseum Adytiawarman Padang.

Anonim, 1984. Farm Machinery Design – Rice Transplanter (Part 1). Farm Machinery Design Course. Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan

Anonim, 2011. Pedoman Pelaksanaan Bantuan Alsintan Rice Transplanter. Dana Penghematan Ditjen Tanaman Pangan TA. 2011. Kementerian Pertanian.

Anonim, 2012. Gambar Desain Mesin Penanam Padi ( Rice transplanter) Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. 2012. Kementerian Pertanian.

Anonim, 2013. Mesin Tanam Padi Indo Jarwo Transplanter. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Agustus, 2014.

Anonim, 2014. .Indo Jarwo Transplanter, Cara Cepat dan Hemat Tanam Padi. Majalah Sains Indonesia. Volume 35 Nomor 6, 2013.

Athoillah. A, dkk, 2014. Penegmbangan Mesin Tanam-Pindah Bibit Padi Indo Jarwo Transpalnter. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan dan Pemanfaatan IPTEKS untuk Kedaulatan Pangan. Faperta UGM, 2014

BB Mektan, 2014. Laporan Tahunan 2013. Balai Besar Pengembangan Mekanissi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Bainer, R., E.L. Barger and R.A. Kepner. 1982. Principles of Farm Machinery. The AVI Pub. Co., Inc., Westport, CT., USA. Dalam Nevi Sandra, V. 1995. Uji Performansi Alat Tanam Padi (Rice Transplanter) Tipe Riding Pada Berbagai Pengolahan Tanah di Areal Infrastruktur Leuwikopo Darmaga, Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Makarim A.K. 2008. Sistem pakar Varietas padi Sawah (SIPAVAR) Versi 2.0. Informasi Ringkas. Bank Pengetahuan Padi Indonesia. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp08045.pdf

M.Syedul, Desa bin Ahmad dan M.A. Baqui, 2000. Modification, Test and Evaluation of Manually Operated Transplanter for Lowland Paddy. J. AMA vol 31, No 2:p33-38.

1262

PERAN DAN KINERJA KELEMBAGAAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN “BAKTI KARYA PETANI” DI KAWASAN KOTA

TERPADU MANDIRI TELANG

Yanter Hutapea, Tumarlan Thamrin dan Imelda S Marpaung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian Km.6 Palembang 30153, Palembang

ABSTRAK

Keberadaan lembaga Unit Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA) menjadi demikian penting untuk mendukung pengembangan pertanian, khususnya untuk mencapai swasembada pangan. Keterbatasan kemampuan petani untuk memiliki alsintan membuka peluang berkembangnya penyewaan alsintan. Kepemilikan alsintan secara perorangan pada usahatani kecil tidak akan memberikan keuntungan, bahkan akan menimbulkan kerugian pada pemilknya. Lembaga UPJA Bakti Karya Petani yang dibentuk pada bulan Agustus 2012 merupakan upaya yang semakin dilirik petani untuk mengefisiensikan usahanya. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja dan peran kelembagaan alsin di Kawasan Kota Terpadu Mandiri Telang. Dilakukan pada bulan Pebruari tahun 2016 dengan fokus kajian pada UPJA Bakti Karya Petani yang beroperasi di wilayah pasang surut. Analisis data dilakukan dengan membandingkan kondisi saat awal keberadaannya dan saat kajian. Hasil kajian menunjukkan bahwa kemampuan kelompok UPJA ini mengalami peningkatan jika dilihat dari: 1. Aspek organisasi (adanya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga UPJA), 2. Aspek teknis ( peningkatan jenis pengelolaan alsin dari delapan menjadi sebelas jenis, 3. Aspek Ekonomi (penghasilan dari operasional alsin tahun 1 Rp 18.610.000, tahun 2 Rp 37.690.000 dan tahun ke 3 Rp 75.380.000) dan 4. Aspek Penunjang (bersinergi dengan koperasi simpan pinjam). Berkembangnya kemampuan UPJA ini menunjukkan semakin optimalnya pengelolaan alsintan kearah pertanian yang modern dan berkelanjutan. Dengan adanya UPJA ini dampak yang dirasakan di wilayah KTM Telang adalah: pengolahan lahan menjadi lebih cepat 15 hari, meningkatnya penerapan pola padi-jagung dari 5% menjadi 88% petani, kehilangan hasil panen padi berkurang 5-6%, penghematan biaya panen Rp 1.000.000/ha dan curahan kerja berkurang 32 HOK disertai penggunaan combine harvester. Kata Kunci: Peranan, kinerja, lembaga alsin

PENDAHULUAN

Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu sumberdaya alam yang berpotensi dimanfaatkan untuk pertanian. Pada era 1970-an, pemerintah melirik kawasan pasang surut sebagai wilayah penempatan transmigrasi. Ada keinginan untuk ”menyulap” lahan-lahan gambut yang berada di kawasan tersebut menjadi areal pertanian. Keinginan berswasembada pangan ikut menjadi pertimbangan (Satim, 2009). Pusat-pusat pertumbuhan baru merupakan alternatif penting untuk menambah produksi pangan, pemerataan pembangunan antar wilayah, peningkatan produktivitas dan taraf hidup masyarakat. Dengan basis usaha pertanian tanaman pangan, maka pembangunan pertanian di lahan pasang surut akan memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan produksi dan diversifikasi pangan.

Pembangunan tersebut memiliki keterkaitan dengan kawasan sekitarnya dalam suatu sistem pengembangan ekonomi wilayah, sebagai upaya pengembangan perekonomian lokal dan wilayah khususnya. Kawasan transmigrasi Telang merupakan salah satu kawasan transmigrasi yang dikembangkan sebagai Kota Terpadu Mandiri. Kawasan ini mencakup 32 desa terdiri dari 21 desa eks transmigrasi dan 11 desa penduduk lokal. Potensial sebagai

1263

pusat pertumbuhan, memiliki sumberdaya alam yang dapat dijadikan modal dasar membangun perekonomian. Namun potensi yang ada memang belum tergarap secara optimal (Danarti, 2011).

Disamping potensinya yang besar, pengembangan lahan rawa inipun memiliki kendala. Kendala – kendala yang dihadapi petani dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut seperti kendala biofisik, biologis bahkan sosial ekonomi (Abdurachman et al., 2000). Saat ini, dari 781.595 ha lahan sawah yang ada di Sumsel, di antaranya 34% atau 265.608 ha merupakan sawah pasang surut, terluas kedua setelah sawah lebak (BPS Sumsel, 2014). Lahan sawah pasang surut tersebut sebagian besar (71%) ditanami padi satu kali dalam satu tahun dan hanya 10,6% saja yang ditanami padi dua kali (IP padi 200). Sisanya untuk sementara tidak diusahakan dan tidak ditanami padi.

Sebagai tempat bermukimnya transmigrasi dengan populasi yang rendah, ketersediaan tenaga kerja untuk mengelola lahan usahatani di wilayah ini sangat terbatas, pengelolaan usahatani menjadi tidak intensif. Untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja dan perbaikan mutu hasil pertanian ini mendorong diperlukan alat dan mesin pertanian. Namun dengan lemahnya permodalan dan keterampilan petani, penggunaan alsin ini diarahkan melalui sistem sewa yang dikenal dengan Unit Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA) (Ananto et al ., 2011). Pemilikan alsintan secara perorangan juga semakin berkembang sebagai akibat orientasi bisnis dari pemiliknya untuk disewakan melayani kebutuhan petani dalam skala besar.

Sistem pertanian terus mengalami perubahan, seiring dengan bertambahnya pengalaman, bertambahnya jumlah penduduk, sumberdaya alam yang semain berkurang. Melalui proses pembaharuan dan adaptasi, petanipun turut mengembangkan berbagai macam cara yang disesuaikan dengan lingkungan ekologis, sosiokultural kemasyarakatan (Reijntjes et al ., 1999).

Peraturan Menteri Pertanian 03/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus (Upsus) Peningkatan Produksi Padi, Jagung dan Kedelai yang merupakan program Kabinet Kerja RI 2015-2019 telah menetapkan bahwa swasembada berkelanjutan padi dan jagung serta swasembada kedelai harus dapat diwujudkan dalam tahun 2017. Saat ini upaya kearah itu terus diupayakan di antaranya dengan melakukan peningkatan indeks pertanaman, perluasan areal tanam tentunya disertai penyediaan bantuan alat dan mesin pertanian.

Bantuan ke para petani memunculkan kesan bahwa teknologi mekanisasi yang disalurkan tersebut adalah sama dari satu tempat ke tempat yang lain. Pertimbangan untuk memilih teknologi secara selektif, ditinggalkan ( Handaka, 2004). Ini dapat dilihat jelas di beberapa lokasi yang mendapatkan alsintan yang sebenarnya tidak adaptif untuk digunakan di wilayah tersebut. Selain itu terjadi juga penumpukan bantuan di satu lokasi sementara di lokasi lainnya yang memerlukan terabaikan. Ananto (2001) mengemukakan bahwa meskipun alsintan sudah banyak digunakan pada kegiatan usahatani, namun penyebarannya tidak merata. Salah satu UPJA yang dikembangkan adalah Lembaga Bakti Karya Petani yang dibentuk pada bulan Agustus 2012. Didorong oleh kebutuhan akan alsintan untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja pada saat tertentu dan disertai dengan naiknya upah buruh tani, lembaga ini muncul dan diharapkan mampu menjadi bagian dalam meningkatkan produksi pertanian tanaman pangan di wilayah Kota Terpadu Mandiri Telang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui peran dan kinerja Kelembagaan Alat dan Mesin Pertanian “Bakti Karya Petani” di Kawasan Kota Terpadu Mandiri Telang.

METODOLOGI

Pengkajian ini dilakukan di Kawasan Kota Terpadu Mandiri Telang Kabupaten Banyuasin melalui observasi terhadap aktivitas lembaga UPJA Bakti Karya Petani, wawancara dilakukan terhadap pengelolanya pada bulan Pebruari 2016. Fokus pada lembaga UPJA ini karena sebagai salah satu lembaga bentukan pemerintah untuk pengembangan alsintan, penting diketahui perkembangan dan dampaknya bagi petani dan wilayah.

Untuk mengetahui perkembangan UPJA dilakukan melalui pendekatan sebelum dan sesudah adanya UPJA, menelusuri kondisi awal dan kondisi saat ini. Data yang dikumpulkan

1264

meliputi aspek organisasi (kelengkapan dan legalitas organisasi),teknis (keberadaan alsintan), ekonomi (sumber dan nilainya) dan aspek penunjang (dukungan kelembagaan terkait) dan melakukan observasi di wilayah kerja UPJA. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan penyajian data baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Telang Untuk meningkatkan kemampuan ekonomi wilayah, maka diupayakan peningkatan

keterkaitan kegiatan ekonomi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah produksi (hinterland) sebagai penyanggahnya melalui peningkatan fungsi kawasan. Kawasan transmigrasi Telang merupakan salah satu kawasan yang dikembangkan sebagai Kota Terpadu Mandiri. Kawasan ini mencakup 32 desa terdiri dari 21 desa eks transmigrasi dan 11 desa penduduk lokal. Kota Terpadu Mandiri Telang secara administrasi berpusat di Muliasari Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Melalui berbagai program, telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pasar modern, jembatan, dermaga, gedung pertemuan, rumah pintar, sekolah, sarana ibadah, beroperasinya layanan perbankan, demikian juga pengecoran dan pengerasan jalan. Saat ini implementasi pembangunan fisik terutama di pusat KTM lebih cepat dibanding pembangunan ekonomi, sosial dan budaya di hinterland KTM tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terus, akan terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan pembangunan antara pusat KTM dan hinterland, padahal pusat KTM akan berkembang jika hinterland juga berkembang (Danarti, 2011).

Padi adalah komoditi utama yang dibudidayakan warga trans setempat. Dari awalnya warga hanya menanam padi satu kali dalam 12 bulan, saat ini di beberapa wilayah desa yang memungkinkan sudah diusahakan padi dua kali dalam 12 bulan dan sebagian besar sudah menanam jagung dimusim kemarau. Beberapa upaya yang sudah dilakukan untuk pengembangan padi seperti: penggunaan varietas unggul baru disertai inovasi lainnya dalam paket Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu, rehabilitasi tanggul dan perbaikan pintu air, perbaikan pasca panen menggunakan mesin pengering berbahan bakar sekam, dan penggunaan alat tanam benih langsung. Selain tanaman padi, maka komoditi lain yang dikembangkan adalah ikan nila, itik, kelapa dan pengembangan kios saprodi. Kinerja Operasional Unit Pelayanan Jasa Alsintan

Alsintan sangat dibutuhkan petani untuk mempercepat pengolahan tanah, penyediaan air, peningkatan indeks pertanaman, mengurangi kehilangan hasil dan sebagainya dalam rangka efisiensi usaha tani. Sementara itu, petani tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli alsintan sendiri. Oleh karena itu, UPJA diperlukan petani sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan alsintan. Dengan menggunakan jasa alsintan UPJA, petani hanya mengeluarkan biaya jasa sewa (sesuai kesepakatan) tanpa harus membeli alsintan sendiri. Kinerja UPJA Bakti Karya Petani dalam pelaksanaannya mengalami beberapa peningkatan ditinjau dari berbagai aspek sebagai berikut:

1. Aspek Organisasi

Kelembagaan ini bergerak dibidang penyewaan jasa alat dan mesin pertanian. Seperti suatu organisasi pada umumnya, maka UPJA inipun memiliki perangkat kepengurusan seperti: Ketua/manajer, Sekretaris, Bendahara, yang dilengkapi dengan seksi-seksi yaitu seksi pemasaran, kemitraan/kerjasama, umum /fasilitas, produksi dan seksi legalitas. Untuk mengoperasikan alsin, maka lembaga UPJA ini juga dilengkapi dengan teknisi untuk memperbaiki peralatan dan operator untuk menjalankan alat.

Jika pada kondisi awal lembaga ini memiliki rekening tabungan, maka saat ini sudah dilengkapi juga dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Pertemuan rutin biasanya tergabung dalam aktivitas gapoktan baik di Desa Muliasari maupun Telangsari dengan membagi tim/pengurus UPJA tersebut untuk menghadirinya. Pertemuan pengurus UPJA memang belum rutin dilakukan, namun pertemuan atau diskusi sesama pengurus biasanya berlangsung dirumah ketua merencanakan aktivitas penggunaan alsintan menjelang musim panen atau musim tanam.

1265

2. Aspek Teknis

Kelembagaan alsin ini memiliki peralatan yang diperoleh dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Alsin yang diperoleh terdiri dari: combine harvester 1 unit, reaper 6 unit, tresher 12 unit, transplanter 13 unit, mesin pompa air 25 unit, mesin pembuat pakan ternak 2 unit dengan 1 unit pencetaknya, hand traktor 4 unit, alat angkut roda tiga 4 unit, box bengkel mobile roda tiga 1 unit. Alsin tersebut digunakan untuk mendukung aktivitas di bidang pertanian terutama terkait dengan kelangkaan tenaga kerja terutama terjadi pada saat musim panen dan musim tanam. Dari oerasional penggunaan alsintan tersebut, maka UPJA Bakti Karya Petani sudah mampu mengadakan sendiri peralatan lainnya, sehingga sudah bertambah peralatan baru berupa kamera digital 1 unit, power sprayer 2 unit, perontok jagung 1 unit dan pH meter digital 1 unit.

Layanan UPJA ini juga ditunjang dengan ketersediaan Mobile Box roda tiga 1 unit yang dilengkapi dengan peralatan untuk memperbaiki kerusakan alsintan dan tersedia gudang alsintan berukuran 8 x 20 m, namun belum semua peralatan tersimpan di gudang tersebut.

3. Aspek Ekonomi Saat ini, untuk penggunaan mesin air selama 1 hari (8 jam), maka pemakai membayar

Rp 25.000 dan menyediakan bensin. Jika menggunakan hand traktor, petani membayar Rp 800.000/ha. Penggunaan alat tanam (transplanter), maka pengguna membayar sebesar Rp 500.000/ha. Untuk alat pemipil jagung, maka petani membayar Rp 125.000/ton pipilan kering.

Pendapatan yang diperoleh operasional alsintan tersebut digunakan petani untuk menyewa lahan. Jika pada tahun 2012/2013 lahan disewa seluas 2 ha, maka pada tahun 2014/2015 meningkat menjadi 5 ha. UPJA melakukan, proses penyimpanan gabah dan prosesing hasil menjadi beras, dijual pada saat paceklik. Sehingga dari aktivitas tunda jual dan prosesing hasil ini keuntungan diperoleh UPJA dari sewa lahan pada tahun 2012/2013, 2013/2014 dan 2014/2015 berturut-turut sebesar Rp 18.610.000; Rp 37.690.000 dan Rp 75.380.000.

Jumlah wilayah layanan alsin yang semula berada di dua desa, saat ini sudah meluas menjadi empat desa. Diakui akibat keterbatasan alat, maka belum semua wilayah dari 32 desa kawasan KTM Telang terlayani. Namun untuk layanan panen padi, combine harvester dari luar wilayah seperti dari Kecamatan Tugumulyo Kabupaten OKI dan dari Provinsi Lampung hadir untuk melayani panen di kawasan KTM Telang. Hal ini dimungkinkan dengan dipertemukannya pemilik alsintan tersebut oleh pihak swasta yaitu PT. Rutan (Tabel 1).

4. Aspek Penunjang

Untuk meningkatkan kemampuannya, maka pengurus kelembagaan ini sudah pernah mengikuti pelatihan di Subang, Jawa Barat mengenai perawatan alat, penanaman, pasca panen. Sedangkan untuk operasional alat, maka dari PT Rutan juga sudah memberikan bimbingan kepada operator alat. Keahlian operator sangat menentukan luasan lahan yang bisa digarap setiap musim tanamnya. Operator yang sudah terlatih akan lebih cepat menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu, operator harus mendapatkan pelatihan yang memadai termasuk mengenai perawatan dan perbaikan alsintan. Dengan demikian, akan terjadi efisiensi biaya operasional alsintan. Untuk perbaikan alsin, maka selain ditopang oleh PT. Rutan, kesediaan bengkel setempat juga dapat melayani kerusakan kecil pada alsintan tersebut. Bengkel setempat juga sudah mampu memodifikasi alsin seperti perontok gabah dan membuat perontok jagung. Ini sebagai bukti terjadinya efek ganda dengan keberadaan UPJA yaitu terbukanya kesempatan kerja baru berupa usaha perbengkelan (Tabel 1).

Sinergi juga terjadi dengan pabrik beras/Rice Milling Plant (RMP) yang sudah terlebih dahulu berdiri tahun 2011. RMP ini dilengkapi dengan mesin penggiling double pass dan pengering gabah berbahan bakar sekam kapasitas pengeringan 10 t. Pengeringan gabah ini berlangsung selama 10-12 jam. Di tahun 2015 juga sudah didirikan koperasi simpan pinjam untuk memfasilitasi petani yang juga adalah anggota gapoktan memperoleh bantuan modal dan tempat menyimpan uang bagi masyarakat. Sistem yang dikembangkan tidak memberatkan petani, dengan bunga pinjaman lunak, namun jika salah satu petani belum lunas pinjamannya, maka anggota kelompoknya yang lain belum dapat meminjam kembali.

1266

Tabel 1. Perkembangan Kinerja UPJA Bakti Karya Petani Aspek Awal ( Agustus 2012) Kondisi 2015 Organisasi Kelengkapan Administrasi Struktur, Rekening

Tabungan Struktur, Rekening Tabungan, AD/ART

Teknis Jenis Alsin 10 jenis 14 jenis Jumlah Alsin 69 unit 74 unit Pengolahan lahan (Desa Muliasari)

30 hari 15 hari

Panen padi (Desa Muliasari) 60 hari 25 hari Pola taman Padi-Jagung (Desa Telangsari, Muliasari dan Banyuurip)

5% petani 88% petani

Penggunaan Jerami Menumpuk dan dibakar Menyebar merata tanpa bakar Ekonomi Sewa lahan 2 ha 5 ha Wilayah layanan 2 desa 4 desa Bagi hasil panen 6:1 (buruh panen) 7:1 (combine harvester) Tenaga kerja panen 30-40 orang/ha (7 jam) 9 orang/ha dengan combine

harvester (3 jam) Penunjang PT. Rutan, Rice Milling

Plant PT. Rutan, Rice Milling Plant, Koperasi Simpan Pinjam, Bengkel setempat, UPJA dari wilayah lain

Peranan UPJA Bakti Karya Petani Peralatan pra panen (traktor untuk pengolahan tanah), akan menjadi penting

peranannya, karena semakin berkurangnya tenaga kerja dan ternak untuk bekerja di lahan pertanian, serta adanya pola pertanaman secara serentak yang menuntut pengolahan tanah, penanaman dan panen harus diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Diakui, meskipun dengan kemampuan yang masih terbatas sebagai akibat keterbatasan penguasaan alsintan dibanding dengan luas lahan yang harus dilayani, namun kondisi saat ini sudah menunjukkan perubahan terutama dalam kecepatan pelaksanaan panen. Peran yang dirasakan masyarakat dengan keberadaan UPJA tersebut adalah:

1. Mengefisienkan usaha pertanian

Jika sebelum adanya UPJA ini, pengolahan lahan petani di Desa Muliasari dapat berlangsung satu bulan, saat ini karena adanya tambahan peralatan dan bekerjanya peralatan dari wilayah lain, maka pengolahan lahan dapat berlangsung dua minggu atau lebih cepat 15 hari. Panen padi dengan bekerjanya combine harvester berlangsung dalam 25 hari dari yang sebelumnya dua bulan (Tabel 1). Penggunaan alsin dapat mengurangi kehilangan hasil dan mengurangi penggunaan jam kerja manusia. Dari kondisi pertanaman padi yang sama dengan tahun sebelumnya namun hasil panen padi yang diperoleh meningkat. Ini menunjukkan terjadinya pengurangan kehilangan hasil yang sebesar 5-6% dengan penggunaan combine harvester.

Sumber biaya pertambahan alsintan dan untuk menjalankan aktivitas UPJA diantaranya diperoleh dari aktivitas sewa alsintan. Sebagai kompensasi jika alat combine harvester digunakan, petani membayar dengan perbandingan hasil panen (gabah) antara petani dengan lembaga alsin = 7:1. Biaya konsumsi lebih kurang Rp 300.000/ha untuk empat orang tenaga yang bekerja pada alat tersebut dan lima orang pengangkut gabah, yang dapat diselesaikan dalam waktu 3 jam saja. Sedangkan jika menggunakan regu pemanen dengan anggota regu panen berkisar 30-40 orang maka perbandingan bagi hasil panen antara petani pemilik dengan regu panen adalah 6:1 namun biaya konsumsi untuk regu panen dapat mencapai Rp 1.000.000/ha. Aktivitas ini diselesaikan dalam satu hari. Dengan

1267

demikian, selain menghemat penggunaan combine harvester memberikan peluang kepada petani untuk memperoleh lebih banyak bagian hasil panen dan penghematan biaya konsumsi Rp 700.000/ha dibanding jika menggunakan regu panen. Dengan semakin banyaknya bagian yang diterima petani yaitu sebesar 1,8% yang diperoleh dari berubahnya sistem bagi hasil antara pemilik dan pemanen, jika produktivitas GKP sebesar 5/ha, maka bagian yang diterima petani meningkat 90 kg. Pada tingkat harga gabah Rp 3.500/kg, maka akan menambah penerimaan sebesar Rp 315.000,- sehingga dari aktivitas panen ini petani dapat menghemat minimal Rp 1.000.000/ha. Selain itu, jam kerja dapat dihemat sebanyak 32 HOK. Penghematan pengeluaran ini tentunya menyebabkan meningkatnya efisiensi usaha pertanian.

2. Meningkatkan produksi pertanian

Percepatan waktu kerja seperti pengolahan lahan dan panen, akan memperpendek masa proses produksi, sehingga peluang memanfaatkan lahan sawah dari satu kali menjadi dua kali semakin terbuka lebar. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan produksi pangan. Jika sebelumnya hanya 5% saja petani yang menerapkan IP 200 dengan pola padi-jagung, saat ini 88% petani sudah menerapkannya dan 5% menerapkan pola padi-semangka. Untuk pola tanam padi jagung di wilayah KTM Telang, khususnya di tiga desa yaitu Desa Telangsari, Muliasari dan Banyuurip dengan produktivitas gabah kering panen padi umumnya berkisar 4-6 t/ha sedangkan pipilan kering jagung 5-7 t/ha. Dari tiga wilayah desa tersebut jika sebelumnya (Tahun 2012) hanya diperoleh kurang lebih 3.500 t pipilan jagung kering, maka paling tidak pada Tahun 2015 sudah dapat diperoleh 12.500 t.

Peningkatan produksi memerlukan penanganan yang cepat dan tepat untuk mengurangi susut hasil. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan alsintan pada panen dan pasca panen dalam jumlah yang mencukupi demikian juga dengan kapasitas kerja alsin tersebut. Kebutuhan ini sangat mendesak terutama pada saat saat terjadinya serangan hama dan penyakit yang mengancam hasil tanaman yang harus ditanam dan dipanen secara serentak.

3. Mempercepat alih teknologi

Salah satu cara yang tepat untuk menarik minat pemuda untuk terjun di bidang pertanian adalah dengan melakukan inovasi alat dan mesin pertanian dan menggunakannya di tingkat usahatani. Selama ini rasa enggan pemuda desa terjun melanjutkan usaha orang tuanya karena adanya pertimbangan pendidikan yang sudah dijalaninya tidak atau kurang pantas untuk bekerja di lahan pertanian. Ketertarikan pemuda desa dengan alsin tentunya akan membuat usaha pertanian itu semakin digeluti jika disertai penggunaan alsin. Penggunaan Alsintan di berbagai kegiatan on-farm dan off-farm, mengindikasikan adanya minat dan kesadaran petani untuk mengadopsi teknologi mekanisasi.

Alih teknologi ini bukan hanya dibidang alsin saja tetapi juga sebagai akibat penggunaan alsin seperti peningkatan indeks pertanaman yang dimungkinkan terjadi dengan percepatan proses produksi dan penggunaan varietas unggul baru padi. Berkembangnya alsintan juga mendorong munculnya usaha bengkel lokal untuk perbaikan dan pemeliharaannya. Sehingga sistem dan cara kerja alsintan juga menjadi bahan pembelajaran bagi pengelola bengkel lokal. Bengkel lokal setempat sudah mampu memodifikasi perontok gabah dan pemipil jagung.

Sebelumnya, dengan pelaksanaan panen oleh regu panen yang berjumlah 30-40 orang secara manual, biasanya jerami padi menumpuk disekitar tempat perontokan. Untuk mempermudah kerja, umumnya petani cenderung membakar tumpukan jerami tersebut, bukan menyebarkan secara merata. Pengembalian jerami ke tanah secara merata, otomatis terjadi akibat penggunaan combine harvester. Cara kerjanya memungkinkan jerami menyebar di lahan yang dilaluinya sambil merontokkan gabah.

1268

KESIMPULAN

Keberadaan UPJA Bakti Karya Petani di KTM Telang memiliki peran untuk menjadi solusi dalam mengatasi kebutuhan alsintan untuk mengolah lahan, pengairan, panen dan pasca panen, tetapi juga menjadi solusi dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja di perdesaan.

Pengembangan alsin dengan kinerja yang optimal secara organisasi, teknis dan ekonomis, bukan hanya untuk meningkatkan luas garapan dan indeks pertanaman, tetapi juga untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, menekan kehilangan dan meningkatkan mutu hasil, meningkatkan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memacu kegiatan perekonomian di perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., A. Bambang, K. Sudarman dan D.A. Suriadikarta. 2000. Perspektif pengembangan rawa untuk pertanian di Indonesia. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Optimasi Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 November 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal. 33-54.

Ananto, E, E. Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian Di Daerah Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Alat dan Mesin Pertanian Untuk Agribisnis, Jakarta 10-11 Juli 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bekerjasama dengan Perhimpunan Teknik Pertanian.

Ananto, E, E, Zakiah dan E. Pasandaran. Potensi lahan Rawa Pasang Surut Dalam mendukung Peingkatan Produksi Pangan. Dalam Suradisastra et al (ed). Membangun Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Hal 153-168.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. 2014. Luas Lahan Menurut Penggunaan Di Sumatera Selatan 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan, Palembang.

Danarti. 2011. Akselerasi Perekonomian Masyarakat Transmigrasi Di Hinterland Kota Terpadu Mandiri Telang. Jurnal Ketransmigrasian Vo. 28 No 1, Juli 2011. Hal 13-24.

Reijntjes C, B. Haverkort dan W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan input Luar Rendah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Handaka, 2004. Membangun Strategi Mekanisasi Pertanian Yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 2004. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor.

Satim, 2009. Ekspedisi jejak Sriwijaya, Nasib Daerah Tak Bertuan: http:// satimterus.blogspot.com/2009/11/ekspedisi-jejak-sejarah-sriwijaya.Html. Diunduh 14 April 2014

Soim, A. 2014. Solusi Atasi Kesulitan Alsintan di Tingkat Petani. Sinar Tani 11 Maret 2014.

Manwan, I dan E.E. Ananto. 1994. Strategi Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian Tanaman Pangan. Dalam Ananto et al. (ed). Prospek Mekanisasi Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan , Bogor. Hal 1-9.

1269

KARAKTERISTIK MUTU DAN FORMULASI VELVA JAMBU BIJI

Y. Handayani1, S. Aminah1, M. Yanis1, T. Ramdhan1, K. Muliyanti2

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Jl. Raya Ragunan No. 30 Jakarta Selatan, Jakarta Telp. 021-78839949

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V Kotabaru, Jambi Telp. 0741-7053525

ABSTRAK

Velva jambu biji merupakan produk olahan seperti eskrim yang berasal dari hancuran buah atau puree dengan kandungan lemak rendah dibanding es krim. Permasalahannya ialah bahwa pemanfaatan jambu biji saat ini masih terbatas. Pembuatan velva diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dari jambu biji dan menjadi alternatif bentuk olahan yang beragam. Velva jambu biji belum banyak diproduksi dan belum cukup dikenal oleh masyarakat sehingga diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh karakteristik mutu serta formulasi produk velva jambu biji. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mutu velva yaitu warna, overrun, TPT dan waktu leleh pada formulasi komposisi perbandingan puree jambu biji dan air serta konsentrasi gula. Rancangan percobaan yang digunakan adalah faktorial 4 x 3. Bahan-bahan yang digunakan adalah jambu biji merah, air, gula pasir (sukrosa), carboxy methyl cellulose (cmc), asam sitrat, dan garam. Karakteristik mutu velva yang dihasilkan yaitu warna dimana nilai 0HUE kisaran 20.34o sampai dengan 39.49o yang menunjukkan warna merah. Nilai overrun berkisar antara -3.42-28.83 %, nilai TPT berkisar 13.1-22.9 obrix serta nilai waktu leleh berkisar antara 8.13-16.04 menit. Kata Kunci : velva , jambu biji, karakteristik mutu

PENDAHULUAN

Produksi jambu biji di Indonesia cukup besar yaitu 187.418 ton (BPS, 2014). Jambu biji mudah ditemui sepanjang tahun dan harganya pun cukup murah. Permasalahan yang ada ialah bahwa jambu biji merupakan salah satu buah yang mudah rusak sehingga tidak dapat disimpan lama. Jambu biji kaya akan serat, vitamin A dan C. Vitamin C yang terdapat pada sebuah jambu biji setara dengan empat kali vitamin C yang terdapat pada jeruk (Shruthiet al.,2013). Komposisi gizi jambu biji antara lain serat 0.9-1.0 g, protein 0.1-0.5 mg, lemak 0.43-0.7 mg, karbohidrat 9.1-17 mg, 17.8-30 mg, vitamin A 0.046 mg, vitamin C 36.50 mg(Kamath et al., 2008). Jambu biji mengandung antosianin dan karotenoid yang berfungsi sebagai antioksidan(Nora et al., 2014).

Pemanfaatan jambu biji menjadi produk olahan saat ini masih terbatas. Dengan adanya teknologi pengolahan pada buah-buahan akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk olahannya sehingga diversifikasi olahan buah lebih beragam dan disukai oleh konsumen. Gaya hidup masyarakat saat ini cenderung menuntut produk yang lebih beragam. Penjualan produk makanan yang memiliki nilai gizi serta dapat memberikan citarasa baru bagi konsumen setiap tahunnya semakin meningkat (de Graaf, 2007). Salah satu diversifikasi penyajian produk olahan dari jambu biji adalah velva buah. Pembuatan velva jambu biji menarik dilakukan karena memiliki citarasa seperti es krim tetapi kandungan nutrisinya tinggi. Kita ketahui es krim merupakan produk yang banyak dikonsumsi dan disukai diseluruh dunia, namun kandungan protein dan lemaknya cukup tinggi tetapi kandungan antioksidan alami seperti vitamin C masih rendah (Waterhouseet al., 2013). Velva buah sering disebut sebagai dessert berserat tinggi karena bahan bakunya berasal dari buah-buahan yang mengandung serat tinggi. Lemak yang terkandung di dalam velva buah sangat rendah dan hanya berasal dari bahan baku (buah) yang digunakan

1270

(Winarti, 2006). Dengan penyajian seperti es krim tetapi memilki nutrisi yang tinggi, velva jambu biji akan cukup menarik minat orang dewasa dan anak-anak yang kurang menyukai buah jambu biji segar.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mutu velva jambu biji yaitu warna, TPT, overrun dan waktu leleh pada formulasi komposisi perbandingan puree jambu biji dan air serta konsentrasi gula.

METODE PENELITIAN

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah jambu biji merah, air matang, gula pasir (sukrosa), carboxy methyl cellulose (cmc), asam sitrat, dan garam. Semua bahan yang digunakan diperoleh dari pasar lokal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Peralatan yang digunakan adalah votator (mesin es krim skala rumah tangga) “Cuisinart” kapasitas 1.5 L, alat penghancur (blender) skala rumah tangga, alat pencampur (mixer) skala rumah tangga, timbangan, saringan, dan alat-alat gelas serta alat-alat dapur lainnya.

Proses pembuatan velva

Proses produksi velva jambu biji dilakukan dua tahap.Tahap pertama adalah pembuatan bahan baku yaitu puree jambu biji dan tahap kedua adalah tahap pembuatan velva. Tahapan pembuatan puree jambu biji adalah sebagai berikut: Persiapan awal dengan pemilihan bahan baku jambu biji merah yang sudah matang dan lunak, selanjutnya jambu biji dicuci hingga bersih, di-trimming bagian ujung buah dan bagian rusak, dipotong menjadi empat bagian, dipisahkan antara biji dengan daging buahnya kemudian dilakukan penghancuran menggunakan blender selama 3 menit, penyaringan dilakukan dua kali yaitu pertama untuk memisahkan biji dan kedua menggunakan saringan dengan diameter lebih kecil, sehingga akan didapatkan puree jambu biji yang halus.

Tahapan kedua adalah proses pembuatan velva, pertama dilakukan penambahan air pada puree sesuai dengan perlakuan formula. Selanjutnya puree dipanaskan sampai suhu 80-850C selama 4-5 menit dan dilakukan pengadukan secara merata. Penambahan bahan tambahan, yaitu gula pasir sesuai perlakuan formula, cmc (0.5% w/w bubur buah), asam sitrat (0.1% w/w bubur buah) dan garam (0.1% w/w bubur buah) dilakukan sesaat setelah bubur buah mencapai suhu 80-850C dan terus dilakukan pengadukan selama 4-5 menit. Adonan bubur buah kemudian diangkat dari kompor untuk kemudian segera di-mixing (homogenizing)dengan menggunakan alat mixer skala rumah tangga selama 4-5 menit. Selanjutnya, adonan bubur buah disimpan di dalam lemari pendingin (proses aging) sampai suhu adonan mencapai 6-70C. Setelah suhu aging tercapai, adonan bubur buah dimasukkan ke dalam votator untuk diproses menjadi velva selama 60 menit. Kemudian setelah itu, velva jambu biji dikemas dan disimpan di dalam freezer dan siap dilakukan uji atau perlakuan selanjutnya.

Pengujian dan Analisis

Pengujian dan analisis velva jambu biji meliputi warna menggunakan Chromameter, overrun berdasarkan perbedaan massa velva dengan massa adonan mula-mula pada volume yang sama (Arbuckle. 1986), TPT dengan Hand-Refraktometer dan waktu leleh didasarkan pada waktu yang dibutukan velva untuk meleleh sempurna pada suhu ruang (± 30 oC) (Bodyfelt et al., 1988). Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan rancangan acak lengkap 4 x 3. Faktor pertama adalah komposisi puree jambu biji dengan air, yaitu 1) tanpa air (100% puree), 2) puree:air = 2:1, 3) puree:air = 1:1, dan 4) puree:air = 1:2, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi

1271

gula pasir (sukrosa) terhadap jumlah adonan puree yang telah ditambah air, yaitu 1) 10% w/w, 2) 15% w/w, dan 3) 20% w/w.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Mutu Velva Jambu Biji

Warna

Uji kuantitatif warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter. Seperti yang tertera pada Tabel 1 nilai L, nilai a dan nilai b. Daerah warna suatu bahan dapat diketahui dari nilai 0HUE, dimana 0HUE dikonversi dari nilai a dan b dengan rumus: 0HUE=tan1(b/a)………………...…………… (1) Tabel 1. Nilai L, a, b dan oHUE pada berbagai formula velva jambu biji

Puree: air

1:0 2:1 1:1 1:2

Gula 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% L 54.59 55.69 56.49 59.32 59.17 47.65 50.10 56.85 59.78 58.38 51.96 54.44 A 15.86 16.63 16.16 8,63 9.34 7.90 14.32 12,72 10.13 9.15 7.23 7.49 B 20.51 22.52 22.84 23.97 25.15 15.49 18.98 18.35 17.74 15.70 12.17 13,08

OHUE 39.49 38.16

36.95 20.74 21.34 28.30 38.78 36.37 31.13 31.66 32.16 31.20

Keterangan: a= koordinat chroma, untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) b = koordinat chroma, untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif) L= tingkat kecerahan, nilai 0 (gelap/hitam) hingga 100 (terang/putih) 0Hue= daerah warna suatu bahan Nilai oHUE dan daerah kisaran warna kromasitas(Hutching, 1999) ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai 0HUE velva jambu biji berbagai formula pada kisaran 20.34o sampai dengan 39.49o yaitu menunjukkan warna merah (Red ). Warna merah pada jambu biji kaya akan kandungan karotenoid, bubur buah jambu biji mengandung karotenoid sebesar 13.800 mg/100 gr (bk). Karotenoid merupakan pigmen turunan dari isoprene yang memberikan warna pada bunga, daun serta buah pada kisaran warna kuning hingga merah (Oliver dan Palou, 2000). Tingkat kecerahan velva buah yang dihasilkan untuk semua formula mempunyai nilai yang hampir sama, yaitu berkisar 47,65 – 59,78. Hal ini menunjukkan tingkat kecerahan 50% dari kisaran nilai L yang ditetapkan.

Tabel 2. Nilai oHUE dan daerah kisaran warna kromasitis

Nilai HUE Daerah Kisaran Warna Kromasitis

342o - 18o 18o - 54o

54o - 90o 90o - 126o 126o - 162o

162o - 198o 198o - 234o 234o - 270o 270o- 306o 306o - 342o

Red Purple (RP) Red (R)

Yellow Red (YR) Yellow (Y)

Yellow Green (YG) Green (G)

Blue Green (BG) Blue (B)

Blue Purple (BP) Purple (P)

Total Padatan Terlarut (TPT)

Perlakuan perbandingan air terhadap puree dengan berbagai konsentrasi penggunaan gula terhadap Total Padatan Terlarut velva jambu biji disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan nilai TPT yang diperoleh berkisar 13,1 – 26%.

1272

Tabel 3. Rerata nilai Total Padatan Terlarut pada tiap perlakuan

Puree: air

1:0 2:1 1:1 1:2

Gula 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20%

TPT (oBrix)

19 22 26 16.6 21.75 22.9 14.5 18.1 22.9 13.1 16.4 20.2

Nilai rerata TPT semakin meningkat dengan bertambahnya konsentrasi gula pada

keempat perlakuan perbandingan puree dan air. Hal ini dikarenakan gula berfungsi sebagai bahan pengisi yaitu menyebabkan bertambahnya padatan pada setiap perlakuan. Sebaliknya semakin banyak perbandingan air yang digunakan terhadap puree memperlihatkan nilai TPT yang semakin menurun. Perbandingan nilai TPT diantara perlakuan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik nilai rerata TPT velva jambu biji

Penggunaan puree tanpa penambahan air memperlihatkan rerata nilai TPT yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu 26obrix pada konsentrasi gula 20% sedang terendah didapatkan pada perbandingan puree dan air 1:2 dengan konsentrasi gula 10% yaitu 13.1ºbrix. Dapat dikatakan konsentrasi gula berpengaruh pada TPT velva jambu biji yang dihasilkan. Dalam produk-produk es krim, penggunaan gula selain menaikkan penerimaan produk melalui efek rasa manis, peningkatan konsentrasi gula akan meningkatkan kekentalan serta kekuatan adonan es krim (Nicol, 1979). Overrun

Overrun merupakan persentase rasio pengembangan produk. Overrun juga biasa diartikan banyaknya udara yang diserap pada saat pembuihan kedalam campuran sehingga terjadi penambahan volume (Arbuckle, 1987). Data hasil pengukuran overrun velva jambu biji disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4.Rerata nilai overrun pada tiap perlakuan

Puree: air

1:0 2:1 1:1 1:2

Gula 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20%

Overrun (%)

-3.42

19.72 26.17 13.48 14,14 14.34 19.88 20.52 25.52 10.23 28.83 19.28

Tabel 4. memperlihatkan bahwa rerata persen overrun meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula. Nilai overrun tertinggi dihasilkan pada konsentrasi pada perlakuan perbandingan puree dan air 1:2 dengan gula 15% sebesar 28,83%. Menurut Marshall dan Arbuckle (2000), nilai overrun yang baik untuk produk es krim dan berkisar antara 28.00– 30.00%. Nilai Overrun terendah adalah -3.42% pada konsentrasi gula 10 % pada perbandingan puree 100%, karena velva tidak mengembang dan air pada adonan menjadi kristal dan keras hal ini ditunjukkan dari nilai massa velva yang lebih tinggi dari

0

10

20

30

1 2 3 4

TPT

(oB

rix)

Perbandingan Puree dan Air

Gula 10%

Gula 15%

Gula 20%

1273

massa awal terhadap volume yang sama. Overrun yang terlalu rendah berakibat tekstur keras sehingga menurunkan palatabilitas namun sebaliknya dapat membuat produk lebih cepat meleleh. Adonan yang kental akan menyebabkan overrun rendah karena adonan mengalami kesulitan mengembang dan udara sukar menembus masuk ke permukaan adonan (Arbuckle. 1997). Demikian halnya dengan penambahan air terhadap puree juga memberikan persen nilai overrun yang berbeda-beda. Untuk ketiga konsentrasi gula yang digunakan memperlihatkan nilai overrun rata-rata lebih tinggi pada perbandingan puree dan air 1:1 dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya (Gambar 2). Overrun yang cukup tinggi disebabkan banyaknya udara yang terperangkap dalam adonan selama proses pembekuan sehingga kristal es yang terbentuk cukup kecil sehingga tekstur yang dihasilkan lembut. Menurut Arbuckle (1986) nilai overrun pada es krim dan produk sejenisnya dipengaruhi antara lain oleh jenis votator yang digunakan dan total padatan, kadar protein dan viskositas.

Gambar 2. Grafik rerata overrun pada tiap perlakuan

Waktu Leleh

Waktu leleh merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kualitas es krim. Data perlakuan perbandingan air terhadap puree dengan berbagai konsentrasi gula terhadap waktu leleh disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5.Rerata waktu leleh pada tiap perlakuan

Puree: air

1:0 2:1 1:1 1:2

Gula 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% 10% 15% 20% Waktu leleh

(menit)

15.16 15.18 16.04 8.13 8.48 9.03 9.26 9.12 9.21 9.37 9.49 9.48

Waktu leleh berkisar antara 8.1–16.04 menit. Formula dengan jumlah puree 100%

dengan konsentrasi gula 20% mempunyai waktu leleh paling lama yaitu 16.04 menit, yang artinya semakin tidak mudah meleleh. Hal ini disebabkan karena formula tersebut memiliki kekentalan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi bahan yang lain. Jika kekentalan meningkat, maka velva menjadi tidak mudah meleleh. Waktu leleh berkaitan erat dengan body dan tekstur produk yaitu total padatan. Menurut Maria (2014) penambahan konsentrasi cmc dan gula maka waktu lelehnya juga semakin meningkat disebabkan cmc dan sukrosa dapat mengikat air bebas yang ada. Frozen dessert yang cepat mencair kurang disukai oleh konsumen, tetapi yang sulit mencair juga akan kurang disukai. Menurut Bodyfelt et al. (1988) daya leleh es krim yang baik berkisar antara 10-15 menit. Umumnya daya leleh velva lebih rendah dibanding es krim, terlihat pada Gambar 3 rerata waktu leleh perlakuan puree dengan tambahan air pada berbagai konsentrasi gula.

-10.00

0.00

10.00

20.00

30.00

'1:0 2:1 1:1 1:2

Ove

rru

n (

%)

Perbandingan Puree dann air

Gula 10%

Gula 15%

Gula 20%

1274

Gambar 3. Grafik rerata waktu leleh pada tiap perlakuan.

KESIMPULAN

Karakteristik mutu velva yang dihasilkan yaitu warna dengan nilai 0HUE kisaran 20.34o sampai dengan 39.49o yang menunjukkan warna merah. Nilai overrun berkisar antara -3.42-28.83%, nilai TPT berkisar 13.1-22.9 obrix serta nilai waktu leleh berkisar antara 8.13-16.04 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Arbukcle, W., S. 1997. Ice Cream. New York: The AVI Publishing Co Inc.

Arbuckle, W., S. 1986. Ice Cream. London: The AVI Publishing Company Inc.

BPS Pusat. 2014. http://www.bps.go.id. Tabel Produksi Jambu Biji Indonesia (Ton). Diakses 20 Mei 2016

Bodyfelt, F. W., Tobias, J., dan Trout, G. M. 1988. Sensory Evaluation of Dairy Product. New York: Van Westrand Reinhold.

de Graaf, C. 2007. Sensory influence on food choice and food intake. In L Frewer, dan H van Trijp (Eds). Understanding consumer of food product (pp. 30-66). Cambridge: Woodhead Publishing.

Hutching, J., B. 1999. Food Colour and Apperance Range (2nd ed). A Chapman and Hall Food Science Book. Gaitheersburg. Maryland: Aspen Publ.

Kamath, J., V., N., Rahul, A., Kumar C.H., dan M. Laksmi S.(2008). Review: Psidium guajava L.A. International Journal of Green Pharmacy.Vol 2(1): 9-12.

Maria, D., N., dan E. Zubaedah. (2014). Pembuatan velva jambu biji merah Probiotik (Lactobacillus Acidopilus) Kajian Persentase Penambahan Sukrosa dan CMC. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol 2 (4): 18-28

Marshall, R., T., dan Arbuckle, W., S. 2000. Ice cream (5th Ed.). New York: Chapman dan Hall.

Nicol, W., M. 1979. Sucrose and Food Technology. London: Applied Science Publ.

Nora, C., D., C. D. Müller., R. de Bona., G. S. Rios., P. F. Hertz., A. Jablonski., dan S.H Flôres. (2014). Effect of processing on the stability of bioactive compounds from red guava (Psidium cattleyanum Sabine) and guabiju (Myrcianthes pungens). Journal of Food Composition and Analysis. Vol 1(6)

Oliver, J., dan Palou, A. (2000). Chromatographic Determination of Carotenoids in Food. Journal of Chromatography, A. 881, 543-555

0

5

10

15

20

'1:0 2:1 1:1 1:2

Wak

tu le

leh

(M

enit

)

Perbandingan puree dan air

Gula 10%

Gula 15%

Gula 20%

1275

Shruthi, S,, D., A., Roshan, A., Sharma, S., dan S. Sunita. (2013). Review Article: A Review On The Medical Plant Psidium Guava Linn. Journal MYRTACEAE, Vol 3(2): 162–168

S, Waterhouse., D. Edmonds, L.Wadhwa dan R. Wibisono. (2013). Producing ice cream using a substantial amount of juice from kiwifruit with green, gold or red flesh. Food Research International. Vol50(2): 647–656

Winarti, S. 2006. Minuman Kesehatan. Surabaya: Trubus Agrisarana.

1276

KAJIAN FORMULASI DAN TINGKAT PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP MINUMAN FUNGSIONAL JAHE-ROSELA (ROSEJA)

S. Aminah1, M. Yanis1, Y.Handayani1, T. Ramdhan1, P. Simarmata2

1Balai PengkajianTeknologiPertanian Jakarta

Jl. Raya Ragunan No. 30 PasarMinggu Jakarta Selatan 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

Jl.SamarindaPaal V Kotabaru 36128 Jambi

ABSTRAK

Jahe dan rosella mempunyai potensi besar sebagai minuman kesehatan. Sebagian besar kelompok olahan di DKI Jakarta telah menghasilkan olahan berbasis jahe dan rosella akan tetapi jenisnya belum bervariasi. Salah satu alternative pengembangan jahe dan rosella adalah minuman fungsional jahe rosella. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan formula dan preferensi konsumen terhadap minuman fungsional jahe-rosela. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 7 ulangan. Perlakuan terdiri atas 3 (tiga) formula konsentrasiperbandingan jahe dan rosela, yaitu 1)Konsentrasijahe-rosella (80:20), 2)Konsentrasi jahe-rosela (75:25), dan 3)Konsentrasi jehe-rosela (82 : 18). Parameter pengamatan meliputi karakteristik fisik dan uji organoleptik dilakukan terhadap tingkat preferensi konsumendengan skala hedonic pada panelis semi terlatih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula terbaik minuman jahe-rosela diperoleh pada komposisi jahe:rosela 75:25 dengan metode ekstrasi terpisah pada masing-masing bahan baku dengan perebusan selama 30 menit dengan api kecil. Tingkat kesukaan konsumen menunjukkan skor nilai 5,15 (suka) terhadap rasa, 6,06 (sangat suka) terhadap warna dan 5,35 (suka) terhadap aroma.

Kata kunci: formulasi, minumanfungsional, jahe, rosella, kesukaan konsumen

PENDAHULUAN

Biofarmaka saat ini telah menjadi fokus perhatian dunia untuk terus dikembangkan. Pengembangan terutama mengarah kepada fitofarmaka atau tumbuhan herbal. Dalam hal ini, Indonesia menjadi salah satu mega center sumber daya hayati tersebut. Pengembangan biofarmaka dunia saat ini justru lebih difokuskan pada makanan/minuman dengan nilai fungsionalnya. Di sisi lain, fenomena mengolah biofarmaka menjadi minuman telah berkembang di Indonesia, diantaranya DKI Jakarta. Sebagian besar KWT tersebut melakukan pengolahan biofarmaka, seperti jahe, temulawak, kencur, kunyit, rosela, dan jenis biofarmaka lainnya menjadi minuman dalam berbagai bentuk sajian.

Saat ini sedang banyak dikembangkan minuman hasil perpaduan dua atau lebih bahan baku, seperti minuman ginger-lemon, cranberry-roselle (Shu et al., 2014). Dalam hal ini, jahe dan rosela punya potensi untuk diformulasi sebagai produk minuman fungsional. Jahe dan rosela memiliki aroma dan rasa yang kuat dan khas serta sinergis sehingga cocok jika diformulasi menjadi minuman fungsional yang kaya antiokasidan.

Rosela sendiri telah dikenal sebagai bahan minuman baik dingin maupun panas, bahan pudding dan jelly (Morton, 1987; Carretero et al., 2008; Medina et al., 2009). Selain itu rosela segar juga dapat diolah menjadi ice cream, cake, minuman fermentasi, selei, coklat, wine, serta pewarna alami (Bako et al., (2009); Bolade et al., (2009); Ismail et al., (2008); Okoro (2007); Plotto (2004); Tsai et al., (2002).

Menurut Junita et al., (2001) penggunaan kombinasi antioksidan dalam hal ini jahe dan rosela telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas antioksidan dibandingkan bila

1277

dipergunakan secara terpisah sehingga pencampuran ekstrak rempah ke dalam minuman jahe rosela diharapkan mampu memberikan kombinasi antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan bila digunakan secara terpisah.

Minuman jahe rosela memiliki potensi besar untuk menjadi minuman fungsional karena terkait dengan kandungan bahan aktif, seperti antioksidan, antiimplamasi dan antidiabetic (González-Stuart, 2011). Di Mesir bunga roesela dibuat teh yang disebut “cocody tea” dan minuman fermentasi (Kochhar, 1986). Sementara di Sudan dan Nigeria rosela dibuat minuman yang dikenal dengan nama “Karkade” atau “Zoborodo” (Gibbon & Pain, 1985), sedangkan di Mexico disebut “agua de Jamaica.” Disamping sebagai bahan minuman, rosela juga digunakan sebagai pewarna dan flavor dalam rum (Ismail et al., 2008).

Guna memperoleh minuman formulasi dari kedua bahan baku yang diterima atau disukai konsumen, maka diperlukan uji organoleptik terhadap beberapa formula minuman jahe rosela. Diharapkan produk minuman jahe rosela dapat menjadi salah satu peluang usaha KWT Jakarta melalui peningkatan nilai tambah produk biofarmaka yang berdaya saing dan aman dikonsumsi.

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bunga rosela kering, jahe merah, dan gula pasir. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah saringan, timbangan, pisau, panci steenlis steel dan alat-alat pengolahan lainnya.

Formula Minuman Jahe-Rosela

Formulasi minuman jahe rosela, yaitu perlakuan komposisi jahe dan rosela disajikan pada Tabel 1. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan komposisi jahe dan rosela.

Tabel 1. Formula dasar minuman jahe rosella

Bahan Formula (%)

(I) (II) (III) Jahe 90 80 70

Rosela 10 20 30

Formula pada Tabel 1 merupakan formula dasar untuk menentukan karakteristik larutan hasil ekstraksi. Formula minuman jahe rosela selanjutnya akan diformulasi kembali berdasarkan hasil ekstraksi terhadap kurang lebihnya persentase jahe dan rosela. Proses Ekstrasi Jahe Rosela

Proses ekstrasi jahe dan rosela dilakukan dengan cara perebusan pada air mendidih masing-masing untuk jahe dan rosela secara terpisah dengan menggunakan api kecil dalam kondisi panci perebusan tertutup selama 30 menit. Proses Pembuatan Minuman Jahe Rosela

Proses pembuatan minuman jahe rosela meliputi proses ekstraksi, pencampuran dan penambahan gula pasir. Perbandingan air dan bahan baku (jahe/rosela) adalah1:20 dari total bahan dan dibagi 2 untuk jahe dan rosela. Penambahan gula sebesar 12% dari total volume larutan (Gambar 1).

1278

Gambar 1. Proses pembuatan minuman jahe rosela

Uji Organoleptik Minuman Jahe Rosela

Uji organoleptik terhadap minuman jahe rosela dilakukan pada warna, aroma, rasa, aroma jahe, rasa jahe, aroma rosela, rasa rosela, penampakan secara keseluruhan dengan 6 skala hedonik, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka) dan 6 (sangat suka).

Air mendidih

Perebusan selama

30 menit dengan

api kecil

Air mendidih

Perebusan selama

30 menit dengan

api kecil

Rosela Jahe

Penyaringan Penyaringan

Pencampuran

larutan jahe dan

rosela

Penambahan gula

pasir

Minuman jahe

rosela

1279

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Hasil Ekstraksi Jahe Rosela

Karakterisasi hasil ekstraksi jahe rosela disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.Karakteristik hasil ekstraksi jahe dan rosella

Kriteria Formula (perbandingan jahe:rosela) %

I (90:10) II (80:20) III (70:30) Warna Warna merah

terang hampir kecoklatan

Warna merah kecoklatan (agak

pekat)

Warna merah kecoklatan terlihat

lebih pekat Aroma Aroma jahe

dominan, aroma rosela tidak tercium

Aroma jahe dan rosela seimbang

Aroma jahe kurang kuat dan aroma rosela

dominan Rasa Rasa pedas

dominan, rasa asam sedikit terasa

Rasa pedas dan rasa asam keduanya

dominan

Rasa asam rosela lebih dominan, rasa pedas

kurang terasa

Endapan Ada - sedikit Ada – sedikit Ada - sedikit

Berdasarkan metode ekstraksi yang dilakukan menunjukkan bahwa jahe dan rosela masing-masing menghasilkan karakteristik fisik yang sama kuat baik terhadap warna, aroma maupun rasa (Tabel 2). Formula I dengan persentase jahe lebih tinggi memperlihatkan warna yang lebih terang dan semakin kecil persentase jahe atau semakin besar persentasi rosela maka warna ekstrak semakin pekat karena dipengaruhi oleh warna rosela.

Demikian halnya dengan aroma dan rasa pada hasil ekstrak kedua bahan baku memperlihatkan bahwa aroma jahe dominan pada konsentrasi jahe 90% dan semakin berkurang dengan semakin tingginya konsentrasi rosela. Pada konsentrasi 70% aroma jahe sudah lemah dan lebih dominan aroma rosela dengan konsentrasi 30%. Namun, aroma kedua bahan baku akan seimbang pada konsentrasi 80% jahe dan 20% rosela. Kriteria rasa jahe juga memperlihatkan penurunan pada konsentrasi jahe 70% dan lebih dominan rasa rosela. Berdasarkan hasil karakteristisasi ekstrak jahe rosela dengan formulasi dasar, maka dengan menggunakan perhitungan persentasi jahe dan rosela tertinggi diperoleh komposisi formula jahe rosela seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Formula minuman jahe rosella

Bahan Formula

I II III Jahe (%) 80 75 82

Rosela (%) 20 25 18

Uji organoleptik

Hasil uji tingkat kesukaan terhadap minuman jahe rosela disajikan pada Tabel 4.

1280

Tabel 4. Data uji kesukaan minuman jahe rosela terhadap warna, rasa, aroma

Formula Jahe : Rosela(%)

Warna Aroma Rasa

I = 80 : 20 3,60a 3,29a 3,31a

II = 75 : 25 6,09b 5,35b 5,15bc

III = 82 : 18 4,11a 4,69c 5,06c

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata, metode Duncan, taraf nyata 95% 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka), 3= agak tidak suka, 4= agak suka, 5= suka dan 6= sangat suka.

Berdasarkan Tabel 4. menunjukkan bahwa panelis memberikan penilaian tingkat

kesukaan yang berbeda terhadap formula minuman jahe rosela baik terhadap warna, aroma maupun rasa. Uji statistik menunjukkan bahwa formula II (75:25) berbeda nyata dengan formula I (80:20) dan III (82:18) terhadap warna dan aroma kecuali formula III terhadap rasa.

Tingkat penilaian panelis tertinggi diperoleh pada formula II, yaitu komposisi jahe rosela dengan perbandingan 75:25 untuk semua parameter mutu dengan skor penilaian 6,09 (sangat suka) untuk warna, 5,35 (suka) untuk aroma dan 5,15 (suka) untuk rasa. Dengan demikian komposisi 75:25 merupakan komposisi yang tepat untuk formula minuman jahe rosela.

Uji tingkat kesukaan panelis terhadap minuman jahe rosela juga dilakukan terhadap rasa jahe, aroma jahe, rasa rosela, aroma rosela dan penampakan secara keseluruhan (Tabel 5). Tabel 5. Data uji kesukaan terhadap rasa jahe, aroma jahe, rasa rosela, aroma rosela dan

penampakan pada minuman jahe rosela

Formula Jahe : Rosela

(%)

Rasa Jahe Aroma

Jahe Rasa Rosela

Aroma rosela

Penampakan

80 : 20 3,91a 3,09a 1,32a 1,32a 2,26a

75 : 25 5,56b 6,09b 5,36b 5,11b 4,36b

82 : 18 4,86b 4,49c 1,09a 1,15a 1,94a

Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom berarti tidak berbeda nyata, metode Duncan, taraf nyata 95% 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka), 3= agak tidak suka, 4= agak suka, 5= suka dan 6= sangat suka.

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa penilaian panelis berbeda nyata terhadap tiga formula minuman jahe rosela berbeda. Secara keseluruhan dari kriteria mutu memperlihatkan penilaian panelis tertinggi pada formula II (75:25). Tingkat kesukaan panelis terhadap formula II menghasilkan skor tertinggi untuk semua kriteria mutu. Secara statistik menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa jahe berbeda nyata pada formula I dan II, kecuali formula III minuman jahe rosela. Namun, penilaian tertinggi terlihat pada formula II karena panelis lebih menyukai rasa jahe pada minuman dengan konsentrasi jehe 75%. Demikian pula aroma jahe, panelis lebih memilih minuman yang diformulasi dengan rosela 25%.

Berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa formula II berbeda nyata dengan formula I dan III pada penilaian panelis terhadap rasa rosela pada minuman. Hal ini

1281

ditunjukan oleh tingkat kesukaan panelis terhadap rasa roela pada formula II dengan konsentrasi rosela 25% dengan scor tertinggi, 5,35 (suka). Terlihat bahwa konsentrasi rosela yang lebih rendah memperlihatkan tingkat kesukaan panelis dengan scor terendah, yaitu 1,32 (sangat tidak suka) dan 1,09 (sangat tidak suka). Demikian halnya dengan scor penilaian panelis terhadap aroma rosela lebih tinggi pada formula II dan berbeda nyata dengan dua formula lainnya. Panelis lebih menyukai aroma rosela pada minuman dengan konsentrasi rosela 25%. Berdasarkan tingkat peniaian panelis terhadap penampakan secara keseluruhan menunjukkan bahwa formula II mendapatkan scor tertinggi, yaitu 4,36 (agak suka). Berdasarkan seluruh kriteria penilaian panelis menunjukkan bahwa perpaduan rasa pedas (jahe) dan asam (rosela) menghasilkan kominasi rasa yang seimbang pada formula II (75:25).

KESIMPULAN

Komposisi jahe 75% dengan rosela 25% (formula II) menghasilkan formulasi minuman jahe rosela dengan tingkat kesukaan panelis tertinggi terhadap warna, aroma, rasa. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa jahe, aroma jahe, rasa rosela, aroma rosela dan penampakan secara keseluruhan memberikan penilaian tertinggi pada formula II.

DAFTAR PUSTAKA

Bako, I. G., Mabrouk, M. A., & Abubakar, A. (2009). Antioxidant effect of ethanolic seed extract of Hibiscus sabdariffa Linn (Malvaceae) alleviate the toxicity induced by chronic administration of sodium nitrate on some haematological parameters in Wistars rats. Advance Journal of Food Science and Technology, 1(1), 39–42.

Bolade, M. K., Oluwalana, I. B., & Ojo, O. (2009). Commercial practice of roselle(Hibiscus sabdariffa L.) beverage production: Optimization of hot water extraction and sweetness level. World Journal of Agricultural Sciences, 5(1), 126–131.

Carretero AS, Mejia MAP, Ramirez SC, Beltran R, Villaverde CA, Joven J, (2008). Selective extraction, separation, and identification of anthocyanins from Hibiscus sabdariffa L. using solid phase extraction-capillary electrophoresis-mass spectrometry (time-of- flight/ion trap). Electrophoresis; 29(13): 2852-2861.

Gibbon, D., & Pain, A. (1985). Crops of the drier regions of the tropics (1st ed.). Longman, England: English Language Book Society.

González-Stuart, A. (2011). Multifaceted therapeutic value of roselle (Hibiscus sabdariffa L. Malvaceae) In R. R. Watson, J. K. Gerald, & V. R. Preedy

Ismail, A., Ikram, E. H. K., & Nazri, H. S. M. (2008). Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) seeds nutritional composition protein quality and health benefits. Food, 2(1), 1–16.

Junita R. Triningsih T. Elisabeth W. Sujana M. Ayu dan P. Haryadi. (2001). “Formulasi Minuman Fungsional Tradisional Dari Rempah-rempah Menggunakan Konsep Optimasi Sinergisme Antioksidan.” Prosiding Seminar Nasiona Pangan Tradisional Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional. Bogor:PAU

Kochhar, S. L. (1986). Tropical crops: a textbook of economic botany. London, K: Macmillan Publishers Ltd.

Morton JF. Roselle. In: Morton JF, editor (1987). Fruits of warm climates. Miami, FL: Creative Resources Systems Inc;, p. 281-286.

Medina ICR, Debon RB, Molina VM, Villaverde CA, Joven J, Menendez JA, (2009). Direct characterization of aqueous extract of Hibiscus sabdariffa using HPLC with diode array detection coupled to ESI and ion trap MS. J Sep Sci; 32(20): 3441- 3448

1282

Okoro, E. C. (2007). Production of red wine from roselle (Hibiscus sabdariffa) and pawpaw (Carica papaya) using palm-wine yeast (Saccharomyces cerevisiae). Nigerian Food Journal, 25(2), 158–164.

Plotto, A. (2004). Hibiscus: post-production management for improved marketaccess. In: Food and Agriculture Organization of the UN (FAO).

Shu CL, Chao CW, Shou CS, Jin JT, Meng TT, Cheng JL (2014). Prevention of asymptomatic bacteriuria with cranberries and roselle juice in home-care patients with long-term urinary catheterization. International Journal of Gerontology 8: 152-156

(Eds.), Nutrients, Dietary Supplements, and Nutriceuticals: Cost Analysis Versus Clinical Benefits, Nutrition and Health (pp. 215–226). New York: Springer.

Tsai, P. J., McIntosh, J., Pearce, P., Camden, B., & Jordan, B. R. (2002). Anthocyanin and antioxidant capacity in Roselle (Hibiscus Sabdariffa L.) extract. Food Research International, 35, 351–356.

1283

KAJIAN FORMULASI MINUMAN JAHE ROSELLA CELUP

M.Yanis1), S. Aminah1), Y. Handayani1), T. Ramdhan1), Nur Asni2)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Jahe memiliki kandungan antioksidan sebagai anti-inflamasi dan efek anti. Jahe dilaporkan memiliki sifat obat seperti antimikroba, antijamur, antivirus, antioksidan, anti-inflamasi, dan antikanker dan mempunyai karakteristik aroma dan rasa pedas yang khas. Bunga rosella memiliki kandungan antioksidan tinggi yang mampu menangkap radikal bebas penyebab kanker. Perpaduan keduanya dapat menghasilkan fungsional yang berkhasiat bagi kesehatan. Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan formula minuman fungsional jahe rosella celup yang disukai oleh konsumen. Perlakuan Formulasi jahe rosela celup merupakan perbandingan antara jahe instan, jahe bubuk, rosela bubuk dengan perbandingan 1) Formula 1 (5:2:2), Formula 2 (5:3:2) dan Formula 3 (4:2:2). Formula tersebut dimasukkan ke dalam tea bag, untuk kemudian dilakukan analisa terhadap hasil seduhannya. Uji kesukaan panelis terhadap teh jahe rosela menunjukkan formula jahe rosela celup terbaik adalah formula dengan komposisi 5 gram jahe instan, 2 gram jahe bubuk dan 2 gram rosela kering. Kata kunci:Jahe, rosella, celup, minuman

PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale) telah digunakan sebagai rempah-rempah selama lebih dari 2000 tahun (Tepe et al., 2006). Jahe dilaporkan memiliki sifat obat seperti antimikroba (Martins et al., 2001; Chrubasik et al., 2005), antijamur, antivirus, antioksidan (Ghasemzadeh et al., 2010; Zaeoung et al., 2005), anti-inflamasi, dan antikanker (Bartley dan Jacobs, 2000; Duggasani et al, 2009; Manju and Nalini, 2005; Stoilova et al., 2007; Thomson et al., 2002), selain itu jahe dapat meningkatkan sirkulasi darah, mengurangi kadar gula darah pada penderita diabetes, membantu pencernaan, dan digunakan dalam pengobatan mual (Ernst and Pittler, 2000; Riddell and Perkins, 2009).

Rimpang jahe segar dan kering mengandung komponen minyak volatile yang identik dalam jumlah yang berbeda secara signifikan. Geranial merupakan komponen yang ditemukan dalam jumlah yang paling berlimpah pada minyak jahe segar, sedangkan zingiberene adalah senyawa dalam rimpang kering (Ekundayo, O. 1988). Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengklasifikasikan bahwa jahe adalah sebagai produk yang aman, sedangkan Monographs Komisi Jerman melaporkan bahwa jahe tidak memiliki efek samping dan tidak diketahui adanya interaksi obat maupun ramuan (Blumenthal, M., 1998). Pemanfaatan jahe selain sebagai obat tradisional juga sering diolah menjadi minuman yang menyegarkan tubuh, seperti wedang jahe. Pembuatan minuman sari jahe dapat dicampur dengan rempah lain, seperti pencampuran dengan rosella.

Rosella (Hibiscus sabdariffa L., Malvaceae) disebut juga Karkade merupakan tanaman semak tahunan yang tumbuh pada cuaca kering tropis, yang berasal dari Afrika dan dapat ditemukan di negara-negara seperti Malaysia, India, Thailand, Indonesia, Arab Saudi, Vietnam, Filipina, Sudan, Mesir dan Meksiko (Abu-Tarboush, et al., 1997; Chewonarin et al., 1999). Rosella memiliki kandungan anthocyanin delphinidin-3-xylosilglucoside dan cyanidin-3-xylosil-glukosida yang ditandai dengan warna merah cerah (Wong, et al, 2002). Pengaruh kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi rosella telah banyak dilaporkan, yaitu sebagai anti diabetes, pelindung jantung dan anti hipertensi (Lin, et al., 2011). Rosella mengandung polifenol yang telah terbukti bermanfaat untuk kesehatan usus sebagai agen

1284

chemoprotectivedan chemopreventif pada pengobatan kanker usus besar (Athar et al., 2007). Aktivitas antioksidan anthocyanin pada rosella ditemukan lebih banyak daripada asam akorbat (Wang, et al., 1997). Minuman fungsional merupakan salah satu pangan fungsional yang dapat dikonsumsi dan memiliki manfaat bagi tubuh manusia. Potensi yang dimiliki oleh berbagai minuman fungsional harus selalu dikembangkan terutama untuk peningkatan kesehatan masyarakat. Salah satu potensi yang dimiliki oleh minuman fungsional adalah khasiat untuk kesehatan dan kebugaran (Winarti dan Nurdjanah 2005). Proses pengolahan rempah hingga menjadi minuman fungsional tradisional memiliki peranan yang sangat penting dan harus diperhatikan. Proses yang salah akan mengurangi komponen aktifnya, selain itu juga dapat mempengaruhi kualitas dari minuman tersebut.

Pengolahan rempah menjadi minuman sudah banyak dilakukan, namun variasinya masih sedikit. Kebanyakan kelompok tani hanya mengolah rempah menjadi minuman instan dari satu rempah saja. Pembuatan minuman dengan kombinasi jahe dan rosella dalam bentuk celup diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif variasi produk olahan di kelompok wanita tani khsusnya di DKI Jakarta. Penggunaan kombinasi antioksidan dalam hal ini jahe dan rosela telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas antioksidan dibandingkan bila dipergunakan secara terpisah sehingga pencampuran ekstrak rempah ke dalam minuman teh rosela diharapkan mampu memberikan kombinasi antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan bila digunakan secara terpisah (Junita et al., 2001). Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan formula terbaik minuman jahe rosella celup dengan kombinasi yang dapat menghasilkan minuman dengan kualitas yang baik dan disukai konsumen.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan adalah simplisia jahe merah, instan jahe, bunga rosella kering, tea bag (kertas teh celup) dan benang tea bag, sedangkan alat yang dibutuhkan adalah oven, timbangan, saringan, sealer aluminium foil (alufo) dan alat pendukung lainnya. Simplisia jahe merah diperoleh dari Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor, instan jahe diperoleh dari kelompok wanita tani (KWT) “tiga puteri”, sedangkan bunga rosella kering diperoleh dari pasar.

Formulasi Jahe Rosela Celup

Penelitian diawali dengan mempersiapkan bahan baku jahe dan rosela yang akan digunakan, dilanjutkan dengan pembuatan jahe bubuk dan rosela bubuk dengan cara menghancurkan simplisia dan rosella kering, kemudian dilakukan pengayakan 10 mesh. Jahe instan, jahe bubuk dan rosella bubuk dimasukkan ke dalam tea bag (kantung teh) secara berurutan dengan prosentase sesuai perlakuan masing-masing. Proses pembuatan jahe rosella celup disajikan pada gambar 1.

1285

Formulasi pembuatan minuman jahe rosella celup adalah campuran jahe instan, jahe

bubuk dan rosella bubuk dengan tiga konsentrasi yang berbeda, seperti disajikan pada Tabel 1. Penentuan minuman terbaik berdasarkan karakterisasi hasil seduhan jahe rosella celup. Pencelupan (infuse) dilakukan dengan air bersuhu + 950C sebanyak 150 ml dan dicelup selama ± 2 menit.

Tabel 1. Formula teh celup jahe rosella

Formula Jahe instan (g) Jahe bubuk (g) Rosela (g)

I 5 2 2 II 5 3 2 III 4 2 2

Analisis

Analisis yang dilakukan meliputi analisis pH, total padatan terlarut (ºBrix), dan uji organoleptik. Pengujian sifat organoleptik formula minuman jahe rosella celup menggunakan uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji hedonik melibatkan 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang diuji pada uji hedonik (uji kesukaan), meliputi warna, aroma, rasa dan penampakan secara keseluruhan (overall), dengan 6 skala hedonik, yakni 6 (sangat suka), 5 (suka), 4 (agak suka), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka) dan 1 (sangat tidak suka). Uji mutu hedonik dilakukan terhadap rasa jahe, aroma jahe, aroma rosella dan rasa rosella.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi jahe rosella celup

Formulasi teh celup jahe rosela merupakan perbandingan antara jahe instan, jahe bubuk dan rosela bubuk. Tiga formula yang diujikan pada penelitian ini yaitu 522, 532 dan 422. Kode tersebut menunjukkan perbandingan antara jahe instan, jahe bubuk, dan rosella bubuk. Masing-masing bahan dihancurkan dan disaring dengan ukuran 10 mesh. Berdasarkan hasil karakterisasi pada penelitian awal didapatkan bahwa ukuran 10 mesh meerupakan ukuran yang optimal, lebih kecil dari 10 mesh menyebabkan pori-pori tea

Pengisian bahan ke dalam tea bag

Perekatan tea bag dengan sealer alufo

Penimbangan

Jahe bubuk, jahe instan dan rosella

Pembuatan tea bag ukuran 7x6 cm

Pengemasan dengan aluminium foil

Jahe rosella celup

Gambar 1. Skema pembuatan jahe rosela celup

1286

bagtersumbat oleh bahan, sehingga pada saat pembuatan minuman dengan perendaman bahandalam tea bag ke dalam air panas, bahan-bahan tersebut tidak larut sempurna, sehingga minuman yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Hasil karakterisasi pengujian urutan bahan pada kantung teh dihasilkan bahwa pada pembuatan jahe rosella celup, jahe instan, jahe bubuk dan rosella bubuk dimasukkan ke dalam kantung teh harus secara berurutan. Hal ini dilakukan karena akan mempengaruhi kelarutan masing-masing bahan saat pencelupan tea bag (infuse). Suhu infuse yang digunakan pada penelitian ini + 950C, Folashade B. Awe et al. (2013) menyatakan bahwa suhu dan waktu infuse memiliki pengaruh pada hasil ekstraksi. Hasil Ekstraksi air panas dilakukan selama 1 menit pada 70±5 °C menghasilkan ekstaksi dengan kandungan polyphenol sebanyak 18 mg GAE / g sedangkan penelitian yang dilakukan Prenesti et al. (2007) mendapatkan nilai 19,6 mg GAE / g. Penambahan jahe instan berfungsi sebagai katalisator untuk memudahkan kelarutan pada saat pencelupan, sehingga jahe bubuk dapat terlarut secara optimum. Hal ini diduga karena jahe instan mengandung gula, sehingga dapat mmepermudah kelarutan. Penentuan minuman terbaik dari tiga perlakuan yang diuji dinilai berdasarkan uji organopetik minuman yang dihasilkan dari pencelupan tea bag yang berisi jahe instan, jahe bubuk dan rosella bubuk. Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan atau kelayakan suatu produk agar dapat diterima oleh panelis (konsumen). Hasil penilaian uji hedonik terhadap warna, aroma dan rasa disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil uji mutu hedonik terhadap aroma jahe, rasa jahe, aroma rosella, rasa rosela, dan penampakan secara umum (overall) disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Hasil uji hedonik warna, aroma, rasa jahe rosella celup

Formula Warna Aroma Rasa 5 : 2 : 2 (522) 5,06a 5,09a 4,80a 5 : 3 : 2 (532) 4,11b 4,20b 4,03b 4 : 2 : 2 (422) 4,14b 4,49b 4,11b

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada satu kolom berbeda nyata pada taraf 95% berdasarkan uji Duncan

Hasil uji hedonik pada Tabel 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan penilaian

panelis terhadap ketiga formula adalah berkisar pada nilai 4 (agak suka) dan 5 (suka). Formula 522 memberikan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap kesukaan warna, aroma dan rasa dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Formula 532 dan 422 tidak berbeda (P>0.05) secara statistik, namun panelis memberikan nilai 4 (agak suka) yang artinya secara umum panelis dapat menerima dan menyukai minuman dan jahe rosella celup ini.

Tabel 3. Hasil uji mutu hedonik terhadap aroma jahe, rasa jahe, aroma rosella, rasa rosela,

dan penampakan jahe rosela celup

No. Formula Aroma jahe Rasa jahe Aroma rosela Rasa rosela penampakan 1. 5 : 2 : 2 4,74a 4,83a 3,03a 4,34a 4,86a 2. 5 : 3 : 2 3,80b 4,14b 2,86a 3,86a 4,11b 3. 4 : 2 : 2 3,91b 4,06b 2,69a 4,09a 4,06b

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada satu kolom berbeda nyata pada taraf 95% berdasarkan uji Duncan

Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa, panelis lebih memilih penggunaan jahe

bubuk (2 gram), lebih rendah dari formula II (3 garam) karena panelis lebih menyukai rasa jahe yang kurang kuat/kurang pedas (Tabel 3). Hal ini juga diperlihatkan oleh hasil penilaian panelis terhadap rasa jahe dan aroma jahe yang berbeda nyata antara formula I dengan dua formula lainnya (Tabel 3), dimana panelis lebih menyukai jahe bubuk 2 gram dibandingkan

1287

jahe bubuk 3 gram yang dikomposisi dengan jahe instan 5 garam. Folashade et al (2013) menyatakan bahwa pencampuran jahe pada minuman tidak memberikan kontribusi pada aktifitas antioksidan, namun diharapkan bahwa jahe akan memberikan kontribusi yang lebih baik untuk rasa dan aroma minuman. Jolad et al. (2005) menyatakan bahwa rimpang jahe memiliki kontribusi dalam memberikan aroma terhadap makanan, karena mempunyai karakteristik aroma dan rasa pedas yang khas.

Rasa rosela (asam) tidak berbeda nyata antar formula, karena jumlah penggunaan rosela adalah sama (2 gram) untuk setiap formula sehingga efek rasa asam yang ditimbulkan tidak berbeda nyata meskipun ada pencampuran dengan jahe instan dan jahe bubuk. Hal ini disebabkan rosella mempunyai aroma dan rasa yang kuat dan dominan. Hirunpanich et al., (2006) dan Tsai, et al, (2002) menyatakan bahwa rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mempunyai rasa yang unik sehingga dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti jeli, selai dan produk minuman., terutama minuman herbal, kelopak rosella juga merupakan pewarna yang baik dan berpotensi menjadi sumber antioksidan yang baik.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar formula terhadap aroma dan rasa rosela. Hal ini menunjukkan bahwa adanya jahe tidak mempengaruhi aroma dan rasa rosella. Panelis memilih formula 522 terhadap rasa dan aroma ekstrak yang dihasilkan dari rosella jahe celup. Total Padatan Terlarut dan pH

Nilai total padatan terlarut (TPT) biasa dinyatakan dalam satuan % atau 0Brix, namun keduanya mempunyai arti yang hampir sama, yaitu menunjukkan persentasi jumlah padatan yang terlarut dalam suatu larutan. Nilai rata-rata TPT jahe rosella celup untuk formula 522; 532 dan 422 adalah sebesar 2.60, 2.20 dan 2.300Brix. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ketiga formula mempunyai nilai TPT yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 4. Data TPT dan pH teh jahe rosella

Formula TPT (oBrix) Ph 5 : 2 : 2 (532) 2,60a 3,12a 5 : 3 : 2 (532) 2,20a 3,16a 4 : 2 : 2 (542) 2,30a 3,12a

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada satu kolom berbeda nyata pada taraf 95% berdasarkan uji Duncan

Nilai rata-rata pH produk jahe rosella celup untuk formula 522, 532 dan 422 adalah

sebesar 3.12, 3.16 dan 3.12 (Tabel 4). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ketiga formula mempunyai nilai pH yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Produk teh jahe rosela termasuk produk makanan berasam tinggi karena memiliki pH < 3,7. Penggolongan makanan berdasarkan pH adalah sebagai berikut: 1) makanan berasam rendah, yaitu makanan yang mempunyai pH 5.3; 2) makanan asam, yaitu makanan yang mempunyai pH 4.5-5.3 dan 3) makanan berasam tinggi, yaitu makanan yang mempunyai pH 3.7 atau kurang (Fardiaz, 1992).

KESIMPULAN

Proses pembuatan jahe rosela celup menggunakan bahan baku jahe instan, jahe bubuk dan rosela bubuk. Uji kesukaan panelis terhadap jahe rosela celup menunjukkan formula terbaik adalah formula dengan komposisi 5 gram jahe instan, 2 gram jahe bubuk dan 2 gram rosela kering.

1288

DAFTAR PUSTAKA

Athar, M., Back, J. H., Tang, X., Kim, K. H., Kopelovich, L., & Bickers, D. R. (2007). Resveratrol: a review of preclinical studies for human cancer prevention. Toxicology and Applied Pharmacology, 224, 274-283.

Bartley, J., Jacobs, A. (2000) Effects of drying on flavour compounds in Australian-grown ginger (Zingiber officinale). J. Sci. Food Agric., vol 80, pp. 209–215.

Blumenthal, M. 1998. The Complete German Commission E Monographs: Therapeutic Guide to Herbal Medicines; ChurchillLivingstome: Oxford, England.

Chewonarin, T., Kinouchi, T., Kataoka, K., Arimachi, H., Kuwahara, T., Initke-Kummuen, U., et al. (1999). Effects of roselle (Hibiscus sabdariffa Linn), a Thai medicinal plant, on the mutagenicity of various known mutagens in Salmonella typhimurium and on formation of aberrant crypt foci induced by the colon carcinogens azoxymethane and 2-amino-methyl-6-phenylimidazo (4, 5-b) pyridine in F344 rats. Food Chemical Toxicology 37: 591-601.

Chrubasik, S.; Pittler, M. H.; Roufogalis, B. D. Zingiberis rhizoma: a comprehensive review on the ginger effect and efficacy profiles (2005) Phytomedicine,vol12, pp. 684–701.

Dugasani, S., Pichika, M.R., Nadarajah, V.D., Balijepalli, M.K., Tandra, S., Korlakuntab, J.N., 2009. Comparative antioxidant and anti-inflammatory effects of [6]-gingerol,[8]-gingerol, [10]-gingerol and [6]-shogaol. J. Ethnopharmacol 127: 515–520.

Ekundayo, O. (1988). Composition of Ginger (Zingiber oflcinale Roscoe) Volatile Oils from Nigeria. Flavour and Fragrance Journal, vol 3, pp. 85-90.

Ernst, E., & Pittler, M. H. (2000). Efficacy of ginger for nausea and vomiting: a systematic review of randomized clinical trials. British Journal of Anaesthesia, vol 84(3), pp. 367–371.

Folashade B. Awe, Tayo Nathaniel Fagbemi, Beatrice Olawunmi T. Ifesan, Adebanjo Ayobamidele Badejo. (2013). Antioxidant properties of cold and hot water extracts of cocoa, Hibiscus flower extract, and ginger beverage blends. Food Research International 52 490–495

Ghasemzadeh, A., Jaafar, H. Z. E., & Rahmat, A. (2010). Antioxidant activities, total phenolics and flavonoids content in two varieties of Malaysia young ginger (Zingiber officinale Roscoe). Molecule 15(6): 4324–4333.

Hamza M. Abu-Tarboush, Saif Aldin B. Ahmed, and Hassan A. Al Kahtani (1997) Some Nutritional and Functional Properties of Karkade (Hibiscus sabdariffa) Seed Products Cereal Chemistry Journal, 74 (3) : 352-355

Hirunpanich, V., Utaipat, A., Morales, N. P., Bunyapraphatsara, N., Sato, H., Herunsale, A., et al. (2006). Hypocholesterolemic and antioxidant effects of aqueous extracts from the dried calyx of Hibiscus sabdariffa L. in hypercholesterolemic rats. Journal of Ethno-pharmacology 103: 252-260

Jolad, S.D., Lantz, R.C., Chen, G.J., Bates, R.B., Timmermann, B.N., 2005. Commercially processed dry ginger (Zingiber officinale): composition and effects on LPS-stimulated PGE2 production. Phytochemistry 66: 1614–1635.

Junita R. Triningsih T. Elisabeth W. Sujana M. Ayu dan P. Haryadi. 2001. “Formulasi Minuman Fungsional Tradisional Dari Rempah-rempah Menggunakan Konsep Optimasi Sinergisme Antioksidan.” Prosiding Seminar Nasional Pangan Tradisional Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional. PAU. Bogor.

1289

Lin, H. H., Chen, J. H., & Wang, C. J. (2011). Chemopreventive properties and molecular mechanisms of the bioactive compounds in Hibiscus sabdariffa Linne. Current Medicinal Chemistry, 18, 1245-1254.

Manju, V., & Nalini, N. (2005). Chemopreventive efficacy of ginger, a naturally occurring anticarcinogen during the initiation, post-initiation stages of 1,2 dimethylhydrazine-induced colon cancer. Clinica Chimica Acta, 358(1–2), 60–67.

Martins, A. P., Salgueiro, L., Gonçalves, M. J., da Cunha, A. P., Vila, R., Canigueral, S., et al. (2001). Essential oil composition and antimicrobial activity of three Zingiberaceae from São Tomé e Príncipe. Planta Medica vol 67, pp. 580–584

Nnam, N. M., & Onyeke, N. G. (2003). Chemical composition of two varieties of sorrel (Hibiscus sabdariffa L.), calyces and the drinks made from them. Plant Foods for Human Nutrition, 58, 1-7.

Prenesti, E., Berto, S., Daniele, P. G., & Toso, S. (2007). Antioxidant power quantification of decoction and cold infusions of Hibiscus sabdariffa flowers. Food Chemistry 100 (4): 433–438.

Riddell, M., & Perkins, B. A. (2009). Exercise and glucose metabolism in persons with diabetes mellitus: perspectives on the role for continuous glucose monitoring. Journal of Diabetes Science and Technology, vol 3(4), pp. 914–923.

Stoilova, I., Krastanov, A., Stoyanova, A., Denev, P., & Gargova, S. (2007). Antioxidant activity of a ginger extract (Zingiber officinale). Food Chemistry, 102(3), 764–770.

Tepe, B., Sokmen, M., Akpulat, H. A., & Sokmen, A. 2006. Screening of the antioxidant potentials of six Salvia species from Turkey. Food Chemistry, 95(2): 200–204.

Thomson, M., Al-Qattan, K. K., Al-Sawan, S. M., Alnaqeeb, M. A., Khan, I., & Ali, M. (2002). The use of ginger (Zingiber officinale Rosc.) as a potential anti inflammatory and anti thrombotic agent. Prostaglandins Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 67(6) : 475–478.

Tsai, P. J., McIntosh, J., Pearce, P., Camden, B., & Jordan, B. R. (2002). Anthocyanin and antioxidant capacity in roselle (Hibiscus sabdariffa L.) extract. Food Research International 35: 351-356

Wang CJ, Wang JM, Lin WL, Chu CY, Chou FP, Tseng TH. 2000. Protective effect of hibiscus anthocyanins against tert-butyl hydroperoxide-induced hepatic toxicity in rats. Food Chem Toxicol 38:411–6.

Wang, H., Cao, G., & Prior, R. L. (1997). Oxygen radical absorbing capacity of anthocyanins. J. Agric. Food Chem., 45, 302–309.

Winarti C dan Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber pangan fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. 24(2): 47-55.

Wong, P. K., Yusof, S., Ghazali, H. M., & Man, Y. B. C. (2002). Physico-chemical characteristics of roselle (Hibiscus sabdariffa L.). Journal of Nutrition and Food Science 32: 68-73.

Zaeoung, S., Plubrukarn, A., & Keawpradub, N. (2005). Cytotoxic and free radical scavenging activities of Zingiberaceous rhizomes. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 27 (4), 799–812.

1290

PENINGKATAN PROTEIN KERUPUK MELALUI PENAMBAHAN TEPUNG AMPAS TAHU

Tri Marwati 1 dan Supriyanto2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Ngemplak Sleman Yogyakarta

2Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jl. Flora No. 1. Bulaksumur. Yogyakarta.

ABSTRAK

Limbah padat tahu mengandung protein yang dapat dimanfaatkan untuk substitusi dalam proses pengolahan pangan, dimana tujuannya tidak hanya untuk mengurangi limbah tahu tetapi juga dapat sebagai sumber protein dan serat alternatif untuk kesehatan badan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat substitusi tepung ampas tahu yang optimal dan mengetahui karakteristk kerupuk yang dihasilkan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Ada dua perlakuan yang dicobakan. Perlakuan pertama yaitu substitusi tepung ampas tahu dengan konsentrasi 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% dalam formula kerupuk tanpa bumbu. Perlakuan kedua yaitu substitusi tepung ampas tahu dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% dalam fotmula kerupuk dengan bumbu. Parameter yang dianalis terhadap produk yang dihasilkan meliputi uji sensoi secara hedonik dan analisis kimia. Uji hedonik menunjukkan bahwa kerupuk dengan substitusi tepung ampas tahu 10% tidak berbeda nyata dengan kontrol (0%). Analisis kimia menunjukkan bahwa substitusi tepung ampas tahu 10% dapat meningkatkan kadar protein kerupuk.

Kata kunci : tepung ampas tahu, karakteristik kerupuk, protein

PENDAHULUAN

Ampas tahu merupakan hasil samping proses pembuatan tahu yang diperoleh dari hasil penyaringan susu kedelai. Ampas tahu berupa padatan putih dengan kadar air cukup tinggi (80-84%) yang menyebabkan cepat busuk. Pada penyimpanan suhu kamar lebih dari 24 jam, ampas mulai berubah aroma dan warna (Suprapti, 2005; Yustina dan Abadi, 2012). Ampas tahu dapat diawetkan dan ditingkatkan nilainya dengan mengolah lebih lanjut menjadi tepung ampas tahu. Tepung ampas tahu kering memiliki kadar protein yang tinggi yaitu antara 23,39 % (Surapti, 2005) sampai 30,80 % (Putri dan Yuwono, 2016) bahkan sampai 32,61 (Yustina dan Abadi, 2012). Dengan protein yang tinggi tersebut, maka tepung ampas tahu potensial dikembangkan menjadi berbagai produk pangan (Auliana et al., 2013; Rachmawati dan Kurnia, 2009; Rachmawati et al., 2014; Putrid an Yuwono, 2016) yang memiliki nilai ekonomis, diantaranya kerupuk.

Kerupuk merupakan jenis pangan yang digemari di Indonesia. Berbagai kalangan menyukai jenis pangan ini baik golongan ekonomi rendah maupun golongan ekonomi yang tinggi. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk, ukuran, bau, warna, rasa, kerenyahan, ketebalan dan nilai gizinya. Perbedaan ini bisa disebabkan pengaruh budaya daerah penghasil kerupuk, bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan serta alat dan cara pengolahannya. Komposisi bahan sendiri beserta pengolahannya akan sangat mempengaruhi kualitas kerupuk, dimana komposisi bahan ini juga mempengaruhi pengembangan pada kerupuk tersebut. Secara umum bahan baku yang digunakan adalah tepung tapioka, sedangkan bahan tambahannya dapat berupa ikan atau udang, telur atau

1291

susu, gula, air dan bumbu yang terdiri dari bawang putih, lada, garam (Zulaikha, 2012) dan sebagainya. Jumlah dan jenis bumbu yang digunakan tergantung pada selera masing-masing.

Upaya pemanfaatan kembali ampas tahu sebagai bahan baku proses produksi kerupuk, diharapkan dapat mengurangi jumlah ampas tahu di sentra kerajinan tahu yang seringkali menimbulkan pencemaran lingkungan dan memecahkan permasalahan mahalnya bahan baku kerupuk. Hal tersebut akan berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru di bidang produksi dan pemasaran kerupuk yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan pengrajin tahu. Dari segi nilai gizi, pemanfaatan ampas tahu memiliki banyak kelebihan seperti mengandung protein dan serat tinggi yang bermanfaat bagi tubuh (Ceha et al., 2011). Kaitannya dengan sumber serat pangan (dietary fiber) dalam 100 gram tepung ampas mampu memenuhi kebutuhan serat pangan sebesar 190,88% dengan rata-rata kecukupan serat pangan sebesar 25 g/orang/hari (Hardiansyah dan tambunan, 2004). Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ampas tahu terhadap kadar protein dan penerimaan konsumen kerupuk yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODA

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tapioka, ampas tahu, air, bumbu (garam, bawang merah) minyak goreng dan bahan kimia untuk analisis. Peralatan yang digunakan adalah kain peras, alat pengering, alat penggiling, ayakan, panci, mesin pencetak kerupuk, alat penggoreng dan peralatan untuk analisis fisik, kimia dan organoleptik.

Penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama meliputi : pembuatan tepung ampas tahu, analisis kimia tapioka dan tepung ampas tahu, pembuatan dan uji organoleptik kerupuk berbumbu. Tahap kedua meliputi pembuatan, analisis kimia, fisika dan uji organoleptik kerupuk tanpa bumbu.

A. Tahap pertama

Diagram alir penelitian tahap pertama dan pertama terlihat pada Gambar 1

1292

Gambar 1. Diagram alir penelitian tahap pertama

1. Proses pembuatan tepung ampas tahu Ampas tahu segar diperas, kemudian dikeringkan menggunakan alat

pengering, pada suhu 40-50C selama 9 jam. Ampas tahu yang telah kering kemudian digiling sampai halus dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh, hingga diperoleh tepung ( Modifikasi Wahyuni, 2003; Sulistiani, 2004; Auliana, 2012; Rachmawati et al., 2014). Tepung ampas tahu yang lolos ayakan 100 mesh digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk.

Bubuk bawang

putih

Air + Garam

PEREBUSAN

Ampas tahu

PEMERASAN

PENDINGINAN

PENGAYAKAN

PENGGILINGAN

PENGERINGAN

Tepung Ampas tahu

PENCAMPURAN

PENCETAKAN

PENGUKUSAN

PENGERINGAN

PENGGORENGAN

Kerupuk matang

Kerupuk mentah

Tapioka

1293

2. Proses pembuatan kerupuk ampas tahu berbumbu Garam dilarutkan dalam air dan direbus sampai mendidih kemudian

didinginkan hingga mencapai suhu 70-80C. Tapioka, tepung ampas tahu dan bumbu lainnya dimasukkan ke dalam panci adonan dan ditambahkan air rebusan garam kemudian dibuat adonan. Adonan selanjutnya dicetak dan hasil cetakan dikukus di atas air mendidih selama 15-20 menit. Selanjutnya diakukan pengeringan dengan suhu 50C dan diakhiri 2 jam setelah kerupuk kering (Modifikasi Auliana, 2012; Zulaika, 2012)

Untuk mendapatkan kerupuk matang maka dilakukan proses penggorengan. Penggorengan dilakukan dua kali, penggorengan pertama pada suhu 130C sampai diperoleh kerupuk setengah matang (layu) yang ditandai dengan mulai mengapungnya kerupuk. Kemudian dengan cepat kerupuk dipindahkan ke wajan penggorengan kedua dengan minyak yang lebih banyak dan panas (suhu 250C). Pada penggorengan tahap kedua, kerupuk ditekan hingga masuk ke dalam minyak dalam waktu sekejap, selanjutnya diangkat. Formula kerupuk berbumbu yang digunakan sebagai berikut :

Tapioka 100 % Garam 8 % Bawang putih 2,1 % Air 80 %

Pada penelitian ini dilakukan variasi perlakuan pembuatan kerupuk ampas tahu, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formula kerupuk ampas tahu dengan bumbu*

Tapioka Tepung ampas tahu Air

100 0 80

90 10 100

80 20 122

70 30 142

60 40 160

50 50 178

Keterangan = *Bumbu (garam 8%, bawang putih 2%)

3. Uji organoleptik kerupuk Uji organoleptik yang dilakukan yaitu uji kesukaan. Hasil uji kesukaan digunakan sebagai dasar penelitian tahap kedua.

B. Tahap Kedua Diagram alir penelitian tahap pertama dan kedua terlihat pada Gambar 2. Proses pembuatan kerupuk ampas tahu tanpa bumbu sama dengan pembuatan kerupuk bandung berbumbu, tetapi tanpa penambahan bumbu.

1294

Gambar 2. Diagram alir penelitian tahap kedua

Tepung tapioka dan tepung ampas tahu dibuat variasi perlakuan seperti terlihat pada Tabel 2. Analisis yang dilakukan terhadap kerupuk mentah yaitu kadar air dan minyak. Sedangkan untuk kerupuk matang dilakukan analisis kasar air, minyak dan protein (AOAC, 1990)

Air

PEREBUSAN

PENDINGINAN

Tepung Ampas tahu

PENCAMPURAN

PENCETAKAN

PENGUKUSAN

PENGERINGAN

PENGGORENGAN

Kerupuk matang

Kerupuk mentah

Tapioka

1295

Tabel 2. Formula kerupuk ampas tahu tanpa bumbu

Tapioka Tepung ampas tahu Air

100 0 80

95 5 90

90 10 100

85 15 112

80 20 122

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini meliputi dua tahap. Tahap pertama diakukan analisis kimia tapioka dan tepung ampas tahu serta uji organoleptik kerupuk ampas tahu yang dihasilkan. Hasil uji organoleptik tahap pertama, dijadikan sebagai dasar penelitian tahap kedua.

A. Analisis kimia tapioka dan tepung ampas tahu

Analisis kimia yang dilakukan terhadap tapioka dan tepung ampas tahu meliputi kadar air, protein, pati dan amilosa seperti terlihat pada Tabel 3. Tepung ampas tahu diperoleh dari proses pemanasan ampas tahu menggunakan alat pengering karena cara pengeringan dengan alat pengering menghasilkan ampas tahu kering yang lebih baik dibandingkan sinar matahari (Wahyuni, 2003).Dari tabel tersebut terlihat bahwa ampas tahu sendiri memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (23%). Karakteristik tersebut sesuai dengan yang dilaporkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang melapotkan bahwa tepung ampas tahu memiliki kadar protein berkisar antara 18,66-20,86 (Wahyuni, 2003), 23,55 % (Ceha et al.,2011); 30,80 % (Putri dan Yuwono, 2016); 27,63 % (Susanti, 2007); 23.39% (Suprapti, 2005) dan 10,8 % (Yustina dan Abadi, 2012). Protein tersusun atas asam amino yang penting bagi sintesa protein dalam tubuh, diantaranya lisin dan metionin. Derrick (2002) dalam Kailaku et al.,(2010) melaporkan bahwa ampas kedelai memiliki kadar lisin 2,8 % dan metionin 0,7%.

Tabel 3. Karakteristik kimia tapioka dan tepung ampas tahu

Parameter (% bk) Tapioka Tepung ampas tahu

Kadar air 11,2 8,8

Kadar protein 0,7 23,0

Kadar pati 93,4 1,9

Kadar amilosa 19,0 0,5

Karakteristik tingginya kadar protein tersebut menunjukkan bahwa tepung ampas tahu berpotensi sebagai bahan baku pangan. Dari tabel tersebut dan hasil penelusuran pustaka sebelumnya diketahui bahwa protein yang terkandung dalam tepung ampas tahu masih cukup tinggi. Sebagai sumber protein, dengan kandungan protein sebesar 10-30% maka dalam 100 gram tepung ampas tahu mampu memenuhi kebutuhan protein sebesar 20-60% AKG, dengan perhitungan kebutuhan protein di tingkat konsumsi 52 g per 2000 kkal. Menurut NLEA (1994) dalam Yuliani (2004), bahan

1296

pangan dikatakan tinggi protein bila mencukupi minimal 20% AKG protein, maka tepung ampas tahu dapat diklaim sebagai bahan pangan tinggi protein.

Kandungan protein yang tepung ampas tahu yang tinggi tersebut memungkinkan digunakan sebagai sumber protein pada kerupuk yang dibuat dengan bahan baku tapioka yang diketahui memiliki kadar protein yang rendah, seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan demikian maka penambahan tepung ampas tahu pada pembuatan kerupuk diharapkan dapat meningkatkan kadar protein kerupuk yang dihasilkan.

B. Uji organoleptik kerupuk berbumbu Kenampakan kerupuk matang dan mentah yang dihasilkan dengan bahan baku

tapioka dan penambahan tepung ampas tahu sebesar 10, 20, 30, 40 dan 50 % terlihat pada Gambar 3. Terhadap kerupuk tersbut dilakukan uji kesukaan untuk menentukan sejauh mana penambahan tepung ampas tahu dapat menghasilkan kerupuk yang disukai konsumen. Uji kesukaan dilakukan terhadap 20 orang panelis.

Gambar 3. Kenampakan kerupuk ampas tahu matang dan mentah berbumbu

Hasil uji kesukaan kerupuk ampas tahu terlihat pada Tabel 4. Kerupuk dengan tanpa penambahan ampas tahu (0%) digunakan sebagai kontrol. Secara statistik, nilai kesukaan kerupuk dengan penambahan tepung ampas tahu 10 % tidak berbeda nyata dengan dengan kontrol. Dengan demikian maka kerupuk dengan penambahan tepung ampas tahu 10 % dapat diterima konsumen. Dengan penambahan tepung ampas tahu 20%, kerupuk memiiki tingkat kesukaan antara disukai dan agak kurang disukai. Hasil uji kesukaan konsumen tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penelitian tahap kedua

1297

Tabel 4. Tingkat kesukaan konsumen terhadap kerupuk ampas tahuberbumbu

Tepung ampas tahu (%) Nilai kesukaan*

0 1,8 d

10 1,5 d

20 2,9 c

30 3,9 b

40 5,4 a

50 5,5 a

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Nilai : 1= sangat disukai, 2= disukai, 3=agak kurang disukai, 4=kurang disukai, 5=tidak disukai dan 6= sangat tidak disukai

C. Karakteristik kerupuk tanpa bumbu

Pada tahap kedua dilakukan pembuatan kerupuk tanpa bumbu dengan variasi perlakuan terlihat pada Tabel 2. Pembuatan kerupuk tanpa bumbu dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ampas tahu terhadap karakteristik kimia kerupuk. Kenampakan kerupuk ampas tahu tanpa bumbu mentah dan matang dengan konsentrasi penambahan tepung ampas tahu 0, 5, 10, 15 dan 20% terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kenampakan kerupuk mentah dan matang tanpa bumbu

Karakteristik kerupuk ampas tahu matang tanpa bumbu terlihat pada Tabel 5. Kerupuk dengan variasi penambahan tepung ampas tahu 0 sampai 20 % memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata dengan nilai sekitar 8%. Kadar protein pada kerupuk berasal dari protein tapioka dan tepung ampas tahu. Kadar protein kerupuk meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi tepung ampas tahu yang ditambahkan. Hal ini disebabkan karena kadar protein tepung ampas tahu (23%) lebih tinggi dari pada tapioka (0,7%). Hasil tersebut sesuai pernyataan Syafitri

1298

(2009) dan Khan dan Nowsad (2012) yan bahwa peningkatan kadar protein kerupuk sejalan dengan peningkatan konsentrasi tepung ampas yang mengandung protein yang ditambahkan.

Tabel 5. Karakteristik kerupuk ampas tahu matang tanpa bumbu

Tepung

ampas

tahu (%)

Kadar air

(% bk)

Kadar

protein (%

bk)

Penyerapan

minyak (%)

Tingkat

pengembangan

(%)

0 8,6 a 0,6 e 24,5 a 537,5

5 8,5 a 1,8 d 20,7 b 454,0

10 8,4 a 2,6 c 16,7 c 340,8

15 8,3 a 3,6 b 13,4 d 267,3

20 8,2 a 4,5 a 10,4 e 216,8

Penyerapan minyak oleh bahan yang digoreng dipengaruhi oleh komposisi

dan sifat permukaan bahan. Dari tabel 5 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi penambahan tepung ampas tahu maka penyerapan minyaknya semakin kecil. Hal ini disebabkan karena semakin besar penambahan tepung ampas tahu maka semakin kecil kadar pati pada kerupuk, sehingga rongga rongga udara yang terbentuk selama penggorengan sedikit. Rongga rongga tersebut akan terisi minyak pada saat pengorengan. Semakin sedikit rongga udara maka semakin sedikit minyak yang menempati. Hal tersebut sesuai dengan fungsi minyak sebagai media penghantar panas (Ketaren, 1986). Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng (Djatmiko, 1985). Proses penggorengan mengakibatkan sebagian air akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi oleh air akan diisi oleh minyak (Weiss, 1983)

Disamping itu, dengan penambahan konsentrasi tepung ampas tahu yang semakin besar maka kerupuk memiliki tingkat pengembangan yang semakin kecil, sehingga luas permukaan yang kontak dengan minyak juga kecil.Penambahan konsentrasi penambahan tepung ampas tahu akan menurunkan tingkat pengembangan kerupuk. Hal ini disebabkan karena kerupuk memiliki kadar pati semakin kecil, dan semakin besar kadar protein. Pada penggorengan kerupuk, karena suhu yang semakin tinggi maka air yang terikat pada gel menguap dan uap mengembang menekan kerangka yang menyelubingi. Semakin kecil kadar pati pada kerupuk maka gel yang terbentuk semakin sedikit sehingga pengembangannya kecil. Menurut Yustina dan Abadi (2012)penurunan tingkat pengembangan kerupuk ampas tahu juga disebabkan karena tepung ampas tahu tidak mampu membentuk gel sehingga kurang dapat mengikat air dan bahan bahan lain. Penggunaan tepung ampas tahu pada pembuatan produk makanan menghasilkan adonan yang kurang liat atau elastis sesuai dengan semakin besar jumlah penggunaan tepung tersebut. Produk yang dihasilkan dari substitusi tepung ampas tahu tidak terlalu mengembang namun padat (tidak berongga).

Kerupuk kering jika digoreng akan mengembang sehingga terdapat rongga rongga udara di dalamnya (Yustina dan Abadi, 2012). Kerangka ang terbentuk dengan ikatan lemah, seperti ikatan hidrogen pada gel pati tidak mampu menahan pengembangan uap air selama penggorengan sehingga ikut mengembang. Sedangkan yang terbentuk oleh ikatan yang lebih kuat, seperti ikatan sulfida pada gel protein mampu menahan pengembangan uap. Dengan demikian maka semakin besar jumlah protein yang terdispersi diantara molekul pati, maka pengembangan kerupuk semakin kecil

1299

D. Nilai uji organoleptik kerupuk tanpa bumbu Warna kerupuk ampas tahu berasal dari warna tapioka, tepung ampas tahu,

minyak goreng dan adanya reaksi pencoklatan Maillard serta pengaruh pengembangan kerupuk. Dari Tabel 6 terlihat bahwa semakin besar penambahan tepung ampas tahu maka kerupuk semakin tidak putih dan mempunyai kecenderungan semakin coklat. Semakin banyak tepung penambahan ampas tahu maka pati yang digunakan semakin tidak murni. Kecenderungan kerupuk semakin coklat kemungkinan disebabkan karena jumlah protein yang terperangkap dalam gel semakin besar sehingga kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan Maillard semakin besar.

Tabel 6. Hasil uji organoleptik kerupuk ampas tahu tanpa bumbu

Tepung

ampas

tahu (%)

Nilai

warna

Nilai cita

rasa

Nilai

kerenyahan

0 13,0 a 13,0 a 13,12 a

5 11,0 b 10,7 b 10,8 b

10 6,3 c 7,1 c 8,8 c

15 4,9 d 6,2 d 3,9 d

20 1,0 e 3,14 e 0,6 e

Warna kerupuk juga dipengaruhi oleh tingkat pengembangan, seperti terlihat

pada Gambar 5. Kerupuk dengan penambahan tepung ampas tahu yang sama, maka kerupuk yang mengembang lebih besar, warna kerupuk semakin putih

Gambar 5. Perbandingan kenampakan kerupuk tanpa bumbu dan dengan bumbu

1300

Semakin besar penambahan tepung ampas tahu maka cita rasa kerupuk

ampas tahu semakin nyata (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena protein bersifat sebagai pengendali flavor sehingga tepung ampas tahu menyimpan flavor yang kuat. Dari tabel 5 terlihat bahwa semakin besar penambahan tepung ampas tahu maka kerupuk semakin tidak renyah. Kerenyahan kerupuk dipengaruhi oleh pengembangan kerupuk. Semakin besar rongga rongga udara di dalam kerupuk pada kerupuk yang mengembang, maka semakin renggang strukturnya sehingga kerupuk mudah dipatahan.

Secara keseluruhan dengan semakin meningkatnya konsentrasi protein pada tepung ampas tahu yang ditambahkan maka nilai warna, rasa dan kerenyahan mengalami penurunan, dengan batas konsentrasi yang masih dapat diterima panelis adalah 10 %. Hal ini sesuai yang dilaporkan Khan dan Nowsad (2012) bahwa dengan semakin tinggi konsentrasi penambahan protein pada tepung ampas cangkang udang galah maka warna dan cita rasa kerupuk menurun. Ditambahkan hal yang serupa bahwa kerupuk yang dibuat dengan penambahan 10% tepung cangkang udang galah masih dapat diterima konsumen.

KESIMPULAN

1. Penambahan tepung ampas tahu berpengaruh terhadap karakteristik fisik , kimia dan organoleptik kerupuk.

2. Kerupuk dengan penambahan tepung ampas tahu 10 % dapat diterima konsumen dengan peningkatan protein sebesar 2%.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis.. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC, USA. 15th ed

Auliana R. 2012. Pengolahan limah tahu menjadi berbagai produk makanan. Makalah disampaikan pada pertemuan Dasa Wisma Dusun Ngasem Sindumartani Kecamatan Ngemplak Sleman Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 2012. 17 hal

Auliana, R, S. Hamidah, F. Rahmawati dan M. Nugraheni. 2013. Pengembangan olahan tahu dan limbahnya berbasis teknologi pengawetan menuju diversifikasi produksi pasca erupsi. Inotek 17(2):194-205

Ceha, R dan RME Hadi. 2011. Pemanfaatan limbah ampas tahu sebagai bahan baku proses produksi kerupuk penganti tepung 1300apioca. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sains, Teknologi dan Kesehatan.Unisba. Vol 2(1):173-180.

Hardiansyah dan V. Tambunan. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat makanan dalam Yuliani, N. 2004. Pemanfaatan tepung ampas tahu dalam pembuatan minuman fermentasi probiotik dengan starter Lactobacillus casei. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

KailakuSI, I. Mulyawanti, KT. Dewandari dan AN. Alamsyah. 2010. Potensi Tepung ampas kelapa dari ampas industri pengolahan kelapa” Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Jakarta : Balai Besar Litbang Pscapanen Pertanian

Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, p.61-143

Khan, M and AKMA. Nowsad. 2012. Development of protein enriched shrimp crackers from shrimp shell wastes. J. Bangladesh Agril. Univ., 10(2): 367–374

1301

Putri dan Yuwono. 2016. Pengaruh penambahan tepung ampas tahu dan jenis koagulan pada pembuatan tahu berserat. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 4(1): 321-328.

Rachmawati DO., S. Maryam dan DK. Sastrawidana. 2014. IbM Perajin Tahu dan Tempe. Laporan Program Ipteks Bagi Masyarakat. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Pendidikan Ganesha. 30p.

Rachmawaty S dan P. Kurnia. 2009. Pembuatan kecap dan cookies ampas tahu sebagai upaya peningkatan potensi masyarakat di Sentra Industri Tahu, Kampung Krajan, Mojosongo, Surakarta. Warta, 12(1):1-2.

Sulistiani. 2004. Pemanfaatan ampas tahu dalam pembuatan tepung tinggi serat dan protein sebagai alternative bahan baku pangan fungsional. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Instutut Pertanian Bogor.

Suprapti, L. 2005. Pembuatan Tahu. Edisi Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius: Yogyakarta

Susanti, A. 2007. Karakterisasi “Crackers” Berserat Hasil Substitusi Tepung Ampas Tahu, Tepung Ampas Kelapa (Cocos nucifera L) dan Bekatul terhadap Tepung Terigu. Skripsi. FTP. THP. Universitas Brawijaya. Malang

Syafitri, D. 2009. Pengaruh substitusi tepung ampas tahu pada kue ulat sutra terhadap kualitas organoleptic dan kandungan gizi. Skripsi. Fakultas Teknik, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Universitas Negeri Semarang.

Wahyuni, S.. 2003. Karakteristik nutrisi ampas tahu yang dikeringkan sebagai pakan domba. Thesis Program Studi Ilmu Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Yulianis, N. 2004. Pemanfaatan tepung ampas tahu dalam pembuatan minuman fermentasi probiotik dengan starter Lactobacillus casei. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Yustina dan Abadi. 2012. Potensi tepung dari ampas industri pengolahan kedelai sebagai bahan Pangan. Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura di Madura bulan Juni 2012

Zulaikha, F. 2012. Pemanfaatan Ampas Tahu (Glycine Max (L) Merill ) Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Kerupuk. Karya Ilmiah SMA Negeri 1. Kutawinangun. Jawa Tengah

1302

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INOVASI DAN MOTIVASI PETANI DALAM MENGADOPSI TEKNOLOGI ALAT PIROLISIS

TEMPURUNG KELAPA DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

Oni Ekalinda 1), Anita Sofia 2), Empersi 3)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau

Jalan Kaharuddin Nasution No.341 Pekanbaru.

ABSTRAK

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, telah mengintroduksikan teknologi alat pirolisis tempurung kelapa yang dapat menghasilkan rendemen arang yang memiliki kualitas yang lebih baik dibanding cara pembakaran petani. Alat pirolisis tempurung kelapa yang diintroduksikan berupa slinder pembakaran yang disebut kiln. Pirolisis berlangsung di dalam klin dengan membatasi pasokan udara terhadap bahan yang sedang dibakar. Untuk merubah kebiasaan petani dari cara tradisional kepada penerapan teknologi introduksi ditentukan oleh sifat-sifat atau karakteristik inovasi teknologi yang meliputi beberapa komponen yaitu; kompleksitas (kerumitan), triabilitas (kemampuan diuji coba), observabilitas (kemampuan diamati), kompatibilitas (konsistensi) dan relative advantage (keuntungan relatif). Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan kajian yang bertujuan untuk mengetahui karaktristik petani penghasil arang tempurung kelapa dan untuk mengetahui hubungan karaktristik teknologi dengan motivasi petani dalam mengadopsi teknologi alat pirolisis tempurung kelapa. Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode survey terhadap 30 orang responden, Data dianalisa secara deskriptif dan uji korelasi Speaamen. Dari karakteristik petani tergambar bahwa 52 % petani tergolong dalam usia produktif ( 40 – 55 tahun ), dimana kecendrungan yang terlihat adalah bahwa mereka memiliki motivasi yang besar dalam menerapkan teknologi baru, sehingga memungkinkan petani untuk mengelola usahataninya dengan baik. Lebih dari 50 % petani hanya sampai pada sekolah dasar dengan pengalaman usahatani rata-rata lebih dari 15 tahun yang menunjukkan bahwa sebenarnya petani dilokasi kajian telah mahir dalam mengelola usahataninya, namun untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam memperbaiki kualitas produk usahatani diperlukan peningkatan wawasan petani secara informal. Luas lahan usahatani di lokasi kajian berkisar 0,5 – 1 ha. Lahan yang cukup luas akan mempermudah ketersediaan bahan baku tempurung kelapa, sehingga memungkinkan petani dalam memperbaiki teknologi pembuatan arang tempurung kelapa untuk memberikan nilai tambah bagi pendapatan petani. Secara keseluruhan karakteristik teknologi inovasi yang diintroduksikan cukup besar pengaruhnya dalam memotivasi petani untuk mengadopsi alat pirolisis tempurung kelapa untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar. Hal ini terlihat dari eratnya hubungan antara motivasi dengan karakteristik alat yang meliputi; kompleksitas sebesar 0,592, Triabilitas sebesar 0,570, Observabilitas sebesar 0,471, kompatibilitas sebesar 0,546 dan Keuntungan relatif sebesar 0,664. Kata Kunci: Karakteristik, inovasi, motivasi, pirolisis , tempurung kelapa

PENDAHULUAN

Komoditas kelapa berpeluang meraih devisa bagi negara, karena tanaman kelapa memiliki keunggulan komparatif dibandingkan komoditi perkebunan lainnya (Mahmud, 2008). Salah satu produk dari kelapa yang diproduksi petani dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi adalah arang tempurung kelapa (Tarigans, 2005). Pada tingkat petani, arang tempurung kelapa diperoleh dengan cara pembakaran menggunakan drum bekas dengan kapasitas pembakaran yang terbatas dan kualitas arang yang dihasilkan rendah.

1303

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, telah mengintroduksikan teknologi alat pirolisis tempurung kelapa (klin pembakaran) yang dapat menghasilkan rendemen arang yang memiliki kapasitas pembakaran dan kualitas hasil yang lebih baik dibandingkan teknologi petani.Untuk merubah kebiasaan petani yang telah terbiasa menggunakan cara pembakaran tempurung kelapa menggunakan drum, diperlukan pendekatan partisipatif agar petani bersedia menerapkan teknologi yang diintroduksikan. Hasil penelitian Suprayitno (2011) dan Ruhimat (2014) yang mengemukakan bahwa kapasitas menajerial merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam memotivasi petani dalam penerapan suatu teknologi. Selain menejerial keuntungan relatif inovasi juga berpengaruh. Keuntungan relatif dianggap suatu yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya. Keuntungan relatif dalam penelitian ini adalah merupakan penilaian petani terhadap inovasi yang diukur dalam bentuk keuntungan ekonomi, biaya awal yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, prestise sosial, hemat sumberdaya tenaga dan waktu, imbalan yang dapat segera diperoleh. Keuntungan relatif mengandung keuntungan ekonomis berupa rendahnya biaya permulaan, resiko lebih rendah dan imbalan yang segera diperoleh. Apabila inovasi memberikan keuntungan relatif lebih besar dibanding nilai yang dihasilkan oleh teknologi sebelumnya, maka pembelajaran lebih mudah dilakukan dan kecepatan proses adopsi petani akan berjalan lebih cepat (Rogers dan Shoemaker, 1971). Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui karaktristik petani penghasil arang tempurung kelapa dan hubungan karaktristik teknologi inovasi dengan motivasi petani dalam mengadopsi teknologi alat pembakar (pirolisis) tempurung kelapa.

METODA PENELITIAN

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2015. Penelitian menggunkan metode survey . Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuisioner terstruktur terhadap 30 orang petani responden yang ditentukan secara purposive, yaitu petani yang hanya memproduksi arang tempurung kelapa. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani (umur, pendidikan, pengalaman berusahatani dan luas lahan garapan) dan karakteristik teknologi (kompleksitas, triabilitas, observabilitas, kompatibilitas dan keuntungan relatif). Data sekunder diperoleh dari BPS, Dinas Perkebunan, Laporan Dinas Perkebunan Kecamatan dan Balai Penyuluhan Pertanian. Data yang diperoleh dilapangan, ditabulasi dan dianalisa sesuai denga tujuan penelitian. Analisa data menggunakan statistik non parametrik. Untuk melihat hubungan pengetahuan dan motivasi petani dalam mengadopsi alat pirolisis tempurung kelapa, digunakan uji korelasi Speamen. Sedangkan data pendukung untuk memperkaya pembahasan dianalisa secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Sampel

Umur petani mempengaruhi kemampuan fisik dan motivasi untuk menerapkan hal-hal baru dalam mengelola usahataninya. Dari karaktristik petani dapat dilihat bahwa 52 % petani berusia 40 – 55 tahun, petani yang berusia muda (<40 tahun) sebanyak 36 % dan lebih dari 55 tahun sebanyak 12 %. Hal ini menggambarkan bahwa petani tergolong usia produktif, dimana kecendrungan yang terlihat adalah bahwa mereka memiliki motivasi yang besar dalam menerapkan teknologi baru, sehingga memungkinkan petani untuk mengelola usahataninya dengan baik.

Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari 50 % petani hanya sampai pada sekolah dasar dan sebagian kecil tingkat SLTP. Rogers (1981), mengemukakan bahwa pendidikan memiliki makna yang dapat menumbuhkan dinamika orang, mengantarkan orang menjadi modern, mampu menguasai lingkungan dan dunianya.

1304

Tingkat pendidikan formal yang rendah dapat dilengkapi dengan diklat di tingkat petani sehingga informasi pengetahuan yang diperoleh dapat lebih ditingkatkan. Dari pengalaman berusahatani rata-rata lebih dari 15 tahun menunjukkan bahwa sebenarnya petani dilokasi kajian telah mahir dalam mengelola usahataninya.

Luas lahan berdampak pada upaya transfer dan penerapan teknologi. Luas lahan usahatani di lokasi kajian berkisar 0,5 – 1 ha. Hal ini memungkinkan petani dalam memperbaiki teknologi pembuatan arang tempurung kelapa. Lahan yang cukup luas akan memudahkan dalam memperoleh bahan baku yang cukup banyak untuk memproduksi arang tempurung kelapa. Hal ini terkait dengan biaya produksi, jumlah produksi dan pendapatan yang diperoleh dari proses pembuatan arang tempurung kelapa tersebut.

Tabel 1. Karakteristik Petani di Kecamatan Keritang, Indragiri Hilir Tahun 2015

Karakteristik Kategori Kecamatan Keritang (%)

Umur (tahun) < 40 thn 36 40 – 55 thn 52 > 55 thn 12

Pendidikan formal SD 63 SLTP 34 SLTA 3 S1 -

Pengalaman berusahatani (tahun) < 10 thn 25 10 – 15 thn 28 > 15 thn 47

Luas lahan (ha) <0,5 4 0,5 – 1,0 55 > 1,0 41

Hubungan Karakteristik Inovasi Teknologi Dengan Adopsi Alat Pirolisis Tempurung Kelapa Karakteristik inovasi teknologi meliputi; kompleksitas, triabilitas, observabilitas, kompatibilitas dan keuntungan relatif. Dari hasil analisis menunjukkan terdapatnya hubungan yang kuat antara karakteristik inovasi dengan motivasi petani dalam menerapkan teknologi introduksi alat pirolisis tempurung kelapa. Tingkat keeratan hubungan karakteristik inovasi teknologi dengan motivasi petani berada pada kisaran 0,471 – 0,664. Hal ini berarti bahwa teknologi alat pirolisis tempurung kelapa dirasakan bermanfaat bagi petani pengguna. Peran penyuluh sebagai fasilitator, pendidik dan pendamping petani akan berpengaruh nyata terhadap peningkatan motivasi dan kapasitas petani dalam berusaha tani (Suprayitno, 2011). Selain itu dukungan pemerintah juga dibutuhkan dalam memberikan motivasi kepada petani. Hasil penelitian Ruhimat (2014) dan Sumarlan et al., (2012) yang menyebutkan bahwa dukungan pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat memiliki peranan penting dalam meningkatkan motivasi petani melalui peningkatan kapasitas petani.

Tabel 2. Hubungan Karakteristik inovasi dan motivasi petani dalam mengadopsi Alat Pirolisis Tempurung Kelapa, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, 2015

Karakteristik Motivasi (τ) Kompleksitas 0,592 Triabilitas 0,570 Observabilitas 0,471 Kompatibilitas 0,546 Keuntungan relatif 0,664

Keterangan n = 30

Dari hasil analisis terlihat bahwa koefisien korelasi motivasi dengan kompleksitas sebesar 0,592. Hal ini menunjukkan bahwa derajat motivasi erat hubungannya dengan

1305

tingkat kesulitan teknologi alat pirolisis tempurung kelapa. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Menurut pernyataan petani, bahwa alat pirolisis tempurung kelapa mudah direplikasi penggunaannya karena prinsip alat pirolisis ini sesuai dengan drum pembakar yang biasa digunakan petani.

Kemampuan alat pirolisis tempurung kelapa untuk diuji cobakan berhubungan erat dengan tingkat motivasi petani. Dari hasil analisis terlihat derajat hubungan sebesar 0,570. Hal ini berati bahwa kemudahan alat pirolisis tempurung kelapa yang dapat langsung diujicobakan akan memotivasi petani untuk mengadopsi alat tersebut. Nilai keeratan hubungan ini menggambarkan derajat dimana suatu inovasi dapat diuji cobakan pada batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diuji cobakan dalam wujud sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi oleh petani. Jadi agar dapat dengan cepat diadopsi suatu inovasi harus menunjukkan (mendemonstrasikan) keunggulannya.

Karakteristik produk menentukan kecepatan terjadinya proses adopsi inovasi ditingkat petani sebagai pengguna teknologi pertanian. Dalam kecepatan proses adopsi inovasi ditentukan oleh beberapa faktor seperti saluran komunikasi, ciri ciri sistem sosial, kegiatan promosi dan peran komunikator. Menurut Schiffman dan Kanuk (2010) ada lima karakteristik produk tersebut yang dapat digunakan sebagai indikator dalam mengukur persepsi antara lain yaitu keuntungan relatif (relative advantages), kesesuaian (compability), kerumitan (Complexity, kemungkinan untuk dicoba (trialibility) dankemudahan untuk diamati (observability). Demikian juga menurut Saridewi dan Siregar (2010) bahwa pelaksanaan studi banding akan mempercepat proses penerimaan dan penyebarluasan inovasi teknologi kepada petani melalui tahapan mengetahui, memperhatikan, menilai, mencoba dan menerapkan

Kemampuan diamati (observabilitas) adalah derajat dimana suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Koefisen korelasi motivasi dengan observabilitas sebesar 0,471. Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan motivasi dengan karakteristik alat pirolisis tempurung kelapa, meskipun derajat hubungan lemah. Hal ini dimungkinkan karena hasil pembakaran tempurung baru dapat dilihat setelah poses pembakarang sekitar 8 jam. Sedangkan pada saat wawancara responden belum dapat melihat hasil arang yang diperoleh dari pembakaran menggunakan alat pirolisis tempurung kelapa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suriatna (1998), bahwa semakin mudah seseorang untuk melihat hasil dari suatu inovasi maka semakin besar seseorang atau sekelompok orang untuk mengadopsi.

Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadosi. Nilai hubungan karakteristik alat pirolisis tempurung kelapa sebesar 0,546, menunjukkan terdapatnya hubungan yang kuat antara karakteristik alat dengan motivasi petani untuk mengadopsi alat tersebut. Dilihat dari keragaan alat dan proses pembakaran tempurung kelapa dari alat pirolisis ini prinsipnya sama dengan drum pembakaran tempurung yang bisa digunakan petani. Hal ini berarti sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku di tingkat petani, sehingga introduksi teknologi tersebut dapat diadopsi oleh petani.

Derajat hubungan keuntungan relatif alat pirolisis tempurung kelapa dengan motivasi petani untuk mengadopsi alat tersebut, ternyata memperlihatkan hubungan yang sangat erat. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi alat pirolisis yang diintroduksikan dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Keuntungan atau manfaat yang dirasakan petani dari mengadopsi alat pirolisis tempurung kelapa adalah kapasitas pembakaran yang cukup besar yaitu 700–1000 kg tempurung kelapa untuk satu kali proses pembakaran, sedangkan teknologi petani kapasitas pembakaran menggunakan drum 100–150 kg per periode pembakaran. Dengan demikian penggunaan alat introduksi ini dapat menghemat penggunaan tenaga kerja. Selain itu arang yang dihasilkan dari pembakaran alat pirolisis tempurung kelapa memiliki kualitas (rendemen) yang lebih baik dibanding teknologi petani, dengan selisih harga (margin) sebesar Rp 2000-/kg, sehingga tentunya penerapan alat pirolisis ini akan meningkatkan pendapatan petani.

1306

KESIMPULAN

1. Dari karaktristik petani tergambar bahwa 52 % petani tergolong dalam usia produktif (40 – 55 tahun), dimana kecendrungan yang terlihat adalah bahwa mereka memiliki motivasi yang besar dalam menerapkan teknologi baru, sehingga memungkinkan petani untuk mengelola usahataninya dengan baik. Lebih dari 50% petani hanya sampai pada sekolah dasar dengan pengalaman usahatani rata-rata lebih dari 15 tahun yang menunjukkan bahwa sebenarnya petani dilokasi kajian telah mahir dalam mengelola usahataninya, namun untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam memperbaiki kualitas produk usahatani diperlukan peningkatan wawasan petani secara informal. Luas lahan usahatani di lokasi kajian berkisar 0,5 – 1 ha. Lahan yang cukup luas akan mempermudah ketersediaan bahan baku tempurung kelapa, sehingga memungkinkan petani dalam memperbaiki teknologi pembuatan arang tempurung kelapa.

2. Secara keseluruhan karakteristik teknologi alat pirolisis tempurung kelapa yang diintroduksikan mampu memotivasi petani yang terlihat dari eratnya hubungan antara motivasi dengan karakteristik alat yang meliputi, kompleksitas sebesar 0,592, Triabilitas sebesar 0,570, Observabilitas sebesar 0,471, kompatibilitas sebesar 0,546 dan keuntungan relatif sebesar 0,664. Jadi dapat disimpulkan semakin besar keunggulan relatif, kesesuaian, kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitan, maka semakin besar motivasi petani untuk mengadopsi teknologi yang diintroduksikan.

SARAN

Kebijakan Pemerintah dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari komoditas usahatani, khususnya arang tempurung kelapa antara lain dengan penyediaan teknologi yang efektif dan efesien sehingga terjadi peningkatan pendapatan petani. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana karakteristik teknologi inovasi yang akan diintroduksikan dan motivasi petani untuk mengadopsi teknologi yang diintroduksikan tersebut. Terkait dengan hal tersebut, maka untuk meningkatkan kinerja Penyuluh dilapangan, informasi tentang diskripsi karakteristik teknologi dan motivasi petani perlu diketahui mereka, sehingga peran Penyuluh sebagai agen pembaharu dalam penyebaran informasi teknologi diwilayah kerjanya dapat mempercepat adopsi teknologi petani secara cepat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Pertanian dan Pertambangan. Tanaman Pangan. www.bps.go.id (1 April 2014).

Mahmud Z. 2008. Modernisasi usahatani kelapa rakyat. J Pengembangan Inovasi Pertanian 1:274-287.

Rogers, EM dan F. Floyd Shomaker, 1981, Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, Usaha Nasional Surabaya.

Ruhimat, I.S. (2014). Faktor-faktor untuk peningkatan kemandirian petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan.

Saridewi, T.R. & Siregar, A.N. (2010). Hubungan antara peran penyuluh dan adopsi teknologi oleh petani terhadap peningkatan produksi padi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian.

1307

Schiffman, L dan Kanuk, L. 2010. Comsumer Behavior. Tenth Edition. Global Edition, USA: Prentice-Hall Inc

Siegel. 1997. Statistik Non Parametrik. Gramedia Utama. Jakarta.

Sumarlan, Sumardjo, Prabowo, T., & Darwis, S. (2012). Peningkatan kinerja petani sekitar hu-tan dalam penerapan sistem agroforestri di pegunungan Kendeng Pati. Jurnal Agroekonomi.

Suprayitno, A. (2011). Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat: kasus pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. (Disertasi). Program Studi Ilmu Pe-nyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suriatna, S.1998. Metode Penyuluhan Pertanian, PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Rogers, Everett M., & F.Floyd Shoemaker 1971. Communication of Innovation A Cross-Cultural Approach. The Free Press. New York.

Tarigans DD. 2005. Diversifikasi Usahatani Kelapa Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Perspektif 5: 71-78.

1308

PERUBAHAN KANDUNGAN GIZI DAN ANTI GIZI PADA PENGOLAHAN KACANG KORO BENGUK GORENG

Retno Utami Hatmi1)*, Nugroho Siswanto dan Tri Marwati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Ngemplak Sleman Yogyakarta

ABSTRAK

Kacang koro benguk (Mucuna pruriens)merupakan tanaman leguminase sumber protein nabati non kedelai. Kandungan gizi dan anti gizi yang dominan dalam koro benguk adalah tinggi protein dan karbohidrat serta rendah lemak (gizi) dan tinggi asam sianida (senyawa anti gizi). Pengolahan kacang koro benguk goreng dimaksudkan sebagai salah satu usaha diversifikasi pangan guna mempertahankan kandungan gizi dan menurunkan senyawa anti gizinya. Tujuan pengkajian adalah mengetahui perubahan kandungan gizi dan anti gizi (HCN) dari koro benguk mentah menjadi kacang koro benguk goreng. Komponen gizi yang dianalisa secara kimia meliputi: kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar dan energi, sedangkan senyawa anti gizinya adalah asam sianida. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kandungan abu, protein dan karbohidrat cukup stabil, tidak ada perubahan nyata sebelum dan setelah diolah menjadi koro benguk goreng yaitu 4%, 24% dan 48%. Kadar air dan serat kasar menurun sebesar 30% dan 20,24%, sedangkan untuk kadar lemak dan energi naik menjadi 17,41% dan 446,89 kalori/100g. Dengan pengolahan koro benguk goreng dapat menurunkan kadar senyawa anti gizinya (HCN) sebesar 26,78% dari 89,24% menjadi 23,9%. Kata Kunci: perubahan, kandungan, gizi, anti gizi dan koro benguk goreng

PENDAHULUAN

Kacang koro benguk merupakan salah satu jenis tanaman leguminase sumber protein

nabati non kedelai. Kacang ini dapat menjadi bahan pangan alternatif pengganti kacang-kacangan mayor. Hal ini dikarenakan kacang koro benguk memiliki kandungan gizi yang hampir sama dengan kedelai dan kacang tanah. Kandungan protein biji koro benguk sebesar 25.14 gram tiap 100 gram (Fadlilah, 2015). Kandungan proteinnya lebih rendah dari kedelai dan kacang tanah, yang masing-masing mencapai 30.90 gram tiap 100 gram untuk kedelai (Rukmana, 1997) dan 23-34 gram tiap 100 gram untuk kacang tanah (Hiller, 2009). Potensi kandungan kimiawi koro benguk lainnya yang tidak kalah dengan kedelai, adalah memiliki kadar karbohidrat tinggi 57.78 % dan rendah kadar lemak 4.94 % (Fadlilah, 2015).

Berbeda dengan kacang-kacangan mayor, kacang koro benguk juga mengandung beberapa senyawa bersifat racun dan antigizi yaitu glikosianida sianogenik dan asam fitat. Namun demikian, kacang jenis koro ini juga berpotensi sebagai pangan fungsional dengan adanya kandungan polifenol (Handajani, dkk., 2008). Glikosianida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam makanan nabati dan berpotensi terurai menjadi asam sianida (HCN) yang bersifat racun (Suciati, 2012). HCN (Hidrogen Cyanide) atau asam sianida adalah senyawa anorganik yang berbentuk cair atau gas, tidak berwarna, mudah menguap pada suhu kamar, memiliki bau khas dan sangat beracun (Wikipedia, 2016).

Beratnya bahaya asam sianida terhadap tubuh, maka diperlukan suatu pengolahan khusus terhadap bahan pangan yang mengandung HCN sebelum dikonsumsi. Ada beberapa teknik pengolahan yang dapat mengurangi kadar HCN antara lain adalah perendaman, pencucian dan pemanasan (Yuniastuti, 2007). Pengurangan kadar glukosianide pada koro benguk dapat dilakukan dengan merendam biji ke dalam air bersih selama 24-28 jam (tiap 6-8 jam airnya diganti) sudah menjamin hilangnya zat racun (Haryoto, 2000). Perendaman menurunkan kadar HCN, semakin lama waktu perendaman maka semakin besar faktor penurunan HCN (Diniyah, 2015). Menurut Handajani (2001), kadar HCN pada koro benguk

1309

dengan variasi lama perendaman menunjukkan bahwa perendaman sehari menurunkan HCN menjadi 9.92 mg/100g, perendaman 2 hari menjadi 3.35 mg/100g, dan perendaman hari ke 3 menjadi 0.31 mg/100g.

Sedangkan proses pemanasan dapat menguapkan HCN dan menonaktifkan enzim sehingga HCN tidak terbentuk. Menurut Indrawati (1997) cit Handajani, S. dan Atmaka, W. (1992), bahwa sebagian besar senyawa anti gizi yang terkandung dalam koro benguk rusak oleh pemanasan dan sebagian lagi larut dalam air.Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dalam sistem jaringan sebelum dilakukan pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Pengukusan dilakukan dengan suhu air lebih tinggi dari 66o celcius tetapi kurang dari 82o celcius (Khusnul Khotimah, 2002 cit Muzarnis, 1982). Perebusan merupakan salah satu teknik pemanasan yang lebih efektif dibandingkan dengan pengukusan. Pada pengukusan, sulit terjadi hidrasi karena air tidak mudah mengalami difusi ke dalam biji kacang (Bayu Kanetro dan Setyo Hastuti, 2006). Penggorengan adalah proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas (Muchtadi, 2008).Pengolahan dengan panas secara umum mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat yang bersifat labil (Khusnul Khotimah, 2002 cit Tranggono et al, 1988).

Kemiripan karakter bahan pangan kacang koro benguk dengan kacang-kacangan mayor, seperti kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang bogor ini diharapkan dapat menghasilkan produk turunan yang berkualitas. Salah satu produk olahan tradisional dan sederhana yang dapat dibuat dari jenis koro-koroan adalah kacang goreng. Tingginya kandungan HCN pada kacang koro benguk menyebabkan proses pengolahan kacang goreng ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pencucian, perendaman, perebusan dan penggorengan. Tahapan ini guna mencapai ambang batas normal konsumsi HCN yaitu < 50 ppm atau mg/kg (Sudiyono, 2010).

Dalam rangka mempertahankan kandungan gizi dan mengurangi senyawa antigizi, maka pengkajian ini bertujuan menelaah perubahan kandungan gizi (kadar air, abu, karbohidrat, protein, lemak, serat kasar dan kalori) dan senyawa antigizi (asam sianida/HCN) dari kacang koro benguk mentah menjadi kacang koro benguk goreng. Harapannya, pengkajian ini menghasilkan kacang koro benguk goreng dengan kandungan gizi optimum dan kandungan antigizi yang mampu ditoleransi oleh tubuh manusia < 100 ppm (Subarkah, 2013).

METODE PENELITIAN

Pengkajian dilaksanakan pada tahun 2013 pada sebuah home industry pengolahan kacang koro benguk goreng di Bantul Yogyakarta. Pengolahannya masih tradisional dengan menggunakan peralatan masak yang sangat sederhana. Pengkajian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu melakukan analisis kimiawi pada bahan baku (kacang koro benguk mentah) dan produk jadi (kacang koro benguk goreng).

Metode pengambilan data dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengumpulan data secara langsung dilaksanakan melalui 1. wawancara pada produsen, 2. observasi terhadap bahan baku, tahapan proses produksi hingga menjadi produk jadi (Gambar 1) serta 3. pengambilan sampel bahan baku dan produk jadi secara acak selama kurun waktu dua bulan pengolahan. Pengumpulan data secara tidak langsung dilaksanakan dengan melakukan studi literatur. Sampel tersebut kemudian dianalisis kandungan gizinya (Sudarmaji dkk, 2007): kadar air (metode oven), kadar abu (penetapan total abu), protein (metode Kjeldahl), lemak (metode Soxhlete), karbohidrat (metode By Different), serat kasar (metode perlakuan asam dan basa panas) dan energi serta senyawa antigizinya (HCN) menurut metode spektrofotometri (AOAC, 2002). Analisis kimiawi ini diulang sebanyak dua kali pada masing-masing bahan baku dan produk jadi.

Data dianalisis secara deskriptif dan rerata nilai yang didapatkan dari hasil analisis laboratorium dipaparkan dalam bentuk grafik.

1310

Kacang Koro Benguk Mentah

dicuci dengan air mengalir

direndam dalam air panas selama 1

jam

ditiriskan lalu direndam dalam air

dingin selama 1 jam

ditiriskan lalu dikupas

Kacang koro benguk

kupas kulit

direndam selama 3 hari dengan

penggantian air setiap 5 jam sekali

Kacang koro benguk kupas kulit

bersih

direbus selama 5 jam

sampai lunak

diiris tipis dan dibumbui

digoreng

Kacang koro benguk goreng

Gambar 1. Proses pengolahan kacang koro benguk goreng

1311

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Gizi

Kadar abu, protein dan karbohidrat

Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi (kadar mineral) dalam suatu produk/bahan pangan (Irawati, 2008). Krisno dkk, 2001 juga menyampaikan bahwa analisis total abu dilakukan dengan maksud untuk mengetahui baik tidaknya suatu proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan dan dijadikan penentuan parameter nilai gizi bahan makanan. Kadar abu kacang koro benguk mentah pada penelitian ini (Gambar 2.) lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Hamzah, dkk. (2011) yang berkisar 3,4% pada beberapa jenis kacang koro benguk. Ada kenaikan kadar abu dari kacang koro benguk mentah menjadi kacang koro benguk goreng. Perubahan tersebut cukup tinggi dari 4,20% menjadi 4,88%, peningkatan berkisar 16,19%. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan menjadi kacang koro benguk goreng kurang baik. Proses pengolahan kacang koro benguk menjadi tempe lebih baik dibandingkan dengan yang dibuat menjadi kacang goreng. Proses pengolahan tempe koro benguk menurunkan kadar abu hingga mencapai 1% (Hamzah dan Hamzah, 2011).

Salah satu kelebihan kacang koro benguk adalah memiliki kadar protein yang tinggi berkisar 23,9% - 27,1% pada beberapa jenis kacang koro benguk (Hamzah dan Hamzah, 2011). Pada penelitian ini, proses pengolahan menjadi kacang koro benguk goreng menurunkan sedikit kadar protein, yaitu sebesar 3,06% (Gambar 2.). Hal ini menunjukkan bahwa tahapan proses pengolahan ini cukup dapat mempertahankan kadar protein koro benguk.

Karbohidrat adalah sumber kalori utama bagi manusia. Kandungan karbohidrat kacang koro benguk mentah tergolong tinggi, berkisar 54,6% - 55,3% (Hamzah dan Hamzah, 2011). Kadar karbohidrat yang tinggi menyebabkan tekstur biji kacang koro benguk menjadi keras, sehingga diperlukan proses pemasakan yang tepat agar teksturnya menjadi lunak (Handajani, dkk., 2008). Banyaknya tahapan proses didalam pengolahan kacang koro benguk goreng, salah satunya bertujuan untuk melunakkan biji koro benguk (Gambar 1.). Pada penelitian ini kadar karbohidrat kacang koro benguk meningkat sangat kecil setelah melalui tahapan proses pengolahan menjadi kacang koro benguk goreng, yaitu sebesar 0,58% (Gambar 2.).

Gambar 2. Perubahan kadar abu, protein dan karbohidratpada kacang koro benguk

mentahdan goreng

4.20

24.85

48.17

4.88

24.09

48.45

0.00

15.00

30.00

45.00

60.00

Kadar Abu (%) Protein (%) Karbohidrat (%)

Kadar

Abu, Pro

tein

dan

Karb

ohid

rat

(%)

Kacang Koro Benguk Mentah Kacang Koro Benguk Goreng

1312

Kadar air dan serat kasar

Menurut Hamzah dan Hamzah (2011), kadar air biji koro benguk mentah berkisar 9,8%-13,1%. Proses pemanasan akan menurunkan kadar air suatu bahan pangan. Proses pemanasan pada pengolahan kacang koro benguk goreng yang menurunkan kadar air adalah proses perebusan dan penggorengan. Perubahan kadar air berpengaruh terhadap kualitas kacang goreng. Semakin lama pemanasan minyak, maka semakin besar konstanta laju perubahan kadar air kacang goreng (Maharani, 2014). Penelitian ini menunjukkan bahwa proses perebusan dan penggorengan kacang koro benguk menurunkan kadar air hingga 69.88% (Gambar 3).

Serat kasar pada kacang koro benguk mentah disusun oleh kadar serat pada kulit dan biji kacang koro benguk itu sendiri. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kadar serat biji utuh kacang koro benguk mentah (biji dan kulit) memiliki nilai 6,47% namun setelah proses pengolahan menjadi kacang koro benguk goreng (tanpa kulit) menjadi 1,31% (Gambar 3.). Hampir 79.75% kadar serat kasar hilang saat menjadi kacang goreng. Kadar serat terbesar kacang koro benguk terdapat pada kulit.

Gambar 3. Perubahan kadar air dan serat kasarpada kacang koro benguk mentah

dan goreng

Kadar lemak dan energi

Minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan (Ketaren, 1986). Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh terhadap mutu bahan makanan yang digoreng (Djatmiko, 1985). Menurut Weiss (1983), bahwa proses penggorengan mengakibatkan sebagian air akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi oleh air akan diisi oleh minyak. Hal inilah yang menyebabkan kenaikan kadar lemak yang sangat tinggi pada produk kacang koro benguk goreng dari 3,45% menjadi 17,41% (Gambar 4.)

Bahan baku mentah yang mengalami proses pengolahan (penggorengan) akan meningkatkan jumlah energi/kalori yang dihasilkan. Minyak goreng selain sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih juga menambah nilai kalori bahan pangan (Anonim, 2016). Kacang koro benguk mentah memiliki kalori/energi sebesar 322,77 kalori /100g dan meningkat 38,45% menjadi 446, 89 kalori/100g setelah menjadi kacang koro benguk goreng (Gambar 4.).

12.88

6.47

3.88

1.31

0

4

8

12

16

Kadar Air (%) Serat Kasar (%)

Kadar

Air d

an S

era

t Kasa

r (%

)

Kacang Koro Benguk Mentah Kacang Koro Benguk Goreng

1313

Gambar 4. Perubahan kadar lemak dan kalori pada kacang koro benguk mentah dan goreng

Kandungan Senyawa Antigizi

Asam Sianida

Proses pengolahan suatu bahan pangan yang tepat dapat menurunkan kadar asam sianida yang relatif tinggi. Proses pengolahan kacang koro benguk goreng seperti pada Gambar 1. dapat menurunkan kadar asam sianida 73.21% dari 89,24 ppm menjadi 23,90 ppm (Gambar 5.). Kadar ini telah memenuhi standar maksimal bahan pangan yang disyaratkan untuk konsumsi, yaitu < 50 ppm.

Gambar 5. Perubahan kadar asam sianida pada kacang koro benguk mentah dan goreng

KESIMPULAN

Pengolahan kacang koro benguk goreng dapat direkomendasikan menjadi salah satu alternatif pengolahan yang dapat mempertahankan nilai gizi (tinggi protein) dan menurunkan senyawa antigizi (HCN). Kadar protein pada kacang koro benguk goreng masih cukup tinggi berkisar 24,09 % dengan kadar HCN yang telah memenuhi standar maksimal konsumsi < 50 ppm, yaitu 23,90 ppm.

89.24

23.90

0

20

40

60

80

100

Kacang KoroBenguk Mentah

Kacang KoroBenguk Goreng

Kadar

HCN

(ppm

)

1314

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 2002. Food Chemistry Vol 77. Champaign, IL, USA : AOCS Press.

Anonim. 2016. Pengetahuan Bahan Pangan Pendahuluan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Diktat%20Pengetahuan%20Bahan%20Pangan.pdf. Diunduh pada tanggal 18 Mei 2016.

Diniyah, Nurud dan Windrati, W.S. 2015. Perubahan Kandungan Asam Fitat dan Asam Sianida (HCN) Pada Pre-Proses Koro-Koroan. Prosiding Seminar Nasional Peran Antioksida Dalam Penanganan Penyakit Degeneratif: p. 82-89. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.

Fadlilah, A.N. 2015. Eksperimen Pembuatan Egg Roll Menggunakan Bahan Komposit Tepung Koro Benguk (Mucuna Pruriens L). Skripsi. Jurusan Teknologi Jasa Dan Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Fennema (Ed), Food Chemistry, 3rd ed., Marcel Dekker, Inc., New York. USA, 1996.

Gunawan, O. S. 2005. Tempe Benguk Sebagai Sumber Protein Baru. Tesis. Departemen Biologi ITB. Bandung

Haryoto.2000. Kecap Benguk. Yogyakarta : Kanisius

Hamzah, Faizah dan Hamzah, F. Hanum. 2011. Kadar Zat Gizi dalam Tempe Benguk. AGRIPLUS Vol 21 (1): 26-29.

Handajani, S. dan Windi Atmaka. 1992. Analisa Sifat Phisis-Khemis Beberapa Biji Kacang-kacangan; Kekerasan; Kualitas Tanak; Protein; dan Kandungan Mineralnya. Lembaga Penelitian Universitas Sebelas MaretSurakarta. Surakarta.

Handajani, S., Dian Rachmawati dan Dian Sri Pramita. 2008. Studi Pendahuluan Karakteristik Kimia (HCN, Antioksidan, dan Asam Fitat) Beberapa Jenis Koro Lokal dengan Berbagai Perlakuan Pendahuluan. Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta. Agustus 2008. http://www.wnpg.org/frm_index.php?pg=informasi/info_makalah. php&act=edit&id=50 (diakses pada tanggal 8 Mei 2016).

Hiller, K., 2009. Selai Kacang, Lemak Baik Yang Bersahabat – Jawaban- http://www.jawaban.com/news/health/detail.php?id news=090311133401&off=0. Diunduh pada tanggal 8 Mei 2016.

Irawati. 2008. Modul Pengujian Mutu 1. Diploma IV PDPPTK VEDCA. Cianjur

Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, p.61-143.

Krisno, Budiyanto, Agus. 2001. Dasar Dasar Ilmu Gizi. UMM Press ; Malang.

Maharani D.M., Bintoro, N., Rahardjo, B. 2014. Kinetika Perubahan Kadar Air Kacang Goreng Selama Penyimpanan. Jurnal Teknotan Vol. 8 (1). http://Jurnal.Unpad.Ac.Id/Teknotan/Article/View/4797. Diunduh pada tanggal 7 Mei 2016.

Mahendradatta M. 2007. Pangan Aman dan Sehat, Prasyarat Kebutuhan Mutlak Sehari-hari. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Pangastuti H.P., S. Triwibowo. 1996. Proses Pembuatan Tempe Kedelai: III.Analisis Mikrobiologi. Cermin Dunia Kedokteran No. 109.

Subarkah, C. Z. 2013. Pengaruh Zat Sianida Bagi Kehidupan Manusia. Tugas Akhir Jurusan Pendidikan Kimia. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung.

1315

Suciati, Andi. 2012. Pengaruh Lama Perendaman Dan Fermentasi Terhadap Kandungan HCN Pada Tempe Kacang Koro (Canavalia Ensiformis L). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin. Makasar.

Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sudiyono. 2010. Penggunaan Na2HCO3 Untuk Mengurangi Kandungan Asam Sianida (HCN) Koro Benguk. Jurnal AGRIKA Vol. 4 (1): 48 – 53.

Sutrisno, Koswara. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wikipedia. 2016. Hidrogen Sianida. https://id.wikipedia.org/wiki/Hidrogen_sianida. Diunduh pada tanggal 8 Mei 2016.

1316

PROSPEKTIF PENGEMBANGAN ELEKTRIFIKASI BERBASIS BIOMASSA BAMBU DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI

Aisman

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas- Padang Kampus Limau Manis-Padang Telp. 0751-72772

ABSTRAK

Dari keseluruhan rumah tangga yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai baru

sekitar 23,4% yang mampu dialiri listrik hingga saat ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan PLN untuk menyediakan pembangkit listrik dan sulitnya pendistribusian listrik di daerah ini. Hingga tahun 2013 daya terpasang listrik yang dimiliki oleh PLN hanya sebesar 6.662 KW dengan daya mampu yang tersedia untuk rumah tangga hanya sebesar 4.505 KW, sementara kebutuhan sebesar 18.233 KW. Penyediaan listrik oleh PLN dengan mengandalkan tenaga diesel akan sulit ditingkatkan karena akan berbiaya mahal, untuk itu diperlukan alternatif sumber energi listrik yang tersedia secara lokal. Hingga tahun 2035 proyeksi total kebutuhan elektrifikasi di daerah ini diperkirakan akan mencapai 52.218,8 KW. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh PLN saat ini, maka pada tahun 2035 daerah ini akan kekurangan daya elektrifikasi sebesar 47.714,2 KW. Guna pemenuhan kebutuhan elektrifikasi ini, pembangkit listrik berbasis biomassa bambu adalah salah satu yang potensial untuk dikembangkan. Guna memenuhi elektrifikasi pada tahun 2035 tersebut dibutuhkan lebih kurang 23.857,1 ha tanaman bambu. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman bambu di daerah ini lebih kurang 410.013,40 ha. Kata Kunci: energi, biomassa, bambu

PENDAHULUAN

Hingga tahun 2014 masih terdapat tiga kecamatan dari sepuluh kecamatan yang ada di kabupaten Kepulauan Mentawai yang belum mendapatkan aliran listrik yaitu Kecamatan Siberut Barat, Kecamatan Siberut Barat Daya dan Siberut Tengah. Lebih lanjut data statsitik Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014 memperlihatkan baru sekitar 4.849 (23,4 %) dari 20.735 rumah tangga di daerah ini yang mendapatkan aliran lsitrik dari PLN (rata-rata rumah tangga yang dialiri listrik di Provinsi Sumatera Barat 73,5% / BPS Sumbar 2014, rata-rata elektrifikasi nasional 87% / ekspose Menteri Keuangan 2015).

Aisman (2015) melapokan profil pelanggan listrik di Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari pelanggan rumah tangga sebanyak 85,69%, Kantor Pemerintah sebanyak 2,68%, Bisnis sebanyak 6,85% dan Sosial sebanyak 3,73%. Jumlah pelanggan listrik terbanyak terdapat di Kecamatan Sipora Utara (Ibu Kota Kabupaten) sebanyak 45,37% dan pelanggan paling sedikit terdapat di Kecamatan Siberut Utara sebanyak 6,63%. Rata-rata waktu operasi listrik di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah 17 jam/hari dengan rata-rata waktu operasi paling pendek terdapat di Kecamatan Pagai Utara yaitu 6 jam/hari.

Salah satu faktor penghambat dalam hal pemenuhan kebutuhan elektrifikasi bagi rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah sulitnya melakukan pendistribusian listrik di daerah ini. Hal ini dikarenakan Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan daerah yang relatif luas yaitu 6.011,35 km2 (terluas di Sumatera Barat/ 14,2% dari total luas Sumatera Barat). Disamping itu daerah ini merupakan daerah kepulauan dengan 10 kecamatan, 43 desa dan 266 dusun yang tersebar pada empat pulau besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan serta lebih kurang 90 pulau-pulau kecil yang sebagian kecil berpenghuni. Kesulitan tersebut ditambah lagi oleh jarak antar desa yang

1317

berjauhan, letak antar dusun dalam satu desa juga berjauhan, infrastruktur yang terbatas serta jarak antar rumah tangga dalam satu desapun juga berjauhan. Data statistik menunjukan rata-rata kepadatan penduduk di daerah ini adalah 3 rumah tangga per km persegi, dengan kepadatan terbesar terdapat di Kecamatan Sikakap dan Kecamatan Sipora Selatan dengan 8 rumah tangga per km persegi dan kepadatan terkecil terdapat di Kecamatan Siberut Barat dengan 1 rumah tangga per km persegi.

Disamping susahnya pendistribusian listrik ke rumah tangga di desa-desa, keterbatasan ketersediaan listrik dari PLN juga disebabkan terbatasnya pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN karena hanya mengandalkan sumber energi dengan pembangkit listrik tenaga diesel (berbahan bakar solar) dan dibantu dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas yang terbatas.

Penyediaan listrik dengan tenaga diesel untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai berbiaya relatif lebih mahal dikarenakan bahan bakar diesel (solar) harus di datangkan dari Kota Padang dengan biaya transportasi yang relatif mahal. Biaya ini akan bertambah mahal lagi untuk biaya transportasi pendistribusian solar di Kabupaten Kepulauan mentawai. Penyediaan listrik dengan pembangkit PLTS juga memerlukan biaya perawatan yang relatif mahal. Kondisi di atas menyebabkan relatif rendahnya efisiensi daya mampu elektrifikasi yang disediakan PLN di Kabupaten Kepulauan Mentawai dibanding dengan daya terpasangnya yaitu sekitar 59,4%. Hal ini juga menyebabkan semakin sulitnya peningkatan elektrifikasi di daerah ini.

Berkaitan dengan hal di atas, tentu diperlukan upaya agar daerah ini bisa meningkatkan elektrifikasinya sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Undang-undang No. 30 tahun 2007 pasal 1 angka 25 serta Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 Bab 1 pasal 2 mengamanatkan bahwa prinsip dasar Kebijakan Energi Nasional adalah berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna tercapainya kemandirian dan ketahanan energi nasional dengan arah kebijakan mewujudkan ketahanan energi dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya Bab 2, pasal 3 ayat f mengamanatkan tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara; menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu serta membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah.

Salah satu sumber elektrifikasi yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah berbasis biomassa pertanian, mengingat besarnya potensi biomassa pertanian yang tersedia di daerah ini. Aisman (2015) melaporkan Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki kawasan hutan seluas 511.338 ha atau 85,06 % dari luas wilayah. Kawasan Hutan tersebut terdiri dari hutan lebat 456.301 ha (75,91%), hutan sejenis 12.348 ha (2,05%), dan 42.689 ha berupa semak belukar (7,10%).

Pengembangan elektrifikasi berbasis biomassa juga sudah merupakan program nasional sebagaimana dilaporkan bahwa secara nasional potensi elektrifikasi berbasis biomasa cukup besar yaitu sebesar 13.662 Mwe dan kapasitas terpasang hingga tahun 2013 baru sekitar 1.364 Mwe (9,9%). Pemerintah memproyeksikan pada tahun 2025 lebih kurang 23 % dari energi yang tersedia akan bersumber dari energi terbarukan dimana 4,7 % berasal dari biofuel dan 5,1 % berasal dari biomasa sampah (Anonim, 2014). Pemerintah telah memproyeksikan akan terus mengembangkan penggunaan energi berbasis biomasa menjadi 2.670 Mwe pada tahun 2020 dan menjadi sebesar 8.149 Mwe pada tahun 2025 (Dirjen EBTKE, 2012).

Salah satu sumber biomasa yang potensial dan dapat dikembangkan di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah tanaman bambu. Bambu dianggap sebagai spesies biomasa berkayu jenis rumput. Penggunaan bambu untuk seumber listrik dapat dilakukan dengan sistem pirolisis dalam insenarator. Dalam sistem ini bahan padat dipanaskan pada suhu 500 0C dengan sedikit oksigen. Cara ini akan menghasilkan emisi dioksin yang rendah, efisiensi pembangkit listrik yang tinggi serta arang yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk bahan bakar briket dan pengkondisi tanah (Yokoyama, 2008).

Lebih lanjut Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai (2012) dalam laporannya mencatat dari keseluruhan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Mentawai

1318

(Jiw

a)

Pagai Selatan + Sikakap

Pagai Utara

Sipora

Siberut

terdapat seluas 7.670,73 ha merupakan kawasan hutan lindung dan seluas 183.378,87 ha adalah kawasan hutan alam, sisanya adalah kawasan hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi dan areal penggunaan lainnya. Sebagian dari kawasan hutan dimaksud sudah ada yang dibebani dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Dari 8 perusahaan pemegang izin tersebut 6 diantaranya sudah akan berakhir pada tahun 2016. Dengan demikian potensi penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman bambu yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan elektrifikasi di Kabupaten Kepulauan Mentawai relatif masih luas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data sekunder (eksploratori) dari data yang tersedia pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait serta mengkonfirmasi dengan informasi yang diperoleh dari informan kunci baik dari pengelola PLN maupun dari Petugas di SKPD terkait di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Konfirmasi data dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proyeksi Pertumbuhan Penduduk sebagai Basis Penghitungan Kebutuhan Elektrifikasi Rumah Tangga

Berdasarkan data statistik penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam 5 tahun terakhir dapat dihitung rata-rata pertumbuhan penduduk pada 4 pulau besar yang ada. Pertumbuhan penduduk diasumsikan terjadi secara eksponensial, oleh karenanya proyeksi jumlah penduduk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan pertumbuhan majemuk dengan rumus :

Keterangan : JPt = Jumlah Penduduk Proyeksi JP = Jumlah Penduduk awal i = Rata-rata Pertumbuhan Penduduk n = lamanya (tahun) proyeksi

Berdasarkan data awal penduduk dengan basis data penduduk tahun 2013 dan dengan asumsi proyeksi yang kita gunakan, maka proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2040 dapat di lihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai Hingga Tahun 2040

Sumber : Diolah dari Data Statistik Kab. Kepulauan mentawai

Gambar 1. Proyeksi Jumlah Penduduk pada 4 Pulau Besar Kabupaten Kepulauan Mentawai

hingga Tahun 2040 Dari Gambar 1 terlihat bahwa ada dua pola pertumbuhan penduduk, yaitu

pertumbuhan yang cepat dengan pola grafik yang sangat miring yang terjadi pada Pulau

1319

Sipora dan Pulau Siberut. Sementara Pertumbuhan penduduk yang cendrung melandai dan lebih lambat terjadi pada dua Pulau besar yaitu Pagai Selatan dan Pagai Utara. Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Rumah Tangga sebagai Basis Penghitungan Kebutuhan Elektrifikasi Rumah Tangga

Rata-rata pertumbuhan jumlah rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah sebesar 2,4 % per tahun, dengan pertumbuhan terbesar terdapat di Kecamatan Sikakap sebesar 7,5 % per tahun dan sebaliknya jumlah rumah tangga di Siberut Tengah malah turun sebesar 4,2 % per tahun. Berdasarkan jumlah rumah tangga penduduk pada tahun 2013 dan dengan pola pertumbuhan yang mengikuti pola eksponensial dengan mengikuti rumus pertumbuhan majemuk dengan rumus :

Keterangan : JRTt = Jumlah Rumah Tangga Proyeksi JRT = Jumlah Rumah Tangga awal i = Rata-rata Pertumbuhan Jumlah Rumah Tangga n = lamanya (tahun) proyeksi

Berdasarkan asumsi yang digunakan, maka proyeksi jumlah rumah tangga penduduk pada 4 pulau besar yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2040 dapat di lihat pada Tabel 2 dan Gambar 2. Tabel 2. Proyeksi Jumlah Jumlah Rumah Tangga Kabupaten Kepulauan Mentawai Hingga

Tahun 2040

Sumber : Diolah dari Data Statistik Kab. Kepulauan mentawai

Gambar 2. Proyeksi Jumlah Rumah Tangga pada 4 Pulau Besar Kabupaten Kepulauan

Mentawai Hingga Tahun 2040.

Dari data di atas dapat di lihat bahwa pola pertumbuhan jumlah jumlah rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai sama dengan pola pertumbuhan jumlah penduduk.

Tingkat Pertumbuhan PDRB sebagai Basis Penghitungan Kebutuhan Elektrifikasi Non-Rumah Tangga

Data statistik Kabupaten Kepulauan Mentawai memperlihatkan bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB daerah ini berdasarkan harga konstan tahun 2000 adalah sebesar 5,0% per tahun dan PDRB Per Kapita rata-rata tumbuh 0,9 % per tahun. Pertumbuhan PDRB memperlihatkan trend yang naik tiap tahun dari 4,7 % pada tahun 2009 meningkat menjadi 5,5 % pada tahun 2013. Hal ini agak berbeda dengan pertumbuhan PDRB per Kapita yang memperlihatkan terjadinya fluktuasi yang relatif tajam. Pada tahun 2009 sempat terjadi

(Ru

mah

Tan

gga)

Pagai Selatan + Sikakap

Pagai Utara

Sipora

Siberut

Mentawai

1320

penurunan PDRB per Kapita sebesar (-6,8 %) dan naik menjadi sebesar 3,5 % pada tahun 2010, dan turun kembali hanya menjadi sebesar 1,6% pada tahun 2011, selanjutnya tumbuh sebesar 4,6 % pada tahun 2012 dan hanya tumbuh sebesar 1,3 % pada tahun 2013. Berdasarkan pertumbuhan tersebut, maka proyeksi PDRB Kabupaten dan PDRB Per Kapita Kabupaten Kepulauan Mentawai dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 3. Tabel 3. Proyeksi PDRB dan PDRB Per Kapita Kabupaten Kepulauan Mentawai Hingga Tahun

2040 Sumber : Diolah dari Data Statistik Kab. Kepulauan mentawai

Dari data yang ada dapat dilihat bahwa terdapat kecendrungan pertumbuhan baik pada PDRB maupun PDRB per Kapita di Kabupaten Kepulauan Mentawai, meski pertumbuhan pada PDRB per Kapita relatif terjadi secara lambat. Untuk percepatan pertumbuhan ekonomi baik secara agregat maupun pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakat diperlukan upaya-upaya peningkatan investasi di daerah ini. Guna mengundang investor untuk mau berinvestasi di daerah ini tentu salah satunya diperlukan ketersediaan elektrifikasi yang cukup. Untuk itu penyusunan rencana pengembangan elektrifikasi di daerah ini sangat perlu mendapat perhatian. Gambar 3. Proyeksi Tingkat Pertumbuhan PDRB dan Pendapatan per Kapita Kabupaten

Kepulauan Mentawai Hingga Tahun 2040.

Proyeksi Kebutuhan Elektrifikasi

Proyeksi kebutuhan elektrifikasi Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2035 dibuat dengan beberapa skenario sebagai berikut: a. Penghitungan kebutuhan elektrifikasi dibagi atas 4 wilayah berdasarkan 4 pulau besar

yaitu; Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. b. Permintaan listrik di bagi atas 2 kelompok besar yaitu; listrik untuk Rumah Tangga dan

listrik untuk Non-Rumah Tangga (kantor pemerintah, sosial, bisnis dan industri) c. Proyeksi permintaan listrik untuk Non-Rumah Tangga di hitung berbasis pada

pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDRB kabupaten yang rata-ratanya sebesar 5,0 % per tahun).

d. Proyeksi kebutuhan elekrifikasi untuk Rumah Tangga dihitung dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan jumlah rumah tangga pada masing-masing pulau. Skenario daya listrik yang dibutuhkan rumah tangga disimulasi atas kebutuhan daya 900 VA untuk setiap rumah tangga.

e. Total proyeksi kebutuhan elektrifikasi pada masing-masing pulau dan proyeksi kebutuhan total kabupaten dihitung dengan menjumlahkan proyeksi kebutuhan listrik Rumah Tangga dengan proyeksi kebutuhan listrik Non-Rumah Tangga.

f. Basis ketersediaan elektrifikasi yang ada sekarang diasumsikan hanya yang mampu disupplai oleh PLN berdasarkan daya mampu pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN dan khusus untuk Sikakap ditambahkan dengan supplai listrik yang berasal dari pembangkit mikrohidro yang sudah ada. Daya mampu lsitrik dimaksud adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Sementara supplai listrik PLTS yang dimiliki

(Ru

pia

h)

PDRB (jutaan rupiah)

PDRB Per Kapita (Rp)

1321

masyarakat saat ini tidak diperhitungkan karena daya yang dimiliki masing-masing relatif kecil, sehingga relatif belum memenuhi kebutuhan listrik yang sesungguhnya.

Tabel 4. Daya Mampu Listrik Yang Disediakan oleh PLN saat ini di Kabupaten Kepulauan

Mentawai

No Pulau Daya Mampu Listrik PLN (KW) 1 Pagai Selatan + Sikakap 631 2 Pagai Utara 116 3 Sipora 2.540 4 Siberut 1.218

Jumlah 4.505 Sumber : PLN Kabupaten Kepulauan Mentawai 2015

g. Proyeksi kekurangan listrik untuk keseluruhan di Kabupaten Kepulauan Mentawai

dihitung dengan mengurangkan daya listrik yang sudah ada sekarang dengan total proyeksi kebutuhan listrik pada masing-masing pulau.

h. Data PLN memperlihatkan dari supplai listrik yang disediakan oleh PLN yang digunakan oleh Non-Rumah Tangga lebih kurang sebesar 716 KW yang terbagi atas kebutuhan sosial, bisnis, industri dan rumah tangga. Sebagian besar pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN terdapat di Kecamatan Sipora utamanya di Tuapejat yang merupakan Ibu kabupaten Kepulauan Mentawai. Oleh karena fasilitas sosial, pemerintah dan bisnis juga banyak terdapat di Pulau Sipora, maka kita mengasumsikan lebih kurang 70% dari penggunaan listrik untuk fasiltas Non-Rumah Tangga ini juga digunakan di Pulau Sipora. Sementara untuk 3 pulau lainnya diasumsikan hanya menggunakan masing-masing sebesar 10 % dari listrik yang ada. Untuk itu distribusi pemakaian listrik untuk Non-Rumah Tangga yang ada saat ini diduga sebagaimana terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Pemakaian Listrik Non Rumah Tangga dan Asumsi Distribusinya untuk 4 Pulau Yang Ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai Berbasis Data Tahun 2013.

No Kelompok Terpasang

(KW)

Asumsi Distribusi Per Pulau Pagai Selatan

+ Sikakap Pagai Utara

Sipora Siberut

1 Sosial 220 22 22 154 22 2 Bisnis 348 34,8 34,8 243,6 34,8 3 Industri 2 0,2 0,2 1,4 0,2 4 Pemda 146 14,6 14,6 102,2 14,6

Total 716 71,6 71,6 501,2 71,6 Sumber : Diolah dari Data PLN i. Proyeksi kebutuhan listrik untuk fasilitas Non-Rumah Tangga untuk masing-masing

pulau akan menggunakan basis data sebagaimana terlihat pada Tabel di atas. j. Dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagaimana dijelaskan di atas, maka

penghitungan proyeksi kebutuhan listrik serta proyeksi kekurangan listrik di Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2035 adalah sebagaimana diperlihatkan oleh tabel-tabel berikut.

1322

Tabel 6. Proyeksi Kebutuhan Elektrifikasi Rumah Tangga hingga Tahun 2035 (Kw)

Tabel 7. Proyeksi Kebutuhan Elektrifikasi Non Rumah Tangga hingga Tahun 2035

Tabel 8. Proyeksi Total Kebutuhan Elektrifikasi Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga hingga Tahun 2035

Tabel 9. Proyeksi Total Kekurangan Elektrifikasi Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga hingga Tahun 2035

Tabel 6,7 dan 8 memperlihatkan proyeksi kebutuhan elektrifikasi Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2035 dan Tabel 9 memperlihatkan proyeksi kekurangan elektrifikasi Kabupaten Kepulauan mentawai hingga tahun 2035 jika pihak PLN tidak mampu menambah pasokan atau supplai kebutuhan elektrifikasi di daerah ini. Untuk itu alternatif peningkatan elektrifikasi di daerah ini dapat dilakukan dengan mengembangkan listrik bertenaga bioamssa pertanian antara lain dengan menggunakan tanaman bambu sebagai sumber biomassa.

Biomassa Bambu Untuk Pemenuhan Elektrifikasi Kabupaten Kepulauan Mentawai Wahono (2015) menuliskan bahwa untuk setiap 3-4 kg biomasa dari tanaman bambu

dapat menghasilkan listrik sebanyak 1 kWh, potensi energi yang dihasilkan ini sama dengan yang dihasilkan dengan pemakaian sebanyak 1 liter diesel. Lebih lanjut dikatakan bahwa keunggulan bambu sebagai bahan baku biomasa adalah; pertumbuhannya yang relatif cepat, produktivitas biomassa yang tinggi, merupakan sumberdaya alam lestari, merupakan tumbuhan multiguna, mempunyai nilai ekonomi tinggi, memiliki potensi sebagai pengganti kayu, penting bagi ekologi dan lingkungan, tahan hama, dapat tumbuh di lahan kritis dan marginal, sangat ideal untuk indonesia yang mempunyai matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi. Disamping hal-hal yang disebutkan di atas tanaman bambu dapat berfungsi untuk merestorasi lahan kritis, menjadi buffer zone terhadap wilayah hutan primer dan lahan perkebunan, serta menciptakan habitat baru bagi flora dan fauna yang terdesak dari areal perkebunan.

1323

Al Rasyid (2015) mengatakan bahwa untuk penggunaan bambu sebagai bahan baku elektrifikasi untuk kapasitas < 1 MW sampai 2 MW sangat cocok dengan menggunakan “Biomass Power Plant-Gasification System-Pyrolisis”. Dengan menggunakan sistem ini akan dibutuhkan lebih kurang 1,22 kg biomasa dengan kadar air 15 % untuk mengasilkan listrik sebesar 1 kWe.

Tanaman bambu dilaporkan adalah salah satu sumber bahan baku untuk elektrifikasi yang cukup potensial dikembangkan. Anonim (2014) melaporkan pengembangan listrik berbasis biomasa bambu di Kabupaten Bangli Provinsi Bali dari 100 ha tanaman bambu dapat menghasilkan listrik dengan kapasitas 400 kW serta bisa menghemat pemakaian solar sebanyak 1.000 kilo liter/tahun. Lebih dari itu elektrifikasi dengan bahan bakar biomasa bambu ini mampu memberikan pekerjaan kepada 200 orang sebagai pengumpul biomasa dan memberikan PAD sebanyak Rp. 40 miliar bagi daerah dari hasil penjualan bambu sebagai bahan baku elektrifikasi.

Berdasarkan beberapa referensi yang dipelajari bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 100 KWh, pembangkit listrik memerlukan lahan bambu seluas 50 ha. Dengan menggunakan asumsi ini, maka proyeksi kebutuhan tanaman bambu untuk pemenuhan elektrifikasi Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga tahun 2035 adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Proyeksi Luas Tanaman Bambu Untuk Pemenuhan Elektrifikasi Kabupaten

Kepulauan Mentawai hingga Tahun 2035

Tabel 10 memperlihatkan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan elektrifikasi Kabupaten Kepulauan Mentawai sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan terjadinya peningkatan eknonomi, jika akan digunakan tanaman bambu sebagai sumber energi listrik, maka pada tahun 2035 dibutuhkan lebih kurang 23.857 ha tanaman bambu.

Potensi Pengembangan Tanaman Bambu di Kabupaten Kepulauan Mentawai Sebagian besar wilayah Mentawai merupakan dataran rendah, memiliki 18 sungai

dengan panjang antara 5 – 40 km, sehingga daerah ini sangat cocok untuk budidaya tanaman bambu. Tanaman bambu adalah tanaman dengan toleransi tinggi dapat tumbuh dari ketianggian 0 – 1.500 mdpl dan dengan curah hujan hingga 2.000 mm per tahun.

Berdasarkan kesesuaian lahan yang telah dipetakan lebih kurang seluas 410.013,40 ha lahan di Kabupaten Kepualuan Mentawai sangat sesuai untuk dikembangkan tanaman bambu (Novizar, dkk., 2015). Potensi ini sangat besar dibanding kebutuhan pengembangan bambu untuk pemenuhan elektrifikasi hingga tahun 2035 yang hanya seluas 23.857 ha. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman bambu di Kabupaten Kepulauan Mentawai dapat di lihat pada Gambar 1.

1324

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan untuk Ditanami Bambu di Kabupaten Kepulauan Mentawai (Novizar, 2015)

KESIMPULAN

1. Hingga tahun 2013 baru 23,4% rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dapat dipenuhi kebutuhan elektrifikasinya.

2. Hingga tahun 2013 daya terpasang listrik yang dimiliki PLN hanya sekitar 6.662 KW dengan daya mampu yang tersedia untuk rumah tangga hanya sebesar 4.505 KW, sementara kebutuhan sebesar 18.233 KW.

3. Penyediaan listrik oleh PLN dengan mengandalkan tenaga diesel akan sulit ditingkatkan karena akan berbiaya mahal, untuk itu diperlukan alternatif sumber energi listrik yang tersedia secara lokal.

4. Hingga tahun 2035 proyeksi total kebutuhan elektrifikasi di daerah ini diperkirakan akan mencapai 52.218,8 KW.

5. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh PLN saat ini, maka pada tahun 2035 daerah ini akan kekuarangan daya elektrifikasi sebesar 47.714,2 KW.

6. Untuk pemenuhan kebutuhan elektrifikasi ini, biomassa bambu adalah salah satu yang potensial untuk dikembangkan. Guna memenuhi elektrifikasi pada tahun 2035 tersebut dibutuhkan lebih kurang 23.857,1 ha tanaman bambu. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman bambu di daerah ini lebih kurang 410.013,40 ha.

DAFTAR PUSTAKA

Aisman. 2015. Kajian Dasar Potensi Elektrifikasi Berbasis Biomasa Bambu di Kabupaten

Kepulauan Mentawai. Makalah pada Seminar Nasional Energi Biomasa Teknologi dan Kebijakan Energi Nasional. Universitas Bengkulu 15 September 2015.

Al Rasyid, H. 2015. Teknologi Pembangkit Biomasa untuk Daerah Off Grade yang Andal. Makalah pada Seminar Nasional Kemandirian Energi Berkelanjutan di Tuapejat Mentawai tanggal 20 Agustus 2015.

Anonim. 2014. Outlook Energi 2014. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Biro Pusat Statistik [BPS]. 2015. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka. Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Dinas Perindagkop dan UMKM. 2013. Database Potensi ESDM Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2012. Data Luas Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Dirjen Energi Baru Terbarukan Kementrian Energi. 2012. Potensi dan Kebijakan Pengembangan EBTKE. Disampaikan pada Seminar Pembinaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perkotaan. Jakarta 21 November 2012.

Novizar, Aisman, Helmi, Erwin, dan Sahadi, D.I., 2015. Laporan Penyusunan RUED Kabupaten Kepulauan Mentawai. Bappeda Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2015.

1325

Yokoyama, S. (editor). 2008. Panduan Untuk Produksi dan Pemanfaatan Biomasa. Proyek Bantuan untuk Kerjasama Asia untuk Pertanian Sadar Lingkungan. The Japan Institute of Energy.

Wahono, J. 2015. Peningkatan Rasio Elektrifikasi Masyarakat Pedesaan/Kepulauan terpencil dengan Biomasa Bambu. Makalah pada Seminar Nasional Kemandirian Energi Berkelanjutan di Tuapejat Mentawai tanggal 20 Agustus 2015.

Sumber Lain :

Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.

Wawancara dengan Kepala Ranting PLN Kabupaten Kepulauan Mentawai pada bulan Agustus 2015.

1326

PENANGANAN SEGAR UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU DANMENEKAN SUSUT BOBOT CABAI SELAMA PENYIMPANAN

Syahri dan Renny Utami Somantri

Peneliti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 Km. 6 Palembang

Telp. 0711-410155, Fax: 0711-411845

ABSTRAK

Cabai merupakan salah satu komoditas strategis nasional pada program Pajalebabe dan sekaligus sebagai komoditas hortikultura unggulan di Sumsel. Produksi cabai di Sumsel tahun 2014 sebesar 14,08 ribu ton. Daerah penghasil cabai di Sumsel di antaranya Kabupaten Banyuasin, OKU Timur, Musi Banyuasin, Ogan Ilir. Penurunan mutu cabai setelah dipanen terjadi karena proses respirasi yang terus berlangsung, sehingga cabai menjadi layu (kering) atau membusuk. Seperti produk segar hortikultura lainnya, cabai mempunyai karakteristik mudah rusak. Kerusakan ini terjadi akibat pengaruh fisik, kimiawi, mikrobiologi, dan fisiologis. Kerusakan lain pada cabai adalah pembusukan yang disebabkan oleh mikroba seperti Aspergillus flavus, Cladosporium fulvum, Collectrichum phomoides serta Fusarium sp. Karena sifat inilah diperlukan teknologi pascapanen yang tepat untuk mengurangi kerusakan buah cabai segar serta mempertahankan kesegarannya. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Januari-Maret 2015. Perlakuan yang diujikan yaitu pencelupan sebanyak 50 g buah cabai segar ke dalam larutan baking soda (NaHCO3), kitosan 1%, kontrol kitosan, dan kontrol (pencelupan ke dalam air steril). Parameter pengamatan di antaranya susut bobot, intensitas kerusakan buah cabai, serta uji organoleptik (warna, bau dan tekstur) terhadap buah cabai. Pengamatan susut bobot dihentikan hingga susut bobot mencapai 60%, sedangkan intensitas kerusakan akibat penyakit hingga kerusakan mencapai 20%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi kitosan 1% pada buah cabai segar mampu menekan susut bobot cabai selama penyimpanan, dimana susut bobot setelah 8 hari disimpan yakni hanya 53,64% dibandingkan kontrol yang mencapai 57,52%. Kitosan juga mampu menekan intensitas serangan penyakit antraknosa oleh Colletotrichum sp. pada buah cabai, dimana, intensitas serangan penyakit setelah 12 hari disimpan hanya sebesar 15,35%, lebih kecil dibandingkan dengan kontrol yang mencapai 19,43%. Namun, tekstur dan bau dari cabai yang diaplikasi dengan kitosan 1% ternyata tidak disukai oleh konsumen. Kata kunci: baking soda, cabai, kitosan, teknologi pascapanen.

PENDAHULUAN

Kementerian Pertanian telah menetapkan 40 komoditas unggulan nasional, 11 diantaranya adalah komoditas hortikultura termasuk cabai (Dirjen Hortikultura, 2013). Cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki peran penting bagi pertanian di Indonesia. Namun, menurut Saparita (2005), di negara pengimpor (misalnya Singapura) hasil komoditi sayuran Indonesia dinilai masih berkelas tiga, Australia kelas 1, China, Taiwan dan Malaysia kelas 2.Hal ini dikarenakan sayur-sayuran dari Indonesia masih belum dapat memberikan jaminan kesinambungan atas mutu produknya, jumlah pasokan minimumnya, dan ketepatan waktu penyampaiannya. Di Indonesia, kehilangan hasil (losses) hortikultura cukup tinggi yakni sebesar 25-40% (Muhtadi, 1995). Produksi cabai di Sumsel tahun 2014 sebesar 14,08 ribu ton (BPS, 2015). Daerah penghasil cabai di Sumsel di antaranya Kabupaten Banyuasin, OKU Timur, Musi Banyuasin, dan Ogan Ilir. Harga cabai sangat fluktuatif. Pada saat produksi cabai melimpah, harga jual di tingkat petani rendah. Hal ini tentu mengurangi keuntungan yang diperoleh petani cabai, sedangkan petani tidak dapat

1327

menunda waktu penjualan cabai karena kualitas cabai segar cepat menurun dan mudah busuk. Penurunan mutu cabai keriting setelah dipanen terjadi karena proses respirasi yang terus berlangsung, sehingga cabai menjadi layu (kering) atau membusuk. Seperti produk segar hortikulturalainnya, cabai mempunyai karakteristik mudah rusak. Kerusakan ini terjadi akibat pengaruh fisik, kimiawi, mikrobiologi, dan fisiologis. Di Indonesia, kehilangan hasil (losses) hortikultura cukup tinggi berkisar 25-40% (Muhtadi, 1995).Nilai ini sangat besar bila dibandingkan dengan negara-negara maju.Menurut Triaji et al. (2005), selama pengangkutan dan penyimpanan cabai merah dapat mengalami kerusakan fisik dan fisiologis. Kerusakan lain pada cabai adalah pembusukan yang disebabkan oleh mikroba seperti Aspergillus flavus, Cladosporium fulvum, Collectrichum phomoides serta Fusarium sp. Karena sifat yang mudah rusak inilah diperlukan teknologi pascapanen yang tepat untuk mengurangi kerusakan buah cabai segar, mempertahankan kesegarannya dan sekaligus meningkatkan nilai jual produk tersebut.

Menurunnya mutu cabai juga disebabkan karena cabai memiliki sifat fisiologi yang mudah rusak yaitu kandungan airnya yang tinggi mencapai 90,09%, tumbuh dekat tanah sehingga mudah terkontaminasi mikroba dan kulitnya yang tipis sehingga mudah diserang oleh mikroba. Kandungan air yang tinggi ini berakibat evapotranspirasi tetap berlangsung setelah dipanen yang berdampak cabai lebih cepat keriput, lebih cepat matang (ripening) dan segera diikuti oleh proses senescense. Kerusakan lain akibat kecerobohan saat pemanenan, kerusakan mekanis atau benturan saat distribusi dapat menyebabkan luka yang selanjutnya diikuti dengan pembusukan, sehingga merugikan petani cabai merah. Selain itu, menurut Wijaya et al. (2013), rusaknya cabai merah biasanya terjadi selama proses rantai pasokan dari petani sampai dengan pedagang kecil dan konsumen yang diakibatkan masih kurang tertatanya proses penanganan pascapanen mulai dari tingkat petani, pengumpul, pedagang besar dan pedagang kecil. Selain hal tersebut, banyaknya tingkat kecacatan juga diakibatkan karena ketidaksesuaian cabai merah dengan standar nasional yang telah ditetapkan.

Proses penyimpanan biasanya jarang dilakukan oleh petani. Padahal, penyimpanan cabai bisa memberikan peluang kepada petani untuk menjual dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan hukum ekonomi, dimana jika banyak barang yang ditawarkan maka harga akan turun. Sama halnya dengan komoditas cabai merah, pada saat panen raya harganya turun drastis sehingga petani terpaksa menjual hasil panennya dengan harga yang rendah. Taufik (2010) menyatakan tanpa penanganan atau pengolahan yang cepat dan tepat, kelebihan produksi cabai pada saat panen raya akan menyebabkan harga jualnya makin turun dan akhirnya cabai dibuang atau tidak dapat diolah lagi.

Penanganan pascapanen cabai merah di Indonesia umumnya sederhana, kurang hati-hati serta adanya pengaruh lingkungan sekitar menyebabkan tingkat kerusakan cabai sangat tinggi. Hal ini terjadi karena fasilitas dan pengetahuan petani tentang penanganan pascapanen masih terbatas. Menurut Sumarni dan Muharam (2005), tanpa pengetahuan teknik prapanen dan pascapanen serta dukungan modal yang cukup, usaha tani cabai sering menemui kegagalan dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Teknologi pascapanen atau pengolahan cabai menjadi andalan dalam mempertahankan dan meningkatkan nilai jual produk yang dituntut prima oleh konsumen. Oleh karena itu, petani cabai perlu memiliki pengetahuan tentang penanganan komoditas yang mudah rusak agar kesegarannya dapat dipertahankan lebih lama (Taufik, 2010).

Beberapa teknologi telah diujikan diantaranya penggunaan suhu penyimpanan 7,2-10oC untuk mempertahankan umur simpan 2-3 minggu (Samad, 2006), 30 ppm asam giberelat dengan karton pengemas diberi bantalan guntingan kertas koran menghasilkan susut bobot selama pengangkutan (750 km) sebesar 7,31% dibandingkan dengan cara petani yang menyebabkan susut bobot sebesar 38,71% (Iswari dan Srimaryati, 2014). Namun, pengujian teknologi di tingkat petani dengan skala besar belum dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian paket teknologi pascapanen cabai untuk menekan kerusakan hasil panen cabai serta memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kesegarannya.

1328

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Januari-Maret 2015. Bahan yang digunakan meliputi buah cabai segar, baking soda (NaHCO3), kitosan, asam asetat, aluminium foil, karung jala plastik, tray styrofoam. Alat yang diperlukan adalah handsprayer ukuran 2 L, gelas ukur, beker gelas, neraca analitik, timbangan kapasitas 5 kg, oven.

Kajian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan membutuhkan sebanyak 50 g buah cabai segar. Perlakuan yang diujikan di antaranya A) baking soda (NaHCO3) 2%, (B) kitosan 1%, (C) kontrol kitosan, dan (D) kontrol (pencelupan ke dalam air steril).

Adapun prosedur pembuatan larutan baking soda 2% (A) dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 2 g baking soda ke dalam 100 mL air steril. Perlakuan kitosan 1% dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 20 g serbuk kitosan ke dalam 80 mL asam asetat. Campuran larutan ini kemudian diaduk sambil dipanaskan, selanjutnya ditambahkan sebanyak 2 L air steril ke dalam campuran tersebut. Sedangkan kontrol kitosan yakni hanya membuat larutan asam asetat 1%. Aplikasi dilakukan dengan cara pencelupan buah cabai selama sekitar 1 menit pada masing larutan A, B, C dan D. Buah cabai yang telah dicelupkan ke dalam larutan tersebut selanjutnya ditiriskan dan diletakkan secara terbuka pada wadah styrofoam berukuran 15 cm x 20 cm.

Pengumpulan dan Analisis Data. Data yang dikumpulkan meliputi 1) persentase susut bobot, 2) perubahan kadar air, 3) kerusakan cabai akibat penyakit dan 4) uji organoleptik terhadap cabai segar.

Susut bobot dihitung sebagai pengurangan bobot selama penyimpanan, dengan rumus sebagai berikut:

Dimana W = Bobot cabai awal (Kg)

Wa = Bobot cabai setelah disimpan (Kg)

Pengamatan kerusakan buah akibat jamur Colletotrichum sp. (penyakit antraknosa) dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 100 butir buah cabai secara acak untuk dilakukan pengamatan serangan penyakit antraknosa. Pengamatan dilakukan sejak munculnya gejala serangan penyakit hingga kerusakan mencapai 20%. Penentuan keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Zadoks dan Schein (1979) sebagai berikut:

Dimana I = intensitas serangan penyakit; n = jumlah buah yang terserang; N = jumlah

seluruh buah; v = nilai skor serangan yang dihasilkan; Z = nilai skor tertinggi. Skor serangan: 0 =tidak ada kerusakan; 1 =luas serangan 1-10%; 2 =luas serangan 11-30%; 3 =luas serangan 31-60%; 4 =luas serangan > 61% (Sinaga et al. 1992).

%100)(

ZN

vnI

1329

Gambar ilustrasi skor penyakit antraknose pada buah cabai

Uji warna, aroma dan penampilan dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik

berdasarkan tingkat kesukaan panelis terhadap sampel cabai keriting yang disajikan. Kriteria skala hedonik yaitu: 5=sangat suka; 4=suka; 3=biasa; 2=tidak suka; 1=sangat tidak suka. Pengujian dilakukan oleh minimal 15 panelis semi terlatih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susut Bobot Cabai Selama Penyimpanan

Pelapisan atau coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan reaksi pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah. Bahan yang dapat digunakan sebagai coating harus dapat membentuk suatu lapisan penghalang kandungan air dalam buah dan dapat mempertahankan mutu serta tidak mencemari lingkungan misalnya edible coating (Isnaini, 2009).Pengaruh beberapa teknologi pelapisan terhadap susut bobot buah cabai selama penyimpanan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Susut bobot buah cabai selama 8 hari setelah aplikasi

Perlakuan Persentase Susut Bobot Setelah Disimpan hari ke-

1 4 6 8 Baking soda 2% 12.92 34.92 55.56 67.84 Kitosan 1% 5.75 26.81 40.50 53.64 Kontrol kitosan 6.71 26.58 39.10 53.83 Kontrol 7.42 27.41 41.80 57.52

Berdasarkan Tabel 1, terjadi penurunan bobot cabai sejak 1 hari setelah disimpan.

Penurunan tertinggi terjadi pada perlakuan baking soda 2% yang menyebabkan susut bobot mencapai 12,92% dan terendah pada perlakuan kontrol. Peningkatan susut bobot semakin meningkat seiring dengan lamanya umur simpan cabai, dimana pada hari ke-8 setelah simpan terjadi penurunan bobot buah cabai hingga lebih dari 50%. Hasil ini sejalan dengan Novita et al. (2012) yang menyatakan bahwa susut bobot pada tomat yang diaplikasi kitosan cenderung meningkat seiring dengan lama penyimpanan dan tingkat kematangan. Hal ini diduga karena terjadinya transpirasi sehingga air yang terdapat di dalam tomat berpindah ke lingkungan yang menyebabkan terjadinya penyusutan (susut bobot) pada tomat. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), kehilangan susut bobot buah selama disimpan terutama disebabkan oleh kehilangan air. Kehilangan air pada produk segar juga dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. Kehilangan air ini disebabkan karena sebagian air dalam

1330

jaringan bahan menguap atau terjadinya transpirasi. Suhardjo (1992)menambahkan bahwa transpirasi pada buah menyebabkan ikatan sel menjadi longgar dan ruang udara menjadi besar seperti mengeriput, keadaan sel yang demikian menyebabkan perubahan volume ruang udara, tekanan turgor, dan kekerasan buah. Susut bobot ini menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi kehilangan jumlah air dalam bahan yang terus bertambah. Menurut Hernandez-Munoz, et al. (2008), kehilangan air dalam buah sangat berkaitan erat dengan laju respirasi dan transpirasi melalui kulit buah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi kitosan 1% ternyata mampu menekan susut bobot cabai selama penyimpanan dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang menunjukan bahwa kitosan mampu menekan susut bobot buah segar, misalnya pada tomat (Novita et al., 2012), buah duku (Trisnawati et al., 2013), dan salak (Marlina et al., 2014). Susut bobot pada cabai ini relatif tinggi yakni lebih dari 50% setelah penyimpanan selama 8 hari. Adanya susut bobot dapat menyebabkan menurunnya berat buah. Tingginya susut bobot pada buah cabai ini diduga disebabkan karena tipisnya lapisan kulit buah cabai. Menurut Hernandez-Munoz et al. (2014), pada buah stroberi, kulit yang tipis sangat memungkinkan kehilangan air dengan sangat cepat yang mengakibatkan keriput dan busuk. Besar kecilnya air yang hilang dalam buah tergantung pada water pressure gradient antara jaringan buah dan lingkungan, dan suhu penyimpanan.

Kitosan adalah salah satu alternatif sebagai bahan pelapis alami yang tidak beracun dan aman bagi kesehatan (Kays, 1991 dan Baldwin, 1999). Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yaitu produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat udang. Kadar kitin dalam limbah kepala udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan 15-20% (Linawati, 2006). Dari beberapa penelitian menyebutkan kemampuan pelapisan atau coating kitosan untuk memperpanjang masa simpan dan mengontrol kerusakan buah dan sayuran lebih baik dengan menurunkan kecepatan respirasi, menghambat pertumbuhan kapang, dan menghambat pematangan dengan mengurangi produksi etilen dan karbondioksida. Kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat patogen psikotrofik.

Tingkat Kerusakan Buah Cabai

Lamanya penyimpanan juga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan buah cabai yang disebabkan oleh mikroorganisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama penyimpanan, buah cabai terinfeksi penyakit antraknosa. Penyakit Antraknosa pada cabe disebabkan oleh jamur yang terdiri dari dua jenis yaitu Gloeosporium piperatum Ell. et EV. dan Colletotrichum capsici (Syd.) Budl. Et Bisby. Terdapat empat jenis jamur Colletotrichum yang berasosiasi pada tanaman cabe yaitu: C. acutatum, C. gloeosporioides, C. capsici, dan C. boninese (Zheu et al., 2007). Menurut Gunawan (2006), penyakit antraknosa sangat merugikan karena buah yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan akibat ada bercak dan busuk. Menurutnya, pada pertanaman kehilangan hasil buah cabai dapat mencapai 100% apabila penanganan kurang tepat. Tingkat kerusakan cabai akibat penyakit antraknosa disajikan pada Gambar berikut.

1331

Gambar 1. Pengaruh aplikasi larutan pencelup terhadap kerusakan buah cabai akibat penyakit antraknosa

Penggunaan kitosan sebagai pelapis buah ternyata mampu menekan kerusakan akibat serangan antraknosa. Pada 12 hari setelah aplikasi, intensitas serangan penyakit antraknosa dengan pemberian kitosan 1% hanya sebesar 15,35%, lebih kecil dibandingkan dengan kontrol yang mencapai 19,43%. Menurut Hafdani dan Sadeghinia (2011), kitosan memiliki sifat antimikroba, karena dapat menghambat bakteri patogen dan mikroorganisme pembusuk, termasuk jamur, bakteri gram-positif, bakteri gram negatif. Pelapisan kitosan pada permukaan buah cabai tentunya dapat menekan terjadinya kerusakan yang disebabkan mikrobia. Ditambahkan Hui et al. (2004), senyawa kitosan diketahui dapat membunuh bakteri dan mikrobia lainnya dengan jalan merusak membransel.

Tingkat Kesukaan Konsumen terhadap Cabai

Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap teknologi pascapanen, dilakukanlah uji organoleptik terhadap tiga variabel yakni warna, bau, dan tekstur. Adapun preferensi konsumen terhadap ketiga komponen tersebut yakni disajikan pada Tabel 2, 3, dan 4.

Tabel 2. Preferensi konsumen terhadap warna cabai

Perlakuan

Preferensi petani terhadap warna (%)

Sangat Suka (SS)

Suka (S)

Agak Suka (AS)

Tidak Suka (TS)

Sangat Tidak Suka (STS)

Modus

Baking soda 2% 8.3 0.0 25.0 58.3 8.3 TS Kitosan 1% 0.0 33.3 41.7 16.7 8.3 AS Kontrol kitosan 0.0 50.0 25.0 16.7 8.3 S Kontrol 0.0 0.0 41.7 41.7 16.7 AS

3 4 5 6 7 12

Baking soda 2% 12.23 14.85 15.47 16.16 16.39 17.45

Kitosan 1% 13.28 15.16 13.19 15.59 15.08 15.35

Kontrol kitosan 12.85 14.37 15.00 15.64 15.70 17.31

Kontrol 14.79 15.35 17.26 18.59 18.78 19.43

Inte

nsi

tas

keru

saka

n (

%)

Hari setelah aplikasi (has)

Baking soda 2%

Kitosan 1%

Kontrol kitosan

Kontrol

1332

Tabel 3. Preferensi konsumen terhadap bau

Perlakuan

Preferensi petani terhadap bau (%)

Sangat Suka (SS)

Suka (S)

Agak Suka (AS)

Tidak Suka (TS)

Sangat Tidak Suka

(STS) Modus

Baking soda 2% 8.3 33.3 33.3 16.7 8.3 SS, AS Kitosan 1% 0.0 8.3 33.3 58.3 0.0 TS Kontrol kitosan 0.0 33.3 41.7 25.0 0.0 AS Kontrol 0.0 8.3 33.3 58.3 0.0 TS

Tabel 4. Preferensi konsumen terhadap tekstur

Perlakuan Preferensi petani terhadap tekstur (%)

Sangat Suka (SS)

Suka (S)

Agak Suka (AS)

Tidak Suka (TS)

Sangat Tidak Suka (STS)

Modus

Baking soda 2% 0.0 25.0 8.3 66.7 0.0 TS Kitosan 1% 0.0 8.3 33.3 58.3 0.0 TS Kontrol kitosan 0.0 41.7 33.3 25.0 0.0 S Kontrol 0.0 8.3 8.3 75.0 8.3 TS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi konsumen terhadap warna, bau dan

tekstur cabai yang diaplikasi dengan beberapa perlakuan larutan menunjukkan perbedaan. Dalam hal warna, aplikasi kitosan 1% masih agak disukai oleh konsumen, berbeda dengan pemberian baking soda 2% yang tidak disukai oleh konsumen. Namun, tekstur dan bau dari cabai yang diaplikasi dengan kitosan 1% ternyata tidak disukai oleh konsumen. Hal ini terlihat dari preferensi konsumen terhadap variabel bau dan tekstur yang mayoritas (58,3%) menyatakan tidak suka. Hasil ini sejalan dengan penelitian Novita et al. (2012) pada buah tomat, menunjukkan bahwa nilai penerimaan organoleptik panelis terhadap penampakan tomat pada tingkat kematangan >70% kulit merah cenderung tidak disukai dibandingkan dengan penampakan tomat pada tingkat kematangan lebih awal. Hal ini diduga karena munculnya keriput pada kulit buah setelah lama disimpan.

KESIMPULAN

Aplikasi kitosan 1% pada buah cabai segar mampu menekan susut bobot cabai selama penyimpanan, dimana susut bobot setelah 8 hari disimpan yakni hanya 53,64% dibandingkan kontrol yang mencapai 57,52%. Kitosan juga mampu menekan intensitas serangan penyakit antraknosa pada buah cabai, dimana, intensitas serangan penyakit setelah 12 hari disimpan hanya sebesar 15,35%, lebih kecil dibandingkan dengan kontrol yang mencapai 19,43%. Namun, tekstur dan bau dari cabai yang diaplikasi dengan kitosan 1% ternyata tidak disukai oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik[BPS] Sumatera Selatan. 2015. Sumatera Selatan dalam Angka. BPS Sumsel.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2013. Pedoman Teknis Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Produk Hortikultura Berkelanjutan Tahun 2014. Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian. Jakarta.

Gunawan, O.S. 2006. Mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknos pada cabai merah. Jurnal Hortikultura 16(2): 151-155.

1333

Hafdani, F.N. and Sadeghinia. N., 2011. A review on application of chitosan as a natural antimicrobial. World Academy of Science. Engineering and Technology, 50.

Hernandez-Munoz, P, E. Almenar, V. D. Valle, D. Velez and R. Gavara. 2008. Effect of chitosan combined with postharvest calcium treatment on strawberry (Fragaria xananassa) quality during refrigerated storage. Food Chemistry 110:428-435.

Hui Liu, Yumin Du, Xiaohui Wang, Liping Sun. 2004. Chitosan kills bacteria through cell membrane damage. International Journal of Food Microbiology. 95:147– 155.

Iswari, A dan Srimaryati. 2014. Pengaruh giberelin dan jenis kemasan untuk menekan susut cabai kopay selama pengangkutan jarak jauh. Jurnal Pascapanen 11(2): 89-100.

Marlina, L., Y.A. Purwanto, U. Ahmad. 2014. Aplikasi pelapisan kitosan dan lilin lebah untuk meningkatkan umur simpan salak pondoh. JUrnal Keteknikan Pertanian 2(1): 65-72.

Muchtadi, TR., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Muhtadi, D., Anjarsari, B. 2005. Meningkatkan Nilai Tambah Komoditas Sayuran. Prosiding.

Novita, M., Satriana, Martunis, S. Rohaya, dan E. Hasmarita. 2012. Pengaruh pelapisan kitosan terhadap sifat fisik dan kimia tomat segar (Lycopersicum pyriforme) pada berbagai tingkat kematangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 4(3): 1-8.

Saparita, R. 2005. Pola Penyebaran Tanaman Sayuran dalam Proses Transformasi Pertanian di Indonesia. Dalam: Implementasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta, 10 September 2005.

Suhardjo. 1992. Kajian Fenomena Kemasiran Buah Apel (Malus sylvestris) Kultivar Rome Beauty (Desertasi). Program Pascasarjana. IPB.

Sumarni, N. dan A. Muharam. 2005. Budi Daya Tanaman Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

Taufik, M. 2010. Analisis pendapatan usahatani dan penanganan pasca panen cabai merah. Jurnal Litbang Pertanian 30(2): 66-72.

Trisnawati, E., D. Andesti, A. Saleh. 2013. Pembuatan kitosan dari limbah cangkang kepiting sebagai bahan pengawet buah duku dengan variasi lama pengawetan. Jurnal Teknik Kimia 19(2): 17-26.

Zheu, Z.; J. Chen and T. Wang. 2007. Application of ITS-RFLP Analysis for Identifying Colletotrichum Species Associated with Pepper Anthracnose in Taiwan. http://www.avrdc.org/anthracnose/index. html. 27 April 2011.

1334

TEKNOLOGI KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN PADA BUAH RAMBUTAN

Jhon David H1) dan Mahargono Kobarsih 2)

1. Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat 2. Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

Jalan Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu Pontianak Telp. 0561 882069 Fax 0561 883883

ABSTRAK

Buah rambutan merupakan buah nonklimaterik, umur simpan yang sangat pendek, karena proses transpirasi dan respirasi berlangsung sangat cepat. Setelah panen, kualitas segar rambutan buah dapat dipertahankan hanya 3-4 hari, dan selanjutnya buah berubah menjadi cokelat dan akhirnya hitam sehingga tidak mampu diterima oleh pasar dan konsumen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperpanjang masa simpan dengan tekonologi kemasan dan dimodifikasi dengan suhu optimal dalam penyimpanannya. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua (2) faktor yaitu faktor pertama adalah jenis kemasan (Stretch film -LDPE), high density polyethylene-HDPE, dan polypropylene-PP), factor kedua adalah suhu (8 0C, 12 0C, 16 0C dan control), dengan 3 ulangan. Parameter yang diamati meliputi: susut bobot, kadar air, vitamin C, gula total, padatan terlarut konten (SSC), warna, aroma dan rasa. Hasil penelitan menunjukkan teknologi kemasan LDPE (low density polyethylene) dan dikombinasikan dengan suhu 8 0C dapat memperpanjang masa simpan 20 hari dan masih layak konsumsi, sedangkan untuk suhu ruang dan dimodifikasi dengan LDPE hanya mampu bertahan 7 hari. Kata kunci: Rambutan, masa simpan, kemasan, suhu, penyimpanan

PENDAHULUAN

Di Kalimantan Barat, buah rambutan merupakan buah favorite karena rasanya sangat manis, renyah dan sangat murah. Produksi rambutan setiap tahunnya mengalami peningkatan 5-10 %, karena semakin banyak petani yang membudidayakan rambutan, harga yang kompetitif, dan banyak pelaku UKM yang mengolah buah rambutan menjadi pangan olahan seperti juice, sirup, dan makanan lainnya. Permasalahan yang sering terjadi adalah pada masa simpan yang hanya bertahan paling lama 3 hari, warnya sudah mengarah kehitaman, dan banyak mengeluarkan air (BPS, 2011).

Rambutan (Nephelium lappaceum, Linn) merupakan tanaman buah tropis asli Indonesia, namun saat ini telah menyebar luas di daerah yang beriklim tropis seperti Filipina dan negara-negara Amerika Latin dan ditemukan pula di daratan yang mempunyai iklim sub-tropis. Buah rambutan berbentuk bulat sampai lonjong dan seluruh permukaan kulitnya banyak ditumbuhi rambut-rambut (duri-duri lunak), oleh karena itu disebut rambutan (Shewfelt. R. L. 1987).

Rambutan digolongkan pada buah nonklimacterikproses pematangannya terjadi sempurna selama buah masih di pohonsehingga, penyimpanan pascapanen setelah panen akan menunjukkan penampilan visual rambutan yang cepat menurun setelah 3-4 hari jika dibiarkan dalam kondisi suhu ruang maka buah rambutan berubah menjadi cokelat dan akhirnya hitam (Subarjo. S. K., et al., 1990). Kerusakan umumnya dikaitkan dengan penurunan dalam penampilan, pengeringan kulit dan browning serta kehilangan air. Pengeringan kulit dan browning dapat sebagian diminimalkan dengan menyimpan rambutan di bawah kelembaban relatif (RH) yang tinggi dan suhu rendah. Perubahan-perubahan

1335

penting setelah tahap akhir pendewasaan buah rambutan adalah perubahan warna kulit dan rambut, peningkatan kadar gula, penurunan keasaman, peningkatan kadar padatan total terlarut dan vitamin C (Broto dan Laksmi, 1989).

Banyak penelitan yang telah dilakukan untuk memperlambat kelayuan buah rambutan, dan salah satunya adalah dengan pengaturan suhu dingin dengan tujuan mencegah kerusakan tanpa mengakibatkan pematangan abnormal atau perubahan yang tidak diinginkan sehingga mempertahankan komoditas dalam kondisi yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin (Winarno, 1990).

Untuk penyimpanan dengan teknologi kemasan digunakan kantong plastik tebal yang diberi lubang sebesar jarum, sebab apabila kantong plastik tidak diberi lubang maka pembusukan buah justru lebih cepat terjadi. Hal ini disebabkan buah rambutan melakukan respirasi anaerob (tanpa udara) yang membuat pembusukan berjalan lebih cepat. Dengan perlakuan ini, buah rambutan dapat dijaga kesegarannya antara 10 – 12 hari, bahkan sampai 21 hari, buah rambutan tersebut masih enak untuk dikonsumsi (Warisno dan Kres Dahana, 2007).

Mutu simpan buah akan lebih bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan meningkatkan kelembaban relatif, menurunkansuhu udara. Pada umumnya komoditas yang mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi tinggi atau peka terhadap suhu rendah (Siripanich, 2001).

Selain itu transpirasi juga akan menyebabkan percepatan proses senescense. Faktor luar yang mempengaruhi traspirasi adalah kelembaban, suhu, tekanan atmosfer dan kerusakan fisik yang terjadi (S. Ranganna, 1999). Sacharow, S. and R. C. Griffin, Jr. (1980), mengatakan bahwa besarnya laju respirasi menentukan umur simpan buah. Semakin tinggi laju respirasi, semakin singkat umur simpan buah. Sebaliknya semakin rendah laju respirasi, semakin lama umur simpan buah. Namun konsentrasi CO2 yang terlalu tinggi (sekitar 20 %) akan mendorong terjadinya respirasi anaerob yang akan merusak jaringan buah. Adanya kerusakan fisik karena benturan atau getaran yang menyebabkan memar pada permukaan buah, akan mendorong atau menstimulasi laju respirasi dan produksi etilen.

Menurut Buckle et al. (1987), Pengemasan bahan pangan harus mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1). mempertahankan produk agar tetap dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya, (2) memberi perlindungan bahan terhadap kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar matahari, (3) berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan, (4) mudah untuk dibentuk menurut rancangan, mudah dibuka dan ditutup kembali, serta mudah dalam penanganan dan pengangkutan, (5) memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan.

Berikut merupakan jenis kemasan plastik yang biasa di gunakan dalam buah-buahan: 1. High density polyethylene (HDPE), plastik ini memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras sampai semi fleksibel, buram, tahan terhadap bahan kimia dan cairan, lebih tahan terhadap suhu tinggi namun disarankan digunakan untuk sekali pakai. Kemasan ini digunakanuntuk botol kemasan susu berwarna putih, shampoo, kursi lipat, wadah es krim dan lain-lain. 2. Low density polyethylene (LDPE), plastik ini kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dengan permukaan berlemak, melembek pada suhu 70 0C, mudah tergores banyak digunakan pada plastik kemasan dan tempat makanan. Salah satu contoh LDPE adalah stretch film atau plastik wrapping 3.Polypropylene (PP), plastik ini lebih kuat, transparan yang tidak jernih, ringan, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi, tahan pelarut dan cukup mengkilap. Banyak digunakan untuk botol susu, sedotan, wadah makanan dan lain-lain.

BAHAN DAN METODE

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah rambutan segar yang

langsung dipanen kebudin pada pagi hari dengan kriteria buah belum bewarna merah secara keseluruhan (40-60% warna merah).

Buah rambutan yang telah dipanen dari kebun dilakukan transportasi dengan kemasan karung dan karton yang telah di lapisi dengan koran atau daun pisang menggunakan kendaraan menuju laboratorium, selanjutnya buah rambutan dicuci dan

1336

disortasi berdasarkan keseragaman warna serta beratnya. Kemudian buah rambutan dimasukkan ke dalam plastik Stretch film (LDPE), high density polyethylene (HDPE), dan polypropylene (PP) dengan menggunakan alas berupa Styrofoam, lalu disimpan ke dalam refrigerator dengan faktor suhu (8 0C, 12 0C, 16 0C), dan suhu kamar. Pengamatan dilakukan setiap tiga (3) hari sekali selama 30 hari yang meliputi: susut bobot, kadar air, vitamin C, gula total, padatan terlarut konten (SSC) warna, aroma dan rasa. Untuk pengujian total asam digunakan Natirum Hidroksida (NaOH) 0,1N dan Phenopthalien (pp) 1% sebagai indikatornya. Untuk uji Vitamin C digunakan larutan Yodium 0,01 N dan Larutan Pati 1% sebagai indikator dengan metode titrasi, sedangkan untuk menguji Kadar Gula menggunakan alat Hand refraktometer dengan satuan persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Buah rambutan dikemas dengan menggunakan kemasan plastic polypropylene (PP),

high density polyethylene (HDPE) dan strech film (LDPE) kemudian disimpan pada suhu

dingin (8 0C, 120C, 16 0C) dan suhu ruang. Untuk penyimpanan suhu ruang, buah yang telah

dibungkus tersebut kemudian dibiarkan pada ruang terbuka, sedangkan untuk penyimpanan

suhu dingin, buah disimpan di refrigerator.

a. Susut Bobot Perubahan susut bobot dari buah rambutan yang dikemas dengan berbagai kemasan

selama penyimpanan dingin ditunjukkan pada gambar 1. Buah rambutan mengalami susut bobot pada hari ketiga sebesar 2-3 %, dan pengemasan dengan menggunakan LDPE (Low density polyethylene) penurunan susut bobot yang paling besar sekitar 14% selama penyimpanan 30 hari. Susut bobot ini sangat berbeda nyata dengan penggunaan kemasan HPDE (High density polyethylene)dan PP. Kemasan dengan menggunakan HDPE dan PP susut bobotnya 6-7 % selama penyimpanan 30 hari. Susut bobotrambutan dengan menggunakan LDPE terikat semakin meningkat selama penyimpanan. Hal ini berkaitan dengan proses browning yang semakin kuat sehingga buah rambutan mengalami kehilangan air yang semakin besar (Gambar 1). Kemasan dengan menggunakan HDPE dan PP mampu mengurangi kehilangan air dari buah rambutan hal ini karena lapisannya sangat tebal (Gambar1).

Gambar 1. Perubahan susut bobot dengan berbagai kemasan selama penyimpanan

1337

Gambar 2. Perubahan susut bobot dengan berbagai suhu selama penyimpanan

Penyimpanan buah rambutan pada suhu ruang menunjukkan susut bobot yang sangat besar yaitu 18 % secara signifikan (P <0,05 ) selama penyimpanan 30 hari, tetapi dengan penyimpanan suhu dingin ( 80C, 120C, dan 160C) menunjukkan susut bobot yang sangat rendah yaitu hanya 6-7 % selama penyimpanan 30 hari. Kehilangan air antara 3-10 % dari berat asal menyebabkan fisik buah menjadi kehilangan kesegaran, berkerut dan tidak renyah lagi atau kulitnya menjadi kering dan keras. Selain itu transpirasi juga akan menyebabkan percepatan proses senescense. Faktor luar yang mempengaruhi traspirasi adalah kelembaban, suhu, tekanan atmosfer dan kerusakan fisik yang terjadi (S. Ranganna, 1999).

b. Penampilan Perubahan tingkat/derajat penampilan buah rambutan, sangat dipengaruhi oleh suhu

selama penyimpanan, dan tetapi juga jenis kemasan plastik yang digunakan.

Tabel 1. Skor sensory berbagai kemasan selama 30 hari penyimpanan

Jenis kemasan Aroma Warna Rasa Penerimaan Konsumen

Stretch film –(LDPE) 3.1a 3.2a 3.5a 3.3a High density polyethylene-HDPE 2.9b 3.0b 3.2b 3.1a Polypropylene-PP 2.8b 2.8c 3.4a 3.1a

Skala warna, aroma, rasa dan Penerimaan konsumen1= Rendah, 2 = sedang , 3 =

sedang sampai tinggi, 4 = baik / tinggi, 5 =sangat baik / sangat tinggi huruf yang sama dalam

kolom tidak berbeda berbeda pada P <0,05.

Penurunan warna atau tingkat kecerahan buah rambutan disebabkan terjadinya kerusakan kulit buah. Sebab kulit merupakan pelindung daging buah. Ketika terjadi kerusakan pada kulitnya (pelindungnya), juga akan mengalami kemunduran mutu (termasuk warna). Warna mengalami perubahan cenderung ke arah kehitaman selama penyimpanan berlangsung.

1338

Tabel 2. Skor Sensori berbagai suhu selama 30 hari masa simpan

Jenis kemasan Aroma Warna Rasa Penerimaan Konsumen

8 0C 4.2a 4.2a 4.3 a 4.4a 12 0C 3.9b 4.1a 4.1 a 4.3a 16 0C 3.8b 3.9b 4.1a 3.4b Suhu ruang 1.2c 1.1c 1.2c 1.1c

Skala warna , aroma, rasa dan Penerimaan konsumen1= Rendah, 2 = sedang , 3 = sedang

sampai tinggi, 4 = baik / tinggi, 5 =sangat baik / sangat tinggi huruf yang sama dalam kolom

tidak berbeda berbeda pada P <0,05

Penurunan warna juga terjadi pada suhu dingin, yang mengindikasikan bahwa kulit buah rambutan selama proses penyimpannya akan berubah menjadi lebih gelap. Penyimpanan buah rambutan pada suhu dingin, mampu mempertahankan kesegarannya selama 21 hari. Proses perubahan warna sangat erat kaitannya dengan perubahan suhu. Pada suhu tinggi, kesegaran buah cepat sekali mengalami penurunan, penampilan buah akan menjadi sangat jelek. Buah yang tadinya berwarna merah cerah akan menjadi layu, rambut buah akan cepat sekali mengering dan berwarna hitam. Warisno dan Kres Dahana (2007), menyatakan bahwa penurunan kesegaran buah rambutan disebabkan proses transpirasi dan respirasi buah berlangsung sangat cepat. Akibatnya buah cepat sekali mengalami kelayuan. Sedangkan pada suhu dingin, perubahan warna akan lebih lambat. Juga dikatakan, Winarno (1994), bahwa suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan didalam bahan pangan tersebut. Ketahanan warna atau kecepatan pembentukan pigmen sangat erat kaitannya dengan faktor suhu, lama penyimpanan dan komposisi udara dalam penyimpanan.

c. Vitamin C

Asam askorbat (vitamin C) rambutan menurun selama penyimpanan (30) hari untuksemua jenis kemasan yang digunakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Jenis kemasan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan ( P> 0,05) terhadap kandungan asam askorbat (vitamin C). Kandungan asam-asam dalam buah-buahan akan semakin berkurang dengan lamanya penyimpanan, hal ini dimungkinkan karena selama penyimpanan buah masih mengalami respirasi sehingga persediaan kandungan asam-asam organic akan berkurang. Penuaan buah akan menyebabkan penurunan kualitas dan pengurangan kandungan vitamin C.

Gambar 3. Perubahan Vitamin C pada berbagai kemasan selama penyimpanan 30 hari

1339

Pada suhu ruang, kandungan vitamin C sangat menurun drastis hingga menjadi 30 mg/100g dan sangat berbeda nyata denganpenyimpanan buah rambutan pada suhu dingin. Pada suhu dingin tidak berbeda nyata ( P> 0,05) antar tingkatan suhu. Hal ini terjadi karena suhu dingin akan menutupi pori-pori buah sehingga proses respirasi akan berjalan dengan lambat, sehingga penghancuran kandungan vitamin C akan berjalan dengan lambat pula.

Gambar 4. Perubahan Vitamin C pada berbagai tingakatan suhu selama penyimpanan 30 hari

d. Total soluble solid (TSS) Nilai TSS (Total soluble solid) ataupun kandungan jumlah gula dalam buah rambutan,

pada awal penelitian berkisar 14.4-14.5 * Brix, dan dengan menggunakan berbagai kemasan maka kandungan gulanya menurun hingga mencapai 13.4 * Brix (pada kemasan LDPE) pada masa simpan 30 hari. Pengaruh kemasan tidak berbeda nyata (( P> 0,05) dengan penurunan kandungan kadar gula.

1340

Gambar 5. Perubahan TSS pada berbagai jenis kemasan selama penyimpanan 30 hari

Kandungan TSS yang paling tinggi adalah 14.5 * BRIX, dan akan semakin menurun selama penyimpanan 30 hari. Kandungan TTS pada suhu dingin (semua tingkatan) sangat berbeda nyata dengan ( p <0,05) dengan suhu ruang. Pada suhu ruang nilai TSS akhir adalah 8 *Brix , rasanya sudah sangat asam bahkan mendekati busuk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perubahan TSS pada berbagai tingakatan suhuselama penyimpanan 30 hari

c. Total Asam Jenis kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan total asam (P> 0,05)

selama penyimpanan 30 hari. Nilai awal kandungan total asam adalah 6.3 % untuk kemasan PP, dan untuk 3.9 % pada kemasan LDPE selama penyimpanan 30 hari.

1341

Gambar 7. Perubahan Total Asam pada berbagai jenis kemasan selama penyimpanan 30 hari

Suhu penyimpangan sangat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadapkandungan total asam yang dilakukan selama penyimpanan 30 hari. Perbedaan nyata itu antara suhu dingin (8 0C, 120C, 16 0C) dengan suhu ruang. Hal ini karena pada suhu dingin terjadi penutupan pori-pori pada lapisan buah rambutan sehingga proses respirasi berjalan dengan lambat sehingga mengakibatkan kandungan total asamnya menurun dengan lambat, sedangkan pada suhu ruang terjadi respirasi yang sangat cepat sehingga kandungan total asamnya menurun dengan cepat.

Gambar 8. Perubahan TSS pada berbagai tingkatan suhuselama penyimpanan 30 hari

KESIMPULAN

Penyimpanan suhu rendah (80C, 120C dan 160C ) memperlambat penurunan Susut Bobot, Kandungan Vitamin C, Total Asam Dan TSS/Kandungan Gula.Penyimpanan suhu rendah(8 0C) dikombinasikan dengan menggunakan kemasan plastik HPDE (High density polyethylene) dan PP (polyethlene) merupakan perlakuan yang terbaik, karena dapat memperpanjang masa simpan buah rambutan sampai dengan 20 hari layak konsumsi dan layak jual.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Kader, 1993. Modifikasi dan dikendalikan penyimpanan atmosferbuah-buahan tropis , di : B.R. Champ , E. Highley , G.I. Johnson( Eds. ) , Penanganan Pascapanen Buah Tropika , Proc .Intern . Berunding . ChiangMai , Thailand , ACIAR Pub . Nomor 50 , , hal 239-249

BPS, 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka.

Broto, W., dan D. S. Laksmi. 1989. Kajian Sifat Kimia Beberapa Jenis Buah Rambutan (Nephelium lappaceum, Linn) pada Berbagai Tingkat Ketuaan. Penelitian Hort. 3 (4): 69-74.

Hasbi. 1995. Pengkajian Pengemasan Atmosfir Termodifikasi Buah Rambutan (Nephelium lappaceum, Linn). Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.

J. Siripanich. 2001. Pascapanen Fisiologis Buah danSayuran , 4th ed . , Kasetsart University, Bangkok , ,p . 416 .

S. Ranganna , Handbook of Analisis dan Pengendalian Mutuuntuk Buah dan Sayur Produk , 2nd ed . , McGraw BukitPublishing Co Ltd , New Delhi.

1342

Sacharow, S. and R. C. Griffin, Jr. 1980. Food Packaging. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut.

Shewfelt. R. L. 1987. Quality of Minimally Processed Fruit and Vegetables. J. Food Qual. 10:143-156.

Subarjo. S. K., Dewi Farida dan Yaya Suryasela. 1990. Memperpanjang Masa Simpan Buah-buahan dengan Penyimpanan Modifikasi Atmosfir. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Proyek Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian Laporan

Hasil Pertanian dan Pengembangan DIP tahun 1990/1991.

Warisno dan Kres Dahana. 2007. Budidaya Rambutan. CV Aneka Ilmu, Semarang.

Winarno, F.G. 1990. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.

Winarno,F.G.1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

1343

RASIO EKSPANSI DAN SIFAT TEKSTURAL SEREAL BERAS

COKELAT DIPERKAYA DENGAN KACANG POLONG KUNING

DAN BUBUK CABAI DENGAN METODE EKSTRUSI

Erliana Novitasari1) dan Jon Hendri2)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Jambi

ABSTRAK

Dewasa ini, sereal sarapan dan makanan ringan sudah menjadi bagian dari diet manusia, seiring dengan meningkatnya aktivitas dan kebutuhan terhadap makanan cepat saji. Metode ekstrusi dapat digunakan untuk mengolah biji-bijian menjadi makanan ready to eat, bernutrisi dan dapat diterima dari segi indrawi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasio ekspansi dan sifat tekstural sereal beras cokelat yang diperkaya dengan kacang polong kuning dan bubuk cabai dengan metode ekstrusi. Penelitian dilakukan di Lincoln University New Zealand menggunakan rancangan perlakuan tunggal. Pengambilan data dilakukan sebanyak 12 (dua belas) ulangan untuk rasio ekspansi dan sembilan ulangan untuk tekstural properti. Tidak terdapat perbedaan antara rasio ekspansi sereal beras cokelat yang diperkaya dengan kacang polong kuning dan bubuk cabai dengan kontrol (337 dan 317%). Tingkat kekerasan kontrol (2022,75 g) lebih besar dibandingkan dengan sereal beras dengan perlakuan (1534,92 g). Sedangkan tingkat kerenyahan sereal dengan perlakuan (11,56) lebih besar dibandingkan dengan kontrol (9). Kata kunci: rasio ekspansi, tekstural properti, sereal beras cokelat, ekstrusi

PENDAHULUAN

Sarapan sehat dan cepat menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat yang semakin sibuk dengan berbagai aktivitas. Di Indonesia dan negara Asia dengan makanan pokok berbahan beras, pengolahan beras hanya terbatas diolah menjadi nasi dan tepung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sejumlah lebih dari 255 juta jiwa dengan tingkat konsumsi beras per tahun adalah 124,89 kg per kapita. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata konsumsi beras di Asia Tenggara. Sereal beras dapat menjadi alternatif sarapan sehat yang hanya memerlukan waktu yang singkat dalam penyajiannya.

Beras cokelat merupakan salah satu bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan sereal yang sehat karena mengandung berbagai nutrisi yang tidak dimiliki oleh beras putih biasa seperti serat, vitamin E dan B, asam γ aminobutirat dan asam ferulic. Pada beras putih biasa, nutrisi tersebut yang biasanya terdapat pada lapisan kulit hilang selama proses polishing dan penggilingan. Beras cokelat juga mengandung inositol (112%) dan orizanol (105%) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras putih (Otshubo et al., 2005).

Kacang polong kuning (Pisum sativum L. Miranda) mengandung 55-68% pati dan 6.5% serat. Sementara itu, prosentase kandungan proteinnya lebih tinggi daripada kandungan protein pada tanaman biji-bijian lainnya, yaitu sebesar 15-35% (Shreenithee & Prabhasankar, 2013). Kandungan nutrisi lain yang terkandung dalam kacang polong kuning antara lain serat, karbohirdat, folat dan bioaktif isoflavon, serta rendah lemak dan garam (Madar & Stark, 2002). Oleh karena itu, kacang polong kuning dapat dijadikan alternatif sumber protein dalam memproduksi sereal yang sehat dan dapat dimanfaatkan bersama bahan mengandung pati seperti beras cokelat. Cabai mengandung berbagai senyawa seperti

1344

capsaicin, antioksidan, karotenoid, vitamin dan fenol. Senyawa capsaicin pada cabai memiliki aktivitas anti bakteri. Sementara itu, asam askorbat dan fenol diketahui sebagai antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas. Senyawa fenol pada cabai merupakan terbesar keempat setelah brokoli, bayam dan bawang-bawangan (Iqbal et al., 2013).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasio ekspansi dan sifat tekstural sereal beras cokelat yang diperkaya dengan kacang polong kuning dan bubuk cabai dengan metode ekstrusi.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah beras cokelat (88%), kacang polong

kuning (3%) dan bubuk cabai (10%). Pengolahan sereal dengan metode ekstrusi menggunakan single screw extruder. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Food Engineering Lincoln University, New Zealand. Prosedur penelitian yang digunakan adalah rancangan perlakuan tunggal. Pengambilan data rasio ekspansi dilakukan 12 kali dengan menggunakan electronic sliding caliper sedangkan data sifat tekstural (kekerasan dan kerenyahan) sebanyak sembilan kali dengan Stable Microsystem Texture Analyzer. Data dianalisis dengan Anova faktor tunggal dilanjutkan dengan uji BNT menggunakan Microsoft Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. menunjukkan produk sereal beras cokelat yang diperkaya dengan kacang

polong kuning dan bubuk cabai (A) dan sereal beras cokelat tanpa penambahan komposisi (B). Penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai bertujuan untuk perbandingan profil tekstur sereal yang dihasilkan.

Beras cokelat (brown rice) adalah beras biasa (putih) yang pada proses

penggilinannya hanya dibuang lapisan kulit terluarnya, sehingga kulit ari beras yang kaya akan nutrisi masih utuh menempel pada biji. Varshini et al. (2013) menyatakan bahwa kulit beras (aleuron dan pericarp) mengandung berbagai nutrisi antara lain vitamin B dan E, protein, lemak, mineral dan serat. Serat bermanfaat untuk memperlambat penyerapan karbohidrat ke dalam darah sehingga menstabilkan gula darah. Beras cokelat juga

Gambar 1. Sereal beras cokelat diperkaya kacang polong kuning

dan bubuk cabai (A) dan kontrol (B)

1345

mengandung antioksidan misalnya curcumin, quercetin, catechin dan ellagic acid. Beras cokelat dapat membantu mengurangi asma, mencegah kanker, meningkatkan energi, membantu pembentukan formasi tulang dan mengurangi berat badan. Sedangkan kacang polong kuning mengandung serat, karbohirdat, folat dan bioaktif isoflavon, serta rendah lemak dan garam (Madar & Stark, 2002). Sementara itu, capsaicin, antioksidan, karotenoid dan vitamin pada cabai bermanfaat sebagai anti bakteri dan antioksidan (Iqbal et al., 2013).

Rasio ekspansi didefinisikan sebagai rasio diameter sereal yang dihasilkan dengan diameter dies atau cetakan (Jyothi et al., 2009). Menurut Brennan et al. (2012) tingkat kekerasan produk ditentukan oleh daya tahan produk untuk pecah/ patah akibat gaya tekan yang diberikan, sedangkan tingkat kerenyahan ditentukan oleh jumlah puncak grafik yang didapatkan selama pengukuran. Pada percobaan ini digunakan diameter cetakan sebesar 3 mm untuk semua sampel. Rasio ekspansi dan profil tekstur sereal beras cokelat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rasio ekspansi dan properti tekstural sereal beras cokelat diperkaya dengan kacang

polong kuning (PK) dan bubuk cabai (BC) (+ % SE)

Rasio ekspansi (%) Kekerasan (g) Kerenyahan

Kontrol 317 + 2.22 2022.75 + 5.97a 9.00 + 6.93b

Kontrol + 3% PK +

10% BC

337 + 2.35 1534.92+ 5.24b 11.56 + 5.79a

*angka pada kolom yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang

signifikan (p < 0.05)

Berdasarkan hasil analisis, rasio ekspansi semua sampel tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai tidak memberikan perubahan terhadap rasio ekspansi produk. Meskipun demikian, rasio ekspansi produk sereal beras cokelat dengan penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai lebih tinggi daripada kontrol, yaitu masing-masing 337% dan 317%. Berbeda dengan tingkat kekerasan produk, penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kekerasan produk dengan nilai p yang dihasilkan < 0.05. Nilai kekerasan masing-masing produk adalah 2022,75 g (kontrol) dan 1534,92 g (sereal diperkaya). Sementara itu, nilai kerenyahan sereal beras cokelat tanpa perlakuan (9,00) lebih kecil daripada sereal diperkaya (11,56). Hasil tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p< 0.05.

Rasio ekspansi merupakan karakter penting dalam analisis profil tekstur produk yang dihasilkan dengan metode ekstrusi. Berdasarkan hasil perhitungan, rasio ekspansi produk dengan penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai lebih tinggi daripada kontrol. Hal ini diduga karena proporsi beras cokelat dibandingkan dengan kacang polong yang ditambahkan. Sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa ekspansi rasio mungkin tergantung pada komposisi kimia dari bahan yang digunakan. Jika bahan yang digunakan mengandung lebih banyak pati maka bahan dapat menangkap uap air dan membentuk formasi produk yang berongga. Volume mengembang produk sereal menurun dengan peningkatan jumlah protein dan lipid, sebaliknya meningkat dengan tingginya konten pati pada bahan (Devi et al., 2013). Proporsi pati tersebut mempengaruhi jumlah pati tergelatinisasi yang menentukan besar kecilnya rasio pengembangan atau ekspansi produk (Budijanto et al., 2012).

Menurut Tripalo et al. (2006) dalam Budijanto et al. (2012) tingkat kekerasan produk ekstrusi dipengaruhi oleh kelembaban bahan, temperatur dan kecepatan ulir. Kelembaban memiliki efek yang paling signifikan terhadap kekerasan produk. Dalam penelitian ini sereal dengan penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai memiliki tingkat kekerasan yang lebih rendah daripada kontrol. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa tekstur yang keras disebabkan oleh penurunan jumlah pati dan

1346

peningkatan kadar protein dan serat yang terkandung dalam komposisi bahan baku (Budijanto et al., 2012).

KESIMPULAN

Pengayaan produk sereal dilaksanakan dengan penambahan kacang polong kuning

sebagai sumber protein dan bubuk cabai sebagai sumber antioksidan dan penambah rasa pada pembuatan sereal beras cokelat. Penambahan kacang polong kuning dan bubuk cabai tidak memberikan perubahan yang signifikan pada rasio ekspansi produk sereal beras cokelat yang dihasilkan. Perlakuan pengayaan menurunkan tingkat kekerasan dan meningkatkan kerenyahan sereal beras cokelat yang dihasilkan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Professor Charles Brennan yang telah memberi kesempatan penulis dan membantu dalam pelaksanaan penelitian serta memberikan masukan dalam penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Stastistik 2015. 2016. Proyeksi penduduk menurut provinsi. www.bps.go.id. Diakses tanggal 20 April 2016.

Brennan, M. A., Derbyshire, E., Brennan, C. S. & Tiwari, B. K. 2012. Impact of dietary fibre-enriched ready to eat extruded snacks on the postprandial glycaemic response of non-diabetic patients. Molecular Nutrition and Food Research 56: 834-837.

Budijanto, S., Sitanggang, A. B., Wiaranti, H. dan Koesbiantoro, B. 2012. Pengembangan teknologi sereal sarapan bekatul dengan menggunakan twin screw extruder. Jurnal Pasca Panen 9(2): 63-69.

Devi, N. L., Shobha, S., Tang, X., Shaur, S. A., Dogan, H. & Alavi, S. 2013. Development of protein-rich sorghum-based expanded snacks using extrusion technology. International Journal of Food Properties 16: 263-276.

Iqbal, Q., Amjad, M., Asi, M. R. & Arino, A. 2013. Characterization of capsaicinoids and antioxidants in hot peppers as influenced by hybrid and harvesting stage. Plant Food Human Nutrition 68: 358-363.

Jyothi, A. N., Sheriff, J. T. & Sanjeev, M. S. 2009. Physical and functional properties of arrowroot starch extrudates. Journal of Food Science 74(2): E97-104.

Madar, Z. & Stark, A. H. 2002. New legume sources as therapeutic agents. British Journal Nutrition 88: S287-292.

Ohtsubo, K., Suzuki, K., Yasui, Y. & Kasumi, T. 2005. Bio-functional components in the processed pre-germinated brown rice by a twin-screw extruder. Journal of Food Composition and Analysis 18: 303-316.

Shreenithee, C. R. & Prabhasankar, P. 2013. Effect on different shapes on the quality, microstructure, sensory and nutritional characteristic of yellow pea flour incorporated pasta. Food Measure 7: 166-176.

Varshini, V., Sundharam, A. & Praveen, V. 2013. Brown rice-hidden nutrients. Journal of Bioscience and Technology 4(1): 503-507.

1347

PENGARUH TINGKAT KETUAAN DAUN DAN LAMA FERMENTASITERHADAP MUTU TEH DAUN GAMBIR

Kasma Iswari dan Srimaryati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat Jl. Raya Padang-Solok KM. 40 Sukarami-Solok, 27366

ABSTRAK Teh adalah jenis minuman penyegar terbuat dari daun teh (Camellia sinensis), paling banyak dikonsumsi manusia dewasa setelah air, dan diperkirakan tidak kurang dari 120 ml per harinya. Teh mengandung tannin yang tinggi, berpotensi sebagai penyebab anemia karena disinyalir mampu mengabsorbsi mineral sebagai bentuk zat besi. Daun gambir (Uncaria gambir Hunte Roxb) mampu sebagai pengganti teh Camellia sinensis karena secara genetik tanaman gambir lebih banyak mengandung katekin dibandingkan tannin, katekin sangat bermanfaat untuk kesehatan, sedangkan tannin lebih banyak digunakan untuk industri tekstil. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat ketuaan daun dan lama fermentasi daun gambir terhadap mutu teh daun gambir. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap tiga ulangan yang dilaksanakan dengan dua tahap pertama tingkat ketuaan daun yang terdiri dari: 1) daun kesatu dan kedua; 2). Daun ketiga; 3) daun ke empat; 4) daun bunga kuncup; 5) daun bunga mekar. Kedua lama fermentasi daun gambir yang terdiri dari 10 level dengan interval 6 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun terbaik untuk bahan baku teh daun gambir adalah dari 1 dan 2 sampai ke 4 dengan lama fermentasi 48 jam. Fermentasi selama 48 jam dapat menurunkan kandungan tanin dari 6,5 % menjadi 2,32% dan meningkatkan kandungan katekin dari 1,5% menjadi 3,98%, dengan warna dan rasa air seduhan pada skor 5 (sangat disukai), dan aroma dengan skor 4,87 (suka). Kata kunci: Gambir, teh, pengolahan, fermentasi, tingkat ketuaan daun

PENDAHULAN

Tanaman gambir (Uncaria gambir Hunte Roxb) adalah komoditas spesifik Lokasi Sumatera Barat. Artinya komoditas ini tumbuh dan berkembang secara baik di daerah ini dan merupakan mata pencaharian pokok serta memegang peranan penting dalam pendapatan masyarakat. Pada tahun 2012 luas pertanaman gambir 21.412 ha dengan jumlah produksi 14.220 ton dan produktivitas rata-rata 0,72 t/ha (BPS, 2013). Potensi pengembagan gambir cukup besar karena gambir 100% ditanam pada lahan marjinal kawasan perbukitan Bukit Barisan dan termasuk kawasan hutan (Nazir, 2000, dan Denian, 2004).

Hasil dari usaha pertanaman gambir adalah getah gambir kering yang diekspor ke Australia, Bangladesh, Hongkong, India, Malaysia, Nepal, Pakistan, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, Filipina, Thailand dan Singapura (Statistik Perkebunan Indonesia, 2014). Harga jual tergantung negara impor sehingga petani gambir sering merugi. Oleh karena itu perlu ada inovasi baru untuk meningkatkan nilai tambah usaha tani gambir yaitu berupa pengolahan daun gambir menjadi teh gambir.

Teh biasanya berasal dari tanaman teh (Camellia sinensis) merupakan minuman penyegar yang sudah dikenal luas di Indonesia dan di dunia. Aromanya yang harum serta rasanya yang khas membuat minuman ini banyak dikonsumsi. Teh adalah jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi manusia dewasa setelah air, dan diperkirakan tidak kurang

1348

dari 120 ml/harinya (Damayanthi et al, 2008). Dalam kesegaran dan rasa yang khas tersebut ada terkandung beberapa zat yang perlu dikurangi karena memberikan mudhorat bagi kesehatan tubuh yaitu kandungan tanin yang tinggi. Tanin dalam teh berpotensi sebagai penyebab anemia karena disinyalir mampu mengabsorbsi mineral sebagai bentuk zat besi. Hal ini dikaitkan dengan peranan tanin yang terdapat dalam teh. Mineral makanan sebagai salah satu pembentuk zat besi bila bereaksi dengan tanin akan membentuk ikatan kompleks yang tidak larut dalam sistim pencernaan, akibatnya meneral makanan tidak berfungsi lagi dan dikeluarkan oleh tubuh dalam bentuk feses. Tanin mempunyai kekuatan untuk mengikat protein sehingga mempunyai kemampuan mengabsorbsi sari makanan.

Gambir juga mengandung tanin, namun lebih sedikit dibandingkan daun teh Camellia sinensis. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengolahan komoditas gambir sebagai pengganti teh Camellia sinensis dengan rasa dan aroma tidak kalah dengan teh Camellia sinensis. Secara genetik, tanaman gambir lebih banyak mengandung katekin dibandingkan tanin. Sedangkan tanaman teh lebih banyak mengandung tanin dibandingkan katekin (Ariani, et.al, 2013). Oleh karena itu ditinjau dari kesehatan, seharusnya lebih baik meminum teh daun gambir dibandingkan teh Camellia sinensis, karena teh daun gambir mengandung katekin lebih tinggi.

Kasim et al (2011) dan Hayani (2003) menyatakan bahwa komoponen utama daun gambir adalah katekin dan tanin. Katekin merupakaan monomer dari tanin. Jika 3 sampai 8 molekul katekin membentuk polimer maka polimer yang terbentuk akan membentuk tannin, tepatnya tannin kondensasi. Proses fermentasi dapat menghambat proses kondensasi sehingga tannin terkondensasi tidak terbentuk (Fajriati, 2006; Ariani et al, 2013). Sesuai dengan struktur kimia tersebut maka katekin dan tannin juga akan mempunyai manfaat yang berbeda. Katekin lebih banyak manfaatnya untuk bidang kesehatan, kosmetika, farmasi dan pangan, sedangkan tannin utamanya digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Tanin yang diproduksi dunia 90% diantaranya digunakan sebagai penyamak kulit.

Disamping proses fermentasi, tingkat ketuaan daun berpengaruh terhadap rendemen getah gambir kering dimana rendemen getah akan menurun apabila daun dikempa pada saat bunga sudah mekar (Aswardi et al, 2005). Berdasarkan penelitian tersebut diduga tingkat ketuaan daun juga akan berpengaruh terhadap proporsi kandungan katekin dengan tannin. Untuk produk teh diarapkan kandungan tanin lebih rendah dibandingkan dengan katekin.

Tujuan penelitian adalahuntuk mengetahui pengaruh tingkat ketuaan daun dan lama fermentasi daun gambir terhadap mutu teh daun gambir. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penggunaan tingkat ketuaan daun gambir dan lama fermentasi daun yang berbeda pada proses pengolahan akan mempengaruhi mutu teh daun gambir terutama dalam hal penurunan kandungan tannin.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Daun gambir diperoleh dari nagari Talang Maur Kabupaten Limapuluh Kota. Analisis kimia dilaksanakan di Laboratorium Intrumentasi Pusat Teknologi Hasil Pertanian Universitas Andalas.

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap tiga ulangan yang dilaksanakan dengan dua tahap. Pertama penelitian tingkat ketuaan daun yang terdiri darI: 1) daun pucuk (ke1 dan 2); daun ketiga; 3) daun ke empat; 4) daun bunga kuncup; 5) daun bunga mekar. Kedua lama fermentasi daun gambir yang terdiri dari 10 perlakuan dengan interval 6 jam.Parameter yang diamati adalah uji organoleptik, kandungan katekin, tanin, kadar abu, kadar air, bahan tidak larut dalam air, bahan tidak larut dalam alkohol. Analisis dilakukan terhadap daun gambir segar sesuai perlakuan daun teh gambir. Uji organoleptik dilakukan di laboratorium dengan enam orang panelis yang terlatih menggunakan skala Hedonik dengan skor 1 – 5 untuk setiap parameter warna, rasa, dan aroma pada setiap sampel uji. Skor 1 dinilai sangat tidak suka, skor 2 tidak suka, skor 3 agak suka, skor 4 suka, dan skor 5 sangat suka (Soekarto 1990). Kadar katekin diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 279 dan 300 nm, tanin ditentukan dengan Gas Cromatographi (GC) (Hayani, 2003), kadar abu dengan metode tanur, kadar air ditentukan dengan metode oven, kadar

1349

tidak larut dalam air ditentukan dengan metode kelarutan air, kadar tidak larut dalam alkohol ditentukan dengan metode kelarutan dalam alkohol (AOAC,1998). Proses pembuatan teh gambir mengikuti diagram alir berikut (Gambar 1)

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan teh daun gambir

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Ketuaan Daun

a. Analisis Fisik dan Kimia

Sebelum diolah menjadi teh, terlebih dahulu dilakukan analisis daun gambir segar sesuai dengan perlakuan tingkat ketuaan daun (Tabel 1). Tabel 1. Analisis mutu daun gambir dengan tingkat ketuaan berbeda

Tingkat Ketuan Daun

Kriteria fisik dan kimia daun gambir segar (%)

Air Abu tanin Katekin Bahan tidak Larut air

Bahan tidak larut

alkohhol Pucuk (1 dan 2) 69,55 a 0,17 c 1,08 c 1,36 b 6,88 d 3,63 b Daun ke- 3 64,29 b 0,08 d 1,48 b 1,09 b 8,86 b 3,72 b Daun ke-4 62,79 c 0,38 b 0,73 d 1,27 b 6,86 d 3,24 c Daun bunga kuncup 59,20 d 0,18 c 2,19 a 1,73 a 8,15 c 2,85 d Daun Bunga Mekar 59,40 d 0,63 a 1,49 b 0,91 c 9,00 a 4,39 a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%

Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa daun pada saat bunga kuncup mengandung katekin dan tanin paling tinggi yaitu sebesar 1,73% dan tanin 2,19% berbeda nyata dengan tingkat ketuaan daun lainnya. Hal ini disebabkan karena pada tingkat ketuaan tersebut secara fisiologis kondisi produksi getah optimum. Data tersebut didukung oleh hasil penelitian Aswardi et al. (2005) bahwa rendemen getah gambir kering tertinggi diperoleh pada saat bunga kuncup yaitu sebesar 1,3%, sedangkan pada saat bunga mekar produksi getah gambir kering hanya 0,67%. Jika ditinjau pada tingkat ketuaan 1 dan 2, daun ke-3

Daun Gambir

Fermentasi

Pelayuan

Pengecilan ukuran

Pengeringan

Pengemasan

TEH DAUN GAMBIR

1350

sampai dengan ke-4, kandungan tanin lebih rendah (0,73- 1,48%) dibandingkan bunga kuncup, dan daun pada saat bunga mekar. Kondisi pada tingkat ketuaan daun seperti ini sangat baik untuk diolah menjadi teh karena menurut Velury et.al, (2004), tanin yang tinggi kurang baik pada produk pangan karena tanin mampu mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya, sehingga akan terjadi kekurangan gizi (protein) jika tidak mengkonsumsi gizi seimbang.

Analisis yang sama dilakukan terhadap teh gambir (Tabel 2), dimana daun pada saat bunga kuncup juga mengandung katekin tertinggi yaitu sebesar 3,31% dan tanin sebesar 2,57%. Tanin paling rendah diperoleh pada teh yang berasal dari daun pucuk yaitu 2,14%, tidak berbeda nyata dengan teh yang berasal dari daun ke-3, ke -4. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian lebih lanjut bahan baku yang digunakan adalah daun pucuk (1 dan 2), daun ke-3, daun ke-4 yang dicampur.

Tabel 2. Pengaruh tingkat ketuaan daun terhadap mutu teh daun gambir

Tingkat Ketuaan Daun

Kriteria fisik dan kimia teh daun gambir (%) Air Abu Tanin katekin Bahan

tidak Larut air

Bahan tidak larut

alkohol Pucuk (1 dan 2) 7,14° 1,07e 2,14 c 2,50 c 10,56 c 5,76 b Daun ke 3 6,50c 1,65c 2,20 c 2,11d 13,07b 4,89 c Daun ke 4 6,67b 1,94b 2,42 c 2,17 d 11,99bc 5,66 b Daun bunga kuncup 6,21d 1,39d 2,57 b 3,31 a 12,38b 6,12 a Daun bunga mekar 6,62b 2,36 a 2,97a 3,08 b 14,83a 6,18 a

Angka –angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5%.

b. Uji Organoleptik Uji organoleptik pada air seduhan teh gambir dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa teh

yang paling disukai adalah teh yang berasal dari daun 1 dan 2 dengan skor rasa 5, dan skor aroma 4,88. Namun kalau ditinjau dari segi warna air seduhan mempunyai skor paling rendah yaitu 3,05 (agak suka). Dari segi warna terlihat air seduhan agak pucat, tidak berwarna coklat kemerahan seperti layaknya teh hitam dari Camellia sinensis. Hal ini terjadi karena pada teh yang berasal dari daun pucuk 1 dan 2 mengandung tannin yang cukup rendah dibandingkan teh dari daun bunga mekar yang mempunyai warna sangat bagus seperti warna teh dari Camellia sinensis,karena kandungan taninnya lebih tinggi dibandingkan teh dari daun pucuk 1 dan 2. Warna yang muncul karena disebabkan tanin mampu mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya, membentuk warna merah tua (Fajriati, 2006). Tabel 3.Uji organoleptik air seduhan teh gambir pada berbagai tingkat ketuaan daun gambir

Tingkat ketuaan daun Uji organoleptik air seduhan teh gambir

Warna aroma rasa Daun pucuk (1dan 2) 3,05 4,88 5,00 Daun ke-3 3,54 4,76 4,97 Daun ke-4 3,67 4,96 4,86 Dun bunga kuncup 4,98 3,87 3,45 Daun bunga mekar 5,00 3,42 3,00

c. Lama Fermentasi Setelah diperoleh tingkat ketuaan daun yang terbaik untuk diolah menjadi teh yang

ditinjau dari kandungan tannin yang lebih rendah, dan dari uji organoleptik maka selanjutnya dilakukan penelitian lama fermentasi. Lama fermentasi daun gambir mempengaruhi mutu teh yang dihasilkan. Mutu teh dinilai dari proporsi kandungan tanin

1351

dan katekin, yang memperlihatkan kandungan katekin lebih tinggi diandingkn tanin. Menurut Velury et.al, (2004) tanin mempunyai sifat-sifat antara lain jika dilarutkan kedalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut.

Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa fermentasi daun gambir selama 48 jam memberikan kandungan proporsi antara katekin dengan tanin terbaik dibandingkan perlakuan lainnya, dimana kandungan katekin lebih tinggi dibandingkan tanin

Gambar 2. Pengaruh lama fermentasi daun gambir terhadap proporsi kandungan katekin dengan tanin pada teh gambir

Setelah difermentasi selama 6 jam jam diperoleh kadar tanin 6,61% dan katekin

1,51%, setelah difermentasi selama 48 jam kandungan tanin menurun menjadi 2,32 % dan katekin meningkat menjadi 3,98%. Jika waktu fermentasi ditingkatkan menjadi 60 jam kandungan tanin menurun menjadi 2,32% dan katekin juga menurun menjadi 3,41%. Fenomena ini membuktikan bahwa dengan proses fermentasi terjadi oksidasi polifenol sehingga terjadi perubahan kandungan tanin dan katekin (Lucida, 2006).

d. Uji Organoleptik Setelah melaluiproses fermentasi, secara organoleptik terjadi perubahan pada air

seduhan. Warna air seduhan semakin disukai panelis dengan semakin ditingkatkan lama fermentasi yaitu skor 5 (sangat disukai), tetapi tidak demikian dengan rasa, semakin ditingkatkan lama fermentasi setelah 48 jam, rasa teh berkurang yang ditunjukkan dengan berkurangnya penilaian panelis dari 5 pada lama fermentasi 48 jam menjadi 4,01 dan 4, 23 (suka) setelah melebihi 48 jam (Tabel 4).

1352

Tabel 4.Uji organoleptik air seduhan teh gambir pada berbagai lama fermentasi

Lama Fermentasi (jam) Uji organoleptik air seduhan teh gambir

Warna Aroma Rasa 6 3,00 3,52 3,65

12 3,05 3,78 3,68 18 3,54 3,57 3,77 24 3,72 3,96 3,86 30 4,00 4,05 4,02 36 4,45 4,40 4,00 42 4,88 4,68 4,92 48 5,00 4,87 5,00 54 5,00 4,73 4,01 60 5,00 4,70 4,23

KESIMPULAN DAN SARAN

Tingkat ketuaan daun mempengaruhi mutu teh daun gambir. Daun ke 1dan 2 sampai dengan daun ke-4 merupakan bahan baku terbaik untuk diolah menjadi teh karena mengandung katekin lebih tinggi dibandingkan tanin. Lama fermentasi juga mempengaruhi mutu teh daun gambir. Fermentasi selama 48 jam dapat menurunkan kandungan tanin dari 6,5 % menjadi 2,32% dan meningkatkan kandungan katekin dari 1,5% menjadi 3,98%. Proses fermentasi juga mempengaruhi uji mutu organolepetik, Warna air seduhan semakin disukai panelis dengan semakin ditingkatkan lama fermentasi yaitu skor 5 (sangat disukai), tetapi tidak demikian dengan rasa, semakin ditingkatkan lama fermentasi setelah 48 jam, rasa teh berkurang yang ditunjukkan dengan berkurangnya penilaian panelis dari 5 pada lama fermentasi 48 jam menjadi 4,01 dan 4, 23 (suka) setelah melebihi 48 jam.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1998. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist, Washington.

Ariani, A, Pentadini, F, Dewi, EMK, Martono, Y. 2013. Isolasi Katekin dari Gambir (Uncaria gambir. Roxb) Sebagai Functional Food pada Mie. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains VII UKSW, Universitas Kristen Satya Wacana salatiga.

BPS, 2013. Sumatera Barat dalam angka tahun 2012. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat. Padang.

Damayanthi, E, Kusharto C M, Suprihartini, R, Rohdiana, D. 2008. Studi kandungan katekin dan turunannya sebagai antioksidan alami serta karakteristik organoleptik produk teh Murbei dan teh Camellia sinensis-Murbei. Jakarta: Media Gizi danKeluarga edisi (32)1: 95-103.

Denian, Ahmad. 2004. Status teknologi produksi tanaman gambir. Makalah Utama pada ekspose Teknologi Gambir, Kayumanis dan Atsiri. Di Laing Solok, Sumbar, 2 Desember 2004.

Fajriati, 2006. Optimasi Metode Penentuan Tanin. Kaunia Jurnal Sains dan Teknologi Vol. II, No. 2.

Hayani, E. 2003. Analisis Kadar Catechin dari Gambir dengan Berbagai Metode, Buletin Tekhnik Pertanian Vol.8. No. 1

Kasim, A, Yumarni, Ahmad, F. 2006. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengempaan Pada Pembuatan Papan dari Batang Kelapa Sawit Dengan Perekt Gambir Terhdap Sifat Papan Prtikel. Prosiding Seminar Nasional IX. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

1353

Lucida, H, Bachtiar, A, Putri, WA. 2007. Formulasi sediaan antiseptic mulut dari katekin gambir. J. Sain.Tek Far, 12 (1)

Nazir N. 2000. Gambir, budidaya, pengolahan, dan prospek diversifikasinya. Penerbit Yayasan Hutanku. Padang.

Statistik Perkebunan Indonesia 2014. Tanaman Rempah dan Penyegar. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian,Jakarta

Soekarto, ST 1990. ‘ Penilaian Organoleptik’,Cipta Bharata Karya. Jakarta.

Velury, R, Weir, TL Bais, HP, Stermit, FR and Vivanco, JM. 2004. Phytotoxic and antimicrobial activities of catechin derivative, J.Agri. Food, Chem. 52 (5): 1077-1082.

1354

TEKNIK DEKAFEINASI KOPI LIBERIKA TUNGKAL JAMBI DAN

TEKNOLOGI PENGOLAHANNYA MENJADI KOPI BUBUK

RENDAH KAFEIN

Mursalin,Siti Nuraeni dan Dewi Fortuna

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jambi, Jln. Raya Jambi-Muara Bulian Km.15 Mendalo Darat, Jambi 36122, Telp. 0741-580053

ABSTRAK

Kafein bermanfaat bagi kesehatan, jika dikonsumsi pada dosis tidak lebih dari 200 mg/hari. Konsumsi kafein dalam jumlah berlebih akan merugikan kesehatan; pada dosis 250–700 mg/hari dapat menyebabkan insomnia, keresahan dan hipertensi; pada dosis lebih dari 1000 mg/hari bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penurunan kandungan kafein kopi dalam jumlah yang lebih banyak. Salah satu caranya adalah dengan proses dekafeinasi menggunakan etil asetat sebelum disangrai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi etil asetat dan lama pemanasan terhadap tingkat dekafeinasi kopi libtujam. Lima taraf konsentrasi larutan etil asetat dalam air, yaitu 0, 5, 10, 15 dan 20% serta 3 taraf lama perendaman, yaitu 70, 90 dan 120 menit diukur pengaruhnya dalam menurunkan kandungan kafein kopi liberika tungkal Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama proses perendaman dalam larutan etil asetat akan semakin banyak kafein yang dapat dihilangkan dari dalam biji kopi. Pada lama perendaman 70 menit, laju penurunan kadar kafein mengikuti persamaan Y = 0.002x2-0.045x+1.018 dimana y adalah kadar kafein produk akhir dan x adalah konsentrasi etil asetat. Pada lama perendaman 70 menit, kadar kafein terendah tercapai pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.25% yaitu sebesar 0.76%. Pada lama perendaman 90 dan 120 menit, laju penurunan kadar kafein masing-masing mengikuti persamaan Y = 0.002x2-0.046x+0.960 dan Y = 0.002x2-0.041x+0.859; kadar kafein terendah masing-masing sebesar 0.70 dan 0.65% diperoleh pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.5 dan 10.25%. Perbedaan kandungan kafein dalam produk kopi bubuk hasil dekafeinasi menggunakan etil asetat pada berbagai konsentrasi dan lama perendaman ternyata tidak mempengaruhi kadar air dan warna kopi tetapi sangat mempengahui rasa kopi seduh yang dihasilkan. Rekomendasi penelitian ini adalah: untuk memproduksi kopi liberika tungkal Jambi rendah kafein dengan rasa yang masih disukai konsumen, dapat dilakukan proses dekafeinasi menggunakan larutan etil asetat pada konsentrasi 10-12%, suhu perendaman 50-65oC dan waktu perendaman selama 70-90 menit. Kata kunci: dekafeinasi, etil asetat, kopi bubuk, liberika tungkal Jambi

PENDAHULUAN

Secara alami, kopi mengandung komponen bioaktif yang dikenal dengan nama kafein. Kafein dalam kopi bermanfaat sebagai antioksidan, anti kanker, dan merupakan substituen khusus yang mampu merangsang kinerja otak (Farida et al., 2013). Kafein merupakan salah satu derivat xanthin yang mempunyai daya kerja sebagai stimulant sistem syaraf pusat, stimulant otot jantung, relaxasi otot polos dan meningkatkan diuresis dengan tingkatan tertentu (Kristiyanto, et al., 2013). kandungan kafein pada biji kopi berbeda-beda tergantung dari jenis kopi dan kondisi geografis tempat kopi tersebut ditanam. Kopi arabika mengandung kafein 0,4-2,4% dari total berat kering, kopi robusta mengandung kafein 1,2%, sedangkan kopi liberika mengandung kafein berkisar 1,12-1,26% (Baon, et al., 2012). Jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih, kafein akan berdampak negatif bagi kesehatan. Menurut Suhartono et al. (2005), pada dosis 100–200 mg/hari kafein dapat meningkatkan kewaspadaan, menghilangkan kantuk, dan meningkatkan kemampuan berpikir; pada dosis

1355

250–700 mg/hari kafein dapat menyebabkan insomnia, keresahan, dan hipertensi; pada dosis lebih dari 1000 mg/hari dapat menyebabkan kematian. Jika setiap penyajian satu gelas seduhan kopi (200 ml) didapat dari campuran 0,3 oz kopi, 0,7 oz gula dan 200 ml air panas serta diasumsikan kandungan kafein kopi sebesar 1%, kemurnian kopi dihitung 80% dan 1 oz setara dengan 28,35 gram, berarti rata-rata konsumsi kafein untuk setiap gelas kopi adalah (1% x 0,3 oz x 28,35 gram/oz x 0,8) = 0,06804 g = 68,04 mg. Konsumsi kopi 3 gelas per hari adalah batas optimal untuk mendapatkan nilai tambah positif, lebih dari itu tidak lagi dianjurkan, batas maksimum kritisnya adalah 14,7 atau 15 gelas per hari.

Karena kandungan kafein yang boleh dikonsumsi secara harian oleh manusia tidak boleh terlalu tinggi, maka perlu dilakukan upaya penurunan kandungan kafein kopi untuk dapat dikonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak. Salah satu cara untuk mengurangi kadar kafein pada kopi adalah dengan proses dekafeinasi. Menurut Suhartono, et al. (2005) dekafeinasi biasanya dilakukan pada green coffee sebelum disangrai. Dekafeinasi akan menghasilkan kopi dengan kandungan kafein yang rendah. Kopi rendah kafein adalah alternatif pilihan bagi masyarakat yang sadar dengan efek samping dari kafein. Kopi rendah kafein merupakan salah satu produk diversifikasi yang dapat meningkatkan nilai tambah dan konsumsi domestik kopi Indonesia, terutama untuk kopi Libtujam.

Menurut Widyotomo (2012) dekafeinasi dapat dilakukan dengan menggunakan air (water decaffeination), pelarut (solvent decaffeination) atau CO2 super kritis (super criticalcarbondioxide decaffeination). Kopi rendah kafein hasil dekafenasi pada saat ini sedang trend di pasaran dan diminati oleh banyak orang yang peduli akan kesehatan. Di tingkat industri, proses dekafeinasi yang banyak dikembangkan umumnya menggunakan teknologi impor, baik dari aspek perangkat keras maupun perangkat lunaknya. Hasil penelitian dan pengembangan proses dekafeinasi di tingkat industri, jarang dipublikasikan karena terkait aturan paten dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) lainnya. Akibatnya, harga kopi rendah kafein yang ditawarkan saat ini relatif masih tinggi. Terbatasnya akses informasi bagi masyarakat mengenai teknik dekafeinasi kopi, menyebabkan konsumen kopi rendah kafein rela membayar mahal demi memperoleh produk yang sesuai selera dan dinilai lebih aman untuk dikonsumsi.

Penelitian yang berkaitan dengan pengembangan proses dekafeinasi biji kopi pernah dilakukan dengan sistem perebusan menggunakan berbagai jenis pelarut organik (solvent decaffeination) terhadap kopi robusta (Widyotomo, 2012). Salah satu jenis pelarut yang dapat dipakai untuk proses ini adalah etil asetat. Kelebihan dekafeinasi dengan metode pelarut diantaranya karena pelarut memiliki selektivitas yang tinggi sehingga aroma dan rasa yang khas dari kopi dapat dipertahankan (Suhartono, et al., 2005).

Diversifikasi olahan kopi Libtujam menjadi kopi rendah kafein diperkirakan akan menambah keterterimaan konsumen sehingga dapat memperbaiki proses pemasarannya. Dekafeinasi kopi Libtujam dapat dilakukan dengan cara sederhana melalui metode ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat.

METODE PENELITIAN

Bahan utama yang digunakan yaitu biji kopi liberika tungkal Jambi yang diperoleh dari Desa Parit Tomo Kel. Mekar Jaya, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahan penunjang dan bahan kimia yang digunakan untuk analisa pada penelitian ini adalah aquades, larutan etil asetat, kloroform, CaCO3., air panas dan bahan penunjang lainnya.

Sebelum perlakuan dekafeinasi diterapkan, biji kopi libtujam disortasi dan dibersihkan dari senyawa pengotornya lalu dikukus selama 30 menit dan direndam dalam aquades selama 10 menit. Setelah diangkat dari air rendamannya, biji kopi lalu disaring dan ditiriskan, setelah tidak ada lagi air yang menetes, biji kopi siap untuk dikenakan perlakuan.

Untuk perlakuan pertama, etil asetat 0% (keseluruhannya air) sebanyak 750 ml ditempatkan dalam gelas piala 1500 ml lalu dipanaskan dalam penangas air hingga suhunya mencapai 500C. Setelah suhu pelarut tercapai, 500 g biji kopi yang telah mengalami perlakuan pendahuluan tadi dimasukkan ke dalam gelas piala berisi etil asetat dan dibiarkan selama 70 menit sambil diaduk agar seluruh butir dari biji kopi mendapat panas dan kontak dengan pelarut dengan kesempatan yang sama. Setelah itu, kopi ditiriskan dan kembali

1356

dikeringkan untuk siap disangrai. Untuk perlakuan kedua dan seterusnya, urutan pekerjaannya sama dengan perlakuan pertama, hanya saja diterapkan untuk konsentrasi etil asetat yang berbeda sesuai rancangan penelitian. Setiap taraf perlakuan konsentrasi etil asetat diterapkan tiga kali, masing-masing untuk lama perendaman 70, 90 dan 120 menit.

Setelah biji kopi disangrai dan ditepungkan, terhadap kopi bubuk yang diperoleh dilakukan pengamatan untuk parameter kadar kafein, kadar air, dan mutu hedoniknya. Penentuan kadar kafein dilakukan mengikuti metode yang dikembangkan oleh Fitri (2008), menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 273,5 nm. Kadar air ditentukan dengan metode AOAC (1999). Mutu hedonik untuk aroma dan warna kopi bubuk serta kekentalan dan cita rasa kopi seduh ditentukan secara organoleptik dengan metode uji kesukaan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 20 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Kafein Menurut Holstege et al., (2005) nama lain dari kafein adalah 1,3,7-Trimethylxhantine

dengan rumus molekul C8H10N4O2. Kafeinmenyublim pada suhu 180oC dan melebur pada suhu di bawah 136oC.Vuong dan Roach (2013) menyatakan bahwa kelarutan kafein pada berbagai pelarut sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh suhu pelarutnya. Kafein larut sangat baik dalam kloroform, etil asetat dan air. Pada suhu yang 25oC, kelarutan kafein dalam kloroform 8.18 kali lebih tinggi dibandingkan dalam air sedangkan kelarutan kopi dalam etil asetat hanya 1.14 kali lebih tinggi dari kelarutannya dalam air. Kafein sangat rendah kelarutannya dalam ether, benzen, alkohol dan aseton. Kloroform biasanya digunakan untuk mengisolasi kafein dari sumber alaminya. Untuk proses dekafeinasi kloroform jarang digunakan karena alasan kesehatan dan ekonomis, etil asetat lebih dipilih karena selain harganya lebih murah juga lebih bersifat food-grade dibandingkan kloroform.

Lama perendaman biji kopi dan konsentrasi etil asetat berpengaruh nyata terhadap kadar kafein kopi bubuk yang dihasilkan. Dekafeinasi sebagaimana yang dilakukan pada penelitian ini telah berhasil menurunkan kadar kafein kopi libtujam pada level yang cukup rendah. Kombinasi perlakuan konsentrasi etil asetat 10% pada lama perendaman 120 menit mampu menurunkan kadar kafein kopi libtujam hingga 48.21% yaitu dari 1.12% saat masih berupa kopi biji menjadi 0.57% ketika sudah jadi produk kopi bubuk terdekafeinasi (Tabel 1). Tabel 1. Kadar kafein kopi bubuk (%) pada berbagai konsentrasi etil asetat dan lama proses perendaman

Konsentrasi Etil Asetat (%)

Lama Perendaman (menit) jumlah Rataan

70 90 120

0 1.03 0.96 0.86 2.86 0.95

5 0.84 0.80 0.72 2.35 0.78

10 0.70 0.63 0.57 1.90 0.63

15 0.87 0.78 0.74 2.40 0.80

20 0.86 0.81 0.78 2.45 0.82

Jumlah 4.30 3.98 3.68 11.95 Rataan 0.86 0.80 0.74

0.80

Analisis grafis pengaruh konsentrasi etil asetat dan lama proses perendaman ini menunjukkan bahwa: (1) peningkatan konsentrasi larutan etil asetat akan diikuti pula oleh peningkatan laju penurunan kadar kafein dalam produk; (2) jumlah kafein yang dapat dihilangkan selama proses pelarutan dalam etil asetat cenderung semakin meningkat sebanding dengan semakin tingginya konsentrasi etil asetat yang digunakan; (3)

1357

peningkatan jumlah kafein yang dapat dihilangkan selama proses dekafeinasi menggunakan pelarut etil asetat cenderung mengikuti persamaan kuadratik dengan respon yang sedikit berbeda untuk lama perendaman yang berbeda (Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi etil asetat dengan kadar kafein produk

Tingkat penurunan kadar kafein kopi dominan lebih tinggi pada lama perendaman 120 menit (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama proses perendaman dalam larutan etil asetat akan semakin banyak kafein yang dapat dihilangkan dari dalam biji kopi. Pada lama perendaman 70 menit, laju penurunan kadar kafein sebagai pengaruh dari peningkatan konsentrasi etil asetat meningkat dengan persamaan Y=0.002x2-0.045x+1.018; dimana y adalah kadar kafein (%) dan x adalah konsentrasi etil asetat (%) (Gambar 1). Berdasarkan persamaan ini dapat diketahui bahwa titik terendah kadar kafein kopi bubuk libtujam yang di-dekafeinasi menggunakan larutan etil asetat pada suhu perendaman antara 50-65oC dan lama perendaman 70 menit, tercapai pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.25% dengan kadar kafein sebesar 0.76%.

Pada lama perendaman 90 menit, laju penurunan kadar kafein sebagai pengaruh dari peningkatan konsentrasi etil asetat meningkat dengan persamaan Y= 0.002x2-0.046x+0.960. Berdasarkan persamaan ini dapat diketahui bahwa titik terendah kadar kafein kopi bubuk libtujam yang di-dekafeinasi menggunakan larutan etil asetat pada suhu perendaman antara 50-65oC dan lama perendaman 90 menit, tercapai pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.5% dengan kadar kafein sebesar 0.70%.

Pada lama perendaman 120 menit, laju penurunan kadar kafein sebagai pengaruh dari peningkatan konsentrasi etil asetat meningkat dengan persamaan Y= 0.002x2-0.041x+0.859. Berdasarkan persamaan ini dapat diketahui bahwa titik terendah kadar kafein kopi bubuk libtujam yang di-dekafeinasi menggunakan larutan etil asetat pada suhu perendaman antara 50-65oC dan lama perendaman 120 menit, tercapai pada penggunaan konsentrasi etil asetat 10.25% dengan kadar kafein sebesar 0.65%.

Kadar Air Perbedaan kandungan kafein dalam produk kopi bubuk hasil dekafeinasi

menggunakan etil asetat pada berbagai konsentrasi, suhu dan lama perendaman ternyata tidak mempengaruhi kadar air produk akhir. Karena seluruh rangkaian proses dekafeinasi dilakukan sebelum penyangraian dan setelah proses tersebut dilakukan pengeringan kembali hingga kadar air 15% maka dapat dipahami kalau kadar air produk akhir cenderung homogen (Tabel 2).

y = 0.002x2 - 0.0453x + 1.0189 R² = 0.7582

y = 0.002x2 - 0.0465x + 0.9604 R² = 0.8267

y = 0.002x2 - 0.0418x + 0.8599 R² = 0.7657 K

adar

kaf

ein

(%

)

Konsentrasi etil asetat (%)

t = 70 menit t = 90 menit t = 120 menit

1358

Tabel 2. Kadar air kopi bubuk libtujam hasil dekafeinasi

Konsentrasi Asam Asetat (%)

Lama Perendaman (menit) jumlah Rata-rata

70 90 120

0 3.31 3.32 3.30 9.92 3.31

5 3.31 3.30 3.30 9.91 3.30

10 3.29 3.29 3.30 9.88 3.29

15 3.29 3.29 3.29 9.87 3.29

20 3.30 3.29 3.31 9.90 3.30

Jumlah 16.50 16.48 16.49 49.48

Rata-rata 3.30 3.30 3.30

3.30

Kadar air maksimum yang boleh dikandung oleh kopi bubuk sebagimana disyaratkan dalam SNI adalah 7%. Kadar air rata-rata produk dekafeinasi kopi bubuk liberika tungkal Jambi pada penelitian ini sebesar 3.30 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kopi bubuk libtujam yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi syarat untuk dipasarkan sebagai kopi bubuk rendah kafein.

Mutu Hedonik Warna Kopi Bubuk Proses dekafeinasi menggunakan pelarut etil asetat tidak mempengaruhi kesukaan

panelis akan warna kopi bubuk terdekafeinasi yang dihasilkan (Tabel 3). Lama perendaman 70, 90 dan 120 menit masing-masing diurutkan pada peringkat 2.05, 2.00 dan 1.95. Rata-rata peringkat yang cenderung sama ini menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan akan warna kopi bubuk yang dihasilkan. Konsentrasi larutan etil asetat yang berbeda (0, 5, 10, 15 dan 20%) yang digunakan untuk merendam biji kopi libtujam pada proses dekafeinasi ternyata masing-masing ditempatkan pada rata-rata peringkat 3.40, 3.15, 2.95, 2.85, dan 2.65 (Tabel 4).

Tabel 3. Peringkat kesukaan panelis akan warna kopi bubuk pada berbagai lama perendaman

Panelis Lama Perendaman

jumlah 70' 90' 120'

1 1 2 3 6 2 2 1 3 6 3 1 3 2 6 4 3 2 1 6 5 3 1 2 6 6 1 2 3 6 7 3 2 1 6 8 2 3 1 6 9 3 2 1 6

10 1 3 2 6 11 3 1 2 6 12 2 3 1 6 13 3 1 2 6 14 1 2 3 6 15 3 1 2 6 16 2 3 1 6 17 2 3 1 6 18 2 1 3 6 19 2 1 3 6

20 1 3 2 6

Jumlah 41 40 39 120 Rataan 2.05 2.00 1.95

1359

Tabel 4. Peringkat kesukaan panelis akan warna kopi bubuk pada berbagai konsentrasi etil asetat

Panelis Konsentrasi etil asetat (%)

0 5 10 15 20

1 3 2 4 1 5

2 4 5 3 1 2

3 4 3 1 2 5

4 3 5 1 4 2

5 4 1 3 5 2

6 1 5 2 3 4

7 2 5 4 3 1

8 3 5 1 4 2

9 4 3 1 5 2

10 5 3 4 2 1

11 1 5 4 3 2

12 5 1 3 4 2

13 5 3 2 1 4

14 5 2 4 1 3

15 1 5 3 2 4

16 5 2 1 4 3

17 5 1 4 3 2

18 2 4 5 3 1

19 3 2 5 1 4

20 3 1 4 5 2

Jumlah 68 63 59 57 53

Rataan 3.40 3.15 2.95 2.85 2.65

Pengurangan jumlah kafein dalam produk akibat proses dekafeinasi yang dilakukan

pada lama perendaman dan konsentrasi etil asetat yang berbeda ternyata tidak berimbas kepada perubahan warna kopi bubuk yang dihasilkan. Berarti kafein bukanlah zat yang termasuk sebagai komponen pembentuk warna kopi bubuk.

Mutu Hedonik Rasa Kopi Seduh Lama perendaman dan konsentrasi larutan etil asetat yang digunakan untuk

merendam sangat mempengahui mutu hedonik kopi seduh yang dihasilkan (Tabel 5 dan 6).

1360

Tabel 5. Peringkat kesukaan panelis akan rasa kopi seduh pada berbagai lama perendaman

Panelis Lama perendaman

70' 90' 120' 1 3 1 2 2 1 3 2 3 2 3 1 4 3 1 2 5 3 1 2 6 3 2 1 7 3 2 1 8 2 3 1 9 3 2 1

10 1 3 2 11 3 2 1 12 3 2 1 13 3 1 2 14 3 2 1 15 3 1 2 16 1 3 2 17 2 3 1 18 2 1 3 19 3 1 2 20 1 3 2

Jumlah 48 40 32 Rataan 2.40 2.00 1.60

Perendaman biji kopi yang semakin lama akan menyebabkan rasa kopi seduh semakin

tidak disukai panelis. Tingkat preferensi panelis akan rasa kopi seduh yang dihasilkan cenderung semakin menurun pada penggunaan suhu perendaman yang semakin tinggi. Produk kopi terdekafeinasi yang paling disukai rasanya oleh panelis ternyata dihasilkan dari perlakuan suhu dan lama perendaman yang paling rendah. Berarti, mutu hedonik rasa kopi seduh yang dihasilkan dari proses dekafeniasi menggunakan pelarut etil asetat berbanding terbalik dengan perlakuan lama dan suhu perendaman biji kopi sebelum disangrai. Tabel

1361

6. Peringkat kesukaan panelis akan rasa kopi seduh pada berbagai konsentrasi etil asetat

Panelis Konsentrasi etil asetat (%)

0 5 10 15 20 1 5 2 4 2 3 2 5 1 2 3 4 3 5 1 2 4 3 4 4 2 1 3 5 5 5 3 1 2 4 6 3 2 4 1 5 7 4 1 3 2 5 8 4 2 5 1 3 9 5 2 3 1 4

10 4 1 2 5 3 11 5 1 4 2 3 12 4 2 3 1 5 13 1 5 4 2 3 14 1 3 4 2 5 15 5 4 1 3 2 16 4 3 1 2 5 17 5 2 1 4 3 18 5 1 3 2 4

19 4 1 5 3 2

20 5 2 3 1 4 Jumlah 83 41 56 46 75 Rataan 4.15 2.05 2.80 2.30 3.75

Etil asetat pada konsentrasi yang paling rendah (0%) atau tinggi sekali (20%), akan

menghasilkan kopi dengan rasa yang lebih diterima panelis dibandingkan yang dihasilkan dari konsentrasi 5-15% (Tabel 6). Diperkirakan kafein merupakan komponen penting dan utama yang mempengaruhi rasa kopi seduh, semua perlakuan yang menghasilkan produk kopi dengan kadar kafein rendah cenderung kurang disukai oleh konsumen.

KESIMPULAN

Semakin lama proses perendaman dalam larutan etil asetat akan semakin banyak kafein yang dapat dihilangkan dari dalam biji kopi. Pada lama perendaman 70 menit, laju penurunan kadar kafein mengikuti persamaan Y = 0.002x2-0.045x+1.018 untuk y = kadar kafein (%) dan x = konsentrasi etil asetat. Pada suhu perendaman antara 50-65oC dan lama perendaman 70 menit, kadar kafein terendah tercapai pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.25% yaitu sebesar 0.76%. Pada lama perendaman 90 dan 120 menit, laju penurunan kadar kafein masing-masing mengikuti persamaan Y = 0.002x2-0.046x+0.960 dan Y = 0.002x2-0.041x+0.859; kadar kafein terendah masing-masing sebesar 0.70 dan 0.65% diperoleh pada penggunaan konsentrasi etil asetat 11.5 dan 10.25%. Perbedaan kandungan kafein dalam produk kopi terdekafeinasi ternyata tidak mempengaruhi kadar air dan warna produk tetapi sangat berpengaruh terhadap rasa. Mutu hedonik rasa kopi seduh yang dihasilkan dari proses dekafeniasi menggunakan pelarut etil asetat berbanding terbalik dengan perlakuan lama dan suhu perendaman biji kopi sebelum disangrai. Untuk memproduksi kopi liberika tungkal Jambi rendah kafein dengan rasa yang masih disukai konsumen, dapat dilakukan proses dekafeinasi dengan menggunakan larutan etil asetat pada konsentrasi 10-12%, suhu perendaman 50-65oC dan waktu perendaman selama 70-90 menit.

1362

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of Association Agricultural Chemist. Washington DC.

Baon, J.B., et.al. 2013. Prospek Budidaya Kopi Liberoid Berkelanjutan di Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian : Bogor.

Farida, Ana. ; E. Ristanti R. ; dan A.C Kumoro. 2013. Penurunan Kadar Kafein dan Asam Total Pada Biji Kopi Robusta Menggunakan Teknologi Fermentasi Aerob Fakultatif dengan Mikroba Nopkor MZ-15. Jurnal Tenologi Kimia dan Industri. Vol.2, No.3, Tahun 2013, Halaman 70-75.

Fitri, N S. 2008. Pengaruh Berat dan Waktu Penyeduhan Terhadap Kadar Kafein dari Bubuk Teh. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. USU. Medan.http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpmedan/berita-209-kopi-dan-variannya-.html,[30 Agustus 2014]

Holstege, CP., dan E. Holstege. 2005. Third Edition Encyclopedia Of Toxicology: Caffeine. Elsevier. USA, 1 : 377-379

Kristiyanto, Danang. ; B.D Haris P. ; dan Abdullah. 2013. Penurunan Kadar Kafein Kopi Arabika dengan Proses Fermentasi Menggunakan Nopkor MZ-15. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri , Vol.2, No.4, Tahun 2013, Halaman 170-176.

Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Purnamayani, R. 2014. Mengenal Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) Khas Jambi. http://jambi.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=306:mengenal-kopi-liberika-tungkal-komposit-libtukom-khas-jambi&catid=4:info-aktual&itemid=5). Diakses Tanggal 21 November 2014. Jambi.

SNI. 01-3542-94. 1994. Standar Nasional Indonesia untuk Kopi Bubuk. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.

Suhartono, Jono; D.S Pertiwi, A. Faslah, YF. Saputra. 2005. Penentuan Koefisien Perpindahan Massa Pada Dekafeinasi Kopi Dengan Pelarut Methylene Chloride. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia Dan Proses 2005 Issn: 1411 – 4216. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Nasional.

Vuong, Q.V., dan P.D Roach. 2013. Caffeine in Green Tea; Its Removal ad Isolation. Uiversity of Newcastle. Australia, 43(2): 155-174.

Widyotomo, Sukrisno. 2012. Optimasi suhu dan konsentrasi pelarut dalam dekafeinasi biji kopi menggunakan Response Surface Methodology. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia. Pelita Perkebunan 28(3) 2012, 184-200.

1363

KAJIAN PEMANFAATAN TEPUNG MOCAF (Modified casava

flour) MENDUKUNG PENGEMBANGAN MAKANAN

TRADISIONAL SUMATERA BARAT GALAMAI DAN KUE SAPIK

Srimaryati dan Kasma Iswari

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat JL. Raya Padang – Solok Km. 40 Sukarami Kab. Solok

ABSTRAK

Tepung Mocaf adalah tepung ubikayu yang dimodifikasi melalui proses fermentasi sehingga mempunyai kriteria fisik dan kimia hampir menyamai terigu. Penggunaan tepung mocafsebagai bahan baku berbagai bentuk produk olahan perlu dipacu untuk percepatan peningkatan nilai tambah, dan daya saing guna mendukung target utama Kementerian Pertanian 2015-2019. Penelitian bertujuan untuk menentukan formulasi makanan tradisional Sumatera Barat berbasis tepung mocaf (Galamai dan Kue sapik) yang biasanya terbuat dari tepung beras putih dan tepung beras ketan dan terigu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium BPTP Sumatera Barat pada bulan Agustus sampai Desember 2014. Penelitian pembuatan galamai dirancang secara acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuannya adalah perbandingan MOCAF, tepung beras dan beras ketan. Penelitian kue sapik dirancang dengan rancangan acak lengkap tiga ulangan. Perlakuan meliputi perbandingan MOCAF, tepung beras dan terigu dengan formulasi 100:0:0%, 90:5:5%, 90:10:0%, 90:0:10%, 80:10:10%, 80:15:15%, 80:5:15%, 70:15:15%, 70:20:10%, 70:10:20%, dan 0:100:0% sebagai pembanding. Penggunaan tepung mocaf 80%: tepung beras 20% memberikan hasil uji menyamai formula galamai tradisional dari segi tektur, rasa, aroma dan penampilannya. Hasil analisis kimia diperoleh kadar protein 3.11%, abu 1.40%, gula 30.69%, air 31.10%, lemak 2.96%. Kadar protein dan abu memenuhi SNI 01-2986-1992 dengan umur simpan selama 6 hari. Hasil uji organoleptik kue sapik 80:10:10% mendapatkan penampilan dengan skor 3,64 (suka), dari analisis kimia diperoleh protein 4.25%, abu 0.94%, gula 42.21%, air 3.94% dan lemak 8.70%. Standar mutu kue sapik mengacu kepada SNI 2973-2011 tentang mutu biskuit berjenis wafer. Hasil analisis kadar abu, kadar air dan kadar lemak memenuhi SNI dengan umur simpan mencapai 20 minggu. Kata kunci: tepung mocaf, kue sapik, galamai, formulasi

PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Barat kaya dengan komoditas umbi-umbian terutama ubikayu. Produksinya mencapai 219.836 ton/tahun (BPS. Sumbar, 2011). Selain untuk produk olahan kue-kue kering ubi kayu juga diolah menjadi tepung mocaf. Tepung mocaf adalah tepung yang diperoleh melalui proses fermentasi ubikayu, menggunakan mikroba bakteri asam laktat (Arief, 2010). Tepung mocaf mempunyai sifat hampir menyamai terigu terutama dalam hal viscositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Hidayat et al, 2009)). Oleh karena itu tepung mocaf dapat dijadikan sebagai substitusi terigu sampai 100%. Penggunaan tepung mocaf sebagai bahan baku berbagai macam produk olahan seperti mie, pizza, cake, nonflaky cracker/biskuit/kue-kue kering serta makanan tradisional lainnya perlu dipacu untuk peningkatan nilai tambah, substitusi impor dan daya saing guna mendukung target utama Kementerian Pertanian 2010-2014.

Putri (2011) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tepung mocaf dapat mensubstitusi terigu 25 % dalam pembuatan roti dengan perbandingan 60% tepung terigu: 25% MOCAF: 15% tepung kacang hijau. Roti yang dihasilkan disukai oleh panelis dan

1364

memiliki kandungan gizi yang cukup baik yaitu kadar protein 9,57%, kadar lemak 7,79%, karbohidrat 52,67%, kadar gula 14,37% dan derajat pengembangan 57,23%.

Makanan tradisional Sumatera Barat yang berpeluang menggunakan mocaf diantaranya adalah galamai dan kue sapik. Galamai terbuat dari tepung beras dicampur dengan tepung beras ketan, gula merah dan santan kelapa. Pengolahannya membutuhkan waktu hampir satu hari. Produk tersebut menyerupai dodol, namun lebih lunak dan berminyak. Produk ini selalu ada pada saat baralek (pesta) secara adat Minang Kabau. Kue sapik merupakan kue kering yang dipanggang menggunakan cetakan spesifik Sumatera Barat. Kue tersebut terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan terigu. Untuk mengurangi penggunaan tepung beras dan tepung terigu dapat digunakan tepung mocaf.

Tujuan penelitian adalah untuk menentukan formulasi makanan tradisional Sumatera Barat berbasis tepung mocaf (galamai dan kue sapik), analisa mutu fisik kimia produk dan menguji organoleptik produk.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat dan Laboratorium Intrumentasi Pusat Teknologi Hasil Pertanian Universitas Andalas, pada bulan Agustus sampai Desember 2014.

Penelitian pembuatan galamai dirancang secara acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan adalah perbandingan mocaf dengan tepung beras dan beras ketan Galamai tradisional dari tepung beras ketan yang dicampur dengan tepung beras dengan perbandingan 2:1 dijadikan sebagai pembandingnya.

Penelitian pembuatan kue sapik tepung mocaf dirancang dengan rancangan acak lengkap tiga ulangan. Perlakuan meliputi perbandingan MOCAF, tepung beras dan terigu dengan formulasi 1) 100:0:0%, 2) 90:5:5%, 3) 90:10:0%, 4) 90:0:10%, 5) 80:10:10%, 6) 80:15:15%, 7) 80:5:15%, 8) 70:15:15%, 9) 70:20:10%, 10) 70:10:20%, dan 11) 0:100:0% sebagai pembanding. Parameter yang diamatipada kedua produk olahan adalah analisis proksimat (kadar protein, karbohidrat, kadar lemak), serat kasar, kadar abu, kadar air, nantinya disesuaikan dengan SNI dan uji organoleptik.

Metode analisis kadar air dihitung dengan metode Oven.Kadar abu dilakukan dengan metode tanur.Kadar protein ditentukan dengan mikro Kjeldahl, kadar karbohidrat dengan metode luff schrol, serat kasar (hidrolisis dengan asam basa encer), lemak (ekstraksi dengan petrotium eter). Hasil analisis fisik dan kimia ini kemudian dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia.

Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonikdengan skala 1-5 oleh 10 orang panelis yang sudah terlatih. Untuk parameter warna, tekstur dan aroma digunakan skoring yaitu, 1 = sangat tidak suka, 2 = tidaksuka, 3 = agak suka, 4 = suka dan 5 sangat suka. Untuk parameter rasa digunakan skoring 1= sangat tidak enak, 2= tidak enak, 3= agak enak, 4 = enak, dan 5 = sangat enak. Data diperoleh dari nilai rata-rata tiga ulangan, ditabulasi dan dibandingkan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan Galamai Tepung Mocaf

a. Uji Organoleptik Hasil uji organoleptik galamai tepung mocaf disajikan pada Tabel 1. Dari hasil analisis

diketahui bahwa, rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur galamai berkisar antara 2.67 – 4.98; rasa berkisar antara 2.93 – 5.00; aroma berkisar antara 2.67 – 4.90; warna berkisar antara 2.47 – 5.00; sedangkan penampilan berkisar antara 2.47. 5.00.

1365

Tabel 1. Pengaruh Berbagai Formula Galamai Terhadap Uji Organoleptik

NO. Perlakuan Uji Organoleptik

Mocaf (%)

T. Beras (%)

T. Ketan (%)

Tekstur Rasa Aroma Warna Penam-

pilan 1. 100 0 0 2.67 2.93 2.67 2.47 2.47 2. 90 10 0 4.23 4.19 4.00 4.02 4.00 3. 90 0 10 3.27 3.67 3.47 3.27 3.20 4. 80 20 0 4.96 5.00 4.89 5.00 5.00 5. 80 0 20 3.47 3.60 3.33 3.33 3.20 6. 70 30 0 2.76 3.56 3.21 3.00 3.43 7. 70 0 30 3.20 3.33 3.40 3.60 3.87 8. 60 40 0 2.68 3.53 3.36 3.62 3.15 9. 60 0 40 3.40 3.13 3.27 3.73 3.73

10. 0 2 bgn 1 bgn 4.98 5.00 4.90 5.00 5.00 11. 0 0 100 3.00 4.53 4.78 4.53 3.78

Hasil organoleptik diketahui bahwa tepung mocaf dapat menggantikan bahan baku

galamai tradisional (tepung beras ketan 2 bagian dan tepung beras 1 bagian). Perlakuan nomor 4 (80% mocaf : 20% tepung beras) memberikan hasil uji hampir sama dengan formula galamai tradisional 2:1 (perlakuan nomor 10), baik dari segi tektur, rasa, aroma dan penampilannya. Kesamaan dari segi tekstur ini disebabkan oleh sifat gelatinisasi tepung beras dan beras ketan dapat tergantikan oleh tepung mocaf. Menurut Subagio (2009), proses fermentasi pada proses pembuatan tepung mocaf dapat merubah karateristik tepung melalui proses liberisasi pati yang menyebabkan perubahan berupa naiknya viscositas, dan terjadinya peningkatan kemampuan gelasi (kemampuan menjadi gel).

b. Analisis Fisiko Kimia Galamai Hasil analisa fisiko kimia galamai dapat dilihat pada Tabel 2. Kadar protein galamai

dari 11 perlakuan berkisar 2,19% - 3,74%. Kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan tradisional nomor 10 yaitu 3,74%, namun tidak jauh berbeda dengan galamai yang terbuat dari tepung mocaf pada perlakuan nomor 4 yaitu 3,11%.

Tabel 2. Pengaruh Formula galamai terhadap kadar protein, abu, gula, air dan lemak

NO. Perlakuan Analisa Fisiko Kimia (%)

Mocaf (%)

T. Beras (%)

T. Ketan (%)

Protein Abu Gula Air Lemak

1. 100 2.19 1.18 28.92 36.97 1.84 2. 90 10 2.53 1.36 31.52 32.61 2.49 3. 90 10 2.60 1.01 22.37 44.94 6.39 4. 80 20 3.11 1.28 30.69 31.10 2.96 5. 80 20 2.70 1.43 30.28 46.14 4.68 6. 70 30 2.72 1.40 21.30 31.90 3.92 7. 70 30 2.57 1.22 30.99 38.41 2.23 8. 60 40 2.43 1.41 28.99 35.58 2.24 9. 60 40 3.06 1.22 27.25 42.49 2.02

10. 2 bgn 1 bgn 3.74 1.38 32.84 28.96 1.38 11. 100 2.97 1.32 30.21 29.99 2.05

Galamai hampir menyerupai dodol yang banyak diproduksi dari daerah Garut Jawa

Barat. Berdasarkan hal tersebut SNI standar mutu galamai mengacu kepada SNI dodol dengan nomor SNI 01-2986-1992. Ditinjau dari SNI 01-2986-1992, perlakuan nomor 4 (80% tepung mocaf dicampur dengan 20% tepung beras) memenuhi standar mutu yaitu protein minimum 3%, sedangkan pada perlakuan tersebut diperoleh protein 3,11%.

Tingginya protein pada galamai dengan bahan baku 80% tepung mocaf dicampur dengan 20% tepung beras karena sumbangan protein dari tepung mocaf. Tepung mocaf dihasilkan melalui proses fermentasi dengan Lactobacillus untuk mensekresikan beberapa

1366

enzim ektraseluler (protein) kedalam singkong selama proses fermentasi, atau berkembangnya Lactobacillus kedalam singkong dalam bentuk protein sel tunggal selama proses fermentasi (Kurniati et.al.,2012). Selama fermentasi bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum menghasilkan enzim proteinase. Proteinase akan menghidrolisis protein menjadi peptida yang sederhana. Adanya kenaikan kadar protein diperoleh dari aktivitas enzim protease yang dihasilkan oleh mikrobia yang ada dalam proses fermentasi.

Kadar abu galamai berkisar 1.18% - 1.43%. Kadar abu tertinggi diperoleh pada perlakuan nomor 5 (Mocaf 80%: tepung ketan 20%) yaitu sebesar 1.43%, sedangkan kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan nomor 3 (mocaf 90: tepung ketan 10) yaitu 1.01%. Dari seluruh perlakuan yang diuji, kadar abu masih memenuhi standar SNI 01-2986-1992 yaitu kadar abu maksimum 1,5%.

Kadar abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral.Mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau pembakaran. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri atas garam organik seperti asam malat, oksalat, asetat, pektat dan garam anorganik seperti fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan nitrat.

Kadar gula galamai berkisar 21,30% - 32,84%.Kadar gula tertinggi diperoleh pada perlakuan nomor 10 yaitu sebesar 32,84%, sedangkan kadar gula terendah adalah pada perlakuan nomor 6 yaitu sebesar 21,3%.

Kadar air menurut SNI 01-2986-1992 maksimun 20%, sedangkan kadar air galamai diperoleh 28,96% - 48,18%. Tingginya kadar air pada galamai menyebabkan umur simpan galamai lebih pendek. Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktifitas kimiawi (Amanu dan Susanto, 2014). Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Eksistensi atau keberadaan air dalam suatu bahan pangan merupakan parameter utama yang terlibat dalam kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Winarno (2002)menjelaskan bahwa kadar air merupakan faktor yang mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa pangan, daya tahan produk, kesegaran dan penerimaan konsumen. Khusus kadar lemak dan kadar air galamai belum memenuhi standar SNI 01-2986-1992. Kadar lemak menurut SNI tersebut minimum 7%, sedangkan kadar lemak yang diperoleh hanya bekisar 1,38%-6,39%.

Teknologi Pengolahan Kue Sapik

a. Uji Organoleptik Uji organoleptik kue sapik disajikan pada Tabel 3. Perlakuan nomor 9 (70:20:10%)

dalam hal tekstur paling disukai penelis dengan skor 4,07 (suka), namun dari segi penampilan diperoleh pada perlakuan nomor 5 (80:10:10%) dengan skor 3,64 (suka), lebih tinggi bila dibandingkan dengan bahan kue sapik secara tradisional yaitu pada perlakuan nomor 1 (0:100:0%) dan perlakuan nomor 4 (90:0:10%). Dari hal rasa dan aroma dari semua perlakuan hampir sama yaitu rata-rata 3 (agak suka).

1367

Tabel 3. Uji organoleptik kue sapik dari berbagai formula

NO. Perlakuan Uji Organoleptik

Mocaf (%)

T. Beras (%)

T. Terigu (%)

Tekstur Rasa Aroma Warna Penam-

pilan 1. 0 100 0 3.29 3.21 3.14 2.86 2.86 2. 90 5 5 2.71 3.00 3.00 2.71 2.86 3. 90 10 0 3.43 3.29 3.00 3.14 3.14 4. 90 0 10 3.36 3.07 3.00 3.29 3.29 5. 80 10 10 3.29 3.29 3.00 3.57 3.64 6. 80 15 5 3.29 3.29 3.29 3.07 2.93 7. 80 5 15 3.64 3.57 3.50 3.43 3.43 8. 70 15 15 3.86 3.79 3.43 3.64 3.29 9. 70 20 10 4.07 3.79 3.57 3.50 3.29

10. 70 10 20 3.21 2.93 3.00 2.79 2.71 11. 100 0 0 3.14 3.07 3.14 2.57 2.64

Secara visual dari segi tekstur, dapat diketahui bahwa semakin banyak tepung mocaf

digunakan sebagai bahan baku, kue sapik yang dihasilkan semakin rapuh dan mudah pecah. Dari segi penampilan dan kecerahan warna perlakuan nomor 5 (80:10:10%) jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kue sapik yang terbuat dari beras. Tingginya kecerahan warna dan penampilan yang diberikan panelis karena kecocokan formula antara tepung mocaf, tepung beras dan terigu. Penimbul warna disebabkan oleh tepung mocaf, karena pada proses pembuatan tepung mocaf dilakukan perendaman menggunakan starter Lactobcillus pada proses fermentasi. Fermentasi yang dilakukan dengan cara perendaman menyebabkan terjadinya degradasi pigmen yang ada dalam bahan. Proses perendaman tersebut diduga dapat meluruhkan komponen yang ada dalam bahan termasuk komponen warna, semakin lama fermentasi maka semakin banyak komponen warna yang luruh sehingga tepung yang dihasilkan menjadi semakin putih.

b. Analisa Fisiko kimia kue Sapik Hasil analisa fisiko kimia kue sapik dapat dilihat pada Tabel 4. Kadar abu diperoleh

0,28%- 1,11%. Standar mutu kue sapik mengacu kepada SNI 2973-2011 tentang mutu biskuit berjenis wafer (Taufik dan Suliasih, 2013). Kadar abu dipersyaratkan maksimum 1% berarti kadar abu kue sapik memenuhi standar mutu SNI 2973-2011, kecuali perlakuan nomor 4 (90:0:10%) tidak memenuhi standar mutu SNI 2973-2011.

Tabel 4. Pengaruh perlakuan formula terhadap uji kimia/gizi kue sapik

NO. Perlakuan Analisis Fisiko Kimia Kue Sapik

Mocaf (%)

T. Beras (%)

T. Terigu (%)

Abu Air Protein Gula Lemak

1. 0 100 0 0.78 6.27 3.71 37.11 14.44 2. 90 5 5 0.75 3.77 3.56 32.70 14.91 3. 90 10 0 0.76 3.33 3.92 38.50 11.44 4. 90 0 10 1.11 4.52 3.39 34.34 14.83 5. 80 10 10 0.94 3.94 4.25 42.21 8.70 6. 80 15 5 0.87 3.18 4.15 50.64 11.26 7. 80 5 15 0.93 3.42 4.31 43.55 11.41 8. 70 15 15 0.96 3.53 3.34 43.26 11.87 9. 70 20 10 0.87 3.28 3.38 44.17 10.21

10. 70 10 20 0.63 3.61 4.23 44.43 10.44 11. 100 0 0 0.28 4.53 3,19 43.19 6.81

Kadar air dipersyaratkan SNI 2973-2011 maksimal 5%. Pada penelitian tersebut

diperoleh kadar air berkisar 3,18% - 6,27%, berarti kadar air kue sapik memenuhi standar mutu SNI kecuali perlakuan kue sapik dengan bahan baku 100% tepung beras diperoleh kadar air sebesar 6,27% berarti sudah melebihi standar SNI 2973-2011.

1368

Kadar protein kue sapik berkisar antara 3,19%-4,25%. Kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan nomor 3 yaitu sebesar 4,25%, sedangkan terendah diperoleh pada perlakuan nomor 10 yaitu sebesar 3,19%. Kadar protein berdasarkan SNI 2973-2011 adalah sebesar 9%, sedangkan protein kue sapik hanya diperoleh 3,19%-4,25%, dalam hal ini berarti kue sapik yang dihasilkan belum memenuhi standar mutu SNI 2973-2011.

Untuk kadar lemak dari 11 perlakuan yang diuji sudah memenuhi standar mutu SNI yang dipersyaratkan 9,5%, kecuali perlakuan dengan bahan baku tepung mocaf 100% diperoleh kadar lemak 6,81%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penggunaan tepung mocaf 80% + 20% tepung beras memberikan hasil uji hampir

sama dengan formula galamai tradisional 2:1 baik dari segi tektur, rasa, aroma dan penampilannya. Hasil analisis kimia diperoleh kadar protein 3.11%, abu 1.40%, gula 30.69%, air 31.10%, lemak 2.96%, dan protein serta kadar abu memenuhi SNI 01-2986-1992 dengan umur simpan selama 6 hari. Pembuatan kue sapik dengan formula 80:10:10% memberikan hasil uji penampilan dengan skor 3,64 (suka), dan dari analisis kimia diperoleh protein 4.25%, abu sebesar 0.94%, gula 42.21%, air 3.94% dan lemak 8.70%. Standar mutu kue sapik mengacu SNI 2973-2011 tentang mutu biskuit berjenis wafer. Analisis kimia yang memenuhi standar adalah kadar abu, air dan kadar lemak. Untuk mengembangkan industri tepung mocaf disarankan kepada pelaku usaha untuk melakukan substitusi terigu/beras dengan tepung mocaf dalam pembuatan produk olahan makanan terutama makanan tradisional karena memberikan citarasa yang tidak kalah dengan produk aslinya.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1998. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist, Washington.

Amanu, FN., WH. Susanto. 2014. Pembuatan Tepung Mocaf Di Madura (Kajian Varietas Dan Lokasi Penanaman) Terhadap Mutu Dan Rendemen. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No 3 p.161-169.

BPS. 2011. Sumatera Barat Dalam Angka.Kejasama BAPPEDA Sumatera Barat dengan BPS Sumatera Barat Tahun 2008.

Hidayat, B, Kalsum, N dan Surfiana. 2009. Karakterisasi tepung ubi kayu modifikasi yang diproses menggunakan metode pragelatinisasi parsial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Vol. 14, No 2.

Iswari, K., dan Marzempi 2011. Kajian Pengkayaan Tepung MOCAF pada Pembuatan Mie Kering Melalui PenambahanTepung Kecambah Kedelai dan Filler untuk Memenuhi Standar AKG 30% dan Substitusi Terigu 35%

Kurniati, Li., Nur Aida, S.Gunawan, dan T.Widjaja. 2012. Pembuatan Mocaf (Modified Cassava Flour) Dengan Proses Fermentasi Menggunakan Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Rhizopus oryzae. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1: 1-6

Putri. 2011. Pembuatan romo (roti mocaf) yang diperkaya dengan tepung kacang hijau (vigna radiata l.) sebagai sumber protein. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang

Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara. Yakarta.

Subagio. 2009.Proses Produksi Mocal.Download: http://tepungmocal.ning.com. (diakses 8 Desember 2014).

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta :PT.Gramedia.

1369

PENGARUH PERLAKUAN FILTRASI DAN PENAMBAHAN KASEIN TERHADAP KADAR ASAM LAKTAT, TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT, DAN PENERIMAAN KONSUMEN TERHADAP

YOGHURT SAWO (ACHRAS ZAPOTA L.)

Yeyen Prestyaning Wanita dan Mahargono Kobarsih

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22, Karangsari, Ngemplak, Sleman. Tlp (0274) 884662

ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh perlakuan filtrasi dan penambahan kasein terhadap kadar asam laktat, total bakteri asam laktat, dan penerimaan konsumen terhadap yoghurt sawodilakukan di Laboratorium Pascapanen dan Alsintan, BPTP Yogyakarta bulan April - November 2014. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah proses filtrasi (dengan dan tanpa filtrasi), dan faktor kedua adalah persentase penambahan kasein(5%, 10%, 15%) b/v. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kandungan asam laktat tertinggi dihasilkan oleh perlakuan filtrasi dengan penambahan 15%kasein, yaitu sebesar 1,34%, 2) kandungan total bakteri asam laktat tertinggi dihasilkan oleh perlakuan filtrasi dengan penambahan 5% kasein, 3) kesukaan konsumen tertinggi secara keseluruhan (sisi warna, tekstur, aroma, rasa, dan kesukaan) dihasilkan oleh perlakuan filtrasi dan 10% penambahan kasein, dengan nilai penerimaan masing-masing sebesar 3,4; 3,2; 2,8; 2,7; dan 2,8 yang berarti panelis menyukainya. Adanya diversifikasi pengolahan buah sawo menjadi yoghurt dapat mendukung pengembangan minuman fungsional dari bahan lokal. Kata kunci: Buah Sawo, yoghurt, filtrasi, kasein, kandungan asam laktat, total bakteri asam laktat, dan kesukaan konsumen

PENDAHULUAN

Sawo (Achras zapota L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang diduga berasal dari Guatemala (Rukmana, 1997). Produksi buah sawo di Indonesia cukup tinggi tahun 2000 produksi sawo sekitar 53,275 ton (BPN, 2001). Untuk DIY, produktivitas buah sawo terbesar berada di Kabupaten Gunung Kidul dengan jumlah tanaman pada tanun 2010 sebanyak 43.291 tanaman dengan produksi sebesar 31.818 kuintal/pohon/tahun.

Menurut Ashari (1995) buah sawo umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, diversifikasi pengolahan buah sawo masih sangat terbatas dan jarang yang melakukan pengolahan hasil. Pada saat panen raya keberadaan buah sawo sangat melimpah. Buah sawo merupakan buah klimaterik, sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama akan cepat membusuk. Untuk itu diperlukan suatu terobosan untuk memanfaatkan buah sawo menjadi berbagai macam olahan.

Buah sawo dengan rasa dan aroma yang khas dapat diolah menjadi minuman fungsional berupa yoghurt sawo. Yoghurt merupakan minuman hasil fermentasi susu segar menggunakan mikrobia Steptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Fermentasi merupakan proses yang bisa dilakukan secara aerob maupun anaerob yang melibatkan aktivitas bakteri atau ekstraknya dengan aktivitas mikrobia terkontrol (Darwis et al., 1989). Bakteri ini menghidrolisa gula susu dan laktosa menjadi asam laktat sehingga keasaman susu naik disertai dengan penurunan pH yang mengakibatkan terkoagulasinya protein susu sehingga terbentuk tekstur curd yang kompak. Aktivitas Lactobacillus bulgaricus membentuk asam laktat dan menghidrolisis protein susu. Hasil hidrolisa ini adalah senyawa-senyawa acetaldehyde yang memberikan aroma khas pada yoghurt (Tamime et al., 1997 dan Marshal,

1370

1987). Sedangkan pembentukan asam laktat menyebabkan yoghurt memiliki pH antara 3,8 – 4,6 dan tekstur berbentuk semi solid (Marshal, 1987). Menurut Yusmarini, et al (1998) asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi menjadi yoghurt adalah asam laktat, asam sitrat, dan asam suksinat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh proses filtrasi dan penambahan kasein terhadap karasteristik yoghurt sawo.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah sawo, gula pasir, kasein, starter yoghurt berupa ‘Caspean sea yoghurt’ dan bahan-bahan lain yang digunakan untuk analisa mikrobiologis, kimia, dan organoleptik. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah pisau, mesin pulper siever, kain saring, alat penyaring, alat pengaduk, panci, kompor, dan peralatan-peralatan lainnya yang digunakan untuk analisa mikrobiologis, kimia, dan organoleptik.

Metodologi Penelitian dilaksanakan pada bulan April – November 2012 di laboratorium Pasca

Panen dan Alsintan, BPTP Yogyakarta. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor dan empat ulangan (Scheaffer, 1990). Faktor pertama adalah proses filtrasi (dengan melalui proses filtrasi dan tidak), dan faktor kedua adalah persentase penambahan kasein dalam formula pembuatan yoghurt sawo (5%, 10%, dan 15%).

Proses Pembuatan yoghurt sawo Buah sawo dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir dan ditiriskan. Ujung buah

sawo pisah daging buah dengan bijinya menggunakan mesin pulper siever sehingga dihasilkan bubur buah sawo. Selanjutnya bubur buah disaring (sesuai dengan perlakuan). Hasil tahapan proses ini dimasak selama 5 (lima) menit setelah mendidih dengan ditambah kasein sesuai perlakuan, dan 10% gula pasir sampai tercampur rata menjadi larutan. Campuran ini didinginkan dan diinokulasi menggunakan starter ‘Caspiansea yoghurt’ sebanyak 2,5% dari volume larutan. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 12 jam sampai dihasilkan yoghurt sawo.

Uji organoleptik Uji ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap yoghurt

sawo yang dihasilkan berdasarkan metode kesukaan (Hedonic scale) terhadap warna, tekstur, aroma, rasa, serta penerimaan secara keseluruhan (Resurreccion, 1998). Uji organoleptik dilaksanakan terhadap 25 orang panelis. Skala hedonic dibuat dengan lima tingkatan kesukaan (1-5), yaitu 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak suka, 4= suka, dan 5= sangat suka.

Uji kimia dan mikrobiologi Uji kimia dilaksanakan terhadap derajat keasaman (pH) dan jumlah asam laktat,

sedangkan uji mikrobiologis berupa jumlah total bakteri pada masing-masing perlakuan Uji statistic Hasil uji organoleptik dan kimia dianalisa secara statistic dengan uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Duncan taraf kepercayaan 95% (Steel et al., 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses fermentasi menggunakan bakteri asam laktat berupa Steptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus yang dikemas menjadi ‘Caspean Sea Starter’ membutuhkan protein untuk beraktivitas. Kandungan protein puree sawo hanya sekitar 0,75% sehingga diperlukan penambahan protein dalam proses fermentasi. Protein yang ditambahkan berupa susu skim (kasein) sesuai perlakuan.

1371

Hasil Uji Organoleptik

Hasil uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap yoghurt sawo dengan perlakuan dengan dan tanpa penyaringan serta persentase penambahan kasein disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil uji organoleptik yoghurt sawo dengan perlakuan dengan dan tanpa penyaringan dan persentase penambahan kasein

Perlakuan Warna Tekstur Aroma Rasa Kesukaan keseluruhan

S1K1 3,43cd 2,79ab 2,64a 2,64a 2,57a S1K2 3,43cd 3,21b 2,78ab 2,71a 2,79a S1K3 3,36bcd 2,29a 2,36a 2,50a 2,71a S2K1 2,71a 2,36a 2,50a 2,57a 2,43a S2K2 3,00abc 2,43a 2,43a 2,50a 2,36a S2K3 2,79ab 2,57a 2,442a 2,64a 2,29a

KONTROL 3,78d 3,86c 3,43b 4,00b 3,89a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata menurut DMRT 5% S1K1= yoghurt sawo dengan penyaringan dan 5% penambahan kasein S1K2= yoghurt sawo dengan penyaringan dan 10% penambahan kasein S1K3= yoghurt sawo dengan penyaringan dan 15% penambahan kasein S2K1= yoghurt sawo tanpa penyaringan dan 5% penambahan kasein S2K2= yoghurt sawo tanpa penyaringan dan 10% penambahan kasein S2K3= yoghurt sawo tanpa penyaringan dan 15% penambahan kasein Kontrol=?

Rata-rata terjadi perubahan warna dari sari buah sawo sampai menjadi yoghurt. Sari buah sawo mula-mula berwarna coklat setelah ditambah starter warnanya berubah menjadi coklat muda cenderung krem. Pada perlakuan tanpa penyaringan, warna yoghurt yang dihasilkan cenderung lebih tua daripada perlakuan dengan penyaringan. Hal ini kemungkinan adanya serat buah sawo yang lebih banyak pada yoghurt perlakuan penyaringan. Tekstur yoghurt adalah kekentalan atau kekompakan yang dihasilkan setelah sari buah sawo ditambah starter sebanyak 2,5% dari volume sari buah sawo dan mengalami inkubasi selama 9 jam. Terjadi perubahan tekstur setelah proses difermentasi oleh bakteri asam laktat. Tekstur sari buah sawo yang semula encer, kurang kompak setelah terfermentasi menjadi yoghurt menjadi bentuk curd yang compak, berlendir, dan lebih lembut. Hal ini terjadi karena proses fermentasi menyebabkan penurunan pH (dari 7 menjadi 5-4) yang menyebabkan protein susu terdenaturasi dan menjadi padat. Semakin rendah penambahan kasein maka dihasilkan tekstur yoghurt yang semakin kurang kompak karena semakin rendah persentase penambahan kasein (susu skim) maka protein yang dirombak juga semakin sedikit, sehingga asam laktat yang dihasilkan juga semakin sedikit. Tekstur yang paling disukai panelis dari yoghurt sawo yang dihasilkan adalah perlakuan penyaringan dan penambahan 10% kasein (S1K2). Pada tingkat perbandingan ini curd yang dihasilkan kompak tidak terlalu encer dan kental dan secara statistik tidak berbeda nyata (Uji Duncan taraf kepercayaan 95 %). Meskipun jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (yoghurt bermerk) tingkat kesukaan terhadap tekstur yoghurt pada perlakuan ini lebih rendah. Minuman fermetasi yang dihasilkan masih memiliki aroma buah sawo. Perlakuan penyaringan dan tanpa penyaringan dalam pembuatan yoghurt sawo tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kesukaan panelis terhadap yoghurt yang dihasilkan secara statistik dengan uji Duncan taraf kepercayaan 95%, tekstur keenam perlakuan pembuatan yoghurt sawo tidak berbeda nyata. Pada semua perlakuan yoghurt buah sawo yang dihasilkan berasa sedikit masam dan rasa buah sawo masih terasa. Rasa atau flavour masam pada yoghurt ini disebabkan karena adanya asam laktat yang merupakan hasil aktivitas bakteri asam laktat dalam proses fermentasi (Widowati et al, _). Nilai kesukaan panelis terhadap yoghurt sawo tertinggi perlakuan S1K2, tetapi secara statistik semua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Secara keseluruhan, panelis lebih menyukai yoghurt sawo yang dihasilkan oleh perlakuan

1372

S1K2. Tetapi jika dibandingkan dengan yoghurt bermerk yang sudah beredar di supermarket memang tingkat kesukaannya lebih rendah. Hal ini disebabkan karena yoghurt sawo belum dikenal (familiar) di masyarakat. Dimana sebagian besar yoghurt yang beredar masih berasal dari 100% susu.

Hasil Uji Kimia Yoghurt Sawo

a. Kadar Asam Laktat

Gambar 1. Kadar asam laktat yoghurt sawo dari beberapa perlakuan penyaringan dan persentase penambahan kasein

Pada proses pembuatan yoghurt buah sawo terjadi penurunan pH dari pH sari sawo

yang semula adalah 7 menjadi 4 setelah menjadi yoghurt. Penurunan pH ini disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat (BAL) yang membentuk asam laktat. Asam laktat ini dihasilkan dari proses fermentasi karbohidrat oleh bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermopillus melalui jalur heksosa difosfat sesuai dengan pendapat Tamime et al. (1985) dan Chandan et al. (1993). Menurut Patrick et al. (2004), penurunan pH ini menghasilkan protein susu dan membuatnya menjadi padat serta menghindari poliferasi bakteri pathogen yang potensial. Semakin banyak sumber gula yang dapat dimetabolisir maka bertambah banyak asam-asam organik yang dihasilkan sehingga pH turun. Semakin besar persentase penambahan kasein kedalam sari sawo maka total asam laktat yang dihasilkan juga semakin besar. Hal ini terjadi karena semakin besar penambahan kasein maka kadar protein juga semakin besar, selain itu selama beraktivitas bakteri asam laktat memerlukan asupan gula dan protein menghasilkan asam laktat. Menurut Darwis (1981) kandungan asam laktat minimum pada yoghurt adalah 1%. Pada yoghurt buah sawo ini nilai asam laktat yang dihasilkan pada perlakuan penambahan kasein 5% masih dibawah standard sedangkan pada perlakuan yang lain sudah memenuhi standard.

0.77a

1.21d

1.25e

0.88b

1.15c

1.34f

Kadar Asam Laktat (%)

Per

laku

an

1373

b. TPC (Total Plate Count)

Gambar 2. Total plate count yoghurt sawo dari beberapa perlakuan penyaringan dan persentase penambahan kasein

Jumlah total bakteri tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa penyaringan dan 5%

penambahan kasein dan secara statistik berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Perlakuan penyaringan memberikan total bakteri yang lebih rendah dibandingkan tanpa penyaringan. Jika dibandingkan dengan yoghurt komersial (kontrol) dengan rata-rata total bakteri sebesar 34x106, yoghurt dengan perlakuan penyaringan tergolong masih rendah. Sedangkan perlakuan tanpa penyaringan relative lebih tinggi.

KESIMPULAN

Secara keseluruhan, yoghurt sawo komersiaol(control) yang berasal hanya dari susu sapi memiliki tingkat penerimaan panelis yang lebih tinggi dari semua perlakuan pembuatan yoghurt sawo yang dilakukan. Penerimaan panelis tertinggi terhadap yoghurt sawo dihasilkan oleh perlakuan penyaringan dan penambahan 10% kasein yaitu 2,94 yang berarti suka. Kadar asam laktat yoghurt sawo tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa penyaringan dengan penambahan 15% kasein Total plate count yoghurt sawo dihasilkan oleh perlakuan tanpa penyaringan dan penambahan 5% kasein.

DAFTAR PUSTAKA

BPN. 2001. BPN. Gunungkidul Dalam Angka Tahun 2010. Yogyakarta

Chandan, R.C. dan Shanani, K. M. 1993. Yoghurt. Di dalam Hui (ed.). Dairy Science and Technology Handbook-Product Manufacturing. New York.

Darwis, J.G., 1981. Dairy Microbiology. Robinson, R.K. (Ed), Applied Science Publishers. London. UK.

Marshal, V.M., 1987. Fermented Milk and Their Future Trends. I. Microbiological Aspects. J. of Dairy Res. 54: 559 – 574.

Patrick, P.M. dan Kalidas Shettyb. 2004. Phenolic Antioxcidant Mobilization during Yoghurt Production from Soymilk Using Kefir Cultures. University of Massachusetts. USA

Resurreccion, A.V.A., 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. Aspen Publisher, Inc., Maryland.

Rukmana, R. 1997. Sawo. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

27.50ab

25.00a

23.00a

37.50c

35.00c

31.50b

Total Plate Count ( 10E6)

Per

laku

an

1374

Scheaffer, R.L., W. Mendenhall and Lyman Ott. 1990. Elementary Survey Sampling. PWS-KENT Publishing Co., Boston.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1993. Principples and Procedures of Statistics. A Biomedical Approach, 3rd Ed. Mc Graw Hill, Kagasukha Ltd., Tokyo.

Tamime, A.Y.& Robinson, R.K. 1985. Yoghurt Science and Technology. New York. Pergamon Press.

Widowati, S dan Misgiyarta…….Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein/Susu Nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan

Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian.

Yusmarini dan Aswan Efendi. 2004. Evaluasi Mutu Soygurt yang Dibuat Dengan Penambahan Beberapa Jenis Gula. Jurnal Natur Indonesia 6(2): 104-110 (2004). ISSN 1410-9379

1375

PENGARUH JENIS PENGGILINGAN PADI TERHADAP RENDEMEN HASIL DAN TINGKAT KECERAHAN BERAS DI

KABUPATEN SLEMAN

Nugroho Siswanto1, Nursigit Bintoro2, dan Siti Dewi Indrasari1

1)Peneliti BPTP Yogyakarta 2)Mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM

ABSTRAK

Penggilingan padi kecil yang menggunakan sistim kerja satu kali proses penyosohan kualitas dan rendemen beras yang kurang baik. Teknologi penggilingan padi pada penggilingan padi kecil masih sederhana, konfigurasi mesinnya hanya terdiri dari husker dan polisher saja dan sudah berumur tua. Di Sleman berkembang penggilingan padi keliling dimana kinerja dan mutu berasnya lebih buruk. Melihat kondisi penggilingan padi yang ada di Sleman perlu dilakukan penelitian terhadap penggilingan padi untuk mengetahui rendemen hasil dan tingkat kecerahan beras yang dihasilkan. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sleman yang merupakan sentra padi di DIY, waktu penelitian dari bulan Januari-April 2015. Penggilingan dilakukan terhadap gabah IR-64 dan Mentik untuk melihat pengaruh jenis gabah. Penggilingan padi yang dipakai dengan model: 1). SD = husker-2x separator-2x polisher (H-2S-2P), 2). TS = husker-polisher (H-P), 3). BC = 2x husker-2x polisher (2H-2P), dan 4). KL = 2x polisher (2P). Hasil perhitungan rendemen lapang (Rlp) untuk varietas IR-64 berkisar 60,00 – 64,41% dan varietas Mentik berkisar 61,67 – 64,58%. Sedangkan rendemen laboratorium untuk varietas IR-64 69,94% dan Mentik 66,99%. Selanjutnya dari hasil perhitungan susut penggilingan untuk varietas IR-64 dan Mentik untuk masing-masing penggilingan, yaitu : SD = 9,94 dan 2,41%; BC = 5,53 dan 3,63%; TS = 5,86 dan 3,78%; serta KL = 7,43 dan 5,32%. Hasil pengukuran tingkat kecerahan menunjukkan Mentik memiliki tingkat kecerahan lebih tinggi dibanding IR-64. Dimana tingkat kecerahan untuk IR-64 berkisar 71,18-77,02 dan pada Mentik 83,00-87,32. Untuk memperoleh rendemen beras yang baik perlu memperhatikan bentuk beras dan konfigurasi penggilingan yang digunakan. Konfigurasi penggilingan padi skala kecil dengan husker-polisher untuk bentuk beras ramping memberikan rendemen yang terbaik. Sedangkan untuk bentuk beras medium, konfigurasi penggilingan terbaik adalah husker - 2 x separator - 2 x polisher Tingkat kecerahan beras terbaik diperoleh dari hasil konfigurasi penggilingan husker - polisher atau 2 x polisher dengan bentuk beras medium. Perlu dilakukan perbaikan konfigurasi cara penggilingan pada penggilingan padi skala kecil untuk mendapatkan mutu beras yang lebih baik. Kata Kunci: Rendemen hasil, tingkat kecerahan, penggilingan padi

PENDAHULUAN

Jumlah penggilingan padi di Indonesia sebanyak 108.512 unit dan sebanyak 65 % adalah penggilingan padi kecil (PPK) dan rice milling unit (RMU) yang masih menggunakan sistim kerja one pass (BPS, 2002). Penggilingan padi kecil yang menggunakan sistim kerja”one pass” atau satu kali proses penyosohankualitas dan rendemen beras yang kurang baik. Teknologi penggilingan padi pada penggilingan padi kecil masih sederhana, konfigurasi mesinnya hanya terdiri dari husker dan polisher saja dan sudah berumur tua (Amran, 2010).

Berdasarkan analisis deskriptif dari hasil survai terhadap 89 perusahaan penggilingan padi di 6 provinsi lumbung beras menunjukkan bahwa susunan mesin penggilingan padi (konfigurasi) berpengaruh terhadap rendemen beras giling dan kualitas beras giling. Rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil (PPK) dengan

1376

konfigurasi sederhana yaitu Husker-Polisher (H-P) rata-rata 55,71 % dengan beras kepala 74,25 % dan beras patah 14,99 %. Sedangkan penggilingan padi skala menengah (PPM) dengan konfigurasi Cleaner-Husker-Separator-Polisher (C-H-S-P) menghasilkan rendemen, kualitas beras (beras kepala dan beras patah) masing-masing 59,69 %, 75,73 % dan 12,52 % (Dede, 2009)

Kadar beras kepala dari ketiga tipe penggilingan padi adalah; RMU 73,10% - 73,77%, RMU K 42,45% - 47,50% dan PPK 66,37% - 66,83%. Apabila dibandingkan dengan standar SNI, maka mutu beras giling kedua varietas yang dianalisis untuk tipe RMU S dan PPK masuk dalam kelas mutu III dan IV. Kadar butir patah kedua varietas yang disosoh dengan dengan RMU S rata-rata 14,40% - 14,23%, RMU K 20,40% - 26,55% dan PPK 15,23% - 22,80%. Kadar butir menir kedua varietas padi yang disosoh dengan RMU S masing-masing (11,33%; 11,90%), RMU K (27,10%; 30,45%) dan PPK (10,10% ; 17,10%). (Kuang, 2010).

Menurut Tjahjohutomo (2004), peningkatan rendemen giling akan mencapai 2.5%-5% jika konfigurasi penggilingan padi disempurnakan dari husker-polisher menjadi Dryer-Cleaner-Husker-Separator-Polisher (D-C-H-S-P). Berdasarkan data yang telah diperoleh, menunjukkan bahwa penambahan alat pemisah gabah (separator) terbukti mampu meningkatkan rendemen penggilingan sebesar rata-rata 1,01%.

Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling, hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun.

Hasil survai pasar oleh Umar dan Noor (2002) bahwa rata-rata keberadaan beras di tingkat pasar adalah penampakan beras putih, bersih dan mengkilap sehingga harga jual akan tinggi. Hal ini didukung oleh Thahir (1993), bahwa permintaan pasar meningkat terhadap mutu beras giling yang bersih, cemerlang dan tidak mengandung beras pecah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap beberapa jenis penggilingan padi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap rendemen hasil dan tingkat kecerahan beras yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah varietas ir 64 gabah varietas mentik, karung besar dan kecil plastik pe 0,8 3 kg, 1 kg tas plastik dan beras hasil uji penggilingan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggilingan padi dengan model penggilingan seperti kebiasaan sehari-hari mereka, yaitu: (H-2S-2P), (H-P), (2H-2P), dan (2P), Penggilingan skala laboratorium (mini husker Crown tipe ATH-1B dan mini polisher Satake grain testing mill), Grain moisture tester (ketelitian 0,1%)Tachometer (ketelitian 0,1 rpm untuk 5 – 999,9 rpm; 1 rpm untuk 1000 – 99.999 rpm), Timbangan kasar (ketelitian 100 gr) dan Timbangan halus (ketelitian 0,1 gr) dan Color meter TES 135.

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di sentra padi Kecamatan Godean dan Gamping Kabupaten Sleman DI Yogyakarta dilakukan dari Bulan Januari – April 2015.

Metode Penelitian

a. Rendemen penggilingan

Rendemen giling ditentukan dengan menimbang gabah yang akan digiling menjadi beras sesuai dengan konfigurasi mesin yang telah ditentukan. Beras hasil penggilingan ditimbang dan dipisahkan dari kotoran atau benda asing. Nilai rendemen merupakan hasil perbandingan antara berat beras sosoh yang dihasilkan dengan berat gabah sebelum

1377

digiling. Beras sosoh adalah gabungan beras kepala, beras patah dan menir (Hasbullah dan Dewi, 2009). (100 – KAb) x Berat beras giling laboratorium Rlb = X 100 % (100 – Kag) x Berat gabah sampel laboratorium (100 – KAb) x Berat beras giling lapang Rlp = X 100 % (100 – Kag) x Berat gabah lapang Keterangan : KAb = Kadar air beras penggilingan; KAg = Kadar air gabah yang digiling Susut dalam penggilingan dirumuskan sebagai berikut : Spg = Rlb- Rlp

Keterangan : Spg = susut penggilingan Rlb = rendemen laboratorium Rlp = rendemen lapang

Penggilingan dilakukan terhadap 2 macam varietas gabah yaitu kriteria panjang (IR 64) dan medium (Mentik). Penggilingan yang digunakan 4 macam, sesuai dengan penggilingan yang biasa di pakai sehari-hari yaitu: - Gapoktan Sidomulyo (H-2S-2P) (SD) - Gapoktan Tani Rukun (H-P) (TS) - UD. Lintang Padi (2H-2P) (BC) - Penggilingan keliling (2P) (KL). masing-masing perlakuan dilakukan ulangan 5 kali. Untuk pengujian penggilingan skala laboratorium dan penentuan mutu gabahdiambil sampel gabah masing-masing 1,5 kg.

b. Mengukur derajat kecerahan

Sampel ditempatkan didalam wadah ukur yang berwarna gelap. Tujuannya adalah mengoptimalkan pembacaan sampel dan menghindari potensi kontras dengan cahaya sekitar yang ada. Selanjutnya, dilakukan pembacaan seluruh sampel dengan menggunakan alat detektor digital yaitu chromameter atau dengan sebutan lain colorimeter, sehingga tertera nilai yang masing- masing telah dinotasikan dalam (L*), (a*), dan (b*) yang ditunjukan pada layar detektor tersebut. Nilai L* menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a* (a+= 0 - 100 untuk warna merah, a- = 0 - (- 80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b* (b+ = 0 - 70 untuk warna kuning, b- = 0 - (-70) untuk warna biru.

Analisa Data

Penelitian yang menggunakan acak kelompok lengkap (RAKL) 2 faktor, dengan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah varietas padi IR64 dan Mentik dan jenis konfigurasi penggilingan yaitu1). SD (Husker-2 x Separator -2 x Polisher); 2). TS (Husker-Polisher); 3). BC (2 x Husker - 2x Polisher) dan 4). KL (2 x Polisher). Data diolah dengan Anova dengan menggunakan program SAS. Untuk mengetahui pengaruh beda nyata atau tidak dilakukan analisis t test (LSD).

1378

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susut Penggilingan

Proses penggilingan padi adalah proses yang melibatkan gaya-gaya mekanis yang dikombinasikan dengan panas, sehingga terjadi pelepasan sekam bahkan bekatul (bran) dari endosperm (biji utama). Proses pelepasan sekam (dehulling) berfungsi untuk menghasilkan beras pecah kulit (brown rice), yang masih mengandung bekatul. Selanjutnya jika dilakukan penyosohan (whitening dan polishing), akan dihasilkan beras sosoh dengan derajat sosoh yang baik (Siebenmorgen dan Qin, 2005).

Rendemen beras giling dapat diperoleh dari perbandingan antara bobot beras giling yang dihasilkan dengan bobot gabah contoh awal dikalikan seratus persen (Suismono et al., 2003). Pada kondisi ideal secara laboratoris, beberapa varietas unggul menunjukkan dalam 1 butir gabah mengandung sekitar 21-25% sekam dan 6-7% lapisan aleuron, sedangkan untuk varietas lokal jumlah sekam dan aleuronnya sebesar 29-33%. Dengan demikian rendemen beras pecah kulit (BPK) seharusnya berkisar antara 75-79%, sedangkan beras putih (BP) 68-73% dari varietas unggul dan dari varietas lokal sebesar 67-71% (Thahir, 2002).

Rendemen merupakan salah satu faktor yang sangat penting pada pengukuran kinerja penggilingan padi, karena menunjukkan jumlah beras yang dihasilkan oleh penggilingan. Rendemen giling sangat tergantung pada bahan mentah gabah, varietas, derajat kematangan serta cara penanganan awal (prehandling) serta tipe mesin penggiling (Winarno, 2004). Metode pengukuran kehilangan penggilingan yaitu membandingkan rendemen antara penggilingan yang biasa dilakukan petani untuk menggiling beras (rendemen lapang) dengan rendemen giling yang dihasilkan oleh laboratorium pada tingkat derajat sosoh yang sama.

Mutu beras giling yang dihasilkan selain tergantung pada alat pengupas kulit (huller) dan alat pemoles (polisher) juga sangat tergantung pada peralatan pembersihan dan pemisahan (Raharjo et al., 2012). Rendemen penggilingan merupakan suatu besaran yang digunakan untuk menyatakan kualitas gabah menjadi beras. Besarnya rendemen penggilingan diperoleh dari hasil bagi antara hasil keluaran penggilingan berupa beras dengan bahan masukan berupa gabah. Kehilangan hasil pada penggilingan padi (Spg) didapat dengan cara mengurangi rendemen giling teliti hasil laboratorium (Rlb) dengan rendemen giling lapangan (Rlp) sesuai metode Suismono et al. (2008). Rendemen beras giling (milling recovery) adalah persentase bobot/bobot beras giling yang dapat diperoleh dari sejumlah gabah bernas, dalam keadaan bersih, tidak mengandung gabah hampa dan kotoran pada kadar air 14%. Selain rendemen, dikenal juga istilah rasio penggilingan (milling ratio), yaitu persentase beras giling yang dapat diperoleh (bobot/bobot) dari sejumlah gabah yang digiling dengan kondisi mutu tertentu (Thahir, 2010). Tabel 1. Rendemen dan susut penggilingan di laboratorium

Perlakuan

Varietas

Berat Gabah (kg)

Berat Beras (kg)

Rlb (%)

Mini Husker – Mini Polisher IR 64 0,38 0,27 69,94a Mini Husker – Mini Polisher Mentik 0,38 0,25 66,99b

Hasil analisis statistik terhadap rendemen di laboratorium untuk varietas IR 64

69,94% dan Mentik 66,99% berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena secara fisik beras varietas lokal (Mentik) berbeda dengan varietas unggul baru (VUB) (IR 64). Kemungkinan juga ada perbedaan tekstur biji beras Mentik dan IR 64.

1379

Tabel 2. Rendemen dan susut penggilingan beberapa jenis penggilingan

Perlakuan

Varietas

Berat Gabah

(kg)

Berat Beras (kg)

Rlp (%)

Husker - 2 x Separator - 2 x Polisher (SD) IR 64 100,00 59,41 60,00d

Husker - Polisher (TS) IR 64 50,00 31,83 64,41bc

2 x Husker - 2 x Polisher (BC) IR 64 50,00 31,77 64,08bc

2 x Polisher (KL) IR 64 50,00 31,00 62,51cd

Husker - 2 x Separator - 2 x Polisher (SD) Mentik 100,00 63,52 64,58bc

Husker - Polisher (TS) Mentik 50,00 31,35 63,36c

2 x Husker - 2 x Polisher (BC) Mentik 50,00 31,19 63,21c

2 x Polisher (KL) Mentik 50,00 30,50 61,67cd

Hasil perhitungan rendemen lapang (Rlp) untuk varietas IR 64 berkisar 60,00 –

64,41% dan varietas Mentik berkisar 61,67 – 64,58% (Tabel 2). Menurut Indrasari, et al.(2000), bahwa dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras sosoh, berat biji padi akan berkurang sedikit demi sedikit selama proses penggilingan akibat dari pengupasan dan penyosohan.

Selanjutnya dari hasil perhitungan susut penggilingan untuk varietas IR 64 dan Mentik untuk masing-masing penggilingan, yaitu: SD = 9,94 dan 2,41%; BC = 5,59 dan 3,63%; TS = 5,86 dan 3,78%; serta KL = 7,43 dan 5,32%. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya susut giling pada proses penggilingan antara lain adalah tercecernya beras pecah kulit pada waktu pengumpanan ke mesin penyosoh, terikutnya gabah dan beras pada sekam, dan terikutnya beras dan menir pada katul atau dedak.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh jenis penggilingan dan varietas yang digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen hasil. Jenis penggilingan dengan konfigurasi 2x husker – 2 x polisher (BC) dan husker-polisher(TS) dengan bentuk varietas ramping memberikan rendemen yang sama dengan konfigurasi husker - 2 x separator – 2 x polisher (SD) dengan bentuk varietas medium (Tabel 2).

Tingkat Kecerahan Beras

Tingkat kecerahan beras merupakan salah satu indikator apakah beras bermutu baik atau tidak. Walaupun tidak masuk dalam parameter SNI beras, tingkat kecerahan beras banyak dipakai konsumen untuk menentukan beras tersebut baik atau tidak. Semakin tinggi nilai kecerahan beras biasanya harga jual berasnya akan semakin tinggi. Hal ini mendorong beberapa penggilingan memodifikasi mesin penyosohnya dilengkapi dengan pengabutan dengan harapan tingkat kecerahan beras akan meningkat. Tabel 3. Rata-rata tingkat kecerahan beras (L) pada beberapa jenis penggilingan Perlakuan Varietas L a b Husker - 2 x Separator - 2 x Polisher (SD) IR 64 71,18b 0,71a 12,45b

Husker - Polisher (TS) IR 64 77,02ab 1,76a 13,77ab

2 x Husker - 2 x Polisher (BC) IR 64 74,71ab 1,57a 13,89ab

2 x Polisher (KL) IR 64 76,02ab 1,47a 14,16ab

Husker - 2 x Separator - 2 x Polisher (SD) Mentik 83,00ab 1,90a 14,25ab

Husker - Polisher (TS) Mentik 85,82ab 0,89a 14,37ab 2 x Husker - 2 x Polisher (BC) Mentik 87,32a 1,27a 13,76ab

2 x Polisher (KL) Mentik 86,09a 2,10a 14,43a

Hasil pengukuran tingkat kecerahan menunjukkan Mentik memiliki tingkat kecerahan lebih baik dibanding IR 64. Dimana tingkat kecerahan untuk IR 64 berkisar 71,18-77,02 dan pada Mentik 83,00-87,32. Nilai L* menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0:

1380

hitam sampai 100: putih), sehingga menunjukkan beras memiliki warna putih. Butir beras sedikit memiliki warna kromatik merah hijau, sehingga nilainya 0,1- 2,1 (warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a* (a+= 0 - 100 untuk warna merah, a- = 0 - (- 80) untuk warna hijau). Sedang untuk warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b* (b+ = 0 - 70 untuk warna kuning, b- = 0 - (-70) untuk warna biru, butir beras memiliki nilai 12,45-14,43 hal ini karena adanya butir kuning pada beras (Tabel 3).

Hasil analisis statistik menunjukkan ada pengaruh signifikan jenis penggilingan dan varietas terhadap tingkat kecerahan beras. Hal ini terkait dengan kemampuan penggilingan saat mengupas dan menyosoh menjadi beras. Konfigurasi penggilingan husker - polisher (TS) dan 2 x polisher (KL) dengan bentuk varietas medium menghasilkan tingkat kecerahan terbaik. Semua konfigurasi penggilingan memberikan hasil yang sama untuk warna kromatik merah hijau. Sedangkan konfigurasi penggilingan 2 x polisher (KL) dengan bentuk varietas medium menghasilkan warna kromatik biru kuning tertinggi (Tabel 3).

KESIMPULAN

1. Untuk memperoleh rendemen beras yang baik perlu memperhatikan bentuk beras dan konfigurasi penggilingan yang digunakan.

2. Konfigurasi penggilingan padi skala kecil dengan husker - polisher untuk bentuk beras ramping memberikan rendemen yang terbaik. Sedangkan untuk bentuk beras medium, konfigurasi penggilingan terbaik adalah husker – 2 x separator – 2 x polisher.

3. Tingkat kecerahan beras terbaik diperoleh dari hasil konfigurasi penggilingan husker - polisher atau 2 x polisher dengan bentuk beras medium.

SARAN

Perlu dilakukan perbaikan konfigurasi cara penggilingan pada penggilingan padi skala kecil untuk mendapatkan mutu beras yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Amran, W. 2010. Usaha Revitalisasi Penggilingan Padi. Warta Intra Bulog. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002. Data Jumlah Penggilingan Padi di Indonesia. www.bps.go.id. Jakarta.

Dede, N. 2009. Meningkatkan rendemen kualitas beras giling melalui revitalisasi sistim penggilingan padi rakyat. http://perpadian.or.id/ [Diakses pada tanggal 23-04-2011]

Hasbullah, R., dan Dewi A.R. 2009. Kajian Pengaruh Konfigurasi Mesin Penggilingan terhadap Rendemen dan Susut Giling beberapa Varietas Padi.Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol.23, No.2:119-124

Indrasari S. D., R. Rustisari, AD., Sutrisno dan S.J. Munarso. 2000. Pengaruh Perbedaan Varietas Dan Proses Pengolahan Terhadap Kandungan Zat Gizi Beras Kristal. . Himpunan Makalah Seminar Nasional Industri Pangan.

Kuang, S.M. 2010. Analisis Optimasi Dan Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Raharjo, B., Dedeh H., Kgs. A. Kodir. 2012. Kajian Kehilangan Hasil Pada Pengeringan dan Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal.Vol. 1, No.1: 72-82.

1381

Siebenmorgen, T.J. dan Qin G. 2005. Relating Rice Kernel breaking Force Distributions to Milling Quality. Transactions of the ASAE Vol 48(1) pp.223-228.

Suismono, A. Setyono, S.D. Indrasari, P. Wibowo, dan I. Las. 2003. Evaluasi Mutu Beras Berbagai Varietas Padi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Jawa Barat.

Suismono, S. Nugraha, Broto W. 2008. Penekanan kehilangan hasil pascapanen padi melalui penerapan Good Manufacturing Practices. Prosiding Simposium Tanaman Pangan V. Bogor.

Thahir, R. 1993 Teknologi penggilingan padi. Makalah Temu Lapang Usaha Penggilingan Padi Pada Rapat Teknis Tim Evaluasi Harga Produksi Gabah. Dirjen Tanaman Pangan, Jakarta.

Thahir, R. 2002. Tinjauan Penelitian Peningkatan Kualitas Beras Melalui Perbaikan Teknologi Penyosohan. Makalah disajikan sebagai Persyaratan Kenaikan Pangkat golongan IV/c. Balai Besar Pengembangan Alsintan. Serpong.

Thahir, R. 2010. Revitalisasi Penggilingan Padi Melalui Inovasi Penyosohan Mendukung Swasembada Beras Dan Persaingan Global. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3): 171-183.

Umar, S., Noor H Dj, Herawati I. 1988. Pengaruh pemupukan terhadap mutu beras padi pasang surut. Prosiding Seminar Penelitian Pasca Panen Pertanian. p. 91-96. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Bogor, 1-2 Februari 1988.

Umar, S. 2011. Pengaruh Sistim Penggilingan Padi Terhadap Kualitas Giling Di Sentra Produksi Beras Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawarman,7(1):9-17. ISSN1858-2419.

Tjahjohutomo, R., Handaka, Harsono dan T.W. Widodo. 2004. Pengaruh Konfigurasi Mesin Penggilingan Padi Rakyat Terhadap Rendemen dan Mutu Beras Giling. Jurnal Enjiniring Pertanian Volume II No.1 April 2004.

Winarno, FG. 2004. GMP Dalam Industri Penggilingan Padi. Prosiding Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi. Jakarta, 20-21 Juli 2004. Jakarta. p 125-143.

1382

Inovasi Teknologi Mesin Panen Mini Combine Harvester Mendukung Penanganan Panen dan Pascapanen Padi di

Kalimantan Barat

Tommy Purba¹, Didik Anshori¹, Kiki Suheiti²

¹Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat ³Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Mini Combine Harvester adalah salah satu inovasi teknologi terbaru Badan Litbang Pertanian yaitu mesin panen padi yang memiliki cara kerja memotong, memegang, merontok dan membersihkan dilakukan sekaligus. Mesin ini sudah dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 2015 dilakukan pengkajian terhadap alat ini di kalimantan Barat untuk mendukung proses penanganan panen dan pascapanen padi. Hasil pengkajian yang dilakukan pada beberapa tipe lahan (lahan pasang surut dan lahan irigasi) diperoleh bahwa mesin ini mampu beroperasi dengan baik pada lahan berlumpur dengan kedalaman antara 20 sampai 50 cm karena mempunyai gaya tekan (ground pressure) mesin ke permukaan tanah sebesar 0,13 kg/cm2. Kapasitas pemanenan rata-rata 12 jam/ha. Dengan lebar kerja 1,2 meter alat cocok untuk petakan sawah yang sempit karena lebih mudah beroperasi dan bermanuver di lahan. Konsumsi solar 1,25 liter perjam. Mesin ini dioperasikan oleh 3 orang dan mampu mengirit biaya panen padi hingga Rp 1 juta/ hektar jika dibandingkan dengan panen padi secara manual. Dengan menggunakan mini combine harvester tingkat kehilangan pada proses pemanenan bisa ditekan sampai dengan kurang dari 2% dan tingkat kebersihan gabah panen yang dihasilkan mencapai >95%. Pembinaan kelembagaan UPJA adalah hal yang terpenting untuk pengembangan mesin ini ke depan. Kata Kunci: Padi, panen, combine harvester

PENDAHULUAN

Sistem panen mempengaruhi kegiatan perontokan yang akan dilaksanakan pada tahapan berikutnya. Proses pemanenan merupakan tahapan kegiatan yang dimulai dari pemotongan padi hingga perontokan gabah. Dalam sistem panen secara garis besar dipengaruhi oleh mekanisme panen itu sendiri dan proses pemanenan. Mekanisme panen sangat terkait dengan budaya serta kebiasaan masyarakat setempat. terdapat tiga sistem pemanenan padi yang berkembang di masyarakat yaitu sistem ceblokan, sistem individu atau keroyokan dan sistem kelompok.Sistem panen tersebut sangat terkait dengan faktor sosial dan budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya mempengaruhi pada tahapan selanjutnya berupa kegiatan perontokan serta faktor kehilangan hasil. Pemanenan padi sistem individual atau keroyokan dengan jumlah pemanen yang tidak terbatas menyebabkan banyak gabah tercecer dan yang tidak terontok. Pemanenan padi dengan sistem kelompok atau beregu mudah terkontrol, sehingga dapat menekan tingkat kehilangan pada saat pemanenan (Ananto et.al, 2003).Menurut Irwanto (1980), cara kerja dari alat-alat pemanen padi dapat dibedakan menjadi bebrapa bagian yang diantaranya: Mesin panen yang hanya memotong rumpun padi kemudian melemparkan kesamping (reaper). Mesin panen yang mampu memotong rumpun, merontokkan dan membersihkan butiran gabah dari kotoran (Combine harvester) Saat sekarang ini proses panen ini yang biasanya menggunakan alat-alat panen padi tradisional kini beralih ke penggunaan mesin pemanen padi modern combine harvester, selain meningkatkan efisiensi panen dengan pengurangan waktu panen bila dibandingkan tenaga manusia dan penggunaan alat panen tradisional juga mengurangi tingkat kehilangan hasil, dikarenakan prinsip kerja alat pemanen padi kombinasi ini selain memotong padi (reaping), juga merontok (threshing) juga sekaligus mengemas gabah

1383

(packing) ke dalam karung. Selain mengefesienkan waktu dan biaya saat panen, alat panen padi ini juga menjadi wadah untuk mengembangkan usaha khususnya pada sektor pertanian dengan menyediakan jasa pemanenan dengan meggunakan alat panen Combine harvester, hal ini menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha yang bergerak di sektor pertanian untuk meraup keuntungan dari usaha tersebut.

Combine harvester adalah alat pemanen padi yang dapat memotong bulir tanaman yang berdiri, merontokkan dan membersihkan gabah sambil berjalan dilapangan. Dengan demikian waktu pemanen lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan tenaga manusia (manual) serta tidak membutuhkan jumlah tenaga kerja manusia yang besar seperti pada pemanenan tradisional. Oleh karena itu penggunaan mesin ini dapat menggantikan dan meniadakan alat-alat pengikat, pemotong dan perontok pada kegiatan pemanenan. Adapun keuntungan dari penggunaan alat ini adalah mengurangi biaya pemanenan dan perontokan, kebutuhan tenaga berkurang, lahan dapat lebih cepat dibersihkan untuk kegiatan pengolahan lahan tanah kembali, jerami terdistribusi di atas tanah serta proses pemasaran dari produksi ataupun hasil panen dapat segera dilakukan sedangkan kendala dari alat ini yaitu investasi yang dibutuhkan relative besar (Smith, 1965).

Maka dari itu, peluang usaha seperti halnya jasa penggunaan dan penyewaan alat Combine harvester perlu melalui studi dan analisis yang dapat dijadikan pertimbangan saat akan memulai ataupun sedang dalam proses menjalankan usaha tersebut disamping itu tentunya harus diikuti dengan perawatan dan dukungan suku cadang yang memadai. Selain itu, studi dan analisis ekonomi kelayakan peggunaan maupun usaha penyewaan dari alat perlu dilakukan agar dapat menjadi bahan informasi untuk dapat mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan baik itu biaya pengoperasian serta biaya-biaya mulai dari pembelian, perawatan serta yang tidak kalah pentingnya yaitu efektifitas kerja alat pada saat pengopersiaan pada lahan pemanenan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan percobaan lapang yang menggunakan mesin panen mini combine harvester (MICO) buatan BB Mektan Serpong (Badan Litbang Pertanian) yang dilakukan pada musim panen tahun 2015 di Kabupaten Kubu Raya (lahan pasang surut) dan Kabupaten Landak (lahan sawah irigasi) di Kalimantan Barat yang menguji penggunaan mesin panen untuk meningkatkan efisiensi tenaga dan biaya dalam proses panen dan pascapanen padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mini Combine Harvester (MICO) adalah salah satu hasil inovasi teknologi mekanisasi yang dihasilkan oleh Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Petanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk mengatasi kondisi lahan sawah di Indonesia. Prinsip Kinerja Mesin Minicombine Harvester sebagai berikut:Batang padi dikait oleh pengait (reel guide) kemudian diarahkan menuju bagian pemotong padi (cutting platform).Jerami hasil potongan dibawa oleh unit pembawa (conveying) ke bagian perontok (thresher) untuk dipisahkan antara bulir padi dengan jerami.Gabah isi, gabah hampa, dan kotoran turun ke bagian pemisah dan pembersih (separator and cleaner), dengan adanya hembusan angin dari blower akan memisahkan gabah dan kotoran.Butir gabah bersih dibawa auger masuk ke dalam bak penampung (grain tank) kemudian masuk kedalam karung, sedangkan potongan jerami dan kotoran akan keluar melalui lubang pengeluaran di belakang.Adapun spesifikasi dari MICO buatan BB Mektan adalah sebagai berikut:

1384

Tabel 1. Spesifikasi Mini Combine Harverster buatan BB Mektan (Badan Litbang Pertanian.

Tipe Riding

Dimensi Panjang 260 cm Lebar 180 cm Tinggi 170 cm Total Berat 800 kg

Unjuk Kerja

Kecepatan 1-1,5 km/jam Kapasitas lapang 7-9 jam/ha 0,14 - 0,11 ha/jam

Ground pressure 0,11 kg/cm2 Lebar kerja 120 cm

Tingkat kebersihan 90-95% Kehilangan hasil <2% Jumlah operator 2-3 orang

Motor penggerak

Jenis Single-cylinder, diesel engine Daya 13-16 (9,7-11,9) HP Putaran motor 2000 rpm Konsumsi bahan bakar 1,1 liter/jam

Transmisi 3 maju, 1 mundur

Roda

Tipe Rubber crawler Jumlah 2 unit Lebar 32 cm Panjang kontak 115 cm

Unit Perontok Tipe Trow- in

Pisau Perontok Tipe cutter bar Unit pembersih Tipe Blower hisap Lifting system Tipe Hydraulic

Pengujian lapang mesin dilakukan di lahan pasang surut Tipe B lahan sawah irigasi. Kondisi sawah berlumpur dengan kedalaman yang bervariasi antara 20 sampai 50 cm. Pada saat pengoperasian mesin panen combine harvester mampu beroperasi dengan baik, karena memiliki roda tank (crawler) panjang. Mini Combine (MICO) Harvester mempunyai gaya tekan (ground pressure) mesin ke permukaan tanah sebesar 0,13 kg/cm2. Makin kecil nilai gaya tekan mesin ke permukaan tanah akan memperkecil peluang terjadinya mesin terperosok ke dalam tanah. Tapi pada beberapa lahan tidak bisa digunakan mesin ini karena memiliki kedalaman lumpur yang tinggi (>50 cm). Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh BB Mektan, bahwa ciri pembeda mesin panen padi Mini Combine Harvester adalah pada gaya tekan mesin ke permukaan tanah sebesar 0,13 kg/cm2, sedangkan mesin-mesin yang ada di pasaran sebesar 0,20 kg/cm2 dan tekanan kaki petani ke permukaan sawah sebesar 0.25-0.5 kg/cm2. Pertimbangan ini sangat penting karena umumnya kondisi sawah di Indonesia memiliki fasilitas infrastruktur drainasenya kurang baik sehingga tanahnya lembek.

Selain itu kondisi lahan sawah di kalimantan Barat yang memiliki luasan lahan yang sempit (petakan kecil-kecil) dengan lebar kerja 1,2 meter Mini Combine Harvester sangat cocok untuk petakan sawah yang sempit. sehingga alsin lebih mudah beroperasi dan bermanuver di lahan. Dengan ukuran yang tidak terlalu besar, bobot mini combine harvester hanya sekitar 800 kg. Kelebihan lainnya adalah bisa melewati galengan, sehingga cocok untuk lahan petani yang sempit dan dibatasi galengan.

1385

Gambar 1. Mico beroperasi di lahan pasang surut dan lahan-lahan sempit di Kalbar

Dari hasil analisa usaha tani, penggunaan mesin panen ini mampu mengurangi biaya panen dan waktu panen dipercepat sehingga kualitas gabah dapat terjaga. Pada saat pengujian mesin minicombine untuk memanen padi diperoleh lama pemanenan rata-rata 12 jam/ha, sebenarnya kapasitas kerja mesin ini adalah 7-9 jam per hektar, tetapi karena luasan lahan yang sempit sehingga banyak kehilangan waktu panen saat di sudut petakan dan kondisi lahan pasang surut yang kadang ada bagian lahan yang dalam lumpurnya sehingga menyulitkan operasional minicombine harvester.Mesin ini hanya dioperasikan oleh tiga orang dan mampu mengirit biaya panen padi hingga Rp 1 juta/ hektar, Jika dibandingkan dengan panen padi secara manual dengan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 30 orang.

Kelebihan penerapan MICO ini adalah jerami hasil potongan mesin akan mudah untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada saat pembalikan pada pengolahan tanah dan juga mampu meningkatkan minat generasi muda untuk kembali menekuni bidang pertanian karena mesin panen minicombine ini nyaman dioperasikan di lahan, tidak membutuhkan tenaga besar. Mini combine harvester diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja disektor pertanian khususnya tenaga panen, mesin ini dioperasikan oleh 1 orang operator dan 2 orang pembantu. Mini combine harvester juga dapat menurunkan kehilangan panen padi. Kondisi saat ini, tingkat kehilangan hasil (losses) padi pada waktu musim panen masih sangat tinggi, dikarenakan proses panen yang masih secara manual (gropyokan). Kehilangan hasil terjadi pada proses pemotongan, pengangkutan, perontokan. Titik kritis kehilangan hasil pada proses pemotongan dan perontokan sebesar 10%. Dengan menggunakan mini combine harvester tingkat kehilangan pada proses pemanenan bisa ditekan sampai dengan kurang dari 2%. Rendahnya tingkat kehilangan panen dengan menggunakan mesin combine harvester, dikarenakan seluruh proses panen; pemotongan, pengangkutan, perontokan dan pengarungan dapat dilakukan dalam satu kali proses. Selain itu, dengan menggunakan mini combine harvester, tingkat kebersihan gabah panen yang dihasilkan mencapai >95%.

Jika di lahan pasang surut saja mesin panen mini combine harvester dapat beropersi dengan baik, maka diharapkan mesin ini mampu beropeasi mampu bekerja di lahan kering.Beberapa kendala yang dialami saat proses pengoperasian di berbagai tipe lahan antara lain:

Kondisi petakan sawah yang sempit sehingga banyak kehilangan waktu panen

Kondisi jalan usaha tani yang kurang baik sehingga menghambat pergerakan mesinsehingga memerlukan mobil pengangkut mesin mico untuk sawah yang lokasinya jauh, agar roda tanknya tidak rusak

Kondisi saluran drainase yang kurang bagus sehingga air susah diatur akibatnya lahannya menjadi lembek dan mesin rawan terperosok

Kemampuan operator yang berbeda beda sehingga berpengaruh kepada kerusakan alat dan kecepatan waktu panen

1386

KESIMPULAN

Mini combine harvester cocok diterapkan pada lahan pasang surut tipe B dan lahan sawah irigasi di Kalimnatan Barat dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan kelangkaan tenaga kerja disektor pertanian khususnya tenaga panen. Mini combine harvester juga dapat menurunkan kehilangan panen padi, tingkat kehilangan pada proses pemanenan bisa ditekan sampai dengan kurang dari 2% dan tingkat kebersihan gabah panen yang dihasilkan mencapai >95%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ucapkan terima kasih kepada DR. Ahmad Musyafak, SP, MP dan tim Bioindustri Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya beserta Tim LLIP BB Mektan Serpong.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim I, 2012. Cara panen padi.http://www.sumberajaran.com/2012/08/ html, Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.

Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno.2003. Panduan teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman ternak. Puslitbangtan, Bogor.

BB Mektan, 2014. Laporan Tahunan 2013. Balai Besar Pengembangan Mekanissi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Daywin et,al. 1992. Mesin-Mesin Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Irwanto, K. 1980. Alat dan Mesin Budidaya Pertanian. Departemen Mekanisasi Pertanian, Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor

Salengke. 2012. Engineering Economy: Techniques for Project and Business Feasibility Analysis. Identitas UNHAS. Makassar

Sanchez, Pedro A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB. Bandung.

Smith, H. P. 1965. Farm Machinery and Equiement. Tata McGraw Hill Publishing Company LTD. Bombay. New Delhi.

Sulistiadji, K, Rosmeika dan A. Gunanto. 2008. Evaluasi Kinerja Mesin Panen Padi Lahan Pasang Surut. Jurnal Enjineering Pertanian. VI (1) April 2008. p.13-22.

Wardhana Luki. 1998. Uji Kinerja dan Analisis Biaya Penggunaan Head Feed Combine Harvester (Yanmar, CA 85 M) Pada Sawah Tradisional) [Skirpsi]. IPB. Bogor.

Yuswar, Y. (2004). Tanah dan Pengolahan. CV.ALFABETA. Bandung.

1387

PENGUATAN INDUSTRI RUMAH TANGGA PRODUK OLAHAN MAKANAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN

DI SUMATERA BARAT

Nasrul Hosen1) dan Harmaini2)

1)Peneliti Utama pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat

2) Penyuluh pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat Jl. Raya Padang-Solok KM 40. Sukarami, Solok, Fak.0755-31138, e-mal:

ABSTRAK

Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian, karena sektor pertanian merupakan lapangan kerja utama bagi hampir 50% penduduk Sumatera Barat. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB cukup tinggi (23,01%) dan relativ besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Pengembangan industri rumahtangga (IRT) pengolahan produk makanan merupakan salah satu upaya memperoleh nilai tambah dan menyerap tenaga kerja. Aneka bahan baku komoditas pangan tersedia. Jumlah IRT produk olahan makanan mencapai 4.292 unit, menyerap tenaga kerja 14.945 orang dan memberikan nilai tambah Rp. 413,0 milyar setahun. Survey dilakukan terhadap lebih 50 sampel macam produk olahan dan 30 buah industri pengolahan terdiri dari industri kecil/menengah, UP3HP, dan industri mikro (IRT) pada 3 kota, Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh bulan Februari-Maret 2016. Hasil kajian menunjukkan, bahwa ditemui beberapa kelemahan IRT tersebut: (1) Belum semua IRT mempunyai izin usaha dan mencantumkan label halalMUI di kemasan, kecuali industri kecil/menengah; (2) Masa kedaluarsa belum semua produk mencantumkan dengan tegas; (3) Kandungan gizi tidak tercantum dan hanya mencantumkan komposisi produk; (4) Alamat sudah dicantumkan, (5) Kemasan sebagian besar produk cukup menarik, kecuali produk IRT dan UP3HP. Kelemahan produk olahan tersebut harus dibenahi untuk memperkuat daya saing menghadapi MEA. Untuk itu diperlukan fasilitasi dan regulasi oleh pemerintah: (i) pembinaan menuju efisiensi usaha dan penguatan legalitas produk dengan mencantumkan izin usaha dan berbagai data/informasi tentang produk pada kemasan, (ii) mempermudah akses IRT ke sumber modal, (iii) Membangun kemitraan sistem bapak angkat untuk menjamin standar mutu dan keberlanjutan pasar (iv) Pencerdasan konsumen dalam memilih produk makanan jadi. Kata Kunci: IRT, informal, produk olahan, penguatan, MEA

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk Sumatera Barat mencapai lebih 5,0 juta jiwa dengan jumlah rumahtangga 1,2 juta lebih. Sebanyak 644.610 rumahtangga bekerja di sektor pertanian dalam arti luas dan 66,1% dari Rumah Tangga Pertanian (RTP) tersebut berusaha di lahan dan dengan jenis usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan danternak. Pertanian masih merupakan tulang punggung perekonomian, karena sektor pertanian merupakan lapangan kerja utama bagi sebagian besar penduduk Sumatera Barat. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2014 sebesar 23,01% dan relatif besar dibandingkan dengan sumbangan sektor lainnya seperti sektor industri pengolahan, pengangkutan dan komunikasi, jasa-jasa dan lainnya(Bappeda, 2014).

Permasalahan yang dihadapi petani adalahjaminan pasar produk primer terutama produk primer non-beras. Dukungan pasardengan harga yang beimbang, dan dukungan sektor hilir terutama Industri Rumah Tangga (IRT) dalam menyerap produk primer sektor pertanian lokal juga masih lemah. Hal ini disebabkan berbagai faktor diantaranya promosi,

1388

distribusi, kemasan dan kualitas serta faktor penunjang penguatan daya saing terhadap produk impor sejenis. Secara nasional permintaan industri pengolahan produk makanan jadi meningkat selama priode 1990-2011. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan produk perimer meningkat sejalan dengan meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita masyarakat (Kasyrino, 2013).Arah pembangunan pertanian daerah ke depan diharapkan memprioritaskan penguatan sektor hilir terutama IRT guna mampu menghela pembangunan sektor hulu. Untuk itu dituntut pembangunanpertanian yang berimbang antara aspek produksi (sektor hulu), pasar dan diikuti dengan pengembangan sektor hilir memberkan potensi dampak yang menjanjikan(Rahmat, 2013).Khusus pengembangan sektor hilir harus mendapat perhatian serus oleh berbagai pemangku kepentingan, tidak saja pemerintah tetapi dukungan swasta sangat dibutuhkan. Potensi sektor hilir dari segi jumlah IRT khusus memproduksi produk olahan berbahan baku pangan lokal jumlah mencapai lebih 4500 usaha(Disperindag, 2015). IRT tersebut mempunyai berbagai kelemahan baik dari sisi produk olahan, maupun dari sisi pengelolaan dan modal. Pengembangan sektor hilir ini diarahkan prioritas utama adalah penguatan daya saing produk, dan tujuan itu tidak terlepas dari perbaikan pengelolaan dan dukungan modal usaha. IRT ini umumnya masuk kategori sektor informal yang mempunyai berbagai kelemahan sehingga daya saingnya rendah. Dukungan inovasi teknologi pengolahan mutlak diperlukan dalam rangja memningkatkan daya saing (Munarso, 2013).Mengahadapi pasar tuggal Asean (MEA), sektor informal tersebut harus diperkuat sehingga mampu bersaing dengan produk-produk luar. Berkembang dan kuatnya sektor informal bidang pengolahah hasil diharapkan akan mengurangi tantangan regionaldalam pengembangan sektor pertanian karena semakin terbatasnya luas lahan budidaya, khususnya lahan sawah seperti adanya alih fungsi lahan, terbatasnya potensi lahan kering dan semakin sempitnya luas penguaasan lahan oleh rumahtangga tani akibat fragmentasi lahan dan diharapkan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja pedesaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan: (i) Potensi dan kelemahan IRT produk olahan berbahan baku produksi pertanian lokal; (ii) Strategi penguatan IRT guna meningkatkan daya saing menghadapi MEA.

METODOLOGI

Kajian ini merupakan perpaduan analisis antara data sekunder dan data primer. Sasaran kajian adalah Industri Rumah Tangga (IRT) yang melakukan usaha pengolahan makan jadi. Kajian dilakukan dalam bentuk eksplorasi (Singarimbun dan Effendi, 1982) pada bulan Februari-Maret 2016. Lokasi kajian pada 3 kota sebagai pasar dan sentra produk olahan, Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh dengan jumlah sampel lebih 50 macam produk olahan, 30 industri pengolahan yang terdiri dari industri skala kecil/menengah, mikro IRT yang bermitra dengan industri kecil dan IRT yang tidak bermitra (mandiri) serta UP3HP binaan Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Data yang diperlukan terdiri dari data sekunder dan data perimer. Data sekunderbersumber dari instansi terkait dan sumber lainnya termasuk hasil-hasil kajian yang terkait dengan tujuan kajian ini. Data primer bersumber dari tempat/kios penjualan produk olahan dan industri pengolahan produk makanan. Parameter utama (data/informasi) tentang produk olahan tersebut adalah data yang dicantumkan pada kemasan produk olahan yaitu: izin usaha, alamat, label halal (keluaran, kandungan gizi, komposisi,masa kedaluarsa, bentuk kemasan(menarik atau kurang/tidak menarik) dan lainnya. Analisis data dilakukan secara tabulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi dan Penggunaan Produk Pertanian Diantara tanaman pangan, pertumbuhan produksi tertinggi adalah ubi kayu dan ubi

jalar berturut-turut 15% dan 13,5% per tahun. Komoditas pangan lainnya termasuk padi pertumbuhan produksinya dibawah 5% pertahun (Bappeda, 2013). Produk primer tanaman pangan, hortikultura dan poduk ternak (daging dan telur) sebagian digunakan oleh IRT

1389

sebagai bahan baku untuk menghasilkan berbagai jenis produk olahan makanan jadi (Tabel 1). Dengan diberlakukan pasar tunggal Asean (MEA) yang terdiri dari Negara Brunai Darusssalam, Camboja, Indonesia, Laos, Malaysia. Myanmar, Pilipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam dengan jumlah penduduk lebih dari 500 jt jiwa dan 50% berada di Indonesia. MEA bisa menjadi peluang dan tantangan pasar bagi produk primer maupun produk olahan sektor pertanian (Husen, 2014). Oleh karena itu Indonesia harus berbenah terutama dari mutu produk primer dan kekhasan produk olahan baik dari sisi cita rasa maupun kemasan disertai informasi penguatan daya saing lainnya. Tabel 1.Keragaman komoditas pangan dan hortikultura di Sumatera Barat, 2014*

No Komoditas

Luas

panen/populasi

(ha, ptg)*

Produksi

(t)*

Pertumbuhan

produksi per

tahun (%)**

Mendukung

industri

rumahtangga***

1. Padi 467529 ha 2339682 4,1 Ya

2. Jagung 75657 ha 495497 5,0 Ya

3. Ubi kayu 5502 ha 213647 15,0 Ya

4. Ubi jalar 4372 ha 124881 13,5 Ya

5. Kacang tanah 6819 ha 9597 3,2 Ya

6. Bawang merah 3670 ha 35838 14,5 Ya

7. Kentang 1829 ha 31300 1,7 Ya

8. Kubis 2711 ha 85632 0,0 Tidak

9. Cabe keriting 6680 ha 57671 15,6 Tidak

10. Tomat 2183 ha 65313 15,0 Tidak

11. Wortel 1205 ha 22637 17,5 Tidak

12. Pisang 1825638

batang

137347 13,9 Tidak

13. Jeruk 379953 batang 41837 13,7 tidak

14. Pepaya 164352 batang 11622 6,1 tidak

15. Sapi potong Ekor 513.255 8,0 Ya

16. Unggas/telur Ekor 14.946.984 8,0 Ya

*Sumber: Bappeda (2014); **Bappeda (2013); ***Hasil survei

Potret Usaha Produk Olahan

Potensi pengembangan usaha produk olahan Pembangunan pertanian yang didukung oleh berbagai inovasi teknologi telah berhasil

meningkatkan produksi berbagai komoditas, baik komoditas tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan dan peternakan. Akan tetapi peningkatan produksi ini belum banyak menghasilkan nilai tambah bagi petani karena hasil produksi dipasarkan dalam bentuk segar. Karena itu diperlukan berbagai usaha agar keluarga tani mampu mengolah sebagian dari hasil produksinya menjadi produk olahan atau mengembangkan IRT agar mampu menyerap bahan baku produk pertanian lokal. Upaya pemerintah daerah dalam hal ini telah melakukan fasilitasi mendorong penumbuhan unit usaha IRT. Sebagai contoh, Dinas Pertanian telah menumbuhkan dan membina sejumlah usaha pengolahan hasil dibawah naungan kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan) yang dikenal

1390

dengan Unit Pelayanan Pengembangan dan Pengolahan Hasil Pertanian (UP3HP) di berbebagai sentra produksi suatu komoditas. Jumlah IRT berbahan baku produk pertanian lokal yang tumbuh sesuai dengan dinamika pembangunan ekonomi mencapai 4.292 unit, sedangkan jumlah industri kecil dan menengah di Sumatera Barat mencapai 14.810 unit. Jumlah serapan tenaga kerja untuk IRT saja 14.945 orang dan serapan untuk total industri kecil dan menengah sebanyak 58.912 orang. Khusus untuk IRT produk olahan total nilai produksi setahun mencapai Rp. 745,0 M dan memberikan nilai tambah Rp. 413,0 M (Disperindag, 2015) (Tabel 2). Menghadapi perdagangan bebas pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah berjalan, maka produk olahan akan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Karena itu peningkatan mutu menjadi salah satu kunci utama untuk keberhasilan meningkatkan daya saing produk olahan lokal.

Pengembangan UP3HP dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak dan berkoordinasi dengan institusi terkait di Kabupten/Kota dimana UP3HP berada. Langkah pengembangan dilakukan secara bertahap dengan acuan yang jelas. UP3HP yang berada diseluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat dikelompokkan menjadi tiga kelas sesuai dengan kemajuan yang telah dicapainya. Untuk menentukan tingkatan tersebut dibuat parameter yang terukur agar klasifikasi UP3HP bisa dilaksanakan dengan tepat.Bagi UP3HP yang masih berada pada tahap awal, pembinaannya masih fokus pada teknologi pengolahan dan bantuan peralatan utama. Bagi UP3HP yag sudah maju pembinaannya diarahkan pada peningkatan mutu, anitasi dan keamanan pangan, aspek manajerial, inovasi produk dan perluasan pemasaran.

Sejak 10 tahun terakhir ini telah ditumbuhkan dan difasilitasi 145 unit UP3HP yang tersebar di kabupaten/ kota. Indikator berkembangnya UP3HP tergambar dari tumbuh dan berkembangnya produksi olahan hasil pertanian dan pengembangan pemasaran produk. Pembinaan terhadap UP3HP dilakukan dalam penerapan kaidah Good Handling Practices (GHP) dan Good Manufactur Practices (GMP), terutama berkaitan dengan aspek proses produksi, teknologi produksi, keamanan pangan, standarisasi produk, labeling dan kemasan.

Mendukung pengembangan IRT terutama yang lemah modal sebagian telah menanfaatkan dana pinjaman dari Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) yang ada di wilayahnya. Potensi LKM-A yang ada di setiap desa cukup membantu dalam pengembagan IRT terutama yang berskala mikro(rumahan) dalam pengadaan bahan baku (Hosen, et.al, 2013 dan Hosen, 2014). Aneka produk olahan dihasilkan oleh IRT dengan bahan baku 12% dari beras dan jagung, 34% umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar kentang, talas), 21% kacang-kacangan, 9% hasil ternak (daging, kulit dan telur), 24% lainnya (pisang, enau, cabe, bawang dan lainnya).

1391

Tabel 2. Jumlah usaha IRT produk olahan berbahan baku hasil pertanian dan serapan tenaga kerja menurut kabupaten/kotadi Sumatera Barat, 2015*

No Kabupaten/Kota Jumlah Unit Usaha T. Kerja (Org)

1. Sijunjung 62 247 2. Dharmasraya 77 295 3. Solok 118 469 4. Solsel 73 199 5. Pessel 291 1054 6. Pd-Pariaman 418 1075 7. Tanah Datar 579 2041 8. Agam 18 128 9. Limapuluh Kota 153 1236

10. Pasaman Barat 271 547 11. Pasaman 281 852 12. Pasaman 281 852 13. Ko. Padangpanjang 140 559 14. Ko. Sawahlunto 220 614 15. Ko. Padang 971 3122 16. Ko. Bukittinggi 63 246 17. Ko. Solok 95 561 18. Ko.Pariaman 106 520

19. Ko. Payakumbuh 325 1091 Jumlah 4542 15708

*Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sumatera Barat (2015) Kelemahan produk olahan

Pengembangan usahatani yang semula berorientasi produksi diarahkan kepada penerapan konsep pengembangan usaha agribisnis yang utuh yaitu usahatani yang terpadu antara agroinput (hulu) kegiatan produksi dan pengolahan serta pemasaran. Wujud usaha yang diharapkan adalah berkembangannya agroindustri pedesaan yang bermutu, berdaya saing dan tingkat keamanan pangan yang terjamin. Pengembangan agroindustri pedesaan dimaksudkan agar nilai tambah bisa diraih petani atau IRT di pedesaan serta berkembangnya kluster industri komoditi spesifik di pedesaan.

Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2008 terus konsisten melakukan pembinaan terhadap petani dikawasan sentra produksi komoditi di bawah naungan kelembagaan kelompok UP3HPdari aspek: mutu, manajemen, proses produksi, peningkatan penampilan kemasan, standar produk serta ditunjang dengan food security dan halal.Pemasaran adakalanya juga menjadi kendala, untuk itu Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat melalui kerjasama dengan berbagai pihak, secara bertahap masalah ini bisa diatasi. Untuk itu yang sangat diperlukan adalah kesadaran bersama dari masing-masing anggota kelompok UP3HP untuk mengatasi berbagai kendala yang ada.

Hasil survei pada 3 kota (Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh) diperoleh gambaran tentang profil produk olahan yang dipasarkan pada outlet/kios menunjukkan bahwa belum semua jenis produk olahan baikindustri kecil/menengah, industri mikro IRT sebagai anak angkat, UP3HP maupun IRT yang mandiri mencantumkan beberapadata/informasi produk pada kemasan. Informasi masa kedaluarsa produk dan label halal yang benar belum semua produk dicantumkan dengan jelas pada kemasan produk (Tabel 3).

Keripik sanjai, keripik balado, dan rendang daging merupakan produk olahan spesifik Sumatera Barat. Keripik sanjai terkenal dari Bukittinggi, keripok balado dari Kota Padang, dan rendang daging umumnya dari berbagai daerah seperti Payakumbuuh, Batusangkar, Pariaman dan Solok di Sumatera Barat. Data/informasi tentangketiga peroduk olahan tersebut belum memenuhi standar. Ketiga produk olahan menjadi andalan Sumatera Barat dan seharusnya diperkuat daya saingnya terutama dengan mencantumkanmasa kedaluarsa, label halal resmi dari BP-POM MUI dan informasi lainnya serta kemasan yang menarik agar

1392

memenuhi standar produk sehingga menarik bagi konsumen, terutama konsumen mancara negara (turis) atau menjadi produk ekspor dalam konteks MEA.

Kelemahan lainnya adalah umunya IRT lemah modal dalam mengembangkan skala usaha, bentuk dan kualitas produk. Pemanfaatan fasilitas skim kredit dari Bank juga terbatas. Binaan dari stakeholder dalam membangun jejaring pasar juga masih terbatas. Selama ini pembinaan tehadap usaha pengolahan hasil skala rumahtangga masih terjadi tumpang tindih antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Seperti Dinas Pertanian menumbuh kembangkan usaha pengolahan hasil (UP3HP) di tingkat kelompok atau perorangan.

Tabel 3. Keragaan beberapa data/informasi yang tertera pada kemasan produk olahan usaha pengolahan produk makanan di Sumatera Barat, 2016*

No

Parameter

penguatan daya

saing produk

Pencantuman data/informasi pada kemasan (%)

Industri

Kecil/menengah

Industri

mikro mitra

(IRT)

Industri

mikro binaan

(UP3HP)

Industri

mikro

mandiri

(IRT)

1 Izin Usaha/P-IRT 100 100 80 75

2 Masa kedaluarsa

- Tercantum jelas

60 40 5 25

- Tercantum

tapi tidak ditandai

40 60 85 0

- Tidak tercantum

0 0 10 75

3 Label halal 0 0 0

- Ada sesuai MUI-POM

35 15 0 0

- Hanya ada tertulis

65 50 60 50

- Tidak tertulis 0 35 40 50

4 Kandungan gizi 0 0 0 0

5 Komposisi bahan

baku 100 100

90 90

6 Nama dan

alamat IRT 100 100

100 100

7 Bentuk kemasan

- Menarik 100 75 85 25

- Kurang menarik

0 25 15 75

*Hasil survey

Strategi Penguatan dan Pengembangan

1. Penguatan legalitas peroduk olahan dengan mencantumkan beberapa data/informasi tentang produk olahan dan profil IRT.

1393

Data/informasi yang harus dicantumkan pada kemasan produk diantaranya adalah izin usaha, nama dan alamat IRT, ekpayer, label halal MUI, komposisi, kandungan gizi. Penguatan IRT tersebut dilakukan melalui sosialisasi dan mempermudah pengurusan perizinan oleh pemangku kepentingan di setiap daerah. 2. Peningkatan mutu produk, SDM pengelola dan masaran.

Kegiatan peningkatan mutu ditujukan pada standarisasi produk, sanitasi produksi, dan keamanan pangan. Peningkatan SDM tyerutama dari aspek manajerial, penerapan inovasi pengolahan dan perluasan jaringan pasar. Dalam jangka menengah peningkatan mutu harus menjadi perhatian oleh pemangkukepentingan yang dapat dilakukan melalui pelatihan dan bimbingan teknis. Koordinasi dan kerjasama berbagai pihak terkait untuk memperkuat IRT seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perguruan Tinggi, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan, Balai Pengakaian Teknologi Pertanian dan Instansi terkait lainny sangat diperlukan. Pelaksanaan kegiatan tersebut dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi bersama dengan pemerintah kabupaten/kota terutama pada sentra produk olahan dan sentra bahan baku lokal untuk produk olahan makanan jadi di Sumatera Barat. 3. Membangun kelembagaan pasar

a. Membangun kerjasama pasar produk olahan salah satunya melalui sistem bapak angkat yang menganut pola mutualistis (saling menguntungkan). Pengusaha IRT hanya memproduksi produk olahan sesuai pesanan dari bapak angkat. Pembinaan, bentuk kemasan lengkap dengan data/informasi tentang produk, pasar dan distribusi tanggung jawab bapak angkat. Sistem ini satu jenis produk dengan standar mutu yang sama tetapi bisa dilakukan oleh banyak IRT. Produk olahaPenetapan harga dasar produk dari konsumen ditetapkan berdasarkan harga kesepakatan dengan prinsip saling menguntungkan.

b. Memperkuat kemitraan pasar antara pemilik tempatdagang/outlet/kios dengan pengusaha IRT. Cara seperti sudah berjalan dan seharusnya pedagang yang menjadi mitra membuat persyaratan bagi IRT untuk produk olahannya untuk memenuhi standar diantaranya pada kemasan harus mencantumkan beberapa data/infrmasi tentang produknya seperti halnya disebutkan di atas. Dengan cara demikian secara tidak langsung akan memperkuat daya saing produk yang dijual di kios/outlet mitra dagang menghadapi MEA.

4. Pencerdesan konsumen dalam artian konsumen perlu diberikan pemahaman dalam memilih produk olahan yang berkualitas, kandungan gizi, komposisi, sesuai dengan keyakinan masing-masing dan tidak hanya melihat tampilan baik produk maupun kemasannya saja.

KESIMPULAN

Potensi pengembangan industri rumahtangga (IRT)produk olahan makanan jadi cukup besar. Jumlah IRT yang tumbuh mencapai 4.292 unit dan mampu menyerap tenaga kerja 14.945 orang dan memberikan nilai tambah sebesar Rp. 413,0 milyar per tahun. Kasus IRT di Sumatera Barat masih mempunyai beberapa kelemahan: (1) Belum semua IRT mempunyai izin usaha dan mencantumkan label halalMUI pada kemasan, kecuali indutri kecil dan menengah; (2) Masa layak guna merupakan informasi penting belum semuanya mencantumkan dengan tegas; (3) Kandungan gizi tidak tercantum dan hanya mencantumkan komposisi produk; (4) Alamat sudah dicantumkan cukup jelas, dan (5) Kemasan sebagai besar sudah menarik kecuali IRT mandiri dan UP3HP. Kelemahan produk olahan IRT tersebut harus dibenahi untuk memperkuat daya saing dalam pasar bebas MEA. Untuk itu diperlukan fasilitasi dan regulasi oleh pemerintah (i) pembinaan menuju efisiensi usaha dan penguatan legalitas produk dengan mencantumkan izin usaha dan berbagai

1394

data/informasi tentang produk pada kemasan, (ii) mempermudah akses IRT ke sumber modal, (iii) Membangun kelembagaan pasar/kemitraan sistem bapak angkat untuk menjamin standar mutudan keberlanjutan pasar yang saling menguntungkan; (iv) Meningkatkan pengetahuan konsumen dalam memilih produk olahan makanan jadi secara bijak.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda, 2013.Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Sumatera Barat tahun 2013-2025. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat.

Bappeda, 2014. Sumatera Barat Dalam Angka Tahun 2014. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Barat. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat..

Dinas Perindustrian dan Perdagangan, 2015. Direktori perusahan industri kecil dan menengah tahun 2014. Dinas Perindustrian dan PerdaganganPropinsi Sumatera Barat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2015. Pengembanga UP3HP di Sumatera Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Sumatera Barat.

Hosen, N. 2014. Keberadaan lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-A) mendukung kemandirian pangan di Sumatera Barat. Prosiding Seminar nasional HPS ke 33. Buku I. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hal. 472-481.

Hosen, N. Nurnayetti dan Hardiyanto. 2013. Pemberdayaan gapoktan mendukung pengembangan usaha agribisnis perdesaan di Sumatera Barat. Artikel dalam buku: Diversifikasi pangan dan transformasi pembangunan pertanian. Editor: Mewa Ariani, Kedi S., Nono, SS., Rahmat H., Haryono, S., dan Effendi Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press. Hal. 494-512.

Husen, S, 2014. Prospek pemberlakuan MEA 2015 bagi pelaku usaha sektor pertanian. Prosiding Seminar nasional HPS ke 33. Buku I. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kmenterian Pertanian. Jakarta. Hal. 120-137.

Kasryno, F. 2013. Politik revitalisasi pertanian dan dampak pelaksanaannya. Artikel dalam buku: Diversifikasi pangan dan transformasi pembangunan pertanian. Editor: Mewa Ariani, Kedi S., Nono, SS., Rahmat H., Haryono, S., dan Effendi Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press. Hal. 11-51.

Munarso, J. 2013.Peran teknologi pengolahan mendukung diversifikasi pangan. Artikel dalam buku: Diversifikasi pangan dan transformasi pembangunan pertanian. Editor: Mewa Ariani, Kedi S., Nono, SS., Rahmat H., Haryono, S., dan Effendi Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press. Hal. 419-435.

Rahmat,M. 2013. Perspektif pengembangan industri pengolahan pangan di Indonesia. Artikel dalam buku: Diversifikasi pangan dan transformasi pembangunan pertanian. Editor: Mewa Ariani, Kedi S., Nono, SS., Rahmat H., Haryono, S., dan Effendi Pasandaran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press.Hal. 303-325.

Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1982. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.

1395

KOMPARASI INSTITUSI PANEN

ANTARA ADOPTER DAN NON-ADOPTER MESIN

PERONTOK PADI “POWER THRESER”: STUDI KASUS DI

KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN

Tian Mulyaqin1)*, Ishii Keiichi2), dan Yuti Giamerti3)

1,3) Peneliti, Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Banten 2)Graduate School of Agricultural Science, Tohoku University - Jepang

ABSTRAK

Diseminasi power threser kepada petani merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi kehilangan hasil dan meningkatkan efisiensi kerja pada saat perontokan padi. Penggunaan power threser telah memberikan dampak secara ekonomi, dan secara sosial kepada masyarakat tani di Banten. Kajian ini bertujuan membandingkan sda panen antara adopter dan non-adopter power threser di sentra produksi padi di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Metode penelitian yang digunakan adalah survei menggunakan kuesioner terstruktur kepada 103 responden yang terdiri dari 61 responden sebagai adopter dan 42 responden sebagai non adopter power threser. Kajian dilakukan di empat kecamatan (Ciruas, Lebak Wangi, Pontang, Tirtayasa) di Kabupaten Serang Provinsi Banten pada musim tanam pertama tahun 2014/2015. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara adopter dan non adopter dalam sistem perekrutan buruh panen dan sistem panen. Hal ini mengakibatkan perbedaan sistem upah dan pembatasan buruh panen. Pembatasan buruh panen pada saat menggunakan power threser merupakan salah satu alasan bagi non adopter untuk tidak menggunakan power threser disebabkan dapat memicu konflik dengan buruh panen setempat yang merasa pekerjaannya akan tergantikan dengan mesin tersebut. Kata kunci: power threser, institusi panen, buruh panen

PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah tidak hanya meningkatkan produksi padi, tetapi juga berupaya menekan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen. Kehilangan hasil pada saat perontokan padi merupakan tahap pascapanen dengan tingkat kehilangan hasil yang masih tinggi, yaitu sekitar 5% (Ananto dkk., 2003). Terdapat variasi teknologi perontokan padi yang digunakan oleh petani dan buruh panen saat ini, secara manual menggunakan tenaga buruh panen dengan dibanting atau digebot maupun secara mekanis menggunakan pedal threser ataupun power threser, bahkan beberapa petani sudah menggunakan Combine Harvester.

Tingkat kehilangan hasil pada saat perontokan padi sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan. Perotokan padi dengan cara gebot banyak gabah yang tidak terontok berkisar antara 6%-9%, bahkan susut lebih besar lagi yaitu sekitar 2%-3% ketika terjadi penundaan perontokan selama satu sampai tiga hari (Sulistiadji, 2007). Sementara menggunakan pedal threser terjadi kehilangan hasil sebesar 4,75% dan menggunakan power threser sebesar 1,90% (Tjahjohutomo, 2008). Penggunaan power threser pada saat perontokan sangat direkomendasikan oleh pemerintah saat ini untuk mengurangi kehilangan hasil. Selain teknologi yang digunakan untuk proses panen dan pascapanen, sistem panen akan mempengaruhi tingkat kehilangan hasil padi. Setyono, dkk. (1993) sistem panen secara keroyokan menimbulkan kehilangan hasil sebesar 18,6%, sistem ceblokan 13,1 persen dan sistem kelompok 5,9%.

1396

Penggunaan power threser di Kabupaten Serang masih beragam, terdapat petani yang sudah menggunakan power threser secara terus menerus, tetapi terdapat juga petani yang masih enggan untuk menggunakan power threser. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor 1) Ketersediaan power threser dan rental yang masih terbatas; 2) Pengetahuan petani terhadap power threser yang masih kurang; 3) Adanya penolakan dari buruh panen terhadap penggunaan power threser, karena takut akan tergantikan pekerjaannya (Mulyaqin, 2016). Sementara Swastika (2012) menyatakan bahwa berbagai kendala yang dihadapi dalam mengadopsi teknologi maju pascapanen, antara lain: 1) Ketidaktahuan petani, buruh, dan pedagang tentang teknologi tersebut, 2) Harga alat dan mesin pasca panen yang kurang terjangkau oleh petani individu, 3) Belum adanya jasa penyewaan alat dan mesin pascapanen, 4) Adanya tekanan dari buruh dan pengasak, karena khawatir akan kehilangan lapangan pekerjaan, 5) Tidak adanya insentif perbedaan harga bagi pedagang untuk melakukan kegiatan pengeringan, dan 6) Rasa puas penggilingan padi dengan alat dan mesin yang dimiliki saat ini.

Ketersediaan power threser di Kabupaten Serang masih terbatas tetapi cenderung meningkat penggunaannya. Tingkat pertumbuhan power threser di Kabupaten Serang paling tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di Provinsi Banten yaitu sebesar 134,71% per tahun (Tabel 1.). Penggunaan power threser telah memberikan dampak secara sosial maupun ekonomi kepada petani dan buruh tani di Kabupaten Serang. Secara sosial, terdapat perubahan institusi panen pada petani dan buruh panen setelah menggunakan power threser. Kajian ini bertujuan untuk membandingkan kelembagaan panen antara petani yang sudah menggunakan power threser dengan petani yang belum menggunakan power threser.

Tabel 1. Tingkat Pertumbuhan Jumlah Power Threser di Kabupaten Serang, 20141

Kabupaten/Kota Power Threser (unit) Tingkat Pertumbuhan

per Tahun (%) 2003 2013

Pandeglang 70 27 -5.58 Serang 11 174 134.71

Tangerang 15 11 -2.42

Lebak 17 21 2.14

Kota Serang 0 4 0.00

Total 113 237 9.98

1Sumber: Pusdatin, 2014).

METODE PENELITIAN

Kajian dilaksanakan di empat kecamatan di Kabupaten Serang Provinsi Banten (Kecamatan Ciruas, Kecamatan Lebak Wangi, Kecamatan Pontang, dan Kecamatan Tirtayasa). Pengambilan lokasi tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Serang (BPS Serang, 2014) dan terdapat petani yang sudah mengadopsi power threser untuk perontokan padi, serta terdapat pula petani yang belum mengadopsi bahkan menolak penggunaan power threser.

Data yang digunakan dalam kajian ini dikumpulkan menggunakan metode surveimenggunakan kuesioner terstruktur kepada 103 petani padi yang terdiri dari 61 petani adopter dan 42 non-adopter mesin power threser padi. Data tambahan berasal dari dokumen resmi dan artikel lain yang berhubungan dengan kajian ini. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif membandingkan institusi panen antara adopter dan non-adopter power threser.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1397

Karakteristik Responden

Kajian ini menyurvei 103 responden yang terdiri dari 61 petani yang sudah menggunakan power threser dan 42 petani yang belum menggunakan power threser. Karakteristik responden terdiri dari umur, pendidikan formal, pengalaman usahatani padi, luas kepemilikan lahan dan sumber modal usahatani. Umur, Pendidikan, Pengalaman Usatani Padi

Tabel 2. Menggambarkan umur, pendidikan formal dan pengalaman usahatani padi petani responden. Sebagian besar responden memiliki umur antara 41- 60 tahun (adopter 52,46% dan non adopter 52,38%). Sementara 42,62% adopter dan 35,71% non-adopter memiliki umur antara 20-60 tahun, dan 4,92% adopter dan 11,90% non-adopter memiliki umur lebih dari 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur responden dalam proporsi yang baik dan sebagian besar responden berada pada umur yang produktif.

Tabel 2. Umur, Pendidikan Formal, dan Pengalaman Usahatani2

Adopter Non-Adopter

N Persentasi N Persentasi Umur (Tahun)

< 20 0 0.00 0 0.00

20–40 26 42.62 15 35.71

41–60 32 52.46 22 52.38

> 60 3 4.92 5 11.90

Total 61 100.00 42 100.00

Pendidikan Formal (Tahun)

< 6 2 3.28 3 7.14

6–9 47 77.05 36 85.71

10–12 10 16.39 2 4.76

> 12 2 3.28 1 2.38

Total 61 100.00 42 100.00

Pengalaman Usahatani (Tahun)

< 5 4 6.56 3 7.14

5–15 40 65.57 23 54.76

16–30 15 24.59 14 33.33

> 30 2 3.28 2 4.76

Total 61 100.00 42 100.00

2Data Primer, 2015).

Tingkat pendidikan sangat memungkinkan mempengaruhi usahatani padi dikarenakan dibutuhkan akses informasi yang baik untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas padi. Pendidikan formal responden sebagian besar sudah mengenyam pendidikan dasar antara Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama yaitu sebesar 77,05 persen adopter dan 85,71 persen non-adopter. Responden yang memiliki pendidikan formal sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 16,39% adopter dan 4,76% non-adopter, responden juga ada yang sudah mengenyam pendidikan tinggi sebesar 3.28% adopter dan 2,38% non-adopter.

Pengalaman usahatani juga tentunya memiliki pengaruh yang positif terhadap petani dalam mengusahakan lahannya untuk budidaya padi. Petani responden sebagian besar memiliki pengalaman usahatani padi berkisar antara 5 tahun–15 tahun (65,57% adopter dan 54,76% non-adopter), sementara responden yang memiliki pengalaman usahatani dengan kisaran antara 16 tahun–30 tahun untuk adopter sebesar 24,59% dan non-adopter sebesar 33,33%, dan hanya 3,28% untuk adopter dan 4,76% non-adopter yang memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun. Luas Garapan, Status Lahan, dan Sumber Pembiayaan

Tabel 3. Menggambarkan luas garapan, status lahan, dan sumber pembiayaan petani responden. Luas garapan petani responden paling dominan berkisar antara 0,5 hektar – 1

1398

hektar (73,77% adopter dan 66,67% non-adopter, petani responden yang memiliki luas garapan lebih dari satu hektar untuk adopter sebesar 18,03% dan non-adopter sebesar 19,05%, dan petani responden yang memiliki luas garapan kuran dari 0,5 hektar sebesar 8,20 persen adopter dan 14,29 non-adopter. Status lahan petani responden sebagian besar merupakan bagi hasil (62,30% adopter dan 42,86% non-adopter), sebagian non-adopter memiliki lahan tersebut 57,14%, sementara hanya 26,23% adopter lahannya berstatus milik sendiri dan hanya 11,48% dari petani adopter saja yang berstatus sewa.

Sumber pembiayaan usahatani petani responden sebagian besar merupakan kombinasi antara modal sendiri dan melakukan pinjaman ke sumber pembiayaan yang tersedia di daerah tersebut (petani adopter 73,77% dan non-adopter 47,62%), lainnya hanya menggunakan modal sendiri (petani adopter 45,24% dan petani non-adopter 18,03%) dan hanya memanfaatkan pinjaman dari sumber pembiayaan yang tersedia (petani adopter 8,20% dan petani non-adopter 7,14%).

Tabel 3. Luas Garapan, Status Lahan dan Sumber Pembiayaan Usahatani3

Adopter Non-adopter N Persentasi n Persentasi

Luas Garapan (Hektar)

<0.5 5 8,20 6 14,29

0.5-1 45 73,77 28 66,67

>1 11 18,03 8 19,05

Total 61 100,00 42 100,00

Status Lahan

Milik 16 26,23 24 57,14

Sewa 7 11,48 0 0,00

Bagi hasil 38 62,30 18 42,86

Total 61 100,00 42 100,00

Sumber Pembiayaan Usahatani

Modal Sendiri 11 18,03 19 45,24

Pinjam 5 8,20 3 7,14

Kombinasi 45 73,77 20 47,62

Total 61 100,00 42 100,00

3Data Primer, 2015) Teknologi Perontokan Padi di Kabupaten Serang

Proses panen dan pasca panen padi secara umum dapat dibagi menjadi 2 tahapan kegiatan yaitu pemotongan dan perontokan padi. Keberadaan dan adopsi teknologi untuk kegiatan ini masih bervariasi di Kabupaten Serang. Ada petani yang masih menggunakan cara tradisional menggunakan ani-ani, biasanya dilakukan oleh petani padi yang masih membudidayakan varietas padi lokal dan biasanya tidak dilakukan perontokan. Petani lainnya sudah menggunakan sabit biasa atau sabit bergerigi untuk pemotongan dan menggunakan beberapa variasi teknologi untuk perontokan yaitu sistem gebot atau banting, menggunakan pedal threser, power threser, dan beberapa petani sudah menggunakan combine harvester.

Perbandingan Sistem Upah

Power threser sudah menjadi bagian dalam perkembangan teknologi perontokan padi di Kabupaten Serang. Perubahan teknologi dari buruh panen saja menjadi menggunakan mesin dalam perontokan padi mempengaruhi sistem upah yang sudah biasa dilakukan petani. Hasil observasi di lapangan menunjukan beberapa perbedaan antara teknologi yang digunakan dengan sistem upah yang diterapkan (lihat Tabel 4.) Sistem upah di lokasi kajian dapat dibedakan menjadi beberapa sistem yaitu ceblokan, bawon, harian, borongan, tebasan, dan sambatan/gotong royong.

Varietas padi yang ditanam oleh adopter lebih bervariasi dibandingkan dengan non adopter. Adopter telah menggunakan beragam varietas padi seperti ciherang, cigeulis, mekongga, cibogo, sidenok dan inpari 20. Sementara non-adopter lebih seragam hanya

1399

menggunakan ciherang, mekongga, dan varietas lokal. Persiapan lahan baik adopter maupun non adopter semuanya sudah menggadopsi traktor untuk mengolah tanah secara borongan dan masih menggunakan tenaga buruh untuk merapikan pematang, diupah secara borongan atau harian. Upah borongan untuk traktor di lokasi kajian berkisar antara Rp 900.000–Rp 1.000.000 per hektar, sementara upah buruh untuk persiapan lahan sebesar Rp 70.000 per hari.

Penanaman padi masih menggunakan buruh tanam dengan sistem upah untuk adopter harian atau borongan. Sementara untuk non adopter selain harian dan borongan, petani menggunakan sistem upah ceblokan, dimana buruh tanam akan dibayar dengan bawon pada saat panen.

Teknologi panen pada saat pemotongan baik adopter maupun non-adopter sama-sama masih menggunakan sabit atau sabit bergerigi, tetapi untuk non-adopter yang masih membudidayakan varietas lokal masih menggunakan ani-ani untuk panen dan biasanya tidak dilakukan perontokan. Teknologi perontokan yang digunakan oleh adopter tentunya menggunakan power threser, sementara non-adopter masih dengan sistem gebot atau dengan pedal thresher.

Sistem upah pada saat panen sangat beragam, adopter power threser menggunakan sistem borongan, dimana pemanen dibagi menjadi tiga kelompok: 1) kelompok pemotong; 2) kelompok pengumpul; dan 3) kelompok perontok. Sistem upah panen untuk non adopter menggunakan sistem bawon dan ceblokan dimana pemotongan, pengumpulan, dan perontokan padi dilakukan oleh individu buruh panen. Namun, apabila adopter dan non-adopter menjual padinya ke penebas maka sistem upah tebasan yang digunakan.

Tabel 4. Perbandingan Teknologi Utama Dan Sistem Upah Usahatani Padi Antara Adopter dan Non Adopter4)

Adopter Non-Adopter

Varietas padi yang ditanam

Ciherang, Cigeulis, Mekongga, Cibogo, Sidenok, Inpari 20

Ciherang, Mekongga, Varietas lokal

Persiapan Lahan Buruh tani, Tractor Buruh tani, Tractor

*Harian, Borongan *Harian, Borongan

Penanaman Buruh tani Buruh tani

*Harian, Borongan *Harian, Borongan, Ceblokan

Panen dan Pascapanen

Pemotongan Sabit Sabit, ani-ani

*Borongan , Tebasan *Bawon, Ceblokan, Tebasan

Perontokan

Power threser Gebot, pedal threser, (tidak dirontok kalau pakai ani-ani)

*Borongan, Tebasan *Bawon, Ceblokan, Tebasan

*Sistem upah 4Data primer, 2015) Perbandingan Sistem Panen

Menurut Ananto (1992), terdapat tiga sistem panen yang dilakukan di Indonesia: 1) Sistem individu atau sistem keroyokan (sistem panen terbuka); 2) Sistem ceblokan (sistem panen tertutup); 3) Sistem kelompok (sistem panen tertutup). Ketiga sistem panen ini banyak dilakukan di Kabupaten Serang, terutama sistem panen keroyokan dimana sistem panen ini memberikan kesempatan kepada buruh panen untuk ikut panen secara terbuka dengan jumlah buruh panen yang tidak dibatas. Sementara petani yang menjual padinya ke penebas, biasanya sistem panennya sudah tertutup. Penebas biasanya sudah mempunyai kelompok panen masing-masing. Terdapat pula sistem ceblokan, dimana pemanen merupakan buruh tani yang sudah terikat melakukan tanam, membersihkan gulma, dan

1400

kegiatan lain sebelum panen, buruh panen diluar penceblok tidak dapat bergabung melakukan panen tanpa se-ijin penceblok.

Kajian ini menunjukkan bahwa setelah petani menggunakan power threser, sistem keroyokan sudah tidak dilakukan lagi, karena biasanya pemilik power threser sudah memiliki kelompok panen sendiri. Buruh panen diluar kelompok tidak dapat bergabung untuk melakukan panen tanpa se-ijin dari pimpinan kelompok. Tabel 5. menunjukkan perbedaan sistem panen antara adopter dan non-adopter power threser: 1) non-adopter menggunakan sistem panen terbuka sementara adopter menggunakan sistem panen tertutup; 2) jumlah buruh panen pada sistem panen tertutup dibatasi sekitar 20-30 orang per kelompok, dengan pembagian tugas yang khusus (15-20 orang pemotong padi, 3-5 orang mengumpulkan padi, 3 orang merupakan operator mesin perontok padi), sementara pada sistem panen terbuka jumlah buruh panen tidak dibatasi biasanya lebih dari 30 orang per hektar dan biasanya buruh panen tersebut melakukan pemotongan, pengumpulan, dan perontokan padi secara individu atau masing-masing. 3) Sistem upah panen adopter I menggunakan sistem borongan, besarannya sebesar Rp 600/kg (Rp 550/ kg untuk buruh panen, Rp 50/kg untuk pemilik mesin), sementara non adopter menggunakan sistem bawon (output sharing) dengan besaran 1/6, 1/7, dan 1/10.

Perubahan sistem panen terbuka menjadi sistem panen tertutup diduga menjadi alasan non-adopter untuk tidak menggunakan power threser. Hal ini dikarenakan ada asumsi jika petani menggunakan power threser, biasanya pemilik power thresher sudah mempunyai kelompok panen tersendiri, sehingga akan banyak buruh panen di desa setempat yang tersisihkan.

Tabel 5. Perbandingan sistem panen antara adopter dan non adopter power threser5)

Adopter Non-Adopter

Sistem Panen Kelompok, Tebasan (Tertutup) Sistem keroyokan atau perorangan (terbuka) dan ceblokan, tebasan (tertutup)

Jumlah buruh panen 20–30 orang > 30 orang Ijin ikut panen Pimpinan kelompok panen Pemilik sawah

Gambaran pekerjaan Terbagi menjadi kelompok pemotong, pengumpul, dan perontok

Memotong, mengumpulkan, dan merontok dilakukan oleh sendiri

Sistem upah Borongan/Contract, Tebasan Bawon Ceblok, Tebasan Bentuk upah Tunas/uang cash Bagi hasil padi

Besaran upah *IDR 550–600/kg 1/6, 1/7, 1/10 5data primer, 2015)

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan antara adopter dan non adopter power thresher dalam sistem upah buruh panen dan sistem panen. Sistem upah buruh panen pada petani adopter menggunakan sistem borongan berupa uang tunai, sementara pada non adopter menggunakan sistem bawon atau bagi hasil. Sistem panen pada petani adopter menggunakan sistem tertutup atau kelompok sehingga terjadi pembatasan jumlah buruh panen, sementara pada non adopter menggunakan sistem terbuka dimana tidak terdapat pembatasan buruh panen.Pembatasan buruh panen pada saat menggunakan power threser merupakan salah satu alasan bagi non adopter untuk tidak menggunakan power threser karena dapat memicu konflik dengan buruh panen setempat yang merasa pekerjaannya akan tergantikan dengan mesin tersebut.

1401

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Program SmartD Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian yang sudah mendanai pengkajian ini. Penyuluh Pertanian Kecamatan Ciruas, Kecamatan Lebak wangi, Kecamatan Tirtayasa, dan Kecamatan Pontang yang telah membantu dalam pelaksanaan survey. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ananto E. E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penangnan panen dan pascapanen padi dalam sistem usahatani tanaman- ternak. Puslitbangtan, Bogor.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. 2014. Kabupaten Serang Dalam Angka. Kabupaten Serang Provinsi Banten

Mulyaqin, Tian. 2016. Master Thesis: Socio economic impact of threshing machine utilization: Case Study of Serang District Banten Province. Graduate School of Agricultural Science. Tohoku University. Jepang.

Pusdatin, 2014. Statistik Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian

Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.

Sulistiaji, Koes. 2007. Buku Alat dan Mesin (alsin) Panen dan Perontokan Padi di Indonesia. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Swastika, Dewa Ketut Sadra. 2012. Teknologi Panen dan Pascapanen Padi: Kendala Adopsi danKebijakan Strategi Pengembangan. http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART10-4c.pdf/ diakses 20 April 2016

Tjahjohutomo, R. 2008. Komersialisasi inovasi teknologi hasil penelitian dan pengembangan pertanian. Disampaikan pada Workshop membangun sinergi A-B-G dalam komersialisasi hasil litbang alsintan local dalam dengeri. FATETA IPB, Bogor 2008.8. Badan litbang penelitian pertanian, Jakarta.

1402

KAJIAN PENGARUH JENIS KEMASAN TERHADAP KEHILANGAN HASIL KUBIS SELAMA PENYIMPANAN

Waryat1, Muflihani Yanis1, Rima Purnamayani2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

ABSTRAK

Produk hasil pertanian khususnya sayuran dan buah-buahan mudah mengalami kerusakan (perishable). Kubis merupakan salah satu sayuran yang mudah mengalami kerusakan, sehingga kubis menghasilkan limbah paling banyak. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan fisik-biologi pada kubis segar selama penyimpanan dan mendapatkan jeniskemasan kubis yang dapat menurunkan kerusakan fisik, kehilangan hasil dan limbah kubis. Kemasan yang akan digunakan pada saat penyimpanan kemasan kardus/karton, jaring plastic, keranjang bambu, dan plastik PE ukuran 10 kg dan disimpan selama 14 hari. Pengamatan dilakukan 2 hari sekali selama 8 hari penyimpanan. Parameter fisik yang diukur adalah berat kubis, kerusakan (presentasi memar), kimia antara lain kadar air dan mikrobilogi antara lain kandungan TPC (Total Plate Count). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4 jenis kemasan. Hasil pengkajian menunjukan bahwa penggunaan kemasan plastik dan kardus mengalami susut bobot terendah masing-masing 4,66% dan 9,09%. Tingkat Kerusakan (presentase memar) menunjukkan bahwa penggunaan plastik dan kardus lebih kecil dibandingkan keranjang bambu, jaring dan kontrol (tanpa kemasan) yaitu sebesar 5,5% dan 6%. Kemasan plastik menunjukkan nilai kadar air dan kandungan TPC terbaik yaitu 90,75% dan 2,2 x 103. Berdasarkan parameter uji (susut bobot, presentasi memar, kadar air dan TPC), kemasan terbaik yang dapat digunakan untuk kemasan kubis adalah plastic dan kardus. Kata kunci: kubis, kemasan, kehilangan hasil, penyimpanan.

PENDAHULUAN

Produk hasil pertanian khususnya sayuran dan buah-buahan mudah mengalami kerusakan (perishable). Kerusakan dapat terjadi karena faktor fisiologis, fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Kerusakan hasil tanaman sayuran masih cukup tinggi, yang dapat menimbulkan dampak kerugian ekonomi (Sugiyono, 2001). Tingkat kehilangan pada produk hortikultura, dalam hal kualitas dan kuantitas mulai dari panen sampai ke konsumen berkisar 20-50% di negara berkembang dan 5-25% di negara maju (Kader, 2002). Di Indonesia kehilangan pasca panen produk sayuran 25-40% (Muchtadi dkk, 1995).

Kubis atau kol (Brassica oleracea L.) merupakan salah satu sayuran utama Indonesia dengan jumlah produksi tertinggi. Tahun 2011, jumlah produksi kubis di seluruh Indonesia mencapai 1.363.741 ton (BPS, 2013). Namun, sangat mudah mengalami kerusakan, sehingga menghasilkan limbah paling banyak. Menurut laporan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Prov. DKI Jakarta (2012) sampah/limbah kubis mencapai 5-7 ton per hari. Apabila 1 kg kubis seharga Rp. 8000,- berarti rata-rata dalam 1 (satu) hari kehilangan Rp. 40.000.000 – 56.000.000.

Nilnakara et al. (2009) menyatakan sekitar 40% dari daun kubis akan dibuang, tidak dikonsumsi dan hanya menjadi sampah atau mungkin sebagian kecil menjadi pakan ternak. Hasil kajian BPTP Jakarta melaporkan bahwa 2-5 daun terluar akan dibuang oleh pedagang besar atau setara dengan 8-17% penyusutan dan 2-3 daun terluar akan dibuang oleh pedagang eceran atau setara dengan 8-10% penyusutan (Waryat et al., 2006).

1403

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan teknologi penanganan pasca panen. Secara umum, penanganan pasca panen kubis meliputi cara panen, pengangkutan dari lahan ke tempat pengangkutan/pengemasan dan pendistribusian ke daerah konsumen/pasar. Untuk memperlambat kemunduran mutu kubis diperlukan suatu cara penanganan dan perlakuan yang dapat mempertahankan mutu kesegaran kubis. Penggunan kemasan merupakan cara untuk mempertahankan tingkat kesegaran kubis, karena dapat kemasan merupakan cara untuk mempertahankan tingkat kesegaran kubis, karena adaptasi dapat menurunkan respirasi dan transpirasi sampai batas minimal dimana produk tersebut masih mampu melangsungkan aktivitas hidupnya.

Pengemasan berfungsi untuk menyiapkan produk yang akan ditransportasikan, didistribusikan, disimpan, dijual dan dipakai. Penggunaan kemasan seperti plastik pada produk segar dapat menyebabkan adanya perubahan atau modifikasi konsentrasi CO2 dan O2 sekitar produk dalam kemasan, dimana konsentrasi CO2 akan meningkat dan O2 menurun akibat dari interaksi dari respirasi komoditas yang dikemas. Menurut Brown (1992), penggunaaan kemasan seperti plastik pada buah-buahan dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura segar. Pengemas dapat memperlambat proses respirasi sehingga dapat memperpanjang umur simpan sayuran dan buah (Rochman, 2007). Menurut BPPHP (2002), tujuan pengemasan menghambat penurunan bobot, meningkatkan citra produk, menghindari atau mengurangi kerusakan pada waktu pengangkutan. Pengemasan dapat dilakukan dengan kardus, keranjang, atau plastik.

Tingkat kerusakan komoditas hortikultura khususnya kubis yang masuk ke wilayah DKI Jakarta umumnya terjadi saat pengiriman/distribusi, dan penyimpanan, hal tersebut terjadi karena pedagang pengumpul tidak menggunakan jenis kemasan dan hanya ditutup terpal plastik. Selain itu, kubis memiliki kadar air yang cukup tinggi (45-50%). Kadar air yang tinggi menyebabkan kubis cepat rusak. Sehubungan permasalah tersebut, BPTP Jakarta melakukan kajian penggunaan kemasan guna mengatasi kehilangan dan kerusakan kubis yang berakibat tingginya limbah kubis. Penggunaan kemasan seperti karton, keranjang bambu atau plastik MAP diharapkan dapat meminimalkan kerusakan dan kehilangan hasil. Selain itu, penggunaan kemasan dapat mempertahankan mutu dan umur simpan kubis. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis kemasan terdapat tingkat kehilangan hasil selama penyimpanan dan analisis ekonomi dengan adanya penambahan biaya penggunaan kemasan selama penyimpanan.

METODOLOGI

Pengkajian ini dilakukan di sentra pemasaran kubis yaitu Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Waktu pelaksanaan bulan April-Nopember 2015. Bahan yang digunakan adalah kubis segar (Brassica oleracea L var capitata) yang didapat langsung dari petani produsen. Jenis kemasan yang digunakan adalah kardus/karton, jaring plastik. keranjang bambu, plastik ukuran 10 kg (Gambar 1). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan.

(a) (b) (c) (d)

Kubis yang akan dikemas ditimbang terlebih dahulu kemudian dikemas menggunakan 4 (empat) jenis kemasan kardus/karton, jaring plastik. keranjang bambu, dan plastik PE

Gambar 1. Jenis kemasan a) jaring; b) keranjang; c) kardus; d) plastik

1404

ukuran 10 kg. Setelah itu, kubis disimpan selama 8 hari. Setelah disimpan 8 hari, kubis diukur bobot, kadar air, tingkat kerusakan, dan TPC (Total Plate Count). Selain itu juga dilakukan, analisis ekonomi untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh pedagang besar dengan adanya tambahan biaya input (kemasan).

Rancangan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4 jenis (kardus/karton, jaring plastik, keranjang bambu, plastik, dan plastik MAP) dan tanpa kesamaan sebagai pembanding (control) dengan 2 kali ulangan. Parameter yang diukur adalah fisik berat kubis, dan tingkat kerusakan, kimia (kadar air) mikrobiologi (kandungan TPC (Total Plate Count)). Apabila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada jenjang nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Kemasan terhadap Susut Bobot Kubis Setelah Penyimpanan

Selama periode penyimpanan 8 (delapan) hari terjadi perubahan warna mulai kuning kecoklatan. Tabel 1 dan Gambar 2 terlihat bahwa susut bobot kubis tanpa kemasan (kontrol) lebih tinggi dibandingkan dengan ada kemasan (kardus, plastik, jarring, keranjang). Hal tersebut disebabkan laju respirasi kubis lebih tinggi pada penyimpanan kubis tanpa pengemasan sehingga kubis mengalami kelayuan yang lebih cepat, tektur kubis yang berubah dan perubahan warna. Manolopoulou dan Varzakas (2013) melaporkan juga bahwa penggunaan kemasan hanya menurunakan susut bobot kubis sebesar 0,5% setelah disimpan selama 23 hari. Tabel 1. Nilai Penurunan Susut Bobot, Kadar Air, Kehilangan Hasil, TPC Kubis Selama Penyimpanan Jenis Kemasan Penurunan Susut

Bobot (%) Tingkat Kerusakan (%)

Kadar Air (%)

TPC

Kontrol Keranjang Plastik Jaring Plastik Kardus

16,56 b 14,3 b 4,66a 10,52 ab 9,09ab

15,00a 5,75a 7,30a 5,50a 6,00a

89,02a 89,83a 90,06a 89,20a 89,26a

8,5 x 104a 6,1 x 104a

1,7 x 104a

2,6 x 104a

5,7 x 104a

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan pada uji lanjut dengan tingkat kepercayaan 95%.

Gambar 2. Susut bobot (%) kubis setelah disimpan 8 hari

16.56b

14.3b

9.09ab

10.52ab

4.66a

Susu

t b

ob

ot

(%)

Jenis Kemasan

1405

Jenis kemasan berpengaruh nyata terhadap susut bobot kubis selama pemyimpanan 8 hari. Susut bobot dengan kemasan plastik berbeda nyata dengan keranjang dan kontrol. Hal tersebut karena keranjang dan kontrol tidak mampu menghalangi kehilangan air selama penyimpanan. Penggunaan wadah atau kemasan mampu melindungi kehilangan berat kubis, terlihat bahwa susut bobot kubis untuk semua jenis kemasan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1 dan Gambar 2). Penggunaan keranjang menghasilkan susut bobot lebih besar yaitu 14,3% dibandingkan dengan kemasan lain, karena respirasi kubis meningkat akibat keranjang lebih terbuka sehingga kurang menahan kehilangan air akibat transpirasi, dibandingkan dengan kardus yang hanya memiliki celah sebanyak 5% dari permukaannya sebagai ventilasi. Sedangkan, kubis yang dikemas plastik memiliki susut bobot paling rendah. Keseimbangan O2 dan CO2 juga berpengaruh terhadap susut bobot kubis. Menurut Gorny (2001) konsentrasi oksigen optimum untuk penyimpanan kubis antara 57,5%. Kaji dkk. (1993) menyatakan konsentrasi optimal untuk kubis adalah 5 - 10% dari O2 dan 5 - 15% dari CO2. Kondisi ini, mengurangi laju respirasi, mempertahankan gula dan mengurangi browning pada permukaan.Tingkat optimal dari O2 dan CO2 dipengaruhi oleh kultivar dan lama penyimpanan (Saltveit, 2001).

Pengaruh Kemasan terhadap Tingkat Kerusakan Kubis Setelah Penyimpanan

Tingkat kerusakan (persen memar) sangat dipengaruhi oleh pengunaan kemasan.

Penggunaan kemasan memiliki tingkat kerusakan kubis yang rendah bila dibandingkan dengan tanpa kemasan/control (Gambar 3). Penggunaan jenis kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan (persen memar) kubis. Penggunaan kemasan dapat melindungi kubis dari kerusakan fisik yaitu gesekan antar kubis, gesekan kubis dengan alat angkat atau masukanya partikel padat ke dalam kubis secara langsung. Selain melindungi kubis dari kerusakan fisik, penggunaan kemasan dapat melindungi kubis dari kontaminasi mikrobiologi dan senyawa kimia lain.

Gambar 3. Persentase kerusakan (persen memar) kubis

Pengaruh Kemasan Terhadap Kadar Air dan Total Mikroba Selama Penyimpanan

Nilai kadar air kubis diukur setelah 8 hari masa penyimpanan. Penggunaan jenis

kemasan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar air kubis (Tabel 1 dan Gambar 4).

15a

6a 5.75a

7.3a

5.5a Pe

rse

n K

eru

sa

ka

n

Jenis Kemasan

1406

Gambar 4. Kadar air (%) kubis setelah penyimpanan 8 hari

Sayuran dapat tercemar oleh bakteri patogen dari air irigasi yang tercemar limbah,

tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk. Cemaran akan semakin tinggi pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau dekat dengan tanah. Mikroba tertentu seperti Liver fluke dan Fasciola hepatica akan berpindah dari tanah ke kubis air akibat penggunaan kotoran kambing atau domba sebagai pupuk. Air irigasi yang tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari buah dan sayur. Selain itu, bakteri Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes dapat mencemari buah dan sayur melalui tanah. Namun, penanganan dan pemasakan yang baik dan benar dapat mematikan bakteri pathogen tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora. Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan.

Analisa Ekonomi

Analisa ekonomi bertujuan untuk menghitung keuntungan secara finansial dengan adanya penambahan biaya penggunaan kemasan dibandingkan dengan kebiasaan pedagang besar dalam menyimpan kubis. Analisa ekonomi dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh pedagang besar yaitu: keuntungan (Rp/kg) = harga jual – harga beli – biaya tata niaga (pemanenan, pembersihan, sortasi, penggunaan alat dan pengangkutan), dibandingkan keuntungan dengan penambahan biaya penggunaan kemasan pada biaya tata niaga. Perhitungan nilai ekonomis kubis segar pada penelitian ini adalah berupa”direct selling” dimana pedagang besar langsung dapat menjual kubis segar kepada konsumen (pembeli). Rantai suplai dari pedagang besar langsung kepada konsumen ini tidak melalui tahap penyimpanan. Porter, et al (2004) menyatakan bahwa tidak ada keuntungan apabila dilakukan pengupasan selama penyimpanan setelah dihitung nilai ekonomi dan biaya buruh untuk pengupasan.

Perhitungan lebih lanjut didapatkan bahwa untuk usahatani kubis segar ditingkat pedagang pengumpul dan dengan introduksi tehnik pengemasan, membutuhkan tambahan biaya. Biaya tambahan untuk pengemasan keranjang dan jaring adalah Rp 35.71/kg dan 19,25/kg, sedangkan tambahan biaya untuk kemasan kardus dan plastik adalah Rp 167.14/kg dan 23,33/kg. Perhitungan lebih lanjut untuk introduksi tehnik pengemasan dapat dilihat pada Tabel 2.

89.02a

89.2a 89.26a

90.06a

89.83a K

ad

ar

Air

(%

)

Jenis Kemasan

1407

Tabel 2. Perhitungan Analisis Ekonomi Kubis di Tingkat Pedagang Pengumpul dengan Introduksi Bahan Pengemas

Jenis Kemasan Biaya kemasan (Rp/kg)

Susut Bobot (%)

Harga beli (Rp/kg)

Harga Jual (Rp/kg)

Keuntungan (Rp/kg)

Kontrol Keranjang Plastik Jaring Plastik Kardus

0 35,71 23,33 19,25

167,14

5,18 2,25 0,20 2,10 1,08

2500 2500 2500 2500 2500

3318,70 3421,25 3493,00 3426,50 3462,20

818,70 885,54 969,67 907,25 795,06

Berdasarkan perhitungan ekonomis kubis terlihat bahwa nilai keuntungan penggunaan kemasan plastik memberikan keuntungan yang lebih tinggi dari pada penggunaan kemasan lain. Hal ini disebabkan susut bobot pada penggunaan kemasan plastik lebih kecil dibandingkan kemasan lainnya. Penggunaan kemasan atau wadah kardus menghasilkan nilai keuntungan terendah. Hal ini disebabkan harga kardus yang cukup mahal sehingga meningkatkan jumlah biaya operasional. Pemakaian kemasan kotak karton gelombang atau kardus masih kurang tepat atau belum sesuai untuk pengiriman lokal oleh karena harganya masih mahal dan kurang tahan terhadap perlakuan kasar yang biasa dijumpai. Kontrol merupakan kubis tanpa kemasan sehingga struktur biaya operasional tidak memerlukan biaya untuk material pengemasan akan tetapi biaya tata niaga (pengangkutan) tetap dilakukan.

KESIMPULAN

Tingkat kerusakan kubis tanpa kemasan adalah 15%, sedangkan penggunaan kemasan antara 5-7%. Susut bobot kubis tanpa kemasan adalah 5,18% sedangkan penggunaan kemasan antara 0-2%. Penggunaan kemasan plastik dan jaring direkomendasikan untuk digunakan karena memiliki susut bobot yang paling rendah dan tingkat keuntungan yang paling tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2013. Tabel Produksi Sayuran di Indonesia 1997 – 2012.http://www.bps.go.id. Tanggal akses pada Nopember 2014.

BPPHP. 2002. Penaganan Pascapanen dan Pengemasan Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarta.

Brown, W.E. 1992. Plastics in Food Packaging. Macel Dekker, Inc. New York.

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Prov. DKI Jakarta. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta.

Gorny, R.J. 2001. “A summary of CA and MA recommendations for selected fresh-cut fruits and vegetables”. In: Optimal controlled atmospheres for horticultural perishables. Postharvest Horticulture Series No 22A, Davis, USA, pp.104-152.

Kader, A.A. 2002. Postharvest Technology of Hortikultural Crops (3rd edition). USA. University of California, Davis.

Kaji, H., Ueno, M., and Osajima, Y. 1993. “Storage of shredded cabbage under a dynamically controlled atmosphere of high oxygen and high carbon dioxide”, Bioscience, Biotechnology and Biochemistry, Vol. 57, pp. 1049–1052.

Manolopoulou1, E and Varzakas, TH. 2013. Effect of Modified Atmosphere Packaging (MAP) on the Quality of ‘Ready-To-Eat’ Shredded Cabbage. International Journal of Agriculturaland Food Research. Vol. 2 No. 3, pp. 30-43.

1408

Muchtadi, D dan B Anjarsari, 1995. Penanganan pasca panen dalam meningkatkan nilai tambah komoditas sayuran. Prosiding seminar ilmiah nasional komoditas sayuran, 24 Oktober 1995, Lembang.

Nilnakara S., Naphaporn Chiewchan, Sakamon Devahastin. 2009. Production of antioxidant dietary fibre powder from cabbage outer leaves. Food and bioproducts processing 87: 301–307.

Porter. K, Colin.G and Kleber, A. 2004. Effect of Mechanical Damage on The Postharvest Life of Chinese Cabbage. In: Access to Asian Foods. RIRDC Publication no. 75, October 2004. Australia

Rochman. 2007. Kajian Teknik Pengemasan Buah Pepaya dan Semangka Terolah Minimal Selama Penyimpanan Dingin. Ak. Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Saltveit, M.E. 2001. “A summary of CA requirements and recommendations for vegetables”, In: Optimal controlled atmospheres for horticultural perishables. Postharvest horticulture series, No 22A, pp. 71-94

Sugiyono. 2001. Fisiologi Pasca panen Hasil Tabaman Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Waryat, Gatot B. Soedarsono, Syarifah Aminah, Tezar Ramdhan, Emi Sugiartini, Andi Saenab. 2006. Kajian Kerusakan Sayuran di DKI Jakarta. Laporan Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta.

1409

TEKNOLOGI PENGERINGAN PADI SISTEM SOLAR BUBBLE DRYER UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BERAS

Mahargono Kobarsih, Nurdeana C dan Erni Aprianti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Proses pengeringan adalah tahapan untuk mengeluarkan sebagian atau seluruh air yang terdapat dalam biji gabah. Mutu beras yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh proses. Cara menurunkan kadar air gabah secara cepat, dapat dilakukan dengan penjemuran sinar matahari langsung atau dengan alat pengering buatan. Di daerah Sleman umumnya dalam proses penjemuran gabah basah menggunakan alas plastik, tikar atau anyaman bambu bahkan aspal jalanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu beras dengan metoda pengeringan lantai jemur, terpal gulung dan solar bubble dryer. Pengamatan dilakukan terhadap mutu giling beras, Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor, dan dilanjutkan menggunakan uji Duncan dengan taraf kepercayaan sebesar 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa susut pengeringan sebesar 4,09% (lantai jemur); 3,29 (terpal gulung) dan 2,01% (solar bubble dryer). Sementara mutu giling beras menunjukkan prosentase beras giling 67,94% (solar bubble dryer); 64,50% (lantai jemur); dan 61,84 (terpal gulung).dan prosentase beras kepala patah masing masing 18,94% solar bubble dryer, 19,46% (lantai jemur) serta 32,21% (terpal gulung) dengan demikian penggunaan solar bubble dryer mampu meningkatkan mutu beras. Kata kunci: pengering surya, mutu beras

PENDAHULUAN

Pengeringan padi masih merupakan masalah di tingkat petani, terutama pada musim hujan selama periode panen. Di tingkat petani pengeringan dilakukan di area terbuka seperti jalan raya. Dengan pengeringan cara tersebut memungkinkan terjadinya perkecambahan biji-bijian serta retak, tumbuhnya mikrobia yang tidak diinginkan dan mengurangi kualitas produk secara keseluruhan.

Salah satu cara pengeringan padi dengan sinar matahari yaitu dengan memanfaatkan efek rumah kaca yang mempunyai keuntungan waktu pengeringan lebih cepat dan mengurangi kehilangan hasil yaitu dengan bubble dryer. Berupa terpal digabungkan plastik bening menggunakan ritsleting sehingga memudahkan pemasukan dan pengeluaran gabah. Prinsip kerja dari bubble dryer yaitu udara dihembus dengan kipas sehingga plastik dan terpal mengembang berbentuk gelembung dan bersirkulasi aliran udara panas akan membawa uap air keluar dari buble dryer. Untuk meratakan hasil pengeringan, tumpukan gabah diaduk secara periodik menggunakan batang roller logam yang diletakkan di bawah terpal pengering.

Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan kadar air gabah hingga mencapai nilai tertentu sehingga gabah siap untuk digiling atau aman disimpan dalam waktu yang lama. Nugraha et al. (1990) mengatakan keterlambatan pengeringan sampai 3 hari menyebabkan kerusakan gabah sebesar 2,6%, sementara itu, Rachmat et al. (2002) menyatakan, penumpukan padi basah di lapangan selama 3 hari mengakibatkan kerusakan gabah antara (1,66−3,11)%.

Dengan makin berkembangnya teknologi pengeringan tidak perlu bergantung sepenuhnya pada sinar matahari. Pengeringan mekanis atau buatan merupakan upaya pengeringan bila penjemuran dengan sinar matahari tidak dapat dilakukan. Uji coba pengeringan buatan berbahan baku sekam akan menghemat biaya bahan bakar dan telah

1410

dilakukan di Instalasi Balai Penelitian Tanaman Padi Karawang pada 2001 menggunakan varietas IR64 sebanyak 5.000 kg. Pengeringan tersebut dapat menurunkan kadar air gabah dari 23,50% menjadi 13,85% selama 10 jam, dengan suhu pengeringan konstan 45ºC, dan suhu udara pengeringan maksimum 60°C. Dengan laju pengeringan rata-rata 0,97%/jam, dengan bahan bakar sekam sebanyak 300 kg. Pengeringan gabah dengan menggunakan bahan bakar sekam biayanya lebih murah dibandingkan dengan pengering bahan bakar minyak yang dioperasikan di perusahaan penggilingan, yaitu Rp. 60/kg GKP dengan sekam dan Rp. 100/kg GKP dengan BBM. (Sutrisno dan Rachmad 2011).

Penggunaan flat bed dryer (tipe stasioner) perlu memperhatikan ketebalan pengeringan karena dapat memengaruhi rendemen dan mutu beras. Thahir (2000) melakukan penelitian dengan ketebalan pengeringan masing-masing 30 cm, 40 cm, dan 50 cm. Hasilnya menunjukkan bahwa ketebalan pengeringan optimum pada pengeringan dengan pengering tipe stasioner adalah 40 cm.

Peningkatan ketebalan pengeringan dapat meningkatkan persentase beras pecah. Hal ini karena biji yang berada pada kondisi tersebut mempunyai kadar air yang tinggi akibat berkurangnya aliran udara dalam lingkungan, dan dengan bertambahnya waktu, jaringan biji akan semakin rusak karena terjadi hidrolisis karbohidrat dalam biji menjadi gula sederhana. Selain itu, dengan berkurangnya oksigen akan terjadi proses fermentasi yang mengakibatkan biji mudah patah atau rusak. Tingginya kadar air disebabkan oleh sifat higroskopis dari biji, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang terkandung di dalamnya. Dengan sifat higroskopis tersebut akan terjadi absorpsi air antar biji (Syarief dan Halid, 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu beras dengan metoda pengeringan lantai jemur, terpal gulung dan solar bubble dryer. Diharapkan teknologi pengeringan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu beras.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan gabah varietas Inpari-23 panenan bulan Maret 2015 dari kabupaten Sleman, Yogyakarta. Adapun peralatan yang digunakan yaitu sabit bergerigi,thresher, seed cleaner, alat pengukur (jangka sorong, timbangan, moisture tester), tampah, terpal, karung. Perlakuan 1 pengeringan menggunakan lantai jemur atau aspal jalan, perlakuan 2 pengeringan menggunakan solar bubble dryer, perlakuan 3 pengeringan dengan menggunakan terpal gulung. Pengamatan dilakukan terhadap rendemen beras pecah kulit (BPK), rendemen beras giling (BG), beras kepala, beras patah, menir, chalky grain, butir kuning/rusak. Selanjutnya data yang dihasilkan (sifat fisik) dianalisa dengan analisa data T-test (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses pengeringan adalah tahapan untuk mengeluarkan sebagian atau seluruh air yang terdapat dalam biji gabah. Mutu beras yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh proses pengeringan (Wiset LG., et., al. 2001). Cara menurunkan kadar air gabah secara cepat, dapat dilakukan penjemuran dengan sinar matahari langsung atau dengan alat pengering buatan. Di daerah Sleman umumnya proses penjemuran gabah basah menggunakan alas plastik, tikar atau anyaman bambu bahkan aspal jalanan.

Dalam kondisi musim hujan atau gabah dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab dapat mengalami proses respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur, berkecambah maupun mengalami reaksi “browning enzimatis” sehingga beras berwarna kuning/kuning kecoklatan yang sulit dihilangkan walau sudah di poles pada proses penyosohan beras. Maka padi hasil pemanenan harus segera dilakukan upaya penyelamatan dengan menurunkan kadar airnya hingga aman untuk disimpan.

Proses pengeringan dengan cara penjemuran langsung sinar matahari menyebabkan terjadinya kehilangan hasil. Secara umum penyebabnya antara lain terjadi gabah tercecer dan terbuang saat proses penjemuran karena lantai jemur maupun alas lainnya yang kurang baik, atau karena gangguan hewan seperti ayam, burung dan kambing. Pengeringan dengan

1411

sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan intensitas sinar, ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan. Penjemuran yang dilakukan tanpa memperhatikan hal-hal tersebut diatas dapat menyebabkan penurunan kualitas beras, misalnya beras akan menjadi pecah waktu proses penggilingan. Hasil penelitian Nugraha dan Adiandri (2010), pengeringan gabah dengan menggunakan instore drying memberikan hasil yang cukup baik dengan tingkat keretakan gabah berkisar 1,25 – 1,50% pada varietas ciherang dan berkisar 2,75 – 4,75% pada varietas pandan wangi. Jadi faktor penentu dalam proses pengeringan adalah pengendalian suhu pengering, aliran udara panas dan laju penurunan kadar air.

Dari pengamatan didapat susut pengeringan pada penjemuran dengan bubble dryer (2,01%) lebih rendah dibanding menggunakan pengeringan di aspal jalan maupun terpal gulung. Pengeringan di jalanan mempunyai risiko susut hasil yang lebih tinggi, terbawa kendaraan yang lewat juga diganggu burung maupun hewan peliharaan, disamping itu proses bongkar muat kedalam karung menyebabkan tercecer dan terbuangnya gabah pada penjemuran di aspal jalanan.

Tabel 1. Pengamatan cara pengeringan gabah dengan metode penjemuran yang berbeda.

Cara pengeringan Kadar air awal (%) Kadar air akhir (%) Susut

pengeringan (%)

Aspal Jalanan 20.12 10.80 4.09 Bubble Dryer 20.06 12.86 2.01 Terpal Gulung 21.78 11.92 3.29

Pengeringan dengan bubble dryer memafaatkan energi dari sinar matahari sebagai

sumber panas pengeringan. Prosedur pengeringan melibatkan udara panas yang dihembuskan kipas melewati bahan secara bersamaan, yaitu, (1) proses pengeringan secara konduksi dimana terjadi proses pemanasan pada permukaan bahan, dan (2) secara bersamaan terjadi proses pengeringan di dalam gabah oleh radiasi yang dapat menembus ke dalam. Dalam kondisi demikian gabah selama pengeringan akan mengalami fluktuasi suhu yang relatif stabil dibandingkan dengan penjemuran di jalanan maupun dengan terpal gulung.

Tabel 2. Data perlakuan penjemuran terhadap mutu giling beras kepala, beras patah, beras berkapur, beras menir dan beras rusak.

Perlakuan Beras Giling (%)

Beras Kepala

(%)

Beras Patah (%)

Beras Berkapur

(%)

Beras Menir

(%)

Beras Rusak

(%)

Aspal Jalanan

64.50±0.48a 68.27 ±3.71b

19.46 ±3.71a

1.12 ±0.84a

8.65 ±3.83a

2.52 ±1.53a

Bubble Dryer

67.94±1.52b 70.86 ±1.83b

18.96 ±1.25a

1.34 ±0.53a

7.63 ±2.26a

1.21 ±0.88a

Terpal Gulung

61.84±3.67a 49.63 ±8.17a

32.21 ±6.33b

0.81 ±033a

14.44 ±1.50b

2.92 ±1.20a

Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata secara statistik dengan uji duncan (taraf kepercayaan 95%)

Diharapkan cara pengeringan bubble dryer akan didapatkan mutu beras giling yang lebih baik dan rendemen yang lebih tinggi. Pengeringan dengan terpal gulung mempunyai kelemahan yaitu terjadi fluktuasi suhu yang tinggi antara kelembaban di siang dan malam hari saat gabah dalam prosesnya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasinya yaitu dengan memberikan tambahan terpal sebagai sungkup saat malam hari pada gulungan terpal. Dengan demikian fluktuasi kelembaban dapat diperkecil.

1412

Gambar 1. Proses pengeringan gabah dengan menggunakan alas terpal plastik dan dengan menggunakan bubble drier

Gambar 2. Proses penjemuran padi menggunakan aspal/jalan dan menggunakan terpal gulung.

Mutu giling hasil pengeringan dengan menggunakan bubble dryer memberikan

tingkat beras giling yang lebih tinggi dibandingkan dengan terpal gulung maupun aspal jalan (Tabel 2). Beras patah yang cukup tinggi pada terpal gulung ini diakibatkan terjadi fluktuasi yang tajam antara siang dan malam sehingga hal ini akan melemahkan butir gabah. Akibatnya pada saat digiling tingkat beras patahnya akan semakin tinggi.

KESIMPULAN

Pengeringan gabah dengan bubble dryer dapat menekan susut pengeringan dan mempertahankan tingkat beras giling dan mutu beras yang dihasilkan, dibandingkan pengeringan dengan menggunakan terpal gulung maupun aspal/jalanan.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, R. 2008. Menyiasati susut pascapanen. http://www.fateta-ipb.ac.id/paper. php. [25Juni 2015]

Nugraha S, dan Adiandri RS. 2010. Evaluasi mutu fisik gabah dan beras selama pengeringan dalam instore drying dengan perbedaan ketebalan tumpukan gabah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Sukamandi: Balai Besar Penelitian Padi

Penjemuran sistem gulung Penjemuran lantai jemur

1413

Nugraha, S., A. Setyono, dan D.S. Damardjati. 1990. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan dan mutu. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989, Pascapanen. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.

Rachmat, R., S. Lubis, S. Nugraha, dan R. Thahir. 2002. Teknologi penanganan gabah basah dengan model pengeringan dan penyimpanan terpadu. Majalah Pangan Media Komunikasi dan Informasi XI (39): 57−63.

Sutrisno dan R. Rachmad. 2011. Perbaikan desain tungku sekam untuk meningkatkan efisiensi panas pada pengeringan gabah. Balai Penelitian Tanaman Padi. http://mekanisasi. litbang.deptan.go.id. [18 Januari 2016].

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta. 347 hlm. Wiset LG, Srzednicki, Driscoll R, Nimmuntavin C, Siwapornrak. Effect of Hight

Temperature Drying on Rice Quality. Agricultural Engineering International: The CIGRJournal of Scientific Research and Development 2001; III

1414

KAJIAN TEKNOLOGI PEMBUATAN TEPUNG PISANG KEPOK PUTIH DI BAMBANGLIPURO, BANTUL, YOGYAKARTA

Erni Apriyati, Retno Utami H., Purwaningsih dan Mahargono Kobarsih

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak, Sleman

Telp (0274) 884662

ABSTRAK

Impor biji gandum tahun 2011 telah mencapai 5,4 juta ton sedangkan impor tepung terigu mencapai 680.100 ton dengan nilai 281,7 juta USD. Era Masyarakat Ekonomi ASIA (MEA) menguntungkan bagi negara pengekspor tetapi untuk negara pengimpor justru dapat menjadi sesuatu yang mengancam. Tepung pisang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu. Tepung pisang dapat dibuat menjadi berbagai produk olahan antara lain roti, cake, kue kering, kue lapis, biskuit, puding makanan bayi/balita, kue pasir, cookies, brownies, bolu dan lain-lain. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan tepung pisang yang terbaik terhadap karakteristik dan mutu tepung pisang. Pengkajian pembuatan tepung pisang kepok putih menggunakan beberapa pembuatan tepung pisang yaitu (A : Pisang Segar tanpa blanching, tanpa perendaman larutan sulfit, B : Pisang Segar tanpa blanching, dengan perendaman larutan sulfit, C : Pisang dengan blanching pengukusan, tanpa perendaman larutan sulfit, D : Pisang dengan blanching perebusan, tanpa perendaman larutan sulfit). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah menggunakan cara C yaitu blanching dengan pengukusan mempunyai karakteristik kadar air 11,73 % db, kadar abu 1,55 % db, protein 3,13 % db, lemak 0,78 % db, serat kasar 3,05 % db, karbohidrat 71,65 % db, energi 296,26 % db, warna tepung pisang L +85,32, a +0,83 dan b +13,56.

Kata Kunci: Pisang Kepok Putih, Tepung pisang, cara pembuatan tepung pisang,

PENDAHULUAN

Impor biji gandum tahun 2011 mencapai 5,4 juta ton sedangkan impor tepung terigu mencapai 680.100 ton dengan nilai 281,7 juta USD (BPS, 2011). Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menguntungkan bagi negara pengekspor tetapi untuk negara pengimpor justru dapat menjadi sesuatu yang mengancam. Menurut Attar Asmawan et al (2014) perlu dikembangkan produk-produk subtitusi terigu. Tepung pisang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu. Tepung pisang dapat diolah menjadi berbagai produk olahan antara lain roti, cake, kue kering, kue lapis, biskuit, puding dan makanan bayi/balita, kue pasir, cookies, brownies, bolu dan lain-lain.

Pisang Kepok Putih enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu. Bentuk buah agak pipih sehingga sering disebut pisang gepeng dan memiliki kulit tebal. Berat tandan dapat mencapai 22 kg memiliki 10-16 sisir, setiap sisir terdiri dari 12-20 buah. Bila matang warna kulit buahnya kuning penuh. Pisang kepok putih memiliki warna daging buah putih dan pisang kepok kuning daging buahnya berwarna kuning (Prabawati S et al, 2008).

Tepung pisang adalah salah satu cara pengawetan pisang dalam bentuk olahan. Cara membuatnya mudah, sehingga dapat diterapkan di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada dasamya, semua jenis pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, tetapi, sifat tepung pisang yang dihasilkan tidak sama untuk masing-masing jenis pisang. Pisang yang paling baik menghasilkan tepung pisang adalah pisang kepok. Tepung pisang yang dihasilkannya mempunyai warna yang lebih putih dibandingkan dengan yang dibuat tepung pisang. Kelemahannya adalah aroma pisangnya kurang kuat.

1415

Tepung pisang mempunyai rasa dan bau yang khas sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pengolahan berbagai jenis makanan yang mengggunakan tepung di dalamnya. Dalam hal ini, tepung pisang dapat menggantikan sebagian atau seluruh tepung lainnya. Tepung pisang dapat dibuat menjadi berbagai produk olahan antara lain roti,cake/pancake, kue kering, kue lapis, awug-awug tepung pisang, puding, makanan bayi/balita, kue pasir, cookies, brownies, bolu dan lain-Iain. Dalam industri tepung pisang, banyak digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan puding, makanan bayi, roti dan lain-lain (Widowati, 2001).

Tepung pisang harus disimpan pada wadah tertutup yang tidak dapat dimasuki oleh uap air dan serangga. Disarankan menggunakan kantong plastik tebal untuk mengemas tepung pisang, kemudian kantong tersebut dimasukkan ke dalam kotak kaleng yang dapat ditutup rapat.

Berbagai cara dapat digunakan untuk membuat tepung pisang seperti pembuatan dengan sinar matahari. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan tepung pisang yang terbaik terhadap karakteristik dan mutu tepung pisang.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan adalah pisang kepok putih yang sudah tua tetapi belum matang, kulit masih berwarna hijau diperoleh dari Desa Sidomulyo Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul Yogyakarta. Peralatan yang digunakan dalam pengkajian berupa baskom, alat penyawut, ember, panci, dandang, tampah dan lain-lain.

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2013 di Desa Sidomulyo Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul Yogyakarta. Pengkajian ini menggunakan beberapa metode pembuatan tepung pisang yaitu A: Pisang Segar tanpa blanching, tanpa perendaman larutan sulfit, B : Pisang Segar tanpa blanching, dengan perendaman larutan sulfit, C : Pisang dengan blanching pengukusan, tanpa perendaman larutan sulfit, D : Pisang dengan blanching perebusan, tanpa perendaman larutan sulfit.

Pisang terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran yang melekat serta dilakukan proses sortasi untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Pertama-tama pisang dilepas dari sisirnya, ditimbang, dicuci dan ditiriskan. Kemudian dibuat tepung pisang dengan 4 cara pembuatan tepung pisang. Pengecilan ukuran berupa penyawutan dengan alat penyawut stainless untuk mempercepat waktu pengeringan. Proses pengeringan yang digunakan adalah dengan penjemuran matahari diberi tutup plastik. Setelah kering gaplek pisang digiling dengan alat penepung kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh.

Parameter yang diamati adalah rendemen tepung pisang yang dihasilkan, karakteristik tepung pisang yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat dan energi serta pengamatan warna (derajat putih) tepung pisang menggunakan alat Kett-whiteness C-100. Data dianalisa statistik menggunakan Anova dilanjutkan uji Duncan (p<0,05) menggunakan software SPSS versi 12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen tepung pisang kepok putih Penghitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa jumlah buah

pisang kepok putih segar yang dibutuhkan untuk membuat tepung pisang. Hasil rendemen tepung pisang kepok putih dapat dilihat pada Gambar 1.

1416

Gambar 1. Grafik Rendemen Tepung Pisang Kepok Putih

Keterangan: A. Pisang Segar tanpa blanching, tanpa perendaman larutan sulfit B. Pisang Segar tanpa blanching, dengan perendaman larutan sulfit C. Pisang dengan blanching pengukusan, tanpa perendaman larutan sulfit D. Pisang dengan blanching perebusan, tanpa perendaman larutan sulfit

Rendemen yang paling tinggi adalah perlakuan A yaitu tanpa blanching dan tanpa

perendaman sulfit. Proses blanching menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sehingga menyebabkan jumlah tepung yang tidak lolos ayakan lebih banyak. Rendemen tepung pisang disebabkan juga oleh kehilangan hasil pada saat perendaman, penghamparan dan penjemuran/pengeringan. Demikian pula saat perendaman molekul pati lebih banyak yang larut dalam air sehingga mengurangi bobot.

Mutu Tepung Pisang Kepok Putih Mutu tepung pisang kepok putih dalam pengkajian ini termasuk dalam jenis B karena

merupakan tepung pisang yang diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, belum matang dan melalui proses pengeringan penjemuran matahari bukan dengan mesin pengering (SNI 01-3841-1995).

Sifat Fisikokimia Tepung Pisang Kepok Putih 1. Kadar Air

Selama pengeringan bahan pangan kehilangan air yang menyebabkan naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Kadar air menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Kadar air basis basah adalah jumlah air yang terdapat dalam suatu massa bahan basah. Sedangkan kadar air basis kering adalah jumlah air yang terdapat dalam suatu massa bahan padatan kering. Pada pengkajian ini menggunakan data kadar air basis basah karena dalam standar mutu (SNI 01-3841-1995) juga menggunakan kadar air basis basah agar bisa dibandingkan memenuhi standar ataupun tidak

Ren

dem

en T

epu

ng

Pis

ang

(%)

Perlakuan

1417

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05).

Gambar 2. Gafik Kadar Air Tepung Pisang Kepok Putih

Pada gambar 2. Disajikan kadar air tepung pisang kepok putih perlakuan A, B dan C memenuhi standar mutu SNI yaitu kurang dari 12 % sedangkan perlakuan D tidak memenuhi standar. Terlihat juga perlakuan C yaitu tepung pisang dengan perlakuan blanching pengukusan dan tanpa perendaman larutan sulfit memiliki kadar air paling rendah. Kadar air bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Semakin rendah kadar air maka semakin lambat pertumbuhan mikroorganisme atau semakin awet.

Tabel 1. Sifat Fisikokimia Tepung Pisang Kepok Putih

Perlakuan (% db)

K. Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat Energi A 1,70d 3,13a 1,16d 2,31b 70,29c 294,39b

B 1,05a 2,53c 0,62b 2,18c 71,74a 292,51c

C 1,55c 3,13a 0,78c 3,05a 71,65b 296,26a

D 1,27b 2,63b 0,41a 2,06d 70,28c 285,52d

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05).

2. Kadar Abu Berdasarkan uji Anova dilanjutkan uji Duncan kadar abu tepung pisang kepok putih

keempat perlakuan berbeda nyata (p<0,05). kadar abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Kadar abu pada tepung mempengaruhi proses dan hasil akhir produk antara lain warna produk dan tingkat kestabilan adonan. Semakin rendah kadar abu maka semakin baik kualitas tepung. Berarti menurut parameter kadar abu perlakuan B yaitu tanpa blanching dan dengan perendaman larutan sulfit merupakan yang terbaik karena kadar abu paling rendah.

3. Protein Protein adalah sumber asam amino yang berfungsi sebagai zat pembangun dan

pengatur. Kadar protein tepung pisang kepok putih dengan variasi teknologi pembuatan dapat dilihat pada tabel 1. Kadar protein tertinggi pada perlakuan A dan C.

4. Lemak Kadar lemak tepung pisang kepok putih setelah diuji Anova dilanjutkan uji Duncan

keempat perlakuan berbeda nyata (p<0,05). Kadar lemak yang terendah adalah tepung pisang dengan perlakuan A yaitu tanpa blanching dan tanpa perendaman larutan sulfit. Kadar lemak yang terlalu tinggi kurang menguntungkan dalam proses penyimpanan tepung karena dapat menyebabkan ketengikan. Biasanya lemak dalam tepung akan mempengaruhi sifat amilografinya. Lemak akan berikatan komplek dengan amilosa yang membentuk heliks

11,36b 11,62b

10,5a

12,46c

Kad

ar A

ir (

% w

b)

Perlakuan

1418

pada saat gelatinisasi pati yang menyebabkan kekentalan pati (Ilminingtyas dan Kartikawati, 2009).

5. Serat Kasar Kadar serat kasar terdiri atas selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa. Hasil

analisis kadar serta tepung pisang kepok putih berkisar 2,06 – 3,05 %. Kadar serat tepung pisang dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah pisang. Kadar serat kasar paling tinggi adalah perlakuanC yaitu dengan blanching pengukusan, tanpa perendaman larutan sulfit.

6. Karbohidrat Karbohidrat atau kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung.

Kandungan karbohidrat tertinggi adalah tepung pisang kepok putih dengan perlakuan B yaitu tanpa blanching dan dengan perendaman larutan sulfit.

7. Energi Setelah dilakukan uji Anova dilanjutkan uji Duncan kandungan energi tepung pisang

kepok putih keempat perlakuan berbeda nyata (p<0,05). Kandungan energi yang paling tinggi adalah perlakuan C yaitu dengan blanching pengukusan, tanpa perendaman larutan sulfit.

8. Warna Tepung Pisang Kepok Putih Pengamatan warna (derajad putih) tepung pisang menggunakan alat Kett whiteness C-

100 dengan filter biru, white plate standard (87,0 ± 0,1 %). Karena menggunakan filter biru maka standar warna putih tidak bernilai 100 %. Tabel 2. Warna Tepung Pisang Kepok Putih

Perlakuan L a B

A 86.46bc 1.21a 10.67

B 87.29a 1.36a 10.67

C 85.32c 0.83a 13.56

D 82.57d 12.44b 0

Dari Tabel 2 dilihat nilai L paling tinggi adalah perlakuan B yang berarti warna tepung

pisang paling cerah. Sedangkan nilai a paling rendah adalah perlakuan C namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dan B yang berarti kurang warna merahnya. Sedangkan nilai b perlakuan D tidak terbaca hasilnya (Anonim, 2011).

KESIMPULAN

Metode pembuatan tepung pisang yang terbaik menurut parameter kadar air, kadar protein, kadar serta kasar dan energi tepung pisang kepok putih yang dihasilkan maka teknologi pembuatan tepung pisang kepok putih yang terbaik adalah perlakuan C yaitu dengan blanching pengukusan dan tanpa perendaman larutan natrium metabisulfit dengan karakteristik kadar air 11,73 % db, kadar abu 1,55 % db, protein 3,13 % db, lemak 0,78 % db, serat kasar 3,05 % db, karbohidrat 71,65 % db, energi 296,26 % db, warna tepung pisang nilai L/ tingkat kecerahan +85,32, a +0,83 dan b +13,56.

1419

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada saudari Nurdeana dan anggota tim Teknologi pascapanen Pisang atas bantuan dan kerjasama dalam melakukan pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarsari Indrie, Sarjana dan abdil Choliq. 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Jurnal Standardisasi Vol 11 (3) : 212-219.

Annisa Risdianika Putri. 2012. Pengaruh Kadar Air Terhadap Tekstur dan warna Keripik Pisang Kepok (Musa parasidiaca formatypica). Skripsi. Jurusan Teknologi

Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Anonim. 2011. Color Difference. http://wikipedia.org/wiki/color-difference#CIEDE2000). Diakses November 2011.

Anonim. 1995. Standar nasional Indonesia Tepung Pisang. SNI 01-3841-1995. Badan Standardisasi Nasional.

Antarlina et al. 2005. Karakteristik Buah Pisang lahan Rawa Lebak Kalimantan Selatan serta Upaya Perbaikan Mutu Tepungnya. Jurnal Hortikultura Vol 15 (2): 140 – 150.

Apriliyanti Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) dengan Variasi Proses Pengeringan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Ilminingtyas D. Dan D. Kartikawati. 2009. Potensi Buah Mangrove Sebagai Alternatif Sumber Pangan. Mangrove Training 2009. Pelatihan Penelitian Ekosistem Mangrove dan Pengolahan Makanan Berbahan Dasar Buah Mangrove. Diakses Maret 2013.

Palupi Hapsari Titi. 2012. Pengaruh Jenis Pisang dan Bahan Perendam terhadap Karakteristik Tepung Pisang (Musa Spp). Jurnal teknologi Pangan Vol 4 (1): 102 – 120.

Prabawati Sulusi, Suyanti dan Setyabudi Dondy A. 2008. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan Buah Pisang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Pelelitian dan Pengembangan Pertanian.

Richana Nur dan Sunarti Titi Chandra. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa dan Gembili. Jurnal Pascapanen Vol 1(1) : 29-37.

Rosida dan Dedin Finatsiyatull Rosida. 2011. Evaluasi Nilai Gizi Tepung Pra Masak Pisang Tanduk dan Pisang Raja Nangka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XXII (2): 125 – 129.

Singh, R. Paul and Dennis R. Heldman, 2009. Introduction to Food Engineering. Academic Press, Elsevier.

1420

PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK KUNYIT TERHADAP SIFAT FISIK KIMIA DAN ORGANOLEPTIK MINUMAN

FUNGSIONAL SARIBUAH PEREPAT (SONNERATIA ALBA)

Jon Ridwan HT1, Emanauli2, Sahrial2

1Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jambi Jl. Tri Brata, Pondok Meja KM 1, Jambi 36364

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kunyit terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik minuman fungsional sari buah perepat dan untuk mengetahui jumlah ekstrak kunyit yang tepat untuk digunakan dalam pembuatan minuman fungsional sari buah perepat. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan. Perlakuan adalah penambahan ekstrak kunyit (0, 2, 4, 6 dan 8%). Parameter yang diamati meliputi pH, tinggi endapan, TPT, Vitamin C, antioksidan dan uji organoleptik (warna, aroma rasa dan penerimaan keseluruhan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata pada parameter tinggi endapan, antioksidan, warna, rasa, aroma dan penerimaan keseluruhan, dan memberikan pengaruh nyata pada parameter total padatan terlarut, tetapi tidak berpengaruh terhadap parameter pH dan vitamin C. Perlakuan penambahan ekstrak kunyit 2% merupakan perlakuan terbaik yaitu dengan nilai pH 3,38, tinggi endapan pada hari ke 1 (0,58 cm), hari ke 3 (0,90 cm) dan hari ke 5 (1,17 cm), TPT 16,700 brix, Vitamin C 32,39 mg/100gr, antioksidan 66,27%, warna 2,1 (agak kuning), aroma 1,65 (tidak khas kunyit), rasa 2,70 (agak getir-getir) dan penerimaan keseluruhan 3,45 (agak suka). Kata kunci : buah perepat, kunyit, sari buah

PENDAHULUAN

Tumbuhan mangrove di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia, baik dari segi kuantitas (luas area 42.550 km2) maupun kuantitas (45 species). Mangrove mempunyai banyak sekali manfaat yang bersinggungan langsung dengan kehidupan manusia, mulai dari manfaat ekologi sampai dengan sebagai sumber pangan dan obat (Purnobasuki, 2004). Kebanyakan masyarakat di Indonesia belum mengenal buah mangrove, seperti perepat (Sonneratia alba) yang merupakan salah satu jenis mangrove yang menghasilkan buah (Noor et al., 2006 diacudalam Sakinah 2014).

Menurut penelitian Asih (2014), buah perepat memiliki kandungan kimia yang bermanfaat bagi kesehatan, terutama zat alkaloid, flavonoid, fenol, dan vitamin C, akan tetapi tidak banyak masyarakat yang mengkonsumsi buah perepat karena rasa yang dimiliki buah perepat ini sangat asam dan aromnya khas, sehingga buah perepat masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Biasanya buah perepat akan berjatuhan ketika matang, dan berserakan. Buah perepat sangat mudah membusuk hanya butuh waktu 4 hari pada suhu ruang. Penelitian yang sudah dilakukan adalah buah perepat diolah menjadi sirup (Asih, 2014), dan selai (Sakinah, 2014), sedangkan untuk pengolahan menjadi sari buah belum pernah dilakukan. Sari buah merupakan salah satu minuman yang cukup disukai karena praktis, enak dan menyegarkan serta bermanfaat bagi kesehatan, karena memiliki kandungan gizi tinggi. Sari buah adalah jenis minuman yang dibuat dari cairan hasil perasan buah dengan penambahan air, gula 10-15% dan asam sitrat, baik untuk langsung dikonsumsi maupun yang diawetkan dengan tujuan agar tidak rusak bila disimpan dalam waktu yang yang lama (Solahudin 2006 dalam Perdana 2013).

1421

Minuman fungsional merupakan salah satu produk minuman yang mulai dikembangkan saat ini. Pengembangan minuman fungsional dapat mengarahkan masyarakat untuk memilih minuman segar yang sehat dan bermutu. minuman fungsional harus mempunyai karakteristik sebagai minuman yang memberikan kekhasan sensori, baik dari segi warna dan cita rasa, mengandung gizi, dan mempunyai fungsi fisiologis tertentu dalam tubuh. Fungsi-fungsi fisiologis yang dimiliki oleh minuman fungsional antara lain adalah menjaga daya tahan tubuh, mempertahankan kondisi fisik, mencegah proses penuaan, dan mencegah penyakit yang berkaitan dengan pengaruh minuman (Susilo, 2011).

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis diperoleh hasil sari buah perepat yang kurang menarik yaitu warna yang cenderung berwarna kecoklatan. Untuk itu perlu dilakukan penambahan pewarna alami yang dapat memperbaiki penampakan dari sari buah perepat tersebut dan yang dapat dijadikan alternatif pewarna adalah kunyit. Selain berfungsi sebagai pewarna alami, kunyit juga diharapkan sebagai sumber antioksidan pada minuman fungsional sari buah perepat.

Kunyit (Curcuma domestika Val) merupakan salah satu tanaman obat tradisional Indonesia, yang mengandung senyawa alami (kurkuminoid) yang memberi warna kuning pada kunyit. Kurkuminoid merupakan salah satu senyawa fitokimia penting bagi tubuh sebagai antioksidan, anti hepatotoksik, anti inflamasi dan anti rematik (Winarto, 2005).

Menurut hasil penelitian Mulyani, et al., (2014) bahwa potensi minuman kunyit asam dengan formula ekstrak kunyit 5% memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi yaitu 0,123%, vitamin C 0,688 mg/100 g, serta disukai panelis, karena berwarna coklat kekuningan agak jernih. Menurut Solahudin (2006) penambahan sari kunyit 1% paling disukai panelis yaitu dengan skor penerimaan keseluruhan 4,35 (suka), dan skor warna 3,15 (kuning).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kunyit terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik minuman fungsional sari buah perepat dan mengetahui jumlah ekstrak kunyit yang tepat untuk digunakan dalam pembuatan minumanfungsional sari buah perepat.

METODOLOGI

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah buah perepat yang sudah matang dengan ciri-ciri 65% kulit berwarna hijau muda, teksturnya lembut tetapi tidak busuk dan dalam keadaan segar, kunyit, gula pasir, cmc, dan air. Bahan-bahan untuk analisa kimia adalah larutan buffer standar pH 4 kemudian pH 7, amilum 1%, iodium 0,01%N, DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazil). Alat yang digunakan untuk pembuatan minuman fungsional sari buah perepat adalah sfektrofotometer, refraktometer, pH meter, pisau stainless stell, blender, kompor, timbangan analitik, baskom, botol kaca, water bath ,sendok pengaduk, saringan 80 mesh, dan termometer. Alat-alat yang digunakan untuk analisa adalah kertas label,corong pemisah, tabung reaksi, biuret, erlenmeyer, pipet tetes, gelas ukur, gelas piala dan penggaris. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), Perlakuannya adalah perbandingan konsentrasi ekstrak kunyit dalam pembuatan minuman fungsional sari buah perepat yang terdiri 5 taraf yaitu: Penambahan Ekstrak Kunyit 0, 2, 4, 6 dan 8%.

Persiapan Bahan Baku

1. Pembuatan Sari Buah Perepat

Buah perepat disortasi dan dibersihkan lalu dicuci dengan air mengalir. Ditimbang 500 gram untuk setiap perlakuan, selanjutnya buah dipotong-potong menjadi kecil (± 1 cm) dan diblancing suhu 85ºC selama 5 menit, kemudian dihancurkan menggunakan blender selama 3 menit. Penghancuran dilakukan dengan penambahan air dengan perbandingan berat buah perepat dan air 1:1. Didapatkan bubur buah lalu disaring menggunakan kain saring dan diambil cairannya, dihasilkan sari buah perepat.

1422

2. Pembuatan Ekstrak Kunyit

Kunyit disortasi lalu ditimbang sebanyak 250 gram. Kemudian dikupas dan dicuci, lalu kunyit diparut dan diperas dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan ekstrak kunyit.

3. Pembuatan Minuman Sari Buah Perepat dengan Penambahan Ekstrak Kunyit

Diambil sebanyak 500 ml sari buah, kemudian ditambahkan ekstrak kunyit sesuai dengan perlakuan ( 0%, 2%, 4%, 6%, 8%) gula 15% dan CMC 0,1%. Lalu dipanaskan pada suhu 85 0C selama 10 menit. Selanjutnya disaring dan dimasukkan ke dalam botol 300 ml yang telah disterilkan. Lalu dilakukan pasteurisasi pada suhu 72 0C selama 15 menit.

Parameter Yang Diamati

Parameter yang diamati adalah pH (Apriyantono, dkk, 1989), Tinggi endapan (Sri Rahardjo, 1995 dalam Asih 2014), TPT (Gould, 1993 dalam Perdana 2013), Vitamin C (Sudarmadji et. al., 1996), Antioksidan Metode DPPH (Selvi, 2003 dalam Elfita 2008) dan Uji Organoleptik (Soekarto, 1985).

Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam pada taraf 1 % dan 5 % dan apabila menunjukan perbedaan nyata, maka dilakukan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 1 % dan 5%

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Derajat Keasaman (pH)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap pH minuman sari buah perepat yang dihasilkan. Nilai rata-rata pH minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rata-rata pH minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Nilai pH 0 3,39 2 3,38 4 3,40 6 3,36 8 3,37

Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai rata-rata pH minuman sari buah perepat yang

dihasilkan berkisar antara 3,36 – 3,40. Nilai pH dari suatu produk pangan merupakan salah satu faktor penting menentukan tingkat ketahanan terhadap pertumbuhan mikroba selama pengolahan. Semakin besar konsentrasi ion hidrogen terlarut didalam suatu produk pangan maka semakin tinggi tingkat keasamannya (nilai pH semakin rendah) dan sebaliknya (Zain, 2012). Produk asam dengan pH < 4,5 relatif amat sangat aman dari cemaran mikroba.

1423

2. Tinggi Endapan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi endapan minuman sari buah perepat. Nilai rata-rata tinggi endapan minuman sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai rata-rata tinggi endapan minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%)

Tinggi endapan (cm) Hari ke

1 3 5

0 0,38a 0,57a 0,95a

2 0,58b 0,90 b 1,17 b

4 0,73 c 1,10 c 1,30bc

6 0,80d 1,17 c 1,45 c

8 0,90 e 1,47 d 1,65 d

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT

Semakin banyak ekstrak kunyit yang ditambahkan maka semakin tinggi jumlah

endapan yang dihasilkan. Terbentuknya endapan dikarenakan penambahan ekstrak kunyit terhadap sari buah partikel halus yang menyebabkan timbulnya endapan pada minuman sari buah (Fachruddin, 2002 dalam Solahudin, 2008).perepat menyebabkan sari buah kurang stabil, dikarenakan ekstrak kunyit mengandung padatan yang tersuspensi berupa Total Padatan Terlarut (TPT).

Total padatan terlarut menunjukkan kandungan bahan-bahan yang terlarut dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut sari buah perepat. Nilai rata-rata total padatan terlarut sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata total padatan terlarut minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan konsentrasi ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Total Padatan Terlarut 0 17,13 a 2 16,70 ab 4 16,48 ab 6 15,59 bc 8 15,63 c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT Nilai rata-rata total padatan terlarut minuman sari buah berkisar antara 15,63-17,130 brix. Perlakuan penambahan ekstrak kunyit 8% menghasilkan total padatan terlarut terendah yaitu 15,60 brix sedangkan perlakuan terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak kunyit yaitu 17,130 brix. Semakin tinggi ekstrak kunyit yang ditambahkan pada sari buah perepat maka semakin rendah nilai total padatan terlarut yang dihasilkan. Hal ini diduga dengan semakin besar jumlah ekstrak kunyit yang ditambahkan, maka akan semakin banyak jumlah padatan tidak terlarut dalam sari buah perepat sehingga nilai total padatan terlarut menjadi semakin kecil (Solahudin, 2008). Selain itu menurunnya total padatan terlarut pada sari buah dikarenakan air bebas tidak terikat oleh bahan penstabil sehingga total padatan terlarut menurun (Kusumah

1424

(2007) dalam Farikha (2013). Semakin banyak penambahan ekstrak kunyit maka semakin banyak pula partikel-partikel yang tidak terikat maka total padatan yang terlarut semakin menurun dan meningkatkan tingginya endapan pada sari buah. Dengan banyaknya penambahan ekstrak kunyit pada sari buah maka partikel-partikel yang tidak stabil akan keluar dalam sistem tersebut dan akan mengendap yang di pengaruhi gaya gravitasi (Potter dan Hotchkiss, 1995 dalam Susilo, 2011).

3. Analisa Vitamin C

Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap nilai rata-rata vitamin C minuman sari buah perepat. Nilai rata-rata vitamin C minuman sari buah berkisar antara 31,44-32,39. Nilai rata-rata nilai vitamin C sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap vitamin C minuman sari buah perepat. Hal ini dikarenakan ekstrak kunyit tidak mengandung asam askorbat, sehingga perbedaan penambahan ekstrak kunyit tidak pula berpengaruh pula terhadap kandungan vitamin C (Mulyani, 2014). Asam askorbat terdapat pada buah-buahan asam seperti perepat yang menggandung asam-asam seperti asam tatrat, asam malat, asam sitrat, asam sukrisat, asam asenat dan asam askorbat. Tabel 3. Nilai rata-rata vitamin C minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Vitamin C 0 32,04 2 32,39 4 31,44 6 32,02 8 32,39

Vitamin C tergolong vitamin yang mudah larut dalam air. Menurut Haris (1989) dalam Farikha (2013), stabilitas asam askorbat akan meningkat dengan menurunnya nilai pH. Vitamin C bersifat stabil dalam media asam, tetapi pada media netral dan basa sangat mudah terdegradasi oleh panas. Laju degradasi asam askorbat sebanding dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam bahan pangan. Selain itu nilai pH yang dihasilkan pun tidak berpengaruh terhadap minuman fungsional sari buah perepat.

4. Uji Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah terjadinya proses oksidasi. Proses oksidasi dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan proses penuaan atau keriput yang lebih cepat pada tubuh. Antioksidan dapat menangkap radikal bebas yang menyerang tubuh, sehingga proses oksidasi pada sel-sel tubuh tidak berkelanjut. Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap aktivitas antioksidan sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai rata-rata antioksidan minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Antioksidan (%) 0 54,95 a 2 66,27 b 4 69,25 c 6 72,04 d 8 76,40 e

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT

1425

Semakin banyak ekstrak kunyit yang ditambahkan pada setiap perlakuan maka akan

semakin meningkatkan kandungan antioksidan minuman sari buah perepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aznam (2002) menyatakan bahwa tingginya antioksidan pada kunyit karena mengandung senyawa aktif berupa kurkumin, demotoksi kurkumin dan bisdenetoksi kurkumin sehingga dapat meningkatkan kandungan antioksidan pada minuman sari buah perepat. Kurkumin adalah salah satu zat aktif yang terdapat pada kunyit, telah terbukti dapat menangkap radikal hidoksi, yaitu salah satu bentuk dari radikal bebas (Nurfina, 1996). Selain itu menurut Saefudin.,et.al (2007) dalam Kartika (2014) semakin tinggi ekstrak kunyit yang diberikan maka semakin tinggi pula komponen bioaktif dalam ekstrak, sehingga nilai absorbannya semakin berkurang, yang disebabkan oleh aktivitas antioksidan yang makin bertambah. Ekstrak kunyit konsentrasi tinggi mempunyai aktivitas yang bersifat pro-antioksidan yang mengandung reaksi atau senyawa penangkap radikal bebas.

6. Uji Organoleptik

Warna

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap warna minuman sari buah perepat. Tabel 6. Nilai rata-rata warna minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Warna 0 1 a 2 2,1 b 4 3,5 c 6 3,6 cd 8 3,9 d

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT Keterangan: 1. Tidak kuning 2. Agak kuning 3. Kuning 4. Sangat kuning 5. Amat sangat kuning. Semakin banyak ekstrak kunyit yang ditambahkan maka semakin tinggi pula warna minuman sari buah perepat yang dihasilkan. Warna kuning pada minuman sari buah disebabkan oleh penambahan ekstrak kunyit, dimana warna kuning tersebut merupakan kurkuminoid yaitu zat pemberi warna kuning pada kunyit. Kurkumin merupakan senyawa golongan flavonoid yang memberikan warna kuning pada kunyit. Komponen terbesar pada kunyit yaitu kurkumin sebesar 50-60% dari total kurkuminoid (Basalmah, 2006).

Aroma

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap rasa sari buah perepat. Nilai rata-rata nilai aroma sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai rata-rata aroma minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Aroma 0 1,45 a 2 1,65 b 4 3,65 c 6 3,85 cd 8 4,10 d

1426

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT Keterangan: 1. Sangat tidak khas kunyit 2. Tidak khas kunyit 3. Agak khas kunyit 4. Khas kunyit 5. Sangat khas kunyit

Semakin banyak penambahan ekstrak yang ditambahkan maka akan semakin meningkatkan aroma minuman sari buah perepat. Aroma ditimbulkan dari kandungan kurkumin dan minyak atsiri yang mudah menguap memberikan aroma yang khas kunyit pada minuman sari buah perepat. Beberapa senyawa penyusun minyak atsiri dalam kunyit antara lain keton, sesquiterpene, turmeron, zingiberen, felandren, sabinen, borneol dan sineal senyawa ini lah yang membuat aroma pada kunyit (Mulyani, 2014).

Rasa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap rasa sari buah perepat. Nilai rata-rata rasa minuman sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 8. Rasa minuman sari buah perepat dari setiap perlakuan berkisar antara 1,00 (tidak getir) sampai 3,50 (sangat getir). Nilai rasa minuman sari buah terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan ekstrak kunyit yaitu 1 (tidak getir) sedangkan perlakuan tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan ekstrak kunyit 8% yaitu 3,50 (sangat getir). Tabel 8. Nilai rata-rata rasa minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Rasa 0 1,00 a 2 2,70 b 4 3,10 bc 6 3,25 bc 8 3,50 c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT Keterangan: 1. Tidak getir 2. Agak getir 3. Getir 4. Sangat getir 5. Amat sangat getir

Semakin banyak penambahan ekstrak kunyit maka semakin tinggi rasa yang dihasilkan. Kunyit memiliki kandungan kimia yaitu kurkuminiod 1-2%, minyak atsiri 3-12% dan pati 27,62%. Kandungan kimia yang dimiliki kunyit yang diekstrak menghasilkan rasa yang khas yaitu rasa pahit, pedas, getir dan berbau langu (Wahyu, 2003 dalam Mulyani, 2014).

Penerimaan Keseluruhan

Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap rasa sari buah perepat. Nilai rata-rata aroma sari buah perepat dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai rata-rata penerimaan keseluruhan minuman sari buah perepat berdasarkan penambahan konsentrasi ekstrak kunyit

Penambahan ekstrak kunyit (%) Penerimaan Keseluruhan 0 2,60 a 2 3,45 b 4 3,55 b 6 3,45 b 8 3,40 b

1427

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda sangat nyata pada taraf 1 % berdasarkan uji DNMRT Keterangan: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Agak suka 4. Suka 5. Sangat suka Tabel 9. menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata terhadap penerimaan keseluruhan minuman sari buah perepat. Perlakuan penambahan ekstrak kunyit 0% berbeda sangat nyata pada perlakuan penambahan ekstrak kunyit 2, 4, 6, dan 8%. Perlakuan penambahan ekstrak kunyit 0% menghasilkan nilai penerimaan keseluruhan terendah yaitu 2,60 (agak suka) dan perlakuan tertinggi terdapat pada penambahan ekstrak kunyit 4% yaitu 3,55 (suka). Cita rasa dari suatu produk dipengaruhi oleh senyawa flavor yang memberikan rangsangan pada indera penerimaan pada saat mengecap dan kesan yang ditinggalkan pada indera perasa saat menelan produk tersebut. Apabila produk tidak enak maka tidak akan disukai panelis, tapi sebaliknya apabila produk enak maka akan disukai oleh panelis walaupun rasa, aroma dan teksturnya tidak baik (Winarno, 2002).

KESIMPULAN DAN SARAN

Penambahan ekstrak kunyit berpengaruh sangat nyata pada parameter tinggi endapan, antioksidan, warna, rasa, aroma dan penerimaan keseluruhan, dan memberikan pengaruh nyata pada parameter total padatan terlarut, tetapi tidak berpengaruh terhadap parameter pH dan vitamin C minuman sari buah perepat. Penambahan ekstrak kunyit 2% merupakan perlakuan terbaik yaitu dengan pH 3,38 , tinggi endapan pada hari ke 1 (0,58 cm), hari ke 3 (0,90 cm) dan hari ke 5 (1,17 cm), TPT 16,700 brix, vitamin C 32,39, antioksidan 66,27, warna 2,1 (agak kuning), aroma 1,65 (tidak beraroma khas kunyit), rasa 2,70 (agak getir sampai getir) dan penerimaan keseluruhan 3,45 (agak suka).

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono A, Dedi F, N.L.Puspitasari, Sedarnawati dan Slamet B.1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan, IPB Press Bogor.

Asih, W. 2014 Studi Penggunaan CMC (Carboxyl Methyl Cellulose) Sebagai Penstabil dalam Pembuatan Sirup Fungsional dari Buah Perepat (Sonneratia alba)[skripsi].Teknologi Hasil Pertanian. FATETA. UNJA

Aznam, N. 2004. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kunyit (curcuma domestica, val). Jurnal Pendidikan Kimia. FMIPA. UNY. Yogyakarta.

Basalmah, R. S. 2006. Optimalisasi kondisi ekstrasi kurkuminoid temulawak dan kunyit. Skripsi. Departemen Kimia. FMIPA. IPB. Bogor.

Farikha, I. T. 2013. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bahan Penstabil Alami Terhadap Karakteristik Fisikokimia Sari Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Selama Penyimpanan. Jurnal Teknosains Pangan. Vol 2. Universitas Sebelas Maret. Jawa Tengah.

Kartika, A. 2014. Kandungan Kurkuminoid Inhibisi Glukosidase Dan Sitotoksisitas Ekstrak Dari Beberapa Aksesi Kunyit (Curcuma Domestica Val). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Ipb. Bogor.

Mulyani S, Harsojuwono BA, dan Puspawati G. 2014. Potensi Minuman Kunyit Asam Sebagai Minuman Kaya Antioksidan. Jurnal Agritech. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Bali.

Nurfina, A. 1996. Turunan Curcumin Sebagai Penangkap Radikal Hidroksi. Skripsi. FMIPA. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta, 14-15.

1428

Perdana, F. 2013. Pengaruh Penambahan Jahe Bubuk Terhadap Citarasa Sari Buah Pedada. [skripsi]. Teknologi Hasil Pertanian. FATETA. UNJA

Putri,I.J. Fauziah ddan Elfita. 2013. Aktifitas Antioksidan Daun dan Biji Buah Nipah (Nypa fructicans) Asal Pesisir Banyuasin Sumatra Selatan Dengan Metode DPPH. Maspari Journal. 5 (1) : 16-21.

Sakinah. 2014 Kajian Pengguanaan Zat Penstabil Terhadap Karakteristik Selai Perepat (Sonneratia alba)[skripsi]. Teknologi Hasil Pertanian. FATETA. UNJA

Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian Bogor, IPB. Bogor

Solahudin. 2008. Studi Penambahan Sari Kunyit Terhadap Kualitas Sari Buah Nanas Tangkit Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Jambi.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi.1996.Analisa Bahan Makanan danPertanian.Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Susilo, E. 2011. Optimasi Formula Minuman Fungsional Berbasis Kunyit (Curcuma domestica Val.), Asam Jawa (Tamarindus indica Linn.), Dan Jahe (Zingiber officinale var. Amarum) Dengan Metode Desain Campuran (Mixture Design)[Skripsi]. Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarto WP. 2005. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Zain. R,N,S. 2012. Formulasi, Karakterisasi dan Difersifikasi Rasa Minuman Fungsional Berbasis Kunyit Asam serta Kajian Toksisitas dan Stabilitasnya selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

1429

KAJIAN TEKNOLOGI PEMBUATAN BUBUK SIMPLISIA LENGKUAS

Erni Apriyati, Retno Utami H., Purwaningsih dan Titiek F. Djaafar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Karangsari, Wedomartani, Ngemplak,Sleman

Telp (0274) 884662

ABSTRAK

Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi bahan alami guna menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh semakin tumbuh, sehingga mendorong perkembangan industri biofarmaka. Simplisia merupakan bahan alami berupa bahan yang telah dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apapun. Mengingat pada tahun 2016 Indonesia telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka diperlukan optimalisasi proses untuk menghasilkan simplisia yang bermutu. Metode pengirisan rimpang dan cara pengeringan berpengaruh pada sifat fisik maupun kimia simplisia yang dihasilkan. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui cara pengirisan dan cara pengeringan yang sesuai untuk lengkuas serta mengetahui karakteristik dan mutu simplisia lengkuas. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu cara pengirisan (melintang dan membujur) dan cara pengeringan (jemur sinar matahari dan cabinet dryer). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah bubuk simplisia lengkuas dengan cara pengirisan melintang dan cara pengeringan dengan cabinet dryer dengan karakteristik kadar air 2,84 %, kadar abu 9,80 % (db), kadar oleoresin 14,39 % (db) dan rendemen 21,8 %.

Kata Kunci: Lengkuas, Simplisia, Pengirisan, Pengeringan

PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi bahan alami guna menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh semakin tumbuh, sehingga mendorong perkembangan industri biofarmaka dan makanan fungsional. Pemanfaatan sumberdaya hayati tanaman biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia dengan tradisi mengkonsumsi ramuan tradisional, berupa jamu untuk kesehatan dan kebugaran.

Lengkuas atau laos dengan nama latin Alpinia galanga, tergolong famili Zingiberaceae merupakan salah satu jenis bumbu masak yang sangat dikenal di Indonesia. Sebagai bumbu masak, lengkuas memberikan citarasa khas pada masakan. Lengkuas juga bermanfaat sebagai bahan baku obat herbal. Ada dua jenis lengkuas, yaitu lengkuas putih dan lengkuas merah. Lengkuas putih umumnya digunakan sebagai bumbu masak sedangkan lengkuas merah selain digunakan sebagai bumbu masak juga digunakan sebagai bahan baku obat herbal

Masalah umum yang dihadapi dalam pemanfaatan dan pengolahan hasil pertanian seperti biofarmaka adalah mutu bahan baku masih dibawah standar, kontinyuitas dan ketersediaan bahan baku industri rumah tangga, konsistensi mutu, serta kurangnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengolahan. Dengan demikian, diperlukan berbagai terobosan antara lain: 1) merekayasa inovasi teknologi dan kelembagaan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil untuk pengembangan produk dan atau penganekaragaman produk berbasis biofarmaka di DIY; 2) pengembangan bisnis biofarmaka dan 3) peningkatan kemampuan dan ketrampilan masyarakat tentang diversifikasi pengolahan biofarmaka. Mengingat pada tahun 2016 indonesia telah memasuki

1430

era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka perlu dilakukan optimalisasi proses untuk menghasilkan simplisia yang bermutu.

Menurut Ditjen POM (1982) Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai bahan baku obat yang belum mengalami pengolahan tetapi sudah dikeringkan.Menurut Suhirman, et al (2006) keunggulan dari bentuk simplisia adalah tahan disimpan dalam kurun waktu yang lama tanpa mengalami kerusakan. Dengan demikian pengolahan tanaman obat menjadi simplisia memberikan nilai tambah secara ekonomi. Beberapa komoditas biofarmaka seperti jahe, kunyit, kencur, lengkuas, selain memiliki manfaat sebagai obat juga digunakan sebagai rempah atau bumbu masak. Sebagian besar masakan Indonesia menggunakan komoditas biofarmaka tersebut sebagai bumbu.

Bubuk simplisia lengkuas diperoleh dari penggilingan simplisia lengkuas menggunakan mesin penggiling atau hammer mill kemudian diayak menggunakan ayakan 60 mesh. Ukuran bubuk disesuaikan dengan keperluan/ kebutuhan. Menurut Sembiring, untuk bumbu masak seperti kari ukuran partikelnya 50 - 60 mesh sedangkan untuk kepentingan ekstaksi 40 – 60 mesh. Bubuk lengkuas dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak siap pakai maupun bahan baku industri.

Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui cara pengirisan dan cara pengeringan yang sesuai untuk lengkuas serta mengetahui karakteristik dan mutu simplisia lengkuas.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan adalah lengkuas yang diperoleh dari Gapoktan Argomulyo, Wukirsari, Prambanan Sleman. Umur panen rimpang lengkuas adalah 12 bulan. Peralatan yang digunakan dalam pengkajian berupa alat pengering kabinet, rumah pengering sinar matahari, alat pengiris, tampah, kain hitam dan lain sebagainya.

Pengkajian dilaksanakan pada Bulan Januari sampai dengan Desember 2014 di Gapoktan Argomulyo Dusun Klumprit, Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambahan, Sleman. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu faktor pertama adalah cara pengirisan (melintang dan membujur) dan faktor yang kedua adalah cara pengeringan (jemur sinar matahari dan cabinet dryer).

Rimpang lengkuas terlebih dahulu dibersihkan dari tanah, kotoran dan benda asing yang melekat serta disortasi untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Pertama-tama rimpang lengkuas ditimbang, dicuci, kemudian ditiriskan. Tahap penirisan dilakukan dengan menempatkan rimpang pada tampah selama semalam pada suhu ruang. Pengecilan ukuran berupa pengirisan rimpang dengan ketebalan 3-4 mm bertujuan untuk mempercepat waktu pengeringan. Dua bentuk irisan yang digunakan sebagai perlakuan yaitu irisan secara melintang dan membujur. Metode pengeringan yang digunakan adalah dengan penjemuran sinar matahari diberi tutup kain hitam (50 oC) dan cara pengeringan menggunakan cabinet dryer (50 – 55 o C). Setelah kering dilakukan penggilingan simplisia lengkuas menggunakan mesin penggiling atau hammer mill kemudian diayak menggunakan ayakan 60 mesh.

Parameter yang diamati adalah karakteristik bubuk simplisia lengkuas yaitu kadar air, kadar abu dan kadar oleoresin serta rendemen simplisia dan bubuk simplisia lengkuas yang dihasilkan. Data dianalisa statistik menggunakan Anova dilanjutkan uji Duncan (p,0,05) menggunakan software SPSS versi 12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Salah satu parameter utama dari kualitas bubuk simplisia adalah kadar airnya (Anonim, 2005). Mengingat mikroorganisme dapat tumbuh pada bubuk simplisia dengan

1431

kadar air > 10 %. Kadar air bubuk simplisia lengkuas dengan teknik pengirisan/ perajangan dan pengeringan yang berbeda-beda tersaji pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik Kadar Air Bubuk Simplisia Lengkuas

Menurut persyaratan SNI 01-7084-2005 tentang simplisia, kadar air bubuk simplisia lengkuas semua perlakuan telah memenuhi persyaratan yang diijinkan yaitu maksimal 10%. Simplisia lengkuas yang dikeringkan dengan menggunakan cabinet dryer memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan yang dijemur menggunakan matahari. Dengan demikian metode pengeringan memberikan pengaruh nyata pada kadar air simplisia lengkuas, namun pengirisan tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar air simplisia lengkuas.

Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik dan mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur- unsur mineral. Penentuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan (Zahro, 2013).

Gambar 2. Grafik Kadar Abu Bubuk Simplisia Lengkuas

6,66b

7,63c

2,92a 2,91a

Kad

ar A

ir (

% d

b)

Perlakuan

3,04a

6,10b

9,80d 9,00c

Kad

ar A

bu

(%

db

)

Perlakuan

1432

Menurut persyaratan SNI 01-7084-2005 tentang simplisia kadar abu maksimal adalah 5%. Dari gambar 2 dapat dilihat hanya perlakuan pengirisan melintang dan proses pengeringan matahari yang memenuhi persyaratan SNI simplisia. Hal ini mungkin oleh proses pengolahan yang kurang baik sehingga kebersihan dan kemurnian bahan yang dihasilkan rendah. Menurut Wahyono (1996) kadar abu merupakan indikator terhadap adanya cemaran bahan anorganik atau fisik seperti partikel tanah dan pasir atau gambaran terhadap proses penyiapan simplisia atau bahan yang tidak sempurna.

Kadar Oleoresin

Oleoresin berasal dari kata oleo yang berarti minyak dan resin yang berarti damar. Oleoresin adalah campuran minyak atsiri dan resin yang berbentuk padat atau semi padat dan konsistensinya lengket (Rismunandar, 2000). Oleoresin dihasilkan melalui proses ekstraksi yang menggunakan pelarut, yang dicirikan dengan produk yang dihasilkan selain mengandung minyak atsiri (bahanvolatile) sebagai pembawa aroma, juga terdapat resin (bahannon volatile) sebagai pembawa rasa khas pada rempah-rempah (Stahl, 1973 dalam Lestari, 2006).

Rimpang lengkuas memiliki kandungan oleoresin sebesar 5,42%. Rimpang lengkuas mengandung minyak atsiri lebih kurang 1 % minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metilsinamat 48 %, sineol 20 % - 30 %, eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin.

Gambar 3. Grafik Kadar Oleoresin Bubuk Simplisia Lengkuas

Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa metode pengirisan dan pengeringan memberikan pengaruh nyata pada kadar oleoresin simplisia lengkuas. Penggunaan pengering cabinet dryer memberikan kadar oloresin lebih tinggi dibanding penjemuran matahari dan dengan pengirisan melintang kadar oleoresin lebih tinggi dibanding pengirisan membujur.

Rendemen

Rendemen simplisia lengkuas merupakan persentase berat simplisia lengkuas yang dihasilkan terhadap berat rimpang lengkuas segar. Sedangkan rendemen bubuk simplisia lengkuas merupakan persentase berat bubuk simplisia lengkuas terhadap berat rimpang lengkuas segar.

11,79c 10,99d

14,39a

13,00b

Kad

ar O

leo

resi

n (

% d

b)

Perlakuan

1433

Tabel 1. Rendemen Simplisia dan Bubuk Simplisia Lengkuas

Perlakuan Simplisia Lengkuas (%) Bubuk simplisia Lengkuas

(%)

Melintang Matahari 26.51 25,9 Membujur Matahari 28.27 27,5

Melintang Cabinet Driyer 22.33 21,8 Membujur Cabinet Driyer 21.88 21,5

Rendemen simplisia lengkuas dan bubuk simplisia lengkuas dapat dilihat pada Tabel 1. Rendemen simplisia lengkuas berkisar 21,88 – 28,27 % sedangkan rendemen bubuk simplisia lengkuas berkisar 21,5 – 27,5 %. Penggunaan metode pengeringan dengan cara penjemuran menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dari pada pengeringan menggunakan cabinet dryer. Hal ini disebabkan kadar air pengeringan dengan cara penjemuran juga lebih tinggi dibanding pengeringan menggunakan cabinet dryer.

KESIMPULAN

Metode terbaik menurut parameter kadar air dan kadar oleoresin bubuk simplisia untuk menghasilkan simplisia dan bubuk simplisia lengkuas adalah dengan cara pengeringan menggunakan cabinet dryer dan cara pengirisan melintang dengan karakteristik kadar air 2,84 %, kadar abu 9,80 % (db), kadar oleoresin 14,39 % (db) dan rendemen 21,8 %.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1982. Kodifikasi Peraturan Perundang-undangan Obat Tradisional. Ditjen POM Depkes. Jakarta

Anonim. 2005. Standar nasional Indonesia Simplisia Jahe. SNI 01-7084-2005. Badan Standardisasi Nasional.

Barmawie N., Purwiyanti S., Melawati dan Meilawati N.L.W. 2012. Karakter Morfologi, Hasil dan Mutu Enam Genotip Lengkuas Pada Tiga Agroekologi. Buletin Littro Vol 23 (2): 125 – 135.

Cahyono Bambang, Huda M.D.K. dan Limantara L. 2011. Pengaruh Proses Pengeringan Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza) terhadap Kandungan dan Komposisi Kurkuminoid. Reaktor vol 13 (3) : 165 – 171.

Endrasari, R., Qanytah dan B. Prayudi, 2010. Pengaruh pengeringan terhadap mutu simplisia temulawak di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Diakses 11 Juli 2014.

Nugroho Erwin Setyo, Tamaroh S., Setyowati A. 2006. Pengaruh Konsentrasi Gum Arab dan Dekstrin terhadap Sifat Fisik dan Tingkat Kesukaan Temulawak (Curcuma xanthoriza roxb) Madu Instan. Logika Vol 3 (2) : 78 – 86.

Rismunandar. 2000. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Penebar swadaya. Jakarta.

Sembiring B.S., Yuliani Sri. Penanganan dan Pengolahan Rimpang Jahe. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.

Wahyono S. 1996. Pengaruh Cara Pengeringan dan Wadah Penyimpanan terhadap Kualitas Simplisia Bunga Sidowayah (Woodfordia floribunda Salisb). Prosiding Seminar dan Pameran Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIV : 126 -129.

Zahro. 2013. Analisis Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Jember. Jawa Timur.

1434

TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUKUN SEBAGAI SUMBER PANGAN ALTERNATIF PENDAMPING BERAS DI PROVINSI JAMBI

Linda Yanti dan Dewi Novalinda

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Sukun (Artocarpus altilis) mempunyai peluang sebagai pangan alternatif dalam rangka menunjang ketahanan pangan. Potensi lain dari sukun yang telah ditemukan sebagai pendamping pangan pokok beras adalah waktu panen yang cukup panjang. Saat bahan pangan lainnya dalam keadaan paceklik karena baru melalui periode musim kemarau, pohon sukun tetap berbuah sehingga keadaan seperti ini dapat membantu kehidupan ekonomi petani/masyarakat pedesaan. Di Provinsi Jambi, sukun termasuk salah satu tanaman yang dikembangkan dalam program percepatan penganekargaman konsumsi pangan pada periode 3 tahun terakhir. Namun demikian untuk penyimpanan sukun sebagai sumber pangan perlu ditangani dengan baik agar dapat disimpan lama dan dapat tersedia setiap waktu serta tetap stabil mutunya saat dikonsumsi. Oleh karena itu dengan menerapkan teknologi pascapanen dan pengolahan, sukun dapat dibuat dalam bentuk produk seperti tepung, gaplek dan pati sebagai bahan baku pangan serta diolah dalam berbagai produk yang berdaya saing dengan sajian menarik. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran dan ulasan terkait potensi sukun sebagai sumber pangan alternatif dari manfaatnya, penanganan panen dan pascapanen dan produk olahan yang berdaya saing berbasis pada teknologi inovatif yang sudah dihasilkan selama ini. Tulisan ini merupaka review dari berbagai bahan kajian dan dokumen yang terkait dengan pemanfaatan sukun terutama yang telah dilakukan di Jambi.

Kata Kunci :Sukun (Artocarpus communis), pangan alternatif, daya saing, nilai tambah

PENDAHULUAN

Seiring dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk, kenaikan harga BBM, terjadinya konvesi lahan pangan ke perkebunan serta terjadinya gagal panen pada berbagai belahan dunia karena perubahan iklim yang ekstrim dan bencana alam, secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan harga pangan meningkat tajam. Disamping itu juga terjadi kompetisi komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar (biofuel) dan produk pangan seperti pada jagung, kedelai, ubi kayu yang dikonversi sebagai bahan bakar dibeberapa negara. Dengan demikian apabila hal ini tidak diantisipasi oleh pemerintah maka pemenuhan kebutuhan pangan terutama makanan pokok nasional akan berada pada ambang kerawanan.

Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah adalah melalui program percepatan diversifikasi pangan dengan melakukan gerakan diversifikasi konsumsi pangan lokal yang didukung dari berbagai lini tentunya termasuk Badan Litbang Pertanian dengan pendekatan penyediaan teknologi pengolahan pangan lokal yang adaptif, kompetetif dan efisien untuk meningkatkan nilai tambah produk olahan pangan lokal.

Indonesia memiliki cukup banyak tumbuhan yang menjadi sumber karbohidrat dan dapat dijadikan bahan makanan pokok pengganti beras, salah satunya adalah sukun (Widowati, 2003 ; Departemen Pertanian, 2003 ; Djafar et al., 2005). Tanaman sukun ini sudah lama dikenal oleh masyarakat dan dapat tumbuh baik mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Kartono et al., 2004 ). Saat ini sukun sudah dilirik sebagai salah satu sumber pangan alternatif untuk ketahanan pangan di Negara berkembang dan sebagai sumber pangan baru di Negara Barat mengingat kandungan gizinya yang sangat bermanfaat dari segi kesehatan (Jones et al., 2011). Oleh karena itu penyebaran sukun yang meliputi

1435

berbagai wilayah di Indonesia memiliki peluang besar untuk pengembangan sebagai pangan alternatif pendamping beras.

Bentuk buah yang lonjong,berkulit hijau kekuningan dengan daging buah putih – krem serta karbohidrat tinggi memiliki cita rasa gurih manis.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian diketahui bahwa kandungan gizi dari buah sukun relatif tinggi dibandingkan sumber umbi – umbian lain. Buah sukun mengandung niasin, vitamin C, riboflavin, karbohidrat, kalium, thiamin, natrium, kalsium, dan besi. Pada kulit kayunya ditemukan senyawa turunan flavanoid yang terprenilasi, yaitu artonol B dan sikloartobilosanton. (Supriatiet al., 2005 ; Bwai et al., 2013).

Pada umumnya masalah utama yang dihadapi pada olahan pangan lokal yang diolah secara tradisional antara lain mutu yang rendah, kurang higienis dalam proses pengolahan, penampilan kurang menarik serta kurang modal (Thahir, 2004 dan Darmawan, 2004).Dalam upaya mendapatkan produk yang memenuhi standar mutu, pengendalian mutu harus dimulai dari penanganan pasca panen, proses pengolahan, kemasan dan penyimpanan. Buah sukun setelah dipanen kadang tidak langsung digunakan, hal ini akan menyebabkan penurunan mutu dengan karakteristik buah yang banyak mengandung air. Oleh sebab itu diperlukan penanganan dan teknologi yang tepat sehingga sukun dapat disimpan dalam bentuk produk yang lebih tahan tanpa mengalami penurunan mutu yang berarti. Salah satu alternatif adalah dengan mengolah menjadi tepung yang relatif lebih tahan disimpan dan juga dapat digunakan dalam berbagai jenis makanan sebagai substitusi tepung terigu ataupun penambah cita rasa (Hasnelly, 2002; Olaoye et al., 2007 ; Purba, 2002). Disamping itu juga dalam rangka meningkatkan keanekaragaman pangan sukun diolah dalam berbagai bentuk produk olahan yang menarik dan bercita rasa (Tan et al., 2013).

Sehubungan dengan itu tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran dan ulasan terkait potensi sukun sebagai sumber pangan alternatif dan manfaatnya, penanganan panen dan pasca panen dan produk olahan yang berdaya saing berbasis pada teknologi inovatif yang sudah dihasilkan selama ini. Tulisan ini merupaka review dari berbagai bahan kajian dan dokumen yang terkait dengan pemanfaatan sukun terutama yang telah dilakukan di Jambi.

MENGENAL TANAMAN SUKUN

Buah sukun tidak berbiji dan memiliki bagian yang empuk, yang mirip roti setelah dimasak atau digoreng. Karena itu, orang-orang Eropa mengenalnya sebagai “buah roti”. Musim panen sukun dua kali setahun. Panen raya bulan Januari – Februari dan panen susulan pada bulan Juli – Agustus. Daerah penyebaran tanaman Sukun di Indonesia hampir merata, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyebaran sukun terdapat di sebagian besar kepulauan Indonesia. Tanaman ini cukup tahan terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga memungkinkan sukun untuk dikembangkan lebih luas (Koswara, 2008).

Pohon sukun mulai berbuah setelah berumur lima sampai tujuh tahun dan akan terus berbunga hingga umur 50 tahun. Produktivitasnya cukup tinggi. Dalam satu tahun akan diperoleh buah sukun sebanyak 400 buah pada umur 5 sampai 6 tahun, dan 700 – 800 buah per tahun pada umur 8 tahun. Buahnya berbentuk bulat berkulit tebal dan kasar, dengan warna hijau muda dan kuning dengan berat sekitar 1,5 – 3 kg (Koswara, 2008 ; Adinugraha et al., 2012). Buah sukun bisa digunakan untuk bahan pangan. Pohon sukun umumnya adalah pohon tinggi, dapat mencapai 30 m. Batang berukuran besar dan lurus hingga 8 m, bercabang mendatar dan berdaun besar-besar yang tersusun berselang-seling; lembar daun 20-40 × 20-60 cm, berbagi menyirip dalam, hijau tua mengkilap di sisi atas, serta kusam, kasar dan berbulu halus di bagian bawah. Kuncup tertutup oleh daun penumpu besar yang berbentuk kerucut.

KOMPOSISI KIMIA DAN NILAI GIZI SUKUN

Buah sukun berbentuk hampir bulat atau bulat panjang. Pada buah yang telah

matang, diameternya dapat mencapai 19,24 sampai 25,4 cm dan beratnya kurang lebih 4,54 kg. Kulit buah yang masih mudah berwarna hijau dan daging buah berwarna putih. Setelah

1436

tua, warna kulit hijau kekuningan atau kecoklatan, sedangkan daging buah berwarna putih kekuningan. Bagian yang bisa dimakan (daging buah) dari buah yang masih hijau sebesar 70 persen, sedangkan dari buah matang adalah sebesar 78 persen. Buah sukun yang telah dimasak cukup bagus sebagai sumber vitamin A dan B komplek tetapi miskin akan vitamin C. Kandungan mineral Ca dan P buah sukun lebih baik daripada kentang dan kira-kira sama dengan yang ada dalam ubi jalar.Sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 0,048%, kalsium 0,21%, besi 0,0026%, kadar air 61,8% dan serat atau fiber 2% (Supriatiet al., 2005). Dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung mineral dan vitamin lebih lengkap, tetapi nilai kalorinya lebih rendah, sehingga dapat dijadikan makanan diet (Widowati, 2003). Komposisi kimia buah sukun yang muda dan tua atau masak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai gizi buah sukun per 100 gram buah

Unsur-unsur Sukun muda Sukun masak

Air (g) Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitami C (mg) Abu (g) Serat (g)

87.1 46 2.0 0.7 9.2 59 46 - 0.12 0.06 21 1.0 2.2

69.1 108 1.3 0.3 28.2 21 59 0.4 0.12 0.06 17 0.9 -

Sumber : Koswara (2008)

KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN

Berdasarkan kandungan karbohidrat, mineral dan vitamin yang relatif cukup baik, sukun cukup layak dijadikan sebagai pangan alternatif pendamping beras, jagung atau singkong yang sudah terlebih dahulu populer di masyarakat. Pada beberapa kepulauan di Indonesia seperti kepulauan Seribu, Bawean, Sangir Talaud dan kepulauan lainnya sukun termasuk dalam makanan utama (Anonimous, 2008). Buah sukun dapat diolah menjadi produk olahan setengah jadi seperti tepung maupun berbagai produk olahan pangan yang bercita rasa. Potensi sukun sebagai pangan pendamping telah dimanfaatkanjuga untuk makanan pada Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT – AS) yang cukup disukai oleh anak – anak (Pratiwi et al., 2012). Teknologi pasca panen dan pengolahan sukun diharapkan akan meningkatkan daya simpan yang selama ini terkendala karena sifat buah sukun yang cepat berubah. Teknologi Pengolahan Tepung Sukun

Pembuatan tepung sukun ada beberapa cara, namun pada prinsipnya adalah sama, secara garis besar adalah dimulai dari pengupasan kulit buah, pencucian, pengirisan/penyawutan, pengeringan, penepungan/penggilingan, dan pengayakan. Kemudian dikemas dalam kantong plastik, dan disimpan atau siap untuk didistribusikan. Pengemasan tepung sukun yang baik dapat tahan hingga 9 bulan. Rendemen tepung sukun bervariasi 17—24,4%, tergantung tingkat kemasakan buah sukun, varietas, dan teknik/cara pembuatan tepungnya. Pada tingkat ketuaan optimal rendemen tepung akan semakin tinggi, karena kadar patinya tinggi. Buah yang terlalu muda maupun kelewat masak akan menghasilkan tepung dengan rendemen rendah. Warna tepung sukun putih-kekuningan. Namun, buah yang muda maupun kelewat masak akan menghasilkan tepung yang gelap.

1437

Untuk pembuatan tepung, buah sukun dipilih yang matang optimal (tua tapi masih keras/mengkal) atau 7—10 hari sebelum petik optimal, sehingga diperoleh mutu tepung yang baik dan rendemen tinggi. (Anonimous, 2009; Purba, 2002).

Tahapan pembuatan tepung sukun adalah (Suyantiet al., 2003): 1. Pengupasan

2. Perajangan

3. Pengukusan

4. Pengeringan

5. Penepungan

Tepung sukun tidak mengandung gluten sehingga dapat dicampur dengan tepung yang lain seperti tepung terigu, tepung beras, tepung maizena atau tepung ketan. Pemilihan tepung tergantung jenis kue yang akan di olah. Penambahan tepung sukun dapat mencapai 50-100% (Waryat et al., 2014) Tepung sukun antara lain dapat dimanfaatkan untuk aneka kue kering, cake, pancake, pie, dan lapis. Dengan memanfatkan tepung sukun sebagai sumber karbohidrat lokal, penggunaan tepung terigu dapat dikurangihingga 75% (Suyantiet al., 2003).

Untuk membuat kue kering, tepung sukun dapat dicampurkan 20-50% dalam terigu. Kue kering tersebut memiliki warna dan penampakan yang disukai panelis. Namun, rasa khas dan aroma sukun kadang kurang disukai panelis. Substitusi tepung sukun 20% pada terigu untuk bahan baku roti menghasilkan roti yang bagus dan disukai panelis. Makin banyak tepung sukun yang ditambahkan, roti menjadi tidak mengembang dan aroma khas sukun makin tajam.

Teknologi Pengolahan Pati Sukun

Pati sukun dibuat dari buah sukun yang sudah tua. Buah sukun dikupas bersih dan dipotong-potong lalu diparut atau diblender. Untuk melarutkan tepung dan memisahkannya dari ampas, tambahkan air ke dalam hasil parutan sukun. Penyaringan bisa dilakukan berulang kali hingga seluruh pati terlarut. Selanjutnya biarkan pati mengendap dengan memperhatikan lapisan air di bagian atasnya. Semakin jernih air berarti pengendapan semakin baik. Setelah air endapan dibuang, jemur pati di bawah terik matahari sampai kering. Pati sukun yang sudah kering dapat disimpan dalam plastik.

Teknologi Pengolahan Berbagai Pangan Dari Sukun Diversifikasi pengolahan sukun memberikan peluang untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing. Beberapa produk olahan sukun yang dapat diaplikasikan secara mudah sudah tersedia. Olahan sukun ini dapat dibuat langsung dari bahan baku buahnya maupun tepung sukun. 1. Mi Sukun Bahan: • 250 g tepung terigu protein tinggi, • 50 g tepung sukun, • 1 sdt air ki (air yang dihasilkan dari abu merang), • 1/4 sdt garam, • 1/4 sdt CMC (pengikat dari pati-patian atau semacam maizena), • 100 ml air, dan • 6 tetes pewarna kuning muda.

1438

Cara membuat: 1. Campur tepung, air ki, garam, dan CMC hingga merata. 2. Tambahkan air yang telah ditambah pewarna, aduk, lalu gumpalkan. 3. Giling dengan gilingan mi dari ukuran terbesar sampai ukuran no. 2 tiap ukuran

gilingan 2–3 kali sampai licin. 4. Potong-potong, lalu taburi dengan tepung tapioka agar tidak lengket. 5. Rebus dalam air mendidih hingga matang, lalu angkat dan lumuri minyak goreng, aduk

rata. 6.Misiap diolah.

2. Cake Sukun Rasa Jeruk Bahan :

Kuning telur 8 butir dan putih telur 2 butir Tepung sukun 150 g Gula pasir 150 g Mentega 200 g, dicairkan Air jeruk sunkist 5 sendok makan Ovalet 1 sendok makan Pewarna kuning secukupnya Maizena 2 sendok makan

Cara Membuat :

1. Telur, Gula, Ovalet dan air jeruk dikocok dengan mixer hingga mengembang. Selanjutya masukan tepung sukun, maizena, pewarna kuning, dan mentega cair. Aduk dengan pengaduk kayu atau plastik hingga tercampur rata.

2. Tuang adonan ke dalam cetakan yang telah diolesi mentega dan ditaburi terigu. Panggang dalam oven hingga matang (30 menit) lalu angkat.

3. Bongko Sukun Bahan :

Tepung sukun 100 g, diayak. Gula merah 50 g. dicairkan. Gula putih 25 g, Santal Kental 200 ml Santan encer 150 ml dan telur 1 butir Daun pandan 2 – 3 lembar Air 100 ml Daun pisang secukupnya, untuk membungkus adonan Garam secukupnya

Cara Membuat :

1.Telur dan gula putih dicocok hingga mengembang. Selanjutnya campurkan gula merah yang telah dicairkan serta tambahkan santan kental dan air.

2.Masukkan tepung sukun yang telah diayak kedalam adonan , aduk perlahan sampai tercampur rata.

3.Masak santan encer. Setelah mendidik masukkan adonan tepung sukun dan aduk perlahan-lahan sampai matang.

4.Setelah adonan agak dingin buat bentuk menjadi bulatan. Siapkan bberapa lembar daun pisang yang sudah dilayukan diatas api.

5.Letakkan adonan dalam daun pisang lalu siram dengan santan kental. Bungkus serapi mungkin dan dan kukus selama 20 menit.

4. Better Ballen Bahan :

Daging cingcang 200 g. Tepung sukun 100 g.

1439

Susu kental manis 150 ml Mentega 25 g Tepung roti secukupnya Telur 2 butir, dikocok Maggi blok 1 butir Peterseli 1 batang , dicincang. Bawang Bombai 1 siung, dicincang Gula pasir, garam, merica, dan pala secukupnya

Cara Membuat :

1.Daging dicincang disangrai ( digoreng tampa minyak) sampai kering. 2.Panaskan mentega lalu tumis bawang bombai sampai layu, selanjutnya masukkan

tepung sukun dan susu. Aduk adonan hingga rata lalu masukkan gula, garam, merica dan pola.

3.Apabila seluruh bahan telah tercampur ratam masukkan peterseli dan daging cincang yang telah disangrai. Aduk adonan perlahan – lahan lalu angkat dan didinginkan.

4.Bentuk adonan bulat bulat lalu gulingkan pada tepung roti. Celupkan dalam kocokan telur lalu gulingkan sekali lagi dalam tepung rati

5.Goreng adonan dalam minyak panas hingga berwarna coklat kekuningan. Disajikan panas - panas dengan cabai rawit.

5. Bola-Bola Sukun Bahan :

Buah sukun yang tua 1 buah . Kelapa muda 1 buah Gula merah 250 g Tepung Tapioka 500 g Vanili secukupnya Bahan pewarna (Sesuai selera) secukupnya

Cara Membuat :

1.Sukun dikupas, dicuci bersih dan dikukus. Seyelah masak, angkat dan didinginkan. Tumbuk sampai halus, kemudian dicampur dengan tepung tapioka.

2.Buat bola-bola kecil dari adonan tadi dengan diberi gula merah yang sudah disisir di dalamnya. Didihkan air dan masukkan bola-bola adonan sukun dan rebus sampai masak.

3.Kelapa diparut bola-bola sukun digulingkan pada parutan kelapa dan siap dihidangkan.

6. Bubur Sumsum Sukun Bahan I:

• Tepung sukun200 g • Tepung beras100 g • Garam halus3 sdt • Santan kental (kanil) 16 gelas dari 3 btr kelapa • Daun pandan 3 lbr

Bahan II : • Gula merah1/2 kg • Daun pandan 3 lbr • Air 5 gls • Pewarna kue secukupnya

Cara membuat:

1. Cairkan tepung sukun dan tepung beras dengan 1/2 bagian santan. 2. Rebus sisa santan bersama daun pandan dan garam hingga mendidih 3. Masukkan tepung yang telah dicairkan tadi ke dalam rebusan santan mendidih

1440

4. Masak hingga matang 5. Untuk membuat kinca, rebus semua bahan II hingga mendidih dan saring. 6. Bubur sumsum sukun siap dihidangkan bersama kinca.

7. Apem Sukun Bahan :

Buah sukun yang sudah diparut, 500 g Gula Pasir 250 g Telur 2 butir Vanili 1 sendok teh Gist 1 sendok makan Garam secukupnya Buah ceri kalengan secukupnya

Cara Membuat :

1. Larutkan gist dalam 2 sendok makan air hangat 2.Campurkan larutan sukun dengan gula pasir, telur, vanili, garam, dan gist yang telah

dilarutkan dalam air. Uleni hingga seluruh bahan tercampur rata. 3.Biarkan adonan kurang lebih selama satu jam agar mengembang. Sebaiknya selama

adonan dibiarkan mengembang, mulut wadah adonan ditutup dengan m enggunakan lap basah.

4.Masukan dalam cetakan lalu kukus dalam dandang selama kurang lebih 30 menit atauhingga adonan matang

5.Saat penyajian, sebaiknya dipotong sesuai selera dan hiasi bagian atasnya dengan irisan buah ceri kalengan

8. Mi Telor Sukun Bahan:

• Tepung terigu 225 g • Tepung sukun 50 g • Tepung kanji 25 g • Garam ½ sdt • Telur ayam 3 btr, kocok lepas • Air ki 1/4 sdt • Tepung maizena 1 sdm

Cara membuat:

1. Aduk telur, tepung terigu, tepung kanji, tepung sukun, dan garam sambil diuleni hingga tercampur (jangan sampai elastis).

2. Giling mi dengan ukuran 1 hingga halus, pindah ke ukuran 2, giling lagi hingga halus, dan seterusnya hingga ukuran 5.

3. Masukkan ke dalam pemotong, pilih yang ukuran kecil, lalu taburi dengan tepung maizena agar mi tidak melekat dan tidak kering.

4. Rebus mi hingga terapung, angkat, percikkan dengan minyak goreng, aduk, lalu dinginkan.

5. Mi siap diolah

9. Bolu Sukun Bahan:

• Tepung sukun 2 gls • Telur 8 btr • Gula pasir300 g • Vanili bubuk 2 bks

1441

• Mentega 350 g, cairkan • Ovalet secukupnya

Cara membuat:

1. Campur telur, gula pasir, ovalet, dan vanili, kocok hingga berwarna putih. 2. Masukkan tepung sukun, lalu kocok perlahan. 3. Masukkan mentega cair, aduk hingga rata. 4. Masukkan adonan ke dalam loyang yang telah diberi olesan mentega sebelumnya. 5. Bakar di dalam oven hingga matang. 6. Potong-potong bolu yang telah matang. 7. Bakar lagi di dalam oven hingga kering.

10. Brownies Sukun Bahan:

• Mentega 200 g • Gula pasir 200 g •Ttepung sukun 100 g • Cokelat bubuk50 g • Cokelat blok 250 g •Ttelur 6 btr • Baking powder½ sdt • Kacang almon secukupnya

Cara membuat:

1. Kocok gula dan telur hingga mengembang. 2. Campur tepung sukun, cokelat bubuk, dan baking powder, aduk hingga rata. 3. Masukkan campuran tepung ke dalam kocokan telur dan aduk hingga rata. 4. Lelehkan mentega dan cokelat blok, lalu dinginkan. 5. Masukkan mentega dan cokelat cair yang telah dingin ke dalam adonan, lalu aduk 6. Masukkan adonan ke dalam loyang yang telah diolesi mentega. 7. Bakar di dalam oven hingga matang. 8. Brownies sukun siap dihidangkan.

11. Kue Kering Sukun Bahan:

• Tepung sukun 250 g • Tepung terigu 125 g •Mmentega 200 g • Gula halus 100 g •Susu bubuk 2 sdm • Selai kacang 100 g • Kuning telur 2 btr

Cara Membuat:

1. Kocok mentega bersama gula halus sampai mengembang. 2. Masukkan kuning telur dan selai kacang satu per satu, kocok sampai semuanya

tercampur. 3. Masukkan tepung sukun dan tepung terigu, aduk rata. 4. Bentuk adonan dengan menggunakan cetakan kue, letakkan di atas loyang yang telah

diolesi mentega. 5. Olesi bagian atas kue yang telah dicetak dengan kuning telur. 6. Panggang dengan api sedang hingga matang.

1442

KESIMPULAN

Sukun mempunyai peluang besar sebagai makanan alternatif terhadap kebutuhan pangan dalam rangka ketahanan nasional bidang pangan. Apabila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya, kandungan gizi sukun tidak kalah dan bahkan melebihi kandungan gizi kentang yang saat ini sangat digemari anak-anak maupun masyarakat umum di berbagai belahan dunia sebagai makanan cepat saji (franchise). Adapun potensi lain dari sukun yang telah ditemukan sebagai pendamping beras adalah waktu panen. Sukun dapat berbuah sepanjang musim, saat bahan pangan lainnya dalam keadaan paceklik karena baru melalui periode musim kemarau, namun pohon sukun tetap berbuah sehingga keadaan seperti ini dapat membantu kehidupan ekonomi petani/masyarakat pedesaan bila menanam pohon sukun.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha H. A dan N.K Kartikawati. 2012. Variasi Morfologi dan Kandungan Gizi Buah Sukun. Wana Benih. Vol. 13 ( 2) : 99 – 106.

Anonimous. 2008. Menuju Pertanian Tangguh 6. Sinar Tani. Jakarta.

Anonimous. 2009. Teknologi Pengolahan Tepung Sukun Mutu Prima. Leaflet. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen. Bogor.

Asri. 2008. Resep Mbak Sri “Kripik Sukun”.http://asri78 wordpress.com/2008/02/17/keripik-sukun/. Diunduh tanggal 3 Desember 2016.

Astuti, TYi, I.M Ekawati, Purwijantiningsih dan S. Pranata. 2014. Substitusi Tepun Sukun dalam Pembuatan Non Flaky Crakers Bayam Hijau. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian. Vol. 8(1): 28 – 32.

Bwai, M.D, Adedirin O, Akanji F.T, Muhammad K.J, Idoko, O and Useh M.U. 2013. Physicochemichal Properties, Fatty Acid Profiles and Antioxidant Properties of Seed Oil of Breadfruit (Treculia africana). International Journal of Research in Pharmacy and Science. Vol. 3 (3) : 44 – 45.

Darmawan, T. 2004. Aspek Pasar mendukung Inovasi Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Untuk Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Makalah dalam Temu Konsultasi BB – Pascapanen Pertanian. Jakarta.

Departemen Pertanian. 2003. Panduan Teknologi Pengolahan Sukun Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Holtikultura. Jakarta.

Djafar, T. F. Dan Rahayu, S. 2005. Pemanfaatan Sukun Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Jurnal Agros. Vol. 6 (2): 133 – 141.

Hasnelly. 2002. Penganekaragaman Teknologi Pengolahan Melinjo. Dalam Cakrawala Suplemen. Pikiran Rakyat Khusus IPETK. Bandung.

http://lordbroken.wordpress.com/2009/12/31/pengolahan-sukun/Anonymous.2009. Memproduksi Tepung Sukun. Diunduh tanggal 3 Desember 2016.

http://www.sinartani.com/pascapanen/memproduksi-tepung-sukun1240821916.htm. Diunduh tanggal 3 Desember 2016.

Jones, A.M, P.D. Ragone, N.G. Tavana, D.W. Bernotas and S. J. Murch. 2011. Beyond teh Bounty : Breadfruit (Artocarpus altilis) for Food Security and Novel Foods in the 21st Century. Journal Etnobotany Reseach and Applications. www.journals.sfu.ca/era/index.phap/era.Doi:http://dx.doi.org/10.17348/era.90. 129 - 149.

1443

Kartono, G.,Harwanto, Suhardjo dan T. Purbiati. 2004. Keragaman Kultivar Sukun dan Pemanfaatannya di Jawa Timur (Studi kasus di Kabupaten Kediri dan Banyuwangi). http://www.bptp-jatim-deptan.go.id. Diakses pada tanggal 15 Nopember 2016.

Koswara, Sutrisno. 2008. Sukun sebagai Cadangan Pangan Alternatif.http://Www.Ebookpangan.Com/Artikel/Potensi_Sukun_Sebagai_Cadangan_Pangan_Nasional.pdf. Diunduh tanggal 3 Desember 2016.

Olaoye, O.A., Onilude, A.A. and Oladoye, C.O. 2007. Breadfruit Flour in Biscuit Making: Effects on Product Quality. African Journal of Food Science: 020-023.

Pratiwi, D.P, Ahmad S dan Leily A. 2012. Pemanfaatan Tepung Sukun (Artocarpus altilis sp) Pada Pembuatan Aneka Kudapan Sebagai Alternatif Makanan Bergizi Untuk PMT – AS. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol. 7 (3): 175 – 180.

Purba, S.B. 2002. Karakterisasi Tepung Sukun (Arthocarpus altilis) Hasil Pengeringan Drum dan Aplikasinya Untuk Tepung Terigu pada Pembuatan Biskuit. Skripsi TeknologiPangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Supriati, Y, I. Mariska dan S. Hutami. 2005. Mikropropagasi Sukun (Artocarpus communis Forst), Tanaman Sumber Karbohidrat Alternatif. Jurnal Ilmiah nasional. Vol. 7 (4): 219 – 226.

Suyanti, S, Widowati dan Suismono. 2003.Teknologi Pengolahan Tepung Sukun dan Pemanfaatannya untuk Berbagai Produk Makanan Olahan. Jurnal Warta Penelitian Pengembangan Pertanian. Vol. 25 (2): 12 – 13.

Syamsuhidayat, S.S dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia, edisi kedua. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Tan, S.S, A. Muharam dan R. Indrasti. 2013. Potensi dan Propek Pengembangan Sukun Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding. Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi. Medan.

Thahir, R. 2004. Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Prningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Waryat, M. Yanis dan Y. Handayani. 2014. Diversifikasi Pangan dari Tepung Sukun Untuk Mengurangi Konsumsi Tepung Terigu di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Buletin Pertanian Perkotaan. Vol. 4 (1): 13 – 19.

Widowati. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan Dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. http://tumotou.net/70207134/sri_widowati. html, diakses pada tanggal 28 Mei 2016.

1444

POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAYURAN RAMAH LINGKUNGAN MELALUI PEMBERDAYAAN

PETANI DI KABUPATEN MERANGIN

Dewi Novalinda dan Linda Yanti

Peneliti Pertama dan Peneliti Muda

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kota Baru Jambi, Telp: (0741)7053525

ABSTRACT

Vegetables are included in horticultural commodities that have good prospective as agribusiness development opportunities in Jambi province. This is because it’s competitive and high sales value. Market opportunities of the products are still quite large and can be applied on a large or small scale entrepreneur. Chili and potatoes gave many benefits and could be processed in various forms of processed products. Commodity processing technology is already available and can be developed at the farm level. In order to empower farmers in Jambi Province which has a regional center for horticultural commodities (one of them in the District Merangin), potato and chili could be an object to ordeal hight quality processing technology development with environmental friendliness process. This action will encourage the development of competitive agro-industries horticulture and increase farmers' income.

Keywords :Vegetables, processing technology, empowerment of farmers, environmental friendliness

PENDAHULUAN

Berbagai Program Pemberdayaan Petani dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya melalui Melalui program Pemberdayan Petani melalui teknologi dan informasi (P3TIP/FEATI). Kelebihan dari progrma ini adalah fokus pada menerapan model penyuluhan yang dikelola oleh petani melalui wadah FMA (Farmer Managed Extension Activities) yang cukup efektif untuk percepatan penerapan dan pemanfaatan teknologi serta penggunaan berbagai perangkat teknologi informasi dalam mendukung upaya pengembangan usaha petani dan keluarganya yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan dapat dicapai.

Berbagai aktifitas penerapan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani yang telah ditetapkan melalui serangkaian analisis dari potensi komoditas sampai rantai pemasaran dilakukan untuk menetapkan pengembangan suatu komoditas potensial. Pengembangan suatu komoditas cukup memiliki dasar yang komprehensif untuk dilanjutkan, namun keberlajutanya harus memperhatikan dukungan sumber daya alam setempat dan ramah lingkungan.

Kabupaten Merangin memiliki potensi yang cukup besar dalam hal pengembangan teknologi pengolahan Holtikutura termasuk dari jenis sayuran buah. Produksi pertahun untuk tanaman Hortikultura di kabupaten Merangin cukup besar, untuk tanaman kentang hasil panen pada tahun 2011 dari data BPS yang kami peroleh mencapai 147.826 kwintal dengan luas tanam 846 hektar. Sedangkan tanaman cabai hasil panennya mencapai 29.321 kwintal dengan luas tanam 346 hektar. Selama ini sebagian besar komoditas tersebut lebih banyak dijual dalam bentuk segar, sedangkan potensi pengembangan produk olahan komoditas tersebut cukup besar, terutama saat panen berlimpah, maka diversifikasi

1445

pengolahan produk merupakan salah satu alternatif untuk peningkatan kualitas dan nilai tambah produk. Sebagai upaya untuk pengembangan teknologi pengolahan kentang dan cabai serta untuk peningkatan efektifitas inovasi teknologi, BPTP Jambi berperan dalam pendampingan teknologi dan memfasilitasi serta mendukung kegiatan yang dilakukan oleh petani.

Oleh karena itu makalah ini dibuat bertujuan untuk membahas mengenai Inovasi Teknologi Pertanian di tingkat petani/pedesaan dalam rangka pemberdayaan petani melalui pengembangan teknologi pengolahan sayuran ramah lingkungan dan berkelanjutan di Kabupaten Merangin.

METODE

Kegiatan dilakukan di Kabupaten Merangin Desa Nilo Dingin dan Talang Kawo, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi pada tahun 2010. Kegiatan berupa praktek langsung di lapangan dengan peserta sekitar 30 orang petani pada dua lokasi. Kegiatan lainnya antara lain studi literatur menunjang pengelolaan bahan pangan sayuran yang ramah lingkungan.

Bahan utama yang digunakan antara lain cabai dan kentang, alat memasak, alat bantu lainnya. Kemudian hasil pengolahan di aplikasi oleh petani sebagai konsumsi sendiri. Khusus untuk dodol kentang berkembang dengan baik dan menjadi industri kecil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI KIMIA DAN KANDUNGAN NUTRISI 1. Cabai

Cabai merah kaya akan gizi, mengandung vitamin C dan betakaroten yang merupakan provitamin A. Jumlah kandungan vitamin C pada cabai mengalahkan buah-buahan segar seperti, mangga, nenas, pepaya atau semangka. Kandungan vitamin C pada cabai antara 50-180mg/100 g. Untuk lebih jelasnya kandungan kimia cabai dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Kandungan kimia berbagai jenis cabai/100 g.

Kandungan Kimia Cabai Rawit Cabai Merah Cabai Hijau Energi (kal) 103 31 23 Protein (gram) 4,7 1,0 0,7 Lemak (gram) 2,4 0,3 0,3 Karbohidrat (gram) 19,9 7,3 5,2 Kalsium (mg) 45 29 14 Fosfor (mg) 85 24 23 Vitamin A (SI) 11,05 470 260 Vitamin C (mg) 70 181 84

2. Kentang

Kentang mengandung vitamin dan mineral, serta bermacam-macam phytochemical, seperti karotenoid dan polifenol. Kentang ukuran sedang 150 g (5.3 oz) kentang dengan kulit memberikan 27 mg vitamin C (45% dari Nilai Harian), 620 mg potasium (18% ), 0,2 mg vitamin B6 (10% ) dan melacak jumlah thiamin, riboflavin, folat, niacin, magnesium, fosfor, besi, dan seng. Isi serat kentang dengan kulit (2 g) adalah setara dengan banyak roti gandum, pasta, dan sereal.

Dalam hal gizi, kentang terkenal karena kandungan karbohidrat nya (sekitar 26 gram dalam kentang medium). Bentuk dominan dari karbohidrat ini adalah pati. Sebagian kecil

1446

tapi signifikan pati ini adalah tahan terhadap pencernaan oleh enzim dalam lambung dan usus kecil, sehingga mencapai usus besar dasarnya utuh.

Tabel 2.Kandungan gizi Kentang per 100 g (3.5 oz)

Kandungan gizi Kentang Energi Karbohidrat Pati Diet serat Lemak Protein Air 75 g Thiamine (B1 Vit.) Riboflavin (Vit. B2) Niacin (Vit. B3) Vitamin B6 Vitamin C 20 mg (33%) Kalsium Besi

321 kj (77 kcal) 19 g 15 g 2,2 g 0,1 g 2 g 75 g 0,08 mg (6%) 0,03 mg (2 %) 1,1 mg (7 %) 0,25 mg 20 mg (33%) 12 mg (1%) 1,8 mg (14%)

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAYURAN UTAMA DI KABUPATEN MERANGIN

1. Teknologi Pengolahan Dodol Kentang

Dodol kentang adalah sejenis makanan manis yg terbuat dari campuran tepung ketan, kelapa parut,gula pasir, terigu, garam, vanilie dan kentang yg sudah dihaluskan. Tahapan pembuatan dodol kentang adalah sebagai berikut : Cara Pembuatan:

1. Kentang direbus / dikukus lalu dihaluskan. 2. Kelapa di parut lalu di gongseng. 3. Adonan 1 dan 2 dicampur, lalu masukkan kentang, gula, terigu, vanilie, dan garam. 4. Kemudian masak dengan api kecil, aduk-aduk terus jangan sampai gosong. 5. Tanda dodol sudah masak, adonan berminyak dan tidak lengket. 6. Setelah masak ratakan dalam cetakan yang telah disiapkan dengan tinggi ± 1 cm,

setelah dingin potong-potong lalu di jemur/oven, setelah kering dodol siap untuk dibungkus. Untuk lebih jelasnya proses pembuatan dodol kentang dapat dilihat pada bagan alir

gambar 2. Teknologi Pengolahan Saus Cabai

Saus cabai adalah cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur buah cabai berwarna menarik (merah), mempunyai aroma dan rasa yang merangsang (asam dan pedas). Walaupun, mengandung air dalam jumlah besar, saos mempunyai daya simpan panjang karena mengandung asam, gula, garam, dan natrium benzoat. Proses Pengolahan

1). Sortasi Sortasi (pemilihan) dilakukan untuk memilih cabai merah yang baik, yaitu tingkat kemasakan yang optimal diatas 60%, sehat dan fisiknya mulus (tidak cacat dan tidak busuk)

2). Pembuangan tangkai cabai dan pencucian Cabai dibuang tangkainya dan setelah itu cabai dicuci bersih. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa pestisida yang masih ada, dan kemudian ditiriskan sampai kering.

3). Pengukusan

1447

Cabai merah yang telah dibuang tangkainya dikukus pada suhu sekitar 70-80oC selama 3-5 menit

4). Penyiapan Bumbu Bumbu yang akan digunakan dalam saus cabai dihaluskan terlebih dahulu yaitu bawang putih, garam, merica, dan gula.

5). Penggilingan Bahan-bahan yang sudah dikukus digiling sampai halus dengan blender

6). Penambahan Bahan pengikat Bahan pengikat yang digunakan adalah tepung maizena. Tepung maizena dilarutkan dalam air dengan perbandingan maizena : air = 1 : 3. Bahan tersebut dicampurkan secara merata dengan cabai yang sudah digiling sehingga membentuk bubur cabai.

7). Pemasakan Bubur cabai dipanaskan dan ditambahkan bumbu yang dihaluskan, aduk sambil dipanaskan dengan api sedang sampai mendidih dan mencapai kekentalan yang dikehendaki.

8). Pengemasan Saus cabai dapat dikemas dengan botol plastik atau kaca dan ditutup dengan sealer. Saus cabai disimpan ditempat yang kering dan tidak panas (suhu tidak melebihi 30oC). Daya simpan saus cabai mencapai satu tahun jika dikemas dengan botol plastik. Untuk lebih jelasnya proses pengolahan saus cabai dapat dilihat pada bagan alir

gambar 2.

3. Teknologi pembuatan Tepung Cabai Dalam teknologi pengolahan tepung cabai dilakukan beberapa aspek penting untuk

mendapatkan kualitas yang prima yaitu meliputi: persiapan bahan baku dan mekanisme proses pengolahan yang berkualitas dan aspek keamanan pangan. Proses Pengolahan

1). Sortasi Sortasi (pemilihan) dilakukan untuk memilih cabai merah yang baik, yaitu tingkat

kemasakannya diatas 60%, sehat dan fisiknya mulus (tidak cacat) 2). Pembuangan tangkai cabai dan pencucian

Cabai dibuang tangkainya dan setelah itu cabai dicuci bersih. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan sisa-sisa pestisida yang masih ada, dan kemudian ditiriskan sampai kering.

3). Blansir Tujuan blansir adalah untuk mempercepat waktu pengeringan, mencegah perubahan warna (browning) dan memperpanjang daya simpan, selain itu juga untuk mencegah cabai menjadi keriput dan warna tidak kusam akibat proses pengeringan. Proses pemblansiran adalah sebagai berikut : Penyiapan larutan sulfit panas (0.2%). Untuk 1 kg cabai Kalsium metabisulfit

sebanyak 4 gram yang dilarutkan kedalam 2 liter air bersih. Kemudian larutan ini dipanaskan sampai mendidih. Setelah mendidih, api dikecilkan sekedar menjaga larutan tetap panas (suhu sekitar 90º C)

Pencelupan dalam larutan sulfit panas. Cabai dicelupkan kedalam larutan sulfit panas dan diaduk-aduk selama 6 menit. Setiap 1 kg cabai memerlukan 2 liter larutan sulfit. Setelah itu cabai diangkat dan ditiriskan sampai kering. Larutan ini dapat dipakai berulang-ulang.

4). Pengeringan. Setelah di blansir, cabai segera dikeringkan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara pengeringan buatan dengan oven. Suhu pengeringan diatur tidak melebihi 75ºC, dan yang terbaik adalah 60ºC. Pengeringan dilakukan sampai kadar air telah mencapai sekitar 10%, dimana akan terasa kering jika diremas dengan tangan dan mudah dipatahkan. Cabai kering dapat dikemas dan dipasarkan.

5). Penggilingan.

1448

Cabai kering dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung cabai. Cabai merah yang sudah kering dihaluskan/digiling dengan menggunakan Hammer 1448il atau blender. Dan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan sehingga tingkat kehalusannya merata.

6). Pengemasan Tepung cabai dapat dikemas dengan plastik dan ditutup dengan sealer. Cabai kering dan tepung cabai disimpan ditempat yang kering dan tidak panas.

Untuk lebih jelasnya proses pengolahan tepung cabai dapat dilihat bagan alir pada gambar 3.

Proses Pengolahan Dodol Kentang

Gambar 1. Bagan alir proses pengolahan dodol kentang

Pencucian

Kentang

Digiling halus

Direbus/dikukus

Campur dengan kelapa parut yang sudah digongseng, tepung ketan,

vanilie, gula pasir dan tepung terigu

Ratakan dalam cetakan, Penjemuran/dioven

Pemasakan dengan api kecil, sambil diaduk-

aduk

Pemotongan dan Pengemasan

Dodol Kentang Dalam Kemasan

1449

Proses Pembuatan Saus cabai

Gambar 2. Bagan alir proses pengolahan saus cabai

Cabai Merah

Pengukusan 70-80

0Cselama 3-5 menit

Pencucian

Penggilingan

Penambahan bahan tambahan dan pengadukan

Pemasakan (suhu 80-1000C)

Pembotolan dan Pelabelan

Saus Cabai dalam kemasan

1450

Proses Pengolahan Tepung Cabai

Gambar 3. Bagan alir proses pengolahan saus cabai

POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK PERTANIAN DI KABUPATEN MERANGIN

Pendampingan Teknologi pertama kali dilakukan di Desa Nilo Dingin yang merupakan salah satu desa penghasil kentang di kabupaten Merangin, Kecamatan Lembah Masurai. Wilayah ini oleh pemeritah Provinsi dijadikan salah satu kawasan pengembangan berbagai tanaman hortikultura dataran tinggi spesifik lokasi. Dengan demikian sangat tepat BPTP memberikan kontribusi dalam memberikan dukungan dari inovasi teknologi untuk pengembangan produk hortikulturan di Kabupaten Merangin. Pembuatan dodol kentang telah dilakukan petani setempat sejak lama, akan tetapi dodol kentang yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan. Dodol yang dibuat cepat berjamur dan berbau tengik, sedangkan pembuatannya pun cukup rumit dan melelahkan terutama pada saat proses pengadukan, sehingga dodol kentang yang dihasilkan belum

Penyortiran dan pembuangan tangkai

Cabai Merah

Tepung Cabai

Pemblansiran dalam air hangat Atau dikukus

Pencucian

Penirisan

Pengeringan

Cabe kering

Penggilingan

1451

pernah dijual, hanya untuk konsumsi sendiri. Akan tetapi sejak adanya pendampingan teknologi dari BPTP, saat ini Desa Nilo Dingin sudah mulai memproduksi bahkan sudah ada yang menjual dodol kentang meskipun baru dalam jumlah sedikit. Selain di Desa Nilo Dingin, pembuatan dodol kentang ini juga sudah diikuti oleh desa tetangga, yaitu Desa Sungai Lalang. Sama halnya dengan Desa Nilo Dingin, Desa Sungai Lalang juga sudah memproduksi dodol kentang dan pembuatannya tergantung dari pesanan. Ini membuktikan bahwa potensi pengembangan teknologi dari BPTP telah diserap oleh petani dan telah tersebar. Untuk pendampingan teknologi pembuatan saus cabai dilakukan di DesaTalang kawo, sebagian petani sudah mulai menerapkan teknologi ini meskipun baru sebatas untuk kebutuhan rumah tangga mereka.

KESIMPULAN

Pengembangan teknologi pengolahan sayuran utama (cabai dan kentang ) ramah lingkungan melalui pemberdayaan petani di Kabupaten Merangin adalah pembuatan dodol kentang, saus cabai dan tepung cabai. Perkembangan dan penyebaran teknologi yang telah diserap oleh petani, bahkan dapat menambah penghasilan keluarga serta dijadikan usaha industri skala kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Jambi Dalam Angka. BPS. Jambi

Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan Petani Melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP), Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI). Lingkup BBP2TP.

Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan yang Dikelola oleh Petani (Farmer Managed Extension Activities-FMA).

Departemen Pertanian. 2009. Saus Cabe dan Bubuk Cabe. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Internet. 2013. Kandungan Gizi Kentang. http//eemoo-esprit.blogspot.com

Sudaro, yani dan Dwi Ar Ratriningsih. 1999. Pengeringan Cabai. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Tjiptopranoto, P. 2000. Strategi Diseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

1452

ANALISA MUTU FISIK GABAH LAHAN PASANG SURUT MELALUI PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN

DI TINGKAT PETANI PROVINSI JAMBI

Nur Asni dan Dewi Novalinda

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi 36128

ABSTRAK

Permintaan gabah dan beras berkualitas semakin meningkat seiring dengan tercapainya swasembada pangan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Konsumen menghendaki beras dengan mutu yang bagus dan rasa nasi yang enak, sementara itu produsen menginginkan rendemen beras giling yang tinggi. Hal ini membuat mutu gabah dan beras merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Penerapan prinsip-prinsip Good Handling Practices (GHP) dapat menghasilkan mutu gabah yang tinggi melalui penerapan teknologi, sistem dan cara panen yang tepat, penggunaan mesin perontok, teknologi pengeringan (sinar matahari dan alat pengering), dan teknologi penyimpanan (cara dan lama penyimpanan), dengan tujuan utama meningkatkan kualitas dan menekan susut hasil. Tujuan kegiatan ini adalah : 1)untuk melihat dan mengetahui kualitas gabah yang dihasilkan oleh petani dilahan pasang surut dan 2)mendapatkan gabah yang berkualitas memenuhi standar mutu perdagangan, melalui penerapan teknologi penanganan panen dan pascapanen yang baik dan benar (GHP).Pengkajian dilaksanakan di salah satu daerah sentra produksi padi di lahan pasang surut yaitu Desa Marga Mulya Kecamatan Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada tahun anggaran 2015. Proses pengkajian dilakukan dengan pendekatan melalui penerapan inovasi penanganan pascapanen (teknologi penanganan panen, perontokan dan pengeringan) dengan prinsip-prinsip GHP ditingkat petani sehingga petani dapat menerapkan teknologi di lapangan dan padi yang dihasilkan berkualitas memenuhi standar mutu, mempunyai daya saing, dan susut hasil dapat ditekan. Analisa mutu gabah dihitung dengan menganalisa mutu fisik gabah yang sesuai dengan standar mutu SNI 01-6128-2008. Hasil kajian memperlihatkan bahwa analisa mutu gabah yang dihasilkan dengan cara penanganan GHP memperoleh mutu 1 dengan kadar air gabah 13.9%, gabah hampa 1.4%, butir rusak 0.6%, butir mengapur 1.9%, butir merah 0.6% dan benda asing/kotoran 0.2%. Dari hasil kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan inovasi pascapanen dengan prinsip-prinsip GHP dapat meningkatkan kualitas gabah dilahan pasang surut. Hasil kajian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petani padi, terutama untuk mengatasi permasalahan di lapangan dan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Kata kunci: mutu fisik gabah, lahan pasang surut, penanganan panen dan pascapanen,

peningkatan kualitas, dan menekan susut hasil

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas strategis yang tetap mendapat prioritas utama dalam pembangunan pertanian nasional. Berbagai usaha yang dilakukan untuk peningkatan produksi telah menunjukan hasil nyata dengan tercapainya swasembada beras sejak tahun 1984 yang lalu. Namun demikian peningkatan produksi padi tersebut belum diiringi dengan penanganan panen dan pascapanen yang benar GHP sehingga kehilangan hasil masih tinggi dan kualitas gabah yang dihasilkan oleh petani masih rendah (Setyono, 2010).

Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan daerah sentra produksi padi dengan lahan sawah terluas di Provinsi Jambi yaitu 31.939 hektar dan luas panen 26.109 hektar.

1453

Lahan didominasi oleh lahan rawa pasang surut, dengan produksi 105.350 ton dan produktivitas padi yang dicapai hanya sebesar 4.035 ton/ha (Jambi Dalam Angka, 2015). Kualitas gabah/beras yang dihasilkan dilahan ini sangat rendah, beras berwarna kusam dan kandungan beras patah tinggi, sehingga kurang layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan belum diterapkan teknologi panen dan pascapanen yang tepat sampai ketingkat petani.

Kendala penanganan pascapanen padi yang dihadapi petani dilahan pasang surut adalah : (1) Curah hujan tinggi pada saat panen, (2) Fasilitas penjemuran yang minim dilahan petani, (3) Sarana panen dan pascapanen yang terbatas (4) Tenaga kerja terbatas, dan (5) Pengetahuan petani untuk mempertahankan kualitas gabah/beras terbatas (Sutrisno dkk, 1999 dan Thahir dkk (2003). Dengan demikian proses panen dan pascapanen berlangsung sangat lama dan kualitas gabah kering panen sangat rendah.

Strategi yang dapat ditempuh untuk peningkatan kualitas dan menekan susut hasil padi tersebut dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan teknik pascapanen padi secara tepat (GHP), diantaranya penentuan saat panen yang tepat, menghindari terjadinya penundaan perontokan padi, mengeringkan, menyimpan dan memberaskan, serta meningkatkan mutu hasil panen.

Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak positif terhadap kualitas gabah konsumsi, benih dan beras,sehingga penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan GHP dan Standar Operational Procedure (SOP). Dengan demikian, beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi serta mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono, 2010).

Mutu gabah secara nasional sudah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu Standar Nasional Indonesia SNI 01-6128-2008. Berdasrkan SNI tersebut mutu gabah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelas mutu, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III (Badan Standarisasi Nasional, 2008).

Standar mutu gabah mempunyai hubungan langsung dengan harga jual produk yang dihasilkan. Sekurang-kurangnya standar mutu tersebut memberikan jaminan harga bagi produsen untuk produk yang ditawarkan. Mutu pasar secara objektif lebih ditentukan oleh sifat fisik dan penampakan produk yang dihasilkan, seperti gabah yaitu kadar air, gabah hampa, butir rusak /butir kuning, butir mengapur (gabah muda), butir merah, dan benda asing. Usaha perbaikan dan peningkatan mutu gabah merupakan hal yang harus dilakukan agar tidak terjadi kehilangan hasil, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (penurunan mutu).

Banyak faktor yang menentukan mutu gabah yang sangat erat kaitannya dengan penanganan panen dan pascapanen seperti cara dan umur panen yang tepat, penumpukan gabah, penundaan perontokan padi, penundaan pengeringan, penyimpanan dan pengemasan.

Penanganan pascapanen yang baik dan tepat (GHP) dapat menghasilkan mutu gabah yang tinggi sehingga dapat meningkatkan harga jual gabah petani. Penerapan prinsip-prinsip GHP diantaranya melalui penerapan teknologi, penggunaan mesin perontok, teknologi pengeringan (sinar matahari dan alat pengering), dan teknologi penyimpanan (cara dan lama penyimpanan), dengan tujuan utama meningkatkan kualitas dan menekan susut hasil perlu dilakukan.

Tujuan penelitian adalah 1)untuk melihat dan mengetahui kualitas gabah yang dihasilkan oleh petani dilahan pasang surut dan 2) Mendapatkan gabah yang berkualitas melalui penerapan teknologi penanganan panen dan pascapanen yang baik dan benar (GHP). Hasil kajian diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi petani padi untuk melakukan perubahan perilaku terkait penanganan panen dan pascapanen yang tepat, sehingga gabah yang dihasilkan berkualitas, memiliki nilai tambah dan daya saing.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan didaerah sentra produksi padi lahan pasang surut Desa Marga Mulya, Kecamatan Rantau Rasau, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada bulan Januari – Desember tahun 2015. Analisa mutu gabah yang dihasilkan dilakukan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi.

1454

Penerapan inovasi panen dan pascapanen yang dilakukan sesuai dengan tahapan kegiatan pasca panen padi, dimulai sejak pemungutan hasil (panen) sampai gabah siap untuk disimpan atau digiling. Tahapan tersebut meliputi : panen, perontokan, pengeringan, pembersihan dan pengemasan gabah. Sebagai perlakuan adalah teknologi pascapanen padi yang biasa dilakukan petani (teknologi existing) dan dibandingkan dengan teknologi pascapanen secara GHP (teknologi introduksi). Data yang diamati adalah komponen mutu gabah sesuai dengan standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6128-2008 yaitu kadar air (%), gabah hamba (%), butir rusak+kuning (%), butir mengapur (butir muda)(%), butir merah (%), dan kotoran/benda asing (%). Mutu gabah yang dihasilkan baik dengan teknologi petani maupun teknologi introduksi (GHP) dianalisa dengan cara perhitungan sebagai berikut :

Analisa Mutu Fisik Gabah :

• Timbang 100 g biji gabah • Ukur kadar air gabah (%) dengan alat moisture tester • Pisahkan butir hampa, butir mengapur (butir muda), butir rusak+kuning, butir merah

dan kotoran (benda asing) • Hitung butir hampa dengan rumus: butir hampa = berat butir hampa/100 g x 100% • Hitung butir mengapur (muda) dengan rumus = berat butir mengapur/100 g x 100% • Hitung butir rusak+kuning dengan rumus = berat butir kuning/rusak/100 g x 100% • Hitung butir merah dengan rumus butir merah = berat butir merah/100 g x 100% • Hitung kotoran (benda asing) dengan rumus kotoran = kotoran/100 g x 100% • Isikan kedalam tabel standar mutu SNI 01- 6128 – 2008 (Tabel 1)

Tabel 1. Persyaratan Kuantitatif Mutu Gabah Sesuai SNI 01-6128 – 2008

Komponen Mutu

Mutu

I II III GHP Petani

Kadar air (%maksimum) 14.0 14.0 14.0

Butir hampa (% maksimum) 1.0 2.0 3.0

Butir rusak+butir kuning (% maksimum) 2.0 5.0 7.0

Butir mengapur/gabah muda (% maksi-mum)

1.0 5.0 10.0

Butir merah (% maksimum) 1.0 2.0 10.0

Kotoran/Benda asing (% maksimum) - 0.5 4.0

Panen di mulai pukul 08.00 WIB saat embun telah kering dan kadar air gabah sudah menurun. Panen dengan cara GHP yaitu pada saat matang optimal yang ditandai dengan 90-95% gabah pada malai telah menguning, dan sebagian daun bendera telah mengering. Sampel tanaman adalah petak ubinan (5m x 5m) pada rumpun yang seragam. Alat panen yang digunakan adalah sabit yang tajam (secara manual) dengan cara memotong batang padi bagian atas (potong atas).

Perontokan secara GHP dilakukan segera setelah panen yaitu pada kadar air18-21% Perontokan padi dengan alat power thresher dengan tipe hold-in yaitu memasukkan semua potongan padi langsung kedalam silinder yang berputar. Lokasi untuk perontokan padi dipilih lahan sawah yang rata, tidak bergelombang, tanah dalam kondisi kering dan dialas dengan terpal ukuran minimal 8m x 8m. (Badan litbang Pertanian 2011) Padi yang dirontok adalah padi yang baru dipanen, mempunyai ukuran potongan jerami yang seragam dan belum mengalami penundaan perontokan. Power thresher diletakkan tepat di pinggir alas perontok yang digunakan. Arah keluarnya gabah hasil perontokan harus mengikuti arah

1455

angin yang sedang berembus. Perontokan dilakukan pada putaran 500-600 rpm (putaran silinder perontok per menit).

Teknologi pengeringan dengan cara pengeringan alami yaitu memanfaatkan sinar matahari dengan menerapkan konsep-konsep teknologi pengeringan. Lokasi pengeringan di lahan sawah dan pinggir jalan. Pengeringan menggunakan alas terpal untuk mengurangi terjadinya susut pengeringan. Bahan yang digunakan adalah gabah hasil perontokan. Ketebalan penjemuran 3-5 cm. Pembalikan dilakukan sekali 2 (dua) jam. Pengeringan dianggap sudah selesai bila kadar air gabah sudah mencapai 13-14%.

Gabah hasil pengeringan dibersihkan kembali dengan cara ditampi atau kalau jumlahnya banyak gunakan seed cleaner. Gabah yang telah bersih dimasukan kedalam karungyang telah dilapisi karung plastik. Teknologi panen dan pascapanen padi dengan konsep GHP dan teknologi petani pada lahan pasang surut dapat dilihat Tabel 2.

Tabel 2. Inovasi teknologi panen dan pascapanen padi di lahan pasang surut

No. Tahapan Kegiatan Inovasi Teknologi Teknologi Petani

1. Panen - Umur panen optimal

- Alat panen sabit bergerigi yang tajam

Cara petani Sabit biasa

2. Perontokan Power threser Thresser 3. Pengeringan Alami dg konsep pengeringan Konvensional 4. Pembersihan Gabah tampi tampi 5. Penyimpanan Gabah Pada kadar air 14% dengan kondisi

gabah dan tempat penyimpanan yang memenuhi persyaratan

Cara petani

6. Pengemasan Kemasan kaleng utk benih kemasan ka- rung plastik/goni utk konsumsi /dijual

Karung plastik/goni

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persyaratan kualitatif untuk mutu gabah yang dihasilkan sudah memenuhi standar mutu baik pada perlakuan secara GHP maupun dengan teknologi petani, karena tidak ada bau busuk, asam, atau bau-bau lain, bebas hama penyakit, dan bebas dari bahan kimia. Hal ini sesuai dengan BSN, 2008 yang menyatakan bahwa kualitas gabah sudah memenuhi persyaratan kualitatif bila: 1) bebas hama dan penyakit, 2) bebas bau busuk, asam atau bau-bau asing lainnya, dan 3) bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan, baik secara visual maupun organoleptik.

Mutu fisik gabah yang dihasilkan dengan perlakuan GHP dan cara petani dibandingkan dengan persyaratan kuantitatif mutu gabah sesuai SNI 6128 – 2008 dapat dilihat pada Tabel 3.

1456

Tabel 3. Mutu fisik gabah dengan perlakuan GHP dan cara petani dibandingkan dengan persyaratan kuantitatif mutu gabah sesuai SNI 6128 – 2008

Komponen Mutu

Mutu

I II III GHP Cara Petani

Kadar air (%maksimum) 14.0 14.0 14.0 13.9 16.7

Butir hampa (% maksimum) 1.0 2.0 3.0 1.4 6.3

Butir rusak+butir kuning (% maksimum) 2.0 5.0 7.0 0.6 9.8

Butir mengapur/gabah muda (% maks) 1.0 5.0 10.0 1.9 13.4

Butir merah (% maksimum) 1.0 2.0 10.0 0.6 11.1

Benda asing (% maksimum) - 0.5 4.0 0.2 8.9

Mutu fisik gabah yang dihasilkan dengan menerapkan prinsip-prinsip GHP sudah memenuhi standar mutu SNI 01-6128-2008 kualitas I/mutu I. Standar mutu fisik gabah ini tercapai karena semua prinsip-prinsip GHP diterapkan pada perlakuan ini. Sedangkan pada perlakuan petani mutu fisik gabah belum memenuhi standar mutu SNI 01-6128-2008, baik mutu I, mutu II, maupun mutu III, karena pada teknologi petani masih belum memperhatikan penanganan panen dan pascapanen yang baik dan benar.

Salah satu komponen mutu gabah untuk persyaratan kuantitatif SNI adalah kadar air. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air gabah yang dihasilkan pada perlakuan GHP adalah 13.9% kadar air ini sudah memenuhi persyaratan mutu SNI. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan secara GHP pengeringan dilakukan dengan ketebalan 3-5cm dan pembalikan sekali 2 jam, sehingga gabah sudah mencapai kadar air sekitar 14 % pada hari ketiga. Pada perlakuan cara petani kadar air yang diperoleh lebih tinggi lagi yaitu 16.7%, sehingga tidak memenuhi persyaratan mutu SNI. Hal ini disebabkan pengeringan gabah dengan cara petani tidak memperhatikan prinsip-prinsip GHP seperti ketebalan penjemuran bervariasi/tidak tentu ada yang 8-10 cm bahkan lebih dengan kapasitas padi yang bervariasi pula sekitar 600-800 kg tergantung jumlah padi yang diperoleh. Pembalikan gabah pada saat penjemuran hanya dilakukan 3 kali sehari. Dengan perlakuan tersebut pengeringan/ penjemuran dengan cara petani membutuhkan waktu yang lebih lama (sekitar 5-6 hari). Penjemuran tanpa memperhatikan ketebalan penjemuran, frekuensi pembalikan gabah dan alas jemur, dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas gabah (Nugraha dkk, 1995 dan Thahir dkk, 2003).

Menurut Nugraha dkk (1995) pada tahapan penjemuran hal-hal yang harus diperhatikan adalah : 1) Alas penjemuran terpal plastik berukuran 6m x 6m untuk kapasitas penjemuran 450 kg; 2) tebal penjemuran 3 cm; 3)lama penjemuran 2 (dua) hari; 4) dibalik sambil dibersihkan kotorannya setiap 2(dua) jam sekali.Pengeringan sampai kadar air 14%, kemudian gabah diistirahatkan satu malam, kemudian langsung digiling atau dike-mas dalam karung plastik yang diikat serta disimpan ditempat kering dialas rak-rak kayu.

Butir hampa dan butir mengapur juga merupakan komponen mutu gabah pada persyaratan kuantitatif SNI 01-6128-2008. Penentuan umur panen yang tepat pada kondisi matang optimum, sangat mempengaruhi mutu gabah, dalam hal ini butir hampa dan butir mengapur/muda. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa dengan menerapkan prinsip-prinsip GHP butir hampa dan butir mengapur/butir muda yang diperoleh cukup rendah yaitu masing-masing 1.4% dan 1.9%, sehingga memenuhi mutu I SNI 01-6128-2008. Hal ini dapat diperoleh karena panen padi dilakukan pada kondisi matang optimum yaitu stadia tertentu dalam perkembangan buah dimana semua syarat proses kematangan terpenuhi secara sempurna (Kamil, 1979). Pada kondisi ini gabah sudah matang dengan sempurna, sehingga butir hampa, butir mengapur/butir muda hampir tidak ada atau sedikit.

Umur panen yang tepat ditentukan melalui beberapa cara yaitu : 1) Berdasarkan umur varietas pada deskripsi; 2) Kadar air gabah berkisar antar 22-26 % (Damardjati dkk, 1981); 3) Pada saat malai berumur 30-35 hari (Rumiati dan Soemardi, 1982 dan Damardjati dkk,1981); 4) Jika 90-95% gabah pada malai telah menguning, dan

1457

sebagian daun bendera telah mengering (Nugraha dkk, 1994 dan Damardjati dkk, 1981); dan 5) Kerontokan gabah sekitar 25-30%, diukur dengan cara meremas malai dengan tangan (Damardjati dkk, 1981). Pada kegiatan ini kelima cara tersebut dilakukan (panen pada kadar air 23%, 94% malai telah menguning, dan umur panen sesuai deskripsi). Menurut Almera dalam Setyono, A (2010) jika pemanenan padi dilakukan pada saat matang optimum maka kehilangan hasil hanya 3.35 %, sedangkan panen setelah lewat matang 1 dan 2 minggu menyebabkan kehilangan hasil berturut-turut 5.63% dan 8.64 %.

Pada perlakuan dengan cara petani, panen dilakukan seminggu sebelum matang optimal dimana kadar air masih tinggi (KA 28%), butir hampa dan butir mengapur/butir muda masih banyak yaitu masing-masing 6.3% dan 13.4%.Hal ini disebabkan karena gabah masih belum matang dengan sempurna. Menurut Damarjati dkk(1981) padi yang dipanen sebelum matang optimum akan menghasilkan gabah dengan kualitas yang rendah karena mengandung butir muda/butir mengapur dan butir hampa yang tinggi, bila padi pada kondisi tersebut digiling akan menghasilkan rendemen giling yang rendah dan dedak yang lebih banyak.

Butir rusak dan butir kuning sangat mempengaruhi mutu gabah. Butir rusak/butir kuning pada perlakuan teknologi petani sangat tinggi yaitu mencapai 9.8%, hal ini disebabkan karena pada teknologi petani sering terjadi penundaan proses perontokan, karena menunggu giliran mesin perontok. Tertundanya proses perontokan padi dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada gabah. Hasil penelitian Nugraha dkk (1999) keterlambatan perontokan padi dapat menyebabkan penurunan mutu karena butir rusak sekitar 5%. Jastra dkk (1982) menyatakan terlambat merontok sampai 15 hari menyebabkan butir kuning mendekati 3% dan butir rusak diatas 35%.

Komponen mutu yang juga mempengaruhi mutu gabah adalah Jumlah kotoran/ benda asing. Kotoran yang ditemukan dalam gabah dengan cara petani cukup tinggi yaitu sekitar 8.9%, hal ini diduga karena alas plastik yang digunakan oleh petani untuk penjemuran berukuran lebih kecil bahkan sudah sobek disana sini, sehingga banyak gabah yang tercecer dan tercampur dengan kotoran/benda asing. Disamping itu pada saat perontokan alas yang digunakan juga berukuran kecil sehingga banyak gabah yang keluar dari alas dan tercampur dengan kotoran. Sedangkan dengan cara GHP jumlah kotoran sangat sedikit yaitu 0.2 %, karena pada perlakuan GHP baik pada waktu perontokan maupun pengeringan digunakan alas terpal yang ukurannya minimum 8m x 8m untuk mencegah gabah tercecer.

KESIMPULAN

1. Inovasi panen dan pascapanen padi spesifik lokasi lahan pasang surut dapat

meningkatkan kualitas gabah dengan menerapkan prinsip-prinsip GHP . 2. Mutu gabah yang dihasilkan dengan menerapkan prinsip-prinsip GHP memenuhi standar

mutu SNI 01-6128-2008 yaitu memperoleh mutu I, dengan kadar air gabah 13.9%, butir hampa 1.4%, butir rusak 0.6%, butir mengapur 1.9%, butir merah 0.6% dan benda asing/kotoran 0.2%.

3. Mutu gabah yang dihasilkan dengan cara panen dan pascapanen yang biasa dilakukan petani belum memenuhi standar mutu SNI 01-6128-2008 baik mutu I, 16mutu II, dan mutu III, dengan kadar air 16.7 %, butir hampa 6.3%, butir rusak 9.8%, butir mengapur 13.4%, butir merah 11.1%, dan benda asing/kotoran 8.9%.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2011. Panduan Umum Pengukuran Susut Pascapanen Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. ISBN : 978-602-8218-99-3.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. Standar Mutu Gabah SNI 01-6128-2008. Jakarta

1458

Damardjati, D.S., H. Suseno, dan S. Wijandi. 1981. Penentuan Umur Panen Optimum Padi sawah (Oryza Sativa L). Penelitian pertanian 1 : 19 – 26.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2008. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman dan Hortikultura Provinsi Jambi 2007. Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi.

Jambi Dalam Angka. 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi.

Jastra, Y., Marzempi, dan Artuti. 1982. Pengaruh lama penumpukan dan besar tumpukan padi sawah terhadap mutu beras. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Sukarami.

Kamil, Jurnalis. 1979. Teknologi Benih. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang Indonesia.

Nugraha, S., A. Setyono, dan R. Tahir. 1994. Studi Optimasi Sistem Pemanenan Padi untuk Menekan Kehilangan Hasil. Reflektor 7(1-2) : 4-10.

Nugraha, S., A. Setyono, dan R. Tahir. 1995. Perbaikan Sistem Panen Dalam Usaha Menekan Kehilangan Hasil Padi. hlm. 863-874. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Kinerja Penelitian Tanaman pangan. Buku III. Pusat Penelitian Tanaman pangan Bogor.

Nugraha, S., Sudaryono, R. Rachmat dan S. Lubis. 1999. Pengaruh keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan dan mutu hasil. Seminar Ilmu Pertanian Wilayah Barat. Univ. Sriwijaya. Palembang, 20-21 ktober 1999.

Rumiati dan Soemardi. 1982. Evaluasi Hasil Penelitian Peningkatan Mutu Padi dan Palawija. Risalah Tanaman Pangan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Setyono, A. 2010. Perbaikan Teknologi Pascapanen Dalam Upaya Menekan Kehilangan Ha-sil Padi. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3). 2010 : 212-226. Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 26 November 2009 di Bogor.

Suismono. 2001. Mutu dan Standar Mutu Hasil Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Penanganan Pascapanen Komoditas Pertanian, Tanggal 10-24 September 2001. Badan Litbang Pertanian, Jakarta

Sutrisno, Astanto dan E. E. Ananto. 1999. Pengaruh cara pengeringan gabah terhadap rendemen dan mutu beras di lahan Pasang Surut. Laporan Proyek Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumsel.

Tahir, R., Nugraha, S., Hadipernata, M. 2003. Perbaikan penanganan pasca panen padi untuk meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. Temu APTEK BPTP Jambi.

1459

KONTAMINASI JAMUR ASPERGILUS SP. PADA BERBAGAI VARIETAS BENIH KACANG TANAH SELAMA PENYIMPANAN Contamination Aspergillus sp. on Different Varieties of Peanut Seeds

During Storage

Wilda Mikasari, Taufik Hidayat, dan Hertina Artanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu 38119

ABSTRAK

Salah satu penyebab kerusakan pada kacang tanah adalah kontaminasi jamur selama penyimpanan. Jamur Aspergillus sp. pada biji-bijian dapat mengakibatkan penurunan daya kecambah, perubahan warna, kenaikan suhu dan kelembaban. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kontaminasi jamur Aspergillus sp. pada beberapa varietas benih kacang tanah selama penyimpanan dengan suhu tempat penyimpanan yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu pada bulan Mei-Oktober 2015. Penelitian dilakukan terhadap 4 varietas kacang tanah yaitu Talam, Tuban, Kancil, dan Lokal yang ditanam pada lahan suboptimal. Pengujian menggunakan metode blotter test yaitu benih ditumbuhkan dalam cawan petri yang dialasi kertas saring kemudian diinkubasi selama 7 hari. Perlakuan dalam pengkajian ini yaitu benih disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin, selanjutnya diamati persentase benih berkecambah dan persentase infeksi jamur setiap hari sampai 7 hari. Sebelum benih ditumbuhkan dalam cawan petri dicek terlebih dahulu kadar air benih. Masing-masing varietas diulang sebanyak 4 ulangan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kontaminasi jamur Aspergillus sp. paling tinggi pada benih yang disimpan selama 6 bulan terdapat pada varietas Lokal disimpan pada suhu ruang dan Talam disimpan pada suhu dingin. Kadar air benih mempengaruhi laju pertumbuhan jamur Aspergillus sp. Adanya kontaminasi jamur Aspergillus sp. dapat menyebabkan penurunan daya perkecambahan benih.

Kata kunci : Aspergillus sp., kacang tanah, penyimpanan

PENDAHULUAN

Kacang tanah (Arachis hypogeae) adalah komoditas pertanian yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Kacang tanah merupakan tanaman palawija yang menempati urutan ketiga setelah jagung dan kedelai. Di Indonesia, produksi kacang tanah Kacang tanah (Arachis hypogeae) adalah komoditas pertanian yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Kacang tanah merupakan tanaman palawija yang menempati urutan ketiga setelah jagung dan kedelai. Di Indonesia, produksi kacang tanah pada tahun 2014 mencapai 638.258 ton (BPS, 2015). Kacang tanah memiliki kelemahan yaitu mudah terinfeksi jamur toksigenik yang kemudian berkembang memproduksi mikotoksin. Menurut Bahri (2001) kacang tanah merupakan salah satu substrat yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai kapang atau jamur diantaranya yaitu Aspergillus flavus. Kacang tanah memiliki kelemahan sehingga manfaatnya menjadi kurang optimal jika tidak di tangani dengan baik. Salah satu kelemahan kacang tanah adalah mudah terinfeksi jamur toksigenik yang kemudian berkembang memproduksi mikotoksin (Muhilal dan Karyadi, 1985). Di Indonesia kacang tanah banyak ditanam di lahan kering pada akhir musim hujan dan musim kemarau. Pada kondisi tersebut pertanaman kacang tanah akan mengalami cekaman kekeringan pada stadia reproduktif dan sekaligus cekaman suhu, sehingga memiliki peluang besar untuk terinfeksi Aspergillus flavus dan terkontaminasi aflatoksin. Infeksi Aspergillus flavus pada pertanaman kacang tanah di lapang, benih kacang dipenyimpanan,

1460

benih di pasaran dan biji konsumsi terjadi dengan tingkat serangan sekitar 60% - 80%. Batas maksimum kandungan aflatoksin dalam kacang tanah dan produk olahannya adalah 15 µg/kg (ppb) untuk aflatoksin B1 atau 20 µg/kg untuk total aflatoksin (BSN, 2009). Aflatoksin berasal dari kata Aspergillus flavus toksin. Aspergillus sp. adalah jamur penghasil mikotoksin yang dikenal dengan aflatoksin. Aspergillussp. biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab. Umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna biru untuk B dan warna hijau untuk G. Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1 bersifat karsinogenik (pemicu kanker), hepatoksik (racun hati), dan mutagenik (pemicu mutasi gen) bagi manusia, mamalia, dan unggas. Mikotoksin yang umum mencemari biji-bijian adalah aflatoksin. Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi (Adisarwanto, 2000). Jamur Aspergillus sp.pada biji-bijian yang disimpan dapat mengakibatkan penurunan daya kecambah bahan, perubahan warna bahan, kenaikan suhu dan kelembapan di dalam bahan, perubahan susunan kimia di dalam bahan dan produksi dan akumulasi mikotoksin didalam bahan (Sutjiati dan Saenong, 2002).

Aflatoksin adalah jenis toksin yang bersifat karsinogenik. Menurut Roy (2008) aflatoksin dapat mengakibatkan keracunan dengan gejala mual dan muntah, dan bila berlangsung lama penyakit yang timbul adalah kanker hati dan berakibat meninggal dunia dan apabila seseorang mengkonsumsi bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin konsentrasi rendah secara terus-menerus, maka hal itu dapat merusak hati serta menurunkan sistem kekebalan pada tubuh. Aspergillus flavus merupakan jamur yang biasa tumbuh pada hasil panen yang mengandung minyak, misalnya kacang-kacangan, jagung, cabe, biji kapas dan serealia (Supardi, 1999). Fenomena tersebut membuka peluang untuk melakukan penelitian mengenai kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. pada beberapa varietas benih kacang tanah selama penyimpanan dengan suhu tempat penyimpanan yang berbeda.

BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen BPTP Bengkuludan Laboratorium Proteksi Jurusan Proteksi Universitas Bengkulu pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2015. Bahan-bahan yang digunakan yaitu 4 varietas kacang tanah yakni varietas Talam, Tuban, Kancil dan Lokal hasil penangkaran benih di lahan sub optimal desa Pasar Pedati Kabupaten Bengkulu Tengah terlebih dahulu dibersihkan dan dikupas. Pengkajian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen BPTP Bengkuludan Laboratorium Proteksi Jurusan Proteksi Universitas Bengkulu pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2015. Bahan-bahan yang digunakan yaitu 4 varietas kacang tanah yakni varietas Talam, Tuban, Kancil dan Lokal hasil penangkaran benih di lahan sub optimal desa Pasar Pedati Kabupaten Bengkulu Tengah terlebih dahulu dibersihkan dan dikupas. Sebelum disimpan, benih dikeringkan terlebih dahulu hingga mencapai kadar air ±10%. Benih 4 varietas kacang tanah dikemas dalam kemasan plastik tertutup dan disimpan pada suhu ruang (32-35oC) dan suhu dingin (16-20oC), air steril, kertas saring, dan plastik. Sedangkan, alat-alat yang digunakan yaitu cawan petri, gelas benda, deck gelas, pinset, pipet, mikroskop, jarum ose, grain moisture texture, termometer, lemari pendingin, sealer. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) secara faktorial. Faktor pertama adalah varietas kacang tanah (Talam, Tuban, Kancil dan Lokal), faktor kedua adalah suhu penyimpanan (suhu ruang dan suhu dingin). Penyimpanan dilakukan selama 6 bulan dan setiap bulan dilakukan blotter test. Blotter Test Sebanyak 10 butir benih kacang tanah pada setiap varietas ditumbuhkan di dalam cawan petri yang dialasi dengan kertas saring. Kertas saring terlebih dahulu dilembabkan menggunakan air steril. Pada setiap perlakuan penyimpanan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali setiap varietasnya (AOAC, 2005).

1461

Parameter Pengamatan Pengamatan awal dilakukan pada saat sebelum disimpan (bulan ke-0), penyimpanan bulan pertama sampai bulan keenam pada setiap perlakuan. Selanjutnya, pada masa inkubasi selama 7 hari dilakukan pengamatan banyaknya benih berkecambah dan banyaknya benih terinfeksi jamur setiap harinya. Persentase kontaminasi jamur Aspergillus sp. dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan : P = Persentase benih yang ditumbuhi jamur A = Jumlah benih yang ditumbuhi jamur B = Jumlah benih yang diamati (sampel) Persentase benih berkecambah dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan : K = Persentase benih yang berkecambah a = Jumlah benih yang berkecambah b = Jumlah benih yang diamati Identifikasi Jamur Identifikasi jamur dilakukan melalui pengamatan warna koloni dan pengamatan secara mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 10X. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar air benih, daya kecambah benih dan kontaminasi benih terhadap Aspergillus sp. analisis data menggunakan analisis of varian one way atau two way dengan software SPSS 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air Hasil pengukuran terhadap kadar air bahan berbagai varietas kacang tanah selama

penyimpanan baik yang disimpan pada suhu ruang (Gambar 1a) maupun pada suhu dingin (Gambar 1b) selama 6 bulan penyimpanan terjadi kenaikan. Kenaikan kadar air menunjukkan bahwa benih memiliki sifat higroskopis yang memungkinkan selalu mengadakan keseimbangan dengan udara disekitarnya. Kadar air sebelum benih disimpan lebih rendah daripada kadar air setelah benih disimpan. Menurut Syamsidin (1984) kenaikan kadar air benih selama masa penyimpanan akan berubah sesuai dengan lengas dan suhu ruang penyimpanan sehingga akan mencapai kadar air yang seimbang dengan udara sekitar dan akan mengalami penurunan bila penyimpanan dilanjutkan dalam waktu yang lama.

1462

Gambar 1a. Grafik kadar air berbagai varietas kacang tanah selama penyimpanan pada suhu ruang.

Gambar 1b. Grafik kadar air berbagai varietas kacang tanah selama penyimpanan pada suhu dingin.

Perubahan kadar air masing-masing varietas baik Talam, Tuban, Kancil maupun Lokal selama 5 bulan penyimpanan hampir sama. Kenaikan kadar air secara signifikan terjadi pada bulan pertama dan kedua sedangkan pada bulan berikutnya hampir konstan. Peningkatan kadar air selama penyimpanan di suhu ruang lebih tinggi dibandingkan peningkatan kadar air pada suhu dingin. Pada empat varietas benih kacang tanah yang disimpan pada kantong plastik sampai dengan 5 bulan menunjukkan peningkatan kadar air. Sebelum penyimpanan antara 9 – 10% dan setelah penyimpanan pada suhu ruang naik mencapai 14%, sementara yang disimpan pada suhu dingin hanya naik menjadi 12%. Peningkatan kadar air benih tersebut dapat disebabkan adanya kelembaban relatif ruang penyimpanan.

Penyimpanan benih kacang tanah sampai masa penyimpanan 3 bulan, kadar air benih akan mengalami kenaikan, sedangkan penyimpanan benih sampai 9 bulan akan mengalami penurunan. Kadar air merupakan faktor utama perkembangan jamur Aspergillus sp. Dalam penyimpanan Aspergillus flavus akan tumbuh dan menghasilkan aflatoksin pada penyimpanan kacang tanah dengan kadar air yang mencukupi untuk tumbuhnya jamur (Wilson, 1995).

Tingkat Infeksi Jamur Aspergillus sp. Hasil pengamatan infeksi jamur Aspergillus sp. pada biji kacang tanah selama 6 bulan

penyimpanan menunjukkan bahwa semakin lama benih disimpan maka tingkat infeksi jamur semakin tinggi baik yang disimpan pada suhu dingin maupun suhu ruang. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kenaikan kadar air benih selama penyimpanan, kondisi lingkungan penyimpanan dan kandungan karbo/glukosa dalam benih.

Gambar 2a. Grafik persentase berbagai varietas benih kacang tanah terkontaminasi jamur Aspergillus sp. selama penyimpanan suhu dingin

Gambar 2b. Grafik persentase berbagai varietas benih kacang tanah terkontaminasi jamur Aspergillus sp. selama penyimpanan suhu ruang

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V VI

Ben

ih t

eri

nfe

ksi j

amu

r (%

)

Penyimpanan bulan ke-

TalamTubanKancilLokal

0

2

4

6

8

10

12

14

0 1 2 3 4 5

Kad

ar A

ir (

%)

Penyimpanan Bulan ke-

Talam

Tuban

Kancil

Lokal

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V VI

Ben

ih t

eri

nfe

ksi j

amu

r (%

)

Penyimpanan bulan ke-

Talam

Tuban

Kancil

0

5

10

15

0 1 2 3 4 5

Kad

ar A

ir (

%)

Penyimpanan Bulan ke-

Talam

Tuban

Kancil

Lokal

1463

Kontaminasi jamur Aspergilus sp. beberapa varietas kacang tanah selama

penyimpanan pada suhu ruang lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu dingin. Varietas benih kacang tanah yang disimpan pada suhu dingin paling cepat terinfeksi 100% yaitu Talam. Varietas ini terinfeksi 100% pada lama penyimpanan 4 bulan. Sedangkan pada penyimpanan suhu ruang adalah varietas Kancil dan Lokal pada lama penyimpanan 5 bulan. Perkembangan jamur Aspergillus sp. pada benih yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu dingin. Hal ini disebabkan suhu dingin dapat menekan perkembangan jamur yang tumbuh pada benih kacang tanah.

Daya Tumbuh Benih Kacang Tanah Grafik 3a dan 3b menggambarkan persentase perkecambahan benih kacang tanah selama 6 bulan penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin, terlihat bahwa semakin lama benih disimpan maka daya tumbuh benih semakin rendah.

Grafik 3a dan 3b menggambarkan persentase perkecambahan benih kacang tanah selama 6 bulan penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin, terlihat bahwa semakin lama benih disimpan maka daya tumbuh benih semakin rendah. Menurut Sutjiati dan Saenong (2002) jamur Aspergillus sp.pada biji-bijian yang disimpan dapat mengakibatkan penurunan daya kecambah bahan, perubahan warna bahan, kenaikan suhu dan kelembapan di dalam bahan, perubahan susunan kimia di dalam bahan dan produksi dan akumulasi mikotoksin didalam bahan.

Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kadar Air, Kontaminasi Jamur Aspergillus sp. dan Daya Tumbuh Benih

Berdasarkan Tabel 1 kenaikan kadar air bahan selama penyimpanan pada suhu ruang cenderung kurang stabil. Hal ini terlihat pada bulan pertama dan kedua berbeda nyata sementara pada bulan kedua dan ketiga tidak berbeda nyata, kemudian di bulan ke 3 sampai bulan kelima sangat berbeda nyata. Pada suhu dingin terlihat cenderung lebih cepat stabil dimana pada bulan pertama dan kedua berbeda nyata dan berbeda sangat nyata dengan bulan ketiga sedangkan bulan ketiga dan seterusnya tidak berbeda nyata. Kenaikan kadar air bahan selama awal penyimpanan terjadi karena benih memiliki sifat higroskopis yang memungkinkan selalu mengadakan keseimbangan dengan udara disekitarnya.

Gambar 3a. Grafik persentase daya tumbuh benih kacang tanah selama penyimpanan suhu ruang.

Gambar 3b. Grafik persentase daya tumbuh benih kacang tanah selama penyimpanan suhu dingin.

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V VI

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

Penyimpanan bulan ke-

Talam

Tuban

Kancil

Lokal

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV V VI

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

Penyimpanan bulan ke-

Talam

Tuban

Kancil

Lokal

1464

Tabel 1. Pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar air, kontaminasi jamur Aspergillus sp. dan daya kecambah benih kacang tanah

Lama Penyimpanan Kadar air

(%) Kontaminasi Jamur Aspergillus sp. (%)

Daya Tumbuh Benih (%)

Suhu Ruang 1 Bulan 9,98 a 76,88 a 100,00 a 2 Bulan 11,80 b 91,26 b 96,25 ab 3 Bulan 13,20 c 93,13 b 93,13 bc 4 Bulan 13,32 c 95,31 bc 90,63 cd 5 Bulan 13,71 d 96,88 bc 86,88 de 6 Bulan 14,20 e 100,00 c 84,38 e

Suhu Dingin 1 Bulan 9,98 a 55,63 a 98,13 a 2 Bulan 11,14 b 77,50 b 97,50 b 3 Bulan 11,36 b 86,88 bc 96,25 b 4 Bulan 11,72 c 91,25 cd 92,81 c 5 Bulan 11,89 c 96,25 cd 90,63 c 6 Bulan 12,08 c 100,00 d 83,75 c

* Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kontaminasi jamur Aspergillus sp. pada suhu ruang cenderung sangat signifikan

dibulan pertama penyimpanan dibanding dengan penyimpanan suhu dingin. Sementara daya tumbuh benih kacang tanah yang disimpan pada suhu dingin sampai dengan lima bulan penyimpanan lebih tinggi dibanding penyimpanan pada suhu ruang. Oleh karena itu, sebaiknya benih tidak disimpan dalam waktu yang cukup lama karena selama penyimpanan benih dapat mengalami perubahan secara fisiologis dan mendapat gangguan dari organisme perusak misalnya jamur.

Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Kadar Air, Kontaminasi Jamur Aspergillus sp. dan Daya Tumbuh Benih Berdasarkan Tabel 2 benih varietas Kancil yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin selama 6 bulan memiliki kadar air tertinggi. Hal ini berarti bahwa varietas kancil memiliki sifat higroskopis yang tinggi terhadap kelembapan lingkungan. Persentase kontaminasi benih tertinggi terdapat pada varietas Lokal yang disimpan pada suhu ruang sedangkan pada penyimpanan suhu dingin kontaminasi tertinggi terdapat pada varietas Talam. Perkecambahan benih tertinggi terdapat pada varietas Talam yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin selama 6 bulan penyimpanan.

Tabel 2. Persentase kadar air, kontaminasi jamur Aspergillus sp. dan daya kecambah benih pada empat varietas kacang tanah pada suhu penyimpanan yang berbeda selama 6 bulan penyimpanan

Varietas Kadar air

(%)

Kontaminasi Jamur

Aspergillus sp. (%)

Daya Tumbuh/

Perkecambahan (%)

Suhu Ruang

Talam 12,62 a 89,58 a 95,00 a

Tuban 12,70 a 89,79 a 93,75 b

Kancil 12,77 a 92,71 ab 86,04 b

Lokal 12,71 a 96,88 b 92,71 b

Suhu Dingin

Talam 11,31 a 90,00 a 95,42 a

Tuban 11,25 a 79,38 a 93,13 b

Kancil 11,57 a 83,96 a 89,38 b

Lokal 11,30 a 85,00 a 94,79 b

* Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

1465

Benih kacang tanah varietas Talam dapat direkomendasikan karena tingkat

kontaminasi jamur lebih rendah dan daya tumbuh/kecambah paling tinggi dibandingkan dengan tiga varietas lainnya yang disimpan selama 6 bulan. Secara scatter plot hubungan antara kadar air dengan kontaminasi jamur Aspergillus sp. baik pada penyimpanan suhu ruang maupun pada penyimpanan suhu dingin terlihat bahwa semakin tinggi kadar air benih selama penyimpanan maka tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. semakin tinggi. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kadar air benih kacang tanah selama penyimpanan maka tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. pun semakin rendah. Benih kacang tanah varietas Talam dapat direkomendasikan karena tingkat kontaminasi jamur lebih rendah dan daya tumbuh/kecambah paling tinggi dibandingkan dengan tiga varietas lainnya yang disimpan selama 6 bulan. Secara scatter Hubungan Kadar Air dengan Kontaminasi Jamur Aspergillus sp. dan Daya Tumbuh Benih Kacang Tanah pada Berbagai Suhu Penyimpanan

Nilai R2 = 0,5406 dengan persamaan linear y = 5,0743x + 27,792 pada penyimpanan suhu ruang menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara persentase kadar air dengan persentase tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. lebih kuat dibanding dengan penyimpanan pada suhu dingin dimana R2 = 0,7934 dengan persamaan linear y = 20,099x + (-143,75). Keeratan hubungan antara persentase kadar air dengan persentase kontaminasi jamur Aspergillus sp. belum terlalu kuat karena R2 masih diatas 0,5. Nilai R2 semakin mendekati angka 0 maka keertan hubungannya semakin erat.

Sementara hubungan antara kadar air terhadap daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah selama penyimpanan pada suhu ruang maupun suhu dingin terlihat bahwa semakin tinggi kadar air benih maka daya tumbuh/kecambah benih semakin rendah. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kadar air benih kacang tanah maka daya tumbuhnya semakin tinggi.

Gambar 5a. Grafik hubungan antara kadar

air dengan daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah.pada suhu ruang

Gambar 5b. Grafik hubungan antara kadar air dengan daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah pada suhu dingin

Gambar 4a. Grafik hubungan antara kadar air dengan kontaminasi jamur Aspergillus sp. benih kacang tanah pada suhu ruang

Gambar 4b. Grafik hubungan antara kadar air dengan kontaminasi jamur Aspergillus sp. benih kacang tanah pada suhu dingin

y = 20.099x - 143.75

R² = 0.7934

0

20

40

60

80

100

120

0 10 20Ko

nta

min

asi A

sper

gillu

s SP

(%

)

Kadar Air (%)

%Kontaminasi

Linear (%Kontaminasi)

y = 5.0743x + 27.792 R² = 0.5406

0

20

40

60

80

100

120

0 5 10 15

Ko

nta

min

asi A

sper

gillu

s SP

(%

)

Kadar Air (%)

y = -3.5315x + 136.73 R² = 0.5638

0

20

40

60

80

100

120

0 5 10 15

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

Kadar Air (%)

y = -6.1475x + 162.91

R² = 0.5224

0

20

40

60

80

100

120

0 10 20

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

Kadar Air (%)

% Tumbuh

1466

Dengan nilai R2 = 0,5638 pada penyimpanan suhu ruang dan R2 = 0,5224 pada

penyimpanan suhu dingin menunjukan bahwa ada keeratan hubungan antara persentase kadar air dengan persentase daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah.

Hubungan antara tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. dengan daya tumbuh benih kacang tanah pada penyimpanan suhu ruang maupun pada suhu dingin seperti yang terlihat pada Gambar 6 diatas bahwa semakin tinggi kontaminasi jamur Aspergillus sp. maka daya tumbuh benih kacang tanah semakin rendah, demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. maka semakin daya tumbuh benih semakin tinggi. Dengan nilai R2 = 0,3544 pada suhu ruang dan R2 = 0,3291 pada suhu dingin menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kontaminasi jamur Aspergillus sp. dengan daya tumbuh/kecambah sangat kuat.

Hubungan Kadar Air dengan Kontaminasi Jamur Aspergillus sp. dan Daya Tumbuh Benih Kacang Tanah pada Berbagai Suhu Penyimpanan

Gambar 6a. Grafik hubungan antara kontaminasi jamur Aspergillus sp. dengan daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah pada suhu ruang

Gambar 6b. Grafik hubungan antara kontaminasi jamur Aspergillus sp. dengan daya tumbuh/kecambah benih kacang tanah suhu dingin

Penyimpanan pada suhu dingin benih kacang tanah lebih baik dibanding penyimpanan suhu ruang. Agar benih tidak menurun viabilitasnya dan sedikit kontaminannya maka perlu dilakukan pengeringan sebelum disimpan. Penyimpanan pada suhu dingin benih kacang tanah lebih baik dibanding

penyimpanan suhu ruang. Agar benih tidak menurun viabilitasnya dan sedikit kontaminannya maka perlu dilakukan pengeringan sebelum disimpan. Pengeringan adalah usaha menurunkan kadar air susut bahan sampai kadar air keseimbangan dengan kondisi udara pengering atau sampai tingkat kadar air yang aman untuk disimpan (Syarief, 1997).

Penurunan kadar air ini dilakukan sehubungan benih akan disimpan, baik itu dalam hitungan hari, bulan atau tahun. Menurut Syarief (1997), pengeringan benih kacang tanah sebaiknya sampai kadar air tidak lebih dari 6% jika akan mempertahankan mutunya. Pada tingkat kadar air seperti tersebut di atas benih akan dapat mempertahankan viabilitasnya sampai beberapa waktu simpan sebelum ditanam kembali. Kadar air produk tanaman yang akan disimpan untuk beberapa waktu bagi keperluan yang akan datang harus diturunkan sampai batas-batas tertentu. Yang dimaksud dengan batas-batas tertentu yaitu batas-batas agar jangan sampai terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap benih selama benih tersebut dalam penyimpanan karena benih merupakan organisme hidup yang masih melakukan respirasi secara terus menerus. Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain sangat dipengaruhi oleh kadar air benih, jenis benih, tingkat kematangan serta suhu penyimpanan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Kontaminasi jamur Aspergillus sp. paling rendah pada benih yang disimpan selama 6

bulan terdapat pada varietas Talam disimpan pada suhu ruang dan Tuban disimpan pada suhu dingin.

y = -0.2162x + 111.36

R² = 0.3291

0

20

40

60

80

100

120

0 100 200

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

Kontaminasi Aspergillus SP. (%)

%TumbuhLinear (%Tumbuh)

y = -0.4057x + 129.3 R² = 0.3544

0

20

40

60

80

100

120

0 50 100 150

Day

a Tu

mb

uh

(%

)

(Kontaminasi Aspergillus SP (%)

1467

2. Kontaminasi jamur Aspergillus sp. paling tinggi pada benih yang disimpan selama 6 bulan terdapat pada varietas Lokal disimpan pada suhu ruang dan Talam disimpan pada suhu dingin.

3. Penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin tidak memberikan perbedaan secara nyata dalam menekan kenaikan kadar air benih, kontaminasi benih dan penurunan daya kecambah benih selama penyimpanan.

Saran Penyimpanan benih harus memperhatikan kadar air benih yang akan disimpan,

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. SNI nomor 7385 : 2009.

AOAC. 2005. AOAC, International official methods of analysis, Method, Gaithersburg, MD.

Avivi, S. 2005. Pengaruh Perlakuan Sortasi, Natrium Hipoklorit dan Fungisida Pada Kacang Tanah untuk Mengeliminasi Kontaminasi Aspergillus flavus. J. HPT Tropika. Vol. 5 No. 1: 58 – 65.

Bahri. 2001. Mewaspadai Cemaran Mikotoksin pada Bahan Pangan, Pakan dan Produk Peternakan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian: 20 (2) 55-64.

Gomez. A. Kwanchai dan Gomez. A. Arturo. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Handajani N.S., R. Setyaningsih, dan T. Widiyani. 2003. Deteksi Aflatoksin B1 pada Petis Udang Komersial. [Artikel Penelitian Dosen Muda]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Hendarto Kuswanto. 2007. Teknologi Pemrosesan Pengemasan dan Penyimpanan Benih. Kanisius. Yogyakarta.

Muhilal dan Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia X (I) : 75-79.

Sutjiati, M. dan M.S. Saenong. 2002. Infeksi cendawan Aspergillus sp. pada beberapa varietas/galur jagung hibrida umur dalam. Proseding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI, PFI dan HPTI XV Sul-Sel. Maros, 29 Oktober 2002.

Syamsidin, SR. 1984. Penyakit dalam Simpanan (Penyakit Gudang). Faperta Unibraw. Malang.

Syarief. R dan J. Kumendong. 1997. Penanganan Panen dan Pasca Panen Jagung dalam Rangka Meningkatkan Mutu Jagung untuk Industri Ekspor. Temu Teknis BP BIMAS Dep. Pertanian. Jakarta.

Wilson, DM. 1995. Management of Mycotoxin in Peanut in HA., Moelouk and FM. Shokes: Penut Health Management. APS Prss. Minnesota.

1468

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK DAUN TEMPUYUNG

(Sonchus arvensis L.)

Ediningsih1, Hera Nurhayati1, dan Ratna Rubiana2

1Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jalan Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi 36128

ABSTRAK

Dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis L.). Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut metanol (50%, 70% 96%), etanol (50%, 70%, 96%) dan air. Pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Nilai LC50

yang dperoleh pada ekstrak metanol berturut-turut sebesar 55,53 ; 93,21 ; 238,71 ppm, ekstrak etanol 512,11; 499, 34; 247,09 dan ekstrak air sebesar 4071,25.

PENDAHULUAN Daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki

aktivitas antioksidan (Putra dkk., 2013). Aktivitas antioksidan dalam ekstrak daun tempuyung kemungkinan juga berkaitan dengan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan penelitian Ramadhani dkk. 2013, tempuyung mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, fenol dan saponin. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa senyawa fenolik seperti flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas dengan membebaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya. Kemampuan pengikatan radikal oleh flavonoid, tergantung pada adanya sekurang-kurangnya dua kelompok o-hidroksil pada cincin B. Hal ini memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen intramolekul dengan gugus hidroksil meningkatkan stabilitas radikal fenoksil (Majewska et al ., 2011dalam Kusumawati dkk., 2014).

Menurut Kusuma. (2007), flavonoid yang ada dalam daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan golongan flavonol, yaitu 3’,4’ orto dihidroksi flavonol dengan C3-OH tersubstitusi gula. Sedangkan menurut Ramadhani dkk. (2013) senyawa flavanoid yang terdapat dalam senyawa daun tempuyung adalah 6,7,4’- trihidroksi auron (Gambar. 1).

Gambar 1. Struktur senyawa 6,7,4’- trihidroksi auron

Sumber : Ramadhani dkk., 2013

1469

Selain itu menurut Sriningsih dkk. (2012) jenis senyawa flavanoid yang terdapat dalam ekstrak metanol herba tempuyung adalah dari golongan flavon yaitu 7,4’-hidroksi flavon (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur Senyawa 7,4’-hidroksi flavon

Sumber : Sriningsih dkk., 2012

Tempuyung dari beberapa daerah dapat menghasilkan total flavonoid dalam jumlah yang berbeda. Tempuyung yang berasal dari Tawangmangu dan Cimanggu mempunyai total plavonoid yang berbeda yaitu sebesar 0,80% dan 0,60% (Rohaeti dkk., 2011). Hal ini disebabkan adanya beberapa jenis komponen kimia dalam tumbuhan yang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan tempat tumbuh.

Menurut Murtadlo dkk. (2013) ekstrak etanol daun tempuyung mengandung alkaloid yang memiliki kerangka dasar isokuinolin dengan panjang gelombang 225 nm, 253 nm dan 352 nm, gugus fungsi C=N, O-H, C-O, C=C, C=O, CH2, CH3 dan berat molekul sebesar 444,84g/mol.

Metode ekstraksi antioksidan alami sangat dipengaruhi oleh jenis antioksidan yang akan diekstraksi serta pelarut yang digunakan. Menurut Rivai dkk. 2013 daya antioksidan pelarut dipengaruhi oleh senyawa-senyawa yang larut dalam suatu campuran. Sebagian komponen kimia yang terdapat dalam daun tempuyung bersifat polar, oleh karena itu dibutuhkan pelarut yang memiliki polaritas yang sesuai untuk mengekstraksinya (Setyowati dkk., 2013).

Metode uji DPPH merupakan metode pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat polar, karena kristal DPPH hanya dapat larut dan memberikan absorbansi maksimum pada pelarut yang sesuai.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian aktivitas antioksidan terhadap ekstrak daun tempuyung dengan metode menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikril-hidrazil). Ekstraksi daun tempuyung dilakukan dengan cara maserasi menggunakan berbagai jenis pelarut yaitu metanol dengan konsentrasi 50%; 70% dan 96%, etanol 50%;70%; dan 96%, dan air.

METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN ALAT Bahan : daun tempuyung, metanol 50%, 70% dan 96%, etanol 50%, 70% dan 96%, akuades Alat : seperangkat penggiling, satu set alat maserasi, Rotary Evaporator, spektrofotometer UV-Vis, kertas saring, alumunium foil, erlenmeyer, corong pisah.

CARA KERJA Penyiapan Bahan Baku : Daun tempuyung dicuci bersih kemudian ditiriskan, selanjutnya dikeringkan menggunakan alat pengering (blower). Setelah kering, simplisia digiling menggunakan alat penepung, sehingga diperoleh serbuk.

1470

Ekstraksi Bahan Baku : Daun tempuyung yang telah diolah menjadi serbuk, dimaserasi menggunakan pelarut air, metanol dan etanol selama 3 jam. Selanjutnya hasil ekstrak disaring kemudian diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental dari masing-masing bahan (Gambar 1) dengan konsentrasi pelarut yaitu 50, 70 dan 96%. Rancangan menggunakan RAL dan diulang sebanyak 2 kali. Uji Aktivitas Antioksidan : Pengujian efektifitas antioksidan dari ekstrak tempuyung dilakukan menggunakan metode DPPH. Larutan ekstrak yang telah dibuat dipipet sebanyak 0,5; 1; 1,5 ; 2; dan 2,5 ml. Masing-masing diencerkan dengan metanol : air (1:1) dalam labu ukur 10 ml sampai tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi 50, 100, 150, 200, dan 250 µg/ml. Masing-masing konsentrasi dipipetsebanyak 1 ml larutan, sampel lalu dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan DPPH 100 µg/ml dan 2 ml metanol. Campuran dihomogenkan, didiamkan selama 30 menit di tempat gelap. Serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjanggelombang 515,5 nm dengan pembanding asam galat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun tempuyung yang sudah kering digiling untuk memperoleh ukuran partikel yang lebih halus. Hal ini akan meningkatkan luas permukaan partikel yang akan diekstrak. luas permukaan yang besar dapat memperbanyak waktu kontak antara pelarut dengan tanaman yang diekstrak sehingga tumbukan semakin efektif dan bahan aktif yang terekstrak akan

lebih optimal.

Tabel 1. Pengaruh jenis dan konsentrasi pelarut terhadap rat-rata rendemen eskstrak tanaman daun tempuyung

Jenis dan Konsentrasi Pelarut Rendemen Ekstrak (%) Etanol 50% 41,80 Etanol 70% 28,70 Etanol 96% 13,66

Metanol 50% 16,46 Metanol 70% 18,77 Metanol 96% 5,68

Akuades 27,62 Hasil pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung menggunakan

beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 2. Secara umum nilai IC50 semua ekstrak menunjukkan aktifitas antioksidan yang masih rendah. Hal ini kemungkinan dikarenakan senyawa yang terkandung dalam ekstrak yang berperan sebagai antioksidan seperti belum merupakan senyawa murni sehingga masih mengandung senyawa- senyawa lain yang tidak memiliki aktivitas antioksidan (Yuliarti dkk., 2013).

Senyawa pengganggu yang terdapat pada tumbuhan dapat memberikan atom hidrogen yang dimilikinya dan berikatan dengan radikal hidroksil pada DPPH , hal ini menyebabkan radikal DPPH semakin aktif serta menghambat proses reduksi. Aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah gugus hidroksil yang dihasilkan dari ekstrak. Ekstrak tempuyung metanol 50 % memiliki aktivitas antioksidan paling bagus, hal ini menunjukkan jumlah jumlah gugus hidroksil bebas yang lebih besar pada ekstrak ini yang dapat menyumbangkan hidrogen, sehingga kemampuan untuk mendonorkan radikal protonnya juga semakin besar.

1471

Gambar 1. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan etanol 50%

Gambar 2. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan etanol 70%

Gambar 3. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan etanol 96%

y = 0,091x + 4,56

R² = 1

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMPUYUNG

ETANOL 70%

y = 0,166x + 8,985

R² = 0,998

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMPUYUNG

ETANOL 96%

y = 0,095x + 1,35

R² = 0,998

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK

TEMPUYUNG ETANOL 50 %

1472

Gambar 4. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan metanol 50%

Gambar 5. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan metanol 70%

Gambar 5. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan metanol 96%

y = 0,491x + 4,233

R² = 0,996

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMPUYUNG

METANOL 70%

y = 0,171x + 9,18

R² = 0,994

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMPUYUNG

METANOL 96%

y = 0,859x + 2,3

R² = 1

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK

TEMPUYUNG METANOL 50%

1473

Gambar 7. Aktivitas antioksidan ekstrak daun tempuyung dengan metanol 96% Tabel 2. Nilai IC50dari ekstrak tempuyung

Jenis dan konsentrasi pelarut Nilai IC50 Etanol 50% 512,11 Etanol 70% 499,34 Etanol 96% 247,09

Metanol 50% 55,53 Metanol 70% 93,21 Metanol 96% 238,71

Air 4071,25

KESIMPULAN

Pelarut yang paling baik untuk mengekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) adalah metanol 50% dengan nilai IC50 sebesar 55,53.

DAFTAR PUSTAKA

Chairul, S.M, R. Sumarny, dan Chairul. 2003. Aktivitas antioksidan ekstrak air daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) secara invitro. Majalah Farmasi Indonesia. 14(4) : 208-215.

Kusuma, M.C. 2007. Isolasi dan identifikasi flavonoid dari daun (Sonchus arvensis L.). Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 1-13.

Kusumawati, I.G.A.W, I.P. Darmawijaya, dan I.B.A. Yogeswara. 2014.Potensi antioksidan loloh tempuyung (Sonchus arvensis L.) sebagai minuman fungsional. Universitas Dhyana Pura Bali. ResearchGate. 1-8.

Murtadlo, Y., D. Kusrini, dan E. Fachriyah. 2013.Isolasi, identifikasi senyawa alkaloid total daun tempuyung (Sonchus arvensis Linn) dan uji sitotoksik dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test). Chem Info. 1(1) : 379-385.

Putra, F.R., Afrizal, dan M. Efdi. 2013. Isolasi triterpenoid dan uji antioksidan dari ekstrak daun tempuyung (Sonchus arvensis). Jurnal Kimia Unand. 2 (1): 54-58.

y = 0,012x + 1,145

R² = 0,997

% I

NH

IBIS

I

Konsentrasi Sampel (ppm)

KURVA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK TEMPUYUNG

AQUADES

1474

Ramadhani, R.A, D. Kusrini, dan E. Fachriyah. 2013. Isolasi, identifikasi dan uji antioksidan senyawa flavonoid dari ekstrak etil asetat daun tempuyung (Sonchus arvensis L.). Chem Info. 1 (1) : 247-255.

Rivai, H., E. Widiya, dan Rusdi. 2013. Pengaruh perbandingan pelarut etanol-air terhadap kadar senyawa fenolat total dan daya antioksidan dari ekstrak daun (Annona muricata L.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 18 (1) : 35-42.

Rohaeti, E., R. Heryanto, M. Rafi , A. Wahyuningrum , dan L. K. Darusman. 2011. Prediksi kadar flavonoid total tempuyung (Sonchus arvensis L.) menggunakan kombinasi spektroskopi IR dengan regresi kuadrat terkecil parsial. Jurnal Kimia. 5 (2) : 101-108.

Setyaningsih, D., C. Pandji, dan D.D. Perwatasari. 2014. Kajian aktivitas antioksidan dan antimikroba fraksi dan ekstrak dari daun dan ranting jarak pagar (Jatropha curcas L.) serta pemanfaatannya pada produk personal hygiene. AGRITECH. 34 (2): 126-137.

Setyowati, A., dan C. L. Suryani. 2013. Peningkatan kadar kurkuminoid dan aktivitas antioksidan minuman instan temulawak dan kunyit. AGRITECH. 33 (4) : 363-370.

Sriningsih, H.W. Adji, W. Sumaryono, A. E. Wibowo, Caidir, Firdayani, S. Kusumaningrum, dan P. Kartakusuma. 2004. Analisa senyawa golongan flavonoid herba tempuyung (sonchus arvensis l.). Pusat P2 Teknologi Farmasi dan Medika Deputi Bidang TAB BPPT, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. 1-4.

Sukadana, I.M, dan S.R. Santi. 2011. Senyawa antibakteri bis (2-etilheksil) ester dan triterpenoid dalam ekstrak n-heksana daun tempuyung (sonchus arvensis l.). Majalah Obat Tradisional. 16 (1) : 1-6.

Yeni, G. 2015. Rekayasa proses nanoenkapsulasi konsentrat katekin dari gambir ( Uncaria gambir Roxb. ) sebagai antioksidan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Yuliarti, W., D. Kusrini, dan E. Fachriyah. 2013. Isolasi, identifikasi dan uji antioksidan asam fenolat dalam daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrasil (DPPH). Chem Info. 1 (1) : 294-304.

1475

APLIKASI NANOTEKNOLOGI UNTUK PANGAN FUNGSIONAL MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN 1)

Shannora Yuliasari2), Hamdan 2), Syafrial3)

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Jalan Irian Km 6,5 Bengkulu 38119 3) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

ABSTRAK

Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari karakterisasi dan manipulasi bahan biologi danmikrobiologi yang berukuran lebih kecil dari 100 nanometer. Dewasa ini, aplikasi nanoteknologi dalam produk pangan secara signifikan berkontribusi terhadap pengantaran senyawa bioaktif, mengenkapsulasi dan melindungi senyawa antioksidan,karena nanoteknologi dapat meningkatkan bioavailabilitas bahan aktif, mengendalikan pelepasan bahan aktif, melindungi dari reaksi kimi sehingga mengurangi dampaknya terhadap sifat sensori produk. Material nano dalam produk pangan dapat disiapkan dengan dua metode pendekatan yang berbeda, yaitu metode energi tinggi dan metode energi rendah. Metode energi tinggi menggunakan alat mekanis seperti homogenisasi tekanan tinggi, microfluidizer, dan sonikator, yang dapat menghasilkan energi untuk menghancurkan molekul komponen pangan menjadi material nano. Metode energi tinggi biasa digunakan untuk menyiapkan nanoemulsi dalam industri makanan dan minuman karena pemanfaatannya sudah mapan dibandingkan penggunaan emulsi konvensional. Metode energi rendah didasarkan pada pembentukan material nano secara spontan pada sistem pengemulsi, air, dan minyakdi bawah kondisi lingkungan tertentu, dengan metode seperti emulsifikasi spontan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan tinjauan (review) beberapa hasil penelitian mengenai aplikasi nanoteknologi dalam produk pangan untuk meningkatkan sifat fungsionalnya dan mendukung program diversifikasi pangan.

Kata kunci : nanoteknologi, nanoemulsi, pangan fungsional, diversifikasi pangan.

PENDAHULUAN

Keterbukaan pasar Indonesia akibat kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), makin memperluas peluang masuknya produk pangan dari mancanegara. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka teknologi pengolahan dalam negeri tidak hanya dituntut untuk berkinerja baik, tetapi juga harus memiliki daya saing yang tinggi untuk merebut pasar domestik. Keberadaan nanoteknologi memicu pengembangan produk baru. Aplikasi nanoteknologi untuk pertanian dan pangan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian dan pangan, sekaligus menciptakan pertanian presisi (precision farming) dimana input pertanian hanya diberikan sesuai kebutuhan untuk efisiensi biaya produksi. Hal ini akan mendukung upaya pencapaian swasembada pangan dan pengembangan produk lokal yang berdaya saing tinggi.

Teknologi pascapanen dan pengolahan pangan terus dioptimasikan untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi. Nanoteknologi dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan sifat baru atau memperbaiki sifat fisik, kimia dan keamanan pangan, seperti tekstur, rasa, warna, kelarutan, stabilitas, umur simpan, kandungan gizi (fortifikasi mikronutrien), penyerapan dan ketersediaan biologis (bioavailabilitas) zat gizi/senyawa bioaktif (Hoerudin & Harimurti, 2014).

Nanoteknologi juga banyak dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pangan fungsional. Senyawa bioaktif sebagian besar memiliki sifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

1476

kelarutan dalam air rendah. Kelarutan yang rendah mengakibatkan penyerapan yang rendah pada sistem pencernaan dan ketersediaannya yang rendah dalam tubuh (Joye, et al. 2014). Dengan nanoteknologi, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan enkapsulasi senyawa bioaktif tersebut dengan bahan larut air dan mengatur pelepasannya dalam sistem pencernaan (Silva, et al., 2012).

Penelitian dan pengembangan aplikasi nanoteknologi di bidang pertanian dan pangan saat ini semakin berkembang pesat, terutama di negara maju dan berkembang, seperti USA, Inggris, Australia, Korea, China, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Di Indonesia, nanoteknologi bisa dikatakan masih dalam tahap pengembangan dan aplikasinya masih belum banyak dilakukan. Di saat yang bersamaan, Indonesia memiliki potensi kekayaan alam pertanian dan pangan yang melimpah, namun sumber daya tersebut masih belum banyak diberikan nilai tambah sehingga belum dapat dijadikan sebagai penentu daya saing bangsa. Makalah ini bertujuan untuk memberikan tinjauan (review) beberapa hasil penelitian mengenai aplikasi nanoteknologi dalam produk pangan untuk meningkatkan sifat fungsionalnya dan mendukung program diversifikasi pangan.

Pengertian Nanoteknologi

Nanoteknologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses dan karakterisasi suatu bahan atau struktur yang berukuran lebih kecil dari 100 nanometer, termasuk juga fenomena unik dan sifat fungsional baru yang akan timbul (Chaudhry,et al., 2008; Quintanilla-Carvajal, et al., 2010). Secara matematis, 1 nm sama dengan 1 per 1.000.000.000 meter.Beberapa sistempangan dan pertanian dapat memanfaatkan nanotekologi untuk meningkatkan karakteristik dan sifat fungsional pangan, deteksi patogen atau kontaminan, dan delivery system bahan panganfungsional.Nanoteknologi memungkinkan para ilmuwan untuk mengukur, mengontrol, dan memanipulasi materi pada skala nano untuk mengubah sifat dan fungsi dengan cara yang menguntungkan.

Ukuran partikel kecil menghasilkan luas permukaan yang lebih besar sehingga berpotensi untuk meningkatkan kelarutan, penyerapan dan ketersediaan biologis (bioavailabilitas) senyawa aktif, serta pelepasan yang terkontrol (Sekhon, 2010). Ukuran partikel yang kecil tersebut menghasilkan sifat fisikokimia baru, seperti luaspermukaan, reaktivitas dan warna, yang sangat berbeda dibandingkan material padaukuran konvensional (Pérez-Esteve, et al., 2013). Sifat baru dan unik tersebutmembuka peluang yang besar bagi pengembangan aplikasi dan produk inovatif di berbagaibidang karena dapat menghemat bahan baku, mempercepat dan mengefisienkanproses, serta meningkatkan presisi dan akurasi. Pendekatan Metode Penyiapan Material Nano

Material nano dalam produk pangan dapat disiapkan dengan dua metode pendekatan yang berbeda, yaitu metode energi tinggi dan metode energi rendah. Metode energi tinggi menggunakan alat mekanis seperti homogenisasi tekanan tinggi, microfluidizer, dan sonikator, yang dapat menghasilkan energi untuk menghancurkan molekul komponen pangan menjadi material nano (Kentish, et al., 2008; Sekhon, 2010). Metode energi tinggi biasa digunakan untuk menyiapkan material nano dalam bentuk emulsi (nanoemulsi) yang dapat diaplikasikan ke dalam makanan dan minuman untuk memperbaiki sifat emulsi konvensional. Metode energi rendah didasarkan pada pembentukan partikel nano secara spontan pada sistem pengemulsi, air, dan minyak di bawah kondisi lingkungan tertentu, dengan metode seperti emulsifikasi spontan (Yang, et al., 2012)

Dalam industri pangan, nanoemulsi biasanya diproduksi menggunakan metode energi tinggi, seperti microfluidization, homogenisasi tekanan tinggi (high pressure homogenizer), dan sonikasi. Metode ini menghasilkan kekuatan mekanis yang menyebabkan pemisahan fase minyak menjadi droplet kecil yang terdispersi dalam fase air (Kentish, et al., 2008). Microfluidizer pada prinsipnya membagi emulsi yang mengalir melalui saluran menjadi dua aliran, melewatkan setiap aliran melalui saluran halus yang terpisah, dan kemudian mengarahkan dua aliran satu sama lain dalam sebuah ruang interaksi (Gambar 1).

Nanoemulsi dengan microfluidizationdan homogenisasi tekanan tinggidisiapkan dengan cara yang hampir sama. Emulsi kasar yang terdiri dari minyak, air dan

1477

pengemulsidilewatkan melalui katup yang di dalamnya terdapat kombinasi tenaga penghancuran yang besar yang menyebabkan droplet besar dihancurkan menjadi droplet kecil(Yang, et al., 2012).Sejumlah studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa microfluidization sangat efisien dalam menciptakan nanoemulsi untuk bahan pangan, dan telah mengidentifikasi beberapa faktor utama yang mempengaruhi efisiensi homogenisasi, termasuk tegangan interfase minyak dan air, rasio minyak dan air, viskositas, serta jenis dan konsentrasi emulsifier (Qian & McClements, 2011).

Gambar 1. Skema aliran emulsi dalam microfluidizer (Yang, et al., 2012).

Ukuran minimum dari droplet yang dihasilkan tergantung pada berbagai faktor,

antara lain jenis dan kondisi operasi homogenizer (intensitas energi, waktu, dan suhu), komposisi sampel (jenis minyak, emulsifier, dan konsentrasi masing-masing bahan dalam sampel), sifat fisikokimia seperti tegangan interfase dan viskositas. Konsentrasi dan distribusi ukuran partikel droplet minyak dalam nanoemulsi dapat dikendalikan dengan mengatur komposisi emulsifier yang digunakan untuk menstabilkan system (Yuan, et al., 2008).

Teknik lain penyiapan material nano dengan metode energi tinggi adalah ultrasonikasi. Ultrasonikasi merupakan teknik pemberian gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik merupakan rambatan energi dan momentum mekanik, sehingga membutuhkan medium untuk merambat sebagai interaksi dengan molekul. Gelombang ultrasonik memiliki frekuensi melebihi batas pendengaran manusia, yaitu di atas 20 kHz. Ultrasonikasi dengan intensitas tinggi dapat menginduksi secara fisik dan kimia. Efek fisik dari ultrasonikasi intensitas tinggi salah satunya adalah emulsifikasi. Terdapat dua mekanisme pada proses emulsifikasi dengan ultasonikasi. Pertama, penerapan medan akustik menghasilkan gelombang pada ruang antarmuka (interfasial) yang mengakibatkan pergerakan fase minyak ke dalam fase cair dalam bentuk droplet. Kedua, penerapan gelombang ultrasonik menyebabkan kenaikan tekanan dalam cairan, akibatnya terjadi pemecahan droplet minyak menjadi berukuran lebih kecil dan terdispersi dalam fase cair (Kentish, et al., 2008).

Ada beberapa keterbatasan dalam menggunakan metode energi tinggi untuk menghasilkan material nano, seperti membutuhkan peralatan mahal dan biaya operasi tinggi, kebutuhan daya tinggi, potensi kerusakan peralatan, dan kesulitan dalam memproduksi droplet yang sangat halus dari beberapa jenis bahan pangan (misalnya, minyak yang sangat kental). Material nano juga dapat diproduksi menggunakan berbagai metode energi rendah, seperti metode fase inversi dan metode emulsifikasi spontan (McClements, et al., 2011). Metode energi rendah didasarkan pada pembentukan droplet minyak secara spontan pada sistem pengemulsi, minyak, dan air di bawah kondisi lingkungan tertentu (komposisi, suhu, dan pengadukan), yang kemudian terjebak dalam keadaan metastabil (Rao & McClements, 2010).

Dalam metode emulsifikasi spontan, pada awalnya sistem emulsi terdiri dari fase organik (minyak dan pelarut organik) serta fase cair (air dan emulsifier hidrofilik). Ketika fase cair ditambahkan ke fase organik, maka pelarut organik akan bergerak meninggalkan fase minyak menuju fase cair, sehingga menyebabkan ukuran droplet minyak mengecil (Gambar 2). Pembentukan emulsi terjadi secara spontan setelah campuran minyak dan pengemulsi dimasukkan ke dalam fase air (Yang, et al., 2012). Pelarut organik yang terdapat dalam sistem emulsi tersebut dihilangkan dengan penguapan. Perbandingan antara fase

1478

organik dan fase cair berpengaruh terhadap ukuran droplet emulsi yang dihasilkan (Tan & Nakajima 2005; Lee dan McClements, 2010).

Gambar 2. Skema metode emulsifikasi spontan (Yang, et al., 2012).

Pendekatan energi rendah mungkin memiliki keunggulan dibandingkan pendekatan

energi tinggi untuk aplikasi tertentu dalam industri makanan dan minuman, karena lebih efektif dalam memproduksi droplet yang sangat halus, membutuhkan peralatan yang lebih sederhana dan biaya energi lebih rendah, serta lebih mudah untuk diterapkan. Di sisi lain, metode energi rendah memiliki kelemahan, yaitu keterbatasan pada jenis minyak dan pengemulsi yang dapat digunakan untuk membentuk nanoemulsi yang stabil, dan jumlah pengemulsi yang digunakan relatif tinggi (Yang, et al., 2012).

Peranan Aplikasi Nanoteknologi dalam Bidang Pangan Banyak zat gizi mikro atau senyawa bioaktif yang tidak dapat diaplikasikan secara

langsung dalam bentuk murni ke dalam produk pangan karena sifat fisik, kimia, dan biologinya (McClement, 2014). Beberapa zat gizi mikro dan senyawa bioaktif tersebut mempunyai kelarutan rendah dalam air ataupun minyak Zat gizi mikro tersebut mudah mengalami perubahan sifat fisik dan kimia selama persiapan, proses pengolahan pangan, penyimpanan, dan pengangkutan. Beberapa zat gizi mikro atau senyawa bioaktif akan menghasilkan flavor yang tidak dikehendaki (off-flavor) sehingga produk pangan menjadi kurang disukai. Beberapa zat gizi mikro lainnya dapat berinteraksi dengan komponen pangan yang lain sehingga akan mengurangi bioaktivitas dan stabilitas produk. Oleh karena, zat gizi mikro atau senyawa bioaktif tersebut perlu dilindungi (Joye, et al., 2014).

Penerapan nanoteknologi dalam bidang pangan telah dicoba untuk memperbaiki rasa, warna, flavor, tekstur, dan konsistensi bahan pangan, meningkatkan daya serap dan bioavailabilitas zat gizi (Chaudry, et al., 2008).Sebagai contoh aplikasi nanoteknologi adalah teknologi emulsifikasi dengan droplet emulsi berukuran 1–100nm (nanoemulsi). Nanoemulsifikasi berkontribusi meningkatkan dispersibilitas senyawa bioaktif dalam larutan, meminimalkan kecenderungan pemisahan fase air dan lemak, melindungi senyawa bioaktif dari interaksi dengan komponen bahan pangan lain, menjaga sifat fungsional senyawa bioaktif, meningkatkan stabilitas selama pengolahan dan penyimpanan, meminimalkan dampak pada sifat organoleptik pangan, serta untuk meningkatkan penyerapan dan bioavailabilitas senyawa bioaktif (Donsi et al. 2011).

Pengembangan produk pangan dengan nanoteknologi juga dapat memperbaiki sifat fungsional ingredien pangan. Aplikasi nanoteknologi dilakukan melalui pengembangan media pembawanya (carrier) menjadi berukuran nano. Media pembawa yang berukuran nano dapat memperbaiki tingkat absorpsinya, sehingga berpotensi membawa zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral untuk diedarkan ke seluruh tubuh (Morris, 2007).

Aplikasi nanoeteknologi dalam proses pengolahan pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Ingredien pangan berukuran nano sebagai media pembawa zat gizi mikro yang berukuran nano dan berfungsi untuk mempercepat penyerapan zat gizi, (2) Senyawa bioaktif berukuran nano yang dienkapsulasi dan bermanfaat untuk mencegah off-flavor, menghambat degradasi fisik dan kimia, serta meningkatkan bioavailabilitas, dan (3)

1479

aditif pangan berukuran nano sebagai antimikroba dan bahan aktif pada kemasan cerdas (Weiss, et al., 2006).

Perkembangan Penelitian dan Pengembangan Nanoteknologi dalam Bidang Pangan di Indonesia

Penelitian dan pengembangan nanoteknologi di sejumlah institusipemerintah dan swasta di Indonesia sudah mulai dirintis sejak awal tahun 2000-an. Di antarainstitusi-institusi tersebut antara lain, LIPI, BPPT, BATAN, ITB, UGM, UI, IPB, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Hasil studi menunjukkan bahwa program-program litbang nanoteknologi diIndonesia banyak terfokus pada pengembangan material nano berbasis bahan anorganik.Pada tahun 2013, Balitbangtan telah membangun laboratorium nanoteknologi yang dilengkapi peralatan riset yang memadai dan tergolong terlengkap di Indonesia untuk bidang ilmu hayati. Kegiatan litbang nanoteknologi di Balitbangtan difokuskan pada bidang pertanian dan pangan (Hoerudin dan Irawan, 2015).

Nanoteknologi dapat diaplikasikan pada penanganan segar, pengolahan,pengawetan dan peningkatan sifat fungsional pangan.Aplikasi nanoteknologi pada penanganan produk pertanian segar dapat mempertahankan mutu fisik (kesegaran) dan mutu kimia dari produk tersebut(Hoerudin dan Irawan, 2015).Produk nano edible coating banyak dikembangkan dan diaplikasikan pada permukaan buah segar untuk mempertahankan mutu dan umur simpannya. Edible coating adalah lapisan tipis yang dapat dikonsumsi yang digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, atau penyemprotan untuk memberikan penahan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta perlindungan terhadap kerusakan mekanis. Hasil penelitian Nabifarkhani et al., (2015) menunjukkan bahwa aplikasi aktif nano composite coating yang terbuat dari kitosan 1%, selulosa 1% dan minyak atsiri 1% dapat mempertahankan kandungan total padatan terlarut, antosianin dan total gula buah cherry dibandingkan perlakuan kontrol. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa aplikasi aktif nano composite coating dapat memperpanjang umur simpan, menghasilkan penampakan yang lebih baik dan mencegah pertumbuhan jamur. Dilaporkan pula bahwa aplikasi coating nanopartikel kitosan yang berukuran 85-112 nm pada buah stroberi dapat mempertahankan kesegaran, mutu organoleptik dan mengurangi kehilangan berat hingga 20-30 hari penyimpanan pada suhu 5 1oC dan kelembaban relatif 70±5%. Sedangkan pada perlakuan tanpa coating (kontrol) penurunan mutu organoleptik stroberi sudah teramati sejak hari ke-2 pada kondisi penyimpanan yang sama (Hajirasouliha, et al., 2012).

Pada tahap pengolahan pangan telah ditemukan inovasi proses nano-restrukturisasi bahan pangan alami yang memungkinkanproduksi pangan dengan kadar lemak lebih rendah, namun tetap memiliki cita rasa yang enakseperti aslinya. Contohnya yaitu es krim, mayonnaise atau spread (panganolesan) dengan kadar lemak rendah, akan tetapi memiliki tekstur creamy seperti produkdengan kadar lemak tinggi (Chaudhry & Castle 2011). Pada industri pangan, nanoemulsi telah diaplikasikan untuk membuat produk es krim rendah lemak tanpa mempengaruhi cita rasanya (Silva, et al., 2012).Yuliani et al., (2012) telah mengembangkan produk spread untuk rerotian dan biskuit yangterbuat dari nanoemulsi lemak kakao (cocoa butter). Dalam bentuk nanoemulsi, lemak kakao yang dibutuhkan lebih rendah untuk menghasilkan spread dengan sifat organoleptikyang sama. Penggunaan lemak kakao dalam bentuk nanoemulsi dapatmenghasilkan spread rendah lemak (reduced fat spread) yang lebih sehat.

Banyak zat gizi dan senyawa bioaktif memiliki kelarutandalam air yang rendah serta sensitif terhadap oksigen, cahaya, panas, dan atau pH, sehinggamudah mengalami kerusakan pada saat pengolahan, penyimpanan, transportasi dan ataupencernaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sistem penghantar berstruktur nano dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kelarutan,stabilitas maupun penyerapan zat gizi dan senyawa bioaktif (Pérez-Esteve et al., 2013). Sebagai contoh,pengembangan nanoemulsi dan nanoenkapsulat vitamin A untuk bahan fortifikasi atau pengayaangizi pangan (Yuliani,et al., 2014) dan nanoemulsi minyak sawit merah yang diperkaya -karoten sebagai ingredien pangan fungsional (Yuliasari, et al., 2014).

Di bidang pangan, nanoteknologi paling banyak dan paling cepat perkembangan aplikasinya yaitu untuk kemasan pangan. Sistem pengemasan untuk masa yang akan datang

1480

dituntut mampu menutup pori-pori kecil pada kemasan dan memiliki respon yang baik terhadap lingkungan seperti perubahan suhu, udara dan kelembaban. Selain itu tren kemasan masa depan adalah biodegradable dan memiliki kemampuan antimikroba. Penyisipan material nano di dalam polimer kemasan (nanopackaging) dapat dijadikan alternatif bahan pengemas dan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk pangan.

Penyisipan material nano ke dalam polimer plastik telah mendorongberkembangnya bahan-bahan kemasan pangan inovatif yang secara umum dapat digolongkanke dalam empat katagori, yaitu (1) nanokomposit polimer dengan kandungan nanopartikelhingga 5% dan menghasilkan karakteristik yang lebih baik dalam hal fleksibilitas, daya tahan,stabilitas terhadap suhu dan atau kelembaban, serta perpindahan/migrasi gas, (2) kemasan“aktif” berubahan polimer yang mengandung material nano yang bersifat antimikroba, (3)nano-coating “aktif” untuk menjaga higienitas permukaan bahan atau pun kontak pangan dannano-coating hidrofobik sehingga permukaan bahan/kemasan memiliki daya bersih mandiri(self-cleaning surfaces), dan (4) kemasan “pintar” yang didalamnya terdapat nano-(bio)sensor untuk memonitor dan melaporkan kondisi pangan dan atau kondisi atmosfir didalam kemasan dan nano-barcodes untuk mengetahui keautentikan/ketertelusuran pangan(Chaudhry & Castle 2011; Chaudhry,et al.,2008).

Saat ini pengembangan kemasan pangan hasil nanoteknologi memiliki potensi manfaatyang sangat luas. Beberapa manfaat tersebut diantaranya untuk mengendalikan proses pematangan buah, mempertahankan kesegaran dan keamanan daging, deteksikontaminan/pathogen pangan, dan deteksi kadaluarsa pangan (Chaudhry & Castle 2011;Pérez-Esteve,et al., 2013). Balitbangtan juga telah mengembangkankemasan aktif antimikroba yang disisipi enkapsulat ekstrak bawang putih atau nanopartikelzinc oxides serta kemasan ramah lingkungan yang diperkuat nano-serat selulosa (Hoerudin & Irawan, 2015).

Keamanan produk pangan dengan nanoteknologi Saat ini terdapat sejumlah isu terkait keamanan produk nanoteknologi. Persepsi

masyarakat terhadap produk pangan dengan nanoteknologi melibatkan material anorganik yang berukuran nano dimasukkan ke dalam produk pangan dan akhirnya akan masuk ke dalam tubuh manusia. Menurut Hoerudin & Irawan (2015), berdasarkan karakteristiknya, risiko keamanan pangan produk nanoteknologi dapatdibagi dalam tiga kategori, yaitu (1) risiko rendah, dimana produk pangan/kemasan panganmengandung nanopartikel/nanostruktur (alami) yang dapat tercerna dan tidak biopersistent (terakumulasi di dalam tubuh), (2) risiko sedang, dimana produk pangan/kemasan pangan mengandung bahan aktif/tambahan pangan yang disalut sistem penghantar berukuran nano yang dapat menembus saluran pencernaan serta meningkatkan penyerapan dan bioavailabilitas (dalam hal ini peningkatan penyerapan bahan aktif/bahan tambahan pangandan bahan penyalutnya belum tentu memberikan manfaat untuk kesehatan, bahkan mungkinsebaliknya), dan (3) risiko tinggi, dimana produk pangan/kemasan pangan mengandung nano partikel tidak terlarut, tidak tercerna dan berpotensi biopersistent, seperti nanopartikel logam dan logam oksida. Pada kelompok risiko tinggi tersebut, konsumen atau lingkungan sangat berpotensi terpapar nanopartikel yang sifat toksisitasnya hingga saat ini belum banyak diketahui. Kurangnya pengetahuan mengenai hal tersebut akan menimbulkan kesulitan dalam menilai tingkat asupan pangan yang aman.

Komponen bahan pangan berukuran nano juga terrdapat pada pangan secara alamiah. Sebagai contoh, protein sebagai -laktoglobulin alam yang terdapat dalam susu sapi memiliki ukuran sekitar 3,6 nm.Proses denaturalisasi dapat menyebabkan protein tersebut membentuk struktur yang lebihbesar sehingga membentuk jejaring gel (Cushen et al., 2012). Yogurt merupakan salah satu contoh produk akhir dari proses tersebut dan merupakan contoh pangan produk nanoteknologi yang aman dikonsumsi (Pérez-Esteve et al., 2013).

1481

DAFTAR PUSTAKA

Chaudhry, Q & Castle, L 2011, 'Food applications of nanotechnologies: An overview of opportunities and challenges for developing countries', Trends in Food Science & Technology, vol. 22, no. 11, pp. 595-603

Chaudhry, Q, Scotter, M, Blackburn, J, Ross, B, Boxall, A, Castle, L, Aitken, R & Watkins, R 2008, 'Applications and implications of nanotechnologies for the food sector', Food Additives and Contaminants, vol. 25, no. 3, pp. 241-58.

Cushen, M, Keery, J, Morris, M, Cruz-Romero, M & Cummins, E 2012, 'Nanotechnologies in the foodindustry-Recent developments, risks and regulation', Trends in Food Science & Technology, vol. 24, pp. 30-46.

Donsì F, Sessa M, Mediounic H, Mgaidic A, Ferrari G. 2011. Encapsulation of bioactive compounds in nanoemulsion based delivery systems. Proc. Food Sci. 1: 1666–1671.

Hajirasouliha, M, Jannesari, M, Najafabadi, FS & Hashemi, M 2012, 'Effect of novel chitosan nano-particle coating on postharvest qualities of strawberry', in Proceedings of the 4th International Conference on Nanostructures, Kish Island, I.R. Iran, pp. 840-2.

Hoerudin & Harimurti, N 2014, 'Nanoformulations for enhancing bioavailability and biological activities of curcumin', in O Rostiana (ed.), Proceeding of International Seminar on Spice, Medicinal and Aromatic Plants, Jakarta

Hoerudin, Irawan, B. 2015. Prospek nanoteknologi dalam membangun ketahanan pangan. Pasandaran, et al. (Editor). Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 382 hal. ISBN 978-602-344-085-6.

Joye, I. J., Davidov-Pardo, G., McClements, D.J. 2014. Nanotechnology for increased micronutrient bioavailability. Trends in Food Science & Technology xx (2014) 1e15

Kentish S et al. 2008. The use of ultrasonics for nanoemulsion preparation. Innov. Food Sci. and Emerg. Technol. 9: 170–175.

Lee SJ, McClements DJ. 2010. Fabrication of protein-stabilized nanoemulsions using a combined homogenization and amphiphilic solvent dissolution/evaporation approach. J. Food Hyd. 24: 560-569. doi:10.1016/j.foodhyd.2010.02.002.

McClements, D. J. (2014). Nanoparticle- and microparticle-based delivery systems: Encapsulation, protection and release of active components. Boca Raton, FL: CRC Press

McClements, D. J. 2011. Edible nanoemulsions: fabrication, properties, and functional performance. Soft Matter.Rao, J. dan McClements, D.J. 2012. Lemon oil solubilization in mixed surfactant solutions: Rationalizing microemulsion & nanoemulsion formation. Food Hydrocolloids 26, 268-276.

Moris, V. 2007. Nanotechnology and Food. IUFest Scientific Information Bullletin. 1-7.

Nabifarkhani, N, Sharifani, M, Daraei Garmakhany, A, Ganji Moghadam, E & Shakeri, A 2015, 'Effect of nano-composite and Thyme oil (Tymus Vulgaris L) coating on fruit quality of sweet cherry (Takdaneh Cv) during storage period', Food Science & Nutrition, vol. 3, no. 4, pp. 349-54.

1482

Pérez-Esteve, E, Bernardos, A, Martínez-Máñez, R & Barat, JM 2013, 'Nanotechnology in the development of novel functional foods or their package. An overview based in patent analysis', Recent Patents on Food, Nutrition & Agriculture, vol. 5, pp. 35-43.

Quintanilla-Carvajal, M, Camacho-Díaz, B, Meraz-Torres, L, Chanona-Pérez, J, Alamilla-Beltrán, L, Jimenéz-Aparicio, A & Gutiérrez-López, G 2010, 'Nanoencapsulation: A New Trend in Food Engineering Processing', Food Engineering Reviews, vol. 2, no. 1, pp. 39-50.

Rao J, McClements DJ. 2010. Lemon oil solubilization in mixed surfactant solutions: Rationalizing microemulsion and nanoemulsion formation. Food Hyd. 26: 268-276.

Sekhon BS. 2010. Food nanotechnology – an overview. Nanotechnology, Sci. and App. 3: 1–15.

Silva, H, Cerqueira, M & Vicente, A 2012, 'Nanoemulsions for food applications: development and characterization', Food and Bioprocess Technology, vol. 5, pp. 854-67.

Tan CP, Nakajima M. 2005. β-Carotene nanodispersions: preparation, characterization and stability evaluation. Food Chemistry 92, 661–671. doi: 10.1080/02652040500100329

Weiss, J., Takhistov, P., dan McClements, J. 2006. Functional material in food nanotechnology. Journal of Food Science, Vol 71, No. 9, 107-116.

Yang, Y., Marshall-Breton, C., Leser, M.E., Sher, A.A., McClements, D.J., 2012. Fabrication of ultra-fine Edible emulsions: Comparison of high-energy and low-energy homogenization methods, Food Hydrocolloids 29 (2); 398 – 406. doi:10.1016/j.foodhyd.2012.04.009

Yuan Y, Gao Y, Zhao J, Mao L. 2008. Characterization and stability evaluation of β-carotene nanoemulsions prepared by high pressure homogenization under various emulsifying conditions. J. Food Res. 41: 61–68. doi:10.1016/j.foodres.2007.09.006.

Yuliani, S, Harimurti, N, Nurdjannah, N & Herawati, H 2012, Teknologi nanoemulsi lemak kakao (cocoa butter) sebagai bahan spread kaya antioksidan untuk rerotian dan biskuit, Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Yuliani, S, Hoerudin, Harimurti, N, Iriani, ES, Agustinisari, I, Permana, AW, Dewandari, KT, Juniawati, , Munarso, SJ, Widaningrum, H, M, Hasan, ZH, Haliza, W, Suryanegara, L, Wahyudiono, Mulyani, ES, Lestina, P, Irvandy, A, Triyono, M, Haerani, C & Suryadi, RI 2014, Pengembangan nanoteknologi untuk pangan fungsional, nutrasetikal dan kemasan, Laporan Akhir Tahun Penelitian DIPA, Balai Besar Penelitian dan Pengambangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Yuliasari S, Fardiaz D, Andarwulan N, Yuliani S. 2014. Karakteristik nanoemulsi minyak sawit merah diperkaya -karoten. J. Littri. 20 (3): 111-121.

1483

PERAN TRAKTOR RODA DUA DALAM GERAKAN PERCEPATAN TANAM PADI DI JAWA TIMUR: SEBUAH REVIEW

Noeriwan BS(1) dan Kiki Suheiti(2)

(1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Jawa Timur

(2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Jambi

ABSTRAK

Kementerian Pertanian telah mencanangkan gerakan percepatan tanam di seluruh Indonesia khususnya Jawa Timur pada tanggal 13 Desember 2015. Gerakan ini dilakukan pada awal musim tanam MH 2015/2016. Percepatan tanam padi merupakan langkah cepat dalam menyiasati perubahan iklim dan meningkatkan produktivitas tanaman. Lamanya waktu El nino dan pendeknya La nina mengharuskan adanya perubahan waktu tanam lebih cepat di lahan petani. Guna mendukung percepatan tanam padi UPSUS Pajale di Jawa Timur perlu adanya dukungan alat mekanisasi yakni pemanfaatan alat traktor yang dapat membantu kegiatan pengolahan tanah. Ketersediaan alat traktor mempunyai peranan penting dalam persiapan lahan guna mengejar waktu tanam serempak. Pemakaian traktor yang tepat dalam usaha tani dapat meningkatkan pendapatan petani 33,3% dibanding menggunakan tenaga ternak. Makalah ini merupakan review dari sejumlah penelitian dan beberapa publikasi pada jurnal atau prosiding lokal dalam beberapa tahun terakhir sebagai pengetahuan akan pentingnya pemanfaatan traktor dalam mendukung gerakan percepatan tanam di Jawa Timur khususnya.

Kata kunci : peran, traktor, percepatan tanam

PENDAHULUAN

Presiden RI telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan kehutanan (RPPK) pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat, yang merupakan hal yang sangat strategis mengingat vitalitas sektor pertanian yang sedang mengalami degradasi. Kapasitas negara dalam menyediakan panganpun mengalami penurunan akibat dari deselerasi kapasitas produksi. Hal ini tercermin dengan masih tingginya impor komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.( Simatupang,P, dan Muhammad M, 2006 ).

Namun, usaha pencapaian swasembada padi saat ini tengah memasuki babak baru. Dimulai akhir tahun 2014 pemerintah mencanangkan kegiatan upaya khusus Pajale. Salah satu kegiatannya adalah melalui gerakan percepatan tanam. Percepatan tanam merupakan langkah pemerintah dalam usaha menyamakan musim tanam dibeberapa daerah yang selama ini terdapat selang waktu yang jauh antara daerah satu dengan lainnya. Perbedaan waktu tanam yang lebar ini menyebabkan tidak terbentuknya hamparan tanaman sehingga tanaman mudah terserang hama penyakit, beragamnya produktifitas tanaman bahkan puso/gagal panen. Rata-rata produktifitas tanaman padi nasional berada dikisaran 5,5-5,7 ton/ha (Anonim, 2015). Hasil ini masih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata potensi hasil padi varietas unggul baru yang bisa mencapai 6-7 ton/ha.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai populasi sebesar lebih dari 244 juta pada tahun 2012 dan lebih dari 40% dari penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Rata-rata 17 juta hektar lahan telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sementara itu pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun akan terus bertambah dari tahun ke tahun (BPS,2012). Dengan kondisi ini, kebutuhan akan pangan tentu akan meningkat dan memerlukan peningkatan produksi yang tinggi terhadap tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk Indonesia. Menurut Unadi dan

1484

Harmanto 2010, konsumsi beras di Indonesia berkisar 139,15 kg/kapita/tahun. Sementara itu, produksi padi Indonesia meningkat dari 34,38 juta ton di tahun 2006 menjadi 41,67 juta ton ditahun 2010. Hal ini tidak terlepas dari peran mekanisasi sebagai faktor yang membantu terciptanya proses teknologi pertanian yang efektif dan efisien.

Selain itu, kepadatan penduduk di pulau Jawa yang mencakup 62% dari total penduduk Indonesia atau menempati sekitar 7% dari total luas Indonesia, memicu pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian di pulau-pulau lain, salah satunya adalah Sumatera. (Kalender Tanam Terpadu, Badan Litbang Pertanian, 2013).

Pada awalnya pengembangan mekanisasi pertanian dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan produksi dengan cepat (industrial impact) seperti yang dilakukan di Negara-negara maju. Penggunaan alsintan dinilai berhasil di subsektor perkebunan, namun gagal di subsektor tanaman karena tidak sesuai dengan kondisi pertanian pangan di Indonesia (Baharsyah,S, 1991). Namun, penggunaan alsintan pada usaha tani tanaman pangan kemudian berkembang, misalnya panen padi menggunakan sabit sebagai pengganti ani-ani, huller menggatikan alat tumbuk padi, dan traktor tangan menggantikan tenaga mencangkul pada pengolahan lahan.

Pengolahan tanah sebagai salah satu komponen budidaya tanaman bertujuan menyiapkan kondisi lahan untuk bisa ditanami bibit tanaman. Dukungan alat mekanisasi traktor dalam pengolahan tanah diharapkan dapat membantu percepatan tanam yang digalakkan pemerintah.

Tulisan ini mendiskusikan penggunaan traktor roda dua dalam peranannya mendorong percepatan tanam dan produksi padi di wilayah Jawa Timur. Didiskusikan pula kapasitas kerja, analisis biaya dan kelayakan usahanya serta kendala yang dihadapi dalam mendukung suksesnya program percepatan tanam di Jawa Timur.

PERCEPATAN TANAM DAN PRODUKSI PADI DI JAWA TIMUR

Mengejar musim tanam dengan mengandalkan ternak sapi untuk mengolah tanah sawah adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Belum lagi jika jumlah ternak yang dimiliki atau yang disewakan untuk mengolah sangat terbatas. Tidak semua ternak sapi milik petani digunakan untuk membantu pengerjaan olah tanah. Beberapa petani memiliki ternak sapi untuk simpanan saja dan ketika ternak sudah besar akan dijual.

Beberapa usaha dilakukan dalam upaya percepatan musim tanam padi dan memperpendek masa jeda tanam antara lain dengan menyalurkan benih yang di lakukan oleh BPTP Jawa Timur ke wilayah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Gresik, Jombang, Mojokerto, dan Nganjuk. Di delapan kabupaten tersebut, panen terjadi sekitar Pebruari-Maret. Volume bantuan benih padi yang disalurkan adalah 30 ton. Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan benih untuk 571 ha padi sawah. Usaha lainnya adalah dengan menambah alsintan pendukung lainnya seperti di kabupaten Bangkalan yakni penambahan pompa air 15 unit, traktor roda empat 3 unit, traktor roda dua 10 unit, transplanter 5 unit dan benih 5 ton (BPTP Jatim, 2016).

Dalam pelaksanaanya, kecepatan gerak maju dari ternak yang digunakan untuk membajak menurun drastis setelah digunakan selama tiga jam (satu jam pertama kecepatannya 67 m/menit menjadi 44 m/menit, bahkan pada jam ke enam menjadi 36 m/menit) (Acharya, dkk. 1979).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya pengoptimalan alsintan traktor yang telah didistribusikan ke daerah-daerah yang menjadi target Upsus Pajale. Alsintan inilah yang nantinya kedepan akan digunakan petani untuk membantu pengolahan tanah dalam gerakan percepatan tanam karena kapasitas kerjanya yang tinggi dibanding tenaga ternak .

1485

Tabel 1. Kapasitas kerja tenaga ternak dan traktor

Tenaga HP

Jenis alat Kapasitas kerja Keterangan

Sepasang Ternak

1,072

Bajak singkal

2-3 ha/musim

1,5-2,5 ha/musim

Sawah, 2x bajak

Lahan kering, 2x bajak

Traktor roda 2

5-9

Bajak

singkal Bajak

rotari Bajak

singkal Bajak

rotari

(ha/jam) 0,0055 0,0070 0,0040 0,0060

Sawah, 2x

bajak Sawah, 2x

bajak Tanah kering,

2x bajak Tanah

kering,2x bajak Sumber: Tiara (2016) Hardjosoediro (1983) menambahkan, pemakaian traktor dengan daya 8 HP

mempunyai kapasitas kerja 10 jam per hektar. Penggunaan traktor sebagai sumber tenaga dalam pengolahan tanah, dapat mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk pengolahan tanah, kapasitas kerja menjadi lebih tinggi, pendapatan petani bertambah sehingga dapat dilaksanakan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi secara sempurna. Hal ini sejalan dengan laporan Nkakini et al (2006) yang menyatakan bahwa metode mekanisasi membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding metode manual. Demikian pula hasil penelitian Chen et al (2008) yang menyatakan bahwa pemanfaatan mekanisasi telah berhasil meningkatkan produktifitas pertanian di China selama tahun 1990 hingga 2003.

Gerakan percepatan tanam bertujuan untuk mengejar musim tanam (MT) tahap ke-dua pada blan April - September yang dilakukan sebelum memasuki musim kemarau. Dengan percepatan tanam diharapkan target luas tanam dibeberapa daerah selesai pada akhir Desember.

Gerakan percepatan tanam padi sawah diharapkan dapat meningkatkan produktifitas lahan dan tanaman khususnya di Jawa Timur. Peningkatan hasil padi rata-rata 3,92% dalam 3 tahun terakhir diharapkan akan dapat meningkat lagi jika didukung oleh pengelolaan tanaman dan kelembagaan kelompok yang baik. Harapan ini sesuai dengan pesan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada acara sergap (serap gabah petani) petani di Jawa Timur bahwa produksi padi di Jawa Timur dapat ditingkatkan lagi dari 13 juta ton menjadi 14 juta ton (Sinartani, 2016).

1486

Gambar 1. Produksi padi di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2005 hingga 2015

Sumber: BPS Pusat (2016)

PERCEPATAN TANAM DAN PENGOLAHAN TANAH

Dalam usaha pertanian, pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kondisi fisik; khemis dan biologis tanah yang lebih baik sampai kedalaman tertentu agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Disamping itu pengolahan tanah bertujuan pula untuk membunuh gulma dan tanaman yang tidak diinginkan; menempatkan seresah atau sisa-sisa tanaman pada tempat yang sesuai agar dekomposisi dapat berjalan dengan baik; menurunkan laju erosi; meratakan tanah untuk memudahkan pekerjaan di lapangan; mempersatukan pupuk dengan tanah; serta mempersiapkan tanah untuk mempermudah dalam pengaturan air (Tiara, 2016).

Ditambahkan Dahono, 1997 bahwa pengolahan tanah yang baik dapat mengendalikan pertumbuhan gulma dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, dan aktivitas biologi dalam tanah. Pengolahan tanah dapat mempengaruhi sifat fisik tanah. Sifat fisik tersebut terutama pembutiran tanah, kemantapan agregat, kandungan lengas, penetrasi air, drainase dan kemampuan air kapiler yang dapat mempengaruhi perkembangan tanaman. Penggunaan traktor dalam proses pengolahan tanah mempunyai peran penting untuk mendorong efisiensi pengolahan tanah yang optimal.

Percepatan tanam tidak terlepas dari kegiatan pengolahan tanah. Pengolahan tanah jika mengandalkan tenaga ternak tidak akan efektif untuk mengejar musim tanam serentak dan umur bibit semaian padi akan terlanjur tua untuk ditanam. Untuk itu kegiatan pengolahan tanah perlu dikelola secara kelompok dengan mengoptimalkan unit kerja alsintan kelompok tidak secara perorangan, sehingga pergiliran penggunaan alat traktor dapat tepat waktu dan sasarannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pengolahan lahan antara lain : (1) tersedianya jaringan irigasi, (2) pola tanam, dimana pola tanam padi-padi menyebabkan permintaan pengolahan tanah meningkat dibanding pola tanam padipalawija, (3) kualitas layanan, dimana dampak dari penggunaan traktor tangan adalah waktu pengolahan tanah menjadi dapat dipercepat, sehingga tanam serempak dapat dilaksanakan, (4) Kemampuan manajemen.(Hamidah dan Teguh, 2006)

Menurut Gagelonia et al., 2005, pengolahan tanah dalam rangka persiapan lahan pertanian dapat dilakukan dengan membajak menggunakan hewan seperti kerbau dan sapi, namun hal ini dianggap kurang efektif. Maka dari itu, penggunaan traktor tangan dalam pengolahan tanah dirasa perlu digunakan. Sejalan dengan penelitian Suastawa dkk, 2000, yang melaporkan bahwa penggunaan traktor sebagai sumber tenaga dalam pengolahan

1487

tanah, diharapkan dapat mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk proses pengolahan tanah, kapasitas kerja menjadi lebih tinggi dan pendapatan petani bertambah, sehingga dapat dilaksanakan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi yang sempurna.

Luas lahan sawah irigasi dan non irigasi Jawa Timur dalam satu kali musim tanam adalah 1.177.160 ha (Bappeda, 2015). Jika kapasitas kerja maksimal traktor bisa mencapai 30 ha/unit (Hamidah dan Teguh, 2006) maka jumlah traktor yang dibutuhkan 39.239 unit raktor /musimnya. Pada Tahun 2015, untuk menggenjot produksi pangan dan mencapai swasembada pangan pemerintah telah membagikan 3000 unit traktor dibeberapa kabupaten di Jawa Timur (Miftahudin, 2015).

Ditegaskan pula oleh Hamidah dan Teguh (2006), dampak dari penggunaan traktor tangan adalah waktu pengolahan tanah menjadi dapat dipercepat, sehingga tanam serempak dapat dilaksanakan. Kualitas layanan erat kaitannya dengan daya jangkau kerja alat. Berdasarkan spesifikasi teknis alat, traktor tangan dapat mengolah lahan sampai 30 ha /unit /semester. SPESIFIKASI TRAKTOR RODA 2

Pertumbuhan luas tanam padi yang pesat sejak akhir 1960an telah berdampak terhadap melonjaknya kebutuhan tenaga kerja pengolah tanah. Disisi lain, musim tanam padi biasanya harus dilakukan serentak dan dalam rentang waktu yang sempit sehingga kebutuhan tenaga kerja pada musim tanam makin besar. Hal ini berdampak terhadap langkanya tenaga kerja pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sejak awal 1970an melaksanakan program traktorisasi. Pesatnya perkembangan traktor inilah yang memungkinkan penanaman padi dilakukan tepat waktu dan mendorong meningkatnya intensitas tanam (Pantjar dan I.W Rusastra).

Traktor roda-2 adalah traktor dengan tenaga penggerak dari motor diesel (atau bensin) dengan didukung dua buah roda (biasanya terdapat tambahan 1 buah roda kecil di bagian belakang). Traktor ini umumnya dimanfaatkan untuk bekerja di lahan sawah, atau pada lahan yang lembab atau basah dan tidak terlalau kering oleh usaha tani keluarga skala kecil dengan petakan lahan yang sempit.

Perkembangan alat traktor roda dua di Jawa Timur dari tahun 2012 sampai 2013 mengalami kenaikan dari jumlah 43.251 unit menjadi 47.660 unit. Pada Tahun 2014 turun menjadi 44.770 unit traktor (Bappeda, 2015). Jumlah traktor tahun 2014 yang berkurang bisa disebabkan oleh kurangnya inventarisasi data alsintan dan faktor kerusakan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Pada umumnya instrumen yang digunakan dalam pengolahan tanah adalah bajak singkal kemudian dilanjutkan dengan gelebeg atau garu untuk melumpurkan dan meratakan. Dalam menyelesaikan pekerjaan olah tanah tersebut waktu yang dibutuhkan 16-20 jam/ha dan kapasitas kerja traktor yang dihasilkan bervariasi antara 0,30-0,65 ha/hari atau rata-rata 0,50 ha/hari (Ananto dan Astanto, 2000). Tabel 2. Klasifikasi Traktor Ditinjau dari Ukuran Daya Kontinyu

KLASIFIKASI

TRAKTOR

Ukuran Daya Kontinyu (kW/HP) Traktor Pertanian

(A ≤ 4,47 kW) (4,47 kW < B < 6,34 kW) (6,34 kW ≤ C < 11,19 kW)

(A ≤ 6,00 hp) (6,00 hp < B < 8,50 hp) (8,50 hp ≤ C < 15,00 hp)

Motor Penggerak Motor bensin Motor bensin Motor diesel

Motor Penggerak Motor diesel Motor diesel Motor diesel

Kopling Utama Sabuk dan puli

penegang Sabuk dan puli penegang Sabuk dan puli penegang

Kopling Utama Sabuk dan puli

penegang Multi cakram tipe kering Multi cakram tipe kering

Sumber: Sasmito ( 2014 )

KAPASITAS KERJA TRAKTOR

Lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan tanah konvensional mendorong penggunaan alat dan mesin pertanian agar dapat mengefisienkan waktu kerja yang dapat dilakukan dalam kegiatan pengolahan tanah. Penggunaan traktor dapat meningkatkan

1488

penggunaan waktu yang optimal serta memudahkan pengolahan tanah dan mengefisienkan penggunaan tenaga kerja.

Kapasitas suatu mesin pertanian adalah laju mesin tersebut untuk mengerjakan lahan sesuai dengan fungsi yang dimaksud atau manfaat pekerjaannya. Menurut Dadhich et al., 2009, kapasitas kerja traktor ini dinyatakan dengan luas dalam akre yang dapat dikerjakan oleh mesin per jam. Faktor-faktor yang terlibat di dalamya adalah lebar kerja yang berguna dan kecepatan berjalan dengan memperhatikan kehilangan waktu dalam pembelokan serta perawatan mesin. Kapasitas kerja traktor juga dipengaruhi oleh jumlah vegetasi yang tumbuh dan sisa tanaman di lahan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas kerja traktor pada lahan yang bersih lebih tinggi dibanding pada lahan bersemak. Sedangkan pada lahan yang kondisi lahannya lunak/lembek dan tergenang, pengolahan tanah dapat langsung dikerjakan menggunakan gelebeg (Suheiti, 2008)

Masing-masing jenis traktor memiliki kapasitas kerjanya sendiri. Semakin tinggi daya yang dimiliki alat akan semakin besar/tinggi pula kemampuan kerjanya. DonFeng K75A dan Kubota RD 65 dengan daya 7,5 dan 6,5 memiliki kapasitas kerja 20 jam/ha dan 15 jam/ha. Traktor jenis Quick G1000 dan Yanmar TF85 dengan daya 8,5 mempunyai kapsitas kerja 9,59 jam/ha dan 10,61 jam/ha (Tabel 3).

Tabel 3. Kapasitas kerja traktor menurut jenisnya.

Jenis traktor HP Kemampuan kerja Jam kerja rata-rata

(jam/hari) Jam/ha Ha/jam

Quick G1000 8,5 9,40 9,59 0,10426 DonFeng K75A 7,5 9,00 20,00 0,05000 Yanmar TF85 8,5 9,33 10,61 0,09426 Kubota RD65 6,5 9,00 15,00 0,06667 Mikawa T55 5,5 9,00 11,25 0,08889 Kubota GS300 5,5 7,50 10,13 0,9867

Sumber: Rizaldi (2008)

ANALISIS BIAYA DAN KELAYAKAN

Hasil penelitian Ananto dan Astanto (2000) menunjukkan bahwa pengelolaan traktor sewa perorangan masih lebih baik dibanding dengan berkelompok dan menguntungkan dengan nilai B/C lebih besar 1. Ditambahkan Karyadi dan Sri (2012) bahwa pendapatan rata-rata usahatani padi yang menggunakan hand traktor Rp. 6.005.008,33; sedang rata-rata usahatani padi yang menggunakan ternak sapi Rp. 4.474.499,30; pada taraf sig 0,002 (P < 0,01%).

Dari sisi Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) analisis biaya pemakaian traktor bervariasi dilihat dari sisi perbandingan manfaat (B/C Ratio) seperti yang terjadi di Kabupaten Gresik. (Tabel 4). Pemanfaatan traktor akan menguntungkan jika B/C ratio > 1. Tapi tidak semua UPJA mendapat keuntungan meskipun unit pelayanan alsintannya sudah berjalan lebih lama (5 tahun). Untuk itu pengelolaan pengembangan UPJA harus ada perbaikan terus menerus.

Sejalan dengan penelitian Rizaldi, T.,2008, yang mengatakan bahawa kondisi perekonomian petani yang masih tergolong ekonomi lemah menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan sistem UPJA sehingga biaya sewa alsintan sering dibayarkan setelah panen. Kondisi ini berdampak pada terganggunya pengelolaan keuangan kelompok.

1489

Tabel 4. Rata-rata analisis finansial (B/C Ratio) traktor roda dua selama 5 tahun (tahun 2000 - 2004) beberapa kelompok UPJA di Kabupaten Gresik.

Kelompok UPJA Kecamatan B/C ratio

Sedayu 1,078 Dukuh 1,079 Panceng 0,837 Bungah 0,746

Cerme 1,158

Kedamean 0,965

Sumber: Hamidah dan Teguh (2006)

KENDALA DALAM PERCEPATAN TANAM Dalam pelaksanaan penggunaan traktor sebagai alat mengolah tanah dalam gerakan

percepatan tanam bukan berarti tidak mendapat hambatan sama sekali. Percepatan tanam tergantung beberapa faktor yakni :

1. Perubahan iklim, masa El Nino yang lama mengharuskan musim tanam mundur dari jadwal tanam yang berdampak pada pergeseran pola tanam serta komoditas pertanian petani.

2. Faktor insentif, insentif berupa bantuan biaya tanam belum dapat efektif jika faktor-faktor pendukung lain tidak maksimal. Misalnya tidak adanya air yang cukup.

3. Kondisi lahan dan kondisi jaringan irigasi. Lahan sawah akan mudah diolah jika dalam kondisi terairi. Tanah dalam kondisi kering akan menyulitkan olah tanah baik untuk olah tanam minimum maupun olah tanah sempurna. Dengan perbaikan irigasi maka suplai air ke persawahan dapat menjangkau lahan yang lebih luas. Banyaknya tunggul-tunggul bekas tanaman dilahan juga dapat menghampat jalannya traktor. Menurut Rizaldi (2008), masih banyaknya tunggul tanaman dalam petakan olahan dapat menghambat penggunaan alat sehingga mengurangi kapasitas kerja alat.

4. Faktor ekonomi. Penggunaan alsintan identik dengan biaya mahal sedang umumnya petani memiliki luasan lahan yang sempit.Rata-rata 0,2 ha per orang artinya penggunaan traktor dirasa makin memberatkan petani yang standar ekonominya dibawah rata-rata. Sedangkan petani biasa mengolah lahannya secara perorangan tidak bersama-sama sehingga biaya sewa traktor terasa masih mahal.

5. Jumlah traktor. Ketersediaan alat traktor di beberapa petani masih sangat terbatas sehingga petani masih ada yang menggunakan tenaga ternak dan menyesuaikan umur persemaian padi.

6. Sosial budaya. Percepatan tanam tidak dapat berjalan lancar jika berbenturan norma etika dan adat setempat yang telah dipercaya turun temurun. Ini memerlukan pendekatan persuasif dan bertahap. Tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi tingkat adopsi penggunaan traktor.

7. Kelembagaan UPJA dibentuk sebagai usaha untuk mengembangkan alsintan di tingkat petani. Terbentuknya upja bukan jaminan bahwa organisasi tersebut dapat berjalan sesuai harapan. Untuk itu perbaikan manajemen pengelolaan UPJA akan dapat meningkatkan adopsi alsintan ke masyarakat.

KESIMPULAN

Gerakan percepatan tanam merupakan gerakan untuk mengejar waktu tanam, memperpendek jeda tanam dan dilakukan secara serempak di beberapa daerah pada waktu dan musim yang sama

Penggunaan traktor dalam gerakan percepatan tanam bertujuan untuk mengefisienkan waktu sehingga penanaman dapat dilakukan tepat waktu karena

1490

traktor mempunyai kapasitas kerja yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan tenaga ternak

Penggunaan traktor berpengaruh terhadap gerakan tanam serempak terutama pada kegiatan pengolahan tanah

Penggunaan traktor dalam pengolahan tanah terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani dibanding dengan pengolahan tanah menggunakan ternak

Pemakaian traktor yang tepat dalam usaha tani dapat meningkatkan pendapatan petani 33,3% dibanding menggunakan tenaga ternak

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, R.M ., M . Misra and B. Nayak. 1979 . Working capacity and behaviour of Crossbred vs non-descript indigenous breeds under Orrisa condition. Indian J . Dairy Sci . 32(1): 37-42.

Ananto, E.E. dan Astanto, 2000. Kelayakan Usaha Jasa Pelayanan Alsintan (Traktor) Kelompok Tani di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Laporan Teknis P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Anonim. 2015. Rencana strategis kementerian pertanian 2015-2019. Kementerian pertanian. jakarta.

Baharsyah, S. 1991. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Makalah Seminar Peranan Swasta dalam Pengembangan Agribisnis di Daerah Transmigrasi. Departemen Transmigrasi dan PT. Inacon Luhur Pertiwi. Jakarta.

BPS Pusat. 2012. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 20 Maret 2014. Bappeda. 2015. Buku Data Dinamis Propinsi Jawa Timur, Semester I-2015. Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur. http://bappeda.jatimprov.go.id. Diakses pada tanggal 5 April 2016.

BPS Pusat. 2015. Jumlah produksi padi. www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 28 Februari

2016. BPTP Jatim. 2016. Percepat Tanam, BPTP Jawa Timur Salurkan Bantuan Benih.

http://jatim.litbang.pertanian.go.id. 15 April 2016. Diakses 9 Mei 2016. Chen PC, Yu MM, Chang CC, Hsu SH (2008). Total factor productivity growth in China’s

agricultural sector. Journal of China Economic Review, Vol. 19, pp. 580-593. Dadhich, H., Poudel, K.R., dan Baral, T. 2009. Economics of Custom Hiring of Tractor and

Tractor Driven Farm Implements in the Sunsari District of Nepal. Thailand: International Agricultural Engineering Conference 7-10 December 2009.

Dahono. 1997. Pengolahan Tanah Dengan Traktor Tangan. Bagian Proyek Pendidikan

Kejuruan Teknik IV. Jakarta. Gagelonia, E.C., Cordero, J.C., dan Tadeo, B.D. 2005. Engineering the Crop Establishment

System for Paddy Wet Seeding. Tokyo: Farm Machinery Industrial Research Corp. Agricultural Mechanization in Asia, Africa, and Latin America 2005 Vol.36 No.2.

Hamidah, H dan Teguh,S. 2006. Analisis Operasional Traktor Tangan Pada Usaha Pelayanan

Jasa Alsintan Pola Kerjasama Operasional di Kabupaten Gresik. Jurnal Ilmu-ilmu ekonomi. Vol 6 No. 2. September 2006.

Kalender Tanam Terpadu, Musim Tanam (MT) I 2013/2014 Nasional. Badan Litbang

Pertanian, Kementerian Pertanian, 2013 (In Indonesian). Karyadi. S.C. dan Sri Suratiningsih. 2012. Perbandingan Usaha Tani Padi Yang Menggunakan

1491

Hand Tractor dengan Ternak Sapi di Kelompok Tani Karya Pembangunan. Agromedia. Vol. 30, No.1. Maret 2012. http://jurnalkampus.stipfarming.ac.id/. Diakses pada tanggal 20 Maret 2016.

Miftahudin.H. 2015. Distribusi Bantuan Traktor. Mentan: Juli Ini Baru Keluar.

www.metronews.com. Diakses pada tanggal 8 April 2016. Nkakini SO, Ayotamuno MJ, Ogaji SOT, Probert SD (2006). Farm mechanization leading to

more effective energy-utilization for cassava and yam cultivation in Rivers State, Nigeria. Journal of Applied Energy, Vol. 83, pp.1317-1325.

Pantjar, S. dan I.W. 2006. Rusastra. Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi.

http://new.litbang.pertanian.go.id/buku/ekonomi-padi-beras/BAB-II-2.pdf. Diakses pada tanggal 22 April 2016.

Rizaldi. T. 2008. Pengembangan dan Pengelolaan Traktor dalam Pengolahan Tanah di

Kecamatan Perbaungan. Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. www.library.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 18 Maret 2016.

Suastawa, I. N., W. Hermawan, dan E. N. Sembiring. 2000. Konstruksi dan Pengukuran

KinerjaTraktor Pertanian. Teknik Pertanian. Fateta. IPB. Bogor. Simatupang. P and Muhamad Maulana. 2006. Prospek penawaran dan permintaan pangan

utama: Analisis masalah, kendala dan opsi kebijakan revitalisasi produksi. Pros. Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun kemandirian pangan berbasis pedesaan. hlm: 1-37.

Suheiti K. 2008. Alat dan Mesin Pertanian Tepat Guna untuk Tanaman Padi dalam

Mendukung Program Peningkatan Produksi beras Nasional (P2BN). http://jambi.litbang.pertanian.go.id/ind/. Ditinjau pada tanggal 2 Februari 2016.

Sasmito.D.A. 2014. Traktor roda dua. Materi pelatihan penggunaan alat dan mesin pertanian. BB.Mekanisasi Pertanian. Serpong. Tangerang.

Sinar Tani. 2016. Mentan Pantau Sentra Pangan Di Jawa Timur. 18 maret 2016. www.

Tabloidsinartani.com. Ditinjau pada tanggal 7 April 2016. Tiara M. 2016. Alat dan Mesin Pengolahan Tanah. www. Academia.edu. Ditinjau pada

tanggal 30 Maret 2016. Unadi A, and Harmanto, 2010. The Strategic Steps to Accelerate the Utilization of Agricultural

Mechanization Research and Development Results. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian, 2010. ISBN: 978-979-95196-5-8.