Upload
dinhdat
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP PSIKOLOGIS ISTRI DAN ANAK
(Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Nur Khofifah Syarif 1110044100046
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1436 H/2015 M
ii
PENGARUH NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP PSIKOLOGIS ISTRI DAN ANAK
(Studi Kasus Di Kelurahan Cinere Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh:
Nur Khofifah Syarif NIM: 1110044100046
Di Bawah Bimbingan:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP: 195003061976031001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1436 H/2015 M
v
ABSTRAK
Nur Khofifah Syarif, NIM 1110044100046. Judul Skripsi “Pengaruh Nikah di Bawah Tangan Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus di Kelurahan Cinere Depok)”. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1436 H/2015 M, x + 87 halaman + 30 halaman lampiran.
Fokus studi ini adalah bagaimana dampak praktik nikah di bawah tangan yang
banyak terjadi pada masyarakat kelurahan Cinere Depok terhadap psikologis istri dan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan terhadap psikologis istri dan anak, apa sebenarnya yang menjadi motif seorang perempuan mau dinikahi secara nikah di bawah tangan, kemudian bagaimana pengetahuan hukum masyarakat tentang pencatatan perkawinan.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Data yang diperoleh bersumber dari buku atau literatur kepustakaan, serta diperoleh dari penelitian lapangan berupa wawancara. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif.
Studi menunjukkan bahwa faktor penyebab masyarakat kelurahan Cinere Depok melakukan nikah di bawah tangan diantaranya, faktor ekonomi (tingginya biaya pencatatan perkawinan), proses administrasi yang berbelit-belit serta lama, karena poligami, karena hamil di luar nikah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat. Dampak dari pernikahan di bawah tangan terhadap istri dan anak sangat besar, dimana istri tidak akan pernah dianggap sebagai istri sah dan akibatnya tidak berhak atas hak nafkah dan waris, begitu juga dengan anak, anak tidak memiliki akta kelahiran dan akibatnya anak sulit untuk mendaftarkan sekolah dan ini menjadi beban psikis tersendiri bagi diri anak tersebut. Nikah di bawah tangan adalah sah menurut hukum Islam jika memenuhi rukun dan syarat nikah, tetapi tidak sah menurut hukum Positif karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan tercatatnya pernikahan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Walaupun Undang-Undang yang dibuat sudah sedemikian rupa namun masih banyak masyarakat yang tidak taat hukum, dan masih adanya anggapan dari mereka bahwa sah atau tidaknya sebuah perkawinan bukan ditentukan dari dicatat atau tidaknya perkawinan. Kata Kunci : Pernikahan, Pencatatan, Nikah di bawah tangan, Psikologi. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Daftar Pustaka : 1970-2014.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمن الر حیم
Alhamdulillah Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahNya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh Nikah di Bawah Tangan
Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus di Kelurahan Cinere Depok)”
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy), pada Fakultas
Syariah dan Hukum. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah atas junjungan
besar kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M. A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi dan Arip Purkon, M. A.,
sekretaris Progam Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA, dosen pembimbing skripsi yang telah dengan
sabar membimbing dalam meyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan tulus telah
memberikan ilmunya selama menuntut ilmu di kampus tercinta ini, dengan segala
rasa ta’dzim “semoga apa yang telah diajarkan menjadi ilmu yang bermanfaat di
dunia dan akhirat”.
vii
5. Segenap pengelola Perpustakaan Fakulatas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan
Utama (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka.
6. Teruntuk Ayahanda Syarifudin HM, dan Ibunda Siti Khodijah kupersembahkan
karyaku ini untuk kalian berdua yang selalu aku cintai lebih dari apapun, yang
selalu memberikan dukungan moril kasih sayang, perhatian, serta nasehat dengan
penuh keikhlasan dan tiada henti selalu mendoakan penulis serta dukungan
materil yang tak terhingga, untuk Ayahanda H. Mursidih dan Ibunda Hj.
Mulyanah Semoga Allah Swt selalu memberikan rahmat dan kesehatan, serta
membalas kebaikan Ayahanda dan Ibunda, amin ya rabbal ‘alamin. Untuk nenek
Hanifah yang sangat aku sayangi, yang selalu mendoakan penulis dengan ikhlas
dan menjadi pengganti orang tua selama penulis menuntut ilmu dan harus tinggal
dirumahnya, hanya Allah SWT yang bisa membalas kebaikan nenek dan semoga
Allah selalu mengkaruniakan nikmat sehat dan keberkahan rizki, amiin ya rabbal
‘alamin.
7. Teruntuk suamiku tercinta Rizka Hidayat S.Pd.I yang selalu memberikan support
agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini, i do love...
8. Sahabat seperjuangan yang selalu ada dalam suka dan duka Siti Rachmah, Siti
Nurjanah dan teman-teman jurusan Peradilan Agama (Syariah dan Hukum)
angkatan 2010, terima kasih untuk kalian semua atas kebersamaannya selama
penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga silaturrahim kita akan
tetap terus terjalin.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 8
D. Metode Penelitian ......................................................................... 9
E. Studi Review Terdahulu ............................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 14
BAB II : PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN DAN HAKIKAT
PSIKOLOGI ..................................................................................... 16
A. Pengertian, Rukun dan Syarat, Tujuan dan Hikmah, serta Hak
dan Kewajiban dalam Pernikahan ................................................ 16
B. Pengertian Pencatatan Nikah, Pencatatan Nikah Menurut
ix
Hukum Islam, dan Pencatatan Nikah Menurut PerUndang-
Undangan ..................................................................................... 32
C. Pengertian Nikah di Bawah Tangan, Nikah di Bawah Tangan
Menurut Hukum Islam, dan Nikah di Bawah Tangan Menurut
Perundang-Undangan ................................................................... 41
D. Hakikat Psikologi ......................................................................... 46
BAB III : POTRET WILAYAH DAN PENDUDUK KELURAHAN
CINERE KOTA DEPOK ................................................................ 61
A. Kondisi Geografis Kelurahan Cinere ........................................... 61
B. Kondisi Demografis Kelurahan Cinere ........................................ 62
C. Kondisi Sosiologis Kelurahan Cinere .......................................... 64
BAB IV : NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN PENGARUH
PSIKOLOGIS BAGI ISTRI DAN ANAK ..................................... 66
A. Kasus Nikah di Bawah Tangan di Kelurahan Cinere Depok ....... 66
B. Faktor Penyebab Nikah di Bawah Tangan ................................... 70
C. Dampak Psikologis Istri dan Anak karena Nikah di Bawah
Tangan .......................................................................................... 75
BAB V : PENUTUP ......................................................................................... 78
A. Kesimpulan................................................................................... 78
B. Saran ............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN :
x
A. DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Usia .......... 62
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ............................................................................... 63
Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Pekerjaan . 64
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Warga Negara Asing .................................. 65
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Agama ...... 65
B. DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Permohonan Dosen Pembimbing Skripsi .................................... 86
2. Lembar Permohonan Data/Wawancara Kantor Kelurahan Cinere ........... 87
3. Lembar Permohonan Data/Wawancara KUA Kecamatan Limo .............. 88
4. Lembar Keterangan Hasil Penelitian di Kelurahan Cinere ....................... 89
5. Lembar Keterangan Hasil Penelitian di KUA Kecamatan Limo .............. 90
6. Peta Wilayah Penelitian ............................................................................ 91
7. Lembar Pernyataan Wawancara ................................................................ 92
8. Pertanyaan Wawancara ............................................................................ 93
9. Hasil Wawancara ....................................................................................... 97
10. Photo Wawancara Dengan Responden...................................................... 116
11. Photo Kantor Kelurahan Dan Kantor Urusan Agama ............................... 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri manusiawi yang perlu
mendapat pemenuhan untuk mengabdikan dirinya kepada khaliq, penciptanya
dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi seorang manusia
antara lain adalah kebutuhan biologisnya, agar manusia mengetahui tujuan
kejadiannya, Allah Swt mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.1
Allah memilih perkawinan sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan
perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak
menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya,
sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang
adanya rasa saling ridha, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa
pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.2
Dalam membangun ikatan perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin
antara pasangan suami isteri agar dapat terbentuk keluarga yang sakinah,
1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), h. 22-23.
2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h. 10-11.
2
mawaddah, dan rahmah seperti yang diimpikan oleh setiap pasangan suami isteri.
Artinya, ada 3 kunci yang harus dipegang dalam mengarungi kehidupan berumah
tangga yaitu Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah. Pertama, Sakinah merupakan
kata kunci yang amat penting, dimana pasangan suami istri merasakan kebutuhan
untuk mendapatkan kedamaian, keharmonisan,dan ketenangan hidup yang
dilandasi oleh keadilan, keterbukaan, kejujuran, kekompakan, keserasian, serta
berserah diri kepada Allah SWT. Kedua, Mawaddah bukanlah sekedar cinta
terhadap lawan jenis dengan keinginan untuk selalu berdekatan tetapi lebih dari
itu, mawaddah adalah cinta plus karena cintanya disertai dengan penuh dengan
keikhlasan dalam menerima kekurangan dan kelebihan orang yang dicintai.
Ketiga, Rahmah merupakan perasaan saling simpati, menghormati, menghargai
antara satu dengan yang lainnya, saling mengagumi, memiliki kebanggaan pada
pasangannya sebagaimana ia memperlakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.3
Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang akan menimbulkan
hubungan hukum privat seperti hubungan nasab, kewarisan, dan lain-lain,
maupun hubungan hukum publik seperti hubungan dengan masyarakat dan
Negara. Campur tangan (intervensi) Negara terhadap lembaga perkawinan dapat
dipahami, karena dampak hubungan hukum yang dilahirkannya sangat luas.
Negara menginginkan semua hubungan hukum warganya berjalan teratur dan
pasti.4
3 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press,
2008), h. 48-50. 4 Agustina Bilondatu, Optimalisasi Peran Kua Dalam Mengatasi Illegal Wedding, artikel di
akses pada 23 Januari 2014 dari http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JL/article/view/882/823.
3
Situasi, kondisi, dan kebutuhan zaman telah berubah, apa yang dahulu
tidak penting sekarang ini menjadi penting, apa yang dahulu sia-sia sekarang
menjadi bermanfaat. Jika zaman dahulu pencatatan perkawinan adalah suatu hal
yang tidak penting, namun ketika zaman telah berubah seperti sekarang ini justru
pencatatan perkawinan menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus
dilakukan.5
Berdasarkan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Pencatatan Perkawinan menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.6 Dengan demikian, jelas
bahwa spirit yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan kita adalah
meletakkan perkawinan sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan pengamalan
ajaran agama dan kepercayaan masyarakat dan bukan hanya sebagai suatu
peristiwa perdata biasa sebagaimana yang dianut oleh KUHPerdata (Burgerlijke
wetboek) sehingga yang dipentingkan adalah pencatatannya oleh negara.7
Dipertegas dalam pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
Dasar-Dasar Perkawinan menyebutkan “Agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Ayat (2) “Pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
5 Yayan Sopyan, Islam Negara, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 130. 6 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983
(Semarang: Beringin Jaya), h. 8. 7 H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat
Indonesia, (Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2001), h.133.
4
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954
tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI No. 22 tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan
Madura”. Pasal 6 ayat (1) “Untuk memenuhi ketentuan pada pasal (5), setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah”. Ayat (2) “Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.8
Namun, jika kita lihat pada kenyataannya dalam praktik perkawinan yang
terjadi di lingkungan masyarakat berbeda, karena tidak sepenuhnya mengacu
kepada Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
mengharuskan adanya pencatatan, sehingga mereka melakukan nikah di bawah
tangan yang hanya sah menurut hukum Agama tetapi tidak sah dalam hukum
Negara.
Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, nikah sirri dengan nikah di bawah
tangan (urfi) berbeda, nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan supaya orang
lain tidak mengetahui, sedangkan nikah di bawah tangan adalah nikah yang secara
fikih memenuhi syarat dan rukun nikah, namun dalam pernikahan tidak dicatat
secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah.9 Dan pelaksanaan akad tersebut
adalah benar dan sah dengan rukun dan syarat nikah yang sesuai dengan syari’at
8 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 2-3. 9 Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 133.
5
Islam.10
Jika perkawinan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka ada
suatu hal yang tidak wajar yang tidak ingin diketahui banyak orang seperti ada
suatu aib dan perkawinan yang disembunyikan tentu saja bertentangan dengan
syara’,11 Menurut jumhur ulama hukum mengadakan walimah dan menyiarkan
atau mempublikasikan perkawinan adalah sunnah muakaddah.12 Maksud adanya
publikasi ini adalah diketahuinya oleh umum bahwa sebuah perkawinan telah
terjadi dan tidak disembunyikan, karena menyembunyikan perkawinan
merupakan perbuatan yang diharamkan.13
Bagi sebagian orang mungkin akan menjawab nikah di bawah tangan itu
sah, karena menurut mereka sah atau tidaknya suatu pernikahan bukan ditentukan
oleh dicatat atau tidaknya pernikahan, tetapi dengan kelengkapan syarat dan
rukun nikahlah yang menjadi sah atau tidaknya pernikahan.
Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang birokratis dan berbelit-belit, serta lama pengurusannya. Untuk
itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Dalam Ilmu Hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah “Penyelundupan
Hukum”, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang
10 Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang , (Jakarta: Cendikiawan Muslim, 2002), h. 46. 11 Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 133. 12 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Al Ma’arif, jilid 7, 1987), h. 166 13 Yayan Sopyan, Islam Negara, h. 128.
6
ditentukan oleh Undang-Undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan
perbuatan yang bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang
tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang
dikehendaki.14
Masyarakat di Indonesia masih belum mamiliki kesadaran akan
pentingnya pencatatan perkawinan, mereka seringkali menganggap mudah
persoalan nikah di bawah tangan. Dan pada akhirnya dampak negatif yang
ditimbulkan akan meluas, kaum perempuan dan anak-anak yang pada akhirnya
menjadi korban dan sangat dirugikan.
Seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan cara nikah di bawah
tangan bisa saja dengan seenaknya meninggalkan istri tanpa dibebani tanggung
jawab apapun terhadap istri dan anaknya karena tidak adanya bukti otentik dalam
pernikahannya, terbukanya peluang bagi laki-laki untuk melakukan tindakan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), terhalangnya pembagian waris dan hak
nafkah, kesulitan untuk membuat akte kelahiran anak karena tidak ada bukti
otentik bahwa pernikahan tersebut sah menurut hukum negara, dampak psikis
tentunya yang dirasakan oleh anak-anak, yang tidak jarang dari mereka menjadi
topik perbincangan masyarakat yang menganggap negatif perkawinan orang
tuanya yang tidak dicatatkan dan masih banyak lagi dampak yang ditimbulkan.
Hal ini terjadi karena masih ada asumsi gender dan nilai-nilai patriarki
baik dalam substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure),
14 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal, (Jakarta: IND-HILL-CO, Edisi Revisi 1990),
h. 227.
7
dan sikap kaum perempuan itu sendiri (legal culture).15Dan hal ini masih banyak
terjadi dalam masyarakat kita yang awam terhadap hukum, berpendidikan rendah
serta berpenghasilan lemah sehingga mengambil jalan pintas yang mudah dan
cepat demi ketenangan batin. Itulah bentuk perkawinan yang telah menjadi mode
masa kini yang timbul dan berkembang di Indonesia seperti fenomena gunung es.
Berdasarkan uraian di atas, yakni banyaknya dampak negatif terhadap istri
dan anak-anak terutama terhadap psikologisnya sehingga membuat penulis untuk
meneliti lebih lanjut dan mengangkatnya dalam skripsi “Pengaruh Nikah Di
Bawah Tangan Terhadap Psikologis Istri dan Anak (Studi Kasus Di
Kelurahan Cinere Depok)”.
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, maka perlu
diadakannya pembatasan masalah. Selanjutnya penulis membatasi masalah
pada skripsi ini hanya fokus pada dampak negatif dari nikah dibawah tangan
terhadap psikologis istri dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Adapun fokus studi ini adalah:
• Bagaimana dampak psikologis yang dirasakan oleh istri dan anak-anak
akibat nikah di bawah tangan?
15 H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat
Indonesia, h. 138.
8
Namun, sebelum menjawab persoalan di atas perlu diungkap beberapa
hal yang berhubungan dengan persoalan tersebut, yaitu:
• Apa yang menyebabkan seorang perempuan mau dinikahi secara di bawah
tangan?
• Bagaimana pengetahuan hukum masyarakat Kelurahan Cinere terhadap
pencatatan perkawinan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
• untuk mengetahui bagaimana dampak psikologis yang dirasakan istri
dan anak akibat nikah di bawah tangan.
Namun, sebelum menjawab persoalan tersebut perlu diungkap
beberapa hal.
• untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi motif seorang
perempuan sehingga ia mau dinikahkan secara di bawah tangan.
• untuk mengetahui bagaimana pengetahuan hukum masyarakat
Kelurahan Cinere terhadap pencatatan perkawinan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun dalam penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut: Pertama, menambah ilmu pengetahuan dan memperluas
informasi permasalahan yang ada di masyarakat. Kedua, penulis berharap
penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teori maupun
9
praktik hukum. Ketiga, Semoga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
informasi di berbagai kalangan. Keempat, dapat juga dijadikan bahan acuan
pada penelitian selanjutnya berkenaan dengan masalah yang terkait.
D. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis-empiris,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat,
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai kehidupan
itu. Sementara soerjono Sukamto mengartikan sosiologi sebagai sutu ilmu
pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Pendekatan sosiologis adalah suatu landasan kajian sebuah studi atau
penelitian untuk mempelajari hidup bersama dalam masyarakat.16
pendekatan empiris adalah suatu pendekatan yang digunakan apabila ada
perbedaan antara hukum positif yang tertulis dengan hukum yang hidup di
masyarakat, ini merupakan fakta sosial.17 Empiris artinya bersifat nyata.
Jadi, yang dimaksudkan dengan pendekatan empiris adalah usaha
mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau
sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, penelitian
16 Prof.Dr. musakkir, Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum, artikel ini di akses dari M. Musakkir.page.tl/home.htm, pada 7 September 2015.
17 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 47-48.
10
dengan pendekatan sosiologis-empiris harus dilakukan di lapangan,
dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan. Peneliti
mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan
para anggota masyarakat terutama yang melakukan nikah di bawah
tangan.18
b. Jenis Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian:
1) Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang kajiannya
dilaksanakan dengan menelaah dan menusuri berbagai literatur, karena
memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali terfokus
kepada studi pustaka.19
2) Penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan
dengan mendatangi langsung objek yang akan diteliti guna
mendapatkan data-data yang valid. Langkah yang digunakan dalam
penelitian lapangan melalui teknik wawancara dan alat lainnya.20
Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif
bersifat Deskriptif, dan data yang terkumpul berbentuk kata-kata,
gambar bukan angka.21
18 Mudjia Rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari
http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-hukum-islam.html, pada 23 Januari 2014.
19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h. 17-18. 20Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.
52. 21 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), h. 18.
11
2. Sumber Data
Karena penelitian ini merupakan gabungan antara studi pustaka dan
lapangan, maka sumber yang diambil oleh penulis meliputi:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari beberapa
narasumber yaitu masyarakat di kelurahan Cinere Depok yang melakukan
nikah di bawah tangan, instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah melalui wawancara dan alat lainnya.
b. Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan pustaka yang berkaitan
dengan pokok bahasan karya tulis ini yaitu mengenai perkawinan di
bawah tangan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis
menggunakan alat pengumpulan data atau instrument penelitian yakni alat
atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih cermat,
lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah.
Adapun instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti berupa:
a. Data Primer, yaitu:
1) Penentuan Informan, penentuan informan dalam penelitian ini
menggunakan teknik snow ball atau teknik lempar bola salju, yaitu
dengan cara menentukan satu orang atau beberapa orang informan
12
yang akan diwawancara dan merupakan sumber utama dalam
penelitian di sekitar wilayah kelurahan Cinere Depok, kemudian baru
mencari sumber lain dari informan sebelumnya yang mereka ketahui.22
2) Wawancara (interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
peneliti untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan pada informan, yang nantinya
akan penulis olah sebagai bahan skripsi.23 Peneliti menggunakan
teknik ini dalam mengumpulkan data yang menjadi bahan dalam
penulisan skripsi. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber utama
yang penulis wawancara selain pelaku nikah di bawah tangan itu
sendiri, kemudian anak dari pelaku nikah di bawah tangan, penulis
juga mewawancarai kepala KUA kec. Limo, dan tokoh masyarakat di
wilayah kelurahan Cinere Depok.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat untuk menggambarkan
kejadian yang berlangsung berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan.
Kualitatif, yaitu suatu metode yang berfungsi sebagai prosedur penelusuran
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan
objek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat), berdasarkan fakta-
22 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 86. 23 Wachid Setya, Metode Wawancara dalam Penelitian, artikel di akses dari
http://wachidsetya.blogspot.com/, pada 23 Januari 2014.
13
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.24 Jadi, penggunaan teknik
analisis deskriptif kualitatif disini merupakan penelitian yang lebih banyak
menggunakan kualitas objek, artinya bahwa objek yang akan menjadi sumber
penelitian merupakan tokoh kunci dalam pokok permasalahan penelitian,dan
tokoh kunci dalam penelitian ini adalah para pelaku nikah di bawah tangan.
5. Pedoman Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan harapan bahwa
penulisan ini tidak hanya baik dari segi isi tetapi juga dari segi penulisan.25
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian mengenai Perkawinan tidak tercatat sudah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, di antaranya:
Komarudin Beta : “Praktek Perkawinan Yang Tidak Tercatat di Desa
Kertanegara, Indramayu (Analisis Hukum Islam dan Hukum Positif) ”. Skripsi
Tahun 2010. Membahas praktek perkawinan yang tidak dicatat di Desa
Kertanegara dan mencari apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa
Kertanegara melakukan perkawinan yang tidak tercatat serta akibat dari
perkawinan tersebut.
24 Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari http://koffieenco.blogspot.com/ 2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html, pada 23 Januari 2014.
25 Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. (Jakarta: PPJM,2012).
14
Muhammad Bakhreni : “Perilaku Nikah Bodong pada Masyarakat Pondok
Aren (Study pada Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren
Periode 2009-2010)”. Banyak masyarakat di sekitar Kelurahan Jurang Mangu
Timur yang melakukan praktik nikah bodong atau yang disebut nikah sirri dan
akibat hukum dari perilaku nikah bodong sejak tahun 2009-2010.
Muhammad Rizky Prasetya : “Hilangnya Hak Anak dan Isteri Akibat Nikah
di Bawah Tangan, Studi Kasus Kelurahan Kebon Sirih Kecamatan Menteng”,
Skripsi Tahun 2010. Menjelaskan nikah di bawah tangan sebagai penyebab
hilangnya hak anak dan istri.
Sedangkan yang membedakan penulisan skripsi penulis dengan skripsi lain
adalah permasalahan mengenai dampak psikologis yang dirasakan istri dan anak
akibat dari nikah di bawah tangan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambasran yang jelas dan sistematis tentang materi
yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan
kedalam lima (5) bab dengan urutan sebagai berikut:
Bab Pertama berisikan pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, studi/kajian terdahulu, dan sistematika
penulisan.
Bab Kedua berisikan kajian teorotis tentang pernikahan, pencatatan nikah,
nikah di bawah tangan, dan hakikat psikologi meliputi pengertian pernikahan
15
secara umum, rukun dan tujuan nikah, tujuan dan hikmah nikah serta hak dan
kewajiban suami istri, pengertian pencatatan pernikahan, pencatatan pernikahan
menurut hukum Islam dan pencatatan pernikahan menurut perundang-undangan,
pengertian nikah di bawah tangan, nikah di bawah tangan menurut hukum Islam
dan nikah di bawah tangan menurut perundang-undangan, serta membahas
psikologi dan aspek-aspek psikologi.
Bab Ketiga berisikan Potret wilayah dan penduduk kelurahan Cinere
Depok, meliputi kondisi geogrfis kelurahan Cinere, kondisi demografis kelurahan
Cinere, serta kondisi sosiologis kelurahan Cinere.
Bab Keempat berisikan tentang nikah di bawah tangan dan pengaruh bagi
istri dan anak yang meliputi, kasus nikah di bawah tangan di kelurahan Cinere,
faktor penyebab nikah di bawah tangan, serta dampak terhadap psikologis istri
dan anak karena nikah di bawah tangan.
Bab Kelima berisikan penutup, meliputi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN DAN HAKIKAT PSIKOLOGI
A. Pengertian, Rukun dan Syarat, Tujuan dan Hikmah, serta Hak dan
Kewajiban dalam Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa Arab “نكح“ yang berarti kawin atau
nikah.P0F
1P Nikah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama.P1F
2
Nikah menurut bahasa, al-jam’u dan adh-dhamu yang artinya kumpul
atau bercampur. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij
yang artinya akad nikah, juga bisa diartikan wath’u al zaujah yang bermakna
menyetubuhi istri.3 Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu
sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.4
Pernikahan menurut Islam dapat ditinjau dari tiga sudut : pertama, dari
sudut hukum yaitu suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat
1 A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, Edisi Kedua), h. 1461.
2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat), h. 962.
3 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 37.
4 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 12.
17
melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu
(lama, kekal, abadi). Kedua, dari sudut keagamaan yaitu suatu lembaga yang
suci di mana antara suami dan istri agar dapat hidup tenteram, saling
mencintai, dan mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan
mengembangkan keturunan. Ketiga, dari sudut kemasyarakatan yaitu bahwa
orang yang telah kawin atau berkeluarga telah memenuhi salah satu bagian
syarat dari kehendak masyarakat, serta mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi dan lebih dihargai dari yang belum menikah.5
Pendapat lain mengatakan Lafaz nikah mengandung tiga macam arti:
Pertama, arti menurut bahasa lafaz nikah adalah berkumpul. Kedua, arti
menurut Ahli Ushul (Ushul al Fiqh) berkembang tiga macam pendapat
tentang arti lafaz nikah:
a. Menurut Ahli Ushul golongan Imam Hanafi, Nikah menurut arti aslinya
(arti hakiki) adalah setubuh, dan menurut arti majazi (metaforis) adalah
akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan
seorang wanita.
b. Sedangkan sebaliknya menurut Ahli Ushul golongan Imam Syafi’i, Nikah
menurut arti aslinya adalah akad, yang dengan akad ini menghalalkan
hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita, dan
menurut arti majazi adalah setubuh.
5 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
(Jakarta: IND-HILL, CO, 1985), h. 175-176.
18
c. Berbeda menurut Abu al Qasam Az Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan
sebagian Ahli Ushul dari sahabat Abu Hanifah, Nikah adalah bersyarikat
artinya antara akad dan setubuh.
Ketiga, menurut ulama Fikih tidak ada perbedaan pengertian di antara ulama
Fikih mengenai definisi nikah hanya terdapat perbedaan pada redaksi. Jadi,
para ulama Fikih sependapat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama
untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan)
wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.6
Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara
keseluruhan di dalamnya mengandung kata, inkah atau tazwij dan
sebagaimana pendapat yang telah disebutkan oleh golongan ulama Syafi’iyah
yang memaknai nikah dengan dihalalkannya hubungan kelamin maka
rumusannya sebagai berikut :
ام ا ه ن ع م و أ ج ي و ز التـ و أ ا ح ك الن ظ ف ل ب ئ ط و ة ا ح ب ا ن م ض ت يـ د ق ع 7
“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin
dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.
Ulama golongan Syafi’iyah memberikan definisi di atas melihat kepada
hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang
6 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Jilid.
I, 2003), h. 115-116. 7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 37.
19
berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut
dilakukan diantara keduanya tidak boleh bergaul.8 Beranjak dari makna
etimologis inilah para ulama Fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks
hubungan biologis.9
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. P9F
10P Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena
negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya
berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani tetapi juga memiliki unsur batin atau rohani. P10F
11
Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam tentang Dasar-
Dasar Perkawinan menyebutkan “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12 Kata
Mitsaqan ghalidzan ini diambil dari firman Allah Swt dalam QS. An Nisa
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 38. 9 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 38. 10 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983
(Semarang: Beringin Jaya), h. 7. 11 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indones, h. 43. 12 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Nuansa Aulia, 2011), h. 2.
20
[04] : 21;
)٢١):٤ ( ( ا لنسا ءArtinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu
berikan kepada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidzan)”.
Menurut hemat saya, dari beberapa definisi nikah yang diterangkan di
atas maka yang dimaksud dengan nikah adalah sebuah ikatan perjanjian yang
sangat kuat atas dasar perintah Allah untuk membentuk sebuah rumah tangga
agar dapat memenuhi kebutuhan jasmani (lahir) dan rohani (batin) dan
pernikahan adalah peristiwa hukum yang berakibat hukum.
2. Rukun dan Syarat Nikah
Menurut Jumhur Ulama rukun nikah ada lima (5) dan masing-masing
rukun memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Adanya calon suami, syaratnya :
1) Islam.
2) Laki-laki.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat memberikan persetujuan.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Adanya calon istri, syaratnya :
1) Islam.
21
2) Perempuan.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat dimintai persetujuannya.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Adanya wali nikah dari pihak perempuan, syaratnya :
1) Laki-laki.
2) Dewasa.
3) Mempunyai hak perwalian.
4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Saksi nikah, syaratnya :
1) Islam.
2) Dewasa.
3) Minimal dua orang laki-laki.
4) Hadir dalam ijab qabul.
5) Dapat mengerti maksud akad (berakal).
e. Ijab qabul, syaratnya :
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali pihak perempuan (ijab).
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria (qabul).
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
22
umrah.
7) Majlis ijab dan qabul itu harus di hadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua
orang saksi. 13
Mengenai mahar para ulama sepakat untuk menempatkan mahar
sebagai syarat sahnya suatu pernikahan karena hukumnya yang wajib, karena
apabila sebelum dibayar mahar, seorang istri belum boleh dicampuri kecuali
mahar tersebut ditangguhkan pada saat pengucapan lafaz ijab qabul, yang
berarti pembayarannya di belakang hari.14
Berbeda dengan Jumhur Ulama, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak mengenal adanya rukun nikah, hanya memuat syarat
nikah, yaitu :
a. Perkawinan barulah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya (pasal 2 ayat 1).
b. Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
c. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.
d. Perkawinan hanya diperkenankan apabila pihak pria sudah mencapai umur
19 tahun dan perempuan telah mencapai umur 16 tahun.
e. Perkawinan yang akan dilakukan untuk kedua kali atau kesekian kalinya
13 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 62-63. 14 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 179.
23
dari seorang perempuan yang bercerai karena kematian suami, harus telah
lewat tenggang waktu 130 hari terhitung sejak hari kematian suami (pasal
39 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
f. Bilamana perempuan putus perkawinannya yang dahulu karena
perceraian, karena putusan pengadilan atau karena talaq maka harus
menunggu lampau tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, sejak
putusnya perkawinan itu. (pasal 39 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan).
g. Bilamana seorang perempuan yang putus perkawinannya karena sesuatu
sebab yang syah sedang dia dalam keadaan hamil akan kawin lagi, harus
menunggu bayi yang dikandungnya lahir. (pasal 39 ayat 1 Huruf C
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
h. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
i. Perkawinan seorang laki-laki dengan isteri kedua, ketiga, dan keempat
harus ada izin dari Pengadilan Agama bagi orang-orang Islam, Pengadilan
Negeri bagi non Islam harus pula memenuhi beberapa persyaratan khusus
yang diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
24
tentang Perkawinan jo pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. 15
3. Tujuan dan Hikmah Nikah
a. Tujuan Nikah
Seseorang yang melakukan pernikahan pasti memiliki tujuan agar
rumah tangganya dapat kekal abadi sampai maut memisahkan, maka
tujuan dari nikah adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Ar
Ruum ayat 21, serta untuk mendapatkan keturunan yang baik agar dapat
melanjutkan kehidupan, agar teraturnya nasab karena dengan adanya
pernikahan yang sah maka keturunan yang dilahirkan akan jelas siapa
nasab keturunannya, dan agar teraturnya pembagian harta waris karena
pernikahan adalah peristiwa hukum yang akan berakibat hukum, dan
dengan pernikahan yang sah maka akan menimbulkan pembagian hak
waris kepada pasangan dan keturunan yang sah.
Tujuan nikah menurut perintah Allah Swt adalah untuk
memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang teratur. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa
tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup
jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga
15 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 182-184.
25
dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di
dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, juga ketentraman keluarga dan
masyarakat. 16
Dalam beberapa literatur tujuan dari nikah , yaitu :
1) Untuk membentuk kehidupan yang tenang, rukun, dan bahagia.
2) untuk menimbulkan saling cinta dan saling menyayangi.
3) untuk mendapatkan keturunan yang sah.
4) untuk menimbulkan keberkahan hidup.
5) menenangkan hati orang tua dan keluarga.17
Sedangkan tujuan dari nikah menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu
suami istri harus ada saling pengertian, saling bantu membantu dan
lengkap-melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai
kesejahteraan baik spiritual maupun material. Karena tujuan dari nikah
adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, maka Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menganut prinsip mempersukar
16 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 26. 17 H. Moh. Anwar, Fiqih Islam: Mu’amalah, Munakahat, Faro’id & Jinayah, (Bandung: PT. Al
Ma’arif, cet. II, 1988), h. 114.
26
terjadinya perceraian.18
b. Hikmah Nikah
Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan
tatanan keluarga yang tenang, damai, tenteram, dan penuh kasih sayang.
Selain itu pernikahan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan
generasi yang baik. Dengan adanya pernikahan sebagaimana diatur oleh
agama, maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara nasab
keturunannya, dan salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk
memperoleh keturunan yang baik, sholeh dan sholeha.19
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam mempunyai hikmah
dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu, keluarga,
masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat
manusia, berikut ini beberapa hikmah dari pernikahan:
1) Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan
keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.
2) Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran
hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinaan.
3) Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram.
4) Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib dan teratur.
5) Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rizki yang halal
18 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, h. 181. 19 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT. Al Ma’arif, jilid 6, 1990), h. 18.
27
dan berkah.
6) Nikah memiliki kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk
berperilaku disiplin.
7) Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat, terutama antar
kedua keluarga sehingga terwujud solidaritas sosial (takaful ijtima’i)
dengan memperluas hubungan persaudaraan.
8) Dapat menghasilkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya.20
4. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Akad nikah yang sah, akan menimbulkan akibat hukum baik bagi suami
maupun istri dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak dan kewajiban
suami kepada istri dan sebaliknya dan akan menimbulkan pula hak bersama
suami istri.
Supaya rumah tangga bahagia dan kekal, diperlukan syarat-syarat tertentu.
Salah satu di antaranya adalah dipenuhinya hak masing-masing dari suami
dan istri dan dilaksanakannya apa yang menjadi kewajiban, baik oleh suami
maupun oleh istri. Tanpa dipenuhinya hak dan tanpa dihiraukannya
kewajiban, mustahil rumah tangga bisa bahagia dan kekal. Kalau suami dan
istri masing-masingnya hanya pandai menuntut hak tetapi tidak melaksanakan
apa yang menjadi kewajibannya pertanda rumah tangga suami istri seperti ini
bukannya surga yang menyenangkan tetapi neraka dunia yang menyedihkan
20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 47.
28
yang pada gilirannya akan berakhir dengan perceraian.21 Berikut ini adalah
hak dan kewajiban suami istri menurut hukum Islam:
Kewajiban Suami dan Hak Istri :
a. Sebagai pemimpin keluarga
Keluarga sangat memerlukan pemimpin, dan oleh Islam yang
ditentukan sebagai peminpin adalah suami bukan istri. Laki-laki
memimpin perempuan adalah sesuai dengan kenyataan, dalam Qur’an
dikemukakan dua alasan mengapa suami menjadi pemimpin bagi istri.
Pertama, karena Allah memang melebihkan laki-laki atas perempuan,
misalnya dalam segi kemampuan fisik. Dan kedua, karena laki-lakilah
yang menanggung belanja istri, seperti yang dikemukakan di dalam QS.
An Nisa ayat 34 yang artinya “laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
dengan sebagian yang lain (wanita), dan oleh karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...”.
b. Memberi nafkah
Rumah tangga mempunyai sejumlah kebutuhan seperti pangan,
sandang, dan papan dan suamilah yang menanggung kebutuhan rumah
tangga ini. Bagi suami memberi nafkah keluarga adalah kewajiban yang
harus ditunaikan dan adalah hak istri untuk menerimanya. Karena menurut
21 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1993), h. 2.
29
Islam yang wajib bekerja mencari penghidupan adalah suami.
Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 233 yang
artinya “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf...”. Sayyid sabiq dalam bukunya Fiqih
Sunnah menyebutkan bahwa diwajibkannya suami memberi nafkah
kepada istri karena adanya ikatan perkawinan yang sah.
c. Memberi mahar
Mahar adalah suatu pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai
hadiah yang tulus berkenaan dengan perkawinan antara keduanya. Mahar
atau maskawin menjadi hak penuh istri, ia berhak mempergunakan hak
miliknya menurut kehendaknya dan tidak boleh dihalangi oleh siapapun
termasuk wali dan suami.22
Kewajiban Istri dan Hak Suami :
a. Taat kepada suami
Taat adalah kewajiban istri dan sekaligus merupakan hak suami.
Artinya istri wajib taat kepada suami dalam hal kebaikan, dan suami
mempunyai hak untuk ditaati. Bahkan hak dari suami yang paling besar.
Ketaatan inilah yang menjadi syarat berhaknya istri menerima nafkah dari
suami dan suami berkewajiban memenuhinya.
b. Menyelenggarakan urusan rumah tangga
22 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, h. 4-34.
30
Selain taat kepada suami, istri wajib menyelenggarakan urusan rumah
tangga dengan baik. Yang termasuk dalam penyelenggaraan rumah tangga
adalah melaksanakan tugas kerumah tanggaan di rumah seperti
menyiapkan keperluan sehari-hari, membuat suasana rumah tangga
menyenangkan dan penuh ketentraman baik bagi suami maupun anak-
anak, mengasuh dan mendidik anak-anak.23
Hak Bersama Suami Istri :
a. Hubungan seksual
Suami istri keduanya berhak saling bergaul dan melakukan hubungan
kenikmatan seksual. Hubungan ini dihalalkan bagi suami istri secara
timbal balik.
b. Harta waris
Suami dan istri saling mempunyai hak antara yang satu dengan yang
lain untuk mendapat harta waris sebagai akibat dari ikatan perkawinan
yang sah jika salah seorang meninggal dunia.
c. Perlakuan yang baik
Suami dan istri saling mempunyai hak untuk mendapat perlakuan yang
baik. Hanya dengan pergaulan yang baik antara keduanya maka
dimungkinkan bahtera rumah tangga berjalan dengan baiak, bahagia, dan
kekal.
23 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, h. 18-25.
31
d. Perlindungan rahasia seksual
Masing-masing suami istri sama-sama mempunyai hak untuk tidak
diberitahukan kepada orang lain rahasia seksualnya, kecuali jika ada
alasan yang dapat dibenarkan. Yang dimaksud dengan rahasia seksual
adalah segenap rahasia di tempat tidur yang menyangkut hubungan intim
suami istri. Baik suami maupun istri tidak boleh memberitahukannya
kepada orang lain.24
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan alasan yang jelas berkenaan dengan hak dan
kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 31 sampai 34. Sesuai dengan
prinsip yang dikandung oleh pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyebutkan “kedudukan suami istri adalah sama
dan seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
hidup bermasyarakat”.25 Menurut Yahya Harahap, khusus menyangkut ayat 1
merupakan spirit of the age (semangat tuntutan zaman) dan merupakan hal
yang sangat wajar untuk mendudukkan suasana harmonis dalam kehidupan
keluarga, dan ini merupakan perjuangan emansipasi yang sudah lama
berlangsung.26
Beranjak dari Undang-Undang Perkawinan tersebut, menurut Sayuti
Thalib setidaknya ada lima hal yang sangat penting. Pertama, pergaulan hidup
24 Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam, h. 27-34. 25 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983
(Semarang: Beringin Jaya), h. 15. 26 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 186.
32
suami istri yang baik dan tentram dengan rasa cinta dan mencintai santun
menyantuni. Kedua, suami memiliki kewajiban sebagai kepala keluarga dan
istri juga memiliki kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Ketiga, rumah
kediaman disediakan suami dan suami istri wajib tinggal dalam satu kediaman
tersebut. Keempat, belanja kehidupan menjadi tanggung jawab suami. Kelima,
istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan biaya
rumah tangga yang diusahakan suaminya dengan cara-cara yang benar, wajar,
dan dapat dipertanggung jawabkan.27
Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri sangat rinci, karena
mengatur kedudukan suami istri serta kewajiban suami istri. Kompilasi
Hukum Islam begitu merinci hal-hal yang di jelaskan secara umum dalam
Undang-Undang Perkawinan seperti bentuk kebutuhan yang harus dipenuhi
suami, nafkah, kiswah, dan kediaman atau sandang, pangan, dan papan.
Demikian juga dengan biaya perawatan, pengobatan, istri, dan anak serta
pendidikan anak.28
B. Pengertian Pencatatan Nikah, Pencatatan Nikah Menurut Hukum Islam,
dan Pencatatan Nikah Menurut Perundang-Undangan
1. Pengertian Pencatatan Nikah
27 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 187. 28 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 193.
33
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia Pencatatan adalah proses atau
cara perbuatan mencatat.29 Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan
yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan, dalam hal
ini Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang melakukan pencatatan, ketika akan
melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.30
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1
menyebutkan “pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, talak, cerai, dan rujuk”.31
Kesimpulannya adalah bahwa pencatatan perkawinan adalah proses
pendataan atau penulisan administrasi perkawinan yang dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) agar terciptanya ketertiban hukum.
2. Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya, baik Qur’an maupun Hadis tidak mengatur secara jelas
mengenai pencatatan perkawinan. Pelaksanaan Pencatatan perkawinan ini
didasarkan kepada “maslahah mursalah”, karena pencatatan perkawinan
29 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, h. 247. 30 Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha
Cipta, 2005), h. 38. 31 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983
(Semarang: Beringin Jaya), h. 36.
34
sangat penting untuk dilaksanakan oleh pasangan mempelai, sebab buku nikah
yang didapatkan merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan baik
menurut agama maupun negara. Dengan buku nikah tersebut, mereka dapat
membuktikan keturunan yang sah yang dihasilkan dari perkawinan yang sah
dan dapat memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris terlebih lagi di era
globalisasi seperti sekarang ini.32
Walaupun ada ayat Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala
bentuk transaksi muamalah. Pada masa Rasulullah Saw maupun sahabat
memang belum dikenal adanya pencatatan perkawinan, pada waktu itu
perkawinan sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Pertama,
larangan untuk menulis sesuatu selain Qur’an, akibatnya kultur tulis tidak
begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, mereka
sangat mengandalkan hafalan (ingatan) dan mengingat sebuah peristiwa
perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi
walimatul ‘urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi
disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan, sebagaimana sabda Nabi
Saw :
ها عن النبي ص.م قال و عن عا ئشة أعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالغربال رضي اهللا عنـ )۳۳رواه ابن ماجة عن عائشة (
32 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2006), h. xix-xx. 33 Nailul Authar, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h.
2258.
35
Artinya: “Dari Aisyah ra, Nabi Saw bersabda : Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah).
۳٤ )رواه البخارى( أولم ولو بش قال النبي ص.م لعبد الرحمن
Artinya: “Nabi Saw bersabda: Laksanakanlah walimah (atas pernikahan) sekalipun hanya dengan meyembelih kambing” (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa awal
Islam belum terjadi antar wilayah negara berbeda. Biasanya perkawinan pada
masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu
wilayah yang sama, sehingga alat bukti kawin selain saksi belum
dibutuhkan.35
Dengan alasan-alasan yang telah disebut di atas, dapatlah dikatakan
bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah
perkawinan. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang
terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi.
Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern. Menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autenti, saksi hidup
tidak lagi bisa diandalkan. Tidak saja karena bisa hilang dengan sebab
kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar
34 Nailul Authar, Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk, h. 2242. 35 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 121.
36
ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.36
Atas pertimbangan demi kemaslahatan, ketertiban pelaksanaan
perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk
melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan untuk itulah pencatatan
menjadi sesuatu yang sangat diperlukan, selain itu akan banyak mudharat
yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan pencatatan perkawinan. Sedangkan
dalam Islam sebisa mungkin untuk menghilangkan kemudharatan,
sebagaimana dalam sebuah kaidah fiqih :
۳۷ال ز يـ ر ر لض ا Artinya: “kemudharatan harus dihilangkan”.
Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemudharatan atau
bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya. Untuk itulah kepentingan
pencatatan harus didahulukan daripada membawa mudharat (dampak negatif)
yang ditimbulkan nantinya,38 sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam QS.
Al Baqarah [02]: 282;
)۲۸۲ )٢(: البقرة(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya...”.
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita untuk menuliskan atau
mencatatkan segala bentuk urusan mu’amalah seperti jual beli, hutang
36Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 122. 37 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 138. 38 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, h. 138.
37
piutang, sewa menyewa, dan sebagainya. Bagaimana dengan hal perkawinan
yang dinilai sangat sakral, sebuah perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidza), dan banyak menimbulkan akibat hukum, tentunya sangat
memerlukan pencatatan perkawinan. Dengan demikian salah satu bentuk
pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Di
katakan pembaharuan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan
di dalam kitab-kitab fiqih ataupun fatwa-fatwa ulama.39
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan
Di Indonesia, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan telah diatur
dalam Perundang-undangan, baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Meskipun pencatatan
perkawinan telah terisolasikan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan selama 23 tahun lebih, tetapi sampai saat ini
masih didasarkan adanya kendala dalam pelaksanaannya, hal ini mungkin
sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh pada perspektif
fikih tradisional. Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa
perkawinan sudah sah apabila ketentuan yang tersebut dalam hukum Islam
sudah terpenuhi tidak perlu ada pencatatan di Kantor Urusan Agama.40
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
39 Ahmad Jauhari, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, pada tanggal 2 Februari 2014.
40 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 47.
38
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.41 Jadi, orang-orang
yang beragama Islam perkawinannya baru sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam, tetapi di samping itu ada keharusan pencatatan menurut
peraturan perundangan yang berlaku.
Ayat 2 menyebutkan “bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.42 Ini adalah satu-satunya ayat
yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, di dalam penjelasannya tidak
ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan “bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat
perkawinan akan dilangsungkan”.43
Undang-Undang Perkawinan kita meletakkan perkawinan sebagai
sesuatu yang erat kaitannya dengan pengamalan ajaran agama dan
kepercayaan masyarakat dan bukan hanya sebagai suatu peristiwa perdata
biasa sebagaimana yang dianut oleh KUHPerdata (Burgerlijke wetboek)
sehingga yang dipentingkan adalah pencatatannya oleh negara.44 Dengan
41 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983,
(Semarang: Beringin Jaya), h. 7. 42 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983,
h. 8. 43 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983,
h. 36. 44 H. M. Atho Mudzhar, Sajida. S. Alvi, dan Saparinah Sadli, ed., Wanita Dalam Masyarakat
Indonesia, h.133.
39
demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-Undang
Perkawinan hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah
pencatatan ini sangat dominan. Ini tampak dengan jelas menyangkut tata cara
perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan,
maka tidaklah berlebihan jika ada pakar hukum yang menempatkan
pencatatan sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah atau
tidaknya sebuah perkawinan.45
Dipertegas dalam pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat”. Ayat (2) “Pencatatan perkawinan tersebut pada
ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai,
dan Rujuk jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan
berlakunya Undang-Undang RI No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, Cerai, dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura”. Pasal 6 ayat
(1) “Untuk memenuhi ketentuan pada pasal (5), setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah”. Ayat (2) “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.46 Dalam kenyataannya,
praktik perkawinan yang terjadi di lingkungan masyarakat berbeda karena
tidak sepenuhnya mengacu kepada undang-undang.
45 Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 123. 46 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 2-3.
40
Pencatatan perkawinan ini menjadi sebuah keharusan, bila kita telusuri
eksistensinya secara luas dan agak mendalam, direnungkan dalam konteks
kehidupan, masyarakat, bangsa, dan Negara, baik secara sosiologis,
psikologis, maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekuensinya,
tentulah sangat luas obyek yang ditimbulkan sangat besar pengaruhnya dalam
perkembangan peradaban manusia dengan teknologi tinggi dewasa ini, baik
dalam hubungan individu sesamanya, maupun dalam kaitan hubungan sebagai
anggota masyarakat, bahkan dapat mempengaruhi bentuk masyarakat serta
sistem hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Karena hukum menentukan
bentuk masyarakat, masyarakat yang belum mengenal hukum dapat dicoba
mengenalnya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu,
sebab hukum mencerminkan masyarakat itu sendiri. Dari seluruh sistem
hukum, maka hukum perkawinanlah yang menentukan dan mencerminkan
sistem kekeluargaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.47
Pernikahan yang tidak tecatat tumbuh dan berkembang pada
masyarakat Islam di Indonesia, sangat besar dampaknya bagi istri dan anak,
posisi mereka sangat lemah di hadapan hukum. Bagi istri akan kehilangan hak
nafkah, hak waris jika suatu saat suami meninggal dunia, dan jika terjadi
perceraian pihak istri tidak akan bisa menuntut haknya karena tidak ada bukti
otentik bahwa pasangan tersebut pernah menikah. Memiliki dampak negatif
juga bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, status anak yang
47 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974, h. 226-227.
41
dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, konsekuensinya anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Ketidakjelasan
status anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak
tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak
tersebut adalah bukan anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak
tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari
ayahnya jika suatu saat sang ayah meninggal dunia, belum lagi diskriminasi
dari pihak luar yang menganggap mereka sebagai anak hasil hubungan gelap
karena orang tua yang menikah di bawah tangan.
C. Pengertian Nikah di Bawah Tangan, Nikah di Bawah Tangan Menurut
Hukum Islam, Nikah di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan
1. Pengertian Nikah di Bawah Tangan
Istilah nikah di bawah tangan lebih banyak dikenal masyarakat dengan
nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan, Menurut Huzaemah Tahido Yanggo,
nikah sirri dengan nikah di bawah tangan (urfi) berbeda, nikah sirri adalah
nikah yang dirahasiakan supaya orang lain tidak mengetahui, sedangkan nikah
di bawah tangan adalah nikah yang secara fikih memenuhi syarat dan rukun
nikah, namun dalam pernikahan tidak dicatat secara resmi oleh Pegawai
Pencatat Nikah.48 Dan pelaksanaan akad tersebut adalah benar dan sah dengan
48 Yayan Sopyan, Islam Negara, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 133.
42
rukun dan syarat nikah yang sesuai dengan syari’at Islam.49
Menurut hemat penulis yang dimaksud dengan nikah di bawah tangan
adalah nikah yang dilakukan berdasarkan syari’at Islam yaitu dengan
terpenuhinya rukun dan syarat nikah tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan
pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak ada bukti otentik bahwa
telah dilangsungkannya sebuah pernikahan. Nikah di bawah tangan pada
dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum. Nikah
menurut hukum adalah nikah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Dengan demikian, bahwa nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan
tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap
nikah illegal, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan
perlindungan hukum.
2. Nikah di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam
Dalam Islam tidak mengenal adanya nikah di bawah tangan, nikah di
bawah tangan baru dikenal setelah adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, karena menurut Islam sah atau tidaknya pernikahan bukan
ditentukan oleh pencatatan perkawinan tetapi dari kelengkapan rukun dan
syarat nikah.50
Namun, pada masa Imam Malik bin Anas telah dikenal istilah nikah
sirri atau nikah yang dirahasiakan bukan nikah di bawah tangan, hanya saja
49 Muhammad Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendikiawan Muslim, 2002), h.
46. 50 Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://iskandar-
islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.
43
nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan
pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri
yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun dan syarat sahnya
perkawinan menurut syari'at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai
laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta
untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan
tersebut kepada khalayak ramai, dengan sendirinya tidak ada i’lanun nikah
dalam bentuk walimatul ‘ursy.51
Adapun nikah di bawah tangan yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil
wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas
Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, sehingga
dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh
pemerintah.52 Bukankah kita diperintahkan oleh Allah untuk mentaati
pemimpin, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. An Nisa’ [4]: 59;
51 Ahmad Jauhari, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini
diakses dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, pada tanggal 2 Februari 2014. 52 Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://iskandar-
islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.
44
)٥٩: )٤ ( النساء(
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Menurut penulis maksud dari ayat tersebut adalah memerintahkan
kepada manusia untuk mentaati pemimpin dan mendidik manusia agar tercipta
masyarakat yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara, demi
terwujudnya kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.
Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam hal
anjuran pemerintah, ulil amri yang dalam hal ini mencakup urusan duniawi.
Sementara beberapa kalangan masyarakat muslim, lebih memandang
keabsahan pernikahan dari sisi agama saja yang lebih penting karena
mengandung unsur ukhrawi karena lebih menentramkan, sementara sisi
duniawi tadi adalah unsur pelengkap saja setelah unsur utama terpenuhi,
dalam hal ini unsur duniawi yaitu nikah dengan dicatatkan adalah langkah
kedua setelah ketenangan batin didapatkan.53
Dalam hal ini para ulama telah mengeluarkan Fatwa pada tahun 2006
53 Agustina Bilondatu, Optimalisasi Peran Kua Dalam Mengatasi Illegal Wedding, artikel di
akses dari http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JL/article/view/882/823, pada 23 Januari 2014.
45
tentang nikah di bawah tangan, yaitu:
a. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharat.
b. Pernikahan harus dicatat secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk menolak dampak negatif atau madharat (sa’ddud
dzari’ah).54
Berdasarkan fatwa Majlis Ulama di atas maka saya mengambil
kesimpulan bahwa, haram hukumnya apabila pernikahannya dikemudian hari
menimbulkan perselisihan sampai pengingkaran terjadinya perkawinan yang
disebabkan tidak tercatat perkawinannya, karena tidak dapat memperlihatkan
alat bukti pernikahannya semisal akta nikah dalam pernikahannya, sehingga
menyebabkan dampak negatif dari pernikahan tersebut seperti untuk
pemenuhan hak isteri dan anak menjadi terlantar atau terbengkalai.
3. Nikah di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “kawin bawah tangan”
dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
Istilah “nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975
yaitu setelah diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
54 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan, (Jakarta: Graha Paramuda,
2008), h. 49.
46
dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain
harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Namun,
secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan
dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang
berlaku.55
Khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.56 Peraturan
perundang-undangan mengatur perkawinan dari formalitasnya yaitu
perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan
menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.57
D. Hakikat Psikologi
1. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa,
sedangkan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi
psikologi berarti “Ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejala,
55 Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://iskandar-
islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.
56 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983, h. 7-8.
57 Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses dari http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html, tanggal 2 Februari 2014.
47
proses, maupun latar belakangnya”. Namun, pengertian antara ilmu jiwa dan
psikologi sebenarnya berbeda karena :
a. Ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara luas termasuk khayalan dan spekulasi
tentang jiwa itu.
b. Ilmu psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh
secara sistematis dengan metode-metode ilmiah.58
Psikologi didefinisikan sebagai kajian saintifik tentang tingkah laku
dan proses mental organisme. Berdasarkan definisi psikologi tersebut, maka
psikologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari dan
mengkaji tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan, dalam
pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur yaitu :
a. Ilmu pengetahuan, yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dan mempunyai metode tertentu yang bersifat ilmiah.
b. Tingkah laku, yaitu segala manifestasi hayati yang meliputi tingkah laku
kognitif, afektif, dan motorik.
c. Lingkungan, yaitu tempat di mana manusia hidup, berinteraksi,
menyesuaikan dan mengembangkan dirinya. Secara garis besar,
lingkungan dibedakan atas lingkungan dalam (internal environment) dan
lingkungan luar (external environment).59
Psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena
58 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 7 59 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, h. 7-8.
48
sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan
ekspresi dari jiwa atau mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses
atau kegiatannya, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Jadi,
pengertian psikologi secara harfiah adalah ilmu tentang jiwa.60
2. Ruang Lingkup Psikologi
Kajian psikologi tentang manusia secara integral meliputi beberapa
dimensi yaitu Bio-Psiko-Sosio-Spiritual sebagai penentu utama perilaku dan
kepribadian manusia. Bidang-bidang psikologi cukup luas, dimana ada
manusia disitulah psikologi bekerja, diantaranya adalah psikologi
perkembangan, psikologi sosial, dan psikologi kepribadian, psikologi klinis,
psikologi sekolah, dan psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi
dan masih banyak lagi bidang-bidang psikologi antara lain psikologi keluarga
yang merupakan bagian dari psikologi sosial.61
3. Sejarah Singkat Psikologi
Istilah psikologi digunakan pertama kali oleh seorang ahli
berkebangsaan Jerman yang bernama Philip Melancchton pada tahun 1530.
Istilah psikologi sebagai ilmu jiwa tidak digunakan lagi sejak tahun 1878 yang
dipelopori oleh J.B. Watson sebagai ilmu yang mempelajari perilaku karena
ilmu pengetahuan menghendaki objeknya dapat diamati, dicatat dan diukur,
sedangkan jiwa dipandang terlalu abstrak, dan jiwa hanyalah salah satu aspek
60 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, h. 2. 61 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, h. 59.
49
kehidupan individu.62
4. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
a. Pengertian Tumbuh Kembang Anak
Pengertian perkembangan menunjukan pada suatu proses kearah
yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat di ulang kembali.
Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak
dapat diputar kembali. Sementara ahli psikologi tidak membedakan
perkembangan dan pertumbuhan, menurutnya seorang anak yang
berkembang akan bertambah kemampuannya dalam berbagai hal. Istilah
pertumbuhan menunjukkan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi
fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi, perkembangan lebih
dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologis yang
muncul.63 Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al Hajj [22]: 05;
) ۰ ۵ : ) ٢٢ (الحج ( Artinya : “Dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki
sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan”.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa hak tumbuh kembang anak
menjadi perhatian Islam. Allah memberikan pemeliharaan dan
62 Yudrik Jahja, Psikologi Perkembangan, h. 2. 63 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, h. 313.
50
perlindungan anak mulai dari rahim ibu, dan Allah pula yang memberikan
hidayah dan bimbingan ketika anak tumbuh kembang setelah dilahirkan
ibunya hingga menjadi dewasa secara fisik maupun psikis. Menurut
Atkinson, pertumbuhan dan perkembangan dibedakan dari segi pemakaian
katanya, yaitu:
1) Pertumbuhan sering digunakan pada aspek verbal pada manusia yang
sering berlaku pada ukuran tubuh beserta kondisi serta keadaan fisik
manusia.
2) Perkembangan sering dipakai untuk membahas tingkat-tingkat atau
masa-masa tumbuh kembang manusia yang meliputi kognitif (perspsi
atau kesadaran dll), kepribadian dan juga aspek klinis biologis pada
psikis manusia.64
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak dan
Remaja
1) Peran dan Fungsi Keluarga
Keluarga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam
upaya mengembangkan pribadi anak. Keluarga juga dipandang
sebagai institusi (lembaga) pertama yang dapat memenuhi kebutuhan
manusiawi, terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya
dan pengembangan ras manusia. Iklim keluarga yang sehat atau
perhatian orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor
64 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, h. 314.
51
esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis anak tersebut.65
Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa
aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik di
antara anggota keluarga. Keluarga yang hubungan antar anggotanya
tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat
mengembangkan masalah kesehatan mental bagi anak. Fungsi
keluarga secara psikososiologis adalah sebagai:
a) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya.
b) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis.
c) Sumber kasih sayang dan penerimaan.
d) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi
anggota masyarakat yang baik.
e) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara
sosial dianggap tepat.
f) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya
dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan.
g) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal,
dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri.
h) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai
prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat.
65 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 37.
52
i) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi.
j) Sumber persahabatan/teman bagi anak sampai cukup usia untuk
mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila teman di luar
rumah tidak memungkinkan.66
Sedangkan fungsi keluarga secara sosiologis adalah sebagai:
a) Fungsi Biologis meliputi, a. Pangan, sandang, papan; b. Hubungan
seksual suami istri; c. Reproduksi atau pengembangan keturunan
yang dibangun melalui ikatan pernikahan.
b) Fungsi Ekonomis, dalam hal ini kewajiban seorang kepala
keluarga dalam menafkahi anggota keluarganya.
c) Fungsi Edukatif, keluarga merupakan lingkungan pendidikan
pertama dan utama bagi anak.
d) Fungsi Sosialisasi, keluarga berfungsi sebagai miniatur masyarakat
yang mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam
masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya.
e) Fungsi Perlindungan, keluarga sebagai pelindung bagi para
anggotanya dari gangguan dan ancaman atau kondisi yang
menimbulkan ketidaknyamanan baik fisik maupun psikis para
anggotanya.
f) Fungsi Rekreatif, keluarga berfungsi untuk menciptakan
lingkungan yang menyenangkan dan penuh dengan kehangatan
bagi para anggotanya.
66 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 38.
53
g) Fungsi Agama, keluarga sebagai penanam nilai-nilai agama
kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar.
Dalam QS. At Tahrim ayat 6 yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”.
Maksud dari ayat ini adalah perintah untuk para orang tua bahwa
mereka wajib menjaga dan memelihara diri serta keluarganya dari
siksa api neraka dengan cara mempelajari dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya.67
Apabila di dalam suatu keluarga tidak mampu menerapkan
atau melaksanakan fungsi-fungsi dari keluarga yang telah disebutkan
di atas maka keluarga tersebut mengalami stagnasi atau kemandegan
artinya tidak ada kemajuan di dalamnya atau disfungsi yang nantinya
akan merusak kekokohan keluarga tersebut khususnya terhadap
perkembangan anak.
Menurut Dadang Hawari, anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang mengalami disfungsi mempunyai resiko yang lebih
besar untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya (misal,
berkepribadian anti sosial), daripada anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang harmonis dan utuh (sakinah).68
Faktor dari disfungsi tersebut adalah, Pertama, hubungan
67 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 38-42. 68 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 43-44.
54
orang tua yang tidak baik, hal tersebut memberikan dampak yang
kurang baik terhadap perkembangan anak. Kedua, keadaan keluarga
yang tidak harmonis, tidak stabil, atau berantakan (broken home)
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak yang
menjadi tidak sehat.69
2) Pola Hubungan Orang Tua dengan Anak (Sikap atau Perlakuan
Orang Tua terhadap Anak)
Terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap
anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap
kepribadian anak :
a) Pertama, overprotection (terlalu melindungi) maksudnya adalah
peran orang tua disini sangat berlebihan dengan anak seperti
memberikan bantuan kepada anak secara terus-menerus walaupun
anak sudah mampu, mengawasi kegiatan anak secara berlebihan,
dan selalu ikut campur dalam memecahkan masalah anak sehingga
perilaku anak menjadi merasa tidak nyaman, bersifat agresif, tidak
mandiri, mudah menyerah, kurang percaya diri, mudah
terpengaruh, serta egois.
b) Kedua, permissiveness (pembolehan) maksudnya adalah orang tua
sangat memberikan kebebasan kepada anak untuk berfikir dan
berusaha dan bersikap toleransi serta memahami kelemahan anak
69 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 44.
55
sehingga anak berperilaku pandai mencari jalan keluar, serta
percaya diri.
c) Ketiga, rejection (penolakan) maksudnya adalah orang tua bersikap
masa bodo, kaku, dan kurang memperdulikan kesejahteraan anak,
sehingga anak berperilaku agresif, mudah tersinggung, serta sulit
bergaul karena cenderung pendiam.
d) Keempat, acceptance (penerimaan) maksudnya adalah orang tua
selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada
anak, selalu berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau
mendengarkan masalahnya sehingga anak berperilaku friendly
(bersahabat), optimis, dan dapat memahami kekurangan dan
kelebihan yang ada dalam dirinya.
e) Kelima, domination (dominasi) maksudnya adalah orang tua
mendominasi anak sehingga anak berperilaku sopan dan hati-hati,
pemalu dan mudah bingung, serta tidak dapat bekerjasama.
f) Keenam, submission (penyerahan) maksudnya adalah orang tua
senantiasamemberikan sesuatu yang diminta anak dan membiarkan
anak berperilaku semaunya di rumah sehingga anak berperilaku
tidak patuh, tidak bertanggung jawab, agresif dan teledor, bersikap
otoriter dan terlalu percaya diri.
g) Ketujuh, punitiveness/overdiscipline (terlalu disiplin) maksudnya
56
adalah orang tua memberikan kedisplinan secara keras sehingga
anak berperilaku tidak dapat mengambil keputusan, nakal, dan
sikap bermusuhan atau agresif.70
Dari ketujuh sikap atau perlakuan orang tua kepada anak
tampak bahwa sikap “acceptance” atau penerimaan merupakan yang
baik untuk dimiliki dan dikembangkan oleh orang tua karena dapat
memberikan kontribusi untuk mengembangkan kepribadian anak yang
sehat.71
3) Kelas Sosial dan Status Ekonomi
Selain sikap perlakuan orang tua terhadap anak yang telah
disebutkan di atas, kelas sosial juga mempengaruhi cara orang tua
memperlakukan anak. Mc Coby dan Mc Loyd telah membandingkan
orang tua kelas bawah atau pekerja, Hasilnya menunjukkan :
a) Orang tua kelas bawah (Lower Class) cenderung menekankan
kepatuhan dan respek terhadap otoritas, lebih restriktif (keras) dan
otoriter, dan kurang bersikap hangat dan kasih sayang kepada
anak. Sehingga anak-anak lebih agresif dan independen.
b) Orang tua kelas menengah (Middle Class) cenderung lebih
memberikan pengawasan dan perhatian sebagai orang tua.
c) Orang tua kelas atas (Upper Class) cenderung lebih memanfaatkan
70 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 49-50. 71 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 50.
57
waktu luang untuk kegiatan yang bermanfaat, dan lebih memiliki
reputasi pendidikan yang tinggi. Sehingga anak-anak memiliki rasa
percaya diri.72
Adapun pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian remaja
adalah orang tua dari status ekonomi rendah atau perasaan tidak
mampu mengatasi masalah ekonomi rendah cenderung depresi,
mengalami konflik keluarga yang akhirnya mempengaruhi masalah
remaja seperti kurang harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat
bergaul dengan teman, mengalami masalah penyesuaian diri.73
5. Pengertian dan Karakteristik Perempuan
Perempuan adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa, perempuan adalah orang (manusia)
yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan
menyusui.74
Seorang perempuan mempunyai karakteristik yang berbeda dari
laki-laki, yaitu:
1) Keibuan, tipe karakter wanita yang keibuan adalah wanita yang
pikirannya sudah dewasa. Wanita yang sudah mempunyai karakter
keibuan ini, biasanya dikarenakan adanya pengaruh dari keluarganya.
72 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 53. 73 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, h. 54. 74 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, h. 1054.
58
2) Mandiri, tipe karakter wanita yang tergolong kuat. Karena wanita
dengan tipe karakter seperti ini biasanya percaya pada diri sendiri,
tidak mudah menangis atau tegar walaupun terkadang menangis di hati
tetapi wajahnya tetap menampakkan bahwa tidak ada apa-apa dalam
hidupnya.
3) Langsung, karakter wanita yang berkarakter langsung tidak suka
sesuatu yang berbelit-belit, dan menginginkan menyelesaikan semua
masalah tanpa bertele-tele.
4) Manja, termasuk karakteristik wanita juga. Biasanya wanita manja
kebalikan dari karakter wanita langsung, wanita manja cenderung
cerewet.
5) Secara psikologis, wanita lebih suka disentuh atau diberikan kasih
sayang melalui sentuhan.
6) Kasar, Lemah Lembut, Rasional, Agresif, Emosional, Teliti,
Menyusui, Hemat.
7) Wanita menggunakan banyak bahasa isyarat, relatif tertutup, dan lebih
banyak menggunakan perasaan.75
a. Ciri-Ciri Perempuan
Ciri-ciri pubertas remaja pada perempuan, dapat ditinjau dari segi
75 Yaya, Pemahaman Sifat pada Perempuan, artikel ini diakses dari http://yayaasweetstar.
blogspot.com/2013/05/pemahaman-individu-sifat-dan_31.html, pada tanggal 15 November 2014.
59
fisik dan psikis, Pubertas secara fisik dapat dilihat dari perubahan tubuh,
meliputi perubahan tanda kelamin primer dan sekunder. Perkembangan
tubuh perempuan menghasilkan hormon estrogen, Ciri-ciri pubertas secara
fisik dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Ciri kelamin primer, organ kelamin telah mampu memproduksi sel-sel
kelamin, perempuan mulai menghasilkan sel telur di dalam indung
telur (ovarium). Organ kelamin mulai berfungsi, yaitu ditandai dengan
mengalami menstruasi yang pertama kali.
2) Ciri Kelamin Sekunder, membesarnya payudara dan puting susu mulai
timbul, Pinggul melebar, tumbuh rambut di ketiak dan sekitar organ
kelamin, kadang-kadang diikuti munculnya jerawat di daerah muka,
perubahan proporsi tubuh, tampak dari bertambahnya tinggi badan,
berat badan, panjang kaki dan tangan, sehingga ukuran seluruh badan
bertambah.76
Sedangkan dari sisi psikologis ciri-ciri perempuan secara umum
juga cukup menonjol, seperti yang diungkap oleh Michael G. Cooner
Psikolog dari University of Oregon, antara lain adalah:
1) Wanita melihat situasi secara lokal dan menyandarkan pemikiran pada
hal-hal kecil dan detail.
2) Wanita memilih pengetahuan yang paling berharga dan
76 Yaya, Pemahaman Sifat pada Perempuan, artikel ini diakses dari http://yayaasweetstar.
blogspot.com/2013/05/pemahaman-individu-sifat-dan_31.html, pada tanggal 15 November 2014.
60
mewariskannya pada generasi selanjutnya.
3) Wanita lebih mengikuti suara terbanyak.
4) Penilaian wanita tentang dirinya umumnya lebih rendah, dan wanita
senang mengkritik diri sendiri.
5) Wanita lebih peduli terhadap kesehatannya.
6) Wanita lebsih dekat dan sayang terhadap anak-anaknya.
7) Wanita memiliki sifat yang lemah lembut, cerewet, bijaksana, peka
terhadap perasaan orang lain, tertarik pada penampilan diri, mudah
menangis, kebutuhan akan rasa aman yang besar menurut Rosenkrantz
dkk.77
77 Wanita Single Parent Wanita yang Tangguh, artikel ini diakses dari http://sosbud.kompasiana.
com/2012/05/06/wanita-single-parent-wanita-yang-tangguh-460953.html, pada tanggal 15 Desember 2014.
61
BAB III
POTRET WILAYAH DAN PENDUDUK KELURAHAN CINERE DEPOK
A. Kondisi Geografis Kelurahan Cinere
Cinere merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Cinere
kota Depok, Jawa Barat, Indonesia.Kelurahan Cinere adalah pemukiman yang
komposisinya adalah perumahan kompleks dan pemukiman padat penduduk yang
dilengkapi dengan fasilitas dan prasarana yang sangat memadai. Wilayah Cinere
terkenal dengan kemacetannya, karena banyak prasarana seperti mall, perumahan,
serta apartemen yang dibangun.
Secara geografis sebelah utara kelurahan Cinere berbatasan langsung
dengan kelurahan Pangkalan Jati, sebelah selatan dengan kelurahan Limo, sebelah
timur dengan kelurahan Gandul, dan sebelah barat dengan DKI Jakarta, karena
berbatasan langsung dengan DKI Jakarta inilah yang menyebabkan Cinere sangat
strategis sebagai lokasi usaha. Luas wilayah kelurahan Cinere adalah 403,00
ha/m2, yang terdiri dari 18 rukun warga (RW) dan 89 rukun tetangga (RT) dengan
jumlah penduduk sebesar 34584 jiwa pada tahun 2014, yang terdiri dari laki-laki
sebesar 19695 jiwa dan sisanya perempuan sebesar 14889 jiwa.1 Berdasarkan data
dari kelurahan Cinere, di bawah ini tabel jumlah penduduk berdasarkan usia :
1Sumber Statistik Kantor Kelurahan Cinere Tahun 2014.
62
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Usia
Usia Penduduk
Laki-Laki Perempuan Jumlah
0-4 tahun 974 766 1740 orang
5-9 tahun 1641 1452 3093 orang
10-14 tahun 2740 2230 4970 orang
15-19 tahun 2738 2099 4837 orang
20-24 tahun 1528 1178 2706 orang
25-29 tahun 1275 941 2216 orang
30-34 tahun 1414 1034 2448 orang
35-39 tahun 1375 981 2356 orang
40-44 tahun 1389 990 2379 orang
45-49 tahun 1224 850 2074 orang
50-54 tahun 1062 865 1927 orang
55-59 tahun 1093 752 1854 orang
60-64 tahun 567 339 906 orang
65-69 tahun 310 215 525 orang
70-74 tahun 217 118 335 orang
75-79 tahun 112 59 171 orang
80 tahun ke atas 36 20 56 orang
Jumlah 19695 14889 34584 orang
*Sumber : Data Kelurahan Cinere-Depok, Tahun 2014.
B. Kondisi Demografi Kelurahan Cinere
Pendidikan merupakan kebutuhan vital yang harus diberikan untuk
mengembangkan cara berfikirnya seseorang atau pengetahuan seseorang sehingga
orang tersebut memiliki bekal keterampilan serta kepribadian yang baik di
63
masyarakat. Suatu daerah dapat dikatakan maju jika di dalamnya terdapat
masyarakat yang berkualitas, lebih lagi jika masyarakat tersebut berpendidikan
tinggi minimal tingkat SLTA/sederajat.2
Di wilayah kelurahan Cinere banyak terdapat lembaga pendidikan yang
cukup bagus, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengakses pendidikan,
berikut ini tabel jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan:
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Belum Sekolah 1568
Tidak Tamat Sekolah 1671
Tamat SD/Sederajat 5144
Tamat SLTP/Sederajat 4250
Tamat SLTA/Sederajat 8477
Tamat Akademi/Sederajat 5826
Tamat Perguruan Tinggi/Sederajat 7648
Jumlah 34584
*Sumber: Data Kelurahan Cinere-Depok, Tahun 2014.
Berdasarkan tabel di atas, tingkat pendidikan masyarakat di kelurahan
Cinere didominasi oleh tingkat pendidikan SLTA/sederajat, dan tidak sedikit pula
sebagian dari masyarakat yang memperoleh tingkat pendidikan di perguruan
tinggi/sederajat.
2 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press,
2008), h.
64
C. Kondisi Sosiologis Kelurahan Cinere
Kelurahan Cinere yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta
menyebabkan wilayahnya sangat strategis sebagai lokasi usaha, baik usaha
dibidang jasa maupun perdagangan. Karenanya tidak sedikit masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai wiraswasta dan pedagang, walaupun tenaga buruh
masih mendominasi mata pencaharian sebagian masyarakat. Dan tidak sedikit
pula masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, karena masih ada
lokasi pertanian yang dikelola masyarakat sekitar. Berikut ini tabel jumlah
penduduk berdasarkan pekerjaan:
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Pekerjaan
Petani 28
Wiraswasta 3527
Pengrajin 3
Buruh 7213
Pedagang 2464
PNS 2738
TNI/POLRI 1321
Pensiun 1170
Lain-lain 16120
*Sumber: Data Kelurahan Cinere-Depok, Tahun 2014.
Karena letak wilayah kelurahan Cinere yang sangat strategis untuk
berwiraswasta dan sebagian wilayahnya masih terbilang asri sehingga
menyebabkan banyak Warga Negara Asing yang menetap di wilayah Cinere .
65
Dan ada bermacam-macam agama di wilayah kelurahan Cinere, Keberagaman
warga negara dan Agama ini tidak menghalangi masyarakatnya hidup rukun,
berikut ini tabel jumlah penduduk Warga Negara Asing dan tabel penduduk
berdasarkan agama yang dianut :
Tabel 3.4
Jumlah Penduduk Warga Negara Asing
Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah KK
32 18 50 17
*Sumber: Data Kelurahan Cinere-Depok, Tahun 2014.
Tabel 3.5
Jumlah Penduduk Kelurahan Cinere Berdasarkan Agama
Agama Islam Kristen
Katolik
Kristen
Protestan
Hindu Budha Konghucu
Jumlah 21765 5872 5114 888 930 15
Jumlah
Keseluruhan 34584
*Sumber: Data Kelurahan Cinere-Depok, Tahun 2014.
66
BAB IV
NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN PENGARUH PSIKOLOGIS
BAGI ISTRI DAN ANAK
A. Kasus Pernikahan di Bawah Tangan di Kelurahan Cinere Depok
Pernikahan yang sah menurut Undang-Undang adalah perkawinan yang
mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam yaitu dengan melakukan pencatatan perkawinan.
Menurut Hukum positif yang berlaku di Indonesia pencatatan perkawinan
menentukan keabsahan dari sebuah pernikahan, karena tanpa pencatatan
perkawinan maka seorang yang menikah tidak akan mendapat bukti otentik dari
pernikahannya dan pernikahannya tidak pernah dianggap terjadi.
Jika kita hanya mengandalkan kesaksian dari manusia maka tidak akan
kuat, terkecuali jika saksi manusia tersebut akan terus hidup sepanjang zaman dan
ingatannya tidak diragukan lagi. Dari pernikahan yang sah akan menimbulkan hak
dan kewajiban suami istri. Dari penilitian yang penulis lakukan pada masyarakat
kelurahan Cinere Depok, perempuan yang menikah di bawah tangan di tinggalkan
oleh suaminya tanpa ada nafkah sama sekali. Seorang suami seenaknya saja pergi
meninggalkan istri karena ia merasa pernikahannya tidak resmi, sehingga
menurutnya tidak memenuhi hak dan kewajiban tidak apa-apa, kalaupun seorang
istri tersebut menuntut apa yang menjadi haknya maka tidak akan bisa, karena
tidak ada bukti kuat dari pernikahan tersebut. Oleh karena itu betapa pentingnya
pencatatan dari sebuah perkawinan.
67
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada masyarakat kelurahan Cinere
Depok terdapat beberapa orang informan yang berhasil diwawancara, ada 6 orang
pelaku nikah di bawah tangan dari jumlah keseluruhan sebanyak 15 orang yang
penulis anggap cukup memberikan informasi dalam penelitian ini. Selain itu,
untuk menambah akurasi data juga mewawancarai anak dari pelaku nikah di
bawah tangan sebanyak 2 orang.
Pertama, Lili seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun, ia menikah pada
tahun 2014, alasannya melakukan nikah di bawah tangan karena kegagalan rumah
tangga yang pertama, perceraiannya dilakukan di luar pengadilan dan ia
ditinggalkan begitu saja, kemudian menurutnya proses pendaftaran yang
memakan waktu lama karena perlu mengurus surat perceraian dahulu di
pengadilan agama sehingga ia memilih untuk menikah di bawah tangan. Namun,
di tengah pernikahannya yang secara bawah tangan ia sering mendapat perlakuan
kasar dari suaminya seperti memaki dan pukulan sehingga ia merasa tertekan
selama pernikahannya yang ke 2, dari pernikahannya tersebut ia belum dikaruniai
anak. Ia juga mengatakan belum tau apa akan mencatatkan pernikahannya agar
menjadi resmi secara negara.1
Kedua, Lulu seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun, ia menikah pada
tahun 2010, alasannya sama dengan ibu Lili yaitu proses pendaftaran yang
memakan waktu lama, dan ditambah dengan keadaannya pada saat itu hamil di
luar nikah sehingga ia malu untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA dan
1 Wawancara Pribadi dengan Lili, di Kediaman Responden, 22 Oktober 2014.
68
memberitahu pada khalayak bahwa ia telah menikah. Ia sangat menyesal dan
sedih karena pernikahannya tidak berlangsung lama, karena saat usia
kehamilannya menginjak 7 bulan ia ditinggalkan suami begitu saja sampai
sekarang, ia mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan adalah sulit untuk
membuat akte kelahiran karena tidak ada bukti nikah, namun pada saat itu
keadaan yang mengharuskan ia untuk cepat menikah sehingga memilih nikah di
bawah tangan.2
Ketiga, Lala seorang ibu rumah tangga berusia 37 tahun, ia menikah pada
tahun 1998, alasan ia menikah di bawah tangan adalah karena poligami, pekerjaan
suami yang sebagai TNI menyulitkan keduanya untuk mendaftarkan nikah di
KUA karena tidak ada izin dari istri pertama dari pada nantinya berzina jadi lebih
baik nikah di bawah tangan saja. dari pernikahan tersebut pasangan ini dikaruniai
1 orang anak, tetapi pernikahannya tidak berlangsung lama karena istri
pertamanya mengetahui suaminya melakukan poligami dengan jalan nikah di
bawah tangan tanpa sepengetahuan istri pertama akhirnya suami tersebut memilih
untuk kembali kepada istri pertama dan istri keduanya ditinggalkan begitu saja.
Dalam kesempatan yang sama, penulis juga mewawancarai anak dari ibu Lala
yang bernama Nana yang berusia 15 tahun, ia mengatakan sebagai seorang anak
sangat kecewa atas pernikahan orang tuanya yang tidak resmi berdasarkan hukum
negara karena ia merasa status ia sebagai anak dipertanyakan, apakah jelas atau
2 Wawancara Pribadi dengan Lulu, di Kediaman Responden, 25 Oktober 2014.
69
tidak karena tidak memiliki akta lahir, ia hanya memiliki surat bukti kelahiran
dari tempat ia dilahirkan.3
Keempat, Intan seorang ibu rumah tangga berusia 42 tahun, ia sudah
menikah di bawah tangan sebanyak 2 kali. Alasannya, pernikahan yang pertama
karena hamil di luar nikah sehingga harus cepat menikah, tetapi pernikahannya
tersebut tidak berlangsung lama karena suami yang tidak jujur dengan istri, tidak
pernah memberi nafkah dan sering meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas
dalam waktu lama. Ia mengatakan ada perasaan kecewa karena harus menerima
nasib seperti itu. Walaupun pernah merasakan kekecewaan akibat nikah di bawah
tangan, namun ia melakukan hal yang sama di pernikahannya yang kedua.
Alasannya karena sama-sama sudah berumur dan sama-sama membutuhkan
pendamping hidup untuk hari tua jadi menurutnya tidak memerlukan pencatatan
karena tidak akan mungkin lagi memiliki anak. Dari pernikahan pertama ibu Intan
memiliki 1 anak bernama iyus berusia 18 tahun, ia sudah menikah dan
pernikahannya sama dengan ibunya secara bawah tangan dengan alasan hamil di
luar nikah. Pergaulan yang bebas serta tidak ada perhatian dari orang tua sehingga
ia seperti itu. Ia mengatakan sebagai anak sangat kecewa dan malu dengan orang
tuanya karena banyak cemoohan dari orang sekitar mengenai orang tua dan
dirinya, dan ia juga merasa bersalah karena sudah melakukan hal yang sama
seperti orang tuanya dahulu. Tetapi ia menyatakan bahwa secepatnya akan
mencatatkan pernikahannya di KUA.4
3 Wawancara Pribadi dengan Lala, di Kediaman Responden, 25 Oktober 2014. 4 Wawancara Pribadi dengan Intan, di Kediaman Responden, 22 Oktober 2014.
70
Kelima, Ajeng seorang karyawan swasta berusia 30 tahun ia menikah pada
tahun 2009. Alasannya menikah di bawah tangan karena dijadikan istri kedua atau
poligami, mereka saling menyukai tetapi istri pertama tidak menyetujui untuk
diduakan. Walaupun dalam pernikahan tersebut tidak terjadi kekerasan, namun
ada rasa penyesalan dalam dirinya. Pertama karena pernikahannya tidak tercatat
di KUA dan keabsahannya diragukan oleh negara karena tidak memiliki bukti
otentik, kedua ia menjadi istri kedua yang perasaan cintanya terbagi dua,
pernikahannya belum dikaruniai anak.5
Keenam, Inah seorang ibu rumah tangga berusia 62 tahun ia menikah pada
tahun 2007. Alasan ia menikah di bawah tangan adalah karena usia pasangan
tersebut sama-sama sudah lanjut, dan ketidaktahuan mengenai prosedur
pencatatan, bahkan ia tidak mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan itu
sendiri karena ia hidup dalam keadaan tenang dan bahagia bersama suami.6
B. Faktor Penyebab Nikah di Bawah Tangan
Seorang perempuan yang mau dinikahi secara bawah tangan berarti ia
sudah siap dengan berbagai resiko yang harus di hadapi untuk kedepannya.
Berikut ini pemaparan beberapa faktor seorang perempuan mau dinikahi secara
bawah tangan di wilayah kelurahan Cinere;
Pertama, bahwa motif mereka mau dinikahi secara bawah tangan adalah
untuk menghindari dari zina dan fitnah.7 Kedua, karena hamil di luar nikah
5 Wawancara Pribadi dengan Ajeng, di Kediaman Responden, 25 Oktober 2014. 6 Wawancara Pribadi dengan Inah, di Kediaman Responden, 23 Oktober 2014. 7 Wawancara Pribadi dengan Bpk. KH. Muhammad Hamzah, Tokoh Masyarakat di Cinere,
di Kediaman Responden, 13 November 2014.
71
sehingga mereka malu untuk mencatatkan pernikahannya di KUA, prosedur yang
diberikan oleh Kantor Urusan Agama dalam administrasi pencatatan perkawinan
berbelit-belit; tetapi dari wawancara yang penulis lakukan kepada pihak KUA
menyatakan prosedur yang mereka berikan sangat mudah hanya perlu melengkapi
data dari para calon mempelai. Ketiga, karena poligami, mereka tidak
mencatatkan pernikahannya apalagi jika yang berpoligami adalah salah satu
aparatur negara; negara memberikan syarat kepada warganya yang menginginkan
poligami; yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 3 ayat 1 menyebutkan “ pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, ayat 2 “ pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 ayat 1 “ dalam hal
seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal
3 ayat 2, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya”, ayat 2 “pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat
melahirkan keturunan. pasal 5 “untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya
72
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka”.8
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah
sangat diatur sedemikian rupa untuk menekan angka poligami, karena
berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 3
ayat 1 yang telah disebutkan di atas bahwa Negara Indonesia menganut asas
monogami bukan asas poligami. Poligami boleh saja dilakukan asal para pihak
yang bersangkutan dapat menyetujui dan hanya dapat dilakukan jika seorang istri
tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya, dengan kata lain poligami sebagai
jalan akhir seperti yang terlihat dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang
sangat rumit dan sulit.
Alasan yang terkhir Keempat, karena usia yang sudah lanjut sehingga
mereka tidak mendaftarkan pernikahannya; mereka hanya berfikir yang terpenting
adalah pernikahannya sah berdasarkan agama dan sudah sah menjadi suami istri
daripada ia berbuat zina walaupun tidak mencatatkan, hal tersebut sebenarnya
sah-sah saja namun ada yang perlu di garis bawahi bahwa pencatatan sebuah
pernikahan adalah hal yang sangat penting sekali pada zaman sekarang ini,
bagaimana tidak jika tidak memiliki bukti otentik berupa akta nikah pernikahan
itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akan menyulitkan diri orang tersebut
ketika ia sedang berurusan untuk membuat surat-surat resmi seperti paspor
terlebih lagi terhadap anaknya. Selebihnya dari mereka sedikit sekali yang
8 Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983
(Semarang: Beringin Jaya), h. 8.
73
beralasan tidak mengetahui prosedur pencatatan karena sangat buta terhadap
pengetahuan seperti yang menikah dalam usia lanjut, karena mereka sebelumnya
tidak mengenyam bangku pendidikan sama sekali.
Disini terdapat perbedaan pendapat dari pihak masyarakat yang tidak
menginginkan adanya pencatatan karena memakan waktu lama dan pemerintah
yang mengharuskan pencatatan demi ketertiban masyarakat di mata hukum. Dari
berbagai alasan yang dikemukakan, alasan mereka lebih dominan kepada masalah
kebutuhan personality, artinya mereka melakukan nikah di bawah tangan
berdasarkan masalah pribadi mereka jadi bukan berdasarkan masalah yang ada di
dalam lembaga pencatatan nikah atau aparaturnya. Syarat administrasi yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat dalam hal pencatatan perkawinan adalah
sesuatu yang memang sangat diperlukan demi ketertiban masyarakat dalam
hukum. Dari pernyataan yang mereka kemukakan menandakan mereka masih
rendah kesadaran hukumnya, walaupun mereka menyadari bahwa pernikahan
yang mereka lakukan berdampak negatif bagi mereka, mereka hanya sebatas
menyadari tetapi tidak bergerak untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan
khususnya pada pencatatan nikah ini.
Pengetahuan mereka mengenai peraturan-peraturan yang di buat oleh
pemerintah masih sangat minim. Ini terbukti dengan pertanyaan penulis saat
melakukan wawancara yaitu mengenai dampak dari nikah di bawah tangan dan
biaya pencatatan. Mereka memang lebih banyak yang mengetahui dampaknya
namun ada juga yang masih tidak mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan
74
karena dari pernikahan yang mereka lakukan ada yang tidak berdampak sama
sekali tapi ada juga yang sangat berdampak besar. Mengenai biaya rata-rata
mereka lebih memilih untuk nikah di bawah tangan karena terhambat dari biaya
yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan nikah di KUA. Ketika penulis
menanyakan berapa biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk mencatatkan
pernikahannya menurut peraturan yang di buat oleh pemerintah. Jawaban yang
penulis dapat sangat beragam, mulai dari jawaban tidak tahu, kemudian biaya
sebesar Rp 300.000 sampai Rp 1.500.000. Namun, menurut para petugas KUA
bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pencatatan nikah yang dilakukan di
luar KUA dan jam kerja sebesar Rp 600.000.9
Jawaban dari pihak KUA tersebut adalah Sebagaimana Peraturan
Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan
pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan bahwa besaran biaya
pencatatan nikah sebesar Rp 30.000, kemudian pemerintah mengeluarkan
peraturan baru untuk menghindari agar tidak terjadi lagi gratifikasi oleh oknum-
oknum tertentu yaitu berupa Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2014 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis
penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan
biaya pencatatan nikah yang dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja adalah
Rp 0 dan biaya-biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA
9 Wawancara Pribadi dengan Bpk. Asnawi, Kepala KUA Kecamatan Limo Depok, di Kantor
KUA Kecamatan Limo, 27 Oktober 2014.
75
adalah Rp 600.000.10 Pernyataan yang mereka kemukakan menandakan
ketidaktahuan mereka terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah,
rendahnya keingintahuan mereka terhadap hal tersebut, dan para aparatur lembaga
pencatatan nikah yang kurang mensosialisasikannya dalam masyarakat sehingga
hanya sebagian masyarakat yang mengetahui hal tersebut. Jadi, sekarang setelah
dikeluarkannya peraturan tersebut tidak ada lagi masyarakat yang beralasan nikah
di bawah tangan karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk pencatatan nikah.
C. Dampak Psikologis Istri dan Anak karena Nikah di Bawah Tangan
Dampak psikologis dari istri (yang melakukan nikah di bawah tangan) dan
anak (hasil dari nikah di bawah tangan), kita mengetahui bahwa nikah di bawah
tangan adalah pernikahan yang hanya memenuhi rukun dan syarat secara agama
tetapi tidak tercatat di lembaga pencatat nikah, dan hasilnya tidak ada bukti
pencatatan nikah yang secara resmi diberikan oleh lembaga pencatat nikah,
otomatis pernikahan tersebut dianggap tidak resmi oleh pemerintah karena
kurangnya syarat administrasi yang harus dipenuhi, hal ini pasti akan merugikan
sang perempuan yang dinikahi dan terhadap anak yang dihasilkan dari pernikahan
tersebut. Karena akibat hukum dari pernikahan yang tidak dicatat adalah pertama,
sebagai seorang istri yang menikah di bawah tangan tidak dapat menuntut suami
untuk memberikan nafkah baik kebutuhan secara lahir maupun kebutuhan batin.
Kedua, seorang istri tidak dianggap sebagai istri sah karena tidak memiliki bukti
otentik berupa buku nikah dan bisa saja suatu waktu suami meninggalkan istri
10 Wawancara Pribadi dengan Bpk. Asnawi, Kepala KUA Kecamatan Limo Depok, di Kantor KUA Kecamatan Limo, 27 Oktober 2014.
76
begitu saja karena suami merasa perkawinannya tidak sah di mata hukum
sehingga jika istri menuntut tidak akan bisa, kemudian nikah di bawah tangan
juga memicu adanya konflik keluarga, dan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga. Ketiga, seorang istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika
suatu saat suami meninggal dunia. Keempat, seorang istri tidak berhak atas harta
gono gini jika suatu saat terjadi perceraian karena pernikahan tersebut tidak
pernah dianggap ada.
Dengan akibat-akibat tersebut di atas para informan banyak menyesali
pernikahannya yang dianggap tidak resmi, mereka banyak menerima perlakuan
kasar, tidak menerima nafkah, ditinggalkan begitu saja, hasilnya mereka tidak
bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki bukti bahwa nikahnya adalah sah.
Sedangkan akibat yang diterima oleh seorang anak adalah pertama, untuk
hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus
ayah terhadap anak pun tidak ada, karena secara otomatis anak yang lahir dari
hasil nikah di bawah tangan hubungan keperdataannya kepada ibu bukan ayah,
walaupun secara agama pernikahan tersebut sah namun secara negara tidak sah
karena tidak adanya bukti otentik dari pernikahan tersebut sehingga anak yang
dilahirkan tidak bisa dibuktikan sebagai anak dari hasil pernikahan yang sah,
ketidakjelasan status si anak di muka hukum tersebut mengakibatkan hubungan
antara ayah dan anak menjadi tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya
menyangkal bahwa anak tersebut bukanlah anak kandungnya. Sedangkan seorang
anak berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua yang
utuh. Kedua, anak yang dilahirkan pun sulit untuk membuat akta kelahiran karena
77
tidak adanya buku nikah. Sedangkan sekarang ini semua sekolah mensyaratkan
akta kelahiran untuk pendaftaran masuk sekolah. Ketiga, dalam hal pewarisan,
anak-anak yang lahir dari nikah di bawah tanganakan sulit untuk menuntut
haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum
antara anak tersebut dengan bapaknya.
Dari bermacam akibat tersebut yang menyebabkan adanya beban psikis
terhadap diri perempuan sebagai istri maupun anak dari hasil pernikahan tersebut.
Ada bermacam perasaan yang mereka kemukakan; seperti rasa malu, minder,
kecewa, walaupun mereka menganggap pernikahannya sah secara agama namun
mereka yang hidup bermasyarakat pasti memiliki perasaan-perasaan seperti itu
dan jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak tidak sehat terhadap mental
seseorang.
Terlebih lagi terhadap anak-anak yang rata-rata informan ditinggal oleh
sang ayah, bukan tidak mungkin jika mereka menjadi anak yang selalu merasa
kurang percaya diri karena kehilangan sosok ayah. Rusaknya pergaulan anak-
anak juga menjadi akibatnya, hal yang sama juga terjadi terhadap anak dari hasil
nikah di bawah tangan, ini terbukti dari anak seorang informan yang nasibnya
sama seperti ibunya. Pergaulan anak tersebut bebas, kurangnya pengawasan dan
perhatian dari orang tua yang single menjadi penyebabnya. Hal ini seharusnya
menjadi perhatian masyarakat yang masih belum menyadari akibat-akibat dari
nikah di bawah tangan, jangan hanya memperhatikan diri sendiri dan memenuhi
hawa nafsu yang pada akhirnya akan merusak mental bukan hanya perempuan
tapi yang lebih penting adalah anak.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Begitu besarnya beban psikis yang dirasakan oleh istri, yaitu dimana ada
perasaan kecewa, tekanan batin karena cemoohan dari masyarakat yang
menganggap mereka menikah tidak resmi atau sebagai istri simpanan dan
sebagainya, sehingga mereka merasa minder untuk beradaptasi dan
bersosialisasi dengan masyarakat. Sedangkan beban psikis yang dirasakan
oleh anak, yaitu seorang anak dari hasil nikah di bawah tangan akan merasa
tersisih dari pergaulan karena statusnya sebagai anak kandung mulai
dipertanyakan. Apalagi di saat-saat usia sekolah, ketidakjelasan statusnya
secara hukum tersebut mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak
menjadi tidak harmonis. Seperti pendapat Dadang Hawari, bahwa anak yang
dibesarkan dalam keluarga disfungsi memiliki resiko lebih besar terhadap
tumbuh kembang jiwanya dibanding anak yang berasal dari keluarga
harmonis. Seorang anak memiliki perasaan yang lebih peka terhadap sesuatu
yang akhirnya akan merusak pergaulan anak tersebut, seperti tidak memiliki
rasa percaya diri yang tinggi sehingga ia malu untuk bersosialisasi dengan
masyarakat. Jika hal seperti ini dibiarkan terus menerus akan berakibat kurang
baik terhadap perkembangan mental mereka.
79
2. Pada dasarnya perkawinan di bawah tangan dilakukan karena ada hal-hal yang
dirasa tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara resmi. Ada
beberapa faktor dari hasil wawancara penulis dengan informan yang
menyebabkan seorang perempuan mau dinikahi oleh seorang laki-laki secara
tidak resmi atau nikah di bawah tangan. Pertama, karena ingin menghindari
zina. Kedua, menghindari prosedur pendaftaran nikah yang memakan waktu
yang lama, serta biaya pencatatan nikah yang relatif mahal. Ketiga, karena
hamil sebelum menikah, sehingga seseorang merasa malu untuk mendaftarkan
pernikahannya kepada Pegawai Pencatat Nikah. Keempat, karena poligami
dan tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya serta suaminya adalah seorang
anggota TNI sehingga melakukan nikah di bawah tangan, karena bagi anggota
TNI/POLRI tidak diperbolehkan untuk beristri lebih dari satu, kalaupun ingin
beristri lebih dari satu harus melakukan prosedur yang sangat rumit. Kelima,
karena faktor sudah berumur lanjut, sehingga terfikir untuk apa pernikahannya
dicatat.
Dari faktor-faktor tersebut para informan melakukan nikah di bawah tangan
berdasarkan masalah pribadi yang ada pada mereka bukan kesalahan dari
lembaga terkait yang mengurusi tentang pencatatan nikah atau aparatnya,
akibatnya masih banyak masyarakat yang melakukan nikah tanpa dicatat di
KUA.
3. Selain dengan tingkat pendidikan para pelaku nikah di bawah tangan yang
80
rendah, pola pikir masyarakat juga yang masih awam terhadap hukum dan
masih rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki masyarakat sehingga
pencatatan perkawinan bukanlah hal utama yang harus dilakukan, karena hal
yang harus diutamakan dari sebuah perkawinan adalah keabsahan dalam
hukum agama terlebih dahulu baru setelah itu sistem administrasi yang di
penuhi. Di samping itu mereka tetap menyadari bahwa apa yang mereka
lakukan akan berdampak negatif sangat besar terhadap kehidupan mereka,
tetapi karena berbagai macam alasan mereka untuk melakukan nikah di bawah
tangan serta rendah terhadap kesadaran hukum sehingga mereka melakukan
nikah di bawah tangan.
B. Saran-Saran
Pada kesempatan ini penulis memberikan saran-saran yang diharapkan
dapat bermanfaat:
1. Perlu adanya penegakkan hukum khususnya mengenai pencatatan perkawinan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar ketentuan
tersebut lebih diperhatikan dengan cara memberikan tugas kepada para
penghulu atau pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk lebih intensif
mensosialisasikan kepada masyarakat, melalui khutbah jum’at, kuliah subuh,
serta dengan upaya memasukkan kurikulum sekolah, dan yang paling penting
adalah kesadaran hukum dari dalam diri masyarakat itu sendiri yang perlu
ditingkatkan agar semua dapat terlaksana dengan baik.
81
2. Melihat akibat nikah di bawah tangan terhadap perempuan dan anak, maka
kepada para pihak khususnya yang mengatur urusan nikah agar dengan bijak
dan serius untuk dapat mengatasi masalah ini. Sehingga tidak lagi dijumpai
problem-problem yang menyangkut status keabsahan anak yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban dari anak tersebut.
3. Kepada para pelaku nikah di bawah tangan agar segera mencatatkan
pernikahannya agar tidak ada lagi keragu-raguan dalam pernikahannya
dengan melakukan itsbat nikah pada Pengadilan Agama.
82
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim Ahmadi, Fahmi Muhammad., Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Anwar, Moh. Fiqih Islam: Mu’amalah, Munakahat, Faro’id & Jinayah (Hukum Perdata dan Pidana Islam) Beserta Kaedah-Kaedah Hukumnya. Bandung: PT. Al Ma’arif, cet. II, 1988.
Asmawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam, 2004.
Basrowi., Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Ch, Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana, 2010.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam . Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan . Jakarta: Pustaka Firdaus, Jilid. I, 2003.
J. Meleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Jahja, Yudrik, Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana, 2011.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Mudzhar, M.Atho, S. Alvi, Sajida, Sadli, dan Saparinah. ed., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan. Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press.
Munawwir. A.W. Kamus Al Munawwir. Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, Edisi Kedua.
83
Nailul Authar. Penerjemah Mu’ammal Hamidy dkk. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.
Ni’am Sholeh, Asrorun. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Graha Paramuda, 2008.
Nurudin, Amiur., Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam . Jakarta: IND-HILL-CO, Edisi Revisi 1990.
Ramulyo, M. Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: IND-HILL, CO, 1985.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 7. Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987.
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta: PT. Semesta rakyat Merdeka, 2012.
Syakir, Muhammad Fuad. Perkawinan Terlarang. Jakarta: Cendikiawan Muslim, 2002.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006.
Tatapangarsa, Humaidi. Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1993.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: PPJM,2012.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Nuansa Aulia, 2011.
Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983. Semarang: Beringin Jaya.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Zain, Muhammad., Mukhtar Alshodiq. Membangun Keluarga Humanis. Jakarta: Graha Cipta, 2005.
84
Wawancara Pribadi dengan Ibu Lili (nama di samarkan). Depok, 22 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Ibu Lulu (nama disamarkan). Depok, 25 Oktober 2014.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Lala (nama disamarkan). Depok, 25 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Ibu Ajeng (nama disamarkan). Depok, 25 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Ibu Inah (nama disamarkan). Depok, 23 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Ibu Intan (nama disamarkan). Depok, 22 Oktober 2014.
Wawancara Pribadi dengan Kepala KUA Kecamatan Limo. Depok, 27 Oktober 2014.
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Masyarakat Cinere. Depok, 13 November 2014.
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Masyarakat/Amil Cinere. Depok, 23 Oktober 2014.
Data Kelurahan Cinere Depok Tahun 2014.
INTERNET : Yaya, Pemahaman Sifat pada Perempuan, artikel ini diakses pada tanggal 15 November
2014 dari http://yayaasweetstar.blogspot.com/2013/05/pemahaman-individu-sifat-dan_31.html.
Wanita Single Parent Wanita yang Tangguh, artikel ini diakses pada tanggal 15
Desember 2014 dari http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/06/wanita-single-parent-wanita-yang-tangguh-460953.html.
Setya, Wachid, Metode wawancara dalam penelitian, artikel di akses dari
http://wachidsetya.blogspot.com/, pada 23 Januari 2014. Jauhari, Ahmad, Problematika dan Implikasi Perkawinan di Bawah Tangan, artikel ini
diakses pada tanggal 2 Februari 2014 dari http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm.
Bilondatu, Agustina, Optimalisasi Peran Kua Dalam Mengatasi Illegal Wedding,
artikel di akses pada 23 Januari 2014 dari http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JL/article/view/882/823.
85
Rahardjo, Mudjia, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-hukum-islam.html, pada 23 Januari 2014.
Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari
http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html, pada 23 Januari 2014.
Iskandar, Nikah Sirri dan Nikah di Bawah Tangan, artikel ini diakses pada tanggal 2
Februari 2014 dari http://iskandar-islam-indonesia.blogspot.com/2013/01/nikah-sirri-nikah-di-bawah-tangan-dan.html.
86
87
88
89
90
91
92
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Dengan ini saya memberikan pernyataan, bahwa saya telah diwawancara sebagai
narasumber untuk memenuhi atau melengkapi data yang dibutuhkan penulis, saya telah
memberikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan seperti yang telah saya
alami dan saya ketahui kepada saudara :
Nama : Nur Khofifah Syarif
Nim : 1110044100046
Jurusan / Konsentrasi : Peradilan Agama
Fakultas : Syari’ah dan Hukum
Universitas : UIN Syarif Hidayatullah
Wawancara ini dilakukan pada
Hari/ tgl :
Pukul :
Tempat :
Demikian surat pernyataan ini, sebagai bukti yang bersangkutan benar-benar telah
mewawancarai saya.
Depok, Oktober 2014
93
Pertanyaan Wawancara Untuk Kepala KUA Kecamatan Cinere Depok
1. Kapan KUA Kecamatan Limo ini berdiri ?
2. Selain mengurusi perihal perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA ?
3. Syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan pendaftaran
nikah ?
4. Berapa biaya pencatatan perkawinan ?
5. Bagaimana pendapat anda mengenai nikah di bawah tangan ?
6. Bagaimana kedudukan nikah di bawah tangan dalam hukum Islam dan hukum Positif?
7. Jika dilihat dari beberapa kasus, faktor apa saja yang melatarbelakangi masyarakat
melakukan nikah di bawah tangan ?
8. Apakah pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan
perkawinan ?
9. Bagaimana pihak KUA menanggapi masyarakat yang banyak melakukan nikah di bawah
tangan ?
10. Apakah pihak KUA memiliki cara-cara tertentu agar dapat mengatasi nikah di bawah
tangan ?
94
Pertanyaan Wawancara Untuk Tokoh Masyarakat
1. Apa yang anda ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
2. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
3. Menurut anda faktor apa saja yang mendorong masyarakat untuk melakukan nikah di
bawah tangan ?
4. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi praktek nikah di bawah tangan ?
5. Apa yang anda lakukan jika ada orang yang ingin dinikahkan secara bawah tangan?
95
Pertanyaan Wawancara Untuk Pelaku Nikah di Bawah Tangan
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
7. Siapa yang menikahkan anda ?
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Petugas Pencatat Nikah ?
96
Pertanyaan Wawancara Untuk Anak Dari Pelaku Nikah di Bawah Tangan
1. Apa yang anda ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
2. Bagaimana pandanganmu mengenai nikah di bawah tangan ?
3. Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa orang tuamu ternyata menikah di
bawah tangan ?
4. Apa yang akan kamu lakukan jika ada seseorang yang berniat ingin melakukan nikah di
bawah tangan ?
97
Nama : Bpk H. Asnawi, S.Ag. Pekerjaan : Kepala KUA Kec. Limo Kota Depok. Hari/Tgl : Senin/ 27 Oktober 2014 Pukul : 08.00 WIB Tempat : Kantor KUA Kec. Limo Kota Depok.
1. Kapan KUA Kecamatan Limo ini berdiri ?
Jawab: tahun 1994.
2. Selain mengurusi perihal perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA ?
Jawab: ada kegiatan agama seperti masalah kemasjidan, perwakafan, ta’lim dan
penyuluhan.
3. Syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan pendaftaran
nikah ?
Jawab:
• melengkapi data N1, yaitu surat keterangan nikah
• N2, yaitu surat keterangan asal usul.
• N3, yaitu surat keterangan mempelai.
• N4, yaitu surat keterangan orang tua.
• N5, yaitu surat izin orang tua apabila calon pengantin di bawah umur 21 tahun.
• N6, yaitu surat keterangan kematian suami/istri untuk janda/duda mati.
4. Berapa biaya pencatatan perkawinan ?
Jawab: biaya pendaftaran sekarang Rp 600.000, sudah termasuk transportasi untuk
penghulu yang nikahin di luar KUA dan di luar jam kerja, dan administrasi tersebut
dibayarkan di bank bukan di KUA lagi.
5. Bagaimana pendapat anda mengenai nikah di bawah tangan ?
98
Jawab: nikah di bawah tangan itu nikah yang jelas telah melanggar Undang-Undang
Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah. Dan disini ada oknum-oknum tertentu, siapa
oknum itu yaitu seperti tokoh agama setempat atau amil, di luar pengawasan dari KUA
menikahkan orang secara agama yang penting ada rukun yang terpenuhi kemudian
dilaksanakanlah nikah itu.
6. Bagaimana kedudukan nikah di bawah tangan dalam hukum Islam dan hukum Positif ?
Jawab: nikah di bawah tangan sah secara agama apabila terpenuhinya rukun dan syarat
nikah, tetapi tidak dianggap sah oleh hukum positif karena tidak mengacu pada Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Di dalam al Qur’an surat Al Baqarah ayat 282 dari kata ” فا كتبوه” yang memerintahkan
untuk menuliskan jika sedang bermu’amalah, lebih lagi dalam pernikahan karena
peristiwa yang sangat penting.
7. Jika dilihat dari beberapa kasus, faktor apa saja yang melatarbelakangi masyarakat
melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: biasanya faktornya adalah mencari jalan aman untuk menghindari zina.
8. Apakah pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan
perkawinan ?
Jawab: pernah, dengan melakukan penyuluhan oleh amil yang ditugaskan, materi yang
disampaikan berkaitan dengan isi dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan di lingkungan RT, RW, dan Kelurahan.
9. Bagaimana pihak KUA menanggapi masyarakat yang banyak melakukan nikah di bawah
tangan ?
99
Jawab: sangat menyayangkan sekali, karena pada akhirnya perempuan dan anak yang
menjadi korban dari pernikahan tersebut.
10. Apakah pihak KUA memiliki cara-cara tertentu agar dapat mengatasi nikah di bawah
tangan ?
Jawab: melakukan sosialisasi pada acara penyuluhan yang objeknya adalah para Rt, Rw,
dan amil di masing-masing kelurahan dalam bentuk penyajian materi mengenai Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang persyaratan nikah. Dan melakukan SUSCATIN
(kursus calon pengantin) yang dilakukan rutin di kantor KUA dan dilaksanakan 3 kali
dalam seminggu karena keadaan kantor yang tidak memungkinkan.
Depok, 27 Oktober 2014
H. Asnawi, S.Ag (Kepala KUA Kecamatan Limo)
100
Nama : Bpk KH. Muhammad Hamzah Usia : 65 tahun. Pekerjaan : Tokoh Masyarakat Hari/Tgl : Kamis/ 13 November 2014. Pukul : 15.30 WIB. Tempat : Di rumah Bpk KH. Muhammad Hamzah
1. Apa yang anda ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah yang tidak mencatatkan diri ke KUA.
2. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah di bawah tangan adalah sah menurut hukum Islam, tetapi menurut hukum
negara tidak dibenarkan.
3. Menurut anda faktor apa saja yang mendorong masyarakat untuk melakukan nikah di
bawah tangan ?
Jawab: biasanya poligami, karena tidak ada izin dari istri pertama dan menghindari zina.
4. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi praktek nikah di bawah tangan ?
Jawab: mengingatkan untuk tidak nikah di bawah tangan karena mengandung resiko di
kemudian hari dan merugikan keturunan, seperti sulit untuk proses pembuatan akte.
5. Apa yang anda lakukan jika ada orang yang ingin dinikahkan bawah tangan?
Jawab: saya tidak pernah diminta untuk menikahkan orang apalagi nikah di bawah
tangan, tetapi jika suatu hari ada yang meminta saya tidak akan menerimanya.
Depok, 13 November 2014
KH. Muhammad Hamzah
101
Nama : Bpk H. Abdul Kholik Usia : 62 tahun. Pekerjaan : Tokoh Masyarakat/ Amil. Hari/Tgl : Kamis/ 23 Oktober 2014. Pukul : 10.30 WIB. Tempat : Di rumah Bpk. H. Abdul Kholik.
1. Apa yang anda ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah yang tidak tercatat atau tidak resmi.
2. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah di bawah tangan boleh-boleh saja asal sudah memenuhi rukun dan
syarat nikah secara agama.
3. Menurut anda faktor apa saja yang mendorong masyarakat untuk melakukan nikah di
bawah tangan ?
Jawab: karena kurang biaya, dan lebih cepat mengurusnya karena tidak berbelit-belit.
4. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi praktek nikah di bawah tangan ?
Jawab: selalu menganjurkan untuk nikah resmi.
5. Apa yang anda lakukan jika ada orang yang ingin dinikahkan secara bawah tangan ?
Jawab: di beri nasihat bagaimana akibatnya nanti kalau nikah di bawah tangan.
Depok, 23 Oktober 2014
H. Abdul Kholik
102
Nama : Ibu Intan (nama disamarkan). Usia : 42 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Rabu/ 22 Oktober 2014. Pukul : 12.26 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Intan.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: nikah itu sakral dan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: Kantor Urusan Agama, fungsinya buat mendaftarkan nikah.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah di bawah tangan sebenarnya sah menurut Islam aja tapi kalau tidak ada
surat dari negara tetep tidak sah.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: saya sudah 2 kali nikah di bawah tangan, yang pertama buat menutupi sesuatu
yang tidak diinginkan karena sudah hamil duluan, yang kedua karena sudah sama-sama
lanjut usia dan suami butuh pendamping untuk hari tua jadi nikah di bawah tangan karena
untuk apa pernikahannya dicatat toh sudah tidak mungkin memiliki anak.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: tidak, yang saya tau biaya nikah yang diminta dari KUA sebesar Rp 300.000.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: untuk yang pertama di rumah orang tua, yang kedua di rumah pak Rw.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: yang pertama Alm. Bapak H. Syukur, yang kedua Bapak H. Bentong.
103
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: dari nikah yang pertama satu aja, yang kedua ini belum punya.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
Jawab: iya saya tau, karena tidak ada surat dari KUA jadi susah untuk ngurus akte
kelahiran anak.
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: dari pernikahan yang pertama tidak ada nafkah, suka pergi ninggalin dalam waktu
lama tanpa alasan dan tidak jujur sama saya, saya sering banget di bohongin atau di tipu
soal uang, karena tidak tahan dengan perkataannya yang kasar dan suka bikin ngebatin
jadi cerai aja, itu juga secara kekeluargaan, setelah itu di tinggal gitu aja ngga pernah di
tengok-tengok. Ada perasaan kecewa tapi udah takdirnya kalau saya harus menjalani hal
itu. Buat yang kedua ini ngga ada masalah.
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: iya pengen nanti.
Depok, 22 Oktober 2014
Ibu Intan (nama disamarkan)
104
Nama : Ibu Lili (nama disamarkan). Usia : 32 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Rabu/ 22 Oktober 2014. Pukul : 19.42 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Lili.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: untuk membentuk keluarga.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: tempat orang nikah dan untuk mendaftar nikah.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga enak, karena tanpa surat atau akta nikah.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: karena kegagalan berumah tangga yang pertama atau cerai tapi tidak di
pengadilan di tinggal begitu aja, jadi sekarang nikahnya cari jalan pintas aja supaya tidak
berbelit-belit urus surat kesana kesini ya jadi putusin buat nikah di bawah tangan.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: tidak tahu.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: 26 Juni 2014, di daerah Limo tepatnya di rumah amilnya.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: Pak Syaiful.
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: belum punya.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
105
Jawab: iya tau, dampaknya ngga bagus karena ngga ada bukti nikah jadi ngga bisa buat
akte kelahiran kalau suatu saat punya anak.
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: ada perasaan minder, dan sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari
suaminya, seperti suka berkata kasar dan memaki, jadi saya merasa tertekan.
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: belum tau.
Depok, 22 Oktober 2014
Ibu Lili (nama disamarkan)
106
Nama : Ibu Lala (nama disamarkan). Usia : 37 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Sabtu/ 25 Oktober 2014. Pukul : 13.23 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Lala.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: untuk meresmikan suatu hubungan dan mendapatkan akta nikah.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: tempat untuk nikahin orang.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga enak, rugi.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: karena poligami, kebetulan suami TNI jadi sulit urusnya karena ngga dapet izin
juga dari istri pertama, jadi ya nikah aja daripada zina.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: ngga tau, yang saya tau bayar Rp 750.000.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: udah 16 tahun dari tahun 1998, di rumah.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: Alm. Bapak H. Syukur.
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: punya anak 1.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
107
Jawab: iya saya tau, susah untuk bikin akta kelahiran, ngga dapet hak waris kalau suatu
saat suami meninggal.
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: batin kesiksa karena selalu denger kata-kata kasar, dan sekarang ditinggal begitu
aja karena istri pertama mengetahui pernikahan kita, sehingga suami akhirnya memilih
untuk kembali sama istri pertama.
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: ngga ada.
Depok, 25 Oktober 2014
Ibu Lala (nama disamarkan)
108
Nama : Ibu Lulu (nama disamarkan). Usia : 38 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Sabtu/ 25 Oktober 2014. Pukul : 14.00 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Lulu.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: menyatukan 2 manusia yang berlawanan jenis.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: Kantor Urusan Agama, untuk nikahin orang.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah di bawah tangan sah menurut agama tapi ngga sah menurut negara.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: karena sudah hamil duluan trus klo daftar di KUA juga lama dan berbelit-belit,
jadi terpaksa harus nikah di bawah tangan.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: saya ngga tau.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: tahun 2010, di rumah.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: Bapak Hasbullah.
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: punya anak 1.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
Jawab: iya saya tahu, dampaknya sulit untuk membuat akte kelahiran.
109
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: Merasa tekanan batin, karena sejak habis nikah di usia 7 bulan kandungan sampai
sekarang ditinggal begitu aja ngga pernah dateng, ngga pernah kirim uang untuk anak,
sedih rasanya tapi mau gimana lagi di jalanin aja.
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: ngga ada, karena suami udah ngga tau di mana tempat tinggalnya sekarang.
Depok, 25 Oktober 2014
Ibu Lulu (nama disamarkan)
110
Nama : Ibu Inah (nama disamarkan). Usia : 62 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Kamis/ 23 Oktober 2014. Pukul : 20.00 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Inah.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: menyebut 2 kalimat syahadat.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: buat ngeresmiin nikah dan dapet surat nikah.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah menurut syari’at yang penting sah daripada jadi fitnah.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: karena sudah tua jadi nikah di bawah tangan.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: ngga tau, klo ngga salah Rp 1.500.000.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: 2007, di rumah.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: Bpk. Alm. H. Syukur.
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga punya anak.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga ada dampaknya.
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga ada perasaan apa-apa, biasa aja.
111
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: ngga tau.
Depok, 23 Oktober 2014
Ibu Inah (nama disamarkan)
112
Nama : Ibu Ajeng (nama disamarkan). Usia : 30 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Sabtu/ 25 Oktober 2014. Pukul : 14.24 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Ajeng.
1. Apa yang anda ketahui tentang pernikahan ?
Jawab: untuk mencari pasangan hidup dan mencari ketenangan.
2. Apakah anda mengetahui apa itu KUA dan apa fungsinya ?
Jawab: untuk mencatat nikah supaya sah menurut agama dan negara.
3. Bagaimana pandangan anda mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: tidak tercatat di KUA dan untuk menghindari zina.
4. Apakah yang menyebabkan anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: karena seneng sama suami tapi suami sudah beristri, daripada nanti timbul hal
tidak diinginkan lebih baik nikah.
5. Apakah anda mengetahui biaya nikah menurut undang-undang ?
Jawab: ngga tau.
6. Kapan dan di mana tepatnya anda melakukan nikah di bawah tangan ?
Jawab: 2009, di rumah.
7. Siapa yang menikahkan anda ?
Jawab: Ustadz Kholik.
8. Sudah punya anak berapa dari hasil nikah di bawah tangan ?
Jawab: belum punya.
9. Apakah anda mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan ?
Jawab: udah tau, sulit buat bikin akte, sulit buat bikin surat-surat karena ngga ada bukti
nikah resmi.
113
10. Apa yang anda rasakan sekarang setelah menikah di bawah tangan ?
Jawab: ada perasaan menyesal tapi karena sama-sama suka jadi di jalanin aja.
11. Apa ada keinginan untuk mengesahkan pernikahan anda di Pegawai Pencatat Nikah ?
Jawab: iya ada nanti.
Depok, 25 Oktober 2014
Ibu Ajeng (nama disamarkan)
114
Nama : iyus anak dari Ibu Intan (nama disamarkan). Usia : 18 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Rabu/ 22 Oktober 2014. Pukul : 12.26 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Intan.
1. Apa yang kamu ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah yang ngga diakui hukum.
2. Bagaimana pandanganmu mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: ngga bener, karena ngga ada persetujuan.
3. Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa orang tuamu ternyata menikah di
bawah tangan ?
Jawab: sedih, malu dan minder.
4. Apa yang akan kamu lakukan jika ada seseorang yang berniat ingin melakukan nikah di
bawah tangan ?
Jawab: di cegah dan di kasih nasihat oleh orang tuanya.
Depok, 22 Oktober 2014
iyus anak dari Ibu Intan (nama disamarkan)
115
Nama : nana anak dari Ibu Lala (nama disamarkan). Usia : 15 tahun. Pekerjaan : Ibu rumah tangga. Hari/Tgl : Sabtu/ 25 Oktober 2014. Pukul : 13.23 WIB. Tempat : Di rumah Ibu Lala.
1. Apa yang kamu ketahui tentang nikah di bawah tangan ?
Jawab: nikah ngga di catet.
2. Bagaimana pandanganmu mengenai nikah di bawah tangan ?
Jawab: bingung, statusnya ngga jelas.
3. Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa orang tuamu ternyata menikah di
bawah tangan ?
Jawab: kecewa.
4. Apa yang akan kamu lakukan jika ada seseorang yang berniat ingin melakukan nikah di
bawah tangan ?
Jawab: di beri arahan oleh orang tua.
Depok, 25 Oktober 2014
nana anak dari Ibu Lala (nama disamarkan)
116
Photo dengan responden (pelaku nikah di bawah tangan)
Photo dengan responden (pelaku nikah di bawah tangan)
117
Photo dengan responden (pelaku nikah di bawah tangan)
Photo dengan narasumber (tokoh masyarakat/amil)
118
Photo Kantor Urusan Agama Kecamatan Limo
Photo kantor Kelurahan Cinere