Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN A TERHADAP LUAS
GLOMERULUS GINJAL TIKUS MODEL DIABETES MELITUS TIPE 2
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Made Dinda Pratiwi
NIM. 145070101111037
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN A TERHADAP LUAS
GLOMERULUS GINJAL TIKUS MODEL DIABETES MELITUS TIPE 2
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Made Dinda Pratiwi
NIM. 145070101111037
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Made Dinda Pratiwi
NIM : 145070101111037
Program Studi : Program Studi Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.
Apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Malang, 21 November 2017
Yang membuat pernyataan,
Made Dinda Pratiwi
NIM. 145070101111037
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Tugas Akhir yang berjudul “Pengaruh Pemberian Vitamin A terhadap Luas
Glomerulis Ginjal Tikus Model Diabetes Melitus Tipe 2”.
Topik ini diangkat setelah melihat bahwa banyaknya pasien Diabetes
Melitus yang tidak terkontrol dengan baik sehingga memiliki resiko terjadinya
komplikasi cukup tinggi. Salah satu komplikasi yang terjadi pada ginjal yaitu
nefropati diabetikum, dimana pada kondisi ini terjadi peningkatan ukuran ginjal
akibat hipertrofi glomerulus, hipertrofi tubular, dan ekspansi interstitial. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Vitamin A terhadap luas
glomerulus ginjal tikus model diabetes melitus tipe 2.
Pada penyusunan Tugas Akhir ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. drg. Prasetyo Adi MS., pembimbing pertama yang telah memberikan bantuan,
bimbingan dan motivasi kepada penulis.
2. dr. Kenty Wantri Anita, M.Kes., Sp.PA, pembimbing kedua yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis.
3. dr. Agung Riyanto Budi Santoso, Sp.OT, sebagai Ketua Tim Penguji Ujian
Tugas Akhir yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan naskah
Tugas Akhir.
4. Dr. dr. Sri Andari, M. Kes., dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
vi
5. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB, yang telah membantu
melancarkan urusan administrasi, sehingga penulis dapat melaksanakan
Tugas Akhir dengan lancar.
6. Keluarga tercinta Mama Ketut Sri Lestari dan Bapak I Wayan Suryanto, kakak
Gede Andika Subagia dan yang tersayang Heri Pribadhi serta seluruh
keluarga atas segenap doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang
selalu diberikan selama selama proses penulisan Tugas Akhir.
7. Sahabat tercinta Lina, Vivi dan Oca yang selalu memberikan semangat,
saudara seperantauan Kak Yuli, Kak Tiwi, Kak Shandra serta adik-adikku
Tania dan Indah yang selalu memberi semangat.
8. Teman-teman tersayang Indira dan Febryana yang selalu memberikan
motivasi dan masukan, serta Julio Saputra yang telah membantu dalam
banyak hal.
9. Teman-teman satu kelompok penelitian tomat yang sudah memberikan
semangat, bantuan, kerjasama dan saran-sarannya sehingga tugas akhir ini
dapat selesai dengan baik.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya, semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkan.
Malang, November 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
Pratiwi, Made Dinda. 2017. Pengaruh Pemberian Vitamin A Terhadap Luas Glomerulus Ginjal Tikus Model Diabetes Melitus Tipe 2. Tugas Akhir, Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) drg. Prasetyo Adi, MS, (2) dr. Kenty Wantri Anita, M.Kes, Sp.PA.
Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. Salah satu komplikasi dari DM adalah mikroangiopati pada ginjal yang menyebabkan nefropati diabetikum. Perbesaran ginjal merupakan salah satu perubahan awal yang terjadi selama diabetes melitus. Pada tahap awal nefropati diabetikum, terjadi hipertrofi dan hiperfungsi dari ginjal dengan peningkatan ukuran ginjal. Peningkatan ukuran ginjal ini terjadi akibat beberapa faktor seperti hipertrofi glomerulus, hipertrofi tubular, dan ekspansi interstitial. Hipertrofi glomerulus terjadi karena adanya peningkatan sekresi matriks ekstraselular, penebalan membrana basalis dan hiperplasia sel-sel mesangium. Asam Retinoat yang merupakan turunan dari vitamin A memiliki banyak fungsi selular seperti induksi diferensiasi sel, regulasi apoptosis, sebagai anti inflamasi dan anti fibrotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian vitamin A terhadap luas glomerulus ginjal tikus model diabetes melitus tipe 2. Studi experimental menggunakan true experimental design yang dilakukan di laboratorium secara in vivo menggunakan rancangan Randomized Post Test Only Controlled Group Design. Sampel dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok positif diabetes melitus, dan 3 kelompok perlakuan vitamin A. Variabel yang diukur adalah luas glomerulus pada tiap kelompok. Hasil menunjukkan bahwa penurunan luas glomerulus pada kelompok perlakuan vitamin A terhadap kelompok positif diabetes melitus tidak berbeda bermakna (Anova,p=0,052). Terjadi peningkatan luas glomerulus yang signifikan pada kelompok positif diabetes terhadap kelompok kontrol negatif (uji post hoc turkey,p=0,031). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian vitamin A terhadap penurunan luas glomerulus ginjal tikus yang mengalami diabetes melitus. Kata Kunci: diabetes melitus, diabetik nefropati, vitamin A, glomerulus ginjal
viii
ABSTRACT
Pratiwi, Made Dinda. 2017. The Effect of Giving Vitamin A on Renal
Glomerular Area of Rats Model Diabetes Mellitus Type 2. Final Assignment, Medical Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1) drg. Prasetyo Adi, MS, (2) dr. Kenty Wantri Anita, M.Kes, Sp.PA.
Diabetes mellitus (DM) type 2 is a metabolic disease that is indicated by the insulin resistance with relative insulin deficiency to the dominant defect of insulin secretion with insulin resistance. One complication of DM is microangiopathy on renals that causes diabetic nephropathy. Renal enlargement is one of the earliest changes that occur during diabetes mellitus. In the early stages of diabetic nephropathy, there are hypertrophy and hyperfunction of the renal with a typical renal size increase. The increased renal size is the result of some factors, such as glomerular hypertrophy, tubular hypertrophy, and interstitial expansion. Glomerular hypertrophy occurs due to increased secretion of extracellular matrix, thickening of the basal membrane and hyperplasia of mesangial cells. Retinoic acid derived from vitamin A has many cellular functions such as cell differentiation induction, apoptotic regulation, as anti-inflammatory and anti fibrotic. This study aims to determine the effect of giving vitamin A toward rats’ renal glomerular area model diabetes mellitus type 2. Experimental study using true experimental design which was conducted through in vivo used the concept of Randomized Post Test Only Controlled Group Design. Samples were divided into 5 groups, which were negative control group, positive group of diabetes mellitus, and 3 groups of vitamin A treatment. The measured variable was the glomerulus area in each group. The results showed that the decrease of glomerular area in vitamin A treatment group on positive group of diabetes mellitus was not significantly different (Anova, p = 0,052). There was a significant increase in glomerular area in the positive group of diabetes toward the negative control group (post hoc turkey test, p = 0.031). The conclusion of this study is that there is no significant effect of giving vitamin A on the decrease of rats renal glomerular area with diabetes mellitus.
Keywords: diabetes mellitus, diabetic nephropathy, vitamin A, renal glomerular
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ADH : Anti Diuretic Hormon
AR : Asam Retioat
DM : Diabetes Melitus
FFA : Free Fatty Acid
GIP : Glucose-dependent Insulinotrophic Polypeptide
GLP-1 : Glucagon Like Polypeptide-1
HPG : Hepatic Glucose Production
MCP-1 : Monocyte Chemotactic Protein-1
ND : Nefropati Diabetik
SGLT : Sodium Glucose co-Transporter
STZ : Streptozotocin
TGF-β : Transforming Growth Factor β
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Judul ................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ........................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian Penulisan .......................................................................... iv
Kata Pengantar ................................................................................................... v
Abstrak ................................................................................................................ vii
Abstract ............................................................................................................... viii
Daftar Isi .............................................................................................................. ix
Daftar Gambar .................................................................................................... xiv
Daftar Tabel ........................................................................................................ xv
Daftar Singkatan ................................................................................................. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Meliitus ............................................................................. 6
2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus .................................................... 6
2.1.2 Patogenesis Diabetes Mellitus ............................................ 6
2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus ................................................ 8
2.1.4 Diagnosis Diabetes Mellitus ................................................ 9
2.1.5 Komplikasi Diabetes Mellitus............................................... 10
x
2.2 Ginjal ................................................................................................ 10
2.2.1 Struktur Ginjal ...................................................................... 10
2.2.2 Fungsi Ginjal ........................................................................ 12
2.2.3 Mekanisme Kerja Ginjal ...................................................... 13
2.2.4 Diabetik Nefropati ................................................................ 13
2.3 Vitamin A.......................................................................................... 15
2.3.1 Definisi ................................................................................. 15
2.3.2 Asam Retinoat ..................................................................... 15
2.3.3 Asam Retinoat dalam Penyakit Ginjal ................................. 16
2.4 Streptozotocin .................................................................................. 18
2.4.1 Definisi ................................................................................. 18
2.4.2 Mekanisme Kerja Streptozotocin dalam Pembentukan Kondisi
Diabetik ................................................................................ 18
2.5 Hewan Coba Model Diabetes Mellitus Tipe 2 ................................. 19
BAB 3 KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 21
3.2 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 23
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ..................................................................... 24
4.2 Subjek Penelitian ............................................................................ 24
4.2.1 Jumlah Sampel .................................................................... 25
4.3 Variabel Penelitian ........................................................................... 26
xi
4.3.1 Variabel Bebas .................................................................... 26
4.3.2 Variabel Terikat.................................................................... 26
4.3.3 Variabel Terkendali .............................................................. 26
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 26
4.3.1 Tempat Penelitian ............................................................... 26
4.3.2 Waktu Penelitian ................................................................. 27
4.5 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................... 27
4.5.1 Bahan dan Alat Pemeliharaan Hewan Coba ...................... 27
4.5.2 Bahan dan Alat Diet Normal ................................................ 27
4.5.3 Bahan dan Alat Diet Tinggi Lemak...................................... 27
4.5.4 Bahan dan Alat Pembuatan Sediaan Vitamin A ................. 27
4.5.5 Bahan dan Alat Pembuatan larutan dan Injeksi STZ .......... 28
4.5.6 Bahan dan Alat Pembedahan Tikus dan Pengambilan Jaringan
yang akan diteliti .................................................................. 28
4.5.7 Alat Pembuatan Slide Histopatologi Jaringan Ginjal Tikus 28
4.5.8 Bahan dan Alat Observasi Luas Glomerulus ...................... 29
4.6 Definisi Operasional ........................................................................ 29
4.6.1 Tikus Model Diabetes Mellitus Tipe 2 .................................. 29
4.6.2 Luas Glomerulus Ginjal ........................................................ 29
4.6.3 Vitamin A .............................................................................. 29
4.7 Metode Pengumpulan Data............................................................. 30
4.7.1 Prosedur Penelitian ............................................................. 30
4.7.1.1 Pemeliharaan Hewan Coba .................................... 30
xii
4.7.1.2 Pembuatan dan Pemberian Diet Normal ................ 30
4.7.1.3 Pembuatan dan Pemberian Diet Tinggi Lemak ...... 30
4.7.1.4 Pembuatan dan Injeksi Larutan STZ pada Tikus ... 31
4.7.1.5 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus .............. 31
4.7.1.6 Pemberian Vitamin A pada tikus ............................. 32
4.7.1.7 Pembuatan Preparat Histopatologi ......................... 33
4.7.2 Pengumpulan Data .............................................................. 34
4.8 Analisis Data .................................................................................... 35
4.9 Jadwal Kegiatan .............................................................................. 36
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................. 37
5.1.1 Berat Badan Hewan Coba ............................................... 37
5.1.2 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Puasa ...................... 39
5.1.4 Hasil Pengukuran Luas Glomerulus ................................ 41
5.2 Analisis Data .................................................................................. 43
BAB 6. PEMBAHASAN
6.1 Berat Badan Hewan Coba .............................................................. 46
6.2 Glukosa Darah Puasa Setelah Diinjeksi STZ ................................. 48
6.3 Luas Glomerulus Ginjal Tikus Percobaan ...................................... 49
6.4 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 52
BAB 7. PENUTUP
7.1 Kesimpulan ..................................................................................... 53
6.1 Saran ............................................................................................... 53
xiii
Daftar Pustaka .................................................................................................... 54
Lampiran ............................................................................................................. 57
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal ............................................................................ 11
Gambar 2.2 Anatomi Mikroskopis Ginjal ........................................................ 12
Gambar 2.3 Hewan Coba Model DM tipe 2 ................................................... 19
Gambar 4.1 Jadwal Kegiatan ......................................................................... 36
Gambar 5.1 Grafik Rerata BB Tikus ............................................................... 38
Gambar 5.2 Grafik Rerata Glukosa Darah Tikus ........................................... 40
Gambar 5.3 Grafik Hasil Pengukuran Luas Glomerulus ................................ 41
Gambar 5.4 Gambar Preparat Glomerulus Hasil Penelitian .......................... 42
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Rerata Berat Badan Tikus .............................................................. 38
Tabel 5.2 Rerata Glukosa Darah Puasa Tikus ............................................... 39
Tabel 5.3 Rerata Luas Glomerulus ................................................................. 41
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2010).
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Dimana
etiologinya bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
(Perkeni, 2015).
Menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia
untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasarkan data IDF 2014, saat ini
diperkirakan 9,1 juta orang penduduk terdiagnosis sebagai penyandang DM.
Dengan angka tersebut, Indonesia menepati peringkat ke-5 di dunia atau naik
dua peringkat dibanding IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia
dengan 7,6 juta orang penyandang DM (Perkeni, 2015).
DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati, yang
dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan
pembuluh darah. Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati
diabetikum. Diperkirakan 20-30% penderita DM tipe 2 akan menderita nefropati
diabetikum, yang dapat berakhir dengan keadaan gagal ginjal (Rivandi dan
Yonata, 2015). Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi diabetes
1
2
yang paling sering terjadi pada ginjal, yang ditandai dengan albuminuria menetap
(>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam
kurun waktu 3 sampai 6 bulan (Hendromartono, 2009). Kelainan utama yang
terjadi pada nefropati diabetik adalah perubahan glomerulus.
Pembesaran ginjal merupakan salah satu perubahan awal yang terjadi
selama diabetes melitus. Pada tahap awal nefropati diabetikum, terjadi hipertrofi
dan hiperfungsi dari ginjal dengan peningkatan ukuran ginjal. Pembesaran ginjal
ini terjadi akibat beberapa faktor seperti hipertrofi glomerulus, hipertrofi tubular,
dan ekspansi interstitial. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa peningkatan
ukuran ginjal ini terjadi pada bulan pertama dan kondisi ini akan semakin
memburuk pada akhir bulan keempat (Kiran dkk., 2012).
Kelainan lain yang terjadi pada ginjal terutama glomerulus penyandang
diabetes melitus adalah adanya mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria umumnya
didefinisikan sebagai ekskresi albumin berlebih dan dianggap penting untuk
timbulnya nefropati diabetikum yang jika tidak terkontrol. Kemudian akan
berkembang menjadi proteinuria secara klinis dan berlanjut dengan penurunan
fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal (Rivandi
dan Yonata, 2015). Prevalensi mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 2 pada
populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 18.9% s/d 42.1% (Ndraha, 2014).
Vitamin A adalah vitamin aktif yang ketika larut di dalam lemak, akan
disimpan oleh tubuh di dalam hati. Secara ilmiah, bentuk vitamin A sendiri ada
dua, yaitu vitamin A pra-bentuk dan pro-vitamin A. Vitamin A pra-bentuk ada
empat jenis, yaitu: retinol, asam retinoat, retinal, dan ester retinil. Asam Retinoat
yang merupakan turunan dari vitamin A, memiliki banyak fungsi selular termasuk
3
induksi diferensiasi sel, regulasi apoptosis, dan penghambatan peradangan dan
proliferasi. Asam Retinoat diperlukan untuk perkembangan ginjal dan sangat
penting untuk diferensiasi sel pada kerusakan sel podosit pada glomerulus
(Mallipattu dan Cijiang, 2015).
Mekanisme asam retinoat dalam menimbulkan efek yang menguntungkan
terutama pada ginjal merupakan mekanisme yang multifactorial, mulai dari
mekanismenya sebagai anti inflamasi dan efek anti fibrotic hingga upregulasi
podocyte differentiation marker pada sel podosit ginjal (Mallipattu dan Cijiang,
2015).
Berdasarkan uraian diatas, vitamin A terutama derivatnya yaitu asam
retinoat memiliki manfaat dalam perbaikan kerusakan sel glomerulus ginjal,
sehingga akan diteliti lebih lanjut tentang penggunaan vitamin A sebagai
penghambat terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada penderita DM tipe 2.
Dari penelitian ini diharapkan vitamin A nantinya dapat digunakan sebagai
alternatif pengobatan untuk penyakit ginjal terutama yang disebabkan oleh
diabetes melitus tipe 2.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: “Adakah pengaruh pemberian Vitamin A terhadap
luas glomerulus ginjal tikus model diabetes melitus tipe 2?”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian tugas
akhir sebagai berikut :
4
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui efek
pemberian Vitamin A terhadap luas glomerulus ginjal tikus model
diabetes melitus tipe 2
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menghitung luas glomerulus jaringan ginjal pada tikus (Rattus
norvegicus) jalur Wistar jantan normal
b. Menghitung luas glomerulus ginjal tikus (Rattus norvegicus) jalur
Wistar jantan model diabetes melitus tipe 2
c. Menghitung luas glomerulus ginjal tikus (Rattus norvegicus) jalur
Wistar jantan model diabetes melitus tipe 2 dengan perlakuan
pemberian vitamin A pada berbagai macam dosis
d. Menganalisa perbedaan luas glomerulus ginjal pada kelompok
normal dan diabetes dengan kelompok perlakuan
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
a. Mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama mengenai manfaat
vitamin A yang dapat digunakan sebagai penghambat kerusakan
ginjal akibat diabetes melitus tipe 2.
b. Memberikan rujukan bacaan ilmiah untuk pengkajian karya ilmiah
selanjutnya mengenai efek vitamin A terhadap luas glomerulus
ginjal pada kondisi diabetes melitus tipe 2.
1.4.2 Manfaat praktis
5
Menjadi bahan rujukan untuk pengembangan obat sehubungan
dengan khasiat vitamin A sebagai obat fitofarmaka untuk terapi
perbaikan ginjal pada penderita diabetes melitus dengan komplikasi
nefropati diabetik.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia (PERKENI, 2015). Hiperglikemia yang berlangsung
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, antara lain mata, saraf, ginjal, jantung, dan
pembuluh darah (Purnamasari, 2009).
2.1.2 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal merupakan patofisiologii kerusakan sentral dari DM tipe 2. Selain
otot, liver dan sel beta, organ lain seperti : jaringan lemak, gastrointestinal, sel alfa
pankreas, ginjal kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. (PERKENI, 2015)
Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal
berikut (PERKENI, 2015) :
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang.
2. Liver
Pada DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
terjadinya glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (hepatic glucose production) meningkat.
7
3. Otot
Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sinteaia
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas
dalam plasma. Peningkatan asam lemak bebas akan merangsang proses
glukoneogenesis dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.
Asam lemak bebas juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan
yang disebabkan oleh asam lemak bebas ini disebut sebagai lipotoxicity.
5. Usus
Glukosa yang masuk melalui jalur pencernaan memicu respon
insulin jauh lebih besar dibandingkan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polipeptide)
atau disebut gastric inhibitory polypeptide. Pada DM tipe 2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut,
incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, menyebabkan
incretin hanya bekerja dalam beberapa menit. Sehingga pada penderita
DM diperlukan obat yang dapat menghambat kerja DPP-4.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah
8
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan.
6. Sel Alfa Pankreas
Sel alfa pankreas berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam
keadaan puasa kadarnya di dalam plasma penderita DM meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP (hepatic glucose production) dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu normal.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gr glukosa per hari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedangkan sepuluh persen sisanya akan
diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus descenden dan ascenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
8. Otak
Pada individu obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat, diakibatkan
oleh adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
2.1.3 Klasifikasi DM
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
9
Keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idioptaik sehingga produksi insulin berkurang bahkan
terhenti (Tridjaja, 2009).
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 dapat dikatakan sebagai “non-insulin-
dependent diabetes” yang terjadi pada 90-95% dari seluruh kasus
diabetes. Pada penderita DM tipe ini terjadi resistensi insulin dan defisiensi
insulin yang relatif sehingga penderita tidak selalu memerlukan terapi
insulin. Etiologi dari DM tipe 2 bervariasi, walaupun etiologi spesifik tidak
diketahui dengan pasti. Sebagian besar penderita DM tipe 2 mengalami
overweight atau obesitas. Peningkatan berat badan ini memicu terjadinya
resistensi insulin (Cameron, 2016).
c. Diabetes Mellitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki
risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu
5-10 tahun setelah melahirkan (Ndraha, 2014).
d. Diabetes Mellitus Tipe Lain
DM golongan ini disebabkan karena berbagai hal, antara lain dapat
karena defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi,
imunologi, maupun sindroma genetik lainnya (PERKENI, 2015).
2.1.4 Diagnosis
10
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2015) :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir)
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
(Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam).
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi dari diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu
makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati. Mikroangiopati merupakan
komplikasi yang terjadi paling dini diikuti dengan makroangipati dan neuropati.
Komplikasi makroangipati dapat berupa penyakit jantung koroner, penyakit arteri
perifer, penyakit serebrovaskular dan kaki diabetes. Sedangkan contoh komplikasi
mikroangipati yaitu retinopati diabetik, nefropati diabetik dan disfungsi ereksi.
Komplikasi neuropati yaitu neuropati perifer dan neuropati otonom (Priantono dan
Purnamasari, 2014).
2.2 Ginjal
2.2.1 Struktur Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan didalamnya terdapat berjuta-juta
nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Nefron terdiri atas
glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus distalis
11
dan duktus kolegentes. Medula ginjal yang terletak lebih profundus banyak
terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urine
(Purnomo, 2014).
Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Junqueira, 2013)
Glomerulus adalah jaringan kapiler yang menyaring darah melintasi
kapsula bowman menuju tubulus kontortus proksimal. Glomerulus mengandung
podosit dan membran basal yang memungkinkan air dan zat terlarut untuk
difiltrasi. Filtrat ini kemudian mencapai tubulus kontortus proksimal, di mana
reabsorbsi glukosa dan berbagai macam elektrolit bersama dengan air saat filtrat
melewatinya. Glomerulus dilapisi dengan lapisan tebal dari sel endotel, daerah
tengah dari sel mesangial, dan dikelilingi oleh matriks mesangial, sel epitel visceral
atau podosit dan epitel parietal dari kapsula Bowman dan berhubungan dengan
membrana basalis. Dua lapisan epitel dipisahkan oleh rongga sempit yang
menerima ultrafiltasi primer diidentifikasikan sebagai ruang Bowman atau ruang
urin. Dua ujung didefinisikan sebagai vascular pole, di mana arteriol aferen masuk
12
dan arteriol eferen keluar dari glomerular tuft dan urinary pole dimana epitel
parietal menuju tubulus proksimal (Paul, 2014).
Gambar 2.2 Anatomi mikroskopis ginjal (Junqueira, 2013)
2.2.2 Fungsi Ginjal
Ginjal memerankan berbagi fungsi tubuh yang sangat penting bagi tubuh,
yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh yang kemudian dibuang
melalui urine. Fungsi tersebut diantaranya :
1) Mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic
hormone) yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh;
2) Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D;
3) Menghasilkan beberapa hormon, antara lain : eritropoetin yang
berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin yang
G
CS
MD DCT
PCT
Keterangan :
G : Glomerulus
CS : Capsular space
MD : Macula Densa
DCT : Distal Convoluted Tubule
PCT : Proximal Convoluted Tubule
13
berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormon
prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh.
(Purnomo, 2014)
2.2.3 Mekanisme Kerja Ginjal
Pada orang dewasa normal, lebih kurang 1200 ml darah atau 25% cardiac
output mengalir ke kedua ginjal. Darah yang membawa sisa hasil metabolisme
tubuh difiltrasi di dalam glomerulus. Kapiler glomeruli berdinding porous
(berlubang-lubang) yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah
besar. Setiap hari kurang lebih 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan
menghasilkan urine sebanyak 1-2 liter. Molekul yang berukuran kecil seperti air,
elektrolit, glukosa, dan sisa metabolisme diantaranya kreatinin dan ureum akan
difiltrasi dari darah. Sedangkan molekul berukuran lebih besar seperti protein dan
sel darah tetap tertahan di dalam darah (Purnomo, 2014).
Setelah urine primer sampai di tubulus ginjal, beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolisme yang tidak
diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk urine. Urine yang terbentuk
kemudian disalurkan ke sistem pelvikalises ginjal untuk selanjutnya disalurkan ke
ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks
major, dan pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional
dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan
urine sampai ke ureter (Purnomo, 2014).
2.2.4 Diabetik Nefropati
Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus
yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada
pembuluh darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada
14
pembuluh darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan
kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar
gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinya pun
terganggu (Probosari, 2012).
Keadaan normal, protein tidak tersaring dan tidak melewati glomerulus
karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang glomerulus
yang kecil. Namun, karena kerusakan glomerulus, protein (albumin) dapat
melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan
mikroalbuminuria. Gejala nefropati diabetik dibagi menjadi beberapa tahap, yang
paling sederhana adalah 3 tahap, yaitu mikroalbuminuria yang berlangsung 5-15
tahun, makroalbuminuria yang berlangsung 5-10 th dan gagal ginjal terminal yang
berlangsung 3-6 th (Probosari, 2012).
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindroma klinis pada pasien
diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam)
pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
Klasifikasi diabetik nefropati menurut Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu
(Hendromartono, 2009) :
a) Tahap satu terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis
ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam
urin meningkat.
b) Tahap dua, secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju
filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan
tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologi awal berupa
penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula
15
peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan
matriks mesangium).
c) Tahap tiga, ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju
filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat
normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam.
Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan
peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium
fraksional dalam glomerulus.
d) Tahap empat, merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut.
Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian
besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju
filtrasi glomerulus menurun sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan
penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
e) Tahap lima, yaitu timbulnya gagal ginjal terminal.
2.3 Vitamin A
2.3.1 Definisi
Vitamin A atau retinal merupakan senyawa poliisoprenoid yang
mengandung cincin sikloheksenil. Vitamin A merupakan istilah generik untuk
semua senyawa dari sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik
vitamin A. Senyawa-senyawa tersebut adalah retinal, asam retinoat dan retinol.
Hanya retinol yang memiliki aktivitas penuh vitamin A, yang lainnya hanya
mempunyai sebagian fungsi vitamin A (Triana, 2006).
2.3.2 Asam Retinoat
Asam retinoat merupakan turunan vitamin A yang memiliki dua isomer,
yaitu asam all-trans retinoat (tretinoin) dan asam 13-cis retinoat (isotretinoin).
16
Retinoid yang umum digunakan adalah tretinoin yaitu bentuk asam dari vitamin A
karena paling aktif secara biologis. Tretinoin bersifat tidak larut dalam air, sukar
larut dalam etanol dan dalam kloroform (Hadyanti, 2008).
Vitamin A khususnya asam retinoat (AR) memiliki banyak fungsi dalam
berbagai proses seluler termasuk dalam hal differensiasi sel, regulasi apoptosis,
dan inhibisi dari inflamasi dan proliferasi. AR juga dibutuhkan untuk perkembangan
ginjal dan esensial untuk diferensiasi sel pada kasus kerusakan podosit (Mallipattu
dan Cijiang, 2015)
2.3.3 Asam Retinoat dalam Penyakit Ginjal
Selain peran penting asam retinoat (AR) dalam perkembangan ginjal, AR
juga diketahui memiliki fungsi untuk memperbaiki differensiasi pada kerusakan sel
seperti halnya menginduksi diferensiasi sel-sel progenitor ginjal. Selain itu, AR
juga berperan dalam mengurangi inflamasi dan apoptosis pada kerusakan podosit.
Berikut ini merupakan beberapa peranan asam retinoat dalam penyakit ginjal
(Mallipattu dan Cijiang, 2015) :
a. Asam retinoat signaling diferensiasi podosit
Podosit merupakan sel epitel visceral di glomerulus yang telah
mengalami berdiferensiasi, yang berfungsi untuk menjaga glomerular
filtration barrier. Asam retinoat telah terbukti menunjukkan perannya
sebagai anti proliferatif dengan efek pro-differensiasi pada beberapa
jaringan, termasuk ginjal dan khususnya pada podosit.
b. Asam retinoat berkontribusi dalam generasi sel-sel transisi glomerulus
Selain asam retinoat berperan penting dalam proses proliferasi,
mekanisme lain dimana AR juga dapat mengatur transisi dari sel epitel
parietal ke podosit. Hal ini telah diteliti dalam beberapa model dengan
17
cedera podosit. Dalam model tikus nefropati membranosa (dimana
terdapat hilangnya podocyte differentiation marker), AR terbukti dapat
mengembalikan jumlah podosit dengan meningkatkan jumlah sel-sel
epitel yang mengekspresikan podocyte differentiation marker di
glomerulus.
c. Efek anti inflamasi dari Asam Retinoat (AR)
Anti inflamasi dari AR telah dibuktikan pada hewan coba yang
mengalami kerusakan pada glomerulus. Efek dari AR ini juga telah
terbukti baik pada beberapa jaringan lain. Pada model secara in vivo
dan in vitro yang mengalami penyakit diabetik nefropati, dengan
pengobatan AR menunjukkan adanya perbaikan pada kerusakan
podosit yang terjadi. Khususnya pengobatan pada kultur podosit
dengan AR dapat mengurangi aktivasi dari jalur inflamasi dengan
inhibisi dari sintesis monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), dimana
MCP-1 ini dapat memperberat kondisi diabetes.
Efek anti inflamasi lainnya yaitu berkurangnya proteinuria dan
menghambat inflamasi, yang terlihat pada tikus diabetes yang diobati
dengan AR. Khususnya, pengobatan AR dapat mengurangi terjadinya
albuminuria, memperbaiki lesi pada glomerulus, dan menghambat
ekspresi sitokin dan kemokin pada ginjal. Dimana AR menekan
transkripsi dari beberapa sitokin-sitokin pro-inflamasi dan kemokin-
kemokin yang menginduksi makrofag.
d. Manfaat lain dari terapi Asam Retinoat pada Kerusakan Glomerulus
Sebagi tambahan efek anti inflamasi dari AR, pengobatan
dengan AR dapat mengurangi apoptosis pada murin dan kultur sel
18
podosit yang mengalami kerusakan. AR juga memiliki peran sinergis
dengan agen lain pada pengobatan penyakit ginjal. Ekspresi nephrin,
podocyte-specific differentiation marker diinduksi oleh AR dan 1,25-
dihydroxyvitamin D3 (vitamin D aktif). Selain asam retinoat berpotensi
digunakan untuk pengobatan podositopati primer, AR juga memberikan
keuntungan terapeutik pada pengobatan kerusakan glomerulus
lainnya. Pada model tikus dengan kerusakan mesenkim, pengobatan
dengan RA dapat mengurangi terjadinya albuminuria dan memperbaiki
lesi pada glomerulus. Khususnya, AR mengurangi kadar ekspresi
reseptor endothelin-1 dan endothelin Type A and B, dimana reseptor
ini penting dalam perkembangan kerusakan pada ginjal. Hal ini
menjelaskan bahwa mekanisme potensial AR dapat menghambat
kerusakan dari glomerulus.
2.4 Sreptozotocin (STZ)
2.4.1 Definisi
Streptozotocin (STZ) merupakan bahan kimia alami yang diperoleh dari
Streptomyces achromogenes, yang digunakan sebagai salah satu zat untuk
menginduksi Diabetes Mellitus. Dosis tunggal yang digunakan untuk menginduksi
DM secara intraperitoneal adalah lebih dari 40mg/kgBB. Hal ini membuat STZ
lebih sering digunakan dalam penelitian menggunakan hewan coba karena dapat
menghasilkan kondisi diabetik dalam kadar STZ yang sedikit jika dibandingkan
dengan zat kimia lain seperti aloksan (Nugroho, 2006).
2.4.2 Mekanisme Kerja Streptozotocin dalam Pembentukan Kondisi Diabetik
Streptozotocin (STZ) menembus sel beta Langerhans melalui transporter
glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasilkan perubahan DNA sel beta
19
langerhans. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan
kerusakan pada sel beta langerhans. STZ merupakan donor nitric oxide (NO) yang
mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui peningkatan
aktivitas guanilin siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ
mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan
oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel beta
langerhans. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria
dan peningkatan aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus
kreb dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria
yang terbatas selanjutnya mengakibatkan pengurangan secara drastis nukleotida
sel beta langerhans (Nugroho, 2006).
2.5 Hewan Coba Model Diabetes Mellitus Tipe 2
Gambar 2.3 Tikus Rattus Norvegicus
20
Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat
150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala
dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari
20-23 mm (Depkes, 2008).
21
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Skema 3.1 Kerangka Konsep
Hiperglikemia
Stress oksidatif
Pembesaran glomerulus ↑ Keterangan: : menyebabkan
: menghambat
Reaksi glikasi
nonenzimatik plasma
dan protein membrana
basalis glomerulus ↑
Sitokin proinflamasi:
(TGF β dan vascular
endothelial growth
factor) ↑
Mengaktivasi protein kinase-C
ROS (Reactive
Oxygen Species)
Apoptosis sel-
sel podosit ↑
Vit A
Sintesa matriks
ekstraseluler ↑
Produksi kolagen meningkat,
penebalan membrana basalis,
mesangium hipertrofi ↑
Kerusakan pada struktur
glomerulus ↑
22
Streptozotocin (STZ) menembus sel beta Langerhans melalui transporter
glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasilkan perubahan DNA sel beta
langerhans. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan
kerusakan pada sel beta langerhans. Sel-sel beta pankreas yang telah rusak akan
menghambat sekresi dan sintesis insulin, sehingga terjadi defisiensi insulin.
Defisiensi insulin ini, akan mengurangi efisiensi penggunaan glukosa di perifer,
maka terjadilah kondisi hiperglikemia (Guyton, 2007).
Hiperglikemia pada DM akan menginduksi stress oksidatif sehingga akan
mengaktivasi protein kinase-C dan meningkatkan reaksi glikasi nonenzimatik
plasma dan protein membrana basalis glomelurus. Kedua proses ini menyebabkan
peningkatan produksi matriks ekstra selular. Hipertrofi mesangium terjadi karena
adanya hiperplasia sel-sel mesangium dan sekresi matriks ekstra selular yang
berlebihan. Selain itu, terjadi pula penebalan membrana basalis yang terutama
disebabkan oleh reaksi glikasi nonenzimatik protein. Hal ini menyebabkan
pembesaran pada glomerulus ginjal (Pourghasem dkk, 2015).
Akibat dari stress oksidatif yang selanjutnya yaitu terkumpulnya sitokin-
sitokin proinflamasi seperti transforming growth factor β (TGF-β) dan vascular
endothelial growth factor. Akibat adanya sitokin ini, menimbulkan proses inflamasi
dan juga peningkatan sintesa matriks ekstraseluler yang pada akhirnya akan
menimbulkan peningkatan produksi kolagen, penebalan membrana basalis
glomerulus, dan fibrosis tubulointerstitial (Hendromartono, 2009). Selain itu,
hiperglikemia juga dapat menginduksi Reactive Oxygen Species (ROS) melalui
NADPH oksidase, dimana produksi ROS ini dapat menginisiasi apoptosis pada
sel-sel podosit glomerulus (Pourghasem dkk, 2015). Pada akhirnya, semua
23
proses ini menimbulkan kerusakan pada struktur histologis glomerulus dan
terjadinya perbesaran pada glomerulus.
Vitamin A yaitu asam retinoat (AR) memiliki efek anti inflamasi, dimana
efeknya yaitu mengurangi proteinuria dan menghambat inflamasi. Selain itu,
pengobatan dengan AR dapat mengurangi terjadinya albuminuria, memperbaiki
lesi pada glomerulus, dan menghambat ekspresi sitokin dan kemokin pada ginjal.
Dimana AR menekan transkripsi dari beberapa sitokin-sitokin pro-inflamasi dan
kemokin-kemokin yang menginduksi makrofag. Penelitian lain didapatkan adanya
peningkatan dari the renal transforming-growth factor beta (TGF- beta) pada
pemberian AR, dimana TGF-beta dapat memediasi efek anti-inflamasi dari AR
(Mallipattu dan Cijiang, 2015).
Asam retinoat juga berperan sebagai anti proliferatif dengan efek pro-
differensiasi pada beberapa jaringan, termasuk ginjal dan khususnya pada
podosit. Hal ini telah diteliti dalam beberapa model dengan cedera podosit, dimana
terdapat hilangnya podocyte differentiation marker), AR terbukti dapat
mengembalikan jumlah podosit dengan meningkatkan jumlah sel-sel epitel yang
mengekspresikan podocyte differentiation marker di glomerulus (Mallipattu dan
Cijiang, 2015).
3.2 Hipotesis Penelitian
Pemberian vitamin A dapat menghambat kerusakan yang terjadi pada
glomerulus ginjal tikus yang diinduksi Streptozotocin, sehingga terlihat perbedaan
pada luas glomerulus ginjal pada kelompok kontrol, kontrol diabetes dan kelompok
perlakuan.
24
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan desain penelitian
eksperimen murni (true experimental design) yang dilakukan di laboratorium
secara in vivo menggunakan rancangan Randomized Post Test Only Controlled
Group Design. Pada penelitian ini, data diambil hanya pada akhir penelitian
setelah perlakuan dibandingkan hasilnya pada kelompok kontrol negatif, kontrol
positif, dan kelompok perlakuan.
4.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar jantan yang dipelihara di Laboratorium Biokimia Biomolekuler
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Sampel dipilih dengan cara random
sampling. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan yang dipilih adalah
dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
Kriteria inklusinya adalah:
a. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
b. Jantan, karena tikus betina memiliki hormon estrogen yang dapat
mempengaruhi metabolism lemak maupun kolesterol
c. Berat badan 150-200 gram
d. Usia 6-8 minggu
e. Kondisi sehat (aktif bergerak, tidak ada kelainan anatomis)
f. Memiliki bulu putih dan bersih
25
Kriteria eksklusinya adalah:
a. Tikus putih yang mati selama penelitian berlangsung
Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) kelompok perlakuan yaitu
sebagai berikut:
1. Kelompok kontrol negatif : Pemberian diet normal
2. Kelompok kontrol positif : Pemberian diet tinggi lemak, lalu
tikus dinjeksi STZ, namun tidak diberi vitamin A
3. Kelompok perlakuan I : Pemberian diet tinggi lemak, lalu
tikus dinjeksi STZ dan diberi vitamin A dengan dosis 50 mg/kgBB
4. Kelompok perlakuan II : Pemberian diet tinggi lemak, lalu
tikus dinjeksi STZ dan diberi vitamin A dengan dosis 100 mg/kgBB
5. Kelompok perlakuan III : Pemberian diet tinggi lemak, lalu
tikus dinjeksi STZ dan diberi vitamin A dengan dosis 150 mg/kgBB
4.2.1 Jumlah Sampel
Berdasarkan penelitian sebelumnya, menurut Mediyanti (2016)
perhitungan jumlah sampel dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑛 =(15 + 𝑝)
𝑝
Keterangan:
𝑛 : Jumlah pengulangan tiap kelompok perlakuan
𝑝 : Jumlah kelompok perlakuan
Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) kelompok perlakuan.
Oleh karena itu, jumlah sampel yang digunakan untuk masing-masing
kelompok perlakuan adalah:
𝑛 =(15 + 𝑝)
𝑝
26
𝑛 =(15 + 5)
5
𝑛 =20
5
𝑛 = 4
Jumlah sampel untuk kelima kelompok perlakuan adalah jumlah
kelompok dikalikan dengan jumlah sampel perlakuan yang dibutuhkan dari
tiap kelompok yaitu:
5 (𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛) 𝑥 4(𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛) = 20
Jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah 20 (dua puluh) ekor
tikus jantan.
4.3 Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas : Vitamin A
b. Variabel Terikat : Luas glomerulus ginjal
c. Variabel Terkendali :
1. Berat badan
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Pakan hewan
Kondisi lingkungan tempat tinggal hewan
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian
4.4.1 Tempat Penelitian
a. Pemeliharaan dan perawatan tikus dilakukan di Laboratorium Biokimia
Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
27
b. Pengamatan dan pengukuran preparat jaringan dilakukan di
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
c. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan di Laboratorium
Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
4.4.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama 3 bulan pada bulan Agustus sampai Oktober
2015.
4.5 Bahan dan Alat Penelitian
4.5.1 Bahan dan Alat Pemeliharaan Hewan Coba
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan yang digunakan
sebanyak 30 ekor. Hewan tersebut dipelihara di Laboratorium Biokimia
Biomolekuler FKUB, di dalam kandang berupa bak plastik 45 cm x 35,5 cm x 14,5
cm dengan tutup kandang yang terbuat dari kawat., dimana dalam satu bak
digunakan untuk satu ekor tikus. Alat dan bahan lain yang dibutuhkan adalah botol
air untuk minum beserta air minumnya, bahan pakan, timbangan “Sartorius
melter”, baskom serba guna (untuk alat bantu penimbangan berat badan, dll),
handscoon dan masker, serta sekam untuk kandang tikus.
4.5.2 Bahan dan Alat Diet Normal
Bahan untuk membuat diet normal adalah BR1. Alat yang digunakan
adalah timbangan, mangkok plastik, gelas ukur, loyang dan sarung tangan.
4.5.3 Bahan dan Alat Diet Tinggi Lemak
Bahan yang digunakan untuk membuat pakan diet tinggi lemak adalah
dengan komposisi BR1(merek broiler) 221.75 gram, tepung terigu 123.25 gram,
asam kolat 0.098 gram, kolesterol 7.105 gram, dan minyak babi 184.25 ml
28
(Handayani dkk, 2009). Sedangkan untuk alat yang digunakan adalah timbangan,
mangkok plastik, gelas ukur, loyang dan sarung tangan.
4.5.4 Bahan dan Alat Pembuatan Sediaan Vitamin A
Bahan yang digunakan adalah tablet vitamin A merk IPI 6000 IU (1,8 mg).
Dan alat yang digunakan untuk membuatnya adalah blender kering, kertas obat
dan cawan.
4.5.5 Bahan dan Alat Pembuatan larutan dan Injeksi Streptozotocin (STZ)
Bahan yang digunakan untuk pembuatan STZ adalah Streptozotocin (STZ)
100 gram, aquades, dan buffer sitrat 3 ml. Sedangkan untuk alat yang diguanakan
adalah disposable spuit 1ml, disposable spuit 3ml.
4.5.6 Bahan dan Alat Pembedahan Tikus dan Pengambilan Jaringan yang
Akan diteliti
Alat yang digunakan untuk pembedahan tikus adalah gunting bedah,
pinset, cawan petri, papan bedah, jarum pentul, alcohol 70% (spray), beaker glass
dan kapas. Bahan yang digunakan adalah NaCL 0,9%, formalin 10%. Pembiusan
dilakukan dengan disposable spuit 1 ml dan ketamine dosis 0,2 cc. Tikus dibedah
dan diambil organ sampel. Organ sampel yang telah diambil diletakkan dalam
tabung plastik dan difiksasi dengan formalin 10% untuk kemudian dibuat preparat
histologi.
4.5.7 Alat Pembuatan Slide Histopatologi Jaringan Ginjal Tikus
Mesin Tissue Tex Processor
Microtome
Slide
Cover glass
29
4.5.8 Bahan dan Alat Pengamatan Luas Glomerulus Ginjal Tikus Putih
Alat yang digunakan untuk observasi luas glomerulus ginjal tikus adalah
Mikroskop merk Olympus XC10 dengan perbesaran 400x di laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Diamati 5 glomerulus pada
tiap preparat. Dengan bantuan software Master Scan Dotslide untuk mengukur
luas glomerulus.
4.6 Definisi Operasional
4.6.1 Tikus Model Diabetes Mellitus Tipe 2
Tikus model Diabetes Melitus tipe 2 adalah tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar jantan dengan berat badan kisaran 150-200 gram yang diberikan diet
tinggi lemak dan diinjeksi Streptozotocin (STZ) dengan dosis 30 ml/kgBB. STZ
bersifat sitotoksik dimana dapat menembus sel β Langerhans melalui transpoter
glukosa GLUT 2. Kerja STZ intraselular menghasilkan perubahan pada DNA sel β
pankreas. Diagnosa diabetes melitus diukur dengan glukosa puasa ≥ 126
(PERKENI, 2015).
4.6.2 Luas glomerulus ginjal
Luas glomerulus ginjal diamati dengan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 400x. Pengukuran luas glomerulus menggunakan software Master
Scan Dotslide. Dihitung rerata 5 glomerulus pada tiap preparat, satuan µm.
Sebelumnya dilakukan pengecatan H&E terlebih dahulu.
4.6.3 Vitamin A
Vitamin A dapat ditemukan dalam banyak buah-buahan, sayuran, telur,
susu, mentega, margarin yang difortifikasi, daging, dan ikan laut berminyak. Hal ini
juga dapat dibuat di laboratorium (WebMD, 2009). Namun, untuk penelitian ini
digunakan vitamin A dalam bentuk tablet yang kemudian dihaluskan dengan
30
menggunakan blender. Vitamin A yang digunakan adalah merk IPI 6000 IU (1,8
mg).
4.7 Metode Pengumpulan Data
4.7.1 Prosedur Penelitian
4.7.1.1 Pemeliharaan Hewan Coba
Hewan coba pada penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) strain
Wistar jantan dipelihara di dalam kandang di Laboratorium Biokimia Biomolekuler
FKUB. Sebelum penelitian dimulai, semua tikus diadaptasikan terlebih dahulu
selama 1 minggu dengan penimbangan berat badan. Pada masa adaptasi, tikus
diberi pakan normal masing-masing sebanyak 25 gram dan minum yang diganti
satu kali setiap harinya. Penggantian sekam dilakukan setiap tiga kali dalam
seminggu, namun saat setelah penginjeksian STZ serta tikus sudah mulai ada
tanda klinis DM, yaitu pengeluaran urin yang banyak, maka penggantian sekam
dilakukan setiap dua hari sekali.
4.7.1.2 Pembuatan dan Pemberian Diet Normal
Diet normal sebagai pakan standar yang digunakan dalam penelitian
adalah crumble yang dibuat dengan mencampurkan tepung terigu. Setiap harinya
satu ekor diberikan sekitar 25 gram diet normal dengan berat yang sama, 1 kali
dalam sehari dengan meletakkan pakan di dalam tempat makan yang diletakkan
di dalam kandang tikus. Pada masa adaptasi, semua tikus diberikan diet normal
ini. Sedangkan unuk memulai perlakuan, diet normal hanya diberikan pada
kelompok kontrol negatif.
4.7.1.3 Pembuatan dan Pemberian Diet Tinggi Lemak
Pembuatan diet tinggi lemak dengan mencampurkan semua bahan diet
tinggi lemak. Setiap harinya satu ekor diberikan sekitar 25 gram diet tinggi lemak,
31
1 kali dalam sehari dengan meletakkan pakan di dalam tempat makan yang
diletakkan di dalam kandang tikus. Pemberian diet tinggi lemak pada kelompok
perlakuan tikus dimulai pada minggu kedua hingga akhir penelitian pada kelompok
kontrol positif dan kelompok perlakuan.
4.7.1.4 Pembuatan dan Injeksi Larutan STZ pada Tikus
Steptozotocin (STZ) 100 gram dilarutkan ke dalam 3 ml buffer sitrat pH 4.5,
selanjutnya di vortex hingga homogen, sehingga dihasilkan larutan STZ stok.
Larutan STZ stok disimpan pada suhu 4ᵒC (Handayani dkk., 2009). Prosedur
penginjeksian STZ ke tikus adalah dengan cara memposisikan tikus dengan
abdomen menghadap ke arah penyuntik. Pada abdomen didesinfeksi dengan
alcohol 70%, kulit tikus dicubit hingga bagian otot tercubit. Setelah itu spuit yang
sudah diisi dengan STZ disuntikkan dengan cara intraperitoneal. Setelah
diinjeksikan, semprotkan dengan alcohol 70% pada bagian bekas suntikan. 1
minggu setelah penginjeksian STZ, dilakukan pengukuran glukosa darah untuk
mengkonfirmasi keadaan DM tipe 2.
4.7.1.5 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus
Pengukuran kadar glokosa darah tikus diperoleh dari darah ujung ekor
tikus (vena lateralis). Tikus yang akan diambil darahnya diletakkan pada tempat
yang hanya cukup untuk satu ekor tikus saja dengan posisi ekor keluar. Kemudian
ekor tikus dibasahi dengan air hangat untuk membuat vasodilatasi vena lateralis.
Setelah itu ekor diberi alkohol dan ditusuk dengan jarum untuk menganbil
darahnya. Urut ekor ke arah distal sehingga darah keluar melalui ujung luka.
Pengukuran glukosa darah menggunakan alat (Easy Touch) beserta strip untuk
pengukuran glukosa darah. Strip yang sudah terhubung dengan alat selanjutnya
32
ditetesi darah dari ekor tikus. Kemudian dibaca skala yang terlihat pada layar dan
satuan skala pengukuran yang terbaca mg/dl.
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan 2 kali yaitu sebelum diberikan
STZ untuk mengetahui kadar glukosa darah tikus awal, dan sesudah diberikan
STZ untuk mengetahui adanya kondisi resistensi insulin. Sebelum dilakukan
pengambilan darah, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 10 jam, karena kadar
glukosa darah yang diukur adalah kadar glukosa darah puasa. Kadar glukosa
darah puasa normal pada tikus adalah <100mg/dl (Kawatu, 2013).
4.7.1.6 Pembuatan dan Pemberian Vitamin A pada Tikus
Vitamin A didapatkan dalam bentuk tablet merk IPI 6000 IU (1,8 mg),
kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Setelah itu dikemas dengan
kertas obat dan dibagi sesuai dosisnya, yaitu 15 mg, 30 mg, dan 45 mg. Cara
pemberian ke tikus dengan cara disonde, dimana vitamin A tersebut dilarutkan
dengan aquades 2ml kemudian diaduk, dimasukkan ke dalam spuit, lalu
disondekan ke tikus.
Penentuan dosis vitamin A diadaptasi dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nyamthabad dan Umesh (2014) tentang evaluasi ekstrak biji tomat sebagai
anti diabetes dengan menggunakan dosis 50-200 mg/kgBB, dimana di dalam
tomat juga mengandung vitamin A. Untuk dosis terendah menggunakan
50mg/kgBB dan perbandingan dosis selanjutnya ditentukan menggunakan deret
hitung (1n, 2n, 3n dan seterusnya), sehingga pada penelitian ini menggunakan
dosis 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB. Pengukuran rata-rata berat
badan tikus 300 gram (0,3kg), didapatkan dosis masing-masing kelompok adalah
15mg, 30mg, dan 45mg. Penentuan lama pemberian vitamin A diadaptasi dari
penelitian Sang-Youb, dkk. (2014) tentang efek asam retinoat pada nefropati
33
diabetik, dimana pemberian asam retinoat dalam 4 minggu menunjukkan
penurunan kadar MCP-1 yang signifikan pada tikus yang diinduksi STZ.
4.7.1.7 Pembuatan Preparat Histopatologi
Langkah-langkah dalam pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai
berikut:
a. Proses pemotongan jaringan berupa makros
1. Memfiksasi jaringan atau spesimen penelitian dengan formalin 10% atau
dengan bafer formalin 10% minimal selama 7 jam sebelum proses
berikutnya.
2. Memilih jaringan terbaik sesuai dengan lokasi yang akan diteliti.
3. Memotong jaringan kurang lebih ketebalan 2-3 mm
4. Memberikan kode sesuai dengan kode gross peneliti dan memasukkan ke
kaset.
5. Kemudian, memproses jaringan dengan alat Automatik Tissue Tex
Prosesor selama 90 menit sesuai dengan standar Laboratorium Patologi
Anatomi FKUB.
6. Sampai alarm bunyi tanda selesai.
b. Proses Pengeblokan dan Pemotongan Jaringan
1. Mengangkat jaringan dari mesin Tissue Tex Prosesor.
2. Mengeblok jaringan dengan parafin sesuai kode jaringan
3. Memotong jaringan dengan alat microtome ketebalan 3-5 mikron.
c. Proses Deparafinisasi
1. Setelah memotong dengan ketebalan 3-5 mikron, menaruh dalam oven
selama 30 menit dengan suhu panas 70-80 derajat
34
2. Kemudian, memasukkan ke dalam 2 tabung larutan sylol masing-masing
20 menit.
3. Setelah itu, memasukkan ke 4 tabung alkohol masing-masing tempat 3
menit (hidrasi), dan memasukkan air mengalir selama 15 menit.
d. Proses Pewarnaan (HE)
1. Pewarna utama menggunakan Harris Hemaktosilin selama 10-15 menit.
2. Mencuci dengan air mengalir selama 15 menit.
3. Dicelupkan ke dalam alkohol asam 1% sekitar 2-5 celup
4. Dicelupkan ke dalam amonia lithium karbonat sekitar 3-5 celup (jika
kurang biru)
5. Eosin 10-15 menit
e. Alkohol bertingkat:
1. Alkohol 70% 3 menit
2. Alkohol 80% 3 menit
3. Alkohol 96% 3 menit
4. Alkohol Absolud 3 menit
f. Penjernihan (Clearing) :
1. Xylol 15 menit
2. Xylol 15 menit
g. Mounting dengan entelan dan deckglass
Menutup slide dengan cover glass dan biarkan sampai kering pada suhu
ruangan. Slide siap untuk diamati.
4.7.2 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sisa pakan tikus yang dihitung setiap hari selama penelitian berlangsung
35
2. Berat badan tikus yang diukur setiap minggu, dengan rincian setiap 4 hari
selama penelitian berlangsung, (1) pada awal adaptasi, (2) minggu ke-3
(setelah adaptasi), (3) minggu ke-8 (setelah diberikan diet tinggi lemak
serta diinjeksi STZ), (4) minggu ke-11 (pada akhir penelitian).
3. Kadar glukosa darah yang diukur sebelum dilakukan injeksi STZ pada
tikus dan satu minggu setelah dilakukan injeksi STZ.
4. Pengambilan jaringan ginjal tikus lalu dijadikan paraffin block.
5. Pengecatan jaringan menggunakan metode pengecatan H&E.
6. Pengamatan gambaran histologi glomerulus menggunakan mikroskop
cahaya.
4.8 Pengolahan/Analisis Data
Seluruh data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Program
SPSS for windows Versi 16.0. Analisis data dalam penelitian ini meliputi:
1. Uji normalitas dengan uji Saphiro-wilk untuk mengetahui normalitas
distribusi data.
2. Uji Homogenitas dengan uji Levene’s test untuk mengetahui
homogenitas data antar kelompok.
3. Analisis komparasi dengan One Way Anova jika data berdistribusi
normal dan homogen dan menggunakan uji Kruskal Wallis jika data
tidak berdistribusi normal atau data tidak homogen.
4. Uji Post-hoc dilakukan untuk mengetahui kelompok- kelompok yang
mempunyai perbedaan.
5. Uji korelasi dan regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
variabel satu dengan variabel lainnya.
36
4.9 Jadwal Kegiatan
Persiapan alat, bahan dan hewan coba
Kontrol negatif
Diet normal
Minggu ke 1-11
Perlakuan
I
Perlakuan
II
Perlakuan
III
Kontrol positif
Diet tinggi lemak
Mulai minggu ke 2
Minggu ke 7 dilakukan injeksi STZ
Minggu ke 8-11 diberi Vitamin A
Pengambilan jaringan ginjal dijadikan paraffin block
Pengecatan jaringan dengan H&E
Perlakuan I
Vitamin A
50mg/kgBB
Perlakuan II
Vitamin A
100mg/kgBB
Perlakuan III
Vitamin A
150mg/kgBB
Gambar 4.1 Jadwal Kegiatan
Observasi glomerulus ginjal dengan mikroskop cahaya
Analisis data
Minggu ke 8 periksa glukosa darah puasa
Randomisasi subjek penelitian
Adaptasi pemberian pakan
normal di minggu pertama
37
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus
Norvegicus) galur wistar sebanyak 30 tikus. Dalam penelitian ini dilakukan 5 jenis
kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif (KN) tanpa perlakuan injeksi
STZ dan tanpa pemberian Vitamin A, kelompok kontrol positif (KP) dengan
perlakuan injeksi STZ tanpa pemberian Vitamin A, kelompok perlakuan 1 (VAP1)
dengan injeksi STZ dan pemberian Vitamin A dosis 50gr/kg, kelompok perlakuan
2 (VAP2) dengan injeksi STZ dan pemberian Vitamin A dosis 100gr/kg, dan
kelompok perlakuan 3 (VAP3) dengan injeksi STZ dan pemberian Vitamin A
dosis 150gr/kg.
Kemudian dilakukan terminasi tikus pada minggu kesebelas setelah
pemberian vitamin A dan selanjutnya dilakukan pengambilan organ ginjal dan
dibuat preparat. Setelah itu dilanjutkan dengan pewarnaan HE (Hematoxylin
Eosin), kemudian di scan dan diukur menggunakan software dotslide mikroskop
pencahayaan Olympus XC 10 di Laboratorium Patologi Anatomi Universitas
Brawijaya.
5.1.1 Berat Badan Hewan Coba
Penimbangan berat badan tikus dilakukan satu minggu sekali selama
sebelas minggu untuk mengetahui dan memantau berat badan tikus selama
penelitian berlangsung. Berat badan tkus kemudian dicari nilai reratanya untuk
38
masing-masing kelompok perlakuan setiap minggunya (Mediyanti, 2016). Rerata
berat badan tikus dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Rerata Berat Badan (BB) Tikus
Rerata BB
(gram)
per minggu
Kelompok
KN KP VAP1 VAP2 VAP3
1 151.80 230.00 182.53 235.47 205.00
2 165.33 255.33 195.33 260.33 230.33
3 179.10 269.67 207.00 274.33 242.60
4 178.33 287.67 214.73 290.60 254.93
5 182.53 300.40 224.40 304.00 267.00
6 189.40 319.13 236.87 316.40 278.80
7 196.53 328.40 245.13 323.93 286.80
8 201.47 321.53 228.20 316.53 288.27
9 207.87 300.43 226.47 306.13 296.40
10 214.78 301.28 223.89 312.89 305.67
11 224.00 309.33 223.33 316.25 303.33
Gambar 5.1 Hasil Pengukuran Rerata Berat Badan Tikus
0
50
100
150
200
250
300
350
RERATA BB TIKUS
KN KP VAP1 VAP2 VAP 3
39
Pengukuran berat badan tikus dilakukan pada kelima kelompok perlakuan
yang diambil setiap minggu selama penelitian berlangsung yaitu selama 11
minggu. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
berat badan yang konsisten pada setiap kelompok pada minggu pertama hingga
ketujuh. Selanjutnya terjadi penurunan berat badan pada minggu kedelapan
pada kelompok KP, VAP1 dan VAP2. Sedangkan pada kelompok lainnya yaitu
KN dan VAP3 terjadi peningkatan berat badan yang konsisten hingga minggu
terakhir.
5.1.2 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Puasa Tikus
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan alat Easy Touch
dengan metode meneteskan darah yang diambil dari ekor tikus ke glucostick
(Mediyanti, 2016).
Tabel 5.2 Rerata Glukosa Darah Puasa Tikus Sebelum dan Sesudah
Diinjeksi STZ
Kelompok Rerata Kadar Glukosa Darah Puasa
Sebelum Setelah
KN 71,20 88,67
KP 91.30 246,33
VAP1 85,00 179
VAP2 76,40 221
VAP3 71,80 158,67
40
Gambar 5.2 Rerata Glukosa Darah Tikus Sebelum dan Sesudah
Diinjeksi STZ
Berdasarkan data hasil rerata pengukuran glukosa darah tikus sebelum
diinjeksi STZ, semua kelompok memiliki kadar glokosa darah normal. Sedangkan
setelah diinjeksi STZ, kelompok KN memiliki glukosa darah lebih rendah atau
berada pada kondisi glukosa darah normal dibandingkan semua kelompok.
Menurut Kawatu (2013) kadar glukosa darah puasa normal tikus <100 mg/dL.
Dari hasil data menunjukkan selain kelompok KN, memiliki kadar glukosa darah
diatas normal atau hiperglikemia.
71
,2 91
,3
85
76
,4
71
,888
,67
24
6,3
3
17
9
22
1
15
8,6
7
K N K P V A P 1 V A P 2 V A P 3
RERATA GLUKOSA DARAH PUASA
Sebelum Sesudah
41
5.1.3 Hasil Pengukuran Luas Glomerulus
Tabel 5.3 Rerata Luas Glomerulus
KELOMPOK RATA-RATA
KN 321.03
KP 395.60
VAP 1 371.16
VAP 2 358.72
VAP3 353.20
Gambar 5.3 Hasil Pengukuran Rarata Luas Glomerulus
Rerata luas glomerulus pada kelompok KN lebih kecil dari kelompok KP
dan ketiga kelompok perlakuan. Sedangkan KP memiliki nilai rerata yang lebih
besar dibandingkan kelompok lainnya. Kelompok VAP1 memiliki luas glomerulus
lebih besar dibanding VAP2 dan VAP3, namun lebih kecil dari kelompok KP.
Kelompok VAP2 memiliki luas glomerulus lebih kecil dari VAP1 namun lebih
besar dari VAP3. Berdasarkan perbandingan tiap kelompok, maka dapat
disimpulkan rerata luas glomerulus terkecil terdapat pada kelompok KN yaitu
321,03 dan rerata terbesar terdapat pada kelompok KP yaitu 395,6.
321,03
395,6371,16
358,72 353,2
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
KN KP VAP1 VAP2 VAP3
Luas
Glo
mer
ulu
s (µ
m)
Kelompok
42
a)
b)
c)
d)
f)
Keterangan : Gambaran histologi ginjal perbesaran 400x, pengecatan H&E.
: Glomerulus ginjal a) Glomerulus normal pada kelompok KN, b) Glomerulus pada kondisi diabetes melitus, c) Glomerulus dengan pemberian vitamin A dosis 50mg/kgBB, d) Glomerulus dengan pemberian vitamin A dosis 100mg/kgBB e) Glomerulus dengan pemberian vitamin A dosis 150mg/kgBB.
43
5.2 Analisis data
5.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas
Berdasarkan hasil dari test of normality dengan uji Shapiro-Wilk
menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk data luas glomerulus adalah 0,339.
Dari data tersebut menyatakan bahwa data luas glomerulus > 0,05 yang berarti
bahwa data tersebut terdistribusi normal.
Hasil dari test of homogenity of variances menunjukkan bahwa nilai untuk
luas glomerulus adalah 0,066. Data ini menunjukkan bahwa nilai tersebut > 0,05.
Maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut homogen, dimana hasil luas
glomerulus tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar tidak terdapat perbedaan
pada varian antar kelompok yang dibandingkan. Karena data yang didapatkan
terdistribusi normal dan homogen, maka dapat digunakan uji statistik komparasi
dengan metode parametrik yaitu One Way ANOVA.
5.2.2 Uji One Way ANOVA
Setelah data diketahui terdistribusi normal dan varian homogen, dilakukan
uji One Way ANOVA untuk mengevaluasi perbedaan luas glomerulus ginjal antar
kelompok. Berdasarkan hasil dari uji statistik dengan menggunakan One Way
ANOVA, menunjukkan bahwa nilai signfikansi untuk hasil luas glomerulus adalah
0,052. Karena nilai menunjukkan > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dari rerata luas glomerulus tikus putih pada
masing-masing kelompok yang dibandingkan.
5.2.3 Uji Post Hoc
Analisis untuk melihat perbedaan jumlah dari kelima kelompok dapat
diketahui dengan Post Hoc Multiple Comparison test. Metode Post Hoc yang
44
digunakan adalah uji Turkey HSD. Pada uji statistik ini, sesuatu dapat dikatakan
berbeda secara bermakna apabila nilai signifikansi p<0,05. Hasil uji Post Hoc
terhadap luas glomerulus ginjal tikus dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
KN KP P1 P2 P3
KN 0,031* 0,266 0,413 0,494
KP 0,031* 0,823 0,432 0,257
P1 0,266 0,823 0,981 0,919
P2 0,413 0,432 0,981 0,998
P3 0,494 0,257 0,919 0,998
*p<0,05 : terdapat perbedaan signifikan antar kelompok
Berdasarkan tabel diatas, hasil uji post hoc menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada luas glomerulus kelompok kontrol negatif (KN)
dengan kelompok kontrol positif yaitu 0.031 (<0,05). Sedangkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada luas glomerulus antara kelompok negatif (KN),
kelompok positif (KP) dengan semua kelompok perlakuan karena menunjukkan
nilai p>0,05.
5.2.4 Uji Korelasi Pearson dan Regresi
Berdasarkan uji korelasi Pearson diperoleh nilai signifikansi sebesar
p=0,054. Hasil tersebut memiliki nilai p>0,05 , sehingga didapatkan kesimpulan
tidak ada hubungan yang signifikan antara penambahan dosis vitamin A dengan
penurunan luas glomerulus ginjal tikus. Sementara itu, nilai korelasi berdasarkan
uji statistik didapatkan sebesar -0,569. Nilai kolerasi tersebut menunjukkan
bahwa korelasi antara dosis vitamin A terhadap penurunan luas glomerulus ginjal
merupakan korelasi yang lemah.
Berdasarkan hasil uji regresi didapatkan hasil 3,24, nilai tersebut
menunjukkan bahwa pemberian vitamin A mampu menurunkan luas glomerulus
45
ginjal sebesar 32,4. Uji regresi dilakukan untuk memperkirakan dosis vitamin A
yang mampu menormalkan luas glomerulus ginjal dengan menggunakan rumus
y=a+(b.x), dengan nilai a=391,22 dan b=-2,77, sedangkan nilai x adalah
perkiraan dosis vitamin A yang mampu menormalkan luas glomerulus ginjal. Nilai
y adalah rentang batas normal luas glomerulus yaitu 315,25 sampai 326,81. Dari
perhitungan diatas didapatkan perkiraan dosis vitamin A yang mampu
menurunkan luas glomerulus menjadi normal adalah sekitar 250mg/kgBB.
46
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Berat Badan Hewan Coba
Berdasarkan tabel 5.1 dan gambar 5.1 didapatkan bahwa berat badan
tikus konsisten meningkat mulai minggu kedua hingga ketujuh pada semua
kelompok, dengan pemberian diet tinggi lemak pada kelompok kontrol positif dan
kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol negatif hanya diberikan diet normal,
sehingga terlihat berat badan tikus pada kelompok ini lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan. Hal ini dikarenakan pemberian
diet tinggi lemak pada hewan coba (tikus wistar jantan) selama kurang lebih 8
minggu dapat menginduksi terjadinya obesitas, dislipidemia, hipertensi dan
gangguan toleransi glukosa. Selain itu, pemberian diet tinggi lemak akan
mengakibatkan peningkatan ukuran tubuh dan peningkatan jaringan adiposa.
Selanjutnya apabila kondisi ini terus berlangsung dalam jangka waktu tertentu
maka akan berdampak terhadap peningkatan berat badan, baik overweight
maupun obesitas (Mutiyani dkk., 2014).
Pemberian diet tinggi lemak sebelum induksi STZ bertujuan untuk
perkembangan menjadi obesitas, hiperinsulinemia dan resistensi insulin.
Obesitas dapat terjadi karena diet tinggi lemak dapat meningkatkan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, triagliserida serta menurunkan kadar kolesterol
HDL pada darah tikus putih (Harsa, 2014). Resistensi insulin karena pemberian
diet tinggi lemak berhubungan dengan meningkatnya lemak viseral. Pemberian
diet tinggi lemak selama 8 minggu dapat memicu resistensi insulin karena
47
penumpukan lemak visceral, dimana peningkatan massa lemak viseral ini
menyebabkan peningkatan Free Fatty Acid (FFA) menuju liver, peningkatan
sirkulasi trigliserida dan kecepatan produksi glukosa hepatik. Peningkatan FFA
dalam plasma juga menurunkan pengambilan glukosa, glikolisis, sintesis
glikogen dan karbohidrat (Arner dkk., 2015). Apabila keadaan-keadaan tersebut
berlangsung terus-menerus maka dapat terjadi kompensasi berupa
hiperinsulinemia yang merupakan ciri dari resistensi insulin dan berakhir pada
kondisi diabetes melitus.
Selanjutnya terjadi penurunan berat badan pada minggu kedelapan pada
kelompok KP, VAP1 dan VAP2. Hal ini dikarenakan pada minggu ketujuh
dilakukan injeksi Streptozotocin (STZ) dimana terjadi peningkatan glukosa darah
atau kondisi hiperglikemia pada tikus setelah mendapat injeksi STZ. Hewan coba
yang diinduksi STZ akan memperlihatkan tanda-tanda diabetes mellitus seperti
poliuria, polidipsi, meningkatnya kebutuhan terhadap air dan makanan, dehidrasi
dan berat badan menurun. Penurunan berat badan ini berhubungan dengan
abnormalitas karena osmotik diuresis dan intoleransi glukosa, yang disebabkan
oleh sekresi insulin yang tidak adekuat atau hiperlipidemia pada diabetes
mellitus. Osmotik diuresis yang berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya
elektrolit urin dalam jumlah banyak. Gangguan pada fungsi renal tersebut
berhubungan dengan beberapa kelainan yang muncul seperti proteinuria hingga
gagal ginjal (Bayramoglu dkk., 2014). Selain itu, keadaan hiperglikemia
menyebabkan pengangkutan glukosa ke dalam sel menjadi terhambat dan
menyebabkan glukosa tidak dapat melalui proses glikolisis, sehingga proses
penghasil energi berkurang. Sebagai kompensasi dari kondisi tersebut, lemak
dan protein tubuh dipecah untuk menghasilkan energi atau dikenal sebagai
48
glukoneogenesis (Sisca dkk., 2014). Semua kondisi diatas dapat menyebabkan
penurunan berat badan pada kondisi diabetes mellitus.
6.2 Glukosa Darah Puasa Tikus Setelah Diinjeksi STZ
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan adanya peningkatan kadar glukosa
darah puasa diatas kadar normal pada tikus yang diinduksi STZ pada minggu
ketujuh, yaitu pada kelompok KP, P1, P2 dan P3. Pengecekan glukosa darah
tikus dilakukan pada minggu kedelapan atau seminggu setelah dilakukan
penyuntikan STZ. Dari hasil pengukuran glukosa darah puasa menunjukkan
bahwa tikus yang mendapatkan induksi STZ berada dalam kondisi hiperglikemia,
dimana kadar glukosa darah puasa normal pada tikus adalah <100mg/dl
(Kawatu, 2013). Dari hasil penelitian, peningkatan glukosa darah puasa setelah
mendapatkan induksi STZ dan peningkatan berat badan yang terjadi akibat
pemberian diet tinggi lemak mendukung terjadinya kondisi diabetes melitus pada
hewan coba.
STZ merupakan suatu senyawa glukosaminenitrosouren yang bekerja
dengan membentuk radikal bebas yang sangat reaktif, sehingga dapat
menyebabkan kerusakan membran sel, protein dan DNA yang berakibat pada
kerusakan sel beta pankreas (Erwin dkk., 2013). Memberatnya kondisi
hiperglikemia pada hewan coba yang diinduksi STZ terjadi karena kemampuan
STZ yang secara langsung dapat mendestruksi sel beta di pankreas sehingga
menyebabkan gangguan dalam produksi insulin atau dikenal dengan istilah
defisiensi insulin, hingga terjadinya insulin resisten (Srinivasan dkk., 2005).
Kombinasi dari pemberian pakan tinggi lemak dan penyuntikan STZ
semakin mendukung terjadinya kondisi hiperglikemia pada tikus. Hewan coba
49
yang diberikan diet tinggi lemak dapat membuat tikus berkembang menjadi
obesitas, hiperinsulinemia dan insulin resisten. Diabetes melitus dapat dicapai
dengan menggabungkan pemberian pakan tinggi lemak yang menghasilkan
resistensi insulin dan pemberian STZ yang menyebabkan disfungsi sel beta
pankreas dan selanjutnya terjadi hiperglikemia (Srinivasan dkk., 2005).
6.3 Luas Glomerulus Ginjal Tikus Percobaan
Hasil pengukuran rata-rata luas glomerulus dapat dilihat pada tabel 5.4,
dimana kelompok kontrol negatif (KN) memiliki rerata luas glomerulus 321.03,
sedangkan kelompok kontrol positif (KP) memiliki rerata luas glomerulus sebesar
395.60. Jika dibandingkan dengan kelompok KN, kelompok KP memiliki rerata
luas glomerulus lebih tinggi signifikan dibandingkan dengan KN, dengan nilai
signifikansi 0,031. Rata-rata luas glomerulus KP merupakan luas tertinggi dari
semua kelompok penelitian, dimana pada kelompok VAP1 hingga VAP3
didapatkan penurunan rata-rata luas glomerulus yang kontinu. Rerata luas
glomerulus pada kelompok perlakuan 1 (VAP1) yaitu 371.16, kelompok VAP2
sebesar 358.72 dan kelompok VAP 3 sebesar 353.20.
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia dan berhubungan dengan peningkatan radikal bebas.
Kondisi hiperglikemia yang cukup lama pada diabetes melitus dapat menginduksi
terjadinya stres oksidatif. Peningkatan stres oksidatif ini dapat memicu terjadinya
berbagai reaksi yaitu dapat menginvasi protein kinase C, reaksi glikasi non-
enzimatik plasma dan protein membarana basalis pada glomerulus, serta
memicu munculnya sitokin-sitokin proinflamasi seperti TGF β dan vascular
endothelial growth factor. Reaksi-reaksi tersebut menyebabkan terjadinya
50
peningkatan produksi matriks ekstra seluler. Sekresi matriks ekstraselular yang
berlebihan akan memicu terjadinya hipertrofi mesangium. Selain itu, terjadi pula
penebalan membrana basalis yang terutama disebabkan oleh reaksi glikasi
nonenzimatik protein (Pourghasem dkk, 2015). Terkumpulnya sitokin-sitokin
proinflamasi seperti transforming growth factor β (TGF-β) dan vascular
endothelial growth factor dapat menimbulkan proses inflamasi dan juga
peningkatan sintesa matriks ekstraseluler yang pada akhirnya akan menimbulkan
peningkatan produksi kolagen, penebalan membrana basalis glomerulus, dan
fibrosis tubulointerstitial (Hendromartono, 2009). Semua reaksi tersebut,
mendukung terjadinya pembesaran luas glomerulus pada keadaan diabetes
melitus, terlihat bahwa adanya perbedaan yang signifikan rata-rata luas
glomerulus antara kelompok kontrol negatf dengan kontrol positif.
Vitamin A memiliki derivat salah satunya yaitu asam retinoat (AR)
memiliki efek anti inflamasi yang telah dibuktikan pada hewan coba yang
mengalami kerusakan pada glomerulus. Efek dari AR ini juga telah terbukti baik
pada beberapa jaringan lain. Pada model secara in vivo dan in vitro yang
mengalami penyakit diabetik nefropati, dengan pengobatan AR menunjukkan
adanya perbaikan pada kerusakan podosit yang terjadi. Khususnya pengobatan
pada kultur podosit dengan AR dapat mengurangi aktivasi dari jalur inflamasi
dengan inhibisi dari sintesis monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1), dimana
MCP-1 ini dapat memperberat kondisi diabetes (Mallipattu dan Cijiang, 2015).
Efek anti inflamasi lainnya yaitu berkurangnya proteinuria dan
menghambat inflamasi yang terlihat pada tikus diabetes yang diobati dengan AR.
Pengobatan AR dapat mengurangi terjadinya albuminuria, memperbaiki lesi pada
glomerulus, dan menghambat ekspresi sitokin dan kemokin pada ginjal. Dimana
51
AR menekan transkripsi dari beberapa sitokin-sitokin pro-inflamasi dan kemokin-
kemokin yang menginduksi makrofag (Mallipattu dan Cijiang, 2015). Mekanisme
ini yang menyebabkan pemberian vitamin A pada kelompok VAP1, VAP2 dan
VAP3 menunjukkan adanya penurunan rata-rata luas glomerulus jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif diabetes. Meskipun terjadi
penurunan, namun dari hasil statistika didapatkan perbedaan rata-rata luas
glomerulus ini tidak signifikan. Kemungkinan, hal ini disebabkan karena efek dari
vitamin A sebagai anti inflamasi hanya dominan pada kerusakan sel-sel podosit
glomerulus, sedangkan yang mempengaruhi pembesaran luas glomerulus
adalah adanya hipertrofi mesangium, peningkatan produksi kolagen dan
penebalan membrana basalis glomerulus akibat dari peningkatan produksi
matriks ekstraselular. Selain itu, berdasarkan perhitungan hasil uji regresi,
diperkirakan dosis yang dapat menurunkan luas glomerulus ginjal pada kondisi
diabetes ke kondisi normal yaitu 250mg/dl sehingga diduga perbedaan yang
tidak signifikan ini disebabkan karena dosis yang belum optimal.
Hasil analisa statistik pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
program SPSS for Windows Versi 16.0. Hasil analisa Post Hoc Test dengan
Turkey HSD menunjukkan bahwa ada kelompok yang mempunyai hasil yang
bermakna yaitu kontrol negatif (KN) dengan kontrol positif (KP) (p=0.031),
sedangkan kelompok lainnya mempunyai hasil yang tidak bermakna. Kemudian
dilakukan uji korelasi Pearson untuk mengetahui kekuatan hubungan antara
peningkatan dosis vitamin A dengan luas glomerulus, didapatkan hasil tidak
signifikan (p=0.054), sehingga pemberian vitamin A belum memberikan efek
bermakna pada terapi diabetes melitus khususnya pada organ ginjal diabetes.
52
6.4 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dosis vitamin A yang digunakan belum optimal dalam menurunkan luas
glomerulus ginjal tikus diabetes melitus.
2. Tidak dilakukan pengukuran ketebalan ruang kapsula bowman,
sehingga tidak diketahui apakah ada hubungan pembesaran pada
glomerulus dengan ketebalan ruang kapsula bowman pada kondisi
diabetes melitus
3. Waktu yang digunakan untuk perlakuan vitamin A kurang lama
sehingga tidak cukup untuk meningkatkan efek vitamin dalam
memperbaiki glomerulus
53
BAB 7
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan :
7.1 Kesimpulan
1. Terdapat peningkatan luas glomerulus yang signifikan pada kelompok
kontrol positif dibandingkan dengan kontrol negatif.
2. Tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian vitamin A dosis
50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 150mg/kgBB terhadap penurunan luas
glomerulus ginjal tikus yang mengalami diabetes melitus.
7.2 Saran
Saran-saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah
dilakukan penelitian yang lebih dalam mengenai :
1. Pengaruh lama waktu pemberian vitamin A terhadap luas glomerulus ginjal
tikus model DM tipe 2.
2. Pengaruh vitamin A pada dosis >150mg/kgBB terhadap penurunan luas
glomerulus ginjal tikus model DM tipe 2.
3. Uji efek samping dan toksisitas dari vitamin A pada hewan coba untuk
mengetahui kadar toksik dalam penggunaannya sebagai terapi alternatif
komplikasi pada diabetes melitus khususnya pada ginjal.
4. Hubungan pembesaran luas glomerulus pada kondisi diabetes melitus
dengan ketebalan ruang kapsula bowman pada glomerulus.
54
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Standar of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 2010. 33 (1).
Anthony L. 2013. Junqueira’s Basic Histology. Edisi 13. McGraw-Hill Education. Hal. 385-91.
Arner P., Ryden M. 2015 Fatty Acids, Obesity and Insulin Resistance. Euro J. Obes. 8: 147-55.
Bayramoglu G., Senturk H., Bayramoglu A., Uyanoglu M., Colak S., Ozmen A., and Kolankaya D. Carvacrol Partially Reverses Symptom of Diabetes in STZ-induced Diabetic Rats. Cytotechnology. 2014. 66: 251-57.
Cameron. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care; American Diabetes Association. 2016. 39 (1): S13-S22.
Depkes, 2008. Pedoman Pengendalian Tikus. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Erwin, Etriwati, Muttaqien, Tri Wahyu P., dan Sitarina W. Ekspresi Insulin Pada Pankreas Mencit yang Diinduksi dengan Streptozotocin Berulang. Jurnal Kedokteran Hewan. 2013. 7(2):97-100.
Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Hal. 403-15.
Hadyanti. 2008. Pengaruh Tretinoin pada Tubuh. FMIPA UI. Hal. 20-22.
Handayani. Effect of Methanol Extract Hearleaf Madeiravine (Anredera cordifolia Stennis) Leaves on Blood Sugar in Diabetes Mellitus Model Mice. Jurnal Medika Planta. 2009. 1(4).
Han SY, So GA, Jee YH, Han KH, Kang YS, Kim HK, et al. Effect of retinoic acid in experimental diabetic nephropathy. Immunol Cell Biol. 2004. 82(6):568–76.
Harsa, Subhawa. Efek Pemberian Diet Tinggi Lemak Terhadap Profil Lemak Darah Tikus Putih. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2014. 3(1): 21-28.
Hendromartono. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Nefropati Diabetik. Edisi Kelima. InternaPublishing. Jakarta. Hal. 1942-46.
Kawatu C., Bodhi W., Mongi J. Uji Efek Ekstrak Daun Kucing-Kucingan (Acalypha Indica L.) terhadap Kadar Gula Darah Tikus Putih Jantan Galur Wistar(Rattus norvegicus). PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi. 2013. 2(01): 81-85
Kiran G., Nandini CD., Ramesh HP., dan Salimath PV. Progression of Early Phase Diabetic Nephropathy in Streptozotocin-induced Diabetic Rats : Evaluation of
55
Various Kidney-related Parameters. Indian Journal of Experimental Biology, 2012, 50, pp.133-40.
Mallipattu S K. dan Cijiang H., The Beneficial Role od Retinoids in Glomerular Disease. Frontiers in Medicine. 2015. 2 (16): 1-4.
Mediyanti P N. 2016. Pengaruh Vitamin A terhadap Sensitivitas Insulin pada Tikus Model Diabetes Melitus Tipe 2. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Mutiyani M., Djoko W S., dan Bernadus R S. Efek Diet Tinggi Karbohidrat dan Diet Tinggi Lemak Terhadap Kadar Glukosa Darah dan Kepadatan Sel Beta Pankreas pada Tikus Wistar. Indonesian Journal of Human Nutrition. 2014, 1 (2): 106-13.
Ndraha, S., Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Medicinus. 2014. 27 (2): 9-16.
Nugroho, A.E., Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi dan Mekanisme Aksi Diabetogenik. Biodiversitas. 2006. 7 (4): 1-5.
Nyamthabad, S dan Umesh, M. 2014. Evaluation of Antidiabetic Activity of Tomato (Solanum lycopersicum) Seed. Indo American Journal of Pharmacceutical Research. 4(1): p811-14.
Ozougwu J.C., Obimba K.C., and Unakalamba C.B. The Pathogenesis and Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. Academic Journals. 2013. 4(4): 47-57.
Paul, Held. 2014. Hematoxylin and Eosin Stained Tissue : Using Color Brightfield Imaging with the Cytation 5 to Image Fixed and Stained Tissue. Biotek. Hal 1-
5.
PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi Pertama. PB Perkeni. Jakarta. Hal. 3-4.
Pourghasem M., Shafi H., dan Babazadeh Z. Histological Changes of Kidney in Diabetic Nephropathy. Caspian J Intern Med, 2015, 6(3): 120-27.
Probosari, Enny. 2012. Faktor Risiko Gagal Ginjal pada Diabetes Melitus. Hal.1-3.
Purnamasari D. dan Priantono D., 2014. Kapita Selekta Kedokteran; Diabetes Melitus. Edisi Pertama. Media Aesculapius. Jakarta. Hal. 777-82.
Purnamasari, Dyah. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Edisi Kelima. InternaPublishing. Jakarta. Hal. 1880-83.
Purnomo B. 2014. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Ketiga. CV Sagung Seto. Jakarta.
Hal. 2-12.
Rivandi J. dan Yonata A., Hubungan Diabetes Melitus dengan Kejadian Gagal Ginjal Kronik. Majority. 2015. 4 (9): 27-28.
56
Sisca C., Rachmawanti D., dan Praseptiangga D. Efek Hipoglikemik Tepung Komposit (Ubi Jalar Ungu, Jagung Kuning, dan Kacang Tunggak) pada Tikus Diabetes Induksi Streptozotocin. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2014. 10:119-
26.
Srinivasan K., Viswanad B., Asrat L., and Ramarao P. Combination of High-Fat-Diet and Low-Dose Streptozotocin-Treated Rat : A Model for Type 2 Diabetes and Pharmacological Screening. Pharmacological Research. 2005. 52: 313-
20.
Triana, Vivi. Macam-Macam Vitamin dan Fungsinya dalam Tubuh Manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2006. I(1): 40-43.
Tridjaja B., 2009. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Edisi
Kedua. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Hal. 1-3.
WebMD, 2009, Vitamin A Overview Information, (Online), (http://www.webmd.com/vitamins-supplements/ingredientmono-964-vitamin%20a.aspx?activeingredientid=964, diakses 25 Desember 2016)