Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGARUH PENERAPAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA
PADA KUALIFIKASI CALON LEGISLATIF
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
SRI EMUT RATNASARA NIM: 11150480000088
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
Sri Emut Ratnasara. Nim 11150480000088. PENGARUH PENERAPAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA PADA KUALIFIKASI CALON LEGISLATIF. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. ix- 65 halaman dan 4 halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi partai politik dalam rekruitmen calon legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka dan untuk mengetahui penerapan sistem proporsional terbuka terhadap kualitas anggota legislatif. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan pengundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta tulisan tulisan para sarjana yang berkaitan dengan skripsi ini. Data yang telah dihimpun dan dianalisis menggunakan metode deskriptif analitis yakni penelitian yang mengkhusus pada ilmu hukum yang menggabungkan antara aspek normatif dan empiris. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual.
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa fungsi partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka tidaklah cukup apabila hanya beritikad baik untuk dapat menjadi wakil rakyat. Adapun hal penting yang diperlukan berupa intelektualitas dan integritas dalam pemahaman baik mengenai legislasi maupun tujuan utama untuk kemaslahatan seluruh rakyat sehingga menghasilkan politisi yang berkebudayaan atau politisi yang mempunyai martabat, harga diri, dan cara berfikir yang jernih. Mengingat buruknya kualitas yang dihasilkan oleh anggota legislatif dari berbagai partai, maka partai politik tidaklah relevan, dalam merekrut calon anggota legislatif. Dengan begitu perlu di adakannya fit and proper test dalam penyeleksian calon anggota legistlatif oleh eksternal partai politik yang memiliki standarisasi kelulusan bagi calon-calon anggota legislatifnya dan penerapan sistem proporsional terbuka memiliki pengaruh besar dalam penentuan kualitas anggota legislatif, dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka menimbulkan banyaknya calon legislatif yang populer dapat terpilih tanpa mempertimbangkan kapasitas dari kemampuan para calon legislatif yang menduduki jabatan, serta memungkinkan bagi setiap calon akan berlomba untuk meraih simpati masyarakat dan akan memicu polemik politik uang.
Kata Kunci : Sistem Proporsional, Rekrutmen, Calon Legislatif Pembimbing Skripsi : Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H. Daftar Pustaka : 1947 Sampai 2015
vi
KATA PENGANTAR
حیم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan inayat-
Nya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat beserta
salam tak luput dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjasa bagi
kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional terbuka
Pada Kualifikasi Calon Legislatif” peneliti susun dalam rangka memenuhi dan
melengkapi peryaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi
Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syarian dan Hukum
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, peneliti sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan yang
mengganggu proses penyelesaian skripsi ini, Peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.
3. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti
dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
vii
4. Dr. JM Muslimin, M.A. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah mendukung
dan memberi dukungan kepada peneliti.
5. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan
studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam menyediakan fasilitas
yang memadai dalam segi kepustakaan.
7. Kepala Subag Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajarannya yang telah
membantu proses administrasi peneliti dari awal perkuliahan hingga saat ini
8. Terimakasih kepada kedua orang tua yakni Ayah Nawawih dan Mamah Ursih
yang telah memberikan dukungan moral dan materil kepada peneliti selama masa
perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi.
9. Semua pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Tidak ada
yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian, kecuali dengan doa
dan ucapan terimakasih.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan
terimakasih.
Jakarta, 15 September 2019
Sri Emut Ratnasara
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 8
D. Metode Penelitian .............................................................................. 9
E. Sistematika Penulisan ........................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PROPORSIONAL .......... 13
A. Kerangka Konseptual ......................................................................... 13
1. Pengertian Sistem Proporsional ................................................... 13
2. Pengertian Calon Legislatif .......................................................... 15
B. Kerangka Teori .................................................................................. 17
1. Teori Demokrasi .......................................................................... 17
2. Teori Pemilu ................................................................................. 23
3. Teori Politik ................................................................................. 29
C. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu .................................................. 33
ix
BAB III PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEREKRUTAN CALON
LEGISLATIF MELALUI SISTEM PROPORSIONAL ................. 35
A. Klasifikasi Sistem Pemilihan Umum di Indonesia ............................ 35
1. Sistem Distrik ............................................................................... 35
2. Sistem Proporsional ..................................................................... 39
B. Fungsi dan Peran Partai Politik Dalam Perekrutan Calon Legislatif . 43
BAB IV PENERAPAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DALAM
REKRUTMEN CALON LEGISLATIF .............................................. 49
A. Fungsi Partai Politik Dalam Rekrutmen Calon Anggota Legislatif
Berdasarkan Sistem Proporsional Terbuka ........................................ 49
B. Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional Terbuka Terhadap
Kualitas Anggota Legislatif ............................................................... 56
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 64
A. Kesimpulan ........................................................................................ 64
B. Rekomendasi ...................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dimana
kedaulatannya berada di tangan rakyat dengan mengedepankan demokrasi,
serta semua aspek diatur oleh hukum yang berlaku. Membicarakan tentang
demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga tidak terlepas dari kata Pemilihan
Umum (Pemilu).
Menurut tulisan dari Ibnu Tricahyo bahwa pemilihan umum merupakan
instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk
pemerintahan yang sah serta sarana aspirasi kepentingan rakyat.1 Pendapat
lain yang mengartikan pemilihan umum secara lebih luas dari yang
disampaikan Ibnu Tricahyo, Rumidan Rabi’ah menyatakan bahwa pemilu
sebagai suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu.2 Selama Indonesia merdeka telah terhitung
sebanyak dua belas kali mengadakan Pemilihan umum yakni dari tahun 1955
sampai dengan tahun 2019, pada awalnya pemilihan umum dilaksanakan
untuk memilih anggota dari lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada
2002, pemilihan presiden dan wakil presiden dimasukan kedalam rangkaian.
pemilihan umum, yang semula pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan
oleh MPR, kini beralih dilakukan langsung oleh rakyat Indonesia.3
Pemilu adalah rangkaian dasar untuk menguji dan memverifikasikan
mengenai derajat pelembagaan yang berhasil dilakukan oleh partai. Pemilu
juga sebagai media rakyat untuk memberikan hak suara atas calon-calon
anggota legislatif maupun eksekutif, yang mana konsep ini memberikan
1Ibnu Tricahyo, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Malang: In Trans Publishing, 2009, h.6
2Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan Pemilu di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009, h. 46
3https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia. Diakses pada tanggal 7 Januari 2019
2
kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk memilih pilihan
berdasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil.
Pemilu juga sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus
merupakan arena kompetisi yang paling adil bagi partai politik sejauh mana
telah melakukan peran dan fungsi serta pertanggungjawaban atas kinerjanya
selama ini kepada rakyat yang telah memilihnya4 Selain berfungsi sebagai
sarana mengartikulasi kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan
demokrasi, pemilu merupakan media untuk menentukan wakil-wakil rakyat
yang akan duduk di parlemen.5 Pemilihan umum lazimnya dikaitkan dengan
fungsi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan menurut Pasal 1 Ayat (2)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Melaksanakan
kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan atau turut
menentukan sesuatu kebijaksanaan kenegaraan tertentu yang dapat dilakukan
sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD Negara
RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden,
anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta
memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Terselenggaranya pemilu secara
demokratis menjadi dambaan setiap warga negara Indonesia. Pelaksanaan
pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya
menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu
satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan prinsip one person, one vote,
4Evi Purnama Wati, Pemilu Sebagai Wujud Kedaulatan Rakyat, Jurnal Hukum: Vol.8,
No.2, Mei 2015, h.190 5Firdaus, Desain Stabilitas Demokrasi & Sistem Kepartaian, Bandung: Yrama Widya,
2015, h.189
3
one value (opovov). Pemilihan umum bersifat langsung adalah rakyat sebagai
pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan memberikan
suaranya secara langsung, sedangkan pemilu yang bersifat umum mengandung
makna terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara
yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara
dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh
pihak mana pun dan dengan jalan apa pun.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku pengantar ilmu hukum tata negara,
sistem pemilu dibagi menjadi dua macam yakni: (i) sistem pemilihan mekanis,
dan (ii) sistem pemilihan organis.6 pada sistem pemilihan mekanis
mencerminkan suatu pandangan yang melihat bahwa rakyat memiliki
kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sedangkan dalam
sistem pemilihan organis yang menjadi objek pandangan yakni rakyat
merupakan mahluk sosial yang hidup secara berkelompok ataupun bersama
dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan faktor genealogis
(rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi industri), lapisan-lapisan
sosial, serta lemaga-lembaga sosial.
Selain dua sistem pemilu menurut Jimly Asshidiqie, pemilu juga dikenal
dengan sistem campuran dan sistem lain diluar ketiga sistem diatas. Secara
umum ada empat kelompok sistem pemilu yang di gunakan negara-negara di
dunia, yang mana dari keempatnya memiliki ragam vaariannya masing-
masing. Sistem pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan, dari sistem
proposional tertutup (close-list PR) ke sistem proposional terbuka (open-list
6Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009,
h.422
4
PR). Sistem proposional terbuka mulai berlaku pada pemilihan umum tahun
2004 sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pada tahun 2004 pemilihan umum dilaksanakan dengan sistem Distrik
untuk pemilihan anggota DPD yang diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2009, sistem pemilu
diatur didalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 mengenai pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota telah menggunakan sistem proposional terbuka, sedangkan
dalam pemilihan anggota DPD masih menggunakan sistem distrik berwakil
banyak. Sistem pemilu pada praktiknya tidak dijalankan pada pemilihan
umum di tahun 2009 karena terdapat perubahan sistem yang mana telah
berubah menjadi sistem proposional terbuka murni, sistem ini ada karena
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang
menghapus Pasal 214 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan
melahirkan Undang-Undang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 yang mengatur sistem proposional terbuka pada Pemilu tahun 2009.
Pada sistem proposional terbuka yang berlangsung pada pemilu tahun 2009
ialah penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak bagi
calon yang memperoleh suara lebih dari 30% BPP, Bukan lagi penetapan
calon terpilih berdasarkan nomor urut seperti sistem yang dijelaskan didalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.7
Pada pemilihan umum di tahun 2014 tidak terdapat perbedaan dari Pemilu
sebelumnya yaitu masih menggunakan sistem proposional terbuka yang mana
calon dipilih berdasarkan suara terbanyak yang diberikan oleh rakyat
Indonesia dalam pemilihian anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/kota sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012. Pembatalan berlakunya Pasal 214 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
7Khairul Fahmi,Pemilihan Umumdan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2011,h.9
5
22-24/PUU-VI/2008 ini jelas memperlemah pelembagaan partai politik,
karena peran parpol dalam penentuan anggota legislatif terpilih menghilang
dan berganti menjadi suara terbanyak dari pemilihan yang menentukan
terpilihnya anggota legislatif. Padahal sejatinya ketentuan Pasal 214 ini adalah
dalam rangka untuk memberikan porsi yang seimbang antara peran parpol dan
pemilih.8 Sistem pemilu proposional berbasis suara terbanyak ini melemahkan
pelembagaan sistem kepartaian, sistem suara terbanyak juga menimbulkan
rasa individualisme para politisi, selama demokrasi belum matang maka akan
adanya saling sikut kekuasaan dalam internal partai politik. Tjahjo Kumolo,
memberi tanggapan bahwa dengan adanya penghapusan nomor urut yang telah
tercantum di dalam Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 justru
akan memicu adanya politik uang yang akan menimbulkan konflik yang
berkepanjangan.9Dengan begitu dapat pula menghilangkan fungsi dari partai
politik itu sendiri, yang mana fungsi dari partai politik yakni;10 (i) komunikasi
politik; (ii) asosiasi politik (political socialization); (iii) rekrutmen politik
(political recruitment); dan (iv) pengaturan konflik (conflict management).
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya.
Misalnya, dalam sarana rekruitmen politik, pada fungsi ketiga diatas yang
mana partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang
sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan
posisi-posisi tertentu.11
Dengan diberlakukannya sistem proposional terbuka ini maka estitensi
dari partai politik telah tergeser yang mana sebelumnya partai politik berhak
menyeleksi kader-kader unggul untuk menempatkan posisi-posisi tertentu,
akan tetapi pada nyatanya saat ini partai politik tidak lagi memiliki peran itu,
8Agus Riwanto, Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional TerbukaBerbasis Suara
Terbanyak Dengan Korupsi Politik DiIndonesia, Jurnal Fakultas Hukum Sebelas Maret: Yustisia, Vol. 4 No. 1, 2015, h.95
9Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana, 2012, h.97
10Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, h.163-164
11Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009,h. 408
6
karena dengan adanya sistem proposional terbuka ini yang mana pemimpin
telah ditentukan dari suara terbanyak yang dipilih oleh rakyat bukan lagi
dengan nomor urut serta seleksi dari partai politik. Dalam sistem demokrasi
yang terjadi di Indonesia memang cenderung bersifat pragmatis, persoalannya
adalah banyaknya caleg yang populer dapat terpilih tanpa mempertimbangkan
kapasitas kemampuan para caleg yang menduduki jabatan, serta
memungkinkan bagi setiap calon akan berlomba untuk meraih simpati
masyarakat dan akan menimbulkan polemik politik uang, selain menimbulkan
pemilih yang pragmatis hal inipun dapat mengakibatkan biaya kampanye yang
sangat tinggi serta para pemilih akan cenderung memilih para calon yang kuat
secara finansial yang mana hal ini dapat berakibat pada kinerja calon legislatif
yang terpilih yang tidak optimal.12
Praktik politik uang memang pada dasarnya tidak berkaitan langsung
dengan adanya undang-undang negara yang menetapkan sistem proposional
terbuka yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sebaliknya praktik
politik uang tersebut terus diberlangsungkan oleh logika dan psikologi
masyarakat yang pragmatis terlebih para elite politik yang tidak mampu
memberikan pencerahan, dan malah ikut beradaptasi pada kondisi politik yang
tidak sehat.13 Sistem proporsional memang dipilih dan dianggap sebagai
legitimasi untuk menampung euphoria demokrasi serta dianggap memberi
ruang dan waktu kepada partai politik baru.14 Sistem proporsional pada
nyatanya mampu menjadi hambatan bagi partai politik, karena tingginya suara
yang diberikan oleh pemilih (masyarakat) kepada calon legislatif, akan lebih
tinggi nilainya dibanding dengan suara yang diberikan oleh partai politik itu
12Muhammad Doni Ramdani dan Fahmi Arisandi, Pengaruh Penggunaan Sistem
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proposional Daftar Terbuka, Jurnal Rechts Vinding, Vol. 3 No.1, April 2014, h.108-109
13Abd Halim, Dampak Sistem Proporsional Terbuka Terhadap Perilaku Politik Studi Kasus Masyarakat Sumenep Madura Dalam Pemilihan Legislatif 2014, Jurnal Humanity, Vol.9, No.2, h.10
14Aminah, Analisis Penerapan Sistem Proposional Dan Sistem Distrik Dalam Pemilihan Umum Untuk Penyedederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia Ditinjau Dari Asas Negara Hukum, Jurnal Hukum Universitas Sebelas Maret: Yustisia, Vol.1, No.2, Mei-Agustus 2012, h.83
7
sendiri, hal ini tentu saja akan memperlemah peran partai politik dalam
pemilu, dimana partai politik hanya sekedar alat dan kendaraan politik bagi
calon legislatif.15
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti dan
membahas lebih mendalam mengenai fenomena yang telah terjadi dan
berlangsung sampai saat ini serta peneliti ingin mengangkat fenomena tersebut
sebagai skripsi dengan tema atau judul tentang “PENGARUH PENERAPAN
SISTEM PROPOSIONAL TERBUKA PADA KUALIFIKASI CALON
LEGISLATIF”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya,
maka diidentifikasi masalah sebagai berikut:
a. Terbentuknya sifat masyarakat yang pragmatis dari sistem proposional
terbuka.
b. Adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-
VI/2008 yang menetapkan bahwa Sistem Pemilu di Indonesia
Menggunakan Sistem Proposional Terbuka Murni.
c. Ketidakefektifan partai politik dalam rekrutmen calon legislatif
d. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menerapkan
sistem proposional terbuka.
e. Pembatalan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat dalam identifikasi masalah masih mencangkup secara luas
permasalahan, yang dikhawatirkan nanti akan adanya keterbatasan
penulisan dari peneliti, maka dari itu peneliti akan membatasi dari aspek
15Dian Ayu Pratiwi, Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka Di Indonesia: Melahirkan
Korupsi Politik, Jurnal Trias Politika, Vol.2, No.1, April 2018, h.5
8
latar belakang yang menyangkut tentang Pengaruh Penerapan Sistem
Proposional Terbuka Pada Kualifikasi Calon Legislatif.
3. Perumusan Masalah
Mempertegas pembahasan dari permasalahan pada latar belakang yang
telah diuraikan, maka perumusan masalah skripsi ini adalah Problematika
Rekrutmen Calon Legislatif Oleh Partai Politik Dalam Sistem Pemilihan
Umum Proporsional Terbuka. Untuk mempermudah peneliti maka
perumusan masalah dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana Fungsi Partai Politik Dalam Rekruitmen Calon Legislatif
Berdasarkan Sistem Proporsional Terbuka?
b. Bagaimana Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional Terbuka
Terhadap Kualitas Anggota Legislatif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
a. Untuk mengetahui fungsi partai politik dalam rekruitmen calon
legislatif berdasarkan sistem proporsional terbuka.
b. Untuk mengetahui penerapan sistem proporsional terbuka terhadap
kualitas anggota legislatif.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan praktis, sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dijadikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
disiplin di bidang ilmu hukum, khususnya tentang kualifikasi calon
legislatif dalam sistem pemilu yang tengah terjadi di Indonesia.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan
informasi tentang pengaruh penerapan sistem proporsional terbuka
9
pada kualifikasi calon legislatif, serta dapat bermanfaat guna
memberikan masukan kepada pemerintah agar dibentuknya lembaga
independen yang memiliki standar kelulusan bagi tiap-tiap calon
legislatif ingin mencalonkan diri pada pemilihan umum .khususnya
calon legislatif guna menciptakan wakil rakyat yang memiliki
integritas serta profesionalitas dalam tugas yang sedang
dilaksanakannya.
D. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
penulis sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif jenis
penelitian ini menekankan pada aspek pemahaman suatu norma hukum
yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap singkronisasi hukum, penelitian
sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.16
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yakni
penelitian yang mengkhusus pada ilmu hukum yang menggabungkan
antara aspek normatif dan empiris. yang mana normatif disini hukum
sebagai norma, kaidah, aturan, konsep ideal yang tercerabut dari basis
sosial-politik. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
mengidentifikasikan isu hukum serta mengeliminasikan hal-hal yang tidak
relevan dengan topik penelitian melalui pengumpulan bahan-bahan
hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan, menarik
kesimpulan, dan memberikan masukan. Analisis bahan hukum didasarkan
pada prinsip konsistensi logis antara asas-asas hukum baku yang terkait
16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1983, h.51
10
dengan permasalahan yang diteliti dan dilihat kemungkinan adanya
penyimpangan-penyimpangan asas. Penelitian yang berjudul “Pengaruh
Penerapan Sistem Proposional Terbuka Pada Kualifikasi Calon Legislatif”
adalah penelitian hukum yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD yang mengatur sistem Pemilu Proposional yang berbasis
pada suara terbanyak.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu sumber
data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.
a. Sumber Data Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas
perundang-undangan, atau catatan-catatan resmi, risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.17
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu menggunakan
buku-buku yang berkaitan dengan Politik Hukum buku mengenai
Hukum Tata Negara dan politik, Skripsi Hukum Tata Negara dan
Jurnal-Jurnal yang berkaitan dengan sumber materi yang peneliti bahas
dalam skripsi ini.
c. Sumber Data Tersier
Merupakan bahan atau rujukan yang berupa petunjuk atau
penjelasan yang memiliki makna terhadap bahan hukum primer dan
17Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ed. Revisi, Jakarta: Kencana Prenadamedia,
2005, h.181
11
sekunder seperti kamus hukum, ensklopedia, berita hukum, blog
mengenai hukum dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang
menjelaskan mengenai bahan hukum peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
secara studi kepustakaan. Peneliti dalam meneliti secara studi kepustakaan
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan yang ingin
diteliti (inventarisasi), peneliti memilih data dan mengolah data yang telah
di kumpulkan tadi kedalam sumber data hukum primer, sekunder, dan
tersier (klasifikasi), dalam menyusun data-data yang diperoleh peneliti
telah mengklasifikasikan menjadi uraian yang teratur dan sistematis dalam
skiripsi ini. Teknik dalam penggumpulan data secara Purporsive Sampling
peneliti mengambil sampel dengan tidak berdasarkan random, daerah
maupun strata, melainkan adanya atas pertimbangan yang berfokus pada
tujuan tertentu dalam melakukan penelitian.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama
penelitian dalam bahan-bahan hukum yang relavan dan menjadi acuan
dalam penelitian hukum kepustakaan.18 Yang mana menjadi fokus
penelitian ini yaitu analisis kualitatif yang menggunakan fenomena kasus
maupun permasalahan yang tengah terjadi yakni problematika seputar
rekrutmen calon legislatif yang terjadi didalam masyarakat Indonesia saat
ini.
6. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini peneliti melakukan format penulisan sesuai
dengan kaidah-kaidah yang diterapkan pada buku pedoman panduan
penulisan sikripsi yang ada pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
18Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Pt Citra Aditya Bakti,
2004, h.52
12
E. Sistematika Penelitian
Agar dapat memberikan kejalasan dalam isi skripsi ini maka dibuatlah
sistematika penulisan skripsi, adapun rinciannya yaitu sebagai berikut:
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang membahas mengenai latar
belakang, pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan rancangan sistematika
penelitian.
BAB II Bab ini membahas mengenai landasan teori dan kerangka konsep
penelitian tentang keselarasan peraturan perudang-undangan terkait
dan dengan teori–teori yang melandasari terbentuknya hukum
tersebut seperti teori pemilihan umum, teori demokrasi, teori
politik dan kajian review terdahulu agar tidak ada persamaan
terhadap materi muatan dan pembahasan dalam skripsi ini dengan
apa yang ditulis oleh pihak lain.
BAB III Bab ini membahas mengenai data penelitian yang terkait tentang
pengertian sistem pemilu, pembagian sistem pemilu, fungsi dan
peran partai politik sebelum dan sesudah penerapan sistem
proporsional terbuka.
BAB IV Bab ini membahas mengenai deskripsi analisis hasil penelitian
yang telah dirumuskan oleh peneliti didalam rumusan masalah.
Pertama, Bagaimana Fungsi Partai Politik Dalam Rekrutmen Calon
Legislatif Berdasarkan Sistem Proporsional Terbuka. Kedua,
Bagaimana Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional Terbuka
Terhadap Kualitas Anggota Legislatif.
BAB V Bab ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi yang diambil dari
uraian atau deskripsi yang menjawab masalah berdasarkan data
yang diperoleh.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PROPORSIONA TERBUKA
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini yaitu:
1. Sistem Proposional
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung demokrasi bagi
setiap warga negara. selama Indonesia merdeka telah tercatat sebanyak dua
belas kali mengadakan pemilihan umum yakni dari tahun 1955 dan terbaru
yaitu pada tahun 2019 yang tepat jatuh pada tahun ini. Selama negara
Indonesia merdeka berbagai sistempun telah diterapkan di negara Indonesia
ini, baik dari sistem proporsional daftar tertutup, distrik maupun sistem
proporsional daftar terbuka, seperti yang saat ini tengah di berlangsungkan
ataupun diterapkan pada sistem pemilihan umum di Indonesia. Sistem
proporsional (multi member constituency) merupakan suatu sistem
pemilihan yang berimbang, yang mana setiap daerah pemilihan memilih
beberapa wakil. 1 Pada sistem ini dimana presentase kursi di Badan
Perwakilan Rakyat dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai presentasi
jumlah suara yang didapatkan. 2 Sistem proporsional terbagi menjadi dua
metode utama yakni:
a. Single Tranferable Vote (Hare Sistem)
Hare sistem merupakan suatu sistem pemilihan yang menghendaki
pemilih untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari daerah
yang bersangkutan. Pada sistem ini memungkinkan semua calon terpilih,
karena pada sistem ini adanya pembagian suara apabila adanya sisa suara
pada calon partai politik yang telah memenuhi jumlah suara yang di
tentukan. Sistem ini ditandai dengan beberapa ciri: pertama,
menggunakan distrik-distrik bersuara banyak.3Kedua, pemilih melakukan
1Miriam Budiarjo, dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h.461 2Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Sinar Bakti Fakultas Hukum UI, 1988, h.338 3Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I, 2003, h.61
14
ranking kandidat secara preferensial.4 Ketiga, kandidat yang perolehan
suaranya mebihi batas kuota dinyatakan sebagai wakil terpilih. Keempat,
jika ada yang melebihi kuota, kandidat yang preferensinya paling sedikit
disingkirkan.
b. List Proporsional Representative (List Sistem)
List sistem merupakan suatu model pemilihan yang mana pemilih
diminta memilih daftar-daftar calon yang bersisi sebanyak mungkin
nama-nama dari wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum.
Sistem ini memiliki beberapa ciri, yakni: Pertama, setiap distrik berwakil
majemuk. Kedua, setiap partai menyajikan daftar kandidat dengn jumlah
yang lebih banyak dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk
satu daerah pemilihan. Ketiga, pemilih memilih salah satu kandidat.
Keempat, partai memperoleh kursi sebanding dengan suara yang
diperoleh. Kelima, kandidat yang dapat mewakili adalah yang berhasil
melampaui ambang batas suara.
Pada sistem ini dapat dibedakan atas beberapa varian berdasarkan
pemilihan kandidat yang terpilih dalam mengisi kursi yang dimenangkan
partai politik. Adapun varian tersebut terdiri dari:
1) Daftar tertutup
daftar tertutup kursi yang dimenangkan partai politik diisi oleh
kandidat yang ditentukan partai serta adanya sistem nomor urut pada
tiap-tiap partai politik.
2) Daftar terbuka
Pada daftar terbuka pemilih dapat memilih partai politik serta
kandidat dari calon legislatif untuk mengisi kursi yang dimenangkan
partai peserta pemilu, dan tidak adanya lagi sistem nomor urut karena
pada sistem ini menggunakan suara terbanyak dari pemilih, dan apabila
kandidat calon mendapatkan suarat terbanyak maka ialah yang dipilih
sebagai pemimpin daerah tertentu.
4Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, h. 35
15
3) Daftra bebas
Pada daftar bebas tiap-tiap partai menentukan daftar kandidatnya,
partai dan daftar kandidat terpisah pada surat suara.
2. Calon Legislatif
Caleg atau Calon legislatif adalah orang yang mencalonkan diri menjadi
anggota legislatif, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 5 Dewan Perwakilan Rakyat,
selanjutnya disebut DPR merupakan lembaga negara yang memegang
kekuasaan legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut
DPRD merupakan adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah di
provinsi/kabupaten/kota di Indonesia.6
Negara Indonesia untuk menjadi calon legislatif telah diatur di dalam
Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mana untuk menjadi
calon legislatif harus memenuhi persyaratan yang telah di tetapkan dalam
Pasal 240 tersebut, adapun persyarat untuk menjadi anggota legislatif
yakni:7
a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika;
5http://www.pemilu.com/caleg/, diakses pada Minggu 03 Februari, 2019 pukul 13.37 6https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah, diakses pada Minggu 03
Februari 2019, Pukul 13.50 WIB 7https://www.boyyendratamin.com/2018/02/syarat-calon-anggota-dpr-dan-dprd-pada.html,
diakses pada Selasa 14 Mei, 2019, Pukul 18.20 WIB
16
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan utusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali
secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
h. sehat jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika;
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
l. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur
sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan
karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan suratpengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali;
m. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris,
pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta
pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota sesuai denganketentuan peraturan perundang-
undangan;
n. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) Iembaga perwakilan; dan
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
17
B. Kerangka Teori
1. Teori Demokrasi
Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat dan cratein yang berarti
kedaulatan atau kekuasaan. Jadi demos cratein atau demokrasi ialah
keputusan rakyat, rakyat dapat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasan
oleh rakyat. 8 Dalam suatau pemahaman normatif, demokrasi merupakan
sesuatu yang hendak dilakukan oleh suatu negara yang mana biasanya
diterjemahkan pada masing-masing negara di dalam konstitusi, misalnya
seperti negara Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-
undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “kedaulatan ada ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pasal 29 Ayat (2)
yang menegaskan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu”. Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat
dalam Undang-undang Dasar 1945 diatas merupakan sebuah definisi
normatif dari demokrasi.9
Menurut Muchtar Lubis demokrasi memiliki beberapa sifat ialah
pembayaran untuk jasa-jasa majelis, pengadilan, pegawai pemerintah, setiap
orang menerima gaji manakala hal itu perlu atau kalau tidak perlu sama
sekali, maka gaji itu diberikan kepada majelis pengadilan dan majelis-
majelis yang disebut tadi, kepada dewan dan pegawai-pegawai pemerintah,
atau sekurang kurangnya pada salah satu diantara mereka yang terpaksa
makan bersama-sama. Adapun sifat lainnya menurut Muchtar Lubis ialah
tidak adanya pemerintah yang berlangsung selamanya, tetapi kalau ada hal
8Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia, Demokasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila,
Jakarta: Gramedia, 1996, h.50 9Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet.VI, 2006, h.4
18
semacam itu yang tersisa dari suatu perubahan zaman dulu terhadap
konstitusi, pemerintah tersebut harus dicabut kekuasaannya, dan para
pemegangannya harus dipilih melalui undian dan tidak lagi dengan voting.10
Menurut Muchtar Lubis diantara bentuk-bentuk demokrasi yang
pertama, bentuk yang muncul konon melalui berdasarkan persamaan dalam
demokrasi semacam itu hukum mengatakan bahwa tepatlah bagi kaum
miskin untuk tidak mempunyai keuntungan lebih besar daripada kaum kaya;
dan bahwa tidak satupun boleh menjadi tuan keduaduanya sama. Kedua,
kebebasan dalam demokrasi,setiap orang berhak bebas dalam mengeluarkan
pendapat tidak adanya pembatas anatara kaum minoritas maupun kaum
mayoritas karena pada dasarnya setiap orang berhak memiliki kebebasan.
Sebab antara kebebasan dan persamaan keduanya merupakan hal yang baik
bilamana di praktikan di dalam suatu negara baik rakyat maupun
pemerintah. Ada pula yang lain, dimana pemerintah dipilih berdasarkan
kualifikasi pemilikan tertentu, tetapi pemilikan yang sedikit; ia yang
memiliki jumlah harta benda yang dipersyaratkan berhak ambil bagian
dalam pemerintahan, tetapi ia tak punya harta milik kehilangan hak-haknya.
Demokrasi memiliki sebuah kriteria adapun kriteria demokrasi yang
dikemukakan oleh G. Bingham Powell, Jr. Yakni:
a. suara warga negara adalah rahasia dan tidak dipaksa.
b. legitimasi pemerintah yaitu keinginan pemerintah untuk taat kepada
hukumnya didasarkan pada pernyataan pemerintah untuk melakukan apa
yang mereka inginkan.
c. pengaturan terorganisir yang mengatur legitimasi tawar-menawar ini
dalam pemilihan politik yang kompetitif. pemimpin dipilih secara berkala
dan pemilih dapat memilih di antara kandidat alternatif dalam praktik
setidaknya dua politik yang memiliki peluang untuk membuat suatu
pilihan.
d. Setiap orang dewasa dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan, baik
sebagai kandidat pemilih untuk jabatan politik penting.
10Mochtar Lubis, Demokrasi Klasik dan Modern,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h.14
19
e. warga negara dan pemimpin menikmati kebebasan berbicara, pers,
berkumpul, dan berorganisasi dasar. baik partai yang sudah mapan
maupun yang baru bekerja untuk mendapatkan anggota dan pemilih.
Adapun pandangan lain dari pakar ilmu politik, yakni Robert Dahl yang
paling banyak menaruh perhatian terhadap demokrasi kontemporer,
mengenmukakan bahwasanya democratic political order sangatlah bermanfaat
untuk dijadikan sebagai acuan pengamatan demokrasi dalam suatu
pemerintahan negara. Robert Dahl membagi tujuh bagian demokrasi secara
empirik, yaitu:
a. kontrol atas keputusan pemerintah tentang kebijakan secara konstitusional
disahkan pada pejabat terpilih.
b. pejabat terpilih dipilih dan dipindahkan secara damai dalam pemilihan yang
relatif sering, adil dan bebas di mana paksaan sangat terbatas.
c. praktis orang dewasa memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan ini.
d. kebanyakan orang dewasa memiliki hak untuk mencalonkan diri untuk
jabatan publik yang calonnya mencalonkan diri dalam pemilihan ini.
e. warga negara secara efektif memiliki hak paksa untuk kebebasan
berekspresi, khususnya ekspresi politik, termasuk kritik terhadap pejabat,
ekonomi, dan sistem sosial dan ideologi dominan.
f. mereka juga memiliki akses ke sumber informasi alternatif yang tidak
dimonopoli oleh pemerintah atau ideologi dominan apa pun.
g. akhirnya mereka memiliki hak yang ditegakkan secara efektif untuk
membentuk dan bergabung dengan asosiasi otonom, termasuk asosiasi
politik, seperti partai politik dan kelompok kepentingan, yang berupaya
meacempengaruhi pemerintah dengan bersaing dalam pemilihan dan dengan
cara lain yang sepenuhnya berarti.
Macam-macam Demokrasi, Demokrasi dibagi menjadi tiga jenis yakni:
a. Demokrasi berdasarkan penyaluran kehendak rakyat Secara umum dibagi
menjadi dua macam yaitu:
20
1) demokrasi langsung, pada sistem demokrasi langsung setiap warga
negara terlibat langsung dalam keputusan pemerintahan
2) demokrasi tidak langsung atau perwakilan, pada sistem demokrasi ini
warga negara tidak terlibat langsung melainkan melalui perwakilan
rakyat dalam pengambilan keputusan pemerintahan
b. Demokrasi berdasarkan hubungan antar kelengkapan negara dalam
demokrasi ini dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1) Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum yaitu yang mana
semua warga negara ikut terlibat dalam memilih para wakil pemerintah.
Akan tetapi rakyat memiliki kendali terhadap parlemen melalui sistem
referendum yakni dengan cara pemungutan suara yang dilakukan untuk
mengetahui kehendak rakyat secara langsung dan menyeluruh.
2) Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer yaitu sistem demokrasi
yang mana pemerintah memiliki hubungan erat pada lembaga legeslatif
yang mana pemerintah menjalankan program yang telah di setujui oleh
badan legislatif tersebut.
3) Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan yaitu sistem
demokrasi antara badan legislatif dan eksekutif terpisah yang keduanya
tidak berkaitan secara langsung.
4) Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum dan inisiatif rakyat
yaitu sistem demokrasi yang menggabungkan antara sistem demokrasi
perwakilan dengan sistem demokrasi secara langsung. Pada sistem ini
masih adanya badan perwakilan akan tetapi dikendalikan oleh rakyat
melalui referendum yang sifatnya obligator dan fakultatif
c. Macam-macam demokrasi berdasarkan prinsip ideologi dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Demokrasi liberal, yaitu sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak
individu setiap warga negara dan memberi kebebasan setiap orang dalam
menyampaikan pendapat. Sistem demokrasi liberal disebut juga dengan
sistem demokrasi konstitusional dimana pemerintah wajib melindungi
hak-hak individu warganya sesuai yang tercantum dalam konstitusi
21
2) Demokrasi rakyat, yaitu sistem demokrasi yang dijalankan berdasarkan
paham sosialis atau komunisme, dimana kepentingan negara dan
kepentingan umum adalah yang terpenting diatas kepentingan individu
3) Demokrasi pancasila, yaitu sistem demokrasi yang dijalankan
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Sistem
demokrasi pancasila berasaskan musyawarah mufakat yang
mengutamakan kepentingan umum. Demokrasi pancasila merupakan
demokrasi kerakyatan yang berdasarkan dan dibimbing oleh pengakuan
akan ketuhanan Yang Maha Esa, yang terwujud dalam kesadaran
keagamaan yang tinggi yang mempunyai beberapa konsekuensi.
Konsekuensi pertama ialah bahwa dalam kehidupan bernegara ditolak
pengingkaran terhadap ketuhanan yang maha esa, paham atheisme dan
skualarisme. Konsekuensi kedua ialah bahwa ditolak pula adanya
propaganda atheisme dan anti agama secara umum dalam masyarakat.
Selanjutnya pengakuan akan ketuhanan Yang Maha Esa ini mempunyai
kaitan dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.11
Indikator suatu negara dapat dikatakan sebagai negara demokrasi dapat
diukur dengan cara:
a. Akuntabilitas. Didalam negara demokrasi setiap orang yang telah dipilih
oleh rakyat menjadi wakil rakyat dalam pemerintahan harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah
ditempuhnya. Hal ini dikarenakan setiap wakil rakyat yang dipilih dinilai
mampu mengemban amanah dari rakyat.
b. Rotasi kekuasaan. Dalam sebuah demokrasi peluang akan terjadinya
kekuasaan harus tercipta, dan dilakukan secara teratur dan damai. Rotasi
kekuasaan tercipta guna untuk menghindari kekuasaan yang absolut, hal ini
pula yang menjadikan manifestasi kebebasan dan kesetaraan setiap orang.
c. Rekruitmen politik. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan
dibutuhkannya suatu sistem politik yang dapat terbuka. Dalam hal ini
11S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional suatu analisis di bidang politik dan pemerintahan, Jakarta: PT Bina Aksara Anggota IKAPI, 1985, h.8S
22
demokrasi memungkinkan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang
sama untuk terlibat dalam pemerintahan.
d. Pemilihan umum. Dalam negara demokrasi pemilu dilaksanakan secara
teratur, yang mana setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih dan
memilih wakil rakyat baik legislatif maupun presiden dan wakilnya.
e. Menikmati hak-hak dasar. Dalam negara demokratis bahwa masyarakat
dapat menikmati hak-hak dasar secara bebas, termasuk di dalamnya adalah
hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan
hak untuk menikmati pers yang bebas.12
Demokrasi memiliki prinsip didalamnya adapun prinsip dari demokrasi
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Prinsip demokrasi sebagai sistem politik
1) Pembagian kekuasaan (kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif)
2) Pemerintahan konstitusional
3) Partai politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
4) Pers yang bebas
5) Perlindungan terhadap hak asasi manusia
6) Pengawasan terhadap administrasi negara
7) Peradilan yang bebas dan tidak memihak
8) Pemerintahan yang diskusi
9) Pemilihan umum yang bebas
10) Pemerintahan berdasarkan hukum
b. Prinsip Non-demokrasi (kediktatoran)
1) Pemusatan kekuasaan
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi satu dan dipegang
serta dijalankan oleh satu lembaga
2) Pemerintahan yang tidak berdasarkan konstitusional
Pemerintahan dijalankan berdasarkan kekuasaan, adapun konstitusinya
dapat memberi kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah.
12Gaffar Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, H.7-9.
23
3) Rule of Power
Prinsip dari negara kekuasaan yakni ditandai dengan supremasi
kekuasaan yang besar pada negara maupun pemerintahan.
4) Pembentukan pemerintah tidak berdasarkan musyawarah tetapi melalui
dekrit
5) Pemilihan umum yang tidak demokratis.
Pemilihan umum dijalankan hanya untuk memperkuat dari keabsahan
penguasa atau pemerintah negara.
6) Akan timbulnya manajemen dan kepemimpinan yang bersifat tertutup
dan tidak bertanggungjawab
7) Tidak ada dan atau dibatasinya kebebasan berpendapat, berbicara dan
kebebasan pers.
8) Penyelesaian perpecahan atau perbedaan dengan cara kekerasan dan
penggunaan paksaan
9) Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia bahkan sering terjadi
pelanggaran hak asasi manusia
10) Menekan dan tidak mengakui akan hak-hak dari golongan minoritas.
2. Teori Pemilu
Pemilihan umum merupakan suatu proses memilih orang-orang untuk
menduduki pemerintahan atau ajang kontes partai politik untuk
mendapatkankepercayaan masyarakat, yang mana setiap partai politik
memiliki tujuan untuk mendapatkan kursi di parlemen untuk calon anggota
legislatif maupun calon anggota eksekutif yakni presiden dan wakil
presiden. Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota
maupun presiden dan wakilnya. Pemilihan umum lazimnya dikaitkan
dengan fungsi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan menurut Pasal 1
Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.
24
Melaksanakan kedaulatan itu bagi rakyat adalah dengan cara menentukan
atau turut menentukan sesuatu kebijaksanaan kenegaraan tertentu yang
dapat dilakukan sewaktu-waktu menurut tata cara tertentu. Setiap negara di
seluruh belahan dunia memiliki sistem politik, termasuk negara Indonesia
itu sendiri. Sistem politik bagi setiap negara merupakan “nyawa” dalam
tubuh yang mana apabila tidak adanya nyawa maka tidak dapat hiduplah
sistem politik tersebut, dengan adanya “nyawa” dalam sistem politik maka
dapat menghidupkan negara yang sehat yakni sejahtera dan makmur.
Pemilihan umum di Indonesia pada saat ini dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, adapun
asas pemilihan meliputi:
a. Asas Langsung
Artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa
adanya prantara.
b. Asas Umum
Artinya bahwa semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau
telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun
berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi atau pengecualian.
c. Asas Bebas
Bahwa rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa
adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun baik tekanan dari
kelompok maupun tekanan yang berasal dari individu dapat mengganggu
pemilihan umum.
d. Asas Rahasia
Bahwa rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh
pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau
kepada siapa suara diberikan (secret ballot) karena suara rakyat
merupakan rahasia yang dijamin dalam Undang-Undang serta konstitusi
negara Indonesia.
25
e. Asas Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggaraan pelaksanaan
pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau
pemilu termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak
langsung harus bersikap jujur sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
e. Asas Adil
Dalam setiap penyelenggaraan pemilu bahwa setiap pemilih dan partai
politik peserta pemilu mandapat perlakuan yang sama serta bebas dari
kecurangan dari pihak manapun.13
Dalam menyelenggarakan pemilu harus memenuhi prinsip dari enam
asas tersebut, adapun prisnsip yakni; 14
a. Mandiri;
b. Jujur;
c. Adil;
d. Berkepastian hukum;
e. Tertib;
f. Terbuka;
g. Proporsional;
h. Profesional;
i. Akuntabel;
j. Efektif; dan
k. Efisien.
Pemilihan umum menurut Joseph ialah salah satu dari sebuah
demokrasi, merupakan salah satu konsepsi modern yang menempatkan
penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan berkala sebagai kriteria
utama bagi sebuah sistem politik agar dapat disebut sebagai demokrasi
dengan dilakukannya pemilihan umum, dianggap dapat menyuarakan suara
13A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu, 2007, h.150 14 www.bpkp.go.id, diakses pada Selasa 14 Mei, 2019, Pukul 21.38 WIB
26
rakyat yang sesungguhnya.15 Pemilihan umum merupakan ajang perebutan
kekuasaan yang sah dalam demokrasi, karena melalui pemilihan umum
rakyat mendapatkan kedaulatan yang sepenuhnya karena setiap rakyat
memiliki hak yang sama antara satu dengan yang lainnya yakni untuk
memilih dan hak untuk dipilih. Terjadinya dilema demokrasi, yang
menjunjung tinggi suara terbanyak, namun meminggirkan pihak minoritas.
Pada dasarnya, pemilihan umum terbagi menjadi tiga tujuan, yakni:16
a. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan
alternatif kebijakan umum. Dalam sistem demokrasi perwakilan rakyat
memiliki kedaulatan penuh, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh
wakil-wakilnya melalui Lembaga Perwakilan atau Parlemen.
b. Pemilu merupakan mekanisme memindahkan konflik kepentingan dari
masyarakat kepada badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil
yang terpilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi atau
kesatuan masyarakat tetap terjamin.
c. Pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi, menggerakan atau
menggalang dukungan rakyat terhadap proses politik.
Pemilihan umum menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 memiliki
lima tujuan, yaitu:17
a. Memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
b. Mewujudkan pemilu yang adil dan berintegrasi;
c. Menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;
d. Memberikan kepastuian hukum dan mencegah duplikasi dalampengaturan
pemilu; dan
e. Mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Fungsi pemilihan umum menurut CST. Kansil dan Christian ST. Kansil
dalam bukunya yang berjujudul Hukum Tata Negara Republik Indoneia, telah
15Joseph Scumpeter, Capitalism Socialism and Democracy, New York: Jarper, 1947. 16Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992, h.181-182 17https://ngada.org/uu7-2017bt.htm, diakses Pada Jum’at 17 Mei 2019, Pukul 15.10 WIB
27
membagi 3 fungsi pemilihan umum dalam alat demokrasi yang digunakan,
yaitu:18
a. Mempertahankan dan mengembangkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia;
b. Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
(keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia);
c. Menjamin suksesnya perjuangan orde baru, yaitu tetap tegaknya pancasila
dan dipertahankannya UUD 1945
Pada pemilu tahun 2019, KPU telah menetapkan sedikitnya lima syarat
untuk pemilih, adapun syarat untuk pemilih yaitu:
a. Warga negara Indonesia yang sah
Setiap warga negara indonesia baik yang berada di luar negeri maupun
yang berada di Indonesia dapat melakukan pemilihan umum untuk memilih
calon yang ingin dipilihnya, baik dari calon legislatif maupun eksekutif.
Adapun larangan keras untuk syarat ini yaitu tidak diperbolehkannya warga
negara asing untuk ikut andil dalam pemilihan umum yang ada di indonesia
baik warga negara asing yang telah menetap di indonesia akan tetapi belum
terdaftar sebagai warga negara indonesia secara sah sesuai aturan yang
berlaku.
b. Warga berusia diatas 17
Adapun batasan usia yang ditetapkan oleh KPU seperti pada pemilu
sebelumnya, bahwa warga negara indonesia berhak ikut serta dalam
pemilihan umum apabila usianya telah mencapai 17 tahun. Hal ini
dikarenakan syarat utama warga negara indonesia untuk memiliki Kartu
Tanda Penduduk atau yang sering disebut KTP, seperti yang diketahui KTP
merupakan salah satu dokumen yang diperlukan untuk terdaftar dalam
daftar pemilihan tetap (DPT) yang wajib dimiliki bagi setiap warga negara
Indonesia yang telah mencapai usia sekurang-kurangnya 17 tahun.
c. Terdaftar di daftar pemilihan tetap (DPT)
Warga yang telah memiliki KTP secara langsung telah terdaftar di dalam
18CST Kansil dan Christian ST Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000
28
daftar pemilihan tetap (DPT) adapun bagi warga yang tidak terdaftar dalam
DPT, biasanya warga tersebut bukan merupakan warga asli dari suatu
wilayah yang ditinggali ataupun warga pindahan dari suatu wilayah dan
belum memproses KTP dengan domisili saat ini.
d. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani
Seperti yang kita ketahui negara Indonesia tidak memberlakukan bagi
tiap-tiap orang yang hilang akalnya atau gila memberikan hak suara dalam
memilih pada pemilihan umum. hal ini dikarenakan orang yang hilang
akalnya tidak mampu memutuskan dengan bijak atas kesadaran sendiri.
e. Hak pilih masih diakui secara resmi
Adapun warga negara yang tinggal di luar negara Indonesia masih
memiliki hak pilih apabila masih terdaftar menjadi warga negara Indonesia
dan hak pilihnya secara resmi masih berlaku. Apabila warga negara
Indonesia yang tinggal dan menetap di luar negara Indonesia selamanya dan
memutuskan untuk mencabut kewarganegaraannya di Indonesia dan
menggati dengan kewarganegaraan yang baru di negara yang ditinggali,
maka dari itu warga tersebut sudah tidak lgi memiliki hak pilih dan secara
resmi hak pilih tersebut sudah tidak berlaku dan tidak diakui di negara
Indonesia.
Membicarakan mengenai sistem pemilihan umum, bahwa Indonesia telah
menganut beberapa sistem pemilihan umum dalam berbagai pemerintahan.
Sistem pemilihan umum di indonesia sejak pemilu pertama (1) tahun 1955
sampai dengan pemilu yang ke duabelas (12) tahun 2019, Indonesia setidaknya
telah menggunakan enam macam sistem pemilu, yaitu:19
a. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem
Proporsional yang tidak murni.
b. Pemilu kedua tahun 1971, Indonesia menggunakan sistem berimbang
dengan Stelsel Daftar.
c. Pemilu ketiga tahun 1977, s/d Pemilu ketujuh tahun 1997, indonesia
menganut sistem Proporsional.
19A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu, 2007, h.153
29
d. Pemilu kedelapan tahun 1999, Indonesia kembali menganut sistem sama
seperti pada Pemilu kedua akan tetapi yang membedakan pada Pemilu tahun
1999 dengan Pemilu 1971 bahwa Pemilu tahun 1999 menggabungkan antara
sistem Proporsional dengan sistem Stelsel Daftar.
e. Pemilu kesembilan tahun 2004, Indonesia menggunakan sistem Perwakilan
Proporsional.
f. Pemilu kesepuluh yakni pada tahun 2009, s/d Pemilu keduabelas yakni pada
tahun 2019, Indonesia menggunakan sistem Proporsional Terbuka.
3. Teori Politik
Dalam catatan sejarah dunia, orang yang pertama kali mencetuskan kata
politik ialah Aristoteles yakni pada tahun (384-322 S.M), seorang filsuf
Yunani Kuno yang mengemukakan dalam teorinya yaitu “manusia adalah
merupakan binatang politik, atau disebut juga dengan political animal”.
Berangkat dari teori tersebut Aristoteles menjelaskan bahwa hakikat
kehidupan sosial sesungguhnya merupakan politik, karena interaksi satu
sama lain dari dua orang atau lebih orang sudah pasti akan melibatkan
hubungan politik.20
Teori Politik menurut Miriam Budiarjo yaitu politik merupakan
macam-macam kegiatan dalam suatu sistem negara yang menyangkut proses
penentuan dan pelaksanaan tujuan sistem tersebut. untuk melaksanakan
tujuan tersebut, tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang
menyangkut pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber yang ada.
Guna melaksanakan kebijakan tersebut, perlu dimiliki kekuasaan dan
kewenangan yang akan dipakai untuk membina kerjasama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Politik selalu
menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi
seseorang. Selain itu, politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok
20Beddy Irawan Maksudi, Sistem Politik Indonsia Pemahaman Secara Teoretik dan Empirik”,
Jakarta: Rajawali Press, 2012, h.9
30
termasuk partai politik dan kegiatan individu. 21 Definisi politik menurut
Kartini Kartono adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan relasasi
pemerintahan baik itu suatu peraturan, tindakan, pemerintahan, undang-
undang, hukum, kebijakan, atau policy.22 Teori politik adalah bahasan dan
generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Adapun konsep yang
dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial,
negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-
lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, moderenisasi dan
sebagainya. 23 Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi pada suatu
sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sitem
kepartaian yang diterapkan disuatu negara, dalam suatu sistem tertentu
partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih
sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem
kepartaian memberikan gambaran tentang struktur persaingan diantara
sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan.
Fungsi dari sistem politik yang sejahtera yakni dapat membawa
berbagai aspek dalam kehidupan negara, baik aspek ekonomi, sosial,
budaya, hukum, politik dan sebagainya. Sistem politik tak lain merupakan
mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam
hubungannya satu sama lain yang menunjukan suatu proses yang
berkepanjangan. Proses tersebut mengandung dimensi waktu baik waktu
lampau maupun waktu mendatang. Sistem politik terbagi atas empat ciri
atau atribut menurut Easton yang perlu diperhatikan. Adapun keempat ciri
tersebut, yaitu:24
21Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Dalam Buku Suntingan Tomi Adrianus Pito,
Kemal Fasyha dan Efriza, Mengenal Teori Politik, Cetakan I, Depok: Gramedia Pustaka Utama, 2005, h.8
22Kartini Kartono, Pendidikan Politik: Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa, Bandung: CV Mandar Maju, 1989, h.5-6
23Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Dalam Buku Suntingan Tomi Adrianus Pito, Kemal Fasyha dan Efriza, Mengenal Teori Politik, Cetakan I, Depok: Gramedia Pustaka Utama, 2005, h.3
24Beddy Irawan Maksudi, Sistem Politik Indonsia Pemahaman Secara Teoretik dan Empirik”, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h.21-22
31
a. Unit-unit dan batasasn-batasan suatu sistem politik
Didalam suatu kerangka kerja sistem politik terdapat unit-unit yang
saling berhubungan untuk menggerakan roda kerja sistem politik. Unit-
unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk
menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai
politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit tersebut
bekerja didalam batasan suatu sistem politik misalnya seperti cakupan
wilayah ataupun cakupan tugas.
b. Input-output
Input yang dimaksud disini ialah masukan dari masyarakat kedalam
sistem politik. Bahwa Input yang berasal dari masyarakat berupa tuntutan
ataupun dukungan. Sedangkan Output merupakan hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan dari
masyarakat. Output sendiri terbagi dua, yaitu keputusan dan tindakan
yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.
c. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik haruslah memiliki pembedaan atau pemisahan
kerja. Karena di era globalisasi seperti saat ini yang mana masalah
banyak timbul dari berbagai macam sumber dan tidaklah mungkin satu
lembaga dapat menangini semua masalah yang ada
d. Integrasi dalam sistem
Meskipun suatu sistem dihendaki agar memiliki pembedaan, suatu
sistem tetap harus memperhatikan aspek integrasi. Integrasi merupakan
keterpaduan kerja antar unit yang berbedauntuk mencapai tujuan yang
sama.
Membicarakan mengenai politik tentu hal ini berkaitan dengan ruang
lingkup negara atau penyelenggaraan pemerintahan, negara Indonesia yang
menjunjung tinggi demokrasi, sistem politik sangat erat kaitannya dengan
32
sistem pemilu karena sistem ini merupakan wadah untuk mengatur
hubungan antara satu sama lain, baik masyarakat dengan para pejabat
negara maupun pejabat antar pejabat yang satu dengan yang lainnya.
Indonesia dalam ranah perpolitikannya menggunakan sistem, adapun sistem
yang dijalankan di Indonesia terbagi menjadi 5 (lima) konsep pokok yakni:
a. Kekuasaan (power)
Politik pada dasarnya tidak lepas dari kekuasaan. Kekuasaan
merupakan sebuah keinginan yang dimiliki seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku sesuai dengan keinginan pelaku,
karena pada dasarnya manusia mempunyai sifat alamiah untuk berkuasa
memperoleh sesuatu maupun mencapai suatu tujuan untuk keinginannya.
b. Negara (state)
Negara merupakan wadah bagi aktualisasi kegiatan politik yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh
rakyatnya.
c. Pengambilan keputusan (legal policy)
Politik menjadi alat kendaraan yang mengakomodir semua kebijakan
pengambilan keputusan dan setiap kepentingan-kepentingan
dikomunikasikan antara rakyat dan penguasa untuk mencapai suatu
tujuan.
d. Kebijakan publik (publik policy)
Pemerintah mempunyai kebijakan yang berlaku untuk kepentingan
publik/ masyarakat demi kemaslahatan bersama, pada prinsipnya pihak
yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya
baik perorangan maupun kelompok politik untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu.
e. Pembagian Kekuasaan (distribution of power)
Pada dasarnya politik terbagi-bagi, mencegah satu orang atau
kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak karena didalam
perpolitikan kursi (kekuasaan) tidak hanya tersedia untuk satu orang
melainkan banyak kursi yang harus didudukan oleh para penguasa maka
33
hal tersebut sangat amat memungkinkan didominasi dari kelompok
pendukungnya antara satu dan lainnya yang berasal dari berbagai partai
politik.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan judul “Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional
Terbuka Pada Kualifikasi Calon Legislatif” yang diketahui berdasarkan
penelusuran atas hasil-hasil penelitian hukum, khususnya di lingkungan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, belum pernah dilakukan. Namun demikian terdapat beberapa judul
penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui penelitian yang
dilakukan sebelumnya, yaitu:
1. “Dampak Penggunaan Sistem Pemilu Proposional Daftar Terbuka Terhadap
Perilaku Pemilih Pada Pileg 2014 Di Kabupaten Bantul”.25
Skripsi ini mengkaji mengenai dampak dari sistem Proporsional daftar
terbuka yang terfokus pada prilaku pemilih di wilayah Kabupaten Bantul.
Adapun kesamaan dengan skripsi peneliti yaitu sama-sama mengkaji
mengenai sistem pemilihan yang berkaitan dengan sistem Proporsional
daftar terbuka. Sedangkan perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang peneliti
yaitu titik fokus yang diteliti oleh peneliti mengenai calon legislatif yang
sebelumnya dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional
terbuka.
2. “Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Proporsional Terbuka Terhadap Derajat
Keterwakilan Rakyat Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.26
25Skripsi dibuat oleh Ulfa Gunawan, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016 26 Skripsi dibuat oleh Rerie Dwi Nugrahenie, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2017.
34
Skripsi ini membahas mengenai pengaruh sistem pemilihan umum terhadap
sistem Proporsional terbuka terhadap derajat keterwakilan rakyat, yang
memiliki titik fokus pada daerah Surakarta. Adapun kesamaan dengan
skripsi peneliti yakni sama-sama mengkaji mengenai lembaga legislatif
yang terpengaruh terhadap sistem proporsional. sedangkan perbedaan pada
skripsi ini dengan skripsi peneliti yakni peneliti tidak adanya daerah yang
menjadi fokus utama seperti skripsi yang telah di buat oleh Ririe Dwi
Nugraheni, adapun fukus peneliti pada skripsi ini yaitu menyeluruh untuk
semua khalayak yang mana peneliti membahas mengenai implikasi
penggunaan sistem proporsional terbuka dalam rekruitmen calon anggota
legislatif.
3. “Dampak Sistem Proporsional Terbuka Terhadap Perilaku Politik (Studi
Kasus Masyarakat Sumenep Madura dalam Pemilihan Legislatif 2014)”.27
Jurnal ini mengkaji mengenai dampak dari peggunaan sistem proporsional
terbuka dalam prilaku politik masyarakat daerah Sumenep Madura yang
mana praktik money politics atau politik uang telah merajalela di
masyarakat-masyarakat serta praktik tersebut dilanggengkan oleh logika dan
psikolog masyarakat yang pragmatis. Adapun kesamaan dengan skripsi
peneliti yakni sama-sama mengkaji sistem dari Proporsional terbuka yang
terfokus pada pemilihan legislatif. Perbedaan pada jurnal ini dan skripsi
yang peneliti tulis ialah peneliti terfokuskan kepada rekrutmen calon
anggota legislatif dalam sistem proporsional terbuka bukan seperti jurnal
yang Abd. Halim tuliskan mengenai sikap masyarakat yang ada di wilayah
madura terhadap pemilihan umumlegislatif tahun 2014.
27Jurnal dibuat oleh Abd. Halim, Jurnal Universitas IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.
35
BAB III
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PEREKRUTAN CALON
LEGISLATIF MELALUI SISTEM PROPORSIONAL
A. Klasifikasi Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia
Secara sederhana, sistem pemilu dibagi menjadi dua kelompok yakni
sistem proporsional (multi-member constituency) dan sistem nonproporsional
(single-member constituecy) atau yang akrab di sebut sistem distrik. Secara
umum sistem pemilu terdapat empat rumpun keluarga dalam sistem pemilu,
yaitu sistem mayoritas/pluralitas, sistem perwakilan proporsional, sistem
campuran, dan sistem-sistem lainnya. Negara Indonesia sendiri sistem
pluralitas/mayoritas lebih dikenal dengan sistem distrik atau sistem berwakil,
yang mana wilayah negara dibagi berdasarkan daerah-daerah pemilihan, setiap
wilayah mengusung wakil untuk berkontribusi dalam pemilihan umum.
Pembagian daerah pemilihan disesuaikan berdasarkan perolehan suara
perolehan kursi lebih didasarkan pada suatu daerah pemilihan yang
mendapatkan perolehan suara terbanyak dalam pemilihan sekalipun bukanlah
suara mayoritas dari masyarakat wilayah tersebut. Sedangkan dalam sistem
proporsional, wilayah negara tidak dibagi sesuai banyak kursi yang di
perebutkan akan tetapi dibagi dalam beberapa daerah pemilihan besar, yang
mana satu daerah akan dipilih beberapa orang wakil untuk memimpin daerah
tersebut.1
1. Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan suatu sistem pemilu yang didasarkan atas
kesatuan geografis, setiap kesatuan geografis atau daerah memiliki satu
orang wakil untuk memimpin wilayahnya yaitu calon yang memperoleh
suara terbanyak dalam pemilihan sebagai pemenang sekalipun bukan peraih
suara mayoritas dari masyarakat. Dalam sistem distrik tidak adanya
pembagian suara bagi calon yang satu dengan calon yang lainnya, suara
1Umaruddin masdar, dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, Yogyakarta: LkiS
dan The Asia Fundation, 1999, h. 121
36
calon dianggap hilang apabila telah ditentukan calon yang mendapatkan
suara terbanyak dari pemilih. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik
sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, sistem distrik dirasa dapat
mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak
ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya.
Sehingga Pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan sistem proporsional
dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tingkat kabupaten
dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100
nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Nomor ABRI yang diangkat dari
utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, Pemilu diikuti oleh 10 partai
politik. Sistem distrik dalam kamus Pemilu disebut juga sebagai sistem
pluralitas dengan wakil rakyat tunggal, dengan menggunakan sistem ini
diharapkan pemilu akan lebih bersifat representatif. Pasalnya, wakil rakyat
dipilih secara langsung berdasarkan suara terbanyak di suatu daerah
pemilihan. Sistem distrik memiliki lima varian yaitu:
a. First Past the Post (FPTP)
Sistem ini merupakan sistem pemilu yang paling sederhana didalam
sistem pluralitas, karena sistem ini berpusat pada calon yakni
menggunakan suara terbanyak yang menjadi pemenang bukan suara
absolut atau mutlak. Sistem ini mempunyai keuntungan seperti: dapat
mengonsolidasikan dan membatasi jumlah partai, memiliki
kecenderungan untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat, sederhana
dimengerti dan mudah dilaksanakan. Sedangkan kelemahan dalam
sistem ini yaitu: kursi yang dimenangkan tidak proporsional,
mengakibatkan banyaknya suara yang hilang, sistem ini tidak
memberikan dampak baik untuk kandidat-kandidat dari partai minoritas.
b. Two Round System (TRS)
Sistem putaran kedua merupakan sistem yang menggunakan dua kali
putaran untuk menentukan pemenang pemilu, hal ini dilakukan sebgai
upaya untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas,
pada sistem ini apabila pada putaran pertama tidak adanya pemenang
37
mayoritas makan digunakan sistem Two Round System dan apabila pada
putaran pertama telah ditentukan adanya suara mayoritas maka tidak
dilaksanakannya putaran kedua dalam menentukan pemenang. Tidak
semua peserta pemilu ikut serta dalam potaran kedua, bianya peserta
yang ikut dalam putaran kedua berasal dari dua peserta pemilu yang
teratas yang memperoleh suara pada putaran pertama. dalam Two Round
System tidak hanya menggunakan Single Member Distric tetapi juga
sangat dimungkinkan menggunakan sistem Multimember distric.2
c. Alternative Vote (AV)
Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem first past the post (FPTP)
yang menggunakan single member distric, yang menjadi pembeda yakni
adanya kebebasan dari pemilih untuk menentukan preferensi untuk
merangking ataupun menilai sejumlah kandidat yang mereka sukai,
misalnya seperti preferensi ‘1’ untuk calon A, preferensi ‘2’ untuk calon
D, preferensi ‘3’ utuk calon B, preferensi ‘4’ untuk calon C, dan
seterusnya. Adapun calon yang memperoleh preferensi terbanyak dari
pemilih ialah calon yang menjadi pemenangnya.
d. Block Vote (BV)
Sistem ini merupakan formula pluralitas didalam multymember
distric, Sistem ini disebut juga dengan Approval Vote. Dalam sistem
block vote terdapat tiga ciri utama yaitu: 1) berwakil majemuk, yang
dimana satu distrik memiliki beberapa anggota perwakilan, 2) pemilih
akan memberikan pilihan sebanyak jumlah kursi yang diperebutkan, 3)
peserta pemilu yang memperoleh suara terbanyak yang menjadi
pemenang.3
e. Party Block Vote (PBV)
Sistem ini hampir sama seperti sistem BV yang membedakannya
adalah, didalam sistem PBV yang menjadi pijakan pilihan adalah daftar
2Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta:
Kencana, 2012, h.85-86 3Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, 2009, h.27-28
38
partai-partai yang ada, bukan calon individu yang tersedia.
Sistem distrik secara umum memiliki beberapa dampak, baik berupa
kelemahan dan kelebihan. Adapun kelebihan dari sistem distrik ini yaitu:
a. Bagi partai besar sistem ini sangat menguntungkan karena melalui
distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga
memperoleh kedudukan mayoritas
b. Lebih mudah bagi partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam
parlemen, sehingga tidak perlu diadakannya koalisi dangan partai lain.
c. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat
dibendung dan sistem ini dapat mendorong ke arah penyederhanaan partai
secara alami tanpa paksaan.4
d. Dalam sistem ini, karena kecilnya wilayah maka wakil yang dipilih dapat
dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan konstituen lebih erat.
Tidak adanya sistem yang sangat sempurna untuk menjalankan proses
pemilihan umum di Indonesia termasuk sistem distrik ini, adapun kelemahan
dari sistem distrik yaitu:
a. Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena
terbagi dalam kelompok etnis, religius yang dapat menimbulkan rasa
diskriminatif dalam suatu kelompok, karena anggapan suatu kebudayan
yang tercipta secara ideologis dan etnis memungkinkan sangat kuat dalam
sistem ini.
b. Sistem ini sangat beresiko menyingkirkan partai-partai kecil, maupun
kelompok-kelompok minoritas karna pada sistem ini lebih didominasikan
oleh partai-partai besar yang sudah eksis terlebih dahulu dibandingkan
partai-partai kecil.
c. Sistem ini dinilai kurang representatif dalam artian bahwa calon peserta
yang kalah dalam suatu distrik, maka kehilangan suara dari orang-orang
yang telah mendukungnya.
d. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil.
4Miriam Budiardjo, dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h.466
39
2. Sistem Proporsional
Sejak pemilu tahun 1955 negara Indonesia telah menganut sistem
perwakilan berimbang (proporsional). sistem proporsional terdiri dari dua
bentuk, yakni bentuk pertama adalah sistem daftar tertutup, pada sistem ini
para pemilih hanya memilih partai politik peserta pemilihan umum dan tidak
bisa memilih calon angota legislatif, adanya sistem nomor urut dalam
pemilihan yang mana semakin kecil nomor urut maka semakin besar peluang
untuk menduduki kursi pemerintahan. Pada sistem daftar tertutup ini calon
anggota legislatif ditentukan langsung oleh partai politik secara sepihak.
Selanjutnya yang kedua, adalah sistem daftar terbuka. dalam sistem daftar
terbuka ini para pemilih tidak hanya memilih partai politik saja akan tetapi
pemilih dapat memilih para peserta calon legislatif, para pemilih bebas
memilih calonnya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Sistem proporsional
terbagi menjadi dua variasi, yaitu:
a. Hare sistem
Pada sistem ini pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan
pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah yang bersangkutan. Sistem ini
memungkinkan semua calon peserta mendapatkan kursi pemerintahan
karena adanya penggabugan suara dalam sistem ini apabila terdapat calon
peserta memiliki lebih suara maka kelebihan suara tersebut akan di bagikan
ke calon-calon berikutnya dan seterusnya sampai memenuhi ambang suara
yang telah ditentukan.
b. List sistem
Merupakan suatu model yang mengharuskan pemilih memilih diantara
daftar-daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat
yang akan dipilih. Dalam sistem ini memungkinkan adanya penggabungan
suara sehingga partai-partai yang kecil mendapatkan kursi pemerintahan.
Setiap sistem pasti memiliki kelebihan maupun kekurangan didalamnya,
baik itu sistem yang dianggap sudah mewakili suatu sistem pemerintahan yang
baik. Sistem proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan yaitu:
40
1) Kelebihan Sistem Proporsional Tertutup:
a) Dalam sistem Proporsional Tertutup mampu meminimalisirkan adanya
politik uang karena biaya pemilihan umum jauh lebih murah
dibandingkan dengan sistem proporsional daftar terbuka
b) Masyarakat memilih partai politik dalam pemilihan umum, yang mana
partai politiklah yang memilih kader-kader unggul ke parlemen, karena
partai tahu calon yang memang pantas untuk dikirmnya ke parlemen baik
dari segi integritas, kapsitas, serta narasi struktural dan kultural.
c) Sistem proporsional tertutup dapat menjamin kedaulatan partai tanpa
harus mengorbankan reprsentasi rakyat.
2) Kekurangan Sistem Proporsional Tertutup:
a) Oligarki kepartaian sangat kuat di dalam sistem proporsonal tertutup.
b) Partai berkuasa penuh dalam sistem ini karena partai politik menjadi
penentu siapa saja yang akan duduk di kursi parlemen sesuai kemauan
partai.
c) Terjadinya krisis calon anggota legislatif, dikarenakan hal ini calon
legislatif tidak sembarang orang dapat duduk dalam kursi parlemen,
yakni calon-calon yang dianggap partai politik mampu dan pantas untuk
duduk di kursi parlemen dan tentunya calon tersebut merupakan pilihan
terbaik partai politik.
d) Sistem ini juga mampu menjauhkan hubungan antara pemilih pasca
pemilihan umum, dikarenakan masyarakat kurang mengenal orang yang
terpilih di kursi parlemen tersebut.
e) Menutup partisipasi publik yang lebih besar.
Adapun kelebihan dan kekurangan dari sistem proporsional terbuka, yaitu:
1) Kelebihan Sistem Proporsional Terbuka:
a) Sistem proporsional terbuka dapat menciptakan ruang partisipasi yang
cukup baik.
b) Sistem proporsional terbuka bersifat representatif dalam arti bahwa setiap
suara turut diperhitungkan dan tidak adanya suara yang hilang.
41
c) Sistem ini dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam
parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam
pemilu.
d) Sistem ini juga mampu mendorong partai politik untuk lebih transparan
dalam mengajukan calon, karena parpol sebagian besar masih elitis dan
tertutup.
e) Rakyat berdaulat penuh dalam memilih calon anggota baik calon anggota
legislatif maupun eksekutif.
f) Sistem proporsional terbuka menjamin bahwa suara rakyat menjadi
penentu siapa-siapa saja yang duduk di kursi parlemen.
g) Pada sistem ini sangat membantu partai politik kecil untuk berpartisipatif
didalam pemilihan umum.
2) Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka:
a) Maraknya politik uang prapemilihan umum dalam sistem ini, hal ini
dikarenakan banyaknya calon legislatif yang berpartisipasi dalam pemilu
dengan begitu para calon berlomba-lomba untuk mendapatkan suara
rakyat dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan suara.
b) Karena partai politik bukan lagi penguasa penuh atas segalanya,
melainkan suara rakyat yang berdaulat penuh maka calon legislatif dapat
berasal dari mana saja yang mana tidak lagi dari kader-kader unggul
pilihan partai politik, yang mengakibatkan kurangnya integritas maupun
pengetahuan penuh mengenai kepemimpinan.
c) Sistem proporsional terbuka ini juga amat sangat rentan menimbulkan
persaingan yang kurang sehat antar calon anggota legislatif yang satu
dengan yang lainnya baik perdebatan calon anggota yang berasal dari
partai yang sama maupun yang beda partai.
d) Dengan terciptanya anggota parlemen karbitan yang minim pengetahuan
sering mengakibatkan tidak maksimalnya anggota parlemen dalam
menjalankan fungsi kepemimpinan.
e) Dalam sistem ini partai sulit mendapatkan suara mayoritas dalam
lembaga perwakilan apabila partai tersebut merupakan partai kecil,
42
f) Dalam sistem proporsional terbuka wakil yang terpilih besar
kemungkinan tidak dikenal oleh warga yang telah memilihnya, sehingga
ikatan antara wakil dan rakyatnya menjadi renggang.
Mengingat masing-masing sistem pemilu memiliki kelebihan dan
kekurangan, perdebatan mengenai sistem manakah yang harus dipakai di
Indonesia tidak terelakan perdebatan ini cukup menonjol pasca turunnya
pemerintahan Soeharto. Perdebatan itu terjadi diantara kedua pendukung, baik
pendukung sistem distrik dan pendukung sistem proporsional. Perdebatan itu
bermula dari pendukung sistem distrik yang melihat akan lemahnya sistem
proporsional yang diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia yang menggap
bahwa sistem proporsional menciptakan wakil rakyat yang kurang memiliki
kedekatan dan akuntabilitas kepada rakyatnya. 5 sistem proporsional pada
praktiknya masih digunakan dalam sistem pemerintahan di Indonesia, dengan
alasan bahwa sistem proporsional dianggap sebagai sistem yang lebih pas
untuk Indonesia dikarenakan tingkat kemajemukan masyarakat Indonesia yang
cukup besar, adanya kekhawatiran ketika sistem distrik sepenuhnya dipakai
dalam pemilu di Indonesia akan banyak kelompok-kelompok yang tidak
terwakili, khusnya kelompok-kelompok kecil atau merginal (minoritas). Tidak
hanya para politisi yang lebih cenderung pro dengan sistem proporsional,
banyak ilmuan dan pengamat juga menilai Indonesia lebih pas menggunakan
sistem Proporsional dibandingkan sistem distrik.
Beragkat dari realitas yang terjadi di negara Indonesia, sejumlah pengamat
maupun peneliti seperti Nico Harjanto menyatakan bahwa sistem pemilu di
Indonesia telah mengalami perubahan, dari proporsional tertutup (close-list
PR) ke proporsional terbuka (open-list PR), tetapi tidak sepenuhnya menganut
sistem terbuka murni atau yang sering disebut dengan sistem semi terbuka. Hal
ini terjadi karena penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam
perolehan kursi di DRR/D tidak disarkan pada perolehan suara terbanyak
5Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta:
Kencana, 2012, h.91
43
melainkan didasarkan pada nomor urut. Sistem semi daftar terbuka merupakan
sebuah hasil kesepakatan dalam pembahasan RUU mengenai pemilu pada
tahun 2002. 6 Mengingat sistem yang digunakan tidak sepenuhnya terbuka
dalam sistem pemilu di Indonesia, akan tetapi perubahan itu nyata ada seperti
perubahan mengenai pemilihan, yang sebelumnya para pemilih hanya memilih
partai politik tetapi saat ini pemilih dapat memilih partai dan calon yang ada di
daftar partai, dan perubahan lainnya seperti pemilihan presiden dan wakilnya
tidak lagi dilakukan oleh MPR melainkan langsung di pilih oleh rakyat sejak
pemilu tahun 2004, serta perubahan pemilihan kepala daerah di pilih langsung
oleh rakyat sejak 1 Juni 2015
B. Fungsi dan Peran Partai Politik dalam Perekrutan Calon Legislatif
Partai merupakan alat sosialisasi politik. 7 Partai politik merupakan alat
yang paling ampuh bagi manusia untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.8
Partai politik lahir pertama kali di negara Indonesia ketika zaman kolonial,
sebagai perwujudan dari bangkitnya kesadaran nasionalis. Menuruf Jimly
Asshidiqie partai politik merupakan asosiasi warga negara dan karena itu
berstatus sebagai badan hukum (rechtspersoon). Akan tetapi, sebagai badan
hukum, partai politik tidak beranggotakan badan hukum yang lain, yang dapat
menjadi anggota badan hukum partai politik adalah perorangan warga negara
sebagai natuurlijke persoons. Status partai politik sebagai badan hukum sangat
penting dalam hubungan dengan kedudukan, partai politik sebagai subyek
dalam lalu lintas hukum.
1. Fungsi Parpol
Fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik
terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai
6Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta:
Kencana, 2012, h.94-95 7Myron Weiner dan Joseph Lapatombara, Pengaruh Partai dalam Perkembangan Politik,
dalam Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Gramedia, 1981 hlm. 189
8Richard M. Merelman dalam Meurice Duverger, Partai-Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Kepentingan (Terj. Laila Hasyim), Jakarta: Bina Aksara, 1981, hlm.5
44
politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang
efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa.
Fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan
kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan
perlindungan dan rasa aman. Partai politik dalam menjalankan fungsinya
diikuti oleh kelompok-kelompok dan tujuan yang ingin dicapai. Adapun
fungsi parpol yang melekat meliputi:9
a. Sosialisasi Politik
Fungsi partai politik yakni sosialisasi politik yang mana seseorang
memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang pada
umumnya telah berlaku di setiap masyarakat dimanapun ia berada.
b. Partisipasi Politik
Merupakan fungsi yang dimiliki oleh partai politik untuk mendorong
masyarakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik.
c. Komunikasi Politik
Merupakan fungsi uang menyalurkan aneka ragam masukan ataupun
aspirasi yang berasal dari masyarakat.
d. Artikulasi Kepentingan
Menyatakan atau menyampaikan kepentingan masyarakat kepada
badan-badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang
mereka bentuk dengan kepentingan yang sama didalamnya.
e. Agregasi Kepentingan
Yakni fungsi partai politik untuk memadukan atau menyatukan
aspirasi yang berasal dari masyarakat, yang kemudian dirumuskan
menjadi program politik dan diusulkan kepada badan legislatif calon-
calon yang diajukan dalam pemilihan umum.
f. Pembuat Kebijakan
Fungsi ini adalah fungsi yang dimiliki oleh partai politik setelah
partai politik meraih dan mempertahankan kembali kekuasaannya di
dalam pemerintahan secara konstitusional.
9A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Graha Ilmu, 2007, h.104
45
Menurut Simon, partai politik memiliki fungsi yaitu:
a. parpol berfungsi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
b. Fungsi Sosialisasi politik, ketika seseorang sudah mampu menilai keputusan
dan tindakannya.
c. Fungsi Mobilisasi politik, adalah fungsi partai untuk membawa warga
Negara kedalam kehidupan publik.
d. Fungsi Refresentasi politik adalah partai politik yang ikut pemilihan umum
dan memenangkan sejumlah suara akan menempatkan wakilnya dalam
parlemen.
e. Fungsi Partisipasi politik adalah dimana tugas partai politik untuk membawa
warga Negara agar aktif dalam kegiatan politik.
f. Fungsi Legitimasi sistem politik adalah mengacu pada kebijakan partai
politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah yang meliputi
kebijakan publik maupun eksistensi sistem politik.
Adapun fungsi partai politik dalam Pasal 11 Undag-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang partai politik yaitu:
a. Pendidikan Politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga
Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara;
d. Partisipasi politik warga Negara Indonesia ; dan
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
2. Tujuan Partai Politik
Partai politik memiliki tujuan secara umum yaitu mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang
46
Dasar 1945, dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, adapun tujuan dari partai politik yaitu:
a. Untuk menjadi wadah kepentingan masyarakat
b. Untuk menjadi wadah akultualisasi diri bagi warga Negara yang
memiliki kesadaran yang tinggi untuk ikut serta dalam partisipasi politik
c. Menjadikan sarana dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan
politik.
d. Untuk menjadi wadah berhimbun bagi masyrakat atau kelompok yang
memiliki ideologi dan kepentingan yang sama.
3. Peran Partai Politik
Partai-partai politik sangat diperlukan untuk kerja pemerintahan
demokratis yang modern. Pentingnya partai politik terletak pada suatu
kenyataan bahwa demokrasi tidak dapat berjalan apabila tidak adanya partai
politik yang terorganisir. Adapun peran partai politik yakni:10
a. Partai politik berperan sebagai membuat kerja pemerintahan
parlementer menjadi mungkin.
parlemen terdiri dari wakil rakyat. Partai-partai politik mengatur
wakil-wakil ini di garis partai, pemilih memilih wakil mereka atas dasar
hubungan partai mereka. Partai politik yang mendapatkan suara
mayoritas dapat membentuk pemerintahan dan menjalankan fungsi
negara, apabila tidak adanya partai politik maka tidak berjalan pula
fungsi negara sebagai mana mestinya.
b. Partai politik merumuskan kebijakan publik
Setiap partai politik memperjuangkan pemilihan untuk mencapai
tujuannya yang tergabung dalam manifesto politik mereka. Partai
mayoritas yang membentuk pemerintah berusaha untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan pemerintahannya berdasarkan janji-janji yang telah
dibuatnya dalam pemilu. Kebijakan-kebijakan ini dibuat dengan
10https://guruppkn.com/contoh-peranan-partai-politik, diakses pada Selasa 11 Juni 2019,
Pukul 18.28
47
mengingat kepentingan masyarakat umum. Adapun kebijakan-kebijakan
tidak jauh mengenai perbaikan kondisi umum, selain membuat kebijakan
itu partai politik membuat pula kebijakan tentang keamanan nasional,
hukum dan ketertiban internal.
c. Partai politik mendidik opini publik
Partai politik diwajibkan untuk dapat menciptakan opini publik
dengan baik dengan cara mengedukasi maupun mengatur opini publik.
Proses ini mengarah untuk mengatur dan merumuskan opini publik
tentang isu-isu penting yang tengah berlangsung dalam masyarakat.
d. Partai Politik Memberikan Stabilitas politik
Partai politik menyederhanakan dan menstabilkan proses politik
negara. partai politik dalam demokrasi memainkan peran besar dalam
menjaga stabilitas dengan melakukan peran mereka di legislatif. Setiap
partai yang berkuasa harus bersikap sangat tanggung jawab, dan partai
kecil (oposisi) terus mengawasi kerja partai yang berkuasa. Oposisi
bukan hanya mengkritik pemerintah, melainkan ikut berkontribusi dalam
menstabilkan pemerintah oleh karena itu oposisi yang sehat akan
menghasilkan keberhasilan demokrasi.
e. Partai Politik Membantu Dalam Prekrutan Pemimpin
Selain memberikan stabilitas politik, partai politikpun memiliki
peran untuk merekrut orang-orang yang berintegrasi untuk menjadi
anggota dan mempersiapkan meraka untuk pemilihan di masa depan,
para pemimpin inilah yang akan besaing dalam pemilihan dan
mambentuk suatu pemerintahan apabila terpilih dalam pemilihan umum.
f. Partai Politik dapat Mengikuti Pemilihan Umum
Di sebagian besar negara demokrasi seperti negara Indonesia bahwa
pemilihan umum dilakukan terutama diantara para kandidat yang
disiapkan oleh partai-partai politik. Di negara Indonesia, pimpinan partai
dapat memilih kandidat untuk mengikuti pemilihan, membentuk
kebijakan dan program, yang mana setiap pihak memiliki kebijakan dan
48
program masing-masing dan berbeda untuk membangun kepercayaan
para pemilih.
g. Partai Politik Dapat Membuat Undang-Undang
Ketika partai berkuasa, biasanya partai tersebut membuat undang-
undang untuk negara. secara formal, hukum diperdebatkan dan disahkan
di legislatif. Anggota partai yang berkuasa mengikuti arahan pemimpin
partai, terlepas dari pendapat pribadi mereka.
49
BAB IV
PENERAPAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA DALAM
REKRUTMEN CALON LEGISLATIF
A. Fungsi Partai Politik Dalam Rekrutmen Calon Anggota Legislati
Berdasarkan Sistem Proporsional Terbuka
Partai politik secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kelompok yang
terorganisir, yang setiap anggota-anggotanya memiliki orientasi serta nilai-nilai
dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dari kelompok-kelompok partai politik
ialah untuk memperoleh kekuasaan dan merebut kedudukan politik dengan
cara konstitusional. Partai politik mempunyai posisi dan peran yang sangat
penting dalam sistem demokrasi, partai menjadi jembatan penghubung antara
proses-proses pemerintahan dan warga negara. Adapun fungsi partai politik di
negara demokrasi tidak lepas dari sarana rekrutan politik, fungsi ini erat
kaitannya dengan masalah seleksi kepemimpinan baik internal maupun
kepemimpinan yang lebih luas (nasional). Mengingat fungsi partai politik yang
begitu penting, sering pula keberadaannya dan kinerjanya dijadikan tolak ukur
bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara. meskipun partai politik
bukan merupakan pelaksanaan dari suatu pemerintahan, namun keberadaannya
akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan pemerintah
dijalankan.
Partai politik merupakan sebuah pilar demokrasi yang sangat penting di
Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir dari semua para politisi berasal dari
partai politik. Setiap partai membutuhkan kader-kader yang berkualitas, karena
hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang memiliki
peluang yang besar untuk mengembangkan diri, dengan memiliki kader-kader
unggulan, maka partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan
mempunyai peluang yang besar untuk mengajukan calon kejenjang yang lebih
tinggi yaitu nasional. 1 Partai politik selain berkepentingan memperluas dan
1Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ed. Revisi Cet. Ke-5, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2015, h.408
50
memperbanyak keanggotaan, partaipun berusaha menarik sebanyak-banyaknya
orang untuk menjadi anggotanya. Dengan cara mendirikan organisasi-
organisasi massa sebagai penguat yang melibatkan golongan-golongan
pemuda, mahasiswa, buruh, petani dan sebagainya. Rekrutmen politik
merupakan salah satu cara untuk melatih para calon-calon pemimpin, ada
berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontak pribadi,
persuasi maupun cara lainnya. Adapun model-model perekrutan dalam
pencalonan, yaitu:2
1. Model Barber
Menurut Barber ada tiga variabel utama rekrutmen, yaitu: motivasi,
sumber daya, dan kesempatan. Dampak mereka adalah komulatif dan
mereka tidak dapat dioperasionalkan secara sendiri-sendiri satu sama lain.
Kandidat yang potensial perlu dimotivasi untuk mencari jabatan untuk
meraih kesempatan, tapi berbagai motivasi dapat mengarah pada suatu
pencalonan, sumber dayanya dapat terdiri dari aset-aset tersebut seperti
fleksibilitas pekerjaan dan kemampuan untuk membuat pengorbanan
finansial yang diperlukan; akhirnya, kesempatan membandingkan mengenai
kriteria pemilihan dari perwakilan perekrutan dan tingkat ketidakpastian
mengenai hasil dari pemilihan. Browning (1968) sebagaimana dikutip oleh
Edinger, memperkuat model Barner menurutnya perilaku perekrutan
ditentukan oleh sindrom motivasional dan pengharapan. Pengharapan
diperoleh dalam proses sosialisasi, dan mereka menyalurkan motivasinya
pada arena politik, tapi tipe dari para pejabat mencari dan perilaku politikus
ditentukan oleh motivasi dominannya.
2. Model Snowis
Model Snowis sebagaimana dikutip oleh Edinger, mengemukakan
model perekrutan politik dengan memusatkan dalam aspek-aspek yang
relevan terhadap kebutuhan organisasi. Terdapat empat variable dalam
metode ini: (1)dasar sosial, yang mana untuk partai merupakan hal yang
2Ahmad Riyadh dan Hendra Sukmana, Model Rekrutmen Politik Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik di Kabupaten Siduarjo, Jurnal FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo: JKMP, Vol. 3 No. 2, September 2015, h.182
51
utama, (2)sumber daya organisasi yang dapat digunakan sebagai insentif
untuk menjalankan pekerjaan partai dan menarik para elite politik; material
atau non material, (3)struktur; hirarki, kepemimpinan tersentral, tidak dapat
dipengaruhi oleh dunia luar, (4)etos organisasi. Struktur hirarki dari
organisasi partai untuk mempromosikan suatu etos persetujuan politik;
partai-partai yang kurang terstruktur dalam mempromosikan orientasi
persoalan.
3. Model Rush & Althoff
Menurut Michael Rush dan Philip Althoff model perekrutan politik
meliputi lima proses kegiatan, yaitu: penyediaan dan permintaan, agensi,
kriteria, kontrol, dan tuntutan. Daya penyediaan dan permintaan dipengaruhi
oleh berbagai lembaga yang berfungsi sebagai agensi perekrutan politik,
kriteria yang mungkin digunakan, dan oleh kadar sejauh mana proses itu
dapat dikontrol. Agensi perekrutan politik menetapkan beraneka ragam
kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap layak dan
harus dikuasai oleh calon pejabat yang bersangkutan. kriteria ini, tentu saja
akan mencerminkan permintaan yang merupakan representatif atas tuntutan
dan harapan masyarakat, tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem
pengadaan, sehingga proses kontrol akan semakin ketat dan kompetitif
1. Perekrutan Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik
Mekanisme penjaringan model rekrutmen calon anggota legislatif di
Indonesia tentunya berbeda pada tiap-tiap partai, setiap partai memiliki
metode tersendiri untuk memilih calon yang nantinya akan diusungkan oleh
tiap-tiap partai tersebut. Seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) yang membuat terobosan dengan melakukan tes tulis
dan tes psikotes yang dikenal sebagai dalam jaringan (daring), dalam rangka
seleksi untuk bakal calon anggota legislatif yang diadakan serentak di
berbagai daerah. Adapun mengenai tes psikologi digelar untuk melihat
aspek ideologi Pancasila, kepribadian, kepemimpinan, kemampuan
menyelesaikan masalah, serta daya juang bakal calon legislatif. Adapun
peserta yang lolos dalam tes tulis dan tes psikotes akan mengikuti
52
pembekalan calon legislatif yang mana mereka yang lolos tersebut akan
diuji lagi kemampuannya didalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran,
pengawasan dan representasi.3
Beda halnya dengan Partai Demokrat, dalam sistem penyeleksian
Partai Demokrat telah merecord (rekam jejak) bakal calon anggota legislatif
sejak dini yakni sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebelum masa pemilu
datang, yang mana bakal calon legislatif (bacaleg) akan disurvei terlebih
dahulu dengan cara melihat rakam jejak mengenai daya tahan dari calon
legislatif berpolitik sampai ditemukannya sosok yang pas yang mampu
diusungkan dalam persaingan demokrasi tersebut.4
Beda lagi halnya dengan Partai Amanat Nasional (PAN), partai ini
seolah sudah memiliki culture perekrutan dan penyeleksian karena memang
Partai Amanat Nasional ini merupakan salah satu dari partai lama yang
mana bisanya partai ini mengadakan kerjasama dengan organisasi Islam
besar yakni Muhammadiyah, dan biasanya bakal calon legislatif tersebut
memiliki banyak relasi. Rekruitmen bakal calon legislatif dilaksanakan oleh
panitia yang dinamakan KPPW (Komisi Pemenangan Pemilu Wilayah)
yang terdiri dari tiga tim yakni (1) tim pendaftaran caleg, (2) tim klarifikasi
dan verifikasi data Bacaleg, dan (3) tim monitoring Bacaleg. Adapun orang-
orang yang diperbolehkan mendaftar menjadi Bacaleg yakni terdiri dari tiga
sumber, yakni:
a. Anggota atau pengurus partai yang dapat dibuktikan dengan Kartu Tanda
Anggota (KTA);
b. Tokoh-tokoh masyarakat yang direkrut sejak dini dan mendukung
pemenangan Pemilu; dan
c. Memperhatikan keberadaan Bacaleg Perempuan di nomor urut satu
sampai dengan 30% dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
daerah. Bacaleg perempuan diusahakan berada pada nomor urut satu
3 https://www.beritasatu.com/nasional/495316/bikin-terobosan-pdip-seleksi-caleg-secara-
daring, diakses pada Senin 22 Juli 2019, Pukul 13.32 4 https://www.beritasatu.com/nasional/381589/proses-perekrutan-bakal-caleg-demokrat-
dimulai-akhir-2016, Diakses Pada Senin, 22 Juli 2019, Pukul 14.32
53
untuk mendorong perempuan untuk berkiprah dan berkontribusi didunia
politik.
2. Fungsi Rekrutmen Calon Anggota Legislatif
Mengenai fungsi partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif
berdasarkan sistem proporsional terbuka, tentunya pembahasan tersebut
tidak terlepas dari pemilihan umum. Indonesia telah tercatat beberapa kali
dalam sejarah mengganti sistem pemilihan umum baik dari sistem
proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka. Adapun dasar hukum
mengenai pemilu sistem proporsional terbuka tertuang dalam Pasal 5 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang memberikan definisi yaitu
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”
Sistem proporsional terbuka memberikan peluang besar untuk setiap
calon legislatif karena setiap calon legislatif dapat terpilih apabila
memperoleh suara terbanyak dan memenuhi syarat dari pemilihan umum.
Terlepas dari nomor urut ia berada, dengan demikian maka menjadi peluang
besar bagi pemilih untuk memilih calon yang dikhendakinya. Masyarakat
diberikan kebebasan untuk berperan aktif dan menjadi bagian dari proses
demokrasi. Disisi lain partai politik indonesia masih amat lamban dalam
menjalankan tugasnya, yang mana seharusnya partai politik mampu
menciptakan ruang yang baik dan menciptakan suatu kaderisasi yang sehat.
Yang semula partai politik dituntut untuk memutuskan atau menciptakan
kader-kader unggul atau terbaik yang akan memimpin, namun pada
nyatanya saat ini partai politik hanya dijadikan sebagai kendaraan alat
politik semata karena kebijakan publik beralih fungsi menjadi kebijakan
kelompok tertentu untuk mensejahterakan segelintir orang. Padahal dalam
konteks demokrasi yang ideal, partai politik merupakan lembaga yang
memiliki pengaruh yang paling besar dalam menyaring kader-kader
terbaiknya untuk menduduki kursi pemerintahan. Sistem proporsional
terbuka dalam sistem pemilu di Indonesia saat ini, maka terbuka pula
peluang untuk siapa saja yang hendak mencalonkan dirinya sebagai wakil
54
rakyat baik dari kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Tak dipungkiri
pula para elite politik membuka peluang besar bagi siapa saja yang mampu
untuk mencalonkan terutama bagi yang memiliki finansial yang berlebih
amat sangat memungkinkan dapat mencalonkan dirinya sebagai wakil
rakyat. Seperti yang diketahui, wakil-wakil rakyat yang duduk dalam
pemerintahan banyak pula berasal dari golongan-golongan popularitas
(selebriti) yang telah tersohor dalam masyarakat yakni para artis yang
merangkap menjadi wakil rakyat. Dengan kepopularitasan yang dimiliki
maka tidaklah sulit bagi artis-artis tersebut untuk mengambil simpati
masyarakat, maka dengan begitu telah banyak selebriti politikus yang telah
menduduki kursi-kursi baik pemerintahan, maupun parlemen. Pada priode
2014 sampai 2019 telah tercatat sebanyak 7 (tujuh) orang selebriti yang
mampu menduduki kursi Pemerintahan, dan 26 (dua puluh enam) orang
selebriti yang menduduki kursi Parlemen dari berbagai partai yang
mengusungnya.
Tidak sedikit dari selebriti politikus yang dinilai memiliki kinerja yang
buruk selama masa jabatannya, hal ini tak dapat dipungkiri dari kasus-kasus
yang telah menimpa beberapa selebriti politikus seperti Angelina Sondakh
(Anggota DPR Jawa Tengah) yang tersandung kasus korupsi mengenai
pembangunan wisma atlet SEA Games 2011, Zumi Zola (Bupati Tanjung
Jabung Timur) yang tersandung kasus suap RAPBD (Rancangan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah) Jambi tahun anggaran 2018, dan lain
sebagainya baik dari kalangan selebriti politikus maupun dari luar selebriti
politikus.
Sebagai calon anggota Parlemen itikad baik untuk menjadi wakil rakyat
saja tidaklah cukup adapun yang sangat penting yaitu perlunya
intelektualitas dan integritas dalam pemahaman baik mengenai kenegaraan
maupun mengenai tujuan utama yakni untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Sangat penting menghasilkan politisi yang berkebudayaan atau politisi yang
punya martabat, harga diri, dan cara berfikir yang jernih. Tidak dapat
dipungkiri banyaknya keluhan datang dengan mencaci sistem proporsional
55
terbuka ini dengan beranggapan bahwa negara Indonesia belum siap
menggunakan sistem proporsional terbuka, karena sistem kaderisasi dalam
internal partai politik sangat rendah serta timbulnya kepentingan individu
bagi setiap calon legislatif dan lebih buruknya para calon legislatif tak segan
untuk menghancurkan pesaingnya baik dari partai yang berbeda maupun
dari partai yang sama. Konflik yang demikianlah dapat menyebabkan
perpecahan dalam tubuh partai. Selain itu oleh karena tiap-tiap calon
berjuang untuk dirinya maka tidak dapat dipungkiri banyak ditemukannya
kecurangan terutama kecurangan mengenai politik uang (money politic).
Persoalan lain yang dihadapi adalah belum berjalannya secara maksimal
fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap
negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Sistem kepartaian yang
ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang
mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil
yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata publik yang
masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya
cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik
ketimbang partai programatik. Lemahnya pelembagaan partai politik di
Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader.
Partai politik cenderung membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri:
meningkatnya aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem
keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan
rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan sistem
pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa
adalah kurang intensif dan efektifnya mengenai kinerja partai, partai politik
semacam ini hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara di daerah
pemilihannya dalam rangka memperoleh kekuasaan tanpa memperhatikan
kepentingan dan pemenuhan hak konstituen. Hal ini yang membuat partai
gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan
masyarakat. Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan program
56
kerja dan orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang terabaikan,
rendahnya kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang
responsif dan inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik dan
konflik yang sering tidak terselesaikan oleh internal partai.
Berangkat dari model-model perekrutan partai politik yang telah
dijelaskan di atas. Telah jelas dalam model perekrutan menurut Rush dan
Althoff bahwasanya partai politik diharuskan untuk merekrut calon pejabat
(legislatif) yang memiliki suatu keterampilan maupun kelayakan yang harus
dikuasai, keterampilan yang dimaksud disini yaitu mengenai pemahaman
akan legislasi, integritas serta kapasitas yang mempenghuni. Maka dengan
begitu partai politik tidak relevan dalam merekrut calon anggota legislatif,
mengingat buruknya kualitas yang dihasilkan anggota legislatif dari
barbagai partai maka dari itu perlu di adakannya fit and proper test bagi
calon-calon anggota legislatif, yang mana penyeleksian bagi calon-calon
anggota legislatif dilakukan pada eksternal partai politik yang memiliki
standarisasi untuk kelulusan bagi calon-calon anggota legislatif, dengan
maksud dan tujuan dibentuknya tim seleksi yang berasal dari eksternal
partai yakni untuk menyeleksi bagi siapa-siapa saja yang ingin menduduki
kursi parlemen dalam rangka mencari calon anggota legislatif yang jujur,
mempunyai integritas dan imparsial dalam menjalankan tugasnya. dengan
adanya penyeleksi dari eksternal partai politik maka stigma buruk
masyarakat mengenai wakil rakyat yang duduk di parlemen akan berbeda
karena wakil-wakil rakyat merupakan orang-orang yang terpilih dari proses
penyeleksian sehingga dapat menjadi wakil rakyat yang baik yang dapat
mensejahterakan rakyatnya serta negaranya.
B. Pengaruh Penerapan Sistem Proporsional Terbuka terhadap Kualitas
Anggota Legislatif
Sistem proporsional terbuka memang dipilih dan diangap sebagai
legitimasi untuk menampung euphoria demokrasi, akan tetapi sistem ini pula
yang menjadi hambatan untuk partai politik untuk berperan secara penuh
57
terhadap para calon legislatif yang diusungkannya, karena pada sistem
proporsional terbuka masyarakat berdaulat penuh dalam menentukan calon
wakil rakyat yang akan menduduki kursi Pemerintahan maupun kursi Parlemen
bukan lagi hasil dari seleksi partai secara sepenuhnya seperti yang dilakukan
pada sistem proporsional tertutup.5 Peran partai politik di negara demokrasi
sangat penting, karena partai politik dapat berperan amat besar dalam sistem
pemilu, perekrutan calon legislatif dan dalam mengartikulasikan aspirasi
rakyat. Partai politik menjadi wadah kumpulnya kepentingan-kepentingan
publik, disamping itu parpol juga berperan dalam mengontrol pemerintah dari
luar sistem menjadi oposisi. Dalam sistem proporsional terbuka rakyat
berdaulat secara penuh, namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar
dan miskin cenderung bersifat pragmatis, rakyat akan cenderung memilih wakil
yang bermodal dan berduit, mengabaikan soal fungsi politik, moralitas apalagi
kapasitas. Persoalannya adalah banyaknya calon legislatif yang kurang
memiliki intelektual dan integritas mengenai kepemimpinan dan kenegaraan,
karena pada sistem ini siapa saja dapat mencalonkan dirinya sebagai wakil
rakyat dengan menyampingkan tujuan utama yaitu untuk menjalankan sistem
pemerintahan yang lebih baik yang mampu menampung keluh kesah
masyarakyat serta mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.
Dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka banyaknya calon
legislatif yang populer dapat terpilih tanpa mempertimbangkan kapasitas dari
kemampuan para calon legislatif yang menduduki jabatan, serta
memungkinkan bagi setiap calon akan berlomba untuk meraih simpati
masyarakat dan akan memicu polemik politik uang.
Kinerja anggota legislatif masih dianggap buruk bagi sebagian besar
masyarakat, dalam lima tahun terakhir tingkat kepercayaan masyarakat kepada
anggota legislatif tidak melebihi dari angka 30%, tak hanya itu anggota
legislatif khususnya anggota DPR masih tersandera berbagai predikat negatif,
seperti lembaga terkorup, mafia anggaran, praktek jual beli produk legislasi
5Aminah, Analisis Penerapan Sistem Proposional Dan Sistem Distrik Dalam Pemilihan Umum Untuk Penyedederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia Ditinjau Dari Asas Negara Hukum, Jurnal Hukum Universitas Sebelas Maret: Yustisia, Vol.1, No.2, Mei-Agustus 2012, h.83
58
dan lain sebagainya. Tak heran hal inipun berdampak pada partisipasi rakyat
dalam pemilu termasuk memilih calon anggota legislatif yang makin menurun.
Beda halnya pada saat tahun 1999 partisipasi rakyat sangat besar, seiring
perjalanan waktu dengan kegagalan pihak legislatif dalam mengartikulasikan
kehendak rakyat, partisipasi rakyat makin merosot. Sistem itu diperparah oleh
buruknya sitem kepartaian dalam merekrut calon anggota legislatif, memang
nampak pada permukaan partai politik membuka serta memberi peluang bagi
siapa saja yang bersedia menjadi anggota legislatif, namun pada nyatanya
sebagian besar mereka yang diusung sebagai calon legislatif haruslah
mempunyai modal besar untuk disetorkan kepada partai yang bersangkutan.
Akhirnya proses pencalegkan tak bedanya dengan sistem lelang, yakni siapa
yang mampu membayar paling mahal dan dapat mendatangkan kemanfaatan
bagi partai maka dialah yang nantinya akan diusungkan oleh partai. Adapun
motivasi utama banyaknya orang berlomba untuk menduduki kursi perlemen
nyatanya tidak terlepas dari kepentingan ekonomi semata, para calon legislatif
menyadari bahwa posisi sebagai anggota legislatif dapat menjadi mesin untuk
mendatangkan uang. Hal inipun akan berpengaruh pada kualitas anggota
legislatif yang akan duduk dikursi parlemen nantinya, karna mereka yang
duduk dikursi parlemen tidak lagi mementingkan kehendak rakyat, melainkan
mementingkan dirinya serta bagaimana caranya mereka dengan duduk di kursi
parlemen bisa menghasilkan uang.
Terdapat peningkatan kursi dalam pemilihan anggota legislatif dari
pemilihan umum tahun 2014 ke pemilihan umum tahun 2019. Yang mana telah
tercatatat sebanyak 20.389 total kursi yang disediakan pada pemilu tahun 2014
serta sebanyak 20.528 total kursi yang disediakan pada pemilu tahun 2019,
baik untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun DPRD Kab/Kota.
adapun pembagian alokasi kursi parlemen pada pemilu tahun 2014 yakni pada
lembaga, DPR sebanyak 560 kursi, DPD sebanyak 132 kursi, DPRD Provinsi
sebanyak 2.112 kursi, dan DPRD Kab/kota sebanyak 16.895 kursi. Pembagian
alokasi kursi parlemen pada pemilu tahun 2019 yakni pada lembaga, DPR
59
sebanyak 575 kursi, DPD sebanyak 135 kursi, DPRD Provinsi sebanyak 2.207
kursi, dan DPRD Kab/kota sebanyak 17.610 kursi.
Anggota legislatif dalam priode 2014-2019 telah tercatat lebih dari 50
persen berasal dari anggota baru, bahwa adanya penurunan kualitas anggota
DPR yang disebabkan terpilihnya anggota legislatif priode 2014-2019 bukan
karena memiliki pengalaman, visi, dan komitmen kerakyatan, melainkan
karena popularitas. 6 Masih amat melekat dalam ingatan mengenai buruknya
pemilihan umum tahun 2014 yang mana setiap partai politik berlomba-lomba
merekrut selebriti sebanyak-banyaknya untuk masuk kedalam partai dengan
memanfaatkan kepopularitasan bagi tiap-tiap artis maupun publik figur untuk
mendobrak suara partai dan tidak memikirkan bahwa tiap-tiap selebriti yang
diusungkannya mengerti akan politik atau tidak. Tercatat sebanyak 207
selebriti baik dari kalangan artis maupun penyanyi yang didaftarkan pada
masing-masing partai politik pada priode 2014-2019 yang telah diusungkan
menjadi calon anggota legislatif, yang tersebar di beberapa daerah. Dari angka
tersebut dapat dilihat bahwa sistem perekrutan yang dilaksanakan oleh partai
politik amat sangat buruk, karena pertai politik telah mengenyampingkan
kepentingan masyarakat tetapi lebih tepatnya mementingkan pribadi (anggota
legislatif) maupun kepentingan partai, tanpa berfikir dampak untuk kedepannya
apabila selebriti politikus menduduki kursi-kursi parlemen dengan tidak adanya
kecakap mengenai dunia perpolitikan, alih-alih bukannya menjadikan negara
lebih baik melainkan membuat masalah yang baru akan muncul.
Table 1 grafik caleg DPR RI terpilih periode 2019-2024
6https://nasional.kompas.com/read/2017/03/14/18180051/mutu.lembaga.legislatif?pag
e=all, diakses pada Kamis 25 Juli 2019, Pukul 01.02
65%
35%
Caleg DPR RI Terpilih 2019
Orang Baru
Pertahanan
60
Menurut analisa pusat kajian politik Universitas Indonesia (Puskapol UI)
menjabarkan perolehan suara pada pemilu tahun 2019 yang telah tercatat
sebesar 65% dari anggota baru dalam parlemen yakni terdiri dari:
1. Mantan anggota DPRD
2. Mantan kepala daerah
3. Kerabat elit politik tingkat lokal
4. Publik figur
Adapun sisa dari anggota baru yakni 35% bersal dari pertahanan anggota
yang telah duduk di kursi parlem pada priode sebelumnya. Pemilihan umum
yang telah dilaksanakan pada tahun 2019 nyatanya tidaklah cukup menjadikan
pembelajaran dari pemilihan umum tahun 2014, minat partai politik untuk
merekrut publik figur untuk turut serta menjadi calon anggota legislatif masih
terbilang cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari pemilu pada kali ini yakni
pemilu tahun 2019, telah tercatat sebanyak 91 orang mencalonkan diri menjadi
calon anggota legislatif baik dari kalangan artis maupun kalangan penyanyi.
walaupun adanya penurunan jumlah calon legislatif dari pemilu sebelumnya,
akan tetapi masih terbilang cukup tingginya minat dari kalangan publik figur
untuk partisipasi dalam pesta demokrasi kali ini.
Table 2 grafif selebriti caleg partai Nasdem Table 3 grafik selebriti caleg PDIP
Partai Nasdem merupakan salah satu dari sekian banyak partai yang
mengusung selebriti menjadi calon legislatif dalam pemilihan umum, partai
nasdem tercatat memiliki grafik kenaikan yang cukup signifikan dibanding
9
37
0
10
20
30
40
2014 2019
Partai Nasdem
Selebriti Caleg
7
16
0
5
10
15
20
2014 2019
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
SelebritiCalonLegislatif
61
partai lainnya, terdapat kenaikan pengusungan calon legislatif selebriti dari
partai Nasdem pada pemilu tahun 2014-2019 ke pemilu tahun 2019-2024,
semula jumlah selebriti yang mencalonkan diri berjumlah 9 orang pada pemilu
tahun 2014 namun pada pemilu tahun 2019 tercatat sebanyak 37 orang selebriti
yang dicalonkan oleh partai Nasdem. Adupun partai yang memiliki kenaikan
grafik selain partai Nasdem ialah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan), semula pada pemilu tahun 2014 PDIP mengusung 7 orang dari
klangan selebriti namun kini pada pemilu tahun 2019 PDIP mengusung 16
orang selebriti untuk menjadi calon legislatif. Angka tersebut bukanlah hal
yang wajar dimana partai-partai yang lain berlomba untuk mengevaluasi
perektutan dari pemilu tahun 2014 dengan menurunkan jumlah kader yang
berasal dari selebriti.
Menurunnya kualitas DPR RI dan DPRD provinsi/kabupaten/kota sudah
sering disampaikan oleh berbagai kalangan. Adapun parameter untuk
mengukur menurunnya kualitas anggota legislatif yakni:
1. Pertama, tingkat kehadiran yang rendah pada rapat paripurna atau rapat-
rapat komisi dan badan serta panitia khusus (pansus) dan panitia kerja
(panja).
2. Kedua, rendahnya produktivitas DPR dari periode ke periode yang selalu
gagal merampungkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada
Prolegnas 2014- 2019 yang ditetapkan DPR terdapat 183 RUU yang harus
diselesaikan. Namun pada nyatanya memasuki tahun 2017, baru 14 RUU
yang mampu diselesaikan.
3. Ketiga, kualitas UU yang dihasilkan DPR sangat rendah. Banyak UU yang
baru disahkan sudah harus direvisi karena kalah dalam uji materi di
Mahkamah Konstitusi (MK).
4. Keempat, DPR lebih memprioritaskan bongkar pasang UU yang mestinya
dibuat untuk jangka panjang. Seperti UU tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3) versi terakhir yang disahkan setelah Pemilu Legislatif
(Pileg) 2014, baru genap berusia dua tahun Undang-Undang tersebut, tetapi
akan adanya penyempurnaan lagi. Ini menunjukkan besarnya kepentingan
62
yang jadi pertimbangan dan bukan upaya membentuk tatanan secara
sistemis.
5. Kelima, kualitas fungsi pengawasan sangat mengecewakan. Banyak anggota
DPR dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang justru menjadi terpidana
korupsi atau suap dalam megaskandal yang tak terbayangkan besarnya,
seperti belum lama ini mengenai kasus mega proyek E-KTP yang
menghabiskan triliyun uang negara untuk kepentingan pribadi atau
segelintir orang.
Terjadinya kenaikan yang drastis dari tahun ketahun mengenai mangkirnya
wakil-wakil rakyat dari tugasnya yakni salah satunya mengenai kehadiran
dalam sidang paripurna yang merupakan agenda sidang tahunan. DPR
memiliki keseluruhan anggota sebesar 560, Telah tercatat pada sidang
paripurna tahun 2016 presentase kehadiran anggota DPR dalam mengikuti
rapat yakni sebesar 48.39% yang setara dengan 271 anggota yang hadir dan
289 anggota yang mangkir dari total 560 anggota DPR seluruhnya. Sedangkan
dalam tahun berikutnya yakni pada tahun 2017, dari 560 anggota DPR adapun
yang mengikuti rapat paripurna sebanyak 232 orang sedangkan yang mangkir
dari tugas sebanyak 328 orang atau setara dengan 41.43% kehadiran dari
100%. Dan pada tahun 2018 kali ini anggota DPR yang mengikuti sidang
paripurna sebanyak 151 orang dan yang mangkir atau tidak menghadiri sidang
sejumlah 409 orang. Sungguh angka tersebut bukanlah merupakan angka yang
wajar, yang mana seharusnya rapat sidang paripurna harus dihadiri minimal
lima puluh plus satu orang agar setiap keputusan yang dihasilkan dapat
dinyatakan sah.
Penerapan sistem proporsional terbuka memiliki pengaruh besar dalam
penentuan kualitas anggota legislatif, seperti yang telah dijelaskan di atas
bahwa setiap sebab akan memiliki dampak yang berupa akibat yang mana
dalam hal ini partai politik merupakan pilar penting dalam pengusungan calon-
calon anggota legislatif yang mana calon yang unggul dalam artian calon yang
memiliki pengetahuan tinggi serta integritas dapat menjadi pemimpin yang
mampu menangani persoalan-persoalan rakyatnya kelak. Berdasarkan hal yang
63
telah dipaparkan sebelumnya, bahwa sistem proporsional terbuka tidak akan
membawa perubahan apapun apabila orang-orang yang mencalonkan diri tidak
memiliki kualitas dan kapasitas untuk bertindak sebagai anggota legislatif.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Implikasi
Penerapasn Sistem Proporsional Terbuka Dalam Rekrutmen Calon Legislatif,
Setelah menelaah dan menganalisis dari bab-bab sebelumnya maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Fungsi partai politik dalam rekrutmen calon anggota legislatif berdasarkan
sistem proporsional terbuka tidaklah cukup apabila calon legislatif hanya
beritikad baik untuk dapat menjadi wakil rakyat, adapun hal penting yang
diperlukan berupa intelektualitas dan integritas dalam pemahaman baik
mengenai legislasi maupun tujuan utama untuk kemaslahatan seluruh rakyat
sehingga menghasilkan politisi yang berkebudayaan atau politisi yang
mempunyai martabat, harga diri dan cara berfikir yang jernih. Mengingat
buruknya kualitas yang dihasilkan oleh anggota legislatif dari berbagai
partai, maka partai politik tidaklah relevan dalam merekrut calon anggota
legislatif. Dengan begitu perlu di adakannya fit and proper test dalam
penyeleksian calon anggota legistlatif oleh eksternal partai politik yang
memiliki standarisasi kelulusan bagi calon-calon anggota legislatifnya.
2. Penerapan sistem proporsional terbuka memiliki pengaruh besar dalam
penentuan kualitas anggota legislatif. Dengan diberlakukannya sistem
proporsional terbuka menimbulkan banyaknya calon legislatif yang populer
dapat terpilih tanpa mempertimbangkan kapasitas dari kemampuan para
calon legislatif yang menduduki jabatan, serta memungkinkan bagi setiap
calon akan berlomba untuk meraih simpati masyarakat dan akan memicu
polemik politik uang.
65
B. Rekomendasi
Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulis ini. Maka
penulis perlu untuk memberikan saran-saran sebagai bahan pertimbangan di
kemudian hari. Saran saran tersebut penulis tuju kepada:
1. Sistem penyeleksian calon anggota legislatif sebaiknya difokuskan pada
satu lembaga yang bersifat Independen, yang memiliki standarisasi
kelulusan bagi calon anggota legislatif berupa pemahaman legislasi dan nilai
guna dalam masyarakat.
2. Dalam sistem pemilihan umum tetap menggunakan sistem proporsional
terbuka. Adapun adanya kualifikasi bagi calon legislatif minimal sekurang-
kurangnya dua (2) tahun mengikuti keanggotaan partai, dan bagi partai
yang ingin mengusungkan anggotanya menjadi calon legislatif dapat
mendaftarkan kader-kader tersebut ke badan penyeleksian independensi,
guna untuk menyeleksi kader-kader unggul dari setiap partai yang nantinya
telah siap berkompetisi dalam pemilihan umum.
66
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Asshidiqie, Jimly. (2009) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajawaliPers.
Budiharjo, Mariam. (1992) Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia PustakaUtama.
(1996) Demokrasi di Indonesia, Demokasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: Gramedia.
Fahmi, Khairul. (2011) Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.
Firdaus.(2015) Desain Stabilitas Demokrasi & Sistem Kepartaian. Bandung:Yrama Widya, 2015.
Gaffar, Afan. (2006) Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.VI
H.I, A. Rahman. (2007) Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Graha Ilmu.
Kansil, CST dan Christian ST Kansil, (2000) Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kartono, Kartini. (1989) Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang Dewasa. Bandung: CV Mandar Maju
Kusnadi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. (1988) Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti Fakultas Hukum UI
Lubis, Mochtar. (2005) Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Maksudi, Beddy Irawan. (2012) Sistem Politik Indonsia Pemahaman Secara Teoretikdan Empirik. Jakarta: Rajawali Press.
Marijan, Kacung. (2012) Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi DemokrasiPasca Orde Baru. Jakarta: Kencana.
Marzuki, Peter Mahmud. (2005) Penelitian Hukum. Ed. Jakarta: Kencana Prenada Media.S
67
Masdar, Umaruddin. (1999) Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik. Yogyakarta: LkiS dan The Asia Fundation.
Merelman, Richard M. (1981) dalam Meurice Duverger, Partai-Partai Politi dan Kelompok-Kelompok Kepentingan (Terj. Laila Hasyim). Jakarta: BinaAksara.
Muhammad, Abdulkadir. (2004) Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Pamudji, S. (1985) Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional suatu analisis dibidang politik dan pemerintahan. Jakarta: PT Bina Aksara Anggota IKAPI
Pamungkas, Sigit. (2009) Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM dan Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM.
Prihatmoko, Joko J. (2003) Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi. Semarang:LP2I
Rabi’ah, Rumidan. (2009) Lebih Dekat Dengan Pemilu di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Scumpeter, Joseph. (1947) Capitalism Socialism and Democracy, New York: Jarper
Seokanto, Soerjono. (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universita Indonesia (UI) Press.
Surbakti, Ramlan. (1992) Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo.
Tricahyo, Ibnu. (2009) Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasionaldan Lokal, Malang: In Trans Publishing.
Weiner, Myron dan Joseph Lapatombara. (1981) Pengaruh Partai dalam Perkembangan Politik. dalam Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.
B. Jurnal
Aminah. (2012) Analisis Penerapan Sistem Proposional Dan SistemDistrik Dalam Pemilihan Umum Untuk Penyedederhanaan Sistem Kepartaian Di Indonesia Ditinjau Dari Asas Negara Hukum. Jurnal Hukum Universitas Sebelas Maret: Yustisia, Vol.1, No.2, Mei-Agustus.
Halim, Abdul. (2014) Dampak Sistem Proporsional Terbuka Terhadap Perilaku Politik (Studi Kasus Masyarakat Sumenep Madura Dalam Pemilihan Legislatif 2014). Jurnal: Humanity, Vol.9, No.2, Maret.
68
Pratiwi, Dian Ayu. (2018) Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka DiIndonesia: Melahirkan Korupsi Politik. Jurnal: Trias Politika, Vol.2, No.1, April.
Ramadani, Muhammad Doni dan Fahmi Arisandi. (2014) Pengaruh Penggunaan Sistem Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Proposional Daftar Terbuka. Jurnal: Rechts Vinding, Vol. 3 No.1, April.
Riwanto, Agus. (2015) Korelasi Pengaturan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Berbasis Suara Terbanyak Dengan Korupsi Politik DiIndonesia. Jurnal Fakultas Hukum Sebelas Maret: Yustisia, Vol. 4 No. 1.
Riyadh, Ahmad dan Hendra Sukmana. (2015) Model Rekrutmen Politik Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik di Kabupaten Siduarjo. Jurnal FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo: JKMP, Vol. 3 No. 2,September.
Wati, Evi Purnama. (2015) Pemilu Sebagai Wujud Kedaulatan Rakyat. Jurnal Hukum: Vol.8, No.2, Mei.
C. Skripsi
Gunawan, Ulfa. (2016) Dampak Penggunaan Sistem Pemilu Proposional Daftar Terbuka Terhadap Perilaku Pemilih Pada Pileg 2014 Di Kabupaten Bantul. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Nugrahenie, Rerie Dwi. (2017) Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Proporsional Terbuka Terhadap Derajat Keterwakilan Rakyat Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
D. Website
www.bpkp.go.id,
https://guruppkn.com/contoh-peranan-partai-politik
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah
https://ngada.org/uu7-2017bt.htm
69
https://www.boyyendratamin.com/2018/02/syarat-calon-anggota-dpr-dan-
dprdpada.html
http://www.pemilu.com/caleg
https://www.beritasatu.com/nasional/495316/bikin-terobosan-pdip-seleksi-caleg-secara-
daring
https://www.beritasatu.com/nasional/381589/proses-perekrutan-bakal-caleg-demokrat-
dimulai-akhir-2016
https://nasional.kompas.com/read/2017/03/14/18180051/mutu.lembaga.legislatif?page=al