Upload
others
View
29
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH STRATEGI COPING DAN RESILIENSI
TERHADAP POSTTRAUMATIC GROWTH PADA
RECOVERING ADDICT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh :
Nadiah Oktivanie
NIM: 1111070000046
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015/2016
v
MOTTO
Take time to THINK. It is the source of power.
Take time to READ. It is the foundation of wisdom.
Take time to QUIET. It is the opportunity to seek God.
Take time to DREAM. It is the future made of.
Take time to PRAY. It is the greatest power on earth.
-Author Unknown-
Persembahan :
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua
dan kedua adik saya. Ayah, Mama (alm), Nia, Ade
yang saya sayangi dan cintai.
vi
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Maret 2016
C) Nadiah Oktivanie
D) Pengaruh Strategi Coping dan Resiliensi terhadap Posttraumatic Growth
pada Recovering Addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido
E) xv + 91 halaman + lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel strategi
coping (problem focused coping dan emotion focused coping), resiliensi
(emotion regulation, impulse control, optimism, causal analysis, empathy,
self efficacy, reaching out) terhadap posttraumatic growth. Sampel
berjumlah 201 individu Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN Lido yang
diambil dengan teknik non- probability sampling. Penulis memodifikasi
alat ukur yang terdiri dari Post Traumatic Growth Inventory (PTGI), Ways
of Coping Questionnaire dan Resilience Quetiont (RQ). Uji Validitas alat
ukur menggunakan teknik confirmatory factor analysis (CFA). Analisis
data menggunakan teknik analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan
strategi coping dan resiliensi terhadap posttraumatic growth di Balai Besar
Rehabilitasi BNN Lido. Hasil uji hipotesis minor yang menguji pengaruh
terhadap posttraumatic growth, hanya dua dimensi dari resiliensi yang
berpengaruh terhadap posttraumatic growth, yaitu impulse control dan self
efficacy sedangkan problem focused coping, emotion focused coping,
emotion regulation, optimism, empathy, causal analysis, reaching out
tidak berpengaruh terhadap posttraumatic growth di Balai Besar
Rehabilitasi BNN Lido.
Keyword: Posttraumatic Growth, Recovering Addict
G) Bahan Bacaan : 2 Buku + 15 jurnal + 5 tesis + 3 web internet + 2 Skripsi.
vii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology
B) March 2016
C) Nadiah Oktivanie
D) Effect of Coping Strategies and resilience against Posttraumatic Growth
in the Center for Drug Rehabilitation BNN Lido
E) xv + 91 pages + appendix
F) This study aims to determine the effect of variable coping strategies
(problem focused coping and emotion focused coping), resilience
(emotion regulation, impulse control, optimism, causal analysis, empathy,
self-efficacy, reaching out) to posttraumatic growth in drug-individut.
Sample of 201 individut Rehabilitation Center for Drug BNN Lido taken
with non-probability sampling techniques. Author modify the measuring
instrument that consists of Post Traumatic Growth Inventory (PTGI),
Ways of Coping Questionnaire and Resilience Quetiont (RQ). Validity of
measuring instruments using techniques confirmatory factor analysis
(CFA). Analysis of data using multiple regression analysis techniques.
The results showed that there was a significant effect of coping strategies
and resilience against posttraumatic growth in drug-individut. The test
results minor hypothesis that examine the effect on posttraumatic growth,
only two dimensions of resilience effect on posttraumatic growth Individut
drugs, namely impulse control and self efficacy while the problem focused
coping, emotion focused coping, emotion regulation, optimism, empathy,
causal analysis, reaching out does not affect the individut drug
posttraumatic growth.
Keyword: Posttraumatic Growth, Recovering Addict
G) References: 2 book + 15 journal + 5 Thesis + 3 web internet.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmannirrahim
Syukur alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat segala rahmat dan berkah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Strategi Coping dan Resiliensi terhadap Posttraumatic
Growth pada Recovering Addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido”.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW
dan seluruh umat islam sampai akhir zaman.
Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak luput dari berbagai bantuan pihak
luar. Oleh karena itu izinkanlah peneliti mengucapkan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya yang Insya Allah tiada henti
berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin
baik dan berkualitas.
2. Dr. Rena Latifa, Psikolog (Dosen Pembimbing) yang telah memberikan
arahan, bimbingan serta memberikan solusi ketika mengalami kesulitan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapatkan
banyak masukan dari beliau, serta terimakasih banyak atas wawasan yang
telah diberikan. Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela
kesibukan ibu untuk berdiskusi dan memberikan masukan yang sangat
berarti.
3. Nia Tresniasari, M.Si, sebagai Pembimbing Akademik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan
keikhlasan.
5. Kedua orang tua saya, ayah dan mama (almarhumah), yang selalu sabar,
percaya, mendukung dan membantu dalam menyelesaikan penelitian ini
baik dari segi moril, emosional, spiritual maupun finansial. Kedua adikku,
Dwi Rahmania Noviani dan Arief Farhan Amrullah yang telah membantu
dan mendukung baik secara emosional, spiritual, maupun tenaga dalam
pengolahan data.
6. Para responden saya, para individu di primary, HOPE, HOC, Female Unit
dan Mayor dari masing-masing rumah BNN Lido.
ix
7. Mba Agrippina Decila Putri, S.Ikom, yang telah membantu saya selama di
BNN Lido dalam proses penyebaran data di lapangan.
8. Teman-teman saya di Fakultas Psikologi (angkatan 2011) pada umumnya
dan kelas B khususnya yang telah menjadi teman dalam berjuang, belajar,
bersenda gurau. Moriananda Putri Gutrina dan Siti Khoiriyah Naibaho atas
bantuan serta dukungan moril, pikiran dan tenaga dalam penyusunan
penelitian. Sahabat-sahabat seperjuangan Mutiara, Eva, Icha yang selalu
menjadi teman seperjuangan dalam berkeluh kesah, yang selalu saling
memotivasi agar tidak putus asa dan kehilangan semangat selama skripsi
ini dikerjakan. Semoga silaturahim kita semua tidak akan berhenti sampai
disini.
9. Staff bagian Akademik, Umum, dan Keuangan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga segala dukungan dan bantuan semuanya mendapatkan berkah dari
Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, selain itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah
diharapkan sebagai bahan penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, Maret 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1-11
1.1 Latar belakang masalah ........................................................................... 1
1.2 Pembatasan masalah ............................................................................... 8
1.3 Perumusan masalah ................................................................................. 9
1.4 Tujuan dan manfaat penelitian .............................................................. 11
1.4.1 Tujuan penelitian .......................................................................... 11
1.4.2 Manfaat penelitian ........................................................................ 11
BAB 2 LANDASAN TEORI ......................................................................... 12-40
2.1 Posttraumatic Growth ........................................................................... 12
2.1.1 Definisi posttraumatic growth ...................................................... 12
2.1.2 Aspek posttraumatic growth ........................................................ 22
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth............ 24
2.1.4 Pengukuran posttraumatic growth................................................ 25
2.2 Strategi Coping ...................................................................................... 26
2.2.1 Definisi Strategi Coping ............................................................... 26
2.2.2 Klasifikasi dan bentuk coping ...................................................... 28
2.2.3 Pengukuran strategi coping........................................................ .. 30
2.3 Resiliensi ............................................................................................... 31
2.3.1 Definisi resiliensi .......................................................................... 31
2.3.2 Aspek-aspek resiliensi .................................................................. 33
2.3.3 Pengukuran resiliensi .................................................................... 36
2.4 Kerangka Berfikir .................................................................................. 36
2.5.1 Pengaruh strategi coping terhadap posttraumatic growth ............ 36
2.5.2 Pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth ..................... 37
2.5.3 Pengaruh strategi coping dan resiliensi terhadap posttraumatic
growth .......................................................................................... 37
2.5 Hipotesis penelitian ............................................................................... 39
2.6.1 Hipotesis mayor.................................................. .......................... 39
2.6.2 Hipotesis minor ............................................................................ 39
xi
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................. 41-66
3.1 Populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel ............................... 41
3.2 Variabel Penelitian ................................................................................ 41
3.3 Pengumpulan Data ................................................................................. 43
3.3.1 Teknik pengumpulan data ............................................................ 43
3.3.2 Instrumen pengumpulan data........................................................ 44
3.4 Uji validitas konstruk............................................................................. 47
3.4.1 Uji validitas konstruk posttraumatic growth ................................ 49
3.4.2 Uji validitas konstruk problem focused coping ............................ 51
3.4.3 Uji validitas konstruk emotion focused coping ............................ 52
3.4.4 Uji validitas konstruk emotion regulation .................................... 54
3.4.5 Uji validitas konstruk impulse control ......................................... 55
3.4.6 Uji validitas konstruk optimism .................................................... 56
3.4.7 Uji validitas konstruk causal analysis .......................................... 58
3.4.8 Uji validitas konstruk empathy ..................................................... 59
3.4.9 Uji validitas konstruk self efficcacy .............................................. 60
3.4.10 Uji validitas konstruk reaching out ............................................ 61
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................................. 62
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................ 64
BAB 4 HASIL PENELITIAN ....................................................................... 67-88
4.1 Gambaran Subjek Penelitian................................................................... 67
4.2 Hasil Analisis Deskriptif ........................................................................ 69
4.3 Kategorisasi Hasil Penelitian .................................................................. 71
4.3.1 kategorisasi skor variabel posttraumatic growth .......................... 71
4.3.2 kategorisasi skor variabel problem focused coping ...................... 72
4.3.3 kategorisasi skor variabel emotion focused coping ...................... 73
4.3.4 kategorisasi skor variabel emotion regulation .............................. 74
4.3.5 kategorisasi skor variabel impulse control ................................... 75
4.3.6 kategorisasi skor variabel optimism .............................................. 76
4.3.7 kategorisasi skor variabel causal analysis .................................... 77
4.3.8 kategorisasi skor variabel empathy ............................................... 78
4.3.9 kategorisasi skor variabel self efficacy ......................................... 79
4.3.10 kategorisasi skor variabel reaching out ...................................... 80
4.4 Uji Hipotesis ........................................................................................... 81
4.4.1 Pengujian hipotesis mayor ............................................................ 81
4.4.2 Hasil uji proporsi varians masing-masing variabel ...................... 85
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI dan SARAN .......................................... 89-95
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 89
5.2 Diskusi .................................................................................................... 89
5.3 Saran ....................................................................................................... 94
5.3.1 Saran teoritis ................................................................................. 94
5.3.2 Saran Praktis ................................................................................. 94
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 96-98
xii
LAMPIRAN .................................................................................................. 99-116
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Skala Posttraumatic Growth ......................................................... 46
Tabel 3.2 Blue Print Skala Strategi Coping .................................................................... 47
Tabel 3.3 Blue Print Skala Resiliensi ............................................................................. 48
Tabel 3.4 Muatan Faktor Item Posttraumatic Growth .................................................... 51
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Problem Focused Coping............................................... 53
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Emotion Focused Coping ............................................... 55
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Emotion Regulation........................................................ 56
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Impulse Control ............................................................. 57
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Optimism ........................................................................ 59
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Causal Analysis .............................................................. 60
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Empathy ......................................................................... 61
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Self Efficacy ................................................................... 62
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Reaching Out ................................................................. 63
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia .............................................................. 67
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Unit Rehabilitasi ........................................... 68
Tabel 4.3 Deskriptif Statistik Variabel Penelitian........................................................... 70
Tabel 4.4 Norma Skor ..................................................................................................... 70
Tabel 4.5 Kategorisasi skor variabel posttraumatic growth ........................................... 71
Tabel 4.6 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat posttraumatic growth ..................... 71
Tabel 4.7 Kategorisasi skor variabel problem focused coping ....................................... 72
Tabel 4.8 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat problem focused coping ................. 72
Tabel 4.9 Kategorisasi skor variabel emotion focused coping ........................................ 73
Tabel 4.10 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat emotion focused coping .................. 73
Tabel 4.11 Kategorisasi skor variabel emotion regulation ............................................... 74
Tabel 4.12 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat emotion regulation ......................... 74
Tabel 4.13 Kategorisasi skor variabel impulse control ..................................................... 75
Tabel 4.14 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat impulse control ............................... 75
Tabel 4.15 Kategorisasi skor variabel optimism ............................................................... 76
Tabel 4.16 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat optimism ......................................... 76
Tabel 4.17 Kategorisasi skor variabel causal analysis ..................................................... 77
Tabel 4.18 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat causal analysis ............................... 77
Tabel 4.19 kategorisasi skor variabel empathy ................................................................. 78
Tabel 4.20 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat empathy .......................................... 78
Tabel 4.21 Kategorisasi skor self efficacy ......................................................................... 78
Tabel 4.22 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat self efficacy ..................................... 79
Tabel 4.23 Kategorisasi skor reaching out ....................................................................... 79
Tabel 4.24 Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat reaching out.................................... 80
Tabel 4.16 Tabel R Square ................................................................................................ 81
Tabel 4.17 Tabel Anova .................................................................................................... 82
Tabel 4.18 Koefisien Regresi ............................................................................................ 83
Tabel 4.19 Tabel Analisis Proporsi Varians ..................................................................... 86
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.5 Kerangka Berfikir.......................................................................................... 39
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Kuesioner………………………………………………………………………………...98
Path Diagram……………………………………………………………………………104
Surat ijin penelitian dari kampus……………………………………………………….114
Surat penelitian dari Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido………………………………115
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerja sama
dengan Puslitkes UI tahun 2011 diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna
Narkoba telah mencapai sebesar 2,2% dari total populasi penduduk (berusia 10 -
60 tahun) atau sekitar 3,8 s/d 4,3 juta orang. Jumlah residen di Balai Rehabilitasi
Narkoba BNN tahun 2011 adalah 1.012 untuk individu laki-laki dan 76 untuk
individu perempuan dimana penyalahgunaan narkoba bisa membuat seseorang
kecanduan dan menjadi pengalaman traumatis pada diri pecandu (BNN, 2012).
Peran BNN dalam upaya penanggulangan permasalahan di atas, tidak hanya
menekankan pada pencegahan penyalahgunaan narkoba di masyarakat. Hal yang
juga penting adalah pemulihan bagi para pecandu untuk mempertahankan keadaan
bebas bersih dari narkoba atau keadaan bebas zatnya (abstinensia), sehingga
mereka dapat melanjutkan hidupnya. Program rehabilitasi di BNN dimulai dari
fase detoksifikasi, yaitu ditujukan untuk membantu residen menghilangkan racun-
racun dalam tubuhnya akibat dari pemakaian zat adiktif. Umumnya pada fase ini,
residen menetap selama ± dua minggu dalam ruangan khusus dan terisolasi.
Selanjutnya, adalah fase Entry Unit yang merupakan tahap lanjutan dari fase
detoksifikasi, dimana pada fase ini merupakan fase ”istirahat” bagi residen untuk
mempersiapkan fisik dan mentalnya guna mengikuti program selanjutnya. Pada
umumnya fase Entry Unit berlangsung selama ± 2 minggu, tergantung kemajuan
residen dalam proses rehabilitasi. Selanjutnya adalah Primary Program yaitu
2
tahap awal (Primary Stage) program rehabilitasi melalui pendekatan Therapeutic
Community (TC) dimana dilakukan stabilitasi fisik, emosi dan menumbuhkan
motivasi residen untuk melanjutkan tahap terapi selanjutnya, primary unit dibagi
menjadi tiga rumah, yaitu house of hope, house of change, dan green house, pada
umumnya fase tersebut sama, hanya berbeda latar belakang individu, dan yang
terakhir adalah Re-entry Stage yaitu tahapan program rehabilitasi melalui
pendekatan therapeutic community setelah residen mengikuti tahapan program
primer, dimana dilakukan upaya pemantapan kondisi psikologis dalam dirinya,
mendayagunakan nalarnya dan mampu mengembangkan keterampilan sosial
dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap rumah memiliki OJT (On Job Training)
yaitu individu yang sedang menjalani program rehabilitasi dengan tujuan untuk
mempertahankan recovery serta lebih mempersiapkan diri sebelum kembali ke
lingkungan diluar rehabilitasi (Pertiwi, 2011).
Kecanduan bisa menjadi pengalaman traumatis, meskipun biasanya berupa
penyakit yang bersifat kronis atau akut (Hewitt 2002). Trauma ini dapat langsung
berhubungan dengan pengalaman kecanduan dan yang tidak bisa dikendalikan,
atau tidak langsung terkait dengan masalah penggunaan zat, misalnya peningkatan
risiko kekerasan, masalah kesehatan mental, dan pengalaman stres terkait lainnya
(dalam Hewitt, 2007).
Bagi banyak orang, penyalahgunaan zat sangat terkait dengan trauma masa lalu
atau yang sedang berlangsung. Ini mungkin sebagai respon terhadap trauma lain,
misalnya abuse masa kanak-kanak, atau mengatasi trauma baru atau yang sedang
berlangsung, misalnya pelecehan seksual atau kekerasan. Secara umum, penelitian
3
secara konsisten menunjukkan bahwa pecandu narkoba memiliki lebih dari dua
kali tingkat paparan peristiwa traumatis seumur hidup daripada populasi umum
(Christo & Morris 2004), dengan kemungkinan untuk berpotensi didiagnosis
dengan Post Traumatic Stress Disorder (Schumm et al 2004), bahkan lebih
banyak terjadi pada perempuan (Najavits et al 1998). Hewitt menganggap
kecanduan bisa dilihat sebagai trauma, dan efek negatif dan positif dapat
disebabkan dari pengalaman (dalam Hewitt, 2007).
Trauma sering dikaitkan dengan hasil negatif yaitu (gangguan stres pasca
trauma atau post traumatic stress disorder, PTSD), tetapi juga dapat disertai
dengan aspek positif, yaitu posttraumatic growth (PTG). Posttraumatic growth
telah dimasukkan sebagai konstruksi di cabang psikologi positif (dalam Mahleda
& Hartini, 2012). Posttraumatic growth (PTG) telah didirikan di sejumlah studi.
Penelitian khusus melihat PTG dalam memulihkan penyalahgunaan zat.
Pertama adalah McMillen (dalam Hewitt 2002) studi kualitatif positif tentang
perjuangan dengan ketergantungan obat dilakukan di negara Amerika Serikat (n =
65) sampel masih dalam rehabilitasi. Karena sampel yang digunakan adalah
orang-orang yang masih dalam pemulihan sangat awal, sehingga hasilnya tidak
jelas berapa banyak manfaat yang dilaporkan sebagai reaksi terhadap keadaan
sebelum kecanduan atau manfaat langsung yang berasal dari proses pengobatan
itu sendiri.
Kedua adalah sebuah studi (Hewitt 2007) efek PTSD dan PTG (dinilai
menggunakan IES dan SRGS15) dalam sampel (n = 65) pemulihan
penyalahgunaan alkohol di Inggris. Dalam penelitian ini rentang waktu pemulihan
4
lebih dari tiga tahun, sehingga efek reaksi kurang mungkin untuk menjelaskan
efek PTG.
Salah satu penelitian terkait lainnya adalah Bill Miller dan Janet C 'de Baca
(2001) studi Quantum Change, yaitu transformasi dan lompatan pertumbuhan
pribadi. Beberapa dari mereka setelah mengalami trauma atau krisis, dan beberapa
sampel orang-orang yang punya masalah kecanduan. Temuan serupa dengan
literatur PTG, meskipun catatan utama tentang studi ini adalah bahwa
pertumbuhan diidentifikasi sering berhubungan dengan trauma.
Penelitian sebelumnya menyebutkan pengaruh yang signifikan antara harapan
(hope) terhadap PTG sebesar 37,3%. Pada variabel selanjutnya yaitu coping
religius tidak memberikan pengaruh ataupun sumbangan yang signifikan pada
PTG. Pada variabel social support terdapat pengaruh yang signifikan sebesar
4,7%. Skor PTG yang terdapat pada recovering addict berada pada tingkat yang
rendah (Shafira, 2011).
Terdapat beberapa hal yang bisa menimbulkan PTG pada seseorang, salah
satunya adalah strategi coping. Coping adalah jantung dari PTG, pertumbuhan
muncul dari perjuangan dengan coping, bukan dari trauma itu sendiri (Tedeschi &
Calhoun 2004). Bellizzi (2006) membahas dukungan untuk coping sebagai terlibat
dalam PTG, menyimpulkan dari studi rinci lebih dari 200 wanita dengan kanker
payudara, yang menggunakan coping menyumbang 12% sampai 21% dari varians
dalam pertumbuhan psikologis.
Coping pada dasarnya adalah tentang bagaimana orang menghadapi stres.
Sementara strategi coping dapat dipelajari dan ditingkatkan, mereka juga langsung
5
berhubungan dengan sejumlah variabel kepribadian. Coping bisa fokus pada
masalah, ditujukan langsung mengubah stres dalam beberapa cara, atau fokus
pada emosi dengan mengubah cara orang merasa tentang kata stres. Strategi
coping juga kira-kira terbagi menjadi mereka yang menghindari masalah, dan
mereka yang lebih adaptif dan berusaha untuk mengatasi masalah.
Bukti dalam tinjauan utama adalah bahwa problem focused coping, penerimaan
aktif, dan penilaian yang positif semua positif berhubungan dengan PTG (Linley
& Joseph 2004). Seperti penelitian sebelumnya telah menunjukkan, orang perlu
strategi coping yang berbeda dalam peristiwa traumatis yang dialami. Sebuah
studi di antara pasien kanker menemukan bahwa selama diagnosis dan pengobatan
fase, pasien kanker menggunakan problem focused coping dalam mengatasi stress
nya (Jim, Richardson, Emas-Kreutz, Andersen, 2006; Stanton, Danoff-Burg, &
Huggins, 2002).
Dua gaya coping yang telah kita bahas cocok untuk situasi yang berbeda.
Ketika individu memiliki kemampuan untuk mengendalikan situasi, problem
focused coping dan emotion focused coping harus memadai. Namun, ketika
individu menghadapi situasi tak terkendali, menerima atau kembali mengevaluasi
situasi bisa menjadi lebih efektif (Carver, Scheier, & Weintraub, 1989; Updegraff
& Taylor, 2000). Konsep ini menantang teori tradisional, emotion focused coping
selalu efektif dalam menghadapi stres tak terkendali. Problem focused coping dan
emotion focused coping secara langsung dan tidak langsung menurunkan hasil
negatif.
6
Hal yang menimbulkan PTG lainnya adalah resiliensi. Resiliensi memainkan
peran penting dalam pengembangan PTG (Lepore dan Revenson, 2006).
Resiliensi merupakan proses dinamis yang mencakup adaptasi yang efisien dalam
keadaan tidak menyenangkan (Bonanno, 2004). Sebagai proses transformatif,
resiliensi ditandai oleh tiga dimensi yang berbeda tapi saling berhubungan:
pemulihan, perlawanan dan konfigurasi ulang (Lepore & Revenson, 2006).
Bensimon menunjukkan bahwa resiliensi berhubungan positif dengan PTG.
Clay, Knibbs, dan Yusuf mendefinisikan resiliensi sebagai "kemampuan untuk
terus berfungsi secara normal terlepas dari kesulitan". Harvey meneliti resiliensi
antara orang dewasa dan menjelaskan perbedaan antara resiliensi dan pemulihan
dari peristiwa traumatik. Pemulihan terjadi ketika seorang individu, yang mulanya
merasa tertekan melalui peristiwa traumatis, kinerja dapat kembali ke / tingkat
pra-trauma nya setelah peristiwa. Pemulihan juga terjadi ketika seorang individu
terpengaruh oleh trauma dan dapat menggunakan sumber nya untuk menghadapi
peristiwa traumatik (dalam Schexnaildre, 2011).
Secara teoritis, resiliensi dalam individu memberikan kontribusi untuk
perubahan positif setelah peristiwa traumatis. Untuk individu yang telah terkena
peristiwa traumatis, perubahan positif karena resiliensi yang memadai sebagian
besar terjadi di area hubungan interpersonal, persepsi diri, nilai-nilai spiritual, dan
perspektif terhadap hidup. Resiliensi memiliki peran penting dalam adaptasi dan
transformasi, yang dapat diterjemahkan sebagai PTG dalam konteks penelitian ini.
Resiliensi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu yang
memiliki atribut psikologis dan bawaan emosional positif seperti harga diri,
7
kemampuan pemecahan masalah, dan self-regulation (Cloitre, Martin, & Linares,
2005). PTG adalah hasil dari keberhasilan penggunaan keterampilan khusus
kemampuan coping terhadap tekanan dari trauma (Underleider, 2003). Perbedaan-
perbedaan ini secara signifikan mempengaruhi bagaimana kita membantu individu
yang mengalami trauma mengatasi trauma mereka sekaligus memperkuat
kemampuan mereka untuk bangkit kembali ketika menghadapi masa trauma.
Penelitian ini berfokus pada hal positif dari recovering addict dan seberapa
pentingnya para recovering addict untuk survive sebagai orang yang berusaha
lepas dari narkoba. Tujuannya adalah untuk mengubah cara pandang masyarakat
terhadap recovering addict yaitu “satu hal yang menyebabkan permasalahan
narkoba belum dapat diselesaikan karena pandangan masyarakat dan penegak
hukum terhadap pengguna narkoba yang dianggap sebagai pelaku kejahatan dan
sampah masyarakat” (Lampost.co, 2014). Sedangkan prinsip yang mendasari
konsep rehabilitasi di BNN adalah bahwa setiap orang itu pada prinsipnya dapat
berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah perilaku yang positif (dalam Pertiwi,
2011). Psikologi positif juga memandang manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. Hal ini digambarkan sebagai
perjuangan dengan realitas baru pasca trauma (Tedeschi & Calhoun, 2006).
Berdasarkan fakta-fakta dan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk
meneliti mengenai posttraumatic growth karena masih sedikitnya penelitian ini di
Indonesia terutama pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba
BNN Lido. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan
penelitian mengenai “Pengaruh Strategi Coping dan Resiliensi terhadap
8
Posttraumatic Growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido”.
1.2 Pembatasan masalah
Masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah pengaruh strategi coping
dan resiliensi terhadap posttraumatic growth pada recovering addict di Balai
Besar Rehabilitasi Narkoba BNN Lido. Untuk menghindari ketidakjelasan dan
melebarnya penelitian, maka penulis perlu memberikan penjelasan tentang
batasan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Posttraumatic Growth adalah pengalaman subjektif dari perubahan psikologis
yang positif yang dilaporkan oleh seorang pecandu sebagai hasil dari
perjuangan dengan trauma (Caalhoun & Tedeschi, 1996). Posttraumatic
Growth dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
berubah ke arah yang positif sebagai hasil perjuangan dalam proses menjalani
masa rehabilitasi.
2. Strategi Coping adalah strategi yang digunakan untuk mengatasi stres yang
sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi (Lazarus & Folkman, 2006).
Strategi Coping dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi coping individu
saat menghadapi situasi sulit, menghadapi program rehabilitasi yang penuh
tekanan dan beradaptasi dalam kondisi dan situasi yang sulit untuk dapat
melanjutkan hidupnya.
3. Resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi,
mempelajari kesulitan dalam hidup dan bahkan ditranformasikan dalam
kehidupan tersebut (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi dalam penelitian ini
9
adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan pada situasi
sulit, menghadapi program rehabilitasi yang penuh tekanan, yang menuntut
kualitas yang ada pada diri mereka untuk tetap pulih dan bertahan agar tidak
kambuh (relapse) serta mampu belajar dan beradaptasi dalam kondisi dan
situasi tersebut, agar dapat melanjutkan hidupnya.
4. Subjek dalam penelitian ini adalah recovering addict. Recovering addict adalah
individu yang sedang menjalani rehabilitasi yang berada di Balai Besar
Rehabilitasi Narkoba BNN Lido, Sukabumi yang berada pada fase primary,
HOPE, HOC serta OJT (On Job Training).
1.3 Perumusan masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan, yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan strategi coping dan resiliensi
terhadap posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar
Rehabilitasi Narkoba BNN Lido?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan problem focused coping terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan emotion focused coping terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
10
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan emotion regulation terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan impulse control terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan optimism terhadap posttraumatic
growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN
Lido?
7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan causal analysis terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan empathy terhadap posttraumatic
growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN
Lido?
9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan self efficacy terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
10. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan reaching out terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido?
11
1.4 Tujuan dan manfaat
1.4.1 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh strategi coping dan resiliensi
terhadap posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
BNN Lido serta hal apa saja yang mempengaruhi posttraumatic growth, dan
mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh terhadap posttraumatic
growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN Lido.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terbagi dalam dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Adapaun manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya, khususnya dalam hal posttraumatic growth pada
recovering addict yang pengaruhnya dilihat dari strategi coping dan resiliensi.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan mengenai strategi coping dan resiliensi
untuk melihat pengaruhnya terhadap posttraumatic growth pada recovering
addict. Sehingga recovering addict dapat terjadi posttraumatic growth dalam
dirinya.
12
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Posttraumatic Growth
2.1.1 Definisi Posttraumatic Growth
Posttraumatic Growth menurut Tedeschi dan Calhoun (2004) adalah suatu
perubahan positif seorang menuju level yang lebih tinggi setelah mengalami
peristiwa traumatis. Posttraumatic growth bukan hanya kembali ke sediakala,
tetapi juga mengalami peningkatan psikologi yang bagi sebagian orang adalah
sangat mendalam. Peningkatan tersebut terlihat dari tiga dimensi yang
berkembang, yaitu persepsi diri, hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.
Posttraumatic Growth merupakan pengalaman berupa perubahan positif yang
terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan
krisiskehidupan yang tinggi (Tedeschi & Calhoun, 2004). PTG memiliki dua
pengertian penting. Pertama, Tedeschi dan Calhoun (1996) menyatakan bahwa
PTG dapat terjadi saat seseorang mengalami kejadian yang sangat tidak
diinginkan atau tidak menyenangkan. Tingkat stress yang rendah dan proses
perkembangan yang normal tidak berhubungan dengan timbulnya PTG. Kedua,
perubahan positif hanya akan terjadi setelah seseorang melakukan perjuangan.
Perjuangan ini merujuk pada penerimaan masa lalu dan masa depannya dalam
kehidupan yang terjadi segera setelah mengalami trauma yang berat.
Istilah PTG lebih menangkap inti dari suatu fenomena yang terjadi
dibandingkan istilah lain, karena: (1) PTG terjadi secara khusus pada beberapa
kejadian stressful dibandingkan pada kejadian dengan level stress yang rendah,
13
(2) PTG disertai dengan transformasi perubahan kehidupan, (3) PTG merupakan
hasil dari pengalaman traumatik bukan suatu bentuk mekanisme coping dalam
menghadapi pengalaman traumatik, dan (4) PTG merupakan perkembangan atau
kemajuan dari kehidupan seseorang.
PTG digambarkan sebagai pengalaman individu yang berkembang setelah
mengalami kejadian traumatik, setidaknya pada beberapa area. Individu tersebut
tidak hanya survive tetapi juga juga memiliki perubahan dari keadaan sebelumnya
yang menurutnya adalah kejadian traumatik. PTG tidak hanya kembali pada
keadaan semula (normal), tetapi juga merupakan sebuah perbaikan kehidupan
yang pada beberapa orang terjadi dengan sangat luar biasa.
PTG bukan merupakan hasil langsung yang terjadi setelah pengalaman
traumatik. PTG merupakan perjuangan individu dalam menghadapi realita baru
setelah mengalami kejadian traumatik. Tedeschi dan Calhoun (1998)
menggunakan istilah gempa bumi untuk menjelaskan PTG. Kejadian psikologis
yang “mengguncang” dapat membuat seseorang menganggap bahwa kejadian
tersebut merupakan suatu tantangan yang berat, melakukan penyangkalan, atau
mungkin kehilangan kemampuan untuk memahami apa yang terjadi, penyebab
dan alasan kejadian tersebut terjadi, dan dugaan abstrak seperti apa tujuan dari
kehidupan manusia.
Setelah mengalami kejadian yang “mengguncang” seseorang akan
membangun kembali proses kognitifnya. Hal ini dapat diibaratkan dengan
membangun kembali bangunan fisik yang telah hancur setelah terjadi gempa
bumi. Struktur fisik dirancang agar seseorang dapat lebih bertahan atau melawan
14
kejadian traumatik di masa depan, yang merupakan hasil pelajaran dari gempa
bumi sebelumnya mengenai apa yang dapat bertahan dari guncangan dan apa yang
tidak. Ini merupakan hasil dari sebuah kejadian yang dapat menimbulkan PTG.
Beberapa dari PTG telah dijelaskan dalam literatur, dan beberapa skala telah
dikembangkan untuk mengukur PTG sebagai konstruksi uni-dimensi atau
multidimensi. Salah satu skala yang lebih dikenal, Post Traumatic Growth
Inventory (PTGI), mengukur lima domain yang luas yang terdiri dari sejumlah
besar varians dalam PTG: penghargaan yang lebih besar dari kehidupan,
hubungan yang lebih dekat, identifikasi kemungkinan baru, meningkatkan
kekuatan pribadi, dan perubahan spiritual yang positif (Slyke, 2010).
Penghargaan yang lebih besar dari kehidupan setelah peristiwa traumatis
dapat diwakili oleh pergeseran prioritas dan mengambil kesenangan dalam aspek
kehidupan yang pernah diambil untuk diberikan. Korban trauma mungkin juga
mengalami peningkatan kasih sayang dan empati terhadap orang lain, yang
memungkinkan mereka untuk membangun hubungan yang lebih dalam dan lebih
bermakna (Slyke, 2010)
Identifikasi kemungkinan baru dan meningkatkan kekuatan pribadi juga dapat
dilihat pada korban trauma yang menampilkan tingkat tinggi PTG. Sebagai
contoh, seorang individu mungkin menampilkan tingkat yang lebih tinggi self-
efficacy atau keyakinan kuat dalam kemampuannya untuk mengatasi hambatan.
Individu yang sama mungkin mengalami perubahan dalam nilai-nilai pasca-
trauma dan menemukan bahwa ia mampu mengidentifikasi jalur yang lebih
memuaskan untuk masa depan (Slyke, 2010).
15
Akhirnya, korban trauma mungkin juga mengalami perubahan positif dalam
spiritualitas, memahami diri mereka sebagai lebih mampu menghubungkan
dengan orang yang lebih tinggi (Tuhan, alam semesta, alam, dll), terlepas dari
afiliasi agama (Slyke, 2010).
Peneliti menggunakan teori yang disampaikan oleh Tedeschi dan Calhoun
(2004) yaitu pengalaman subjektif dari perubahan psikologis yang positif yang
dilaporkan oleh seorang individu sebagai hasil dari perjuangan dengan trauma.
Konsep yang dijelaskan oleh Tedeschi dan Calhoun cukup luas dalam
pemahamannya. Penjelasan teorinya juga banyak didukung beberapa ahli.
Pada penelitian ini menggunakan posttraumatic growth terhadap recovering
addict menurut Mac Andrew (1998) menyatakan bahwa addiction atau adiksi
berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab
pengekangan atau pengendalian (dalam Hewitt, 2007). Selanjutnya masih dalam
Hewitt, APA (1994) memberikan pula definisi addiction sebagai perilaku berlebih
dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang
berbahaya. BNN (2009) menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-
psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-
gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik (lama) dan progresif
(makin memburuk jika tidak ditolong). Gejala utamanya antara lain:
1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif
terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain.
2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya.
3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya.
16
4. Menyangkal adanya masalah (dalam Shafira, 2011)
Sedangkan pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of
addiction adalah kondisi berhenti sepenuhnya (abstinensia) dari perubahan mood
yang diakibatkan oleh zat (termasuk rokok, kafein dan beberapa obat lainnya).
Selain itu Granfeld dan Cloud (1999) mendefinisikan recovery sebagai
penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang
merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti “bersih” dari
adiksi, “pantang” dari penggunaan obat-obatan, atau “pengampunan” dari tahapan
ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa
recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti
sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan
treatment tertentu (Wesson dkk, 1986) dalam Shafira, 2011.
Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk
mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya
menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk
relaps (kambuh). Pemulihan dimulai dengan berhenti memakai, gaya hidup juga
harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh,
jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan
memuaskan. Proses ini disebut “pemulihan seluruh pribadinya”. Hal yang harus
dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani,
okupasional (pekerjaan) dan pendidikan (BNN, 2009).
Pemulihan memiliki arti sebagai berikut:
1. Menghentikan sama sekali pemakaian narkoba (abstinensia),
17
2. Memisahkan diri dari orang lain, tempat dan benda yang dapat mendorong
pemakaian narkoba kembali,
3. Membangun jaringan sosial yang mendukung proses pemulihannya,
4. Memulihkan hubungan dengan sesamanya, terutama keluarga,
5. Mengubah perilaku adiktif dengan menyadari dan mengakui perasaan-perasaan
negatif yang dihayati dan pikiran-pikiran yang tidak rasional,
6. Belajar cara mengelola perasaan secara bertanggung jawab tanpa narkoba,
7. Belajar cara mengubah pola pikir adiktif yang menciptakan perasaan yang
menyakitkan dan perilaku merusak diri,
8. Mengenal dan mengubah keyakinan keliru dan salah tentang diri sendiri, orang
lain dan dunia sekitarnya (dalam Shafira, 2011).
Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan
dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada kondisi
“normal” seperti sebelum ia mengalami gangguan (Maddux & Desmond, 1986).
Jadi yang dimaksud dengan recovering addict adalah individu yang menjalani
proes pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA (abstinensia).
Untuk lebih memahami posttraumatic growth, peneliti menjelaskan proses
terjadinya posttraumatic growth dengan menggambarkan beberapa karakteristik
individu dan gaya seseorang dalam mengatur emosinya dapat meningkatkan
kemungkinan seseorang untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya, tingkat
self disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif
mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam
terjadinya PTG pada seseorang. Kemudian juga dapat digambarkan bagaimana
18
cognitive process dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran
berulang atau perenungan (ruminative thoughts) juga berhubungan dengan
munculnya PTG. Hal ini dapat diargumentasikan bahwa proses kognitif seseorang
dalam keadaan krisis memainkan peranan penting dalam proses PTG. Terakhir,
PTG dapat secara signifikan berhubungan dengan kebijaksanaan dan narasi
kehidupan individu (the individuals life narrative) (Tedeschi & Calhoun, 2004).
Karakteristik personal atau individu (personality characteristics). Tingkatan
trauma yang dialami oleh seorang tentunya akan sangat mempengaruhi
perkembangan PTG. Namun, karakteristik personal seseorang dalam menghadapi
trauma tersebut juga dapat mempengaruhi proses PTG. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Costa dan Mc Crae (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004)
keterbukaan seseorang terhadap pengalaman dan kepribadian ekstrovert
berhubungan dengan perkembangan PTG. Orang dengan karakteristik ini
mungkin lebih memperhatikan emosi positif pada dirinya meskipun dalam
keadaan yang sulit, yang kemudian dapat membantunya untuk memahami
informasi mengenai pengalaman yang ia alami dengan lebih efektif dan
menciptakan perubahan positif dalam dirinya (PTG). Selain itu karakteristik lain
seperti optimisme juga mempengaruhi perkembangan PTG seseorang. Orang yang
optimis dapat lebih mudah memperhatikan hal mana yang penting baginya dan
terlepas dari keadaan yang tidak terkontrol atau masalah yang tidak terselesaikan.
Ini merupakan hal yang penting bagi proses kognitif yang terjadi setelah
seseorang mengalami kejadian traumatik (Tedeschi & Calhoun, 2004).
19
Mengelola emosi berbahaya atau negatif (managing distressing emotions).
Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola
emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena
dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema
perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat
membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir
seseorang biasanyaa lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta
gambaran yang merusak. Selain hal itu juga akhirnya apabila proses ini efektif,
maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian
membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak
lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan (Tedeschi & Calhoun, 2004). Namun
proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa
ketidakpercayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang
bertahan hidup dari kejadian trraumatik. Stres yang dialami menjaga proses
kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah
dengan segera maka dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik
(Tedeschi & Calhoun, 2004).
Dukungan dan keterbukaan (support and disclosure). Dukungan dari orang
lain dapat membantu perkembangan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan
kepada orang yang mengalami trauma (trauma survivor) untuk menceritakan
perubahan yang terjadi dalamm hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif
yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma
dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu trauma survivor untuk
20
mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu
melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih
diterima oleh orang lain (Tedeschi & Calhoun, 2004).
Proses kognitif dan perkembangan (cognitive processing and growth).
Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah
seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan
PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi
ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping
yang digunakan, sedangkan orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan
menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan yang sama mencoba
membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya (Tedeschi & Calhoun,
2004).
Perenungan atau proses kognitif (rumination or cognitive processing). Asumsi
seseorang mengenai skema yang telah hancur harus direkonstruksi ulang agar
berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali
skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami
pengalaman traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang ia alami.
Menurut Martin dan Tesser (1996) (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004), bentuk
proses kognitif ini memiliki karakteristik antara lain making sense, problem
solving, reminiscence, dan anticipation. Perenungan (rumination) ini merupakan
suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari
tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi
secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa
21
kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat
dicapai dan beberapa asumsinya yang tidak dapat menerima realita baru pasca
kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk
formula tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat
mengakui perubahan keadaan kehidupannya.
Pertumbuhan, pengolahan kognitif, dan keterbukaan (growth, cognitive
processing, and disclosure). Pengolahan kognitif pasca trauma menjadi
pertumbuhan yang dapat dibantu banyak orang dengan keterbukaan diri dalam
lingkungan sosial yang mendukung, masih belum jelas apakah keterbukaan ini
berjalan lebih baik jika ditulis atau lisan, menurut Ulrich dan Lutgendorf, 2002
(dalam Tedeschi & Calhoun, 2004). Fasilitasi atau keputusasaan pengolahan
kognitif bahan emosional dalam korban trauma tertutup, dan ini bisa terjadi dalam
kontak sosial atau pemikiran instruksi langsung kepada orang-orang yang menulis
jurnal pribadi.
Studi lain dari penderita kanker payudara dan suami mereka juga mendukung
hipotesis bahwa PTG secara positif dipengaruhi oleh dukungan sosial. Menurut
Weiss (2000, 2002) (dalam Tedeschi & Calhoun, 2004) melaporkan bahwa PTG
istri adalah prediktor signifikan dari suami PTG, dan bahwa ini tidak terkait
dengan tingkat dilaporkan konflik perkawinan. Dukungan sosial umum juga
berhubungan dengan PTG dan pengakuan ketakutan di kalangan suami. Weiss
menyatakan bahwa hubungan antara PTG dan dukungan sosial mungkin
disebabkan sebagian toleransi penderitaan yang menopang proses kognitif.
22
Kebijaksanaan dan cerita kehidupan (wisdom and life narrative). Asumsi kita
adalah pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di
dalamnya terdapat pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang
kehidupannya, dan juga perkembangan pola pikirnya dalam memikirkan
kehidupan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat
membentuk PTG yang bersifat memperbaiki cerita kehidupannya. Berdasarkan
skema di atas, perkembangan cerita kehidupan seseorang dan PTG dapat bersifat
saling mempengaruhi (Tedeschi & Calhoun, 2004).
2.1.2 Aspek Posttraumatic Growth
Tedeschi dan Calhoun (1996) menyebutkan perubahan dalam diri seseorang pasca
kejadian traumatik yang juga merupakan elemen PTG antara lain:
1. Appreciation for life (Penghargaan terhadap hidup)
Merupakan perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang.
Perubahan yang mendasar adalah perubahan mengenai prioritas hidup seseorang
yang juga dapat meningkatkan penghargaan kepada hal-hal yang dimilikinya
misalnya menghargai kehidupannya. Perubahan prioritas tersebut misalnya
menjadikan hal yang kecil menjadi sesuatu yang penting dan berharga misalnya
senyuman anak atau waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama anak.
2. Relating to others (hubungan dengan orang lain)
Merupakan perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih
intim dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan
keluarga atau temannya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan anaknya
23
menyatakan bahwa ia lebih empati terhadap siapapun yang sedang sakit dan
siapapun yang sedang mengalami kesedihan.
3. Personal strength (kekuatan dalam diri)
Merupakan perubahan yang berupa peningkatan kekuatan personal atau mengenal
kekuatan dalam diri yang dimilikinya. Misalnya pada orang tua yang kehilangan
anakanya menyatakan, “Saya dapat mengatur semuanya dengan lebih baik. Hal-
hal yang menjadi sesuatu masalah yang besar sekarang menjadi masalah yang
tidak begitu besar bagi saya”.
4. New possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru)
Merupakan identifikasi individu mengenai kemungkinan baru dalam kehidupan
atau kemungkinan untuk mengambil pola kehidupan yang baru dan berbeda.
Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengalami kehilangan orang
tersayangnya karean suatu penyakit mempengaruhi dirinya untuk berjuang
menghadapi kesedihan dan menjadikan dirinya seorang suster. Dengan menjadi
seorang suster ia dapat mencoba memberikan kepedulian dan rasa nyaman pada
orang lain yang mengalami penderitaan dan kehilangan. Beberapa orang
memperlihatkan ketertarikan yang baru, aktivitas baru dan dan mungkin memulai
pola kehidupan baru yang signifikan.
5. Spiritual development (perkembangan spiritual)
Merupakan perubahan berupa perkembangan pada aspek spiritualitas dan hal-hal
yang bersifat eksistensial. Individual yang tidak religius atau tidak memiliki
agama juga dapat mengalami PTG. Mereka dapat mengalami pertempuran yang
24
hebat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendasar atau pertempuran
tersebut mungkin dijadikan sebagai pengalaman PTG.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Posttraumatic Growth
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, antara lain :
1. Harapan (Hope)
Ho et al (2010) menemukan bahwa harapan memiliki korelasi positif dengan
PTG. Harapan dapat menjadi sebuah coping positif dengan PTG. Harapan dapat
menjadi sebuah coping positif saat menghadapi situasi stresfull dan memegang
peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan
tidak hanya sekedar sebuah ekspektansi bahwa tujuannya dapat dicapai, namun
juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan
tersebut. Penelitian yang dilakukan Shafira (2011) menyatakan bahwa variabel
willpower (hope) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap PTG sedangkan
variabel waypower (hope) tidak berpengaruh terhadap PTG.
2. Dukungan Sosial (Social Support)
Seperti yang telah dijelaskan pada skema pembentukan PTG, Tedeschi dan
Calhoun (2004) menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor
yang dapat mendukung perkembangan PTG seseorang. Dukungan sosial mungkin
mempelopori perkembangan PTG dengan mempengaruhi perilaku coping
seseorang dan membantu keberhasilan seseorang dalam menghadapi krisis
(Tedeschi et al, 1998). Tedeschi dan Calhoun menjelaskan bahwa usaha seseorang
untuk mengatasi dan beradaptasi dengan trauma akan terjadi dengan bantuan
lingkungan sosial dan selanjutnya menurut Lepore et al kesempatan untuk
25
mendiskusikan pengalaman traumatiknya yang mungkin dapat membantu
memahami situasi tersebut dan menciptakan PTG. Hasil penelitian menyatakan
bahwa hanya satu variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap PTG
adalah informational support (dukungan sosial) dengan sumbangan 6,9% (Shafira,
2011).
3. Coping Religius
Agama memiliki peranan sebagai coping seseorang dalam menghadapi kejadian
stresful, antara lain sebagai coping yang digunakan bagi seseorang yang
kehilangan anak, pasangan atau teman dekat (Profitt et al, 2007). Penelitian yang
dilakukan Shafira (2011) menyatakan bahwa coping religius tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap PTG.
2.1.4 Pengukuran Posstraumatic Growth
Pengukuran posttraumatic growth pada penelitian ini adalah menggunakan alat
ukur yang diadaptasi oleh peneliti dari Posttraumatic Growth Inventory (PTGI)
yang berjumlah 21 item. Alat ukur ini disusun oleh Tedeschi dan Calhoun (2004)
yang meliputi 5 aspek yaitu appreciation of life, relating to others, personal
strength, new possibilities, dan spiritual change. Peneliti menggunakan alat ukur
yang dibuat oleh Tedeschi dan Calhoun (1996) karena alat ukur tersebut
dinyatakan konsisten dan reliabel untuk mengukur PTG dan peneliti
menggunakan teori yang dibuat oleh Tedeschi & Calhoun.
26
2.2 Strategi Coping
2.2.1 Pengertian Strategi Coping
Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengungkapkan coping adalah
suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi
antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam
memenuhi tuntutan. Coping oleh Lazarus dan Folkman dibagi menjadi dua bentuk
strategi yaitu emotional focused coping dan problem focused coping.
Sedangkan, Lipowski (Nursalam, 2007) coping strategy merupakan
coping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit
atau stressor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme coping bisa diperoleh
melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu
mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam menghadapi stressor maka
stressor tidak akan menimbulkan stress yang berakibat kesakitan (disease) tetapi
stressor justru menjadi simultan yang mendatangkan wellness dan prestasi.
Strategi coping adalah suatu cara yang dilakukan individu untuk
menghadapi dan mengantisipasi situasi dan kondisi yang bersifat menekan atau
mengancam baik fisik maupun psikis (dalam Sarafino, 2006), sedangkan
Nursalam (2007) menjelaskan strategi coping merupakan suatu cara yang
digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stressor
yang sedang dihadapinya. Strategi coping juga didefinisikan sebagai usaha
kognitif dan behavioral yang dilakukan oleh individu dengan usaha untuk
mengatur tuntutan, menurunkan tuntutan, meminimalisir tuntutan bahkan
menahan tuntutan yang dihadapinya (Rustiana, 2003).
27
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah
suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi
antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam
memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping didefinisikan sebagai
pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun
eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron dan Byrne (1991)
menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah,
respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk
mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi.
Menurut Stone dan Neale (dalam Rice, 1992) coping meliputi segala usaha
yang disadari untuk menghadapi tuntutan yang penuh dengan tekanan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa coping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan
lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian/kesenjangan
persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu
dalam memenuhi tuntutan tersebut.
Menurut MacArthur dan MacArthur (1999) mendefinisikan strategi
coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang
digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau
meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres.
Gowan et al. (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya yang
dilakukan oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang
dihasilkan dari sumber stres. Dodds (1993) mengemukakan bahwa pada
esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk
28
melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan
yang dibebankan lingkungan kepadanya. Secara spesifik, sumber-sumber yang
memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik
pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan
sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau sumber
finansial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (1998) mengatakan bahwa
strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi
tekanan atau ancaman.
Dari beberapa tokoh diatas, peneliti memilih konsep yang dikemukakan
Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu proses dimana
individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi
yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut.
2.2.2 Klasifikasi dan Bentuk Coping
Folkman dan Lazarus (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk
dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu:
1. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih
diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh
tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang
akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru.
Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa
tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006).
Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi
stres yang mengancam individu (Taylor,2009).
29
2. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan
untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu
dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan
kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol,
narkoba, mencari dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti
berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat
mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan
kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang
menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap
situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain
yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari
masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka
percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi
yang menekan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006).
Pendapat di atas sejalan dengan Skinner (dalam Sarafino, 2006) yang
mengemukakan pengklasifikasian bentuk coping sebagai berikut :
1. Perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem Focused Coping)
Planfull problem solving, individu memikirkan dan mempertimbangkan secara
matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan,
meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi,
bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang
pernah dilakukan. Confrontative coping, menggambarkan reaksi agresif untuk
30
mengubah keadaan atau masalah yang menggambarkan pula derajat kemarahan
atau kebencian dan pengambilan resiko.
2. Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotional Focused Coping)
Seeking Social Support, menggambarkan usaha – usaha untuk mencari dukungan
dari pihak luar, baik berupa infromasi, bantuan nyata maupun dukungan sosial.
Accepting Responsibility, usaha – usaha untuk mengakui peran dirinya dalam
permasalahan yang di hadapi dan mencoba untuk mendudukkan segala sesuatu
dengan benar sebagaimana mestinya. Distancing, individu menolak masalah yang
ada dengan menganggap seolah-olah masalah individu tidak ada, artinya individu
tersebut mengabaikan masalah yang dihadapinya. Menggambarkan usaha untuk
melepaskan diri dalam permasalahan disamping menciptakan pandangan yang
positif. Self Control, menggambarkan usaha untuk menyesuaikan perasaan dengan
tindakan yang diambil. Possitive Reappraisal, individu melihat sisi positif dari
masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan
dari pengalaman tersebut. Menggambarkan usaha untuk menciptakan makna
positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi dan juga melibatkan
hal-hal yang bersifat religius. Escape Avoidance, individu menghindari masalah
yang ada dengan cara berkhayal atau membayangkan seandainya ia berada pada
situasi yang menyenangkan. Menggambar reaksi berkhayal dan usaha untuk
menghindari dari permasalahan.
2.2.3 Pengukuran Strategi Coping
Pengukuran strategi coping yang disusun oleh Lazarus dan Folkman terdapat tiga
alat ukur yaitu, Ways of Coping Scale (1997), COPE (1991), dan Coping
31
Strategies Inventory (1984) pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang
diadaptasi oleh peneliti dari Ways of Coping Questionnaire yang berjumlah 50
item. Alat ukur ini diadaptasi oleh Cano, Rodriguez, dan Garcia (2006) yang
meliputi aspek problem focused coping yaitu planful problem solving dan
confrontative coping dan emotion focused coping yaitu seeking social support,
accepting responsibility, distancing, self control, escape avoidance, positive
reappraisal. Peneliti menggunakan alat ukur Ways of Coping Scale karena alat
ukur ini telah diadaptasi pada tahun 2006 sehingga peneliti memilih alat ukur
berdasarkan tahun terdekat.
2.3 Resiliensi
2.3.1 Pengertian Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang
untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi
adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan
dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan
hidup sehari-hari.
Resiliensi dalam bahasa Inggris berasal dari kata „resile‟ yang berarti
bangkit kembali atau melompat (dari re- “kembali” + salire- “melompat,
lompatan”, Agnes, 2005). Meninjau dari kata tersebut, resiliensi dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk bangkit kembali atau pulih dari stres (Smith et.al,
2008).
Frankl (dalam Siebert, 2005) bahwa resiliensi berarti mampu bangkit
kembali dari perkembangan hidup sebelumnya yang mungkin dirasakan sangat
32
luar biasa pada awalnya. Ketika orang dengan resiliensi tinggi menghadapi
kehidupannya yang terganggu, mereka menangani perasaannya tersebut dengan
cara yang sehat. Mereka membiarkan dirinya merasakan kesedihan, kemarahan,
kehilangan, dan kebingungan ketika terluka dan tertekan, akan tetapi mereka tidak
membiarkan hal itu menjadi perasaan yang bersifat permanen. Bahkan seringkali
mereka bangkit kembali lebih kuat dari sebelumnya.
Barnard et.al (1999) menyatakan bahwa resiliensi adalah pernyataan kadar
bagaimana individu dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya sama baiknya
dengan yang mereka nyatakan. Berbeda dengan Reivich dan Shatte (2002) yang
menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan,
bangkit dan menemukan cara untuk bergerak maju meninggalkan kesulitan yang
dihadapinya tersebut.
Resiliensi mencakup kemampuan individu untuk menangani stres dan
tekanan dengan lebih efektif, untuk mengatasi tantangan dan masalah sehari-hari,
untuk bangkit kembali dari kekecewaan, kesulitan, dan trauma, untuk
mengembangkan tujuan yang jelas dan realistis, untuk memecahkan masalah,
untuk berhubungan dengan orang lain secara nyaman, dan untuk memperlakukan
diri sendiri juga orang lain dengan baik dan saling menghargai (Brooks &
Goldstein, 2001).
Adapun menurut Siebert (2005) resiliensi mengacu pada kemampuan
individu untuk mengatasi dengan baik perubahan yang signifikan mengganggu
dan berkelanjutan, mempertahankan kesehatan dengan baik ketika berada di
bawah tekanan yang bersifat konstan,bangkit kembali dengan mudah dari
33
rintangan yang telah dihadapinya, mengatasi kemalangan, mengubah cara kerja
dengan yang baru dan meninggalkan cara yang lama ketika tidak memungkinkan
lagi untuk digunakan, dan melakukan semua hal tersebut tanpa bertindak dengan
cara yang disfungsional ataupun berbahaya.
Jadi, dapat disimpulkan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk
bertahan, bangkit dan menemukan cara untuk bergerak maju meninggalkan
kesulitan yang dihadapinya tersebut (Reivich & Shatte, 2002). Peneliti memilih
definisi resiliensi oleh Reivich karena menurut peneliti definisi tersebut sesuai
dengan tujuan penelitian.
2.3.2 Aspek-aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan bahwa terdapat tujuh kemampuan yang
berkontribusi dalam perkembangan dan penguatan resiliensi individu, yaitu:
1. Regulasi emosi (Emotion regulation)
Menurut Reivich dan Shatte (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap
tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki tingkat resiliensi tinggi
menggunakan kemampuan meregulasi emosinya tersebut dan
mengembangkannya untuk membantu mereka dalam mengontrol emosi dirinya,
perhatian juga perilaku mereka.
Dalam mengekspresikan emosi, baik positif maupun negatif, merupakan hal yang
sehat dan konstruktif apabila dilakukan dengan tepat. Pengekspresian emosi
dengan tepat tersebut merupakan bagian dari kemampuan individu yang resilien
(Reivich & Shatte, 2002).
34
2. Pengendalian impuls (Impulse control)
Pengendalian impuls adalah kemampuan untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, dan tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang (Reivich
& Shatte, 2002). Menurut Reivich dan Shatte (2002) individu dengan kemampuan
mengendalikan impuls yang rendah akan mudah kehilangan kesabaran, mudah
marah, impulsif dan berperilaku agresif, sehingga lingkungan sosial disekitarnya
akan merasa tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya permasalahan dalam
berhubungan sosial.
Individu dengan kemampuan pengendalian impuls yang rendah sering
mengalami perubahan emosi dengan cepat yang akan mengendalikan perilaku dan
pikiran mereka. Oleh karena itu, kemampuan individu dalam mengendalikan
impuls sangat erat kaitannya dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki.
Individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi
emosi cenderung memiliki skor yang tinggi pula pada faktor pengendalian impuls
(Reivich & Shatte, 2002).
3. Optimisme (Optimism)
Menurut Reivich dan Shatte (2002) individu yang optimis adalah individu yang
melihat masa depan dirinya sebagai masa yang relatif lebih cerah. Mereka percaya
bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemungkinan adanya
kemalangan di masa depan.
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka percaya bahwa
segala hal dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan untuk
masa depan dan percaya bahwa mereka mampu mengontrol hidupnya dengan
35
baik. Berbeda dengan individu yang pesimis, individu yang optimis memiliki fisik
yang lebih sehat, sedikit kemungkinan untuk mengalami depresi, lebih baik di
sekolah, lebih produktif di tempat kerja, dan lebih sering memenangkan kegiatan-
kegiatan olahraga (Reivich & Shatte, 2002).
4. Analisis penyebab masalah (Causal analysis)
Causal Analysis adalah istilah untuk merujuk pada individu yang memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi masalah mereka secara akurat. Individu yang
tidak dapat mengetahui penyebab masalah dirinya dengan akurat cenderung
membuat kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).
5. Empati (Empathy)
Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan empati sebagai kemampuan individu
dalam membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Oleh psikolog
tanda-tanda tersebut diistilahkan sebagai bahasa non verbal seseorang, seperti
ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan menentukan apa yang sedang orang
lain pikirkan juga rasakan. Individu yang tidak memiliki kemampuan berempati,
mereka tidak bisa menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, juga tidak
mampu memperkirakan apa yang sedang orang lain rasakan.
6. Efikasi diri (Self Efficacy)
Menurut Reivich dan Shatte (2002) efikasi diri adalah sebuah rasa yang ada pada
diri setiap individu bahwa dirinya dapat berguna di dunia. Efikasi diri adalah
sebuah keyakinan pada individu bahwa dirinya mampu menghadapi dan
memecahkan masalah dengan baik, juga percaya bahwa dirinya akan berhasil.
36
7. Peningkatan aspek positif (Reaching Out)
Resiliensi tidak hanya tentang bagaimana individu menghadapi masalah dan
bangkit dari keterpurukan saja, melainkan resiliensi juga merupakan kemampuan
individu dalam meningkatkan aspek-aspek positif dalam hidupnya yang ia dapat
setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte
(2002) juga mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan sumber dari kemampuan
individu dalam meningkatkan aspek positif di dalam hidupnya.
2.3.3 Pengukuran Resiliensi
Pengukuran resiliensi pada penelitian ini adalah menggunakan alat ukur yang
diadaptasi oleh peneliti dari Resilience Quetiont Inventory (Reivich & Shatte,
2002) yang berjumlah 56 item.Alat ukur ini meliputi 7 aspek, yaitu emotion
regulation, impulse control, optimism, causal analysis, empathy, self efficacy, dan
reaching out. Peneliti menggunakan alat ukur Resilience Quetiont Inventory
karena dalam penelitian menggunakan teori resiliensi yang dibuat oleh Reivich
dan Shatte (2002).
2.4 Kerangka Berfikir
2.4.1 Pengaruh strategi coping terhadap posttraumatic growth
Perubahan positif yang terjadi pasca kejadian traumatik atau Posttraumatic
Growth ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Penelitian yang dilakukan oleh Endler
dan Parker (1990) telah menunjukkan bahwa strategi coping, yaitu problem
focused coping dan emotion focused coping sering berkorelasi cukup baik dengan
gejala psikologis. Bahkan penelitian pertama yang dilakukan oleh Lazarus dan
rekan-rekannya menunjukkan bahwa kedua strategi coping tersebut digunakan
37
lebih dari 80% dari penelitian (Folkman & Lazarus, 1983). Meskipun demikian,
penggunaan emotion focused coping menunjukkan bahwa individu mungkin
memiliki cara karakteristik berurusan dengan emosi atau mengekspresikan emosi
(Aldwin, 1999). Problem focused coping mencakup kognisi dan perilaku yang
diarahkan pada analisis dan pemecahan masalah. Seperti membuat masalah
menjadi lebih mudah dikelola, mencari informasi, dan mempertimbangkan
alternatif, serta tindakan langsung. Hal ini tentu dapat meningkatkan PTG pada
pecandu narkoba dimana mereka dapat menghadapi kondisi stresful dan memiliki
keyakinan untuk melewatinya.
2.4.2 Pengaruh resiliensi terhadap posttraumatic growth
Selain itu resiliensi juga membantu pecandu narkoba dalam meningkatkan PTG.
Para peneliti percaya bahwa hasil positif dalam trauma hidup bergantung pada
resiliensi dalam individu. Demikian, untuk terjadinya PTG, seseorang tidak hanya
perlu untuk menjadi optimis tetapi mereka juga harus tangguh agar tingkat baru
adaptasi yang akan di capai berhasil. Lepore dan Revenson (2006) melihat
resiliensi sebagai variabel pribadi yang moderat bagaimana orang-orang
dipengaruhi dan beradaptasi dengan pengalaman stres. Mereka mengidentifikasi
tiga jenis terkait resiliensi, pemulihan sebagai kemampuan untuk kembali relatif
cepat untuk fungsi 'normal', resistance kemampuan untuk meminimalkan dampak
dari stressor dan rekonfigurasi beradaptasi.
2.4.3 Pengaruh strategi coping dan resiliensi terhadap posttraumatic growth
Setiap manusia pasti pernah mengalami kejadian-kejadian yang bersifat traumatik
yang kemudian mengubah kehidupannya. Kejadian traumatik ini dapat
38
memberikan perubahan baik perubahan yang bersifat negatif ataupun positif.
Salah satu contoh kejadian traumatik terjadi pada individu yang menjalani
pemulihan.
Gambar 2.5
Bagan kerangka berfikir pengaruh strategi coping dan resiliensi terhadap
posttraumatic growth
Hewitt (2007) menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma
dan dapat memberikan efek positif dan negatif sebagai hasil dari pengalaman yang
dihadapi. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman
adiksi yang tidak dapat terkontol atau secara tidak langsung berhubungan dengan
Strategi Coping
Problem Focused
Coping
Emotion Focused
Coping
Resiliensi
Emotion
Regulation
Impulse Control
Posttraumatic
Growth
Optimism
Causal Analysis
Empathy
Self Efficacy
Reaching Out
39
maalah yang diakibatkan penggunaan narkoba lain seperti peningkatan resiko
akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang
berhubungan dengan pengalaman yang menekan (stresful). Berdasarkan penelitian
terdahulu, maka strategi coping dan resiliensi akan menuntun recovering addict
untuk mengalami posttraumatic growth.
2.5 Hipotesis
2.5.1 Hipotesis mayor
Ha: Ada pengaruh yang signifikan antara strategi coping dan resiliensi terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido.
2.5.2 Hipotesis minor
Ha1: Ada pengaruh yang signifikan antara problem focused coping terhadap
posttraumatic growth pada recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
BNN Lido.
Ha2: Ada pengaruh yang signifikan antara emotional focused coping terhadap
posttraumatic growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN
Lido.
Ha3: Ada pengaruh yang signifikan antara emotion regulation terhadap
posttraumatic growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN
Lido.
Ha4: Ada pengaruh yang signifikan antara impulse control terhadap posttraumatic
growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido.
40
Ha5: Ada pengaruh yang signifikan antara optimism terhadap posttraumatic
growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido.
Ha6: Ada pengaruh yang signifikan antara causal analysis terhadap posttraumatic
growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido.
Ha7: Ada pengaruh yang signifikan antara empathy terhadap posttraumatic
growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido.
Ha8: Ada pengaruh yang signifikan antara self efficacy terhadap posttraumatic
growth recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido.
Ha9: Ada pengaruh yang signifikan antara reaching out terhadap posttraumatic
growt recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido..
41
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah individu yang sedang menjalani rehabilitasi
di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN Lido yang merupakan tempat
rehabilitasi nasional dengan representasi pecandu narkoba yang di rehabilitasi dari
seluruh Indonesia. Dengan kapasitas 500 individu. Adapun jumlah subjek yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 201 individu.
Peneliti menentukan karakteristik sampel dengan mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu dari segi waktu dan keterjangkauan sampel. Ada pun
karakteristik sampel yaitu individu yang mempunyai pengalaman mengkonsumsi
narkoba di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba BNN Lido dan bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non probability
sampling dimana tidak semua responden mempunyai kesempatan yang sama
untuk dijadikan sampel karena peneliti tidak memiliki daftar nama total
keseluruhan individu sehingga peneliti menggunakan teknik convenience
sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang ada dalam populasi dan bersedia
menjadi responden dengan cara mengumpulkan responden pada satu tempat
secara bersamaan.
3.2 Variabel penelitian
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari 1 dependent variable (DV)
dan 9 independent variable (IV) meliputi :
42
Y = Posttraumatic growth
Strategi coping
X1 = Problem focused coping
X2 = Emotion focused coping
Resiliensi
X3 = Emotion regulation
X4 = Impulse control
X5 = Optimism
X6 = Causal analysis
X7 = Empathy
X8 = Self efficacy
X9 = Reaching out
Adapun definisi operasional dari variabel tersebut adalah:
1. Posttraumatic Growth adalah pengalaman berupa perubahan positif yang
terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan
krisis kehidupan yang tinggi (Tedeschi & Calhoun, 2004). Skor Posttraumatic
growth diperoleh melalui alat ukur Posttraumatic growth Inventory (PTGI).
Alat ukur ini terdiri dari 21 item yang didasarkan pada lima faktor yang
dikembangkan oleh Tedeschi dan Calhoun yaitu Appreciation of life adalah
perubahan mengenai hal apa yang penting dalam hidup seseorang yang
kemudian berpengaruh terhadap penghargaan dirinya terhadap hidup, Relating
to others adalah perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang
lain, lebih intim dan lebih berarti, Personal strength adalah perubahan yang
berupa peningkatan kekuatan personal atau mengenal kekuatan dalam diri yang
dimilikinya, New possibilities adalah identifikasi individu mengenai
kemungkinan baru dalam kehidupan atau kemungkinan untuk mengambil pola
kehidupan yang baru dan berbeda, Spiritual change adalah perkembangan pada
aspek spiritualitas dan hal-hal yang bersifat eksistensial.
43
2. Strategi Coping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur
kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan
seseorang dalam memenuhi tuntutan (Lazarus & Folkman, 1981). Strategi
Coping diukur menggunakan skala yang menekankan pada aspek-aspek
problem focused coping seperti mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara
keterampilan yang baru, emotional focused coping seperti mengatur respon
emosionalnya dengan pendekatan behavioral yang diukur menggunakan Ways
of Coping Questionnaire.
3. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan
menemukan cara untuk bergerak maju meninggalkan kesulitan yang
dihadapinya. Dimensinya antara lain adalah emotion regulation (kemampuan
mengontrol emosi, atensi, dan perilaku), impulse control (kemampuan
mengatur perilaku atas dorongan emosi), optimism (kemampuan untuk tetap
positif tentang masa depan), causal analysis (kemampuan mengidentifikasi
penyebab masalah), empathy (kemampuan untuk membaca isyarat perilaku
orang lain untuk memahami keadaan psikologis dan emosinalnya), self efficacy
(yakin bahwa dirinya dapat sukses dan dapat menyelesaikan masalah),
reaching out (kemampuan untuk meningkatkan aspek-aspek positif dari
kehidupan) dan diukur menggunakan Resilience Quotient Inventory yang
berasal dari teori yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002).
44
3.3 Pengumpulan data
3.3.1 Teknik pengumpulan data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala model Likert.
Skala yang terdiri dari empat kemungkinan jawaban, yaitu Sangat sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak sesuai (TS), Sangat tidak sesua (STS). Alternatif jawaban ini
dipilih untuk menghindari jawaban subjek yang berada di tengah-tengah atau
netral.
Dalam penelitian ini, skala disusun dalam bentuk pernyataan favorable
(positif) dan unfavorable (negatif). Pada pernyataan positif, skor angka 1
memberikan arti bahwa pernyataan dalam angka tersebut sangat tidak sesuai. Skor
2 memberikan arti bahwa pernyataan dalam angka tersebut tidak sesua. Skor 3
memberikan arti bahwa pernyataan dalam angka tersebut sesua. Skor 4
memberikan arti bahwa pernyataan dalam angka tersebut sangat sesuai.
Sedangkan pada pernyataan negatif, angka 1 memberikan arti bahwa
pernyataan dalam angka tersebut sangan sesuai. Angka 2 memberikan arti bahwa
pernyataan dalam angka tersebut sesuai. Angka 3 memberikan arti bahwa
pernyataan dalam angka tersebut tidak sesuai. Angka 4 memberikan arti bahwa
pernyataan dalam angka tersebut sangat tidak sesuai.
3.3.2 Instrumen pengumpulan data
Dalam penelitian ini digunakan empat alat ukur yang diambil dari skala baku.
Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
45
1. Alat ukur Posttraumatic Growth
Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur posttraumatic growth dengan
dimensi dan indikator yang dibuat oleh Tedeschi dan Calhoun (2004). Skala yang
bernama Posttraumatic Growth Inventory (PTGI). Alat ukur ini terdiri dari 21
item yang didasarkan pada lima faktor yang dikembangkan oleh Tedeschi dan
Calhoun (2004) yaitu: appreciation of life, relating to others, personal strength,
new possibilities, dan spiritual change. Adapun Blue Print skala posttraumatic
growth dijelaskan dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1
Blue Print Posttraumatic Growth
Dimensi Indikator Nomor Item
Appreciation of life - Perubahan mengenai prioritas hidup
seseorang
19, 20, 21
Relating to others - Hubungan dengan orang lain
- Perubahan menjadi dekat dengan
keluarga
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Personal Strength - Kekuatan dalam diri
- Peningkatan kekuatan personal
- Mengenal kekuatan dalam diri yang
dimiliki
13, 14, 15, 16
New Possibilities - Kemungkinan-kemungkinan baru
- Identifikasi pola kehidupan yang
baru
8, 9, 10, 11, 12
Spiritual Change - Perubahan spiritual
- Lebih dekat dengan Tuhan
17, 18
2. Alat ukur Strategi Coping
Pengukuran strategi coping dilakukan dengan menggunakan Ways of Coping
Questionnaire yang diadaptasi oleh peneliti dari Lazarus dan Folkman (2006).
Alat ukur ini memiliki dimensi yang dikemukakan Lazarus dan Folkman yaitu
membagi strategi coping menjadi dua yaitu problem focused coping dan emotion
46
focused coping. Skala terdiri dari 50 item dan bentuk pengukuran ini juga
menggunakan 4 skala likert, mulai dari respon jawaban ’Sangat Tidak Sesuai’
sampai `Sangat Sesuai`. Berikut lampiran tabel blue print Strategi Coping.
Tabel 3.2
Blue Print Strategi Coping
Dimensi Indikator Nomor Item
Problem
Focused
Coping
- Menggambarkan usaha untuk mengubah
keadaan secara hati-hati
1, 30, 40
- Pendekatan analitis untuk memecahkan
masalah
20, 39, 43
- Menggambarkan reaksi agresif untuk
mengubah keadaan atau masalah
2, 3, 37
- Menggambarkan derajat kemarahan atau
kebencian dan pengambilan resiko
13, 21, 26
Emotion
Focused
Coping
- Menggambarkan usaha – usaha untuk mencari
dukungan dari pihak luar : berupa informasi,
bantuan nyata, dan dukungan emosional
4, 33, 17, 24,
14, 36
- Usaha – usaha untuk mengakui peran dirinya
dalam permasalahan yang di hadapi 22, 42
- Mencoba untuk mendudukkan segala sesuatu
dengan benar sebagaimana mestinya
5, 19
- Menggambarkan usaha untuk melepaskan diri
dalam permasalahan 8, 9, 16
- Menciptakan pandangan yang positif 11, 32, 35
- Menggambarkan usaha untuk menyesuaikan
perasaan dengan tindakan yang diambil 6, 10, 27, 34,
44, 49, 50
- Usaha untuk menghindari dari permasalahan 7, 12, 25, 31,
38, 41, 46, 47
- Menggambarkan usaha untuk menciptakan
makna positif yang lebih ditujukan untuk
pengembangan pribadi
15, 18, 23
- Melibatkan hal – hal yang bersifat religius 28, 29, 45, 48
47
3. Alat ukur Resiliensi
Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupaka skala yang berasal dari teori
Reivich dan Shatte (2002) yaitu Resilience Quetiont Inventory. Skala terdiri dari
56 item.
Tabel 3.3
Blue Print Resiliensi
Dimensi Indikator Nomor Item
Emotion
Regulation
- Mampu mengendalikan emosi dalam
menghadapi tekanan
2*, 13 23*, 25
- Mampu mengendalikan emosi yang
wajar sesuai dengan keadaan
7*, 26, 31*, 56
Impulse
Control
- Mampu mengendalikan impuls yang
muncul dari dalam diri
11*, 15, 36*, 47
- Mampu mengendalikan impuls yang
mucul dari orang – orang sekitar
4, 38*, 42, 55*
Optimism - Berpikir positif terhadap keadaan
yang dihadapi saat ini
32, 33*, 39*, 53
- Berpikir positif akan keadaan yang
akan dihadapi dalam masa depan
3*, 18, 27 43*
Causal
Analysis
- Mampu mengidentifikasi masalah 21, 41*
- Mampu menggali akar suatu
permasalahan
19, 44*
- Mampu menemukan solusi dalam
menghadapi suatu permasalahan
1*, 12
- Mampu menemukan akibat dari
solusi permasalahan
48, 52*
Empathy - Mampu merasakan kesulitan yang
dialami oleh orang lain
10, 24*, 34, 50*
- Yakin pada kemampuan sendiri
untuk membantu kesulitan orang lain
30*,37, 46, 54*
Self Efficacy - Yakin pada kemampuan diri dalam
menghadapi dan memecahkan
masalah
17*, 20*, 29, 49
- Yakin akan kemampuan diri untuk
dapat sukses dan berhasil
5, 9*, 22*, 28
Reaching
Out
- Berani menghadapi resiko dari
situasi yang tidak menyenangkan
6, 14, 35*, 45*
- Mengambil aspek positif di dalam
sebuah permasalahan yang sukar
8, 16*, 40 51*
Keterangan : Nomor dengan tanda (*) adalah reverse item
48
3.4 Uji validitas konstruk
Untuk menguji validitas konstruk alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) terdiri dari tiga
langkah. Tiga langkah yang dilakukan pada CFA (Umar, 2012) yaitu:
1. Menguji apakah hanya satu faktor saja yang menyebabkan item-item saling
berkorelasi (hipotesis uni-dimensional item). Hipotesis ini diuji dengan chi-
square. Untuk memutuskan apakah memang tidak ada perbedaan antara
matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi yang
dihtung menurut teori/model. Jika hasil chi-square tidak signifikan (p>0.05),
maka hipotesis nihil yang menyatakan “tidak ada perbedaan antara matriks
korelasi yang diperoleh dari data dan model” tidak ditolak yang artinya item
yang diuji mengukur satu faktor saja (uni-dimensional).
Sedangkan, jika nilai chi-square signifikan (p<0.05) maka hipotesis nihil
tersebut ditolak yang artinya item-item yang diuiji ternyata mengukur lebih
dari satu faktor (multidimensional). Dalam keadaan demikian maka peneliti
melakukan modifikasi terhadap model dengan cara memperbolehkan
kesalahan pengukuran pada item-item saling berkorelasi tetapi dengan tetap
menjaga bahwa item hanya mengukur satu faktor (uni-dimensional). Jika
sudah diperoleh model yang fit(tetapi tetap uni-dimensional maka dilakukan
langkah selanjutnya.
2. Menganalisis item mana yang menjadi sumber tidak fit, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan untuk mengetahui item mana yang menjadi sumber
tidak fit, yaitu :
49
1) Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan faktor dari masing-
masing item dengan menggunakan t-test, jika nilai t yang diperoleh pada
sebuah item tidak signifikan (t<1.96) maka item tersebut akan di drop
karena dianggap tidak signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang
sedang dilakukan.
2) Melihat arah dari koefisien muatan faktor (faktor loading). Jika suatu
item memiliki muatan faktor negatif, makan item tersebut di drop karena
tidak sesuai dengan pengukuran (berarti semakin tinggi nilai pada item
tersebut semakin rendah nilai pada faktor yang diukur).
3) Sebagai kriteria tambahan (optional) dapat dilihat juga banyaknya
korelasi parsial antar kesalahan pengukuran, yaitu kesalahan pengukuran
pada suatu item yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran pada
item lain. Jika pada suatu item terdapat terlalu banyak korelasi seperti ini
(misalnyalebih dari tiga), maka item tersebut juga akan di drop.
Alasannya adalah karena item yang demikian selain mengukur apa yang
ingin di ukur juga mengukur hal lain (multidemensional item).
4) Menghitung faktor skor.Jika langkah langkah di atas telah dilakukan,
maka diperoleh item-item yang valid untuk mengukur apa yang ingin di
ukur (Umar, 2012).
3.4.1 Uji Validitas Konstruk Posttraumatic Growth
Peneliti menguji apakah dua puluh satu item yang ada bersifat unidimensional,
artinya benar hanya mengukur posttraumatic growth. Dari hasil analisis CFA
yang dilakukan, ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 1024.89, df= 189, P-
50
value= 0.00000 RMSEA= 0.149. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 162.66, df= 124, P-value= 0.01133, dan RMSEA=
0.039, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu posttraumatic growth.
Tabel 3.4
Muatan Faktor Item Posttraumatic Growth
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.37 0.07 5.34 √
2 0.37 0.07 5.28 √
3 0.17 0.07 2.44 X
4 0.30 0.07 4.30 √
5 0.55 0.07 8.44 √
6 0.54 0.07 7.88 √
7 0.33 0.07 4.78 √
8 0.64 0.06 10.14 √
9 0.57 0.07 8.64 √
10 0.17 0.07 7.00 √
11 0.72 0.06 11.36 √
12 0.59 0.07 8.94 √
13 0.53 0.07 8.03 √
14 0.60 0.07 9.00 √
15 0.63 0.06 9.80 √
16 0.69 0.06 11.24 √
17 0.31 0.07 4.33 √
18 0.48 0.07 6.86 √
19 0.68 0.06 10.56 √
20 0.73 0.06 12.15 √
21 0.79 0.06 13.19 √
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
51
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.4.
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.4 dapat di lihat bahwa terdapat satu
item (item no.3) yang tidak signifikan. Item dinyatakan tidak signifikan karena
memiliki nilai t < 1,96, sehingga item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil
tersebut, maka dari skala posttraumatic growth hanya terdapat dua puluh item
yang dinyatakan signifikan.
3.4.2 Uji Validitas Konstruk Problem Focused Coping
Peneliti menguji apakah dua belas item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur problem focused coping. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan, ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 473.55, df= 54, P-value=
0.00000 RMSEA= 0.197. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 43.72, df= 31, P-value= 0.06456, dan RMSEA=
0.045, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu problem focused coping.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.5
52
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.5 dapat di lihat bahwa terdapat enam
item (item no.1, item no.3, item no.5, item no.6, item no.7, dan item no.12) yang
tidak signifikan. Keenam item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t
< 1,96, sehingga kedua item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut,
maka dari skala problem focused coping hanya terdapat enam item yang
dinyatakan signifikan.
Tabel 3.5
Muatan Faktor Item Problem Focused Coping
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.13 0.09 1.45 X
2 0.27 0.07 3.92 √
3 -0.38 0.07 -5.27 X
4 0.45 0.07 6.65 √
5 0.06 0.07 0.87 X
6 0.01 0.07 0.17 X
7 0.07 0.07 0.97 X
8 0.25 0.09 2.77 √
9 0.94 0.06 15.90 √
10 0.76 0.06 12.10 √
11 0.65 0.06 10.04 √
12 0.09 0.08 1.20 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.3 Uji Validitas Konstruk Emotion Focused Coping
Peneliti menguji apakah tiga puluh delapan item yang ada bersifat
unidimensional, artinya benar hanya mengukur emotion focused coping. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan, ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 4002.61, df=
665, P-value= 0.00000 RMSEA= 0.158. Oleh sebab itu, peneliti melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 429.34, df= 383, P-value= 0.05100, dan RMSEA=
53
0.025, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu emotion focused coping.
Tabel 3.6
Muatan Faktor Item Emotion Focused Coping
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.47 0.07 6.51 √
2 0.72 0.07 10.53 √
3 0.08 0.07 1.01 X
4 0.35 0.07 4.77 √
5 0.43 0.07 6.66 √
6 0.45 0.07 6.29 √
7 0.08 0.08 1.12 X
8 0.50 0.08 6.54 √
9 0.09 0.08 1.26 X
10 0.60 0.07 8.75 √
11 0.38 0.07 5.48 √
12 0.32 0.07 4.43 √
13 0.45 0.07 6.08 √
14 0.01 0.07 0.19 X
15 0.29 0.08 3.89 √
16 0.22 0.08 2.85 √
17 0.26 0.08 3.41 √
18 0.16 0.08 -2.06 X
19 0.18 0.08 2.33 √
20 0.16 0.07 2.17 √
21 0.00 0.08 -0.05 X
22 -0.01 0.07 -0.20 X
23 0.61 0.07 8.59 √
24 0.71 0.07 10.31 √
25 0.60 0.07 8.61 √
26 0.57 0.07 8.01 √
27 0.56 0.07 7.51 √
28 -0.56 0.07 -8.22 X
29 0.50 0.07 7.22 √
30 0.63 0.07 9.18 √
31 0.50 0.07 6.86 √
32 0.40 0.07 5.52 √
33 -0.21 0.07 -2.96 X
34 0.20 0.08 2.49 √
35 0.13 0.07 1.84 X
36 0.04 0.07 0.56 X
37 0.14 0.07 1.88 X
38 0.20 0.08 2.62 V
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
54
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.6.
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.6 dapat di lihat bahwa terdapat dua
belas item (item no.3, item no.7, item no.9, item no.14, item no.18, item no.21,
item no.22, item no.33, item no.35, item no.36, dan item no.37) yang tidak
signifikan. Kedua belas item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t <
1,96, sehingga kedua belas item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut,
maka dari skala emotion focused coping hanya terdapat dua puluh enam item yang
dinyatakan signifikan.
3.4.4 Uji Validitas Konstruk Emotion Regulation
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur emotion regulation. Dari hasil analisis CFA yang
dilakukan, ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 138.82, df= 20, P-value=
0.00000 RMSEA= 0.172. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi
satu sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 15.89, df= 11, P-value= 0.14545, dan RMSEA=
0.047, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu emotion regulation.
55
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.7.
Tabel 3.7
Muatan Faktor Item Emotion Regulation
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.37 0.11 3.37 √
2 0.06 0.03 1.97 √
3 0.35 0.12 2.85 √
4 0.17 0.06 3.08 √
5 -2.55 0.72 -3.53 X
6 0.09 0.04 2.40 √
7 0.02 0.03 0.82 X
8 0.49 0.15 3.23 √
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.7 dapat di lihat bahwa terdapat dua item
(item no.5 dan item no.7) yang tidak signifikan. Kedua item dinyatakan tidak
signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga kedua item tersebut harus di
drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala emotion regulation hanya
terdapat enam item yang dinyatakan signifikan.
3.4.5 Uji Validitas Konstruk Impulse Control
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur impulse control. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan,
ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 127.58, df= 20, P-value= 0.00000
RMSEA= 0.164. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
56
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 17.38, df= 14, P-value= 0.23639, dan RMSEA=
0.035, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu impulse control.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.8.
Tabel 3.8
Muatan Faktor Item Impulse Control
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.53 0.10 5.45 √
2 -0.50 0.09 -5.85 X
3 0.34 0.09 3.97 √
4 0.44 0.08 5.38 √
5 0.22 0.08 2.62 √
6 -0.01 0.10 -0.06 X
7 -0.60 0.10 -6.30 X
8 -0.40 0.08 -4.96 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.8 dapat di lihat bahwa terdapat empat item
(item no.2, item no.6, item no.7 dan item no.8) yang tidak signifikan. Keempat
item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga keempat
item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala impulse
control hanya terdapat empat item yang dinyatakan signifikan.
3.4.6 Uji Validitas Konstruk Optimisme
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur optimisme. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan,
57
ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 129.55, df= 20, P-value= 0.00000
RMSEA= 0.165. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 16.76, df= 12, P-value= 0.15876, dan RMSEA=
0.045, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu optimisme.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.9.
Tabel 3.9
Muatan Faktor Item Optimisme
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.38 0.07 5.16 √
2 -0.09 0.08 -1.14 X
3 -0.43 0.08 -5.43 X
4 -0.36 0.08 -4.55 X
5 0.88 0.10 9.16 √
6 0.52 0.08 6.68 √
7 0.74 0.13 5.87 √
8 -0.10 0.07 -1.46 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.9 dapat di lihat bahwa terdapat empat
item (item no.2, item no.3, item no.4 dan item no.8) yang tidak signifikan.
Keempat item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga
58
keempat item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala
optimisme hanya terdapat empat item yang dinyatakan signifikan.
3.4.7 Uji Validitas Konstruk Causal Analysis
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur causal analysis. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan,
ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 108.45, df= 20, P-value= 0.00000
RMSEA= 0.149. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 16.43, df= 12, P-value= 0.17251, dan RMSEA=
0.043, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu causal analysis.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.10.
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.10 dapat di lihat bahwa terdapat
empat item (item no.2, item no.3, item no.4 dan item no.7) yang tidak signifikan.
Keempat item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga
keempat item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala
causal analysis hanya terdapat empat item yang dinyatakan signifikan.
59
Tabel 3.10
Muatan Faktor Item Causal Analysis
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.29 0.08 3.75 √
2 -0.43 0.08 -5.54 X
3 -0.14 0.07 -1.89 X
4 -0.53 0.08 -6.83 X
5 0.48 0.11 4.15 √
6 0.44 0.08 5.80 √
7 -0.89 0.09 -9.73 X
8 0.36 0.07 4.84 √
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.8 Uji Validitas Konstruk Empathy
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur empathy. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan, ternyata
tidak fit, dengan Chi–Square= 253.50, df= 20, P-value= 0.00000 RMSEA=
0.242. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 17.70, df= 12, P-value= 0.12498, dan RMSEA=
0.049, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu empathy.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.11.
60
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.11 dapat di lihat bahwa terdapat lima
item (item no.3, item no.5, item no.6, iem no.7 dan item no.8) yang tidak
signifikan. Kelima item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96,
sehingga kelima item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari
skala empathy hanya terdapat tiga item yang dinyatakan signifikan.
Tabel 3.11
Muatan Faktor Item Empathy
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.48 0.08 5.99 √
2 0.32 0.08 4.00 √
3 0.10 0.08 1.24 X
4 0.49 0.08 6.14 √
5 -0.58 0.08 -7.41 X
6 -0.69 0.07 -9.22 X
7 -0.56 0.08 -7.12 X
8 -0.69 0.07 -9.32 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.9 Uji Validitas Konstruk Self Efficacy
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur self efficacy. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan,
ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 156.87, df= 20, P-value= 0.00000
RMSEA= 0.185. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 14.38, df= 10, P-value= 0.15655, dan RMSEA=
0.047, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu self efficacy.
61
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.12.
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.12 dapat di lihat bahwa terdapat empat
item (item no.5, item no.6, item no.7 dan item no.8) yang tidak signifikan.
Keempat item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga
keempat item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala
self efficacy hanya terdapat empat item yang dinyatakan signifikan.
Tabel 3.12
Muatan Faktor Item Self Efficacy
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.26 0.07 3.84 √
2 0.21 0.07 3.18 √
3 0.59 0.10 5.80 √
4 0.26 0.07 3.73 √
5 -0.31 0.09 -3.61 X
6 -0.69 0.11 -6.11 X
7 -0.17 0.07 -2.61 X
8 -1.41 0.33 -4.33 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
3.4.10 Uji Validitas Konstruk Reaching Out
Peneliti menguji apakah delapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur reaching out. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan,
ternyata tidak fit, dengan Chi–Square= 108.72, df= 20, P-value= 0.00000
RMSEA= 0.149. Oleh sebab itu, peneliti melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
sama lainnya, hingga diperoleh model fit.
62
Dapat diketahui bahwa setelah melakukan beberapa modifikasi nilai yang
dihasilkan yaitu Chi–Square= 19.83, df= 14, P-value= 0.13547, dan RMSEA=
0.046, yang artinya model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item mengukur satu variabel saja yaitu reaching out.
Selanjutnya, peneliti melihat apakah signifikan item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu di drop
atau tidak. Maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.13.
Tabel 3.13
Muatan Faktor Item Reaching Out
No. Item Koefisien Standar Error Nilai t Signifikan
1 0.66 0.09 7.59 √
2 0.58 0.08 7.47 √
3 0.29 0.08 3.43 √
4 0.47 0.09 5.09 √
5 -0.58 0.08 -7.45 X
6 0.09 0.08 1.02 X
7 -0.21 0.08 -2.62 X
8 -0.19 0.08 -2.41 X
Keterangan: Tanda √ = Signifikan (t > 1,96) ; X = Tidak Signifikan
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 3.13 dapat di lihat bahwa terdapat empat
item (item no.5, item no.6, item no.7 dan item no.8) yang tidak signifikan.
Keempat item dinyatakan tidak signifikan karena memiliki nilai t < 1,96, sehingga
keempat item tersebut harus di drop. Berdasarkan hasil tersebut, maka dari skala
reaching out hanya terdapat empat item yang dinyatakan signifikan.
3.5 Teknik Analisis Data
Untuk menguji hipotesis penelitian mengenai strategi coping dan resiliensi yang
mempengaruhi posttraumatic growth secara empiris, maka penulis mengolah data
63
yang didapat dengan menggunakan teknik statistik Multiple Regression Analysis
(analisis regresi berganda). Teknik analisis regresi berganda digunakan untuk
menjawab hipotesis nihil yang terdapat di BAB 2. Dalam penelitian ini, dependent
variable nya adalah posttraumatic growth dan independent variable nya adalah
strategi coping dan resiliensi, maka susunan persamaan regresinya adalah:
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8+b9X9+e
Keterangan:
Y= Posttraumatic Growth
a= konstanta/intercept
b= koefisien regresi
X1= problem focused coping pada strategi coping
X2= emotional focused coping pada strategi coping
X3= emotion regulation pada resiliensi
X4= impulse control pada resiliensi
X5= optimism pada resiliensi
X6= causal analysis pada resiliensi
X7= empathy pada resiliensi
X8= self efficacy pada resiliensi
X9= reaching out pada resiliensi
e= residu
Melalui regresi berganda ini dapat diperoleh nilai R, yaitu koefisien korelasi
berganda antara posttraumatic growth dengan strategi coping dan resiliensi.
Besarnya posttraumatic growth yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah
disebutkan tadi ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau R2. R
2
merupakan proporsi varians dari posttraumatic growth yang dijelaskan oleh
strategi coping dan resiliensi. Untuk mendapatkan nilai R2, digunakan rumusan
sebagai berikut (Kerlinger, 2006):
64
Uji R2 diuji untuk membuktikan apakah penambahan varians dari independent
variable satu persatu signifikan atau tidak penambahannya. Untuk membuktikan
apakah regresi X pada Y signifikan atau tidak, maka dapat diuji dengan
menggunakan uji F, untuk membuktikan hal tersebut maka digunakan rumus F
(Kerlinger, 2006), yaitu sebagai berikut:
⁄
⁄
Keterangan:
R2 = Proporsi varians
k = Jumlah independen variabel
N = Jumlah sampel
Kemudian untuk menguji apakah pengaruh yang diberikan variabel–variabel
independent signifikan terhadap DV, maka penulis melakukan uji t (Kerlinger,
2006). Uji t akan dilakukan sesuai dengan variabel yang dianalisis. Uji t yang
dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
b = Koefisien regresi
sb = Standar error dari b
3.6 Prosedur Penelitian
1. Persiapan
Peneliti melakukan studi pendahuluan di salah satu rumah sakit bagian unit
narkoba. Peneliti melakukan wawancara terhadap mantan pecandu narkoba
65
untuk membuktikan bahwa fenomena yang peneliti untuk dijadikan penelitian
sesuai dengan fenomena yang terjadi.
2. Mengkaji teori
Sebelum melakukan penelitian, peneliti merumuskan masalah yang akan
diteliti. Kemudian mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut
dari sudut pandang teoritis.
3. Penyusunan alat ukur
Peneliti menentukan dan menyusun instrumen yang akan digunakan dalam
penelitian, yaitu melakukan adaptasi alat ukur posttraumatic growth, strategi
coping dan resiliensi untuk mengukur variabel yang peneliti teliti
4. Pengambilan sampel
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan teknik non probality sampling
yaitu tidak semua anggota populasi penelitian untuk dijadikan responden
penelitian. Jenis yang digunakan adalah convenience sampling. Peneliti
memilih sampel penelitian yaitu recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
BNN Lido. Sebelum memberikan kuesioner kepada responden, pertama
peneliti mengikuti pembimbing lapangan untuk mengetahui rumah mana yang
sudah siap untuk mengisi kuesioner. Jika semua pertanyaan tersebut dijawab
“Ya” maka selanjutnya, peneliti memberikan kuesioner yang telah disediakan
kepada para subjek.
5. Pengumpulan data dan uji validitas item
Setelah melakukan penyebaran kuesioner, peneliti melakukan pengolahan data
software yang relevan. Peneliti mentabulasi semua data dan melakukan uji
66
validitas item dengan teknik confirmatory factor analysis. Analisis ini
dilakukan dengan menggunakan software LISREL. Uji validitas ini bertujuan
untuk melihat apakah semua item kuesioner bersifat unidimensional, atau
relevan dengan variabel penelitian. Setelah memperoleh item-item yang tidak
valid, peneliti menghapus semua respon jawaban responden di nomor-nomor
item yang tidak valid. itu peneliti mengambil kembali kuesioner penelitian
yang telah diisi, kemudian data yang telah diterima kemudian diolah serta
dianalisis hasilnya.
6. Analisis data
Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linear. Dalam menganalisis,
peneliti menggunakan SPSS versi 20.0. dalam prosesnya, dari 201 responden
Pada tahap ini, setelah proses skoring dan pengolahan data hingga didapatkan
hasil analisis, maka penulis membuat laporan hasil dan kesimpulan penelitian.
Setelah melakukan analisis, peneliti melaporkan hasil penelitian dalam bentuk
skripsi.
67
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah recovering addict di Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido, yang berlokasi di Sukabumi. Balai Besar Rehabilitasi
Narkoba BNN Lido merupakan tempat rehabilitasi yang memiliki visi dapat
menjadi pusat pelayanan dalam bidang terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan
narkoba. Subjek penelitian yang berada pada tahap primary sebanyak 70 orang.
HOPE sebanyak 50 orang, HOC sebanyak 50 orang, Female Unit sebanyak 27
orang serta OJT/Mayor sebanyak 4 orang. Adapun keterangan dari fase
rehabilitasi sebagai berikut:
1. Primary House, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu
laki-laki yang berusia kurang dari 35 tahun. Di sini para pecandu akan dilatih
sikap, tingkah laku, dan kepribadiannya agar dapat diterima
masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.
2. HOPE, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki
yang berusia di atas 30 tahun, atau pecandu yang sudah pernah keluar dari
panti rehabilitasi sebelumnya. Berbeda dengan rumah Green, di rumah Hope
pecandu akan diubah pola pikirnya agar tidak terikat pada narkoba dan
diterima masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.
3. HOC, rumah ini memiliki program yang sama dengan rumah Hope, namun
dikhususkan untuk para pegawai negeri sipil atau pejabat negara, dan militer
atau polisi. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.
68
4. Female, rumah khusus untuk perempuan (terbagi menjadi 4 bagian, yakni:
Detoks, Entry Unit, Green, dan Re-Entry).
5. OJT (On Job Training), individu yang sedang menjalani program rehabilitasi
dengan tujuan untuk mempertahankan recovery serta lebih mempersiapkan diri
sebelum kembali ke lingkungan diluar rehabilitasi.
Adapun sampel dalam penelitian ini adalah beberapa individu yang dipilih secara
acak, berjumlah 174 orang laki-laki dan 27 orang perempuan. Subjek dipilih
berdasarkan tahap perkembangan remaja dan dewasa (dewasa muda dan dewasa
tengah) dengan rentang usia antara 11 hingga 65 tahun. Untuk mempermudah
perhitungan, maka peneliti mengkategorisasikan usia responden kedalam tiga
kategori (Papalia, 2009) yaitu remaja (11-20 tahun), dewasa muda (21-40 tahun)
dan dewasa tengah (41-65 tahun). Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia,
dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Gambaran Subjek Berdasarkan Usia Usia Jumlah Persentase
11-20 42 20,90%
21-40 135 67,16%
41-65 24 11,94%
Jumlah 201 100%
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel dalam
penelitian ini berada pada kategori dewasa muda (21-40 tahun) dengan presentase
sebesar 67,16%, sedangkan pada kategori remaja (11-20 tahun) dengan presentase
sebesar 20,90%, dan pada kategori dewasa tengah (41-65 tahun) dengan
presentase sebesar 11,94%
Pada Tabel 4.2 berikut ini digambarkan banyaknya responden penelitian
berdasarkan tahapan unit rehabilitasi.
69
Tabel 4.2
Gambaran Subjek Berdasarkan Unit Rehabilitasi
Berdasarkan tabel 4.2, terlihat bahwa jumlah individu terbanyak adalah primary
yang merupakan tempat pertama kalinya program rehabilitasi di mulai dengan
rincian yaitu 70 orang (34,8%), diikuti dengan HOPE dan HOC yaitu 50 orang
(24,9%), diikuti dengan Female Unit dengan rincian yaitu 27 orang (13,4%) dan
OJT merupakan koordinator dari setiap rumah dan juga mantan pecandu narkoba
dengan rincian yaitu 4 orang (2,0%).
4.2 Hasil Analisis Deskriptif
Skor yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah skor murni (t-score)
yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses ini dilakukan untuk
memudahkan dalam melakukan perbandingan antar score hasil penelitian
variabel-variabel yang diteliti, dengan demikian semua raw score pada setiap
variabel harus diletakkan pada skala yang sama. Untuk memperoleh deskripsi
statistik, dihitung item-item yang valid dan positif, sehingga di dapatkan factor
score. Factor score tersebut dihitung untuk menghindari bias dari kesalahan
pengukuran. Jadi, penghitungan factor score ini tidak menjumlahkan item-item
variabel seperti pada umumnya, tetapi dihitung true score pada tiap skala. Factor
score yang dianalisis adalah factor score yang bermuatan positif dan signifikan.
No Tahapan Jumlah Persentase
1 Primary 70 34,8%
2 HOPE 50 24,9%
3 HOC 50 24,9%
4 Female Unit 27 13,4%
5 OJT 4 2,0%
Total 201 100%
70
Setelah didapatkan factor score yang telah dirubah menjadi T score, nilai
baku inilah yang akan dianalis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Yang perlu
diingat bahwa hal yang sama berlaku juga untuk semua variabel pada penelitian
ini. Hasil analisis deskriptif adalah hasil yang memberikan gambaran data
penelitian. Dalam hasil analisis deskriptif ini akan disajikan minimum,
maksimum, mean dan standar deviasi variabel serta kategorirasi tinggi dan
rendahnya skor variabel penelitian. Skor tersebut disajikan dalam tabel 4.3.
Tabel 4.3
Descriptive Statistics Variabel Penelitian
N Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
Posttraumatic Growth 201 27.87 70.46 50.0000 9.39313
Problem Focused Coping 201 16.13 62.21 50.0000 9.01964
Emotion Focused Coping 201 16.85 70.48 50.0000 9.33074
Emotion Regulation 201 32.42 67.99 50.0000 9.99500
Impulse Control 201 28.56 66.54 50.0000 7.30604
Optimisme 201 33.88 74.60 50.0000 7.83846
Causal Analysis 201 33.62 69.11 50.0000 6.92211
Empathy 201 24.20 63.45 50.0000 9.84835
Self Efficacy 201 25.15 64.19 50.0000 7.92120
Reaching Out 201 16.34 59.08 50.0000 9.99500
Valid N (listwise) 201
Berdasarkan penjelasan pada Bab 3, nilai mean dalam penelitian ini ditetapkan
sebesar 50 dengan Standar Deviasi (SD) sebesar 15. Sebagaimana yang
ditunjukan oleh table 4.3 diketahui bahwa variabel posttraumatic growth
memiliki nilai minimum 27.87; nilai maksimum 70.46 dan SD = 9.39, variabel
problem focused coping memiliki nilai minimum 16.13; nilai maksimum 62.21
dan SD = 9.01, emotion focused coping memiliki nilai minimum 16.85; nilai
71
maksimum 70.48 dan SD = 9.33, dan seterusnya untuk membaca informasi pada
variabel lainnya. Kemudian dari informasi ini dapat dijelaskan mengenai
kategorisasi variabel.
4.3 Kategorisasi Hasil Penelitian
Kategorisasi variabel bertujuan menempatkan individu ke dalam kelompok-
kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan
atribut yang diukur. Kontinum jenjang ini contohnya adalah dari rendah ke tinggi
yang akan peneliti gunakan dalam kategorisasi variabel penelitian. Sebelum
mengkategorisasikan skor masing-masing variabel berdasarkan tingkat rendah dan
tinggi, peneliti terlebih dahulu menetapkan norma dari skor dengan menggunakan
nilai mean dan standar deviasi pada table sebelumnya dan berlaku pada semua
variabel. Adapun norma skor tersebut digambarkan dalam table 4.4.
Tabel 4.4
Norma Skor
Kategorisasi Rumus
Rendah X<M
Tinggi X≥M
Setelah norma kategorisasi tersebut didapatkan, selanjutnya akan dijelaskan
perolehan nilai persentase kategorisasi untuk variabel posttraumatic growth,
problem focused coping, emotion focused coping, emotion regulation, impulse
control, optimisme, causal analysis, empathy, self efficacy, reaching out. Masing-
masing variabel akan dikategorikan sebagai rendah dan tinggi.
4.3.1 Kategorisasi skor variabel posttraumatic growth
Pada tabel 4.5 menunjukan sebaran variabel posttraumatic growth yang dibagi
menjadi dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan
rendah.
72
Tabel 4.5
Kategorisasi skor variabel posttraumatic growth Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Posttraumatic Growth Rendah
Tinggi
106
95
52.7 %
47.3 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.5, ditemukan bahwa 52.7% dari total
responden memiliki tingkat posttraumatic growth rendah dan 47.3% memiliki
tingkat posttraumatic growth tinggi. Dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan
responden yang diteliti, tingkat posttraumatic growth pada recovering addict yang
paling dominan berada pada kategori rendah. Sebagai penjelas, berikut ini
persentase responden berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.6.
Tabel 4.6
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat posttraumatic growth
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 29 (41,4%) 41 (58,6%) 70 (34,8%)
HOPE 20 (40%) 30 (60%) 50 (24,9%)
HOC 26 (52%) 24 (48%) 50 (24,9%)
Female Unit 18 (66,7%) 9 (33,3%) 27 (13,4%)
OJT 2 (50%) 2 (50%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.6, ditemukan bahwa tingkat
posttraumatic growth pada recovering addict paling banyak pada Female Unit
dengan persentase sebanyak 66.7%. Sedangkan, HOC sebanyak 52%, OJT
sebanyak 50%, Primary sebanyak 41.4% dan HOPE sebanyak 40%.
4.3.2 Kategorisasi skor variabel problem focused coping
Pada tabel 4.7 menunjukan sebaran variabel problem focused coping yang dibagi
menjadi dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan
rendah.
73
Tabel 4.7
Kategorisasi Skor Variabel Problem Focused Coping Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Problem Focused Coping Rendah
Tinggi
107
94
53.2 %
46.8 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.7, ditemukan bahwa 53.2% dari total
responden menggunakan problem focused coping yang rendah pada dirinya dan
46.8% menggunakan problem focused coping yang tinggi pada dirinya. Dapat
disimpulkan bahwa dari keseluruhan responden yang diteliti, tingkat problem
focused coping pada recovering addict yang paling dominan berada pada kategori
rendah. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden berdasarkan unit
rehabilitasi, seperti pada tabel 4.8.
Tabel 4.8
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat problem focused coping
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 28 (40%) 42 (60%) 70 (34,8%)
HOPE 23 (46%) 27 (54%) 50 (24,9%)
HOC 29 (58%) 21 (42%) 50 (24,9%)
Female Unit 12 (44,4%) 15 (55,6%) 27 (13,4%)
OJT 2 (50%) 2 (50%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.8, ditemukan bahwa tingkat problem
focused coping pada recovering addict paling banyak pada HOC dengan
persentase sebanyak 58%. Sedangkan, OJT sebanyak 50%, HOPE sebanyak 46%,
Female Unit sebanyak 44.4% dan Primary sebanyak 40%.
4.3.3 Kategorisasi skor variabel emotion focused coping
Pada tabel 4.9 menunjukan sebaran variabel emotion focused coping yang dibagi
menjadi dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan
rendah.
74
Tabel 4.9
Kategorisasi Skor Variabel Emotion Focused Coping Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Emotion Focused Coping Rendah
Tinggi
110
91
63.5 %
36.5 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.9, ditemukan bahwa 63.5% dari total
responden menggunakan emotion focused coping yang rendah pada dirinya dan
36.5% menggunakan emotion focused coping yang tinggi pada dirinya. Dapat
disimpulkan bahwa dari keseluruhan responden yang diteliti, tingkat emotion
focused coping pada recovering addict yang paling dominan berada pada kategori
rendah. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden berdasarkan unit
rehabilitasi, seperti pada tabel 4.10.
Tabel 4.10
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat emotion focused coping
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 34 (48,6%) 36 (51,4%) 70 (34,8%)
HOPE 18 (36%) 32 (64%) 50 (24,9%)
HOC 23 (46%) 27 (54%) 50 (24,9%)
Female Unit 15 (55,6%) 12 (44,4%) 27 (13,4%)
OJT 1 (25%) 3 (75%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.10, ditemukan bahwa tingkat emotion
focused coping pada recovering addict paling banyak pada Female Unit dengan
persentase sebanyak 55.6%. Sedangkan, Primary sebanyak 48.6%, HOC sebanyak
46%, HOPE sebanyak 36% dan OJT sebanyak 25%.
4.3.4 Kategorisasi skor variabel emotion regulation
Pada tabel 4.11 menunjukan sebaran variabel emotion regulation yang dibagi
menjadi dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan
rendah.
75
Tabel 4.11
Kategorisasi Skor Variabel Emotion Regulation Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Emotion Regulation Rendah
Tinggi
92
109
48.4 %
51.6 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.11, ditemukan bahwa 51.6% dari
total responden merasakan emotion regulation yang tinggi pada dirinya dan
48.4% merasakan emotion regulation yang rendah pada dirinya. Dapat
disimpulkan bahwa dari keseluruhan responden yaitu recovering addict yang
diteliti cenderung merasa paling dominan berada pada kategori tinggi dalam hal
meregulasi emosi dalam dirinya. Sebagai penjelas, berikut ini persentase
responden berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.12.
Tabel 4.12
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat emotion regulation
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 35 (50%) 35 (50%) 70 (34,8%)
HOPE 26 (52%) 24 (48%) 50 (24,9%)
HOC 27 (64%) 23 (46%) 50 (24,9%)
Female Unit 17 (63%) 10 (37%) 27 (13,4%)
OJT 4 (100%) 0 (0%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.12, ditemukan bahwa tingkat emotion
regulation pada recovering addict paling banyak pada OJT dengan persentase
sebanyak 100%. Sedangkan, HOC sebanyak 64%, Female Unit sebanyak 63%,
HOPE sebanyak 52% dan Primary sebanyak 50%.
4.3.5 Kategorisasi skor variabel impulse control
Pada tabel 4.13 menunjukan sebaran variabel impulse control yang dibagi menjadi
dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
76
Tabel 4.13
Kategorisasi Skor Variabel Impulse Control Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Impulse Control Rendah
Tinggi
75
126
45.8 %
54.2 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.13, ditemukan bahwa 54.2% dari
total responden memiliki tingkat impulse control yang tinggi dan 45.8% memiliki
tingkat impulse control yang rendah pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari
keseluruhan responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan
berada pada kategori tinggi. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden
berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.14.
Tabel 4.14
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat impulse control
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 44 (62,9%) 26 (37,1%) 70 (34,8%)
HOPE 37 (74%) 13 (26%) 50 (24,9%)
HOC 27 (54%) 23 (46%) 50 (24,9%)
Female Unit 17 (63%) 10 (37%) 27 (13,4%)
OJT 1 (25%) 3 (75%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.14, ditemukan bahwa tingkat impulse
control pada recovering addict paling banyak pada HOPE dengan persentase
sebanyak 74%. Sedangkan, Female Unit sebanyak 63%, Primary sebanyak 62.9%,
HOC sebanyak 54% dan OJT sebanyak 25%.
4.3.6 Kategorisasi skor variabel optimisme
Pada tabel 4.15 menunjukan sebaran variabel optimisme yang dibagi menjadi dua
kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
77
Tabel 4.15
Kategorisasi Skor Variabel Optimisme Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Optimisme Rendah
Tinggi
111
90
55.2 %
44.8 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.15, ditemukan bahwa 55.2% dari
total responden memiliki tingkat optimisme yang rendah dan 44.8% memiliki
tingkat optimisme yang tinggi pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari
keseluruhan responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan
berada pada kategori rendah. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden
berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.16.
Tabel 4.16
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat optimism
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 31 (44,3%) 39 (55,7%) 70 (34,8%)
HOPE 20 (40%) 30 (60%) 50 (24,9%)
HOC 22 (44%) 28 (56%) 50 (24,9%)
Female Unit 14 (51,9%) 13 (48,1%) 27 (13,4%)
OJT 3 (75%) 1 (25%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.16, ditemukan bahwa tingkat
optimisme pada recovering addict paling banyak pada OJT dengan persentase
sebanyak 75%. Sedangkan, Female Unit sebanyak 51.9%, Primary sebanyak
44.3%, HOC sebanyak 44% dan HOPE sebanyak 40%.
4.3.7 Kategorisasi skor variabel causal analysis
Pada tabel 4.17 menunjukan sebaran variabel causal analysis yang dibagi menjadi
dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
78
Tabel 4.17
Kategorisasi Skor Variabel Causal Analysis Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Causal Analysis Rendah
Tinggi
97
104
48.3%
51.7 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.17, ditemukan bahwa 48.3% dari
total responden memiliki tingkat causal analysis yang rendah dan 51.7% memiliki
tingkat causal analysis yang tinggi pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari
keseluruhan responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan
berada pada kategori tinggi. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden
berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.18.
Tabel 4.18
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat causal analysis
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 34 (48,6%) 36 (51,4%) 70 (34,8%)
HOPE 24 (48%) 26 (52%) 50 (24,9%)
HOC 28 (56%) 22 (44%) 50 (24,9%)
Female Unit 15 (55,6%) 12 (44,4%) 27 (13,4%)
OJT 3 (75%) 1 (25%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.18, ditemukan bahwa tingkat
causal analysis pada recovering addict paling banyak pada OJT dengan
persentase sebanyak 75%. Sedangkan, HOC sebanyak 56%, Female Unit
sebanyak 55.6%, Primary sebanyak 48.6% dan HOPE sebanyak 48%.
4.3.8 Kategorisasi skor variabel empathy
Pada tabel 4.19 menunjukan sebaran variabel empathy yang dibagi menjadi dua
kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
79
Tabel 4.19
Kategorisasi Skor Variabel Empathy Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Empathy Rendah
Tinggi
52
149
25.9 %
74.1 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.19, ditemukan bahwa 74.1% dari
total responden memiliki tingkat empathy yang tinggi dan 25.9% memiliki tingkat
empathy yang rendah pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan
responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan berada pada
kategori tinggi. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden berdasarkan
unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.20.
Tabel 4.20
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat empathy
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 57 (81,4%) 13 (18,6%) 70 (34,8%)
HOPE 39 (78%) 11(22%) 50 (24,9%)
HOC 35 (70%) 15 (30%) 50 (24,9%)
Female Unit 17 (63%) 10 (37%) 27 (13,4%)
OJT 1 (25%) 3 (75%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.20, ditemukan bahwa tingkat
empathy pada recovering addict paling banyak pada Primary dengan persentase
sebanyak 81.4%. Sedangkan, HOPE sebanyak 78%, HOC sebanyak 70%, Female
Unit sebanyak 63% dan OJT sebanyak 25%.
4.3.9 Kategorisasi skor variabel self efficacy
Pada tabel 4.21 menunjukan sebaran variabel self efficacy yang dibagi menjadi
dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
80
Tabel 4.21
Kategorisasi Skor Variabel Self Efficacy Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Self Efficacy Rendah
Tinggi
123
78
61.2 %
38.8 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.21, ditemukan bahwa 61.2% dari
total responden memiliki tingkat self efficacy yang rendah dan 38.8% memiliki
tingkat self efficacy yang tinggi pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari
keseluruhan responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan
berada pada kategori rendah. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden
berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.22.
Tabel 4.22
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat self efficacy
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 39 (25,7%) 31 (44,3%) 70 (34,8%)
HOPE 33 (66%) 17 (34%) 50 (24,9%)
HOC 30 (60%) 20 (40%) 50 (24,9%)
Female Unit 18 (66,7%) 9 (33,3%) 27 (13,4%)
OJT 3 (75%) 1 (25%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.22, ditemukan bahwa tingkat self
efficacy pada recovering addict paling banyak pada OJT dengan persentase
sebanyak 75%. Sedangkan, Female Unit sebanyak 66.7%, HOPE sebanyak 66%,
HOC sebanyak 60% dan Primary sebanyak 25.7%.
4.3.10 Kategorisasi skor variabel reaching out
Pada tabel 4.23 menunjukan sebaran variabel reaching out yang dibagi menjadi
dua kategori sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu tinggi dan rendah.
81
Tabel 4.23
Kategorisasi Skor Variabel Reaching Out Variabel Kategorisasi Frequency Percent
Reaching Out Rendah
Tinggi
104
97
51.7 %
48.3 %
Total 201 100%
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.23, ditemukan bahwa 51.7% dari
total responden memiliki tingkat reaching out yang rendah dan 48.3% memiliki
tingkat reaching out yang tinggi pada dirinya. Dapat disimpulkan bahwa dari
keseluruhan responden yaitu recovering addict yang diteliti cenderung dominan
berada pada kategori rendah. Sebagai penjelas, berikut ini persentase responden
berdasarkan unit rehabilitasi, seperti pada tabel 4.24.
Tabel 4.24
Kategorisasi subjek berdasarkan tingkat reaching out
Unit Rehabilitasi Tinggi Rendah
Total N (%) N (%)
Primary 36 (51,4%) 34 (48,6%) 70 (34,8%)
HOPE 24 (48%) 26 (52%) 50 (24,9%)
HOC 25 (50%) 25 (50%) 50 (24,9%)
Female Unit 11 (40,7%) 16 (59,3%) 27 (13,4%)
OJT 1 (25%) 3 (75%) 4 (2,0%)
Total 201 (100%)
Sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 4.24, ditemukan bahwa tingkat
reaching out pada recovering addict paling banyak pada Primary dengan
persentase sebanyak 51.4%. Sedangkan, HOC sebanyak 50%, HOPE sebanyak
48%, Female Unit sebanyak 40.7% dan OJT sebanyak 25%.
4.3 Uji Hipotesis
4.3.1 Pengujian hipotesis mayor
Pada tahap ini peneliti menguji hipotesis dengan teknis analisis berganda dengan
menggunakan software SPSS. Pada regresi berganda ada tiga hal yang dilihat,
yaitu melihat besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians
dependent variabel yang dijelaskan oleh independent variabel, melihat
82
signifikansi pengaruh keseluruhan independent variabel terhadap dependent
variabel, dan melihat signifikansi koefisien regresi dari masing-masing
independent variabel.
Table 4.25
R-Square seluruh sampel
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .394 .155 .115 8.83434
Sebagaimana ditunjukkan tabel 4.25 dapat dilihat bahwa perolehan R square
sebesar 0.155 atau 15,5% artinya proporsi varians dari posttraumatic growth yang
dijelaskan oleh problem focused coping, emotion focused coping, emotion
regulation, impulse control, optimisme, causal analysis, empathy, self efficacy,
dan reaching out adalah sebesar 15.5%, sedangkan 84.5% sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain diluar penelitian ini. Langkah kedua penguji menganalisis
dampak dari seluruh IV terhadap posttraumatic growth. Adapun hasil uji F dapat
dilihat pada table 4.26.
Tabel 4.26
Anova Seluruh Sampel
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 2739.482 9 304.387 3.900 .000b
Residual 14906.691 191 78.046
Total 17646.173 200
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.26, saat melihat kolom signifikansi
(p<0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang
signifikan seluruh variabel independen terhadap posttraumatic growth tidak
diterima (H0= ditolak). Artinya ada pengaruh yang signifikan antara strategi
coping (problem focused coping dan emotion focused coping) dan resiliensi
83
(emotion regulation, impulse control, optimisme, causal analysis, empathy, self
efficacy, reaching out) terhadap posttraumatic growth.
Langkah ketiga adalah melihat koefisien regresi tiap independent variabel.
Jika p<0.05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti bahwa IV
tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap posttraumatic growth. Adapun
penyajiannya ditampilkan pada table 4.27. Berdasarkan koefisien regresi pada
table 4.28 dijelaskan persamaan regresi sebagai berikut:
Tabel 4.28
Koefisien Regresi
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 9.183 11.558 0.795 0.428
Problem focused coping 0.095 0.072 0.091 1.316 0.190
Emotion focused coping 0.018 0.071 0.017 0.247 0.805
Emotion regulation 0.127 0.070 0.135 1.814 0.071
Impulse control 0.323 0.113 0.252 2.868 0.005
Optimisme 0.037 0.093 0.031 0.397 0.692
Causal analysis 0.022 0.111 0.016 0.196 0.845
Empathy -0.064 0.074 -0.068 -0.872 0.384
Self efficacy 0.276 0.092 0.232 3.002 0.003
Reaching out -0.16 0.067 -0.017 -0.241 0.810
a. Dependent Variable:PTG
Posttraumatic Growth = 9.183 + 0.095 Problem Focused Coping + 0.018 Emotion Focused Coping
+ 0.127 Emotion Regulation + 0.323 Impulse Control* + 0.037 Optimisme + 0.022 Causal
Analysis - 0.064 Empathy + 0.276 Self Efficacy* -0.016 Reaching Out.
Keterangan : Bertanda (*) menunjukkan variabel yang signifikan
Dari table 4.28 dapat dilihat bahwa impulse control dan self efficacy
berpengaruh secara signifikan terhadap posttraumatic growth. Hal tersebut dapat
dilihat dari kolom Sig. pada tabel 4.28, jika p<0.05 maka koefisen regresi yang
dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap posttraumatic growth dan begitu
sebaliknya. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh pada masing-
masing IV adalah sebagai berikut:
84
1. Problem focused coping
Pada variabel problem focused coping memiliki nilai koefisien regresi sebesar
0.095 dengan signifikansi sebesar 0.190 (sig>0.05). Problem focused coping
secara positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
2. Emotion focused coping
Pada variabel emotion focused coping memiliki nilai koefisien regresi sebesar
0.018 dengan signifikansi 0.805 (sig>0.05). Emotion focused coping secara
positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
3. Emotion Regulation
Pada variabel emotion regulation memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.323
dengan signifikansi 0.071 (sig>0.05). Hal ini berarti bahwa emotion regulation
secara positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
4. Impulse Control
Pada variabel impulse control memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.323
dengan signifikansi 0.005 (sig<0.05). Hal ini berarti bahwa impulse control
secara positif berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. Artinya,
semakin tinggi impulse control maka semakin tinggi posttraumatic growth.
5. Optimisme
Pada variabel optimisme memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.037 dengan
signifikansi 0.692 (sig>0.05). Hal ini berarti bahwa optimisme secara positif
tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
85
6. Causal Analysis
Pada variabel causal analysis memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.022
dengan signifikansi 0.845 (sig>0.05). Hal ini berarti bahwa causal analysis
secara positif tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
7. Empathy
Pada variabel empathy memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0.064 dengan
signifikansi 0.384 (sig>0.05). Hal ini berarti bahwa empathy secara negatif
tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
8. Self Efficacy
Pada variabel self efficacy memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.276
dengan signifikansi 0.003 (sig<0.05). Hal ini berarti bahwa self efficacy secara
positif berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth. Artinya,
semakin tinggi self efficacy maka semakin tinggi posttraumatic growth.
9. Reaching Out
Pada variabel reaching out memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0.016
dengan signifikansi 0.810 (sig>0.05). Hal ini berarti bahwa secara negatif
reaching out tidak berpengaruh signifikan terhadap posttraumatic growth.
4.3.2 Uji Proporsi Varians masing-masing variabel
Pada tahap ini peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varians
dari masing-masing independent variable terhadap posttraumatic growth. Dengan
melihat nilai R-Square Change sebagai jumlah sumbangan independent variabel
terhadap variasi dependent variabel. Kemudian nilai sig F Change untuk melihat
signifikansi R-Square Change (p<0.05).
86
Tabel 4.29
Tabel proporsi varians untuk masing-masing variabel
Model R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F
Change
1 0.084 0.007 0.002 9.38321 0.007 1.423 1 199 0.234
2 0.091 0.008 -0.002 9.40098 0.001 .248 1 198 0.619
3 0.153 0.023 0.008 9.35342 0.015 3.019 1 197 0.084
4 0.337 0.113 0.095 8.93427 0.090 19.918 1 196 0.000
5 0.337 0.113 0.091 8.95698 0.000 .007 1 195 0.932
6 0.337 0.113 0.086 8.97996 0.000 .003 1 194 0.957
7 0.339 0.115 0.083 8.99476 0.002 .362 1 193 0.548
8 0.394 0.155 0.120 8.81264 0.040 9.059 1 192 0.003
9 0.394 0.155 0.115 8.83434 0.000 .058 1 191 0.810
Predictors: problem focused coping, emotion focused coping, emotion regulation, impulse control,
optimisme, causal analysis, empathy, self efficacy, reaching out
Sebagaimana table 4.29 dapat dijelaskan informasi sebagai berikut:
1. Problem focused coping
Variabel problem focused coping memiliki nilai R Square change sebesar
0.007 atau memberikan kontribusi sebesar 0.7% terhadap posttraumatic
growth. Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F
Change = 0.234 (p>0.05).
2. Emotion focused coping
Variabel emotion focused coping memiliki nilai R Square change sebesar 0.001
atau memberikan kontribusi sebesar 0.1% terhadap posttraumatic growth.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change =
0.619 (p>0.05).
3. Emotion regulation
Variabel emotion regulation memiliki nilai R Square change sebesar 0.015 atau
memberikan kontribusi sebesar 1.5% terhadap posttraumatic growth.
87
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change=0.084
(p>0.05).
4. Impulse control
Variabel impulse control memiliki nilai R Square change sebesar 0.090 atau
memberikan kontribusi sebesar 9% terhadap posttraumatic growth. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik dengan sig F Change = 0.000 (p<0.05).
5. Optimisme
Variabel optimisme memiliki nilai R Square change sebesar 0.000 atau
memberikan kontribusi sebesar 0% terhadap posttraumatic growth. Kontribusi
tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change = 0.932 (p>0.05).
6. Causal analysis
Variabel causal analysis memiliki nilai R Square change sebesar 0.000 atau
memberikan kontribusi sebesar 0% terhadap posttraumatic growth. Kontribusi
tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change = 0.957 (p>0.05).
7. Empathy
Variabel empathy memiliki nilai R Square change sebesar 0.002 atau
memberikan kontribusi sebesar 0.2% terhadap posttraumatic growth.
Kontribusi tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change =
0.548 (p>0.05).
8. Self efficacy
Variabel self efficacy memiliki nilai R Square change sebesar 0.040 atau
memberikan kontribusi sebesar 4% terhadap posttraumatic growth. Kontribusi
tersebut signifikan secara statistik dengan sig F Change=0.003 (p<0.05).
88
9. Reaching out
Variabel reaching out memiliki nilai R Square change sebesar 0.000 atau
memberikan kontribusi sebesar 0% terhadap posttraumatic growth. Kontribusi
tersebut tidak signifikan secara statistik dengan sig F Change=0.810 (p>0.05).
Berdasarkan hasil uji varians masing-masing variabel dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua variabel yang signifikan berdasarkan proporsi variansnya yaitu
variabel impulse control dan self efficacy sebagai variabel yang memberikan
sumbangan terbesar pada posttraumatic growth.
89
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: “Terdapat pengaruh
yang signifikan antara strategi coping dan resiliensi terhadap posttraumatic
growth pada recovering addict”. Dari keseluruhan variabel yang diteliti, variabel
yang menunjukkan pengaruh signifikan yaitu impulse control dan self efficacy.
Jika dilihat dari besarnya proporsi masing-masing varians, juga ditemukan dua
variabel yang signifikan mempengaruhi posttraumatic growth.
5.2 Diskusi
Penelitian ini merupakan usaha untuk menjawab masalah yang peneliti rumuskan
khususnya dalam melihat posttraumatic growth individu yang pernah
mengkonsumsi narkoba, dimana individu dan OJT/Mayor adalah subjek utama
dalam penelitian ini yang merupakan unsur penting dalam suatu intansi sebagai
penentu keberhasilan rehabilitasi tersebut dimata masyarakat umum, dimana
segala unsur ekternal maupun internal yang ada di dalam individu tersebut sangat
berpengaruh terhadap keberhasilannya dalam menjalani rehabilitasi. Lebih
khususnya, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh internal individu,
yaitu strategi coping dan resiliensi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
dari strategi coping dan resiliensi terhadap posttraumatic growth di Balai Besar
Rehabilitasi. Pertama, hasil penelitian ini memaparkan bahwa variabel problem
90
focused coping yang termasuk dimensi strategi coping ini secara positif tidak
mempengaruhi posttraumatic growth. Kedua, variabel emotion focused coping
secara positif juga tidak mempengaruhi posttraumatic growth. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Steward (2010) bahwa terdapat hasil yang
signifikan pada problem focused coping dan emotion focused coping pada
mahasiswa di University North Texas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
persepsi individu dan pengalaman subjektif dari peristiwa traumatis memainkan
peran penting dalam bagaimana mereka dapat tumbuh dari pengalaman.
Namun problem focused coping dan emotion focused coping yang tidak
memberikan kontribusi signifikan dalam penelitian ini bisa dikarenakan
perbedaan sampel pada penelitian dan mungkin juga bisa disebabkan recovering
addict saat mengisi kuesioner tidak serius dan tidak menyesuaikan pernyataan
dengan apa yang dialami (manipulasi).
Hasil lain dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan dari resiliensi terhadap posttraumatic growth pada residen
narkoba. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Schmidt-Ehmcke (2008) bahwa resiliensi mempengaruhi PTG pada sampel yang
mengalami berbagai jenis trauma di Afrika Selatan. Tedeschi dan Calhoun dalam
Schmidt-Ehmcke (2008) berpendapat bahwa bagi seseorang untuk mengalami
PTG, mereka harus bersedia untuk mengambil tantangan serta pendekatan terus
menerus untuk pengalaman dan pemecahan masalah. Orang yang memiliki miskin
keterampilan dan yang memandang diri mereka kurang mampu, akan kewalahan
dengan trauma dan karena itu tidak mampu untuk mengumpulkan setiap
91
tanggapan yang efektif. Sedangkan, orang yang tinggi dalam tantangan
menganggap hidup sebagai hasil dari pertumbuhan dan kebijaksanaan yang
didapat dari pengalaman sulit (Maddi & Khoshaba, 1994). Oleh karena itu mereka
akan menganggap perubahan sebagai tantangan normal yang perlu diatasi bukan
mempersepsikan sebagai ancaman (dalam Schmidt-Ehmcke, 2008).
Hasil yang sama dari penelitian Mahdi, Kususanto Prihadi, Sahabuddin
Hashim (2014) mengingat bahwa kedua faktor resiliensi secara signifikan
mempengaruhi PTG siswa Irak yang terkena peristiwa traumatis, dapat dilihat
bahwa seseorang yang mengembangkan resiliensi yang lebih kuat juga
mengembangkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami PTG.
Resiliensi secara signifikan memprediksi PTG pada sampel ini. Hasil penelitian
juga menyiratkan bahwa memiliki dua faktor resiliensi (kapasitas adaptif dan
hubungan positif dengan orang lain) dapat meningkatkan kemungkinan bagi
seorang individu untuk mengembangkan PTG setelah mengalami peristiwa
traumatis. Mereka percaya bahwa hasil positif dari peristiwa traumatik bergantung
pada kombinasi dari beberapa variabel, termasuk resiliensi. Dengan kata lain,
resiliensi menstimulasi PTG dan bantuan individu kembali ke kehidupan normal
setelah mengalami peristiwa traumatis.
Beberapa fakta sebelumnya menyatakan adanya pengaruh yang
signifikan dari resiliensi terhadap posttraumatic growth secara umum. Sementara
itu, penelitian ini hanya dua dimensi resiliensi yang berpengaruh signifikan
terhadap posttraumatic growth, yaitu impulse control dan self efficacy.
92
Variabel impulse control merupakan kemampuan untuk melakukan
kontrol emosional ketika tertekan. Impulse control, aspek regulasi emosi, adalah
kemampuan untuk mengontrol perilaku untuk berperilaku dengan cara yang
selaras dengan tujuan yang diinginkan ketika mengalami emosi negatif (Gratz &
Roemer, 2004).
Konsep impulse control juga mencakup kemampuan untuk mengenali
dan menerima emosi dan adaptif digunakan strategi regulasi emosi saat yang tepat
(Gratz & Roemer, 2004; Thompson, 1994). Melekat dalam konsep impulse
control adalah gagasan bahwa respon emosional harus fleksibel dan tergantung
pada situasi (Thompson, 1994). Aspek impulse control telah ditemukan terkait
dengan PTG (misalnya, Hussain & Bhushan, 2011).
Penelitian yang dilakukan Kaufman (2014) sejalan dengan hasil
penelitian bahwa impulse control memberikan pengaruh positif terhadap PTG.
Impulse control sebagai faktor pelindung dalam pengembangan PTG. Namun,
temuan ini berkontribusi pada literatur tentang variabel perbedaan individual yang
berkaitan dengan pertumbuhan pasca trauma. Individu berbeda dalam bagaimana
mereka menanggapi peristiwa traumatis dan penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan ini memainkan peran penting dalam
menentukan hasil.
Sebagaimana hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat
diambil kesimpulan juga bahwa dari keseluruhan responden yang diteliti
merasakan impulse control yang tinggi pada dirinya. Hal tersebut dilihat dari
kategorisasi yang menunjukkan bahwa impulse control yang dirasakan responden
93
paling dominan berada pada kategori tinggi, sedangkan pada OJT/Mayor berada
pada kategori rendah.
Variabel lain yang signifikan pengaruhnya terhadap posttraumatic
growth adalah self efficacy. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Farah Lotfi-Kashani dkk (2014) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
self-efficacy dan PTG pada pasien kanker, self-efficacy akan mencapai hasil yang
lebih baik mengenai manajemen diri dan harapan hidup lebih tinggi. Orang yang
self efficacy nya tinggi secara efektif dapat mengatasi masalah dan rendah
mengalami stres dan depresi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jennifer
R.Markus (2010) juga menyatakan adanya pengaruh self efficacy terhadap
posttraumatic growth.
Self efficacy merupakan salah satu faktor kepribadian yang telah terlibat
dalam pengembangan, proses, dan hasil PTG. Self efficacy didefinisikan sebagai
persepsi seseorang tentang nya atau kemampuannya untuk diterapkan di berbagai
situasi. Menurut teori kognitif sosial, self efficacy adalah serangkaian keyakinan
tentang diri terkait dengan domain tertentu dari fungsi. Ketika individu yang
tinggi self efficacy, mereka merasa seolah-olah mereka kompeten untuk
mengendalikan situasi mereka saat ini untuk "menyadari diinginkan berjangka
lebih baik dan mencegah yang tidak diinginkan" (Bandura, 2000). Ketika individu
tidak merasa bahwa tindakan mereka akan membuat dampak yang signifikan,
mereka tidak mungkin untuk bertindak pada tujuan mereka.
Sebagaimana hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat
diambil kesimpulan juga bahwa dari keseluruhan responden yang diteliti
94
merasakan self efficacy yang tinggi pada dirinya. Hal tersebut dilihat dari
kategorisasi yang menunjukkan bahwa self efficacy yang dirasakan responden
paling dominan berada pada kategori tinggi.
5.3 Saran
Setelah melalui seluruh proses dan penyusunan laporan hasil penelitian, peneliti
menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Dengan demikian,
peneliti membagi saran menjadi dua, yaitu saran teoritis dan praktis. Saran
tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang akan
menggunakan dependent variable (DV) yang sama.
5.3.1 Saran teoritis
1. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan teori resiliensi dan coping yang
sesuai dengan karakteristik residen dan OJT/Mayor, dengan begitu bisa
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PTG.
2. Penelitian lebih lanjut dapat menggunakan sampel pecandu narkoba yang
telah keluar dari panti rehabilitasi (pasca perawatan), sehingga kemungkinan
dapat ditemukan karakteristik lain yang berbeda dengan hasil penelitian ini.
5.3.2 Saran Praktis
1. Penelitian ini dapat dijadikan dasar pengadaan program-program yang dapat
mengoptimalkan PTG. Misalnya seperti seminar, pelatihan, atau workshop
bagi residen dan OJT.
2. Dimensi impulse control secara signifikan mempengaruhi PTG, oleh sebab
itu, residen dan OJT/Mayor perlu meningkatkan kemampuannya dalam
95
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, dan tekanan yang muncul
dalam diri individu.
3. Dimensi self efficacy secara signifikan mempengaruhi PTG, oleh sebab itu,
residen dan OJT/Mayor perlu meningkatkan keyakinan pada dirinya bahwa
mampu menghadapi dan memecahkan masalah dengan baik.
96
DAFTAR PUSTAKA
Butar, D. (2013). Perkembangan ancaman bahaya narkoba di Indonesia tahun
2008 – 2012. Jakarta.
Chun, S., Lee, Y. (2010). The role of leisure in the experience of posttraumatic
growth for people with spinal cord injury. Journal of Leisure Research, 42
(3), 393–415.
Duan W, Guo P, Gan P (2015) Relationships among trait resilience, virtues,
posttraumatic stress disorder, and posttraumatic growth. 10(5).
doi:10.1371/journal.pone.0125707.
Folkman, S., Lazarus, R.S. (1997). Ways of coping questionnaire. USA
Hewitt, A.J. (2007). After the fire: Posttraumatic growth in recovery from
addictions. Thesis. University of Bath, UK.
Tucson, A.Z. (2013). Diakses pada tanggal 4 Januari 2015 pukul 20:26. Diunduh
dari http://www.psychologytoday.com.
Joseph, S. (2009). Growth following adversity: Positive psychological
perspectives on posttraumatic stress. Centre for Trauma, Resilience, and
Growth, University of Nottingham, UK
Kashani, F.L., dkk. (2014). Predicting posttraumatic growth based upon self
efficacy and perceived social support in cancer patients. Iran J Cancer Prev.
2014 Summer, 7(3): 115-123
Kastenmu, A., llera., Greitemeyerb, T., Eppc, d., Freyc, D & Fischer, P. (2012).
Posttraumatic growth: why do people grow from their trauma? Anxiety,
Stress, & Coping: An International Journal, 25 (5), 477-489.
Kaufman, J.S. (2014). The capacity to dissociate: exploring the adaptive potencial
of dissociative experiences. Thesis: Miami University Oxford, Ohio
Lazarus, R.S. (1993). Coping theory and research: Past, present, and future,
psychosomatic medicine, 55 (2), 234-247.
Lazarus, Richard.S. (2006). Stress and emotion. New York
Linley, P.A., Joseph, S. (2004). Positive change following trauma and adversity: a
review, Journal of Traumatic Stress, 17 (1).
97
Mahdi, H.K., Prihadi, K., & Hashim, S. (2014). Posttraumatic growth and
resilience after a prolonged war: A study in baghdad, iraq, International
Journal of Evaluation and Research in Education (IJERE), 3 (3),
197~204.
Mahleda, M., & Hartini, N. (2012). Posttraumatic growth pada pasien kanker
payudara pasca mastektomi usia dewasa madya. Jurnal Psikologi Klinis
dan Kesehatan Mental, 1 (2).
Moore, M. (2014). Diakses pada tanggal 4 Januari 2016 pukul 21.00. Diunduh
dari http://www.posttraumaticgrowth.com/whatisptg/.
Papalia, Olds, Feldman. (2009). Human development. New York.
Pertiwi, M. (2011). Dimensi religiusitas dan resiliensi pada residen narkoba di
BNN Lido. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Rahmah, S. (2013). Diakses pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 21.12. Diunduh
dari http://rahmahzelectry.blogspot.co.id/2013/11/posttraumatic-growth-
ptg.html.
Ramos, C., Leal, I. (2013). Posttraumatic growth in the aftermath of trauma: A
literature review about related factors and application contexts. Journal of
Psychology, Community & Health, 2 (1), 43–54. doi:10.5964/pch.v2i1.39.
Reivich, K., & Shatte, A. (2002) The resilience factor. New York.
Schexnaildre, M.A. (2011). Predicting posttraumatic growth: Coping, social
support, and posttraumatic stress in children and adolescents after
hurricane katrina. Thesis. B.S., Louisiana State University.
Schmidt, A. (2008). The relation between posttraumatic growth and resilience in
the south african context. Thesis. University of the Witwatersrand,
Johannesburg.
Shafira, Farah. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi posttraumatic growth
pada recovering addict di unit pelaksana teknis (upt) terapi dan rehabilitasi
BNN Lido. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Slyke, J.V. (2010). Posttraumatic growth. Research Facilitation: Naval Center for
Combat & Operational Stress Control.
Steele, W., & Kuban, C. (2011). Trauma informed resilience and posttraumatic
growth (PTG). 20 (3).
98
Steward, J.M. (2010). Effects of trauma intensity on posttraumatic growth:
depression, social support, coping, and gender. Thesis. Psychology
Department, College Art and Sciences & Honors College.
Stump, M.J., Smith, J.E. (2008). The relationship between posttraumatic growth
and substance use in homeless women with histories of traumatic
experience. The American Journal on Addictions, 17 (1) 478–487.
Tedeschi, R.G., Calhoun, L.G (2004). Posstraumatic growth: Conceptual
foundations and empirical evidence psychological inquiry. 15 (1), 1-18.
Tedeschi, R.G., Calhoun, L.G. (1996). Posttraumatic growth inventory:
Measuring the positive legacy of trauma. Journal of Traumatic Stress, 9
(3).
LAMPIRAN
99
KUESIONER PENELITIAN
Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang
melakukan penelitian tugas akhir.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi responden dalam
penelitian ini dan mengisi kuesioner sesuai dengan keadaan pada diri Saudara. Dalam
kuesioner ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah. Adapun infromasi dan data
Saudara akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya dan akan dijamin kerahasiannya.
Atas perhatian dan bantuan Saudara saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya
Nadiah Oktivanie
1111070000046
DATA DIRI (Wajib Diisi)
Nama (Inisial) :
Fase : a. Primary (Younger / Middle / Older)
b. HOPE (Younger / Middle / Older)
c. HOC (Younger / Middle / Older)
d. OJT / Mayor
Usia :
Jenis Kelamin : L / P
100
PETUNJUK
Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Saudara saat
ini sesuai dengan pilihan jawaban yang Saudara berikan, yaitu :
SS : Sangat Sesuai TS : Tidak Sesuai
S : Sesuai STS : Sangat Tidak Sesuai
Contoh
No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya orang yang ramah X
SKALA UKUR 1
No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya percaya bahwa orang lain dapat membantu saya
ketika mengalami kesulitan
2 Saya dapat dekat dengan orang lain
3 Saya dapat mengutarakan pada orang lain tentang
apa yang saya rasakan
4 Saya dapat mengekspresikan rasa kasih sayang pada
orang lain
5 Saya dapat menjalin hubungan baik dengan orang
lain
6 Saya merasa orang-orang di sekitar saya adalah
orang yang baik
7 Saya membutuhkan orang lain dalam hidup saya
8 Saya dapat mengembangkan minat saya
9 Saya dapat melihat kesempatan-kesempatan baru
untuk hidup di masa mendatang
10 Saya bisa melakukan hal-hal yang lebih baik untuk
kehidupan
11 Saya bisa mengambil peluang-peluang baru yang
tersedia
12 Saya dapat menentukan hal-hal yang perlu diubah
dan tidak perlu diubah bagi kehidupan saya
13 Saya merasa memiliki diri yang lebih kuat
14 Saya mampu mengatasi kesulitan dalam hidup saya
15 Saya dapat menerima cara bekerja pikiran saya
16 Saya tahu bahwa saya lebih kuat dari yang saya pikir
17 Saya memiliki pemahaman spiritual yang lebih baik
18 Saya merasa lebih dekat dengan Tuhan
19 Saya dapat lebih menentukan mana hal yang penting
dan tidak penting bagi kehidupan saya
20 Saya memiliki pemahaman tentang nilai kehidupan
21 Saya dapat lebih menghargai hidup setiap harinya
101
SKALA UKUR 2
No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya fokus pada apa yang harus saya lakukan
selanjutnya
2 Saya tetap melakukan sesuatu yang saya pikir tidak
bisa saya lakukan, setidaknya saya sudah mencoba
3 Saya mencoba mengubah cara berpikir orang lain
4 Saya berbicara dengan seseorang untuk mengetahui
lebih lanjut tentang masalah yang sedang saya hadapi
5 Saya dapat mengkritik diri saya sendiri
6 Saya mencoba untuk membuka diri
7 Saat sedang ada masalah, biasanya saya menunggu
keajaiban saja agar masalah tersebut selesai
8 Saya pasrah pada takdir, memang kadang – kadang
nasib buruk menghampiri kita
9 Saat ada masalah, saya cuek saja seolah tidak terjadi
apa – apa
10 Saya terbiasa memendam masalah sendiri
11 Saya berusaha melihat sisi baik dari suatu masalah
12 Saat ada masalah, saya memilih lebih banyak tidur
13 Saya marah kepada orang yang menyebabkan
masalah
14 Saya mencari simpati dan pemakluman dari orang
lain
15 Saya dapat kreatif mencari alternatif pemecahan
masalah
16 Saya mencoba untuk melupakan semuanya
17 Saya mencari bantuan profesional, saat sedang
mengalami permasalahan
18 Saya dapat berubah sebagai pribadi yang lebih baik
lagi
19 Saya dapat meminta maaf atau melakukan sesuatu
agar dapat memperbaiki kesalahan
20 Saya membuat rencana tindkan penyelesaian
masalah dan melaksanakan rencana tersebut
21 Saya membiarkan perasaan – perasaan saya mengalir
begitu saja
22 Saya menyadari bahwa masalah itu berasal dari diri
saya
23 Saya dapat memaknai pengalaman lebih baik ketika
saya berhasil menyelesaikan masalah
24 Saya bicara pada seseorang yang bisa membantu
secara konkret pada masalah yang saya hadapi
25 Saya membuat perasaan saya lebih baik dengan
makan, minum, narkoba atau obat-obatan
26 Saya dapat mengambil resiko besar demi
memecahkan masalah
27 Dalam bertindak, saya usahakan untuk tidak terburu-
102
buru
28 Saya menemukan keyakinan baru
29 Saya dapat membuat prioritas apa yang paling
penting dihidup saya
30 Saya dapat mengubah keadaan sehingga semuanya
normal kembali
31 Saya menghindari berada bersama orang lain
32 Saya tidak terlalu banyak memikirkan masalah
33 Saya minta saran dari kerabat atau teman yang saya
anngap dapat membantu saya
34 Saya menjaga agar orang lain tidk mengetahui saat
saya ada masalah
35 Saya menolak untuk terlalu serius menghadapi
masalah
36 Saya berbicara dengan seseorang tentang bagaimana
perasaan saya
37 Saya berjuang untuk mendapatkan apa yang saya
inginkan
38 Saya menyerahkan masalah saya pada orang lain
39 Saya dapat belajar dari pengalaman masa lalu
40 Saya dapat lebih gigih untuk merealisasikan
keinginan saya
41 Saya menolak percaya bahwa masalah itu terjadi
pada diri saya
42 Saya berjanji bahwa tidak akan mengalami masalah
43 Saat ada masalah, saya sudah memiliki beberapa
solusi
44 Saya dapat menjaga jarak dengan masalah
45 Saya dapat merubah diri saya
46 Saya berharap masalah yang saya hadapi berlalu
begitu saja
47 Saya memiliki banyak keinginan agar masalah saya
dapat teratasi
48 Saat ada masalah, saya lebih banyak berdoa
49 Saya akan melakukan apa yang ada dalam pikiran
dan yang saya ucapkan
50 Saat menyelesaikan masalah, saya mencontoh orang
yang saya pikir dapat menyelesaikan masalahnya
SKALA UKUR 3
No Pernyataan SS S TS STS
1 Dalam memecahkan masalah, saya menggunakan
solusi pertama yang saya pikirkan
2 Saya mudah emosi ketika berbicara dengan orang
lain
3 Saya khawatiran dengan kesehatan di masa depan
4 Saya bisa konsentrasi walaupun ada gangguang
103
dalam mengerjakan suatu hal
5 Saya mencoba solusi sampai menemukan satu yang
berhasil
6 Saya memiliki rasa penasaran yang tinggi
7 Saya tidak dapat memanfaatkan emosi positif untuk
fokus pada tugas
8 Saya suka mencoba hal baru
9 Saya lebih suka melakukan hal yang saya suka dan
mudah daripada hal yang menantang dan sulit
10 Saya paham apa yang dirasakan orang lain
11 Saya menyerah ketika melakukan kesalahan
12 Saya memiliki banyak solusi untuk menyelesaikan
masalah
13 Saya dapat mengendalikan apa yang saya rasakan
dalam masa sulit
14 Saya tidak peduli dengan apa yang orang pikirkan
tentang saya
15 Ketika terjadi masalah, saya menyadari pikiran
pertama yang muncul ke saya mendengar tentang hal
itu
16 Saya merasa nyaman dalam situasi yang semuanya
bertanggung jawab
17 Saya bergantung pada kemampuan orang lain
18 Saya yakin bahwa masalah ada jalan keluarnya
19 Saya mencari tahu penyebab dari masalah sebelum
menyelesaikannya
20 Saya ragu dengan kemampuan saya dalam
memecahkan masalah
21 Saya tidak membuang waktu untuk berpikir hal – hal
di luar kendali
22 Saya senang melakukan tugas yang sederhana namun
rutin
23 Saya mudah terbawa perasaan
24 Saya sulit memahami apa yang orang pikirkan
25 Saya paham apa yang saya pikiran sehingga
mempengaruhi perasaan saya
26 Saya menenangkan diri terlebih dahulu ketika orang
lain membuat saya kesal
27 Saya berpikir positif terhadap orang lain yang sedang
menghadapi masalah
28 Saya berharap bahwa saya mampu melakukan
apapun dengan baik pada banyak hal
29 Orang – orang mencari saya untuk membantu
mencari tahu penyebab masalah
30 Saya sulit memahami perilaku orang dalam
menyelesaikan masalah
31 Saya mampu fokus dan itu bergantung pada perasaan
saya
32 Saya merasa puas dengan apa yang saya kerjakan
104
33 Saya khawatir dinilai negatif pada tugas yang saya
kerjakan
34 Saya memahami apa yang menyebabkan perasaan
orang lain
35 Saya tidak menyukai tantangan
36 Saya tidak memiliki perencanaan dalam hidup
37 Saya menghibur teman yang sedang bersedih
38 Saya melakukan sesuatu dengan spontan
39 Saya percaya bahwa masalah terjadi di luar kendali
saya
40 Saya melihat tantangan sebagai cara untuk belajar
dan peningkatan diri
41 Saya sering salah mengartikan peristiwa dan situasi
42 Saya mendengarkan apa yang orang katakan sebelum
menyelesaikan masalah
43 Saya sulit membayangkan akan menjadi orang sukses
di masa depan
44 Saya mudah menyimpulkan suatu masalah
45 Saya merasa tidak nyaman ketika bertemu dengan
orang baru
46 Saya mudah lupa dalam mengingat suatu hal
47 Saya percaya bahwa pencegahan akan berbuah hal
yang manis
48 Saya mampu mengetahui penyebab dari masalah
49 Saya mampu menyelesaikan masalah
50 Saya sulit memahami perasaan orang lain
51 Saya merasa nyaman dengan rutinitas yang saya
jalankan
52 Saya pikir masalah harus segera diselesaikan
walaupun belum mengetahui apa penyebabnya
53 Saya mampu menghadapi situasi yang sulit
54 Menurut teman – teman, saya tidak mendengarkan
apa yang mereka katakan
55 Saya mencari dan membeli sesuatu yang saya
inginkan
56 Saya mampu mengontrol emosi saat berdiskusi
dengan teman atau anggota keluarga
105
PATH DIAGRAM
PATH DIAGRAM POSTTRAUMATIC GROWTH
106
PATH DIAGRAM PROBLEM FOCUSED COPING
107
PATH DIAGRAM EMOTION FOCUSED COPING
108
PATH DIAGRAM EMOTION REGULATION
109
PATH DIAGRAM IMPULSE CONTROL
110
PATH DIAGRAM OPTIMISME
111
PATH DIAGRAM CAUSAL ANALYSIS
112
PATH DIAGRAM EMPATHY
113
PATH DIAGRAM SELF EFFICACY
114
PATH DIAGRAM REACHING OUT
115
SURAT IZIN PENELITIAN DARI KAMPUS
116
SURAT IZIN PENELITIAN
117