Upload
dohanh
View
243
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH TINGKAT STERILITAS PADA PROSES PENGALENGAN
TERHADAP SIFAT FISIK GUDEG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
Oleh:
ANNA AMANIA KHUSNAYAINI
F24062130
2011
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
EFFECT OF STERILIZATION LEVEL IN CANNING PROCESS
TO PHYSICAL PROPERTIES OF GUDEG PRODUCT
Anna Amania Khusnayaini1, Purwiyatno Hariyadi
1,2, Eko Hari Purnomo
1,2
1Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia 2Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center
Jl. Puspa Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Phone 62 857 1168 1801, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Gudeg is a traditional food of Yogyakarta and Central Java, Indonesia, made from boiled
young jack fruit with spices, palm sugar, and coconut milk. Canning process at high temperature
(above 1000C) can extend shelf life gudeg and shorten cooking process which takes a long time (up to
12 hours). Appropriate design of a thermal process is required to provide the required preservation,
with the least amount of damage to the organoleptic and nutritional quality of the product. The aim of
this research is to obtain the effect of F0 values (4, 12, 20, and 28 min) in sterilization of gudeg to its
physical properties. The result shows that treatment of temperature 111, 116, and 1210C at same F0
value has no significant difference in color and texture changing. Based on hedonic test, the most
favorite sample is gudeg which is processed at 1210C for 57.1 min (F0=20 min). This product has
nutritious content: 75.40% water, 1.55% ash, 5.68% fat, 0.83% protein, 16.54% carbohydrate, 1.97%
fiber, and 120.60 Kcal energy. Product has pH 5.68 and aw 0.934 (included potentially hazardous
food), then commercial sterility in canning process is appropriate heat treatment.
Keywords: gudeg, canning, sterilization, texture, color
Anna Amania Khusnayaini. F24062130. Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan
Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan. Di bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi dan Eko
Hari Purnomo. 2011
RINGKASAN
Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.56 juta jiwa
mengindikasikan besarnya kebutuhan pangan. Di dalam GBHN 1999-2004 ditekankan perlunya
pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada budaya lokal (termasuk pangan
tradisional). Potensi pangan tradisional Indonesia perlu dikembangkan untuk mendukung ketahanan
pangan, salah satunya adalah gudeg yang merupakan makanan tradisional daerah Yogyakarta dan
Jawa Tengah.
Penerapan teknologi dalam pengembangan pangan tradisional dapat meningkatkan mutu dan
keamanan produk. Aplikasi pengalengan dengan suhu tinggi (di atas 1000C) dapat memperpanjang
umur simpan gudeg dapat mempersingkat waktu pemasakan, yang biasanya mencapai lebih dari 12
jam, dengan tetap mempertahankan mutu produk. Kecukupan proses pada pengalengan sangat
dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) yang diterima oleh bahan yang dikalengkan. Oleh karena itu,
rancangan kombinasi waktu dan suhu proses yang tepat diperlukan untuk dapat memenuhi kriteria
keamanan pangan dan meminimalisasi kerusakan mutu yang mungkin terjadi.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh tingkat sterilitas pada
berbagai kombinasi suhu dan waktu proses terhadap mutu fisik gudeg dalam kaleng. Adapun tujuan
khusus penelitian ini antara lain 1) menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan karakteristik
organoleptik yang dapat diterima, 2) menentukan pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses
terhadap warna dan tekstur gudeg dalam kaleng, dan 3) menentukan desain proses termal yang
optimum untuk menjamin keamanan dan mutu produk.
Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas tiga tahap yaitu uji
formulasi, uji penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, penelitian utama terdiri atas tahap
pengalengan dan analisis produk. Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis fisik, analisis
organoleptik, dan analisis kimia. Analisis fisik meliputi analisis warna dan tekstur, sedangkan analisis
kimia meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, pH, dan aktivitas air.
Analisis organoleptik menggunakan uji rating hedonik.
Bahan baku utama gudeg dalam kaleng terdiri atas 49.75% nangka muda, 9.95% daging,
23.23% santan, 9.95% gula merah, 2.99% bawang merah, 2.99% bawang putih, 0.15% ketumbar
bubuk, dan 1% garam. Bahan-bahan lainnya adalah daun jati, daun salam, dan lengkuas. Gudeg
dikemas dalam kaleng berukuran 307×113. Berat bersih bahan-bahan tersebut dalam kaleng adalah
200 g, yang terdiri atas 100 g nangka muda, 90 g bumbu cair, dan 10 g daging sapi. Hasil pengujian
formula produk menunjukkan bahwa gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng relatif sama dari
sisi rasa, aroma, dan tekstur, sedangkan warna dan penampakannya berbeda. Walaupun penampakan
produk tersebut berbeda, formula gudeg dapat diterapkan pada proses pengalengan gudeg.
Proses sterilisasi dirancang untuk memperoleh nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit pada suhu
111, 116, dan 1210C. Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji penetrasi panas produk. Data
penetrasi panas dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah menggunakan metode formula
Ball. Untuk mencapai keempat nilai F0 tersebut, a) pada suhu 1110C diperlukan waktu proses 81.3,
167.5, 246.8, dan 325.2 menit, b) pada suhu 1160C diperlukan waktu proses 54.9, 84.0, 110.1, dan
137.4 menit, serta c) pada suhu 1210C diperlukan waktu proses 30.0, 44.7, 57.1, dan 65.6 menit.
Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa komponen pada warna produk terdiri atas
tingkat kecerahan (L), kemerahan (+a), dan kekuningan (+b). Penggunaan variasi suhu pada nilai F0
yang sama cenderung menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan intensitas warna yang sama.
Semakin tinggi nilai F0, tingkat kecerahan dan kekuningan produk semakin menurun, dan tingkat
kemerahannya semakin meningkat. Perubahan warna gudeg dipengaruhi oleh blansir nangka muda
menggunakan air ekstrak daun jati yang mengandung antosianin. Pemanasan pada suhu tinggi
menyebabkan antosianin mengalami degradasi dan terbentuknya warna cokelat.
Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama menghasilkan produk gudeg dalam kaleng
dengan tingkat keempukkan yang sama. Semakin tinggi nilai F0 tekstur gudeg semakin empuk.
Pelunakkan tekstur pada gudeg akibat terjadinya perubahan struktur protopektin dalam jaringan
nangka muda. Protopektin yang bersifat tidak larut dapat berubah menjadi pektin yang dapat
terdispersi dalam air jika dipanaskan.
Perlakuan perbedaan suhu pada sterilisasi gudeg tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
perubahan warna dan tekstur produk gudeg dalam kaleng. Oleh karena itu, sampel yang dipilih untuk
uji organoleptik adalah gudeg yang diproduksi pada suhu tertinggi, yaitu 1210C, karena kombinasi
pemanasan suhu yang lebih tinggi dan waktu pemanasan yang lebih singkat biasanya memberikan
perubahan kimia produk sterilisasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses pemanasan pada
suhu yang lebih rendah dan waktu pemanasan yang lebih lama.
Perlakuan perbedaan F0 tidak mempengaruhi perubahan tingkat kesukaan panelis terhadap
aroma, rasa, dan overall gudeg, tetapi mempengaruhi perubahan tingkat kesukaan panelis terhadap
warna dan teksturnya. Survei penerimaan panelis terhadap sampel yang diuji menunjukkan bahwa
sebanyak 96% panelis menyatakan setuju bahwa sampel yang diuji merupakan produk gudeg dan 4%
panelis lainnya menyatakan tidak setuju.
Produk terpilih berdasarkan uji organoleptik adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C
selama 57.1 menit dengan F0=20 menit. Tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan produk
sebesar 43.24, 10.52, dan 8.94. Tingkat kekerasan produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk terpilih
mengandung 75.40% air, 1.55% abu, 5.68% lemak, 0.83% protein, 16.54% karbohidrat, 1.97% serat,
dan 120.60 Kkal energi. Produk tersebut memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk tergolong
dalam potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial pada proses pengalengan
sangat cocok diterapkan untuk produk PHF ini.
Makanan tradisional gudeg dapat diolah dengan proses pengalengan yang kecukupan
prosesnya dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) bahan yang dikalengkan. Pada nilai F0 yang sama,
suhu sterilisasi yang dipelajari (111, 116, dan 1210C) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
sifat fisik (warna dan tekstur) gudeg yang dihasilkan. Walaupun produk gudeg dalam kaleng terlihat
berbeda dengan produk gudeg konvensional, gudeg dalam kaleng ini berpotensi untuk dikembangkan.
PENGARUH TINGKAT STERILITAS PADA PROSES PENGALENGAN
TERHADAP SIFAT FISIK GUDEG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh
gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANNA AMANIA KHUSNAYAINI
F24062130
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Tingkat
Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka.
Bogor, Maret 2011
Yang membuat pernyataan
Anna Amania Khusnayaini
F24062130
© Hak cipta milik Anna Amania Khusnayaini, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photocopy, microfilm, dan sebagainya
Judul Skripsi : Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg
yang Dihasilkan
Nama : Anna Amania Khusnayaini
NIM : F24062130
Menyetujui,
Pembimbing I,
(Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc)
NIP 19620309 198703.1.003
Pembimbing II,
(Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc)
NIP 19760412 1999903.1.004
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc)
NIP 19680505 199203.2.002
Tanggal lulus: 25 Februari 2011
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Surakarta, 16 Juni 1988 dari pasangan Bapak
Mahmud S dan Ibu Sri Martiyah, yang merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SD 2 Al-Islam Surakarta,
kemudia dilanjutkan ke MTs Islam Ngruki Sukoharjo dan MA Al-Mukmin
Sukoharjo. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen
Agama RI dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi
diantaranya BEM TPB, KAMMI, LDK Al Hurriyyah, LPQ Al Hurriyyah,
dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Pada tahun 2007 penulis mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) yang didanai Dikti. Penulis
pernah mewakili IPB dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional XI 2009 di Universitas
Malikussaleh untuk cabang lomba Kaligrafi Dekorasi Putri. Pada tahun 2010 penulis meraih Juara II
Fotografi Seminar Nasional Al-Qur’an dan Sains. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten
praktikum Fisika Dasar pada tahun 2009/2010 dan asisten Pendidikan Agama Islam pada tahun 2008-
2009. Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap
Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc dan
Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah,
serta kasih sayangNya yang tak henti-hentinya penulis terima sehingga skripsi yang berjudul
Pengaruh Tingkat Sterilitas Pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg Yang
Dihasilkan ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir
zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak, Mama, Nabila, Ira dan keluarga besar tercinta atas doa dan dorongan semangat yang
tak pernah berhenti penulis dapatkan
2. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. selaku Pembimbing I atas segala bantuan dan arahan
dalam membimbing penulis serta beberapa nasihat untuk perbaikan diri penulis
3. Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc. selaku Pembimbing II atas bimbingan dan kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini sebagai tugas akhir
4. Elvira Syamsir, S.TP, M. Si selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dalam
penulisan skripsi ini
5. Seluruh staf dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang membantu penulis
melaksanakan penelitian
6. Pihak Departemen Agama RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama kuliah
di Institut Pertanian Bogor
7. Teman-teman Jelita, ITP, BUD Depag, Pondok Nusantara, Ramadhan, KAMMI, LPQ, LDK
Al-Hurriyyah, santri-santri LPQ, adik-adik mentoring atas segala bantuan dan dukungannya
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas semua yang
telah diberikan. Hanya Allahlah sebaik-baik Pemberi Balasan.
Dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan
manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya dan menjadi salah satu amal jariyah di sisi Allah
ta’ala. Amin.
Bogor, Maret 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 3
A. GUDEG ......................................................................................................................... 3
B. NANGKA ...................................................................................................................... 4
C. DAUN JATI .................................................................................................................. 5
D. MUTU PRODUK .......................................................................................................... 6
E. PENGALENGAN PANGAN ........................................................................................ 7
F. STERILISASI KOMERSIAL ....................................................................................... 9
G. PENETRASI PANAS ................................................................................................. 10
H. KECUKUPAN PROSES PANAS ............................................................................... 11
III. METODE ................................................................................................................................. 13
A. BAHAN DAN ALAT.................................................................................................. 13
B. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 13
1. PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................................... 14
a. Uji Formulasi ............................................................................................... 14
b. Uji Penetrasi Panas ...................................................................................... 15
c. Desain Proses ............................................................................................... 16
2. PENELITIAN UTAMA ...................................................................................... 17
a. Pengalengan ................................................................................................. 17
b. Analisis ........................................................................................................ 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 21
A. PENENTUAN FORMULA PRODUK ....................................................................... 21
B. PENGOLAHAN GUDEG DALAM KALENG .......................................................... 22
C. PENENTUAN WAKTU STERILISASI ..................................................................... 24
D. SIFAT FISIK ............................................................................................................... 27
1. WARNA ............................................................................................................. 27
2. TEKSTUR........................................................................................................... 30
E. SIFAT ORGANOLEPTIK .......................................................................................... 31
F. KARAKTERISTIK PRODUK TERPILIH ................................................................. 34
V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................................... 35
A. SIMPULAN................................................................................................................. 35
B. SARAN ....................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 36
LAMPIRAN .................................................................................................................................... 40
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan gizi gudeg dalam kaleng ................................................................................ 4
Tabel 2. Komposisi gizi per 100 gram nangka muda, nangka masak, dan biji nangka ................... 5
Tabel 3. Perbedaan analisis mutu secara subjektif dan objektif ..................................................... 6
Tabel 4. Kriteria mutu produk holtikultura ..................................................................................... 7
Tabel 5. Komposisi bahan baku gudeg ......................................................................................... 21
Tabel 6. Perbandingan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng ............................. 22
Tabel 7. Komposisi bahan gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 ............................................ 24
Tabel 8. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball .................. 26
Tabel 9. Desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 ....................... 26
Tabel 10. Perbandingan nilai Fsampel dan Ftabel berdasarkan metode ANOVA ................................ 33
Tabel 11. Kandungan gizi produk gudeg dalam kaleng per 100 g ................................................. 34
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Proses pengolahan gudeg ............................................................................................. 3
Gambar 2. Gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka lauk ....................................................... 3
Gambar 3. Arsitektur suatu wadah kaleng ..................................................................................... 7
Gambar 4. Operasi penutupan kaleng ............................................................................................ 8
Gambar 5. Perambatan panas secara konduksi dan konveksi ....................................................... 10
Gambar 6. Diagram alir penelitian ............................................................................................... 13
Gambar 7. Proses pemasakan gudeg ............................................................................................. 14
Gambar 8. Pemasangan termokopel pada pengukuran penetrasi panas ....................................... 15
Gambar 9. Penyusunan kaleng pada pengukuran penetrasi panas................................................. 15 Gambar 10. Kurva pemanasan untuk menentukan parameter fh dan Jh .......................................... 16
Gambar 11. Diagram alir sterilisasi gudeg ..................................................................................... 17
Gambar 12. Gudeg yang diolah dengan pemasakan konvensional dan pengalengan ..................... 21
Gambar 13. Proses produksi gudeg dalam kaleng ........................................................................... 23
Gambar 14. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1110C ........................................................ 25
Gambar 15. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1160C ......................................................... 25
Gambar 16. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1210C ........................................................ 25
Gambar 17. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C .................................... 27
Gambar 18. Perbandingan tingkat kecerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan
gudeg konvensional ................................................................................................... 28
Gambar 19. Perbandingan tingkat kemerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan
gudeg konvensional ................................................................................................... 28 Gambar 20. Perbandingan tingkat kekuningan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan
gudeg konvensional ................................................................................................... 28
Gambar 21. Perbandingan tekstur gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg
konvensional .............................................................................................................. 30
Gambar 22. Gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan perlakuan F0=4, F0=12, F0=20, dan
F0=28 menit .............................................................................................................. 31
Gambar 23. Hasil uji orgaoleptik gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan berbagai
kombinasi nilai F0 ...................................................................................................... 32
Gambar 24. Penerimaan panelis terhadap produk gudeg dalam kaleng ......................................... 32
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1a. Resep pembuatan gudeg nangka ............................................................................ 41
Lampiran 1b. Resep pembuatan gudeg Jogja ............................................................................... 42
Lampiran 2a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1110C .............. 43
Lampiran 2b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1160C ............. 47
Lampiran 2c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1210C ............. 50
Lampiran 3a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1110C ........... 52
Lampiran 3b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1160C ........... 53
Lampiran 3c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1210C ........... 54
Lampiran 4a. Rekapiltulasi data hasil analisis warna gudeg dalam kaleng menggunakan Minolta
Chroma Meters CR310 .......................................................................................... 55
Lampiran 4b. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg konvensional menggunakan Minolta
Chroma Meters CR310 .......................................................................................... 56
Lampiran 5a. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1110C ............................... 57
Lampiran 5b. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1160C ............................... 57
Lampiran 6a. Rekapiltulasi data hasil analisis tekstur gudeg dalam kaleng menggunakan
penetrometer ......................................................................................................... 58
Lampiran 6b. Rekapiltulasi data hasil analisis tekstur gudeg konvensional menggunakan
penetrometer ......................................................................................................... 58
Lampiran 7. Kuesoner uji rating hedonik ................................................................................... 59
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji rating hedonik .............................................................. 61
Lampiran 9a. Hasil analisis uji rating hedonik atribut aroma menggunakan metode ANOVA ... 65
Lampiran 9b. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna menggunakan metode ANOVA ... 65
Lampiran 9c. Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan metode ANOVA ... 65
Lampiran 9d. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa menggunakan metode ANOVA ....... 66
Lampiran 9e. Hasil analisis uji rating hedonik secara overall menggunakan metode ANOVA ... 66
Lampiran 10a. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan ... 67
Lampiran 10b. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut warna menggunakan uji Duncan ... 67
Lampiran 10c. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan ... 68
Lampiran 10d. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut rasa menggunakan uji Duncan ...... 68
Lampiran 10e. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik secara overall menggunakan uji Duncan .. 69
Lampiran 11a. Hasil analisis proksimat kadar air (metode gravimetri) ......................................... 70
Lampiran 11b. Hasil analisis proksimat kadar abu (metode gravimetri) ........................................ 70
Lampiran 11c. Hasil analisis proksimat kadar lemak (metode soxhlet) ......................................... 70
Lampiran 11d. Hasil analisis proksimat kadar protein (metode Kjheldal) ..................................... 71
Lampiran 11e. Hasil analisis proksimat kadar karbohidrat (metode by difference) ....................... 71
Lampiran 11f. Hasil analisis kadar serat kasar (metode gravimetri) .............................................. 71
Lampiran 12. Hasil perhitungan total energi produk gudeg dalam kaleng .................................... 72
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan yang merupakan kebutuhan primer setiap manusia memiliki peran strategis yang
terkait dengan keberlangsungan dan kemandirian suatu bangsa. Meningkatnya jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010 yaitu sebesar 237.56 juta jiwa mengindikasikan besarnya kebutuhan
pangan masyarakat. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi
pangan akan menyebabkan terjadinya penurunan laju produksi pangan dalam negeri.
Kondisi terpenuhinya pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 tahun 1996). Penjelasan PP 68 tahun
2002 menyebutkan bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada
sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman daerah. Di dalam GBHN 1999-2004
ditekankan perlunya pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman
sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal (termasuk pangan tradisional).
Potensi pangan tradisional Indonesia perlu dikembangkan untuk mendukung ketahanan
pangan, salah satunya adalah gudeg yang merupakan makanan tradisional daerah Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Selama berabad-abad makanan ini telah dikenal oleh masyarakat setempat sehingga
menjadi makanan khas daerah tersebut. Gudeg memiliki rasa manis yang khas. Gudeg terdiri atas
sayur gori yang berasal dari nangka muda yang direbus dengan bumbu, serta lauk pelengkap
berupa sambal goreng, ayam, telur, dan tahu.
Nangka muda, yang merupakan bahan baku utama gudeg, sangat digemari sebagai bahan
sayuran di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatra, terutama di Minangkabau, dikenal masakan
gulai nangka. Di Jawa Barat buah nangka muda dimasak sebagai salah satu bahan sayur asam. Di
Jawa Tengah, terdapat berbagai macam masakan yang bahan dasar buah nangka muda, seperti
sayur lodeh, sayur megana, oseng-oseng gori, dan jangan gori (sayur nangka muda). Selain itu, di
daerah Jakarta dan Jawa Barat bongkol bunga jantan nangka muda (babal atau tongtolang) biasa
dijadikan bahan rujak.
Penerapan teknologi dalam pengembangan pangan tradisional akan dapat meningkatkan
mutu dan keamanan produk. Aplikasi pengalengan yang dilakukan pada suhu tinggi yaitu lebih
dari 1000C (Winarno 1993) akan memperpanjang umur simpan gudeg karena suhu yang tinggi
dapat menginaktivasi sejumlah mikroba penyebab kerusakan. Umur simpan yang panjang dapat
menjadi nilai tambah produk gudeg dan membuka peluang untuk memperkenalkan pangan
indigenous ke pasar internasional. Selain itu, penggunaan suhu tinggi pada pemasakan gudeg
diharapkan dapat mempersingkat waktu pemasakan, biasanya mencapai lebih dari 12 jam
(Supartono 2009), dengan tetap mempertahankan mutu produk.
Mutu produk sayuran, termasuk gudeg, yang diolah dengan proses termal mencakup sifat
sensori (penampakan, tekstur, aroma, dan rasa), nilai gizi, komponen kimia, sifat mekanis, sifat
fungsional, dan kerusakan. Proses termal yang diterapkan pada produk sayuran sebaiknya menjaga
mutu gizi dan sensori produk berdasarkan desain proses yang optimum dan tingkat keamanan yang
cukup (Vaclavik dan Christian 2003).
Kecukupan proses pada pengalengan sangat dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) yang
diterima oleh bahan yang dikalengkan. Nilai F0 merupakan ekuivalen letalitas proses termal
dengan waktu pemanasan 2500F. Nurhikmat et al. (2009) telah melakukan penelitian penentuan F0
gudeg dalam kaleng untuk ukuran kaleng 301×205 dengan perlakuan letak kaleng yang berbeda
pada suhu 1210C selama 15 menit. Nilai F0 gudeg yang didapatkan untuk ukuran kaleng 301×205
pada posisi 0 cm dari dasar retort adalah 6.42 menit dan pada posisi 22 cm dari dasar retort adalah
5.43 menit.
2
Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan penelitian tersebut tidak berlaku secara umum,
bergantung pada formulasi produk, jenis dan ukuran kaleng, sistem retort, dan faktor lainnya. Oleh
karena itu, rancangan kombinasi waktu dan suhu proses yang tepat diperlukan untuk dapat
memenuhi kriteria keamanan pangan dan meminimalisasi kerusakan mutu yang mungkin terjadi.
Perbedaan kombinasi keduanya akan menghasilkan produk yang berbeda. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan struktur komponen dalam bahan yang dapat mempengaruhi kualitas produk
akhir.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh tingkat sterilitas (F0)
pada berbagai kombinasi suhu dan waktu proses terhadap mutu fisik gudeg dalam kaleng. Adapun
tujuan khusus penelitian ini antara lain:
1. Menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan karakteristik organoleptik yang
dapat diterima
2. Menentukan pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses terhadap warna dan tekstur
gudeg dalam kaleng.
3. Menentukan desain proses termal yang optimum untuk menjamin keamanan dan
mutu produk
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GUDEG
Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan dibumbui dengan
kluwak (LIPI 2010). Terdapat dua jenis gudeg berdasarkan kandungan kuahnya, yaitu gudeg basah
dan gudeg kering. Gudeg basah banyak mengandung kuah (kadar air tinggi), sedangkan gudeg
kering tidak atau sangat sedikit mengandung kuah (kadar air rendah). Kondisi gudeg basah yang
mengandung banyak kuah santan cair atau setengah kental menyebabkan gudeg memiliki umur
simpan yang lebih rendah dari pada gudeg kering. Gudeg kering merupakan gudeg basah yang
mengalami proses pengolahan lanjut, yaitu digoreng dengan menggunakan sedikit minyak goreng
(ditumis). Proses penggorengan bertujuan untuk mengurangi kadar air, sehingga gudeg lebih awet
dan tahan lama. Karena sifatnya yang lebih kering, gudeg kering memiliki umur simpan yang lebih
panjang dibandingkan dengan gudeg basah. Umur simpan gudeg kering ini sampai 24 jam dan bisa
diperpanjang dengan memanasinya kembali (Supartono 2009).
Proses pengolahan gudeg secara umum adalah sebagai berikut
Gambar 1. Proses pengolahan gudeg
Untuk membentuk cita rasa khas gudeg, saat perebusan ditambahkan santan kelapa serta
bumbu-bumbu seperti gula merah, daun salam, lengkuas, dan garam. Sebagai pelengkap gudeg,
biasanya akan ditambahkan areh, semacam kuah yang dibuat dari blondo atau produk samping
proses pembuatan minyak kelapa. Sedangkan lauk pauk yang biasa ditambahkan antara lain
sambal goreng krecek, tahu, tempe, telur, maupun daging ayam. Proses pengolahan tahu, tempe,
telur, dan daging ayam dilakukan seperti pada pengolahan gudeg tetapi waktu perebusan lebih
singkat (Supartono 2009). Gambar 2 memperlihatkan gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka
lauk.
Gambar 2. Gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka lauk
Supartono (2009) menyatakan pengemasan gudeg sangat beragam antara lain
menggunakan daun pisang, kardus, besek, dan kendil. Penggunaan kardus biasanya untuk
keperluan pesanan makan pagi, makan siang, atau rekreasi. Besek dan kendil digunakan sebagai
kemasan untuk buah tangan. Perkembangan baru dalam pengemasan gudeg adalah penggunaan
Pengupasan buah nangka muda
Penghilangan hati nangka
Pemotongan atau pencacahan
Perebusan selama lebih dari 12 jam
Penggorengan untuk pembuatan gudeg kering
4
kaleng. Gudeg dalam kaleng yang ada hanya berisi buah nangka saja. Pelengkap dan lauk pauknya
perlu ditambahkan sendiri. Umur simpan gudeg dalam kaleng ini adalah satu tahun. Lembaga Ilmu
Pengatahuan Indonesia (LIPI) telah menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan komposisi
nilai gizi sebagai berikut
Tabel 1. Kandungan gizi gudeg dalam kaleng
Kandungan Gizi Jumlah (%)
Lemak
Protein
Karbohidrat
Air
Abu
5.12
5.33
12.47
73.28
1.72
Sumber: LIPI (2010)
B. NANGKA
Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) merupakan tanaman buah berupa pohon yang
berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Nangka juga diproduksi di
Filipina, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam (Shi dan Moy 2005). Nuswamahaeni et
al. (1990) menyatakan klasifikasi ilmiah tanaman nangka adalah
Divisi : Spermatophyta (Siphonogamae)
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledonae
Subkelas : Apetalae (Archichlomydeae)
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophyllus Lmk.
Nangka termasuk tanaman hutan bercabang banyak yang pohonnya dapat mencapai tinggi
25 m. Seluruh bagian tanaman mengandung getah. Daunnya berbentuk lonjong, bulat, dan lebar.
Batang tanaman bersifat keras. Apabila telah tua, batangnya berwarna kuning sampai kemerahan
(Sunarjono 1998).
Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik), berbunga banyak tersusun tegak lurus
pada tangkai buah (poros) membentuk bangunan besar yang kompak, berbentuk bulat sampai bulat
lonjong (Sunarjono 1998). Buah sinkarpusnya berbentuk lonjong dan sangat besar, beberapa
mencapai panjang 70 cm dengan diameter 40 cm, dengan bobot lebih dari 25 kg. Namun, sebagian
besar buah tidak seperti itu dengan bobot hanya 8-10 kg (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).
Buah nangka berbiji banyak dan berkulit duri lunak. Setiap biji dibalut oleh daging buah
(endokarp), dan eksokarp yang mengandung gelatin. Buah nangka sangat bervariasi dalam bentuk,
ukuran, mutu karena biasanya ditanam dari biji. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning
kemerahan. Daging buahnya tipis sampai tebal, berwarna putih saat mentah, dan kuning saat telah
matang, berasa manis, dan beraroma spesifik (Sunarjono 1998).
Nangka muda yang berukuran kecil sering dijadikan rujak. Buah nangka muda dan tua
dapat diolah menjadi sayur gudeg yang sangat terkenal di Jawa, sayur gulai nangka atau pecel.
Umumnya, nangka masak dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Beberapa produk olahan daging
buah nangka yang umum dijumpai antara lain jus, wajik, pasta, dodol, keripik, sirup, dan produk
awetan dalam kaleng. Daging buah nangka juga dapat dibuat pikel (asinan), kolak, manisan, dan
sebagai pewangi dalam minuman (Astawan 2007).
5
Nangka sangat mudah rusak dan peka terhadap suhu dingin, tetapi buahnya dapat
dipertahankan setelah dipanen selama beberapa hari pada suhu sekitar 120C. Komposisi buah
adalah sekitar 75% air, hampir 25% karbohidrat, dan sedikit protein (Rubatzky dan Yamaguchi
1998). Menurut Kader dan Barret (2005), nangka merupakan buah sumber karbohidrat. Komposisi
gizi bagian buah nangka dapat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi gizi per 100 gram nangka muda, nangka masak, dan biji nangka.
Komponen Gizi Nangka Mudaa Nangka Matang
b Nangka Matang
a Biji Nangka
a
Air (g) 85.40 80.29 70.00 57.7
Energi (Kkal) 51.20 - 106.00 165.00
Protein (g) 2.00 1.91 1.20 4.20
Lemak (g) 0.4 1.86 0.30 0.10
Serat kasar (g) 1.94 1.58 - -
Karbohidrat (g) 11.30 9.85 27.00 36.70
Abu (g) - 0.69 - -
Kalsium (mg) 45.00 - 20.90 33.00
Fosfor (mg) 29.00 - 19.00 200.00
Fe (mg) 0.50 - 1.90 1.00
Gula (g) - 1.39 - -
Vitamin A (SI) 25.00 - 330.00 -
Vitamin B1 (mg) 0.07 - 0.10 0.20
Vitamin C (mg) 9.00 14.21 7.00 10
Sumber: aDepkes (1981) dan bMuchtadi (1981)
C. DAUN JATI
Daun jati berasal dari pohon jati yang dikenal sebagai penghasil kayu bermutu tinggi. Jati
menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indocina, sampai ke Jawa.
Jati paling banyak tersebar di Asia. Jati dikenal dengan nama teak (bahasa Inggris) dan nama
ilmiahnya adalah Tectona grandis L.f. Klasifikasi ilmiah jati adalah sebagai berikut
Kelas : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Tectona
Spesies : Tectona grandis
Pohon jati yang dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1500–2000 mm/tahun dan
suhu 27–360C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Akram dan Aftab 2007). Tempat
yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5–7 dan tidak dibanjiri dengan
air (BIOTROP 2010). Pohon jati dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian
40-45 meter dan diameter 1.8-2.4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11
meter, dengan diameter 0.9-1.5 meter. Batang pohon bebas cabang (clear bole) dapat mencapai
18-20 m. Kulit batang cokelat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur
memanjang batang.
6
Pohon jati umumnya berdaun besar bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang
sangat pendek. Bentuk daun elips dengan lebar dapat mencapai 30–60 cm saat dewasa (Akram dan
Aftab 2007). Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70×80-100 cm; sedangkan pada
pohon tua menyusut menjadi sekitar 15×20 cm. Permukaan daun berbulu halus dan mempunyai
rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan
mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas.
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk
pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya
adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati juga banyak
digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe. Selain itu,
Daun jati yang masih muda secara tradisional digunakan sebagai pewarna makanan (Siti et al.
2006), contohnya pada pembuatan gudeg, sayur berbahan nangka muda, untuk memberikan warna
cokelat tua.
Daun jati muda merupakan penghasil pigmen alami, yaitu antosianin (Limantara dan
Rahayu 2008). Komposisi pigmen yang ditemukan pada daun jati muda antara lain beta karoten,
feofitin, pelargonidin 3-glukosida, pelargonidin 3,7-diglukosida, klorofilid, dan dua pigmen lain
yang tidak dapat diidentifikasi (Ati et. al 2006).
D. MUTU PRODUK
Kramer dan Twigg (1970) mendefinisikan mutu adalah hal-hal tertentu yang
membedakan produk satu dengan lainnya, terutama berhubungan dengan daya terima dan
kepuasan konsumen. Mutu merupakan tingkat keunggulan produk pangan yang meliputi
karakteristik utama yang menentukan tingkat penerimaan produk (Vaclavik dan Christian 2003).
Mutu pangan terdiri atas dua aspek yaitu subjektif dan nonsubjektif. Penampakan, tekstur,
dan flavor termasuk dalam atribut subjektif, sedangkan mutu gizi dan bakterial termasuk atribut
nonsubjektif. Mutu gizi dan mikrobial dapat diukur secara objektif baik menggunakan analisis
kimia, perhitungan jumlah bakteri, maupun uji spesifik lainnya (Szczesniak 1983). Perbedaan
analisis mutu secara subjektif dan objektif disajikan pada tabel berikut
Tabel 3. Perbedaan analisis mutu secara subjektif dan objektif
Analisis Subjektif Analisis Objektif
Menggunakan individu Menggunakan peralatan analisis
Melibatkan organ sensori manusia Menggunakan teknik fisik dan kimia
Hasil sangat bervariasi Hasil dapat diulang
Menentukan tingkat sensitivitas manusia
terhadap perubahan perlakuan
Menentukan teknik pengujian yang tepat
terhadap bahan pangan yang diuji
Menentukan tingkat penerimaan konsumen Tidak dapat digunakan untuk menentukan
tingkat penerimaan konsumen
Membutuhkan waktu lama dan mahal Secara umum lebih cepat, lebih murah, dan
lebih efisian daripada uji sensori
Penting untuk pengembangan produk dan
pemasaran produk baru
Penting untukpengontrolan mutu secara rutin
Sumber: Vaclavik dan Christian (2003)
Menurut Ahmed dan Shivhare (2006), sayuran yang telah diproses mengalami beberapa
kehilangan mutu selama proses dan penyimpanan. Atribut mutu utama pada sayuran yang
mengalami proses termal antara lain warna, aroma, rasa, dan tekstur. Selain itu, terdapat atribut
7
mutu yang tersembunyi seperti nilai gizi dan faktor keamanan (kimia dan mikrobial). Kriteria
mutu produk holtikultura (buah dan sayur) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria mutu produk holtikultura
Kategori Mutu Kriteria
Penampakan
Ukuran: dimensi, berat, dan volume.
Bentuk: rasio antar dimensi, keseragaman, kondisi permukaan.
Warna: keseragaman, intensitas, gloss.
Kondisi: adanya kerusakan (eksternal dan internal) yang
meliputi kerusakan morfologi, fisik, mekanik, fisiologi,
pathologi, dan emtomologi).
Tekstur dan mouthfeel Kekerasan, keempukan, kerenyahan, kesegaran, kealotan.
Flavor Kemanisan, kemasaman, rasa pahit, rasa sepat, dan aroma.
Nilai gizi Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Faktor keamanan pangan Senyawa anti nutrisi, senyawa alami yang berbahaya,
kontaminan (senyawa kimia dan mikrobial), dan mikotoksin.
Sumber: Kader (1985)
E. PENGALENGAN PANGAN
Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan
dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya
pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih
efektif dibandingkan pemanasan kering (Kim dan Foegeding 1999).
Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional
menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort
pouch, tetrapack, kaleng alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya (Hariyadi et al.
2006). Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat,
tidak dapat dimasuki udara, uap air, atau pun mikroba. Arsitektur suatu wadah kaleng disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3. Arsitektur suatu wadah kaleng (Lopez 1981)
8
Terdapat dua proses pengalengan pangan yang banyak dilakukan, yaitu pasteurisasi dan
sterelisasi komersial. Proses pasteurisasi terutama ditujukan untuk produk pangan berasam tinggi
(pH<4.5) atau produk pangan yang dilakukan dengan kombinasi metode pengawetan lain,
misalnya dengan pendinginan atau penambahan bahan pengawet. Proses sterilisasi komersial
ditujukan untuk produk pangan berasam rendah (pH>4.5).
Secara umum tahapan proses pengalengan adalah persiapan bahan, pengisian ke dalam
kaleng, pengisian medium, ekshausting, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan, dan
penyimpanan. Persiapan dilakukan dengan memilih bahan-bahan yang akan dikalengkan, mencuci,
memotong, dan melakukan pengolahan selanjutnya terhadap bahan. Lopez (1981) mengatakan
bahwa pencucian bertujuan memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti
kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya, serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal
yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi.
Proses blansir merupakan tahap yang penting dalam pengalengan karena dapat
mempengaruhi kualitas sensori produk akhir secara keseluruhan (Ramaswamy 2005). Tujuan
perlakuan blansir antara lain menginaktivasi enzim, mengurangi jumlah mikroba awal,
melunakkan tekstur buah dan sayur sehingga mempermudah proses pengisian buah atau sayur
dalam wadah, dan mengeluarkan udara yang terperangkap dalam jaringan buah atau sayur yang
akan mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbentuknya
headspace. Proses blansir dapat dilakukan dengan cara mencelupkan bahan dalam air mendidih
selama 5-10 menit (Hariyadi 2000).
Pengisian bahan ke dalam kaleng harus memperhatikan sisa ruangan di bagian atas kaleng
(headspace) 1-2 cm dari permukaan kaleng. Menurut Hayadi et al. (2006), isi kaleng yang terlalu
penuh akan menyebabkan keleng menjadi cembung sehingga mutunya dapat disangka buruk.
Headspace berguna untuk merapatkan penutupan kaleng. Saat uap air mengembun dalam kaleng,
tekanan dalam headspace turun dan tekanan atmosfir di luar akan menekan tutup kaleng sehingga
penutupan menjadi kuat.
Ekshausting atau penghampaan udara adalah pengeluaran udara dalam kemasan untuk
mengurangi tekanan di dalamnya selama proses pemanasan (Lopez 1981). Kondisi vakum dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng dan reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang
akan menurunkan mutu. Suhu ruangan ekshausting adalah 80-900C dan proses berlangsung selama
8-10 menit (Hariyadi et al. 2006).
Penutupan kaleng dilakukan setelah ekshausting, saat suhu masih relatif tinggi. Proses ini
dilakukan dengan menggabungkan badan kaleng dengan tutupnya (double seaming). Menurut
Muchtadi (1995), ada dua operasi dasar yang dilakukan pada saat penutupan kaleng. Operasi
pertama untuk membentuk atau menggulung bersama ujung pinggir tutup kaleng dan badannya.
Operasi kedua untuk meratakan gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama. Gambar 4
menunjukkan dua operasi penutupan kaleng.
Gambar 4. Operasi penutupan kaleng (Lopez 1981)
Proses sterilisasi dilakukan secepat mungkin setelah penutupan kaleng. Jika waktu tunggu
(holding time) terlalu lama, jumlah mikroba awal sebelum sterilisasi akan terlalu banyak sehingga
standar proses sterilisasi yang ditetapkan mungkin tidak dapat membunuh mikroba target. Suhu
sterilisasi standar yang digunakan adalah 121.10C (Hariyadi et al. 2006).
9
Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin. Pendinginan
dilakukan sampai suhu air dalam retort mencapai 38-400C (Muchtadi 1995). Pendinginan
dilakukan secepat mungkin setelah proses sterilisasi untuk mencegah overcooking dan
pertumbuhan kembali mikroba, terutama bakteri termofilik.
F. STERILISASI KOMERSIAL
Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena
kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi komersial
merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu
tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang
hidup (Hariyadi et al. 2006). Pemanasan dalam proses sterilisasi ini dilakukan pada suhu di atas
1000C dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Syarief et al. 1989).
Sterilisasi komersial biasa dilakukan terhadap sebagian besar makanan dalam kaleng,
plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab
penyakit dan pembentuk racun (toksik) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga
semua mikroba pembusuk. Spora bakteri non patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di
dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif
bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam
kondisi normal (Hariyadi 2000). Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai
daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain
kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan
ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan
pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah
disterilisasi.
Proses pengalengan harus diikuti dengan pengemasan secara hermetis, yaitu produk
pangan dikemas dalam kemasan yang tidak memungkinkan terjadinya kontak antara bahan di
dalam kemasan dan lingkungan sekitar. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan
dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi
(Kusnandar et al. 2006).
Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi rendah
ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat.
Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal
produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan
panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama.
Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk
mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk.
Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai
D dan nilai z. Nilai D adalah waktu (menit) yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari
populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai
z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali
lipat dalam waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan 90% organisme atau spora atau
pembinasaan seluruhnya (Singh dan Heldman 2009).
Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan kamir pada
umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 650C. Nilai z untuk sel vegetatif
bakteri, kapang, dan kamir berkisar 5-80C, dan nilai z untuk bakteri pembentuk spora adalah
berkisar 6-160C (Garbutt 1997). Pada suhu 121
0C, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang dan
kamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2006). Ketahanan panas mikroba dipengaruhi
oleh sejumlah faktor, antara lain umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi
10
medium pertumbuhan organisme, pH dan aw medium, waktu pemanasan, dan suhu pemanasan
(Kusnandar et al. 2006)
Nilai pH di atas 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen,
seperti C.botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7,
seperti B.thermoacidurans atau B.coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak
rusak oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992). Keberhasilan produk hasil proses pengolahan yang
melibatkan panas adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang
menyebabkan kebusukan dan keracunan. Oleh karena itu, perlu diketahui ketahanan mikroba
terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth
1997).
G. PENETRASI PANAS
Penetrasi panas adalah perambatan panas dalam kemasan dan produk yang terjadi selama
proses termal. Tujuan pengukuran penetrasi panas adalah untuk mengetahui proses perubahan
suhu produk pemanasan dan pendinginan untuk menetapkan proses termal yang aman dan
mengevaluasi penyimpanan proses. Pengukuran penetrasi panas ini harus dirancang untuk dapat
menguji dengan tepat seluruh faktor kritis yang berhubungan dengan produk, pengemas, dan
proses yang mempengaruhi laju pemanasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penetrasi
panas antara lain formulasi, pengemas, metode pengisian bahan ke dalam kaleng, penutupan
kaleng, dan sistem retort (Kusnandar et al. 2009).
Penetrasi panas ke dalam bahan pangan yang dikemas dapat berlangsung secara konduksi,
konveksi, atau gabungan keduanya. Ketika bahan pangan ditempatkan dalam retort, pindah panas
terjadi secara konduksi ke dalam kemasan, kemudian dari kemasan ke bahan yang dikalengkan
pindah panas terjadi secara konduksi atau konveksi bergantung pada jenis bahan pangannya.
Penetrasi panas pada makanan berbentuk jus terjadi secara konveksi cepat, pada produk yang
berbentuk irisan-irisan kecil dalam larutan perendam terjadi secara konveksi lambat, dan pada
produk berbentuk padat terjadi secara konduksi (Hariyadi et al. 2006).
Menurut Kusnandar et al. (2009), acuan dalam penentuan penetrasi panas adalah titik
terdingin (coldest point), baik pada sampel maupun pada retort. Titik ini merupakan titik yang
paling lambat menerima panas. Titik ini harus ditentukan untuk dapat menetapkan proses agar
diperoleh produk yang aman. Apabila titik ini sudah mendapat panas yang cukup, titik lain dapat
diasumsikan sudah mendapat panas yang cukup pula.
(a) (b)
Gambar 5. Perambatan panas secara (a) konduksi dan (b) konveksi (Fellows 2000).
Penentuan titik terdingin produk dapat diperkirakan dari sifat perambatan panas, bentuk
kemasan, dan ukuran headspace (Kusnandar et al. 2009). Posisi titik terdingin untuk bahan yang
mengalami perambatan panas secara konveksi pada kemasan kaleng dengan bentuk silindris
vertikal akan berada di titik tengah di 1/3 ketinggian kemasan bagian bawahnya, sedangkan untuk
bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi berada pada pusat geometrisnya
(Fellows 2000).
11
H. KECUKUPAN PROSES PANAS
Kecukupan proses panas bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme
atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas (Fellows 2000). Kecukupan
panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam
waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Percobaan dan perhitungan kecukupan panas dapat
menjadi dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan.
Kemampuan sterilisasi bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu
sterilisasi. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan nilai pasteurisasi. Nilai F dengan z
=18oF biasa disebut dengan F0, karena nilai z =18
oF sangat umum digunakan untuk spora
khususnya dari jenis C.botulinum. Menurut Toledo (2007), pemusnahan spora dan sel vegetatif
dari C.botulinum merupakan syarat minimum untuk pangan berasam rendah yang dikalengkan.
Pemusnahan C.botulinum menggunakan konsep 12D yang berarti proses termal yang
dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F = 12D (Hariyadi et al.
2006). Nilai D untuk C.botulinum diperkirakan sebesar 0.21 menit pada suhu 121.1oC dengan nilai
z sebesar 10oC, berarti aplikasi 12D ekuivalen dengan waktu pemanasan 12 × 0.21 menit = 2.52
menit pada suhu 121.1oC, yang dikenal dengan proses letalitas minimum (F0) (Ahmed dan
Shivhare 2006).
Kecukupan proses termal untuk membunuh mikroba target hingga pada level yang
diinginkan dinyatakan dengan nilai F0. Secara umum, nilai F0 didefinisikan sebagai waktu (menit)
yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu
tertentu. Nilai F0 biasanya menyatakan suatu proses pada suhu standar. Secara matematis, nilai F0
merupakan hasil perkalian antara nilai D0 pada suhu standar dengan jumlah siklus logaritmik (S)
yang diinginkan dalam proses.
Data hasil pengukuran penetrasi panas diolah untuk menetukan nilai sterilitas (F0) proses
termal yang dilakukan. Menurut Lopez (1981), ada dua metode untuk menganalisis data penetrasi
panas, yaitu metode umum dan metode formula (Ball). Metode umum biasanya digunakan untuk
evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Menurut Toledo (2007), letalitas proses ditentukan
dengan integral nilai letalitas (L) menggunakan data suhu terhadap waktu proses.
𝐹0 = 𝐿𝑡𝑡
0𝑑𝑡 (1)
Efek letalitas proses yang dilakukan pada suhu yang berbeda akan menyebabkan dampak
yang berbeda pula. Efek letalitas pada suhu tertentu dibandingkan dengan suhu standar disebut
nilai LR (Lethal Rate) atau LV (Lethal Value).
𝐿𝑅 = 10 𝑇−121.1𝑧 (2)
LR tidak memiliki satuan dan nilainya pada suhu standar (121.10C atau 250
0F) adalah 1.
Nilai LR lebih besar jika pemanasan yang dilakukan di atas suhu standar. Nilai letalitas umumnya
memberikan nilai yang nyata pada suhu di atas 900C. Menurut Hariyadi et al.(2006), rumus untuk
menghitung nilai F pada suhu bukan standar adalah sebagai berikut
𝐹𝑇 =𝐹0
𝐿𝑅𝑇 (3)
Metode formula didasarkan pada tabulasi nilai untuk letalitas yang diekspresikan dengan
parameter fh/U (Toledo 2007). Nilai ini sudah dikalkulasikan sebelumnya untuk berbagai macam
kondisi pemanasan dan pendinginan saat perbedaan suhu proses aktual dengan suhu yang ingin
dicapai diekspresikan sebagai nilai g. Persamaan berdasarkan kurva penetrasi panas untuk metode
formula adalah sebagai berikut
𝑡𝐵 = 𝑓 𝐿𝑜𝑔𝐽𝐼 − 𝐿𝑜𝑔 𝑔 (4)
𝑡𝑝 = 𝑡𝐵 − 0.4𝑡𝑐 (5)
12
Keterangan:
tB : waktu proses (menit)
tc : come up time (CUT) yaitu waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu
proses (menit)
tp : operator time yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses diinginkan sampai
suplai uap dihentikan (menit)
fh : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log (menit)
Jh : faktor lag waktu sebelum kurva pemanasan menjadi lurus
Ih : perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk (Tr-T0)
g : perbedaan suhu retort dengan produk di dalam kaleng pada akhir proses termal
Jh Ih : suhu awal semu diambil pada titik potong kurva pemanasan dengan waktu 0 menit
yang sebenarnya (waktu 0 menit ini besarnya sama dengan 0.58× tc)
13
III. METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan pada pengolahan gudeg adalah nangka muda atau gori,
daging sapi, bawang merah, bawang putih, gula merah, daun salam, lengkuas, ketumbar bubuk,
santan, air, daun jati, dan garam dapur. Bahan-bahan yang digunakan pada tahap analisis antara
lain akuades, HCl 0.01 N atau 0.02 N, air destilata, K2SO4, HgO, Na2S2O3, H2SO4, H3BO3, HCl,
NaOH, zat anti buih, asbes, petroleum eter, alkohol 95%, indikator PP, dan kertas tissue. Kaleng
yang akan digunakan berukuran 307×113.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi retort, thermocouple,
thermorecorder, kaleng, timbangan, thermometer, sendok, dan blender. Alat-alat yang digunakan
dalam analisis adalah penetrometer, neraca analitik, soxhlet, pendingin balik, kertas saring, pipet
tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium,
cawan porselen, gelas ukur 10, 100 dan 300 ml, erlenmeyer 100, 300 dan 1000 ml, oven
pengering, desikator, Minolta Chromameters CR310, gegep, pinset, spatula, batang pengaduk, dan
tabung reaksi.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas tiga tahap yaitu uji
formulasi, uji penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, penelitian utama terdiri atas tahap
pengalengan dan analisis produk. Diagram alir penelitian ini ditunjukkan oleh gambar berikut
Gambar 6. Diagram alir penelitian
Uji formulasi produk
Uji penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan 1210C
Desain proses dengan nilai F0 = 4, 12, 20, 28 menit
Pengalengan dengan F0 = 4, 12, 20, 28 menit pada berbagai kombinasi suhu dan waktu
Analisis tekstur dan warna
Penentuan produk terpilih
Analisis proksimat produk terpilih
Analisis organoleptik
14
1. PENELITIAN PENDAHULUAN
a. Uji Formulasi
Uji formulasi bertujuan untuk menentukan formula produk dan tahapan proses
produksi yang sesuai dengan kondisi pengalengan. Uji ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu
pembakuan formula, pengujian formula dengan proses pemasakan konvensional, dan pengujian
formula dengan proses pengalengan.
i. Pembakuan Formula
Formula gudeg mengacu pada resep gudeg yang ada di masyarakat secara
umum. Bahan baku yang berasal dari resep tersebut ditimbang dan dinyatakan dalam
satuan berat yang sama.
ii. Pengujian Formula dengan Proses Pemasakan Konvensional
Formula yang telah dibakukan kemudian diuji dengan proses pemasakan
konvensional. Selanjutnya, dilakukan pengamatan secara visual terhadap produk yang
meliputi aspek rasa, aroma, tekstur, dan warna. Proses pemasakan gudeg dapat dilihat
pada gambar berikut
Gambar 7. Proses pemasakan gudeg
iii. Pengujian Formula dengan Proses Pengalengan
Tahap ini bertujuan untuk melihat kesesuaian antara produk gudeg dalam
kaleng dengan gudeg biasa. Formula yang berhasil diolah dengan proses pemasakan
konvensional selanjutnya diuji dengan proses pengalengan. Oleh karena itu, perlu
dilakukan modifikasi proses pemasakan gudeg yang disesuaikan dengan kondisi
pengalengan.
Gudeg
Nangka muda
Pemotongan
Perebusan sampai warna
nangka kemerahan Daun jati, air
Penirisan
Lengkuas, daun
salam, gula merah,
daging, santan
Pemasakan sampai
santan hampir habis
Penggilingan
Bumbu halus
Bawang merah,
bawang putih, garam,
ketumbar
15
b. Uji Penetrasi Panas
Persiapan sampel untuk uji penetrasi panas disesuaikan berdasarkan hasil uji
formulasi. Termokopel dipasang pada titik terdingin kaleng yaitu pada tengah kaleng.
Sampel gudeg dimasukkan ke dalam kaleng. Ujung termokopel diletakkan pada bahan yang
diduga paling lambat mengalami perambatan panas yaitu bagian daging buah yang paling
keras yang terletak didekat kulit buah. Sebanyak tiga buah termokopel dipasang dalam
produk dan dua buah dipasang dalam retort. Selanjutnya, termokopel dihubungkan dengan
termorekorder. Produk disusun dalam satu tumpukan pada titik terdingin retort yaitu pada
posisi tengah di keranjang yang paling atas (Darmadi 2010). Retort diisi penuh dengan
kaleng-kaleng yang berisi air. Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada suhu 111, 116,
dan 1210C. Rekorder mencatat perubahan suhu produk setiap satu menit.
Gambar 8. Pemasangan termokopel pada pengukuran penetrasi panas
Gambar 9. Penyusunan kaleng pada pengukuran penetrasi panas
Data penetrasi panas yang diperoleh akan menghasilkan plot hubungan suhu
dengan waktu. Data ini dievaluasi menggunakan metode umum (general method) untuk
menentukan nilai sterilitas (F0) dan waktu proses. Nilai F0 proses dihitung dari luasan
daerah di bawah kurva. Bentuk luasan di bawah kurva dianggap trapesium. Untuk
menghitung luas trapesium, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah paralelogram
pada interval waktu (∆t) tertentu. Kemudian masing-masing dihitung luasnya dengan rumus
Sampel
Kaleng berisi air
Keranjang
Sekrup
Termokopel
Dihubungkan ke rekorder Nangka muda
16
luas trapesium, sehingga diperoleh nilai sterilitas parsial (F0 parsial) pada ∆t tersebut.
Masing-masing nilai F0 parsial dijumlahkan. Hasilnya menunjukkan nilai F0 total dari
proses yang telah dilakukan.
Berikut adalah metode perhitungan penetrasi panas
𝐹0 = 𝐿𝑟 𝑑𝑡𝑡
0 (6)
𝐹0 = 𝐿𝑟𝑖+ 𝐿𝑟𝑖−1
2
ni=1 Δ𝑡 (7)
𝐹0 𝑃𝑎𝑟𝑠𝑖𝑎𝑙 = 𝐿𝑟𝑛+𝐿𝑟𝑛−1 ×Δ𝑡
2 (8)
𝐿𝑟 = 10 𝑇𝑟−𝑇𝑟𝑒𝑓
𝑧 (9)
Keterangan:
Lr(i) : Lethal rate pada menit ke-i
Lr(i-1) : Lethal rate pada i menit sebelumnya
∆t : rentang perubahan waktu yang digunakan
F0 : nilai sterilisasi pada suhu 2500F (121.1
0C) bagi mikroba yang punya nilai
z tertentu (menit)
∆t : peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T
c. Desain Proses
Desain proses sterilisasi dilakukan dengan menggunakan metode formula Ball.
Plot data hasil pengukuran penetrasi panas diolah dengan prosedur matematis untuk
mengintegrasikan efek letalitas yang terjadi sehingga diperoleh karakteristik penetrasi
panas dalam pangan yang diproses. Penentuan persamaan garis kurva penetrasi panas dapat
menghasilkan nilai F0 yang paling mendekati nilai F0 dari metode general, sehingga
diperoleh parameter karakteristik penetrasi panas, seperti fh dan jh, yang nilainya akan
digunakan untuk mendapatkan formula proses yang terjadi.
Gambar 10. Kurva pemanasan untuk menentukan parameter fh dan Jh
(Toledo 2007).
17
Persamaan waktu penetrasi panas yang digunakan dalam metode formula Ball
adalah sebagai berikut
𝐿𝑜𝑔 𝑇𝑟 − 𝑇 = 𝐿𝑜𝑔 𝐽 𝑇𝑟 − 𝑇0 −𝑡𝐵
𝑓 (10)
𝑡𝐵 = 𝑓 𝐿𝑜𝑔 𝐽𝐼
𝑔 (11)
𝑡𝐵 = 0.42𝑡𝑐 + 𝑡𝑝 (12)
Keterangan:
Tr : suhu retort yang diatur dan dipertahankan pada saat proses (0C)
T0 : suhu awal produk (0C)
T : suhu maksimum produk pada akhir proses (0C)
fh : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log (menit)
Jh : faktor lag waktu sebelum kurva pemanasan menjadi lurus
tB : waktu proses (menit)
tc : come up time (CUT) yaitu waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai
suhu proses (menit)
tp : operator time yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses yang
diinginkan sampai suplai uap dihentikan (menit)
Ih : perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk (Tr-To)
g : perbedaan suhu retort dengan produk di dalam kaleng pada akhir proses termal
Jh Ih : suhu awal semu diambil pada titik potong kurva pemanasan dengan waktu 0
menit yang sebenarnya (waktu 0 menit ini besarnya sama dengan 0.58× tc)
2. PENELITIAN UTAMA
a. Pengalengan
Proses pengalengan dilakukan pada tiga suhu yaitu 111, 116, dan 1210C. Setiap
suhu dikombinasikan dengan empat level F0 yaitu 4, 12, 20, dan 28 menit. Langkah-
langkah pengalengan gudeg secara umum adalah sebagai berikut
Gambar 11. Diagram alir sterilisasi gudeg
Gudeg
Pengisian dalam kaleng
Penutupan kaleng
Ekshausting
Pendinginan
Sterilisasi (T, t)
Persiapan bahan
18
Penentuan nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit berdasarkan pemenuhan kecukupan
proses sterilisasi untuk pemusnahan C.botulinum sebesar 12 siklus logaritma atau 12×0.21
menit = 2.52 menit pada suhu 121.10C. Walaupun nilai F0 terkecil (F0 = 4) sudah memenuhi
kecukupan proses, kombinasi beberapa nilai F0 bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap tekstur dan warna produk.
b. Analisis
Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis fisik, analisis organoleptik, dan
analisis kimia. Analisis fisik meliputi analisis warna dan tekstur, sedangkan analisis kimia
meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, pH, dan aw.
i. Warna (Faridah et al. 2008)
Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan (F0=0 menit) dan
gudeg setelah dikalengkan (F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit). Sebelum diukur, sampel
nangka muda dibersihkan dari kuah gudeg. Pengukuran sampel dilakukan secara duplo.
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma
Meters CR310. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara
menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar dan
Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan
dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan
menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan
tercatat pada alat Paper Sheat.
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 (hitam)
sampai 100 (putih). Nilai a menunjukkan warna merah sampai hijau. Nilai +a
mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna kromatik merah dan nilai –a dari 0
sampai −80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna biru sampai kuning dengan
kisaran 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai –70 untuk warna biru.
ii. Tekstur (Faridah et al. 2008)
Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan (F0=0 menit) dan
gudeg setelah dikalengkan (F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit). Sampel yang diukur
merupakan bagian daging buah yang dekat dengan kulit buah. Sampel dengan tebal ±1.5
cm dan lebar ±2.5 cm diletakkan pada dasar alat penetrometer. Jarum ditempatkan pada
bagian permukaan atas sampel. Selanjutnya tombol run ditekan. Nilai kedalaman
penetrasi dari jarum penetrometer dicatat dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi.
Satuan waktu penetrasi yang digunakan adalah 5.0 detik. Pengukuran sampel dilakukan
secara duplo.
iii. Uji Rating Hedonik (Meilgaard 1999)
Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap
sampel. Sejumlah 75 panelis tidak terlatih diminta mencicipi sampel kemudian diminta
memberikan penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, tekstur, warna, rasa,
dan overall (keseluruhan) sampel. Penilaian mutu organoleptik produk dilakukan
dengan skala hedonik (kesukaan) terhadap karakteristik sensori produk. Tingkat
persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor kesukaan sebagai berikut:
1 : sangat tidak suka
2 : tidak suka
3 : agak tidak suka
4 : netral
5 : agak suka
6 : suka
7 : sangat suka
19
iv. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989)
Sebelum pengukuran, pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30
menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7.
elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering.
Sampel yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram ditambah dengan 10 ml air
destilata dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke
dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai pH diukur
secara duplo.
v. Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan
dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g
dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105oC selama 6 jam.
Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta
isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C).
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 %𝑏𝑏 =𝐵− 𝐶−𝐴
𝐵× 100% (13)
vi. Kadar Abu (AOAC 2006)
Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam
oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel
ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai
tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik
pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau
memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian
ditimbang (C). Cara perhitungan kadar protein:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 %𝑏𝑏 =𝐶−𝐴
𝐵× 100% (14)
vii. Kadar Lemak (AOAC 2006)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang
digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g
sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas
saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat
kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan
refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang
tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada
suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator
kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 % =𝐶−𝐴
𝐵× 100% (15)
viii. Kadar Protein Total (AOAC 1995)
Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah
dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel
didestruksi selama 30 menit sampai cairan jernih. Pindahkan isi labu ke dalam alat
destilasi dan bilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan tambahkan 8-10 ml
campuran larutan 60% NaOH dan 5% Na2S2O3. Sambungkan labu tadi dengan alat
destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan
20
H3BO3. Destilasi sampai volume destilat 15 ml kemudian titrasi dengan NaOH 0.1N
sampai larutan kuning.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (%) =(𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 – 𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 ) × 𝑁 𝐻𝐶𝑙 × 14.007
𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙× 100 (16)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 % × 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 (17)
Faktor konversi : 6.25
ix. Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan protein.
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 % = 100% − 𝑃 + 𝐴 + 𝐴𝑏 + 𝐿 (18)
P : kadar protein (% bb)
A : kadar air (% bb)
Ab : kadar abu (% bb)
L : kadar lemak (% bb)
x. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al. 1989)
Sampel ditimbang (A) dan diekstrak lemaknya menggunakan soxhlet dengan
pelarut petrpleum eter. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 mL serta
ditambahkan ke dalamnya 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih.
Tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 mL larutan H2SO4 mendidih. Letakkan
erlenmeyer di dalam pendingin balik. Didihkan sampel di dalam erlenmeyer selama 30
menit dengan sesekali digoyang. Saring suspensi dengan kertas saring. Cuci residu yang
tertinggal dengan air mendidih hingga air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan
residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer. Cuci sisa residu pada
kertas saring dengan 200 mL larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke
dalam erlenmeyer. Didihkan kembali sampel selama 30 menit dengan pendingin balik
sambil sesekali digoyang. Saring sampel dengan kertas saring yang diketahui beratnya
(B) sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu pada kertas saring dengan air
mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring dalam oven 1050C
sampai berat konstan. Setelah didinginkan dalam desikator, timbang sampel (C).
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑔/100𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =𝐶−𝐵
𝐴× 100 (19)
xi. Aktivitas Air (aw)
Aktivitas air diukur dengan menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi
dengan NaCl (RH 75%). Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam chamber
pada alat dan ditutup rapat. Pembacaan dilakukan sampai angka penunjuk pada aw-
meter tidak berubah atau muncul keterangan completed test pada display alat.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN FORMULA PRODUK
Jenis gudeg yang diformulasikan pada penelitian ini adalah gudeg basah yang
mengandung kuah. Kuah gudeg berfungsi sebagai medium penghantar panas saat pengalengan.
Formula gudeg mengacu pada resep yang tercantum pada Lampiran 1a-1b. Resep tersebut
dibakukan dengan menyeragamkan satuan berat bahan baku menggunakan satuan gram.
Penyeragaman satuan dilakukan untuk menghindari kesalahan interpretasi akibat perbedaan
satuan. Berikut penyajian hasil pembakuan formula gudeg
Tabel 5. Komposisi bahan baku gudeg
Jenis Bahan Baku Nama Bahan Jumlah (g) Persentase (%)
Bahan baku
primer
Nangka muda 1000 49.75
Daging sapi 200 9.95
Santan cair komersial 467 23.23
Gula merah 200 9.95
Bawang merah 60 2.99
Bawang putih 60 2.99
Ketumbar bubuk 3 0.15
Garam 20 1.00
Bahan baku
sekunder
Daun salam 10
Lengkuas 50
Daun jati 120-140
Bahan baku gudeg dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku primer dan bahan baku
sekunder. Bahan baku primer merupakan bahan baku utama penyusun gudeg yang terlibat sampai
akhir proses pengalengan, sedangkan bahan baku sekunder tidak terlibat sampai akhir proses.
Secara umum, bahan baku utama gudeg terdiri atas nangka muda, daging, dan bumbu cair (santan
cair, gula merah, bawang merah, bawang putih, ketumbar bubuk, dan garam). Daun jati digunakan
sebagai pewarna nangka muda. Daun salam dan lengkuas hanya terlibat saat pemasakan bumbu
yang berfungsi menambah aroma sedap pada bumbu.
Gambar 12. Gudeg yang diolah dengan (a) pemasakan konvensional dan (b) pengalengan
(a) (b)
22
Setelah formula gudeg dibakukan, dilakukan pengujian formula dengan proses
pemasakan konvensional dan pengalengan. Hasil pengujian tersebut ditunjukkan pada Gambar 12
dan Tabel 6. Proses pengalengan gudeg dilakukan pada suhu1210C selama 60 menit. Gudeg yang
diolah dengan dua proses tersebut memiliki rasa, aroma, dan tekstur yang relatif sama. Namun,
dari sisi warna dan penampakan secara keseluruhan terdapat beberapa perbedaan.
Tabel 6. Perbandingan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng
Atribut Sensori Produk Gudeg
Pemasakan Konvensional Pengalengan
Rasa Rasa gudeg, manis Rasa gudeg, manis
Aroma Gudeg yang sedap Gudeg yang sedap
Warna Cokelat kemerahan, lebih gelap Cokelat kemerahan
Tekstur Empuk dan mudah diiris Empuk dan mudah diiris
Penampakan Nangka muda hancur, tidak
berkuah
Nangka muda tidak hancur,
berkuah
Proses pemasakan gudeg secara konvensional dilakukan dalam wadah yang tidak tertutup
rapat. Hal ini menyebabkan air dalam santan menguap ke udara, sehingga gudeg yang dihasilkan
tampak tidak berkuah. Penampakan nangka muda pada gudeg hasil pemasakan konvensional
terlihat hancur akibat pengadukan selama pemasakan, sedangkan penampakan nangka muda pada
gudeg yang dikalengkan tidak hancur karena selama proses pengalengan tidak terjadi pengadukan.
Proses pemasakan gudeg yang lama dapat menyebabkan warna gudeg yang dimasak secara
konvensional terlihat lebih gelap daripada gudeg yang dikalengkan. Secara umum, produk gudeg
yang dimasak secara konvensional ini sesuai dengan gudeg komersial yang ada.
Walaupun penampakan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng terlihat
berbeda, formula gudeg yang telah dibakukan dapat diterima dalam hal rasa dan aroma sehingga
formula ini dapat diterapkan pada proses pengolahan gudeg dengan pengalengan. Adapun aspek
warna dan tekstur gudeg yang dikehendaki, seperti warna yang lebih gelap atau tekstur yang lebih
empuk, dapat diperoleh dengan mengkombinasikan suhu dan waktu pengalengan.
B. PENGOLAHAN GUDEG DALAM KALENG
Pemasakan gudeg konvensional dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap perebusan
nangka muda dengan daun jati dan tahap pemasakan nangka muda dengan penambahan bumbu.
Perebusan nangka muda dengan daun jati bertujuan untuk membentuk warna kemerahan pada
nangka muda. Tahap pemasakan kedua yaitu pemasakan nangka muda dengan bumbu
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membentuk tekstur gudeg yang lunak dan warnanya
yang gelap serta menguapkan air dalam santan. Tahap pemasakan yang kedua ini dapat dilakukan
dengan proses sterilisasi pada pengalengan dengan suhu tinggi sehingga waktu proses dapat
dipersingkat.
Gambar 13 menunjukkan tahap pembuatan gudeg yang merupakan hasil modifikasi
proses pemasakan gudeg yang dipadukan dengan proses pengalengan. Tahap awal pembuatan
gudeg adalah persiapan bahan baku. Persiapan bahan dibagi menjadi dua bagian yaitu persiapan
bumbu cair dan daging (ditandai dengan diagram alir berwarna hijau) dan persiapan nangka muda
(ditandai dengan diagram alir berwarna biru).
Persiapan bumbu diawali dengan pengupasan, pencucian, dan penimbangan bahan.
Bawang merah, bawang putih, garam, gula merah, dan ketumbar bubuk digiling menjadi bumbu
23
halus. Bumbu cair merupakan campuran bumbu halus dan santan yang telah direbus pada suhu
950C selama 30 menit dengan menambahkan lengkuas, daun salam, dan potongan daging.
Lengkuas dan daun salam hanya terlibat pada perebusan bumbu yang setelah proses perebusan
keduanya dibuang. Perebusan ini bertujuan agar komponen-komponen pada lengkuas dan daun
salam dapat terekstrak sehingga menimbulkan aroma bumbu yang sedap.
Gambar 13. Proses produksi gudeg dalam kaleng
Pengisian dalam kaleng (300C)
Penutupan kaleng
Ekshausting (850C, 10 menit)
Pendinginan
Sterilisasi (T, t)
Gudeg
Penimbangan dan
penggilingan
Bawang merah,
bawang putih,
Bumbu cair dan
potongan daging
Perebusan (950C,
30 menit) dan
pengadukan
Lengkuas,
daun salam
Pencucian,
pemotongan, dan
penimbangan
Pengupasan, dan
pencucian
Pencampuran Santan
Bumbu halus
Garam, gula
merah, ketumbar
bubuk
Lengkuas,
daun salam,
daging sapi
Daun jati
Nangka muda
Pengupasan,
pemotongan,
pencucian, dan
penimbangan
Air ekstrak
daun jati
Perebusan (950C,
30 menit)
Daun jati, air
Penirisan Blansir (85
0C,
30 menit)
24
Sebelum proses pengalengan, nangka muda dikupas, dicuci, dan dipotong dengan bentuk
mirip segitiga (lebar ±2.5 cm dan tebal ±1.5 cm). Selanjutnya potongan nangka muda ini diblansir
menggunakan air ekstrak daun jati yang telah dipersiapkan sebelumnya. Proses blansir nangka
muda dilakukan pada suhu 850C selama 30 menit agar zat warna merah alami pada ekstrak daun
jati dapat terserap oleh nangka muda. Selain untuk mewarnai nangka muda, proses blansir ini juga
berfungsi untuk menghilangkan getah pada nangka muda yang akan mempengaruhi citarasa
produk akhir.
Nangka muda, bumbu cair, dan daging yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam kaleng
berukuran 307×113. Kaleng tersebut dapat diisi gudeg sebanyak 200 g dengan komposisi: nangka
muda 100 g, bumbu cair 90 g, dan daging sapi 10 g. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam
kaleng dengan menyisakan headspace. Komposisi bahan-bahan tersebut dalam kaleng ditentukan
berdasarkan hasil pembakuan formula pada Tabel 5. Hasil penentuan komposisi bahan-bahan
tersebut disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi bahan gudeg dalam kaleng berukuran 307×113
Nama Bahan Jumlah (g) Presentase (%)
Nangka muda 100 50
Daging sapi 10 5
Bumbu cair 90 45
Kaleng yang berisi bahan gudeg kemudian mengalami proses ekshausting pada suhu 850C
selama 10 menit. Selanjutnya, kaleng ditutup dengan alat double seamer untuk menggabungkan
badan kaleng dan tutupnya. Kaleng yang telah tertutup rapat disterilisasi pada suhu 111, 116, dan
1210C dengan kombinasi nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Proses pengalengan gudeg diakhiri
dengan proses pendinginan cepat menggunakan air dingin untuk menghindari overcooking.
C. PENENTUAN WAKTU STERILISASI
Proses termal harus dirancang sebaik mungkin untuk memberikan produk yang stabil
selama penyimpanan (Kusnandar et al. 2009). Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji
penetrasi panas produk untuk menetapkan waktu sterilisasi. Sebelum uji penetrasi dilakukan, perlu
diketahui waktu venting retort (waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seluruh udara dari
dalam retort) yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran distribusi panas retort. Penentuan
waktu venting retort mengacu pada hasil penelitian Darmadi (2010) karena pada penelitian ini
menggunakan retort yang sama untuk mensterilisasi produk. Hasil uji distribusi panas yang telah
dilakukan Darmadi (2010) menunjukkan bahwa waktu venting retort yang dibutuhkan adalah 16
menit (retort mencapai suhu 1050C).
Data hasil penetrasi panas yang diperoleh menghasilkan plot grafik hubungan suhu
dengan waktu. Data tersebut diolah untuk menentukan nilai sterilitas (F0) proses. Pengolahan data
penetrasi panas menggunakan dua metode yaitu metode umum dan metode formula. Metode
umum merupakan metode yang paling teliti dalam perhitungan letalitas proses termal karena data
suhu hasil pengukuran penetrasi digunakan secara langsung tanpa asumsi dan prodiksi berdasarkan
persamaan hubungan suhu dan waktu. Metode umum digunakan untuk evaluasi proses yang telah
dilakukan. Perhitungan dengan metode formula menggunakan parameter-parameter yang diperoleh
dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects
(Subarna et al. 2008).
Gambar 14-16 menunjukkan kurva penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan
1210C. Pada tahap awal sterilisasi suhu produk relatif konstan. Setelah itu, suhu produk meningkat
25
tajam dan mulai melambat sebelum akhirnya mencapai suhu konstan (suhu proses). Setelah
beberapa waktu, suhu produk menurun tajam akibat proses pendinginan cepat. Waktu yang
diperlukan oleh produk untuk mencapai suhu proses berbeda-beda bergantung pada suhu yang
ingin dicapai. Semakin tinggi suhu proses, waktu yang diperlukan produk untuk mencapai suhu
proses semakin lama. Demikian juga dengan come up time (CUT), semakin tinggi suhu proses,
CUT juga semakin lama.
Gambar 14. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 111
0C
Gambar 15. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 116
0C
Gambar 16. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 121
0C
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Su
hu
(°C
)
Waktu (menit)
Gudeg
Retort
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Su
hu
(°C
)
Waktu (menit)
Gudeg
Retort
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0
140.0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Su
hu
(°C
)
Waktu (menit)
Gudeg
Retort
CUT Waktu operator Pendinginan
Tgudeg=Tretort
CUT Waktu operator Pendinginan
Tgudeg=Tretort
CUT Waktu operator Pendinginan
Tgudeg=Tretort
26
Saat pemanasan/pendinginan produk, peningkatan/penurunan suhu produk terjadi lebih
lambat daripada peningkatan/penurunan suhu retort. Hal ini dipengaruhi oleh sifat perambatan
panas bahan dalam kaleng. Gudeg dalam kaleng terdiri atas 55% padatan (nangka muda dan
daging sapi) dan 45% cairan (bumbu cair). Pada uji penetrasi panas, termokopel ditusukkan ke
dalam bagian padatan yaitu nangka muda. Nangka muda dan daging sapi mengalami perambatan
panas konduksi, sedangkan bumbu cair mengalami perambatan panas konveksi. Kecepatan
peningkatan/penurunan suhu produk dipengaruhi oleh koefisien pindah panas bahan. Semakin
besar koefisien pindah panas suatu bahan, semakin tinggi laju pindah panas yang terjadi.
Data penetrasi panas selanjutnya dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah
menggunakan metode formula Ball untuk mendapatkan nilai F0 dan parameter proses lainnya.
Perhitungan nilai F0 dari kedua metode tersebut dibandingkan untuk mengetahui kecukupan proses
panas. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball
Tr (0C) tc (menit) fh (menit) Jh tB (menit) tp (menit)
F0 (menit)
Umum Formula
111 17 32.89 1.6 155.1 148.0 10.6 10.6
116 18 32.89 2.3 91.6 84.0 12.0 12.0
121 19 32.89 1.1 53.0 45.0 12.2 12.2
Keterangan: Tr = suhu retort, tc = come up time, tB = waktu Ball, tp = waktu operator, jh= faktor lag,
fh= waktu untuk melewati 1 siklus log
Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode umum dan metode formula Ball pada suhu
1110C adalah 10.6 menit, pada suhu 116
0C adalah 12.0 menit, dan pada suhu 121
0C adalah 12.2
menit. Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode formula tidak lebih besar nilainya daripada
nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode umum. Menurut Hariyadi et al. (2006), apabila F0
proses (metode formula) kurang dari F0 standar (metode umum), proses termal belum mencukupi.
Tabel 9. Desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113
Tr (0C) T0 (
0C) F0 (menit) tB (menit) tp (menit)
111
23.4 4 88.5 81.3
23.4 12 174.7 167.5
23.4 20 253.9 246.8
23.4 28 332.3 325.2
116
28.0 4 62.5 54.9
28.0 12 91.5 84.0
28.0 20 117.7 110.1
28.0 28 144.9 137.4
121
23.1 4 38.0 30.0
23.1 12 52.6 44.7
23.1 20 65.1 57.1
23.1 28 73.6 65.6
Keterangan: T0 = suhu awal produk
27
Parameter fh dan jh bersifat konstan dan merupakan karakteristik penetrasi panas dalam
bahan yang diproses. Parameter respon suhu fh menunjukkan laju penetrasi panas produk dalam
wadah, sedangkan lag factor jh menunjukkan waktu lag (kelambatan) sebelum laju penetrasi
mencapai fh (Subarna et al. 2008). Nilai fh pada suhu 111, 116, dan 1210C menunjukkan hasil yang
sama yaitu sebesar 32.89 menit karena jenis kaleng dan produk yang digunakan dalam proses tidak
berbeda. Nilai jh pada suhu 1110C sebesar 1.6, pada suhu 116
0C sebesar 2.3, dan pada suhu 121
0C
sebesar 1.1. Perbedaan nilai ini terjadi karena adanya perbedaan suhu retort, suhu awal produk,
dan suhu awal semu produk.
Parameter proses termal fh dan jh yang diperoleh berdasarkan metode formula Ball,
selanjutnya digunakan dalam mendesain jadwal proses (schedule process) pengalengan untuk
mencapai nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit pada suhu 111, 116, dan 1210C. Tabel 9 menunjukkan
desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113. Berdasarkan tabel tersebut
diketahui bahwa semakin besar nilai F0 pada suhu tertentu, waktu proses yang diperlukan juga
semakin lama. Pada nilai F0 yang sama, perlakuan suhu yang lebih rendah menyebabkan waktu
proses lebih lama. Hal ini disebabkan lethal rate pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai yang
lebih kecil sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai F0 yang sama.
D. SIFAT FISIK
1. WARNA
Pengukuran warna terhadap produk gudeg dalam kaleng menunjukkan bahwa
tristimulus L, a, dan b bernilai positif. Hal ini berarti komponen pada warna produk terdiri atas
tingkat kecerahan (L), kemerahan (+a), dan kekuningan (+b). Perbandingan proporsi ketiga
komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 121
0C
Parameter warna yang paling dominan adalah tingkat kecerahan dan selanjutnya
tingkat kemerahan atau tingkat kekuningan bergantung pada lamanya proses pengalengan. Pola
yang sama juga terjadi pada sampel yang disterilisasi pada suhu 111 dan 1160C. Hal ini dapat
dilihat pada Lampiran 5a-5b. Perubahan tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan gudeg
28
dalam kaleng pada suhu 111, 116, dan 1210C dengan kombinasi nilai F0=4, 12, 20, dan 28
menit ditunjukkan oleh Gambar 18-20. Nilai F0=0 menit pada gambar menunjukkan produk
sebelum mengalami proses pengalengan.
Gambar 18. Perbandingan tingkat kecerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai
F0) dan gudeg konvensional
Gambar 19. Perbandingan tingkat kemerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai
F0) dan gudeg konvensional
Gambar 20. Perbandingan tingkat kekuningan gudeg dalam kaleng (pada berbagai
nilai F0) dan gudeg konvensional
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
55.00
60.00
65.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40
Tin
gk
at
kec
era
ha
n
F0 (menit)
Suhu 111 C
Suhu 116 C
Suhu 121 C
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
13.00
15.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40
Tin
gk
at
kem
era
ha
n
F0 (menit)
Suhu 111 C
Suhu 116 C
Suhu 121 C
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
11.00
12.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40
Tin
gk
at
kek
un
ing
an
F0 (menit)
Suhu 111 C
Suhu 116 C
Suhu 121 C
Gudeg
konvensional
Gudeg
konvensional
Gudeg
konvensional
29
Kecerahan gudeg sebelum proses sterilisasi bernilai 60.33. Setelah dilakukan proses
sterilisasi, terjadi perubahan tingkat kecerahan gudeg. Sterilisasi pada suhu 1110C dengan F0=4
menit menyebabkan tingkat kecerahan gudeg menurun menjadi 47.88 atau turun sebesar
20.63%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg
yang memiliki tingkat kecerahan 48.43 (turun 19.73%) dan 46.75 (turun 22.51%). Selanjutnya,
tingkat kecerahan gudeg pada suhu 111, 116, dan 1210C semakin menurun seiring semakin
meningkatnya nilai sterilitas gudeg.
Tingkat kemerahan gudeg mengalami peningkatan setelah proses sterilisasi. Sebelum
proses sterilisasi, tingkat kemerahan gudeg bernilai 5.35. Sterilisasi pada suhu 1110C dengan
F0=4 menit menyebabkan tingkat kemerahan gudeg meningkat menjadi 7.69 atau naik sebesar
43.80%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg
yang memiliki tingkat kemerahan 8.04 (naik 50.31%) dan 7.53 (naik 40.78%). Selanjutnya,
tingkat kemerahan gudeg pada suhu 111, 116, dan 1210C semakin meningkat seiring
meningkatnya nilai F0.
Tingkat kekuningan gudeg sebelum proses sterilisasi bernilai 11.10. Setelah dilakukan
proses sterilisasi, terjadi perubahan tingkat kekuningan gudeg. Sterilisasi pada suhu 1110C
dengan F0=4 menit menyebabkan tingkat kekuningan gudeg menurun menjadi 9.84 atau turun
11.28%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg
yang memiliki tingkat kekuningan 10.50 (turun 5.39%) dan 10.49 (turun 5.50%). Selanjutnya,
semakin besar tingkat sterilitas gudeg (F0), tingkat kekuningan gudeg pada suhu 111, 116, dan
1210C semakin menurun.
Pada nilai F0 yang sama, perlakuan perbedaan suhu sterilisasi tidak mempengaruhi
tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan sampel gudeg dalam kaleng secara signifikan.
Hal ini ditunjukkan berdasarkan standard error yang saling berhimpit pada perlakuan suhu
yang berbeda di setiap nilai F0. Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama menghasilkan
produk gudeg dalam kaleng dengan intensitas warna yang relatif sama.
Tingkat kecerahan dan kekuningan gudeg yang dikalengkan berbanding terbalik
dengan nilai F0, sedangkan tingkat kemerahannya berbanding lurus dengan nilai F0. Penurunan
nilai kecerahan dan kekuningan serta peningkatan nilai kemerahan gudeg dalam kaleng
menunjukkan terjadinya perubahan warna pada proses sterilisasi. Walaupun demikian, secara
umum pengaruh nilai F0 terhadap perubahan tingkat kecerahan, kemerahan, maupun
kekuningan gudeg dalam kaleng tidak signifikan. Gudeg dengan F0 = 4, 12, dan 20 menit
menunjukkan tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan yang relatif sama, sedangkan
gudeg dalam kaleng dengan F0=28 menit memiliki tingkat kecerahan, kemerahan, dan
kekuningan yang cenderung berbeda dengan tiga perlakuan F0 lainnya.
Pengukuran warna terhadap produk gudeg konvensional menunjukkan hasil bahwa
gudeg konvensional memiliki tingkat kecerahan 32.74 (< gudeg dengan F0=28 menit), tingkat
kemerahan 9.36 (= gudeg dengan F0=12 dan 20 menit), dan tingkat kekuningan 10.33 (= gudeg
dengan F0=4 menit). Hal ini berarti produk gudeg dalam kaleng lebih cerah daripada produk
gudeg konvensional, sedangkan tingkat kemerahan dan kekuningan kedua produk tersebut
relatif sama.
Perubahan warna gudeg dipengaruhi oleh blansir nangka muda menggunakan air dari
ekstrak daun jati. Daun jati muda merupakan salah satu sumber pigmen alami yaitu antosianin
(Limantara dan Rahayu 2008). Antosianin bersifat larut dalam air dan relatif tidak stabil.
Faktor utama yang mempengaruhi kestabilan antosianin antara lain konsentrasi pH, suhu, dan
oksigen (Elbe dan Schwartz (1996).
Gudeg yang dihasilkan merupakan jenis produk berasam rendah dengan nilai pH 5.68.
Warna antosianin yang terbentuk pada pH 4-6 adalah warna ungu (Branen et al. 2002). Namun,
saat dipanaskan pada suhu tinggi, warna antosianin dapat mengalami degradasi yang
mengakibatkan terbentuknya warna cokelat (Elbe dan Schwartz 1996). Peningkatan suhu
30
pengolahan dapat menimbulkan kerusakan dan perubahan antosianin (Jackman dan Smith,
1996). Konsentrasi oksigen dalam produk kaleng sangat minim, bahkan hampir tidak ada,
karena kemasan kaleng bersifat hermetis. Sehingga, faktor konsentrasi oksigen tidak
mempengaruhi perubahan warna gudeg secara signifikan.
2. TEKSTUR
Karakteristik tekstur yang menjadi parameter mutu gudeg dalam kaleng adalah tingkat
keempukannya. Pengukuran keempukan tekstur gudeg dalam kaleng dilakukan menggunakan
alat penetrometer. Alat ini mengukur keempukan berdasarkan tingkat kedalaman penetrasi
jarum penetrometer dalam selang waktu 5 detik. Gambar 21 memperlihatkan perubahan tingkat
kedalaman penetrasi jarum penetrometer pada produk gudeg disterilisasi pada suhu 111, 116,
dan 1210C dengan kombinasi nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Nilai F0=0 menit pada gambar
menunjukkan produk sebelum mengalami proses pengalengan.
Gambar 21. Perbandingan tekstur gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0)
dan gudeg konvensional
Sebelum proses sterilisasi, kedalaman penetrasi jarum sebesar 4.8 mm/5.0 detik.
Setelah proses sterilisasi pada F0=4 menit, kedalaman penetrasi jarum pada sampel gudeg
dalam kaleng meningkat menjadi 10.8 mm/5.0 detik untuk suhu 1110C, 12.5 mm/5.0 detik
untuk suhu 1160C, dan 12.4 mm/5.0 detik untuk suhu 121
0C. Peningkatan kedalaman penetrasi
pada suhu 1110C, 116
0C, dan 121
0C juga terjadi jika sampel disterilisasi pada F0 yang lebih
tinggi. Kedalaman penetrasi pada sampel yang disterilisasi pada F0=12 menit lebih besar
daripada sampel yang disterilisasi pada F0=4 menit dan begitu seterusnya. Data nilai
kedalaman penetrasi pada gudeg dalam kaleng dan gudeg konvensional pada berbagai
kombinasi suhu dan waktu sterilisasi disajikan pada Lampiran 6a-6b.
Tingkat kedalaman penetrasi jarum penetrometer pada sampel gudeg dalam kaleng
terlihat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya nilai F0. Kedalaman penetrasi
berbanding lurus dengan tingkat keempukan sampel. Sampel yang semakin empuk memiliki
resistensi yang lebih rendah terhadap penetrasi jarum penetrometer sehingga memberikan nilai
kedalaman penetrasi yang lebih tinggi.
Pada nilai F0 yang sama, perlakuan perbedaan suhu (111, 116, dan 1210C) tidak
mempengaruhi perbedaan nilai kedalaman penetrasi sampel gudeg dalam kaleng secara
signifikan. Hal ini ditunjukkan berdasarkan standard error yang saling berhimpit pada
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40
Ked
ala
ma
n p
enet
rasi
(m
m/5
s)
F0 (menit)
suhu 111 C
suhu 116 C
suhu 121 C
Gudeg
konvensional
31
perlakuan suhu yang berbeda di setiap nilai F0. Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang
sama akan menghasilkan produk gudeg dengan tingkat keempukkan yang relatif sama.
Produk gudeg konvensional memiliki nilai kedalaman penetrasi sebesar 30.0 mm/5.0
detik. Nilai yang diperoleh tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai
kedalaman penetrasi gudeg dalam kaleng yang dihasilkan pada F0=28 menit. Dengan demikian,
kombinasi suhu dan waktu yang tepat pada proses pengalengan gudeg dapat menghasilkan
produk yang memiliki tekstur (tingkat keempukan) yang sesuai dengan produk gudeg
konvensional.
Gudeg berbahan utama nangka muda yang merupakan bahan nabati. Pelunakkan
jaringan pada bahan nabati, seperti sayur dan buah, terjadi akibat hidrolisis pektin dan
pelarutan sebagian hemiselulosa yang dikombinasikan dengan kehilangan sel turgor. Proses
termal dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel, terutama lamela tengah (Ahmed dan
Shivare 2006). Saat dipanaskan, terjadi perubahan struktur protopektin. Protopektin yang
bersifat tidak larut dapat berubah menjadi pektin yang dapat terdispersi dalam air jika
dipanaskan (Winarno 1992). Semakin lama waktu pemanasan, jumlah pektin yang terdispersi
dalam air juga semakin banyak, sehingga tekstur bahan semakin lunak.
E. SIFAT ORGANOLEPTIK
Perlakuan perbedaan suhu pada sterilisasi gudeg tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap perubahan warna dan tekstur produk gudeg dalam kaleng seperti telah dibahas pada sub
bab sebelumnya. Burton (1978) menyatakan bahwa kombinasi pemanasan suhu yang lebih tinggi
dan waktu pemanasan yang lebih singkat biasanya memberikan perubahan kimia produk sterilisasi
yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses pemanasan pada suhu yang lebih rendah. Optimasi
proses termal dengan mempertimbangkan mutu produk berarti menentukan kondisi proses yang
memenuhi syarat keamanan produk dengan meminimumkan kerusakan mutu organoleptik dan gizi
produk (Richardson 2004; Awuah et al. 2007). Dengan demikian, sampel yang dipilih untuk uji
organoleptik adalah gudeg yang diproduksi pada suhu tertinggi, yaitu 1210C, dengan kombinasi
nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Gambar 22 menunjukkan sampel gudeg yang disterilisasi pada
suhu 1210C dengan kombinasi berbagai nilai F0.
Gambar 22. Gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan perlakuan (a) F0=4,
(b) F0=12, (c) F0=20, dan (d) F0=28 menit
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui mutu internal produk yang hanya dapat
dideteksi setelah seseorang mencicipi produk tersebut. Jenis uji organoleptik yang digunakan
adalah uji penerimaan (Acceptance Test) menggunakan metode uji rating hedonik. Karena produk
gudeg dalam kaleng merupakan jenis masakan manis, panelis yang dipilih adalah panelis yang
menyukai masakan manis untuk mengurangi terjadinya bias.
(d) (c) (b) (a)
32
Gambar 23 menunjukkan hasil uji organoleptik gudeg dalam kaleng. Penilaian panelis
pada atribut aroma dan rasa menunjukkan bahwa sampel yang diuji berada pada level kesukaan
agak suka–suka (5-6), sedangkan pada atribut warna dan tekstur menunjukkan bahwa sampel
berada pada level kesukaan netral–suka (4-6). Secara overall (keseluruhan), kesukaan panelis
terhadap sampel berada pada level agak suka–suka (5-6). Sampel dengan F0=4 menit memiliki
skor kesukaan yang terendah dibandingkan tiga sampel lainnya pada setiap atribut sensori,
sedangkan sampel dengan F0=28 menit relatif memiliki skor kesukaan yang tertinggi.
Keterangan: perbedaan huruf kecil pada setiap kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Gambar 23. Hasil uji orgaoleptik gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan
berbagai kombinasi nilai F0.
Karena gudeg yang diproduksi merupakan hasil modifikasi proses pengolahan
menggunakan aplikasi pengalengan, dilakukan pula survei kepada panelis tentang penerimaan
produk tersebut pada saat uji organoleptik. Gambar 24 menunjukkan penerimaan panelis terhadap
sampel yang diuji. Sebanyak 72 panelis (96%) menyatakan setuju bahwa sampel yang diuji
merupakan produk gudeg dan tiga panelis lainnya (4%) menyatakan tidak setuju. Selanjutnya, 72
panelis tersebut diminta untuk memilih atribut sensori yang paling menentukan kesukaannya
terhadap sampel. Sebanyak 55 panelis (76%) memilih atribut rasa, sepuluh panelis (14%) memilih
atribut tekstur, empat panelis (6%) memilih atribut aroma, dan tiga panelis (4 %) memilih atribut
warna yang paling menentukan kesukaannya terhadap sampel.
Gambar 24. Penerimaan panelis terhadap produk gudeg dalam kaleng
Pengolahan data uji rating hedonik menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA)
pada selang kepercayaan 95% atau α=0.05. Metode ANOVA merupakan jenis analisis ragam yang
menguraikan keragaman total data menjadi komponen-komponen yang dapat mengukur berbagai
sumber keragaman (Walpole 1997). ANOVA memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mengetahui
5.0
5
4.3
1
4.5
3 5.0
5
5.0
4
5.2
7
5.1
7
5.0
3
5.3
7
5.2
8
5.2
8
5.4
7
5.5
3
5.3
5
5.5
9
5.6
3
5.5
1
5.5
2
5.7
1
5.7
6
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
Sk
or
kes
uk
aan
Atribut sensori
Fo 4
Fo 12
Fo 20
Fo 28
a a a a a a a a a a a a a a a b b a a c
Ya
96%
Tidak
4%
Aroma
6%Warna
4% Tekstur
14%Rasa
76%
33
adanya perbedaan sampel akibat perlakuan proses yang memiliki efek pada kualitas sensori
produk. Perbedaan sampel dapat ditentukan berdasarkan sebaran nilai F yang bergantung pada
derajat bebas yang berasosiasi dengan sampel (nilai Fsampel) dan derajat bebas yang berasosiasi
dengan panelis (nilai Fpanelis) (Lawless dan Heymann 1998).
Tabel 10. Perbandingan nilai Fsampel dan Ftabel berdasarkan metode ANOVA
Atribut Parameter Statistik
Nilai Fsampel Nilai Ftabel
Aroma 3.560
2.60
Warna 16.682
Tekstur 9.089
Rasa 4.200
Overall 7.570
Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai Fsampel pada semua atribut sensori lebih
besar daripada nilai Ftabel. Hal ini berati terdapat perbedaan yang signifikan pada sampel di setiap
atribut sensori yang diuji (P<0.05). Hasil analisis metode ANOVA tersebut belum menunjukkan
perbedaan spesifik yang terdapat pada setiap sampel. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis
lanjut untuk mengetahui sampel-sampel yang berbeda.
Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan yang merupakan bagian dari Multiple
Comparison Test. Uji Duncan menjaga nilai alpha risk tetap pada maksimum 5%. Hasil analisis
menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis terhadap keempat sampel terbukti tidak berbeda nyata
pada atribut aroma, rasa, dan secara overall. Hal ini berarti perlakuan perbedaan F0 tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, rasa, dan overall gudeg. Sterilisasi gudeg
pada nilai F0 terkecil (F0=4 menit) sudah cukup untuk membentuk produk yang disukai oleh
panelis terutama dari sisi rasa dan aroma.
Analisis terhadap atribut tekstur menunjukkan bahwa sampel dengan F0=4 menit (4.31b)
berbeda nyata dibandingkan dengan tiga sampel lainnya (P<0.05). Sampel dengan F0=12 menit
(5.17a), F0=20 menit (5.47
a), dan F0=28 menit (5.51
a) lebih disukai oleh panelis daripada sampel
dengan F0=4 menit. Sehingga, perlakuan sterilisasi gudeg pada F0=4 menit belum cukup untuk
membentuk warna produk yang disukai oleh panelis.
Hasil analisis terhadap atribut tekstur menunjukkan bahwa sampel dengan F0=4 menit
(4.53c) dan sampel F0=12 menit (5.03
b) terbukti berbeda nyata dibandingkan dua sampel lainnya
(P<0.05). Sampel dengan F0=20 menit (5.53a) dan F0=28 menit (5.52
a) lebih disukai oleh panelis
daripada sampel dengan F0=4 menit dan sampel F0=12 menit. Hal ini berarti penggunaan F0=20
dan 28 menit pada proses sterilisasi dapat menghasilkan produk gudeg dengan tekstur yang paling
disukai oleh panelis.
Pengujian tingkat kesukaan secara overall menunjukkan bahwa sterilisasi gudeg pada
F0=4 menit sudah cukup untuk menghasilkan produk yang disukai oleh panelis. Hasil pengujian
hedonik pada atribut rasa dan aroma menunjukkan hasil yang sama dengan hasil pengujian
tersebut, sedangkan pada atribut warna dan aroma menunjukkan hasil yang berbeda. Untuk
membentuk warna gudeg yang disukai, diperlukan perlakuan sterilisasi pada F0=12 menit. Akan
tetapi, untuk membentuk tekstur yang disukai, diperlukan perlakuan sterilisasi pada F0=20 menit.
Penentuan produk terpilih tidak hanya mempertimbangkan aspek sensori secara overall,
tetapi perlu mempertimbangkan atribut sensori lain yang lebih spesifik seperti aroma, warna, rasa,
dan tekstur. Berdasarkan pengujian terhadap atribut sensori tersebut menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan gudeg yang disukai oleh panelis, baik dari sisi aroma, warna, rasa, tekstur, dan
overall, diperlukan sterilisasi pada F0=20 atau 28 menit. Jika perlakuan sterilisasi pada F0=20
34
menit sudah cukup untuk membentuk produk yang disukai, perlakuan sterilisasi pada F0=28 menit
tidak perlu dilakukan karena akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan (over processed).
Dengan demikian, produk yang terpilih berdasarkan uji organoleptik adalah sampel yang
disterilisasi pada suhu 1210C dengan F0=20 menit.
Walaupun gudeg dalam kaleng secara visual terlihat berbeda dengan gudeg konvensional
(Gambar 21), produk gudeg dalam kaleng berpotensi untuk dikembangkan berdasarkan respon
panelis pada survei tentang penerimaan produk (Gambar 24). Gudeg dalam kaleng memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan gudeg konvensional di antaranya bentuk nangka tetap
utuh dengan teksturnya yang lunak, umur simpan lebih lama, dapat disimpan pada suhu ruang, dan
lebih mudah didistribusikan. Namun, salah satu kelemahan produk kaleng adalah harga jualnya
yang relatif lebih tinggi dibandingkan produk konvensional.
F. KARAKTERISTIK PRODUK TERPILIH
Produk terpilih adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan F0=20 menit.
Analisis warna menunjukkan bahwa produk memiliki tingkat kecerahan 43.24, kemerahan 10.52,
dan kekuningan 8.94. Tingkat kekerasan tekstur produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk tersebut
memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk memiliki tingkat bahaya yang tinggi (high risk)
atau disebut potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial sangat cocok
diterapkan untuk produk PHF ini. Tabel 11 menunjukkan hasil analisis proksimat produk terpilih.
Tabel 11. Kandungan gizi produk gudeg dalam kaleng per 100 g
Komponen Gizi Jumlah
Basis Basah Basis Kering
Air (g) 75.40 -
Abu (g) 1.55 6.30
Lemak (g) 5.68 23.08
Protein (g) 0.83 3.36
Karbohidrat (g) 16.54 67.27
Serat (g) 1.97 -
Kandungan gizi produk yang terbesar adalah air, selanjutnya karbohidat (termasuk serat),
lemak, abu, dan protein. Penambahan gula merah dapat meningkatkan kadar karbohidrat. Gula
merah mengandung 98.09% karbohidrat dengan 97.02% total gula (USDAb 2010). Gula merah
mengandung beberapa jenis gula antara lain sukrosa (94.56%), fruktosa (1.11%), dan glukosa
(1.35%) (Muchtadi et al. 2006; USDAb 2010). Selain gula, jenis karbohidrat yang ada pada produk
adalah serat. Sumber serat gudeg sebagian besar berasal dari nangka muda.
Kandungan lemak gudeg berasal dari bahan yang mengandung minyak, yaitu santan dan
daging sapi. Santan komersial yang digunakan mengandung 6% lemak, sedangkan daging sapi
mengandung 14% lemak (Depkes 1979). Kadar abu (mineral) produk berasal dari bahan
bermineral tinggi seperti garam dapur yang mengandung 99.80% total mineral (USDAa 2010).
Kadar protein gudeg berasal dari daging sapi yang mengandung 18.8% protein (Depkes 1979).
Rendahnya kadar protein gudeg karena proporsi daging sapi dalam gudeg hanya 5.00%.
Penentuan jumlah energi berdasarkan perhitungan nilai fisiologis masing-masing zat gizi
sumber energi yaitu 4 Kkal/g untuk karbohidrat, 9 Kkal/g untuk lemak, dan 4 Kkal/g untuk protein
(Muchtadi et al. 2006). Energi yang terkandung dalam produk gudeg dalam kaleng (120.60 Kkal)
berasal dari komponen 16.54% karbohidrat, 0.83% lemak, dan protein 2.00% pada produk.
35
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Makanan tradisional gudeg dapat diolah dengan proses pengalengan yang kecukupan
prosesnya dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) bahan yang dikalengkan. Tingkat kecerahan dan
kekuningan gudeg yang dikalengkan berbanding terbalik dengan nilai F0, sedangkan tingkat
kemerahannya berbanding lurus dengan nilai F0. Adapun tingkat keempukannya berbanding lurus
dengan nilai F0. Pada nilai F0 yang sama, suhu sterilisasi yang dipelajari (111, 116, dan 1210C)
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisik (warna dan tekstur) gudeg yang
dihasilkan.
Produk terpilih adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C selama 57.1 menit
dengan F0=20 menit. Tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan produk sebesar 43.24, 10.52,
dan 8.94. Tingkat kekerasan produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk terpilih mengandung 75.40%
air, 1.55% abu, 5.68% lemak, 0.83% protein, 16.54% karbohidrat, 1.97% serat, dan 120.60 Kkal
energi. Produk tersebut memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk tergolong dalam
potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial pada proses pengalengan sangat
cocok diterapkan untuk produk PHF ini. Walaupun produk gudeg dalam kaleng terlihat berbeda
dengan produk gudeg konvensional, gudeg dalam kaleng ini berpotensi untuk dikembangkan.
B. SARAN
Berikut beberapa saran untuk pengembangan produk gudeg dalam kaleng:
1. Perbedaan penampakan produk kaleng terhadap produk konvensional dapat
diminimalisasi dengan melakukan pencacahan nangka sebelum dikalengkan
2. Jika proses pengalengan akan dilakukan pada F0 yang lebih rendah dari F0=20 menit,
perlu adanya modifikasi proses pada tahap persiapan bahan, yaitu blansir nangka muda
sebaiknya dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dan/ atau waktu yang lebih lama
3. Bagi produsen yang berencana memproduksi produk ini, perlu melakukan:
a. market testing untuk perbaikan kualitas produk dan perumusan strategi pemasaran
b. analisis kelayakan usaha untuk membuat rencana bisnis
4. Pemerintah perlu menetapkan SNI produk gudeg, baik gudeg konvensional maupun
gudeg dalam kaleng, untuk menjamin keamanan dan mutu produk.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed J, Shivhare US. 2006. Thermal Processing of Vegetables. In: Sun D (ed). Thermal Food
Processing: New Technology and Quality Issues. Boca Raton, London, New York: CRC
Press.
Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.).
Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128.
Alli I. 2004. Food Quality Assurance: Principles and Pradtices. Boca Raton, London, New York,
Washington D.C.: CRC Press.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 960.52 Modified, Chapter 12.1.07, p7.
_____. 2006. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists,
Washington D.C.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budiyanto S. 1989. Petunjuk
Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.
Astawan M. 2007. Nangka Sehatkan Mata. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.
aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C414. [4 Mar 2010].
Ati NH, Rahayu P, Notosoedarmo S, Limantara L. 2006. The Composition And The Content Of
Pigments From Some Dyeing Plant For Ikat Weaving In Timorrese Regency, East Nusa
Tenggara. Indonesian Journal of Chemistry, [Online]. 3 (6). Abstract from Indonesian
Journal of Chemistry database. http://pdm-mipa.ugm.ac.id/ojs/index.php/ijc/article,
Indonesian Journal of Chemistry. [8 Desember 2010].
Awuah GB, Ramaswamy HS, Economides A. 2007. Thermal Processing And Quality: Principles And
Overview. Chem Eng Process 46, 584 – 602 .
BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010].
Branen AL, Davidson PM, Salminen S, Thorngate JH. 2002. Food Additives. New York: Marcel
Dekker Inc.
Burton H. 1978. Quality Aspects of Thermal Sterilisation Processes. In: Food Quality and Nutrition.
London.
Elbe JHV, Schwartz SJ. 1996. Colorants. In: Owen R. Fennema (ed). Food Chemistry. New York,
Basel, Hong Kong: Marcel Dekker Inc.
Darmadi S. 2010. Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium, dan Ketebalan Tempe terhadap Sifat Fisik
dan NilaI Gizi Tempe Kaleng [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: PT. Bharata.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Depkes.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1972. Food Composition Table for Use in East Asia.
Roma: FAO.
Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2008.
Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor.
37
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Fellows P. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practises. Boca Raton, Boston, New
York, Washington D.C.: CRC Press. Cambridge: Woodhead Publishing Limited.
Garbutt J. 1997. Essential of Food Microbiology. London : Arnold.
Hariyadi P. 2000. Pengolahan Pangan dengan Suhu Tinggi. In: Hariyadi P (ed). Dasar-dasar Teori
dan Praktek Proses Termal. Bogor: Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Hariyadi P, Kusnandar F, Wulandari N. 2006. Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor: Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Holdsworth SD. 1997. Thermal Processing of Packaging Food. New York: Chapman and Hall,
Blackie Academic and Professional.
Jackman RL, Smith JL. 1996. Anthocyanins and Betalains. In: Hendry GAF, Hougton JD (ed).
Natural Food Colorants. London: Chapman and Hall.
Kader AA 1985. Quality Factor: Definition and Evaluation for Fresh Holticultural Crops. In : Kader
AA, Kasmire RF, Mitchell FG, Reid MS, Sommer NF, Thompson JF (ed). Postharvest
Technology of Holticultural Crops. California: Cooperative Extension, University of
California, Division of Agricultural and Natural Resources.
Kader AA, Barret DM. 2005. Classification, Composition of Fruit, and Postharvest Maintenance of
Quality. In: Barret DM, Somogyi L, Ramaswamy H (ed). Processing Fruits: Science and
Technology. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.: CRC Press.
Kim J, Foegeding PM. 1999. Principles of Control. In : Hauschild AHW dan Dodds KL (ed).
Clostridium botulinum Ecology and Control in Foods. New York: Marcel Dekker Inc.
Kramer A, Twigg BA. 1970. Quality Control for the Food Industry. New York: AVI, Van Nostrand
Reinhold Co.
Kusnandar F, Hariyadi P, Wulandari N. 2006. Proses termal. In : Kusnadar F, Hariyadi P, dan Syamsir
E (ed). Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Lawless HT, Heymann H. 1998. Sensory Evaluation of Food: Principles and Practices. New York,
Boston, Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic/ Plenum Publishers
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Gudeg Kaleng. http://bpptk.lipi.go.id/bpptk/?p=
165. [6 Jan 2010].
Limantara L, Rahayu P. 2008. Aspek Biopigmen Dalam Kualitas Dan Ketahanan Pangan.
http://seminartp.wordpress.com/category/pigmen/. [6 Jan 2010].
Lopez A. 1981. A Complete Course in Canning. Maryland: The Canning Trade Inc.
Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Boca Raton, London, New
York, Washington D.C.: CRC Press.
Muchtadi TR. 1981. Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Mutu Daging Buah Nangka [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
38
Muchtadi D, Astawan M, Palupi NS. 2006. Materi Pokok Metabolisme Zat Gizi Pangan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Nurhikmat A, Susanto A, Rahayu E. 2009. Publikasi Penentuan Nilai Fo Gudeg Kaleng (Ukuran
301x205) dengan Perbedaan Letak Kaleng pada Tahap Sterilisasi.
http://jamanbudak.blogspot.com/. [15 Jan 2010].
Nuswamahaeni S, Prihatini D, Pohan EP. 1990. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Ramaswamy HS. 2005. Thermal Processing of Fruits. In: In: Barret DM, Somogyi L, Ramaswamy H.
Processing Fruits: Science and Technology. Boca Raton, London, New York, Washington
D.C.: CRC Press.
Reuter H. 1993. Aseptic Processing of Food. Basel, Switzerland: Technomic Publishing Co.
Richardson P. 2004. Improving the Thermal Processing of Foods. Cambridge: Woodhead Publishing
Ltd.
Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi, dan Gizi. Herison C,
penerjemah. Terjemahan dari World Vegetables: Principles, Production, and Nutirtive Value.
Penerbit ITB: Bandung.
Shi J, Moy JH. 2005. Functional Foods from Fruit and Fruit Products. In: Shi J, Ho C, Shahidi F (ed).
Asian Functional Foods. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton, London, New
York, Singapore.
Singh RP, Heldman DR. 2009. Introduction to Food Engineering. Amsterdam, Boston, Heidelberg,
London, New York, Oxford, Paris, San Diego, San Fransisco, Singapore, Sydney, Tokyo:
Academic Press.
Sunarjono HH. 1998. Prospek Berkebun Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Subarna, Kusnandar F, Adawiyah DR, Syamsir E, Wulandari N, Hariyadi P. 2008. Penuntun
Praktikum Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor.
Supartono W. 2009. Gudeg: Sarapan Pagi Khas Yogyakarta. Food Review 4 (3): 60-61.
Syarief R, Santausa S, St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor: Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Szczesniak AS. 1983. Physical Properties of Food: What They are and Their Relation to Other Food
Properties. In: Peleg M, Bagley EB (ed). Physical Properties of Food. Westport: AVI.
R Siti O, Nawawi A, Emran R. 2006. Studi Pendahuluan Produksi Zat Warna Alami Daun Jati
(Tectona grandis L. f.). http://bahan-alam.fa.itb.ac.id.[29 November 2010].
Toledo RT. 2007. Fundamentals of Food Process Engineering. New York: Chapman & Hall
Publishing Company.
Vaclavik VA, Christian EW. 2003. Essentials of Food Science. New York, Boston, Dordrecht,
London, Moscow: Kluwer Academic/ Plenum Publishers
Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Terjemahan dari Introduction to Statistics. Sumantri B,
penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
39
Winarno FG. 1993. Pangan: Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[USDAa] United States Departement of Agriculture. 2010. Salt, Table. National Nutrient Database for
Standard Reference. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl [7 Feb
2010]
[USDAb] United States Departement of Agriculture. 2010. Sugars, Brown. National Nutrient Database
for Standard Reference. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl [7
Feb 2010]
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1a. Resep pembuatan gudeg nangka
Gudeg Nangka
Bahan :
1 kg nangka yg sedang tuanya (tidak terlalu muda dan tdk terlalu tua), potong-potong
12 btr telur rebus utuh (kupas kulitnya kalau ingin bumbunya lebih meresap)
1000 cc air kelapa
8 - 10 lbr daun salam
5 - 8 iris lengkuas ½ x 8cm yg diiris menurut panjangnya
200 gr gula merah, iris halus
2000 cc santan dari 1 butir kelapa
Haluskan :
12 btr bawang merah
12 siung bawang putih
1 sdt ketumbar
2 sdm garam
Cara Membuat :
Tahap I
1. Karena memasaknya butuh waktu lama dan sampai cairannya mengering, maka gunakanlah
panci beralas tebal.
2. Tata daun salam menutupi dasar panci, tata juga diatasnya irisan lengkuas (selain sebagai
penyedap, juga berfungsi sebagai alas masakan ini agar tidak hangus).
3. Campur bumbu halus dengan 500 cc air kelapa, aduk rata.
4. Masukkan berturut turut potongan nangka muda, telur rebus, gula merah, siram bumbu halus
yang dicairkan dengan air kelapa.
5. Tambahkan air kelapa secukupnya sebatas tinggi nangka + telur tadi agar terenda.
6. Tutup panci rapat-rapat, masak diatas api sedang , tanpa dibuka tutupnya sekalipun selama kira-
kira 2 jam.
Tahap II
1. Setelah 2 jam lihat apakah airnya sudah tinggal sedikit, angkat dulu telurnya dan sisihkan
sementara agar tidak hancur.
2. Masukkan santan, aduk-aduk dengan sendok kayu sambil menghancurkan potongan nangka
(jaga jangan sampai daun salam dan lengkuasnya terangkat . Pada tahap ini volume nangka
menjadi kurleb separonya.
3. Masukkan kembali telurnya sampai sedikit terkubur dalam nangka.
4. Masak lagi dengan api kecil selama minimal 3 jam.
5. Aduk sesekali sampai santan habis.
6. Pada tahap II ini biasanya memasak sampai 7 jam pake kompor listrik dengan pengaturan api
1/2nya atau 300w agar terjaga kestabilan apinya, karena kalau pakai kompor gas, apinya suka
mati karena diatur kecil sekali.
7. Hasilnya gudeg cantik berwarna coklat kemerahan dengan cairan yang sedikit dan kental.
8. Siramkan areh/ kuah opor ayam kental diatas gudeg nangka ini secukupnya pada saat
dihidangkan.
Sumber: www.swaberita.com
42
Lampiran 1b. Resep pembuatan gudeg Jogja
Resep Gudeg Jogja
Bahan
½ butir kelapa
3 lembar daun jati
½ ayam sedang
Telur
Nangka muda
Bumbu :
3 biji bawang merah
4 siung bawang putih
1 sendok teh ketumbar
6 butir kemiri
2 potong laos
¼ sendok teh terasi
3 lembar daun salam
1 sendok makan garam
2 sendok makan gula merah dan micin
Cara memasak :
1. Rebus telur dan parut kelapa untuk dijadikan santan
2. Nangka muda dipotong-potong agak kasar setelah dicuci.
3. Kemudian rebus dengan daun jati supaya timbul warna merah hingga lunak.
4. Tiriskan lalu memarkan.
5. Haluskan bumbu, kecuali daun salam dan laos. Masukkan ke dalam panci bersama santan,
potongan ayam dan nangka muda yang telah dimemarkan.
6. Tambahkan daun salam dan laos, rebu terus hingga santan habis.
7. Terakhir masukkan telur rebus yang telah dikupas, tambahkan santan kental dan rebus hingga
santan habis
Sumber: http://eka.web.id/resep-gudeg-jogja.html
43
Lampiran 2a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1110C
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
0 23.1 26.5 87.9 0.0
1 23.1 26.4 87.9 0.0 0.0 0.0
2 22.9 26.3 88.1 0.0 0.0 0.0
3 22.9 26.2 88.1 0.0 0.0 0.0
4 22.8 26.3 88.2 0.0 0.0 0.0
5 22.8 27.9 88.2 0.0 0.0 0.0
6 23.0 32.3 88.0 0.0 0.0 0.0
7 23.4 42.0 87.6 0.0 0.0 0.0
8 23.7 55.1 87.3 0.0 0.0 0.0
9 23.8 80.4 87.2 0.0 0.0 0.0
10 24.0 90.1 87.0 0.0 0.0 0.0
11 24.3 93.9 86.7 0.0 0.0 0.0
12 24.4 95.8 86.6 0.0 0.0 0.0
13 24.8 97.8 86.2 0.0 0.0 0.0
14 25.1 100.8 85.9 0.0 0.0 0.0
15 26.1 104.1 84.9 0.0 0.0 0.0
16 27.2 107.9 83.8 0.0 0.0 0.0
17 28.9 111.0 82.1 0.0 0.0 0.0
18 30.6 111.0 80.4 0.0 0.0 0.0
19 32.9 111.0 78.1 0.0 0.0 0.0
20 35.8 111.0 75.2 0.0 0.0 0.0
21 38.3 111.0 72.7 0.0 0.0 0.0
22 41.6 111.0 69.4 0.0 0.0 0.0
23 45.0 111.0 66.0 0.0 0.0 0.0
24 48.4 111.0 62.6 0.0 0.0 0.0
25 51.7 111.0 59.3 0.0 0.0 0.0
26 55.1 111.0 55.9 0.0 0.0 0.0
27 58.1 111.0 52.9 0.0 0.0 0.0
28 61.1 111.0 49.9 0.0 0.0 0.0
29 63.8 111.0 47.2 0.0 0.0 0.0
30 66.4 111.0 44.6 0.0 0.0 0.0
31 69.1 111.0 41.9 0.0 0.0 0.0
32 71.4 111.0 39.6 0.0 0.0 0.0
33 73.8 111.0 37.2 0.0 0.0 0.0
34 75.9 111.0 35.1 0.0 0.0 0.0
35 77.9 111.0 33.1 0.0 0.0 0.0
36 79.9 111.0 31.1 0.0 0.0 0.0
37 81.8 111.0 29.2 0.0 0.0 0.0
38 83.5 111.0 27.5 0.0 0.0 0.0
39 85.2 111.0 25.8 0.0 0.0 0.0
40 86.8 111.0 24.2 0.0 0.0 0.0
41 88.4 111.0 22.6 0.0 0.0 0.0
42 89.8 111.0 21.2 0.0 0.0 0.0
43 91.2 111.0 19.8 0.0 0.0 0.0
44 92.6 111.0 18.4 0.0 0.0 0.0
44
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
45 93.8 111.0 17.2 0.0 0.0 0.0
46 95.0 111.0 16.0 0.0 0.0 0.0
47 96.2 111.0 14.8 0.0 0.0 0.0
48 97.3 111.0 13.7 0.0 0.0 0.0
49 98.2 111.0 12.8 0.0 0.0 0.0
50 99.2 111.0 11.8 0.0 0.0 0.0
51 100.3 111.0 10.7 0.0 0.0 0.0
52 101.1 111.0 9.9 0.0 0.0 0.0
53 102.0 111.0 9.0 0.0 0.0 0.1
54 102.7 111.0 8.3 0.0 0.0 0.1
55 103.5 111.0 7.5 0.0 0.0 0.1
56 104.2 111.0 6.8 0.0 0.0 0.1
57 104.9 111.0 6.1 0.0 0.0 0.1
58 105.5 111.0 5.5 0.0 0.0 0.1
59 106.1 111.0 4.9 0.0 0.0 0.2
60 106.7 111.0 4.3 0.0 0.0 0.2
61 107.2 111.0 3.8 0.0 0.0 0.3
62 107.7 111.0 3.3 0.0 0.0 0.3
63 108.2 111.0 2.8 0.1 0.0 0.3
64 108.7 111.0 2.3 0.1 0.1 0.4
65 109.0 111.0 2.0 0.1 0.1 0.5
66 109.4 111.0 1.6 0.1 0.1 0.5
67 109.7 111.0 1.3 0.1 0.1 0.6
68 110.0 111.0 1.0 0.1 0.1 0.7
69 110.3 111.0 0.7 0.1 0.1 0.7
70 110.6 111.0 0.4 0.1 0.1 0.8
71 110.8 111.0 0.2 0.1 0.1 0.9
72 110.8 111.0 0.2 0.1 0.1 1.0
73 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.1
74 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.2
75 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.3
76 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.4
77 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.5
78 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.6
79 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.7
80 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.8
81 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 1.9
82 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.0
83 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.1
84 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.2
85 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.3
86 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.4
87 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.5
88 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.6
89 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.7
90 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.8
91 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.8
45
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
92 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 2.9
93 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.0
94 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.1
95 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.2
96 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.3
97 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.4
98 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.5
99 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.6
100 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.7
101 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.8
102 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 3.9
103 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.0
104 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.1
105 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.2
106 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.3
107 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.4
108 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.5
109 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.6
110 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.7
111 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.8
112 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 4.9
113 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.0
114 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.1
115 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.2
116 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.3
117 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.4
118 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.5
119 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.5
120 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.6
121 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.7
122 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.8
123 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 5.9
124 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.0
125 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.1
126 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.2
127 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.3
128 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.4
129 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.5
130 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.6
131 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.7
132 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.8
133 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 6.9
134 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.0
135 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.1
136 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.2
137 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.3
138 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.4
46
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
139 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.5
140 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.6
141 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.7
142 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.8
143 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 7.9
144 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.0
145 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.1
146 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.2
147 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.2
148 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.3
149 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.4
150 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.5
151 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.6
152 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.7
153 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.8
154 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 8.9
155 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.0
156 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.1
157 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.2
158 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.3
159 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.4
160 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.5
161 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.6
162 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.7
163 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.8
164 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 9.9
165 110.9 111.0 0.1 0.1 0.1 10.0
166 110.9 108.9 0.1 0.1 0.1 10.1
167 110.9 105.8 0.1 0.1 0.1 10.2
168 110.9 102.8 0.1 0.1 0.1 10.3
169 110.7 100.6 0.3 0.1 0.1 10.4
170 110.0 74.8 1.0 0.1 0.1 10.5
171 109.1 51.8 1.9 0.1 0.1 10.5
172 105.4 50.2 5.6 0.0 0.0 10.6
173 100.8 46.2 10.2 0.0 0.0 10.6
174 97.0 40.2 14.0 0.0 0.0 10.6
175 93.3 37.9 17.7 0.0 0.0 10.6
176 89.4 36.4 21.6 0.0 0.0 10.6
47
Lampiran 2b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1160C
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
0 28.0 33.6 88.0 0.0
1 27.8 33.7 88.2 0.0 0.0 0.0
2 28.2 33.9 87.8 0.0 0.0 0.0
3 28.6 34.6 87.4 0.0 0.0 0.0
4 28.2 36.2 87.8 0.0 0.0 0.0
5 28.5 38.1 87.5 0.0 0.0 0.0
6 28.3 39.9 87.7 0.0 0.0 0.0
7 29.2 43.6 86.8 0.0 0.0 0.0
8 28.7 50.5 87.3 0.0 0.0 0.0
9 28.8 63.8 87.2 0.0 0.0 0.0
10 29.1 73.8 86.9 0.0 0.0 0.0
11 29.9 85.3 86.1 0.0 0.0 0.0
12 30.6 93.5 85.4 0.0 0.0 0.0
13 30.6 98.2 85.4 0.0 0.0 0.0
14 29.8 101.3 86.2 0.0 0.0 0.0
15 30.9 104.4 85.1 0.0 0.0 0.0
16 31.3 108.3 84.7 0.0 0.0 0.0
17 31.9 113.0 84.1 0.0 0.0 0.0
18 33.2 116.0 82.8 0.0 0.0 0.0
19 34.8 116.0 81.2 0.0 0.0 0.0
20 37.2 116.0 78.8 0.0 0.0 0.0
21 39.6 116.0 76.4 0.0 0.0 0.0
22 41.3 116.0 74.7 0.0 0.0 0.0
23 44.9 116.0 71.1 0.0 0.0 0.0
24 47.9 116.0 68.1 0.0 0.0 0.0
25 51.2 116.0 64.8 0.0 0.0 0.0
26 54.2 116.0 61.8 0.0 0.0 0.0
27 57.5 116.0 58.5 0.0 0.0 0.0
28 61.0 116.0 55.0 0.0 0.0 0.0
29 63.9 116.0 52.1 0.0 0.0 0.0
30 66.9 116.0 49.1 0.0 0.0 0.0
31 70.3 116.0 45.7 0.0 0.0 0.0
32 73.1 116.0 42.9 0.0 0.0 0.0
33 75.2 116.0 40.8 0.0 0.0 0.0
34 77.8 116.0 38.2 0.0 0.0 0.0
35 80.3 116.0 35.7 0.0 0.0 0.0
36 82.9 116.0 33.1 0.0 0.0 0.0
37 84.9 116.0 31.1 0.0 0.0 0.0
38 87.2 116.0 28.8 0.0 0.0 0.0
39 89.0 116.0 27.0 0.0 0.0 0.0
40 90.9 116.0 25.1 0.0 0.0 0.0
41 92.5 116.0 23.5 0.0 0.0 0.0
42 93.9 116.0 22.1 0.0 0.0 0.0
43 95.7 116.0 20.3 0.0 0.0 0.0
44 96.9 116.0 19.1 0.0 0.0 0.0
48
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
45 98.3 116.0 17.7 0.0 0.0 0.0
46 99.7 116.0 16.3 0.0 0.0 0.0
47 100.7 116.0 15.3 0.0 0.0 0.0
48 101.8 116.0 14.2 0.0 0.0 0.0
49 103.1 116.0 12.9 0.0 0.0 0.1
50 103.8 116.0 12.2 0.0 0.0 0.1
51 104.6 116.0 11.4 0.0 0.0 0.1
52 105.7 116.0 10.3 0.0 0.0 0.1
53 106.2 116.0 9.8 0.0 0.0 0.1
54 106.9 116.0 9.1 0.0 0.0 0.2
55 107.3 116.0 8.7 0.0 0.0 0.2
56 108.8 116.0 7.2 0.1 0.1 0.3
57 109.1 116.0 6.9 0.1 0.1 0.3
58 109.0 116.0 7.0 0.1 0.1 0.4
59 109.5 116.0 6.5 0.1 0.1 0.5
60 110.4 116.0 5.6 0.1 0.1 0.5
61 110.5 116.0 5.5 0.1 0.1 0.6
62 110.9 116.0 5.1 0.1 0.1 0.7
63 111.6 116.0 4.4 0.1 0.1 0.8
64 111.7 116.0 4.3 0.1 0.1 0.9
65 112.1 116.0 3.9 0.1 0.1 1.1
66 112.3 116.0 3.7 0.1 0.1 1.2
67 112.6 116.0 3.4 0.1 0.1 1.3
68 113.1 116.0 2.9 0.2 0.1 1.5
69 113.4 116.0 2.6 0.2 0.2 1.6
70 113.4 116.0 2.6 0.2 0.2 1.8
71 113.7 116.0 2.3 0.2 0.2 2.0
72 113.6 116.0 2.4 0.2 0.2 2.2
73 113.8 116.0 2.2 0.2 0.2 2.3
74 113.8 116.0 2.2 0.2 0.2 2.5
75 114.3 116.0 1.7 0.2 0.2 2.7
76 114.1 116.0 1.9 0.2 0.2 2.9
77 114.7 116.0 1.3 0.2 0.2 3.1
78 114.9 116.0 1.1 0.2 0.2 3.4
79 114.7 116.0 1.3 0.2 0.2 3.6
80 114.9 116.0 1.1 0.2 0.2 3.8
81 114.6 116.0 1.4 0.2 0.2 4.1
82 114.7 116.0 1.3 0.2 0.2 4.3
83 114.9 116.0 1.1 0.2 0.2 4.5
84 114.7 116.0 1.3 0.2 0.2 4.8
85 115.1 116.0 0.9 0.2 0.2 5.0
86 115.1 116.0 0.9 0.2 0.2 5.3
87 115.2 116.0 0.8 0.3 0.3 5.5
88 115.1 116.0 0.9 0.3 0.3 5.8
89 115.4 116.0 0.6 0.3 0.3 6.0
90 115.2 116.0 0.8 0.3 0.3 6.3
91 115.2 116.0 0.8 0.3 0.3 6.6
49
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
92 115.3 116.0 0.7 0.3 0.3 6.8
93 115.3 116.0 0.7 0.3 0.3 7.1
94 115.5 116.0 0.5 0.3 0.3 7.3
95 115.7 116.0 0.3 0.3 0.3 7.6
96 115.6 116.0 0.4 0.3 0.3 7.9
97 115.7 116.0 0.3 0.3 0.3 8.2
98 115.7 116.0 0.3 0.3 0.3 8.5
99 115.8 116.0 0.2 0.3 0.3 8.8
100 115.8 116.0 0.2 0.3 0.3 9.1
101 115.9 116.0 0.1 0.3 0.3 9.4
102 115.9 116.0 0.1 0.3 0.3 9.7
103 115.9 115.3 0.1 0.3 0.3 10.0
104 115.9 113.2 0.1 0.3 0.3 10.3
105 115.9 110.4 0.1 0.3 0.3 10.6
106 115.7 107.0 0.3 0.3 0.3 10.9
107 115.6 104.0 0.4 0.3 0.3 11.2
108 115.2 100.2 0.8 0.3 0.3 11.4
109 112.4 43.0 3.6 0.1 0.2 11.6
110 112.9 42.2 3.1 0.2 0.1 11.8
111 110.9 42.0 5.1 0.1 0.1 11.9
112 107.0 28.1 9.0 0.0 0.1 12.0
113 102.6 28.0 13.4 0.0 0.0 12.0
114 98.3 27.8 17.7 0.0 0.0 12.0
115 94.4 27.9 21.6 0.0 0.0 12.0
116 90.9 27.9 25.1 0.0 0.0 12.0
50
Lampiran 2c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1210C
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
0 23.4 30.7 97.6 0.0
1 23.6 30.2 97.4 0.0 0.0 0.0
2 23.8 30.8 97.2 0.0 0.0 0.0
3 23.9 34.5 97.1 0.0 0.0 0.0
4 24.4 66.1 96.6 0.0 0.0 0.0
5 24.4 86.1 96.6 0.0 0.0 0.0
6 24.3 93.6 96.7 0.0 0.0 0.0
7 24.6 95.8 96.4 0.0 0.0 0.0
8 25.1 96.5 95.9 0.0 0.0 0.0
9 25.9 97.6 95.1 0.0 0.0 0.0
10 27.1 98.7 93.9 0.0 0.0 0.0
11 28.5 99.6 92.5 0.0 0.0 0.0
12 30.1 101.2 90.9 0.0 0.0 0.0
13 32.4 103.9 88.6 0.0 0.0 0.0
14 34.4 105.9 86.6 0.0 0.0 0.0
15 36.9 108.2 84.1 0.0 0.0 0.0
16 39.4 108.7 81.6 0.0 0.0 0.0
17 42.4 112.6 78.6 0.0 0.0 0.0
18 45.1 116.7 75.9 0.0 0.0 0.0
19 48.2 121.0 72.8 0.0 0.0 0.0
20 51.3 121.0 69.7 0.0 0.0 0.0
21 55.1 121.0 65.9 0.0 0.0 0.0
22 58.6 121.0 62.4 0.0 0.0 0.0
23 62.1 121.0 58.9 0.0 0.0 0.0
24 65.4 121.0 55.6 0.0 0.0 0.0
25 68.3 121.0 52.7 0.0 0.0 0.0
26 71.1 121.0 49.9 0.0 0.0 0.0
27 74.5 121.0 46.5 0.0 0.0 0.0
28 76.7 121.0 44.3 0.0 0.0 0.0
29 79.6 121.0 41.4 0.0 0.0 0.0
30 82.1 121.0 38.9 0.0 0.0 0.0
31 85.0 121.0 36.0 0.0 0.0 0.0
32 86.8 121.0 34.2 0.0 0.0 0.0
33 89.2 121.0 31.8 0.0 0.0 0.0
34 91.2 121.0 29.8 0.0 0.0 0.0
35 93.1 121.0 27.9 0.0 0.0 0.0
36 95.1 121.0 25.9 0.0 0.0 0.0
37 96.8 121.0 24.2 0.0 0.0 0.0
38 98.4 121.0 22.6 0.0 0.0 0.0
39 99.9 121.0 21.1 0.0 0.0 0.0
40 101.5 121.0 19.5 0.0 0.0 0.0
41 102.7 121.0 18.3 0.0 0.0 0.0
42 104.1 121.0 16.9 0.0 0.0 0.1
43 105.1 121.0 15.9 0.0 0.0 0.1
44 106.5 121.0 14.5 0.0 0.0 0.1
51
Waktu (menit) T (°C) Tr (°C) Tr-T (°C) LR Fo partial Fo kumulatif
45 107.6 121.0 13.4 0.0 0.0 0.2
46 108.2 121.0 12.8 0.1 0.0 0.2
47 109.1 121.0 11.9 0.1 0.1 0.3
48 109.9 121.0 11.1 0.1 0.1 0.3
49 110.7 121.0 10.3 0.1 0.1 0.4
50 111.8 121.0 9.2 0.1 0.1 0.5
51 112.7 121.0 8.3 0.1 0.1 0.6
52 112.9 121.0 8.1 0.2 0.1 0.8
53 113.4 121.0 7.6 0.2 0.2 1.0
54 114.3 121.0 6.7 0.2 0.2 1.1
55 115.0 121.0 6.0 0.2 0.2 1.4
56 115.4 121.0 5.6 0.3 0.3 1.6
57 115.9 121.0 5.1 0.3 0.3 1.9
58 116.3 121.0 4.7 0.3 0.3 2.2
59 117.1 121.0 3.9 0.4 0.4 2.6
60 117.1 121.0 3.9 0.4 0.4 3.0
61 117.4 121.0 3.6 0.4 0.4 3.4
62 118.0 121.0 3.0 0.5 0.5 3.9
63 118.1 121.0 2.9 0.5 0.5 4.4
64 118.8 121.0 2.2 0.6 0.5 4.9
65 119.1 121.0 1.9 0.6 0.6 5.5
66 119.3 121.0 1.7 0.7 0.6 6.2
67 119.7 121.0 1.3 0.7 0.7 6.9
68 119.7 121.0 1.3 0.7 0.7 7.6
69 119.7 121.0 1.3 0.7 0.7 8.3
70 119.6 107.9 1.4 0.7 0.7 9.0
71 119.3 105.5 1.7 0.7 0.7 9.7
72 119.2 102.7 1.8 0.6 0.7 10.4
73 118.6 100.9 2.4 0.6 0.6 11.0
74 117.8 65.3 3.2 0.5 0.5 11.5
75 116.3 50.7 4.7 0.3 0.4 11.9
76 111.4 41.1 9.6 0.1 0.2 12.1
77 106.5 34.9 14.5 0.0 0.1 12.2
78 103.2 33.5 17.8 0.0 0.0 12.2
79 98.9 32.7 22.1 0.0 0.0 12.2
80 95.1 31.4 25.9 0.0 0.0 12.2
81 89.9 30.8 31.1 0.0 0.0 12.2
52
Lampiran 3a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1110C
y = 320.5e-0.07x
Variabel Nilai Variabel Nilai Nilai Nilai Nilai
Log y = Log a - bLog e x Fo (general) 10.6 Fo (min) 4.0 12.0 20.0 28.0
Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh tc (min) 17.0 fh (min) 32.89 32.89 32.89 32.89
A = 320.5 tp (min) 148.0 Tr (0C) 111.0 111.0 111.0 111.0
1/fh = bLog e tB (min) 155.1 Ti (0C) 23.1 23.1 23.1 23.1
1/fh = 0.07(Log e) t = (0.58)tc 9.9 LR = 10((Tr-121.1)/10)
0.1 0.1 0.1 0.1
0.03 fh (min) 32.89 Ih = Tr-Ti 87.9 87.9 87.9 87.9
fh = 32.89 Tr (0C) 111.0 Jh.Ih=Tr-Tpih 142.3 142.3 142.3 142.3
Log y = 2.2 Ti (0C) 23.1 Log (Jh.Ih) 2.2 2.2 2.2 2.2
JhIh (y) = Tr-Tpih LR = 10((Tr-121.1)/10)
0.1 Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 1.6 1.6 1.6 1.6
= a saat 0.58 tc Ih = Tr-Ti 87.9 fh/U = fh.L/Fo 0.80 0.27 0.16 0.11
= 142.3 Jh.Ih=Tr-Tpih 142.3 Log (g) dari tabel/grafik -0.5 -3.2 -5.6 -7.9
Log (Jh.Ih) 2.2 Log (Jh.Ih) – Log (g) 2.7 5.3 7.7 10.1
Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 1.6 tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) 88.5 174.7 253.9 332.3
tB/fh 4.7 tp 81.3 167.5 246.8 325.2
Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh -2.6
fh/U dari tabel/grafik 0.3
Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) 10.6
Fo /D 50.5
53
Lampiran 3b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1160C
y = 458.3e-0.07x
Variabel Nilai Variabel Nilai Nilai Nilai Nilai
Log y = Log a - bLog e x Fo (general) 12.0 Fo (min) 4.0 12.0 20.0 28.0
Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh tc (min) 18.0 fh (min) 32.89 32.89 32.89 32.89
A = 458.3 tp (min) 84.0 Tr (0C) 116.0 116.0 116.0 116.0
1/fh = bLog e tB (min) 91.6 Ti (0C) 28.0 28.0 28.0 28.0
1/fh = 0.07Log e t = (0.58)tc 10.4 LR = 10((Tr-121.1)/10)
0.3 0.3 0.3 0.3
0.03 fh (min) 32.89 Ih = Tr-Ti 88.0 88.0 88.0 88.0
fh = 32.89 Tr (0C) 116.0 Jh.Ih=Tr-Tpih 203.5 203.5 203.5 203.5
Log y = 2.3 Ti (0C) 28.0 Log (Jh.Ih) 2.3 2.3 2.3 2.3
JhIh (y) = Tr-Tpih LR = 10((Tr-121.1)/10)
0.3 Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 2.3 2.3 2.3 2.3
= a saat 0.58 tc Ih = Tr-Ti 88.0 fh/U = fh.L / Fo 2.5 0.8 0.5 0.4
= 203.5 Jh.Ih=Tr-Tpih 203.5 Log (g) dari tabel/grafik 0.4 -0.5 -1.3 -2.1
Log (Jh.Ih) 2.3 Log (Jh.Ih) – Log (g) 1.9 2.8 3.6 4.4
Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 2.3 tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) 62.5 91.5 117.7 144.9
tB/fh 2.8 tp 54.9 84.0 110.1 137.4
Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh -0.5
fh/U dari tabel/grafik 0.8
Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) 12.0
Fo / D 57.2
54
Lampiran 3c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1210C
y = 247.3e-0.07x
Variabel Nilai Variabel Nilai Nilai Nilai Nilai
Log y = Log a - bLog e x Fo (general) 12.2 Fo (min) 4.0 12.0 20.0 28.0
Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh tc (min) 19.0 fh (min) 32.89 32.89 32.89 32.89
A = 247.3 tp (min) 45.0 Tr (0C) 121.0 121.0 121.0 121.0
1/fh = bLog e tB (min) 53.0 Ti (0C) 23.4 23.4 23.4 23.4
1/fh = 0.07Log e t = (0.58)tc 11.0 LR = 10((Tr-121.1)/10)
1.0 1.0 1.0 1.0
0.03 fh (min) 32.89 Ih = Tr-Ti 97.6 97.6 97.6 97.6
fh = 32.89 Tr (0C) 121.0 Jh.Ih=Tr-Tpih 109.8 109.8 109.8 109.8
Log y = 2.0 Ti (0C) 23.4 Log (Jh.Ih) 2.0 2.0 2.0 2.0
JhIh (y) = Tr-Tpih LR = 10((Tr-121.1)/10)
1.0 Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 1.1 1.1 1.1 1.1
= a saat 0.58 tc Ih = Tr-Ti 97.6 fh/U = fh.L / Fo 8.0 2.7 1.6 1.1
= 109.8 Jh.Ih=Tr-Tpih 109.8 Log (g) dari tabel/grafik 0.9 0.4 0.1 -0.2
Log (Jh.Ih) 2.0 Log (Jh.Ih) – Log (g) 1.2 1.6 2.0 2.2
Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) 1.1 tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) 38.0 52.6 65.1 73.6
tB/fh 1.6 tp 30.0 44.7 57.1 65.6
Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh 0.4
fh/U dari tabel/grafik 2.6
Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) 12.2
Fo / D 58.1
55
Lampiran 4a. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg dalam kaleng menggunakan Minolta Chroma Meters CR310
Suhu
(0C)
F0 U L a b Rata-rata SEM Nilai
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 L a b L a b L a b
85
(Blansir) 0
1 60.79 60.81 60.82 5.14 5.15 5.14 12.51 12.42 12.37 60.81 5.14 12.43 0.01 0.00 0.04 60.33 5.35 11.10
2 59.84 59.85 59.84 5.56 5.55 5.56 9.77 9.76 9.74 59.84 5.56 9.76 0.00 0.00 0.01
111
4 1 47.63 47.80 47.82 7.00 8.96 7.89 9.38 9.53 7.81 47.75 7.95 8.91 0.05 0.49 0.48
47.88 7.69 9.84 2 48.71 47.63 47.68 6.72 6.65 8.94 10.17 9.75 12.42 48.01 7.44 10.78 0.30 0.65 0.72
12 1 46.84 47.41 48.38 9.72 8.43 7.67 10.08 9.57 11.57 47.54 8.61 10.41 0.39 0.52 0.52
45.87 9.27 8.82 2 46.62 42.73 43.26 8.23 10.46 11.12 6.83 7.90 6.99 44.20 9.94 7.24 1.05 0.76 0.29
20 1 44.71 45.06 43.04 10.25 9.22 10.14 7.79 7.72 8.49 44.27 9.87 8.00 0.54 0.28 0.21
45.09 9.40 7.79 2 45.64 45.60 46.47 9.91 8.75 8.13 8.49 7.39 6.86 45.90 8.93 7.58 0.25 0.45 0.42
28 1 39.53 39.21 38.56 12.48 12.76 12.67 5.69 6.70 6.26 39.10 12.64 6.22 0.25 0.07 0.25
38.13 12.70 6.66 2 37.46 37.48 36.53 12.88 12.28 13.11 7.24 7.19 6.85 37.16 12.76 7.09 0.27 0.21 0.11
116
4 1 50.04 50.05 47.83 7.79 6.13 7.59 10.95 12.27 14.38 49.31 7.17 12.53 0.64 0.45 0.87
48.43 8.04 10.50 2 47.85 47.40 47.38 8.40 7.92 10.42 7.85 9.02 8.51 47.54 8.91 8.46 0.13 0.66 0.29
12 1 46.99 49.31 47.79 7.17 6.28 7.02 8.05 7.08 6.14 48.03 6.82 7.09 0.59 0.24 0.48
46.25 8.72 9.48 2 46.11 43.76 43.54 9.48 9.13 13.26 13.37 10.47 11.79 44.47 10.62 11.88 0.71 1.15 0.73
20 1 44.22 42.91 45.44 8.33 8.78 8.08 7.63 8.60 10.40 44.19 8.40 8.88 0.63 0.18 0.70
45.18 9.89 8.97 2 47.19 45.90 45.41 9.27 12.84 12.06 8.50 9.62 9.09 46.17 11.39 9.07 0.46 0.94 0.28
28 1 39.36 39.21 38.56 12.95 13.14 13.11 6.05 6.70 7.63 39.04 13.07 6.79 0.21 0.05 0.40
39.34 13.27 7.33 2 39.73 40.05 39.10 13.37 13.27 13.80 7.95 7.88 7.75 39.63 13.48 7.86 0.24 0.14 0.05
56
Suhu
(0C)
F0 U L a b Rata-rata SEM Nilai
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 L a b L a b L a b
121
4 1 46.70 45.41 45.40 7.11 7.96 9.04 9.82 7.31 9.69 45.84 8.04 8.94 0.37 0.48 0.71
46.75 7.53 10.49 2 46.85 47.54 48.60 6.48 6.10 8.50 10.48 14.59 11.02 47.66 7.03 12.03 0.44 0.65 1.12
12 1 46.82 46.14 46.23 8.34 8.87 11.05 8.94 7.47 7.94 46.40 9.42 8.12 0.18 0.72 0.38
45.36 10.28 9.80 2 44.69 43.77 44.51 10.17 11.55 11.69 12.12 11.15 11.17 44.32 11.14 11.48 0.24 0.42 0.28
20 1 46.81 47.97 44.64 9.25 9.01 10.33 6.22 9.32 5.14 46.47 9.53 6.89 0.85 0.35 1.08
43.24 10.52 8.94 2 42.72 39.00 38.32 12.39 10.45 11.70 10.73 10.75 11.45 40.01 11.51 10.98 1.18 0.49 0.21
28 1 39.86 38.62 40.45 12.33 12.52 12.20 7.22 6.83 7.39 39.64 12.35 7.15 0.47 0.08 0.14
40.10 12.94 7.39 2 40.32 40.39 40.95 13.24 13.62 13.72 7.44 7.65 7.83 40.55 13.53 7.64 0.17 0.13 0.10
Lampiran 4b. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg konvensional menggunakan Minolta Chroma Meters CR310
U L a b Rata-rata SEM Nilai
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 L a b L a b L a b
1 31.88 32.12 32.41 8.97 9.26 8.77 9.80 9.88 9.55 32.14 9.00 9.74 0.15 0.14 0.10 32.74 9.36 10.33
2 32.46 34.60 32.95 10.10 9.85 9.21 10.81 11.50 10.41 33.34 9.72 10.91 0.65 0.27 0.32
57
Lampiran 5a. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1110C
Lampiran 5b. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1160C
58
Lampiran 6a. Rekapitulasi data hasil analisis tekstur gudeg dalam kaleng menggunakan penetrometer
Suhu (0C) F0 Ulangan
Kedalaman Penetrasi (mm/5s)
U1 U2 U3 Rataan SEM Nilai
85
(Blansir) 0
1 4.6 4.7 4.8 4.7 0.1 4.8
2 5.1 5.0 4.7 4.9 0.1
111
4 1 10.9 10.0 9.9 10.3 0.3
10.8 2 11.9 10.4 11.5 11.3 0.4
12 1 16.2 17.5 16.7 16.8 0.4
17.4 2 17.2 18.3 18.4 18.0 0.4
20 1 26.8 27.3 27.1 27.1 0.1
24.3 2 19.8 20.5 24.3 21.5 1.4
28 1 29.7 30.0 30.0 29.9 0.1
29.0 2 30.0 27.5 27.0 28.2 0.9
116
4 1 11.3 12.1 12.8 12.1 0.4
12.5 2 11.8 12.9 13.8 12.8 0.6
12 1 15.7 17.2 15.7 16.2 0.5
16.6 2 16.8 17.1 16.9 16.9 0.1
20 1 19.5 20.2 19.2 19.6 0.3
21.5 2 24.1 23.6 22.2 23.3 0.6
28 1 29.7 29.3 28.4 29.1 0.4
28.4 2 27.9 25.8 29.1 27.6 1.0
121
4 1 12.6 11.3 11.6 11.8 0.4
12.4 2 13.1 13.4 12.5 13.0 0.3
12 1 19.2 19.8 17.9 19.0 0.6
18.3 2 18.8 17.2 17.1 17.7 0.6
20 1 22.8 21.6 24.2 22.9 0.8
22.9 2 21.7 23.4 23.6 22.9 0.6
28 1 29.9 27.6 26.9 28.1 0.9
26.4 2 25.3 24.4 24.3 24.7 0.3
Lampiran 6b. Rekapitulasi data hasil analisis tekstur gudeg konvensional menggunakan penetrometer
Ulangan Kedalaman Penetrasi (mm/5s)
U1 U2 U3 Rataan SEM Nilai
1 30.0 30.0 30.0 30.0 0.0 30.0
2 30.0 30.0 30.0 30.0 0.0
59
Lampiran 7. Kuesioner uji rating hedonik
KUESIONER UJI RATING HEDONIK
Nama :___________________________________________ Tanggal:______________
NIM (bagi mahasiswa) :___________________________________________
Jenis kelamin : ◌ Laki-laki ◌ Perempuan
Suku bangsa :___________________________________________
Pekerjaan :___________________________________________
Sampel : gudeg
Apakah anda termasuk orang yang doyan (mau memakan) masakan manis?
◌ Ya ◌ Tidak
Jika ya, silakan melakukan pengujian sampel.
Instruksi:
1. Lakukan pengujian sampel satu persatu dari kanan ke kiri.
2. Setelah menguji satu sampel, berikan penilaian anda terhadap atribut sampel dengan cara
memberikan tanda cek (√) terhadap intensitas aroma, warna, tekstur, rasa, dan overall
(keseluruhan) sampel pada kolom yang tersedia. Diperbolehkan mencicip lebih dari 1 x.
3. Setelah menilai, netralkan mulut dengan air minum. Kemudian, cicip sampel berikutnya
hingga contoh terakhir.
4. Jangan membandingkan antar sampel.
Atribut: aroma
Intensitas Kode
807 124 516 398
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut: warna
Intensitas Kode
807 124 516 398
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
60
Atribut: tekstur (keempukan)
Intensitas Kode
807 124 516 398
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut: rasa
Intensitas Kode
807 124 516 398
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut: overall (keseluruhan)
Intensitas Kode
807 124 516 398
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Menurut anda, atribut sensori apa yang paling menentukan tingkat kesukaan anda terhadap
sampel? (pilih salah satu)
◌ Warna ◌ Aroma ◌ Tekstur ◌ Rasa
Menurut anda, apakah sampel tersebut dapat disebut gudeg?
◌ Ya ◌ Tidak
Komentar:
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
_______________________________________
61
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji rating hedonik
Panelis Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28
1 4 5 6 3 5 6 6 6 3 4 5 4 6 5 6 4 6 5 6 5
2 4 2 5 7 5 3 4 7 6 2 4 6 6 4 5 7 5 3 4 6
3 4 5 6 6 3 5 6 5 2 5 6 5 3 5 6 6 3 5 6 6
4 7 5 6 5 5 6 6 6 5 6 6 6 4 6 6 6 5 6 6 5
5 7 7 6 7 5 6 5 6 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6 6 6
6 4 4 6 4 6 6 7 6 6 4 6 6 6 4 4 6 6 5 6 6
7 6 6 6 7 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
8 2 6 4 6 6 2 1 6 6 6 4 4 5 5 4 4 5 5 4 5
9 5 6 3 7 2 5 6 7 5 7 7 7 4 7 5 6 6 6 5 6
10 5 5 5 6 3 6 5 2 2 3 3 2 5 3 3 6 5 5 4 6
11 4 5 6 6 4 4 4 4 5 6 4 5 6 4 5 5 7 6 7 6
12 6 6 4 7 6 2 6 2 6 5 7 7 5 6 7 7 6 4 7 7
13 6 7 7 6 2 6 7 6 6 6 6 6 3 5 6 6 5 6 7 6
14 4 5 6 2 3 6 6 5 3 2 6 6 3 2 5 2 3 4 6 3
15 3 6 6 6 3 5 6 6 4 3 5 4 6 6 7 4 4 5 6 5
16 7 6 7 6 5 6 6 6 3 7 7 7 5 5 5 6 6 6 6 7
17 6 6 4 3 6 6 7 7 3 6 7 6 3 7 6 6 5 6 6 6
18 4 6 6 5 2 3 6 4 3 2 6 6 4 6 7 6 3 4 6 5
19 7 7 6 6 3 7 6 4 6 6 5 5 5 6 4 6 4 7 5 6
62
Panelis Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28
20 4 3 4 6 4 6 5 5 6 5 7 6 6 6 6 5 6 5 6 5
21 7 7 6 7 7 7 6 7 6 6 5 6 6 6 6 7 6 6 6 7
22 6 5 6 6 2 7 5 5 5 6 6 6 6 5 5 7 5 6 5 6
23 3 5 3 6 4 7 6 6 3 6 2 6 3 5 5 6 4 6 3 6
24 5 5 5 5 4 4 4 4 5 4 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6
25 4 3 4 4 4 4 5 4 1 4 6 2 2 3 6 2 2 3 6 2
26 2 6 4 3 6 3 2 4 3 6 7 6 6 6 6 7 5 5 6 7
27 6 5 6 7 2 4 6 7 6 6 5 5 5 7 6 6 4 5 6 7
28 6 3 6 5 3 5 6 6 6 3 7 2 6 4 7 4 6 4 7 3
29 6 6 6 7 7 7 7 7 7 7 7 6 7 6 7 7 7 6 7 7
30 6 6 6 6 4 6 6 6 4 7 6 7 6 7 6 7 5 6 6 6
31 6 6 7 6 2 6 6 6 2 6 7 7 3 5 3 6 3 5 5 6
32 4 4 4 6 4 4 4 6 5 6 5 7 5 4 3 6 4 4 4 6
33 4 6 3 4 2 3 4 6 2 6 5 4 3 6 5 4 3 6 5 5
34 7 5 6 6 4 5 5 5 5 5 3 7 6 5 4 6 6 6 5 7
35 5 5 6 5 4 6 6 6 6 3 6 7 6 6 6 7 5 4 6 6
36 6 4 5 6 6 3 2 3 6 6 3 4 6 5 3 5 6 4 3 5
37 3 6 6 5 2 5 4 7 2 3 6 3 3 5 5 4 3 5 5 4
38 4 4 6 4 3 5 6 5 6 6 6 6 5 6 6 5 4 6 6 5
39 3 4 3 7 4 4 5 6 2 4 5 5 3 2 4 3 4 4 5 5
40 7 6 5 7 7 6 6 7 7 7 6 7 7 6 5 7 7 6 6 7
63
Panelis Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28
41 6 6 6 6 5 6 7 5 4 6 6 4 5 6 7 6 4 6 7 5
42 6 4 6 7 3 3 6 6 6 5 2 3 7 5 7 6 6 5 7 5
43 4 4 6 4 3 6 4 4 3 3 4 6 4 3 2 6 3 2 2 6
44 5 6 6 6 5 5 5 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
45 5 6 6 7 3 5 6 7 3 3 7 5 4 5 6 6 5 5 6 6
46 7 5 4 7 4 3 4 5 3 6 7 6 3 4 3 5 3 5 4 6
47 5 5 6 6 5 5 6 4 3 6 6 5 4 6 6 6 3 5 6 5
48 7 6 6 7 6 7 7 7 5 3 7 6 5 6 5 5 6 6 5 7
49 5 3 3 7 3 5 5 5 6 4 2 7 6 4 2 7 6 4 2 7
50 6 6 6 6 5 6 7 7 2 2 6 6 6 6 6 7 6 6 6 6
51 7 7 6 7 6 5 7 7 7 6 6 7 7 6 5 6 7 6 6 7
52 4 5 7 5 3 4 7 5 7 2 6 5 5 4 6 6 6 3 6 5
53 7 6 7 6 6 6 7 6 5 5 6 6 6 7 7 6 5 6 7 6
54 6 6 6 7 5 6 6 6 4 6 7 6 7 7 7 6 6 6 7 5
55 6 4 4 7 6 6 6 6 3 6 7 7 3 6 6 7 5 6 6 7
56 3 4 5 2 5 5 6 4 4 2 5 2 5 5 6 3 4 4 6 3
57 7 7 7 7 5 4 6 7 5 7 6 6 6 7 5 7 5 7 6 7
58 2 6 4 2 3 7 6 4 2 5 7 5 2 6 6 6 2 6 6 6
59 3 5 5 4 4 6 4 5 5 6 3 4 5 6 3 2 5 6 3 3
60 2 6 4 4 2 6 5 6 3 6 6 7 1 7 6 7 3 6 6 6
61 5 4 4 5 3 4 4 6 3 4 7 6 6 7 6 6 5 6 7 6
64
Panelis Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28 F0=4 F0=12 F0=20 F0=28
62 5 6 6 6 6 6 6 6 5 6 6 6 5 6 6 5 5 6 6 6
63 6 7 7 7 5 5 7 7 5 6 7 6 6 6 7 7 6 6 7 7
64 6 2 2 5 2 4 7 6 6 7 7 3 3 2 2 6 6 5 4 7
65 6 5 5 7 7 6 6 7 5 3 3 7 7 7 6 7 6 6 6 7
66 4 6 6 5 3 6 6 6 4 6 6 3 6 6 6 6 5 6 6 6
67 5 5 3 6 6 5 3 3 6 7 6 6 6 2 6 6 6 4 6 5
68 5 6 5 6 5 6 5 6 3 6 5 6 4 6 5 5 5 6 5 6
69 6 6 6 6 3 4 5 5 3 4 6 6 6 6 5 6 5 5 6 6
70 7 5 4 5 6 5 6 7 6 2 6 7 6 3 5 6 7 3 6 6
71 6 3 5 4 6 4 4 3 7 5 3 7 7 6 6 6 7 6 6 6
72 4 5 6 6 4 6 6 5 4 4 3 4 6 5 6 5 6 5 6 6
73 5 6 6 6 5 6 5 3 6 6 6 6 7 6 6 5 6 6 6 5
74 4 6 5 6 4 5 6 7 5 6 7 7 6 7 7 7 6 6 7 7
75 3 7 4 5 7 7 5 5 6 6 3 6 5 7 2 6 5 7 2 6
Total 379 395 396 422 323 388 410 413 340 377 415 414 379 403 401 428 378 396 419 432
Rata-
rata 5.05 5.27 5.28 5.63 4.31 5.17 5.47 5.51 4.53 5.03 5.53 5.52 5.05 5.37 5.35 5.71 5.04 5.28 5.59 5.76
65
Lampiran 9a. Hasil analisis uji rating hedonik atribut aroma menggunakan metode ANOVA
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:skor
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 2417.542a 77 31.397 26.475 .000
panelis 228.662 73 3.132 2.641 .000
sampel 12.667 3 4.222 3.560 .015
Error 264.458 223 1.186
Total 2682.000 300
a. R Squared = .901 (Adjusted R Squared = .867)
Lampiran 9b. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna menggunakan metode ANOVA
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:skor
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 2775.915a 77 36.051 25.760 .000
Panelis 206.022 73 2.822 2.017 .000
Sampel 70.040 3 23.347 16.682 .000
Error 312.085 223 1.399
Total 3088.000 300
a. R Squared = .899 (Adjusted R Squared = .864)
Lampiran 9c. Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan metode ANOVA
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:skor
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 2713.322a 77 35.238 18.859 .000
panelis 231.322 73 3.169 1.696 .002
sampel 50.947 3 16.982 9.089 .000
Error 416.678 223 1.869
Total 3130.000 300
a. R Squared = .867 (Adjusted R Squared = .821)
66
Lampiran 9d. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa menggunakan metode ANOVA
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:skor
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 2330.688a 77 30.269 23.741 .000
Panelis 239.555 73 3.282 2.574 .000
Sampel 16.063 3 5.354 4.200 .006
Error 284.312 223 1.275
Total 2615.000 300
a. R Squared = .891 (Adjusted R Squared = .854)
Lampiran 9e. Hasil analisis uji rating hedonik secara overall menggunakan metode ANOVA
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:skor
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 2188.675a 77 28.424 28.007 .000
Panelis 163.542 73 2.240 2.207 .000
Sampel 23.050 3 7.683 7.570 .000
Error 226.325 223 1.015
Total 2415.000 300
a. R Squared = .906 (Adjusted R Squared = .874)
67
Lampiran 10a. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
Fo 28 75 5.627
Fo 20 75 5.280 5.280
Fo 12 75 5.267 5.267
Fo 4 75 5.053
Sig. .056 .233
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.186.
Lampiran 10b. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut warna menggunakan uji Duncan
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
Fo 28 75 5.507
Fo 20 75 5.467
Fo 12 75 5.173
Fo 4 75 4.307
Sig. .104 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.399.
68
Lampiran 10c. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan uji Duncan
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2 3
Fo 20 75 5.533
Fo 28 75 5.520
Fo 12 75 5.027
Fo 4 75 4.533
Sig. .952 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.869.
Lampiran 10d. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut rasa menggunakan uji Duncan
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
Fo 28 75 5.707
Fo 12 75 5.347 5.347
Fo 20 75 5.373 5.373
Fo 4 75 5.053
Sig. .065 .102
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.275.
69
Lampiran 10e. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik secara overall menggunakan uji Duncan
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2 3
Fo 28 75 5.760
Fo 20 75 5.587 5.587
Fo 12 75 5.280 5.280
Fo 4 75 5.040
Sig. .293 .064 .146
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 1.015.
70
Lampiran 11a. Hasil analisis proksimat kadar air (metode gravimetri)
Wcawan&sampel
(g)
Wcawan&sampel Konstan
(g)
Wcawan
(g)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
1.0832 4.9614 4.6929 75.21 303.43 75.40 306.59 0.27 4.47 0.36 1.46 0.19 3.16
1.1342 5.0638 4.7870 75.60 309.75
Lampiran 11b. Hasil analisis proksimat kadar abu (metode gravimetri)
Wcawan&sampel
(g)
Wcawan&sampel Konstan
(g)
Wcawan
(g)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
2.0839 18.7983 18.7662 1.54 6.21 1.55 6.30 0.01 0.12 0.78 1.88 0.01 0.08
2.1446 20.7164 20.6830 1.56 6.38
Lampiran 11c. Hasil analisis proksimat kadar lemak (metode soxhlet)
Wcawan&sampel
(g)
W labu&sampel Konstan
(g)
Wlabu
(g)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
1.2458 54.0244 53.9537 5.68 22.89 5.68 23.08 0.00 0.26 0.02 1.12 0.00 0.18
1.2859 52.8828 52.8098 5.68 23.26
71
Lampiran 11d. Hasil analisis proksimat kadar protein (metode Kjheldal)
Wsampel
(g) NHCl
VHCl Blanko
(mL)
VHCl Sampel
(mL)
Nitrogen
(%)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
250.0000 0.0233 0.125 1.150 0.13 0.84 3.37 0.83 3.36 0.01 0.02 0.65 0.65 0.00 0.02
172.3000 0.0233 0.125 0.825 0.13 0.83 3.34
Lampiran 11e. Hasil analisis proksimat kadar karbohidrat (metode by difference)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
16.74 67.52 16.54 67.27 0.28 0.36 1.68 0.53 0.20 0.25
16.34 67.01
Lampiran 11f. Hasil analisis kadar serat kasar (metode gravimetri)
Wsampel
(g)
W kertas saring & sampel
Konstan (g)
W kertas saring
(g)
BB
(%)
BK
(%)
Rata-rata SD RSD SEM
BB BK BB BK BB BK BB BK
2.9017 0.5769 0.5199 1.96 7.92 1.97 8.00 0.01 0.11 0.26 1.36 0.00 0.08
2.8554 0.5859 0.5296 1.97 8.08
72
Lampiran 12. Hasil perhitungan total energi produk gudeg dalam kaleng
Kadar (g/100g) Energi (Kkal/100g) Energi Total
(Kkal/100g) Rata-rata SD RSD SEM
Lemak Protein Karbohidrat Lemak Protein Karbohidrat
5.68 0.84 16.74 51.08 3.35 66.94 121.36 120.60 1.12 0.93 0.79
5.68 0.83 16.34 51.09 3.31 65.37 119.77