9
1 AbstrakDaur ulang limbah plastik polietilen tereftalat (PET) telah dilakukan dengan metode reaksi hidrolisis dengan proses refluks pada suhu 120°C, menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M dan variasi waktu refluks selama 4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam. Rendemen terbanyak didapatkan pada variasi waktu refluks 12 jam sebesar 81,97%. Hasil rendemen kemudian dianalisis menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), Thermogravimetric Analyzis (TGA), dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Analisis FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil (C=O stretch) pada sekitar bilangan gelombang 1680 cm -1 , gugus fungsi hidroksil (-OH stretch) pada sekitar bilangan gelombang 2550 cm -1 – 3100 cm -1 dan gugus fungsi aromatik (C-H stretch aromatik) pada sekitar bilangan gelombang 3000 cm -1 . Hasil analisis termal TGA menyatakan dekomposisi rendemen hasil reaksi hidrolisis terjadi pada rentang suhu 41,67°C - 296°C dengan penurunan massa yang hilang sebesar 0,031 %. Hasil analisis termal DSC menyatakan rendemen hasil reaksi hidrolisis memiliki titik leleh sebesar 296,17°C. Dari hasil analisis-analisis yang telah dilakukan dan berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa rendemen hasil reaksi hidrolisis adalah monomer asam tereftalat. Kata KunciAsam tereftalat, Daur ulang, Depolimerisasi, Hidrolisis, Polietilen tereftalat (PET), Refluks I. URAIAN PENELITIAN lastik merupakan salah satu material polimer yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena plastik memiliki sifat yang unik, diantaranya adalah ringan, kuat, mudah dibentuk, anti karat, memiliki ketahanan terhadap bahan kimia dan memiliki sifat isolasi listrik yang baik [1]. Pada abad ini kebutuhan akan plastik semakin meningkat dari tahun ke tahun dan mulai menggantikan peran dari material berbahan dasar gelas, logam dan kayu [2]. Jenis plastik yang banyak digunakan adalah polietilen tereftalat (PET), yang merupakan jenis polimer termoplastik semi kristalin yang memiliki sifat mudah dibentuk, kuat, transparan, tidak mudah menyerap air, tahan korosi dan dapat didaur ulang [3]. PET banyak digunakan dalam industri kemasan botol minuman, tekstil, fiber dan otomotif [4]. Produksi PET di Indonesia untuk industri botol minuman setiap tahun mencapai 1,5 juta ton. Indonesia juga masih harus mengimpor PET dari luar negeri sebanyak 156.000 ton untuk tahun 2012 dan 177.000 ton di tahun 2013 [5]. Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan limbah PET dari aktivitas industri menumpuk dan mengganggu ekosistem [6]. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi penumpukan limbah PET. Pengolahan limbah PET dapat dilakukan dengan pengolahan secara mekanik, kimia dan biologi [7]. Pengolahan limbah PET secara mekanik meliputi beberapa tahapan seperti pemisahan berdasarkan jenis, penghilangan kotoran dan proses ekstruksi. Pengolahan secara biologi meliputi degradasi polimer dengan bantuan bakteri. Sedangkan pengolahan secara kimiawi meliputi hidrogenasi, gasifikasi, depolimerisasi kimia dan pemutusan ikatan polimer terkatalisis (catalytic cracking) [8]. Berdasarkan metode pengolahan limbah PET yang ada, metode pengolahan secara kimiawi lebih banyak dipilih karena lebih efisien dan tidak menimbulkan penumpukan limbah kembali [9]. Pengolahan limbah PET secara kimia berdasarkan prinsip depolimerisasi, yaitu pemutusan rantai polimer yang akan menghasilkan monomer penyusunnya. Depolimerisasi PET dapat menggunakan metode reaksi solvolisis yang terdiri dari reaksi hidrolisis, glikolisis, alkoholisis dan aminolisis [10]. Metode yang banyak digunakan adalah metode reaksi hidrolisis dan glikolisis [11], tetapi metode reaksi hidrolisis lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah prosesnya yang sederhana, berlangsung pada suhu yang rendah, tidak membutuhkan biaya yang mahal, menggunakan air sebagai bahan utama dan mampu menghasilkan monomer yang nantinya dapat digunakan kembali dalam pembentukan PET, sehingga dapat menurunkan biaya produksi [12]. Penelitian sebelumnya tentang depolimerisasi PET dengan metode reaksi hidrolisis telah dilakukan menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M, suhu refluks 120°C dan didapat rendemen maksimum asam tereptalat sebesar 20% dengan lama refluks 3 jam [13] serta menggunakan katalis asam sulfat 7,5 M, suhu refluks 100°C dan variasi waktu refluks 2 sampai dengan 6 jam dengan interval 2 jam dengan rendemen maksimum asam tereptalat yang didapat sebesar 60% dengan lama refluks 6 jam [14]. Hasil dari penelitian sebelumnya [13,14] melatar belakangi penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh konsentrasi katalis asam yang digunakan dan lama waktu refluks terhadap depolimerisasi PET. Dalam penelitian ini depolimerisasi dilakukan dengan metode hidrolisis menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M, suhu refluks 120°C dan variasi waktu refluks selama 4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam. Konsentrasi asam sulfat 7,4 M dan suhu refluks 120°C digunakan dalam penelitian ini karena berdasarkan penelitian penelitian sebelumnya konsentrasi asam yang dapat digunakan dalam Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang Polietilen Tereftalat Dengan Metode Hidrolisis Zakaria Wahyu Diantomo dan Lukman Atmaja Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: [email protected] P

Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

1

Abstrak— Daur ulang limbah plastik polietilen tereftalat (PET) telah dilakukan dengan metode reaksi hidrolisis dengan proses refluks pada suhu 120°C, menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M dan variasi waktu refluks selama 4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam. Rendemen terbanyak didapatkan pada variasi waktu refluks 12 jam sebesar 81,97%. Hasil rendemen kemudian dianalisis menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), Thermogravimetric Analyzis (TGA), dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Analisis FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil (C=O stretch) pada sekitar bilangan gelombang 1680 cm-1, gugus fungsi hidroksil (-OH stretch) pada sekitar bilangan gelombang 2550 cm-1 – 3100 cm-1 dan gugus fungsi aromatik (C-H stretch aromatik) pada sekitar bilangan gelombang 3000 cm-1. Hasil analisis termal TGA menyatakan dekomposisi rendemen hasil reaksi hidrolisis terjadi pada rentang suhu 41,67°C - 296°C dengan penurunan massa yang hilang sebesar 0,031 %. Hasil analisis termal DSC menyatakan rendemen hasil reaksi hidrolisis memiliki titik leleh sebesar 296,17°C. Dari hasil analisis-analisis yang telah dilakukan dan berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa rendemen hasil reaksi hidrolisis adalah monomer asam tereftalat. Kata Kunci— Asam tereftalat, Daur ulang, Depolimerisasi, Hidrolisis, Polietilen tereftalat (PET), Refluks

I. URAIAN PENELITIAN

lastik merupakan salah satu material polimer yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena plastik memiliki sifat yang

unik, diantaranya adalah ringan, kuat, mudah dibentuk, anti karat, memiliki ketahanan terhadap bahan kimia dan memiliki sifat isolasi listrik yang baik [1]. Pada abad ini kebutuhan akan plastik semakin meningkat dari tahun ke tahun dan mulai menggantikan peran dari material berbahan dasar gelas, logam dan kayu [2].

Jenis plastik yang banyak digunakan adalah polietilen tereftalat (PET), yang merupakan jenis polimer termoplastik semi kristalin yang memiliki sifat mudah dibentuk, kuat, transparan, tidak mudah menyerap air, tahan korosi dan dapat didaur ulang [3]. PET banyak digunakan dalam industri kemasan botol minuman, tekstil, fiber dan otomotif [4]. Produksi PET di Indonesia untuk industri botol minuman setiap tahun mencapai 1,5 juta ton. Indonesia juga masih harus mengimpor PET dari luar negeri sebanyak 156.000 ton untuk tahun 2012 dan 177.000 ton di tahun 2013 [5].

Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan limbah PET dari aktivitas

industri menumpuk dan mengganggu ekosistem [6]. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi penumpukan limbah PET. Pengolahan limbah PET dapat dilakukan dengan pengolahan secara mekanik, kimia dan biologi [7]. Pengolahan limbah PET secara mekanik meliputi beberapa tahapan seperti pemisahan berdasarkan jenis, penghilangan kotoran dan proses ekstruksi. Pengolahan secara biologi meliputi degradasi polimer dengan bantuan bakteri. Sedangkan pengolahan secara kimiawi meliputi hidrogenasi, gasifikasi, depolimerisasi kimia dan pemutusan ikatan polimer terkatalisis (catalytic cracking) [8]. Berdasarkan metode pengolahan limbah PET yang ada, metode pengolahan secara kimiawi lebih banyak dipilih karena lebih efisien dan tidak menimbulkan penumpukan limbah kembali [9].

Pengolahan limbah PET secara kimia berdasarkan prinsip depolimerisasi, yaitu pemutusan rantai polimer yang akan menghasilkan monomer penyusunnya. Depolimerisasi PET dapat menggunakan metode reaksi solvolisis yang terdiri dari reaksi hidrolisis, glikolisis, alkoholisis dan aminolisis [10]. Metode yang banyak digunakan adalah metode reaksi hidrolisis dan glikolisis [11], tetapi metode reaksi hidrolisis lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah prosesnya yang sederhana, berlangsung pada suhu yang rendah, tidak membutuhkan biaya yang mahal, menggunakan air sebagai bahan utama dan mampu menghasilkan monomer yang nantinya dapat digunakan kembali dalam pembentukan PET, sehingga dapat menurunkan biaya produksi [12].

Penelitian sebelumnya tentang depolimerisasi PET dengan metode reaksi hidrolisis telah dilakukan menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M, suhu refluks 120°C dan didapat rendemen maksimum asam tereptalat sebesar 20% dengan lama refluks 3 jam [13] serta menggunakan katalis asam sulfat 7,5 M, suhu refluks 100°C dan variasi waktu refluks 2 sampai dengan 6 jam dengan interval 2 jam dengan rendemen maksimum asam tereptalat yang didapat sebesar 60% dengan lama refluks 6 jam [14].

Hasil dari penelitian sebelumnya [13,14] melatar belakangi penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh konsentrasi katalis asam yang digunakan dan lama waktu refluks terhadap depolimerisasi PET. Dalam penelitian ini depolimerisasi dilakukan dengan metode hidrolisis menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M, suhu refluks 120°C dan variasi waktu refluks selama 4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam. Konsentrasi asam sulfat 7,4 M dan suhu refluks 120°C digunakan dalam penelitian ini karena berdasarkan penelitian penelitian sebelumnya konsentrasi asam yang dapat digunakan dalam

Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang Polietilen Tereftalat Dengan Metode

Hidrolisis Zakaria Wahyu Diantomo dan Lukman Atmaja

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: [email protected]

P

Page 2: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

2

hidrolisis PET adalah diatas 7 M dan suhu refluks yang dianjurkan adalah dibawah titik didih larutan asam sulfat [13,15]. Waktu refluks selama 4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam dipilih karena dalam penelitian sebelumnya [13,14] masih belum menemukan keadaan optimum reaksi dan rendemen asam tereftalat yang masih sedikit dengan waktu refluks kurang dari 8 jam.

II. URAIAN PENELITIAN A. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat alat refluk yang terdiri dari labu leher dua dan kondensor, termometer, magnetic stirrer, pemanas, pengaduk, peralatan gelas, aluminium foil, plastic wrap, kertas saring, oven, neraca analitik, cawan agat, Fourier Transform Infrared (FTIR) SHIMADZU 8400S dan TGA-DSC tipe Stare system. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah polietilen tereftalat (PET) yang didapat dari botol air kemasan dengan merek dagang “Aquase”, H2C2O4⋅2H2O (Merck, 99,5%), H2SO4 (SAP, 98%), HNO3 (SAP, 65%), NH4OH (SAP, 25%), NaOH (Merck, 99%), indikator fenolftalin, aquades. B. Prosedur Kerja B.1 Preparasi Polietilen Tereftalat (PET)

Botol plastik bekas dipotong dengan dimensi 0,25 cm x 0,25 cm, selanjutnya dicuci dengan sabun dan dibilas dengan aquades. Potongan botol plastik yang telah bersih dipanaskan dengan oven pada suhu 60˚C hingga PET benar-benar kering [16]. B.2 Depolimerisasi Polietilen Tereftalat (PET)

Potongan PET yang telah dipreparasi (Gambar 1.) diambil sebanyak 2 gram, dimasukkan ke dalam labu leher 2 yang dilengkapi dengan termometer, kondensor dan pemanas. Potongan PET ditambahkan H2SO4 7,4 M sebanyak 25 mL. Campuran PET dan asam sulfat direfluks pada suhu 120 ˚C untuk masing masing variasi waktu refluks (4 sampai dengan 12 jam dengan interval 2 jam). Setelah direfluks, dengan segera labu dipindahkan ke penangas air (suhu ruang). Reaktan yang semula berupa campuran heterogen 2 fase yaitu padatan bening dan larutan bening (potongan PET dan larutan asam sulfat) berubah menjadi campuran padatan putih dan larutan putih keruh. Campuran disaring menggunakan kertas saring, sehingga didapat filtrat dan residu. Residu yang didapat dikeringkan pada suhu ruang selama 10 menit dan selanjutnya dicuci dengan 15 mL NH4OH 25%. Filtrat yang terbentuk ditambahkan H2SO4 7,4 M demi tetes hingga terbentuk endapan berwarna putih dan pH=3. Endapan yang dihasilkan disaring dan selanjutnya dipanaskan dengan oven pada suhu 105°C selama 2 jam. Endapan yang telah dikeringkan kemudian ditimbang untuk mengetahui persentase rendemen asam tereftalat yang dihasilkan.

Gambar 1. Potongan PET yang telah dipreparasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Preparasi Polietilen Tereftalat (PET)

PET pada penelitian ini didapat dari limbah botol plastik dengan merek dagang “Aquase”. Botol ini dipilih karena pada kemasan botol bagian bawah tertera kode nomor 1 yang menunjukkan botol tersebut terbuat dari PET. Selain itu, botol Aquase mudah dicari dan banyak dijual di lingkungan kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Pemotongan PET dilakukan untuk memperluas permukaan bidang reaksi, sehingga reaksi depolimerisasi dapat berlangsung lebih cepat dan dihasilkan rendemen yang optimal. Pencucian potongan PET dengan sabun dan aquades bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang bersifat polar dan non polar [3]. Pencucian dilakukan karena PET yang digunakan berasal dari limbah botol plastik yang kemungkinan masih terdapat kotoran yang nantinya bisa mengganggu proses depolimerisasi. Potongan PET dipanaskan menggunakan oven pada suhu 60°C hingga kering untuk menghilangkan sisa air hasil pencucian. Suhu 60°C digunakan karena bila suhu terlalu tinggi akan mengubah kristalinitas PET mengingat suhu transisi gelas dari PET adalah 69°C [17]. B. Depolimerisasi Polietilen Tereftalat (PET)

Proses refluks digunakan dalam penelitian ini karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah prosesnya yang sederhana, dapat dilakukan dalam skala kecil (laboratorium) dan pelarut yang digunakan tidak terbuang [18].

Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 120°C. Suhu ini dipilih karena mampu menguapkan air sebagai pelarut yang memiliki titik didih 100°C. Oleh karena suhu refluks yang tinggi maka digunakan penangas minyak dalam penelitian ini karena suhu yang dipakai sebesar 120°C sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan penangas air. Fungsi kondensor dalam reaksi adalah untuk mendinginkan uap air yang terbentuk, dimana uap air akan mencair dan menetes kembali ke dalam labu. Asam sulfat berfungsi sebagai katalis yang dalam proses protonasi rantai PET sedangkan air pada larutan asam sulfat berfungsi sebagai pelarut dan juga agen pemutus rantai PET [3]. Konsentrasi asam sulfat yang dipakai dalam penelitian ini sebesar 7,4 M karena berdasarkan penelitian sebelumnya [13,], konsentrasi asam sulfat yang dapat digunakan untuk reaksi hidrolisis PET adalah diatas 7,0 M [15].

Proses hidrolisis PET melibatkan reaksi substitusi nukleofilik. Substitusi nukleofilik pada reaksi hidrolisis adalah proses dimana pasangan elektron bebas pada gugus hidroksil air menyerang gugus karbonil pada rantai PET [11]. Awalnya, gugus karbonil pada PET mengalami protonasi terlebih dahulu oleh ion H+ dari asam sulfat. Ion H+ berperan sebagai Asam Lewis (penyedia orbital kosong) dalam proses pengaktifan gugus karbonil. Protonasi mengakibatkan terbentuknya kompleks koordinasi antara gugus karboksilat pada PET dengan ion H+. Kompleks koordinasi ini akan menurunkan kerapatan elektron yang akan memudahkan pasangan elektron bebas (PEB) dari gugus hidroksil pada air untuk menyerang atom karbon pada gugus karbonil, sehingga terjadi pemutusan rantai polimer PET menjadi monomer asam tereftalat [19]. Pada Gambar 2 dapat dilihat mekanisme reaksi hidrolisis PET dengan katalis asam.

Page 3: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

3

Gambar 2. Reaksi hidrolisis PET dengan katalis asam [17].

Proses pendinginan secara mendadak pada penangas

air (suhu ruang) berfungsi untuk mengendapkan hasil reaksi hidrolisis PET. Selain itu pendinginan juga untuk mencegah agar reaksi tidak berlangsung reversibel [3]. Reaktan yang semula berupa campuran heterogen 2 fase yaitu padatan bening (potongan PET) dan larutan bening (larutan asam sulfat) berubah menjadi campuran padatan putih dan larutan putih keruh. Padatan putih yang dihasilkan adalah potongan PET yang belum terdepolimerisasi sedangkan larutan putih keruh merupakan campuran dari hasil reaksi hidrolisis, etilen glikol, air dan asam sulfat [14].

Fungsi penyaringan adalah memisahkan PET yang belum terdepolimerisasi dan hasil reaksi hidrolisis dari fase cair. Residu yang didapat dikeringkan pada suhu ruang selama 10 menit dan selanjutnya dicuci dengan 15 mL

NH4OH 25% untuk melarutkan hasil reaksi hidrolisis dari padatan PET yang belum terdepolimerisasi.

Filtrat hasil pencucian menggunakan NH4OH kemudian ditambahkan H2SO4 7,4 M tetes demi tetes hingga terbentuk endapan berwarna putih dan pH=3. Fungsi penambahan H2SO4 adalah untuk mengendapkan kembali hasil reaksi hidrolisis yang sebelumnya larut dalam larutan NH4OH.

Endapan yang dihasilkan selanjutnya disaring. Residu yang didapatkan kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu 105°C selama 2 jam untuk menghilangkan kandungan air pada endapan yang terbentuk.

Page 4: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

4

Gambar 3. Monomer asam tereftalat hasil hidrolisis (a) 4 jam, (b) 6 jam, (c) 8 jam, (d) 10 jam, (e) 12 jam.

Setelah dikeringkan dalam oven selama 2 jam,

didapatkan padatan berwarna putih seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2. Padatan ini lalu ditimbang menggunakan neraca analitik untuk mengetahui berat monomer asam tereftalat yang terbentuk.

Menurut hipotesis awal penulis, hasil reaksi hidrolisis yang berupa padatan putih adalah monomer asam tereftalat. Secara fisik, hasil yang didapatkan penulis sama dengan penelitian sebelumnya [13,14] tentang hidrolisis PET menggunakan katalis asam sulfat. Hasil reaksi hidrolisis yang bereaksi saat penambahan larutan NH4OH dan kembali mengendap saat penambahan H2SO4 juga mendukung hipotesis awal penulis bahwa hasil reaksi hidrolisis adalah asam tereftalat. Asam tereftalat bereaksi dengan larutan NH4OH membentuk larutan diamonium tereftalat [14]. Reaksi pembentukan diamonium tereftalat dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4. Reaksi pembentukan diamonium tereftalat [14].

Sedangkan asam tereftalat dapat terbentuk dengan mereaksikan diamonium tereftalat dengan larutan H2SO4. Reaksi pembentukan asam tereftalat dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 5. Reaksi pembentukan asam tereftalat dari

diamonium tereftalat [14].

Kesamaan fisik antara hasil penelitian penulis dengan hasil penelitian sebelumnya [13,14] untuk sementara ini mendukung hipotesis awal penulis bahwa hasil reaksi hidrolisis PET adalah monomer asam tereftalat.

Berat rendemen yang didapat selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan (1) untuk mendapatkan persentase hidrolisis dari PET.

% Rendemen = 𝑾𝑾 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑴𝑴𝑾𝑾 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑾𝑾 𝑻𝑻𝑷𝑷𝑻𝑻𝑴𝑴𝑾𝑾 𝑻𝑻𝑷𝑷𝑻𝑻

× 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏% (1)

W PET merupakan berat awal dari PET dan W TPA

adalah berat rendemen hasil reaksi hidrolisis. Sedangkan MW PET dan MW TPA masing-masing adalah berat molekul dari PET (192 g/mol) dan asam tereftalat (166 g/mol). Tabel 1. Hasil perhitungan rendemen asam tereftalat untuk

semua sampel.

Sampel Berat PET

awal (gram)

Waktu refluks (jam)

Berat rendemen

asam tereftalat (gram)

Persentase rendemen

(%)

I 2,0507 4 0,3689 20,77

II 2,0234 6 0,6597 37,70

III 2,0380 8 0,9579 53,37

IV 2,0077 10 1,2678 73,08

V 2,0137 12 1,3268 81,97

Variasi waktu refluks berguna untuk mengetahui keefektifitasan reaksi hidrolisis terhadap rendemen yang dihasilkan dan juga menentukan keadaan optimum untuk reaksi hidrolisis PET berdasarkan penelitian sebelumnya [13,14]. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kecenderungan rendemen akan meningkat dengan semakin lama waktu refluks yang digunakan. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu kontak PET dengan pelarut air dan katalis asam sulfat maka semakin banyak PET yang mengalami reaksi hidrolisis [14]. Dalam interval waktu refluks yang digunakan, rendemen terbanyak ada pada sampel V (lima) dengan waktu refluks 12 jam sebesar 81,97%. Hal ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya [13], dimana rendemen terbesar yang dihasilkan sebesar 20% dengan waktu reaksi 1 sampai dengan 3 jam dengan interval 1 jam, suhu refluks 120°C dan menggunakan katalis asam sulfat 7,4 M. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki kelebihan, yaitu dengan penggunaan katalis asam dengan konsentrasi yang sama mampu menghasilkan rendemen yang lebih banyak. Gambar 4.5 menunjukkan hubungan waktu reaksi dengan persentase rendemen.

Gambar 6. Grafik hubungan waktu reaksi dengan persentase

rendemen.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Page 5: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

5

C. Karakterisasi Produk hasil reaksi hidrolisis PET dianalisis

menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR), Thermogravimetric Analysis (TGA) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Hasil dari analisis produk hasil hidrolisis dapat digunakan untuk menentukan struktur dan sifat produk [20] serta menguatkan hipotesis awal penulis tentang hasil reaksi hidrolisis PET yang berupa asam tereftalat.

C.1 Analisis Gugus Fungsi

Sampel hasil reaksi hidrolisis dianalisis menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi spesifik yang terdapat pada produk hasil reaksi hidrolisis pada bilangan gelombang 400 cm-1 sampai dengan 4000 cm-1.

Gambar 7. Spektra FTIR hasil hidrolisis PET (a) Waktu refluks 4 jam (b) Waktu refluks 6 jam (c) Waktu refluks 8 jam (d) Waktu refluks 10 jam (e) Waktu refluks 12 jam.

Secara umum, dapat dilihat pada Gambar 7 bahwa

hasil reaksi hidrolisis PET menghasilkan pola spektra FTIR yang hampir sama tetapi memiliki nilai bilangan gelombang dan transmitan yang berbeda. Sebagai contoh, puncak vibrasi –OH ulur (stretch) pada spektra FTIR hasil reaksi 4 jam muncul pada bilangan gelombang 3122,54 cm-1

sedangkan pada waktu reaksi 12 jam muncul pada 3110,97 cm-1. Puncak-puncak penting yang didapatkan dari masing-masing sampel hasil hidrolisis dapat dilihat pada Tabel 3.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Page 6: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

6

Tabel 2. Puncak-puncak penting spektra FTIR dari sampel hasil reaksi hidrolisis.

Sampel Waktu refluks (jam)

Bilangan gelombang gugus fungsi (cm-1)

-OH stretch

C=O stretch

C-O stretch

C-H bend

(para)

C-H stretch aromatik

I 4 2555,51-3122,54 1689,53 1288,36 881,41 3004,89

II 6 2551,65-3126,40 1689,53 1286,43 879,48 3018,39

III 8 2553,58-3122,54 1685,67 1286,43 881,41 3016,46

IV 10 2553,58-3130,25 1689,53 1286,43 881,41 3018,39

V 12 2553,58-3110,97 1685,67 1288,36 881,41 3021,32

Gambar hasil analisis FTIR PET dan monomer asam

tereftalat hasil hidrolisis PET ditunjukkan pada gambar 4.7 [21].

Gambar 8. Spektra FTIR (a) Asam tereftalat hasil hidrolisis

PET (b) PET murni [21].

Berdasarkan perbandingan Gambar 7 dan Gambar 8, pola spektra FTIR hasil reaksi hidrolisis penulis sama dengan pola asam tereftalat hasil reaksi hidrolisis pada penelitian sebelumnya [21]. Adanya kesamaan spektra menunjukkan bahwa reaksi hidrolisis penulis telah berhasil merubah PET menjadi asam tereftalat (sesuai dengan hipotesis awal penulis). Puncak-puncak penting pada spektra asam tereftalat hasil hidrolisis dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Puncak-puncak penting spektra FTIR asam

tereptalat [21]. No Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi 1 2500-3100 -OH 2 1680 C=O 3 1300 C-O 4 3100 C-H ulur aromatik

Berdasarkan Tabel 3, terdapat sedikit perbedaan

dalam bilangan gelombang pada penelitian sebelumnya [21] dengan hasil analisis FTIR hasil reaksi hidrolisis

penulis. Sebagai contoh, pada sampel hidrolisis dengan waktu refluks 12 jam memiliki vibrasi ulur –OH pada bilangan gelombang 2555,51-3122,54 cm-1 sedangkan pada penelitian Raed dkk., pada tahun 2011 muncul pada bilangan gelombang 2500-3100 cm-1. Pergeseran bilangan gelombang yang terjadi pada hasil reaksi hidrolisis penulis dimungkinkan adanya sedikit pengotor berupa oligomer atau dimer yang masih terkandung dalam hasil hidrolisis PET. Struktur oligomer dan dimer yang lebih panjang dan lebih rigid membuat vibrasi dari asam tereftalat terganggu (tidak stabil) [22]. Hal ini juga didukung dengan pergeseran bilangan gelombang kearah kiri (bilangan gelombang semakin besar) yang menunjukkan ketidakstabilan struktur hasil reaksi hidrolisis [23]. Dari hasil analisis FTIR yang telah dilakukan dan berdasarkan penelitian Wang dkk., pada tahun 2009 semakin mendukung hipotesis awal penulis bahwa hasil reaksi hidrolisis PET yang telah dilakukan telah mampu merubah PET menjadi monomer asam tereftalat.

C.2 Analisis Termal

Analisis termal dilakukan pada sampel hasil reaksi hidrolisis untuk mengetahui kestabilan hasil reaksi terhadap perubahan panas dan untuk membuktikan hipotesis awal penulis tentang hasil reaksi hidrolisis. Analisis termal Thermogravimetric Analyzis (TGA) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC) dilakukan dengan alat TGA-DSC tipe Stare system pada rentang suhu dari 20°C sampai 350°C dengan laju pemanasan 10°C/menit untuk sampel dengan persentase rendemen yang paling banyak (sampel V).

Analisis TGA berguna untuk mengetahui massa yang hilang seiring dengan kenaikan suhu. Pada termogram TGA sumbu X menyatakan laju pemanasan dan sumbu Y menyatakan penurunan massa sampel akibat dari pemanasan. Suhu onset dalam TGA adalah suhu mulai berkurangnya berat.

Pada hasil analisis TGA (lihat Gambar 9) hasil hidrolisis terjadi pengurangan berat pada suhu sekitar 41,67°C sampai 44,46°C sebesar 0,031%. Pengurangan berat yang sedikit pada suhu ini dimungkinkan karena telah terjadi dekomposisi dari kandungan aditif pada botol [22].

Page 7: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

7

Gambar 9. Termogram TGA sampel V (a) Pengurangan

berat pada suhu 41,67°C sampai dengan 44,46°C (b) Pengurangan berat pada suhu 120°C sampai dengan 300°C.

Pada sekitar suhu 120°C sampai dengan 300°C juga

terjadi pengurangan berat. Pengurangan berat pada rentang suhu ini menunjukkan mulai terjadi dekomposisi gugus hidroksil (-OH) dan karbonil (C=O) pada asam tereftalat [22]. Analisis TGA penulis untuk hasil reaksi hidrolisis PET dengan hasil penelitian sebelumnya [22] menunjukkan persamaan pola termogram (lihat Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa reaksi hidrolisis PET yang telah dilakukan penulis telah menghasilkan asam tereftalat.

Gambar 10. Termogram asam tereftalat hasil hidrolisis [22].

Analisis termal PET telah dilakukan [24]. Pada

Gambar 11 dapat dilihat bahwa pengurangan berat yang signifikan terjadi pada rentang suhu 350°C sampai dengan 425°C.

Gambar 11. Termogram PET komersial [24].

Berdasarkan penelitian tentang analisis termal PET [24], terdapat perbedaan dengan hasil reaksi hidrolisis penulis. Pada hasil penelitian penulis, penurunan massa secara signifikan terjadi pada suhu 120°C sampai dengan 300°C sedangkan menurut penelitian sebelumnya [24],

penurunan massa secara signifikan terjadi pada suhu 350°C sampai dengan 425°C (lihat Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa hasil reaksi hidrolisis penulis telah mampu merubah PET menjadi monomer asam tereftalat (sesuai dengan penelitian sebelumnya [22] ). Struktur rantai yang lebih panjang pada PET menyebabkan penurunan massa signifikan berada pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan hasil reaksi hidrolisis penulis yang berupa asam tereftalat [24].

Analisis DSC berguna untuk mengetahui kemurnian hasil reaksi hidrolisis ditinjau dari stabilitas termalnya. Pada termogram DSC sumbu X menyatakan laju pemanasan dan sumbu Y menyatakan aliran panas (Wg) yang setara dengan perubahan entalpi (Js) yang diterima atau dilepas sampel.

Data yang dihasilkan dari analisis DSC adalah titik leleh dari hasil reaksi hidrolisis. Titik leleh dari hasil reaksi hidrolisis selama 12 jam memiliki titik leleh sebesar 296,17°C yang ditunjukkan oleh puncak endotermik yang besar pada suhu 296,17°C seperti yang terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Termogram DSC sampel V (lima) Analisis termal pada asam tereftalat komersial telah

dilakukan [25]. Hasil analisis DSC menunjukkan bahwa asam terefalat komersial memiliki titik leleh sebesar 300°C (lihat Gambar 13).

Gambar 13. Termogram DSC asam tereftalat komersial [25].

Terdapat kesamaan pola termogram DSC antara hasil reaksi hidrolisis penulis dengan hasil penelitian sebelumnya [25]. Hal ini menunjukkan bahwa hasil reaksi hidrolisis PET yang dilakukan penulis mampu merubah PET menjadi asam tereftalat. Adapun sedikit perbedaan titik leleh pada hasil reaksi hidrolisis penulis dan asam tereftalat komersial dikarenakan perbedaan kandungan zat aditif pada masing-masing kemasan botol PET yang didaur ulang, karena pada pembuatan kemasan botol PET zat aditif yang ditambahkan dan jumlahnya berbeda-beda tiap merek botol kemasanya sesuai aplikasi dari plastik yang akan digunakan. Adanya

(a)

(b)

Page 8: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

8

kandungan zat aditif pada botol PET ini berpengaruh pada sifat ketahanan termalnya [26].

Analisis termal pada PET telah dilakukan [27]. Hasil analisis DSC PET dapat dilihat pada gambar 14. Terdapat perbedaan pola termogram DSC antara hasil reaksi hidrolisis penulis dengan penelitian sebelumnya [27]. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi hidrolisis PET yang dilakukan oleh penulis telah mampu merubah PET menjadi asam tereftalat.

Gambar 14. Termogram DSC PET komersial (Favaro dkk.,

2013).

IV.KESIMPULAN

Depolimerisasi limbah botol plastik PET dengan metode reaksi hidrolisis telah dilakukan dengan menggunakan pelarut air dan asam sulfat sebagai katalis. Hasil dari depolimerisasi ini adalah serbuk kristal putih. Metode hidrolisis ini mendapatkan hasil rendemen terbanyak pada variasi waktu refluks 12 jam dengan rendemen sebanyak 81,97%. Hasil analisis FTIR menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil (C=O stretch) pada sekitar bilangan gelombang 1680 cm-1, gugus fungsi hidroksil (-OH stretch) pada sekitar bilangan gelombang 2550 cm-1 – 3100 cm-1 dan gugus fungsi aromatik (C-H stretch aromatik) pada sekitar bilangan gelombang 3000 cm-

1. Hasil analisis termal TGA menyatakan dekomposisi rendemen hasil reaksi hidrolisis terjadi pada rentang suhu 41,67°C - 296°C dengan penurunan massa yang hilang sebesar 0,031 %. Hasil analisis termal DSC menyatakan rendemen hasil reaksi hidrolisis memiliki titik leleh sebesar 296,17°C. Dari hasil analisis-analisis yang telah dilakukan penulis dan berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa rendemen hasil reaksi hidrolisis yang dilakukan penulis adalah monomer asam tereftalat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Lukman Atmaja selaku dosen pembimbing dan semua pihak yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mujiarto, I., (2005), “Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif”, AMNI, Semarang.

[2] Lorenzetti, C., Manaresi, P., Berti, C., Barbiroli, G., (2006),

“Chemical Recovery of Useful Chemicals from Polyester (PET) Waste for Resource Conversation: A Survey of State of The Art”, Journal of Polymer Environmental, 14, 89-101.

[3] Alimuddin, M., (2013), “Pengaruh Variasi Konsentrasi Katalis Natrium Bikarbonat Pada Proses Daur Ulang Polietilen Tereftalat dengan Menggunakan Metode Glikolisis”, KIMIA FMIPA ITS, Surabaya.

[4] Fonseca, R. L., Ingunza-Duque, I., De rivas, B., Arnaiz, S.,

(2011), “Kinetics of Catalytic Glycolysis of PET Wastes with Sodium Carbonate”, Polymer Degradation and Stability, 168, 312-320.

[5] Imran, M., Kim, B. K., Han, M., Cho, Bong G., Kim, Do H.,

(2010), “Sub and Supercritical Glycolysis of Polyethylene Terepthalate (PET) into the Monomer bis (2-hydroxyethyl) terephthalate (BHET)”, Polymer Degradation and Stability, 95, 1686-1693.

[6] Liu, Y., Wang, M., Pan, Z., (2012), “Catalytic

Depolimeritation of Polyethylene Terephthalate in Hot Compressed Water”, Journal of Supercritical Fluid, 62, 226-231.

[7] Ronald, J. B., (1986), “Industrial Plastic”, The Goodheart-

Wilcox Company Inc., New York. [8] Buxbaum, L. H., (1968), “The Degradation of Poly(ethylene

terephthalate)”, Angew. Chem. Int. Ed. Engl., 7, 182. [9] Yani, M., Warsiki, E., Wulandari, N., (2013), “Penilaian Daur

Hidup Botol PET Pada Produk Minuman”, Jurnal Bumi Lestari, 13, 307-317.

[10] Schnabel, W., (1981), “Polymer Degradation”, Hanser

Verlag, Munich. [11] Carta, D., Cao, G., D’ Angeli, C., (2003), “Chemical

Recycling of Poly(ethylene terephthalate) by Hydrolysis and Glycolysis”, Environmental Science and Pollution Research, 10, 390-394.

[12] Vellini, M., Savioli, M., (2009), “Energy and Environmental

Analysis of Glass Container Production and Recycling”, Energy, 34, 2137-2143.

[13] Yoshioka, T., Sato, T., Okuwaki, (1994), “Hydrolysis of

Waste PET by Sulfuric Acid at 150°C for A Chemical Recycling”, J. Appl. Polymer Science, 52, 1353-1355.

[14] Raed, K., Khalaf, M. N., Sabri, M., Sabri, L., (2011), “Post

Consumer Poly(ethylene terephthalate) Depolimerization by Waste of Battery Acid Hydrolysis”, Journal Material Environmental Science 2, 2, 88-93.

[15] Yoshioka, T., Okayama, N., Okuwaki, A., (1998), “Kinetics

of Hydrolysis of PET Powder in Nitric Acid by a Modified Shrinking-Core Model”, Ind. Eng. Chem., 37, 336-340.

[16] Ávila, A. F., Duarte, M. V., (2003), “Mechanical Analysis on

Recycled PET/HDPE Composites”, Polymer Degradation and Stability, 80, 373-382.

[17] Colomines, G., Roboin, J. J., Gilles T., (2005), “Study of The

Glycolysis of PET by Oligoesters”, Polymer, 46, 3230-3247. [18] Sammon, C., Yarwood, J., Everall, N., (2000), “An FT-IR

Study of The Effect of Hydrolytic Degradation on The Structure of Thin PET Films”, Polymer Degradation and Stability, 67, 149-158.

[19] Fonseca, R. L., Ingunza-Duque, I., De rivas, B., Arnaiz, S.,

(2010), “Chemical Recycling of Post-Consumer PET Wastes

Page 9: Pengaruh Variasi Waktu Refluks Pada Proses Daur Ulang ... · Permintaan PET yang tinggi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Sifat PET yang tidak mudah terdegradasi secara alami menyebabkan

9

by Glycolysis in The Presence of Metal Salts, Polymer Degradation and Stability, 95, 1022-1028.

[20] Ballara, A., Verdu, J., (1989), “Physical Aspect of the

Hydrolysis of Polyethylene Terephthalate”, Polymer Degradation and Stability, 26, 361-374.

[21] Wang, H., Li, Z., Liu, Y., Zhang, X., Zhang, S., (2009),

“Degradation of Poly(ethylene terephthalate) Using Ionic Liquids”, Green Chemistry, 11, 1568-1575.

[22] Yamamoto, T., Ishidoya, M., (2000), “New Thermosetting

Coating using Blocked Carboxyl Groups”, progress in Organic Coatings, 40, 267-273.

[23] Pavia, D. L., Lampman, G. M., Kriz, G. S., (2001),

“Introduction to Spectroscopy”, Department of Chemistry, Western University, Washington.

[24] Bandyopadhyay, J., Ray, S. S., Bousmina, M., (2007),

“Thermal and Thermo-Mechanical Properties of Poly(ethylene terephthalate) Nanocomposites”, J. Ind. Eng. Chem., 4, 614-623.

[25] Muniz, E. C., de Carvalho, G. M., Rubira, A. F., (2006),

“Hydrolysis of Post-Consume Poly(ethylene terephthalate) with Sulfuric Acid and Product Characterization by WAXD, 13C NMR and DSC”, Polymer Degradation and Stability, 91, 1326-1332.

[26] Güclü, Gamze., Yalçinyuva, Tuner., Özgümüş, Saadet.,

Orbay, Murat., (2003), “Simultaneous Glycolysis and Hydrolysis of Poliethylene Terephthalate and Caracterization by Differential Scanning Calorimetry”, Polymer, 44, 7609-7616.

[27] Fávaro, S. L., Freitas, A. R., Ganzerli, T. A., Pereira, A. G.

B., Cardozo, A. L., Baron, O., Muniz, E. C., Girotto, E. M., Radovanovic, E., (2013), “PET and Aluminium Recycling from Multilayer Food Packaging Using Supercritical Ethanol”, J. Supercritical Fluids, 75, 138-143.