42
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan teknologi yang pesat meningkatkan pembangunan di bidang industri di dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kegiatan pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat melalui rencana pembangunaan jangka panjang yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Meningkatnya pembangunan di bidang industri berdampak sangat besar terhadap ekonomi masyarakat. Pembangunan dibidang industri juga akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia . Pembangunan dibidang industri di satu sisi memberi dampak yang positif bagi negara, namun disisi lain , Pembangunan dibidang industri juga menimbulkan dampak yang negatif, karena p embangunan dibidang industri tentunya akan menghasilkan limbah. 1 Di antara limbah yang di hasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang lebih dikenal dengan nama limbah B3. Berdasarkan sifat dan karakteristiknya, limbah bahan berbahaya dan beracun memiliki dampak, bahaya yang 1 Djatmiko, Margono, Wahyono, Pendayagunaan Industrial Waste Management (Kajian Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm, 3.

PENGATURAN KONVENSI BASEL (BASEL CONVENTION) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bagaimana pengaturan konvensi basel, dan penerapannya di indonesia

Citation preview

26

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang pesat meningkatkan pembangunan di bidang industri di dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kegiatan pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat melalui rencana pembangunaan jangka panjang yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Meningkatnya pembangunan di bidang industri berdampak sangat besar terhadap ekonomi masyarakat. Pembangunan dibidang industri juga akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pembangunan dibidang industri di satu sisi memberi dampak yang positif bagi negara, namun disisi lain, Pembangunan dibidang industri juga menimbulkan dampak yang negatif, karena pembangunan dibidang industri tentunya akan menghasilkan limbah.[footnoteRef:2] Di antara limbah yang di hasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang lebih dikenal dengan nama limbah B3. Berdasarkan sifat dan karakteristiknya, limbah bahan berbahaya dan beracun memiliki dampak, bahaya yang serius dan berkepanjangan yang mengancam kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya serta lingkungan hidup. Oleh karenanya limbah bahan berbahaya dan beracun perlu dikelola secara khusus.[footnoteRef:3] [2: Djatmiko, Margono, Wahyono, Pendayagunaan Industrial Waste Management (Kajian Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm, 3. ] [3: Alamendah.org, Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), 2014, http://alamendah.org/2014/10/05/bahan-berbahaya-dan-beracun-b3-pengertian-dan-jenis/]

Pembangunan di bidang industri akan menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagai sisa atau pembuangan dari proses produksi perlu diupayakan agar penghasilan limbah bahan berbahaya dan beracun akibat dari pembangunan industri dapat di minimalisir seminimal mungkin.[footnoteRef:4] Saat ini masalah limbah B3 bukan lagi hanya masalah regional tiap-tiap negara saja, melainkan telah menjadi masalah yang global, menjadi ancaman yang serius bagi lingkungan global (internasional). Hal ini disebabkan limbah B3 disuatu negara tidak hanya berasal dari pembangunan industri saja melainkan ada juga limbah B3 yang berasal dari pembuangan oleh negara lain yang mengalir melalui laut maupun udara. [4: R.M Gatot, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, hlm. 142.]

Oleh karena itu negara-negara internasional bereaksi untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan perundingan dan kerjasama internasional. Negara-negara sepakat untuk membentuk konvensi mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan nama Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 maret tahun 1989.[footnoteRef:5] Konvesi tersebut diharapkan mampu mengurangi perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun serta potensi bahayanya sehingga melindungi kesehatanmanusia dan lingkungan dari dampak yang ditimbulkan. [5: BaselConvention.Int, http://www.basel.int/TheConvention/Overview/tabid/1271/Default.aspx]

B. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana pengaturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun menurut Konvensi Basel 1989 ?2. Bagaimana implementasi Konvensi Basel 1989 di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun menurut Konvensi Basel 19892. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Konvensi Basel 1989 di Indonesia

D. Metode Penulisan

Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan secara umum lalu kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam teknik pengumpulan data, menelaah sejumlah literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, undang-undang, jurnal, skripsi, berita, web artikel dalam berbagai media.

E. Sistematika Penulisan

Dalammenguraikanpenulisankaliiniagarlebihsistematis,makapenyajian makalah ini Penulis membagi menjadiempat(4)bab,dansetiapbabdibagilagimenjadi beberapa sub bab yang lebih rinci. Adapunsistematikapenulisannyaadalah sebagai berikut :1. BABI.PENDAHULUAN, Terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.2. BAB II. LANDASAN TEORI,terdiri dari Fokus Bahasandan Tinjauan teori.Apasajakahyangmenjadiintipembahasandan teori-teoriyang berkaitan dengan Limbah B3 untuk membantu dalam menjawab rumusan masalah pada pembahasan.3. BABIII.PEMBAHASAN,dalam bab ini Penulis membahas tentang Bagaimana pengaturan Konvensi Basel terhadap limbah bahan berbahaya dan beracun dan bagaimana implementasi Konvensi Basel di Indonesia. 4. BABIV.PENUTUP,yangterdiridarikesimpulanyangdiambildari pembahasan, Saran, dan DaftarPustaka.

BAB IILANDASAN TEORI

A. Fokus Bahasan

Makalah ini berfokus pada pengaturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun yang menjadi masalah negara-negara di dunia baik karena pembangunan industri maupun karena pembuangan illegal limbah bahan berbahaya dan beracun dari negara lain. Negara-negara bereaksi dengan melakukan kerjasama internasional yang dituangkan dalam Konvensi Basel 1989. Konvensi Basel Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya (Basel Convention on The Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal) merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh mengenai pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang diselenggarakan oleh UNEP (The United Nations Environment Programme), yaitu merupakan badan khusus PBB yang bergerak dibidang permasalahan lingkungan hidup.[footnoteRef:6] [6: UNEP (The United Nations Environment Programme), http://www.unep.org/]

Konvensi Basel ini dibentuk untuk mengatasi masalah limbah bahan berbahaya dan beracun baik yang berasal dari pembangunan industri maupun untuk mengatasi masalah praktik illegal pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun kedalam yurisdiksi negara lain. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, rentan terhadap perpindahan limbah B3 secara ilegal. Di Indonesia terdapat banyak kasus mengenai impor limbah ilegal dari negara-negara maju. Oleh karenanya, Konvensi Basel menjadi instrumen yang sangat penting bagi Indonesia dan juga negara-negara lainnya untuk melindungi kesehatan dan lingkungan hidup dari kontaminasi limbah B3.[footnoteRef:7] [7: Berita Bumi, Konvensi Basel, Indonesia Rentan Perpindahan Limbah B3 Ilegal, http://beritabumi.or.id/konvensi-basel-indonesia-rentan-perpindahan-limbah-b3-ilegal/]

Konvensi Basel tersebut juga menjadikan negara-negara khususnya negara peserta dan peratifikasi konvensi tersebut termasuk Indonesia mempunyai peranan dan tanggung jawab didalam upaya pengelolaan limbah B3 agar tidak mencemari lingkungan secara global. Konvensi tersebut merupakan salah satu bentuk pengaturan perlidungan lingkungan global disamping pengaturan-pengaturan perlindungan lingkungan global lainnya.[footnoteRef:8] Peranan negara-negara peserta dan peratifikasi konvensi tersebut sangat penting agar dapat mencegah bahaya yang ditimbulkan dari pencemaran limbah B3. Isi dari Konvensi Basel yang berupa kewajiban-kewajiban bagi para negara peserta dan peratifikasi konvensi itu dalam hal pengelolaan limbah B3 diharapkan dapat dijalankan dengan baik demi perlindungan lingkungan global. Menjalankan standart kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diatur dalam konvensi ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam perlindungan lingkungan global.[footnoteRef:9] [8: Harhar Sembiring, Skripsi, Tanggungjawab Negara Dalam Pengelolaan Limbah bahan berbahaya dan beracun (Menurut Konvensi Basel 1989), 2005, hlm, 3.] [9: Ibid.]

B. Tinjauan Teoritis

Hukum Lingkungan Internasional adalah keseluruhan kaedah, azas-aza,lembaga-lembaga, dan proses-proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan.[footnoteRef:10] Perjanjian Internasional adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur menurut ketentuan Hukum Internasional.[footnoteRef:11] [10: Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, buku 1, Bandung : Binacipta, 1982, hlm, 7. ] [11: Abdul Muthalib, Hukum Perjanjian Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2008, hlm, 6-7. ]

Hukum lingkungan dapat dilihat dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat soft law[footnoteRef:12] (declaration, resolution, rules, code,) maupun hard law[footnoteRef:13] (treties, agreeements) yang dibentuk melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan internasional lainnya, baik yang digerakkan atas inisiatif sendiri atau inisiatif negara atau kelompok negara tertentu maupun oleh UNEP[footnoteRef:14] (United Nations Enviroental Program) dan organisasi internasional lainnya.[footnoteRef:15] [12: Soft law adalah : pengaturan hukum yang lemah sepanjang satu atau lebih dimensi mengenai kewajiban, presisi dan delegasi contohnya declaration, resolution, rules, code,decission, lihat buku Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Jawa Timur : Setara Press, 2014, hlm, 52.] [13: Hard law adalah : pengaturan hukum yang mengacu pada kewajiban yang mengikat secara hukum yang tepat (atau dapat dibuat tepat melalui ajudikasi atau penerbitan peraturan rinci) dan yang mendelegasikan otoritas untuk menafsirkan dan menerapkan hukum contohnya treties, agreeements, conbvention, dll] [14: UNEP (United Nations Enviroental Program) : merupakan badan khusus PBB yang bergerak dibidang permasalahan lingkungan hidup. ] [15: Ida Bagus, Hukum Lingkungan Internasional, Bandung : PT Refika Aditama, 2003, hlm, 1. ]

Salah satu contohnya, yang merupakan hasil dari sebuah pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh UNEP (The United Nations Environment Programme) adalah Konvensi Basel Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya (Basel Convention on The Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal). Konvesi Basel merupakan rancangan regulasi mengenai pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup. Setelah dilakukan ratifikasi oleh negara-2 peserta lalu dibentuk The Conference of the Parties disingkat COP sebagai badan pelaksananya terdiri Competent Authorities dan sekretariat tetap berkedudukan di Geneva, Switzerland. COP berfungsi untuk mengatur mengeai ketentuan yang menyangkut pelaksanaan serta pemantauan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian.[footnoteRef:16] [16: Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, Jawa Timur : Setara Press, 2014, hlm, 116.]

Konvensi Basel adalah perjanjian internasional yang diadakan untuk mengurangi perpindahan limbah berbahaya antarnegara. Secara khusus, konvensi ini diberlakukan untuk mencegah pengiriman limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani sejak 22 Maret 1989 dan dinyatakan berlaku sejak 5 Mei 1992. Konvensi Basel yang terdiri dari dari mukadimah, 29 article (pasal) dan 6 annex (ketentuan tambahan).[footnoteRef:17] Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993.[footnoteRef:18] Ratifikasi Konvensi Basel mencerminkan kesadaran Pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan limbah dari negara lain kedalam negeri.[footnoteRef:19] [17: TextBaselConvention,http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf] [18: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 dapat di download di https://www.google.co.id/search?q=KEPUTUSANPRESIDENREPUBLIKINDONESIANOMOR61TAHUN1993&oq=KEPUTUSANPRESIDENREPUBLIKINDONESIANOMOR61TAHUN1993&aqs=chrome..69i57.327j0j1&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF8#q=KEPUTUSAN+PRESIDEN+REPUBLIK+INDONESIA+NOMOR+61+TAHUN+1993&spell=1] [19: Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Surabaya : Airlangga University Press, 2003, hlm 53. ]

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut karena :1. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau dengan perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun secara illegal dari luar neger;2. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah Republik Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya, dipandang perlu menjadi pihak pada Convention tersebut.

Selain itu Indonesia merupakan negara yang mempunyai perairan sangat luas. Oleh karena itu akan mengakibatkan Perpindahan limbah B3 yang menggunakan sarana angkutan kapal laut sangat sering terjadi yang tentunya berpotensial untuk mencemari laut akibat zat beracun dan berbahaya oleh kendaraan air tersebut. Oleh karena itu dengan meratifikasi Konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh undang-undang nasional. Karena apabila itu dilanggar dapat dianggap sebagai suatu kejahatan, maka Indonesia dapat mengambil tindakan atau menerapkan hukuman yang diatur oleh Indonesia.

Berdasarkan Konvensi Basel 1989, menyatakan Limbah B3 adalah limbah yang masuk kedalam Annex (lampiran) I[footnoteRef:20] pada konvensi Basel 1989, yang mempunyai karakteristik sebagaimana tercantum ada Annex III[footnoteRef:21], dan diatur oleh peraturan nasional negaranya sebagai limbah B3.[footnoteRef:22] Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, didefinisikan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. [20: Basel Convention, Annex I http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf] [21: Basel Convention, Annex III http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf] [22: Pasal 1 Konvensi Basel ]

Tidak semua limbah dikategorikan berbahaya atau merusak lingkungan. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa untuk mengetahui apakah suatu limbah masuk ke dalam kategori limbah B3 dilakukan proses identifikasi sumber dan karakteristiknya.[footnoteRef:23] Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi:[footnoteRef:24] [23: Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ] [24: Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun]

1. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;2. Limbah B3 dari sumber spesifik;3. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buanganproduk yang tidak memenuhi spesifikasi;4. Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1,2 dan 3) akan dicantumkan pada lampiran makalah ini..

Berdasakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disingkat menjadi limbah B3, merupakan jenis limbah yang memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaannya. Bukan saja karena sifatnya yang berbahaya bagi kesehatan manusia, namun juga karena konsentrasi dan jumlahnya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemari lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup beragam makhluk yang berada di lingkungan tersebut. Sifatnya yang mudah terbakar, mudah meledak, korosif, reaktif, beracun, dan menyebabkan infeksi adalah sederet alasan yang menjadikan limbah jenis ini harus dikelola dengan penuh kehati-hatian.[footnoteRef:25] [25: Teddy Prasetiawan, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Kebijakan Pelarangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) dan Permasalahannya, 2012. Hlm, 142. ]

Limbah B3 dapat mencemari tanah, air permukaan, air tanah, udara, atau media lainnya dengan berbagai cara, dan dengan berbagai cara pula dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Dampak yang ditimbulkan limbah B3 apabila masuk ke dalam tubuh manusia sangat beragam. Mulai dari gangguan/kerusakan pada jaringan tubuh dan jaringan saraf hingga berujung pada disfungsi organ tubuh, kecacatan, bahkan kematian. Salah satu kejadian yang sering dijadikan contoh atas bahaya limbah B3 terhadap manusia adalah kasus Minamata yang terjadi di Jepang pada tahun 50-an. Setidaknya 46 orang meninggal dan 3000 warga terpapar limbah merkuri yang dibuang sejak tahun 1932 oleh sebuah perusahaan pupuk ke perairan Teluk Minamata. Merkuri bertransformasi menjadi gugus metil yang mengendap di dasar perairan dan bersifat bioakumulatif di dalam tubuh ikan dan kerang yang dikonsumsi oleh para korban.[footnoteRef:26] [26: Danar Anindito, Skripsi, Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor-Impor Limbah B3 yang Disepakati Dalam Indonesia-Japan Economic Partnership, 2012. ]

Limbah B3 jika tidak ditangani secara benar atau tidak diadakan pengaturan secara baik, maka akan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan, serta dapat pula menimbulkan kerusakan lingkungan yang berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem di bumi pada umumnya. Bahaya yang timbul dari limbah B3 adalah dapat terjadinya kematian dan juga dapat menimbulkan sakit serius serta berbagai kondisi cacat, baik cacat fisik maupun cacat mental yang disebabkan dari terganggunya sistem saraf.[footnoteRef:27] Oleh karena itu limbah berbahaya tersebut harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan akibat yang buruk bagi manusia ataupun lingkungan. [27: Jurnal, Penelitian Universitas Jamibi, Impor New Process Scraps And Wastes Of Natural Latex Condoms Ditinjau Dari Perspektif Basel Convention On The Control Of Transboundary Movements Of Hazardous Wastes And Their Disposal,2012, hlm, 36. ]

Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3. Konsep pengelolaan limbah B3 yang dikenal secara umum adalah from cradle to grave, yang mensyaratkan penanganan limbah sedari dihasilkan hingga diolah atau dimusnahkan. Keberadaan limbah B3 harus disertai dengan manifest atau catatan mengenai sumber, jenis, karakteristik, dan waktu penyerahterimaan limbah B3. Konsep ini bertujuan untuk memudahkan pengendalian atas keberadaan limbah B3 sehingga dapat meminimalisasi dampak negatif yang dapat ditimbulkan dan mencegah pelanggaran dalam penanganannya.[footnoteRef:28] [28: Teddy Prasetiawan, Op.Cit, hlm, 144-145,]

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3.[footnoteRef:29] Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sarana angkutan.[footnoteRef:30] Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan/atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya.[footnoteRef:31] Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran dan ataukerusakan lingkungan hidup.[footnoteRef:32] Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.[footnoteRef:33] [29: Pasal 1 Point (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 ] [30: Pasal 1 Point (8) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001] [31: Pasal 1 Point (4) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001] [32: Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001] [33: Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 ]

Konvensi Basel mengatur tentang pengelolaan limbah B3, bahwa pengelolaan limbah harus berwawasan lingkungan. Pengelolaan limbah berbahaya dan limbah lainnya yang berwawasan lingkungan adalah : Pengambilan semua langkah praktis untuk menjamin bahwa limbah berbahaya dan limbah lainnya dikelola dengan cara memperhatikan perlindungan bagi kesehatan manusia dan lingkungan terhadap dampak atau pengaruh merugikan yang mungkin ditimbulkan oleh limbah tersebut.[footnoteRef:34] [34: Pasal 2e dan Pasal 8 Konvensi Basel 1989]

Selain mengatur mengenai pengelolaan limbah B3, diatur juga mengenai perpindahan lintas batas limbah B3 dari satu negara ke negara lainnya (ekspor). Setiap perpindahan lintas batas limbah B3 harus dikelola secara ramah lingkungan, dimanapun tempat pembuangan mereka.[footnoteRef:35] Perpindahan Limbah B3 harus ditujukan kepada negara yang mampu mengelola limbah B3 tersebut secara ramah lingkungan. Negara penghasil limbah B3 tidak diizinkan mengekspor limbah berbahaya jika tidak ada jaminan dari negara importir untuk mengelola limbah B3 secara ramah lingkungan.[footnoteRef:36] Begitu juga sebaliknya, negara importir tidak dizinkan mengimpor limbah B3 jika tidak akan mampu untuk mengelola limbah B3 secara ramah lingkungan.[footnoteRef:37] perpindahan lintas batas limbah B3 juga harus dituju ke negara yang meerupakan anggota dari konvensi basel. Negara-negara dilarang mengekspor limbah B3 ke negara non-pihak Konvensi Basel.[footnoteRef:38] Dilarang pula mengekspor limbah B3 ke antartika.[footnoteRef:39] [35: Pasal 4 ayat 8 Konvensi Basel 1989] [36: Pasal 4 ayat 2e Konvensi Basel 1989] [37: Pasal 4 ayat 2g Konvensi Basel 1989] [38: Pasal 5 Konvensi Basel 1989] [39: Pasal 4 ayat (6) Konvensi Basel 1989]

Dalam hal perpindahan limbah B3, Indonesia melarang aktivitas perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3 untuk tujuan pengolahan. Diterbitkannya PP No. 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12 Tahun 1995 tentang Perubahan PP No. 19 Tahun 1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi kegiatan industri. Dengan diterbitkannya PP No. 18 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85 Tahun 1999, Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara total dengan alasan apapun. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18 Tahun 2008 tentang Persampahan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.[footnoteRef:40] [40: Undang-undang RI. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup]

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Pengaturan limbah bahan berbahaya dan beracun menurut Konvensi Basel 1989

1. Sejarah Konvensi Basel 1989

Kemajuan teknologi yang pesat meningkatkan pembangunan di bidang industri di dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kegiatan pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan hidup rakyat melalui rencana pembangunaan jangka panjang yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Meningkatnya pembangunan di bidang industri berdampak sangat besar terhadap ekonomi masyarakat. Pembangunan dibidang industri juga akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pembangunan dibidang industri di satu sisi memberi dampak yang positif bagi negara, namun disisi lain, Pembangunan dibidang industri juga menimbulkan dampak yang negatif, karena pembangunan dibidang industri tentunya akan menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.[footnoteRef:41] Limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang lebih dikenal dengan nama limbah B3 adalah sisa atau pembuangan dari proses produksi suatu usaha dan atau kegiatan pembangunan industri yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun. Limbah B3 memiliki bahaya yang serius dan berkepanjangan yang mengancam kesehatan manusia, serta mahluk hidup lainnya serta lingkungan hidup. [41: Djatmiko, Margono, Wahyono, Pendayagunaan Industrial Waste Management (Kajian Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm, 3. ]

Selain disebabkan oleh industri dalam negeri, limbah bahan berbahaya dan beracun juga berasal dari pembuangan atau perpindahan limbah B3 negara-negara industri/maju ke negara-negara berkembang. Tentunya hal tersebut akan membikin parah keadaan dan menimbulkan kerugian bagi negara-negara yang menjadi tempat pembuangan limbah negara maju. Sehingga permasalahan limbah B3 bukan lagi menjadi permasalahan regional melainkan telah menjadi permasalahan global/internasional.[footnoteRef:42] [42: Nurhaina Burhan, Bahan Kuliah : Tentang Konvensi Basel 1989, 22 Oktober, hlm, 24.]

Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis energi yang dialami negara-negara maju pada periode 1970an. Krisis energi ini mendorong para pengusaha untuk menganggarkan biaya produksi dan konsumsi seminimal mungkin. Pada saat yang bersamaan, terdapat pula pengetatan standar lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan petugas (perantara untuk pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan baru yang lebih murah biayanya.[footnoteRef:43] Akhirnya negara-negara dunia ketiga[footnoteRef:44] dijadikan sasaran untuk membuang limbah-limbah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang mengatur mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun baik pencegahan/meminimalisir limbah B3 maupun ketentuan mengenai perpindahan atau pembuangan illegal limbah B3 dari suatu negara indusutri ke yurisdiksi negara lain. Semakin lama semakin meningkat perdagangan limbah berbahaya ke negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang tersebut. Beberapa kasus membuktikan, misalnya kasus Koko pada 1988, ketika lima kapal mengangkut 8.000 barel limbah berbahaya dari Italia ke kota kecil Koko di Nigeria. Mereka menyewa lahan di Koko seharga US$ 100 per bulan untuk tempat pembuangan limbah. Oleh banyak negara berkembang, praktek ini dikenal dengan nama kolonialisasi limbah beracun.[footnoteRef:45] [43: SitusBaselConvention.Int, History of the negotiations of the Basel Convention, http://www.basel.int/TheConvention/Overview/History/Overview/tabid/3405/Default.aspx] [44: Negara dunia ketiga adalah sebutan bagi negara-negara yang sedang berkembang di kawasan Amerika Latin, Afrika, Oseania, dan Asia yang tidak bersekutu dengan Blok Barat dan Blok Timur selama Perang Dingin] [45: Gatra.com, Konvensi Basel Mencegah kolonialisasi limbah beracun, http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/8022-konvensi-basel-mencegah-kolonialisasi-limbah-beracun]

Masyarakat internasional bereaksi terhadap masalah perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun dari negara-negara maju ke negara berkembang mengigat kesadaran masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang. Selain itu juga ada kekhawatiran akan makin meningkatnya perdagangan limbah berbahaya ke negara berkembang.[footnoteRef:46] Pertimbangan masyarakat internasional terhadap lingkungan pada generasi mendatang adalah untuk melindungi kesehatan manusia dari bahaya akibat limbah tersebut.[footnoteRef:47] Negara-negara mengadakan perundingan dan kerjasama internasional yang dituangkan dalam The Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 maret tahun 1989. Konvensi Basel Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya (Basel Convention on The Control Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal) merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi menyeluruh mengenai pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang diselenggarakan oleh UNEP (The United Nations Environment Programme), yaitu merupakan badan khusus PBB yang bergerak dibidang permasalahan lingkungan hidup.[footnoteRef:48] [46: Situs Basel Convention.Int, Loc.Cit.] [47: TextBaselConvention,http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf] [48: UNEP (The United Nations Environment Programme), http://www.unep.org/]

2. Tujuan Konvensi Basel 1989 Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya

Masalah lingkungan khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan masalah internasional. Pembangunan industri mengakibatkan adanya limbah B3 tersebut sebagai sisa atau pembuangan dari proses produksi. Selain itu perpindahan/pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari negara maju ke negara berkembang menimbulkan reaksi bagi masyarakat internasional khususnya negara berkembang sebagai tempat pemindahan/pembuangan limbah B3 pastinya mendapatkan kerugian dari hal tersebut.Masalah tersebut membuat masyarakat internasional bekerjasama dalam mengatasi masalah tersebut dengan mengadakan kerjasama dan perjanjian internasional yang dituangkan dalam Konvensi Basel pada tahun 1989. Tujuan utama Konvensi Basel adalah untuk mencegah penyelundupan/pemindahan limbah B3 illegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3 antar negara.[footnoteRef:49] Selain itu, Konvensi Basel bertujuan untuk :[footnoteRef:50] [49: KementrianLuarNegeri, Sejarah Baru Sinergi Konvensi Kimia dan Limbah, http://www.kemlu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-NewsLike.aspx?l=id&ItemID=54f82893-2d1e-473a-adde-014053cb60bc] [50: Unit Asdep Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Pengelolaan limbah B3 terjait dengan implementasi konvensi basel, 2014. http://apbi-icma.org/wp-content/uploads/2014/12/Implementasi-Peraturan-Bidang-Notifikasi-dan-Rekomendasi-Limbah-Batas.pdf ]

a) Mengurangi jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya;b) Melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lainnya;c) Mengurangi perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lain; d) Membuat negara-negara industri untuk konsisten dalam pengelolaan limbah B3, dan membuang limbah tersebut ke negara dimana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan;e) Menanamkan prinsip tanggungjawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan;f) Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegalke yurisdiksi negara lain; g) Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;h) Membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.

3. Pengaturan Konvensi Basel 1989Masalah lingkungan khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah masalah yang serius karena menyangkut kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pengaturan yang mengatur seluruh kegiatan limbah B3, baik pencegahan, pengelolaan, maupun proses/prosedur pembuangan limbah yang berbahaya tersebut. Konvensi Basel merupakan peraturan internasional pertama yang mengatur permasalah perpindahan limbah B3 secara komprehensif, Konvensi Basel terdiri dari mukadimah, 29 article (pasal) dan 6 annex (ketentuan tambahan). Berikut adalah hal-hal penting yang diatur dalam Konvensi Basel 1989 :[footnoteRef:51] [51: TextBaselConvention,http://www.basel.int/Portals/4/Basel%20Convention/docs/text/BaselConventionText-e.pdf]

a) Meminimalisir produksi limbah B3Negara-negara diminta agar meminimalisir produksi limbah B3 yang dihasilkan (Pasal 4 ayat (2a)) Pengurangan produksi limbah B3 dilakukan dengan kerjasama antar negara dalam pengembangan teknologi yang dapat semaksimal mungkin meminimalisir produksi limnbah B3 (Pasal 10 ayat (2c)).

b) Pengelolaan limbah berbahaya yang berwawasan/ramah lingkunganPengelolaan limbah harus berwawasan lingkungan, berdasarkan Pasal 2 ayat (2e dan 8), pengelolaan limbah berbahaya dan limbah lainnya yang berwawasan lingkungan adalah :Pengambilan semua langkah praktis untuk menjamin bahwa limbah berbahaya dan limbah lainnya dikelola dengan cara memperhatikan perlindungan bagi kesehatan manusia dan lingkungan terhadap dampak atau pengaruh merugikan yang mungkin ditimbulkan oleh limbah tersebut.

c) Menjamin tempat pembuangan limbah sendiri dan berusaha tidak melakukan perpindahan/mengekspor limbah ke negara lainSetiap negara harus berusaha menjamin ketersediaan fasilitas pembuangan sendiri yang berwawasan lingkungan, sehingga ekspor limbah dapat diminimalisir ( Pasal 4 ayat (2b dan 2d) ). Limbah B3 dapat diekspor hanya jika negara eksportir tidak memiliki kapasitas teknis dan fasilitas untuk membuang limbah dengan cara yang ramah lingkungan ( Pasal 4 ayat (9a) ) atau jika limbah memang diperlukan sebagai bahan baku negara importir. ( Pasal 4 ayat (9b) ).d) Perpindahan lintas batas limbah B3Setiap perpindahan lintas batas limbah B3 harus dikelola secara ramah lingkungan, dimanapun tempat pembuangan mereka (Pasal 4 ayat (8)). perpindahan lintas batas limbah B3 harusditujukan kepada negara yang mampu mengelola limbah B3 tersebut secara ramah lingkungan. Negara penghasil limbah B3 tidak diizinkan mengekspor limbah berbahaya jika tidak ada jaminan dari negara importir untuk mengelola limbah B3 secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (e)). Begitu juga sebaliknya, negara importir tidak dizinkan mengimpor limbah B3 jika tidak akan mampu untuk mengelola limbah B3 secara ramah lingkungan (Pasal 4 ayat 2 (g)). perpindahan lintas batas limbah B3 juga harus dituju ke negara yang meerupakan anggota dari konvensi basel. Negara-negara dilarang mengekspor limbah B3 ke negara non-pihak Konvensi Basel (Pasal 5). Dilarang pula mengekspor limbah B3 ke antartika (Ps 4 ayat (6)).

e) Tata cara mengekspor limbah B3Masing-masing negara diperlukan membentuk sistem yang berguna untuk menangani impor/ekspor limbah B3 dari tahap awal sampai akhir. (Pasal 4 ayat (7a)). Setiap perpindahan lintas batas limbah B3 harus diperhatikan dokumen, persyaratan, pengemasan, pelabelan, dan transportasi yang sesuai dengan aturan/standard internasional (Pasal 4 ayat (7b)). Eksportir bertanggung jawab atas segala tindakan pemindahan limbah B3.

f) Perjanjian Perdagangan limbahMasing-masing negara yang sepakat untuk melakukan kerjasama perpindahan limbah B3 dapat melakukan perjanjian sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak namun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pada konvensi basel.

g) Penyelesaian sengketaSegala sengketa harus diselesaikan secara damai yang diawali dengan proses negosiasi. Apabila tida mendapatkan kesepakatan maka para pihak dapat membawa ke arbritase atau Mahkamah Internasional.

B. Imlementasi Konvensi Basel 1989 di IndonesiaSebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia merupakan negara yang mempunyai perairan sangat luas. Oleh karena itu akan mengakibatkan Perpindahan limbah B3 yang menggunakan sarana angkutan kapal laut sangat sering terjadi yang tentunya berpotensial untuk mencemari laut akibat zat beracun dan berbahaya oleh kendaraan air tersebut. Indonesia juga termasuk negara yang menerima pemasukkan limbah B3 dari negara-negara maju, itu menunjukkan bahwa Indonesia bisa saja menjadi lahan untuk pembuangan limbah B3 secara mudah. Selain kesulitan atas pengawasan barang illegal, keberadaan sekitar 17.000 pulau akan mengundang banyak negara untuk membuang limbahnya ke Indonesia. [footnoteRef:52] [52: Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Surabaya : Airlangga University Press, 2003, hlm 53. ]

Indonesia rentan terhadap perpindahan limbah B3 secara illegal. Di Indonesia terdapat banyak kasus mengenai impor limbah ilegal dari negara-negara maju. Oleh karenanya, Konvensi Basel menjadi instrumen yang sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi kesehatan dan lingkungan hidup dari kontaminasi limbah B3.[footnoteRef:53] Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993.[footnoteRef:54] Ratifikasi Konvensi Basel mencerminkan kesadaran Pemerintah Republik Indonesia tentang adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan limbah dari negara lain kedalam negeri.[footnoteRef:55] [53: Kementrian Lingkungan Hiidup, Indonesia Berperan Dalam Pertemuan Internasional Tentang Pengaturan Pergerakan Limbah B3 dan B3, http://www.menlh.go.id/indonesia-berperan-dalam-pertemuan-internasional-tentang-pengaturan-pergerakan-limbah-b3-dan-b3-konvensi-basel-konvensi-rotterdam-dan-konvensi-stockholm/] [54: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993 dapat di download di https://www.google.co.id/search?q=KEPUTUSANPRESIDENREPUBLIKINDONESIANOMOR61TAHUN1993&oq=KEPUTUSANPRESIDENREPUBLIKINDONESIANOMOR61TAHUN1993&aqs=chrome..69i57.327j0j1&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF8#q=KEPUTUSAN+PRESIDEN+REPUBLIK+INDONESIA+NOMOR+61+TAHUN+1993&spell=1] [55: Ibid.]

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi tersebut karena :1. Bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau dengan perairan terbuka, oleh karena itu sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya dan beracun secara illegal dari luar negeri;2. Untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar wilayah Republik Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah berbahaya, dipandang perlu menjadi pihak pada Convention tersebut.

Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh undang-undang nasional. Karena apabila itu dilanggar dapat dianggap sebagai suatu kejahatan, maka Indonesia dapat mengambil tindakan atau menerapkan hukuman yang diatur oleh Indonesia. Selain meratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan hukum mengenai pengelolaan limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai macam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Ketentuan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang berkaitan dengan limbah bahan berbahaya dan beracun. Peraturan Pemerintah tersebut adalah sebagai berikut :1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun;2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun;4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;

Selain diatur dengan Peraturan Pemerintah, Badan Pengendalian Dampak Lingkungn (BAPEDAL), juga telah mengeluarkan keputusan-keputusan mengenai pengelolaan limbah B3, yaitu :1. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 68 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Memperoleh Penimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;2. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 1 Tahun 1995 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;3. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1995 Tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; 4. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan nomor 3 Tahun 1995 Tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;5. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 4 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pesyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;6. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 5 Tahun 1995 Tentang Simbol dan label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;7. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 2 Tahun 1998 Tentang Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;8. Keputusan Kepala BAPEDAL No. 3 Tahun 1998 Tentang Program Kemitraan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Selanjutnya mengenai BAPEDAL, lahir Keppres No 10 Tahun 2000 Tentang BAPEDAL, dimana BAPEDAL mempunyai fungsi pemantauan, pemeriksaan, pembimbingan, dan evaluasi teknis pengelolaan limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).[footnoteRef:56] [56: Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL)]

Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia merupakan suatu wujud respon Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989. Peraturan-peraturan tersebut dibuat agar penerapan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun dapat berjalan baik dan sesuai dengan tujuannya. Peraturan tersebut dijadikan suatu pedoman dalam mengatasi permasalahan limbah B3. Mengenai perpindahan atau pembuangan limbah B3 dari negara lain, Indonesia dengan tegas melarang semua pihak untuk memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI. Namun, apakah komitmen tersebut dijalankan pada kenyataannya?

Komitmen Indonesia dalam memberlakukan pelarangan impor limbah B3 mengalami pasang surut. Sebelum meratifikasi Konvensi Basel pada tahun 1993 melalui Keppres No. 61, secara hukum Indonesia memperbolehkan impor limbah B3. Dengan meratifikasi hasil konvensi ini, Indonesia secara otomatis melarang aktivitas perpindahan lintas batas limbah B3. Namun dengan alasan keterbatasan teknologi pengolahan di dalam negeri, Indonesia masih memperbolehkan ekspor limbah B3 untuk tujuan pengolahan.Diterbitkannya PP No. 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3 menegaskan pelarangan impor limbah B3 dengan alasan apa pun. Atas desakan kepentingan industri, melalui PP No. 12 Tahun 1995 tentang Perubahan PP No. 19 Tahun 1994 Indonesia kemudian menerapkan pelarangan Impor dengan pengecualian jika dibutuhkan untuk penambahan bahan baku bagi kegiatan industri. Tindakan ini dianggap memberikan peluang berdirinya industri-industri baru yang menggunakan limbah B3 sebagai bahan baku yang disinyalir sebagai modus baru aliran masuk limbah B3 ke Indonesia.

Dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 12 Tahun 1995 dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi mengenai pelarangan impor limbah. Dengan diterbitkannya PP No. 18 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi PP No. 85 Tahun 1999, Indonesia akhirnya kembali menetapkan pelarangan impor limbah B3 secara total dengan alasan apapun. Hingga saat ini, PP tersebut masih berlaku dan menjadi acuan bagi pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula UU baru yang menguatkan komitmen Indonesia, yaitu UU No. 18 Tahun 2008 tentang Persampahan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia .[footnoteRef:57] Landasan hukum tersebut sangat cukup untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI adalah tindakan yang ilegal.[footnoteRef:58] [57: Undang-undang RI. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup] [58: Teddy Prasetiawan, Op.Cit, hlm 146. ]

Larangan impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI mempunyai hambatan, limbah B3 sering kali tetap masuk ke Indonesia. Menurut pihak bea cukai, meskipun pengamanan telah dilakukan secara rutin, masih terdapat temuan penyelundupan kontainer yang mengandung limbah B3 dengan berbagai modus.[footnoteRef:59] Moudus tersebut antara lain : [59: Teddy Prasetiawan, Op.Cit, Hlm, 147.]

a) mencampurkan limbah B3 dengan bahan lain; b) memalsukan dokumen barang; c) membuang limbah B3 di lepas pantai (open sea discharge).Kendala yang dialami dalam mengamankan wilayah laut dari penyelundupan limbah B3 adalah keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan. Fasilitas utama yang paling diperlukan dalam memantau masuknya limbah B3 di pelabuhan contohnya adalah laboratorium pemeriksaan. Fasilitas tersebut sama sekali belum menjadi perhatian untuk diadakan atau dioperasikan.[footnoteRef:60] [60: Ibid.]

Kemudian Desentralisasi pemerintahan turut mendorong banyak eksportir limbah B3 melirik kabupaten, terutama di daerah terpencil, untuk menerima limbah B3. Tawaran tersebut diikuti dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti kasus impor limbah B3 dari Korea Selatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Selain tawaran dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah, pengetahuan tentang potensi bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan pelarangan impor limbah B3 yang rendah turut menjadi alasan kejadian seperti ini masih saja terjadi. Jika pengetahuan kepala daerah masih rendah seperti sekarang ini, peluang lolosnya limbah B3 ke Indonesia tentu sangat besar.[footnoteRef:61] [61: Ibid.]

Selain itu, Indonesia masih saja terjebak dalam kondisi yang secara tidak langsung mengesahkan impor limbah B3 melalui perjanjian bilateral. Perjanjian dagang dengan Jepang misalnya, program IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) yang menyangkut perdagangan bebas, investasi, dan kebijakan ekonomi, mencantumkan daftar barang-barang yang boleh diperdagangkan. Salah satu barang yang dimaksud adalah limbah B3. Walaupun perjanjian dagang ini pada prinsipnya harus mengacu pada hukum nasional, namun ini menunjukkan bahwa tidak semua pihak memahami kebijakan Indonesia yang melarang impor limbah B3.

BAB IVPENUTUP

A. Kesimpulan1. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Konvensi Basel adalah perjanjian internasional yang diadakan untuk tentang mengawasi perpindahan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun. Konvensi Basel mengatur pencegahan, penyelundupan/pemindahan limbah B3 illegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3 antar negara. Selain itu, Konvensi Basel mengatur tentang :a. Pengurangan jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya;b. Perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh semakin meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3; c. Meminimalisir perpindahan lintas batas limbah B3 ke yurisdiksi negara lain; d. Konsistensi dalam pengelolaan limbah B3, dan membuang limbah tersebut ke negara dimana limbah dihasilkan dengan cara yang berwawasan lingkungan;e. Menanamkan prinsip tanggungjawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan;f. Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegalke yurisdiksi negara lain; g. Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;h. Membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.

2. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Basel 1989 yang diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993. Dengan meratifikasi konvensi Basel, maka memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Republik Indonesia harus izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Indonesia secara tertulis dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh undang-undang nasional. Selain meratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1993, dalam rangka menegakkan hukum mengenai pengelolaan limbah B3 di Indonesia juga dibuat pula berbagai macam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan limbah B3 di Indonesia.

adanya ancaman terhadap pencemaran lingkungan akibat perpindahan atau pembuangan limbah dari negara lain kedalam negeri Indonesia adalah negara yang melarang impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI. Namun Larangan impor limbah B3 atau tindakan memasukkan limbah B3 ke dalam batas wilayah NKRI mempunyai hambatan. Hambatan tersbut antara lain :

1. Keterbatasan petugas dan fasilitas pengamanan contohnya laboratorium pemeriksaan2. Tawaran dana yang menggiurkan bagi pemerintah daerah agar mau menerima pembuangan li,bah B33. Pengetahuan tentang potensi bahaya limbah B3 dan pemahaman terhadap kebijakan pelarangan impor limbah B3 yang rendah4. Perjanjian bilateral mengenai impor limbah B3 yang telah diadakan oleh Indonesia

B. Saran

Berdasarkan Uraian diatas Penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Mengingat masih adanya perjanjian bilateral dalam hal penerimaan pembuangan limbah dari negara lain. Mengakibat ketidak konsistenan Indonesia dalam hal pelarangan perpindahan/ pembuangan limbah B3, Seharusnya Indonesia lebih konsisten dalam hal pelarangan perpindahan/ pembuangan limbah B3 dari negara lain tersebut dengan tidak lagi menjadi importir atau menerima perpindahan limbah B3 dari negara lain dan membatalkan perjanjian yang telah ada.

2. Mengingat masih tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan di Indonsia dalam hal larangan perpindahan limbah B3 dari negara lain ke Indonesia/impor, karena limbah tersebut masih diperbolehkan untuk kepentingan bahan baku industri, seharusnya Pemerintah Indonesia menegaskan menegaskan kembali bahwa Indonesia melarang limbah B3 tanpa alasan apapun dengan mensosialisasikan peraturan yang baru yang melarang limbah B3 tanpa alasan apapun.

3. Mengingat masih banyaknya penyeludupan limbah B3 yang masuk ke Indonesia, perlu ditingkatkan upaya pengamanan wilayah Indonesia terhadap penyelundupan limbah B3 dengan meningkatkan jumlah SDM dan fasilitas pengamanan.