Upload
tranquynh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGAWASAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DALAM
PEMBERIAN SURAT PERSETUJUAN IZIN BERLAYAR TERHADAP KAPAL
PENUMPANG
(Studi Kasus Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur,
Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016)
Naskah Publikasi
Oleh
ZIKRI HELMI
NIM: 120565201150
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNG PINANG
2016
2
SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi mahasiswa yang disebut
dibawah ini:
Nama : ZIKRI HELMI
NIM : 120565201150
Jurusan/Prodi : FISIP/Ilmu Pemerintahan
Alamat : Jl.A. Latif nomor 13, Tanjungbatu Kota
Nomor TELP : 082174797382
Email : [email protected]
Judul Naskah : Pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Dalam Pemberian
Surat Persetujuan Izin Berlayar Terhadap Kapal Penumpang
Menyatakan bahwa judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan untuk
dapat diterbitkan.
Tanjungpinang, 12 Agustus 2016 Yang menyatakan,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Yudhanto Satyagraha Adiputra, MA Handrisal, S.Sos., M.Si
NIDN. 1015068301 NIP. 198802202015041002
3
PENGAWASAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DALAM
PEMBERIAN SURAT PERSETUJUAN IZIN BERLAYAR TERHADAP KAPAL
PENUMPANG
(Studi Kasus Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur,
Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016)
Zikri Helmi [email protected]
Yudhanto Satyagraha Adiputra, MA
Handrisal, S.Sos., M.Si
ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang mengusung visi misi untuk menjadi sebuah negara maritim,
karena itu banyak peningkatan yang dilakukan dari sektor kemaritiman,salah satunya adalah
dengan peningkatan kualitas pelayaran yang diserahkan tugas dan fungsinya kepada Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut (DITJEN HUBLA) melalui Kementerian Perhubungan. Akan tetapi
pada pelaksanaan unit teknis di daerah yakni kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) masih
belum maksimal dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Hal ini bisa diukur dari proses
pengeluaran Surat Izin Berlayar (SPB) terhadap kapal penumpang yang tidak sesuai dengan
prosedural laik laut. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini berfokus pada
Pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam Pemberian Surat Persetujuan Izin
Berlayar (SPB) Terhadap Kapal Penumpang (Studi Pada Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan
Kelas II Tanjung Batu Kundur).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Dari topik yang
peneliti angkat tentu yang harus dijawab adalah Pengawasan DITJEN HUBLA Kantor UPP kelas
II Dalam Pemberian SPB Terhadap Kapal Penumpang di Tanjung Batu, Kabupaten Karimun,
maka dari itu metode deskriptif-analisis diperlukan agar dapat memberikan jawaban yang lebih
jelas dan terperinci. Konsep teori yang digunakan merupakan sebuah teori dari A.M Kadarman
yang menyatakan langkah-langkah pengawasan yaitu menetapkan standar, mengukur kinerja dan
memperbaiki penyimpangan.
Berdasarkan Analisis yang dilakukan atas wawancara mendalam, metode pengamatan,
dan kajian pustaka maka dapat diketahui indikator pengukuran: menetapkan standar yang dilihat
dengan adanya rencana pengawasan yang ditetapkan sudah dijalankan sesuai prosedural meski
masih belum efektif, mengukur kinerja dengan tinjauan sikap profesionalisme aparatur ditemukan
masih perlu perbaikan dari sisi ketegasan pelaksana dalam melaksanakan tugas pengawasan,
indikator terakhir adalah memperbaiki penyimpangan yang dilihat dari ada atau tidaknya tindakan
koreksi. Tindakan koreksi ini dilakukan adalah untuk menganalisa penyimpangan yang berpotensi
menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proses pengawasan.
Kata Kunci: Pengawasan, DITJEN HUBLA, Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II,
Surat Izin Berlayar, Kapal Penumpang.
4
MONITORING DIRECTORATE GENERAL OF SEA TRANSPORTATION IN PORT
CLEARANCE TO PASSANGER SHIP
Zikri Helmi [email protected]
Yudhanto Satyagraha Adiputra, MA
Handrisal, S.Sos., M.Si
ABSTRACT
Indonesia is a country that carries the vision and mission to become a maritime country,
because it was a lot of improvement made from the maritime sector, one of which is to improve
the quality of the cruise submitted tasks and functions to the Directorate General of Sea
Communications through the Ministry of Transportation. But the implementation of the technical
unit in the office of the Port Operator Unit is not maximized in the implementation of this
monitoring. This function can be measured on the process for port clearance of the passenger ship
that does not comply with the procedural issues of seaworthy. Based on the above problems, this
research focuses on Monitoring Directorate General of Sea Communications Approved Permit of
port clearance for Passengers Ship Study on the Port Operator Unit Office Class II Tanjungbatu Kundur.
In this study, researchers used qualitative research methods. Researchers from the lift of
course topics to be addressed are Supervision of Directorate General of sea Giving Port Clerance
for Passenger Ship in Tanjungbatu, Karimun regency, therefore descriptive-analytic methods
needed to provide clearer answers and detailed. The concept of the theory used is a theory of A.M
Kadarman stating that measures setting standards, measuring performance and correct deviations.
Based on an analysis of interviews, methods of observation and study of literature it is
known indicators of measurement: setting a standard that is seen with the monitoring plan
specified has been executed in accordance procedural although still not effectively measure the
performance of its reviews professionalism apparatus was found still needs improvement in terms
of implementing firmness in carrying out supervisory duties, the last indicator is correct deviations
seen on the presence or absence of corrective action. The correction is done is to analyze deviations potential barriers in the implementation process Supervision.
Keywords: Monitoring, Directorate General of Sea, the Office of the Port Operator Unit class
II, Port Clearance, Passenger Ship.
5
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
mengusung visi misi untuk menjadi sebuah
Negara Maritim, karena itu banyak
peningkatan yang dilakukan dari sektor
kemaritiman yakni dengan memanfaatkan
laut sebagai aset utama sebuah Negara
Maritim.
Menurut Safri Burhanuddin, dkk
(2003: 64) dalam bukunya yang berjudul
Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses
Integrasi Bangsa disebutkan bahwa, Bangsa
Indonesia dari dulu merupakan bangsa
berjiwa bahari yang memiliki filosofi hidup
dengan dan dari laut hal ini tercermin pada
masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya,
kebudayaan Maritim dan arus perdagangan
di laut mengalami perkembangan yang
pesat. Akan tetapi setelah masuknya VOC
ke Indonesia (1602 M - 1798 M) yang
menjajah dan menguasai bumi Nusantara.
Para penjajah, selalu mengedepankan
ambisinya dengan memperluas perdagangan
rempah-rempah dari hasil pertanian yang
ketika itu yang dikirim melalui armada laut
ke negaranya. Hanya penjajah yang
memiliki kewenangan mengendalikan laut,
sedangkan bangsa kita tidak diperkenankan
mendalami ilmu-ilmu kelautan.
Tindakan oleh kolonial tersebut
telah memasung kemampuan Maritim
bangsa Indonesia. Berbagai upaya dilakukan
oleh penjajah untuk menghilangkan
keterampilan bahari agar dapat melunturkan
jiwa dan visi Maritim bangsa Indonesia saat
itu.
Akibatnya, terjadi proses
penurunan semangat dan jiwa Maritim
bangsa serta perubahan nilai-nilai sosial
dalam masyarakat Indonesia yang semula
bercirikan Maritim menjadi sifat kedaratan.
Barulah pada Tahun 1957 Indonesia di
bawah kepemimpinan Presiden Sukarno
mendeklarasikan wawasan Nusantara
dikalangan dunia. Puncaknya konsep Negara
Nusantara berhasil dan diakui dalam
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
(UNCLOS’82) serta berlaku sebagai Hukum
Internasional positif sejak 16 November
1994 hingga sekarang.
Dewasa ini, peran pemerintah untuk
mulai mewujudkan visi dan misi Negara
Maritim bisa dilihat dengan dikeluarkannya
sejumlah regulator yang terkait dengan
kemaritiman salah satunya adalah Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
pelayaran. Pemerintah melalui Kementerian
Perhubungan Republik Indonesia mencoba
untuk meningkatkan mutu pelayaran dan
peningkatan pelayanan, keselamatan dan
keamanan terhadap transportasi laut yang
secara garis besar diserahkan kepada Unit
Kerja Kementerian Perhubungan yaitu
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
(DITJEN HUBLA).
Dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi yang diberikan oleh Kementerian
Perhubungan maka Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut (DITJEN HUBLA)
membentuk lembaga teknis disetiap daerah
dengan tujuan utama untuk memudahkan
6
pengawasan jalur pelayaran dan pelabuhan
diseluruh sektor perairan di Indonesia.
Lembaga teknis yang dibentuk disetiap
daerah tersebut yakni Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan (UPP)
sebagaimana diatur dalam Pasal 50
Peraturan Pemerintah Nomor 130 Tahun
2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan.
Singkatnya Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan adalah Unit Pelaksana Teknis di
lingkungan Kementerian Perhubungan yang
berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Menteri Perhubungan melalui
Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Tanjungbatu Kundur, Kabupaten
Karimun Berdasarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Republik Indonesia Nomor
130 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan telah ditetapkan sebagai Unit
Pelaksana Teknis Penyelenggara Pelabuhan
Kelas II. Sebagai salah satu kantor teknis
pelaksana, peningkatan pengawasan
kepelabuhanan sangat diperlukan. Akan
tetapi masih dijumpai pelanggaran seperti
mengenai pemberian Surat Izin Berlayar
(Port Clearence) terhadap kapal
penumpang1.
Selaras dengan berita yang dilansir
oleh Haluan Kepri tersebut bisa dikatakan
bahwa fungsi pengawasan dari Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan yang masih belum
berjalan secara maksimal.
1 Haluan Kepri tanggal 12 juli 2015
Menerbitkan Surat Izin Berlayar
(Port Clearance) merupakan fungsi dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Standar operasional prosedur yang
sebagaimana telah ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2014
tentang Port Clearence haruslah dilengkapi
sehingga baru bisa dilihat apakah kapal
penumpang siap untuk diberangkatkan.
Syarat-syarat kapal laik laut bisa dilihat dari
pemenuhan Administrasi Surat Persetujuan
Berlayar yang terdiri dari: pemeriksaan
sertifikat, pemeriksaan dokumen dan surat
kapal, serta pemeriksaan fisik kapal.
Kapal akan dinyatakan seaworthy
atau laik-laut apabila mempunyai
kemampuan untuk menanggulangi atau
mengatasi semua bahaya yang kemungkinan
dialami sewaktu berlayar (perils of the sea)
dengan tingkat keamanan yang memadai.
Kapal tidak cukup hanya memiliki badan
(hull) yang kuat namun juga harus
dijalankan oleh Nakhoda dan awak kapal
yang kompeten dan cukup jumlahnya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Hal ini jika diteliti secara
mendalam adalah menyangkut paut masalah
efektifitas dari pengelola kepelabuhanan dan
sikap dari aparatur pelaksana. Port
Clearence atau Surat Izin Berlayar kapal ini
sejatinya adalah menentukan boleh atau
tidaknya kapal untuk berlayar, khususnya
kapal penumpang (passanger ship).
Kasus kapal yang sebenarnya tidak
laik laut namun mempunyai Surat Izin
Berlayar adalah kasus lama yang terus
terjadi berulang ulang di Indonesia dan
7
menjadi suatu fenomena yang dianggap
biasa dalam pengurusan Surat Persetujuan
Izin Berlayar (Port Clearance)
menggunakan jalur cepat bagi kapal yang
akan berlayar di laut. Contoh kapal yang
tidak laik laut namun memiliki Surat Izin
Berlayar (Port Clearance) adalah seperti
pada peristiwa kebakaran kapal KM Levina I
yang terjadi pada 22 Februari 2007 yang
disebabkan terbakarnya bahan kimia yang
diangkut oleh kapal tersebut, peristiwa
tersebut menewaskan 51 orang. Tiga hari
kemudian, 25 Februari 2007, KM Levina I
tenggelam ketika awak media dan petugas
investigasi berada di kapal, kejadian tersebut
menyebabkan satu orang tewas dan tiga
orang dinyatakan hilang. Kapal tersebut jelas
dapat dikatakan tidak laik laut karena
membawa bahan kimia yang sebenarnya
dilarang. Contoh lain juga yaitu
tenggelamnya KM Digoel pada 8 Juli 2005,
di perairan Arafura. Kapal dengan kapasitas
penumpang 50 orang tersebut nyatanya
membawa 200 orang. Pentingnya masalah
keselamatan dan keamanan serta
keseluruhan kegiatan dalam pelayaran2.
Peran pengawasan dari Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut amatlah penting
untuk dikaji lebih lanjut, tanpa adanya
pengawasan yang efektif dan efesien
kedepannya bisa menimbulkan akibat yang
berbahaya, hal ini menyangkut masalah
kenyamanan, keamanan dan keselamatan
penumpang, sebut saja dampak terburuk
2 (Sumber: Artikel Skripsi Tinjauan Yuridis
Mengenai Peran Syahbandar dalam Kegiatan
Pelayaran Angkutan Laut di Indonesia oleh
Tenda Bisma Bayuputra).
akibat kelalaian pengawasan adalah
tenggelamnya kapal yang mengangkut
penumpang.
Jika kondisi kapal tidak terpenuhi
namun tetap mendapatkan Surat Izin
Berlayar (Port Clearance) dari Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan sebagai lembaga
teknis dari Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut sudah pasti akan mempengaruhi
kenyamanan dan keamanan penumpang
yang berujung pada menurunnya tingkat
kepercayaan publik terhadap Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut. Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan sebagai lembaga
teknis juga akan dinilai telah gagal dalam
melaksanakan tugas dan fungsi yang
diberikan.
Melihat kondisi pengawasan
terhadap kapal penumpang yang masih
rentan itulah maka penelitian ini dilakukan
sehingga diharapkan bisa menjadi masukan
bagi pihak terkait untuk lebih meningkatkan
fungsi pengawasannya.
Berdasarkan fenomena yang
didapat dari permasalahan di atas maka
penelitian ini berfokus pada “Pengawasan
Direktoral Jenderal Perhubungan Laut
Dalam Pemberian Surat Persetujuan Izin
Berlayar Terhadap Kapal Penumpang
(Studi Pada Kantor Unit Penyel enggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu
Kundur)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan narasi penulis yang
diuraikan pada latar belakang di atas, maka
perumusan masalahnya yaitu: Bagaimana
Pengawasan Direktorat Jenderal
8
Perhubungan Laut Dalam Pemberian Surat
Persetujuan Izin Berlayar Terhadap Kapal
Penumpang? (Studi pada Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur Tahun 2016).
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengkaji Pengawasan
Direktorat Perhubungan Laut
dalam Pemberian Surat
Persetujuan Izin Berlayar
terhadap Kapal Penumpang.
b) Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut dalam
melaksanakan fungsi pengawasan
terkait pemberian Surat Izin
Berlayar (Port Clearance)
terhadap kapal penumpang
(passanger ship).
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penilitian ini adalah:
a) Bagi Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, hasil
penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan untuk
meningkatkan pengawasan
terhadap pemberian izin
keberangkatan kapal (Port
Clearence) dikemudian hari,
sehingga kinerja dari birokrasi
sebagai pejabat pemerintah
sendiri bisa berjalan secara
maksimal.
b) Bagi pihak akademisi, penelitian
yang mengkaji masalah
pengawasan direktorat Jenderal
Perhubungan Laut masih kurang
populis. Karena itu, diharapkan
penelitian ini dapat menjadi
referensi bagi peneliti yang ingin
mengkaji permasalahan tentang
Pengawasan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut secara lebih
mendalam.
c) Bagi peneliti sendiri, penelitian
ini dapat berguna sebagai sarana
belajar untuk memahami
permasalahan yang menjadi topik
kajian.
KONSEP TEORI
A. Pengawasan
Menurut Sastrohadiwiryo, B.
Siswanto (2003: 23) Pengawasan
merupakan fungsi manajemen yang
dimaksudkan untuk mengetahui apakah
pelaksanaan sesuai dengan rencana yang
telah disusun sebelumnya, dalam artian
pengawasan membandingkan antara
kenyataan dengan standar yang telah
ditentukan sebelumnya. Pengawasan juga
dimaksudkan untuk mencegah dan
mengadakan koreksi atau pembetulan
apabila pelaksanaan menyimpang dari
rencana yang telah disusun. Terdapat
berbagai definisi pengawasan yang
diberikan oleh para ahli, menurut Siswanto
Sastrohadiwiryo pengawasan merupakan
suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk
mengusahakan agar suatu pekerjaan dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkandan tahapan yang harus
dilalui.
9
Admosudirdjo dalam Iramani
(2005: 11) juga mendefinisikan bahwa pada
pokoknya pengawasan adalah keseluruhan
daripada kegiatan yang membandingkan
atau mengukur apa yang sedang atau sudah
dilaksanakan dengan kriteria, norma-norma,
standar atau rencana-rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dari beberapa
definisi yang diberikan oleh para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pengawasan adalah suatu usaha sistematik
untuk menetapkan standar pelaksanaan
tujuan, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya, menentukan dan mengukur
penyimpangan-penyimpangan serta
mengambil tindakan korektif yang
diperlukan.
Pelaksanaan kegiatan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan
memerlukan pengawasan agar perencanaan
yang telah disusun dapat terlaksana dengan
baik. Pengawasan dikatakan sangat penting
karena pada dasarnya manusia sebagai objek
pengawasan mempunyai sifat salah dan
khilaf. Oleh karena itu manusia dalam
organisasi perlu diawasi, bukan mencari
kesalahannya kemudian menghukumnya,
tetapi mendidik dan membimbingnya.
Menurut Sule dan Saefullah (2005:
317) mengemukakan pelaksanaan
pengawasan pada dasarnya merupakan
proses yang dilakukan untuk memastikan
agar apa yang telah direncanakan berjalan
sebagaiamana mestinya. Termasuk
kedalam fungsi pengawasan adalah
identifikasi berbagai faktor yang
menghambat sebuah kegiatan, dan juga
pengambilan tindakan koreksi yang
diperlukan agar tujuan organisasi dapat
tetap tercapai. Sebagai kesimpulan,
pelaksanaan pengawasan diperlukan untuk
memastikan apa yang telah direncanakan
dan dikoordinasikan berjalan sebagaimana
mestinya ataukah tidak. Jika tidak berjalan
dengan semestinya maka fungsi
pengawasan juga melakukan proses untuk
mengoreksi kegiatan yang sedang berjalan
agar dapat tetap mencapai apa yang telah
direncanakan.
Menurut Kadarman (2001: 161),
langkah-langkah proses pengawasan yaitu:
1. Menetapkan Standar. Karena
perencanaan merupakan tolak ukur
untuk merancang pengawasan, maka
secara logis hal ini berarti bahwa
langkah pertama dalam proses
pengawasan adalah menyusun
rencana. Perencanaan yang dimaksud
disini adalah menentukan standar.
2. Mengukur Kinerja. Langkah kedua
dalam pengawasan adalah mengukur
atau mengevaluasi kinerja yang
dicapai terhadap standar yang telah
ditentukan.
3. Memperbaiki Penyimpangan. Proses
pengawasan tidak lengkap jika tidak
ada tindakan perbaikan terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi.
B. Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut
Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut adalah pejabat pemerintah yang
10
mengepalai urusan pelabuhan. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsi yang telah
diberikan maka direktorat jenderal
perhubungan laut di kepalai oleh
Syahbandar atau dapat disebut Kepala
Pelabuhan. Tugas pokok utama Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut adalah
melaksanakan pengawasan dan penegakan
hukum di bidang keselamatan dan keamanan
pelayaran, serta koordinasi kegiatan
pemerintahan di pelabuhan.
Sejalan dengan penelitian ini yang
ingin dibahas adalah fungsi pelaksanaan·
pengawasan dan pemenuhan kelaiklautan
kapal, keselamatan, keamanan dan
ketertiban di pelabuhan serta penerbitan
Surat Persetujuan Berlayar khususnya
terhadap kapal penumpang (passanger ship).
Fungsi pengawasan yang ditelaah lebih
lanjut yakni pengawasan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur.
C. Kapal Penumpang (Passanger Ship)
Kapal adalah kendaraan
pengangkut penumpang dan barang di laut
atau sungai seperti halnya sampan atau
perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya
cukup besar untuk membawa perahu kecil
seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah
inggris, dipisahkan antara ship yang lebih
besar dan boat yang lebih kecil. Secara
kebiasaannya kapal dapat membawa perahu
tetapi perahu tidak dapat membawa kapal.
Ukuran sebenarnya dimana sebuah perahu
disebut kapal selalu ditetapkan oleh Undang-
undang dan peraturan atau kebiasaan
setempat.
Berabad-abad kapal digunakan oleh
manusia untuk mengarungi sungai atau
lautan yang diawali oleh penemuan perahu.
Biasanya manusia pada masa lampau
menggunakan kano, rakit ataupun perahu,
semakin besar kebutuhan akan daya muat
maka dibuatlah perahu atau rakit yang
berukuran lebih besar yang dinamakan
kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan kapal pada masa lampau
menggunakan kayu, bambu kemudian
digunakan bahan-bahan logam seperti besi
atau baja dan bahan fiberglass.
Kapal penumpang (passanger ship)
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kapal penumpang yang berbentuk ferry atau
speedboat yang terbuat dari bahan
fiberglass, yang dikhususkan untuk
mengangkat penumpang antar pulau di
wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya,
seperti: Penyalai, Guntung, Pulau Burung,
Tanjung Balai Karimun, Batam, Tanjung
Pinang, Selat panjang, Buton, dan lain-lain.
Sedangkan Nakhoda untuk ketiga
kapal di atas rata-rata memiliki ijazah Ahli
Nautika Tingkat IV (ANT IV) atau yang
dulu disebut Mualim Pelayaran Intersuler
(MPI) yang memang dikhususkan untuk
membawa kapal-kapal antar pulau.
METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode deskriptif-analitik ini digunakan
untuk menggambarkan suatu masalah,
11
menjelaskan masalah tersebut, dan
menganalisis dengan perangkat teori-teori
serta konsep-konsep yang relevan.
2. Objek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Kecamatan Kundur, objek penelitian ini
adalah aparatur pelaksana atau Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut di Kantor
Kesyahbandaran Tanjungbatu Kundur,
Kabupaten Karimun.
3. Sumber data
Data yang akan dikumpulkan terdiri
dari data primer dan data sekunder meliputi
data kuantitatif dan data kualitatif.
a. Data primer
Data primer dikumpulkan dari para
responden dan informan. Data primer
yang dikumpulkan berupa gambaran
dan keterangan informan mengenai
Pengawasan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
dalam Pemberian Surat Persetujuan
Izin Berlayar terhadap kapal
penumpang.
b. Data sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan
terdiri dari gambaran umum
pengawasan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur (kondisi
geografis kepelabuhanan, dan data
penunjang lainnya).
4. Informan
Dari penjelasan tentang kriteria
informan di atas, maka peneliti memilih
informan yang cocok untuk diwawancarai
berkaitan dengan penelitian, diantaranya:
1) Informan kunci (key Informan) yang
terdiri dari Kepala Unit
Kesyahbandaran Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur.
2) Informan terdiri dari masyarakat
pengguna transportasi laut yang
dipilih secara spesifik sebagai
penumpang rutin kapal, agen kapal
dan kapten kapal.
5. Teknik Pengumpulan Data
1) Wawancara (interview)
Wawancara dilakukan kepada
beberapa informan, yakni: Koordinator
Unit Kesyahbandaran Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur.
2) Observasi
Metode observasi atau pengamatan
yang dimaksud disini adalah pengamatan
secara langsung dengan turun ke
lapangan untuk melihat secara langsung
fenomena-fenomena yang terjadi terkait
masalah penelitian mulai dari melihat
pengurusan dari Agen Kapal, dan
mendatangi Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur.
F. Teknik Analisa Data
1. Teknik Analisa Data
Metode analisa data yang dipakai
dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif secara induktif. Artinya, mula-
mula data dikumpulkan, disusun dan
12
diklasifikasi ke dalam tema-tema yang
akan disajikan kemudian dianalisis dan
dipaparkan dengan kerangka penelitian
lalu diberi interpretasi sepenuhnya untuk
kemudian dikaitkan dengan
konseptualisasi proses pengawasan.
PEMBAHASAN
A. Standar Pengawasan Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut Kantor
Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas
II Tanjungbatu Kundur
Pengawasan juga dapat mendeteksi
sejauh mana kebijakan dijalankan dan
sampai sejauh mana penyimpangan yang
terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Dimana pengawasan dianggap sebagai
bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari
pihak yang lebih atas kepada pihak di
bawahnya.
Tidak sedikit pakar yang
menekankan bahwa perencanaan dan
pengawasan merupakan dua sisi mata uang
yang sama. Artinya, pengawasan memang
dimaksudkan untuk lebih menjamin bahwa
semua kegiatan yang diselenggarakan dalam
suatu organisasi didasarkan pada suatu
rencana – termasuk suatu strategi – yang
telah ditetapkan sebelumnya tanpa perlu
mempersoalkan pada tingkat manajerial
dimana rencana tersebut disusun dan
ditetapkan.Pengawasan dilakukan untuk
mencegah terjadinya deviasi
(penyimpangan) dalam operasionalisasi
suatu rencana sehingga berbagai kegiatan
operasional yang sedang berlangsung
terlaksana dengan baik dalam arti bukan
hanya sesuai dengan rencana, akan tetapi
juga dengan tingkat efisiensi dan efektivitas
yang setinggi mungkin.
Penetapan standar merupakan tahap
pertama dalam pelaksanaan pengawasan.
Standar dapat diartikan sebagai pengukuran
yang dapat digunakan sebagai patokan untuk
penilaian hasil-hasil. Adapun yang dapat
digunakan sebagai standar antara lain adalah
tujuan, sasaran, kuota, dan target
pelaksanaan. Untuk mengetahui bagaimana
tujuan, sasaran, kuota, dan target
pelaksanaan disini, haruslah dibuat rencana
kerja. Di dalam rencana kerja yang
dijelaskan apa tujuan yang hendak dicapai,
apa sasarannya dan apa saja batasan-
batasannya. Standar dapat diartikan suatu
rangkaian kegiatan penyusunan rencana
kerja yang meliputi penetapan
tujuan/sasaran, dengan batasan-batasan
tersebut dan pedoman kepada Undang-
undang yang berlaku.
Karena itu dalam pengawasan harus
dibuat standar pengawasannya, standar
pengawasan yang ditetapkan oleh DITJEN
HUBLA dalam urusan pemberian Surat Izin
Berlayar terhadap kapal penumpang itu
sendiri mengikuti format standar dari KM 1
Tahun 2010, yang mana di dalamnya sudah
menjelaskan tata laksana yang harus
dikerjakan. Adanya mekanisme dalam
pengawasan menjadi standar pengawasan
yang dilakukan baik dari segi waktu maupun
tugas apa yang harus dikerjakan terlebih
dahulu, dan apa yang harus diawasi. Sidak
yang dilakukanpun sebaiknya masuk pada
perencanaan awal karena menghindari
13
tumpang tindih dan pemeriksaan berulang-
ulang.
DITJEN HUBLA Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur memiliki standar
operasional dalam pengawasan ke pihak
Agen Kapal dalam pemberian Surat Izin
Berlayar (Port Clearance) yaitu apabila ada
temuan atau aduan dari masyarakat dalam
hal ini penumpang yang berkaitan dengan
kondisi kapal penumpang yang akan
berlayar maka Unit Kesyahbandaran
melakukan pemeriksaan terhadap Pengelola
Kapal atau Agen Kapal, kemudian
melakukan koordinasi yang meliputi segala
usaha dan kegiatan guna mewujudkan
rencana yang berhubungan dengan
peningkatan tugas di bidang pengawasan
seperti pihak Kesyahbandaran turun
langsung untuk mengamati kapal
penumpang yang sedang dalam pembicaraan
publik dan akan diberangkatkan kemudian
dilakukan pemeriksaan.
B. Pengukuran Kinerja Pengawasan
Pengukuran kinerja pengawasan
berdasarkan cara bagaimana mengumpulkan
fakta-fakta guna pengawasan, maka dapat
dilakukannya penilaian atas standar
pengawasan yang telah dicapai. Menurut
Anwar Prabu Mangkunegara dalam Wibowo
(2007: 39) kinerja itu dapat didefinisikan
sebagai hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Sedangkan pengertian kinerja
menurut Indra Bastian (2001: 16)
menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan
suatu kegiatan atau program dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi
organisasi yang tertuang dalam perumusan
skema strategis suatu organisasi.Penilaian
kinerja adalah proses untuk mengukur
prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan
yang telah ditetapkan, dengan cara
membandingkan sasaran (hasil kerjanya)
dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu
standar pekerjaan yang telah ditetapkan
selama periode tertentu. Penilaian kinerja
juga merupakan proses formal untuk
melakukan evaluasi kinerja secara periodik.
Penilaian kinerja dapat memotivasi pegawai
agar terdorong untuk bekerja lebih baik.
Oleh karena itu diperlukan penilaian kinerja
yang tepat dan konsisten.
Mengadakan penilaian dengan cara
mengadakan perbandingan antara kinerja
terhadap pelaksanaan kegiatan sangatlah
penting dan menjadi salah satu poin dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam
hubungannya dengan pengawasan DITJEN
HUBLA yang dilakukan oleh Unit
Kesyahbandaran Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur.
Berikut indikator untuk mengukur hal
tersebut dengan dilakukannya tindakan
penilaian terhadap pekerjaan dan sikap
pelaksana dari Syahbandar pada Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan kelas II
Tanjungbatu Kundur.
14
Sikap tegas ditunjukan demi
keselamatan dan kenyamanan penumpang
maka kapal penumpang yang berangkat
haruslah laik laut dengan kelengkapan
dokumen, jumlah awak kapal, muatan yang
tidak overdraft, alat kelengkapan yang
lengkap, dan kondisi cuaca yang
mengizinkan untuk berangkat. Jika unsur
tersebut tidak terpenuhi maka akan ditunda
atau dicabut izin keberangkatannya. Hal ini
sejalan dengan Visi dan Misi dari DITJEN
HUBLA Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur
demi keselamatan dan kenyamanan
penumpang.
Dari kedua informan di atas
menjawab hal yang serupa bahwa DITJEN
HUBLA Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur
memang melakukan pengecekan pada setiap
laporan yang diberikan oleh Pengelola Kapal
atau Agen Kapal. Aparatur yang turun di
lapangan mempertanggung jawabkan hal-hal
yang nantinya harus dilaporkan kepada
Kepala Unit Kesyahbandaran dan kemudian
akan dilakukan pengecekan ulang kembali
apakah laporan sudah sesuai dengan
kegiatan-kegiatan pengawasan yang
dilakukan jika tidak sesuai akan diberikan
tindakan perbaikan. Laporan yang biasanya
diberikan kepada Kepala Unit
Kesyahbandaran berkaitan dengan laporan
dokumen kapal sudah tidak berlaku lagi,
Surat Nakhoda, awak kapal, dan kondisi
fisik kapal lainnya. Kepala Unit
Kesyahbandaran juga mengusut mengenai
kebenaran laporan atau pengaduan tentang
hambatan, penyimpangan atau
penyalahgunaan wewenang dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi di lingkungan
Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas
II.
Dari keterangan informan di atas
dapat diketahui bahwa sikap pelaksana dari
DITJEN HUBLA Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II belum
bisa dianggap bersikap profesionalisme
dalam menjalankan amanat yang diberikan
karena seharusnya sesuai dengan Standar
Operasional yang ditetapkan pemeriksaan
fisik kapal harus dengan turun langsung
kedalam kapal untuk memastikan kondisi
kapal laik laut.
Kenyataan di lapangan ditemukan
bahwa masih terdapat celah dari pengurusan
Surat Izin Berlayar ini, seperti contoh
dengan masih banyaknya penumpang yang
tidak memiliki tiket namun tetap
diberangkatkan, masih ada Agen Kapal yang
menjual tiket tidak pada tempatnya sehingga
jumlah penumpang menjadi melebihi
kapasitas kapal (overdraft).
Hal ini memberikan pemahaman
bahwa penilaian kinerja pengawasan
sebenarnya tidak cukup dilakukan kepada
unit yang menjadi tanggung jawabnya,
seperti antara Kepala Unit Kesyahbandaran
dengan pengawas lapangan yang esensinya
adalah bawahannya, namun sikap
pengawasan khususnya dalam proses
memberikan penilaian kinerja juga ditujukan
untuk Pengusaha Kapal atau Agen Kapal
yang dalam hal ini telah diupayakan
semaksimal mungkin.
15
Proses peningkatan kinerja dan
sikap profesionalisme sebagaimana di atas
merupakan suatu indikator yang merupakan
suatu aktivitas terencana dan
berkesinambungan serta berhubungan
dengan orang lain, maka untuk mencapai
derajat pengawasan perlu dilakukan
penilaian kinerja untuk mengurangi
munculnya kesalahan dan memperbaiki
metode yang dinilai kurang efektif.
C. Melakukan Tindakan Koreksi dalam
Upaya Memperbaiki Penyimpangan
dalam Pengawasan
Penyimpangan dalam lingkup
birokrasi bukanlah hal baru di Republik ini,
justru kata penyimpangan sendiri terdengar
biasa jika berhadapan dalam urusan
birokrasi karena amat sering terjadi,
berlandaskan dasar itulah pengawasan hadir
di tengah-tengah kita dengan upaya untuk
meminalisir penyimpangan bahkan jika
mungkin, untuk meniadakan sepenuhnya
penyimpangan tersebut.
Dalam proses pengawasan untuk
mencapai tahap dimana penyimpangan bisa
diperbaiki bahkan ditiadakan, langkah
pertama yang dilakukan adalah dengan
melakukan tindakan koreksi atas
pengawasan yang pernah dilakukan
sebelumnya sebagai tolak ukur atas proses
pengawasan selanjutnya.
Melakukan tindakan koreksi dapat
diambil apabila diperlukan, dalam berbagai
bentuk, seperti mengubah standar,
memperbaiki pelaksanaan atau dengan
menjatuhkan sanksi. Bila hasil analisis
menunjukkan perlunya tindakan koreksi,
maka tindakan ini harus diambil. Tindakan
koreksi ini awalnya harus dilakukan adalah
menganalisa standar apakah sudah sesuai
atau belum. Jika tidak sesuai maka standar
harus diubah sesuai rasional dan kondisi
yang ada.
Pada prinsipnya pengawasan dalam
pemberian persetujuan Surat Izin Berlayar
terhadap kapal penumpang yang dipegang
oleh Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan
Kelas II Tanjungbatu Kundur dua dari tiga
tahap tindakan koreksi di atas tidak benar-
benar bisa dilakukan. Dikarenakan,
prosedural standar telah ditetapkan oleh
Peraturan Menteri Perhubungan itu sendiri.
Karena itu untuk mengubah standar
pengawasan dan mengganti sistem
pengukuran itu sendiri sebagai tahap dari
tindakan korektif sangat tidak mungkin
untuk dilakukan kecuali Menteri
Perhubungan langsung yang mengubah
peraturannya, dengan kata lain Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II hanya
sebagai Teknis Pelaksana dari Peraturan
Menteri tersebut.
Akan tetapi, untuk tahap ketiga
yakni mengubah cara dalam menganalisa
dan menginterprestasikan penyimpangan-
penyimpangan adalah sesuatu yang bisa
dilakukan oleh Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur
sebagai teknis pelaksana. Tahap ketiga ini
bisa dilakukan dengan melalui beberapa
tindakan yakni antara lain:
1. Petugas memberikan lalu
membandingkan data hasil
pengamatan di lapangan dengan
16
dokumen permohonan yang
dilaporkan sebagai hasil pengawasan.
Pada hasil temuan penelitian
berkaitan dengan data hasil pengamatan di
lapangan serta laporan hasil pengawasan,
maka berdasarkan hasil wawancara serta
hasil observasi dengan semua informan dan
diperkuat pernyataan informan kunci maka
dapat disimpulkan bahwa: Aparatur
Kesyahbandaran masih belum dapat
memberikan data yang secara berkala
dilakukan jika pengawasan juga dilakukan.
Sebab fakta menunjukan bahwa Aparatur
Kesyahbandaran selama ini memberikan
pemantauan hanya sebatas pengecekan
dokumen semata. Bila melakukan
pengawasan ke lapangan jarang untuk
melihat fisik kapal cenderung hanya dengan
mempercayai keterangan dari Agen Kapal
dan Kapten Kapal.
2. Mengadakan Tindakan Perbaikan
Pelaksanaan pengawasan tidak
hanya melihat apa yang ada di lapangan
yang tidak sesuai dengan standar dan aturan
tetapi juga melihat penyimpangan yang
terjadi yang kemudian akan menjadi
tindakan perubahan.
Memaknai bahwa penyimpangan
yang terjadi dikategorikan dengan
penyimpangan yang mendesak (mayor
defisiensi) yang membutuhkan penyelesaian
segera atau merupakan penyimpangan yang
bersifat bisa ditangguhkan (minor
defisiensi). Dalam hal pemberian Surat Izin
Berlayar terhadap kapal penumpang sering
diabaikan sementara karena dianggap
masalah yang bersifat minor defisiensi.
Dari hasil yang didapatkan dengan
mewawancari informan di atas dan hasil
observasi dapatlah dilihat bahwa pada
pelaksanaan pengawasan dalam pemberian
persetujuan Surat Izin Berlayar terhadap
kapal penumpang yang dilakukan oleh
DITJEN HUBLA Kantor Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu Kundur,
ditemukan bahwa banyak sekali yang harus
dilakukan perbaikan. Seperti pada masalah
pengecekan menyeluruh terhadap kapal
penumpang, maupun laporan terhadap
kegiatan yang dilakukan.
Menariknya penyimpangan yang
terjadi ini sering dianggap biasa saja, bahkan
terkesan sepele, kendati hal ini dianggap
peneliti sebagai penyakit sosial masyarakat
dan birokrasi. Padahal kenyataanya
bukankah semua orang akan sepakat dengan
pernyataan bahwa “lebih baik mencegah dari
pada mengobati”, kesalahan yang kecil
harusnya tidak dibiarkan begitu saja hingga
berlarut-larut baru memikirkan solusi
pemecahannya.
Semakin masalah penyimpangan
yang dianggap sepele tersebut dibiarkan
maka ke depannya itu akan menjadi masalah
yang rumit serta sulit untuk mencari cara
memperbaikinya.
D. Hambatan Dalam Pelaksaanaan
Pengawasan
Hambatan cenderung bersifat
negatif, yaitu memperlambat laju suatu hal
yang dikerjakan oleh seseorang. Dalam
melakukan kegiatan seringkali ada beberapa
hal yang menjadi penghambat tercapainya
tujuan, baik itu hambatan dalam pelaksanaan
17
program maupun dalam hal
pengembangannya.
Proses pengawasan hakikatnya
tidak terlepas dari yang namanya hambatan,
karena tidak semua program bisa berjalan
dengan mulus sesuai dengan standar yang
telah disusun sebelumnya, atau dengan kata
lain faktor yang mempengaruhi berjalan atau
tidak berjalannya suatu proses pengawasan.
Dari penuturan Bapak Eko
Aristiawan A.Md di atas dapat ditangkap
bahwa ketidaktahuan dari Agen Kapal
menjadi salah faktor penghambat dalam
pengurusan, sehingga pihak Syahbandar
memperlama keluarnya Surat Izin Berlayar
khususnya kapal penumpang, namun di luar
semua ada peran penting masyarakat.
Dalam hal mengenai sikap para
penumpang yang tidak sabaran, karena rata-
rata semua penumpang secara gambaran
besarnya ingin sesuatu yang ringkas dan
terkesan mudah, padahal semua yang
dilakukan demi menjamin keselamatan dan
kenyamaan selama dalam proses pelayaran.
Akan tetapi permasalah ini tidak
bisa dilihat dari satu sisi semata, akan timbul
pertanyaan mengelitik apakah Syahbandar
telah melakukan koordinasi atau telah
mensosialisasikan para agen terkait aturan
yang baru dalam proses pengawasan.ditarik
benang merah bahwa kebanyakan Agen
Kapal dan penumpang aktif tidak
mengetahui tentang aturan pengurusan izin
berlayar, sebagian mereka mungkin tidak
mengerti bahwa Undang-undang pelaksana
teknis itu mengenai pengurusan Surat Izin
Berlayar terhadap kapal adalah Peraturan
Menteri Nomor 82 Tahun 2014 namun
prosedural pengawasan tetap mengacu pada
KM Nomor 1 Tahun 2010 Tentang
Pengurusan Surat Izin Berlayar (Port
Clearance).
Kurangnya keingintahuan
Pengusaha Kapal atau Agen Kapal dalam
melihat aturan pelayaran menjadi faktor
penghambat berjalannya pengawasan yang
efektif dan efesien, lalu sikap apatis
masyarakat terhadap aturan pelayaran juga
menjadi kendala tersendiri.
Sikap yang ditunjukan oleh
pengguna rutin kapal adalah merupakan
kebiasaan yang buruk, dengan membeli tiket
di bawah pelabuhan berarti sama saja
dengan mengabaikan aturan yang berlaku
seperti mengabaikan pass boarding yang
esensinya membuka peluang bagi Agen
Kapal untuk melakukan penyimpangan
dengan memberikan data manifest yang
tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Akan tetapi semua itu tidak bisa
juga serta merta disalahkan ke Pengguna
Kapal atau Agen Kapal, letak kesalahan
Syahbandar sebagai Aparatur Kepelabuhan
yang esensinya sebagai pelaksana dan
pengatur di pelabuhan juga ada, yakni
kurangnya sosialisasi dalam memberikan
informasi publik mengenai aturan pelaksana
utamanya dalam pemberian persetujuan
Surat Izin Berlayar itu sendiri dan
pengawasan di lapangan juga tidak efektif
dilakukan.
Secara keseluruhan Syahbandar
mungkin telah memberitahukan kepada
Agen Kapal mengenai teknis pelaksana ini
18
melalui rapat yang dilakukan di Kantor
Syahbandar, namun masyarakat tidak ada
yang menghadiri rapat tersebut karena
memang bersifat tertutup, sehingga
akibatnya masyarakat mengalami
kekurangan informasi mengenai teknis
pelaksanaan pengawasan.
Kesyahbandaran tidak memberikan
ruang lebih serta informasi kepada
masyarakat yang cukup dalam mengatahui
prosedural pengurusan Surat Izin Berlayar
terhadap kapal penumpang yang esensinya
menentukan kapal yang mereka tumpangi
layak atau tidaknya untuk berlayar.
Dikarenakan kelayakan kapal adalah syarat
utama untuk menjamin keamanan,
kenyamanan dan keselamatan penumpang
itu sendiri.
Pentingnya bagi masyarakat
mendapatkan ruang lebih serta informasi
yang cukup tentang prosedur kelayakan
kapal mampu menciptakan kerjasama antara
Kesyahbadaran dan penumpang, dimana
penumpang menjadi pengontrol tambahan
dalam berjalannya proses pengawasan yang
berlangsung, masyarakat akan menjadi
pengamat yang bisa memberikan masukan
bahkan solusi serta membantu tugas
Kesyahbandaran dalam hal memperbaiki
penyimpangan yang dilakukan oleh Agen
Kapal.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di
Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan
Tanjungbatu Kundur, Kabupaten Karimun
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengawasan DITJEN HUBLA
Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu
Kundur dilihat dari 3 indikator
pengukuran yakni: Penetapan
Standar, Pengukuran Kinerja, dan
Memperbaiki Penyimpangan dinilai
belum cukup baik.
a. Dari sisi menetapkan standar
pengawasan, Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur telah
melaksanakannya sesuai dengan yang
diamanatkan oleh Peraturan Menteri
Nomor 82 tahun 2014 dan prosedural
pengawasan mengikuti KM Nomor 1
Tahun 2010, dengan artian telah
sesuai standar operasional prosedural
yang dimaksud meliputi segala usaha
dan kegiatan untuk melaksanakan
pengawasan teknis atas pelaksanaan
tugas pokok sesuai dengan kebijakan
yang telah ditetapkan oleh DITJEN
HUBLA serta Peraturan Menteri,
dalam hal menetapkan Standar
Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan Kelas II Tanjungbatu
Kundur sudah dilakukan dengan
cukup baik.
b. Dari sisi mengukur kinerja
pengawasan Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur dalam
memberikan Surat Izin Berlayar
(Port Clearance) dinilai belum
maksimal, karena masih ada
beberapa hal yang harus
19
diperbaiki, seperti disiplin kerja
dari aparatur pelaksana
pengawasan, karena masih
terdapat celah untuk dilakukannya
pelanggaran atau penyimpangan
baik oleh agen kapal maupun
pihak Syahbandar itu sendiri yang
mana dari keamanan berlayar
masih ada penumpang yang
belum tertib oleh peraturan yang
telah ditentukan, penumpang
masih ada yang dijumpai tidak
mempunyai tiket saat berangkat,
kurang lengkapnya jaket
pelampung di dalam kapal. Hal
seperti ini seharusnya sudah
ditangani dengan sesegera
mungkin.
c. Dari sisi tindakan koreksi
terhadap Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur belum cukup
baik, karena belum sempurna
melaksanakan tugasnya, dari sisi
pengawasan dalam upaya
meningkatkan keselamatan,
keamanan, dan ketertiban
penumpang di Pelabuhan
Tanjungbatu Kundur, dalam
melakukan pengawasan para
aparatur Kesyahbandaran jarang
membuat sebuah laporan
mengenai hal-hal yang ia temukan
di lapangan, lebih sering membuat
laporan secara lisan dan hanya
melaporkan jika terjadi
penyimpangan saja. Dalam
beberapa kali melakukan
pengawasan aparatur
Kesyahbandaran tidak
memberikan data atau laporan
mengenai kondisi di lapangan.
Kondisi lapangan yang dimaksud
adalah kondisi fisik kapal, bukan
hanya dilihat dari dokumen atau
manifest yang diberikan oleh
Agen Kapal semata.
2. Hambatan dalam pelaksanaan
pengawasan dalam pemberian Surat
Izin Berlayar (Port Clerance) sering
terjadi bermula dari ketidak tahuan
dari Agen Kapal dalam pengurusan,
meliputi peraturan-peraturan yang
berlaku, tata cara pelaksanaan.
Sehingga, pihak Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur memperlama
keluarnya Surat Izin Berlayar
khususnya kapal penumpang, namun
di luar semua ada peran penting
masyarakat yang dalam hal mengenai
sikap para penumpang yang tidak
sabaran, karena rata-rata semua
penumpang secara gambaran
besarnya ingin sesuatu yang ringkas
dan terkesan mudah, padahal semua
yang dilakukan oleh pihak
Kesyahbandaran demi menjamin
keselamatan dan kenyamaan selama
dalam proses pelayaran.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan
di Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan
Kelas II Tanjungbatu Kundur, Kabupaten
20
Karimun, maka saran yang dapat diberikan
sebagai berikut:
1. Pihak DITJEN HUBLA Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur diharapkan bisa
mempertahankan pengawasan yang
selama ini telah dilakukan, terus
melakukan perbaikan dalam upaya
menciptakan tatanan sistem pelayaran
transportasi laut yang lebih baik lagi,
karena sebagai negara yang bercita-
cita menjadi sebuah Negara Maritim
maka sudah tentu prinsip dasar
khususnya dalam memberikan
pelayanan pelayaran yang baik harus
selalu menjadi prioritas utama untuk
ditingkatkan. Langkah sederhana
mungkin bisa ditempuh dengan
membuat kotak saran di kantor atau
di pos penjagaan demi memudahkan
penumpang yang memiliki keluhan
ataupun untuk melaporkan tindakan
penyimpangan sehingga kedepannya
pihak DITJEN HUBLA Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
bisa melakukan berbagai bentuk
tindakan koreksi.
2. Pihak DITJEN HUBLA Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
Tanjungbatu Kundur diharapkan
tidak melihat masalah kecil yang
terjadi dalam pengurusan kapal
penumpang sebagai hal yang sepele
karena masalah seperti ini sudah ada
sejak lama dan menjadi penyakit
sosial birokrasi. Lebih baik kita
menjadi salah satu dari orang-orang
yang sepakat dengan pernyataan
bahwa “lebih baik mencegah dari
pada mengobati”, kesalahan yang
kecil seperti menegur perilaku
penumpang yang membeli tiket di
bawah pelabuhan tanpa lewat loker
penjualan tiket, melihat langsung
jumlah muatan yang sesungguhnya
sehingga tidak melebihi kapasitas
(overdraft), dan memberikan sanksi
yang tegas kepada agen kapal yang
melanggar ketentuan tersebut.
Pelanggaran tidak dibiarkan begitu
saja hingga berlarut-larut baru
memikirkan solusi pemecahannya
namun segera dicari cara supaya
tidak menjadi masalah yang jauh
lebih rumit lagi ke depannya.
3. Bagi pihak Agen Kapal diharapkan
bisa bersinergi dengan pihak
Kesyahbandaran dengan kerja sama
dan transparansi yang jelas, tidak
hanya mementingkan keuntungan
semata dengan mengabaikan prinsip
dan aturan yang berlaku. Pengusaha
kapal atau agen kapal harus menjalin
kerja sama yang baik bukan malah
memberikan ruang untuk melakukan
perilaku yang terindikasi
menyimpang seperti menjual tiket
melebihi jumlah muatan kapal
sehingga mengakibatkan kapasitas
berlebihan (overdraft), yang justru
malah menyulitkan pihak
Kesyahbandaran itu sendiri. Agen
Kapal juga harus lebih
memperhatikan kenyamanan,
21
keamanan penumpang dalam
pelayaran dengan selalu mereparasi
dan mengecek alat-alat keamanan
pelayaran yang berada di dalam kapal
berfungsi dengan sebagaimana
mestinya.
4. Bagi masyarakat pengguna rutin
kapal seharusnya bisa menjadi agen
of control untuk membantu proses
berjalannya pengawasan yang selama
ini telah dilakukan dimulai dengan
tidak bersikap apatis, mentaati
peraturan pelayaran, memberikan
masukan atas kinerja baik dari Agen
Kapal maupun pihak
Kesyahbandaran itu sendiri sehingga
kedepannya pihak DITJEN HUBLA
khususnya Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II
bisa meningkatkan kualitas
pelayanan, dan mencapai visi dan
misi mereka untuk mewujudkan
keamanan, kenyamanan, dan
keselamatan pelayaran.
22
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.M. Kadarman, Jusuf Udara. 2001. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta: Prenalindo.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial : Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif.
Surabaya: Airlangga University Press.
---------------. 2003.Analisis Data Penelitian Kualitatif . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Indra Bastian.2001. Akuntasi Sektor Publik ed.1 . Yogyakarta: Badan Penerbit FE UGM
Inna Maulini, Dkk. 2015. Buku Pintar edisi 2015. Tanjung Batu Kundur: Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan Kelas II.
Lasse, D.A. 2011. Manajemen Kepelabuhanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
---------------. 2014. Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan Pemanduan
Kapal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Martono, H.K., Tjahjono, Eka Budi.2011. Asuransi Transportasi Darat - Laut – Udara. Jakarta:
Mandar Maju.
Moleong, Lexy J. 2000 .Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
----------------. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhammad, Abdulkadir.2013. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: Citra Adtya Bakti.
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Teori dan
aplikasinya. Rajawali Pers.
Safri Burhanuddin, Dkk. 2003. Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa
Indonesia Dalam Proses Integrasi Bangsa. Semarang: Lembaga Penelitian Universitas
Diponegoro.
Sastrohadiwiryo, B.Siswanto. 2003. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit Alfabeta.
---------------. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D . Bandung : Alfabeta
---------------. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung : Alfabeta.
Sujamto . 2002 . Norma dan Etika Pengawasan. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika.
23
Sule, E.T dan Saefullah, Kurniawan. 2005. Pengantar Manajemen. Prenada Media.
Tika, MP. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja. Jakarta: Bumi Aksara.
Terry, R.George. 2003. Prinsip-prinsip Manajemen. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ukas, Maman. 2004 .Manajemen : Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Penerbit Agnini.
Winardi. 2000. Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja dan Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Indonesia.
B. Media Online
http://anggarannkpu.blogspot.co.id/2015/06/peraturan-menteri-dalam-negeri nomor-51.html (
diakses pada 10 januari 2016 )
http://hubla.dephub.go.id/unit/ditpelpeng/ Tugas-Fungsi.aspx (diakses pada 10 januari 2016 )
http://irpanmashude.blogspot.co.id/2013/03/makalah-pelabuhan&pelayaran.html (diakses pada 10
januari 2016 )
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/2014/06/08/sejarah-pelabuhan-tanjung-
balai-karimun/ ( diakses pada 10 januari 2016 )
http://kkpkarimun.or.id/pelabuhan-laut-tanjung-batu-kundur-Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas
II/ (diakses pada 10 januari 2016 )
http://regional.kompas.com/read/2009/11/22/18281971/dumai.ekspres.10.diduga.kelebihan.penum
pang ( diakses pada 10 januari 2016 )
http://sik.dephub.go.id/portal/eselon/mahkamah_pelayaran/index.php/seaworthiness ( diakses pada
10 januari 2016 )
http://www.haluankepri.com/ekonomi/308505-pemberian-SPB-kapal-kapal-pelabuhan-masih-
lemah-pengawasan-langsung.html ( diakses pada 10 januari 2016 )
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ administratum/ article/ Tinjauan Yuridis Mengenai Peran
Syahbandar Dalam Kegiatan Pelayaran Angkutan Laut diIndonesia oleh Tenda Bisma
Bayuputra ( diakses pada 10 januari 2016 )/1053/856
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/Pengawasan Syahbandar Dalam Upaya
Mewujudkan Keselamatan, Keamanan, Dan Ketertiban Penumpang Di Pelabuhan
Tembilahan Oleh Julia Purnama Sari /3004/2910 (diakses pada 10 januari 2016 ).
24
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Km.1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance).
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2013 Tentang Perekrutan
dan Penempatan Awak Kapal.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Izin Berlayar.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Pelabuhan Laut perubahan atas Peraturan Menteri Km.1 Tahun 2010.
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2015 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan.
Keputusan Menteri No 62 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Unit
Penyelenggara Pelabuhan.
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut nomor: UK-11/17/13/DPJL.10 Tentang Pedoman
Pencetakan, Pengisian, Dan Pelaporan Blanko Surat Persetujuan Berlayar.