16
Vol. IV, Edisi 6, April 2019 Tantangan Awal Penerapan AEoI p. 7 Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan p. 3 ISO 9001:2015 Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685 Tantangan Digitalisasi Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) p. 12

Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

  • Upload
    ngonhi

  • View
    222

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

Vol. IV, Edisi 6, April 2019

Tantangan Awal Penerapan AEoI

p. 7

Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan

p. 3

ISO 9001:2015Certificate No. IR/QMS/00138 ISSN 2502-8685

Tantangan Digitalisasi Pembiayaan Ultra Mikro (UMi)

p. 12

Page 2: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

2 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Tantangan Awal Penerapan AEoIp.7SEBAGAI tindak lanjut dari program tax amnesty, di akhir tahun 2018, Pemerintah menjalin kerja sama dengan negara lain untuk turut serta menjadi bagian dari negara yang menerapkan program Automatic Exchange of Information (AEoI). Dengan berlakunya AEoI, setiap negara dapat menerima informasi warganya di negara lain. Akan tetapi, setelah hampir 6 bulan berlakunya AEoI di Indonesia masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam penerapan AEoI ini seperti kerjasama antar lembaga jasa keuangan dalam pemberian informasi, kesiapan SDM dalam era keterbukaan informasi, dan ketegasan otoritas pajak dalam menerapkan AEoI ini.

Tantangan Digitalisasi Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) p.12

PROGRAM Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) adalah program pemerintah guna meningkatkan kemandirian usaha yang menyasar kepada pelaku usaha mikro yang berada pada lapisan terbawah dan belum bankable untuk menjangkau program pembiayaan lainnya seperti program KUR. Uji coba digitalisasi program UMi diharapkan mampu meningkatkan penetrasi modal dan overhead cost yang rendah

Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan p.3

Kritik/Saran

[email protected]

Dewan RedaksiRedaktur

DahiriRatna Christianingrum

Martha CarolinaRendy Alvaro

EditorAde Nurul Aida

Marihot Nasution

PEMERINTAH telah melakukan revaluasi aset khususnya BMN pada periode 2017-2018, dimana hasilnya menunjukkan kenaikan nilai BMN yang cukup tajam yaitu 272,4 persen atau menjadi Rp5.728,49 miliar. Nilai aset yang tinggi ini seharusnya menjadi sumber penerimaan negara yang cukup potensial. Namun, selama ini pemanfaatan BMN belum dilaksanakan dengan baik dilihat dari PNBP yang dihasilkan hanya Rp1,3 triliun pada tahun 2017.

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E.,

M.Si.Pemimpin Redaksi

Dwi Resti Pratiwi

Page 3: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

3Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan

oleh Dwi Resti Pratiwi*)

Di tengah kebutuhan belanja negara yang terus meningkat, pemerintah harus terus

memanfaatkan sumber-sumber penerimaan dan pembiayaan negara yang optimal dan mandiri. Kementerian/Lembaga (K/L) yang merupakan representasi dari pemerintah harus bisa berperan aktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan aset yang dimiliki agar memberikan nilai tambah bagi penerimaan negara. Aset yang bernilai strategis dan dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan penerimaan negara tersebut ialah barang milik negara (BMN). Pada dasarnya BMN diadakan dan digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kondisi tertentu, BMN dapat juga dimanfaatkan dalam menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dari sisi pembiayaan, BMN juga digunakan sebagai underlying asset dalam penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sehingga, aktualisasi nilai BMN penting diketahui guna memperkuat penerbitan SBSN sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Hal inilah yang dilakukan pemerintah pada Agustus 2017 hingga Oktober 2018 dengan melakukan penilaian kembali (revaluasi) aset BMN,

dimana penilaian aset ini baru kedua kalinya dilaksanakan sejak kemerdekaan RI yang sebelumnya dilaksanakan tahun 2007.

Berdasarkan hasil penilaian aset periode 2017-2018 diperoleh kenaikan nilai BMN sebesar 272,4 persen menjadi Rp5.728,49 triliun (DJKN, 2018). Diharapkan kenaikan nilai aset ini tentunya bukan hanya dimanfaatkan sebagai dasar peningkatan penerbitan SBSN melainkan menjadi konteks vital yang harus dikelola secara optimal dan akuntabel agar mampu menghasilkan PNBP. Dalam artikel ini, penulis mengidentifikasi pemanfaatan BMN bagi penerimaan negara dengan memetakan K/L yang memiliki nilai BMN terbesar disandingkan dengan K/L yang memperoleh PNBP terbesar dari pemanfaatan BMN. Selanjutnya, mengidentifikasi temuan terkait penatausahaan aset BMN serta pungutan PNBP yang tidak tertib yang berpotensi pada hilangnya penerimaan negara. Hasil identifikasi ini diharapkan menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dalam menyusun rencana pemanfaatan BMN kedepannya agar dapat dimanfaatkan dengan prinsip highest & best use sehingga menjadi aset yang produktif dan memberikan nilai tambah bagi penerimaan negara.

AbstrakPemerintah telah melakukan revaluasi aset khususnya BMN pada periode 2017-

2018, dimana hasilnya menunjukkan kenaikan nilai BMN yang cukup tajam yaitu 272,4 persen atau menjadi Rp5.728,49 miliar. Nilai aset yang tinggi ini seharusnya menjadi sumber penerimaan negara yang cukup potensial. Namun, selama ini pemanfaatan BMN belum dilaksanakan dengan baik dilihat dari PNBP yang dihasilkan hanya Rp1,3 triliun pada tahun 2017. Hal ini diperkuat dengan temuan BPK yang hampir terjadi tiap tahunnya terhadap pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP. Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam pengelolaan BMN ini. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam pengelolaan BMN untuk menghasilkan penerimaan yang optimal.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

primer

Page 4: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

4 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Kebijakan Terkait Pengelolaan BMN Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, aset dibagi ke dalam tiga pos yang meliputi investasi jangka panjang, piutang negara, dan BMN. Pengelolaan BMN merupakan satu dari enam objek PNBP yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2018 Tentang PNBP, dimana pengelolaannya meliputi penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan semua barang yang diperoleh atas beban APBN dan perolehan lain. Saat ini peraturan lebih teknis terkait BMN masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D. Dalam PP tersebut diatur pejabat yang mengelola BMN yaitu Pengelola BMN dan Pengguna BMN. Pengelola BMN adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN dalam hal ini yaitu Menteri Keuangan. Sementara itu, Pengguna BMN adalah pejabat pemegang kewenangan Penggunaan BMN dalam hal ini Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pimpinan K/L.

Objek BMN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK 06/2016 tentang Penatausahaan BMN terdiri dari (a) aset lancar berupa barang persediaan; (b) aset tetap (tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, jalan irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam pengerjaan); (c) aset lainnya (kemitraan dengan pihak ketiga, aset tak berwujud dan aset tetap yang dihentikan penggunannya). Dari berbagai objek BMN tersebut, 88 persen disumbang oleh aset tetap (LKPP 2017), dimana aset tetap inilah yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya guna meningkatkan PNBP. Adapun pemanfaatan BMN terdiri dari lima jenis yaitu Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS) atau Bangun Serah guna (BSG) dan Kerja Sama Penyediaan Infrastuktur.

Pengelolaan BMN Bagi Penerimaan Negara.Hasil studi Dana Moneter Internasional

(IMF) menyebutkan, penggunaan aset suatu negara yang baik bisa meningkatkan penerimaan hingga 1,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia, 1,5 persen setara dengan Rp217,4 triliun (Warta Pemeriksa, 2018). Namun, tingginya nilai aset negara khususnya BMN yang mencapai 38 persen dari total aset atau mencapai Rp2.296 triliun (LKPP 2017), belum sebanding dengan pengelolaannya dalam meningkatkan penerimaan negara. Pada periode tahun 2015 hingga tahun 2017, pendapatan yang tercatat pada akun pemindahtanganan, pemanfaatan dan pengelolaan BMN tidak pernah lebih dari Rp1,3 triliun (Gambar 1) atau hanya 0,3 persen dari total PNBP.

Rendahnya penerimaan negara dari pengelolaan BMN tersebut menunjukkan adanya potensi PNBP yang belum tergali. Indikasi tersebut dapat juga dilihat dari pemetaan 8 K/L terbesar terhadap kepemilikan aset tanah, gedung, dan bangunan disandingkan dengan realisasi PNBP pengelolaan BMN pada 8 K/L terbesar tahun 2017. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut diketahui bahwa ada beberapa K/L yang realisasi PNBP pengelolaan BMN-nya konkruen dengan total aset tersebut, tetapi ada pula yang tidak konkruen yaitu salah satunya Sekretariat Negara (Tabel 1). Lembaga ini hanya menyumbang PNBP sekitar Rp6,2

Gambar 1. Pendapatan atas Pengelolaan BMN Tahun 2015-2017 (miliar Rupiah)

Sumber: ILO, 2017

Page 5: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

5Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

miliar dari pengelolaan BMN, padahal nilai aset tanah dan bangunan yang dimiliki sangat tinggi yaitu Rp89 triliun (LKPP 2017). Tentunya hasil pemetaan ini juga memerlukan pendalaman lebih lanjut mengingat aset yang dimaksud merupakan nilai absolut dari total aset yang digunakan untuk pelayanan publik atau yang dapat dimanfaatkan agar lebih bernilai produktif. Meskipun demikian, pemetaan ini dapat menggambarkan bagaimana K/L dengan nilai aset terbesar memberikan kontribusi terhadap PNBP dari hasil pemanfaatan asetnya khususnya untuk tanah dan bangunan. Temuan BPK terhadap pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam pengelolaan BMN ini.

Pengelolaan dan Penatausahaan Aset yang Belum OptimalBerdasarkan temuan BPK tahun 2017 diperoleh pencatatan ataupun penatausahaan aset yang tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan BMN yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara. Temuan terhadap aset tersebut diantaranya; (1) aset tetap yang tidak diketahui keberadaannya sekitar Rp709 miliar pada Kementerian Agama, PUPR dan Kemenristekdikti;

(2) aset tetap yang dikuasai/digunakan pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan BMN sebesar Rp6.485,9 miliar pada 20K/L salah satunya Kementerian PUPR dengan nilai aset Rp4.961,7 miliar; (3) Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) mangkrak yang belum jelas penyelesaiannya sebesar Rp444,4 miliar pada 8 K/L; (4) Aset tetap senilai Rp104 miliar pada satker yang tidak aktif di Kementerian Perhubungan; (5) aset tetap yang belum ditetapkan status penggunaannya sebesar Rp17.555,8 miliar pada 2 K/L, aset tetap yang belum dimanfaatkan sebesar Rp41,3 miliar pada 6 K/L dan lain sebagainya.

Selain temuan BPK tersebut, terdapat pula fakta yang menunjukkan adanya pembiaran dalam tata kelola BMN yang tidak digunakan lagi oleh Pengguna Barang. Hal ini terlihat dari data pada akun “Aset Tetap yang Dihentikan dari Penggunaan Operasional Pemerintah” yang jumlahnya dan nilainya meningkat dari tahun ke tahun tetapi nilai bukunya justru menurun akibat dari adanya penyusutan (Gambar 2). Berdasarkan hasil temuan BPK dan penyusutan BMN yang cukup tinggi tersebut menunjukkan adanya indikasi masih banyak BMN yang menganggur, under-utilize serta pemakaian yang tidak efektif.

Gambar 2. Pengelolaan BMN yang Dihentikan dari Penggunaan Operasional

(triliun Rupiah)

Sumber: Media Kekayaan Negara, 2018

Tabel 1. Pemetaan Nilai Aset BMN dan Realisasi Penerimaan PNBP Pada Kementerian Lembaga (miliar Rupiah)

Sumber: LKPP & Lap. Keu. tiap K/L ,2017, diolah *Nilai BMN yang dimaksud adalah nilai total aset tanah, gedung, dan bangunan.

Page 6: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

6 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Tata Kelola PNBP yang Tidak TertibAdanya potensi kebocoran penerimaan negara juga ditunjukkan dari hasil temuan BPK terhadap ketidakpatuhan tata kelola PNBP pada beberapa K/L yang hampir terjadi pada tiap tahunnya. Temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan pada pengelolaan BMN umumnya terjadi pada penyewaan gedung dan bangunan yang tidak tertib pungutannya. Adapun beberapa temuan tersebut meliputi diantaranya; (1) PNBP terlambat disetor tahun 2017 sekitar Rp45,7 miliar yang

mengalami peningkatan di tahun 2016 sebesar Rp1,9 miliar; (2) PNBP belum disetor sekitar Rp1,9 miliar di tahun 2017 sementara di tahun 2016 Rp465 juta; (3) PNBP kurang pungut Rp2,8 miliar pada tahun 2017 dan Rp2,3 miliar pada tahun 2016; (4) PNBP tidak dipungut sekitar Rp78,9 miliar pada 2017 dan Rp21,2 miliar pada tahun 2016, dan lain sebagainya. Temuan ini menunjukkan juga bahwa masih lemahnya pengawasan terhadap tata kelola PNBP di K/L yang mengakibatkan adanya kebocoran penerimaan negara.

RekomendasiTerdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam meningkatkan potensi dari pengelolaan BMN ini. Pertama, sinergi antara Pengelola Barang dan Pengguna Barang harus terus ditingkatkan agar keduanya memiliki mindset yang sama sebagai asset manager bukan lagi asset administrator. Kedua, Pengguna Barang dan Pengelola Barang untuk bersama-sama melakukan inventarisasi status BMN, antara lain BMN yang unused, underused, dan underutilized sehingga dapat ditindaklanjuti langkah optimalisasi terhadap pemanfaatan BMN. Ketiga, pengelola dan pengguna barang harus lebih proaktif dalam pengawasan/monitoring terhadap pemanfaatan BMN terutama dengan melibatkan peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Keempat, perlu adanya pembaharuan tarif PNBP dengan menerbitkan PP terkait hal tersebut yang juga merupakan amanat dari UU No. 9 Tahun 2018 tentang PNBP. Kelima, memanfaatkan secara optimal Sistem Informasi PNBP Online pada objek PNBP Pengelolaan BMN untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan BMN dan ketertiban dalam penyetorannya.

Daftar PustakaBadan Pemeriksa Keuangan. 2017. “Laporan Keuangan Pemerintah Pusat: Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern”.

---------. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat: “Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan”.

---------. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat: “Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan”.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 2016. “Kajian PNBP Pengelolaan BMN Dalam Rangka Meningkatkan Peranan DJKN Sebagai Revenue Center”. Diakses dari https://www.djkn.

kemenkeu.go.id/artikel/baca/11763/Kajian-PNBP-Pengelolaan-BMN-Dalam-Rangka-Meningkatkan-Peranan-DJKN-Sebagai-Revenue-Center.html pada tanggal akses 15 Maret 2019

Laporan Keuangan Tiap Kementerian/Lembaga Tahun 2017

Warta Pemeriksa. 2018. “Evaluasi Aset Jangan Meleset”. Edisi 11 | Vol. I - November 2018. Hlm. 3

Media Kekayaan Negara. 2018. “Ayo Berkontribusi dalam Penyelenggaraan Anggaran yang Efektif dari Pengelolaan BMN”. Edisi No.29 Tahun IX / 2018. Hlm 9.

Page 7: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

7Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Pada tahun 2016, dunia dikejutkan dengan skandal Panama Papers yang merupakan

kumpulan puluhan juta dokumen rahasia yang menunjukkan adanya aktivitas penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan oleh berbagai perusahaan maupun perorangan. Kasus Panama Papers menunjukkan pada dunia bahwa praktik penghindaran pajak dalam dokumen tersebut telah menggerus penerimaan perpajakan negara yang menerapkan tarif pajak relatif tinggi. Hal tersebut dilakukan dengan cara memindahkan laba ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah (tax haven). Untuk meminimalisir praktik-praktik penghindaran pajak seperti itu, Pertemuan “The World Bank Spring Meeting” yang dihadiri oleh Menteri Keuangan serta Gubernur Bank Sentral dari negara G20 di Washington, membahas pentingnya memperkuat kerjasama internasional yang berkaitan dengan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan. Penerapan program Automatic Exchange of Tax Information (AEoI) merupakan langkah yang dijalankan untuk mengatasi upaya aktivitas penghindaran dan pengelakan

pajak, dimana Indonesia juga ikut dalam program ini. Di Indonesia sendiri yang menjadi hal terpenting dalam pelaksanaan AEoI sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2017 yang disahkan menjadi Undang-undang (UU) No. 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Dengan berakhirnya program pengampunan pajak (Tax Amnesty) pada Maret 2017, Pemerintah berharap mampu meningkatkan penerimaan perpajakan yang berasal dari harta yang selama ini belum diketahui keberadaannya dan mampu meningkatkan kepatuhan perpajakan. Dalam program tax amnesty yang lalu, Wajib Pajak (WP) diberi kesempatan untuk melaporkan kekayaannya yang berada di dalam maupun luar negeri atau dapat membawa kembali harta yang ada di luar negeri ke Indonesia. Akan tetapi, penerimaan pajak 2018 (pasca program tax amnesty tersebut) hanya mencapai Rp1.315,9 triliun dari yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1.424 triliun. Artinya,

Tantangan Awal Penerapan AEoIoleh

Rastri Paramita*)Laras Lintang Asmoro**)

AbstrakPemerintah telah menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty)

sejak September 2016 hingga Maret 2017. Namun, dari hasil program tax amnesty tersebut target penerimaan pajak belum tercapai. Sebagai tindak lanjut dari program tax amnesty, di akhir tahun 2018, Pemerintah menjalin kerja sama dengan negara lain untuk turut serta menjadi bagian dari negara yang menerapkan program Automatic Exchange of Information (AEoI). Dengan berlakunya AEoI, setiap negara dapat menerima informasi warganya di negara lain. Akan tetapi, setelah hampir 6 bulan berlakunya AEoI di Indonesia masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam penerapan AEoI ini seperti kerjasama antar lembaga jasa keuangan dalam pemberian informasi, kesiapan SDM dalam era keterbukaan informasi, dan ketegasan otoritas pajak dalam menerapkan AEoI ini.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

sekunder

Page 8: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

8 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

realisasinya hanya sebesar 92,4 persen atau terjadi kekurangan penerimaan pajak (shortfall) sebesar Rp108,01 triliun dan dirasa belum optimal (Katadata, 2018). Tidak tercapainya target penerimaan pajak 2018 tersebut disinyalir karena masih kurangnya kepatuhan WP dan juga kesadaran masyarakat dalam melakukan kewajiban membayar pajak.Dengan kurun waktu 2013-2017, rasio kepatuhan perpajakan mengalami peningkatan. Meskipun demikian, peningkatan rasio kepatuhan pajak dari tahun 2013 hingga 2017 tersebut tidak sejalan dengan tercapainya target penerimaan pajak. Oleh karena itu, saat ini Pemerintah gencar dalam mencapai penerimaan pajak dengan cara meningkatkan basis data pajak. Salah satu cara yang ditempuh Pemerintah untuk meningkatkan basis data pajak adalah ikut dalam program AEoI. Pada akhir September 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai menerapkan sistem pertukaran data perpajakan otomatis antarnegara atau yang lebih dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI). Setelah diterapkannya AEoI tersebut, DJP telah menerima data yang menginformasikan bahwa lebih dari Rp1.300 triliun aset keuangan di luar negeri yang dimiliki WP Indonesia. Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat

(P2Humas) Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, data tersebut diindikasikan sebagai harta yang belum dilaporkan ke otoritas pajak.Dengan penerapan program AEoI ini, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan WP. Sebagai contoh, Norwegia yang menerapkan lebih awal mengaku tingkat kepatuhan pajak meningkat 20 persen dengan diterapkannya AEoI (Katadata, 2018). Oleh karena itu, Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, pun menyatakan Indonesia siap melaksanakan program pertukaran informasi perpajakan antar negara tersebut. Dengan adanya AEoI setiap negara dapat memperoleh informasi mengenai kekayaan warganya di negara lain, yang jika di kemudian hari ditemukan harta yang tidak dilaporkan maka akan dikenakan denda yang lebih besar disertai tindak lanjut terkait asal-usul harta tersebut.Mengenal Lebih Dekat AEoI serta Proses Penerapannya di IndonesiaPertukaran informasi terkait data pajak pertama kali ditetapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) tahun 2010 melalui Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Maraknya praktik penghindaran dan penggelapan pajak saat itu, mendorong G20 bekerja sama dengan Organisation for Economy and Country Development (OECD) pada tahun 2013 untuk menerapkan Global Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information in Tax Matters yang merupakan standarisasi umum pertukaran informasi terkait perpajakan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyatukan pendapat mengenai penerapan sistem pertukaran data keuangan secara otomatis. AEoI merupakan program pertukaran informasi keuangan terkait pajak yang dilakukan secara berkala, otomatis dan menyeluruh (Selvi, 2018). Standar yang digunakan dalam AEoI ini menggunakan skema Common Reporting Standard (CRS). Tahun 2017, yurisdiksi yang terkenal sebagai tax haven seperti Bermuda, Kepulauan Virgin Inggris dan Kepulauan Cayman juga turut berkomitmen dalam AEoI. Indonesia

Gambar 1. Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Tahun PPh, Tahun

2013-2017

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, diolah

Page 9: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

9Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

sendiri baru menyatakan kesiapan dalam penerapan AEoI di tahun 2018. Setelah Indonesia menyelesaikan tahap pertama dengan menetapkan AEoI dalam UU No. 9 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Tahap selanjutnya adalah DJP menerima data terkait pertukaran informasi tersebut yang kemudian data tersebut diharapkan dapat diidentifikasi dan kemudian dianalisis. Data yang dibutuhkan tersebut tertuang dalam UU No. 9 Tahun 2017 pasal 2 ayat (3) yaitu identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. Pemerintah sendiri sudah memiliki aturan domestik yang diterapkan di Indonesia.Dengan adanya aturan domestik tersebut Indonesia telah memenuhi syarat yang ditetapkan OECD terkait primary legislative. Meskipun sebenarnya, UU AEoI berbenturan dengan UU perbankan, tetapi telah dijelaskan dalam UU AEoI pada pasal 2 (8) bahwa LJK yang terikat kewajiban

merahasiakan data berdasarkan UU perbankan, dijelaskan bahwa kewajiban merahasiakan data tersebut tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.Tantangan Awal Penerapan AEoI Penerapan AEoI di negara berkembang seperti Indonesia bisa menjadi suatu tantangan yang cukup berat mengingat negara berkembang biasanya masih memiliki keterbatasan jika dibandingkan dengan negara maju. Setelah hampir satu semester diterapkannya AEoI ini, Indonesia telah mengirim data kepada 81 negara atau yurisdiksi dan telah menerima data dari 94 negara atau yurisdiksi yang telah bergabung dalam AEoI. Dari pertukaran data tersebut diketahui masih banyak WNI yang menyimpan hartanya di luar negeri. Dalam prosesnya, data yang diperoleh tersebut diproses dan diolah kantor pusat DJP dengan mencocokkan data yang pernah terdaftar di sistem DJP. Ketika data telah sesuai, kemudian dikirimkan ke KPP ataupun Kanwil terkait untuk ditindaklanjuti. DJP sendiri harus memastikan data yang diterima

Tabel 1. Aturan Domestik yang berlaku di Indonesia terkait AEoI

Sumber: Selvi, 2018, diolah

Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan

UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang

Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan

PMK Nomor 73/PMK.03/2017 tentang Perubahan atas PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan

PMK Nomor 19/PMK.03/2018 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang berisi informasi Keuangan secara Otomatis

Peraturan OJK Nomor 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

Peraturan OJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan

Surat Edaran OJK Nomor 16/SEOJK.03/2017 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan dalam rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis Antarnegara dengan Menggunakan Standar Pelaporan Bersama (Common Reporting Standard)

Page 10: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

10 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

dapat terjaga kerahasiaannya serta diperlukan pertanggungjawaban agar data tersebut benar-benar dimanfaatkan dengan baik dan tidak disalahgunakan. Dalam penerapan di awal semester ini pemerintah masih menemui beberapa tantangan seperti pertama, keterbukaan LJK dalam memberikan informasi data keuangan nasabahnya kepada otoritas pajak. Kedua, terkait sistem teknologi informasi dalam menjaga kerahasiaan data nasabah ataupun WP yang masih harus ditingkatkan agar mampu memenuhi standard AEoI. Ketiga, menghadapi WP yang masih juga bandel setelah diterapkannya program AEoI ini.Kewenangan yang diberikan kepada DJP dalam mengakses data keuangan sebenarnya cukup mempersempit ruang gerak WP yang selama ini menjadi pengemplang pajak. Oleh karenanya, pasca program TA, DJP masih memberi kesempatan bagi WP yang belum ataupun yang sudah ikut program TA dan masih memiliki harta yang tersembunyi untuk dapat memanfaatkan program Pas Final. Pas Final tersebut merupakan Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final yang tidak memiliki batasan waktu sepanjang DJP belum menemukan harta yang tersembunyi atau belum adanya penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Sejalan dengan itu DJP tetap menerapkan AEoI dengan melakukan proses penyamaan data antara data yang dilaporkan WP dalam SPT dan Surat Penyampaian Harta (SPH) dibandingkan dengan data pihak ketiga yang diterima DJP. Melalui program Pas Final ini, Pemerintah memberikan kesempatan kembali untuk meningkatkan kepatuhan WP dalam pelaporan pajak dan berharap WP bisa memanfaatkan program fasilitas yang diberikan oleh otoritas pajak. Selain itu, DJP juga harus siap melakukan proses administrasi yang efisien, teknologi informasi yang tinggi dan kesiapan sumber daya manusia dalam melakukan proses AEoI ini.

RekomendasiDengan keikutsertaan Indonesia dalam penerapan AEoI ini merupakan suatu hal yang positif guna meningkatkan penerimaan perpajakan. Melalui penerapan AEoI ini diharapkan mampu menggali potensi penerimaan negara dari sektor pajak dan dapat meningkatkan kesadaran serta kepatuhan WP dalam membayar pajak. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi tantangan awal penerapan AEoI. Pertama, perlunya kerjasama yang baik antara Lembaga Jasa Keuangan (LJK) seperti perbankan, pasar modal, asuransi dan LJK lainnya dalam hal pemberian informasi keuangan yang dibutuhkan guna kepentingan perpajakan. Otoritas pajak juga harus tegas dalam memberikan sanksi jika ada lembaga keuangan yang tidak patuh dalam penerapan proses AEoI ini. Kedua, perlunya kesiapan sistem teknologi informasi yang mampu menyajikan format database yang terintegrasi antar lembaga dan sistem teknologi yang benar-benar memenuhi standar kerahasiaan dan pengamanan, selain SDM Indonesia yang berkompeten dalam menjalankan penerapan AEoI. Ketiga, diperlukan penegakan hukum yang tegas oleh otoritas pajak atas ketidakpatuhan WP yang ditemukan berdasarkan hasil pengolahan data-data yang bersumber dari penerapan AEoI. Penegakan hukum yang tegas ini perlu dilakukan mengingat otoritas pajak telah memberikan keringanan perpajakan melalui TA dan Program Pas Final.

Page 11: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

11Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Daftar PustakaDirektorat Jenderal Pajak. 2017. Pengungkapan Aset Suka rela dengan Tarif Final. Diakses dari http://www.pajak.go.id/content/pasfinal pada tanggal 29 Maret 2019Direktorat Jenderal Pajak. 2017. Data Wajib Pajak Tetap Ditindaklanjuti. Diakses dari http://www.pajak.go.id/content/data-wajib-pajak-tetap ditindaklanjuti pada tanggal 29 Maret 2019Katadata. 2018. Resep Baru Pemerintah Menghimpun Pajak Pasca Tax Amnesty. Diakses dari https://katadata.co.id/inside/2018/09/17/resep-baru-pemerintah-menghimpun-pajak-pasca-tax-amnesty pada tanggal 29 Maret 2019Kementerian Keuangan. 2017. Enam Syarat agar Indonesia Siap Laksanakan AEoI. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/enam-

syarat-agar-indonesia-siap-laksanakan-aeoi/ pada tanggal 29 Maret 2019Laporan Tahunan 2017 Direktorat Jenderal Pajak. 2017. Transparansi Membangun Negeri Keterbukaan Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Jakarta. Mangeswari, Dewi Restu.2017. Keterbukaan Informasi Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Perpajakan. Jakarta. Buletin APBN.Selvi. 2018. Automatic Exchange of Information sebagai Big Data di Bidang Perpajakan. Jakarta. Jurnal Transparansi Vol.1 No.1Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang- Undang No. 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang

Page 12: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

12 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

Salah satu strategi kebijakan investasi dalam APBN adalah meningkatkan akses pembiayaan

ultra mikro, mikro, kecil dan menengah (UMKM) (Nota Keuangan 2019). Di Indonesia, UMKM selama ini berperan sebagai sumber penciptaan lapangan kerja yang memberikan andil dalam mengatasi masalah pengangguran dan serta menjadi buffer zone perekonomian khususnya kelas bawah. Demi menjaga keberlangsungan dan meningkatkan kapasitas UMKM, pemerintah hadir dengan berbagai program pembiayaan salah satunya adalah Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Pembiayaan UMi merupakan fasilitas pembiayaan dari pemerintah yang anggarannya berasal dari APBN yang sifatnya komplementer dengan program pembiayaan lain khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Guna mempermudah jangkauan kepada debitur, pada Desember 2018 pemerintah bekerja sama dengan 3 platform uang elektronik dan 1 platform marketplace yaitu GoPay, t-Cash, t-money dan Bukalapak untuk melakukan uji coba digitalisasi pembiayaan UMi. Tulisan ini akan mengkaji tantangan yang akan hadapi dalam proses digitalisasi pembiayaan UMi.

Perkembangan Program UMi

Sejak tahun 2017, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk

Pembiayaan UMi yang dilakukan melalui revitalisasi Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai koordinator pendanaan. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menyempurnakan fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro dari “mudah dan murah” menjadi “mudah dan cepat”, menambah jumlah wirausaha dan meningkatkan nilai keekonomian pelaku usaha ultra mikro. Berdasarkan data BPS, jumlah pelaku usaha UMKM diperkirakan sebanyak 61,8 juta. Namun, data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) Kementerian Keuangan menunjukkan hanya 17 juta pelaku usaha yang telah terfasilitasi oleh Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan demikian, masih terdapat 44,4 juta (71,4 persen) pelaku usaha yang belum terfasilitasi. Pembiayaan UMi yang kemudian menjadi terobosan untuk menjadi pelengkap dari program KUR untuk menjangkau pelaku-pelaku usaha yang membutuhkan dana maksimal Rp10 juta. Pelaku usaha mikro yang difasilitasi umumnya memiliki usaha yang layak dan produktif, namun tidak cukup bankable untuk mengakses pembiayaan perbankan seperti program KUR. Dari sisi lembaga penyalur, plafon, tenor pinjaman, konsep dukungan pemerintah dan prosedur pinjaman, Program UMi memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan Program KUR (Tabel 1).

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk

AbstrakProgram Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) merupakan program pemerintah guna

meningkatkan kemandirian usaha yang menyasar kepada pelaku usaha mikro yang berada pada lapisan terbawah dan belum bankable untuk menjangkau program pembiayaan lainnya seperti program KUR. Untuk memudahkan pelaksanaan program tersebut digitalisasi dirasa perlu demi kemudahan dan kecepatan pembayaran dana pembiayaan.Uji coba digitalisasi program UMi diharapkan mampu meningkatkan penetrasi modal dan overhead cost yang rendah.

Tantangan Digitalisasi Pembiayaan Ultra Mikro (UMi)

oleh Marihot Nasution*)

Olanie Vabiola Bangun**)

sekunder

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Page 13: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

13Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

menjadi debitur UMi cukup mudah yaitu memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) atau Surat Penganti e-KTP dan tidak sedang dibiayai oleh kredit program pemerintah di bidang UMKM yang tercatat dalam SIKP. Debitur dapat menerima Pembiayaan UMi secara individu maupun berkelompok. Mekanisme kelompok menerapkan skema tanggung renteng dimana anggota kelompok lain harus mampu bertanggung jawab satu sama lain. Sementara skema individu, diperuntukkan bagi debitur skema kelompok yang telah mengalami peningkatan usaha (naik kelas), debitur baru maupun debitur yang kesulitan untuk menemukan anggota kelompok.

Pembiayaan UMi disalurkan melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Saat ini lembaga yang menyalurkan pembiayaan UMi antara lain: PT. Pegadaian (Persero), PT. Bahana Artha Ventura, serta PT. Permodalan Nasional Madani (Persero). Sumber pendanaan

berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global. Diketahui bahwa dari alokasi dana sebesar Rp1,5 Miliar, per 31 Desember 2017 pembiayaan UMi telah disalurkan kepada 307.032 usaha mikro dengan total penyaluran sebesar Rp753,2 miliar dengan rata-rata pembiayaan per debitur sebesar Rp2,5 juta. Sementara itu, dari alokasi anggaran Rp2,5 miliar pada tahun 2018, pembiayaan UMi telah disalurkan kepada 380.998 debitur dengan nilai total penyaluran sebesar Rp1.014,2 miliar hingga 30 April 2018, artinya rata-rata penyaluran per debitur sebesar Rp2,6 juta. Pada tahun 2019, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp3 triliun untuk memfasilitasi pembiayaan UMi (Kementerian Keuangan, 2018).

Total dana kelola untuk penyaluran pembiayaan UMi selama 3 tahun sebesar Rp7 triliun. Sementara penyaluran hingga saat ini baru sebesar Rp2 triliun di seluruh Indonesia (Kontan, 2019) atau hanya baru 28,6 persen dari target yang sudah dianggarkan. Angka penyaluran yang kecil membuat pemerintah bekerja sama dengan 3 platform uang elektronik dan 1 platform marketplace yaitu PT Dompet Anak Bangsa (GoPay), PT Telekomunikasi Selular (t-cash), PT Telkom Indonesia (T-money) serta Bukalapak guna bertanggung jawab pada pencairan dana non-tunai kepada debitur. Tujuan dari digitalisasi UMi adalah untuk membantu penetrasi modal lebih tinggi, tanpa overhead cost yang lebih tinggi, juga bertujuan mengukur tingkat penerimaan debitur, sekaligus merekam transaksi penggunaan pinjaman oleh debitur sehingga lebih mudah dilaporkan kepada PIP. Pencairan dana yang dilakukan debitur bersifat pilihan, dimana debitur dapat memilih pencairan dalam bentuk tunai atau cashless. Apabila debitur memilih dalam bentuk cashless maka pemanfaatan dana dilakukan melalui platform uang elektronik yang dipilih.

Tantangan Digitalisasi UMi

Terlepas dari kemudahan akses yang diberikan oleh fintech, pemerintah khususnya dalam uji coba digitalisasi

Kriteria KUR UMiLembaga Penyalur

Perbankan & Lembaga Keuangan

Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)

Plafon s/d Rp25 juta (Mikro)

Maksimal Rp10 juta

Rp25 juta sampai Rp500 juta (ritel)

Penerima Usaha mikro dan kecil

Usaha ultra mikro

Tenor Pinjaman Jangka panjang >1 tahun

Jangka pendek <52 minggu

Agunan Usaha kecil diperlukan agunan sesuai ketentuan perbankan

Untuk pembiayaan kelompok, tidak ada agunan

Pendampingan & Pelatihan

Tidak wajib Wajib

Konsep Dukungan Pemerintah

Subsidi bunga PIP memberikan pinjaman ke LKBB dengan bunga 2-4 persen

Prosedur Pinjaman

Mekanisme perbankan

Mekanisme LKBB

Tabel 1. Perbedaan Pembiayaan KUR dan UMi

Sumber: Kemenkeu, 2018

Page 14: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

14 Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

pembiayaan UMi perlu memperhatikan beberapa tantangan dalam proses penerapannya. Pertama, kesiapan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Selain pembangunan fisik, pembangunan non fisik juga sangat dibutuhkan masyarakat khususnya TIK. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dari 176 negara di dunia, Indonesia menempati peringkat ke 111 pada tahun 2016 dalam hal indeks pembangunan TIK. Posisi Indonesia masih di atas negara Kamboja, Myanmar dan Timor Leste. Namun, masih di bawah negara ASEAN lain seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Berdasarkan hasil riset dari We Are Social dan Hootsuite, Indonesia berada pada indeks 40,41 dari nilai maksimum 100 untuk pembangunan infrastruktur jaringan dan telekomunikasi (Kemenkominfo, 2017). Artinya, kesiapan infrastruktur yang Indonesia masih jauh berada di bawah angka 100 bahkan belum mencapai setengah dari indeks yang telah ditetapkan.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan disparitas tingkat pembangunan TIK antar provinsi. Menurut BPS (2017), tingkat pembangunan TIK tertinggi berada di DKI Jakarta sekitar 7,61 dan Yogyakarta 6,09. Sementara beberapa provinsi justru memiliki indeks yang sangat rendah, seperti; Papua 2,95, Nusa Tenggara Timur (NTT) 3,48, Sulawesi Barat 3,68, Maluku Utara 3,79, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 3,92. Disparitas yang tinggi antara wilayah Barat dan Timur juga terlihat dari penyebaran dana UMi. Data penyebaran UMi hingga April 2018, menunjukkan bahwa penyerapan Umi terbesar berada di Provinsi Jabar sebesar Rp271 miliar diikuti oleh Provinsi Jateng sebesar Rp232 miliar dan Provinsi Jatim sebesar Rp126 miliar sementara daerah timur khususnya Maluku Utara hanya sebesar Rp90,6 juta, Provinsi Maluku sebesar Rp923 juta dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp820 juta (Kementerian Keuangan, 2018). Menjadi penting bagi pemerintah untuk memastikan kesiapan TIK yang baik dan penurunan disparitas wilayah Barat

dan Timur baik dari segi pembangunan infrastruktur TIK dan penyaluran dan UMi sehingga kemudahan digitalisasi UMi tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha mikro yang perkotaan dan wilayah barat Indonesia saja, namun juga dirasakan oleh pelaku usaha mikro di pelosok daerah dan di wilayah timur Indonesia.

Kedua, kesiapan pengusaha ultra mikro. Pada PMK No. 95/PMK.05/2018 tentang pembiayaan ultra mikro tidak dijelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan pengusaha ultra mikro. Hanya disebutkan bahwa usaha ultra mikro adalah usaha mikro yang dimiliki oleh perorangan. Pembiayaan UMi hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro yang sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah. Menurut Bank Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi karakteristik pelaku usaha mikro yaitu jenis barang dan tempat usaha yang tidak selalu menetap, belum melakukan administrasi keuangan, tidak memisahkan keuangan keluarga dan keuangan usaha, SDM yang belum memadai, tingkat pendidikan yang relatif sangat rendah, pada umumnya belum mengakses kepada perbankan dan belum memiliki izin.

Luckandi (2018), menyebutkan bahwa implementasi teknologi merupakan momok bagi pelaku UMKM karena tidak semua pelaku UMKM terbiasa dengan teknologi. Indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia juga cukup rendah yaitu 29,7 persen pada tahun 2017. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bagaimana mengoptimalkan uang untuk kegiatan yang produktif dan belum memahami dengan baik berbagai produk dan layanan jasa keuangan. Terbatasnya kemampuan yang dimiliki pengusaha mikro dalam mengaplikasikan fintech dapat menghambat proses digitalisasi UMi.

Ketiga, perlindungan konsumen. Salah satu risiko pengembangan fintech adalah kerentanan penyalahgunaan data konsumen. Risiko ini juga menjadi risiko dan tantangan yang akan dihadapi

Page 15: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

15Buletin APBN Vol. IV. Ed. 06, Apr 2019

RekomendasiPada dasarnya digitalisasi pembiayaan UMi akan memudahkan masyarakat khususnya para pelaku usaha ultra mikro untuk mengakses pembiayaan UMi guna peningkatan modal, kenaikan kelas usaha serta mempermudah transaksi baik pembiayaan maupun pencairan dana UMi. Adapun tantangan yang akan dihadapi dalam proses digitalisasi UMi dapat dihadapi dengan beberapa langkah strategis berikut ini: pertama, pengentasan kesenjangan infrastruktur TIK, kemudahan akses internet dan pengelolaan tarif internet sehingga tidak memberatkan pelaku UMi. Kedua, pemerintah perlu menyusun ketentuan dan standar mekanisme penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa untuk para debitur UMi serta sebagai mitigasi risiko kedepannya pemerintah perlu mempertimbangkan pembentukan cyber security forum untuk perlindungan konsumen dan peningkatan legitimasi. Ketiga, pemerintah harus terus memperkuat kerja sama dan kolaborasi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Pemerintah Daerah dan Industri Keuangan dalam rangka meningkatkan literasi keuangan. Keempat, pendampingan layanan aplikasi khususnya peningkatan kemampuan pelaku UMi menggunakan teknologi serta menjaga keseimbangan antara kemudahan dan fleksibilitas layanan UMi. Kelima, selain tantangan digitalisasi yang telah disebutkan di atas, diharapkan pula pemerintah dapat menekan suku bunga program UMi sehingga pelaku UMi lebih berminat untuk mengikuti program UMi.

Pemerintah dalam rangka penerapan digitalisasi UMi. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pemerintah guna memberikan pelindungan kepada debitur UMi sebagai konsumen pengguna jasa yaitu perlindungan data pengguna dan perlindungan dana pengguna. Dengan adanya informasi debitur pada database konsumen perusahaan fintech tersebut maka debitur akan dihadapi dengan potensi risiko yang berkaitan dengan privasi data yang dapat disalahgunakan. Selain itu, diperlukan manajemen sistem infrastruktur yang terdiri software management, network & connectivity management, dan security management yang kuat guna menunjang proses transaksi yang baik. Hal tersebut sangatlah penting agar tidak menimbulkan kesalahan transaksi dan kesalahan nominal.

Daftar Pustaka

Kementerian Keuangan. 2018. Indonesian Treasury Update.

______. 2018. Treasury Indonesia.Semangat UMi Wujudkan Pertumbuhan Ekonomi. Majalah Treasury Indonesia 1/2018

______. 2018. Pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/UMi tanggal 28 Maret 2019.

Kemenkominfo. 2017. Yakin, Ekonomi Digital Indonesia Jadi yang Terbesar di Asia Tenggara? Diakses dari https://kominfo.go.id/content/detail/11702/yakin-ekonomi-digital-indonesia-jadi-yang-terbesar-di-asia-tenggara/0/sorotan_media tanggal 29 Maret 2019.

_______. 2018. Pemerintah Uji Coba Program Digitalisasi UMi. Diakses dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/15620/pemerintah-uji-coba-program-digitalisasi-UMi/0/berita tanggal 29 Maret 2019.

Luckandi, Diardo. 2018. Analisis Transaksi Pembayaran Menggunakan Fintech Pada UMKM di Indonesia: Pendekatan Adaptive Structuration Theory. Tesis. Universitas Islam Indonesia,

Kontan.co.id. 2019. Menkeu Sri Mulyani Akan Evaluasi Penyaluran UMi. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/menkeu-sri-mulyani-akan-evaluasi-penyaluran-UMi tanggal 30 maret 2019.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2017. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech.

Page 16: Pengelolaan BMN: Objek PNBP yang Masih Terabaikan · pengelolaan dan penatausahaan aset serta ketidaktertiban dalam penyetoran PNBP menguatkan asumsi bahwa terdapat kebocoran dalam

“Siap Memberikan Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

e-mail [email protected]