Upload
adynda-putri-pamungkas
View
426
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pengelolaan das citanduy
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan unit sistem
hidrologi, dimana kuantitas dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian
hasil air (water yield). Water yield ini merupakan akumulasi aliran permukaan
tanah (surface flow), aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran bumi
(ground water flow). Berdasarkan prinsip kesatuan hidrologi ini maka sebenarnya
batas DAS tidak hanya ditentukan oleh topografi, akan tetapi juga oleh struktur
batuan yang menentukan pola aliran ground water flow. Dengan berdasarkan
pada sistem hidrologi, maka ada keterkaitan yang jelas antara DAS bagian hulu
dan hilir. Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan
mempengaruhi kondisi bagian tengah dan hilir. Dengan seiring berjalannya
waktu, aktivitas manusia dan kepadatan penduduk yang semakin meningkat
menimbulkan beberapa masalah yang menyebabkan kondisi pada beberapa
DAS menjadi memburuk, baik pada bagian hulu, tengah, maupun hilir. Jika
masalah tersebut terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang serius, maka
kondisi DAS tersebut akan semakin memburuk dan bahkan akan kehilangan
kegunaannya. Oleh karena itu, dibutuhkanlah suatu pengelolaan secara terpadu
pada DAS yang bersangkutan untuk menangani masalah yang muncul serta
meningkatkan kualitas DAS tersebut.
DAS Citanduy merupakan salah satu DAS prioritas di Jawa, karena
beberapa hal diantaranya adalah :
a. Sungai Citanduy yang membentang dari Jawa Barat dan Jawa Tengah,
merupakan sumber air untuk aktivitas pertanian dan perikanan sebagian
besar masyarakat.
b. Di hulu Sungai Citanduy terdapat ekosistem mangrove yang unik (Segara
Anakan) yang terancam keberadaannya karena proses pendangkalan oleh
sedimen S. Citanduy. Pada tahun 1970 luas Segara Anakan diperkirakan
4580 ha, sedangkan pada tahun 2002 diperkirakan hanya tinggal 850 ha.
1
Selain masalah pendangkalan DAS oleh sedimen tersebut, beberapa
permasalahan lain yang juga dihadapi pada DAS Citanduy pada saat ini yaitu:
lahan kritis, pencemaran sungai, menurunnya fungsi bangunan SDA karena
umur bangunan, dan lain-lain. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka
perlu dilaksanakannya pengelolaan secara terpadu pada DAS Citanduy.
1.2 Tujuan
Mengetahui permasalahan yang terjadi dan memahami sistem pengelolaan
terpadu pada DAS Citanduy.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kesatuan
daerah/wilayah/kawasan tata air yang terbentuk secara alamiah dimana air
tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir dari
daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang
bersangkutan. Daerah Aliran Sungai disebut juga Daerah Pengaliran Sungai
(DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA) (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan
sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya
untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya
yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan
hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah
sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat
sumber air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai
daerah dataran dan muara sungai (Ditjen Tata Ruang & Pengembangan
Wilayah, 2002).
2.2 Pengertian Pengelolaan DAS
Copeland (1961) mengatakan, bahwa pengelolaan DAS merupakan ilmu
terapan untuk perlindungan, perbaikan, dan pengelolaan DAS, dan obyek
dasarnya adalah meningkatkan suplai air, mengurangi kisaran aliran maksimum
dan minimum, mengurangi hasil sedimen dan meningkatkan kualitas air untuk
berbagai penggunaan.
Pengelolaan DAS terpadu adalah upaya terpadu dalam pengelolaan
sumberdaya alam, meliputi tindakan pemanfaatan, penataan, pemeliharaan,
pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan DAS berazaskan
pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia. Pengelolaan DAS terpadu harus mengupayakan agar unsur-unsur
3
struktur ekosistem seperti: hutan, tanah, air, masyarakat dan lain-lain tetap
dalam keseimbangan dan keserasian (Simons & Li, 1982).
2.3 Gambaran Umum DAS Citanduy
Citanduy sebagian besar berada di Provinsi Jawa Barat dan sebagian kecil
berada di Provinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Ciamis, Kota Banjar,
Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka,
Kabuoaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Secara geografis wilayah sungai
Citanduy terletak pada posisi 1080 04’ hingga 1090 30’ Bujur Timur (BT) dan 70
03’ hingga 70 52’ Lintang Selatan (LS). Iklimnya dipengaruhi dua musim, yaitu
musim kemarau dan musim penghujan. Temperatur DAS Citanduy berkisar
antara 240C hingga 310C dengan curah hujan rata-rata 3.000 milimeter per
tahun. Pada musim kemarau, DAS bagian hulu ini masih dapat mencapai curah
hujan sekitar 200 – 300 milimeter per bulan, dimana wilayah Tasikmalaya dan
Ciamis termasuk ke dalam wilayah DAS bagian hulu tersebut yang ternyata saat
ini kondisinya masih termasuk kategori kritis akibat degradasi yang menurunkan
kualitas lingkungan.
Gambar 1 : Letak DAS Citanduy
4
DAS Citanduy dapat dibagi menjadi enam Sub DAS, yaitu Sub DAS
Citanduy Hulu, Sub DAS Cijolang, Sub DAS Cikawung, Sub DAS Cimuntur, Sub
DAS Ciseel, dan Sub DAS Segara Anakan. Jika dikelompokkan menjadi bagian
hulu, tengah dan hilir, maka Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cimuntur, Sub
DAS Cijolang merupakan DAS bagian hulu. Sub DAS Ciseel dan Cikawung
termasuk DAS bagian tengah. Sedangkan Sub DAS Segara Anakan dan
sebagian Sub DAS Ciseel merupakan DAS bagian hilir.
DAS hulu merupakan daerah deretan pegunungan Gunung Galunggung
(2168 mdpl), Gunung Tlagabodas (2201 mdpl), Gunung Cakrabuana (1721
mdpl), dan Gunung Sawal (1784 mdpl) dengan curah hujan tahunan berkisar
antara 3000 – 5500 mm. DAS bagian tengah dan hilir, memiliki curah hujan
tahunan berkisar antara 2500 – 4000 mm. Musim kemarau terjadi pada bulan
Agustus – September, namun DAS bagian hulu masih dapat mencapai curah
hujan 200 – 300 mm/bulan.
Gambar 2 : Pembagian Wilayah DAS Citanduy
2.4 Karakteristik Lingkungan Fisik
Potensi sumberdaya air tidak lepas dari karakteristik lingkungan fisik yang
terdiri dari jenis dan formasi batuan penyusun, relief atau topografi, jenis tanah
5
serta pemanfaatan lahan. Masing-masing karakteristik lingkungan fisik tersebut
akan mempengaruhi potensi sumberdaya air yang dapat terlihat dari kuantitas
maupun kualitas air di tiap daerah.
2.4.1 Geologi
DAS Citanduy berada diantara dua sesar utama, yaitu sistem sesar
Citanduy di sebelah selatan dan sistem sesar Baribis di sebelah utara.
Arah sesar pada umumnya mengarah ke arah barat laut – tenggara dan
timur – barat. Sesar arah barat laut – tenggara pada umumnya lebih
panjang dari arah timur barat (BBWS Citanduy, 2008).
Perkembangan sistem pengaliran sungai di DAS Citanduy sangat
dipengaruhi oleh pola retakan (joint parrern) yang terbentuk akibat
aktivitas tektonik dengan pergeseran sesar-sesar Baribis dan sesar
Citanduy. Daerah ini tergolong rawan gerakan tanah akibat dari kondisi
geologi (genesis) yang berbatuan lemah kembang-kerut (swelling shinking
clays). Kondisi fisik tersebut merupakan keterbatasan karakter genesis
dalam keperluan tata ruang untuk pengembangan wilayah. Jenis batuan
penyusun berupa :
a. Perlapisan batu lempung dari Formasi Pemali, berusia miosen bawah
sampai tengah.
b. Selang-seling perlapisan batupasir, batulempung dan breksi dari
Formasi Halang, dengan massa breksi yang cukup tebal berada di
bagian bawah; berusia miosen tengah hingga Pliosen Bawah.
c. Breksi volkanik dari Formasi Cijolang berusia Pliosen, yang menutupi
Formasi Pemali dan Formasi Halang secara tidak selaras.
d. Endapan volkanik Kuarter dari Gunung Sawal yang tidak selaras diatas
semua formasi bawahnya.
e. Endapan aluvium yang terdiri dari lempung dan lanau. Adanya lapisan
batuan aluvium disebabkan oleh pengendapan sedimen yang terbawa
arus air setelah terjadi banjir. Formasi batuan ini menyebar di daerah
lembah yang memiliki elevasi yang lebih rendah dengan kemiringan
dasar sungai yang relatif kecil.
6
Formasi Pemali dan Formasi Halang telah terlipat-lipat dan
tersesarkan. Sesar Baribis adalah Sesar naik, kemudian pada Kala
Pliosen-Pleistosen Sesar Citanduy bergeser mendatar (Simandjuntak &
Surono, 1982). Wilayah ini berada di dalam pengaruh pergerakan Sesar
Baribìs dan Sesar Citanduy yang sejak kala tersebut bergerak menganan
(right lateral slip faults), sehingga blok wilayah di antara kedua sesar
mengalarni dampak gaya-gaya kopel yang menyebabkan terbentuk
retakan-retakan dan terbentuknya cekungancekungan depresi. Gejala
tersebut díkenal sebagai mekanisme pull apart basin.
Zona Depresi Citanduy berada pada wilayah tektonik aktif, yaitu
suatu wilayah yang dibatasi di selatan oleh Sistem Sesar Ciawi-
Pangandaran dan batas utara oleh Sistem Sesar Baribis-Majenang. Zona
depresi ini berarah barat laut-tenggara, dengan panjang lebih dari 200 km
dan lebar lebih dari 50 km. Zona Depresi merupakan zona yang relatif
datar dan rendah yang terjadi karena merosok turun sehingga berelevasi
lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Zona depresi ini terbentang luas
mulai dari dataran Banjar sampai ke Cilacap, berarah barat laut-tenggara
sepanjang lebih dari 50 km dan lebar sekira 15 km, dibatasi sesar-sesar
atau patahan-patahan besar berarah N290oE – N310oE.
Segara Anakan merupakan salah satu produk kegiatan tektonik yang
berada di dalam zona depresi. Proses pembentukan wilayah perairan
Segara Anakan terjadi karena berada pada bagian yang rendah di bawah
muka laut, termasuk Rawa Lakbok yang dahulu juga memiliki kondisi
ekosistem mangrove seperti Segara Anakan saat ini. Rawa Lakbok telah
lama menjadi daratan sebagai pedataran aluvium, dengan pematang-
pematangnya dan batuan dasarnya atau alasnya yang tersusun oleh batu
pasir dari formasi tapak, berusia miosen atas – Pliosen (terdapat jejak
pelawangan atau muara). Mirip dengan kondisi Segara Anakan sekarang
dengan pematang dan batuan dasarnya berupa pugunungan-pegunungan
selatan termasuk Nusakambangan (dengan pelawangannya) dari formasi
jampang, formasi pamali, dan formasi pamutuan. Tiga formasi terakhir ini
yang berusia jauh lebih tua oligo-miosen, adalah alas atau batuan dasar
7
yang berada jauh di bawah formasi tapak tersebut di atas (Kastowo &
Simanjuntak, 1979).
2.4.2 Jenis Tanah
Secara umum jenis tanah dominan yang terdapat di DAS Citanduy
berupa latosol dengan bahan induk Tuff Vilkan yang sangat peka erosi.
Jenis tanah ini mendominasi luasan Sub-DAS. Jenis tanah akan berbeda
sejalan dengan relief atau topografi yang berbeda. Tanah pada lahan atas
DAS Citanduy terdiri dari residu incesed yang terbentuk dari bahan
vulkanis. Debu vulkanis dan debris dari hasil letusan Gunung Galunggung
tercampur dengan tanah ini. Jenis tanahnya berupa kambisol, gleisol,
latosol mediteran dan pedsolik merah kuning. Jenis tanah pada elevasi
yang lebih tinggi adalah andosol, sedangkan pada elevasi yang lebih
rendah berupa tanah latosol. Jenis tanah ini merupakan batuan induk yang
selama ini tererosi dan terangkut oleh aliran sungai dan akhirnya
terendapkan di Segara Anakan.
2.4.3 Hidrologi
Hidrolgi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke
bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi
dan transpirasi. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam
bentuk hujan atau kabut. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus
bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
a. Evaporasi/transpirasi
Air yang ada dalam satu kawasan kemudian akan menguap ke
angkasa (atmosfer) dan akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap
air (awan) akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun
(precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
b. Infiltrasi/ Perkolasi ke dalam tanah
Air bergerak ke dalam tanah melalui celah dan pori-pori tanah menuju
muka airtanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat
bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah
hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
8
c. Air Permukaan
Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan
danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka
aliran permukaan semakin besar. Sungai-sungai bergabung satu sama
lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air
permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang di sungai,
danau, waduk dan rawa maupun yang berada dibawah permukaan
tanah akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke
laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-
komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem DAS.
Hubungan antara aliran ke dalam (In flow) dan aliran ke luar (out flow)
di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air di
lapangan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan neraca
air.Neraca merupakan persamaan antara jumlah air yang diterima
dalam satu sistem DAS dengan kehilangan air melalui proses
evapotranspirasi maupun keluaran dari outlet DAS itu sendiri.
2.4.4 Pemanfaatan Lahan
Berdasarkan analisis pada citra satelit landsat diketahui, terdapat 13
tipe penggunaan lahan. Penggunaan lahan dominan di DAS Citanduy
berupa, hutan tanaman (pinus dan jati), kebun campuran dan hutan alam.
Hutan alam dan hutan tanaman merupakan kawasan hutan negara (Hutan
Lindung dan Hutan Suaka Alam). Kebun campuran merupakan
penggunaan lahan dengan berbagai spesies pohon (buah-buahan dan
kayu, sengon) terutama di lahan masyarakat. Sawah terutama
dibudidayakan di dataran landai di Sub DAS Segara Anak dan Citanduy
hulu, diantara G. Sawal dan kompleks G. Galunggung, G.Tlagabodas, G.
Cakrabuana dan G. Sadakeling.
Hutan tanaman mengalami penurunan yang cukup tajam sebesar 31
900 ha (6.73%), yang terjadi di semua Sub DAS. Sedangkan Kebun
campuran mengalami peningkatan sebesar 34 157 ha (7.2%), terutama di
Sub DAS di bagian Hulu (Sub Das Cimuntur, Citanduy Hulu, Cijolang). Dari
9
trend perubahan lahan periode 1991 – 2003, terdapat kecenderungan
peningkatan areal hutan alam, konversi hutan tanaman menjadi peruntukan
lain dan ada peningkatan areal kebun campuran.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kondisi DAS Sebelum Pengelolaan
Menurut Pusat Studi Pembangunan IPB (2005), perubahan penggunaan
lahan yang terjadi di DAS mengindikasikan bahwa telah terjadi proses
penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya DAS. Seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan
kehidupanpun ikut berubah mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat.
Dampak dari perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam oleh
masyarakat yang berada sekitar DAS. Diantara perubahan-perubahan
penggunaan lahan yang terjadi, perubahan yang paling besar pengaruhnya
terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke
penggunaan lainnya seperti pertanian, perumahan ataupun industri.
Adanya keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal
mungkin untuk pertanian membuat masyarakat kurang memperhatikan dampak
lingkungan yang akan muncul pada DAS tersebut. Masyarakat cenderung
mencari lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat di sekitar
DAS yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan
ketinggian yang lebih tinggi.
Semakin tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta kebutuhan akan
tempat tinggal juga akan mendesak pola pemanfaatan lahan, sehingga
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini dikarenakan pertambahan
penduduk yang begitu pesat yang tidak disertai dengan kecukupan luasan DAS
yang tersedia.
Bagian hulu DAS yang merupakan kawasan penyangga bagi daerah hilir
dan tengah, harus tetap terjaga kemampuan konservasinya. Hal tersebut berarti
10
bahwa upaya konservasi tanah dan konservasi air pada DAS hulu menjadi suatu
keharusan untuk kelangsungan hidup penduduk di sekitar DAS yang pada
umumnya merupakan masyarakat tani yang sangat tergantung dengan lahan
pertanian, baik berupa kebun campuran maupun sawah.
Wilayah Desa Tanjungsari berada di wilayah hulu Sungai Citanduy. Desa
Tanjungsari ini letaknya sangat strategis karena diapit oleh dua sungai, yaitu
Sungai Citanduy dan Sungai Cikidang. Meskipun letak desa tersebut diapit oleh
dua sungai, tidak berarti membuat Desa Tanjungsari memiliki pasokan air yang
cukup di musim kemarau. Hal ini karena masyarakat tidak mengkonsumsi kedua
air sungai tersebut untuk kebutuhan rumah tangganya. Menurut keterangan
beberapa warga, air Sungai Citanduy maupun Sungai Cikidang sudah tidak layak
untuk dikonsumsi, airnya sudah tidak jernih lagi dan banyak endapan lumpur.
Selain disaat musim kemarau mengalami kekurangan air, desa juga mengalami
kebanjiran di musim hujan. Menurut penduduk desa, bencana banjir yang
melanda desa ini sudah terbiasa terjadi dalam lima tahun belakangan ini. Desa
Tanjungsari sendiri biasanya mengalami dua sampai tiga kali banjir tiap
tahunnya. Banjir akan melanda Desa Tanjungsari apabila hujan yang turun
deras. Selain itu, letak desa ini yang berada di dataran rendah dan diapit oleh
dua sungai (Sungai Citanduy dan Cikidang) juga memberikan peluang yang
besar untuk terjadinya banjir.
3.2 Permasalahan yang Timbul di DAS Citanduy
3.2.1 Tingginya Degradasi atau Rusaknya Lingkungan DAS
Perubahan tata guna lahan di DAS terutama di daerah catchment
area tidak diimbangi dengan usaha dan upaya konservasi. Diganggunya
hutan pelindung lahan sebagai media penangkap hujan menyebabkan air
hujan sebagian besar menjadi run off dan langsung ke badan sungai
sehingga menyebabkan banjir dengan membawa erosi dan sedimentasi
yang tinggi. Air hujan yang meresap makin sedikit, maka tanah di lapisan
bawah secara alami tidak lagi menampung air (natural groundwater
reservoir) maka pada musim kemarau terjadi kekeringan. Semakin
berkurangnya kawasan hutan juga dapat menambah jumlah kategori luas
lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja
11
menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga menyebabkan
rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan
meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS yang menyebabkan
semakin menurunya kuantitas dan kualitas air sungai (sedimentasi sungai).
Di wilayah DAS Citanduy sendiri masih banyak terdapat lahan kritis, bahkan
jumlahnya terus bertambah seiring semakin berkurangnya luas hutan yang
ada di DAS.
3.2.2 Sedimentasi tinggi
DAS Citanduy bagian hilir terdapat ekosistem mangrove unik (Segara
Anakan) yang terancam keberadaanya karena proses pendangkalan oleh
sedimenasi Sungai Citanduy. Pada tahun 1970 luas Segara Anakan
diperkirakan 4580 ha, sedangkan pada tahun 2002 diperkirakan hanya
tinggal 850 ha. Total Sedimentasi yang masuk ke Segara Anakan adalah
5.000.000 m3/tahun dan yang diendapkan di Laguna Segara Anakan
adalah 1.000.000 m3/tahun.
3.2.3 Ancaman Degradasi Habitat dan Komunitas Mangrove
Peranan fungsi kawasan mangrove pada hakekatnya merupakan
pengendali alamiah terhadap lahan basah di bagian belakangnya.
Terganggunya kawasan mangrove di Segara Anakan, sebagai akibat dari
genangan air tawar dan akumulasi sedimen yang dibawa oleh sungai dapat
menyebabkan kematian total terhadap jenis-jenis mangrove berakar lutut.
Sedimentasi tanah kapur yang terjadi akibat dari aktivitas pemanfaatan
bahan baku semen menyebabkan sistem perakaran mangrove menjadi
terganggu. Lumpur berpasir yang menjadi persyaratan habitat mangrove
menjadi dangkal dan mengeras, hingga menyebabkan kematian mangrove
secara total, dan kini mulai digantikan oleh semak jenis-jenis wrakas dan
gradelan. Terganggunya komunitas mangrove pada zona ini, berpengaruh
langsung terhadap semakin menjauhnya batas pasang surut. Semakin jauh
batas pasang surut, menyebabkan terhambatnya aliran air sungai yang
masuk ke laguna Segara Anakan, hingga menyebabkan lebih dari 10 tahun
12
sawah-sawah di daerah Sitinggil dan Kawunganten terendam, dan tidak
produktif lagi menjadi lahan pesawahan
3.2.4 Tingginya Kerusakan Infrastruktur Sumberdaya Air
Infrastruktur sumberdaya air rata-rata dibangun pada tahun 1970-
1990 sehingga usia bangunan sudah cukup tua, kemudian biaya rehabilitasi
dan pemeliharaan masih belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan,
serta perhatian dan partisipasi masyarakat dalam hal pemeliharaan masih
kurang maka hal ini mengakibatkan tingginya biaya investasi yang
diperlukan untuk merehabilitasi dan memelihara infrastruktur sumberdaya
air. Sedimentasi yang tinggi di DAS Citanduy juga menyebabkan bangunan
sumberdaya air berkurang fungsinya dan memperpendek umur pakainya
seperti bangunan pelimpah banjir di Wanareja.
3.2.5 Menyempitnya Kapasitas Alur Sungai
Terganggunya kapasitas alur sungai seringkali diakibatkan oleh ulah
manusia terutama diperkotaan, digangunya daerah sempadan sungai dapat
menyebabkan berkurangnya kapasitas alur sungai untuk mengalirkan debit
sehingga terjadi luapan air atau banjir.
3.2.6 Lahan Kritis
Semakin berkurangnya kawasan hutan dapat menambah jumlah
kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak
saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga
mengakibatkan hasil tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi
mendukung kehidupan ekonomi keluarga petani. Di wilayah DAS Citanduy
sendiri masih banyak terdapat lahan kritis, bahkan jumlahnya terus
bertambah seiring semakin berkurangnya luas hutan yang ada di DAS.
Berdasarkan citra satelit Landsat tahun 2000, luas lahan kritis dan
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta hektar yang terdiri dari
9,75 juta hektar hutan lindung, 3,9 juta hektar hutan konservasi dan 41 juta
hektar hutan produksi. Sedangkan kerusakan lahan di luar kawasan hutan
mencapai 41,69 juta hektar. Laju kerusakan hutan terus meningkat setiap
13
tahunnya. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu pada periode
1995 – 1997, laju kerusakan hutan mencapai 1,6 juta hektar per tahun,
namun setelah reformasi dan otonomi daerah kerusakan lebih besar yaitu
mencapai 2,3 juta hektar per tahun.
Tabel 2 : Kondisi lahan kritis di DAS Citanduy tahun 2009
Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan
muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya
berbukit atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Meluasnya lahan kritis
dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: tekanan penduduk,
perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah,
pengelolaan hutan yang tidak baik, dan pembakaran yang tidak terkendali.
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan, pada tahun 2008 terdapat
10 hektar lahan kritis yang berada di Desa Tanjungsari. Tiga desa lainnya
yang masih dalam kawasan Kecamatan Sukaresik juga memiliki lahan kritis
seluas 10 hektar tiap desanya.
3.2.7 Minimnya Kawasan Hutan di Sekitaran Wilayah DAS Citanduy
Kawasan hutan yang semakin berkurang dapat berpengaruh pada
keseimbangan kondisi tata air di DAS, sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas DAS itu sendiri. Hutan yang terdapat di wilayah DAS Citanduy
terdiri atas hutan rakyat dan hutan Negara.
14
Tabel 3 : Data luas hutan wilayah DAS Citanduy tahun 2007
Sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu
kawasan/wilayah minimal harus memiliki kawasan hutan sabagai daerah
penyangga sebesar 30 persen dari luas total wilayah. Jika dilihat dari
perbandingan luas wilayah yang masuk kawasan Citanduy seperti
Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Cilacap, masih kurang
dari jumlah minimum yang diperlukan sebagai suatu kawasan penyangga,
yaitu 30% dari luas wilayah.
Luas kawasan hutan yang ada di Kabupaten Tasik dan Kota Banjar
hanya 24,70% dari luas wilayah, kemudian luas kawasan hutan Kabupaten
Tasikmalaya dan kota Tasikmalaya hanya 26,05% dari luas kawasan. Luas
hutan yang dimiliki Kota Kuningan hampir mendekati 30%, yakni 29,12%
dari luas wilayah. Kota Majalengka memiliki kawasan hutan seluas 19,95%
dari luas wilayahnya, sedangkan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Banyumas memiliki kawasan hutan sebesar 19,60% dari luas wilayah. Hasil
perhitungan ini menunjukkan bahwa luas kawasan di DAS Citanduy belum
mampu menjadi wilayah penyangga dalam menjaga keseimbangan sistem
ekologis.
15
Tabel 4 : perbandingan luas hutan di DAS Citanduy dan luas hutan yang
dibutuhkan menurut UU No.41 Tahun 1999
3.2.8 Pencemaran Sumberdaya Air DAS Citanduy
Air merupakan sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan makhluk
hidup. Pemanfaatan air harus dilakukan secara bijaksana agar
ketersediaan air dapat mencukupi kebutuhan kehidupan generasi sekarang
maupun yang akan datang. Aktivitas kehidupan masyarakat di sekitar DAS
yang sangat tinggi, telah menimbulkan efek terhadap kondisi air di DAS itu
sendiri. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan pertanian,
penebangan hutan, limbah rumah tangga maupun industri dan yang lainnya
dapat mengakibatkan terganggunya kualitas bahkan kuantitas air.
Permasalahan utama yang dihadapi menyangkut sumberdaya air
adalah kuantitas air yang berkualitas sudah tidak dapat lagi memenuhi
kehidupan masyarakat DAS. Beberapa bentuk pencemaran air DAS yang
banyak terjadi diantaranya:
1. Pencemaran oleh kegiatan pertanian
Kegiatan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kualitas air, seperti penggunaan pupuk buatan yang
mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi.
2. Limbah rumah tangga
16
Masyarakat yang bermukim di DAS akan menghasilkan limbah rumah
tangga (organik maupun anorganik) yang dapat mempengaruhi kualitas
air pada perairan sungai.
Masyarakat Desa Tanjungsari pada umumnya adalah petani dan buruh
tani. Luas sawah yang ada di desa ini menempati urutan pertama
dibanding desa-desa lainnya dalam kawasan Kecamatan Sukaresik.
Tabel 5 : Luas tanah sawah pada tahun 2007
Penduduk Desa Tanjungsari masih menggunakan pupuk buatan
dalam mengolah lahan pertaniannya. Limbah pertanian dari lahan
sawah tersebut kemudian dialirkan ke sungai Citanduy oleh masyarakat
petani, sedangkan untuk irigasinya penduduk Desa Tanjungsari lebih
memilih memanfaatkan sungai Cikidang dibanding sungai Citanduy. Hal
ini dikarenakan letak sungai Citanduy yang lebih rendah dibandingkan
sungai Cikidang, sehingga lebih sulit mengalirkan air ke sawah-sawah
yang dimiliki warga. Sehingga penduduk menjadikan Sungai Citanduy
hanya untuk tempat pembuangan limbah pertanian.
Limbah rumah tangga yang dihasilkan penduduk Desa
Tanjungsari juga dialirkan ke sungai Citanduy. Limbah rumah tangga
yang dihasilkan dapat berupa organik maupun anorganik. Pada
umumnya warga yang membangun rumah tepat berada di pinggiran
sungai Citanduy masih membuang limbah rumah tangga mereka ke
sungai tersebut. Hal ini karena menurut mereka lebih praktis jika
17
dibandingkan dengan harus membakar limbah yang anorganik,
sedangkan untuk limbah organik pada umumnya pembuangan
disalurkan ke sungai oleh warga yang bermukim tepat di pingggir
sungai.
3.3 Pengelolaan DAS Citanduy Terpadu
Pengelolaan DAS Terpadu akan dapat dilaksanakan dan diharapkan dapat
mengatasi permasalahan yang ada, melalui upaya pemanfaatan dan konservasi
sumberdaya alam DAS secara efektif dan efisien. Pelaksanaan kegiatan tersebut
harus sesuai dengan kondisi yang ada pada setiap wilayahnya, baik menurut
administratif maupun wilayah hidrologis jaringan sungai (DAS/Sub DAS).
3.3.1 Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citaduy
Pengelolaan DAS Citanduy berada di bawah BP DAS Cimanuk-
Citanduy yang berada di Bandung, Jawa Barat. Balai Pengelolaan DAS
Cimanuk-Citanduy sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial di daerah mempunyai
kewenangan dalam melakukan penyusunan rencana dan program
pengelolaan DAS yang kegiatanya akan diimplementasikan di Dinas
Kabupaten lingkup wilayah kerja BP DAS Cimanuk-Citanduy.
Pengelolaan yang dilakukan pihak BP DAS sendiri mempunyai tiga
bentuk kegiatan pengelolaan, diantaranya yaitu: rencana jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang.
1. Perencanaan Jangka Pendek
Perencanaan jangka pendek yang dilakukan pihak BP DAS
berupa Rencana Teknis Tahunan (RTT). Misalnya, kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui kegiatan vegetatif dan sipil
teknis. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga
daya dukung, produktivitas dan peranannya dapat mendukung sistem
penyangga kehidupan.
2. Perencanan Jangka Menengah
18
Bentuk rencana pengelolaan jangka menengah dapat berupa
Rehabilitasi Hutan dan konservasi Tanah (RLKT). Kegiatan ini
merupakan rencana jangka menengah lima tahun berdasarkan
pendekatan wilayah pengelolaan DAS atau hidrologi sungai. Pada
umumnya kerusakan sumberdaya alam diakibatkan oleh penggunaan
lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan
air. Selain itu usaha tani yang banyak berkembang di masyarakat
umumnya adalah usaha tanam semusim. Bentuk kegiatan lainnya
adalah RHL lima tahun dan Rencana Teknik Social Farestry (RTFS).
Rencana RHL dilakukan sebagai upaya penanganan lahan kritis
yang ada di wilayah DAS. Kemudian RTFS merupakan bentuk
pengelolaan hutan yang diarahkan pada seluruh potensi sumberdaya
hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Out put yang
diharapkan adalah membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat,
meningkatkan partisipasi masyarakat, mempercepat rehabilitasi hutan,
mengendalikan kerusakan sumberdaya hutan dan meningkatkan
kapasitas kelembagaan masyarakat dan aparatur pemerintah.
3. Perencanaan Jangka Panjang
Rencana jangka panjang dikenal dengan istilah Pola Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (Pola RLKT), yakni meliputi kegiatan
jangka panjang 25 tahun. Untuk tahun 2007, perencanaan jangka
panjang yang telah disusun di wilayah BP DAS Cimanuk-Citanduy
adalah Rencana Umum Pengembangan Usaha Bambu. Rencana
umum ini disusun untuk 4 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Garut,
Sumedang, Majalengka dan Tasikmalaya. Ke empat kabupaten ini
dipilih berdasarkan potensi lahan yang dimilikinya yang sesuai untuk
pengembangan tanaman bambu.
3.3.2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten
Tasikmalaya
Upaya pengelolaan DAS yang dilakukan pihak Dishutbun Tasikmalaya
adalah kegiatan konservasi melalui rehabilitasi lahan. Bentuk pelaksanaan
kegiatannya meliputi: Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
19
Lahan (GERHAN), Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), dan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan & Lahan (RHL).
Tahun 2008 Kabupaten Tasikmalaya melakukan kegiatan
penanggulangan lahan kritis seluas 1500 hektar melalui GRLK. Kegiatan
GRLK ini merupakan kegiatan yang bersifat bantuan kepada kelompok tani
berupa bantuan bibit tanaman tahunan produktif siap tanam, yaitu bibit
kayu-kayuan, buah-buahan, hewan ternak dan pembuatan sumur resapan.
Pemberian bantuan disesuiakan dengan permasalahan tiap wilayah
sasaran.
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya,
bantuan yang sesuai untuk Desa Tanjungsari adalah pemberian bibit kayu-
kayuan dan buah-buahan, seperti mahoni, albasia rambutan dan yang
tanaman lainnya. Hal ini karena lahan kritis yang terdapat di desa tersebut
pada umumnya adalah lahan kritits pada areal perkebunan warga. Bentuk
bantuan yang diberikan adalah berupa bibit tanaman untuk di tanam di
areal perkebunan warga. Luas wilayah yang menjadi sasaran di desa ini
adalah 10 hektar lahan kritis yang ada di desa tersebut.
3.3.3 Balai Besar Pengelolaan Citanduy
Balai Besar Wilayah Citanduy melaksanaan pengelolaan DAS
Citanduy dari sisi pengelolaan sumberdaya airnya meliputi: perencanaan,
pelaksanaan, konstruksi dan operasi pemeliharaan. Tujuannya adalah
untuk mewujudkan konservasi sumber daya air, pengembangan sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air
pada wilayah sungai Citanduy. Kegiatan yang direncanakan pihak balai
dalam pengelolaan SDA wilayah Sungai Citanduy dilaksanakan dengan
berpedoman pada Rencana Induk PWS Citanduy tahun 1975, meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1). Rencana Pengembangan Tahap I, terdiri dari :
a) Pengembangan wilayah Sungai Citanduy / Ciseel Hilir
b) Pengembangan Segara Anakan
c) Pengelolaan air wilayah Sungai Citanduy /Ciseel Hulu
d) Pola pengelolaan air untuk keseimbangan daerah
20
2). Rencana Pengembangan Tahap II, meliputi :
a) Peningkatan pengendalian banjir
b) Pengembangan irigasi
c) Penyempurnaan pengendalian sedimen
d) Pengembangan segara anakan
e) Pengaturan air.
3.3.4 Masyarakat Desa Tanjungsari
Partisipasi masyarakat Desa Tanjungsari dalam menjaga kestabilan
DAS masih belum optimal. Menurut Kolopaking dan Tonny (1994), bentuk
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari partisipasi
mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok tani dan
kelompok tradisional. Kelompok Tani Surakatiga yang ada di desa ini
kegiatannya masih seputar peningkatan produksi pertanian. Pengolahan
lahan pertanian yang diterapkan masyarakat desa masih belum
memperhatikan kaidah koservasi lahan dan air. Misalnya, bentuk
pengolahan lahan pertanian yang dilakukan masyarakat masih menerapkan
sistem konvensional (penggunaan pupuk kimia). Meskipun ada di antara
warga yang telah melakukan sistem pengolahan pertanian organik, namun
jumlahnya masih sangat sedikit.
Contoh lainnya yang mencerminkan masih rendahnya partisipasi
masyarakat desa dalam menjaga kestabilan DAS adalah masih banyaknya
warga yang membuang limbah rumahtangga ke DAS, seperti yang
dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Tanaman bambu merupakan tanaman yang memiliki keunggulan
dalam memperbaiki sumber tangkapan air, sehingga mampu meningkatkan
aliran air bawah tanah. Meskipun fungsinya sangat baik dalam konservasi,
namun jumlah tanaman bambu yang terdapat di pinggiran sungai makin
berkurang drastis. Hal ini karena warga yang memiliki lahan di pinggir
sungai kemudian mengubah lahan yang penuh dengan bambu tersebut
menjadi lahan perkebunan (sayur-sayuran, ubi, pisang, dan yang lainnya),
lahan persawahan dan pemukiman, sedangkan untuk bambunya sendiri
21
ada yang dijual warga dan ada yang dimanfaatkan langsung oleh pemilik
lahan.
Perubahan fungsi lahan tersebut disebabkan oleh keterbatasan lahan
yang dimiliki warga, sehingga lahan di pinggiran sungai tersebut juga
dijadikan sebagai lahan lahan pertanian dan pemukiman. Selain itu warga
juga mengakui bahwa lebih baik menanam tanaman untuk konsumsi
keluarga, sehingga dapat dimanfaatkan langsung untuk rumah tangga.
Partisipasi masyarakat di DAS melalui kelembagaan lokal yang ada,
seperti kelompok tani, organisasi pemuda, karang taruna dan lainnya harus
lebih ditingkatkan lagi dalam pengelolaan DAS. Masyarakat sebaiknya
dilibatkan dalam proses perencanaan kegiatan yang dilaksanakan
pemerintah, baik program yang dilaksanakan oleh BP DAS, Balai Besar
maupun Dishutbun. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan diharapkan
dapat membuat masyarakat berkontribusi penuh dalam upaya
pemeliharaan DAS dan dapat lebih menerapkan pola konservasi dalam
memanfaatkan lahan yang ada di DAS.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi
penyangga daerah tengah dan hilir, sehingga sangat penting dilakukan upaya
konservasi dalam pemanfaatan sumberdayanya. Beberapa permasalahan yang
terdapat di DAS Citanduy adalah kurangnya penerapan konservasi terhadap
lahan dan air, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat
mengganggu kondisi hidrologis DAS. Selain itu bentuk-bentuk permasalahan
yang lain diantaranya adalah: kawasan hutan yang semakin sedikit akibat alih
fungsi lahan, yaitu alih fungsi hutan ke bentuk pamanfaatan lain (lahan pertanian
dan pemukiman); lahan kritis yang luasnya semakin bertambah dan pencemaran
lingkungan air DAS.
Menghadapi permasalahan-permasalahan di atas, diperlukan suatu upaya
pengelolaan DAS Terpadu. Pengelolaan DAS Terpadu haruslah melalui
keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan DAS, diantaranya: masyarakat,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP
DAS) Cimanuk-Citanduy, Balai Besar Wilayah Citanduy dan pihak swasta.
4.2 Saran
Untuk menunjang terlaksananya program pengelolaan DAS dengan baik,
maka perlu adanya peran aktif masyarakat dalam pembuatan maupun
pelaksanaan program tersebut, karena masyarakat merupakan pengguna utama
DAS. Selain itu diperlukan juga adanya pengarahan-pengarahan ataupun
23
pembinaan yang lebih intensiv dan terperinci kepada masyarakat dari berbagai
pihak-pihak yang terkait.
24