189
i TESIS PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR CHRISPINIANUS MESIMA NIM 1191061008 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

  • Upload
    hathuan

  • View
    248

  • Download
    10

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

i

TESIS

PENGELOLAAN SAIL INDONESIA

DI DESTINASI WISATA LAYAR

KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE,

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

CHRISPINIANUS MESIMA

NIM 1191061008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 2: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

ii

PENGELOLAAN SAIL INDONESIA

DI DESTINASI WISATA LAYAR

KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE,

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

CHRISPINIANUS MESIMA

NIM 1191061008

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 3: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 5 SEPTEMBER 2013

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.

NIP. 194409231976021002

Pembimbing II,

Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons).

NIP. 196507081992031004

Mengetahui:

Ketua Program Studi Magister

Kajian Pariwisata

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS

NIP. 194409291973021001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A. A, Raka Sudewi, Sp,S(K)

NIP. 195902151985102001

Page 4: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 3 Oktober 2013

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

No. 1867/UN 14.4/HK/2013, Tanggal 30 September 2013

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU

Sekretaris : Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)

Anggota :

1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS

2. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc

3. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP

Page 5: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa,

dengan limpahan Roh Kudus-Nya saya telah menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada yang

terhormat:

1. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU., selaku pembimbing satu yang

dengan kesabaran dan kearifannya telah membimbing saya dalam

membangun konstruksi berpikir mulai dari penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini.

2. Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)., selaku pembimbing dua yang

telah menuntun saya dalam memahami perspektif berpikir secara

komprehensif dan menuntun saya dalam penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD., Rektor Universitas Udayana,

yang telah memberikan kesempatan dan semua fasilitas untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

4. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K)., Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, yang telah menyelenggarakan Program Pascasarjana

dengan segala sarana dan prasarananya.

5. Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana

Universitas Udayana atas motivasi dan kesempatan yang diberikan kepada

penulis selama mengikuti kuliah.

6. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH, MS., selaku dosen penguji yang telah

banyak memberikan arahan dan kritik demi kesempurnaan tesis ini.

Page 6: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

vi

7. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc., selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

8. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP., selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran, petunjuk, maupun koreksi untuk kesempurnaan tesis ini.

9. Bupati Ende yang memberikan kepercayaan dan menugaskan saya untuk

mengikuti Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.

10. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende yang telah

bersedia diwawancarai dan memberikan data penunjang bagi tesis ini.

11. Camat Maurole dan Para Kepala Desa di delapan desa yang menjadi lokasi

penelitian ini yang selalu siap membantu saya dalam penelitian ini.

12. Bapak Raymond T. Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta

Bahari Antar Nusa dan Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional di Dirjen

Pengembangan Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

yang memberikan wawasan dan kesempatan bagi saya untuk menyelami

jiwa dari pengembangan wisata layar.

13. Om Yakobus Ari, selaku budayawan di Kabupaten Ende yang

memberikan wawasan bagi saya dalam memahami nilai-nilai budaya lokal.

14. Bapak Damianus Deda, selaku tokoh masyarakat di Kecamatan Maurole

dan Ibu Sofia Gene yang memfasilitasi saya selama penelitian di Maurole.

15. Seluruh informan lainnya yang tidak saya sebutkan satu per satu, yang

dengan kesabarannya selalu meluangkan waktu untuk diwawancarai.

16. Ayahanda (alm) Hermanus Wilhelmus Ma dan Ibunda (alm) Bernadetha

Fori, Ayahanda Mertua H. Moh. Soegeng Prastowo dan Ibu Mertua Hj.

Page 7: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

vii

Soliqah Istiqomah yang telah memberi restu bagi perjalanan saya dalam

mengikuti program ini.

17. Istriku tercinta Dwi Ratna Prastiwi, SST. Par., yang telah menjadi inspirasi

dan pemicu semangat bagi saya dalam menyelesaikan program ini.

18. Semua kakak dan adik saya, semua kakak dan adik ipar saya, semua

keponakan saya yang telah memberikan dorongan moral dan material

sehingga saya dapat mengikuti program ini dengan baik.

19. Kepada mereka yang telah memberikan dorongan dan dukungan moral dan

material, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya menyampaikan

ucapan terima kasih tiada terhingga.

Saya menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya berharap

bermanfaat bagi para pembaca khususnya karyasiswa Program Studi Magister

Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.

Denpasar, 3 Oktober 2013

Chrispinianus Mesima

Page 8: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

viii

ABSTRAK

PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR

KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA

TENGGARA TIMUR

Sejak tahun 2007 Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa

Tenggara Timur disinggahi oleh kapal wisata (yacht) yang mengikuti reli kapal

layar internasional – Sail Indonesia. Hal ini berarti sudah enam tahun Maurole

menjadi destinasi singgah, namun belum ada perencanaan pariwisata kawasan

untuk pengembangannya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi

Maurole, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan dan faktor-

faktor yang mendukung pengembangan Maurole sebagai pariwisata alternatif.

Diharapkan kajian ini menjadi masukan bagi pemangku kepentingan dalam

pengembangan destinasi wisata layar.

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma interpretatif ilmu

sosial dengan pendekatan kualitatif, sehingga metode analisis data yang

digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Analisa dilakukan untuk

mengidentifikasi potensi, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku

kepentingan, dan mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengelolaan destinasi

wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif. Untuk itu, penelilitan ini

menggunakan teori tourism area life cycle, teori partisipasi dan teori perencanaan.

Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, pelaku usaha, dan

masyarakat. Salah satu sumber data sekunder adalah peserta reli yang telah

mengemukakan pendapat mereka mengenai Sail Indonesia melalui internet dan

media terkait lainnya.

Hasil kajian sebagai berikut. Pertama, Maurole memiliki kekhasan lokal

(local distinctiveness) yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata

yang terletak dekat dan mudah diakses dari titik labuh. Dalam siklus hidup

destinasi pariwisata, Maurole berada pada tahap involvement. Kedua, pengelolaan

lokasi labuh, atraksi seni budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole

telah memicu pengembangan destinasi wisata secara keseluruhan. Partisipasi

pemangku kepentingan dalam pengelolaam Sail Indonesia terdiri dari induced

participation dan partisipasi inisiasi. Nilai budaya juga mendukung partisipasi

dari masyarakat dalam menyambut wisatawan. Nilai budaya itu adalah “ata mai

(tamu) ata ji’e (orang baik)”. Keempat, faktor-faktor yang mendukung

pengembangan Maurole mencakup faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal terdiri atas potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan, dan

posisi geografis dari Maurole pada rute perjalanan yacht. Faktor eksternal

mencakup kebijakan pemerintah, persepsi wisatawan, sistem wisata layar, dan

wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi.

Pengembangan destinasi wisata layar Maurole harus mempertimbangkan

motivasi dari perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan

perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif.

Kata kunci: destinasi, partisipasi, pengelolaan, Sail Indonesia.

Page 9: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

ix

ABSTRACT

MANAGEMENT OF SAIL INDONESIA IN SAIL DESTINATION OF

MAUROLE, ENDE REGENCY, EAST NUSA TENGGARA PROVINCE

Since 2007, Maurole, a sub-district in Ende Regency, East Nusa Tenggara

Province, Indonesia has been visited by yachts that participated in the

international yacht rally - Sail Indonesia. It means six years Maurole has became a

sail destination, but there is no planning for regional tourism development. This

study aimed to identify Maurole’s potential, reviewing management and

stakeholder’s participation and the factors that support the development of

Maurole as an alternative tourism especially for sail destination. It is expected that

result of this study can be utilized as input for development of Maurole as a sail

destination.

This study was designed to use the interpretive social science paradigm with a

qualitative approach. The data analysis method used was descriptive qualitative

method. Analysis undertaken to identify the potential, assessed management and

stakeholder’s participation, and examined factors that support the development of

Maurole as sail destination. Therefore, this study utilized tourism area life cycle

theory, participation theory, and planning theory. Primary data were obtained

from informants (government, the tourism industry, and society). One of the

secondary data sources was information of the rally participants, the information

of which expressed through the internet and other related published media.

Results of the study provided an overview of the following: First, Maurole

has local distinctiveness that is the presence of several indigenous villages and

tourist attractions are located nearby and easily accessible from the anchorage

area. In the tourism area life cycle, Maurole is considered at the stage of

involvement. Second, anchoring site management, art and cultural attractions, and

tour management in Maurole had triggered the development of a tourist

destination as a whole. Third, the participation of stakeholders consisted of

induced participation and initiation participation. Cultural values “ata mai (guest)

ata jie (good people)” also supports participation of the community in welcoming

tourists. Fourth, the factors that supported the development of Maurole included

internal factors and external factors. The internal factors consisted of potential,

management, stakeholder participation, and the geographical position of Maurole

on the yacht trip. External factors included government policies, the perception of

tourists, sailing tourism system, and sailing tourism as a trigger for the

development of tourism destinations.

Development of Maurole should consider the motivation of planning,

regional tourism planning, planning approaches, and planning based on the values

of alternative tourism.

Keywords: destination, participation, management, Sail Indonesia.

Page 10: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

x

RINGKASAN

Aktivitas wisata layar di Indonesia oleh kapal jenis yacht sudah ada sejak

tahun 1973 ditandai dengan pelayaran yang dilakukan dari Darwin menuju ke

Indonesia melalui kegiatan lomba layar (yacht race) yaitu Darwin – Ambon Race.

Pada tahun 2003 dikembangkan Darwin – Kupang Rally, yang sejak Tahun 2005

namanya menjadi Sail Indonesia. Kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten

Ende sejak Tahun 2007 setelah Kecamatan Maurole ditetapkan menjadi destinasi

singgah Sail Indonesia. Kendatipun Maurole sudah menjadi destinasi singgah,

belum ada perencanaan yang komprehensif dalam pengelolaannya. Idealnya, ada

perencanaan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi Maurole sebagai

destinasi singgah Sail Indonesia, (2) mengkaji pengelolaan dan partisipasi

pemangku kepentingan pariwisata dalam Sail Indonesia di destinasi singgah

Maurole, dan (3) mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan

destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende.

Dengan tujuan itu, maka penelitian ini hanya mengkaji aspek penawaran (supply)

dari destinasi wisata layar Maurole.

Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan

menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial dengan pendekatan kualitatif.

Oleh karenanya, metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif

kualitatif. Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, industri

Page 11: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xi

pariwisata, dan masyarakat yang terkait dengan aktivitas destinasi singgah

Maurole. Salah satu sumber data sekunder adalah informan dari peserta reli Sail

Indonesia di Maurole yang telah mengemukakan pendapat mereka melalui

internet dan media terkait lainnya.

Hasil kajian penelitian ini mengungkapkan bahwa Maurole memiliki potensi

dan kekuatan sebagai sebuah destinasi wisata layar karena ditunjang oleh

komponen destinasi pariwisata, yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary

services. Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangannya,

maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup destinasi

pariwisata. Pemahaman akan posisi dalam siklus hidup destinasi bermanfaat

sebagai bahan untuk perencanaan pariwisata kawasan.

Penelitian ini juga mengungkapkan tentang pengelolaan dan partisipasi

pemangku kepentingan di destinasi wisata layar Maurole. Pertama, pengelolaan

destinasi Maurole mencakup pengelolaan areal titik labuh, pengelolaan atraksi

seni dan budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata. Pengalaman masyarakat

dalam ikut mengelola destinasi Maurole membangkitkan keyakinan bahwa

mereka memiliki kemampuan untuk secara mandiri memberikan pelayanan

kepada wisatawan.

Kedua, adanya pengelolaan destinasi menandakan adanya partisipasi

pemangku kepentingan pariwisata. Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan

menjadikan Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia.

Kosekuensinya adalah pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan anggaran

untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Partisipasi pelaku usaha pariwisata

Page 12: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xii

ditunjukkan melalui penanganan perjalanan wisata, penyediaan transportasi, dan

pemanduan perjalanan wisata. Partisipasi masyarakat dilakukan di areal titik

labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan.

Ketiga, penelitian ini menemukan bahwa tipe partisipasi pemangku

kepentingan khususnya masyarakat adalah tipe induced participation yaitu

partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya.

Partisipasi masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi inisiasi yaitu

masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di wilayahnya. Nilai

budaya yang memengaruhi adanya partisipasi masyarakat adalah nilai budaya ata

mai (orang yang datang/tamu) adalah ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap

membawa keselamatan. Semakin banyak tamu yang datang, diyakini semakin

banyak rejeki yang akan diterima. Karena itu, tuan rumah mau menunjukkan

kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu

dengan baik. ‘Kita simo tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar

nama kita tidak jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk menjaga waka atau

menjaga waka nga’a (waka/waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam

tradisi Bali).

Kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi

wisata layar menemukan adanya dua faktor pendukung yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal merupakan gambaran keberadaan sebuah

destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya (services) yang melibatkan

semua pemangku kepentingan. Faktor ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah

Page 13: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xiii

destinasi’. Faktor internal terdiri dari potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku

kepentingan, dan posisi geografis Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata.

Faktor eksternal meliputi beberapa hal. Pertama, kebijakan pemerintah pusat

dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan

Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke

Indonesia. Regulasi ini membuka peluang lebih lebar bagi berkembangnya

aktivitas wisata layar. Kedua, pelitian ini menemukan bahwa komponen sistem

wisata layar ikut memengaruhi keberadaan destinasi wisata. Ketiga, persepsi

wisatawan merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh wisatawan lain untuk

singgah atau tidak di destinasi Maurole. Keempat, penelitian ini mengungkapkan

bahwa wisata layar yang terwujud melalui kegiatan Sail Indonesia memicu

pengembangan destinasi singgah Maurole.

Beberapa hal perlu diperhatikan dalam perencanaan pariwisata kawasan

Maurole sebagai destinasi wisata layar, yaitu: penetapan lokasi yang menjadi

fokus pengembangan titik labuh di Maurole; pengembangan Maurole yang sesuai

dengan kebutuhan yang spesifik untuk melayani kapal-kapal wisata; fasilitas di

areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara keseluruhan dirancang agar

bermanfaat juga bagi masyarakat setempat; prasarana pendukung yang perlu

dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan

sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi, bahan bakar minyak,

perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan; perancangan yang mencakup

aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan; dan pengembangan

destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat.

Page 14: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ………………………………………………………..

i

PRASYARAT GELAR ……………………………………………………

ii

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………

iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………

iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………

v

ABSTRAK …………………………………………………………………

viii

ABSTRACT ……………………………………………………………….

ix

RINGKASAN ……………………………………………………………...

x

DAFTAR ISI ………………………………………………………………

xiv

DAFTAR TABEL …………………………………………………………

xix

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………

xx

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xxi

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………......... 8

1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….......

1.3.1 Tujuan Umum ……………………………………………...

1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………..........

9

9

9

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 9

Page 15: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xv

1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………

1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………..

9

9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN ……………………………………

11

2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………………

11

2.2 Konsep ……………………………………………………………

2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi

Wisata Layar ……………………………………………….

2.2.2 Sail Indonesia ………………………………………………

2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia ………..

2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata

Alternatif …………………………………………………...

15

15

19

22

22

2.3 Landasan Teori……………………………………………………

2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata

(Tourism Area Life Cycle) ………………………...............

2.3.2 Teori Partisipasi…………………………………………….

2.3.3 Teori Perencanaan ………………………………...............

25

26

28

30

2.4 Model Penelitian ………………………………………………….

33

BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………...

36

3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………….

36

3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………………

38

3.3 Jenis dan Sumber Data …………………………………………...

3.3.1 Jenis Data …………………………………………………..

3.3.2 Sumber Data ……………………………………………….

42

42

42

3.4 Instrumen Penelitian …………………………………………….. 43

Page 16: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xvi

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………. 44

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ……………………………….. 45

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ………………

45

BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE …………... 46

4.1 Keadaan Fisik Wilayah ………………………………………….. 47

4.2 Potensi Wilayah ………………………………………………….. 48

4.3 Sumber Daya Pariwisata Maurole ………………………………..

51

4.3.1 Sumber Daya Alam ………………………………………..

51

4.3.2 Sumber Daya Manusia …………………………………….

53

4.3.3 Sumber Daya Budaya ……………………………………...

53

BAB V POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH

SAIL INDONESIA ………………………………….....................

55

5.1 Atraksi Wisata ……………………………………………………

5.1.1 Desa Otogedu ………………………………………………

55

55

5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial,

dan Ekonomi ……………………………………….

55

5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu ……………………........

57

5.1.2 Desa Mausambi …………………………………………….

60

5.1.2.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,

Sosial, dan Ekonomi ………………………………..

60

5.1.2.2 Atraksi Wisata di Mausambi ……………………….

61

5.1.3 Desa Maurole ………………………………………………

63

5.1.3.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,

Sosial, dan Ekonomi ………………………………..

63

5.1.3.2 Atraksi Wisata di Maurole ………………………… 64

Page 17: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xvii

5.1.4 Desa Watukamba …………………………………………..

66

5.1.4.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,

Sosial, dan Ekonomi ………………………………..

66

5.1.4.2 Atraksi di Watukamba ……………………………...

67

5.2 Aksesibilitas ……………………………………………………...

71

5.3 Amenitas ………………………………………………………….

74

5.4 Ancillary Services ………………………………………………...

78

BAB VI PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI

SINGGAH SAIL INDONESIA ………………………………….

81

6.1 Pengelolaaan Areal Titik Labuh ………………………………….

81

6.2 Pengelolaan Atraksi Seni Budaya ………………………………..

88

6.3 Pengelolaan Perjalanan Wisata …………………………………..

91

6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata …………………..

97

6.4.1 Partisipasi Pemerintah ……………………………………...

98

6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha …………………………………...

100

6.4.3 Partisipasi Masyarakat ……………………………………..

101

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG

PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA LAYAR

MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF ………

111

7.1 Faktor Internal …………………………………………………....

111

7.2 Faktor Eksternal ………………………………………………….

118

7.2.1 Kebijakan Pemerintah ……………………………………...

119

7.2.2 Sistem Wisata Layar ……………………………………….

120

7.2.3 Persepsi Wisatawan ………………………………………..

125

7.2.4 Wisata Layar Sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi …. 129

Page 18: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xviii

7.3 Rencana Pengembangan Wisata Layar …………………………..

133

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………....

138

8.1 Simpulan ………………………………………………………….

138

8.2 Saran ……………………………………………………………...

141

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...

143

LAMPIRAN – LAMPIRAN …………………………………………….... 148

Page 19: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

4.1 Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole

Tahun 2011…………………………………………………………….

46

4.2

Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole …………………... 47

5.1 Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian ………...

64

5.2 Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi Antarkota

dari dan ke Kecamatan Maurole ……………………………………….

72

5.3 Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole ……………….

76

5.4 Fasilitas Pendukung (amenitas) Lainnya di Kecamatan Maurole ……..

77

5.5 Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di

Destinasi Singgah Maurole …………………………………………….

79

6.1 Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di

Titik Labuh – Destinasi Singgah Keamatan Maurole ………………….

84

6.2 Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole …………………..

89

6.3 Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia di Maurole …….

92

6.4 Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi

Singgah Maurole ……………………………………………………….

98

6.5 Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di

Destinasi Singgah Maurole dan Parameternya ………………………...

109

7.1 Substansi Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole

Berdasarkan Unsur yang Dinilai ……………………………………….

126

Page 20: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia …………………………………………

21

2.2 Model Penelitian ……………………………………………………….

35

3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur …………………………………...

40

3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole ……………...

41

4.1 Areal Persawahan di Maurole ………………………………………….

49

5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak …………………...

58

5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara Desa Mausambi ……………

63

5.3 Kunjungan ke SD Maurole …………………………………………….

65

5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki …………………..

68

5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba ……………………...

69

6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi …………………………………………

88

6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi ……………………………….

90

6.3 Penari di Desa Nualise …………………………………………………

91

6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012 …………………………………………..

96

6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah …………………..

104

6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka ……... 106

6.7

Tetua Adat di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia ………………

108

7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar ……………………………..

124

7.2 Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata …………….

124

7.3

7.4

Titik Labuh Pantai Nanganio ………………………………………….

Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung

Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar ……………..

127

132

Page 21: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara dengan Aparat Desa,

Masyarakat Desa, Operator, dan Tim Teknis …………..

149

Lampiran 2 : Pedoman Wawancara dengan Masyarakat ………………

153

Lampiran 3 : Pedoman Wawancara dengan Pemerintah Daerah,

Aparat Desa, dan Tim Teknis ……………………………

154

Lampiran 4 : Pedoman Wawancara dengan Pemerintah,

Industri, dan Masyarakat…………………………………

156

Lampiran 5 : Pedoman Wawancara dengan Ahli dan Tokoh

Masyarakat ………………………………………………

159

Lampiran 6 : Daftar Informan …………………………………………

161

Lampiran 7 : Foto-foto Kegiatan Sail Indonesia ……………………….

165

Lampiran 8 : Foto-Foto Penelitian……………………………………..

167

Page 22: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

wilayah laut seluas 5,8 juta km². Wilayah laut itu terdiri dari wilayah teritorial

seluas 3,2 juta km² dan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia 2,7 juta

km². Selain itu, terdapat 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km.

(Lukita, 2012). Fakta fisik ini menunjukkan “wilayah laut mencakup dua per tiga

luas wilayah Indonesia” (Mina Bahari, 2013: 9).

Terkait dengan fakta mengenai wilayah negara kepulauan itu, Dahuri (2009:

2) menyebutkan bahwa kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat

ideal bagi aktivitas pariwisata bahari, yaitu: berjemur di pantai, berenang di laut

yang jernih, olah raga air (selancar angin, selancar, paralayang di air, kayak,

katamaran), wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal jenis

yacht (ocean yachting), wisata dengan kapal jenis cruise (cruising), memancing,

menyelam, snorkeling, fotografi bawah laut, taman laut, rekreasi bermain kano

(canoeing), taman pesisir laut, suaka margasatwa, dan kampung nelayan.

Menurutnya, jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini

dikembangkan, maka nilai ekonominya sangat besar. Diuraikannya, pada tahun

2003, negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai 2100 km

dapat meraup devisa dari pariwisata bahari sebesar US$ 2,1 milyar, sedangkan

Page 23: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

2

devisa dari sektor pariwisata bahari di Indonesia baru mencapai sekitar US$ 1

milyar per tahun.

Fakta ini menggambarkan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan

potensi wisata bahari. Hal ini berakibat pada aspek-aspek terkait lainnya yaitu

hilangnya peluang pengembangan industri bahari, peluang edukasi kebaharian,

teknologi kebaharian, perangkat keras, telekomunikasi dan navigasi, perangkat

lunak kemaritiman, pemetaan global (global mapping), acara-acara kemaritiman

internasional, peluang pekerjaan dalam konteks bahari internasional, dan basis

data kebaharian (Lesmana, 2012: 3).

Dalam ranah wisata layar yang merupakan salah satu bentuk aktivitas wisata

bahari, Caribbean Tourism Organization (2008: 61) menyebutkan bahwa jenis

wisata layar mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setidaknya

terdapat 10 juta aktivitas wisata layar di dunia setiap tahunnya. Jumlah itu

mencakup 2,5 juta aktivitas wisata layar yang dilakukan oleh penduduk Amerika

dan 1 juta aktivitas wisata layar yang dijalankan oleh penduduk Inggris.

Kenyataan itu menggambarkan bahwa terbentang kesempatan yang luas untuk

mengembangkan destinasi wisata layar oleh para pelaku aktivitas wisata ini.

Di Indonesia, menurut Lesmana (2012: 4) aktivitas wisata layar yang

dilakukan oleh kapal jenis yacht, (istilah “yacht” digunakan secara bergantian

dengan istilah “kapal layar”, atau “kapal wisata” dengan pengertian yang sama),

sudah berlangsung sejak tahun 1973 melalui kegiatan lomba kapal layar (yacht

race) yaitu Darwin-Ambon Race. Lomba kapal layar dengan rute Darwin-Ambon

Page 24: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

3

ini berlangsung hingga tahun 1998. Aktivitas layar berikutnya adalah Darwin-Bali

Race tahun 2000-2004 dengan rute Darwin-Bali.

Terkait kegiatan reli kapal layar, Lesmana (2012) juga menjelaskan bahwa

reli kapal layar (yacht rally) di Indonesia dimulai dengan adanya kegiatan

Indonesia Marine Tournament dengan rute Darwin-Bali (2003-2004) dan Darwin

Kupang Rally dengan rute Darwin-Kupang (2003-2005). Nama Sail Indonesia

mulai digunakan sejak tahun 2005 hingga saat ini untuk mengganti nama Darwin-

Kupang Rally, dengan memanfaatkan rute reli yang disebut Indonesian Passage

yang meliputi beberapa destinasi singgah di Indonesia. Terdapat juga beberapa

kegiatan wisata layar seperti fun sailing dengan rute Darwin-Saumlaki (2005),

lomba layar Darwin-Ambon Race (2006), Singapore Straight Regata (dengan rute

Singapura-Batam), fun sailing Fremantle-Bali (dengan rute Fremantle-Bali tahun

2012). Aktivitas reli kapal layar berikutnya adalah Back to Down Under Rally

yang mulai diadakan sejak tahun 2012 hingga saat ini dengan rute Tarakan sampai

Papua.

Dalam kegiatan reli kapal layar Sail Indonesia, kapal-kapal layar masuk ke

perairan Indonesia di bagian selatan dari Darwin, Australia. Pelabuhan masuk

(entry port) yang digunakan adalah Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan

Saumlaki di Provinsi Maluku. Selama di Indonesia, kapal-kapal itu melewati rute

sepanjang perairan di utara Pulau Flores dalam pelayarannya menuju ke bagian

barat wilayah Indonesia. Destinasi di Pulau Flores yang secara nyata telah

disinggahi oleh kapal layar adalah Larantuka di Kabupaten Flores Timur,

Maumere di Kabupaten Sikka, Maurole di Kabupaten Ende, Riung di Kabupaten

Page 25: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

4

Ngada, dan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat (SailToIndonesia, 2012).

Kenyataan ini menggambarkan bahwa secara geografis, perairan di sebelah utara

Pulau Flores merupakan jalur bagi kapal layar.

Tahun 2007 kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten Ende yaitu

melalui Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Di tahun-

tahun berikutnya, destinasi ini juga mulai disinggahi oleh kapal-kapal wisata yang

melakukan perjalanan secara individu bukan melalui event wisata tertentu.

Sebelumnya, akses wisatawan melalui laut ke Kabupaten Ende hanya dilakukan

melalui Pelabuhan Ende dan Pelabuhan Ipi yang berlokasi di pesisir selatan Pulau

Flores. Wisatawan datang atau meninggalkan Ende melalui kedua pelabuhan itu,

menggunakan kapal feri atau kapal motor penumpang yang dikelola oleh PT.

Pelni. Pelabuhan asal atau pelabuhan tujuan wisatawan antara lain Kupang, Sabu,

Sumba, Bima, dan Benoa, Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa destinasi

Maurole menjadi salah satu akses bagi wisatawan ke Kabupaten Ende melalui

pesisir utara di Pulau Flores (Disbudpar, 2009).

Disadari ada fakta yang menunjukkan bahwa akses melalui laut ke

Kabupaten Ende tidak hanya terbatas melalui kedua pelabuhan yang ada, namun

dapat juga melalui Maurole. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan

wisata layar dapat menembus keterisolasian pulau-pulau kecil yang memiliki

potensi wisata bahari, tetapi sulit diakses karena keterbatasan infrastruktur dan

fasilitas pariwisata (Budhiana, N, 2012).

Realitas kehadiran kapal – kapal wisata di sejumlah destinasi singgah, di

satu sisi menciptakan peluang bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya

Page 26: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

5

sebagai destinasi wisata layar, namun di sisi lainnya peluang ini melahirkan

masalah tersendiri. Misalnya, masalah kemampuan stakeholder di destinasi dalam

memanfaatkan peluang itu, masalah partisipasi dan koordinasi antarpemangku

kepentingan, dan masalah pengelolaan destinasi.

Partisipasi pemangku kepentingan pun menjadi perlu diperhatikan dengan

seksama karena keterlibatannya sangat dipengaruhi oleh bagaimana sebuah

destinasi dikelola. Pelibatan pemangku kepentingan sejak awal sangat dibutuhkan

untuk membangkitkan kepercayaan akan potensi dan kemampuan destinasi dalam

memanfaatkan peluang pengembangan wisata layar. Partisipasi pengambil

kebijakan pariwisata, pelaku pariwisata, dan masyarakat lokal sangat

memengaruhi keberlangsungan keberadaan destinasi. Misalnya, masyarakat lokal

akan enggan ikut teribat dalam memanfaatkan peluang, jika pemerintah daerah

tidak melibatkannya dalam upaya pengembangan destinasi. Pelaku pariwisata juga

menjadi kurang bergairah memanfaatkan peluang ekonomi yang timbul dari

kehadiran kapal-kapal wisata manakala ruang untuk keterlibatannya tidak terbuka.

Keterlibatan masyarakat dalam pariwisata di sebuah destinasi akan dapat

membantu peningkatan ekonomi masyarakat di destinasi itu. Menurut Yoeti

(2008: 18) keterlibatan langsung masyarakat dalam program-program pariwisata

adalah melalui pemanfaatan hasil kerajinan tangan, hasil pertanian, peternakan,

perikanan, perkebunan, produk hasil seni dan budaya tradisional serta

pengembangan desa wisata.

Pada kenyataanya, pemangku kepentingan baik industri, masyarakat,

maupun pemerintah telah berupaya untuk memastikan bahwa potensi wisata layar

Page 27: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

6

itu dimanfaatkan. Kalangan industri secara nyata turut berperan dalam

memberikan pelayanan, misalnya melalui pengemasan kunjungan wisata di darat

bagi wisatawan kapal layar yang singgah di destinasi tertentu. Demikian pun

dengan masyarakat di titik singgah kapal layar, mereka ikut terlibat dalam

memberikan pelayanan wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke

wilayahnya. Memanfaatkan kehadiran wisatawan itu, masyarakat, antara lain,

menyediakan jasa maupun barang-barang kebutuhan wisatawan. Pemerintah

Indonesia memberikan kemudahan bagi masuknya kapal wisata (yacht) asing ke

Indonesia dengan menerbitkan peraturan khusus tentang masuknya kapal wisata

yaitu Perpres No. 79 Tahun 2011. Peraturan presiden ini dikeluarkan setelah

periode lebih dari tiga dasawarsa perkembangan aktivitas wisata layar di

Indonesia.

Ada dua dasar pertimbangan lahirnya peraturan ini. Pertama, bahwa

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya sebagai modal dasar untuk

mengembangkan industri wisata bahari. Kedua, bahwa dalam rangka

mengembangkan industri wisata bahari dan meningkatkan perekonomian

masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan pedalaman, perlu diberikan

kemudahan bagi kapal wisata asing yang berkunjung ke Indonesia. Pertimbangan

kedua kiranya perlu diapresiasi bahwa pemerintah kian menyadari potensi wisata

bahari, khususnya potensi wisata layar dengan kehadiran kapal wisata, sebagai

salah satu alternatif yang dapat menunjang upaya pengembangan industri wisata

bahari. Bagi daerah, seperti Pulau Flores, yang secara geografis berada dalam

Page 28: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

7

jalur pelayaran kapal wisata, kebijakan pemerintah ini merupakan peluang untuk

membangun industri wisata bahari di daerahnya.

Maurole telah menjadi sebuah destinasi yang disinggahi kapal wisata dalam

enam tahun terakhir, namun belum ada perencanaan yang komprehensif dalam

pengelolaan dan pengembangannya. Idealnya, ada perencanaan yang sifatnya

jangka panjang dan berkelanjutan. Perencanaan dimaksud dapat menjadi landasan

bagi daerah untuk memanfaatkan peluang berkembangnya wisata layar. Dengan

kalimat ain, dalam rangka mengelola kegiatan pariwisata yang lebih profesional,

dibutuhkan adanya perencanaan yang terpadu dan berkesinambungan (Paturusi,

2008: 6).

Upaya pengembangan destinasi wisata, termasuk destinasi yang memiliki

potensi wisata bahari, memerlukan kajian menyeluruh terhadap berbagai aspek.

Hal ini, menurut Yoeti (2008: 18), disebabkan karena sebagai suatu industri,

pariwisata mencakup aspek-aspek yang amat luas dan menyangkut berbagai

kegiatan ekonomi masyarakat. Karena itu, pengembangan sebuah destinasi

mencakup beberapa elemen. Cooper, et al., (1996) menyebutkan bahwa elemen

dasar destinasi terdiri dari “4A”, yaitu attraction, accessibility, amenity, dan

ancillary services. Dalam konteks ekonomi, keempat elemen itu merupakan

komponen penawaran (supply) pariwisata, seperti yang dikemukakan Yoeti (2008:

163) bahwa yang termasuk dalam pengertian penawaran dalam industri pariwisata

adalah semua bentuk daya tarik wisata (tourist attractions), semua bentuk

kemudahan untuk memperlancar perjalanan (accssesibilities), dan semua bentuk

fasilitas dan pelayanan (facilities and services) yang tersedia pada suatu destinasi

Page 29: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

8

wisata, yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan selama

mereka berkunjung ke destinasi tersebut.

Dengan demikian, destinasi menempati posisi yang sangat penting, dan

menurut Cooper et.al., (1996) destinasi mempertemukan seluruh aspek pariwisata

– permintaan, transportasi, penawaran, dan pemasaran – dalam sebuah kerangka

kerja yang bermanfaat. Walaupun demikian, penelitian ini hanya mencakup aspek

penawaran (supply) dari sebuah destinasi wisata. Dengan kalimat lain, kajian

penelitian ini dibatasi pada beberapa komponen aspek penawaran dari destinasi

Maurole. Dalam konteks destinasi wisata yang baru mulai berkembang seperti

Maurole, pengembangan destinasi dengan pendekatan yang partisipatif, dan

pendekatan berbasis pariwisata alternatif menjadi sebuah objek kajian yang

menarik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

permasalan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia?

2. Bagaimana pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia?

3. Faktor-faktor apakah yang mendukung pengembangan destinasi wisata

layar Maurole sebagai pariwisata alternatif?

Page 30: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

9

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan memahami gejala kepariwisataan yang

terkait dengan wisata layar di Maurole dan mengkaji pengembangan destinasi

wisata layar sebagai pariwisata alternatif.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail

Indonesia.

2. Mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan pariwisata

dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole.

3. Mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata

layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dalam

kaitan dengan pemanfaatan teori-teori, konsep, dan model penelitian untuk

mengkaji gejala pariwisata dan memberikan tambahan wawasan di bidang

pariwisata, khususnya dalam memahami destinasi wisata layar dan perencanaan

pengembangannya sebagai pariwisata alternatif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis kepada sejumlah

pihak yang terkait dengan penelitian ini. Bagi pemerintah daerah di Kabupaten

Page 31: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

10

Ende khususnya dan Flores pada umumnya, hasil penelitian ini diharapkan

bermanfaat sebagai masukan dalam pembuatan perencanaan pengembangan

destinasi wisata layar. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi

pemangku kepentingan pariwisata lainnya yakni masyarakat dan industri

pariwisata untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan destinasi wisata layar.

Page 32: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Untuk memperoleh perspektif yang jelas sebagai titik tolak dalam mencapai

tujuan penelitian, maka dikemukakan sejumlah penelitian terdahulu dan referensi

ilmiah yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Karena itu, penelusuran

penelitian dan referensi ilmiah mencakup tema wisata bahari, wisata layar, dan

pengembangan destinasi wisata.

Penelitian ini mengacu pada lima penelitian yang membahas topik potensi

wisata bahari, pengelolaan destinasi, partisipasi pemangku kepentingan, dan

rencana pengembangan destinasi. Kelimanya tidak terkait langsung dengan

destinasi wisata layar ataupun destinasi singgah Sail Indonesia, namun dianggap

relevan dengan penelitian ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Derksen

(2007), yaitu “Nautical Tourism Potential in Dalmatia Dubrovnik Region”.

Penelitian dalam bentuk disertasi ini menganalisis alasan dan motivasi

Kementerian Pariwisata di Croatia tidak memasukkan wisata bahari di Dubrovnik

dalam rencana strategisnya. Selain itu, mencermati dampak dari keputusan itu

bagi pengembangan wisata bahari. Lebih jauh penelitian itu mengkaji apa yang

ditawarkan Dalmatia Dubrovnik bagi wisatawan yang menikmati wisata bahari,

bagaimana sektor ini dikembangkan, dan rencana pengembangan wisata bahari

lebih lanjut. Kajian mengenai wisata bahari dan konsep wisata bahari termasuk

Page 33: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

12

konsep wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam

memahami wisata layar dalam penelitian ini.

Kedua, penelitian yang dilakukan Wirawan (2009) tentang pengembangan

daya tarik wisata bahari secara berkelanjutan di Nusa Lembongan, Kabupaten

Klungkung. Penelitian ini berfokus pada tiga hal yaitu bentuk pengembangan daya

tarik wisata bahari, peran pemangku kepentingan, dan manfaat dari

pengembangan daya tarik wisata bahari yang mencakup manfaat ekonomi,

manfaat sosial budaya, dan manfaat lingkungan. Kajiannya menggunakan teori

perencanaan, teori partisipasi dan teori pengelolaan alam secara berkelanjutan.

Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini menunjukkan bahwa pengembagan daya

tarik wisata bahari di Nusa Lembongan menggunakan pendekatan integrated

planning, dengan mengoptimalkan pelibatan komunitas, penataan fasilitas dan

penyediaan infrastruktur serta diversifikasi aktivitas dan paket wisata. Teori

partisipasi, teori perencanaan, optimalisasi pelibatan komunitas, dan diversifikasi

aktivitas dan paket wisata dijadikan acuan oleh penelitian ini untuk memahami

pengelolaan destinasi dan upaya pengembangan destinasi wisata.

Ketiga, penelitian oleh Murdana (2010) yang mengkaji pengembangan

pariwisata Pulau Gili Trawangan berbasis ekowisata bahari. Penelitian dalam

bentuk tesis ini menggunakan pendekatan pariwisata berkelanjutan, pendekatan

pariwisata alternatif, dan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan

teori yang diaplikasikannya mencakup teori perencanaan, teori siklus hidup area

wisata, dan teori adaptasi. Penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji

pengembangan destinasi dengan pendekatan pariwisata alternatif.

Page 34: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

13

Keempat, terkait kajian mengenai karakteristik destinasi wisata, terdapat

penelitain mengenai karakteristik pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata

bahari yang dilakukan oleh Gautama (2011). Dalam bentuk tesis, secara khusus, ia

mengevaluasi perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Kajiannya antara lain

mengulas tentang karakteristik pantai yang cocok untuk pengembangan wisata

bahari. Pemahaman akan karakteristik sebuah destinasi wisata bahari dalam

penelitian ini dijadikan acuan untuk memahami karakteristik titik labuh di sebuah

destinasi singgah kapal layar.

Kelima, penelitian mengenai keberadaan Pulau Flores dalam kaitannya

dengan siklus hidup destinasi wisata dilakukan oleh Tallo (2011). Ia melakukan

kajian tentang strategi pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai

destinasi pariwisata berkelanjutan. Penelitian dalam bentuk tesis ini antara lain

menganalisis kepariwisataan di masing-masing kabupaten di Flores dalam

hubungannya dengan siklus hidup pariwisata. Salah satu temuannya adalah Pulau

Flores berada pada tahap siklus hidup destinasi pariwisata yaitu tahap exploration

dan tahap involvement. Temuan dalam penelitian ini dipakai sebagai acuan untuk

memahami tahap pengembangan destinasi wisata layar dalam kerangka siklus

hidup sebauah destinai wisata.

Secara umum, keempat penelitian yang disebutkan terdahulu bertema pokok

wisata bahari. Tema itu memayungi aspek-aspek yang dikaji seperti

pengembangan kawasan pesisir, karakteristik wilayah kajian, partisipasi

pemangku kepentingan, siklus hidup destinasi pariwisata, dan pola pengembangan

pariwisata terpadu baik dalam kerangka ekowisata dan keberlanjutan

Page 35: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

14

(sustainability). Penelitian terakhir mencakup kajian yang lebih luas terhadap

kepariwisataan di kabupaten-kabupaten di Pulau Flores dengan sudut pandang

pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan.

Tema pokok penelitian ini sama dengan empat penelitian terdahulu. Namun,

penelitian ini secara khusus mengkaji wisata kapal layar (wisata layar) yang

merupakan salah satu bagian dari wisata bahari sebagai objek penelitian.

Penelitian kelima yang berlokasi di Pulau Flores memiliki kesamaan dalam hal

kajian terhadap siklus hidup destinasi pariwiata. Namun, perbedaannya terletak

pada cakupan destinasi yang digarap. Penelitian ini membatasi diri pada siklus

hidup destinasi singgah Maurole.

Perbedaan utama penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

menyangkut lokasi penelitian dan objek kajian. Penelitian ini dilakukan di

Kecamatan Maurole dengan pertimbangan daerah ini telah menjadi salah satu

destinasi singgah reli perahu layar internasional Sail Indonesia. Pertimbangan ini

dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai Maurole sebagai destinasi

wisata layar. Dengan demikian, objek kajian penelitan ini mencakup potensi

destinasi singgah, pengelolaan dan partisipasi masyarakat dalam aktivitas

destinasi singgah terkait Sail Indonesia, dan berdasarkan kedua aspek itu

dilakukan kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi

wisata layar sebagai pariwisata alternatif.

Page 36: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

15

2.2 Konsep

2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi Wisata Layar

Pemahaman konsep wisata layar tidak bisa dipisahkan dari pemahaman akan

konsep wisata bahari. Istilah wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai

padanan istilah sailing tourism atau yachting tourism (Derksen, 2007: 13).

Sedangkan istilah wisata bahari digunakan sebagai padanan istilah marine tourism

(Orams, 2002: 9) dan/atau nautical tourism (Derksen, 2007: 13).

Derksen memasukkan pengertian wisata bahari sebagai suatu aktivitas di

waktu luang dimana orang bepergian ke sebuah destinasi wisata baik melalui darat

untuk menghabiskan waktu di perairan maupun bepergian melalui perairan untuk

menghabiskan waktu luang di daratan. Sehingga yang dibutuhkan dalam wisata

bahari adalah perairan ataupun daratan di dekat perairan tempat orang

menghabiskan waktu luangnya. Ditegaskannya wilayah yang sukses dalam wisata

bahari adalah wilayah yang mempunyai kedua tempat aktivitas baik di perairan

maupun di daratan di sekitarnya. Ia juga menggunakan pengertian wisata bahari

sebagai aktivitas wisata yang multi fungsi dengan penekanan khusus pada

komponen-komponen kebaharian. Dua pengertian yang digunakan oleh Derksen

menggambarkan keberagaman aktivitas wisata bahari yang tidak saja mencakup

aktivitas wisata di perairan laut, namun mencakup aktivitas wisata di jenis

perairan lainnya.

Orams menjelaskan bahwa wisata bahari meliputi aktivitas rekreasi yang

meliputi melakukan perjalanan ke tempat yang memiliki dan berfokus pada

lingkungan kebaharian. Menurutnya lingkungan kebaharian (marine environment)

Page 37: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

16

adalah lingkungan dengan perairan yang mengandung kadar garam dan

dipengaruhi oleh pasang. Pengertian ini memberikan penekanan pada aktivitas

wisata bahari yang terbatas di perairan laut. Pengertian kebaharian – sebagai

sesuatu yang berhubungan dengan laut – mendapatkan posisi yang lebih tegas.

Dibandingkan dengan Derksen, maka Orams lebih menekankan pada lokasi

aktivitas rekreasi wisata yaitu di perairan laut.

Sejumlah literatur menyebutkan wisata layar merupakan bagian dari wisata

bahari (Pendit, 1986: 40 dan Dahuri, 2009). Selain menggunakan istilah wisata

bahari, Pendit juga memakai istilah wisata maritim (marina) atau wisata tirta.

Menurutnya, wisata bahari adalah jenis wisata yang banyak dikaitkan dengan

aktivitas olahraga di air. Aktivitas itu antara lain memancing, berlayar, fotografi

bawah air, berselancar, lomba dayung, berkeliling di taman laut menikmati

pemandangan indah di bawah permukaan air, dan aktivitas rekreasi air lainnya

baik di danau, sungai, pantai, teluk, atau laut. Secara lebih jelas, Dahuri

memasukkan jenis wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal

jenis yacht (ocean yachting), dan wisata dengan kapal jenis cruise (cruising)

dalam aktivitas wisata bahari.

Jennings (2007) secara khusus membahas wisata layar dalam kaitan dengan

wisata tirta (water-based tourism). Menurutnya wisata tirta adalah kegiatan wisata

yang dilakukan di atau dalam kaitannya dengan sumber daya air, seperti danau,

waduk, kanal, sungai, wilayah pesisir laut, laut, samudra, dan di daerah yang

diselimuti es (ice-associated areas).

Page 38: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

17

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan,

secara tersirat wisata bahari masuk dalam usaha wisata tirta. Wisata tirta

merupakan salah satu dari tiga belas jenis usaha pariwisata yang diatur oleh

undang-undang. Pengertian tentang wisata tirta dan wisata bahari tidak terdapat

dalam undang-undang itu, namun pengertian mengenai keduanya secara tersurat

baru muncul dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.

96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta. Dalam

peraturan menteri itu tercantum usaha wisata tirta yang selanjutnya disebut

dengan usaha pariwisata adalah usaha penyelenggaraan wisata dan olahraga air,

termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara

komersil di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Selanjutnya yang

dimaksudkan dengan wisata bahari adalah penyelenggaraan wisata dan olahraga

air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola

secara komersil di perairan laut. Mengacu pada peraturan ini, wisata bahari

merupakan salah satu bidang usaha wisata tirta.

Peraturan menteri itu juga merinci jenis usaha wisata bahari yang meliputi

sub-jenis usaha: (a) wisata selam; (b) wisata perahu layar; (c) wisata memancing;

(d) wisata selancar; (e) dermaga bahari; dan (f) sub jenis usaha lainnya dari jenis

usaha bahari yang ditetapkan oleh bupati, walikota dan/atau gubernur. Dengan

demikian wisata perahu layar merupakan salah satu jenis wisata bahari. Dalam

penelitian ini istilah wisata perahu layar disamakan dengan istilah wisata layar.

VisitScotland (dalam Derksen, 2007) memberikan batasan tentang wisata

layar sebagai sebuah aktivitas wisata yang meliputi pemanfaatan waktu tertentu

Page 39: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

18

dalam kapal wisata. Biasanya jenis kapal yacht, powerboats, dinghies dan

motorbats (ocean cruise – kapal pesiar tidak termasuk). Wisata layar mengacu

pada kegiatan wisata yang tujuan utamanya adalah berlayar atau belajar

bagaimana berlayar. Wisata layar mempunyai dua kategori yang ditunjukkan oleh

jenis kapal yang digunakan: yacht yang juga digunakan sebagai tempat menginap

atau dinghy (sebuah kapal kecil tanpa fasilitas untuk menginap sehingga

akomodasi untuk kebutuhan menginap tersedia di darat (onecaribbean.org, 2012).

Berdasarkan pemahaman itu, konsep wisata layar yang dimaksudkan dalam

penelitian ini hanya mencakup kunjungan kapal wisata asing (yacht) ke suatu

destinasi wisata tertentu. Kunjungan itu juga mencakup aktivitas menikmati

atraksi wisata yang dilakukan di darat. Dalam kasus Maurole, aktivitas wisata di

darat menjadi salah satu atraksi utama yang dilakukan oleh wisatawan yang

mengunjungi Maurole.

Sehubungan dengan konsep wisata bahari dan kenyataan bahwa wisata layar

memanfaatkan wilayah laut sebagai areal jelajahnya, maka dapat dikemukakan

bahwa konsep wisata layar dalam penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama,

wisata layar dikategorikan sebagai salah satu bagian atau jenis dari wisata bahari.

Kedua, wisata layar mencakup aktivitas wisatawan (travellers/sailors/yachters)

yang menggunakan kapal wisata (yacht) dan mengunjungi destinasi wisata layar

untuk melakukan aktivitas wisata baik di laut dan di darat, maupun yang singgah

tanpa aktivitas wisata di darat.

Berdasarkan pemahaman akan konsep wisata layar sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya, maka konsep destinasi wisata layar dalam penelitian

Page 40: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

19

ini adalah destinasi yang secara nyata dikunjungi kapal wisata (yacht) dan ada

aktivitas pemangku kepentingan pariwisata di destinasi yang dipicu oleh

kehadiran kapal wisata itu.

2.2.2 Sail Indonesia

Sail Indonesia adalah kegiatan reli kapal wisata (yacht) internasional di

perairan Indonesia dan menyinggahi sejumlah destinasi wisata layar yang berada

di sepanjang rute reli. Pesertanya berasal dari sejumlah negara dan dimulai dengan

Darwin – Kupang Rally pada tahun 2003. Acara ini menjadi reli layar pertama

yang berkaitan erat dengan acara Lomba Layar Darwin – Dili dan Darwin –

Ambon. Sejak tahun 2005, nama Darwin – Kupang Rally diganti dengan nama

Sail Indonesia hingga kini. Nama tersebut telah dipatenkan atas nama Yayasan

Cinta Bahari Indonesia yang saat ini bernama Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa

(YCBAN). Dalam lima tahun pertama perjalanan Sail Indonesia, YCBAN

berfokus pada misi membentuk suatu jalur layar (yacht) yang kelak menjadi jalur

layar yang dikenal oleh para pelayar dunia. Karena itu, dicetuskan gagasan tema

Sail Indonesia dalam kurun waktu itu, yakni “Sail Indonesia for the Regions”.

Dalam pelaksanaan misi ini, Sail Indonesia meniti untaian destinasi dari Kupang

sampai ke Batam yang bermuara pada terbentuknya jalur layar yang aman dan

nyaman untuk dilewati atau disinggahi para pelayar dunia. Karya nyata misi itu

setelah lima tahun adalah terbentuknya jalur layar yang dikenal dengan nama

“Indonesian Passage” (Rasdiani, 2008).

Jalur layar “Indonesian Passage”, menyatukan 8 provinsi, 13 kabupaten dan

menyinggahi 3 kota. Para peserta reli layar international masuk wilayah Indonesia

Page 41: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

20

melalui pelabuhan pintu masuk (entry port) di Kupang. Khusus Provinsi Nusa

Tenggara Timur peserta reli singgah di delapan kabupaten (Kupang, Timor

Tengah Selatan, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Ngada, dan Manggarai Barat) dan

satu kota yaitu Kota Kupang. Selanjutnya Kabupaten Bima menjadi titik singgah

di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Buleleng menjadi titik singgah di

Provinsi Bali. Destinasi berikutnya yang disinggahi adalah Kota Makasar di

Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Jepara di Provinsi Jawa Tengah, Kumai di

Kalimantan Tengah, dan Belitung di Bangka Belitung. Destinasi terakhir yang

disinggahi adalah Kota Batam di Provinsi Riau Kepulauan. Jalur layar itu menjadi

akses bagi para peserta untuk menjalankan beragam aktivitas wisata di daratan

(land tourism) ketika tiba titik-titik singgah (Lesmana, 2012).

Sail Indonesia pada tahun 2008 membentuk dua rute reli internasional yaitu

Indonesian Passage Route dan Eastern Pass Route (Saumlaki, Tual, Banda,

Ambon, Ternate, Menado, Toli-Toli/Donggala, Mamuju, Pare-pare, Makasar,

Kumai, Belitung, Batam). Sejak tahun 2009, rute layar Indonesian Passage

menggalang misi berbeda yakni Sail Indonesia – for the People (Lesmana, 2012).

Mulai Tahun 2012, menurut Lesmana (2012), dibuka jalur pelayaran perahu

layar melalui kegiatan Back to Down Under Rally (BTDUR) untuk mengantisipasi

peluang bergeraknya kapal layar dari Asia ke Australia dan New Zealand di

belahan bumi bagian selatan dan ke negara-negara di sebelah timur Indonesia.

Diuraikannya rute BTDUR adalah: Tarakan – Berau – Toli-Toli – Kwandang –

Morotai – Jailolo – Ternate – Togean – Pagimana – Banggai – Labuha – Ambon.

Setelah Ambon rute reli bisa dilanjutkan ke Raja Ampat lalu ke Biak, atau menuju

Page 42: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

21

ke Banda – Tual – Saumlaki. Gambar 2.1 menyajikan secara garis besar rute

pelayaran Sail Indonesia.

Keterangan gambar:

: Rute Indonesian Pass

: Rute Eastern Pass Route

: Rute Back to Down Under

Gambar 2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia

Sumber: SailToIndonesia, 2011

Minat para pelayar dunia terhadap Sail Indonesia dari tahun ke tahun terus

meningkat secara signifikan. Misalnya, tahun 2003 tercatat 24 kapal layar. Tahun

2005 peserta bertambah menjadi 70 kapal, kemudian 127 kapal di tahun 2007 dan

130 kapal di tahun 2009. Tahun 2012 - data sampai dengan tanggal 23 Mei 2012 -

jumah peserta yang terdaftar mencapai 100 kapal (Sail Indonesia, 2012).

Page 43: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

22

2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia

Maurole adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ende yang terletak di

pesisir utara Pulau Flores bagian tengah. Sejak Tahun 2007 Maurole mulai

menjadi destinasi yang dikunjungi oleh kapal-kapal wisata peserta reli perahu

layar internasional Sail Indonesia (Disbudpar, 2009). Sampai Tahun 2012

Maurole termasuk dalam rute wisata layar yang disinggahi oleh para peserta Sail

Indonesia (Sail Indonesia, 2012). Adanya kunjungan wisata layar ini menjadikan

Maurole sebagai salah satu destinasi singgah Sail Indonesia. Dalam penelitian ini,

sesuai dengan konsep wisata layar seperti telah dikemukakan pada bagian

sebelumnya dan kenyataan bahwa Maurole disinggahi oleh kapal-kapal layar yang

melakukan aktivitas wisata, maka Maurole dianggap sebagai salah satu destinasi

wisata layar.

2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata Alternatif

Dalam upaya memahami perkembangan destinasi wisata secara umum,

maka penelitian ini juga mengadaptasi kerangka atribut destinasi 6A dari Buhalis

(2000: 98). Buhalis menunjukkan bahwa destinasi wisata terdiri dari beberapa

komponen inti. Ia mengkategorikan komponen-komponen ini ke dalam kerangka

6A. Pertama, atraksi (attractions) yang meliputi alam, buatan, bangunan artifisial,

dan event khusus. Dalam penelitian ini atraksi mencakup alam, budaya, dan

buatan manusia. Kedua, aksesibilitas (accessibility) yang meliputi sistem

transportasi, terminal, dan moda transportasi. Ketiga, amenitas (amenities) terdiri

dari akomodasi, catering, ritel dan jasa wisata lainnya. Keempat, paket wisata

yang tersedia (available packages) yaitu paket-paket wisata yang telah disiapkan

Page 44: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

23

oleh tour operator atau biro perjalan. Kelima, aktivitas (activities) yakni semua

kegiatan yang dapat dilakukan oleh wisatawan ketika berada di destinasi.

Keenam, ancillary services mengacu kepada bank, telekomunikasi, jasa pos,

rumah sakit, dan lain-lain. Dengan demikian, dalam penelitian ini kerangka 6A

dari Buhalis diadaptasi untuk memahami karakterisik destinasi singgah Maurole.

Pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia merupakan aktivitas yang

dilakukan oleh berbagai pihak. Bentuk pengelolaannya umumnya didasarkan pada

panduan tertentu. Panduan itu dibuat oleh pengelola Sail Indonesia berdasarkan

kebutuhan dasar para peserta reli dan aktivitas wisata yang dapat dilakukan sesuai

dengan kondisi destinasi singgah. Pengelolaannya antara lain mencakup

aksesibilitas ke darat misalnya pada destinasi tertentu disiapkan floating jetty

(dermaga apung). Pemenuhan kebutuhan makan dan minum misalnya melalui

penyediaan restoran khusus selama acara berlangsung atau dengan memanfaatkan

restoran-restoran yang sudah tersedia. Penyelenggaraan perjalanan wisata di darat

dalam bentuk paket wisata, baik yang disiapkan oleh tour operator mapun yang

dilakukan oleh kelompok masyarakat. Di samping itu, juga disiapkan sarana

humaniter seperti toilet di sejumlah tempat yang terkait. Prinsip pengelolaannnya

adalah memberikan kenyamanan bagi para tamu yang datang dengan melibatkan

pemangku kepentingan setempat (Disbudpar, 2009).

Pola ini memungkinkan pengelolaan antara masing-masing destinasi

menjadi berbeda. Perbedaan itu merupakan karakter yang menjadi ciri khas

masing-masing destinasi singgah, sehigga pengelolaannya menjadi sesuatu yang

perlu dicermati. Untuk maksud itu, maka konsep pengelolaan yang mendasari

Page 45: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

24

kajian dalam penelitian ini mencakup: (a) penataan titik labuh (anchorage area);

(b) aksesibilitas ke darat; (c) penataan areal titik labuh di darat; (d)

penyelenggaraan aktivitas perjalanan wisata di darat; (e) penyelenggaraan

pagelaran atraksi seni dan budaya daerah; dan (f) partisipasi pemangku

kepentingan dalam seluruh penanganan itu.

Keseluruhan bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan

dalam pengelolaan itu dapat dipandang sebagai sebuah bentuk aktivitas pariwisata

alternatif. Secara umum pariwisata alternatif merupakan pilihan lain dari konsep

mass tourism. Menurut Smith & Eadington (1992:3) pariwisata alternatif adalah

bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai

masyarakat serta memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk

menikmati interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman

secara bersama-sama. Penghargaan terhadap nilai alam, sosial, dan kearifan lokal

menjadi ciri utama pariwisata alternatif. Model pariwisata alternatif ini

memungkinkan terjalinnnya kebersamaan atau relasi yang positif dengan

pengunjung atau wisatawan. Artinya, masyarakat lokal menjadi subjek yang

berperan penuh dan penting.

Bila diuraikan lebih lanjut maka pariwisata alternatif mencakup beberapa

pengertian. Pertama, pariwisata alternatif diaplikasikan pada pariwisata yang tidak

merusak lingkungan, berbasis ekologis, dan menghindari dampak negatif dari

pengembangan pariwisata berskala besar di daerah wisata yang belum

berkembang. Kedua, pariwisata alternatif merupakan proses pengembangan

bentuk perjalanan yang yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya

Page 46: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

25

saling pemahaman, solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut

dalam perjalanan wisata tertentu. Ketiga, pariwisata alternatif mencakup

pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan

dikelola oleh masyarakat lokal.

Istilah alternatif juga mengandung makna sesuatu yang beda, sebagai pilihan

lain dari sesuatu yang telah ada. Fandeli (2002: 104) menyebutkan bahwa

pariwisata alternatif hadir sebagai akibat kebosanan wisatawan karena menikmati

atraksi yang sama dari waktu ke waktu. Mereka ingin memperoleh sesuatu yang

lain.

Dalam penelitian ini, wisata layar dipahami sebagai salah satu bentuk

aktivitas wisata yang dapat dikembangkan di Maurole sebagai pariwisata aternatif.

Para wisatawan yang datang dengan kapal-kapal wisata melakukan aktivitas

wisata tidak hanya di laut tetapi dan terutama di darat. Pemanfaatan aktivitas ini

sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pariwisata

alternatif. Dengan kalimat lain, wisata layar sebagai salah satu bentuk pariwisata

alternatif menjadi akses atau pemicu bagi pengembangan pariwisata alternatif di

darat (land-based tourism).

2.3 Landasan Teori

Secara substansial, penelitian ini bertolak dari adanya permasalahan terkait

belum jelasnya arah pengembangan potensi wisata layar. Karena itu, dalam

konteks pemanfaatan peluang kehadiran wisatawan melalui kapal wisata,

seharusnya pemangku kepentingan terkait sudah sejak awal memanfaatkan

peluang itu. Antara lain melalui perencanaan pengembangan yang holistik dan

Page 47: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

26

terpadu. Bertolak dari kondisi ini, dan formulasi permasalahan yang telah

dikemukakan di bagian awal, maka dibutuhkan kerangka teori yang sesuai untuk

menganalisis permasalahan dimaksud. Adapun teori yang dibutuhkan dalam

penelitian ini adalah teori siklus hidup destinasi pariwisata (tourism area life

cycle), teori partisipasi, dan teori perencanaan.

2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Tourism Area Life Cycle)

Salah satu konsep yang lazim dipakai untuk memahami pengembangan

suatu destinasi pariwisata adalah konsep tentang siklus hidup pariwisata (tourism

area life cycle) yang dibuat oleh Butler (1996). Dalam siklus hidup pariwisata

terdapat tujuh tahapan. Pertama, tahap exploration: dicirikan oleh destinasi wisata

yang baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun

pemerintah. Jumlah pengunjung masih sedikit, wisatawan tertarik karena

daerahnya belum tercemar, sepi. Lokasinya sulit dicapai karena keterbatasan

sarana dan prasarana penunjang pariwisata.

Kedua, tahap involvement: ditandai oleh munculnya kontrol oleh masyarakat

lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk menyediakan keperluan

dasar wisatawan. Mulai dilakukan promosi khususnya promosi dari mulut ke

mulut (word of mouth) untuk mengunjungi destinasi tersebut.

Ketiga, tahap development: mulai dilakukan pengembangan terutama oleh

masuknya investor dari luar daerah yang menyediakan sarana dan prasarana

seperti hotel dan restoran. Perkembangan ini mulai berdampak pada lingkungan

alam dan sosial budaya destinasi.

Page 48: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

27

Keempat, tahap consolidation: ditandai dengan adanya intervensi pemerintah

melalui regulasi dan kebijakan untuk mengelola beragam kepentingan pemangku

kepentingan pariwisata dan pesatnya perkembangan yang terjadi.

Kelima, tahap stagnation: jumlah kunjungan wisasatawan ke destinasi

mencapai tingkat kunjungan yang tinggi, namun pertumbuhan pariwisata secara

keseluruhan kecil. Ditandai pula dengan destinai mulai ditinggalkan oleh

wisatawan karena kejenuhan, tidak adanya atraksi baru, adanya masalah

lingkungan alam, sosial, dan budaya. Akibatnya destinasi hanya berharap dari

kunjungan ulang wisatawan.

Keenam, tahap decline: destinasi sudah mulai ditinggalkan oleh wisatawan

karena mereka mengalihkan kunjungannya ke tempat lain yang lebih baru.

Destinasi ini hanya dikunjungi pada akhir pekan atau dalam waktu sehari saja

sehingga berakibat pada banyaknya fasilitas wisata yang berpindah tangan atau

pemilik dan berubahnya fungsi fasilitas pariwisata untuk tujuan lain.

Ketujuh, tahap rejuvenation: ditandai dengan adanya upaya dari seluruh

pemangku kepentingan untuk meremajakan kembali produk pariwisata, mencari

saluran distribusi lain dan mencari pasar baru dengan tujuan untuk mereposisi

produk wisata.

Dengan merujuk pada pentahapan yang dibuat Butler dan berdasarkan data

hasil penelitian, maka akan dapat ditentukan posisi destinasi wisata layar Maurole

pada siklus hidup sebuah destinasi. Namun, mengacu pada ciri-ciri itu dan

berpijak pada data dan pengamatan awal, maka dapat diasumsikan bahwa

destinasi wisata layar Maurole berada pada tahap involment. Masuknya kapal

Page 49: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

28

wisata jenis yacht ke wilayah ini, mendorong masyarakat setempat mulai

menyediakan keperluan wisatawan tersebut. Di samping itu, upaya promosi mulai

dilakukan oleh pemangku kepentingan pariwisata dengan berbagai cara. Dalam

konteks Maurole, peran para pelayar yang pernah singgah di tempat ini sangat

besar dalam turut mempromosikannya (word of mouth).

2.3.2 Teori Partisipasi

Menurut Tosun (dalam Madiun, 2008: 36) partisipasi dilakukan dengan cara

yang berbeda-beda. Perbedaan itu mencakup partisipasi karena paksaan

(manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coercive

participation), karena adanya dorongan (induced participation), partisipasi yang

bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara spontan

(spontaneous participation). Terkait dengan model partisipasi itu, Tosun

selanjutnya mengembangkan tipologi partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Ia

menklasifikasi tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga bagian utama yaitu

partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi

masyarakat karena adanya kekerasan (coercive participation), dan partisipasi

masyarakat karena masyarakat merasa terdorong untuk melakukannnya (induced

participation). Pada tipe terakhir masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk

mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses

pembangunan pariwisata, tetapi mereka tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan

lain yang mempunyai kepentingan seperti kekuatan yang berasal dari pemerintah,

perusahaan-perusahaan besar, tour operator internasional serta kekuatan-kekuatan

besar lainnya (Madiun, 2009).

Page 50: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

29

Tosun dan Timothy (2003:4-9) mengajukan tujuh proposisi mengenai

partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata. Pertama,

partisipasi masyarakat merupakan elemen vital dalam perencanaan dan strategi

pariwisata. Kedua, partisipasi masyarakat berkontribusi bagi pembangunan

pariwisata berkelanjutan dalam berbagai cara. Ketiga, partisipasi masyarakat

meningkatkan kepuasan wisatawan. Keempat, partisipasi masyarakat membantu

para profesional di bidang pariwisata dalam mendesain perencanaan pariwisata

yang lebih baik. Kelima, partisipasi publik berkontribusi dalam distribusi

pembiayaan dan keuntungan yang adil di antara anggota masyarakat. Keenam,

partisipasi masyarakat dapat membantu memuaskan keinginan masyarakat yang

teridentifikasi. Ketujuh, partisipasi masyarakat memperkuat proses demokratisasi

di destinasi pariwisata.

Hoofsteede (dalam Madiun, 2009) menyebutkan ada tiga kategori

partisipasi. Pertama, partisipasi inisiasi yaitu partisipasi yang diinisiasi oleh

pemimpin desa, baik formal maupun informal ataupun dari anggota masyarakat

tentang suatu proyek yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi

legitimasi yaitu partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan

mengenai projek tersebut. Ketiga, partisipasi eksekusi yaitu partisipasi pada

tingkat pelaksanaannya. Partisipasi inisiasi mempunyai nilai yang lebih tinggi

dibandingkan partisipasi legitimasi dan eksekusi.

Dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek

pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi

ini dilandasi oleh motivasi kesadaran. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota

Page 51: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

30

masyarakat dan timbul dari dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini

masyarakat ikut memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di

wilayahnya.

Teori yang terkait dengan partisipasi ini membantu analisis dalam kaitannya

dengan bentuk kegiatan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail

Indonesia. Pengelolaan destinasi singgah melibatkan masyarakat baik yang berada

di areal titik labuh maupun di beberapa desa yang memiliki atraksi wisata dan

dikunjungi oleh peserta Sail Indonesia.

2.3.3 Teori Perencanaan

Inskeep (dalam Paturusi, 2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam

pendekatan perencanaan dan pengembangan sebagai berikut: (1) pendekatan

berkelanjutan, tambahan, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pedekatan

menyeluruh, (4) pendekatan yang terintegrasi, (5) pendekatan pengembangan

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (6) pendekatan masyarakat, (7)

pendekatan pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis.

Mengutip Inskeep, Paturusi menguraikan secara umum masing-masing model

pendekatan perencanaan itu.

Pertama, perencanaan pariwisata merupakan proses yang berlanjut dan

membutuhkan evaluasi didasarkan pada umpan balik terhadap pencapaian tujuan

pengembangan. Kedua, pariwisata merupakan suatu sistem. Komponen dalam

sistem pariwisata dianggap sebagai sistem tersendiri dan saling berhubungan.

Perubahan pada satu komponen berpengaruh pada komponen lainnya.

Page 52: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

31

Ketiga, dalam pendekatan menyeluruh, perencanaan pariwisata perlu

memperhatikan beragam komponen dalam keseluruhan sistem. Seluruh aspek

pengembangan pariwisata yang meliputi unsur-unsur kelembagaan dan implikasi

sosial ekonomi dan lingkungan didekati secara holistik. Keempat, pariwisata

direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi secara internal

dan eksternal. Perencanaan pengembangan sebuah kawasan perlu bersinergi

dengan keberadaan dan pengembangan kawasan terkait lainnya.

Kelima, perencanaan pariwisata dilakukan dengan memperhatikan

keselarasan dengan lingkungan fisik dan sosial budaya. Kajian daya dukung

merupakan unsur utama dalam pendekatan ini. Keenam, perencanaan pariwisata

sejak awal melibatkan masyarakat. Artinya, seluruh proses perencanaan dan

pengambilan keputusan pariwisata melibatkan masyarakat lokal.

Ketujuh, perencanaan pariwisata itu haruslah logis, fleksibel, objektif, dan

realistis sehingga dapat diterapkan dan dilaksanakan. Kedelapan, perancanaan

pariwisata dipandang sebagai penerapan proses perencanaan yang bersistem. Ada

tahapan kegiatan dalam proses perencanaan itu berdasarkan atas dimensi waktu,

sumber pembiayaan, dan institusi sektoral.

Dalam teori perencanaan dikenal dua bentuk motivasi perencanaan secara

umum (Paturusi, 2008). Kedua bentuk motivasi perencanaan itu mencakup: (a)

perencanaan berdasarkan pertimbangan kecenderungan yang berkembang saat ini

(trend oriented planning); (b) perencanaan berdasarkan pertimbangan target

(target oriented planning). Dijelaskannya, trend oriented planning didasarkan

pada pertimbangan pengalaman dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini.

Page 53: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

32

Kecenderungan yang ada saat ini akan dipertimbangkan untuk menentukan arah

dan tujuan perkembangan masa depan. Misalnya, kecenderungan berkembangnya

wisata layar berkonsekuensi pada berkembangnnya destinasi wisata layar. Kondisi

ini semestinaya diikuti dengan pembuatan perencanaan destinasi wisata.

Terkait target oriented planning, Paturusi (2008: 15) menjelaskan tujuan

dan sasaran ideal yang hendak dicapai pada masa yang akan datang merupakan

faktor penentu. Sehingga semua kecenderungan yang ada dalam proses

pencapaian tujuan selalu diarahkan pada target utama. Dengan kalimat lain,

apapun kecenderungan yang terjadi dalam proses perencanaan, para perencana

akan selalu fokus pada target utama yang ingin dicapai.

Motivasi ini merupakan pilihan bagi para perencana. Namun, menurut

Paturusi (2008: 16) bagi negara berkembangan seperti Indonesia, lebih cocok

menggunakan pendekatan kombinasi antara “kecenderungan” dan “target”.

Diuraikannya ada beberapa pertimbangan penggunaan pendekatan kombinasi ini,

yaitu: (1) banyak masalah yang sulit atau tidak dapat diperhitungkan secara

kuantitatif; (2) masih tingginya dinamika perubahan dalam masyarkat; (3)

kecenderungan perkembangan yang yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku di

masyarkat; (4) stabilitas perekonomian yang belum mantap; (5) keadaan sosial

politik yang masih berkembang.

Bertolak dari dasar pemikiran Paturusi itu, maka konsep pengembangan

destinasi wisata layar dalam penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan

dalam bentuk trend oriented planning. Pilihan ini didasarkan beberapa

pertimbangan, yakni: (a) dalam kerangka kawasan pengembangan baru seperti

Page 54: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

33

Maurole, perencanaan dibuat untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang

akan datang (Paturusi, 2008: 29); (b) dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah

ada kecenderungan berkembangnya wisata layar di Indonesia yang juga meliputi

kawasan perairan di utara Pulau Flores (Lesmana, 2012); (c) kecenderungan ini

melahirkan kebutuhan akan penyusunan rencana masa depan sebagai langkah

proaktif atas kecenderungan itu. Dengan demikian perencanaan yang berorientasi

pada kecenderungan (trend oriented planning) dianggap sesuai untuk diterapkan

dalam penelitian ini.

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini bertolak dari pemahaman bahwa industri pariwisata bahari

merupakan sub sistem dari sistem kepariwisataan global. Karena itu, elemen

pariwisata bahari dan kepariwisataan secara keseluruhan saling berkaitan. Di satu

sisi, sistem pariwisata yang melingkupi pariwisata bahari dapat dipandang sebagai

sebuah unsur globalisasi yang turut memengaruhi dan membentuk industri

pariwisata bahari. Pada sisi lainnya, industri pariwisata bahari dimungkinkan

berkembang karena didukung oleh sumber daya pariwisata.

Perkembangan industri wisata bahari yang dipengaruhi oleh globalisasi dan

sumberdaya pariwisata mendorong munculnya beragam aktivitas wisata. Salah

satunya adalah wisata layar. Dewasa ini, wisata layar dunia sangat berkembang

seiring berkembangnya teknologi pelayaran, industri pelayaran, dan minat pelaku

layar memanfaatkan semua aspek itu untuk melakukan aktivitas pelayaran di

perairan di dunia ini. Sail Indonesia merupakan salah satu wujud dari aktivitas

pelayaran yang berbasis pada kegiatan wisata. Kongkritnya Sail Indonesia

Page 55: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

34

dikemas menjadi sebuah reli wisata kapal wisata yang melibatkan para palayar

dunia dengan memanfaatkan jalur layar di perairan laut Indonesia selama kurun

waktu tertentu.

Secara umum Sail Indonesia dimungkinkan oleh adanya pelaku layar dunia

yang menggunakan kapal wisata jenis yacht dan destinasi singgah yang didukung

oleh pemangku kepentingan. Meminjam elemen geografis dalam model sistem

pariwisata Leiper (1990), Sail Indonesia menyangkut tiga elemen, yaitu: (1)

traveller-generating region merupakan asal dan pasar wisata para pelayar dunia,

(2) tourist destination region merupakan tujuan perjalanan wisata yang dalam

kerangka ini mencakup berbagai destinasi singgah dalam rute pelayaran Sail

Indonesia, (3) transit route region yaitu daerah tujuan wisata yang dikunjungi

sebelum mencapai perairan Indonesia. Dalam kerangka Sail Indonesia, daerah ini

menjadi titik start reli kapal wisata.

Kerangka keterkaitan antara kapal wisata, kemasan reli kapal wisata

internasional, dan pemangku kepentingan di destinasi singgah menjadi menarik

untuk diuraikan dan dipahami. Daya tariknya terutama pada masalah yang muncul

yaitu keberadaan dan keberlangsungan destinasi. Dalam konteks Maurole sebagai

destinasi singgah atau destinasi wisata layar, masalah utamanya adalah bagaimana

mengembangkan destinasi wisata layar yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata

alternatif.

Karena itu, penelitian ini diarahkan pada tiga tujuan khusus. Pertama,

mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah. Tujuan ini dicapai

dengan memanfaatkan teori tourism area life cycle (TALC). Kedua, mengkaji

Page 56: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

35

pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan di destinasi singgah Sail

Indonesia dengan menggunakan teori partisipasi. Ketiga, mengkaji faktor-faktor

yang mendukung perencanaan pengembangan destinasi wisata layar Maurole

sebagai pariwisata alternatif dengan menggunakan teori perencanaan. Dengan

demikian, alur berpikir penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.2.

Keterangan tanda

: Hubungan langsung (searah)

: Hubungan langsung dua arah

Gambar 2.2. Model Penelitian

Sail Indonesia di

Maurole

Pemangku

Kepentingan

Pariwisata

Kapal Wisata dan

Yachters

Teori:

Tourism Area

Life Cycle

Teori:

Perencanaan

Potensi Maurole Sebagai Destinasi

Singgah

Teori: Partisipasi

Faktor-faktor yang mendukung

Pengembangan

Maurole sebagai Destinasi Wisata

Layar

Pengelolaan Maurole Sebagai

Destinasi

Singgah

Industri Pariwisata Bahari Globalisasi Sumber Daya Pariwisata

Page 57: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

36

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan

menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial (Jennings, 2001: 38). Paradigma

ini bertolak dari beberapa patokan dasar yaitu bagaimana realitas sosial dipahami

(basis ontologis), relasi antara peneliti dengan subjek atau objek yang diteliti

(basis epistemologis), dan bagaimana peneliti mengumpulkan data/informasi

(basis metodologis). Jennings lebih jauh menguraikan dari aspek ontologi, realitas

sosial dipandang sebagai kenyataan yang beragam. Secara epistemologis, relasi

antara peneliti dan subjek (orang yang diwawancarai/informan) bersifat subjektif.

Paradigma ini menggunakan metodologi kualitatif (aspek metodologis).

Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Jennings, maka basis ontologis

penelitian ini adalah realitas sosial yang terkait dengan keberadaan destinasi

singgah Maurole dalam kegiatan Sail Indonesia yang memiliki faktor-faktor untuk

pengembangan wisata layar sebagai pariwisata alternatif. Basis epistemologis

terkait pengumpulan data di lokasi destinasi singgah Maurole dan di lokasi terkait

lainnya dilakukan dengan pola hubungan subjektif antara peneliti dengan

informan. Sesuai dengan pendekatan penelitan ini, maka basis metologis yang

digunakan adalah metodologi kualitatif.

Page 58: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

37

Creswell (2009: 175-176) meyebutkan sejumlah karakteristik dari penelitian

kualitatif, yaitu: seting alamiah, peneliti adalah instrumen kunci, sumber data yang

digunakan beragam, data dianalisa secara induktif, makna berasal dari partisipan,

desain penelitian berkembang, menggunakan lensa teoritis, bersifat interpretatif,

dan holistik. Cresswell menjelaskan dalam seting alamiah, peneliti cenderung

mengumpulkan data langsung di lapangan sehingga peneliti merupakan instrumen

kunci yang berhadapan dengan sumber data yang beragam. Keragaman sumber

data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan dokumen.

Diuraikannya, peneliti juga membangun pola, kategori dan tema-tema dari

bawah atau dari data lapangan untuk melakukan analisa secara induktif. Sehingga

dalam prosesnya, tema-tema yang baru dapat saja bermunculan dari partisipan.

Karena itu, dalam keseluruhan proses penelitian, peliti berupaya memahami

makna yang dipegang oleh partisipan, bukan makna yang dibawa oleh peneliti ke

partisipan.

Menurutnya proses penelitian kualitatif terus berubah dan desainnya dapat

berkembang. Karena itu, perencanaan penelitian tidak bisa kaku. Artinya seluruh

proses dapat berubah-ubah selaras perkembangan di lapangan. Terhadap apa yang

dilihat, didengar, dan dipelajarinya, peneliti memberikan interpretasi. Interpretasi

itu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang, sejarah, konteks dan pemahaman

sebelumnya. Sehingga, peneliti berusaha mengembangkan gambaran yang

kompleks atau holistik dari permasalahan yang ditelitinya. Untuk memahami

kajiannya itu, peneliti sering menggunakan lensa teori, namun dapat juga bertolak

dari isu atau permasalahan penelitiannya untuk memahami teori.

Page 59: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

38

Bertolak dari karakteristik penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh

Creswell, maka keseluruhan tahap penelitian ini sejauh mungkin didasarkan dan

disesuaikan dengan karakteristik itu. Dengan kalimat lain, rancangan penelitian ini

sepenuhnya merujuk pada karakteristik penelitian kualitatif.

Terkait dengan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, maka

pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami fakta sosial yang meliputi

realitas potensi destinasi, pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia baik

bentuk pengelolaan maupun partisipasi pemangku kepentingan, dan faktor-faktor

yang mendukung pengelolaan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata

alternatif.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi

Nusa Tenggara Timur. Desa yang tercakup dalam ruang lingkup penelitian ini

adalah empat desa di Kecamatan Maurole yang dalam aktivitas Sail Indonesia

menjadi desa yang dikunjungi wisatawan. Ke empat desa itu adalah Mausambi,

Maurole, Watukamba, dan Otogedu. Ditambah dengan empat desa di luar

Kecamatan Maurole yang dikunjungi juga oleh wisatawan saat Sail Indonesia

yaitu Desa Nualise, Waturaka, Wologai Tengah, dan Wolotopo Timur. Data dari

ke-empat desa tersebut menjadi data penunjang dalam kerangka analisis.

Secara umum, penentuan lokasi ini dilakukan dengan beberapa

pertimbangan:

1. Sejak Tahun 2007 Kecamatan Maurole merupakan salah satu destinasi

singgah reli perahu layar (kapal wisata) internasional Sail Indonesia.

Page 60: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

39

2. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, sejumlah aktivitas telah dilakukan

di Maurole seperti penentuan lokasi titik labuh, penataan areal titik labuh,

penyambutan, pelaksanaan aktivitas wisata, pagelaran seni budaya sebagai

ajang apresiasi seni dan pelestarian budaya daerah, serta interaksi antara

wisatawan dan mayarakat lokal.

3. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole menjadi salah satu

destinasi yang menawarkan aktivitas kunjungan wisata di darat (land-based

tourism) yang beragam. Aktivitas itu memberikan sesuatu yang unik, yang

berbeda, yang memiliki kearifan lokal baik ditinjau dari sisi budaya maupun

lingkungan serta keterlibatan masyarakat lokal sehingga dari perspektif

pariwisata alternatif, Maurole menjadi objek kajian yang menarik.

Secara geografis Kecamatan Maurole terletak di Kabupaten Ende, Provinsi

Nusa Tenggara Timur seperti terlihat pada Gambar 3.1 dan 3.2 berikut.

Page 61: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

40

Gambar 3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sumber: Buana Raya, 2012 (dimodifikasi)

Page 62: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

41

Gambar 3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole

Sumber: Bappeda, 2011 (dimodifikasi)

Page 63: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

42

4.1 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu data

yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat narasi, uraian dan berbagai

bentuk pemahaman lainnya (Ratna, 2010: 509). Data ini didapatkan dari hasil

wawancara dengan informan, hasil observasi dan pemeriksaan dokumen yang

relevan. Data kualitatif terdiri dari data potensi Maurole sebagai destinasi singgah

Sail Indonesia, data bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan

dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, dan data faktor-faktor yang mendukung

pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif.

Untuk memperkuat data kualitatif, penelitian ini juga menggunakan data

kuantitatif yang fungsinya menunjang data kaulitatif, seperti: statistik, bagan,

diagram dan berbagai bentuk pengukuran lainnya yang terkait dengan keberadaan

destinasi singgah Sail Indonesia dan wisata layar pada umumnya.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data

sekunder. Sumber data primer adalah informan yang yang diwawancarai dalam

penelitian ini. Informan dimaksud terdiri dari informan dari kalangan pemerintah,

industri pariwisata, dan masyarakat. Informan dari kalangan pemerintah berasal

dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan dari sejumlah desa

yang terkait dengan aktivitas Sail Indonesia. Informan dari industri berasal dari

sejumlah institusi pariwisata seperti operator wisata layar, HPI, dan Tourist

Management Organization (TMO) Kabupaten Ende. Informan dari kalangan

Page 64: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

43

masyarakat berasal dari tokoh masyarakat dan anggota masyarakat yang terlibat

langsung dalam kegiatan Sail Indonesia.

Seluruh informan dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) informan dari

pemerintah daerah; (2) informan dari masyarakat yang terlibat langsung dalam

kegiatan Sail Indonesia; dan (3) informan dari kalangan industri, pengusaha, dan

ahli. Kelompok pemerintah daerah Kabupaten Ende ditetapkan sebanyak 15

informan kunci terdiri dari 7 informan kunci di tingkat kabupaten dan kecamatan,

dan 8 informan kunci di tingkat desa, sesuai dengan jumlah desa yang pernah

menjadi lokasi kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kelompok

informan dari kalangan masyarakat yaitu tokoh masyarakat sebanyak 9 orang.

Kelompok informan dari kalangan pelaku pariwisata sebanyak 3 orang, dan ahli

sebanyak 2 orang.

Sumber data sekunder adalah berbagai pembicaraan yang sudah dilakukan

sebelumnya, termasuk buku-buku teks yang berkaitan dengan wisata layar pada

umumnya dan destinasi singgah Sail Indonesia pada khususnya. Salah satu

sumber data sekunder adalah informan dari kalangan peserta reli wisata layar yang

telah mengemukakan pendapatnya mengenai Sail Indonesia di Kecamatan

Maurole melalui media internet (websites atau weblogs) dan dokumen tertulis

yang dibuat oleh informan.

3.4 Instrumen Penelitian

Intrumen penelitian digunakan untuk menunjang metode dan teknik

pengumpulan data. Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis untuk

wawancara, atau pengamatan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi

Page 65: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

44

selama penelitian (Gulö, 2007: 123). Karena itu, untuk memperoleh data sesuai

dengan tujuan penelitian ini, maka digunakan istrumen berupa pedoman

wawancara, panduan observasi, kamera foto, dan alat-alat untuk mencatat.

3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan menggunakan tiga teknik, yaitu wawancara

mendalam, observasi, dan pemeriksaan dokumen. Wawancara mendalam diawali

dengan penentuan sejumlah informan secara purposif dengan mempertimbangkan

kompetensinya sesuai dengan kebutuhan data (Ratna, 2010: 510).

Observasi dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan yaitu ke

Kecamatan Maurole dan delapan desa yaitu Mausambi, Maurole, Watukamba,

Otogedu, Wolotopo, Wologai Tengah, Waturaka, dan Nualise yang menjadi lokasi

kunjungan wisata dalam reli kapal wisata Sail Indonesia. Observasi dilakukan

mencakup tiga objek, yaitu (1) lokasi tempat penelitian berlangsung, (2) para

pelaku dengan peran-peran tertentu, dan (3) aktivitas para pelaku yang dijadikan

objek penelitian (Ratna, 2010: 220). Dengan demikian, melalui observasi

diperoleh gambaran mengenai tempat penelitian, kegiatan, peristiwa, pelaku, dan

waktu yang terkait dengan keberadaan destinasi singgah Maurole dan kegiatan

Sail Indonesia di destinasi tersebut.

Dokumen yang diperlukan adalah dokumen resmi yang dimiliki oleh

lembaga-lembaga resmi pemerintah maupun informal yang dimiliki secara pribadi

oleh anggota masyarakat tertentu. Ciri khas dokumen adalah menunjuk pada masa

lampau, dengan fungsi utama sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas,

dan kejadian tertentu (Ratna, 2010: 235). Sejalan dengan penelitian ini, dokumen

Page 66: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

45

yang dimanfaatkan adalah catatan yang terkait aktivitas Sail Indonesia di destinasi

singgah Maurole.

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data

Sesuai dengan rancangan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan

kualitatif, maka metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif

kualitatif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran

secara sistematis dan objektif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta

hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu (Kaelan.

2005: 58). Sejalan dengan itu, Bungin (2010: 153) mengungkapkan dua hal yang

ingin dilakukan oleh analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses

berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh gambaran yang tuntas

dari proses tersebut; dan (2) menganalisis makna di balik informasi, data, dan

proses suatu fenomena sosial. Untuk itu, analisis dilakukan sejak pengumpulan

data di lapangan sampai pada analisis yang dilakukan setelah datanya terkumpul.

3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dilakukan secara informal atau deskriptif sesuai

dengan topik bahasan melalui kata-kata, kalimat dan bentuk-bentuk narasi lain.

Karena itu, untuk memperjelas dan membantu pemahaman sesuai dengan tujuan

penelitian, maka penyajian hasil penelitian dilengkapi dengan penyajian secara

formal berupa tabel, diagram, foto, dan peta.

Page 67: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

46

BAB IV

GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole yang merupakan salah satu

kecamatan dari 21 kecamatan di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara geografis, Kecamatan Maurole berbatasan langsung dengan Laut Flores di

sebelah utara, Kecamatan Detukeli dan Kecamatan Wewaria di sebelah selatan,

Kecamatan Kotabaru di sebelah timur, dan Kecamatan Wewaria di sebelah barat

(BPS, 2012: 1). Luas wilayah Kecamatan Maurole adalah 155,94 km² atau 7,6%

dari total luas Kabupaten Ende (2046,60 km²). Secara administrasi wilayah

Kecamatan Maurole terdiri atas 13 Desa.

Tabel 4.1

Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole Tahun 2011

No Desa Dusun RW RT

1 Ranakolo Selatan 4 4 1

2 Ranakolo 2 2 8

3 Keliwumbu 3 3 9

4 Mausambi 4 7 15

5 Maurole 8 9 18

6 Watukamba 4 8 18

7 Aewora 4 8 21

8 Detuwulu 3 3 6

9 Otogedu 3 4 17

Jumlah 35 48 113

10 Woloau *) - - -

11 Uludala *) - - -

12 Niranusa *) - - -

13 Ngalukoja *) - - -

Sumber: BPS, 2010 (data diolah)

Keterangan: *) merupakan desa pemekaran baru dalam tahun 2013 dan data

dusun, RW dan RT di masing-masing desa pemekaran tersebut tidak tersedia.

Sumber: Maurole dalam Angka 2012 (dimodifikasi).

Page 68: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

47

Berdasarkan data registrasi penduduk akhir Tahun 2011, jumlah penduduk

Kecamatan Maurole adalah sebanyak 11.592 jiwa. Penduduk laki-laki sebanyak

5.566 jiwa atau 48,02% dan perempuan sebanyak 6.026 jiwa atau 51,98% (BPS,

2012: 3).

Penduduk di Kecamatan Maurole sebagian besar menganut agama Katolik,

yaitu sebanyak 10.548 orang atau sebesar 91% dari total jumlah penduduk.

Kemudian disusul penduduk beragama Islam sebanyak 1.044 orang atau sebesar

9% (BPS, 2010: 6).

4.1 Keadaan Fisik Wilayah

Tinggi wilayah Kecamatan Maurole di atas permukaan laut (DPL) berkisar

antara 2 m sampai 800 m (BPS, 2012: 5). Desa Detuwulu dan Desa Otogedu

berlokasi di ketinggian yakni antara 700 m sampai dengan 800 m di atas

permukaan laut. Tiga desa yang berbatasan langsung dengan Laut Flores yakni

Desa Mausambi, Maurole dan Aewora, wilayahnya membentang antara 2 m

sampai 3 m di atas permukaan laut.

Tingkat kemiringan lahan di Kecamatan Maurole sangat bervariasi dan

diklasifikasi ke dalam empat kelas kemiringan dengan rinciannya seperti terlihata

pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2

Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole

No Tingkat Kemiringan Luas (km²) Prosentase

1 >40% 221, 68 58,33

2 3-12% 76,96 20,25

3 12-40% 62,60 16,47

4 0-3% 18, 82 4,95

Jumlah 380,06 100

Sumber: BPS, 2010 (data diolah)

Page 69: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

48

Tingkat kemiringan >40% merupakan tingkat kemiringan yang paling luas

di wilayah Kecamatan Maurole yaitu 58,33% dari total luas Kecamatan Maurole.

Tingkat kemiringan 0-3% merupakan yang paling kecil di wilayah itu yaitu hanya

meliputi 4,95 % dari total luas wilayah.

Seperti daerah tropis lainnya di Indonesia, Kecamatan Maurole termasuk

wilayah yang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau/kering

yang berlangsung selama lima bulan antara bulan Mei sampai dengan bulan

September, dan musim hujan/basah antara bulan Oktober sampai bulan April yang

berlangsung sepanjang tujuh bulan. Suhu rata-ratanya 26-30˚ C.

4.2 Potensi Wilayah

Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam

mendukung perkembangan aktivitas wisata. Salah satu potensi itu adalah potensi

pertanian. Potensi ini mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,

peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi

sawah yang meliputi luas panen pada tahun 2011 sebesar 584 ha dengan tingkat

produksi 3.596 ton. Di samping itu, luas panen padi ladang meliputi 452 ha

dengan produksi 904 ton (BPS, 2012: 64). Tanaman pangan lainnya adalah jagung

dengan luas panen 203 ha dan total prosuksi 464 ton, ubi kayu mencakup luas

panen 64 ha dengan total produksi 589 ton, ubi jalar meliputi luas panen 9 ha

dengan produksi 62,50 ton, kacang tanah dengan luas panen 8 ha dan produksi 12

ton, kacang hijau mencakup luas panen 12 ha dan produksi 15,20 ton, tanaman

kedelai meliputi luas panen 11 ha dan produksi 16,50 ton.

Page 70: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

49

Gambar 4.1 Areal Persawahan di Maurole

Sumber: Penelitian, 2013

Beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan juga diproduksi di

Kecamatan Maurole. Jenis sayur-sayuran yang ada yaitu: petsay, kacang panjang,

cabai, tomat, terung, dan cabai rawit. Total produksi jenis sayur-sayuran ini

mencapai 105 ton di tahun 2011. Jenis sayur-sayuran dengan produksi terbesar

yaitu 70 ton adalah cabai disusul dengan rata-rata produksi 8 ton yakni tomat,

terung dan cabai rawit. Jenis buah-buahan yang diproduksi meliputi: avokat,

mangga, rambutan, jeruk, jambu biji, sirsak, pepaya, pisang, nenas, dan salak

dengan total produksi sebesar 41,69 ton. Pisang merupakan jenis buah-buahan

yang paling banyak diproduksi di Kecamatan Maurole dalam tahun 2011 yakni

mencapai 33,28 ton (BPS, 2012: 72).

Page 71: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

50

Produksi tanaman perkebunan di Kecamatan Maurole, yaitu: kelapa, kopi

arabika, cengkeh, kakao, jambu mete, kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Pada

tahun 2011 (BPS, 74) produksi tanaman perkebunan terbesar adalah kelapa yaitu

mencapai 804,65 ton, disusul oleh jambu mete 411,5 ton, kemiri 244,2 ton, kakao

147,5 ton, kopi arabika 11,14 ton, cengkeh 3,06 ton, tanaman perkebunan pinang

2,95 ton, panili 1,10 ton, dan terakhir kapuk 0,84 ton.

Ternak di Kecamatan Maurole meliputi ternak besar, yaitu: sapi, kerbau, dan

kuda. Ternak kecil mencakup kambing, babi, ayam kampung, dan itik (Anonim,

2012: 84). Pada tahun 2011, populasi unggas jenis ayam kampungnya mencapai

5.949 ekor, jenis itik 496 ekor. Populasi ternak besarnya adalah 2.471 ekor dengan

populasi terbesar sapi yaitu 2.113 ekor dan populasi ternak kecil sebanyak 6.781

ekor dengan populasi terbesar adalah babi sebanyak 5.951 ekor.

Perikanan merupakan salah satu potensi di wilayah Kecamatan Maurole.

Sarana yang digunakan oleh rumah tangga perikanan laut adalah perahu tanpa

motor (jangkung dan perahu papan), motor tempel, dan kapal motor. Pada tahun

2011 (BPS, 2012: 85) terdapat 82 unit jangkung dan 25 unit perahu papan. Motor

tempel ada sebanyak 10 unit. Kapal motor ukuran 0-5 GT ada sebanyak 24 unit

dan > 5 GT ada sebanyak 4 unit. Alat penangkapan ikan yang paling banyak

digunakan yaitu: pancing, disusul jaring insang, pukat buang/bagan, jala lompo,

dan pukat cincin.

Dalam aktivitas perikanan di Kecamatan Maurole, terdapat sebanyak 33

kelompok nelayan dengan jumlah total anggota sebanyak 162 orang dan 8

kelompok wanita nelayan dengan total jumlah anggota sebanyak 42 orang.

Page 72: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

51

Sebanyak 98 orang di antaranya sudah pernah mengikuti pelatihan di bidang

perikanan (BPS, 2012: 87).

Jenis ikan yang diproduksi oleh perikanan laut di Kecamatan Maurole, yaitu:

paperek, kakap, ekor kuning, cucut, terbang, julung, selar, tembang, kembung,

cakalang, tenggiri, tongkol, tuna, layaran, pari, laying, dan jenis lainnya. Ikan ekor

kuning merupakan jenis yang paling banyak diproduksi (BPS, 2012: 90).

4.3. Sumber Daya Pariwisata Maurole

Salah satu potensi di Kecamatan Maurole adalah potensi pariwisata. Hal ini

terlihat dari sumber daya pariwisatanya. Pitana dan Diarta (2009: 68)

mengemukakan sumber daya pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki

potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pariwisata, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Mereka menguraikan lebih lanjut bahwa sumber daya

yang terkait dengan pariwisata umumnya berupa sumber daya alam, sumber daya

budaya, sumber daya minat khusus, disamping sumber daya manusia. Dalam

konteks Maurole sebagai destinasi yang disinggahi oleh kapal-kapal wisata

(yacht), maka destinasi ini memiliki sumber daya seperti diuraikan berikut ini.

4.3.1. Sumber Daya Alam

Maurole memiliki sumber daya alam air yang salah satunya mencakup

keberadaan pantai seperti dikemukakan oleh Fennel (1999: 68). Menurutnya, air

memegang peran sangat penting dalam menentukan jenis dan tingkat partisipasi

dari rekreasi outdoor di laut dan lingkungan laut (sea environments). Pitana dan

Diarta (2009: 71) menegaskan sumber daya air bisa dikembangkan, misalnya,

menjadi jenis wisata pantai/bahari seperti sailing, cruises, fishing, snorkelling.

Page 73: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

52

Wisata pantai (bahari) di Maurole yaitu pantai Mausambi, pantai Nanganio, pantai

pasir putih Enabara, dan pantai pasir putih di Aewora. Pantai Mausambi dan

pantai Nanganio merupakan dua lokasi yang menjadi titik labuh kapal wisata

(yacht) yang berkunjung ke Maurole melalui aktivitas Sail Indonesia sejak tahun

2007. Pantai Enabara dan Pantai pasir putih di Aewora adalah dua lokasi yang

menjadi tempat rekreasi masyarakat khususnya pada hari libur dan akhir pekan.

Sumber daya alam lain yang berpotensi dikembangkan untuk tujuan

kegiatan pariwisata di Maurole adalah vegetasi. Menurut Fennel (1999: 68)

vegetasi merujuk pada keseluruhan kehidupan tumbuhan atau tumbuhan yang

menutupi suatu area tertentu. Potensi sumber daya vegetasi di maurole mencakup

potensi tanaman pangan (padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah

dan kedelai) dan perkebunan (kelapa, kopi arabika, cengkeh, kakao, jambu mete,

kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Keberadaan komponen sumber daya ini

berpotensi dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Aktivitas dalam perjalanan

wisata yang dibuat bagi wisatawan yang mengunjungi Maurole juga mencakup

kunjungan (atau perhentian) di tempat-tempat dimana bisa diperoleh informasi

mengenai tumbuhan yang terdapat di Maurole. Misalnya informasi mengenai

kakao, jambu mete, dan kemiri. Aktivitas pemberian informasi mengenai

tumbuhan tertentu dengan melihat langsung tumbuhannya menjadi salah satu daya

tarik perjalanan wisata di Maurole. Atraksi ini berpotensi untuk dikembangkan

lebih lanjut sebagai bentuk produk wisata yang unik. Potensi atraksi wisata alam

di Kecamatan Maurole yang terkait aktivitas Sail Indonesia akan diuraikan pada

bab berikutnya.

Page 74: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

53

4.3.2. Sumber Daya Manusia

Dalam konteks kehadiran kapal-kapal wisata di Maurole melalui adanya

kegiatan Sail Indonesia, maka eksistensi sumber daya manusianya dapat dilihat

dari keberadaan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan Sail Indonesia baik

di areal titik labuh, maupun di desa-desa yang dikunjungi wisatawan selama

kegiatan itu berlangsung. Sejak awal kegiatan Sail Indonesia, masyarakat di

Maurole ikut berpartisipasi dalam beragam bentuk aktivitas sesuai dengan acara

yang diselenggarakan. Secara umum, masyarakat terlibat dalam pengelolaan titik

labuh, pengelolaan desa – desa yang dikunjungi dalam perjalanan wisata, dan

pengelolaan atraksi seni budaya.

Kenyataan ini mengungkapkan keberadaan Maurole sebagai sebuah

destinasi singgah Sail Indonesia sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya.

Di samping itu, kehadiran wisatawan di destinasi singgah mendorong

pengembangan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan

wisatawan di destinasi singgah. Hal ini sejalan dengan hal yang disampaikan oleh

Pitana dan Diarta (2009: 72) bahwa sumber daya manusia sangat menentukan

eksistensi pariwisata.

4.3.3. Sumber Daya Budaya

Dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, terutama melalui aktivitas

perjalanan wisata, wisatawan dapat menyaksikan tradisi dan cara hidup

masyarakat, melihat rumah adat dengan gaya arsitekturnya, menyaksikan seni dan

musik yang ditampilkan oleh masyarakat, menikmati sajian makanan

lokal/tradisional, dan membeli kerajinan setempat seperti tenun ikat. Dengan

Page 75: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

54

demikian, Maurole memiliki sejumlah sumber daya budaya yaitu (1) tradisi,

misalnya upacara penobatan tetua adat (mosalaki); (2) sejarah dari suatu

tempat/daerah, misalnya sejarah kampung asli watukamba. (3) arsitektur,

misalnya bentuk rumah adat; (4) makanan lokal/tradisional, misalnya kue cucur

(filu); (4) seni dan musik, misalnya feko genda (musik suling dan perkusi); (6)

cara hidup masyarakat; (7) pakaian lokal/tradisional, misalnya lawo lambu

(sarung dan baju untuk perempuan); dan (8) kerajinan pane (peralatan makan

yang terbuat dari tanah liat). Sumber daya budaya ini merujuk pada ‘sepuluh

elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatatawan dalam kegiatan pariwisata’

(Ardika, 2003: 50). Berdasarkan data dari penelitian, kedelapan elemen budaya

inilah yang antara lain menjadi atraksi wisata budaya di destinasi singgah

Maurole, di samping atraksi wisata lainnya.

Page 76: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

55

BAB V

POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH

SAIL INDONESIA

Konsep destinasi singgah atau destinasi wisata layar yang digunakan dalam

penelitian ini adalah destinasi pariwisata yang secara nyata dikunjungi kapal

wisata (yacht) dan ada aktivitas pemanggku kepentingan pariwisata di destinasi

yang dipicu oleh kehadiran kapal wisata itu. Sejalan dengan konsep itu, maka

dilakukan kajian terhadap potensi Maurole sebagai salah satu destinasi yang

disinggahi oleh kapal wisata melalui aktivitas Sail Indonesia. Untuk itu, potensi

Maurole dilihat dari atraksi wisata, aksesibilitas, amenitas dan ancillary services.

5.1 Atraksi Wisata

Kajian mengenai atraksi wisata di Kecamatan Maurole dilakukan terhadap

atraksi wisata alam, budaya, dan buatan di desa-desa yang dikunjungi oleh

wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran

keragaman atraksi wisata. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai

informan dan observasi lapangan.

5.1.1 Desa Otogedu

5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi

Desa Otogedu termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten

Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun

Otogedu, Dusun Mbotuboa, dan Dusun Woloau, dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut:

1. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Watukamba;

Page 77: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

56

2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Detuwulu;

3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Watunggere Marilonga;

4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Watukamba.

Desa Otogedu terletak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Kecamatan

Maurole atau sekitar 95 km di utara kota Kabupaten Ende. Perjalanan menuju

desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda

empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Nuabela –

Otogedu. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) –

Maukaro – Maurole – Nuabela – Otogedu, sedangkan jalur dari Maumere di

bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur

dari kota kecamatan ke desa Otogedu sebagian berupa jalan beraspal, sebagian

berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton.

Secara geografis Desa Otogedu terletak di dataran tinggi dengan ketinggian

700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Desa Otogedu adalah 16 km² atau

sekitar 10,46% dari luas Kecamatan Maurole (BPS, 2012: 3).

Desa Otogedu memiliki 86 kepala keluarga dengan total penduduk berjumlah

346 jiwa yang terdiri atas 181 laki-laki dan 165 perempuan. Sebagian besar petani

menggarap usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan

jagung. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri, kakao, jambu

mete. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau sebagai

bahan pokok pembuatan minuman arak (Profil Desa, 2012).

Page 78: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

57

5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu

Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Otogedu adalah atraksi

pembuatan moke (minuman arak dari pohon enau). Tercatat ada empat lika

(tempat pembuatan arak) di Desa Otogedu. Lika biasanya berlokasi di dekat

rumah tinggal pemiliknya. Tempat pembuatan arak di Desa Otogedu umumnya

terdiri dari tungku api tempat memasak, periuk tanah sebagai wadah yang dipakai

untuk memasak air nira/aren, dan peralatan untuk proses penyulingan yang terbuat

dari bambu.

Proses pembuatan (memasak) moke di masing-masing lika pada prinsipnya

sama. Namun, yang membedakannya adalah ramuan yang dipakai pada saat

memasak moke. Jenis ramuan tidak hanya dipakai saat memasak air nira, namun

sudah mulai digunakan sejak menampung air di pohon aren/enau. Ramuan itu

dimasukkan ke dalam wadah bambu penampung air nira yang diikatkan di

pelepah daun nira. Efek ramuan yang dipakai oleh masing-masing lika diyakini

menentukan kualitas rasa moke, sehingga ramuan yang dipakai dalam pembuatan

moke menjadi rahasia dapur para pemilik lika. Hal ini ditegaskan salah seorang

pembuat moke dan sekaligus tokoh masyarakat Desa Otogedu yaitu Frans Watu:

“Ramuan yang saya pakai di lika ini berbeda dengan yang dipakai di

lika yang lain. Saya tidak tahu ramuan yang mereka pakai, mereka pun

tidak mengetahui ramuan yang saya pakai. Ramuan yang saya pakai di

sini, saya peroleh dari orang tua saya. Ramuan ini diberitahu kepada

kami secara turun temurun. Yang saya ingat ramuan ini telah dipakai

oleh empat generasi keturunan keluarga kami” (Wawancara 12 Juni

2013).

Daya tarik atraksi pembuatan moke ini terletak pada keunikan lika dengan

peralatan tradisional yang digunakan serta ritual adat dan legenda yang

Page 79: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

58

mendukung aktivitas ini. Legenda setempat menyebutkan bahwa pohon enau yang

menghasilkan air nira dianggap sebagai seorang “perempuan”. Tentang hal ini,

Frans Watu menjelaskan:

“Kami harus memerlakukan pohon enau dan seluruh proses pembuatan

arak dengan baik. Mulai dari saat kami memukul-mukul tandan enau,

saat menyayat dan mengiris tandan enau itu berkali-kali, sampai saat

kami harus berhenti mengiris tandannya. Semuanya dilakukan dengan

penuh kelembutan, perhatian, penghormatan seperti perlakuan bagi

seorang perempuan. Sebelum memasak moke, kami juga harus

melakukan upacara adat khusus memohon pada penguasa langit dan

bumi untuk merestui semua usaha kami agar moke yang dihasilkan baik

adanya” (Wawancara 12 Juni 2013).

Gambar 5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007

Page 80: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

59

Potensi lain yang terdapat di Desa Otogedu adalah potensi ekologis seperti

kebun kemiri, kakao, jambu mete, dan keberdaan pohon nira yang merupakan

sumber bahan baku pembuatan moke. Keberadaan pohon enau dan

pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku pembuatan moke oleh masyarakat

setempat juga merupakan salah satu atraksi wisata. Atraksi pengambilan air nira

dari pohon enau di Desa Otogedu bisa dijumpai setiap hari di waktu pagi dan

petang, sesuai dengan kebiasaan dan tuntutan cara pembuatan moke. Potensi ini

merupakan sumber daya pariwisata yang dapat dikembangkan karena menurut

Pujaastawa (2005: 132) kombinasi yang harmonis antara potensi sumber daya

alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dapat melahirkan beraneka

macam atraksi wisata yang dapat menjaid daya tarik wisata.

Secara keseluruhan, potensi atraksi wisata di Otogedu sudah menjadi daya

tarik wisata yang disuguhkan kepada wisatawan asing dalam kegiatan Sail

Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu:

“Mereka (tamu dari peserta Sail Indonesia) menyaksikan atraksi

pembuatan moke di empat lika yang ada di desa ini. Pemilik masing-

masing lika memberikan penjelasan tentang proses pembuatan disertai

cerita legenda yang diyakini masyarakat yang diterjemahkan oleh

pemandu wisata. Mereka juga mencicipi moke yang sudah jadi dan

sebagian besar dari mereka membeli moke ini” (Wawancara 12 Juni

2013).

Penuturan ini menggambarkan bahwa aktivitas masyarakat sehari-hari yang

berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya di sebuah desa

dapat menjadi atraksi wisata. Atraksi wisata yang didasarkan pada kebiasaan

hidup masyarakat serupa itu, oleh Yoeti (2008: 168) disebut sebagai social

attractions yaitu atraksi wisata yang didasarkan pada tata cara hidup masyarakat.

Page 81: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

60

Sejalan dengan itu, dari aspek budaya, Ardika (2003: 50) memasukkan cara hidup

suatu masyarakat sebagai salah satu elemen budaya yang menjadi daya tarik

wisata.

5.1.2 Desa Mausambi

5.1.2.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.

Desa Mausambi merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan

Maurole, Kabupaten Ende. Terletak sekitar 84 km di sebelah utara ibukota

Kabupaten Ende dan 1 km di sebelah barat ibukota Kecamatan Maurole. Batas-

batas wilayah Desa Mausambi adalah:

1. Di sebelah utara dengan Laut Flores;

2. Di sebelah timur dengan Desa Maurole;

3. Di sebelah barat dengan Desa Niranusa;

4. Di sebelah selatan dengan Desa Woloau.

Secara administratif, wilayah Desa Mausambi terbagi menjadi empat dusun,

yaitu Dusun Detuara, Dusun Detuwane, Dusun Mausambi, dan Dusun Niranusa.

Luasnya adalah 31,22 km² atau 20,41% luas dari luas wilayah Kecamatan

Maurole (152,94 km²). Sebagian merupakan tanah tegalan atau perkebunan dan

sebagian lagi digunakan sebagai sawah, tanah pemukiman dan pekarangan (BPS,

2012).

Penduduk Desa Mausambi berjumlah 1.458 orang yang terdiri atas 787

(53,98%) laki-laki dan 671 (46,02%) perempuan. Sebagian besar mata

pencaharian pokok mereka adalah sebagai petani, dan sebagian kecil lainnya

menekuni pekerjaan sebagai nelayan, pegawai negeri sipil, pedagang, dan tukang

Page 82: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

61

(Profil Desa, 2012). Aktivitas masayarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi

dari pariwisata terbatas pada kegiatan yang muncul dengan hadirnya peserta reli

kapal wisata sail Indonesia di titik labuh Mausambi sejak tahun 2007 hingga saat

ini.

5.1.2.2 Atraksi Wisata di Mausambi

Potensi pariwisata utama di Desa Mausambi adalah pantai dan teluk

Mausambi khususnya areal titik labuh di depan perairan pantai Mausambi dan

areal perairan yang dibatasi oleh Tanjung Watulaja. Lokasi ini sejak tahun 2007

telah menjadi titik labuh bagi kapal wisata (Disbudpar, 2007). Kehadiran kapal-

kapal wisata (yacht) di Maurole menggerakkan pemangku kepentingan

memanfaatkan kehadiran itu, baik untuk memenuhi kebutuahn wisatawan maupun

untuk mengelola aktivitas yang melibatkan masyarakat setempat.

Sejalan dengan siklus hidup destinasi pariwisata dari, maka dapat dikatakan

bahwa tahun 2007 Maurole sudah memasuki tahap exploration dalam siklus hidup

destinasi wisata. Menurut Butler (1980), dalam tahap ini destinasi wisata baru

ditemukan, baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Kegiatan

Sail Indonesia memicu adanya kunjungan kapal wisata ke Maurole, dan

berdasarkan informasi dari sejumlah informan, maka dapat dikemukakan bahwa

destinasi ini memasuki tahap exploration, menyusul dilakukannya survei titik

labuh di Maurole pada tahun 2006 yang melibatkan pemerintah daerah dan

operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa.

Potensi lainnya adalah atraksi pembuatan pane (peralatan makan dari tanah

liat) di Dusun Detuara, kawasan persawahan, dan jalur trekking melewati kebun

Page 83: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

62

jambu mete dan kakao menuju kampung adat Pu’u Pau. Sebagai sebuah atraksi

wisata, kampung adat Pu’u Pau dikunjungi oleh wisatawan dari kapal wisata yang

singgah di Teluk Mausambi pada tahun 2012. Hal ini terungkap dalam wawancara

dengan pemandu wisata yang berasal dari Mausambi, Vinsen Atabala:

“Sebanyak dua rombongan wisatawan berkunjung ke Pu’u Pau.

Kunjungan itu menjadi berkesan bagi para tamu dan tuan rumah karena

bertepatan dengan berlangsungnya upacara pembuatan rumah adat di

kampung ini. Karena jaraknya dekat dengan pantai Mausambi,

rombongan wisatawan bejalan kaki ke kampung ini” (Wawancara 9

Juni 2012).

Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik

roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria –

Ropa – Mausambi. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot

(Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Mausambi, sedangkan jalur dari Maumere di

bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Mausambi. Jalur dari

Mausambi ke Detuara dan Kampung adat Pu’u Pau berupa jalan tanah, sebagian

berbatu, dan sebagiannya lagi berupa rabat beton dapat ditempuh dengan

kendaraan roda dua dan roda empat serta berjalan kaki (trekking).

Kunjungan ke kampung adat, yang terletak di sekitar lokasi titik labuh kapal

wisata, menunjukkan bahwa daerah ini memiliki sumber daya yang potensial

untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata. Masyarakat atau pelaku usaha dapat

memperoleh manfaat ekonomi dan sosial dengan mengatur paket wisata berupa

kunjungan ke atraksi wisata yang mudah dijangkau. Fakta ini menngungkapkan

Desa Mausambi merupakan salah satu lokasi bagi “wisatawan yang bermasuksud

menghabiskan waktu mereka di luar tempat tinggalnya” (Jafari, 2000).

Page 84: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

63

Gambar 5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara, Desa Mausambi

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007

5.1.3 Desa Maurole

5.1.3.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi

Desa Maurole merupakan salah satu desa di Kecamatan Maurole, Kabupaten

Ende. Secara administratif, wilayah Desa Maurole terbagi menjadi empat dusun,

yaitu: Dusun Maurole 1, Maurole 2, Maurole 3, dan Maurole 4. Desa yang terletak

di pusat kecamatan ini, berada sekitar 84 km di sebelah utara Ende (BPS, 2012).

Batas-batas wilayah Desa Maurole meliputi:

1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores;

2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Watukamba;

3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Maurole Selatan,

Kecamatan Detukeli;

4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Mausambi.

Page 85: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

64

Desa Maurole mempunyai 491 kepala keluarga dengan total jumlah penduduk

sebanyak 2.501 jiwa yang terdiri atas 1.124 laki-laki dan 1.337 perempuan.

Dengan jumlah itu, desa ini merupakan desa dengan penduduk terpadat di

Kecamatan Maurole. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan pusat aktivitas

pemerintahan kecamatan, dan dilalui oleh jaringan jalan trans utara Flores, dan

jalur utama menuju ke desa-desa lain di Kecamatan Maurole. Berdasarkan

matapencahariannya, penduduk desa ini dapat dirinci seperti pada Tabel 5.1.

Mengacu pada tabel ini, terlihat bahwa 32% penduduk bermatapecaharaian petani,

dan 1,2% adalah nelayan. Kendatipun sebagian wilayah desa ini berada di pesisir

pantai, masyarakatnya lebih banyak menggantungkan hidup dari sektor pertanian.

Tabel 5.1

Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Prosentase

1 Petani 812 32,97

2 Nelayan 31 1,26

3 PNS 53 2,15

4 Pensiunan 22 0,89

5 Pengusaha 5 0,21

6 Pedagang 52 2,11

7 TNI/Polri 2 0,08

8 Lain-lain 1.486 60,33

Jumlah 2.463 100

Sumber: Profil Desa Maurole, 2012 (data diolah)

5.1.3.2 Atraksi Wisata di Maurole

Atraksi wisata yang menjadi daya tarik di Maurole adalah kunjungan ke pasar

mingguan di Maurole yang terletak di pinggir pantai Maurole. Di samping itu,

kunjungan wisatawan ke sejumlah sekolah untuk bertemu dan berbagai

Page 86: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

65

pengalaman dengan murid-murid SD dan SLTP. Wisatawan biasanya berjalan-

jalan juga di pusat kota kecamatan ini untuk menyaksikan kehidupan masyarakat

setempat dan membeli sejumlah kebutuhan pribadi mereka di kios-kios penduduk.

Perjalanan menuju Maurole dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik

roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria –

Ropa – Maurole. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot

(Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole, sedangkan jalur dari Maumere di bagian

timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole.

Gambar 5.3 Kunjungan ke SD Maurole

Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007

Atraksi wisata di desa Maurole mencerminkan adanya peluang untuk

mengembangkan paket wisata yang bervariasi. Jennings (2007: 36) menyebutkan

salah satu keuntungan bagi para wisatawan dalam aktivitas wisata layar ketika

mengunjungi sebuah destinasi adalah mereka mendapat akses ke latar belakang

Page 87: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

66

dari masyarakat dan kebudayaannya. Berdasarkan pendapat Jennings ini, dapat

dikemukakan bahwa destinasi berpeluang untuk menyuguhkan atraksi wisata yang

membuka akses bagi pemahaman wisatawan akan masyarakat dan

kebudayaannya.

5.1.4 Desa Watukamba

5.1.4.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.

Desa Watukamba termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten

Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi empat dusun yaitu

Dusun Nanganio, Dusun Aepetu, Dusun Wolosambi, dan Dusun Watukamba

dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores;

2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Aewora;

3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Otogedu;

4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Maurole.

Luas wilayah Desa Watukamba adalah 16,98 km² atau sekitar 10,10% dari

luas Kecamatan Maurole. Secara geografis Desa Watukamba terletak di dataran

ketinggian 15 meter di atas permukaan laut. Penduduk Desa Watukamba

berjumlah 1.093 jiwa, terdiri atas 524 laki-laki dan 569 perempuan (BPS, 2012: 5-

21).

Matapencaharian penduduk sebagian besar adalah petani yang menggarap

usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tanaman

perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri dan kakao. Salah satu tanaman

Page 88: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

67

yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau dan kemiri sebagai bahan pokok

pembuatan gula aren (Profil Desa, 2012).

5.1.4.2 Atraksi Wisata di Watukamba

Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Watukamba adalah

pembuatan gula aren khususnya di kampung adat Nuabela. Dari 16 kepala

keluarga (KK) yang menghuni kampung Nuabela, terdapat 14 KK yang

merupakan pembuat gula aren. Tempat pembuatan gula aren umumnya terdiri

dari tungku api tempat memasak, kuali dari bahan aluminium sebagai wadah

untuk memasak air nira, dan peralatan untuk mencetak gula aren yang terbuat dari

bambu.

Proses pembuatan (memasak) gula aren di masing-masing rumah pada

prinsipnya sama. Satu-satunya bahan yang dicampurkan ke dalam air nira yang

dimasak adalah bubuk kemiri. Hal ini dijelaskan oleh Hironimus Nira salah

seorang pemuat gula aren dan kini menjabat sebagai kaur Desa Watukamba:

“Air nira dimasak sampai kental lalu diaduk dan ditambahkan bubuk

kemiri yang sudah diparut halus. Fungsi bubuk kemiri ini adalah untuk

memadatkan adonan agar tidak mudah hancur ketika sudah jadi gula

dan tahan lama” (Wawancara 13 Juni 2013).

Dalam kegiatan Sail Indonesia, pembuatan gula aren juga menjadi atraksi

yang disaksikan oleh wisatawan yang berkunjung ke kampung Nuabela dan

produk gula aren juga dibeli oleh wisatawan. Sama seperti beberapa aktivitas

masyarakat di desa – desa lainnya, aktivitas pembuatan gula aren juga berpotensi

menjadi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Penjualan produk gula aren

tentu saja memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Kondisi

Page 89: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

68

ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak

ekonomi dari wisata layar adalah “increased income generaion in host

communities”, atau meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.

Atraksi lainnya yang ada di Desa Watukamba adalah keberadaan kampung

adat Nuabela dengan rumah-rumah adat dan seremoni adatnya. Pada tahun 2007,

sebagai penghargaan, komunitas adat di Nuabela menobatkan sepasang peserta

Sail Indonesia yang datang ke kampung ini sebagai tetua adat (mosalaki) dengan

sebutan mosalaki ulu beu eko bewa (tamu yang dinobatkan sebagai bagian dari

mosalaki di suatu komunitas adat). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat

Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak sosial dari wisata layar adalah

meningkatkan pemahaman di antara wisatawan dan masyarakat.

Gambar 5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki

Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007

Page 90: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

69

Desa Watukamba juga mempunyai kelompok sanggar seni yang biasa

berperan saat penyambutan tamu dan berbagai acara seni budaya lainnya. Sanggar

seni budaya dari desa ini menjadi entertainer dalam kegiatan Sail Indonesia

dengan atraksi seni feko genda (suling dan perkusi yang mengiringi tarian)

(Disbudpar, 2007).

Desa Watukamba terletak sekitar 6 km dari kota Kecamatan Maurole atau

sekitar 88 km di utara kota Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh

dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur

wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Watukamba. Jalur lain adalah

jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole

Watukamba, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere –

Kotabaru – Nanganio – Maurole – Watukamba. Jalur dari kota kecamatan ke Desa

Watukamba sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya

lagi berupa rabat beton.

Gambar 5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba

Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2010

Page 91: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

70

Fakta atraksi wisata di empat desa di Kecamatan Maurole membentuk

kekhasan lokal Maurole sebagai sebuah destinasi. Tourism Insights (2008)

mengatakan kekhasan lokal (local distinctiveness) adalah kombinasi berbagai hal

yang menyebabkan suatu tempat memiliki karakter yang unik. Dijelaskannya,

pengunjung menginginkan “pengalaman” dari kunjungan mereka. Kekhasan suatu

destinasi adalah alat untuk membentuk “pengalaman” itu sehingga pengunjung

merasakan perbedaan satu destinasi wisata dengan destinasi wisata lainnya.

Tourism insight juga menegaskan kekhasan lokal merupakan stimulan bagi

keinginan pengunjung untuk berwisata, merekomendasikan sebuah destinasi pada

teman dan keluarga, serta melakukan kunjungan ulang. Konsep kekhasan yang

dari Tourism insight ini membuka ruang bagi pemahaman yang beragam. Salah

satunya adalah, kekhasan selalu ada di setiap destinasi. Ukuran kekhasannya

relatif bagi setiap orang atau wisatawan yang berkunjung, dengan kalimat lain

“pengalaman” yang didapat di sebuah destinasi merupakan sesuatu yang “khas”

bagi pemilik pengalaman itu. Dalam konteks kehadiran wisatawan dari kapal

wisata, mereka memerlukan interaksi dengan masyarakat lokal (understanding

between people). Mason (dalam Hermantoro, 2011: 80) menegaskan masyarakat

lokal dapat menjadi atraksi utama untuk wisatawan. Dengan demikian, perpaduan

(amalgam) dari berbagai komponen atraksi wisata di Maurole merupakan

kekhasan tersendiri.

Beberapa segi dari kekhasan Kecamatan Maurole menyangkut beberapa

komponen sebagai berikut:

Page 92: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

71

1) alam (natural features): bentangan (landscape) alamnya yaitu mulai dari

laut yang memiliki kekhasan sebagai titik labuh bagi kapal layar (Pantai

Mausambi dan Nanganio), pantai dengan masyarakat yang tinggal di

sekitarnya sebagai ranah interkasi dengan komunitas setempat, dataran

sedang sampai daratan tinggi yang berpotensi sebagai panorama alam dan

areal trekking; tumbuh-tumbuhan (hortikultura dan tanaman perkebunan)

yang merupakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan aktivitas

wisata dan bahan baku yang mendukung aktivitas masyarakat yang juga

berfungsi sebagai atraksi wisata (pembutan tuak dan gula aren);

2) buatan manusia (man made feautures): gaya arsitek rumah-rumah adat dan

bangunan adat lainnya yang khas dari etnik lio yang berbasis pada nilai-

nilai arsitektur masyarakat agraris; atraksi-atraksi wisata yang dikemas

menjadi paket wisata (khususnya yang terlihat dalam kegiatan Sail

Indonesia);

3) kebudayaan (culture and traditions) yang mewujud dalam cara hidup

masyarakat setempat, upacara adat, tarian, dan musik.

5.2 Aksesibilitas

Aksesibilitas ke Kecamatan Maurole dapat digambarkan berdasarkan akses

ke empat Desa yang dikunjungi oleh wisatawan asing peserta reli wisata layar

internasional Sail Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Observasi di lapangan mendapatkan data perjalanan darat menuju Kecamatan

Maurole dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu:

1) Ende – Detusoko – Welamosa – Ropa – Mausambi – Maurole.

Page 93: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

72

2) Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Maukaro – Wewaria – Ropa –

Mausambi – Maurole.

3) Maumere (Kabupaten Sikka) – Kotabaru – Aewora – Watukamba –

Maurole.

Bertolak dari jalur aksesibilitas ke Kecamatan Maurole itu, diperoleh data moda

transportasi yang digunakan untuk mencapai destinasi ini. Tabel 5.2.

memperlihatkan angkutan umum yang melayani penumpang di Kecamatan

Maurole.

Tabel 5.2

Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi

Antarkota dari dan ke Kecamatan Maurole

No Rute Moda

Transportasi

Jumlah

(unit)

Jadwal

1 Maurole – Ende PP Mini Bus 2 Tiap hari

Bus Kayu*) 3 Tiap hari

2 Maurole – Maumere PP Bus Kayu*) 2 Tiap hari

3 Ende – Kota Baru via Maurole Bus 2 Tiap hari

4 Maumere – Mbay via Maurole Bus 3 Tiap hari

5 Mbay – Maumere via Maurole Bus 3 Tiap hari

6 Travel Maumere – Ende PP via

Maurole

Mobil Travel 1 Tiap hari

*)Bus Kayu adalah sebutan untuk jenis angkutan umum berupa kendaraan roda

empat jenis truk yang didesain untuk mengangkut penumpang.

Sumber: Penelitian, 2013.

Dalam kegiatan Sail Indonesia, beberapa dari moda transportasi itu

dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam kunjungan wisata ke

berbagai atraksi wisata. Pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan paket

perjalanan wisata yang dibeli oleh wisatawan.

Page 94: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

73

Salah satu jalur perjalanan wisata menuju ke Maurole adalah melalui jalur

laut. Akses ini menjadi semakin nyata ditandai dengan adanya kapal wisata

(yacht) peserta reli perahu layar internasional Sail Indonesia yang menyinggahi

Maurole sejak Tahun 2007. Jalur laut menuju ke Maurole adalah sesuai dengan

rute perjalanan sail Indonesia (Lesmana, 2012) yaitu: Darwin (Australia) –

Kupang (entry port) – Alor – Lembata – Larantuka – Maumere – Maurole.

Setelah singgah di Maurole, kapal wisata meneruskan perjalanan ke arah barat

menuju Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Riung (Kabupaten Ngada) – Labuan

Bajo (Kabupaten Manggarai Barat) – Lombok (NTB) – Lovina (Bali) – Karimun

Jawa (Jawa Tengah), Kumai River (Kalimantan Selatan) – Belitung (Kabupaten

Bangka-Belitung) – Bintan – Batam (Kepulauan Riau) sebagai pelabuhan keluar

(exit port).

Sebelum memasuki perairan Indonesia dan berangkat dari Darwin, kapal-

kapal wisata umumnya mengarungi rute pelayaran baik di Australia, maupun di

negara-negara di Samudera Pasifik, seperti: Fiji, Tonga, Vanuatu, Samoa,

Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Selandia Baru, dan Tasmania. Setelah

meninggalkan perairan Indonesia, kapal-kapal wisata itu melanjutkan

pelayarannya menuju ke berbagai destinasi di Asia, seperti: Malaysia, Singapura,

Thailand, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, Kepulauan Andaman, Myanmar,

Bangladesh, India, Pakistan, dan ke negara-negara di timur tengah.

Masuknya wisatawan asing melalui jalur laut di Kecamatan Maurole

menunjukkan bahwa destinasi singgah Maurole telah menjadi salah satu pintu

Page 95: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

74

masuk wisatawan ke Kabupaten Ende. Hal ini diungkapkan oleh Nyo Cosmas,

SH., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende:

“Sebelum Kecamatan Maurole menjadi destinasi singgah Sail

Indonesia, kami hanya mengandalkan wisatawan asing masuk melalui

jalur darat dari barat dan dari timur Kabupaten Ende, melalui Bandar

Udara H. Hasan Aroeboesman, dan melalui pelabuhan laut (Ende, Ipi,

dan Nangakeo). Sejak Tahun 2007, kami mempunyai alternatif pintu

masuk baru melalui laut yaitu di Kecamatan Maurole” (Wawancara 17

Juni 2013).

Kenyataan itu dapat menjadi pemicu pengembangan destinasi wisata lebih

lanjut. “Destinasi menjadi alasan bagi adanya perjalanan dan atraksi di destinasi

membangkitkan kunjungan” (Cooper et al., 1996: 77). Dalam upaya

pengembangan destinasi wisata yang secara nyata telah dikunjungi oleh

wisatawan dan menjadi pintu masuk bagi wisatawan, diperlukan campur tangan

berbagai pemangku kepentingan, sehingga diharapkan, aspek ekonomi, sosial

budaya, dan lingkungan di destinasi wisata dapat berkembang secara harmonis.

5.3 Amenitas

Konsep amenitas yang menjadi landasan kajian ini adalah segala fasilitas

pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama

berada di destinasi. Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi

untuk menginap serta restoran untuk makan dan minum. Amenitas juga

berhubungan dengan ritel dan jasa-jasa lain seperti jasa keamanan, jasa penukaran

uang dan asuransi (Cooper et al., 1996: 84-85).

Dalam kaitan dengan destinasi Maurole, fasilitas bagi wisatawan asing

diadakan untuk memenuhi kebutuhan peserta Sail Indonesia. Fasilitas –fasilitas itu

ada yang bersifat permanen dan ada yang tidak permanen (Disbudpar, 2007).

Page 96: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

75

Fasilitas permanen misalnya toilet yang dibangun di beberapa lokasi kunjungan

seperti di Pantai Mausambi, Desa Otogedu, dan Dusun Detuara. Fasilitas yang

tidak permanen adalah dermaga apung (jetty), tempat relax, berbagai jenis tenda

dan panggung hiburan di lokasi pantai titik labuh yang dibangun menggunakan

bahan-bahan lokal dari bambu, kayu, dan daun kelapa. Hal ini ditegaskan oleh

Martinus Lagho SST. Par., Kasubag Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Ende:

“Sesuai karakteristik acara Sail Indonesia yang kunjungannya terjadi

pada bulan Juli – September setiap tahun dan singgah beberapa hari di

Maurole di bulan Agustus, maka diadakan juga beberapa acara

penyambutan dan paket wisata ke beberapa atraksi wisata yang ada di

Kabupaten Ende. Sehingga dibangunlah beberapa fasilitas non

permanen untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan selama

mereka berada di Maurole” (Wawancara 15 Juni 2013).

Melalui berbagai acara penyambutan dan acara pendukung lainnya,

diharapkan dapat menciptakan kesan yang baik bagi wisatawan sehingga

merupakan alat promosi yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Menurut

Cooper et al., (1996: 80) sangat penting bagi sebuah destinasi untuk memberikan

pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan.

Hingga saat ini, Kecamatan Maurole memiliki beberapa sarana akomodasi

penginapan dan rumah makan yang melayani kebutuhan masyarakat setempat dan

tamu lokal yang berkunjungan ke Maurole terutama karena pekerjaan,

kepentingan bisnis dan kepentingan lainnya, bukan untuk keperluan khusus

wisata. Secara umum, sarana akomodasi penginapan yang dimiliki masyarakat

lokal itu memiliki fasilitas yang minim. Demikian juga fasilitas dan jenis

hidangan yang disajikan di rumah makan. Seiring dengan pertumbuhan

Page 97: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

76

permintaan dan pemahaman akan aspek hospitaliti, keberadaannya diharapkan

akan lebih berkualitas.

Dalam kegiatan Sail Indonesia, wisatawan yang berkunjung ke Maurole tidak

menginap di penginapan yang ada di Maurole, namun memanfaatkan kapal layar

mereka sebagai tempat untuk menginap. Hal ini sesuai dengan karakteristik

wisatawan yang menggunakan kapal layar. Jenings (2007: 33), dalam uraiannya

mengenai profil pasar para yachties (wisatawan dengan yacht), menjelaskan

bahwa mereka yang berlayar dalam jangka waktu panjang ke luar negeri atau ke

tempat yang jauh dari pelabuhan keberangkatannya, tinggal di kapal mereka (live

aboard in their own yachts). Berdasarkan uraian Jennings, maka dapat dikatakan

akomodasi atau penginapan bukanlah kebutuhan utama para wisatawan kapal

layar seperti yang terjadi di Maurole.

Tabel. 5.3

Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole

No Lokasi Penginapan Rumah Makan

Jumlah Kamar Jumlah Kursi

1 Desa Maurole 2 16 4 85

2 Desa Watukamba 1 7 - -

3 Desa Mausambi - - 2 40

J u m l a h 3 23 6 125

Sumber: Penelitian, 2013.

Sarana penunjang lainnya adalah sarana perdagangan seperti pasar desa, kios,

dan warung. Sarana perdagangan yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan di

Maurole adalah pasar desa yang beraktivitas seminggu sekali. Di samping untuk

melihat aktivitas pasar, sebagian wisatawan juga menggunakan kesempatan ini

untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Keberadaaan pasar tradisional

memang menarik perhatian para wisatawan, karena mereka dapat melihat secara

Page 98: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

77

langsung aktivitas para penjual dan pembeli, dan melihat berbagai jenis barang

dagangan yang dijual. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Vinsen

Atabala, seorang pramuwisata lokal:

“Pasar desa yang dikunjungi dalam aktivitas Sail Indonesia adalah pasar

di Desa Maurole, Uludala (Pasar Ropa), dan Aewora. Barang yang

dibeli antara lain: sayur-sayuran, buah-buahan, dan baju” (Wawancara 9

Juni 2013).

Fasilitas pendukung lainnya yang terdapat di Kecamatan Maurole adalah

fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan listrik, fasilitas telpon seluler (termasuk

untuk akses internet), jaringan air minum, agen penjualan BBM, bank, jasa pos,

dan toilet. Secara rinci disajikan pada Tabel 5.4.

Tabel. 5.4

Fasilitas Pendukung (Amenitas) di Kecamatan Maurole

No Fasilitas Jumlah Keterangan

1 Bank 2 Bank NTT dan BRI

2 Jasa Pos 1 PT. Pos Indonesia

3 Telepon Seluler 1 PT. Telekomunikasi Seluler

4 Air minum 1 PDAM

5 Agen Penjualan BBM

(bahan bakar minyak)

2 Minyak tanah, bensin, dan solar.

6 Fasilitas Kesehatan 6 1 Pusat Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas), 3 Puskesmas Pembantu

(Pustu), dan 2 Pos Kesehatan Desa

(Poskesdes).

7 Toilet yang dibangun

dalam rangka Sail

Indonesia

4 Di Pantai Mausambi, Dusun Detuara,

Desa Otogedu, dan Pantai Nanganio.

8 Listrik 1 PT. PLN

Sumber: Hasil Penelitian, 2013.

Fasilitas pendukung ini sangat nyata perannya dalam melayani wisatawan

Sail Indonesia. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Gregorius Gadi,

Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende, yang dalam

tahun 2007 dan 2008 menjadi Camat Maurole:

Page 99: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

78

“Wisatawan yang membutuhkan air bersih dilayani oleh masyarakat

dengan memanfaatkan jaringan air PDAM yang dialirkan ke lokasi titik

labuh. Demikian juga dengan kebutuhan bensin dan solar dilayani oleh

agen penjualan BBM setempat. Sebagian juga menggunakan jasa pos

untuk mengirimkan kartu pos. Dan lagi ada wisatawan yang mendapat

pertolongan pertama di Puskesmas Maurole” (Wawancara 29 Juni

2013).

Tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut dan pemanfaatannya untuk memenuhi

kebutuhan wisatawan, menggambarkan bahwa destinasi singgah seperti Maurole

sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, aspek-aspek

pelayanan dasar semacam ini perlu mendapat pertimbangan dalam perencanaan

pengembangan pariwisata kawasan.

5.4 Ancillary Services

Salah satu komponen destinasi pariwisata yang diperkenalkan oleh Cooper et

al., (1996) adalah ancillary services. Menurut mereka, ancillary services

berbentuk organisasi lokal yang mendukung kegiatan pariwisata di sebuah

destinasi seperti Destination Management Organization (DMO), Convention and

Visitors Bureaus. Dijelaskan bahwa pelayanan yang diberikan oleh organisasi

seperti ini mencakup beberapa kegiatan, yaitu: aktivitas pemasaran, koordinasi

dan pengawasan pengembangan, penyediaan informasi, koordinasi bisnis lokal,

dan penyediaan fasilitas tertentu.

Konsep yang senada menyebutkan bahwa ancillary services adalah pelayanan

tambahan yang memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh industri pariwisata.

Pelayanan tambahan yang diberikan oleh organisasi-organisasi penyedia ancillary

services meliputi pemasasaran, reservasi, dan koordinasi di antara agen perjalanan

(Tourism in Singapore, 2003).

Page 100: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

79

Sesuai dengan konsep itu, penelitan ini hanya mengkaji lembaga-lembaga

yang berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole,

yakni: lembaga pemerintah, organizer/operator Sail Indonesia, Himpunan

Pramuwisata Indonesia (HPI), biro perjalanan wisata, dan kelompok masyarakat

(komunitas adat dan kelompok seni budaya). Rincian ancillary services di

destinasi Maurole dalam pengelolaan Sail Indonesia dikemukakan dalam Tabel

5.5.

Tabel. 5.5

Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di

Destinasi Singgah Maurole

No Ancillary Services Keterangan

1 Pemerintah kabupaten Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan

Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait

2 Organizer/operator Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa

(YCBAN)

3 Himpunan pramuwisata DPC HPI Kabupaten Ende

4 Biro perjalanan -

5 Komunitas adat Di tiap desa

6 Kelompok seni budaya Di tiap desa

Sumber: Penelitian, 2013.

Mencermati potensi destinasi singgah Maurole berdasarkan empat komponen

destinasi pariwisata dan perkembanganya, maka terungkap beberapa hal. Pertama,

destinasi singgah Maurole mulai dikenal oleh dunia internasional, khususnya oleh

para pelayar sejak dijadikan titik singgah kapal-kapal wisata (yacht) di Tahun

2007. Sejak itulah Maurole menjadi pintu masuk bagi wisatawan ke Kabupaten

Ende melalui perairan laut di pesisir utara.

Page 101: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

80

Kedua, sejak awal pengelolaan destinasi singgah Maurole dirancang dengan

melibatkan masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan yang dilakukan itu

mendorong masyarakat untuk turut menyiapkan berbagai kebutuhan dasar

wisatawan.

Ketiga, sebagai sebuah destinasi singgah, Maurole mendapat dukungan

promosi dari berbagai pihak. Pemerintah melakukan promosi melalui bahan cetak

misalnya brosur. Operator Sail Indonesia mempromosikan destinasi Maurole di

dunia maya memanfaatkan fasilitas internet. Wisatawan (yachters) pun turut

mempromosikan Maurole dari mulut ke mulut dan melalui situs internet milik

mereka.

Sesungguhnya tiga hal yang yang telah dikemukakan merupakan gambaran

yang nyata bahwa destinasi singgah Maurole berada pada tahap involvement

sesuai teori siklus hidup destinasi wisata. Butler (1980), dalam teorinya Tourism

Area life Cycle, menguraikan tahap involvement ditandai oleh munculnya kontrol

oleh masyarakat lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk

menyediakan keperluan dasar wisatawan. Ciri lainnya adalah mulai dilakukan

promosi, khususnya promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) atau WOM

untuk mengunjungi destinasi tersebut. WOM ini terutama dilakukan oleh para

yachters yang pernah mengunjungi Maurole. Promosi lainnya dilakukan oleh

pemerintah daerah melalui pembuatan bahan cetak promosi wisata yang

memasukkan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Tambahan pula,

promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, dan yachters)

melalui websites dan weblogs.

Page 102: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

81

BAB VI

PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH

SAIL INDONESIA

Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengelolaan Maurole sebagai

destinasi singgah Sail Indonesia, dan partisipasi pemangku kepentingan dalam

pengelolaan itu. Konsep pengelolaan yang digunakan mengacu kepada jenis

aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, pelaku wisata, dan pemerintah dalam

mengantisipasi kehadiran kapal – kapal wisata. Karena itu, hal – hal yang dikaji

meliputi pengelolaan areal titik labuh di Kecamatan Maurole, pengelolaan atraksi

seni dan budaya, pengelolaan perjalanan wisata, dan partisipasi pemangku

kepentingan.

6.1 Pengelolaan Areal Titik Labuh

Dalam kajian ini, istilah “titik labuh” dipahami sebagai tempat kapal layar

berlabuh, dan “areal titik labuh” adalah kawasan pantai di dekat (sekitar) titik

labuh yang digunakan oleh wisatawan untuk akses ke darat, dan juga

dimanfaatkan oleh stakeholder pariwisata untuk memberikan pelayanan terkait

kehadiran kapal – kapal layar itu. Bertolak dari pemahaman itu, maka kajian

terhadap pengelolaan areal titik labuh difokuskan pada kegiatan-kegiatan terjadi

di tempat itu selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung.

Kecamatan Maurole memiliki dua titik labuh kapal wisata (yacht) yaitu

Pantai Mausambi atau juga dikenal dengan nama Teluk Mausambi di Desa

Mausambi dan Pantai Nanganio di Desa Watukamba. Di samping sebagai titik

labuh kapal wisata, lokasi ini biasa digunakan oleh nelayan lokal maupun nelayan

Page 103: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

82

antar pulau sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal mereka karena terlindung dari

angin kencang dan terpaaan gelombang pada musim-musim tertentu. Pada musim

angin barat, antara Desember dan Maret, Teluk Mausambi sangat aman sebagai

titik labuh, sedangkan ketika musim angin timur antara April dan Oktober, Pantai

Nanganio sangat nyaman sebagai titik labuh. Pada musim angin timur, areal laut

di sekitar Tanjung Watulaja yang membentengi sebagian wilayah Teluk

Mausambi merupakan titik labuh yang nyaman. Kondisi ini menyebabkan titik

labuh Mausambi sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti dijelaskan

oleh Martinus Lagho, SST. Par., Kasubag Program Dinas Pariwisata Kabupaten

Ende.

“Pada saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Pulau Flores

dalam tahun 1992, kapal-kapal barang yang mengangkut pasokan

material bantuan dari luar pulau menggunakan titik labuh Teluk

Mausambi” (Wawancara 9 Juni 2013).

Penuturan itu mau menegaskan bahwa titik labuh ini secara alamiah aman

sebagai tempat labuhnya kapal-kapal layar. Kondisi ini menjadi salah satu

pertimbangan dipilihnya Teluk Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal wisata

peserta Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. Rosalia J.E. Rae, SST.Par.,

tenaga teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende,

menjelaskan tentang penetapan titik labuh:

“Penentuan itu dilakukan setelah melalui tahap survei yang dilakukan

oleh pihak operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar

Nusa (ketika itu masih bernama Yayasan Cinta Bahari Indonesia)

bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. Faktor

lain yang juga mendukung penetapan lokasi ini adalah adanya atraksi

wisata, aksesibilitas, dan fasilitas umum yang mendukung”

(Wawancara 9 Juni 2013).

Page 104: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

83

Dalam kegiatan Sail Indonesia, areal titik labuh menjadi lokasi berbagai

aktivitas dan pelayanan kepada wisatawan. Dalam dua tahun pertama (2007 dan

2008) pelayanan bagi para peserta Sail Indonesia dipusatkan di Pantai Mausambi,

dan pada tahun-tahun berikutnya dipusatkan di Pantai Nanganio (Disbudpar,

2009). Pelayanan itu dikelola melalui kerjasama antar pemangku kepentingan.

Aktivitas yang dikelola antara lain meliputi penataan tempat relax wisatawan,

tempat penjualan berbagai kebutuhan wisatawan, fasilitas informasi pariwisata,

keamanan, dan kesehatan.

Pengelolaan areal titik labuh ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu

sesuai dengan jadwal singgah kapal-kapal wisata yang diatur oleh operator Sail

Indonesia. Menurut Lesmana (2012) pengaturan jadwal untuk kegiatan Sail

Indonesia, disesuaikan dengan jangka waktu visa kunjungan yang diberikan yaitu

tiga bulan. Dalam jangka waktu ini, para pelayar mengarungi perairan Indoneisa

dari wilayah timur hingga ke bagian barat dengan kecepatan rata-rata 8 knot per

mil laut. Kondisi inilah yang menyebabkan, rata-rata lama tinggal di tiap destinasi

singgah adalah empat hari (Sail Indonesia, 2013).

Lamanya waktu singgah ini, menjadi pertimbangan bagi destinasi singgah

dalam mengemas berbagai jenis aktivitas dan penyediaan fasilitas pendukung.

Dengan kalimat lain, fasilitas dan pelayanan yang diberikan dirancang sesuai

dengan jangka waktu dan kondisi itu. Berikut Tabel 6.1 memperlihatkan fasilitas

yang disediakan sekaligus menyajikan gambaran pengelolaan titik labuh,

pemanfaatan sumber daya manusia dan bahan lokal.

Page 105: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

84

Tabel 6.1

Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di Titik Labuh –

Destinasi Singgah Kecamatan Maurole

No Fasilitas Pengelolaan dan pemanfaatan bahan dan tenaga

lokal

1 Floating Jetty

(Dermaga Apung)

Pembuatannya ditangani oleh Dinas Pekerjaan

Umum dengan memanfaatkan tukang dan

buruh lokal. Dibangun dengan teknik bongkar

pasang.

2 Berbagai fasilitas

pelayanan, yaitu:

tempat relax

Wisatawan, tempat

penjualan dan promosi

kerajinan daerah

(souvenir), tempat

penjualan sayur dan

buah, pos keamanan,

pos kesehatan, pusat

informasi pariwisata,

dan panggung pentas

seni budaya

Seluruhnya dikerjakan oleh Masyarakat lokal

dikoordinasikan Camat Maurole dan Kepala

Desa. Ada tenaga yang dibiayai dan ada yang

merupakan tenaga sukarela (swadaya

masyarakat).

Material yang digunakan adalah bahan lokal

dari kayu, daun kelapa, daun gebang dan

bambu. Seluruhnya dibeli dari masyarakat

setempat.

Pusat informasi dikelola oleh tenaga lokal

dan pramuwisata lokal dibawa koordinasi

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Ende.

Tempat Penjualan sayur dan buah

dimanfaatkan oleh pedagang dari Desa

Nduaria, sebuah desa yang memiliki pasar

tradisional yang biasanya menjadi tempat

persinggahan wisatawan.

Tempat penjualan dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk menjual makanan dan

minuman, bahan bakar minyak, dan jasa

laundry.

Tempat promosi kerajinan daerah

dikoordinasi oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kabupaten Ende. Dimanfaatkan

oleh beberapa pedagang souvenir (tenun ikat

daerah).

Tenaga lokal juga dimanfaatkan sebagai

petugas jetty, petugas kebersihan, petugas

keamanan, petugas penyambutan, dan

seniman lokal.

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2013 (data diolah)

Terlihat bahwa tenaga lokal ikut berpartisipasi dalam pengelolaan areal titik

labuh. Hal ini sejalan dengan upaya untuk menghindari, sejak dini, marginalisasi

Page 106: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

85

masyarakat lokal dan terabaikannya hak-hak mereka dalam mendapatkan manfaat

dari pengelolaan sumberdaya setempat (Pujaastawa et al., 2005: 127). Manfaat

dari kehadiran para wisatawan di titik labuh Mausambi diungkapkan oleh Yan

Fangidae, seorang guru SMP di Maurole.

“Jasa yang saya tawarkan kepada para peserta Sail Indonesia adalah

jasa laundry. Ternyata banyak juga yang memanfaatkan pelayanan ini.

Saya tidak menggunakan mesin cuci. Semua dilakukan secara

konvensional. Lumayanlah pendapatan yang saya terima” (Wawancara

13 Juni 2013).

Pada tahun 2012, pengelolaan Sail Indonesia di Maurole dipusatkan di

Mausambi. Hal ini terjadi karena sebagian besar kapal lego jangkar di Pantai

Mausambi. Pada saat itu, tidak ada pengelolaan khusus yang disiapkan oleh

berbagai pemangku kepentingan termasuk oleh pemerintah yang biasanya

memfasilitasi kegiatan Sail Indonesia. Namun aktivitas pelayanan kepada

wisatawan yang singgah tetap berjalan. Hal ini disampaikan oleh Vinsen Atabala,

pramuwisata lokal di Mausambi.

“Saya melayani sejumlah kapal yang lego jangkar di Mausambi

terutama di areal perairan dekat Tanjung Watulaja. Mereka mengakui

sangat nyaman berlabuh di areal itu. Kapal-kapal datang secara

bergelombang dalam kurun waktu dua minggu di Bulan Agustus

(2012). Seluruhnya, ada 38 kapal. Saya mengatur dan memandu

kunjungan mereka ke Danau Kelimutu, kampung adat Pu’u Pau yang

berjarak kurang lebih 1 km dari pantai Mausambi dan ke sejumlah

atraksi wisata lainnya termasuk mengadakan acara dinner dengan para

tamu” (Wawancara 10 Juni 2013).

Vinsen juga menguraikan bahwa pelayanan kepada para tamu dilakukannya

bersama-sama dengan sejumlah masyarakat di Mausambi. Terutama dalam

penanganan kunjungan wisata, pelayanan makan dan minum, pembelian sayuran

dan buah-buahan. Ditambahkannya, kunjungan ke kampung adat Pu’u Pau

Page 107: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

86

dilakukan setelah mendapat izin dari mosalaki atau tetua adat setempat karena

bertepatan dengan upacara pembangunan rumah adat. Kenyataan ini menunjukkan

bahwa pengelolaan titik labuh sudah dapat dilakukan oleh masyarakat setempat

secara mandiri, sekaligus menunjukkan “pentingnya unsur masyarakat lokal

dalam sebuah destinasi” (Hermantoro, 2011: 80). Dengan cara berbeda, Murphy

(dalam Timothy dan Tosun, 2003: 6) mengungkapkan pariwisata bergantung

kepada goodwill dan kerjasama dari masyarakat setempat karena mereka

merupakan bagian dari produk.

Kenyataan juga menunjukkan munculnya keyakinan di kalangan masyarakat

bahwa mereka mampu mengelola sebuah bentuk pelayanan bagi wisatawan asing

yang datang. Keyakinan itu terungkap dalam pendapat yang disampaikan Desi

Darius Saba, Kepala Desa Mausambi.

“Kami akan berusaha sedapat mungkin melayani setiap tamu dari kapal

wisata yang berkunjung ke daerah kami. Kami belajar dari pengelolaan

sail sebelumnya terutama belajar dari kunjungan mereka ke kampung

kami Pu’u Pau. Karena itu, dalam Sail Indonesia tahun ini (2013), kami

berencana membangun tenda relax bagi wisatawan di pantai Mausambi

sekaligus sebagai pusat pelayanan kami kepada para wisatawan yang

singgah.”

Penuturan ini menggambarkan bahwa ada proses belajar dalam keterlibatan

masyarakat. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan dengan didukung faktor

lainnya seperti tersedianya sumber daya manusia di desa, masyarakat berinisiatif

memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang ke wilayahnya. Hal ini

mencermintakn bahwa “pendekatan pariwisata berbasis masyarakat dalam

pengembangan pariwisata merupakan syarat bagi keberlanjutan” (Woodly dalam

Timothy dan Tosun, 2003).

Page 108: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

87

Kunjungan kapal wisata di tahun 2012 dapat dipahami sebagai dampak

keberadaan Maurole sebagai salah satu destinasi singgah dalam rute pelayaran

kapal-kapal wisata yang melayari perairan Indonesia. Sejak tahun 2007 informasi

mengenai titik labuh Mausambi dapat diperoleh melalui beberapa websites yang

secara khusus memberikan informasi mengenai Sail Indonesia, baik yang berbasis

di Darwin, Australia maupun di Jakarta. Raymond T. Lesmana, Konsultan Ahli

Bidang Wisata Layar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang juga

menjadi Ketua Dewan Pengurus YCBAN menjelaskan pola dikenalnya sebuah

destinasi singgah:

“Ketika sebuah destinasi telah menjadi titik labuh dan pernah

disinggahi oleh kapal-kapal wisata maka koordinat titik labuh

(anchorage position) otomatis dikenal dunia pelayaran kapal wisata.

Apalagi jika para pelayar dunia terkesan dengan hospitality dari

masyarakat di destinasi singgah” (Wawancara 19 Juni 2013).

Uraian Lesmana itu mengandung pengertian bahwa sebuah destinasi singgah

akan selalu berpeluang disinggahi oleh kapal-kapal wisata. Konsekuensinya

adalah terbukanya beragam kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari

kehadiran kapal-kapal wisata. Manfaat ekonomi bisa didapat dari antara lain

pengelolaan perjalanan wisata, jasa guide, penjualan makan dan minum, jasa

transportasi, dan jasa laundry. Pengelolaan aktivitas itu memberikan dampak

terhadap pendapatan masyarakat. Manfaat dari aspek sosial-budaya adalah

terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wisatawan yang dapat memperkaya

pengalaman. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya upaya untuk pengelolaan areal

titik labuh dan destinasi wisata secara menyeluruh melalui pendekatan pariwisata

yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

Page 109: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

88

Gambar 6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi

Sumber: Foto oleh Raymond T. Lesmana (YCBAN, 2007)

6.2 Pengelolaan Atraksi Seni Budaya

Persinggahan kapal-kapal wisata di Maurole dimanfaatkan oleh seniman lokal

sebagai wadah untuk mengapresiasikan kreativitas seni mereka, sekaligus sebagai

cara untuk melestarikan dan mempromosikan seni budaya daerah. Shaw dan

Williams (dalam Ardika, 2003: 50) menyebutkan seni dan musik merupakan salah

satu elemen budaya yang menjadi daya arik wisata. Elemen terkait lainnya yang

digunakan dalam pementasan seni budaya adalah pakaian lokal/tradisional. Oleh

sebab itu, berbagai atraksi seni budaya daerah ditampilkan, bukan hanya untuk

menghibur wisatawan asing, namun juga untuk dinikmati oleh masyarakat

setempat. Pagelaran seni budaya melibatkan berbagai kelompok seni di

Page 110: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

89

Kabupaten Ende dan se-daratan Flores. Tabel 6.2 menjelaskan berbagai atraksi

seni budaya itu.

Tabel 6.2

Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole

No Tahun Acara Seni Budaya

1 2007 Festival Seni Budaya Rayon II Flores dan Lembata

2 2008 Pagelaran Seni Budaya Daerah Kabupaten Ende

3 2009 Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole

4 2010 Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole

5 2011 Tidak ada acara pagelaran seni budaya

6 2012 Tidak ada acara pagelaran seni budaya

Sumber: Disbudpar Kabupaten Ende, 2013 (data diolah)

Tahun 2011 tidak ada acara pagelaran seni budaya, karena Sail Indonesia

tidak ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten, namun oleh Desa

Watukamba. Pengelolaannya, termasuk penentuan acara di lokasi dan perjalanan

wisata diatur oleh pihak desa. Tahun 2012 tidak ada acara pagelaran seni budaya

karena pada tahun itu acara Sail Indonesia tidak ditangani secara khusus oleh

pemerintah daerah maupun oleh desa. Ketika itu pengelolaannya dilakukan

langsung oleh masyarakat di Desa Mausambi. Masyarakat berinisiatif melayani

wisatawan dari sejumlah kapal yang lego jangkar di Teluk Mausambi.

Pengelolaan atraksi seni budaya dilakukan bersama-sama antara masyarakat

dan pemerintah daerah. Masyarakat berpartisipasi melalui sanggar-sanggar seni

yang ikut dalam pementasan seni budaya. Pemerintah memfasilitasi dengan

menyiapkan wadah apresiasi seni bagi masyarakat. Kolaborasi ini merupakan

Page 111: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

90

bentuk kongkrit dari pengelolaan seni budaya daerah sekaligus sebagai upaya

pelestarian karya seni masyarakat.

Gambar 6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi

Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007

Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan seni dan

budaya di Maurole juga mencerminkan adanya apresiasi terhadap kebudayaan.

Gee dan Fayos (dalam Ardika, 2003: 55) menyebut bahwa salah satu prinsip

pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan adalah adanya upaya untuk

menghormati kebudayaan yang dilakukan oleh stakeholder yang terlibat di dalam

pengembangan pariwisata, dalam hal ini wisatawan juga ikut menghormati

kebudayaan, pandangan hidup, dan perilaku masrarakat lokal.

Atraksi seni budaya juga diadakan di desa-desa yang dikunjungi oleh

wisatawan. Setiap desa menampilkan atraksi yang berbeda sesuai dengan

kebiasaan dan kekhasan tempatnya masing-masing. Sesuai dengan hasil

Page 112: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

91

wawancara dengan berbagai informan di beberapa desa, diketahui bahwa atraksi

seni budaya di desa-desa ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi menyambut

wisatawan yang berkunjung ke desa mereka. Dengan demikian dapat dikatakan

bentuk keterlibatan ini “bottom up, atas inisiatif komponen masyarakat” (Dalem,

et.al., 2007: 92).

Gambar 6.3 Penari di Desa Nualise

Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2009

6.3 Pengelolaan Perjalanan Wisata

Pengelolaan perjalanan wisata di destinasi singgah Maurole berwujud paket-

paket wisata dengan kelompok sasaran para wisatawan. Pengelolaan paket wisata

ini dilakukan oleh pemandu wisata lokal yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata. Ada pula yang dikelola oleh biro perjalanan wisata (Disbudpar,

2010). Khusus pada tahun 2012 dikelola langsung oleh masyarakat.

Page 113: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

92

Tempat-tempat yang dikunjungi wisatawan terdapat di Kecamatan Maurole

dan di luar Kecamatan Maurole. Masing-masing tempat itu memiliki daya tarik

tersendiri. Paket wisata ke berbagai tempat itu, khususnya ke desa – desa, dibuat

dengan koordinasi terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar desa yang dikunjungi

dapat mempersiapkan atraksi seni budaya dan hal lainnya seperti kuliner lokal

sesuai kebutuhan perjalanan. Tabel 6.3 memperlihat tempat kunjungan wisatawan

dan daya tariknya.

Tabel 6.3

Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia

No Tempat yang dikunjungi Daya tarik

1 Desa Wologai Tengah

Kampung adat, rumah-rumah adat, dan

atraksi seni budaya.

2 Desa Otogedu Pembuatan arak lokal (moke)

3 Nuabela (Desa Watukamba) Pembuatan Gula Aren

4 Detuara (Desa Mausambi) Pembuatan peralatan makan dari tanah liat

(pane)

5 Pu’u Pau Kampung adat, rumah-rumah adat, dan

atraksi seni budaya.

6 Desa Tanali Rumah adat dan permainan tradisional.

7 Air Panas Detusoko Kolam pemandian.

8 Danau Kelimutu Danau kawah berbeda warna.

9 Wolotopo Landscape perkampungan adat dan rumah

adat.

10 Kota Ende Situs Rumah Pengasingan Bung Karno,

Tempat permenungan Bung Karno, Museum

Bahari, dan suasana Kota Ende.

11 Desa Waturaka Agrowisata, landscape persawahan dan

pemandian air panas Liasembe.

12

Wolofeo (Desa Nualise)

Kampung adat, rumah adat, atraksi seni

budaya, kuliner lokal.

13 Desa Rewarangga Pembuatan parang (pandai besi)

14 Sekolah-sekolah Komunikasi dan berbagi pengalaman dengan

siswa-siswa SD, SMP, dan SMA

Sumber: Disbudpar Ende, 2010 dan Penelitian, 2013 (data diolah)

Pada Tahun 2011 pengelolaan Sail Indonesia di lokasi titik labuh Pantai

Nanganio dilakukan oleh Desa Watukamba. Hal in dilakukan untuk lebih

Page 114: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

93

memberdayakan desa dan masyarakat dalam pengelolaan destinasi wisata

(Disbudpar, 2011). Seluruh acara persiapan dan pelaksanaannya dilakukan oleh

masyarakat setempat dengan mengacu pada pelaksanaan pada tahun-tahun

sebelumnya. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah kerjasama

dengan travel agent/ tour oprator dalam penanganan perjalanan wisata. Stronza

(2008: 103) menegaskan bentuk kerjasama ini memungkinkan masyarakat

menghubungkan pengetahuan, wilayah, tenaga kerja, dan modal sosial mereka

dengan kemampuan manajerial lembaga lain seperti tour operator. Melalui pola

kerjasama ini, masyarakat mendapat kesempatan belajar banyak hal seperti

manajemen event dan pengelolaan perjalanan wisata. Pujaastawa, et.al., 2005:

105) menegaskan “hubungan antara lemabaga-lembaga masyarakat lokal dengan

pengusaha pariwisata bersifat hubungan kemitraan yang saling menguntungkan”.

Pada tahun 2012 penanganan para wisatawan dari kapal-kapal wisata yang

berlabuh di Pantai Mausambi dilakukan oleh masyarakat di Desa Mausambi.

Vinsen Atabala, pramuwisata lokal di Mausambi menjelaskan:

“Kendatipun tidak ada acara khusus yang dipersiapkan oleh pemerintah

daerah, kunjungan kapal tetap ada. Semuanya berlabuh di pantai

Mausambi. Saya berkomunikasi dengan dua sailors (wisatawan) dari

kapal yang pertama tiba dan bersamanya mengatur kunjungan ke

Kelimutu sesuai permintaan mereka. Wisatawan berkebangsaan

Swedia ini berkomunikasi dengan kapal-kapal yang akan melewati jalur

Mausambi dan menawarkan tour ke Kelimutu. Tour ke Kelimutu

bersama 18 orang dari 9 kapal yang lego jangkar dilakukan pada dua

hari berikutnya.” (Wawancara 10 Juni 2013).

Lebih jauh Vinsen menjelaskan tentang pengelolaan tour ke Kelimutu.

Bemo milik masyarakat setempat digunakan sebagai alat transportasi. Dalam

perjalanan menuju Kelimutu singgah di Ranga, sebuah tempat yang memiliki

Page 115: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

94

pemandangan landscape persawahan. Setelah menikmati keindahan Kelimutu,

lokasi yang disinggahi berikutnya adalah Desa Waturaka untuk menyaksikan

aktivitas masyarakat di sawah. Setelah itu menuju Moni untuk makan siang di

salah satu restoran di sana.

Perjalanan kembali ke Maurole dilanjutkan dengan singgah di beberapa

tempat. Di Pasar Nduaria wisatawan melihat aktivitas pasar tradisional dan

membeli sayur dan buah. Selanjutnya berhenti di Ekoleta untuk menikmati

pemandangan persawahan di pinggir sungai dan aktivitas fotografi. Perhentian

terakhir sebelum Maurole adalah di Ropa, dan di lokasi ini para wisatawan

mendapat penjelasan tentang pohon jambu mete.

Setelah tiba di Maurole, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi

kampung Pu’u Pau. Kunjungan ini bertepatan dengan berlangsungnya upacara

pembuatan rumah adat. Dalam upacara semacam itu, masyarakat pengusung

kampung adat selalu hadir dan suasananya ramai. Para mosalaki (tetua adat)

menyambut wisatawan dengan tarian. Wisatawan mengenakan pakaian adat yang

disewakan oleh penduduk kampung. Perempuan mengenakan lawo (kain) dan

lambu (baju). Pria mengenakan luka (kain) dan ragi (selendang). Dengan

mengenakan pakaian adat, para tamu ikut dalam tarian Gawi, sebuah tarian yang

dilakukan secara bersama-sama sambil bergandengan tangan sebagai simbol

kebersamaan. Makan malam dilakukan di dalam rumah adat bersama para

mosalaki. Usai makan malam bersama, para tamu mengumpulkan donasi untuk

kampung adat dan kembali ke Mausambi berjalan kaki diantar oleh para pemuda

kampung ke pantai tempat mereka menambatkan dinghy (perahu sekocinya).

Page 116: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

95

Kemasan perjalanan wisata seperti yang digambarkan itu, ditambah dengan

adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat, memungkinkan terciptanya

pengalaman wisata yang berbeda. Kenyataan ini selaras dengan konsep pariwisata

alternatif yang menekankan pentingnya upaya menciptakan interaksi yang positif

dan bermanfaat di antara wisatawan dan masyarakat (Smith dan Eadington, 1992).

Bertolak dari fakta pengelolaan titik labuh, pengelolaan atraksi seni budaya,

dan pengelolaan perjalanan wisata, maka dapat diperoleh gambaran bahwa

keberadaan susatu titik labuh yang dikunjungi wisatawan dapat memicu

pengembangan destinasi. Pengembangannya meliputi pengembangan potensi

atraksi alam, budaya, dan buatan manusia. Pengembangan selanjutnya adalah

pengembangan yang sejak dini dapat melibatkan masyarakat lokal sehingga

terjadi pemberdayaan bukan marginalisasi. Hal ini selaras dengan pendapat Smith

dan Eadington (1992:3) mengenai pengembangan bentuk pariwisata yang

konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta

memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk menikmati

interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman secara

bersama-sama.

Fakta pengelolaan areal titik labuh juga mencerminkan hubungan antar

pihak yang terlibat, seperti yang diuraikan oleh Pujaastawa, et.al. (2005). Pertama,

hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat lokal (desa, komunitas adat,

sanggar seni). Hubungan ini bersifat hubungan internal, yang mencakup

kerjasama perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan di areal titik labuh dan

aktivitas terkait lainnya. Kedua, hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat dan

Page 117: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

96

pihak pengusaha pariwisata (travel agent/biro perjalanan wisata). Hubungan ini

berupa hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dalam mengemas jenis-

jenis paket wisata bagi wisatawan Sail Indonesia. Ketiga, hubungan antar

lembaga-lembaga masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, dan pemerintah.

Hubungan ini mencakup peran aktif lembaga pemerintah melalui Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan satuan kerja perangkat daerah

terkait lainnya, dalam memfasilitasi penyusunan kebijakan masuknya kapal –

kapal wisata di Maurole, dan menjalin kerjasama di antara berbagai pemangku

kepentingan itu.

Gambar 6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012

Sumber: Dokumentasi Atabala, V., 2012

Page 118: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

97

6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata

Pada bagian ini dipaparkan mengenai partisipasi pemangku kepentingan

dalam kegiatan Sail Indonesia di Destinasi singgah Maurole. Dasarnya adalah tipe

partisipasi yang dibuat oleh Tosun (dalam Madiun, 2009). Salah satu tipe

partisipasi itu adalah partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk

melakukannya (induced participation). Tipe partisipasi inilah yang mendasari

partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi

singgah Maurole dan desa-desa terkait lainnya seperti terlihat dalam berbagai

kegiatan.

Untuk mendapatkan uraian mengenai partisipasi pemangku kepentingan,

maka dikemukakan terlebih dahulu pemangku kepentingan yang terlibat dalam

pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pada tataran

konsep terdapat insan pariwisata yang dikelompok dalam tiga pilar utama (Pitana

dan Gayatri, 2005: 96 – 97), yaitu: (1) masyarakat. (2) swasta, dan (3) pemerintah.

Dijelaskan bahwa masyarakat umum di destinasi adalah pemilik sah sumberdaya

yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Masyarakat terdiri dari

tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media masa. Kelompok swasta

mencakup lembaga usaha pariwisata dan para pengusaha. Kelompok pemerintah

mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing

pemangku kepentingan terdiri dari berbagai pihak dan berperan sesuai dengan

fungsinya masing-masing. Tabel 6.4 memperlihatkan pemangku kepentingan di

Maurole.

Page 119: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

98

Tabel 6.4

Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole

No Pemangku Kepentingan Elemen yang berperan

1 Pemerintah Kabupaten Ende Dinas Kebudayaan dan Pariwisata;

Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait:

Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas

Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum,

Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Kecamatan dan desa-desa terkait

2 Pelaku usaha pariwisata

(swasta)

Himpunan Pramuwisata Indonesia, biro

perjalanan, operator/organizer pariwisata.

3 Masyarakat Masyarakat yang berperan di lokasi

kunjungan dan di titik labuh: petugas jetty,

pelayan makan minum, petugas

kebersihan, musisi lokal, keluarga

paguyuban, sanggar seni, pembuat bahan

kerajinan, kalangan pendidikan mulai SD

sampai SMA dan masyarkat desa.

Sumber: Penelitian, 2013

6.4.1 Partisipasi Pemerintah

Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan berbagai upaya menjadikan

Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Upaya ini dimulai

pada Tahun 2006. Ketika itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengundang

Yayasan Cinta Bahari Indonesia sebagai operator Sail Indonesia untuk melakukan

survei titik labuh di pesisir utara Kabupaten Ende. Lebih jauh dijelaskan oleh

Rosalia J.E. Rae, SST. Par, Tim Teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten Ende.

“Hasil survei menetapkan bahwa Pantai Mausambi layak sebagai titik

labuh bagi kapal-kapal wisata (yacht). Beberapa kriteria yang dipenuhi

adalah: posisi geografis, kedalaman, jarak dari pantai, dan dekat

aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertolak dari kondisi fisik itu, diajukan

rencana kegiatan dan biaya untuk menjadi destinasi singgah di Tahun

2007, dan usulan itu terlaksana” (Wawancara 9 Juni 2013).

Page 120: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

99

Penuturan itu mengungkapkan bahwa penetapan pantai Mausambi sebagai

titik labuh bagi kapal-kapal wisata membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya

adalah konsekuensi peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pendanaan

kegiatan untuk pengembangan destinasi singgah Maurole. Di samping itu, ada

konsekuensi pemerintah di bidang pemberdayaan masyarakat lokal dan kalangan

industri dalam memanfaatkan peluang kehadiran kapal-kapal wisata. Hal ini

dikemukakan oleh Yuliana Ruka, S.Sos, Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi,

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.

“Kami mengadakan sosialisasi/pendekatan dengan berbagai pihak

terkait, baik dari kalangan industri maupun masyarakat. Di Maurole,

diadakan beberapa kali pertemuan membahas berbagai hal mengenai

kunjungan wisatawan melalui reli perahu layar international ini.

Demikian juga pertemuan diadakan di berbagai titik-titik kunjungan

wisatawan. Intinya memberikan informasi mengenai Sail Indonesia,

peluang, dan peran yang dapat diambil oleh baik oleh masyarakat

maupun kalangan industri” (Wawancara 16 Juni 2013).

Partisipasi pemerintah bersifat memfasilitasi pemangku kepentingan

lainnya. Pemerintah mengusahakan agar masyarakat dapat secara kreatif

memanfaatkan peluang yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial

budaya. Penegasan ini disampaikan oleh Maria W.P. Wangge, SST. Par, salah

satu Tenaga Teknis di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende,

sebagai berikut.

“Pemerintah daerah melalui tim teknisnya menfasilitasi untuk

menyampaikan dan memberi pemahaman kepada masyarakat, tokoh

masyarakat, tokoh adat tentang pentingnya kegiatan Sail Indonesia.

Implementasinya, Pemda memberi kesempatan khusus kepada

masyarakat di kecamatan dan desa-desa titik kunjugan. Juga kepada

pihak swasta yang terlibat untuk mencapai tujuan yang di harapkan

melalui kegiatan Sail Indonesia” (Wawancara 10 Juni 2013).

Page 121: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

100

6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha

Partisipasi pemangku kepentingan dari pelaku usaha pariwisata yaitu biro

perjalanan diwujudkan melalui penanganan kegiatan perjalanan wisata bagi

peserta Sail Indonesia di tahun 2010 (Disbudpar, 2010). Pelaku usaha pariwisata

yang juga terlibat adalah para pemilik sarana transportasi yang digunakan untuk

mengangkut wisatawan. Kunjungan ke berbagai tempat menggunakan jasa

angkutan milik masyarakat seperti bus, mini bus, dan bemo serta angkutan lainnya

seperti bus kayu (lihat Tabel 5.1).

Pelaku usaha pariwisata lain yang berpartisipasi adalah pramuwisata.

Komunikasi yang dibangun dengan wisatawan dilakukan oleh pramuwisata.

Mereka memberikan informasi mengenai destinasi singgah Maurole, fasilitasnya,

kehidupan masyarakatnya, budayanya, atraksi wisatanya, dan pagelaran seni

budayanya. Mereka juga mengatur perjalanan wisata, pemanduan (guiding),

menjadi penerjemah bagi masyarakat lokal, dan menangani beragam informasi

lainnya. Lebih jauh digambarkan oleh Ferdinandus E.K. Radawara, SST. Par.,

Ketua DPC HPI Kabupaten Ende:

“Mulai tahun 2007 beberapa guide lokal berpartisipasi dalam melayani

peserta Sail Indonesia. Di tahun awal penyelenggaraan itu, terdapat 13

orang tenaga guide. Ketika itu belum ada pramuwisata yang

bersertifikat HPI di Ende. Mereka berasal dari beragam latar belakang,

seperti guru, pegawai, tukang ojek, pekerja serabutan, dan mahasiswa.

Namun, mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa asing

lainnya dan sedikit pengalaman dalam memandu wisatawan. Para guide

itu sebelumnya juga mendapat pelatihan singkat mengenai guiding

technic. Mereka mengomunikasikan semua informasi yang perlu

disampaikan kepada para wisatawan dan membantu wisatawan dalam

banyak hal” (Wawancara 15 Juni 2013).

Page 122: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

101

Partisipasi para pramuwisata ini memberikan dampak yang baik bagi

destinasi singgah Maurole. Hal tersebut tercermin dari tulisan yang termuat dalam

situs web: sailindonesia.net., yaitu:

“During the day there were tours to the 3 coloured lakes at Mt.

Kelimutu as well as nearby villages that specialise in such products as

Arak/Moke (liquor distilled in bamboo pipes from palm sap), palm

sugar, cocoa, coffee and other products. The scenery during these tours

varied from paddy fields to lush jungle and spectacular mountain

ranges. Excellent English speaking guides provided the commentary and

information on village life and customs; they continued to look after our

every need. (http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakes 30

Mei 2013).

Terjemahan:

Selama hari itu, ada kunjungan ke danau 3 warna di Gunung Kelimutu,

dan juga kampung yang memproduksi arak/moke (minuman keras dari

air nira yang disaring dalam bambu), gula aren, coklat, kopi, dan produk

lainnya. Pemandangan dalam perjalanan ini bervariasi mulai dari lahan

persawahan, hutan lebat, dan barisan pegunungan yang mengagumkan.

Pramuwisata dengan bahasa Inggris yang sangat baik memberikan

komentar dan informasi tentang kehidupan dan adat di kampung; mereka

terus memperhatikan setiap kebutuhan kami.

6.4.3 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi yang menonjol dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole

adalah keterlibatan masyarakat di berbagai desa yang dikunjungi. Secara umum,

masyarakat memperoleh informasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tentang

rencana kunjungan peserta reli perahu layar. Berdasarkan informasi yang

diperoleh, masyarakat di desa tertentu menindaklanjutinya dengan pertemuan dan

penyiapan lokasi kunjungan. Cyprianus Pepi, Kepala Desa Nualise, Kecamatan

Wolowaru menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh desanya.

“Kami mengadakan pertemuan dengan mosalaki (tetua adat), tokoh

masyarakat, tokoh agama, karang taruna, kelompok wanita, para kepala

dusun, dan Badan Perwakilan Desa untuk membicarakan mengenai

Page 123: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

102

rencana kunjungan wisata ke desa kami. Kemudian kami menyepakati

kegiatan apa saja yang kami lakukan, pembagian tugas-tugas dan jadwal

kerjanya” (Wawancara 8 Juni 2013).

Pemaparan itu menunjukkan bahwa sejak awal masyarakat di desa

dilibatkan untuk menangani kunjungan wisatawan peserta Sail Indonesia.

Keterlibatan masyarakat sejak awal juga terjadi pada desa-desa lainnya yang

dikunjungi. Polanya hampir sama. Desa menindaklanjuti informasi yang diterima

melalui pertemuan di desa. Peserta yang hadir pun berasal dari lembaga

kemasyarakatan di desa. Hal ini dituturkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa

Otogedu:

“Di sini (di Desa Otogedu), dua kali pertemuan diadakan sebelum kerja

di lapangan dilakukan. Seluruh perwakilan dari lembaga

kemasayarakatan di desa, tokoh masyarakat, mosalaki (tetua adat) dan

lain-lain perwakilan hadir. Masyarakat desa perlu tahu apa yang akan

terjadi di desa, sehingga mereka dengan senang hati ikut berpartisipasi.

Melalui pertemuan itu, kami ingin memastikan jadwal kerja, pengisi

acara, kebutuhan material, dan fasilitas dibicarakan secara matang,

sehingga pelaksanaannya menjadi efektif dan berhasil” (Wawancara 12

Juni 2011).

Keterlibatan masyarakat semakin nyata dalam pelaksanaan kegiatan, mulai

dari saat tamu menginjakkan kakinya di desa atau kampung, sampai mereka

meninggalkan desa. Masyarakat berusaha agar para tamu Sail Indonesia merasa

nyaman dan senang mengunjungi desa atau kampung. Mosalaki (tetua adat)

kampung Nuabela, Desa Mausambi, Lambertus Laka menuturkan:

“Para tamu disambut dengan pengalungan luka (selendang tenun ikat)

lalu diantar memasuki kampung dengan tarian yang diiringi feko genda

(musik suling). Kemudian disambut para mosalaki (tetua adat) dengan

bhea (pengucapan kata-kata selamat datang dalam bahasa daerah).

Mereka diantar untuk melihat rumah-rumah ada dan diajak berpartisipasi

dalam tarian adat bersama masyarakat. Mereka juga menikmati makan

siang yang disiapkan oleh masyarakat menggunakan alat makan

tradisonal yang dibuat di kampung Nuabela” (Wawancara 13 Juni 2013).

Page 124: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

103

Hal ini mengungkapkan adanya partisipasi inisiai (Hoofsteede dalam

Madiun, 2009). Hooffsteede menjelaskan bahwa dalam partisipasi inisiasi,

masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan

dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota

masyarakat dan dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini, masyarakat ikut

memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di wilayahnya.

Setiap desa memiliki kekhasannya dan berusaha menunjukannya kepada

tamu yang datang. Desa Wologai Tengah mengemas partisipasi masyarakatnya

dengan cara berbeda. Pada tahun 2007, kunjungan para wisatawan ke desa ini

bertepatan dengan upacara mengatap keda (salah satu rumah adat). Wisatawan

berkesempatan menyaksikan masyarakat mengikuti rangkaian seremoni adat.

Masyarakat menyediakan pakaian adat bagi wisatawan dan mengenakannya

sebelum memasuki kampung adat. Berikut penuturan Emilianus Linu, Kepala

Desa Wologai Tengah:

“Seperti biasa kami menyambut tamu rombongan dengan tarian Goro

Tenga. Penarinya berasal dari sanggar yang ada di desa. Tamu diantar

dengan tarian itu menuju kampung. Sebelum masuk kampung

masyarakat menyiapkan pakaian adat untuk dikenakan para tamu.

Perempuan memakai lawo lambu (kain tenun ikat dan baju untuk

perempuan) dan laki-laki memakai luka ragi (kain tenun ikat untuk laki-

laki dan selendang). Memasuki kampung disambut mosalaki (tetua adat)

menuju kanga dan berkeliling sebanyak 7 putaran di kanga. Setelah itu

tamu dipandu melihat deretan rumah adat dan masuk ke dalam rumah

adat serta menyaksikan masyarakat memasang atap keda” (Wawancara,

20 Juni 2013).

Uraian yang disampaikan itu mencerminkan adanya tahap persiapan dan

pelaksanaan yang dilakukan oleh desa bersama masyarakatnya, dan adanya

partisipasi masyarakat. Inskeep (dalam Timothy dan Tosun, 2003) menjelaskan

Page 125: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

104

pola kerjasama ini merupakan salah satu perhatian dari beberapa bentuk

pariwisata alternatif dan minat khusus, sosial budaya, dan lingkungan, dan kerena

itu, partisipasi masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan

pariwisata bermanfaat dan bukan sebaliknya menggangu kehidupan masyarakat

sehari-hari.

Gambar 6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah

Sumber: Disbudpar Ende, 2007.

Page 126: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

105

Terlihat bahwa partisipasi masyarakat memicu kreatifitas pengemasan

atraksi bagi wisatawan. Partisipasi juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki

kemampuan untuk memberikan pelayanan atau menunjukkan hospitality bagi

wisatawan. Di samping itu, potensi pariwisata di suatu desa dapat lebih

dimanfaatkan jika masyarakat, sebagai pemiliknya, dilibatkan sejak awal

pengembangannya.

Desa berikutnya yang dikunjungi peserta Sail Indonesia adalah Desa

Waturaka di Kecamatan Kelimutu. Letak desa ini sangat strategis karena berada di

jalur utama menuju Danau Kelimutu. Hal utama yang menarik di desa waturaka

adalah panorama persawahannya. Disamping itu, desa ini juga memiliki lahan

tanaman hortikultura berupa sayuran dan buah-buahan yang berpotensi menjadi

atraksi wisata. Potensi atraksi wisata alam lainnya, yaitu air terjun dan pemandian

air panas yang sangat mudah dijangkau. Tokoh masyarakat Waturaka, Alexander

Wae menjelaskan tentang atraksi wisata yang dikemas dalam menyambut

wisatawan Sail Indonesia.

“Salah satu produk andalan di desa kami adalah tomat. Karena itu, kami

mengajak wisatawan ikut memetik tomat. Kami sediakan keranjang

untuk menaruh tomat yang dibuat dari anyaman daun enau dan daun

kelapa. Kuliner yang kami sediakan pun bahannya kami ambil dari

kebun di desa ini. Kami menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian

yang diiringi dengan alat musik sato yang dibuat oleh masyaratkat di

desa ini” (Wawancara 9 Juni 2013).

Kegiatan lain yang juga melibatkan wisatawan di Desa Waturaka adalah

penanaman pohon gaharu di salah satu lokasi. Wisatawan dari setiap kapal wisata

diberikan kesempatan untuk menanamkan satu anakan pohon gaharu. Penanaman

pohon dan kegiatan memetik tomat yang dilakukan oleh wisatawan menunjukkan

Page 127: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

106

bahwa bentuk interaksi antara wisatawan telah diupayakan oleh masyarakat

setempat dengan memanfaatkan potensi produk dan lahan yang dimiliki desa.

Model pengembangan aktivitas pariwisata ini, menurut Pujaastawa, et.al. (2005:

134) merupakan pariwisata berbasis potensi ekologi dan budaya pertanian yang

diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan

konservasi lingkungan.

Gambar 6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka

Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009

Partisipasi masyarakat juga terlihat di Desa Wolotopo Timur. Partisipasi itu

ditunjukkan dengan penerimaan terhadap kunjungan dan ijin untuk memasuki

rumah-rumah adat. Nikolaus Dee, tokoh masyarakat di Wolotopo Timur

menguraikan tentang kunjungan wisatawan ke desanya.

Page 128: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

107

“Selain berkeliling kampung melewati jalur yang sudah biasa dilewati

oleh wisatawan, mereka juga berkunjung ke rumah adat Sa’o Sue dan

Sa’o Atalaki serta lokasi keda kanga. Selain itu, wisatawan juga

menyaksikan atraksi wisata pembuatan tenun ikat yang menjadi aktivitas

harian yang dilakukan oleh sebagaian besar perempuan di kampung ini.

Mereka juga menikmati kuliner lokal yang disiapkan oleh masyarakat

setempat” (Wawancara 9 Juni 2013).

Partisipasi masyarakat di sejumlah desa bukan hanya karena efektivitas

manajemen semata, namun aspek lain turut memengaruhinya, yaitu aspek budaya.

Ada nilai budaya yang turut mendukung keinginan masyarakat untuk

berpartisipasi menyambut tamu yang mengunjungi kampungnya. Nilai budaya

seperti yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat dalam Mbete et al., (2006: 21)

yaitu konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga

masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap sebagai amat bernilai dan

bermakna dalam hidup.

Orang yang datang ke kampung (rumah) atau tamu yang berkunjung

dianggap sebagai manusia yang bernilai bagi kehidupan karena itu harus diterima

dengan baik. Itulah yang menyebabkan semua desa yang dikunjungi mengemas

beragam acara penyambutan bagi wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini

dijelaskan oleh tokoh budaya Kabupaten Ende, Yakobus Ari:

“Ata mai (orang yang datang/tamu) itu adalah ata ji’e (orang baik).

Tamu dianggap membawa keselamatan. Sehingga semakin banyak tamu

yang datang, diyakini semakin banyak rejeki yang akan diterima. Karena

itu, tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga

adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. ‘Kita simo

tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar nama kita tidak

jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk jaga waka atau jaga

waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi

Bali)” (Wawancara 21 Juni 2013).

Page 129: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

108

Lebih jauh dijelaskan bahwa ada nilai saling membantu dalam menerima

tamu. Tuan rumah akan didukung oleh tetangganya atau orang di kampungnya.

Dengan kalimat lain, ada semangat menolong sesama untuk menerima ata ji’e.

Tuan rumah mau mengatakan bahwa: “Saya di sini tidak sendiri. Kami banyak!”

Penuturan ini mengungkapkan bahwa nilai budaya inilah yang mendasari

semangat masyarakat untuk menerima kunjungan wisawatawan asing. Nilai ini

memicu keinginan masyarakat desa untuk menunjukkan keberadaannya dan

kebisaannya. Namun diakuinya, dewasa ini, nilai budaya seperti ini mulai luntur.

Gambar 6.7 Tetua Adat (Mosalaki) di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia

Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009

Mencermati partisipasi masyarakat di berbagai desa, maka penting juga

untuk memahami derajat keterlibatan masyarakat. Steck et al. dalam Weber dan

Damanik (2001: 108 – 109) mengelompokkan partisipasi masyarakat berdasarkan

derajat keterlibatan mereka dalam pengelolaan usaha pariwisata.

Page 130: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

109

Pengelompokannya mencakup sifat partisipasi dan parameter masing-masing sifat

partisipasi. Mereka membagi tiga sifat partisipasi yaitu: (1) partisipasi lansung, (2)

partisipasi tidak langsung, dan (3) nol/tidak ada partisipasi. Pengelompokkan itu

diadaptasi dalam penelitian ini untuk memahami parisipasi masyarakat di

destinasi singgah Maurole seperti terlihat pada Tabel 6.5.

Tabel. 6.5

Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah

Maurole dan Parameternya.

Sifat Partisipasi Parameter

Langsung 1. Masyarakat bekerja dalam kegiatan Sail Indonesia di

areal titik labuh. Jenis pekerjaannya: petugas parkir,

petugas keamanan, pemandu wisata, petugas

penyambutan, petugas kebersihan, petugas jetty

(dermaga apung), entertainer harian, dan tukang

bangunan.

2. Masyarakat sebagai pengusaha atau pengelola jasa

makan dan minum, atraksi seni budaya, transportasi,

jasa binatu di areal titik labuh.

3. Masyarakat menikmati peluang untuk memperoleh

pendidikan dan pelatihan pengelolaan Sail Indonesia,

yaitu pelatihan guide, pelatihan masyarakat desa

menuju desa wisata bahari.

4. Masyarakat menjadi pemandu wisata bekerjasama

dengan BPW atau tour operator, khusus pada tahun

2010.

5. Masyarakat secara sukarela membantu penataan lokasi

titik labuh dan penataan di desa-desa yang dikunjungi.

Tidak langsung Masyarakat sebagai supplier bahan kebutuhan kegiatan

Sail Indonesia dalam bentuk:

a) bahan pangan (beras, sayur-mayur, buah-buahan,

minuman, termasuk minuman khas moke atau arak

lokal, gua aren, daging, dan ikan;

b) bahan bangunan (bambu, kayu, pelepah daun kelapa,

dan daun gebang);

c) kerajinan tangan (pane atau peralatan makan dari

tanah liat, topi anyaman, sedotan dari buluh, dan

tenun ikat).

Sumber: Diadaptasi dari Steck et al. (dalam Weber dan Damanik, 2001) dan

Penelitian 2013

Page 131: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

110

Partisipasi masyarakat yang terungkap dalam penelitian ini adalah partisipasi

dari masyarakat yang secara nyata terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia. Artinya

tidak seluruh masyarakat di destinasi singgah maupun di desa-desa yang

dikunjungi ikut dalam kegiatan Sail Indonesia. Masyarakat yang terlibat adalah

masyarakat yang memiliki waktu dan kesempatan untuk berperan, memiliki

keterkaitan dengan acara, misalnya sebagai anggota sanggar seni, menjadi

pemasok kebutuhan bagi kegiatan Sail Indonesia, atau berperan sebagai petugas

berbagai bidang di areal titik labuh atau dalam berbagai aktivitas terkait lainnya.

Mencermati partisipasi masyarakat di Maurole yang merupakan destinasi

singgah kapal-kapal wisata, terlihat bahwa masyarakat ikut menentukan

pengelolaan destinasi singgah baik langsung maupun tidak langsung. Fakta ini

selaras dengan penegasan Ardika (2005: 36) bahwa konsep community based

tourism yang merupakan dasar dari sustainable tourism development mengandung

pengertian bahwa masyarakat bukan lagi objek pembangunan, tetapi penentu

pembangunan.

Page 132: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

111

BAB VII

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN

DESTINASI WISATA LAYAR MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA

ALTERNATIF

Fakta mengenai potensi Maurole sebagai destinasi singgah, pengelolaannya,

dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaannya telah dipaparkan

pada dua bab sebelumnya. Pemaparan itu, sesungguhnya mangantarkan kajian

penelitian pada faktor-faktor yang mendukung pengembangan sebuah destinasi

singgah dan hal-hal pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan

pengembangannya. Faktor pendukung yang akan dikaji meliputi: (1) faktor

internal dan (2) faktor eksternal. Selanjutnya, dikaji hal-hal penting dalam

perencanaan pengembangan Maurole sebagai destinasi wisata layar.

7.1 Faktor Internal

Faktor internal mencakup empat hal, yaitu: (1) potensi Maurole sebagai

destinasi singgah, (2) pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, (3)

partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi

singgah, dan (4) posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor

internal ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah destinasi’ (Hermantoro, 2011: 77),

‘any feature or characteristic of a place they (tourists) might visit’ (Leiper, 1995).

Dengan kalimat lain, faktor internal sesungguhnya merupakan gambaran

keberadaan sebuah destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya

(services) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di destinasi.

Page 133: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

112

Salah satu kerangka analisa terhadap destinasi pariwisata adalah kerangka

analisa 6A yang dibuat oleh Buhalis (2000: 98), yaitu attractions (atraksi),

accessibility (aksesibilitas), amenities (amenitas), available package (paket

wisata yang tersedia), activities (aktivitas), dan ancillary services (pelayanan

atau jasa yang digunakan). Dalam kerangka analisa ini terdapat empat unsur yang

bisa disejajarkan dengan elemen 4A dari Cooper et al., (1996). Di samping itu,

ada dua unsur dari kerangka analisa ini yang juga dapat mengungkapkan kekuatan

destinasi Maurole. Pertama, unsur available package. Unsur ini terlihat dari

pengelolaan kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kunjungan wisata

ke berbagai atraksi wisata di sejumlah desa-desa telah disiapkan terlebih dahulu.

Bertolak dari fakta kunjungan wisata seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,

dapat dikatakan kekuatan destinasi Maurole terletak pada pengaturan kunjungan

yang melibatkan masyarakat di desa-desa. Keterlibatan masyarakat memberi

warna khas pada interaksi dengan wisatawan selama kunjungan. Interaksi yang

tercipta juga merupakan kekuatan tersendiri. Keterlibatan masyarakat

dimungkinkan karena pengelolaan kunjungan wisata memang dirancang agar

masyarakat bisa ikut berpartisipasi.

Kedua, unsur aktivitas. Ini menyangkut kegiatan yang dilakukan wisatawan

selama kunjungan. Di samping aktivitas melalui kunjungan wisata, wisatawan

juga melakukan aktivitas lainnya seperti berbagi (sharing) keahlian dengan

masyarakat. Hal ini diungkapkan Fransiskus Dafro, seorang guide Sail Indonesia

dan saat ini juga menjadi pengurus Tourist Management Organization (TMO)

Kabupaten Ende.

Page 134: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

113

“Karakteristik para pelayar (yachties) memang beda. Mereka tidak saja

mengunjungi sebuah tempat, namun juga ingin berbagi keahlian dengan

masyarakat. Seperti yang terjadi di Maurole pada tahun 2009.

Gagasannya justru datang dari yachties. Para pelayar yang ahli mesin

memperbaiki mesin genzet dan peralatan kesehatan yang rusak di

Puskesmas Maurole dan berbagi keahlian dengan masyarakat yang

mengerti mesin, para pelayar yang pensiunan guru berbagi pengalaman

dengan para guru di Maurole. Pelayar yang dokter ahli berkomunikasi

dengan dokter, bidan dan perawat di Puskesmas Maurole” (Wawancara

12 Juni 2013).

Model aktivitas ini bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menciptakan pola

kunjungan yang memperkaya pengalaman. Hal ini, menurut Jenings (2007: 34,

37) dimungkinkan karena wisatawan (yachters) memiliki motivasi petualangan,

self actualization, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam jangka pendek

untuk memberikan bantuan (keahlian) dan mendukung pengembangan

sumberdaya manusia. Karena itu, dalam pengembangan wisata layar, model

aktivitas semacam ini diharapkan dapat dilaksanakan secara berlanjut. Misalnya

dari aspek sosial bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat. Lagipula interaksi

dengan wisatawan menciptakan pengalaman berwisata yang unik, baik bagi

wisatawan maupun bagi masyarakat sendiri. Model ini sejalan dengan konsep

pengembangan pariwisata alternatif yang khas di sebuah destinasi.

Penelitian ini juga menemukan aktivitas kunjungan ke sekolah-sekolah oleh

wisatawan. Kunjungan dilakukan baik dalam bentuk rombongan maupun secara

individu untuk melihat aktivitas murid sekolah, menyumbangkan buku untuk

perpustakaan sekolah dan berbagi pengalaman. Sekolah yang dikunjungi adalah

SD Maurole, SD Watumesi, SDK Dile, SMPK Maurole, dan SMPK Marsudirini

Detusoko (Disbudpar, 2007, 2008, 2009, 2010).

Page 135: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

114

Hal berikutnya yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar

adalah bentuk partisipasi pemangku kepentingan khususnya partisipasi

masyarakat. Pelayanan di titik labuh sebagian besar dilakukan oleh masyarakat.

Pelayanan itu mencakup pelayanan akses dari laut ke darat yaitu di dermaga

apung (floating dock/ jetty), pelayanan makan dan minum di areal titik labuh, jasa

informasi pariwisata, jasa pengelolaan kunjungan wisata dan pemanduan

(guiding), penjualan buah-buahan, sayur-mayur, penjualan kerajinan daerah,

pelayanan penjualan bensin dan solar, jasa binatu, jasa kebersihan areal titik labuh

sampai pada jasa pengamanan di areal titik labuh.

Partisipasi masyarakat sangat nyata di desa-desa yang dikunjungi oleh

wisatawan. Seluruh desa yang dikunjungi dikelola secara mandiri oleh masyarakat

desa. Seluruh acara dirancang dan dilakukan langsung oleh masyarakat mulai dari

tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai dengan mekanisme kerja di

desa. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya

memfasilitasi saja.

Posisi Geografis Maurole dalam rute pelayaran, memungkinkan destinasi ini

menjadi pilihan bagi kapal – kapal wisata untuk disinggahi, dalam pelayaran dari

bagian timur menuju ke bagian barat Pulau Flores. Sebagai destinasi singgah,

tentu saja Maurole memiliki titik labuh (anchorage). Titik labuh merupakan salah

satu faktor yang mendukung destinasi wisata layar, bahkan merupakan syarat

utama bagi destinasi singgah kapal-kapal wisata. Tentang hal ini, Raymond T.

Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa sekaligus

sebagai Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional di Direktorat Jenderal

Page 136: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

115

Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif menjelaskan:

“Hanya lokasi yang memenuhi syarat sebagai titik labuh-lah yang layak

dijadikan destinasi wisata layar. Syaratnya mencakup beberapa hal,

yaitu: (1) kedalaman air antara 5 – 20 meter pada saat surut terendah; (2)

dasar laut bukan karang/terumbu karang; (3) tidak menghalangi aktivitas

pelabuhan atau aktivitas masyarakat nelayan; (4) lokasi labuh tidak lebih

dari 200 meter dari garis pantai; (5) tidak pada lokasi arus kuat; (6) tidak

terkena hempasan angin dan gelombang; (7) adanya penerimaan dari

masyarakat setempat; (8) tersedianya supply kebutuhan antara lain bahan

bakar, air bersih dan air minum; (9) adanya sarana humaniter – WC dan

kamar mandi; (10) aksesibilitas; (11) bank/ ATM; (12) telekomunikasi

dan akses internet; dan (13) keamanan, kenyamanan dan keakraban dari

masyarakat setempat” (Wawancara 19 Juni 2013).

Hasil survei yang dilakukannya bersama tim teknis dari Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata Kabupaten Ende pada tahun 2006, menetapkan titik labuh di Pantai

Mausambi di Kecamatan Maurole layak menjadi destinasi singgah bagi kapal-

kapal wisata jenis yacht. Mulai tahun 2007, Pantai Mausambi, yang berada pada

koordinat 8° 30' 36'' S, 121° 48' 56'' E, menjadi titik labuh bagi para peserta reli

kapal layar internasional Sail Indonesia. Karena itu, Maurole menjadi salah satu

akses bagi kapal wisata di Kabupaten Ende, dan dalam rute pelayaran, posisi

Maurole berada di antara destinasi singgah Maumere di Kabupaten Sikka dan

destinasi singgah Riung di Kabupaten Ngada (Disbudpar, 2007)

Dalam konteks Sail Indonesia yacht merupakan alat trasportasi utama yang

digunakan wisatawan untuk mencapai Maurole, dan sekaligus merupakan tempat

tinggal utama selama kunjungan mereka. Secara konseptual, menurut McIntosh

(dalam Yoeti, 2008: 173) salah satu jenis transportasi yang termasuk dalam

komponen supply di destinasi adalah yacht. Dengan karakteristik ini, posisi

geografis yang ditunjang keberadaan titik labuh, merupakan faktor yang

Page 137: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

116

mendukung keberaadan Maurole sebagai destinasi wisata layar. Karena itu,

pengembangan aksesibilitas di Maurole, diharapkan mencakup prasarana akses

dari laut, dan prasarana serta sarana transportasi di darat.

Faktor internal, yang merupakan faktor pendukung (supporting factors)

seperti yang telah dikemukakan, mengarahkan pada pemahaman akan beberapa

hal berikut. Pertama, seluruh elemen dalam faktor internal secara nyata telah

memberikan dukungan bagi keberadaan Maurole sebagai destinasi yang

dikunjungi oleh kapal-kapal wisata. Dalam kaitannya dengan dengan siklus hidup

destinasi pariwisata (Butler, 1996), dan kenyataan bahwa Maurole berada dalam

tahap involvement, maka perencanaan pariwisata diharapkan dilakukan dengan

menyesuaikan dengan tahap perkembangan ini. Dengan kalimat lain, faktor

internal yang mendukung keberadaan Maurole sebagai destinasi wisata layar

merupakan salah satu referensi dalam pembuatan rencana pengembangan

destinasi.

Kedua, faktor internal itu merupakan sesuatu yang turut memotivasi

kunjungan ke Maurole melalui reli wisata layar. Disebut ‘turut memotivasi’

karena peserta reli wisata layar diberikan kebebasan untuk singgah atau tidak

singgah di sebuah destinasi. Kebebasan ini merupakan ciri dari reli wisata layar,

seperti yang termuat dalam situs http://sailindonesia.net:

“You are welcome to participate in all events and stopovers after your

first port of entry in Kupang or Saumlaki, as the Indonesia Organising

Committee at each port will provide you with hospitality, reception and

festivities. You do not have to participate in all the events and the

stopovers on our rally as there will simply not be enough time, you can

just join the events that suit your schedule” (diakses 12 Maret 2013).

Page 138: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

117

Terjemahan:

Anda boleh saja berpartisipasi dalam semua acara di titik singgah setelah

pelabuhan pintu masuk Kupang atau Saumlaki, karena panitia

penyelenggara di Indonesia, di setiap pelabuhan, akan memberikan

hospitality, penerimaan, dan berbagai perayaan. Anda tidak harus

berpatisipasi di semua acara di titik singgah dalam reli ini, karena tidak

cukup waktu. Anda bisa ikut acara yang sesuai dengan jadwal anda.

Berdasarkan tulisan itu dapat dikatakan bahwa keputusan untuk singgah di

sebuah destinasi, salah satunya ditentukan oleh daya tarik atau kekuatan faktor

internal. Daya tarik atau kekuatan yang mencakup potensi, pengelolaan,

partisipasi masyarakat, dan posisi geografis sebuah titik singgah Sail Indonesia

dipromosikan baik oleh operator reli kapal wisata melalui media internet, dan

promosi oleh wisatawan yang telah mengunjungi Maurole secara word of mouth.

Ketiga, fakta pengelolaan dan partisipasi masyarakat di Maurole telah

memicu keyakinan pemangku kepentingan akan kekuatan destinasi singgah.

Keyakinan itu menjadi modal mental yang besar dalam upaya pengembangan

seluruh sumber daya pariwisata yang ada di destinasi. Hal ini terungkap dari apa

yang dikemukakan oleh Damianus Deda, tokoh masyarakat Kecamatan Maurole:

“Sudah saatnya pengelolaan dilakukan penuh oleh masyarakat di lokasi

titik labuh agar masyarakat dapat mengalami proses pembelajaran.

Pemerintah hanya perlu memfasilitasi dengan membangun sarana dan

prasarana kebutuhan sebuah titik labuh. Untuk pengembangannya perlu

ada pelatihan pengelolaan pariwisata bagi masyarakat lokal dan

pemberian kredit lunak bagi pelaku usaha pariwisata setempat”

(Wawancara 14 Juni 2013).

Hal tersebut sejalan dengan penegasan Timothy dan Tosun (2003: 3) bahwa

partisipasi aktif dan langsung dari masyarakat setempat dalam kegiatan yang

terkait dengan wilayahnya merupakan wahana yang sangat diperlukan untuk

pembelajaran publik. Melalui pembelajaran publik diharapkan semakin

Page 139: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

118

meningkatkan kemandirian masyarakat, dan untuk memastikan kemandirian itu,

maka pemerintah dituntut untuk memfasilitasinya, antara lain melalui program

pelatihan keterampilan dan dukungan pendanaan. Dalam teori perencanaan,

pembalajaran publik (public education) dapat diwujudkan “melalui pendekatan

swadaya masyarakat (community approach)” (Paturusi, 2008: 47). Ia menjelaskan,

pendekatan ini melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, membuat

keputusan, pelaksanaan, sampai pengelolaan pengembangan pariwisata.

7.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah fakta-fakta yang terdapat di luar destinasi singgah

Maurole (di luar potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan lokal di

Maurole) yang dianggap memengaruhi dan turut menentukan pengembangan

destinasi wisata layar. Hal ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh

Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar, Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif:

“Sangat perlu difahami bahwa kapal layar mempunyai karakteristik

tersendiri. Kapal layar memerlukan lintasan dan singgahan. Oleh karena

itu, kita tidak bisa bicara hanya Pulau Flores saja (atau Maurole saja)

tapi dari mana mereka ke Flores dan kemana mereka pergi sesudah

Pulau Flores sangat memengaruhi kehadiran mereka” (Wawancara 19

Juni 2013).

Penuturan itu juga mau mengungkapkan bahwa sebuah destinasi wisata

layar tidak bisa berdiri sendiri. Destinasi itu berada dalam rangkaian rute

pelayaran dan sangat bergantung pada keberadaan rute pelayaran itu. Ditelusuri

lebih jauh, rute pelayaran sangat bergantung pada pintu masuk dan pintu keluar

(entry dan exit port). Pintu masuk bagi kapal wisata juga sangat tergantung dari

mana kapal itu masuk (transit route dan traveller generating region).

Page 140: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

119

Salah satu pendekatan dalam teori perencanaan adalah pendekatan sistem.

Menurut Paturusi (2008: 46) “pariwisata dilihat sebagai suatu sistem yang saling

berhubungan”, dan “komponen pariwisata sangat kompleks, di mana setiap

komponen merupakan suatu sistem”. Karena itu, faktor eksternal dalam

penelitian ini dapat dipandang sebagai juga sebagai suatu sistem yang berkaitan

dengan system kepariwisataan secara keseluruhan. Penelitian ini menemukan

faktor eksternal yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole,

yakni: (1) kebijakan pemerintah, (2) sistem wisata layar, (3) persepsi wisatawan,

(4) wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi. Masing – masing faktor

itu akan diuraikan berikut ini.

7.2.1 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud adalah kebijakan yang terkait

dengan regulasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2011

tentang masuknya kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia. Disebutkan dalam

regulasi itu bahwa dalam rangka mengembangkan industri wisata bahari dan

meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan

pedalaman, perlu diberikan kemudahan bagi kapal wisata (yacht) asing yang

berkunjung ke Indonesia. Kemudahan yang diberikan itu seperti tertuang dalam

pasal 2 angka (1), yaitu:

“Kapal wisata (yacht) asing beserta awak kapal dan/atau penumpang

termasuk barang bawaan dan/atau kendaraan yang akan memasuki

wilayah perairan Indonesia dalam rangka kunjungan wisata diberikan

kemudahan di bidang Clearance and Approval for Indonesian Territory

(CAIT), kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian, dan karantina.”

Page 141: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

120

Seterusnya peraturan itu mengatur detail kemudahan yang mencakup lima

bidang (CAIT, Custom, Immigration, Quarantine, Port). Dengan demikian,

kebijakan di bidang regulasi ini akan memberikan pengaruh yang positif bagi

upaya peningkatan kunjungan kapal wisata asing ke Indonesia. Tentu saja,

destinasi wisata layar seperti Maurole pun akan mengalami dampak dari

pengaturan itu khususnya dalam rangka pengembangannya. Hal ini sejalan dengan

yang disampaikan oleh Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif:

“Perpres No. 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yachts)

asing ke Indonesia harus menjadi pemicu yang paling dasar dan paling

kuat untuk semua pihak (yang terlibat dalam pengembangan wisata layar

dan wisata bahari pada umumnya) di Indonesia. Perpres ini menjadi

salah satu solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul

dalam pengembangan destinasi wisata layar” (Wawancara 19 Juni 2013).

Bagi Maurole, kemudahan dalam rangka kunjungan wisata melalui laut

merupakan jaminan jangka panjang untuk pengembangan destinasi wisata layar.

Dengan kalimat lain, regulasi yang mangatur kemudahan kunjungan wisata

merupakan faktor yang mendukung pengembangan wisata layar. Ia merupakan

dasar pengembangan dan selanjutnya pengembangan itu dilakukan di atas kondisi-

kondisi eksternal yang memungkinkan.

7.2.2 Sistem Wisata Layar

Penelitian ini menemukan bahwa kehadiran kapal-kapal wisata asing di

Maurole tidak terlepas dari keberadaan destinasi singgah lainnya di Indonesia.

Keputusan yang dibuat sebuah kapal untuk singgah di Maurole misalnya, sangat

tergantung pada pengalaman yang didapatnya mulai dari entry port (pintu masuk)

di Kupang dan destinasi-destinasi lain sebelum Maurole misalnya Alor, Lembata,

Page 142: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

121

dan Maumere, dan destinasi-destinasi sesudah Maurole, misalnya Riung, Labuan

Bajo, Lovina dan lain-lain. Apalagi penanganan berbagai kegiatan di destinasi

singgah telah diatur dalam jadwal acara Sail Indonesia mulai dari pintu masuk

sampai pintu keluar. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa wisata layar

yang berkembang di Indonesia hingga saat ini mempunyai sistem tersendiri. Oleh

karena itu, untuk memahami sistem itu digunakan model sistem pariwisata (whole

tourism system) dari Leiper (2004) dan hirarki geografis destinasi (geographic

hierarchy of destinations for multi-destination itineraries) dari Lamont (2008:

11).

Leiper (2004) menyebutkan ada tiga elemen pokok dalam sistem pariwisata

yaitu: (1) wisatawan; (2) tiga elemen geografis yakni: traveller – generating

region (TGR), transit route (TR), dan tourist – destination region (TDR); dan (3)

elemen industri pariwisata. Dalam konteks Sail Indonesia dengan mengacu pada

keberadaan berbagai destinasi singgah termasuk destinasi Maurole maka TGR-

nya adalah negara-negara asal peserta Sail Indonesia. Tercatat ada 21 negara asal

peserta reli di tahun 2007 dengan total 123 kapal (Disbudpar, 2007). TR-nya

adalah Darwin – Australia sebagai titik start reli wisata layar internasional.

Darwin tidak saja menjadi TR, namun juga menjadi ‘enroute tourism destination

atau tujuan wisata antara’ (Pitana dan Diarta, 2009: 59), karena kapal-kapal itu

berada di Darwin untuk waktu tertentu dan melakukan berbagai acara terkait

seperti farewell barbeque dan rally briefing (http://sailindonesia.net). TDR-nya

adalah Indonesia dengan sejumlah destinasi singgah (multi-destinations) dalam

rute pelayaran.

Page 143: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

122

Pemahaman lebih jauh mengenai tourist destination region dalam reli wisata

layar ini, seperti sudah diutarakan sebelumnya, akan menggunakan hirarki

geografis destinasi. Lamont (2008: 11) melakukan penelitian dengan objek kajian

tentang bicycle tourism. Objek kajiannya memang jauh berbeda dengan penelitian

ini, namun kerangka pemahaman terhadap destinasi yang dipakainya dianggap

sesuai untuk kajian dalam penelitian ini. Lamont menyebutkan hirarki geografis

destinasi terdiri dari: destination area, tourist destinasion region, dan node

destination. Diuraikannya, destination area memiliki entry dan exit point. Di

Indonesia, terdapat 18 entry dan exit port sesuai dengan Perpres No. 79 Tahun

2011. Salah satunya adalah Kupang yang menjadi entry port bagi kapal wisata

yang sebelumnya berada di transit route Darwin. Sebagian besar kapal yang

singgah di Maurole melalui jalur entry port ini sejak tahun 2007.

Lebih jauh Lamont memaparkan sebuah destination area dipilih oleh

wisatawan karena memiliki karakter yang sesuai dengan aktivitas wisatawan itu.

Misalnya, untuk bicycle tourism sebuah destinasi dipilih karena memiliki jalur

bersepeda. Demikian juga dengan destinasi bagi kapal-kapal layar; dipilih karena

mempunyai jalur pelayaran. Pilihan terhadap Indonesia karena Indonesia memiliki

jalur pelayaran, bahkan dikenal sebagai negara dengan arena wisata layar terbesar

di dunia.

Tingkatan berikutnya adalah tourist destinastion regions. Menurut Lamont,

secara alamiah sama dengan konsep TDR dari Leiper yaitu merupakan tujuan

perjalanan wisata. Biasanya tujuan wisata merupakan daerah dengan keunikan

tersendiri yang berbeda dengan daerah lain dalam hal budaya, sejarah alam dan

Page 144: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

123

sebagainya (Pitana dan Diarta, 2009: 59). Dalam kerangka wisata layar, TDR

adalah destinasi – destinasi singgah yang merangkai untaian jalur wisata layar di

perairan laut Indonesia. Keunikan sebagai daya tarik wisata di berbagai destinasi

singgah Indonesia membentuk keunikan Indonesia sebagai suatu destination area.

Hal inilah yang menjadi energi utama yang mengakibatkan permintaan akan

perjalanan wisata bagi traveller generating region (Pitana dan Diarta, 2009:59).

Selanjutnya, tingkatan ketiga oleh Lamont disebut node destinations. Dalam

konsepnya, node destinations merupakan tempat yang digunakan oleh wisatawan

(bicycle tourist) untuk bermalam, menggunakan fasilitas dan jasa-jasa wisata,

beristirahat memulihkan tenaga, atau memperbaiki kendaraan yang digunakan.

Dalam penelitian ini, node destinations-nya adalah desa-desa yang dikunjungi

oleh wisatawan dalam perjalanan wisata di darat. Tempat-tempat yang dikunjungi

itu hanya untuk tujuan kunjungan wisata, bukan sebagai tempat menginap.

Wisatawan dalam reli wisata Sail Indonesia menginap di kapal mereka yang

berlabuh di titik labuh destinasi singgah. Oleh karena itu, fungsi node destination

dalam penelitian ini berbeda dengan fungsi node destinations dalam pemahaman

Lamont.

Gambar 7.1 memperlihatkan hirarki geografis destinasi wisata layar

berdasarkan hirarki yang dikembangkan oleh Lamont. Secara ringkas, cakupan

geografis yang lebih luas yaitu destination area, disejajarkan dengan destinasi

Indonesia (wilayah perairan laut Indonesia). Tourist destination region

disejajarkan dengan destinasi singgah (destinasi wisata layar). Dalam pengertian

ini, Maurole merupakan salah satu dari berbagai destinasi singgah di Indonesia.

Page 145: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

124

Node destination disejajarkan dengan desa-desa yang dikunjungi di destinasi

singgah (misalnya Desa Otogedu, Desa Wologai tengah, dan Desa Wolotopo).

Gambar 7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar

Sumber: Diadaptasi dari geographic hierarchy of destinations for multi-

destination itineraries (Lamont, 2008: 11)

Selanjutnya, Gambar (7.2) memperlihatkan wisata layar yang dilukiskan sebagai

sistem pariwisata.

Gambar 7.2. Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata

Sumber: Diadaptasi dari Leiper (2004: 5) dan Lamont (2008: 17)

Destinasi Indonesia

Destinasi Singgah

Desa-desa yang dikunjungi

Destination Area

Tourist Destination

Region

Node

Destination

Saiing route

Destination area

Tourist Destination Region

Desa-desa kunjungan

Traveller Generating Region

Departing travellers

Returning Travellers

Transit Route Region

Environments: human, socio-cultural, Economic, Technology,physical, political, legal, etc

Page 146: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

125

7.2.3 Persepsi Wisatawan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, wisatawan merupakan salah satu

elemen pokok dalam sistem pariwisata. Bila dirujuk ke sistem wisata layar, maka

para pelayar (yachtperson) merupakan salah satu elemen pokoknya.

Konsekuensinya, persepsi wisatawan terhadap sebuah destinasi wisata layar

menjadi sangat penting. Persepsi wisatawan merupakan salah satu aspek

sosiologis dalam kajian tentang wisatawan (Gayatri dan Pitana, 2005: 77).

Keduanya menambahkan bahwa unsur yang dinilai wisatawan antara lain:

kebersihan lingkungan, komunikasi/bahasa, kemudahan memperoleh informasi,

fasilitas angkutan umum, hal yang bisa dilihat dan dilakukan, keamanan,

pedagang asongan, kriminalitas, pelestarian lingkungan, dan lainnya.

Penelitian ini tidak melakukan kajian aspek sosiologis itu secara mendalam,

namun kajian hanya dilakukan terhadap pendapat-pendapat lepas dari wisatawan

yang pernah berkunjung ke Maurole, atau pun yang pernah mengarungi rute

pelayaran Sail Indonesia. Sumbernya adalah tulisan di internet (website dan blog),

dan kesan-kesan yang dituliskan oleh wisatawan dalam buku tamu yang disiapkan

oleh salah satu informan yang berkedudukan di Pantai Mausambi.

Sejumlah penilaian tentang destinasi singgah Maurole diuraikan dengan cara

memecah-mecah penilaian itu ke dalam beberapa bagian berdasarkan unsur yang

dinilai. Tabel 7.1 menampilkan unsur yang dinilai dan subtansi penilaian terhadap

unsur itu.

Page 147: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

126

Tabel 7.1

Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole berdasarkan Unsur yang Dinilai

No Unsur Substansi Penilaian

1 Titik Labuh “This is an open anchorage and the east wind of up to 20

knots which assisted most yachts in reaching this area then

produced a rolly anchorage for the next few days, these

conditions are infrequent but when they occur the anchorage

is uncomfortable….”

2 Pemerintah “The Regent (local Governor) went to great lengths to ensure

we were welcome.”

3 Fasilitas “Considerable facilities had been specially built for this

event, a substantial dinghy dock, large circular dining area,

entertainment stage, first aid centre, stalls for fruit and

vegetables, cafe and craft.”

4 Acara “The program was extensive and well organised including

the non usual welcome ceremony, gala dinner, entertainment,

dancing and singing. Yachties were always encouraged to

join in or sing….”

5 Pengisi

acara

“A very good backing group of male musicians kept the

guests fully entertained.”

6 Perjalanan

wisata

“During the day there were tours to the 3 coloured lakes at

Mt. Kelimutu as well as nearby villages that specialise in

such products as Arak/Moke (liquor distilled in bamboo

pipes from palm sap), palm sugar, cocoa, coffee and other

products. The scenery during these tours varied from paddy

fields to lush jungle and spectacular mountain ranges.”

7 Pemandu

wisata

“Excellent English speaking guides provided the commentary

and information on village life and customs; they continued

to look after our every need.”

8 Pelayanan

Kesehatan

“A crew member became quite ill and despite being put on a

drip did require hospitalisation for two days. The care

provided was excellent and visitors included the Regent

complete with entourage and a string of doctors, nurses and

members of the organising committee.”

9 Penjualan

sayur dan

buah

“The fruit and vegetables available in the stalls were high

quality.”

10 Keramahta

mahan

“The thoughtfulness, generosity and extent to which villages

go to look after us are overwhelming.”

Sumber: Diolah dari http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakses 12

Juni 2013.

Page 148: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

127

Gambar 7.3 Titik Labuh Pantai Nanganio

Sumber: Penelitian, 2013

Walaupun tulisan yang dimuat di situs internet http://sailindonesia.net itu

bersifat penilaian umum, namun seperti terlihat, ada 10 unsur yang dinilai atau

diberi komentar di destinasi singgah Maurole, dan keseluruhannya memberikan

kesan tentang apa yang terjadi di Maurole. Sebagai sebuah fakta yang tertulis dan

dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, maka tulisan itu tentu memberikan

kesan tersendiri bagi pembacanya. Apa pun kesan yang muncul di benak pembaca

(para yachtperson), kesan itu berpengaruh bagi proses pengambilan keputusan

untuk singgah atau tidak di Maurole. Karena itulah maka persepsi wisatawan

dianggap sebagai faktor eksternal yang mendukung keberadaan sebuah destinasi

wisata layar.

Pendapat atau komentar lainnya menyoroti pengalaman yang didapat dari

perjalanan wisata yang dilakukan di desa-desa di Kecamatan Maurole. Ada hal –

hal menarik dari pengalaman mereka.

Page 149: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

128

“We visited the traditional villages of Otogedu, Nuabela and Detuara

where they produce local products such as palm sugar, cashew nuts,

moke (a local spirit distilled from juice from the sugar palm) pottery and

candle nuts which unfortunately gave many of the yachties including us

upset tummies as we think they are to be used in cooking and not eaten

raw as most of us did. At each village we were entertained by dancers

and music and had the opportunity to sample some of their culinary

delights” (Seven Heaven, 2008).

Terjemahan:

"Kami mengunjungi desa tradisional Otogedu, Nuabela dan Detuara

yang menghasilkan produk lokal seperti gula aren, kacang mete, moke

(minuman keras lokal yang disuling dari sari gula aren), tembikar dan

kemiri. Banyak dari kami merasa mual karena memakan kemiri mentah

padahal seharusnya dimasak terlebih dahulu. Di setiap desa kami dihibur

oleh penari dan musik dan berkesempatan untuk mencicipi beberapa

kuliner mereka"

Komentar itu mengenai pengalaman yang didapat oleh wisatawan dan

sekaligus merupakan kekhasan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole.

Masyarakat lokal pun mendapatkan pengalaman dari interaksi mereka dengan

wisatawan. Pola ini sejalan dengan konsep pariwisata alternatif yang

dikemukakan oleh Fennel dan Dowling (2003: 2) yaitu suatu bentuk pariwisata

yang dirancang untuk selaras dengan alam, sosial, dan nilai-nilai masyarakat yang

memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif

dan bermanfaat serta saling berbagi pengalaman.

Komentar berikutnya diperoleh dari wisatawan yang berkunjung ke Maurole

dalam Tahun 2011. Komentar ini dimuat dalam buku tamu yang disiapkan oleh

pemandu wisata lokal di Mausambi. Salah satunya ditulis oleh wisatawan dari

kapal wisata bernama Jangada.

“We have been very very well welcomed by Vincent (speaking good

English) and his family even at home. The visit of the Saturday pasar

and the two villages – OTOGEDU and NUABELA was very interesting.

The call in Maurole/Mausambi is made for knowing/discovering

Page 150: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

129

authentic life in the traditional villages. Thanks a lot to Vincent and his

family for this very very kind welcoming. We will recommend to others

sailing boats to stop in this bay” (Atabala, 2011).

Terjemahan:

"Kami diterima dengan sangat sangat baik oleh Vincent (berbicara

bahasa Inggris dengan baik) dan keluarganya di rumah mereka.

Kunjungan ke pasar di hari Sabtu dan dua desa - OTOGEDU dan

NUABELA sangat menarik. Kunjungan di Maurole/Mausambi

dilakukan untuk mengetahui/menemukan kehidupan sejati di desa-desa

tradisional. Terima kasih banyak untuk Vincent dan keluarganya atas

penyambutan yang sangat sangat baik. Kami akan merekomendasikan

kepada orang lain untuk singgah di teluk ini"

Apresiasi wisatawan terhadap pelayanan yang mereka rasakan sangat

berdampak bagi promosi suatu destinasi singgah. Pernyataan wisatawan yang

dikutip sebelumnya bahwa ia akan merekomendasikan kepada kapal-kapal lainnya

untuk singgah di Mausambi membuktikan hal itu.

7.2.4 Wisata Layar sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi

Penelitian ini juga menemukan bahwa wisata layar yang terwujud melalui

kegiatan Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole.

Seperti diuraikan sebelumnya, pemerintah daerah Kabupaten Ende menyadari

bahwa pesisir utara wilayah kabupaten Ende telah menjadi pintu masuk atau akses

bagi kapal-kapal wisata asing. Kehadiran kapal-kapal itu mendorong pemerintah

untuk mengembangkan berbagai atraksi wisata yang dapat diakses dari Maurole.

Aktivitas kepariwisataan di darat yang dijalani para peserta Sail Indonesia

yang singgah di Maurole sangat beragam dan bervariasi sesuai kondisi dan

kekayaan wisata tiap desa yang dikunjungi. Dalam tujuh tahun penyelenggaraan

Sail Indonesia di Kabupaten Ende, para peserta mengunjungi sejumlah atraksi

wisata. Atraksi wisata utama yang dikunjungi adalah Danau Tiga Warna

Page 151: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

130

Kelimutu. Hal ini menggambarkan bahwa akses ke Kelimutu secara nyata bisa

dicapai melalui Maurole di pantai utara, tidak hanya secara konvensional dicapai

melalui Maumere ataupun melalui Kota Ende. Demikian pula ia membuka

peluang bagi masyarakat, jasa tour operator atau biro perjalanan untuk

mengembangkan paket-paket perjalanan wisata yang bervariasi.

Pada Tahun 2007 (tahun pertama penyelenggaraan), peserta reli layar

internasional yang singgah di Maurole mengunjungi empat tempat baru yaitu

Otogedu, Nuabela-Watukamba, Dusun Detuara, dan mengunjungi Desa Tanali.

Sebelum Sail Indonesia masuk Maurole, keempat tempat itu sama sekali tidak

pernah terpikirkan bisa menjadi lokasi yang dikunjungi wisatawan asing. Apalagi

oleh kelompok wisatawan asing yang masuk melalui laut di pantai utara. Dengan

demikian pengembangan tempat-tempat baru dalam rangka Sail Indonesia

menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah.

Pengelolaan lokasi kunjungan peserta Sail Indonesia di desa-desa

melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Mulai dari tahap persiapan,

pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Sehingga konsep-konsep sapta pesona atau

sadar wisata tidak hanya berhenti pada tataran penyuluhuan tetapi langsung

diimplementasikan oleh masyarakat sendiri.

Wisatawan asing yang tergabung dalam peserta reli layar internasional

memiliki karakteristik tersendiri. Mereka sangat ingin melihat daerah yang

dikunjungi sebagaimana realitas kesehariannya. Karena realitas apa adanya itu,

bagi mereka, merupakan keunikan yang ingin dilihat, diamati, dipelajari dan

Page 152: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

131

dinikmati. Tentang hal ini, Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata

Layar, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menuturkan:

“Yang perlu disiapkan dan yang paling penting adalah menjadi diri

sendiri karena para pelayar dunia datang ke Maurole untuk melihat

budaya, manusia dan kehidupannya, alam Maurole dan bukan lainnya”

(Wawancara 19 Juni 2013).

Karena itu, menurutnya, strategi penyelenggaraan wisata layar adalah

membangun program yang implementatif terhadap kebijakan dan kondisi

masyarakat setempat dengan tidak merubah kondisi apapun yang ada, bahkan

semaksimal mungkin memakai atau mengakomodasi kebijakan lokal. Strategi ini

diharapkan akan mendongkrak potensi yang ada di semua sektor seperti potensi

alam, budaya, sumberdaya manusia, dan produk lokal.

Fakta dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran faktor internal dan faktor

eksternal yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar sangat

menentukan keberadaan dan pengembangan sebuah destinasi wisata layar.

Seluruh elemen dari faktor yang mendukung – internal maupun eksternal – saling

memengaruhi satu sama lainnya. Faktor internal memengaruhi faktor eksternal

dan berlaku sebaliknya. Elemen dalam faktor internal pun saling memengaruhi,

demikian pula dengan elemen dalam faktor eksternal.

Dengan kalimat lain, seluruh elemen faktor yang mendukung Maurole

sebagai destinasi wisata layar berada dalam kondisi yang saling memengaruhi.

Keragaman atraksi wisata di Maurole memengaruhi pengelolaan perjalanan

wisata. Hal ini dapat dilihat pada penyesuaian paket wisata dengan jenis atraksi di

tempat yang dikunjungi. Sebaliknya, kunjungan wisatawan ke desa-desa memicu

kreativitas masyarakat di desa itu.

Page 153: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

132

Demikian juga halnya dalam faktor eksternal. Kebijakan pemerintah

berperan dalam menentukan keberadaan wisata layar sebagai pemicu

pengembangan destinasi. Kemudahan masuknya kapal wisata ke wilayah

Indonesia mendorong destinasi-destinasi yang disinggahi oleh kapal wisata

berupaya untuk mengembangkan destinasinya. Sebaliknya, pengembangan wisata

layar dapat merangsang lahirnya kebijakan tertentu dari pemerintah. Gambar 7.4

memperlihatkan hubungan yang saling memengaruhi di antara berbagai elemen

faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar di Maurole.

Keterangan tanda:

: Faktor eksternal

: Destinasi Wisata Layar

: Faktor internal

: Hubungan langsung dua arah

: Hubungan langsung dua arah

Gambar 7.4 Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung

Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar

Posisi

geografis

Potensi

Destinasi

Pengelolaan

destinasi Partisipasi

stakeholder

s

Kebijakan

pemerintah

Sistem

wisata layar

Wisata layar

sebagai pemicu pengembangan

destinasi

Persepsi

wisatawan

Page 154: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

133

7.3 Rencana Pengembangan Destinasi Wisata Layar

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan

pariwisata alternatif di destinasi wisata layar. Pertimbangan yang dimaksud

mencakup motivasi perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan

perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif

yang selaras dengan keberadaan (kekhasan) destinasi.

Secara konseptual, perencanaan pengembangan destinasi wisata layar dalam

penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan dalam bentuk trend oriented

planning, yaitu perencanaan yang didasarkan pertimbangan kecenderungan yang

berkembang saat ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini akan dipertimbangkan

untuk menentukan arah dan tujuan perkembangan di masa datang (Paturusi, 2008:

14-15). Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan perkembangan wisata layar di

Indonesia. Di Maurole, kecenderungan itu mulai terjadi sejak Tahun 2007.

Dengan kondisi ini, perencanaan destinasi Maurole seharusnya didasarkan atau

diarahkan pada kecenderungan tersebut.

Destinasi Maurole termasuk dalam perencanaan pariwisata kawasan ditinjau

dari aspek hirarki perencanaan. Perencanaan pariwisata kawasan adalah arahan

kebijakan dan strategi pariwisata suatu kawasan dalam kabupaten/kota, dan

perencanaan itu fokus pada beberapa hal (Paturusi, 2008: 61). Dalam penelitian

ini, fokus yang dimaksud disesuaikan dengan kondisi destinasi wisata layar,

seperti yang secara umum disampaikan oleh Raymond T. Lesmana:

“Tentukan secara bersama lokasi yang akan dikembangkan;

perhitungkan kebutuhan primer yang harus disediakan yaitu listrik, air,

telekomunikasi; rencanakan pengembangan masa bangunan yang selaras

dengan lingkungan yang ada sehingga tidak merubah nuansa Maurole

Page 155: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

134

saat ini; membangun aksesibilitas yang baik dan efektif; membangun

sumber daya manusia (SDM) sesuai tujuan” (Wawancara 19 Juni 2013).

Selanjutnya fokus perencanaan pariwisata kawasan di destinasi Maurole

dikemukakan sebagai berikut.

Pertama, penentuan lokasi titik labuh yang menjadi fokus pengembangan.

Di Maurole terdapat titik labuh di Pantai Mausambi dan titik labuh di Pantai

Nanganio. Perlu ditetapkan di mana lokasi yang menjadi fokus pengembangan.

Penetapannya dilakukan dengan mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku

kepentingan di Maurole, terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Dalam

kerangka ini, dipikirkan juga pengembangan kenyaman titik labuh dari terpaan

angin, arus, dan gelombang. Misalnya, dengan rekayasa panahan gelombang

melalui pemanfaatan kondisi alam di Tanjung Watulaja di Teluk Mausambi.

Kedua, arahan lokasi untuk fasilitas yang dibutuhkan di destinasi wisata

layar. Khususnya arahan lokasi untuk fasilitas yang mendukung keberadaan titik

labuh seperti fasilitas makan dan minum, fasilitas pelayanan informasi pariwisata

dan penanganan perjalanan wisata, serta pelayanan terkait lainnya. Tentunya, di

tahap awal, pengembangan destinasi singgah disesuaikan dengan kebutuhan yang

spesifik, sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan

untuk melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi

berbagai fasilitas harus dilakukan untuk pengembangan secara holistik dan bervisi

jangka panjang.

Ketiga, sistem jaringan traportasi dan kawasan pejalan kaki (pedestrian). Hal

ini menyangkut aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan dalam

pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara

Page 156: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

135

keseluruhan. Tentunya, sistem ini dirancang agar bermanfaat juga bagi

masyarakat setempat.

Keempat, perencanaan prasarana pendukung. Elemen prasarana pendukung

yang perlu dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik,

penanganan sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan

internet), bahan bakar minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan.

Kelima, kriteria perancangan. Perancangan yang dimaksud mencakup

aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan. Hal ini sangat penting

karena menyangkut upaya mempertahan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole.

Keenam, pemanfaatan sumber daya manusia lokal. Pendidikan dan pelatihan

ketrampilan juga perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta

pengembangan destinasi wisata layar yang memberdayakan masyarakat setempat

atau partisipatif.

Secara keseluruhan pengembangan pariwisata kawasan seperti destinasi

wisata layar Maurole dapat dilakukan dengan pendekatan perencanaan tertentu.

Paturusi (2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam pendekatan perencanaan

dan pengembangan pariwisata sebagai berikut: (1) pendekatan berkelanjutan,

inkremental, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pendekatan menyeluruh, (4)

pendekatan yang terintegasi, (5) pendekatan pengembangan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan, (6) pendekatan swadaya masyarakat, (7) pendekatan

pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis. Seluruh

pendekatan ini tentu dapat diimplementasikan dalam perencanaan destinasi wisata

layar Maurole. Namun, berdasarkan fakta yang diperoleh dari penelitian ini,

Page 157: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

136

pendekatan yang dapat digunakan merupakan kombinasi dari pendekatan sistem,

menyeluruh, terintegrasi (integrated approach), dan pendekatan swadaya

masyarakat. Penerapan pendekatan ini tentu saja harus digarap dengan baik agar

menghasilkan rencana yang baik pula.

Basis dari pengembangan wisata layar adalah nilai-nilai yang terkandung

dalam pariwisata alternatif. Fennel dan Dowling (2002:2) menyebutkan lima

karakteristik positif dari pariwisata alternatif, yaitu:

1. Pengembangan yang sesuai dengan karakter lokal sebuah tempat.

Tercermin dari karakter arsitektural, gaya pengembangan, dan peka

terhadap keunikan warisan budaya dan lingkungan.

2. Pemeliharaan, perlindungan, dan peningkatan kualitas sumberdaya yang

merupakan basis pariwisata.

3. Mengusahakan agar pengembangan atraksi wisata tambahan bagi

wisatawan berakar pada kearifan lokal dan dikembangkan sebagai

dukungan bagi karakter lokal.

4. Pengembangan pelayanan bagi wisatawan yang meningkatkan warisan

budaya dan lingkungan setempat.

5. Mendukung pertumbuhan di suatu tempat hanya ketika pertumbuhan itu

meningkatkan sesuatu, bukan ketika dia merusak sesuatu atau melampaui

daya dukung lingkungan alam yang berakibat kurang baik bagi kualitas

kehidupan masyarakat.

Beberapa karakter ini dapat juga diimplementasi ke dalam pengembangan

wisata layar di sebuah destinasi yang baru berkembang. Pertama, pengembangan

Page 158: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

137

wisata layar tidak merusak lingkungan atau harus selaras dengan lingkungan dan

mendukung kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kedua, pariwisata alternatif

di destinasi wisata layar merupakan proses pengembangan bentuk perjalanan yang

yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya saling pemahaman,

solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut dalam perjalanan

wisata itu. Ketiga, pariwisata alternatif di destinasi wisata layar mencakup

pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan

dikelola oleh masyarakat lokal.

Dengan demikian rencana pengembangan wisata layar sejauh mungkin

didasarkan pada karakter positif pariwisata alternatif. Fakta pengelolaan destinasi

singgah Maurole dalam rangka reli kapal wisata layar selama enam tahun terakhir

menunjukkan bahwa karakteristik pariwisata alternatif sangat mungkin dijadikan

landasan pengembangannya.

Page 159: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

138

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Bertolak dari permasalahan, tujuan penelitian, kajian terhadap data

penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole memiliki potensi untuk

dikembangkan mengacu pada empat komponen destinasi pariwisata (4A).

Pertama, atraksi wisata, yaitu: kampung adat Nuabela, Puu Pau, dan

Detuara; atraksi seni dan budaya; pembuatan tuak (moke) di Otogedu;

pembuatan gula aren di Nuabela. Atraksi lainnya yang dapat dijangkau dari

Maurole yaitu Kelimutu (danau tiga warna), kampung adat Wologai, Nualise,

Wolotopo; hortikultura di Waturaka; pemandian air panas Detusoko, pasar

tradisional Nduaria, landscape perbukitan dan persawahan di Detusoko.

Kedua, akses ke Maurole dapat melaui darat maupun laut. Sail Indonesia

membuka Maurole sebagai salah satu pintu masuk wisatawan melalui laut di

Kabupaten Ende di tahun 2007. Ketiga, adanya amenitas yang mendukung

aktivitas wisata layar, yaitu tersedianya rumah makan dan supply kebutuhan

bahan bakar, air bersih dan air minum, listrik; bank dan kantor pos; sarana

telekomunikasi dan akses internet; dermaga apung (jetty), tempat relax,

berbagai jenis tenda dan panggung hiburan di areal titik labuh dan sejumlah

toilet yang dibangun dalam rangka Sail Indonesia. Keempat, unsur ancillaries

services dalam Sail Indonesia, yaitu: pemerintah (Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Ende, serta satuan kerja perangkat daerah yang terkait);

Operator wisata layar (Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa); DPC HPI

Page 160: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

139

Kabupaten Ende, komunitas adat dan kelompok seni budaya di tiap desa.

Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangan aktivitas

wisata, maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup

destinasi pariwisata, dan memiliki kekhasan lokal (local distinctiveness)

yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata yang terletak dekat

dan mudah diakses dari titik labuh.

2. Pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia bersifat

seasonal, yaitu pengeloaan sejumlah aktivitas wisata yang disesuaikan

dengan jadwal kunjungan kapal layar dalam acara Sail Indonesia

(pertengahan sampai akhir Agustus setiap tahun). Pertama, pengelolaan areal

titik labuh meliputi penyediaan berbagai fasilitas dan pelayanan bagi

wisatawan. Kedua, pengelolaan atraksi seni dan budaya meliputi pagelaran

seni budaya di areal titik labuh, dan atraksi seni budaya di desa-desa yang

dikunjungi wisatawan. Ketiga, pengelolaan perjalanan wisata tidak saja ke

atraksi wisata di Kecamatan Maurole, namun juga ke beberapa atraksi wisata

lain yang mudah dijangkau dari Maurole. Keempat, partisipasi pemangku

kepentingan dilakukan dalam pengelolaan areal titik labuh, atraksi seni dan

budaya, dan perjalanan wisata. Pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan

anggaran untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Pelaku usaha

pariwisata berpartisiasi dalam penanganan perjalanan wisata, penyediaan

transportasi, dan pemanduan wisata. Partisipasi masyarakat terwujud di areal

titik labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Tipe

partisipasi masyarakat adalah tipe induced participation, yaitu masyarakat

Page 161: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

140

berpartisipasi karena terdorong untuk melakukannya, dan partisipasi inisiasi,

yaitu masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di

wilayahnya. Partisipasi masyarakat juga dipengaruhi nilai budaya ata mai

(orang yang datang/tamu) ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa

keselamatan, sehingga tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa

mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik.

Menerima tamu dengan baik berfungsi untuk menjaga waka atau menjaga

waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali).

3. Ada dua faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar.

Pertama, faktor internal, terdiri dari potensi Maurole sebagai destinasi

singgah, pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, partisipasi

pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi

singgah, dan posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor

internal merupakan kekuatan destinasi wisata layar Maurole. Kedua, faktor

eksternal, terdiri dari kebijakan pemerintah, sistem wisata layar, persepsi

wisatawan, dan wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi.

Kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan

dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang

kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia yang memberikan

kemudahan bagi kapal wisata asing yang masuk ke perairan laut Indonesia.

Kemudian komponen sistem wisata layar dalam Sail Indonesia terdiri dari:

negara-negara asal wisatawan sebagai tourist generating region (TGR), titik

start Sail Indonesia sebagai transit route (TR), negara kepulauan Indonesia

Page 162: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

141

sebagai destination area, destinasi-destinasi singgah sebagai tourist

destination region (TDR), dan desa-desa yang dikunjungi di destinasi singgah

sebagai node destination. Selanjutnya, persepsi wisatawan yang dituliskan di

website atau weblogs merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh

wisatawan lain untuk singgah atau tidak di destinasi Maurole. Hal lainnya

adalah Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole dan

menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah.

8.2. Saran

Berdasarkan simpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka diajukan saran

sebagai berikut:

1. Untuk penyusunan perencanaan pariwisata kawasan Maurole sebagai

destinasi wisata layar, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan hal

berikut. Pertama, agar ditetapkan lokasi yang menjadi fokus

pengembangan titik labuh di Maurole. Penetapannya dilakukan dengan

mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Maurole,

terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Kedua, di tahap awal,

pengembangan Maurole disesuaikan dengan kebutuhan yang spesifik,

sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan untuk

melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi

berbagai fasilitas harus dilakukan untuk kajian secara holistik dan bervisi

jangka panjang. Ketiga, aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan

dalam pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar

secara keseluruhan dirancang agar bermanfaat juga bagi masyarakat

setempat. Keempat, prasarana pendukung yang perlu dimasukkan dalam

Page 163: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

142

perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan sampah, toilet

dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan internet), bahan bakar

minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan. Kelima, untuk

mempertahankan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole, maka

perancangan titik labuh diterapkan dengan memperhatikan kriteria

perancangan yang mencakup aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan

massa bangunan. Keenam, pendidikan dan pelatihan ketrampilan juga

perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta pengembangan

destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat setempat atau partisipatif.

Ketujuh, pengembangan destinasi wisata layar Maurole perlu mengacu

kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende.

2. Penelitian ini hanya menyentuh beberapa hal umum dari sebuah destinasi

wisata layar. Karena itu disarankan agar ada penelitian lanjutan dan

mendalam mengenai topik-topik yang terkait destinasi wisata layar.

Misalnya, mengenai strategi pengembangan destinasi wisata layar.

Page 164: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

143

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Panduan Monitoring dan Evaluasi DMO. Jakarta: Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Ardika, I. G. 2005. “Kebijakan Nasional Pengurangan Kemiskinan Melalui

Pariwisata” (dalam Damanik, J., Kusworo, H. A., Raharjana, D. T.,

Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata, penyunting,Yogyakarta:

Kepel Press).

Ardika, I. W. 2003. Pariwisata Budaya Berelanjutan – Refleksi dan Harapan di

Tengah Peradaban Global. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian

Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Atabala, V. 2011. Buku Tamu. Mausambi: Dokumen Pribadi.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Laporan Rencana Tata Ruang

dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende Tahun 2011 – 2031. Ende: Bappeda.

Badan Pusat Statistik. 2012. Maurole dalam Angka 2012. Ende: Katalog BPS:

1409.5311060 Kabupaten Ende

----------. 2012. Statistik Kecamatan Maurole 2012. Ende: Katalog BPS:

1101002.5311060 Kabupaten Ende.

Buana Raya. 2012. Atlas Dunia. Solo: Buana Raya.

Budhiana, N. 2012. Wisata Layar Cocok untuk Kepulauan (dalam

http://bali.antaranews.com/berita/29342/wisata-layar-cocok-untuk

kepulauan., diakses 30 Januari 2013).

Buhalis, D. 2000. “Marketing the Competitive Destination of Future”, (dalam

Tourism Management 21 97-116, http://www.elsevier.com/locate/tourman.,

diakses 14 Februari 2013).

Bungin, B.M. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Butler, R. W. 1980. The Concept of Tourism Area Life Cycle of Evolution:

Implication for the Management of Resources. The Canadian Geographer.

Caribbean Tourism Organization. 2008. “Sailing” (dalam Developing a Niche

Tourism Market Database for the Caribbean, http://www.

onecaribbean.org/ content/ files/ Sailing/ pdf., diakses 28 September 2012).

Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D., and Wanhill, S. 1996. Tourism Principles and

Practice. London: Longman Group Limited.

Page 165: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

144

Creswell, J.W. 2009. Research Design Quantitative, Qualitative and Mixed

Methods Approachs. 3rd

Edition. London: Sage Publication, Inc.

Dahuri, R. 2009. Pariwisata Bahari Raksasa Ekonomi Indonesia yang Masih Tidur

dalam http://rokhmindahuri.wordpress.com/, diakses 8 Oktober 2012.

Dalem, A. A .G. Raka. 2007. “Filosofi Tri Hita Karana dan Implementasinya

dalam Industri Pariwisata” (dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Dalem, A. A. G. Raka, Wardi, I N., Suarna I W., dan

Adnyana, I W. Sandi, ed., Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana dan

PPLH Unud).

Damanik, J dan Weber H. F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke

Aplikasi. Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM dan Penerbit

Andi.

Derksen, B. D. M. 2007. “Nautical Tourism Potential in the Dalmatia Dubrovnik

Region” (dissertation). Breda: NHTV University of Professional Education.

Desa Mausambi. 2012. Profil Desa Mausambi.

Desa Otogedu. 2012. Profil Desa Otogedu.

Desa Watukamba. 2012. Profil Desa Watukamba.

Disbudpar. 2007. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata.

----------. 2008. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata.

----------. 2009. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata.

----------. 2010. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata.

Edgell, D. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future.

Oxford: The Haworth Hospitality Press.

Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Penerbit

Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Fennel, A. D dan Dowling K. R. 2003. “The Context of Ecotourism Policy and

Planning” (dalam Ecotourism Policy and Planning, Fennel, A. D dan

Dowling, K. R, ed., UK: CAB International).

Gautama, I G. A .G .O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Sanur”

(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Page 166: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

145

Heaven, S. 2008. The Cruising Adventures of Seventh Heaven with Charlieand

Betty(http://www.charlieandbetty.com/seventhheaven/default.asp?listtype=r

ange&datestart=20080726&dateend=20081027., diakses 12 Juli 2013.

Hermantoro, H. 2011. Creative-Based Tourism, dari Wisata Rekreatif Menuju

Wisata Kreatif. Jawa Barat: Penerbit Aditri.

Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development

Approach. New York: Van Nostrand Reinhold.

Jennings, G. 2001. Tourism Research. Australia: Wiley.

Jennings, G. 2007. Water-Based Tourism, Sport, Leisure, and Recreation

Experiences, ed., UK: Elsevier’s Science & Technology Rights Department.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat – Paradigma bagi

Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial,

Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.

Kecamatan Maurole. 2009. Rencana Strategis (Restra).

Lamont, MJ. 2008, “Wheels of Change: A Model of Whole Tourism Systems for

Independent Bicycle Tourism”, (dalam Re-creating tourism: New Zealand

Tourism and Hospitality Research Conference, Proceedings of Hanmer

Springs, New Zealand, 3-5 December, Lincoln University, Christchurch,

NZ).

Leiper, N. 1990. Tourism System. Occasional Paper 2. Auckland: Department of

Management System. Massey University.

Leiper, N. 2004. Studying Tourism: A Whole Systems Approach (dalam Tourism

Management. 3rd

ed. Sydney: Pearson Australia).

Lesmana, R. T. 2012. “Peluang Wisata Bahari Indonesia – Apa, Siapa, Mengapa,

Bilamana, Bagaimana?” Makalah pada Presentasi Survei Sail Tomini 2014

di Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah.

Lukita, B. M. 2012. Potensi Laut Indonesia 1,2 Triliun Dolar AS (dalam

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/24/13283219/Potensi.Laut.

Indonesia.1.2.Triliun.Dollar.AS, diakses 31 Januari 2013).

Madiun, I.N. 2009. “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Kawasan

Pariwisata Nusa Dua - Perspektif Kajian Budaya” (disertasi). Denpasar:

Universitas Udayana.

Mbete, A. M., Dhae, F.X., Banda, M. M dan Wake, P. 2006. Khazanah Budaya

Lio-Ende. Jogya: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Ende.

Page 167: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

146

Mina Bahari. 2013. “Membangun Secara Lestari dan Berkelanjutan” (dalam Mina

Bahari Edisi I Januari).

Munt, I dan Monforth, M., 2003. Tourism and Sustainability – New Tourism in

The Third World. London: Taylor and Francis e-Library.

Murdana, I.M. 2010. “Pengembangan Pariwisata Pulau Gili Trawangan Berbasis

Ekowisata Bahari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana

Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian – Skrispi, Tesis, Disertasi, dan Karya

Ilmiah. Jakarta: Kencana.

Orams, M. 2002. Marine Tourism – Development, Impacts and Management.

New York: Routledge – edition published in the Taylor and Francis e-

Library.

Paturusi, S. A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar: Universitas

Udayana.

Pendit, N. S. 1996. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT

Pradnya Paramita.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.

96/HK.501/MKP/2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta.

Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2011 Tentang

Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia.

Pitana, I. G dan Diarta, S. K I. 2009. Pegantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:

Penerbit ANDI.

Pitana, I. G dan Gayatri, P. G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Pujaastawa, I.B.G., Wirawan, I G.P., dan Adhika, I M. 2005. Pariwisata Terpadu

– Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar:

Universitas Udayana.

Rasdiani, E. 2008. “Sail Indonesia – Menjadikan Kebaharian Indonesia Mampu

Berdiri Sejajar dengan Negara lain”. Makalah dalam Workshop Percepatan

Pembangunan Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan. Jakarta,

22 Oktober.

Ratna, N. K. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial

Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sail Indonesia. 2012. Sail Indonesia Confirmed Entries

(http://sailindonesia.net/news/entries.php., diakses 23 Mei).

Page 168: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

147

-----------. 2013. Sail Indonesia 2013 Program Of Events (http://sailindonesia.net.,

diakses 28 Maret 2013.

SailToIndonesia. 2012. Destinations (http://sailtoindonesia.com, diakses 27 Mei)

Smith, V. L. dan Eadington, W.R. 1992. Tourism Alternatives: Potentials and

Problems in the Development of Tourism: Philadelphia: Univeristy of

Pennsylvania Press.

Stronza, A. 2008. “Partnerships for Tourism Development” (dalam Moscardo, G.

Editor. Building Community Capacity for Tourism Development. UK:

CABI)

Tallo, P. E. 2011. “Strategi Pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur

Sebagai Destinasi Pariwisata Berkelanjutan” (tesis). Denpasar: Universitas

Udayana.

Timothy, D. J dan Tosun, C. 2003. “Arguments for Community Participation in

the Tourism Development Process” (dalam The Journal of Tourism Studies

Vol. 14, No. 2, Dec).

Tosun, C. 2006. Expected Nature of Community Participation in Tourism

Development. Turkey: School of Tourism and Hotel Management, Mustafa

Kemal University, Tourism Management.

Tourism Insights. 2008. Identifying and Developing Local Distinctiveness,

(http://www.insights.org.uk/destinationmanagementguideitem.aspx?title=2

G%3a+Identifying+and+Developing+Local+Distinctiveness., diakses 29

Juni 2013).

Tourism in Singapore. 2003. Ancillary Services (http://infocommclub.

vs.moe.edu.sg/tourism/ancillary.html., diakses 6 Juni 2013).

Wirawan, G. P S. 2009. “Pengembangan Daya Tarik Wisata Berkelanjutan di

Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung” (tesis). Denpasar: Universitas

Udayana.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4966.

Page 169: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

148

Lampiran 1:

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus satu)

Informan: aparat desa, masyarakat desa, operator, dan tim teknis.

Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk diwawancarai dan memberikan

jawaban sesuai dengan kenyataan riil yang ada/dialami.

Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ini disusun guna

mengumpulkan data tertulis dalam rangka menunjang penyusunan

tesis/karya tulis ilmiah.

Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ini disusun untuk

mendapatkan bahan analisis guna mengkaji karakteristik destinasi singgah

Sail Indonesia.

Wawancara ini dilakukan hanya untuk tujuan penelitian ilmiah.

Atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi informan dalam penelitian ini, saya

mengucapkan terima kasih.

Hari/Tanggal :

A. Identitas Informan

Nama:

Umur:

Pekerjaan/ Jabatan:

Alamat:

No. Telepon/ HP:

B. Potensi destinasi singgah

Atraksi wisata Alam:

1. Apakah ada atraksi alam yang terkait dengan flora dan fauna? Sebutkan!

2. Apakah kecamatan/desa sudah melakukan pendataan terhadap atraksi

wisata alam itu?

3. Apakah atraksi wisata alam itu sudah pernah dikunjungi atau dinikmati

oleh wisatawan? Sejak kapan?

Page 170: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

149

Atraksi wisata budaya dan buatan:

1. Apa saja atraksi seni budaya lokal (tari, musik, drama, permainan rakyat,

dll) yang terdapat di wilayah ini? Sebutkan!

2. Apakah ada festival seni budaya? Bagaimana penyelenggaraannya?

3. Apakah ada upaya peningkatan dan pelestarian peninggalan sejarah dan

purbakala? Bagaimana upaya itu dilakukan?

4. Apa saja seni kerajinan dan ukir-ukiran yang tersedia?

5. Apa saja kuliner lokal yang tersedia? Bagaimana keberadaan dan upaya

pengembangannya?

Aksesibilitas:

1. Bagaimana cara mencapai atraksi wisata di kecamatan/desa ini?

2. Apa saja moda transportasi yang digunakan?

3. Bagaimana kondisi jalan menuju ke lokasi atraksi wisata itu?

4. Apakah ada program peningkatan aksesibilitas ke berbagai atraksi wisata

selama kegiatan Sail Indonesia?

Amenitas:

1. Apa saja jenis akomodasi wisata yang terdapat di kecamatan/desa ini, dan

berapa jumlahnya?

2. Berapa jumlah rumah makan atau restoran di kecamatan/desa ini?

3. Bagaimana kondisi fasilitas akomodasi penginapan dan restoran/rumah

makan yang ada?

4. Apakah tersedia fasilitas belanja misalnya artshop yang menjual barang

kerajinan lokal dan produk souvenir lainnya?

5. Apakah ada agen penjualan bahan bakar minyak?

6. Apakah tersedia pasar-pasar tradisional?

7. Bagaimana akses ke layanan kesehatan dan unit gawat darurat

8. Bagaimana ketersediaan air bersih dan energi listrik?

9. Bagaimana ketersediaan fasilitas telekomunikasi (telepon, internet, jasa

pos)?

10. Bagaimana ketersediaan jasa perbankan dan jasa penukaran uang (money

changer)?

Page 171: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

150

11. Bagaimana ketersediaan fasilitas humaniter seperti toilet?

Ancillary services:

1. Apakah terdapat kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di kedamatan/desa

ini? Berapa jumlahnya?

2. Apakah lembaga DMO (Destination Management Organization) dan

TMO (Tourist Management Organization) ikut berperan dalam

pengembangan pariwisata di kecamatan/desa ini?

3. Bagaimana peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten dalam

mengembangkan kepariwisataan di kecamatan/desa ini?

4. Bagaimana peran pemerintah kecamatan dan desa dalam mengembangkan

kepariwisataan di kecamatan/desa ini?

5. Apakah kawasan ini masuk dalam tata ruang pengembangan wilayah

kepariwisataan daerah?

6. Apakah ada kebijakan pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten yang

terkait pengembangan wisata layar?

7. Apakah tersedia Tourist Information Centre (TIC) di kecamatan/desa ini?

8. Bagaimana dengan penyerapan SDM dalam aktivitas pariwisata yang

bersifat temporer misalnya dalam aktivitas Sail Indonesia.

9. Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pengelolaan

berbagai atraksi wisata dalam kegiatan Sail Indonesia dan bagaimana

perannya masing-masing?

10. Apa manfaat yang diperoleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan

atraksi wisata itu?

11. Apa saja masalah yang timbul dalam pengelolaan atraksi wisata itu dan

bagaimana solusinya?

12. Apakah terbukanya akses wisatawan melalui laut dalam aktivitas Sail

Indonesia memberikan manfaaat bagi kecamatan/desa?

13. Apakah tersedia informasi yang cukup bagi wisatawan mengenai cara

mencapai lokasi atraksi wisata itu dan siapa yang menyiapkan informasi

itu?

Page 172: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

151

14. Apakah tersedianya berbagai fasilitas yang terkait aspek amenitas itu

memberikan manfaat bagi kecamatan/desa?

15. Apa masalah yang ada terkait berbagai fasilitas itu? Bagaimana solusi

mengatasi masalah tersebut?

Letak dan posisi Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata di kegiatan Sail

Indonesia:

1. Apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah tempat untuk menjadi

destinasi singgah Sail Indonesia?

2. Bagaimana karakteristik umum para peserta reli wisata layar dan apa

motivasi kunjungan mereka?

3. Apa saja kebutuhan dasar para pelayar dunia di suatu destinasi singgah?

4. Berapa lama peserta reli tinggal atau berlabuh di sebuah destinasi singgah?

5. Mengapa Maurole ditetapkan sebagai salah satu destinasi singgah Sail

Indonesia, dan bagaimana gambaran posisi Maurole dalam rangkaian rute

pelayaran kapal wisata di Indonesia?

6. Dalam kaitan dengan aktivitas wisata di daratan, apa saja yang perlu

disiapkan oleh sebuah destinasi singgah? Dan siapa yang idealnya

menyiapkan kebutuhan itu?

7. Siapa saja yang perlu terlibat pengelolaan titik labuh dalam kaitannya

dengan upaya pemenuhan kebutuhan para pelayar dunia dan manfaat

ekonomi bagi masyarakat?

8. Siapa saja dan bagaimana peran masing-masing pemangku kepentingan di

destinasi singgah?

9. Apa saja dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terjadi di sebuah

destinasi singgah?

10. Bagaimana prospek dan peluang pengembangan destinasi singgah?

11. Siapa saja target pasar wisata layar dan bagaimana prospeknya bagi

Indonesia secara umum dan destinasi singgah secara khusus?

12. Apa saja masalah atau kendala yang timbul dalam pengelolaan destinasi

singgah dan apa solusi untuk mengatasi masalah itu?

Page 173: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

152

Lampiran 2:

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus dua)

Informan: masyarakat

A. Bentuk dan Tingkat Partisipasi

1. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia? Bagaimana

bentuk keterlibatannya?

2. Apakah yang mendorong Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia

ini?

3. Apakah ada pertemuan/musyawarah warga dalam membicarakan kegiatan

Sail Indonesia? Jika ada, berapa kali diadakan?

4. Selain pertemuan, seringkah Bapak/Ibu mengikuti kegiatan yang

menunjang kegiatan Sail Indonesia (seperti kerja bakti, dll)?

5. Menurut Bapak/Ibu, apa bentuk partisipasi yang tepat dari masyarakat

dalam kegiatan Sail Indonesia?

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam melibatkan masyarakat dalam

kegiatan Sail Indonesia?

2. Bagaimana peran pengurus desa/dusun dalam melibatkan masyarakat

dalam kegiatan Sail Indonesia?

3. Bagaimana peran tenaga teknis dari pemerintah daerah dalam memberikan

pendampingan teknis terkait dengan kegiatan Sail Indonesia?

4. Bagaimana peran tokoh masyarakat/adat untuk mengajak masyarakat

berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia?

C. Manfaat, masalah, dan solusi:

1. Apa saja manfaat yang diperoleh dari keterlibatan Bapak/Ibu dalam

kegiatan dan pengelolaan Sail Indonesia?

2. Apa saja masalah yang timbul terkait keterlibatan dalam kegiatan Sail

Indonesia?

3. Apa solusi untuk mengatasi masalah tersebut?

Page 174: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

153

Lampiran 3:

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk: mencapai tujuan khusus dua)

Informan: pemerintah daerah, desa, dan tim teknis.

A. Pemerintah Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende

1. Apa dasar hukum dan kebijakan terkait pelaksanaan Sail Indonesia di

destinasi singgah Maurole?

2. Apakah sudah ada peraturan yang terkait penetapan zonasi pengembangan

destinasi wisata layar?

3. Bagaimana Pemda melakukan pendekatan kepada masyarakat di

Kecamatan Maurole dan desa-desa terkait dalam kegiatan Sail Indonesia?

4. Bagaimana hubungan kerjasama antara Pemda dengan LSM/NGO, tokoh

masyarakat dan pemerintah kecamatan dan desa?

5. Kontribusi apa saja yang diberikan Pemda dalam kegiatan Sail Indonesia?

B. Pertanyaan untuk Kepala Desa, dan tokoh masyarakat (pemuka adat)

1. Bagaimana Bapak/Ibu melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam

pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia?

2. Faktor apa yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan Sail

Indonesia?

C. Pertanyaan untuk tim teknis dari pemda

1. Bagaimana Tim teknis melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam

pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia?

2. Bagaimana hubungan kerjasama antara tim teknis, tokoh masyarakat dan

pemerintah kecamatan dan desa?

3. Bagaimana bentuk pendampingan tim teknis dalam kegiatan Sail

Indonesia?

4. Apakah faktor yang turut mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam

kegiatan Sail Indonesia?

Page 175: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

154

D. Umum : Manfaat, masalah, dan solusi

1. Apa manfaat dari keterlibatan pemerintah daerah, aparat kecamatan/desa,

dan tim teknis dalam kegiatan Sail Indonesia?

2. Apa saja masalah dan kendala yang timbul dalam keikutsertaan pemangku

kepentingan itu dalam aktivitas Sail Indonesia? Terhadap masalah yang

timbul itu, apa solusi yang dapat diberikan?

Page 176: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

155

Lampiran 4:

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk : mencapai tujuan khusus tiga)

Informan: pemangku kepentingan (pemerintah, industri, dan masyarakat).

A. Penguatan gerakan kesadaran kolektif pemangku kepentingan (Anonim,

Panduan Monev DMO: 2012). Panduan ini disesuaikan dengan upaya

pencapaian tujuan penelitian.

1. Siapa saja kelompok pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan

Sail Indonesia di Maurole?

2. Bagaimana koordinasi lintas kelompok komunitas lokal dalam persiapan

Sail Indonesia?

3. Apakah sudah ditetapkannya peran pemangku kepentingan dalam konteks

lintas sektoral pada kegiatan Sail Indonesia?

4. Apakah sudah ditetapkannya perencanaan tata kelola destinasi singgah

Maurole?

5. Apakah sudah ada SK (Surat Keputusan) Bupati atau MoU antara

pemerintah kabupaten dengan stakeholder tertentu dalam kegiatan Sail

Indonesia?

B. Pengembangan Manajemen Destinasi Singgah (Anonim, Panduan Monev

DMO: 2012):

Terkait telah teridentifikasinya kondisi awal destinasi melalui kajian awal/

baseline assessment.

1. Apakah sudah teridentifikasi profil dan peta wilayah destinasi singgah

Maurole?

2. Apakah telah teridentifikasinya lingkungan internal dan eksternal destinasi

singgah Maurole?

3. Apakah telah tersedianya informasi tentang: atraksi, transportasi intra dan

antar destnasi, infrastruktur, fasilitas dan layanan, event/festival, dan

aktivitas wisata?

Page 177: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

156

Terkait Tourism Management Plan secara kuantitatif dan kualitatif untuk

jangka pendek, menengah, dan panjang sesuai perinsip keterpaduan,

kolaboratif, berkelanjutan dan partisipatif.

1. Apakah sudah tersedia berbagai peraturan dan ketetapan tentang arah

kebijakan pengembangan destinasi untuk jangka pendek, menengah dan

panjang sesuai prinsip keterpaduan, kolaboratif, berkelanjutan dan

partisipatif?

2. Apakah sudah ditetapkannya peraturan tata ruang destinasi?

3. Apakah sudah tersedia Tourism Management Plan untuk desitnasi

Maurole?

Terkait pola perjalanan wisata (travel pattern)

Apakah ada pola perjalanan wisata di dalam destinasi yang terintegrasi

mencakup seluruh atau sebagian wilayah destinasi?

C. Pengembangan Bisnis (Anonim, Panduan Monev DMO: 2012)

Terkait inovasi dan diversifikasi produk:

1. Apakah sudah ada diversifikasi dan inovasi produk dan sudah

diimplementasikan selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung sejauh ini?

2. Apakah sudah tercipta kegiatan inovasi produk dalam kegiatan Sail

Indonesia?

Terkait kegiatan pemasaran destinasi

1. Apakah sudah ada informasi dan ide pemasaran destinasi terkait Sail

Indonesia?

2. Apakah sudah dilakukan analisis lingkungn internal dan eksternal terkait

pemasaran destinasi singgah Maurole?

3. Apakah tersedia rencana pemasaran dan promosi destinasi Maurole?

4. Apakah ada kerjasama pemasaran dengan pihak lainnya (intra dan antar

destinasi)?

Terkait aktivitas kewirausahaan/industri yang juga mendorong pengembangan

ekonomi kreatif dan memperluas bisnis networking komunitas lokal:

1. Apakah ada peluang usaha yang tercipta bagi masyarakat lokal di destinasi

singgah?

Page 178: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

157

2. Apakah ada pelatihan kegiatan ekonomi kreatif di destinai singgah?

3. Apakah masyarakat lokal terlibat dalam berbagai aktivitas kepariwisataan

dalam proses perencanaan, sosialisasi, implementasi dan pengawasan

program?

4. Apakah ada bentuk dukungan yang nyata untuk memperluas business

networking bagi pengusaha lokal didukung oleh seluruh pemangku

kepentingan?

5. Apakah dilaksanakan pelatihan pengembangan bisnis di destinasi singgah?

Page 179: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

158

Lampiran 5:

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk: mencapai tujuan penelitian tiga)

Informan: ahli dan tokoh masyarakat

1. Apakah visi, misi, tujuan, dan strategi penyelenggaraan Sail Indonesia yang

Bapak/Ibu ketahui?

2. Bagaimanakah tahap-tahap pelaksanaan reli perahu layar internasional Sail

Indonesia mulai dari kapal wisata itu berada di luar perairan Indonesia hingga

memasuki perairan Indonesia?

3. Bagaimana gambaran rute kapal wisata dalam Sail Indonesia, dan apakah

rute-rute itu masih mungkin dikembangkan?

4. Apa sesungguhnya kekuatan dari kegiatan Sail Indonesia bagi pengembangan

dan promosi wisata daerah khususnya destinasi singgah?

5. Apakah Sail Indonesia mampu meningkatkan kunjungan wisata ke daerah?

6. Apa karakteristik yang perlu dimiliki oleh sebuah lokasi untuk dapat menjadi

destinasi singgah Sail Indonesia?

7. Apa saja sarana dan prasarana yang perlu disiapkan oleh sebuah destinasi

singgah?

8. Apakah Pulau Flores berpotensi menjadi destinasi wisata layar? Bagaimana

dengan potensi yang dimiliki Maurole?

9. Siapa saja stakeholder yang perlu dilibatkan dalam pengembangan wisata

layar?

10. Apa sesungguhnya peran yang bisa dimainkan pemerintah daerah dalam

upaya pengembangan wisata layar?

11. Bagaimana memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal dan pelaku usaha

dalam kegiatan Sail Indonesia?

12. Apa saja aspek atau faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

pengembangan destinasi wisata layar?

13. Apakah Sail Indonesia memiliki prospek pengembangan yang strategis di

masa depan?

Page 180: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

159

14. Strategi perencanaan seperti apa yang perlu dibuat dalam rangka

mengembangkan destinasi wisata layar?

15. Apa saja kendala dan masalah yang timbul dalam upaya pengembangan

distinasi wisata layar secara umum? Dan bagaimana dengan destinasi singgah

Maurole?

16. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul dalam

pengembangan destinasi wisata layar?

Page 181: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

160

Lampiran 6:

DAFTAR INFORMAN

1. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Cyprianus Pepy

45 tahun

Kepala Desa Nualise

Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru.

082144350014

2. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

:

:

:

:

Prudensia Mariana Pepy

37 tahun

TP. PKK

Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru.

3. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Aloysius Djira Loy

55 tahun

Kepala Desa

Desa Waturaka Kecatan Kelimutu

081357431158

4. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Alexander Wae

61 tahun

Tokoh Masyarakat

Desa Waturaka Kecamatan Kelimutu

082144503179

5. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Nikolaus Dee

52 tahun

Tokoh Masyarakat

Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona.

085253465173

6. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Siprianus Madana Jirabara

33 tahun

Kepala Desa Wolotopo Timur

Wolotopo Timur

081236659719

7. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Ignasius Siga

45 tahun

Kepala Desa Otogedu

Desa Otogedu Kecamatan Maurole

081319735410

Page 182: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

161

8. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

:

:

:

:

Frans Watu

60 tahun

Tokoh Masyarakat

Desa Otogedu Kecamatan Maurole

9. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Hironimus Nira

48 tahun

Kaur Desa

Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole

082144146985

10. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

:

:

:

:

Stefanus Ngga’e

57 tahun

Mosalaki (tetua adat)

Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole

11. Nama

Umur

Pekerjaan

Alama

Hp

:

:

:

:

:

Damianus Deda

61 tahun

Tokoh Masyarakat

Kecamatan Maurole

085239984854

12. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Silvester Sina

54 tahun

Sekretaris Desa Maurole

Desa Maurole Kecamatan Maurole

085253218303

13. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Desi Darius Saba

43 tahun

Kepala Desa Mausambi

Desa Mausambi

082341890181

14. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

:

:

:

:

Lambertus Laka

73 tahun

Mosalaki (tetua adat)

Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole

15. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Martinus Mani

53 tahun

BPD Desa Mausambi

Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole

081337257974

Page 183: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

162

16. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Yan Fangidae

48 tahun

Guru SMP

Desa Mausambi Kecamatan Maurole

081353871315

17. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Emilianus Linu

47 tahun

Kepala Desa Wologai Tengah

Desa Wologai Tengah

081236991044

18. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Nyo Cosmas, SH

53 tahun

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende

Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur

081339300611

19. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Yuliana Ruka, S. Sos

42 tahun

Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi Disbudpar Kab.

Ende

Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur

085239414211

20. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Martinus Lagho, SST. Par

47 tahun

Kepala Sub Bagian Program Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Ende.

Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur

081339411204

21. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Rosalia J.E. Rae, SST. Par

44 tahun

Kasi Pelatihan dan Ketrampilan Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Kabupaten Ende/Tim Teknis Sail Indonesia 2007

Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur

082144492459

22. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Maria W.P. Wangge, SST. Par

40 tahun

Kasi Pengkajian Pemasaran Pariwisata/Pejabat Pelaksana

Teknis Kegiatan Sail Indonesia di Maurole tahun 2008

Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur

085287948595

Page 184: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

163

23. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Gregorius Gadi

49 tahun

Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ende

Ndona-Ende

081353842816

24. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Maria Sarto Deda

32 tahun

Pegawai di Kecamatan Maurole

Maurole

085239984854

25. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Ferdinandus E.K. Radawara, SST.Par

36 tahun

Ketua Himpunan Pramuwisata Kabupaten Ende/Guide

Ende

081334330155

26. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Fransiskus Dafro

45 tahun

Guru/ Guide

Mbomba – Ende

085215067777

27. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Vinsen Atabala

39 tahun

Guide Lokal

Pantai Mausambi Desa Mausambi

081246243764

28. Nama

Umur

P8kerjaan

Alamat

:

:

:

:

Yakobus Ari

73 tahun

Tokoh Budaya Kabupaten Ende

Ende

29. Nama

Umur

Pekerjaan

Alamat

Hp

:

:

:

:

:

Raymond T. Lesmana

55 tahun

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa –

Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional,

Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata,

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif R.I.

Denpasar – Bali

0811124574

Page 185: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

164

Lampiran 7:

FOTO-FOTO SAIL INDONESIA DI KABUPATEN ENDE

Areal Titik Labuh Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende

Sumber: YCBAN, 2007 (Foto oleh Raymond T. Lesmana)

Areal Titik Labuh Pantai Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende

Sumber: YCBAN, 2007 (Foto by Raymond T. Lesmana)

Page 186: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

165

Dermaga Wisata di Pantai Nanganio

Sumber: Disbudpar, 2010.

Atraksi Tarian Wanda

Pa’u di Nanganio

Sumber: Disbudpar,

2010

Kuliner Lokal di Desa Nualise

Sumber: Disbudpar, 2009

Page 187: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

166

Lampiran 8:

FOTO-FOTO WAWANCARA PENELITIAN

Wawancara di Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru

Sumber: Penelitian, 2013

Informan Desa Waturaka Kec.

Kelimutu

Sumber: Penelitian, 2013

Wawancara di Desa Wolotopo Timur

Sumber: Penelitian, 2013.

Wawancara di Desa Otogedu Kecamatan Maurole

Sumber: Penelitian, 2013

Page 188: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

167

Wawancara di Nuabela Desa Watukamba

Sumber: Penelitian, 2013

Wawancara di Desa Maurole

Sumber: Penelitian, 2013

Wawancara di Detuara Desa Mausambi

Sumber: Penelitian, 2013

Wawancara di Desa Mausambi

Sumber: Penelitian, 2013

Page 189: pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan

168

Wawancara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende

Sumber: Penelitian, 2013

Wawancara Dengan Raymond T. Lesmana,

Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional,

Dirjen Pengembangan Destinasi,

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Sumber: Penelitian, 2013