Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGEMBANG ISLAM
DAN BUDAYA MODERAT
Suwito, Abdul Gani Abdullah, dkk
Penerbit YPM
2016
Judul
Pengembang Islam dan Budaya Moderat
Penulis
Suwito, dkk
xxii + 222 hlm.; ukuran buku 18,4 x 21 cm
ISBN 978-602-7775-55-8
Cetakan pertama, September 2016
© Hak Cipta milik para penulis, 2016
Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim.
Artikel yang ada di dalam buku ini boleh dikutif dengan
mencantumkan sumber secara lengkap.
Young Progressive Muslim
http://www.ypm-publishing.com
http://ypm-publishing.com/index.php/terbitan/29-pengembang-islam-
dan-budaya-moderat
iii
SAMBUTAN REKTOR
Pak Harun merupakan salah satu tokoh penting dalam
perkembangan UIN Syarif Hidayatllah, Jakarta. Betapa tidak, beliau
adalah guru besar yang sekaligus menjabat Rektor untuk waktu yang
sangat panjang sejak 1973 sampai 1984, dan banyak melakukan
reformasi akademik, tidak hanya kurikulum dan pembelajaran, tetapi
juga melakukan perubahan paradigma kajian keagamaan normatif
menjadi empirik, dan kajian tariqah ahlu al hadis menjadi tariqah
ahlu al-Ra’yi bahkan tariqah al jam’an (aliran konvergensi yang
mencoba memadukan antara dua aliran ahlu al-hadis dan ahlu al-
ra’yi), dengan pendekatan komprehensif mengkaji seluruh aliran dan
pemikiran, dianalisis dan disimpulkan. Dengan demikian, para
mahasiswa memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan
kritik terhadap berbagai pemikiran dan implementasi keagamaan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga mereka
terhantarkan untuk menjadi orang-orang terbuka dengan perbedaan,
dan mampu beradaptasi dalam keragaman, dengan tetap memiliki
satu keyakinan akan kebenaran yang dianut mereka.
Sosok Pak Harun sangat fenomenal, dan gerakan reformasi
akademiknya sangat dirasakan oleh para mahasiswanya, sehingga
kemudian, para penerus beliau menyebut kampus UIN Jakarta
sebagai kampus pembaharuan, yang semua mahasiswanya harus
berpandangan terbuka untuk melakukan pembaharuan, tidak saja
dalam pemikiran dan sikap keberagamaan, tapi juga dalam sikap
sosial dan professional mereka. Sikap reformis akhirnya menjadi
identitas untuk semua alumni UIN Syarif Hidayataaullah, Jakarta,
sehingga mereka bisa diterima dalam berbagai profesi, baik inline
dengan keahlian program studinya maupun tidak. Ciri keberagamaan
yang inklusif tersebut, telah mampu menghantarkan para alumni
untuk bisa diterima dalam berbagai kelompok sosial, etnik dan
agama yang berbeda, serta mampu beradaptasi dengan siapapun di
dunia. Disadari atau tidak, itu merupakan salah satu jasa besar dari
iv
Pak Harun yang mengubah paradigma kajian keilmuan keagamaan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Reformasi lain yang beliau lakukan selama menjadi Rektor
IAIN adalah melakukan pengiriman para alumni dan dosen muda
untuk kuliah jenjang Magister dan Doktor di berbagai universitas di
Amerika dan Eropa (khususnya di negara-negara yang memiliki
tradisi studi Islam dengan baik), suplementasi terhadap tradisi
pengiriman para mahasiswa ke berbagai universitas di Timur
Tengah. Beliau selalu mengatakan, bahwa kekuatan kajian di
berbagai universitas di negara-negara Barat adalah metodologi,
walaupun dalam aspek konten keilmuannya lemah dibanding dengan
program magister dan doktor di berbagai universitas di Timur
Tengah. Dan kini UIN memiliki banyak doktor studi Islam, dan
bahkan dalam bidang sosial serta humaniora, keluaran berbagai
perguruan tinggi ternama di negara-negara Barat. Interaksi mereka
dengan para magister dan doktor dari Timur tengah, dan berbagai
universitas dalam negeri, telah mengangkat citra kampus UIN
sebagai kampus yang memiliki dinamika akademis tinggi, apalagi
dengan publikasinya yang telah mengejutkan masyarakat akademis,
khususnya di Indonesia.
Secara personal, beliau sangat yakin bahwa teologi rasional
akan bisa membawa perubahan sosial masyarakat Indonesia, karena
perubahan itu akan terjadi jika manusianya memiliki keinginan untuk
berubah, dan melakukan usaha untuk memenuhi keinginannya itu.
Beliau sangat yakin, bahwa Tuhan tidak akan mengubah masyarakat
hanya dengan pendekatan do’a. Oleh sebab itu, umat Islam
Indonesia, harus meyakini, bahwa perubahan menuju masyarakat
ideal, harus diupayakan dengan langkah-langkah sistematik dan
terukur, sehingga bisa divaluasi pencapaiannya. Inilah keyakinan
beliau yang selalu ditekankan pada para mahasiswanya, kendati
beliau sangat hormat pada para ulama salaf, abad pertengahan, dan
bahkan para cendikiawan modern. Bahkan beliaupun sendiri
termasuk cendikiawan muslim dengan komitmen ubudiah yang
v
sangat baik. Dengan demikian, para mahasiswa yang berjumpa
langsung, memiliki kesan positif tentang guru besar ini, dan jauh dari
kesan sekuler serta mengabaikan ritual keagamaan.
Pada tahun 1982, beliau memulai mendirikan Program
Pascasarjana, sebagai kelanjutan dari program pendidikan Purna
Sarjana yang menjadi kebanggaan PTAIN pada dekade 1970-an.
Program Pascasarjana berjenjang pendidikan Magister dan Doktor
tersebut menerima para dosen yang sudah diangkat IAIN dengan
bekal pendidikan sarjana, para dosen Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum, serta dosen-dosen Perguruan Tinggi
Agama Islam Swasta (PTAIS). Memang kesempatan pendidikan luar
negeri sudah terbuka, dan akses kesempatan terbuka bagi banyak
orang. Tapi tidak semua dosen berkesempatan baik, karena informasi
yang masih susah terakses, basis kemampuan Bahasa (Arab dan
Inggris) yang belum merata dan sistem serta mekanismenya masih
agak rumit, sehingga pada dekade 1980-an, arus pendidikan luar
negeri masih sangat terbatas. Dengan demikian, para dosen
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memilih untuk mengambil
pendidikan magister dan doktor di dalam negeri yang pada tahap
awal hanya diselenggarakan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Keduanya kini sudah
bertransformasi menjadi UIN sejak tahun 2002 dan 2004, bahkan
sudah diikuti oleh sembilan IAIN lainnya). Kedua Program
Pascasarjana (PPs) tersebut sangat dipengaruhi oleh cara berfikir
beliau, dan bahkan beliau sendiri mengajar di dua institusi tersebut.
Dengan demikian, sampai dekade awal abad ke-21 ini, hampir
seluruh UIN dan IAIN, dan bahkan STAIN, sangat dipengaruhi oleh
paradigma berfikir keagamaan yang dibangun oleh beliau.
Inilah sosok guru besar yang telah meninggalkan jejak sejarah
reformasi paradigm akademik Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI), dengan mengusung pemikiran Islam rasional, baik dalam
teologi, hukum Islam, filsafat maupun tasawuf, gerakan modernisasi
dalam pengelolaan lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga
vi
pendidikan keagamaan Islam, dan bahkan beliau bersama para tokoh
generasi awal menyuarakan serta memperjuangkan kajian keilmuan
non dikotomis, dengan usulan pengembangan institusi PTAI menjadi
sebuah perguruan tinggi yang memiliki kewenangan mengelola ilmu-
ilmu non keagamaan. Dengan demikian, gerakan transformasi IAIN
menjadi UIN merupakan kelanjutan dari wacana keilmuan yang
sudah beliau suarakan sejak awal, ketika akan memastikan domain
kewenangan keilmuan yang akan dikelola oleh IAIN, agar
diapresiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri sangat berbangga
memiliki sosok tokoh besar Pak Harun. Maka wajar kalau auditorium
terbesar tempat seminar, international conference, pengukuhan guru
besar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, dan venue di
mana para ilmuwan dalam dan luar negeri memaparkan hasil-hasil
penelitiannya, dinamai Auditorium Harun Nasution. Sekedar untuk
mengenang kebesaran peran sejarah beliau untuk kemajuan
akademik dan keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kami
sendiri menyadari bahwa Pak Harun bukan hanya milik UIN Jakarta,
tapi miliki semua PTAI N/S dengan karya-karyanya yang sampai
sekarang masih tetap setia untuk digunakan sebagai buku teks
keagamaan. Tetapi para murid beliau memang lebih banyak berada
di UIN Jakarta, dan wajar pulalah, jika kini UIN sedang memperkuat
eksposing Islam moderat, inklusif dan toleran, mengenang kembali
kehadiran sosok Pak Harun dengan berbagai peran intelektualisme
dan gerakan kulturalnya.
Atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kami
menyambut baik terbitnya buku “Pengembang Islam dan Budaya
Moderat”, yang merupakan kelanjutan dari sebuah seminar di UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengapresiasi penganugerahan bintang
kelas budaya Parama Dharma, terhadap Pak Harun, dan mengenang
wafatnya guru kita semua hampir dua dekade yang lalu. Buku ini
merupakan bunga rampai tulisan para murid Pak Harun, yang kini
vii
masih berada dan eksis baik dalam tugas mengajar, melakukan
penelitian dan bahkan publikasi karya-karya akademik mereka,
dengan menyampaikan perasaan, serta kesan-kesan manis bersama
Pak Harun, baik di dalam kelas, di rumah, maupun dalam even-even
lain yang telah menghantarkan kita dan mereka semua menjadi
intelektual produktif dan diapresiasi positif oleh masyarakat.
Kepada para penggagas, para penulis dan editor, dan seluruh
yang terlibat dalam penerbitan buku ini, kami sampaikan ucapan
terima kasih, mudah-mudahan menjadi legacy dan sumber informasi
berharga bagi para akademisi generasi ketiga dari Pak Harun, yang
sampai sekarang masih secara konsisten memahami, serta
menggunakan paradigma akademik Islam rasional dan gerakan
modernisme, dalam mengusung Islam moderat yang menghargai
keragaman aliran dan pandangan keagamaan. Inilah hasil nyata
sebuah pendekatan kajian Islam empirik yang dilakukan Pak Harun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 26 September 2016.
Rektor,
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
viii
ix
HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM
DAN BUDAYA MODERAT
Pengantar Penerbitan
Bagi orang yang tidak pernah menjadi murid atau mendengar
pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (selanjutnya ditulis Pak Harun),
atau kurang mantap membaca komentar para penulis tentang dia
maka sebaiknya membaca langsung karya-karyanya. Karya-karya
Pak Harun enak dibaca dan perlu, meminjam istilah Tempo. Enak
dibaca karena buku karya Pak Harun menggunakan bahasa Indonesia
yang fasih dan simpel sehingga pada setiap buku, jumlah
halamannya tidak banyak dan tidak tebal. Perlu, karena isi bukunya
mengenai nilai-nilai dasar Islam. Selain ada dalil-dalil al-Quran dan
Hadis, karya Pak Harun banyak menyajikan tentang Islam yang
terjadi, baik yang ada dalam pemikiran para tokoh maupun yang
terjadi dalam sejarah.
Buku karya Pak Harun antara lain sebagai berikut:
1. Falsafat Agama. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh
penerbit Bulan Bintang. Buku ini terdiri atas 5 Bagian. Bagian 1
tentang Falsafat Agama, Epistemologi, dan Wahyu. Bagian 2
tentang Ketuhanan. Bagian 3 Argumen-argumen Adanya Tuhan.
Bagian 4 tentang Roh. Bagian 5 tentang Soal Kejahatan dan
Kemutlakan Tuhan.
2. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku ini terdiri atas 2
jilid. Jilid I mulai terbit tahun 1974 yang terdiri atas 6 Bab. Bab 1
tentang Agama dan Pengertian dalam Berbagai Bentuknya. Bab
2 tentang Islam dalam Pengertian yang Sebenarnya. Bab 3
tentang Aspek Ibadat, Latihan Spiritual dan Ajaran Moral. Bab 4
tentang Aspek Sejarah dan Kebudayaan yang terdiri atas Periode
Klasik (650-1250), Periode Pertengahan (1250-1800), dan
Periode Modern (1800). Bab 5 Aspek Politik, dan Bab 6 tentang
Lembaga-lembaga Kemasyarakatan.
x
Buku jilid II terbit pertama kali tahun 1974 oleh Penerbit Bulan
Bintang Jakarta, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku Jilid II ini
terdiri atas 5 Bab disertai dengan Penutup. Buku yang dimulai
dari Bab VII ini berisi Aspek Hukum, Bab VIII Aspek Teologi,
Bab IX Aspek Filsafat, Bab X Aspek Misticisme, Bab XI Aspek
Pembaharuan Dalam Islam, Penutup, dan disertasi Daftar Nama-
nama Istilah, sebanyak 120 halaman.
Pak Harun dalam kata penutup pada buku Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya ini memberikan catatan bahwa ruang lingkup
Islam tidaklah sempit malahan luas sekali. Ia antara lain
menyebutkan bahwa kalau disebut Islam maka yang dimaksud
bukan hanya ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak. Islam
lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban,
falsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan
politik.
Selanjutnya, Pak Harun juga menyatakan bahwa penafsiran-
penafsiran yang ada dalam Islam lahir sesuai dengan suasana
masyarakat yang ada di tempat dan zaman itu muncul. Zaman
terus menerus membawa perobahan pada suasana masyarakat.
Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai
pemikiran di zaman tertentu, belum tentu sesuai untuk zaman
lain.
3. Akal dan Wahyu dalam Islam. Buku ini pertama kali diterbitkan
tahun 1982. Buku ini terdiri atas 6 Bab dan Penutup. Bab I Akal,
Bab II Wahyu, Bab III Al-Quran dan Kandungannya, Bab IV
Kedudukan Akal dalam Al-Quran dan Hadis, Bab V
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam atas Pengaruh
Ajaran Pemakaian Akal, Bab VI Akal dan Wahyu dalam
Pemikiran Keagamaan dalam Islam, dan Penutup. Buku ini terbit
pertama kali tahun 1982 oleh Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press). Total halaman buku ini adalah 109 termasuk Daftar
Pustaka.
xi
Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini sebagai
berikut. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi
dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Quran
sendiri. Pak Harun pada akhir buku ini menyatakan bahwa
pemakaian akal diperintahkan al-Quran seperti yang terdapat
dalam ayat-ayat kawniah mendorong manusia untuk meneliti
alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dengan
pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat
manusia menjadi khalifah di bumi.
4. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Buku ini terbit pertama kali tahun 1975 oleh Penerbit Bulan
Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini terdiri atas
Pengantar yang terbagi lagi ke dalam: Pengertian Pembaharuan,
Maju Mundurnya Umat Islam dalam Sejarah, Pemikiran dan
Usaha Pembaharuan Sebelum Periode Modern, Kerajaan
Usmani, India, dan Arabia. Bagian Pertama: Mesir. Terdiri atas
pembahasan Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir,
Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Murid dan Pengikut
Muhammad Abduh: Muhammad Farid Wajdi, syaikh Tantawi
Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul, Ahmad Luthfi al-Sayyid,
Ali Abd Raziq, dan Taha Husain. Bagian Kedua: Turki. Terdiri
atas pembahasan Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda,
Turki Muda, Tiga Aliran Pembaharuan: Barat, Islam, dan
Nasionalis, serta Mustafa Kemal. Bagian Ketiga: India-Pakistan.
Terdiri atas pembahasan Gerakan Mujahidin: Syah Abdul Aziz,
Sayyid Ahmad Syahid, Darul Ulum Deoband, Sayyid Ahmad
Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, dan
Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India, serta
xii
Penutup, Daftar Pustaka, dan Indeks. Total halaman buku ini
213.
Pak Harun memberikan catatan akhir dalam buku ini antara lain
dengan menyatakan bahwa para tokoh muslim baru sadar akan
kelemahan dan kemunduran umat Islam timbul setelah adanya
kontak dengan Barat di abad 18 dan 19. Adanya kontak tersebut
membuat para pemimpin mengadakan perbandingan antara dunia
Islam yang sedang menurun dan dunia Barat yang sedang
menaik. Kesadaran bertambah besar lagi setelah beberapa
Negara Islam dapat ditundukkan Barat.
Pak Harun juga menyatakan bahwa orientasi keakhiratan umat
Islam harus diimbangi dengan orientasi keduniaan sehingga umat
Islam juga mementingkan hidup kemasyarakatan dan berusaha
mencapai kemajuan dalam bidang kehidupan duniawi sebagai
halnya dengan umat-umat lain. Pendidikan tradisional harus
diubah dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu
pengatahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. Akhirnya,
Pak Harun menyatakan bahwa Islam tidak menghalangi
pembaharuan yang tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang
dibawa wahyu.
5. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam: Falsafat Islam, Mistisisme
Islam, dan Tasawuf. Buku ini pertama kali terbit tahun 1973 oleh
Penerbit Bulan Bintang, Kramat Kwitang I/8 Jakarta. Buku ini
terdiri atas 2 Bagian, yaitu Bagian Pertama Falsafat Islam dan
Bagian Kedua Mistisisme Islam – Tasawuf. Bagian Pertama
terdiri atas: Kontak Pertama antara Islam dan Ilmu Pengetahuan,
serta Falsafat Yunani, Ya’kub ibnu Ishaq al-Kindi: Falsafat
Ketuhanan dan Falsafat Jiwa, Abu Bakar Muhammad ibnu
Zakaria al-Razi: Falsafat Lima Kekal, Roh dan Materi, dan Rasio
dan Agama, Abu Nasr Muhammad al-Farabi: Falsafat
Emanasi/Pancaran, Falsafat Kenabian, Teori Politi, Abu Ali
Husein ibn Abdillah ibnu Sina: Falsafat jiwa, Falsafat Wahyu
dan Nabi, Falsafat Wujud, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali:
xiii
Krtitik terhadap Filosof-filosof, Tiga Golongan Manusia, Abu al-
Walid Muhammad ibnu Muhammad ibn Rusyd: Falsafat Tidak
Bertentangan dengan Islam, dan Pembelaan terhadap Filosof-
filosof. Bagian Kedua Mistisisme dalam Islam – Tasawuf.
Terdiri atas: Asal Usul Tasawuf: Hakikat Tasawuf, Asal Kata
Sufi, Asal Usul Aliran Sufisme, Jalan untuk Dekat kepada
Tuhan, Al-Azuhd dan Stasiun-stasiun lain, Al-Mahabbah, Al-
Ma’rifah, Al-Fana’ dan Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul, dan
Wahdatul Wujud, dilengkapi dengan Bibliografi dan indeks.
Jumlah halaman buku ini adalah 85.
6. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, dan
Perbandingan. Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1972 dan
Cetakan II nya diterbitkan oleh Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press). Buku ini diberi Kata Sambutan oleh Dr. Mulyanto
Sumardi, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama
tanggal 30 November 1972. Buku ini diberikan Kata Pengantar
oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Guru Besar Hukum dan Institusi
Islam UI dan Ketua Islam Studi Club Indonesia tanggal 27
Oktober 1972.
Buku ini terdiri atas 2 bagian. Bagian Pertama berisi kajian
tentang Aliran-aliran dan Sejarah yang terdiri atas 6 Bab. Bab I
Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam,
Bab II Kaum Khawarij, Bab III Kaum Murjiah, Bab IV Qadariah
dan jabariah, Bab V Kaum Mu’tazilah, dan Bab VI Ahli Sunna
dan Jamaah.Bagian Kedua analisa dan Perbandingan, terdiri atas
Bab VII sampai dengan Bab XV. Bab VII Akal dan Wahyu, Bab
VIII Fungsi Wahyu, Bab IX Free Will dan Predestination, Bab X
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan, Bab XI Keadilan
Tuhan, Bab XII Perbuatan-perbuatan Tuhan, Bab XIII Sifat-sifat
Tuhan, Bab XIV Konsep Iman, dan Bab XV Kesimpulan.
Pak Harun dalam buku ini memberikan catatan bahwa semua
aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariy, Maturidiah, apalagi
Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam
xiv
menyelesaikan persoalam-persoalan teologi yang timbul dalam
umat Islam. Semua aliran teologi tersebut berpegang kepada
wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-
aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks-
teks ayat-ayat al-Quran dan Hadis. Pada hakekatnya, semua
aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam tetapi tetap dalam
Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah
satu dari aliran-aliran teologi tersebut.
7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Buku ini
terbit pertama kali tahun 2006 oleh Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press). Buku ini merupakan tesis Ph.D yang
diselesaikan pada bulan Maret 1968 di Universitas Mc.Gill,
Montreal Canada. Tesis ini judul aslinya adalah The Place of
Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological
System and Views (Kedudukan Akal dan Teologi Muhammad
Abduh, Pengaruhnya pada Sistem Pendapat-pendapat
Teologinya). Buku ini diterbitkan 14 tahun sejak dihasilkan.
Tentang alasan mengapa hal ini terjadi dapat dibaca langsung
pada Pengantar buku ini.
Pak Harun memberikan catatan hasil penelitiannya ini dengan
menyatakan bahwa pemikiran Muhammad Abduh sangat
berpengaruh di Mesir sehingga menimbulkan para tokoh seperti
Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Rasyid Rida, dan
lainnya tetapi di Indonesia kurang berpengaruh. Pengaruhnya di
Indonesia tidak menimbulkan para pemikir ulung dalam bidang
agama Islam sebagaimana halnya di Mesir.
Itulah sedikit kutipan isi buku Pak Harun. Tentu masih banyak
hal yang tidak tercantum dalam tulisan ini. Pemahaman dan
pemikiran Pak Harun yang tertuang dalam buku-buku tersebut
memberikan pemahaman Islam dan budaya yang moderat. Pak
Harun menginformasikan Islam secara historis baik menurut
pemahaman para tokoh masa lalu atau kejadian masa lalu dalam
xv
sejarah. Pemilihan paham atau pendapat mana yang diikuti
dipersilakan kepada para pembaca masing-masing dengan
menggunakan daya pikir dan perasaannya. Menurutnya, selagi tidak
bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis yang dipercaya
maka semuanya termasuk dalam kategori muslim. Pak Harun tidak
suka menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengan
pemikirannya. Dalam beberapa kesempatan jika ada orang yang suka
mengkafirkan orang lain maka ia selalu mengingatkan bahwa bisa
jadi ia sendiri kafir. Intinya, dia tidak suka mengkafirkan orang lain
yang tidak sesuai dengan pendapatnya.
Selanjutnya, dalam buku ini berisi komentar dari para murid
langsung dan tidak langsung dari Pak Harun. Gagasan awal
penulisan buku ini adalah adanya seminar yang diberi judul Refleksi
Pemikiran dan Kontribusi Harun Nasution di Indonesia yang
diselenggrakan di Ruang Diorama, pada hari Jumat 21 Agustus
2015). Sebelum itu Suwito mengusulkan kepada Prof. Dr. H. Abdul
Gani Abdullah untuk mengadakan kegiatan seminar dan sekaligus
mensponsori biayanya. Usulan ini ia terima yang kemudian disetujui
juga oleh Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk
menyelenggarakan seminar yang bertempat di Diorama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada waktu itu, yang menjadi narasumber
adalah Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, S.H, Prof. Dr. Ahmad
Thib Raya MA, Prof. Dr. Yusron Razak, M.A, (moderator), Prof. Dr.
M. Ridwan Lubis, M.A., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.,
Dr. Arief Subhan, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., dan Dr. Fachry Ali.
Seminar tersebut digelar menyusul pemberian Bintang Mahaputera
Utama dari Presiden RI Ir H. Joko Widodo kepada Almarhum Prof
Harun sebagai tokoh Pengembang Budaya Moderat berdasarkan
Surat Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2015. Ketika itu
para peserta yang notabene mayoritas para mahasiswa Prof. Dr.
Harun Nasution sepakat untuk menerbitkan buku tentang Pak Harun,
dan akhirnya terbitlah buku ini. Penerbitan buku ini kebetulan tepat
18 tahun wafat Pak Harun (18 September 1998 sampai dengan 18
xvi
September 2016). Oleh sebab itu, disampaikan ucapan banyak terima
kasih kepada kawan-kawan yang sempat memberikan komentarnya
dalam buku ini. Mereka adalah:
1. Salman Harun (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta),
2. Jamali Sahrodi (Guru Besar dan Direktur Program
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon),
3. Nyimas Anisah Muhammad (Dosen dan pernah menjadi
Direktur Program Pascasarjana UIN Raden Fatah
Palembang),
4. Fauzul Iman (Guru Besar dan Rektor IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten),
5. Rusjdi Ali Muhammad (Guru Besar dan pernah menjadi
Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta Direktur Program
Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh),
6. Amsal Bakhtiar (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI),
7. Iskandar Usman (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Adminsitrasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh),
8. Nabilah Lubis (Guru Besar dan pernah menjadi Dekan
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta),
9. Yunasril Ali (Guru Besar dan Ketua Senat Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah
menjadi Ketua STAIN Kerinci),
10. Jalaluddin (Guru Besar dan pernah menjadi Rektor IAIN
Raden Fatah Palembang),
11. Yusuf Rahman (Dosen dan pernah menjadi Wakil Direktur
Bidang Administrasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta),
xvii
12. Achmad Syahid (Dosen dan pernah menjadi Ketua Lembaga
Penjaminan Mutu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
13. M. Ridwan Lubis (Guru Besar dan Dosen Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pernah
menjadi Kapuslitbang Kehidupan Beragama Balitbang
Departemen Agama RI),
14. M. Qasim Mathar (Guru Besar dan pernah menjadi pimpinan
Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar),
15. Abdul Khamid (Pernah menjadi staf di Direktorat
Pendidikan Tinggi Agama Kementerian Agama RI dan
dosen dpk. STAI al-Hamidiyah Depok),
16. Abuddin Nata (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu
Rektor Bidang Administrasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,
17. Suwito (Guru Besar dan pernah menjadi Pembantu Rektor
Bidang Akademik dan Pengembangan Kelembagaan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), dan
18. Abdul Gani Abdullah (Guru Besar/Dosen pada Fakultas
Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
pernah menjadi Hakim Agung Mahkamah Agung RI).
Semoga upaya ini bermanfaat bagi para pembaca. Dengan
terbitnya buku ini, secara khusus, ucapan terima kasih diberikan
kepada Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, murid Prof. Harun
Nasution dan pensiunan Hakim Agung RI yang telah mensponsori
biaya penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan berkah
yang berlimpah atas kebaikannya. Amin.
Jakarta, 18 September 2016
Wassalam,
Suwito
xviii
xix
DAFTAR ISI
SAMBUTAN REKTOR ............................................................... iii
HARUN NASUTION: PENGEMBANG ISLAM
DAN BUDAYA MODERAT, Pengantar Penerbitan ............... ix
DAFTAR ISI ............................................................................... xix
BAGIAN I
BAPAK DAN GURU SEJATI
HARUN NASUTION GURU SEJATI
Salman Harun ............................................................................... 3
PROF. DR. HARUN NASUTION: SOSOK PENDIDIK DAN
BAPAK
Jalaluddin ...................................................................................... 7
PROF.DR. HARUN NASUTION: SOSOK DISIPLIN DAN
TANGGUNG JAWAB DIA GURUKU, PROMOTORKU,
BAPAKKU DAN TEMPAT CURHATKU
Nyimas Anisah Muhammad ......................................................... 17
PROF. HARUN NASUTION, INTELEKTUAL-MUMTAZ
YANG KONSISTEN
Fauzul Iman. ................................................................................. 41
PROF. DR. HARUN NASUTION DALAM KENANGAN
Rusjdi Ali Muhammad ................................................................. 47
HARUN NASUTION SANG GURU YANG ISTIQAMAH
Iskandar Usman ............................................................................ 57
xx
PROF. DR. HARUN NASUTION SEBAGAI AYAHDAN
GURU
Nabilah Lubis ............................................................................... 67
BAGIAN II
PEMIKIR RASIONAL ISLAM
HARUN NASUTION: TEGUH DENGAN RASIONALITAS
DAMAI DALAM SPIRITUALITAS
Yunasril Ali .................................................................................. 77
KESAN SEORANG MURID PROF. DR. HARUN NASUTION:
ANTARA KEDISIPLINAN DAN KEDERMAWANAN
TERPADU
Jamali Sahrodi .............................................................................. 87
HARUN NASUTION, MUHAMMAD ABDUH
DAN PEMIKIRAN RASIONAL MU’TAZILAH
Yusuf Rahman .............................................................................. 99
HARUN NASUTION: DARI RISALAH DINIYAH MENUJU
RISALAH ILMIAH
Achmad Syahid ............................................................................ 125
PAK HARUN, GURU DAN PEMBIMBINGKU
Amsal Bakhtiar ............................................................................ 145
BAGIAN III
PENDIRI PASCASARJANA STUDI ISLAM
REFLEKSI PEMIKIRAN DAN KONTRIBUSI PROF. DR.
HARUN NASUTION DI INDONESIA
M Ridwan Lubis ........................................................................... 155
xxi
PAK HARUN DAN GERAKAN PASCASARJANA
M. Qasim Mathar .......................................................................... 171
KIPRAH GURU BESAR PEMIKIRAN ISLAM PROF. DR.
HARUN NASUTION DALAM MENGEMBANGKAN
PROGRAM PASCA SARJANA DAN PENINGKATAN
KUALITAS PTAI DI INDONESIA
Abdul Khamid .............................................................................. 175
PEMIKIRAN PENDIDIKAN HARUN NASUTION
Abuddin Nata................................................................................ 187
BINTANG MAHAPUTRA UTAMA BUAT PROF. DR. HARUN
NASUTION
Suwito ........................................................................................... 209
REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP HUKUM
Abdul Gani Abdullah ................................................................... 215
INDEKS ....................................................................................... 217
xxii
124
125
DARI RISALAH DINIYAH MENUJU RISALAH ILMIAH
Achmad Syahid1
Pendahuluan
Masih terbayang jalannya perkuliahan dengan Prof. Harun
Nasution pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
(kini UIN Surabaya) pada tahun 1997-1998. Kuliah itu tidak seperti
pada umumnya, ada mahasiswa presentasi dan lalu dilanjutkan dengan
diskusi. Kuliah itu lebih banyak diisi dengan tanya jawab, antara kami
mahasiswa Pascasarjana dengan Prof. Harun Nasution, dosen
pemikiran Islam sekaligus Direktur Pascasarjana IAIN Jakarta yang
merangkap sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Surabaya.
Posisi terakhir dirangkap Prof. Harun demi dan atas nama penjaminan
mutu, dengan maksud agar mutu perkuliahan pada Program
Pascasarjana IAIN Surabaya dapat dijamin dan tidak berada di bawah
mutu Program Pascasarjana IAIN Jakarta atau pada PT di belahan
bumi manapun di dunia.
Dialog di seputar masalah pemikiran Islam yang di dalamnya
termasuk teologi, filsafat, tasawuf, tafsir, dan pranata Islam. Dialog
yang terjadi di seputar kegelisahan kami, tentang tercerai berainya
umat Islam ke dalam berbagai varian aliran keislaman (firqah). Firqah
dalam Islam, dalam taraf tertentu, tidak lagi berupa perbedaan
pendapat (al-ikhtilaf) yang membawa rahmat, tetapi di banyak kasus
justru telah berupa perpecahan yang cenderung membawa bencana
kemanusiaan.
Itu adalah pengalaman pertama mengikuti kuliah Prof. Harun,
dan tidak lagi memiliki kesempatan bertemu kembali ketika pada
September 1999 saya menempuh program doktor pada Sekolah
Pascasarjana IAIN Jakarta di Ciputat. Prof. Harun wafat pada 18
1Murid Prof. Dr. Harun Nasution, dosen UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
126
September 1998, setahun sebelum saya ke Jakarta. Kuliah di Ciputat
ini merupakan amanah Prof. Thoha Hamim dan Prof. Achmad Zaenuri
untuk terus menempuh studi: “IAIN Surabaya ini hanya jembatan saja
buatmu, terus melangkah, lewati jembatan, dan jangan berhenti di
jembatan ini”. Prof. Toha dan Prof. Zaenuri adalah Wakil Direktur
Bidang Akademik dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan
Program Pascasarjana, di mana Prof. Harun menjadi Direkturnya.
Sementara Prof. M Roem Rowi menjabat Wakil Direktur Bidang
Administrasi Umum.
Diskusi di Ciputat menawarkan suasana akademik dan
kompetitif yang baik, membuat semua energi keilmuan dapat dipacu
hingga batas maksimal. Suasana di kampus ini tidak saya temui
sebelumnya. Bertemu dengan kawan-kawan latar belakang etnis,
daerah, latar belakang institusi pendidikan, jenis kelamin membuat
siapa saja yang datang ke Ciputat akan memiliki kematangan jati diri
intelektual mereka. Ragam paham pemikiran dan paham keagamaan
bertemu. Paham yang tadinya dianggap tidak terbantahkan, kini
menjadi terasa nisbi. Perbedaan praktek keagamaan sama-sama
mendapat tempat, tidak saling menegasikan. Begitu rileksnya,
perbedaan shalat tarawih misalnya, menjadi bahan canda. Menemukan
suasana keagamaan dan praktek keagamaan yang tidak menegangkan
kali pertama saya lihat justru dari Abdurrahman Wahid ketika
berkunjung ke Jember dan berceramah di hadapan kyai dan umat pada
1994.
Pada periode saya studi di Ciputat tentu saja tidak bertemu lagi
dengan Prof. Harun, namun bertemu jejak Prof. Harun pada para
murid-muridnya. Mereka adalah Prof. Abdul Aziz Dahlan, Prof. M
Yunan Yusuf, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Abdul Gani Abdullah,
Prof. Atho Mudzhar, Prof. Azyumardi Azra, Prof. A Thib Raya, Prof.
Zainun Kamaluddin Fakih, Prof. Suwito, Prof. M Ridwan Lubis, dll.
Pada fase ini intensitas saya juga bertemu dengan intelektual ternama,
Prof. Komaruddin Hidayat dan Prof. Azyumardi Azra melebihi dari
intensitas saya bertemu yang lain, dan tentu saja bertemu dengan
127
akademisi yang tak pernah lelah selama hidupnya, Prof. Suwito. Yang
istimewa dari kuliah di Ciputat adalah, seakan menjadi wajib bagi
kami mahasiswa Pascasarjana untuk mengikuti pengajian dua
mingguan Klub Kajian Agama (KKA) di bilangan Pindok Indah atau
di Hotel Kuningan, yang diasuh oleh Prof. Nurcholish Madjid. Di
dalam pengajian itu di samping mengundang para pakar-akademisi
atau intelektual, juga menampilkan murid-murid terbaik Prof. Harun,
seperti Prof. R. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Rif’at Syauqi Nawawi,
Prof Kautsar Azhari Noer, dll. Hemat saya, pada saat itulah
pembelajaran tentang Islam dari berbagai aspeknya, dan diletakkan
dalam konteks keindonesiaan dan kebangsaan yang dinamis dan
hidup.Pada forum tersebut kajian Islam dalam bentuknya pada tingkat
lanjut ditampilkan dan hasil-hasil riset keislaman dikontestasikan
dalam sebuah diskusi yang bermutu dan bergizi tinggi. Bagi kami
yang sedang menempuh studi pada jenjang Program Doktor di UIN
Jakarta, diskusi KKA ini sebagai penyempurna. Kawan-kawan
pemburu diskusi KKA, masih ingat benar, adalah Dr. Mastuki HS
(Kemenag Pusat), Dr. Rumadi (UIN Jakarta; KPI), Dr. Syamsul Hadi
(UIN Malang), Dr. Samsun Ni’am (IAIN Ponorogo), Prof. Mitfah
Arifin (IAIN Jember), Dr. Syahrul A’dzam (UIN Jakarta), Dr. Halid
al-Kaf (UIN Jakarta), dll. Masih segar dalam ingatan, antara tahun
1999-2005, kami dari Semanggi II Ciputat, naik bus kota rame-rame
baik ke kompleks Pertokoan Pondok Indah maupun ke Hotel Grand
Melia di kawasan Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat.
Pertemuan intelektual dengan Prof. Harun di Surabaya,
kemudian Kajian Cak Nur di Jakarta, peran Prof. Azyumardi, Prof.
Komaruddin Hidayat, kawan-kawan di PPIM dan suasana Ciputat
secara umum memperbesar minat perhatian saya yang semula hanya
menekuni bidang pendidikan agama, kemudian bertambah dengan
pemikiran – kalam, tasawuf, filsafat Islam, dan kemudian sejarah.
Sejak saat itu dan hari-hari kemudian perhatian saya tidak lagi fokus
pada pendidikan, bidang yang saya tekuni sejak menempuh
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Situbondo dan sarjana pada
128
IAIN Jember, tetapi masuk pada wilayah pemikiran Islam.Horizon
semakin warna-warni, cakrawala semakin meluas, dan perspektif
semakin bertambah.
Berhadapan dengan Prof Harun, Islam dikaji sebagai disiplin
ilmu. Sebagai orang yang berangkat dari kampung di Banyuwangi,
kemudian ke Situbondo dan lalu ke Jember, berada di Ciputat memang
mengasikkan. Apalagi pada saat itu suasana kampus ini seakan berada
dalam masa transisi yang hendak melakukan transformasi dirinya dari
IAIN menjadi UIN Jakarta. Dalam transisi seperti ini melihat Islam
dibaca sebagai disiplin ilmu seakan mengubah cara saya melihat
agama Islam. Transformasi IAIN menjadi UIN Jakarta adalah
perluasan (enlarging) dan pendalaman (deepening) bagaimana ilmu-
ilmu keagamaan dikaji secara ilmiah, dan sekaligus penyandingan
(benchmarking) studi ilmu-ilmu keagamaan dengan cara studi non
ilmu keagamaan. Berada dalam suasana keilmuan yang meluas
mengikuti transformasi kelembagaan yang berubah, membuat kami
dan civitas akademika UIN Jakarta menjadi terbiasa diskusi tentang
sebuah kasus dan melakukan kajian tentangnya dalam lintas disiplin
ilmu. Jika Hidayat (2016: ix) menulis “salah satu ciri dan tuntutan ilmu
agama yaitu menelusuri dan menghubungkan ke masa lalu agar mata
rantai ajaran agama yang diterima tidak terputus dan terjaga
autentisitasnya dari sumber aslinya yang berada di masa lalu”, maka -
dengan dibukanya ilmu-ilmu non agama seperti humaniora, sosial,
sains, terapan, dan formal di UIN Jakarta – pendapat dan pandangan
yang merupakan hasil kajian ilmu keagamaan tidak diterima begitu
saja sebelum dikontestasikan dengan pendapat dan atau pandangan
lain sebagai ciri berfikir ilmiah.
Meski karakter studi ilmu keagamaan berbeda dengan cara
berfikir sains, namun karakter studi keislaman di UIN Jakarta tidak
lagi monoton. Studi agama tidak lagi melulu bersifat normatif,
deduktif, konservatif, namun telah diadopsi pula pendekatan sains
yang bersifat induktif, empiris, dan bahkan eksperimentatif. Hidayat
(2016: ix) masih dipertahankan studi agama dengan pendekatan
129
konservatif di UIN Jakarta, dalam makna “menjaga tradisi yang ada
jangan sampai berubah, terutama yang berkaitan dengan praktik ritual
dan narasi serta dalil-dalil keagamaan”, bersanding dengan doktrin
falsifikasi dalam sains. Doktrin falsifikasi dalam sains oleh Popper
(1934) begitu populer. Dalam kajian sains ilmiah sudah lazim sebuah
penelitian yang menguji pendapat, pengertian, teori, hukum,dll., tidak
bisa dilakukan secara berulang. Untuk menghindari masalah
konseptual dan filosofis, satu pengertian, teori dan dimensi yang
digunakan sebagai instrumen pengukuran dalam penelitian untuk
menguji adanya pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung,
tentu ada yang terbukti dan tidak terbukti. Teori yang terbukti melalui
sebuah penelitian, berarti teruji kebenarannya. Demikian juga dimensi
dan item dalam dimensi pada teori tersebut. Teori yang gugur karena
tidak terbukti melalui sebuah penelitian, berarti teori tersebut terbukti
tidak memiliki dukungan dalam bentuk data. Gugur berarti terbukti
salah, tidak lagi handal (reliable) dan sahih (valid) untuk dijadikan
landasan teoritik, berikut dimensi dan item-item dalam dimensi
tersebut.
Di hadapan konsep falsifiabilitas Popper, penggunaan instrumen
yang sama secara berulang itu bermasalah secara folosofis dan
konseptual. Doktrin dasar Popper (1934) adalah “dalam setiap teori,
harus mengidap di dalam dirinya terbuka untuk dapat difalsifikasi,
untuk disalahkan.” Jika teori terbukti salah, dalam hal ini tidak terbukti
dalam sebuah penelitian ilmiah, maka teori tersebut gugur. Jika hanya
salah satu butir dalam dimensi atau salah satu dimensi dalam
instrumen teori yang gugur, maka—menurut Popper—butir dan
dimensi tersebut tidak lagi sahih dan kredibel untuk dipergunakan
dalam penelitian selanjutnya. Jika keseluruhan dimensi teori tersebut
tidak terbukti, maka gugur teori tersebut. Memang ada falsifikasi ad
hoc yang berbeda dengan falsifikasi absolut, yang berpendapat bahwa
jika hanya butir atau dimensi tidak terbukti dalam penelitian, maka
hanya butir dan dimensi itu saja yang harus direvisi, sehingga teorinya
tetap bertahan. Falsifikasi sophistikit berpendapat sebaliknya, butir
130
instrumen dalam dimensi, apalagi dimensi dalam teori, adalah
mewakili keseluruhan konstruksi teori tersebut. Jika satu butir, sekali-
lagi, atau dimensi teori gugur, terfalsifikasi keseluruhan teori tersebut.
Kembali kepada warna kajian ilmu-ilmu keagamaan, warna
pengaruh Prof. Harun tampak dalam hal membuka mata intelektual
mahasiswanya dalam memahami secara ilmiah atas kekayaan warisan
intelektual Islam yang kaya di berbagai macam disiplin ilmu
keislaman. Mahasiswa memiliki alternatif pemahaman keislaman
yang tidak lagi doktriner dan tetapi juga tidak mudah terjebak pada
sikap eksklusif memilih salah satu madzhab pemikiran yang ada. Prof.
Harun kembali dari studi di luar negeri pada 1969, termasuk generasi
pertama dosen perguruan tinggi agama studi ke Barat. Bagi sementara
pihak yang studi lanjut di berbagai perguruan tinggi luar negeri,
khususnya Barat, seperti Prof. Atho Mudzhar, Prof Komar, Prof. Din
Syamsuddin, Prof. Azra, Prof. Bahtiar, dan mereka generasi yang
lebih muda di Ciputat, kuliah-kuliah Prof. Harun di Ciputat seakan
berperan memberi bekal keyakinan, pemahaman,dan persiapan mental
yang cukup akan ajaran Islam, sehingga mereka tidak kaget pada saat
mereka bersentuhan dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda,
bahkan memperoleh ilmu dari guru besar bidang ilmu keislaman
namun beragama bukan Muslim. Dari proses ini, lahirlah kemudian
para ahli keislaman dengan hasil-hasil kajian keislaman yang lebih
bervariasi dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu lain,
sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, politik, filsafat, dll. Dilihat
dari cara berfikir, buku bacaan serta bagaimana mereka mengajar,
pada umumnya, mereka tidak lagi membahas isi materinya, tetapi
lebih pada metodologinya (Mudzhar, 2016: 16). Sumber yang
dijadikan rujukan menjadi penting dalam sebuah diskusi bermutu,
sebab pada titik itulah otoritatif tidaknya sebuah pernyataan dalam
tulisan tergantung pada bukti dokumen yang menjadi rujukannya.
Dengan belajar seperti ini, membuat mahasiswa tidak lagi
menghafalkan bagaimana isinya, tetapi berbicara tentang dari mana
sumber dan bagaimana membangun argumen berdasarkan sumber itu
131
sehingga isi buku itu disusun untuk tujuan yang mencerahkan
pembacanya.
Generasi Baru
Prof Azyumardi Azra (dalam Fathurrahman, 2007) senantiasa
menyebut bahwa transformasi IAIN Jakarta menjadi UIN Jakarta
merupakan gagasan Prof. Harun. Meskipun ungkapan ini sebenarnya
keluar lebih merupakan tanda hormat dan kesantunan Prof. Azra
kepada Prof. Harun, namun jauh sebelum transformasi kelembagaan
terjadi pada 2002, disebut bahwa Prof. Harun telah menyiapkan
lahirnya generasi baru dosen pada universitas ini. Dosen generasi baru
itu tidak lagi melulu melanjutkan studi di berbagai universitas terbaik
di Timur Tengah, tetapi ke berbagai perguruan tinggi terbaik di
Australia, Kanada, Amerika, Eropa, dll. Dosen generasi baru itu
umumnya lulusan pesantren, atau lahir dari kalangan santri, orang
tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll.,
dari keluarga sederhana, yang tidak terbersit dalam benak mereka akan
menempuh studi di luar negeri. Peta mahasiswa IAIN Jakarta pada
saat Prof. Harun memimpin dan mewarnai UIN Jakarta dalam konteks
pemikiran dan pandangan keilmuan, juga merupakan putera-puteri
aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar, dll. Pada 2013,
sekitar 10 tahun setelah melakukan transformasi menjadi UIN Jakarta,
peta mahasiswa UIN Jakarta sudah bergeser, kebanyakan berasal dari
kelas menengah Muslim perkotaan. Mereka yang mengaku bahwa
orang tuanya aktivis NU, Muhammadiyah, Persis, Mathla’ul Anwar,
dll., semakin mengecil (Syahid, dkk., 2013).
Ini adalah peta baru mahasiswa UIN Jakarta, dan itu juga segmen
yang harus dihadapi oleh dosen UIN Jakarta dalam hal mereka
menanamkan nilai, pengetahuan dan keterampilan. Tentang kaum
menengah Muslim perkotaan, Hasan (2016: 185-215) menulis bahwa
mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama. Mereka
menghendaki agama yang disajikan dengan dialogis, rasional,
eksplanatif, argumen yang multi perspektif, inklusif, dll. Klinken
132
(2016: 36, 40) menulis bahwa konservatisme agama yang menjangkiti
kaum kelas menengah di kota-kota tingkat menengah, justru tidak
terjadi pada kaum petani yang mulai tersingkir lantaran lahan
pertaniannya mulai tergerus oleh industrialisasi seperti Cilegon dan
tidak juga pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta.
Ciputat yang berkembang menjadi sub urban penyangga kota besar
Jakarta, tempat di mana UIN Jakarta berada, menyaksikan
kebangkitan iman takwa dan menggejalanya sufisme perkotaan pada
kaum yang disebut terakhir ini. Kelas menengah ini datang dari
berbagai kalangan, umur, latar pendidikan, profesi, keilmuan, dll.,
mengalami gairah keislaman. Mereka sadar politik, menerima
domokrasi, perhatian pada isu-isu sosial kemanusiaan pada level
nasional dan internasional, meskipun mereka menikmati demokrasi,
jaringan patronase, dan ketrampilan politik mereka untuk kepentingan
mereka sendiri, bukan keuntungan kaum elit ataupun kelas miskin di
bawah.
Lahirnya dosen ahli Islam dengan generasi baru, yang tidak bisa
dipungkiri bahwa mereka memiliki pemahaman yang otoritatif dan
baik tentang Islam, dan kini pemahaman keislaman mereka itu sudah
diperluas karena dilengkapi dengan keahlian pada bidang ilmu yang
lain. Pada dosen generasi baru ini Prof. Harun memberi contoh bukan
hanya melalui kuliah dan ceramah ilmiah, yang menurut Prof. Atho’
Mudzhar (2016: 6) “sangat disiplin dalam waktu, berpandangan luas,
menyukai pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa”, tetapi juga
melalui berbagai karyanya. Kita bias melihat sikap kritis dan rasional
juga tampak ketika kita membaca karya-karya Prof. Harun.
Karya menarik yang berjudul Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan yang diterbitkan pada 1972.
Sejatinya karya ini merupakan kompilasi dari makalah-makalah yang
disajikan di berbagai tempat termasuk juga kuliah-kuliah tentang
Aliran-Aliran Modern dalam Islam.Tema aliran modern dalam Islam,
yang kemudian bagi orang perguruan tinggi agama Islam akrab
ditelinga dengan nama “AMDI”. Buku ini mengupas pemikiran dan
133
gerakan pembaruan dalam Islam di tiga Negara Islam, yang muncul
pada periode dalam Islam. Pembaruan di Mesir mengupas sejarah
pendudukan Napoleon dan kemudian memicu pembaharuan di Mesir,
tokoh pembaharu seperti Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, kemudian
mengupas para murid dan pengikut Muhammad Abduh. Pembahasan
tentang pembaharuan di Turki dibahas sejak sejarah Sultan Mahmud
II, rezim Tanzimat, peran Usmani Muda, juga Turki Muda, tiga aliran
pembaharun di Turki dalam menempatkan isu Islam, Nasionalisme,
dan peran Mustafa Kemal Attaturk. Sementara pembaharuan Islam di
India-Pakistan mengupas pola Gerakan Mujahidin, figur Sayyid
Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal,
Muhammad Ali Jinnah dan lahirnya negara Pakistan, Abul Kalam
Azad, dan pergulatan nasionalisme di India.
Karya Prof. Harun lain yang juga mencerahkan berjudul Filsafat
Agama yang terbit pada 1973. Pada buku ini Prof. Harun mengupas
posisi epistemologi dan wahyu, epistemologi ketuhanan, argumen-
argumen rasional adanya Tuhan, pemaparan tentang ruh, serta diskusi
klasik tentang kejahatan dan bagaimana kemutlakan Tuhan dijelaskan.
Bagi dosen dan penulis buku, sikap kritis dan rasional yang
ditunjukkannya mendorong mahasiswa dan pembaca berfikir dengan
nalar kritis juga dan sekaligus memberi stimulasi kepada mereka
untuk belajar lebih lanjut. Obsesi keilmuan mahasiswa dan para
pembaca juga terlahir dari sana.
Pada tahun yang sama, 1973, Prof. Harun menerbitkan karya
Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Buku ini sebenarnya merupakan
kumpulan ceramah Prof. Harun di IKIP Jakarta (kini UNJ). Meskipun
demikian, Prof. Atho’ (2016), memberi kesaksian bahwa Prof. Harun
pernah memberi kuliah dengan judul yang sama di UIN Jakarta.
Bagian pertama buku ini membahas tentang filsafat Islam, sementara
bagian kedua mengupas mistisisme Islam atau dikenal dengan
tasawuf. Dalam bagian filsafat Islam diuraikan bagaimana kontak
pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga
134
falsafat Yunani yang sebagai dampaknya kemudian memicu lahirnya
para filosof muslim seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-
Ghazali, Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibn Rusyd, dll. Sementara pada
bagian mistisisme Islam Prof. Harun menguraikan bagaimana
kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai bagian dari upaya seorang
hamba (salik) secara spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan.
Satu tahun kemudian terbit karya Prof. Harun yang berjudul
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang terbit pada 1974. Buku
ini merupakan buku pertama bagaimana studi terhadap Islam ditulis
dalam sebuah buku dan kemudian mengilhami terbitnya sebuah mata
kuliah dengan judul Dirasah Islamiyah, yang diajarkan secara massif
di seluruh perguruan tinggi agama Islam. Mata kuliah Dirasah
Islamiyah I hingga III yang di dalamnya tidak lagi berbicara tentang
Islam secara ideologis, tetapi memaparkan Islam dari segi doktrin dan
peradaban yang ditimbulkannya, sekaligus pranata yang lahir
karenanya. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa
Perguruan Tinggi Agama Islam di seluruh Indonesia pada periode
1993-1997. Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam,
Departemen Agama RI, saat itu adalah Prof. M Atho Mudzhar (1994-
1996). Menteri Agama RI, H Munawir Sjadzali (19 Maret 1983-21
Maret 1993) dan juga Tarmizi Taher (17 Maret 1993-16 Maret 1998),
juga mendukungnya. Bahkan mantan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H.
A. Mukti Ali (11 September 1971-28 Maret 1973) mendukung upaya
Harun, meski kelompok kritis terhadap Prof. Harun menyebut
pemikiran ini sebagai “virus”.
Demikian juga karya Prof. Harun yang berjudul Teologi Islam:
Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan yang terbit pada
1977. Pada buku ini diuraikan tentang aliran dan golongan-golongan
teologi, baik yang masih hidup dan memperoleh penganut hingga kini
tetapi juga yang pernah ada dalam sejarah Islam. Seperti Khawarij,
Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahlal-Sunnah wa al-
Jama’ah. Setelah sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran dari
masing-masing aliran (firqah) itu diuraikan, lalu Prof. Harun
135
memberikan analisa perbandingan dari aliran-aliran tersebut, sehingga
pembaca dapat mengenali mana di antara aliran tersebut yang bersifat
liberal, dan mana saja aliran yang bersifat tradisional.
Demikian juga karyanya Akal dan Wahyu dalam Islam yang
terbit pada 1980 juga merupakan isu besar klasik yang senantiasa
menarik dikupas. Sejak filosof Muslim pertama, al-Kindi, masalah ini
telah dibahas untuk dilihat tekanannya dan dicari di mana letak
titiktemu atau perbedaan antar keduanya. Karya Prof. Harun yang
berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah yang
terbit pada 1987 menjadi penting untuk melihat bagaimana posisi
Abduh dalam pemikirannya sebagai seorang pemikir yang lebih
cenderung kepada ilmu pengetahuan. Buku ini, sebagaimana semua
pihak tahu, sejatinya merupakan edisi bahasa Indonesia disertasi Ph.D.
Prof. Harun di McGill University, Montreal, Kanada, yang berjudul
The Place of Reason in Abduh’s Theology: It’s Impact on his
Theological System and Views, pada Maret 1968. Seperti tampak pada
judulnya, pada buku ini pertama-tama mengulas biografi Muhammad
Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, paham kebebasan
manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep
Iman. Pemikiran teologis Muhammad Abduh dikupas dalam buku ini
untuk dikuak dan kemudian dibandingkan dengan pemikiran
Mu’tazilah. Prof. Harun dalam buku ini menyimpulkan, bahwa
pemikiran teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan
teologi kaum Mu’tazilah, bahkan dalam hal penggunaan kekuatan akal
pikiran, Muhammad Abduh dipandang melebihi pemikiran rasional
Mu’tazilah. Kesimpulan ini yang dikemudian dibantah oleh Dr. Eka
Putra Wirman dalam “Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran
Harun Nasution”. Dr. Eka Putra Wirman kini menjabat sebagai
Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (2015-2019).
Buku Islam Rasional yang terbit pada 1995 juga tidak kalah
mencerdaskan. Saiful Mujani menulis bahwa pada buku ini merekam
hampir seluruh pemikiran Prof. Harun sejak 1970 hingga 1994. Prof.
Harun melihat sudah mendesak tuntutan modernisasi umat Islam,
136
yang antara lain, dapat dengan meminjam pandangan rasional dari
teologi Mu’tazilah. Selain buku di atas, penting dibaca buku Aqib
Suminto et.al., yang berjudul Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam:
70 Tahun Harun Nasution yang diterbitkan pada 1989.
Risalah Ilmiah
Apa yang diajarkan Prof. Harun adalah menambahkan di dalam
pikiran kita dalam memandang doktrin dan ajaran agama dengan
rasional, kritis dan interpretatif untuk mendapatkan hasil bacaan yang
cermat. Ini yang dikenal dengan risalah ilmiah. Dari segi karakternya,
tentu tidak sama dengan risalah diniyah (risalah keagamaan) yang
tujuannya memang untuk meningkatkan pemahaman, membangun
soliditas-solidaritas umat, memperkuat takwa dan mempertebal
keimanan. Untuk perguruan tinggi, kajian keislaman yang diperlukan
tidaklah sebatas risalah diniyah itu, tetapi merupakan bagian dari
proses panjang mencari kebenaran dengan senantiasa menguji dan
menguji kembali berbagai pendapat dan pandangan yang ada. Pada
perguruan tinggi ditekankan pada kontestasi gagasan, membuat
pribadi menjadi kosmopolit, berpikiran terbuka, dan ruang-ruang
kelas disiapkan untuk menghirup oksigen ilmiah sehingga akademisi
hidup dalam tradisi intelektual.
Sekali lagi inilah risalah ilmiah. Sebuah karya ilmiah, mengikuti
kaidah-kaidah metode ilmiah. Sebenarnya metode ilmiah tidak lah
canggih dan rumit, tetapi, tulis Carey (2016) sebagai sebuah proses
sederhana namun fundamental untuk menguji setiap gagasan,
pandangan baru. Mengikuti Carey, yang ditekankan pada ilmu yang
ilmiah adalah bukan pada “apa”, tetapi pada “mengapa” dan
“bagaimana”. Bukan pada metafisika dan ontologi, tetapi pada
epistemologi. Hal ini sebenarnya merupakan tipikal metode
pemecahan masalah yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tidak meleset jika Popper (1972, 1983) menyebut
sebagai epistemologi pemecahan masalah. Ilmuwan bekerja dengan
menghadapi masalah untuk dipecahkan atau dicarikan penjelasannya,
137
dan cara kerja ini seperti menghadapi error elimination terus-menerus.
Metode ilmiah pun menggunakan instrumen sederhana seperti
observasi, eksplanasi, dan eksperimentasi untuk mencari penjelasan
dan menerangkan adanya hubungan kausal dari apa yang kita tangkap
dengan panca indera dalam hidup sehari-hari dan sedetik kemudian
merangsang pemikiran kita. Dengan sifatnya yang sedemikian
menekankan pada temuan baru, unsur pembeda karya yang ilmiah
dengan karya non-ilmiah adalah jika temuan baru dalam karya ilmiah
itu direview oleh mereka yang menekuni bidang tersebut (peer review)
dengan sangat teliti dan hati-hati. Jurnal ilmiah dan penerbitan yang
memiliki reputasi tinggi di dunia internasional memiliki kepedulian
dan perhatian yang mendalam terhadap masalah ini. Unsur kebaruan
temuan, sumber rujukan, dan proses interpretasi akan ditelaah secara
ketat, sehingga kerapkali footnote menjadi penting artinya sebagai
bagian dari keseluruhan mutu argumen dalam tulisan. Catatan kaki
tidaklah semata-mata berarti keterangan dari mana keseluruhan
argumen dalam tulisan dikutip, tetapi lebih penting lagi adalah apakah
bangunan pemikiran dalam tulisan itu didukung oleh dasar yang valid
dan dipertanggung jawabkan.
Ciri khas risalah ilmiah menurut Popper adalah justru pada
posisinya dia dapat dibuktikan salah (it can be falsified), bukan pada
keharusan untuk selalu diposisikan benar. Menyediakan diri untuk
dibuktikan salah merupakan cerminan sikap terbuka, kebenaran ilmu
adalah nisbi, dan sekaligus kerendahan hati, yang memacu pihak lain
untuk menemukan hal baru yang lebih benar. Sebaliknya, sikap
keharusan untuk selalu diposisikan benar adalah cerminan sikap
sempurna, kebenaran mutlak, dan cenderung menutup perdebatan dan
penyelidikan untuk menemukan hal yang baru. Pandangan ini
dikemukakan Popper (1959) yang sekaligus sebagai pihak yang
menggunakan kata “ilmiah” untuk kali pertama. Kata itu digunakan
untuk mengkritik demarkasi yang dibuat oleh Lingkaran Wina (The
Viena Circle) yang memisahkan antara pernyataan yang bermakna
(meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless). Popper menulis,
138
istilah ini lemah, mengingat dapat saja sebuah pernyataan itu tidak
ilmiah, namun meaningfull, seperti kata-kata mutiara.
Kritik Popper terhadap dikotomi Lingkaran Wina, meaningfull
dan tidak meaningfull relevan dalam konteks tulisan ini, untuk
menjelaskan antara risalah diniyyah dan risalah ilmiah. Pada kategori
yang disebut terakhir, yang ditekankan adalah metodologi berfikir,
kategorisasi berfikir, dan falsifikasi untuk perkembangan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada apakah pernyataan itu dapat
diverifikasi dan dibuktikan salahnya, tidak justru dipertahankan untuk
selalu harus benar. Menurut jenis dan sifatnya, kajian keislaman
masuk kategori ilmu pengetahuan yang lunak (soft) bersama sosiologi,
antropologi, politik, psikologi, dll., yang berbeda dengan fisika,
biologi, kimia, teknik, dll., yang dikelompokkan menjadi sains keras
(hard). Perlu kerja-kerja keilmuan secara tumakninah untuk
membangun dan mengembangkan lebih lanjut kajian ilmu-ilmu
keislaman pada perguruan tinggi keagamaan sehingga memiliki kadar
ilmiah yang tinggi.
Dalam risalah ilmiah sarat dengan penggunaan logika yang
bervariasi. Garnham dan Oakhill (2003) menyebut jenis-jenis logika
tersebut antara lain, deduksi sebagai sebuah proses pengambilan
keputusan spesifik dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat
umum. Lawannya adalah induksi. Lalu ada sillogisme hipotesis yang
umumnya dalam sebuah disain penelitian disebut dengan model-based
theories. Ada juga pengujian hepotesis, baik nihil maupun alternatif,
yang dikenal dengan hypotheis testing. Dalam penelitian kuantitatif
popular dengan pengujian dengan mendasarkan diri pada data statistik
(statistical reasoning). Umumnya dalam bidang manajemen,
organisasi, marketing, leadership, dll., dihadapkan pada decision
making. Dalam ilmu terapan akan akrab dengan logika jenis problem
solving. Bahkan pada kehidupan modern dikenalkan game playing
and expertise, yang menuntut keahlian dan ketrampilan tertentu dalam
permainan. Logika juga inheren dengan creativity. Menurut sifat dan
jenisnya, kreativitas itu muncul dalam bentuk perilaku yang mampu
139
menggunakan cara, gaya, dan pola baru yang inovatif untuk
mewujudkan apa yang dibayangkan dalam pikiran menjadi kenyataan.
Bahkan, penalaran dalam hidup sehari-hari (everyday reasoning) yang
tak kita sadari, yang kelihatan sepele dan rutin.
Dalam sebuah buku yang sangat menarik, Critical Thinking in
Psychology, Ruscio (2006: 6-10) mendaftar sepuluh karakteristik yang
menjadi indikator sebuah sains, yang tampak luarnya sebagai sains,
namun mengidap potensi untuk disebut sebagai sains yang semu
(pseudo-science). Kesepuluh karakteristik tersebut adalah:
Pertama, outward appearance of science: pseudo-science boleh
jadi menggunakan bahasa yang seakan-seakan ilmiah, tetapi bahasa
yang ia gunakan tidak ada isinya yang bersifat subtansial. Bahasa atau
jargon yang biasa digunakan para ilmuwan, biasanya hanya digunakan
sebagai alat komunikasi di antara para ahli. Pseudo-science
menggunakan bahasa-bahasa yang glamour dalam menjelaskan
sesuatu. Perbedaan antara sains dengan pseudo-science, misalnya,
terlihat pada bagaimana ahli fisika menjelaskan dengan jernih
pengertian dari energi.
Kedua, absence of skeptical peer review: karya pseudo-science
tidak seperti sains dipublikasikan melalui jurnal, konferensi, seminar,
dll., demi untuk memperoleh koreksi, komentar, dan mekanisme
mengecek kesalahan, sementara pseudo-science disebarluaskan
melalui penuturan lisan secara turun temurun;
Ketiga, reliance on personal experience. Yakni, sains senantiasa
didasarkan pada penelitian empiris yang sistematis. Ini berarti bahwa
ilmuwan melakukan kontrol yang ketat terhadap kajian atau penelitian
yang bertujuan mengetes hipotesis atau proposisi yang
dikemukakannya. Pseudo-science tidak melakukan itu.
Keempat, evassion of risky tests: sains dibangun dengan berbagai
hipotesis dan proposisi, yang sekali tidak terbukti akan gugur
selamanya. Karena itu, penelitian dan kajian selalu merupakan tes
yang penuh resiko.
140
Kelima, retreats to the supernatural: sains berisi metode untuk
menyingkap prinsip-prinsip dalam alam semesta, agar hasil
observasinya valid secara ilmiah.
Keenam, the mantra of holism: tugas utama ilmuwan adalah
mengurai apa inti perbedaan antara peristiwa, gejala, atau fakta yang
tampaknya saling berhimpitan untuk memperkaya teori. Misalnya,
mengidentifikasi partikel sub-atom, unsur-unsur chemical, penyakit
badan, gangguan mental, dll.
Ketujuh, tolerance of inconsistencies: ilmuwan mendeskripsikan
masalah dengan prinsip-prinsip logika formal, pseudo-sains tidak
demikian.
Kedelapan, appeals to authorithy: sains selalu berdasarkan data
empiris, agar setiap orang dapat membaca dan mengkritisi secara
terbuka tahap-tahap penelitian empiris dan kesimpulan penelitian
ilmiah.
Kesembilan, Promising the impossible: sains sangat
menghormati keterbatasan ilmu pengetahuan dan kapabilitas
teknologi dewasa ini.
Kesepuluh, stagnation: perkembangan sains sangat cepat,
sementara penjelasan terhadap pseudo-science mandeg begitu adanya.
Agar tidak terjebak pada pseudo-science, maka solusi yang
ditawarkan Ruscio adalah berfikir secara kritis (thinking critically).
Yang dimaksud dengan berfikir secara kritis oleh Ruscio adalah
serangkaian kemampuan seseorang yang membebaskan seseorang,
terutama pada saat seseorang tersebut berfikir, sehingga hasil
pemikirannya membebaskan namun terlihat sangat hati-hati. Berfikir
kritis membuat diri sendiri puas dan nyaman dengan keputusan yang
diambilnya. Berfikir kritis tidak mengarahkan pada “apa” yang harus
dipercayai, tetapi pada bagaimana mereka sampai pada pilihan-pilihan
yang benar, yang sangat sesuai dengan nilai yang dipeganginya.
Salah satu gambaran tentang risalah ilmiah yang dimaksud dapat
dilihat pada karya-karya Prof. Harun sendiri sebagaimana telah
disinggung di atas. Sebagai risalah ilmiah, tentu memiliki resiko, suatu
141
saat teori atau pendapatnya dapat dibantah dan disanggah. Jika
sanggahan itu benar, maka berlaku apa yang disebut Popper (1985),
terfalsifikasi. Pendapat dan teori itu tidak berlaku lagi.Sudah
terbantah. Salah satu contoh kasus falsifikasi adalah Prof. Harun
dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Harun
Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abdul adalah penganut
teologi Mu’tazilah yang dibantah Dr Eka sebagai telah disinggung di
atas. Dr Eka menyebut judul bukunya sebagai restorasi teologi,
sebagai bagian dari pelurusan pendapat Prof. Harun yang juga
didasarkan pada kitab Hasyiah‘ala Syarh al-Dawwani li al-‘Aqaid al-
Dhudhiyyah karya Muhammad Abduh.
Tulisan ini tidak bermaksud masuk pada masalah benar atau
tidak bantahan Dr. Eka, namun ini tradisi baru dalam ilmu sosial dan
keagamaan terjadi. Bantahan Dr. Eka pada Prof. Harun bukan yang
pertama, bantahan dan bahkan cenderung sengit juga dilancarkan oleh
Prof. M Rasjidi, dengan menulis buku: Koreksi Terhadap Dr. Harun
Nasution tentang 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Dalam
konteks ilmiah, sebagai dikemukakan Popper di atas, bahwa
sanggahan itu baik untuk perkembangan dan temuan baru ilmu
pengetahuan. Meskipun demikian, bantahan dalam dunia ilmu
lazimnya nihil salah paham. Apakah ada salah paham terhadap Prof.
Harun? Ada, salah satu dari salah paham itu adalah ada sebagian
kalangan yang mengira karena Prof Harun menulis Islam rasional,
maka ia orang sangat rasional dalam pengertian tanpa batas. Karena
Prof. Harun menekankan kebebasan berfikir dalam konteks studi ilmu
agama, maka sebagian pihak salah paham, dengan menyebut Prof.
Harun dengan liberal. Sebagai ilmuwan Prof. Harun memang harus
rasional, mengabaikan aspek emosionalitas; sebagai seorang pemikir
Prof. Harun haruslah seorang tidak terkekang nalarnya. Sebagai
akademisi professional dan ilmuwan par excellence, Prof. Harun dapat
menjelaskan—misalnya, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Mu’tazilah,
Ahl al-Sunah wa al-Jamaah—dengan amat sempurna seakan-akan
Prof. Harun adalah orang dalam aliran firqah itu sendiri. Pada sudut
142
ini Prof. Harun disalahpahami banyak pihak yang menuduhnya
sebagai penganut dan pemuja Mu’tazilah sekaligus. Para murid dan
koleganya menyaksikan bahwa sebagai seorang Muslim, Prof. Harun
adalah seorang Muslim yang taat, selalu hadir pada shalat Jum’at di
awal waktu, dan bahkan—ini tidak banyak yang tahu—Prof. Harun
adalah pengamal tarekat Abah Anom Suryalaya yang tekun. Orang
lupa, Prof. Harun adalah pribadi kosmopolit khas Ciputat, putera
Pematang Siantar, Sumatera Utara, membangun karir keilmuannya
dari bawah HIS (Hollandsche Indlansche School), lalu masuk MIK
(Moderne Islamietische Kweekscool), kemudian mengelana bertemu
dengan peradaban keilmuan Islam di Timur Tengah sejak tingkat
menengah (Al-Azhar) dan Sarjana Muda (American University of
Cairo), dan tersempurnakan watak keilmuannya dalam didikan Barat
(McGill Umiversity, Montreal, Kanada).
Referensi
Carey, Stephen S., (2015), Kaidah-Kaidah Metode Ilmiah: Panduan
untuk Penelitian dan Critical Thinking. Bandung:
Nusamedia
Fathurrahman, Oman, (2007), “Prof. Dr. Azyumardi Azra:
Mengantarkan UIN Jakarta menjadi Universitas Berkelas
Dunia dan Universitas Riset”, Hamid Nasuhi (ed.), Dari
Ciputat, Cairo hingga Columbia. Jakarta: UIN Jakarta
Press.
Garnham, Alandan Oakhill, Jane, (2003), Thinking and Reasoning.
London: University of Sussex
Hasan, Noorhaidi (2016), “Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia:
Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi”, van
Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, Ed., (2016), In Search
of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota
143
Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan
KITLV Jakarta.
Hidayat, Komaruddin, (2016), Dari Pesantren Untuk Dunia: Kisah-
Kisah Inspiratif Kaum Santri. Jakarta: PPIM UIN Jakarta –
Prenadamedia Group
van Klinken, Gerry dan Ward Berenschot, (Ed.) (2016), In Search of
Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota
Mengenah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan
KITLV Jakarta.
Nasution, Harun (1972), Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah
Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press
--------, (1973), Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
--------, (1973), Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
--------,(1975), Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan
Gerakan. Jakarta: UI Press.
--------, (1981), Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press
--------, (1985), Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I-III.
Jakarta: UI Press
--------, (1987), Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah.
Jakarta: UI Press
Mujani, Saiful (ed.), (1995), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan
Popper, Karl Raimund, (1959), The Logic of Scientific Discovery.
New York: Basic Books
--------, (1972), Objective Knowledge. Oxford UK: Oxford University
Press.
--------, (1983), Realism and The Aims of Science. London: Routledge.
Rasjidi, M., Koreksi Terhadap Dr. HarunNasution tentang 'Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang.
Ruscio, John(2006), Critical Thinking in Psychology: Separating
Sense from Nonsense.Brisbane. Wadsworth Engage
Learning
144
Suminto, Aqib Suminto et.al., (1989), Refleksi Pembaharuan
Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta:
LSAF
Syahid, Achmad, et.al. (2013), Faktor-Faktor Psikologis Perilaku
Radikalisme Mahasiswa Muslim: Studi Kasus Mahasiswa
UIN Jakarta. Jakarta: Penelitian UIN Jakarta.
Wirman, Eka Putra, (2013), Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran
Harun Nasution. Bandung: Nuansa Aulia
INDEKS
A
A Thib Raya, 126
A. Asnawi, 48
A. Lathief Muchtar, 48
A. Moe’in Salim, 48
Abdul Aziz Dahlan, 126
Abdul Gani Abdullah, xv, xvii, xxi,
126, 215
Abdul Khamid, xvii, xxi, 175
Abdul Madjid, 178
Abuddin Nata, xvii, xxi, 150, 187
Abul Kalam Azad, xi,133
Achmad Syahid, xvii, xx, 125
Adrianus Khatib, 21
Ahmad Khan, xi, 77, 133
Ahmad Tafsir, 48, 50
al-Ghazâlî, 83, 84, 85, 86
Ali Mufradi, 21
Aligarh, xi, 133
al-Tahtawi, 133
alternative dispute resolution, 215
Amerika, 8, 10, 89, 92, 131, 151,
193, 205
Amin Aziz, 178
Amir Ali, xi, 133
Amsal Bakhtiar, xvi, xx, 145
Anthony Wessel, 8
Anwar Masy’ary, 48
Apartemen Niewerood, 26
Aslam Hadi, 178
Asri Rasyad, 178
Atho Mudzhar, 126, 130, 134, 207
Australia, 92, 99, 101, 131, 205
Azyumardi Azra, 14, 89, 90, 126,
131, 142, 146, 171, 207, 209
B
Banten, xvi, 41
Belanda, 4, 24, 25, 26, 27, 49, 72,
89, 188, 191, 192, 193, 205
Belgia, 7, 8, 68, 194, 203
Bibliotek, 28
Bintang Budaya Parama Dharma,
209, 210
Bintang Mahaputra, 14, 38, 90, 209,
210
Blok M, 21, 63
Bung Hatta, 22, 23, 24, 28
Burhanuddin, 21
Bustami Abdul Ghani, 3
C
Canada, xiv, 42, 151, 160, 188, 201,
204, 205
Ciputat, vii, 8, 24, 25, 29, 52, 55, 69,
125, 126, 127, 128, 130, 132, 142,
148, 151, 167, 168, 169, 171, 183
Cirebon, xvi, 87
Columbia University, 14, 89
Common Law System, 216
Conditio Sine Qua Non, 215
Continental Europe Legal System,
216
D
Daud Rasyid, 173
Dawam Rahardjo, 96
Dede Rosyada, vii
Deliar Noer, 8, 22, 23
218
Departemen Agama, xiii, xvii, 4, 7,
9, 24, 25, 47, 53, 62, 91, 134, 169,
171, 197
Din Syamsuddin, 130, 146, 171
Djohan Effendi, 96
Doctrine of Precendent, 216
Domestic Law, 216
E
Eka Putra Wirman, 100, 102, 135
Empat Lawang, 25
Eropa, iv, 68, 92, 111, 131, 149
F
Facta Sunt Servanda, 215
Fakhri Aly, 207
Fakultas Pascasarjana, 4, 17, 18, 19,
80, 156, 157, 166, 167
Fauzul Iman, xvi, xix, 41
freedom of justice, 216
G
General Agreement, 215
H
Hadjam Dahlan, 48
Haedar Ali, 178
Halid al-Kaf, 127
Halimah Majid, 69
Hamdani, 10, 11, 21
Harun Nasution, vi, ix, xv, xvii, 3, 7,
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 19,
29, 30, 31, 33, 37, 38, 39, 41, 47,
48, 51, 53, 54, 57, 59, 60, 61, 63,
64, 65, 66, 67, 77, 79, 80, 81, 82,
87, 89, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 107, 109, 120,
122, 123, 125, 135, 136, 141, 143,
144, 145, 155, 156, 157, 158, 159,
160, 162, 163, 164, 165, 166, 168,
171, 175, 176, 178, 179, 180, 183,
184, 185, 187, 188, 189, 190, 191,
192, 193, 194, 196, 197, 198, 199,
200, 201, 202, 203, 204, 205, 206,
207, 208, 209, 210, 211, 212, 215,
216
Hasan Langgulung, 8
Huzaimah T. Yanggo, 18
I
IAIN Ar-Raniry, xvi, 57, 64, 65, 66
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin,
xvi, 41
IAIN Sunan Kalijaga, v, 47, 64, 89,
157
IAIN Syarif Hidayatullah, v, xvi, 3,
4, 8, 9, 10, 11, 12, 17, 21, 31, 41,
58, 60, 61, 87, 89, 91, 95, 96, 147,
157, 166, 183, 188, 203, 204, 206,
207, 208
IAIN Syekh Nurjati, xvi, 87
Ibn Taymîyah, 81, 82, 83, 84, 85, 86
Imam Khomaini, 171
Imam Muchlas, 48
India, xi, 51, 133, 199, 202
Indonesia, iv, vi, ix, x, xiii, xiv, xv,
7, 8, 10, 18, 24, 25, 30, 33, 34, 38,
44, 47, 57, 59, 65, 67, 68, 77, 87,
88, 89, 90, 92, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 121, 134, 135, 142, 143,
151, 157, 166, 167, 168, 171, 174,
176, 177, 187, 189, 192, 193, 194,
195, 196, 197, 203, 204, 207, 208,
209,210, 211
INIS, 24, 26, 27
219
Ishak Abduhaq, 178
Iskandar Usman, xvi, xix, 21, 57
J
Jabariyah, 159, 160, 201
Jakarta, iii, v, vi, x, xi, xii, xv, xvi,
xvii, 7, 8, 9, 10, 12, 17, 25, 26,
29, 33, 37, 38, 41, 42, 44, 47, 48,
49, 50, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61,
64, 65, 66, 68, 69, 71, 72, 78, 79,
81, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95,
96, 98, 99, 100, 121, 123, 125,
127, 128, 131, 133, 142, 143, 144,
147, 150, 152,155, 157, 158, 167,
171, 173, 176, 177, 179, 183, 185,
187, 188, 190, 194, 196, 197, 198,
199, 200, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 210, 211
Jalaluddin, xvi, xix, 7, 22, 48, 49, 64,
82
Jalaluddin Rahman, 48, 49
Jamali Sahrodi, xvi, xx, 87
Jamaluddin al-Afghani, xi, 133
Jurnalis Uddin, 178
K
Kampung Utan, 21, 29, 54, 55, 61,
168
Kanada, 3, 68, 97, 99, 131, 135, 142,
194
Karel Steenbrink, 49
Kautsar, 20, 127
Kautsar Azhari Noer, 127
Kebayoran Baru, 21
Kemas Mustazhirbillah, 24
Khawarij, xiii, 134, 141, 201, 212
Kohnstamm, 11
Komaruddin Hidayat, 98, 126, 127,
146, 171, 207
Kuala Banda Aceh, 4
L
Lathief Muchtar, 50
Leipzig University, 49
M
M Ridwan Lubis, xx, 126
M Roem Rowi, 126
M Yunan Yusuf, 126
M. Qasim Mathar, xvii, xxi, 171
M. Quraish Syihab, 72
M. Rasyidi, xiii, 72, 166, 194, 195
M. Ridwan Lubis, xv, xvii, 155
M. Yusuf Rahman, 47
Majlis Ulama Indonesia, 185
Makassar, xvii, 29, 146, 171
Mansour Faqih, 207
Mansur Malik, 47
Mardhiah Daniel, 48
Mastuhu, 4
Mastuki HS, 127
Mc Gill University, 68
McGill University, 95, 97, 99, 135,
160, 188, 194, 201, 204
menara gading, 43
Mesir, xi, xiv, 7, 27, 59, 67, 68, 69,
70, 87, 88, 92, 105, 111, 114, 115,
133, 173, 192, 193, 194, 195, 197,
199, 202
Mitfah Arifin, 127
Mochtar Buchari, 10, 11
Mohammad Fatih Alam, 25
Montreal, xiv, 42, 135, 142, 188,
194, 201, 204
Muardi Chatieb, 48
220
Muchtar Aziz, 48, 49
Muhammad Abduh, xi, xiv, 45, 59,
95, 97, 99, 100, 101, 102, 103,
104, 105, 106, 109, 110, 111, 112,
116, 117, 119, 122, 123, 133, 135,
141, 143, 160, 196, 201
Muhammad Ali Jinnah, 133
Muhammad Ali Pasya, xi, 133
Muhammad Iqbal, 133
Muhammad Nuh, 209
Muhammadiyah, 131, 173, 192
Muhsin Idham, 4, 55
Mukti Ali, 71, 88, 134, 197
Mulyanto Sumardi, xiii, 22, 23
Munawir Sjadzali, 8, 18, 27, 134
Muslim Kadir, 48
Mustafa Kemal Attaturk, 133
N
Nabilah Lubis, xvi, xx, 67
Netherland Cooperaton in Islamic
Studies, 24
NU, 131, 173, 195
Nurcholish Madjid, 8, 61, 87, 96,
127, 182
Nyimas Anisah Muhammad, xvi,
xix, 17, 21, 25
O
Oman Fathurrahman, 72
Orientalis, 101
P
Paduko Sindo, 21
Pakistan, xi, 92, 133, 199
Parsudi Suparlan, 9, 53, 61
Persis, 131
Promotor, 22, 23, 54
Q
Qadariyah, 85, 141, 159, 160, 201
R
R. Mulyadhi Kartanegara, 127
Rahmat, 21
Ramayulis, 12
Rasjidi, xiii, 8, 141, 143, 147
Rasyid Ridha, 133
Rasyid Ridla, 106, 109, 111, 114,
117, 121
Rasyidi, 80, 198
Ridwan Lubis, xv, xvii, xx, 12, 47
Rohani Junaid, 51
Rumadi, 127
Rusjdi Ali Muhammad, xvi, xix, 47,
48
S
Sadeli, 178
Saefuddin, 178
Said Aqil Siraj, 82
Saifuddin Zuhri, 68
Saiful Mujani, 135
Saiful Muzani, 202, 207
Salman Harun, xvi, xix, 3
Samsun Ni’am, 127
Saudi Arabia, 27
Sayyidah, 67, 68
Snouck Hurgronje, 86
Sudarko, 178
Sultan Takdir Alisyahbana, 17
Sumatera Selatan, 17, 25
Sunan Ampel, 22, 125
Sunarjo, 3
221
Suparjo, 48
Surabaya, 22, 48, 125, 126, 127, 179
Suwito, xv, xvii, xxi, 31, 38, 99, 126,
145, 152, 209
Syahrul A’dzam, 127
Syamsul Hadi, 127
Syeichul Hadi Permono, 48, 49
T
Takdir Alisjahbana, 8
Tarmizi Taher, 4, 134
Thaha Yahya Umar, 3
Timur Tengah, iv, 7, 18, 86, 87, 92,
131, 142, 149
Tsurayya Kiswati, 21
U
UIN Ar Raniry, 47, 49, 56
UIN Bandung, 48
UIN Palembang, 48
Ujung Pandang, 29, 179, 184
Umar Asasuddin Sokah, 48
Umar ibn Khattab, 85
Universitas Gajah Mada, 71, 72
Universitas Islam Negeri, 31, 41, 57,
87, 98, 168, 188
Universitas Leiden, 4
Universitas Syiah, 4, 51, 54
Universitas YARSI, 178
W
Wahdat al-Wujud, 20, 32
Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi, 20,
32
Wardini Ahmad, 48
Widodo, xv, 178, 209
Y
Yogyakarta, v, 48, 64, 89, 93, 96, 98,
157, 166
Yunasril Ali, xvi, xx, 77
Yusuf Rahman, xvi, xx, 50, 99, 114
Z
Zaharah Maskanah, 69
Zaini Muchtarom, 13
Zainun Kamaluddin Fakih, xv, 126
Zakiah Daradjat, 177
Ziekenhuis, 26
Zubaidi, 21