Upload
others
View
10
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENGEMBANGAN INDEKS
Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem Ipsum
PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019
PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN
KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAN PERBUKUAN
PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN
2020
Pengembangan Indeks Pembangunan Kebudayaan
Tim Penulis:
Sugih Biantoro, M.Hum. (Kontributor Utama)
Kaisar Julizar, S.Sos. (Kontibutor Anggota)
Imelda Widjaja, S.Si. (Kontributor Anggota)
Ihya Ulumuddin, M.Si. (Kontributor Anggota)
Niken Rarasati (Kontributor Anggota)
Yudi Fajar (Kontributor Anggota)
Jimmy Daniel B (Kontributor Anggota)
ISBN: 978-602-0792-92-7
Penyunting:
Penyunting
Irsyad Zamjani, Ph.D.
Sugih Biantoro, M.Hum.
Kaisar Julizar, S.Sos.
Tata Letak: Imelda Widjaja, S.Si.
Desain Cover: Genardi Atmadiredja, S. Sn., M.Sn.
Sumber Cover: freepik.com
Penerbit:
Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Redaksi:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gedung E, Lantai 19
Jalan Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 10270
Telp. +6221-5736365
Faks. +6221-5741664
Website: https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id
Email: [email protected]
Cetakan pertama, 2020
PERNYATAAN HAK CIPTA
© Puslitjakdikbud/Copyright@2020
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa
izin tertulis dari penerbit.
i
KATA SAMBUTAN
uji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
selesainya laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud). Dalam kesempatan
ini, saya selaku Kepala Puslitjakdikbud secara khusus menyambut baik atas
terselesaikannya penelitian dan penulisan tentang kajian “Pengembangan
Indeks Pembangunan Kebudayaan”. Kajian ini merupakan bentuk dukungan
terhadap kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bappenas, dan
BPS dalam merumuskan Indeks Pembangunan Kebudayaan pada tahun 2019.
Salah satu rujukan yang digunakan dalam merumuskan dimensi dalam Indeks
Pembangunan Kebudayaan (IPK) adalah Culture for Development Indicators
Suite (CDIS) yang disusun UNESCO dengan dukungan Badan Kerjasama
Internasional Spanyol. CDIS digunakan sebagai alat metodologi pragmatis dan
efektif dalam mendukung pembangunan melalui analisis berbagai indikator di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Konsep ini menawarkan
kesempatan untuk memperkuat inklusi budaya dalam strategi pembangunan,
karena memberikan demonstrasi empiris tentang kontribusi budaya terhadap
pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.
Adapun IPK merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja
pembangunan kebudayaan. Dalam hal ini, Indeks Pembangunan Kebudayaan
tidak dimaksudkan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan
untuk mengukur kinerja pembangunan kebudayaan.
Dalam kesempatan ini, selaku Kepala Puslitjakdikbud, saya menyampaikan
terima kasih kepada tim peneliti atas kerja kerasnya sehingga penelitian dan
penulisan laporan ini dapat selesai tepat pada waktunya. Juga kepada berbagai
pihak yang mendukung proses penelitian ini. Kiranya penelitian dan penulisan
ini dapat berguna bagi semua pihak. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Jakarta, Agustus 2020
Kepala Pusat,
Irsyad Zamjani, Ph.D.
P
ii
KATA PENGANTAR
i Indonesia, peran kebudayaan dalam pembangunan semakin
diperhatikan setelah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 13 Undang-Undang tersebut, mengatur
tugas pemerintah untuk menyusun Strategi Kebudayaan yang menjabarkan
arah pemajuan kebudayaan dalam 20 tahun mendatang. Penjabaran Strategi
Kebudayaan lantas diturunkan lebih perinci ke dalam bentuk Rencana Induk
Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Dokumen ini akan menjadi salah satu rujukan
dalam perumusan RPJMN Bidang Kebudayaan sebagai acuan dalam
pembangunan di bidang kebudayaan.
Untuk mendukung pembangunan kebudayaan dalam RPJMN, maka
diperlukan data dan informasi yang terukur. Oleh karena itu, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan Pusat Statistik
menyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan. Indeks Pembangunan
Kebudayaan disusun dengan mengacu pada konsep Culture Development
Indicators (CDIS) UNESCO. Dalam CDIS, terdapat tujuh dimensi sebagai
tolak ukur, yaitu ekonomi, pendidikan, pemerintahan, partisipasi sosial,
gender, komunikasi, dan warisan budaya (UNESCO, 2014). Ketujuh dimensi
diturunkan ke dalam bentuk indikator, dimana masing-masing dimensi
memiliki satu hingga lima indikator.
Integrasi antara CDIS dengan Strategi Kebudayaan menghasilkan dimensi dan
indikator baru yang dianggap sesuai dengan karakteristik kebudayaan di
Indonesia. Indeks Pembangunan Kebudayaan diharapkan dapat memberikan
gambaran pembangunan kebudayaan secara lebih holistik dengan memuat 7
(tujuh) dimensi, yakni: (1) dimensi ekonomi budaya; (2) dimensi pendidikan;
(3) dimensi ketahanan sosial budaya; (4) dimensi warisan budaya; (5) dimensi
ekspresi budaya; (6) dimensi budaya literasi; dan (7) dimensi gender. Hasil
dari penghitungan Indeks Pembangunan Kebudayaan dapat dijadikan sebagai
umpan balik dalam proses perencanaan pembangunan, sehingga dapat
dihasilkan perumusan kebijakan, strategi, dan program kebudayaan berbasis
data emipiris.
Jakarta, Agustus 2020
Penulis
D
iii
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kebudayaan
B. Pembangunan Kebudayaan
BAB III INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
A. Relevansi Dimensi Ekonomi untuk Pembangunan Kebudayaan
B. Relevansi Dimensi Pendidikan untuk Pembangunan Kebudayaan
C. Relevansi Dimensi Ketahanan Sosial Budaya untuk Pembangunan
Kebudayaan
D. Relevansi Dimensi Warisan Budaya untuk Pembangunan
Kebudayaan
E. Relevansi Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya Untuk
Pembangunan Kebudayaan
F. Relevansi Dimensi Literasi untuk Pembangunan Kebudayaan
G. Relevansi Dimensi Gender untuk Pembangunan Kebudayaan
BAB IV KEBUTUHAN DALAM KETERSEDIAAN DATA
KEBUDAYAAN
DAFTAR PUSTAKA
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
ndeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) adalah seperangkat komprehensif
31 indikator yang dikelompokkan ke dalam 7 dimensi yang bertujuan untuk
mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan. IPK mendukung
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam kebijakan kebudayaan melalui
pendekatan berbasis data dan informasi akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengembangan dan Implementasi IPK terjadi dalam konteks pembangunan
nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada banyak pendekatan dalam memaknai
pembangunan tersebut. Masing-masing memiliki perspektif bahkan
mengkritik pendekatan yang lain. Dalam berbagai perspektif, ada beberapa
indikator statistik yang menjadi penting dan signifikan, tak hanya untuk
merancang dan menilai kebijakan yang bertujuan untuk memajukan
perkembangan masyarakat, tetapi juga dalam menilai dan memengaruhi cara
kerja ekonomi pasar (Ramadlan, 2013). Pembangunan yang dipandang hanya
sebagai pertumbuhan ekonomi banyak mendapat kritikan, terutama ketika
dikaitkan dengan sistem ekologi, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Pembangunan di banyak negara yang mengejar pertumbuhan ekonomi kurang
memperhatikan dampak yang timbul terhadap beberapa aspek kehidupan dan
masa depannya.
Pada saat itulah muncul gagasan tentang “pembangunan berkelanjutan”.
Konsep tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mulai
ramai dibicarakan sejak tahun 1970-an, yang menaruh perhatian pada
konsekuensi lingkungan dari pertumbuhan ekonomi yang berlangsung pesat
(Ramadlan, 2013). Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commission on Environment and Development/WCED) melihat adanya
konsekuensi jangka panjang dan menganjurkan penerapan kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, yang didefinisikan
sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri." (Throsby, 2008: 2).
I
2
Dalam perkembangannya, paradigma pembangunan berkelanjutan selanjutnya
tak hanya berbicara tentang kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Perhatian
khusus diberikan pada dimensi budaya (culture), yang selanjutnya menjadi
pilar keempat dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak upaya
pembangunan selama beberapa dekade telah diarahkan pada tujuan mendasar
untuk menghilangkan kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan. Namun,
keberhasilan strategi pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan
manusia tergantung pada pengakuan konteks budaya di mana pembangunan
terjadi. Dengan kata lain, karena budaya adalah intrinsik bagi masyarakat dan
menembus semua aspek kehidupan, itu sebenarnya merupakan lingkungan di
mana perkembangan terjadi.
Lebih jauh, budaya menciptakan kondisi yang memfasilitasi kemajuan
ekonomi dan sosial, dan karenanya, menjadi pembangunan. Sebagai contoh,
sekarang dipahami dengan baik bahwa intervensi di bidang-bidang seperti
kesehatan, pendidikan, komunikasi, inklusi sosial, dan perlindungan
lingkungan akan lebih efektif jika mereka selaras dengan dimensi budaya
masyarakat di mana mereka sedang diterapkan. Namun, peran budaya dalam
pembangunan lebih jauh dari hal tersebut. Sektor budaya memberikan
kontribusi langsung untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sosial.
Misalnya Industri budaya dan kreatif yang menghasilkan pendapatan,
membuka lapangan pekerjaan, dan manfaat ekonomi lainnya, sementara pada
saat yang sama memberikan jalan untuk pemenuhan budaya bagi
masyarakatnya sendiri, baik di tingkat nasional dan lokal. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa budaya juga sebagai pendorong dari proses pembangunan
(UNESCO, 2014).
Pada salah satu konferensi internasional tentang kebijakan pembangunan
kebudayaan, menyepakati bahwa dimensi budaya sebagai salah satu
komponen kunci dari strategi pembangunan (Throsby, 2008: 2). Konferensi
tersebut mengusulkan bahwa pemerintah harus mengakui budaya sehingga
kebijakan tentang kebudayaan menjadi salah satu komponen utama
pembangunan berkelanjutan (Ramadlan, 2013).
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyajikan kerangka kerja analisis IPK
yang mengintegrasikan budaya dan pembangunan dengan cara yang konsisten,
dengan teori kontemporer, dan pemikiran terapan dalam bidang ini. Kerangka
kerja ini memberikan dasar untuk mempertimbangkan bagaimana indikator
IPK dapat memberikan pemahaman tentang peran budaya dalam
pembangunan, dan dalam menginformasikan proses pengembangan kebijakan
3
kebudayaan di Indonesia. Di mana, hasil pengukuran IPK dapat menjadi
umpan balik dalam proses perencanaan berikutnya, sehingga dapat dihasilkan
perumusan kebijakan, strategi, dan program di bidang kebudayaan yang
berbasis data emipiris.
4
5
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
ntuk memahami konsep-konsep yang mendasari IPK, kita perlu mulai
dengan mendefinisikan dua istilah utama: budaya (culture) dan
pembangunan (development). Banyaknya definisi yang ada terkait dua istilah
tersebut dan ambiguitas konseptual yang mengelilinginya, maka definisi IPK
dibatasi dalam kaitannya untuk mengukur capaian kinerja pembangunan dan
memenuhi kebutuhan perencanaan pembangunan di bidang kebudayaan.
A. Kebudayaan
Istilah budaya memiliki banyak arti dan telah dirumuskan dalam beberapa
definisi. Dua orang ahli antropologi yang berpengaruh, Alfred Louis Kroeber
dan Clyde Kluckholn dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts
and Definitions tahun 1952, telah mendokumentasikan lebih dari 161 definisi
kebudayaan (Cao, 2003: 371). Karena kompleksitas pengertian budaya dalam
perspektif yang beragam, beberapa pengertian telah disederhanakan oleh
beberapa orang peneliti/antropolog, sehingga lebih mudah dipahami oleh
banyak orang dari beragam disiplin ilmu.
Untuk tujuan IPK, terdapat tiga pengertian kebudayaan yang berbeda.
Pertama, dalam pengertian antropologi, di mana pada umumnya para
antropolog cenderung memahami kebudayaan sebagai suatu sistem
pengetahuan, gagasan, dan ide yang dimiliki oleh kelompok masyarakat
tertentu yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat
itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat
mereka berada.
Difinisi kedua, kebudayaan merujuk pada cara hidup masyarakat nilai-nilai
yang berbeda, norma, pengetahuan, keterampilan, kepercayaan individu dan
kolektif- yang memandu tindakan individu dan kolektif (UNESCO, 2014).
Sedangkan, ketiga, menurut Koentjaraningrat (1996), kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
U
6
Bronislaw Malinowski sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat
kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam
kebudayaan yakni:
1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan
pangan dan prokreasi
2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan
akan hukum dan pendidikan.
3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan
kesenian.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti
dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktivitas manusia
dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai
contoh, awalnya merupakan kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan
berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam
artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Merujuk pada regulasi, yaitu Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5
Tahun 2017, dinyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil masyarakat. Regulasi ini juga
mengatur tentang pemajuan kebudayaan yang diartikan sebagai upaya
meningkatkan ketahanan budaya (nasional) dan kontribusi budaya Indonesia
di tengah peradaban dunia melalui upaya pelindungan, pengembangan,
pemanfaatan, dan kebudayaan.
Sasaran utama dalam pemajuan kebudayaan disebut dengan Objek Pemajuan
Kebudayaan yang terdiri dari 10 objek, yaitu:
1. tradisi lisan,
2. manuskrip,
3. adat istiadat,
4. ritus,
5. pengetahuan tradisional,
6. teknologi tradisional,
7. seni,
8. bahasa,
9. permainan rakyat, dan
10. olahraga tradisional
7
Tujuan dari Pemajuan Kebudayaan menurut Undang-Undang tersebut adalah:
1. mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;
2. memperkaya keberagaman budaya;
3. memperteguh jati diri bangsa;
4. memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mencerdaskan kehidupan bangsa;
6. meningkatkan citra bangsa;
7. mewujudkan masyarakat madani;
8. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
9. melestarikan warisan budaya bangsa; dan
10. mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia,
Sedangkan arah pemajuan kebudayaan disebut dengan istilah strategi
kebudayaan, terdiri dari 7 agenda sebagai salah satu acuan penting dalam
mengidentifikasi dimensi-dimensi dan indikator-indikator selain
menggunakan konsep CDIS. Ke-7 agenda strategis tersebut adalah:
1. Menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong
interaksi untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif.
2. Melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan
tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.
3. Mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat
kedudukan Indonesia di Dunia Internasional.
4. Memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5. Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan
memperkuat ekosistem.
6. Reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung
agenda pemajuan kebudayaan.
7. Meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.
B. Pembangunan Kebudayaan
Dari tujuan Pemajuan Kebudayaan dan agenda Strategi Kebudayaan dapat
diketahui bahwa dimensi kebudayaan dapat mengambil peran dalam
merumuskan tujuan pembangunan. Cara pandang ini memiliki implikasi dalam
merekonstruksi konsep pembangunan. Jika pada umumnya arah pembangunan
cenderung menekankan pada dimensi pertumbuhan ekonomi, maka
kebudayaan akan dipandang hanya sebatas instrumen. Kebudayaan bukan
8
sesuatu yang berharga dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai alat untuk
mempromosikan dan mempertahankan kemajuan ekonomi. Pandangan
tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah budaya dalam pertumbuhan
ekonomi dipandang sebagai sarana saja, atau juga turut menjadi bagian dari
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dimensi kebudayaan dalam kehidupan
manusia tentunya dapat berperan lebih penting daripada mendukung
pertumbuhan ekonomi. Sektor pendidikan misalnya, dalam banyak hal turut
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pendidikan dapat bernilai
instrumental. Pada saat yang sama juga merupakan bagian penting dari
pembangunan kebudayaan, dengan nilai intrinsik. Oleh karena itu, kita tidak
bisa menempatkan kebudayaan pada posisi sebatas pendukung pertumbuhan
ekonomi (WWCD, 1996, hlm. 14). Paradigma dimensi kebudayaan sebagai
pilar pembangunan berkelanjutan menjadi penting karena akan berkaitan
dengan orientasi pembangunan dan pembuatan kebijakan.
Ketika budaya dipahami dalam menunjukkan produksi sosial dan transmisi
nilai-nilai, makna, dan tujuan, serta diakui bahwa sebagai ekspresi atas tujuan
dan aspirasi sosial maupun inti dari proses perencanaan masyarakat, maka
hubungan antara budaya dan perencanaan menjadi jelas. Begitu juga halnya
potensi untuk penggunaan budaya sebagai elemen inti dalam mekanisme yang
memfasilitasi perencanaan publik yang efektif (Hawkes, 2001, hlm. 1).
Perencanaan itu sendiri dirancang untuk kepentingan manusia, maka
ketahanan budaya menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang
berkeadilan sosial, bertanggung jawab atas lingkungan, dan kelayakan
ekonomi.
Menempatkan dimensi budaya dalam pembangunan juga mencakup berbagai
manfaat non-ekonomi, seperti inklusivitas sosial yang lebih besar dan berakar,
ketahanan, inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan bagi individu dan
masyarakat, serta penggunaan sumber daya lokal, keterampilan, dan
pengetahuan. Memberi penghormatan dan dukungan terhadap ekspresi-
ekspresi kebudayaan akan secara langsung berkontribusi memperkuat modal
sosial masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan di lembaga publik
(UNESCO, 2012, hlm. 4).
Lebih jauh, faktor budaya turut memengaruhi gaya hidup, perilaku individu,
pola konsumsi, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, dan
interaksi masyarakat dengan lingkungan. Identifikasi nilai-nilai, praktik, dan
identitas adalah prasyarat untuk pengembangan dari kemanusiaan, yang
memiliki peran yang signifikan membentuk hubungan dan membangun sebuah
9
jaringan dengan lingkungan sekitarnya (Kotane, 2011, hlm. 118). Sistem
pengetahuan lokal dan masyarakat adat dan praktik pengelolaan lingkungan
memberikan wawasan dan alat yang berharga untuk mengatasi tantangan-
tantangan ekologis.
10
11
BAB III
INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
engesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan
Kebudayaan merupakan langkah awal yang penting dalam perencanaan
pembangunan kebudayaan di Indonesia. Undang-Undang tersebut, mengatur
strategi yang menjabarkan arah pembangunan kebudayaan dalam 20 tahun
mendatang. Penjabaran Strategi Kebudayaan diturunkan lebih perinci ke dalam
bentuk Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Dokumen ini menjadi
salah satu bahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Bidang Kebudayaan yang menjadi acuan utama dalam penyusunan kebijakan
di bidang kebudayaan.
Dalam rangka mendukung implementasi RIPK dan RPJMN, diperlukan
mekanisme pengukuran melalui instrumen yang jelas. Sejak 2010
(Kebudayaan saat itu masih bergabung dengan Pariwisata), Direktorat Jenderal
Kebudayaan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyusun Indeks Pembangunan
Kebudayaan (IPK) terkait kebutuhan instrumen tersebut. Namun, sayangnya
IPK ini masih ditemukan banyak kelemahan karena terkendala oleh problem
konseptual yang digunakan sebagai kerangka dimensi dan indikator. Barulah
setelah lahirnya UU Tentang Pemajuan Kebudayaan, IPK kembali menjadi
pembahasan penting pada 2019.
Di tingkat global, pengukuran terhadap pembangunan kebudayaan telah
dilakukan UNESCO melalui program bernama Culture for Development
Indicators (CDIS) yang dikembangkan sejak 2009. CDIS bertujuan untuk
menyediakan pendekatan berbasis bukti dan informasi untuk pengenalan
budaya ke dalam strategi pembangunan nasional dan internasional, serta
perumusan kebijakan budaya.
CDIS digunakan sebagai alat metodologi pragmatis dan efektif dalam
mendukung pembangunan melalui analisis berbagai indikator di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Konsep ini menawarkan kesempatan
untuk memperkuat inklusi budaya dalam strategi pembangunan, karena
memberikan demonstrasi empiris tentang kontribusi budaya terhadap
pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.
Dalam CDIS, terdapat tujuh dimensi sebagai tolak ukur, yaitu ekonomi,
P
12
pendidikan, pemerintahan, partisipasi sosial, gender, komunikasi, dan warisan
budaya (UNESCO, 2014).
Ketujuh dimensi diturunkan ke dalam bentuk indikator, dimana masing-
masing dimensi memiliki satu hingga lima indikator. UNESCO mengklaim
bahwa CDIS menghasilkan fakta adanya kontribusi multidimensi budaya
terhadap pembangunan di tingkat nasional. Sebagai contoh, di Ekuador, CDIS
mengilhami dialog antar-institusi yang melibatkan kebudayaan dalam Rencana
Pembangunan Nasional; di Kamboja, pemerintah nasional menggunakan
indikator CDIS untuk menyusun Kebijakan Nasional Kebudayaan yang
diadopsi pada 2014.
Selain dokumen strategi kebudayaan, Pemerintah Indonesia menggunakan
CDIS sebagai rujukan dalam penyusunan IPK. Integrasi keduanya diharapkan
mampu menghasilkan indikator dan dimensi dalam pembangunan kebudayaan
yang lebih representatif sebagai alat ukur. IPK terdiri dari 31 indikator yang
dikelompokkan ke dalam 7 dimensi, yaitu:
DIMENSI INDIKATOR
Ekonomi
Budaya
Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung
pertunjukkan seni yang menjadikan keterlibatan sebagai sumber
penghasilan (terhadap masyarakat 15 tahun ke atas)
Pendidikan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) 25 tahun ke atas
Harapan Lama Sekolah (HLS)
Angka Kesiapan Sekolah (AKS)
Persentase Satuan Pendidikan yang mempunyai guru yang mengajar
muatan lokal bahasa daerah dan/atau seni budaya
Persentase penduduk penyandang disabilitas usia 7-18 tahun yang
bersekolah
Partisipasi pendidikan penduduk usia 7-18 tahun dengan kategori 40%
termisikin
Ketahanan
Sosial Budaya
Persentase masyarakat yang setuju jika ada sekelompok orang dari
agama lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat
tinggal.
Persentase masyarakat yang setuju jika ada sekelompok orang dari
suku lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat
tinggal.
Persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah
tangga Anda bersahabat dengan orang lain yang beda agama.
Persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah
tangga Anda bersahabat dengan orang lain yang berbeda suku.
Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengikuti
kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam tiga bulan
terakhir
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengikuti gotong
royong
13
DIMENSI INDIKATOR
Persentase rumah tangga yang tidak merasa khawatir dengan
keamanan saat berjalan kaki sendirian di malam hari dalam setahun
terakhir
Presentase masyarakat yang merasa aman di lingkungan tempat
tinggal
Warisan
Budaya
Persentase benda, bangunan, struktur, dan situs cagar budaya yang
telah ditetapkan terhadap total registrasi
Persentase warisan budaya takbenda yang telah ditetapkan terhadap
total registrasi
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menggunakan bahasa
daerah di rumah atau dalam pergaulan sehari-hari
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menonton secara
langsung pertunjukkan seni
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi
peninggalan sejarah/wardun
Persentase masyarakat yang menggunakan produk tradisional
Kebebasan
Ekspresi
Budaya
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan saran
atau pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti
kegiatan organisasi
Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung
pertunjukkan seni
Persentase rumah tangga yang menghadiri atau menyelenggarakan
upacara adat
Budaya Literasi Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang membaca selain kitab
suci baik cetak maupun elektronik dalam satu minggu terakhir
Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengakses
internet dalam tiga bulan terakhir
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi
perpustakaan/memanfaatkan taman bacaan masyarakat
Gender Rasio Tingkat partisipasi angkatan kerja usia 15 tahun ke atas
perempuan terhadap laki-laki
Rasio penduduk 25 tahun ke atas perempuan terhadap laki-laki yang
memiliki ijazah minimal SM/Sederajat
Rasio anggota parlemen perempuan terhadap anggota parlemen laki-
laki
A. Relevansi Dimensi Ekonomi untuk Pembangunan Kebudayaan
Pengaruh budaya terhadap kinerja suatu perekonomian masih menjadi suatu
asumsi yang mengikat dalam analisis ilmu ekonomi, khususnya dalam analisis
ekonomi neoklasik. Hal ini terkait dengan kesulitan ilmu ekonomi untuk
memahami peranan budaya itu sendiri. Selain itu juga karena sulitnya
mengkuantifikasi variabel budaya atau karena budaya itu sendiri melekat di
mana-mana, seperti dalam selera, kebiasaan, dan sebagainya. Akan tetapi,
dalam perkembangan yang terakhir, para ekonom mulai mengakui bahwa
14
budaya memang berpengaruh
terhadap kinerja ekonomi.
Namun, ada bagian dari
budaya yang tidak dapat
dijelaskan atau sebaiknya
tidak dijelaskan oleh ilmu
ekonomi (Casson, 1993).
Selama 20 tahun terakhir,
budaya sebagai sektor produktif telah memainkan peran yang semakin penting
dalam perekonomian nasional. Kegiatan budaya dan industri menjadi
pendorong pertumbuhan, memungkinkan diversifikasi ekonomi nasional,
menghasilkan pendapatan, dan menciptakan lapangan kerja di negara
berkembang. Industri kreatif dan budaya adalah salah satu sektor yang paling
cepat dan dinamis dalam pertumbuhannya pada ekonomi global, dengan rata-
rata pertumbuhan 17.6% dia Timur Tengah, 13.9% di Afrika, 11.9% di
America Latin, 9.7% di Asia, 6.9% di Oceania, and 4.3% di Amerika Utara
dan Tengah (UNESCO, 2014).
Sebagian besar, data yang dapat mendukung hal di atas belum terkonsolidasi
dan memiliki banyak celah. Namun, perkiraan berikut menggambarkan
kontribusi ekonomi global dari produk budaya dan kreatif. Sektor ini,
dipertimbangkan secara luas, menyumbang 3,4% dari PDB global pada tahun
2007 dan bernilai hampir US $ 1,6 triliun, ini mewakili hampir dua kali lipat
penerimaan pariwisata internasional untuk tahun yang sama.
Indonesia telah mengklasifikasi subsektor industri kreatif berjumlah 16
subsektor, yaitu (1) arsitektur, (2) desain interior, (3) desain komunikasi visual,
(4) desain produk, (5) film, animasi, video, (6) fotografi (7) kriya, (8) kuliner,
(9) musik, (10) fashion, (11) aplikasi dan game developer, (12) penerbitan, (13)
periklanan, (14) televisi dan radio, (15) seni pertunjukan, dan (16) seni rupa
(Perpres, 2015).
Di Indonesia sendiri, sektor ekonomi kreatif dan budaya telah banyak
berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2014, ekonomi
kreatif berkontribusi sebesar 7,1% terhadap PDB nasional, mampu menyerap
12 juta tenaga kerja, serta memberikan kontribusi perolehan devisa negara
sebesar 5,8%. Pada 2016, kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian
nasional sebesar 7,44%, menyumbang 922,59 triliun rupiah. Pada tahun 2015,
sektor ini menyumbangkan 852 triliun rupiah terhadap PDB nasional (7,38%),
menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,90%), dan nilai ekspor US$ 19,4 miliar
EKONOMI
Indikator Diskripsi
Kontribusi
aktivitas
budaya
untuk
penghasilan
ekonomi
Persentase penduduk yang pernah
terlibat sebagai pelaku/pendukung
pertunjukkan seni yang
menjadikan keterlibatan sebagai
sumber penghasilan (terhadap
masyarakat 15 tahun ke atas)
15
(12,88%). Secara keseluruhan, data juga menunjukkan peningkatan kontribusi
ekonomi kreatif yang signifikan terhadap perekonomian nasional dari tahun
2010-2015 yaitu sebesar 10,14% per tahun. Hal ini membuktikan bahwa
ekonomi kreatif memiliki potensi untuk berkembang di masa mendatang,
dimana sektor ini mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, salah satu yang memiliki potensi besar
dalam pertumbuhan ekonomi adalah produk seni dan jasa. Kedua subsektor
tersebut sebagai pendorong produktivitas dalam konteks ekonomi kreatif,
dengan memfokuskan ke dalam sub sektor industri kreatif di bidang kesenian
yang meliputi empat hal yaitu: (1) Kriya/kerajinan, (2) Seni rupa/pasar barang
seni, (3) Tari/pertunjukan), (4) Musik tradisional/musik.
Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan dan sebagai sarana
yang digunakan dalam menuangkan ekspresi rasa keindahan dalam jiwa
manusia. Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan
budaya terwujud dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,
seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal, dan seni drama. Kesenian adalah
ekspresi dari kejujuran jiwa, cerminan jiwa, ungkapan jiwa yang divisualkan
melalui berbagai macam media (Sunarya, 2005:84).
Sinergi antara keberadaan kesenian tradisional sebagai identitas kultural
masyarakat pendukung dan tuntutan industri pariwisata yang melakukan
komodifikasi budaya antara lain: komodifikasi budaya menjadi keniscayaan di
era ekonomi global yang berkembang di era pascamodernitas ini, terutama
ditandai dengan kian berkembangnya industri pariwisata (Irianto, 2016).
Untuk kontribusi PDB Ekonomi kreatif dari subsektor seni pertunjukan adalah
0,26% dan seni rupa 0,22%.
B. Relevansi Dimensi Pendidikan untuk Pembangunan Kebudayaan
Pendidikan merupakan salah satu wadah yang dapat secara maksimal
digunakan sebagai ajang penggemblengan karakter dan nilai-nilai kebajikan.
Sebagai ajang pembudayaan, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial
masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan
dengan tuntutan perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu
melakukan fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan
hukum perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
16
memperhatikan benar
modal kutlural dan modal
sosial di samping modal-
modal dasar lainnya.
Pendidikan sejatinya
harus berperan maksimal
dalam mengembangkan
kebudayaan nasional.
Untuk itu diperlukan
transformasi pedagogik
yang direncanakan, dilaksanakan dan dikontrol dengan baik. Hal-hal yang
dapat dilakukan misalnya mengembangkan civic intelligent yang termasuk di
dalamnya pendidikan multikultural dan pendidikan karakter pada lembaga
pendidikan yang menerapkan pendidikan berbasis komunitas (community
based education). Dalam konsep ini diharapkan akan diperoleh masyarakat
madani (civic society) yang memahami dengan baik hak-haknya dengan
menunaikan kewajiban-kewajibannya demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan refleksi kebudayaan yang dikonstruksi sebagai
instrumen yang berfungsi melestarikan sistem nilai budaya kepada generasi
muda, agar tidak terjadi ketegangan nilai yang dapat menyebabkan disintegrasi
sosial. Pelestarian nilai-nilai tersebut dilakukan melalui proses alih pengetahun
tentang pandangan hidup, norma-norma sosial, kesusilaan, adat, pengetahuan
dan teknologi dari para pendidik kepada peserta didik dalam pendidikan formal
dan non-formal. Pendidikan dituntut mampu memainkan peran sebagai agen
rekonstruksi sosial dan budaya. Pendidikan harus dimaknai sebagai proses
pembebasan, humanisasi, dan proses pembudayaan (M. Djamal, 2018: 48-61).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan adalah pengetahuan tradisional.
Artinya, pengetahuan merupakan suatu objek yang diperlukan untuk pemajuan
kebudayaan. Pengetahuan itu sendiri di peroleh antara lain melalui proses
pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses untuk melahirkan manusia
yang berbudaya yang dapat diartikan semakin terdidik sesorang maka semakin
PENDIDIKAN
Indikator Diskripsi
Pendidikan
inklusi
Rata-rata Lama Sekolah (MYS) 25 tahun
ke atas
Harapan Lama Sekolah (HLS)
Angka Kesiapan Sekolah (AKS)
Persentase penduduk penyandang
disabilitas usia 7-18 tahun yang bersekolah
Partisipasi pendidikan penduduk usia 7-18
tahun dengan kategori 40% termisikin
Pendidikan
budaya
dan bahasa
Persentase Satuan Pendidikan yang
mempunyai guru yang mengajar muatan
lokal bahasa daerah dan/atau seni budaya
17
berbudaya. Dalam CDIS UNESCO (2014), dijelaskan bahwa pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh selama menjalani siklus pendidikan akan sangat
berguna untuk perkembangan budaya dan kesejahteraan sosial suatu negara.
Dalam konteks peran pendidikan dalam kelestarian budaya, pendidikan
mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi individu dan
pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai mahluk berbudaya, pada
hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian
meningkatkan sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya
itu.
Mengembangkan sumber daya manusia Indonesia melalui pemberdayaan
manusia Indonesia, harus berdasarkan kebudayaan Indonesia, jauh dari
pandangan sempit kebangsaan - chauvinisme, haruslah ditegakkan dalam
setiap kegiatan pendidikan dan pemberdayaan (Gani, 2007). Oleh karena itu,
Indikator Rata-Rata Lama Sekolah dan Harapan Lama merupakan indikator
untuk memotret penduduk Indonesia mengenyam bangku sekolah, sayangnya
rata-rata lama sekolah Indonesia baru sekitar 8 tahun dari rata-rata lama
sekolah yang diharapkan adalah 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih
ada penduduk Indoensia yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana
mestinya. Padahal melalui proses pendidikan, seseorang dapat melakukan
pembangunan terhadap kebudayaan dan bangsanya.
Siklus pendidikan akan berkontribusi kepada pembangunan kebudayaan.
Pembangunan kebudayaan merupakan investasi untuk membangun masa
depan dan peradaban bangsa. Melalui pemajuan kebudayaan, diharapkan
kebudayaan dapat memperkukuh jati diri dan karakter bangsa, memperteguh
persatuan dan kesatuan bangsa, Indeks Dimensi Pendidikan sebesar 69,67, hal
ini menunjukkan bahwa kontribusi pendidikan dalam indeks pembangunan
kebudayaan.
1. Pendidikan Budaya dan Bahasa
Proses pembelajaran akan efektif apabila guru mau mempertimbangkan
dan mengakui perbedaan individu dan memberikan kesempatan pada anak
untuk menemukan dan menerapkan (Burden & Byrd, 1999).
Pertimbangan seperti ini sangat diperlukan untuk mempersiapkan anak
untuk lebih mampu dalam kehidupan bermasyarakat yang multikultural
dalam dimensi bahasa dan dapat mempermudah anak dalam memenuhi
kebutuhan dasar mereka yaitu komunikasi (Saxe,1996).
18
Bahasa daerah merupakan bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat
yang bersifat dinamis, yaitu mengalami perubahan-perubahan yang
tentunya juga mengarah pada pergeseran bahasa jika tidak diperhatikan
dengan seksama. Bahasa mempunyai relevansi yang kuat terhadap
kebudayaan masyarakat pemakai bahasa. Bahasa daerah merupakan salah
satu bukti adanya suatu peradaban dari suatu masyarakat dahulu yang
dalam konteks ini bisa berupa dalam bentuk verbal ataupun tulisan.
Oleh karena itu, bahasa daerah bisa diartikan sebagai sistem ilmu
pengetahuan yang di dalamnya terdapat nilai yang dimiliki oleh
masyarakat yang memengaruhi perilaku masyarakat itu sendiri. Sehingga
jika bahasa daerah berubah maka tidak mustahil jika itu berarti
menandakan terjadinya perubahan nilai-nilai yang dimiliki oleh
masyarakat baik terhadap pandangan hidup, perilaku sosial ataupun hal
lain yang sebenarnya merupakan ciri khas dari budaya masyarakat
tersebut.
Artinya, pendidikan multibahasa tidak hanya belajar menguasai bahasa
asing, tetapi juga bahasa daerah yang digunakan dalam masyarakat itu.
Pembelajaran bahasa-bahasa tersebut meningkatkan pembangunan
pendidikan dan pemberdayaan masyarakat minoritas, semakin
meningkatkan pemahaman di antara kelompok-kelompok sosial dan
budaya dan membangun kohesi sosial. Bahasa daerah memainkan peran
kunci dalam menyampaikan pandangan dunia tertentu dan cara makna
yang berbeda.
Dengan demikian, pengajaran, dan instruksi dalam, bahasa-bahasa
tersebut berkontribusi untuk mengkonsolidasikan nilai masing-masing
budaya sebagai kerangka kerja makna yang menawarkan kemungkinan
untuk pengembangan pribadi. Selain itu, bahasa-bahasa ini umumnya
dituturkan oleh minoritas linguistik yang menghadapi kesulitan belajar
lebih besar ketika diajarkan dalam bahasa asing. Demikian dengan, bahan
ajar dan pelajaran berdasarkan bahasa dan budaya kelompok dominan
cenderung semakin meminggirkan minoritas.
Promosi multibahasa, yaitu mengajar dua atau lebih bahasa dalam sistem
pendidikan, menghasilkan wawasan penting tentang sensitivitas budaya
dari kurikulum pendidikan dan tingkat dorongan antarbudaya. Selain itu,
ini terkait langsung dengan penghormatan terhadap hak-hak dasar. Oleh
karena itu, setiap satuan pendidikan formal perlu menyediakan tenaga
pendidikan dan fasilitas pengajaran terkait budaya atau bahasa daerah.
19
Berdasarkan hasil penelitian Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 652 bahasa daerah
yang terdiri atas sekitar 13.000 suku bangsa di Indonesia, menurut
UNESCO, setiap 15 hari sekali satu bahasa punah di dunia. Dari data
tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis, dan 11
bahasa daerah sudah punah. Sedangkan, menurut data yang disampaikan
oleh Jurnal Masyarakat dan Budaya sebagaimana dikutip dari Ethnologue:
Language of The World (2005), Indonesia memiliki kekayaan 742 bahasa
daerah. Sebanyak 737 bahasa di antaranya merupakan bahasa yang masih
aktif. Sementara menurut data yang dilaporkan Summer Linguistic,
Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, sebagian
sudah mengalami kepunahan seiring makin minimnya penutur.
David Crystal, pakar Linguistik (2000) mengatakan bahasa-bahasa yang
dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan
ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar
dari bahasa mayoritas. Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, Lewis
(2015) berpendapat suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin
sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan bahasa tersebut tidak
pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka.
Menurut data yang disajikan oleh badanbahasa.kemendikbud.go.id, faktor
penyebab terjadinya kepunahan bahasa antara lain adalah faktor ekonomi,
misalnya seperti kemiskinan yang terjadi di pedesaan yang memicu
terjadinya urbanisasi. Ketika sampai kota, mereka akhirnya melupakan
bahasa daerah dan lebih banyak menggunakan bahasa yang umum
digunakan di kota tujuan. Selain itu, faktor dominasi budaya oleh
masyarakat mayoritas juga berpengaruh, seperti bahasa mayoritas dan
bahasa negara di dalam pendidikan dan kepustakaan yang mengakibatkan
terpinggirnya bahasa daerah.
2. Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang menghargai
keberagaman. Pendidikan tersebut memandang bahwa setiap individu
dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Konsep
pendidikan inklusi muncul sebagai upaya atas perlakuan diskriminatif
dalam layanan pendidikan. Hal ini terutama untuk anak anak
berkebutuhan khusus. Prinsip dalam pendidikan inklusi bahwa
pembelajaran dapat berlangsung tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin mereka miliki.
20
Menurut para ahli, pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang
dirancang dan disusun untuk mengakomodir kebutuhan peserta didik.
Dapat juga diartikan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Indikator ini
mengakomodir peserta didik yang disabilitas sehingga memperoleh
pendidikan yang dapat berkontribusi guna pembangunan kebudayaan.
Pendidikan harusnya mampu mengakomodir seluruh masyarakat
Indonesia dari segara tingkatan sosial masyarakat.
C. Relevansi Dimensi Ketahanan Sosial Budaya untuk Pembangunan
Kebudayaan
Ketahanan sosial budaya memiliki peran penting dalam pembangunan
nasional, khususnya
pembangunan bidang
kebudayaan. Konsep
ketahanan (resilience)
oleh para ahli
disimpulkan sebagai
suatu respon kreatif
terhadap berbagai
kesulitan (adversity) dan
juga merupakan karakter
bawaan manusia yang
memungkinkannya
mengatasi situasi-situasi
negatif dalam kehidupan.
Dalam kaitannya dengan
pembangunan
kebudayaan, ketahanan
yang dimaksud dapat
dikatakan sebagai
kemampuan entitas
sosial-budaya
(masyarakat) dalam
KETAHANAN SOSIAL BUDAYA
Indikator Diskripsi
Toleransi Persentase masyarakat yang setuju jika ada
sekelompok orang dari agama lain yang
melakukan kegiatan di lingkungan sekitar
tempat tinggal
Persentase masyarakat yang setuju jika ada
sekelompok orang dari suku lain yang
melakukan kegiatan di lingkungan sekitar
tempat tinggal
Persentase masyarakat yang setuju jika salah
satu anggota rumah tangga Anda bersahabat
dengan orang lain yang beda agama
Persentase masyarakat yang setuju jika salah
satu anggota rumah tangga Anda bersahabat
dengan orang lain yang berbeda suku
Partisipasi
Sosial
Persentase penduduk berumur 10 tahun ke
atas yang mengikuti kegiatan sosial
kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam
tiga bulan terakhir
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang mengikuti gotong royong
Rasa
Aman
Persentase rumah tangga yang tidak merasa
khawatir dengan keamanan saat berjalan
kaki sendirian di malam hari dalam setahun
terakhir
Presentase rumah tangga yang percaya
menitipkan rumah pada tetangga
21
menerima, menyerap, mengatasi, dan menyesuaikan diri dari berbagai
ancaman (threats), baik yang berasal dari lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial.1 Di samping kemampuan dalam menghadapi ancaman lingkungan fisik,
seperti bencana (hazard), ketahanan sosial budaya juga dapat dilihat dari
kemampuan masyarakat secara sosio-kultural dalam menghadapi,
mentoleransi, dan menerima setiap unsur budaya dari luar masyarakat tersebut.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang terdiri dari berbagai
latar belakang yang beragam. Dua unsur yang sangat menonjol dari keragaman
itu adalah suku bangsa dan agama. Indonesia pernah dilanda konflik berlatar
belakang agama dan etnis yang berkepanjangan dan memakan korban yang
tidak sedikit. Padahal, setiap masyarakat nusantara memiliki sistem yang dapat
mencegah terjadinya konflik-konflik antar etnis dan agama seperti yang terjadi
di Poso dan Ambon, misalnya. Sistem-sistem nilai budaya tersebut kita kenal
juga dengan istilah kearifan lokal, tentunya dalam hal ini kearifan lokal dalam
menjaga kerukunan hidup dengan sesamanya dan antar kelompok masyarakat
yang berbeda. Sebagai misal, keragaman masyarakat yang ada di Kota
Makassar yang terdiri dari beragam etnis dan ras2, juga perbedaan agama di
dalamnya, dapat dieratkan dengan adanya nilai-nilai budaya lokal yang hidup
dalam masyarakat yang dikenal dengan sipakatau, sipakalebbi, dan siri’.3
Nilai-nilai budaya atau kearifan lokal tersebut sangat berperan dalam membina
kerukunan hidup para warga, terutama yang berlatar belakang etnis dan agama
yang berbeda.
Tentunya tidak hanya di Makassar saja yang tumbuh nilai-nilai lokal dalam
menjaga kerukunan dan keharmonisan antarwarga. Banyak daerah lain di
negeri ini yang memiliki nilai-nilai budaya lokal dalam menjaga kerukunan
antarwarganya. Berkaca dari pengalaman sejarah bangsa ini, bahwa nilai-nilai
budaya itu telah lama hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat sebagai bentuk ketahanan sosial masyarakat di masa-masa
tersebut. Sejarah menunjukkan, di Jawa dan Madura, pada era 1950-an telah
1 http://www.transre.org/index.php/blog/what-social-resilience 2 Berbagai etnis dan ras yang hidup saling berdampingan di Kota Makassar, antara lain Jawa,
Cina, Arab, Ambon, India dan Pakistan, serta tentunya Bugis Makassar sendiri (Muhdina,
2015). 3 Konsep sipakatau merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pada semua jenjang
posisi-posisi sosial dalam masyarakat atau dengan kata lain sikap yang memanusiakan
manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Sipakalebbi adalah wujud apresiasi yang mampu
melihat sisi baik dari orang lain dan memberikan ucapan bertutur kata yang baik atas prestasi
yang telah diraihnya. Siri’ yaitu sikap moral yang yang mampu menjaga stabilitas dan
berdimensi harmonis atau pangadereng (adat istiadat) yang berjalan secara dinamis
(Muhdina, 2015).
22
ada kesadaran diri masayarakat secara kolektif berupaya mengatasi persoalan-
persoalan yang mereka hadapi. Kehidupan masyarakat yang sifatnya komunal
masih sangat terasa di mana warga berpartisipasi aktif di hampir semua
kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal mereka. Kegiatan yang
sifatnya komunal tersebut dilakukan oleh warga karena adanya kesadaran
tentang pentingnya hidup bersama dan untuk menanggulangi berbagai
persoalan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, ketahanan sosial (budaya) ini,
mengikuti pemikiran Leitch (2017) adalah kemampuan individu maupun
kelompok untuk secara tepat waktu bertindak ketika keadaan stabil dan segera
beradaptasi mengatur diri dan tetap aktif terlibat dalam merespon kondisi yang
tak menentu. Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh Keck dan
Sakdaporlak (2013), ketahanan sosial tersebut memiliki tiga dimensi pokok,
yaitu kemampuan atau kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengelola
persoalan (coping capacities), kemampuan untuk menyesuaikan diri pada
kondisi tak menentu (adaptive capacities), dan kemampuan berubah
menyesuaikan tuntuan kondisi yang juga berubah (transformative capacities).
Perubahan sosial-budaya sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, perubahan sosial-budaya merupakan suatu keniscayaan dalam
masyarakat. Dalam hal ini, nilai-nilai budaya yang telah lama hidup dalam
masyarakat diupayakan tetap lestari dan dapat menjadi katalisator dalam
menghadapi perubahan zaman. Karakteristik masyarakat Indonesia beragam.
Sangat mudah terjadi gesekan dan salah paham. Berbagai kasus konflik
berlatar belakang etnis sangat mudah berkembang. Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) RI menyebutkan ketahanan nasional harus ditopang
oleh unsur-unsur kekuatan yang menyatu seperti sosial dan budaya guna
menghadapi segala macam tantangan, seperti radikalisme, sektarianisme,
krisis karakter dan budaya, krisis kebangsaan dan bernegara serta terpaan
ideologi trans-nasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana
keberterimaan masyarakat terhadap etnis dan agama lain sebagai bagian dari
kehidupan mereka perlu dilihat sebagai salah satu indikator ketahanan sosial
budaya masyarakat Indonesia.
Dalam rangka membangun karakter bangsa (national character building),
kebudayaan menjadi ujung tombak karena sasaran utama adalah penguatan
sumber daya manusia. Perlu dibangun nilai-nilai universal yang mampu
menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat, bukan malah menjadikan nilai-
nilai tradisi sebagai penguatan terhadap sikap-sikap primordial dan fanantisme
kedaerahan dan keagamaan yang kuat.
Indonesia merupakan negara multietnis dan multiagama. Dalam hal etnis,
Indonesia memiliki sedikitnya 300 kelompok etnis dan berdasarkan sensus
23
penduduk tahun 2010, jumlah etnis atau sukubangsa tidak kurang dari 1.340.
Jika dilihat dari komposisi agama, Islam merupakan agama paling besar
jumlah pemeluknya yang mencapai 88%, selebihnya adalah pemeluk Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan penganut aliran-aliran kepercayaan.
Konsekuensi dari keberagaman etnis dan agama tersebut sangat
memungkinkan terjadi gesekan-gesekan di antara warga, yang sebagian
besarnya berujung pada konflik berdarah. Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi),
Sampit (Kalimantan), Sambas (Kalimantan), Papua dan sejumlah daerah lain
tercatat pernah mengalami konflik berdarah berlatar belakang etnis dan agama.
Konflik tersebut memberikan dampak buruk yang cukup besar bagi perjalanan
kehidupan bangsa ini. Stigmatisasi terhadap etnis dan agama tertentu masih
terjadi hingga saat ini. Adanya kecurigaan-kecurigaan terhadap kelompok etnis
dan agama lain jika menyelenggarakan kegiatan adat/agamanya. Oleh karena
itu, untuk menjamin hubungan antarsukubangsa dan antaragama dalam
suasana yang harmonis patut menjadi perhatian pemerintah karena hal itu
merupakan salah satu bentuk dari ketahanan sosial budaya masyarakat
Indonesia.
Ketahanan sosial budaya dapat dimaknai sebagai kondisi dinamis yang berisi
keuletan dan ketangguhan yagn mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman,
gangguan, hambatan, dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun luar.
Kebudayaan sendiri merupakan gambaran seluruh cara hidup yang melembaga
dalam suatu masyarakat yang manifestasinya tampak dalam tingkah laku yang
dapat dipelajari. Dengan demikian, ketahan sosial budaya yang dibentuk oleh
kekuatan kebudayaan tertentu bisa dipelajari dan diupayakan untuk
meningkatkan kualitasnya. Ternyata kebudayaan mampu mengikat individu
untuk mewujudkan kesatuan dan melakukan aktivitas bersama dalam rangka
mempertahankan kehidupannya. Menurut Koentjaranignrat, nilai budaya
bangsa Indonesia mengandung empat konsep, yaitu (1) Manusia itu hidup
sendiri di dunia, tetapi dikelilingi komunitas, masyarakat, dan alam sekitarnya;
(2) Segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tergantung kepada
sesamanya; (3) Manusia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya, yang terdorong oleh jiwa sama rata-sama
rasa; (4) Manusia sedapat mungkin untuk bersifat conform, berbuat sama dan
bersama dalam komunitasnya, yang terdorong oleh rasa sama tinggi dan sama
rendah.
24
D. Relevansi Dimensi Warisan Budaya untuk Pembangunan
Kebudayaan
Warisan budaya atau tinggalan budaya dapat didefinisikan sebagai perangkat-
perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya
dari kolektivitas pemiliki simbol tersebut. Secara garis besar, warisan budaya
dapat dibedakan menjadi dua, tangible (berwujud) dan intangible (tak
berwujud). Dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, penekanan
warisan budaya hanya pada yang bersifat tangible, sesuai dengan pasal 1,
bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda
cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar
budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.
Warisan budaya adalah benda atau atribut tak berbenda yang merupakan jati
diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi
sebelumnya, yang dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang.
Warisan budaya dapat berupa benda, seperti monumen, artefak, dan kawasan,
atau tak benda, seperti tradisi, bahasa, dan ritual (Tjahjono, 2014). Pemaknaan
warisan budaya yang lain adalah ekspresi cara hidup yang dikembangkan oleh
suatu komunitas dan diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk adat
istiadat, praktik, tempat, benda, ekspresi dan nilai-nilai artistik. Warisan
Budaya sering
dinyatakan sebagai
Warisan Budaya
Takbenda atau benda
(ICOMOS, 2002).
Dalam UU No. 5
Tahun 2017 Tentang
Pemajuan
Kebudayaan, warisan
budaya identik dengan
istilah Objek Pemajuan
Kebudayaan (OPK),
yang meliputi: tradisi
lisan, manuskrip, adat
istiadat, ritus,
pengetahuan
tradisional, teknologi
WARISAN BUDAYA
Indikator Diskripsi
Pengelolaan
Warisan Budaya
Benda dan
Takbenda Secara
Berkelanjutan
Persentase benda, bangunan,
struktur, dan situs cagar budaya
yang telah ditetapkan terhadap total
registrasi
Persentase warisan budaya takbenda
yang telah ditetapkan terhadap total
registrasi
Pelestarian
(Pelindungan,
Pengembangan, dan
Pemanfaatan)
Masyarakat
terhadap Warisan
Budaya
Persentase penduduk usia 10 tahun
ke atas yang menggunakan bahasa
daerah di rumah atau dalam
pergaulan sehari-hari
Persentase penduduk usia 10 tahun
ke atas yang menonton secara
langsung pertunjukkan seni
Persentase penduduk usia 10 tahun
ke atas yang mengunjungi
peninggalan sejarah/wardun
Persentase masyarakat yang
menggunakan produk tradisional
25
tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional (Pasal 5).
Upaya pengelolaan dan pelestarian (pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan) terhadap OPK, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia
dan lembaga kebudayaan berdampak terhadap pembangunan kebudayaan.
Warisan budaya, dalam arti luasnya, merupakan produk dan proses, kekayaan
sumber daya msyarakat yang diwariskan dari masa lalu. Warisan budaya juga
merupakan hasil pemikiran dan proses masa sekarang yang akan
dianugerahkan untuk kepentingan generasi mendatang itu tidak hanya
mencakup warisan yang berwujud, tetapi juga alami dan tidak berwujud.
Namun, sumber daya ini adalah "kekayaan yang rapuh", dan karena itu
diperlukan kebijakan dan model pengembangan yang mampu melestarikan dan
menghormati keanekaragaman dan serta keunikannya, karena sekali hilang
sumber daya itu sukar dapat diperbarui (UNESCO, 2014).
Saat ini, warisan budaya secara inheren terkait dengan tantangan paling
mendesak yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan; mulai dari
perubahan iklim dan bencana alam (seperti hilangnya keanekaragaman hayati
atau akses ke air dan makanan yang aman), hingga konflik sosial dan politik,
pendidikan, kesehatan, migrasi, urbanisasi, marginalisasi, atau ketidaksetaraan
ekonomi. Untuk alasan ini, warisan budaya dianggap "penting untuk
mempromosikan perdamaian dan pembangunan sosial, lingkungan dan
ekonomi yang berkelanjutan".
Gagasan tentang warisan penting untuk budaya dan pembangunan sejauh itu
merupakan 'modal budaya' masyarakat kontemporer. Ini berkontribusi pada
revalorisasi terus-menerus kebudayaan dan identitas dan merupakan
kendaraan penting untuk mentransmisikan keahlian, keterampilan, dan
pengetahuan antar generasi. Ini juga memberikan inspirasi untuk kreativitas
dan inovasi yang menghasilkan produk-produk budaya kontemporer masa
depan.
Warisan budaya memiliki potensi untuk mempromosikan akses
keanekaragaman budaya dan apresiasi terhadapnya yang dapat memperkaya
modal sosial dengan membentuk rasa memiliki individu maupun kolektif yang
mendukung terwujudnya kohesi sosial dan teritorial. Selain itu, warisan
budaya memperoleh signifikansi ekonomi yang besar bagi sektor pariwisata di
banyak negara, sementara pada saat yang sama memunculkan tantangan baru
untuk melestarikannya.
Pengelolaan potensi pengembangan warisan budaya membutuhkan
pendekatan yang berfokus pada keberlanjutan. Dalam hal ini, keberlanjutan
butuh untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara mendapatkan
26
manfaat dari warisan budaya pada hari ini dan melestarikan kekayaan yang
rapuh itu untuk generasi mendatang.
Penggabungan yang tepat antara warisan budaya dan pembangunan
berkelanjutan membutuhkan perlindungan yang konsisten dari kondisi
lingkungan dan tindakan-tindakan yang merugikan, tetapi juga bagaimana
memelihara dan memperbaharui sumber daya itu secara terus menerus. Setiap
pendekatan yang menempatkan warisan budaya sebagai karya masa lalu akan
menimbulkan risiko mengubahnya menjadi entitas yang tetap dan beku, serta
kehilangan relevansinya untuk saat ini dan untuk masa depan. Memang,
pemahaman tentang warisan harus sedemikian rupa sehingga ingatan kolektif
masa lalu dan praktik-praktik tradisional atas fungsi sosial dan budaya warisan
tersebut, terus-menerus direvisi dan diperbarui, sehingga memungkinkan
setiap masyarakat untuk menjaga hubungan dengannya dan tetap
mempertahankan pemikiran, makna, dan fungsinya di masa depan.
Ketika melihat pentingnya warisan budaya dalam membangun kesejahteraan
hidup manusia, maka CDIS memberi perhatian yang besar pada proses-proses
yang keberlanjutan. Dibutuhkan hadirnya pandangan bahwa kelestarian
warisan akan sangat bergantung pada kebijakan dan tindakan yang menjamin
pelindungan kekayaan warisan budaya dengan mengatasi tantangan dan
dampak-dampak yang disebabkan oleh globalisasi, penelantaran, dan
eksploitasi berlebihan. Pelindungan itu dapat dilakukan dengan berinvestasi
dalam proses valorisasi dan revitalisasi untuk menciptakan kondisi yang
mampu menjamin keberadaan warisan budaya dan menghasilkan buah
pemikiran baru di masa depan. Pilar aksi publik ini memberikan dasar bagi
keberlanjutan warisan budaya itu masa sekarang serta kapasitasnya untuk
berkontribusi kepada pembangunan manusia yang lebih berkelanjutan di masa
depan.
E. Relevansi Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya Untuk Pembangunan
Kebudayaan
Ekspresi budaya memiliki peran penting dalam pembangunan kebudayaan.
Budaya hanya dapat berkembang ketika diberikan kebebasan untuk
berekspresi sehingga budaya itu tidak terkukung dalam lingkungannya sendiri
dan menghadapi resiko kepunahan yang besar akibat, semakin berkurang
jumlah pendukung yang menyelenggarakannya.
27
Sejak tahun 2009, Indonesia melalui Bappenas dan BPS menyusun Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI) bertujuan untuk mengkuantifikasikan
perkembangan
demokrasi pada
tingkat provinsi di
Indonesia. Atau
dengan kata lain
dapat dikatakan
bahwa Indonesia
mencoba mengukur
besar ruang
kebebasan ekspresi
yang ada di
kalangan
masyarakat ataupun
pemerintah pusat
dan atau daerah.
Gambaran yang diperoleh dari IDI mempunyai berbagai manfaat, yaitu
pertama mengenai studi perkembangan demokrasi di Indonesia karena tingkat
perkembangan tersebut didasarkan atas data-data yang jelas dengan tolok ukur
yang jelas pula. Data-data yang diperoleh dari IDI dapat membantu mereka
yang mempelajari perkembangan demokrasi dan demokratisasi di Indonesia,
seperti para mahasiswa, ilmuwan, dan wartawan.
Kedua bagi perencanaan pembangunan politik pada tingkat provinsi. Data-data
yang disampaikan oleh IDI mampu menunjukkan aspek atau variabel atau
indikator mana saja yang tidak atau kurang berkembang di sebuah provinsi
sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait untuk meningkatkan
perkembangan demokrasi di provinsi bersangkutan. Ketiga Aspek demokrasi
dalam penyusunan IDI adalah Kebebasan Sipil (Civil Liberties), Hak-Hak
Politik (Political Rights) dan Lembaga-lembaga Demokrasi (Institution of
Democracy).
Konsep IDI menganggap bahwa demokrasi, dalam pengertian poliarki ini,
adalah sebuah sistem pemerintahan dengan ciri-ciri sebagai berikut: Adanya
kebebasan warga negara untuk: (1) membentuk dan ikut serta dalam
organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4)
melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan
dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik penting, (5)
memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) ada pemilihan umum yang
jurdil, (7) adanya sumber-sumber informasi alternatif di luar yang diberikan
KEBEBASAN MENGEKSPRESIKAN BUDAYA
Indikator Diskripsi
Pengelolaan
Warisan Budaya
Benda dan
Takbenda Secara
Berkelanjutan
Persentase benda, bangunan, struktur, dan
situs cagar budaya yang telah ditetapkan
terhadap total registrasi
Persentase warisan budaya takbenda yang
telah ditetapkan terhadap total registrasi
Pelestarian
(Pelindungan,
Pengembangan,
dan Pemanfaatan)
Masyarakat
terhadap Warisan
Budaya
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang menggunakan bahasa daerah di rumah
atau dalam pergaulan sehari-hari
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang menonton secara langsung
pertunjukkan seni
Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas
yang mengunjungi peninggalan
sejarah/wardun
Persentase masyarakat yang menggunakan
produk tradisional
28
pemerintah, dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan
pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk ekspresi
keinginan lainnya, dan karena itu harus ada jaminan pemilhan umum secara
periodik sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terbuka untuk
dievaluasi dan dipertanggungjawabkan dalam pemilihan umum tersebut.
Untuk aspek kebebasan sipil memiliki beberapa variabel, yaitu:
1. Kebebasan berkumpul dan berserikat. Berkumpul adalah aktivitas
kemasyarakatan dalam bentuk pertemuan yang melibatkan lebih dari 2
orang. Sedangkan berserikat adalah mendirikan atau membentuk
organisasi, baik terdaftar atau tidak terdaftar di lembaga pemerintah.
2. Kebebasan Berpendapat; yakni kebebasan individu dan kelompok untuk
mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, dan perasaan, tanpa
adanya rintangan berupa tekanan fisik, psikis dan pembatasan.
3. Kebebasan Berkeyakinan; yakni kebebasan individu untuk untuk
meyakini kepercayaan atau agama diluar kepercayaan atau agama yang
ditetapkan pemerintah, serta tidak adanya tindakan represi dari satu
kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain yang menolak
kebijakan pemerintah terkait dengan salah satu keyakinan.
4. Kebebasan dari Diskriminasi; yakni kebebasan dari perlakuan yang
membedakan individu warga negara dalam hak dan kewajiban yang dia
miliki dimana pembedaan tersebut didasarkan pada alasan gender, agama,
afiliasi politik, suku/ras, umur, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan
hambatan fisik.
Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia yaitu sebesar 67,30 dengan
aspek kebebasan sipil itu cukup tinggi, yaitu 86,97. Hal ini menunjukkan
bahwa secara nasional apresiasi untuk kebebasan sipil di Indonesia itu sudah
cukup baik.
Hasil riset ekspresi budaya membangun pada masyarakat Jeron Beteng,
kecamatan Kraton Yoyakarta menunjukkan bahwa ketika masyarakat
diberikan kebebasan untuk mengaktualisasikan budaya dan agamanya, maka
akan terjadi perubahan dalam masyarakat tersebut. Perubahan budaya yang
terjadi adalah a) pertimbangan-pertimbangan komersial mulai mempengaruhi
pola pikir masyarakat dalam pemanfaatan ruang/rumahnya bahkan mulai
mempengaruhi semangat kerja dan penetapan tujuan hidup; b) kepercayaan
dalam budaya Jawa (paham kosmos) mulai berkurang sehingga masyarakat
mulai mempertimbangkan ajara-ajaran secara benar; c) kebutuhan terhadap
privasi individu mulai meningkat, lebih dominan dibandingkan dengan
pemahaman kebersamaan; d) minat seni masyrakat mulai bergeser ke arah seni
modern; e) mulai tumbuh sifat indivualislitis. Sebaliknya, keberlanjutan
29
budaya masyarakat yang masih tetap dipertahankan adalah (a) prinsip rukun
telah dipertahankan dan mewarnai berbagai interaksi sosial masyarakat sehari-
hari dan b) klasifikasi komunikasi masih dipertahankan terkait dengan
klasifikasi sosial.
Selain kebebasan berekspresi, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi
itu perlu dilakukan untuk pembangunan kebudayan. Hasil riset Kholis Roisah
menunjukkan bahwa terjadi persoalan pada ekspresi budaya tradisional (EBT)
(Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folkore) sebagai salah satu
bentuk dari kekayaan intelektual tradisional. EBT memiliki nilai budaya yang
sangat besar sebagai bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang
bahkan dalam masyarakat modern di penjuru dunia. Sementara di sisi lain,
mereka juga memegang peran penting sebagai bagian dari identitas sosial dan
wujud ekspresi budaya dari suatu masyarakat lokal. Ekspresi budaya
tradisional Indonesia juga mempunyai potensi ekonomi yang menjanjikan
terutama terkait dengan industri pariwisata dan industri ekonomi kreatif. Di
bidang industri pariwisata misalnya, industri pariwisata di Bali yang hampir
semuanya berbasis EBT mempunyai sumbangan yang sangat besar sebagai
sumber pendapatan ekonomi daerah dan menjadikan Bali dikenal seluruh
dunia. Di bidang industri ekonomi kreatif terutama produk kerajinan berbasis
EBT seperti, kerajinan batik, ukir kayu, ukir tembaga, perak adalah produk
mempunyai sumbangan yang cukup besar untuk menyumbang devisa
negara.Perlindungan HKI ini ternyata tidak mampu melindungi Ekspresi
Budaya Tradisional (EBT) secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap Ekspresi Budaya Tradisional melalui sistem
Hukum Kekayaan Intelektual (HKI), karena perbedaan karakteristik antara
HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan
karakteristik antara HKI dan EBT. Walaupun sama-sama bersumber pada
kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat
perbedaan dalam karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam
bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan di dengar, tapi
kalau dalam EBT bentuk gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam
bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak
berwujud). Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan
ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan species sebagai karya
atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan
sebelumnya (originality), kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya
cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun
temurun.
30
Indikator Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya dalam Indeks Pembangunan
Kebudayaan adalah sebagai berikut:
1. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan saran atau
pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir
2. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti kegiatan
organisasi
3. Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung
pertunjukkan seni
4. Persentase rumah tangga yang menghadiri atau menyelenggarakan
upacara adat
Indikator dalam Indeks Pembangunan Kebudayaaan ini sudah reprensentatif
untuk mengukur kebebasan ekspresi budaya yang berkembang di masyarakat.
Untuk indikator Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan
saran atau pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir dan
persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti kegiatan
organisasi merupakan indikator untuk mengukur kebebasan ekspresi budaya
atau dapat juga dikatakan demokrasi yang terjadi masyarakat secara
keseluruhan, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan, seperti yang di
uraikan pada Indeks Demokrasi Indonesia. Sedangkan untuk indikator
persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung
pertunjukkan seni dan persentase rumah tangga yang menghadiri atau
menyelenggarakan upacara adat merupakan indikator yang mengukur ekspresi
budaya tradisional yang terjadi di suatu daerah yang melibatkan kebudayaan
tradisonal dari setiap daerah tertentu.
F. Relevansi Dimensi Literasi untuk Pembangunan Kebudayaan
Indikator yang digunakan untuk
mengukur Budaya Literasi masih
terbatas pada literasi membaca.
Padahal, jika berbicara tentang
budaya literasi, kegiatan
membaca erat kaitannya dengan
kemampuan menulis. Keduanya
memiliki korelasi positif dengan
kemampuan berbahasa dan
penguasaan kosakata. Jika
seseorang memiliki kegemaran
membaca dan kemampuan
LITERASI
Indikator Diskripsi
Budaya
Literasi dalam
Masyarakat
Persentase penduduk usia 10
tahun ke atas yang membaca
selain kitab suci baik cetak
maupun elektronik dalam satu
minggu terakhir
Persentase penduduk berumur
10 tahun ke atas yang
mengakses internet dalam tiga
bulan terakhir
Persentase penduduk usia 10
tahun ke atas yang
mengunjungi perpustakaan/
memanfaatkan taman bacaan
masyarakat
31
menulis yang baik, maka ia akan bisa menemukan kata atau istilah yang tepat
untuk mengungkapkan suatu hal. Budaya literasi yang kuat ditandai dengan
adanya kecakapan membaca dan menulis yang baik. Oleh sebab itu, dalam
menyusun Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) mungkin perlu untuk
memasukkan indikator-indikator yang bisa mengukur kemampuan menulis.
Dalam Gerakan Literasi Nasional (GLN), indikator-indikator untuk mengukur
tingkat literasi dilihat dalam tiga arena yaitu sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Kemampuan literasi di tingkat sekolah diukur dengan melihat
indikator-indikator yang berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat.
1. Indikator-indikator berbasis elas di antaranya:
2. jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala sekolah, guru,
dan tenaga kependidikan,
3. intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi numerasi dalam kegiatan
pembelajaran, baik berbasis masalah maupun berbasis proyek,
4. Skor PISA, PIRLS, dan INAP mengenai literasi membaca.
Indikator-indikator untuk basis budaya sekolah, di antaranya:
1. jumlah dan variasi bahan bacaan,
2. frekuensi peminjaman bahan bacaan di perpustakaan,
3. jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi baca-tulis,
4. terdapat kebijakan sekolah mengenai literasi baca-tulis,
5. jumlah karya (tulisan) yang dihasilkan siswa dan guru, dan
6. terdapat komunitas baca-tulis di sekolah.
Indikator-indikator untuk berasis masyarakat, di antaranya:
1. jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi baca-tulis di sekolah
dan
2. tingkat keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
literasi baca-tulis di sekolah.
Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian literasi baca-tulis dalam
keluarga di antaranya:
1. jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki keluarga
2. frekuensi membaca dalam keluarga setiap harinya
3. jumlah bacaan yang dibaca anggota keluarga
4. jumlah tulisan anggota keluarga (memo, kartu ucapan, baik cetak maupun
elektronik, catatan harian di buku atau blog, artikel, cerpen, atau karya
sastra lain), dan
5. jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan berdampak pada
keluarga.
32
Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian literasi baca-tulis di
masyarakat, di antaranya:
1. jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki fasilitas public;
2. frekuensi membaca bahan bacaan setiap hari;
3. jumlah bahan bacaan yang dibaca oleh masyarakat;
4. jumlah partisipasi aktif komunitas, lembaga, atau instansi dalam
penyediaan bahan bacaan;
5. jumlah fasilitas publik yang mendukung literasi baca tulis;
6. jumlah kegiatan literasi baca-tulis yang ada di masyarakat;
7. tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan literasi;
8. jumlah publikasi buku per tahun;
9. kuantitas pengguna Bahasa Indonesia di ruang publik; dan
10. jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan berdampak pada
masyarakat.
Indikator-indikator yang telah disusun oleh Tim GLN di atas cukup
komprehensif untuk mengukur pencapaian literasi, khususnya literasi baca-
tulis, pada setiap aspek-aspek yang telah ditentukan tersebut. Adapun untuk
kepentingan Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) bisa diadopsi beberapa
indikator tersebut untuk memperkaya Dimensi Budaya Literasi.
Sekolah merupakan arena yang ideal untuk menumbuhkan budaya literasi,
khususnya di kalangan peserta didik. Oleh karena itu, indikator-indikator yang
bisa dipertimbangkan untuk digunakan oleh Tim Penyusun IPK adalah antara
lain, jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala sekolah, guru,
dan tenaga kependidikan. Indikator ini penting karena tingkat kemampuan
membaca dan menulis siswa yang baik juga didukung oleh kecakapan literasi
kepala sekolah, guru, maupun tenaga kependidikan di sekolah sehingga budaya
literasi menjadi luas spektrumnya, tidak hanya diukur dari kemampuan literasi
peserta didik saja.
Puslitjakdikbud tahun 2017 melakukan kajian dalam rangka mengevaluasi
program literasi, khususnya Gerakan Literasi Sekolah. Tujuan dari kajian
tersebut adalah mengevaluasi program literasi di tingkat SD dan SMP di daerah
yang dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat literasi rendah dan daerah
dengan tingkat literasi tinggi. Kategori ini diperoleh dari Nilai Capaian Budaya
Literasi Sekolah. Dari pengkategorian tersebut, Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Palangkaraya mewakili daerah dengan tingkat literasi rendah serta
Kabupaten Malang dan Kota Padang mewakili daerah dengan tingkat literasi
tinggi. Hasil temuan kajian tersebut mengungkapkan bahwa berdasarkan
indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian literasi, pelaksanaan GLS di
Sekolah Rujukan dan Sekolah Bukan Rujukan menunjukkan hasil yang
33
berbeda. Pada SD Rujukan rata-rata pelaksanaan GLS mencapai 93 persen,
SMP Rujukan sebesar 77 persen, sedangkan di SD dan SMP Bukan Rujukan
rata-rata berada di kisaran 60 persen. Untuk kepentingan IPK Dimensi Budaya
Literasi bisa dipertimbangkan untuk memasukkan indikator ketercapaian
literasi berdasarkan daerah dengan tingkat literasi rendah dan tinggi. Datanya
bisa diperoleh dari Nilai Capaian Budaya Literasi di setiap sekolah di berbagai
daerah.
Kajian tersebut juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan GLS masih banyak
mengalami hambatan terutama berkenaan dengan sumber daya pendukung,
seperti kondisi perpustakaan sekolah, ruang baca, dan jumlah buku, terutama
buku fiksi dan buku referensi. Dalam kaitannya dengan IPK, khususnya
Dimensi Budaya Literasi, dirasa perlu diusulkan indikator-indikator yang
mampu mengukur ketersediaan sarana dan prasarana pendukung literasi
terhadap kemampuan membaca dan menulis, baik di sekolah, keluarga, mapun
masyarakat. Selain itu, keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam
mengembangkan literasi baca-tulis juga berperan besar dalam mendukung
budaya literasi, sehingga indikator-indikator yang bisa mengukur tingkat
keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendukung literasi baca-tulis
perlu dipertimbangkan.
Tahun 2018 Puslitjakdikbud juga melakukan sebuah kajian untuk melihat
aktivitas literasi masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk menhasilkan Indeks
Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) dengan mengkaji beberapa hal.
1. Mengkaji dimensi dan indikator apa saja yang dapat menggambarkan
aktivitas literasi membaca masyarakat;
2. Mengkaji dan menentukan cara penyusunan indeks yang tepat untuk
mengukur tingkat aktivitas literasi tersebut.
Kajian ini menghasilkan 4 (empat) dimensi untuk menyusun Indeks Alibaca,
yaitu Dimensi Kecakapan (Proficiency), Dimensi Akses (Access), Dimensi
Alternatif (Alternatives), dan Dimensi Budaya (Culture). Setiap dimensi
dianggap sebagai faktor yang secara Bersama-sama turut mendukung
terjadinya aktivitas literasi membaca. Kemudian ditetapkanlah indikator-
indikator untuk setiap dimensi tersebut, antara lain:
1. Dimensi Kecakapan: melek huruf latin, rata-rata lama sekolah;
2. Dimensi Akses: perpus sekolah, tenaga pengelola perpus sekolah,
perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, membeli surat kabar/koran,
membeli majalah/tabloid
3. Dimensi Alternatif: sekolah dengan jaringan internet, mengakses internet,
menggunakan computer
34
4. Dimensi Budaya: membaca surat kabar, membaca buku, membaca artikel
di media elektronik/internet, mengunjungi perpustakaan, dan
memanfaatkan taman bacaan.
Indikator-indikator yang digunakan dalam kajian tersebut juga digunakan oleh
IPK untuk dimensi Budaya Literasi. Hanya saja beberapa indikator dalam
kajian ini, seperti rata-rata lama sekolah, melek huruf latin, tenaga
perpustakaan sekolah/umum, membeli surat kabar/majalah/tabloid, dapat
digunakan dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) untuk memperkaya
Dimensi Literasi.
Aspek-aspek (indikator) literasi dilihat dari sudut pandang industri penerbitan
(Studi BFI dan Komite Buku Indonesia):
1. Tahun 2018 tercatat 68.290 buku yang ada di Indonesia. Terjual
34.710.791 eksemplar dari 44.599 judul buku.
2. Dari sudut pandang penerbitan, beragamnya daerah di Indonesia dapat
dibangun dengan melihat beberapa aspek:
a. Tingkat melek huruf;
b. Jumlah perpustakaan lokal (negeri dan swasta);
c. Komunitas terkait buku (perpustakaan bergerak);
d. Jumlah koleksi buku perpustakaan;
e. Statistik penerbit lokal, buku yang diterbitkan, statistik sekolah,
universitas, dan fasilitas pendidikan.
35
Berdasarkan data dari Perpusnas, terdapat 8.807 industri penerbitan tersebar di
sepanjang lanskap Indonesia yang menerbitkan lebih dari 30.000 judul buku
setiap tahunnya. Setiap tahunnya ada kecenderungan permintaan buku
meningkat terutama musim ajaran baru sekolah. oleh karena itu, ada hubungan
yang erat antara pasar penerbitan dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Sumber: Tren ‘musiman’ pencarian dan publikasi di Indonesia (Google Trends, 2019)
Aspek penerbitan buku memiliki hubungan dengan tingkat literasi di suatu
daerah. Semakin maju daerahnya, fasilitas literasi yang tersedia, misalnya toko
36
buku, perpustakaan, dan taman bacaanjuga lebih banyak dibanding dengan
daerah yang dikategorikan berkembang maupun belum berkembang, sehingga
budaya literasi juga bisa diukur dari jumlah penerbitan buku di suatu daerah.
G. Relevansi Dimensi Gender untuk Pembangunan Kebudayaan
Ketidaksetaraan pada sektor
pendidikan telah menjadi faktor
utama yang paling berpengaruh
terhadap ketidaksetaraan gender
secara menyeluruh. Latar belakang
pendidikan yang belum setara
antara laki-laki dan perempuan
menjadi faktor penyebab
ketidaksetaraan gender dalam
semua sektor seperti lapangan
pekerjaan, jabatan, peran di
masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat (Suryadi dan Idris,
2004: 17).Masalah kesetaraan gender pada bidang pendidikan sudah menjadi
tuntutan yang sifatnya universal. Deklarasi dunia HAM menyatakan
pendidikan adalah hak setiap orang, untuk itu orang harus mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dengan tanpa
membedakan jenis kelamin. Pada tataran internasional, telah disepakati
kebijakan education for all di Dakar Senegal, dengan salah satu komponennya
adalah kesetaraan gender bidang pendidikan (Nurhaeni, 2009b: 1-2):
1. Menjamin bahwa menjelang 2015 semua anak, khususnya anak
perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk
minoritas etnik mempunyai akses dalam menyelesaikan pendidikan dasar
yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik.
2. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat literacy orang dewasa menjelang
2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan
dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
3. Menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah
menjelang 2005 dan mencapai persamaan pendidikan menjelang 2015
dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi
yang sama dalam pendidikan dasar yang berkualitas baik.
4. Melaksanakan strategi-strategi terpadu untuk persamaan gender dalam
pendidikan yang mengakui perlunya perubahan sikap, nilai, dan praktek.
GENDER
Indikator Diskripsi
Kesetaraan
di Bidang
Pekerjaan
Rasio Tingkat partisipasi
angkatan kerja usia 15 tahun ke
atas perempuan terhadap laki-
laki
Kesetaraan
di Bidang
Pendidikan
Rasio penduduk 25 tahun ke
atas perempuan terhadap laki-
laki yang memiliki ijazah
minimal SM/Sederajat
Kesetaraan
di Bidang
Politik
Rasio anggota parlemen
perempuan terhadap anggota
parlemen laki-laki
37
Dalam UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk
pembangunan di bidang pendidikan. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal yang mendukung kesetaraan
pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk memperoleh pendidikan,
dalam Pasal 48: “Wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di
semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang
telah ditentukan”.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
menetapkan bahwa sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan. Sejalan dengan itu, Pasal 4 ayat 1 menyebutkan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dengan meningkatnya pendidikan, diharapkan kualitas sumber daya
perempuan akan semakin meningkat, sehingga perempuan mampu
memanfaatkan berbagai kesempatan dan peluang yanga da dengan sebaik-
baiknya serta mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal
mungkin (Kintamani, 2008: 1071). Pendidikan yang rendah sangat
berpengaruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi dimana mereka
lebih banyak terkonstentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah
(Dzuhayatin, 2002: 45). Rendahnya tingkat pendidikan penduduk perempuan
akan menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar dalam
pembangunan (Suryadi, 2011: 11). Peningkatan taraf pendidikan dan
hilangnya diskriminasi gender dapat memberikan ruang bagi perempuan untuk
berperan dalam pembangunan dan ikut menentukan kebijakan di bidang
ekonomi, sosial, dan politik (Suryadi, 2001: 17-18).
Terdapat beberapa konsep mengenai gender, diantaranya adalah yang
diungkapkan oleh Mosse (2007; dalam Fitriatnti, 2012) bahwa gender
merupakan seperangkat peran yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki,
bukan secara biologis dan peran ini dapat berubah sesuai dengan budaya, kelas
sosial, usia dan latar belakang etnis. Dalam hal ini, gender menentukan
berbagai pengalaman hidup, yang dapat menentukan akses terhadap
pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya. Dalam kaitan ini, gender
berkaitan dengan kualitas dan relasi yang dibentuk dalam hubungan kekuasaan
dan dominasi dalam struktur kesempatan hidup perempuan dan laki-laki,
pembagian kerja yang lebih luas dan pada gilirannya berakar pada kondisi
produksi dan reproduksi yang diperkuat oleh sistem budaya, agama dan
38
ideologi yang berlaku dalam masyarakat (Ostergaard, 1997; dalam Fitriani,
2012).
Ann Oakley, mengatakan bahwa gender merupakan alat analisis yang baik
untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara
umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang,
melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi social budaya bahkan melalui
kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi”
secara social budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara
laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya menjadi seolah-olah
ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya
kodrat wanita adalah hasil konstruksi social dan budaya atau gender. Gender
mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang
bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan
masyarakat dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan (Sutinah,
2004: 313:339).
Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat ketidaksetaraan berdasarkan
gender, hal ini mengacu pada ketidakseimbangan akses terhadap sumber-
sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber penting itu meliputi
barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan
medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan
pelatihan serta kebebasan dari paksaan atau sisksaan fisik. Dalam kaitan ini,
ketidaksetaraan gender merupakan sistem dan struktur di mana, kaum laki-laki
atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. perwujudan
ketidaksetaraan tersebut saling berkaitan, berhubungan dan saling
mempengaruhi secara dialektis. Dalam konteks ini, perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidaksetaraan, terutama terhadap kaum perempuan
(Chafetz, 1991; dalam Fitrianti, 2012).
Perempuan merupakan bagian terbesar dari kaum miskin dan terpinggirkan di
seluruh dunia. Menurut Laporan Kesenjangan Gender Global dari Forum
Ekonomi Dunia 2018, akan dibutuhkan 202 tahun untuk menutup kesenjangan
gender ekonomi global dunia. Bentuk ketidaksetaraan ekonomi, misalnya
perempuan hanya dapat memiliki tanah di 41% dari negara yang disurvei. Di
bidang profesional, hanya 34% dari posisi manajerial yg dipegang perempuan.
Peran perempuan dalam ekonomi informal merupakan tantangan berbasis
gender lainnya dimana perempuan sebagai mayoritas dari ekonomi informal,
39
menghabiskan dua kali lebih banyak waktu untuk tugas-tugas yang tidak
dibayar dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena ekonomi informal tidak
diatur, maka perempuan rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan. Secara
politis, dari 149 negara yang disurvei, hanya 17 negara yang saat ini memiliki
perempuan sebagai kepala negara. Selain itu, hanya 18% yang menjadi menteri
dan 24% diantara para anggota parlemen di seluruh dunia terdiri atas
perempuan (World Economic Forum’s Global Gender Gap Report; 2018).
Terdapat temuan lainnya terkait gender, yang diungkapkan oleh Ruwaida
(2010) yaitu mengenai Respon Lokal dalam Pemberdayaan Ekonomi
Perempuan: Kajian Dinamika Lokal dalam Perspektif Gender, ia menyatakan
adanya anggapan bahwa jika partisipasi ekonomi perempuan dipandang
sebagai hak dasar, maka persoalan demokrasi ekonomi dalam konteks Otoda
menjadi hal yang relevan dan signifikan dengan keadilan gender. Terdapat
indikasi masih terbatasnya respon lokal karena tidak banyak inisiatif lokal
dalam merancang kebijakan yang bertujuan memberdayakan perempuan
sebagai pelaku ekonomi, kebijakan yang ada, khususnya temuan di Kabupaten
Lotim dan Bima, NTB yang masih cenderung mereplikasi upaya penguatan
kapasitas usaha dan pelaku usaha, tapi belum membangun kesadaran kritis dan
kemampuan perempuan untuk bersuara dan melakukan pilihan tindakan dalam
tatanan ekonomi yang tidak berkeadilan. Sementara itu, terdapat temuan
lainnya bahwa dalam penciptaan karya seni, sebagai wujud hasil proses
budaya, kadang-kadang menampakkan pembedaan kewenangan antara pria
dan wanita sehingga mengakibatkan pula perbedaan kepemilikan diantara
mereka, sebagai akibat sistem sosial budaya daripada didasarkan pada
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang (Fakih, 1997; dalam Nugrahani &
Dwiyanto, 2002).
Di wilayah yang masih kental akan budaya patriarki, perempuan umumnya
lebih tertinggal dari laki-laki baik di bidang kesehatan, pendidikan dan
ekonomi. Hal ini terjadi karena norma yang ada pada budaya patriarki
seringkali merugikan perempuan dengan menempatkannya sebagai “warga
kelas dua” (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak
dan BPS, 2018).
Gender mengacu pada atribut, peluang sosial, dan hubungan yang terkait
dengan laki-laki dan perempuan. Atribut, peluang dan hubungan ini dibangun
dan dipelajari secara sosial melalui proses sosialisasi. Gender mengacu pada
atribut, harapan, dan norma sosial, perilaku, dan budaya yang terkait dengan
menjadi perempuan atau laki-laki (UN Women dalam World Bank, 2012).
Istilah gender seringkali disamaartikan dengan jenis kelamin. Padahal
keduanya merupakan hal yang berbeda. Jenis kelamin sendiri mengacu pada
40
kondisi fisik yang secara lahiriah dimiliki oleh seseorang. Ketika seseorang
terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, terdapat perbedaan norma dan
perilaku antarkeduanya. Perbedaan perlakuan inilah yang kemudian
membentuk peran, perilaku, dan atribut yang dikonstruksikan secara sosial
dalam masyarakat yang seringkali disebut dengan gender (Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan BPS, 2018: 3).
Perbedaan perlakuan, norma dan pandangan yang terbentuk di masyarakat
antara laki-laki dan perempuan berdampak pada berbagai hal di kehidupan.
Diskriminasi gender menimbulkan perbedaan capaian antara laki-laki dan
perempuan yang disebut dengan ketimpangan gender. Di berbagai wilayah di
dunia, seperti di Indonesia, ketimpangan ini diperkuat dengan tumbuhnya
budaya patriarki yang lebih mengutamakan lakilaki dibanding perempuan.
Budaya patriarki menempatkan lakilaki sebagai pihak yang bertanggungjawab
pada peran publik, sedangkan perempuan hanya berkutat di peran domestik
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan BPS,
2018: 3).
Faktor sosial dan budaya yang selama ini berkembang di Indonesia
mengakibatkan perbedaan pandangan tentang pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab di sektor domestik,
sedangkan laki-laki di sektor publik. Sebagian perempuan yang memutuskan
untuk masuk ke dunia kerja pun tak jauh dari pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga. Pekerja pabrik hampir sebagian besar adalah kaum perempuan, artinya
mereka masuk ke dunia yang tidak ada hubungannya dengan tugas domestik.
Meskipun demikian, ketika mereka kembali ker rumah memang pekerjaan
domestik by culture melekat dengan dirinya Mereka akan memasak, menyuci,
menyeterika pakaian, dan mengajar anak seperti lazimnya ibu rumah tangga.
Hal ini berdampak pada rendahnya partisipasi kerja perempuan terutama di
sektor formal. Padahal partisipasi perempuan di sektor formal menjadi hal
terpenting bagi pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan (Corner, 2011). Kualitas sumber daya manusia,
karakteristik sosial, budaya, keadaan geografi dan masih banyak hal yang
berpengaruh terhadap pencapaian pemberdayaan gender setiap wilayah.
Berkaitan dengan gambaran tersebut, sangat penting bagi kita untuk
mewujudkan adanya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan,
khususnya jika dikaitkan dengan pemajuan kebudayaan. Apabila kita kembali
kepada tradisi mendidik anak di usia muda menjadi tanggung jawab dari ibu,
maka anak mengenal kebudayaan dari ibu bukan dari bapak, mereka mengenal
bahasa, jenis makanan, cara makan, istilah-istilah yang berhubungan dengan
lingkungan justru dari ibu. Maka sudah pada tempatnya bila perempuan justru
41
ditempatkan pada baris pertama pemajuan kebudayaan, kalau istilah ini
diartikan sebagai proses pembangunan kebudayaan. Akan tetapi bila kata
‘pemajuan kebudayaan’ tersebut diganti dengan ‘keberlanjutan budaya’ maka
artinya menjadi lain sama sekali. Perempuan justru berperan sebagai transmiter
budaya jauh lebih dominan daripada laki-laki) Hal itu dapat didorong melalui
perlakuan yang adil atau tidak diskriminatif, baik terhadap perempuan,
maupun terhadap laki-laki, misalnya dalam hal akses terhadap sumber daya,
partisipasi atau pelibatan (keterwakilan) yang sama dalam angkatan kerja,
peran kontrol dalam memutuskan bagaimana menggunakan sumber daya dan
siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya tersebut.
42
43
BAB IV
KEBUTUHAN DALAM KETERSEDIAAN
DATA KEBUDAYAAN
Kebudayaan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu komponen yang
menentukan dalam pembangunan nasional secara berkelanjutan. Sehingga
nantinya IPK tidak hanya mengukur “upaya” pengelolaan kebudayaan yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun partisipasi setiap orang atau
masyarakat, namun juga kontribusi budaya terhadap pembangunan nasional.
Tentu indeks yang akurat, tidak hanya ditentukan dari dimensi dan indikator
yang representatif sebagai tolak ukur, namun juga sejauhmana pemerintah
menyediakan data terkait kebudayaan.
Dalam menentukan indikator-indikator dalam dimensi IPK, data begitu
penting. Selain data dari Ditjen Kebudayaan, dapat diperkirakan bahwa
indikator dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan banyak mengacu pada data
BPS yang selama ini banyak melakukan penghitungan statistik di bidang sosial
budaya. Terkait ketersediaan data, menjadi tugas pemerintah untuk membuat
platform data base kebudayaan yang terintegrasi antara pusat dan daerah.
Indikator-indikator pembangunan kebudayaan harus melalui metode ilmiah
yang dapat dipertanggungjawabkan dan mampu merepresentasikan kondisi
kebudayaan yang sesungguhnya.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Baker, Susan. 2006. Sustainable Development. New York: Routledge.
Dzuhayatin, Siti. 2002. “Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi”. Rifka
Media, No. 18, Edisi Agustus 2002, 40-50.
Elliot, Jennifer A. 2006. An Introduction to Sustainable Development. New
York: Routledge.
Fitriani, Rahmi. 2012. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ketidaksetaraan
Gender Dalam Pendidikan: Suatu Studi Pada Perempuan di
Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang. TESIS FISIP UI,
DEPOK.
Gani, Darwis Suharman. 2007. Kebudayaan, Pendidikan, dan Pemberdayaan
Sumberdaya Manusia Indonesia. Jurnal Penyuluhan, Volume 3 No. 2.
Hawkes, Jon. 2001. The Fourth Pillar of Sustainability: Culture’s Essential
Role in Public Planning. Melbourne: Common Ground.
ICOMOS. 2002. International Cultural Tourism Charter. Principles And
Guidelines For Managing Tourism At Places Of Cultural And
Heritage Significance. ICOMOS International Cultural Tourism
Committee.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BPS.
2018. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak.
Kintamani, Ida. 2008. “Kesenjangan Gender dalam Pemerataan dan Perluasan
Akses Pendidikan”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, XIV (75),
1069-1091.
Kotane, Inta. 2011. “Culture as an Element of Sustainable Development and
Urban Attraction Capacity”, Management Theory and Studies for
Rural Business and Infrastructure Development, Vol. 26, No. 2.
M. Djamal. Pendidikan dan Rekonstruksi Budaya. Jurnal Pendidikan Surya
Edukasi (JPSE), Volume 4, No. 1, Juni 2018, hlm. 48-61.
46
Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. 2009b. Reformasi Kebijakan Pendidikan Menuju
Kesetaraan dan Keadilan Gender. Surakarta: UNS Press.
Nurse, Keith. 2007. “Culture as the Fourth Pillar of Sustanable Development”,
Small States: Economic Review and Basic Statistic, Vol. 11, January,
2007.
Ramadlan, M. Fajar Shodiq. 2013. “Revitalisasi Dimensi Budaya dalam
Pembangunan Berkelanjutan di Madura melalui Peran Kiai dan
Pesantren”, KARSA, Vo. 21. No. 1, Juni 2013.
Rhoades, Robert E. 2006. Development with Identity: Community, Culture,
and Sustainability in the Andes. Oxfordshire: CABI Publishing.
Sesditjen Kebudayaan. 2016. Laporan Akhir Indeks Pembangunan
Kebudayaan Tahun 2016. Jakarta: Sesditjen Kebudayaan,
Kemdikbud.
Suryadi, Ace dan Idris E. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.
Bandung: PT. Ganesindo.
Suryadi, Ace. 2001. Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan. Jakarta:
Bappenas dan WSPII-CIDA.
Sutinah, “Gender & Kajian Tentang Perempuan”, dalam Dwi Narwoko &
Bagong Suyanto (ed) 2004. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan.
Jakarta: Prenada Media.
Throsby, David. 2008. “Culture In Sustainable Development: Insights for The
Future Implementation of Art”, dalam 13’, Convention on the
Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions.
Paris: UNESCO.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan, Dilema, dan Tantangan.
Jakarta: Pustaka Pelajar.
UNESCO. 1995. The Cultural Dimension of Development: Towards a
Practical Approach. Paris: UNESCO Publishing.
-----, 2012. Culture: A Driver and an Enabler of Sustainable Development.
UNESCO.
-----, 2014. Culture For Development Indicators: Metodology Manual. Paris:
UNESCO.
WCCD. 1996. Diversity: Summary Version. Paris: WCCD.
Wirojoedo, Soebijanto. 1988. Masalah Perkembangan Kebudayaan dan
Implikasinya di Bidang Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan,
No. 3, 1988.
World Economic Forum’s Global Gender Gap Report. 2018.
Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum
Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2020