Upload
letram
View
301
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN
(Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan
Depok)
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Agama Islam
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing:
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
Oleh:
LIA SURAEDAH
21140110000010
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN PENULIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Lia Suraedah
NIM : 21140110000010
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 16 Januari 1983
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Pengembangan
Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di
Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” adalah benar-benar karya asli saya, kecuali
kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terbukti saya melakukan kecurangan ilmiah
secara sengaja di dalam penulisan tesis ini, maka saya bersedia gelar Magister Pendidikan
Agama Islam yang telah diberikan kepada saya dicabut kembali.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, Januari 2017
Lia Suraedah
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGEMBANGAN KURIKULUM KEAGAMAAN DI PESANTREN
(Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan
Depok)
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Lia Suraedah
21140110000010
Pembimbing
Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
iv
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Tesis dengan judul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi
Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)” yang disusun oleh Lia Suraedah dengan Nomor Induk Mahasiswa 21140110000010 telah
diujikan di sidang promosi tesis oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 04 Januari 2017. Tesis tersebut telah diperbaiki
sesuai dengan saran-saran penguji.
Jakarta, Januari 2017
Tim Penguji
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Program
Nama : Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag
NIP : 19670328 20003 1 001 ………… …………………
Penguji I Nama : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
NIP : 19540802 198503 1 002 ………… …………………
Penguji II
Nama : Dr. Fauzan, MA
NIP : 19761107 200701 1 013 ………… …………………
Pembimbing
Nama : Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D
NIP : 19720704 199703 1 002 ………… …………………
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA
NIP. 19550421 198203 1 007
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis dibawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ؼ
q ki ؽ
k ka ؾ
l el ؿ
n em ـ
vi
n en ف
w we ك
h ha ق
apostrog , ء
y ye م
2. Vokal
a. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__ a fathah
__ i kasrah
____ u dammah
b. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
م __ ai a dan i
ك __ au a dan u
3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ىا
ى ي î i dengan topi di atas
كي لى û u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf
qamariyyah. Contoh: الرجاؿ = al- rijâl bukan ar-rijâl.
يػيواف .al-dîwân bukan ad-dîwân = الد
vii
Adapun jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abu Hâmid al-Ghazâlî bukan Abu Hamid Al-Ghazâlî
viii
ABSTRAK
LIA SURAEDAH, NIM: 21140110000010, “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di
Pesantren (Studi Kualitatif Kurikulum Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan
Depok).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengembangan
kurikulum keagamaan di pesantren khususnya di Pesantren al-Hamidiyah Sawangan
Depok. Persamaan tesis ini dengan disertasi Ali Anwar yang berjudul “Pembaharuan
Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo” adalah terletak pada pembahasan
pengembangan pendidikan di pesantren. Disertasi ini membahas seluruh unsur yang terkait
dengan pengembangan dan pembaharuan pendidikan di pesantren, namun tidak secara
spesifik membahas pengembangan kurikulumnya. Berbeda dengan tesis ini yang secara
mendalam dan komprehensif mengkaji pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren.
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu
dengan menggali informasi melalui sumber data primer dengan melakukan studi lapangan
dan mengolah dokumen-dokumen Pesantren al-Hamidiyah. Data sekunder penelitian ini
adalah buku-buku yang sangat berhubungan dengan persoalan kurikulum pesantren.
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan antara lain: observasi, wawancara dan
dokumuntasi. Analisis data dilakukan dengan mencocokkan hasil temuan dengan teori-
teori para ahli pengembangan kurikulum dan pesantren. Validasi data dilakukan dengan
mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber. Hasil penelitian ini adalah
Pesantren al-Hamidiyah mengkombinasikan sistem pendidikan pesantren salafiyah dengan
sistem pendidikan pesantren modern dan telah mengembangkan kurikulum keagamaannya
dengan melakukan beberapa langkah-langkah yang sesuai dengan teori pengembangan
kurikulum yang diterapkan oleh para ahli kurikulum, yaitu: mengupayakan pengembangan
kurikulum keagamaan dengan mempertimbangkan landasan filosofi, psikologi, sosiologi,
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; prinsip fleksibelitas, relevansi dan
kontinuitas; menggunakan pendekatan subjek akademis dan humanistik, megupayakan
pengembangan pada komponen-komponen kurikulum dan menentukan model
pengembangan kurikulum. Dengan demikian berimplikasi pada peningkatan kualitas
kurikulum pesantren sehingga dapat terus menarik minat masyarakat dan mampu bersaing
dengan pesantren lain dan lembaga pendidikan lainnya.
Kata Kunci: pengembangan kurikulum, keagamaan, pesantren
ix
ABSTRACT
LIA SURAEDAH, NIM: 21104110000010, Religiosity Curriculum Development in
Islamic Boarding School (Pesantren) (Religiosity Curriculum Qualitative Study in Islamic
Boarding School (Pesantren) al-Hamidiyah Sawangan Depok).
The goal of research is to acknowledge and analyze religiosity curriculum
development in pesantren, particularly in Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok. This
thesis is similar with Ali Anwar‟s dissertation entitled “Pembaruan Pendidikan di
Pesantren: Studi kasus Pesantren Lirboyo” or “Education Innovation in pesantren. That
dissertation discussed all the aspect of education development and innovation in pesantren,
but not specifically discussed about curriculum development, different from this thesis that
discussed deeply and comprehensively about religiosity curriculum development in
pesantren. The method used in this research is a descriptive analysis with a qualitative
approach, finding information by doing field study primery data and analyzing al-
Hamidiyah‟s documents. Secondary data of this research is the books that very related to
pesantren‟s curriculum. Data collection technique used were observations, interviews, and
decomentations. Data analyses have done by matcing the findings and the theories from
the experts of curriculum development and pesantren. Data validation has conducted by
matching and comparing the data from various sources. The result of this research is that
Pesantren al-Hamidiyah has applying curriculum of pesantren‟s education which combine
traditional, or known as salafiyah, and modern pesantren‟s curriculum; and developed its
religiosity curriculum by doing several steps which is appropriate with curriculum
development‟s theories conducted by curriculum experts, i.e.: endorsing religiosity
curriculum development by cosidering philosophy basis, psychology, sociology, and
development of science and technology; flexibelity principal, relevance, and continuity;
employing academic and humanistic subject approach; and attempting development on
curriculum‟s components. Therefore, it implicated on higher pesantren‟s curriculum
quality that constantly taking people‟s interest and being able to compete with other
pesantren and educatioan institutions.
Key Word: religiosity, curriculum development, pesantren
x
ملخص
دراسة: تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد: 21140110000010رقم تسجيل الطالبة :يل سريدة . سواعنج ديفوء ادلناىج الدراسية الدينية يف معهد احلميديةنوعية
خيتاج لتحليل تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد خاصة يف معهد احلميدية سواعنج ديفوءلبحثىذا ا
دراسة يف معهد لريبيا يف حبث : جتديد التبية يف ادلعهد : باألطركحة لعل أنوار بعنواف لبحثكىذا امعادلة تطوير كىذه األطركحة خصت حبث التطوير كالتجديد يف ادلعهد إمجاال كالتبحث . تطوير التبية يف ادلعهد
سامالتفصيال يبني تطوير ادلناىج الدراسية الدينية يف ادلعهد لبحثادلناىج الدراسية خاصة خالفا هبذا ا منهجية النوعية من مصادر البينات الضركرية بدراسات ميدانية كحتليل الوثائق دلعهد لبحثىذا ااستخدـ .
كطريقها مجع البينات ادلعهديةاحلميدية كمصادر البينات احلاجية من الكتب قد تعلق بادلناىج الدراسية ادلناىج الدراسية كادلتخصصني يفكحتليل البينات مبوافقة النتائج من . كمنها ادلالحظات كادلقابالت كالتوثيق
حاصل ىذا البحث أف معهد احلميدية طور ادلناىج . ادلعهد كتصحيها مقارنة بادلصادرادلتخصصني يفالدراسية الدينية اليت توافق نظرية تطوير ادلناىج الدراسية من علمائها بنمط ادلناىج الدراسية ادلعهدية سلفية كحديثة ؛ككسب تطويرىا باإلعتبارات اإلمجاعية كادلركنية كادلوافقية كاإلستمرارية؛ كموضوعها اكادديية كإنسانية ككسب تطوير ادلناىج الدراسية كعاقبتها تقدمها الكمية ذلذادلعهد حىت حيبو اجملتمع كيزاحم مبعهد أخر كجلنة
التبية األخر
المعهد- الدينية – تطوير المناهج الدراسية :مفتاح الكلمة
xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, karena
atas limpahan rahmat dan hidayah serta lindungan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut risalahnya hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada seluruh dosen
dan civitas akademik Magister Pendidikan Agama Islam khususnya kepada Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, Ketua
Program Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr.
Sapiudin, M.Ag, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan
segala fasilitas belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memberikan ilmu, inspirasi
dan motivasi sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dosen
pembimbing tesis, Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D, yang dengan penuh ketelitian dan
perhatian telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis dalam penulisan dan
penyusunan tesis ini.
Tak terlupakan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua
orang tua dan mertua yang senantiasa mendoakan dan membimbing serta mengajarkan
untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati Rasullullah SAW. Secara khusus
penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, H. Munawwir al-Qosimi yang terus
mendo‟akan dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi, serta untuk putra-putri
tersayang; Muhammad al-Qosimi, Ahmad al-Qosimi, Ibrahim al-Qosimi dan Deana Silvi
semoga Allah SWT melindungi semua. Yang tidak terlupakan terimakasih kepada para
santri Pesantren al-Qosimiyyah Parung Bogor yang turut mendo‟akan dan membantu
penulis.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Yayasan Islam al-Hamidiyah,
Dewan Pengasuh, Kepala MTs dan MA, Kepala Kajian Islam, guru, staf dan karyawan
Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok yang telah terlibat dalam penelitian ini sehingga
berjalan dengan lancar dan baik tanpa ada hambatan yang berarti.
Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di Magister Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan masukkan dan
saran dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga jasa baik semua pihak mendapatkan balasan yang berlipat-lipat dari Allah
SWT dan semoga semua mendapatkan ridha dari Allah SWT. Amin.
Jakarta, Januari 2017
Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
LEMBAR PENGESAHAN iv
PEDOMAN TRANSLITERASI v
ABSTRAK viii
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 7
C. Batasan Masalah 7
D. Rumusan Masalah 7
E. Tujuan dan Manfaat 7
BAB II : KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI
PESANTREN 9
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan 9
1. Sejarah Pesantren di Indonesia 9
2. Ragam Pesantren 15
3. Pola Pendidikan di Pesantren 17
B. Kurikulum Keagamaan 21
1. Pendidikan Agama dan Keagamaan 21
2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren 25
3. Model-model Pengembangan Kurikulum 46
C. Kerangka Berpikir 51
D. Telaah Pustaka 52
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 54
A. Metode Penelitian 54
1. Pendekatan Penelitian 54
2. Jenis Data 54
3. Objek dan Sumber Data Penelitian 55
B. Teknik Pengumpulan Data 55
C. Teknik Analisis dan Validasi Data 56
D. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara 56
xiii
BAB IV : KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI
PESANTREN AL-HAMIDIYAH 58
A. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pendidikan Pesantren al-
Hamidiyah 58
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Keagamaan di Pesantren al-
Hamidiyah 63
1. Dinamika Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren
al-Hamidiyah 63 65
2. Upaya-upaya Pengembangan Komponen-komponen
Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah 69
C. Analisis Pengembangan kurikulum Keagamaan/Kajian Islam
Pesantren al-Hamidiyah 91
1. Landasan Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 91
2. Prinsip Feksibelitas, Relevansi, dan Kontinuitas 93
3. Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam
Pesantren al-Hamidiyah 94
4. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian
Islam Pesantren al-Hamidiyah 98
5. Model Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-
Pesantren Hamidiyah 99
BAB V : PENUTUP 102
A. Kesimpulan 102 98
B. Saran-saran 102
DAFTAR PUSTAKA 103
LAMPIRAN 106
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kitab Tata Bahasa Arab, Tajwid, dan Logika 40
Tabel 2.2 Kitab Fiqh dan Usul Fiqh 41
Tabel 2.3 Kitab Aqidah (Usulluddin dan Tauhid) 42
Tabel 2.4 Kitab Tafsir al-Qur‟an 42
Tabel 2.5 Kitab Hadits dan Ilmu Hadits 43
Tabel 2.6 Kitab Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf 43
Tabel 2. 7 Kitab Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk
Nabi SAW 44
Tabel 4.1 Perkembangan Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah dari Periode ke
Periode 63
Tabel 4.2 Daftar Perkembangan Santri MTs/MA Putra dan Putri Pesantren al-
Hamidiyah (2000-2014) 66
Tabel 4.3 Daftar Perkembangan Jumlah Santri MTs/MA Putra dan Putri
Pesantren al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2014-2016 68
Tabel 4.4 Jadwal Kegiatan Santri Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun
Pembelajaran 2016/2017 73
Tabel 4.5 Struktur Program Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 76
Tabel 4.6 Distribusi Jam Pelajaran Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Tahun Pembelajaran 2016/2017 77
Tabel 4.7 Rencana Pembelajaran Kitab Salaf Kajian Islam Pesantren al-
Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017 79
Tabel 4.8 Target Pencapaian Pembelajaran al-Qur‟an, Tilawah dan Tahfidz
Tahun Pelajaran 2016/2017 80
Tabel 4.9 Target Pencapaian Bahasa Arab Tahun 2016/2017 81
Tabel 4.10 Silabus Kajian Islam 81
Tabel 4.11 Silabus Kajian Islam 83
Tabel 4.12 Daftar KKM Kemampuan Santri 90
xv
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
Gambar 2.1 Visualisasi Pendidikan dan Pengajaran 22
Bagan 2.1 Komponen Sistem Agama (Relegi) 23
Bagan 2.2 Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva) 27
Bagan 2.3 Model Pengembangan Kurikulum Oliva 28
Bagan 2.4 Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba 47
Bagan 2.5 Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp 48
Bagan 2.6 Skema Kerangka Berpikir 52
Gambar 4.1 Dokumentasi Pelatihan Internet Pesantren al-Hamidiyah 88
Gambar 4.2 Dokumentasi Syuting Live di Stasiun TV 89
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Struktur Organisasi Yayasan Islam al-Hamidiyah Periode 2015-
2020 107
Lampiran 2 Struktur Organisasi Yayasan dan Pesantren al-Hamidiyah Tahun
2016/2017 108
Lampiran 3 Daftar Guru Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah Tahun
2016/2017 109
Lampiran 4 Daftar Guru dan Karyawan MTs al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 113
Lampiran 5 Daftar Guru dan Karyawan MA al-Hamidiyah Tahun 2016/2017 115
Lampiran 6 Daftar Prestasi Santri 117
Lampiran 7 Data Lulusan Santri MA al-Hamidiyah Tahun 2015 119
Lampiran 8 Pedoman Wawancara 121
Lampiran 9 Pedoman Observasi 122
Lampiran 10 Dokumentasi Pelaksanaan Pembelajaran dan Kegiatan Santri
Pesantren al-Hamidiyah 123
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengkajian mengenai pendidikan, terutama yang terkait dengan proses belajar
mengajar tidak dapat dipisahkan dari persoalan kurikulum. Kurikulum merupakan salah
satu faktor terpenting dalam pelaksanaan pendidikan. Setiap lembaga pendidikan baik yang
dikelola oleh pemerintah, swasta ataupun masyarakat, membutuhkan kurikulum untuk
dapat merumuskan nilai-nilai yang akan ditanamkan pada peserta didik.
Kurikulum menjadi ukuran tersendiri dari keberhasilan proses pengajaran.
Kurikulum juga merupakan acuan yang digunakan oleh sebuah lembaga pendidikan dalam
menjalankan proses pembelajaran. Dalam dokumen kurikulum 2013, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (2012: 2) pembahasan umum mengenai pengertian dan
substansi kurikulum secara konseptual, menyebutkan bahwa:
“Kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat
dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis,
kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta
didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang
menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas
yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah
suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan
keputusan yuridis di bidang pendidikan.”
Kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 4), yaitu semua aspek yang terkait
dengan pendidikan seperti metode belajar dan sasaran-sasaran pembelajaran. Sementara
itu, Hidayat (2013: 20) menelusuri lebih jauh pengertian kurikulum, menurutnya
kurikulum memiliki beberapa arti, yaitu: (1) sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai
rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah
atau madrasah.
Secara lebih luas lagi menurut Arifin (2013: 5) kurikulum adalah semua kegiatan
dan pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan
pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah
untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan
hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang
aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut
mendukung keberhasilan pendidikan. Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan
Hunkins (2009: 10) bependapat bahwa:“curriculum is all the experiences children have
under the guidance of teachers”.
Kurikulum sangat dibutuhkan oleh semua lembaga pendidikan termasuk pesantren.
Sudah seharusnya pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki kurikulum agar
pelaksanaan pembelajaran lebih terarah. Berbagai laporan penelitian oleh para sarjana
Islam mengenai pesantren, menandai bahwa pesantren merupakan hal yang masih cukup
menarik untuk diperbicangkan. Menurut hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh
Anwar (2008: 101) pembaharuan pendidikan Pesantren Lirboyo Kediri ditandai dengan
dibuatnya Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti al-Mahrusiyah dan Pesantren Salafi
Terpadu ar-Risalah sebagai unit (cabang) yang meyelenggarakan lembaga pendidikan di
luar unit pondok induk, selain pempertahankan sistem pendidikan tradisional atau
1
2
pesantren salafiyah dengan melaksanakan pendidikan diniyah juga membuka sistem
pendidikan umum di bawah pengawasan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
Nasional, dengan membuka jenis pendidikan Taman Kanak-kanak, Madrasah Tsanawiyah,
Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam HM.
Tribakti (YPIT) dan jenis Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas dibawah naungan Pesantren Salafi Terpadu ar-Risalah. Sama halnya,
dengan laporan Damopoli (2011: 311) fungsi pesantren dan implikasi pembaruan
pendidikan Pesantren Modern IMMIM terhadap masyarakat salah satunya adalah
menyelenggarakan pendidikan formal kesekolahan (SLTP/SMU) sebagai pembaruan
pendidikan pesantren, juga tetap mempertahankan pendidikan kepesantrenan dengan
menjalankan kurikulum pendidikannya 100 % umum dan 100 % agama.
Lain halnya, dengan Pesantren Darul Fallah sebagaimana berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Malik MTT (2008: 49) ia meyebutkan dalam tulisannya
bahwa Pesantren Darul Fallah menerapkan suatu sistem pendidikan terpadu dari berbagai
sisi, seperti keterpaduan antara; (1) pendidikan agama dengan teknologi/keterampilan
agrobisnis, (2) pendidikan formal dengan non formal pesantren serta informal komunitas
pesantren, (3) pendidikan intelektual (teori) dengan praktek penerapan usaha dan
kewirausahaan, (4) pendidikan pencapaian prestasi individual dengan semangat pelayanan
pada masyarakat du‟afa wal masâkin.
Model pendidikan yang ditawarkan oleh masing-masing pesantren di atas
merupakan upaya pengelola pesantren agar memiliki daya minat masyarakat yang kian
berpikiran modern dan membutuhkan suatu lembaga pendidikan modern yang
memberikan pendidikan-pendidikan yang dapat menjadi bekal bagi kehidupan dunia dan
akhiratnya.
Laporan tersebut di atas menandakan bahwa pesantren terus berinovasi dengan
mengembangkan kurikulum pendidikannya menyesuaikan diri dengan perkembangan
kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah dan mencoba terus mengikuti dan
memenuhi perkembagan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dalam memilih
lembaga pendidikan. Oleh karena itu pesantren masih dijadikan arternatif pilihan
masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan Islam. Untuk itu pesantren dituntut agar
lebih kreatif dan dapat berinovasi mengembangkan kurikulum pendidikannya yang
memiliki daya tarik yang cukup baik dan dapat bersaing dengan jenis pendidikan lain.
Menurut Nata (2012: 297) masyarakat saat ini membutuhkan sebuah lembaga
pendidikan yang menyediakan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan dalam
menggunakan teknologi yang canggih dan bahasa asing yang dibutuhkan untuk dapat
memasuki lapangan pekerjaan dan merebut berbagai peluang yang tersedia. Hal ini pula
yang dijadikan pertimbangan pesantren dalam mengembangkan kurikulumnya, yaitu selain
memberikan materi-materi keagamaan, pesantren juga berupaya untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat tersebut dengan memberikan materi tambahan berupa berbagai
keterampilan, pemanfaatan perkembangan teknologi dan memperdalam bahasa asing.
Berbagai bentuk dan model yang ditawarkan pada suatu lembaga pendidikan
termasuk jenis pesantren, sudah semestinya menempatkan kurikulum sebagai landasan
penting bagi keberlangsungan proses belajar mengajar walaupun dalam aplikasi di tingkat
institusi berbeda-beda karena disesuaikan dengan kondisi riil suatu lembaga. Meskipun
pesantren selama ini dikenal konservatif dan identik dengan wilayah Islam tradisional,
pada dasarnya pesantren tetap membuka diri bagi perubahan. Dari segi historis menurut
pandangan Madjid (1997: 3) pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab,
3
lembaga yang serupa dengan model pendidikan pesantren sudah ada sejak pada masa
kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga
pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam sebagai
pelopor pendidikan di Indonesia.
Pesantren sebagai produk asli masyarakat Indonesia sudah selayaknya pesantren
hingga kini masih diminati oleh masyarakat Indonesia. Namun, pesantren perlu
menyesuaikan diri dengan kemajuan kebutuhan masyarakat dengan melakukan langkah-
langkah yang tepat seperti mengembangkan kurikulum keagamaannya yang sesuai dengan
perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia, agar kurikulum keagamaan yang
berada pada pendidikan kepesantren dapat berjalan lebih maju dan profesional
sebagaimana perkembangan kurikulum pendidikan pada sekolah/madrasah di Indonesia.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa.
Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim khususnya yang
berkecimpung di dunia pesantren. Karena kelahiran Undang-undang ini masih sangat belia
dan belum sebanding dengan usia keberadaan pesantren di Indonesia. Keistimewaan
pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari ketentuan dan penjelasan
pasal-pasal dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai berikut; dalam Pasal 3 UU Sisdiknas
dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di
pesantren. Bahkan pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang berperan membentuk
watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta berakhlak mulia.
Pesantren telah sejak lama melaksanakan objek kajian berorientasi keagamaan
namun tetap dalam kerangka kurikulum nasional. Dengan kata lain, secara tidak langsung
fungsi kurikulum sudah diterapkan oleh kalangan pesantren secara konsisten sebagai syarat
tercapainya tujuan pendidikan nasional, meskipun dalam konteks yang lebih sederhana.
Sebagai lembaga pendidikan pesantren terkenal dengan kemandirian dalam mengelola
sistem pembelajaran, inilah yang terkadang diartikan sebagai eksklusif, anti sosial, dan
semacamnya. Dalam kesederhanaannya, kenyataan menunjukkan bahwa penyelenggaraan
pendidikan sepanjang hayat (life long integrated education) di sebagian besar pesantren
telah berjalan dengan sangat baik dan konsisten. Selain itu, peran pesantren dalam berbagai
hal sangat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah selain sebagai sarana
pembentukan karakter dan pencetak kader-kader calon ulama, pesantren merupakan bagian
dari khazanah pendidikan Islam Indonesia yang setia berada dalam barisan “apa adanya”.
Menurut Madjid (1997 : 7) sebagai lembaga pendidikan dengan kurikulum yang
hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (agama Islam), pesantren dianggap kurang
memberikan arah yang prospektif bagi masa depan dibandingkan dengan lembaga-lembaga
formal sekolah dan perguruan tinggi. Di sisi lain, juga dianggap kurang dapat
mengimbangi tuntutan zaman. Karena kurangnya dalam mengimbangi tuntutan zaman,
beserta faktor-faktor lain yang beragam, pesantren dianggap kurang siap untuk “lebur”
dalam mewarnai kehidupan modern.
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Qomar (2005: 113), yakni isi
kurikulum keagamaan pesantren dianggap kurang melakukan pengembangan-
4
pengembangan yang di sesuaikan dengan tuntutan zaman seperti pada kajian bahasa Arab
yang sangat populer diajarkan di setiap pesantren. Bahasa Arab adalah sebagai alat dalam
memahami ajaran Islam terutama yang terurai dalam al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab
Islam klasik, dianggap terlalu berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan pada aspek
afektif dan psikomotorik kurang terjelajahi secara proposional. Pesantren harus
memperhatikan dan menghadapi situasi yang berkembang sekarang. Oleh karena itu, perlu
trobosan-trobosan yang tepat dan sesuai, seperti kemampuan multibahasa sebagai alat
utama pengembangan pemikiran. Maka para santri selain memiliki akar tradisi (kitab
kuning dan pemikiran klasik), juga terlibat aktif dan kritis dalam wacana modernitas (Kitab
putih).
Guna membenahi kekurangan-kekurangan tersebut banyak para tokoh dari
kalangan pesantren mulai mengembangkan visi-misi dan kurikulumnya. Pesantren mulai
melakukan akomodasi dan penyesuaian seperti adanya sistem penjenjangan, kurikulum
yang lebih jelas dan sistem klasikal. Bahkan pesantren juga mulai melakukan
pengembangan kurikulum dengan memasukkan pelajaran umum seperti pelajaran bahasa
Inggris, sains teknologi, keterampilan, dan ilmu-ilmu lain serta pelajaran ekstra seperti
olah raga, seni dan lain-lain. Langkah lain yang ditempuh pesantren berdasarkan gagasan
kemandirian adalah memperkenalkan beberapa pelatihan keterampilan (vocational) dalam
sistem pendidikannya. Sebagai contoh, Pesantren Tebu Ireng dan Rejoso sejak dekade
1950-an dan awal 1960-an telah mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan
keterampilan bidang pertanian dan perdagangan. Begitu juga pesantren Gontor, Denanyar,
Tambak Beras dan Tegalrejo telah mengembangkan koperasi (Madjid, 1997 : xviii).
Perjumpaan pesantren dengan kurikulum merupakan sebuah keharusan karena
kedudukannya yang cukup sentral dalam dunia keilmuan. Menurut Azra (1998: 87) karena
kedudukannya sebagai lembaga pendidikan indigenous, pesantren memiliki akar sosio-
historis yang cukup kuat. Dengan bekal tersebut pesantren mampu bertahan di tengah
gelombang perubahan berbagai sisi kehidupan menyangkut ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Dalam konteks keilmuan, Azra (1998: 89) berpendapat paling tidak pesantren
memiliki tiga fungsi pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam (transmission of
Islamic knowledge); kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition);
ketiga, pembinaan calon-calon ulama (reproduction of ulama). Dilihat dari tanggungjawab
pesantren yang cukup besar terhadap tiga hal di atas maka agaknya pembaharuan terhadap
kurikulum khususnya aspek pembelajaran merupakan kebutuhan mendesak.
Namun, sejauh ini masih jarang dari kalangan pesantren yang memperhatikan
secara serius dalam kurikulumnya mengenai langkah pengenalan keluar secara lebih luas
terhadap keilmuan yang diajarkan. Padahal segala potensi yang ada khususnya di bidang
transmisi keilmuan klasik, jika tidak dikembangkan dan didukung dengan improvisasi
metodologi hanyalah akan menghadirkan penumpukan keilmuan sebagaimana yang
diungkapkan Malik Fajar seperti dikutip Madjid (1997 : 114), sehingga akhirnya karena
kurangnya improvisasi metodologi tersebut materi keilmuan, ketrampilan yang didapatkan
dari pesantren baik pesantren klasik maupun modern hanya menjadi teori-teori yang tidak
dapat diaplikasikan secara praktis di dalam kehidupan sosial masyarakat, karena tidak
responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Kurikulum harus senantiasa berkembang disesuaikan dengan kemajuan dan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat merupakan input dari institusi
pendidikan memerlukan proses dan output yang baik. Menurut Wahyudin (2014: 62)
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan,
5
penerapan, dan evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan-
perubahan dan kemajuan-kemajuan.
Pembahasan mengenai perubahan untuk pencapaian kemajuan dalam kaitannya
dengan pendidikan Qomar (2010: 214) berpendapat bahwa, perubahan merupakan salah
satu dari arah pembaruan. Perubahan dapat mengarah kepada kemajuan atau kemunduran.
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola perubahan agar
mengarah pada upaya dan orientasi penyempurnaan yang terkendali.
Perubahan dan perkembangan yang dirumuskan dalam ajaran Islam secara umum,
memiliki landasan teologis normatif, yaitu yang terkandung dalam al-Qur‟an Surah al-Ra‟d
(13): 11 dan al-Qur‟an Surah al-Anfâl (8): 53, kedua ayat tersebut mengandung pengertian
bahwa suatu kaum harus merubah dirinya sendiri, jika menginginkan suatu perubahan pada
keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah Maha
berkehendak atas segala sesuatu, maka sebagai makhluk ciptaan-Nya hendaklah kita selalu
memohon perlindungan hanya kepada-Nya. Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sudah semestinya melakukan perubahan dan
pengembangan pada kurikulum keagamaannya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah sejak lama diakui sebagai lembaga
induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan masyarakat dalam ruang
lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini
merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat
Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum
pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan bagi sebagian
masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam.
Pesantren sejak awal keberadaannya, hingga kini telah menunjukkan
perkembangannya terutama pada kurikulum yang diterapkan, baik pada pesantren yang
menerapkan sistem tradisional (salafiyah), modern dan pesantren kombinasi yang
memadukan sistem pendidikan tradisional dan modern tersebut. Fenomena hadirnya
pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan pesantren agar dapat memenuhi kebutuhan dan
minat masyarakat yakni masyarakat yang tidak hanya memiliki bekal pada kesalehan
akhirat saja namun, juga dapat memenuhi kebutuhan duniawi. Fenomena keberadaan
pesantren dengan sistem pendidikan kombinasi tersebut merupakan suatu bentuk
perkembangan pesantren yang ditunjang dengan pengakuan yang diberikan pemerintah,
yakni berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren
dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada
jalur formal, nonformal, dan informal” dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan
pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”.
Upaya pengembangan kurikulum, terutama pada pendidikan keagamaan dapat
dilakukan dengan terus mempertahankan ciri khas utama pesantren yakni pendalaman pada
kajian yang bersumber pada al-Qur‟an, Hadits dan kajian-kajian keislaman karya-karya
ulama klasik (kitab kuning) dengan mengembangkan komponen-komponen kurikulum,
seperti tujuan, materi dan metode kurikulum dan ditambah dengan keterampilan yang
menunjang nilai-nilai keagamaan, seperti konsep yang ditawarkan Qomar (2014: 42-43),
yaitu: (1) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan
6
mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala
lokal, nasional, maupun internasional; (2) memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri
memiliki kemampuan meneliti (menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah
keislaman); (3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan
kewirausahaan, seperti usaha memasarkan hasil karya keterampilan kaligrafi Islam; (4)
memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian.
Pesantren al-Hamidiyah adalah salah satu lembaga pendidikan swasta yang
beralamat di Jl. Raya Depok Sawangan KM. 2 No. 12 Kec. Rangkapan Jaya Kel. Pancoran
Mas Kota Depok. Pesantren al-Hamidiyah termasuk pesantren yang terus mengembangkan
kurikulumnya. Pesantren yang didirikan oleh seorang ulama kharismatik yakni KH.
Achmad Sjaichu pada 17 Juli 1988, lembaga ini pada awal berdirinya adalah pesantren
dengan jenis pendidikan formal berbentuk Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah,
dan kini telah memiliki unit satuan pendidikan yang berkembang dengan pesat antara lain;
Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak Islam (TK), Taman Pendidikan al-Qur‟an
(TPQ), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu
(SMPIT) berwawasan Internasional, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).
Keberadaan unit-unit tersebut tetap mengedepankan ajaran dan nilai-nilai yang bercirikhas
keagamaan. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
Pesantren al-Hamidiyah mengembangkan kurikulum pesantren salafiyah dengan
memadukan kurikulum pesantren salafiyah dan pendidikan modern yang lazim dikenal
dengan sistem salafiyah asriyah. Kurikulum yang digunakan oleh unit-unit pendidikan
Pesantren al-Hamidiyah menggunakan kurikulum Kementrian Agama RI, Kementrian
Pendidikan Nasional, dan kurikulum kepesantrenan/keagamaan yang biasa disebut Kajian
Islam, adapun kitab kuning yang digunakan, seperti Bulugh al-Maram, Ta‟lim Muta‟alim,
Fath al-Qarib, Imritî dan Amtsilah al-Tasrifiyah. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
Secara geografis keberadaan Pesantren al-Hamidiyah berada di tengah perkotaan,
disana terdapat beberapa lembaga pendidikan lain yang memiliki kualitas yang cukup baik
dan diminati oleh masyarakat sekitar. Namun, hal tersebut tidak menjadikan
keberadaannya tersingkir dari minat masyarakat. Pesantren al-Hamidiyah terus melakukan
pengembagan kurikulum yang disesuaikan dengan minat masyarakat, yakni masyarakat
yang membutuhkan pendidikan yang dapat dijadikan bekal untuk memenuhi tuntutan
kehidupan duniawi dan akhiratnya kelak. Sebagai pesantren yang menerapkan pola
pendidikan pesantren kombinasi, Pesantren al-Hamidiyah memberikan keilmuan agama
dan non agama melalui sekolah/madrasah dan memberikan ilmu keagamaan tambahan
melalui pendidikan kepesantren yang dilaksanakan di luar jam sekolah. Nampaknya, hal
tersebutlah yang menjadikan Pesantren al-Hamidiyah tetap menjadi alternatif pendidikan
yang diminati oleh masyarakat, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah kota
Depok.
Pengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh Pesantren al-
Hamidiyah adalah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikannya terbukti dengan
berbagai prestasi yang diperoleh para santrinya baik dalam bidang akademik dan non
akademik, selain itu Pesantren al-Hamidiyah memiliki alumni yang tersebar di beberapa
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia dan Universitas al-Azhar Kairo yang berada
di luar Negeri. Dengan berdasarkan latar belakang tersebut penulis mencoba mengangkat
tesis yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren (Studi Kualitatif
Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok)”.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas dalam latar belakang
masalah di atas, maka beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana pola pengembangan kurikulum keagamaan yang diterapkan di Pesantren al-
Hamidiyah dalam meningkatkan mutu pendidikannya?
2. Bagaimana dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah?
3. Adakah upaya pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah yang
sesuai dengan konsep pengembangan kurikulum?
4. Bagaimana kualitas lulusan Pesantren al-Hamidiyah?
C. Batasan Masalah
Merujuk pada identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian ini kiranya perlu
penulis batasi, dengan demikian diharapkan menjadi jelas konteks apa saja yang akan
menjadi inti permasalahan. Secara garis besar penelitian ini penulis batasi pada:
1. Langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan
kurikulum keagamaannya.
2. Dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari beragam problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan saat
ini, khususnya pesantren, maka masalah yang akan dikupas pada penelitian ini akan
dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah pengembangan kurikulum keagamaan di
Pesantren al-Hamidiyah Sawangan Depok?”
Pertanyaan tersebut tentu tidak mewakili semua pembahasan yang disajikan.
Namun, secara garis besar penelitian ini akan diarahkan pada satu titik, yakni mengupas
secara komprehensif program-program yang ditempuh Pesantren al-Hamidiyah dalam
menjaga irama sistem pendidikannya agar senantiasa dalam posisi yang tidak tertinggal.
Selain beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, tentunya dalam penelitian ini juga
akan dibahas secara spesifik kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan yang diterapkan
Pesantren al-Hamidiyah.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji aspek-aspek dalam perkembangan
lembaga pendidikan Islam terutama menyangkut topik yang akan dibahas yaitu:
1. Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah dalam
mengembangkan kurikulum keagamaannya.
2. Untuk mengetahui dinamika pengembangan kurikulum keagamaan di Pesantren al-
Hamidiyah.
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritif substantif maupun
manfaat secara praktis empirik.
1. Manfaat secara teoritif substantif, yaitu:
a. Memberikan masukan keilmuan dalam pengembangan dunia pendidikan pesantren.
b. Menambah wacana baru seputar pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren
dan kurikulum lembaga pendidikan Islam.
8
c. Memperkaya teori tentang pengembangan kurikulum keagamaan di lembaga
pendidikan Islam.
2. Manfaat secara praktis empirik, yaitu:
a. Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi Magister Pendidikan Agama Islam
b. Sebagai sumbangan informasi mengenai perkembangan praktis kurikulum
keagamaan di pesantren dan lembaga pendidikan Islam.
c. Sebagai masukan dan pertimbangan kepada pesantren dan lembaga pendidikan
Islam terkait dengan pengembangan kurikulum.
9
BAB II
KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, telah sejak lama diakui
sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam memodernisasikan
masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana. Keberadaan pesantren dari awal
keberadaannya, hingga kini merupakan salah satu alternatif lembaga pendidikan Islam
yang dipilih masyarakat Muslim. Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun
sistem kurikulum pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan
bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran
Islam.
Menurut Tafsir (2013: 290) pesantren merupakan komunitas dan sebagai lembaga
pendidikan yang besar dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah banyak
memberikan saham dalam pembentukan manusia yang religious. Lembaga tersebut telah
banyak melahirkan pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan agaknya di masa datang.
Lulusan pesantren banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembagunan bangsa.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dapat menyelenggarakan pendidikan pada
jalur formal, non formal, dan informal dengan jenjang pendidikan yang terdiri dari
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Pesantren
juga termasuk pada jenis pendidikan keagamaan. Hal tersebut berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,
yakni terdapat pada Pasal 14 ayat (3) “Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau
berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal”
dan Pasal 26 ayat (2) “Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara
terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi”, juga diperkuat dengan ketentuan
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 30 ayat
(4), yang berbunyi: Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
1. Sejarah Pesantren di Indonesia
Sebelum membahas lebih lanjut sejarah perkembangan pesantren, terlebih dahulu
perlu suatu penjelasan yang dapat dipahami mengenai pengertian dari pesantren. Pesantren
memiliki berbagai macam pengertian, menurut Dhofier (2011: 41) pesantren berasal dari
kata “santri” yang diberi awalan pe- di depan dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal
para santri. Sedangkan C.C. Berg sebagaimana di kutip Dhofier, berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Dari
pengertian ini, istilah shastri jika dikaitkan dengan santri dalam makna pendidikan Islam,
yakni orang yang mempelajari dan memperdalam ajaran agama Islam kemudian
mengajarkannya kepada masyarakat, dari sini dapat dipahami bahwa pesantren merupakan
tempat santri dalam proses mempelajari dan mendalami ajaran agama Islam tersebut.
Istilah pesantren yang mengadopsi istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat
Hindu di atas, terkadang menimbulkan pertanyaan, yaitu mengapa istilah yang digunakan
tidak mengadopsi istilah-istilah ajaran Islam. Penggunaan istilah pesantren tersebut bila
9
10
dikaitkan dengan sejarah asal mula menyebarkan ajaran Islam di Indonesia sebagaimana
disebutkan oleh Yunus (1995: 220) salah satu faktor keberhasilan penyebaran Islam di
Indonesia adalah menggunakan metode yang digunakan oleh Rasullullah SAW, yaitu
dengan cara mudah, tidak sempit, dan disampaikan secara beranggsur-angsur. Pernyataan
Yunus tersebut menunjukkan bahwa penggunaan istilah pesantren yang biasa digunakan
oleh masyarakat Hindu, merupakan metode yang digunakan oleh para ulama yang
menyebarkan Islam di Indonesia yakni menyesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan yang
digunakan oleh masyarakat Indonesia sebelum masuknya Islam yang sebagian besar
menganut agama Hindu.
Pada zaman Sultan Agung (1613), kebudayaan lama Indonesia asli dan Hindu
disesuaikan dengan agama dan kebudayaan Islam, seperti Gerebeg Poso” dan “Gamelan
Sekatan” dalam memperingati hari raya Idul Fitri dan perayaan memperingati Maulid
Nabi Muhammad SAW. (Yunus: 1995: 221)
Secara lebih tegas Madjid (1997: 20) membedah asal mula kata “santri” dan juga
kiai karena kedua unsur ini senantiasa menyatu ketika berbicara mengenai pesantren. Cak
Nur berpendapat bahwa kata “santri” berasal dari “sastri” (bahasa Sansekerta) yang berarti
melek huruf, sehingga dikonotasikan bahwa santri merupakan kelas literary, yaitu bagian
dari komunitas yang memiliki pengetahuan agama yang dibaca dari kitab-kitab berbahasa
Arab dan selanjutnya diasumsikan paling tidak santri mampu membaca al-Qur‟an.
Kemudian istilah santri juga diyakini berasal dari bahasa Jawa, “cantrik” yang berarti
orang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun sang guru pergi dan menetap,
dengan tujuan dapat belajar suatu keahlian. “Cantrik” juga terkadang diartikan sebagai
orang yang menumpang hidup atau ngenger. Pandangan Cak Nur tersebut, mengandung
pengertian bahwa pesantren merupakan tempat belajar santri yang didalamnya ada figur
kiai sebagai seorang guru yang membimbing dan mengajarkan ilmu dan nilai-nilai
keagaman Islam.
Istilah lain yang selalu berpasangan dengan pesantren adalah pondok. Istilah
“pondok pesantren” menjadi sangat dikenal masyarakat. Kata “pondok”, sebelum tahun
1960-an lebih dikenal dari pada pesantren. Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-
asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau berasal dari kata
bahasa Arab “funduq”, yang artinya hotel atau asrama. (Dhofier, 2011: 41) Dari pengertian
dua istilah tersebut, baik pesantren maupun pondok, sama-sama mengandung pengertian
sebagai tempat tinggal santri, sehingga pemakaian istilah tersebut secara bersamaan
merupakan penguatan makna saja. Akan tetapi, menggunakan salah satu saja sudah
dianggap cukup memadai untuk mendeskripsikan lembaga pendidikan Islam pesantren.
Istilah Pesantren atau pondok pesantren menurut Peraturan Pemerintah RI No. 55
Tahun 2007 pasal 1 ayat (4) “Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau
secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya”. Peraturan pemerintah tersebut dijadikan
landasan bagi pesantren-pesantren saat ini, banyak pesantren yang terus berupaya bertahan
dan mengembangkan pendidikannya dengan mengkombinasikan antara pendidikan
kepesantrenan dengan jenis pendidikan lain seperti sekolah/madrasah.
Menurut Dhofier (2011: 79) harus ada lima elemen sekurang-kurangnya untuk
dapat disebut pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab-kitab klasik, santri, dan kiai.
Teori Dhofier tersebut ini dapat dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi sebuah
pesantren, setidaknya pesantren harus memiliki lima elemen, jika elemen tersebut tidak
ada salah satunya, maka menjadi salah satu hambatan untuk kemajuan pesantren tersebut.
Adapun elemen-elemen dasar pesantren adalah:
11
(1) Pondok atau asrama: sebagai tempat tinggal para santri. Dengan adanya pondok para
santri menjadi tinggal teratur berada dalam satu lingkungan.
(2) Masjid: sebagai tempat menjalankan aktifitas ibadah harian dan biasanya pengajaran
juga dilakukan di dalam masjid. Biasanya bagi pesantren dalam periode rintisan yang
belum memiliki masjid, melakukan kegiatan ibadah di ruang-ruangan yang berada
dilingkungan sekitar pesantren. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan bagi
pesantren dalam melakukan aktivitas ibadah dan pendidikannya.
(3) Kiai: sebagai tokoh kunci dalam lingkungan pesantren, seorang kiai hendaklah betul-
betul menguasai keilmuannya karena seorang kiai dituntut untuk mengajar dan
memimpin berbagai kegiatan ibadah keagamaan para santri, selain itu figur kiai sama
seperti figur ayah dalam keluarga yakni sebagai pendidik dalam menanamkan nilai-
nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Seorang kiai dalam pesantren
menentukan keberhasilan santri dikehidupannya kelak. Kiai juga biasanya dibantu
oleh guru/ustadz baik yang menetap didalam lingkungan pesantren atau tidak.
(4) Santri: sebagai pelaku dari pembelajaran, keberadaan santri sangat dibutuhkan sekali
karena santrilah adanya pesantren.Untuk itu diperlukan manajemen rekrutmen santri,
yakni untuk merekrut masyarakat agar tertarik pada pendidikan pesantren. Karena
pada beberapa kasus terdapat pesantren yang gulung tikar disebabkan tidak memiliki
santri terutama yang menetap.
(5) Pengajaran Kitab-kitab kuning: merupakan salah satu alat dan sarana pendidikan dan
ciri khas dari pesantren, pada beberapa pesantren seperti pesantren modern tidak
memakai kitab kuning namun menggantinya dengan buku-buku karangan intelektual
Islam.
Berbagai pengertian mengenai pesantren tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai tempat yang
digunakan para penuntut ilmu yang biasa disebut sebagai santri, untuk mempelajari ilmu-
ilmu keagamaan yang berasal dari al-Qur‟an dan Hadits kemudian ditambah kitab-kitab
ulama klasik (kitab kuning) yang merupakan ciri khas pesantren sebagai rujukan dalam
proses pembelajaran. Sistem asrama yang dipandu langsung oleh kiai beserta para guru-
guru dalam waktu 24 jam di dalamnya menjadikan kelebihan tersendiri bagi pesantren,
yakni memungkinkan terbentuknya karakter santri yang mandiri dan dapat bersosialisasi
langsung terhadap lingkungannya.
Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar
tradisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak meskipun
ada sedikit perbedaan pemahaman. Di kalangan ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat
dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Menurut beberapa sumber, sebagian
menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Syaikh Maghribi, dari
Gujarat, India, sebagai pendiri pencipta pondok pesantren yang pertama kali di Jawa. Muh.
Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri
pesantren pertama di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly
menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama
yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai
pendiri pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat,
beribadah secara istiqamah untuk bertaqarrub kepada Allah. (Qomar, 2005: 8)
Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya,
Qomar (2005: 9) mengutip beberapa catatan ahli sejarah, bahwa Maulana Malik Ibrahim
adalah sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Imam
12
Rahmatullah (Raden Rahmat/Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur.
Adapun Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), terdapat dua kemungkinan yang tercatat
oleh ahli sejarah, yakni pendapat pertama, mendirikan pesantren sesudah Sunan Ampel,
sedangkan pendapat kedua, menyatakan kemungkinan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri
pesantren pertama, tetapi khusus di wilayah Cirebon atau secara umum Jawa Barat.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli sejarah mengenai siapa tokoh pertama
sebagai pendiri pesantren di tanah nusantara ini, hal yang terpenting adalah keberadaan
pesantren di Indonesia seiring dengan awal masuknya ajaran Islam di bumi nusantara ini.
Para ulama yang terkenal dengan “Wali Songo” tersebutlah merupakan perwakilan para
tokoh-tokoh terpenting dari perkembagan awal ajaran Islam dan pesantren merupakan
tempat yang dijadikan pusat pendidikan dan kegiatan dakwah Islam.
Pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai pioneer dan bahkan secara
geneologis merupakan “cikal bakal” bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia,
menurut Dhofier (2011: 63) indikatornya adalah dari keterangan-keterangan yang terdapat
dalam Serat Cebolek dan Serat Centhini dapat disimpulkan bahwa paling tidak sejak
permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren-pesantren yang masyhur dan menjadi pusat
pendidikan Islam, Mulyadi (dalam Nizar, 2013: 90) juga menambahkan bahwa saat itu
juga telah banyak dijumpai pesantren yang besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam
klasik dalam bidang fiqh, teologi dan tasawuf.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan,
melainkan juga dakwah, justru misi yang kedua ini lebih menonjol. Lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan
dakwah tersebut tepat sasaran sehingga terjadi benturan antara nlai-nilai yang dibawanya
dan nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Lazimnya, baik pesantren
yang berdiri pada awal pertumbuhannya maupun pada abad ke-19 dan ke-20 masih juga
menghadapi kerawanan-kerawanan sosial dan keagamaan pada awal perjuangannya.
(Qomar, 2005: 11)
Selanjutnya, pesantren ikut berperan dalam melawan penjajahan kolonial Belanda
dan Jepang. Kemudian pada masa kemerdekaan pesantren mengalami nuansa baru, rakyat
menyambut munculnya era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat
penjajahan, sedangkan pemerintah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Perkembagannya lembaga pendidikan milik pemerintah, justru menjadi ancaman bagi
pesantren. Namun, pada perkembagan selanjutnya pesantren tetap masih bertahan hidup
dan berkembang dengan baik hingga sekarang. (Qomar, 2005: 12-14)
Lembaga pendidikan pesantren berkembang terus dari segi jumlah, sistem, dan
materi yang diajarkan. Bahkan pada tahun 1910 beberapa pesantren seperti pesantren
Denanyar (Jombang), mulai membuka pondok khusus untuk santri-santri wanita.
Kemudian pada tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur, seperti pesantren
Tebuireng (Jombang), Pesantren Singosari (Malang), mulai mengajarkan pelajaran umum
seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. (Dhofier,
2011: 72)
Sebagaimana kita ketahui bersama, pendidikan pesantren kian berkembang sesuai
dengan perkembangan jiwa dan kepribadian masyarakat Indonesia, karenanya
perkembangan dan kemajuan pesantren merupakan cita-cita ideal semua elemen
masyarakat (Muslim). Setidaknya, konsep tentang manusia yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sekaligus menerapkan keimanan dan ketakwaan
(IMTAK) dapat muncul dari institusi pesantren.
13
Sejak berdirinya pada abad yang sama dengan masuknya Islam hingga sekarang,
pesantren telah berperan aktif dalam masyarakat luas. Pesantren telah berpengalaman
menghadapi berbagai corak masyarakat dalam rentang waktu itu. Pesantren tumbuh atas
dukungan mereka, bahkan menurut Rahim (2001: 152), pesantren berdiri didorong
permintaan (demand) dan kebutuhan (need) masyarakat. Sehingga pesantren memiliki
fungsi yang jelas.
Fungsi pesantren sejak awal keberadaannya sampai sekarang telah mengalami
perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Qomar
(2005: 22) mengutip berbagai catatan peneliti dari beberapa fungsi sekaligus peran
pesantren sesuai dengan perkembagannya, yaitu:
(1) Pesantren sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini
bergerak saling menunjang. Pendidikan agama dapat dijadikan bekal dalam
menyebarkan dakwah Islam, sedangkan dakwah dapat dimanfaatkan sebagai sarana
dalam membangun sistem pendidikan.
(2) Pesantren sebagai pencetak calon ulama dan mubaligh yang militan dalam
menyiarkan agama Islam.
(3) Pesantren sebagai fungsi religious (diniyyah), fungsi sosial (ijtima‟iyyah), dan fungsi
edukasi (tarbawiyyah).
(4) Pesantren sebagai lembaga pembinaan moral dan kultur.
(5) Pencetak kader bangsa yang benar-benar patriotik; kader yang rela mati demi
memperjuangkan bangsa, sanggup mengorbankan seluruh waktu, harta, bahkan
jiwanya.
(6) Pesantren sebagai pusat penyuluhan kesehatan.
(7) Pesantren sebagai pusat pengembagan teknologi bagi masyarakat pedesaan.
(8) Pesantren sebagai pusat usaha-usaha penyelamatan.
(9) Pesantren sebagai memberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
Berbagai fungsi dan peran pesantren di atas merupakan sebuah bukti pesantren
telah terlibat dalam menegakkan Negara dan mengisi pembangunan sebagai pusat
perhatian pemerintah. Begitu besarnya fungsi dan peran pesantren bagi perkembangan
Indonesia, selain sebagai pusat pendidikan dan dakwah Islam dan pusat reproduksi ulama,
pesantren dalam masalah-masalah tertentu berperan sebagai kepanjagan tangan pemerintah
dalam mengsukseskan program-program pembangunan.
Selanjutnya, tujuan dari pesantren sebagaimana terdapat pada Peraturan
Pemerintah No. 55 tahun 2007 Pasal 26 ayat (1) adalah menanamkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk
mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi
ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki
keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
Menurut Qomar (2005: 7) pesantren bertujuan membentuk kepribadian muslim
yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi
agama, masyarakat, dan Negara. Dhofier, (2011: 186) mengambil contoh dari tujuan
pendidikan Pesantren Tebuireng yakni dalam 30 tahun pertama adalah untuk mendidik
calon ulama. Sekarang ini, tujuannya sudah diperluas yaitu untuk mendidik para santri agar
kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual” (ulama yang menguasai
pengetahuan umum) dan “intelektual Ulama” (sarjana dalam bidang pengetahuan umum
yang juga menguasai pengetahuan Islam.
14
Istilah “ulama” sebenarnya berasal dari kata „alim dan merupakan bentuk jama‟
dari kata itu. Tetapi dalam pengertian umum sekarang, “ulama” sudah menjadi bentuk
tunggal. Seorang alim adalah orang yang berilmu, tetapi kata “ulama”menunjuk kepada
orang yang memiliki pengetahuan agama, terutama dibidang fiqih atau hukum agama,
padahal ahli fiqh disebut sebagai faqih atau jamaknya fuqaha. Para ulama, menurut suatu
Hadits Nabi SAW adalah pewaris para Nabi. (Rahardjo, 1999:185) Sedangkan Istilah
“intelektual”, disamakan dengan golongan terpelajar, golongan intelektual digolongkan
menjadi dua, yang pertama adalah golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan
(termasuk drop-outs), yang peranannya tidak harus berkaitan dengan ilmu yang dipelajari
atau profesi yang dikuasai. Sedangkan golongan kedua adalah kaum terpelajar yang
kepentingan utamanya adalah menggunakan disiplin ilmunya secara profesional, dan
karena itu peran yang mereka jalankan berkaitan erat dengan ilmu yang mereka pelajari
sekolah atau profesi yang mereka kuasai. (Rahardjo, 1999: 68)
Dengan pengertian ulama dan intelektual di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ulama adalah mereka yang menekuni keseluruhan ajaran-ajaran Islam, melakukan
interprestasi dan mensistematiskannya, kemudian menyampaikannya kepada masyarakat.
Jadi, dapat dikatakan bahwa ulama adalah mereka yang benar-benar menguasi ajaran-
ajaran Islam kemudian menyampaikannya kepada orang lain, sedangkan mereka yang
menyampaikan ajaran-ajaran Islam, namun tidak menekuni dan menguasai secara
keseluruhan ajaran-ajaran Islam tersebut, maka belum dapat dikatakan ulama dan
dibutuhkan istilah lainnya. Kemudian istilah intelektual disini mengandung arti sebagai
orang yang terpelajar baik menekuni ilmu agama atau non agama. Jadi, cukup jelas bahwa
tujuan pesantren untuk mereproduksi ulama yang intelektual, yang memungkinkan dapat
berperan menyesuaikan keberadaannya di era globalisasi ini.
Menurut Mastuhu sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2013: 303), terdapat prinsip-
prinsip yang berlaku pada pendidikan di pesantren. Prinsip-prinsip tersebut
menggambarkan ciri-ciri utama tujuan pendidikan pesantren, antara lain sebagai berikut:
1) Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam.
2) Memiliki kebebasan yang terpimpin.
3) Berkemampuan mengatur diri sendiri.
4) Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi.
5) Menghormati orang tua dan guru.
6) Cinta kepada ilmu.
7) Mandiri.
8) Kesederhanaan.
Inti dari tujuan pembelajaran yang merupakan keunggulan utama di pesantren
adalah menanaman keimanan. Metode menanaman keimanan terbentuk dari kondisi
menyeluruh kehidupan budaya pesantren, pengaruh kiai baik dalam ritual peribadatan
maupun dalam perilaku kesehariannya. (Tafsir, 2013: 305)
Dari tujuan pesantren yang diuraikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pesantren adalah untuk mendidik dan membentuk kepribadian muslim yang
menguasai ajaran Islam atau ilmu-ilmu keagamaan, dan kaderisasi ulama yang dilakukan
adalah upaya agar mereka siap mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Kaderisasi
ulama ini sudah semestinya dilakukan oleh pesantren, agar tujuan-tujuan pembelajaran
pesantren dapat tercapai sebagaimana semestinya dan tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam pemahaman ilmu keagamaan yang disebabkan karena kurangnya
pendalaman dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tersebut. Wacana kaderisasi ulama
15
intelektual, merupakan trobosan yang sangat baik selain para santri menguasai ilmu-ilmu
keagamaan juga menguasai ilmu-ilmu bidang lain yang dapat menjadi modal bagi
kehidupan duniawinya dan merupakan salah satu solusi dalam menghadapi perkembangan
arus globalisasi. Namun, pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan akhlak mulia harus tetap
dilakukan karena merupakan ciri khas dari pesantren itu sendiri.
2. Ragam Pesantren
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang awal keberadaannnya
adalah hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, pesantren memiliki
berbagai bentuk dan ciri khusus tergantung selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun
geografis yang yang berada disekelilingnya. Keberagaman pesantren dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, seperti dari rangkaian kurikulum, tingkat kemajuan dan
kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya.
Pertama, pesantren dilihat dari segi kurikulumnya terbagi menjadi tiga kelompok,
yaitu (a) pesantren modern; (b) pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/usul al-
fiqh, ilmu tafsir/Hadits, ilmu tasawwuf/tariqah, dan qira‟at al-Qur‟an); dan (c) pesantren
campuran. (Arifin dalam Qomar, 2005: 16) Pembagian ketiga jenis pesantren ini,
nampaknya tidak perlu dipertentangkan secara gradual. Ketiganya nampak jelas perbedaan
satu sama lainnya, pada pesantren modern memang dikelompokkan sebagai pesantren jenis
baru karena pada sistem pendidikannya berbeda dengan pesantren tahassus yang pada
praktek pelaksanaan pendidikannya masih menggunakan sistem tradisional atau klasik.
Kedua jenis pesantren tersebut tentunya berbeda dengan pesantren campuran, yang
menggabungkan atau mengkombinasikan sistem kurikulum pendidikan modern dan
tradisional.
Kedua, pesantren dilihat dari segi kemajuan muatan kurikulumnya, yaitu: (a)
pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan
menghafal sebagian dari al-Qur‟an; (b) pesantren sedang yang hanya berbagai kitab fiqh,
aqidah tata bahasa Arab/nahwu saraf, dan terkadang amalan sufi; dan (c) pesantren paling
maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah, tasawwuf yang lebih mendalam dan
beberapa mata pelajaran tradisional lainnya. (Qomar, 2005: 16) Pembagian kelompok pada
jenis pesantren ini terasa masih kabur, karena kemajuan bukan hanya dilihat dari
banyaknya mata pelajaran yang ditawarkan, namun dapat dilihat dari hasil atau alumninya.
Pada pelaksanaan dibeberapa pesantren yang hanya lebih fokus dengan satu bidang ilmu
malah lebih terlihat keahliannya pada ilmu tersebut, dibandingkan dengan pesantren yang
lebih banyak menawarkan berbagai macam keilmuan namun tidak lebih fokus pada satu
keahlian. Namun, tidak dipungkiri banyak juga pesantren yang menawarkan berbagai
macam keilmuan melahirkan alumni yang berkompeten, tentunya dalam pelaksanaan
kurikulum pendidikannya harus didukung oleh metode, visi, sarana prasarana, dan sistem
yang baik dan sesuai.
Ketiga, pesantren dilihat dari segi jumlah santri dan pengaruhnya, yaitu: (a)
pesantren kecil jumlah santri kurang dari 1.000 santri dan pengaruhnya hanya pada tingkat
kabupaten; (b) pesantren menengah memiliki santri antara 1.000 sampai 2.000 santri dan
pengaruhnya pada beberapa kabupaten; (c) pesantren besar biasanya memiliki santri lebih
dari 2.000 orang dan memiliki pengaruh keberbagai kabupaten dan propinsi. (Dhofier,
2011: 79) pengelompokkan jenis pesantren ini nampaknya tidak perlu diperdebatkan, jika
memang dilihat dari jumlah santri yang ada, namun jika diukur dengan tingkat
keberhasilan penggolongan pesantren kecil, menengah, dan besar perlu dikaji lagi, yakni
tidak menjadi sebuah standar bahwa pesantren yang jumlah santrinya sedikit tetapi
16
digolongkan pesantren kecil, bisa jadi pesantren dengan jumlah santri sedikit menghasilkan
alumni yang berkualitas pada bidang tertentu dan pengaruhnya bisa menjangkau
masyarakat di berbagai daerah yang memang tertarik dan membutuhkan sistem pendidikan
pesantren tersebut.
Keempat, pesantren dilihat dari segi usia santri, yaitu (a) pesantren khusus anak-
anak balita; (b) pesantren khusus orang tua; dan (c) pesantren mahasiswa. (Qomar, 2005:
18) pengelompokan jenis pesantren ini masih perlu dipertegas, yakni pada pesantren
khusus orang tua, karena tidak ada pembagian batasan usia. Jika memang yang dimaksud
orang tua di atas batas kelompok usia mahasiswa, maka perlu satu pengelompokan lagi
dari pesantren berdasarkan tingkat usia ini, seperti pesantren khusus remaja yang berada
pada standar usia sekolah.
Kelima, pesantren dilihat dari segi kecenderungan pada organisasi sosial
keagamaan, yaitu: (a) pesantren NU; (b) pesantren Muhammadiyah; (c) pesantren Persis;
dan (d) pesantren netral. (Qomar, 2005: 18) Jenis pesantren ini biasanya tidak semua
melabeli dirinya secara langsung, jenis organisasi sosial keagamaan yang dianut pada
nama lembaganya. Namun, dapat terlihat pada implementasi pendidikannya.
Keenam, pesantren dilihat dari segi sistem yang dikembangkan, dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu: (a) memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai,
kurikulum tergantung dengan kiai, dan pengajaran secara individual; (b) memiliki
madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan palajaran
secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat di asrama untuk mempelajari
pengetahuan agama dan umum; dan (c) hanya berupa asrama, santri belajar di
sekolah/madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama, kiai sebagai pengawas dan
pembina mental. (Qomar, 2005: 18) Ketiga kelompok ini masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan, yaitu bagi pesantren yang santri dan kiai tinggal bersama serta
kiai sejara langsung memberikan pembelajaran secara individu memiliki kelebihan yakni
adanya kedekatan emosional antara keduanya serta kiai dapat langsung memantau
perkembagan santri, hal tersebut tentunya akan berbeda dengan kiai yang tinggal terpisah
dengan santri dan hanya sebagai pengawas dan pembina mental saja, namun jenis
pesantren ini biasanya memiliki kelebihan dalam sistem manajemen yang lebih baik,
dibandingkan dengan pesantren yang masih menggunakan sistem tradisional.
Ketujuh, pesantren dilihat berdasarkan elemennya, dibagi menjadi lima kelompok,
yaitu: (a) terdiri dari masjid dan rumah kiai; (b) terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pndok
(asrama); (c) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), dan pendidikan formal; (d)
memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan formal dan pendidikan
keterampilan; dan (e) memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), madrasah, dan
dilengkapi bangunan-bangunan fisik lainnya. (Qomar, 2005: 18) Pengelompokkan jenis
pesantren ini memang perlu diperhatikan oleh pesantren dalam menghadapi
perkembangannya, karena elemen-elemen dasar tersebut memang yang sangat penting
untuk perkambangan pesantren.
Kedelapan, pesantren dikelompokkan berdasarkan unsur kelembagaan, yaitu: (a)
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum
nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun sekolah umum; (b)
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan
mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (c) pesantren
yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; (d) pesantren
yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta‟lim); dan (e) pesantren untuk
asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa. (Qomar, 2005: 18)
17
Pengelompokkan jenis pesantren ini, merupakan ciri khas tersendiri bagi masing-masing
pesantren dan memiliki daya tarik sendiri berbagai kalangan masyarakat yang memiliki
beragam kebutuhan akan jenis pendidikan pesantren. Namun, disini pesantren harus lebih
jeli memperhatikan perkembagan dan kebutuhan masyarakat tersebut.
Kesembilan, pesantren dilihat dari segi keterbukaan terhadap perubahan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi, yaitu: (a) pesantren salafiyah yang mengajarkan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya, penerapan sistem madrasah
untuk memudahkan sistem sorogan tanpa mengenalkan pengajaran umum; (b) pesantren
khalafi memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrsasah-madrasah yang
dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
(Dhofier, 2011: 76) Pesantren jenis ini, nampaknya yang paling popular dibandingkan
pengelompokan pesantren-pesantren lainnya. Terlepas dengan adanya kerancuan dalam
praktik tentang pemahaman pesantren salafiyah dan khalafiyah, untuk sementara istilah itu
masih digunakan untuk memudahkan pemahaman terutama ditinjau dari perspektif
jaringan dan perubahan sosial.
Variasi dan keberagaman pesantren merupakan ciri khas dari masing-masing
pesantren tersebut, naman pesantren juga perlu melihat dan mempertimbangkan
perkembangan kebutuhan masyarakat dan tentunya harus menyesuaikan dirinya dengan
kebutuhan masyarakat tersebut. Jika, tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan
zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat, pesantren harus siap ditinggalkan oleh
masyarakat dan memilih jenis pendidikan lainnya.
3. Pola Pendidikan di Pesantren
Pola Pendidikan di pesantren dapat diklasifikasikan berdasarkan kurikulum
pendidikannya menjadi beberapa pola, diantaranya, yaitu:
Pesantren Pola I adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari
kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, dan
bandongan tidak memakai sistem klasikal, juga tanpa mengenalkan pengajaran
pengetahuan umum. Pesantren pola ini menurut Dhofier (2011: 76) adalah sebagai
pesantren tipe lama (klasik), sedangkan menurut Rahim (2005: 76) pesantren pola ini
disebut pesantren salafiyah. Pada pola ini juga terdapat beberapa pesantren yang hanya
mengajarkan dan memperdalam satu bidang ilmu saja, Arifin (dalam Qomar, 2005: 18)
menyebutnya sebagai pesantren tahassus, seperti Pesantren Krapyak dan Wonokromo
misalnya, hanya mengkhususkan pendidikannya untuk pendalaman ilmu Qirâ‟at al-
Qur‟an, kemudian pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Bendo Jampes yang
mengutamakan pengajaran gramatika bahasa Arab. Menurut Yasmadi (2002: 70-71) dalam
konteks keilmuan pesantren tradisional (salafiyah) merupakan salah satu jenis pesantren
yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya.
Pola pengajaran di pesantren tersebut menjadikan kelebihan tersendiri sebagai
salah satu lembaga pendidikan Islam yang mewarisi sistem pengajaran Islam, yang
digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan klasik. Dengan sistem tradisional ini tidak
sedikit melahirkan alumni-alumni pesantren yang berbengaruh dan meneruskan sang guru
“kiai” dengan membuka pesantren baru. Hal ini menjadi siklus yang berkelanjutan dalam
melestarikan pendidikan dan ajaran-ajaran Islam.
Keberadaan pesantren-pesantren tradisional atau komunitas Islam tradisi yang
merakyat sangat dirasakan manfaatnya. Hal ini dapat dilihat dari perspektif perlindungan
dari serangan budaya Barat yang secara ekstrem merobek gaya hidup generasi muda yang
sederhana menjadi individu-individu hedonis. Dengan pola hidup pesantren yang sangat
18
bersahaja, paling tidak menjauhkan pikiran materialistik. Meski peranannya cukup sentral
dalam menjaga keilmuan namun bukan berarti pesantren tipe ini lepas dari kelemahan.
Dalam pandangan Cak Nur pelaksanaan pola salafiyah secara kaku (rigid) merupakan
kendala tersendiri. Dalam posisinya sebagai institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial,
pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya.
(Madjid, 1997: 114)
Dalam konteks ini, ada baiknya pesantren salafiyah, disamping tetap
mempertahankan kekhasan isi dan metode pendidikannya, hendaklah dapat melangkapi
dengan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan kemajuan zaman dan kebutuhan serta
keinginan masyarakat yang beragam akan jenis pesantren saat ini. Namun, perubahan dan
pengembangan yang dilakukan, semestinya hanya sebatas aspek oprasional dan
manajemennya saja, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu sendiri.
Contoh tradisi pesantren yang perlu dan harus dipertahankan menurut Qomar
(2014: 13) adalah:
(1) Penggunaan kitab kuning berbahasa Arab.
(2) Penguasaan ilmu alat seperti nahwu, saraf, dan balaghah.
(3) Penggunaan asrama (pondok).
(4) Memaksimalkan penggunaan masjid.
(5) Hubungan batiniah antara kiai dan santri.
(6) Kemandirian (sikap independent) pesantren.
Mempertahankan pengajaran dengan menggunakan kitab kuning berbahasa Arab
dan didukung dengan penguasaan terhadap ilmu alat, dapat memungkinkan santri
mengenal dan menguasai khasanah Islam klasik dan menjadikan santri terbiasa dengan
bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci dan wahyu. Selanjutnya, dengan memaksimalkan
kegiatan melalui asrama dan masjid, tentunya dapat mendukung semua kegiatan santri,
seperti sebagai tempat kegiatan belajar dan dapat mengontrol kedisiplinan ibadah santri.
Selain itu, kedekatan hubungan batiniah antara kiai dengan santri dapat menghubungkan
perasaan keduanya dalam proses pembentukan kepribadian. Terakhir, kemandirian (sikap
independent) pesantren, dapat terlihat dalam sikap kemandirian kiai, ustadz, dan santri,
yakni kebebasan menentukan dan merumuskan model pendidikan yang dipandang
alternatif.
Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu
cara agar tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri tentang
perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan
pendukung lainnya.
Pesantren Pola II adalah sistem pendidikan yang dalam proses belajarnya sudah
mengenal penjenjangan (klasikal), referensi utama dalam materi keislaman bukan kitab
kuning, melainkan kitab-kitab baru yang ditulis para sarjana Muslim abad ke-20, sistem
pendidikannya tidak mengikuti sistem pemerintah, yakni menggunakan kurikulum sendiri.
(Subhan, 2012: 129) jenis pesantren ini biasa disebut pesantren modern (independent)
karena dalam sistem pendidikannya berbeda dengan sistem pesantren tradisional, yakni
memadukan pengetahuan agama dan non agama dalam satu sistem dengan kurikulum yang
independent. Contoh pesantren dengan pola pendidikan tersebut adalah Pondok Modern
Gontor Ponorogo Jawa-Timur. Menurut laporan Pohl (2006: 389-409) Terinspirasi oleh
reformasi di Universitas al-Azhar Kairo, Gontor berusaha untuk memodernisasikan metode
pengajaran dan memperluas ruang lingkup mata pelajaran yang diajarkan. Mulai tingkat
19
sekolah dasar sampai tingkat Universitas, bahasa Arab dan Inggris sebagai Bahasa
pengantar, sertifikat yang ditawarkan oleh Gontor diakui oleh al-Azhar, Pesantren ini
dikenal untuk mengirim sejumlah besar siswa ke Kairo.
Kurikulum pendidikan di Pesantren Modern Gontor mencakup semua kegiatan
dalam berbagai bentuknya. Semua itu merupakan satu kesatuan kurikulum yang tidak
dapat dipisahkan, yang mengatur seluruh kehidupan santri. Totalitas kegiatan yang ada
memiliki nilai pendidikan dalam berbagai aspek, sehingga “segala yang dilihat,
didengarkan, dirasakan, dan dialami oleh santri adalah untuk pendidikan.” Kurikulum
yang mengintegrasikan antara kegiatan intra dan ekstra. Adapun pelaksanaan kurikulum itu
didelegasikan kepada lembaga-lembaga yang telah ditetapkan, kegiatan intrakulukuler
diselenggarakan oleh lembaga Kulliyat al-Mu‟alimin al-Islamiyah (KMI). Sedanglan
kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler merupakan tanggung jawab Lembaga Pengasuhan Santri.
(Zarkasyi, 2005: 126)
Berbeda dengan pesantren tradisional yang cenderung „kurang membuka diri‟ dari
unsur-unsur luar, maka lain halnya dengan pesantren modern. Pesantren jenis ini
tampaknya lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru disamping tetap
mempertahankan tradisi lama yang sudah ada. Salah satu ciri pesantren modern yakni
dalam proses belajarnya sudah mengenal penjenjangan (klasikal) dan kurikulum.
Fenomena munculnya pesantren modern sangat terkait dengan keberadaan kolonialisme
yang mendirikan sekolah-sekolah modern yang kemudian berpengaruh pada pola pikir
para elit Islam tentang sistem pendidikan yang lebih baik.
Menurut Azyumardi Azra dalam sebuah pengantar yang diberi judul “Pesantren:
Kontinuitas dan Perubahan” yang terdapat dalam Madjid (1997: xii), bahwa harus diakui
bahwa modernisasi paling awal dari sistem pendidikan Islam di Indonesia tidak bersumber
dari kalangan muslim sendiri. Pendidikan dengan sistem yang lebih modern justru
diperkenalkan oleh Belanda melalui perluasan kesempatan bagi pribumi untuk
mendapatkan pendidikan pada paruh kedua abad ke-19. Meskipun ada kesan terpaksa
karena desakan komunitas internasional yang mengecam sikap pemerintahan kolonial yang
eksploitatif, program pendidikan bagi kaum pribumi ini diimplementasikan pemerintah
kolonial Belanda dengan cara mendirikan volkschoolen atau lebih dikenal dengan istilah
sekolah rakyat.
Senada dengan Azra, dalam pandangan Madjid (1997: 89), suatu kenyataan
sederhana namun cukup tajam adalah anggapan bahwa „modern‟ selalu dikonotasikan
dengan „Barat‟. Munculnya anggapan ini karena masih banyak yang meyakini bahwa nilai-
nilai kemodernan didominasi nilai-nilai dari Barat. Padahal sebetulnya nilai-nilai
kemodernan itu sifatnya adalah universal, sangat berbeda dengan nilai-nilai Barat yang
lokal atau regional saja. Ketika Barat mengalami kemajuan secara kebetulan akses
informasi sudah berevolusi secara merata ke seluruh belahan dunia, hasilnya simbol
modern melekat secara permanent. Yang menjadi arus bawah peradaban modern adalah
ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan
kemodernan adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pandangan Cak Nur di atas memang merupakan realitas. Artinya komponen-
komponen kemodernan pada dasarnya telah memiliki standar yang cukup jelas.
Hakikatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja penguasaan
teknologi itu saat ini berada dalam kendali Barat, sehingga seolah-olah Barat adalah
sumber modernisasi. Dalam kaitannya dengan ini, umat Islam sesungguhnya memiliki
kesempatan yang sama dengan Barat dalam merengkuh nilai-nilai modernitas. Hanya saja
rasa percaya diri dan semangat sangat dibutuhkan. Hal tersebut dimungkinkan karena
20
secara historis Islam merupakan perintis berbagai bidang keilmuan seperti kedokteran,
ilmu alam, dan aljabar. Bahkan seperti yang dikutip Azra (1998:104), Herbert A. Davies
dalam A Outline Hitory of the World, mengemukakan bahwa umat Islam telah mendirikan
universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa
Kristen.
Keinginan kuat dari kalangan pesantren yang berbasis tradisional untuk
memperbarui sistem pendidikannya, yakni berawal dari keinginan untuk bertahan dari
ekspansi lembaga-lembaga pendidikan umum, lembaga-lembaga pesantren tersebut mulai
melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya akan
mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri,
seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas, dan sistem klasikal. Sejumlah
perubahan ini tentu menuntut kesiapan yang matang dari kalangan pesantren, sehingga
tidak terkesan memaksakan diri.(Madjid, 1997: xv)
Unsur-unsur moderisasi dari sistem pendidikan sekuler yang perlu diambil
menurut Qomar (2014: 13) di antaranya:
(1) Penerapan manajemen secara professional.
(2) Penerapan kepemimpinan kolektif.
(3) Penerapan sikap kritis.
(4) Menghindari pemahaman pemikiran agama yang mensucikan pemikiran agama
(taqdis afkar al-dinî).
(5) Penguatan epistemologi dan metodologi.
(6) Penerapan keharusan penelitian dan penulisan karya ilmiah.
(7) Penggunaan alat-alat teknologi modern.
Unsur-unsur modernisasi tersebut dapat diambil oleh pesantren sebagai salah satu
cara agar pesantren tetap dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman, manfaat lainnya memungkinkan pesantren untuk memperluas wawasan santri
tentang perkembagan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan
pendukung lainnya.
Pada pekembangannya beberapa pesantren lainnya, mengadopsi sistem dan
kurikulum modern pesantren Gontor, seperti Pondok Pesantren Modern Islam Assalam
Surakarta, dan Pesantren Darun Najah (Pohl, 2006: 389-409). Namun, pesantren tersebut
lebih cocok masuk dalam kelompok pesantren pola III karena dalam pelaksanaannya
memadukan sistem kurikulum pendidikan Pondok Modern Gontor dan membuka
sekolah/madrasah dengan mengikuti kurikulum pemerintah.
Pesantren Pola III adalah pesantren yang materi pelajaran agama bersumber dari
kitab-kitab kuning dan metode yang digunakan adalah wetonan dan sorogan, hafalan, dan
musyawarah serta memakai sistem klasikal dan non klasikal. Selain itu pendidikan
keterampilan dan pendidikan organisasi juga diberikan. Memasukkan pengetahuan umum,
mengkombinasi berbagai sistem pendidikan, yaitu sistem pengajaran menggunakan kitab-
kitab klasik, membuka madrasah dan sekolah, (dengan menggunakan kurikulum
pemerintah dan kurikulum pesantren yang dibuat sendiri), perguruan tinggi serta
pendidikan keterampilan, seperti: pertanian, pertukangan, dan peternakan.
Menurut Dhofier (2013: 76) pesantren dengan pola tersebut adalah pesantren tipe
baru, seperti Pesantren Tebuireng dan Rejoso di Jombang, telah membuka SMP dan SMA,
dan Universitas. Begitu juga pada Yayasan Pendidikan Islam HM Tribakti (YPIT) yang
kini menjadi Pesantren al-Mahrusiyah dan Pesantren Salaf Terpadu ar-Risalah, sebagai
unit pengembangan pesantren Lirboyo Kediri, selain tetap mempertahankan sistem
21
pendidikan pesantren tradisional (salafiyah), juga membuat membuka sistem pendidikan
umum sebagai cabangnya diluar pondok induk. (Anwar, 2008: 101) Sementara itu,
Menurut Zuhdi (2006: 421) contoh pesantren yang memadukan sistem pendidikannya,
seperti Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur adalah sebuah sistem pendidikan kombinasi,
dengan memperbarui sistem pendidikannya, yang semula sebagai pesantren tradisional
menjadi pesantren yang mengkombinasikan antara pesantren tradisonal dengan sistem
sekolah dan madrasah, yakni (a) Sekolah: disediakan bagi santri/pesera didik yang
berminat mempelajari pengetahuan non agama; (b) Madrasah: disediakan bagi
santri/peserta didik yang berminat memperdalam pengetahuan agama. Selain sekolah dan
madrasah juga mempertahankan pendidikan pesantren tradisional setelah jam
sekolah/madrasah.
Contoh lain dari pesantren yang mengkombinasikan kurikulum pendidikannya,
berdasarkan laporan Malik MTT (2008: 46) adalah Pesantren Darul Falah Bogor,
memadukan pendidikan pesantren dan pendidikan pertanian, menurut Daulay (2009: 67)
pesantren jenis ini lebih menitikberatkan pada pelajaran keterampilan disamping pelajaran
agama. Selanjutnya, Pesantren Mahasiswa al-Hikam Jawa Timur. Menerapkan kurikulum
dengan menggabungkan modernitas dan tradisi, melengkapi pendidikan perguruan tinggi
sekuler dengan pelatihan agama berakar pada sufi dan lebih menerapkan tradisi pesantren.
(Lukens-Bull, 2001: 350-372)
B. Kurikulum Keagamaan
1. Pendidikan Agama dan Keagamaan
Pendidikan berasal dari kata “didik“, mendapat awalan “pen” dan “an”, yang
berarti proses pengubahan sikap dan tingkah laku sesorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (Depdikbud, 1993:
232). Menurut Maksum (1999: 16) bahwa dalam khasanah pendidikan Islam terdapat
sejumlah istilah yang merunjuk langsung pada pengertian pendidikan dan pengajaran
seperti tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, tabyin, dan tadris. Istilah “tarbiyah” berasal dari kata kerja
“rabba” yang berarti memperbaiki, bertanggung jawab, dan memelihara atau mendidik.
Syed Muhammad al-Attas, sebagaimana dikutip Maksum (1999: 19) menawarkan istilah
“ta‟dib” yang dalam pandangannya lebih mampu mewakili pendidikan Islam dalam
keseluruhan esensinya yang fundamental. Menurutnya, istilah ini sudah mengandung arti
ilmu (pengetahuan), pengajaran (ta‟lim), dan pengasuhan (tarbiyah). Dari pengertian di
atas dapat dipahami bahwa Istilah “tarbiyah” berasal dari kata kerja “rabba” yang berarti
mendidik, sedangkan kata pengajaran dalam bahasa Arab adalah “ta‟lim” dari kata kerja
“‟allama” yang berarti mengajar.
Menurut al-Hazimi (2000: 18-19) kata “tarbiyah”, yang banyak dijumpai dalam
al-Qur‟an memiliki beberapa arti, diantaranya:
a. Al-Hikmah (bijaksana), al-„Ilm (pengetahuahan) dan al-ta‟lim (pengajaran).
Sebagaimana dalam firman Allah SWT, yang berbunyi:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan al-kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali
„Imran (3): 79)
22
Kata rabbani berasal dari akar kata tarbiyah. al-Hazimi mengutip penafsiran Ibn
Abbas, yaitu kata rabbani ini berarti orang yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah
lembut. Pengertian ini mengandung arti bahwa seorang pendidik haruslah pemiliki sifat
yang bijaksana, berpengetahuan dan lemah-lembut.
b. Al-Ri‟âyah (melindungi). Sebagaimana dalam Firman Allah SWT, yang berbunyi: .
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isrâ (17): 24)
Kata “rabbayânî” (mendidik) dalam ayat ini memiliki arti orang tua harus
melindungi anaknya. Makna melindungi disini bukan berarti terus-menerus memberikan
kesenangan-kesenangan duniawinya, namun memberikan pengarahan atas perbuatan yang
dilarang dalam ketentuan hukum agama. Kedua pengertian diatas tentunya tersimpan
pengertian bahwa pendidikan adalah menanamkan sifat-sifat kebaikan dan akhlak mulia.
Kata “tarbiyah” berarti mendidik dan “ta‟lim” berarti “mengajar mempunyai
pengertian yang berbeda. Menurut Yunus (1990: 19) mendidik berarti menyiapkan anak
dengan segala macam jalan agar dapat menggunakan tenaga dan bakatnya dengan sebaik-
baiknya. Sedangkan mengajar berarti memberikan ilmu pengetahuan kepada anak dengan
tujuan supaya pandai. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa mendidik mempunyai
cakupan yang lebih luas dari mengajar. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Azra
(1999: 3) bahwa arti pendidikan adalah suatu proses transformasi nilai dan pembentukan
kepribadian dengan segala aspeknya. Sedangkan pengajaran hanyalah sebagai proses
transfer ilmu saja. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan dan
pengajaran tidak dapat dipisahkan. Pengajaran dibutuhkan untuk menambah ilmu
pengetahuan sedangkan pendidikan bermanfaat untuk mengisi berbagai dimensi nilai yang
hidup dalam masyarakat, baik nilai agama, etika, maupun adat istiadat.
Sejalan dengan uraian di atas, Tafsir (2013: 37-38) menulis bahwa pendidikan
adalah mengembangkan seluruh aspek kepribadian, sedangkan pengajaran hanyalah
mengembangkan sebagian dari aspek kehidupan. Disinilah letak keterkaitan antara makna
pendidikan dengan pengajaran. Tafsir mencoba melakukan visualisasi terhadap pendapat
Dewantara, yakni pengajaran tidak lain adalah dengan cara memberikan pengetahuan serta
kecakapan. Berikut ini visualisasi yang dibuat tafsir untuk memudahkan makna pendidikan
dan pengajaran:
Gambar 2.1
Visualisasi Pendidikan dan Pengajaran A = Daerah Pendidikan
B = Usaha Pendidikan dalam bentuk pengajaran
C = Usaha pendidikan dalam bentuk memberi contoh
D = Usaha pendidikan dalam bentuk pembiasaan
E = Usaha pendidikan dalam bentuk hadiah dan pujian
F = Usaha pendidikan dalam bentuk lainnya
23
Jadi, pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan seseorang (pendidik)
terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai secara maksimal. Adapun usaha tersebut
dapat beragam macamnya, diantaranya adalah mengajarkan dengan mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan, memberikan contoh (teladan), pembiasaan melakukan
kegiatan poitif, memberikan pujian dan hadiah. Kesimpulannya, pengajaran adalah
sebagian usaha dari pendidikan. (Tafsir, 2014: 38)
Secara terminologis pendidikan terdapat pengertian yang bervariasi, tergantung
latar belakang perumusannya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 (2003: 3)
tentang pendidikan pada pasal 1 ayat (1) mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan Azra (1999: 4)
mendefinisikan pendidikan sebagai proses belajar dan penyesuaian individu-individu
secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Pendidikan
merupakan proses yang komprehensif, mencakup seluruh aspek kehidupan untuk
mempersiapkan mereka agar mampu mengatasi segala tantangan.
Berdasarkan pengertian pendidikan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa definisi
pendidikan adalah upaya membentuk pengalaman dan perubahan yang dikendaki dalam
tingkah laku seseorang kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Upaya ini hanya akan
berhasil melalui interaksi antara pendidik dengan yang dididik.
Selanjutnya, dalam memahami makna pendidikan agama dan keagamaan perlu
pemahaman mengenai definisi agama. Menurut Tumanggor (2014: 19) agama adalah suatu
ajaran yang mengandung aturan, hukum, kaidah, historis, i‟tibar serta pengetahuan tentang
alam, manusia, roh, Tuhan, dan metafisika (natural dan supranatural atau riil dan ghaib)
baik yang datang dari manusia maupun dari Tuhan. Dapat dipahami bahwa agama berisi
pengajaran dan aturan-aturan yang harus dijalankan manusia, sesuai dengan ajaran agama
yang diyakini. Adapun keagamaan yang merupakan bagian dari agama dapat diartikan
bahwa keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama, seperti ajaran-ajaran keagamaan, emosi keagamaan dan soal-soal
keagamaan.
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Tumanggor (2014: 7) menegaskan
bahwa komponen yang terkait dalam sistem agama (relegi), antara lain: emosi keagamaan
“emotion of religion”, system keyakinan “faith of belief system”, sistem ritus dan upacara
“ritual and ceremonial system”, peralatan ritus dan upacara “ritual and ceremonial tool”,
dan umat agama “religious people”. Bagannya sebagai berikut:
Bagan 2.1
Komponen Sistem Agama (Relegi)
24
Dalam ajaran Islam ilmu dan aturan-aturan yang terdapat dalam agama bersumber
pada al-Qur‟an dan Hadits, adapun ajaran yang terdapat dalam pendidikan agama Islam
menurut al-Jantani sebagaimana dikutip oleh Ghazali dan Gunawan (2015: 40), yakni
mencakup keluruh aspek kehidupan manusia, yaitu aspek pendidikan jasmani, pendidikan
spiritual, pendidikan intelektual, pendidikan emosional, pendidikan moral, pendidikan
sosial, dan pendidikan kepribadian. Teori ini dapat dipahami, bahwa dalam agama Islam
terdapat berbagai aspek pengajaran dan pendidikan yang dapat dijadikan pedoman bagi
manuasia dalam menjalani kehidupannya.
Berdasarkan pengertian pendidikan dan agama menurut para ahli di atas, istilah
pendidikan agama dan keagamaan memiliki arti yang hampir sama dengan sedikit
perbedaan. Perbedaan tersebut dapat diartikan bahwa, pendidikan keagamaan merupakan
rincian lebih mendalam dari pendidikan agama itu sendiri.
Perbedaan makna pendidikan agama dan keagamaan juga terlihat pada Peraturan
Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 1 ayat (1) dan (2) berdasarkan pengertiannya, yaitu
pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk
sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya,
yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan
ajaran agamanya.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama berupa pengajaran
dan pemahaman ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan pendidikan keagamaan selain
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan tersebut, juga mempersiapkan atau mengkader para
peserta didik untuk menjalankan perannya menjadi ahli agama atau dengan istilah
kaderisasi ulama. Dalam hal ini, pendidikan keagamaan dibutuhkan materi-materi dan
metode tambahan dibandingkan dengan pendidikan agama.
Pendidikan agama dan keagamaan berdasarkan fungsi dan tujuan berdasarkan
Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat (1) dan (2), yaitu Pendidikan
agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan
hubungan inter dan antarumat beragama dan bertujuan untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Sedangkan,
Fungsi dan tujuan pendidikan keagamaan terdapat pada Peraturan Pemeritah RI No. 55
tahun 2007 pasal 8 ayat (1) dan (2), yaitu hampir sama dengan fungsi dan tujuan
pendidikan agama, perbedaannya adalah pendidikan keagamaan sama dengan
pengertiannya yaitu memiliki fungsi dan tujuan menjadikan dan mengkader peserta didik
untuk menjadi ahli agama atau ulama yang mengamalkan ilmunya.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan agama dan keagamaan di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan berupa upaya yang lebih spesipik dan
mendalam lagi dalam memberi pelajaran dan pemahaman aspek-aspek terpenting dari
ilmu-ilmu agama kepada peserta didik, dibandingkan dengan pendidikan agama itu sendiri.
Upaya tersebut dimaksudkan agar peserta didik mampu benar-benar menjadi ahli-ahli
agama berdasarkan keilmuan dan pengalaman yang didapat selama berlangsungnya proses
pendidikan keagamaan tersebut.
Selanjutnya Peraturan Pemeritah RI No. 55 tahun 2007 pasal 14 ayat (1) sampai
(3) juga menjelaskan bahwa, pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah
25
dan pesantren. Adapun Pendidikan diniyah yang dimaksud adalah diselenggarakan pada
jalur formal, nonformal, dan informal. Sedangkan pendidikan pesantren dapat
menyelenggarakan satu atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur
formal, nonformal, dan informal. Kemudian Pada pasal 26 ayat (2) juga dijelaskan bahwa
Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis
pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah,
dan/atau pendidikan tinggi.
Pada lembaga pendidikan pesantren yang melaksanakan jalur pendidikan formal
dapat berupa pendidikan diniyah formal dan bagi lembaga pendidikan pesantren yang
melaksanakan jalur pendidikan non formal dapat melaksanakan pendidikan diniyah non
formal yang diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan
al-Qur‟an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis, hal ini sebagaimana terdapat
pada Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 2007 Pasal 21 ayat (1). Pesantren juga dapat
menyelenggarakan pendidikan diniyah yang dipadukan dengan jenis pendidikan lain
seperti sekolah/madrasah.
Jadi, pendidikan keagamaan di pesantren dapat diselenggarakan pada satu atau
berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal
atau pendidikan keagamaan di pesantren dapat juga diselenggarakan pada jenis pendidikan
diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
2. Pengembangan Kurikulum Keagamaan di Pesantren
Sebelum membahas lebih jauh apa itu pengembangan kurikulum keagamaan di
pesantren, perlu diketahui tentang konsep dan makna kurikulum secara umum terlebih
dahulu. Kurikulum memiliki pengertian yang sangat bervariasi, para ahli kurikulum
memberikan pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan pemikiran
mereka masing-masing. Perbedaan pemikiran tersebut berjalan sesuai dengan
perkembangan teori dan praktik pendidikan yang digunakan.
Pengertian tentang kurikulum dibahas dalam dokumen kurikulum 2013,
kementrian pendidikan dan kebudayaan (2012: 9-10) terdapat dua pengertian, yaitu:
Pertama, kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang
harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu
satuan atau jenjang pendidikan tertentu. Kedua, Kurikulum sebagai proses adalah totalitas
pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai
konten pendidikan yang dirancang dalam rencana.
Apabila ditelusuri lebih jauh, kurikulum mempunyai berbagai arti, yaitu: (1)
sebagai rencana pembelajaran, (2) sebagai rencana belajar murid, (3) sebagai pengalaman
belajar yang diperoleh murid dari sekolah atau madrasah. (Hidayat, 2013: 20)
Menurut Arifin, (2013: 5) kurikulum diartikan sebagai semua kegiatan dan
pengalaman belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan
pribadi peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah
untuk mencapai tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan
hidden curriculum (kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang
aman, suasana keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut
mendukung keberhasilan pendidikan. Pengertian kurikulum tersebut hampir sama dengan
pendapat Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10), yaitu
“curriculum is all the experiences children have under the guidance of teachers”.
26
Pengertian yang sama juga dijelaskan oleh Tafsir (2013: 81), bahwa dalam
pendidikan, kegiatan yang dilakukan peserta didik dapat memberikan pengalaman belajar,
seperti pergaulan, olah raga, dan pramuka selain mempelajari bidang studi itu sendiri. Atas
dasar inilah maka inti dari kurikulum adalah pengalaman belajar. Karena dalam
kenyataannnya pengalaman belajarlah yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan pendewasaan peserta didik. Pendewasaan disini bukan hanya dalam hal
mempelajari mata pelajaran melainkan interaksi sosial juga, baik di lingkungan sekolah
maupun di luar sekolah.
Dalam sistem pendidikan Islam al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Tafsir
(2013: 97), kurikulum dikenal dengan istilah „manhaj‟ yang berarti „jalan terang‟. Makna
tersirat dari jalan terang tersebut menurut al-Syaibany adalah jalan yang harus dilalui oleh
para pendidik dan anak-anak didik untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan
sikap mereka. Istilah „manhaj‟ yang mengandung arti „jalan terang‟ juga terdapat dalam
firman Allah SWT yang berbunyi:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah
perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.” (QS. al-Mâidah (5): 48)
Lebih lanjut al-Syaibany dalam Tafsir (2013: 98) menyatakan, bahwa kurikulum
pendidikan Islam seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak harus diambil dari
al-Qur‟an dan hadis serta contoh-contoh dari tokoh-tokoh terdahulu yang shaleh.
(2) Memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani,
akal, dan ruhani. Untuk pengembangan menyeluruh ini harus berisi mata pelajaran
yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek.
27
(3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat,
jasmani, akal, dan ruhani manusia.
(4) Memperhatikan seni halus, yaitu ukur, pahat, tulis indah, gambar dan sejenisnya.
Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik,
keterampilan, bahasa asing sekalipun semuanya iinidiberikan kepada setiap individu
secara efektif berdasarkan bakat, minat, dan kebutuhan.
(5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat
masyarakat karena perbedaan tempat dan zaman.
Dari penjelasan para ahli mengenai pengertian kurikulum tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran dan rencana belajar peserta
didik, selain itu kurikulum merupakan pengalaman belajar peserta didik secara
keseluruhan, baik berasal dari dalam maupun luar lingkungan sekolah. Pengertian
kurikulum tersebut sangat tepat bila dikaitkan dengan proses pendidikan Islam seperti
pesantren, karena di pesantren pembelajaran bukan hanya terjadi dalam lingkungan kelas
saja, namun di luar kelas seperti asrama yakni pengalaman berinteraksi antar teman atau
dengan guru (kiai), disiplin pada kegiatan keseharian, pembentukan karakter yang
menanamkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia terjadi dalam keseluruhan
lingkungan pesantren.
Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai kurikulum tersebut di atas,
selanjutnya dapat dirumuskan tentang pengertian pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan
rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan
pengorganisasian sebagai komponen situasi belajar-mengajar, antara lain penempatan
jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran,
kegiatan, sumber dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi
sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk
memudahkan proses belajar-mengajar. (Hamalik, 2013: 183)
Menurut Sukiman (2015: 5) pengembangan kurikulum pada dasarnya adalah suatu
proses yang dimulai dari kegiatan menyusun kurikulum, mengimplementasikan,
mengevaluasi, dan memperbaiki sehingga diperoleh suatu bentuk kurikulum yang
dianggap ideal. Wahyudin (2014: 62) juga menambahkan bahwa, pengembangan
kurikulum adalah istilah yang komprehensip yang meliputi perencanaan, penerapan, dan
evaluasi karena pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan-perubahan dan
kemajuan-kemajuan. (Wahyudin, 2014: 62) Secara sederhana menurut Pawlas dan Oliva
(2008: 266) proses dari pengembangan kurikulum dapat terlihat pada bagan 2.2 berikut:
Bagan 2.2
Model Pengembangan Kurikulum (Pawlas dan Oliva, 2008: 266)
Model pengembangan kurikulum berdasarkan bagan di atas menunjukkan bahwa
dalam pengembangan kurikulum dibutuhkan beberapa tahapan, yakni dimulai dengan
melakukan perencanaan kurikulum, setelah itu adalah implementasi kurikulum, yakni
Evaluation Implementation Planning
28
dengan merelisasikannya kedalam proses belajar-mengajar, kemudian kurikulum yang
telah dilaksankan tersebut dievaluasi, dengan melihat sesuai atau tidaknya kurikulum yang
telah dilaksankan tersebut dengan tujuan dari pengembangan kurikulum.
Secara lebih luas lagi Oliva sebagaimana dikutip oleh Pawlas dan Oliva (2008: 267)
menggambarkan proses pada model pengembangan kurikulum yang terlihat pada bagan
2.3 di bawah berikut:
Bagan 2.3
Model Pengembangan Kurikulum Oliva
Menurut Hamalik (2012: 104) kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilakukan
pada berbagai kondisi, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional. Kondisi-
kondisi tersebut meliputi:
a. Pengembangan kurikulum oleh guru kelas.
b. Pengembangan kurikulum oleh kelompok guru dalam satu sekolah.
c. Pengembangan kurikulum melalui pusat guru (teacher‟s center).
d. Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah.
e. Pengembangan kurikulum melalui proyek nasional.
Pengembangan kurikulum dilakukan dalam upaya agar kurikulum dapat
berkembang kearah yang lebih baik dari kurikulum sebelumnya dan sesuai dengan
perkembangan praktik pendidikan di sekolah, pengembangan kurikulum dapat dilakukan
dengan menambah atau mengembangkan kurikulum sebelumnya. Pengembangan
kurikulum merupakan suatu proses perencanaan dan penyusunan kurikulum sekolah, mulai
tingkat kelas hingga Nasional, kemudian diterapkan ke dalam kelas sebagai wujud proses
belajar mengajar disertai dengan penilaian-penilaian terhadap kegiatan tersebut, sebagai
langkah penyempurnaan sehingga memperoleh hasil yang lebih baik dan bagus.
Uraian dan pembahasan mengenai pengembangan kurikulum dan pendidikan
keagamaan di atas, selanjutnya dapat dikaitkan mengenai maksud dari pengembangan
kurikulum keagamaan di pesantren. Pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren
adalah proses pengembangan kurikulum terhadap ilmu-ilmu dan pendidikan keagaman
yang dipersiapkan atau mengkader peserta didik untuk menjadi ahli agama atau ulama
yang mengamalkan ilmunya.
Selanjutnya, perlu diketahui kurikulum keagamaan yang dikembangkan dalam
sistem pendidikan di pesantren, namun terlebih dahulu perlu juga suatu pembahasan terkait
dengan pengembangan kurikulum itu sendiri. Dalam pembahasan mengenai
pengembangan kurikulum, terdapat beberapa hal penting yang terkait dengan
pengembangan kurikulum, diantaranya adalah prinsip-prinsip, landasan-landasan, dan
komponen-komponen kurikulum.
Kurikulum dalam pengembangannya haruslah berdasarkan prinsip-prinsip tertentu
yang akan menjadi kaidah, norma, pertimbangan atau aturan yang menjiwai kurikulum
tersebut. Pengembangan kurikulum dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah
Evaluation
of The
Curriculum
Implementation
of The
Curriculum
Design of
Curriculum
Plan
Statement
of
Curriculum Objectives
Statement
of
Curriculum Goals
Statement
of
Philosophy and Aims
29
berkembang maupun prinsip yang diciptakan sendiri, sehingga bisa saja terjadi perbedaan
prinsip di masing-masing lembaga pendidikan. (Arifin, 2013: 27)
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam kurikulum diantaranya, yaitu:
prinsip secara umum dan khusus. Beberapa prinsip kurikulum secara umum yang perlu
dibahas terlebih dahulu sebelum mengakaji prinsip pengembangan secara khusus. Adapun
prinsip-prinsip umum tersebut, yaitu:
1) Prinsip Relevansi
Relevansi mempunyai kedekatan hubungan sesuatu dengan apa yang terjadi.
Apabila dikaitkan dengan pendidikan, berarti perlunya kesesuaian antara program
pendidikan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Pendidikan dikatakan relevan bila hasil
yang diperoleh akan berguna bagi kehidupan seseorang. (Idi, 2010: 179)
Dua macam relevansi yang harus dimiliki dalam program kurikulum menurut
Sukmadinata (2012: 150):
(a) Relevansi keluar, yaitu :
- Kesesuaian atas keserasian antara pendidikan dengan lingkungan hidup siswa
- Kesesuaian antara pendidikan dengan kehidupan anak didik disaat sekarang dan yang
akan datang.
- Kesesuaian antara pendidikan dengan tuntutan dunia kerjanya bagi siswa.
Pada prinsip relevansi keluar tersebut dimaksudkan bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan
perkembangan masyarakat. Sebagai contoh, penyesuaian isi, tujuan, dan metode belajar
pada peserta didik yang berada dilingkungan pedesaan idealnya berbeda dengan peserta
didik yang berada di daerah kota-kota besar, karena lingkungan dan kebutuhan serta
tuntutan dunia kerjanya masyarakatnya akan berbeda-beda pula. Contoh lainnya, seperti
metode dan alat-alat yang digunakan pada masa lampau sudah tidak dapat digunakan pada
masa sekarang. Untuk itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian yang tepat agar tujuan dari
kurikulum tersebut dapat tercapai sesuai yang dikehendaki.
(b) Relevansi ke dalam, yaitu :
Kurikulum juga harus memiliki relevansi ke dalam yaitu ada kesesuaian atau
konsistensi antara komponen-komponen kurikulum. yaitu antara tujuan, isi, proses
penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan
kurikulum.
Pengembangan kurikulum dengan mempertimbangkan relevansi internal ini
idealnya akan menghasilkan kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum tersebut,
apabila terjadi ketidak sesuai kurikulum bisa jadi kemungkinan adanya ketidak sinkronan
antar komponen-komponen kurikulum tersebut.
2) Prinsip Fleksibelitas
Prinsip fleksibelitas artinya kurikulum memungkinkan terjadinya penyesuaian-
penyesuaian dengan kemampuan karakteristik peserta didik, karakteristik sekolah, serta
kondisi dan potensi daerah. (Widyastono, 2014: 38)
Fleksibelitas yang dimaksud adalah tidak kaku artinya memberi sedikit kebebasan
dan kelonggaran dalam melakukan atau mengambil suatu keputusan tentang suatu kegiatan
yang akan dilaksanakan oleh pelaksana kurikulum. Prinsip fleksibelitas juga berkaitan
dengan adanya kebebasan siswa dalam menentukan program atau jurusan yang sesuai
30
dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Demikian pula memberi kebebasan kepada guru
dalam mengembangkan program dan kegiatan-kegiatannya. (Hidayat, 2013: 77)
Fleksibelitas terhadap guru, dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengembangkan sendiri program-program pembelajaran yang terdapat
dalam kurikulum yang masih bersifat agak umum. Guru diberikan kebebasan menentukan
metode pembelajaran yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya, sebagai salah
satu contohnya, guru bidang studi keagamaan akan berbeda metode pembelajaran yang
digunakannya dengan guru bidang studi matematika dan IPA.
Menurut Drajat, (2006: 127) memberi kebebasan terhadap ruang gerak peserta
didik dan pendidikan dalam bertindak di lapangan. Hal ini dikarenakan dalam diri anak
didik terdapat banyak perbedaan-perbedaan dalam segala hal, bakat, kemampuan
membaca, menulis (belajar), keterampilan, dan sebagainya. Dengan demikian sekolah
dapat memberi fasilitas yang luas terhadap siswa. Dengan terbentuknya pengadaan
program pilihan, jurusan, program spesialisasi, program pendidikan keterampilan dalam
program-program lain yang dapat dipilih siswa atas dasar kemampuan, kemauan serta
minat dan bakat yang dimilikinya. Keadaan tersebut akan sulit terwujud apabila sekolah
tidak dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, seperti sedikitnya program-program
pilihan yang di sediakan oleh lembaga pendidikan atau sekolah.
3) Prinsip Kontinuitas (Kesinambungan)
Prinsip ketiga adalah kotinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses
belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau tidak
berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan
kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas
lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang
pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak
bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang
kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. (Sukmadinata
2012: 151)
Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya
saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi.
Menurut Idi (2010: 182) minimal ada dua kesinambungan dalam pengembangan
kurikulum ini, yaitu:
(a) Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah:
- Bahan pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada
tingkat pendidikan yang lebih tinggi hendaknya sudah diajarkan pada tingkat
pendidikan sebelumnya atau di bawahnya.
- Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah
tidak harus diajarakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga
terhindar dari tumpang tindih dalam pengaturan bahan dalam proses belajar
mengajar.
(b) Kesinambungan di antara berbagai bidang studi:
Kesinambungan di antara berbagai bidang studi menunjukkan bahwa dalam
pengembangan kurikulum harus memperhatikan hubungan antara bidang studi yang satu
dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah angka temperatur dari skala Celcius ke
skala Fahrenheit dalam IPA diperlukan keterampilan dalam pengalian pecahan.
Karenanya, pelajaran mengenai bilangan pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan
sebelum anak didik mempelajari cara mengubah temperatur itu.
31
Dengan adanya kesinambungan dalam program-program yang terdapat dalam
kurikulum, baik pada berbagai tingkat pendidikan maupun pada berbagai macam mata
pelajaran (bidang studi), tentunya akan memudahkan peserta didik dalam proses
pembelajaran, sebagai contohnya pelajaran-pelajaran dasar yang terdapat pada tingkat
dasar sebagai penentu keberlanjutan pada tingkat pelajaran selanjutnya yakni pada tingkat
menengah atau apa saja yang sudah dipelajari pada tingkat dasar tidak perlu pengulangan
mendalam pada tingkat selanjutnya, jika diperlukan pengulangan hal tersebut hanya
bersifat review secara singkat saja.
4) Prinsip Praktis (Efisiensi)
Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat
sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efesiensi. Betapapun
bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang
sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar
dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. (Sukmadinata,
2012: 151)
Menurut Sukiman (2015: 37) prinsip efisiensi maksudnya adalah berhubungan
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan usaha yang dijalankan, atau biaya yang
dikeluarkan. Suatu usaha dapat dikatakan efisien, apabila hasil yang dicapai telah sesuai
dengan usaha atau biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, jika hasil yang dicapai tidak
sebanding dengan apa yang dikeluarkan, maka tidak dapat dikatakan efisien.
Efisien waktu dapat diwujudkan dengan merencanakan kegiatan belajar mengajar
peserta didik agar tidak terjadinya waktu yang bayak terbuang. Efisiensi jumlah guru dan
peralatan sekolah dengan menyesuaikan jumlah peserta didik yang ada. Hal tersebut akan
memungkinkan efisiensi waktu dan biaya pendidikan.
5) Prinsip Efektifitas
Menurut Hidayat (2013: 75) efektifitas dalam kurikulum dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu: (a) efektifitas pembelajaran terutama menyangkut sejauhmana jenis-jenis
kegiatan pembelajaran yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, (b) efektifitas
belajar siswa atau peserta didik, terutama menyangkut seberapa jauh tujuan-tujuan
pembelajaran atau kompetensi dasar yang diinginkan dapat dicapai melalui kegiatan
pembelajaran yang ditempuh.
Sedangkan menurut Sukiman (2015: 37), selain efektifitas yang berkaitan dengan
belajar siswa atau peserta didik, efektifitas dari segi pendidik atau guru juga perlu
dipertimbangkan. Adapun upaya efektifitas terhadap guru, dapat dilakukan dengan
kegiatan-kegiatan tambahan untuk meningkatkan kompetensi guru, seperti melalui
pelatihan-pelatihan, workshop, diskusi-diskusi, dan studi lanjut. Sedangkan upaya untuk
memenuhi efektifitas peserta didik, yakni dengan memilih dan menggunakan strategi dan
media pembelajaran yang dipandang paling tepat di dalam mencapai tujuan yang
diinginkan.
Upaya-upaya tersebut di atas apabila dapat terlaksana sebagaimana yang
dimaksudkan, tentunya akan berdapak pada efektifitas belajar mengajar yang terjadi di
sekolah. Namun, apabila upaya-upaya tersebut belum dapat terpenuhi, sebagai dampaknya
memungkinkan ketidak tercapaiannya tujuan kurikulum pendidikan secara menyeluruh.
Selain prinsip-prinsip umum di atas ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam
mengembangkan kurikulum. Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi,
32
pengalaman belajar, dan penilaian. Berikut ini diuraikan dengan lebih mendetail tentang
prinsip-prinsip khusus di atas, yaitu:
(1) Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan mencakup pada tujuan yang bersifat umum atau berjangka
panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan
pendidikan menurut Sukmadinata (2012: 153) bersumber pada :
(a) Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen
lembaga negara mengenai tujuan dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya
pendidikan.
(b) Survai mengenai persepsi orang tua siswa/masyarakat tentang kebutuhan mereka
yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka.
(c) Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu dihimpun
melalui angket atau wawancara, observasi dan dari berbagai media massa.
(d) Survai tentang manpower
(e) Pengalaman Negara-negara lain dalam masalah yang sama.
(f) Penelitian
Perumusan tujuan di atas, harus adanya kesesuaian dan saling melengkapi yakni
antara kebutuhan masyarakat, pandangan para ahli, pengalaman dari Negara-negara lain,
pengalaman-pengalaman pelaksanaan pendidikan sebelumnya, dan tujuan yang ditentukan
oleh pemerintah harus sinkron. Tujuan tersebut akan sulit dicapai apabila salah satu dari
urutan tersebut, ada bahkan banyak perbedaannya dan tidak sinkron.
(2) Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah
ditentukan para perencana kurikulum menurut Sukmadinata (2012: 153) perlu
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
(a) Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil
belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar
dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar.
(b) Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan.
(c) Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga
ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan diberikan secara simultan
dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan buku pedoman guru
yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara
lebih mendetail.
Jadi, dalam perumusan yang berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
hendaknya adanya rician dari tujuan pendidikan/pengajaran tersebut, selain itu juga
hendaknya mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(keterampilan). Langkah-langkah tersebut dilakukan agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik dan memiliki arah yang jelas.
(3) Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar
Menurut Sukmadinata (2012: 153) Pemilihan proses belajar mengajar digunakan
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Apakah metode atau tekhnik belajar mengajar yang digunakan cocok untuk mengajar
bahan pelajaran?
33
2) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga
dapat melayani perbedaan individual siswa?
3) Apakah metode atau tekhnik tersebut memberikan uraian kegiatan yang bertingkat-
tingkat?
4) Apakah metode atau tekhnik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai
tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik?
5) Apakah metode atau tekhnik tersebut lebih mengaktifkan siswa atau mengaktifkan
guru atau kedua-duanya?
6) Apakah metode atau tekhnik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru?
7) Apakah metode atau tekhnik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah
dan di rumah juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di
masyarakat?
8) Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan pada
”learning by doing?” di samping ”learning by seeing and knowing?”
Pengembangan kurikulum dengan memperhatikan prinsip ini dibutuhkan
kreatifitas serta pengalaman yang cukup dari praktik belajar mengajar, untuk menemukan
metode apa yang sesuai dengan peserta didik. Keberagaman tingkat intelektual dan
spikologi perserta didik, serta lingkungan juga dapat dijadikan pertimbangan untuk
menentukan metode yang tepat. Dengan metode pembelajaran yang tepat maka diharapkan
pembelajaran dapat berlangsung dengan baik dan mudah untuk dipahami oleh peserta
didik.
(4) Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penilaian, sebagaimana dirumuskan oleh Sukmadinata (2012: 154):
(a) Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkah-langkah sebagai
berikut: rumusan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Uraikan ke dalam bentuk tingkah laku murid yang dapat
diamati. Hubungkan degan bahan pelajaran, tulislah butir-butir tes.
(b) Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal:
- Bagaimana kelas, usia dan tingkat kemampuan kelompok yang akan dites?
- Berapa lama waktu dibutuhkan waktu untuk pelaksanaan tes?
- Apakah tes tersebut berbentuk uraian atau obyektif?
- Berapa banyak butir tes perlu disusun?
- Apakah tes tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh siswa.
(c) Dalam pengelolaan suatu penilaian hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
- Norma apa yang digunakan dalam pengelolaan hasil tes?
- Apa digunakan formula quessing ?
- Bagaimana pengelolaan skor ke dalam skor masak?
- Skor standart apa yang digunakan?
- Untuk apakah hasil tes digunakan?
Dengan menyusun langkah-langkah apa saja yang harus diperhatikan dalam
melakukan penilaian, maka akan mendapatkan cara penilaian yang baik dan objektif sesuai
dengan keadaan tingkat intelektual peserta didik. Kurangnya kriteria apa yang harus
34
dijadikan sebagai sumber penilaian, maka akan memungkinkan penilaian yang kurang baik
dan tidak objektif, keadaan ini tentunya akan merugikan peserta didik.
Selain memperhatikan prinsip-prinsip kurikulum tersebut di atas, dalam
pengembangan kurikulum juga perlu memperhatikan landasan-landasan pengembangan
kurikulum. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup
sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam
perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan
sembarangan. Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan
pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi
kalu landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang akan ambruk adalah
manusianya. (Sukmadinata, 2012: 38)
Terdapat beberapa landasan-landasan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu
landasan filosofi, landasan psikologi, dan landasan sosiologis, dan landasan perkembangan
ilmu dan teknologi. Masing-masing landasan sangat berperan dalam langkah
pengembangan kurikulum.
1) Landasan Filosofi, yakni pandangan hidup masyarakat. Adapun pandangan hidup
masyarakat Indonesia adalah pendidikan berdasarkan pancasila. (Dakir, 2010: 79)
Menurut Hamalik (2014: 19) filsafat pendidikan dapat menjadi landasan untuk
merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta seperangkat
pengalaman belajar yang bersifat mendidik. (Hamalik, 2014: 19)
2) Landasan Psikologi, yakni dapat dijadikan landasan dalam memilih pengalaman belajar
yang akurat berdasarkan ilmu-ilmu psikologi, Sukmadinata (2012: 46) mengungkapkan
bahwa sedikitnya terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat
diperlukan, baik dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar,
memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. Menurut
Idi (2010: 80) teori-teori belajar, teori-teori kognitif, pengembangan emosional,
dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian, model formasi sikap dan
perubahan, serta mengetahui motivasi, semuanya sangat relevan dalam merencanakan
pengalaman-pengalaman pendidikan (educational experiences).
3) Landasan Sosiologi, yakni pertimbangan-pertimbangan sosio-kurtural. Sekolah adalah
suatu institusi sosial yang didirkan dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu kurikulum sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik
dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun perbaikan kurikulum. Menurut Hamalik,
2013: 80) Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang meliputi berbagai komponen,
yakni subsistem kepercayaan, nilai-nilai, kebutuhan dan permintaan. Masing-masing
komponen atau susbsistem tersebut berpengaruh terhadap penyusunan dan
perkembangan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi sosiologis masyarakat.
Arifin (2013: 75) menambahkan bahwa unsur-unsur sosiologis lain yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yakni: Pertama, mengembangan
kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal, seperti peran orang
tua dan anggota keluarga lainnya dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
Kedua, pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan peserta didik
masa yang akan datang. Ketiga, pengembangan kurikulum harus dapat membekali
kemampuan yang cukup kepada peserta didik.
35
4) Landasan perkembangan ilmu dan teknologi, yakni kurikulum dapat mengimbagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Widyastono (2014: 33) isi
kurikulum harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi. Dengan mempertimbangkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan didapatkan kurikulum
sesuai. Sehingga, komponen-komponen kurikulum, seperti Isi dan metode kurikulum
tidak tertinggal dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin modern.
Pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah pengembangan komponen-
komponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri, yang terdiri dari empat
komponen utama, yaitu komponen tujuan, isi kurikulum, metode atau strategi pencapaian
tujuan, dan komponen evaluasi. (Wahyudin, 2014: 46) Komponen-komponen kurikulum
tersebut dapat diurai lebih lanjut diantaranya, yaitu:
a. Komponen Tujuan Kurikulum
Sebagaimana diketahui kurikulum adalah suatu program untuk mencapai tujuan
pendidikan. Tujuan tersebut harus menjadi fokus segala aktifitas pendidikan. Berhasil
tidaknya proses belajar di institusi pendidikan sangat tergantung pada seberapa maksimal
pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam setiap lembaga pendidikan atau sekolahperlu
adanya pensosialisasian tujuan yang akan dicapai oleh sekolah yang bersangkutan, ini jelas
untuk menstimulasi pada semua pihak di lingkungan sekolah agar pengajaran berjalan
sebagaimana mestinya.
Komponen tujuan dalam pengembangan kurikulum terbagi menjadi dua, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan pendidikan yang masih bersifat umum adalah
tujuan nasional dan tujuan institusional. Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan institusional adalah tujuan yang menjadi landasan
bagi setiap lembaga dan masih menggambarkan nilai-nilai, kebutuhan, dan harapan dari
masyarakat. Tujuan khusus dalam pendidikan adalah menggambarkan kecakapan atau
kemampuan dalam bidang studi atau aspek tertentu. (Wahyudin, 2014: 53)
Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab II pasal 3 adalah sebagai berikut:
”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Hamalik (2012: 122) merumuskan tujuan kurikulum dengan mempertimbangkan
beberapa faktor, seperti:
1) Tujuan pendidikan Nasional, karena tujuan ini menjadi landasan bagi setiap lembaga
pendidikan.
2) Kesesuaian antara tujuan kurikulum dan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
3) Kesesuaian tujuan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja, untuk
mana tenaga-tenaga akan disiapkan.
4) Kesesuaian tujuan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.
5) Kesesuian tujuan kurikulum dengan sistem nilai dan aspirasi yan berlaku dalam
masyarakat.
36
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut baik tujuan secara nasional, tujuan umum, dan
tujuan khusus, selanjutnya dapat ditentukan atau direncanakan materi pelajaran sesuai
dengan jenjang pendidikan yang ada, yaitu mulai tingkat dasar, menengah, dan pendidikan
tinggi yang tentunya memiliki perbedaan dalam setiap jenjangnya.
b. Komponen Materi/Isi Kurikulum
Isi program kurikulum atau bahan ajar adalah segala sesuatu yang diberikan
kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. (Hidayat, 2013:
62) Isi kurikulum meliputi mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dan isi
masing-masing mata pelajaran tersebut. Jenis-jenis mata pelajaran ditentukan atas dasar
tujuan institutional atau tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
(Hidayat, 2013: 62)
Menurut Hamalik (2014: 25) materi kurikulum pada hakikatnya adalah isi
kurikulum atau pendidikan. Adapun isi kurikulum disusun dan dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Materi kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri dari bahan kajian atau
topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses belajar dan
pembelajaran.
2) Materi kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan
pendidikan. Perbedaan dalam ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan
oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut.
3) Materi kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Dalam hal ini, tujuan
pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui
penyampaian kurikulum.
Menurut Wahyudin (2014: 54) materi kurikulum dapat berasal dari beberapa
sumber, yaitu: masyarakat beserta budayanya, siswa, dan ilmu pengetahuan. Menurutnya,
isi/materi kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembagan siswa,
berupa keterampilan dan pengetahuan yang dapat menjadi pengalaman belajarnya yang
kelak dapat berguna untuk menghadapi kebutunhannya dimasa yang akan datang. Selain
itu, materi kurikulum diambil dapat dari dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang
memang dibutuhkan siswa yang dapat digunakan sebagai bekal untuk melanjutkan
kejenjang berikutnya atau untuk bekerja.
Lebih lanjut, Wahyudin (2014: 55) menyusun beberapa tahapan dalam
penyeleksian materi kurikulum yakni sebagai berikut: Identifikasi kebutuhan,
Mendapatkan bahan kurikulum, dan Analisis bahan. Menurutnya, ketiga tahapan tersebut
dapat dilakukan dengan menyusun isi/materi kurikulum yakni harus berdasarkan
kesesuaian antara harapan dan kenyataan. Oleh karena itu, dalam menentukan isi/materi
kurikulum harus sesuai berdasarkan tujuan. Selanjutnya, dalam menentukan bahan dari
isi/materi kurikulum dapat lakukan dengan mengkaji beberapa jurnal, menelaah sumber-
sumber literatur baru, dan melacak informasi melalui internet. Kemudian, menganalisis
isi/materi kurikulum dapat dilakukan dengan menguji konsep atau keterampilan yang ada
dalam bahan kurikulum.
Langkah-langkah tersebut dapat dijadikan acuan bagi guru atau pengembang
kurikulum dalam menyusun isi/materi kurikulum, agar isi/materi yang digunakan dalam
pelaksanaan proses sesuai dengan tujuan, baik tujuan institusional maupun tujuan secara
nasional dan sesuia dengan kebutuhan masyarakat.
37
c. Komponen Strategi (Metode) Pembelajaran
Strategi dapat disebut juga sebagai metode, yaitu cara yang digunakan untuk
menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Suatu metode
dikatakan berhasil bila kegiatan guru dan siswa terlaksana dengan baik dalam proses
belajar mengajar. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu.
Metode atau strategi pembelajaran menempati fungsi yang penting dalam
kurikulum, karena memuat tugas-tugas yang perlu dikerjakan pada siswa dan guru, karena
itu penyusunannya hendaknya berdasarkan analisis tugas yang mengacu pada tujuan
kurikulum dan berdasarkan perilaku awal siswa. Menurut Hamalik (2014: 27) dalam
hubungan ini ada tiga alternatif pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1) Pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran, di mana materi pembelajaran terutama
bersumber dari mata pelajaran. Penyampaiannya dilakukan melalui komunikasi antara
guru dan siswa. Guru sebagai penyampai pesan atau komunikasi, sedangkan siswa
sebagai penerima pesan. Bahan pelajaran adalah pesan itu sendiri, dalam rangkaia
komunikasi tersebut dapat digunakan berbagai metode pengajaran.
2) Pendekatan yang berpusat pada siswa. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan
kebutuhan, minat dan kemampuan siswa. Dalam pendekatan ini lebih banyak
digunakan metode dalam rangka individualisasi pembelajaran. Seperti belajar mandiri,
belajar modul, paket belajar dan sebagainya.
3) Pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, metode ini bertujuan
mengintegrasikan sekolah dan masyarakat serta untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat. Prosedur yang ditempuh adalah dengan mengundang masyarakat ke
sekolah atau siswa berkunjung kemasyarakat. Metode yang digunakan terdiri dari
karyawista, nara sumber, kerja pengalaman, survei proyek, pengabdian atau pelayanan
masyarakat, berkemas dan unit.
Menurut Hidayat (2013: 65) hal terpenting dalam strategi pembelajaran, yaitu:
Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian tindakan)
termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumberdaya/kekuatan dalam
pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam pelaksanaannya, strategi pembelajaran merupakan implementasi kegiatan
antara guru dan siswa yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Strategi belajar mengajar
efektif yang dapat dilakukan diantaranya sebagaimana terdapat dalam Wahyudin (2014:
56), yaitu:
a) Pengajaran Ekspositori, seperti: pengajaran yang menggunakan metode ceramah, tugas
membaca, dan presentasi audio visual.
b) Pengajaran Interaktif, pengajaran yang hampir sama dengan pengajaran ekspositori
perbadaannya terdapat dorongan yang disengaja ketika terjadi interaksi antara guru dan
siswa yang biasanya terbentuk dengan memberikan pertanyaan.
c) Pengajaran Kelompok Kecil, strategi ini melibatkan pembagian kelas ke dalam
kelompok-kelompok kecil yang bekerja relatif bebas untuk mencapai suatu tujuan.
Guru berperan sebagai koordinator aktivitas dan pengarah informasi.
d) Inkuiri (pemecahan masalah), pengajaran ini biasanya melibatkan pembelajaran dengan
aktivitas yang dilaksanakan secara bebas, berpasangan, atau dalam kelompok yang
lebih besar.
38
d. Komponen Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Evaluasi kurikulum
dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan tujuan-tujuan pendidikan yang ingin
diwujudkan melalui kurikulum.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang
menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi
kuantitas dan kualitas. Instumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif
seperti tes standar, tes prestasi belajar, dan tes diagnostis. Sedangkan instrumen untuk
mengevaluasi dimensi kualitatif dapat menggunakan questionnaire, inventori, interview,
dan catatan anekdot. (Wahyudin, 2014: 57)
Sukmadinata (2012: 185-188) mengemukakan model-model evaluasi kurikulum,
yaitu:
1) Evaluasi model penelitian: didasarkan atas teori dan metode tes psikologi dan tes
lapangan
2) Evaluasi model objektif: evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum dan
kurikulum diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus)
3) Evaluasi model campuran multivariasi: membandingkan lebih dari satu kurikulum
berdasarkan kriteria khusus dari masing-masing kurikulum.
Sementara itu, Hidayat (2013: 69), membagi proses evaluasi pada dua situasi,
yaitu:
1) Evaluasi hasil pembelajaran: menilai keberhasilan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang
telah tentukan, dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian
setiap tujuan yang khusus atau indikator yang telah ditentukan. Menurut ruang lingkup
bahan dan jarak waktu belajar dibedakan atau evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
(a) Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan
pembelajaran dalam waktu yang relatif pendek.
(b) Evaluasi sumatif: ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan
dan kompetensi yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu
yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan.
(Sukmadinata, 2012: 111)
2) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran: komponen yang dievaluasi dalam pembelajaran
bukan hanya hasil belajara tetapi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran yang meliputi
evaluasi komponen tujuan pembelajaran, materi pembeljaran, strategi atau metode
pembelajaran serta komponen evaluasi pembelajaran itu sendiri. Pada jenis evaluasi ini
menggunakan model CIPP, yaitu:
(a) Evaluasi konteks (context evaluation): tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan evaluan.
(b) Evaluasi masukan (input evaluation): mengatur keputusan, menentukan sumber-
sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk
mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
(c) Evaluasi proses (process evaluation): mendeteksi atau memprediksi rancangan
prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan
informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang
telah terjadi. (Hidayat, 2013: 70-71)
(d) Evaluasi hasil (product evaluation): penilaian yang dilakukan guna melihat
ketercapaian atau keberhasilan program dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Pada tahapan ini evaluator dapat menentukan atau
39
memberikan rekomendasi kepada yang dievaluasi, apakah suatu program dapat
dijalankan, dikembangkan, dimodifikasi atau bahkan dihentikan.
Untuk mengembangkan fungsi dan makna evaluasi kurikulum terhadap
pengembangan kurikulum, menurut Hamalik (2013: 255) ada empat keadaan yang harus
dihindari, yaitu:
1) Apabila dalam desain kurikulum sama sekali tidak terdapat rancangan evaluasi, desain
ini tidak perlu dilaksanakan.
2) Apabila dalam proses evaluasi terjadi penyimpangan tujuan evaluasi.
3) Apabila tidak menghiraukan kesimpulan dan penilaian evaluasi yang telah ada.
4) Evaluasi sering sekali digunakan sebagai alat peserta didik, yang justru sebenarnya
harus menimbulkan kepercayaan diri pada peserta didik.
Berbagai metode yang digunakan dalam komponen evaluasi kurikulum
dimaksudkan agar tercapainya tujuan kurikulum dan upaya untuk memperbaiki program-
program yang terdapat dalam kurikulum. Dalam melakukan pengembangan kurikulum
tahap evaluasi sangat diperlukan untuk menilai seberapa berhasil suatu program yang telah
ditentukan sebelum implementasi kurikulum yang dibuat tersebut.
Dari pengertian kurikulum beserta prinsip-prinsip, landasan-landasan dan
komponen-komponennya, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan sebagai alat
untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan pengalaman peserta didik dalam
memecahkan segala masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, pada hakikatnya dengan
penggunakan kurikulum yang baik tentunya akan dapat meningkatkan cara berpikir
masyarakat dalam berpikir dan bertindak.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai konsep pengembangan kurikulum keagamaan
di atas, selanjutnya perlu diketahui mengenai apasaja yang termasuk dalam kajian
kurikulum keagamaan di pesantren. Pesantren sebagai lembanga pendidikan Islam
memiliki kurikulum yang sangat bervariasi, kurikulumnya sesuai dengan konsep kiai dan
kelembagannya. Kurikulum keagamaan di pesantren terdapat berbagai macam ragam dan
polanya, semua itu berdasarkan perkembangan pesantren dan kebutuhan masyarakat.
Kurikulum keagamaan di pesantren ketika masih berlangsung di langgar (surau) atau
masjid adalah berupa pengajian yang masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa
inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran Islam yang berupa iman,
Islam, dan ihsan atau doktrin ritual, dan mistik telah menjadi perhatian kiai perintis
pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Penyampaian tiga
komponen ajaran Islam tersebut dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan
dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamaannya pada
waktu itu. (Qomar, 2005: 109)
Kemudian kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan
penambahan ilmu-ilmu yang masuk merupakan elemen dari materi pelajaran yang
diajarkan pada masa awal pertumbuhannya. Beberapa laporan mengenai pelajaran tersebut
dapat disimpulkan: al-Qur‟an dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam, fiqh
dengan usul al-fiqh dan qawâid al-fiqh, hadits dengan mustalah al-hadîts, bahasa Arab
dengan ilmu alatnya seperti nahwu dan saraf, bayan, ma‟ani, badi‟ dan arud, tarikh,
mantiq, tasawuf, akhlak dan falak. (Qomar, 2005: 112)
Selain mempertahankan kitab-kitab Islam klasik sebagai upaya pelestarian
khazanah yang lama, pada awal abad ke-20 beberapa pesantren mulai bersikap progresif
dengan mulai memasukkan pelajaran-palajaran umum. Beberapa laporan tersebut dapat
40
disimpulkan diantaranya, yaitu: Bahasa Indonesia, matematika, ilmu bumi, bahasa
Belanda, sejarah, IPS, IPA, tehnik, sosial, kesenian dan olah raga. (Qomar, 2005: 130-13)
Saat ini, meskipun kebanyakan pesantren telah mengakomodasi sejumlah mata
pelajaran umum untuk diajarkan di pesantren, tetapi pengajaran kitab-kitab Islam Klasik
tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yakni mendidik
calon-calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional. Yang dimaksud paham
Islam tradisional di sini merujuk kepada kitab-kitab Islam Klasik karangan ulama yang
beraliran Syafi‟iyah. Dalam kaitan ini kitab-kitab Islam Klasik yang diajarkan di pesantren
dapat digolongkan kedalam delapan kelompok, yaitu: (1) nahwu (syntax) dan saraf
(morfologi); (2) fiqh; (3) usul al-fiqh; (4) hadits; (5) tafsir; (6) tauhid; (7) tasawuf; dan (8)
cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Selain penggolongan di atas, kitab-kitab
tersebut memiliki pula karakteristik teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari
berjilid-jilid tebal. Juga dapat dikategorisasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kitab-
kitab dasar; (2) kitab-kitab tingkat menengah; dan (3) kitab-kitab besar. (Dhofier, 2011:
87)
VanBruinessen (1999: 154-155) melaporkan bahwa kitab-kitab Islam Klasik (kitab
kuning) yang digunakan di beberapa pesantren di Indonesia, yaitu: Kitab Fiqh, Usul al-
Fiqh, Akidah, Tafsir al-Qur‟an, Hadits dan Ilmu Hadits, tata bahasa Arab (nahwu dan
saraf), akhlak dan tasawuf. Rincian dari kitab-kitab kuning yang biasa digunakan oleh
pesantren-pesantren di Indonesia, dapat dilihat pada table-tabel berikut:
Tabel 2.1
Kitab Tata Bahasa Arab, Tajwid, dan Logika
Nama Kitab Tingkat
Sharaf:
1. Al-Kailanî/Syarah al-Kailanî
2. Al-Maqshûd/Syarah al-
Maqshûd
3. Al-Amtsilah al-Tasrifîyyah
4. Al-Bina‟
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Ibtida‟iyah
Nahwu:
1. Al-Jurumîyyah/Syarah al-
Jurumîyyah
2. Al-Imritî/Syarah al-Imritî
3. Al-Mutammimah
4. Al-Fîyah
5. Ibn „Aqîl
6. Al-Dahlan Qatrun Nada
7. Al-Awâmil
8. Qawâid al-I‟rab
9. Al-Nahwu al-Wadih
10. Qawaid al-Lughat
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Ibtida‟iyah/ Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
41
Balaghah:
1. Jawâhil al-Maknum
2. „Uqud al-Jumân
Aliyah
Aliyah
Tajwid:
1. Tuhfah al-Atfâl
2. Hidayah al-Shibyân
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Manthiq: 1. Al-Sullam al-Munauraq
2. Idah al-Mubham
Aliyah
Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 149)
Tabel 2.2
Kitab Fiqh dan Usul Fiqh
Nama Kitab Tingkat
Fiqh:
1. Fath al-Mu‟în
2. „Iânah al-Tâlibin
3. Al-Taqrîb
4. Fath al-Qarîb
5. Kifâyat al-Akhyâr
6. Al-Bâjurî
7. Al-Iqnâ‟
8. Minhaj al-Talibîn
9. Minhaj al-Tulâb
10. Fath al- Wahab
11. Al-Mahallî
12. Minhaj al-Qawîm
13. Safinah
14. Kasyifat al-Saja
15. Sullam al-Taufîq
16. Al-Tahrîr
17. Uqud al-Lujain
18. Sittîn Mas‟alah/Syarah Sittîn
Mas‟alah
19. Al-Muhazhab
20. Bughyat al-Mustarsyidîn
21. Al-Mabâdi al-Fiqhîyyah
22. Al-Fiqh al-Wâdih
23. Sabil al-Muhtadîn
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Aliyah
Tsanawiyah/Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Aliyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Ushul Fiqh:
1. Al-Waraqât/Syarah al-
Waraqat
Aliyah/Khawash
42
2. Lataif al-Isyarat
3. Jam‟ al-Jawâmi‟
4. Al-Lumâ‟
5. Al-Asybah wa al-Nadhair
6. Al-Bayân
7. Bidayat al-Mujtahid
Aliyah/Khawash
Aliyah/Khawash
Aliyah/Khawash
Khawashah
Tsanawiyah/Aliyah
Khawashah
Sumber: VanBruinessen (1999: 154)
Tabel 2.3
Kitab Aqidah (Ushuluddin, Tauhid)
Nama Kitab Tingkat
Tauhid:
1. Umm al-Barâhin
2. Al-Sanusî
3. Al-Dasuqî
4. Al-Syarqawî
5. Kifayah al-„Awâm
6. Tijan al-Durarî
7. Aqidah al-„Awâm
8. Nur al-Zulâm
9. Jauhar al-Tawhîd
10. Tuhfah al-Murîd
11. Fath al-Majid
12. Jawahir al-Kalamiyah
13. Husn al-Hamîdîyyah
14. Aqidah al-Islamîyyah
Aliyah
Tsanawiyah
Aliyah/Khawash
Aliyah/Khawash
Tsanawiyah/‟Aliyah
Tsanawiyah
Ibtida‟iyah/Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Khawash
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 155)
Tabel 2.4.
Kitab Tafsir al-Qur’an
Nama Kitab Tingkat
Tafsir:
1. Al-Jalâlain
2. Tafsir al-Munîr
3. Tafsir Ibn Katsîr
4. Tafsir Baidawî
5. Jami‟ al-Bayan (al-
Tabarî)
6. Al-Marâghi
7. Tafsir al-Manâr
8. Tafsir Dep. Agama
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Khawash
Aliyah/Khawash
Khawash
Tsanawiyah
‘Ilm Tafsir:
43
1. Al-Itqân
2. Itmam al-Dirayah
Aliyah
Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 158)
Tabel 2.5
Kitab Hadis dan Ilmu Hadis
Nama Kitab Tingkat
Hadis:
1. Bulugh al-Marâm
2. Subul al-Salâm
3. Riyad al-Sâlihîn
4. Sahih al-Bukhârî
5. Tajrid al-Sarih
6. Jawahir al-Bukhâri
7. Sahih al-Muslim/Syarah
8. Arbain Nawawi
9. Majâlis al-Sanîyyah
10. Durrat al-Nâshihîn
11. Tanqih al-Qawl
12. Mukhtar al-Hahadîts
13. Al-Usfurîyyah
Tsanawiyah
Aliyah/Khawash
Khawash
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
‘Ilm Dirayah al-Hadits:
1. Al-Baiquniyah/Syarah
2. Minhat al-Mughits
Tsanawiyah
Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 160)
Tabel 2.6
Kitab Kesalehan, Perilaku Terpuji, dan Tasawuf
Nama Kitab Tingkat
Akhlaq:
1. Ta‟limul al-Muta‟alim
2. Al-Wasâyâ
3. Al-Akhlak li al-Banât
4. Al-Akhlak li al-Banîn
5. Irsyâd al-„Ibâd
6. Nasaih al-„Ibâd
Tsanawiyah
Ibtida‟iyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Aliyah
Tashawuf:
1. Ihya Ulum al-Din
2. Sâir al-Sâlikîn
3. Bidayat al-Hidâyah
4. Maraqi al-„Ubûdîyyah
Aliyah
Aliyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
44
5. Hidâyat al-Sâlikîn
6. Minhaj al-„Âbidîn
7. Sirajut al-Talibîn
8. Al-Hikam/Syarah
Hikam
9. Hidâyat al-Azkiya
10. Kifayat al-Atqiya‟
11. Risalat al-Mu‟awanah
12. Al-Adzkar
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah/Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Aliyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 163)
Tabel 2.7.
Kitab Sejarah Hidup Nabi (Sirah) dan Karya Penghormatan untuk Nabi Saw.
Nama Kitab Tingkat
1. (Khulashat) Nur al-Yaqin
2. Barzanjî
3. Dardirî
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Tsanawiyah
Sumber: VanBruinessen (1999: 168)
Selain kitab-kitab kuning, pesantren pada perkembanganya juga memakai buku-
buku lain diluar kitab kuning. Laporan Mastuhu sebagaimana dikutip oleh Qomar (2005:
130) menyebutkan bahwa sejak 1970-an, telah banyak buku-buku agama Islam yang berisi
pembaharuan pemikiran Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang dipelajari santri
dan kiai-kiai muda dalam bentuk pelajar kelompok, seperti buku-buku karya Harun
Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Syadzali, Abdurrahman Wahid, Kuntowijoyo, dan
Ali Syari‟ati yang mulai mendapat sambutan serius dari beberapa santri pesantren.
Berbagai macam perkembangan kurikulum keagamaan yang ada pada pesantren
menurut Qomar (2014: 63) kurikulumnya tidak perlu diserangamkan hanya saja pesantren
harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya yaitu:
1) Memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi.
2) Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan metodologis (manhaji) seperti usul al-fiqh
(epistemologi hukum Islam), al-qawaid al-fiqhiyah (kaidah-kaidah ilmu fiqh, mantiq
(logika), dan filsafat ilmu keislaman.
3) Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, perbandingan madzhab
(muqaranat al-madzahib), perbandingan agama (muqaranat al-adyan), ilmu-ilmu al-
Qur‟an, ilmu-ilmu hadits („ulum al-hadits).
4) Mengenalkan pelajaran metode penelitian.
5) Mengenalkan pelajaran metode penulisan karya ilmiah.
6) Mengenalkan pelajaran telaah teks kitab secara kontekstual.
Perkembangan kurikulum pendidikan dan keagamaan di pesantren bukan hanya
ditandai dengan pelajaran-pelajaran kitab kuningnya. Namun, kurikulum keagamaan juga
dapat berbentuk pendidikan karakter, yang terbentuk dari sistem asrama yang membentuk
kepribadian santri. Dari sisi keagamaan karakter santri terbentuk, seperti membiasakan
santri untuk salat berjamaah, dan program menjalankan aktivitas-aktivitas keagamaan
45
lainnya, sehingga santri terbiasa menjalankan ritual-ritual keagamaannya dalam kehidupan
sehari-harinya.
Sebagai contoh lain, sebagaimana terdapat dalam Qomar (2005: 136), yakni dalam
bidang kesenaian Islami, pesantren telah mengembangkannya diantaranya: seni tulis indah
dalam bahasa Arab (khat, kaligrafi Arab), seni baca al-Qur‟an, seni baca salawat (lagu
pujaan untuk Rasullullah SAW), seni hadrah (rebana), dan lagu-lagu kasidah, juga seni
berpidato (ceramah).
Selain isi atau materi, pengembangan kurikulum keagamaan juga terlihat pada
pada upaya pengembangan metode pembelajarannya. Pada mulanya, pesantren
menggunakan metode-metode yang bersifat tradisional. Bahkan beberapa pesantren
tradisional meskipun hidup pada kurun waktu sekarang juga masih menggunakan metode-
metode tradisional itu. Metode-metode itu terdiri atas: metode wetonan, metode sorogan,
metode muhâwarah, dan metode majlis taklim. Metode tersebut kemudian kembangkan
dengan menambah metode diskusi yang berjalan cukup baik, bahkan mampu memacu
para santri untuk melakukan telaah (mutala‟ah) atas kitab-kitab besar. (Qomar, 2014: 64-
65)
Metode wetonan (bandongan) merupakan metode pengajaran dengan cara guru
atau kiai membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku-buku Islam dalam
bahasa Arab. Kemudian santri mendengarkannya dan mereka memperhatikan bukunya
sendiri serta membuat catatan-catatan tersendiri. Dhofier (2011: 54) Pada metode ini kiai
dapat mengajarkan santri dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang sama. Selain itu,
metode ini memungkinkan santri menambah perbendaharaan kata dari gramatika Arab
yang terdapat kitab tersebut. Namun, kekurangan pada metode ini guru atau kiai tidak
dapat langsung mengetahui tingkat intelektual santri dan kadang menyebabkan santri pasif.
Selain wetonan atau (bandongan) juga ada metode sorogan, metode ini dilakukan
dengan cara guru menyampaikan kepada santri secara individual. Dhofier (2011: 54)
Melalui metode ini memungkinkan guru atau kiai dapat mengetahui kepribadian santri,
mengamati perbedaan tingkat kemampuan intelektual santri, dan mempererat kedekatan
emosional antara guru atau kiai dengan santri. Namun, pada metode ini membutuhkan
waktu yang cukup lama oleh karena itu, dibutuhkan beberapa guru untuk mengefisienkan
waktu atau dapat pula dilakukan sistem penjadwalan terhadap santri yang akan melakukan
metode ini.
Berbeda dengan metode-metode tersebut, metode muhâwarah adalah suatu
kegiatan bebicara dengan bahasa Arab yang diwajibkan pesantren kepada santri. Manfaat
metode ini besar sekali dalam bentuk lingkungan bahasa (bi‟ah lughawiyah) dan dapat
menambah perbendaharaan kata (mufradat) tanpa melalui hafalan. Selanjutnya metode
mudzakarah yaitu, suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah
diniyah seperti akidah, ibadah, dan masalah agama pada umumnya. Metode ini diminati
kiai yang tergabung dalam forum Bahts al-Masail dengan wilayah pembahasan yang
diperluas. (Qomar, 2014: 65) Pada metode muhâwarah, manfaat bagi santri adalah
memungkinkan santri terbiasa dengan bahasa Arab dalam keseharian, secara tidak
langsung dapat memungkinkan kelancaran dalam berbahasa Arab. Selanjutnya, pada
metode mudzakarah yang biasa terjadi pada forum Bahts al-Masail, bermanfaat bagi
santri untuk mengembangkan pengetahuan keagamaannya berdasarkan masalah-masalah
yang terjadi dalam masyrakat yang dibahas dalam forum tersebut, tentunya dengan
pertimbangan aspek keagamaan dan kemaslahatan. Namun, metode ini tidak dapat
dilakukan oleh seluruh santri, hanya santri yang sudah cukup pendalaman ilmu
46
keagamaannya, bagi santri yang masih belum cukup pendalam ilmu keagamaannya, hanya
dapat dilakukan dalam forum kecil saja pada lingkungannya sendiri.
Adapun metode majlis taklim adalah suatu metode menyampaikan ajaran Islam
yang bersifat umum dan terbuka, dihadiri oleh jamaah yang memiliki berbagai latar
belakang pengetahuan, tingkat usia, dan jenis kelamin. Metode ini tidak hanya melibatkan
santri tetapi juga masyarakat disekitar pesantren. (Qomar, 2014: 65) Metode majlis taklim
ini memungkinkan santri untuk belajar cara penyampaian ilmu keagamaan kepada
masyarakat, yakni ceramah agama.
Metode-metode di atas merupakan metode yang banyak dipakai di berbagai
pesantren hingga saat ini. Namun, dalam metode-metode tersebut memerlukan metode
yang lebih trampil dan kreatif yang memungkinkan santri lebih aktif dalam proses
pembelajaran dan dapat mengaplikasikan keilmuannya dengan baik, serta dengan
keilmuannya tersebut dapat bersaing dengan dengan masyarakat luas, yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengenahun namun tidak
keluar dari esensi Islam itu sendiri.
3. Model-model Pengembangan Kurikulum
Model-model yang dapat digunakan dalam proses pengembangan kurikulum
sebagaimana dikemukakan oleh para ahli pendidikan mulai dari suatu model yang
sederhana sampai dengan model yang paling sempurna, model-model tersebut biasa
dijadikan rujukan oleh pengembang kurikulum dalam proses perbaikan atau perubahan
kurikulum diantaranya adalah:
a. Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba
Model Taba lebih menekankan pada bagaimana melakukan perbaikan dan
penyempurnaan kurikulum yang sedang berjalan. Taba tidak setuju dengan pendekatan
deduktif, alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan
kurikulum. Menurut Taba, sebaiknya kurikulum dilakukan secara induktif. (Widyastono,
2014: 44)
Sukmadinata (2012: 166) menyebutkan ada lima langkah pengembangan
kurikulum model Taba ini, yaitu:
1) Mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini
diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik.
Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di dalam
kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang digunakan.
2) Menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan
di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk
mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan.
3) Mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data,
data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain
perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan
kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan
yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup
valid dan praktis pada suatu sekolah belum tertentu demikian juga pada sekolah yang
lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya
kegiatan konsolidasi.
4) Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan
penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya yang lebih menyeluruh atau
47
berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para
professional kurikulum lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui konsep-
konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan dipakai.
5) Implementasi dan diseminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau
sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini kemungkinan adanya masalah
dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan guru-
guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
Bagan 2.4
Prosedur Pengembangan Kurikulum Model Taba (Wahyudin, 20114: 65)
Model Taba ini, memungkinkan pengembangan kurikulum yang sesuai dengan
tujuan kurikulum pendidikan dan kebutuhan masyarakat, karena melakukan proses
pengembagan dimulai langsung dari pelaksana kurikulum yakni guru. Guru sebagai
pelaksana kurikulum baik dikelas atau di sekolah, tentunya lebih mengetahui apa saja yang
sesuai dan dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat sekitar.
b. Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp
Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh Beaucamp seorang ahli
kurikulum. Beucamp dalam Sukmadinata (2012: 163) mengemukakan lima langkah yang
dapat dilakukan di dalam suatu pengembangan kurikulum:
1) Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut,
apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi, ataupun seluruh daerah.
Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil
kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan
kurikulum.
2) Menetapkan personalia yaitu menetapkan siapa-siapa saja yang turut serta terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi
dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (a) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada
pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar; (b) para ahli
pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih; (c) para profesional
dalam sistem pendidikan; (d) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
3) Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum langkah ini berkenaan dengan
prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus,
memilih isi dan pengalaman belajar serta kegiatan evaluasi dan dalam menentukan
48
keseluruhan desain kurikulum. Beaucamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam
lima langkah, yaitu:
a) Membentuk tim pengembang kurikulum.
b) Mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang
digunakan.
c) Studi penjajakan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru.
d) Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru.
e) Penulisan dan penyusunan kurikulum baru.
4) Implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah menerapkan atau
melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana sebab membutuhkan
kesiapan yang meyeluruh baik kesiapan guru-guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya
di samping kesiapan managerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
5) Langkah ini merupakan langkah terakhir yaitu mengevaluasi kurikulum. Dalam langkah
ini mencakup empat hal, yaitu:
a) Evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru.
b) Evaluasi desain kurikulum.
c) Evaluasi belajar siswa.
d) Evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum data yang diperoleh dari hasil evaluasi
ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum serta prinsip-
prinsip pelaksanaannya.
Bagan 2.5
Model Pengembangan Kurikulum Beauchamp (Wahyudin, 2014: 70)
49
Model pengembangan kurikulum yang diterapkan Beauchamp berbeda dengan
model yang diterapkan oleh Taba dan Tyler, yakni seperti model Taba yang lebih
menekankan pada pendekatan induktif yang dilakukan oleh pelaksana pendidikan dalam
hal ini guru, sedangkan pada model Beauchamp, menerapkan pendekatan deduktif, yakni
melibatkan berbagai kalangan yang berhubungan dengan kurikulum dalam cangkupan
yang lebih luas, seperti: para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat
pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, para ahli pendidikan dari
perguruan tinggi atau sekolah dan guru terpilih, para profesional dalam sistem pendidikan,
profesional lain, dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal tersebut memungkinkan perubahan
kurikulum secara Nasional. Hambatan pada pelaksanaan kemungkinan terjadi dalam hal
hasil kurikulum yang diterapkan pada lembaga pendidikan, seperti ketidak sesuaian
kurikulum yang diberikan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki perbedaan
kebutuhan dan sosial budaya yang berbeda-beda.
Berbagai model pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh para ahli,
kesemuanya memiliki persamaan yakni mengikuti struktur kurikulum dan komponen-
komponennya. Perbedaannya terlihat pada perincian dan kelengkapan pada setiap
tahapannya. Pemilihan pada salah satu model di atas, dalam pengembangan kurikulum
yakni dengan melihat kekuatan dan kelemahan, kemungkinan pencapaian yang maksimal
serta kesesuai dengan sistem dan konsep pendidikan yang digunakan.
Model pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh Taba berdasarkan
pendekatan induktif yakni berdasarkan pengalaman belajar dari dalam dengan melibatkan
guru-guru sebagai pelaksana kurikulum. Taba tidak setuju dengan pendekatan deduktif,
alasannya kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum.
Selain itu, model Taba ini bersifat hanya memperbaiki dan mengembangkan kurikulum
sudah ada. Model Taba ini, dapat digunakan sebagai acuan lembaga pendidikan Islam,
seperti pesantren yakni dengan mengikuti langkah-langkah pada model taba ini.
Pertama, membuat unit-unit eksperimen oleh guru dan pemimpin atau pengasuh
pesantren (kiai) yang merupakan orang-orang yang biasa terlibat langsung dalam
pelaksanaan kurikulum dan pendidikan, yaitu dengan melihat kebutuhan dan minat
masyarakat akan pengetahuan. Dalam hal ini, kebutuhan dan minat masyarakat modern
adalah ingin mendapatkan pengetahuan akan agama agar dapat bermanfaat untuk dirinya
dan orang lain, namun tetap dalam metode dan sistem yang modern. Kemoderenan dapat
dilakukan pesantren yakni dengan melengkapi dengan fasilitas-fasilitas serta sarana
prasarana yang baik. Selanjutnya, merumuskan tujuan, visi, dan misi sebuah lembaga
pendidikan pesantren, dengan mengetahui tujuan, visi, dan misi maka dapat menentukan
isi atau materi pelajaran dan pengalaman belajar atau metode apa saja yang perlu
diterapkan tentunya juga berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Kedua, menguji eksperimen. Dengan pengetahui apa saja kebutuhan dan minat
masyarakat, mengetahui tujuan, visi, dan misi, dan menentukan isi atau materi serta
metode apa saja yang harus diterapkan pada pesantren, maka langkah selanjutnya adalah
menguji eksperimen tersebut. Apakah hasil eksperimen tersebut sesuai dengan kebutuhan
dan tujuan dari pesantren.
Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Langkah ini dapat dilakukan dengan
melihat hasil pengujian eksperimen, dengan begitu pesantren dapat memilih hasil yang
sudah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan atau merevisi hasil yang belum sesuai.
Keempat, mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum. Langkah ini dapat
dilakukan dengan memilih dan mengembangkan materi, metode, dan pengalaman belajar
50
apa saja yang perlu diterapkan. Untuk selanjutnya adalah pelaksanaan dari kurikurim
tersebut.
Selanjutnya, model Beauchamp. Kemungkinan dapat dilakukan oleh lembaga
pendidikan pesantren adalah dengan dua cara, yaitu:
Pertama, model Beauchamp ini dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan
melakukan diskusi antara pemerintah terkait dengan para ahli bersama perwakilan
beberapa guru yang kemudian mengembangkan atau memperbarui kurikulum pesantren
secara nasional yang kemudian dapat diterapkan pada lembaga pendidikan pesantren. Hal
ini sebagaimana yang dilakukan pemerintah dalam memberikan standar kurikulum
nasional kepada pesantren-pesantren yang memiliki lembaga pendidikan kombinasi, yakni
kurikulumnya berdasarkan kurikulum pemerintah dan kurikulum yang dibuat oleh bidang
kurikulum pesantren sendiri.
Kedua, model Beauchamp dilakukan oleh lembaga pendidikan pesantren besar,
yang memiliki beberapa unit-unit, yakni dengan berdiskusi antara ketua yayasan,
pengasuh/kiai, perwakilan beberapa guru, dengan menentukan tujuan pesantren, materi dan
metode apa saja yang perlu dikembangkan atau ditambah berdasarkan kebutuhan peserta
didik dan masyarakat, yang kemudian diterapkan pada masing-masing unit-unit sesuai
dengan jenjang pendidikannya. Kemungkinan ada kekurangan pada model ini, yaitu belum
tentu kurikulum yang diterapkan tersebut sesuai pada masing-masing unit dalam
persantren tersebut. Kelebihan pada model ini, memungkinkan pesantren memiliki standar
kurikulum yang dapat digunakan pada masing-masing unit pesantren tersebut.
Menurut Qomar (2014: 42-43) terdapat beberapa model pengembangan kurikulum
yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga pendidikan pesantren, yaitu: pengembangan
pesantren menekankan kemampuan santri pada pendalaman ajaran Islam melalui literatur-
literatur atau sumber-sumbernya yang asli (al-Qur‟an, Hadits, dan kitab-kitab bahasa Arab
baik kitab kuning/kutub al-safra‟ maupun kitab putih/al-kutub al-baida‟, baik kitab
warisan/al-kutub al-turats maupun kitan hasil modifikasi), kemudian ditambah dengan
beberapa keilmuan di antaranya:
(1) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan
mendakwahkan Islam sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman baik dalam sekala
lokal, nasional, maupun internasional.
(2) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki kemampuan meneliti
(menggali, menemukan, dan mengembangkan khazanah keislaman.
(3) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki keterampilan
kewirausahaan.
(4) Memberikan bimbingan dan pelatihan agar santri memiliki konsentrasi keahlian.
Model-model yang ditawarkan Qomar (2014: 43-44) tersebut, menurutnya dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
Pertama, untuk mewujudkan santri memiliki kemapuan tambahan yakni
berdakwah, diperlukan tambahan wawasan kepada santri tentang cara-cara dan metode-
metode dakwah yang dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan
berpikir masyarakat.
Kedua, agar santri memiliki tambahan kemampuan untuk meneliti, maka dapat
dilakukan dengan menambah mata pelajaran yang terkait langsung dengan metodologi
penelitian terhadap bidang sosial keagamaan, seperti metode penelitian hadits, metode
penelitian sejarah, dan metode penelitian yang terkait dengan memperkuat penguasaan
ilmu-ilmu keagamaan.
51
Ketiga, untuk menambah kemampuan santri dalam bidang kewirausahaan,
diperlukan pelajaran tambahan pelajaran-pelajaran yang terkait dengan kewirausahaan,
adapun kaitan kewirausahaan dengan nilai-nilai keagamaan seperti hasil-hasil keterapilan
kaligrafi yang dapat digunakan sebagai produk keterampilan yang dapat dipasarkan
keberbagai tempat. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pengetahan dasar-
dasar bisnis kewirausahaan, ekonomi bisnis, dan manajeman perekonomian yang dapat
dilakukan dengan melaksanakan lokakarya/workshop yang terkait dengan kewirausahaan,
maupun memberikan keterampilan yang dapat membuka peluang ekonomi selain itu dapat
pula dengan membuka kelas sekolah kejuaruan.
Keempat, langkah yang dapat dilakukan agar santri memiliki tambahan konsentrasi
keahlian pada bidang tertentu, yaitu diperlukan pendalaman-pendalaman dalam beberapa
keilmuan yang diajarkan, seperti dengan menambah tenaga-tenaga pengajar konsentrasi
yang professional dan tenaga khusus dengan menyeleksi bakat dan minat santri.
Dari empat model yang ditawarkan oleh Qomar tersebut, perlu diperhatikan lebih
mendalam yakni dalam penguasaan ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan ciri khas dari
pesantren harus benar-benar dipertahankan. Dalam hal ini, jika santri memiliki
kemampuan selain ahli dalam keagamaan, juga memiliki kemampuan dibidang lain, ini
berararti sudah sesuai dengan tujuan dari pesantren yakni menjadikan santri sebagai calon
ulama yang intelektual, paling tidak merupakan tambahan sebagai bekal untuk
kehidupannya kelak.
C. Kerangka Berpikir
Pesantren pada awal keberadaannya berupa sistem pendidikan sederhana yang
mencerminkan model tradisional, seiring dengan perjalanan waktu, dunia pesantren pun
mulai melakukan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat akan tenaga-tenaga trampil
yang dapat memenuhi tuntutan kehidupan duniawi dan ukhrawinya. Oleh karena itu,
banyak institusi pesantren yang mulai mengembangkan sistem pendidikannya, berupa
pendidikan umum, baik berupa sekolah ataupun madrasah. Kesediaan pesantren
mengembangkan pendidikannya dengan pendidikan umum ini sejalan dengan pandangan
Azra pada tulisannya yang berjudul: Kontinuitas dan Perubahan yang terdapat dalam
Madjid ( 1997: ix) menegaskan bahwa jika pesantren ingin tetap survive, maka institusi ini
dapat mentrasformasikan dirinya menjadi lembaga pendidikan umum, atau setidak-
tidaknya menyesuaikan diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan
umum.
Selanjutnya, diperlukan skema berpikir yang dibangun berdasarkan asumsi bahwa
pengembagan kurikulum dan pendidikan keagamaan di pesantren hendaknya berdasarkan
prinsip relevansi, fleksibelitas, kontinuitas, efisiensi, efektifitas, dan ditambah
produktivitas sebagai indikator yang memungkinkan tercapainya sasaran yang diinginkan,
yaitu kemajuan. Skema berikut ini dimaksudkan untuk memberi gambaran alur berpikir
yang dikembangkan dalam penelitian ini.
52
Bagan 2.6
Skema Kerangka Berpikir
Pola pendidikan pesantren kombinasi merupakan perpaduan dari pola pendidikan
pesantren tradisional dan pola pendidikan pesantren modern (independent). Langkah-
langkah yang dilakukan pada pengembagan kurikulum dapat terlihat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, langkah-langkah tersebut dipertimbangkan
berdasarkan upaya pencapaian tujuan, baik tujuan nasional ataupun tujuan kelembagaan.
Adapun pengembangan kurikulum keagamana dalam penelitian ini terdapat beberapa
komponen sebagai objek pengembangan yang dapat melengkapinya, yaitu tujuan,
metodologi, isi/materi, evaluasi dan tenaga pengajar. Komponen-komponen tersebut
sebagai penentu sejauhmana pengembangan tersebut. Penelitian ini lebih menekankan
sejauh mana pengembagan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh pesantren dalam
merespon perkembagan zaman dan perkembangan intelektual.
D. Telaah Pustaka
Penelitian yang membahas tentang kurikulum secara umum sudah cukup sering
dibahas oleh para ahli pendidikan, baik pada tingkat lokal ataupun internasional. Akan
tetapi pembahasan yang secara gamblang mengkhususkan pada persoalan kurikulum
keagamaan pesantren di tengah perubahan politik nasional masih tergolong kurang, apalagi
yang spesifik menyangkut suatu era dan kondisi tertentu.
Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang kurikulum pesantren secara
keseluruhan, penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dalam mengungkap perbedaan
dengan penelitian ini. Oleh karena itu, dilakukan telaah pustaka pada beberapa hasil
laporan penelitian sebelumnya, antara lain adalah:
Model
Pengembangan
Kurikulum:
Perencanaan
Pelaksanaan
Evaluasi
Sasaran:
Kemajuan
Indikator:
Relevansi
Fleksibelitas
Kontinuitas
Efisiensi
Efektifitas
Produktifitas
Objek
Pengembangan:
Kelembagaan
Tujuan
Isi/Materi
Metodologi
Evaluasi
Tenaga
Pengajar
Model Pesantren
Kombinasi:
Kolektif Yayasan
Klasikal
Kitab Ulama Klasik/
Kitab Kuning
Sorogan dan
Bandongan
Penekanan Bahasa Arab
dan Inggris
Sekolah/Madrasah
Keterampilan
Kurikulum Pemerintah
dan Kepesantrenan
53
Pertama, tesis yang berjudul Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi
Institusi, Kurikulum dan Metode oleh Prof. DR. Mujamil Qomar, M.Ag. Tesis ini
kemudian diterbitkan oleh penerbit Erlangga dengan judul Pesantren Dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi pada tahun 2005. Kajian dari penelitian ini
adalah berusaha mengungkap transformasi kepemimpinan pesantren, transformasi sistem
pendidikan pesantren, transformasi institusi pesantren, transformasi kurikulum pesantren,
dan transformasi metode pendidikan pesantren. Di samping itu, kajian ini juga
mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tersebut dan implikasinya.
Kedua, tesis yang berjudul Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di Pondok Pesantren
yang di tulis oleh A. Malik MTT, kemudian tesis ini diterbitkan oleh Departemen Agama
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Islam pada tahun 2008. Tesis ini berisi tentang
inovasi kurikulum yang dilakukan oleh pesantren dengan berbasis lokal.
Ketiga, disertasi yang berjudul Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus
Pesantren Lirboyo Kediri oleh Ali Anwar tahun 2008. Kajian dari penelitian ini
mengungkap pembaharuan pendidikan pada pesantren salaf iyah, yakni dengan mendirikan
unit-unit pendidikan yang mengkombinasikan sistem pendidikan tradisional dengan
modern.
Keempat, disertasi yang berjudul Pembaruan Pendidikan Islam di Makasar: Studi
Kasus Pesantren modern Pendidikan al-Qur‟an IMMIM Tamalanrea Makasar. Disertasi ini
kemudian dijadikan buku yang berjudul Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim
Modern oleh Muljono Damopoli pada tahun 2011. Kajian dari penelitian ini adalah
berusaha mengungkap pembaharuan pendidikan Islam di wilayah Makasar.
Dari sejumlah studi tentang pesantren tersebut di atas, sepanjang penelusuran
penulis, belum ada yang secara spesifik melakukan kajian dengan fokus pada
pengembangan kurikulum keagamaan secara utuh. Titik perbedaan antara buku dan hasil
penelitian tersebut di atas dengan tesis penulis adalah secara mendalam penelitian ini akan
fokus kepada kajian tentang pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren. Dengan
begitu, maka studi tentang pengembangan kurikulum keagamaan pesantren secara
komprehansif barulah dilakukan melalui penelitian tesis ini.
54
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif atas dasar paradigma
naturalistik. Sugiono (2009: 9) menegaskan bahwa: metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang alamiyah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Moleong (2013: 10-12)
menambahkan bahwa, penelitian kualitatif itu berakar pada setting dunia empiris sebagai
mengandalkan keutuhan manusia sebagai instrument penelitan. Dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif, analisis data dilakukan secara induktif, serta lebih
menekankan pada kualitas proses penelitian, membatasi studi tentang fokus penelitian, dan
memilih seperangkat kriteria untuk validitas rancangan penelitian serta subjek penelitian.
Hasil penelitian dalam penelitian kualitatif tidak digunakan untuk menjawab
hipotesis yang telah diumuskan, dan memutuskan menerima atau menolak hipotesis, tetapi
lebih ditekankan pada bagaimana pengumpulan data yang dimaksud untuk
mendeskripsikan dan menganalisis terhadap keadaan sesungguhnya yang terjadi di
lapangan penelitian.
2. Jenis Data
Data yang akan dicari dan dikumpulkan melalui penelitian ini adalah data yang
sesuai dengan fokus penelitian, yaitu tentang pengembangan kurikulum Pesantren al-
Hamidiyah, termasuk di dalamnya terdapat pola-pola pengembangan sistem pendidikan
Pesantren al-Hamidiyah, setting sosial dan keadaan dan kebutuhan pendidikan masyarakat
sekitar Pesantren al-Hamidiyah, dan alur perkembangan Pesantren al-Hamidiyah itu
sendiri.
Jenis data dalam penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dalam bentuk verbal yaitu dalm bentuk kata-kata atau ucapan lisan
dan perilaku subjek (informan), berkaitan dengan pengembangan kurikulum keagamaan
Pesantren al- Hamidiyah. Lexy J Moleong (2013: 157) menyatakan bahwa karakteristik
data primer adalah bentuk kata-kata atau ucapan lisan dan perilaku manusia. Data sekunder
bersumber dari dokumen-dokumen dan foto-foto yang dapat digunakan sebagai pelengkap
data primer. Karakteristik yang ada pada data sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan,
rekaman, gambar, foto yang berhubungan dengan subjek penelitian. Dari kedua jenis data
tersebut penulis akan menggunakan data primer yang didapat dari wawancara dan
observasi terhadap informan penelitian yang ditentukan, dan data sekunder pendukung
yaitu berupa literatur tambahan dan dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian ini.
Data primer akan digali melalui wawancara yang akan dilakukan kepada orang-
orang yang terkait dengan penelitian ini, seperti: pengasuh pesantren (kiai), kepala
madrasah, kepala kajian Islam dan Asrama, bidang kurikulum pesantren, bidang
kepesantrenan, guru-guru, dan staf-staf terkait dengan penelitian. Sedangkan, data skunder
pada penelitian ini didapat dengan mengumpulkan data-data tulisan-tulisan, seperti
dokumen-dokumen, profil pesantren, program kerja dan arsip-arsip yang berkaitan dengan
54
55
penelitian. Kemudian data sekunder lainnya berupa rekaman, gambar, foto kegiatan yang
berhubungan dengan subjek penelitian.
3. Objek dan Sumber Data Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah kurikulum Pesantren al-Hamidiyah
yang diwujudkan dalam pengembangan satuan pendidikan yang ada dalam ruang lingkup
Pesantren al-Hamidiyah. Sebagai perluasan dari satuan pendidikan pesantren maka
madrasah bisa menjadi kepanjangan tangan dari Pesantren al-Hamidiyah dalam
mengembangkan kurikulum keagamaan dan menjawab kebutuhan masyarakat
disekitarnya.
Berkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dirumuskan, maka
yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah sumber yang berasal dari informan
(narasumber penelitian), dokumentasi, dan literatur pendukung yang relevan. Pada
dasarnya perolehan data-data penelitian ini bermuara pada dua sumber, yakni sumber
primer dan sumber sekunder. Mengenai sumber data primer, penulis melakukan observasi
lapangan dan mengolah dokumen-dokumen Pesantren al-Hamidiyah. Sedangkan data
sekunder penelitian ini adalah buku-buku utama yang sangat berhubungan dengan
persoalan kurikulum, jurnal-jurnal ilmiah pendidikan, makalah-makalah, informasi sekitar
pesantren, serta sumber-sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini, undang-undang
tentang pendidikan.
Selanjutnya, penulis juga melakukan studi eksplorasi (Morissan, 2012: 35), yaitu
mengumpulkan berbagai informasi tentang Pesantren al-Hamidiyah dari aspek
kependidikannya sebagai bahan untuk penelitian. Informasi akan penulis lacak dari
elemen-elemen penting Pesantren al-Hamidiyah seperti para tenaga pengajar,
pembina/pengelola pesantren, kepengurusan struktural, dan alumni pesantren tersebut.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan
dokumentasi, dan gabungan ketiganya atau triangulasi. Peneliti menggunakan pedoman
wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka. ( Moleong, 2013: 189) Pedoman ini
dimaksudkan untuk menjaga agar wawancara dapat berlangsung tetap pada konteks
permasalahan penelitian. Dengan daftar pertanyaan tersebut diharapkan dapat memperoleh
data primer mengenai pengembagan kurikulum dan pendidikan keagamaan. Penelitian ini
akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.
Studi lapangan (field research), yaitu pengamatan langsung di lapangan untuk
memperoleh data dan informasi yang dikumpulkan dengan cara:
(1) Observasi (pengamatan), yaitu teknik observasi (pengamatan) dilakukan dengan cara
pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis atas fokus permasalahan dan
objek penelitian. (Moleong, 2013: 174) Dalam penelitian ini observasi penulis
digunakan untuk memperoleh gambaran nyata berkaitan dengan fokus studi dan objek
yang diteliti berkenaan dengan kondisi objektif dilapangan serta pengamatan dan
sudut pandang peneliti terhadap objek penelitian. Teknik observasi ini mengambil
berbagai data yang berhubungan dengan perkembangan Pesantren al-Hamidiyah,
perkembangan kurikulum keagamaan Pesantren al-Hamidiyah, dan keadaan Pesantren
al-Hamidiyah masa kini.
(2) Wawancara, yaitu sebagai instrumen penting dalam penelitian kualitatif, wawancara
yang akan penulis gunakan adalah wawancara yang mendalam, yang menggali
56
sedalam-dalamnya informasi yang didapat dari informan (narasumber) yang telah
penulis tentukan. Wawancara ini digunakan untuk menggali data tentang sejarah
lahirnya Pesantren al-Hamidiyah, serta perkembangan Kurikulum kegamaan
Pesantren al-Hamidiyah dari dulu sampai sekarang. Adapun narasumber yang telah
penulis tentukan adalah Pimpinan Pengasuh Pesantren al-Hamidiyah, Kepala
Madrasah dan Waka kurikulum setiap jenjang pendidikan di Pesantren al-Hamidiyah,
Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah.
(3) Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data yang terkait dengan fokus studi dan
objek penelitian yang berasal dari sumber utamanya yaitu modul yang dibuat yayasan,
pesantren, maupun madrasah, silabus, RPP, arsip-arsip yang terkait dengan kurikulum
pesantren dan madrasah, majalah dan artikel yang memuat tentang Pesantren al-
Hamidiyah, serta brosur dan pemberitaan lain yang terkait dengan permasalahan fokus
studi serta objek yang dikaji.
C. Teknik Analisis dan Validasi Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif-
eksploratif dengan melibatkan tiga komponen analisis. Menurut Suprayogo (2003: 193-97)
dan Moleong (2013: 248-269) proses yang dapat dilakukan dalam menganalisis data
deskriptif-eksploratif, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Ketiga komponen analisis ini bersifat interaktif. pada tahap reduksi data dilakukan
kategorisasi dan pengelompokan data dalam sekala prioritas, mana yang lebih penting,
yang bermakna, dan yang relevan dengan fokus studi dan objek yang diteliti, sehingga
kesimpulan-kesimpulan finalnya mampu ditarik dan diverivikasi. Pada tahap penyajian
data digunakan analisis tema, grafik, matrik, dan tabel. Adapun penarikan kesimpulan
dilakukan dengan teknik mencari pola, tema, hubungan, persamaan, dan hal-hal yang
sering timbul.
Analisis data akan disesuaikan berdasarkan hasil temuan penelitian dan teori-teori
para ahli pengembangan kurikulum, seperti model pengembangan kurikulum Hilda Taba,
Beauchamp yang terdapat pada buku karangan Nana Syaodih Sukmadinata tahun 2012,
yang berjudul “Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek”, model pengembangan
kurikulum Oliva yang terdapat pada buku karangan George Paulas dan Peter F. Oliva
tahun 2008, yang berjudul “Supervision for Today‟s Schools”, dan model pengembangan
kurikulum pesantren yang terdapat dalam buku karangan Mujamil Qomar tahun 2014 yang
berjudul “Menggagas Pendidikan Islam”.
Pengujian validasi data pada penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi.
Mengenai triangulasi, Moleong (2013: 330) menjelaskan bahwa metode ini digunakan
sebagai teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data lain. Untuk menguji validasi data
pada penelitian ini, penulis mencocokkan dan membandingkan data dari berbagai sumber,
baik sumber lisan (hasil wawancara), tulisan (pustaka), maupun data hasil observasi.
D. Kisi-kisi Pertanyaan Wawancara
Terdapat beberapa informasi penting yang dapat dijadikan rujukan dalam
penelitian ini, untuk itu dibutuhkan beberapa pertanyaan yang akan digunakan dalam
metode wawancara. Agar lebih jelas dan terarah berikut ini terdapat beberapa kisi-kisi
pertanyaan yang akan dipakai sebagai pedoman wawancara, yaitu:
1. Konsep pengembangan kurikulum
a. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
57
b. Landasan pengembangan kurikulum
c. Komponen pengembagan kurikulum:
- Tujuan
- Materi/isi
- Metodologi
- Evaluasi
d. Model pengembangan kurikulum
e. Pengembangan kurikulum keagamaan di pesantren
2. Struktur organisasi lembanga
3. Latarbelakang pendidikan tenaga pengajar (guru)
4. Kegiatan penunjang kurikulum keagamaan
58
BAB IV
KURIKULUM DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN DI PESANTREN AL-
HAMIDIYAH
A. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pendidikan Pesantren al-Hamidiyah
Pesantren al-Hamidiyah merupakan pesantren yang berada dalam naungan
Yayasan Islam al-Hamidiyah (YIH) yang didirikan pada tanggal 6 Desember 1976
berdasarkan Akta Notaris Nomor 3 dengan notaris pengganti Basuki Budinanto. Akte ini
merupakan penyempurnaan dari Akte nomor 16 tahun 1969 oleh Raden Soerojo
Wongsowidjojo, SH. Saat ini Yayasan Islam al-Hamidiyah di ketuai oleh Dr. H. Imam
Susanto Sjaichu, Sp.BP yang merupakan salah satu putra dari KH. Achmad Sjaichu.
Yayasan Islam al-Hamidiyah menetapkan tujuan kegiatannya, yaitu Pendidikan dan
Dakwah serta mengusahakan kesejahteraan ummat Islam. Melalui bidang-bidang itu, YIH
merencanakan dan menyelenggarakan program-program untuk mencapai tujuannya, yakni
mempertinggi mutu pendidikan Islam dan mengusahakan kesejahteraan bagi ummat Islam.
(Profil Yayasan Islam al-Hamidiyah)
Tujuan kegiatan yang ditetapkan Yayasan Islam al-Hamidiyah di atas
menunjukkan bahwa Yayasan Islam al-Hamidiyah masih tetap konsisten sejak awal
berdiri hingga kini yakni sebagai lembaga yang konsen dalam pelestarian pendidikan dan
dakwah Islamiyah serta mengupayakan kesejahteraan umat Islam melalui kegiatan-
kegiatan sosialnya.
Yayasan Islam al-Hamidiyah melewati tahap-tahap perkembangannya secara
istiqamah, terencana, dan konsisten pada jalur pendidikan dan dakwah. Dari tahun ke
tahun program-program yang diselenggarakan YIH berkembang cukup pesat, mulai dari
Kelompok Bermain dan TK, TPQ, SDIT, SMP, MTs dan MA yang berpusat di Jl. Raya
Sawangan-Depok, Grup Medik Meruya (GMM) yang berpusat di Meruya-Jakarta Barat,
dan Tarbiyah Islamiyah Surabaya yang beralamat di Jl. Kedung Tarukan, Surabaya. (Profil
Yayasan Islam al-Hamidiyah)
Semakin banyak unit yang dikembangkan oleh Yayasan Islam al-Hamidiyah,
menunjukkan bahwa Yayasan Islam al-Hamidiyah semakin berkembang dan dapat
memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, khususnya pendidikan
dengan ciri keagamaan.
Pesantren al-Hamidiyah merupakan salah satu bagian dari unit-unit yang berada
dalam tanggung jawab Yayasan Islam al-Hamidiyah. Pesantren al-Hamidiyah juga
merupakan unit pertama dari Yayasan Islam al-Hamidiyah yang terintegrasi dengan
Madrasah baik Madrasah Tsanawiyah maupun Madrasah Aliyah al-Hamidiyah.
Pesantren al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan
yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren al-
Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginan yang besar
dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah. (Profil
Pesantren al-Hamidiyah)
KH. Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi
perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung
sejak ia meninggalkan pesantren al-Hidayah, Lasem. Dalam kurun waktu selama 40 tahun
(1950-1980) KH. Achmad Sjaichu terjun dalam dunia politik dan bergiat dalam Jam‟iyah
Nahdatul Ulama. Dalam bidang tersebut, KH. Achmad Sjaichu berhasil membukukan
berbagai prestasi. Di bidang politik, KH. Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup
58
59
terhormat, yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI. Dengan basis keilmuan pesantren yang
diperkaya dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang menyertai perkembangan
kehidupannya itulah, KH. Achmad Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang
pernah ditinggalkannya dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren,
KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader da‟i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki
kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman menyeluruh tentang
makna kehadiran para juru dakwah dan ulama ditengah-tengah masyarakat yang bergerak
maju dan cepat. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
KH. Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan
makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena banyaknya ulama
yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem pendidikan dan pengajaran dalam lembaga
pesantren yang masih harus lebih disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan
ulama perlu dipersiapkan sejak dini dengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang cukup
untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks. KH. Achmad
Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan kekhawatiran yang pernah
dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang silam tentang kondisi umatnya yang
kehilangan pemimpin dari kalangan ulama. Namun, KH. Achmad Sjaichu tidak tenggelam
dan hanyut dalam keprihatinan semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya
mendirikan pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut. Sebab
Nasyr al-„Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata menjadi keinginan
manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
Upaya yang dilakukan oleh KH. Achmad Sjaichu sangat tepat sekali yakni
memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk terus melakukan upaya
reproduksi/kaderisasi calon ulama atau para juru dakwah, dengan mendirikan pesantren.
Dengan adanya pesantren sedikitnya dapat menimalisir kelangkaan ulama karena dari
pesantren lahirlah para calon-calon ulama walaupun dibutuhkan pendidikan dan
pengajaran keagamaan yang lebih mendalam dan khusus lagi untuk mencapai tahap
menjadi ulama. Setidaknya, pesantren dapat dijadikan gerbang pertama dalam mendalami
pendidikan keagamaan.
Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga
mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu. Sebelum
wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong agar rencana
mendirikan pesantren itu segera diwujudkan. Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk
mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah
Depok di jual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya,
Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di atas tanah
inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya, didirikan. Karena beberapa
kesibukan dan persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru
pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H.
Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH.
Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama
ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren al-Hamidiyah kemudian dimasukan dalam
daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam al-Hamidiyah. (Profil Pesantren al-
Hamidiyah)
Berdirinya Pesantren al-Hamidiyah tentunya dilakukan dengan perencanaan yang
matang, baik secara fisik maupun program-program yang akan dijalankan yakni dengan
merekrut orang-orang yang memang ahli pada bidangnya masing-masing.
60
Secara fisik, bangunan pesantren al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung
pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH Achmad Sjaichu.
Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai program pendidikan di bawah
koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam al-
Hamidiyah pada saat itu, yang juga menantu KH. Achmad Sjaichu. Sementara
pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga dilakukan. Rapat-rapat
Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya segera dibentuk suatu badan
pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang siap untuk menjalankannya. Seperangkat
kepengurusan dipersiapkan, dan tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren al-
Hamidiyah dibuka. Pada saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk
Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri
putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi. (Profil
Pesantren al-Hamidiyah)
Menteri Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan
kegiatan perdana Pesantren al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian pembukaan
pesantren, menteri antara lain menyatakan rasa syukur dan penghargaan yang tinggi atas
dibangunnya pesantren al-Hamidiyah Depok oleh KH. Achmad Sjaichu. Pendirian pondok
pesantren sejalan dengan usaha Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek
percontohan pendidikan madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi
agama dan 25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program
Khusus). (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
Pada acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat
itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang menekankan pengajaran bidang
studi agama adalah jawaban atas kelangkaan ulama yang sedang dirasakan umat Islam
dewasa ini, khususnya di Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar
membangun bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia,
mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman. Pesantren al-Hamidiyah
tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan agama dan umum, tetapi
juga mendidik mereka menjadi seorang muslim yang beriman, berakhlak karimah, berpola
hidup sederhana, dan dibimbing untuk menempuh kehidupan secara mandiri dalam
berbagai hal dengan mengedepankan semangat kebersamaan. Hingga saat ini Pesantren al-
Hamidiyah telah dikenal secara nasional. Hal ini terbukti dari santri yang belajar tidak
hanya berasal dari Jabodetabek tetapi juga dari luar Jabodetabek seperti dari daerah Aceh,
Batam, Padang, Palembang, Lampung, Kepulauan Seribu, Cianjur, Bandung, Kalimantan,
Ambon, Papua, dan daerah lainnya. (Profil Pesantren al-Hamidiyah)
Sejak berdirinya, Pesantren al-Hamidiyah dipimpin langsung oleh KH. Achmad
Sjaichu hingga beliau pulang ke rahmatullah pada tanggal 5 Januari 1995. Sesudah beliau
wafat, Pesantren al-Hamidiyah dipimpin oleh beberapa ulama dan cendikiawan seperti
Prof. KH. Alie Yafie, KH. Utsman Abidin dan KH. Musthafa Bisri yang duduk sebagai
mustasyar dan majelis pengarah. Sedangkan sebagai pelaksana, dipimpin DR. H Fahmi D.
Saifuddin, MPH selaku penanggung jawab/pengasuh dan KH. Ali Mustafa Yaqub , MA
selaku pengasuh/pelaksana harian hingga tahun 1997 kemudian dilanjutkan oleh KH. Drs.
M. Hamdan Rasyid, MA selaku pengasuh/kepala pesantren, selajutnya diteruskan oleh
KH. Drs. Zainuddin Ma‟sum Ali hingga tahun 2016 dan kini dilanjutkan Oleh KH. Drs. A.
Zarkasyi. (Buku Pedoman Umum Pesantren al-Hamidiyah).
Sosok pengasuh atau yang biasa disebut dengan kiai dalam lingkungan pesantren
memang sangat dibutuhkan sekali. Kiai bukan hanya memberikan pendidikan dan
pengajaran dalam bidang keagamaan namun, lebih dari itu yakni memberikan
61
pembelajaran kehidupan yang sesuai dengan syari‟at dan ajaran-ajaran keislaman.
Pesantren al-Hamidiyah mulai sejak awal selalu dipimpin dan dibimbing oleh ulama-ulama
yang memang ahli dan berpengalaman dalam ilmu-ilmu keagamaan dan pesantren. Selain
kiai, tentunya para guru/ustadz sangat dibutuhkan oleh pesantren dalam mengajar dan
mendidik, dan membimbing santri agar dapat menguasai keilmuan yang diajarkan dan
memiliki akhlak yang terpuji tentunya.
Sebelum wafat, KH. Achmad Sjaichu telah mewakafkan seluruh asset, sarana dan
fasilitas pesantren al-Hamidiyah kepada Yayasan Islam al-Hamidiyah untuk tujuan
nasyirul „ilmi (penyebaran ilmu/pendidikan) dan pembinaan ummat. Hal ini telah beliau
ikrarkan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Pancoran Mas Depok
sehingga terbitlah akta Ikrar Wakaf No. K-26/BA.032/118/IV/1993, No. K-
26/BA.032/119/IV/1993, No. K-26/BA.032/120/IV/1993, K-26/BA.032/121/IV/1993, dan
No. K-26/BA.032/122/IV/1993 yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
Kecamatan Pancoran Mas Depok. Berdasarkan ikrar wakaf tersebut, maka pesantren al-
Hamidiyah berstatus wakaf untuk umat Islam. Sebagai nadzir yang bertanggung jawab atas
keberlangsungan dan pengembangan Pesantren al-Hamidiyah demi terwujudnya cita-cita
almaghfurlah KH. Achmad Sjaichu adalah Yayasan Islam al-Hamidiyah. (Buku Pedoman
Umum Pesantren al-Hamidiyah, 2000: 3)
Wakaf yang dilakukan oleh KH. Achmad Sjaichu tersebut di atas merupakan
sedekah dan dapat dijadikan amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir sesuai
dengan firman Allah SWT, yaitu:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan. Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran (8): 92)
Dan sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW yang terdapat dalam Muslim bin Hijâj,
jilid III, Juz 5 (73), yaitu: نيسافى : " عني أ ىىريػيرة أفن رسىوؿ اا صلن ااى علييو كسلنم قاؿ إذا مات اإلي
إالن مني صدقةة جاريةة أكي عليمة يػىنيتػفعى بو أكي كلدة : انػيقطع عنيوى عملىوى إالن مني ثالثةة عىو لوى (ركاه مسلم) صالحة يدي
“Dari Abî Hurairah sesungguhnya Rasulullâh SAW bersabda, “Apabila manusia
meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)
62
Wakaf Pesantren al-Hamidiyah termasuk Wakaf Permanen (al-Waqf al-
Mu‟abbad). Menurut Mundzir Qahâf (2006: 158-159) wakaf permanen (al-Waqf al-
Mu‟abbad), yaitu wakaf berbentuk barang yang bersifat abadi seperti tanah dan bangunan
dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan wâqif sebagai wakaf abadi dan
produktif, dimana sebagian hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan
sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
Adapun Visi dan Misi Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana tertulis dalam brosur
penerimaan santri baru Pesantren al-Hamidiyah tahun pembelajaran 2016/2017 adalah
sebagai berikut:
Visi :
“Sebagai pesantren yang unggul dalam ilmu pengetahuan agama dan umum,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan kader muslim yang intelek, cerdas,
terampil, percaya diri, berkepribadian kuat, mampu mengembangkan diri dan
mampu mengembangkan diri dan umat manusia seutuhnya”.
Misi :
1. Menyiapkan kader-kader muslim yang menguasai ilmu pengetahuan agama Islam dan
ilmu pengetahuan umum yang luas dan mendalam serta memiliki pribadi muslim yang
berakhlak mulia.
2. Menyiapkan kader muslim yang memiliki sifat istiqamah terhadap ajaran yang
diyakini dan mampu mengamalkan kepada masyarakat.
3. Menyiapkan kader muslim yang luas wawasan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
dengan dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang kuat dan mampu menerapkan dalam
kehidupan masyarakat.
4. Mewujudkan Pesantren al-Hamidiyah Depok menjadi pesantren yang unggul dan
berkualitas yang menjadi rujukan pesantren lainnya.
5. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan professional tenaga pendidik sesuai
dengan perkembangan dunia pendidikan.
Pesantren al-Hamidiyah juga menyediakan fasilitas-fasilitas berupa sarana dan
prasarana sebagai faktor pendukung pelaksanaan pendidikannya yang terintegrasi dengan
sekolah/madrasah sebagaimana terdapat dalam brosur penerimaan santri baru Madrasah
Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren al-Hamidiyah tahun pembelajaran 2016/2017
diantaranya sebagai berikut:
1. Asrama Santri Putra
2. Asrama Santri Putri
3. Lab. IPA
4. Lab. Komputer/Ruang Internet
5. Lab. Bahasa
6. Perpustakaan
7. Masjid
8. Musalla Putri
9. Poliklinik
10. WiFi Hotspot
11. Lapangan Upacara
12. Lapangan Olah Raga
13. Barber Shop
63
14. Wartel
15. Koperasi dan Waserba
16. Kantin (Putra dan Putri)
17. Ruang Makan Santri Putra dan Santri Putri
18. Ruang Kelas yang memadai dan representatif.
B. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Keagamaan di Pesantren al-Hamidiyah
1. Dinamika Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah
Secara kelembagaan Pesantren al-Hamidiyah dalam pengembangan pendidikannya
mengalami beberapa tahapan, yaitu:
Tahap I : Tahap persiapan dan membuka pesantren (1976-1988)
Tahap II : Tahap konsolidasi untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup pesantren (1988-1993)
Tahap III : Tahap persiapan untuk melakukan pengembangan pesantren
secara berencana (1994-1996)
Tahap IV : Tahap pengembangan pesantren secara berencana
Fase 1 : (1996-2000)
Fase 2 : (2001-2005)
Fase 3 : (2006-2010)
Tahap V : Tahap Pembangunan lanjut (2011 dan seterusnya)
Tahapan-tahapan tersebut di atas juga berpengaruh pada pengembagan dibidang
kurikulum keagamaan, setidaknya telah menjalani pengembangan kurikulum keagamaan
sebanyak tiga kali, pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan tuntutan dan keadaan.
Pengembangan Kurikulum Keagamaan Pesantren al-Hamidiyah dikembangkan
berdasarkan prinsip fleksibelitas, prinsip fleksibelitas pada kurikulum menurut Widyastono
(2014: 38) artinya kurikulum memungkinkan penyesuaian-penyesuaian dengan karakter
peserta didik, karakteristik sekolah, serta kondisi dan potensi daerah. Kaitannya prinsip
fleksibelitas pada pengembangan kurikulum keagamaan Pesantren al-Hamidiyah yakni
menyesuaikan kemampuan santri dan karakteristik pesantren.
Tabel 4.1
Perkembangan Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah
dari Periode ke Periode
Periode Sumber kurikulum Sifat Keterangan
1988-2002 Departemen Agama
Kepesantrenan
Formal
Non Formal
- Kurikulum Depag dan
Kurikulum
Kepesantrenan berjalan
dalam satu kesatuan
- Evaluasi pembelajaran
menyatu
2002-2014 Departemen Agama
Kajian Islam Sistem
Marhalah
Formal
Non Formal
- Kurikulum Depag dan
Kepesantrenan/Kajian
Islam Berjalan secara
Mandiri
64
- Santri di tes pada awal
masuk dan
dikelompokkan
berdasarkan
kemamampuan
- Evaluasi pembelajaran
secara mandiri
2014-
Sekarang
Departemen Agama
Kajian Islam Sistem
Tingkat Pendidikan
Formal
Non Formal
- Kurikulum Depag dan
Kepesantrenan/Kajian
Islam berjalan Secara
Mandiri
- Santri dikelompokkan
sesuai tingkat pendidikan
di madrasah formal
- Evaluasi pembelajaran
secara mandiri
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah 2016
Data di atas menunjukkan adanya pengembangan kurikulum dari periode ke
periode. Pengembangan tersebut berupa pengembangan sistem kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum dengan jalan efisiensi, dari sistem yang menyatu antara
kurikulum Depag (pemerintah) dengan kurikulum kepesantrenan menjadi kurikulum yang
terpisah. Langkah tersebut dilakukan agar kurikulum kepeantrenan yang dikembangkan
dapat berjalan beriringan dengan porsi yang seimbang dengan kurikulum yang
dikembangk oleh madrasah formal. Berikut ini uraian tentang dinamika perkembangan
kurikulum keagamaan/kepesantrenan Pesantren al-Hamidiyah:
a. Tahap Awal Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah
Pada awal keberadaannya pada tahap sebelum tahap pengembangan pesantren
secara berencana, sebagaimana menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian
Islam dan sebagai salah satu alumni Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah yang
kemudian melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, yaitu Baghdad University,
berasarkan wawancara pada 18 November 2016, menurutnya pengembangan kurikulum
Keagamaan/kepesantrenan Pesantren al-Hamidiyah sempat melaksanakan kurikulum yang
menyatu antara kurikulum Madrasah dengan kepesantrenan dengan sistem pembelajaran
dan ujian evaluasi yang menyatupula. Pelaksanaan kurikulum ini berlangsung sejak awal
berdiri yaitu pada tahun 1988-2002.
Pada tahapan ini kurikulum dan pembelajaran madrasah formal dan kepesantrenan
berjalan dalam satu kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Materi-materi terdiri
dari materi-materi umum dan keagamaan yang sesuai kurikulum pemerintah dan materi-
materi keagamaan/kepesantrenan yang bersumber pada kitab-kitab karangan ulama klasik
atau kitab kuning. Metode pembelajaran juga masih sederhana seperti, metode sorogan,
bandongan dan ceramah. Evaluasi hasil pembelajaran juga menyatu dalam bentuk laporan
hasil belajar yang disatukan semua antara materi-materi kemadrasahan dengan materi-
materi kepesantrenan.
65
Pada saat awal berdiri, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk
Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri
putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi. Kemudian
jumlah santri kian bertambah, menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian
Islam dan juga sebagai alumni Pesantren al-Hamidiyah berasarkan wawancara pribadi
pada 18 November 2016, menurutnya jumlah santri diperkirakan bertambah hingga
berjumlah ribuan, namun kebanyakan pada saat itu santri yang tidak bermukin di asrama
melainkan pulang pergi.
Pada perkembangan kurikulum tahap pertama ini, tidak ditemukan dokumen-
dokumen yang terkait dengan kurikulum keagamaan, penulis berasumsi hal tersebut
disebabkan tahap awal ini merupakan tahap persiapan dan membuka pesantren, tahap
konsolidasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup pesantren, dan tahap persiapan
untuk melakukan pengembangan. Oleh karena itu, tidak banyak dokumen yang tersimpan
karena bergantinya beberapa kepengurusan yang menyebabkan tercecernya beberapa
dokumen. Ketidakadaan dokumen-dokumen tersebut juga menandakan bahwa pada
tahapan ini sistem administrasi dan manajemen yang dilakukaan secara terbatas dan
kemungkinan kurikulum berjalan dengan konsep yang sederhana, dengan kata lain
Pesantren al-Hamidiyah pada tahapan ini sedang mencari jadi diri yang sesuai antara
tujuan awal pendiri dengan perkembangan kemampuan santri pada saat itu.
b. Tahap Pengembangan Kurikulum Sistem Marhalah
Pengembangan kurikulum dengan sistem Marhalah Kajian Islam mulai tahun
2002-2014. Sistem Marhalah pada kurikulum kepesantrenan ini, struktur dan pelaksanaan
pembelajarannya dipisahkan antara kurikulum madrasah formal dengan kurikulum
keagamaan/kepesantrenan yang biasa disebut dengan Kajian Islam. Pelaksanaan program
Kajian Islam agar mencapai hasil yang maksimal sesuai dengan kurikulum Kajian Islam
sistem marhalah, maka dilaksanakan sistem dari yang paling mudah menuju tingkatan
yang paling sulit yaitu marhalah Ula, Wusta Alif, Wusta Ba‟, Ulya Alif, Ulya Ba‟, dan
Ulya Jim, santri di tes kemampuan akademik bidang keagamaan kemudian
(pengelompokan santri berdasarkan hasil mapping) dalam jangka waktu pembelajaran 6
tahun. Dalam hal ini kemungkinan bercampurnya santri, antara santri yang belajar pada
madrasah formal tingkat Aliyah dengan santri tingkat Tsanawiyah menjadi satu
kelompok/kelas di kelas Kajian Islam tergantung hasil tes awal masuk. (Profil Pesantren
al-Hamdiyah)
Pada tahap kedua ini, kurikulum keagamaan mulai terlihat seperti kurikulum
sekolah/madrasah pada umumnya. Tahap pengembangan ini telah dibuat struktur program
kegiatan yang terdiri dari materi-materi keagamaan/kepesantrean yang dikelompokkan
berdasarkan jenis kajian seperti, al-Qur‟an, Hadits, Tauhid, Akhlak, Fiqh, Bahasa Arab,
dan Tarikh. Metode pembelajaran yang digunakan juga mulai bervariatif, dengan
menambahkan metode-metode dalam pembelajaran bahasa Arab seperti metode
mubasyarah. Evaluasi pembelajaran juga mulai di buat beberapa kriteria-kriteria standar
penilaian, kenaikan kelas, dan kelulusan.
Pada tahap mengembangan ini, sebagai temuan data terdapat beberapa buku
pedoman yang dibuat oleh pengelola pesantren seperti, buku pedoman umum, pedoman
santri, dan pedoman pendidikan dan pengajaran pesantren al-Hamidiyah yang diterbitkan
mulai 17 Juli 2000. Buku tersebut berisi berbagai ketentuan yang dapat dijadikan pedoman
dalam pelaksanaan pendidikan dan digunakan hingga sekarang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa secara administratif Pesantren al-Hamidiyah sudah melakukan pengembangan. Pada
66
tahapan ini juga, kurikulum keagamaan/kepesantrenan mulai terlihat upaya-upaya
pengembangan terkait dengan komponen-komponen kurikulum.
Pengembangan pesantren tahap kedua ini, pihak pengelola pesantren selain
mengubah dan mengembangkan kurikulum pembelajarannya, juga mengeluarkan
kebijakan baru sebagaimana menurut Abdul Rasyid Marhali, Lc selaku Kepala Kajian
Islam dan sebagai salah satu alumni Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah, berasarkan
wawancara pada 18 November 2016 mengungkapkan bahwa Pesantren al-Hamidiyah pada
merubah kebijakan bahwa seluruh santri diwajibkan tinggal di asrama. Hal tersebut
merupakan upaya pesantren untuk meningkatkan kualitas pendidikannya dan agar lebih
mudah dalam pengawasan pada seluruh santri. Kebijakan tersebut mempengaruhi
perkembangan jumlah santri, pada saat itu sempat terjadi kegoncangan, jumlah santri
mengalami penurunan yang sangat banyak. Namun, seiring berjalannya waktu pengurus
Yayasan, dewan pengasuh dan para guru berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dan
melengkapi sarana prasarana yang dibutuhkan, dari sini jumlah santri terus bertambah dan
minat masyarakat untuk menitipkan putra putrinya belajar keagamaan di Pesantren al-
Hamidiyah kian mengalami kemajuan.
Bertambahnya minat masyarakat untuk menitipkan putra putrinya belajar
keagaamaan di Pesantren al-Hamidiyah, tidak semata-mata dimanfaatkan kepercayaan
masyarakat tersebut. Pesantren al-Hamidiyah lebih mementingkan kualitas dari pada
kuantitas, dalam artian dalam menampung jumlah santri disesuaikan dengan kemampuan
daya tampung pesantren baik dari segi sarana prasarana maupun jumlah guru. Sehubungan
dengan hal tersebut pihak Yayasan Islam al-Hamidiyah memberikan alternatif lain bagi
masyarakat yang masih ingin menitipkan putra putrinya belajar di bawah naungan yayasan
yang sama dengan membuka kelas pada Kelompok Bermain dan TK, TPQ, SDIT, SMP
dan Perguruan Tinggi, yang dimana tidak mewajibkan santri atau peserta didik untuk
mukim atau tinggal di asrama. Namun, masih dalam tujuan yang hampir sama dalam
bentuk sistem yang berbeda yakni melestarikan dakwah dan pendidikan Islam. Terlihat
pada beberapa kegiatan keagamaan seluruh unit bergabung pada satu acara. Sehubungan
dengan hal tersebut penelitian ini hanya berfokus pada unit yang berhubungan langsung
dengan pesantren yakni Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah al-Hamidiyah saja.
Perubahan dan perkembangan jumlah santri Pesantren al-Hamidiyah dapat terlihat
pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2
Daftar Perkembangan Santri MTs/MA Putra dan Putri
Pesantren al-Hamidiyah (2000-2014)
No.
Tahun
Pembelajaran
Santri MTs Santri MA Jumlah Santri
1 2000-2001
555 465 1.020
2 2001-2002
550 465 1.015
3
2002-2003 425 199 624
4
2003-2004 340 178 518
5 2004-2005 338 161 499
67
6
2005-2006 323 147 470
7
2006-2007 380 153 533
8
2007-2008 351 190 541
9
2008-2009 295 188 483
10
2009-2010 352 190 541
11
2010-2011 297 189 484
12
2011-2012 300 180 480
13
2012-2013 345 203 548
14
2013-2014 353 222 575
Sumber: Tata Usaha MTs/MA Pesantren al-Hamidiyah
c. Tahap Pengembangan Kurikulum Keagamaan dengan Sistem Jenjang dan Tingkat
Pendidikan
Pada perkembangan selanjutnya kurikulum kepesantrenan (Kajian Islam)
diterapkan dengan sistem berdasarkan Jenjang dan Tingkat Pendidikan di madrasah formal
mulai tahun 2014 hingga sekarang, yaitu Madrasah Tsanawiyah kelas VII, VIII dan IX,
dan Madrasah Aliyah kelas X, XI dan XII Program IPA/IPS yang dibedakan antara alumni
santri Pesantren al-Hamidiyah dengan non alumni dengan memberikan tambahan materi
dasar dalam pembelajaran al-Qur‟an dan program PAI atau Keagamaan, dibedakan dari
mulai kurikulum dan Asramanya.
Pada santri program keagamaan kini mulai tahun 2016 dipisahkan asrama, ruang
belajar serta kurikulumnya dari santri program IPA/IPS. Khususnya untuk santri Madrasah
Aliyah program Keagamaan kelas X dan XI, sedangkan kelas XII masih menyatu dalam
struktur kurikulum Kajian Islam. Hal ini disebabkan santri kelas XII meneruskan program
kurikulum sebelumnya. Sedangkan santri kelas X dan XI sudah mulai mengikuti
pembelajaran kurikulum yang baru yang terpadu pada kurikulum Madrasah Aliyah
program Keagamaan Kementrian Agama RI. Santri program keagamaan memiliki
kurikulum diluar kurikulum Kajian Islam, kurikulum program keagamaan melaksanakan
program pendidikan terpadu antara pendidikan pagi dengan malam dijadikan satu
berdasarkan kurikulum Kementrian Agama RI, tidak seperti kurikulum yang diterapkan
pada kajian Islam dengan kurikulum Madrasah formal yang terstruktur secara mandiri.
Kurikulum yang digunakan program keagamaan Madrasah Aliyah al-Hamidiyah
menurut Suyatno, S.Si, M.Pd selaku Kepala MA al-Hamidiyah dan Jauhari, Lc selaku
Kordinator pelaksana, yaitu mengikuti ketentuan dari Kementrian Agama RI kemudian
ditambah dengan pendalaman kemampuan bahasa Arab dan bahasa pengatar pada
pelajaran agama juga menggunakan bahasa Arab serta pendidikan melalui asrama.
68
Sedangkan, pada santri MTs dan MA program IPA/IPS berada pada pengawasan dan
melaksanakan kurikulum kepesantrenan atau Kajian Islam dan Asrama.
Kurikulum pada tahapan Sistem Jenjang dan Tingkat Pendidikan tersebut, tidak
banyak perubahan dari kurikulum sebelumnya. Berubahan terlihat pada bobot pada materi
yang diberikan dan perincian pada beberapa sub materi, seperti materi al-Qur‟an pada
sistem marhalah terbagi menjadi dua sub pokok pelajaran Qira‟ah dan tahfidz dengan
bobot jam belajar masing-masing 3, sedangkan pada sistem tingkat materi al-Qur‟an
terbagi menjadi Tahqiq/Tahfidz dengan bobot jam belajar 6, Bin Nadar/Tilawah, dan
Tajwid dengan bobot jam belajar masing-masing 2. Perubahan tersebut pada tahapan
sistem kurikulum ini lebih konsen pembelajaran al-Qur‟an pada Tahqiq/Tahfidz.
Pembahasan lebih rinci terkait pengembangan kurikulum keagamaan dapat terlihat pada
upaya-upaya pengembangan komponen-komponen kurikulum Pesantren al-Hamidiyah
pada pembahasanan selanjutnya.
Perbedaan antara sistem marhalah dan sistem tingkat pendidikan tersebut di atas,
terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kurikulum pada sistem marhalah, yakni
memudahkan santri dalam pelaksanaan pembelajaran ketingkat selanjutnya, karena santri
dapat menyesuaikan tingkat kemampuannya sesuai dengan kurikulum mata pelajaran yang
diterapkan. Namun, disisi lain karena bercampurnya tingkat usia maka mempengaruhi
psikologi perkembangan santri yang berbeda-beda tingkat usia sehingga terkadang
menimbulkan kendala dalam pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan, kelebihan kurikulum
pada sistem Tingkat Pendidikan adalah memudahkan proses pembelajaran karena terdapat
tingkat usia yang sama, sehingga memudahkan guru dalam menerapkan metode
pembelajaran yang sesuai dengan psikologi santri yang sama pada jenjang usia.
Kelemahan pada sistem ini adalah terdapat kendala bagi santri tingkat Madrasah Aliyah
yang masih rendah pengetahuan keagamaannya. Oleh karena itu, pengelola membedakan
materi dan metode pembelajaran antara santri yang berasal dari lulusan tingkat MTs al-
Hamidiyah (alumni) dengan santri lulusan luar Pesantren al-Hamidiyah (non alumni)
dengan memberikan tambahan materi namun pada kelas dan jenjang pendidikan yang
sama.
Perubahan kurikulum dengan system tingkat pendidikan ini juga mempengaruhi
perkembangan jumlah santri. Perubahan dan perkembangan jumlah santri Tingkat MTs
dan MA baik putra dan putri Pesantren al-Hamidiyah dapat terlihat pada tabel 4.3 di bawah
ini.
Tabel 4.3
Daftar Perkembangan Jumlah Santri MTs/MA Putra dan Putri
Pesantren al-Hamidiyah
Tahun Pembelajaran 2014-2016
NO.
TAHUN
PEMBELAJARAN
SANTRI
MTS
SANTRI
MA
JUMLAH
SANTRI
1
2014-2015 373 231 604
2
2015-2016 387 231 618
3
2016-2017 417 267 684
Sumber: Tata Usaha MTs/MA Pesantren al-Hamidiyah
69
Hal lain yang berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan kurikulum, yaitu
lulusan yang berminat untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi pada bidang
keagamaan khususnya. Pasang surut santri untuk melanjutkan pada bidang keagamaan
dipengaruhi kebijakan pemerintah yang mana pada perkembangannnya mengharuskan
tingkat Madrasah Aliyah untuk membuka jurusan/program. Pesantren al-Hamidiyah yang
semula hanya ada jurusan/program keagamaan kemudian pada perkembangannya
membuka dua jurusan yakni jurusan IPA dan IPS. Dari sini minat santri malah lebih
banyak tertarik untuk masuk pada program IPA dan IPS dibandingkan Program PAI. Hal
ini juga berpengaruh juga pada santri untuk melanjutkan pendidikan pada program di luar
keagamaan. Namun, saat ini pihak pesantren berupaya untuk menarik minat santri untuk
lebih banyak memilih program keagamaan dengan memberikan fasilitas pendukung yakni
memiliki asrama tersendiri, dengan program-program yang lebih menekankan pada
keilmuan agama, upaya tersebut bertujuan agar dapat mencapai tujuan awal pendiri yakni
pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah serta kaderisasi calon ulama.
2. Upaya-upaya Pengembangan Komponen Kurikulum Pesantren al-Hamidiyah
a. Komponen Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum tidak terlepas dari tujuan pendidikan itu sendiri. Bagi pendiri
Pesantren al-Hamidiyah, tujuan dari pendidikan yang dicita-citakan pada awal mula
pendirian pesantren sangatlah sederhana, yaitu untuk mewujudkan keinginan yang besar
dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah. Tujuan
awal tersebut terus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan keadaan. Ketika santri kian
bertambah maka tujuan pesantren ini kian berkembang. Sebagaimana terdapat dalam buku
pedoman umum Pesantren al-Hamidiyah (2000: 23), tujuan pendidikan Pesantren al-
Hamidiyah adalah menghasilkan manusia muslim yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, memiliki ilmu
pengetahuan dan keterampilan sehat jasmani dan rohani, mempunyai kepribadian yang
mantap dan mandiri, serta memiliki kesadaran dan tanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat guna mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, selain itu menghasilkan
calon atau kaderisasi ulama yang mampu mengembangkan ajaran Islam ala Ahlu al-
Sunnah wal Jama‟ah dan melakukan dakwah Islamiyah ditengah masyarakat.
Tujuan Pesantren al-Hamidiyah kian berkembang disesuaikan berdasarkan
perkembangan pendidikan unit lain yang merupakan bagian dari sistem pendidikan
terpadu yakni antara pesantren dengan madrasah formal baik MTs maupun MA al-
Hamidiyah program IPA dan IPS yang menerapkan pengetahuan keagamaan dan umum.
Oleh karena itu, menurut Drs. Eridian Patrio Putra, Wakamad dan Kabid. Pendidikan dan
Pengajaran, berdasarkan hasil wawancara pada 14 Maret 2016, tujuan dari pendidikan
Pesantren al-Hamidiyah selain mereproduksi/kaderisasi calon ulama juga unggul dalam
pengetahuan umum (intelektual). Namun, upaya untuk terus melahirkan calon ulama dapat
terlihat pada santri Madrasah Aliyah program Keagamaan, kurikulum yang diterapkan
lebih banyak menekankan pelajaran keagamaan dengan banyak pelajaran yang bersumber
dari kitab-kitab kuning ulama klasik dan menekankan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar dalam pembelajaran khususnya pelajaran keagamaan. Dengan kata lain, tujuan
dari Pesantren al-Hamidiyah yakni mereproduksi/kaderisasi calon ulama-intelektual atau
intelektual-ulama, ulama yang memiliki keilmuan agama dan keilmuan non agama dan
intelektual yang paham ilmu keagamaan. Hal ini disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Tujuan pesantren tersebut, baik ulama-intelektual maupun intelektual ulama,
kedua-duanya mencerminkan adanya keutamaan ilmu. Penegasan tentang betapa utamanya
70
ilmu yang dilandasi dengan iman yang kuat disebutkan dalam firman Allah, sebagai
berikut: … …
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. al-
Mujadilah (58): 11)
Tujuan pesantren secara struktural diuraikan lebih rinci disesuaikan dengan visi
dan misinya sebagaimana terdapat dalam brosur penerimaan santri baru tahun
pembelajaran 2016/2017 diantaranya adalah:
1) Mendidik santri yang memiliki iman yang kuat dan kepercayaan yang mantap
terhadap kebenaran seluruh ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Nabi
Muhammad SAW.
2) Mendidik santri agar beriman, berakhlak mulia, beramal salih, cakap, serta memiliki
kesadaran dan tanggung jawab atas kesejahteraan umat manusia dan masa depan
negara Republik Indonesia.
3) Mendidik santri agar mampu berpikir rasional dilandasi dengan dasar-dasar ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dan mampu menjabarkan pada agama Islam sehingga
dapat mengembangkan prikehidupan masyarakat.
4) Mendidik santri agar memiliki kemampuan menuangkan buah pikirannya yang
rasional, metodologi yang tepat dan mampu menuliskan sebagai karya tulis, laporan
penelitian atau kajiaan telaah yang berguna bagi upaya peningkatan kualitas dan
pengembangan ilmu dakwahnya.
5) Tercapainya kehidupan baik di dalam maupun di luar pesantren berciri khas Islam dan
nilai-nilai kepesantrenan.
Sedangkan, tujuan-tujuan kurikulum tercermin pada masing-masing bidang studi
yang diajarkan, Kurikulum kepesantrenan/keagamaan Pesantren al-Hamidiyah biasa
disebut dengan Kajian Islam. Program pembelajaran Kajian Islam merupakan bagian dari
realisasi visi, misi dan tujuan yang telah diterapkan oleh Pesantren al Hamidiyah. Oleh
karena itu, secara umum tujuan kurikulum program Kajian Islam tercermin pada masing-
masing bidang studi/materi pelajaran sebagaimana terdapat pada profil Pesantren al-
Hamidiyah diantaranya meliputi :
1) Al-Quran :
a) Mengerahkan santri kepada kemampuan membaca al-Qur‟an sesuai dengan
kaidah-kaidah bacaan.
b) Mendorong santri untuk membiasakan membaca al-Qur‟an secara baik dan benar
dan menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.
c) Mengarahkan santri untuk menghafal surat-surat dan ayat-ayat pilihan
2) Tauhid/Aqidah Tauhid :
a) Menanamkan dan meningkatkan keyakinan bertauhid kepada Allah SWT, baik
tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah maupun tauhid ubudiyyah.
b) Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar menghayati dan
meyakini rukun iman serta menjadikannya sebagai landasan perilaku dalam
71
kehidupan sehari-hari baik dalam hubungannya dengan Allah SWT, dengan
sesama manusia maupun dengan alam sekitar.
c) Memberikan dasar utama dalam pembentukan kepribadian manusia sehingga
menjadi manusia-manusia yang beriman sesuai dengan aqidah ahlussunnah wal
Jamaah.
3) Akhlak:
a) Memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada para santri agar menghayati
dan meyakini akhlak Islam sebagai landasan perilaku dalam kehidupan sehari-
hari.
b) Memberikan dasar utama dalam pembentukan pribadi muslim dengan
mengarahkan santri menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
4) Fiqih:
a) Mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina santri untuk
mengetahui, memahami, dan menghayati hukum Islam agar dapat diamalkan dan
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari hari.
b) Memberikan bekal kepada santri agar lebih mampu memahami ajaran Islam
dalam aspek hukum.
5) Hadits:
a) Mendorong, membimbing dan membina kemampuan para santri dalam membaca
kitab kitab hadis serta dalam memahami arti dan pokok kandungannya sehingga
dapat meningkatkan ilmu , iman dan takwa kepada Allah SWT.
b) Melatih para santri dalam memahami menghafal dan mengamalkan Hadits-hadits
Nabi SAW.
6) Ilmu Hadits:
Memberikan bekal ilmu kepada para santri untuk memahami Hadits-hadis Nabi
SAW sebagai sumber kedua ajaran Islam sesudah al-Qur‟an, serta menseleksi
Hadits-hadits yang sahih, dari Hadits Nabi yang daif, maudu‟ dan lain-lain.
7) T a f s i r:
a) Mengarahkan santri kepada pemahaman dan penghayatan terhadap isi dan
kandungan al-Qur‟an yang kemudian diharapkan dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
b) Melatih para santri untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an (pilihan).
8) Ilmu Tafsir:
Memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada para santri untuk memahami ayat-ayat
al-Qur‟an sebagai wahyu dan sumber utama ajaran Islam yang mencakup bahan
kajian tentang pokok pokok ilmu tafsir.
9) Usul Fiqh :
Memberikan bekal kepada para santri agar lebih mampu memahami metodologi
istimbat hukum Islam serta mempraktekkan metode istimbat tersebut untuk menggali
hukum hukum Islam tentang masalah masalah kontemporer dari nas al-Qur‟an, al-
Sunnah, Ijma‟ dan fatwa sahabat.
72
10) Bahasa Arab :
a) Memberikan bekal kemampuan berbahasa Arab kepada para santri untuk
memahami dan mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan Islam dan ajaran
Islam serta mengembangkan hubungan antar bangsa dan negara negara Islam.
b) Memberikan pengetahuan dan kemampuan berbahasa Arab baik secara pasif
maupun aktif untuk memahami ajaran agama Islam yang asli dari sumber
pokoknya.
c) Memberikan dasar-dasar bahasa Arab sebagai bekal untuk pengembangan lebih
lanjut di pendidikan tinggi.
d) Pelajaran bahasa Arab meliputi keterampilan membaca menyimak, berbicara,
mengungkapkan dan menulis dalam bahasa Arab yang diajarkan secara terpadu,
unsur-unsur berbahasa seperti tata bahasa, kosakata, pelafalan, dan ejaan
diajarkan sebagai dasar untuk menunjang kelima keterampilan tersebut.
b. Komponen Materi/Isi Kurikulum
Pada dasarnya kurikulum Pendidikan Pesantren al-Hamidiyah memadukan antara
kurikulum pemerintah dan kurikulum yang disusun oleh Pimpinan dan Pendiri Pesantren
al-Hamidiyah. Kedua macam kurikulum tersebut diintegrasikan sehingga menjadi
kurikulum terpadu. Oleh karena itu, para santri harus menempuh seluruh kurikulum
tersebut tanpa membeda-bedakan kedua kurikulum tersebut.
Kurikulum yang disusun merupakan perluasan terhadap materi-materi pelajaran
agama yang bersumber dari teks-teks kitab klasik, di samping pengembangan bahasa Arab
dan bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan agar para lulusan Pesantren al-Hamidiyah
memiliki keunggulan-keunggulan dibanding lembaga pendidikan lain, khususnya dalam
dalam kemampuan untuk mengakses kitab-kitab kuning dan berkomuikasi dengan bahasa
Arab dan Inggris yang sangat diperlukan bagi ulama, da‟i dan muballigh pada era modern.
Pesantren al-Hamidiyah menerapkan Sistem Pendidikan Integral (Terpadu) yaitu
sistem pendidikan yang menyatukan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan proses
pendidikan dan pengajaran termasuk didalamnya proses belajar mengajar untuk
menghasilkan santri/siswa yang berkualitas dan berwawasan luas serta mampu menjawab
tuntutan zaman. Satuan unit pendidikan yang secara integral (terpadu) dengan pesantren al-
Hamidiyah adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) al-Hamidiyah dan Madrasah Aliyah
(MA) al-Hamidiyah.
Adapun pelaksanaan pendidikan madrasah dengan kepesantrenan secara struktur
berkembang mandiri yakni antara madrasah dengan kepesantrenan melaksanakan
kurikulum sesuai ketentuan kurikulum masing-masing kecuali untuk Madrasah Aliyah
program Keagaman. Namun, secara tidak langsung ada keterkaitan dalam artian Pesantren
al-Hamidiyah memadukan pendidikan formal melalui madrasah, pendidikan non formal
melalui pesantren dan masjid, dan pendidikan informal melalui asrama, selama 24 jam
seluruh aktivitas pendidikan dilaksanakan. Pendidikan formal madrasah dan non formal
kepesantrenan/kajian Islam dilaksanakan dengan tujuan memberikan pengetahuan secara
akademik dan pendidikan informal yakni melalui asrama dengan tujuan pembentukan
karakter dan akhlak mulia. (Wawancara dengan Drs. Eridian Patrio Putra, Wakamad dan
Kabid. Pendidikan dan Pengajaran, 14 Maret 2016)
Mutu pendidikan pada dasarnya tidak terlepas dari kurikulum yang digunakan dan
dilaksanakan oleh sebuah institusi pendidikan. Pesantren mempunyai ciri khas tersendiri
dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan yang memberikan pengetahuan dan nilai-nilai
keagamaan. Pesantren al-Hamidiyah mengembangkan kurikulum kombinasi yang
73
memadukan kurikulum pesantren salafiyah dan modern yang lazim dikenal dengan sistem
salafiyah asriyah.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Pesantren al-Hamidiyah memiliki nilai-nilai
dasar yang menjadi landasan, sebagaimana tertuang dalam buku pedoman umum Pesantren
al-Hamidiyah (2000: 9-12) diantaranya, yaitu:
1) Nilai-nilai dasar agama, meliputi: bidang Aqidah mengikuti faham Ahlussunnah wal
Jama‟ah; bidang Syari‟ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (al-
Madzahib al-Arba‟ah), yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali; bidang
Tasawuf atau Akhlak mengikuti faham transenden mystical yang dikembangkan oleh
Imam al-Ghazali dan al-Junaidi.
2) Nilai-nilai Pendidikan didasarkan pada :
a) Landasan Filosofi, yaitu bertujuan mendidik para santri agar menjadi calon atau
kader „ulama warasah al-anbiya‟ yang akan memperjuangkan tegaknya ajaran
Islam ala Ahlussunnah wal Jama‟ah, sesuai dengan firman Allah SWT, yaitu:
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Fatir
(35): 28)
b) Landasan Psikologis, yaitu dengan memahami keadaan psikologis santri serta
dapat memberikan situasi-situasi belajar yang tepat kepada mereka agar mereka
dapat mengembangkan bakat dan minatnya sebagai kader ulama warasah al-
anbiya.
c) Landasan Sosiologis, yaitu para santri dikenalkan dan didik norma-norma dan adat
istiadat masyarakat dan santri harus berusaha menyumbangkan derma baktinya
untuk memajukan masyarakat.
Kurikulum kepesantrenan Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah dilaksanakan
diluar jam madrasah formal yang dimulai dari waktu Subuh dan dilanjutkan setelah ba‟da
Ashar dan selesai hingga pukul 21.00 yang dilaksanakan mulai hari Senin hingga Ahad.
Tabel 4.4
JADWAL KEGIATAN SANTRI
KAJIAN ISLAM PESANTREN AL-HAMIDIYAH
TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
WAKTU KEGIATAN
04.00-05.45 Bangun pagi, shalat subuh berjama‟ah, durus al-lughah,
takhtiman/tabarukan
05.45-07.00 Mandi, sarapan pagi, dan persiapan masuk kelas
07.00-09.40 KBM
09.40-10.00 Istirahat KBM dan Shalat Duha
10.00-12.00 KBM
12.00-13.20 Salat Zuhur berjama‟ah dan makan siang
13.20-14.40 KBM
74
14.40-15.15 Salat Ashar berjama‟ah
15.15-18.00 Program Bahasa, KKI, mandi dan persiapan salat maghrib
18.00-18.30 Salat Maghrib berjama‟ah dan wirid/zikir
18.30-19.00 Makan malam
19.00-19.40 Salat Isya berjama‟ah dan wirid/zikir
19.40-21.00 KKI
21.00-22.00 Belajar mandiri
22.00-04.00 Istirahat/tidur dan salat tahajud
Keterangan:
1. KBM adalah Kegiatan Belajar Mengajar di Madrasah
2. KKI adalah Kegiatan Kajian Islam
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Deskripsi gambaran rutinitas santri sebagai berikut; Pukul 04.00-05.45 seluruh
santri dibangunkan dari tidur dan langsung menuju masjid untuk melaksanakan salat
Subuh berjama‟ah dilanjutkan dengan pemberian kosa kata baru bahasa atau muhâdatsah
(durus al-Lughah) bagi santri kelas VII dan kelas X IPA/IPS, sedangkan santri kelas VIII,
IX, XI dan XII IPA/IPS/PAI mengikuti takhtiman /tabarukan (Kajian Kitab Salaf). Dan
kegiatan ini berakhir pada pukul 06.00. Pukul 05.45-07.00 seluruh santri melaksanakan
mandi dan sarapan pagi. Pada pukul 06.45 bel berbunyi sebagai tanda masuk kelas dan
seluruh santri harus bergegas mengosongkan asrama menuju ruang kelas masing-masing.
Pukul 07.00-12.00 kegiatan belajar mengajar termin pertama dilaksanakan, pada termin ini
dilaksanakan dua kali istirahat yaitu pada pukul 08.30-09.00 dan pukul 10.30-10-45. Pukul
12.00-13.20 kegiatan belajar mengajar termin pertama selesai, dilanjutkan salat Zuhur
berjama‟ah. Setelah itu seluruh santri makan siang dan istirahat. Dan pukul 13.20 bel
berbunyi tanda masuk kelas untuk termin kedua. Pukul 13.20-14.40 seluruh santri harus
berada diruang kelas masing-masing untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar termin
kedua.
Pukul 14.40-15.15 setelah keluar dari ruang kelas dan pulang ke asrama, santri
langsung menuju masjid untuk salat Asar berjama‟ah. Selanjutnya pukul 15.15-18.00
seluruh santri melaksanakan kegiatan bahasa untuk santri MTs kelas VII dan MA kelas X
IPA/IPS, sedangkan santri VIII, IX, XI, dan XII melaksanakan kegiatan mengaji al-Qur‟an
(tahqiq/tahfidz) dan Kajian Kitab Salaf di kelas masing-masing. dilanjutkan mandi dan
persiapan salat Maghrib.
Pukul 18.00-18.30 santri melaksanakan salat Maghrib berjama‟ah dan wirid. Pukul
18.30-19.00 makan malam dan 19.00-19.40 salat Isya berjama‟ah dan wirid. Pukul 19.40-
21.00 seluruh santri mengikuti Kegiatan Kajian Islam di kelas masing-masing. 21.00-
22.00 belajar mandiri, mengulangi materi pelajaran yang dipelajari dan mempersiapkan
materi untuk keesokan harinya, selain belajar di depan asrama masing-masing diadakan
juga pengulangan materi-materi yang dianggap kurang oleh guru bidang studi masing-
masing. Dan pada pukul 22.00 bel tanda belajar malam berakhir, santri istirahat/tidur dan
kemudian harus bangun esok hari pada pukul 04.00.
Kegiantan santri mulai pagi hingga malam terbagi pada tiga kelompok kegiatan
yang dibawah kordinator masing-masing, yakni Kegiatan di Madrasah dibawah
pengawasan Kepala Madrasah dan guru-guru madrasah, Kegiatan Kajian Islam dan
Asrama dibawah pengawasan Kepala Kajian Islam dan Asrama yang dibantu oleh guru-
guru Kajian Islam beserta Koordinator Asrama. Semua rangkaian kegiatan tersebut
merupakan satu kesatuan sebagai upaya Pesantren al-Hamidiyah, yang tidak hanya
75
memberikan pendidikan akademik baik berupa pelajaran umum dan keagamaan, namun
pendidikan karakter yang terbagun berdasarkan pengalaman bersama guru dan teman, baik
di sekolah/madrasah ataupun di Asrama. Semua kegiatan tersebut menjadi kesatuan dalam
kurikulum Pesantren al-Hamidiyah, namun berjalan dibawah pengawasan masing-masing
unit tersebut.
Upaya pengembangan komponen materi/isi kurikulum yang dilakukan oleh
Pesantren al-Hamidiyah dilakukan sebagai upaya untuk mencapai tujuan Pesantren al-
Hamidiyah. Pada awal mula pelaksanaan pembelajaran, materi/isi yang diajarkan belum
terformat secara profesional dan pada perkembangannya materi/isi pelajaran dibuat secara
baik dan dibuat struktur berupa nama-nama kitab yang digunakan berdasarkan tingkat
kelas santri. Pada struktur program Kajian Islam sistem marhalah, yakni berupa tingkatan
dari yang paling mudah menuju tingkatan yang paling sulit yaitu marhalah Ula, Wusta
Alif, Wusta Ba‟, Ulya Alif, Ulya Ba‟, dan Ulya Jim. Santri di tes kemampuan akademik
bidang keagamaan kemudian (pengelompokan santri berdasarkan hasil mapping) dalam
jangka waktu pembelajaran 6 tahun. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya
menggunakan sistem tingkat pendidikan yang disesuaikan dengan kelas dan tingkatan pada
madrasah formal. Perbedaan pada sistem yang digunakan terdapat sedikit perubahan
disesuaikan berdasarkan tingkat perkembangan kemampuan santri.
Pada sistem marhalah materi pembelajaran dibagi menjadi delapan bagian mata
pelajaran dengan pengelompokkan menggunakan istilah, yaitu al-Qur‟an, Hadits, Tauhid,
akhlak, fiqih, bahasa Arab, muhadârah dan tarikh. Sedangkan pada sistem berdasarkan
tingkat pendidikan mata pelajaran dibagi menjadi empat, yaitu bahasa Arab, al-Qur‟an,
kitab salaf dan muhadârah. Adapun kitab-kitab yang digunakan pada sistem marhalah di
antaranya adalah:
1) Al-Qur‟an : Qira‟ah dan Tahfidz
2) Hadits : Bulugh al-Marâm dan Baiquni
3) Tauhid : Hujjah Ahlu Sunnah dan Husn al-Hamidîyyah
4) Akhlak : Ta‟lim al-Muta‟lim dan Nasaih al-„Ibâd
5) Fiqh : Fâth al-Qarîb dan Fâth al-Mu‟în
6) Bahasa Arab : Muhâdasah, al-„Imritî, Alfiyah, al-Amtsilah al-Tasrifiyyah, dan
Nadzam al-Maqsûd
7) Tarikh : Khulasah Nurul Yaqin
Sedangkan, pada sistem tingkat pendidikan kitab-kitab/sumber materi yang
digunakan diantaranya adalah:
1) Bahasa Arab : Durus al-Lughah, Muthala‟ah Haditsah, Imla‟, Nahwu, Saraf,
dan Imritî
2) Al-Qur‟an : Tahqiq/Tahfidz, Bin Nadar/Tilawah, dan Tajwid
3) Kitab Salaf : Ta‟lim al-Muta‟lim/Akhlak lil Banin-Banat, Matan Taqrîb,
Jawahir al-Kalamiyah, Khulashah Nur al-Yaqin, Fath al-Qarîb, al-Tibyan, Bulugh
al-Marâm, Baiquniyah, Husn al-Hamîdîyyah, Nasaih al-Ibad, Fath al-Mu‟în dan
Mabadi Awaliyah
Perbedaan materi-materi yang terdapat pada pelaksanaan pembelajaran Kajian
Islam sistem marhalah dan sistem tingkat pendidikan dapat terlihat pada tabel 4.5 dan 4.6.
76
perubahan tersebut disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan santri dan perkembangan
kondisi pesantren.
Tabel 4.5
Struktur Program Kepesantrenan/Kajian Islam
Pesantren al-Hamidiyah
NO.
1
MATA PELAJARAN
MARHALAH
JML WUSTO BA’ ULYA
BA’
ULYA
JIM A B C D
AL-QUR’AN
a. Qira‟ah 3 3 3 3 3 3 18
b. Tahfidz al-Qur‟an 3 3 3 3 3 3 18
c. Ulum al-Qur‟an
2
HADITS
a. Tahfidz
- Arbain Nawawi
- Bulugh al-Marâm 2 2 2 2 2 2 12
b. Jawahir al-Bukhari
c. Ilmu Hadits Baiquni 2 2 4
3
TAUHID
a. Aqidah al-Awam
b. Hujjah Ahlu Sunnah 2 2 2 2 8
c. Husn al-Hamîdîyyah 2 2 4
4
AKHLAQ
a. Akhlaq lil Banîn/lil
Banât
b. Ta‟lim al-Muta‟alim 2 2 2 2 8
c. Usfuriyah
d. Nasailul „Ibad 2 2 4
5
FIQIH
a. Safinah al-Najah
b. Taqrib
c. Fath al-Qarîb 2 2 2 2 2 10
d. Fath al-Mu‟în 2 2
e. Al-Waraqat (Usul
Fiqh)
6
BAHASA ARAB
a. Muhadatsah 2 2 2 2 2 2 12
b. Mahfudat/Tahsin
Khithabah
c. Imla‟
d. Nahwu:
- Jurmiyah
- Imritî 2 2 2 2 8
- Al-fiyah 2 2 4
e. Saraf:
77
- Al-Amtsilah al-
Tasrifiyyah
2 2 2 2 8
- Nadam Maqsûd 2 2 4
- Al-fiyah Ibn al-
Malik
f. Balaghah Al-
Wadihah
7 MUHADARAH
8 TARIKH
a. Khulasah Nur al-
Yaqin
2 2 2 2 8
b. Madarij al-Su‟ud
JUMLAH 22 22 22 22 22 22 132
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Tabel 4.6
Distribusi Jam Pelajaran
Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Tahun Pembelajaran 2016/2017
NO
MATA
PELAJARAN
TINGKAT PENDIDIKAN
MADRASAH TSANAWIYAH
VII VIII IX JM
L A B C D E A B C D A B C D E
BAHASA ARAB
1 Durus al-Lughah 6 6 6 6 6 4 4 4 4 4 4 4 4 4 66
2 Mutala‟ah
Haditsah
1 1 1 1 1 - - - - - - - - - 5
3 Imla‟ 1 1 1 1 1 - - - - - - - - - 5
4 Nahwu - - - - - 3 3 3 3 4 4 4 4 4 32
5 Saraf - - - - - 3 3 3 3 3 3 3 3 3 27
6 Imritî - - - - - - - - - - - - - - -
AL-QUR’AN
1 Tahqiq/Tahfidz 6 6 6 6 6 2 2 2 2 2 2 2 2 2 48
2 Bin
Nadar/Tilawah
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 28
3 Tajwid 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 23
KITAB SALAF
1 Ta‟lim.
M/Akhlak lil
Banîn-Banât
2 2 2 2 2 - - - - - - - - - 10
2 Matan Taqrib - - - - - 2 2 2 2 - - - - - 8
3 Jawahir al-
Kalamiyyah
- - - - - 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
4 Khulashah Nur
al-Yaqîn
- - - - - 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
5 Fath al-Qarib - - - - - - - - - 2 2 2 2 2 10
6 Al-Tibyan - - - - - - - - - - - - - - -
7 Bulugh al-Marâm - - - - - - - - - - - - - - -
78
8 Baiquniyah - - - - - - - - - - - - - - -
9 Husn al-
Hamîdîyyah
- - - - - - - - - - - - - - -
10 Nasaihul „Ibad - - - - - - - - - - - - - - -
11 Fath al-Mu‟în - - - - - - - - - - - - - - -
12 Mabadi Awaliyah - - - - - - - - - - - - - - -
MUHADARAH 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 28
JUMLAH 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 22 308
TINGKAT PENDIDIKAN
NO
MATA
PELAJARAN
MADRASAH ALIYAH JM
L X IPA-IPS XI IPA-IPS XI IPA-
IPS
XII
PAI Alumni Non
Alumni
PA PI PA PI PA PI PA PI
1 Durus al-Lughah 6 6
6 6 2 2 2 2 2 34
2 Mutala‟ah Haditsah 1 1
1 1 - - - - -
4
3 Imla‟ 1 1 1 1 - - - - - 4
4 Nahwu - - - - 3 3 3 3 3 15
5 Saraf - - - - 3 3 3 3 3 15
6 Imritî - - - - 2 2 2 2 2 10
AL-QUR’AN
1 Tahqiq/Tahfidz 6 6 6 6 2 2 1 1 1 31
2 Bin Nadar/
Tilawah
2 2 2 2 2
2 1 1 1 15
3 Tajwid 2 2 2 2 - - - - - 8
KITAB SALAF
1 Ta‟lim. M/Akhlak
lil Banîn-Banât
- - - - -
-
- - -
-
2 Matan Taqrib - - - - - - - - -
3 Jawahir al-
Kalamiyah
- - - - -
- - - - -
4 Khulasah Nur al-
Yaqin
-
- - - - - - - - -
5 Fath al-Qarib - - - - - - - - - -
6 Al-Tibyan - - - - - - - - 1 1
7 Bulugh al-Marâm 2 2 2 2 2 2 2 2 1 17
8 Baiquniyyah - - - - - - - - 1 1
9 Husn al-
Hamîdiyyah
- - - 1 1 2 2 1 7
10 Nasaihul Ibad - - - 1 1 2 2 1 7
11 Fath al-Mu‟în - - - - 2 2 2 2 2 10
12 Mabadi Awaliyah - - - - - - 1 1
MUHADARAH 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18
JUMLAH 22 22 22 22 22
22 22 22 22
198
Sumber: Kepala Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
79
Dari kedua struktur dan distribusi jam pelajaran pada tabel di atas, perbedaan yang
paling menonjol dari sistem marhalah dengan sistem tingkat pendidikan, yaitu pada materi
pelajaran al-Qur‟an, Nahwu dan Saraf. Perbedaan terlihat pada sistem marhalah materi
pelajaran al-Qur‟an memiliki bobot yang sama antara tiap tingkatan dan pada materi
pelajaran Nahwu dan saraf diberikan pada setiap tingkatan. Sedangkan, pada sistem tingkat
pendidikan materi pelajaran al-Qur‟an, bobotnya lebih banyak pada tingkat MTs kelas VII
dan materi pelajaran Nahwu dan Saraf tidak diberikan. Penambahan bobot jumlah
pembelajaran al-Qur‟an dimaksudkan agar santri dapat membaca al-Qur‟an dengan baik
dan benar seperti diungkapkan oleh Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum selaku Mustasyar
Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana hasil wawancara pribadi pada penelitian
pendahuluan 14 Maret 2016, beliau mengungkapkan santri harus dapat membaca al-Qur‟an
dengan baik dan benar terlebih dahulu sebelum mempelajari materi-materi pembelajaran
yang lain, selain itu kemampuan santri dalam membaca al-Qur‟an juga dijadikan salah satu
pertimbangan dalam kenaikan kelas.
Selain mendata kitab-kitab salaf dalam materi/isi kurikulum Kajian Islam juga
memiliki rencana pembelajaran kitab salaf dan target pencapaian pembelajaran
pembelajaran al-Qur‟an, tilawah dan tahfidz yang dibedakan antara target hafalan alumni
(alumni MTs Pesantren al-Hamidiyah) dan non alumni pada kelas X untuk tahun ajar
2016-2017 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7
Rencana Pembelajaran Kitab Salaf
Kajian Islam Pesantren al-Hamididyah
Tahun Pembelajaran 2016/2017
No. KELAS DAFTAR KITAB SALAF
1. VII Ta‟lim al-Muta‟alim
2. VIII
a. Matan Taqrîb
b. Jawahir al-Kalamiyyah
c. Khulasah Nur al-Yaqin
3. IX
a. Jawahir al-Kalamiyyah
b. Khulasah Nur al-Yaqin
c. Fath al-Qarîb
4. X, XI, XII IPA/IPS
a. Bulugh al-Marâm
b. Husn al-Hamîdîyyah
c. Nasaihul „Ibad
d. Fath al-Mu‟în
5. XII PAI
a. „Ulum al-Qur‟an
b. Bulugh al-Marâm
c. Baiquniyah
d. Husn al-Hamîdîyyah
e. Nasaihul „Ibad
80
f. Fath al-Mu‟în
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 5)
Tabel 4.8
Target Pencapaian Pembelajaran al-Qur’an Tilawah dan Tahfidz
Tahun Pembelajaran 2016/2017
No Semester Kelas
VII VIII IX X XI XII
1 Ganjil Q.S. al-
Fatihah
s/d al-
Bayyinah
(Tahqiq
dan
Tahfidz)
Q.S. at-
Tariq s/d
al-
Mutaffifin
(Tahqiq
dan
Tahfizh)
Q.S.
Yasin
dan ar-
Rahman
(Tahfizh
)
Q.S al-
Fatihah
s/d Al-
„Ala
(Tahqiq
dan
Tahfizh)
Non
Alumni
Q.S al-
Baqarah
Juz 1
bagi
Alumni
Q.S. al-
Baqarah
Juz 2
(Tahfidz
)
Q.S. al-
Baqarah
Juz 3
(Tahfidz)
2 Genap Q.S. al-
Qadar s/d
al-„Ala
(Tahqiq
dan
Tahfizh)
Q.S. al-
Infithar
s/d al-
Naba‟
(Tahqiq
dan
Tahfizh)
Q.S. al-
Waqiah
Q.S. al-
Thariq
s/d al-
Naba‟
(Tahqiq
dan
Tahfizh)
Non
Alumni.
Dan
Q.S. al-
Baqarah
Juz 2
bagi
Alumni
Q.S. al-
Baqarah
Juz 2
(Tahfidz
)
Q.S. al-
Baqarah
Juz 3
(Tahfidz)
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016:3)
Selain Pembelajaran al-Qur‟an dan kitab salaf Kajian Islam pesantren al-
Hamidiyah juga mengembangkan pendidikan bahasa Arab dalam kurikulumnya. Pelajaran
bahasa Arab meliputi: membaca, menyimak, praktik berbicara (muhadastah),
mengungkapkan dan menulis dalam bahasa Arab (imla‟) yang diajarkan secara terpadu,
melalui metode-metode mutakhir, yaitu mengadopsi metode verbal kitab Durus al-Lughah
al-Arabiyah dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dengan unsur-unsur ilmu
81
alat kaidah bahasa Arab seperti ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan saraf), pengayaan
mufradat (pembendaharaan kosa kata), pelafalan dan ejaan (imla‟) yang diajarkan dari
dasar agar tercapainya keterampilan bahasa Arab. Berikut ini batasan-batasan pelajaran
yang harus ditempuh santri dalam pelajaran bahasa Arab.
Tabel 4.9
Target Pencapaian Pembelajaran Bahasa Arab
Tahun Pembelajaran 2016/2017
PELAJARAN KELAS KETERANGAN
DURUS AL-LUGHAH 7 Juz 1 (25 bab)
8 & 9 Juz 2 (14 bab)
10 Juz 1 (25 bab + Tamrinat Juz 1)
11 & 12 Tamrinat Juz 2 & 3
MUTALA‟AH HADITSAH 7 Jilid 1 & 2
10 Qiraan Rasyidah Juz 1
IMLA‟ 7 Mutalaah Haditsah Jilid 2
10 Qiraan Rasyidah Jilid 1
NAHWU 8 & 9 Nahwu Jilid 1
11 & 12 Nahwu Jilid 2
SARAF 8 & 9 Al-Amtsilah al-Tasrifiyah
11 & 12 Qawaid al-Sarfiyah
MUHADATSAH
7 Muhadatsah Yaumiyah Jilid 1 +
Mahfuzat + Imla
8 Muhadatsah Yaumiyah Jilid 2
(Muhadatsah Malam)
9 Muhadatsah Yaumiyah Jilid 3
(Muhadatsah Malam)
10 & 11
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 15)
Selain target pencapaian dan jenis-jenis kitab salaf, Pesantren al-Hamidiyah juga
membuat silabus untuk memudahkan guru akan batasan-batasan pelajaran dan mengetahui
tujuan pencapaian akan masing-masing pelajaran. Berikut ini contoh dari silabus dalam
pembelajaran kitab-kitab kuning (salaf).
Tabel 4.10
Silabus Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Kelas
VIII
Pelajaran Tauhid
Waktu 21 x 45 Menit
Sumber Kitab Jawahir al-Kalamiyyah
Tujuan Pembelajaran:
1. Santri memahami arti aqidah Islamiyah
2. Santri memahami dengan terinci sifat-sifat yang wajib bagi Allah
3. Santri dapat memahami dan menjelaskan terkait sifat-sifat musybihat
82
4. Santri dapat mengenal dan memahami malaikat dan peranannya
5. Santri dapat mengetahui cara mengimani terhadap kitab-kitab samawi
6. Santri dapat memahami secara terinci seputar iman terhadap Rasul-rasul Allah SWT
Semester Genap Semester Ganjil
1 معت العقيدة اإلسالمية 1 كيفية اإلعتقاد بالزبور
2 كيفية اإلدياف باا إمجاال 2 كيفية اإلعتقاد اإلجنيل
3 تعل كيفية اإلعتقاد بالوجود اا 3 كيفية اإلعتقاد بالقراف
4 كيفية اإلعتقاد مبخالفة ذات اا 4 القراف أعظم ادلعجزات
5 كيفية اإلعتقاد بأفعاؿ اا 5 اإلدياف بالرسل
6 كيفية اإلعتقاد بقياـ بنفسو 6 عدد األنبياء
7 كيفية اإلعتقاد حبياة اا 7 ما ادلعجزات
8 كيفية اإلعتقاد بعلم اا 8 كجو داللة ادلعجزات عل صدؽ األنبياء
9 كيفية اإلعتقاد بقدرة اا 9 كجو داللة ادلعجزات عل صدؽ األنبياء
10 كيفية اإلعتقاد ببصر اا 10 الفرؽ بني ادلعجزات كالسحر
UTS 11 UTS 11
12 الصفات ادلستحيلة يف حق اا تعاىل 12 الفرؽ بني ادلعجزات كالكرامة
13 اجلواز يف حق اا تعاىل 13 الصفات الواجبة يف حق اا
14 ادلراد باإلستواء 14 الصفات ادلسحيلة يف حق اا
دلاذ أكل أدـ عليو السالـ من الشجرة اليت هن عنو
15 ادلراد باليد يف حق اا 15
دلاذ أكل أدـ عليو السالـ من الشجرة اليت هن عنو
الكيف فيو " كيف نثبت شيأ مث نقوؿ 16 رلهوؿ
16
17 اإلدياف بادلالئكة 17 صفات اجلواز يف حق األنبياء
18 كظائف ادلالئكة 18 احلكمة يف حلوؽ األمراض لألنبياء
19 اإلدياف بكتب اا 19 اخلالصة
كيف إعتقاد العلماء يف حق التورة 20 اخلالصة ادلوجودة األف
20
UAS 21 UAS 21
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 9)
83
Tabel. 4.11
Silabus Kajian Islam Pesantren al-Hamidiyah
Kelas IX
Pelajaran Tauhid
Waktu 21 x 45 Menit
Sumber Kitab Jawahir al-Kalamiyyah
Tujuan Pembelajaran:
1. Santri memahami keistimewaan Nabi Muhammad SAW
2. Santri memahami mukjizat Nabi Muhammad SAW
3. Santri dapat mengetahui sirah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW
4. Santri dapat mengetahui cara mengimani hari akhir
5. Santri dapat memahami seputar alam barzah
6. Santri dapat memahami secara terinci seputar iman terhadap qada dan qadar
Semester Genap Semester Ganjil
ىل يبلغ الويل درجة النيب إمتياز نبينا صل اا عليو كسلم عن 1سائر األنبياء
1
2 أف عيس ينزؿ يف أخر الزماف 2 ما اجملتهد كمن اجملتهدكف
3 معجزات نبينا عليو الصالة كالسالـ 3 مل إختلف اجملتهدكف يف بعض ادلسائل
4 سرية نبينا عليو الصالة كالسالـ 4 ماأشراط الساعة
5 اإلدياف باليـو األخر 5 من السعيد
6 اإلعتقاد بسؤاؿ القدر 6
7 كل من مات يسأؿ مث يعذب أك ينعم 7
8 اإلعتقاد حبشر األجساد 8
9 اإلعتقاد بالصراط 9
10 حكم ادلؤمن الطائع بعد احلساب 10
11 UTS 11
بالقضاء كالقدر اإلعتقاد 12 12
13 كل إنساف مبجبور عل مجيع أفعالو 13
14 ىل جيوز التكلم يف ذاتو تعاىل بالعقل 14
15 ىل متكن رؤية اا بالبصر 15
84
16 كيف تؤثر العني 16
17 ما اإلسراء كادلعراج 17
18 ىل ينفع الدعاء 18
UAS 19 UAS 19
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 10)
c. Komponen Strategi (Metode) Pembelajaran
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, pesantren al-Hamidiyah
menerapkan sistem pendidikan pesantren kombinasi, yaitu memadukan kurikulum
pesantren salaf dan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah asriyah. Adapun
metode yang digunakan adalah mengadopsi dari keduanya. Diantara ciri-ciri kemoderenan
Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana tercatat dalam buku pedoman umum Pesantren al-
Hamidiyah (2000: 7) adalah sebagai berikut:
1) Disiplin ilmu yang dikembangkan di pesantren al-Hamidiyah tidak terbatas pada ilmu-
ilmu agama yang bersumber dari kitab kuning (al-kutub al-salafiyah), tetapi juga
“ilmu-ilmu umum” yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah umum.
2) Sistem pendidikannya tidak lagi menekankan hafalan terhadap materi-materi
keilmuan klasik yang terkesan verbalistik, tetapi lebih banyak menggunakan
penalaran terhadap materi-materi keilmuan yang relevan dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat.
3) Metode pengajarannya dilakukan dalam bentuk klasikal (madrasah/sekolah),
meskipun tidak meninggalkan sama sekali metode sorogan, bandongan atau wetonan
yang menjadi ciri khas pesantren salafiyah.
4) Menerapkan manajemen modern dengan ciri-ciri kemoderenan seperti, rasional,
keterbukaan, perencanaan yang matang, memperhatikan proses dan tidak hanya
berorientasi pada tujuan, serta tidak nepotism (family oriented).
Meskipun demikian, sesuai dengan prinsip al-muhafadatu „ala al-qadim al salih
wa al-akhdzu bi al-aslah, Pesantren al-Hamidiyah tetap mempertahankan beberapa ciri
khas pesantren salaf yang dinilai masih relevan hingga kini di antaranya, yaitu:
1) Pengkajian terhadap kitab-kitab salaf, baik dalam disiplin „ulum al-Qur‟an, „ulum al-
Hadits, Fiqh beserta Usul Fiqh, Aqidah, Akhlak maupun ilmu-ilmu bantu seperti,
Nahwu, Saraf, dan balaghah.
2) Metode sorogan (tutorial mentorship).
3) Metode Wetonan (Bandongan).
4) Mewajibkan para santri untuk salat berjama‟ah, melakukan salat sunnah, qiam al-lail,
dzikir sesudah salat, membaca rawi (diba dan barzanji), istighasah, tahlil, dan
melaksanakan puasa sunnah.
5) Lebih menekankan pendidikan dalam arti pembentukan kepribadian muslim yang
beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, dan tidak sekedar pengajaran yang lebih
menekankan pada pengembangan kecerdasan para santri dengan membekali ilmu
pengetahuan. Dengan kata lain, berorientasi pada to be, bukan sekedar to have.
85
Pesantren al-Hamidiyah juga menerapkan strategi pembelajaran bahasa Arab,
strategi pembelajaran bahasa Arab Pesantren al-Hamidiyah mengadopsi strategi dan
metode dari lembaga pendidikan dan pesantren-pesantren yang terbukti efektif
keberhasilannya dalam bidang bahasa Arab baik dalam dan luar negeri, secara garis besar
sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama
(2016: 12) adalah sebagai berikut:
1) Diciptakan lingkungan berbahasa Arab, dimana santri ditempatkan pada situasi
terpojok, sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menggunakan bahasa
Arab. Program ini didukung oleh semua komponen di Pesantren al-Hamidiyah.
Penggeraknya adalah musyrif asrama dan native speaker.
2) Dalam menjelaskan teori, atau makna kalimat, digunakan metode mubasyarah, mana
guru menggindari penggunaan bahasa Indonesia (bahasa non Arab), misalnya
menunjukkan langsung pada benda yang dimaksud.
3) Penguasaan mufradat dan ungkapan dengan cara dihafal, proses pembinaannya
melalui kegiatan mufradat pada waktu Subuh yang dibimbing oleh guru secara
klasikal, dan kegiatan tamrin penguasaan mufradat serta hiwar yang dilakkan
dilapangan dengan menekankan keaktifan santri. (ba‟da Subuh/Ashar).
4) Membuat tempelan-tempelan yang berisi mufradat, hiwar atau ungkapan berbahasa
Arab yang diganti secara periodik.
5) Membuat klub bahasa Arab, yang dimotori oleh santri yang dianggap mampu.
Adapun program kegiatan bahasa, yaitu:
(a) Hari Bahasa : Senin, Selasa, dan Rabu
(b) Mahkamah Bahasa : Malam Kamis dan Jum‟at
(c) Muhadatsah : Malam Rabu dan Jum‟at Pagi
(d) Lab. Bahasa : Disesuaikan
(e) Program Semester : Mengadakan lomba pidato bahasa, mengadakan debat
bahasa, mengadakan madding bahasa, mengadakan pensi bahasa, dan
mengadakan cerdas cermat bahasa.
(f) Program Tahunan : Mengadakan studi banding
Metode-metode di atas memungkinkan santri menguasai bahasa Arab baik dalam
keseharian maupun dalam pelaksanaan pembelajaran.
Selain itu, Pesantren al-Hamidiyah juga menerapkan metode pendidikan yang
diterapkan dalam mendidik para santri sebagaimana terdapat dalam buku pedoman umum
Pesantren al-Hamidiyah (2000: 26) diantaranya, yaitu:
1) Memberikan keteladanan (Uswah al-Hasanah), yaitu memberikan contoh keteladanan
dari segala perbuatan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam dan sesuai dengan panca
jiwa pesantren yakni jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa
persaudaraan, dan jiwa kebebasan, baik dari kiai, guru, dan pengasuh/pembimbing
asrama.
2) Memberikan pengajaran (Ta‟lim), yaitu memberikan pengajaran dan pendidikan,
bukan hanya sekedar mengajarkan keilmuan akademis namun memberikan
pendidikan yang kelak dapat membentuk karakter dan akhlak yang baik bagi santri
3) Memberikan hadiah dan hukuman (al-Hadiyyah wa al-„Uqubah), yaitu dengan
memberikan penghargaan baik secara lisan atau materi atas prestasi yang diperoleh
santri serta memberikan hukuman yang mendidik bagi santri yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan.
86
Selain itu, ada juga metode pembinaan santri agar santri tidak hanya unggul dalam
bidang akademik, namun juga unggul dalam kepribadian (pembentukan karakter dan
akhlak mulia). Menurut Hidayat M. Idris selaku Kepala MTs sebagaimana terdapat pada
Warta al-Hamidiyah (2016: 16), salah satu program unggulan pendidikan MTs dan
termasuk salah satu program Pesantren al-Hamidiyah adalah pembentukan akhlaq al-
karimah, yaitu penerapan nilai-nilai Islam, budi pekerti/kesopanan, nilai etika/estetika,
nilai kepribadian dan kebangsaan. Menurutnya, pengembangan Pesantren al-Hamidiyah
agar menjadi lebih baik adalah pengembangan yang didasari oleh nilai-nilai Islami atau
akhlaq al-karimah untuk menuju keunggulan akademik.
Selain pembentukan karakter dan akhlak mulia, diterapkan juga metode
keterampilan dalam bidang keagamaan, seperti Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah,
Muhadarah, dan KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat):
1) Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah:
(a) Membiasakan santri selalu membaca al-Qur‟an dengan khatam di bawah
bimbingan seorang guru atau kakak senior dari Ikatan Santri Pesantren al-
Hamidiyah (ISPAH) atau Ta‟mir masjid (asisten)
(b) Kegiatan takhtiman dilakukan perkelas
(c) Waktunya dilakukan ba‟da asar, dengan durasi 30 menit
(d) Target-target pembacaan al-Qur‟an, yaitu:
- Kelas VIII dan kelas IX: semester ganjil juz 1-15 dan semester genap juz 16-
30 Minimum bacaan al-Qur‟an sebanyak 2 halaman per-hari
- Kelas XI dan XII: semester ganjil juz 1-30 dan semester genap juz 1-30
Minimum bacaan al-Qur‟an sebanyak 4 halaman per-hari
(e) Khusus hari Jum‟at santri dibekali materi taharah dan ibadah, untuk praktek
ibadahnya dilaksanakan pertriwulan.
2) Program dari Sibghah Ma‟hadiyah adalah:
(a) Semester ganjil:
- Praktek wudu
- Praktek Salat
- Praktek bacaan tahlil
- Praktek menjadi imam tahlil
(b) Semester genap:
- Praktek bacaan Ratibul Haddad
- Do‟a salat tahajud
- Do‟a salat Duha
(c) Tabarukan wajib diikuti kelas VIII-XII putra atau putri, waktunya ba‟da salat
subuh dengan durasi 40 menit.
(d) Pelatihan pengurusan jenazah bagi putra dan putrid setahun sekali
(e) Pembekalan bagi santri putra dan putri tentang fiqh kewanitaan (Haid, Nifas, dan
Istihadah
(f) Dzikir sesudah salat fardu, wajib diikuti oleh semua santri dengan harapan
mereka hafal bacaan dzikir tersebut dengan berpegang pada pedoman buku dzikir
yang diterbitkan oleh Pesantren al-Hamidiyah.
3) Muhadarah: dilaksanakan pada hari Sabtu pagi pukul 07.00-08.20 WIB dengan
alokasi waktu 2 jam dan dibimbing oleh guru yang ditunjuk oleh Kepala Kajian Islam
dan Asrama.
4) KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat)
87
(a) KPM dilaksanakan satu tahun sekali bagi seluruh santri setelah UAS ganjil.
(b) Peserta KPM dikelompokkan terlebih dahulu secara khusus sesuai minat dan
bakat santri, yaitu: Ceramah, MC, Qori, Do‟a, Salawat dan mendapatkan
bimbingan dari seorang ustadz.
(c) Setelah mendapatkan pelatihan dibentuk satu kelompok Muhadarah dengan
susunan (MC 2 orang, 2 orang penceramah, 4 orang pembaca salawat, qari dan
saritilawah, dan doa 1 orang dalam bimbingan seorang ustadz), kelompok
muhadarah akan terjun ke masyarakat di Majlis Ta‟lim, Masjid, Musalah di
sekitar wilayah Jabodetabek dengan terlebih dahulu menyebarkan form
kesediaan. (Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama, 2016:
17-18)
Ada pula, program pembinaan santri Pesantren al-Hamidiyah dalam bidang
keagamaan yang terpadu dengan kegiatan madrasah formal diantaranya sebagai berikut:
1) Menyisipkan jiwa agama pada setiap mata pelajaran dengan mengintegrasikan bidang
IMTAQ dan IPTEK
2) Salawat Nabi, doa, zikir, tadarus al-Qur‟an, dan Salat Duha
3) Salat berjama‟ah
4) Pelatihan Salat Jenazah
5) Pelatihan Imam (Salat Rawatib, Tarawih, Idul Fitri dan Idul Adha)
6) Pelatihan Bilal (Salat Jum‟at, Tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha)
7) Pelatihan Kultum dan Khatib
8) Kegiatan Qurban dan Bakti Sosial
9) Peringatan Hari Besar Islam (PHBI)
10) Tahfidz al-Qur‟an
11) Muhadarah
Dalam proses pembelajan para guru diberikan panduan proses pembelajaran kajian
Islam hal ini dimaksudkan agar guru lebih mudah dan terarah dalam menyampaikan
materi-materi pembelajaran sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja
Kajian Islam dan Asrama (2016: 6-7) meliputi:
1) Perencanaan Proses Pembelajaran:
(a) Guru mempersiapkan materi pembelajaran sebelum mengajar
(b) Guru datang tepat waktu
(c) Masing-masing guru memiliki silabus materi yang akan diajarkan
(d) Membuat RPP
(e) Membawa absensi
2) Pelaksanaan Proses Pembelajaran
(a) Mengawali KBM dengan membaca do‟a: tawasul kepada muallif dan sahib al-
ma‟had
(b) Meriview pelajaran sebelumnya baik dengan tanya jawab atau membaca
bersama-sama (lalaran)
(c) Menyampaikan materi sesuai dengan silabus
(d) Menyimpulkan materi ajar sebelum menutup KBM baik dengan tanya jawab atau
ringkasan
(e) Menutup KBM dengan do‟a yang seragam
3) Pelaksanaan Pembelajaran
88
(a) Mengadakan ulangan harian minimal dua kali
(b) Guru melakukan analisa hasil ulangan santri
(c) Mengadakan remedial bagi santri yang tidak mengikuti ulangan harian dan yang
mendapatkan nilai di bawah KKM
(d) Pelaksanaan remedial disesuaikan dengan waktunya
4) Pengawasan Proses Pembelajaran
(a) Supervisi pembelajaran oleh kepala Kajian Islam
(b) Supervisi administrasi oleh kepala Kajian Islam
(c) Laporan bulanan absensi siswa
(d) Memberikan teguran dan sanksi terhadap santri yang tidak masuk kelas
(e) Mengadakan rapat bulanan dalam mengevaluasi capaian silabus meteri ajar
Panduan proses pembelajaran kajian Islam tersebut dipatuhi dan diterapkan oleh
para ustadz/ustadzah, baik sebelum atau sedang berlangsungnya pelaksanaan
pembelajaran. Sebagaimana hasil pengamatan pada pelaksanaan pembelajaran di kelas,
terlihat ustadz/ustadzah mempersiapkan materi yang akan disampaikan dan masing-masing
dari mereka terlihat memiliki silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang sudah disusun sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, selain itu mereka juga
melengkapi administrasi pendukung pembelajaran seperti absensi. Pada proses
pelaksanaan pembelajaran, berdasarkan hasil pengamatan, diawali dengan membaca do‟a
yang telah ditentukan, secara bersama-sama kemudian ustadz/ustadzah meriview pelajaran
sebelumnya dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada santri, setelah proses tanya-
jawab tersebut, kemudian para santri membaca bersama-sama materi biasa disebut pada
lingkungan pesantren dengan “lalaran”.
Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode pembelajarannya dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Metode ini dilakukan dengan memanfaat
komputer dan internet, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan pembelajaran dan pelatihan-
pelatihan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syi‟ar digital dari santri Madrasah
Aliyah dan tampil langsung didepan kamera baik sebagai MC atau sebagai penceramah di
salah satu stasiun TV Indonesia. Upaya ini dilakukan agar santri dapat mempelajari
praktek langsung dalam melakukan syi‟ar Islam kelak di hadapan masyarakat.
Sebagaimana terlihat pada gambar-gambar di bawah ini:
Gambar 4.1
Pelatihan Internet Pesantren al-Hamidiyah
Sumber: Dokumentasi Pesantren al-Hamidiyah
89
Gambar 4.2
Syuting Live di Stasiun TV
Sumber: Dokumentasi Pesantren al-Hamidiyah
d. Komponen Evaluasi Kurikulum
Upaya pengembangan komponen evaluasi kurikulum yang dilakukan oleh
Pesantren al-Hamidiyah, yakni dengan mengevaluasi seluruh kegiatan. Pada kegiatan
pembelajaran Kajian Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu evaluasi pembelajaran al-
Qur‟an, evaluasi pembelajaran kitab salaf, dan evaluasi pembelajaran Bahasa Arab.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan diantaranya, yaitu:
1) Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran al-Qur‟an sebagaimana terdapat dalam Buku
Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 3)
(a) Menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM):
Bagi santri yang belum mahir dalam membaca al-Qur‟an nilai KKM 60 dan bagi
santri yang sudah mahir nilai KKM 70.
(b) Prosedur Penilaian Hasil Belajar:
Melakukan ulangan harian minimal 3X, Ulangan Tengah Semester (UTS) dan
Ulangan Akhir Semester (UAS)
(c) Teknik dan Instrumen Penilaian Hasil belajar: bagi santri yang kurang lancar dan
kurang benar bacaannya rentang nilainya adalah 40-50, santri yang lancar tapi
kurang benar bacannya rentang nilainya adalah 60-70, dan santri yang lancar dan
benar bacaannya rentang nilainya adalah 80-90
(d) Penentuan Kriteria Kenaikan Kelas dan Kelulusan
Diputuskan berdasarkan hasil rapat guru dan disahkan oleh ketua dan disetujui
oleh pemimpin atau kepala kajian Islam.
2) Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran Kitab Salaf sebagaimana terdapat dalam Buku
Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016: 7-8)
(a) Menentukan KKM: membuat daftar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
(b) Prosedur Penilaian Hasil belajar:
- Mengadakan ulangan harian/Lembar Kerja Santri (LKS) baik tertulis maupun
praktek
- Mengadakan evaluasi belajar (UTS dan UAS) baik tertulis maupun praktek
90
- Mendeteksi/memeriksa kitab-kitab santri pada setiap bulan
(c) Teknik dan instrument penilaian hasil belajar
- Menentukan persen untuk hasil belajar harian, UTS maupun UAS (harian
30%, UTS 30% dan UAS 40%)
- Masing-masing ustadz menentukan instrument penilaian sesuai dengan mata
pelajaran/kitab yang diampu baik tulis maupun praktek
(d) Menentukan Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan: seorang santri dapat
dinyatakan naik kelas kajian Islam apabila:
- Nilai rata-rata mencapai 60
- Nilai pelajaran al-Qur‟an dan bahasa Arab mencapai minimal 60
- Santri tidak dapat memenuhi kriteria tersebut di atas maka yang bersangkutan
tidak naik kelas kajian Islam dan diberi kesempatan yang mengulang sekali
lagi di kelas yang sama
(e) Pelaporan hasil penilaian (rapot)
- Memastikan santri mengambil rapot kajian Islam
- Nilai hasil ujian diserahkan kepada panitia seminggu setelah ujian
3) Evaluasi Penilaian Hasil Pembelajaran Bahasa Arab dengan membuat format
penilaian dan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimum atau KKM santri
sebagaimana terdapat dalam Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan
Asrama (2016: 13)
a) Format penilaian lisan/interaktif untuk ulangan harian dan semester
b) Format penilaian tertulis/latihan soal tulisan untuk ulangan harian dan semester
c) Format penilaian daftar nilai harian/bulanan/semester
Tabel 4.12
DAFTAR KKM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
KAJIAN ISLAM PESANTREN AL-HAMIDIYAH
NO. MATERI KKM
1 DURUS AL-LUGHAH 6,5
2 MUTALAAH 6,6
3 IMLA‟ 6,6
4 NAHWU 6,5
5 SARAF 6,3
6 MUHADATSAH 6,6
7 TAMRINAT 6,5
8 MAHFUZAT 6,6
Sumber: Buku Laporan Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama (2016:14)
91
Tabel di atas menunjukkan bahwa santri dalam pembelajaran bahasa Arab nilai-
nilai minimal yang telah ditentukan tersebut harus dicapai, kemudian apabila nilai santri
kurang dari batas nilai tersebut maka santri akan diberikan kesempatan untuk melakukan
remedial dan apabila setelah dilakukan remedial nilai masih belum mencukupi maka santri
tidak naik kelas dan diberikan kesempatan untuk mengulang sekali lagi di kelas yang
sama. Hal ini kemungkinan terjadi pada pelaksanaan pembelajaran sistem marhalah,
terlihat pada ketentuan sistem penempatan kelas yang disesuaikan dengan kemampuan
santri. Namun, hal ini jarang terjadi pada sistem tingkat kelas, pada system ini santri
diupayakan untuk mencapai nilai ketuntasan dengan memberikan pembelajaran tambahan
dan kesempatan remedial bagi santri yang belum mencapai nilai KKM dan terlihat juga
berdasarkan rekap nilai yang dimiliki guru rata-rata santri adalah mencapai nilai ketuntasan
dan naik kelas.
C. Analisis Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam Pesantren al-
Hamidiyah
Kurikulum yang digunakan pada Pesantren Al-Hamidiyah adalah seluruh
pengalaman belajar santri yang terdiri dari beberapa materi keagamaan yang bersumber
pada al-Qur‟an dan Hadits ditambah dengan kitab-kitab salaf/kuning dan pengalaman-
pengalaman belajar lain berupa praktek-praktek dari teori-teori yang diajarkan dan praktek
kehidupan bermasyarakat, baik sesama teman di asrama ataupun terhadap para guru dan
pembimbing/pengawas asrama. Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan santri adalah
pengalaman belajaran yang seluruhnya merupakan bagian dari kurikulum itu sendiri.
Kurikulum sebagai pengalaman belajar juga diungkapkan oleh beberapa ahli.
Menurut Arifin, (2013: 5) kurikulum diartikan sebagai semua kegiatan dan pengalaman
belajar serta “segala sesuatu” yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta
didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai
tujuan pendidikan. Segala sesuatu yang dimaksud di sini merupakan hidden curriculum
(kurikulum tersembunyi), misalnya fasilitas sekolah, lingkungan yang aman, suasana
keakraban, kerja sama yang harmonis dan sebagainya yang dinilai turut mendukung
keberhasilan pendidikan. Pengertian kurikulum tersebut hampir sama dengan pendapat
Dewey‟s sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (2009: 10), yaitu “curriculum is
all the experiences children have under the guidance of teachers”.
Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan dan merubah kurikulum
keagamaannya mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan kurikulum, baik
landasan kurikulum, prinsip kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan pendekatan
kurikulum, model pengembangan kurikulum itu sendiri.
1. Landasan Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Dalam pengembangan kurikulum perlu memperhatikan dasar atau landasan apa
kurikulum dikembangkan. Landasan-landasan yang dipertimbangkan oleh Pesantren al-
Hamidiyah dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum keagamaannya, diantaranya
adalah landasan filosofi, psikologi, sosiologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pertama, pengembangan kurikulum atas dasar pertimbangan landasan filosofis.
Menurut Hamalik (2014: 19) filsafat pendidikan dapat menjadi landasan untuk merancang
tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta seperangkat pengalaman belajar
yang bersifat mendidik. (Hamalik, 2014: 19) Dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah tujuan
92
dari kurikulum pendidikannya adalah bertujuan mendidik para santri agar menjadi calon
atau kader „ulama warasah al-anbiya‟ yang akan memperjuangkan tegaknya ajaran Islam
ala Ahlussunnah wal Jama‟ah. Tujuan tersebut dimaksudkan agar santri dapat meneruskan
dan melestarikan ajaran-ajaran Islam.
Kedua, pengembangan kurikulum atas dasar pertimbangan landasan psikologi,
Pesantren al-Hamidiyah memperhatikan unsur perkembangan psikologis santri dan
memberikan situasi-situasi belajar yang tepat kepada mereka agar mereka dapat
mengembangkan bakat dan minatnya sebagai kader ulama warasah al-anbiya. Upaya
tersebut terlihat pada pengelompokkan kelas yang disesuaikan dengan kelompok usia yang
sama dan memberikan situasi-situasi belajar yang disesuaikan dengan perkembangan anak
sesuai tingkat kelasnya. Hal ini selaras dengan konsep Sukmadinata (2012: 46) yang
mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat dua bidang psikologi yang mendasari
pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya
sangat diperlukan, baik dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar,
memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
Ketiga, pengembangan kurikulum berlandaskan sosiologis. Menurut Arifin (2013:
75) unsur-unsur sosiologis yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal,
pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan peserta didik untuk masa
yang akan datang dan pengembangan kurikulum harus dapat membekali kemampuan yang
cukup kepada peserta didik.
Kaitannya dengan pendapat ahli di atas, Pesantren al-Hamidiyah telah
mempertimbangkan pengembangan kurikulumnya atas pertimbangan sosiologis tersebut.
Pertimbangan sosiologis tersebut dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang cukup
dalam bidang keagamaan, baik secara teori maupun praktek, hal ini dimaksudkan agar
santri siap ketika berhadapan secara nyata dengan masyarakat luas. Dalam hal materi yang
diberikan yakni santri dibekali dengan teori-teori dan praktek dalam bidang keagamaan,
teori yang diberikan melalui sumber-sumber keagamaan berupa kitab-kitab karangan
ulama salaf dan praktek yang diberikan dengan memberikan santri seperti praktek ibadah
harian, pelatihan pengurusan jenazah, kegiatan muhadarah baik yang diaksanakan pada
kegiatan mingguan di hadapan teman-temannya yang lain, kegiatan pengabdian
masyarakat (KPM) yang dilakukan satu tahun sekali, atau mengikuti lomba bidang
keagamaan antar pesantren lain.
Keempat, pengembangan kurikulum berlandaskan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Menurut Widyastono (2014: 33) isi kurikulum harus sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengantisipasi perubahan
yang mungkin terjadi. Dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi maka akan didapatkan kurikulum sesuai. Sehingga, komponen-komponen
kurikulum, seperti Isi dan metode kurikulum tidak tertinggal dengan kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern.
Pesantren al-Hamidiyah memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, oleh karena itu dalam mengembangkan kurikulumnya memberikan pelatihan-
pelatihan yang berkaitan dengan perkembangan teknologi. Hal ini dimaksudkan agar santri
memiliki kemampuan tambahan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syi‟ar digital
dari santri Madrasah Aliyah dan tampil langsung didepan kamera baik sebagai MC atau
sebagai penceramah di salah satu stasiun TV Indonesia. Upaya ini dilakukan agar santri
dapat mempelajari praktek langsung dalam melakukan syi‟ar Islam menggunakan
teknologi kelak di hadapan masyarakat.
93
2. Prinsip Fleksibelitas, Relevansi dan Kontinuitas
Dalam pengembangan kurikulum dapat dilakukan atas dasar beberapa prinsip
pengembangan kurikulum, prinsip tersebut salah satunya adalah prinsip flesibelitas.
Menurut Sukmadinata (2012: 151) prinsip fleksibelitas dalam pengembangan kurikulum,
yaitu kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Sukiman (2015: 38)
menambahkan bahwa fleksibelitas yang dimaksud, yaitu fleksibelitas bagi peserta didik
dalam wujud kebebasan dalam memilih program pendidikan, dan fleksibelitas bagi guru
adalah dalam bentuk pengembangan program pembelajaran.
Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya telah melakukan pengembagan kurikulum keagamaannya, langkah tersebut
dilakukan berdasarkan prinsip fleksibelitas. Prinsip fleksibelitas ini diwujudkan oleh
Pesantren al-Hamidiyah dengan pembuka tiga program jurusan pada Madrasah Aliyah,
kaitannya dengan kurikulum keagamaan, yaitu bagi santri yang memilih salah satu
program keagamaan berdasarkan minat dan kemampuan, pihak pengelola pesantren
memberikan solusi untuk mereka dengan cara memberikan bobot materi yang berbeda-
beda, seperti bagi santri yang mimilih program IPA/IPS diberikan bobot materi yang lebih
ringan dibandingkan dengan santri yang memilih program Keagamaan.
Langkah tersebut di atas, dilakukan atas dasar bahwa santri pada kelompok
program IPA/IPS memiliki beban yang lebih banyak pelajaran non agama yang tentunya
akan semakin memberatkan jika diberikan materi keagamaan yang sama beratnya, alasan
lain yakni santri pada kelompok program ini memang tidak memiliki orientasi khusus
dalam mendalami bidang keagamaan. Sedangkan, pada santri kelompok program
keagamaan memang memiliki bakat dan minat untuk ahli dalam bidang keagamaan.
Namun, bukan berarti santri program IPA/IPS tidak unggul dalam bidang keagamaan,
sebagai contoh menurut Kepala Madrasah Aliyah Suyatno, S.Si, M.Pd berdasarkan hasil
wawancara pada 18 November 2016, ada juga santri pada kelompok program IPA/IPS
kemampuannya melebihi santri program keagamaan seperti dalam bidang tahfidz al-
Qur‟an.
Solusi yang diberikan oleh Pesantren al-Hamidiyah agar santri tetap mendapatkan
haknya yakni mendapatkan berbagai keilmuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan
mereka, yakni dengan membekali seluruh santri dengan memberikan teori dan praktek
ilmu keagamaan dan umum.
Pesantren al-Hamidiyah selain mempertimbangkan pengembangan kurikulum
keagamaan berdasarkan prinsip fleksibelitas juga mempertimbangan pengembangan
kurikulum berdasarkan prinsip relevansi. Menurut Sukiman (2015: 35), relevansi
kurikulum adalah adanya hubungan, kaitan, kesesuaian atau keserasian antar unsur-unsur
kurikulum itu sendiri dan antara isi kurikulum dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang
ada dimasyarakat.
Prinsip relevansi dipertimbangkan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan para santri
yang pada umumnya akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ke
perguruan tinggi yang pada umumnya perguruan tinggi yang menuntut kemampuan bahasa
Arab dan tahfidz al-Qur‟an seperti Universitas Islam Negeri dan Universitas luar Negeri
(Kairo/Mesir). Untuk itu Pesantren al-Hamidiyah memberikan pendalaman ilmu
keagamaan dalam bidang tersebut. selain itu juga ditambah dengan materi-materi kitab
salaf sebagai ciri dari Pesantren al-Hamidiyah yang bersifat sebagai pesantren kombinasi,
yakni salaf modern.
Selain prinsip fleksibelitas dan relevansi Pesantren al-Hamidiyah juga
mempertimbangkan pengembangan kurikulum keagamaannya berdasarkan prinsip
94
kontinuitas. Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya
saling terkait antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan, dan bidang studi.
Menurut Idi (2010: 182) minimal ada dua kesinambungan dalam pengembangan
kurikulum ini, yaitu:
a. Kesinambungan di antara berbagai tingkat sekolah, dalam hal ini Pesantren al-
Hamidiyah menerapkan materi keberlanjutan antara materi yang diberikan pada santri
MTs kelas VIII dan kelas IX yang dapat dilihat dari contoh silabus yang ada di atas,
walaupun masih menggunakan sumber materi dari kitab salaf/kuning yang sama,
namun dengan materi yang berbeda. Santri kelas VIII diberikan materi untuk
mengenal aqidah Islamiyah, sifat-sifat wajib bagi Allah, kemudian mengimani
Malaikat, Kitab-kitab dan Rasul-rasul Allah dan pada kelas IX materi berlanjut pada
pemahaman keistimewaan Nabi Muhammad SAW, mengetahui lebih jauh sirah
perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, mengimani hari akhir, seputar alam barzah
dan dapat mengimani terhadap qada dan qadar. Pada masing-masing tingkat kelas
tidak terjadi tumpang tindih materi.
b. Kesinambungan di antara berbagai bidang studi, dalam hal ini kesinambungan dari
bidang studi terlihat pada perbedaan materi yang diberikan pada santri baru kelas VII
dengan tingkat kelas lainnya, materi yang diberikan menekankan pembelajaran pada
kelompok pembelajaran al-Qur‟an, hal ini dimaksudkan agar santri baru dapat
membaca al-Qur‟an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid terlebih
dahulu sebelum mempelajari kitab salaf/kuning dan nahwu saraf pada tingkat
selanjutnya dikarenakan materi pembelajaran tersebut membutuhkan kemahiran
dalam membaca dan tulis al-Qur‟an dalam bahasa Arab.
3. Komponen-komponen Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah
a. Tujuan
Perkembangan tujuan Pesantren al-Hamidiyah, baik tujuan sebagai institusi
lembangan pendidikan Islam maupun tujuan kurikulum itu sendiri, telah menunjukkan
bahwa Pesantren al-Hamidiyah masih konsisten bertujuan untuk terus melestarikan
pendidikan Islam itu sendiri. Dalam tujuan-tujuan tersebut terkandung beberapa poin
penting diantaranya adalah:
1) Membantu pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa, hal tersebut merupakan cita-
cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam mukaddimah UUD 1945.
2) Telah melaksanakan tujuan pendidikan itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang tentang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional ini terlihat pada tujuan Pesantren al-
Hamidiyah secara umum.
3) Mendidik dan mengarahkan santri menjadi calon ulama-intelektual dan intelektual-
ulama. Sebagai calon ulama, diwujudkan dengan memberikan materi-materi pendalam
keagamaan baik di madrasah formal maupun pada Kajian Islam/Kepesantrenan; dan
sebagai intelektual, diwujudkan dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan selain
95
pengetahuan keagamaan di madrasah formal, yang keduanya dapat menjadi bekal bagi
santri setelah selesai masa pendidikan di pesantren.
4) Telah melaksanakan tujuan kurikulum. Tujuan ini terlihat pada materi-materi baik
teori dan praktek yang diberikan, sudah sesuai dengan tujuan Pesantren itu sendiri.
Pesantren al-Hamidiyah dalam mengukur keberhasilan tujuan pendidikannya
sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni dengan mengukur keberhasilan tersebut
berdasarkan kemampuan santri yang telah menyelesaikan program pendidikan pada santri
tingkat Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Pesantren al-Hamidiyah sebagaimana terdapat
pada buku pedoman umum pesantren al-Hamidiyah (2000: 24) diantaranya sebagai
berikut:
1) Dari Segi Kemampuan (Keilmuan dan Keterampilan)
a) Mampu membaca al-Qur‟an secara fasih dan tartil
b) Memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam membaca al-Qur‟an dengan
benar
c) Mampu melaksanakan salat lima waktu dan salat-salat sunnah dengan benar
d) Mampu membaca dzikir, wirid, dan do‟a setelah salat dengan benar
e) Mampu membaca tahlil, istighatsah dan rawi dengan benar
f) Minimal mampu membaca kitab Taqrib untuk Tsanawiyah dan Fath al-Qarib
untuk tingkat Aliyah
g) Memiliki basis keilmuan yang diperlukan untuk menempuh jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Para lulusan tingkat Tsanawiyah mampu melanjutkan pada
jenjang Aliyah, dan para lulusan Aliyah mampu melanjutkan kejenjang Perguruan
tinggi
h) Memiliki kemampuan berbahasa Arab dan Inggris dengan baik, sehingga mampu
berkomunikasi dengan kedua bahasa tersebut serta mampu mengakses kitab-kitab,
buku, koran, majalah yang menggunakan bahasa Arab dan Inggris
2) Dari Segi Kepribadian
a) Memiliki rasa tanggungjawab untuk melaksanakan salat fardu lima waktu dan
salat-salat sunnah
b) Memiiki kesadaran untuk membaca al-Qur‟an, berzikir, berdo‟a, membaca tahlil,
istighatsah, rawi dan sebagainya
c) Selalu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, baik kepada Allah SWT
dengan melaksanakan berbagai ibadah mahdah, kepada sesama manusia saling
menghormati dan tolong menolong, serta kepaa makhluk Allah lain dengan
memelihara dan tidak merusaknya
d) Menghormati dan mentaati orang tua, saudara, dan keluarga yang lebih tua, serta
menyayangi keluarga yang lebih muda
e) Memiliki kesandaran untuk memiliki perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan
negatif yang tidak layak dilakukan oleh santri
f) Memiliki, menghayati, dan mengamalkan jiwa keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, pesaudaraan dan kebebasan
b. Materi/Isi
Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangankan materi/isi kurikulum
keagamaannya berdasarkan pada tujuan, pengembangan itu dilakukan dengan memberikan
96
materi-materi, pengetahuan dan pengalaman-pengalaman keagamaan. Materi-materi yang
bersumber dari kitab-kitab kalisik/kitab kuning, sudah sesuai dengan tujuan pesantren itu
sendiri. Hanya saja pendalaman pada kitab-kitab kalisik/kitab kuning agak sedikit berbeda
antara perkembangan kurikikulum keagamaan/kepesantrenan sistem marhalah dengan
tingkat pendidikan. Perbedaan yang paling menonjol terlihat pada bobot dan materi
pelajaran, yaitu pada materi pelajaran al-Qur‟an dan Nahwu dan Saraf. Perbedaan terlihat
pada sistem marhalah materi pelajaran al-Qur‟an memiliki bobot yang sama antara tiap
tingkatan dan pada materi pelajaran Nahwu dan Saraf diberikan pada setiap tingkatan.
Sedangkan, pada sistem tingkat pendidikan materi pelajaran al-Qur‟an bobot lebih banyak
pada tingkat MTs kelas VII dan materi pelajaran Nahwu dan Saraf tidak diberikan pada
tingkat MTs kelas VII. Perbedaan lain pada dua sistem (marhalah/tingkat pendidikan)
tersebut, yaitu adanya penambangan dan mengurangan materi, penambangan bobot pada
materi tahqiq/tahfiz al-Qur‟an pada sistem tingkat pendidikan dan tidak terlihat lagi kajian
ulum al-Qur‟an yang sebelumnya ada dalam sistem marhalah.
Perbedaan lain, yakni pada tingkatan materi-materi kitab-kitab salaf Pesantren al-
Hamidiyah pada tingkat pendidikan seperti terlihat dalam daftar kitab-kitab salaf yang
umum digunakan pesantren-pesantren di Indonesia, sebagaimana terlihat dalam bukunya
Martin VanBruinessen (1999: 149) salah satu contohnya adalah kitab Imritî pada Pesantren
al-Hamidiyah dipakai pada tingkatan aliyah sedangkan pada daftar yang disusun
VanBruinessen digunakan untuk tingkat tsanawiyah. Perbedaan tersebut dikarenakan
kitab-kitab yang digunakan oleh pesantren-pesantren yang terdapat dalam data
VanBruinessen umumnya adalah pesantren salafiyah dan data tersebut disusun pada tahun
yang sudah cukup lama.
Untuk memaksimalkan penyampaian materi Pesantren al-Hamidiyah
menggunakan silabus pada masing-masing materi keagamaan yang diajarkan, tidak seperti
pesantren-pesantren tipe lama (klasik) sebagaimana menurut Azra (1998: 88) pola
pendidikan pada pesantren klasik tidak menggunakan kurikulum dan silabus. Tetapi berupa
jenjang level kitab dalam berbagai disiplin ilmu, yang pembelajarannya dilaksanakan
dengan pendekatan tradisional. Pesantren al-Hamidiyah menerapkan kurikulum tersendiri
diluar kurikulum pemerintah dan memakai silabus, yaitu berupa batasan-batasan materi
yang akan diajarkan dan tujuan pencapaian dari materi secara keseluruhan pada masing-
masing bidang studi yang diajarkan, namun belum terlihat lebih rinci pada masing-masing
pembahasan atau bab, seperti: pokok pembahasan, sub pokok pembahasan, materi
pembelajaran, metode, penilaian, bahan/alat atau berupa rincian Kompetensi Dasar, Materi
Pokok/Pembahasan, Kegiatan Pembelajaran, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu, Jam
tatap muka, dan referensi yang terstruktur secara profesional. Walaupun dalam pedoman
guru rincian-rincian tersebut sudah ada namun jika disajikan dalam struktur yang lebih
profesional tentunya akan memudahkan guru dalam penyampaian materi.
c. Strategi/Metode
Strategi atau metode pengembangan kurikulum keagamaan Pesantren al-
Hamidiyah adalah mengadopsi metode yang digunakan oleh pesantren salaf dan modern.
Menurut Qomar (2014: 64-65) metode-metode pembelajaran yang biasa digunakan oleh
pesantren, seperti sorogan, bandongan, muhawarah, metode majlis ta‟lim dan metode
diskusi. Metode tradisional atau metode pesantren salafiyah yang digunakan oleh
pesantren al-Hamidiyah, seperti masih menggunakan sistem halaqah berupa metode
sorogan, bandongan dalam pembelajaran kitab-kitab kuning/salaf seperti pengajian
tabarukan, sedangkan metode pesantren modern ditandai dengan memberikan penekanan-
97
penekanan dalam bahasa Arab baik dalam keseharian maupun dalam pengajaran dalam
bentuk muhawarah, metode mubâsyarah, dimana guru menggindari penggunaan bahasa
Indonesia (bahasa non Arab), misalnya menunjukkan langsung pada benda yang dimaksud.
Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode-metode pendidikan lainnya,
seperti memberikan keteladanan (Uswah al-Hasanah) baik ketelaanan yang diberikan oleh
pengasuh maupun para guru, memberikan pengajaran (Ta‟lim), dan memberikan hadiah
dan hukuman (al-Hadiyyah wa al-„Uqubah) metode ini dimaksudkan agar santri lebih
bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Pendidikan bukan hanya memberikan materi-materi pelajaran tetapi pendidikan
juga dapat dilakukan dengan memberikan keteladanan yang baik, karena biasanya santri
akan meniru perbuatan baik atau buruk yang dilakukan oleh gurunya. Oleh karena itu
metode keteladanan ini biasa diterapkan dalam pendidikan di lingkungan pesantren. Secara
tidak langsung metode keteladanan merupakan bagian dari kurikulum tersembunyi yang
biasa disebut hidden curriculum. Menurut Nana Sudjana (1996: 7) kurikulum tersembunyi
adalah hal atau kegiatan yang terjadi di sekolah dan ikut mempengaruhi perkembangan
peserta didik, tetapi tidak diprogramkan dalam kurikulum potensial. Pendapat yang sama
diungkapkan juga oleh Arifin (2013: 7) menyatakan bahwa, kurikulum tersembunyi, yaitu
segala sesuatu yang mempengaruhi peserta didik secara positif ketika sedang mempelajari
sesuatu. Menurutnya, pengaruh itu mungkin dari pribadi guru, peserta didik itu sendiri,
karyawan sekolah, dan suasana pembelajaran.
Kedeladanan terlihat dari perilaku para guru atau ustadz/ustadzah dalam salat
berjama‟ah di masjid. Berdasarkan hasil pengamatan penulis para guru tidak hanya
mengarahkan para santri untuk salat berjama‟ah, namun mereka juga ikut melaksanakan
salat berjama‟ah bersama para santri.
Metode lainnya adalah metode pembinaan santri agar santri tidak hanya unggul
dalam bidang akademik, namun juga unggul dalam kepribadian (pembentukan karakter)
dan berakhlak mulia. Menurut Abdul Majid dan Dian Andayani (2011: 12) karakter dan
akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu
tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran
dengan kata lain keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Kebiasaan harian yang
diterapkan oleh Pesantren al-Hamidiyah, terlihat seperti kewajiban salat berjama‟ah, hal ini
diupayakan agar santri terbiasa untuk salat berjama‟ah. Contoh lainnya, seperti pendidikan
akhlaq al-karimah yang diberikan merupakan upaya agar tertanam dalam diri para santri
untuk memiliki akhlak yang baik. Cerminan pada pembentukan akhlak mulia tercermin
pada para santri sebagaimana hasil pengamatan penulis, para santri bersikap sopan dan
santun terhadap guru dan tamu yang berkunjung. Mereka memberikan salam
penghormatan dan penyambutan yang baik dan sopan kepada guru atau tamu yang ada
dihadapan mereka.
Selain itu, direrapkan juga metode keterampilan dalam bidang keagamaan, yaitu
Kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah, Muhadarah, dan KPM (Kegiatan Pengabdian Masyarakat).
Metode ini merupakan bagian dari kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren al-
Hamidiyah, metode ini merupakan pengalaman belajar di luar pendidikan akademis.
Pesantren al-Hamidiyah juga mengembangkan metode pembelajarannya dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Metode ini dilakukan dengan memanfaat
komputer dan internet, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan pembelajaran dan pelatihan-
pelatihan, seperti pelatihan internet sebagai wahana syiar digital dari santri Madrasah
Aliyah. Strategi ini merupakan upaya Pesantren al-Hamidiyah dalam menambah
keterampilan santri dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.
98
d. Evaluasi
Pesantren al-Hamidiyah dalam merumuskan evaluasi hasil pembelajaran sudah
cukup baik, terlihat dari pengelompokkan materi, yakni evaluasi hasil pembelajaran al-
Qur‟an, evaluasi hasil pembelajaran kitab salaf, dan evaluasi hasil pembelajaran Bahasa
Arab. Evaluasi dilaksanakan dengan menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal, prosedur
penilaian hasil belajar, teknik dan instrumen penilaian hasil belajar, penentuan kriteria
kenaikan kelas, menentukan target batasan pencapaian pembelajaran.
Langkah-langkah dalam mengevaluasi hasil belajar Pesantren al-Hamidiyah sudah
sesuai dengan langkah-langkah mengevaluasi hasil belajar yang dirumuskan oleh para ahli
pendidikan. Menurut Hidayat (2013: 69), proses evaluasi pada dua situasi, yaitu: Evaluasi
hasil pembelajaran dan Evaluasi pelaksanaan pembelajaran. Pesantren al-Hamidiyah
melakukan evaluasi sebagaimana evaluasi menurut para ahli pendidikan, yaitu:
1) Evaluasi hasil pembelajaran: menilai keberhasilan santri berupa penilaian harian, ujian
tengah semester, ujian akhir semester dan ujian kenaikan kelas atau penilaian berupa
penilaian jangka pendek dan jangka panjang (evaluasi formatif dan evaluasi sumatif).
2) Evaluasi pelaksanaan pembelajaran: komponen yang dievaluasi dalam pembelajaran
bukan hanya hasil belajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pembelajaran yang meliputi
evaluasi komponen tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi atau metode
pembelajaran serta komponen evaluasi pembelajaran itu sendiri.
4. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah
Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan kurikulum keagamaan/
kepesantrenannya berdasarkan pendekatan subjek akademis, pendekatan subjek akademis
menurut Sukiman (2015: 45) adalah pengembangan dilakukan dengan cara menetapkan
lebih dahulu mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk
persiapan pengembangan disiplin ilmu. Pendekatan ini berpijak pada teori-teori pendidikan
klasik yang mempunyai asumsi bahwa semua ilmu pengetahuan, ide-ide dan nilai-nilai
telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu.
Pendekatan subjek akademis tersebut di atas, diaplikasikan Pesantren al-
Hamidiyah dengan memilih sumber materi pembelajaran keagamaannya berdasarkan al-
Qur‟an, Hadits beserta kitab-kitab karangan ulama klasik atau kitab salaf/kuning dan
menyajikan materi-materi tersebut disesuaikan dengan tingkat kelas santri. Hal ini sesuai
dengan tujuan dari Pesantren al-Hamidiyah yang ingin terus memelihara dan melestarikan
ajaran Islam yang sudah ada dan khasanah keilmuan ulama klasik, terlihat pada pengajian
“tabarukan” menggunakan kitab-kitab ulama salaf dengan metode bandongan. Selain itu,
metode yang digunakan yakni dengan menyampaikan materi kemudian dielaborasi oleh
santri sampai mereka menguasai dan dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari.
Selain menggunakan pendekatan subjek akademis, Pesantren al-Hamidiyah juga
menerapkan pendekatan Humanistik. Pendekatan Humanistik menurut Hilda Taba
sebagaimana dikutip oleh Sukiman (2015: 45), yakni menekankan bahwa tugas pendidikan
yang utama adalah mengembangkan anak sebagai individu selain sebagai makhluk sosial.
Dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah bukan hanya memberikan pendidikan akademis
saja, melainkan memberikan pendidikan yang dapat mengembangakan kemampuan santri
dalam bidang non akademik melalui kegiatan muhadarah dan Kegiatan Pengabdian
Masyarakat (KPM), dimana dalam kegiatan ini santri diberikan kesempatan untuk
mengembangkan bakat dan minat masing-masing.
Selain kedua pendekatan di atas, Pesantren al-Hamidiyah dalam mengembangkan
kurikulum keagamaannya berdasarkan pendekatan rekonstruksi sosial. Menurut
99
Sukmadinata (2012: 91) kurikulum dengan pendekatan rekonstruksi sosial ini lebih
memusatkan perhatian pada problem-problem yang dihadapi masyarakat. Pendidikan
bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi dan kerjasama. Dalam
pendekatan rekonstruksi sosial, santri diberikan pendidikan baik dikelas maupun di
asrama. Dimana santri berinteraksi dan bekerjasama, baik dengan teman maupun dengan
guru dalam melaksanakan tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan hariannya. Selain itu, dengan
adanya bimbingan yang dilakukan oleh wali asrama yakni melalui sistem pelayanan dan
pembinaan asrama, dalam hal ini terdapat wali asrama melaksanakan kegiatan pengasuhan
dalam rangka mengembangkan potensi mental/spiritual, intelektual dan sosial santri
dengan memberikan bimbingan kehidupan asrama berdasarkan daur kehidupan santri.
Serta memberikan bimbingan kepada santri agar santri dapat berinteraksi dan bersosialisasi
dengan baik bersama santri lainnya.
5. Model Pengembangan Kurikulum Keagamaan/Kajian Islam al-Hamidiyah
Pesantren al-Hamidiyah paling sedikit telah tiga kali memperbaiki dan
mengembangkan kurikulum keagamaannya. Pesantren al-Hamidiyah melakukan beberapa
langkah dalam melaksanakan pengembangan kurikulum keagamaan atau
kepesantrenannya. Langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum keagamaan/
kepesantrenan yang dilakukan Pesantren al-Hamidiyah, jika merujuk pada model
pengembangan yang dirumuskan oleh ahli kurikulum, model pengembangan kurikulum
yang dilakukan oleh Pesantren al-Hamidiyah hampir serupa dengan model yang
dirumuskan oleh Beauchamp. Model Beauchamp sebagaimana dikutip oleh Sukmadinata
(2012: 163) terdapat langkah-langkah dalam melakukan pengembangan kurikulum di
antaranya yaitu:
a. Menetapkan arena atau ruang lingkup wilayah yang dicakup oleh kurikulum tersebut,
dalam hal ini kurikulum dikembangkan mencakup satu lembaga pendidikan, yaitu
Pesantren al-Hamidiyah.
b. Menetapkan personalia, dalam hal ini Pesantren al-Hamidiyah menentukan anggota
dalam rapat kerja pengembangan kurikulum keagamaannya terdiri atas beberapa
personel yang berpengalaman dalam bidang pendidikan dan pesantren (Dewan
Pengasuh/Kiai) dan guru-guru sesuai keahlian pada bidang/mata pelajaran masing-
masing, seperti ahli dalam pembelajaran al-Qur‟an, ahli dalam kitab kuning dan ahli
dalam bidang bahasa Arab. Yang kemudian disetujui oleh ketua Yayasan Islam al-
Hamidiyah. Pesantren al-Hamidiyah dalam menentukan personel dalam tim
pengembangan kurikulum keagamaan/kepesantrenannya hanya melibatkan tim ahli
pendidikan dan guru-guru tingkat lokal pesantren saja yang tentunya sudah
berpegalaman dibidang pendidikan dan pesantren, yang sebelumnya telah melakukan
studi banding dengan beberapa pesantren lain dan konsultasi dengan pihak
Kementrian Agama RI yang berwenang.
c. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Tahapan ini dilaksankan oleh
Pesantren al-Hamidiyah dengan:
1) Membagi tim berdasarkan bidang dan keahlian, terdiri dari para guru, kepala
Kajian Islam dan Asrama, Ketua Dewan Pengasuh, Kepala Bidang Pendidikan dan
Pengajaran Yayasan Islam al-Hamidiyah, Kepala Bidang SDM. Yayasan Islam al-
Hamidiyah, dan beberapa ahli yang berpengalaman sesuai bidangnya, seperti ahli
dalam bahasa Arab, Ahli dalam Kitab Kuning serta ahli dari ilmu al-Qur‟an.
Kemudian membagi para peserta rapat kerja tersebut menjadi lima komisi, yaitu:
100
Komisi A: membidangi pelajaran al-Qur‟an; Komisi B: membidangi pelajaran
kitab salaf/kuning; Komisi C membidangi pelajaran Bahasa Arab; Komisi D:
membidangi kegiatan Sibghah Ma‟hadiyah dan Muhadarah; komisi E:
membidangi masalah asrama.
2) Mengadakan penilaian terhadap kurikulum yang sedang digunakan, setelah itu
meneliti apa saja yang menjadi kekurangan dari kurikulum yang sedang digunakan
untuk selanjutnya memberikan masukan berupa beberapa usulan dari masing-
masing komisi untuk bahan pertimbangan bagi pelaksanaan kurikulum selanjutnya.
3) Merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, selanjutnya masing-
masing tim yang terbagi menjadi lima komisi di atas menentukan program-
program masing-masing. Program-program tersebut berupa program kegiatan
semester/tahunan, pedoman proses pembelajaran, dan pedoman penilaian hasil
belajar.
4) Setelah menentukan program-program sesuai bidang masing-masing, pada masing-
masing program tersebut di rumuskan komponen-komponen kurikulum, yaitu:
a) Merumuskan tujuan pembelajaran
b) Memilih materi/isi: dengan menentukan kitab-kitab yang digunakan dalam
setiap jenjang dan tingkat pendidikan, dan menyusun silabus pembelajaran, dan
menentukan batasan-batasan pencapaian minimum materi pembelajaran
c) Menentukan pengalaman belajar
d) Menentukan strategi atau metode pembelajaran pada masing-masing bidang
e) Menentukan kriteria evaluasi/penilaian hasil belajar.
d. Penulisan dan penyusunan kurikulum baru.
e. Implementasi Kurikulum. Kurikulum yang telah direncanankan kemudian
dilaksanakan oleh masing-masing guru sesuai dengan keahlian masing-masing
dibawah pengawasan Kepala Kajian Islam.
f. Evaluasi Kurikulum. Evaluasi berupa evaluasi pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru,
evaluasi desain kurikulum, evaluasi hasil belajar santri dan evaluasi keseluruhan
kurikulum.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren al-Hamidiyah merupakan pesantren
yang menerapkan pola pendidikan pesantren kombinasi. Pola pendidikan pesantren
kombinasi, menyatukan sistem pendidikan pesantren modern dan tradisional/salafiyah dan
pendidikan pesantren yang terintegrasi dengan sekolah/madrasah. Menurut Dhofier (2013:
76) pesantren dengan pola tersebut adalah pesantren tipe baru, seperti Pesantren Tebuireng
dan Rejoso di Jombang, telah membuka SMP dan SMA, dan Universitas. Begitu juga pada
Yayasan Pendidikan Islam HM. Tribakti (YPIT) yang kini menjadi Pesantren al-
Mahrusiyah dan Pesantren Salaf Terpadu ar-Risalah, sebagai unit pengembangan pesantren
Lirboyo Kediri, selain tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren tradisional
(salaf), juga membuat membuka sistem pendidikan umum sebagai cabangnya di luar
pondok induk. (Anwar, 2008: 101) Sementara itu, Menurut Zuhdi (2006: 421) contoh
pesantren yang memadukan sistem pendidikannya, seperti Pesantren Tebu Ireng, Jawa
Timur adalah sebuah sistem pendidikan kombinasi, dengan memperbarui sistem
pendidikannya, yang semula sebagai pesantren tradisional menjadi pesantren yang
mengkombinasikan antara pesantren tradisonal dengan sistem sekolah dan madrasah, yakni
(a) Sekolah: disediakan bagi santri/pesera didik yang berminat mempelajari pengetahuan
non agama; (b) Madrasah: disediakan bagi santri/peserta didik yang berminat
101
memperdalam pengetahuan agama. Selain sekolah dan madrasah juga mempertahankan
pendidikan pesantren tradisional setelah jam sekolah/madrasah.
Sebagai lembaga pendidikan pesantren yang mengembangkan model pendidikan
pesantren kombinasi tentunya terdapat kelebihan dan kelemahan dari beberapa sisi.
Kelebihan pada pesantren dengan pola/model pendidikan kombinasi ini, yaitu
memungkinkan santri melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan
jurusan yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Selain itu, lulusan pada pesantren
kombinasi ini memiliki peluang untuk dapat memiliki berbagai profesi baik dibidang
keagamaan maupun non keagamaan, seperti guru/dosen, pengasuh pesantren, Insinyur,
dokter, pengacara, ekonom, dan akuntan. tentunya memiliki nilai tambah yakni memiliki
modal pemahaman keagamaan yang lebih luas dibandingkan dengan lembaga pendidikan
non keagamaan.
Disisi lain, pesantren dengan model/pola pendidikan kombinasi ini terdapat
beberapa kelemahan, yaitu kemungkinan santri kurang menguasai ilmu
kepesantrenan/keagamaannya dibandingkan dengan santri yang berada di pesantren salaf,
hal ini dipengaruhi oleh banyaknya materi pelajaran yang diberikan yang mengakibatkan
pengurangan materi-materi kepesantrenan.
Untuk itu, sebagai pesantren yang memiliki model kombinasi, Pesantren al-
Hamidiyah mengembangkan kurikulum keagamaannya yakni dengan tetap
mempertahankan pembelajaran yang bersumber dari kitab-kitab ulama klasik atau kitab
kuning, juga memberikan keterampilan bagi santri agar mampu menyampaikan
keilmuannya sesuai dengan tujuan awal pesantren yakni sebagai pelestarian pendidikan
dan dakwah Islam yakni Pesantren al-Hamidiyah memberikan tambahan materi berdakwah
dan latihan-latihan yang membimbing agar mempunyai keterampilan tersebut. Melalui
kegiatan muhadarah yang merupakan bagian dari kurikulum kepesantrenannya, dimana
santri diupayakan agar kelak dapat memiliki kemampuan dalam berdakwah pada
masyarakat luas, selain itu santri diberi kesempatan mengikuti perlombaan-perlombaan
keagamaan baik antar santri Pesantren al-Hamidiyah maupun antar pesantren lain, hal ini
sebagai acuan dan semangat serta menguji kemampuan santri ketika berhadapan langsung
didepan masyarakat luas. Pada intinya upaya pesantren bertujuan untuk memeberikan
bekal kepada santri, sehingga diharapkan apapun bidang atau profesi yang dimiliki para
santri kelak, tetap dapat melestarikan pendidikan dan dakwah Islamiyah.
Orientasi santri Pesantren al-Hamidiyah untuk menjadi calon ulama-intelektual
atau intelektual-ulama terlihat pada data lulusan yang melanjutkan keberbagai perguruan
tinggi baik perguruan tinggi keagamaan atau non keagamaan, perguruan tinggi negeri
maupun swasta sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing santri. Lulusan yang
memilih jurusan keagamaan biasanya mereka melanjutkan studi ke Universitas Islam
Negeri di beberapa wilayah dan Universitas al-Azhar Kairo Mesir dengan bea siswa penuh
dari kedutaan Mesir, sedangkan lulusan yang memilih jurusan non keagamaan (umum)
tersebar di beberapa perguruan tinggi Nasional, seperti Universitas Brawijaya, Universitas
Padjajaran, Universitas Jambi dan Universitas Andalas. Selain itu dapat juga dilihat dari
berbagai prestasi-prestasi yang diraih oleh santri dalam bidang akademik dan non
akademik, prestasi-prestasi dibidang bahasa dan keagamaan, dan prestasi-prestasi pada
bidang umum (non keagamaan).
102
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana terdapat dalam bab-bab tersebut di
atas dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
Pesantren al-Hamidiyah melakukan pengembangan kurikulum keagamaan dengan
menggunakan model pengembangan kurikulum yang diterapkan oleh Beauchamp.
Langkah-langkah pengembangan yang dilakukan, yaitu dengan membentuk tim yang
terdiri dari beberapa orang yang berpengalaman dalam bidang kurikulum dan
kepesantrenan serta pengasuh dan beberapa perwakilan guru; pengorganisasian dan
prosedur pengembangan kurikulum dengan melakukan penilaian terhadap kurikulum yang
sedang digunakan, menentukan kriteria-kriteria untuk menentukan kurikulum yang baru,
merumuskan komponen-komponen kurikulum; mengimplementasikan kurikulum; dan
mengevaluasi kurikulum.
Pengembangan kurikulum keagamaan juga dilakukan dengan memisahkan antara
kurikulum keagamaan (kepesantrenan) dengan kurikulum sekolah/madrasah formal,
sehingga menghasilkan kurikulum yang seimbang.
B. Saran-saran
1. Pesantren al-Hamidiyah hendaknya terus melakukan pengembangan kurikulum
keagamaannya dengan lebih mengembangkan unsur-unsur yang terkait dengan
kurikulum, seperti pembuatan silabus dan RPP yang lebih rinci lagi sebagaimana
silabus dan RPP yang diterapkan oleh para ahli kurikulum dan digunakan oleh
sekolah/madrasah fomal.
2. Pesantren al-Hamidiyah perlu menambah materi-materi keagamaan yang bersumber
dari kitab berbahasa Arab karangan ulama salafiyah dan ulama kontemporer yang
belum digunakan, agar santri mendapatkan informasi ilmu-ilmu keagamaan yang
lebih luas lagi dan dapat meningkatkan kemampuan santri dalam penguasaan kitab-
kitab tersebut.
3. Pesantren al-Hamidiyah perlu lebih meningkatkan metode pembelajaran, seperti
metode diskusi dengan mengadakan diskusi-diskusi ilmiah, seminar-seminar baik
dalam lingkup pesantren maupun bersama pesantren-pesantren lain yang berkaitan
dengan pendidikan pesantren dan meningkatkan metode menterjemah berbahasa
Arab.
102
103
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali. 2008. Pembaharuan Pendidikan di Pesantren: Studi Kasus Pesantren Lirboyo
Kediri. Disertasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Arifin, Zainal. 2013. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
_____. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Damopolii, Muljono. 2011. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern.
Jakarta: Rajawali Pers
Daulay, Haidar Putra. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia). Jakarta: LP3S
Dakir. 2010. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta
Drajat, Zakiyah. 2006. Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Gazali, Dede Ahmad dan Gunawan, Heri. 2015. Studi Islam Suatu Pengantar dengan
Pendekatan Interdisipliner. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Hamalik, Oemar. 2012. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Kerjasama SPs
UPI dengan PT Remaja Rosdakarya
_____. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
_____. 2014. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jakarta: Bumi Aksara
Hasbullah. 2007. Otonomi Pendidikan, Kebijakan otonomi Daerah dan Implikasinya
terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : PT. Grafindo Persada
Al-Hazimi, Khâlid bin Hâmid. 2000. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyyah. Madinah: Dâr‟âlim
al-Kutub
Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Al-Hujâj, Muslim. Sahîh Muslim, Jilid III. Juz 5. Beirut: Dâr al- Fikr
Idi, Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jogjakarta: ar-Ruzz
Media
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Lukens-Bull, A, Ronald, Two Side of Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic
Education in Indonesia, Wiley, Vol. 32, No. 3, 2001, p. 350-372,
http://www.jstor.org/stable/3195992, Accessd: 30/03/2015
Madjid, Nurkholish. 1997. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina
Maksum. 1999. Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Malik MTT, A. 2008. Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di pondok Pesantren. Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Morissan. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana
104
Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya.
Jakarta: Rajawali Pers
Nizar, Samsul (ed.). 2013. Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam
Nusantara. Jakarta: Kencana
Ornstein, Alan C. and Francis, P. Hunkins. 2009. Curriculum: Foundations, Prinsiples,
and Issues. Boston: Allyn & Bacon
Paulas, George. E dan Oliva, Peter F. 2008. Supervision for Today‟s Schools. USA: John
Wiley & Sons Inc
Peraturan Pemerintah RI No. 55. 2007. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Jakarta:
Kementrian Agama
Pesantren al-Hamidiyah. 2000. Pedoman Umum Pesantren al-Hamidiyah. Depok:
Pesantren al-Hamidiyah
_____. 2016. Hasil Rapat Kerja Kajian Islam dan Asrama. Depok: Kajian Islam dan
Asrama Pesantren al-Hamidiyah
_____. 2016. Brosur Madrasah Tsanawiyah al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017.
Depok: Pesantren al-Hamidiyah
_____. 2016. Brosur Madrasah Aliyah al-Hamidiyah Tahun Pembelajaran 2016/2017.
Depok: Pesantren al-Hamidiyah
Pohl, Florian, Islamic Education and Civil Sosiety, Chicago Journals , Vol. 50, No. 3,
2006, p. 389-409, http://www.jstor.org/stable/10.1086/503882, Accessed:
30/03/2015
Qahâf, Mundzir. 2006. Al-Waqfu al-Islâmî Tathatawaruhû, Idaratuhû Tanmiyatuhû.
Damaskus: Dar al-Fikr
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga
_____. 2010. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga
_____. 2014. Menggagas Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan
Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
_____. 2005. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
Subhan, Ali. 2012. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20: Pergumulan Antara
Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana
Sudjana, Nana. 1996. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung:
Sinar Baru Algesindo
Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alvabeta
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Sukiman. 2015. Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2013. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tumanggor, Rusmin. 2014. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kencana
105
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
Van Bruinessen, Martin. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Widyastono, Herry. 2014. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah. Jakarta:
Bumi Aksara
Yayasan Islam al-Hamidiyah. 2016. Warta al-Hamidiyah: Media Komunikasi Pembangun
Generasi Islami. Edisi. 55. Depok: Yayasan Islam al-Hamidiyah
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan
Islam Tradisional. Jakarta Ciputat Press
Yunus, Mahmud. 1990. Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya Agung
_____. 1995. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Zarkasyi, Abdullah Syukri. 2005. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren.
Jakarta: PT. RajaGrafindo
Zuhdi, M. (Ed.) Roger Slee. 2006. Inclusive Education: Modernization of Indonesia
Islamic Schools‟ Curricula, 1945-2003. Vol. 10, No. 4-5. Canada: Taylor &
Francis
DAFTAR WAWANCARA
Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum, selaku Mustasyar Pesantren al-Hamidiyah
Abdul Rasyid Marhali, Lc, selaku Kepala Kajian Pesantren al-Hamidiyah
Suyatno, S.Si, M.Pd selaku Kepala MA al-Hamidiyah
Jauhari, Lc, selaku Koordinator Pelaksana Program Keagamaan MA al-Hamidiyah
Drs. Eridian Patrio Putra, selaku Wakil Kepala MA al-Hamidiyah dan Kepala Bidang
Pendidikan dan Pengajaran Yayasan al-Hamidiyah
106
Lampiran 1
STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN ISLAM AL-HAMIDIYAH
PERIODE 2016-2020
107
Lampiran 2
STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN DAN
PESANTREN AL-HAMIDIYAH TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
1. Ketua Yayasan : Dr. H. Imam Susanto Sjaichu, Sp.BP
2. Mustasyar : Drs. KH. Zainuddin Ma‟sum
3. Pelaksana Harian YIH : Ir. H. Ahmad Fahri Sjaichu
Marti Alifa, S. Psi
4. Kepala Bid. Pendidikan dan Pengajaran : Drs. Eridian Patrio Putra
a. Kepala Madrasah Aliyah : Suyatno, S.Si, M.Pd
b. Kepala Madrasah Tsanawiyah : Hidayat, S.S
5. Kepala Dewan Pengasuh : Drs. KH. Achmad Zarkasih
a. Kepala Kajian Islam dan Asrama : H. Abdul Rasyid Marhali, Lc
b. Wakil/Penjab. Kitab dan al-Qur‟an : R. Ahmad Fauzan, S.Pd
c. Koordinator Bahasa : Saiful Bahri, S.Pd
d. Koordinator Asrama Putra : Asenih, S.Ag.
e. Koordinator Asrama Putri : Dra. Sofiah
108
Lampiran 3
DAFTAR GURU KAJIAN ISLAM DAN ASRAMA
PESANTREN AL-HAMIDIYAH
TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
NO NAMA L/P PEND.
TERAKHIR
MATA PELAJARAN
YANG DIAMPU
1 Drs. KH. Zainuddin
Ma‟sum L S1 Pengajian Tabarukan
2 Drs. KH. A. Mahfudz
Anwar, M.Ag L S2 Bulugh al-Marâm
3 Drs. H. Achmad Zarkasih L S1 Bulugh al-Marâm
4 H. Addin A. Rochim, Lc L S1
Muhadarah, Fath al-
Mu‟in, Jawahir al-
Kalamiyyah
5 Asenih, S.Ag. L S1 Tajwid
6 Subhan Hidayat, S.Sos.I L S1 Nasailul „Ibad, Saraf,
Imritî
7 H. Abdul Rasyid, Lc L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
tajwid, Jawahir al-
Kalamiyah, Nasail al-
„Ibad
8. Dra. Syukriyah P S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid,
9 Fahmi A. Purnoto, M.Pd L S2
Tahqiq/tahfidz, Durus
al- Lughah, Mutala‟ah
Haditsah, Bulugh al-
Marâm
10 R. Ahmad Fauzan, S.Pd L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid, Ta‟lim al-
Muta‟alim/Akhlak
(Banin-Banat),
Mutala‟ah Haditsah,
Imla‟, Fath al-Qarib,
Jawahir al-
Kalamiyyah,
Muhadarah
11 Abdul Mun‟im H, S.Pd. I L S1 Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
109
Tajwid, Durus al-
Lughah, Mutala‟ah
Haditsah, Imla‟,
Ta‟lim al-
Muta‟alim/Akhlak
(Banin-Banat), saraf,
Muhadarah
12 Dra. Masfufah P S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Muhadarah
13 Fatihatul Hasanah P Pesantren Tahqiq/tahfidz
14 M. Miftahul Arif, S.Ag L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid, Durus al-
Lughah, Mutala‟ah
Haditsah, Imla‟,
Ta‟lim al-
Muta‟alim/Akhlak
(Banin-Banat) ,
Muhadarah
15 Imam Mahrus L Pesantren
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Nahwu, Saraf, Imriti,
Fath al- Mu‟în
16 Wawan, S.Pd. L S1 Khulashah Nur al-
Yaqin
17 Muhaidi, S.Pd.I L S1 Nahwu
18 Ahmad Ridwan, S. S. I L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid, Muhadarah
19 M. Fauzi L S1 Nahwu, Saraf, Durus
al- Lughah
20 Aan Kumaidi L Pesantren
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Jawahir al-
Kalamiyyah, Fath al-
Qarib, Muhadarah
21 Aryan Kusuma L Pesantren
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Matan Taqrib, Jawahir
al-Kalamiyyah
22 Siti Hanah, S.Ag P S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Muhadarah
23 Nurul Abidah L Pesantren Tahqiq/tahfidz,
110
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid, Mutala‟ah
Hadistah, Ta‟lim al-
Muta‟alim, Muhadarah
24 Siti Sholihah L Pesantren Matan Taqrib, Jawahir
al-Kalamiyah
25 Drs. Azhri Azhari L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Jawahir al-
Kalamiyyah, Fath al-
Qarib, Muhadarah
26 M. Syifa Zakaria L S1 Durus al-Lughah,
Muhadarah
27 Fitri Ariyani L Pesantren Durus al-Lughah
28 Ilah Rohilah, S.Hum L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Tajwid, Mutala‟ah
Haditsah, Muhadarah
29 M. Syaiful Bahri, S.Pd L S1 Durus al-Lughah
30 Tanzirrurrahman L Pesantren Durus al-Lughah
31 Dra. Isti‟anah Masfufah P S1 Nahwu, Saraf,
32 Imam Nafi‟ J, SQ L S1 Tahqiq/tahfidz, Tajwid
33 Ahmad Syaiful Huda L Pesantren Fath al-Qarib
34 M. Nur Iskandar, S.Pd L S1 Durus al-Lughah
35 Zainuddin Nur L Pesantren
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Durus al-Lughah,
Muhadarah
36 Hj. R. Zulfatullaila, SHI L S1 Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
37 Nanang Suaidi, S.Pd. I L S1
Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar,
Nahwu, Matan Taqrib,
Saraf, Fath al-Qarib
38 Fathurrazaq L Pesantren Nahwu, Saraf, Fath al-
Qarib
39 Luthfi Zulfikar, S.Pd. I L S1
Durus al-Lughah,
Nahwu, Imritî, Bulugh
al-Marâm
111
40 Hj. Nur Ilman, SPd. I L S1 Tahqiq/tahfidz,
Tilawah/Bin Nazar
41 Arief Masthuro Warli, Lc L S1 Fath al-Mu‟in, Nahwu,
Saraf, Muhadarah
42 H. Mukhtar Syarih L S1 Durus al-Lughah
43 Yunus Priadi L Pesantren Saraf, Imritî
112
Lampiran 4
DAFTAR GURU DAN KARYAWAN MTS AL-HAMIDIYAH
TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
NO
NAMA
L/P
Pend.
Terakhir
Jurusan
Jabatan/Bidang
Keahlian
1 Hidayat, S.S. L S1 Sastra
Inggris
Kepala Madrasah/
Bahasa Inggris
2 Sinta Wahyuning , SH P S1 Hukum
Perdata
PKn
3 Dra. Siti Barkah P S1 Tarbiyah/
IPA
IPA
4 M. Muchtar Sy L MA Keagamaan Akidah Akhlak
5 Rif'ah Zulfatullaila,
SHI
P S1 Tarbiyah/
Muamalah
Fiqh
6 Drs. Muslich L S1 Tarbiyah Akidah Akhlak
7 Acmad Rifa'i L S1 MIPA IPA
8 M. Shoheh Ali, S.Ag L S1 Tarbiyah/
Bahasa Arab
Bahasa Arab
9 Wulansari A, S.Ag P S1 Ushuludin SKI
10 Bayu Wardhani, STP L S1 Teknologi IPA
11 Luthfi Jawahirul. Q,
S.S
L S1 Sastra/
Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia
12 Maryamah, S.Pd. P S1 FKIP/BK Bimbingan
Konseling
13 Siti Andriyani, S.Si P S1 MIPA Matematika
14 Lidia, S.Pd. P S1 FBIPS/ IPS
15 Asenih, S.Ag L S1 Dakwah/
KPI
Al-Qur‟an Hadis
16 Abdul Rasyid, Lc L S1 Ilmu Islam Al-Qur‟an Hadis
17 Hj. Nur Ilman H,
S.Pd.I
P S1 PAI Al-Qur‟an Hadis
18 Yulia Darmawaty,
S.Pd
P S1 FBIPS IPS
19 Dra. Nurul Hidayah P S1 FPBS/
Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia
20 Dra. Desi Fitriani P S1 FPBS/
Bahasa
Indonesia
Bahasa Indonesia
21 Dwi Wahyu P, S.Si L S1 IPS IPS
22 Dwi Alfiani R, S.Pd L S1 FKIP/
Matematika
Matematika
113
23 Bambang S, S.Pd L S1 FKIP/
Matematika
TIK
24 Nurbaeti, S.Pd. P S1 Ilmu Sosial/
Sejarah
PKn
25 Euis Virgiani, S.Pd. P S1 FKIP/
Bahasa
Inggris
Bahasa Inggris
26 Ilman, S.Pd L S1 FKIP/
Matematika
Matematika
27 Irma Aryani, S.Pd P S1 FKIP/
Matematika
Matematika
28 Djamaluddin P.,
M.Ag.
L S2 Managemen
Pendidikan
Bahasa Arab
29 Nursyamsiyah, M.Ag. P S1 Pendidikan
Bahasa Arab
Bahasa Arab
30 Dewi Retno, S.Si P S1 MIPA Matematika
31 Saaman, S.Pd L S1 PAI PKn
32 Rodiyah Rodiyanah P S1 Penjaskes Penjaskes
33 Oos Sarcosih, M.Pd.I L S1 Bahasa Arab Bahasa Arab
34 Abdul Muis, S.Ag L S1 Perpustakaan
35 Evi Herawati P SMA Sekretaris TU
36 Ahmad Tamim P MA Keagamaan Laboran
37 Fuad Hasan P D1 Managemen
Informatika
IT
38 Nurul Abidah P SMA IPS TU
114
Lampiran 5
DAFTAR GURU DAN KARYAWAN MA AL-HAMIDIYAH
TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017
N
O NAMA
L/
P
Pend.
Terakhir
Jurusan Jabatan/Bidang
Keahlian
1 Suyatno, S.Si, M.Pd L S2 Pend. MIPA Kepala Madrasah/
Matematika
2 Jauhari, Lc L S1 Syari‟ah/Bah
asa Arab
Bahasa Arab/ Usul
Fiqih/ Muhadarah
3 Drs. H. Achmad
Zarkasih L S1
PAI Fikih/ Usul Fiqih/
I.Hadits/Akhlak/I.Ka
lam
4 Drs. H. Ahmad
Mahfudz Anwar L S1
Ilmu Qur‟an Qurdits/ Fiqih/ I.
Tafsir
5 Drs. Ashri Azhari L S1 PAI Qurdits/Aqidah
Akhlak/ SKI
6 Subhan Hidayat,
S.Sos.I L S1
STAI al-
Hamidiyah
Ilmu Hadits/Aqidah
Akhlak/I. Tafsir/
Qurdits
7 Nurbaeti, S.Pd P S1 Sejarah
PKn/ Sejarah
8 Dra.Embay Sa'adiah,
M.Pd P S2
Pendidikan Bahasa
Indonesia/Seni
Budaya
9 N. Yanti Supriyanti,
S.Ag P S1
Bahasa
Indonesia
Bahasa
Indonesia/Seni
Budaya
10 Mahyudin, SS, M.Pd L S2 Pendidikan
B. Inggris Bahasa Inggris
11 Dra. Hj. Yufiyani P S1 Matematika
Matematika
12 Dwi Wahyu Prihantoro,
S.Si L S1
Biologi Biologi
13 Supriyo, S.Si L S1 Fisika
Fisika/Matematika
14 Prita Ayu Eka
Septiawanty, S.Pd L S1
Kimia Kimia
15 Ratu Mariatul Khusnah,
S.Pd P S1
Ilmu Sejarah Sosiologi/Geografi
16 Drs. Eridian Patria
Putra L S1
Pendidikan
Koperasi Ekonomi
115
17 Sinta Wahyuning Sri,
SH P S1
Hukum PKn
18 Mujahidin L STKIP
Penjas
19 Dra. Hj. Yayuk Hari
Sugihartini P S1
Ilmu
Pendidikan
Bimbingan
Konseling
20 Aghnini Ghinan Nafsi,
S.Pd P S1
Pendidikan
Bahasa
Inggris
B. Inggris
21 Arief Masthuro Warli,
Lc L S1
Syari‟ah dan
Hukum
I.Hadits/ B.Arab/
Ushul Fiqh/
Muhadatsah
22 Dewanti Puspitawati,
S.Pd P S1
Pendidikan
Ekonomi
Ekonomi/PKn/Wira
Usaha
23 Suparno, S.Pd L S1
Pendidikan
Bahasa
Inggris
Bahasa Inggris
24 Bambang Sumaryono,
S.Pd L S1
Pendidikan
Matematika Matematika
25 M. Luthfi Zulfikar,
S.Pd.I L S1
PAI SKI/ I.Kalam/
I.Hadits/ I.Tafsir
26 Nur Muhammad
Iskandar, S.Pd L S1
Pendidikan
Bahasa Arab Bahasa Arab
27 Muhaidi Abdul Muhid L S1
28 Oos Sarchosi, M.M. L S2 Managemen
Pendidikan Ushul Fiqh
29 Abdul Mun'im Hasan,
S.Pd.I L S1
Tarbiyah/
PAI Muhadarah
30 Evi Herawati P SMK Sekretaris
TU
31 Khurzudin L SMA Keagamaan
TU
32 Mutia Hijriyana P D3 Akutansi
TU
33 Achmad Ta'mim L MA Keagamaan
Laboran
34 Mochamad Fachrur
Rozie A, Skom L S1
Tehnik
Informatika Kordinator TI
35 Norma Juwita Novianti,
S.Ip P S1
Ilmu
Perpustakaan Perpustakaan
36 Abdul Muis, S,Ag L S1 KPI
Perpustakaan
116
Lampiran 6
DAFTAR PRESTASI SANTRI MTS DAN MA
PESANTREN AL-HAMIDIYAH
A. Tingkat Madrasah Tsanawiyah
1. Juara 1 dan 2 lomba pidato bahasa Inggris tingkat MTs kota Depok (2014)
2. Juara 1 Lomba Bulu Tangkis Tingkat Kota Depok (2014)
3. Juara 2 Lomba Bulu Tangkis Pospeda Tingkat Kota Sukabumi (2014)
4. Juara 3 Olimpiade MIPA (Biologi) dan PAI (2014)
5. Juara 3 lomba pidato bahasa Indonesia Tingkat Kota Depok (2014)
6. Juara 2 Lomba Lintara Tingkat Kota Depok (2014)
7. Finalis Lomba Storytelling Humaniora Tingkat Nasional (2014)
8. Juara 1 Olimpiade Sains dan PAI Tingkat Kota Depok (2014)
9. Juara 2 Olimpiade MIPA (Fisika) dan PAI Tingkat Kota Depok (2014)
10. Juara 1 LTC IPA Tingkat Kota Depok (2015)
11. Peringkat 1 Bidang Studi Fisika dalam Lomba KSM dan PAI Tingkat Kota Depok
(2015)
12. Juara 2 Lomba KSM Tingkat Provinsi Jawa Barat (2015)
13. Juara 1 MIPA (Matematika) dan PAI Tingkat Kota Depok (2014)
14. Peringkat 3 Lomba Bidang Studi Matematika Tingkat Kota Depok (2015)
15. Juara 3 LCT Matematika Tingkat Kota Depok (2015)
16. Juara 1 LCT Fotografi Tingkat Kota Depok (2015)
17. Juara 3 LCT IPS Tingkat Kota Depok (2015)
18. Terbaik 1 Recycly (Team). Terbaik 2 Tilawah (Team). Terbaik 3 Ceramah
Keagamaan Tingkat Jabodetabek (2015)
19. Peringkat 1 Bidang Studi Lagu Religi (2015)
20. Juara 1 Speech Kontes Tingkat Kota Depok (2015)
21. Juara 3 berbagi Cerita Sains BPPT Ipttek (2015)
22. Juara 2 Lomba Standup Comedi PMI Tingkat Jabodetabek (2015)
23. Peringkat 1 Lomba olimpiade PAI Tingkat Kota Depok (2015)
24. Juara 3 Lomba Marawis Tingkat Kota Depok (2016)
B. Tingkat Madrasah Aliyah
1. Juara 1 pidato bahasa Arab Tingkat Jabodetabek (2011)
2. Peringkat 1 Olimpiade Geografi Tingkat Kota Depok (2011)
3. Juara 3 Paskibra Tingkat Kota Banten (2012)
4. Peringkat 1 Olimpiade Matematika Tingkat Kota Depok (2012)
5. Peringkat 2 Olimpiade Matematika Tingkat Jabodetabek (2012)
6. Peringkat 1 Olimpiade Matematika se- Jawa (2012)
7. Juara 2 MTQ Putra Tingkat Kota Depok (2013)
8. Juara 1 MTQ Putri Tingkat Kota Depok (2013)
9. Terbaik 3 Ceramah Keagamaan Tingkat Jabodetabek (2015)
10. Terbaik 2 Tilawah Tingkat Jabodetabek (2015)
11. Terbaik 1 Recyle Tingkat Jabodetabek (2015)
12. Terbaik 4 Ceramah Keagamaan Tingkat Jabodetabek dan Jawa Barat (2015)
13. Juara 3 Cerdas Tangkas Matematika Tingkat Jawa Barat (2016)
117
14. Mengirim santri untuk melanjutkan studi ke United State of America (USA) dalam
Program Pertukaran Pelajar Antar Bangsa
15. Mengirim santri MA untuk melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir
dengan bea siswa penuh dari kedutaan Mesir
16. Lulusan diterima dibeberapa Universitas/perguruan Tinggi Islam Negeri Ternama di
Idonesia.
118
Lampiran 7
DATA LULUSAN SANTRI MA AL-HAMIDIYAH
TAHUN PEMBELAJARAN 2015/2016
NO NAMA SANTRI Kelas PTN/PTS JURUSAN
1 Fakhri Maulidi XII MAK UIN Ambon Tafsir Hadist
2 Alwin Maulana A. XII MAK UIN Bandung Hukum Keluarga
3 Rani Rufaida XII IPA UIN Bandung Komunikasi
4 Ananda Rachma A. XII IPS UIN Jakarta Psikologi
5 Jafar Wicaksono D. XII MAK UIN Jakarta Hukum Keluarga
6 Mohammad Adam F. XII MAK UIN Jakarta Dirosah Islamiyah
7 Moh. Jibril XII MAK UIN Jambi Ilmu Hadist
8 Saiful Hidayatullah XII MAK UIN Jogjakarta
Pengembangan
Masyarakat
9
Adam Abdurrahman
H. XII IPS UNBRAW Akutansi
10 Nur Gusti Ditta Z. XII IPS UNPAD Jurnalistik
11 Yudhia Fairuz F. XII IPS UNPAD Sastra Perancis
12 Anindita Putri W. XII IPS UNS Seni Rupa
13 Muhammad Ilyas XII IPA UIN Bandung Biologi
14
Ahmad Quthbuddin
S.M. XII MAK UIN Jakarta Tasawuf
15 Hanif Dzikri J. XII MAK UIN Jakarta
Komunikasi
Penyiaran Islam
16
Muhammad Miftahur
R. XII MAK UIN Jakarta Ahwal Syahsiyah
17
Noer Fadillah
Raissoevel XII MAK UIN Jakarta Jinayah Siyasyah
18
Achmad Rifa'i XII IPA UIN Jogjakarta
Ilmu Komunikasi &
Dakwah
19 Mohammad Adam F. XII MAK UIN Jakarta Dirosah Islamiyah
20 Ahmad Musthafa XII MAK UIN Jakarta
Ilmu Tafsir & Al-
Qur'an
XII MAK UIN Jogja
Ilmu Tafsir & Al-
Qur'an
21 Hengky Fernando XII MAK UIN Jakarta Dirosah Islamiyah
22 Mohammad Iqbal R. XII IPS PNJ Desain Grafis
23 Mohammad Ghasan S. XII IPA Poltek AKA Analisis Kimia
24 Kamelia Latifa XII IPA UIN Bandung
Hukum Keluarga
Islam
25
Muhammad Andika
Riedo P XII IPA UIN Bandung Teknik Informatika
26 Muhammad Ilyas XII IPA UIN Jakarta Pendidikan Agama
119
Islam
Agribisnis
27 Mohammad Andi A. XII MAK UIN Jakarta Managemen Dakwah
28 Rendra Trinanda Putra XII MAK UIN Jakarta Hukum Tata Negara
29 Iqbal Zauqul Adib XII IPA UIN Jakarta Teknik Informatika
30 Yudita Yuara XII IPA UNILA Biologi
31 Ken Warsy Triastuti XII IPA Univ. Andalas Sistem Informasi
32 Said Andi Hendriyan XII IPS Univ. Jambi Hukum
33 Muhammad Fikri Hadi XII IPS Univ. Brawijaya Ekonomi Islam
34 Ikrar Firstian XII IPS Univ.Soedirman Hukum
35 Astri Ainun Annisa XII IPA UPN Jakarta Ilmu Keperawatan
36 Jasmine Hanifa M. XII IPA UPN Jakarta Teknik Informatika
37 Nida Amalia XII IPA UPN Jakarta Ilmu Gizi
38 Achmad Sofyan Aziz XII IPA
ISTN Tanah
Baru Teknik Elektro
39
Agiandika
Sastramijaya XII IPA
ITENAS
Bandung Teknik Informatika
40 Astri Ainun Annisa XII IPA STIKES Imu Keperawatan
41 Ilham Ramadhani S. XII IPA
ITENAS
Bandung Tehnik Sipil
42 Khansa Permata Ary XII IPA STT Telkom Design Interior
43 Muhamad Facri Putra XII IPA BINUS Teknik Informatika
44 Muhammad Yusuf I. XII IPA STT PLN Teknik Informatika
45 Siti Halimatusy Syarah XII IPA Unv. Pancasila Teknik Sipil
46 Shopia Devi A. XII IPA UIKI Kedokteran
47
Syifa Amalia XII IPA Univ. Trilogi
Ilmu & Teknologi
Pangan
48 Thifal Indri Maulidina XII IPA Univ. Trisakti Arsitektur
49 Utari Larasati XII IPA Univ. Pancasila Arsitektur
50 Winne Keke H. XII IPA
STT Tekstil
Bandung Desiner
51 Ananda Virghi A. XII IPS UMJ Akutansi
52 Anindita Putri W. XII IPS Univ. Trisakti
Desain Komunikasi
Visual
53 Dhiya Ulhaq Q. XII IPS Mercubuana Managemen
54 Salmadianka K. XII IPS STT Telkom Desain Interior
55 Syifa Putri N. XII IPS STT Telkom Desain Interior
56 Syifa Violita XII IPS APP Manegemen
57 Faris Muhammad XII MAK YAMAN Studi Islam
Sumber: Tata Usaha Madrasah Aliyah al-Hamidiyah
120
Lampiran 8
PEDOMAN WAWANCARA
1. Bagaimana pola kurikulum pendidikan di Pesantren al-Hamidiyah?
2. Kurikulum keagamaan seperti apa yang direkomendasikan oleh Pesantren al-
Hamidiyah untuk menarik minat masyarakat?
3. Adakah kurikulum khusus yang diterapkan di Pesantren al-Hamidiyah? (kurikulum
yang beda dengan pesantren lain)
4. Apakah Pesantren al-Hamidiyah menjalin kerjasama dalam bidang kurikulum
Keagamaan dengan lembaga lain?
5. Bagaimana pola pengembangan kurikulum kegamaan Pesantren al-Hamidiyah sejak
berdiri hingga sekarang?
6. Berapa kali mengalami pengembagan kurikulum bidang keagamaan pesantren?
7. Berdasarkan prinsip-prinsip apa saja pengembangan kurikulum keagamaan
dilakukan?
8. Apasaja yang menjadi landasan-landasan dalam merancang pengembangan kurikulum
keagamaan tersebut?
9. Seperti apa bentuk mengembangan kurikulum keagamaan yang dilakukan oleh
Pesantren al-Hamidiyah yang berkaitan dengan komponen-komponen kurikulum:
a. Perkembagan tujuan
b. Perkembangan materi/isi bahan ajar
c. Perkembangan metodologi pembelajaran
d. Perkembagan evaluasi hasil belajar
10. Model pengembangan kurikulum seperti apa yang digunakan oleh Pesantren al-
Hamidiyah?
11. Bagaimana bentuk struktur organisasi kelembagaan Pesantren al-Hamidiyah?
12. Bagaimana sistem rekrutment tenaga pendidikan keagamaan?
13. Apasaja kegiatan-kegiatan edukatif tambahan sebagai penunjang kurikulum utama
Pesantren al-Hamidiyah (khususnya dalam bidang keagamaan)?
14. Bagaimana kualitas output yang dihasilkan berdasarkan pengembangan kurikulum
keagamaan yang dilakukan?
121
Lampiran 9
PEDOMAN OBSERVASI
1. Mengamati kondisi fisik atau sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembelajaran
keagamaan
2. Mengamati proses pembelajaran secara umum, baik yang berlangsung di dalam ruangan
maupun di luar ruangan
3. Mengamati aktifitas guru dan kelengkapan dokumen pendukung pembelajaran
4. Mengamati metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran
5. Mengamati tata waktu dan tempat dalam proses pembelajaran
6. Mengamati kondisi santri saat proses pembelajaran
7. Mengamati situasi dan kondisi lingkungan pesantren
122
Lampiran 10
DOKUMENTASI KEGIATAN SANTRI PESANTREN AL-HAMIDIYAH
123
124
BIODATA PENULIS
Nama : Lia Suraedah
Alamat : Pesantren al-Qosimiyyah
Kp. Tajur RT 001/04
Ds. Pemagarsari
Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor
Jawa Barat
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Januari 1983
Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SD Negeri Pedurenan 1 Bekasi (1989-1995)
b. MTs NU Putri Buntet Pesantren Cirebon (1995-1998)
c. MA HM Tribakti Kediri (1998-2001)
d. S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-2005)
e. S2 FITK Megister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2014-2017)
2. Pengalaman Organisasi
a. Kepala Sekolah SMP Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2011-2012)
b. Kepala Sekolah SD Islam Terpadu al-Qosimiyyah (2013-2014)
c. Bendahara Yayasan Sunan Drajat Sejahtera (2010-Sekarang)