52
PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE LUPITA MAULIDA MUNAWAR TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE · Bahkan apabila tidak dimakan, kemasan edible tetap dapat berkontribusi menurunkan pencemaran lingkungan karena dapat didegradasi oleh lingkungan

  • Upload
    lydien

  • View
    227

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE

LUPITA MAULIDA MUNAWAR

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Produk

Edible Dishware adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Lupita Maulida Munawar

NIM F34100035

ABSTRAK

LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Pengembangan Produk Edible Dishware.

Dibimbing oleh INDAH YULIASIH.

Edible dishware merupakan pengembangan produk dari makanan menjadi

wadah peralatan makan edible dishware. Secara bersamaan, kemasan edible aman

dikonsumsi dan dapat menurunkan pencemaran lingkungan. Penelitian diarahkan

pada pengembangan wafer dan opak singkong sebagai produk dasar yang

umumnya berbentuk rigid dan hambar. Penelitian bertujuan mempelajari dan

mendapatkan formula produk, mendapatkan teknologi produksi, serta profil

produk edible dishware. Basis edible dishware ditentukan melalui formulasi 2

produk dasar sampai diperoleh formula terpilih yang memenuhi aspek teknologi

produksi dan profil produk. Formula edible dishware terbaik adalah wafer skala

industri dengan komposisi bahan terigu, minyak kelapa, lesitin kedelai cair, garam,

baking soda, dan air. Teknologi produksi terdiri atas pencampuran all-in

menggunakan air dingin (± 17 oC) selama 6 menit, pemanggangan sekaligus

pencetakan dalam 1 tahap menggunakan mesin khusus pada suhu 150 oC selama 4

menit, dan cooling selama 5 menit. Edible dishware berbentuk piring kecil

berukuran diameter 9 cm dengan bobot per unit 8 gram menyumbang kebutuhan

1,5% energi; 0,1% lemak; 1,4% protein; dan 2,2% karbohidrat terhadap Angka

Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata. Pengujian ketahanan menunjukkan batas waktu

maksimal produk kontak dengan udara adalah 90 menit dengan kadar air kritis

sebesar 4,3776% (b/b). Penanganan produk terdiri atas penanganan pada tingkat

produsen dan konsumen.

Kata kunci: edible dishware, kemasan edible, opak singkong, wadah, wafer

ABSTRACT

LUPITA MAULIDA MUNAWAR. Product Development of Edible Dishware.

Supervised by INDAH YULIASIH.

Edible dishware is a product development from food to edible dishware.

Edible packaging is both safe to consume and able to reduce environment

pollution. This research was conducted in developing wafer and opak singkong as

base product which ordinarily have rigid shape and plain taste. This study was

aimed to learn and obtain formula, determine production technology and profile of

edible dishware. Edible dishware base was determined by formulating 2 base

products until formula which is suitable in meeting production technology and

product profile requirements was obtained. The best edible dishware formula was

wafer for industry containing flour, coconut oil, liquid soya lechitin, salt, baking

soda, and water. Production technology required all-in mixing using cold water

(± 17 oC) for 6 minutes, 1 stage baking and shaping using a dedicated machine in

150 oC for 4 minutes, and 5 minutes cooling time. A small plate-shape edible

dishware which had 9 cm of diameter and 8 grams of weight per unit contributed

1,5% energy; 0,1% fat; 1,4% protein; and 2,2% carbohydrate to average minimum

nutritional requirement. Maintenance analyses showed that maximum time limit

for product in contact with open air was 90 minutes and critical moisture was

4,3776% (w/w). Product handling consisted of handling in producer and customer

level.

Keywords: dish, edible dishware, edible packaging, opak singkong, wafer

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PENGEMBANGAN PRODUK EDIBLE DISHWARE

LUPITA MAULIDA MUNAWAR

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian

yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli 2014 ini berjudul

Pengembangan Produk Edible Dishware.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Indah Yuliasih, STP, MSi

sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan, serta

Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Muhammad Arif Darmawan, STP, MT sebagai

dosen penguji. Di samping itu, penghargaan disampaikan kepada Recognition and

Mentoring Program (RAMP) IPB sebagai pihak yang menyediakan dana

penelitian, Ir Ade Iskandar, MSi sebagai dosen yang merancang mesin khusus

pada penelitian ini, dan staff laboratorium TIN. Ungkapan terima kasih juga

disampaikan kepada orang tua, keluarga, teman sebimbingan (Tiwi, Novi,

Auwalin, Suci, Ismanda, Elok, dan Feriska), teman seperjuangan program

technopreneurship, seluruh mahasiswa TIN 47, dan teman-teman kost Aisyah

(Tiara, Wanda, Astri, Icha, Sulis, Indah, Mega, Desty, dan Tri) yang selama ini

selalu memberikan dorongan dan semangat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Lupita Maulida Munawar

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

METODE 2

Alat dan Bahan 2

Tahapan Penelitian 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong 7

Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer 10

Pengembangan Formulasi Edible Dishware 15

Teknologi Produksi 19

Profil Produk 22

Analisis Kecocokan Produk dengan Pasar 26

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 29

RIWAYAT HIDUP 40

DAFTAR TABEL

1 Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1 5 2 Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1 8 3 Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1 10 4 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap

2 11 5 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap

3 13 6 Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala

industri 17 7 Perhitungan biaya bahan baku edible dishware berbasis wafer formula 1

dan 4 dengan basis komposisi 100 gram tepung 19 8 Rendemen berdasarkan variasi bentuk edible dishware 22 9 Persentase AKG formula edible dishware berbasis wafer 23

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir formulasi produk 3 2 Diagram alir pembuatan opak singkong 4 3 Diagram alir pembuatan wafer 4

4 Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis

singkong yang berbeda 8 5 Prototipe produk untuk formula opak singkong terpilih 9 6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih 15 7 Prototipe produk untuk formula edible dishware berbasis wafer 17 8 Grafik rata-rata kesukaan panelis pada formulasi edible dishware

berbasis wafer 18 9 Profil produk edible dishware berbasis wafer 23 10 Grafik penerimaan mutu kerenyahan edible dishware berbasis wafer

selama kontak dengan udara 24 11 Grafik hubungan antara waktu kontak udara edible dishware berbasis

wafer dengan kadar air produk 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Formulir uji organoleptik opak singkong 29 2 Formulir uji organoleptik wafer 30

3 Prosedur analisis komponen kimia produk 31 4 Formulir uji mutu hedonik kerenyahan pada uji ketahanan 33 5 Prosedur uji kadar air pada uji ketahanan 33

6 Data uji organoleptik pada formulasi opak singkong 34 7 Data uji organoleptik pada formulasi wafer 35

8 Daftar spesifikasi bahan baku produk edible dishware berbasis wafer 36 9 Data analisis kimia produk edible dishware terpilih 38 10 Data uji organoleptik kerenyahan pada uji ketahanan 39 11 Data kadar air produk edible dishware berbasis wafer pada uji ketahanan 39

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dishware adalah sejenis kemasan berbentuk wadah yang digunakan sebagai

peralatan makan. Komponen bahan penyusun kemasan pangan perlu diperhatikan

mengingat kondisi penggunaan kemasan yang tidak sesuai dapat menimbulkan

risiko keamanan pangan akibat migrasi. Migrasi adalah proses terjadinya

perpindahan suatu zat dari kemasan pangan ke dalam pangan, seperti pemutih,

pewarna, pengawet, dan lain-lain. Fenomena migrasi komponen kimia tertentu di

luar batas yang dapat diterima oleh tubuh dapat membahayakan kesehatan.

Peraturan mengenai bahan yang dilarang dan diizinkan sebagai kemasan yang

bersentuhan langsung dengan pangan, termasuk kondisi penggunaan kemasan

diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. HK 00.05.55.6497 Tahun 2007 tentang

bahan kemasan pangan. Edible dishware merupakan inovasi unik di bidang

kemasan yang aman dikonsumsi.

Gennadios (2002) menyebutkan bahwa dibandingkan dengan kemasan

berbasis petrokimia, kemasan edible dapat dimakan sehingga tidak meninggalkan

sisa kemasan. Bahkan apabila tidak dimakan, kemasan edible tetap dapat

berkontribusi menurunkan pencemaran lingkungan karena dapat didegradasi oleh

lingkungan. Menurut Robertson (2012), kemasan edible umumnya berbentuk

edible film, sheet, coating, atau pouch. Kemasan edible dishware merupakan

pengembangan dari produk pangan yang dapat dibuat menjadi wadah rigid dengan

rasa yang cenderung hambar agar tidak mengganggu makanan yang diwadahi,

misalnya wafer dan opak singkong. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada

pengembangan produk pangan menjadi wadah peralatan makan.

Wafer dan opak singkong dibuat melalui metode yang berbeda. Pada

umumnya wafer memiliki karakteristik bentuk yang tipis, renyah (Manley 2000),

hambar, dan rigid (Manley 2001). Istilah wafer mengarah pada tipe biskuit yang

dibuat dengan memanggang adonan cair di antara 2 jenis lempeng logam panas

yang berat (Manley 2000). Sementara itu, opak merupakan sejenis keripik

simulasi yang dibuat dari singkong. Keripik simulasi pertama kali dibuat oleh

Liepa (1976) dengan beberapa tahapan, yaitu pembuatan adonan, pembentukan

lembaran, pencetakan, dan penggorengan.

Basis produk pangan untuk edible dishware ditentukan melalui formulasi

kedua jenis produk dasar. Masing-masing formula dievaluasi agar diperoleh

alternatif formula yang layak diuji secara organoleptik. Jenis produk dasar dan

formula terpilih ditentukan dengan mempertimbangkan aspek teknologi produksi

terkait dengan pengadaan bahan dan metode pembuatan serta profil produk

terutama penampakan bentuk dan warna produk pada setiap tahap formulasi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari dan mendapatkan formula produk

edible dishware, mendapatkan teknologi produksinya, serta profil produk edible

dishware.

2

METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri

Pertanian yaitu Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan

Mutu, dan Laboratorium Organoleptik, serta Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada Februari

sampai Juli 2014. Metode penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu formulasi

produk, identifikasi teknologi produksi, dan identifikasi profil produk.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah panci pengukus, food processor, sheeter,

blower, penggorengan, spinner peniris minyak, mixer, mesin pemanggang wafer

manual, dan mesin khusus untuk pemanggang wafer berbentuk wadah yang terdiri

atas pendeteksi suhu, pemanas, dan pemanggang sekaligus pencetak. Bahan yang

digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis singkong, yaitu gading, manggu, dan

roti, serta bahan penyusun wafer, yaitu terigu, margarin, minyak kelapa, minyak

sawit, telur ayam, susu cair, susu bubuk, lesitin kedelai cair, garam, gula, baking

soda, dan air.

Tahapan Penelitian

Formulasi Produk

Formulasi edible dishware bertujuan memperoleh formula produk yang

dapat diterima secara organoleptik. Formulasi dilakukan dengan cara penyusunan

dan pembuatan beberapa formula produk dasar yang dievaluasi dengan

mempertimbangkan aspek teknologi produksi dan profil produk. Aspek teknologi

produksi berhubungan dengan kemudahan pengadaan bahan dan teknis

pembuatan sedangkan profil produk berhubungan dengan penampakan bentuk dan

warna produk akhir. Dengan adanya evaluasi, perbaikan formula dapat dilakukan

lebih awal sehingga pengujian lebih lanjut terhadap formula yang tidak layak

dapat dihindari. Alternatif formula terpilih dilanjutkan ke tahap uji organoleptik

untuk mengetahui penerimaan panelis. Diagram formulasi produk disajikan pada

Gambar 1.

Formulasi dilakukan terhadap 2 jenis produk pangan, yaitu wafer dan opak

singkong. Kedua produk tersebut pada dasarnya memiliki kriteria utama yang

diperlukan dalam pengembangan edible dishware, yaitu kemampuan untuk dapat

dibentuk menjadi wadah rigid dan rasa yang cenderung hambar sehingga tidak

mengganggu makanan yang diwadahi. Akan tetapi, metode pembuatan keduanya

berbeda.

Menurut Djuwardi (2009) berdasarkan kadar asam sianida (HCN), singkong

dibagi ke dalam 3 kategori yaitu (1) tidak beracun (HCN < 50 ppm), (2) setengah

beracun (HCN 50 sampai 100 ppm), dan (3) sangat beracun (HCN > 100 ppm).

Opak singkong dibuat dari jenis singkong yang aman dikonsumsi yaitu memiliki

karakter rasa yang tidak pahit, warna umbi kuning atau putih, bentuk umbi pendek

dan kecil, kandungan pati, serat, serta HCN rendah seperti pada varietas singkong

3

lokal. Jenis singkong konsumsi yang baik digunakan pada produksi opak

singkong adalah singkong yang lembek dan tidak terlalu keras. Formulasi awal

opak singkong dilakukan dengan menggunakan 3 jenis singkong konsumsi, yaitu

singkong gading, manggu, dan roti tanpa menggunakan bahan tambahan lain.

Metode pembuatan opak singkong terdiri atas pengupasan dan pencucian,

pengukusan, penggilingan, pembentukan lembaran, pencetakan, pengeringan,

penggorengan, serta penirisan.

Pengukusan singkong dilakukan pada panci pengukus selama 45 menit.

Singkong kukus digiling menggunakan food processor hingga menghasilkan

adonan yang lembut dan bentuk yang homogen. Pembentukan lembaran adonan

dilakukan menggunakan sheeter dengan bantuan minyak sebagai pelumas dan

lembaran plastik atau secara manual dengan penggiling kayu. Pencetakan opak

berbentuk wadah dilakukan dengan meletakkan lembaran adonan pada punggung

wadah yang terbuat dari logam dan dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk

wadah. Permukaan wadah dilapisi dengan minyak untuk mempermudah pelepasan

adonan dari cetakan wadah. Adonan bersama cetakan dimasukkan ke dalam

blower pengering agar kadar air adonan singkong menurun sehingga diperoleh

opak kering yang siap digoreng. Pengeringan berlangsung selama 6 sampai 10

jam, pada 2 jam pertama adonan dilepaskan dari wadah cetakan agar pengeringan

merata. Penggorengan dilakukan dengan teknik deep frying dalam waktu singkat

(< 1 menit). Deep frying adalah metode penggorengan yang dilakukan dengan

menenggelamkan bahan ke dalam minyak panas. Minyak pada suhu tinggi

memanaskan dan menguapkan kandungan air dalam bahan hingga keluar melalui

permukaan bahan. Selanjutnya, kelebihan minyak ditiriskan dengan spinner

peniris minyak. Diagram alir pembuatan opak singkong disajikan pada Gambar 2.

Prototipe produk dibuat dengan mencetak lembaran adonan menjadi bentuk

Gambar 1 Diagram alir formulasi produk

Basis produk

(opak singkong, wafer)

Penyusunan dan pembuatan formula

Evaluasi

Uji organoleptik

Penerimaan panelis

Formula terpilih

4

lingkaran, kemudian diletakkan di atas loyang beralaskan alumunium foil yang

dilapisi minyak. Pada saat pengeringan, lembaran adonan singkong dilepaskan

dari alumunium foil dan dibalik agar suhu pengeringan merata.

Metode pembuatan wafer umumnya terdiri atas pencampuran,

pemanggangan, dan pencetakan adonan cair (batter) (Gambar 3). Pada tahap awal,

formulasi dilakukan terhadap 4 formula yang disusun dengan basis 100 gram

tepung. Formula menggunakan 2 jenis tepung yaitu terigu dan mocaf (modified

cassava), serta komposisi gula yang berbeda yaitu 10, 30, dan 40 gram.

Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap awal disajikan pada Tabel 1.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan wafer

Bahan penyusun wafer

Pencampuran

Pemanggangan

Pencetakan

Wafer

Gambar 2 Diagram alir pembuatan opak singkong

Singkong segar

Pengupasan dan pencucian

Pengukusan (45 menit)

Penggilingan

Pembentukan lembaran

Pencetakan

Pengeringan (50 oC)

Penggorengan

Penirisan minyak

Opak singkong

5

Terigu merupakan bahan yang dapat mempengaruhi kualitas produk bakery

seperti wafer. Matz (1992) menyebutkan bahwa protein yang unik pada terigu

menghasilkan struktur produk bakery yang dapat mengembang tinggi. Berbeda

dengan terigu, mocaf tidak biasa digunakan pada produk bakery. Menurut Balitper

(2011), mocaf adalah tepung singkong yang mengalami proses fermentasi

sebelum dikeringkan. Fermentasi bertujuan memperbaiki sifat tepung singkong

sehingga memiliki karakter lebih putih dan tidak beraroma singkong. Kandungan

serat yang tinggi pada tepung singkong diharapkan dapat memberikan tekstur

yang baik pada produk.

Metode pembuatan wafer dilakukan dengan pembuatan foam dari putih telur

segar. Pengocokan dilakukan dengan mixer kecepatan tinggi selama ± 15 menit.

Pada awal pengocokan, cairan putih telur akan berbusa dan adonan menjadi

ringan. Penambahan gula pada tahap selanjutnya menyebabkan adonan menjadi

sedikit kaku sehingga terbentuk soft peak yaitu puncak yang tumpul. Adonan

terlihat mengkilat dan lembut. Apabila diangkat dengan mixer, adonan menempel

kemudian jatuh kembali. Pada tahap akhir terbentuk hard peak yaitu adonan

menjadi kaku dan membentuk puncak yang tajam. Adonan menjadi tidak

mengkilat. Apabila diangkat dengan mixer, adonan tetap menempel tanpa jatuh

kembali. Setelah foam dibuat, pengocokan dilanjutkan dengan memasukkan bahan

kering yaitu tepung dan garam, lalu minyak kelapa sampai adonan homogen.

Batter dipanggang pada mesin wafer sehingga menghasilkan lembaran wafer yang

fleksibel. Dalam keadaan panas, lembaran wafer segera dicetak secara manual

dengan cara mengapitnya di antara 2 wadah dengan bentuk yang sama.

Evaluasi yang dilakukan pada tiap tahap formulasi opak singkong dan wafer

menyebabkan komposisi formula berubah pada tahap formulasi berikutnya. Uji

organoleptik baru dapat dilakukan apabila formulasi sudah menghasilkan

beberapa alternatif formula dengan karakteristik yang layak sebagai produk edible

dishware. Karakteristik layak yang perlu dipenuhi adalah kemampuan produk

untuk dapat dibentuk, rasa produk yang cenderung hambar, teknologi produksi

yang lebih mudah, dan profil produk yang lebih baik.

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis

terhadap produk berdasarkan respon atau kesan yang diperoleh panca indera. Jenis

uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan yang dirancang untuk

memilih 1 produk di antara produk lain secara langsung (Setyaningsih et al. 2010).

Uji organoleptik melibatkan 31 panelis terlatih yang diminta untuk memberi

penilaian sifat mutu produk berupa tingkat kesukaan atau ketidaksukaan pada

Tabel 1 Komposisi bahan pada formulasi wafer tahap 1

Komposisi Formula

1 2 3 4

Terigu serbaguna (gram) 100 100 0 0

Mocaf (gram) 0 0 100 100

Minyak kelapa (ml) 100 100 100 100

Putih telur (gram) 128 128 128 128

Gula halus (gram) 40 10 30 10

Garam (gram) 3 3 3 3

6

skala hedonik 1 sampai 7, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak

tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Parameter

yang dinilai pada uji organoleptik opak singkong adalah warna, tekstur,

kerenyahan, aroma, dan rasa, sedangkan pada wafer adalah warna, kerenyahan,

aroma, dan rasa. Sampel yang disajikan berbeda dengan produk edible dishware

berbentuk wadah, melainkan berupa prototipe lembaran produk yang ukuran

sampelnya dibuat seragam. Formulir uji organoleptik opak singkong dan wafer

disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Identifikasi Teknologi Produksi

Teknologi produksi edible dishware meliputi kajian mengenai pengaruh

bahan yang digunakan dan sejumlah kondisi yang terjadi selama proses produksi.

Hal ini bertujuan memperoleh spesifikasi bahan dan kondisi proses yang sesuai

dengan kebutuhan sehingga kualitas produk seragam. Menurut Manley (2000),

identifikasi spesifikasi bahan berguna untuk mencapai kesepakatan antara

pengguna dan pemasok mengenai parameter terukur dari suatu bahan yang

relevan untuk digunakan. Kesepakatan berupa batas spesifikasi yang disyaratkan

untuk setiap parameter pada setiap bahan dengan teknik pengukuran yang

disepakati pula. Spesifikasi menjadi tidak berguna apabila tidak terjadi

kesepakatan antara kedua belah pihak atau persyaratan berada di luar kemampuan

pemasok. Selain itu, identifikasi kondisi proses dilakukan terutama terhadap tahap

akhir pembuatan produk yaitu pemasakan. Berdasarkan kedua jenis produk dasar

yang diformulasikan, pemasakan yang dimaksud berupa penggorengan atau

pemanggangan yang dapat diidentifikasi kondisi prosesnya berupa suhu dan lama

waktu pemasakan yang dibutuhkan agar diperoleh produk dengan karakteristik

yang baik. Oleh karena itu, identifikasi teknologi produksi dilakukan terhadap

formula terpilih dengan memperhatikan parameter kritis bahan dan kondisi proses

yang diperlukan untuk produk dasar yang dikembangkan menjadi edible dishware.

Identifikasi Profil Produk

Identifikasi profil produk edible dishware bertujuan memperoleh profil

produk dari formula terpilih dengan mengidentifikasi nilai gizi, ketahanan, dan

penanganan produk. Identifikasi nilai gizi produk bertujuan memperoleh

informasi mengenai besarnya sumbangan nilai gizi produk terhadap persentase

Angka Kecukupan Gizi (AKG) umum berupa kandungan lemak, protein,

karbohidrat, dan energi. Besarnya energi ditentukan berdasarkan hasil analisis

komponen kimia produk berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein,

dan karbohidrat oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi.

Prosedur analisis kimia disajikan pada Lampiran 3.

Identifikasi ketahanan produk bertujuan mengetahui batas lama waktu

maksimal produk dapat kontak dengan udara dan persentase kadar air kritis

produk agar dapat diterima oleh panelis. Sebagai produk kering, edible dishware

bersifat hidrofilik sehingga mudah menarik uap air dari udara (Syarief et al. 1989).

Peningkatan kadar air pada produk kering ini berhubungan dengan penerimaan

mutu kerenyahan produk. Pengujian ketahanan dilakukan terhadap produk yang

dikontakkan dengan udara selama 180 menit. Pengujian dilakukan secara subjektif

dan objektif setiap 30 menit. Secara subjektif, sebanyak 11 panelis terlatih

melakukan uji organoleptik mutu hedonik terhadap parameter kerenyahan agar

7

diperoleh batas lama waktu maksimal produk dapat kontak dengan udara sehingga

produk masih dapat diterima secara organoleptik oleh panelis. Formulir uji

ketahanan disajikan pada Lampiran 4. Penerimaan uji mutu kerenyahan

dikelompokkan ke dalam 3 skala penerimaan yaitu tidak suka (1 sampai 3), netral

(4), dan suka (5 sampai 7). Secara objektif, pengukuran kadar air dilakukan

terhadap sampel agar diperoleh pola perubahan kadar air selama produk kontak

dengan udara. Metode uji kadar air mengacu pada AOAC (2005) untuk produk

cereal foods pada Lampiran 5. Kadar air kritis produk diperoleh berdasarkan

waktu kontak maksimal produk dan pola perubahan kadar air produk selama

kontak dengan udara. Identifikasi penanganan produk meliputi penanganan pada

tingkat produsen dan konsumen berdasarkan karakteristik produk terpilih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Opak Singkong

Pembuatan prototipe formula opak singkong tahap 1 menunjukkan bahwa

ketiga jenis opak singkong memiliki perbedaan pada aspek produksi dan

karakteristik produk (Tabel 2). Adonan ketiga jenis singkong memiliki warna dan

tingkat kelengketan yang berbeda. Warna adonan tidak mempengaruhi

penerimaan panelis karena hanya penampakan visual produk akhir saja yang

dinilai. Sementara itu, tingkat kelengketan akan mempengaruhi kemudahan teknis

produksi. Adonan yang lengket pada singkong gading dan manggu mudah

menempel pada alat dan mesin sehingga mempersulit proses pembentukan

lembaran, pencetakan, dan pelepasan adonan dari cetakan wadah. Adonan

singkong roti yang cenderung keras dan kering pada permukaannya sulit melewati

2 logam pemutar sheeter sehingga sulit dibentuk lembaran. Akan tetapi, lembaran

adonan singkong roti paling mudah dicetak menjadi wadah apabila dibandingkan

dengan 2 jenis singkong yang lain. Tingkat kelengketan adonan yang berbeda

diatasi dengan penggunaan minyak yang berfungsi sebagai pelumas pada mesin

sheeter, alas alumunium foil, dan cetakan wadah logam. Singkong gading

memerlukan tambahan minyak paling banyak karena sangat lengket.

Karakteristik formula opak singkong memiliki perbedaan warna, rasa,

tingkat kekerasan, dan tekstur. Opak singkong gading memiliki banyak kelemahan

yaitu sangat keras, rasa pahit, dan tekstur permukaan yang bergelembung.

Sementara itu, profil opak singkong manggu dan roti hampir sama. Berdasarkan

formulasi tahap 1, opak singkong gading tidak dipilih karena proses pembuatan

yang sulit dan karakteristik rasa serta kekerasan yang tidak layak. Opak singkong

manggu masih dapat diterima karena meskipun pembuatan opak singkong

manggu sulit, karakteristiknya masih lebih baik dibandingkan dengan opak

singkong gading. Formulasi dilanjutkan pada tahap uji organoleptik menggunakan

opak dari singkong manggu dan roti.

Hasil pengolahan data uji organoleptik opak singkong pada tingkat

kepercayaan 95% disajikan pada Lampiran 6. Pengujian menunjukkan bahwa

kedua formula opak singkong manggu dan roti tidak memberikan pengaruh yang

8

signifikan terhadap tingkat penerimaan panelis pada parameter warna, tekstur,

kerenyahan, aroma, dan rasa. Akan tetapi, berdasarkan nilai rata-rata kesukaan

panelis pada Gambar 4 diperoleh bahwa karakteristik opak singkong manggu

lebih unggul pada parameter warna, tekstur, kerenyahan, dan rasa, sedangkan

opak singkong roti hanya unggul pada parameter aroma. Rendahnya penerimaan

aroma pada opak singkong disebabkan oleh penggunaan minyak yang berlebih

selama pembuatan produk.

Produk berlemak tinggi dapat mengalami kerusakan berupa perubahan bau

dan flavor menjadi tengik. Ketaren (2008) menyebutkan bahwa ketengikan

merupakan kerusakan lemak yang paling penting disebabkan oleh kontak oksigen

di udara dengan lemak. Oksidasi oksigen terjadi secara spontan jika bahan yang

mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara. Ketengikan pada opak

singkong disebabkan oleh minyak yang digunakan sebagai pelumas dan media

penggorengan.

Gambar 4 Grafik rata-rata kesukaan panelis terhadap opak singkong pada jenis

singkong yang berbeda

1

2

3

4

5

6

7

warna tekstur kerenyahan aroma rasa

Rat

a-ra

ta k

esukaa

n

Parameter uji

Manggu

Roti

Tabel 2 Karakteristik prototipe produk pada formulasi opak singkong tahap 1

Evaluasi Jenis singkong

Gading Manggu Roti

Penggilingan Adonan berwarna

kuning dan lengket

Adonan berwarna

putih dan lengket

Adonan berwarna

putih, agak keras, dan

kering pada permukaan

Pembentukan

lembaran

Sulit, adonan terlalu

lengket

Sulit, adonan lengket Sulit, adonan terlalu

kering

Pencetakan Sulit, membutuhkan

banyak minyak

Sulit, membutuhkan

banyak minyak

Mudah, membutuhkan

minyak

Pengeringan 7 sampai 10 jam 6 sampai 9 jam 6 sampai 8 jam

Karakteristik

produk

Warna kuning

kecokelatan, rasa

pahit, keras, tekstur

permukaan banyak

bergelembung

Warna cokelat muda,

rasa khas singkong,

agak keras, tekstur

permukaan

bergelembung

Warna putih

kecokelatan, rasa khas

singkong, tidak keras,

tekstur permukaan

sedikit bergelembung

9

Pada pembuatan opak, oksidasi dapat terjadi sejak pembentukan lembaran

adonan ketika minyak digunakan sebagai pelumas. Penggunaan minyak pada

proses pembentukan lembaran dan pencetakan opak singkong manggu yang lebih

banyak daripada opak singkong roti menyebabkan rendahnya penerimaan aroma

opak singkong manggu. Oksidasi juga dipercepat oleh suhu tinggi dan paparan

cahaya. Menurut Ketaren (2008), kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di

udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan

penurunan suhu. Suhu tinggi berperan dalam oksidasi ketika proses pengeringan

dan penggorengan. Paparan cahaya selama penyiapan produk juga berperan

karena keberadaan oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi

sebagai akibat dari dekomposisi peroksida yang secara alamiah terdapat dalam

lemak.

Formula opak singkong manggu memiliki teknis pembuatan yang lebih sulit,

tetapi unggul pada penilaian warna, rasa, tekstur, dan kerenyahan. Sementara itu,

formula singkong roti memiliki teknis pembuatan yang lebih mudah daripada

singkong manggu, tetapi penerimaan panelis yang lebih rendah untuk hampir

semua parameter kecuali aroma. Rendahnya penilaian aroma yang disebabkan

oleh kerusakan minyak dapat dihindari dengan memperbaiki prosedur pembuatan

produk untuk meminimalkan penggunaan minyak dan menghindari faktor yang

dapat mempercepat oksidasi. Oleh karena itu, formula terpilih pada formulasi

opak singkong adalah singkong manggu. Prototipe opak singkong manggu

disajikan pada Gambar 5.

Prototipe opak singkong manggu selanjutnya dikembangkan menjadi

produk edible dishware. Pada proses penggorengan, opak kering yang sudah

berbentuk wadah berubah mengembang menjadi tidak beraturan. Semakin besar

ukuran opak akan semakin tidak beraturan bentuk produk sehingga produk edible

dishware berbasis opak singkong hanya dapat dibentuk menjadi wadah kecil

berukuran diameter 5 cm agar tetap diperoleh penampakan yang seragam.

Gambar 5 Prototipe produk untuk formula opak singkong

terpilih

10

Formulasi Produk Edible Dishware Berbasis Wafer

Formulasi edible dishware berbasis wafer tahap 1 diawali dengan

pembuatan prototipe dari 4 formula yang telah disusun. Prototipe dibuat dengan

mesin wafer manual yang dapat menghasilkan wafer berbentuk lembaran.

Karakteristik prototipe produk pada formulasi tahap 1 disajikan pada Tabel 3.

Secara keseluruhan, keempat formula menghasilkan batter yang kental dan

tekstur produk yang mudah lembek ketika kontak dengan udara. Kekentalan

batter berhubungan dengan komponen cair yang digunakan pada formula, yaitu

minyak kelapa dan putih telur. Perbedaan terletak pada rasa dan kemampuan

wafer untuk dibentuk.

Prototipe formula 1A dan 1C menghasilkan wafer yang manis karena

memiliki kandungan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula 1B dan

1D. Selain itu, formula 1A dan 1C juga menghasilkan wafer yang bisa dibentuk

sedangkan formula 1B dan 1D tidak bisa dibentuk. Hal ini menunjukkan bahwa

perbedaan komposisi gula tidak hanya mempengaruhi rasa, tetapi juga

kemampuan wafer untuk dapat dibentuk. Almond et al. (1991) menyebutkan

bahwa resep wafer dengan kandungan gula tinggi (> 60% dari bobot tepung)

dapat menghasilkan jenis wafer yang fleksibel ketika dalam kondisi panas tepat

setelah pemanggangan, sehingga dapat dibentuk dan dilipat menjadi berbagai

bentuk. Setelah beberapa saat, wafer akan kembali mengeras sesuai dengan

bentuk yang diinginkan. Berdasarkan pembuatan formula tahap 1, meskipun gula

yang digunakan hanya sebesar 30% sampai 40% dari bobot tepung, wafer sudah

memiliki kemampuan untuk dapat dibentuk menjadi wadah. Kemampuan wafer

untuk dapat dibentuk ini berhubungan dengan kemampuan gula sukrosa murni

yang dapat mengkristal.

Kristalisasi sukrosa dapat terjadi apabila konsentrasi dan suhu diatur

sedemikian rupa sehingga berada pada kondisi jenuh (supersaturated). Pada saat

pemanggangan, panas menyebabkan kadar air batter menurun akibat penguapan.

Penurunan kadar air akan meningkatkan konsentrasi gula. Pada kondisi tepat

setelah pemanggangan, gula tidak berada pada fasa jenuh (supersaturated)

maupun tidak jenuh (unsaturated), melainkan fasa metastable di mana larutan

gula berada dalam wujud cair. Konsentrasi gula yang tinggi mempengaruhi

karakteristik wafer sehingga wafer menjadi fleksibel. Kondisi ini dimanfaatkan

untuk membuat wafer dengan berbagai bentuk. Beberapa saat kemudian suhu

produk akan segara menurun menyebabkan gula memasuki fasa jenuh sehingga

mengkristal bersama dengan bahan lainnya. Apabila komposisi gula tidak cukup

tinggi, gula tidak dapat mempengaruhi karakteristik wafer sehingga produk akan

langsung mengeras. Panas menyebabkan komponen pati pada tepung

Tabel 3 Karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer tahap 1

Karakteristik Formula

1A 1B 1C 1D

Rasa manis hambar manis hambar

Kemampuan dibentuk bisa tidak bisa tidak

Konsistensi batter kental kental kental kental

11

tergelatinisasi. Berdasarkan formulasi tahap 1, kemampuan wafer untuk dapat

dibentuk secara manual tepat setelah pemanggangan hanya dapat dipenuhi apabila

kandungan gula tinggi, yang berdampak pada rasa wafer yang manis. Oleh karena

itu, kemampuan wafer yang dapat dibentuk dipertahankan dengan menyusun 2

formula lain yang memiliki kandungan gula tinggi.

Formula pizzele waffle cone oleh Weinstein (2009) dalam The Ultimate Ice

Cream Book mengandung komponen gula dan lemak yang tinggi, yaitu 75% gula

dan 163% mentega (butter) dari bobot tepung. Komponen lainnya adalah terigu

dan telur utuh. Formulasi tahap 2 dikembangkan dari formula ini dengan

mengganti beberapa komponen bahan yaitu tepung dan mentega. Tepung

dibedakan menjadi terigu dan mocaf, sedangkan mentega digantikan dengan

margarin. Menurut Ketaren (2008), mentega biasanya memberikan aroma yang

enak dan khas pada produk yang berasal dari penguraian laktosa dalam lemak

susu. Akan tetapi, kemampuan mentega ini tidak diperlukan pada produk. Edible

dishware diharapkan memiliki rasa dan aroma yang cenderung hambar agar tidak

mengganggu makanan yang diwadahi. Selain itu, harga mentega cenderung lebih

mahal dibandingkan dengan bahan lemak lainnya. Margarin dikenal sebagai

bahan pengganti mentega yang terbuat dari lemak nabati dan memiliki aroma

yang tidak sekuat mentega. Oleh karena itu, penggunaan mentega digantikan

dengan margarin. Komposisi bahan yang digunakan pada formulasi tahap 2

disajikan pada Tabel 4. Pembuatan formulasi tahap 2 lebih sederhana

dibandingkan dengan tahap 1 karena tidak dilakukan proses pemisahan telur

menjadi putih dan kuning telur. Metode pencampuran pada formulasi tahap 2

adalah pengocokan gula dan telur sampai pucat, penambahan margarin yang telah

dicairkan, kemudian tepung sedikit demi sedikit.

Tabel 4 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer

tahap 2

Komposisi dan karakteristik Formula

2A 2B

Komposisi

Terigu serbaguna (gram) 100 0

Mocaf sangrai (gram) 0 100

Margarin (gram) 163 163

Telur utuh (gram) 128 128

Gula halus (gram) 75 75

Karakteristik

Rasa manis dan asin khas margarin

manis dan asin khas margarin

Kemampuan dibentuk mudah mudah

Konsistensi batter kental kental

Aroma telur kuat kuat

Minyak tidak berminyak sangat banyak, tersisa pada mesin

Tekstur rapuh sangat rapuh

12

Berdasarkan Tabel 4, formulasi tahap 2 tetap menghasilkan wafer dengan

batter yang kental. Kedua formula menghasilkan wafer yang lebih mudah

dibentuk, aroma telur yang kuat, tekstur yang rapuh, warna batter yang kuning,

dan rasa khas margarin. Kemudahan pembentukan ditunjukkan dengan wafer

yang fleksibel lebih lama setelah dipanggang dibandingkan dengan formulasi

tahap 1. Penggunaan margarin dalam jumlah besar juga secara langsung

mempengaruhi warna batter dan rasa produk. Warna batter menjadi kuning sesuai

dengan warna margarin dan rasa asin margarin muncul menutupi rasa wafer yang

manis. Rasa wafer pada formulasi tahap 2 tidak dapat dikatakan hambar, tetapi

pada penggunaannya cocok untuk mewadahi produk manis atau asin. Aroma telur

dan tekstur yang rapuh disebabkan oleh penggunaan telur. Aroma telur terlalu

kuat sehingga mengganggu produk.

Matz (1992) menyebutkan bahwa telur dapat mempengaruhi cita rasa, warna,

dan tekstur pada produk bakery. Penggunaan sedikit komponen telur pada formula

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap struktur karena kandungan protein

dan emulsifier yang secara alami terdapat pada telur. Selain telur, lemak juga

mempengaruhi tekstur produk.

Menurut Manley (2000), selama pencampuran terjadi kompetisi antara fase

lemak dan air pada permukaan tepung. Komponen air atau larutan gula

berinteraksi dengan tepung terigu menyebabkan protein glutenin dan gliadin

terhidrasi dan membentuk massa gluten, dalam hal ini fase air diperoleh secara

alami dari bahan karena tidak ada tambahan air pada formula. Lemak melapisi

campuran ini dan menganggu hubungan air dan tepung memberikan karakter

produk yang lebih rapuh dan mencair di mulut. Jika kandungan lemak tinggi,

massa gluten yang terbentuk sedikit, pati mengalami swelling, dan gelatinisasi

berkurang memberikan tekstur yang sangat lembut. Akan tetapi, struktur formula

2B yang menggunakan mocaf menghasilkan wafer yang sangat rapuh hingga

berlubang dan tidak dapat terbentuk secara utuh. Hal ini disebabkan oleh

ketidakmampuan mocaf dalam membentuk massa gluten, berbeda dengan tepung

terigu pada formula 2A. Komponen minyak pada formula 2B juga banyak tersisa

pada mesin wafer hingga mengganggu pemanggangan batter. Formulasi tahap 2

menunjukkan bahwa penggunaan terigu memberikan struktur wafer yang lebih

baik dibandingkan dengan mocaf. Formulasi dilanjutkan ke tahap 3 untuk

mengurangi kekentalan batter, aroma telur, dan komponen minyak.

Formula waffle cone oleh Williams Sonoma Kitchen (2013) menggunakan

lemak yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan formula Weinstein yaitu

sebesar 68% dari bobot tepung. Pengurangan jumlah komponen lemak diiringi

dengan penambahan komponen susu cair agar diperoleh batter dengan konsistensi

yang lebih cair. Jumlah gula pada formula Williams sebanyak 75% dari bobot

tepung. Pengembangan formula pada formulasi tahap 3 dilakukan dengan

melakukan beberapa modifikasi pada komponen telur dan lemak. Jenis telur

dibedakan menjadi telur utuh dan putih telur untuk mengurangi aroma telur yang

menyengat. Putih telur yang digunakan berasal dari 2 butir telur. Sama seperti

formulasi tahap 2, mentega diganti dengan margarin. Komposisi bahan yang

digunakan pada formulasi tahap 3 disajikan pada Tabel 5.

Pembuatan batter formula 3B dilakukan dengan terlebih dahulu membuat

foam dari putih telur dan gula. Selanjutnya, margarin cair, terigu, dan susu cair

13

dimasukkan secara berurutan. Berdasarkan Tabel 5, formulasi tahap 3

menghasilkan wafer yang dapat dibentuk, rasa khas margarin, dan tidak

berminyak pada mesin juga wafer. Perbedaan kedua formula terdapat pada

kekentalan batter, tekstur, dan aroma wafer. Formula 3A memiliki batter yang

lebih cair, aroma telur yang lebih kuat, dan tekstur yang lebih rapuh dibandingkan

dengan formula 3B. Formula 3B yang menggunakan putih telur memiliki tekstur

yang rapuh tetapi agak liat sehingga tidak mudah hancur. Sampai pada formulasi

tahap 3, formula 3B memiliki karakteristik yang cukup layak kecuali rasa wafer

yang tidak dapat dibuat hambar. Beberapa tahap formulasi lanjutan dilakukan

untuk menentukan jenis bahan yang paling baik.

Formulasi tahap 4 dilakukan dengan mengganti jenis gula dari gula halus

menjadi gula pasir. Gula pasir memiliki harga yang cenderung lebih murah

dibandingkan dengan gula halus. Ukuran partikel gula pasir yang lebih besar tidak

mengganggu teknis pembuatan karena skala yang digunakan pada pengembangan

produk masih kecil. Berdasarkan prototipe produk yang dibuat, penggantian jenis

gula tidak secara signifikan mempengaruhi karakteristik wafer, terutama

kemampuan untuk dibentuk sehingga gula pasir dipilih untuk formulasi

selanjutnya.

Formulasi tahap 5 membandingkan jenis minyak yang digunakan yaitu

margarin, minyak kelapa, dan minyak sawit. Berdasarkan formulasi jenis minyak

diperoleh bahwa formula minyak kelapa dan minyak sawit memberikan rasa yang

lebih manis dibandingkan dengan margarin sedangkan formula yang mengandung

margarin memberikan rasa gurih yang secara bersamaan menutupi rasa manis

Tabel 5 Komposisi dan karakteristik prototipe produk pada formulasi wafer

tahap 3

Komposisi dan karakteristik Formula

3A 3B

Komposisi

Terigu serbaguna (gram) 100 100

Margarin (gram) 68 68

Telur utuh (gram) 128 0

Putih telur (gram) 0 149

Susu cair (ml) 70 70

Gula halus (gram) 75 75

Garam (gram) 2 2

Karakteristik

Rasa manis dan asin khas margarin

manis dan asin khas margarin

Kemampuan dibentuk mudah mudah

Konsistensi batter sangat cair cair

Aroma telur kuat tidak ada

Minyak tidak berminyak tidak berminyak

Tekstur rapuh rapuh tetapi liat

14

sebagai dampak dari penggunaan gula dalam jumlah besar. Rasa manis tidak

diinginkan pada produk, sedangkan rasa manis dan asin yang dihasilkan pada

formula margarin masih dapat dikombinasikan dengan produk manis dan asin.

Oleh karena itu, jenis komponen minyak yang dipilih adalah margarin.

Formulasi tahap 6 membandingkan penggunaan kombinasi tepung terigu

dengan tepung lain sebesar 3:1. Jenis tepung yang digunakan tergolong tepung

minor dalam pembuatan biskuit, yaitu maizena, tapioka, dan tepung beras. Secara

keseluruhan, tekstur wafer yang dihasilkan menjadi lebih renyah dan rapuh

dibandingkan dengan penggunaan tepung terigu saja. Hal ini berhubungan dengan

kandungan protein pada tepung.

Menurut Manley (2000), terigu memiliki ciri khas yang unik karena

kandungan proteinnya yang dapat membentuk massa gluten melalui proses

pencampuran dan hidrasi oleh air. Pada produk wafer, semakin rendah kandungan

protein tepung semakin lemah dan rapuh tekstur yang dihasilkan sedangkan

semakin tinggi kandungan protein tepung, semakin kuat tekstur wafer tersebut.

Pada maizena dan tapioka, komponen pati dipisahkan dari komponen lain dalam

tepung jagung dan singkong sehingga memiliki kandungan protein, vitamin, dan

mineral yang rendah. Pada tepung beras, kandungan protein juga rendah. Akan

tetapi, protein yang dimaksud dalam pembuatan biskuit adalah protein yang

mampu membentuk massa gluten seperti pada terigu. Jadi, meskipun terdapat

sedikit kandungan protein yang berasal dari jagung, singkong, dan beras, protein

tersebut tidak dapat membentuk massa gluten sehingga tekstur wafer akan

menjadi lemah dan rapuh. Berdasarkan formulasi tahap 6, jenis tepung yang

terpilih adalah terigu karena tekstur wafer yang dihasilkan lebih kuat

dibandingkan dengan kombinasi tepung terigu dengan maizena, tapioka, dan

tepung beras. Tekstur wafer yang kuat diperlukan untuk pengembangan produk

wadah agar dapat menahan benturan dan goncangan.

Formulasi dilanjutkan ke tahap 7 untuk dengan membandingkan

penggunaan susu cair dan tidak sama sekali. Penggunaan bahan susu cair pada

formula berarti menambah jumlah bahan yang digunakan pada formula. Akan

tetapi, semakin sedikit jenis bahan yang digunakan, semakin mudah pengadaan

dan penyimpanan bahan selama hal tersebut sesuai dengan karakteristik produk

yang diinginkan. Penggunaan susu cair secara langsung berkontribusi pada

peningkatan jumlah komponen cair sehingga memungkinkan perbedaan

karakteristik produk yang dihasilkan. Berdasarkan formulasi tahap 7 diperoleh

bahwa penggunaan susu cair secara signifikan menghasilkan batter yang lebih

cair dan tekstur wafer yang sedikit lebih rapuh dibandingkan tanpa penggunaan

susu cair. Hal ini sesuai dengan Manley (2000) bahwa semakin kental batter

wafer semakin berat atau tebal wafer yang dihasilkan. Kekentalan batter

sebenarnya dapat mempengaruhi beberapa hal pada produksi wafer, salah satunya

adalah warna produk akhir yang tidak merata. Pada saat batter yang kental

dialirkan ke atas plat besi pemanggang wafer, batter akan sulit mengalir sehingga

memerlukan waktu yang cukup lama hingga diperoleh sejumlah batter untuk

memenuhi 1 unit wadah. Bagian batter yang terlebih dahulu kontak dengan panas

pada permukaan pemanggang akan mengalami gelatinisasi lebih awal sehingga

memungkinkan warna produk yang tidak merata. Akan tetapi pada formulasi

tahap 7, tetap diperoleh warna wafer yang seragam. Hal ini terkait dengan waktu

penutupan mesin pemanggang yang dilakukan secara cepat sehingga panas

15

pemanggang tersebar secara lebih awal dan merata. Oleh karena itu, formula yang

terpilih adalah tanpa penggunaan susu cair.

Formulasi tahap 8 dilakukan untuk memperbaiki rasa produk dengan

meminimalkan penggunaan gula. Pengurangan gula perlu dilakukan agar

diperoleh produk dengan rasa yang dapat diaplikasikan untuk produk dengan

berbagai macam rasa. Akan tetapi, meskipun pengurangan gula dapat menurunkan

rasa manis, kemampuan produk untuk dapat dibentuk akan berkurang. Formulasi

dilakukan dengan membandingkan penggunaan gula pasir sebesar 75% dengan

47% dari bobot tepung. Formulasi menunjukkan bahwa pengurangan gula pasir

menjadi 47% dapat menurunkan rasa manis dan kemampuan wafer untuk

dibentuk, tetapi produk masih dapat dibentuk menjadi wadah. Oleh karena itu,

formula yang terpilih adalah formula dengan komposisi gula sebesar 47%. Secara

keseluruhan, formula wafer terpilih terdiri atas terigu, margarin, putih telur, gula

pasir, dan garam dengan prototipe yang disajikan pada Gambar 6.

Pengembangan Formulasi Edible Dishware

Berdasarkan formulasi yang telah dilakukan, diperoleh 2 formula terpilih

untuk opak singkong dan wafer. Produk dasar yang akan dikembangkan menjadi

edible dishware sebaiknya memiliki aspek teknologi yang sederhana dan

karakteristik profil produk yang sesuai agar dapat diproduksi secara komersial.

Akan tetapi, terdapat kendala yang ditemui pada pengembangan kedua produk

tersebut. Pembuatan opak dan wafer masih menggunakan bahan baku segar.

Opak dibuat dari bahan singkong segar yang cenderung cepat rusak

sehingga hanya dapat disimpan paling lama sekitar 2 hari (Djuwardi 2009).

Sementara itu, wafer dibuat menggunakan putih telur segar yang perlu ditangani

secara hati-hati. Putih telur berfungsi sebagai bahan pengembang sekaligus

komponen cair utama pada formula wafer. Kemampuan putih telur untuk

membentuk foam akan terganggu seiring dengan lamanya penyimpanan dan

adanya kontaminasi kuning telur akibat pemisahan yang tidak baik (Matz 1992).

Penggunaan bahan baku yang mudah rusak dalam produksi menyebabkan

pembelian dan pengiriman bahan baku menjadi lebih sering dilakukan sehingga

Gambar 6 Prototipe produk untuk formula wafer terpilih

16

berdampak pada biaya yang lebih tinggi. Akan tetapi, biaya penggudangan

menjadi lebih rendah karena perputaran bahan dalam gudang terjadi secara cepat.

Selain itu, terdapat risiko mutu bahan baku segar yang tidak konsisten sehingga

menyebabkan mutu produk menjadi tidak seragam.

Produksi opak memiliki beberapa kendala, yaitu sulitnya teknis pembuatan

dan terbatasnya jenis produk wadah yang dapat dihasilkan. Pembuatan opak

terdiri atas banyak tahapan yang hampir seluruhnya perlu dilakukan secara

manual. Kegiatan yang dilakukan secara manual berarti diperlukan banyak

pekerja dan kontak antara produk dengan pekerja terjadi lebih sering. Kontak ini

perlu diminimalkan terkait dengan aspek kebersihan produk yang dihasilkan. Jenis

produk yang dapat dibuat dari opak singkong hanya terbatas pada wadah

berukuran kecil saja karena penampakan wadah yang tidak beraturan. Hal ini

dapat mempersulit pengembangan jenis produk wadah lain sehingga

mempersempit penjualan produk edible dishware.

Penggunaan formula terpilih produk wafer juga memiliki beberapa kendala

berhubungan dengan rasa dan bahan baku yang digunakan. Produk wafer hanya

dapat dibentuk menjadi wadah secara manual apabila kandungan gula tinggi.

Penggunaan margarin dapat menutupi rasa manis yang berasal dari gula. Akan

tetapi, produk yang dihasilkan menjadi kaya rasa dan tidak hambar. Selain itu

menurut Manley (2000), penggunaan putih telur dan gula pada formula wafer

termasuk ke dalam bahan yang memperkaya batter (enriching ingredients).

Bahan-bahan tersebut dalam jangka panjang dapat memberikan dampak buruk

pada proses produksi. Batter dengan komposisi ini cenderung menyebabkan

terakumulasinya kelebihan karbon pada lempeng oven, terutama pada bagian

sudut oven. Hal ini menyebabkan pelepasan lembaran wafer dari lempengan

logam pemanas menjadi sulit karena lengket. Matz (1992) juga menyebutkan

bahwa formula wafer yang menggunakan enriching ingredients telah lama

digunakan sehingga sudah jarang digunakan pada saat ini. Berdasarkan formulasi

kedua jenis produk, formula yang digunakan pada pengembangan edible dishware

sebaiknya mengacu pada formula untuk skala industri untuk meminimalkan

kendala produksi yang dihadapi. Wafer sudah banyak diproduksi pada industri

biskuit sedangkan opak masih diproduksi pada skala yang lebih kecil. Oleh karena

itu, formulasi dilanjutkan pada pengembangan wafer untuk skala industri.

Terdapat 4 formula wafer skala industri yang digunakan pada formulasi

lanjutan (Tabel 6). Formula telah mengalami beberapa modifikasi untuk jenis

bahan lesitin dan susu bubuk. Jenis dan jumlah lesitin pada formula yang

menggunakan lesitin dibuat sama yaitu lesitin cair sebanyak 0,05 gram per 100

gram terigu. Manley (2001) memberikan batas penggunaan lesitin cair sebesar

0,05 sampai 0,06 gram lesitin cair per 100 gram terigu. Sementara itu, jenis susu

diganti dari susu bubuk skim menjadi susu bubuk biasa dengan jumlah yang sama.

Pembuatan keempat formula menghasilkan karakteristik batter dan wafer yang

hampir sama.

Formula wafer skala industri menghasilkan karakteristik batter yang cair,

wafer dengan rasa hambar, tekstur renyah dan kuat, serta tidak berminyak.

Pembentukan wafer tidak dapat dilakukan secara manual karena formula tidak

menggunakan gula. Oleh karena itu, proses pemanggangan dan pencetakan

digabung dalam 1 tahap pengerjaan menggunakan mesin yang dirancang khusus.

17

Mesin dibuat dari almunium foil yang terdiri atas cetakan berbentuk wadah

yang dihubungkan dengan pemanas pada bagian atas dan bawah cetakan, serta

pembaca suhu pada tiap cetakan. Mesin menghasilkan wafer berbentuk wadah

dengan tekstur permukaan yang berbeda dengan wafer pada umumnya yaitu tidak

berpola. Formulasi edible dishware dilanjutkan pada tahap uji organoleptik karena

formula wafer yang memiliki rasa hambar dan metode pembentukan wafer

menjadi wadah sudah diperoleh. Gambar 7 menunjukkan prototipe wafer

berbentuk lembaran yang digunakan pada uji organoleptik.

Lampiran 7 menunjukkan data uji organoleptik wafer bahwa pada tingkat

kepercayaan 95% tidak ada perbedaan tingkat penerimaan panelis yang signifikan

terhadap keempat formula untuk parameter warna, kerenyahan, aroma, dan rasa.

Berdasarkan nilai rata-rata kesukaan pada Gambar 8, tidak ada formula yang

secara dominan unggul untuk semua parameter uji, tetapi hampir setiap formula

Gambar 7 Prototipe produk untuk formula edible

dishware berbasis wafer

Tabel 6 Komposisi bahan pada formulasi edible dishware berbasis wafer skala

industri

Komposisi (gram) Formula

1a 2

b 3

c 4

d

Tepung terigu, rendah protein 100,00 100,00 100,00 100,00

Minyak sawit 0,00 2,25 2,40 0,00

Minyak kelapa 1,00 0,00 0,00 0,00

Garam 0,50 0,25 0,23 0,75

Soda 0,50 0,32 0,32 0,25

Lesitin caire 0,05 0,05 0,05 0,00

Susu bubuk 0,00 0,00 0,00 2,5f

Air 140,00 137,00 147,00 150,00 aSumber: Matz & Matz (1978)

bSumber: Manley (2001)

cSumber: Wootton et al. (1971) dalam Manley (2000)

dSumber: Pritchard & Stevens (1973) dalam Manley (2000)

edimodifikasi berdasarkan Manley (2001)

fdimodifikasi

18

memiliki keunggulan serta kelemahannya masing-masing. Formula dengan

tingkat penerimaan paling tinggi pada parameter warna, kerenyahan, aroma, dan

rasa secara berturut-turut adalah formula 1, 4, 3, dan 2 sedangkan formula dengan

tingkat penerimaan paling rendah pada parameter yang sama secara berturut-turut

adalah formula 4, 3, 2, dan 3. Suatu produk terbaik tidak harus memiliki tingkat

penerimaan yang paling tinggi untuk semua atribut sensori. Penentuan formula

terbaik dapat dilakukan dengan memperhatikan atribut sensori yang paling

penting. Hal ini didukung oleh Carpenter et al. (2000) di mana faktor penting

dalam penilaian sensori adalah ekspektasi seseorang. Karakteristik suatu produk

harus terlebih dahulu memenuhi ekspektasi yang diharapkan seseorang. Apabila

karakteristik yang diharapkan tidak tersampaikan maka rasa kekecewaan akan

muncul.

Sebagai basis pengembangan edible dishware, wafer didefinisikan sebagai

produk kering yang renyah, tipis (Manley 2000), dan hambar (Manley 2001).

Kerenyahan berkaitan dengan karakteristik mekanis dari atribut tekstur yang

menunjukkan reaksi produk terhadap tekanan. Secara keseluruhan, tekstur

dihasilkan dari kombinasi karakteristik fisik dan kesan dari sentuhan (termasuk

kinestetik dan mouthfeel), penglihatan, serta pendengaran (Leatherhead Food

Research Association 1993 dalam Carpenter et al. 2000). Menurut Carpenter et al.

(2000), tekstur merupakan kriteria utama dalam penilaian kualitas dan kesegaran

produk. Tekstur seringkali dijadikan alasan dalam menentukan ketidaksukaan,

meskipun parameter yang paling penting dalam penilaian kesukaan biasanya

adalah flavor. Dalam hal ini, interaksi antar parameter utama yaitu penampakan,

tekstur, dan flavor dapat dimanfaatkan.

Pada wafer, tekstur yang renyah dan rasa yang hambar adalah ekspektasi

yang perlu dipenuhi oleh produk. Menurut Leatherhead Food Research

Association (1993) dalam Carpenter et al. (2000), penerimaan atribut rasa dan

aroma yang rendah sebagai efek dari flavor yang buruk (misalnya hangus) pada

produk renyah dapat dikurangi apabila penerimaan tekstur baik. Hal ini

Gambar 8 Grafik rata-rata kesukaan panelis pada formulasi edible dishware

berbasis wafer

1

2

3

4

5

6

7

warna kerenyahan aroma rasa

Rat

a-ra

ta k

esukaa

n

Parameter uji

Formula 1

Formula 2

Formula 3

Formula 4

19

disebabkan karena kesan suara (tekstur) yang dihasilkan dari produk renyah lebih

dominan daripada rasa dan aroma. Selain itu, Carpenter (2000) menyebutkan

bahwa warna produk tidak hanya berkontribusi terhadap penampakan produk

tetapi juga rasa. Interaksi antara penampakan dan rasa ini disebut sebagai “visual

flavor”. Hal ini berarti apabila produk edible dishware memiliki penampakan

warna seperti wafer pada umumnya maka rasa produk mengarah pada rasa wafer

yaitu hambar. Selain itu, pada aplikasinya produk edible dishware belum tentu

dikonsumsi oleh penggunanya sehingga parameter penting produk adalah tekstur

kerenyahan dan penampakan warna.

Grafik rata-rata kesukaan panelis pada Gambar 8 menunjukkan bahwa

penerimaan paling tinggi untuk parameter warna adalah formula 1, sedangkan

penerimaan paling tinggi untuk parameter kerenyahan adalah formula 4. Akan

tetapi, formula 4 memiliki penerimaan warna yang paling rendah, sedangkan

formula 1 memiliki penerimaan kerenyahan pada urutan kedua tertinggi.

Berdasarkan penerimaan panelis, formula 1 dipilih sebagai formula terbaik karena

formula 1 memiliki penerimaan yang baik untuk kedua parameter warna dan

kerenyahan. Penentuan formula terbaik juga dilakukan dengan memperhitungkan

biaya bahan baku untuk formula 1 dan 4.

Tabel 7 menunjukkan bahwa biaya bahan baku untuk formula edible

dishware berbasis wafer formula 4 (Rp 1.786,88) lebih tinggi dibandingkan

dengan formula 1 (Rp 1.520,94) pada basis komposisi yang sama yaitu 100 gram

tepung terigu. Dengan teknologi produksi yang sama pada kedua formula, formula

terbaik yang dipilih adalah formula dengan biaya bahan baku yang lebih rendah.

Berdasarkan biaya bahan baku, formula 1 dipilih sebagai formula terbaik. Oleh

karena itu, secara keseluruhan formula terbaik adalah formula 1 yang terdiri atas

terigu, minyak kelapa, lesitin kedelai cair, soda, garam, dan air.

Teknologi Produksi

Menurut Manley (2000), teknologi produksi pada wafer meliputi kajian

mengenai pengaruh bahan yang digunakan dan sejumlah proses yang terjadi

selama produksi. Berdasarkan formula terpilih, diperoleh bahwa komposisi bahan

Tabel 7 Perhitungan biaya bahan baku edible dishware berbasis wafer formula 1

dan 4 dengan basis komposisi 100 gram tepung

Bahan Harga

(Rp)

Jumlah

(gram)

Komposisi

formula (gram)

Biaya bahan baku

formula (Rp)

1 4 1 4

Tepung terigu,

rendah protein 9.500 1.000 100,00 100,00 950,00 950,00

Minyak kelapa 21.700 900 1,00 0,00 24,11 0,00

Garam 4.900 100 0,50 0,75 24,50 36,75

Soda 6.500 500 0,50 0,25 6,50 3,25

Lesitin cair 50.000 1.000 0,05 0,00 2,50 0,00

Susu bubuk 39.500 400 0,00 2,50 0,00 246,88

Air 2.200 600 140,00 150,00 513,33 550,00

Total 1.520,94 1.786,88

20

penyusun produk edible dishware terdiri atas terigu, minyak kelapa, lesitin kedelai

cair, soda, garam, dan air. Komposisi bahan yang menyusun suatu produk harus

konsisten dan memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan agar diperoleh karakteristik

produk yang baik dan konsisten. Penyusunan spesifikasi disusun menurut standar

yang berlaku secara umum dan ditentukan secara spesifik sesuai dengan

karakteristik yang diinginkan. Spesifikasi bahan secara lengkap disajikan pada

Lampiran 8.

Terigu adalah komponen utama selain air pada produksi wafer. Parameter

penting pada terigu adalah kandungan protein dan ukuran partikel. Kandungan

protein berhubungan dengan daya serap air oleh tepung yaitu sebanyak 2 unit air

diserap oleh tiap 1 unit protein (Manley 2000). Daya serap air oleh tepung secara

signifikan mempengaruhi jumlah air yang dibutuhkan untuk memberikan

konsistensi batter yang sesuai (Manley 2001). Kebanyakan biskuit (termasuk

wafer) dapat dibuat dari tepung dengan tingkat protein rendah dan gluten yang

lemah serta lentur. Tepung terigu dengan kandungan protein sangat rendah akan

memberikan wafer yang lemah dan rentan pecah sedangkan tepung terigu dengan

kandungan protein tinggi memberikan wafer yang keras dan kuat (Manley 2000).

Spesifikasi terigu ditentukan berdasarkan percobaan yang dilakukan yaitu

mengandung maksimal 11% protein. Ukuran tepung mengacu pada ukuran

partikel tepung untuk kebanyakan biskuit yaitu sekitar 50 µm (270 mesh) dan

kurang dari 10% berukuran lebih dari 130 µm (120 mesh). Spesifikasi umum

lainnya mengacu pada SNI 3751:2009 tepung terigu sebagai bahan makanan.

Menurut Weiss (1983), minyak kelapa memiliki ketahanan tinggi terhadap

oksidasi karena mengandung asam lemak jenuh dominan yaitu asam laurat

sebesar 48,2%. Adanya rantai asam lemak pendek sekitar 50% menyebabkan

minyak kelapa memiliki karakteristik mudah berubah wujud dari padat menjadi

cair dan sebaliknya dengan titik leleh pada suhu 23 oC sampai 26

oC. Akan tetapi,

rantai asam lemak yang pendek menyebabkan minyak kelapa mudah terhidrolisis,

baik secara lambat dengan adanya kandungan uap air atau secara cepat dengan

keberadaan enzim lipase. Hidrolisis menyebabkan munculnya aroma sabun yang

tidak dapat diterima. Menurut Manley (2000), minyak yang digunakan pada

produksi wafer yang hambar harus memiliki rasa dan aroma yang masih baik serta

bebas dari ketengikan (rancidity). Persyaratan umum penggunaan minyak lemak

pada produksi biskuit adalah kandungan asam lemak bebas maksimal 0,10%

(sebagai asam oleat atau laurat) dan bilangan peroksida maksimal 1,5 mili-

ekuivalen/kg. Berdasarkan pembagian kelas mutu minyak kelapa menurut APCC

(Asian Pacific Coconut Community) (2006), minyak kelapa yang digunakan

tergolong ke dalam grade I yaitu minyak yang sudah dimurnikan dan dihilangkan

baunya dengan kandungan asam lemak bebas maksimal 0,10% (asam laurat).

Spesifikasi minyak kelapa disusun berdasarkan standar grade I APCC, kemudian

SNI-3741-1995 minyak goreng.

Lesitin kasar sudah umum digunakan pada berbagai produk makanan

sebagai emulsifier dengan kode bahan tambahan E322. Menurut Manley (2000),

lesitin berfungsi membuat batter lebih lembut dan memungkinkan reduksi

penggunaan lemak dari adonan sebesar lebih dari 10%. Lesitin komersial

berbentuk cair atau pasta plastis menyerupai molasses. Penggunaan lesitin

berlebih berdampak pada flavor yang tidak dikehendaki. Lesitin yang digunakan

adalah lesitin cair dari kedelai dengan spesifikasi mengacu pada COA (Certificate

21

of Analysis) LECICO F 200. COA berisi dokumen pengujian yang menyatakan

bahwa suatu produk memenuhi spesifikasi yang dikeluarkan pemasok tertentu.

Garam digunakan sebagai peningkat flavor pada formula. Kelarutan garam

tidak baik dan tidak meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan

temperatur. Akan tetapi, kestabilan larutan garam pada konsentrasi jenuh sangat

baik (Manley 2000). Parameter penting pada penggunaan garam terkait dengan

konsistensi dari kemurnian garam NaCl. Kemurnian garam dapat mempengaruhi

rasa asin pada produk akhir. Berdasarkan jenis garam yang digunakan pada

formulasi, garam yang digunakan memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99,25%.

Spesifikasi umum lain mengacu pada SNI-3556-2010 garam konsumsi beryodium.

Soda atau dikenal dengan istilah baking soda memiliki rumus kimia sodium

bikarbonat (NaHCO3). Baking soda merupakan bahan pengembang kimiawi yang

tergolong murah dan dapat diperoleh dengan label food grade. Bahan

pengembang merupakan sekelompok garam inorganik yang apabila ditambahkan

ke dalam adonan akan bereaksi memproduksi gas membentuk inti untuk

pengembangan tekstur biskuit. Kebanyakan dari bahan pengembang kimia

meninggalkan residu yang mempengaruhi pH bahkan flavor akhir. Kelas mutu

baking soda dapat dibedakan berdasarkan ukuran partikel. Semakin kasar ukuran

partikel, maka semakin lama pencampuran dan pemanggangan adonan, serta

permukaan produk akan berwarna cokelat gelap (Manley 2000). Tidak ada

spesifikasi khusus yang disyaratkan untuk baking soda. Spesifikasi umum

mengacu pada COA baking soda.

Proses produksi edible dishware terdiri atas pencampuran, pemanggangan,

dan pencetakan. Pada dasarnya tujuan pencampuran adalah memperoleh

campuran batter yang homogen dengan mendistribusikan bahan dalam waktu

minimal (Manley 2000). Menurut Almond et al. (1991), pencampuran batter

wafer sebaiknya dilakukan secara cepat pada suhu rendah dan batter yang

dihasilkan sebaiknya digunakan untuk 10 sampai 30 menit setelah pencampuran.

Pritchard & Wade (1972) dalam Manley (2000) menyebutkan bahwa lama waktu

umum proses pencampuran adalah 2,5 sampai 6 menit. Pencampuran pada

kecepatan rendah memungkinkan terjadinya penggumpalan gluten yang

disebabkan oleh penyerapan air oleh protein dari terigu sehingga menghasilkan

batter dengan viskositas tinggi. Kondisi suhu rendah dapat diciptakan dengan

penggunaan air dingin. Pada penelitian ini, pencampuran dilakukan dengan

mencampurkan semua bahan (all-in) menggunakan air dingin bersuhu ± 17 oC

selama 6 menit. Lesitin kedelai yang digunakan dilarutkan dalam minyak kelapa

yang telah dipanaskan. Hal ini perlu dilakukan karena lesitin tidak larut dalam air

tetapi larut dalam minyak dan lemak hangat sehingga lesitin sebaiknya dilarutkan

ke dalam minyak sebelum memasuki proses pencampuran (Manley 2000).

Pemanggangan dan pembentukan batter menjadi edible dishware, yaitu

wafer berbentuk wadah terjadi dalam 1 tahapan. Proses ini bervariasi bergantung

pada mesin yang digunakan, terkait dengan tinggi suhu dan rata penyebaran panas

pada cetakan logam. Menurut Manley (2000), pemanggangan bertujuan

menurunkan kadar air pada batter menjadi produk kering sampai batas kadar air

yang dibutuhkan. Apabila kondisi pemanggangan baik, produk akan mengkerut

menjadi lebih kecil dengan sendirinya sebagai efek dari proses pengeringan

sehingga mudah dilepaskan dari pemanggang. Apabila pemanggangan berlebihan,

dapat terjadi sticking sehingga produk sulit dilepaskan dari pemanggang. Apabila

22

panas tidak seragam, produk dapat menjadi retak tepat setelah cetakan dibuka.

Penentuan waktu dan suhu pemanggangan dilakukan berdasarkan percobaan. Pada

mesin manual diperoleh pemanggangan pada suhu 150 oC selama 4 menit

sedangkan pada mesin khusus diperoleh pemanggangan pada suhu 150 oC selama

1,5 menit. Setelah pemanggangan, produk diistirahatkan selama 5 menit agar suhu

produk stabil yang disebut dengan cooling. Terdapat aspek yang sangat

berpengaruh pada produksi wafer yaitu viskositas batter.

Menurut Manley (2000), viskositas batter sebanding dengan kandungan

solid yang diperoleh dari hubungan antara tepung terigu, bahan padat, dan

konsistensi batter. Batter dengan kandungan solid tinggi menghasilkan wafer

yang tidak ringan. Air digunakan untuk memperoleh konsistensi yang sesuai

dengan jumlah secara kasar sebanyak 150% dari bobot tepung terigu. Batter

dengan viskositas tinggi tidak mengalir dengan baik pada lempeng mesin wafer

dan memerlukan volume yang lebih besar untuk membentuk produk dengan

luasan wafer yang sama sehingga memungkinkan rendahnya rendemen yang

diperoleh. Pada saat pemanggangan, proses gelatinisasi batter terjadi pada batter

yang terlebih dahulu kontak dengan lempeng pemanggang sehingga membentuk

pola yang menyebabkan warna wafer menjadi tidak merata. Meskipun konsistensi

batter pada wafer industri cair, terdapat pola melingkar dengan warna yang lebih

gelap. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan kecepatan penutupan mesin

pemanggang dan menggunakan batter secepat mungkin untuk dipanggang agar

tidak menggumpal. Uji coba produksi edible dishware dilakukan pada mesin

khusus terhadap 4 variasi bentuk wadah.

Rendemen produk diperoleh berdasarkan kebutuhan bobot batter tiap

bentuk cetakan wadah. Rendemen pada Tabel 8 dapat dijadikan sebagai dasar

produksi edible dishware skala besar. Akan tetapi dari keempat bentuk wadah,

hanya edible dishware berdiameter 9 cm yang berhasil memberikan produk

dengan kadar air yang sesuai, dengan bobot produk sebesar 8 gram per unit.

Bentuk edible dishware yang lain masih menghasilkan produk yang basah. Hal ini

berhubungan dengan kedalaman bentuk cetakan dan tekstur permukaan mesin

yang berbeda dengan mesin wafer pada umumnya sehingga proses pemanggangan

tidak sempurna. Profil formula produk edible dishware terpilih selanjutnya

diidentifikasi, meliputi nilai gizi produk, ketahanan, dan penanganan produk.

Profil Produk

Identifikasi Nilai Gizi Produk

Identifikasi nilai gizi produk dilakukan terhadap formula terpilih edible

dishware (Gambar 9) untuk parameter lemak, protein, karbohidrat, dan energi.

Tabel 8 Rendemen berdasarkan variasi bentuk edible dishware

Bentuk Diameter (cm) Jumlah unit per

100 gram tepung

Piring besar 20 4

Piring sedang 12 7

Mangkuk 12 7

Cawan/piring kecil 9 15

23

Besarnya energi dihitung berdasarkan data analisis proksimat pada Lampiran 9.

Tabel 9 menunjukkan persentase AKG produk terhadap persyaratan AKG umum

yang dapat dijadikan sebagai acuan label pangan produk. AKG didefinisikan

sebagai suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut

golongan umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh untuk mencapai derajat

kesehatan yang optimal (Menkes 2013). Berdasarkan Permenkes (Peraturan

Menteri Kesehatan) RI Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi,

besarnya rata-rata kecukupan energi bagi penduduk Indonesia adalah 2.150 kilo

kalori per orang per hari.

Pada aplikasi produk, edible dishware dapat digunakan sebagai wadah

sekaligus makanan sehingga produk dapat menyumbang energi pada tubuh

apabila dikonsumsi. Identifikasi nilai gizi produk menunjukkan bahwa produk

edible dishware berbentuk piring kecil berdiameter 9 cm dengan bobot per sajian

8 gram menyumbang energi sebesar 1,5% dari AKG. Sementara itu kontribusi

lemak, protein, dan karbohidrat terhadap standar AKG masing-masing sebesar

0,1%; 1,4%; dan 2,2%.

Identifikasi Ketahanan

Uji ketahanan berhubungan dengan kemampuan produk untuk dapat

bertahan dari penurunan mutu kerenyahan akibat kontak dengan udara agar dapat

diterima panelis. Gambar 10 menunjukkan grafik penerimaan mutu kerenyahan

selama produk kontak dengan udara yang dikelompokkan menjadi tidak suka,

netral, dan suka berdasarkan data uji organoleptik kerenyahan pada Lampiran 10.

Tabel 9 Persentase AKG formula edible dishware berbasis wafer

Kandungan

gizi Satuan

Jumlah Standar

AKG

(umum)a

Persentase AKG (%)

Per 100 g Per sajian

(8 g) Per 100 g

Per sajian (8 g)

Lemak g 0,480 0,038 60 0,8 0,1

Protein g 9,670 0,774 57 17,0 1,4

Karbohidrat g 87,325 6,986 323 27,0 2,2

Energi kkal 392 31 2.150 18,2 1,5 aSumber: Menkes (2013)

Gambar 9 Profil produk edible dishware berbasis wafer

24

Sebanyak 100% panelis menyukai produk pada awal pengujian, kemudian

menurun seiring dengan peningkatan waktu kontak. Persentase panelis yang

tergolong tidak suka menunjukkan pola sebaliknya. Hingga waktu kontak selama

90 menit, sebanyak 63% panelis masih menyukai kerenyahan produk. Pada 30

menit selanjutnya, persentase panelis yang menyukai produk menurun menjadi

36% sama dengan persentasi panelis yang tidak menyukai produk. Produk

dianggap dapat mempertahankan mutunya apabila persentase panelis yang

menyukai kerenyahan produk lebih dari 50% dan lebih tinggi dibandingkan

dengan persentase panelis yang tergolong tidak suka. Berdasarkan pengujian

secara organoleptik, batas maksimal lama waktu kontak produk dengan udara

adalah 90 menit.

Grafik pada Gambar 11 menunjukkan pola kadar air produk yang terus

meningkat selama 180 menit kontak dengan udara. Persamaan linear sebagai

hubungan antara kadar air (sumbu y) dan lama waktu kontak dengan udara

(sumbu x) berdasarkan data kadar air pada Lampiran 11 adalah y = f(x) = 0,0251x

Gambar 11 Grafik hubungan antara waktu kontak udara edible

dishware berbasis wafer dengan kadar air produk

y = 0,0251x + 2,1186

R² = 0,9706

0

1

2

3

4

5

6

7

0 30 60 90 120 150 180

Kad

ar a

ir

(% b

/b)

Waktu kontak dengan udara (menit)

Gambar 10 Grafik penerimaan mutu kerenyahan edible dishware berbasis wafer

selama kontak dengan udara

0

20

40

60

80

100

0 30 60 90 120 150 180

Per

senta

se j

um

lah p

anel

is

(%)

Waktu kontak dengan udara (menit)

suka

netral

tidak suka

25

+ 2,1186. Dengan memasukkan batas maksimal lama waktu kontak produk

dengan udara ke dalam persamaan linear didapatkan bahwa kadar air kritis produk

agar dapat diterima oleh panelis adalah sebesar 4,3776% (b/b). Kadar air kritis ini

dapat dijadikan batas untuk memperkirakan diterima atau ditolaknya mutu produk.

Penanganan Produk

Penanganan produk edible dishware berhubungan erat dengan karakteristik

produk yang rentan pecah dan mudah lembek akibat penyerapan air. Menurut

Manley (2000), pengemasan produk golongan biskuit (termasuk wafer) harus

memenuhi beberapa hal antara lain (1) menjaga produk dari kelembaban karena

sifatnya yang higroskopis dapat menyebabkan produk menjadi lembek ketika

menyerap air, (2) menghindarkan produk dari paparan cahaya yang kuat dan

oksigen di atmosfir yang dapat mendorong ketengikan lemak, dan (3) menjaga

produk dari kerusakan serta pecah. Penanganan produk edible dishware meliputi

penanganan pada tingkat produsen dan konsumen.

Penanganan pada tingkat produsen bertujuan menjaga produk agar tetap

berada pada kondisi yang baik hingga produk sampai ke tangan konsumen selama

pendistribusian dengan cara mengidentifikasi jenis material kemasan yang tepat.

Menurut Manley (2000), polipropilen merupakan sejenis plastik yang memiliki

beberapa keunggulan yaitu penahan uap air yang baik, kuat, tahan sobekan dan

tusukan, serta tidak dipengaruhi oleh suhu rendah dan kelembaban yang tinggi

selama penyimpanan. Polipropilen dapat digunakan pada ketebalan yang sangat

tipis sehingga rendemennya tinggi dan harganya menjadi lebih ekonomis. Jenis

kemasan lain seperti alumunium foil murni dapat menahan secara keseluruhan

paparan cahaya, uap air, lemak, dan gas, tetapi memiliki sifat fleksibilitas yang

buruk. Sifat kemasan alumunium foil yang fleksibel hanya dapat diperoleh apabila

kemasan dibuat sangat tipis sehingga menurunkan kekuatan tarik kemasan.

Alumunium foil murni juga tergolong mahal untuk mengemas produk biskuit.

Oleh karena itu, jenis material kemasan yang sesuai untuk produk edible dishware

adalah kombinasi kemasan polipropilen dengan alumunium foil, yaitu metallised

film.

Manley (2000) menyebutkan bahwa keunggulan kemasan alumunium foil

dapat dipertahankan pada biaya yang lebih ekonomis dengan penggunaan

metallised film yang diperoleh melalui pelapisan kemasan lembaran dasar dengan

logam, dalam hal ini alumunium foil. Bagian luar kemasan dilapisi logam

sedangkan bagian dalam direkatkan dengan seal panas. Penampakan kemasan

metallised film menyerupai alumunium foil, akan tetapi sifat fleksibilitas,

kekuatan, dan ketebalan diperoleh dari kemasan dasar. Polipropilen memiliki

fleksibilitas dan kekuatan sobek serta tusuk yang baik meskipun dibuat tipis.

Kombinasi kemasan alumunium foil dan polipropilen akan memberikan ketahanan

kemasan yang baik terhadap permeabilitas uap air, oksigen, gas, dan sobekan serta

tusukan yang dibutuhkan oleh edible dishware. Selama pendistribusian,

perlindungan produk terhadap risiko pecah diatasi dengan penyusunan produk

secara bertumpuk dalam kemasan primer dengan ukuran yang sesuai dengan

bentuk produk dan penggunaan kemasan sekunder berupa kardus. Ketika produk

sampai di tangan konsumen, produk memerlukan penanganan khusus agar tetap

berada pada kondisi yang baik untuk penyajian.

26

Penanganan produk pada tingkat konsumen dilakukan dengan

memperhatikan kondisi penyimpanan produk sejak produk diterima hingga

disajikan kepada konsumen akhir. Penyimpanan memerlukan perangkat tambahan

berupa kontainer yang mudah dibuka dan ditutup agar memudahkan pengambilan

produk. Kontainer tersebut dapat terbuat dari plastik atau logam yang didesain

kedap udara.

Analisis Kecocokan Produk dengan Pasar

Pengembangan produk tidak hanya terbatas pada kegiatan produksi saja.

Profil produk edible dishware yang dihasilkan pada pengembangan produk ini

merupakan produk baru yang belum dapat diajukan ke pasar. Suatu produk harus

memenuhi kriteria tertentu yang diinginkan oleh calon pelanggan agar tercapai

kecocokan antara kriteria produk dengan keinginan pasar. Aktivitas selanjutnya

yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan karakteristik produk dengan

permasalahan yang dimiliki oleh konsumen, kemudian menguji produk tersebut

kepada calon pelanggan potensial.

Berdasarkan analisis pasar oleh Pratiwi (2014), segmen pelanggan produk

edible dishware adalah restoran yang merupakan pelanggan antara dan bukan

sebagai pemakai akhir produk. Adanya permasalahan yang berbeda pada tiap

restoran menimbulkan kebutuhan yang berbeda. Secara keseluruhan, terdapat 4

tipe bentuk produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan calon pelanggan,

yaitu bentuk mangkuk ukuran sedang, piring ukuran sedang, piring ukuran besar,

dan cawan. Produk juga perlu memiliki struktur yang kuat agar tidak mudah pecah

ketika digunakan. Akan tetapi, pengembangan produk edible dishware yang

dilakukan terbatas pada bentuk piring kecil saja sehingga masih perlu dilakukan

perbaikan lebih lanjut dari sisi teknologi produksi.

Berdasarkan teknologi produksi edible dishware, bentuk produk

berhubungan dengan pemanggangan dan pencetakan yang dilakukan bersamaan

pada 1 tahap sekaligus. Bentuk produk yang berbeda memerlukan mesin

pemanggang dengan bentuk cetakan yang berbeda pula sehingga diperlukan mesin

dengan keempat ukuran cetakan yang diinginkan. Suhu dan waktu pemanggangan

tiap cetakan juga perlu diatur agar diperoleh produk dengan tingkat kematangan

yang baik. Mesin yang digunakan pada penelitian ini belum dapat menghasilkan

keempat bentuk produk dengan karakteristik yang baik sehingga perlu dilakukan

perbaikan mesin yang memerlukan biaya investasi tinggi. Selanjutnya, produk

dapat diuji ke pasar.

Pengujian solusi berupa produk yang sudah diperbaiki dilakukan terhadap

calon pelanggan potensial yang didapatkan dari hasi pencarian pelanggan oleh

Pratiwi (2014). Apabila kriteria produk sudah dapat memenuhi keinginan calon

pelanggan, maka kecocokan produk dengan pasar sudah tercapai dan produk siap

untuk diajukan ke pasar. Akan tetapi, apabila kriteria produk masih belum dapat

memenuhi keinginan calon pelanggan maka perlu dilakukan perbaikan lagi

berdasarkan masukan yang diperoleh dari calon pelanggan potensial tersebut.

27

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Formula edible dishware yang terbaik adalah formula berbasis wafer untuk

skala industri dengan komposisi bahan terigu protein rendah, minyak kelapa,

lesitin kedelai cair, garam, baking soda, dan air. Teknologi produksi edible

dishware terdiri atas pencampuran secara all-in menggunakan air dingin bersuhu

+ 17 oC selama 6 menit, pemanggangan sekaligus pencetakan dalam 1 tahap

menggunakan mesin khusus pada suhu 150 °C selama 4 menit, dan cooling

selama 5 menit. Produk edible dishware berbentuk piring berukuran diameter 9

cm dengan bobot per unit 8 gram menyumbang energi sebesar 1,5% dari AKG

dan berkontribusi terhadap kandungan gizi lemak, protein, dan karbohidrat

masing-masing sebesar 0,1%; 1,4%; dan 2,2% terhadap standar AKG rata-rata.

Pengujian ketahanan menunjukkan batas waktu maksimal produk kontak dengan

udara adalah 90 menit dengan kadar air kritis produk masih dapat diterima oleh

panelis adalah sebesar 4,3776% (b/b). Penanganan produk pada tingkat produsen

berupa pengemasan produk dengan kemasan primer yaitu metallised film dan

kemasan sekunder berupa kardus, sedangkan penanganan pada tingkat konsumen

memerlukan perangkat berupa kontainer kedap udara.

Saran

Pada penelitian ini, pengujian ketahanan produk edible dishware berbasis

wafer dilakukan terhadap kontak dengan udara saja. Pengkajian lebih spesifik

terhadap aplikasi produk perlu dilakukan untuk mengetahui kekuatan produk

terhadap kontak dengan berbagai jenis makanan yang diwadahi, seperti saus,

pasta, dan lain-lain. Pengembangan dan perbaikan mesin khusus juga dapat

dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek dalam pemanggangan produk

wafer agar diperoleh berbagai variasi bentuk produk dengan profil yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of

Analysis of AOAC International. Ed ke-18. Volume ke-2. Gaithersburg (US):

AOAC International.

[APCC] Asian Pacific Coconut Community. 2006. Coconut Statistical Year Book.

Jakarta (ID): APCC.

[Balitper] Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi

Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan

(Edisi 4-10 Mei 2011 No. 3403 Tahun XLI) [Internet]. [diunduh 2014 Juli 23].

Tersedia pada http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/104/file/Manfaat-

Singkong.pdf.

28

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI-3741-1995. Minyak Goreng.

Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3751:2009. Tepung Terigu

sebagai Bahan Makanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. SNI-3556-2010. Garam Konsumsi

Beryodium. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Pengujian

Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

[Menkes] Menteri Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang

Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Menkes.

Almond N, Michael HG, Paul R, Peter W. 1991. Biscuits, Cookies, and Crackers.

Volume 3. Composite Product. New York (US): Elsevier Science Publ.

Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in

Food Product Development and quality Control. Ed ke-2. Gaithersburg (US):

Aspen Publ.

Djuwardi A. 2009. Cassava Solusi Pemberagaman Kemandirian Pangan. Jakarta

(ID): Grasindo.

Gennadios A. 2002. Protein-Based Films and Coatings. Boca Raton (US): CRC

Pr.

Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID):

University of Indonesia Pr.

Liepa AL, penemu; The Protector & Gamble Company. 1976 Desember 21.

Potato Chips Products and Process for Making Same. Paten Amerika Serikat

US 3998975.

Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Ed ke-3.

Cambridge (GB): Woodhead Publ.

Manley D. 2001. Biscuit, Cracker and Cookie Recipes for The Food Industry.

Cambridge (GB): Woodhead Publ.

Matz SA, Matz TD. 1978. Cookie dan Cracker Technology. Ed ke-2. Westport

(US): AVI Publ.

Matz SA. 1992. Bakery Technology and Engineering. Ed ke-3. New York (US):

Van Nostrand Reinhold/AVI.

Pratiwi GU. 2014. Analisis Pengembangan Pasar Produk Edible Dishware dengan

Pendekatan Riset Aksi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Robertson GL. 2012. Food Packaging: Principles and Practices. Ed ke-3. Boca

Raton (US): CRC Pr.

Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri

Pangan dan Agro. Bogor (ID): Bogor Agricultural Univ Pr.

Syarief R, Santausa S, Isyana BS. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor

(ID): Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Pusat Antar Universitas Pangan

dan Gizi, Bogor Agricultural Univ.

Weinstein B. 2009. The Ultimate Ice Cream Book: Over 500 Ice Creams, Sorbets,

Granitas, Drinks, and More. Ed ke-1. New York (US): Harper Collins.

Weiss TJ. 1983. Foods Oils and Their Uses. Ed ke-2. Westport (US): AVI Publ.

Williams Sonoma Kitchen. 2013. Waffle Cones [internet]. [diunduh 2014 Maret

10]. Tersedia pada: http://www.williams-sonoma.com/recipe/waffle-cones.html.

29

Lampiran 1 Formulir uji organoleptik opak singkong

Formulir Uji Kesukaan Tanggal pengujian: 27 Februari 2014

No/Nama Panelis :

Jenis Contoh : Edible dishware berbasis opak singkong

Instruksi : Nyatakan penilaian Anda mengenai tingkat kesukaan terhadap contoh uji berdasarkan

parameter di bawah ini tanpa membandingkan contoh 1 dengan yang lain.

Berikan tanda pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian Saudara.

Penilaian Kode 456

Warna Tekstur Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Penilaian Kode 753

Warna Tekstur Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka *Saran dapat disertakan pada halaman belakang formulir

30

Lampiran 2 Formulir uji organoleptik wafer

Formulir Uji Kesukaan Tanggal pengujian: 7 April 2014

No/Nama Panelis :

Jenis Contoh : Edible dishware (tempat/wadah makanan) berbasis wafer

Instruksi : Nyatakan penilaian Anda mengenai tingkat kesukaan terhadap contoh uji berdasarkan

parameter di bawah ini tanpa membandingkan contoh 1 dengan yang lain. Berikan tanda

pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian Anda.

Penilaian Kode 718

Warna Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Penilaian Kode 456

Warna Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Penilaian Kode 241

Warna Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Penilaian Kode 973

Warna Kerenyahan Aroma Rasa

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Saran:

31

Lampiran 3 Prosedur analisis komponen kimia produk

Kadar air

Sebanyak 1 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan

alumunium yang diketahui bobotnya. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu

100 °C selama 5 jam. Cawan berisi sampel yang telah dikeringkan dipindahkan ke

dalam desikator, dan ditimbang setelah mencapai suhu ruang. Kadar air dihitung

dengan rumus berikut.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 % =𝑊 − 𝑊1

𝑊 − 𝑊2× 100%

Di mana:

W adalah bobot contoh + cawan sebelum dikeringkan

W1 adalah bobot contoh + cawan setelah dikeringkan

W2 adalah bobot cawan kosong

Kadar abu

Cawan porselen yang digunakan pada analisis kadar abu dibersihkan,

dikeringkan, dan didinginkan dalam desikator. Sebanyak 1 gram contoh pada

cawan porselen diarangkan di atas nyala pembakar sampai tidak berasap, lalu

diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600 °C selama 6 jam sampai pengabuan

sempurna. Pengabuan sempurna diperoleh apabila warna sampel berubah menjadi

putih. Sampel didinginkan dalam desikator. Kadar abu dihitung dengan rumus

berikut.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 % =𝑊1 − 𝑊2

𝑊× 100%

Di mana:

W adalah bobot contoh sebelum diabukan

W1 adalah bobot contoh + cawan sesudah diabukan

W2 adalah bobot cawan kosong

Kadar lemak kasar

Sebanyak 2 gram contoh ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam selongsong

kertas saring dengan kedua sisi diberi kapas membentuk thimble. Selongsong

dimasukkan ke dalam alat soxhlet berisi 150 ml pelarut heksana dan batu didih.

Ekstraksi dilakukan selama selama 6 jam. Selanjutnya, pelarut heksana dipisahkan

dari lemak dengan cara distilasi. Lemak pada labu dikeringkan dalam oven

pengering pada suhu 100 °C selama 1 jam. Labu didinginkan kemudian ditimbang.

Kadar lemak dihitung dengan rumus berikut.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 % =𝑊2 − 𝑊1

𝑊× 100%

Di mana:

W adalah bobot contoh

W1 adalah bobot lemak awal sebelum ekstraksi

W2 adalah bobot labu lemak sesudah ekstraksi

32

Kadar protein kasar

Analisis kadar protein dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan

campuran selen, indikator campuran, larutan asam borat (H3BO3) 2%, asam

klorida (HCl) 0,01 N, dan natrium hidroksida (NaOH) 30%. Campuran selen

dibuat dengan mencampurkan 2,5 gram serbuk SeO2, 100 gram K2SO4, dan 30

gram CuSO4.5H2O. Indikator campuran dibuat dengan membuat larutan brom

cresol green-methyl red 0,1% dan larutan merah metil 0,1% dalam alkohol 95%

secara terpisah. Sebanyak 10 ml larutan bromocresol green dan 2 ml merah metil

dicampurkan.

Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dimasukkan dalam labu kjeldahl

ukuran 100 ml. Sebanyak 0,25 gram campuran selenium dan 3 ml H2SO4 pekat

ditambahkan. Sampel tersebut didestruksi yaitu dipanaskan di atas pemanas listrik

atau api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan

selama 1 jam, lalu dibiarkan dingin. Sampel ditambahkan 50 ml akuades dan 20

ml NaOH 40%, lalu didestilasi dengan beberapa tetes indikator PP. Hasil destilasi

ditampung dalam labu Erlenmeyer berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2%

dan 2 tetes indikator brom cresol green-methyl red berwarna merah muda.

Destilasi dihentikan sampai volume hasil tampungan mencapai 10 ml dan berubah

menjadi larutan berwarna hijau kebiruan. Selanjutnya, larutan tersebut dititrasi

dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Blanko dibuat dengan cara yang

sama tanpa menggunakan sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus berikut.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 % = 𝑉1 − 𝑉2 × 𝑁 × 14

𝑊 × 1000× 100%

Di mana:

W adalah bobot contoh kering

V1 adalah volume HCl 0,01 N yang digunakan pada titrasi contoh

V2 adalah volume HCl 0,01 N yang digunakan pada titrasi blanko

N adalah normalitas HCl

Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by

difference yaitu: 100% - kadar (air + abu + lemak + protein)%.

33

Lampiran 4 Formulir uji mutu hedonik kerenyahan pada uji ketahanan

Lampiran 5 Prosedur uji kadar air pada uji ketahanan

Uji kadar air untuk produk makanan sereal (AOAC 2005)

Sebanyak 2 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan

tertutup yang telah diketahui bobotnya. Cawan terlebih dahulu dikeringkan pada

suhu 98 °C sampai 100 °C dan didinginkan dalam desikator. Penutup cawan

sedikit dibuka (direnggangkan) dan dipanaskan dalam oven vakum pada suhu

98 °C sampai100 °C sampai diperoleh bobot konstan pada tekanan ≤ 25 mmHg

(3,3 kPa). Udara panas dibuat masuk ke dalam oven untuk menciptakan tekanan

atmosfer. Cawan ditutup, dipindahkan ke dalam desikator, dan ditimbang segera

setelah mencapai suhu ruang.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 % =𝑊1

𝑊× 100%

Di mana:

W adalah bobot sampel sebelum dikeringkan

W1 adalah kehilangan bobot setelah pengeringan

Formulir Uji Mutu Hedonik Kerenyahan Tanggal pengujian: 21 Mei 2014

No/Nama Panelis :

Jenis Contoh : Edible dishware (tempat/wadah makanan) berbasis wafer

Instruksi : Nyatakan penilaian Anda mengenai tingkat kesukaan terhadap parameter kerenyahan

untuk contoh uji yang disediakan tanpa membandingkan contoh 1 dengan yang

lain. Berikan tanda pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian Anda.

Penilaian Kesukaan terhadap kerenyahan

0 1 2 3 4 5 6

1 Sangat tidak suka

2 Tidak suka

3 Agak tidak suka

4 Netral

5 Agak suka

6 Suka

7 Sangat suka

Terima Kasih

34

Lampiran 6 Data uji organoleptik pada formulasi opak singkong

Parameter warna

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 1 0,790323 0,790323 0,2766 2,72

Kelompok 30 42,41935

Galat 30 85,70968 2,856989

Total 61 128,9194

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter tekstur

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 1 4,129032 4,129032 2,0690 2,45

Kelompok 30 31,77419

Galat 30 59,87097 1,995699

Total 61 95,77419

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter kerenyahan

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 1 0,790323 0,790323 0,2938 2,45

Kelompok 30 29,96774

Galat 30 80,70968 2,690323

Total 61 111,4677

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter aroma

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 1 0,403226 0,403226 0,1980 2,45

Kelompok 30 48,70968

Galat 30 61,09677 2,036559

Total 61 110,2097

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter rasa

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 1 0,580645 0,580645 0,2623 2,45

Kelompok 30 59,93548

Galat 30 66,41935 2,213978

Total 61 126,9355

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

35

Lampiran 7 Data uji organoleptik pada formulasi wafer

Parameter warna

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 3 10,09677 3,365591 1,3589 2,72

Panelis 30 75,3871

Error 90 222,9032 2,476703

Total 123 308,3871

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter kerenyahan

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 3 12,41935 4,139785 1,5849 2,72

Kelompok 30 86,59677

Galat 90 235,0806 2,612007

Total 123 334,0968

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter aroma

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 3 3,056452 1,018817 0,8886 2,72

Kelompok 30 66,74194

Galat 90 103,1935 1,146595

Total 123 172,9919

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

Parameter rasa

Sumber keragaman db JK KT Fhitung Ftabel 5%

Perlakuan 3 1,830645 0,610215 0,3330 2,72

Kelompok 30 67,98387

Galat 90 164,9194 1,832437

Total 123 234,7339

Nilai F hitung < F tabel, maka tidak ada perbedaan nyata pada formula.

36

Lampiran 8 Daftar spesifikasi bahan baku produk edible dishware berbasis wafer

Tepung terigu Kriteria uji Satuan Persyaratan

Keadaan

a. Bentuk - Serbuk

b. Bau - normal (bebas dari bau asing)

c. Warna - putih, khas terigu

Benda asing - tidak ada

Serangga dalam semua bentuk stadia dan

potongan- potongannya yang tampak -

tidak ada

Kadar air (b/b) % maks. 14,5

Kadar abu (b/b) % maks. 0,70%

Kadar protein (b/b) % maks. 11,0

Ukuran partikel

a. Ukuran lebih dari 120 mesh % < 10

b. Ukuran lebih dari 270 mesh % 35-45

Keasaman mg KOH/100 g maks. 50

Falling number (atas dasar kadar air 14%) detik min. 300

Besi (Fe) mg/kg min. 50

Seng (Zn) mg/kg min. 30

Vitamin B1 (tiamin) mg/kg min. 2,5

Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

Asam folat mg/kg min. 2

Cemaran Logam

a. Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0

b. Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05

c. Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,1

Cemaran arsen mg/kg maks. 0,50

Cemaran mikroba

a. Angka lempeng total koloni/g maks. 1 × 106

b. E. coli APM/g maks. 10

c. Kapang koloni/g maks. 1 × 104

d. Bacillus cereus koloni/g maks. 1 × 104

Minyak kelapa

Kriteria uji Satuan Persyaratan

Bau dan rasa - Normal

Warna pada 1 inchi sell, pada skala Y+5R - maks. 2

Berat jenis gram/liter 0,900

Kadar air dan kotoran tak larut % maks. 0,10

Bahan yang tidak tersabukan % maks. 0,5

Asam lemak bebas (sebagai % asam laurat) % maks. 0,10

Bilangan penyabunan - 255

Bilangan peroksida meq/kg maks. 1,5

Bilangan iod (wijs) - 7,5-9,5

Specific gravity pada 30 °C - 0,915-0,920

Indek refractive pada 40 °C - 1,4480-1,4490

Kandungan mineral asam - nihil

Cemaran logam mg/kg maks. 0,1 kecuali seng

37

Lesitin kedelai cair Chemical-physical analysis Spesification Method

ACETONE INSOLUBLE min. 60.0% LECICO AM 01

MOISTURE max. 1.0% LECICO AM 02

HEXANE INSOLUBLE max. 0.3% LECICO AM 09

TOLUENE INSOLUBLE max. 0.3% LECICO AM 03

ACID VALUE max. 30.0 mg KOH/g LECICO AM 04

PEROXIDE VALUE max. 5.0 meq/kg LECICO AM 05

GARDNER (10%) max. 11 LECICO AM 07

VISCOSITY max. 12.5 Pa.s LECICO AM 08

Heavy metals analysis Spesification Method

As max. 3 ppm. tv (acc.§64LFGB) L00.00-

19/3,AAS-Gr

Lead (pb) max. 2 ppm. tv (acc.§64LFGB) L00.00-

19/3,AAS-Gr

Hg max. 1 ppm. tv (acc.§64LFGB) L00.00-

19/4,AAs-Kaltd

Heavy metals max. 10 ppm. tv (calculated) EP 2.4.8 Method

A, optisch

Microbiological analysis Spesicification

TOTAL PLATE COUNT max. 3.000 cfu/g

YEAST + MOULDS each < 50/g

COLIFORMS absent/g

SALMONELLA absent/25g

38

Garam Kriteria uji Satuan Persyaratan

Natrium Chloride (NaCl) bobot kering % > 99,25

Kadar air (H2O) % maks. 7

Iodium dihitung sebagai KIO3 mg/kg min 30

Bagian yang tidak larut air % maks, 0,5

Cemaran logam

a. Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,5

b. Timbal (Pb) mg/kg maks. 10,0

c. Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,1

Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,1

Baking Soda Kriteria uji (%) Persyaratan

Kemurnian 99,7-100,3

Bagian yang tidak larut air maks. 0,015

Klorida (Cl) maks. 0,003

Fosfat (P) maks. 0,001

Kandungan Sulfur (S) maks. 0,003

Amonium (NH3) maks. 0,0005

Kalsium (Ca) maks. 0,02

Logam berat (sebagai Timbal, Pb) maks. 0,0005

Besi (Fe) maks. 0,001

Potassium (K) maks. 0,005

Magnesium (Mg) maks. 0,005

Lampiran 9 Data analisis kimia produk edible dishware terpilih

Kode

sampel

Kadar (% b/b)

Air Abu Lemak Protein

Ulangan 1 1,31 1,02 0,39 9,79

1,28 1,14 0,36 9,83

Ulangan 2 1,48 1,19 0,73 9,86

1,53 1,15 0,44 9,20

Rataan 1,40 1,13 0,48 9,67

39

Lampiran 10 Data uji organoleptik kerenyahan pada uji ketahanan

Panelis Perlakuan waktu kontak (menit)

0,00 30,00 60,00 90,00 120,00 150,00 180,00

Skala penilaian panelis

5,00 6,00 6,00 6,00 4,00 3,00 2,00

7,00 5,00 4,00 4,00 2,00 1,00 1,00

5,00 5,00 5,00 4,00 4,00 3,00 2,00

6,00 6,00 5,00 5,00 5,00 4,00 2,00

7,00 6,00 6,00 5,00 3,00 4,00 3,00

7,00 6,00 6,00 5,00 2,00 1,00 1,00

6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 2,00 2,00

7,00 6,00 5,00 5,00 4,00 2,00 2,00

6,00 6,00 5,00 3,00 5,00 2,00 2,00

5,00 3,00 2,00 2,00 1,00 1,00 1,00

6,00 5,00 5,00 5,00 5,00 4,00 4,00 Jumlah penerimaan

Suka (5-7) 11,00 10,00 9,00 7,00 4,00 0,00 0,00

Netral (4) 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 1,00

tidak suka (1-3) 0,00 1,00 1,00 2,00 4,00 9,00 10,00

Persentase penerimaan (%) Suka (5-7) 100,00 90,91 81,82 63,64 36,36 0,00 0,00

Netral (4) 0,00 0,00 9,09 18,18 27,27 36,36 9,09

Tidak suka (1-3) 0,00 9,09 9,09 18,18 36,36 81,82 90,91

Lampiran 11 Data kadar air produk edible dishware berbasis wafer pada uji

ketahanan

Waktu kontak

dengan udara

(menit)

Kadar air Rata-rata

Ulangan 1 Ulangan 2

0 1,6717 ± 0,0631 2,1386 ± 0,1028 1,9052

30 2,7788 ± 0,0131 2,6592 ± 0,3232 2,7190

60 3,3317 ± 0,0666 4,0564 ± 0,0270 3,6941

90 4,6826 ± 0,1288 4,9222 ± 0,0340 4,8024

120 5,1503 ± 0,1710 5,4593 ± 0,0087 5,3048

150 5,5587 ± 0,1226 6,4121 ± 0,0447 5,9854

180 6,3173 ± 0,0465 6,0977 ± 0,0468 6,2075

40

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 5 September 1992 dari ayah

Cecep Munawar dan ibu Nanan Maryani. Penulis adalah putri kedua dari tiga

bersaudara, adik dari Della Azizah Munawar dan kakak dari Shiyama Madani

Munawar. Penulis merupakan alumni SD Negeri Depok 4 (1998-2004), SMP

Negeri 2 Depok (2004-2007), dan SMA Negeri 1 Depok (2007-2010). Pada

Tahun 2010 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI di Departemen Teknologi

Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Pada awal tahun perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai anggota UKM

Lingkung Seni Sunda, Gentra Kaheman sebagai tim Gamelan dan angklung. Pada

tahun ajaran berikutnya yaitu penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum

mata kuliah Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi dan mengikuti

program magang bersama HIMALOGIN di Pondok Pesantren Darul Falah,

Bogor. Penulis menjalankan praktik lapangan di Parung Farm dengan judul

“Pemanfaatan Bayam Hijau Hidroponik Afkir di PT Kebun Sayur Segar sebagai

Produk Pangan Olahan”.

Penulis pernah mendapatkan beasiswa PPA dari DIKTI pada semester 3.

Selama masa kuliah, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kursus bahasa Inggris

dan kepanitiaan kampus seperti Ki Sunda Midang 8, Masa Perkenalan Fakultas,

Masa Perkenalan Departemen, Workshop One Step (One Day

Technopreneurship), dan Fieldtrip Mahasiswa TIN angkatan 47 ke Jawa-Bali.

Sebagai anggota tim, penulis pernah memperoleh juara 2 dalam Lomba

Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Agrotech’s Fair yang diselenggarakan oleh UNS

pada tahun 2013, menerima dana hibah dari Kementrian Koperasi dan UKM

untuk produk “Vegetable Powder: Say Hi Mr. Broca” dalam kegiatan Gerakan

Kewirausahaan Nasional 2013, dan memperoleh penghargaan sebagai tim

inovator produk KOLAKU: Kolak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas) Cepat Saji

yang terdaftar dalam Buku 50 Inovasi Mahasiswa IPB 2013.