3
MEDIA INJ1~~ESIA . Senin -- 1 2 3 17 18 19 -- OJan 8Peb o Selasa 4 5 20 o Mar o Rabu 6 7 21 22 OApr OMei o Kamis 0 Jumat 8 CD 10 11 23 24 25 26 OJun OJul 0 Ags o Minggu 14 15 16 29 30 31 ONov ODes UU BHP dan Kebijakan - - -- --- ..- --- - ~... ~- - -- -.. - == .- - Pengembangan ~ - ;. - -- Per guru an Tinggi . - --..- o Sabtu 12 13 27 28 OSep OOkt - - --- 181 Oleh Amich Alhumami Peneliti Indonesian Institute for Society Empowerment (lnsep) Jakarta U U Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah resmi disetujui oleh DPR dan pemerintah pada 17 Desember 2008, yang akan men- jadi landasan hukum dalam pengelolaan pen- didikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi (PT). Pengesahan UU BHP ini memicu kontroversi luas seperti tecermin pada resist- ensi yang begitu kuat dari sebagian kalangan PT. Bahkan ketika masih dalam bentuk RUU, UU BHP sudah memantik polemik di kalangan masyarakat akademik. Tak pelak, kontroversi terus berlanjut sampai UU BHP disahkan dan akan segera diberlakukan setelah ditandata- ngani presiden. Banyak pihak merasa risau, jika pengelolaan PT berbentuk BHP-di negara- negara maju lazim disebut corporate body-- maka komersialisasi pendidikan tinggi yang sudah menjadi geja~a umum akan mendapat justifikasi. Saat mengikuti perdebatan publik mengenai isu ini, tertangkap jelas ada argumen bemada ideologis begitu kuat yang dikaitkan dengan hak dasar warga negara untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas sampai ke jenjang higher education. Jika PT menjelma menjadi BHp, masyarakat khawatir pendidik- an tinggi akan menjadi semakin mahal karena pengelola PT lebih berorientasi pasar, berpe- gang pad a hukum supply-demand, dan cende- rung berburu rente. UU BHP akan menjadi basis legal atas praktik komersialisasi pendi- dikan tinggi, yang mengabaikan kalangan tidak mampu (disadvantagedgroups)untuk memperoleh pendidikan. Sebab, pendidik- an tinggi hanya bisa diakses oleh kelompok bermodal dan masyarakat kaya saja. Ma- syarakat miskin dan golongan berpengha- silan rendah dipastikan tidak bisa menge- nyam PT, karena biayanya di luar jangkauan kemamp~an ekon~i m~reka:.- -Kliping Humos Unpod 2009 Para pengkritik juga berargumen, BHP akan menjadi instrumen untuk melanggengkan ke- senjangan sosial, yang potensial memicu per- tentangan kelas dan mengancam kohesi ma- syarakat. Dapat dimaklumi bila UU BHP menuai kritik tajam karena menyentuh isu yang sangat fundamental yakni keadilan da- lam mendapat layanan pendidikan bermutu. Maka, pertanyaan penting yang patut diajukan adalah benarkah UU BHP serta-merta akan mengabaikan prinsip keadilan dalam layanan pendidikan? Apakah status BHP akan menem- patkan PT sebagai institusi yang menjadi privilese kelompok bermodal dan orang kaya saja dan mengingkari hak-hak orang miskin? Apakah status UU BHP akan menghilangkan peran pemerintah dan pengelolaan PT sepe- nuhnya berdasarkan market-driven business .J!£.tivif]j ? Pendidikan tinggi: public goods? Dalam konteks ini, perlu dijelaskan apakah pen- didikan tinggi ter- masuk kategori public goods atau tidak, yang relevan dengan pem- bahasan mengenai isu keadilan dalam layan- an pendidikan. Se- bagian ahli mengata- kan pendidikan tinggi tidak sepenuhnya pub- lic goods karena ekster- nalitasnya lebih bersifat personal ketimbang so- sial, seperti tecermin pad a J!,rivate r~ .!1Lr.et':!.'!l. ranK.

Pengembangan - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/mediaindonesia-20090209... · Saat mengikuti perdebatan publik mengenai isu ini, tertangkap jelas

Embed Size (px)

Citation preview

MEDIA INJ1~~ESIA. Senin--

1 2 317 18 19

--OJan 8Peb

o Selasa4 5

20

o Mar

o Rabu6 7

21 22

OApr OMei

o Kamis 0 Jumat

8 CD 10 1123 24 25 26

OJun OJul 0 Ags

o Minggu14 15 16

29 30 31

ONov ODes

UU BHP dan Kebijakan- - -- --- ..- --- - ~... ~- - -- -.. - == .- -

Pengembangan~ - ;. - --

Per guru an Tinggi. - --..-

o Sabtu

12 13

27 28

OSep OOkt

- - --- 181

Oleh Amich AlhumamiPeneliti Indonesian Institute for Society

Empowerment (lnsep) Jakarta

UU Badan Hukum Pendidikan(BHP) telah resmi disetujui olehDPR dan pemerintah pada 17Desember 2008, yang akan men-

jadi landasan hukum dalam pengelolaan pen-didikan dari jenjang dasar sampai perguruantinggi (PT). Pengesahan UU BHP ini memicukontroversi luas seperti tecermin pada resist-ensi yang begitu kuat dari sebagian kalanganPT. Bahkan ketika masih dalam bentuk RUU,UU BHP sudah memantik polemik di kalanganmasyarakat akademik. Tak pelak, kontroversiterus berlanjut sampai UU BHP disahkan danakan segera diberlakukan setelah ditandata-ngani presiden. Banyak pihak merasa risau,jika pengelolaan PT berbentuk BHP-di negara-negara maju lazim disebut corporate body--maka komersialisasi pendidikan tinggi yangsudah menjadi geja~a umum akan mendapatjustifikasi.

Saat mengikuti perdebatan publik mengenaiisu ini, tertangkap jelas ada argumen bemadaideologis begitu kuat yang dikaitkan denganhak dasar warga negara untuk memperolehlayanan pendidikan berkualitas sampai kejenjang higher education. Jika PT menjelmamenjadi BHp, masyarakat khawatir pendidik-an tinggi akan menjadi semakin mahal karenapengelola PT lebih berorientasi pasar, berpe-gang pad a hukum supply-demand, dan cende-rung berburu rente. UU BHP akan menjadibasis legal atas praktik komersialisasi pendi-dikan tinggi, yang mengabaikan kalangantidak mampu (disadvantagedgroups)untukmemperoleh pendidikan. Sebab, pendidik-an tinggi hanya bisa diakses oleh kelompokbermodal dan masyarakat kaya saja. Ma-syarakat miskin dan golongan berpengha-silan rendah dipastikan tidak bisa menge-nyam PT, karena biayanya di luar jangkauan

kemamp~an ekon~i m~reka:.-

-Kliping Humos Unpod 2009

Para pengkritik juga berargumen, BHP akanmenjadi instrumen untuk melanggengkan ke-senjangan sosial, yang potensial memicu per-tentangan kelas dan mengancam kohesi ma-syarakat. Dapat dimaklumi bila UU BHPmenuai kritik tajam karena menyentuh isuyang sangat fundamental yakni keadilan da-lam mendapat layanan pendidikan bermutu.Maka, pertanyaan penting yang patut diajukanadalah benarkah UU BHP serta-merta akan

mengabaikan prinsip keadilan dalam layananpendidikan? Apakah status BHP akan menem-patkan PT sebagai institusi yang menjadiprivilese kelompok bermodal dan orang kayasaja dan mengingkari hak-hak orang miskin?Apakah status UU BHP akan menghilangkanperan pemerintah dan pengelolaan PT sepe-nuhnya berdasarkan market-driven business

.J!£.tivif]j?Pendidikan tinggi:

public goods?Dalam konteks ini, perlu

dijelaskan apakah pen-didikan tinggi ter-masuk kategori publicgoodsatau tidak, yangrelevan dengan pem-bahasan mengenai isukeadilan dalam layan-an pendidikan. Se-bagian ahli mengata-kan pendidikan tinggitidak sepenuhnya pub-lic goodskarena ekster-nalitasnya lebih bersifatpersonal ketimbang so-sial, seperti tecermin pad a

J!,rivate r~ .!1Lr.et':!.'!l.ranK.

lebih tinggi yakni 19% jika dibandingkan de- apa yang disebut knowledge & technological-ngansocial rate of return yang hanya 10% (Psa- driven economic growth. PT sebagai pusatcharopoulos & Patrinos, 2002). Ini berbeda pengembangan ilmu pengetahuan dituntutdengan pendidikan dasar dan menengah yang mampu melahirkan penemuan-penemuansudah jelas publicgoodskarena eksternalitasnya baru dan. melakukan inovasi teknologi, yangbersifat sosial / publik. Keduanya memberi mendukung pembangunan ekonomi berbasismanfaat personal dan sosial/ publik yang iptek. Secara mikro, PT menghadapi tigatinggi seperti tecermin pada private and -social masalah pokok yaitu: (1)meningkatnya jumlahrates of return, masing-masing sebesar 43,6% lulusan SMA yang harus diakomodasi untukdan 32,0% (ibid). Namun, sebagiaI1 ahli me- mendapat layanan pendidikan tinggi; (2)ngatakan pendidikan tinggi juga public goods, menurunnya kesempatan kerja yang berban-karena para lulusan PT pada akhirnya akan ding terbalik dengan meningkatnya jumlahmasuk ke pasar kerja dan memberi sumbang- sarjana pencari kerja; dan (3) ketatnya per-an dalam proses peningkatan produktivitas saingan dalam memperoleh dana publik dannasiona!. Setelah bekerja, mereka berkontri- swasta untuk membiayai pendidikan tinggi.busi melalui pembayaran pajak yang kemu- Berbagai tantangan dan masalah tersebutdian dipakai untuk membiayai berbagai jenis sebenarnya bukan khas Indonesi", melainkanpelayanan publik, termasuk pendidikan dijumpai pula baik di negara-negara sedang- -~-- -tinggi. berkembang maupun negara-negara maju. Ba-

Namun penting dicatat, kelompok ya~g pa~ nyak negara kemudian merumuskan ulangling menikmati layanan pendidikan tmggl kebijakan dalam pengembangan pendidikanadalah masyarakat kaya. Menurut Susenas tinggi, khususnya menyangkut sistem pengelo-2006,partisipasi pendidikan penduduk umur laan dan pendanaan (GECD,RedefiningTertiary19-24tahun quintilepertama hanya 3,45%,se- Education, 1998). Dalam hal pengelolaan PT,dangkan quintile lima sudah me~capai ~5?%. negara-negara maju yang tergabung dalamJadi, 'Ida kesenjangan partisipasl pendldlkan GECD telah memelopori pembentukan corpo-tinggi yang demikian fantastik antara 20% ratebodyfor highereducation.Di kawasan Asia,lapis an masyarakat paling miskin ~an 20% negara yang menerapkan kebijakan ini adalahlapisan masyarakat paling kaya. Saks~kan, me- Jepang dan China, yang telah merintisnya sejakreka yang memperoleh manfaat pahng besar akhir 1980-an dan awal1990-an (Futao Huang,adalah kelas menengah dan kelompok bersta- Incorporationand University Governance,SouJICetus ekonomi tinggi. Agar prinsip keadilan dan GECO, 2006).pemerataan pendidikan tetap terjaga, ~a~s Sebelum tahun 1980-an, PT di China masihada jaminan kuota bagi masyarak~t ?,~skm sepenuhnya di bawah kendali politbiro PKCuntuk masuk PT dengan biaya SUbSldl sllang dan dikembangkan sekadar untuk memasokyang diatur undang-undang. tenag~ kerja dalam sistem ekonomi sosialisme

1 yang terpusat dan terkendali. Bahkan padamasa Revolusi Kebudayaan, universitas tidakboleh beroperasi atau menerima mahasiswa.Karena, para pemuda diwajibkan masuk RedGuard sehingga aktivitas akademik di PT ter-henti sarna sekali. Bersamaan dengan akomo-dasi sistem ekonomi kapitalisme, China menga-dQEsi E!:llasiste1!l c01]!oratebody'.

Pengalaman China dan JepangSecara makro, PT menghadapi banyak tan-

tangan sejalan dengan kemajuan sangat cepatdi bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan

-- teknologi. J(etiganyabersinergi dan men-

jelma men-jadi-..-

Di Jepang, mayoritas PT berstatus swastadengan proporsi mahasiswa di universitas danjunior collegemasing-masing 79,6% dan 73,5%,

sehingga relatif mudah melakukan penye-suaian ketika berubah menjadi corporate

body. Sedangkan PT negeri umumnyamenjalankan fungsi fasilitasi berbagaikegiatan penelitian ilmiah (dasar dan

terapan) berskala besar dan penyeleng-gara pendidikan pascasarjana. Di

kedua negara tersebut, bentukcorporate body ditandai oleh(i) partisipasi pihak ekster-nal dalam manajemen danorganisasi universitas, (ii)pengangkatan pengajardan personel berdasarkanprinsip profesionalisme danmeritokrasi, (iii) deregulasianggaran dan pembiayaan

berdasarkan kompetisi pro-. . gram akademik, dan (iv)

ill Iketerbukaan dalam pemanfaa-

. . tan sumber daya untuk men-,', , " dorong partisipasi publik.

Dalam kasus China dan

' ' , . Jep_ pen","p~ """""Ie bodyberdampak positif dalam hal

/'.' kemandirian pembiayaan, akunt-

, abilitas, efisiensi, dan transparansi.. . " Sebab, PT memiliki otonomi yang

" ," luas sehingga lebih leluasa dalami1J; mengemb,ngk,n ""rep".,uri,'culture melalui berbagai bentukkerja sarna saling menguntungkandengan dunia usaha dan dunia in-dustri. PT juga punya kebebasandalam menggali berbagai sumberdaya finansial yang berasal dari (i)

unit usaha independen, (ii) komi-si atas jasa penelitian dan kon-sultan, (iii) kontrak karya ino-vasi teknologi dan research &

development (R&D), (iv)komisi atas hak paten atauhak karya intelektual(HAKI), dan (v) berbagaijenis hibah atau donasi takmengikat.

Setelah berubah menjadicorporate body, persentase

pembiayaan PT di Chinayang bersumber dari pemerin-tah turun signifikan, dari 99%

pada 1990 menjadi 55% pad a 200l.Dana yang berhasil dikumpulkan

PT dari berbagai sumber di luar pemerintah(non-public expenditure) mampu menutup se-

tengah dari total kebutuhan anggaran per ta-hun, dan setengahnya lagi masih tetap disub-sidi pemerintah. Aktivitas R&D dan inovasiteknologi untuk kepentingan ilmiah dan indus-tri makin berkembang pesat, sejalan denganpertumbuhan ekonomi nasional. Dengan sistembaru dan tetap mempertahankan peran peme-rintah, China berhasil mengembangkan univer-sitas 'riset unggulan dan berkelas dunia sekali-gus menjadi basis knowledge-driveneconomicdevelopment.Yangmengagumkan, China sukesmengantarkan enam PT-nya masuk 200 univer-sitas terbaik dunia (Times Survey onHigher Edu-cation 2008).

Dalam perspektif demikian, kontroversi UUBHP seyogianya tetap membuka peluang untukbelajar dari pengalaman China dalam mengelolaPT, yang semula state-controlledmanagement ke-mudian berubah drastis menjadi corporatebody..:I ~. . ....