Upload
nguyenkiet
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT NENAS SMOOTH CAYENNE SECARA IN VIVO MELALUI
APLIKASI AUKSIN DAN SITOKININ
NAEKMAN NAIBAHO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pengembangan Teknologi Perbanyakan Bibit Nenas Smooth Cayenne Secara In Vivo melalui Aplikasi Auksin dan Sitokinin adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Bogor, Agustus 2012
Naekman Naibaho NIM A251090061
ABSTRACT
Development of Pineapple Seed Propagation In Vivo Through Aplication of Auxin dan Cytokinin. Under supervision of M. RAHMAD SUHARTANTO and SOBIR Pineapple plantation needs 40.000-60.000 seedlings per hectare, so it is important to have simple, efficient and effective propagation technology. The objectives of this research are to study the effect of IBA and BA to improve the success of seed production by in vivo. The study was conducted in three experiments. The first and the second experiment were to study the effect of indole-3-butyric acid (IBA) at 0, 25, 50 ppm and Benzyl Adenine (BA) at 0,25,50 and 75 ppm on the successful of basal leaf cuttings from stem and crown of pineapple GP-1 (Ananas comosus L. Merr). The third experiment was to determine the effect of sytokinin on the different size of buds generated from crown leaf cuttings. The result showed that leaf cutting from stem potential used as an alternative materials for seed propagation of pineapple. Increased of auxin concentration up to 50 ppm on leaf cuttings of stem inhibit shoot height. Contrarily, cytokinin treatment up to 50 ppm increased the height of shoots. Application of auxin up to 50 ppm on leaf cuttings of crown increase the percentage of rooted cuttings and percentage of budding per shoots (2-3 shoot per cutting), but application of cytokines up to75 ppm suppress seedling height, width leave and reduce the emergence rate of shoots at 50 ppm. Application of cytokinin (BA) 25 ppm and 50 ppm increased the percentage of sprouted cuttings and number of nodules on small buds and medium buds. Percentage sprouted cutting on small buds higher than medium and bigger buds. Using economic analysis, it is showed that IBA 50 ppm application on crown leaf cuttings is the most optimum materials used for seed propagation by in vivo.The success of seed multiplication in vivo through cuttings leave from the crown better than cuttings from leave stem. Keywords : Pineapple seed, Leaf cutting of stem, Leaf cutting of crown, IBA,BA
RINGKASAN
NAEKMAN NAIBAHO. Pengembangan Teknologi Perbanyakan Bibit Nenas Smooth Cayenne Secara In Vivo melalui Aplikasi Auksin dan Sitokinin. Dibimbing oleh M. RAHMAD SUHARTANTO dan SOBIR. Produksi nenas terus menurun seiring dengan penurunan luas pertanaman sejak 2010 hingga 2012. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang potensial untuk mengembangkan tanaman nenas. Pengembangan nenas secara luas membutuhkan jumlah bibit yang sangat besar sekitar 40.000-60.000 bibit per ha. Penyediaan bibit secara massal selama ini hanya bisa disediakan melalui perbanyakan in vitro. Namun demikian perbanyakan nenas dengan in vitro memerlukan biaya yang sangat mahal, membutuhkan kemampuan khusus dan sering terjadi variasi somaklonal pada bibit yang dihasilkan.
Kebutuhan bibit nenas Smooth Cayenne umumnya tergantung pada jumlah anakan yang dihasilkan oleh induk tanaman. Jenis nenas Smooth Cayenne umumnya hanya memproduksi satu atau dua anakan/sucker per tanaman. Demikian halnya dengan sumber bibit asal mahkota, menjadi tidak tersedia ketika penanaman selanjutnya karena buah dan mahkota terjual bersama sebagai buah segar. Oleh karena itu, perlu dicari alternative teknik perbanyakan yang mudah dilakukan dan manfaatkan sumber perbanyakan yang ada dan mudah diperoleh. Teknologi pembibitan yang diharapkan adalah teknologi perbanyakan yang mudah dilakukan tetapi dapat memproduksi secara massal, berkualitas, cepat, seragam dan murah. Perbanyakan melalui stek basal daun merupakan salah satu cara konvensional yang dimodifikasi untuk memperbanyak bibit secara cepat dan massal. Keberhasilan perbanyakan bibit nenas Smooth Cayenne dengan stek basal daun belum banyak diketahui terutama yang menggunakan potongan basal daun dari batang dan mahkota. Teknik ini merupakan modifikasi sistem perbanyakan menggunakan stum batang (stem splitting) dan stek daun (stem leaf budding) yang tingkat keberhasilan dan daya multiplikasinya belum maksimal dan sebagian belum diketahui responnya terhadap ZPT. Oleh karena itu perlu usaha mengoptimalkan teknik tersebut dengan cara pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) sehingga diharapkan penyediaan bibit di lapang terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin serta interaksinya pada stek basal daun asal batang dan mahkota. Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari pengaruh sitokinin terhadap berbagai ukuran mata tunas yang efektif meningkatkan jumlah stek bernodul melalui stek basal daun asal mahkota. Disamping itu, diperoleh informasi efesiensi ekonomis dan teknis teknologi produksi bibit nenas secara stek.
Penelitian ini dilakukan di Rumah Plastik Kebun Penelitian Tajur dan Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Hortikultura Tropika,
IPB. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli 2011 sampai dengan Februari 2012. Penelitian terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama dan kedua adalah mempelajari pengaruh sitokinin (BA) dan auksin (IBA) terhadap keberhasilan produksi bibit dengan menggunakan eksplan stek basal daun asal batang dan mahkota. Percobaan ketiga adalah aplikasi sitokinin BA terhadap berbagai ukuran mata tunas yang dihasilkan oleh stek basal daun asal mahkota (crown). Percobaan pertama dan kedua menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial, dengan dua faktor. Faktor pertama adalah taraf konsentrasi auksin dengan tiga taraf yaitu, taraf 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan faktor kedua adalah taraf konsentrasi sitokinin dengan empat taraf yaitu, 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm. Masing-masing percobaan terdiri dari 12 kombinasi perlakuan, dengan tiga kali ulangan untuk setiap kombinasi perlakuan, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 sampel stek basal daun. Percobaan ketiga menggunakan model Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi sitokinin tiga taraf yaitu 0, 25 dan 50 ppm dan faktor kedua adalah tiga ukuran mata tunas hasil stek daun asal mahkota yang terdiri dari tiga taraf yaitu mata tunas kecil, sedang (tunas belum berdaun) dan mata tunas besar (tunas telah berdaun). Setiap perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Setiap satun percobaan terdiri dari 10 stek basal daun asal mahkota. Secara umum, perlakuan auksin dan sitokinin pada stek daun asal batang dan mahkota, tidak memberikan pengaruh interaksi pada semua peubah yang diamati namun sebagian peubah berpengaruh nyata berdasarkan faktor tunggal. Percobaan pertama, menunjukkan bahwa stek basal daun asal batang dapat digunakan sebagai bahan alternatif perbanyakan bibit nenas secara in vivo. Pemberian auksin hingga konsentrasi 50 ppm pada stek batang dapat menghambat pertumbuhan tunas dan sebaliknya pemberian Sitokinin hingga konsentrasi 50 ppm mampu meningkatkan tinggi tunas. Percobaan kedua, menunjukkan bahwa pemberian ZPT auksin dan sitokinin pada stek basal daun asal mahkota mampu meningkatkan keberhasilan perbanyakan bibit nenas melalui peningkatan persentase stek berakar dan jumlah tunas. Kemampuan stek berakar dan bertunas dipengaruhi kadar hormon endogen dan protein yang terdapat dalam jaringan stek. Taraf konsentrasi auksin 50 ppm mampu meningkatkan persentase stek yang berakar dan persentase jumlah stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan. Sebaliknya, berdasarkan peubah tinggi dan lebar daun, pemberian taraf sitokinin hingga 75 ppm justru menghambat pertumbuhan bibit berdasarkan peubah tinggi bibit dan lebar daun serta dapat memperlambat waktu bertunas pada perlakuan 50 ppm. Percobaan ketiga menunjukkan bahwa aplikasi sitokinin (BA) 25 ppm dan 50 ppm pada stek basal daun asal mahkota yang tunas kecil menghasilkan persentase stek bernodul dan jumlah nodul lebih tinggi daripada terhadap tunas sedang dan besar. Berdasarkan analisis efesiensi dan ekonomi, menunjukkan bahwa penggunaan auksin (IBA) 50 ppm pada stek daun asal mahkota adalah yang paling optimal dan efesien. Secara umum, keberhasilan perbanyakan bibit melalui stek asal mahkota lebih baik daripada asal batang.
Kata kunci : Bibit nenas, Stek basal daun asal mahkota, Stek basal daun asal batang, IBA, BA.
©Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutif sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT NENAS SMOOTH CAYENNE SECARA IN VIVO MELALUI
APLIKASI AUKSIN DAN SITOKININ
NAEKMAN NAIBAHO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Megister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Tatiek Kartika
Judul Tugas akhir : Pengembangan Teknologi Perbanyakan Bibit Nenas Smooth Cayenne Secara In Vivo melalui Aplikasi Auksin dan Sitokinin.
Nama : Naekman Naibaho NIM : A251090061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. Dr. Ir. Sobir, MSi
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Benih
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 26 Agustus 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul tesis yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengembangan Teknologi Perbanyakan Bibit Nenas Smooth Cayenne Secara In Vivo melalui Aplikasi Auksin dan Sitokinin
Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. M. Rahmad Suhartanto selaku dosen Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian hingga penyusunan tesis ini selesai.
2. Dr. Sobir selaku Anggota Komisi Pembimbing yang pengarahkan dan memberikan bimbingan kepada penulis serta nasehat dan kemudahan selama kuliah dan penelitian.
3. Dr. Ir. Tatiek Kartika, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis.
4. Prof. Dr. Satriyas Ilyas, MS, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan dukungan, pengarahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini.
5. Prof. Dr. Sri Setyati Harjadi, atas dorongan dan dukungannya. 6. Orang tua tercinta dan seluruh keluarga di Sumatera dan Tasikmalaya,
terimaksih atas doa dan perhatiannya. 7. Pimpinan dan seluruh jajarannya di PKHT, atas izin dan bantuan biaya
pendidikan selama mengikuti program pendidikan S2. 8. Istri dan anak saya tercinta, atas doa dan motivasinya. 9. Rekan-rekan sejawat di PKHT IPB, atas dukungannya selama ini. 10. Rekan-rekan ITB 2009 dan 2010, atas kebersamaan dan semangat yang
diberikan. 11. Arya, atas bantuannya 12. Semua pihak yang membantu namun tidak tersebutkan satu per satu dalam
karya tulis ini, semoga tuhan memberi hidayahnya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat
Bogor, Agustus 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Desember 1977 di Simalungun, Sumatera Utara dari pasangan Purasa Naibaho (Alm) dan Nurhayati S. Penulis merupakan Putra ke enam dari delapan bersaudara.
Pada tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri Sidamanik dan pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2009 diterima sebagai mahasiswa di program Studi/Mayor Ilmu dan Teknologi Benih.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................ i
DAFTAR TABEL ................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... vi
PENDAHULUAN .......... ........................................................................ 1
Latar Belakang ........................................................................ 1
Perumusan Masalah ........................................................................ 3
Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
TINJAUAN PUSTAKA ......... ............................................................... 6
Morfologi Tanaman Nenas .................................................................. 6
Klasifikasi Nenas Klon GP-1 ............................................................... 7
Syarat Tumbuh ........................................................................ 9
Bahan Perbanyakan Nenas ................................................................... 10
Zat Pengatur Tumbuh ........................................................................ 11
Efesiensi Ekonomis dan Teknis ........................................................... 12
BAHAN DAN METODE ........................................................................ 15
Tempat dan Waktu ........................................................................ 15
Metode Penelitian ........................................................................ 15
Percobaan I : Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang ................................ 15
Percobaan II : Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Mahkota ............................... 18
Percobaan III : Pengaruh Pemberian BA terhadap Berbagai Ukuran Mata Tunas Asal Stek Basal Daun Mahkota ................... 19
Analisis Data ....................................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 20
Kondisi Umum ........................................................................ 20
Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal
ii
Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne ......................................... 22
Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Mahkota Nenas Smooth Cayenne ............................ 34
Pengaruh Sitokinin BA pada Berbagai Ukuran Tunas terhadap Kemampuan Stek Bernodul ................................................................. 45
Efesiensi Ekonomis dan Teknis ........................................................... 49
Pembahasan Umum ........................................................................ 54
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 65
Simpulan ........................................................................ 65
Saran ........................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 67
LAMPIRAN ........................................................................ 73
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1 ............................................................... 22
2. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Tunas pada Stek Basal Daun Asal Batang .................................................... 25
3. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang .................................................... 27
4. Ekstrapolasi Tinggi Bibit Nenas Hasil Stek Basal Daun Asal Batang ....................................................................... 28
5. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Jumlah Daun pada Stek Basal Daun Asal Batang .................................................................... 29
6. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Lebar Daun pada Stek Basal Daun Asal Batang .................................................................... 30
7. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Panjang Akar, Persentase Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang ................................................................... 31
8. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Persentase Stek Hidup Jumlah Tunas per Stek, Persentase Stek Bertunas 2-3 Tunas per Eksplan serta Waktu Bertunas pada Stek Basal Daun Asal Batang ...................................................................... 33
9. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Mahkota (crown) Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1 ............................................................ 35
10. Respon Pemberian Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Tunas pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ........................................................ 36
11. Respon Pemberian Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Bibit pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ........................................................ 37
12. Hasil Ekstrapolasi Data Tinggi Bibit Nenas Asal Stek Basal Daun Asal Mahkota ........................................................................ 38
13. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Jumlah Daun pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ........................................................................ 39
14. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Peubah Lebar Daun pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ......................................................... 41
15. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Panjang Akar, Persentase Stek Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ...................................................................... 42
16. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Persentase Tumbuh, Jumlah
iv
Tunas/Stek, Stek Bertunas 2-3 Tunas per Eksplan serta Waktu Bertunas pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ................................. 43
17. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Sitokinin BA dan Ukuran Mata Tunas terhadap Persentase Stek Berkalus dan Jumlah Mata Tunas .. 46
18. Pengaruh Interaksi Sitokinin dengan Ukuran Mata Tunas Stek Terhadap Persentase Stek Bernodul pada 4 MST ............................. 46
19. Pengaruh Interaksi Sitokinin dengan Ukuran Stek pada Jumlah Nodul per Stek pada 4 MST ........................................................................ 47
20. Efisiensi Ekonomis dan Teknis Kegiatan Produksi Bibit Nenas Smooth Cayenne pada Stek Basal Daun Asal Mahkota ..................... 51
21. Hasil uji T Perlakuan Auksin dan Sitokinin pada Batang Vs Auksin dan Sitokinin pada Mahkota terhadap Tinggi Bibit, Persentase Stek Tumbuh, Stek Berakar, Waktu Bertunas, Waktu Produksi Bibit Mencapai 15 cm serta Total Jumlah Tunas per Satuan Percobaan ... 57
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Gambar Nenas Smooth Cayenne Smooth Cayenne Klon GP-1 (Sumber PKHT) ........................................................................ 8
2. Kondisi stek basal daun yang mengalami gejala pembusukan akibat Cendawan Phytopthora sp (A), gejala serangan Red spider (Dolichote tranychus) (B), Kutu sisik (Diaspis bromeliad) (C), serta serangan Dysmicoccos brevipes (kutu putih) pada pangkal batang bibit (D).) ........................................................................ 21
3. Morfologi Tunas Bernodul Asal Stek Mahkota : (A). Mata Tunas Umur 1 MSA dan (B). Mata Tunas Umur 4 MSA (Pembesaran Gambar 20 x) ........................................................................ 45
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian .................................................... 74
2. Data Klimatologi Wilayah Ciawi Selama Penelitian .......................... 75
3. Data Analisis Kandungan Karbohidrat, Nitrogen dan Protein pada Stek Basal Nenas Asal Batang dan Mahkota ............................. 75
4. Keragaan Keberhasilan Stek 4 MST. (A) Stek Bertunas dan Berakar (B).Stek Berakar tanpa Bertunas, (C). Stek Bertunas tanpa Akar ........................................................................ 76
5. Keragaan Perkembangan Akar dan Tunas pada Potongan Mahkota dan Batang pada 2 MST (A) dan Keragaan Pertumbuhan Tunas pada Kondisi Perakaran yang Berbeda pada 20 MST (B). ......................... 77
6. Gambar Print Out Solusi Optimasi Produksi Bibit dalam Lingo 8.0 .. 78
7. Nilai B/C Ratio Setiap Perlakuan ....................................................... 79
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Nanas (Ananas comosus (L) Merr.) merupakan tanaman buah ketiga yang
paling penting di daerah tropis dan subtropis, setelah pisang dan jeruk (Rohrbach
et al. 2003). Industri nanas dunia didominasi oleh kultivar Smooth Cayenne dan
turunannya. Data statistik menunjukkan bahwa produksi nenas Indonesia tahun
2010 terjadi penurunan produksi dari 1.558.049 ton menjadi 1.390.380 ton pada
tahun 2011. Terjadinya penurunan produksi ini sejalan dengan penurunan luas
pertanaman nenas produktif dari 22.500 Ha menjadi 20.000 Ha (FAO STAT,
2012). Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia memiliki keunggulan
agroklimat dan lahan yang tersedia cukup luas dan pasar terbuka lebar.
Ketersediaan bibit merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam
rangka perluasan penanaman terutama untuk skala pertanaman menengah dan
besar. Beberapa hal yang ditenggarai menyebabkan menurunnya luasan
pertanaman nenas di Indonesia adalah tidak tersedianya bibit siap tanam,
terbatasnya jumlah bibit yang berkualitas, tingginya biaya produksi bibit jika
melalui tehnik kultur jaringan serta rendahnya produksi bibit jika menggunakan
sumber bibit dari anakan. Menurut Prihatman (2000) tiap hektar dibutuhkan
40.000-60.000 bibit nenas. Perkebunan nenas skala besar umumnya mempunyai
lahan seluas 10.000-35.000 Ha, sehingga perlu penyediaan bibit nenas yang
berkualitas dalam jumlah banyak dan seragam.
Salah satu usaha untuk mengurangi biaya produksi dan meningkatkan
kualitas panen serta keseragaman pertanaman adalah melalui teknologi
pembibitan. Teknologi pembibitan sangat penting untuk membantu menghasilkan
bibit yang berkualitas dan seragam. Teknologi pembibitan yang diharapkan adalah
teknologi perbanyakan yang mudah dilakukan tetapi dapat memproduksi secara
massal, berkualitas, cepat, seragam dan murah. Ukuran bibit yang berkualitas
adalah bibit yang mampu tumbuh maksimal atau memiliki vigor yang tinggi dan
seragam sehingga meningkatkan meningkatkan kualitas hasil (Py et al. 1987).
Produksi bibit tanaman nenas yang seragam dapat dilakukan dengan cara
perbanyakan cepat melalui modifikasi teknik konvensional secara in vivo seperti
2
stek basal daun. Perbanyakan secara in vivo sudah banyak dilakukan dengan
berbagai cara namun hasilnya masih belum optimal seperti perlakuan fisik
terhadap terminal meristem (Heenkenda, 1993), membagi batang menjadi
beberapa bagian (stem splitting) (Macluskie, 1939; Seow dan Wee, 1970;
Kotalawala, 1971; Wee, 1979; Singh dan Yadav, 1980) dan perlakuan tanaman
dengan bahan kimia seperti Morphactin (methylester chlorflurenol) (Sanford dan
Ravoof, 1971; Watson, 1974; Keetch dan Dalldorf, 1980; Glennie, 1981; Kudo
dan Koga, 1981).
Metode perbanyakan stek basal daun mahkota (mahkota leaf budding)
berpotensi menghasilkan bibit lebih banyak dan seragam. Teknik ini telah
diperkenalkan cukup lama dan telah banyak mengalami perubahan (Seow. et al.
1970; Lee et al. 1978; Dass et al. 1984.). Stek basal daun memanfaatkan jaringan
meristem pada setiap ketiak daun. Setiap daun mahkota nenas memiliki tunas
aksilar yang dorman dan melekat pada setiap ketiak batang daun. Tunas dorman
tersebut berpotensi untuk mengasilkan mata tunas (bud) dan menjadi calon bibit
(Py et al. 1984; Hepton, 2003.). Selanjutnya, menurut Naibaho et al. (2008), satu
mahkota tanaman nenas dapat menghasilkan 25-30 potongan basal daun yang
berpotensi untuk menghasilkan bibit.
Kebutuhan bibit nenas Smooth Cayenne umumnya tergantung pada jumlah
anakan yang dihasilkan oleh induk tanaman. Jenis nenas Smooth Cayenne
umumnya hanya memproduksi satu atau dua anakan/sucker per tanaman dan
jarang lebih dari tiga anakan (Collins, 1960; Py et al. 1987; Nakasone dan Paull,
1998). Demikian halnya dengan sumber bibit asal mahkota, menjadi tidak tersedia
ketika penanaman selanjutnya karena buah dan mahkota terjual bersama sebagai
buah segar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem produksi sumber bibit baik
berupa plantlet (perbanyakan planlet) atau bibit siap tanam yang lebih efisien
untuk mendukung produksi buah nenas di lapang, baik skala kecil maupun besar.
Pemberian zat pengatur tumbuh merupakan salah satu alternatif untuk
mendukung teknologi perbanyakan dan memperbaiki proses biologis tanaman.
Pembentukan tunas pada tanaman dapat ditingkatkan dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan untuk membantu
keberhasilan perbanyakan adalah sitokinin dan auksin. Menurut Harjadi (2009)
3
sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel dan fungsi pengaturan
pertumbuhan, serta perkembangan mata tunas dan pucuk. Salah satu jenis
sitokinin sintetik yang banyak digunakan yaitu Benzylaminopurine (BA). Aplikasi
sitokinin diharapkan mampu meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk pada stek
daun dan batang pada nenas.
Zat pengatur tumbuh lain yang mampu mendorong pertumbuhan adalah
auksin. Auksin merupakan salah satu fitohormon yang terkenal untuk mendorong
perpanjangan sel pucuk di daerah sub apikal. Menurut Hartmann (1997) zat
pengatur tumbuh yang paling berperan pada pengakaran stek adalah auksin. Saat
ini jenis hormon auksin sintetik yang banyak digunakan untuk tujuan perbanyakan
adalah indole-3-butyric acid (IBA).
Sitokinin dan auksin dalam tanaman mendorong pembelahan sel dan
sitokinin yang berinteraksi dengan auksin dalam menentukan arah terjadinya
diferensiasi sel. Perubahan perbandingan auksin dan sitokinin akan berakibat
pembentukan meristem yang kemudian berdiferensiasi kearah pembentukan akar,
tunas dan batang (Kusumo, 1990).
Penggunaan bahan kimia atau zat pengatur tumbuh terhadap keberhasilan
stek nenas penting untuk dipelajari. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya,
tehnik perbanyakan secara in vivo berpotensi untuk dikembangkan sehingga perlu
dilakukan studi perbanyakan bibit nenas Smooth Cayenne melalui penggunaan zat
pengatur tumbuh seperti sitokinin (BA) dan auksin (IBA). Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperoleh informasi teknologi sederhana sistem perbanyakan
bibit nenas yang mampu meningkatkan keberhasilan perbanyakan bibit terutama
untuk jenis nenas Smooth Cayenne. Selain hal tersebut, penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi efesiensi teknis dan ekonomis bagi
pengambangan teknologi pembibitan nenas melalui stek basal daun sehingga
bermanfaat bagi pengguna.
Perumusan Masalah
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri nenas
adalah terbatasnya penyediaan bibit yang berkualitas yang mudah diperoleh dalam
jumlah banyak dan seragam. Saat ini perbayakan tanaman nenas masih
mengandalkan bibit asal anakan yang jumlahnya sangat terbatas. Teknik kultur
4
jaringan juga masih dianggap terlalu mahal dan seringkali memunculkan variasi
somaklonal yang mengakibatkan bibit dan pertanaman di lapang menjadi tidak
seragam. Beberapa klon potensial hasil persilangan atau hibridisasi juga sulit
untuk dikembangkan karena hanya mengandalkan pembiakan secara vegetatif
terutama dari anakan dan mahkota nenas dari tanaman induk.
Kebutuhan bibit nenas kultivar Cayenne tergantung pada jumlah bibit
yang dihasilkan oleh induk tanaman. Jenis nenas Smooth Cayenne yang tanam
biasanya hanya memproduksi satu atau dua anakan/sucker per tanaman dan jarang
lebih dari tiga anakan (Collins, 1960; Pay et al. 1987; Nakasone dan Paull, 1998).
Demikian halnya dengan sumber bibit asal mahkota, bibit yang berasal dari
mahkota menjadi tidak tersedia ketika penanaman selanjutnya karena buah dan
mahkota dijual bersama sebagai buah segar.
Teknik in vivo atau perbanyakan konvensional cepat masih dipandang
sebagai metode perbanyakan yang dapat digunakan untuk perbanyakan bibit yang
berkualitas dan seragam. Penelitian perbanyakan nenas secara in vivo telah banyak
dilakukan diberbagai negara. Metode perbanyakan in vivo umumnya
menggunakan stek batang (stem splitting) dan tunas basal daun mahkota (mahkota
leaf budding ). Tehnik perbanyakan secara in vivo ini merupakan metode
perbanyakan konvensional yang berpotensi digunakan untuk perbanyakan bibit
yang berkualitas dan seragam. Beberapa hasil penelitian perbanyakan cara in vivo
telah dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Suwunnamek (1993),
mencoba untuk meningkatkan jumlah tunas nenas dengan menggunakan bahan
paclobutrazol, tiourea, dan pendimethalin, tetapi efisiensi propagasinya masih
rendah sekitar tiga tunas per tanaman. Adaniya et al. (2004) melakukan kajian
pengaruh pemberian beberapa jenis ZPT dan agen kimia lain (regulator) terhadap
tingkat multiplikasi dan manfaat praktisnya, seperti forchlorfenuron (N-(2-kloro-
4-piridil)-N-phenylurea) (CPPU) dan 6-benziladenin (BA). Selanjutnya, Coelho et
al (2007) juga melakukan kajian aplikasi BAP dan GA3 terhadap tingkat
multiplikasi nenas Smooth Cayenne namun tingkat propogasinya juga masih
rendah.
Penggunaan bahan kimia zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan bibit
melalui stek basal daun penting untuk dipelajari. Teknik ini berpotensi untuk
5
dikembangkan sehingga perlu dilakukan kajian perbanyakan melalui penggunaan
zat pengatur tumbuh seperti sitokinin (BA) dan auksin (IBA) dalam meningkatkan
keberhasilan dan laju multiplikasinya. Sitokinin jenis BA dan auksin jenis IBA
merupakan zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan di dalam perbanyakan
secara in vitro karena fungsi fisiologis sitokinin maupun auksin berkaitan erat
dengan pembelahan dan pembesaran sel. Dalam menginduksi tunas adventif,
sitokinin dan auksin juga penting dalam menginduksi tunas aksilar dan berperan
dalam menentukan terbentuknya kalus dan akar. Sitokinin bersinergi dengan
auksin dalam menstimulasi pembelahan sel untuk perkembangan tanaman
selanjutnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan produksi bibit
nenas melalui tehnik perbanyakan bibit melalui stek basal daun dengan cara :
1. Mengetahui pengaruh jenis zat pengatur tumbuh auksin (IBA) dan sitokinin
(BA) pada berbagai taraf konsentrasi terhadap keberhasilan produksi bibit
nenas Smooth Cayenne klon GP-1 melalui stek basal daun asal batang.
2. Mengetahui pengaruh jenis zat pengatur tumbuh auksin (IBA) dan sitokinin
(BA) dengan berbagai taraf konsentrasi terhadap keberhasilan produksi bibit
Smooth Cayenne klon GP-1 melalui stek basal daun asal mahkota.
3. Mengetahui pengaruh taraf sitokinin (BA) pada berbagai ukuran mata tunas
terhadap persentase stek bernodul dan jumlah nodul melalui stek basal daun
asal mahkota.
4. Mengetahui tingkat efisiensi dan ekonomi teknologi produksi bibit secara stek
basal daun.
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Tanaman Nenas
Nenas memiliki daun berbentuk pedang dengan panjang mencapai 1 m
atau lebih, lebar 5 - 8 cm, pinggir daun berduri atau hampir rata, berujung lancip,
bagian atas daun berdaging, berserat, beralur, tersusun dalam spiral yang tertutup,
bagian pangkalnya memeluk poros utama (Verheij & Coronel, 1992). Jumlah
daun yang terbentuk dapat mencapai 70 sampai 80 helai. Permukaan daun atas,
licin seperti lapisan lilin, berwarna hijau terang atau coklat kemerahan, permukaan
bawahnya terdapat garis-garis linier berwarna putih keperakan, mudah lepas dari
epidermis yang berwarna hijau terang. Stomata tersusun dalam garis putus-putus.
Stomata berada di bagian sisi dan bawah permukaan daun diantara garis-garis
linier (Collins, 1960).
Batang nenas selalu tertutup daun, jika daun dilepas terlihat ruas-ruas
pendek dengan panjang bervariasi antara 1-10 cm dengan ruas yang paling
panjang terdapat di bagian tengah batang, panjang batang berkisar 20-25 cm
dengan diameter bagian bawahnya 2-3.5 cm dan semakin ke atas diameter batang
semakin besar yaitu 5.5 - 6.5 cm serta bagian puncaknya mengecil (Collins,
1960).
Nenas memiliki akar serabut dengan sebaran ke arah vertikal dan
horizontal. Perakaran dangkal dan terbatas walaupun ditanam pada media yang
paling baik. Kedalaman akar nenas tidak akan lebih dari 50 cm (Samson, 1980).
Akar tunggang hanya terbentuk jika bibit berasal dari biji.
Rangkaian bunga dan buah tanaman nenas terdapat pada meristem apikal,
batang berwarna lembayung kemerah-merahan, masing-masing bunga diiringi
oleh satu braktea yang lancip. Nenas memiliki banyak bunga yang tak bertangkai
(100-200), memiliki daun kelopak tiga helai, pendek dan berdaging, daun
mahkota tiga helai, membentuk tabung yang mengelilingi enam lembar benang
sari dan satu lembar tangkai putik yang bercabang tiga (Coronel & Verheij, 1997),
bersifat hermaprodit dan self incompatible (Collins 1960). Sifat self-incompatible
pada nenas (A. comosus) karena adanya lokus tunggal S dengan multiple alel,
tetapi pada spesies A. ananassoides, A. bracteatus, dan A. saginarius adalah self-
7
fertile (Brewbaker & Gorrez 1967 dalam Hadiati, 2002), sehingga biji akan
terbentuk jika terjadi penyerbukan silang. A. comosus mempunyai fertilitas yang
rendah. Hal ini terlihat dari persentase ovule yang menghasilkan biji setelah
penyerbukan, yaitu kurang dari 5 %. Pada kultivar Cayenne, Red Spanish,
Singapore Spanish, Perola, dan Queen dihasilkan kurang dari dua biji/bunga,
sedangkan pada genotipe yang mempunyai daun ‘piping’ dihasilkan 2-5
biji/bunga (Leal dan Coppens, 1996).
Buah nenas merupakan buah majemuk yang terbentuk dari gabungan 100
sampai 200 bunga, berbentuk silinder, dengan panjang buah sekitar 20.5 cm
dengan diameter 14.5 cm dan beratnya sekitar 2.2 kg (Collins, 1960). Kulit buah
keras dan kasar, saat menjelang panen, warna hijau buah mulai memudar.
Soedibyo (1992) menyatakan bahwa diameter dan berat buah nenas semakin
bertambah sejalan dengan pertambahan umurnya, sebaliknya untuk tekstur buah
nenas, semakin tua umur buah maka teksturnya akan semakin lunak (Coronel dan
Verheij, 1997).
Klasifikasi Nenas Klon GP-1
Nenas (Ananas comosus L. Merr) merupakan tanaman tahunan
monokotil memiliki banyak macam dan jenis, namun yang bersifat komersil
hanya Ananas comosus. Secara taksonomi Ananas comosus termasuk dalam
Devisi Spermatophyta, Ordo Farinosae, Famili Bromeliaceae, Genus Ananas dan
Spesies Ananas comosus.
Berdasarkan karakteristik tanaman dan buahnya, nenas dapat
dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu Cayenne, Queen, Spanish, Abacaxi
dan Maipure (Nakasone & Paull, 1999). Pengelompokan tersebut berdasarkan
pada ukuran tanaman, ukuran buah, warna dan rasa daging buah, serta pinggiran
daun yang rata dan berduri (Nakasone & Paull 1999).
Kultivar Cayenne klon GP-1 merupakan golongan yang heterozigot.
Menurut sejarah, Cayenne adalah hibrida yang berasal dari tipe tetua yang tidak
diketahui. Perubahan genotipe nenas Cayenne terjadi akibat mutasi gen dan
kromosom somatik. Pada saat terjadi mutasi somatik, Cayenne mampu bertahan
hidup, sehingga populasi nenas Cayenne yang ada sekarang, merupakan klon yang
sudah bermutasi dan penampilannya mirip dengan tetua (Collins, 1968).
8
Nenas Smooth Cayenne klon GP-1 merupakan jenis yang sedang
dikembangkan di Pusat Kajian Hortikultura Tropika. Klon GP-1 merupakan jenis
nenas introduksi yang berpotensi untuk dikembangkan untuk tujuan konsumsi
segar. Nenas klon GP-1 berasal dari negara Fhilipina (PKBT, 2009).
Sebagai genotipe unggul, varietas GP-1 mengakumulasi karakter unggul
dari dua tipe nenas yaitu Smooth Cayenne dan Queen yang meliputi bobot buah
1.0-1.3 kg; PTT > 16%; mahkota buah tegak dan proporsional; warna daging buah
kuning sampai jingga; daging buah renyah; hati kecil; umur simpan panjang;
bentuk buah silindris; tidak berduri; dan responsif terhadap induksi pembungaan.
Dalam rangka mempromosikan keunggulan tersebut maka perlu dilakukan
kegiatan komersialisasi, perbanyakan bibit, uji lapang, pelepasan varietas, dan
pengenalan pasar. Hal yang paling penting untuk mendukung itu semua adalah
penyediaan bibit bemutu.
Nenas GP-1 memiliki deskripsi sebagai berikut : tinggi tanaman 80-100
cm, diameter tajuk 155 cm, jumlah daun 80, lebar daun 6-8 cm, panjang
daun 95 cm, umur berbunga 15.0 BST (Bulan Sesudah Tanam), umur panen
18. BST (Bulan Sesudah Tanam), panjang tangkai buah 17 cm, diameter tangkai
buah 3,50 cm, bobot buah 1386 gram, jumlah daun mahkota 95-98, lingkar
tangkai buah 7.21, diamater buah tengah 11-13 cm, diamater hati 2-3 cm,
kedalaman mata 0.8-0.9 cm, tingkat kemanisan14-19 brix, pH 3.5-4, total asam
terlarut 1.3-1.5, tepi daun tidak berduri, warna buah matang kuning bercorak hijau
dan warna daging buah kuning. (PKBT, 2009). Gambar nenas Smooth Cayenne
Klon GP-1 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1 (Sumber PKHT)
9
Syarat Tumbuh
Nenas secara alami merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan
karena nenas termasuk jenis tanaman CAM, yaitu tanaman yang membuka
stomata pada malam hari untuk menyerap CO2 dan menutup stomata pada siang
hari. Hal ini akan mengurangi lajunya transpirasi. Nenas memerlukan sinar
matahari yang cukup untuk pertumbuhan. Kondisi berawan pada musim hujan
menyebabkan pertumbuhannya terhambat, buah menjadi kecil, kualitas buah
menurun dan kadar gula menjadi berkurang. Sebaliknya bila sinar matahari terlalu
banyak maka tanaman akan terbakar dan buah cepat masak. Intensitas rata-rata
cahaya matahari pertahunnya yang baik untuk pertumbuhan nenas berkisar 33-71
% (Coronel dan Verheij, 1997).
Nenas dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Nenas sering ditemukan di
daerah tropis, terutama di tanah latosol coklat kemerahan atau merah. Tanaman ini
memiliki sistem perakaran yang dangkal, sehingga memerlukan tanah yang
memiliki sistem drainase dan aerase yang baik, seperti tanah berpasir dan banyak
mengandung bahan organik. pH yang optimum untuk pertumbuhan nenas adalah
4.5-6.5. Sebaiknya nenas ditanam didaerah dengan pH di bawah 5.5 serta
kandungan garamnya rendah (Pracaya, 1982).
Temperatur optimum untuk pertumbuhan nenas adalah 23oC sampai 32oC.
Temperatur maksimum dan minimum adalah 30oC-20oC. Menurut Coronel &
Verheij (1997) pada suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan daun-daun
tanaman menjadi lunak, buah menjadi besar dengan kandungan asam rendah dan
pertumbuhan menjadi sangat rendah.
Ketinggian tempat untuk tanaman nenas berkisar 100-800 m dpl. Untuk
varietas Cayenne, bila ditanam di dataran rendah akan menghasilkan kualitas yang
lebih rendah dengan ciri buah nenas dan daunnya lebih kecil. Jika daerahnya
lebih tinggi dari 760 m di atas permukaan laut, tanaman nenas menjadi lebih
pendek, daun lebih pendek dan menyebar, nenas lebih ringan dan fruitlet
menonjol keluar, sehingga permukaan lebih kasar. Nenas Cayenne yang ditanam
di Kenya pada ketinggian 1.400 sampai 1.800 mdpl memiliki perbandingan gula-
asam 16:1. Pada ketinggian 1.150 mdpl perbandingan gula-asam menjadi 38:1.
Sementara di Guatemala, Amerika Tengah ada nenas yang daunnya berduri, hidup
10
pada ketinggian 1.555 mdpl. Di Srilangka terdapat tanaman nenas yang ditanam
pada daerah dengan ketinggian 1.221 mdpl. (Nakasone dan Paull, 1999)
Tanaman nenas dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 635 mm
sampai dengan 2500 mm per tahun, namun curah hujan optimum untuk
pertumbuhan dan perkembangannya adalah antara 1.000-1.500 mm per tahun.
Daerah yang memiliki kelembaban tinggi baik untuk mencegah transpirasi yang
terlalu besar, sehingga lahan di dekat pantai akan sangat mendukung pertumbuhan
dan produksi nenas (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1994).
Bahan Perbanyakan Nenas.
Tanaman nenas dapat diperbanyak dengan cara generatif maupun
vegetatif. Teknik generatif jarang dilakukan dalam perbanyakan nenas dan
biasanya dipergunakan di balai penelitian untuk memperoleh varietas baru melalui
perkawinan silang. Hal ini dikarenakan perbanyakan dari biji membutuhkan
waktu yang lama dan mempunyai keragaman yang tinggi (Tohir, 1981).
Stek adalah salah satu teknik pembiakan vegetatif yang dilakukan dengan
cara melakukan pemisahan atau pemotongan bagian batang, akar atau daun dari
pohon induknya. Perbanyakan yang dilakukan dengan cara stek akan terbentuk
individu baru dengan genotipe sama dengan induknya (Hartmann et al. 1990).
Dengan demikian di samping bertujuan untuk perbanyakan, teknik ini juga sangat
membantu program pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk mempertahankan
sifat induknya.
Menurut Hartmann et al. (1990) perbanyakan dengan menggunakan stek
mempunyai beberapa kelebihan antara lain : (1) bibit dapat diperoleh dalam
jumlah besar dan waktu yang relatif singkat, (2) tanaman cukup homogen dan
dapat dipilih dari bahan tanaman yang mempunyai kualitas tinggi yang diturunkan
dari induknya, (3) membutuhkan bahan stek yang sedikit, (4) populasi tanaman
yang dihasilkan relatif seragam, dan (5) mudah dan tidak memerlukan teknik yang
rumit.
Menurut Collins (1960), bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai
bibit nenas antara lain : (1) sucker yaitu tunas yang tumbuh dari batang yang
terletak di bawah permukaan tanah, (2) shoot yaitu tunas yang tumbuh dari mata
tunas aksilar pada batang, (3) hapas yaitu tunas yang tumbuh dari pangkal
11
tangkai buah, (4) slips yaitu tunas yang tumbuh di dasar buah, perkembangan dari
mata tunas pada tangkai buah, dan (5) mahkota yaitu tunas yang tumbuh di pucuk
buah.
Metode perbanyakan in vivo, akhir-akhir ini banyak menggunakan stek
batang (stem splitting) dan tunas basal daun mahkota (mahkota leaf budding).
Menurut Hepton (2003) nenas memiliki banyak tunas vegetatif yang dapat dibagi
untuk bahan perbanyakan stek batang dengan dua atau lebih mata tunas pada
setiap bagiannya, termasuk batang mahkotanya. Potongan batang nenas dan basal
daun mahkotanya berpotensi menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan
menghasilkan bibit lebih banyak dalam setahun (Naibaho et al. 2008).
Metode perbanyakan stek basal daun (mahkota leaf budding) memiliki
potensi menghasilkan bibit lebih banyak dan seragam. Teknik ini telah
diperkenalkan dan banyak mengalami perubahan (Seow et al. 1970; Lee et al.
1978; Dass et al. 1984.). Setiap daun nenas memiliki tunas aksilar dorman yang
melekat pada batang tanaman dan mahkota nenas. Tunas dorman yang ada
disetiap basal daun tersebut berpotensi untuk mengasilkan mata tunas (bud) dan
menjadi calon bibit (Py et al. 1984).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (< 1 µM) mendorong, menghambat atau secara
kuantitatif dan kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Wattimena, 1988). Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan auksin, sitokinin,
giberellin, ABA, polyamin dan oligosakarida. Pada umumnya zat pengatur
tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah dari golongan auksin
dan sitokinin. Kedua zat ini berpengaruh dalam pembentukan akar, tunas dan
kalus (Hartmann dan Kester, 1984).
Interaksi antara auksin dan sitokinin selama proses organogenesis
(difrensiasi sel) pada tanaman merupakan fenomena yang sudah lama dikenal.
Pada awalnya, Skoog dan Miller (1957) telah mengidentifikasi mekanisme kerja
dan rasio auksin dan sitokinin serta konsentrasinya sebagai faktor penting yang
mengatur perkembangan eksplan jaringan tanaman. Sejak itu, peranan kedua ZPT
12
tersebut dipelajari secara ekstensif karena merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan dalam pengembangan tanaman.
Auksin digunakan secara luas dalam untuk merangsang pertumbuhan
kalus, pemanjangan tunas dan pembentukan akar. Dalam konsentrasi rendah akan
memacu akar adventif sedangkan konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya
kalus (Pierik, 1987). Auksin yang secara alami terdapat dalam tumbuhan adalah
Indole-3-Acetic Acid (IAA). Selain itu auksin yang dibuat secara sintetik dan
sering digunakan adalah Naphtalene Acetic Acid (NAA), Indole-4 Butiric Acid
(IBA) dan 2,4 Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D). Pemilihan jenis auksin dan
konsentrasinya ditentukan oleh tipe pertumbuhan, level auksin endogen,
kemampuan jaringan dalam sintesis auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang
ditambahkan. Auksin NAA selang konsentrasi optimalnya sangat sempit untuk
pertumbuhan yaitu aktif pada konsentrasi 0,001 – 10 mg/l, tetapi NAA memiliki
sifat yang lebih tahan, tidak mudah terdegredasi dan lebih murah.
Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.
Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi
pertumbuhan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi
akar (Pierik, 1987). Sitokinin juga dapat menghambat perombakan protein dan
klorofil serta menghambat penuaan (senescence). Sitokinin yang biasa dipakai
dalam kultur jaringan adalah 6-Benzilamino Purine (BAP), Benzil Adenin (BA),
Kinetin, Zeatin dan 2 iP ( Wattimena dan Gunawan, 1988).
Efesiensi Ekonomis dan Teknis
Menurut Rogers (1987), ada lima ciri inovasi yang dapat digunakan
sebagai indikator dalam mengukur presepsi antara lain: (1). Keuntungan relative
(relative adventages), adalah merupakan tingkatan dimana suatu ide baru
dianggap suatu yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya dan secara
ekonomis menguntungkan. (2) Kesesuaian (compatibility), adalah sejauh mana
inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan
kebutuhan adaptor. (3) Kerumitan (complexit), adalah suatu tingkat di mana suatu
inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan akan merupakan
hambatan bagi proses kecepatan adopsi inovasi. (4) Kemungkinan untuk dicoba
(trability), adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala
13
kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala yang lebih kecil biasanya diadopsi
lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. (5) Mudah
diamati ( observability), adalah status atau tingkat dimana inovasi dapat dengan
mudah dilihat orang lain, sehingga akan mempercepat proses adopsinya. Jadi
calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap-tahap percobaan,
melainkan dapat terus ke tahap adopsi.
Analisis ekonomis dan efesiensi suatu kegiatan penelitian tidak terlepas
dari lima ciri inovasi yang diungkapkan oleh teori Rogers (1970). Analisis
ekonomi dapat juga dikatakan analisis efesiensi yang banyak digunakan untuk
menilai suatu usaha layak atau tidak layak dilakukan. Salah satu metode analisis
sederhana yang biasa dilakukan adalah analisis menggunakan B/C rasio. B/C ratio
merupakan suatu rasio antara manfaat atau keuntungan terhadap biaya yang
dikeluarkan.
Menurut Choiurul et al. (1988) efesiensi suatu usaha secara umum
dirumuskan sebagai perbandingan antara output dan input. Out put adalah
penerimaan (return) dalam ukuran fisik atau rupiah sedangkan in put adalah biaya
(cost) yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut. Hasil nisbah penerimaan
dan biaya inilah yang disebut sebagai indeks efesiensi usaha. Suatu usaha
dikatakan telah efesien bila nilai B/C nya lebih besar atau sama dengan satu yang
artinya bahwa penerimaan yang diperoleh telah mampu menutupi biaya yang
dikeluarkan. Secara umum efesiensi usaha atau efesiensi ekonomis dapat
dirumuskan sebagai berikut :
=
Dimana : Pj dan Pb : Harga jual dan Harga beli komoditi Qj dan Qb : Jumlah penjualan dan pembelian. Bu dan BO : Biaya umum dan Biaya operasional.
Disamping analisis ekonomis, juga dilakukan analisis Linear
programming untuk mendapatkan optimasi dari perlakuan ZPT yang digunakan
untuk mendapatkan nilai efesiensi teknis masing-masing perlakuan. Linear
programming merupakan salah satu alat uji riset untuk tujuan optimasi suatu
Efesiensi = Penerimaan (B)
Biaya (C)
Pj . Qj
Pb . Qb + BU + BO
14
kasus tertentu (Reveliotis, 1997). Linear programing mempunyai karakterististik
sebagai fungsi tujuan (objective function) dan kendala (constraint) yang berbentuk
persamaan linear. Fungsi tujuan dapat berbentuk memaksimumkan atau
meminimumkan tergantung tujuannya. Bila tujuannya adalah presepsi biaya maka
optimasinya adalah meminimumkan sebaliknya jika keuntungan atau manfaat,
maka optimasinya adalah memaksimumkan. (Miswanto & Winarno, 1993).
Analisis ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan ekonomis-teknis
tehnik perbanyakan stek basal daun dalam memproduksi sejumlah bibit.
Berdasarkan hasil penelitian uji efesiensi produksi bibit nenas hasil kultur jaringan
yang pernah dilakukan oleh Elfiani ( 2011), menunjukkan bahwa metode atau alat
analisis ini dapat digunakan untuk kajian efesiensi (ekonomis) dan efesiensi teknis
produksi bibit.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Rumah Plastik Kebun Penelitian Tajur dan
Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Hortikultura Tropika,
IPB. Penelitian ini berlangsung sejak Bulan Juli 2011 hingga Februari 2012.
Metode Penelitian
Penelitian terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama adalah
mempelajari pengaruh sitokinin (BA) dan auksin (IBA) terhadap keberhasilan
produksi bibit dengan menggunakan eksplan stek basal daun asal batang.
Percobaan kedua adalah mempelajari pengaruh sitokinin (BA) dan auksin (IBA)
terhadap keberhasilan produksi bibit dengan menggunakan eksplan stek basal
daun asal mahkota. Percobaan ketiga adalah aplikasi sitokinin BA terhadap
berbagai ukuran mata tunas yang dihasilkan oleh stek basal daun asal mahkota
(mahkota). Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Percobaan I : Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang.
Rancangan Percobaan Percobaan pertama menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL) faktorial, dengan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis zat pengatur
tumbuh auksin dengan tiga taraf konsentrasi dan faktor kedua adalah perlakuan
sitokinin dengan empat taraf konsentrasi. Taraf konsentrasi auksin IBA adalah 0
ppm, 25 ppm, 50 ppm sedangkan taraf konsentrasi sitokinin BA adalah 0 ppm, 25
ppm, 50 ppm, 75 ppm. Percobaan terdiri dari 12 kombinasi perlakuan. Tiap
kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan.
Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 10 stek basal daun tanaman nenas.
Rancangan statistik menggunakan model aditif linear. Model aditif linier sebagai
berikut :
Уijk = μ + αi + βj + ρk + (αβ)ij + εijk
Уijk = respon pada pengaruh BA ke-i, IBA ke-j dan kelompok ke-k μ = rataan umum αi = pengaruh BA taraf ke-i βj = pengaruh IBA taraf ke-j
16
ρk = pengaruh kelompok/ ke-k αβij = interaksi dari BA dan IBA εijk = galat percobaan BA ke-i, IBA ke-j dan kelompok ke-k
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah arang sekam. Media arang sekam
terlebih dahulu dilembabkan atau dibasahi sampai pada kondisi kapasitas lapang.
Media tanam arang sekam diisi ke dalam bak persemaian yang terbuat dari
keranjang semai yang berlubang. Bagian dasar dan samping keranjang semai
dilapisi plastik mulsa agar media tidak tumpah. Ketebalan media tanam sekitar
10-12 cm. Media tanam yang sudah dibasahi dibiarkan selama dua hari agar air
meresap di seluruh pori-pori arang sekam sehingga kelembabannya merata.
Persiapan Bahan Tanam
Bahan tanam yang digunakan adalah potongan basal daun dari batang dan
mahkota nenas varietas Smooth Cayenne, klon GP-1. Sumber eksplan stek
diperoleh dari Kebun Percobaan PKHT, Pasir Kuda, Bogor. Pada percobaan
pertama, tanaman induk nenas yang telah panen diambil dari lapang, kemudian
daunnya dipangkas hingga menyisahkan panjang daun 10-15 cm dengan
menggunakan golok yang tajam, lalu kotoran tanah yang melekat pada daun
dibersihkan dan selanjutnya dijadikan sebagai eksplan stek. Potongan basal daun
yang dijadikan eksplan stek adalah bagian daun yang berada pada bagian tengah
batang nenas. Bagian pucuk dan bawah (dasar) tidak digunakan.
Pada percobaan kedua, persiapan bahan dimulai dengan mengambil bahan
mahkota dari tanaman yang buahnya telah matang fisiologis di lapang. Setelah
diambil, dilakukan sterilisasi dengan cara merendam mahkota kedalam larutan
yang mengandung desinfektan selama 5 menit. Berbeda halnya dengan percobaan
pertama, daun asal mahkota tidak dipangkas karena daun mahkota ukurannya
tidak terlalu panjang. Potongan eksplan yang digunakan adalah bagian basal daun
mahkota dengan mengikut sertakan mata tunas dorman yang melekat disetiap
ketiak daun dan sedikit bagian meristem batangnya. Hal yang sama juga
dilakukan seperti pada percobaan pertama dimana bagian yang diambil adalah
daun yang berada di tengah batang mahkota. Pemotongan daun batang nenas
17
dilakukan dengan menggunakan pisau (cutter) yang tajam supaya permukaan
potongan stek lebih rata.
Pembuatan Larutan Media ZPT.
Bahan auksin IBA dan sitokinin BA ditimbang sesuai dengan kebutuhan
dan taraf masing-masing perlakuan lalu dilarutkan ke dalam air aquades sampai
volume 1 Liter. Larutan diaduk dengan magnetic stirer sampai tercampur
homogen kemudian dimasukkan dalam botol dan sebelum digunakan disimpan
dalam lemari pendingin (refrigerator).
Sterilisasi dan Perlakuan Auksin (IBA) dan Sitokinin (BA)
Potongan utuh batang nenas maupun mahkota direndam dalam larutan
bayclean yang mengandung klorox 5.25 % selama 10 menit, kemudian
dilanjutkan dengan pemotongan basal daun dan direndam kembali ke dalam
larutan desinfektan fungisida dengan dosis 2 g /l air untuk menghindari serangan
cendawan. Setelah perendaman dalam larutan desinektan, potongan stek dikering
anginkan selama 5 menit sebelum dilanjutkan dengan perendaman atau perlakuan
ZPT.
Perlakuan auksin IBA dan sitokinin BA dimulai dengan cara penyiapan
bak perendaman. Perendaman dimulai dengan cara memasukkan eksplan stek
yang sudah steril ke masing-masing bak perendaman yang sudah disediakan
sesuai konsentrasi perlakuan (12 kombinasi). Perlakuan yang diberikan terdiri dari
perlakuan tunggal dan kombinasi. Perlakuan kombinasi dilakukan dengan cara
perendaman dua kali. Perendaman pertama dilakukan selama 30 menit pada salah
satu jenis ZPT sesuai taraf konsentrasi yang dibutuhkan (perlakuan). Setelah itu,
eksplan stek dikering anginkan selama lima menit dan dilanjutkan kembali dengan
perendaman ZPT kombinasinya selama 30 menit sesuai taraf konsentrasi
perlakuan. Setelah perendaman ZPT terakhir, stek langsung ditanam ke media
tanam arang sekam.
Penyemaian/penanaman
Bahan stek yang sudah diberi perlakuan disemai ke dalam bak persemaian
yang berisi media arang sekam. Jarak tanam antar stek sekitar 5 cm dan
18
kedalaman tanam sekitar 2 cm. Posisi tanam miring sekitar 30 derajat kearah
timur agar permukaan dauan mendapat cahaya yang merata.
Pemeliharaan.
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan 1-2 minggu sekali untuk
menjaga kelembaban media tanam agar tetap terjaga (stabil).
Pengamatan.
Pengamatan dilakukan 4-20 minggu setelah tanam (MST). Data diperoleh
dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan cara
mengamati secara visual gejala dan kejadian di lapang dan didokumentasikan
dengan kamera digital. Secara kwantitatif dilakukan dengan cara mengukur
langsung peubah agronomisnya. Peubah yang diukur adalah persentase stek
hidup, persentase stek berakar, persentase stek bertunas, persentase stek yang
menghasilkan 2-3 tunas per eksplan, panjang akar, tinggi tunas, waktu/kecepatan
bertunas, bobot kering akar (oven 600C selama 72 jam), bobot bibit, jumlah tunas
per eksplan, morfologi kalus/tunas, jumlah stek bernodul dan gejala serangan
hama dan penyakit. Disamping itu juga dilakukan pengukuran terhadap prestasi
kerja yaitu jumlah stek yang mampu diselesaikan oleh satu orang selama 7 jam
kerja, variabel input dan out put, suhu dan kelembaban mingguan serta analisis
kandungan karbohidrat, nitrogen dan protein pada masing-masing potongan stek
asal batang dan mahkota secara komposit.
Percobaan II : Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Rancangan Percobaan dan Pelaksanaan
Umumnya metodologi percobaan kedua sama dengan percobaan pertama.
Bahan dan waktu pelaksanan berbeda, dimana pada percobaan kedua
menggunakan bahan stek asal daun mahkota dan dilakukan setelah dua minggu
percobaan pertama dimulai. Bahan eksplan stek asal daun mahkota tidak
dipangkas. Rancangan dan pengamatan pada percobaan ini mengacu pada
percobaan pertama.
19
Percobaan III : Pengaruh Sitokinin BA terhadap Berbagai Ukuran Mata Tunas Asal Stek Basal Daun Mahkota
Rancangan Percobaan dan Pelaksanaan Rancangan percobaan ketiga menggunakan model Rancangan Acak
Lengkap Faktorial (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi
sitokinin BA tiga taraf yaitu 0, 25 dan 50 ppm dan fator kedua adalah tiga ukuran
mata tunas stek asal daun mahkota yaitu mata tunas kecil (mata tunas), tunas
sedang (tunas belum berdaun) dan mata tunas besar (tunas telah berdaun).
Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 27 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 eksplan stek basal daun yang
telah bertunas.
Bahan eksplan stek yang digunakan adalah stek asal mahkota yang telah
bertunas atau berumur 3-4 MST. Stek dikelompokkan ke dalam tiga kategori
ukuran, yaitu tunas kecil, tunas sedang, dan tunas besar. Ukuran tinggi tunas kecil
memiliki rata-rata tinggi 0.2-0.5 cm, tunas sedang sekitar 0.6-1.0 cm dan ukuran
besar sekitar 1.2-1.5 cm.
Stek basal daun asal mahkota yang bertunas dicabut lalu dibersihkan dari
arang sekam yang menempel lalu direndam dengan fungisida selama 10 menit.
Setelah proses sterilisasi, stek dikeringanginkan kemudian dilanjutkan dengan
perendaman sitokinin BA selama 1 jam. Stek dibalut dengan kertas tissu sebelum
ditanam ke media persemaian. Jarak dan pola tanam sama dengan penelitian
pertama dan kedua. Pengamatan dilakukan setelah 4 MST. Peubah yang diukur
adalah persentase stek bernodul dan jumlah nodul yang dihasilkan tiap stek serta
pengamatan morfologi nodul.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan uji F. Jika berbeda nyata maka dilakukan
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Disamping itu, data juga
dianalisis dengan metode Ekstrapolasi dan T-Test taraf 5 %. Tingkat efisiensi
ekonomis perbanyakan bibit nenas secara in vivo dianalisis menggunakan B/C
Ratio dan sedangkan analisis efesiensi teknis dianalisis dengan metode Linear
programming menggunakan software Lingo 08.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian berlangsung mulai Bulan Juli 2011 hingga Februari 2012 di
Rumah Plastik Kebun Percobaan Tajur, Bogor. Kondisi suhu dan kelembaban
selama penelitian menunjukkan bahwa suhu rata-rata bulanan pada bulan Juli 2011
hingga Februari 2012 adalah 27-32 0C dan kelembaban rata-rata mingguan (RH)
sekitar 76-90 %. Selama penelitian berlangsung, jumlah hari hujan per bulan cukup
tinggi (20-24 hari) dengan curah hujan rata-rata per bulan 170-442 mm/bulan. Data
curah hujan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kondisi lingkungan yang sangat lembab dan ekstrim serta media yang
terlalu basah menyebabkan bahan setek yang ditanam banyak mengalami
pembusukan terutama pada bagian pangkal stek (basal stek). Kondisi lingkungan
yang lembab tersebut mempengaruhi proses fisiologi serta perkembangan stek basal
daun terutama ketika perakaran belum terbentuk. Menurut Rochimin dan Harjadi
(1973) berakarnya stek tergantung pada iklim mikro tempat penyetekan, medium
harus lembab tetapi tidak terlalu basah dan kelembaban nisbinya mendekati 100 %.
Media tanam yang terlalu basah dan kelembaban nisbih lebih dari 100 % diduga
menyebabkan pangkal setk mudah membusuk dan menggangu pembentukan
perakaran dan pembelahan sel serta menyebabkan cendawan mudah menyebar.
Frekwensi hari hujan dan kelembaban yang tinggi mendorong munculnya
cendawan dan mudah menyebar. Setelah berumur 2 MST, stek basal daun mulai
terlihat membusuk. Stek basal daun yang membusuk umumnya terserang cendawan
Phytopthora sp. Hal ini pernah terjadi pada penelitian Solihati (2010) pada jenis
nenas Queen, dimana akibat cuaca ekstrim pada saat itu (kelembaban dan curah
hujan tinggi) eksplan yang ditanam pada media arang sekam mengalami busuk
pangkal hingga mencapai 80 %. Oleh karena itu, selama penelitian berlangsung
dilakukan pengendalian melalui penyemprotan fungisida Antracol 70 WP.
Fungisida Antracol ini mengandung bahan aktif Propineb 70 %. Konsentrasi yang
diberikan adalah 2 gr/ L air.
Selama penelitian berlangsung beberapa gejala serangan hama juga
ditemukan seperti gejala serangan kutu Red spider Dolichote-tranychus (penggerek
21
daun muda), kutu sisik Diaspis bromeliad ( pengisap cairan daun) dan Dysmicoccos
brevipes (kutu putih) pada pangkal stek. Gejala serangan ini mulai terlihat setelah
stek basal daun berumur 12 MST. Pengendalian yang dilakukan dengan cara
penyemprotan insektisida Marshal 25 ST berbahan aktif Karbosulfan 25.53 %.
Konsentrasi yang digunakan adalah 2 cc/L air. Kondisi tanaman terserang hama
dapat dilihat pada Gambar 2.
Selama penelitian berlangsung, pemeliharaan yang dilakukan meliputi
penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Stek basal daun yang sudah
membusuk (100 % basal membusuk) dibuang segera mungkin, sedangkan yang
busuknya belum parah atau organ meristem basalnya sebagian masih ada yang utuh
dapat dipertahankan. Pembuangan stek basal daun yang sudah busuk ini bertujuan
agar penyakit tidak menyebar ke sampel yang lainnya. Disamping itu, jumlah
frekwensi penyiraman dikurangi dari seminggu sekali menjadi dua minggu sekali
agar mengurangi tingkat kebasahan media dan menekan penyebaran cendawan.
Gambar 2. Kondisi stek basal daun yang mengalami gejala pembusukan akibat
Cendawan Phytopthora sp (A), gejala serangan Red spider (Dolichote tranychus) (B), Kutu sisik (Diaspis bromeliad) (C), serta serangan Dysmicoccos brevipes (kutu putih) pada pangkal batang bibit (D).
A
D
B
C
22
Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne
Berdasarkan analisis ragam diketahui bahwa interaksi antara perlakuan
auksin dan sitokinin terhadap stek basal daun asal batang tidak berpengaruh nyata
terhadap semua peubah yang diamati. Peubah yang diamati antara lain adalah tinggi
tunas, tinggi bibit, jumlah daun, lebar daun, panjang akar, bobot kering akar, bobot
bibit, persentase berakar, persentase tumbuh, persentase stek menghasilkan 2-3
tunas/eksplan, waktu bertunas serta jumlah tunas per stek. Hingga diakhir
pengamatan, pengaruh faktor tunggal auksin dan sitokinin hanya nyata terhadap
tinggi tunas Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh pemberian berbagai taraf
auksin dan sitokinin terhadap peubah yang diamati pada stek basal daun asal batang
tercantum pada Tabel 1.
Tabel.1 Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Batang Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1.
Peubah Umur Auksin Sitokinin Int KK (MST) (I) (B) I*B (%)
1. Tinggi tunas a) 4 tn * tn 19.07 6 tn * tn 19.37 8-10 * * tn 16.53-13.10 2. Tinggi bibit 12 tn * tn 26.11 14-20 tn tn tn 22.54-23.80 3. Jumlah daun a) 10-20 tn tn tn 16.89-22.54 4. Lebar daun a) 10-20 tn tn tn 12.09-25.22 5. Panjang akar 20 tn tn tn 28.77 6. Bobot kering akar 20 tn tn tn 2.63 7. Bobot bibit a) 20 tn tn tn 18.47 8. Persen berakar b) 20 tn tn tn 29.74 9. Persen tumbuh b) 20 tn tn tn 15.86 10. Persen bertunas 2-3 tunas
per eksplan b) 20 tn tn tn 16.49
11. Waktu bertunas (MST) 20 tn tn tn 14.54 12. Jumlah tunas per stek 20 tn tn tn 17.77 Keterangan : MST : Minggu Setelah Tanam tn : Tidak Nyata I : Auksin * : Berpengaruh nyata pada pada uji F 5% B : Sitokinin a) : Data ditransformasi dengan √ x + 0.5 I*B : Interaksi b) : Data ditransformasi dengan Arcsin √ x
23
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian berbagai taraf auksin
umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah kecuali tinggi tunas.
Halnya yang sama diperlihatkan juga oleh perlakuan sitokinin yang juga hanya
berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas. Perlakuan auksin dan sitokinin
terlihat berbeda nyata terhadap tinggi tunas pada 8-10 MST. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian auksin hanya berpengaruh diawal fase pertumbuhan stek saja.
Secara umum, pemberian ZPT auksin dan sitokinin dengan berbagai
konsentrasi tidak mempengaruhi perkembangan stek basal daun asal batang.
Kurang efektifnya pengaruh perlakuan kedua ZPT tersebut diduga akibat
konsentrasi yang diberikan serta secara teknis belum tepat. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Kusumo 1990) yang menyatakan bahwa auksin dan sitokinin aktif pada
berbagai konsentrasi dan jika tepat konsentrasi dan waktu pemberiannya maka akan
bermanfaat dan dapat berperan dalam merangsang pertumbuhan stek sejak awal
terbentuknya tunas.
Hal lain yang mungkin menyebabkan pemberian ZPT umumnya tidak
berpengaruh terhadap peubah yang diamati adalah akibat adanya kemungkinan
terjadinya interaksi antagonis antara ZPT yang diberikan dengan hormon yang
terdapat di dalam stek basal daun. Kejadian seperti ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Lee (2002) dan Jones (2010) bahwa auksin dan sitokinin dapat
mengalami beberapa jenis interaksi yaitu interaksi yang bersifat antagonis maupun
sinergis. Disamping itu juga hormon endogen (hormone endogen) yang ada dalam
stek basal daun diduga sangat rendah sehingga hormon yang diberikan (hormon
eksogen) belum maksimal bekerja efektif dalam jaringan target.
Protein dapat berupa enzim–enzim yang berperan dalam pembelahan sel.
Ketersediannya di dalam sel akan menyebabkan proses pembelahan sel lebih efektif
(Catala et al. 2000). Rendahnya kandungan protein dalam stek basal daun asal
batang juga diduga mempengaruhi tingkat keberhasilan dan perkembangan tunas.
Kandungan protein rata- rata bahan stek asal batang cukup rendah yaitu sekitar 0.61
% (w/w). Hartman et al. (1990) menyatakan bahwa dalam perbanyakan dan
pertumbuhan tanaman terdapat lima faktor penting yang mempengaruhi yaitu
cahaya, air, suhu, gas, dan nutrisi. Lebih lanjut Ni’em (2000) yang menyatakan
bahwa keberhasilan stek tergantung beberapa faktor dalam dan faktor luar. Faktor
24
dalam diantaranya adalah kondisi fisiologi stek, sterilisasi stek dan tehnik perlakuan
stek. Faktor luar antara lain adalah media perakaran, suhu, kelembaban, intensitas
cahaya, hormon pengatur tumbuh.
Berdasarkan pendapat Ni’em (2000), dapat diduga bahwa keberhasilan stek
basal daun asal batang sangat dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor
dalamnya adalah keberadaan dan keseimbangan hormon yang terdapat dalam stek
(fitohormon) sedangkan faktor luarnya adalah, teknik perlakuan terutama proses
sterilisasi bahan dan media serta kelembaban media (kebasahan media).
Kondisi lingkungan dan keberadaan sumber penyakit yang terbawa sejak dari
lapang juga patut diduga mempengaruhi keberhasilan stek basal daun tersebut.
Berdasarkan pengamatan selama di lapang, tingginya curah hujan dan kelembaban
serta kondisi media yang masih jenuh air diawal penanaman menyebabkan
banyaknya stek yang busuk. Pembusukan ini disebabkan oleh cendawan dan bakteri
yang terbawa sejak dari lapang yang bersifat soil born.
Kontaminasi yang berasal dari lapangan (soil born) proses sterilisasinya
sangat sulit terutama yang berada pada ruang antar sel. Biasanya bahan dari lapang
terutama yang dekat dengan permukaan tanah atau dalam tanah perlu sterilisasi
khusus. Tahap sterilisasi penting karena merupakan tahap mengeliminasi
mikroorganisme yang ada di luar jaringan tanaman maupun di dalam ruang antar
sel (Daisy et al. 1994). Jika menggunakan konsentrasi tinggi tidak hanya
mikroorganime yang mati tetapi justru dapat mematikan sel tanaman itu sendiri.
Stek basal daun asal batang yang mati atau busuk ditandai dengan kondisi
basal stek menjadi lunak dan menghitam serta tidak ada tanda-tanda tunas tumbuh
dan berkembang. Warna potongan daun stek berubah coklat setelah 2 MST. Pada
awalnya kondisi seperti ini diduga merupakan gejala awal stek akan mati namun
setelah 6 MST tunas mulai muncul kepermukaan dan ternyata stek masih dapat
tumbuh dan bertunas meskipun umumnya tanpa akar. Hal ini diduga karena
aktivitas fisiologis tunas dorman yang ada pada ketiak basal daun masih aktif dan
mengandung cukup cadangan makanan.
Tinggi Tunas
Pengamatan tinggi tunas dilakukan sejak 4 MST hingga 10 MST karena
stek berada pada fase perkembangan tunas. Pada pengamatan 4 MST, persentase
25
stek yang bertunas tergolong sangat rendah yaitu sekitar 20 % dari total stek yang
ditanam (tumbuh). Pertumbuhan dan munculnya tunas tidak serentak meskipun
dalam perlakuan yang sama. Waktu bertunas masing – masing stek basal daun
sangat beragam. Pengaruh tunggal perlakuan auksin dan sitokinin terhadap peubah
tinggi tunas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Tunas pada Stek Basal Daun Asal Batang.
Perlakuan Tinggi tunas (cm) Konsentrasi Auksin 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 0 ppm 0.50 1.10 2.20a 3.61a 25 ppm 0.43 1.08 2.20a 3.55a 50 ppm 0.25 0.72 1.50b 2.72b Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.12b 0.54b 1.38c 2.61c 25 ppm 0.32ab 0.84ab 1.64bc 2.83bc 50 ppm 0.42ab 1.04ab 2.28ab 3.57a 75 ppm 0.73a 1.44a 2.57a 4.16a Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan auksin pada 4 dan 6
MST tidak memberikan respon yang nyata terhadap tinggi tunas namun nyata
setelah stek berumur 8-10 MST. Taraf perlakuan 0 ppm (kontrol) dan 25 ppm tidak
berbeda nyata namun keduanya berbeda nyata dengan taraf perlakuan 50 ppm.
Semakin tinggi konsentrasi auksin yang diberikan maka semakin rendah tinggi
tunas yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin tidak efektif
meningkatkan tinggi tunas.
Pemberian auksin seharusnya menyebabkan stek basal daun lebih cepat
bertunas, namun tidak demikian yang terjadi pada stek basal daun asal batang.
Peningkatan konsentrasi auksin cenderung menyebabkan pertumbuhan tunas
melambat atau kurang berkembang. Fenomena tersebut diduga terkait dengan
kandungan zat atau hormon yang terdapat di dalam potongan stek basal daun.
Hartmann et al.(1990) menyatakan bahwa pertumbuhan tunas sangat dipengaruhi
oleh zat pengatur tumbuh yang ada dalam tanaman. Jika bersinergi dengan zat
pengatur tumbuh dan senyawa lainnya maka respon yang ditimbulkan berdampak
positif terhadap perkembangan tanaman. Sejalan dengan hal itu, Akasaka et al.
26
(2000) menyatakan bahwa penggunaan auksin dengan konsentrasi yang tinggi
secara in vitro dapat menghambat pemanjangan tunas, pembentukan akar serta
menginduksi tunas tanpa meristem apikal pada peanut sehingga tunas yang
terbentuk menyatu dengan saluran vaskuler yang tidak terorganisir dan akibatnya
pertumbuhan tunas melambat.
Berbeda halnya dengan pengaruh tunggal sitokinin, dimana semakin tinggi
taraf konsentrasi yang diberikan, semakin tinggi tunas yang dihasilkan. Tingginya
konsentrasi sitokinin menyebabkan proses biosintesis auksin pada mata tunas dapat
terpacu (Arteca, 2006). Pada 10 MST, terlihat bahwa pemberian sitokinin berbeda
nyata antara perlakuan kontrol (0 ppm) dengan 50 dan 75 ppm, sedangkan
perlakuan 25 ppm tidak nyata terhadap kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian sitokinin cukup efektif pada taraf konsentrasi 50 ppm meskipun
pemberian hingga 75 ppm masih menunjukkan trand yang terus meningkat. Hal ini
mungkin terkait dengan pernyataan Jenick (1972) : Harman dan Kaster (1978),
yang mengatakan bahwa salah satu sifat sitokinin BA dalam aplikasinya adalah
memiliki kisaran konsentrasi yang lebar dibanding sitokinin lainnya sehingga lebih
aman dari kelebihan konsentrasi.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa sitokinin berperan sebagai pengatur
positif bagi biosintesis auksin karena adanya kecenderungan bahwa sitokinin lebih
berpengaruh dibandingkan auksin (Jones et al. 2010). Lebih lanjut Dwidjoseputro
(1990); Widianto (1988); Kusumo (1990), pendapat bahwa manfaat dari hormon
sangat tergantung dari dosis yang diberikan, jika dosisnya tepat akan membantu dan
menyebabkan sistem penunasan, pertumbuhan dan perakaran yang baik.
Tinggi Bibit
Pengamatan tinggi bibit dilakukan pada 12 hingga 20 MST. Berdasarkan
Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian auksin tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi bibit pada 12 hingga 20 MST, namun perlakuan sitokinin hanya nyata pada
14 MST. Pengaruh perlakuan taraf sitokinin terhadap tinggi bibit semakin tidak
nyata seiring dengan bertambahnya umur bibit. Nilai rataan tinggi bibit dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut.
27
Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang.
Perlakuan Tinggi bibit (cm) Konsentrasi Auksin 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 5.52 6.11 7.02 7.91 9.01 25 ppm 5.22 6.17 7.30 8.27 9.53 50 ppm 4.70 5.47 6.86 7.60 8.68 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 4.39 5.34b 6.34 7.16 8.19 25 ppm 4.89 5.36b 6.36 7.14 8.43 50 ppm 5.43 6.31ab 7.79 8.89 10.09 75 ppm 5.88 6.65a 7.76 8.52 9.60 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Perlakuan taraf sitokinin hanya berpengaruh nyata pada 14 MST,
selanjutnya tidak nyata pada 16 MST hingga 20 MST. Pada 14 MST, perlakuan
sitokinin 75 ppm berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan 25 ppm tetapi tidak
nyata dengan perlakuan 50 ppm. Meskipun secara statistik perlakuan sitokinin tidak
nyata namun peningkatan konsentrasi sitokinin relatif meningkatkan tinggi bibit
dan hanya terlihat responnya diawal pertumbuhan bibit saja, termasuk pertumbuhan
tunas sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan efisiensi waktu produksi, maka tinggi bibit
menjadi salah satu indikator penting karena berkaitan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan bibit siap tanam. Tinggi bibit siap tanam adalah
bibit yang memiliki tinggi sekitar 15 cm. Sampai akhir pengamatan tinggi bibit
yang dihasilkan dari seluruh perlakuan belum menghasilkan atau bibit belum
mencapai tinggi 15 cm. Oleh karena itu, untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai ukuran tersebut, maka dilakukan ekstrapolasi data tinggi bibit sejak
10 MST. Data tinggi bibit hasil ekstrapolasi masing- masing perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 4.
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan kriteria tinggi bibit 15 cm berbeda setiap perlakuan. Waktu tercepat
adalah 28 MST dari perlakuan sitokinin BA 50 ppm dan terlama adalah 33 MST
diperoleh dari perlakuan 0 ppm (kontrol) dan taraf sitokinin BA 25 ppm. Hasil data
28
ekstrapolasi ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin 50 ppm dibandingkan
kontrol dapat menghemat waktu produksi hingga enam minggu.
Tabel 4. Ekstrapolasi Tinggi Bibit Nenas Hasil Stek Basal Daun Asal Batang
MST
Kontrol
IBA 25 ppm
IBA 50 ppm
BA 25 ppm
BA 50 ppm
BA 75 ppm
10 3.08 3.55 2.72 2.83 3.57 4.16 12 4.95 5.22 4.95 4.89 5.43 5.88 14 5.72 6.17 5.72 5.36 6.31 6.65 16 6.68 7.30 6.68 6.36 7.79 7.76 18 7.53 8.27 7.53 7.14 8.89 8.52 20 8.60 9.53 8.60 8.43 10.09 9.60 22 9.72 10.69 9.84 9.41 11.46 10.72 24 10.76 11.84 10.93 10.43 12.73 11.75 26 11.80 12.99 12.02 11.45 14.00 12.79 28 12.83 14.14 13.11 12.47 15.27 13.82 30 13.87 15.28 14.20 13.50 14.86 32 14.91 15.29 14.52 15.8933 15.43 15.03
Jumlah daun
Waktu terbentuknya daun sempurna antar stek berbeda-beda meskipun
dalam perlakuan yang sama. Tingkat keragaman cukup tinggi sehingga pengamatan
dilakukan pada umur stek 10-20 MST karena pada umur stek 4-8 MST, sebagian
kuncup tunas belum membuka sempurna.
Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan auksin tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah daun sejak 10 MST hingga 20 MST. Hal ini menunjukkan bahwa
auksin pada taraf tersebut tidak berperan dalam meningkatkan jumlah daun bibit.
Hingga akhir pengamatan, jumlah daun yang dihasilkan oleh bibit stek basal daun
asal batang hanya sekitar lima daun per tanaman sedangkan jumlah daun minimal
yang dibutuhkan untuk bibit yang siap tanam adalah delapan helai daun per
tanaman (PKBT, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah daun yang dihasilkan
masih jauh dari yang diharapkan (standart mutu bibit siap tanam). Nilai rataan
jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 5.
29
Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Jumlah Daun pada Stek Basal Daun Asal Batang.
Perlakuan Jumlah daun Konsentrasi Auksin 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST
0 ppm 2.63 3.26 3.69 4.19 4.90 5.38 25 ppm 2.81 3.32 3.70 4.04 4.73 5.24 50 ppm 2.14 3.00 3.41 3.73 4.55 5.00 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 2.13 2.73 3.18 3.66 4.42 4.99 25 ppm 2.46 3.31 3.60 3.92 4.64 5.21 50 ppm 2.66 3.47 4.09 4.39 5.23 5.67 75 ppm 2.85 3.28 3.53 3.96 4.64 4.95 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Perlakuan sitokinin antar konsentrasi yang diberikan tidak berbeda nyata.
Pemberian sitokinin tidak mampu meningkatkan jumlah daun pada bibit yang
dihasilkan stek basal daun asal batang. Sama halnya dengan penelitian Solihati
(2010) yang menunjukkan bahwa perlakuan sitokinin terhadap jumlah daun pada
stek basal daun pada nenas tipe Queen juga tidak nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan bibit asal stek basal daun asal batang sangat lambat.
Pertumbuhannya dapat dikatakan lambat karena menurut Wee dan Thongtham
(1997) selama periode pertumbuhannya yang cepat tanaman nenas mampu
bertambah daunnya dengan kecepatan satu lembar daun per minggu atau 5-6 daun
per bulan (Nakasone dan Paull, 1998).
Lebar Daun
Waktu pengamatan lebar daun dilakukan pada 10-20 MST. Berdasarkan
pengaruh faktor tunggal, pemberian auksin pada berbagai taraf konsentrasi tidak
bereda nyata terhadap lebar daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin
tidak mampu meningkatkan lebar daun atau pertambahan lebar daun antar
perlakuan sama. Rata-rata pertambahan lebar daun tiap pengamatan berkisar 0.02-
0.015 cm. Pengaruh tunggal perlakuan auksin dan sitokinin pada stek basal batang
nenas terhadap peubah lebar daun dapat dilihat pada Tabel 6.
30
Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Lebar Daun pada Stek Basal Daun asal Batang.
Perlakuan Lebar daun (cm) Konsentrasi Auksin 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST
0 ppm 0.55 0.75 0.85 0.93 1.04 1.14 25 ppm 0.54 0.72 0.83 0.93 1.05 1.16 50 ppm 0.46 0.69 0.80 0.89 1.04 1.14 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.38 0.56 0.67 0.80 0.94 1.04 25 ppm 0.49 0.75 0.83 0.89 1.01 1.13 50 ppm 0.56 0.76 0.91 1.03 1.15 1.26 75 ppm 0.64 0.81 0.90 0.95 1.05 1.16 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Hal yang sama terjadi pada perlakuan sitokinin, dimana pemberian berbagai
taraf konsentrasi juga tidak berbeda nyata pada 10-20 MST. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian hormon sitokinin tidak mempengaruhi dan tidak dapat
meningkatkan diameter daun pada bibit yang dihasilkan oleh stek basal daun asal
batang. Sama halnya dengan penelitian Solihati (2010) yang menunjukkan bahwa
perlakuan sitokinin tidak mampu meningkatkan lebar daun bibit hasil stek basal
daun nenas tipe Queen.
Rendahnya ukuran labar daun yang dihasilkan mengindikasikan bahwa bibit
yang berasal dari stek basal daun asal batang tidak vigor atau lambat berkembang.
Nilai rata-rata lebar daun yang dihasilkan masih jauh dari standart kualitas bibit
siap tanam. Lebar daun bibit yang siap tanam adalah 2.0-3.3 cm (LMAA IPB,
2001).
Panjang Akar, Persentase Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit
Pengukuran panjang akar, persentase stek berakar, bobot kering akar dan
bobot bibit dilakukan pada 20 MST. Perlakuan taraf konsentrasi auksin dan
sitokinin tidak berpengaruh nyata terhadap persentase panjang akar, persentase stek
berakar, bobot kering akar dan bobot bibit (bobot basah). Nilai rataan panjang akar,
bobot kering akar dan bobot bibit dapat dilihat pada Tabel 7.
31
Tabel 7. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Panjang Akar, Persentase Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit pada Stek Basal Daun Asal Batang.
Perlakuan Panjang akar
Persentase berakar
Bobot kering akar
Bobot bibit
Konsentrasi Auksin (cm) (%) (g) (g) 0 ppm 4.39 31.60 0.03 2.89 25 ppm 4.23 35.05 0.03 2.87 50 ppm 4.36 31.44 0.03 2.77 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 3.44 32.71 0.02 2.24 25 ppm 5.00 33.38 0.03 3.13 50 ppm 4.48 33.04 0.03 3.19 75 ppm 4.38 31.66 0.04 2.80 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan auksin hingga 50 ppm
tidak mempengaruhi perkembangan panjang akar, padahal salah satu fungsi auksin
adalah berperan dalam pembentukan akar (inisiasi akar). Hal ini dapat diduga
bahwa konsentrasi yang diberikan belum tepat, sebagaimana yang disampaikan
oleh Kusumo (1990), bahwa manfaat dari hormon sangat tergantung dari
konsentrasi yang diberikan, jika konsentrasinya tepat akan sangat membantu dan
diperoleh perakaran yang baik. Hal lain yang menyebabkan tidak adanya efek
pemberian auksin adalah akibat faktor endogen terutama keberadaan auksin yang
terkandung dalam stek daun asal batang. auksin berperan dalam inisiasi perakaran
stek sehingga apabila kandungan auksinnya rendah maka inisiasi perakaran akan
terganggu (Hartmann dan Kester 1983).
Fenomena tersebut diatas juga dapat diduga sesuai pendapat Lee et al.
(2002) menyatakan bahwa keberadaan sitokinin dapat menghambat kerja auksin
dalam pemanjangan sel karena dapat memicu reaksi auksin oksidatif sebagaimana
yang disampaikan oleh Rampant et al. (2000) mengatakan bahwa dalam kondisi
tertentu aktivitas auksin oksidasi bersifat menghambat induksi perakaran. Sifat
menghambat ini oleh Jones (2010), berasal dari sifat antagonis yang ditimbulkan
akibat respon auksin endogen yang terdapat dalam tanaman atau potongan stek
terhadap asupan hormon yang diberikan.
32
Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan taraf sitokinin 25 ppm cenderung
meningkatkan panjang akar meskipun secara statistik tidak nyata. Peningkatan
panjang akar ini, diduga akibat adanya kelaborasi biosintesa yang melibatkan
karbohidrat yang terkandung dalam potongan stek basal daun asal batang.
Translokasi karbohidrat dapat menyokong perkembangan akar (Hartman dan
Kester, 1983) sedangkan hormon endogen hanya berperan memacu pembelahan
dalam jaringan meristematik pada akar (Catala et al., 2000).
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa kedua jenis ZPT yang digunakan
tidak mampu meningkatkan vigoritas bibit. Hal ini terlihat dari ukuran bobot bibit
yang dihasilkan masih jauh dari standart. Bobot atau ukuran bibit yang dihasilkan
dari seluruh perlakuan sekitar 2.24 hingga 3.19 g per bibit. Ukuran bobot bibit siap
tanam adalah minimum 5 gr per bibit (standart kultur jaringan). Ukuran bibit yang
dihasilkan masih jauh dari standart kualitas bibit siap tanam.
Persentase Stek Hidup, Persentase Stek Berakar, Persentase Stek Bertunas 2-3 Tunas per Eksplan dan Waktu Bertunas Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh interaksi antara perlakukan auksin dan sitokinin terhadap persentase stek
yang tumbuh, jumlah tunas per stek dan persentase stek yang menghasilkan 2-3
tunas per eksplan serta waktu bertunas. Pengaruh perlakuan taraf auksin dan
sitokinin menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap seluruh peubah tersebut di
atas. Nilai rataan persentase stek hidup, jumlah stek per tunas, persentase stek yang
menghasilkan tunas 2-3 tunas per eksplan dan kecepatan bertunas dapat dilihat pada
Tabel 8.
Pengamatan terhadap keempat peubah di atas dilakukan hingga 20 MST.
Berdasarkan pengamatan di lapang diperkirakan sekitar 3-5 % stek basal daun dari
seluruh total populasi tidak dapat bertunas meskipun stek masih kelihatan hidup
dan segar. Sebagian stek ada yang bertunas tanpa akar dan ada juga yang berakar
tetapi tidak bertunas dan ada juga stek yang tidak bertunas dan tidak berakar hingga
20 MST. Fenomena keragaan pertunasan stek dapat dilihat pada Lampiran 4.
33
Tabel 8. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Persentase Stek Hidup, Jumlah Tunas per Stek, Persentase Stek Bertunas 2-3 Tunas per Eksplan serta Waktu Bertunas pada Stek Basal Daun Asal Batang.
Perlakuan Persentase stek tumbuh
Jumlah tunas per stek
Persentase stek bertunas 2-3 tunas per eksplan
Waktu bertunas
Konsentrasi Auksin (%) (%) (MST) 0 ppm 48.67 1.65 1.82 8.67 25 ppm 52.08 1.03 1.81 8.65 50 ppm 47.51 1.01 1.77 8.62 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 51.49 1.00 1.63 9.48 25 ppm 47.69 1.02 1.89 9.64 50 ppm 49.90 1.09 1.90 8.21 75 ppm 48.62 1.82 1.78 8.60
Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Rendahnya kandungan hormon endogen dalam stek basal daun asal batang
diduga menjadi penyebab pemberian auksin dan sitokinin tidak berpengaruh
terhadap keempat peubah tersebut di atas. Hasil penelitian Eries (2005)
menunjukkan bahwa kandungan auksin dan sitokinin endogen pada batang nenas
lebih rendah dibanding asal mahkota. Kandungan auksin pada batang adalah 3.191
ppm dan sitokininnya adalah 0.026-0.032 ppm. Hal tersebut dapat diduga bahwa
umumnya perkembangan dan keberhasilan tumbuh stek tergantung hormon
endogen yang sudah ada dalam potongan stek basal daun batang. Kemungkinan
konsentrasi yang diberikan belum tepat atau konsentrasi kurang tinggi dari
perlakuan yang dibarikan sehingga hampir seluruh peubah yang diamati tidak
nyata.
Persentase stek basal daun yang bertunas dan berakar serta waktu bertunas
tergantung pada perbandingan antara auksin dan sitokinin yang terdapat dalam
potongan stek basal daun asal batang. Apabila kandungan auksin lebih tinggi dari
sitokinin maka akan terjadi induksi akar dan pemanjangan tunas. Sebaliknya
kandungan auksin lebih rendah dari sitokinin akan terjadi induksi tunas dan
pemanjangan akar (Skoog, 1957; Haryadi, S. 1979).
34
Dalam penelitian ini, perbandingan auksin dan sitokinin endogen pada stek
tanaman nenas dianggap dalam keadaan seimbang, dengan demikian penambahan
auksin IBA akan mempengaruhi perbandingan auksin yang dikandung menjadi
lebih tinggi dari sitokinin sehingga diharapkan terjadi induksi akar dan
pemanjangan tunas. Demikian halnya dengan penambahan sitokinin diharapkan
menghasilkan tunas yang lebih banyak dan terjadi difrensiasi sel, tetapi
kenyataannya bahwa pemberian hormon pada stek basal daun asal batang tidak
efektif mempengaruhi morfogenetik bibit.
Disamping masalah konsentrasi, rendahnya respon pemberian auksin dan
sitokinin terhadap beberapa peubah juga diduga akibat masalah teknis perendaman.
Perendaman masing-masing auksin dan sitokinin selama 30 menit terlalu cepat
sehingga diduga tidak efektif mempengaruhi keberhasilan tumbuh dan daya
multiplikasi stek basal daun nenas. Hal yang sama pernah dilaporkan oleh Shinichi
et al (2003) menunjukkan bahwa perendaman stum batang (stem splitting) nenas
dengan forchlorfenuron (N-(2-kloro-4-piridil)-N-phenylurea) (CPPU) dan 6-
benziladenin (BA) selama 0.5 jam tidak efektif meningkatkan jumlah tunas atau
multiplikasi bibit nenas di lapang namun efektif pada 2-6 jam.
Menurut Harjadi (2009) menyatakan bahwa perendaman stek dalam larutan
ZPT konsentrasi rendah bervariasi dari 5-200 ppm. Pada konsentrasi rendah, waktu
perendaman bervariasi dari 1-24 jam. Pada tanaman yang mudah berakar, stek
memerlukan waktu perendaman 1-2 jam dalam larutan 10-20 ppm. Pada stek daun,
perendaman dalam 5-10 ppm auksin selama 10 jam dapat merangsang perakaran
dengan baik.
Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun
Asal Mahkota Nenas Smooth Cayenne
Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa interaksi antara
perlakuan taraf auksin dan sitokinin tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap semua peubah yang diamati. Berdasarkan faktor tunggal, auksin
berpengaruh secara nyata terhadap persentase berakar dan jumlah stek yang
menghasilkan 2-3 tunas per eksplan sedangkan sitokinin berpengaruh nyata pada
35
tinggi tunas, tinggi bibit, jumlah daun Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh
pemberian taraf konsentrasi auksin dan sitokinin dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Keberhasilan Stek Basal Daun Asal Mahkota (crown) Nenas Smooth Cayenne Klon GP-1.
Peubah Umur Auksin Sitokinin Interaksi KK (MST) (I) (B) I*B (%) 1. Tinggi Tunas a) 4 ,6,10 tn tn tn 4.10-17.56 8 tn * tn 14.80 2. Tinggi bibit 12-20 tn ** tn 14.17-27.46 3. Jumlah Daun a) 12-18 tn * tn 11.58-18.37 20 tn tn tn 12.19 4. Lebar daun a) 12-20 tn * tn 3.76-11.32 5. Panjang akar 20 tn tn tn 19.67 6. Bobot akar 20 tn tn tn 2.43 7. Bobot bibit a) 20 tn tn tn 13.08 8. Persen berakar b) 20 * tn tn 18.44 9. Persen stek hidup b) 20 tn tn tn 24.68 10. Persen stek bertunas
2-3 tunas/stek b) 20 * tn tn 38.13
11. Waktu bertunas 20 tn ** tn 15.97 12. Jumlah tunas /stek 20 tn tn tn 16.91 Keterangan : MST : Minggu Setelah Tanam I : Auksin * : Berpengaruh Nyata pada Uji F taraf 5 % B : Sitokinin ** : Berpengaruh Sangat nyata pada Uji F 5 % I*B : Interaksi a) : Data ditransformasi dengan √ x + 0.5 tn : Tidak Nyata b) : Data ditransformasi dengan Arcsin √ x
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa pemberian berbagai taraf auksin
umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah kecuali persentase stek
berakar dan persentase jumlah stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan. Hal
yang berbeda ditunjukkan oleh pengaruh sitokinin dimana terlihat bahwa
pemberian sitokinin berpengaruh terhadap peubah tinggi tunas (8 MST), tinggi bibit
(12-20 MST), jumlah daun (12-20 MST), lebar daun (12-20 MST) dan sangat nyata
berbeda terhadap waktu bertunas (20 MST).
Perlakuan auksin IBA terlihat nyata terhadap persentase stek berakar dan
jumlah stek basal daun yang mampu menghasilkan 2-3 tunas per eksplan, hal ini
membuktikan bahwa konsentrasi yang diberikan mampu mempengaruhi
pertumbuhan akar dan tunas yang dihasilkan. Namun demikian penggunaan
36
konsentrasi asukin eksogen harus diperhatikan sebab apabila tidak sesuai atau
terlalu tinggi konsentrasinya maka sifatnya akan manghambat, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Harjadi (2009) mengungkapkan bahwa pada tingkat konsentrasi
yang tinggi, perlakuan auksin dapat menyebabkan sel lambat berkembang dan pada
akhirnya mati.
Sitokinin merupakan salah satu hormon tumbuh yang dapat mempengaruhi
proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman melalui pembelahan sel,
perbesaran organ dan diferensiasi sel (Hartmann et al. 1990). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian sitokinin nyata mempengaruhi tinggi tunas (8
MST), tinggi bibit (12-20 MST), jumlah daun (12-20 MST), lebar daun (12-20
MST) serta sangat nyata mempengaruhi waktu munculnya tunas stek basal daun
asal mahkota. Semakin cepat tunas muncul biasanya semakin cepat pertumbuhan
bibit yang dihasilkan.
Tinggi Tunas Pengamatan tinggi tunas dilakukan sejak 4 MST hingga 10 MST. Hal ini
dikarenakan pada umur tersebut, stek basal daun asal mahkota berada pada fase
perkembangan tunas dan daun belum membuka sempurna. Berdasarkan
pengamatan di lapang, hanya 5 % dari total sampel yang sudah berakar. Persentase
stek yang bertunas pada 4 MST masih tergolong sangat rendah yaitu < 20 % dari
total stek yang hidup. Pengaruh perlakuan auksin dan sitokinin terhadap tinggi
tunas dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Respon Pemberian Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Tunas pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Tinggi tunas (cm) Konsentrasi Auksin 4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 0 ppm 0.31 0.59 1.03 1.98 25 ppm 0.08 0.38 0.85 1.69 50 ppm 0.21 0.46 0.92 1.92 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.22 0.48 1.18a 2.13 25 ppm 0.30 0.58 1.06ab 2.40 50 ppm 0.15 0.33 0.69b 1.41 75 ppm 0.23 0.52 0.80b 1.54 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
37
Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan berbagai taraf auksin pada 4
hingga 10 MST tidak memberikan respon yang nyata terhadap peningkatan tinggi
tunas stek basal daun asal mahkota, kecuali pada 8 MST. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian auksin tidak efektif meningkatkan tinggi tunas. Hal ini diduga
karena kandungan auksinyang terdapat pada stek telah cukup sehingga tanpa
diberikanpun mata tunasnya akan tetap tumbuh dan berkembang menjadi calon
bibit.
Aplikasi sitokinin juga tidak mempengaruhi tinggi tunas pada 4, 6 dan 10
MST tetapi nyata pada 8 MST. Pemberian sitokinin tidak efektif meningkatkan
tinggi tunas. Pada umur stek 8 MST, justru terlihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi yang diberikan menyebabkan pertumbuhan tunas cenderung lambat dan
berdampak pada pertumbuhan bibit selanjutnya.
Tinggi Bibit
Pengaruh pemberian taraf konsentrasi auksin IBA tidak berpengaruh nyata
terhadap tinggi bibit pada 12 - 20 MST, tetapi perlakuan sitokinin BA nyata. Nilai
rataan tinggi bibit dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Respon Pemberian Auksin dan Sitokinin terhadap Tinggi Bibit pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Tinggi bibit (cm) Konsentrasi Auksin 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 2.93 3.74 5.13 6.57 7.61 25 ppm 2.56 3.64 5.05 6.35 7.31 50 ppm 2.59 3.64 4.83 6.31 7.17 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 2.96ab 3.94ab 5.33ab 6.77ab 7.86a 25 ppm 3.34a 4.47a 5.93a 7.39a 8.36a 50 ppm 2.29bc 3.09bc 4.57bc 6.01b 7.06ab 75 ppm 2.175c 3.21c 4.19c 5.47b 6.18b Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Perlakuan taraf konsentrasi sitokinin berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit
hingga 20 MST. Pada akhir pengamatan, perlakuan sitokinin taraf 25 ppm dan
kontrol memiliki nilai rataan tinggi bibit tertinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan 75 ppm. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan cenderung menekan
38
pertumbuhan bibit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin tidak efektif
meningkatkan tinggi bibit dan justru menghambat pertumbuhannya. Pernyataan ini
sesuai dengan Harjadi (2009) yang menyatakan bahwa pemberian konsentrasi
sitokinin sintetik yang terlalu tinggi dapat menimbulkan toksik dan pada akhirnya
dapat menghambat atau mengganggu pertumbuhan tanaman bahkan abnormal.
Standart tinggi bibit siap tanam adalah 15 cm. Hingga akhir pengamatan
rata-rata tinggi bibit yang dihasilkan oleh stek basal daun asal mahkota kurang dari
15 cm, artinya target tinggi bibit yang diharapkan belum tercapai. Kualitas bibit
hasil stek basal daun asal mahkota belum dapat mencapai kriteria kelas bibit siap
tanam. Hal yang sama ditunjukkan oleh percobaan sebelumnya pada stek basal
daun asal batang. Asumsi ini menggunakan kriteria kelas bibit asal kultur jaringan
yaitu minimal tinggi bibit siap tanam minimal berukuran 15 cm (Elfiani, 2011).
Berdasarkan hasil ektrapolasi data diperoleh prediksi waktu yang
dibutuhkan bibit stek asal mahkota untuk mencapai kriteria siap tanam. Hasil
ekstrapolasi data ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Ekstrapolasi Data Tinggi Bibit Nenas Asal Stek Basal Daun Asal Mahkota.
MST
Kontrol
IBA 25 ppm
IBA 50 ppm
BA 25 ppm
BA 50 ppm
BA 75 ppm
10 2.06 1.69 1.92 2.40 1.41 1.54 12 2.95 2.56 2.59 3.34 2.29 2.18 14 3.84 3.64 3.64 4.47 3.09 3.21 16 5.23 5.05 4.83 5.93 4.57 4.19 18 6.67 6.35 6.31 7.39 6.01 5.47 20 7.74 7.31 7.17 8.36 7.06 6.18 22 8.84 8.52 8.27 9.66 8.16 7.20 24 10.01 9.69 9.37 10.90 9.33 8.17 26 11.18 10.86 10.48 12.14 10.50 9.15 28 12.35 12.03 11.58 13.38 11.67 10.12 30 13.52 13.19 12.68 14.62 12.83 11.09 31 14.11 13.78 13.23 15.24 13.42 11.58 33 15.28 14.95 14.34 14.59 12.55 35 15.44 15.75 13.53 38 14.99 40 15.96
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa waktu yang diperlukan
masing-masing perlakuan untuk mencapai kriteria kelas bibit siap tanam berbeda-
beda. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kriteria bibit siap tanam (15 cm)
39
berada pada kisaran waktu 31-40 MST. Waktu tercepat diperoleh dari perlakuan
sitokinin 25 ppm tanpa auksin yaitu 31 MST dan terlama adalah perlakuan sitokinin
75 ppm tanpa auksin yaitu 40 MST.
Jumlah daun
Perkembangan tanaman dapat diukur berdasarkan jumlah daun. Disamping
tinggi tanaman, perkembangan jumlah daun dapat dijadikan sebagai indikator untuk
melihat tingkat vigoritas suatu bibit tanaman. Pengamatan di lapang menunjukkan
waktu munculnya atau membukanya kuncup tunas tidak serentak terutama ketika
stek berumur 4-10 MST sehingga merubah waktu pengamatan. Waktu pengamatan
dilakukan sejak 12 MST karena umumnya tunas daun sudah membuka sempurna.
Respon perlakuan sitokinin terhadap jumlah daun lebih nyata dibandingkan
auksin pada 12 hingga 20 MST. Perlakuan auksin tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah daun pada 12-20 MST dan sitokinin juga tidak berpengaruh nyata
mempengaruhi jumlah daun pada 12-18 MST. Nilai rataan jumlah daun akibat
pengaruh auksin dan sitokinin dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Jumlah Daun pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Jumlah daun Konsentrasi Auksin 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 3.16 3.32 4.04 4.46 5.05 25 ppm 3.06 3.03 3.82 4.45 5.19 50 ppm 3.03 3.22 3.87 4.52 5.21 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 3.35a 3.64a 4.19a 4.75a 5.30 25 ppm 3.37a 3.39a 4.11a 4.65a 5.33 50 ppm 2.81b 3.14ab 3.95ab 4.42ab 5.18 75 ppm 2.80b 2.60b 3.38b 4.09b 5.08 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Perlakuan sitokinin terlihat berbeda nyata sejak umur stek 12 MST hingga
18 MST. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang diberikan maka semakin rendah
jumlah daun yang dihasilkan. Sejak umur stek 12 MST, perlakuan sitokinin taraf 75
ppm menghasilkan nilai rataan jumlah daun yang lebih rendah dibandingkan
40
perlakuan taraf lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin 75 ppm
berpengaruh nyata menekan pertambahan jumlah daun.
Pada 20 MST, perlakuan sitokinin sudah tidak terlihat berpengaruh seiring
dengan perkembangan atau pertumbuhan bibit. Hal ini diduga karena stek basal
daun asal mahkota umumnya telah berakar, sehingga asupan nutrisi diperoleh
secara mandiri tanpa tergantung nutrisi dan senyawa yang terdapat pada basal daun
stek. Berdasarkan data tersebut maka pemberian sitokinin tidak bermanfaat untuk
meningkatkan jumlah daun sebagaimana yang ditunjukkan oleh percobaan pertama
pada stek basal daun asal batang.
Lebar Daun
Ukuran lebar daun merupakan salah satu indikator untuk menilai
pertumbuhan suatu tanaman. Luasnya lebar daun dapat menentukan luas bidang
permukaan tanaman dalam menerima cahaya guna proses fotosintesis. Proses
fotosintesis penting untuk pertumbuhan, sehingga semakin luas permukaan daun
semakin tinggi proses fotosintesis dan akibatnya pertumbuhan tanaman akan
semakin tinggi.
Waktu pengamatan lebar daun dilakukan bersama-sama dengan waktu
pengamatan jumlah daun yaitu saat stek berumur 12 MST. Hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa perlakuan taraf konsentrasi auksin tidak berpengaruh nyata
terhadap peubah lebar daun sedangkan sitokinin nyata mempengaruhi lebar daun.
Pengaruh perlakuan auksin dan sitokinin terhadap peubah lebar daun bibit hasil stek
basal daun asal mahkota dapat dilihat pada Tabel 14.
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian auksin tidak
dapat meningkatkan nilai rataan lebar daun sejak 12 MST hingga 20 MST. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Husniati (2010) yang menunjukkan bahwa
pemberian zat pengatur tumbuh berupa auksin (25-100 ppm) juga tidak
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tolok ukur lebar daun pada tunas
yang berasal dari stek basal daun.
Pertambahan lebar daun sangat sulit diamati karena tingkat pertambahan
lebar daun sangat kecil, bahkan beberapa stek yang sudah terserang cendawan sulit
diamati pertambahannya. Pertambahan lebar daun per dua minggu adalah sekitar
41
0.08-0.12 cm. Hal ini menunjukkan bahwa bibit mengalami pertumbuhan yang
sangat lambat.
Tabel 14. Pengaruh Konsentrasi Auksin terhadap Peubah Lebar Daun pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Lebar daun (cm) Konsentrasi Auksin 12 MST 14 MST 16 MST 18 MST 20 MST 0 ppm 0.79 0.87 1.03 1.12 1.24 25 ppm 0.76 0.86 1.04 1.14 1.23 50 ppm 0.79 0.90 1.07 1.16 1.25 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 0.78ab 0.89ab 1.04ab 1.15ab 1.27ab 25 ppm 0.90a 0.98a 1.16a 1.24a 1.34a 50 ppm 0.74b 0.83b 1.02b 1.11b 1.19b 75 ppm 0.71b 0.79b 0.98b 1.07b 1.16b Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Pada pengamatan 20 MST menunjukkan perlakuan sitokinin 25 ppm
menghasilkan nilai rataan lebar daun tertinggi, secara statistik berpengaruh nyata
dibandingkan perlakuan 50 ppm dan 75 ppm tetapi tidak nyata dengan kontrol.
Berdasarkan hal ini, pemberian sitokinin tidak dapat meningkatkan lebar daun.
Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, nilai rataan lebar daun yang dihasilkan
justru semakin kecil (rendah).
Panjang Akar, Persentase Stek Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit
Pengukuran panjang akar, persentase stek berakar, bobot kering akar serta
bobot basah bibit dilakukan pada 20 MST. Hasil percobaaan ini menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara perlakuan taraf konsentrasi auksin dan
sitokinin terhadap panjang akar, bobot kering akar dan bobot bibit kecuali pada
peubah persentase stek berakar. Nilai rataan panjang akar, persentase stek berakar,
bobot kering akar dan bobot bibit dapat dilihat pada Tabel 15.
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa pengaruh pemberian taraf
konsentrasi auksin berbeda nyata hanya pada peubah persentase stek berakar.
Pemberian konsentrasi auksin yang lebih tinggi dapat meningkatkan persentase stek
42
berakar hingga taraf 50 ppm. Hal ini membuktikan bahwa pemberian auksin efektif
meningkatkan perakaran pada stek basal daun asal mahkota.
Tabel 15. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Panjang Akar, Persentase Stek Berakar, Bobot Kering Akar dan Bobot Bibit pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Panjang akar
Stek berakar Bobot kering akar
Bobot bibit
Konsentrasi Auksin (cm) (%) (g) (g) 0 ppm 5.00 55.83b 0.044 2.71 25 ppm 5.18 68.33ab 0.049 2.76 50 ppm 5.54 74.16a 0.047 2.96 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 5.39 61.11 0.043 2.94 25 ppm 5.59 75.55 0.043 2.98 50 ppm 5.09 66.66 0.048 2.64 75 ppm 4.89 61.11 0.052 2.68 Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Pada dasarnya pemberian auksin dapat meningkatkan persentase stek
berakar karena auksin berperan memacu pembentukan akar pada stek (Hartmann et
al. 1990) dan pertumbuhan panjang akar (Sebenek & Jesco, 1990). Namun apabila
terlalu tinggi akan bersifat menghambat, sebagaimana yang diutarakan oleh Susilo
(1991) dan Campbell et al. (2002) bahwa konsentrasi auksin yang tinggi dapat
menghambat perakaran pada stek.
Persentase Stek Hidup, Jumlah Tunas per Stek, Persentase Bertunas 2-3 Tunas/Eksplan dan Waktu Bertunas
Persentase stek hidup dan jumlah tunas per stek tidak dipengaruhi
pemberian auksin dan sitokinin. Perlakuan auksin hanya berpengaruh nyata pada
stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan, sedangkan sitokinin berpengaruh
pada waktu munculnya tunas. Persentase tumbuh, persentase stek berakar,
persentase stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan dan waktu bertunas dapat
dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 menunjukkan bahwa pengaruh perlakukan auksin dan sitokinin
tidak berbeda nyata pada peubah persentase stek yang hidup dan jumlah tunas per
stek. Pemberian auksin dan sitokinin tersebut hanya terlihat berbeda nyata
mempengaruhi peubah persentase stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan
43
dan waktu bertunas. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kedua hormon eksogen
tersebut menyebabkan respon atau gejala morfogenetik dan fisiologi yang
ditimbulkan berbeda-beda.
Tabel 16. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Persentase Tumbuh, Jumlah Tunas/Stek, Stek Bertunas 2-3 Tunas per Eksplan serta Waktu Bertunas pada Stek Basal Daun Asal Mahkota.
Perlakuan Stek hidup Jumlah tunas / stek
Stek bertunas 2-3 tunas/ekspl
Waktu bertunas
Konsentrasi Auksin (%) (%) (MST) 0 ppm 71.66 1.26 10.83b 8.02 25 ppm 78.33 1.25 20.83a 8.31 50 ppm 80.83 1.16 21.66a 8.46 Konsentrasi Sitokinin 0 ppm 71.11 1.28 18.88 7.34a 25 ppm 82.22 1.22 16.66 7.34a 50 ppm 77.77 1.20 15.55 8.95b 75 ppm 76.66 1.20 20.00 9.41b
Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Pemberian auksin berpengaruh nyata terhadap persentase stek yang mampu
menghasilkan tunas lebih dari satu (bertunas 2-3 per eksplan). Pemberian auksin 25
ppm dapat meningkatkan persentase jumlah stek yang menghasilkan 2-3 tunas per
eksplan. Perlakuan auksin 25 ppm berbeda nyata dengan kontrol, namun tidak
nyata pengaruhnya dibandingkan dengan perlakuan 50 ppm.
Persentase stek yang mampu menghasilkan jumlah tunas lebih dari satu
tunas per eksplan sekitar 20.83-21.66 %. Hal yang sama terjadi pada penelitian
Rosmaina (2007) secara in vitro yang menunjukkan bahwa adanya peran auksin
terhadap peningkatan jumlah tunas per eksplan. Sebagai faktor tunggal, auksin
(NAA) memberikan respon yang sangat nyata terhadap tingkat multiplikasi tunas
pada nenas Curug Rendeng. Hal ini juga didukung pendapat Fiorino dan Loretti
(1987) yang menyatakan pada taraf konsentrasi tertentu jumlah tunas baru yang
dihasilkan eksplan akibat pemberian auksin dapat meningatkan jumlah tunas.
Hal yang berbeda diperlihatkan oleh perlakuan sitokinin yang justru tidak
menunjukkan peningkatan terhadap jumlah tunas. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian sitokinin tidak dapat meningkatkan jumlah persentase stek yang
44
menghasilkan 2-3 tunas. Hal mungkin terkait dengan keseimbangan hormon dalam
stek. Dalam teori keseimbangan hormon (direct theory of auksin) dikemukakan
bahwa konsentrasi auksin yang cukup tinggi dapat mengakibatkan atau
menghambat aktifitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator
pembentukan sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dalam stek dihambat dan laju
pertambahan jumlah tunas juga terhambat. Berdasarkan respon tersebut,
menunjukkan auksin berperan negatif terhadap sitokinin (Jones, 2010).
Pemberian sitokinin tidak nyata meningkatkan persentase jumlah stek yang
bertunas 2-3 tunas, namun nyata mempengaruhi waktu bertunas. Pemberian
berbagai taraf konsentrasi sitokinin mempengaruhi perkembangan dan pematahan
dormansi mata tunas. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan semakin lambat
stek bertunas. Stek yang paling cepat memunculkan tunas justru berasal dari taraf 0
ppm (kontrol) dan 25 ppm yakni 7.34 MST dan yang paling lambat bertunas adalah
perlakuan taraf sitokinin 75 ppm yaitu 9.41 MST. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian sitokinin tidak mampu mempercepat munculnya tunas, bahkan waktu
yang dibutuhkan untuk bertunas semakin lama.
Fenomena diatas diduga terkait dengan pendapat Akasaka et al. (2000) dan
Campbell et al. (2002) yang mengatakan bahwa penggunaan sitokinin konsentrasi
tinggi dapat menghambat kecepatan bertunas dan pembentukan akar. Disamping
itu, juga dapat diduga karena adanya sifat antagonis antara auksin dan sitokinin
sebagaimana yang disampaikan oleh Lee et al. (2002) dan Jones (2010) yang
menyatakan bahwa keberadaan sitokinin dapat menghambat kerja auksin dalam
pemanjangan sel dan perakaran akibat reaksi auksinoksidatif sebagaimana yang
disampaikan juga oleh Rampant et al. (2000) bahwa dalam kondisi tertentu
aktivitas auksin oksidasi bersifat menghambat induksi perakaran. Adanya
penghambatan perakaran akan berdampak terhadap kecepatan atau waktu
munculnya tunas.
45
Mata tunas
A B
Mata tunas membengkak
Nodul
Pengaruh Sitokinin BA pada Berbagai Ukuran Tunas terhadap Kemampuan Stek Bernodul
Morfologi Kalus Stek Daun Nenas GP-1
Kondisi stek secara umum masih terlihat segar pada 2 minggu setelah tanam
(MST), tidak ada pencoklatan dan pembusukan. Perubahan bentuk mata tunas
mulai terlihat 3 MST. Mata tunas stek basal daun asal mahkota mengalami
pembengkakan dan ujung tunas menjadi melebar dan tidak beraturan. Hal ini
diduga terjadi perubahan morfologi mata tunas membentuk nodul. Nodul tersebut
semakin lama semakin membesar, tampak berwarna hijau keputihan dan bentuknya
tidak beraturan. Nodul berwarna putih kehijauan dan bergranul diduga merupakan
sel-sel embriogenik. Menurut Fambriani et al. (2003) tekstur kalus /nodul berwarna
putih dan bergranul merupakan massa sel embrionik.
Secara umum kontaminasi banyak terjadi pada saat stek berumur 6 MST.
Hampir 90 % stek yang sudah berkalus mengalami pencoklatan (browning), busuk
dan mati. Stek yang sudah berkalus sangat rentan terkontaminasi sehingga perlu
lingkungan tumbuh yang optimal. Dalam kondisi in vivo, persentase stek berkalus
atau bernodul lebih tinggi keberhasilannya pada tunas kecil dibandingkan stek
bertunas sedang dan besar. Penampilan morfologi tunas menjadi nodul pada stek
basal daun asal mahkota dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Morfologi Tunas Bernodul Asal Stek Mahkota : (A) Mata Tunas Umur 1 MST dan (B) Mata Tunas Umur 4 MST (Pembesaran Gambar 20 x).
46
Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh hormon sitokinin BA pada berbagai
ukuran mata tunas stek asal mahkota terhadap persentase stek berkalus dan jumlah
nodul dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Sitokinin BA dan Ukuran Mata Tunas terhadap Persentase Stek Berkalus dan Jumlah Mata Tunas.
Peubah PerlakuanU (Z) U*Z KK (%)
Persen berkalus/nodul a) ** ** ** 8.41 Jumlah nodul ** ** ** 11.73 Keterangan : MST : Minggu Setelah Tanam tn : Tidak Nyata U : Ukuran mata tunas ** : Sangat nyata pada Uji F 5 % Z : Sitokinin *: Nyata pada Uji F 5 % U*Z : Interaksi a): Data ditransformasi dengan log (y+1)
Persentase Stek Bernodul
Potensi pembentukan nodul berbeda-beda berdasarkan ukuran mata tunas.
Stek yang berukuran mata tunas kecil, sangat nyata responnya terhadap perlakuan
sitokinin BA baik pada pemberian konsentrasi 25 ppm maupun pada 50 ppm. Stek
yang mampu bernodul adalah tunas berukuran kecil dan sedang, sedangkan
bertunas besar atau tunas yang telah berdaun tidak dapat berkalus. Interaksi
perlakuan BA dengan ukuran tunas terhadap persentase stek bernodul dapat dilihat
pada Tabel 18.
Tabel 18. Pengaruh Interaksi Sitokinin dengan Ukuran Mata Tunas Stek terhadap Persentase Stek Bernodul pada 4 MST.
Peubah Ukuran tunas Konsentrasi Sitokinin Kecil Sedang Besar BA 0 ppm 0.00c 0.00c 0.00c BA 25 ppm 60.00a 40.00b 0.00c BA 50 ppm 60.00a 46.66b 0.00c
Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Persentase stek kecil yang bernodul sekitar 60 % dan tunas berukuran
sedang berkisar 40-46.66 %. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan
nodul sebagai awal regenerasi membutuhkan asupan sitokinin, dalam hal ini
diperoleh dari pemberian sitokinin BA.
47
Sitokinin efektif menginduksi pembentukan sel atau berdifrensiasi
membentuk nodul saat fase awal pertumbuhan tunas. Hal tersebut sesuai pernyataan
George & Sheington (1984) mengatakan bahwa konsentrasi sitokinin yang tinggi
dapat menginduksi jaringan untuk membentuk kalus atau nodul pada fase
pertumbuhan awal karena sel-sel tanaman sangat aktif membelah. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Klerk et al. (1999) menyatakan bahwa keberhasilan penyetekan
tanaman secara in vitro sangat dipengaruhi oleh umur dan juvenilitas eksplan
(bahan). Pada saat fase awal pertumbuhan, sel-sel menjadi kompeten dan responsif
terhadap aktivitas hormon, baik akibat hormon yang diberikan maupun yang sudah
ada pada tanaman. Pada fase tersebut sel-sel mulai aktif membelah membentuk
nodul atau kalus dan diduga meristematik.
Jumlah Nodul
Pemberian beberapa taraf sitokinin BA nyata pengaruhnya jumlah nodul
yang dihasilkan per stek. Jumlah nodul yang dihasilkan stek berukuran kecil
memiliki nilai rataan tertinggi. Rata-rata jumlah nodul yang dihasilkan stek
bertunas kecil akibat pemberian sitokinin BA 50 ppm adalah 5.33 nodul. Berbeda
dengan stek bertunas sedang yang menghasilkan 4.33 nodul. Stek yang tidak
diberikan hormon sitokinin BA tidak dapat bernodul. Adanya stek yang mampu
membentuk nodul atau kalus diduga mampu beregenerasi membentuk calon tunas
baru atau bibit sebagaimana yang terjadi pada tehnik in vitro.
Pengaruh interaksi perlakuan berbagai taraf sitokinin BA dengan ukuran
mata tunas stek terhadap jumlah nodul per stek dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Pengaruh Interaksi Sitokinin dengan Ukuran Stek pada Jumlah Nodul per Stek pada 4 MST.
Peubah Nilai Rataan Jumlah Nodul per Stek Ukuran tunas Konsentrasi Sitokinin Kecil Sedang Besar BA 0 ppm 1.00d 1.00d 1.00d BA 25 ppm 4.33b 3.66bc 1.00d BA 50 ppm 5.33a 4.33b 1.00d
Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 %
Respon tanaman yang menghasilkan kalus atau nodul bervariasi tergantung
beberapa faktor, antara lain : bagian tanaman yang digunakan, umur fisiologis,
48
jenis organ, jenis tanaman dan prosedur perbanyakan termasuk jenis ZPT yang
ditambahkan pada media (Sudarmonowati et al. 2002). Dalam penelitian ini
pengaruh besarnya ukuran mata tunas dan konsentrasi sitokinin BA yang digunakan
memiliki gejala respon fisiologis atau morfogenetik yang berbeda-beda termasuk
kemampuan membentuk kalus/nodul.
Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin BA dapat menginduksi
terbentuknya embrio somatik karena berperan dalam difrensiasi sel sehingga
terbentuk nodul. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa perlakuan taraf sitokinin
BA 25 ppm dan 50 ppm terhadap jumlah stek bernodul berbeda nyata. Semakin
tinggi konsentrasi yang diberikan semakin banyak jumlah nodul yang dihasilkan.
Meningkatnya jumlah nodul tiap stek tidak diikuti dengan terbentuknya perakaran,
dan kelihatannya sulit berakar.
Hal ini sejalan dengan pendapat Marcier et al. (2003) yang mengatakan
bahwa penambahan konsentrasi sitokinin pada media kultur secara in vitro dapat
mendorong terbentuknya nodul dan bertunas. Namun demikian penggunaan
konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat mendorong proliferasi dan menghambat
perakaran. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang diberikan akan menyebabkan
peningkatan iP dan iPR endogen sehingga rasio auksin/sitokinin akan semakin
menurun dan selanjutnya akan mendorong pembentukan kalus/ nodul (Mercier et
al. 2003).
Penggunaan sitokinin pada konsentrasi tinggi, selain meningkatkan jumlah
stek bernodul, kemungkinan tunas yang dihasilkan juga tidak normal. Murty et al.
(1995), mengatakan bahwa untuk menginduksi embrio somatik dan meningkatkan
persentasi jumlah bernodul per eksplan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
konsentrasi sitokinin namun perlu diperhatikan konsentrasi yang tepat agar tidak
terjadi efek variasi somaklonal.
Sampai pengamatan terakhir (6 MST), stek bertunas kecil yang diberi
sitokinin 25 ppm dan 50 ppm tidak dapat membentuk akar. Semua nodul yang
dihasilkan tidak dapat menjadi bibit diduga karena konsentrasi sitokinin terlalu
tinggi dan tidak ada asupan auksin dari luar (auksin eksogen).
49
Efisiensi Ekonomis dan Teknis
Analisis finasial merupakan analisis yang biasa digunakan untuk menilai
kelayakan suatu usaha produksi. Efisiensi ekonomis dari usaha proses produksi
bibit dapat diketahui dengan melakukan analisis finansial terhadap sumber daya
atau input yang digunakan selama produksi. Salah satu metode analisis yang
digunakan untuk menilai usaha produksi yang menguntungkan atau tidak adalah
dengan analisis B/C rasio. B/C rasio merupakan suatu rasio antara keuntungan atau
manfaat (net) terhadap total biaya yang dikeluarkan. Kriteria menentukan nilai B/C
rasio yaitu apabila nilai B/C rasio <1, maka usaha prosuksi tersebut tidak
menguntungkan atau tidak bermanfaat, sedangkan bila B/C rasio >1 maka usaha
produksi tersebut menguntungkan atau bermanfaat.
Perencanaan produksi bibit nenas harus memperhatikan atau menentukan
jumlah dan jenis input produksi yang akan dikeluarkan selama produksi sehingga
diperoleh keuntungan maksimal. Oleh karena itu diharapkan bahwa serangkaian
kegiatan dengan melalui peramalan kebutuhan input produksi dapat diperkirakan
sesuai dengan keinginan atau rencana keputusan. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mendukung keputusan produksi tersebut adalah melalui analisis
Linear programming.
Menurut Pangestu Subagyo et al. (2004), Linear programming merupakan
suatu model umum yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah pengalokasian
sumber daya yang terbatas sehingga optimal. Ciri khusus penggunaan metode
matematis ini adalah mendapatkan taraf maksimasi atau minimalisasi. Dalam
program Linear programming dikenal dua macam fungsi yaitu, fungsi tujuan dan
fungsi pembatas. Fungsi tujuan merupakan gambaran tujuan dalam permasalahan
linear yang berkaitan dengan pengaturan optimal sumber daya (input) sehingga
diperoleh keuntungan maksimal atau biaya minimum. Bila biaya, maka
optimasinya adalah meminimumkan dan bila keuntungan atau manfaat maka
optimasinya adalah memaksimumkan (Miswanto & Winarno 1993). Linear
programming merupakan salah satu teknik operation research untuk tujuan
optimasi suatu kasus tertentu (Reveliotis 1997).
50
Kapasitas Produksi Tiap Perlakuan.
Berdasarkan hasil analisis finansial menunjukkan bahwa keberhasilan
perbanyakan bibit nenas menggunakan stek basal daun asal mahkota lebih baik
daripada stek basal asal batang. Stek basal daun asal mahkota memiliki tingkat
keberhasilan atau persentase tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan asal
stek basal daun batang. Rata-rata persentasi bibit yang dapat diproduksi melalui
mahkota berjumlah 70-80 %, sedangkan dengan batang hanya berkisar 40-50 %.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan perbanyakan bibit nenas melalui
stek basal daun asal mahkota lebih unggul dibandingkan asal batang.
Jumlah potongan eksplan stek yang dapat diperoleh atau dimanfaatkan dari
batang dan mahkota juga berbeda-beda. Jumlah kapasitas produksi bibit sangat
tergantung pada jumlah potongan eksplan yang dapat dimanfaatkan dari tiap bahan.
Bahan stek daun asal batang optimal menghasilkan 15 – 20 potongan sedangkan
asal mahkota mampu memperoleh 25 hingga 30 potongan. Hal ini menunjukkan
bahwa potensi kapasitas produksi asal mahkota lebih tinggi dibandingkan batang.
Penentuan Harga
Penentuan harga sangat penting karena akan menentukan besaran
penerimaan yang diterima. Penentuan harga bibit didasarkan pada harga yang
disesuaikan dengan nilai minimum keuntungan yang diperoleh. Harga bibit nenas
hasil stek basal daun diasumsikan 2000 rupiah per bibit. Kisaran tinggi bibit
minimal 15 cm sesuai denga standart bibit siap tanam (disesuaikan dengan standar
kultur jaringan).
Biaya Operasional
Biaya opersional adalah biaya yang dikeluarkan selama proses kegiatan
produksi bibit berlangsung, meliputi tenaga kerja, bahan ZPT, media tanam dan
obat-obatan. Dalam kegiatan ini diasumsikan bahwa biaya kegiatan produksi
didasarkan atas semua bahan yang habis pakai selama penelitian berlangsung.
Biaya operasional antara stek basal daun asal batang dan mahkota berbeda
terutama pada parameter tenaga kerja. Tenaga opersioanal untuk produksi stek asal
batang lebih tinggi dibandingkan asal mahkota. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk memotong stek daun asal batang dua kali lebih besar daripada stek basal
51
mahkota. Stek basal daun asal batang membutuhkan waktu 5 menit untuk
menyelesaikan satu buah potongan batang utuh sedangkan pada mahkota rata-rata
hanya membutuhkan 1-2 menit per satu mahkota. Hal tersebut akan mempengaruhi
tingkat efisiensi usaha produksi bibit.
Keuntungan
Keuntungan dari hasil produksi prosuksi bibit diperoleh dari hasil penjualan
seluruh bibit yang dihasilkan melalui penerapan berbagai kombinasi teknologi yang
diberikan. Data optimasi sumberdaya yang digunakan berdasarkan nilai keuntungan
yang diperoleh nilai B/C rasio biasanya dapat digunakan sebagai indikator efisiensi
ekonomis suatu kegiatan sedangkan Linear programming dapat digunakan untuk
mengambil keputusan dalam mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang tersedia
dan menentukan tingkat efisiensi. Nilai B/C ratio dan optimasi teknis pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Efisiensi Ekonomis dan Teknis Kegiatan Produksi Bibit Nenas Smooth Cayenne pada Stek Basal Daun Asal Mahkota
Perlakuan Auksin(ppm)
Sitokinin (ppm)
B/C ratio Surplus/slack
Kontrol 0 0 1.29 0.000000 IBA 25 ppm 25 0 4.05 60554.01 IBA 50 ppm 50 0 4.07 67206.19 BA 25 ppm 0 25 1.65 43233.76 IBA 25 ppm + BA 25 ppm 25 25 3.24 26869.59 IBA 50 ppm + BA 25 ppm 50 25 2.31 43062.67 BA 50 ppm 0 50 2.22 23582.05 IBA 25+BA 50 ppm 25 50 0.52 16758.78 IBA 50 ppm + BA 50 ppm 50 50 1.30 27902.77 BA 75 ppm 0 75 1.81 35373.08 IBA 25 ppm + BA 75 ppm 25 75 1.13 33041.63 IBA 50 + BA 75 ppm 50 75 1.03 30710.16 Objective Value 0.237+08
Catt : auksindan sitokinin ditransformasi dalam bentuk rupiah ; 4500 dan 11000 per jumlah bahan yang digunakan minimum, arang sekam Rp 60000, Obat-Obatan (fungisida dan insektisida) Rp 20000 dan tenaga kerja Rp 120000. Kombinasi taraf dikonversi dalam bentuk keuntungan (Rp) lalu dibuat dalam bentuk persamaan linear.
Perbedaaan yang signifikan antar penggunaan sumber bahan stek sangat
mempengaruhi efisiensi kegiatan produksi pembibitan. Analisis teknis dilakukan
hanya pada stek basal daun asal mahkota karena dalam penelitian ini, diperoleh
52
informasi bahwa penggunaan stek basal daun asal mahkota lebih baik dibandingkan
asal batang. Informasi ini menjadi pertimbangan apabila teknologi ini diterapkan di
lapang meskipun secara ekonomis, stek daun asal batang nilai B/C rasionya masih
diatas satu.
Berdasarkan analisis finansial produksi bibit nenas Smooth Cayenne melalui
teknik perbanyakan stek basal daun tanpa pemberian ZPT adalah 1.29, artinya
setiap pengeluaran 1 rupiah akan memberikan penerimaan atau keuntungan sebesar
Rp. 1.29 meskipun tanpa pemberian hormon. Nilai rasio B/C terbesar diperoleh dari
perlakuan auksin 25 ppm dan 50 ppm tanpa sitokinin, yaitu sebesar 4.07 dan 4.05.
Nilai B/C terkecil diperoleh dari perlakukan kombinasi hormon auksin 25 ppm dan
sitokinin 50 ppm yaitu 0.52. Hal ini menunjukkan bahwa perbanyakan nenas
melalui stek basal daun, baik dengan cara pemberian kombinasi hormon auksin dan
sitokinin maupun tunggal layak secara ekonomis kecuali perlakuan IBA 25 ppm +
BA 50 ppm.
Selain menggunakan metode B/C rasio, optimasi biaya dan efisiensi
produksi bibit juga penting diperhatikan untuk mengoptimalkan sumber daya atau
input yang ada sehingga diperoleh keputusan yang tepat. Tabel 20 menunjukkan
bahwa efisiensi biaya dapat dilakukan dengan cara meminimumkan biaya produksi.
Solusi optimal kegiatan produksi bibit nenas selama penelitian dapat diketahui
dengan cara mengkaji dan mengevaluasi nilai optimal dari seluruh perlakuan, baik
tunggal maupun interaksi.
Optimalisasi sumberdaya yang digunakan selama penelitian didasarkan
pada keuntungan yang diperoleh tiap unit sumberdaya yang digunakan. Nilai
optimasi dianalisis melalui program Linear programming. Seluruh perlakuan dibuat
model persamaan linearnya. Model persamaan linear dari seluruh kombinasi
perlakuan adalah sebagai berikut.
Persamaan dari fungsi tujuan menimumkan biaya produksi adalah :
Z= 4500*x1+11000*x2+20000*x3+60000*x4+120000*x5
Faktor kendala :
2.67*x3+21.39*x4+0.89*x5≥83500;
36.83*x1+8.06*x3+64.44*x4+2.68*x5≥191000
19.74*x1+8.64*x3+69.09*x4+2.88*x5≥202500
53
11.86*x2+6.52*x3+52.19*x4+2.17*x5≥160500
36.14*x1+14.37*x2+7.91*x3+63.24*x4+2.64*x5≥220000;
14.83*x1+11.79*x2+6.49*x3+51.89*x4+2.17*x5≥159500;
4.34*x2+4.77*x3+38.19*x4+1.59*x5≥125500;
19*x1+3.78*x2+4.16*x3+33.24*x4+1.39*x5≥113000;
11.74*x1+4.67*x2+5.14*x3+41.09*x4+1.71*x5≥132500;
3.53*x2+5.82*x3+46.59*x4+1.94*x5≥146500;
25.62*x1+3.40*x2+5.61*x3+44.84*x4+1.87*x5≥142000;
12.31*x1+3.26*x2+5.39*x3+43.09*x4+1.80*x5≥137500;
Variable keputusan dalam penelitian ini adalah :
X1 = Auksinyang digunakan (dalam rupiah) X2 = Sitokinin yang digunakan (dalam rupiah) X3, X4, X5 = Input pendukung (arang sekam, obat-obatan dan tenaga kerja).
Model yang telah disusun diatas diolah dengan Linear programming
dibantu dengan alat analisis software Lingo versi 8.0. Out put program Lingo adalah
mengoptimasi keuntungan dengan cara meminimalisasi penggunaan sumber daya
seminimum mungkin. Semakin tinggi nilai slack atau surplus dari suatu perlakuan
maka semakin optimal hasil yang diperoleh atau keuntungan yang diperoleh
semakin tinggi.
Berdasarkan hasil analisis Linear programmming diperoleh bahwa nilai
minimum biaya produksi adalah 0.237+08, artinya bahwa untuk memproduksi bibit
sebanyak yang diperoleh selama penelitian dibutuhkan biaya per stek sebesar 0.237
+ 08. Hal ini menunjukkan bahwa nilai efisiensi produksi dari kontrol sangat kecil
apabila mengambil keputusan memproduksi bibit tanpa menggunakan hormon
meskipun secara ekonomis masih menguntungkan.
Nilai slack atau surplus merupakan nilai dari fungsi tujuan untuk
meminimumkan biaya produksi. Semakin tunggi nilai slack atau surplus maka
semakin minimum biaya yang akan dikeluarkan. Nilai slack atau surplus
menunjukkan bahwa perlakuan tunggal auksin 25 ppm sebesar 60.554 berarti
apabila melaksanakan keputusan tersebut, maka diperoleh penambahan keuntungan
sebesar Rp. 282.970. Keuntungan maksimum yang diperoleh dari perlakuan ini
54
adalah sebesar 191.000, sehingga dengan demikian masih ada keuntungan lebih
sebesar Rp 91. 970 (Rp. 282.970-191.000).
Perlakuan kontrol, nilai slack atau surplusnya adalah Rp. 0. Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh sumberdaya yang tersedia (terutama perlakuan
hormon) habis terpakai, sehingga dapat dikategorikan tidak efisien. Nilai slack atau
surplus tertinggi diperoleh dari perlakuan auksin 50 ppm sebesar Rp 67.206,19.
Print out hasil perhitungan menggunakan program Lingo dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Pembahasan Umum
Inovasi sederhana perbanyakan bibit nenas perlu dikembangkan. Informasi
agronomis diperlukan untuk mendukung rekomendasi teknologi perbanyakan bibit
nenas. Teknik perbanyakan bibit secara in vivo berpeluang digunakan sebagai
alternative teknologi perbanyakan secara cepat, mudah dan sederhana. Pengujian
tingkat keberhasilan perbayakan bibit melalui teknik terseut belum pernah
dilakukan khususnya pada nenas jenis Smooth Cayenne klon GP-1.
Beberapa peubah sebagai penduga yang dapat dijadikan sebagai parameter
keberhasilan teknologi perbanyakan bibit secara in vivo di lapang, diantarannya
adalah persentase stek tumbuh (hidup), persentase stek berakar, tinggi bibit (vigor),
daya multiplikasi dan waktu produksi (mencapai bibit siap sebar). Selain peubah
teknis tersebut, juga diperlukan informasi kelayakan ekonomis dan efisiensi teknis
terutama penggunaan input (perlakuan) dengan berbagai sumber eksplan yang
digunakan.
Secara umum penelitian ini memperoleh informasi dan gambaran awal
tentang potensi teknologi perbanyakan bibit nenas yang mudah dilakukan melalui
stek basal daun, terutama pada nenas jenis Smooth Cayenne klon GP-1. Stek basal
daun asal batang dan mahkota berpotensi menghasilkan calon bibit yang berasal
dari tunas dorman yang ada disetiap ketiak daun nenas. Dalam kaitannya dengan
pemberian ZPT, menunjukkan bahwa pemberian auksin maupun sitokinin
umumnya tidak mampu meningkatkan daya multiplikasi dan kualitas bibit di
lapang. Berdasarkan analisa faktor tunggal peran sitokinin lebih terlihat
berpengaruh dibandingkan auksin pada semua peubah yang diamati.
55
Interaksi perlakuan auksin dan sitokinin baik pada sumber eksplan asal
batang maupun mahkota pada kisaran dosis 0-75 ppm umumnya tidak
menunjukkan pengaruh nyata terhadap seluruh peubah yang diamati, kecuali
berdasarkan faktor tunggal. Berdasarkan faktor tunggal, pengaruh perlakuan auksin
dan sitokinin pada stek daun asal batang hanya nyata pada tinggi tunas dan tinggi
bibit (12 MST) sedangkan pada stek basal daun asal mahkota nyata pada tinggi
tunas (8 MST), tinggi bibit, jumlah daun (18 MST), lebar daun, persentase stek
yang menghasilkan 2-3 tunas/eksplan dan waktu bertunas. Adanya perbedaan
respon antar kedua sumber eksplan diduga dipengaruhi oleh konsentrasi hormon
yang diberikan, jenis bahan yang digunakan serta kandungan zat/senyawa lainnya
seperti karbohidrat, nitrogen dan protein yang terdapat pada masing-masing eksplan
stek.
Berdasarkan respon masing-masing sumber eksplan, baik stek asal batang
maupun mahkota menunjukkan bahwa pemberian hormon pada konsentrasi tertentu
dapat bekerja maksimal atau efektif mempengaruhi karakter pertumbuhan stek di
lapang. Efek yang ditimbulkan dapat bersinergi (positif) dan juga dapat bersifat
antagonis (negatif) tergantung bahan atau sumber eksplan yang digunakan. Hal ini
terlihat pada peubah tinggi bibit, dimana peningkatan konsentrasi sitokinin pada
stek basal daun asal batang cenderung meningkatkan nilai rataan tinggi bibit
meskipun secara statistik tidak nyata. Pada stek basal daun asal mahkota justru
terjadi sebaliknya. Peningkatan konsentrasi sitokinin pada stek basal daun asal
mahkota cenderung menghambat perkembangan bibit. Pengaruh ini sudah terlihat
sejak awal dimana pertumbuhan tunas stek asal mahkota juga lambat dan kurang
berkembang.
Perbedaaan respon masing-masing sumber eksplan terhadap ZPT yang
diberikan menunjukkan bahwa pemberian sitokinin pada stek basal daun asal
batang masih belum optimum dan perlu ditingkatkan konsentrasinya. Berbeda
dengan stek asal mahkota, tidak perlu diberikan karena diduga dapat menyebabkan
toksik. Pemberian sitokinin dalam konsentrasi tinggi justru menekan pertumbuhan
bibit. Sitokinin yang masuk dari akar dapat menghambat kerja auksin seiring
dengan perkembangan tunas sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bibit
selanjutnya (Campbell dan Reece, 2002).
56
Hal ini sejalan dengan pendapat Abidin (1990) dan Sulisbury & Ross (1995)
yang mengungkapkan bahwa efektifitas dan optimalnya penggunaan ZPT terhadap
tanaman tergantung jenis hormon, kadar hormon (konsentrasi) dan jenis tanaman
serta lingkungan. Kadar hormon yang terdapat dalam tanaman tergantung dari
bagian yang diambil dan dipengaruhi oleh umur dan apabila diberi perlakuan ZPT
jika dosisnya tepat maka bermanfaat bagi perkembangan tanaman (Gunawan,
1988).
Saat ini, hipotesis yang menerangkan regulasi hormonal pada tanaman
menunjukkan bahwa auksin dan sitokinin dapat bekerja secara antagonis dan
sinergis dalam mengatur pertumbuhan tanaman. Kadar hormon endogen yang
berbeda pada setiap eksplan (bahan) akan mempengaruhi respon suatu eksplan yang
digunakan terutama akibat pemberian zat pengatur tumbuh, meskipun sumber
eksplan stek tersebut ditanam pada media yang sama. Zat pengatur tumbuh pada
konsentrasi tertentu dapat menghambat kerja hormon endogen yang terdapat pada
stek dan menggangu pertumbuhan dan perkembangan tunas (Campbell dan Reece,
2002).
Umumnya, sumber eksplan stek basal daun asal batang dan mahkota
sebagian besar telah bertunas pada 4 MST (Minggu Setelah Tanam) meskipun tidak
merata. Stek basal daun yang lebih cepat bertunas menghasilkan pertumbuhan bibit
yang lebih cepat. Hingga pengamatan terakhir (20 MST), nilai rataan tinggi tunas
asal stek batang lebih tinggi dibanding asal mahkota. Berdasarkan hasil ekstrapolasi
data diperoleh waktu optimum yang dibutuhkan untuk mencapai tinggi bibit sesuai
kriteria kultur jaringan yaitu 15 cm. Nilai rata – rata waktu yang dibutuhkan stek
asal batang untuk mencapai kriteria tersebut adalah 28-33 MST sedangkan stek asal
mahkota adalah 31-40 MST. Bila dibandingkan antar kontrol, perbedaaan waktu
keduanya sekitar 3 minggu meskipun secara statistik (uji T) tidak berbeda antar
kedua sumber eksplan. Hasil uji T antara perlakuan ZPT pada batang dan mahkota
tersaji pada Tabel 21.
57
Tabel 21.Hasil uji T Perlakuan Auksin dan Sitokinin pada Batang Vs Auksin dan Sitokinin pada Mahkota terhadap Tinggi Bibit, Persentase Stek Tumbuh, Stek Berakar, Waktu Bertunas, Waktu Produksi Bibit Mencapai 15 cm serta Total Jumlah Tunas per Satuan Percobaan.
Peubah Nilai tengah (Mean) Respon Batang Mahkota
Tinggi bibit (cm) 9.07 7.36 ** Persentase stek tumbuh (%) 52.16 65.23 ** Persentase stek berakar (%) 32.68 56.07 ** Waktu bertunas (MST) 8.95 8.85 tn Waktu produksi bibit mencapai 15 cm (MST) 31.33 34.5 tn Total jumlah tunas 5.88 9.51 **
Keterangan : tn : tidak nyata, ** : Berbeda sangat nyata (α = 5 %)
Hasil uji T menunjukkan bahwa respon stek basal daun asal batang dan
mahkota terhadap perlakuan ZPT berbeda sangat nyata pada peubah tinggi bibit,
persentase tumbuh, persentase stek berakar dan total jumlah tunas yang dihasilkan.
Waktu yang dibutuhkan kedua sumber stek hingga bertunas tidak nyata dan relatif
sama, demikian juga halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh
standart tinggi bibit 15 cm.
Nilai rataan tinggi bibit stek asal batang lebih tinggi dibandingkan stek asal
mahkota. Hasil uji T menunjukkan bahwa nilai rataan tinggi tunas yang dihasilkan
oleh kedua eksplan stek berbeda nyata. Nilai rataan tinggi bibit asal batang adalah
9.07 cm sedangkan asal mahkota adalah 7.36 cm. Hal ini diduga terkait dengan
rasio C/N dan hormon yang terkandung dalam potongan masing-masing sumber
eksplan stek. Berdasarkan hasil analisis kimia diperoleh kandungan karbohidrat
pada batang sekitar 15.42 % (w/w) sedangkan pada mahkota 5.11 % (w/w).
Kandungan nitrogen pada stek asal batang sekitar 0.11 % (w/w) sedangkan stek
asal mahkota 0.37 % (w/w). Kandungan protein pada stek basal daun asal batang
sekitar 0.61 % sedangkan pada stek basal daun asal mahkota sekitar 2.33 %.
Perbedaan tersebut mengakibatkan respon perlakuan ZPT eksogen menjadi berbeda
sehingga mempengaruhi perkembangan stek di lapang.
Karbohidrat berperan penting dalam proses metabolisme stek karena akan
menghasilkan energi yang kemudian digunakan untuk pertumbuhan akar dan tunas.
Kemampuan stek membentuk tunas dan akar dipengaruhi oleh kandungan
karbohidrat dan keseimbangan hormon yang tercermin pada C/N rasio (Sulisbury
58
dan Ross, 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai C/N stek asal batang
lebih tinggi dibandingkan stek asal mahkota. Kandungan karbohidrat yang lebih
tinggi pada stek nenas cenderung menghasilkan pertumbuhan bibit yang juga
tinggi. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian dimana pada stek basal daun asal
batang menghasilkan nilai rataaan tinggi bibit yang lebih besar dibandingkan bibit
asal stek basal daun asal mahkota.
Kemampuan Hartmann dan Kester (1983) menyatakan bahwa stek yang
diambil dari bagian tanaman dengan rasio karbohidrat dan nitrogen yang tinggi
akan merangsang pembentukan akar yang lebih cepat dan banyak sedangkan rasio
karbohidrat dan nitrogen yang rendah hanya akan mempercepat pertumbuhan tunas.
Berdasarkan teori tersebut seharusnya persentase stek berakar asal stek batang lebih
tinggi dibandingkan asal mahkota tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Keberadaan kandungan rasio karbohidrat dan nitrogen yang lebih tinggi pada
tanaman nenas tidak mendorong pembentukan perakaran melainkan tunas. Selain
berdasarkan data kuantitatif, hal ini juga dapat dibuktikan secra visual di lapang
dimana organ mahkota yang ditanam utuh pada media yang sama tanpa perlakuan
ZPT ternyata lebih cepat menghasilkan akar dibandingkan potongan batang pada
dua MST. Fenomena tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pembentukan akar diduga lebih dipengaruhi oleh keberadaan senyawa
endogen yang terdapat pada masing–masing eksplan stek terutama kandungan
protein dan hormon endogen IAA. Gunawan (1988) menyatakan bahwa tingkat
atau kandungan hormon dan senyawa lainnya dalam eksplan tergantung dari bagian
tanaman yang diambil, jenis tanamannya, dan juga dipengaruhi oleh musim dan
umur tanaman. Terkait hal tersebut, adanya perbedaan respon antar kedua sumber
eksplan stek diduga karena jaringan meristematik stek basal daun asal batang telah
terdifrensiasi menjadi akar-akar aksilar selama pertumbuhan di lapang sehingga
inisiasi perakaran baru menjadi sulit. Hal ini sesuai dengan pendapat Leopad dan
Kriedeman (1975) bahwa pada eksplan batang tua sulit mengalami difrensiasi
membentuk akar atau tunas baru karena jaringan merismatiknya telah
terdifrensisasi sebelumnya membentuk organ.
Indikator lain yang dapat dijadikan patokan keberhasilan perbanyakan bibit
nenas melalui stek basal daun adalah persentase stek yang berhasil tumbuh.
59
Berdasarkan nilai rataan persentase stek yang tumbuh asal mahkota lebih tinggi
dibandingkan dengan stek asal batang. Berdasarkan analisis faktor tunggal,
persentase tumbuh stek basal daun asal batang sekitar 49.54 % sedangkan stek
basal daun asal mahkota sebesar 77.82 %. Hasil ini jelas menunjukkan bahwa
tingkat keberhasilan stek asal mahkota jauh lebih tinggi dibandingkan asal batang.
Rendahnya tingkat keberhasilan stek asal batang diduga akibat stek banyak yang
busuk akibat terserang cendawan. Proses sterilisasi yang dilakukan masih kurang
efektif karena diduga sumber penyakit sudah terbawa sejak dari lapang (soil born)
dan telah terinduksi ke dalam jaringan sel batang. Kontaminasi ini diduga karena
organ batang yang digunakan sebagi sumber eksplan posisinya berada dekat dengan
permukaan tanah. Berbeda halnya dengan stek asal mahkota, bahan eksplan relatif
lebih steril karena posisi mahkota berada jauh diatas permukaan tanah. Mahkota
berada dibagian atas buah sehingga peluang terjadinya kontaminasi dari penyakit
tular tanah hampir tidak ada.
Asumsi lain yang diduga menyebabkan tingkat keberhasilan perbanyakan
bibit menggunakan stek basal daun asal batang lebih rendah daripada asal mahkota
adalah terkait jumlah konsentrasi hormon endogen terutama auksin dan protein
yang terkandung dalam masing-masing sumber stek. Kandungan auksin dan protein
pada mahkota lebih tinggi dibanding pada batang (Eries, 2005). Pada mahkota
kandungan auksin endogennya sekitar 12.099 ppm sedangkan pada batang hanya
mengandung sekitar 0.278 ppm. Kandungan protein pada potongan eksplan stek
basal daun asal batang adalah 0.61 % (w/w) sedangkan pada mahkota 2.33 %
(w/w). Data hasil analisis kandungan protein, karbohidrat dan nitrogen dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Keberhasilan aplikasi hormon eksogen dalam perbanyakan bibit nenas
secara stek basal daun diduga tidak terlepas dari peran senyawa protein yang
terdapat dalam jaringan masing-masing sumber eksplan. Berdasarkan hasil analisis
protein, menunjukkan bahwa stek basal daun asal batang empat kali lebih rendah
dibandingkan kandungan protein dalam stek basal daun asal mahkota. Perbedaan
yang sangat signifikan ini diduga terkait dengan peranan auksin dalam metabolisme
asam nukleat (Devlin, 1975). Dalam berbagai tanaman dan bagian tanaman, auksin
menyebabkan dan mendorong sintesis RNA dan protein (Weaver, 1972). Akibatnya
60
akan mempengaruhi proses diferensiasi organ vegetative terutama proses
metabolisme pembentukan akar dan tunas.
Efektivitas hormon yang diberikan pada stek diduga dipengaruhi oleh
protein, terutama protein carier yang dikendalikan oleh protein transport (PIN)
(Vanneste, 2009). Proses sinyalisasi auksin atau transkripsi auksin dikendalikan
oleh gen AUX atau IAA untuk membentuk organ. Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa dinamika auksin pada apeks (dalam hal ini mata tunas) menunjukkan bahwa
gen PIN bekerja mengarahkan auksin dalam jaringan meristem dan ketika kadar
auksin mencapai ambang batas (setelah pemberian hormon eksogen), maka PIN
akan melakukan reorientasi auksin ke tempat inisiasi organ sehingga organ akar dan
tunas baru dapat terbentuk. Disamping itu, hormon dapat bekerja efektif ketika
komunikasi antar sel terjadi dengan adanya peran beberapa gen pengkode dan
protein pembawa AUX yang bekerja dalam waktu singkat dalam proses signaling
(Vert et al. 2008).
Hasil uji T, menunjukkan bahwa perlakuan ZPT (auksin dan sitokinin) pada
masing-masing stek tidak mempengaruhi waktu bertunas. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian auksin dan sitokinin tidak mampu mempercepat munculnya tunas
atau memecahkan dormansi mata tunas yang terdapat pada tiap ketiak daun asal
batang dan mahkota. Pemberian ZPT auksin dan sitokinin juga tidak mampu
mempercepat pertumbuhan tunas hingga mencapai 15 cm. Pemberian ZPT pada
stek basal daun asal mahkota justru berpengaruh negative pada pertumbuhan stek
dan menyebabkan stek semakin lambat bertunas. Hal ini diduga akibat konsentrasi
yang diberikan terlalu tinggi.
Berdasarkan nilai rataan untuk beberapa peubah seperti tinggi tunas, tinggi
bibit, lebar daun, panjang akar, jumlah tunas per stek dan waktu bertunas
(mempercepat) pada stek basal daun asal batang cenderung menunjukkan trand
meningkat meskipun secara statistik tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian ZPT pada stek asal batang belum optimal dan konsentrasinya perlu
ditingkatkan. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh stek basal daun asal mahkota,
dimana nilai rataan dari beberapa peubah yang diamati menunjukkan trand
menurun ketika konsentrasi ZPT ditingkatkan kecuali persentase stek berakar.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diduga bahwa pemberian ZPT khususnya
61
sitokinin pada stek asal mahkota tidak perlu diberikan. Potensi tumbuh dan
berkembangnya mata tunas pada stek basal daun asal mahkota dapat maksimal
meskipun tanpa asupan nutrisi dari luar. Hal ini disebabkan kandungan senyawa
endogen yang terdapat pada setiap potongan stek basal daun asal mahkota diduga
telah cukup.
Keberhasilan teknologi perbanyakan tidak hanya dilihat berdasarkan
kemampuan multiplikasinya, namun juga memperhatikan kualitas bibit yang
dihasilkan seperti vigoritas. Vigoritas merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan kualitas bibit. Keberadaan akar pada stek merupakan organ penting
yang harus diperhatikan karena akar berperan untuk menopang pertumbuhan stek
sehingga mempengaruhi vigoritas bibit di lapang. Bibit yang berkualitas dihasilkan
dari perakaran yang baik. Percobaan ini menunjukkan bahwa meskipun akar belum
terbentuk, namun tunas tetap tumbuh karena stek masih mendapat asupan nutrisi
yang terdapat dalam potongan basal daun.
Keberadaan akar akan menjadi sangat penting ketika fase perkembangan
tunas (kuncup tunas) mulai membentuk daun sempurna. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa stek basal daun asal mahkota lebih dahulu menghasilkan akar
dibandingkan asal batang. Pembentukan akar pada stek dimulai dengan adanya
proses metabolisme yang melibatkan cadangan nutrisi dan hormon yang terdapat
dalam potongan stek sehingga menghasilkan energi. Selanjutnya energi tersebut
mendorong pembelahan sel dan membentuk perakaran. Tingginya kandungan
hormon auksin dan protein yang dimiliki mahkota diduga berpengaruh terhadap
kecepatan pembentukan perakaran. Hal ini terbukti dengan potongan mahkota yang
ditumbuhkan dalam media yang sama lebih cepat berakar dibandingkan potongan
asal batang pada 2 MST. Berdasarkan pengamatan secara visual menunjukkan
bahwa stek yang lebih dahulu berakar atau banyak menghasilkan akar tampak lebih
vigor dibandingkan stek yang sedikit atau tidak memiliki akar. Perbedaan ini dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Nilai rata-rata persentase stek berakar dari perlakuan auksin cenderung lebih
tinggi dibandingkan sitokinin. Pada ekaplan stek asal mahkota terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi auksin yang diberikan maka semakin tinggi juga
persentase stek berakar yang dihasilkan, namun tidak demikian halnya pada stek
62
basal daun asal batang. Nilai rataan persentase stek berakar tertinggi yang diperoleh
dari perlakuan auksin pada mahkota adalah 71.24 % dan sitokinin adalah 66.66 %
sedangkan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 55.83 %. Nilai rataan persentase stek
berakar yang diperoleh dari perlakuan auksin pada stek basal daun asal batang
adalah 31.44 - 35.05 %, sedangkan perlakuan sitokinin sekitar 31.66-33.38 %. Hal
ini sesuai dengan pendapat (Dwidjoseputro (1978); Widianto (1988); Kusumo
(1990), yang mengemukakan bahwa manfaat dari hormon sangat tergantung dari
bahan dan konsentrasi yang diberikan, jika konsentrasinya tepat akan sangat
membantu dan diperoleh perakaran yang baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat yang lebih
tinggi atau C/N tidak selalu menyebabkan stek lebih muda berakar. Hal ini terbukti
dengan hasil persentase stek yang bertunas dan berakar dari stek basal daun asal
batang lebih rendah dibandingkan mahkota. Kandungan karbohidrat yang
terkandung dalam potongan stek basal daun asal batang hampir tiga kali lipat
dibandingkan asal mahkota. Kandungan karbohidrat dalam potongan eksplan stek
basal daun asal batang sekitar 15.42 % (w/w) sedangkan mahkota 5.11 % (w/w).
Na’iem (2000) menyatakan bahwa keberhasilan stek tanaman tergantung beberapa
faktor yakni, faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya adalah kondisi
fisiologi stek, umur stek waktu pengambilan stek dan ZPT endogen. Adapun faktor
luar antara lain adalah media, suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan hama
penyakit.
Dalam kaitannya dengan faktor dalam, penelitian ini menduga bahwa
keberadaan hormon endogen sangat mempengaruhi respon ZPT yang diaplikasikan.
Terbukti dengan adanya perbedaan perkembangan fisiologis yang dihasilkan oleh
masing-masing eksplan (asal batang dan mahkota) dalam mesponnya pemberian
hormon. Perbedaan ini diduga tidak hanya dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh
endogen, melainkan juga dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh yang diberikan
pada konsentrasi tertentu. Kadar hormon endogen yang berbeda pada setiap eksplan
akan mempengaruhi respon fisiologis stek terhadap pemberian zat pengatur
tumbuh, meskipun eksplan tersebut ditanam dalam media yang sama. Abidin
(1982) menyatakan bahwa kadar hormon dalam stek tanaman bervariasi.
63
Penambahan auksin dan sitokinin eksogen dapat mengubah kadar hormon endogen
yang dikandung eksplan atau tumbuhan (Salisbury & Ross, 1995).
Hingga pengamatan terakhir, ditemukan adanya keragaan perkembangan
stek di lapang, baik yang berasal dari stek basal daun asal batang maupun asal
mahkota. Beberapa stek yang hidup ditemukan ada yang hanya berakar tanpa
bertunas, sebagian lagi ada yang bertunas tetapi tidak berakar. Adanya stek yang
hidup tetapi tidak bertunas dan sebaliknya berakar tetapi tidak bertunas diduga
adanya akibat ketidakseimbangan hormon endogen yang terdapat pada masing-
masing potongan stek. Pertumbuhan stek yang normal adalah stek yang tumbuh
memiliki akar dan tunas. Keragaan perkembangan stek basal daun dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Dalam upaya meningkatkan jumlah tunas per stek melalui sistem
perbanyakan bibit secara in vivo diharapkan mampu menghasilkan bibit dalam
jumlah yang lebih banyak dengan cepat. Usaha untuk meningkatkan proliferasi
tunas dapat dilakukan melalui perlakuan berbagai taraf hormon sitokinin. Secara in
vitro, Sitokinin sangat berperan dalam meningkatkan tingkat proliferasi tunas.
Sitokinin berperan aktif sebagai pengendali aktivitas meristem tunas (Miyawaki et
al. 2006) dan kekurangan sitokinin akan mengurangi aktivitas meristem apikal
tunas (SAM) (Warner et al. 2003).
Hasil yang diperoleh melalui teknik perbanyakan bibit secara in vivo
menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi sitokinin hingga 50 ppm dapat
meningkatkan jumlah nodul pada stek yang bertunas kecil dan tidak efektif
diberikan pada stek yang berukuran tunas sedang dan besar. Hal ini sesuai pendapat
George & Sheington (1984) yang mengatakan bahwa konsentrasi sitokinin yang
tinggi dapat menginduksi jaringan untuk membentuk kalus atau nodul pada fase
awal pertumbuhan karena pada saat itu sel-sel tanaman sangat aktif membelah. Sel-
sel dari bagian tanaman yang masih juvenile memiliki pertumbuhan kalus yang
lebih tinggi dibandingkan jaringan dewasa (Armini et al. 1991).
Berdasarkan pertimbangan karakter morfogenetik yang dihasilkan oleh
masing-masing sumber eksplan, maka ada 4 kategori utama yang mendukung
keberhasilan perbanyakan bibit dengan teknik ini yaitu, tinggi bibit (vigor),
persentase bertunas, kecepatan tumbuh dan persentase stek barakar serta jumlah
64
tunas yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji T menunjukkan bahwa stek basal daun
asal mahkota lebih unggul dibandingkan dengan stek asal batang sehingga perlu
pengujian lebih lanjut dari segi kelayakan ekonomisnya/analisis finansialnya.
Berdasarkan hasil analisis B/C ratio, tehnik perbanyakan stek asal mahkota
layak digunakan untuk perbanyakan bibit nenas karena memiliki nilai B/C ratio >
1. Pemberian hormon tumbuh (ZPT) pada stek basal daun asal batang tidak perlu
karena tidak berdampak negatif terhadap nilai kelayakan produksi bibit. Meskipun
tanpa menggunakan ZPT (kontrol), perbanyakan dengan sistem ini tetap layak
dilakukan karena B/C rasio >1.
Dalam upaya meningkatkan keuntungan dengan cara meminimalisasi biaya
produksi dapat dianalisis menggunakan program Linear Programming, dimana
seluruh komponen biaya terutama penggunaan bahan utama yang dialokasikan
secara tepat akan memperoleh efisiensi produksi maksimum. Berdasarkan uji
efisiensi, pemberian auksin 25 ppm dan 50 ppm tanpa sitokinin pada stek basal
daun asal mahkota adalah kombinasi input yang paling optimal untuk
memperoduksi bibit. Hal ini disebabkan pemberian auksin pada taraf tersebut
mampu meningkatkan atau menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak
dibandingkan sitokinin dan kontrol. Sebanyak 21.66 % stek basal daun asal
mahkota mampu menghasilkan tunas ganda atau atau menghasilkan 2-3 tunas per
stek.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ZPT auksin dan sitokinin pada stek basal daun asal batang
tidak mampu meningkatkan keberhasilan perbanyakan bibit nenas, namun
berpotensi digunakan sebagai bahan alternatif perbanyakan bibit nenas secara in
vivo. Keberhasilan penunasan pada stek basal daun asal batang lebih dipengaruhi
oleh kadar karbohidrat yang terdapat dalam jaringan stek. Pemberian taraf
konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan hanya mempengaruhi tinggi
tunas. Peningkatan konsentrasi auksin hingga 50 ppm menekan pertumbuhan
tunas sebaliknya peningkatan konsentrasi sitokinin hingga 50 ppm dapat memacu
pertumbuhan tunas.
Pemberian ZPT auksin dan sitokinin pada stek basal daun asal mahkota
mampu meningkatkan keberhasilan perbanyakan bibit nenas melalui peningkatan
persentase stek berakar dan jumlah tunas. Kemampuan stek berakar dan bertunas
dipengaruhi kadar hormon endogen dan protein yang terdapat dalam jaringan stek.
Taraf konsentrasi auksin 50 ppm mampu meningkatkan persentase stek yang
berakar dan persentase jumlah stek yang menghasilkan 2-3 tunas per eksplan.
Sebaliknya, berdasarkan peubah tinggi dan lebar daun, pemberian taraf sitokinin
hingga 75 ppm justru menghambat pertumbuhan bibit dan waktu bertunas.
Dalam penelitian ini tidak ada pengaruh interaksi antara auksin dan
sitokinin pada seluruh peubah yang diamati, baik pada stek basal daun asal batang
maupun pada stek basal daun asal mahkota.
Dalam penelitian ini diperoleh interaksi antara perlakuan sitokinin dengan
ukuran mata tunas yang dihasilkan oleh stek basal daun asal mahkota. Interaksi
perlakuan sitokinin 25 dan 50 ppm dengan menggunakan mata tunas kecil dapat
meningkatkan jumlah persentase stek yang bernodul dan jumlah nodul.
Berdasarkan kajian efisiensi ekonomis, perlakuan yang paling optimum
adalah pemberian Auksin 50 ppm pada stek basal daun asal mahkota.
Perbanyakan bibit nenas secara in vivo dengan menggunakan stek basal daun asal
mahkota lebih baik dibandingkan asal batang.
66
Saran
1. Produksi bibit nenas Smooth Cayenne klon GP-1 dapat dilakukan dengan
menggunakan stek basal daun asal batang dan mahkota tanpa harus
menggunakan hormon (ZPT).
2. Perlu penelitian lanjutan pada stek basal daun asal batang dengan
menggunakan konsentrasi sitokinin > 75 ppm.
3. Perlu penelitian lanjutan pada stek basal daun asal mahkota dengan
meningkatkan konsentrasi auksin >50 ppm dan sitokinin < 25 ppm.
4. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai embriogenik nodul yang dihasilkan
pada percobaan ketiga dan tambahan perlakuan beberapa taraf konsentrasi
auksin.
5. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembentukan nodul atau kalus
sebaiknya menggunakan mata tunas yang berukuran kecil.
6. Stek basal daun asal mahkota lebih ekonomis dan efesien digunakan untuk
memperbanyak bibit nenas Smooth Cayenne secara in vivo.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1983. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.
Adiniya, S., Monomoto K, Moromizato. Z, Molomura.K., 2004. The use of CPPU for efficient propagation of pineapple. Scienta Horticulturae 100 (7-14).
Akasaka Y, Daimon H, Mii M. 2000. Improved plant regeneration from cultured leaf segments in peanut (Arachis hypogeae L.) by limited exposure to thidiazuron. Plant Sci. 156:169-175.
Arteca, R.N. 1996. Plant Growth Subtances, Principles and Applications. Chapman & Hall. 332 p.
Brewbaker, J. L and Gorrez D. D. 1967 Genetic self-incompatibility in the monocot genera, Ananas (pineapple) and Gasteria. Am. J. Bot. 54(5): 611-616.
Catala, C., J. K. C. Rose, and A. B. Bennett. 2000. Auxin-Regulated Genes Encoding Cell Wall-Modifying Proteins are Expressed During Early Tomato Fruit Growth-Plant dalam Aslamyah, S. 2002. Peranan Hormon Tumbuh dalam Memacu Pertumbuhan Algae. IPB. Bogor.
Campbell, N. A. and J. B. Reece. 2002. Biology. Sixth Edition, Pearson Education. Inc.San Francisco. 802-831.
Chang C, and Chang W. 2000. Effect of thidiazuron and N6-benzylaminopurine on shoot regeneration of Phalaenopsis. Plant Growt Regul. 16:99-101.
Choirul E. D., Djamhari. 1988. Koperasi dalam era efesiensi Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi. Departemen Koperasi. Jakarta.
Coelho, R.I., Lopes. J.C. 2007. Smooth Cayenne pineapple crown on the yield of suckers type planting material. Ciênc. agrotec., Lavras, v. 31, n. 6, p. 1867-1871.
Collins, J.L. 1960. The Pineapple. Leonard Hill Ltd., London.
Coronel RE and Verheij EWM. 1997. Prosea. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (Buah-buah yang dapat dimakan). PT Gramedia pustaka utama. 586p.
Dass, H.C., Sohi, H.S., Reddy, B., Prakash, G.S. 1984. Vegetative multiplication by leaf cutting of crowns in pineapple (Ananas comosus L.). Current Science, 46 (7), p241-242.
Daisy, P. S. H., Wijayanti dan Ari. 1994. Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara modern. Kanisus, Yogyakarta.
De Klerk, G.J., W.V.D. Kreiken, and J.C. De Jong. 1999. The formation of adventitious roots: new concepts, new possibilities.In Vitro Cell. Dev. Boil.-Plant. 35: 189-199.
Devlin, R.M. 1975. Plant Physiology. Third edition. Van Nostrand Co. New York. 600 p.
68
Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Penuntun Budidaya Holtikultura (Nanas). Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu. 238p.
Dwijoseputro, D. 1978. Pengantar Fisiologi Tumbuhan, Jakarta : PT. Gramedia.
Elfiani. 2011. Peningkatan Efesiensi Produksi Bibit Nenas Hasil Kultur Jaringan Melalui Aplikasi GA3 dan Pupuk Nitrogen Pada Daun.Tesis. Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 60 hal.
Eries D M. 2005. Analisis Pola Hubungan Antar Bahan Perbanyakan Vegetatif Nenas Subang Berdasarkan Morfologi, Isoenzim dan Fitohormon. Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 46 hal.
FAO. 2012. FAO Statistical database. http://faostat.fao.org. [10 Maret 2012].
Fambrini, M., Cioini. G., Conti. A., Michelotti. V., Pugliesi. C. (2003). Origin and Development In Vitro of Shoot Buds and Somatic Embryos from Intact Roots of Helianthus annuus x H. tuberosus. http://aob.oxfordjournals cgi/content/abstract/92/1/.org/ 145.pdf.(diakses April 2012).
Fiorino P and Loreti F. 1987. Propagation of fruit trees by tissue culture in Italy. HortScience 22:353-358
George, E. F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Handbook and directory of comercial laboratories. Exegetic Ltd., Eversley, Basingtoke, England. 709 p.
Glennie, J.D. 1981. Pineapple slip production using the morphactin multi-prop applied after flower induction with different chemicals. Aust. J. Exp. Agric. Anim. Husb. 21, 124–128.
Harjadi, S. 1979. Pengantar agronomi. Gramedia, Jakarta
Harjadi, S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh : Pengenalan dan Petunjuk Penggunaan pada Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 hal.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies and R. L. Geneve. 1997. Plant
propagation principles and practices. 6th ed. Prentice Hall. Englewood Cliffs, N.J.
Hartmann, H. T., D. E. Kester and F. T. Davies Jr. 1990. Plant Propagation, Principles and Practice (Ed.) 4. Prentice Hall, Inc. Englewood. New Jersey. 578 p.
Hartmann and Kester. 1984. Plant Propagation Principle and Practice. Prentice- Hall of India Private Limited. New Delhi. 662 p.
Hepton, A. 2003. Cultural System. P.109-140. In : D.P. Bartholomew, R.E. Paull, dan K.G. Rohrbach (Eds). The Pineapple : Botany, Production, and Uses. CABI Publishing. Wallingford.
Heenkenda, H.M.S. 1993. Effect of plant size on sucker production in ‘Mauritius’ pineapple by mechanical decapitation. Acta Hort. 334, 331–336.
Husniati, 2010. Pengaruh Media Tanam dan Konsentrasi Auksin terhadap Pertumbuhan Stek Basal Daun Mahkota Tanaman Nenas (Ananas comosus
69
L. Merr) cv Queen. Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 58 hal.
Jones, B. et al. (2010). Cytokinin regulation of auxin synthesis in Arabidopsis involves a homeostatic feedback loop regulated via auxin and cytokinin signal transduction. Plant Cell. 22, 2956–2969.
Karjadi A.K., Buchory A. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Jaringan Meristem Bawang Putih pada Media B5. Jurnal Hort.17. 3: 217-223.
Keetch, D.P., Dalldorf, E.R. 1980. The use of chlorflurenol methylester for the vegetative propagation of the Smooth Cayenne pineapple. Citrus Subtrop. Fruit J. 602, 14–18.
Kudo, M., Koga, Y. 1981. Induction of foliar buds by morphactin treatment of flower bud of pineapple (Ananas comosus Merr.). Jpn. J. Breed. 31, 261–272.
Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna. Bogor. 73.
Lee, C.K., Tee, T.S. 1978. Planlet Quartering-A rapide propagation technique in pineapple. XX th International Congress, Sydney, Australia.
Lee, Dong Ju. 2002. The regulation of Korean Radish Cationic Peroksidase Promoter by Low Ratio of Cytokinin to Auxin. Plant Science 162 (2002) 345-353.
Leal F and Coppens G. 1996. Pineapple. In J. Janick, and J.N. Moore (eds.). Fruit Breeding Volume I. Tree and Tropical Fruit. John Wiley, and Son Inc. New York, p : 515-557.
Leopold, A.C., and P.E. Kriedeman. 1975. Plant growth and
development. Tata Mc.Graw Hill Book Co. Ltd. New Delhi.
LMAA IPB. 2001. Indutry Review Nenas. IPB. Bogor.
Macluskie, H. 1939. Pineapple propagation, a new method in Sierra Leone. Trop. Agric. 16, 192–193.
Marcier H, Souza BM, Kraus JE, Hamasaki RM, Sotta B. 2003. Endogenous auxin and cytokinin contents associated with shoot formation in leaves of pineapple cultured in vitro. Braz. J. Plant Physiol 15: 107-112
Mathews, V.H., Rangan, T.S. 1979. Multiple plantlets in lateral bud and leaf explant in vitro cultures of pineapple.
Miswanto W, Winarno W,1993. Analisis Manajemen Kuantitatif dengan QSB. STIE. YKPN Yogyakarta.
Miyawaki, K. et al. (2006). Roles of Arabidopsis ATP/ADP isopentenyl-transferases and tRNA isopentenyltransferases in cytokinin biosynthesis. Proc. Natl Acad. Sci. U S A. 103, 16598–16603.
70
Naibaho, N., K. Darma, Sobir, dan R. Suhartanto. 2008. Perbanyakan Massal Bibit Nenas dengan Stek Daun. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, LPPM-IPB. Bogor. 19 hal.
Nakasone, H.Y., Paull, R.E. 1999. Tropical fruits. CAB International. London. P.292-327.
Napitupulu, R.M. 2006. Pengaruh Bahan Stek dan Dosis Zat Pengatur Tumbuh Rootone-F terhadap Keberhasilan Stek Euphorbia milii. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 33 hal.
Ni’em, M. 2000. Prospek Pertumbuhan Klon Jati di Indonesia. Seminar Nasional. Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Gajah Mada. Yogyakarta.
Pangestu S., Marwan A, dan Handoko T. H. 2000. Dasar-Dasar Operation Research, Yogyakarta: PT. BPFE-Yogyakarta.
Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro culture of higher plants. Martinus Nijhoff Publishers. Netherland. 344 p.
[PKBT] Pusat Kajian Buah Tropika. 2009. Pengembangan Produksi Nenas. Laporan Akhir Rusnas. Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia. IPB. Bogor.
Prihatman, K. 2000. Budidaya Pertanian (Nenas). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS. Jakarta. 17 hal.
Pracaya. 1982. Bertanam Nenas. P.T. Swadaya, Jakarta; 94p.
Py, C., Lacoeuilhe., J.J., Teisson, C. 1987. The Pineapple, Cultivation and Uses. G.P. Maisonneuve and Larose, Paris.
Rampant, Odile Faivre.,Kevers, Claire.,Gaspar, Thomas. 2000. IAA-Oksidase activity and auxin protector in nonrooting, rac, Mutant Shoot Tobacco in Vitro. Plant Science 153 (2000) 73-80.
Reveliotis, S. 1997. An Introduction to Linear Programming and Simplex Algorithm. Httt://.isye.gatech.edu/Spyros/LP/LP.html. [Maret 2012].
Rohrbach, KG, Leal, F and Coppens d’Eeckenbrugge, G. 2003. History, distribution and world production. In: Bartholomew, DP, Paull, RE and Rohrbach, KG (eds) The Pineapple:Botany, Production and Uses. CABI Publishing, Oxon, UK, pp 1-12.
Rogers, Carl. (1987). On Encounter Groups. New York : Harrow Books, Harper and Row, ISBN 006-087045-1
Rogers, C. R. (1980). A Way of Being. Boston : Houghton Mifflin. A collection of articles and pieces said to be a coda to On Becoming a Person.
Rosmaina. 2007. Optimasi BA/TDZ dan NAA untuk Perbanyakan Massal Nenas (Ananas comosus L. (Merr) Kultivar Smooth Cayenne Melalui Tehnik In Vitro. Tesis. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 71 Hal.
71
Sanford, W.G., Ravoof, A.A. 1971. Growth regulator may speed pineapple propagation. Hawaii Farm Sci. 20, 8–9.
Samson JA. 1980. Tropical Agriculture Series: Tropical Fruits. Longman. London dan New York, 250p.
Skoog, F. Miller. (1957) Chemical regulation of growth and organ formation in plant tissues cultured in vitro. Symp Soc Exp Biol 54:118–130.
Sebanek, J and T. Jesko. 1990. Hormonalcontrol of growth and development of the root and the shoot in Kolek, J. & V. Kozinka. 1989. Physiology of the plant root system. Kluwer Academic Publisher. The Netherlands: 27-30.
Seow, K.K., Wee, Y.C. 1970. The leaf bud methode of vegetative propogation in pineapple. Malaysian Agricultural Journal, 47,p 499-507.
Shinichi A., Koya Minemoto.,Zenichi Moromizato., Keiji Molomura. 2003. The use of CPPU for Efecient Propogation of Pineapple. Scientia Horticultura. 100 p. 7-14.
Singh, H.P., Yadav, I.S. 1980. Ways of quick multiplication of pineapple. Indian Hort. 25, 7–10.
Soedibyo, M.T. 1992. Pengaruh umur petik buah nenas Subang (Ananas comosus L. Merr) terhadap mutu. J. Hort.2 (2); 36-42.
Solihati. 2010. Pengaruh Media Tanam dan Konsentrasi Auksin terhadap Pertumbuhan Stek Basal Daun Mahkota Tanaman Nenas (Ananas comosus L. Merr) cv. Queen. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 66 hal.
Sudarmonowati E., Priadi, D., S. Jitno Rijadi. 2002. Kriopreservasi Kultur In Vitro Embrio Zigotik dan Anthera Serta Polen Beberapa Jenis Tanaman Berkayu. BIOSMART, Journal of Biological Sciences. Universitas Sebelas Maret Surakarta Vol. IV No.1 April 2002. Halaman 17-22.
Susilo, H. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.
Suwunnamek, U. 1993. Effect of paclobutrazol, thiourea, and pendimethalin alone or in combination on the induction of suckering in pineapple. Acta Hort. 334, 93–100.
Tohir, K. A. 1981. Pedoman Bercocok Tanam Pohon Buah-Buahan. Pradnya Paramita. 328 hal.
Vanneste S, Friml J. 2009. Auxin : A trigger for change in plant development. Cell 136: 1005–1016.
Verheij, E.W.M., and R.E. Coronel. 1992. Prosea. Plant Resources of South-East Asia 2. Edible Fruits and Nuts. Bogor. P : 66-67.
Vert G, Walcher CL, Chory J, Nemhauser JL. 2008. Integration of auxin and brassinosteroid pathways by Auxin Response Factor 2. Proc Natl Acad Sci U S A 105: 9829–9834.
72
Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan direktoral Jenral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Boioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Wattimena, G.A. 1990. Biosintesis dan metabolisme dari sitokinin 1. Bahan kuliah zat pengatur tumbuh pascasarjana. Institut Pertanian Bogor 25p.
Watimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU IPB.Bogor. 145p.
Watson, B.J. 1974. Chemically induced slips. Queensland Fruit Vegetable News 45, 260.
Weaver, R.J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. University of California, San Fransisco. 549 pp.
Wee, Y.C. 1979. Mass propagation of pineapple planting materials. Singapore J. Pri. Ind. 7, 24–26.
Warner, T., Motyka, V., Laucou, V., Smets, R., Van Onckelen, H., and Schmulling, T. (2003). Cytokinin-deficient transgenic Arabidopsis plants show multiple developmental alterations indicating opposite functions of cytokinins in the regulation of shoot and root meristem activity. Plant Cell. 15, 2532–2550.
Wudianto R. 1988. Membuat Stek, Cangkok dan Okulasi. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
74
Lampiran 1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian
Kajian Respon ZPT terhadap Materi Stek Basal Daun Nenas Smooth. Cayenne
Stek basal daun asal mahkota nenas (Percobaan 2)
Rekomendasi tehnik perbanyakan bibit nenas Smooth Cayenne
Perlakuan sitokinin (BA) Taraf 1 = 0 ppm Taraf 3 = 25 ppm Taraf 4 = 50 ppm
Analisis data
Optimasi stek bernodul dengan aplikasi sitokinin (Percobaan 3)
Analisis efisiensi teknis dan ekonomis
Stek basal daun asal batang nenas (Percobaan 1)
Tunas/Bibit
Analisis data
Berukuran : - Kecil - Sedang dan - Besar
Perlakuan auksin (IBA) Taraf 1 = 0 ppm Taraf 2 = 25 ppm Taraf 3 = 50 ppm
Perlakuan auksin (IBA) Taraf 1 = 0 ppm Taraf 2 = 25 ppm Taraf 3 = 50 ppm
Perlakuan sitokinin (BA) Taraf 1 = 0 ppm Taraf 2 = 25 ppm Taraf 3 = 50 ppm Taraf 4 = 75 ppm
Perlakuan sitokinin (BA) Taraf 1 = 0 ppm Taraf 2 = 25 ppm Taraf 3 = 50 ppm Taraf 4 = 75 ppm
Tanaman Nenas
Stek bertunas tunggal asal mahkota
75
Lampiran 2. Data Klimatologi Wilayah Ciawi Selama Penelitian
Tahun Bulan Temperatur Rata-rata (C0) *
Kelembaban Rata-rata (%) *
Curah Hujan (mm)
2011 Juli 30 90 127 Agustus 28 83 147 September 29 82 173 Oktober 32 90 344 November 28 91 225 Desember 30 83 261
2012 Januari 29 76 364 Februari 29 79 442
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor. *) Data diolah Sendiri
Lampiran 3. Data Analisis Kandungan Karbohidrat, Nitrogen dan Protein pada Stek Basal Nenas Asal Batang dan Mahkota.
Sumber Stek Parameter Karbohidrat %
(w/w) Nitrogen %
(w/w) Protein % (w/w)
Batang 15.42 0.11 0.61 Mahkota 5.11 0.37 2.33 Tehnik Analisis
(Spektrofotometri)
(Titrimetri)
(Titrimetri)
Sumber : Laboratotium Terpadu IPB
Lampiran 4. Keragaandan Beratanpa Ak
Mata
n Keberhasilan Stek di Lapang 4 MST. (A) Sakar (B).Stek Berakar tanpa Bertunas, (C). Skar.
A B
C
a tunas Akar aksilar
Tu
76
Stek Bertunas Stek Bertunas
unas
77
Lampiran 5. Keragaan Perkembangan Akar dan Tunas pada Potongan Mahkota dan Batang pada 2 MST (A) dan Keragaan Pertumbuhan Tunas pada Kondisi Perakaran yang Berbeda pada 20 MST (B).
B
Akar aksilar
Tunas
A
Mahkota Batang
78
Lampiran 6. Gambar Print Out Solusi Optimasi Produksi Bibit dalam Lingo 8.0
La
mpi
ran
7. N
ilai B
/C R
atio
Set
iap
Perla
kuan
Perla
kuan
Pene
gelu
aran
To
tal
peng
elua
ran
Har
ga
Bib
it
Tota
l pe
nerim
aan
K
eunt
unga
n
B/C
ras
io
A
uksi
n
Sito
kini
n
Ara
ng
seka
m
Oba
t-ob
atan
up
ah
TK
I0B
0T1
0 0
2500
2000
030
000
5250
0 20
0012
0000
6750
01.
2857
14
I1B
0T1
4500
0
2500
2000
030
000
5700
0 20
0028
8000
2310
004.
0526
32
I2B
0T1
9000
0
2500
2000
030
000
6150
0 20
0031
2000
2505
004.
0731
71
I0B
1T1
0 11
000
2500
2000
030
000
6350
0 20
0016
8000
1045
001.
6456
69
I1B
1T1
4500
11
000
2500
2000
030
000
6800
0 20
0028
8000
2200
003.
2352
94
I2B
1T1
9000
11
000
2500
2000
030
000
7250
0 20
0024
0000
1675
002.
3103
45
I0B
2T1
0 22
000
2500
2000
030
000
7450
0 20
0024
0000
1655
002.
2214
77
I1B
2T1
4500
22
000
2500
2000
030
000
7900
0 20
0012
0000
4100
00.
5189
87
I2B
2T1
9000
22
000
2500
2000
030
000
8350
0 20
0019
2000
1085
001.
2994
01
I0B
3T1
0 33
000
2500
2000
030
000
8550
0 20
0024
0000
1545
001.
8070
18
I1B
3T1
4500
33
000
2500
2000
030
000
9000
0 20
0019
2000
1020
001.
1333
33
I2B
3T1
9000
33
000
2500
2000
030
000
9450
0 20
0019
2000
9750
01.
0317
46
I0B
0T1
0 0
2500
2000
030
000
5250
0 20
0016
8000
1155
002.
2 I1
B0T
1 45
00
025
0020
000
3000
057
000
2000
2640
0020
7000
3.63
1579
I2
B0T
1 90
00
025
0020
000
3000
061
500
2000
2400
0017
8500
2.90
2439
I0
B1T
1 0
1100
025
0020
000
3000
063
500
2000
2160
0015
2500
2.40
1575
I1
B1T
1 45
00
1100
025
0020
000
3000
068
000
2000
2160
0014
8000
2.17
6471
I2
B1T
1 90
00
1100
025
0020
000
3000
072
500
2000
2160
0014
3500
1.97
931
79
Perla
kuan
Pene
gelu
aran
To
tal
peng
elua
ran
Har
ga
Bib
it
Tota
l pe
nerim
aan
K
eunt
unga
n
B/C
ras
io
A
uksi
n
Sito
kini
n
Ara
ng
seka
m
Oba
t-ob
atan
up
ah
TK
I0B
2T1
0 22
000
2500
2000
030
000
7450
0 20
0019
2000
1175
001.
5771
81
I1B
2T1
4500
22
000
2500
2000
030
000
7900
0 20
0024
0000
1610
002.
0379
75
I2B
2T1
9000
22
000
2500
2000
030
000
8350
0 20
0024
0000
1565
001.
8742
51
I0B
3T1
0 33
000
2500
2000
030
000
8550
0 20
0021
6000
1305
001.
5263
16
I1B
3T1
4500
33
000
2500
2000
030
000
9000
0 20
0026
4000
1740
001.
9333
33
I2B
3T1
9000
33
000
2500
2000
030
000
9450
0 20
0024
0000
1455
001.
5396
83
I0B
0T1
0 0
2500
2000
030
000
5250
0 20
0012
0000
6750
01.
2857
14
I1B
0T1
4500
0
2500
2000
030
000
5700
0 20
0019
2000
1350
002.
3684
21
I2B
0T1
9000
0
2500
2000
030
000
6150
0 20
0024
0000
1785
002.
9024
39
I0B
1T1
0 11
000
2500
2000
030
000
6350
0 20
0028
8000
2245
003.
5354
33
I1B
1T1
4500
11
000
2500
2000
030
000
6800
0 20
0026
4000
1960
002.
8823
53
I2B
1T1
9000
11
000
2500
2000
030
000
7250
0 20
0024
0000
1675
002.
3103
45
I0B
2T1
0 22
000
2500
2000
030
000
7450
0 20
0016
8000
9350
01.
2550
34
I1B
2T1
4500
22
000
2500
2000
030
000
7900
0 20
0021
6000
1370
001.
7341
77
I2B
2T1
9000
22
000
2500
2000
030
000
8350
0 20
0021
6000
1325
001.
5868
26
I0B
3T1
0 33
000
2500
2000
030
000
8550
0 20
0024
0000
1545
001.
8070
18
I1B
3T1
4500
33
000
2500
2000
030
000
9000
0 20
0024
0000
1500
001.
6666
67
I2B
3T1
9000
33
000
2500
2000
030
000
9450
0 20
0026
4000
1695
001.
7936
51
I0B
0T2
0 0
2500
2000
060
000
8250
0 20
0012
0000
3750
00.
4545
45
I1B
0T2
4500
0
2500
2000
060
000
8700
0 20
0014
4000
5700
00.
6551
72
I2B
0T2
9000
0
2500
2000
060
000
9150
0 20
0016
8000
7650
00.
8360
66
I0B
1T2
0 11
000
2500
2000
060
000
9350
0 20
0096
000
2500
0.02
6738
80
Perla
kuan
Pene
gelu
aran
To
tal
peng
elua
ran
Har
ga
Bib
it
Tota
l pe
nerim
aan
K
eunt
unga
n
B/C
ras
io
A
uksi
n
Sito
kini
n
Ara
ng
seka
m
Oba
t-ob
atan
up
ah
TK
I1B
1T2
4500
11
000
2500
2000
060
000
9800
0 20
0014
4000
4600
00.
4693
88
I2B
1T2
9000
11
000
2500
2000
060
000
1025
00
2000
1200
0017
500
0.17
0732
I0
B2T
2 0
2200
025
0020
000
6000
010
4500
20
0012
0000
1550
00.
1483
25
I1B
2T2
4500
22
000
2500
2000
060
000
1090
00
2000
2160
0010
7000
0.98
1651
I2
B2T
2 90
00
2200
025
0020
000
6000
011
3500
20
0012
0000
6500
0.05
7269
I0
B3T
2 0
3300
025
0020
000
6000
011
5500
20
0012
0000
4500
0.03
8961
I1
B3T
2 45
00
3300
025
0020
000
6000
012
0000
20
0096
000
-240
00-0
.2
I2B
3T2
9000
33
000
2500
2000
060
000
1245
00
2000
1200
00-4
500
-0.0
3614
I0
B0T
2 0
025
0020
000
6000
082
500
2000
1680
0085
500
1.03
6364
I1
B0T
2 45
00
025
0020
000
6000
087
000
2000
1680
0081
000
0.93
1034
I2
B0T
2 90
00
025
0020
000
6000
091
500
2000
1200
0028
500
0.31
1475
I0
B1T
2 0
1100
025
0020
000
6000
093
500
2000
1200
0026
500
0.28
3422
I1
B1T
2 45
00
1100
025
0020
000
6000
098
000
2000
1440
0046
000
0.46
9388
I2
B1T
2 90
00
1100
025
0020
000
6000
010
2500
20
0019
2000
8950
00.
8731
71
I0B
2T2
0 22
000
2500
2000
060
000
1045
00
2000
1200
0015
500
0.14
8325
I1
B2T
2 45
00
2200
025
0020
000
6000
010
9000
20
0016
8000
5900
00.
5412
84
I2B
2T2
9000
22
000
2500
2000
060
000
1135
00
2000
1680
0054
500
0.48
0176
I0
B3T
2 0
3300
025
0020
000
6000
011
5500
20
0014
4000
2850
00.
2467
53
I1B
3T2
4500
33
000
2500
2000
060
000
1200
00
2000
1680
0048
000
0.4
I2B
3T2
9000
33
000
2500
2000
060
000
1245
00
2000
1440
0019
500
0.15
6627
I0
B0T
2 0
025
0020
000
6000
082
500
2000
1440
0061
500
0.74
5455
I1
B0T
2 45
00
025
0020
000
6000
087
000
2000
1440
0057
000
0.65
5172
81
Perla
kuan
Pene
gelu
aran
To
tal
peng
elua
ran
Har
ga
Bib
it
Tota
l pe
nerim
aan
K
eunt
unga
n
B/C
ras
io
A
uksi
n
Sito
kini
n
Ara
ng
seka
m
Oba
t-ob
atan
up
ah
TK
I2B
0T2
9000
0
2500
2000
060
000
9150
0 20
0014
4000
5250
00.
5737
7 I0
B1T
2 0
1100
025
0020
000
6000
093
500
2000
1200
0026
500
0.28
3422
I1
B1T
2 45
00
1100
025
0020
000
6000
098
000
2000
1200
0022
000
0.22
449
I2B
1T2
9000
11
000
2500
2000
060
000
1025
00
2000
1440
0041
500
0.40
4878
I0
B2T
2 0
2200
025
0020
000
6000
010
4500
20
0012
0000
1550
00.
1483
25
I1B
2T2
4500
22
000
2500
2000
060
000
1090
00
2000
1680
0059
000
0.54
1284
I2
B2T
2 90
00
2200
025
0020
000
6000
011
3500
20
0012
0000
6500
0.05
7269
I0
B3T
2 0
3300
025
0020
000
6000
011
5500
20
0024
0000
1245
001.
0779
22
I1B
3T2
4500
33
000
2500
2000
060
000
1200
00
2000
1200
000
0 I2
B3T
2 90
00
3300
025
0020
000
6000
012
4500
20
0012
0000
-450
0-0
.036
14
Ket
: T1
= S
tek
asal
Dau
n M
ahko
ta, T
2 =
Stek
Asa
l Dau
n B
atan
g. I0
= T
anpa
Auk
sin,
I1=
Auk
sin
25 p
pm, I
2 =
Auk
sin
50 p
pm ;
B0
= Ta
npa
Sito
kini
n, B
1 =
Sito
kini
n 25
ppm
, B2,
Sito
kini
n 50
ppm
, B3
= Si
toki
nin
75 p
pm. T
K =
Ten
aga
Ker
ja.
82