Upload
vuanh
View
219
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PENGENALAN PENYAKIT DARAH
MENGGUNAKAN TEKNIK PENGOLAHAN CITRA
DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
TUGAS AKHIR
OLEH :
ARTHANIA RETNO PRAIDA
06 06 04 2310
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
GENAP 2008
ii
PENGENALAN PENYAKIT DARAH
MENGGUNAKAN TEKNIK PENGOLAHAN CITRA
DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
TUGAS AKHIR
OLEH :
ARTHANIA RETNO PRAIDA
06 06 04 2310
TUGAS AKHIR INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI
SEBAGIAN
PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
GENAP 2008
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir dengan judul :
”PENGENALAN PENYAKIT DARAH MENGGUNAKAN TEKNIK
PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN”
yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada
program studi Teknik Elektro Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Indonesia, sejauh yang saya ketahui bukan merupakan tiruan atau
duplikasi dari tugas akhir yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai
untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di lingkungan Universitas Indonesia
maupun di Perguruan Tinggi atau Instansi manapun, kecuali bagian yang sumber
informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Depok, 10 Juli 2008
Arthania Retno Praida
NPM. 06 06 042 310
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
iv
PENGESAHAN
Tugas Akhir dengan judul :
”PENGENALAN PENYAKIT DARAH MENGGUNAKAN TEKNIK
PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN”
dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada
program studi Teknik Elektro Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Indonesia. Tugas Akhir ini telah diujikan pada sidang ujian tugas
akhir pada tanggal 03 Juli 2008 dan dinyatakan memenuhi syarat / sah sebagai
tugas akhir pada Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Indonesia.
Depok, 10 Juli 2008
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Dodi Sudiana M.Eng
NIP. 131 944 413
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Dr.Ir. Dodi Sudiana, M.Eng
Dr. Ir. Arman Djohan Diponegoro, M.Eng
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD-KHOM (Bagian Penyakit Dalam RSCM)
Dr. Hilman Tadjoedin, SpPD (Bagian Penyakit Dalam RSCM)
selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi
pengarahan, diskusi, bimbingan dan persetujuannya, sehingga tugas akhir ini
dapat selesai dengan baik.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
vi
Arthania Retno Praida Dosen Pembimbing
NPM 06 06 042 310 Dr.Ir. Dodi Sudiana, M.Eng
Departemen Teknik Elektro
PENGENALAN PENYAKIT DARAH MENGGUNAKAN TEKNIK
PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
ABSTRAK
Untuk mengenali penyakit kanker sel darah putih (leukemia) dewasa ini masih
dilakukan proses konvensional yang memakan waktu cukup lama dalam proses
pengenalannya.
Tugas akhir ini bertujuan untuk mengenali penyakit leukemia dari citra darah
dengan menerapkan teknik pengolahan citra dan metode jaringan syaraf tiruan.
Pada proses pengenalan penyakit ini, sistem yang sudah mengakuisisi citra darah
akan melakukan proses cropping, resizing, dan membuat citra tersebut menjadi
blok-blok matriks berukuran 4×4. Kemudian citra dalam format RGB
dikonversikan ke dalam model warna HSV agar memiliki ruang warna yang lebih
natural.Untuk mendapatkan fitur warna salah satu elemen warna yakni Hue akan
diekstraksi untuk mendapatkan matriks nilai karakteristiknya. Nilai karakteristik
hasil ekstraksi fitur warna tersebut kemudian akan dilatih oleh jaringan syaraf
tiruan dan dimasukkan ke dalam database. Jaringan syaraf tiruan terdiri atas 3
layer input, 3 layer tersembunyi dan 1 layer keluaran.
Dari hasil uji coba, diperoleh tingkat akurasi rata–rata sebesar 83.33%
menggunakan 3 input untuk setiap jenis penyakit leukemia dan 20 kali pelatihan
jaringan syaraf tiruan.
Kata Kunci : Pengenalan Penyakit Darah, Leukemia, Pengolahan Citra,
Jaringan Syaraf Tiruan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
vii
Arthania Retno Praida Supervisor
NPM 06 06 042 310 Dr.Ir. Dodi Sudiana, M.Eng
Electrical Departmement Engineering
IDENTIFICATION OF BLOOD DISEASE USING IMAGE PROCESSING
TECHNIQUE AND ARTIFICIAL NEURAL NETWORK
ABSTRACT
Recognize the white blood cell cancer disease (leukemia) identification today, still
use conventional method and time consuming.
The Objective of this research is to identify leukemia disease from blood image
using image processing technique and artificial neural network. In this
identification disease process, the system which has made acquisition of the blood
image will process the cropping, resizing and divide the image into 4 × 4 matrix
blocks. Then the image in RGB format is converted to HSV color model in order
to have a more natural color. In order to acquire color feature, one of the element
which is Hue will be extracted to get characteristic value of the matrix. The
characteristic value from the extracted color feature will then be trained by
artificial neural network and inserted into the database. The artificial neural
network consisted of 3 input layer, 3 hidden layer and 1 output layer.
From the test result, we acquire an average level of accuracy of 83.33% using 3
inputs for every types of leukemia and 20 times of artificial neural network
training.
Keyword : Blood Disease Identification, Leukemia, Image Processing,
Artificial Neural Network
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
viii
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR iii
PENGESAHAN iv
UCAPAN TERIMA KASIH v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
DAFTAR SINGKATAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH 2
1.3 TUJUAN PENELITIAN 3
1.4 BATASAN MASALAH 3
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN 3
BAB II LANDASAN TEORI 5
2.1 DARAH 5
2.1.1 Fungsi Darah 5
2.1.2 Susunan Darah 6
2.1.3 Jenis–Jenis Penyakit Darah 11
2.1.3.1 Penyakit Sel Darah Merah (Eritrosit) 12
2.1.3.2 Penyakit Sel Darah Putih (Leukosit) 12
2.1.3.3 Penyakit Keping Darah (Trombosit) 16
2.2 KONSEP DASAR CITRA DIJITAL 16
2.2.1 Model Citra Dijital 17
2.2.2 Elemen–elemen Dasar Citra 18
2.2.3 Pencuplikan dan Kuantisasi 20
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
ix
2.2.4 Warna Pada Pengolahan Citra 21
2.2.4.1 Model Warna 22
2.2.4.2 Model RGB 22
2.2.4.3 Model HSL (Hue Saturation Lightness) dan
HSV (Hue Saturation Value) 24
2.2.5 Operasi Pengolahan Citra 28
2.2.6 Pemotongan (Cropping) 30
2.2.7 Operasi Blok–Blok Pembeda (Distinct Blocks) 30
2.2.8 Resizing 31
2.2.9 Pendekatan Pengenalan Pola 32
2.3 KONSEP DASAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) 32
2.3.1 Model Syaraf (Neuron) 33
2.3.2 Proses Belajar 34
2.3.3 JST Propagasi Balik 34
BAB III RANCANG BANGUN SISTEM 40
3.1 PROSES PRA-PENGOLAHAN DAN EKSTRAKSI
FITUR WARNA 41
3.2 PROSES PELATIHAN DENGAN JST 44
3.3 PROSES PENGENALAN DENGAN JST 47
BAB IV UJI COBA DAN ANALISIS 49
4.1 CITRA DARAH PENYAKIT LEUKEMIA AKUT 50
4.2 KARATERISTIK CITRA DARAH 52
4.3 UJI COBA DAN HASIL 53
4.2 ANALISA HASIL UJI COBA 57
BAB V PENUTUP 60
5.1 KESIMPULAN 60
DAFTAR ACUAN 61
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 1 64
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Bagan Susunan Darah 6
Gambar 2.2. Gambar sel–sel darah dalam keadaan normal hasil
scanning electron microscope (SEM)
7
Gambar 2.3. Perbandingan komponen–komponen darah, plasma
darah dan sel–sel darah.
7
Gambar 2.4. Perbandingan citra darah antara jumlah sel darah
merah pada kondisi normal dengan jumlah sel darah
merah pada kondisi anemia
12
Gambar 2.5. Citra darah yang menunjukkan sel Acute Lymphotic
Leukemia (ALL)
13
Gambar 2.6. Citra darah yang menunjukkan sel Chronic
lymphocytic leukemia (CLL)
14
Gambar 2.7. Citra darah yang menunjukkan sel Acute myelogenous
leukemia (AML)
15
Gambar 2.8. Citra darah yang menunjukkan sel Hairy cell leukemia
(HCL)
16
Gambar 2.9. Contoh citra dan representasinya dalam bentuk
matriks 2-D.
18
Gambar 2.10. Matriks Citra Dijital (x,y) 21
Gambar 2.11. Koordinat warna RGB 23
Gambar 2.12. Penambahan Campuran Warna Merah Hijau dan Biru 24
Gambar 2.13. Ruang Warna HSL 25
Gambar 2.14. Ruang Warna HSV 25
Gambar 2.15. Visible spectrum dalam spektrum gelombang
elektromagnetik
26
Gambar 2.16. Respon setiap jenis cones sebagai suatu fungsi
panjang gelombang
27
Gambar 2.17. Proses Pengolahan Citra Sederhana 28
Gambar 2.18. Diagram blok jaringan syaraf tiruan 33
Gambar 2.19. Model Single Neuron 34
Gambar 2.20. Arsitektur JST Propagasi Balik 35
Gambar 3.1 Blok Diagram sistem pengenalan penyakit darah
menggunakan teknik pengolahan citra dan jaringan
syaraf tiruan.
40
Gambar 3.2 Diagram Alir sistem pengenalan penyakit darah
menggunakan metode teknik pengolahan citra dan
JST
41
Gambar 3.3 Diagram alir proses pra-pengolahan 42
Gambar 4.1 Tampilan sistem pengenalan penyakit darah 49
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
xi
menggunakan teknik pengolahan citra dan jaringan
syaraf tiruan.
Gambar 4.2 Citra darah mikroskopis digital untuk penyakit Acute
Lympotic Leukemia
51
Gambar 4.3 Citra darah mikroskopis digital untuk penyakit Acute
Myelogenous Leukemia
51
Gambar 4.4 Citra darah mikroskopis digital untuk penyakit
Burkitts Lympoma
52
Gambar 4.5 Tampilan sistem pengenalan penyakit darah hingga
tahap ekstraksi fitur warna
54
Gambar 4.6 Tampilan sistem hingga dilakukan tahap pelatihan
jaringan syaraf tiruan
55
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Contoh Database Matriks Citra 35 x 3 53
Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Penyakit Acute Lympotic Leukemia 56
Tabel 4.3 Hasil Identifikasi Penyakit Acute Myelogenous Leukemia 56
Tabel 4.4 Hasil Identifikasi Penyakit Burkitts Lympoma 57
Tabel 4.5 Tingkat Keakuratan Rata-Rata Hasil Uji Coba 58
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Database Nilai Karakteristik 64
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
xiv
DAFTAR SINGKATAN
JST Jaringan Syaraf Tiruan
ALL Acute Lympotic Leukemia
AML Acute Myelogenous Leukemia
CLL Chronic Lympotic Leukemia
CML Chronic Myelogenous Leukemia
HCL Hairy Cell Leukemia
RGB Red, Green, and Blue
HSV Hue, Saturation, and Value
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Darah merupakan suatu cairan yang sangat penting bagi manusia karena
berfungsi sebagai alat transportasi zat seperti oksigen, bahan hasil metabolisme
tubuh, pertahanan tubuh dari serangan kuman, pengatur keseimbangan asam basa,
serta memiliki banyak kegunaan lainnya untuk menunjang kehidupan. Darah yang
beredar dapat merupakan petunjuk keadaan tubuh sehat atau sakit. Perubahan
susunan kimiawi atau sel–sel darah merupakan petunjuk adanya penyakit darah,
selain sebagai petunjuk adanya penyakit lain. [8]
Dalam 20 tahun terakhir penyakit darah atau penyakit lain yang dapat
mengakibatkan kelainan darah, cukup mendapat perhatian di kalangan medis di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada umumnya penyakit darah dibagi dalam
golongan penyakit darah merah (sistim eritropoetik), penyakit darah putih (sistim
granulopoetik), sistim limfopoetik, sistim retikuloendothelial, penyakit trombosit
(sistim trombopoetik) dan penyakit pendarahan (diathesa hemorrhagic) yang
disebabkan karena kelainan pembekuan darah, berkurangnya jumlah trombosit
dan menurunnya resistensi dinding pembuluh darah. Dalam pembagian penyakit
darah tersebut diatas, sudah termasuk kelainan yang disebabkan oleh hipofungsi
dari salah satu sistem. Kemajuan dalam bidang hematologi sangat pesat, sehingga
pengetahuan mengenai darah dapat dibagi menjadi subspesialistis, seperti
pengetahuan mengenai sitologi dan kelainan-kelainannya, metabolisme inti,
kelainan genetik, anemia defisiensi, metabolisme asam nukleat, leukemia,
kelainan pembekuan, enzymatologi, dan lain-lain. [8]
Penerapan unsur–unsur teknologi praktis dan tepat guna sangat dibutuhkan
sebagai sebuah pendukung sekaligus solusi yang efektif dalam berbagai bidang,
khususnya dalam ilmu kedokteran. Penelitian–penelitian dalam ilmu kedokteran
untuk mempercepat proses diagnosa berbagai macam penyakit telah banyak
dilakukan. Proses diagnosa penyakit yang cepat dan tepat sangat diperlukan
terkait dengan akurasi data untuk menentukan kebijakan program dalam
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
2
pencegahan dan penyembuhan penyakit, menentukan pengobatan dan
penatalaksanaan yang tepat dan benar, serta evaluasi pengobatan. Selain itu,
semakin berkembangnya teknologi dalam ilmu pengenalan pola (pattern
recognition), yang secara umum bertujuan mengenali suatu obyek dengan cara
mengekstrasi informasi penting yang terdapat dalam suatu citra dapat membantu
mendeteksi diagnosis suatu kelainan dalam tubuh manusia melalui citra yang
dihasilkan oleh scanner.
Kelainan yang terdapat dalam darah, dapat mendiagnosis penyakit yang
diderita manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, pengambilan citra
darah dengan scanning electron microscope (SEM) telah dapat dilakukan. Citra
darah yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses pengenalan penyakit melalui
suatu proses pengolahan citra menggunakan metode tertentu untuk mendeteksi
suatu penyakit darah. Dalam penelitian ini akan digunakan metode pengenalan
penyakit darah melalui citra darah sebagai input pengolahan citra, dan hasil
pengolahan citra akan dianalisis menggunakan metode Artificial Neural Network
(Jaringan Syaraf Tiruan).
Metode jaringan syaraf tiruan (JST) diterapkan tak lain karena metode ini
memiliki iterasi yang cukup banyak, dan memiliki kemampuan sangat baik dalam
mengeneralisasi masalah, sehingga hasil yang didapat sangat akurat [5].
Pengenalan penyakit melalui citra darah ini lebih mudah dibandingkan metode
lain yang sudah ada dalam mendeteksi penyakit melalui darah yang memerlukan
reaksi kimia atau lainnya dalam sampel darah. Diharapkan penelitian ini dapat
membantu mempercepat proses pengenalan suatu penyakit darah karena hanya
memerlukan citra darah sebagai inputannya.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa permasalahan yang ditemui
dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana cara mengenali jenis penyakit darah yang ada saat ini?
2. Bagaimana menentukan teknik pengolahan citra yang tepat untuk
mengolah citra darah masukan?
3. Bagaimana menentukan metode JST yang tepat untuk proses pelatihan dan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
3
identifikasi dengan JST?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh suatu cara pengenalan penyakit
darah dengan memanfaatkan citra darah mikroskopis dijital menggunakan teknik
pengolahan citra dan metode jaringan syaraf tiruan.
1.4 BATASAN MASALAH
Permasalahan utama yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini dibatasi
hanya pada pemeriksaan citra sel darah putih mikroskopis hasil pemeriksaan
hapusan darah tepi dengan perbesaran 1000x dan sudah dalam format dijital. Jenis
penyakit darah yang akan dikenali adalah penyakit kanker sel darah putih
(Leukemia) jenis Leukemia Akut tanpa adanya komplikasi dengan penyakit
lainnya. Metode yang akan digunakan untuk sistem pengenalan penyakit darah ini
adalah teknik pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan propagasi balik.
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I yang merupakan pendahuluan berisikan penjelasan mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah dan sistematika
penulisan.
Pada BAB II akan dijelaskan landasan teori mengenai darah, macam–macam
penyakit darah, konsep dasar pengolahan citra dijital, dan konsep dasar jaringan
syaraf tiruan.
BAB III yakni rancang bangun sistem, memaparkan mengenai teknik pengolahan
citra yang digunakan pada proses pra-pengolahan, penentuan parameter
karakteristik, proses pelatihan dan pengenalan jaringan syaraf tiruan (Artificial
Neural Network) pada perancangan sistem pengenalan penyakit darah
menggunakan teknik pengolahan citra dan metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST).
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
4
Uji coba dan analisis akan dijelaskan pada BAB IV berupa data-data hasil analisa
dan simulasi riset pengenalan penyakit darah.
Sedangkan BAB V, Penutup, berisikan kesimpulan dari keseluruhan hasil riset
yang telah dilakukan.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 DARAH [1]
Darah adalah cairan yang terdapat pada hewan tingkat tinggi yang
berfungsi sebagai alat transportasi zat seperti oksigen, bahan hasil metabolisme
tubuh, pertahanan tubuh dari serangan kuman, dan lain sebagainya. Beda halnya
dengan tumbuhan, manusia dan hewan level tinggi punya sistem transportasi
dengan darah.
Cairan ini berwarna merah yang terdapat di dalam pembuluh darah. Warna
merah tersebut tidak selalu tetap, tetapi berubah–ubah karena pengaruh zat
kandungannya, terutama kadar oksigen dan CO2. bila kadar oksigen tinggi maka
warna darah menjadi merah muda, tetapi bila kadar CO2-nya tinggi maka
warnanya menjadi merah tua.
Darah pada tubuh manusia mengandung 55% plasma darah (cairan darah)
dan 45% sel–sel darah (darah padat). Volume darah pada manusia atau hewan
level tinggi (mamalia) adalah 8% berat badannya. Darah pada tubuh manusia
sekitar sepertigabelas beratnya atau sekitar 4 atau 5 liter pada orang dewasa.
Darah merupakan cairan yang sangat penting bagi manusia karena
berfungsi sebagai alat transportasi serta memiliki banyak kegunaan lainnya untuk
menunjang kehidupan. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami
gangguan kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian.
2.1.1 Fungsi Darah
Darah merupakan jaringan penyokong istimewa yang mempunyai banyak
fungsi, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Sebagai alat pengangkut, yaitu mengangkut :
a. Zat–zat makanan dari sel–sel jonjot usus ke seluruh jaringan tubuh.
b. Oksigen dari alat pernapasan ke seluruh jaringan tubuh yang
membutuhkan oksigen, tugas ini dilaksanakan oleh hemoglobin.
c. Karbon dioksida (CO2) dari seluruh jaringan tubuh ke alat pernapasan,
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
6
yakni paru–paru.
d. Zat–zat metabolisme dari seluruh jaringan tubuh ke alat–alat eksresi.
e. Hormon dari kelenjar buntu atau endokrin ke bagian tubuh tertentu.
f. Air untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh.
2. Sebagai benteng pertahanan tubuh dari infeksi berbagai kuman penyakit.
Fungsi ini dilaksanakan oleh zat antibodi, sel–sel darah putih dan sel–sel darah
pembeku.
3. Menjaga stabilitas suhu tubuh dengan memindahkan panas yang dihasilkan
alat–alat tubuh yang aktif ke alat–alat tubuh yang tidak aktif.
4. Mengatur keseimbangan asam dan basa untuk menghindari kerusakan jaringan
tubuh.
2.1.2 Susunan Darah
Darah manusia terdiri dari dua komponen utama, yaitu sel–sel darah dan
plasma darah atau cairan darah. Tiap–tiap komponen darah terdiri atas berbagai
komponen. Untuk lebih jelasnya, susunan darah diperlihatkan pada Gambar 2.1 :
Gambar 2.1. Bagan Susunan Darah
1) Sel–sel darah
Sel–sel darah merupakan bagian terbesar dari darah, yaitu sekitar 40% – 50%.
Sisanya adalah plasma darah. Sel–sel darah terdiri atas tiga macam, yaitu sel
darah merah atau eritrosit, sel darah putih atau leukosit, dan sel–sel darah
pembeku atau trombosit. Contoh gambar sel–sel darah dalam keadaan normal
hasil scanning electron microscope (SEM) dapat dilihat pada Gambar 2.2.
a. Sel – sel darah
(bagian padat)
Darah
b. Plasma Darah
(cairan darah)
1) sel darah merah (eritrosit)
2) sel darah putih (leukosit) 3) keeping-keping darah
(trombosit)
1) air 2) senyawa organic 3) senyawa anorganic
4) serum
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
7
(a) (b)
(c)
Gambar 2.2. Gambar sel–sel darah dalam keadaan normal hasil scanning
electron microscope (SEM) (a), (b), dan (c) sel darah merah, sel
darah putih termasuk limposit, monosit, neutropil, dan trombosit
[10]
Untuk memahami perbandingan komponen darah, perhatikan Gambar 2.3
Gambar 2.3. Perbandingan komponen–komponen darah, plasma darah dan
sel–sel darah.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
8
a) Sel darah merah (eritrosit)
Sel darah merah merupakan bagian utama dari darah. Bentuknya bikonkaf,
tidak berinti, tidak dapat bergerak bebas dan tidak dapat menembus
dinding kapiler. Setiap 1 mm3 darah pria mengandung 5 juta sel darah
merah, sedangkan setiap 1 mm3 darah wanita mengandung 4 juta sel darah
merah.
Warna sel darah merah sebenarnya kekuning–kuningan. Warna ini
disebabkan oleh adanya pigmen darah yang disebut hemoglobin (Hb).
Hemoglobin adalah protein rangkap yang terdiri dari hemin dan globin.
Hemin adalah senyawa asam amino yang mengandung zat besi (Fe).
Senyawa inilah yang menyebabkan warna darah menjadi merah. Oleh
sebab itu, bila dalam darah kekurangan eritrosit, hemoglobin, maupun zat
besi akan mengakibatkan warna tubuh kita menjadi pucat. Keadaan ini
disebut kekurangan darah atau anemia. Jika seseorang menderita anemia
maka pengangkutan oksigen oleh darah akan mengalami gangguan. Darah
yang kurang mengandung oksigen akan berwarna kebiru-biruan, disebut
sianosis. Sianosis ini misalnya terjadi pada orang yang tercekik dan batuk
terus–menerus sehingga bibirnya menjadi kebiruan.
Hemoglobin mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut :
(1) Mengangkut oksigen Hb yang mengikat oksigen (HbO2 /
oksihemoglobin). Hb mempunyai daya ikat yang tinggi terhadap
oksigen.
(2) Mengangkut karbon dioksida (CO2).
(3) Menjaga keseimbangan asam dan basa. Hb2 dan HbO2 adalah senyawa
yang mudah mengikat alkali. Jika kadar senyawa asam dalam darah
meningkat maka hemoglobin dan oksihemoglobin akan melepaskan
alkalinya. Dengan demikian, senyawa asam tadi akan dinetralkan.
Anemia juga terjadi karena kekurangan sel–sel darah merah. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh karena kekurangan gizi, infeksi suatu
kuman penyakit, ataupun kecelakaan yang mengeluarkan banyak darah.
Pada embrio dan bayi, eritrosit dibentuk oleh hati dan limpa. Setelah masa
bayi, eritrosit dibentuk di dalam sumsum merah tulang. Di dalam hati dan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
9
limpa embrio atau bayi dan di dalam sumsum merah tulang terdapat
banyak sel–sel pembentuk sel–sel darah merah, disebut eritroblast.
Di dalam tubuh kita, eritrosit mampu bertahan hidup hingga umur 115
hari. Jika eritrosit telah tua akan dirombak oleh sel–sel hati. Hemoglobin
akan diubah menjadi zat warna empedu atau bilirubin.
b) Sel darah putih (leukosit)
Berbeda dengan sel darah merah, sel darah putih mempunyai bentuk yang
amat bervariasi. Selnya mempunyai nukleus (inti sel), dapat bergerak
bebas secara ameboid serta dapat menembus dinding kapiler, disebut
diapedesis.
Setiap 1 mm3 darah mengandung 6000 – 9000 sel darah putih. Jika
jumlahnya kurang dari 6000/mm3 disebut leukopenia. Tetapi bila
jumlahnya lebih dari 9000/mm3 disebut leukositosis. Jika dalam darah
jumlah leukositosis menjadi amat besar, misalnya 200.000/mm3 darah
maka disebut leukemia atau kanker darah.
Leukositas dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
(1) leukositas fisiologis, bila naiknya jumlah leukosit disebabkan kegiatan
jasmani terlalu berlabihan, karena nyeri yang disebabkan tekanan jiwa,
(2) leukositas patologis, jika naiknya jumlah leukosit disebabkan
terjadinya infeksi.
Leukosit mempunyai fungsi utama untuk melawan kuman yang masuk ke
dalam tubuh yaitu dengan cara memakannya, yang disebut fagositosis.
Leukosit dibentuk di dalam jaringan retikuloendotelium dari sumsum
merah tulang.
Macam–macam Leukosit, dibedakan menjadi dua kelompok yaitu,
granulosit bila plasmanya bergranuler dan agranulosit bila plasmanya tidak
bergranuler. Leukosit granulosit dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yakni :
(1) netrofil, sel ini bersifat fagosit, plasmanya bersifat netral, granula
merah kebiruan. Bentuk intinya bermacam–macam.
(2) Basofil, plasmanya bersifat basa, berbintik–bintik kebiruan, dan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
10
bersifat fagosit.
(3) Eosinofil, bersifat fagosit, plasmanya bersifat asam, berbintik–bintik
kemerahan yang jumlahnya akan meningkat bila terjadi infeksi.
Leukosit agranulosit dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
(1) monosit, selnya berinti satu besar, berbentuk bulat panjang, bisa
bergerak cepat, dan bersifat fagosit.
(2) Limposit, berinti satu dan selnya tidak dapat bergerak bebas.
Ukurannya ada yang sebesar eritrosit. Sel ini berperan besar dalam
pembentukan zat kebal atau antibodi.
c) Keping darah (trombosit)
Trombosit tidak berinti, berukuran lebih kecil dari eritrosit dan leukosit.
Bentuknya tidak teratur dan bila tersentuh benda yang permukaanya kasar
mudah pecah. Tiap 1 mm3 darah mengandung 200.000 – 300.000
trombosit. Sel ini dibentuk di dalam megakariosit sumsum merah tulang.
Trombosit berperan besar dalam proses pembekuan darah.
2) Plasma darah
Plasma darah terdiri atas air yang didalamnya terlarut berbagai macam zat,
baik zat organik maupun zat anorganik, zat yang berguna maupun zat–zat sisa
yang tidak berguna, sehingga jumlahnya lebih kurang 7 – 10%. Zat yang
terlarut di dalam plasma darah dapat dikelompokkan menjadi beberapa
macam, yaitu sebagai berikut :
a) Zat makanan dan mineral, seperti glukosa, asam amino, asam lemak,
kolesterol, serta garam–garam mineral.
b) Zat–zat yang diproduksi sel, seperti enzim, hormon, dan antibodi.
c) Protein darah yang tersusun atas beberapa asam amino :
1. Albumin, yang sangat penting untuk menjaga tekanan osmotik darah,
2. Fibrinogen, sangat penting untuk proses pembekuan darah,
3. Globulin, untuk membentuk gemaglobulin yaitu komponen zat kebal
yang amat penting.
d) Zat–zat sisa metabolisme, seperti urea, asam urat, dan zat–zat sisa
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
11
lainnya.
e) Gas–gas pernapasan yang larut dalam plasma seperti O2, CO2, dan N2.
2.1.3 Jenis–Jenis Penyakit Darah [2]
Membicarakan masalah penyakit yang berhubungan dengan darah, perlu
diingat kembali tentang susunan darah (cairan, eritrosit, lekosit, trombosit) serta
tempat pembentukannya. Keadaan darah yang beredar mempunyai kaitan yang
sulit yang menyangkut banyak segi dari segi fisiologik yang normal dan
patofisiologik.
Sebagaimana diketahui, darah merupakan alat pengangkut, sistem
pertahanan dan pengatur keseimbangan asam basa. Darah yang beredar dapat
merupakan petunjuk keadaan tubuh sehat atau sakit. Perubahan susunan kimiawi
atau sel–sel darah dapat merupakan petunjuk adanya penyakit darah, dapat pula
sebagai petunjuk adanya penyakit lain. Perlu diketahui pengetahuan dasar yang
berkaitan dengan darah adalah sebagai berikut :
(a) Darah yang beredar merupakan petunjuk bagi keadaan sehat atau sakit
(b) Darah yang beredar merupakan petunjuk bagi seluruh sistem dari tubuh.
(c) Perubahan–perubahan yang terjadi dalam darah dapat pula sebagai
petunjuk masalah yang berhubungan dengan darah maupun bukan.
(d) Darah yang beredar dapat tampak normal dalam keadaan penyakit yang
gawat.
(e) Dapat pula terjadi perubahan darah yang nyata pada penyakit ringan.
(f) Tiap penyebutan dari “normal dan abnormal”, perlu dipertimbangkan
keadaan dari jenis kelamin, usia, ras, lingkungan, dan adanya penyakit
yang bukan berasal dari darah.
Dari hal–hal tersebut, maka gejala maupun keluhan penyakit darah dapat
bermacam–macam dan tidak begitu spesifik, sehingga kadang–kadang tidak
diduga adanya masalah yang berkaitan dengan darah.
Beberapa penyakit dan kondisi yang mempengaruhi darah dapat
diklasifikasikan berdasarkan jenis sel darahnya.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
12
2.1.3.1 Penyakit Sel Darah Merah (Eritrosit) [2]
Kondisi yang paling umum yang mempengaruhi sel darah merah adalah
anemia, yaitu penurunan jumlah sel darah merah dari jumlah normalnya pada
darah. Perbandingan jumlah sel darah merah normal dengan sel darah merah pada
anemia dapat dilihat pada Gambar 2.4. Anemia diikuti dengan penurunan jumlah
hemoglobin pada darah. Gejala-gejala anemia seperti kulit pucat, lemas, dan detak
jantung cepat, terjadi karena adanya penurunan kapasitas darah untuk membawa
oksigen.
(a) (b)
Gambar 2.4. Perbandingan citra darah antara jumlah sel darah merah pada kondisi
normal dengan jumlah sel darah merah pada kondisi anemia, (a)
Jumlah sel darah merah normal dan (b) Jumlah sel darah merah
anemia [6]
2.1.3.2 Penyakit Sel Darah Putih (Leukosit)[2]
Beberapa jenis penyakit yang disebabkan adanya kelainan pada sel darah
putih antara lain :
1) Neutropenia terjadi saat tidak terdapat sel darah putih jenis tertentu yang
cukup untuk melindungi tubuh melawan infeksi bakteri. Orang-orang yang
meminum obat-obat kemoterapi untuk membunuh kanker mungkin dapat
menjangkit neutropenia.
2) Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sel darah manusia. Ketika
terjadi leukemia, tubuh akan memproduksi sel–sel darah yang abnormal dan
dalam jumlah yang besar. Pada leukemia, sel darah yang abnormal tersebut
adalah kelompok sel darah putih. Sel–sel darah yang terkena leukemia akan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
13
sangat berbeda dengan sel darah normal, dan tidak mampu berfungsi seperti
layaknya sel darah normal.
Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab leukemia misalnya tubuh
sering terpapar oleh bahan kimia tertentu, sinar radiasi, serta obat–obatan
(seperti pada pengobatan kanker), karena adanya kromosom yang abnormal
(seperti pada Down syndrome), atau karena adanya “kesalahan” genetic yang
terjadi secara acak dan menyebabkan sel menjadi terjangkit leukemia. Hal–
hal tersebut dapat menyebabkan mutasi dan akhirnya akan mempengaruhi
pertumbuhan atau proses pembelahan sel darah putih.
Gejala penyakit leukemia biasanya ditandai dengan adanya anemia.
Infeksi akan mudah atau sering terjadi karena sel darah putih tidak dapat
berfungsi dengan baik, rasa sakit atau nyeri pada tulang, serta pendarahan
yang sering terjadi karena darah sulit membeku. Jika tidak diobati, maka
akan mengakibatkan leukemia akut dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian. Pengobatan leukemia dapat berupa kemoterapi dengan obat anti
kanker, terapi radiasi, tranfusi darah dan plasma, serta transplantasi sumsum
tulang. Penyakit kanker leukemia, diklasifikasikan menjadi :
a. Acute Lymphotic Leukemia (ALL) adalah salah satu jenis penyakit
leukemia yang dapat berakibat fatal, dimana sel–sel yang dalam keadaan
normal berkembang menjadi limposit berubah menjadi ganas dan dengan
segera akan menggantikan sel–sel normal di dalam sumsum tulang.
Contoh citra darah yang menunjukkan adanya sel ALL dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Citra darah yang menunjukkan sel Acute Lymphotic
Leukemia (ALL) [9]
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
14
ALL merupakan jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak–anak. Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker
yang mengenai anak–anak di bawah umur 15 tahun, paling sering terjadi
pada anak usia antara 3 – 5 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja
dan dewasa. Sel–sel yang belum matang yang dalam keadaan normal
berkembang menjadi limposit, berubah menjadi ganas. Sel leukemik ini
tertimbun di sumsum tulang, lalu menghancurkan dan menggantikan
sel–sel yang menghasilkan sel darah yang normal. Sel kanker ini
kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati, limpa,
kelenjar getah bening, otak, ginjal dan organ reproduksi, dimana mereka
melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri. Sel kanker ini bisa
mengiritasi otak, menyebabkan meningitis dan bisa menyebabkan
anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.
b. Chronic lymphocytic leukemia (CLL) merupakan jenis leukemia yang
paling sering terjadi pada orang dewasa diatas umur 55 tahun. Terkadang
jenis ini dapat terjadi pada remaja, tetapi hampir jarang terjadi pada
anak–anak. Dua pertiga jenis leukemia ini terjadi pada pria. Contoh citra
darah CLL dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Citra darah yang menunjukkan sel Chronic lymphocytic
leukemia (CLL) [9]
Chronic lymphocytic leukemia (CLL) adalah jenis penyakit leukemia
atau kanker sel darah putih (limposit). CLL mempengaruhi bagian
tertentu dari limposit yaitu B cell yang dihasilkan di sumsum tulang
belakang dan dibangun di dalam getah bening yang dalam keadaan
normal berfungsi melawan infeksi. Dalam CLL, DNA dari B cell rusak
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
15
atau hancur sehingga tidak bisa berfungsi untuk melawan infeksi,
perkembang biakan B cell secara abnormal ini akan tumbuh secara tidak
terkontrol dan menggantikan sel darah normal yang dapat melawan
infeksi.
c. Acute myelogenous leukemia (AML) pada umumnya sering terjadi pada
orang dewasa dibandingkan anak–anak, dan kebanyakan terjadi pada
pria dibandingkan wanita. Contoh citra darah yang menunjukkan sel
Acute myelogenous leukemia (AML) dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Citra darah yang menunjukkan sel Acute myelogenous
leukemia (AML) [9]
Acute myelogenous leukemia (AML) adalah kanker dari garis
myeloid sel darah putih, yang ditandai dengan perkembangbiakan sel
abnormal secara cepat yang diakumulasikan di dalam sumsum tulang
belakang dan bercampur dengan sel darah normal yang dihasilkan. AML
disebabkan oleh penggantian dari sumsum tulang normal dengan sel
leukemik, yang menghasilkan penurunan dalam jumlah sel darah merah,
keping darah dan jumlah sel darah putih dalam keadaan normal.
d. Chronic myelogenous leukemia (CML) terutama terjadi pada orang
dewasa, hanya sebagian kecil anak–anak yang dapat terkena penyakit
jenis ini. CML adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan
peningkatan dan pertumbuhan yang tidak beraturan dari sel myeloid di
dalam sumsum tulang dan akumulasi dari sel ini dalam darah.
e. Hairy cell leukemia (HCL) terkadang dikategorikan ke dalam CLL,
tetapi tidak terlalu sesuai dengan pola CLL. Sekitar 80% yang terkena
jenis penyakit ini adalah pria dewasa. Hingga saat ini belum pernah ada
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
16
laporan kasus penyakit HCL pada anak–anak atau remaja. HCL tidak
dapat disembuhkan, tetapi mudah untuk dilakukan pengobatan. Contoh
citra darah yang menunjukkan sel Hairy cell leukemia (HCL) dapat
dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Citra darah yang menunjukkan sel Hairy cell leukemia
(HCL) [9]
2.1.3.3 Penyakit Keping Darah (Trombosit) [1]
Salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
keping darah adalah Thrombocytopenia atau jumlah keping darah yang lebih
rendah dari seharusnya. Biasanya didiagnosa karena seseorang mengalami
pendarahan atau pembengkakan yang tidak normal. Thrombocytopenia dapat
terjadi saat seseorang mengkonsumsi obat-obatan tertentu atau terjangkit infeksi
atau leukemia atau saat tubuh menggunakan keping darah terlalu banyak.
Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP) adalah kondisi di mana sistem
kekebalan tubuh menyerang dan menghancurkan keping darah.
2.2 KONSEP DASAR CITRA DIGITAL [4]
Dalam pengolahan maupun pengenalan citra, masalah persepsi visual,
yaitu apa yang dapat dilihat oleh mata manusia, mempunyai peranan penting.
Penentuan apa yang dapat dilihat itu tidak dapat hanya ditentukan oleh manusia
itu sendiri. Mata merupakan bagian dari sistem visual manusia. Sistem visual ini
sangat sulit dipelajari, terlebih jika ingin menyingkap proses yang
melatarbelakangi timbulnya suatu persepsi, seperti pada peristiwa “pengenalan”
(recognition).
Hingga saat ini berbagai aplikasi mulai dikembangkan, yang secara umum
dapat dikelompokkan ke dalam dua kegiatan :
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
17
1. Memperbaiki kualitas suatu gambar (citra) sehingga dapat lebih mudah
diinterpretasikan oleh mata manusia.
2. Mengolah informasi yang terdapat pada gambar (citra) untuk keperluan
pengenalan obyek secara otomatis oleh suatu mesin.
Bidang ini sangat erat hubungannya dengan ilmu pengenalan pola (pattern
recognition), yang secara umum bertujuan mengenali suatu obyek dengan cara
mengekstrasi informasi penting yang terdapat dalam suatu citra. Contoh – contoh
aplikasi dalam berbagai disiplin ilmu :
a. Dalam bidang kedokteran :
Sistem mendeteksi diagnosis suatu kelainan dalam tubuh manusia melalui
citra yang dihasilkan oleh scanner.
b. Dalam bidang industri :
Sistem pemeriksaan suatu produk melalui kamera video.
c. Dalam bidang perdagangan :
Sistem untuk mengenali angka / huruf dalam suatu formulir secara
otomatis oleh mesin pembaca.
d. Dalam bidang militer :
Sistem pengenalan target peluru kendali melalui sensor visual.
2.2.1 Model Citra Digital
Sesungguhnya citra merupakan suatu fungsi intensitas dalam bidang dua
dimensi. Karena intensitas yang dimaksud berasal dari sumber cahaya, dan cahaya
adalah suatu bentuk energi, maka berlaku keadaan di mana fungsi intesitas terletak
di antara :
0 < f ( x , y ) < ∞
Pada dasarnya, citra yang dilihat terdiri atas berkas – berkas cahaya yang
dipantulkan oleh benda–benda di sekitarnya. Jadi secara alamiah, fungsi intensitas
cahaya merupakan fungsi sumber cahaya yang menerangi obyek, serta jumlah
cahaya yang dipantulkan oleh obyek, atau ditulis :
( ) ( ) ( )yxryxiyxf ,,, ⋅= ……………...……..……………………............. (2.1)
yaitu : ( ) ∞<< yxi ,0 (iluminasi sumber cahaya)
0 < r ( x , y ) < 1 (koefisien pantul obyek)
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
18
Fungsi intensitas f pada statu titik (x,y) disebut derajat keabuan atau gray
level (l), dengan l terletak diantara :
Lmin ≤ 1 ≤ Lmax
Dengan demikian :
Lmin = imin . rmin
Lmax = imax . rmax (dalam foot-candles)
Selang (Lmin, Lmax) sering disebut sebagai skala keabuan. Pada representasi
suatu citra hitam putih secara numeric, biasanya selang digeser menjadi : (0, L),
dengan 0 menyatakan hitam dan L menyatakan putih. Semua bilangan yang
terletak diantara 0 dan L merupakan derajat keabuan.
2.2.2 Elemen–elemen Dasar Citra
Citra dapat dinyatakan sebagai fungsi kontinu dari intensitas cahaya dalam
bidang dua dimensi f(x,y), x dan y menyatakan kordinat ruang dan nilai f pada
suatu koordinat (x,y) menyatakan kecerahan dan informasi warna citra. Secara
matematis persamaan untuk fungsi intensitas, f(x,y) adalah :
( ) ∞<< yxf ,0 ............................................................................................(2.2)
Elemen terkecil dari sebuah citra digital disebut elemen citra, elemen
gambar pel atau piksel. Gamab 2.9 menjelaskan contoh citra dan representasinya
dalam bentuk matriks 2-D.
Gambar 2.9. Contoh citra dan representasinya dalam bentuk matriks 2-D.
Elemen – elemen dasar dari citra, yaitu :
a) Kecerahan dan Kontras
1. Kecerahan :
Yang dimaksud dengan kecerahan (brightness) adalah intensitas yang
0 1 1 1 0
0 1 0 1 0
0 1 0 1 0
0 1 0 1 0
0 1 1 1 0
1 2 3 4 5
2
3
4
5
1
1.1.1.1
1.1.1.2
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
19
terjadi pada satu titik citra. Umumnya pada sebuah citra, kecerahan ini
merupakan kecerahan rata – rata dari suatu daerah lokal.
2. Kontras :
Untuk menentukan kepekaan kontras (contrast sensitivity) pada mata
manusia dilakukan cara pengukuran sebagai berikut. Pada suatu bidang
citra dengan intensitas sebesar B, perbesar intesitas obyek lingkaran
sehingga intensitasnya menjadi B + ∆B. Pertambahan intensitas (∆B) ini
dilakukan sampai mata manusia dapat mendeteksi perbedaan ini. Dengan
demikian kepekaan kontras dinyatakan dalam rasio Weber sebagai ∆B / B.
b) Acuity
Yang dimaksud acuity adalah kemampuan mata manusia untuk merinci secara
detail bagian – bagian pada suatu citra (pada sumbu visual).
c) Kontur
Yang dimaksud dengan kontur (contour) adalah keadaan pada citra di mana
terjadi perubahan intensitas dari suatu titik ke titik tetangganya. Dengan
perubahan intensitas inilah mata seseorang sanggup mendeteksi pinggiran atau
kontur suatu benda.
d) Warna
Warna (color) adalah reaksis yang dirasakan oleh sistem visual mata manusia
terhadap perubahan panjang gelombang cahaya. Setiap warna mempunyai
panjang gelombang yang berbeda–beda. Warna merah memiliki panjang
gelombang (λ) yang paling tinggi, sedangkan warna violet mempunyai
panjang gelombang (λ) yang paling rendah.
e) Bentuk
Pada umumnya citra yang dibentuk oleh mata merupakan citra 2 dimensi,
sedang obyek yang diamati adalah 3 dimensi.
f) Tekstur
Pada hakekatnya sistem visual manusia tidak menerima informasi citra secara
terpisah pada setiap titik, tetapi suatu citra dianggap sebagai satu kesatuan.
Dua buah citra tidak dapat disamakan hanya dengan satu parameter saja. Hal
ini tampak nyata dalam bentuk tekstur (texture). Pada daerah yang berdekatan
tekstur dua buah citra mudah dibedakan, namun bila letaknya berjauhan,
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
20
tekstur kedua citra tersebut sukar dibedakan.
g) Waktu dan Pergerakan
Respon suatu sistem visual tidak hanya berlaku pada faktor ruang, tetapi juga
pada faktor waktu. Sebagai contoh, bila citra–citra diam ditampilkan secara
cepat, akan berkesan melihat citra yang bergerak.
h) Deteksi dan Pengenalan
Dalam mendeteksi dan mengenali suatu citra, ternyata tidak hanya sistem
visual manusia saja yang bekerja, tetapi juga ikut melibatkan ingatan dan daya
pikir manusia.
2.2.3 Pencuplikan dan Kuantisasi [3]
Suatu citra agar dapat direpresentasikan secara numerik, maka citra harus
didijitalisasi, baik terhadap ruang (koordinat (x,y)) maupun terhadap skala
keabuaannya (f(x,y)). Proses dijitalisasi koordinat (x,y) dikenal sebagai
“pencuplikan citra” (image sampling), sedangkan proses dijitalisasi skala keabuan
(f(x,y) disebut sebagai “kuantisasi derajat keabuan” (gray level quantization).
Sebuah citra kontinu (f(x,y)) akan didekati oleh cuplikan – cuplikan yang
seragam jaraknya dalam bentuk matriks M x N. Nilai elemen – elemen matriks
menyatakan derajat keabuan citra, sedangkan posisi elemen tersebut (dalam baris
dan kolom) menyatakan koordinat titik–titik (x,y) dari citra.
−−−−
−
−
=
)1,1(...)1,1()0,1(
.
.
.
.
.
.
.
.
.
)1,1(...)1,1()0,1(
)1,0(...)1,0()0,0(
),(
NMfMfMf
Nfff
Nfff
yxf ……............…(2.3)
Bentuk matriks ini dikenal sebagai citra dijital. Citra dijital merupakan
suatu matriks dimana indeks baris dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra
tersebut dan elemen matriksnya (yang disebut sebagai elemen gambar atau piksel)
menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut.
Dengan alasan untuk memudahkan implementasi, dalam praktek sebagian
besar diambil jumlah pencuplikan pada baris (M) dan kolom (N) sebagai bilangan
pangkat dua dengan jarak cuplikan yang seragam. Jadi diambil N = 2n dimana n
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
21
adalah bilangan bulat positif
Dengan alasan serupa, maka lazimnya skala keabuan (0, L) dibagi ke
dalam G selang dengan panjang selang yang sama yaitu G = 2m (m = bilangan
bulat positif)
Bila hal ini diterapkan, maka penyimpanan sebuah citra digital
membutuhkan sejumlah b bit data :
mNMB ××= .............................................................................................(2.4)
Sebagai contoh, untuk menyimpan citra berukuran 512 x 512 pixel dengan
256 derajat keabuan diperlukan jumlah bit sebanyak : 512 x 512 x 256 ≈
2.048.000 bit. Makin tinggi nilai N dan m, maka citra kontinu f(x,y) akan makin
didekati oleh citra dijital yang dihasilkan.
Jika suatu citra f(x,y) dicuplik dan menjadi M × N array maka setiap
elemen dari array merupakan kuantitas diskrit. Setiap elemen dari array dapat
disebut elemen citra atau elemen gambar atau piksel. Untuk sebuah citra dijital,
setiap piksel memiliki nilai integer yakni graylevel yang menunjukan amplitudo
atau intensitas dari piksel tersebut. Citra merupakan fungsi dua dimensi yang
kedua variabelnya yaitu nilai amplitudo dan koordinatnya merupakan nilai integer.
Gambar 2.10. menunjukkan matriks cita dijital (x,y).
Gambar 2.10. Matriks citra dijital (x,y) [2]
2.2.4 Warna pada Pengolahan Citra
Warna pada dasarnya merupakan hasil persepsi dari cahaya dalam
spektrum wilayah yang terlihat oleh retina mata, dan memiliki panjang gelombang
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
22
antara 400nm sampai dengan 700nm.
Sistem visual manusia dapat membedakan ratusan ribu shade warna dan
intersitas, tetapi hanya 100 shade keabuan. Oleh sebab itu, dalam suatu citra,
masih banyak informasi lainnya yang ada pada warna, dan informasi tersebut juga
dapat digunakan untuk menyederhanakan analisis citra, misalkan identifikasi
obyek dan ekstraksi warna.
Warna secara utuh bergantung pada sifat pantulan (reflectance) suatu objek.
Warna yang dilihat merupakan yang dipantulkan, sedangkan yang lainnya diserap.
Sehingga sumber sinar perlu diperhitungkan begitu pula sifat alami system visual
manusia ketika menangkap suatu warna. Sebagai contoh, suatu objek yang
memantulkan sinar merah dan hijau akan tampak berwarna hijau apabila benda
tersebut disinari oleh sinar hijau (tanpa adanya sinar merah). Demikian juga
sebaliknya, objek akan tampak berwarna merah apabila tidak terdapat sinar hijau.
Apabila benda tersebut disinari oleh sinar putih, maka objek tersebut berwarna
kuning (merupakan gabungan warna hijau + merah).
2.2.4.1 Model Warna
Model warna merupakan cara standar untuk mengatur, membuat,
memvisualisasikan dan menspesifikasikan suatu warna tertentu, dengan
mendefinisikan suatu sistem koordinat 3D, dan suatu ruang bagian yang
mengandung semua warna yang dapat dibentuk ke dalam suatu model tertentu.
Suatu warna yang dapat dispesifikasikan menggunakan suatu model akan
berhubungan ke suatu titik tunggal dalam sautu ruang bagian yang
didefinisikannya. Untuk aplikasi yang berbeda ruang warna yang dipakai bisa juga
berbeda, hal ini dikarenakan beberapa peralatan tertentu memang membatasi
secara ketat ukuran dan jenis ruang warna yang dapat digunakan.
2.2.4.2 Model RGB
Suatu citra dalam model RGB terdiri dari tiga bidang citra yang saling lepas,
masing-masing terdiri dari warna utama: merah, hijau dan biru. Puncak setiap
kurva warna adalah pada 440nm (biru), 545nm (hijau), dan 580nm (merah).
Standar panjang gelombang untuk tiga warna utama ditunjukkan pada Gambar
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
23
2.16. Suatu warna dispesifikasikan sebagai campuran sejumlah komponen warna
utama. Gambar 2.11 menunjukkan bentuk geometri dari model warna RGB untuk
menspesifikasikan warna menggunakan sistem koordinat Cartesian. Spektrum
grayscale (tingkat keabuan) yaitu warna yang dibentuk dari gabungan tiga warna
utama dengan jumlah yang sama, berada pada garis yang menghubungkan titik
hitam dan putih.
Gambar 2.11. Koordinat warna RGB [11]
Warna direpresentasikan dalam suatu sinar tambahan untuk membentuk
warna baru, dan berhubungan untuk membentuk sinar campuran. Citra pada
Gambar 2.12 sebelah kiri menunjukkan campuran dengan menambahkan warna
utama merah, hijau, dan biru untuk membentuk warna sekunder kuning
(merah+hijau), cyan (biru+hijau), magenta (merah+biru) dan putih
(merah+hijau+biru). Model warna RGB banyak digunakan untuk monitor
komputer dan video kamera.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
24
Gambar 2.12 Penambahan Campuran Warna Merah Hijau dan Biru [11,12]
2.2.4.3 Model HSL (Hue Saturation Lightness) dan HSV (Hue Saturation Value)
Untuk menyediakan representasi warna bagi antar-muka pengguna (user
interface), biasa digunakan ruang warna HSL. HSL sendiri merupakan
kependekan dari Hue, Saturation, Lightness / Luminancy.
Hue atau corak warna merupakan sensasi penglihatan manusia berdasarkan
pada kemiripan suatu daerah tampak seperti daerah yang lain sesuai dengan warna
yang diterimanya, merah, kuning, hijau dan biru, atau kombinasi keduanya.
Saturation adalah kekayaan warna pada suatu daerah sesuai dengan proporsi
gelap-terangnya. Kita bisa menemukan warna biru langit sampai dengan biru tua
dengan mengubah nilai dari komponen ini. Sedangkan Luminancy atau Lightness
merupakan persepsi suatu daerah warna yang tampak ketika menerima sedikit
atau banyak cahaya dengan referensi warna putih.
Gambar 2.13 melukiskan ruang warna HSL, Hue adalah sudut warna
tertentu yang melingkar dari suatu titik awal, Saturation jarak suatu warna
terhadap sumbu Lightness, Lightness (Luminancy) merupakan sumbu tegak yang
menghubungkan warna hitam sampai dengan putih.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
25
Gambar 2.13 Ruang Warna HSL [11]
Alternatif lain dari HSL adalah HSV (Hue, Saturation, dan Value). Pada
ruang warna HSV Luminancy digantikan dengan Value. HSV dapat
divisualisasikan dengan sebuah poligon seperti pada Gambar 2.14. Hue seperti
pada HSL merupakan sudut warna yang melingkari poligon, jadi misalnya jika
untuk warna merah hue = 0o maka hue untuk warna hijau = 120
o dan untuk warna
biru nilai hue-nya 240o. Saturation sama sepertipada HSL, merupakan jarak
terhadap sumbu tegak. Dan value merupakan sumbu tegak yang menghubungkan
puncak dan dasar poligon.
Gambar 2.14 Ruang Warna HSV [11]
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
26
Tiga kuatisasi yang dapat digunakan untuk menggambarkan warna:
1) Hue ditentukan oleh dominan panjang gelombang. Warna yang dapat dilihat
oleh mata memiliki panjang gelombang antara 400 nm (violet) - 700 nm
(red) pada spektrum electromagnetic seperti pada Gambar 2.15
Gambar 2.15 Visible spectrum dalam spektrum gelombang elektromagnetik
[10]
Retina manusia memiliki 3 jenis cones. Respon setiap jenis cones sebagai
suatu fungsi panjang gelombang dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
27
Gambar 2.16 Respon setiap jenis cones sebagai suatu fungsi panjang
gelombang [10]
2) (Saturation) ditentukan oleh tingkat kemurnian, dan tergantung pada jumlah
sinar putih yang tercampur dengan hue. Suatu warna hue murni adalah
secara penuh tersaturasi, yaitu tidak ada sinar putih yang tercampur. Hue dan
saturation digabungkan menentukan chromaticity suatu warna. Intensitas
ditentukan oleh jumlah sinar yang diserap. Semakin banyak sinar yang
diserap semakin banyak tinggi intensitas warnanya.
3) Sinar Achromatic tidak memiliki warna, tetapi hanya ditentukan oleh atribut
intensitas. Tingkat keabuan (Graylevel) adalah ukuran intensitas yang
ditentukan oleh energi, sehingga merupakan suatu kuantitas fisik. Dalam hal
lain, brightness atau luminance ditentukan oleh persepsi warna (sehingga
dapat merupakan efek psikologi). Apabila diberikan sinar biru dan hijau
dengan intensitas yang sama, sinar biru diterima (perceived) lebih gelap
dibandingkan sinar hijau. Sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi
intensitas manusia adalah non-linear, misalkan perubahan intensitas yang
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
28
dinormalisasi dari 0.1 ke 0.11 dan 0.5 ke 0.55 akan diterima dengan
perubahan tingkat kecerahan (brightness) yang sama.
2.2.5 Operasi Pengolahan Citra
Pengolahan citra dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan
terhadap suatu gambar sehingga menghasilkan gambar lain yang lebih sesuai
dengan keinginan kita.
Berikut ilustrasi dari proses pengolahan citra digital dapat dilihat pada
Gambar 2.17.
Gambar 2.17. Proses Pengolahan Citra Sederhana [4]
Pengolahan citra dan pengenalan pola menjadi bagian dari proses
pengenalan citra. Kedua aplikasi ini akan saling melengkapi untuk mendapatkan
ciri khas dari suatu citra yang hendak dikenali.
Secara umum tahapan pengolahan citra digital meliputi akusisi citra,
perbaikan citra, peningkatan kualitas citra, segmentasi citra, representasi dan
uraian, pengenalan dan interpretasi.
(a) Akusisi citra
Pengambilan data dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media
seperti kamera analog, kamera dijital, handycam, scanner, optical reader dan
sebagainya. Citra yang dihasilkan belum tentu data dijital, sehingga perlu
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
29
didijitisasi.
(b) Perbaikan citra
Perbaikan citra (image restoration) diartikan sebagai proses untuk mengolah
citra digital yang didapat agar lebih mendekati bentuk citra aslinya, atau sering
disebut sebagai proses mendapatkan kembali (rekonstruksi) citra asli dari
suatu citra citra yang telah mengalami proses degradasi.
(c) Peningkatan kualitas citra
Pada tahap ini dikenal dengan pre-processing dimana dalam meningkatkan
kualitas citra dapat meningkatkan kemungkinan dalam keberhasilan pada
tahap pengolahan citra digital berikutnya
(d) Segmentasi citra
Segmentasi bertujuan untuk memilih dan mengisolasikan (memisahkan) suatu
objek dari keseluruhan citra. Tahap downsampling merupakan proses untuk
menurunkan jumlah piksel dan menghilangkan sebagian informasi dari citra.
Dengan resolusi citra yang tetap, downsampling menghasilkan ukuran citra
yang lebih kecil. Tahap segmentasi selanjutnya adalah penapisan dengan filter
median, hal ini dilakukan untuk menghilangkan derau yang biasanya muncul
pada frekuensi tinggi pada spectrum citra. Pada penapisan dengan filter
median, gray level citra pada setiap piksel digantikan dengan nilai median dari
gray level pada piksel yang terdapat pada window filter.
(e) Representasi dan Uraian
Representasi mengacu pada data konversi dari hasil segmentasi ke bentuk
yang lebih sesuai untuk proses pengolahan pada komputer. Keputusan pertama
yang harus sudah dihasilkan pada tahap ini adalah data yang akan diproses
dalam batasan-batasan atau daerah yang lengkap. Batas representasi
digunakan ketika penekanannya pada karakteristik bentuk luar, dan area
representasi digunakan ketika penekanannya pada karakteristik dalam, sebagai
contoh tekstur. Setelah data telah direpresentasikan ke bentuk tipe yang lebih
sesuai, tahap selanjutnya adalah menguraikan data.
(f) Pengenalan dan Interpretasi
Pengenalan (recognition) pola tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan citra
dengan suatu kualitas tertentu, tetapi juga untuk mengklasifikasikan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
30
bermacam-macam citra. Dari sejumlah citra diolah sehingga citra dengan ciri
yang sama akan dikelompokkan pada suatu kelompok tertentu. Interpretasi
meliputi penekanan dalam mengartikan objek yang dikenali.
Pengolahan citra digital dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas
suatu citra digital, baik dalam tujuan untuk menonjolkan suatu ciri tertentu dalam
citra tersebut, maupun untuk memperbaiki aspek tampilan. Proses ini biasanya
didasarkan pada prosedur yang bersifat eksperimental, subjektif, dan amat
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
2.2.6 Pemotongan (Cropping) [4]
Pemotongan atau cropping akan menghasilkan bagian citra (dalam bentuk
kotak) dari sebuah citra. Kotak ”crop” dapat ditentukan melalui argumen
masukan, atau memilihnya dengan menggunakan mouse.
Jika diketikkan perintah cropping tanpa menetapkan kotak ”crop”, maka
kursor akan berubah menjadi bentuk ”+” ketika dilewatkan diatas citra yang
diinginkan, dan sementara menahan tombol mouse, ”drag” sepanjang citra.
Perintah Cropping membentuk kotak sepanjang area yang dipilih. Ketika tombol
mouse dilepaskan, maka perintah cropping akan membuat citra keluaran dari area
yang terpilih.
2.2.7 Operasi Blok–blok Pembeda (Distinct Blocks) [4]
Distinct Blocks adalah partisi berbentuk kotak yang membagi sebuah daerah
matriks berukuran m x n. Distinct blocks membagi matriks citra mulai dari kiri
atas tanpa ada overlaping atau penumpukan. Jika blok tidak dapat terbagi secara
pas, maka toolbox akan menambahkan zero padding.
Sebagai contoh sebuah matriks berukuran 8 x 8 terbagi oleh blok berukuran
3 x 3 zero padding akan ditambahkan pada baris ke sembilan dan kolom ke
sembilan dari matriks citra. Setelah dilakukan zero padding, maka matriks akan
berukuran 9 x 9.
Operasi distinct block akan mengekstak setiap Distinct Blocks dari sebuah
citra dalam melewatkan blok ke dalam fungsi yang ditentukan. Hitung rata–rata
dari blok kemudian mengalikan hasilnya dengan matriks satu, sehingga blok
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
31
keluaran berukuran sama dengan blok masukan. Sehingga hasilnya citra keluaran
berukuran sama dengan citra masukan.
2.2.8 Resizing [4]
Ketika bekerja dengan citra dijital, operasi pengubahan ukuran citra
(resizing) mungkin merupakan operasi yang biasa dilakukan. Baik itu
memperbesar maupun memperkecil ukuran citra. Teknik yang umum digunakan
untuk operasi ini adalah teknik interpolasi.
Interpolasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah cara untuk
memperkirakan nilai tertentu diantara nilai-nilai yang diketahui dalam range yang
sama. Dalam konteks citra digital, interpolasi merupakan suatu proses yang
dilakukan untuk memperkirakan nilai citra pada lokasi diantara piksel-piksel citra.
Interpolasi adalah proses yang dikerjakan oleh perangkat lunak untuk melakukan
pembuatan ulang (resample) dari contoh data citra untuk menentukan nilai–nilai
antara piksel–piksel yang diterapkan. Contohnya jika operasi perbesaran pada
citra dilakukan maka kita akan mendapatkan lebih banyak piksel dibandingkan
citra asalnya. Piksel-piksel baru ini bisa didapat dari interpolasi. Ada beberapa
teknik interpolasi yang biasa dipakai untuk pengubahan ukuran (resizing), teknik-
teknik tersebut adalah nearest neighbor, bilinear dan bicubic.
Pada interpolasi nearest neighbor, nilai piksel yang baru diisi dengan nilai
piksel terdekat yang sudah ada. Sehingga ketika sebuah citra diperbesar, teknik ini
menggandakan piksel, dan ketika citra ukurannya diperkecil maka ia akan
menghapus piksel. Cara ini memang lebih cepat dibandingkan dua teknik
interpolasi lainnya, meskipun demikian kelemahan utama teknik ini terlihat pada
operasi perbesaran, tepian obyek didalam citra terlihat bergerigi. Pada operasi
pengecilan, citra yang dihasilkan terlihat kurang halus.
Teknik kedua, bilinear, bekerja dengan menggunakan nilai dari keempat
piksel-piksel disekitarnya, yaitu : atas, bawah, kiri dan kanan dari titik dimana
piksel baru akan dibuat. Nilai dari piksel ini ditentukan dengan menghitung bobot
rata-rata dari empat piksel (array 2×2) yang menurut jaraknya paling dekat. Hasil
dari teknik ini memang lebih halus dibandingkan dengan teknik yang pertama.
Pada teknik terakhir, bicubic, nilai piksel baru ditentukan dengan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
32
menghitung bobot rata-rata 16 piksel (array 4×4) yang menurut jaraknya paling
dekat. Citra hasil dari teknik ini jauh lebih halus dibandingkan dengan
menggunakan teknik yang pertama.
2.2.9 Pendekatan Pengenalan Pola
Ada tiga pendekatan yang digunakan dalam pengenalan pola :
1. Pendekatan statistik (Statistical Pattern Recognition Approach),
merupakan teknik pengenalan pola menggunakan statistik untuk algoritma
klasifikasinya.
2. Pendekatan sintaktik (Syntactic Pattern Recognition Approach),
merupakan teknik pengenalan pola yang mengacu pada struktural.
3. Pendekatan neural (Neural Pattern Recognition Approach), merupakan
teknik pengenalan pola yang menggunakan algoritma jaringan syaraf
tiruan dalam proses pengklasifikasiannya.
2.3 KONSEP DASAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) [3]
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network adalah
prosesor tersebar paralel yang sangat besar (massively paralel distributed
processor) yang memiliki kecenderungan untuk menyimpan pengetahuan yang
bersifat pengalaman dan membuatnya siap untuk digunakan.
JST merupakan teknik yang digunakan untuk membangun program yang
cerdas dengan permodelan yang mensimulasikan cara kerja jaringan syaraf pada
otak manusia. Jadi, JST menggunakan konsep kerja dari syaraf otak manusia
untuk menyelesaikan perhitungan pada komputer. JST menyerupai otak manusia
dalam dua hal, yaitu:
1. Pengetahuan diperoleh jaringan melalui proses belajar.
2. Kekuatan hubungan antar sel syaraf (neuron) yang dikenal sebagai bobot-
bobot sinaptik digunakan untuk menyimpan pengetahuan.
Seperti otak manusia, fungsi dari jaringan ditentukan oleh hubungan antara
neuron. Hubungan antara Neuron ini disebut bobot (weight). Untuk mendapatkan
fungsi tertentu dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan (training) dengan
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
33
menyesuaikan nilai bobot dari masing-masing neuron.
Pada umumnya JST dilatih (trained) agar input mengarah ke output target
yang spesifik. Jadi jaringan dilatih terus menerus hingga mencapai kondisi dimana
input sesuai dengan target yang telah ditentukan. Pelatihan dimana setiap input
diasosiasikan dengan target yang telah ditentukan disebut pelatihan terarah
(Supervised learning) seperti tampak pada Gambar 2.18.
Gambar 2.18. Diagram blok jaringan syaraf tiruan [5]
JST mempunyai sifat dan kemampuan :
1. Nonlinieritas (Nonlinearity)
2. Pemetaan Input-Output (Input-Output Mapping)
3. Adaptivitas (Adaptivity)
4. Respon yang Jelas (Evidential Response)
5. Informasi yang sesuai dengan Keadaan (Contextual Information)
6. Toleransi Kesalahan (Fault Tolerance)
7. Kemampuan Implementasi Pada VLSI (VLSI Implementability)
8. Keseragaman Analisis dan Perancangan (Unifomity of Analysis and
Design)
9. Analogi Sel Syaraf Biologi (Neurobiological Analogy)
2.3.1 Model Syaraf (Neuron)
Satu sel syaraf terdiri dari tiga bagian, yaitu: fungsi penjumlah (summing
function), fungsi aktivasi (activation function), dan keluaran (output). Pada
Gambar 2.19 dapat dilihat contoh model single neuron JST.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
34
kVkU
kpW
2kW
1kW1X
2X
pX
Gambar 2.19 Model Single Neuron [5]
2.3.2 Proses Belajar
Belajar merupakan suatu proses dimana parameter-parameter bebas JST
diadaptasikan melalui suatu proses perangsangan berkelanjutan oleh lingkungan
dimana jaringan berada.
Berdasarkan algoritma pelatihannya, maka JST terbagi menjadi dua yaitu :
1) Supervised Learning. Metode belajar ini memerlukan pengawasan dari
luar atau pelabelan data sampel yang digunakan dalam proses belajar.
Dimana Jaringan belajar dari sekumpulan pola masukan dan keluaran.
Sehingga pada saat pelatihan diperlukan pola yang terdiri dari vektor
masukan dan vektor target yang diinginkan. Vektor masukan dimasukkan
ke dalam jaringan yang kemudian menghasilkan vektor keluaran yang
selanjutnya dibandingkan dengan vektor target. Selisih kedua vektor
tersebut menghasilkan galat (error) yang digunakan sebagai dasar untuk
mengubah matriks koneksi sedemikian rupa sehingga galat semakin
mengecil pada siklus berikutnya.
2) Unsupervised Learning. Metode belajar ini menggunakan data yang tidak
diberi label dan tidak memerlukan pengawasan dari luar. Daya disajikan
kepada JST dan membentuk klutser internal yang mereduksi data masukan
ke dalam kategori klasifikasi tertentu.
2.3.3 JST Propagasi Balik
JST Propagasi Balik merupakan salah satu teknik pembelajaran atau
pelatihan supervised learning yang paling banyak digunakan dalam edukatif.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
35
Gambar 2.20 akan mengilustrasikan bagaimana arsitektur dari JST propagasi
balik.
Gambar 2.20. JST Propagasi Balik [5]
Kelemahan JST yang terdiri dari layar tunggal membuat perkembangan
JST menjadi terhenti pada sekitar tahun 1970 an. Penemuan backpropagation
yang terdiri dari beberapa lapisan membuka kembali cakarawala. Terlebih setelah
berhasil ditemukannya berbagai aplikasi yang dapat diselesaikan dengan
backpropagation, membuat JST semakin diminati.
JST dengan lapisan tunggal memiliki keterbatasan dalam pengenalan pola.
Kelemahan ini bisa ditanggulangi dengan menambahkan satu atau beberapa
lapisan tersembunyi diantara lapisan masukan dan lapisan keluaran. Meskipun
penggunaan lebih dari satu lapisan tersembunyi memiliki kelebihan manfaat untuk
beberapa kasus, tapi pelatihannya memerlukan waktu yang lama. Maka umumnya
mulai mencoba dengan sebuah layar tersembunyi lebih dahulu. Seperti halnya
model JST lain, backpropagation melatih jaringan untuk mendapatkan
keseimbangan antara kemampuan jaringan untuk mengenali pola yang digunakan
selama pelatihan serta kemampuan jaringan untuk memberikan respon yang benar
terhadap pola masukan yang serupa (tapi tidak sama) dengan pola yang dipakai
selama pelatihan.
JST Propagasi Balik merupakan salah satu teknik pembelajaran atau
pelatihan supervised learning yang paling banyak digunakan dalam edukatif.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
36
Backpropagation memiliki beberapa unit yang ada dalam satu atau lebih lapisan
tersembunyi.
Pelatihan Standar Backpropagation meliputi 3 fase. Fase pertama adalah
fase maju. Pola masukan dihitung maju mulai dari lapisan masukan hingga lapisan
keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Fase kedua adalah fase
mundur. Selisih antara keluaran jaringan dengan target yang diinginkan
merupakan kesalahan yang terjadi. Kesalahan tersebut dipropagasikan mundur,
dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan unit-unit di lapisan
keluaran. Fase ketiga adalah modifikasi bobot untuk menurunkan kesalahan yang
terjadi.
Algoritma Pelatihan JST Propagasi Balik [5]:
a. Inisialisasi bobot (ambil awal dengan nilai random yang cukup kecil)
b. Tetapkan : Maksimum Epoh, Target error, dan learning rate (α)
c. Inisialisasi : Epoh = 0, MSE = 1.
d. Kerjakan langkah-langkah berikut selama (Epoh < Maksimum Epoh) dan
(MSE>Target Error) :
1. Epoh = Epoh + 1
2. Untuk tiap-tiap pasangan elemen yang akan dilakukan pembelajaran,
kerjakan :
Feedforward :
a. Tiap-tiap unit input ( nxi ,...,3,2,1= ) menerima sinyal ix dan
meneruskan sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan yang ada di
atasnya (lapisan tersembunyi).
b. Tiap-tiap unit pada lapisan tersembunyi (Z j , j=1,2,3,..,p)
menjumlahkan sinyal-sinyal input berbobot :
z_ in j = b 1 j + ∑=
n
i
ijivx1
………………………………….… (2.4)
Gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya :
z j = f(z_ in j ) ……………………………………………..….. (2.5)
Dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit-
unit output).
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
37
c. Tiap-tiap unit output (Y k , k=1,2,3,…m) menjumlahkan sinyal-sinyal
input terbobot.
∑−
+=y
i
jkjkk wzbiny1
2_ ……………...……………………... (2.6)
Gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya :
yk = f(y_ in
k) ……………………………………………….. (2.7)
Dan kirimkan sinyal output tersebut ke semua unit di lapisan atasnya
(unit-unit output).
Langkah (b) dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi.
d. Tiap-tiap unit output (Y k = 1,2,3,…m) menerima target pola yang
berhubungan dengan pola input pembelajaran, hitung informasi
errornya :
( ) ( )kkkk inyfyt _2 '−=δ ………..………………………….. (2.8)
jkjk zδϕ =2 …………………………………………….......... (2.9)
kk δβ =2 ………….……………………………......………. (2.10)
Kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk
menghitung nilai w jk ):
jkjkw 2αϕ=∆ ………………………………………...…….. (2.11)
Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk
memperbaiki nilai b 2 k ) :
kkb 22 αβ=∆ ……………………………………………….. (2.12)
Langkah (d) ini juga dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi,
yairu menghitung informasi error dari suatu lapisan tersembunyi ke
lapisan tersembunyi sebelumnya.
e. Tiap-tiap unit tersembunyi (Z j , j=1,2,3,…,p) menjumlahkan delta
inputanya (dan unit-unit yang berada pada lapisan yang ada diatasnya):
∑=
=m
k
jkkj win1
2_ δδ ............................................................... (2.13)
Kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk
menghitung informasi error :
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
38
jj
jjij
jjj
x
inzfin
11
11
)_('_1
δβ
δϕ
δδ
=
=
= .......................................................... (2.14)
........................................................................... (2.15)
............................................................................... (2.16)
Kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk
memeperbaiki nilai v ij ):
ijijv 1αϕ=∆ ….......................................................................... (2.17)
Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk
memperbaiki nilai b 1 j )
jjb 11 αβ=∆ ............................................................................ (2.18)
Tiap-tiap unit output (Y k , k = 1,2,3,…,m) memperbaiki bias dan
bobotnya (j=0,1,2,…,p):
w jk (baru) = w jk (lama) + jkw∆ ........................................... (2.19)
b2k(baru) = b2
k(lama) +
kb2∆ ........................................... (2.20)
f. Tiap-tiap unit tersembunyi (Z j = j=1,2,3,…p) memperbaiki bias dan
bobotnya (i=0,1,2,…,n):
v ij (baru) = v ij (lama) + ∆ v ij …………………………... (2.21)
b1 j (baru) = b1 j (lama) + ∆ b1 j ........................................... (2.22)
3. MSE (Mean Square Error)
Setelah dilakukan algoritma tersebut pada jaringan maka kita akan
mendapatkan jaringan yang sudah dilatih. Sehingga untuk melakukan
identifikasi, dapat dilakukan dengan langsung memberikan input dan
jaringan akan mengklasifikasinya sesuai dengan bobot-bobot yang
diperoleh dari proses pelatihan sebelumnya.
Perhitungan galat merupakan pengukuran bagaimana jaringan saraf
tiruan dapat belajar dengan baik. Perhitungan galat ini merupakan
pengukuran ketepatan jaringan saraf tiruan terhadap data target
pembelajaran. Galat pada keluaran jaringan saraf tiruan merupakan
selisih antara keluaran sebenarnya (current output) dengan keluaran
yang diinginkan (desired output) dari masukan data tertentu. Pada
proses pembelajaran, data yang menjadi pembanding adalah data
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
39
pembelajaran, sedangkan pada proses pengujian, data yang dipakai
adalah data uji.
Jumlah galat pada jaringan saraf tiruan dapat dihitung dengan
menggunakan rata-rata galat kuadrat (MSE - mean square error).
Berikut ini adalah cara menghitung MSE untuk kumpulan data d, pada
jaringan saraf tiruan dengan kumpulan neuron keluaran outputs:
( )
outputsd
outputsk
kk
d
nn
t
MSE
∑∑∈
−
=
20
………………….....……….…..…(2.22)
Dengan:
tk adalah nilai target pada neuron keluaran ke-k
ok adalah nilai output pada neuron keluaran ke-k
nd adalah jumlah data pembelajaran, dan
noutput adalah jumlah neuron keluaran
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
40
BAB III
RANCANG BANGUN SISTEM
Program pengenalan penyakit darah menggunakan teknik pengolahan citra
dan metode Jaringan Syaraf Tiruan ini, dibagi menjadi dua tahap utama, yaitu
proses pra-pengolahan dan proses pelatihan JST serta proses pengenalan dengan
JST. Data citra darah yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil citra
mikroskopis dijital dari hapusan darah tepi yang didapat dari
http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/HessIDB/home.cfm
dan Atlas Hematologi yang dikeluarkan oleh FKUI.
Citra darah yang telah melalui tahap pra-pengolahan seperti proses
pemotongan (cropping), operasi blok pembeda (distinct blocks), konversi warna
dari RGB ke HSV, resizing, fitur warna (color feature), dan ekstraksi fitur warna
akan dilatih dan diidentifikasi menggunakan metode JST. Blok diagram dari
sistem pengenalan penyakit darah menggunakan teknik pengolahan citra dan
jaringan syaraf tiruan dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Blok Diagram sistem pengenalan penyakit darah menggunakan teknik
pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan.
Berdasarkan blok diagram pada Gambar 3.1 diagram alir sistem
pengenalan penyakit darah menggunakan metode teknik pengolahan citra dan JST
dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
41
Mulai
Input
Image
Cropping & Operasi Blok
Pembeda
Konversi RGB ke HSV &
Resizing
Fitur Warna
Pelatihan dengan JST
Data
base
Selesai
Identifikasi dengan JST
Hasil Identifikasi
Ekstraksi Fitur Warna
Gambar 3.2 Diagram Alir sistem pengenalan penyakit darah menggunakan
metode teknik pengolahan citra dan JST.
3.1 PROSES PRA-PENGOLAHAN DAN EKSTRAKSI FITUR WARNA
Pada tahap awal dari program ini adalah tahap pra-pengolahan. Proses pra-
pengolahan atau lebih dikenal pre-processing adalah langkah memperbaiki citra
untuk menonjolkan karakter citra yang ingin diekstraksi. Data masukan citra
mikroskopis digital dari hapusan darah tepi yang digunakan pada penelitian ini
dapat terdiri dari beberapa sel darah dan memiliki ukuran piksel yang sangat
besar. Diagram alir pada proses pra-pengolahan dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
42
Gambar 3.3 Diagram alir proses pra-pengolahan.
Pertama – tama, data masukan citra mikroskopis digital dari hapusan darah
tepi dilakukan pemotongan (cropping) pada area spesifik dari citra hapusan darah
tepi yang merepresentasikan sel darah putih yang mengalami kelainan dan akan
berkembang menjadi sel kanker darah putih (leukemia). Cropping pada tahap ini
adalah untuk mendapatkan hasil citra sel darah putih yang mengalami kelainan
pada citra masukan tersebut agar dapat diolah pada proses pra-pengolahan
selanjutnya dan untuk mempercepat waktu komputasi dari program. Fungsi
pemotongan yang digunakan adalah fungsi imcrop.
imagecrop = handles.original; axes(handles.axes1); crop = imcrop(imagecrop); axes(handles.axes2); imshow(crop);
Hasil citra dari cropping tersebut kemudian dibagi menjadi blok – blok citra
berukuran 4 × 4, dengan menggunakan operasi blok pembeda (distinct blocks)
dengan fungsi blkproc. Pembagian citra dengan blok berukuran 4 × 4 dipilih
berdasarkan pada waktu komputasi program.
f = inline('uint8(round(mean2(x)*ones(size(x))))'); image1block=blkproc(image1, [4 4],f);
Fungsi inline digunakan untuk menghitung rata–rata dari blok kemudian
mengalikan hasilnya dengan matriks satu, sehingga blok keluaran berukuran sama
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
43
dengan blok masukan. Sehingga hasilnya citra keluaran berukuran sama dengan
citra masukan.
Setelah citra dibagi ke dalam blok berukuran 4 × 4, dilakukan konversi
warna dari RGB ke HSV. Daerah warna HSV sering digunakan untuk mengambil
warna dari sebuah pallete warna karena lebih mudah bereksperimen warna dengan
HSV daripada menggunakan daerah warna RGB. Selain itu model warna HSV ini
dipilih berdasarkan kemudahan mentransformasi model warna RGB dengan HSV
dan ruang warna HSV yang lebih natural dan uniform.
imageHSV = rgb2hsv (imageblock); handles.hsv = imageHSV;
Hasil citra konversi ke HSV kemudian di-resize karena data citra masukan
yang digunakan memiliki ukuran piksel yang besar dan akan memperlambat
waktu komputasi. Dengan melakukan resize citra hasil konversi HSV, maka waktu
komputasi untuk proses selanjutnya akan menjadi lebih cepat. Setiap citra hasil
konversi HSV di-resize dengan faktor pengecilan adalah sebesar 0.25.
resize = imresize(handles.hsv,.25); handles.resize = resize;
Pada proses fitur warna, hasil citra setelah di-resize akan dipisahkan setiap
elemen – elemen warnanya sehingga didapatkan matriks untuk komponen hue,
saturation, dan value dari citra asli setelah diresize. Setelah dipisahkan masing–
masing elemennya, dihasilkan elemen pertama untuk hue, elemen kedua untuk
saturation, dan elemen ketiga untuk value. Nilai matriks pada masing–masing
elemen ini akan dipilih elemen yang paling merepresentasikan citra dan kemudian
diekstraksi pada proses ekstraksi fitur warna.
colorf = handles.resize X = colorf; mX1 = X(:,:,1); handles.mX1 = mX1; axes(handles.axes3); imshow(mX1); mY1 = X(:,:,2); handles.mY1 = mY1; axes(handles.axes3); imshow(mY1); mZ1 = X(:,:,3); handles.mZ1 = mZ1; axes(handles.axes3); imshow(mZ1);
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
44
Ekstraksi fitur warna dilakukan dengan mengekstraksi karakteristik dari
salah satu elemen warna pada proses fitur warna. Pada penelitian ini, karateristik
elemen warna yang akan diekstrasi dari hasil fitur warna adalah elemen Hue,
karena paling merepresentasikan nilai–nilai brightness dari citra masukan. Pada
matriks citra elemen hue tersebut dilakukan pemeriksaaan citra perbaris untuk
melihat letak citra pada kolom–kolomnya. Setelah itu, hasil pemeriksaan tersebut
disusun kembali ke dalam bentuk matriks. Proses ekstraksi fitur warna dengan
melihat penyebaran piksel pada citra menghasilkan matriks fitur dari matriks
elemen warna hue. Matriks tersebut dimasukkan ke dalam database yang
merupakan file berekstensi .mat yang kemudian akan digunakan untuk melatih
JST.
mX1=handles.mX1; rX1 = imresize(mX1,[70 50]); for cnt=1:7 for cnt2=1:5 value=sum(rX1((cnt*3-2:cnt*3),(cnt2*3-2:cnt2*3))); X1((cnt-1)*5+cnt2)=sum(value); end end X1=((X1)/10); X1=X1'; X1=roundn(X1,-2); vektor_X1 = X1 axes(handles.axes3); plotchar(vektor_X1); title ('Hasil Ekstraksi Fitur'); handles.vektor_X1 = vektor_X1; guidata(hObject, handles);
3.2 PROSES PELATIHAN DENGAN JST
Pada proses pelatihan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dibutuhkan suatu
parameter karakteristik dari citra darah untuk dijadikan input bagi JST. Parameter
karateristik ini diambil dari 30 nilai karakteristik dari masing – masing citra darah.
Jadi JST ini terdiri dari 30 input untuk 10 kali pelatihan JST dan setiap pelatihan
JST terdiri dari 3 input yang pada masing–masing input terdiri dari 35 nilai
karakteristik dari masing–masing citra darah. Nilai–nilai karakteristik citra darah
yang dipergunakan diperoleh dari reshaping matriks (7x5) fitur warna yang telah
diekstraksi.
Setiap 35 nilai karakteristik dari citra darah merepresentasikan citra sel
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
45
darah yang memiliki kelainan secara utuh, karena sampel data nilai karakteristik
tersebut akan dijadikan acuan dalam proses pengenalan penyakit darah ini. Bagian
yang diambil sebagai sampel dari masing–masing citra adalah bagian yang paling
signifikan menunjukkan sel penyakit darah leukemia dari citra darah mikroskopis
tersebut.
Metode JST yang digunakan pada proses pengenalan penyakit darah ini
adalah metode backpropagation yang terdiri dari 2 buah lapisan dengan jumlah
neuron pada lapisan pertama (lapisan tersembunyi) adalah sebanyak 3 buah
neuron, yang menggambarkan 3 jenis penyakit darah leukemia yang akan
diidentifikasi, yaitu Acute Lympotic Leukemia, Acute Myelogenous Leukemia, dan
Burkitts Lympoma.
Lapisan kedua (lapisan output) adalah sebanyak 1 buah neuron. Fungsi
aktivasi yang digunakan pada proses pelatihan ini adalah fungsi aktivasi logsig
pada lapisan pertama (lapisan input) dan pada lapisan kedua (lapisan output)
digunakan fungsi aktivasi purelin. Fungsi aktivasi logsig digunakan karena
diharapkan output berada pada jangkauan 0 dan 1. Sedangkan fungsi aktivasi
purelin digunakan karena dapat memberikan nilai output sesuai dengan jumlah
input yang diterimanya. Teknik pembelajaran / pelatihan yang digunakan pada
proses JST backpropagation ini adalah teknik supervised learning dan
menggunakan fungsi training gradient descent dengan momentum (traingdm).
Algoritma yang umumnya digunakan pada backpropagation adalah gradient-
descent algorithms, dimana bobot jaringan akan berubah sepanjang gradien
negatif dari performance jaringan. Backpropagation merupakan suatu cara
perhitungan gradien untuk nonlinier jaringan lapisan jamak.
Algoritma proses pelatihan JST backpropagation ini adalah sebagai
berikut :
(a) Menentukan Input untuk training :
load datatrain1; n1 = [35 Nilai ekstraksi karakteristik matriks fitur
warna sampel tiap citra]
(b) Menentukan target set dari jaringan :
T = [1 2 3];
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
46
(c) Membangun jaringan dan menetapkan banyaknya neuron tiap lapisan dan
fungsi – fungsi aktivasi yang akan digunakan :
net = newff(minmax(n1),[3 1],{'logsig' 'purelin'},'traingd');
Perintah diatas secara otomatis akan membuat jaringan yang
dideskripsikan sebelumnya kemudian jaringan tersebut siap untuk dilatih.
Perintah newff akan secara otomatis memberikan nilai bobot dan bias
kepada jaringan. Perintah minmax digunakan untuk mengambarkan range
input yang akan digunakan dalam pembuatan jaringan.
(d) Melakukan inisialisasi untuk proses pelatihan JST.
net = init (net);
(e) Menentukan maksimum epoch, goal, learning rate, dan show step yang
akan digunakan pada proses pelatihan ini kita dapat memodifikasi
beberapa nilai maksimum dari parameter default.
net.trainParam.epochs = 2000; net.trainParam.goal = 0; net.trainParam.lr = 0.01; net.trainParam.show = 20;
(f) Melakukan pembelajaran (training) :
net = train(net,n1,T);
(g) Melakukan simulasi setelah JST terbentuk dengan menggunakan perintah
sim yang akan memberikan input p pada jaringan net, sehingga
menghasilkan output y :
y = sim(net,n1);
(h) Menampilkan grafik untuk melihat pencapaian target oleh jaringan :
Axes(handles.axes3); plot(P(2,:),T,'bo',P(2,:),y,'r*');
Setelah metode latihan dan bias ditentukan, maka jaringan telah siap
dilatih. Latihan membutuhkan beberapa contoh dari fungsi yang akan didekatinya.
Selama latihan, bobot dan bias akan berubah sehingga performance function dari
jaringan menurun. Default performance function dari jaringan feedforward adalah
mean square error, MSE yaitu jumlah kuadrat antara selisih output jaringan y dan
target t.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
47
3.3 PROSES IDENTIFIKASI DENGAN JST
Pada proses Pengenalan sistem akan berusaha mengenali nilai karakteristik
hasil ekstraksi fitur warna dari sampel citra yang dijadikan input pada sistem.
Pada proses ini sistem berfungsi sebagai alat klasifikasi dari sampel citra yang
dijadikan input. Setiap input memiliki pasangan target masing-masing dan sistem
akan mengarahkan input tersebut ke target yang paling sesuai.
Proses Pengenalan pada jaringan syaraf tiruan dilakukan dengan
mengklasifikasikan input menuju target yang sesuai dengan proses training.
Pengklasifikasian ini berdasarkan bobot tiap node yang diperoleh pada proses
training. Jadi pada proses klasifikasi tidak terjadi perubahan atau penyesuaian
bobot. Proses klasifikasi inilah yang dijadikan dasar dalam menentukan jenis
penyakit menggunakan parameter karakteristik dari citra yaitu pola nilai
karakteristik sampel sebagai input bagi sistem.
Pola nilai karakteristik sampel citra yang dimasukan kedalam sistem akan
diarahkan ke target yang sesuai. Pada sistem ini target set yang digunakan adalah
matriks dengan ukuran 3 × 1 sehingga input yang dimasukkan ke dalam sistem
akan diarahkan ke salah satu elemen matriks yang yang telah dijadikan target. Dan
elemen matriks target tersebut yang menjadi dasar pengenalan jenis penyakit dari
sampel yang dimasukan.
Penyakit A = Acute Lympotic Leukemia [1]
Penyakit B = Myelogenous Leukemia [2]
Penyakit C = Burkitts Lympoma [3]
Tahapan pada proses pengenalan dengan JST adalah sebagai berikut :
1. Dilakukan tahap pra pengolahan dengan metode yang sama dengan proses
pelatihan jaringan syaraf tiruan atau telah dijelaskan pada subbab 3.2
2. Memanggil fungsi inisialisasi pada proses pelatihan JST dan nilai
karakteristik dari hasil ekstraksi.
net = handles.net; vektor_Y1 = handles.vektor_Y1;
3. Mensimulasikan file tersebut kedalam jaringan yang telah ditraining untuk
mendapatkan output.
iden = sim(net,vektor_X1)
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
48
4. Menentukan hasil identifikasi dengan membulatkan nilai output jaringan
terlebih dahulu dan menyesuaikan dengan target.
out = round(iden) if out==1 penyakit = 'Acute Lympotic Leukemia' set(handles.edit1, 'string',penyakit); elseif out==2 penyakit = 'Acute Mylogenous Leukemia' set(handles.edit1, 'string',penyakit); elseif out==3 penyakit = 'Burkitts Lymphoma' set(handles.edit1, 'string',penyakit); end
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
49
BAB IV
UJI COBA DAN ANALISIS
Untuk menguji sistem yang telah dibuat, akan digunakan 30 file dari
masing–masing citra yang berisi 35 nilai karakteristik hasil ekstraksi fitur warna
pada masing–masing citra sel darah putih berupa matriks fitur. 30 file dari
masing–masing citra sel darah putih tersebut mewakili 3 penyakit leukemia akut
yang akan diidentifikasi, yaitu Acute Lympotic Leukemia, Acute Myelogenous
Leukemia, Burkitts Lympoma.
Semua file tersebut akan digunakan untuk melatih jaringan syaraf tiruan
yang akan mengenali citra penyakit kanker sel darah putih (leukemia akut) yang
dimasukkan ke sistem dan untuk menguji sistem pengenalan yang dibuat. Pada
Gambar 4.1 dapat dilihat tampilan sistem pengenalan penyakit darah
menggunakan teknik pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan.
Gambar 4.1 Tampilan sistem pengenalan penyakit darah menggunakan teknik
pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
50
Pada tampilan sistem Gambar 4.1 terdapat menu “File” yang terbagi lagi
menjadi submenu “Buka” untuk membuka file citra darah masukan dan “Keluar”
untuk keluar dari sistem. Kemudian terdapat menu “Data Training JST” yang
digunakan untuk memasukkan data nilai matriks karakteristik hasil ekstraksi fitur
warna ke dalam database. Pada kotak “Citra Asli” digunakan untuk menampilkan
data citra darah masukan yang akan dikenali. Kemudian tombol “Crop Image”
yang terdapat pada proses “Prapengolahan” digunakan untuk memotong citra sel
darah putih, dan hasil citra yang telah di-cropping akan ditampilkan di “Hasil
Cropping Citra”. Tombol “Color Feature” digunakan untuk mendapatkan elemen
warna Hue dari ruang warna HSV hasil cropping citra dan hasil fitur warna
elemen Hue tersebut akan ditampilkan pada kotak “Hasil Fitur Warna, Ekstraksi
Fitur & Grafik Data Pelatihan”. Tombol “Extract Feature” digunakan untuk
mengekstrasi fitur warna elemen Hue dari hasil fitur warna dan hasilnya akan
ditampilkan pada kotak “Hasil Fitur Warna, Ekstraksi Fitur & Grafik Data
Pelatihan”.
Pada proses Pelatihan dan Pengenalan JST, terbagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap 1 untuk proses pelatihan JST dan tahap 2 untuk proses pengenalan.
Untuk tahap 1 terdapat tombol “Latih JST” yang digunakan untuk melatih sistem
dengan JST dan hasil grafik data pelatihan dengan JST tersebut akan ditampilkan
pada kotak “Hasil Fitur Warna, Ekstraksi Fitur & Grafik Data Pelatihan”. Pada
tahap 2 terdapat tombol “Identifikasi” yang digunakan untuk mengenali jenis
penyakit leukemia akut dari citra darah masukan. Hasil pengenalan dari tahap 2
ini akan ditampilkan dalam bentuk teks pada kotak dengan label “Jenis Penyakit”.
4.1 CITRA DARAH PENYAKIT LEUKEMIA AKUT
Untuk melatih dan menguji sistem digunakan 30 file dari masing–masing
citra sel darah putih dari 3 jenis penyakit leukemia akut. Setiap citra darah
penyakit leukemia akut dilakukan cropping sebanyak 10 kali dengan posisi yang
berbeda–beda untuk setiap sel darah putih yang berbeda pula. Dalam setiap kali
cropping yang kemudian akan dilakukan proses ekstraksi fitur warna akan
menghasilkan masing–masing file yang berisi 35 nilai karakteristik hasil ekstraksi
fitur warna untuk satu kali cropping.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
51
Pada Gambar 4.2 dapat dilihat citra darah mikroskopis dijital untuk
penyakit Acute Lympotic Leukemia yang digunakan sebagai data latih.
Gambar 4.2 Citra darah mikroskopis dijital untuk penyakit Acute Lympotic
Leukemia [14]
Pada Gambar 4.3 dapat dilihat citra darah mikroskopis dijital untuk
penyakit Acute Myelogenous Leukemia yang digunakan sebagai data latih.
Gambar 4.3 Citra darah mikroskopis dijital untuk penyakit Acute Myelogenous
Leukemia [14]
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
52
Pada Gambar 4.4 dapat dilihat citra darah mikroskopis dijital untuk
penyakit Burkitts Lympoma.
Gambar 4.4 Citra darah mikroskopis dijital untuk penyakit Burkitts Lympoma [9]
4.2 KARAKTERISTIK CITRA DARAH
Sistem yang telah mengakuisisi citra darah penyakit leukemia akut akan
mengekstraksi fitur warna pada masing–masing citra darah untuk mendapatkan
nilai karakterisktik setiap file citra sel darah putih yang digunakan. Untuk
memperoleh nilai karakteristik dari setiap file citra sel darah putih tersebut –
seperti telah dijelaskan pada BAB III - dilakukan deteksi letak piksel dalam
seluruh matriks citra dan dipetakan dalam matriks baru yaitu matriks karakteristik
berukuran 70×50 dan di tampilkan dalam matriks 7×5. Kemudian, untuk
memudahkan proses penyusunan maka matriks 7×5 tersebut diubah menjadi
matriks 35×1 yang kemudian disusun menjadi matriks 35×3 yang mewakili 3
penyakit jenis leukemia akut. Terdapat 10 database dengan susunan matriks 35 × 3
yang akan dilatih oleh JST. Matriks citra berukuran 35 × 1 tersebut kemudian
dimasukkan kedalam sistem baik digunakan untuk database maupun untuk proses
identifikasi. Salah satu database untuk matriks citra berukuran 35 × 3 dapat dilihat
pada Tabel IV.1 dan 10 database seluruhnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
53
Tabel IV.1 Contoh Database Matriks Citra 35 x 3
ALL AML Burkitts
0.63 0.79 0.82
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.8
0.66 0.79 0
0.68 0.79 0.03
0.63 0.79 0.82
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.8
0.66 0.79 0
0.68 0.79 0.03
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.79
0.63 0.79 0.79
0.66 0.79 0.51
0.68 0.79 0.51
0.63 0.78 0.8
0.63 0.78 0.79
0.63 0.78 0.78
0.66 0.79 0.76
0.68 0.79 0.75
0.66 0.78 0.8
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.78
0.68 0.79 0.76
0.69 0.79 0.76
0.68 0.78 0.8
0.68 0.78 0.79
0.68 0.78 0.79
0.69 0.79 0.77
0.69 0.79 0.77
0.68 0.77 0.8
0.68 0.77 0.79
0.68 0.78 0.79
0.69 0.78 0.77
0.69 0.78 0.77
4.3 UJI COBA DAN HASIL
Dalam pengujian kehandalan sistem, file-file yang digunakan untuk uji
coba ini memiliki perbedaan posisi cropping sampel pada masing–masing sel
darah putih yang mengalami kelainan dengan cropping sampel yang digunakan
untuk proses pelatihan JST sehingga nilai karakteristiknya berbeda–beda karena
dalam setiap citra darah terdapat beberapa sel darah putih yang mengalami
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
54
kelainan. Pengujian dilakukan sebanyak 20 kali, dengan posisi cropping yang
berbeda–beda untuk setiap jenis citra dari setiap penyakit kanker sel darah putih
leukemia akut.
Pengenalan penyakit darah leukemia dari masing– masing citra darah pada
JST diawali dengan tahap akuisisi citra sel darah putih dan proses ekstraksi fitur
warna untuk mendapatkan matriks nilai karakteristik 35 x 1. Tampilan sistem
hingga tahap ekstraksi fitur warna dapat dilihat pada Gambar 4.5. Tampilan plot
hasil dari ekstraksi fitur warna dengan susunan 7 × 5 akan ditampilkan pada kotak
dengan label “Hasil Ekstraksi Fitur”
Gambar 4.5 Tampilan sistem pengenalan penyakit darah hingga tahap ekstraksi
fitur warna.
Setelah dilakukan proses ekstraksi fitur warna hingga didapatkan nilai
karakteristik untuk setiap citra hasil cropping, maka dilakukan klasifikasi input
nilai karakteristik terhadap target yang sesuai dengan proses pelatihan.
Pengklasifikasian ini berdasarkan bobot tiap node yang diperoleh pada proses
pelatihan. Jadi pada proses klasifikasi tidak terjadi perubahan atau penyesuaian
bobot. Proses klasifikasi inilah merupakan acuan untuk menentukan jenis penyakit
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
55
kanker sel darah putih leukemia akut menggunakan parameter karakteristik dari
citra yaitu nilai karakteristik hasil ekstraksi fitur warna pada matriks elemen
warna Hue. Pada Gambar 4.6 dapat dilihat tampilan sistem setelah dilakukan
proses pelatihan jaringan syaraf tiruan. Setelah dilakukan proses pelatihan JST,
akan dihasilkan grafik data pelatihan JST yang akan ditampilkan pada sistem
dengan label “Grafik Data Pelatihan : Target (o) Output (*)” yang menunjukkan
grafik perbandingan target atau output hasil pelatihan dengan matriks nilai
karakteristik ekstraksi fitur warna.
Gambar 4.6 Tampilan sistem hingga dilakukan tahap pelatihan jaringan syaraf
tiruan.
Dari setiap input berupa mat-file dari nilai karakteristik sampel citra yang
diambil, nantinya akan diarahkan ke target yang sesuai. Pada sistem ini target
yang digunakan adalah berbentuk array matriks 3 × 1 sehingga input yang
dimasukkan ke dalam sistem akan diarahkan ke salah satu elemen matriks yang
yang telah dijadikan target. Output yang dihasilkan nantinya akan disesuaikan
bobotnya dengan target yang telah ditentukan.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
56
Pada Tabel IV.2, Tabel IV.3, dan Tabel IV.4 berikut ini dapat dilihat
secara lengkap data dari masing-masing citra darah yang telah diuji dan
diidentifikasi :
Tabel IV.2 Hasil Identifikasi Penyakit Acute Lympotic Leukemia
Hasil Uji Coba Pengenalan Penyakit Acute Lympotic Leukemia
Output (iden) Output Hasil Identifikasi
1.14 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0845 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0817 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.1898 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.24 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.3 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9687 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0784 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.1226 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.1215 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.1115 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.3274 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9781 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9559 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9879 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9468 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0427 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0885 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.2545 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
1.0427 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
0.9367 1 Acute Lympotic Leukemia Benar
Persentase Keberhasilan 100%
Tabel IV.3 Hasil Identifikasi Penyakit Acute Myelogenous Leukemia
Hasil Uji Coba Pengenalan Penyakit Acute Myelogenous Leukemia
Output (iden) Output Hasil Identifikasi
2.1495 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.0694 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.5772 3 Burkitts Lympoma Benar
2.5356 3 Burkitts Lympoma Benar
2.5134 3 Burkitts Lympoma Benar
2.0549 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
0.8948 1 Acute Lympotic Leukemia Salah
2.3291 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
3.1143 3 Burkitts Lympoma Benar
3.337 3 Burkitts Lympoma Benar
2.3127 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
3.3085 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3685 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3321 3 Burkitts Lympoma Benar
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
57
Hasil Uji Coba Pengenalan Penyakit Acute Myelogenous Leukemia
Output (iden) Output Hasil Identifikasi
2.3122 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.7996 3 Burkitts Lympoma Benar
2.7458 3 Burkitts Lympoma Benar
2.9467 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3097 3 Burkitts Lympoma Benar
3.1273 3 Burkitts Lympoma Benar
Persentase Keberhasilan 65%
Tabel IV.4 Hasil Identifikasi Penyakit Burkitts Lympoma
Hasil Uji Coba Pengenalan Penyakit Acute Myelogenous Leukemia
Output (iden) Output Hasil Identifikasi
2.1495 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.0694 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.5772 3 Burkitts Lympoma Benar
2.5356 3 Burkitts Lympoma Benar
2.5134 3 Burkitts Lympoma Benar
2.0549 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
0.8948 1 Acute Lympotic Leukemia Salah
2.3291 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
3.1143 3 Burkitts Lympoma Benar
3.337 3 Burkitts Lympoma Benar
2.3127 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
3.3085 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3685 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3321 3 Burkitts Lympoma Benar
2.3122 2 Acute Myelogenous Leukemia Salah
2.7996 3 Burkitts Lympoma Benar
2.7458 3 Burkitts Lympoma Benar
2.9467 3 Burkitts Lympoma Benar
3.3097 3 Burkitts Lympoma Benar
3.1273 3 Burkitts Lympoma Benar
Persentase Keberhasilan 65%
4.4 ANALISA HASIL UJI COBA
Setelah dilakukan pengujian dan identifikasi terhadap sampel–sampel data
dari 3 jenis penyakit darah sel darah putih leukemia, maka dapat diperoleh suatu
hasil yang menunjukkan bahwa metode analisa dan identifikasi citra darah dengan
menggunakan teknik pengolahan citra dan metode JST memiliki rata–rata akurasi
sebesar 83.33% dan rangkuman hasil pengujian dari ke-3 jenis penyakit dapat
dilihat pada Tabel IV.5 berikut ini :
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
58
Tabel IV.5 Tingkat Keakuratan Rata-Rata Hasil Uji Coba
Jenis Penyakit Persentase
(%)
Acute Lympotic Leukemia 100
Acute Myelogenous Leukemia 85
Burkitts Lympoma 65
Rata – rata Persentase 83.33
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keakuratan pada saat
identifikasi dilakukan. Mulai dari tahap pengambilan sampel (sampling), cropping
citra darah, fitur warna dan ekstraksi fitur warna, hingga proses pelatihan JST.
Pada tahap sampling, semakin besar resolusi dari setiap piksel citra yang diambil
maka waktu komputasi sistem akan menjadi lebih lama namun tidak
mempengaruhi keakurasian sistem.
Proses cropping pada sistem ini juga menentukan keakuratan dari hasil uji
coba sistem. Penentuan posisi sampel-sampel citra darah yang akan digunakan
sebagai input proses pelatihan JST sangat berpengaruh dalam menentukan
kemampuan JST tersebut nantinya. Jika cropping yang dilakukan secara manual
tersebut tidak tepat pada daerah sel darah putih yang mengalami kelainan, maka
akan memberikan hasil identifikasi jenis penyakit sel darah putih leukemia yang
kurang akurat atau tidak tepat. Karena itu proses cropping secara manual harus
dilakukan dengan benar dan tepat pada sel darah putih yang mengalami kelainan
dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi sel–sel kanker darah putih atau
leukemia agar mendapat area spesifik dari masing–masing sel darah putih pada
setiap citra darah masukan sehingga didapatkan matriks nilai karakteristiknya.
Proses resize pada sistem ini akan menentukan pada waktu komputasi
sistem, semakin besar ukuran citra sel darah yang akan diidentifikasi maka waktu
komputasi program akan semakin lama. Proses resize pada sistem ini diperlukan
untuk mempercepat waktu komputasi sistem, dan agar citra hasil fitur warna pada
masing–masing elemen warna Hue dapat diolah kembali pada proses ekstraksi
fitur warna untuk mendapatkan matriks fitur dari nilai karakteristik hasil ekstraksi
tersebut.
Metode ekstraksi fitur warna yang digunakan juga menentukan tingkat
keakuratan dari sistem, karena nilai matriks dari hasil ekstraksi fitur warna ini
akan digunakan untuk proses pelatihan JST, yang kemudian hasil pelatihan JST
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
59
tersebut akan dibandingkan dengan hasil ekstraksi fitur warna pada proses
pengenalan dengan JST. Fungsi pembulatan pada proses ekstraksi fitur warna
akan menentukan keakuratan nilai karakteristik untuk setiap citra sel darah putih
yang akan diidentifikasi. Pada sistem pengenalan penyakit darah ini dilakukan
pembulatan hingga 2 angka desimal dibelakang koma untuk setiap nilai matriks
hasil ekstraksi fitur warna, dan sistem memiliki akurasi rata–rata pengenalan
adalah sebesar 83.33%. Jika nilai pembulatan yang digunakan dibuat terlalu
umum dengan toleransi yang cukup besar akan membuat hasil identifikasi
menjadi tidak tepat.
Selain itu, pengetahuan dan bantuan tenaga medis professional mengenai
sel–sel darah putih yang mengalami kelainan dan memiliki potensi berkembang
menjadi sel–sel kanker darah putih ini juga tetap dibutuhkan dalam proses
diagnosa penyakit sel darah putih leukemia guna mendapatkan hasil diagnosa
yang tepat dan akurat kemudian untuk menentukan langkah selanjutnya dalam
proses perawatan dan penyembuhan penyakit kanker sel darah putih jenis
leukemia akut.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
60
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uji coba dan analisa dari sistem yang telah dibuat maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem pengenalan penyakit darah menggunakan teknik pengolahan citra
dan metode JST, merupakan alternatif yang cukup baik karena mampu
mengidentifikasi 3 jenis penyakit sel darah putih Leukemia akut dengan
tingkat akurasi rata–rata sistem sebesar 83.33% dari 20 kali pengujian
pada tiap penyakit darah leukemia.
2. Nilai matriks karakteristik dari elemen warna Hue dapat
merepresentasikan ciri–ciri setiap citra sel darah putih yang memiliki
kelainan dan berpotensi berkembang menjadi sel–sel kanker leukemik.
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
61
DAFTAR ACUAN
[1] Drs. Slamet Prawirohartono, Prof. Dr. Suhargono Hadisumarto, Sains Biologi-
2a (Jakarta : Bumi Aksara, 2000)
[2] Steven Dowshen, MD. Blood. Diakses 15 Mei 2008, dari Nemours Foundation
Kids Health. http://www.kidshealth.org/teen/your_body/bloodteory.html
[3] R. C. Gonzalez, R. E. Woods, Digital Image Processing Second Edition (New
Jersey: Prentice Hall, 2002)
[4] Marvin Ch. Wijaya & Agus Prijono. Pengolahan Citra Digital Menggunakan
Matlab Image Processing Toolbox : Informatika, 2007
[5] Budi Setiyawan. Pengantar Jaringan Syaraf Tiruan. 2003
[6] Alison M. Stuebe, M.D. Anemia. Diakses 15 Mei 2008, dari VeriMed
Healthcare Network.http://pennhealth.com/health_info/pregnancy/000221.htm
[7] Matlab help, image processing toolbox, mathworks inc. 2006
[8] Majalah Cermin Dunia Kedokteran No.18 (Jakarta:Pusat Penelitian dan
Pengembangan P.T. Kalbe Farma, 1980)
[9] Charles E. Hess, M.D. and Lindsey Krstic, B.A. Rector and Visitors of the
University of Virginia (Virginia, 2007). Diakses 18 Mei 2008, dari virginia
health system internet hematology.
http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/HessIDB/home.cfm
[10] Blood, Blood Diseases, Hematology. Diakses 15 Mei 2008, dari wikipedia.
http://en.wikipedia.org/
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
62
[11] Adang Suhendra. Catatan Kuliah Pengantar Pengolahan Citra 2007. Diakses
29 Mei 2008, dari imageg analyst multiply
http://images.analyst71.multiply.com/attachment/0/Rz6-WgoKCiQAAF-
xBe81/Catatan%20Kuliah%20PC%202007.pdf
[12] Desi Alex Lestari, "Implementasi Teknik Watermarking Digital Pada Domain
DCT Untuk Citra Berwarna", Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, 2003.
[13] Atlas Hematologi FKUI, 2006, www.farmedia.or.id
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
63
DAFTAR PUSTAKA
R. C. Gonzalez, R. E. Woods, Digital Image Processing Second Edition (New
Jersey: Prentice Hall, 2002)
Larry Waterbury, Buku Saku Hematologi Edisi 3 (Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran, 1995)
Setiyawan, Budi. Pengantar Jaringan Syaraf Tiruan. 2003
Wijaya, Marvin Ch. & Agus Prijono. Pengolahan Citra Digital Menggunakan
Matlab Image Processing Toolbox : Informatika, 2007
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
64
LAMPIRAN 1
DATABASE NILAI KARAKTERISTIK
1. Database pertama untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.63 0.79 0.82
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.8
0.66 0.79 0
0.68 0.79 0.03
0.63 0.79 0.82
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.8
0.66 0.79 0
0.68 0.79 0.03
0.63 0.79 0.81
0.63 0.79 0.79
0.63 0.79 0.79
0.66 0.79 0.51
0.68 0.79 0.51
0.63 0.78 0.8
0.63 0.78 0.79
0.63 0.78 0.78
0.66 0.79 0.76
0.68 0.79 0.75
0.66 0.78 0.8
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.78
0.68 0.79 0.76
0.69 0.79 0.76
0.68 0.78 0.8
0.68 0.78 0.79
0.68 0.78 0.79
0.69 0.79 0.77
0.69 0.79 0.77
0.68 0.77 0.8
0.68 0.77 0.79
0.68 0.78 0.79
0.69 0.78 0.77
0.69 0.78 0.77
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
65
2. Database kedua untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.65 0.76 0.05
0.65 0.76 0.05
0.65 0.77 0.05
0.65 0.78 0.04
0.65 0.78 0.85
0.65 0.76 0.05
0.65 0.76 0.05
0.65 0.77 0.05
0.65 0.78 0.04
0.65 0.78 0.85
0.65 0.76 0.05
0.65 0.76 0.04
0.65 0.77 0.29
0.65 0.78 0.78
0.65 0.78 0.76
0.65 0.77 0.05
0.65 0.77 0.22
0.65 0.77 0.46
0.65 0.78 0.77
0.65 0.78 0.77
0.65 0.77 0.05
0.65 0.77 0.57
0.65 0.77 0.8
0.65 0.77 0.75
0.65 0.78 0.78
0.66 0.77 0.05
0.66 0.77 0.55
0.66 0.77 0.79
0.66 0.77 0.76
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.04
0.66 0.78 0.51
0.66 0.78 0.76
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.78
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
66
3. Database ketiga untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.65 0.7 0.83
0.65 0.7 0.32
0.65 0.73 0.06
0.65 0.74 0.04
0.66 0.74 0.79
0.65 0.7 0.83
0.65 0.7 0.32
0.65 0.73 0.06
0.65 0.74 0.04
0.66 0.74 0.79
0.65 0.7 0.72
0.65 0.7 0.28
0.65 0.73 0.29
0.65 0.74 0.75
0.66 0.74 0.89
0.65 0.72 0.72
0.65 0.72 0.28
0.65 0.74 0.29
0.65 0.75 0.75
0.66 0.75 0.89
0.65 0.73 0.73
0.65 0.73 0.8
0.65 0.75 0.8
0.65 0.75 0.75
0.66 0.75 0.79
0.65 0.73 0.73
0.65 0.73 0.8
0.65 0.75 0.8
0.65 0.75 0.75
0.66 0.75 0.79
0.67 0.73 0.89
0.67 0.73 0.84
0.67 0.75 0.82
0.67 0.75 0.81
0.67 0.75 0.79
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
67
4. Database keempat untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.04
0.65 0.79 0.78
0.65 0.79 0.78
0.65 0.79 0.75
0.65 0.79 0.73
0.65 0.79 0.73
0.65 0.79 0.78
0.65 0.79 0.78
0.65 0.79 0.75
0.65 0.79 0.73
0.65 0.79 0.73
0.65 0.78 0.74
0.65 0.78 0.74
0.65 0.78 0.77
0.65 0.79 0.78
0.65 0.79 0.78
0.66 0.78 0.76
0.66 0.78 0.76
0.66 0.78 0.77
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.79
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
68
5. Database kelima untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.64 0.71 0.77
0.64 0.71 0.77
0.64 0.76 0.77
0.64 0.76 0.83
0.64 0.77 0.81
0.64 0.71 0.77
0.64 0.71 0.77
0.64 0.76 0.77
0.64 0.76 0.81
0.64 0.77 0.8
0.64 0.71 0.77
0.64 0.71 0.77
0.64 0.76 0.76
0.64 0.76 0.77
0.64 0.77 0.77
0.64 0.73 0.81
0.64 0.73 0.8
0.64 0.78 0.77
0.64 0.78 0.78
0.64 0.78 0.78
0.64 0.73 0.8
0.64 0.73 0.79
0.64 0.78 0.77
0.64 0.78 0.78
0.64 0.78 0.78
0.66 0.73 0.79
0.66 0.73 0.79
0.66 0.78 0.77
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.78
0.67 0.76 0.79
0.67 0.76 0.79
0.67 0.79 0.78
0.67 0.79 0.78
0.67 0.79 0.78
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
69
6. Database keenam untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.3
0.64 0.79 0.84
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.3
0.64 0.79 0.84
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.3
0.64 0.79 0.84
0.63 0.8 0.02
0.63 0.8 0.3
0.63 0.79 0.86
0.63 0.79 0.84
0.64 0.79 0.79
0.63 0.79 0.02
0.63 0.79 0.3
0.63 0.79 0.86
0.63 0.79 0.84
0.64 0.79 0.79
0.65 0.79 0.28
0.65 0.79 0.46
0.65 0.79 0.83
0.65 0.79 0.82
0.67 0.79 0.79
0.66 0.79 0.8
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
70
7. Database ketujuh untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.66 0.78 0.08
0.66 0.78 0.08
0.66 0.79 0.08
0.66 0.79 0.08
0.67 0.79 0.08
0.66 0.78 0.08
0.66 0.78 0.08
0.66 0.79 0.08
0.66 0.79 0.08
0.67 0.79 0.08
0.66 0.78 0.81
0.66 0.78 0.81
0.66 0.79 0.81
0.66 0.79 0.81
0.67 0.79 0.81
0.66 0.78 0.81
0.66 0.78 0.81
0.66 0.79 0.81
0.66 0.79 0.81
0.67 0.79 0.81
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
0.66 0.79 0.78
0.66 0.79 0.78
0.66 0.79 0.78
0.66 0.79 0.78
0.68 0.79 0.78
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
71
8. Database kedelapan untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.68 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.78
0.68 0.79 0.78
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.78 0.78
0.68 0.78 0.78
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.79 0.79
0.66 0.78 0.78
0.68 0.78 0.78
0.68 0.79 0.78
0.68 0.79 0.78
0.68 0.79 0.79
0.68 0.78 0.78
0.69 0.78 0.78
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
72
9. Database kesembilan untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.64 0.77 0.04
0.64 0.77 0.04
0.64 0.77 0.29
0.64 0.77 0.8
0.65 0.77 0.79
0.64 0.77 0.04
0.64 0.77 0.04
0.64 0.77 0.29
0.64 0.77 0.8
0.65 0.77 0.79
0.64 0.77 0.01
0.64 0.77 0.36
0.64 0.77 0.62
0.64 0.77 0.78
0.65 0.77 0.79
0.64 0.77 0
0.64 0.77 0.53
0.64 0.77 0.79
0.64 0.77 0.78
0.65 0.77 0.79
0.64 0.77 0.52
0.64 0.77 0.69
0.64 0.77 0.78
0.64 0.77 0.79
0.65 0.77 0.79
0.65 0.78 0.78
0.65 0.78 0.78
0.65 0.78 0.78
0.65 0.78 0.79
0.66 0.78 0.79
0.66 0.78 0.77
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.78
0.66 0.78 0.79
0.67 0.78 0.79
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008
73
10. Database kesepuluh untuk nilai karakteristik dengan susunan matriks 35 × 3.
ALL AML Burkitts
0.64 0.77 0.81
0.64 0.77 0.29
0.64 0.78 0.03
0.64 0.79 0.84
0.64 0.79 0.84
0.64 0.77 0.81
0.64 0.77 0.29
0.64 0.78 0.03
0.64 0.79 0.84
0.64 0.79 0.84
0.64 0.77 0.28
0.64 0.77 0.47
0.64 0.78 0.57
0.64 0.79 0.81
0.64 0.79 0.81
0.64 0.77 0.02
0.64 0.77 0.57
0.64 0.78 0.84
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.54
0.64 0.79 0.72
0.64 0.79 0.81
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.79
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.8
0.64 0.79 0.79
0.66 0.79 0.8
0.66 0.79 0.8
0.66 0.79 0.81
0.66 0.79 0.8
0.66 0.79 0.79
Pengenalan penyakit..., Arthania Retno Praida, FT UI, 2008