Upload
faza-fauzan-syarif
View
199
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2.1 Pembangunan Pertanian
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan dari suatu
keadaan yang lebih baik dari sebelumnya (Saragih, 2002). Sementara menurut Riyadi
(Mardikanto, 1997) pembangunan adalah suatu usaha atau proses perubahan, demi
tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu hidup suatu masyarakat (dan individu-individu
didalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan.
Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat tani yang sebagian besar (80 %) masyarakat di pedesaan Indonesia.
Meningkatnya taraf hidup ini dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas usaha tani,
untuk dapat mengelola usaha taninya secara efisien diperlukan adanya perubahan perilaku
untuk mampu berusaha tani lebih menguntungkan. Perubahan perilaku ini merupakan efek /
dampak dari suatu proses komunikasi dan merupakan dampak yang tinggi kadarnya setelah
dampak kognitif dan dampak afektif (Nikmatullah, 1995).
Menurut Mosher (1991) pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari
pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum. Pembangunan pertanian memberikan
sumbangan kepadanya serta menjamin bahwa pembangunan menyeluruh itu (overall
development) akan benar – benar bersifat umum, dan mencakup penduduk yang hidup dari
bertani yang jumlahnya besar dan dalam beberapa tahun mendatang, diberbagai negara, akan
terus hidup dari bertani.
Lima faktor utama (mutlak) yaitu faktor-fakor harus ada supaya pembangunan
pertanian dapat berlangsung, yang terdiri dari : (a) faktor pasar, yang dapat disamakan
dengan faktor adanya kebutuhan (b) faktor teknologi, yang berkembang yang dapat
disamakan dengan keahlian (c) faktor tersedianya alat-alat dan bahan-bahan pertanian yang
dapat disamakan dengan modal (d) faktor insentif yang dapat mempengaruhi kesediaan
petani (e) faktor transportasi yang dapat disamakan dengan faktor modal (Hadisapoetro,
1973).
Sedangkan menurut Mosher (1991) faktor – faktor yang memperlancar pembangunan
pertanian adalah : (a) pendidikan pembangunan yaitu bagaimana mendidik petani untuk
mengambil manfaat dari masyarakat lain dimasa lampau yang dapat membantu masyarakat
itu maju dan berkembang sesuai yang dikehendaki (b) kredit produksi adalah meminjamkan
sejumlah dana untuk membiayai usaha tani petani dalam rentang waktu saat pembelian sarana
produksi dan saat penjualan hasil panen (c) kerjasama kelompok petani, karena kesibukan
dalam usaha taninya kebanyakan petani tidak mau bekerja sama sehingga perlu suatu
dorongan dan bantuan sistematis bagi kegiatan kelompok petani tersebut dan diharapkan akan
segera menjadi suatu aktivitas bersama secara sukarela (d) memperbaiki dan memperluas
tanah pertanian yaitu memperbaiki mutu tanah yang telah dijadikan usaha tani dan
mengusahakan tanah baru untuk pertanian (e) perencanaan nasional pembangunan pertanian
yaitu proses pengambilan keputusan oleh pemerintah tentang apa yang hendak dilakukan
mengenai tiap kebijaksanaan dan tindakan yang mempengaruhi pembangunan.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan pertanian adalah suatu proses
perubahan yang lebih baik untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
khususnya masyarakat tani. Pembangunan pertanian dapat berlangsung dengan adanya 5
faktor mutlak yang berupa faktor pasar, faktor teknologi, faktor tersedianya alat-alat dan
bahan pertanian/modal, faktor intensif dan faktor transportasi. Dimana kelima faktor mutlak
tersebut dapat dibantu dengan faktor-faktor yang memperlancar pembangunan pertanian yaitu
berupa pendidikan pembangunan, kredit produksi, kerjasama dengan kelompok petani,
memperbaiki dan memperluas tanah pertanian serta perencanaan nasional. Yang secara
keseluruhan terpadu guna memperlancar dan menyukseskan pembangunan pertanian
2.2 Kependudukan
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera disebutkan bahwa Kependudukan
adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri utama, pertumbuhan, persebaran,
mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama serta lingkungan penduduk tersebut.
Dari definisi tadi, masalah kependudukan sangatlah kompleks dan menyeluruh,
karena semua aspek yang menyangkut "penduduk" ada dalam kependudukan. Dalam
Undang-Undang tersebut juga diuraikan bahwa perkembangan kependudukan diarahkan pada
pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk serta pengarahan
mobilitas penduduk untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dankeseimbangan antara
kuantitas, kualitas dan persebaran pendudukdengan lingkungannya.
Untuk mencapai tujuan kebijakan pembangunankependudukan ditetapkan sasaran-
sasarannya, meliputi penurunan jumlah penduduk miskin, peningkatan
kesejahteraan penduduk, peningkatan produktivitas penduduk, penurunan tingkat kelahiran,
peningkatan kesetaraan dan keadilan jender, peningkatan keseimbangan persebaran
penduduk, tersedianya data dan informasi pembangunan dan kependudukan, tersedianya
perlindungan dan peningkatan kesejahteraan serta kualitas penduduk, serta terselenggaranya
administrasi kependudukan nasional yang terpadu dan tertib.
Setiap kegiatan pembangunan dan kebijakan yang dilaksanakan oleh setiap sektor
dapat mempengaruhi kependudukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu
pula setiap perkembangan kependudukan dapat mempengaruhi pembangunan sektoral dan
daerah. Oleh karena itu perlu adanya pembangunan yang dipertimbangkan
aspek kependudukan sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan
kegiatan pembangunan, artinya untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan penduduk, pembangunan harus mempertimbangkan tiga aspek
kependudukan yaitu aspek kualitas, kuantitas, maupun mobilitas dengan tidak
mengesampingkan sosial budaya serta lingkungannya.
Pemberdayaan masyarakat bagi kepentingan pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan bersama, merupakan suatu pembangunan kependudukan dalam upaya
pengendalian kuantitas dan peningkatan kualitas penduduk serta mengarahkan
persebaran penduduk untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik yang seimbang di
seluruh daerah, serta kualitas yang memadai guna mendukung "pembangunan" yang
berkelanjutan.
Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, maka pendekatan pembangunan yang hanya
menjadikan penduduk sebagai obyek pembangunan sudah harus ditinggalkan, tetapi harus
mengedepankan pembangunan yang berwawasan kependudukan, yaitu pembangunan yang
berkelanjutan untuk, dari dan oleh manusia atau penduduk. Oleh sebab itu pendekatan yang
dipakai adalah dengan mengedepankan pemerataan dan peranan seluruh penduduk sebagai
pelaku atau pelaksana pembangunan.
2.3 Pembangunan Pertanian Berwawasan Kependudukan
Strategi Pembangunan
Terlepas dari moral hazard para pelaku ekonomi dan birokrat, banyak pakar
berpandangan bahwa krisis di Indonesia terjadi karena kesalahan dalam mengembangkan
strategi pembangunan. Hal Hill (1996) mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 1966
sampai dengan akhir tahun 1970an, para ekonom di Indonesia telah berhasil mengembangkan
sektor industri dengan penuh kehati-hatian dan disesuaikan dengan kondisi makro ekonomi
yang ada. Namun sejak awal tahun 1990-an perkembangan industri tersebut berubah dengan
lebih menekankan pada industri berteknologi tinggi. Dampaknya adalah terjadi tekanan yang
sangat berlebihan pada pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah1).
Walaupun Indonesia sedikit demi sedikit berhasil mengatasi krisis ekonomi yang
ditandai dengan mulai berputarnya roda ekonomi di sektor riil, sektor keuangan dan
perbankan yang relatif semakin baik, serta arah perkembangan kondisi ekonomi makro yang
semakin kondusif, namun terlalu dini jika mengatakan bahwa Indonesia telah keluar dari
krisis dan siap untuk bersaing kembali dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Masalah yang lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi harus ditelaah
dengan benar untuk kemudian dianalisis apakah persoalan mendasar tersebut telah ditangani
dengan benar sehingga tidak terjadi krisis ulangan dimasa mendatang. Ketergantungan
terhadap pinjaman luar negeri yang dipandang sebagai pangkal permasalahan krisis ekonomi
saat ini masih belum dapat diselesaikan. Bahkan ada kecenderungan ketergantungan
Indonesia terhadap pinjaman luar negeri ini menjadi semakin mendalam. Ketergantungan
terhadap pinjaman luar negeri tersebut tidak akan berkurang jika pemerintah tidak melakukan
perubahan mendasar terhadap strategi pembangunan ekonomi yang ada pada saat ini.
Dalam upaya keluar dari krisis ekonomi dewasa ini perlu dikembangkan
kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro yang tetap mengacu pada pembangunan
berwawasan kependudukan disamping peningkatan good governance, pembenahan utang
luar negeri, sektor keuangan dan perbankan.Untuk itu harus dilakukan reorientasi
kebijaksanaan ekonomi makro yang berwawasan kependudukan, sebagai berikut:
Merubah Strategi Orientasi Ekspor dengan Strategi Pasar Dalam Negeri. Sebagai
Negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia, maka jumlah penduduk tersebut harus
dapat dimanfaatkan sebagai pasar bagi produk dalam negeri. Sehingga upaya memenuhi
pasar dalam negeri perlu mendapat perhatian utama. Prioritas pada pasar dometik/dalam
negeri sejalan dengan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered
development). Jika kebijakan ini dijalankan, maka tidak saja berbagai usaha akan tumbuh,
tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Dalam hubungan ini tentunya
1
jenis usaha kecil dan menengah yang menghasilkan barang-barang untuk keperluan domestik,
yang perlu dikembangkan. Walaupun dengan tidak menutup kemungkinan untuk tetap
melakukan ekspor, sepanjang harga, mutu dan corak, memungkinkan.
Kembali pada usaha yang sederhana (simple business). Pembangunan ekonomi
hendaknya kembali bertumpu pada usaha-usaha yang sederhana yang memang sesuai dengan
kondisi kebanyakan penduduk Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pengembangan usaha
kecil dan menengah (UKM) harus mendapat dukungan yang luas dan dijalankan dengan
konsisten. UKM telah terbukti menjadi tulang punggung penggerak ekonomi pada saat
krisis.
Kembali ke sektor pertanian dan kelautan. Dengan kekayaan alam yang berlimpah,
baik di darat maupun di air, seharusnya sektor pertanian dan kelautan mampu menjadi tulang
punggung perekonomian nasional. Namun sampai saat ini kenyataannya tidaklah demikian.
Berbagai kebijakan yang ada belum mampu belum mampu meningkatkan “rate of return”
mereka yang bekerja dalam sektor ini, sehingga banyak ditinggalkan orang. Harus dibuat
suatu kebijakan yang mampu meningkatkan “rate of return” terhadap hasil pertanian dan
kelautan. Untuk itu harus dikembangkan teknologi pertanian dan kelautan serta
pengembangan berbagai produk pertanian dan kelautan dalam skala yang besar2. Perlu
dilakukan “economic of scale” dalam usaha sektor pertanian, khususnya agribisnis dan
kelautan.
Pemantapan Konsep dan Implementasi Pembangunan Berwawasan Kependudukan.
Pembangunan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan
integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan, terutama yang berkaitan dengan sektor
ekonomi. Jika selama ini kependudukan lebih dititk beratkan pada sektor sosial dalam
kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan
pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN. Dalam melaksanakan pembangunan
kependudukan itu sendiri maka sasaran peningkatan kualitas penduduk harus tetap dijadikan
prioritas utama pembangunan kependudukan, disamping masalah pengendalian kuantitas dan
pengarahan mobilitas penduduk.
Pengertian Pembangunan Berwawasan Kependudukan
2
Apa yang dimaksud dengan pembangunan berwawasan kependudukan? Secara
sederhana pembangunan berwawasan kependudukan mengandung dua makna sekaligus
yaitu, pertama, pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada. Penduduk harus dijadikan titik
sentral dalam proses pembangunan. Penduduk harus dijadikan subjek dan objek dalam
pembangunan. Pembangunan adalah oleh penduduk dan untuk penduduk. Makna kedua dari
pembangunan berwawasan kependudukan adalah pembangunan sumber daya manusia.
Pembangunan lebih menekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia
dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur semata-mata.
Strategi pembangunan berwawasan kependudukan untuk suatu pembangunan
ekonomi dalam jangka pendek memang akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi.
Namun ada suatu jaminan bahwa perkembangan ekonomi yang dicapai akan lebih
berkelanjutan (sustainable). Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan
membawa pada peningkatan ketimpangan pendapatan. Industrialisasi dan liberalisasi yang
terlalu cepat memang akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, namun sekaligus juga
meningkatkan jumlah pengangguran dan mereka yang setengah menganggur.
Mengapa selama ini Indonesia mengabaikan pembangunan berwawasan
kependudukan?. Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju
pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-
satunya ukuran keberhasilan pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan
trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada
kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi
penduduk serta kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada nyatanya tidaklah
berlangsung secara berkelanjutan (sustained). Jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dewasa
ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijaksanaan ekonomi yang kurang
mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada
situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan
ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi
pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.
Pembangunan kependudukan adalah pembangunan sumberdaya manusia. Berbagai
kajian dan literatur memperlihatkan bahwa kualitas sumberdaya manusia memegang peranan
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam jangka pendek
investasi dalam sumberdaya manusia nampak sebagai suatu upaya yang ‘sia-sia’. Namun
dalam jangka panjang investasi tersebut justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Kajian dan
karya dari Abramovitz (1951), Solow, Kendrick, Denison & Mincer (1974), Gary Becker
(1975), Schultz (1988) yang disarikan oleh H.W. Arndt pada tahun 1989, Hicks (1987),
Knight, John.B. & R.H. Sabot (1990), Williamson (1991), serta Sen, Amartya (2003),
merupakan sedikit dari begitu banyak kajian para ekonom yang dapat memperlihatkan
hubungan positif antara pembangunan sumberdaya manusia, terutama kesehatan dan
pendidikan, dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Mengintegrasikan dimensi kependudukan dalam perencanaan pembangunan, terutama
pembangunan daerah, memberikan manfaat yang sangat mendasar, yaitu besarnya harapan
bahwa penduduk yang ada di daerah tersebut menjadi pelaku pembangunan dan penikmat
hasil pembangunan. Itu berarti pembangunan berwawasan kependudukan lebih berdampak
besar pada peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan dibandingkan dengan
orientasi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Dalam
pembangunan berwawasan kependudukan ada suatu jaminan akan keberlangsungan proses
pembangunan itu sendiri. Pembangunan berwawasan kependudukan menekankan pada
pembangunan lokal, perencanaan berasal dari bawah (bottom up planning), disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, dan yang lebih penting adalah melibatkan
masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.
Ada beberapa kritik lagi yang ditujukan kepada konsep pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan yaitu (1) prakasa biasanya dimulai dari pusat dalam bentuk
rencana formal, (2) proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat
pakar dan teknokrat, (3) teknologi yang digunakan biasanya bersifat “scientific” dan
bersumber dari luar, (4) mekanisme kelembagaan bersifat “top-down”, (5) pertumbuhannya
cepat namun bersifat mekanistik, (6) organisatornya adalah para pakar spesialis, dan (7)
orientasinya adalah bagaimana menyelesaikan program/proyek secara cepat sehingga mampu
menghasilkan pertumbuhan. Dengan melihat pada kriteria di atas nampak bahwa peranan
penduduk lokal dalam proses pembangunan sangat sedikit.
Kritik para ahli terhadap orientasi pembangunan yang lebih mementingkan
pertumbuhan ini sebenarnya telah berlangsung pada paruh pertama dasawarsa 1980-an. Para
cendekiawan dari Massachussets Institute of Technology (MIT) dan yang tergabung dalam
Club of Rome pada kurun waktu itu secara gencar mengkritik orientasi pembangunan
ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan. Dari berbagai kajian dan diskusi yang dilakukan,
muncul perspektif strategi pembangunan yang kemudian dikenal sebagai konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini diartikan sebagai suatu
proses pembangunan utnuk memenuhi keperluan hidup manusia pada saat ini tanpa harus
mengorbankan keperluan hidup generasi-generasi mendatang. Dalam konsep pembangunan
berkelanjutan tersebut secara implisit terkandung makna pentingnya memperhatikan aspek
kependudukan dalam pelaksanaan pembangunan. Sebagai jawaban atas fenomena baru ini,
Pemerintah Indonesia membentuk kelembagaan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (Kantor Meneg KLH) yang merupakan perubahan dari Kantor Menteri
Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kantor Meneg PPLH) pada akhir
bulan Maret 1983.
Masalah Kependudukan Masa Depan
Sedangkan masalah kependudukan yang menonjol dimasa depan sungguh merupakan
persoalan yang bukan sepele untuk diabaikan begitu saja. Diantara persoalan-persoalan itu
antara lain:
Pertama, penduduk masa depan akan semakin tinggi pendidikan yang ditamatkannya.
Konsekuensi dari keadaan ini adalah semakin besar “the rising demands”, permintaan-
permintaan baru yang beragam jenis dan kualitasnya dari masyarakat luas, yang harus
dipenuhi Pemerintah. Ketidakmampuan menangkap permintaan yang meningkat itu bisa
menimbulkan ketidak stabilan sosial yang akan menjadi sumber keresahan dalam
masyarakat.
Kedua, penduduk yang semakin “manua” karena angka harapan hidup meningkat.
Bila pada tahun 1970-an, orang dianggap “tua” bila masih hidup pada usia 60 tahun, saat ini
harapan hidup rata-rata orang Indonesia telah mencapai 67 tahun. Dengan semakin
banyaknya “lansia” ini perlu disikapi masalah keluarga dan sosial yang akan timbul.
Ketiga, penduduk yang tinggal didaerah perkotaan akan semakin banyak. Urbanisasi
yang merupakan momok kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan sebagainya,
akan menyebar pada kota-kota kelas menengah, seperti Semarang, Malang, Palembang dan
banyak lagi lainnya. Persoalan “slum”, kepadatan, kemacetan, kesempatan kerja dan berbagai
“persoalan kota besar” lainnya akan merambah pada kota-kota tersebut. Bukan mustahil akan
bermunculan berbagai “urban poor consortium” yang pasti akan memusingkan kepala para
pengelola pemerintahan kota yang bersangkutan.
Keempat, mobilitas penduduk semakin tinggi. Pergerakan penduduk dari satu daerah
ke daerah lain akan lebih intensif dimasa depan. Model mobilitas ulang-alik akan semakin
banyak. Pameo penduduk siang dan penduduk malam bagi DKI Jakarta akan meluas ke kota-
kota besar lainnya. Artinya semakin banyak penduduk yang bertempat tinggal diluar kota,
dengan tempat kerja di dalam kota. Sementara dengan adanya arus globalisasi, tidak mustahil
terjadi banyak mobilitas antar negara. Bisa saja para sopir taksi di Indonesia nantinya akan
berasal dari Philipina atau pekerja yang berkewarganegaraan Vietnam atau Cina
memperebutkan kesempatan kerja yang terbuka di Indonesia. Maka menjadi tanggung jawab
Pemerintah terhadap masa depan dan nasib angkatan kerja dalam negeri sendiri bila dari
sekarang tidak diantisipasi sungguh-sungguh kemungkinan perkembangan ini.
Kelima, masih tingginya pertumbuhan angkatan kerja. Dengan jumlah penduduk yang
masih tinggi dengan usia harapan hidup yang terus meningkat, sudah dapat diperkirakan
semakin banyak pencari kerja. Sementara itu lapangan kerja yang tersedia amat terbatas,
karena krisis ekonomi dan sosial serta kerusuhan bernuansa politis yang belum juga berakhir,
mengakibatkan tidak terjadi investasi sehingga kesempatan kerja bisa tertutup. Sedangkan
pekerjaan informal yang pada masa lalu masih banyak terdapat didaerah pedesaan sudah
semakin berkurang dengan perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada sektor
jasa-jasa semenjak awal dasawarsa 1990-an. Sebagai dampaknya pengangguran terbuka dan
setengah pengganguran dalam jumlah yang cukup besar harus menjadi beban perekonomian
nasional.
Dimensi Penduduk dalam Pembangunan Nasional
Ada beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa penduduk merupakan isu yang
sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional. Berbagai pertimbangan tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama, penduduk merupakan pusat dari seluruh kebijakan dan program
pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk
adalah subjek dan objek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan maka penduduk harus
dibina dan dikembangkan agar mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya,
pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan
demikian, pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan
penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan
tersebut. Sebaliknya, pembangunan baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan
kesejahteraan penduduk dalam arti luas yaitu kualitas fisik maupun nonfisik yang melekat
pada diri penduduk itu sendiri.
Kedua, keadaan penduduk yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan
yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan
kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar, jika diikuti tingkat kualitas yang rendah,
menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pembangunan nasional. Iskandar
(1974) memperkirakan bahwa tanpa adanya program pengendalian pertumbuhan penduduk
maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 akan berjumlah 237 juta jiwa.
Kenyataannya, jumlah penduduk pada tahun tersebut adalah sekitar 194 juta jiwa. Dengan
demikian, program pengendalian pertumbuhan penduduk telah berhasil melakukan
penghematan untuk berbagai pengeluaran bagi sekitar 43 juta jiwa penduduk. Pengeluaran
tersebut dapat digunakan untuk program lain yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas
penduduk, seperti kesehatan dan pendidikan, yang sangat diperlukan intuk investasi pada
masa mendatang.
Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka
yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, seringkali
peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli
kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak
negative terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun kedepan atau satu generasi. Dengan
demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia pada
generasi mendatang, yaitu pada tahun 2022. Demikian pula, hasil program keluarga
berencana yang dikembangkan selama 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam
beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak dimasukkannya dimensi kependudukan
dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan menyengsarakan generasi
penduduk pada masa mendatang.
Perhatian pemerintah terhadap kependudukan dimulai sejak pemerintah pemerintah
Orde Baru memegang kendali. Konsep pembangunan manusia seutuhnya , yang tidak lain
adalah konsep pembangunan kependudukan, mulai diterapkan dalam perencanaan
pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita I pada tahun 1969.
Namun sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijakan telah secara sungguh-sungguh
mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah
tampaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan
kebijakan tersebut dalam berbagai program sektoral.
http://dewiultralight08.wordpress.com/2011/03/10/jurnal-pembangunan-berwawasan-
kependudukan/.
Arndt,H.W., 1987, Economic Development : The History of An Idea, the University Chicago
Press, Chicago and London, 1987.
Hicks, 1987, Education and Economic Growth, in Economics of Education: Research and
Studies, edited by G. Psacharopoulos, pp. 101-107, Oxford Pergamon.
Hill, Hal, 1996, The Indonesian Economy since 1966: Southeast Asia’s Emerging Giant,
Cambridge University Press, 1996.
Knight, John.B. and R.H. Sabot, 1990, Education, Productivity and Inequality, published for
the World Bank, Oxford University Press, Oxford.
Sen, Amartya, 2003, The Reach of Schooling, Keynote Adress at the 36 th Commision on
Population and Development Meeting, United Nations, New York, 2003
United Nations, 1995, Programme of Action of the United Nations International Conference
on Population and Development, New York, 1995.
Williamson, Jeffrey.G., 1991, Productivity and American Leadership: A Review Article,
Journal of Economic Literature Vol.XXIX, No.1, March 1991.
Hadisapoetro. 1973. Pembangunan Pertanian. FP UGM Press. Yogyakarta.
Nikmatullah, Dewangga. 1995. Konstribusi PPL terhadap keefektifan Kelompok Tani Dalam
kegiatan Penyuluhan Pertanian Di Rawa Sragi Lampung Selatan. JSE Vol 1, No 1
Juni 1995.
Saragih, B. 2002. Pembangunan Pertanian Pada Otonomi Daerah. Makalah Seminar Nasional
dan Rekonsilasi Mahasiswa Pertanian Se – Indonesia” Studi kritis Pembangunan
Pertanian Dalam 2 tahun Otonomi Daerah menuju Kesejahteraan Petani” 22 Mei
2002. BEM FP UGM. Yogyakarta.
Mardikanto, T. 1997. Dasar-dasar Komunikasi Pembangunan. PT. Balai Pustaka (persero).
Jakarta.
Mosher, A.T. 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta
Iskandar, N. 1974. “Beberapa aspek permasalahan kependudukan di Indonesia”,special
Reprint Series No. 4, Demographic Institute FE UI Jakarta, January, p.19.
Johnson, D.G. and Lee, Ronald. 1987. Population Growth and Economic Development Issues
and Evidences. Madison, WI: University of Wisconsin Press, USA.
Kantor Menteri Negara Kependudukan / BKKBN. 1994. Indonesia Country Report
Population and Development. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Kependudukan / BKKBN. 1997. Draft Repelita VII Bidang
Kependudukan. Jakarta.
Krugman, Paul. 1994. “The myth of Asia miracle”, Fortune, November.
Krugman, Paul. 1997. “What happened to Asia miracle”, Fortune, November.
Rosenzweig, Mark R. 1998, “Human capital, population growth, and economic
development”, Journal of Policy Modelling, Special issue on Population Growth and
Economic Development.
Tjiptoherijanto, Prijono. 1999. “Economic crisis and recovery: the Indonesia’s case,” The
EWCA Regional Conference ini Philiippines on Asia and the Pacific in the
Millenium: Challenges, Opportunities & Responses, Manila, Phillipines, 28-29
January.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Jakarta: Pustaka
Pelajar