33
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengunaan bahasa yang ada pada masyarakat multilingual di kelurahan Senggarang ditinjau dari kajian sosiolinguistik. Penelitian ini difokuskan pada tuturan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat dalam keanekabahasaan dan keanekaragaman budaya yang ada di wilayah Senggarang. Variasi bahasa juga melibatkan alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melalui metode survey dengan pendekatan sosiologi. Data yang diambil dari penelitian ini yaitu dalam bentuk peristiwa tutur yang terjadi pada masyarakat di kelurahan Senggarang, kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi Kepulauan Riau. Informan dilibatkan untuk memberikan informasi tentang tuturan yang berhubungan dengan kode yang digunakan di kelurahan tersebut. Tuturan yang digunakan oleh masyarakat di kelurahan tersebut kemudian direkam dan dicatat (Sudaryanto). Untuk melengkapi data, untuk mengetahui factor-faktor social yang mempengaruhi terjadinya masyarakat multilingual, data hasil wawancara akan digunakan. Setelah data direkam dan dicatat, langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturan- tuturan itu kemudian dianalisis. Kata kunci: Multilingual, alih kode, campur kode.

PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

  • Upload
    ledat

  • View
    259

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengunaan bahasa yang ada pada masyarakat

multilingual di kelurahan Senggarang ditinjau dari kajian sosiolinguistik. Penelitian ini

difokuskan pada tuturan sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat dalam keanekabahasaan

dan keanekaragaman budaya yang ada di wilayah Senggarang. Variasi bahasa juga melibatkan

alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melalui metode survey dengan

pendekatan sosiologi. Data yang diambil dari penelitian ini yaitu dalam bentuk peristiwa tutur

yang terjadi pada masyarakat di kelurahan Senggarang, kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi

Kepulauan Riau. Informan dilibatkan untuk memberikan informasi tentang tuturan yang

berhubungan dengan kode yang digunakan di kelurahan tersebut. Tuturan yang digunakan oleh

masyarakat di kelurahan tersebut kemudian direkam dan dicatat (Sudaryanto). Untuk melengkapi

data, untuk mengetahui factor-faktor social yang mempengaruhi terjadinya masyarakat

multilingual, data hasil wawancara akan digunakan. Setelah data direkam dan dicatat, langkah

selanjutnya yaitu mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturan-

tuturan itu kemudian dianalisis.

Kata kunci: Multilingual, alih kode, campur kode.

Page 2: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL

DI KELURAHAN SENGGARANG

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

1. Pendahuluan

1.1 latar Belakang

Bahasa lahir dan hidup bersama masyarakatnya karena masyarakat tidak dapat

berkomunikasi di antara sesamanya tanpa alat untuk berkomunikasi yaitu bahasa. Bahasa

adalah milik manusia yang paling utama. Hakekat bahasa tidak lepas dari individu,

kelompok individu, dan masyarakat yang memilikinya. Demikian pula secara sosial dapat

dikatakan bahwa bahasa it uterus menerus memahami fungsi sosialnya di segala bidang,

sebagai wadah dari perilaku dan aktivitas masyarakat, di samping fungsinya sebagai alat

komunikasi, yakni bidang sosial, ekonomi, politik, kedokteran, perdagangan, teknologi,

sains, komunikasi, transportasi, dan sebagainya (Sumarsono, 2004).

Sebagai ilmu yang mengkaji keterkaitan bahasa dengan masyarakat, sosiolinguistik

semakin berkembang dan diakui pada awal tahun 1970-an (Hudson, 1980). Lewat kajian

ini, pengenalan identitas seseorang dapat dilakukan dengan melihat bahasa atau ragam

bahasa yang digunakan dalam percakapan yang melibatkan orang atau kelompok lain.

Hubungan bahasa dan masyarakat atau faktor-faktor sosial banyak dikaji oleh para

sosiolinguis (Fishman, 1971; Wardaugh, 1986; Hudson, 1980, Holmes, 1992). Di dalam

sosiolinguistik, tidak hanya dibahas struktur formal semata sebagaimana dalam kajian

linguistic teoritis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat.

Page 3: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Banyak hal yang dapat dikaji dalam sosiolinguistik antara lain variasi bahasa, sikap

bahasa, kepunahan dan pemertahanan bahasa dan salah satunya yaitu penggunaan bahasa

di masyarakat. Kelompok-kelompok orang atau masyarakat saling berinteraksi dan

terjadilah kontak bahasa dengan menghasilkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa

yang salah satunya dinamakan multilingualisme atau keanekabahasaan karena kontak

antara penutur dan mitra tutur melibatkan lebih dari dua bahasa dalam pergaulannya

dengan orang lain secara bergantian. Arthur Yap (1978) yang mengutip Labov (1971)

mengemukakan bahwa semakin hari semakin banyak menunjukkan bahwa masyarakat-

masyarakat yang monolingual tidak sepenuhnya homogen. Jadi heterogenitas berbahasa

bukan saja lumrah, tetapi juga bersifat alamiah. Bila tidak terdapat alih gaya dan system

komunikasi yang bersifat ganda, maka kondisi homogen suatu masyarakat akan

mengalami kelainan fungsi. Para ahli bahasa tadinya tidak menyadari bahwa

sesungguhnya heterogenitas merupakan kekhususan masyarakat bahasa. Dengan kata

lain, walaupun suatu masyarakat bersifat homogeny dari perspektif politik, sosio-

ekonomi dan budaya, namun dari perspektif bahasa, masyarakat tersebut adalah

heterogen.

Selanjutnya Lyons (1970) mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah semua orang

yang menggunakan suatu bahasa atau dialek tertentu. Demikian pula dengan Bloomfield

dan Gumperz dalam Hudson (1971) yang mendefinisikan masyarakat tutur sebagai

sekelompok orang atau beberapa orang yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran

atau bahasa.

Penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual merupakan kajian yang penting

untuk diteliti karena dalam berinteraksi, seorang penutur akan terlibat berkomunikasi

Page 4: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

dengan mitra tuturnya. Hal ini dapat dikatakan merupakan hal yang wajar sebab tidak ada

negara yang monolingual. Asumsi yang sama dikemukakan bahwa bahasa tidak pernah

monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Karena adanya beberapa bahasa yang digunakan

oleh masyarakat dalam berinteraksi, maka hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji.

Apalagi penggunaan multilingual itu terjadi pada masyarakat yang skalanya lebih kecil

misalnya di sebuah kelurahan.

Fenomena seperti ini terjadi pula pada masyarakat di kelurahan Senggarang, sebuah

kelurahan di kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Di kelurahan

Senggarang ini, masyarakat tuturnya bisa berkomunikasi dengan menggunakan beberapa

bahasa yang berbeda yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional,

bahasa Bawean, bahasa Tionghoa, dan bahasa Melayu.

Karena menggunakan lebih dari satu bahasa, maka masyarakat tersebut dinamakan

masyarakat multilingual. Oleh sebab itu, karena bisa menggunakan lebih dari satu bahasa

atau kode, mereka dapat melakukan pemilihan kode bahasa sesuai dengan situasi tutur

yang berlangsung, beralih dari satu kode ke kode yang lain, bahkan mencampurkan kode-

kode tersebut. Selanjutnya Wardaugh (1990: 94) mengemukakan bahwa multilingualisme

terjadi mungkin karena menjadi imigran, pengunjung, atau anak-anak hasil dari

perkawinan campuran.

Salah satu contohpenggunaan bahasa di kelurahan Senggarang dapat dilihat sebagai

berikut:

A: Kamakna bekna? (bahasa Bawean)

(mau pergi kemana?)

B: nak ke pasa (bahasa melayu)

Page 5: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

(mau ke pasar)

Tuturan seperti itu sering ditemukanpada masyarakat senggarang ketika mereka

saling berinteraksi. Pemilihan kode tergantung pada siapa yang memulai pembicaraan

dan lawan tutur secara spontan menggunakan kode yang lain untuk merespon tuturan

penutur. Contoh tuturan seperti itu bisa juga terjadi ketika orang Tionghoa bertemu

dengan Orang Bawean , maka untuk mengawali pembicaraan, dia akan memilih kode

bahasa yang diketahui oleh lawan tuturnya.

Penggunaan bahasa sebagaimana dikemukan oleh labov (1972) berhubungan dengan

variabel non linguistic dan variabel tersebut berhubungan dengan siapa yang berbicara

dengan bahasa apa, tentang apa, kepada siapa dan kapan (Fishman, 1976). Merujuk pada

kenyataan yang dikemukakan Fishman mengenai ranah pemilihan bahasa, kebocoran

diglosia terjadi apabila terdapat tumpang tindih ranah pemilihan bahasa. Artinya bahasa

yang satu merembes ke ranah penggunaan bahasa lain. Sebagai contoh, penggunaan kode

di dalam keluarga di kelurahan Senggarang. Hal ini tentu saja akan membawa dampak

pergeseran bahasa (language shift) dan kepunahan bahasa (language death) (Sumarsono

dan Partana, 2002).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan sebelumnya, maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

1. Jenis-jenis kode apa yang digunakan di kelurahan senggarang beserta fungsi

kemasyarakatannya?

2. Faktor-faktor sosial apa yang mempengaruhi pemakaian kode-kode bahasa itu?

Page 6: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

3. Bagaimana realisasi alih kode dan campur kode pada masyarakat multilingual di

kelurahan Senggarang?

4. Apa fungsi alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuannya

adalah sebagai berikut:

1. mendeskripsikan jenis-jenis kode yang digunakan di kelurahan Senggarang

beserta fungsi kemasyarakatnnya.

2. Mendeskripsikan faktor-faktor social yang mempengaruhi pemakaian kode-kode

bahasa itu.

3. Mendeskripsikan alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat tersebut.

4. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode yang terjadi di masyarakat

tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penggunaan bahasa

pada masyarakat multilingual dan dapat member sumbangan teoritis kepada ilmu

sosiolinguistik. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam kaitan dengan

peneltian di bidang linguistic lainnya. Melalui penelitian ini, juga diharapkan dapat

member sumbangan dalam mengatasi ketegangan politik akibat persoalan bahasa karena

masyarakat yang multilingual pikirannya lebih fleksibel dan lebih toleran daripada

Page 7: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

masyarakat monolingual. Deskripsi ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi

peneliti selanjutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai penggunaan bahasa telah banyak dilakukan oleh para peneliti di

Indonesia. Penelitian-penelitian itu sebagian dapat disebutkan sebagai berikut.

Sina Wain (2005) dalam tesisnya yang berjudul Bahasa Makasai di Timor Leste:

Kajian Geografi Dialek. Kajian ini mengemukakan tenatng penggunaan bahasa Makasai

sebagai bahasa yang utama di antara beberapa bahasa lainnya yang terdapat di Timor

Leste.

Selain itu, Zultiyanti (2005) juga dalam tesisnya yang berjudul Variasi Pemakaian

Bahasa Pada Masyarakat Kelas Bawah juga mengaitkan penggunaan bahasa tertentu yang

dipakai oleh mayasarakat yang berasal dari golongan perekonomian kelas bawah.

Penggunaan bahasa tersebut juga turut mewarnai multilingualisme yang terjadi di

masyarakat tersebut.

Fauziah (2005) juga pernah membuat sebuah penelitian bahasa yang ada di wilayah

Surakarta Jawa tengah. Adapun judul penelitian tersebut adalah Pemertahanan Bahasa

Arab dalam Komunitas Warga keturunan Arab di Surakarta. Penelitian ini juga

menggambarkan suatu kondisi etnis minoritas yang penting untuk diketahui sebagai

rekaman sebuah budaya. Pembahasan tentang pemertahanan bahasa dari suatu kelompok

minoritas akan sangat menarik untuk dikaji mengingat kecenderungannya untuk

tergantikan oleh bahasa kelompok mayoritas.

Page 8: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Penelitian yang dilakukan oleh Haryono (1990) yang berjudul Kelompok

Dwibahasawan Indonesia-China Putonghoa di Pancoran-Jakarta Barat. Dalam

tulisannya dikatakan bahwa sejak adanya kontak dagang langsung antara Indonesia dan

RRC, dan dengan adanya politik terbuka pemerintah terhadap penanaman modal asing,

maka Nampak adanya gejala penggunaan bahasa Cina Putonghoa sebagai alat

komunikasi kelompok tertentu. Di dalam komunikasi, mereka tidak sepenuhnya

menggunakan bahasa Cina, tetapi juga menggunakan bahasa Indonesia secara bergantian.

Disertasi Fathur Rahman (2003) yang berjudul Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat

Dwibahasa: Kajian sosiolinguitik di Banyumas. Penelitian ini menyangkut pemilihan

bahasa karena dipengaruhi factor social dan budaya serta hubungan antara penutur dan

mitra tutur berdasarkan pada norma tutur yang berlaku pada masyarakat Banyumas.

Sebuah tesis yang ditulis oleh Munira Hasyim (2003) yang berjudul Penggunaan

Bahasa pada Masyarakat Tutur Makassar. Penelitian ini juga mengkaji penggunaan

bahasa yang melibatkan empat bahasa etnis di Sulawesi selatan. Dalam tesisnya

dikatakan bahwa empat bahasa daerah yang digunakan di Sulawesi selatan itu tidak dapat

dipahami satu sama lainnya.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana yang telah

disebutkan di atas, tampaknya masih kurang kajian mengenai penggunaan bahasa oleh

masyarakat multilingual yang mana masyarakat tersebut dapat menggunakannya dengan

sama baiknya dan dengan kode yang lebih banyak. Peneliti bermaksud meneliti

penggunaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat multilingual dengan mengkaji

satuan lingualnya dan factor-faktor yang mempenagruhi penggunaan bahasa-bahasa itu.

Page 9: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

1.6 Landasan teori

Crystal (1992) mengemukakan bahwa multilingualisme adalah cara hidup alami yang

terjadi dari hasil kontak bahasa yang tidak dapat dielakkan. Selanjutnya dikatakan

multilingualisme yang umumnya ditemukan pada seorang penutur disebut bilingualism.

Chaer dan leonie (2004) mengatakan bahwa bilingualism adalah kemampuan seorang

penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Orang yang dapat

menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual atau dwibahasawan.

Kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau

kedwibahasawanan. Sedangkan multilingualisme atau keanekabahasaan yaitu keadaan

digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang

lain secara bergantian.

Selanjutnya Mackey (1962) berpendapat bahwa kedwibahasaan adalah praktek

penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh

seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa, diperlukan penguasaan kedua bahasa

tersebut dengan tingkat yang sama. Namun Haugen (1961) berpendapat, bahwa seorang

penutur tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa atau lebih, tapi cukup kalau

bisa memahaminya saja. Dia berpendapat bahwa orang yang mempelajari bahasa kedua,

apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya mempengaruhi bahasa aslinya.

Sebagai aspek penutur, penggunaan bahasa relative tidak stabil dan selalu berubah

sejalan dengan perubahan unsure-unsur lainnya dalam konteks sosialnya. Unsure-unsur

demikian disebut variable non linguistic (Labov, 1972). Demikian juga dengan Holmes

(1992) yang menyebutkan bahwa faktor sosial tertentu relevan dengan variasi tertentu

yang digunakan sehubungan dengan pemakai bahasa atau partisipan; lainnya

Page 10: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

berhubungan dengan penggunaannya yaitu situasi social dan fungsi interaksi. Siapa

berbicara dengan siapa, situasi atau konteks social, dan tujuan atau maksud berinteraksi

sangat mempengaruhi pemilihan bahasa.

Sementara itu, Fishman (1971) menganjurkan bahwa dalam mengkaji masyarakat

dwibahasa atau multibahasa hendaknya diperhatikan kaitannya dengan ada tidaknya

diglosia. Fishman juga mengatakan bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat

yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga

ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa, bahkan dapat juga

dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Dan lebih lanjut dkatakan pula

bahwa ketepatan pemilihan variasi bahasa dalam hubungan social banyak ditentukan oleh

kesadaran penutur terhadap kapan dan di mana tuturan itu diungkapkan. Topic

percakapan merupakan satu rangkaian dengan tempat bicara dan waktu bicara.

Selain itu, Hymes (1972) mengemukakan beberapa variabel linguistik yaitu tempat

bicara, suasana bicara, orang yang terlibat dalam pembicaraan, tujuan percakapan, tindak

tutur, nada dan aksen, alat pengungkapan, norma-norma bicara dan jenis pembicaraan.

Dengan melihat pengertian kedwibahasaan tersebut, pengertian Fishman yang dijadikan

kerangka acuan dalam penelitian ini karena gambaran multilingual anggota masyarakat

memperlihatkan bahwa mereka dapat menggunakan semua kode yang ada dengan sama

baiknya.

Alasan utama yang menyebabkan terjadinya perubahan adalah kebutuhan orang untuk

berkomunikasi secara akrab secara satu sama lainnya. Bila dua individu yang berbeda

bertemu dan berkomunikasi, yang pertama dilakukan adalah mereka cenderung

menyesuaikan cara bicara mereka dan hal ini cenderung dilakukan agar mereka dapat

Page 11: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

saling berkomunikasi dan memahami (Poedjosoedarmo, 2004). Ketika berkomunikasi,

mereka bisa saja mengabaikan aturan kode standar, kemudian utnuk menjaga hubungan

mereka biasanya saling menyesuaikan diri.

Gejala seperti ini dapat dilihat pada dua atau lebih individu yang berasal dari latar

belakang dialek atau bahasa yang berbeda. Mereka terbiasa mengalihkan pola pikir

mereka dan berpikir lebih fleksibel. Selanjutnya orang yang bilingual atau multilingual

lebih toleran dari orang yang monolingual (De Cuellar, 1995).

Selanjutnya dikatakan bahwa identitas penutur akan mempengaruhi pemilahan

bahasa. Orang yang dialamatkan sebagai mitra tutur akan mempengaruhi pemilihan kode

tersebut. Hal yang tak kalah pentingnya yaitu bagaimana peranan yang mereka lakukan

dalam situasi tuturan tertentu. Orang kadang-kadang mengalihkan kode dalam satu ranah

atau situasi sosial. Ketika ada perubahan situasi, seperti datangnya orang baru, maka

mudah berubah untuk beralih kode. Alih kode bisa berhubungan dengan partisipan

tertentu atau mitra tutur. Seorang penutur menurut Holmes (1992) bisa beralih ke bahasa

lain sebagai tanda keanggotaan kelompok dan etnis dengan mitra tutur dan juga untuk

menunjukkan solidaritas dengan lawan tutur. Campur kode terjadi bilamana penutur

menggunakan kedua bahasa secara bersama-sama pada tingkatan bahwa mereka

mengubah dari satu bahasa ke bahasa lain dalam satu ujaran (Wardaugh, 1990).

Sehubungan dengan dampak penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual, maka

dapat mengakibatkan hilangnya bahasa dan juga difusi (Wardaugh, 1986).

Page 12: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode survey dengan pendekatan

sosiologi. Data yang diambil dari penelitian ini yaitu dalam bentuk peristiwa tutur yang

terjadi pada masyarakat di kelurahan Senggarang, kecamatan Tanjungpinang Kota,

Povinsi Kepulauan Riau. Informan dilibatkan untuk memberikan informasi tentang

tuturan yang berhubungan dengan kode yang digunakan di kelurahan tersebut.

Tuturan yang digunakan oleh masyarakat di kelurahan tersebut kemudian direkam

dan dicatat (Sudaryanto). Untuk melengkapi data, untuk mengetahui faktor-faktor sosial

yang mempengaruhi terjadinya masyarakat multilingual, data hasil wawancara akan

digunakan. Setelah data direkam dan dicatat, langkah selanjutnya yaitu

mengklasifikasikannya ke dalam berbagai tuturan yang ditemukan. Tuturan-tuturan itu

kemudian dianalisis.

1.7.2 Metode Analisi Data

Setelah pengumpulan data selesai, data tersebut kemudian dianalisis dengan

menggunakan metode deskriptif kulaitatif. Penelitian yang dilakukan semata-mata hanya

berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada

penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa

yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret tanpa mempertimbangkan benar salahnya

penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1992).

Page 13: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

1.7.3 Metode Penyajian Data

Metode yang digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian ini yaitu metode

kualitatif. Maksudnya data-data yang digunakan tidak berupa statistik melainkan hanya

diuraikan secara deskriptif.

1.8 Rencana Biaya Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian ilmiah dosen tahun 2012, biaya penelitian

berjumlah Rp.5.000.000,- dari anggaran UMRAH Tahun 2012.

1.9 Jadwal Penelitian

Minggu I : Persiapan

Minggu II-IV : Pengumpulan dan Analisis Data

Minggu V-IX : Penyusunan Laporan

Minggu X-XII : Laporan Akhir

Page 14: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

HASIL PENELITIAN

Dalam masyarakat Indonesia terdiri atas bermacam-macam budaya, ras, dan etnik dengan

sendirinya terdapat bermacam-macam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar

anggota masyarakatnya. Hal ini selaras dengan pendapat Poedjosoedarmo (1982: 526) bahwa

masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat yang dwibahasa. Fenomena seperti itu

terjadi pula pada masyarakat tutur di Kelurahan Senggarang. Secara geografis, Kelurahan

Senggarang merupakan kawasan perairan yang berdekatan dengan kota Tanjungpinang jika

menggunakan transportasi laut berupa sampan kecil (pompong).

Masyarakat di daerah Senggarang merupakan kelompok masyarakat yang multietnik, yaitu

kelompok etnik Tionghoa, Bawean, Melayu, Jawa, serta kelompok etnik lainnya. Masyarakat

yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat etnik Tionghoa, Bawean,

dan Melayu. Pemilihan masyarakat etnik Tionghoa, Bawean, dan Melayu didasarkan pada

anggapan sebagai berikut. Secara umum, mereka sekurang-kurangnya mempunyai tiga bahasa,

yaitu bahasa daerah Melayu (BM), Bawean (BBw), dan Tionghoa (BTi) sebagai alat komunikasi

kelompok, dan Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional.

Dalam berinteraksi sosial, bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat etnik

Melayu, Bawean, dan Tionghoa di berbagai ranah. Ranah pada hakikatnya merupakan konstelasi

dari faktor-faktor lokasi, topik, dan partisipan (Fishman dalam Fasold, 1984: 180). Selain itu, ia

juga membagi ranah menjadi lima yaitu: ranah rumah, sekolah, kehidupan sehari-hari, agama,

dan ranah pemerintahan. Penelitian ini difokuskan pada ranah kehidupan sehari-hari. Pemilihan

ranah tersebut didasarkan anggapan bahwa ranah ini terdapat pada setiap masyarakat bahasa.

Page 15: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Kemudian, di dalam ranah tersebut dapat terlihat adanya interaksi masyarakat sehingga

diasumsikan adanya pemakaian bahasa yang bervariatif.

Hubungan bahasa dan masyarakat atau faktor-faktor sosial banyak dikaji oleh para

sosiolinguis (Fishman, 1971; Wardaugh, 1986; Hudson, 1980, Holmes, 1992). Di dalam

sosiolinguistik, tidak hanya dibahas struktur formal semata sebagaimana dalam kajian linguistik

teoritis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat.

Banyak hal yang dapat dikaji dalam sosiolinguistik antara lain variasi bahasa, sikap bahasa,

kepunahan dan pemertahanan bahasa dan salah satunya yaitu penggunaan bahasa di masyarakat.

Kelompok-kelompok orang atau masyarakat saling berinteraksi dan terjadilah kontak bahasa

dengan menghasilkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang salah satunya dinamakan

multilingualisme atau keanekabahasaan karena kontak antara penutur dan mitra tutur melibatkan

lebih dari dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Arthur Yap

(1978) yang mengutip Labov (1971) mengemukakan bahwa semakin hari semakin banyak

menunjukkan bahwa masyarakat-masyarakat yang monolingual tidak sepenuhnya homogen. Jadi

heterogenitas berbahasa bukan saja lumrah, tetapi juga bersifat alamiah. Bila tidak terdapat alih

gaya dan sistem komunikasi yang bersifat ganda, maka kondisi homogen suatu masyarakat akan

mengalami kelainan fungsi. Para ahli bahasa tadinya tidak menyadari bahwa sesungguhnya

heterogenitas merupakan kekhususan masyarakat bahasa. Dengan kata lain, walaupun suatu

masyarakat bersifat homogen dari perspektif politik, sosio-ekonomi dan budaya, namun dari

perspektif bahasa, masyarakat tersebut adalah heterogen.

Selanjutnya Lyons (1970) mengatakan bahwa masyarakat tutur adalah semua orang yang

menggunakan suatu bahasa atau dialek tertentu. Demikian pula dengan Bloomfield dan Gumperz

Page 16: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

dalam Hudson (1971) yang mendefinisikan masyarakat tutur sebagai sekelompok orang atau

beberapa orang yang berinteraksi dengan menggunakan ujaran atau bahasa.

Penggunaan bahasa oleh masyarakat multilingual merupakan kajian yang penting untuk

diteliti karena dalam berinteraksi, seorang penutur akan terlibat berkomunikasi dengan mitra

tuturnya. Hal ini dapat dikatakan merupakan hal yang wajar sebab tidak ada negara yang

monolingual. Asumsi yang sama dikemukakan bahwa bahasa tidak pernah monolitik

keberadaannya (Bell, 1975). Karena adanya beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat

dalam berinteraksi, maka hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji. Apalagi penggunaan

multilingual itu terjadi pada masyarakat yang skalanya lebih kecil misalnya di sebuah kelurahan.

Wacana percakapan berikut ini merupakan contoh pemakaian bahasa yang terjadi pada

saat peristiwa tutur pada masyarakt etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa.

Campur Kode Bahasa Melayu dalam Bahasa Indonesia

Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari

masyarakat etnik Melayu di wilayah Senggarang dapat berwujud campur kode bahasa Melayu

dalam bahasa Indonesia. Campur kode BM dalam BI ini terjadi pada tuturan antar warga di

daerah pasar Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh wacana percakapan (1) berikut ini.

(1) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTAR WARGA KELURAHAN SENGGARANG

YAITU AHMAD DAN MUNAWAR.

Ahmad : Setiap hari hujan terus, macam mane nak keje.

„Setiap hari hujan terus, bagaimana mau kerja‟.

Munawar : Pokoknya diatur…macam mane baeknye aje tu jadwal.

Page 17: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

„Pokoknya diatur…bagaimana baiknya sajalah jadwal itu‟.

Ahmad : Ya sudah kalau begitu…rehat aje dulu.

„Ya sudah kalau begitu…istirahat saja dulu‟.

Tuturan wacana percakapan (1) di atas merupakan campur kode BM dalam Bahasa

Indonesia. Hal ini terlihat pada perckapan antara Ahmad dan Munawar yang ditunjukkan oleh

kata-kata BM, yaitu macam mane nak keje, „bagaimana mau kerja‟ di antara BI pada kata-kata

„setiap hari hujan terus‟. Selain itu, pada macam mane baeknye aje tu, „bagaimana baiknya

sajalah itu‟ juga disisipkan BI „pokoknya diatur‟ dan „jadwal‟. Kata rehat aje dulu juga termasuk

sisipan BM dalam BI „ya sudah kalau begitu‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau

sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian, wacana percakapan (1) merupakan campur

kode BM dalam BI. Selain itu, campur kode BM dalam BI dapat pula dilihat pada peristiwa tutur

yang antar warga masyarakat di warung makan. Hal ini dapat dilihat pada penggalan wacana (2)

berikut ini.

(2) KONTEKS : DI SALAH SATU WARUNG MAKAN KELURAHAN

SENGGARANG SEDANG TERJADI PERCAKAPAN ANTARA HASAN DAN

UDIN.

Hasan : Barangkali terjadi macam ni dekat Ayup, tidak benar semua!

„Barangkali terjadi seperti ini di tempat Ayub, tidak benar semua!‟

Udin : Betul itu, tak de yang betol dan orangnya pergi semua.

„Betul itu, tidak ada yang betul dan orangnya pergi semua‟.

Page 18: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Tuturan wacana percakapan (2) di atas merupakan campur kode BM dalam BI. Hal ini

dapat terlihat pada percakapan antara Hasan dan Udin yang ditunjukkan oleh kata-kataBM, yaitu

macam ni dekat Ayup, „seperti ini di tempat Ayub‟ di antara BI pada kata-kata „Barangkali

terjadi‟ dan „tidak benar semua‟. Selain itu, pada tak de yang betol, „tidak ada yang betul‟ setelah

kata-kata BI „betul itu‟ dan „dan orangnya pergi semua‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran

atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Untuk itu, wacana percakapan (2) di atas merupakan

merupakan campur kode BM dalam BI.

Campur Kode Bahasa Bawean dalam Bahasa Indonesia

Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari

masyarakat etnik Bawean di wilayah Senggarang dapat pula berwujud campur kode bahasa

Bawean dalam bahasa Indonesia. Campur kode BBw dalam BI ini terjadi pada tuturan antar

warga di salah satu warung nasi di Kelurahan Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh

wacana percakapan (3) berikut ini.

(3) KONTEKS : DARYONO DATANG KE WARUNG NASI UNTUK

BERTEMU KASIMIN. DI WARUNG NASI, TERJADILAH DIALOG ANTARA

DARYONO DAN KASIMIN.

Daryono : sendiri saja..tadi ta dek orang caing nang. Mareng

makan?

„sendiri saja..tadi tidak ada orang jalan‟. Sudah makan?

Kasimin : lagi sakek tabuk.

Page 19: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Dalam wacana percakapan (3) di atas digunakan campuran atau sisipan kata-kata dari BBw

yang dapat dilihat pada ta dek orang caing nang. Mareng makan? „tidak ada orang jalan. Sudah

makan?‟. Selain itu pada kata-kata ta dek orang caing nang. Mareng makan?, „tidak ada orang

jalan‟. Sudah makan?‟ juga disisipkan kat-kata BI seperti ‟ sendiri saja..tadi‟. kata sakek tabuk,

„sakit perut‟ merupakan BBw yang juga disisipkan BI „lagi‟. Hal ini menunjukkan adanya

campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain. Dengan demikian wacana percakapan (3) di

atas merupakan campur kode BBw dalam BI. Selain itu, campur kode BBw dalam BI dapat pula

dilihat pada antar warga. Hal ini dapat dilihat pada penggalan wacana percakapan (4) berikut ini.

(4 )KONTEKS : AKHMADI DATANG MENUJU PELANTAR SUNGAI

SENGGARANG. DI SANA IA BERTEMU DENGAN SARIMAN.

Akhmadi : sibuk sekali..ke bai apa bak na.

„sibuk sekali..kamu sedang buat apa‟.

Sariman : biasa saja…kamak na?.

„Biasa saja…mau kemana?‟

Akhmadi : moleh.

„pulang‟.

Tuturan dalam wacana percakapan (4) di atas menggunakan campuran atau sisipan kata-

kata dari BBw yang dapat dilihat pada ke bai apa bak na, „kamu sedang buat apa‟ di antara BI

„sibuk sekali‟. Selain itu, BI „biasa saja‟ juga disisipkan BBw kamak na, „mau kemana‟ dan

moleh, „pulang‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain.

Dengan demikian, wacana percakapan (4) di atas merupakan campur kode BBw dalam BI.

Page 20: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Campur Kode Bahasa Tionhoa (Tiochu) dalam Bahasa Indonesia

Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari

masyarakat etnik Tionghoa di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur kode bahasa

Tionghoa dialek Tiochu dalam bahasa Indonesia. Campur kode BTi dalam BI ini terjadi pada

tuturan antara warga Kelurahan Senggarang. Hal ini dapat dilihat pada contoh (5) berikut ini.

(5) KONTEKS : DI PASAR SENGGARANG, BONG BERTEMU

DENGAN AKIANG. KEMUDIAN TERJADILAH PERCAKAPAN DI ANTARA

MEREKA.

Bong : ai ke di dong…cepat sekali. Cak peng?.

„Mau kemana..cepat sekali. Sudah makan?‟

Akiang : bo..hong ki?

„tidak..rokok?‟

Bong : bo hoi kiak..beli dulu.

„tidak ada korek..beli dulu‟.

Wacana percakapan (5) di atas menggunakan campuran atau sisipan kata-kata dari BTi

dalam BI yang dapat dilihat pada ai ke di dong, „mau kemana‟ dan Cak peng?, „sudah makan‟

yang disisipkan BI „cepat sekali‟. Selain itu kata-kata bo..hong ki?, tidak..rokok? dan bo hoi

kiak, tidak ada korek‟ juga disisipkan BI „beli dulu‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau

sisipan bahasa dalam bahasa lain. Untuk itu, wacana percakapan (5) di atas merupakan campur

kode BTi dalam BI.

Page 21: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Campur Kode BBw dalam BM

Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari

masyarakat etnik Melayu dan Bawean di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur

kode BBw dalam BM. Campur kode BBw dalam BM ini terjadi pada tuturan antar warga. Hal ini

dapat dilihat pada contoh (6) berikut ini.

(6) KONTEKS : DI PELANTAR SUNGAI SENGGARANG, DARSA

BERTEMU DENGAN AMIN. KEMUDIAN TERJADILAH PERCAKAPAN ANTARA

MEREKA.

Darsa : ku laku ka Pinang…nak ikot tak awak?

„besok saya ke Pinang..kamu mau ikut tidak?‟

Amin : tak nak..tak de aeng.

„tidak mau..tidak ada air‟

Dalam wacana percakapan di atas (6) terdapat campuran atau sisipan kata-kata dari BBw

ku laku ka Pinang, „besok saya ke Pinang‟ yang disispi dengan BM nak ikot tak awak, „kamu

mau ikut tidak‟. Selain itu, BM tak nak, „tidak mau‟ juga diikuti dengan BBw tak de aeng,

„tidak ada air‟. Hal ini menunjukkan adanya campuran atau sisipan bahasa dalam bahasa lain.

Dengan demikian, wacana percakapan (6) di atas merupakan campur kode BBw dalam BM.

Page 22: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Campur Kode BM dalam BTi

Campur kode yang terjadi dalam peristiwa tutur pada ranah kehidupan sehari-hari

masyarakat etnik Melayu dan Tionghoa di Kelurahan Senggarang dapat pula berwujud campur

kode BM dalam BTi. Hal ini dapat dilihat pada contoh wacana percakapan (7) berikut ini.

(7) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTAR ALENG DAN AMIN

Amin : kenape le tak ce bo?

„kamu tidak sekolah..kenapa?‟

Aleng : bo

„tidak‟

Amin :ciak kui tak?

„mau kue tidak?‟

Tuturan wacana percakapan (7) di atas menggunakan campuran atau sisipan kata-kata dari

BM kenape, „kenapa‟ dalam BTi le tak ce bo, „kamu tidak sekolah‟. Selain itu, BTi bo, „tidak‟

dan ciak kui, „mau kue‟ juga disisipkan BM tak, „tidak‟.

Berdasarkan contoh wacana percakapan di atas, pemakaian bahasa pada masyarakat di

wilayah Senggarang dalam ranah kehidupan sehari-hari dapat dipandang mempunyai kekhasan

kode bahasa yang dapat dianalisi, di antaranya variasi kode bahasa yang terdiri atas alih kode dan

campur kode, pola pemilihan bahasa, sikap bahasa, serta faktor-faktor sosiokultural dalam

pemilihan bahasa pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan

Page 23: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

sehari-hari. Namun penelitian ini difokuskan pada permasalahan campur kode pada masyarakat

etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari.

Sumber data penelitian ini adalah masyarakat tutur etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa di

Kelurahan Senggarang di Kecamatan Tanjungpinang Timur yang terlibat dalam peristiwa tutur.

Masyarakat tutur etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa yang menjadi pengamatan dalam

penelitian ini adalah daerah Sungai, yang menjadi perwakilan beberapa daerah di Kelurahan

senggarang. Alas an pemilihan daerah Sungai dan pasar senggarang ini adalah dikarenakan akses

masyarakat di wilayah Tanjungpinang maupun Senggarang sendiri lebih dominan melewati

wilayah Sungai dan pasar senggarang dengan menggunakan transportasi laut berupa sampan

kecil (pompong). Pemilihan dua daerah tersebut sesuai pula dengan hasil penghitungan

dialektometri yang dilakukan oleh Noor (1999: 188-191). Kemudian untuk mengungkap akar

permasalahan tersebut digunakan tiga tahap strategis, yaitu (1) pengumpulan data, (2)

penganalisisan data, dan (3) penyajian hasil analisis.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua prosedur, yaitu (1) analisis

selama proses pengumpulan data dan (2) analisis setelah pengumpulan data (Miles dan

Huberman, 1984: 21-25; Muhajir, 1996: 105). Prosedur pertama dilakukan dengan langkah-

langkah: (1) reduksi data, yaitu identifikasi kode bahasa, (2) sajian data, dan (3) pengambilan

simpulan (verifikasi). Prosedur kedua dilakukan dengan langkah-langkah: (1) transkripsi data

hasil rekaman, (2) pengelompokkan data yang berasal dari perekaman dan pencatatan lapangan

berdasarkan ranah kehidupan sehari-hari, (3) penafsiran kode bahasa, serta (4) penyimpulan

tentang kode tuturan masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan

sehari-hari di Kelurahan Senggarang.

Page 24: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Selanjutnya, hasil analisis data disajikan dengan dua metode, yaitu: (1) metode informal

dan metode formal (Sudaryanto, 1993: 145-146). Metode informal dimanfaatkan untuk

menyajikan hasil analisis data yang berupa kata-kata biasa dalam terminology sosiolinguistik,

sedangkan metode formal dimanfaatkan untuk menyajikan hasil analisis data yang berupa

lambang-lambang.

Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat yang mengaitkan dua

bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistic dan struktur

masyarakat oleh sosiologi (Wardaugh, 1986: 4; Holmes, 1992: 1; Hudson, 1996: 2). Bahasa

dalam kajian sosiolinguistik

Tidak didekati sebagai bahasa dalam kajian linguistic teoretis, tetapi didekati sebagai

sarana interaksi di dalam masyarakat. Istilah sosiolinguistik muncul pada tahun 1952 dalam

karya Haver C. Currie (Dittmar, 1976: 27) yang menyatakan bahwa perlu adanya kajian

mengenai hubungan antara perilaku ujaran dan status sosial. Pada akhir tahun 1954

sosiolinguistik mulai berkembang, dipelopori oleh Committee on Sociolinguistik of the Sosial

Science research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistik of the International

Sociology Association (1967). Dalam kenyataan ini, sosiolinguistik dapat dipandang sebagai

disiplin ilmu yang relative baru.

Pada dasarnya, pemakaian bahasa dalam bahasa tidaklah monolitis, melainkan variatif

(Bell dalam Rokhman, 1998: 232). Pernyataan ini berarti bahwa bahasa atau bahasa-bahasa yang

dimiliki oleh satu masyarakat tutur dalam khazanah bahasanya selalu memiliki variasi karena

bahasa yang hidup dalam masyarakat selalu digunakan dalam peran-peran sosial tempat

penggunaan bahasa atau variasi bahasa itu. Peran-peran sosial itu berkaitan dengan berbagai

Page 25: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

aspek sosial psikologis yang kemudian dirinci dalam bentuk komponen-komponen tutur

(Poedjosoedarmo, 1982). Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur

control oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomiharjo, 1981; Fasold, 1984;

Hudson, 1996; Wijana, 1997: 5).

Hymes (dalam Wardaugh, 1986: 238-239) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim

SPEAKING, yang meliputi: (1) the setting and scene (latar dan suasana tutur), (2) the

participants (peserta tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topic tutur), (5) key (nada

tutur), (6) instrumentalities (sarana tutur), (7) norms of interaction and interpretation (norma-

norma tutur), dan (8) genre (jenis tutur)- yang merupakan salah satu topic dalam etnografi

komunikasi- yang oleh Labov (1972: 283) dan Fishman (1976: 15) disebut sebagai variable

sosiolinguistik. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang

dapat menentukan pemilihan bahasa.

Selanjutnya, menurut Haugen (1972: 79-80) dalam Rokhman (1998: 234), campur kode

merupakan bahasa campuran (mixture of language ) yaitu peristiwa pemakaian satu kata,

ungkapan atau frasa pendek dalam tuturan. Di Indonesia, Nababan (dalam Rokhman, 2000: 6)

menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa

Indonesia.

PENUTUP

Pemakaian bahasa dalam masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa merupakan

fenomena yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Masyarakat Indonesia

sebagian besar adalah masyarakat yang dwibahasa. Adanya kedwibahasaan atau

kemultibahasaan tersebut dapat memunculkan pemakaian bahasa yang bervariasi dalam

Page 26: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

masyarakat. Berdasarkan paparan di atas, pemakaian bahasa pada masyarakat etnik Melayu,

Bawean, dan Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari mempunyai kekhasan yang berupa

campur kode.

Selanjtunya, wujud campur kode dalam masyarakat etnik Melayu, Bawean, dan Tionghoa

pada ranah kehidupan sehari-hari di wilayah Senggarang terdiri atas (1) campur kode BM, (2)

campur kode BBw, (3) campur kode BTi.

Dari Simpulan di atas disarankan bahwa penelitian yang terfokus pada paparan campur

kode pada masyarakat etnik Melayu, Bawean, Tionghoa dalam ranah kehidupan sehari-hari di

wilayah Senggarang diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembinaan bahasa, serta

memberikan kontribusi dalam pengembangan teoretis dan metodologis pada bidang linguistic.

Topik penelitian ini diharapkan dapat menjadi pilihan model dalam mengkaji fenomena situasi

kebahasaan dalam konteks sosiokultural pada masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa

yang lainnya. Selain itu, situasi kebahasaan dalam masyarakat berdwibahasa atau bermultibahasa

dengan segala fenomena kebahasaan dan dengan segala keunikan lingkungan sosiokultural yang

melatarbelakanginya memerlukan kajian dari berbagai perspektif keilmuwan. Untuk itu,

kolaborasi interdisipliner yang terkait dengan fenomena tersebut sangat diperlukan sehingga

akan diperoleh paparan yang sistematis dan mendalam.

Page 27: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A, Agustina, L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. USA: Cambridge University

Press.

De Cuellar, Javier Perez, et.al. 1995. Our Creative Diversity: Report of the world Commission on

Culture and Development. Paris: UNESCO.

Downes, William. 1988. Language and Society. England: Fontana.

Dittmar, Nobert. 1976. Sociolinguistik: Goals, Approaches, and Problems. London: Bastford.

Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistik of Society. Oxford: Basil Blackwell.

Finegan, Edward, et.al. Language. Its Structure and Use. Australia: Harcourt Brace Jovanovich.

Fishman, J. 1972. The Sociology of Language: An interdisciplinary Social Science Approach to

Sociolinguistics. Rowley, Mass: Newbury House.

Haryono, C. Inny. 1990. Kelompok Dwibahasawan Indonesia-China Putonghoa di Pancoran-

Jakarta Barat. Depok: Fakultas Sastra UI.

Haugen, E. 1953. The Norwegian Language in America: A Study in Bilingual Behavior.

Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Holmes, janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistik. New York: Longman.

Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistik. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 28: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Kartomiharjo, Soeseno. 1981. Ethnography of Communicative Codes in East Java. Disertasi,

Pasific Linguistik, Series D, No.39, The Australian National University. Canberra.

Labov, Williams. 1972. Sociolinguistik Pattern. Philadelpia: University of Pennsylvania Press.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1988. Qualitative Data Analysis. Terjemahan

Tjetjep Rohendi Rehidi. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi III). Yogyakarta: Rakesarasin.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1982. “Kode dan Alih Kode” dalam Widyaparwa no 22 Tahun 1982.

Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, halaman 1-43.

Rokhman, Fathur. 1998. “Fenomena Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multibahasa:

Paradigma Sosiolinguistik”. Lingua Artistika no.3 Tahun XXI Tahun 1998. Semarang:

IKIP Semarang Press, halaman 229-241.

Romaine, Suzanne. 1995. Bilingualism. USA: Blackwell.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana

Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University.

Sumarsono, Partana Paina. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda

Wardaugh, Ronald. 1986. An introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.

Wijana, I Dewa Putu, 1997. “Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik” dalam makalah Temu

Ilmiah Bahasa dan Sastra di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

Page 29: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

Linguistik

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Page 30: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

PENGGUNAAN BAHASA OLEH MASYARAKAT MULTILINGUAL

DI KELURAHAN SENGGARANG

PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Oleh:

DEWI MURNI, S.S., M. Hum

RIAUWATI, S.S., M. Hum

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

DESEMBER 2012

3.1 Halaman Pengesahan I. Judul Penelitian :.Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Multilingual di Kelurahan

Senggarang Provinsi Kepulauan Riau II. Ketua Peneliti

Page 31: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

a. Nama Lengkap : Dewi Murni, S.S., M.Hum b. Jenis Kelamin : Perempuan c. NIPY : 751070046 d. Jabatan Struktural : Ka.Labor Bahasa FKIP e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli f. Fakultas/Jurusan : FKIP g. Perguruan Tinggi : Univ. Maritim Raja Ali Haji h. Alamat : Jl. Politeknik Senggarang i. Telpon/Faks : j. Alamat Rumah :Jl.Sultan Sulaiman Kp.Bulang Bawah no.18 k. Telpon/Faks/E-mail : 081270011980

2. Jumlah Anggota :1 orang 3. Jangka Waktu Penelitian : 3 bulan 4. Pembiayaan

Jumlah Biaya yang Diajukan : Rp ..5.000.000,-

Tanjungpinang, 12 November 2012

Mengetahui,

Dekan/Pembantu Dekan I/Ka. Puslit Ketua Peneliti,

Drs. H. Abdul Malik, M.Pd. Dewi Murni, S.S., M.Hum.

NIP: 19804091986011002 NIPY: 751070046

Menyetujui,

Ketua Lembaga Penelitian UMRAH

Ir. Soeharmoko, M.Sc

NIPY: 751070003

IDENTITAS PENELITIAN

Page 32: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI

I. Judul Penelitian: Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat Multilingual di kelurahan Senggarang Provinsi

kepulauan Riau.

1. Ketua peneliti

a. Nama lengkap : Dewi Murni, S.S., M.Hum.

b. Bidang Keahlian : Linguistik

c. Jabatan Struktural : Ka. Labor Bahasa FKIP

d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli

e. Unit kerja : Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan

f. Alamat Surat : Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan

g. Telepon/Faks : 081270011980

h. E-mail : [email protected]

2. Anggota Peneliti

No Nama Bid. Instansi keahlian Alokasi Jam/Minggu

1. Riauwati, S.S., M.Hum Linguistik 5 jam

3. Bidang penelitian (Isu/tema yang akan diteliti): (sosiolinguistik) Linguistik

4. Masa Pelaksana Penelitian

Mulai : 30 Nopember 2012

Berakhir : 28 Februari 2013

5. Anggaran yang diusulkan

Anggaran keseluruhan : Rp. 5.000.000

6. Lokasi Penelitian : Kelurahan Senggarang Tanjungpinang

7. Institusi Lain yang Terlibat : Tidak ada

8. Luaran yang Akan Dihasilkan: Mampu memberikan khazanah pemikiran dalam kajian

sosiolinguistik yang berhubungan dengan bahasa, budaya, dan masyarakat.

Page 33: PENGGUNAAN BAHASA PADA MASYARAKAT MULTILINGUAL DI