23
Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017 PENGGUNAAN METODE KONSTRUKSI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI Abstract The Constitutional Court, as the guardian of the constitution, does not only uses interpretation. It goes beyond, the Court also apply legal construction to examine constitutional cases. The adoption of construction is to reconstruct constitutional values (constitutional construction) and also norms in the Law in question (statutory construction). This article aims to identify judicial review cases in which the Court uses legal construction, at both level. In addition, this paper also highlights the Court decision which reconstructs the norm in a statute. With emphasis on the statutory construction, this paper seeks to find conditions that trigger the Court venture on discovering the laws by adopting constructions methods. This paper is divided into four sections in which the first part is the background, followed by a theoretical approach of separation between interpretation and construction. Furthermore, the third part is a case study on the use of construction, both constitutional and statutory construction, in the Court rulings, and lastly ended with a concluding section. Keywords: the Constitutional Court, interpretation, constitutional construction, statutory construction. Intisari Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi tidak hanya melakukan penafsiran, tetapi lebih jauh dari itu, MK juga menggunakan pendekatan konstruksi hukum. Metode konstruksi diadopsi MK tidak hanya dalam tingkat konstitusi (constitutional construction) namun juga dilakukan MK untuk merekonstruksi norma Undang-Undang (statutory construction). Artikel ini bertujuan untuk menelisik putusan-putusan pengujian Undang-Undang dimana MK menggunakan pendekatan konstruksi hukum, baik ditingkat konstitusi maupun pada level Undang- Undang. Tulisan ini juga menitikberatkan pada putusan yang merekonstruksi norma Undang-Undang dalam upaya untuk menemukan hal-hal yang memicu MK berpetualang menemukan hukum dengan menggunakan konstruksi hukum. Tulisan ini dibagi dalam empat bagian dimana bagian pertama merupakan latar belakang yang diikuti dengan pendekatan teoritis mengenai pemisahan antara penafsiran dan konstruksi. Selanjutnya, pada bagian ketiga merupakan studi kasus penggunaan metode kontruksi dalam tingkat konstitusi maupun Undang-Undang yang terkandung dalam putusan pengujian Undang-Undang yang diakhiri dengan bagian penutup. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, penafsiran, konstruksi konstitusional, konstruksi undang-undang. A. Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak jarang mengundang kontroversi. Ada yang mendukung dan tidak jarang juga yang tidak setuju dengan putusan yang dikeluarkan majelis hakim konstitusi. Terlebih, bilamana MK mengeluarkan amar 1

PENGGUNAAN METODE KONSTRUKSI HUKUM DALAM … fileMahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi tidak hanya melakukan penafsiran, tetapi lebih jauh

Embed Size (px)

Citation preview

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

PENGGUNAAN METODE KONSTRUKSI HUKUM DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Abstract The Constitutional Court, as the guardian of the constitution, does not only uses interpretation. It goes beyond, the Court also apply legal construction to examine constitutional cases. The adoption of construction is to reconstruct constitutional values (constitutional construction) and also norms in the Law in question (statutory construction). This article aims to identify judicial review cases in which the Court uses legal construction, at both level. In addition, this paper also highlights the Court decision which reconstructs the norm in a statute. With emphasis on the statutory construction, this paper seeks to find conditions that trigger the Court venture on discovering the laws by adopting constructions methods. This paper is divided into four sections in which the first part is the background, followed by a theoretical approach of separation between interpretation and construction. Furthermore, the third part is a case study on the use of construction, both constitutional and statutory construction, in the Court rulings, and lastly ended with a concluding section. Keywords: the Constitutional Court, interpretation, constitutional construction, statutory construction.

Intisari Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi tidak hanya melakukan penafsiran, tetapi lebih jauh dari itu, MK juga menggunakan pendekatan konstruksi hukum. Metode konstruksi diadopsi MK tidak hanya dalam tingkat konstitusi (constitutional construction) namun juga dilakukan MK untuk merekonstruksi norma Undang-Undang (statutory construction). Artikel ini bertujuan untuk menelisik putusan-putusan pengujian Undang-Undang dimana MK menggunakan pendekatan konstruksi hukum, baik ditingkat konstitusi maupun pada level Undang-Undang. Tulisan ini juga menitikberatkan pada putusan yang merekonstruksi norma Undang-Undang dalam upaya untuk menemukan hal-hal yang memicu MK berpetualang menemukan hukum dengan menggunakan konstruksi hukum. Tulisan ini dibagi dalam empat bagian dimana bagian pertama merupakan latar belakang yang diikuti dengan pendekatan teoritis mengenai pemisahan antara penafsiran dan konstruksi. Selanjutnya, pada bagian ketiga merupakan studi kasus penggunaan metode kontruksi dalam tingkat konstitusi maupun Undang-Undang yang terkandung dalam putusan pengujian Undang-Undang yang diakhiri dengan bagian penutup. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, penafsiran, konstruksi konstitusional, konstruksi undang-undang.

A. Pendahuluan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak jarang mengundang kontroversi. Ada

yang mendukung dan tidak jarang juga yang tidak setuju dengan putusan yang

dikeluarkan majelis hakim konstitusi. Terlebih, bilamana MK mengeluarkan amar

1

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

putusan yang menyatakan norma yang diuji adalah (in)konstitusional bersyarat. Pihak

yang tidak sejalan dengan amar putusan berdalih bahwa MK bertindak diluar dari

kewenangannya. Bahkan pembentuk Undang-Undang pun pernah memiliki

kecenderungan untuk membatasi kewenangan MK.1

Terlepas dari wacana perdebatan di wilayah politik maupun akademik, MK telah

berulang kali mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan aturan Undang-Undang.

Sebuah studi telah mengidentifikasi dan mengelompokkan putusan-putusan “tidak

biasa” yang dikeluarkan MK antara tahun 2003-2015.2 Sayangnya, kajian akademik

mengenai hal ini amatlah jarang, terlebih dalam hal permasalahan metode penemuan

hukum yang dilakukan majelis hakim konstitusi. Penemuan hukum yang dilakukan oleh

majelis hakim dalam putusan-putusan peradilan umum banyak ditemukan sebagai

contoh kasus dalam kajian akademik. Akan tetapi, mimbar untuk mewacanakan

konstruksi hukum dalam hukum konstitusi masih dibiarkan terbuka lowong.

Tulisan ini berpendirian bahwa putusan-putusan MK tidak hanya merupakan

penafsiran akan tetapi terdapat juga putusan-putusan yang merupakan bentuk dari

konstruksi hukum. Pemisahan antara penafsiran (interpretasi) dan konstruksi hukum

terbenam dalam ilmu hukum di Indonesia. Padahal, gagasan mengenai pemisahan ini

telah sering diwacanakan oleh para ahli hukum Indonesia. Oleh sebab itu, pada bagian

pertama pembahasan akan diulas mengenai wacana teoritik pembedaan antara

penafsiran dan konstruksi hukum. Pada bagian berikutnya tulisan ini akan mengulas

putusan-putusan dimana majelis hakim cenderung menggunakan pendekatan konstruksi

hukum. Metode konstruksi hukum dimaksudkan untuk mengisi kekosongan hukum.

Selain untuk mengisi kekosongan hukum, pertanyaan yang perlu diajukan adalah

adakah faktor lain yang mendorong MK untuk menggunakan metode konstruksi.

Persoalan ini menjadi bahan utama dalam upaya pengungkapan faktor pendorong MK

untuk menggunakan konstruksi. Sedangkan pada bagian terakhir merupakan penutup

1 Presiden dan DPR pernah mengeluarkan aturan bahwa amar putusan MK tidak boleh memuat: (a) amar selain dari “mengabulkan atau menolak” permohonan dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima; (b) perintah kepada pembuat UU; dan (c) rumusan norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011. Namun norma ini dibatalkan oleh MK dalam putusan Nomor 48/PUU-IX/2011

2 Yang dimaksudkan dengan putusan “tidak biasa” adalah putusan dimana majelis hakim keluar dari pakem aturan mengenai amar putusan yang diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi. Jumlah putusan tersebut adalah 108 putusan (yang dikeluarkan antara tahun 2003-2015), dibagi atas 4 kelompok, yaitu (1) menambahkan norma baru; (2) mengubah ketentuan yang ada; (3) menunda keberlakuan putusan; dan (4) mengisi kekosongan hukum. Lebih lengkapnya lihat Bisariyadi, “Atypical Rulings of the Indonesian Constitutional Court”, Hasanuddin Law Review, Vol 2 Issue 2, August 2016.

2

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

tulisan ini. Dengan demikian, tulisan ini akan terdiri dari empat bagian yaitu (i)

pendahuluan, (ii) wacana pembedaan antara interpretasi dan konstruksi, (iii) analisis

putusan-putusan MK yang menggunakan pendekatan konstruksi dan (iii) penutup.

B. Pembahasan

1. Pemisahan Interpretasi dan Konstruksi

Wacana pembedaan antara penafsiran (interpretation) dan konstruksi

(construction) hukum merupakan kajian klasik. Perdebatan akademik yang

didedikasikan untuk mengulas pemisahan penafsiran-konstruksi tak kunjung usai.

Perbedaan sistem hukum yang diadopsi suatu negara juga berkontribusi pada

pembedaan penafsiran-konstruksi. Sistem hukum Civil Law membuka kemungkinan

atas metode penafsiran yang jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan negara-negara

yang menganut Common Law. Hal ini memberikan nuansa yang berbeda dalam

mengkonstruksikan norma peraturan perundang-undangan.3 Bahkan, ada yang

berpendapat bahwa pemisahan antara penafsiran-konstruksi didasarkan pada

kecenderungan masing-masing penulis terhadap sistem hukum. Kalangan penganut

sistem Civil Law tidak memisahkan penafsiran dan konstruksi sedangkan mereka yang

condong pada sistem Common Law akan memisahkannya dengan tegas.4

Di negara-negara Civil Law, penafsiran dan konstruksi dianggap merupakan satu

kesatuan sebagai bagian dalam penemuan hukum. Terdapat selisih pandangan mengenai

metode-metode yang termasuk sebagai konstruksi. Sudikno Mertokusumo berpendapat

metode konstruksi hukum disebut juga dengan “metode eksposisi”. Mertokusumo

merujuk pada pendapat Alida Maria-Bos yang menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan metode eksposisi adalah “metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk

pengertian, bukan untuk menjelaskan barang”.5 Metode eksposisi dibedakan dari

metode analogi, a contrario, dan penyempitan makna. Metode tersebut termasuk cara

berpikir dengan memperbandingkan sehingga penafsiran dan analogi tidak dapat

3 William Tetley, Mixed Jurisdictions: Common Law vs Civil Law (Codified and Uncodified), sebagaimana dikutip dalam Gunawan Widjaja, Lon Fuller, “Pembuatan Undang-Undang dan Penafsiran Hukum”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. 1 Juli 2006, hlm 31.

4 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung Tbk, Jakarta, hlm. 144

5 Alida Maria-Bos, 1967, Over Methoden van begripsvorming in het recht. (AE.E Kluwer Deventer) sebagaimana dikutip dalam Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cet. 5, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm 94.

3

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

dipisahkan secara prinsipiil.6 Sementara, pakar hukum lainnya berpendapat bahwa

metode analogi, a contrario dan penyempitan hukum merupakan bagian dari metode

konstruksi.7 Terlepas dari selisih pendapat diantara para teoritisi mengenai metode

mana yang termasuk sebagai konstruksi hukum, semuanya sepakat bahwa konstruksi

hukum digunakan pada situasi dimana terdapat kekosongan hukum atau tidak ada

undang-undang yang mengaturnya.8 Sehingga tujuan pengadilan untuk menggunakan

metode konstruksi adalah untuk mengisi kekosongan tersebut.

Tidak hanya dalam sistem Civil Law, di negara-negara Common Law, terutama di

Amerika Serikat, gagasan mengenai pemisahan antara interpretasi dan konstruksi juga

menghiasi literatur akademik. Bahkan, berkembang ide pemisahan penafsiran-

konstruksi dalam lingkup wilayah persoalan konstitusi.9 Diantaranya, Keith Whittington

yang menulis buku mengenai penafsiran konstitusi10 dan konstruksi konstitusi.11

Berangkat dari karya ini, ahli-ahli hukum seperti Lawrence B. Solum,12 Randy

Barnett,13 dan Laura Cisneros14 mulai melahirkan kajian-kajian yang memperhatikan

mengulas pemisahan penafsiran dan konstruksi secara mendalam.

Namun, gagasan pemisahan penafsiran-konstruksi merupakan wacana klasik di

Amerika yang telah didengungkan sejak awal 1800-an. Adalah Francis Lieber yang

6 Ibid. Sudikno Mertokusumo, hlm 95 7 Jimly Asshidiqie, 1997, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, cet. I, Ind. Hill Co., Jakarta,

hlm. 17-18; lihat juga Jazim Hamidi, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah – Filsafat dan metode tafsir, edisi revisi, UB Press, Malang; Lihat juga Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, (Rechtsvinding), diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, 2001, Laboratorium Hukum FH Univ Parahyangan, Bandung.

8 Ibid, Jazim Hamidi, hlm 52-53; lihat juga Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 87 9 Dalam negara-negara Common Law, dibedakan secara tegas antara penafsiran UU (statutory

interpretation) dengan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation). Lihat James Allan Senior, “Constitutional Interpretation v. Statutory Interpretation”, Legal Theory, 6(1), March 2000, hlm. 109-122; lihat juga Kent Greenwalt, Constitutional and Statutory Interpretation, dalam Jules Coleman, Kenneth Einar Himma and Scott J. Shapiro (eds), 2014, The Oxford Handbook of Jurisprudence and Philosophy of Law, Oxford University Press, Oxford. Sedangkan, negara-negara yang mengadopsi Civil Law hanya mengenal “penafsiran hukum”, tanpa membedakannya secara jelas. Adapun, penafsiran konstitusi hanyalah merupakan bentuk khusus dari penafsiran hukum, lihat Heinrich Scholler, “Notes on Constitutional Interpretation”, Makalah, Januari 2004 (dipublikasikan terbatas oleh Hanns Seidel Foundation Indonesia)

10 Untuk pembahasan lebih lanjut lihat Keith Whittington, 1999, Constitutional Interpretation: Textual Meaning, Original Intent, and Judicial Review, University Press of Kansas, Kansas.

11 Lihat juga buku yang dituliskan Keith Whittington,. Constitutional Construction: Divided Powers and Constitutional Meaning, 1999, Harvard University Press, Cambridge.

12 Lawrence B. Solum, “The Interpretation-Construction Distinction”, Constitutional Commentary, Vol. 27, 2010, hlm 676.

13 Randy Barnett, “Interpretation and Construction”, Harvard Journal of Law and Public Policy, vol. 34, 2011, hlm. 65-72

14 Laura A. Cisneros, “The Constitutional Interpretation/Construction Distinction: A Useful Fiction”, Constitutional Commentary, Vol. 27, 2010, hlm 71

4

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

pernah mengulas mengenai hermeneutika yang menurutnya merupakan cabang ilmu

pengetahuan yang membahas prinsip dan aturan interpretasi dan konstruksi.15 Lieber

juga menyusun sembilan prinsip-prinsip dasar dan enam belas prinsip-prinsip umum

konstruksi.16 Prinsip tersebut merupakan kaidah regulatif yang mengatur cara

pemahaman yang memungkinkan adanya interpretasi dan konstruksi.

Perbedaan antara interpretasi dan konstruksi bisa dilihat dari beragam sisi. Bila

dilihat dari sisi metode, maka penafsiran identik dengan metode historis (original

intent), sedangkan metode penafsiran lainnya (non-originalist) merupakan bentuk dari

konstruksi. Akan tetapi, pembedaan dari sisi metode ini tidaklah nampak jelas sebab

spektrum variasi antara originalist dan non-originalist amatlah beragam.17 Sudut

pandang yang lebih jelas pembedaannya adalah dari sisi proses pencarian makna dan

pengejewantahannya. Lawrence B. Solum membuat definisi yang membatasi

interpretasi dan konstruksi dalam wilayah kajian konstitusi

“Constitutional interpretation is the activity that discerns the communicative content (linguistic meaning) of the constitutional text. Constitutional construction is the activity that determines the content of constitutional doctrine and the legal effect of the constitutional text.”18

Kedua kegiatan ini, secara sekilas, tampak serupa. Keduanya adalah kegiatan yang

beupaya menggali makna dari suatu teks hukum. Namun, kegiatan mengkonstruksi

selangkah lebih banyak dibandingkan proses menafsirkan. Konstruksi tidak hanya

menggali makna suatu kata atau istilah namun menerjemahkannya menjadi doktrin

hukum untuk diterapkan.

Perbedaan antara konstruksi dan penafsiran dapat ditarik dari perbedaan antara

kata-kata yang mengandung “ketidakjelasan” atau kata-kata yang mengandung makna

ganda (ambigu), “... ambiguities in legal texts can be resolve by interpretation, but

vagueness always requires construction.”19 Sebagai contoh, frasa “dipilih secara

15 Francis Lieber, 1839, Legal and Political Hermeneutics: Principles of Interpretation and Construction in Law and Politics, 3rd edition, Boston, Charles C. Little and James Brown, hlm. 55

16 Sebagaimana dikutip dalam James Farr, Amerikanisasi Hermeneutika: Legal and Political Hermeneutics karya Francis Lieber, dalam Gregory Leyh (ed), 2014, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori dan Praktek, Nusa Media, Bandung hlm. 141-145 (diterjemahkan oleh M Khozim).

17 Pembedaan antara pengguna metode historis (originalist) dan non-originalist merupakan sebuah kenyataan dalam dunia hukum tata negara di Amerika. Perdebatan lebih lengkapnya lihat Laura A. Cisneros, Op. Cit, hlm. 72

18 Lawrence B. Solum, “Originalism and Constitutional Construction”, Fordham Law Review, vol 82, 2013, hlm. 457

19 Lawrence B. Solum, Op. Cit., hlm. 98; sedangkan mengenai perbedaan istilah “ambigu” dan “tidak jelas” adalah “Ambiguity refers to words that have more than one sense or meaning. Vagueness refers

5

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur mengenai tata cara

pemilihan kepala daerah merupakan frasa yang “ambigu”. Frasa “dipilih secara

demokratis” bisa dimaknai beragam yaitu melalui mekanisme pemilihan langsung atau

tidak langsung. Keduanya termasuk sebagai tata cara yang demokratis. Hal ini menjadi

persoalan konstitusional ketika sekelompok warga negara mengajukan pertanyaan

kepada MK apa makna “dipilih secara demokratis” harus diartikan dengan melalui

pemilihan langsung.20 Dalam Putusannya, MK berpendapat bahwa rumusan frasa

“dipilih secara demokratis” adalah memang dimaksudkan untuk memberi makna ganda.

Hal ini disepakati oleh Penyusun Perubahan UUD 1945 dengan pertimbangan

pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan

istimewa sehingga mekanisme pemilihannya tidak bisa diseragamkan. Selain itu,

rumusan frasa ini juga memeri ruang bagi pembuat UU untuk mempertimbangkan cara

yang tepat dalam penyelenggaraan pemilihan.21 Dengan demikian, MK mengakui

ambiguitas frasa “dipilih secara demokratis” dan menafsirkan bahwa frasa tersebut

memang sengaja dipilih oleh Penyusun Perubahan UUD untuk memberi kewenangan

kepada Pembuat UU memilih mekanisme pemilihan yang dianggap sesuai dengan

kondisi dan situasi pada saat pemerintahan berjalan.

Berbeda halnya ketika MK melihat frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33

ayat (3) UUD1945. Frasa “dikuasai oleh negara” tidaklah bermakna ganda, frasa ini

mengandung ketidakjelasan (vagueness). Oleh karenanya, MK mengkonstruksikan

istilah “dikuasai oleh negara” dimana

“... perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan

to the penumbra or borderline of a word’smeaning, where it may be unclear whether a certain object is included within it or not.” lihat Randy Barnett, Op. Cit., hlm 67.

20 Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945

21 Ibid, hal. 108

6

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”22

Selanjutnya, konstruksi MK atas istilah “dikuasai oleh negara” menjadi doktrin yang

memiliki kekuatan hukum berlaku. Doktrin itu menjadi parameter untuk mengukur

konstitusionalitas kebijakan hak menguasai negara di bidang ketenagalistrikan dalam

pemeriksaan perkara pengujian UU Ketenagalistrikan. Dalam pertimbangan putusan

pengujian UU Ketenagalistrikan, MK berpendapat bahwa hak negara untuk menguasai

kepemilikan cabang produksi yang penting tidak berarti bahwa penguasaan kepemilikan

saham di perusahaan milik negara tidaklah harus mutlak 100% sepanjang tata

pengelolaan (beheersdaad) sumber-sumber kekayaan tersebut tetap terpelihara.23

Dengan demikian, privatisasi tidaklah dilarang selama pemerintah tetap menjadi

penentu utama kebijakan dalam perusahaan milik negara.

Salah satu dasar untuk menggunakan pendekatan konstruksi adalah dalam rangka

mengisi ruang kosong dalam hukum.24 Dalam kenyataan, kekosongan hukum adalah

suatu keniscayaan. Tidak ada negara didunia yang tidak mengenal adanya keadaan

kekosongan hukum, bahkan dalam bidang ketatanegaraan, meskipun dengan

menggunakan istilah yang berbeda-beda. Penyebutan yang berbeda ditiap negara

(misalnya: legal gaps, legislative ommissions) menyebabkan kajian mengenai

kekosongan hukum mengalami persoalan tersendiri bila melakukan pendekatan

perbandingan. Sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh the Conference of

European Constitutional Courts (CECC) di Lithuania pada Juni 2008 dimaksudkan

untuk membahas mengenai problem kekosongan hukum di negara-negara Eropa dengan

menyajikan pendekatan komparatif atas gejala yang terjadi di masing-masing negara

anggota.25 Laporan hasil konferensi menemukan bahwa faktor penyebab adanya

kekosongan hukum itu diakibatkan karena faktor obyektif dan subyektif.26 Yang

22 Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2004, Terbit Hari Selasa tanggal 21 Desember 2004, hal. 334

23 Ibid, hal. 336 24 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni, Bandung,

hlm. 52. Lihat juga Ahmad Rifai, 2014, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, cet. 3, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 74.

25 Venice Commission, General report of the XIVth Congress of the Conference of European Constitutional Courts on “Problems of Legislative Ommission in Constitutional Jurisprudence”, Strasbourg, December 2008, bisa diakses pada http://www.venice.coe.int/files/Bulletin/SpecBull-legislative-omission-e.pdf

26 Ibid.

7

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

termasuk dalam faktor-faktor obyektif adalah dinamika kehidupan yang berubah kian

cepat sehingga hukum senantiasa ketinggalan dari perkembangan masyarakat.

Sedangkan faktor subyektif penyebab kekosongan hukum menekankan pada unsur

subyektifitas dari adanya ketidakmampuan pembentuk Undang-Undang untuk

mengantisipasi perubahan zaman.

Disisi lain, Hans Kelsen berpendirian bahwa tidak mungkin ada ruang kosong

dalam hukum akibat ketiadaan pengaturan norma yang mengatur suatu peristiwa. Ketika

suatu peristiwa atau keadaan itu tidak ada hukumnya, bukan berarti bahwa keadaan itu

merupakan kekosongan hukum. Hukum memang belum mengatur keadaan tersebut

sehingga bukan berarti bahwa keadaan itu tanpa aturan hukum. Pendekatan yang

digunakan Kelsen adalah bahwa sesuatu yang tidak dilarang sejatinya merupakan

sesuatu yang dibolehkan.27 Dalam teorinya, Kelsen berpendapat

“It is the fiction that the legal order has a gap, meaning that prevailing law cannot be applied to a concrete case because there is no general norm which refers to this case. The idea is that it is logically impossible to apply the actually valid law to a concrete case because the necessary premise is missing.28

Di Indonesia, kekosongan hukum sering diidentikkan dengan istilah rechtsvacuum

meskipun ada ahli hukum yang berpendirian bahwa rechtsvacuum tidaklah tepat untuk

diterjemahkan sebagai kekosongan hukum sehingga diperkenalkanlah istilah yang

berbeda.29Secara kontekstual, rechtsvacuum yang dimaksud adalah untuk menyatakan

adanya kekosongan peraturan perundang-undangan.30 Dalam kenyataan di Indonesia

sering dijumpai gejala-gejala kekosongan peraturan perundang-undangan ini. Atas

adanya celah dalam hukum (peraturan perundang-undangan) berbagai pihak, baik itu

perorangan warga negara maupun badan hukum memiliki koridor yang disediakan oleh

konstitusi untuk mengajukan perkara pengujian UU terhadap UUD.

Kewenangan MK,sejatinya, adalah untuk menguji UU terhadap UUD. Mekanisme

pengujian UU dimaksudkan sebagai alat pemaksa agar pembentuk UU taat pada nilai-

27 Pendekatan Kelsen serupa dengan ushul fiqh dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa “hukum asal pada sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini”. Imam Asy (لصألا اذه نع لقنلا ىلع لدي ليلد موقي ىتح ةحابإلا ةقولخملا ءايشألا يف لصألا ن)Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam,

28 Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law and State, Harvard University Press, Massachussets, hlm. 146

29 Jazim Hamidi memperkenalkan istilah wetsvacuum bukan rechtsvacuum, lihat Jazim Hamidi, Op.Cit hlm. 52.

30 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, IND-HILL.Co, Jakarta, hlm 72-73

8

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

nilai konstitusi. Dengan demikian, pengujian UU adalah untuk menegakkan prinsip

konstitusionalitas hukum yang merupakan syarat paham negara hukum maupun

demokrasi konstitusional.31MK hanya diberi kewenangan untuk melakukan pengujian,

akan tetapi karakteristik pengujian ini sendiri mengalami pergeseran. Dalam beberapa

kesempatan, pengujian yang dilakukan MK mengarah pada pembentukan

hukum,32dimana MK merekonstruksi norma peraturan perundang-undangan yang

sedang diuji agar memenuhi kriteria konstitusional. Lebih jauh lagi, konstruksi yang

dilakukan oleh MK tidak hanya pada tahap perundang-undangan (statutory), tetapi juga

pada level konstitusi (constitutional construction).

2. Penggunaan Metode Konstruksi dalam Putusan

Putusan MK memiliki beberapa wajah. Artinya, pertimbangan hukum yang ada

dalam putusan MK bisa mengandung penafsiran/konstruksi dalam tingkat konstitusi

(constitutional) tapi lebih sering juga berada pada tingkat perundang-undangan

(statutory).

a. Constitutional Construction

Pertimbangan hukum majelis hakim konstitusi dalam putusan pengujian UU kerap

menafsirkan makna yang terkandung Pasal-Pasal dalam UUD terlebih dahulu sebelum

menyentuh pada pengujian norma dalam UU yang dimohonkan. Inilah yang

dimaksudkan dengan konstruksi hukum pada tingkat konstitusi. Sebagaimana juga telah

dicontohkan diatas dalam putusan nomor 001-021-022/PUU-I/2003, majelis hakim

terlebih dahulu mempertimbangkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33

ayat (3) UUD 1945. Dalam putusan ini, MK mengkonstruksi makna konstitusional dari

frasa “dikuasai oleh negara” yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, MK juga pernah dihadapkan pada pertanyaan apakah pemilu legislatif

dengan pemilu anggota lembaga perwakilan (DPR, DPR dan DPRD) dilakukan secara

terpisah ataukah dilakukan secara serentak. Pertanyaan ini didasarkan pada kenyataan

bahwa pembentuk UU telah menetapkan bahwa “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

31 I Dewa Gede Palguna, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 51

32 Istilah “pembentukan hukum” diartikan sebagai merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, hakim dimungkinkan pula membentuk hukum kalau hasil penemuan hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi yang diikuti para hakim dan menjadi pedoman masyarakat yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkret tetapi memperoleh kekuatan berlaku umum; lihat Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 48.

9

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.”33

Ditambah, kebiasaan ketatanegaraan yang dilakukan, yaitu dalam pemilu 1999, 2004

dan 2014, pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif telah diselenggarakan secara

terpisah. Namun, konstitusi tidak mengatur hal ini secara eksplisit. Pada putusan

pertama34 yang menguji Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 42 Tahun 2008, MK berpendapat

bahwa praktek yang telah berjalan yaitu dengan menyelenggarakan pemilu anggota

legislatif sebelum pemilu presiden merupakan kebiasaan (desuetudo) yang

menggantikan ketentuan hukum. Karena kebiasaan ini telah diterima maka dianggap

tidak bertentangan dengan hukum meskipun tidak ada aturan konstitusional yang

melandasinya.35 Secara tidak langsung, MK ingin mengatakan bahwa ada kekosongan

hukum atau kehampaan aturan konstitusional mengenai keserentakan penyelenggaraan

pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Akan tetapi dalam pengujian Pasal 3 ayat (5) UU Nomor 42 tahun 2008 yang

kedua,36 majelis hakim konstitusi memiliki pendapat yang berbeda.37 MK mengubah

pandangannya dengan menyatakan bahwa praktik ketatanegaraan yang menjadi

pertimbangan dalam putusan sebelumnya tidak dapat menjadi norma konstitusional

untuk menentukan konstitusionalitas suatu norma. Kekuatan mengikat dari praktik

ketatanegaraan tidak lebih hanya sekedar keterikatan moralitas konstitusi (constitutional

morality).38 Oleh karenanya, dalam pengujian kedua MK melakukan konstruksi atas

Pasal 6A ayat (2) dan 22E ayat (2) UUD 1945. Dengan mempertimbangkan pada (1)

33 Pasal 3 ayat (5) UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden yang kemudian diuji oleh MK melalui perkara Nomor 14/PUU-XI/2013

34 Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 35 Ibid, paragraf [3.16.5] 36 Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 37 Komposisi majelis hakim yang mengambil putusan dalam kedua putusan ini tidak jauh berbeda.

Maejlis hakim yang mengambil putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 adalah Moh. Mahfud MD., Maruarar Siahaan, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim. Sedangkan komposisi mejelis hakim yang mengambil putusan nomor 14/PUU-XI/2013 adalah Moh. Mahfud MD, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman. Ada 4 hakim konstitusi yang sama yang duduk dalam majelis hakim yang mengambil kedua putusan tersebut, yaitu Moh. Mahfud MD, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki dan Akil Mochtar. Dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, terdapat 3 orang hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar, yang pada intinya menyatakan bahwa MK seharusnya menggunakan pendekatan penafsiran historis dengan melihat original intent penyusunan UUD yang menginginkan pemilu Presiden dan pemilu anggota legislatif dilaksanakan dalam waktu yang sama. Dengan demikian, hanya M Akil Mochtar yang konsisten pendapatnya antara putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan nomor 14/PUU-XI/2013. Sedangkan Moh. Mahfud MD, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki mengubah pendiriannya.

38 Ibid. paragraf [3.16]

10

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, (2)

original intent dari pembentuk UUD 1945, (3) efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan

pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas,39 MK

mengkonstruksi bahwa konstitusi secara tersirat telah mengatur pemilu Presiden dan

pemilu anggota legislatif haruslah diselenggarakan secara serentak.

Putusan MK yang mengkonstruksikan agar penyelenggaraan pemilu Presiden dan

pemilu anggota legislatif dilaksanakan dalam waktu bersamaan disambut baik oleh para

ahli hukum tata negara. Tidak kurang Jimly Asshiddiqie menyatakan dukungannya atas

putusan MK ini yang menurutnya akan berimplikasi pada penguatan sistem

presidensial.40 Namun, ada juga yang memiliki pandangan yang berseberangan seperti

yang disuarakan oleh Yusril Ihza Mahendra.41 Terlepas dari hiruk pikuk mengenai pro

dan kontra, putusan MK untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak telah

berkekuatan hukum tetap dan mengikat untuk segera dilaksanakan pada pemilu 2019.

Terdapat sejumlah persiapan yang harus segera dilaksanakan sejak awal seperti

mengenai pembuatan kerangka hukum yang mengatur pemilu serentak, reorganisasi

lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dan juga kesiapan logistik pemilu.42

b. Statutory construction

Dalam melakukan pengujian UU, putusan MK perlu mempertimbangkan terlebih

dahulu mengenai batu uji konstitusional yang dijadikan landasan untuk menguji.

Terkadang, batu uji itu mengandung istilah atau makna yang tersembunyi sehingga MK

perlu melakukan penafsiran konstitusional terlebih dahulu. Dalam konteks ini, MK

melakukan penafsiran konstitusi dan kadang juga, sebagaimana dicontohkan diatas

39 Ibid, paragraf [3.17] 40 “Pemilu Serentak Bertingkat Perkuat Sistem Presidensial”, diunduh dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5387e6702f78c/pemilu-serentak-bertingkat-perkuat-sistem-presidensial pada 11 Oktober 2016. Lihat juga Zainal Arifin Hoesein, “Pemilihan Umum Serentak: Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Jurnal Veritas, Mei 2015, hlm. 2-30. Lihat juga pendapat Saldi Isra, “(Bukan) Putusan yang Hambar” dimuat dalam harian Kompas, 27 Januari 2014.

41 “Pemilu Serentak 2019, Yusril: Putusan MK Salah dan Memalukan”, diunduh dari http://news.liputan6.com/read/817047/pemilu-serentak-2019-yusril-putusan-mk-salah-dan-memalukan pada 11 Oktober 2016. Lihat juga kumpulan makalah seminar yang diselenggarakan oleh DPR berkaitan dengan Putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 dalam http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/minangwan-seminar-Polemik-Menjelang-Pemilu-2014-dan-Suksesi-Kepemimpinan-Nasional-1432262788.pdf diunduh pada 11 Oktober 2016.

42 Electoral Research Institute Indonesia, “Pemilu Nasional Serentak 2019”, Position Paper, Jakarta 2014, hlm. 49-50 diunduh dari http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PEMILU%20SERENTAK%202019.pdf pada 11 Oktober 2016.

11

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

adalah konstruksi konstitusional. Fungsi MK mengemuka sebagai the final interpreter

of the constitution.

Namun, seringkali pasal-pasal dalam konstitusi juga memuat aturan yang jelas dan

gamblang sehingga tidak perlu penafsiran dan MK dapat secara langsung menguji

norma-norma yang dimohonkan.43 Dalam konteks ini, MK bertindak sebagai the

guardian of the constitution. MK merupakan lembaga yang menjaga nilai dan semangat

konstitusi agar senantiasa tercermin dalam peraturan perundang-undangan dibawah

UUD. Dalam fungsinya menjaga konstitusi, MK tidak boleh diikat hanya sekedar pada

kotak permohonan yang diajukan pemohon dimana sewajarnya permohonan tersebut

disusun berdasarkan kepentingan pribadi pemohon. Pembuat UU pernah mencoba

membatasi MK agar tidak mengeluarkan putusan yang (i) memuat amar selain dari yang

diminta pemohon, (ii) berisi perintah kepada pembuat UU dan (iii) memuat rumusan

norma baru, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011.

Pembatasan jenis rumusan amar ini kurang lebih adalah untuk menghalangi MK

mengeluarkan amar putusan (in)konstitusional bersyarat. MK merespon kebijakan

pembuat UU ini dengan membatalkan norma tersebut melalui Putusan Nomor 48/PUU-

IX/2011. Dasar pertimbangan MK adalah bahwa norma tersebut menghalangi MK

untuk (i) melakukan pengujian konstitusionalitas norma, (ii) mengisi kekosongan

hukum, dan (iii) menggali nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.44

Dengan kata lain, majelis hakim konstitusi memberi pertimbangan bahwa amar putusan

(in)konstitusional bersyarat adalah salah satu upaya MK untuk mengisi kekosongan

hukum.

Dalam putusan (in)konstitusional bersyarat, MK tidak hanya menafsirkan UU

namun juga mengkonstruksi norma UU untuk menghindari kevakuman. Secara umum,

dari 108 putusan (in)konstitusional bersyarat,45 hampir keseluruhannya adalah

merupakan konstruksi dari norma UU karena MK menambah rumusan norma atau

mengubah rumusan norma UU yang ada. Bahkan lebih spesifik, MK mengungkapkan

bahwa putusan (in)konstitusional bersyarat dimaksudkan untuk mengisi ruang kosong

43 Penafsiran konstitusi ini dapat dianalogikan dalam metode penafsiran dalam hukum Islam. Alquran sebagai sumber hukum utama dalam hukum Islam mengandung ayat-ayat yang bersifat muhkamat (yang jelas maknanya) dan ayat-ayat mutasyabihat (yang kurang jelas maknanya dan perlu penafsiran), sebagaimana disebutkan dalam QS 3:7.

44 Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, hlm. 94 45 Lihat catatan kaki no. 2

12

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

dalam hukum yang berlaku. Dari variasi tipologi putusan (in)konstitusional bersyarat

dapat dirumuskan bahwa tujuan MK menggunakan pendekatan konstruksi, tidak sebatas

interpretasi, adalah untuk (1) memperjelas norma UU yang materi muatannya samar

(vague); (2) mengisi kekosongan hukum; dan (3) melindungi dan memulihkan hak

konstitusional warga negara yang telah dirugikan dengan berlakunya norma UU. Untuk

memperjelas alasan MK memilih untuk melakukan konstruksi UU (statutory

construction) dalam pengujian norma, berikut ini akan diuraikan satu persatu disertai

ilustrasi dari beberapa putusan MK.

(1) Memperjelas norma UU yang materi muatannya samar

Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah

adanya kejelasan rumusan.46 Bilamana rumusan peraturan tidak jelas maka akan

menyimpang dari prinsip kepastian hukum. Tidak sedikit pertimbangan dalam putusan

MK yang menganulir keberlakuan norma UU karena menyebabkan ketidakpastian

hukum. Dan salah satu unsur penyebabnya adalah karena rumusan yang tidak jelas.

Upaya yang dilakukan oleh MK untuk memperjelas makna dari norma UU yang diuji

adalah dengan menambah rumusan norma baru atau mengubah norma yang ada.

Misalnya, dalam salah satu putusan MK yang menarik perhatian banyak kalangan

masyarakat di tahun 2010. Adalah Yusril Ihza Mahendra yang mengajukan permohonan

pengujian UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, terutama mengenai

akhir masa jabatan Jaksa Agung.47 Pasal 22 ayat (1) huruf d UU nomor 16 Tahun 2004

menyatakan bahwa Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat karena berakhir masa

jabatannya. Frasa “berakhir masa jabatannya” dianggap samar dan menimbulkan

ketidakpastian. Dalam permohonannya, Ihza Mahendra mendalilkan bahwa karena

ketidakpastian ini dirinya sangat dirugikan. Pemohon, pada saat mengajukan

permohonan, telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi dalam pengadaan

Sistem Administrasi Badan Hukum (sisminbakum).48 Penetapan pemohon sebagai

tersangka adalah bagian dari kewenangan Jaksa Agung. Permasalahannya adalah Jaksa

Agung yang saat itu dijabat oleh Hendarman Supandji tidak jelas kapan masa

jabatannya berakhir. Peristiwa ini serangkaian dan berkaitan erat dengan perubahan

46 Pasal 5 UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perturan Perundang-undangan 47 Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 48 “Ini Kronologi Kasus Sisminbakum”, http://news.detik.com/berita/1929720/ini-kronologi-kasus-

sisminbakum diunduh pada 11 Oktober 2016

13

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

rezim pemerintahan setelah pemilu 2009, dari Soesilo Bambang Yudhoyono – Jusuf

Kalla (2004-2009) kepada Soesilo Bambang Yudhoyono – Boediono (2009-2014).

Hendarman Supandji diangkat sebagai Jaksa Agung pada masa pemerintahan SBY

pertama tahun 2007 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31/P Tahun

2007. SBY hendak mempertahankan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung dalam

masa pemerintahannya yang kedua, oleh karenanya Keppres mengenai pembubaran

kabinet lama yang kemudian diiringi dengan Keppres soal pembentukan kabinet baru

tidak menyertakan pengangkatan jabatan Jaksa Agung.49 Dengan hanya merujuk pada

Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 akhir dari masa jabatan Jaksa

Agung dapat dilihat dalam empat model yaitu (1) berdasar periodisasi kabinet dan/atau

periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; (2) berdasar periode (masa waktu

tertentu) yang tetap tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet; (3) berdasarkan

usia atau batas umur pensiun dan; (4) berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang

mengangkatnya.50 MK berkesimpulan bahwa munculnya 4 model pilihan ini

menimbulkan ketidakpastian hukum yang berasal dari rumusan norma yang samar. Oleh

karenanya, MK melakukan konstruksi norma Pasal 22 ayat (1) huruf d UU nomor 16

Tahun 2004 sehingga berbunyi “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan

berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-

sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh

Presiden dalam periode yang bersangkutan”.51

Dalam beberapa putusan lain, juga dapat ditemukan dimana pembuat UU

membuat rumusan norma yang samar sehingga mendorong MK untuk menambahkan

norma baru atau mengubah norma yang lama. Misalnya, dalam Putusan Nomor

98/PUU-X/2012 yang menguji frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal

80 UU nomor 8 Tahun 1981.52 MK menambahkan rumusan norma baru bahwa pihak

49 Berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 telah dibubarkan karena berakhirnya masa jabatan Presiden Periode 2004 – 2009 pada tanggal 20 Oktober 2009. Nama Hendarman Supandji tidak disebutkan sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan pejabat setingkat menteri yang diberhentikan dalam Keppres Nomor 83/P Tahun 2009. Kemudian sesuai Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009 – 2014, nama Hendarman Supandji, tidak disebutkan sebagai Jaksa Agung dalam Kepres tersebut

50 Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010, Paragraf [3.31] 51 Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010, Amar Putusan 52 Pasal 80 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selengkapnya berbunyi “Permintaan

untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh

14

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

ketiga yang berkepentingan adalah termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga

swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Kemudian frasa “segera” dalam

Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 198153 juga mengandung ketidakjelasan makna.

Oleh karenanya, MK mengkonstruksi norma tersebut dengan menyatakan bahwa segera

berarti tidak lebih dari 7 hari.54

(2) Mengisi kekosongan hukum

Yang termasuk dalam kategori ini tidak hanya dalam konteks putusan MK

dikeluarkan demi mengisi ruang hampa dalam aturan namun juga termasuk didalamnya

adalah putusan MK yang mengantisipasi kemungkinan timbul kekosongan hukum

akibat dibatalkannya norma dalam UU, biasanya dalam bentuk pembatalan keseluruhan

UU.

Contoh pertama adalah dimana MK mempertimbangkan ketiadaan norma hukum

untuk mengatur suatu keadaan hukum. Dalam UU mengenai pemilihan kepala daerah

(UU Nomor 8 tahun 2015), pembuat UU sengaja membuat desain bahwa pemilihan

kepala harus diikuti oleh paling sedikit dua pasangan calon. Kenyataannya berkata lain.

Dalam pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan tahun 2015 muncul fenomena

dimana hanya ada satu pasangan calon yang menjadi peserta pemilihan, yang terjadi di

4 daerah yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Timor Tengah

Utara dan Kota Mataram.55 Keberadaan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah

adalah wujud kekosongan hukum sebab tidak ada norma hukum yang mengatur

mengenai hal ini. Persoalan ini diangkat menjadi masalah konstitusional ketika seorang

warga negara mengajukan permohonan judicial review UU Nomor 8 Tahun 2015.56

Dalam pertimbangannya, MK pun menangkap gejala kevakuman ini dengan

menyatakan “... ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan

calon tersebut tidak terpenuhi dimana kekosongan hukum demikian berakibat pada tidak

dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah.”57 Oleh karenanya, MK

penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya”

53 Pasal 18 ayat (3) UU nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”

54 Putusan Nomor 3/PUU-XI/2013 55 “Calon Tunggal, Perppu dan Kekosongan Hukum”, Suara KPU, edisi Juli-Agustus 2015, hlm. 4 56 Diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dalam perkara nomor 100/PUU-XIII/2015, diajukan oleh Effendi

Ghazali. 57 Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015, Paragraf [3.13]

15

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

berpandangan bahwa pemilihan kepala daerah harus tetap diselenggarakan meskipun

hanya dengan satu pasangan calon. Dengan demikian MK melakukan konstruksi hukum

atas norma pengaturan pemilihan kepala daerah yang diikuti oleh satu pasangan calon

saja. Bahkan lebih jauh, MK mengkonstruksi mekanisme pemilihan dengan menetapkan

desain surat suara yang dilakukan adalah dengan memberi kesempatan kepada pemilih

untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju”.58

Contoh berikutnya adalah putusan-putusan MK yang melakukan konstruksi

hukum untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekosongan. Contoh-contoh

putusan ini adalah dalam hal dimana putusan MK membatalkan keberlakuan seluruh

UU. Terdapat kecenderungan bahwa bilamana MK membatalkan sebuah UU secara

keseluruhan maka MK akan menghidupkan kembali UU yang berlaku sebelumnya guna

menghindari kekosongan hukum. Misalnya, dalam putusan Nomor 001-021-022/PUU-

I/2003 dimana MK membatalkan UU Nomor 20 Tahun 2002 dan memberlakukan

kembali UU Nomor 15 Tahun 1985.59 Begitu juga ketika MK membatalkan UU nomor

17 tahun 2012 tentang Perkoperasian60 dan UU nomor 7 tahun 20014 tentang Sumber

Daya Air.61 Terdapat satu kesamaan dari pengujian UU tersebut, yaitu bahwa MK

menguji pasal yang dinilai merupakan “roh” atau “jantung” dari UU sehingga

pembatalan dari pasal tersebut berakibat pada pembatalan keseluruhan UU. Dalam

konteks inilah MK melakukan pendekatan konstruksi UU dan tidak cukup hanya

dengan menafsirkan.

(3) Memulihkan hak konstitusional warga negara

Secara umum, tujuan dari MK untuk melakukan konstruksi hukum adalah untuk

memulihkan hak warga negara yang telah atau akan dirugikan.62 Namun, persoalannya

adalah bahwa MK mengadopsi kewenangan yang unik dalam menilai kedudukan

perorangan warga negara untuk dapat mengajukan diri sebagai pemohon dalam perkara

pengujian UU. Kategori perorangan yang diadopsi MK lebih tepat dikelompokkan

58 Ibid, Paragraf [3.16.2] 59 Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 hlm. 350 60 Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013, paragraf [3.25]; MK memberlakukan kembali UU Nomor 25 Tahun

1992 tentang perkoperasian 61 Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, paragraf [3.32]; MK memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun

1974 tentang Pengairan 62 Bisariyadi, “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam

Menguji Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, vol 12 No. 3 Sepember 2015, hlm. 483

16

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

sebagai quasi actio popularis.63 Model ini merupakan perpaduan antara pengujian

norma yang diajukan oleh perorangan warga negara (actio popularis) dengan penerapan

adanya syarat kerugian hak yang diderita oleh perorangan sebagaimana layaknya

kewenangan pengaduan konstitutional (constitutional complaint). Pemohon perorangan

dalam perkara pengujian UU terhadap UUD harus dapat membuktikan kerugian

konstitusional yang telah atau potensial akan dideritanya. Dengan demikian, akibat dari

putusan MK adalah memulihkan hak konstitusional pemohon yang telah atau akan

dirugikan. Dengan mengadopsi perpaduan antara constitutional complaint dan actio

popularis, akibat putusan pengujian UU juga berada pada posisi antara mengubah

norma yang bersifat abstrak sekaligus memulihkan hak-hak warga negara yang

dirugikan. Dalam posisi ini, diperlukan kecermatan dalam pertimbangan MK ketika

memutus perkara bahwa yang diperhatikan tidak hanya untuk memulihkan hak

konstitusional tetapi juga mempertimbangkan masalah perubahan norma yang bersifat

abstrak (umum) yang dapat memiliki dampak berbeda bagi pihak selain pemohon.

Salah satu contohnya adalah ketika MK memutus perkara nomor 10/PUU-

XIV/2016 yang diajukan oleh Setya Novanto.64 Dalam putusan ini, MK mengabulkan

permohonan pemohon dengan merekonstruksi norma dalam UU Nomor 11 Tahun 2008

dan UU Nomor 20 Tahun 2001.65 Pada intinya, MK mempertimbangkan bahwa terdapat

kekuranglengkapan prosedur hukum yang mengatur mengenai penyadapan, termasuk

perekaman. Padahal penyadapan merupakan tindakan yang melanggar privasi warga

negara sehingga negara perlu mengaturnya secara hati-hati. Dalam kerangka ini, MK

menegaskan bahwa penyadapan (intersepsi), termasuk didalamnya perekaman, harus

63 Bisariyadi, Constitutional Complaint atau Actio Popularis: Kedudukan Hukum “Perorangan” dalam Perkara Konstitusi”, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2015, hlm. 74

64 Setya Novanto, yang saat itu juga merupakan Ketua DPR, tersangkut kasus yang secara populer disebut dengan “papa minta saham”. Setya Novanto diduga meminta sebagian saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo. Permintaan ini direkam secara pribadi oleh Presdir PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, dan dijadikan alat bukti oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai bagian dari laporan kepada Majelis Kehormatan DPR RI. Selengkapnya lihat “Kronologi Lengkap kasus Papa Minta Saham sampai bikin Setnov mundur”, merdeka.com, kamis 17 Desember 2015, https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologis-lengkap-kasus-papa-minta-saham-sampai-bikin-setnov-mundur.html, diunduh pada 24 Oktober 2016

65 MK memutus bahwa Frasa “Informasi Eletronik dan/atau Dokumen Elektronik” yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2008 serta Pasal 26A UU nomor 20 tahun 2001 harus diartikan dengan “khususnya frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”

17

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

dilakukan secara sah terlebih dalam rangka penegakan hukum,66 misalnya melalui

mekanisme izin pengadilan sebagai bentuk kontrol dan pengawasan agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan.67 Putusan MK ini menjadi rujukan Majelis Kehormatan Dewan

(MKD) DPR yang mengadili pengaduan pelanggaran etik yang dilakukan Setya

Novanto dengan menyatakan bahwa alat bukti rekaman sebagai alat bukti utama yang

diajukan oleh pengadu diperoleh secara tidak sah.68 Dengan demikian, hak

konstitusional Setya Novanto yang dirugikan dengan berlakunya UU ITE terpulihkan.

Putusan yang sama menjadi sumber perdebatan dalam perkara pidana yang

menjadi perhatian publik yaitu “pembunuhan kopi bersianida”. Rekaman CCTV yang

dijadikan bukti oleh jaksa untuk menuntut terdakwa, Jessica Wongso, telah menaruh

racun sianida yang kemudian mengakibatkan kematian bagi Mirna Salihin. Dengan

mengacu pada putusan MK, pengacara terdakwa berdalih bahwa rekaman CCTV oleh

jaksa diperoleh secara tidak sah.69 Putusan MK sendiri membuka beragam

kemungkinan. Ketika dalam amar putusannya disebutkan bahwa Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dilakukan atas permintaan kepolisian,

kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya, maka MK seolah mempersempit

makna bahwa perolehan informasi elektronik maupun dokumen elektronik haruslah

dilakukan atas permintaan aparat penegak hukum. Disisi lain, MK juga membuka

kemungkinan bahwa dokumen elektronik, termasuk rekaman, dapat menjadi bukti yang

sah setelah diuraikan tentang cara perolehan alat bukti tersebut kepada hakim

(bewijsvoering).70 Makna pertimbangan MK ini adalah bahwa yang diutamakan adalah

cara perolehannya dan bukan siapa yang melakukannya.

Contoh diatas menjadi dilema yang dihadapi MK dalam pengujian norma yang

bersifat abstrak dan upaya memulihkan hak perorangan warga negara. Satu putusan MK

yang memulihkan hak seorang warga negara belum tentu tepat diterapkan untuk perkara

yang lain. Karakteristik dasar dari pengujian norma adalah sifatnya yang abstrak dan

berlaku untuk semua pihak (erga omnes). Oleh karenanya, dibutuhkan pertimbangan

66 Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016, paragraf [3.10] 67 Ibid, hlm. 94 68 “MKD Pulihkan Nama Baik Setya Novanto, Inilah Isi Suratnya”, Republika, Rabu 28 September 2016,

diunduh pada http://rmol.co/dpr/read/2016/09/28/262382/MKD-Pulihkan-Nama-Baik-Setya-Novanto,-Inilah-Isi-Suratnya- tanggal 24 Oktober 2016.

69 “Inilah Efek Setya Novanto yang Menguntungkan Jessica Wongso”, Solopos, Senin 26 September 2016, diunduh pada http://www.solopos.com/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019, tanggal 24 Oktober 2016.

70 Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016, paragraf [3.11]

18

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

yang menyeluruh (holistic approach) dan sikap kenegarawanan (judicial wisdom and

craftmanship) hakim konstitusi dalam memutus setiap perkara konstitusional.

C. Penutup

MK merupakan penafsir konstitusi. Dalam menjalankan kewenangannya untuk

menguji konstitusionalitas suatu UU, MK dituntut tidak hanya melakukan penafsiran

tetapi juga melakukan konstruksi hukum. Dalam konteks ini, MK menjalankan

perannya tidak hanya sebagai “penafsir” namun sekaligus “pengawal” konstitusi. Demi

menjaga dan mengawal nilai-nilai konstitusi, MK merekonstruksi norma dalam UU.

Secara kuantitas, putusan MK yang menggunakan pendekatan konstruksi pun semakin

banyak.71

Penelitian ini memetakan tiga hal yang memicu MK untuk menggunakan metode

konstruksi, yaitu (i) ketika norma yang diuji mengandung ketidakjelasan (vagueness);

(ii) untuk mengisi kekosongan hukum; dan (iii) untuk memulihkan hak konstitusional

warga negara. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa dalam menggunakan

metode konstruksi, MK tidak hanya melakukan konstruksi dalam level konstitusi

(constitutional construction) tetapi juga merekonstruksi norma undang-undang

(statutory construction).

Praktek ini kemudian menjadi kebiasaan yang sudah selayaknya perlu dilakukan

secara cermat oleh majelis hakim. Putusan MK semestinya mengandung pertimbangan

yang menyeluruh dan argumentasi yang meyakinkan ketika menggunakan metode

pendekatan konstruksi hukum. Majelis hakim perlu mengelaborasi secara mendalam

alasan serta pertimbangan yang memicu hakim mengambil pendekatan demikian. Satu-

satunya senjata yang dimiliki peradilan dalam memperoleh legitimasi atas putusannya

hanyalah logika rasional majelis hakim ketika menyusun pertimbangan hukum dan

mengambil putusan. Terlebih ketika putusan tersebut harus mengubah arah kebijakan

dari pembuat UU agar sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Hal yang mana perdebatan

bernilai akademik dan elaboratif dimana majelis hakim memutuskan menggunakan

pendekatan konstruksi masih dirasakan kurang dalam pertimbangan putusan.

71 Bila hanya merujuk pada putusan dengan amar putusan (in)konstitusional bersyarat dibandingkan dengan seluruh putusan pengujian UU antara tahun 2003-2015, maka prosentase putusan tersebut adalah sekitar 12%. Dengan perincian, putusan (in)konstitusional bersyarat antara 2003-2015 berjumlah 108 dan putusan PUU keseluruhan antara 2003-2015 berjumlah 858.

19

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Gunung Agung Tbk.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.

Asshidiqie, Jimly, 1997, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill Co.

Hamidi, Jazim, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah – Filsafat dan metode tafsir, Malang: UB Press.

Hoft, Ph. Visser’t, 2001, Penemuan Hukum, (Rechtsvinding), (penerjemah: B. Arief Sidharta), Bandung: Laboratorium Hukum FH Univ Parahyangan.

Kelsen, Hans, 1949, General Theory of Law and State, Massachussets: Harvard University Press.

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: IND-HILL.Co.

Mertokusumo, Sudikno, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cet. 5, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Palguna, I Dewa Gede, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Rifai, Ahmad, 2014, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Whittington, Keith, 1999, Constitutional Construction: Divided Powers and Constitutional Meaning. Cambridge: Harvard University Press.

------------, 1999, Constitutional Interpretation: Textual Meaning, Original Intent, and Judicial Review, Lawrence, KS: University Press of Kansas.

B. Artikel Jurnal

Allan Senior,James, “Constitutional Interpretation v. Statutory Interpretation”, Legal Theory, 6(1), Maret2000.

Barnett, Randy, “Interpretation and Construction”, Harvard Journal of Law and Public Policy, vol 34, 2011.

Bisariyadi, “Atypical Rulings of the Indonesian Constitutional Court”, Hasanuddin Law Review, Vol 2, Issue 2, August 2016.

------------, “Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi, vol 12, No. 3 September 2015.

------------, “Constitutional Complaint atau Actio Popularis: KedudukanHukum “Perorangan” dalam Perkara Konstitusi”, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2015.

20

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

Cisneros,Laura A., “The Constitutional Interpretation/Construction Distinction: A Useful Fiction”, Constitutional Commentary, Vol. 27, 2010.

Hoesein,Zainal Arifin, “Pemilihan Umum Serentak: Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Jurnal Veritas, Mei 2015.

Solum,Lawrence B., “Originalism and Constitutional Construction”, Fordham Law Review, vol 82. 2013.

------------, “The Interpretation-Construction Distinction”, Constitutional Commentary, 27, 2010.

Widjaja,Gunawan, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang dan Penafsiran Hukum”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. 1, Juli 2006.

C. Makalah dan Artikel Majalah atau Koran

Isra, Saldi,“(Bukan) Putusan yang Hambar”, Harian Kompas, 27 Januari 2014. Scholler, Heinrich, “Notes on Constitutional Interpretation”, Makalah dipublikasikan

terbatas oleh Hanns Seidel Foundation Indonesia,Januari 2004,

D. Artikel dalam Antologi dengan Editor

Farr,James, Amerikanisasi Hermeneutika: Legal and Political Hermeneutics karya Francis Lieber, dalam Gregory Leyh (ed), 2014, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori dan Praktek, (penerjemah: M Khozim), Bandung: Nusa Media.

Greenwalt, Kent, Constitutional and Statutory Interpretation, dalam Jules Coleman, Kenneth Einar Himma and Scott J. Shapiro (eds), 2004, The Oxford Handbook of Jurisprudence and Philosophy of Law, Oxford University Press

E. Internet

“Calon Tunggal, Perppu dan Kekosongan Hukum”, Suara KPU, edisi Juli-Agustus 2015 “Ini Kronologi Kasus Sisminbakum”, http://news.detik.com/berita/1929720/ini-

kronologi-kasus-sisminbakum diunduh pada 11 Oktober 2016 “Inilah Efek Setya Novanto yang Menguntungkan Jessica Wongso”, Solopos, Senin 26

September 2016, http://www.solopos.com/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019, diunduh pada tanggal 24 Oktober 2016.

“Kronologi Lengkap kasus Papa Minta Saham sampai bikin Setnov mundur”, merdeka.com, kamis 17 Desember 2015, https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologis-lengkap-kasus-papa-minta-saham-sampai-bikin-setnov-mundur.html, diunduh pada 24 Oktober 2016

“MKD Pulihkan Nama Baik Setya Novanto, Inilah Isi Suratnya”, Republika, Rabu 28 September 2016, http://rmol.co/dpr/read/2016/09/28/262382/MKD-Pulihkan-

21

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

Nama-Baik-Setya-Novanto,-Inilah-Isi-Suratnya-diunduh pada tanggal 24 Oktober 2016.

“Pemilu Serentak 2019, Yusril: Putusan MK Salah dan Memalukan”, http://news.liputan6.com/read/817047/pemilu-serentak-2019-yusril-putusan-mk-salah-dan-memalukan, diunduh pada 11 Oktober 2016.

“Pemilu Serentak Bertingkat Perkuat Sistem Presidensial”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5387e6702f78c/pemilu-serentak-bertingkat-perkuat-sistem-presidensial, diunduh pada 11 Oktober 2016.

Electoral Research Institute Indonesia, “Pemilu Nasional Serentak 2019”, http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PEMILU%20SERENTAK%202019.pdf, diunduh pada 11 Oktober 2016.

Venice Commission, “General report of the XIVth Congress of the Conference of European Constitutional Courts on “Problems of Legislative Ommission in Constitutional Jurisprudence”, Strasbourg, December 2008”, http://www.venice.coe.int/files/Bulletin/SpecBull-legislative-omission-e.pdf,diunduh pada 24 Oktober 2016

F. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 15 Desember 2004

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073 /PUU-II/2004 perihal Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 22 Maret 2005

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, 18 Februari 2009.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 22 September 2010

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 18 Oktober 2011

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 28 Mei 2014

22

Harap tidak Dikutip! Silahkan Mengacu pada Versi Bahasa Inggris sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 29 Nomor 1 Februari 2017

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 30 Januari 2014

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 18 Februari 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Januari 2014

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 29 September 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20108 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7 September 2016

23