Upload
nur-mazila
View
270
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
GANGGUAN REFRAKSI MATA
A. PENGERTIAN
1. Kelainan refraksi adalah pembiasan sinar oleh media penglihatan yang
terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kara atau panjang bola mata,
sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di biaskan di daerah
macula lutea tanpa bantuan akomodasi , keadaan ini disebut Ametropia
( masjoer, A :1999 : 72 )
2. Kelainan refraksi adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara miring
dari suatau medium ke medium lain yang berbeda densitasnya.
Penyimpangan tersebut terjadi pada permukaan pembatas kedua medium
tersebut yang dikenal sebagai permukaan refraksi ( Dorland, 1996; 1591 ).
3. Gangguan refraksi adalah suatau keadaan dimana penglihatan terganggu
karena terlalu pendek atau terlalu panjang bola mata sehingga mencegah
cahaya terfokus dengan jelas pada retina ( Timby, Scherer dan Smith,
2000 )
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi kelianan refleks menurut ilyas, S. ( 1998 ), Tinaby, Scherer dan
Smith, E. ( 2000 ). Ada 2 yaitu :
1. Ametropia.
Ametropoa dibedakan menjadi 4 yaitu:
a. Ametropi oksial: Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata
lebih panjang atau pendek.
b. Ametropia refraktif: Ametropia akibat kelainan system pembiasan
sinar di dalam mata.
c. Ametropia kurvatur: Ametropia akibat kelengkungan kornea atau lensa
yang tidak normal.
d. Ametropia indeks: Ametropia karena indeks bias abnormal di dalam
mata.
Ametropia dapat ditemukan empat bentuk kelainan yaitu :
a. Myopia
Myopia adalah mata denga daya lensa positif yang lebih kuat sehingga
sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga di fokuskan di depan
retina. Myopia dibedakan berdasarkan:
1) Menurut bentuknya myopia dibedakan menjadi 2 yaitu:
a) Myopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang
terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
b) Myopia aksial
Myopia akibat panjanganya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan lenssa mata dan kornea yang normal.
2) Menurut derajat beratnya myopia dibedakan dalam:
a) Myopia ringan dimana myopia kecil dari pada 1 – 3 dioptri.
b) Myopia sedang dimana myopia lebih dari antara 3 – 6 dioptri.
c) Myopia berat atau tinggi dimana myopia lebih besar dari 6
dioptri.
3) Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk:
a) Myopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa.
b) Myopia progresif, myopia yang bertambah terus menerus pada
usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
c) Myopia maligna atau degeneratif, myopia yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan
myopia pernisiosa ditemukan pada semua umur dan terjadi
sejak lahir.
b. Hipermetropi
Merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titim fokusnya terletak
dibelakang retina, hipermetropi dikenal dalam bentuk :
1) Hipermetropi manifestasi
Ialah hipermetropi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan yang normal.
2) Hipermetropi laten
Ialah dimana kelainan hipermetropi tanpa sikloplegia ( atau dengan
obat yang melemahkan akomodasi ) diimbangi seluruhnya dengan
akomodasi.
3) Hipermetropi total
Hipermetropi yang ukuranya didapatkan sesudah diberikan
sikloplegia ( obat tetes mata, biasanya diberikan pada anak,
pemberian diberikan selama 3 hari untuk mengetahui kelainan
refraksi ).
c. Afakia
Adalah suatau keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa
sehingga mata tersebut menjadi hipermetropi tinggi.
d. Astigmatisme
Adalah kelainan kelengkungan kornea mata. Astigmatisme dikenal
dalam bentuk:
1) Astigmatisme reguler
Adalah Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan – lahan secara terataur dari
satau meredian ke meredian berikutnya.
2) Astigmatisme irreguler
Adalah astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meredian
yang tegak lurus.
2. Presbiopi.
Adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dpat terjadi akibat
kelemahan otot akomodasi, lensa meta tidak kenyal atau berkurang
elastisitasnya akibat sclerosis lensa.
C. ETIOLOGI
Penyebab kelainan refraksi menurut Ilyas, S. ( 1998 ). Timby, Scherer dan
smith. ( 2000 ) yaitu :
1. Myopia
a. Sumbu optik bola mata lebih panjang.
b. Pembiasan media penglihatan kornea lensa yang terlalu kuat.
2. Hipermetropi
a. Bola mata pendek atau sumbu anteropasterior yang pendek.
b. Kelengkungan kornea atau lensa kurang.
c. Indeks bias kurang pada sistem optik mata.
3. Afakia
Tidak adanya lensa mata.
4. Astigmatisme
a. Kelainan kelengkungan permukaan kornea.
b. Kelainan pembiasan pada miridian lensa yang berbeda.
c. Infeksi kornea.
d. Truma distrofi.
5. Presbiopi
a. Kelemahan otot akomodasi.
b. Lensa mata tidak kenyal atau berkurangnya elastisitas akibat sklerosis
lensa.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Ilyas ( 1998 ).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola mata.
Pada orangn normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan
panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan mata dibiaskan
tepat di macula lutea. Mata normal disebut emetropia mata dengan kelainan
refraksi mengakibatkan sinar normal tidak dapat terfokus pada macula. Hal ini
disebabkan oleh kornea yang terlalu mendatar atau mencembung, bola mata
lebih panjang atau pendek lensa berubah kecembungannyaatau tidak ada lensa
mengakibatkan Ametropi dan bila di akibatkan oleh elastisitas lensa yang
kurang atau kelemahan otot akomodasi mengakibatkan presbiopi.
Pada Ametropi apabila bola mata lebih panjang pembiasan kornea
berlebihan atau lensa yang terlalu kuat mengakibatkan pembiasan terlalu kuat
sehingga fokus terletak didepan retina dan penderita mengalami rabun jauh
( myopia )sebaliknya bila bola mata terlalu pendek, indeks bias kurangatau
kelengkungan kornea atau lensa kurang maka pembiasan tidak cukup
sehingga fokus dibelakang retina dan mengakibatkan rabun dekat
( hipermetropi ). Hipermetropi tinggi terjadi akibat mata tidak memiliki lensa
( Afakia ) apabila terjadi kelainan kelengkungan kornea, infeksi kornea,
distrofi atau pembiasan lensa berbeda maka akan mengakibatkan bayangan
ireguler ( Astigmatisme ).
Pada presbiopi elastisitas lensa yang berkurang atau kelemahan otot
akomodasi mengakibatkan daya akomodasi berkurang, sehingga lensa kurang
mencembung dan pembiasan kurang kuat. Untuk melihat mata berakomodasi
terus menerus sehingga terjadi ketegangan otot siliar yang mengakibatkan
mata lelah, dan mata berair jika menekan kelenjar air mata.
Pada ametropi akomodasi juga dilakukan terus menerus agar mata dapat
melihat. Hal ini mengakibatkan mata lelah atau sakit, mata esotropia atau
mata juling ke dalam dan strabismus karena bola mata bersama – sama
konvergensi, serta glaucoma sekunder karena hipertrofi otot siliar pada badan
siliar mempersempit sudut bilik mata.
Rabun jauh atau myopia yang berjalan progresif akan mengakibatkan
kebutaan dan hiperplasi pigmen epitei dan perdarahan, kebutaan dapat terjadi
karena digenari macula dan retina perifer mengakibatkan atrofi lapis sensori
retina dan degennerasi saraf optik. Hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan
terjadi karena neovaskularisasi sub retina akibat ruptur membran bruch.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Myopiaa
a. Melihat jelas bila dekat dan melihat jauh kabur ( rabun jauh ).
b. Sakit kepala sering disertai juling.
c. Celah kelopak yang sempit.
d. Astemopia konvergensi.
e. Myopik kresen yaitu: gambaran bulan sabit yang terlihat pada polos
posterior fundus matamyopia yang terdapat pada daerah pupil saraf
optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid.
f. Degenerasi macula dan retina bagian perifer.
PATOFISIOLOGI
Kornea mendatar/ cembung
Bola mata ( lebih panjang/pendek)
Lensa( berubah kecembunganya)
Elastisitas lensa berkurang
Kelemahan otot akomodasi
Sinar normal tak focus pada makula
Lensa sukar mencembung
Ametropi Daya akomodasi berkurang
Presbiopi
Untuk melihat akomodasi terus
Tegangan otot siliar
Menekan kelenjar air mataMata lelah
Bola mata lebih panjang.Pembiasan penglihatan kornea terlalu kuat.Lensa terlalu kuat
Bola mata lebih pendek.Indeks bias kurang.Kelengkungan kornea atau lensa kurang
Tak ada lensa
Afakia
Hiper metropia tinggi
-Kelainan kelengkungan kornea.- Distrofi.-Pembiasan lensa berfbeda
Bayangan ireguler
Pembiasan tidak cukup
Pembiasan terlalu kuat
Focus terletak depan retina
Focus dibelakang retina
Rabun jauh( Myopia )
Rabun dekat ( hiper metropia )
Akomodasi Terus menerusAkomodasi
Terus menerusBerjalan progresif
Mata lelah/sakit
Bola mata bersama sama konfergensi
Mata berair
Hipertrofi otot siliar pada badan siliar
Mata juling kedalam
Strabismus
Mempersempit sudut bilik mata
Glaukoma sekunder
Degenerasi macula dan
retina perifer
Atrofilapis sensoris retina dan degenerasi
saraf optik
Kebutaan
Ketegangan otot siliaris dan saraf
Konvergensi terus menerus
Sakit kepala dan mata
Mata juling kedalam
Strabismus Atrofi
korioretina
Rupture membrane brush
Neovaskularisasi subretina
Hiperplasi pigmen epitel dan
perdarahan
2. Hipermetropi
a. Penglihatan dekat dan jauh kabur.
b. Sakit kepala.
c. Silau
d. Diplopia atau penglihatan ganda.
e. Mata mudah lelah.
f. Sakit mata.
g. Astenopia akomodatif.
h. Ambiopia
i. Kelelahan setelah membaca.
j. Mata terasa pedas dan tertekan.
3. Afakia
a. Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibandingm ukuran
sebenarnya.
b. Terdapat efek prisma lensa tebal sehingga benda terlihat seperti
melengkung.
c. Bagian yang jelas terlihat hanya bagian sentral sedangkan penglihatan
tepi kabur.
4. Astigmatisme
a. Penurunan ketajaman mata baik jarak dekat maupun jauh.
b. Tidak teraturnya lekukan kornea.
5. Presbiopi
a. Kelelahan mata.
b. Mata berair.
c. Sering terasa pedas pada mata.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada kelainan refraksi menurut ilyas ( 1998 ) dan
Ilyas, Tamzil, Salamun dan Ashar ( 1981 ) yaitu:
1. Strabismus.
2. Juling atau esotropia.
3. Perdarahan badan kaca.
4. Ablasi retina.
5. Glaukoma sekunder.
6. Kebutaan .
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Mansjoer ( 1999 ):
1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan.
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu snellen
caranya:
a. Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari kartu snellen dengan mata
tertutup satu
b. Pasien diminta membaca huruf yang terdapat pada kartu, mulai dari
yang paling atas ke bawah dan tentukan baris terakhir yang bisa di
baca seluruhnya dengan benar.
c. Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas ( terbesar ) maka
dilakukan uji hitung dengan uji hitung jarak 6m.
d. Jika pasien tidak dapat menghitung jarak dari 6 m, maka jarak dapat
dikurangi 1 m sampai jarak maksimal penguji dengan pasien 1m.
e. Jika psien tetap tidak dapat melihat, dilakukan uji lambaian tangan dari
jarak 1m.
f. Jika pasien tetap tidak dapat melihat lambaian tangan dilakukan uji
dengan arah sinar.
g. Jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinarmaka
dikatakan penglihatannya adalah 0 ( nol ) buta total.
Penilaian:
a. Tajam penglihatan adalah 6/6 berarti pasien dapat membaca seluruh
hurup dalam kartu snellen dengan benar.
b. Bila baris yang dibaca seluruhnya bertanda 30 maka dikatakan tajam
penglihatan 6/30, berarti dia hanya bisa melihat pada jarak 6m yang
oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 30m.
c. Bila dalam uji hitung pasien hganya dapat melihat atau menentukan
dari jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3m maka dinyatakan
tajam penglihatan 3/60. jari terpisah dapat terlihat orang normal pada
jarak 60m.
d. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak
300m bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1m
berarti tajam penglihatan adalah 1/300.
e. Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja, tidak dapat melihat
lambaian tangan maka dikatakan sebagai 1/~ orang normal dapat
melihat cahaya pada jarak yang tak terhingga.
2. Pemeriksaan kelainan refraksi.
Dilakukan pada satu mata secara bergantian, biasanya dimulai dengan
mata kanan kemudian mata kiri, dilakukan setelah tajam pemeriksaan
diperiksa dan diketahui adanya kelainan refraksi.
Caranya:
a. Pasien duduk dengan jarak 6m dari kartu snellen.
b. Satu mata dututup dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca
baris yang terkecil yang masih dapat dibaca.
c. Pada mata yang terbuka diletakan lensa + 0,50 untuk menghilangkan
akomodasi pada saat pemeriksaan.
d. Kemudian diletakan lensa positif tambahan, dikaji:
1) Bila penglihatan tidak bertambah baik berarti pasien tidak
hipermetropi.
2) Bila bertambah jelas dan dengan kekuatan lensa yang ditambah
secara perlahah - lahan bertambah baik berarti pasien mengalami
hipermetropi, lensa positif terkuat yang masih memberikan
ketajaman terbaik merupakan ukuran lensa koreksi untuk mata
hipermetropia tersebut.
e. Bila penglihatan tidak bertambah baik maka diletakan lensa negatif,
bila menjadi lebih jelas bearti pasien mengalami myopia. Ukuran lensa
koreksi adalah lensa negatif teingan yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal.]
f. Bila baik dengan lensa positif maupun negatif penglihatan tidak
bertambah baik atau tidak maksimal ( penglihatan tidak mencapai
6/6 ) maka akan dilakukan ujipinhole. Letakan pinhole didepan mata
yang sedang diuji dan meminta membaca baris terakhir yang masih
dapat dilihat atau dibaca sebelumnya bila:
1) Pinhole tidak memberikan perbaikan berarti mata tidak dapat
dikoreksi lebih lanjut karena media penglihatan keruh terdapat
kelainan pada retina atau syaraf optik.
2) Terjadi perbaikan penglihatan, berarti terdapat astigmatisma atau
silinder pada mata tersebut yang belum mendapat koreksi.
g. Bila pasien astigmatisma maka pada mata tersebut di pasang lensa
potsitif untuk membuat pasien menderita kelainan refraksi
astigmatismus miopikus.
h. Paien diminta melihat kartu kipas astigma dan ditanya garis yang
paling jelas terlihat pada kartu kipas astigma.
i. Bila perbedaan tidak terlihat lensa positf diperlemah secara perlahan -
lahan hingga pasien melihat garis yang paling jelas dan kabur.
j. Dipasang lensa silinder negatif dengan sumbu yang sesuai dengan
garis terkabur pada kipas astigma.
k. lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit pada sumbu
tersebut sehingga sama jelasnya dengan garis lainya.
l. Bila sudah sampai jelasnya dilakukan tes kartu snellen kembali.
m. Bila tidak didapatkan hasil 6/6 maka mungkin lensa positif yang
diberikan terlalu berat harus dikurangi perlahan – lahan atau ditambah
lensa negatif perlahan – lahan sampai tajam penglihatan menjadi 6/6.
derajat astigmat adalah ukuran lensa silinder negatif yang dipakai
sehingga gambar kipas astigmat terlihat sama jelas.
3. Pemeriksaan presbiopia.
Untuk lanjut usia dengan keluhan membaca dilanjutkan dengan
pemeriksaan presbiopia caranya:
a. Dilakukan penilaian tajam penglihatan dan dilakukan koreksi kelainan
refraksi bila terdapat myopia hipermetropia, atau astigmatisma sesuai
prosedur diatas.
b. Pasien diminta membaca kartu pada jarak 30 – 40 cm.
c. Diberikan lensa positif mulai +1 dinaikan perlahan 2x sampai terbaca
huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini ditentukan.
d. Dilakukan pemeriksaan mata satu persatu.
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan refraksi menurut Satino, Ariani dan Lestari ( 2000 ).
1. Non bedah.
Gangguan refraksi harus diperbaiki agar cahaya adapat terfokus
pada retina. Perbaikan ini dapat menggunakan sebuah lensa. jenis lensa
yang digunakan tergantung dari jenis kelainan refraksi.
a. Myopia menggunakan lencsa konkaf atau negatif.
b. Hipermetropia menggunakan lensa konveks atau positif.
c. Presbiopia dapat menggunakan lensa konveks tetapi jika pasien tidak
dapat melihat jarak jauh, menggunakan lensa konkaf konveks atau
lensa ganda.
d. Astigmatisma menggunakan lensa silinder.
Lensa tersebut dapat digunakan dengan menggunakan kaca mata atau
lensa kontak.
a. Kaca mata.
Keuntungan :
1) Mudah dugunakan
2) Harganya lebih murah dan tahan lama.
Kerugian:
1) Perubahan penampilan fisik
2) Beratnya frame pada hidung dan penurunan penglihatan periperal
karena penglihatan dapat menjadi baik jika pasien melihat melalui
pusat lensa.
b. Contact lense atau lensa kontak.
Merupakan diskus atau cakram bulat dari plastik yang di design untuk
mengistirahatkan kornea mata dan dipasang dibawah mata. Contak
lense dipasang sesuai dengan ukuran, bentuk kornea dan kekuatan
refraksi atau pembiasan yang diinginkan.
Kerugian:
1) Sulit dalam perawatan.
2) Harga lebih mahal.
3) Ada jangka waktu pemakaian ( tidak tahan lama ).
Keuntungan:
1) Model lebih simple.
2) Tidak menimbulkan gangguan penampilan peran.
3) Bisa berfungsi sebagai estetika.
2. Bedah
Pembedahan dapat mejadi alternatif tindakan untuk kelainan refraksi.
Radial keratotomy merupakan tindakan bedah untuk mengatasi myopia
sedang 8 – 16 insisi diagonal dibuat melalui 90% pada periperal kornea.
contac cornea tidak di insisi sehingga penglihatan tidak dipengaruhi insisi
pada kornea yang mana menurunkan panjang antereposterior mata dan
membantu gambaran terfokus pada retina. Komplikasi pada pembedahan
ini diantaranya luka atau scar pada kornea jika insisi terlalu dalam dan
kegagalan untuk mencapai kecukupan perbaikan jika insisi terlalu
dangkal.
3. Prosedur bedah
Prosedur bedah yang lain yang dapat dilakukan untuk memperbaikai
kelainan refraksi yaitu epikeratophakia pembedahan dari donor jaringan
kornea untuk klien kita yang mengalami kelainan refraksi akan tetapi
dalam hal ini jaringan donor yang digunakan untuk prosedur ini tidak
semua pasien dapat menerima transplantasi korne dari donor.
I. PATHAWAI KEPERAWATAN DAN PELAKSANAAN
PATHWAY KEPERAWATAN
Elastisitas lensa berkurang
Kelemahan otot akomodasi
Lensa sukar mencembung
Daya akomodasi berkurang
Bola mata lebih panjang.Pembiasan penglihatan kornea terlalu kuat.Lensa terlalu kuat
Bola mata lebih pendek.Indeks bias kurang.Kelengkungan kornea atau lensa kurang
Tak ada lensa
-Kelainan kelengkungan kornea.- Distrofi.-Pembiasan lensa berfbeda
Gangguan pembiasan cahaya
Gangguan persepsi sensori penglihatan
Cemas
Resiko tinggi cidera
Rabun Jauh ( mipoi )
Rabun dekat ( hiper metropi )
Afasia Astigmatisme Presbiopi
Untuk melihat akomodasi terus
Ketegangan otot silior
Menekan kelenjar air mata
Mata lelah
Mata berair
Bayangan ireguler
Hipermetropia tinggi
Lensa + keratotomy
Untuk melihat akomodasi
terus menerus
Ketegangan otot siliasis dan
saraf
Konvergensi terus menerus
Nyeri/sakit kepala dan
mata
Mata juling kedalam / esotropia
PENATALAKSANAAN
Kelainan Refraksi
Presbiopi Ametropi
Lensa +Operasi kornea ( keratotomy )
Levesia
Miopi Hipermetropia
Afasia
Astigmatisme
Resiko infeksi
Gangguan persepsi snsori
penglihatan
Lensa silinder
Lensa +Lensa +/ cembeung
Lensa -/ cekung
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN GANGGUAN REFRAKSI
A. PENGKAJIAN
1. Wawancara
Menurut Burnner dan Suddath ( 2000 ), informasi yang perlu didapatkan
pada wawancara adalah sebagai berikut :
a. Menanyakan kepada psien tentang sejarah penyebab dan waktu mulai
terjadinya gangguan penglihatan tersebut. Pasien dengan diabetik
mokular edema misalnya tipe tertentu mempunyai ketajaman
penglihatan naik turun. Pasien dengan mokular degenerasi mempunyai
pusat masalah ketajaman.
b. Menyanyakan kepada pasien sehubungan dengan kerusakan lapang
periperal dimana pada kondisi ini pasien akan lebih kesulitan saat
mobilisasi sehingga ketergantungan aktifitas hidup sehari – hari
( Medication Segmen ) menjadi sebuah kebiasaan ( seperti merokok ).
c. Mengkaji tentang penerimaan dari keterbatasan fisik melalui
penggunaan fisual harus diidentifikasi pula mengenai pengharapan
realistic darlowvition.
2. dasar sata pengkajian pasien.
a. Aktifitas istirahat.
Gejala: perubahan aktifitas berhubungan dengan penglihatan lelah bila
membaca.
b. Neurosensori.
Gejala : gangguan penglihatan kabur atau tidak jelas , sinar terang
yang menyebabkan silau.
Tanda: bilik mata dalam, pupil lebar.
c. Nyeri atau kenyamanan.
Gejala: Nyeri pada mata dan sekitar mata, sakit kepala, pusing
3. pemeriksaan fisik
Ispeksi:
a. Celah kelopak mata sempit
b. Gambaran bulan sabit pada polos posterior fundus mata.
c. Tidak teraturnya lekukan kornea.
d. Mata beair.
e. Juling.
B. ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1 DS:
Pasien mengatakan pandangan
kabur, silau pada cahaya.
DO:
Tes pemeriksaan tajam
penglihatan menunjukan pasien
menderita miopi, hipermetropi,
astigmatisme, presbiopi.
Perubahan
penerimaan sensor
Gangguan
persepsi sensori
penglihatan
2 DS:
Pasien mengatakan pusing, sakit
pada mata dan daerah
sekitarnnya.
DO:
Skala nyeri3, otot sekitar mata
tegang.
Adanya agen
cidera biologi
( pusing, sakit
pada mata dan
sekitarnya )
Nyeri akut
3 DS : -
DO:
miopi, hipermetropi,
astigmatisme, presbiopi.
Hilangnya
keseimbangan
Resiko tinggi
cidera
4 DS:
Pasien mengatakan cemas
terhadap perubahan kemampuan
melihatnya
DO :
Pasien tampak gelisah
Kebutuhan yang
tidak terpenuhi
Ansietas
5 DS: -
DO:
Terjadi demam, adanya luka
pembedahan
Adanya prosedur
infasif
pembedahan
Resiko tinggi
infeksi
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya
perubahan penerimaan sensor.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.
4. Ansietas behubungan dengan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi
5. Resiko tinggi infeksi berhubungnan dengan adanya prosedur infasif.
D. INTERVENSI KEPERAWATAN BERDASARKAN NOC DAN NIC
1. Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya
perubahan penerimaan sensor.
NOC : Orientasi kognitif
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan sttimulus penglihatan yang diterima dapatsesuai dengan
kenyataanya dengan kriteria hasil :
a. Pasien mampu mengidentifikasi diri sendiri.
b. Pasien mampu mengidentifikasi orang lain.
c. Pasien mampu mengidentifikasi tempat saat ini.
d. Pasien mampu mengidentifikasi hari, bulan, tahun, dan musim yang
benar.
NIC :Peningkatan komunikasi: defisit penglihatan
Intervensi
a. Beri bantuan dalam pembelajaran dan penerimaan metode alternatif
untuk menjalani hidup dengan kurangnya fungsi penglihatan.
b. Manipulasi lingkungan sekitar pasien senyaman mungkin.
c. Timngkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa dengan
mengoptimalkan pencahayaan.
d. Jangan memindahkan barang – barang di dalam kamar pasien untuk
mempermudah pasien menemukan barang yang dibutuhkan.
e. Pastikan akses ke dan penggunaan alat bantu sensori seperti alat bantu
dengar dan kacamata.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
Tujuan : Individu dapat mengindikasikan dari resiko penyakit dan cidera.
NOC 1 : Tingkat nyeri
Kriteria hsil :
a. Frekuensi nyeri pasien berkurang.
b. Ekspresi wajah pasien santai.
c. Lama nyeri saat menyerang berkurang dari awal.
d. Pasien melaporkan nyeri berkurang.
NOC II: Pain control ( kontrol nyeri )
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan pasien mampu mengotrol nyeri dengan kriteria hasil :
a. Pasien mengetahui penyebab dari nyerinya.
b. Pasien dapat mendeteksi dengan segera adanya serangan nyeri.
c. Pasien dapat mengurangi nyeri dengan tanpa menggunakan obat –
obatan anti nyeri.
d. Pasien dapat menggunakan obat – obatan anti nyeri sesuai resep yang
dianjurkan.
e. Pasien melaporkan nyeri terkontro.
NIC : Pain Manajemen ( manajemen nyeri )
Intervensi
a. Observasi karakteristik nyeri ( penyebabnya, kualitasnya, skalanya,
waktu terjadinya, arealnya dan frekuensinya )
b. Kontrol kondisi lingkungan agar tercipta lingkungan yang nyaman
( suhu udara, kebisingan, kepadatan jumlah pengunjung )
c. Dorong pasien untuk dapat mengontrol nyerinya sendiri saat nyeri
menyerang dan menentukan tindakan yang tepat.
d. Dorong pasien untuk banyak beristirahat guna mengurangi nyeri.
e. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat – obatan anti nyeri.
3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.
NOC :Risk Control : visual Impairment ( control resiko : kerusakan
penglihatan )
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan pasien dapat mengontrol factor cidera kare keterbatasan
penglihatanya dengan criteria hasil:
a. Pasien mampu mendeteksi penyebab dari kerusakan penglihatanya.
b. Pasien mampu menggunakanalat bantu penglihatan
c. Pasien mampu menggunakan obat –obatan untuk mata.
d. Pasien mampu memonitor penyebab terjadinya cidera yang ada di
lingkunganya.
e. Pasien mampu melakukan aktifitas dengan lancar dengan bantuan
cahaya yang adekuat.
NIC :Environmental managemen : safety ( manajemenLingkungan :
keselamatan )
Intervensi
a. Identifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cidera.
b. Hindara kegiatan yang menyebabkan cidera fisik.
c. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan.
d. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko.
e. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko ijuri.
4. Ansietas behubungan dengan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi
NOC : Anxietas control ( control kecemasan )
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan kecemasan pasien dapat hilang dengan kriteria hasil :
a. Pasien dapat mengontrol intensitas kecemasanya sendiri.
b. Pasien dapat menghilangkan tanda – tanda kecemasan pada dirinya.
c. Pasien mampu pengontrol kondisi lingkungan yang dapat
menyebabkan peningkatan kecemasan.
d. Pasien dapat mendemonstrasikan upaya mengontrol kecemasan.
e. Pasien dapat menemukan informasi atau hal yang dapat
menghilanghkan cemas.
NIC : Anxietas reduction ( pengurangan kecemasan )
Intervensi :
a. Denganrkan keluhan pasien dengan seksama.
b. Ciptakan lingkungan yang dapat membina hubungan saling percaya.
c. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan
peningkatan kecemasan.
d. kolaborasi medis dalam pemberian obat – obatan penenang untuk
mengurangi kecemasan.
e. ajarkan pasien teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
5. Resiko tinggi infeksi berhubungnan dengan adanya prosedur infasif.
NOC : Status Infeksi
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
diharapkan pasien terbebas dari gejala infeksi dengan kriteria hasil :
a. Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
b. Pasien mampu mengidentifikasi higiene pribadi yang adekuat.
c. Paien mampu melaporkan bila terjadi tanda dan gejala infeksi.
d. Pasien mampu menggambarkan faktor yang menunjang terjadinya
infeksi.
NIC : 1. Kontrol Infeksi
2. Perlindungan Infeksi
NIC 1 : Kontrol Infeksi
Intervensi
a. Komunikasi dengan pasien untuk menjelaskan tentang penyakitnya
b. Pertahankan tekhnik isolasi jika diperlukan
c. Instruksikan pasien tentang perlunya cuci tangan
d. Cuci tangan sebelum dan sesudah aktifitas untuk perlindungan tiap
pasien
e. Ajari pasien tentang nafas dalam dan batuk efektif
f. Berikan terapi antibiotik secukupnya
g. Anjurkan pasien untuk menggunakan antibiotic
h. Ajari pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
i. Pertahankan lingkungan dengan mengganti selang dan bantal TPN
NIC 2 : Perlindungan Infeksi
Intervensi
a. Monitor suster dan lokasi gejala dan tanda dari infeksi
b. Monitor timbulnya infeksi
c. Inspeksi kulit dan membrane mukus dari panas dan
d. Ajari pasien dan anggota keluarga bagaimana menghindari nyeri
e. Ajari pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala infeksi
f. Laporkan adanya infeksi untuk mengontrol infeksi diri
g. Laporkan jenis infeksi untuk mengontrol infeksi diri
h. Motivasi pasien untuk bernafas dalam
i. Instruksikan pasien untuk menggunakan antibiotic jika diperlukan
E. EVALUASI
1. Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya
perubahan penerimaan sensor.
a. Pasien mampu mengidentifikasi diri sendiri. Skala 5
b. Pasien mampu mengidentifikasi orang lain. Skala 5
c. Pasien mampu mengidentifikasi tempat saat ini. Skala 5
d. Pasien mampu mengidentifikasi hari, bulan, tahun, dan musim yang
benar. Skala 5
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
a. Frekuensi nyeri pasien berkurang. Skala 5
b. Ekspresi wajah pasien santai. Skala 5
c. Lama nyeri saat menyerang berkurang dari awal. Skala 5
d. Pasien melaporkan nyeri berkurang. Skala 5
3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.
a. Pasien mampu mendeteksi penyebab dari kerusakan penglihatanya.
Skala 4
b. Pasien mampu menggunakanalat bantu penglihatan. Skala 4
c. Pasien mampu menggunakan obat –obatan untuk mata. Skala 4
d. Pasien mampu memonitor penyebab terjadinya cidera yang ada di
lingkunganya. Skala 4
e. Pasien mampu melakukan aktifitas dengan lancar dengan bantuan
cahaya yang adekuat. Skala 4
4. Ansietas behubungan dengan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi
a. Pasien dapat mengontrol intensitas
kecemasanya sendiri. Skala 5
b. Pasien dapat menghilangkan tanda – tanda
kecemasan pada dirinya. Skala 5
c. Pasien mampu pengontrol kondisi lingkungan
yang dapat menyebabkan peningkatan kecemasan. Skala 5
d. Pasien dapat mendemonstrasikan upaya
mengontrol kecemasan pada dirinya . Skala 5
e. Pasien dapat menemukan informasi atau hal
yang dapat menghilanghkan cemas. Skala 5
5. Resiko tinggi infeksi berhubungnan dengan adanya prosedur infasif.
a. Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi. Skala 1 sampai 2
b. Pasien mampu mengidentifikasi higiene pribadi yang adekuat. Skala 1
sampai 2
c. Paien mampu melaporkan bila terjadi tanda dan gejala infeksi. Skala 1
sampai 2
d. Pasien mampu menggambarkan faktor yang menunjang terjadinya
infeksi. Skala 1 sampai 2
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M. McCloskey, Joanne C. (2000). Nursing intervention project. USA : Mosby.
Corwin, Elizabeth J. ( 2000 ). Buku saku patfisiologi. Jakarta : EGC.
Dorland. ( 1996 ). Kamus kedokteran droland edisi 26. Jakarta : EGC.
Ilyas,S. ( 1998 ). Ilmu penyakit mata. Jakarta: FKUI
Ilyas, S, Muzakir, T. Salamun dan Zaenal, A. ( 1981 ). Sari ilmu penyakit mata. Jakarta : FK UI.
Johnson, Marion. Maas, Merideah. Moorhead, Sue. ( 2000 ). Nursing outcomes classification. USA : Mosby
Masjoer, Arif. ( 1999 ). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Panduan diagnosa keperawatan NANDA 2005-2006.
Reeves, J. Charlene. ( 2001 ). Keperawatan medikal bedah. Buku satu. Jakarta : Salemba Medika.
Satino, Rita , Henya, A. & siti,L. ( 2000 ) Surgical medical nursing I. Semarang Departemen Of Health Central Java.
Smeltzer,S.C.& Bare, B.G. ( 2000 ) Bruner & sudarts tex book of medical surgical nursing. Phildelphia: Lippincctt William & Wilkins.
Timby, B. K. Jeanne. S. & nancy. F.S. ( 2000 ) introductory medical surgical nursing. Sevent edition : Phildelphia: Lippincctt
Tucker,S.M.Canabbia,M.M. Paquette, E.V. Wells,M.F.( 1992 ). Patient care standards nursing process diagnosis and outcome.5th edition, Mosby Year Book Philadelphia.