15
Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education), Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan, 27 Agustus 2016 p-ISSN: 2540-752x e-ISSN: 2528-5726 155 PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus novergicus L.) JANTAN GALUR SPRAQUE DAWLEY SETELAH PEMBERIAN FORTIFIKAN NaFeEDTA DALAM SUSU KEDELAI (Increased Blood Iron Levels in Rat (Rattus novergicus L.) male Spraque Dawley strain after addition Fortifikan NaFeEDTA in Soy Milk) Nova Anita 1 , Agustino Zulys 2 1 Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia. 2 Departemen Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia. Email: [email protected]; [email protected]* Authors for correspondence Abstract Bioaviabilitas iron (Fe) in the body is affected by the presence of facilitators and inhibitors of iron absorption. Phytic acid is an inhibitor of iron absorption are widely present in soy- based processed products such as tempe, tofu and soy milk. Phytic acid form insoluble precipitate Fe so that Fe can not be absorbed. Fortifikan NaFeEDTA is soluble in water and has a high Fe bioaviabilitas. Fe in EDTA can not be bound by phytic acid, thereby increasing the amount of iron absorbed from food fortification. Research has been conducted at the Laboratory of Animal Physiology Department of Biological Science UI which aims to determine the effect NaFeEDTA fortification in soy milk to blood iron levels in rat (Rattus norvegicus) male Sprague-Dawley. By using Complete Random Design (CRD), 25 rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which was administered with standard feeding and drinking. Treatment control group (KK 2) which was administered with extra soy milk non fortificant, and three treatment groups which was administered with extra soy milk added with NaFeEDTA 1.35 mg Fe/kgbw (KP 1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All groups were treated for 21 days consecutively. Blood sampling isolation at baseline (t0) and the end of the experiment (T21). Iron plasma concentration of blood was measured by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). One way anova test and LSD test (P<0.05) showed significantly differences on iron concentration in all treatment groups. The highest increase of iron concentration was detected on KP 3 on day-21 which is 31.74% to KK 1 and 23.52% to KK 2. Keywords: phytic acid, bioaviabilitas, blood, fortification, NaFeEDTA, soy milk, rat. Pendahuluan Anemia masih menjadi masalah yang serius karena berkontribusi menyebabkan 20% kematian di dunia (WHO 2015: 1). Prevalensi anemia di Asia Tenggara berdasarkan data WHO yaitu 65,5% dari 100% anak usia 05 tahun; 48,2% dari 100% wanita hamil; dan 45,7% dari 100% wanita tidak hamil (usia 1550 tahun) (WHO

PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

155

PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus

novergicus L.) JANTAN GALUR SPRAQUE DAWLEY SETELAH

PEMBERIAN FORTIFIKAN NaFeEDTA DALAM SUSU KEDELAI

(Increased Blood Iron Levels in Rat (Rattus novergicus L.) male Spraque

Dawley strain after addition Fortifikan NaFeEDTA in Soy Milk)

Nova Anita1 , Agustino Zulys

2

1 Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia.

2Departemen Chemistry, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia.

Email: [email protected]; [email protected]* Authors for correspondence

Abstract

Bioaviabilitas iron (Fe) in the body is affected by the presence of facilitators and inhibitors

of iron absorption. Phytic acid is an inhibitor of iron absorption are widely present in soy-

based processed products such as tempe, tofu and soy milk. Phytic acid form insoluble

precipitate Fe so that Fe can not be absorbed. Fortifikan NaFeEDTA is soluble in water and

has a high Fe bioaviabilitas. Fe in EDTA can not be bound by phytic acid, thereby

increasing the amount of iron absorbed from food fortification. Research has been

conducted at the Laboratory of Animal Physiology Department of Biological Science UI

which aims to determine the effect NaFeEDTA fortification in soy milk to blood iron levels

in rat (Rattus norvegicus) male Sprague-Dawley. By using Complete Random Design

(CRD), 25 rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which

was administered with standard feeding and drinking. Treatment control group (KK 2)

which was administered with extra soy milk non fortificant, and three treatment groups

which was administered with extra soy milk added with NaFeEDTA 1.35 mg Fe/kgbw (KP

1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All groups were treated for 21 days

consecutively. Blood sampling isolation at baseline (t0) and the end of the experiment

(T21). Iron plasma concentration of blood was measured by Atomic Absorption

Spectrophotometer (AAS). One way anova test and LSD test (P<0.05) showed

significantly differences on iron concentration in all treatment groups. The highest increase

of iron concentration was detected on KP 3 on day-21 which is 31.74% to KK 1 and

23.52% to KK 2.

Keywords: phytic acid, bioaviabilitas, blood, fortification, NaFeEDTA, soy milk, rat.

Pendahuluan

Anemia masih menjadi masalah yang serius karena berkontribusi menyebabkan

20% kematian di dunia (WHO 2015: 1). Prevalensi anemia di Asia Tenggara

berdasarkan data WHO yaitu 65,5% dari 100% anak usia 0—5 tahun; 48,2% dari 100%

wanita hamil; dan 45,7% dari 100% wanita tidak hamil (usia 15—50 tahun) (WHO

Page 2: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

156

2008: 8). Sedangkan menurut Husaini dkk. (lihat Handayani & Haribowo 2008: 38),

perkiraan prevalensi anemia di Indonesia yaitu 30—40% dari 100% anak prasekolah,

25—35% dari 100% anak usia sekolah, 30—40% dari 100% wanita tidak hamil, 50—

70% dari 100% wanita hamil, 20—30% dari 100% laki-laki dewasa, dan 30—40% dari

100% pekerja berpenghasilan rendah.

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti, defisiensi Fe, asam folat,

dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi, sebagian besar kasus anemia,

yakni sebesar 50% disebabkan oleh defisiensi Fe (WHO 2008: 1). Ada beberapa

penyebab anemia defisiensi Fe, di antaranya adalah kehilangan darah secara kronis,

peningkatan kebutuhan Fe untuk pembentukan sel darah merah, asupan Fe yang tidak

cukup dan penyerapan yang tidak adekuat (Arisman 2009: 173). Selain karena naiknya

kebutuhan zat besi dalam tubuh, anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kurangnya

asupan zat besi pada pangan yang dikonsumsi dan penyerapan zat besi yang tidak

adekuat (Arisman 2008: 174).

Asupan zat besi yang dikonsumsi bergantung pada sumber bahan pangan yang

dikonsumsi. Sumber bahan pangan yang mengandung zat besi dapat berasal dari bahan

pangan hewani maupun nabati. Sumber pangan nabati umumnya mengandung zat besi

non heme, sedangkan sumber pangan hewani mengandung zat besi heme. Sumber

bahan pangan hewani lebih kaya kandungan zat besinya dibandingkan sumber bahan

pangan nabati (Almatsier 2001: 255; Vijayaraghavan 2005: 280). Selain kandungan zat

besinya yang lebih tinggi, pangan hewani juga memiliki angka keterserapan zat besi

yang lebih tinggi, yaitu 20—30% (Arisman 2008: 174), dibandingkan angka

keterserapan zat besi pangan nabati yang hanya sekitar 5% (Almatsier 2001: 251). Akan

tetapi, sebagian besar penduduk negara berkembang belum mampu mengjangkau bahan

pangan tersebut dan cenderung mengkonsumsi bahan pangan nabati (Arisman 2008:

174).

Penyerapan zat besi yang tidak adekuat disebabkan oleh adanya gangguan

penyerapan zat besi. Gangguan tersebut dapat terjadi karena bahan pangan yang

dikonsumsi mengandung senyawa inhibitor penyerapan besi, seperti asam fitat pada

sereal dan kacang- kacangan (Almatsier 2001: 252; Vijayaraghavan 2005: 281; Linder

2006: 268—269), tanin pada teh dan sayuran (Vijayaraghavan 2005: 281; Linder 2006:

268—269), dan polifenol pada teh dan kopi (Vijayaraghavan 2005: 281; Arisman

Page 3: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

157

2008:175). Senyawa inhibitor tersebut banyak ditemukan di bahan pangan nabati.

Adanya senyawa tersebut menyebabkan terbentuknya endapan zat besi yang tidak dapat

larut sehingga zat besi tidak dapat diserap (Linder 2006: 267). Selain berasal dari

eksternal, inhibitor absorpsi Fe juga dapat berasal dari internal tubuh, yakni suasana

basa pada usus halus bagian atas serta kondisi aklorohidia yaitu relatif tidak ada

produksi HCl dalam lambung (Linder 1992: 267).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi

anemia defisiensi besi antara lain dengan pemberian suplementasi zat besi,edukasi gizi,

pendekatan berbasis hortikultura untuk memperbaiki bioavailabilitas zat besi pada

bahan pangan, dan fortifikasi zat besi (Vijayaraghavan 2005: 283—284). Menurut

Arisman (2009: 182), fortifikasi merupakan cara yang ampuh dalam upaya pencegahan

defisiensi zat besi, karena dapat ditargetkan untuk merangkul seluruh kelompok

masyarakat. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih mikronutrien esensial, yaitu

vitamin dan mineral, ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas

gizi makanan tersebut. Fortifikasi merupakan upaya yang sengaja dilakukan dalam

rangka memperbaiki atau mencegah defisiensi dan memberikan manfaat bagi kesehatan

masyarakat dengan risiko minimal untuk kesehatan (WHO 2006: 24).

Fortifikasi membutuhkan agen pengkelat atau fortifikan sebagai pengikat zat

yang akan ditambahkan ke bahan makanan. Fortifikan yang biasa digunakan untuk

fortifikasi zat besi adalah NaFeEDTA. NaFeEDTA (sodium iron (Fe3+) ethylene

diamine tetra acetic acid) merupakan fortifikan yang dapat larut dalam air (WHO 2006:

98). NaFeEDTA dipilih sebagai fortifikan karena memiliki keunggulan, yaitu memiliki

bioaviabilitas Fe yang tinggi. Fe dalam EDTA tidak dapat diikat oleh senyawa inhibitor

yang dapat menghambat absorbsi zat besi di dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan

jumlah zat besi yang dapat diserap dari makanan fortifikasi (WHO 2006: 101). Selain

itu, menurut Fidler dkk. (2002), NaFeEDTA tidak mengubah warna dan citarasa produk

fortifikasi (Naruki dkk. 2009: 60).

Salah satu bahan pangan yang berpotensi dijadikan sebagai makanan pembawa

dalam upaya fortifikasi zat besi di Indonesia yaitu kedelai. Berdasarkan data Badan

Pusat Statistik mengenai Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 1985 mencatat bahwa

penduduk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi bahan pangan nabati dibandingkan

bahan pangan hewani. Data konsumsi kedelai masyarakat Indonesia yang dihimpun

Page 4: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

158

oleh Bappenas pada tahun 2013 mencapai 2.946.000 ton. Kedelai digemari masyarakat

Indonesia karena merupakan bahan pangan sumber utama protein bagi masyarakat

Indonesia yang terjangkau secara ekonomi dan dapat diolah menjadi berbagai bentuk

olahan makanan seperti, tahu, tempe, susu kedelai, oncom, kecap, dan tauco (Pusdatin

2013: 8).

Selain bentuk olahan tahu dan tempe, produk olahan kedelai yang juga

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yaitu susu kedelai. Susu kedelai merupakan

produk hasil pengolahan ekstraksi kedelai (Budimarwanti dalam Darlan 2012: 18).

Meskipun angka konsumsi dalam bentuk susu kedelai tak sebanyak konsumen tahu dan

tempe yaitu kurang dari 30% angka ketersediaan kedelai di Indonesia (Susenas 2009—

2014 dalam Pusdatin 2013: 14), namun susu kedelai memiliki potensi untuk

dikembangkan karena kandungan protein dan zat besinya tidak kalah tinggi

dibandingkan susu sapi dan harganya lebih terjangkau (Budiamarwanti dalam Darlan

2012: 18). Susu kedelai juga cocok bagi masyarakat yang memiliki permasalahan alergi

laktosa yang umum terdapat dalam susu sapi (Widowati 2007 dalam Khamidah &

Istiqomah 2012: 2). Berdasarkan hal-hal tersebut tersebut, dilakukan penelitian untuk

mengetahui pengaruh pemberian fortifikan NaFeEDTA dalam susu kedelai secara oral

terhadap kadar zat besi plasma darah tikus jantan.

Metode

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur

Sprague-Dawley sebanyak 25 ekor. Hewan uji tersebut berjenis kelamin jantan dengan

berat badan sekitar 180—200 gram, serta berumur 2—3 bulan. Penelitian yang

dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap.

Kelompok perlakuan yang diberikan terhadap hewan uji adalah sebagai berikut:

a. Kelompok Kontrol Normal (KK1), yaitu kelompok hewan uji yang

diberi pakan dan minum standar selama 21 hari.

b. Kelompok Kontrol Perlakuan (KK2), yaitu kelompok hewan uji yang

diberi pakan dan minum standar, serta susu kedelai tanpa fotifikan

selama 21 hari.

Page 5: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

159

c. Kelompok Perlakuan 1 (KP1), yaitu kelompok hewan uji yang diberi

pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan

NaFeEDTA dosis 1,35 mgFe/kg BB selama 21 hari.

d. Kelompok Perlakuan 2 (KP2), yaitu kelompok hewan uji yang diberi

pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan

NaFeEDTA dosis 2,7 mgFe/kg BB selama 21 hari.

e. Kelompok Perlakuan 3 (KP3), yaitu kelompok hewan uji yang diberi

pakan dan minum standar, serta susu kedelai dengan fortifikan

NaFeEDTA dosis 5,4 mgFe/kg BB selama 21 hari.

Proses pembuatan susu dilakukan dengan cara menimbang kedelai seberat 13,5

gram, kemudian dicuci hingga bersih lalu direndam dengan air selama 10—12 jam.

Kedelai kemudian diblender dengan 50mL akuades lalu disaring filtratnya. Ampas

kedelai lalu diblender kembali dengan 50 mL akuades kemudian disaring kembali

filtratnya. Setelah filtrat diperoleh kemudian dipasteurisasi pada suhu 70oC selama 30

menit di atas hot plate. Susu kedelai yang telah dipasteurisasi lalu didinginkan. Susu

kedelai yang sudah dingin kemudian dimasukkan ke dalam 4 gelas ukur masing-masing

sebanyak 10 mL. Gelas ukur pertama tidak berikan tambahan fortifikan NaFeEDTA

70%, gelas ukur kedua diberikan tambahan fortifikan NaFeEDTA 70% sebanyak 14,507

mgFe/kgBB untuk dosis in vivo 1,35 mgFe/kgBB, gelas ukur ketiga diberikan tambahan

NaFeEDTA 70% sebanyak 29,014 mgFe/kgBB untuk dosis in vivo 2,7 mgFe/kgBB, dan

gelas ukur keempat diberikan tambahan NaFeEDTA 70% sebanyak 58,028 mgFe/kgBB

untuk dosis in vivo 5,4 mgFe/kgBB. Gelas ukur kedua, ketiga, dan keempat kemudian

dihomogenisasi dengan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. Penentuan

dosis fortifikan ditentukan dengan rumus:

Hewan uji diberikan susu kedelai secara oral selama 21 hari, sesuai dengan dosis

pada setiap kelompok perlakuan. Sampel darah hewan uji dilakukan sebanyak 2 kali,

yaitu sebelum perlakuan (t0) dan setelah perlakuan hari ke-21 (t21). Sebelum dilakukan

pengambilan sampel darah, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam.

Page 6: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

160

Pengambilan sampel darah dilakukan dengan metode venipuncture. Sampel darah yang

akan diukur kadar zat besinya dengan AAS dipreparasi terlebih dahulu dengan metode

destruksi basah (wet ashing). Hasil destruksi kemudian diukur absorbansinya dengan

perangkat AAS dengan panjang gelombang 248,3 nm. Absorbansi yang terukur

kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi zat besi dengan rumus persamaan

yang diperoleh dari kurva larutan Fe standar. Data kadar zat besi dalam plasma darah

hewan uji dianalisis secara statistik menggunakan program Statistical Product and

Service Solutions (SPSS) for Windows versi 16.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengukuran kadar zat besi awal penelitian (t0) pada seluruh kelompok

perlakuan berada pada kisaran 0,6723 mg/ml—0,8573 mg/ml dan dapat dilihat pada

tabel 1 dan gambar 1

Tabel 1. Kadar zat besi awal penelitian (t0)

Ulangan Kadar Zat Besi Awal Penelitian (t0) (mg/ ml)

KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3

1 0,7484 0,7513 0,8514 0,8342 0,8004

2 0,7861 0,8323 0,8326 0,7978 0,8573

3 0,8095 0,7403 0,7360 0,7247 0,8017

4 0,8345 0,7256 0,7360 0,8329 0,8352

5 0,6723 0,8511 0,8037 0,8089 0,7822

Rerata 0,7702 0,7801 0,7919 0,7997 0,8153

SD 0,0632 0,0573 0,0538 0,0448 0,0303

Page 7: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

161

Gambar 1. Diagram batang rerata kadar zat besi (Fe) awal penelitian (t0)

Hasil pengukuran kadar zat besi awal (t0) pada KK 1, KK 2, KP 1, KP 2, dan

KP 3 berada pada kisaran 0,6723 mg/ml—0,8573 mg/ml. Berdasarkan hasil uji

parametrik Anava terhadap rerata kadar zat besi menunjukkan bahwa kadar zat besi

antar perlakuan pada awal penelitian tidak berbeda nyata (α: 0,05). Pengukuran kadar

zat besi pada awal penelitian (t0) dilakukan untuk mengetahui keseragaman sampel

yang digunakan dalam penelitian. Kondisi tersebut diperlukan karena dapat

memperkecil bias atau deviasi terhadap hasil penelitian. Apabila kondisi awal sampel

semakin seragam maka validitas eksperimen semakin tinggi (Dempsey & Dempsey

2002: 91—121).

Selain itu ,kadar zat besi pada t0 juga berada dalam rentang normal. Penelitian

mengenai kadar zat besi darah tikus yang telah dilakukan oleh Abubakar dkk. (2004:

113—114) ; Nuraeni (2009: 82) dan Conceicao dkk. (2001: 1205) menunjukkan bahwa

1.0000 a a a a a

0.8000

0.6000

0.4000

0.2000

0.7702

0.7801

0.7919

0.7997

0.8153 0.000

0 KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3

Kelompok Perlakuan

Keterangan: KK 1 = kelompok kontrol normal (pakan-minum standar)

KK 2 = kelompok kontrol perlakuan (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB)

KP 1 = kelompok perlakuan 1 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan

NaFeEDTA dosis 1,35 mg Fe/kgBB)

KP 2 = kelompok perlakuan 2 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan

NaFeEDTA dosis 2,7 mg Fe/kgBB)

KP 3 = kelompok perlakuan 3 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB +fortifikan

NaFeEDTA dosis 5,4 mg Fe/kgBB)

Kad

ar z

at b

esi (

mg/

ml)

Page 8: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

162

kadar zat besi darah tikus pada kelompok kontrol normal berkisar antara 0,14—1,46

mg/ml.

Hasil pengukuran kadar zat besi akhir penelitian (t21) pada seluruh kelompok

perlakuan berada pada kisaran 0,6843mg/ml—1,0992 mg/ml dan dapat dilihat pada

tabel 2 dan gambar 2.

Tabel 2. Kadar zat besi akhir penelitian (t21)

Ulangan Kadar Zat Besi Akhir Penelitian (t21) (mg/ ml)

KK 1 KK 2 KP 1 KP 2 KP 3

1 0,8654 0,8254 0,8781 0,8297 0,9750

2 0,6843 0,7279 0,8459 0,9181 1,0992

3 0,6931 0,8901 0,8918 0,8947 1,0540

4 0,8401 0,8098 0,8732 0,9155 0,9571

5 0,7874 0,8748 0,8999 0,9181 1,0137

Rerata 0,7741 0,8256 0,8778 0,8952 1,0198

SD 0,0829 0,0640 0,0207 0,0379 0,0580

Hasil uji parametrik ANAVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata

antar kelompok perlakuan pada akhir penelitian (t21) (α: 0,05). Hasil uji LSD

menunjukkan bahwa perbedaan nyata tersebut terdapat antara kelompok KK 1 dengan

KP 1, KP 2, dan KP 3 serta antara KK 2 dengan KP 3 (α: 0,05). Diagram hasil

perbandingan antar kelompok perlakuan hasil uji LSD dapat dilihat pada gambar 2.

Page 9: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

163

Dalam penelitian digunakan dua kelompok kontrol yaitu KK1 dan KK2. Pada

KK1, kadar zat besi pada t0 dan t21 relatif stabil(pada t0 0,7702 ± 0,0632 mg/ml dan

t21 yaitu 0,7741 ± 0,0829 mg/ml). Kelompok kontrol 2 (KK 2) merupakan kelompok

hewan uji yang diberikan pakan standar dan susu kedelai tanpa fortifikan. KK 2

berfungsi sebagai kelompok kontrol perlakuan negatif. Data kadar zat besi pada

kelompok tersebut dapat dijadikan pembanding kadar zat besi kelompok perlakuan 1

(KP 1), kelompok perlakuan 2 (KP 2), dan kelompok perlakuan 3 (KP 3) dengan tujuan

untuk mengetahui efektifitas penambahan agen pengkelat NaEDTA terhadap

peningkatan kadar zat besi.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar zat besi antara t0 dengan t21 terdapat

kenaikan kadar zat besi sebesar 5,84%, sedangkan apabila kadar zat besi hewan uji KK

2 pada t21 dibandingkan dengan hewan uji KK 1 pada t21 diperoleh kenaikan sebesar

1.2000

a ab b b c

1.0000

0.8000

0.6000

0.4000

0.2000

0.7741 0.8256 0.8778 0.8952 1.0198 0.0000

KK 1 KK 2 KPI KPII KPIII

Kelompok Perlakuan

Keterangan:

KK 1 = kelompok kontrol normal (pakan-minum standar)

KK 2 = kelompok kontrol perlakuan (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB)

KP 1 = kelompok perlakuan 1 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan

NaFeEDTA dosis 1,35 mg Fe/kgBB)

KP 2 = kelompok perlakuan 2 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB + fortifikan

NaFeEDTA dosis 2,7 mg Fe/kgBB)

KP 3 = kelompok perlakuan 3 (pakan-minum + susu kedelai 10 ml/kgBB +fortifikan

NaFeEDTA dosis 5,4 mg Fe/kgBB)

Gambar 2. Diagram batang rerata kadar zat besi (Fe) akhir penelitian (t21)

Bar menunjukkan standar deviasi

Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar

kelompok perlakuan

Kad

ar z

at b

esi (

mg/

ml)

Page 10: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

164

6,66%. Berdasarkan hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KK 2 dan KK 1 pada t21

diperoleh hasil tidak adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan tersebut.

Peningkatan kadar zat besi disebabkan oleh adanya sumber zat besi yang berasal dari

susu kedelai. Berdasarkan literatur, setiap 100 gram susu kedelai terkandung sekitar

0,64 mg zat besi (USDA 2016: 1). Tetapi susu kedelai juga mengandung senyawa

inhibitor yang banyak terdapat dalam produk kedelai yaitu asam fitat.Senyawa asam

fitat tersebut dapat berikatan dengan zat besi dalam susu kedelai sehingga terbentuk

kompleks Fe-Fitat yang sangat kuat dan bersifat tidak larut. Hal tersebut mengakibatkan

zat besi yang terikat fitat tersebut tidak dapat diserap (Linder 2006: 267; Gropper dkk.

2009: 474).

Berdasarkan hasil pengukuran kadar zat besi darah pada masing-masing

kelompok perlakuan yang diberikan fortifikan (KP 1, KP 2, dan KP 3) tersebut secara

keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan terhadap KK 1 dan secara statistik

berbeda nyata. Peningkatan pada kelompok perlakuan KP 1, KP 2, dan KP 3 pada t21

juga melebihi peningkatan yang terjadi pada kelompok perlakuan KK 2. Peningkatan

tertinggi ditemukan pada kelompok perlakuan KP 3.

Kelompok perlakuan 1 (KP 1), kelompok perlakuan 2 (KP 2), dan kelompok

perlakuan 3 (KP 3), merupakan kelompok perlakuan yang diberikan pakan standar,

minum standar, dan susu kedelai yang diberikan fortifikan NaFeEDTA dengan dosis

1,35 mg Fe/ kg BB; 2,7 mg Fe/ kg BB; dan 5,4 mg Fe/ kg BB. Apabila kadar zat besi

KP 1 pada t21 dibandingkan dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 persentase

kenaikan yang terjadi masing-masing sebesar 13,40% dan 6,32%. Berdasarkan hasil uji

LSD terhadap kadar zat besi KP 1 dengan KK 1 menunjukkan hasil berbeda nyata,

sedangkan dibanding KK 2 menunjukkan hasil tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil pengukuran pada KP2; antara t0 dan t21 terjadi kenaikan

sebesar 11,94%, sedangkan apabila kadar zat besi KP 2 pada t21 tersebut dibandingkan

dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 persentase kenaikan yang terjadi

masing-masing sebesar 15,65% dan 8,43%. Hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KP 2

dengan KK 1 menunjukkan hasil berbeda nyata, sedangkan apabila dibanding KK 2

menunjukkan hasil tidak berbeda nyata .

Hasil pengukuran kadar zat besi darah hewan uji KP 3 pada t0, dan t21

mengalami peningkatan sebesar 25,08%. Apabila kadar zat besi KP 3 pada t21 tersebut

Page 11: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

165

dibandingkan dengan kadar zat besi KK 1 dan KK 2 pada t21 diperoleh kenaikan

masing-masing sebesar 31,74% dan 23,52%. Hasil uji LSD terhadap kadar zat besi KP3

dengan KK 1 dan KK 2 keduanya menunjukkan hasil yang berbeda nyata.

Peningkatan kadar zat besi yang terjadi pada kelompok perlakuan (KP 1, KP 2,

dan KP 3) yang diberikan fortifikan NaFeEDTA diduga disebabkan karena EDTA dapat

mengikat ion besi feri atau fero dengan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

ligan lain seperti asam fitat, asam sitrat, dan senyawa fenol yang merupakan inhibitor

penyerapan zat besi (Chi Kong Yeung dkk. 2004: 2770). EDTA berikatan dengan Fe3+

atau Fe2+

pada empat gugus karboksil dan dua gugus amina tersier akan membentuk

kelat. Kelat tersebut akan mencegah Fe bereaksi dengan kompetitor anion lain, sehingga

kelarutannya akan meningkat (Lynch dkk. 1993: 15). Ikatan yang terbentuk antara

EDTA dengan logam Fe dapat dilihat pada Gambar 3. NaFeEDTA jika digunakan

dalam fortifikasi bahan pangan yang mengadung asam fitat yang tinggi, memiliki

tingkat absorpsi zat besi 2—3 kali lebih besar dibandingkan dengan fortifikan lain

(WHO 2006: 102).

Gambar 3. Ikatan Fe dengan NaEDTA

[Sumber: TCUHK 2004: 38].

Zat besi yang berasal dari susu kedelai maupun NaFeEDTA merupakan zat besi

non-hem yang berada dalam bentuk ion feri (Fe3+), sedangkan zat besi yang dapat

diserap oleh enterosit berada dalam bentuk ion fero (Fe2+). Oleh karena itu agar dapat

diserap oleh enterosit zat besi Fe3+ harus dikonversi menjadi bentuk Fe2+ dengan

bantuan enzim ferireduktase (Vijayaraghavan 2005: 280). Zat besi dalam bentuk Fe3+

merupakan zat besi yang stabil, tetapi memiliki afinitas yang tinggi terhadap senyawa

lainnya. Oleh karena itu, zat besi dalam bentuk Fe3+ mudah berikatan dengan senyawa

inhibitor maupun senyawa fasilitator. Apabila zat besi tersebut berikatan dengan

Page 12: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

166

senyawa inhibitor seperti asam fitat pada susu kedelai maka akan membentuk kompleks

insoluble Fe (III)-fitat yang akan menyebabkan zat besi dalam bentuk Fe3+ tersebut

tidak dapat diserap oleh tubuh (Engle-Stone dkk. 2005: 10280). Akan tetapi, apabila zat

besi dalam bentuk Fe3+ berikatan dengan senyawa fasilitator seperti EDTA maka akan

terbentuk kompleks yang mudah larut sehingga memudahkan reduksi zat besi Fe3+

menjadi Fe2+ (Wreesmann 2014: 483). Akibatnya, zat besi tersebut dapat diserap oleh

usus.

Di lambung, NaFeEDTA yang terbawa oleh makanan pembawa akan dipecah.

Natrium (Na) akan terpisah dari Fe(III)-EDTA, sedangkan kompleks Fe(III)-EDTA

akan tetap dipertahankan. Suasana asam di dalam lambung menyebabkan ikatan Fe(III)-

EDTA semakin kuat dan stabil. Hal tersebut mengakibatkan zat besi tidak akan

berikatan dengan senyawa inhibitor. Ketika memasuki duodenum, terjadi kenaikan pH

yang menyebabkan turunnya kestabilan ikatan Fe(III)-EDTA sehingga Fe3+ dari

kompleks Fe(III)-EDTA mudah lepas. Fe3+ yang dilepaskan dari kompleks Fe(III)-

EDTA tersebut kemudian direduksi oleh enzim ferireduktase menjadi Fe2+ dan dapat

diserap oleh usus (Hurrell 1997: 215; Bothwell & MacPhail 2004: 423).

Zat besi hem (Fe2+) dari bahan pangan hewani diserap secara langsung ke

dalam enterosit oleh heme carrier protein (HCP 1) dalam bentuk kompleks porfirin

utuh. Kompleks tersebut di dalam enterosit akan dipecah oleh enzim hemoksigenase

(HO-1) sehingga zat besi akan terlepas dari cincin profirin (Almatsier 2001: 251).

Sebagian zat besi tersebut akan disimpan dalam bentuk feritin di dalam enterosit,

sedangkan lainnya akan diteruskan menuju basolateral usus dengan bantuan feroportin

(FPN). Zat besi yang diteruskan tersebut akan dikonversi menjadi Fe3+ kemudian akan

diedarkan ke seluruh jaringan (Zimmermann & Hurrell 2007: 511—512).

Page 13: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

167

Peningkatan kadar zat besi paling tinggi terjadi pada KP3 jika dibandingkan

dengan dengan KP 1 dan KP 2. Selain dosis NaFeEDTA yang lebih tinggi dibandingkan

kelompok lain, kandungan EDTA dalam dosis yang digunakan pada KP 3 tidak hanya

mampu mengkelat zat besi dalam NaFeEDTA, tetapi juga mampu mengkelat sebagian

besar zat besi yang dikandung susu kedelai. Kemampuan EDTA untuk berikatan dengan

zat besi yang berasal dari susu kedelai di lumen gastrointestinal lalu membawanya

masuk ke dalam enterosit tersebut sering diistilahkan sebagai shuttle effect of EDTA.

Mekanisme tersebut dapat meningkatkan efektivitas penyerapan zat besi secara

maksimal (Wreesmann 2014: 486). Akibatnya, penyerapan zat besi yang terjadi pada

KP 3 lebih maksimal dibandingkan pada kelompok perlakuan lainnya.

Kesimpulan

Pemberian NaFeEDTA dalam susu kedelai dengan dosis 1,35 mg Fe/kgBB; 2,7

mg Fe/kgBB; dan 5,4 mg Fe/kgBB dapat memengaruhi kadar zat besi plasma darah

tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley. Dosis 1,35 mg Fe/kgBB dan 2,7

mg Fe/kg BB mampu meningkatkan kadar zat besi plasma darah tikus, namun secara

statististik peningkatan tidak signifikan, sedangkan dosis 5,4 mg Fe/kg BB mampu

meningkatkan kadar zat besi plasma darah tikus secara signifikan. Peningkatan tertinggi

Keterangan :

HCP = Heme Carrier Protein DCYTB :Duodenal Cytochrome B

DMT1= Divalent Metal 1 Gambar 4. Mekanisme Penyerapan Zat Besi

[Sumber: Zimmermann & Hurrell 2007: 512, diterjemahkan sesuai aslinya]

Keterangan :

HCP = Heme Carrier Protein DCYTB =

Duodenal Cytochrome B DMT1=

Divalent Metal 1

Page 14: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Nova Anita, Agustino Zulys – Peningkatan Kadar Zat Besi.....

168

kadar zat besi darah terdapat pada dosis 5,4 mg Fe/ kg BB (KP 3) pada t21 yaitu sebesar

31,74% terhadap KK 1; dan 23,52% terhadap KK 2 pada t21.

Daftar Acuan

Abubakar, D.R. Mustika, & Sugiarto. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai

suplemen untuk pencegahan anemia gizi. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner: 107—115.

Almatsier, S. 2001. Prinsip dalam ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: xi+ 333

hlm.

Arisman, M.B. 2008. Buku ajar ilmu gizi: gizi dalam daur kehidupan Ed. 2.Penerbit

Buku Kedokteran EGC, Jakarta: x + 275.

Arisman. 2009. Buku ajar ilmu gizi, gizi dalam daur kehidupan edisi ke-2. EGC,

Jakarta: xvii+ 275 hlm.

Bothwell, T.H. & A.P. MacPhail. 2004. The potential role of NaFeEDTA as an iron

fortification. International Journal for Vitamin and Nutrition Research 74(6):

421—434.

Chi Kong Yeung, Le Zhu, R.P. Glahn & D.D. Miller. 2004. Iron absorption from

NaFeEDTA is downregulated in iron-loaded rats. The Journal of Nutrition 134:

2270—2274.

Conceicao de, E.C., T. Shuhama, C. Izumi & O. de Freitas. 2001. Iron supplementation

prevents the development of iron deficiency in rats with omeprazole-induced

hypochlorhydria. Nutrition research 21: 1201—1208.

Darlan, A. 2012. Fortifikasi dan ketersediaan zat besi pada bahan pangan berbasis

kedelai dengan menggunakan fortifikan FeSO4.7H2O campuran FeSO4.7H2O

+ Na2H2EDTA.2H2O dan NaFeEDTA. Tesis Departemen Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia: xi + 69 hlm.

Dempsey, P.N. & A.D. Dempsey. 2002. Riset keperawatan: buku ajar dan latihan edisi

ke-4. Terj. dari Nursing research: text and workbook 4th ed, oleh Palupi. EGC,

Jakarta: xiii+ 345 hlm.

Engle-Stone, R.. A.Yeung, R. Welch & R. Glahn. 2005. Meat and ascorbic acid can

promote fe availability from fe-phytate but not fe tannic acid complexes.

Journal of Agriculture and Food Chemistry 53: 10276

Gropper, S.S., J.L. Smith & J.L. Groff. 2009. Advanced nutrition and human

metabolism. 5th ed. Wadsworth Cengage Learning¸ Canada: xviii+ 577 hlm.

Handayani, W. & A.S. Haribowo. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan sistem hematologi. Salemba Medika, Jakarta: x+ 158 hlm.

Hurrell, R.F. 1997. Preventing iron deficiency through food fortification. Nutrition

reviews 55(6): 210—222.

Khamidah, A. & N. Istiqomah. 2012. Pengolahan sari kedelai sebagai dukungan

akselerasi peningkatan gizi masyarakat. Seminar nasional kedaulatan pangan

dan energi Fakultas Pertanian

Page 15: PENINGKATAN KADAR ZAT BESI DARAH PADA TIKUS (Rattus ...symbion.pbio.uad.ac.id/prosiding/prosiding/ID_295_Nova Anita_Hal... · dan/ atau vitamin B12 (Arisman 2009: 173). Akan tetapi,

Prosiding Symbion (Symposium on Biology Education),

Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Ahmad Dahlan,

27 Agustus 2016

p-ISSN: 2540-752x

e-ISSN: 2528-5726

169

Linder, M.C. 1992. Biokimia nutrisi dan metabolisme dengan pemakaian secara klinis.

Terj. dari Nutritional biochemistry and metabolism, oleh Prakkasi, A. UI Press,

Jakarta: xxi+ 781 hlm.

Lynch, S.R., T.H. Bothwell, R.F. Hurrel & A.P. MacPhail. 1993. Iron EDTA for food

fortification. The Nutrition Foundation, Washington DC: ix+ 52 hlm.

Universitas Trunojoyo, Madura: 1—9.

Naruki, S., M. Astuti, Y. Marsono & S. Raharjo. 2010. Sifat prooksidatif fortifikan

NaFeEDTA, dengan kecap kedelai manis sebagai makanan pembawa, dalam

sistem biologis (tikus). Agritech 30 (4): 237—242.

Nuraeni, T. 2009. Kadar albumin, hemoglobin (hb), dan zat besi (fe) pada tikus putih

(Rattus norvegicus) setelah pemberian makanan enteral berformulasibahan

pangan lokal. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret, Surakarta: 96 hlm.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin konsumsi pangan volume 4

no 3. Kementrian Pertanian, Jakarta: 53 hlm.

TCUHK (= The Chinnese University of Hong Kong). 2004. Experiment 6: Synthesis of

an iron (III)-EDTA complex. 4hlm.

http://www.cuhk.edu.hk/chem/doc/s6_resourcebk/en-s_expt_06.pdf diakses

pada 22 Juni 2015 pkl. 12.10 WIB.

USDA (= United States Department of Agriculture). 2016. Basic report: 16120,

soymilk, original and vanilla, unfortified. 1 hlm.

https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/4857?fgcd=&manu=&lfacet=&fo

rmat=&count=&max=35&offset=&sort=&qlookup=soymilk diakses pada

Kamis, 9 Juni 2016 pukul 21.00 WIB.

Vijayaraghavan, K. 2005. Anemia karena defisiensi zat besi. Dalam M.J. Gibney,B.M.

Margetts, J.M. Kearney & L. Arab (Eds.). Gizi kesehatan masyarakat (hal.

276—286). Terj. dari Public health nutrition, oleh Andry Hartono. Penerbit

Buku Kedokteran EGC, Jakarta: xvi + 467 hlm.

WHO (= World Health Organization). 2008. Worldwide prevalence of anaemia 1993—

2005, WHO global database on anaemia.WHO Press, Spain: vii+ 14hlm.

WHO (= World Health Organization). 2015. Micronutrient deficiencies, iron deficiency

anaemia. 1hlm. http://www.who.int/nutrition/topics/ida/en/ diakses pada 21

Januari 2015 pkl 22.05 WIB.

Wreesmann, C.T.J. 2014. Reasons for raising the maximum acceptable daily intake of

EDTA and the benefits for iron fortification of foods for children 6-24 months

of age. Maternal and Child Nutrition 10: 481—49.