32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan pemerintahan dalam satu Negara tidak hanya ada dalam satu pihak saja. Namun dalam jalannya roda pemerintahan satu Negara ada pihak-pihak yang menjadi aktor pelaksananya. Dimana para aktor pelaksana pemerintahan itu adalah pemerintah (state), sektor swasta (private sektor) dan juga masyarakat (civil society). Ketiga pihak inilah yang menjalankan roda pemerintahan suatu Negara. Dan ketiga pihak ini harus mempunyai suatu jalinan kerjasama dalam pencapaian tujuan Negara. Sebab jika salah satu pihak tidak ada atau mempunyai peran yang kecil maka akan terjadi ketimpangan yang nantinya hal ini dapat menjadi salah satu penghambat dalam pencapaian tujuan Negara. Filosofi otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di harapkan dengan otonomi, semua daerah di Indonesia mampu melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di milikinya. Dengan melihat realita 1

Peningkatan Pad

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peningkatan Pad

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan dalam satu Negara tidak hanya ada dalam

satu pihak saja. Namun dalam jalannya roda pemerintahan satu Negara ada pihak-

pihak yang menjadi aktor pelaksananya. Dimana para aktor pelaksana

pemerintahan itu adalah pemerintah (state), sektor swasta (private sektor) dan

juga masyarakat (civil society). Ketiga pihak inilah yang menjalankan roda

pemerintahan suatu Negara. Dan ketiga pihak ini harus mempunyai suatu jalinan

kerjasama dalam pencapaian tujuan Negara. Sebab jika salah satu pihak tidak ada

atau mempunyai peran yang kecil maka akan terjadi ketimpangan yang nantinya

hal ini dapat menjadi salah satu penghambat dalam pencapaian tujuan Negara.

Filosofi otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah di

segala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah

(PAD). Di harapkan dengan otonomi, semua daerah di Indonesia mampu

melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu

pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di milikinya. Dengan melihat realita

pencapaian PAD di hampir semua daerah di Indonesia, tujuan mulia otonomi

tersebut bagaikan jauh panggang daripada api. Bukan kemandirian yang ada

justru tingkat ketergantunagn terhadap pusat yang semakin besar.

Dan sama halnya dengan hal tersebut muncul konsep Good Governance

yang marak dilaksanakan dalam bidang pemerintahan. Good Governance yang

merupakan landasan nilai penyelenggaraan pemerintahan saat ini pada prinsipnya

menekankan tentang pentingnya kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan

antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat. Good Governance

mengisyaratkan adanya pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang

disebut dengan tata kepemerintahan yang baik. Paradigma Good Governance

1

Page 2: Peningkatan Pad

menekankan arti penting kesetaraan antara institusi Negara, swasta dan

masyarakat.

Dimana menurut konsep ini bahwa setiap pilar penyelenggara pemerintah

harus bersama-sama melaksanakan pemerintahan supaya dapat mencapai tujuan.

Artinya baik pemerintah, swasta dan masyarakat harus mengambil porsi atau

kedudukannya masing-masing agar pencapaian tujuan Negara dapat terlaksana.

Namun, ditengah maraknya isu Good Governance itu praktek

penyelenggaraan pemerintahan berbeda dari yang diharapkan. Dimana posisi

pemerintah adalah pelayanan publik dinilai masyarakat tidak tepat atau

memberikan pelayanan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan yang

sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu

perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar

(pungli), dll. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan adanya ketidakadilan

dalam pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit

mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan

sangat mudah bisa mendapatkan segala yang diinginkan.

Dan baik masyarakat dan juga pemerintah kurang memiliki hubungan

timbal balik yang kuat. Dimana baik dari masyarakat sendiri sudah menyuarakan

aspirasinya kepada pemerintah, namun realita yang diperoleh pemerintah kurang

memberikan respon yang baik terhadap masyarakat. Dan seperti diuraikan di atas,

jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak sangat buruk.

Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum

terlaksananya tranparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan

publik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan

dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas

kinerja birokrasi pelayanan publik belum memiliki implikasi yang luas dalam

mencapai kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengambil judul tulisan tentang : “

Peran Multistakeholder partnership dalam meningkatkan pendapatan asli

daerah”

2

Page 3: Peningkatan Pad

1. 2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan yang menjadi permasalahan

dalam tulisan ini adalah : “Bagaimana peranan multistakeholder partnership

dalam meningkatan pendapatan asli daerah?”

1. 3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan konsep Good Governance

dalam pemerintahan.

2. Untuk mengetahui bagaimana peran stakeholder dalam peningkatan

pendapatan asli daerah (PAD).

Dan manfaat penulisan ini adalah :

1. Manfaat Secara Ilmiah

Untuk menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan dan

penyempurnaan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam

kaitannya dengan peran stakeholder.

2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah ataupun

lembaga-lembaga lain yang membutuhkan serta menjadi acuan dalam

melaksanakan prinsip-prinsip Good Governance.

.

3

Page 4: Peningkatan Pad

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2. 1 Tinjauan Pusataka

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan saat ini pelaksanaan

Good Governance sangat marak dalam upaya memperbaiki pelayanan publik oleh

pemerintah. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai

pemerintahan yang baik. Adapun prinsip-prinsip tersebut, yaitu partisipasi

(participation), akuntabilitas (accountability) aturan hukum (rule of law),

transparansi (transparency), daya tanggap (responsivennes), beorientasi konsensus

(consensus orientation), berkeadilan (equity), efektivitas dan efesiensi

(effectiveness and effeciency), dan visi strategis (strategic vision).

Dan dalam berbagai kasus Good Governance telah sering digunakan

sebagai landasan untuk menganalisis masalah pelayanan public termasuk dalam

permasalahan pendapatan asli daerah. Seperti dalam banyak penelitian yang

dilakukan, bahwa sering kali tujuan dari pemerintahan tidak tercapai karena tidak

ada kerjasama yang baik antara setiap elemen. Dimana elemen ini adalah Negara,

masyarakat dan juga swasta.

Dalam satu sisi terkadang masyarakatnya kurang aktif atau tidak

memberikan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dimana partisipasi

yang dimaksud tidak hanya sekedar materi namun juga aspirasi atau masukan

kepada pemerintah. Tapi di lain pihak juga aspirasi yang diberikan telah besar

namun respon pemerintah terhadap aspirasi yang dalam bentuk keluhan ataupun

kritikan masyarakat kurang atau bahkan tidak ada.

Sehingga hasil yang diperoleh tidak ada. Dimana hubungan

multistakeholder tidak harmonis. Maksudnya tidak ada respon yang baik antara

setiap stakeholder. Dimana seharusnya pemerintah aktif dalam mendengar setiap

keluhan yang ada atau diberikan oleh masyarakat. Dan dalam penyelesaiany juga

4

Page 5: Peningkatan Pad

pemerintah tidak boleh sendiri atau dengan kata lain, harus juga melibatkan pihak

swasta atau stakeholder lainya.

2. 2 Kerangka Teori

2. 2. 1 Stakeholder

Pada dasarnya unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance

stakeholders) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:

1) Negara/Pemerintahan: Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah

kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor

swasta dan kelembagaan masyarakat madani.

2) Sektor swasta: Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang

aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan

perdagangan, perbankan dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal.

3) Masyarakat Madani: Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan

pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah dan

perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok

masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.

2. 2. 2 Good Governance

Istilah good governance berasal dari induk bahasa Eropa, Latin, yaitu

gubernare yang diserap oleh Bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer

(menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah).

Governance merupakan kata sifat dari govern, yang diartikan sebagai the

action of manner of governing yang berarti tindakan (melaksanakan) tata cara

pengendalian. Pada tahun 1590 kata ini dipahami sebagai state of being governed,

berkembang menjadi mode of living (1600), kemudian menjadi the office,

function, or power of governing (1643), berkembang menjadi method of

5

Page 6: Peningkatan Pad

management, system of regulation (1660), dan kemudian dibakukan menjadi the

action or manner governing (Nugroho, 2004: 204).

Pengertian good governance menurut Mardiasmo (1999:18) adalah suatu

konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh

pemerintahan yang baik. Lebih lanjut menurut Bank Dunia yang dikutip Wahab

(2002:34) menyebut good governance yaitu suatu konsep dalam penyelenggaraan

manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan

demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang

langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,

menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework

bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selain itu Bank Indonesia juga

mensinonimkan good governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan

konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (Effendi,1996:47).

Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian good

governance yang hampir sama dengan Bank Indonesia yaitu bahwa wujud good

governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan

bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan

interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan

masyarakat.

Maka dapat disimpulkan good governance adalah pengelolaan tata

pemerintahan yang baik, meliputi tata pemerintahan yang berwawasan ke depan

(visi), bersifat terbuka (transparansi), cepat tanggap, akuntabel (akuntabilitas),

berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, menggunakan struktur dan sumber

daya secara efesien dan efektif, terdesentralisasi, demokratis dan berorientasi pada

konsensus, mendorong kepada peningkatan partisipasi masyarakat, mendorong

kemitraan dengan swasta dan masyarakat, menjunjung supremasi hukum,

memiliki komitmen kepada pengurangan kesenjangan, memiliki komitmen

kepada pasar, dan memiliki komitmen pada lingkungan hidup. Keberhasilan

penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh keterlibatan

dan sinergi tiga aktor utama dari good governance ini yakni aparatur pemerintah,

masyarakat atau publik, dan keterlibatan pihak swasta.

6

Page 7: Peningkatan Pad

Gambir Bhatta (1996) menggungkapkan bahwa “unsur utama

governance”, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency)

keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan

kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak azasi manusia

(human right).

Kemudian UNDP melalui Lembaga Administrasi Negara yang dikutip

Tangkilisan (2005:115) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang

harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan

yang baik, meliputi:

1) Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki

maupun perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai

dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

2) Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik,

swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggung jawaban (akuntabilitas)

kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik

(stakeholders).

3) Aturan Hukum (Rule of Law): Kerangka aturan hukum dan perundang-

undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama

aturan hukum tentang hak azasi manusia.

4) Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka

kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat

dimonitor.

5) Daya Tanggap (Responsivennes): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan

pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan

(stakeholders).

6) Beorientasi Konsensus (Consensus Orientation): Pemerintahan yang baik akan

bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk

mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-

masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan

pemerintah.

7

Page 8: Peningkatan Pad

7) Berkeadilan (Equity): Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan

yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk

meningkatkan dan memelihari kualitas hidupnya.

8) Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Effeciency): Setiap proses kegiatan

dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu benar-benar sesuai

dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai

sumber-sumber yang tersedia.

9) Visi Strategis (Strategic Vision): Para pimpinan dan masyarakat memiliki

perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan

dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu karakteristik yang harus

dipenuhi dalam pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan

pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar mencapai

hasil yang dikehendaki stakeholders.

2.2.3 Pendapatan Asli Daerah

Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi Daerah, jargon tentang kemandirian Daerah bukan hal

yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai dengan Undang Undang No 22 tahun

1999 disebutkan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :

1. hasil pajak daerah

2. hasil retribusi daerah

3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan dan

4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah.

Namun di dalam perkembangan selanjutnya, diantara semua komponen

Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak dan retribusi daerah merupakan

8

Page 9: Peningkatan Pad

penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya Pendapatan Asli

Daerah (PAD) identik dengan pajak dan retribusi Daerah.

Dalam Undang Undang tersebut juga disebutkan jenis retribusi yang terdiri dari :

1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah

kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan.Pelayanan yang digolongkan

sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan yang

memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan

tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat misalnya :

retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP dll.

2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah

berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh

swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan

misalnya : retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan dll.

3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan

sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang

perlu dikendalikan oleh daerah misalnya : IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan

Ikutan, Pengelolaan Hutan dll.

2.2.3.1 Kondisi Pajak dan Retribusi Daerah di era Otonomi

Kondisi perpajakan dan retribusi daerah di Indonesia dewasa ini dapat di

gambarkan sebagai berikut :

1. Masih rendahnya potensi penerimaan pajak Daerah terhadap Pendapatan

Nasional.

2. Masih rendahnya taxing power di hampir semua Daerah di Indonesia

3. Semakin tingginya proporsi PAD yang dialokasikan untuk Belanja

Kepala Daerah dan DPRD.

4. Semakin meningkatnya proporsi Dana yang Didaerahkan jika dilihat dari

alokasi APBN,

5. Masih rendahnya kemampuan PAD yang dihasilkan daerah terkait

dengan kewajibannya untuk membiayai pengeluaran rutin

9

Page 10: Peningkatan Pad

6. Masih rendahnya prosentase penerimaan retribusi daerah di Indonesia

7. Kondisi BUMD yang kurang memberikan sumbangan yang siginifikan

bahkan ada beberapa BUMD yang merugi

2. 2. 4 Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan Publik

Dalam KepMenPAN No. 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik dikatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan

publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada

atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Dan hal ini merupakan salah satu bagian dalam pelaksanaan pemerintahan

yaitu akuntabilitas. Lenvine (dalam Dwiyanto, 2005:147) mendefenisikan

akuntabilitas sebagai suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses

penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders.

Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan

melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga

mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling

mengawasi (check and balances system).

Yang menjadi indikator dalam mengukur akuntabilitas antara lain:

a. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik, dilihat berdasarkan proses yang

meliputi; tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan

sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau

peraturan perundang-undangan), dan kedisiplinan. Harus sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara

terbuka.

b. Akuntabilitas biaya pelayanan publik, dipungut sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang telah ditetapkan.

c. Akuntabilitas produk pelayanan publik, persyaratan teknis dan

administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi

10

Page 11: Peningkatan Pad

kualitas dan keabsahan produk pelayanan. Selain itu prosedur dan

mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.

Di sisi lain hal yang juga mempengaruhi pelaksanaan pelayanan publik

dalam pemerintahan adalah transparansi. Dimana dalam KepMenPAN

No.26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik, menjelaskan pengertian transparansi penyelenggaraan publik merupakan

pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses

kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan ataupun pengendaliannya,

serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi.

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi

setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan

dan kegiatan lainnya, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan

pelaksanaan serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi merupakan upaya

menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui

penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi

yang akurat dan memadai.

Yang menjadi indikator untuk mengukur transparansi ini antara lain:

a. Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik

b. Prosedur pelayanan

c. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan

d. Rincian biaya pelayanan

e. Waktu penyelesaian pelayanan

f. Pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

g. Lokasi pelayanan

h. Janji pelayanan

i. Standar pelayanan publik

j. Informasi pelayanan

11

Page 12: Peningkatan Pad

Kedua hal ini yaitu transparansi dan akuntabilitas harus dilaksanakan pada

seluruh aspek manajemen pelayanan, yang meliputi kebijakan, perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, dan laporan hasil kinerja. Transparansi

dan akuntabilitas hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan

pelayanan karena sangat terkait dengan pelayanan bagi masyarakat umum yang

memerlukan dan yang berhak atas pelayanan.

12

Page 13: Peningkatan Pad

BAB III

METODE PENULISAN

Dalam penulisan dan penyusunan tulisan ini metode yang digunakan

adalah deskriptif. Dimana, tulisan ini memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau

kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat dalam sebuah

permasalahan.

Data yang diperlukan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Dimana data

sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telah diolah,

baik dalam bentuk angka maupun uraian. Pengumpulan data dilakukan melalui

Studi kepustakaan (Library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan

masalah yang diteliti. Dimana segala data atau informasi yan terkait dengan

tulisan ini ditelaah dan disusun dalam tulisan ini.

13

Page 14: Peningkatan Pad

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti

kebingungan di dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk

mendekatkan pelayanan kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi

sebaliknya. Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam

maupun sumber daya manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian

bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan

mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di

Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka

justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang

bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi

mereka. Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya

saja ada beberapa elaborasi dan penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran

pemerintah itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas

otonomi daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang

kondusif bagi perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan

landasan hukum yang sudah disepakati bersama. Kebijakan yang dapat diambil

oleh pemerintah pusat dapat dibagi menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak

baik ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari

sisi penggunaannya.

a) Kebijakan dari sisi penciptaan

1) Penyerahan beberapa pajak dan retribusi yang masih dipegang oleh Pusat

kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi,

mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu

sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut antara lain :

PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi

wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai

batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat.

14

Page 15: Peningkatan Pad

Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan,

dapat dialihkan dalam bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya

diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di

bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.

2) Memberikan batas toleransi maksimum terhadap pembatalan penciptaan

pajak dan retribusi baru oleh Daerah selama kurun waktu tertentu.

Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi

jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat

mengajukan permohonan Perda penciptaan pajak dan retribusi baru. Ini

juga terkait dengan usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang

memberikan kesempatan Daerah untuk menciptakan jenis pajak dan

retribusi baru.

3) Memperluas basis penerimaan pajak melalui identifikasi pembayar pajak

baru/potensial serta meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya

pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai melebihi

dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri.

b) Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD

Pemberdayaan BUMD sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan daerah

dapat ditempuh melalui strategi :

1. Reformasi Misi BUMD :

BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat

mendayagunakan aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;

b. BUMD adalah penyedia pelayanan umum yang menjaga kualitas,

kuantitas dan kontinuitas pelayanan;

BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian daerah

dengan memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak

maupun deviden dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah

melalui multiplier effect yang tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien

seperti bertambahnya lapangan kerja dan kepedulian social;

15

Page 16: Peningkatan Pad

BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap

kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan

berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan

kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint

Venture/Joint Operation Company (JV/OC).

2. Restrukturisasi BUMD

Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD,

yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba

termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang

semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan

petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah

Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan

kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh

manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada

benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara

komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap

kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan

upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan

daerah;

Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat

dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :

a. Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi

Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi

dan potensi yang tersedia;

b. Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus

dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang

bersangkutan.

16

Page 17: Peningkatan Pad

3. Profitisasi BUMD

Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta

memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai

berikut :

a. Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan

meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya

Manusia.

b. Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan

terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan

professional;

c. Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan

sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;

d. Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan

bekerja berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper

test;

e. Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar,

kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif

listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi

yang jauh lebih mahal, sehingga profit dapat diraih.

4. Privatisasi BUMD

Privatisasi utamanya bertujuan agar BUMD terbebaskan dari intervensi

langsung birokrasi dan dapat mewujudkan pengelolaan bisnis yang efisien,

profesional dan transparan. Diharapkan setelah melalui tahapan restrukturisasi,

pihak perusahaan swasta akan berminat mengembangkan usaha dengan cara

melakukan aliansi strategis dengan BUMD, dan bila memungkinkan untuk

BUMD yang sehat dan memiliki prospek bisnis dapat menawarkan penjualan

saham melalui Pasar Modal yang didahului Initial Public Offering (IPO).

Penataan dan penyehatan BUMD yang usahanya bersinggungan dengan

kepentingan umum dan bergerak dalam penyediaan fasilitas publik ditujukan agar

pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien, transparan, profesional. Hubungan

17

Page 18: Peningkatan Pad

kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling

menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara

usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi

nasional. Bagi BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum

didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.

BUMD infrastruktur tentunya harus dikelola secara profesional sehingga

kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu menjalin kerjasama yang saling

menguntungkan dengan berbagai pihak operator swasta dan Pemerintah Daerah.

Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat dibutuhkan untuk mengisi peluang

usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen pasar tertentu. Sebagai

konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka peranan Pemerintah

Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh yang cukup

signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk itu perlu

dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan

pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka

menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan.

Untuk memelihara sense of belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat

diberi peluang untuk memiliki sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di

daerahnya sehingga merasa ikut memiliki dan turut bertanggung jawab atas

keberhasilan usahanya. Dalam upaya optimalisasi sumber-sumber pembiayaan

dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan dukungan pemerintah dalam

berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai bidang.

c) Kebijakan dari sisi penggunaan

1. Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap

pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan asas

transparansi dan akuntabilitas fiskal.

2. Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran terhadap sumber -

sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun peran pusat hanya

sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya dilakukan oleh Daerah.

Semua keputusan tentang mekanisme pelaksanaan alokasi anggaran sepenuhnya

18

Page 19: Peningkatan Pad

menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu sendiri. Adapun

aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai presentase tertentu digunakan

untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan standar yang

sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD tinggi

dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat

dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU yang diterima sampai

prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah,

pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka

pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang

bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing

Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan

pada sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan

Menteri Teknis.

Diharapkan dengan adanya beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambil

oleh pusat tersebut dapat menghilangkan upaya daerah untuk menggali sumber-

sumber PAD yang berdampak distorsi terhadap perekonomian demi mengejar

satu tujuan kemandirian Daerah yang masih merupakan harapan jauh di angkasa.

19

Page 20: Peningkatan Pad

BAB V

PENUTUP

5. 1 Kesimpulan

Bahwa di Negara Indonesia saat ini masih banyak hal-hal yang perlu

dibenahi, karena masih banyak pelayanan publik yang belum berbasis masyarakat

atau kurang sesuai dengan kepentingan masyarakat yang ada.

Dan kemunculan Good Governance dalam pemerintahan dapat digunakan

untuk menyelesaikan masalah-masalah pelayanan publik tersebut. Namun, dalam

pelaksanaannya pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, atau dengan kata lain

harus ada kerjasama antara semua pihak yang ada (setiap stakeholder).

Pelaksanaan pemerintahan yang berbasis akuntabilitas dan transparansi

merupakan prinsip yang dapat digunakan dalam pelayanan publik yang harus

dilaksanakan oleh multistakeholder yang ada.

5.2 Saran

Dalam meuwujudkan pelayanan publik dalam masyarakat maka dapat

dilakukan hal sebagai berikut :

a) Membuka informasi yang luas kepada semua masyarakat.

b) Membuka diri (pemerintah) terhadap semua masukan dari

masyarakat serta memberikan respon.

c) Memberdayakan semua lapisan masryarakat dalam pelayanan

public.

d) Memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat dan juga

stakeholder lain untuk dapat ikut berperan serta dalam

pemerintahan.

20

Page 21: Peningkatan Pad

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Bhatta, Ghambir. (1996). Capacity Building at the Local Level for Effective

Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless.

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan

Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Effendi, Sofian. 1996. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial

dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta :

Penerbit Andi.

Nugroho, D. Riant. (2004). Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi, dan

Evaluasi. Jakarta: Gramedia.

Wahab, Solichin, Putra, Fadillah, dan Arif, Saiful. 2002. Masa Depan Otonomi

Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Menciptakan Sinergi

dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: Penerbit SIC.

II. Undang-undang

UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 22 Tahun 1999

KepMenPAN No.26/KEP/M.PAN/2/2004

21