177
1 TESIS PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR) NI MADE DWI KRISTIANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1

TESIS

PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK

PIDANA TERORISME BOM BALI

(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI

DENPASAR)

NI MADE DWI KRISTIANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

TESIS

PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK

PIDANA TERORISME BOM BALI

(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI

DENPASAR)

NI MADE DWI KRISTIANI

NIM : 1190561025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK

PIDANA TERORISME BOM BALI

(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI

DENPASAR)

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE DWI KRISTIANI

NIM. 1190561025

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 13 JUNI 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum. Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.

NIP. 19461231 197602 1 001 NIP. 19580127 198503 1 002

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,MH.,LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)

NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001

Page 5: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Tesis Ini Telah Diuji

Pada Hari Selasa, Tanggal 03 Juni 2014

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1448/UN 14.4/HK/2014, Tanggal 2 Juni 2014

Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum

Sekretaris : Dr. I Gede Artha, S.H., M.H

Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S

2. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H

3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum

Page 6: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Made Dwi Kristiani

Program studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Penjatuhan Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Terorisme

Bom Bali (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Denpasar)

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 19 Mei 2014

Yang menyatakan

Ni Made Dwi Kristiani

Page 7: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena

atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “PENJATUHAN PIDANA

MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS

PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)” ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam

menyusun tesis ini, penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya

dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena

itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing,

memberikan masukan, arahan serta saran-saran dalam penyusunan Tesis ini.

2. Bapak Dr. I Gede Artha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II dan juga

selaku Pembimbing Akademik yang telah bersedia penuh kesabaran

membimbing dan memberikan petunjuk, masukan serta saran-saran dengan

dalam penyusunan Tesis ini

3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang merupakan Rektor

Universitas Udayana.

Page 8: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., yang merupakan Dekan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.H., LL.M., yang merupakan

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum., yang merupakan

Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak Sugeng Riyono, S.H., M.Hum., yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri

Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Pengadilan

Negeri Denpasar.

9. Bapak I Made Suardana, S.H., yang merupakan Panitera Muda Hukum

Pengadilan Negeri Denpasar dan seluruh staf serta pegawai Pengadilan Negeri

Denpasar yang telah bersedia membantu menyediakan data-data bagi penelitian

Tesis ini.

10. Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri

Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis

ini.

11. Bapak Cening Budiana, S.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri

Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis

ini.

Page 9: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

12. Bapak Putu Gde Hariadi, SH., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri

Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis

ini.

13. Bapak Jaya Kesuma, SH.MH yang merupakan Kepala Kejaksaan Negeri

Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kejaksaan

Negeri Denpasar.

14. Bapak Romulus Halolongan, S.H., yang merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana

Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi

informan bagi penelitian Tesis ini.

15. Bapak Eddy Arta Wijayam S.H., yang merupakan Koordinator Penuntutan

Pidana Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu

menjadi informan bagi penelitian Tesis ini.

16. Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., yang merupakan Jaksa di bagian Pidana

Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi

informan bagi penelitian Tesis ini.

17. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang

telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh kuliah di

Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

18. Kedua orang tua saya (alm) Bapak I Made Sumertha S.H., dan Ibu Made

Sukerni, kakak Eka Dharmayanti, adik Disna Triantini dan semua keluarga serta

Page 10: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

I Putu Agus Pradipta Putra yang selalu memberikan dukungan, doa serta

kepercayaan dalam menyelesaikan Tesis ini.

19. Teman-teman dekat penulis yaitu Krisna Sintia Dewi, Arya Prima Dewi, Eva

Ditayani Antari, Kade Richa Mulyawati, Budi Prasetyo, teman-teman di

Magister Ilmu Hukum, dan teman-teman Simas yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersamaan dan

pengalaman yang telah diberikan selama ini.

Meskipun Tesis ini telah selesai, namun di dalamnya masih jauh dari

sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang

penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan petunjuk

dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan Tesis ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta bermanfaat bagi

setiap orang yang membacanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

Denpasar, 19 Mei 2014

Penulis

Page 11: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

ABSTRAK

Penelitian mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme

Bom Bali dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara

mendalam mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi

pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Selain itu tujuan penelitian ini juga untuk

mengetahui peranan pidana mati sebagai upaya pencegahan dalam tindak pidana

terorisme. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi tiga terdakwa Bom Bali

mengundang banyak perhatian masyarakat sehingga bermunculan pro dan kontra

terhadap pelaksanaan pidana mati tersebut. Dari pro dan kontra tersebut muncul

pertanyaan apakah dengan pidana mati dapat mencegah dan menanggulangi tindak

pidana terorisme di Indonesia. Hakim menggunakan acuan dari KUHP dan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yakni Perpu No. 1 Tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002

tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, yang

kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. No. 15 Tahun 2003 tentang

Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002

Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum yuridis empiris

dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan

sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang

berkaitan dengan permasalahan. Penelitian ini mempergunakan teknik non

probability sampling, yaitu purposive sampling dalam penentuan sample penelitian.

Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau

lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan, maka dapat diketahui Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi

pelaku tindak pidana terorisme memiliki pertimbangan-pertimbangan yang

didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis, serta tidak terlepas dari

pertimbangan hati nurani dan menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang

dilakukan. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme belum

sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan. Namun pidana mati cukup efektif

dalam upaya memberikan efek jera. Pidana mati merupakan upaya terakhir dalam

usaha pemberantasan terorisme, bukanlah sebagai upaya pencegahan tindak pidana

terorisme.

Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Pidana mati, Terorisme

Page 12: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

ABSTRACT

Research regarding the imposition of the death penalty for the Bali bombing terrorist

acts carried out in order to describe and analyze in depth of the basic considerations

the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism Bom Bali. Other

than the purpose of this study was also to determine the role of the death penalty as

an effort to prevent the criminal act of terrorism. The imposition and execution of the

death penalty for the Bali bombings of three defendants invite the public attention so

that the emerging pros and cons of the implementation of the death penalty. The pros

and cons of the question whether the punishment with the death penalty can be

prevent and counter terrorism in Indonesia. The judge use the reference of the Penal

Code and replacement of government regulation Act (Government Regulation)

Government Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism and

Government Regulation No. 2 of 2002 on the implementation of Government

Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism in terrorism cases Bali

bombing on 12 October 2002, which was passed into Law No. 15 of 2003 concerning

the establishment of Government Regulation No. 1 of 2002 on combating terrorism

and Law No.16 of 2003 on the establishment of Government Regulation No. 2 of

2002 enactment of Government Regulation No. 1 on the eradication of terrorism in

the case of the Bali bombing of 12 October 2002. Methods used in this study is an

empirical legal research juridical nature of the descriptive research using primary

and secondary data sources to study the document and interview techniques as well

as reading materials related to the problem. The research uses non-probability

sampling technique, is purposive sampling in the determination of the research

sample. As for all the data that has been in can be analyzed qualitatively or better

known as the analysis of qualitative descriptions . Based on research that has been

done, it can be seen the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism

have considerations based on the perspective of juridical, philosophical and

sociological, and not apart from considerations of conscience and objectively assess

the offenses committed. The imposition of the death penalty for the crime of terrorism

have not been fully able to be used as a means of prevention . But the death penalty is

quite effective in providing a deterrent effect . Capital punishment is a last resort in

efforts to eradicate terrorism, not as an act of terrorism prevention.

Keywords : Basic Considerations Magistrate, Death Penalty, Terrorism

Page 13: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

RINGKASAN

Tesis ini membahas mengenai penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi

pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu bab

pendahuluan, bab tinjauan umum, bab ketiga dan keempat adalah pembahasan serta

bab yang terakhir adalah penutup.

Bab I, Menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya

permasalahan dalam penelitian ini. Pada kasus terorisme Bom Bali, terdapat tiga

pelaku yang dijatuhi pidana mati oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pidana

mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis pidana.

Terdapat pandangan-pandangan yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati

tersebut. Satu sisi ada yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-

ketentuan yang berlaku untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya

pelanggaran yang lebih parah. Sisi lainnya ada yang menginginkan penghapusan

pidana mati karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Berdasarkan hal

tersebut, maka dalam bab ini juga menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan

teoritis, kerangka berpikir, hipotesis, dan metode penelitian.

Bab II, Menguraikan tinjauan umum mengenai pidana mati dan terorisme

yang dibagi menjadi tiga subbab. Sub bab pertama adalah mengenai pengertian

pidana dan jenis pidana. Subbab kedua adalah mengenai pidana mati dari segi sejarah

pidana mati di Indonesia dan pidana mati dalam Ketentuan Perundang-Undangan

Indonesia. Subbab ketiga adalah mengenai tindak pidana terorisme dari segi

pengertian, karakteristik, tipologi, dan sejarah terorisme.

Bab III, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama

dalam penelitian ini, yang terdiri dari dua aspek, yaitu pertama dasar hukum

penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme berdasarkan KUHP dan

Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dan yang kedua adalah mengenai dasar

pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana mati tersebut dari perspektif yuridis,

filosofis, dan sosiologis.

Bab IV, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua

dalam penelitian ini, yang terdiri dari proses penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati

bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terkait dengan upaya pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana terorisme.

Bab V, merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dari hasil

pembahasan yaitu Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana

terorisme memiliki pertimbangan yang didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis,

dan sosiologis yang tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani dan menilai secara

objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjatuhan pidana mati belum

sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan, namun cukup efektif dalam upaya

memberikan efek jera yang merupakan upaya terakhir dalam usaha pemberantasan

terorisme. Sehingga saran yang dapat diberikan adalah untuk memeriksa dan

Page 14: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

mengadili perkara tindak pidana terorisme sebaiknya dibentuk Pengadilan Khusus

dengan suatu Undang-Undang yang memiliki hukum acara khusus agar hambatan

hukum yang dihadapi dalam penanganan kasus tindak pidana ini dapat diselesaikan

dan sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya lebih

mengoptimalkan kekuatan intelijen nasional dan aparat hukum terkait agar dapat

berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.

Page 15: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ....................................................................... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS .............................................................. iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................. v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. vi

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... vii

HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... xi

HALAMAN ABSTRACT ................................................................................. xii

RINGKASAN .................................................................................................... xiii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 13

1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................... 13

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14

a. Tujuan Umum ........................................................................... 14

b. Tujuan Khusus .......................................................................... 14

1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 15

a. Manfaat Teoritis ....................................................................... 15

Page 16: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

b. Manfaat Praktis ......................................................................... 15

1.6 Orisinalitas Penelitian ................................................................... 16

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................... 20

1.7.1 Landasan Teoritis .............................................................. 20

1.7.2 Kerangka Berpikir ............................................................. 44

1.8 Hipotesis ....................................................................................... 46

1.9 Metode Penelitian ......................................................................... 46

1.9.1 Jenis Penelitian .................................................................. 47

1.9.2 Sifat Penelitian .................................................................. 48

1.9.3 Sumber Data ...................................................................... 48

1.9.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................ 49

1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ................................ 50

1.9.6 Teknik Analisis Data ......................................................... 50

BAB II Tinjauan Umum tentang Pidana Mati dan Terorisme .............................. 52

2.1 Pengertian Pidana dan Jenis Pidana .............................................. 52

2.2 Pidana Mati ................................................................................... 58

2.3 Tindak Pidana Terorisme .............................................................. 66

BAB III Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati Bagi Pelaku

Tindak Pidana Terorisme ..................................................................... 86

3.1 Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana

Terorisme Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana

Terorisme………………………………………………………... 86

3.2 Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam

Tindak Pidana Terorisme Perspektif Filosofis, Sosiologis dan

Yuridis………………………………………………………….. . 97

Page 17: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB IV Pengaruh Penjatuhan Pidana Mati dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme…………………………... ........................ 116

4.1 Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana

Terorisme .................................................................................... 116

4.2 Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana

Terorisme……………………………………………………. ... 122

BAB V PENUTUP…………………………………………………………... 146

5.1 Simpulan ..................................................................................... 146

5.2 Saran…………………………………………………………….147

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN

Page 18: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali……………120

Page 19: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Di dalam

pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung di dalamnya

pernyataan untuk merdeka dan bebas dari ikatan belenggu penjajahan hukum

kolonial. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa

pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping merupakan didorong oleh

keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan

membentuk pemerintah Negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang

Dasar.

Pengakuan terhadap hak asasi manusi merupakan salah satu perwujudan

konsep negara hukum, baik dalam bentuk rechtstaat maupun rule of law. Indonesia

sebagai negara yang menganut konsep negara hukum sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUDNRI 1945), mengakui hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi

manusia dinyatakan dalam UUDNRI 1945 sebagai hukum dasar yang berlaku di

Indonesia. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan terhadap hak asasi

Page 20: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

manusia diatur dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan pasca amandemen

terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia semakin dirinci

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28-28I UUDNRI 1945. Khusus

mengenai hak untuk hidup diatur dalam Pasal 28A, yang dinyatakan sebagai berikut :

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya”.

Hak asasi manusia merupakan hak alamiah yang melekat dalam setiap

individu sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Marjono

Reksodiputro, hak asasi manusia adalah hak-hak yang sedemikian melekat pada sifat

manusia sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mempunyai martabat sebagai manusia

(inheirent dignity) dan oleh karena itu hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar atau

dicabut.1 Salah satu hak asasi manusia yang yang dijunjung tinggi adalah hak untuk

hidup. Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Republik

Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999

tentang HAM) juga mengatur mengenai hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dalam instrumen hukum internasional, pengakuan terhadap hak untuk hidup

diatur dalam ketentuan Pasal 6 International Convention on Civil and Politic Rights

(ICCPR) atau Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang dibentuk pada tanggal 23

1 Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan

Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.h.7

Page 21: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Maret 1976.2 Dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak untuk hidup diakui

sebagai non-derogable rights yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh

dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walau dalam keadaan darurat sekalipun.3

Oleh karena itu, dalam keadaan apapun hak untuk hidup seseorang tidak boleh

dibatasi atau dikurangi.

Hak untuk hidup merupakan hal yang bertentangan dengan keberadaan

pidana mati. Hal ini karena pidana mati dianggap telah membatasi hak untuk hidup

seseorang, sedangkan hak untuk hidup merupakan hak yang tidak boleh dibatasi

dalam keadaan apapun. Penjatuhan pidana mati telah dianggap merampas hak hidup

seseorang, sehingga keberadaan pidana mati merupakan hal yang kontroversial

apabila dikaji berdasarkan perspektif HAM, ada pihak yang pro maupun kontra

terhadap pidana mati.

Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil

dan Politik diharapkan mentaati ketentuan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang

pada dasarnya menghendaki adanya penghapusan hukuman mati di setiap negara,

yang tercantum dalam ketentuan Pasal 6 ayat 6 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.4

Di Indonesia pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat dan merupakan

2 Sri Utari, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Denpasar, h. 36. 3 M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, dan

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-hak-

sipil-dan-politik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012. 4 Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan

Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia,

http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-

penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan2-hukum-di-indonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012.

Page 22: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

salah satu bentuk pidana pokok yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Masih dianutnya pidana mati sebagai jenis pidana dalam KUHP dapat

dikatakan bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Asas lex

superior derogat legi inferiori merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum yang

lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Dalam Konstitusi Negara

Indonesia yaitu dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas dinyatakan

mengenai jaminan atas hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

(non derogable right), namun di dalam peraturan perundang-undangan (KUHP)

masih menganut pidana mati dimana pidana mati merupakan salah satu tindakan

merampas hak hidup seseorang. Jadi dalam penjatuhan pidana mati

mengenyampingkan asas lex superior derogat legi inferiori dan merupakan

pelanggaran terhadap konstitusi.

Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 pidana mati masih ditempatkan

sebagai pidana terberat. Hal ini tercantum dalam Pasal 66 yang dinyatakan bahwa

“Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara

alternatif”. Dalam Pasal 87 dinyatakan bahwa “Pidana mati secara alternatif

dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Dalam

Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat pula ketentuan yang menyatakan bahwa “Jika

permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama

10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati

Page 23: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”,

hal tersebut diatur dalam Pasal 90. Sementara dalam konsideran Rancangan KUHP

tahun 2012 tersebut menyatakan bahwa rancangan KUHP ini merupakan perwujudan

upaya pembaharuan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan kenyataan yang pernah terjadi khususnya dalam kasus tindak

pidana terorisme, negara Indonesia menerapkan suatu aturan yang menjatuhkan

pidana mati bagi pelakunya yaitu Amrozi cs dengan menggunakan asas retroaktif

(asas yang berlaku surut), yaitu pada kasus peristiwa peledakan bom Bali I pada

tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa tersebut menelan korban 202 jiwa dari 21 negara.

Atas pertimbangan adanya situasi genting dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka

pemerintah mengambil keputusan dengan menetapkan Perpu No.1 Tahun 2002

menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

dan UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2

Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan

Bom Bali. Dalam undang-undang tersebut dicantumkan mengenai pelaksanaan

pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme. Sehingga pemerintah Republik

Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan Negara,

memandang perlu untuk sesegera mungkin memiliki landasan hukum yang kokoh dan

Page 24: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

komprehensif untuk memberantas tindak pidana terorisme, yang dituangkan dalam

kedua undang-undang tersebut.

Pada tanggal 1 Oktober 2005, di Bali kembali terjadi aksi tindak pidana

terorisme dengan tiga kejadian pengeboman secara bersamaan namun pada lokasi

yang berbeda. Lokasi tersebut terjadi satu di wilayah Kuta dan dua di wilayah

Jimbaran. Tempat yang dijadikan sasaran pengeboman tersebut terjadi di Restoran

RAJA’s Kuta Square, Kafe Nyoman Jimbaran, dan Kafe Menega Jimbaran. Dampak

yang ditimbulkan serupa dengan dampak bom Bali pertama, namun tidak sedasyat

bom Bali pertama tersebut. Sedikitnya 22 orang tewas dan 196 korban luka-luka.

Bahkan setelah adanya eksekusi dari terpidana bom Bali pertama yang

dilakukan pada tahun 2008, masih tetap ada terjadi tindak pidana terorisme di

Indonesia. Tindak pidana terorisme tersebut salah satunya terjadi di Jakarta tepatnya

di Hotel JW Marriott, Ritz-Carlton yang terjadi pada 17 Juli 2009. Dampak yang

ditimbulkan dalam kejadian tersebut masih serupa dengan kasus-kasus terorisme di

Indonesia lainnya. Terdapat 9 orang tewas dan 41 orang luka-luka akibat kejadian

tersebut.

Setelah diadakannya Undang-Undang Terorisme tersebut yang juga

mengadakan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, maka timbul problema

dalam masyarakat mengenai pelaksanaan hukuman mati ini, apakah melanggar HAM

atau tidak. Mantan menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan

bahwa hukuman mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Selain itu

Page 25: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

menurut Yusril Ihza Mahendra biaya yang ditanggung oleh abolisi hukuman mati

tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh.5 Sesama mantan menteri

Kehakiman dan HAM, Muladi menyatakan hal yang sama. Menurut Muladi korban

yang ditimbulkan oleh pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.6

Terorisme bukanlah kejahatan biasa (ordinary crime), namun telah menjadi

kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas

dan sistematik dan telah menewaskan ratusan bahkan ribuan orang yang tidak

bersalah. Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa

takut dan mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia serta membahayakan

nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip di dalam hukum internasional.

Peristiwa terorisme merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan

politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak untuk memerangi

terorisme sebagai musuh internasional. Dalam perkembangan aksi teroris saat ini

telah membuat dunia menjadi tidak aman. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan

dapat dikatakan bebas dari ancaman teroris. Ancaman teroris dapat terjadi kapan saja

dan di mana saja serta dapat mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Karena

dampak yang dirasakan tidak hanya bagi warga Indonesia mengenai keamanan, tetapi

dapat memengaruhi dan menimbulkan pendapat yang negatif bagi mancanegara.

Berdasarkan data periode 2005, 2006, dan 2012 yang diperoleh dari

Kejaksaan Republik Indonesia, masih terlihat adanya penjatuhan pidana mati dalam

5 Al Araf dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta, h. xvi

6 Ibid

Page 26: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

tindak pidana terorisme. Dalam tahun 2005, terdapat 3 orang yang dijatuhi pidana

mati. Dalam periode tahun 2006, terdapat 3 orang lagi yang dijatuhi pidana mati.

Sedangkan dalam periode tahun 2012 terdapat 2 orang yang dijatuhi pidana mati.7

Hukum memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah mengatur dan

membina perilaku manusia. Hukum memiliki suatu sanksi untuk mengatur dan

menjadi pedoman dalam bertingkah laku dimasyarakat, sehingga hukum diposisikan

pula sebagai sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu

sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun

perbuatan-perbuatan yang membahayakan. Penjatuhan pidana sebagai penderitaan

kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya

dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu

bentuk pidana yang paling berat tersebut adalah pidana mati.

Pidana mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis

pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di

negara-negara yang menganut sistem Civil Law. Terdapat pandangan-pandangan

yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Satu sisi ada yang ingin

tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk

memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran yang lebih parah. Sisi

lainnya ada yang menginginkan penghapusan pidana mati dalam sistem hukum

pidana karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan.

7 Kejaksaan Republik Indonesia, 2012, Sumber Data Sunprolapnil Bidang Tindak Pidana Umum

per-20 Desember 2012, http://www.kejaksaan.go.id/laporan _tahunan.php?idc=7&idsc=5, (diakses

tanggal 13 Mei 2013)

Page 27: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Beberapa Negara Amerika Serikat dan Negara-negara Uni Eropa, telah

melakukan penghapusan terhadap pidana mati dalam sistem hukum mereka. Bagi

kebanyakan negara, soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti dari sudut kultur

historis karena kebanyakan negara-negara tidak mencantumkan lagi pidana mati

dalam kitab undang-undangnya.8 Negeri Belanda juga telah menghapuskan pidana

mati itu pada tahun 1870, berdasarkan Stb. 162 tanggal 17 September 1870.9 Di

Indonesia ketentuan pidana mati masih diberlakukan dalam hukum positif, antara lain

dalam KUHP dan undang-undang pidana khusus lainnya. Adapula negara lainnya

seperti Gambia, dimana secara de jure mengatur pidana mati tetapi dalam tempo 10

tahun terakhir tidak pernah menjatuhkan atau mengeksekusinya. Dengan alasan

tertentu beberapa negara mengaktifkan kembali (reinstated) pidana mati tersebut.

Gambia pada tahun 1993 menghapuskan pidana mati, tetapi di bawah rezim militer

pada Tahun 1995 mengaktifkan kembali pidana mati tersebut. Negara Brazil

menghapuskan pidana mati pada tahun 1882 tetapi mengaktifkan kembali pidana mati

pada tahun 1969 untuk kejahatan politik, dan kemudian mencabutnya kembali pada

tahun 1979.10

Mengenai pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini, jika dikaitkan

dengan Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, masih

8 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h.15

9 I Made Widnyana, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana I), h.13

10

Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan

Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h.136

Page 28: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

memberikan peluang untuk diterapkannya pidana mati. Karena terorisme dapat

dikualifikasikan kejahatan genosida, dimana pada kasus bom Bali terdapat ratusan

korban jiwa dari penduduk sipil, baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga

negara asing. Selain itu kerugian lainnya adalah baik itu dari segi materiil seperti

harta benda, fasilitas penduduk, dan non materiil seperti rasa trauma dan penderitaan

dari keluarga korban yang ditinggalkan.

Mempertahankan hukuman mati bertentangan dengan beberapa prinsip dan

standar internasional mengenai pemidanaan. Standard Minimum Rules for the

Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966

menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku

kejahatan.11

Dilihat dari beberapa Instrumen HAM tersebut dan ketentuan di atas, terlihat

masih adanya kerancuan dalam ketentuan tersebut. Disatu sisi HAM menganggap

setiap tindakan penghilangan nyawa secara paksa merupakan pelanggaran atas hak

untuk hidup. Namun disisi lain hukuman mati masih tetap dipertahankan sebagai

sarana dalam menanggulangi beberapa jenis tindak pidana tertentu yang akan

mengancam keselamatan umat manusia.12

Belum adanya rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif

Indonesia menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang

11 Zainal Abidin, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan

Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.2

12

Ibid, h. 107

Page 29: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

tidak konsisten dan tumpang tindih.13

Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan

bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik

penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan

pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan

yang akan digunakan.14

Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak

terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat

disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.15

Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 Pasal 101, dijelaskan bahwa sistem

pemidanaan yang dianut adalah sistem pemidanaan dua jalur (double track system).

Double track system ini pertama kali dikemukakan oleh Soedarto. Menurut Soedarto,

dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas

Diponegoro Semarang pada tanggal 21 Desember 1974, sistem dua jalur tersebut di

samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment)

dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment).16

Peran aparat penegak hukum, terutama hakim sangat berperan dalam

implementasi hukuman mati di Indonesia, selain ditunjang oleh adanya hukum yang

mengatur dan mengakui adanya hukuman mati untuk dijatuhkan pada pelaku

kejahatan-kejahatan tertentu di Indonesia. Hakim berperan penting, dimana ia

13 Ibid, h.131

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni,

Bandung, h.95.

15

Ibid, h.89

16

M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.25

Page 30: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan

menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.17

Hakim dan aparat penegak

hukum lainnya tidaklah mendapatkan kebebasan sepenuhnya tanpa pedoman atau

kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi

pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan

motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.18

Penerapan pidana mati dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak

kriminal. Ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap

kejahatan. Terkait dengan penerapannya, harus dilakukan seselektif mungkin.

Terpidana tidak boleh terlalu lama menunggu waktu untuk dieksekusi.

Upaya mencegah tindak pidana terorisme dengan menjatuhkan pidana mati

bagi pelakunya masih dipertanyakan efektifitasnya, sehingga mempengaruhi posisi

pidana mati dalam sistem pemidanaan di masa akan datang. Meskipun di Indonesia

telah ada penjatuhan pidana mati bagi beberapa pelaku tindak pidana terorisme,

namun masih saja ada terjadi tindak pidana terorisme di beberapa wilayah di

Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka mengenai penjatuhan pidana mati perlu

untuk dikaji, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Bahasan tersebut akan dikaji

penulis dalam bentuk thesis yang berjudul “PENJATUHAN PIDANA MATI

17 Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress,

Malang, h.57

18

Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 107

Page 31: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA

PENGADILAN NEGERI DENPASAR)”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik

dua rumusan masalah yaitu :

1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi

pelaku tindak pidana terorisme bom Bali?

2. Apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi sarana pencegahan terhadap

tindak pidana terorisme?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang Lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang

menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal

penelitian.19

Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-

pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup

masalah yang akan dibahas.

Ruang lingkup dalam penulisan ini akan mengkaji mengenai dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi pelaku tindak

pidana terorisme, khususnya pada kasus terorisme bom Bali yang berkaitan dengan

rumusan masalah pertama. Dalam rumusan masalah kedua akan dikaji mengenai

19 Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h.111

Page 32: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

dapat atau tidaknya penjatuhan pidana mati menjadi sarana pencegahan terhadap

tindak pidana terorisme.

Kedua hal tersebut dikaji dengan beberapa teori dalam hukum pidana yang

relevan dengan KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012 di Indonesia, dimana kedua

permasalahan tersebut berkaitan dengan tujuan pemidanaan khususnya pidana mati.

Pidana mati merupakan pidana yang paling berat dalam sistem hukum pidana di

Indonesia. Jika dilihat dalam konteks hukum pidana, sanksi pidana mati masih diakui

eksistensinya sebagai sanksi terakhir yang dijatuhkan pada tindak pidana tertentu

saja. Dalam KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012, masih terlihat adanya sanksi

pidana mati tersebut.

1.4.Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

1. Untuk mengkaji dan menganalisis sanksi pidana mati terkait dalam

sistem pemidanaan Indonesia.

2. Untuk memberikan kontribusi bagi ilmu hukum pada umumnya dan

sistem pemidanaan di Indonesia pada khususnya.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai dasar pertimbangan hakim

Pengadilan Negeri Denpasar dalam menjatuhkan pidana mati bagi

Page 33: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

pelaku tindak pidana terorisme bom Bali, serta alasan-alasan yuridis

dan non yuridis penjatuhan pidana mati tersebut.

2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai penjatuhan pidana mati

terkait sebagai sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme di

Indonesia.

1.5.Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis adalah manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian

sebuah karya ilmiah dengan pengembangan wawasan keilmuan peneliti, sehingga

dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hukum. Manfaat

teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan

yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum

terkait dengan penjatuhan pidana mati di Indonesia, apa yang menjadi dasar

pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana

terorisme serta pidana mati dijadikan sebagai sarana pencegahan khususnya

dalam tindak pidana terorisme.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri,

tetapi juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya hakim dan juga

Page 34: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

bermanfaat bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya

mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami hukum pidana, terkait hal

pemidanaan. Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan

sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana,

khususnya terkait dengan penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme

bom Bali. Adanya penjatuhan pidana mati terkait tindak pidana terorisme dapat

menjadi dasar pertimbangan para hakim dalam memutus perkara suatu tindak

pidana agar dapat bertindak secara proporsional sehingga mencerminkan

keadilan bagi masyarakat. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk

membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai

penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom Bali, terkait pada

dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak

pidana terorisme bom Bali serta penjatuhan pidana mati tersebut dijadikan

sebagai upaya pencegahan. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya

diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang

berkaitan dengan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme sebagai

upaya pencegahan terhadap tindak pidana terorisme.

1.6.Orisinalitas Penelitian

Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis merupakan

hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan implementasi dari

Page 35: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme oleh Hakim Pengadilan Negeri

Denpasar.

Dari informasi yang ada dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan

Pascasarjana Universitas Udayana dan informasi dari beberapa Universitas lainnya

maka penelitian yang penulis ajukan, belum pernah ada yang melakukan penelitian

mengenai hal tersebut sebelumnya.

Namun penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki

bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan pidana mati,

antara lain:

1. Judul Penelitian : HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Penulis : Mohammad, S.H.,M.H.

Universitas : Universitas Madura

Hal yang dikaji :

- Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia

- Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia

- Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia

2. Judul Penelitian : IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

Penulis : Jacky Situmorang (NIM: 020200156)

Universitas : Universitas Sumatera Utara (2008)

Page 36: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Hal yang dikaji :

- Mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan

kejahatan.

- Perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia.

- Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan.

3. Judul Penelitian : PENERAPAN PIDANA MATI DITINJAU DARI

PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF

Penulis : Nevey Varida Ariani (NIM : 00120096 / 00400463)

Universitas : Universitas Muhammadiyah Malang (2005)

Hal yang dikaji :

- Jenis-jenis kejahatan yang diancam dengan pidana mati menurut perspektif

Hukum Islam dan Hukum Positif.

- Penerapan pidana mati dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

4. Judul Penelitian : KEBIJAKAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA TERORISME DI INDONESIA

Penulis : Gede Agung Patra Wicaksana

Universitas : Universitas Udayana (2008)

Hal yang dikaji :

- Urgensi penggunaan asas retroaktif dalam kebijakan pemberantasan

tindak pidana terorisme di Indonesia

Page 37: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

- Peran Intelijen dalam kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme

di Indonesia

5. Judul Penelitian : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG

UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

TERORISME

Penulis : Elias Zadrach Leasa

Universitas : Universitas Udayana

Hal yang dikaji :

- Kebijakan kriminalisasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Tindak Pidana Terorisme

- Kebijakan pidana dan pemidanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang Tindak Pidana Terorisme

6. Judul Penelitian : HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUMAN MATI

SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Penulis : Dwi Kuncahyo

Universitas : Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Hal yang dikaji :

- Hukuman mati terkait dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia.

- Implementasi pidana mati di Indonesia dalam bingkai Hak Asasi

Manusia.

Page 38: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1. Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum

umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma

dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan

penelitian.20

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan asas-asas hukum, doktrin,

konsep hukum, dasar hukum dan teori-teori hukum sebagai landasan teoritis.

Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan

mendasari adanya suatu norma hukum”.21

Asas-asas hukum sangatlah penting yang

menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-

undangan. Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni meliputi

asas-asas hukum yang selayaknya diperlukan untuk dapat mewujudkan proses hukum

yang adil. Asas tersebut antara lain adalah asas non retroaktif dan asas tiada pidana

tanpa kesalahan.

Dalam hal menjatuhkan pidana mati dalam tindak pidana terorisme,

didasarkan pada Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana

Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di

Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam pemberlakuan kedua Perpu tersebut terlihat

20 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Denpasar, h. 64.

21

M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan

pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56.

Page 39: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

adanya eksistensi asas retroaktif, yaitu asas berlaku surut yang digunakan dengan

alasan negara dalam keadaan darurat, sifat darurat keberlakuan asas retroaktif ini

tidak berada dalam keadaan yang merugikan hak asasi tersangka/terdakwa, dan

substansi dari suatu aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan

substansi secara tegas dan tidak menimbulkan multitafsir.22

Asas retroaktif ini masih

menjadi polemik karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf I angka (1) UUDNRI

1945, yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. dimana

Perpu ini dikeluarkan pada 18 Oktober 2012 setelah terjadinya kasus terorisme bom

Bali pada 12 Oktober 2012.

Terkait asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld) untuk

menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus

dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Setiap orang yang

dijatuhi pidana harus terbukti melakukan suatu kesalahan sehingga penjatuhan pidana

dapat secara proporsional diterapkan sesuai dengan kesalahannya.

Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang memiliki

pengaruh besar terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara. Pendapat-

pendapat para pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh”.23

Doktrin

yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai pidana mati dan terorisme.

22 O.C Kaligis, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates, Jakarta, h.44

23

Ibid, h. 176.

Page 40: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere”

yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa

menimbulkan kengerian.24

Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang

memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya

pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.25

Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the

Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM

terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui

bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih

diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di

Bali).26

Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana

Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu

pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang

menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu.

Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi

terorisme adalah persoalan politik”.27

Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang

merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan

pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar

24 Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT.

Refika Aditama, Bandung, h.22

25

Ibid

26

Ibid

27

O.C Kaligis, Op.cit, h.35

Page 41: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh

dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.28

T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai

tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah

laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan

kekerasan dan ancaman kekerasan.29

Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror

dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha

mencapai sesuatu.30

James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan

atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk

tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang

ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,

melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari

pada korban-korban secara langsung.31

Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan

kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan

ideologis.32

Tujuan penjatuhan pidana mati terkait tidak pidana terorisme, bukan saja

untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tapi juga sebagai suatu upaya

28 Abdul Wahid, dkk., Op.Cit, h.30

29

Mahrus Ali, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing, Jakarta,

h.2

30

Ibid

31

Ibid

32

Aulia Rosa Nasution, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam

Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.

xiii

Page 42: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

pencegahan terhadap tindak pidana terorisme itu sendiri. Pidana mati merupakan

suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan sebagai bentuk hukuman terberat yang

dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012

Pasal 87, dinyatakan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya

terakhir untuk mengayomi masyarakat”.

Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam penelitian ini

adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP,

Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 1 Tahun

2012 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002

tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana

Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Adapun konsep dan teori hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

antara lain sebagai berikut :

Page 43: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1. Konsep Negara Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa

perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.33

Pemberian perlindungan

hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim

yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang

menjamin keadilan kepada warga negaranya”.34

Berkaitan dengan keadilan, John

Rawls menyatakan bahwa terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice),

yaitu :

First : each person is two have an equal right to the most extensive basic

liberty compatible with a similar liberty for other.

Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are

both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to

positions an offices open to all.35

Prinsip-prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : pertama, ditentukan bahwa

setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas

kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ditentukan bahwa ketimpangan

sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan

memberi keuntungan bagi semua orang dan (b) semua posisi jabatan terbuka bagi

semua orang.

33 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka, h.410.

34

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum

Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, h.155.

35

John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University

Press, Cambridge Massachusetts, h.60.

Page 44: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M.

Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya negara hukum Pancasila, maka

terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana

pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu

pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung jawabkan dan tidak

diskriminatif.

Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga

Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu

tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah

sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility)

dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah

melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu

diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan

maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan

yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum

warga negara.

Dalam negara hukum kekuasaan negara dan politik tidaklah absolut, karena

adanya pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan

politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menghindari timbulnya

kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Oleh karena itu dalam suatu negara

hukum, hukum akan memainkan peranan yang penting, serta berada di atas

Page 45: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di

bawah hukum (goverment under the law).36

Adapun beberapa istilah yang dikenal

untuk menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule of Law

(Inggris), Etat de Droit (Prancis), dan Stato di Doritto (Italia).37

Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang

mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya

semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat)

harus tunduk pada hukum.38

Ajaran kedaulatan hukum menempatkan hukum pada

kedudukan tertinggi. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan ditingkat pusat

maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masyarakat

memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang salah satu upayanya

adalah melalui hukum.39

Plato menyatakan konsep negara hukum adalah sebuah negara haruslah

berdasarkan peraturan yang dibuat rakyat. Dalam sejarah ketatanegaraan selanjutnya

dikenal negara hukum sempit sebagai ajaran Immanuel Kant yang memandang

negara sebagai alat perlindungan hak asasi dan pemisahan kekuasaan.40

Indonesia menganut konsep negara hukum yang secara konstitusional diatur

dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Menurut Friedman, negara hukum

36

Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, h.2 37

Ibid. 38

Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78. 39

Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja

Karya, Bandung, h. 11.

40

I Made Subawa dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,

Denpasar, h.56

Page 46: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.41

Munir Fuady

berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa negara

hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang

berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang

dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk

pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan

setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang

rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan

pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga

pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat

dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara

demokratis.42

Unsur-unsur Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat)

unsur pokok, yaitu: 43

a. Asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);

b. Pembagian kekuasaan;

c. Perlindungan hak-hak asasi manusia; dan

d. Adanya peradilan administrasi.

Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas, konsep

Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :

41

Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London, h. 456. 42

Munir Fuady, Op. Cit., h. 3. 43

Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 8-9.

Page 47: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

- Supremacy of law;

- Equality before the law; dan

- The constitution based on individual rights.44

Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, beberapa

prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil

konferensi South-East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun

prinsip-prinsip tersebut yaitu:45

1. Prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara

prosedural dan substansial;

2. Prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak;

3. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat;

4. Prinsip pemilihan umum yang bebas;

5. Prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan

6. Prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Sebagai negara hukum (negara hukum formil), Immanuel Kant menyebutkan

ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan

yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;

2. Pemisahan kekuasaan;

3. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang;

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.46

Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4

(empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:47

44

Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, h. 256. 45

Ibid, h. 257

46

I Made Subawa, dkk., Loc. Cit.

Page 48: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).

2. Teori Pidana dan Pemidanaan

Pidana merupakan suatu akibat yang timbul dari suatu perbuatan tindak

pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut. Pidana berasal dari kata

straf (Belanda), yang didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat

hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum

pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak

pidana (strafbaar feit).48

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 10 terdapat stelsel KUHP yang membedakan pidana menjadi

dua kelompok yaitu :

1. Pidana Pokok, yang terdiri dari

a. Pidana mati;

b. Pidana penjara;

c. Pidana tutupan; (ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946)

d. Pidana kurungan; dan

47 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, h. 29.

48

Adami Chazawi, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas

Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, h.24

Page 49: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

e. Pidana denda.

2. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :

a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

b. Pidana perampasan barang-barang tertentu;

c. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan sangatlah penting dalam

hukum pidana dan peradilan, karena merupakan konkretitasasi dari peraturan pidana

dalam undang-undang yang bersifat abstrak.

Penjatuhan beberapa macam sanksi pidana pada dasarnya merupakan

otoritas negara, dimana negara berhak menjatuhkan pidana kepada warganya. Hal ini

berkaitan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus puniendi) sebagai hak atau

wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana.49

Selain negara tidak ada

suatu subyek hukum lain yang mempunyai jus puniendi.

Terdapat berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan,

diantaranya dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu :

1. Teori Pembalasan atau teori absolute (vergeldings theorien)

Teori pembalasan menentukan bahwa setiap pelaku kejahatan harus

dipidana. Hal ini menunjukkan bahwa pemidanaan seseorang didasarkan pada

perbuatan yang telah dilakukan dan tidak melihat akibat-akibat yang dapat

ditimbulkan dari penjatuhan pidana itu. Penjatuhan pidana dimaksudkan

49 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h.

20

Page 50: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

untuk memberikan penderitaan bagi pelaku kejahatan dan memberikan rasa

keadilan. Jadi pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan dimana dasar pembenar

dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.50

Nigel Walker memberikan 3 (tiga) pengertian mengenai pembalasan

(retribution), yaitu :

a) Retaliatory retribution, adalah dengan sengaja membebankan suatu

penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu

menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang

dilakukannya;

b) Distributive retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah

melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-

persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka

mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana;

c) Quantitative retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk

pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga

bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman

yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.51

Asas pembalasan (talio) telah dikenal dalam perundang-undangan

Hammurabi. Begitu pula pada bangsa-bangsa kuno yang beradab lainnya

seperti bangsa Mesir dengan hukum Romawi dan hukum Islamnya. Namun

jauh sebelumnya asas pembalasan telah dikenal pula dalam early Germanic

System.52

50 I Gede Widhiana Suarda, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan Pemberat

Pidana, Bayu Media, Jember, h.14

51

J.E.Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni,

Bandung, h.153

52

Ibid, h.153-154

Page 51: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Pembalasan dalam bentuk pidana dianggap suatu syarat keadilan,

namun syarat keadilan ini oleh para penganut teori pembalasan dilihat secara

tidak sama. Hal tersebut dilihat dari adanya teori pembalasan kuno yang

dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Thomas Aquino dan teori pembalasan

modern yang dianut oleh Van Bemmelen, Pompe, dan Leo Polak.

Kant berpendapat bahwa barang siapa yang melakukan kejahatan

harus dipidana. Tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis dengan

tujuan keadilan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan

pidana.53

Menurut Hegel, persyaratan dipidananya penjahat berdasarkan

keadilan dialektik, dengan melihat kejahatan sebagai pengingkaran hukum.

oleh karena itu setiap kejahatan harus dipidana. Namun harus ada

keseimbangan antara pidana dan kejahatan yang diperbuat. Keseimbangan

tersebut bukan keseimbangan jenis (soortelijke gelijkheid) melainkan

keseimbangan nilai (waarde).54

Selanjutnya mereka yang termasuk dalam penganut teori pembalasan

modern mempunyai pandangan-pandangan yang lebih halus. Pompe melihat

pembalasan sebagai akibat dari dilanggarnya norma-norma, diperkosanya

ketertiban hukum dan oleh karena itu sudah tepat yang bersangkutan dipidana.

Pompe menekankan bahwa kesalahan dalam hal ini bercorak suatu kesalahan

53 Ibid, h.154

54

Ibid, h.155

Page 52: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

yuridis karena menyangkut hukum pidana. Akibat dari suatu perbuatan pidana

sangat memegang peranan, sehingga beliau setuju dengan adanya pidana yang

ringan, karena pemidanaan bukan untuk menderitakan tetapi bagaimana

membatasi kebebasan pelaku kejahatan.55

Mengenai teori pembalasan, Van Bemmelen menyatakan bahwa si

penjahat hendaknya tidak diperbolehkan menikmati kejahatannya. Ia harus

merasakan nestapa untuk melihat kesalahannya.

J.E.Sahetapy menyimpulkan teori pembalasan sebagai berikut :

1) Teori pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa

lampau, tidak dalam pertaliannya dengan masa depan si terpidana;

2) Teori pembalasan belum memberi tempat yang wajar kepada beberapa

asas, yaitu asas oportunitas, grasi, amnesty, abolisi, daluwarsa, ddan

sebagainya;

3) Teori pembalasan yang kuno telah diperhalus dengan teori pembalasan

yang modern dan secara teoritis-akademis teori pembalasan masih

mempunyai relevansi.56

2. Teori tujuan atau teori relatif (doel theorien)

Teori tujuan atau teori relatif ini berdasar pada pidana adalah alat

untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.57

Teori tujuan

55 Ibid, h.157

56

Ibid, h.163

Page 53: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

melihat pada akibat-akibat yang timbul karena adanya pemidanaan, tidak

melihat pada kejahatan yang telah terjadi.

Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan

melainkan dengan tujuan supaya orang tidak melakukan kejahatan.58

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana

itu memiliki 3 (tiga) macam sifat, yaitu :

- Bersifat menakut-nakuti (afchrikking);

- Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);

- Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).59

Melihat alasan penjatuhan pidana mati oleh hakim J. Bernett di Inggris

pada abad ke-18, “engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri

kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi”.60

Pidana yang

dijatuhkan disini bukanlah karena orang membuat kejahatan melainkan agar

orang tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat bukan aspek pembalasannya

tetapi aspek menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut.

Dalam teori tujuan ini terdapat sifat pencegahan yang terdiri dari 2

(dua) macam, yaitu :

- Pencegahan umum (general preventie);

57 Adami Chazawi, Op.Cit, h.161

58

I Gede Widhiana Suarda, Op.Cit, h.15

59

Adami Chazawi, Op.Cit, h.162

60

J.E.Sahetapy, Op.Cit, h.164

Page 54: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

- Pencegahan khusus (speciale preventie).61

Teori pencegahan umum meletakkan pelaksanaan pidana harus

dilakukan secara kejam dan dimuka umum untuk mencapai dan mempertahankan

tata tertib masyarakat melalui pemidanaan.62

Sehingga dengan ancaman pidana

yang berat sebagai sarana untuk menakut-nakuti agar orang tidak melakukan

kejahatan. Pelopor teori ini antara lain Von Feuerbach dan Muller.

Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa

(Psychologische Zwang Theorie) dalam bukunya yang berjudul Lehbuch des

Peinlichen Rechts (1801). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana

merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah

mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak

pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut

sehingga harus dicantumkan dalam undang-undang.63

Selain Feuerbach, terdapat adagium yang diperkenalkan oleh Francis

Bacon (1561-1626) yaitu “moneat lex, priusquam feriat” dimana undang-undang

harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman

yang terkandung di dalamnya.64

Dari adagium tersebut dapat diartikan bahwa

undang-undang merupakan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi

pelanggaran undang-undang.

61 Adami Chazawi, Loc.Cit

62

Ibid, h.163

63

Fajrimei A Gofar, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas Dalam

Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.4

64

Ibid

Page 55: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Dalam teori pencegahan khusus tujuan pidana adalah mencegah

pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan

kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak

mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Jadi teori pencegahan

khusus ini meletakkan pencegahan pada pelaku kejahatan. Pelopor teori ini adalah

Van Hamel.

Dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2012, dalam Pasal 54 ayat (1)

dinyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pada Pasal 54 ayat (2) juga dinyatakan bahwa Pemidanaan tidak dimaksudkan

untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas

pertahanan tata tertib masyarakat.65

Dalam teori gabungan dengan mengedepankan

pembalasan, pembalasan tersebut tidak serta merta boleh melampaui batas dari apa

65 Ibid, h.166

Page 56: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.66

Pompe

berpendapat bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga

bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat

diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.67

Zevenbergen berpandangan bahwa

makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi

tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan

ketaatan pada hukum dan pemerintahan.68

Dalam teori gabungan dengan menitikberatkan pada tata tertib hukum dan

masyarakat, dipelopori oleh Thomas Aquino dan Vos. Thomas Aquino berpandangan

bahwa dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus terdapat

kesalahan pada perbuatan yang dilakukan dengan sukarela, dimana pidana tersebut

bersifat pembalasan. Sifat pembalasan tersebut merupakan sifat umum dari sebuah

pidana, namun tetap dengan tujuan pertahanan dan perlindungan tata tertib

masyarakat.69

3. Teori Ganjaran (Desert Theory)

Munculnya Desert Theory pertama kali dikemukakan oleh Andrew Von

Hirsch dan Andrew Asworth. Dalam bahasa Indonesia Desert Theory dapat disebut

teori ganjaran yang merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang

66 Ibid

67

Ibid, h.167

68

Ibid

69

Ibid, h.168

Page 57: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

proporsionalitas dalam pemidanaan. Desert theory diterjemahkan sebagai “the dessert

rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflectthe degree of

reprehensibleness (that is, the harmfulness and culpability) of the actor conduct”.70

Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan

kesalahan dari pelaku. Teori ini amat berkolerasi dengan adagium “only the guilty

ought to be punished” atau dalam literatur hukum pidana Indonesia dikenal sebagai

asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld). 71

Karenanya adalah

terlarang untuk menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah dan

penjatuhan pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang

dibuat oleh seorang pelaku tindak pidana.72

Desert theory mensyaratkan adanya perimbangan antara kesalahan dan

hukuman (ganjaran). Sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu merupakan suatu

yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang besar kecilnya kesalahan

sangat erat kaitannya dengan jenis pidana yang dilakukannya.73

Secara umum ukuran untuk menyatakan suatu tindak pidana masuk dalam

katagori berat atau ringan bergantung kepada beberapa hal, antara lain diantaranya :

a. Nilai kerugian materiil yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak pidana

yang terjadi

70Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung, Bandung, h.38

71

Ibid , h.39

72

Ibid

73

Ibid

Page 58: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

b. Pandangan atau penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan pada saat

waktu tertentu.

c. Dampak dari perbuatan pelaku terhadap korbannya.

d. Modus operandi tindak pidana yang dilakukan pelaku.74

Mengenai Desert Theory ini, Gerry A. Ferguson menyatakan bahwa ganjaran

yang setimpal, didasari bukan pada balas dendam namun lebih tepatnya adalah

beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan yang dilakukan.

Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan

yang dilakukan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan.75

4. Teori Perlindungan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa

perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.76

Pemberian perlindungan

hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim

yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang

menjamin keadilan kepada warga negaranya”.77

Indonesia merupakan negara hukum

yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya

74 I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi

Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.201

75

M. Sholehuddin, Op.cit, h. 63

76

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, Loc.Cit.

77

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.

Page 59: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi

setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan

dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung

jawabkan dan tidak diskriminatif. Salah satu ciri lain dari negara hukum adalah

adanya asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dimana tersangka

atau terdakwa juga mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum.

Pancasila merupakan landasan idiil yang menjadi sumber dari asas-asas

perlindungan hukum. UUD Negara RI 1945 sebagai asas konstitusional (struktural),

dan Undang-Undang sebagai asas operasional. Dalam Pancasila konsep perlindungan

hukum mempunyai landasan idiil (filosofis) hukumnya pada sila ke -5 yaitu

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh

rakyat Indonesia di dalamnya terkandung suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk

diperlakukan sama di depan hukum.

Konsep perlindungan hukum juga memperoleh landasan konstitusional dalam

pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-4, yaitu : “Kemudian dari pada itu untuk

membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial .....”.

Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga

Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu

Page 60: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah

sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility)

dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah

melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu

diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan

maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan

yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum

warga negara.

Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari negara hukum.

Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang

bertentangan dengan hukum yang dilakukan pemerintah. Perlindungan hukum terdiri

dari dua bentuk yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum

represif.

1. Perlindungan Hukum Preventif

Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan

keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah

mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan

hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak

pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan

adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk

Page 61: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M.

Hadjon preventif merupakan keputusan-keputusan dari aparat pemerintah

yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah

tindakan pencegahan78

. Jika kita bandingkan dengan teori perlindungan

hukum yang represif, teori perlindungan hukum yang preventif dalam

perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari

pentingnya teori perlindungan hukum preventif terutama dikaitkan dengan

azas feis ermesen (discretionaire bevoegdheid). Dengan adanya teori ini

sebelum pemerintah menerapkan bestemming plannen, rakyat dapat

mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana

keputusannya79

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa

yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Saat ini di Indonesia

terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan

hukum bagi rakyat.

Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari :

a. Perlindungan hukum aktif, yaitu upaya untuk menciptakan suatu kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara

wajar.

78 Hadjon dkk, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada University,Yogyakarta, h.3

79

Ibid

Page 62: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

b. Perlindungan hukum pasif, untuk mengupayakan pencegahan atas upaya yang

sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil, termasuk di

dalamnya adalah :

1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman.

2) Mewujudkan kedamaian sejati.

3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat.

4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.80

1.7.2 Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teoritis dan landasan teori yang digunakan untuk

membahas masalah penelitian, dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut :

80 Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta, h.23

Page 63: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

data

data

2. Apakah penjatuhan

pidana mati dapat

menjadi sarana

pencegahan terhadap

tindak pidana terorisme?

Teori Pidana dan

Pemidanaan

Penjatuhan Pidana

Mati Dalam Tindak

Pidana Terorisme

Bom Bali

(Studi Kasus Pada

Pengadilan Negeri

Denpasar)

1. Apakah dasar

pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan

pidana mati bagi pelaku

tindak pidana terorisme

bom bali?

Teori Negara Hukum

Teori Perlindungan

1. Dasar pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan

putusan pidana mati bagi

para pelaku tindak pidana

terorisme bom Bali yaitu

berdasarkan atas kerugian

yang ditimbulkan yang

bersifat materiil dan

immateril dan rasa

ketakutan masyarakat

secara luas, sehingga

menimbulkan dampak

yang luas terhadap

kehidupan sosial, ekonomi,

politik, dan hubungan

internasional. Dasar

pertimbangan lainnya

adalah tindak pidana

terorisme merupakan

kejahatan yang terorganisir

dan tergolong kejahatan

luar biasa.

2. Penjatuhan pidana mati

dalam kasus bom Bali

belum seutuhnya dapat

dijadikan sebagai sarana

pencegahan tindak pidana

terorisme. Hal tersebut

dapat dilihat masih adanya

kasus bom bali II serta

tindak pidana terorisme

diberbagai tempat di

Indonesia.

Teori Ganjaran (Desert

Theory)

Page 64: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1.8. Hipotesis

Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka terhadap

permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi para

pelaku tindak pidana terorisme bom Bali yaitu berdasarkan atas kerugian yang

ditimbulkan yang bersifat materiil dan immateril dan rasa ketakutan masyarakat

secara luas, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial,

ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Dasar pertimbangan lainnya

adalah tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan

tergolong kejahatan luar biasa.

2. Penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali belum dapat seutuhnya dijadikan

sebagai sarana pencegahan tindak pidana terorisme. Hal tersebut dapat dilihat

masih adanya kasus bom Bali II serta tindak pidana terorisme diberbagai tempat

di Indonesia.

1.9. Metode Penelitian

Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta menganalisis

setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode

dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah memiliki susunan yang sistematis,

terarah, dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 65: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1.9.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian

diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk

mengidentifikasi hukum yang hidup.260

Penelitian hukum yuridis empiris terdiri dari

4 komponen yaitu :

1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis),

2) penelitian terhadap efektifitas hukum,

3) penelitian perbandingan hukum, dan

4) penelitian sejarah hukum.261

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum yuridis empiris

yang khusus meneliti mengenai efektifitas hukum yang membahas mengenai

bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.262

Terkait dengan penelitian dalam

penulisan karya ilmiah ini, dilakukan dengan cara melihat peraturan yang

mengaturnya dan kemudian melihat dan meneliti secara langsung mengenai

penerapan penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali yang dijatuhkan oleh Hakim

Pengadilan Negeri Denpasar dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar hukum

yang digunakan. Sehingga mengetahui efektif atau tidaknya penjatuhan pidana mati

260Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah

Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, h.42

261

H.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta,

h.30-45

262

Ibid, h.31

Page 66: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

dalam penjatuhan pidana bagi pelakunya dan apakah dapat dijadikan sarana

pencegahan dan penanggulangan bagi tindak pidana terorisme.

1.9.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif. Menurut Moh.

Nazir, penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah

dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi

tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-

pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu

fenomena.263

Penelitian deskriptif juga bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat264

. Terkait dengan

hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dari penjatuhan

sanksi pidana mati sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan dalam tindak

pidana terorisme.

1.9.3 Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan

di atas, adalah sumber data yang diperoleh dari dua sumber, yaitu :

1. Sumber Data Primer

263 Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka

Cipta, Jakarta, h. 21.

264

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 25.

Page 67: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama,

melalui penelitian265

, baik berupa data menyangkut putusan Pengadilan

khususnya penjatuhan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dan

data yang diperoleh dari hasil wawancara dari informan.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai sumber data

primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak

atau elektronik).266

Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam

penelitian ini disebutkan dalam sumber bacaan.

1.9.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu :

1. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen adalah langkah awal setiap penelitian hukum (baik normatif

maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis

normatif.267

Terkait hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari

kepustakaan yang relevan dengan permasalahan, dimana dengan membaca

dan mencatat kembali data kemudian dikelompokkan secara sistematis.

2. Teknik Wawancara

265 Ibid., h. 30.

266

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

h.82

267

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, h. 68.

Page 68: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara

lisan guna mencapai tujuan tertentu.268

Dalam hal ini data diperoleh melalui

proses interview kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan

penelitian di lapangan seperti Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang

memutus kasus terorisme di Bali, guna memperoleh informasi dan data yang

lebih pasti dan akurat.

1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam kaitannya dengan penentuan sampel, maka terdapat 2 (dua) cara atau

teknik yang dapat dipergunakan yaitu teknik probability sampling dan teknik non

probability sampling. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling,

yaitu purposive sampling. Dimana penentuan sampel dilakukan berdasarkan tujuan

tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana

penunjukan dan pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan bahwa sampel telah

memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri

utama dari populasinya.269

Sampel yang dimaksud adalah beberapa hakim khususnya

yang pernah memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana terorisme di

Pengadilan Negeri Denpasar, dan Jaksa yang terkait dengan kasus terorisme tersebut.

1.9.6 Teknik Analisis Data

Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan

merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti

268 Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta,

h. 95.

269

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit, h. 74-75.

Page 69: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja analisis data tema dan

hipotesa tersebut lebih diperdalam dengan menggabungkannya dengan sumber-

sumber data yang ada.270

Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis

secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif.

Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan

diolah dan dianalisis secara sistematis yang dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian

yang berhubungan dengan teori ataupun asas hukum yang terdapat dalam Hukum

Pidana sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam

pembahasan masalah.

270 Ibid., h. 66.

Page 70: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana

a. Pengertian Pidana

Crime is the primary norm; punishment is the sanction. Crime without

punishment, or at least the theat of punishment, may be impractical, but it is not

illogical (kejahatan akan selalu berkaitan dengan masalah pidana, sebab kejahatan

secara primer berupa norma, pidana sebagai suatu sanksi. Kejahatan tanpa pidana

atau tanpa ancaman pidana mungkin tidak bisa dilaksanakan, tapi hal itu tidak berarti

tidak logis).271

Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah

suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang

271 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,

California, h. 18

Page 71: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

sengaja ditimpakan kepada seseorang.272

Sedangkan pidana merupakan suatu

pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian

khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu

sanksiatau nestapa yang menderitakan.273

Pidana dalam hukum pidana merupakan

suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain

adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut

terpidana. Soedarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu.274

Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik,

dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku

delik itu.275

Berdasarkan pengertian pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur dan ciri-ciri

yang terkandung dalam istilah pidana, yaitu :

1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa

atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang)

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut Undang-undang

4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang

karena telah melanggar hukum.276

272 Andi hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,

Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Andi Hamzah I), h.1

273

Ibid

274

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika Aditama,

Bandung, h.6

275

Mahrus Ali, Op.Cit, h.186

276

Ibid.

Page 72: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam

menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan

perbuatan pidana.277

Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa

penderitaan) yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap

bertindak secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya

diancamkan dengan pidana.278

Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau

penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan

yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang

tidak akan melakukan tindak pidana.279

Pengertian sanksi pidana menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang

berjudul The Limits of Criminal Sanction adalah :

“Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau

keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat. Pada dasarnya

sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang

dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu

rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan

277 Ibid, h.193

278

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU Hukum

Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Media Tama,

Jakarta, h.458

279

Mahrus Ali, Op.Cit.,h.194

Page 73: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak

melakukan tindak pidana lagi”.280

Pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang

dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.281

Penjatuhan pidana bagi

pelaku merupakan kewenangan negara dalam rangka menciptakan kehidupan yang

tertib dan aman di wilayah yurisdiksinya.

Istilah pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan

oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum atas

perbuatan yang dilakukannya yang telah melanggar aturan hukum pidana. Dalam

hukum pidana saat ini, dikenal beberapa subjek hukum pidana yang dapat

dikatagorikan sebagai pelaku. Pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur

yang dirumuskan dalam undang-undang mengenai suatu delik. 282

Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu proses dalam

penyelesaian perkara pidana. Penjatuhan pidana tersebut merupakan suatu akibat

hukum yang harus diterima oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana.283

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan

yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang dijadikan dasar pengancaman dan

penjatuhan sanksi pidana. Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan pemidanaan

280 Ibid, h.195

281

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9

282

Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 40

283

S.R Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta, h. 442

Page 74: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, di

lain pihak Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan

pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan

moral.

Menurut Leo Polak pemidanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang

bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan dengan maksud prevensi.

3. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.284

Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan

pidana, yaitu :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan

orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Jenis Pidana

284 Andi Hamzah, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, (Selanjutnya disebut

dengan Andi Hamzah II), h. 34

Page 75: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam

menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan

tindak pidana.

Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini juga

berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang

itu menyimpang. Dalam KUHP, pidana digolongkan menjadi 2 yaitu :

a. Pidana pokok, yang terdiri dari 5 jenis pidana :

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan.

b. Pidana tambahan yang terdiri dari 3 jenis pidana :

1. Pencabutan hak-hak tertentu’

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan Hakim.

Berbeda dengan KUHP, dalam Rancangan KUHP Tahun 2012 mengenai

jenis pidana terdapat dalam 3 pasal, yaitu :

1. Pasal 65 yang menyatakan bahwa Pidana pokok terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

Page 76: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

2. Pasal 66 yang mengatur mengenai pidana mati yang merupakan pidana pokok

yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

3. Pasal 67 mengatur mengenai pidana tambahan terdiri atas :

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum

yang hidup.

Berdasarkan rumusan KUHP dan Rancangan KUHP tersebut di atas terlihat

adanya perubahan jenis pidana baik yang tergolong pidana pokok maupun pidana

tambahan. Dari pidana pokok perubahan tersebut terdapat pada pidana mati yang

dalam Rancangan KUHP tidak lagi digolongkan dalam pidana pokok, namun

dinyatakan sebagai pidana yang bersifat khusus. Selain itu dalam Rancangan KUHP

materi pidana tambahan terdapat penambahan jenis pidana yaitu perampasan tagihan,

pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup.

Page 77: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2.2. Pidana Mati

a. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Pidana mati merupakan pidana terberat, karena berkaitan dengan hak hidup

seseorang. Hal ini menimbulkan pro dan kontra terhadap pidana mati itu sendiri

dalam perspektif mereka masing-masing serta tujuan dan akibat dari pidana mati

tersebut.

Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan

lahirnya manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retaliasi (hukuman

berdasarkan teori pembalasan mutlak).285

Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah

satu pidana tertua dari jenis pidana lainnya, seperti pidana ganti kerugian (denda),

dan pidana fisik (cambuk, pemotongan anggota tubuh, pasung dan lain sebagainya).

Zaman dahulu hukum adat di beberapa daerah di Indonesia mengenal pidana

mati dengan cara yang kejam. Di Aceh seorang istri yang berzina akan dibunuh.286

Di

Sulawesi Selatan pada masa pemerintahan Aru Palaka pidana mati dijatuhkan pada

semua tersangka kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat.287

Di daerah

Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya, yaitu bangsawan yang berhubungan

dengan pria batua atau budak harus dipidana mati.288

Beberapa suku di Kalimantan

285 Yon Artiono Arba’i, 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana Mati,

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, h. 8

286

Ibid, h. 17

287

Ibid

288

Ibid

Page 78: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

pun akan menghukum mati orang yang terbukti bersumpah palsu dengan cara

ditenggelamkan.289

Di pulau Bonerate, para pencuri dipidana mati dengan cara kaki tangannya

diikat kemudian ditidurkan di bawah terik matahari tanpa diberi makan.290

Di Bali

sanksi terhadap pelaku perkawinan sumbang dahulu dijatuhi pidana mati dengan

ditenggelamkan ke laut karena terpidana tidak boleh dikuburkan secara terhormat.291

Perkawinan sumbang merupakan persetubuhan yang dilakukan seseorang

dengan istri pendeta, kakak atau adik perempuan dari pendeta, istri guru, saudara

perempuan bapak, saudara perempuan ibu, istri pihak bapak atau pihak ibu, saudara

perempuan nenek atau kakek dari pihak bapak maupun ibu istri atau menantu, mertua

perempuan atau laki-laki dan anak cucu dari saudara laki-laki atau perempuan.292

Awal eksistensi hukuman mati di Indonesia secara yuridis-historis diatur

dalam KUHP, yang sebagian besar berasal dari Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht

(WvS). Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1870 Belanda menghapus pidana mati

kecuali dalam hukum pidana militernya.293

Indonesia hingga sekarang masih

mengakui dan mempertahankan pidana mati dalam beberapa undang-undang bahkan

dalam Rancangan KUHP Tahun 2012.

Penghapusan pidana mati di Belanda tidak diikuti oleh Indonesia karena

berdasar atas beberapa pertimbangan yaitu :

a) Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum di

sini jauh lebih besar daripada di Negeri Belanda mengingat negeri ini

289 Ibid

290

Ibid

291

Ibid, hal.19

292

Ibid

293

Ibid, h.15

Page 79: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

wilayahnya sangat luas dan terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan

adat dan tradisi yang berbeda. Hal ini sangat potensial menimbulkan

perselisihan dan kekacauan yang besar dikalangan masyarakat.

b) Alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh disini adalah sangat kurang

atau tidak sesempurna dan selengkap seperti di Belanda.294

Pidana mati dalam pengaturan dan penerapannya dilaksanakan pada keadaan-

keadaan tertentu yang khusus dan tergolong sangat mendesak. Oleh sebab itu pidana

mati diancamkan pada jenis kejahatan tertentu yang dipandang sangat berat baik dari

segi perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya.

Pemisahan secara dalam sistem dari infrastruktur hingga administrasi-

birokrasi terjadi di awal abad 20.295 Pada masa ini hukuman harus melalui sebuah

proses administrasi (tata cara) pengadilan serta eksekusi pidana mati atau hukuman

penyiksaan dilakukan dalam sebuah arena publik tetapi dalam sebuah tempat yang

terisolir dan tertutup.296

Pada masa Orde Lama, ancaman pidana mati tidak saja diatur dalam KUHP,

namun dicantumkan pula dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh

pemerintah pada masa itu, diantaranya yaitu :

1. Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), dikeluarkan Undang-Undang

Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang diundangkan pada 4

September 1951.

294 Adami Chazawi, Op.cit, h. 30

295

Al Araf dkk, Op.cit, h. 5

296

Ibid, h.6

Page 80: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966), dikeluarkan Penetapan Presiden

No.5 Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung

terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan

sandang pangan, yang diundangkan pada 27 Juli 1959.

3. Pada tanggal 16 November diundangkan pula Perpu No.21 Tahun 1959

mengenai tindak pidana ekonomi.

4. Pada tahun 1963 diterbitkan Undang-Undang No.11/PNPS/1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi yang diundangkan pada 16 Oktober 1963.

5. Pada tahun 1964 diterbitkan Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom dan Undang-Undang

No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Kemudian memasuki masa Orde Baru, yaitu pada masa 1970-an ancaman

pidana mati dijatuhkan kepada orang-orang yang dituduh terlibat gerakan Partai

Komunis Indonesia. 297

Prosesi pidana mati pada masa ini berada dalam wewenang

Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Hukuman mati secara formil menjadi

kebijakan negara dalam efektifitas mengendalikan struktur politik. Prosesi hukuman

mati untuk para terdakwa kasus kriminalitas dalam periode ini terbilang sedikit. Hal

ini terlihat dengan kembali munculnya pidana mati pada tahun 1982 yang

sebelumnya tidak ada kasus pidana mati sejak masa pembersihan PKI.298

297 Ibid, h.9

298

Ibid, h.11

Page 81: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Pemerintah pada tahun 1997 mengambil kebijakan populis melalui penerbitan

Undang-Undang no 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5

Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut mencantumkan

ancaman pidana mati sebagai pidana terberatnya dengan tujuan menanggulangi

maraknya peredaran serta pemakaian narkoba dimasa itu.

Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP diatur dalam Pasal 11 yang

menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan

menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian

menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.

Mengenai pelaksanaan pidana mati menurut Pasal 11 KUHP, R. Soesilo

berpendapat bahwa cara tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan jiwa

revolusi Indonesia. Sehingga dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati

dilakukan dengan cara ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum

Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.299

Hal ini berdasar atas

ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat

Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat

dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana

mati itu.

2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama

dengan Jaksa tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/pengacara

terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri

pelaksanaan pidana mati itu.

3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa

Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanaan, dan

299 R.Soesilo, 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya lengkap

Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h.27

Page 82: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

pada terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu

keterangan atau pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah

seorang wanita sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan

empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.

4. Untuk pelaksanaan pidana mati iru Kepala Polisi Komisariat tersebut

membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri

dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang

Perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata

organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada

dibawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa.

5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana

mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

6. Dicatat di sini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana

diutarakan di atas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi

Komisariat Daerah, Jaksa Tinggi/Jaksa. Brigade Mobile dan Polisi berturut-

turut harus dibaca : “Panglima/Komandan Daerah Militer”, “Jaksa

Tentara/Oditur Militer” dan “Militer”.300

b. Pidana Mati Dalam Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia

Dalam realitas hukum, eksistensi sanksi pidana mati dipertahankan dalam

sejumlah perundang-undangan. Mengenai pidana mati, yang dalam Rancangan

KUHP diatur dan dinyatakan bahwa pidana tersebut bersifat khusus dan tidak lagi

tergolong dalam pidana pokok. Hal ini menunjukan bahwa hukum pidana di

Indonesia mulai mengalami pergerakan untuk mengurangi penjatuhan pidana mati

dalam penegakan hukum di Indonesia. Namun dalam KUHP yang merupakan acuan

bagi undang-undang dalam hukum pidana khusus masih menganut pidana mati.

Lambroso berpendapat bahwa tidak satupun faktor dari luar yang dapat

memperbaiki orang tersebut hanyalah pidana mati karena dengan pidana matilah

300 Ibid

Page 83: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

masyarakat dapat diselamatkan dari tindakan kriminal orang-orang yang masuk

dalam kategori tersebut.301

Secara normatif, hukuman mati yang diterapkan di negara-negara modern

khususnya Indonesia hanya dijatuhkan terhadap perbuatan yang tergolong kejahatan

luar biasa, Bahkan beberapa pasal dalam KUHP mengatur tindak pidana yang

diancam pidana mati, diantaranya :

a. Pasal 104, mengenai makar membunuh kepala negara.

b. Pasal 111 ayat (2) mengenai mengajak negara asing guna menyerang

Indonesia.

c. Pasal 124 ayat (3) mengenai membantu musuh waktu Indonesia dalam masa

perang.

d. Pasal 140 ayat (1) mengenai membunuh kepala negara sahabat.

e. Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 mengenai pembunuhan yang direncanakan

f. Pasal 365 yang mengatur mengenai pencurian dengan kekerasan oleh dua

orang atau lebih berkawan pada waktu malam atau dengan jalan membongkar

dan sebagainya, yang menjadikan orang terluka berat atau mati.

g. Pasal 444, mengatur mengenai pembajakan di wilayah perairan Indonesia

yang mengakibatkan kematian.

h. Pasal 368 ayat (2) mengenai pemerasan yang mengakibatkan kematian.

301 Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi

Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 230.

Page 84: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Selain dalam KUHP, sanksi pidana mati juga terdapat di luar KUHP yaitu

sebagai berikut :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)

2. Undang-Undang No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api

3. Penpres No.5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara

Agung Dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana

yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan.

4. Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman

Terhadap Tindak Pidana Ekonomi

5. Undang-Undang No.11/PNPS?1963 tentang Pemberantasan Kegiatan

Subversi

6. Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom

7. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

8. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

9. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi

10. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

12. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Page 85: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2.3. Tindak Pidana Terorisme

a. Pengertian Terorisme dan Tindak Pidana Terorisme

Istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 yaitu menunjuk aksi-

aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah guna menjamin ketaatan rakyat.302

Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere”

yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa

menimbulkan kengerian.303

Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang

memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya

pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.304

Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on

the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM

terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui

bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih

diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di

Bali).305

Definisi tindakan terorisme menurut Black Law Dictionary adalah kegiatan

yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi

kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian

Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk :

a.mengintimidasi penduduk sipil;

b.mempengaruhi kebijakan pemerintah;

302 Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju, Bandung, h.41

303

Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.22

304

Ibid

305

Ibid

Page 86: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

c.mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan

pembunuhan.306

Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terorisme adalah penggunaan

kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan

menakutkan, terutama untuk tujuan politik.307

Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana

Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu

pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang

menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu.

Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi

terorisme adalah persoalan politik”.308

Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang

merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan

pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar

dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh

dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.309

T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai

tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah

laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan

kekerasan dan ancaman kekerasan.310

306 Ibid, h.24

307

Ibid, h.31

308

O.C Kaligis, Op.cit, h.35

309

Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.30

310

Mahrus Ali, Op.cit, h.2

Page 87: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror

dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha

mencapai sesuatu.311

James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan

atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk

tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang

ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,

melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari

pada korban-korban secara langsung.312

Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan

kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan

ideologis.313

Hikmahanto Juwana mengatakan, terorisme sulit didefinisikan meskipun

secara faktual dapat dirasakan dan dapat dilihat adanya karakteristik tertentu dari

terorisme.314

Istilah terorisme merupakan istilah yang belum menemukan keseragaman

dalam pendefinisiannya, hal ini tergantung dari perspektif mana melihatnya. Dalam

hukum pidana terorisme sering dikelompokkan dalam fenomena kriminalitas yang

bersifat konvensional dan sarat dengan kepentingan politik tertentu.

Terorisme dapat dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan

warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan ideologis. Menjadi sebuah

311 Ibid

312

Ibid

313

Aulia Rosa Nasution, Op.cit, h. xiii

314

Mahrus Ali, Op.cit, h.1

Page 88: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

keniscayaan bagi kita untuk mencermati berbagai sebab, karakteristik, dan tujuan

terorisme.315

Terorisme bukanlah kejahatan biasa, namun telah menjadi kejahatan terhadap

kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas dan sistematik

yang telah menewaskan ribuan orang yang tidak bersalah.316

Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa

takut dan mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia serta

membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip-prinsip di

dalam hukum Internasional maupun kebiasaan internasional.317

Adanya perbedaan antara aksi militer dengan terorisme dari perspektif

tujuannya diperlihatkan oleh pengertian dari David Fromkin yang merupakan salah

satu kalangan pakar sosial politik Barat yang menyatakan bahwa “military action is

aimed at physical destruction while terrorism aims at psychological

consequences”.318

Aksi militer bertujuan untuk pemusnahan secara fisik dan

terorisme bertujuan untuk menimbulkan akibat yang bersifat psikologis.

Terorisme menurut Petrus Reinhard Golose adalah setiap tindakan yang

melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat,

dengan ancaman atau cara kekerasan baik yang diorganisasi maupun tidak, serta

menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan psikologis dalam waktu

315 Aulia Rosa Nasution, Loc.cit

316

Ibid, h. xvii

317

Ibid, h. xviii

318

Ari Wibowo, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.61

Page 89: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa

(extra crime) dan kejahatan terhadap kemanusian (crime against humanity).319

Rumusan pengertian mengenai terorisme menurut James Adams yaitu

penggunaan atau ancaman kekerasn fisik oleh individu-individu atau kelompok-

kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan

kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk

mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih

besar daripada korban-korban secara langsung.320

Pengertian terorisme menurut Knet Lyne Oot mengandung beberapa

pengertian yaitu :

1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan

ketakutan atau membuat kehancuran ekonomi atau material.

2. Sebuah metode pemaksaan terhadap suatu tindakan orang lain.

3. Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas.

4. Tindakan kriminal bertujuan politis.

5. Kekerasan bermotif politis.

6. Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.321

Menurut E. V. Walter proses teror memiliki tiga unsur, yaitu :322

1. Tindakan atau ancaman kekerasan.

2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau

calon korban.

3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa

ketakutan yang muncul kemudian.

Terorisme merupakan masalah nasional maupun transnasional bahkan

internasional membutuhkan penanganan serius yang diwujudkan dalam berbagai

kebijakan pemerintah.

319 Aulia Rosa Nasution,Op.cit, h. 6

320

Mahrus Ali, Op.cit, h. 2

321

Ari Wibowo, Op.cit, h. 62

322

Mahrus Ali, Op.cit, h. 3

Page 90: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Dalam Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa :

“Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan

maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan

mambahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang

atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap

orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang

strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia

negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas

umum atau fasilitas internasional.”

Beberapa definisi mengenai terorisme dikemukakan oleh beberapa lembaga

antara lain :

a. US Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan

pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara,

lembaga, atau pemerintah asing.323

b. US Federal Bureau of Investigation (FBI)

Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan seseorang

atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-

elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.324

c. US Departments of States and Defense

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara

atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan.

Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme

323 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 24

324

Ibid

Page 91: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah

lebih dari satu negara.325

d. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998) terorisme

adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang

terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif,

yang menyebabkan teror ditengah masyarakat, rasa takut dengan melukai

mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau

bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik

maupun pribadi menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk

mengancam sumber daya nasional.

Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak kejahatan dalam

rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak, atau

melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam

hukuman dengan hukuman domestik.326

e. Treaty on Cooperation among the States members of the Commonwealth of

Independent States in Combating Terrorism, 1999

Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman

pidana yang dilakukan dengan tujuan merusk keselamatan publik,

mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk,

dan mengambil bentuk :

1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang

yang dilindungi hukum;

2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda

dan objek materiil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain;

3) Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang

membahayakan bagi masyarakat;

4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan

tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai

pembalasan terhadap aktivitas tersebut;

5) Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi

internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempat-

tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara

internasional;

6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundang-

undangan nasional atau instrument legal yang diakui secara

internasional yang bertujuan memerangi terorisme.327

f. Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan

yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk

325 Ibid

326

Ibid, h. 25-26 327

Ibid, h. 26-27

Page 92: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat

luas.328

g. US Departement of Defense tahun 1990

Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung

ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik

untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan

tujuan politik, agama, atau ideologi.329

Jadi istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki arti bahwa

kekerasan yang dilakukan secara sistematik dan terorganisasi dengan maksud

menakut-nakuti dengan sasaran penduduk sipil demi kepentingan politik. Tidak

jarang aksi terorisme ini menimbulkan efek yang sangat merugikan, karena tidak

hanya merusak fasilitas umum namun juga berakibat pada hilangnya nyawa dan

penyengsaraan orang-orang yang tidak berdosa.

Aksi terorisme dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Secara etimologis

kata tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar feit yang artinya

perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan dikenakan sanksi pidana

bagi yang melanggarnya. Menurut beberapa sarjana Strafbaar feit memiliki beberapa

istilah lain selain tindak pidana, yaitu diantaranya peristiwa pidana, pelanggaran

pidana, perbuatan pidana, delik, dan perbuatan yang dapat dihukum.

Terdapat dua golongan dalam memberikan pendapat mengenai tindak pidana,

yaitu golongan pertama adalah aliran monistis dan golongan kedua adalah aliran

dualistis. Golongan monistis ini terdiri dari D. Simons, Van Hamel, E. Mezger, J.

Bauman, Karni, dan Wirdjono Prodjodikoro. Aliran monistis memandang bahwa

328

Ibid, h. 29 329

Ibid, h. 30

Page 93: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan adanya si

pembuat yang dipidana. Oleh karena itu unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak

dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Mengenai perbuatan termasuk dalam

kategori segi objektif, dan mengenai orang/si pembuat dikategorikan dalam segi

subjektif. Sehingga hal tersebut menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana

(segi objektif) dan syarat untuk dapat dipidana (segi subjektif) tidak dipisah.330

Sedangkan aliran dualistis memandang adanya pemisahan antara dilarangnya

suatu perbuatan serta akibatnya (sanksi), dan dapat dipertanggung jawabkan si

pembuat. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret),

baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung

jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya dan dijatuhi pidana.331

Aliran dualistis ini terdiri dari H. B. Vos, Pompe, dan Moeljatno.

Dengan melihat kedua aliran tersebut, maka diperlukan syarat-syarat untuk

menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Syarat tersebut

adalah :

1. Adanya syarat yang melekat pada perbuatannya;

2. Adanya syarat yang melekat pada orangnya;

3. Tindakan yang dilakukan bersifat melawan hukum;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan bagi

pelanggarnya diancamkan pidana.

330 Adami Chazawi, Op.cit, h.76-77

331

Ibid, h.76

Page 94: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),

yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal

liability332

.

Jadi pengertian dari tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilarang dan

bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh undang-undang karena

dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban pidana.

Pengertian tersebut menjadi tolak ukur untuk mempertanggungjawabkan

kejahatan terorisme sebagai salah satu tindak pidana, bahkan tindak pidana yang

berkualifikasi pemberatan.

Dalam Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa

“tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak

pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Mengenai unsur-unsur tindak

pidana terorisme ini terdapat dalam Bab III, Pasal 9 s/d Pasal 12 Perpu No.1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Jadi tindak pidana terorisme adalah suatu tindakan yang memenuhi unsur-

unsur yang dilarang dan bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh

332 Bismar Nasution, 23 Desember 2009, Kejahatan Korporasi Kejahatan Korporasi dan

Pertanggungjawabanny,file:///D:/D%27Lis/tugas%20kriez/S2/Bahanbahan/TP%20Korporasi/Kejahat

an%20Korporasi%20%C2%AB%20BISMAR%20NASUTION.htm, diakses pada tanggal 20 Oktober

2012.

Page 95: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

undang-undang karena dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban

pidana.

b. Karakteristik Terorisme dan Tipologi Terorisme

Dengan melihat beberapa definisi mengenai terorisme tersebut di atas, dapat

diperoleh beberapa karakteristik yang pada umumnya tersirat dan tersurat pada

definisi-definisi tersebut. Karakteristik tersebut antara lain, bentuk kejahatan yang

terorganisir; adanya kebutuhan dan dukungan financial; membutuhkan akses senjata

dan bahan peledak; aksi yang dipertahankan dengan dukungan politik tertentu.333

Divisi riset Federal (kongres AS) dalam laporan berjudul The Sociology and

Psychologi of Terrorism : Who become a Terrorist and Why?, menyebutkan ada lima

ciri dari kelompok teroris yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-relegius, relegius

baru, revolusioner sosial, dan teroris sayap kanan.334

Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme ditinjau dari empat

macam pengelompokan, yaitu :

1) Karakter organisasi yang meliputi : organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan

hubungan internasional.

2) Karakteristik operasi meliputi : perencanaan, waktu, taktik, dan kolusi.

3) Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan

membunuh, dan keinginan menyerah hidup-hidup.

333 Ari Wibowo, Op.cit, h. 57

334

Abdul Wahid, dkk., Op.cit h. 33

Page 96: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

4) Karakteristik sumber daya, antara lain meliputi: latihan/kemampuan,

pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan

transportasi.335

Selain keempat karakteristik di atas, Loudewijk F. Paulus juga

menggolongkan beberapa karakteristik lainnya jika dilihat dari jenis terorisme gaya

baru, yaitu :

1) Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.

2) Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional

secepat mungkin.

3) Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah

dilakukan.

4) Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama

dengan luasnya permukaan bumi.336

Dari karakteristik-karakteristik terorisme gaya baru tersebut dapat menyerang

tempat ibadah, hotel, supermarket, kantor pemerintahan, tempat hiburan, lembaga

pendidikan, alat transportasi, dan fasilitas umum lainnya tanpa bisa dikendalikan.

Menurut pendapat James H. Wolfe terdapat delapan karakteristik terorisme,

yaitu :

1) Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun

nonpolitis.

335 Mahrus Ali, Op.cit, h. 6

336

Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 34

Page 97: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2) Objek sasaran bisa dari sipil (fasilitas umum) maupun non sipil (fasilitas

militer).

3) Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi

kebijakan pemerintah negara.

4) Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum

internasional atau etika internasional.

5) Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan gangguan

psikologis untuk masyarakat.

6) Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional, yaitu aksi

tersebut dapat dilakukan baik dari warga negara Indonesia itu sendiri, warga

negara asing, atau gabungan dari warga negara Indonesia dengan warga

negara asing.

7) Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah mendapat perhatian media massa

dan untuk menarik perhatian publik.

8) Aktivitas terorisme memiliki nilai mengagetkan dengan maksud menyita

perhatian publik.337

Berkaitan dengan karakteristik keempat di atas, pelanggaran dalam hukum

internasional dapat dilihat dalam peristiwa bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober

2012. Dalam peristiwa tersebut terdapat unsur sengaja untuk menyerang penduduk

sipil yang mayoritas para korbannya adalah warga negara asing.

337 Ibid, h.35-36

Page 98: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Abdul Latif mengemukakan bahwa karakteristik terorisme antara lain :

a) Membenarkan penggunaan kekerasan.

b) Penolakan terhadap adanya moralitas.

c) Penolakan terhadap berlakunya proses politik.

d) Meningkatnya totaliterisme.

e) Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untuk mempertahankan diri.338

Mengenai karakteristik terorisme ini, Paul Wilkinson juga memberikan

pendapatnya yaitu dalam aksi teror yang sistematik, rapi, dan dilakukan oleh teroris

politis memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) Merupakan intimidasi yang memaksa.

2) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana

untuk suatu tujuan tertentu.

3) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat

syaraf, yakni membunuh satu untuk menakuti seribu orang.

4) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi tujuannya adalah

publisitas.

5) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara

personal.

6) Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup keras, misalnya

berjuang demi agama dan rasa kemanusiaan.339

Bijak Subianto mengatakan bahwa paling tidak terdapat sebelas karakteristik

terorisme, yaitu :

338 Mahrus Ali, Loc.cit, h. 6

339

Ibid, h. 8-9

Page 99: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

1. Aksi terorisme merupakan suatu bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu

kelompok) untuk menekan pemerintah dan/atau masyarakat, agar menerima

tuntutan perubahan sosial maupun politik yang secara umum bernuansa

dan/atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal.

2. Spektrum motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya memiliki

spektrum yang beragam.

3. Komunitas yang sangat spesifik dalam artian ada semacam komunitas

manusia yang terus menerus dicaci maki, ditekan, sehingga terjadi

perlawanan dengan aksi terorisme untuk mempertahankan dirinya dalam

bentuk pembalasan.

4. Aksi terorisme bekerja secara profesional dan dilindungi oleh suatu bentuk

organisasi.

5. Sangat sulit dilacak

6. Upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner, dalam arti

dapat diselesaikan secara hukum, politik, administrasi, dan sebagainya.

7. Secara organisatoris baik dalam pembinaan, pengembangan, dan operasinya

memiliki sayap politik, ekonomi, sosial, dan sayap militer.

8. Selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara, baik

pertukaran intelijen, pelatihan, dan perlengkapan operasi.

9. Dari segi penampilan para teroris sering mengecoh aparat keamanan dan

masyarakat luas dengan penampilan fisik dan identitas yang sering berubah.

Page 100: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

10. Aksi teroris lebih gesit dan lincah daripada aparat yang bertanggungjawab

menanganinya.

11. Adanya doktrin-doktrin dalam operasi terorisme yang harus digunakan

sebagai petunjuk pelaksaan, teknis, dan taktis di lapangan.340

Dalam menganalisa tindak pidana terorisme, tidak hanya diperlukan

karakteristik dari terorisme itu saja, namun penting pula diketahui mengenai tipologi

terorisme. Analisa tipologi merupakan salah satu upaya dalam pemberantasan

terorisme. Tipologi terorisme digunakan untuk mengetahui penyebab, strategi, dan

tujuan yang hendak dicapai dari terorisme tersebut.

Mengenai tipologi terorisme ini, Paul Wilkinson menggolongkannya menjadi

4 (empat) macam, yaitu :

1. Terorisme Epifenomenal merupakan terorisme yang berciri-ciri tidak

terencana rapi dan terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit.

2. Terorisme Revolusioner merupakan tipologi terorisme kedua yang bertujuan

untuk mengadakan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada

dengan ciri-ciri selalu berkelompok, struktur kepemimpinan, program,

ideologi, konspirasi, elemen para militer.

3. Terorisme Sybrevolusioner yang bermotifkan politis dengan ciri-ciri

dilakukan oleh kelompok kecil bahkan individu dan sulit diprediksi.

4. Terorisme Represif yang merupakan terorisme yang bermotifkan menindas

individu atau kelompok yang tidak dikehendaki oleh penindas dengan cara

340 Ibid ,h. 6-7

Page 101: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

likuidasi yang berciri-ciri teror massa, terdapat aparat teror, polisi rahasia,

teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan dimasyarakat.341

Mulai menggolongkan tipologi terorisme menjadi 5 (lima) macam yang

dikutip dari National Advisory Committee dalam the Report of the Task Force on

Disorder and Terrorism. Tipologi terorisme tersebut yaitu :

a. Terorisme politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan kekerasan

untuk menimbulkan ketakutan dalam masyarakat dengan tujuan politik.

b. Terorisme non-politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk kepentingan

pribadi termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.

c. Quasi terorisme adalah gambaran aktivitas yang bersifat isidental untuk

melakukan kekerasan yang menyerupai terorisme, tapi tidak mengandung

unsur esensialnya.

d. Terorisme politik terbatas menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan

untuk tujuan politis tetapi tidak untuk menguasai pengendalian negara.

e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism) adalah terorisme

yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.342

Berdasarkan macam-macam tipologi terorisme tersebut dapat membantu

menganalisa cara-cara yang umum digunakan dalam tindakan terorisme, diantaranya

adalah pengeboman/teror bom, pembajakan, serangan militer dan pembunuhan,

perampokan, penculikan dan penyanderaan, dan dengan cara serangan bersenjata.

341 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 35

342

Mahrus Ali, Op.cit, h. 9

Page 102: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Motif dari tindak pidana terorisme tersebut bersifat kompleks, karena tidak

hanya dari faktor psikologis, namun juga faktor politik, agama, sosiologis, sosial

budaya dan faktor lain yang bersumber daripada tujuan yang ingin dicapai.

c. Sejarah Terorisme

Fenomena terorisme sebenarnya sudah lebih dahulu ditunjukkan, daripada

mengenal istilah teror dan terorisme. Istilah teror dan terorisme mulai popular pada

abad ke-18. Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) menyebutkan

bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi

baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang

dikeluarkan Akademi Perancis tahun1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem

rezim teror.343

Menjelang terjadinya Perang Dunia I terorisme hampir terjadi di seluruh

belahan dunia. Pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa

Barat, Rusia, dan Amerika. Hal tersebut terjadi karena negara tersebut meyakini

bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik

maupun sosial dengan membunuh orang-orang yang berpengaruh.

Pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki dan

berakhir dengan bencana pembunuhan missal terhadap warga Armenia pada Perang

Dunia I. Aksi terorisme tersebut diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri

yang berbasiskan ideologi.

343 Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing, Aceh, h.24

Page 103: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Diakhir abad ke-19, memasuki abad ke-20, dan menjelang Perang Dunia II

aksi terorisme digunakan sebagai teknik perjuangan revolusi. Pada jaman Revolusi

Perancis inilah kata teror mulai dikaitkan pada politik. Kata teror digunakan untuk

menyebut tindakan pemerintah yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan

berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan

anti pemerintah.

Sebelum Perang Dunia II terjadi bentuk pertama terorisme yaitu dilakukan

dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua

terorisme terjadi di Aljazair pada tahun 1950-an dengan serangan terhadap

masyarakat sipil untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh

Algerian Nationalist dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga

terorisme dikenal dengan istilah Terorisme Media berupa serangan kepada siapa saja

untuk tujuan publisitas yang muncul pada tahun 1960-an.344

Fenomena terorisme meningkat sejak memasuki tahun 1970-an. Terorisme

mengalami perkembangan, tidak hanya dalam politik tetapi sudah masuk dalam

sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan,

gerilya, dan sebagai sarana menegakkan kekuasaan.345

Memasuki tahun 1990-an, tindakan terorisme mengalami perkembangan dari

segi anggotanya yang multibangsa serta tidak mengenal batas negara. Pelaku

344 Ibid

345

Gede Agung Patra Wicaksana, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme di

Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana,

Denpasar, h. 51

Page 104: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

terorisme membentuk kelompok dengan berbasis jaringan, bukan basis negara. Aksi

ini terlihat pada tragedi WTC yang menewaskan ribuan orang.

Terorisme adalah tindakan kekerasan dengan menggunakan segala cara untuk

mencapai suatu tujuan, baik dalam bentuk pembajakan, penyanderaan, pengeboman,

dan sebagainya. Tindakan tersebut tentu saja sangat merugikan masyakarat sipil yang

tidak jarang menjadi korban. Tindakan terorisme bukanlah tindakan kriminal biasa,

karena dilakukan tidak spontan, melainkan dilakukan secara sistematis, terorganisir,

dam terencana secara apik sehingga menimbulkan dampak yang luas.

Page 105: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB III

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

3.1. Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme

Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme

Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum (Machstaat) yang

berlandaskan Pancasila. Setiap perbuatan warga harus ada keselarasan dengan norma-

norma hukum atau perbuatan mana yang dilakukan warga yang dikategorikan

melawan hukum. Mengikuti beberapa pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu negara hukum yaitu :

1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.

2. Legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang).

3. Pembagian kekuasaan.

4. Peradilan administrasi.

Sebagai negara hukum, Indonesia mengacu pada beberapa unsur tersebut

dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Beberapa unsur negara hukum yang

berhubungan dengan kejahatan terorisme adalah pengakuan dan perlindungan hak

asasi manusia dan legalitas. Penanganan tindak pidana terorisme secara hukum

Page 106: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

berarti mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, tuntutan

menegakkan independensi peradilan, dan bentuk implementasi hukum.346

Melalui produk hukum, negara wajib melindungi harkat dan martabat

manusia. Bentuk penghormatan dan perlindungan yang harus diberikan oleh negara

adalah berupa penegakan hukum terhadap setiap perbuatan yang dikategorikan

kejahatan. Penegakan hukum tersebut akan menentukan citra negara hukum. Negara

hukum wajib menempatkan rakyat sebagai subjek yang harus dilindungi. Bentuk

perlindungan yang ditunjukkan berupa penegakan hukum (law enforcement).

Penegakan hukum dalam kejahatan terorisme diwujudkan dengan bentuk

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi

Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Selain itu digunakan pula peraturan

lainnya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penegakan hukum

tersebut merupakan perlindungan hukum represif yang berfungsi untuk

menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat tindak pidana terorisme yang terjadi.

Berkaitan dengan penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme ini, tidak

terlepas dari penjatuhan pidana bagi pelaku. Beberapa pelaku tindak pidana terorisme

dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana mati dalam kasus tindak pidana terorisme

bom Bali didasarkan pada beberapa ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan

di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-

Undang Tindak Pidana Terorisme. Khusus mengenai Undang-Undang Tindak Pidana

346 Abdul Wahid, dkk., Op. Cit, h.67

Page 107: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Terorisme, digunakan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu), yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan

Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Penggunaan Perpu ini bertujuan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana

terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme diberbagai tempat

telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial sehingga mendesak

untuk dikeluarkan Perpu guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi

pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.

Perpu tersebut didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan

membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi

internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta

merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena

terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional. Kejahatan tersebut

menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, merugikan

kesejahteraan masyarakat, serta terganggunya hubungan antar negara.

Perpu ini juga memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme

yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan

merupakan wujud perlakukan yang bersifat diskriminatif, melainkan merupakan

Page 108: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Convention Against Terrorist

Bombing Tahun 1997 dan Convention on the Supression of Financing Terrorism

tahun 1999.

Penerbitan Perpu itu didasarkan pada hak prerogatif Presiden, sesuai dengan

Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, yang pada Pasal 3 Ayat (4), menegaskan, dalam

keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menerbitkan Perpu.

Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Awal gagasan penyusunan undang-undang pemberantasan terorisme di

Indonesia bertolak pada kenyataan perkembangan situasi Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) dan peperangan tidak kunjung selesai antara pasukan TNI dan GAM. Ketika

penyusunan tengah dilakukan dan hampir final maka terjadi peristiwa Bom Bali I

(Tahun 2002) sehingga penyusunan draft ruu dipercepat dan diubah bentuk menjadi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yaitu Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dan disahkan DPR RI dengan Undang-Undang RI 15 Tahun

2003.347

Dengan undang-undang tersebut maka ancaman dan serangan terorisme baik

yang bersifat internasional maupun kegiatan terorisme lokal atau nasional yang

347 Romli Atmasasmita, 2014, Pemberantasan Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan

Internasional, Bahan Pendidikan & Pelatihan Hakim PerkaraTerorisme & Peradilan Umum Seluruh

Indonesia tanggal 10-15 Maret 2014, Jakarta, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I), h.2

Page 109: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

memuat aspek internasional juga dapat mencegah intervensi pihak asing dengan

alasan memerangi terorisme internasional.348

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penanggulangan tindak pidana terorisme

di Indonesia tidak terlepas dari adanya kebijakan hukum pidana sebagai bentuk reaksi

sosial dan masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh March Ancel yang menyatakan

bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the control of crime by

society”349

(upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan).

Sehingga peran besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak

terelakkan.350

Berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan pada para terdakwa tindak pidana

terorisme bom Bali, dijelaskan dalam putusan pengadilan. Setiap putusan pengadilan

harus disertai dengan bahan pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan

putusan tersebut. Hal ini ada di dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa : “Dalam sidang

permusyawarahan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat

tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari putusan”.

348 Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo, Bandung,

(Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II), h.87

349

March Ancel, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem, Rontledge and

Kega Paul, London, h.208-209

350

Johannes Andenaes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend B

Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London, h.86-90

Page 110: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mengenai Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa : “putusan pengadilan

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemindahan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan dalam hal serta

cara yang diatur undang-undang ini. Jadi seorang terdakwa dapat dijatuhi pidana

apabila terdakwa jika di dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan

melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, dalam persidangan hakim harus

menyebutkan perbuatan terdakwa yang mana sesuai fakta terungkap dipersidangan

dan memenuhi rumusan pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, hakim harus merumuskan perbuatan terdakwa yang memenuhi

rumusan pasal yang menunjukan adanya tindak pidana terorisme.

Untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku dalam kasus pengeboman

yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 bertempat di Legian Kuta Bali tersebut,

Hakim mengambil keputusan dengan mengacu pada beberapa pasal yaitu dalam

bentuk primair, subsidair, lebih subsidair, dan lebih subsidair lagi.

Untuk dasar hukum primairnya didasarkan pada Pasal 14 jo Pasal 6 Perpu No.

1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2

Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP. Pasal ini mengenai Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di Bali

dengan ancaman mati atau pidana penjara seumur hidup.

Page 111: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Kemudian untuk dasar hukum yang subsidair yaitu Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun

2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun

2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dasar hukum yang lebih subsidair adalah Pasal 15 jo Pasal 6 Perpu No. 1

Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2

Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Terdakwa bersama

teman-temannya telah melakukan Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di

Bali.

Lebih subsidair lagi adalah Pasal 9 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1

Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Terdakwa telah

memperoleh, menguasai, membawa, mempunyai dalam miliknya, menyimpan,

mengangkut suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan

maksud melakukan tindak pidana terorisme.

Dalam Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003

tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, menjadi Undang-Undang, dinyatakan bahwa :

“setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain

atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital

Page 112: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas

internasional, dipidana dengan pidana mati …”

Maksud dari kekerasan menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 Undang-

Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

adalah perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan

sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan

kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

Sedangkan pengertian ancaman kekerasan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang

No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu

setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau

peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut

terhadap orang atau masyarakat secara luas.

Dengan melihat kasus terorisme bom Bali, yang mengakibatkan 202 orang

meninggal dunia, 325 orang luka-luka sehingga akibat dari kejadian tersebut telah

menimbulkan adanya kekerasan yaitu banyaknya orang yang meninggal dunia dan

banyaknya orang yang terluka hingga pingsan dan menjadi tidak berdaya. Adanya

ancaman kekerasan juga terlihat dari peristiwa bom Bali tersebut. Ancaman

kekerasan tersebut berupa perasaan takut dan khawatir yang melanda warga negara

Indonesia, khususnya warga masyarakat Bali. Tidak menutup kemungkinan pula

Page 113: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

ancaman tersebut juga berimbas pada warga negara asing yang sedang dan akan

berkunjung ke Bali.

Lebih khusus lagi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku adalah karena tidak

hanya sebagai orang yang langsung bertindak sebagai pelaku, namun juga sebagai

otak atau pencetus dan perencana tindak pidana terorisme tersebut. Oleh karena itu

Hakim mengacu pula pada Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu : “setiap orang yang

merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana

terorisme dipidana dengan pidana mati …”

Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme tersebut relevan dengan Pasal 55 KUHP. Dasar hukum

tersebut mempertimbangkan unsur dari adanya keterlibatan dalam hal orang yang

melakukan, turut serta melakukan, menyuruh orang lain melakukan perbuatan.

Digunakannya dasar hukum Pasal 55 KUHP tersebut karena dalam Perpu No. 1

Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme tidak memberikan penjelasan secara spesifik tentang apa yang

dimaksud dengan pengertian “orang yang melakukan, turut serta melakukan,

menyuruh orang lain melakukan perbuatan”.

Page 114: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Untuk membentuk persepsi mengenai pengertian tersebut, maka digunakan

pendekatan berdasarkan teori-teori dalam hukum pidana yang kemudian dikaitkan

dengan hukum positif di Indonesia yaitu KUHP. Dalam KUHP khususnya Pasal 55

mengatur mengenai penyertaan (Deelneming). Pasal 55 KUHP menyatakan bahwa :

[1] Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut

serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana

atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

[2] Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang

diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Dari perumusan Pasal 55 KUHP tersebut yang dapat diklasifikasikan sebagai

pelaku ada 4 (empat) macam yaitu :

1) Mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen).

2) Mereka yang menyuruh melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen).

3) Mereka yang turut serta melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen).

4) Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (menganjurkan) orang lain untuk

melakukan suatu perbuatan pidana (uitloking).351

Dengan dasar persepsi yang telah terbentuk dari pengertian dan maksud dalam

unsur-unsur pasal tersebut serta dikaitkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada lokasi

kejadian, yang terjadi dipersidangan, dan keterangan-keterangan para saksi maka aksi

terorisme bom Bali tersebut memang dikehendaki oleh para pelaku. Para pelaku telah

351 I Made Widnyana, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana II) hal.33

Page 115: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

memiliki kesadaran akan tugas-tugasnya dalam rangka mewujudkan tujuan yang

hendak dicapainya, yaitu perang terhadap Amerika dan sekutunya. Tujuan tersebut

terlaksana karena adanya kerjasama yang telah disepakati dan terperinci dengan

tugasnya masing-masing diantara para pelaku.

Penjatuhan pidana mati pada beberapa terdakwa berkaitan dengan Pasal 55

KUHP berdasar pada terdapatnya syarat Doen Plegen pada beberapa pelaku, yaitu

bahwa si penyuruh tidak harus melakukan sendiri secara langsung melainkan cukup

dengan menyuruh orang lain. Hal tersebut didasarkan pada keterangan-keterangan

para saksi yang juga sekaligus sebagai pelaku tindak pidana terorisme tersebut. Dari

fakta-fakta dan bukti-bukti tersebut terlihat adanya peranan pelaku yang bekerja di

belakang layar sebagai koordinator peledakan bom di Bali ini yang juga dapat

dikatakan sebagai Actor Intellectual atau Intellectual Dader. Selain adanya Actor

Intellectual, adapula pelaku yang bertugas sebagai eksekutor, seperti pelaksana

dilapangan, peracik dan perakit bom, pembeli bahan-bahan peledak, dan sebagainya.

Maka menurut KUHP pelaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara

bersama-sama merencanakan tindak pidana terorisme.

Dalam tindak pidana terorisme bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober

2002 tersebut, sebanyak 3 (tiga) pelaku yang dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana

mati tersebut dilakukan karena terbukti telah merencanakan dan menggerakkan orang

lain untuk aksi yang mereka lakukan. Ketentuan pasal ini ditujukan terhadap Actor

Intellectual. Maksud merencanakan dalam ketentuan ini adalah tindakan yang

Page 116: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

termasuk mempersiapkan baik secara fisik, financial, maupun sumber daya manusia

yang mendukung aksi terorisme yang mereka inginkan. Makna menggerakkan orang

lain ini adalah melakukan hasutan dan provokasi untuk tercapainya suatu tujuan

dengan memberikan hadiah atau uang atau janji-janji.

Dalam suatu jaringan teroris, terdapat beberapa tingkatan pelaku, yaitu pada

tingkat pertama adalah para teroris pemegang kendali operasi termasuk menyusun

rencana dan menetapkan tujuan, pengawas dari sebuah jaringan teroris. Bagian ini

merupakan bagian yang tergolong sedikit anggotanya, tetapi memiliki pengaruh

sangat besar dalam jaringannya. Berkaitan dengan terorisme bom Bali tersebut,

bagian ini dilakukan oleh Imam Samudera yang disebut sebagai perencana penentu

sasaran dan pengendali operasi. Sedangkan Amrozi dan Ali Gufron disebut sebagai

perencana pengeboman. Akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan

untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku terorisme bom Bali tersebut.

Tingkatan yang kedua adalah para pelaku pelaksana lapangan aksi-aksi

terorisme. Pada tingkatan ketiga adalah para pendukung aktif yang merupakan bagian

yang cukup besar dalam suatu jaringan teroris. Tugas mereka adalah menjaga

kelangsungan kegiatan bagian lain dilapangan seperti, menyediakan dan menjaga

jaringan komunikasi, menyiapkan dan menyediakan tempat persembunyian dan

tempat perencanaan, melaksanakan kegiatan pengintaian dan menyediakan dukungan

pendanaan dan logistik.

Page 117: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

3.2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak

Pidana Terorisme Perspektif Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis

Dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, seorang

hakim tidak saja hanya berpedoman pada undang-undang, namun hakim juga

mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain karena seorang hakim memiliki

kebebasan mandiri untuk menentukan putusannya. Selain kebebasan mandiri, seorang

hakim memiliki kebebasan mutlak dan tidak dicampuri oleh pihak lain. Hal ini

disebabkan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif serta

kebebasan yang dimiliki harus berdasarkan rasa keadilan baik terhadap terdakwa

maupun masyarakat dan bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam menjatuhkan putusan, hakim mengalami tingkat kesulitannya

tersendiri, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terdapat beberapa

pendekatan-pendekatan yang dipergunakan hakim dalam mempertimbangkan

pemidanaan, diantaranya :

1. Pendekatan Keseimbangan

Yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang

dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara

yaitu masyarakat, korban, dan terdakwa.352

2. Pendekatan Seni (art) dan Intuisi

352 Bagir Manan, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Jakarta, h.51

Page 118: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Pemidanaan adalah diskresi hakim, maka dalam penjatuhan pidana hakim

akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap

pelaku. Hal ini disebut dengan seni menjatuhkan pidana. Sebagai suatu seni,

hakim lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan.353

3. Pendekatan Keilmuan

Bertolak dari proses pemidanaan harus dilakukan secara sistematik dan

kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu

dalam rangka menjamin konsistensi putusan.354

4. Pendekatan Pengalaman

Pengalaman-pengalaman yang panjang sangat berpengaruh pada cara-cara

hakim menjatuhkan putusan seperti pemidanaan.355

Penjatuhan pidana mati bagi 3 (tiga) pelaku tindak pidana terorisme bom Bali

tersebut para Hakim memiliki alasan-alasan dan dasar pertimbangan sendiri. Dalam

kasus terorisme bom Bali tersebut, tidak semua pelaku dijatuhi pidana mati.

Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim

disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku.

Majelis Hakim dapat menyimpulkan dan mempertimbangkan putusannya dari

bukti-bukti, kenyataan-kenyataan atau keadaan-keadaan yang diketahui selama

melakukan pemeriksaan terhadap pelaku di depan persidangan Pengadilan. Untuk alat

bukti yang di hadirkan di dalam persidangan harus saling berkaitan antara alat bukti

353 Ibid, h.55-56

354

Ibid, h. 56

355

Ibid

Page 119: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

satu dengan alat bukti yang lainnya. Hal tersebut dilakukan agar hakim dapat

membuktikan dan memberikan keyakinan hakim serta hakim mendasari pada hati

nurani, tanpa ada kepentingan apapun.

Pertimbangan-pertimbangan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :

1. Perspektif yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama yang didasarkan

pada peraturan perundang-undangan;

2. Perspektif filosofis, mempertimbangkan pada kebenaran dan keadilan;

3. Perspektif sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup

dan berkembang dalam masyarakat.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut keadilan yang dicapai,

diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang

berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan

keadilan masyarakat (social justice).356

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat yang tentunya memcerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan substantif (materiil)

yang sesuai dengan hati nurani hakim, bukanlah keadilan prosedural (formil).

Tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan

sebagai kejahatan biasa. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan

dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against

356 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar

Grafika, Jakarta, h.126

Page 120: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

humanity). Sehingga pemberantasan dan penanggulangannya tentu berbeda dengan

kejahatan-kejahatan biasa. Dengan menjatuhkan pidana mati pada pelaku tindak

pidana terorisme, maka hal tersebut dapat memberikan efek jera di tengah

masyarakat. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan

yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka

lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa.

Salah satu alasan penjatuhan pidana mati oleh Hakim dalam tindak pidana

terorisme, dapat dikaitkan dengan teori tujuan atau teori relatif (doel theorien) yang

bersifat menakut-nakuti dalam teori pemidanaan. Alasan Hakim menjatuhkan pidana

mati bagi pelaku tindak pidana terorisme adalah bukan karena pelaku membuat

kejahatan, melainkan agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat di sini

bukanlah menekankan pada aspek pembalasannya tetapi lebih pada aspek

menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut.

Menurut salah satu Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar, dalam

wawancara pada tanggal 27 Februari 2014 yaitu Hakim Hasoloan Sianturi

memberikan pendapatnya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

suatu putusan pidana dalam proses peradilan, khususnya dalam hal mengadili suatu

kejahatan. Dikatakan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara melakukan

serangkaian tindakan dimulai dari menerima, memeriksa, dan memutus perkara

pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan. Hal

tersebut sesuai dengan isi dari Pasal 1 angka 9 KUHAP.

Page 121: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Dari serangkaian tindakan-tindakan tersebut, seorang hakim dituntut untuk

mempertimbangkan hasil pemeriksaan di depan persidangan yaitu dari keterangan

para saksi, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti hingga mendapatkan

fakta-fakta dalam persidangan yang akan dijadikan tolak ukur untuk memberikan

vonis kepada terdakwa. Lebih lanjut Hasoloan Sianturi kurang setuju terhadap

penerapan sanksi pidana mati dalam menilai keefektifan dari suatu pidana terhadap

kejahatan yang dilakukan. Hal tersebut dinilai kurang sesuai dengan hati nurani dan

ajaran agama yang dianut oleh Hasoloan Sianturi sendiri. Meskipun dalam tindak

pidana tersebut terdapat ancaman maksimumnya adalah pidana mati.

Dari beberapa negara saat ini, seperti Swiss, Australia, Italia, Jerman telah

menghapus pidana mati, namun demikian di negara lain sampai saat ini masih

mempertahankan pidana mati sebagai sarana pemulih atas perbuatan-perbuatan yang

sangat tercela, perbuatan yang sangat menggoncangkan rasa keadilan di tengah-

tengah masyarakat. Pidana mati dapat diterapkan ketika tindak pidana terorisme

menimbulkan korban dalam skala besar dan pelakunya dianggap sudah sulit untuk

diperbaiki.357

Dalam wawancara pada tanggal 17 Maret 2014, Hakim Putu Gde Hariadi

yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memiliki pendapat bahwa

pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali merupakan pelaku yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, karena pelaku melakukan tindak pidana

357 Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 75

Page 122: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

terorisme tersebut didasarkan atas kesadaran, niat dan terencana. Ini memberikan

konsekuensi bahwa dari hal tersebut sudah patut hakim memberikan pertimbangan

untuk menjatuhkan pidana yang seberat-beratnya kepada pelaku, bahkan hukuman

mati sekalipun. Karena dalam Undang-Undang Terorisme dan KUHP masih

diakuinya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentu didukung dari

bukti-bukti serta dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut. Namun

hakim harus cermat dan teliti dalam mempertimbangkan hukuman mati tersebut,

karena pelaku tindak pidana terorisme memiliki peran dan tugas yang berbeda-beda

dalam pelaksanaannya.

Hakim Pengadilan Negeri Denpasar lainnya yaitu Cening Budiana memiliki

pendapat yang sama dengan Hakim Putu Gde Hariadi. Meskipun Cening Budiana

menjatuhkan pidana seumur hidup bagi salah satu pelaku tindak pidana terorisme

Bom Bali, namun tidak menutup kemungkinan Cening Budiana akan menjatuhkan

pidana mati bagi pelaku. Penjatuhan pidana tersebut didasarkan atas pertimbangan-

pertimbangan yang berdasar pada aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Dengan

lebih mencermati fakta-fakta hukum dalam persidangan, bukti-bukti, serta dampak

yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Hakim harus memiliki hati nurani yang

bersifat objektif dalam menangani suatu perkara. Hakim harus mempertimbangkan

keadilan dari semua pihak, yaitu pihak korban, pelaku, dan masyarakat. Bom Bali

tersebut tidak hanya merugikan masyarakat Bali saja, namun juga berdampak pada

masyarakat Indonesia bahkan hingga tingkat Internasional.

Page 123: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana mati ini yang juga berkorelasi

dengan Desert Theory (teori ganjaran) yang menggambarkan pemikiran tentang

proporsionalitas dalam pemidanaan. Jadi beratnya sanksi pidana harus seimbang

dengan kesalahan yang dilakukan pelaku. Penjatuhan pidana harus diukur

berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh pelaku tindak pidana.

Sehingga pertimbangan Hakim menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana

terorisme dirasa cukup adil dan berdasar pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Pertimbangan penjatuhan pidana mati secara perspektif yuridis masih sah

untuk dijatuhkan pada beberapa tindak pidana karena sampai saat ini masih jelas

secara formal termuat dalam Pasal 10 KUHP dinyatakan dan diakuinya pidana mati

sebagai pidana pokok. Hal tersebut berkaitan dengan konsep negara hukum, yaitu

menurut Friedman, negara hukum mengandung arti pembatasan kekuasaan negara

oleh hukum. Maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa karena belum adanya

peninjauan maupun pencabutan atas pidana mati, maka dengan demikian pidana mati

masih diperlukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Hukum Pidana

Positif. Sehingga penjatuhan pidana mati tidak melebihi batas kekuasaan negara

karena telah sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia.

Penjatuhan pidana mati tetap diputuskan oleh Majelis Hakim dengan

pertimbangan filosofis yakni siapapun yang melakukan tindak pidana terorisme dan

bertentangan dengan kehidupan manusia yang beradab, haruslah dipandang sebagai

masalah hukum dan penegakan hukum, dan juga merupakan masalah sosial budaya

Page 124: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

yang berkaitan erat dengan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan ketahanan bangsa

dan negara. Kebijakan tersebut adalah upaya pencegahan yang ditujukan untuk

memelihara keseimbangan dan kewajiban melindungi kehidupan berbangsa dan

bernegara serta rasa keadilan bagi masyarakat. Berkaitan dengan pertimbangan hakim

dari perspektif yuridis, berkorelasi dengan teori dari Zevenbergen berpandangan

bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud

melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan

mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan.

Pertimbangan yang ditinjau dari perspektif sosiologis adalah terlihat pada

perbedaan penjatuhan pidana terhadap pelaku yang berkaitan dengan tindak pidana

terorisme yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikaji dengan ketentuan Pasal 5 ayat

(1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa : “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”.

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,

hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.

Page 125: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Pasal 5 ayat (1) dan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim

dalam menjatuhkan pidana ringan atau berat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Pelaku tindak pidana terorisme tersebut tidak hanya 1 (satu) pelaku, melainkan

beberapa pelaku karena mereka bekerja secara jaringan dan memiliki peran dan tugas

masing-masing. Artinya, meskipun tindak pidana teorisme tersebut termasuk tindak

kejahatan luar biasa, maka seorang hakim juga harus mempertimbangkan nilai-nilai

atau norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat dan sifat baik para pelaku

selain melihat berat ringannya peran yang dilakukan dari masing-masing pelaku.

Misalnya, norma yang berlaku di Madura adalah bahwa bagi pengganggu istri orang

harus dibunuh, karena perbuatan tersebut melecehkan harga diri dan seluruh keluarga.

Pada sebagian besar masyarakat Madura, nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat

tersebut dijunjung tinggi dan berlaku sampai saat ini dengan tujuan untuk

mempertahankan hak-haknya dari gangguan orang lain, sehingga hal tersebut menjadi

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana ringan pada terdakwa.

Demikian juga dalam persidangan, jika pelaku tindak pidana terorisme selalu

menunjukkan sifat kooperatif, sopan, dan berkata jujur, semua itu menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan yang pidana yang lebih ringan dari pidana

pelaku lainnya.

Dari fakta-fakta yang dikumpulkan di persidangan, pelaku terbukti telah

merencanakan dan melakukan tindak pidana terorisme yang dengan sengaja

Page 126: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror

atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban secara massal

yakni berupa hilangnya nyawa kurang lebih sebanyak 202 (dua ratus dua) orang serta

korban luka-luka kurang lebih 325 (tiga ratus dua puluh lima) orang dari berbagai

bangsa dan negara. Selain itu mengakibatkan terjadinya kerusakan fasilitas publik

berupa rusaknya jaringan telepon, listrik, saluran air PDAM yang menelan nilai

kerugian ratusan juta rupiah. Menghancurkan dan merusak pula bangunan-bangunan

disekitar tempat terjadinya tindak pidana terorisme sejumlah 422 (empat ratus dua

puluh dua) unit.

Persiapan yang dilakukan oleh para terdakwa tergolong persiapan matang.

Dimulai dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan para terdakwa di beberapa tempat

guna membicarakan rencana dan target pengeboman yang akan mereka lakukan.

Kemudian dari pertemuan tersebut dipersiapkan pula akomodasi seperti rumah

kontrakan yang digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan dan tempat

untuk merakit bom. Tipe rumah yang disiapkan pun adalah rumah yang memiliki

garasi untuk memudahkan para terdakwa bekerja merakit bom. Persiapan selanjutnya

adalah melakukan survei kelapangan dengan cara berkali-kali melewati Jalan Legian

Kuta untuk melihat banyaknya orang asing yang berada di Bali untuk menentukan

sasaran peledakan bom.

Rangkaian-rangkaian kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka melakukan

pengeboman di Legian dan Renon tersebut bermula dari pertemuan-pertemuan para

Page 127: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

terdakwa pada bulan Agustus 2002 hingga persiapan-persiapan yang dilakukan di

Bali pada bulan Oktober 2002 terdapat tenggang waktu yang cukup yaitu sekitar 2

bulan sehingga terdapat kesempatan yang matang bagi terdakwa untuk berpikir

tenang dalam membuat rencana peledakan bom Bali. Berdasarkan rangkaian-

rangkaian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbuatan

perencanaan untuk melakukan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh terdakwa

dan unsur merencanakan untuk melakukan tindak pidana terorisme telah terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Perencanaan terhadap kasus terorisme bom Bali ini berkaitan pula dengan niat

batin para pelaku yang menjadi tujuan terdakwa untuk memerangi orang Amerika

dan sekutunya. Hal tersebut diwujudkan dengan cara merencanakan peledakan bom

di Bali dengan pertimbangan Bali banyak didatangi oleh wisatawan asing yang oleh

terdakwa dianggap sebagai orang-orang Amerika dan sekutunya. Meskipun tujuan

utama adalah memerangi warga negara Amerika dan sekutunya, namun para

terdakwa menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan akan berdampak pula pada

beberapa orang yang bukan sasaran target untuk diperangi, seperti misalnya warga

negara Indonesia khususnya masyarakat Bali. Dari perencanaan tersebut dilanjutkan

dengan pembagian tugas masing-masing terdakwa.

Tindakan-tindakan para tersangka dilakukan dengan kesadaran penuh, yakni

hendak melakukan pembalasan terhadap perlakukan orang-orang Amerika di

Afghanistan dan untuk itu terdakwa menyadari akibat yang timbul dari perbuatannya

Page 128: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

tersebut. Terdakwa juga bahkan memang menghendaki akibat yang terjadi dengan

peledakan bom di Kuta Bali tersebut dengan harapan warga asing yang dianggap oleh

terdakwa sebagai orang Amerika dan sekutunya tersebut menjadi celaka dan

menderita atau tidak berdaya bahkan mati. Sehingga tindakan terdakwa tersebut

adalah merupakan kesengajaan. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja adalah

merupakan sikap batin pelaku. Pelaku mengetahui, menghendaki atau mengerti

tentang perbuatan yang dilakukan serta akibat dari perbuatannya tersebut, dengan

melihat dari rangkaian-rangkaian perbuatan pelaku, keterangan serta hasil

pemeriksaan saksi-saksi di depan persidangan.

Tindakan pengeboman tersebut dilakukan secara melawan hukum, membuat,

menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki, menyimpan, mengangkut,

menyembunyikan, dan mempergunakan bahan peledak dan bahan-bahan kimia

lainnya yang berbahaya dalam rangka kerjasama untuk tujuan melakukan tindak

pidana terorisme. Para terdakwa yang telah dipidana mati merupakan orang yang

cukup mengerti mengenai masalah bom karena telah mempelajarinya dan berlatih

membuat bom di Afghanistan.

Peledakan bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 tersebut tidak

hanya dilakukan di Paddy’s Pub dan Sari Club Kuta, namun dilakukan juga

peledakan bom di Jalan Puputan Renon Denpasar. Kondisi ini menimbulkan suasana

mencekam dan rasa ketakutan masyarakat yang meluas karena tidak hanya tertuju

pada masyarakat Indonesia pada umumnya serta masyarakat Provinsi Bali pada

Page 129: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

khususnya, namun tindakan terorisme tersebut juga berdampak besar bagi masyarakat

Internasional. Turis-turis asing beramai-ramai meninggalkan Bali. Wisatawan yang

merencanakan untuk berlibur di Indonesia, khususnya Bali membatalkan niat mereka.

Peristiwa tindak pidana terorisme bom Bali ini menjadi perhatian masyarakat

internasional.

Pelaku tindak pidana bom Bali tidak hanya dari warga negara Indonesia saja,

tetapi juga terdapat andil warga negara asing, seperti Singapura. Hal ini menunjukkan

bahwa tindak pidana ini telah bersifat kejahatan lintas negara, terorganisasi dan

bahkan dapat diduga bahwa tindak pidana ini bersifat Internasional. Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438

(2002) yang simpati kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia serta para korban dan

keluarganya; dan menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor

1373 (2001) untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia

untuk mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa itu dan membawanya

ke Pengadilan.358

Sebelum melakukan tindak pidana terorisme bom Bali, para pelaku juga

melakukan tindak pidana terorisme dengan cara pengeboman dibeberapa tempat di

wilayah Indonesia seperti di beberapa gereja di Batam. Terdakwa bom Bali juga

menyimpan dan memiliki senjata api yang tidak memiliki ijin kepemilikan sejata oleh

negara. Jadi tindakan tersebut telah melanggar peraturan dan dapat mengancam

358 O.C. Kaligis, Op.Cit, h.62

Page 130: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

keamanan dan keselamatan masyarakat apabila sampai terjadi penyalahgunaan dari

senjata api tersebut.

Senjata api tersebut digunakan untuk menunjang rencana yang akan mereka

lakukan, salah satunya adalah pengumpulan dana. Mereka secara bersama-sama

menyediakan dana untuk tujuan melakukan tindak pidana terorisme. Dana yang

diperoleh untuk melakukan tindak pidana terorisme bom Bali itu diperoleh dari

perbuatan pidana seperti perampokan dan cara lainnya karena dana yang diperlukan

dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan fakta dipersidangan Majelis Hakim

mempertimbangkan keterangan para saksi, yaitu dalam hal perampokan yang

dilakukan pada Toko Emas Elita di Serang. Salah satu pelaku yang dijatuhi pidana

mati yang merupakan actor intellectual tindak pidana terorisme tersebutlah yang

memberikan pinjaman 2 (dua) pucuk senjata api kepada para pelaku lainnya. Hasil

rampokan kemudian diserahkan dan diterima oleh salah satu terpidana mati. Dari hal

tersebut terlihat bahwa pelaku mengetahui sumber dana tersebut merupakan hasil

kejahatan. Meyakinkan pula secara yuridis bahwa pelaku dengan sengaja

menyediakan dan mengumpulkan dana untuk tujuan digunakan dalam melakukan

tindak pidana terorisme.

Para terdakwa tidak bersedia memberi keterangan dan tidak bersedia

disumpah. Demikian pula Penasehat Hukum para terdakwa keberatan apabila

terdakwa juga memberikan keterangan sebagai saksi dan beranggapan bahwa hal

tersebut bertentangan dengan Pasal 168 KUHAP. Namun Majelis Hakim sudah

Page 131: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

memberikan alasan dan telah menjelaskan bahwa pengertian saksi yang dapat

mengundurkan diri sebagai saksi dengan alasan karena sama-sama sebagai terdakwa

sebagaimana bunyi Pasal 168 KUHAP harus diartikan bahwa diantara saksi dan

terdakwa harus terdapat hubungan saudara dan antara saksi dan terdakwa sama-sama

sebagai terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara yang sama. Selain itu

penolakan terdakwa untuk saling bersaksi di depan persidangan terdakwa lainnya

menurut Majelis Hakim adalah tidak sah. Hal tersebut berdasar pada Yurisprudensi

Mahkamah Agung No. 1989 K/SIP/89 tanggal 21 Maret 1990 disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan pengertian sama-sama sebagai terdakwa dalam pengertian Pasal

168 KUHAP tersebut adalah apabila antara saksi-saksi dan terdakwa adalah sama-

sama selaku terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara. Dalam kasus bom

Bali ini, antara perkara para terdakwa dan perkara para saksi tersebut diajukan dalam

berkas perkara yang berbeda.

Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang dapat memberikan

keyakinan hakim akan terjadinya suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan

alat-alat bukti lain yang digunakan dalam perkara ini. Alat bukti petunjuk ini antara

lain adalah didapat dari keterangan para saksi dan juga para terdakwa bom Bali

tersebut. Keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah dihadapan penyidik.

Meskipun di depan persidangan terdapat ketidaksediaan saksi (terdakwa) untuk

memberikan keterangannya, namun keterangan dalam penyidikan dapat digunakan

sebagai pertimbangan hakim untuk memberikan keyakinan Hakim akan terjadinya

Page 132: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan alat-alat bukti lain yang digunakan

dalam kasus terorisme bom Bali ini.

Selain keterangan dari saksi-saksi yang sekaligus juga menjadi terdakwa,

dipertimbangkan pula keterangan dari saksi-saksi lainnya. Dari keterangan saksi-

saksi tersebut dijelaskan bahwa dampak dari tindakan terorisme tersebut

menyebabkan rasa takut, was-was, dan khawatir serta menimbulkan suasana teror

yang berakibat pada rasa traumatis. Secara meluas masyarakat Bali merasa tercekam

dalam perasaan ketakutan dan kengerian yang dibalut suasana teror karena

masyarakat Bali seakan tidak percaya bahwa Bali yang selama ini selalu penuh

dengan ketenangan dan kedamaian tiba-tiba terjadi peristiwa terorisme bom Bali yang

mengguncang Indonesia hingga internasional. Perekonomian masyarkat Bali juga

mengalami penurunan yang sangat drastis, karena tempat dimana sebagian besar

masyarakat Bali mencari rejeki untuk menopang kehidupan menjadi hancur lebur.

Artshop, restoran, dan hotel sepi kunjungan wisatawan, yang mengakibatkan

perusahaan tersebut tutup. Ini berdampak pada meningkatnya tingkat penggangguran.

Tidak hanya berpengaruh pada perekonomian masyarakat Bali saja, namun bagi

Indonesia karena berkaitan dengan rusaknya citra kepariwisataan.

Dengan rusaknya citra pariwisata Indonesia maka berpengaruh pada

pendapatan negara dan pendapatan masyarakatnya. Hal ini berdampak pada

perekonomian yang tidak stabil hingga menimbulkan krisis moneter dan banyaknya

Page 133: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

masyarakat yang kehilangan pekerjaan serta beberapa usaha harus menutup usahanya.

Dampak perekonomian tersebut merupakan kerugian yang bersifat meluas.

Pada praktiknya hakim berani menjatuhkan pidana mati dengan alasan untuk

memenuhi rasa keadilan dan hati nurani karena hakim dalam putusannya harus

berdasarkan pada kerangka hukum yaitu penegakan hukum dan penegakan keadilan.

Atas putusan hakim tersebut yang melakukan penjatuhan pidana mati bagi pelaku

tindak pidana terorisme, haruslah diterima dan dihargai asal saja putusan yang

tersebut berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak dapat hanya

berpatokan pada Undang-Undang saja, tetapi juga hakim bertolak pada hati nurani,

lebih dari itu hakim boleh saja menjatuhkan pidana mati asal putusan tersebut tidak

memiliki kepentingan atau objektifitas dijunjung tinggi.

Mengenai dasar pertimbangan hakim yang menjatuhkan pidana mati tersebut

dilakukan berdasarkan perspektif sosiologis, yaitu dengan mempertimbangkan tata

nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Apabila terjadi

kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan formal (hukum positif)

maka hakim akan diwajibkan untuk berkreativitas, menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai

dasar putusannya (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman). Tindakan hakim seperti ini memerankan fungsi

rechtsvinding. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau

Page 134: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1)

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Dalam bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan

Peradilan Umum Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12

Maret 2014, Roki Panjaitan yang merupakan seorang Hakim Tinggi Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta mengungkapkan bahwa pentingnya pemberantasan terorisme di

Indonesia didasarkan pada pertimbangan :

• Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan dan peradaban serta merupakan

salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara.

• Terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya

terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan

masyarakat.

• Kejahatan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam, mempunyai

implikasi yang bisa merusak hubungan persahabatan antar negara,

menimbulkan saling curiga antara negara bahkan antara kompenen atau

elemen dalam negeri kita sendiri.

Khusus mengenai tindak terorisme yang terjadi di Bali, Roki Panjaitan

menyatakan bahwa implikasi atas kejadian bom Bali tersebut telah menimbulkan

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkan

hilangnya nyawa dan kerugian harta benda. Selain itu memberikan dampak yang luas

terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional serta

Page 135: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan pertimbangan

tersebut pelaku tindak pidana terorisme dapat diancamkan sanksi pidana dengan

minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak

pidana terorisme.

Page 136: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB IV

PENGARUH PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

TERORISME

4.1 Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme

Terorisme merupakan masalah nasional yang harus diperangi oleh seluruh

stakeholder di negara Indonesia, bahkan seluruh dunia karena terorisme merupakan

extraordinary crime. Oleh karena itu dibutuhkan penindakan secara optimal dan

sinergis di dalam menangani masalah tersebut. Terorisme jika tidak ditangani dengan

baik, maka sangat membahayakan keadaan suatu negara tidak terkecuali negara

Indonesia itu sendiri.359

Langkah pemerintah Indonesia dalam menanggulangi

kejahatan terorisme melalui aparat hukum telah diupayakan semaksimal mungkin.

Salah satunya adalah menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme.

Hal ini dilakukan agar tujuan dari sistem pemidanaan dapat dicapai.

Pencegahan individu atas hukuman berarti bahwa pelaku kriminal seharusnya

dapat dicegah melakukan kejahatan baru. Cara yang paling sering digunakan adalah

dengan cara menjebloskan pelaku ke penjara, tanpa melanggar hak hidupnya. Namun,

dengan menjatuhkan pidana mati bagi pelaku dirasa efektif sebagai alat pencegah

359 Nurhadi Syahputra, 2013, Korupsi, Narkoba, Terorisme Sama Bahayanya, Bali Post, Tgl. 3

Desember, h. 6, kolom 2

Page 137: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

kejahatan karena adanya jaminan penuh bahwa kejahatan tidak akan bisa dilakukan

lagi secara berulang oleh pelaku yang sama.

Hukuman mati diperlukan untuk melindungi masyarakat. Untuk menanamkan

rasa ketakutan pada masyarakat, eksekusi pidana mati seringkali dipublikasikan.

Semua pidana memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan pengaruh dalam

mencegah kejahatan, namun pidana matilah yang dianggap paling efektif. Pidana

mati tersebut termasuk dalam kategori pencegahan umum, artinya hukuman

memberikan pengaruh kesadaran hukum publik sehingga tindakan kriminal

dipandang sebagai suatu hal yang tidak diinginkan.

Sebagai negara hukum, Indonesia tentu mendasarkan norma ancaman,

penerapan, dan pelaksanaan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik peradilan, pengadilan sudah berulang kali menjatuhkan pidana mati

bagi pelaku kejahatan narkotika serta terorisme. Muladi mengemukakan bahwa ke

depannya pandangan hukuman pidana mati di Indonesia dapat dirumuskan sebagai

pidana perkecualian yang bersifat khusus, sesuai dengan sistem pemasyarakatan.360

Adanya pelimpahan perkara ke pengadilan mengharuskan subsistem

pengadilan melakukan rangkaian kegiatan yang menyangkut persidangan. Bekerjanya

subsistem pengadilan diawali dengan menerima pelimpahan perkara dari penuntut

umum dan kemudian dilanjutkan dengan memutus perkara pidana tersebut

360 Muladi, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang (Selanjutnya disebut Muladi II), h. 157

Page 138: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak menurut ketentuan yang ada pada

undang-undang.

Khusus untuk proses penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme

bom Bali dalam persidangan pertama dilakukan pembacaan Surat Dakwaan oleh

Jaksa Penuntut Umum yang dilaksanakan di Gedung Wanita Nari Graha Denpasar

pada tanggal 12 Mei 2003.

Pada sidang selanjutnya adalah pembacaan eksepsi yaitu tanggapan dan atau

keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa atas Surat Dakwaan yang telah dibacakan

oleh Jaksa Penuntut Umum dan begitu seterusnya hingga dianggap cukup. Hakim

kemudian menginjak materi selanjutnya yaitu mengenai pemeriksaan barang bukti

dan berakhir dengan penjatuhan vonis oleh Hakim. Untuk tindak pidana terorisme

bom Bali ini seperti yang telah dijelaskan di atas, tiga terdakwa dijatuhi vonis

hukuman mati dan terdakwa lainnya divonis dengan hukuman yang berbeda-beda.

Kendala yang dihadapi oleh Hakim dalam melaksanakan proses penjatuhan

pidana mati tersebut antara lain :

1. Hakim harus benar-benar mempertimbangkan dengan baik, karena pidana

mati tidak dapat diperbaiki lagi atau diganti kerugiannya apabila terdapat

kesalahan dalam memutus pidana tersebut.

2. Dalam hal mensinkronkan keterangan-keterangan dengan fakta-fakta, bukti-

bukti dengan berita acara pemeriksaan (BAP) itu memerlukan waktu yang

tidak sebentar, bahkan bisa dikatakan agak lama dan cukup sulit.

Page 139: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

3. Dalam proses menjatuhkan vonis, dari pihak korban menuntut agar terdakwa

dijatuhkannya pidana mati, namun dari pihak terdakwa meminta agar tidak

sampai dipidana mati. Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat hakim

harus jeli mempertimbangkan hasil yang akan diputuskannya. Karena hakim

tidak boleh mempertimbangkan dari satu sisi saja, melainkan harus dapat

mencakup keadilan bagi semua pihak. Tidak hanya dari sisi korban, pelaku,

namun juga dari sisi masyarakat itu sendiri.

Adapun proses penjatuhan pidana mati terhadap terpidana kasus bom Bali tertera

dalam tabel sebagai berikut :

Page 140: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali

No. Nama/Jenis

Kelamin/

Warga Negara

Kasus Tahun

Kejadian

Tahun Vonis

Mati

Tahun

Eksekusi

Keterangan

1. Amrozi bin H

Nurhasyim / L

/ WNI

Peledakan

Bom Bali I

(Terorisme)

12

Oktober

2002

7 Agustus

2003

10 November

2008

- Peninjauan Kembali kedua dicabut

- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak

Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian

mengajukan PK ketiga.

- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU

No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam

Persidangan 21 Oktober 2008

- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit

Nirbaya Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah

2 Imam

Samudera / L /

WNI

Peledakan

Bom Bali I

(Terorisme)

12

Oktober

2002

7 Agustus

2003

10 November

2008

- Peninjauan Kembali kedua dicabut

- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak

Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian

mengajukan PK ketiga.

- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU

No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam

Persidangan 21 Oktober 2008

- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya

Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah

3 Ali Gufron / L

/ WNI

Peledakan

Bom Bali I

(Terorisme)

12

Oktober

2002

2 Oktober

2002

10 November

2008

- Peninjauan Kembali kedua dicabut

- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak

Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian

mengajukan PK ketiga.

- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU

No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam

Persidangan 21 Oktober 2008

Page 141: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya

Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah

Page 142: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini bertujuan

untuk upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku harus dijatuhi derita

yang berupa pidana yang dapat memberikan pengajaran bagi pelaku-pelaku tindak

pidana terorisme lainnya menjadi jera. Dengan dijatuhi pidana mati, pelaku juga

terhindar dari adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Kemudian

pidana mati juga berfungsi untuk dijadikan pelajaran bagi setiap masyarakat untuk

tidak melakukan tindak pidana yang serupa, agar tidak dibebankan hukuman yang

setimpal dengan perbuatannya. Efek jera pidana mati merupakan faktor penting

dalam upaya orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Sehingga

jumlah tindak pidana terorisme dapat ditekan.182

Hingga saat ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar baru sekali melakukan

eksekusi mati terpidana kasus terorisme bom Bali. Wakil Kejaksaan Tinggi Made

Suryatmaja mengatakan untuk seluruh Indonesia terdapat ratusan kasus yang dijatuhi

pidana mati. Namun untuk wilayah Bali ada beberapa kasus diantaranya kasus

narkotika dan pembunuhan berencana. Untuk kasus narkotika yaitu kasus Bali Nine

yang dijatuhi pidana mati adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, serta

seorang warga negara asing kebangsaan Inggris Lindsay June Sandiford. Untuk kasus

pembunuhan berencana putusan pidana mati dijatuhi pada pelaku pembunuhan

182 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan

Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta, h.65

Page 143: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

keluarga polisi di Karangasem yaitu Putu Suaka. Semua kasus tersebut sudah

memiliki kekuatan hukum tetap (incrath).183

4.2. Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme

Instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela-

rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Hal itu dalam konteks

Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan

bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan

pidana mati hendaklah memperhatikan empat syarat yang merupakan hal penting

yaitu :

1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana

yang bersifat khusus dan alternatif.

2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh

tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana

penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.

4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa

ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana

yang sakit jiwa tersebut sembuh.

183 Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember, h. 2,

Kolom 3

Page 144: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, ditunjuk sebagai pelaksana pidana mati yang

dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas sebagai pelaksana

pidana mati, memiliki suatu peraturan yang memuat tata cara bertindak yang terarah

dan terorganisir agar pelaksanaan pidana mati dilakukan secara profesional dengan

tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Peraturan tersebut yakni Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati.

Dalam menjalankan tugas eksekusi mati pada ketiga pelaku terorisme bom

Bali, digunakan acuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan

Umum dan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38)

yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5

Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden

dengan Undang-Undang.

Dalam persidangan kasus Bom Bali I, tim pengacara muslim yang diberikan

kuasa mewakili ketiga terpidana mati bom Bali tersebut yang terdiri dari Wirawan

Adnan, S.H.; H.M. Mahendradatta, S.H.,M.A., M.H.; H. Achmad Michdan, S.H.;

Page 145: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Akhmad Kholid, S.H.; Qadar Faisal, S.H.; Gilroy Arinoviandi, S.H.; Sutejo Sapto

Jalu, S.H.; Hery Susanto, S.H.; Guntur Fattahillah, S.H.; dan Abdul Rahim, S.H.,

melakukan uji materiil UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana

Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Perkara yang diajukan oleh Tim Pembela Muslim yaitu mengajukan

permohanan pengujian undang-undang tentang norma-norma yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38) yang kemudian

ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang.

Dalam petitum Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dengan

alasan-alasan sebagai berikut :

1. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 merupakan undang-undang yang

pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.

Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang adalah karena

diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai

Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang. Penetapan

Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang dimaksudkan Pasal 2

Undang-Undang No. 5 Tahun 1969, yang menyatakan bahwa :

“ Terhitung sejak disahkannya undang-undang ini, menyatakan penetapan-

penetapan Presiden dan peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud

dalam Lampiran IIA dan IIB undang-undang ini, sebagai undang-undang dengan

Page 146: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

ketentuan, bahwa materi penetapan-penetapan Presiden, dan peraturan-peraturan

Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-

undang yang baru.

2. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5

Tahun 1969 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong bukanlah lembaga perwakilan

rakyat, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR GR dibentuk

atas dasar Penpres dan anggotanya diangkat oleh Presiden, sedang Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen

UUD 1945 anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah sebagaimana

domaksud dalam Pasal 20 Perubahan UUD 1945, namun pemnbentukan

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5 Tahun

1969 tidak sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945. Dengan demikian tata cara

pelaksanaan pidana mati dengan ditembak hingga mati oleh regu penembak,

yang selama ini dijalankan di Indonesia merupakan tata cara yang didasarkan

pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945.

Menurut Pemohon, Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-

Undang No. 5 Tahun 1969, adalah undang-undang yang materi muatan dalam ayat,

pasal, dan/atau bagian untuk undang-undangnya bertentangan dengan UUD 1945

khususnya Pasal 28 I ayat (1) perubahan kedua yang menyatakan bahwa :

Page 147: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak nuntuk diakui sebagai pribadi

dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Dengan melihat pasal tersebut, alasan keberatan Pemohon adalah sebagai

berikut :

1. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan

Peradilan Umum dan Militer menentukan bahwa pidana mati dengan cara

ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan tafsir bahwa kematian yang akan

diterima oleh terpidana langsung terjadi dalam satu kali tembakan, namun harus

dilakukan secara berkali-kali hingga dinyatakan mati. Dengan demikian, terjadi

penyiksaan sebelum terpidana akhirnya mati.

2. Dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan

Peradilan Umum dan Militer menegaskan lebih lanjut atas kemungkinan tidak

terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan

pengakhir. Ini berarti bahwa sebelum tembakan pengakhir tersebut dilakukan,

berarti undang-undang mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal terpidana

sudah dalam keadaan berlumuran darah sehingga mengalami keadaan yang amat

menyiksa, sebelum akhirnya mati dengan tembakan pengakhir.

Page 148: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

3. Dalam hal menembakkan sasaran tembakan, terdapat dua sasaran yang harus

dilakukan oleh regu penembak. Pada Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor

2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh

Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, ditentukan bahwa

sasaran ditembakan pada jantung terpidana. Sedangkan pada Pasal 14 ayat (4)

dinyatakan bahwa sasaran ditembakkan pada kepala tepat di atas telinga terpidana

sebagai tembakan pengakhir apabila terpidana dinyatakan belum mati. Dengan

demikian, tata cara ini tidak memberikan kepastian akan tiadanya unsur

penyiksaan dalam proses kematian terpidana.

4. Meskipun seorang warga negara Indonesia berstatus terpidana mati, namun

menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28 I ayat (1), tetap dijamin hak asasi

manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara

pelaksanaan pidana mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964

merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya. Dengan demikian materi pada

undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Tim Pengacara Muslim dalam pengujian tersebut menghadirkan beberapa

saksi ahli yang terdiri dari ulama, pastur, serta beberapa pakar dibidang ilmu yang

diyakini akan dapat memberikan keterangan mengenai pelaksanaan eksekusi mati

sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Menanggapi permohonan pengujian formil dari pihak Pemohon, Mahkamah

Konstitusi memiliki pertimbangan-pertimbangan yang menjadi jawaban atas dalil-

dalil Pemohon mengenai pengujian formil yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 149: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 dilihat dari bentuk hukumnya adalah memang

benar semula Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam

UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama

Penetapan Presiden. Akan tetapi hal tersebut telah dikoreksi dengan Undang-Undang

No. 5 Tahun 1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan

Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968.

Kedua Ketetapan MPRS tersebut isinya adalah perintah untuk melakukan

peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan

Presiden. Dengan melihat Konsideran Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 dapat

disimpulkan bahwa Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan

Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi Undang-

Undang Nomor 2/PNPS/1964. Dengan demikian bentuk hukumnya sudah sesuai

dengan UUD 1945.

Dilihat dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964

tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengenal produk

hukum Penetapan Presiden. Namun setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1969

menyatakan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 berlaku, maka prosedur

pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2)

UUD 1945 yang mengungkapkan bahwa ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan

DPR.

Mengenai status lembaga DPR GR, merupakan DPR yang sah pada awal Orde

Baru sebelum DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR pada

Page 150: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

masa itu adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari

Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia.

Dasar keberlakuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 hingga sekarang

adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan

perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-Undang Dasar ini. Sehingga mengenai undang-undang yang baru

yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada, maka masih

digunakannya Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tersebut sebagai dasar

pelaksanaan pidana mati.

Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pula terhadap dalil

Pemohon yang berkaitan dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964

tersebut di atas, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 28 I ayat

(1) UUD 1945. Pertimbangan pertama menanggapi hal tersebut, Mahkamah

Konstitusi mengacu pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention

Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dinyatakan mengenai definisi penyiksaan yang telah merujuk dan

mengutip Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Page 151: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut. Definisi

penyiksaan yang dimaksud adalah :

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit

atau penderiataan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk

memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan

hukumannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan

oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau

orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk

diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas

hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat

publik”.

Rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan dalam pelaksanaan pidana mati,

bukanlah sesuatu yang terjadi secara sengaja dan melawan hukum untuk tujuan

tertentu di luar kehendak mereka yang dieksekusi. Rasa sakit yang timbul dan

melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah

dan wajar. Rasa sakit tersebut akan timbul dan melekat dalam tiap cara pelaksanaan

pidana mati, seperti halnya rasa sakit yang dialami oleh wanita yang melahirkan

dengan tujuan medis.

Ukuran yang harus dipedomani adalah menghindari pelaksanaan pidana mati

yang menimbulkan penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan. Siksaan

yang dirasakan diukur bukan hanya dari sisi subjektif terpidana sendiri melainkan

juga dari sisi objektif masyarakat. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak

sesungguhnya dapat berlangsung dengan cepat apabila tembakan tepat mengenai

jantung terpidana. Apapun cara yang digunakan baik itu dengan cara dipancung,

digantung ataupun ditembak mati dapat menimbulkan kematian secara cepat jika

dilakukan dengan tepat. Hal tersebut dikemukakan sesuai dengan keterangan dari

Page 152: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

para ahli dibidang tersebut. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa

sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung resiko terjadinya

ketidaktepatan dalam pelaksanaannya. Maka permohonan Pemohon tidak beralasan

menurut hukum dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan

Militer pada Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh

Pengadilan, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pada pasal-pasal berikutnya

yang diatur dalam Bab II undang-undang tersebut dijelaskan mengenai tata cara

pelaksanaan pidana mati tersebut.

Eksekusi pidana mati tersebut dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan

yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Namun apabila ditentukan lain

oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dapat tidak dilaksanakan dalam daerah hukum

pengadilan dalam tingkat pertama. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa

orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat

yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan

tersebut.

Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, kemudian

memberikan nasehat kepada Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan

pengadilan tingkat pertama tersebut. KAPOLDA kemudian menentukan waktu dan

tempat pelaksanaan pidana mati. Selain itu juga KAPOLDA bertanggung jawab atas

Page 153: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta menyediakan

tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan

pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung

jawab atas pelaksanaannya. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan

dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa.

Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa

Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana

mati tersebut. Jaksa Tinggi/ Jaksa menerima keterangannya atau pesan terpidana

apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu. Pembela terpidana atas

permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan

pidana mati. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat

dilaksanakan empat puluh (40) hari setelah anaknya dilahirkan.

Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana

mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Untuk pelaksanaan pidana mati,

KAPOLDA membentuk sebuah regu penembak dari Brigade Mobile (Brimob) yang

terdiri dari seorang Bintara (sekarang disebut dengan Brigadir), 12 orang tamtama di

bawah pimpinan seorang perwira. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu

penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. Regu penembak ini dibawah

perintah Jaksa Tinggi/Jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi

yang cukup dan terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana

Page 154: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

berpakaian sederhana dan tertib. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati,

Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika

terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara

berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ Jaksa dapat

memerintahkan agar terpidana diikat tangan dan kakinya ataupun diikatkan pada

sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati,

maka regu penembak dengan senjata lengkap menuju ketempat yang ditentukan oleh

Jaksa. Jarak antara terpidana dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10

meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. Apabila semua persiapan telah selesai,

maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan para

pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya

sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap,

kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya

untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke

bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila terpidana

belum menunjukkan tanda kematian maka dilakukan tembakan pengakhir dengan

sasaran tembak pada kepala. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana

dapat minta bantuan seorang dokter.

Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat

terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain. Jika

tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat

Page 155: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan cara agama/

kepercayaan yang dianut terpidana.

Eksekusi pelaku tindak pidana terorisme dilaksanakan pada tanggal 10

November 2008 pukul 00.15. Eksekusi ketiga terpidana mati terorisme bom Bali

dilakukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur pada Undang-

Undang Nomor 2/PNPS/1964. Pelaksanaan pidana mati tersebut dilakukan di depan

tiga regu tembak di Lembah Nirbaya, Pulau Nusakambangan Kabupaten Cilacap

Jawa Tengah. Ketiga jenazah terpidana dimakamkan dikampung halaman mereka

masing-masing.184

Tidak dilakukannya pelaksanaan pidana mati di Bali terhadap pelaku Bom

Bali tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Dalam wawancara yang dilakukan

pada tanggal 18 Maret 2014, Jaksa Eddy Arta Wijaya yang merupakan salah satu

perwakilan dari Kejaksaan Negeri Denpasar untuk melaksanakan pidana mati

tersebut, pertimbangan itu adalah dari segi kemanan dan efisiensi, baik itu efisiensi

waktu dan biaya. Pertimbangan keamanan tersebut ditujukan untuk keamanan pelaku

dan pelaksanaan eksekusi tersebut. Selain itu, apabila dilaksanakan di Bali, hal ini

akan memberikan citra bahwa pidana mati tersebut bersifat pembalasan dendam dari

masyarakat Bali terhadap ketiga terpidana mati tersebut. Pertimbangan lainnya adalah

untuk mengefisiensikan waktu dan biaya. Karena terpidana telah menjalani masa

tahanan di LP Nusa Kambangan, apabila dilaksanakan di Bali kembali membutuhkan

184 Yon Artiono Arba’I, Op.cit, h.163

Page 156: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

waktu perjalanan dan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam perjalanan

tersebut memiliki resiko yang cukup tinggi bagi keamanan terpidana dan petugas.

Sependapat dengan Eddy Arta Wijaya, salah seorang Jaksa di Kejaksaan

Negeri Denpasar Ni Luh Oka Ariani Adikarini menyatakan bahwa pertimbangan

pelaksanaan eksekusi dilakukan di wilayah Nusa Kambangan dikarenanakan faktor

keamanan dan biaya. Dalam pelaksanaan pidana mati, terdapat pula faktor

penghambat yang dihadapi oleh aparat Kejaksaan. Salah satu faktor penghambat

tersebut adalah dibutuhkannya waktu yang cukup lama untuk melaksanakan eksekusi

terhadap terpidana. Hal tersebut terjadi karena adanya upaya hukum yang diajukan

oleh pihak terpidana. Seperti yang terjadi pada kasus terorisme Bom Bali tersebut,

ketiga terpidana mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) hingga tiga (3) kali.

Padahal pada saat itu upaya PK hanya bisa dilakukan satu (1) kali saja, namun untuk

sekarang upaya PK dapat dilakukan hingga tiga (3) kali.

Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar

belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila

pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (Vergeldings Theorien) akan

menimbulkan dua pandangan yaitu kecendrungan memuaskan atau dapat saja tidak

memuaskan. Jika disesuaikan dengan upaya pembalasan, terpidana harus menerima

penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain

adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera

untuk tidak melakukan kejahatan.

Page 157: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Jika dilihat dari filosofi pemidanaan, menurut Hasoloan Sianturi saat penulis

wawancara pada tanggal 28 Februari 2014 menyatakan bahwa, filosofi pemidanaan

tersebut mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Dilihat dari

jaman terdahulu, filosofi pemidanaan ditekankan pada aspek pembalasan. Kemudian

sesuai dengan perkembangan jaman, filosofi tersebut mengalami pergeseran, yaitu

menekankan pada aspek rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana.

Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk

memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati

bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat agar

masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang

melanggar hukum. Hal ini terkait dengan teori Feurbach mengenai tekanan jiwa

dalam usaha preventif terjadinya tindak pidana. Namun ternyata maksud dan tujuan

itu tidak sepenuhnya tercapai sesuai dengan yang diharapkan, karena kasus tindak

pidana terorisme tetap masih terjadi di Indonesia meskipun sudah terjadi eksekusi

pidana mati terhadap pelaku kejahatan terorisme tersebut.

Dalam wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 17 Maret 2014 dengan

Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar Romulus Halolongan, memberikan

pendapatnya mengenai tujuan dari suatu pidana. Berbagai jenis pidana, seperti pidana

penjara ataupun pidana mati tidaklah memberikan efek apapun. Terkadang pemikiran

seorang terdakwa suatu tindak pidana yang diancam atau divonis pidana mati akan

berpikir tidak akan sampai dieksekusi. Hak tersebut dikarenakan masih adanya grasi,

amnesty, dan abolisi dalam peradilan di Indonesia. Jadi dalam pemikiran masyarakat,

Page 158: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

pidana mati itu hanyalah gertakan vonis, namun pelaksanaannya dapat dikurang-

kurangi menjadi lebih ringan. Berbeda dengan pemikiran masyarakat, para teroris

memiliki keyakinan dan kebenarannya sendiri. Mereka tidak akan takut akan

hukuman mati, karena dalam melancarkan aksinya tidak jarang para teroris bersedia

mengorbankan nyawanya demi tujuan yang hendak mereka capai.

Mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, dapat

dikatakan sebagai suatu sarana yang rasional, karena bertolak ukur dari adanya suatu

keefektifan dari jenis pidana tersebut, dengan meletakkan pada keberhasilan suatu

sarana dalam mencapai tujuan.185

Untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari

general deterrence tidak mudah dilakukan, karena mekanisme pencegahan tersebut

tidak diketahui dan tidak sedikit tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tolok ukur yang

digunakan untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan sanksi

pidana tersebut adalah aspek kepentingan masyarakat, yaitu memberikan

perlindungan pada masyarakat. Namun pengaruh pidana mati terhadap masyarakat

secara keseluruhan merupakan terra incognita, suatu wilayah yang tidak diketahui.186

Oleh sebab itu dalam hal mencegah tindak pidana terorisme, penggunaa sanksi pidana

mati sebagai sarana upaya pencegahan tidak dapat bekerja secara sendiri. Sehingga

sangat dibutuhkan peranan sarana-sarana kontrol sosial untuk dapat mencegah tindak

pidana terorisme, seperti orang tua, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan, dan

pemahaman agama serta moral.

185 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.95

186

Ibid, hal.101

Page 159: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Permasalahan terorisme tidaklah semata-mata bagaimana memberantas atau

memerangi terorisme melalui tindakan-tindakan represif melainkan harus merupakan

langkah komprehensif dan berkesinambungan untuk mencegah, meneliti, dan

menangkal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan terorisme, kegiatan teroris,

dan organisasi teroris. Selain itu diperlukan pula upaya menghentikan pendanaan dan

pembekuan aset-aset yang mendukung kegiatan teroris.187

Dalam hal penanggulangan terorisme tidak hanya mencegah adanya terorisme

dari segi paham maupun perwujudan aksi teror, tetapi juga siap menghadapi hingga

meniadakannya. Penanggulangan terorisme berkaitan erat dengan kepentingan

nasional, keselamatan bangsa dan negara. Upaya penanggulangan memerlukan

penanganan dan keahlian khusus mencakup strategi, bentuk, cara, serta alat yang

digunakan.

Romulus Halolongan juga memberikan pendapatnya mengenai

penanggulangan kejahatan, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Sebelum

melakukan penanggulangan, hal yang paling utama dilakukan adalah pencegahan.

Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Membuat sistem hukum yang diperuntukkan agar dapat mencegah tindak pidana

terlebih dahulu. Terlepas dari adanya pidana atau sanksi pidana untuk terdakwa

tindak pidana terorisme. Memperbaiki atau memperbaharui sistem hukum terlebih

dahulu agar dapat bekerja secara berkesinambungan dalam upaya pencegahan

tindak pidana terorisme.

187 Romli Atmasasmita, Op.cit, h.100

Page 160: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2. Dalam upaya pencegahan yang kedua, mengamankan aliran dana yang diduga

untuk melakukan tindak pidana terorisme

3. Memiliki tim khusus untuk mencegah dan mngurus tindak pidana terorisme untuk

menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan negara. Sebagai contoh,

di negara Amerika memiliki tim khusus yang bernama FBI untuk mencari,

melacak, menangkap, dan mengurus tindakan lainnya dari pelaku suatu tindak

pidana.

4. Dipertimbangkannya anggaran untuk menanggulangi suatu tindak pidana,

khususnya terorisme. Karena untuk pelaksanaan operasionalnya membutuhkan

biaya yang tidak sedikit dan bersifat diluar dugaan.

Beberapa faktor kendala yang dihadapi dalam pencegahan dan

penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Belum optimalnya penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan

terorisme.

2) Rendahnya dukungan masyarakat dalam memerangi kejahatan terorisme. Hal

ini diperkuat dengan adanya sekelompok masyarakat yang memberikan

dukungan kepada kelompok teroris. Sehingga terlihat semakin rendahnya

persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta rasa kesadaran bela negara.

3) Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia sebagai faktor pemicu

suburnya gerakan terorisme di Indonesia

4) Kurangnya dukungan media dalam pemberantasan terorisme

Page 161: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

5) Kurangnya kerja sama antar lembaga penegak hukum dalam penanggulangan

dan pemberantasan terorisme

6) Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang disalahgunakan oleh

kelompok teroris.

7) Kurang diperbaharuinya Undang-Undang Terorisme untuk mengatur situasi

dan kondisi masyarakat serta peristiwa terorisme dan yang

melatarbelakanginya sekarang karena dibandingkan dengan saat situasi dan

kondisi ketika penyusunan undang-undang tersebut sudah jauh berbeda.

Dengan berpedoman pada adagium dari Francis Bacon, suatu undang-undang

dapat dijadikan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi

pelanggaran undang-undang.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme

ditunjukkan dengan menghadirkan pasukan khusus antiteror Tentara Nasional

Indonesia (Kopassus). Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun

2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004

tentang Tentara Nasional Indonesia dijelaskan mengenai peran dan tugas yang

melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.

TNI dalam penanggulangan terorisme memiliki tiga (3) pola operasi. Pola

pertama adalah operasi pencegahan yang dilaksanakan untuk mencegah niat

Page 162: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

permusuhan, baik antar kelompok masyarakat dengan pemerintah (konflik vertikal)

maupun antar masyarakat (konflik horizontal).188

Pola kedua adalah operasi penindakan, yaitu dilaksanakan apabila operasi

pencegahan tidak berhasil. Operasi penindakan dalam rangka mengatasi konflik

vertikal bertujuan untuk membatasi ruang gerak teroris, pemberontak, atau perusuh

serta menggagalkan dan mengatasi berbagai langkah destruktif musuh. Pelaksanaan

operasi penindakan dilakukan dengan mendayagunakan segala potensi yang tersedia,

baik itu dari segi personil maupun alat sestem senjata dan sistem sosial.189

Dihadapkan dengan ancaman terorisme sebagai musuh bersama, operasi

pencegahan dilakukan oleh TNI sesuai dengan rencana yang ditetapkan untuk

membatalkan atau mencegah aksi terorisme. Jadi aspek preventif merupakan langkah

penting pada tahapan ini. Dalam konteks ini diperlukan kebijakan untuk merumuskan

kebijakan pencegahan dengan mempertimbangkan pengalaman sejarah masa lalu,

perbandingan penanganan di berbagai negara, dan mempertimbangkan aspek sosial

budaya masyarakat.

Pola ketiga adalah operasi pemulihan keamanan, yakni dilaksanakan untuk

konsolidasi kekuatan, rehabilitasi, dan stabilisasi daerah yang rusak baik secara fisik,

maupun non fisik akibat konflik sebelumnya. Dikaitkan dengan penanggulangan

terorisme pada tahap pemulihan, TNI dapat berkoordinasi dengan Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT ini diatur dalam Peraturan Presiden No.

188 Marthen Luther Djari, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta, h.155

189

Ibid, h.152-154

Page 163: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

46 Tahun 2010 dengan mengemban tugas strategis dalam pemberantasan terorisme

dengan menyusun kebijakan, strategi dan upaya-upaya nasional bidang

penanggulangan terorisme serta mengkoordinasikan dengan instansi pemerintah

terkait.190

Indonesia sebagai bagian dari anggota Asean, mengalami kemajuan dalam

hubungan antara Negara anggota Asean di dalam Konvensi Asean tersebut adalah

pengakuan terhadap isu yurisdiksi kriminal (State Jurisdiction) yang bersifat

transnasional selain yurisdiksi teritorial dan nasional dalam menangani pencegahan

dan pemberantasan terorisme lintas batas Negara. Pengakuan yurisdiksi kirminal

transnasional ini sejalan dengan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana

Transnasional Teorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi Indonesia dengan

Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi). 191

Menurut Romli Atmasasmita, dalam tulisannya yang berjudul Pemberantasan

Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan Internasional Bahan Pendidikan dan

Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia, yang

diselenggarakan pada tanggal 10-15 Maret 2014 di Jakarta, disebutkan bahwa dalam

strategi menghadapi terorisme di Indonesia, diwujudkan melalui konsep

deradikalisasi yang memiliki asumsi bahwa terorisme identik dengan radikalisme.

190 Ibid, h.160

191

Romli Atmasasmita I, Op.cit, h. 16

Page 164: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Sehingga upaya mengurangi sikap dan perilaku radikal merupakan tujuan utama

untuk mencegah adanya ideologi terorisme yang berkembang.

Strategi baru pencegahan terorisme perlu diperkuat dengan perubahan

paradigma baik dalam hukum pidana materiel dan hukum pidana formil. Perubahan

hukum pidana materiel dilaksanakan dengan beberapa langkah sebagai berikut:

a. Menetapkan instrumen internasional berkaitan dengan terorisme sebagai

tindak pidana di dalam hukum nasional;

b. Kriminalisasi dengan berpegang teguh pada prinsip hukum dan ICCPR serta

mengkriminalisasi pendanaan untuk terorisme

c. Merumuskan kembali ketentuan tentang “partisipasi” dan “conspiracy” serta

konsep hukum tentang “recruitment” dalam kelompok teroris

d. Menegaskan kembali kepemilikan barang-barang untuk tujuan tindakan

terorisme

Perubahan hukum pidana formil dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a) Mengintegrasikan mekanisme hukum materiil, hukum formal dan

mengintensifkan informasi dari masyarakat serta perlindungan saksi.

b) Pengendalian dengan membolehkan laporan hasil intelijen sebagai alat bukti

c) Menggiatkan teknik penyadapan dan pengawasan judicial

d) Merumuskan kembali masa penahanan dan teknik interogasi

e) Memperkuat langkah anti-pendanaan terorisme

Page 165: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Selain perubahan hukum pidana materiel dan formil di atas, untuk

memperkuat implementasinya, diperlukan mekanisme kerjasama internasional yang

memadai sehingga diharapkan “proactive law enforcement” memberikan hasil yang

signifikan dalam penuntasan kasus terorisme.

Dalam suatu wawancara siaran langsung pada salah satu televisi swasta, pada

acara Apa Kabar Indonesia yang tayang pada tanggal 14 Desember 2013 pukul 20.44

WITA, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), H. Ansyaad

Mbai menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah mengutamakan tindakan

pencegahan terlebih dahulu dalam upaya memberantas dan menanggulangi terorisme

di Indonesia.

Hal yang harus dicegah adalah paham-paham radikal yang merupakan embrio

dari terorisme. Paham-paham radikal tersebut adalah paham takfir yang memandang

bahwa orang lain itu adalah kafir dan pemahaman jihad adalah perang, namun di

Indonesia bukanlah tempat perang. Jadi di sini perlu diluruskan pemahaman

mengenai jihad dan takfir itu sendiri. Upaya yang dilakukan adalah dengan

melibatkan peran serta seluruh masyarakat Indonesia, baik itu dari aparat pemerintah,

tokoh agama, pendidik dan LSM dengan melalui sarana tempat ibadah, lembaga

pendidikan, dan LAPAS. Dalam memerangi paham radikal ini diperlukan sikap

toleransi dan saling mendengarkan antar sesama umat manusia.

Dalam tulisannya yang berjudul Radikal Terorisme di Indonesia, H. Ansyaad

Mbai juga menyampaikan pendapatnya dalam Pendidikan dan Pelatihan Hakim

PerkaraTerorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia di Jakarta pada Maret

Page 166: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2014, menuliskan bahwa penanggulangan radikalisme dan terorisme dapat berjalan

optimal, dengan memaksimalkan partisipasi aktif dari berbagai komponen masyarakat

untuk bersatu padu memberantas terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan

menggunakan dua hal yaitu Hard Approach yang merupakan pendekatan dengan

menekankan pada penjaminan keamanan dan penegakan hukum, dan Soft Approach

yaitu pendekatan yang komprehensif, persuasif, penuh kelembutan, dan kasih sayang

dalam dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme.

Page 167: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan terhadap

kedua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku tindak pidana

terorisme bom Bali memiliki pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas

perspektif yuridis yaitu terbukti melanggar Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juncto Undang-Undang No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan KUHP, perspektif

filosofis yaitu tindak pidana terorisme bertentangan dengan rasa kemanusiaan

yang beradab, dan perspektif sosiologis yaitu merugikan ekonomi, sosial, politik,

hubungan internasional maupun psikologis masyarakat. Pertimbangan-

pertimbangan tersebut tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani hakim.

Hakim juga menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan,

karena tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan

tergolong kejahatan luar biasa. Selain itu hakim juga memiliki pertimbangan

yang bersifat memberatkan bagi ketiga terdakwa. Sehingga sanksi pidana mati

bagi pelaku tindak pidana terorisme jika dilihat dari peranan pelaku, dampak

atau akibat perbuatan tersebut maka penjatuhan pidana mati adalah wajar dan

sah.

Page 168: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

2. Dalam hal sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme, penjatuhan pidana

mati bagi pelaku tindak pidana terorisme dapat dijadikan upaya pencegahan,

namun belum berjalan secara optimal. Efek jera diberikan bagi masyarakat,

dengan maksud agar masyarakat memahami dan mengetahui begitu dasyat dan

luar biasanya dampak dari tindakan terorisme. Sehingga memiliki konsekuensi

yang besar pula yaitu adanya pidana mati. Pidana mati merupakan upaya terakhir

dalam usaha pencegahan dan pemberantasan terorisme.

5.2 Saran

1. Untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana terorisme yang semakin

canggih, sebaiknya diperkuat dengan suatu Undang-Undang Terorisme yang

telah diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi

informatika. Bagi Hakim diharapkan tetap memperhatikan dan

mempertimbangkan putusan kasus terorisme terkait dengan putusan-putusan

terdahulu untuk menjaga konsistensi putusan demi kepastian hukum dalam

mengadili perkara terorisme yang terjadi di Indonesia.

2. Sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya pidana

mati tetap dipertahankan sebagai pidana terberat. Selain lebih mengoptimalkan

jenis pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana terorisme,

tindakan pencegahan juga harus didukung lebih oleh kekuatan intelijen nasional

dan aparat hukum terkait agar dapat berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.

Penting untuk mensosialisasikan pemahaman nilai-nilai agama secara benar dan

utuh kepada masyarakat.

Page 169: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abidin, Zainal, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana,

dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta

Ali, H.Zainuddin,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika,

Jakarta

Ali, Mahrus, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing,

Jakarta

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4,

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Ancel, March, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem,

Rontledge and Kega Paul, London

Andenaes, Johannes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend

B Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London

Araf, Al, dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta

Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan

Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan

Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung

__________________, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan

Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang

Arba’i, Yon Artiono 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan

Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Ashshofa, Burhan, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka

Cipta, Jakarta

Atmasasmita, Romli, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo,

Bandung

Page 170: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

AZ, Yahya, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan

Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta

Bakhri, Syaiful, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,

Yogyakarta

Chazawi, Adami, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan

Batas Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers,

Jakarta

Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar Bali

Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,

Bandung

Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung

Gofar, Fajrimei A., 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas

Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta

Hadjon dkk, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada

University,Yogyakarta

Hamzah, Andi, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke

Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta

____________, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta

Kaligis, O.C, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates,

Jakarta

Kusnadi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat

Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta

Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung

Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati

Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta

Luther Djari, Marthen, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta

Page 171: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Manan, Abdul, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta

Manan, Bagir, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Jakarta

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Bandung

Marwan, M., dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete

Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya

Masyhar, Ali, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju,

Bandung

Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing,

Aceh

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,

Bandung

Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, Rajawali Pers, Jakarta

Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam

Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

______, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

______, dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT.

Alumni, Bandung

Nasution, Aulia Rosa, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta

Packer, Herbert L. 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University

Press, California

Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika

Aditama, Bandung

Page 172: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,

Bandung

Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,

Remadja Karya, Bandung

Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard

University Press, Cambridge Massachusetts

Reksodiputro, Marjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,

Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU

Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia,

Gramedia Pustaka Media Tama, Jakarta

Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif, Sinar Grafika, Jakarta

Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung

Sahetapy, J.E., 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,

Alumni, Bandung

Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta

Saptomo, Ade, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni,

Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta

Sianturi, S.R., 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta

Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama,

Rineka Cipta, Jakarta

Soesilo, R. 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-

Komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor

Sholehuddin, M., 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Suarda, I Gede Widhiana, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan

Pemberat Pidana, Bayu Media, Jember

Page 173: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Subawa, I Made dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945,

Wawasan, Denpasar

Suggono, Bambang, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7 , PT.Raja Grafindo

Persada, Jakarta

Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia),

UMMPress, Malang

Utari, Sri, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas

Udayana, Denpasar

Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme

Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung

Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta

Wibowo, Ari, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu,

Yogyakarta

Widnyana, I Made, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar

________________, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar

Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung,

Bandung

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Page 174: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan

Militer

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di

Bali tanggal 12 Oktober 2002.

DISERTASI :

Artha, I Gede, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya

Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi

Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

TESIS :

Wicaksana, Gede Agung Patra, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana

Terorisme di Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Page 175: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

LAIN-LAIN

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka

Bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum

Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10-15 Maret

2014

MAJALAH DAN KORAN

Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember

INTERNET :

M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi,

ICCPR, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,

http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-hak-sipil-dan-

politik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012.

Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan

Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia,

http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-

hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-

indonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012.

http://www.kejaksaan.go.id/laporan_tahunan.php?idc=7&idsc=5

Page 176: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Hasoloan Sianturi, S.H., M.H

TTL : Sisakae / 01 Agustus 1959

NIP : 19590801 198612 1 001

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar

Pendidikan: S2

2. Nama : Cening Budiana, S.H

TTL : Bebetin / 21 Juli 1959

NIP : 19590721 198803 1 002

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar

Pendidikan: S1

3. Nama : Putu Gde Hariadi, S.H., M.H

TTL : Bangli / 04 Juli 1970

NIP : 19700704 199403 1 002

Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar

Pendidikan: S2

4. Nama : Romulus Halolongan, S.H

TTL : Jakarta / 29 Agustus 1972

NIP : 19720829 199803 1 005

NRP. : 69872083

Jabatan : Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar

Page 177: penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom bali

5. Nama : Eddy Arta Wijaya, S.H

TTL : Kintamani / 03 November 1974

NIP : 197410031999031001

NRP. : 69974144

Jabatan : Kasubsi Penuntutan Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar

6. Nama : Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., M.H

TTL : Denpasar / 25 Januari 1974

NIP : 197401252003122003

NRP. : 40474316

Jabatan : Jaksa Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar