Upload
doancong
View
232
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
TESIS
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK
PIDANA TERORISME BOM BALI
(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI
DENPASAR)
NI MADE DWI KRISTIANI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK
PIDANA TERORISME BOM BALI
(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI
DENPASAR)
NI MADE DWI KRISTIANI
NIM : 1190561025
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK
PIDANA TERORISME BOM BALI
(STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI
DENPASAR)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE DWI KRISTIANI
NIM. 1190561025
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 13 JUNI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum. Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.
NIP. 19461231 197602 1 001 NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,MH.,LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Hari Selasa, Tanggal 03 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1448/UN 14.4/HK/2014, Tanggal 2 Juni 2014
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum
Sekretaris : Dr. I Gede Artha, S.H., M.H
Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S
2. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Made Dwi Kristiani
Program studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Penjatuhan Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Terorisme
Bom Bali (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Denpasar)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17
Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 19 Mei 2014
Yang menyatakan
Ni Made Dwi Kristiani
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas asung kertha wara nugraha-Nya Tesis dengan judul “PENJATUHAN PIDANA
MATI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS
PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR)” ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi dalam
menyusun tesis ini, penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya
dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena
itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing,
memberikan masukan, arahan serta saran-saran dalam penyusunan Tesis ini.
2. Bapak Dr. I Gede Artha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II dan juga
selaku Pembimbing Akademik yang telah bersedia penuh kesabaran
membimbing dan memberikan petunjuk, masukan serta saran-saran dengan
dalam penyusunan Tesis ini
3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD., yang merupakan Rektor
Universitas Udayana.
4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)., yang merupakan Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., yang merupakan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.H., LL.M., yang merupakan
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum., yang merupakan
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
8. Bapak Sugeng Riyono, S.H., M.Hum., yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri
Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Pengadilan
Negeri Denpasar.
9. Bapak I Made Suardana, S.H., yang merupakan Panitera Muda Hukum
Pengadilan Negeri Denpasar dan seluruh staf serta pegawai Pengadilan Negeri
Denpasar yang telah bersedia membantu menyediakan data-data bagi penelitian
Tesis ini.
10. Bapak Hasoloan Sianturi, S.H., M.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis
ini.
11. Bapak Cening Budiana, S.H., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis
ini.
12. Bapak Putu Gde Hariadi, SH., yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi informan bagi penelitian Tesis
ini.
13. Bapak Jaya Kesuma, SH.MH yang merupakan Kepala Kejaksaan Negeri
Denpasar, yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Kejaksaan
Negeri Denpasar.
14. Bapak Romulus Halolongan, S.H., yang merupakan Kepala Seksi Tindak Pidana
Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi
informan bagi penelitian Tesis ini.
15. Bapak Eddy Arta Wijayam S.H., yang merupakan Koordinator Penuntutan
Pidana Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu
menjadi informan bagi penelitian Tesis ini.
16. Ibu Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., yang merupakan Jaksa di bagian Pidana
Umum Kejaksaan Negeri Denpasar yang telah bersedia membantu menjadi
informan bagi penelitian Tesis ini.
17. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang
telah memberikan pelayanan administrasi selama penulis menempuh kuliah di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
18. Kedua orang tua saya (alm) Bapak I Made Sumertha S.H., dan Ibu Made
Sukerni, kakak Eka Dharmayanti, adik Disna Triantini dan semua keluarga serta
I Putu Agus Pradipta Putra yang selalu memberikan dukungan, doa serta
kepercayaan dalam menyelesaikan Tesis ini.
19. Teman-teman dekat penulis yaitu Krisna Sintia Dewi, Arya Prima Dewi, Eva
Ditayani Antari, Kade Richa Mulyawati, Budi Prasetyo, teman-teman di
Magister Ilmu Hukum, dan teman-teman Simas yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, terima kasih atas semangat, dukungan, kebersamaan dan
pengalaman yang telah diberikan selama ini.
Meskipun Tesis ini telah selesai, namun di dalamnya masih jauh dari
sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan yang
penulis miliki. Maka dari itu diharapkan adanya kritik, saran, bimbingan dan petunjuk
dari semua pihak sehingga dapat melengkapi dan menyempurnakan Tesis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak dan semoga Tesis ini dapat diterima serta bermanfaat bagi
setiap orang yang membacanya.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Denpasar, 19 Mei 2014
Penulis
ABSTRAK
Penelitian mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme
Bom Bali dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara
mendalam mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Selain itu tujuan penelitian ini juga untuk
mengetahui peranan pidana mati sebagai upaya pencegahan dalam tindak pidana
terorisme. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi tiga terdakwa Bom Bali
mengundang banyak perhatian masyarakat sehingga bermunculan pro dan kontra
terhadap pelaksanaan pidana mati tersebut. Dari pro dan kontra tersebut muncul
pertanyaan apakah dengan pidana mati dapat mencegah dan menanggulangi tindak
pidana terorisme di Indonesia. Hakim menggunakan acuan dari KUHP dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yakni Perpu No. 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002, yang
kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. No. 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002
Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pada kasus terorisme Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan penelitian hukum yuridis empiris
dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan
sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang
berkaitan dengan permasalahan. Penelitian ini mempergunakan teknik non
probability sampling, yaitu purposive sampling dalam penentuan sample penelitian.
Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis secara kualitatif atau
lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat diketahui Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme memiliki pertimbangan-pertimbangan yang
didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis, dan sosiologis, serta tidak terlepas dari
pertimbangan hati nurani dan menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang
dilakukan. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme belum
sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan. Namun pidana mati cukup efektif
dalam upaya memberikan efek jera. Pidana mati merupakan upaya terakhir dalam
usaha pemberantasan terorisme, bukanlah sebagai upaya pencegahan tindak pidana
terorisme.
Kata Kunci : Dasar Pertimbangan Hakim, Pidana mati, Terorisme
ABSTRACT
Research regarding the imposition of the death penalty for the Bali bombing terrorist
acts carried out in order to describe and analyze in depth of the basic considerations
the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism Bom Bali. Other
than the purpose of this study was also to determine the role of the death penalty as
an effort to prevent the criminal act of terrorism. The imposition and execution of the
death penalty for the Bali bombings of three defendants invite the public attention so
that the emerging pros and cons of the implementation of the death penalty. The pros
and cons of the question whether the punishment with the death penalty can be
prevent and counter terrorism in Indonesia. The judge use the reference of the Penal
Code and replacement of government regulation Act (Government Regulation)
Government Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism and
Government Regulation No. 2 of 2002 on the implementation of Government
Regulation No. 1 of 2002 on the eradication of terrorism in terrorism cases Bali
bombing on 12 October 2002, which was passed into Law No. 15 of 2003 concerning
the establishment of Government Regulation No. 1 of 2002 on combating terrorism
and Law No.16 of 2003 on the establishment of Government Regulation No. 2 of
2002 enactment of Government Regulation No. 1 on the eradication of terrorism in
the case of the Bali bombing of 12 October 2002. Methods used in this study is an
empirical legal research juridical nature of the descriptive research using primary
and secondary data sources to study the document and interview techniques as well
as reading materials related to the problem. The research uses non-probability
sampling technique, is purposive sampling in the determination of the research
sample. As for all the data that has been in can be analyzed qualitatively or better
known as the analysis of qualitative descriptions . Based on research that has been
done, it can be seen the judge in imposing the death penalty for the crime of terrorism
have considerations based on the perspective of juridical, philosophical and
sociological, and not apart from considerations of conscience and objectively assess
the offenses committed. The imposition of the death penalty for the crime of terrorism
have not been fully able to be used as a means of prevention . But the death penalty is
quite effective in providing a deterrent effect . Capital punishment is a last resort in
efforts to eradicate terrorism, not as an act of terrorism prevention.
Keywords : Basic Considerations Magistrate, Death Penalty, Terrorism
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu bab
pendahuluan, bab tinjauan umum, bab ketiga dan keempat adalah pembahasan serta
bab yang terakhir adalah penutup.
Bab I, Menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya
permasalahan dalam penelitian ini. Pada kasus terorisme Bom Bali, terdapat tiga
pelaku yang dijatuhi pidana mati oleh Hakim Pengadilan Negeri Denpasar. Pidana
mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis pidana.
Terdapat pandangan-pandangan yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati
tersebut. Satu sisi ada yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang berlaku untuk memberikan efek jera dan mencegah terjadinya
pelanggaran yang lebih parah. Sisi lainnya ada yang menginginkan penghapusan
pidana mati karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Berdasarkan hal
tersebut, maka dalam bab ini juga menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan
teoritis, kerangka berpikir, hipotesis, dan metode penelitian.
Bab II, Menguraikan tinjauan umum mengenai pidana mati dan terorisme
yang dibagi menjadi tiga subbab. Sub bab pertama adalah mengenai pengertian
pidana dan jenis pidana. Subbab kedua adalah mengenai pidana mati dari segi sejarah
pidana mati di Indonesia dan pidana mati dalam Ketentuan Perundang-Undangan
Indonesia. Subbab ketiga adalah mengenai tindak pidana terorisme dari segi
pengertian, karakteristik, tipologi, dan sejarah terorisme.
Bab III, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama
dalam penelitian ini, yang terdiri dari dua aspek, yaitu pertama dasar hukum
penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme berdasarkan KUHP dan
Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dan yang kedua adalah mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana mati tersebut dari perspektif yuridis,
filosofis, dan sosiologis.
Bab IV, Menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua
dalam penelitian ini, yang terdiri dari proses penjatuhan dan pelaksanaan pidana mati
bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terkait dengan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme.
Bab V, merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dari hasil
pembahasan yaitu Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana
terorisme memiliki pertimbangan yang didasarkan atas perspektif yuridis, filosofis,
dan sosiologis yang tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani dan menilai secara
objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjatuhan pidana mati belum
sepenuhnya dapat dijadikan sarana pencegahan, namun cukup efektif dalam upaya
memberikan efek jera yang merupakan upaya terakhir dalam usaha pemberantasan
terorisme. Sehingga saran yang dapat diberikan adalah untuk memeriksa dan
mengadili perkara tindak pidana terorisme sebaiknya dibentuk Pengadilan Khusus
dengan suatu Undang-Undang yang memiliki hukum acara khusus agar hambatan
hukum yang dihadapi dalam penanganan kasus tindak pidana ini dapat diselesaikan
dan sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya lebih
mengoptimalkan kekuatan intelijen nasional dan aparat hukum terkait agar dapat
berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ....................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS .............................................................. iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ............................. v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. vi
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................... vii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... xi
HALAMAN ABSTRACT ................................................................................. xii
RINGKASAN .................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 13
1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................... 13
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 14
a. Tujuan Umum ........................................................................... 14
b. Tujuan Khusus .......................................................................... 14
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 15
a. Manfaat Teoritis ....................................................................... 15
b. Manfaat Praktis ......................................................................... 15
1.6 Orisinalitas Penelitian ................................................................... 16
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................... 20
1.7.1 Landasan Teoritis .............................................................. 20
1.7.2 Kerangka Berpikir ............................................................. 44
1.8 Hipotesis ....................................................................................... 46
1.9 Metode Penelitian ......................................................................... 46
1.9.1 Jenis Penelitian .................................................................. 47
1.9.2 Sifat Penelitian .................................................................. 48
1.9.3 Sumber Data ...................................................................... 48
1.9.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................ 49
1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ................................ 50
1.9.6 Teknik Analisis Data ......................................................... 50
BAB II Tinjauan Umum tentang Pidana Mati dan Terorisme .............................. 52
2.1 Pengertian Pidana dan Jenis Pidana .............................................. 52
2.2 Pidana Mati ................................................................................... 58
2.3 Tindak Pidana Terorisme .............................................................. 66
BAB III Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati Bagi Pelaku
Tindak Pidana Terorisme ..................................................................... 86
3.1 Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana
Terorisme Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme………………………………………………………... 86
3.2 Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam
Tindak Pidana Terorisme Perspektif Filosofis, Sosiologis dan
Yuridis………………………………………………………….. . 97
BAB IV Pengaruh Penjatuhan Pidana Mati dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme…………………………... ........................ 116
4.1 Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana
Terorisme .................................................................................... 116
4.2 Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana
Terorisme……………………………………………………. ... 122
BAB V PENUTUP…………………………………………………………... 146
5.1 Simpulan ..................................................................................... 146
5.2 Saran…………………………………………………………….147
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali……………120
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 tidak dapat dilepaskan dari cita-cita pembaharuan hukum. Di dalam
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia itu sekaligus juga terkandung di dalamnya
pernyataan untuk merdeka dan bebas dari ikatan belenggu penjajahan hukum
kolonial. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping merupakan didorong oleh
keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.
Keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin dicapai dengan
membentuk pemerintah Negara Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang
Dasar.
Pengakuan terhadap hak asasi manusi merupakan salah satu perwujudan
konsep negara hukum, baik dalam bentuk rechtstaat maupun rule of law. Indonesia
sebagai negara yang menganut konsep negara hukum sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUDNRI 1945), mengakui hak asasi manusia. Pengakuan terhadap hak asasi
manusia dinyatakan dalam UUDNRI 1945 sebagai hukum dasar yang berlaku di
Indonesia. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, pengakuan terhadap hak asasi
manusia diatur dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Sedangkan pasca amandemen
terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi manusia semakin dirinci
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28-28I UUDNRI 1945. Khusus
mengenai hak untuk hidup diatur dalam Pasal 28A, yang dinyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”.
Hak asasi manusia merupakan hak alamiah yang melekat dalam setiap
individu sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Marjono
Reksodiputro, hak asasi manusia adalah hak-hak yang sedemikian melekat pada sifat
manusia sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mempunyai martabat sebagai manusia
(inheirent dignity) dan oleh karena itu hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar atau
dicabut.1 Salah satu hak asasi manusia yang yang dijunjung tinggi adalah hak untuk
hidup. Selain itu dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM) juga mengatur mengenai hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Dalam instrumen hukum internasional, pengakuan terhadap hak untuk hidup
diatur dalam ketentuan Pasal 6 International Convention on Civil and Politic Rights
(ICCPR) atau Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang dibentuk pada tanggal 23
1 Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.h.7
Maret 1976.2 Dalam Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak untuk hidup diakui
sebagai non-derogable rights yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya oleh negara pihak, walau dalam keadaan darurat sekalipun.3
Oleh karena itu, dalam keadaan apapun hak untuk hidup seseorang tidak boleh
dibatasi atau dikurangi.
Hak untuk hidup merupakan hal yang bertentangan dengan keberadaan
pidana mati. Hal ini karena pidana mati dianggap telah membatasi hak untuk hidup
seseorang, sedangkan hak untuk hidup merupakan hak yang tidak boleh dibatasi
dalam keadaan apapun. Penjatuhan pidana mati telah dianggap merampas hak hidup
seseorang, sehingga keberadaan pidana mati merupakan hal yang kontroversial
apabila dikaji berdasarkan perspektif HAM, ada pihak yang pro maupun kontra
terhadap pidana mati.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvenan Hak-Hak Sipil
dan Politik diharapkan mentaati ketentuan Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang
pada dasarnya menghendaki adanya penghapusan hukuman mati di setiap negara,
yang tercantum dalam ketentuan Pasal 6 ayat 6 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.4
Di Indonesia pidana mati masih ditempatkan sebagai pidana terberat dan merupakan
2 Sri Utari, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, h. 36. 3 M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, dan
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-hak-
sipil-dan-politik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012. 4 Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan
Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia,
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-
penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan2-hukum-di-indonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012.
salah satu bentuk pidana pokok yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Masih dianutnya pidana mati sebagai jenis pidana dalam KUHP dapat
dikatakan bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Asas lex
superior derogat legi inferiori merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum yang
lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Dalam Konstitusi Negara
Indonesia yaitu dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas dinyatakan
mengenai jaminan atas hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
(non derogable right), namun di dalam peraturan perundang-undangan (KUHP)
masih menganut pidana mati dimana pidana mati merupakan salah satu tindakan
merampas hak hidup seseorang. Jadi dalam penjatuhan pidana mati
mengenyampingkan asas lex superior derogat legi inferiori dan merupakan
pelanggaran terhadap konstitusi.
Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 pidana mati masih ditempatkan
sebagai pidana terberat. Hal ini tercantum dalam Pasal 66 yang dinyatakan bahwa
“Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif”. Dalam Pasal 87 dinyatakan bahwa “Pidana mati secara alternatif
dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”. Dalam
Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat pula ketentuan yang menyatakan bahwa “Jika
permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama
10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati
tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”,
hal tersebut diatur dalam Pasal 90. Sementara dalam konsideran Rancangan KUHP
tahun 2012 tersebut menyatakan bahwa rancangan KUHP ini merupakan perwujudan
upaya pembaharuan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan kenyataan yang pernah terjadi khususnya dalam kasus tindak
pidana terorisme, negara Indonesia menerapkan suatu aturan yang menjatuhkan
pidana mati bagi pelakunya yaitu Amrozi cs dengan menggunakan asas retroaktif
(asas yang berlaku surut), yaitu pada kasus peristiwa peledakan bom Bali I pada
tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa tersebut menelan korban 202 jiwa dari 21 negara.
Atas pertimbangan adanya situasi genting dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka
pemerintah mengambil keputusan dengan menetapkan Perpu No.1 Tahun 2002
menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dan UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2
Tahun 2002 tentang pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan
Bom Bali. Dalam undang-undang tersebut dicantumkan mengenai pelaksanaan
pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme. Sehingga pemerintah Republik
Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas keselamatan bangsa dan Negara,
memandang perlu untuk sesegera mungkin memiliki landasan hukum yang kokoh dan
komprehensif untuk memberantas tindak pidana terorisme, yang dituangkan dalam
kedua undang-undang tersebut.
Pada tanggal 1 Oktober 2005, di Bali kembali terjadi aksi tindak pidana
terorisme dengan tiga kejadian pengeboman secara bersamaan namun pada lokasi
yang berbeda. Lokasi tersebut terjadi satu di wilayah Kuta dan dua di wilayah
Jimbaran. Tempat yang dijadikan sasaran pengeboman tersebut terjadi di Restoran
RAJA’s Kuta Square, Kafe Nyoman Jimbaran, dan Kafe Menega Jimbaran. Dampak
yang ditimbulkan serupa dengan dampak bom Bali pertama, namun tidak sedasyat
bom Bali pertama tersebut. Sedikitnya 22 orang tewas dan 196 korban luka-luka.
Bahkan setelah adanya eksekusi dari terpidana bom Bali pertama yang
dilakukan pada tahun 2008, masih tetap ada terjadi tindak pidana terorisme di
Indonesia. Tindak pidana terorisme tersebut salah satunya terjadi di Jakarta tepatnya
di Hotel JW Marriott, Ritz-Carlton yang terjadi pada 17 Juli 2009. Dampak yang
ditimbulkan dalam kejadian tersebut masih serupa dengan kasus-kasus terorisme di
Indonesia lainnya. Terdapat 9 orang tewas dan 41 orang luka-luka akibat kejadian
tersebut.
Setelah diadakannya Undang-Undang Terorisme tersebut yang juga
mengadakan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, maka timbul problema
dalam masyarakat mengenai pelaksanaan hukuman mati ini, apakah melanggar HAM
atau tidak. Mantan menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan
bahwa hukuman mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Selain itu
menurut Yusril Ihza Mahendra biaya yang ditanggung oleh abolisi hukuman mati
tidak setimpal dengan keuntungan yang diperoleh.5 Sesama mantan menteri
Kehakiman dan HAM, Muladi menyatakan hal yang sama. Menurut Muladi korban
yang ditimbulkan oleh pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.6
Terorisme bukanlah kejahatan biasa (ordinary crime), namun telah menjadi
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas
dan sistematik dan telah menewaskan ratusan bahkan ribuan orang yang tidak
bersalah. Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa
takut dan mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia serta membahayakan
nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip di dalam hukum internasional.
Peristiwa terorisme merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan
politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak untuk memerangi
terorisme sebagai musuh internasional. Dalam perkembangan aksi teroris saat ini
telah membuat dunia menjadi tidak aman. Saat ini tidak ada tempat yang aman dan
dapat dikatakan bebas dari ancaman teroris. Ancaman teroris dapat terjadi kapan saja
dan di mana saja serta dapat mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Karena
dampak yang dirasakan tidak hanya bagi warga Indonesia mengenai keamanan, tetapi
dapat memengaruhi dan menimbulkan pendapat yang negatif bagi mancanegara.
Berdasarkan data periode 2005, 2006, dan 2012 yang diperoleh dari
Kejaksaan Republik Indonesia, masih terlihat adanya penjatuhan pidana mati dalam
5 Al Araf dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta, h. xvi
6 Ibid
tindak pidana terorisme. Dalam tahun 2005, terdapat 3 orang yang dijatuhi pidana
mati. Dalam periode tahun 2006, terdapat 3 orang lagi yang dijatuhi pidana mati.
Sedangkan dalam periode tahun 2012 terdapat 2 orang yang dijatuhi pidana mati.7
Hukum memiliki beberapa fungsi, salah satunya adalah mengatur dan
membina perilaku manusia. Hukum memiliki suatu sanksi untuk mengatur dan
menjadi pedoman dalam bertingkah laku dimasyarakat, sehingga hukum diposisikan
pula sebagai sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu
sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun
perbuatan-perbuatan yang membahayakan. Penjatuhan pidana sebagai penderitaan
kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya
dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu
bentuk pidana yang paling berat tersebut adalah pidana mati.
Pidana mati merupakan satu jenis pidana paling kontroversial dari semua jenis
pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di
negara-negara yang menganut sistem Civil Law. Terdapat pandangan-pandangan
yang pro dan kontra terhadap eksistensi pidana mati tersebut. Satu sisi ada yang ingin
tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk
memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pelanggaran yang lebih parah. Sisi
lainnya ada yang menginginkan penghapusan pidana mati dalam sistem hukum
pidana karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan.
7 Kejaksaan Republik Indonesia, 2012, Sumber Data Sunprolapnil Bidang Tindak Pidana Umum
per-20 Desember 2012, http://www.kejaksaan.go.id/laporan _tahunan.php?idc=7&idsc=5, (diakses
tanggal 13 Mei 2013)
Beberapa Negara Amerika Serikat dan Negara-negara Uni Eropa, telah
melakukan penghapusan terhadap pidana mati dalam sistem hukum mereka. Bagi
kebanyakan negara, soal pidana mati itu tinggal mempunyai arti dari sudut kultur
historis karena kebanyakan negara-negara tidak mencantumkan lagi pidana mati
dalam kitab undang-undangnya.8 Negeri Belanda juga telah menghapuskan pidana
mati itu pada tahun 1870, berdasarkan Stb. 162 tanggal 17 September 1870.9 Di
Indonesia ketentuan pidana mati masih diberlakukan dalam hukum positif, antara lain
dalam KUHP dan undang-undang pidana khusus lainnya. Adapula negara lainnya
seperti Gambia, dimana secara de jure mengatur pidana mati tetapi dalam tempo 10
tahun terakhir tidak pernah menjatuhkan atau mengeksekusinya. Dengan alasan
tertentu beberapa negara mengaktifkan kembali (reinstated) pidana mati tersebut.
Gambia pada tahun 1993 menghapuskan pidana mati, tetapi di bawah rezim militer
pada Tahun 1995 mengaktifkan kembali pidana mati tersebut. Negara Brazil
menghapuskan pidana mati pada tahun 1882 tetapi mengaktifkan kembali pidana mati
pada tahun 1969 untuk kejahatan politik, dan kemudian mencabutnya kembali pada
tahun 1979.10
Mengenai pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini, jika dikaitkan
dengan Pasal 6 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, masih
8 Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h.15
9 I Made Widnyana, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana I), h.13
10
Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan
Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, h.136
memberikan peluang untuk diterapkannya pidana mati. Karena terorisme dapat
dikualifikasikan kejahatan genosida, dimana pada kasus bom Bali terdapat ratusan
korban jiwa dari penduduk sipil, baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga
negara asing. Selain itu kerugian lainnya adalah baik itu dari segi materiil seperti
harta benda, fasilitas penduduk, dan non materiil seperti rasa trauma dan penderitaan
dari keluarga korban yang ditinggalkan.
Mempertahankan hukuman mati bertentangan dengan beberapa prinsip dan
standar internasional mengenai pemidanaan. Standard Minimum Rules for the
Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966
menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku
kejahatan.11
Dilihat dari beberapa Instrumen HAM tersebut dan ketentuan di atas, terlihat
masih adanya kerancuan dalam ketentuan tersebut. Disatu sisi HAM menganggap
setiap tindakan penghilangan nyawa secara paksa merupakan pelanggaran atas hak
untuk hidup. Namun disisi lain hukuman mati masih tetap dipertahankan sebagai
sarana dalam menanggulangi beberapa jenis tindak pidana tertentu yang akan
mengancam keselamatan umat manusia.12
Belum adanya rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif
Indonesia menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang
11 Zainal Abidin, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan
Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.2
12
Ibid, h. 107
tidak konsisten dan tumpang tindih.13
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan
bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik
penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan
pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana, atau tindakan
yang akan digunakan.14
Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak
terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat
disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.15
Dalam Rancangan KUHP tahun 2012 Pasal 101, dijelaskan bahwa sistem
pemidanaan yang dianut adalah sistem pemidanaan dua jalur (double track system).
Double track system ini pertama kali dikemukakan oleh Soedarto. Menurut Soedarto,
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas
Diponegoro Semarang pada tanggal 21 Desember 1974, sistem dua jalur tersebut di
samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment)
dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment).16
Peran aparat penegak hukum, terutama hakim sangat berperan dalam
implementasi hukuman mati di Indonesia, selain ditunjang oleh adanya hukum yang
mengatur dan mengakui adanya hukuman mati untuk dijatuhkan pada pelaku
kejahatan-kejahatan tertentu di Indonesia. Hakim berperan penting, dimana ia
13 Ibid, h.131
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni,
Bandung, h.95.
15
Ibid, h.89
16
M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.25
mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan
menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu.17
Hakim dan aparat penegak
hukum lainnya tidaklah mendapatkan kebebasan sepenuhnya tanpa pedoman atau
kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi
pengendali/kontrol dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan
motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.18
Penerapan pidana mati dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak
kriminal. Ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap
kejahatan. Terkait dengan penerapannya, harus dilakukan seselektif mungkin.
Terpidana tidak boleh terlalu lama menunggu waktu untuk dieksekusi.
Upaya mencegah tindak pidana terorisme dengan menjatuhkan pidana mati
bagi pelakunya masih dipertanyakan efektifitasnya, sehingga mempengaruhi posisi
pidana mati dalam sistem pemidanaan di masa akan datang. Meskipun di Indonesia
telah ada penjatuhan pidana mati bagi beberapa pelaku tindak pidana terorisme,
namun masih saja ada terjadi tindak pidana terorisme di beberapa wilayah di
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka mengenai penjatuhan pidana mati perlu
untuk dikaji, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Bahasan tersebut akan dikaji
penulis dalam bentuk thesis yang berjudul “PENJATUHAN PIDANA MATI
17 Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia), UMMPress,
Malang, h.57
18
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 107
DALAM TINDAK PIDANA TERORISME BOM BALI (STUDI KASUS PADA
PENGADILAN NEGERI DENPASAR)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik
dua rumusan masalah yaitu :
1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme bom Bali?
2. Apakah penjatuhan pidana mati dapat menjadi sarana pencegahan terhadap
tindak pidana terorisme?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Ruang Lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal
penelitian.19
Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-
pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup
masalah yang akan dibahas.
Ruang lingkup dalam penulisan ini akan mengkaji mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi pelaku tindak
pidana terorisme, khususnya pada kasus terorisme bom Bali yang berkaitan dengan
rumusan masalah pertama. Dalam rumusan masalah kedua akan dikaji mengenai
19 Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.111
dapat atau tidaknya penjatuhan pidana mati menjadi sarana pencegahan terhadap
tindak pidana terorisme.
Kedua hal tersebut dikaji dengan beberapa teori dalam hukum pidana yang
relevan dengan KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012 di Indonesia, dimana kedua
permasalahan tersebut berkaitan dengan tujuan pemidanaan khususnya pidana mati.
Pidana mati merupakan pidana yang paling berat dalam sistem hukum pidana di
Indonesia. Jika dilihat dalam konteks hukum pidana, sanksi pidana mati masih diakui
eksistensinya sebagai sanksi terakhir yang dijatuhkan pada tindak pidana tertentu
saja. Dalam KUHP dan Rancangan KUHP tahun 2012, masih terlihat adanya sanksi
pidana mati tersebut.
1.4.Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
1. Untuk mengkaji dan menganalisis sanksi pidana mati terkait dalam
sistem pemidanaan Indonesia.
2. Untuk memberikan kontribusi bagi ilmu hukum pada umumnya dan
sistem pemidanaan di Indonesia pada khususnya.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai dasar pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Denpasar dalam menjatuhkan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana terorisme bom Bali, serta alasan-alasan yuridis
dan non yuridis penjatuhan pidana mati tersebut.
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai penjatuhan pidana mati
terkait sebagai sarana pencegahan terhadap tindak pidana terorisme di
Indonesia.
1.5.Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian
sebuah karya ilmiah dengan pengembangan wawasan keilmuan peneliti, sehingga
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan ilmu hukum. Manfaat
teoritis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat memberi masukan
yang dianggap berguna dan bermanfaat untuk pengembangan studi ilmu hukum
terkait dengan penjatuhan pidana mati di Indonesia, apa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana
terorisme serta pidana mati dijadikan sebagai sarana pencegahan khususnya
dalam tindak pidana terorisme.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini bukan hanya ditujukan bagi penulis sendiri,
tetapi juga bermanfaat bagi institusi penegak hukum, khususnya hakim dan juga
bermanfaat bagi kalangan masyarakat termasuk mahasiswa, khususnya
mahasiswa fakultas hukum untuk mendalami hukum pidana, terkait hal
pemidanaan. Bagi institusi, penelitian ini bermanfaat guna memberikan
sumbangan pemikiran guna pengembangan studi di bidang hukum pidana,
khususnya terkait dengan penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme
bom Bali. Adanya penjatuhan pidana mati terkait tindak pidana terorisme dapat
menjadi dasar pertimbangan para hakim dalam memutus perkara suatu tindak
pidana agar dapat bertindak secara proporsional sehingga mencerminkan
keadilan bagi masyarakat. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk
membantu penulis mengetahui, memahami serta mengkaji lebih dalam mengenai
penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme bom Bali, terkait pada
dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak
pidana terorisme bom Bali serta penjatuhan pidana mati tersebut dijadikan
sebagai upaya pencegahan. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini nantinya
diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan pengetahuan yang
berkaitan dengan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme sebagai
upaya pencegahan terhadap tindak pidana terorisme.
1.6.Orisinalitas Penelitian
Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis merupakan
hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan implementasi dari
penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme oleh Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar.
Dari informasi yang ada dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan
Pascasarjana Universitas Udayana dan informasi dari beberapa Universitas lainnya
maka penelitian yang penulis ajukan, belum pernah ada yang melakukan penelitian
mengenai hal tersebut sebelumnya.
Namun penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki
bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan pidana mati,
antara lain:
1. Judul Penelitian : HUKUMAN MATI DAN HAK ASASI MANUSIA
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penulis : Mohammad, S.H.,M.H.
Universitas : Universitas Madura
Hal yang dikaji :
- Pidana Mati Dalam Perundang-undangan Indonesia
- Efektifitas Penjatuhan Hukuman Mati Di Indonesia
- Hukuman Mati Ditinjau Dari Penegakan HAM Di Indonesia
2. Judul Penelitian : IMPLEMENTASI PIDANA MATI TERHADAP
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
Penulis : Jacky Situmorang (NIM: 020200156)
Universitas : Universitas Sumatera Utara (2008)
Hal yang dikaji :
- Mengapa pidana mati masih digunakan dalam kebijakan penanggulangan
kejahatan.
- Perkembangan pidana mati dalam berbagai ketentuan pidana di Indonesia.
- Implementasi pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan.
3. Judul Penelitian : PENERAPAN PIDANA MATI DITINJAU DARI
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
Penulis : Nevey Varida Ariani (NIM : 00120096 / 00400463)
Universitas : Universitas Muhammadiyah Malang (2005)
Hal yang dikaji :
- Jenis-jenis kejahatan yang diancam dengan pidana mati menurut perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif.
- Penerapan pidana mati dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
4. Judul Penelitian : KEBIJAKAN PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA TERORISME DI INDONESIA
Penulis : Gede Agung Patra Wicaksana
Universitas : Universitas Udayana (2008)
Hal yang dikaji :
- Urgensi penggunaan asas retroaktif dalam kebijakan pemberantasan
tindak pidana terorisme di Indonesia
- Peran Intelijen dalam kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme
di Indonesia
5. Judul Penelitian : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG
UNDANG NO 15 TAHUN 2003 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME
Penulis : Elias Zadrach Leasa
Universitas : Universitas Udayana
Hal yang dikaji :
- Kebijakan kriminalisasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme
- Kebijakan pidana dan pemidanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
6. Judul Penelitian : HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUMAN MATI
SERTA IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Penulis : Dwi Kuncahyo
Universitas : Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Hal yang dikaji :
- Hukuman mati terkait dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia.
- Implementasi pidana mati di Indonesia dalam bingkai Hak Asasi
Manusia.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori-teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma
dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan
penelitian.20
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan asas-asas hukum, doktrin,
konsep hukum, dasar hukum dan teori-teori hukum sebagai landasan teoritis.
Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya suatu norma hukum”.21
Asas-asas hukum sangatlah penting yang
menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-
undangan. Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni meliputi
asas-asas hukum yang selayaknya diperlukan untuk dapat mewujudkan proses hukum
yang adil. Asas tersebut antara lain adalah asas non retroaktif dan asas tiada pidana
tanpa kesalahan.
Dalam hal menjatuhkan pidana mati dalam tindak pidana terorisme,
didasarkan pada Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana
Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di
Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam pemberlakuan kedua Perpu tersebut terlihat
20 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, h. 64.
21
M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan
pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56.
adanya eksistensi asas retroaktif, yaitu asas berlaku surut yang digunakan dengan
alasan negara dalam keadaan darurat, sifat darurat keberlakuan asas retroaktif ini
tidak berada dalam keadaan yang merugikan hak asasi tersangka/terdakwa, dan
substansi dari suatu aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan
substansi secara tegas dan tidak menimbulkan multitafsir.22
Asas retroaktif ini masih
menjadi polemik karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf I angka (1) UUDNRI
1945, yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. dimana
Perpu ini dikeluarkan pada 18 Oktober 2012 setelah terjadinya kasus terorisme bom
Bali pada 12 Oktober 2012.
Terkait asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld) untuk
menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus
dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Setiap orang yang
dijatuhi pidana harus terbukti melakukan suatu kesalahan sehingga penjatuhan pidana
dapat secara proporsional diterapkan sesuai dengan kesalahannya.
Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang memiliki
pengaruh besar terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara. Pendapat-
pendapat para pakar dalam bidangnya masing-masing yang berpengaruh”.23
Doktrin
yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai pidana mati dan terorisme.
22 O.C Kaligis, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates, Jakarta, h.44
23
Ibid, h. 176.
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere”
yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa
menimbulkan kengerian.24
Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang
memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.25
Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the
Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM
terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui
bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih
diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di
Bali).26
Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana
Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu
pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang
menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu.
Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi
terorisme adalah persoalan politik”.27
Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang
merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan
pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar
24 Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT.
Refika Aditama, Bandung, h.22
25
Ibid
26
Ibid
27
O.C Kaligis, Op.cit, h.35
dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh
dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.28
T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai
tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah
laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan.29
Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror
dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai sesuatu.30
James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan
atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk
tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang
ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari
pada korban-korban secara langsung.31
Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan
kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan
ideologis.32
Tujuan penjatuhan pidana mati terkait tidak pidana terorisme, bukan saja
untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tapi juga sebagai suatu upaya
28 Abdul Wahid, dkk., Op.Cit, h.30
29
Mahrus Ali, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing, Jakarta,
h.2
30
Ibid
31
Ibid
32
Aulia Rosa Nasution, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam
Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
xiii
pencegahan terhadap tindak pidana terorisme itu sendiri. Pidana mati merupakan
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Dalam Rancangan KUHP tahun 2012
Pasal 87, dinyatakan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat”.
Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam penelitian ini
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KUHP,
Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Perpu No. 1 Tahun
2012 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu No.2 tahun 2002
tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana
Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Adapun konsep dan teori hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
antara lain sebagai berikut :
1. Konsep Negara Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa
perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.33
Pemberian perlindungan
hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim
yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya”.34
Berkaitan dengan keadilan, John
Rawls menyatakan bahwa terdapat dua prinsip keadilan (two principles of justice),
yaitu :
First : each person is two have an equal right to the most extensive basic
liberty compatible with a similar liberty for other.
Second : social and economic inequalities are to be arranged so that they are
both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage, and (b) attached to
positions an offices open to all.35
Prinsip-prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : pertama, ditentukan bahwa
setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ditentukan bahwa ketimpangan
sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan
memberi keuntungan bagi semua orang dan (b) semua posisi jabatan terbuka bagi
semua orang.
33 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka, h.410.
34
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, h.155.
35
John Rawls, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard University
Press, Cambridge Massachusetts, h.60.
Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Philipus M.
Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya negara hukum Pancasila, maka
terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, yang mana
pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan dalam hukum sebagai suatu
pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung jawabkan dan tidak
diskriminatif.
Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga
Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu
tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah
sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility)
dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah
melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu
diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan
maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum
warga negara.
Dalam negara hukum kekuasaan negara dan politik tidaklah absolut, karena
adanya pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan
politik tersebut. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menghindari timbulnya
kesewenang-wenangan dari pihak penguasa. Oleh karena itu dalam suatu negara
hukum, hukum akan memainkan peranan yang penting, serta berada di atas
kekuasaan negara dan politik yang menimbulkan munculnya istilah pemerintah di
bawah hukum (goverment under the law).36
Adapun beberapa istilah yang dikenal
untuk menyebut negara hukum antara lain Rechtstaat (Belanda), Rule of Law
(Inggris), Etat de Droit (Prancis), dan Stato di Doritto (Italia).37
Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang
mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya
semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat)
harus tunduk pada hukum.38
Ajaran kedaulatan hukum menempatkan hukum pada
kedudukan tertinggi. Dengan demikian, negara melalui pemerintahan ditingkat pusat
maupun di tingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masyarakat
memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, yang salah satu upayanya
adalah melalui hukum.39
Plato menyatakan konsep negara hukum adalah sebuah negara haruslah
berdasarkan peraturan yang dibuat rakyat. Dalam sejarah ketatanegaraan selanjutnya
dikenal negara hukum sempit sebagai ajaran Immanuel Kant yang memandang
negara sebagai alat perlindungan hak asasi dan pemisahan kekuasaan.40
Indonesia menganut konsep negara hukum yang secara konstitusional diatur
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Menurut Friedman, negara hukum
36
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, h.2 37
Ibid. 38
Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78. 39
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja
Karya, Bandung, h. 11.
40
I Made Subawa dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Wawasan,
Denpasar, h.56
mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.41
Munir Fuady
berdasarkan sejarah munculnya konsep negara hukum berpandangan bahwa negara
hukum merupakan suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang
berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang
dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk
pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan
setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang
rasional. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa dalam negara hukum kewenangan
pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga
pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat
dan karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara
demokratis.42
Unsur-unsur Rechtstaat menurut Frederich Julius Stahl terdiri atas 4 (empat)
unsur pokok, yaitu: 43
a. Asas legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang);
b. Pembagian kekuasaan;
c. Perlindungan hak-hak asasi manusia; dan
d. Adanya peradilan administrasi.
Berbeda dengan unsur-unsur Rechtstaat yang dikemukakan di atas, konsep
Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :
41
Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London, h. 456. 42
Munir Fuady, Op. Cit., h. 3. 43
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, h. 8-9.
- Supremacy of law;
- Equality before the law; dan
- The constitution based on individual rights.44
Selain unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan di atas, beberapa
prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum juga dirumuskan berdasarkan hasil
konferensi South-East Asian and Pacific Confrence of Jurist di Bangkok. Adapun
prinsip-prinsip tersebut yaitu:45
1. Prinsip perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu secara
prosedural dan substansial;
2. Prinsip badan pengadilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat;
4. Prinsip pemilihan umum yang bebas;
5. Prinsip kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi; dan
6. Prinsip pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Sebagai negara hukum (negara hukum formil), Immanuel Kant menyebutkan
ada 4 (empat) unsur yang ditetapkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Pemisahan kekuasaan;
3. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang;
4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.46
Sri Soemantri Martosoewignjo menyatakan pandangannya mengenai 4
(empat) unsur yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:47
44
Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, h. 256. 45
Ibid, h. 257
46
I Made Subawa, dkk., Loc. Cit.
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtsterlijke controle).
2. Teori Pidana dan Pemidanaan
Pidana merupakan suatu akibat yang timbul dari suatu perbuatan tindak
pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut. Pidana berasal dari kata
straf (Belanda), yang didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (strafbaar feit).48
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 10 terdapat stelsel KUHP yang membedakan pidana menjadi
dua kelompok yaitu :
1. Pidana Pokok, yang terdiri dari
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana tutupan; (ditambahkan berdasarkan UU No.20 Tahun 1946)
d. Pidana kurungan; dan
47 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, h. 29.
48
Adami Chazawi, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, h.24
e. Pidana denda.
2. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :
a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
b. Pidana perampasan barang-barang tertentu;
c. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan sangatlah penting dalam
hukum pidana dan peradilan, karena merupakan konkretitasasi dari peraturan pidana
dalam undang-undang yang bersifat abstrak.
Penjatuhan beberapa macam sanksi pidana pada dasarnya merupakan
otoritas negara, dimana negara berhak menjatuhkan pidana kepada warganya. Hal ini
berkaitan erat dengan pengertian subjectief strafrecht (jus puniendi) sebagai hak atau
wewenang untuk menentukan dan menjatuhkan pidana.49
Selain negara tidak ada
suatu subyek hukum lain yang mempunyai jus puniendi.
Terdapat berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan,
diantaranya dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu :
1. Teori Pembalasan atau teori absolute (vergeldings theorien)
Teori pembalasan menentukan bahwa setiap pelaku kejahatan harus
dipidana. Hal ini menunjukkan bahwa pemidanaan seseorang didasarkan pada
perbuatan yang telah dilakukan dan tidak melihat akibat-akibat yang dapat
ditimbulkan dari penjatuhan pidana itu. Penjatuhan pidana dimaksudkan
49 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h.
20
untuk memberikan penderitaan bagi pelaku kejahatan dan memberikan rasa
keadilan. Jadi pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan dimana dasar pembenar
dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.50
Nigel Walker memberikan 3 (tiga) pengertian mengenai pembalasan
(retribution), yaitu :
a) Retaliatory retribution, adalah dengan sengaja membebankan suatu
penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu
menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang
dilakukannya;
b) Distributive retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah
melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-
persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka
mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana;
c) Quantitative retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga
bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman
yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.51
Asas pembalasan (talio) telah dikenal dalam perundang-undangan
Hammurabi. Begitu pula pada bangsa-bangsa kuno yang beradab lainnya
seperti bangsa Mesir dengan hukum Romawi dan hukum Islamnya. Namun
jauh sebelumnya asas pembalasan telah dikenal pula dalam early Germanic
System.52
50 I Gede Widhiana Suarda, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan Pemberat
Pidana, Bayu Media, Jember, h.14
51
J.E.Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni,
Bandung, h.153
52
Ibid, h.153-154
Pembalasan dalam bentuk pidana dianggap suatu syarat keadilan,
namun syarat keadilan ini oleh para penganut teori pembalasan dilihat secara
tidak sama. Hal tersebut dilihat dari adanya teori pembalasan kuno yang
dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Thomas Aquino dan teori pembalasan
modern yang dianut oleh Van Bemmelen, Pompe, dan Leo Polak.
Kant berpendapat bahwa barang siapa yang melakukan kejahatan
harus dipidana. Tuntutan pembalasan menjadi suatu syarat yang etis dengan
tujuan keadilan bukan tujuan-tujuan lain yang dapat membenarkan dijatuhkan
pidana.53
Menurut Hegel, persyaratan dipidananya penjahat berdasarkan
keadilan dialektik, dengan melihat kejahatan sebagai pengingkaran hukum.
oleh karena itu setiap kejahatan harus dipidana. Namun harus ada
keseimbangan antara pidana dan kejahatan yang diperbuat. Keseimbangan
tersebut bukan keseimbangan jenis (soortelijke gelijkheid) melainkan
keseimbangan nilai (waarde).54
Selanjutnya mereka yang termasuk dalam penganut teori pembalasan
modern mempunyai pandangan-pandangan yang lebih halus. Pompe melihat
pembalasan sebagai akibat dari dilanggarnya norma-norma, diperkosanya
ketertiban hukum dan oleh karena itu sudah tepat yang bersangkutan dipidana.
Pompe menekankan bahwa kesalahan dalam hal ini bercorak suatu kesalahan
53 Ibid, h.154
54
Ibid, h.155
yuridis karena menyangkut hukum pidana. Akibat dari suatu perbuatan pidana
sangat memegang peranan, sehingga beliau setuju dengan adanya pidana yang
ringan, karena pemidanaan bukan untuk menderitakan tetapi bagaimana
membatasi kebebasan pelaku kejahatan.55
Mengenai teori pembalasan, Van Bemmelen menyatakan bahwa si
penjahat hendaknya tidak diperbolehkan menikmati kejahatannya. Ia harus
merasakan nestapa untuk melihat kesalahannya.
J.E.Sahetapy menyimpulkan teori pembalasan sebagai berikut :
1) Teori pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa
lampau, tidak dalam pertaliannya dengan masa depan si terpidana;
2) Teori pembalasan belum memberi tempat yang wajar kepada beberapa
asas, yaitu asas oportunitas, grasi, amnesty, abolisi, daluwarsa, ddan
sebagainya;
3) Teori pembalasan yang kuno telah diperhalus dengan teori pembalasan
yang modern dan secara teoritis-akademis teori pembalasan masih
mempunyai relevansi.56
2. Teori tujuan atau teori relatif (doel theorien)
Teori tujuan atau teori relatif ini berdasar pada pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.57
Teori tujuan
55 Ibid, h.157
56
Ibid, h.163
melihat pada akibat-akibat yang timbul karena adanya pemidanaan, tidak
melihat pada kejahatan yang telah terjadi.
Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan
melainkan dengan tujuan supaya orang tidak melakukan kejahatan.58
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana
itu memiliki 3 (tiga) macam sifat, yaitu :
- Bersifat menakut-nakuti (afchrikking);
- Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
- Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).59
Melihat alasan penjatuhan pidana mati oleh hakim J. Bernett di Inggris
pada abad ke-18, “engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri
kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi”.60
Pidana yang
dijatuhkan disini bukanlah karena orang membuat kejahatan melainkan agar
orang tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat bukan aspek pembalasannya
tetapi aspek menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut.
Dalam teori tujuan ini terdapat sifat pencegahan yang terdiri dari 2
(dua) macam, yaitu :
- Pencegahan umum (general preventie);
57 Adami Chazawi, Op.Cit, h.161
58
I Gede Widhiana Suarda, Op.Cit, h.15
59
Adami Chazawi, Op.Cit, h.162
60
J.E.Sahetapy, Op.Cit, h.164
- Pencegahan khusus (speciale preventie).61
Teori pencegahan umum meletakkan pelaksanaan pidana harus
dilakukan secara kejam dan dimuka umum untuk mencapai dan mempertahankan
tata tertib masyarakat melalui pemidanaan.62
Sehingga dengan ancaman pidana
yang berat sebagai sarana untuk menakut-nakuti agar orang tidak melakukan
kejahatan. Pelopor teori ini antara lain Von Feuerbach dan Muller.
Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa
(Psychologische Zwang Theorie) dalam bukunya yang berjudul Lehbuch des
Peinlichen Rechts (1801). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana
merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah
mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak
pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut
sehingga harus dicantumkan dalam undang-undang.63
Selain Feuerbach, terdapat adagium yang diperkenalkan oleh Francis
Bacon (1561-1626) yaitu “moneat lex, priusquam feriat” dimana undang-undang
harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman
yang terkandung di dalamnya.64
Dari adagium tersebut dapat diartikan bahwa
undang-undang merupakan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi
pelanggaran undang-undang.
61 Adami Chazawi, Loc.Cit
62
Ibid, h.163
63
Fajrimei A Gofar, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas Dalam
Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta, h.4
64
Ibid
Dalam teori pencegahan khusus tujuan pidana adalah mencegah
pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan
kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Jadi teori pencegahan
khusus ini meletakkan pencegahan pada pelaku kejahatan. Pelopor teori ini adalah
Van Hamel.
Dalam konsep Rancangan KUHP Tahun 2012, dalam Pasal 54 ayat (1)
dinyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pada Pasal 54 ayat (2) juga dinyatakan bahwa Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
3. Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat.65
Dalam teori gabungan dengan mengedepankan
pembalasan, pembalasan tersebut tidak serta merta boleh melampaui batas dari apa
65 Ibid, h.166
yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.66
Pompe
berpendapat bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga
bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat
diselamatkan dan terjamin dari kejahatan.67
Zevenbergen berpandangan bahwa
makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi
tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan
ketaatan pada hukum dan pemerintahan.68
Dalam teori gabungan dengan menitikberatkan pada tata tertib hukum dan
masyarakat, dipelopori oleh Thomas Aquino dan Vos. Thomas Aquino berpandangan
bahwa dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus terdapat
kesalahan pada perbuatan yang dilakukan dengan sukarela, dimana pidana tersebut
bersifat pembalasan. Sifat pembalasan tersebut merupakan sifat umum dari sebuah
pidana, namun tetap dengan tujuan pertahanan dan perlindungan tata tertib
masyarakat.69
3. Teori Ganjaran (Desert Theory)
Munculnya Desert Theory pertama kali dikemukakan oleh Andrew Von
Hirsch dan Andrew Asworth. Dalam bahasa Indonesia Desert Theory dapat disebut
teori ganjaran yang merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang
66 Ibid
67
Ibid, h.167
68
Ibid
69
Ibid, h.168
proporsionalitas dalam pemidanaan. Desert theory diterjemahkan sebagai “the dessert
rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflectthe degree of
reprehensibleness (that is, the harmfulness and culpability) of the actor conduct”.70
Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan
kesalahan dari pelaku. Teori ini amat berkolerasi dengan adagium “only the guilty
ought to be punished” atau dalam literatur hukum pidana Indonesia dikenal sebagai
asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld). 71
Karenanya adalah
terlarang untuk menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah dan
penjatuhan pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang
dibuat oleh seorang pelaku tindak pidana.72
Desert theory mensyaratkan adanya perimbangan antara kesalahan dan
hukuman (ganjaran). Sungguh sulit menilai kesalahan karena hal itu merupakan suatu
yang abstrak. Ukuran yang dipakai untuk menimbang besar kecilnya kesalahan
sangat erat kaitannya dengan jenis pidana yang dilakukannya.73
Secara umum ukuran untuk menyatakan suatu tindak pidana masuk dalam
katagori berat atau ringan bergantung kepada beberapa hal, antara lain diantaranya :
a. Nilai kerugian materiil yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak pidana
yang terjadi
70Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung, Bandung, h.38
71
Ibid , h.39
72
Ibid
73
Ibid
b. Pandangan atau penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan pada saat
waktu tertentu.
c. Dampak dari perbuatan pelaku terhadap korbannya.
d. Modus operandi tindak pidana yang dilakukan pelaku.74
Mengenai Desert Theory ini, Gerry A. Ferguson menyatakan bahwa ganjaran
yang setimpal, didasari bukan pada balas dendam namun lebih tepatnya adalah
beratnya sanksi seharusnya didasarkan atas beratnya perbuatan yang dilakukan.
Dengan demikian, sanksi ganjaran yang setimpal harus sebanding dengan perbuatan
yang dilakukan dan tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku kejahatan.75
4. Teori Perlindungan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III menyebutkan bahwa
perlindungan adalah tempat berlindung atau melindungi.76
Pemberian perlindungan
hukum tidak terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (Machstaat). Menurut Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim
yang dimaksud negara hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya”.77
Indonesia merupakan negara hukum
yang berlandaskan Pancasila. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya
74 I Gede Artha, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya Bagi
Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h.201
75
M. Sholehuddin, Op.cit, h. 63
76
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, Loc.Cit.
77
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Loc.Cit.
negara hukum Pancasila, maka terwujudlah perlindungan hak asasi manusia bagi
setiap warga negara, yang mana pengakuan yang berkaitan dengan perlindungan
dalam hukum sebagai suatu pelaksanaan hak asasi manusia yang dapat dipertanggung
jawabkan dan tidak diskriminatif. Salah satu ciri lain dari negara hukum adalah
adanya asas persamaan di muka hukum (equality before the law) dimana tersangka
atau terdakwa juga mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum.
Pancasila merupakan landasan idiil yang menjadi sumber dari asas-asas
perlindungan hukum. UUD Negara RI 1945 sebagai asas konstitusional (struktural),
dan Undang-Undang sebagai asas operasional. Dalam Pancasila konsep perlindungan
hukum mempunyai landasan idiil (filosofis) hukumnya pada sila ke -5 yaitu
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia di dalamnya terkandung suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk
diperlakukan sama di depan hukum.
Konsep perlindungan hukum juga memperoleh landasan konstitusional dalam
pembukaan UUD 1945 pada alenia ke-4, yaitu : “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial .....”.
Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadi antara pemerintah dengan warga
Negara tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan suatu
tindakan hukum tersebut. Pemerintah mempunyai dua kedudukan yaitu pemerintah
sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek recht person, public legal entility)
dan pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah
melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan itu
diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan
maupun tindakan hukum publik dapat menjadi peluang munculnya suatu perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak dari subyek hukum
warga negara.
Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari negara hukum.
Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang
bertentangan dengan hukum yang dilakukan pemerintah. Perlindungan hukum terdiri
dari dua bentuk yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum
represif.
1. Perlindungan Hukum Preventif
Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan
hukum yang preventif ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan
adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M.
Hadjon preventif merupakan keputusan-keputusan dari aparat pemerintah
yang lebih rendah yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah
tindakan pencegahan78
. Jika kita bandingkan dengan teori perlindungan
hukum yang represif, teori perlindungan hukum yang preventif dalam
perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari
pentingnya teori perlindungan hukum preventif terutama dikaitkan dengan
azas feis ermesen (discretionaire bevoegdheid). Dengan adanya teori ini
sebelum pemerintah menerapkan bestemming plannen, rakyat dapat
mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusannya79
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa
yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Saat ini di Indonesia
terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan
hukum bagi rakyat.
Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari :
a. Perlindungan hukum aktif, yaitu upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar.
78 Hadjon dkk, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada University,Yogyakarta, h.3
79
Ibid
b. Perlindungan hukum pasif, untuk mengupayakan pencegahan atas upaya yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil, termasuk di
dalamnya adalah :
1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman.
2) Mewujudkan kedamaian sejati.
3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat.
4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.80
1.7.2 Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teoritis dan landasan teori yang digunakan untuk
membahas masalah penelitian, dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut :
80 Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta, h.23
data
data
2. Apakah penjatuhan
pidana mati dapat
menjadi sarana
pencegahan terhadap
tindak pidana terorisme?
Teori Pidana dan
Pemidanaan
Penjatuhan Pidana
Mati Dalam Tindak
Pidana Terorisme
Bom Bali
(Studi Kasus Pada
Pengadilan Negeri
Denpasar)
1. Apakah dasar
pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan
pidana mati bagi pelaku
tindak pidana terorisme
bom bali?
Teori Negara Hukum
Teori Perlindungan
1. Dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan
putusan pidana mati bagi
para pelaku tindak pidana
terorisme bom Bali yaitu
berdasarkan atas kerugian
yang ditimbulkan yang
bersifat materiil dan
immateril dan rasa
ketakutan masyarakat
secara luas, sehingga
menimbulkan dampak
yang luas terhadap
kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan hubungan
internasional. Dasar
pertimbangan lainnya
adalah tindak pidana
terorisme merupakan
kejahatan yang terorganisir
dan tergolong kejahatan
luar biasa.
2. Penjatuhan pidana mati
dalam kasus bom Bali
belum seutuhnya dapat
dijadikan sebagai sarana
pencegahan tindak pidana
terorisme. Hal tersebut
dapat dilihat masih adanya
kasus bom bali II serta
tindak pidana terorisme
diberbagai tempat di
Indonesia.
Teori Ganjaran (Desert
Theory)
1.8. Hipotesis
Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka terhadap
permasalahan-permasalahan yang diajukan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana mati bagi para
pelaku tindak pidana terorisme bom Bali yaitu berdasarkan atas kerugian yang
ditimbulkan yang bersifat materiil dan immateril dan rasa ketakutan masyarakat
secara luas, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Dasar pertimbangan lainnya
adalah tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan
tergolong kejahatan luar biasa.
2. Penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali belum dapat seutuhnya dijadikan
sebagai sarana pencegahan tindak pidana terorisme. Hal tersebut dapat dilihat
masih adanya kasus bom Bali II serta tindak pidana terorisme diberbagai tempat
di Indonesia.
1.9. Metode Penelitian
Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta menganalisis
setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode
dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah memiliki susunan yang sistematis,
terarah, dan konsisten. Adapun metode penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.9.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis penelitian
diantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan untuk
mengidentifikasi hukum yang hidup.260
Penelitian hukum yuridis empiris terdiri dari
4 komponen yaitu :
1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis),
2) penelitian terhadap efektifitas hukum,
3) penelitian perbandingan hukum, dan
4) penelitian sejarah hukum.261
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum yuridis empiris
yang khusus meneliti mengenai efektifitas hukum yang membahas mengenai
bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.262
Terkait dengan penelitian dalam
penulisan karya ilmiah ini, dilakukan dengan cara melihat peraturan yang
mengaturnya dan kemudian melihat dan meneliti secara langsung mengenai
penerapan penjatuhan pidana mati dalam kasus bom Bali yang dijatuhkan oleh Hakim
Pengadilan Negeri Denpasar dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar hukum
yang digunakan. Sehingga mengetahui efektif atau tidaknya penjatuhan pidana mati
260Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah
Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, h.42
261
H.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta,
h.30-45
262
Ibid, h.31
dalam penjatuhan pidana bagi pelakunya dan apakah dapat dijadikan sarana
pencegahan dan penanggulangan bagi tindak pidana terorisme.
1.9.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif. Menurut Moh.
Nazir, penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-
pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari satu
fenomena.263
Penelitian deskriptif juga bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat264
. Terkait dengan
hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan dari penjatuhan
sanksi pidana mati sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan dalam tindak
pidana terorisme.
1.9.3 Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan
di atas, adalah sumber data yang diperoleh dari dua sumber, yaitu :
1. Sumber Data Primer
263 Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Rineka
Cipta, Jakarta, h. 21.
264
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 25.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama,
melalui penelitian265
, baik berupa data menyangkut putusan Pengadilan
khususnya penjatuhan sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dan
data yang diperoleh dari hasil wawancara dari informan.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai sumber data
primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak
atau elektronik).266
Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam
penelitian ini disebutkan dalam sumber bacaan.
1.9.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu :
1. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen adalah langkah awal setiap penelitian hukum (baik normatif
maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis
normatif.267
Terkait hal ini dengan mengumpulkan data yang bersumber dari
kepustakaan yang relevan dengan permasalahan, dimana dengan membaca
dan mencatat kembali data kemudian dikelompokkan secara sistematis.
2. Teknik Wawancara
265 Ibid., h. 30.
266
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.82
267
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, h. 68.
Wawancara adalah cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara
lisan guna mencapai tujuan tertentu.268
Dalam hal ini data diperoleh melalui
proses interview kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan
penelitian di lapangan seperti Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang
memutus kasus terorisme di Bali, guna memperoleh informasi dan data yang
lebih pasti dan akurat.
1.9.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam kaitannya dengan penentuan sampel, maka terdapat 2 (dua) cara atau
teknik yang dapat dipergunakan yaitu teknik probability sampling dan teknik non
probability sampling. Penelitian ini mempergunakan teknik non probability sampling,
yaitu purposive sampling. Dimana penentuan sampel dilakukan berdasarkan tujuan
tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana
penunjukan dan pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan bahwa sampel telah
memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri
utama dari populasinya.269
Sampel yang dimaksud adalah beberapa hakim khususnya
yang pernah memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana terorisme di
Pengadilan Negeri Denpasar, dan Jaksa yang terkait dengan kasus terorisme tersebut.
1.9.6 Teknik Analisis Data
Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan
merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti
268 Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta,
h. 95.
269
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit, h. 74-75.
untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja analisis data tema dan
hipotesa tersebut lebih diperdalam dengan menggabungkannya dengan sumber-
sumber data yang ada.270
Adapun keseluruhan data yang telah didapat akan dianalisis
secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif.
Keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan
diolah dan dianalisis secara sistematis yang dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian
yang berhubungan dengan teori ataupun asas hukum yang terdapat dalam Hukum
Pidana sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam
pembahasan masalah.
270 Ibid., h. 66.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Pengertian Pidana dan Jenis Pidana
a. Pengertian Pidana
Crime is the primary norm; punishment is the sanction. Crime without
punishment, or at least the theat of punishment, may be impractical, but it is not
illogical (kejahatan akan selalu berkaitan dengan masalah pidana, sebab kejahatan
secara primer berupa norma, pidana sebagai suatu sanksi. Kejahatan tanpa pidana
atau tanpa ancaman pidana mungkin tidak bisa dilaksanakan, tapi hal itu tidak berarti
tidak logis).271
Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah
suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang
271 Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,
California, h. 18
sengaja ditimpakan kepada seseorang.272
Sedangkan pidana merupakan suatu
pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian
khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu
sanksiatau nestapa yang menderitakan.273
Pidana dalam hukum pidana merupakan
suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain
adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut
terpidana. Soedarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.274
Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik,
dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku
delik itu.275
Berdasarkan pengertian pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur dan ciri-ciri
yang terkandung dalam istilah pidana, yaitu :
1. Pidana itu hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut Undang-undang
4. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang
karena telah melanggar hukum.276
272 Andi hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi,
Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Andi Hamzah I), h.1
273
Ibid
274
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika Aditama,
Bandung, h.6
275
Mahrus Ali, Op.Cit, h.186
276
Ibid.
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam
menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan
perbuatan pidana.277
Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa
penderitaan) yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap
bertindak secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya
diancamkan dengan pidana.278
Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau
penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan
yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang
tidak akan melakukan tindak pidana.279
Pengertian sanksi pidana menurut Herbert L.Packer dalam bukunya yang
berjudul The Limits of Criminal Sanction adalah :
“Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman (atau
keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat. Pada dasarnya
sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang
dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu
rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan
277 Ibid, h.193
278
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU Hukum
Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Media Tama,
Jakarta, h.458
279
Mahrus Ali, Op.Cit.,h.194
untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak
melakukan tindak pidana lagi”.280
Pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.281
Penjatuhan pidana bagi
pelaku merupakan kewenangan negara dalam rangka menciptakan kehidupan yang
tertib dan aman di wilayah yurisdiksinya.
Istilah pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan
oleh negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum atas
perbuatan yang dilakukannya yang telah melanggar aturan hukum pidana. Dalam
hukum pidana saat ini, dikenal beberapa subjek hukum pidana yang dapat
dikatagorikan sebagai pelaku. Pelaku adalah mereka yang memenuhi semua unsur
yang dirumuskan dalam undang-undang mengenai suatu delik. 282
Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan suatu proses dalam
penyelesaian perkara pidana. Penjatuhan pidana tersebut merupakan suatu akibat
hukum yang harus diterima oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Akibat hukum itu pada umumnya berupa hukuman pidana.283
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan
yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang dijadikan dasar pengancaman dan
penjatuhan sanksi pidana. Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan pemidanaan
280 Ibid, h.195
281
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9
282
Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 40
283
S.R Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta, h. 442
adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, di
lain pihak Immanuel Kant menyatakan bahwa pembenaran pidana dan tujuan
pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan
moral.
Menurut Leo Polak pemidanaan harus memenuhi 3 syarat yaitu : 1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.
2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Jadi pidana tidak boleh dijatuhkan dengan maksud prevensi.
3. Sudah tentu beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik.284
Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan
pidana, yaitu :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat.
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan
orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
b. Jenis Pidana
284 Andi Hamzah, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, (Selanjutnya disebut
dengan Andi Hamzah II), h. 34
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam
menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana.
Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini juga
berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang
itu menyimpang. Dalam KUHP, pidana digolongkan menjadi 2 yaitu :
a. Pidana pokok, yang terdiri dari 5 jenis pidana :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan yang terdiri dari 3 jenis pidana :
1. Pencabutan hak-hak tertentu’
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan Hakim.
Berbeda dengan KUHP, dalam Rancangan KUHP Tahun 2012 mengenai
jenis pidana terdapat dalam 3 pasal, yaitu :
1. Pasal 65 yang menyatakan bahwa Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
2. Pasal 66 yang mengatur mengenai pidana mati yang merupakan pidana pokok
yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
3. Pasal 67 mengatur mengenai pidana tambahan terdiri atas :
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup.
Berdasarkan rumusan KUHP dan Rancangan KUHP tersebut di atas terlihat
adanya perubahan jenis pidana baik yang tergolong pidana pokok maupun pidana
tambahan. Dari pidana pokok perubahan tersebut terdapat pada pidana mati yang
dalam Rancangan KUHP tidak lagi digolongkan dalam pidana pokok, namun
dinyatakan sebagai pidana yang bersifat khusus. Selain itu dalam Rancangan KUHP
materi pidana tambahan terdapat penambahan jenis pidana yaitu perampasan tagihan,
pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup.
2.2. Pidana Mati
a. Sejarah Pidana Mati di Indonesia
Pidana mati merupakan pidana terberat, karena berkaitan dengan hak hidup
seseorang. Hal ini menimbulkan pro dan kontra terhadap pidana mati itu sendiri
dalam perspektif mereka masing-masing serta tujuan dan akibat dari pidana mati
tersebut.
Ditinjau dari sejarah pemidanaan, hukuman mati lahir bersama dengan
lahirnya manusia di muka bumi, dengan budaya hukum retaliasi (hukuman
berdasarkan teori pembalasan mutlak).285
Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah
satu pidana tertua dari jenis pidana lainnya, seperti pidana ganti kerugian (denda),
dan pidana fisik (cambuk, pemotongan anggota tubuh, pasung dan lain sebagainya).
Zaman dahulu hukum adat di beberapa daerah di Indonesia mengenal pidana
mati dengan cara yang kejam. Di Aceh seorang istri yang berzina akan dibunuh.286
Di
Sulawesi Selatan pada masa pemerintahan Aru Palaka pidana mati dijatuhkan pada
semua tersangka kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat.287
Di daerah
Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya, yaitu bangsawan yang berhubungan
dengan pria batua atau budak harus dipidana mati.288
Beberapa suku di Kalimantan
285 Yon Artiono Arba’i, 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan Pidana Mati,
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, h. 8
286
Ibid, h. 17
287
Ibid
288
Ibid
pun akan menghukum mati orang yang terbukti bersumpah palsu dengan cara
ditenggelamkan.289
Di pulau Bonerate, para pencuri dipidana mati dengan cara kaki tangannya
diikat kemudian ditidurkan di bawah terik matahari tanpa diberi makan.290
Di Bali
sanksi terhadap pelaku perkawinan sumbang dahulu dijatuhi pidana mati dengan
ditenggelamkan ke laut karena terpidana tidak boleh dikuburkan secara terhormat.291
Perkawinan sumbang merupakan persetubuhan yang dilakukan seseorang
dengan istri pendeta, kakak atau adik perempuan dari pendeta, istri guru, saudara
perempuan bapak, saudara perempuan ibu, istri pihak bapak atau pihak ibu, saudara
perempuan nenek atau kakek dari pihak bapak maupun ibu istri atau menantu, mertua
perempuan atau laki-laki dan anak cucu dari saudara laki-laki atau perempuan.292
Awal eksistensi hukuman mati di Indonesia secara yuridis-historis diatur
dalam KUHP, yang sebagian besar berasal dari Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht
(WvS). Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1870 Belanda menghapus pidana mati
kecuali dalam hukum pidana militernya.293
Indonesia hingga sekarang masih
mengakui dan mempertahankan pidana mati dalam beberapa undang-undang bahkan
dalam Rancangan KUHP Tahun 2012.
Penghapusan pidana mati di Belanda tidak diikuti oleh Indonesia karena
berdasar atas beberapa pertimbangan yaitu :
a) Kemungkinan perbuatan-perbuatan yang mengancam kepentingan hukum di
sini jauh lebih besar daripada di Negeri Belanda mengingat negeri ini
289 Ibid
290
Ibid
291
Ibid, hal.19
292
Ibid
293
Ibid, h.15
wilayahnya sangat luas dan terdiri dari berbagai suku dan golongan dengan
adat dan tradisi yang berbeda. Hal ini sangat potensial menimbulkan
perselisihan dan kekacauan yang besar dikalangan masyarakat.
b) Alat perlengkapan keamanan yang dimiliki oleh disini adalah sangat kurang
atau tidak sesempurna dan selengkap seperti di Belanda.294
Pidana mati dalam pengaturan dan penerapannya dilaksanakan pada keadaan-
keadaan tertentu yang khusus dan tergolong sangat mendesak. Oleh sebab itu pidana
mati diancamkan pada jenis kejahatan tertentu yang dipandang sangat berat baik dari
segi perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya.
Pemisahan secara dalam sistem dari infrastruktur hingga administrasi-
birokrasi terjadi di awal abad 20.295 Pada masa ini hukuman harus melalui sebuah
proses administrasi (tata cara) pengadilan serta eksekusi pidana mati atau hukuman
penyiksaan dilakukan dalam sebuah arena publik tetapi dalam sebuah tempat yang
terisolir dan tertutup.296
Pada masa Orde Lama, ancaman pidana mati tidak saja diatur dalam KUHP,
namun dicantumkan pula dalam peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh
pemerintah pada masa itu, diantaranya yaitu :
1. Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), dikeluarkan Undang-Undang
Darurat No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api yang diundangkan pada 4
September 1951.
294 Adami Chazawi, Op.cit, h. 30
295
Al Araf dkk, Op.cit, h. 5
296
Ibid, h.6
2. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966), dikeluarkan Penetapan Presiden
No.5 Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung
terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan
sandang pangan, yang diundangkan pada 27 Juli 1959.
3. Pada tanggal 16 November diundangkan pula Perpu No.21 Tahun 1959
mengenai tindak pidana ekonomi.
4. Pada tahun 1963 diterbitkan Undang-Undang No.11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi yang diundangkan pada 16 Oktober 1963.
5. Pada tahun 1964 diterbitkan Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom dan Undang-Undang
No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Kemudian memasuki masa Orde Baru, yaitu pada masa 1970-an ancaman
pidana mati dijatuhkan kepada orang-orang yang dituduh terlibat gerakan Partai
Komunis Indonesia. 297
Prosesi pidana mati pada masa ini berada dalam wewenang
Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Hukuman mati secara formil menjadi
kebijakan negara dalam efektifitas mengendalikan struktur politik. Prosesi hukuman
mati untuk para terdakwa kasus kriminalitas dalam periode ini terbilang sedikit. Hal
ini terlihat dengan kembali munculnya pidana mati pada tahun 1982 yang
sebelumnya tidak ada kasus pidana mati sejak masa pembersihan PKI.298
297 Ibid, h.9
298
Ibid, h.11
Pemerintah pada tahun 1997 mengambil kebijakan populis melalui penerbitan
Undang-Undang no 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.5
Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut mencantumkan
ancaman pidana mati sebagai pidana terberatnya dengan tujuan menanggulangi
maraknya peredaran serta pemakaian narkoba dimasa itu.
Pelaksanaan hukuman mati dalam KUHP diatur dalam Pasal 11 yang
menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.
Mengenai pelaksanaan pidana mati menurut Pasal 11 KUHP, R. Soesilo
berpendapat bahwa cara tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan jiwa
revolusi Indonesia. Sehingga dengan Penpres No.2/1964 pelaksanaan pidana mati
dilakukan dengan cara ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.299
Hal ini berdasar atas
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat
Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat
dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana
mati itu.
2. Kepala Polisi Komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama
dengan Jaksa tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/pengacara
terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum, menghadiri
pelaksanaan pidana mati itu.
3. Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa
Tinggi/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanaan, dan
299 R.Soesilo, 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya lengkap
Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, h.27
pada terhukum diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu
keterangan atau pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah
seorang wanita sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan
empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
4. Untuk pelaksanaan pidana mati iru Kepala Polisi Komisariat tersebut
membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile, terdiri
dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang
Perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada
dibawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa.
5. Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
6. Dicatat di sini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Militer juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964 sebagaimana
diutarakan di atas, dengan ketentuan bahwa kata-kata Kepala Polisi
Komisariat Daerah, Jaksa Tinggi/Jaksa. Brigade Mobile dan Polisi berturut-
turut harus dibaca : “Panglima/Komandan Daerah Militer”, “Jaksa
Tentara/Oditur Militer” dan “Militer”.300
b. Pidana Mati Dalam Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia
Dalam realitas hukum, eksistensi sanksi pidana mati dipertahankan dalam
sejumlah perundang-undangan. Mengenai pidana mati, yang dalam Rancangan
KUHP diatur dan dinyatakan bahwa pidana tersebut bersifat khusus dan tidak lagi
tergolong dalam pidana pokok. Hal ini menunjukan bahwa hukum pidana di
Indonesia mulai mengalami pergerakan untuk mengurangi penjatuhan pidana mati
dalam penegakan hukum di Indonesia. Namun dalam KUHP yang merupakan acuan
bagi undang-undang dalam hukum pidana khusus masih menganut pidana mati.
Lambroso berpendapat bahwa tidak satupun faktor dari luar yang dapat
memperbaiki orang tersebut hanyalah pidana mati karena dengan pidana matilah
300 Ibid
masyarakat dapat diselamatkan dari tindakan kriminal orang-orang yang masuk
dalam kategori tersebut.301
Secara normatif, hukuman mati yang diterapkan di negara-negara modern
khususnya Indonesia hanya dijatuhkan terhadap perbuatan yang tergolong kejahatan
luar biasa, Bahkan beberapa pasal dalam KUHP mengatur tindak pidana yang
diancam pidana mati, diantaranya :
a. Pasal 104, mengenai makar membunuh kepala negara.
b. Pasal 111 ayat (2) mengenai mengajak negara asing guna menyerang
Indonesia.
c. Pasal 124 ayat (3) mengenai membantu musuh waktu Indonesia dalam masa
perang.
d. Pasal 140 ayat (1) mengenai membunuh kepala negara sahabat.
e. Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 mengenai pembunuhan yang direncanakan
f. Pasal 365 yang mengatur mengenai pencurian dengan kekerasan oleh dua
orang atau lebih berkawan pada waktu malam atau dengan jalan membongkar
dan sebagainya, yang menjadikan orang terluka berat atau mati.
g. Pasal 444, mengatur mengenai pembajakan di wilayah perairan Indonesia
yang mengakibatkan kematian.
h. Pasal 368 ayat (2) mengenai pemerasan yang mengakibatkan kematian.
301 Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi
Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 230.
Selain dalam KUHP, sanksi pidana mati juga terdapat di luar KUHP yaitu
sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
2. Undang-Undang No.12 Tahun 1951 tentang Senjata Api
3. Penpres No.5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara
Agung Dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana
yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan.
4. Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman
Terhadap Tindak Pidana Ekonomi
5. Undang-Undang No.11/PNPS?1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi
6. Undang-Undang No.31/PNPS/1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom
7. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
8. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
9. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
10. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
11. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
12. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2.3. Tindak Pidana Terorisme
a. Pengertian Terorisme dan Tindak Pidana Terorisme
Istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 yaitu menunjuk aksi-
aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah guna menjamin ketaatan rakyat.302
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “terrere”
yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata teror juga bisa
menimbulkan kengerian.303
Pada dasarnya, istilah terorisme merupakan konsep yang
memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.304
Pengertian Terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on
the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa Tahun 1977. Dikaitkan dengan HAM
terorisme merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui
bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih
diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (sebagaimana yang terjadi di
Bali).305
Definisi tindakan terorisme menurut Black Law Dictionary adalah kegiatan
yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi
kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian
Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk :
a.mengintimidasi penduduk sipil;
b.mempengaruhi kebijakan pemerintah;
302 Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju, Bandung, h.41
303
Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.22
304
Ibid
305
Ibid
c.mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan
pembunuhan.306
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terorisme adalah penggunaan
kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan
menakutkan, terutama untuk tujuan politik.307
Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana
Internasional mengatakan bahwa “sangat tidak mudah untuk mengadakan suatu
pengertian yang identik mengenai dapat diterima secara universal dan kadang-kadang
menimbulkan kesulitan mengadakan pengawasan atas makna terorisme itu.
Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga definisi
terorisme adalah persoalan politik”.308
Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) adalah mereka yang
merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan
pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar
dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh
dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.309
T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai
tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah
laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan.310
306 Ibid, h.24
307
Ibid, h.31
308
O.C Kaligis, Op.cit, h.35
309
Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h.30
310
Mahrus Ali, Op.cit, h.2
Purwadarminta mengartikan terorisme sebagai praktik-praktik tindakan teror
dengan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai sesuatu.311
James Adams memberikan rumusan mengenai terorisme yaitu penggunaan
atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk
tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang
ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari
pada korban-korban secara langsung.312
Ansyaad Mbai yang merupakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme mengungkapkan bahwa terorisme dapat dipahami sebagai tindakan
kekerasan yang menargetkan warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan
ideologis.313
Hikmahanto Juwana mengatakan, terorisme sulit didefinisikan meskipun
secara faktual dapat dirasakan dan dapat dilihat adanya karakteristik tertentu dari
terorisme.314
Istilah terorisme merupakan istilah yang belum menemukan keseragaman
dalam pendefinisiannya, hal ini tergantung dari perspektif mana melihatnya. Dalam
hukum pidana terorisme sering dikelompokkan dalam fenomena kriminalitas yang
bersifat konvensional dan sarat dengan kepentingan politik tertentu.
Terorisme dapat dipahami sebagai tindakan kekerasan yang menargetkan
warga sipil untuk mendapatkan tujuan politik dan ideologis. Menjadi sebuah
311 Ibid
312
Ibid
313
Aulia Rosa Nasution, Op.cit, h. xiii
314
Mahrus Ali, Op.cit, h.1
keniscayaan bagi kita untuk mencermati berbagai sebab, karakteristik, dan tujuan
terorisme.315
Terorisme bukanlah kejahatan biasa, namun telah menjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity) karena sifatnya yang luas dan sistematik
yang telah menewaskan ribuan orang yang tidak bersalah.316
Terorisme merupakan musuh umat manusia yang telah menimbulkan rasa
takut dan mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia serta
membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar prinsip-prinsip di
dalam hukum Internasional maupun kebiasaan internasional.317
Adanya perbedaan antara aksi militer dengan terorisme dari perspektif
tujuannya diperlihatkan oleh pengertian dari David Fromkin yang merupakan salah
satu kalangan pakar sosial politik Barat yang menyatakan bahwa “military action is
aimed at physical destruction while terrorism aims at psychological
consequences”.318
Aksi militer bertujuan untuk pemusnahan secara fisik dan
terorisme bertujuan untuk menimbulkan akibat yang bersifat psikologis.
Terorisme menurut Petrus Reinhard Golose adalah setiap tindakan yang
melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat,
dengan ancaman atau cara kekerasan baik yang diorganisasi maupun tidak, serta
menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan psikologis dalam waktu
315 Aulia Rosa Nasution, Loc.cit
316
Ibid, h. xvii
317
Ibid, h. xviii
318
Ari Wibowo, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.61
berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa
(extra crime) dan kejahatan terhadap kemanusian (crime against humanity).319
Rumusan pengertian mengenai terorisme menurut James Adams yaitu
penggunaan atau ancaman kekerasn fisik oleh individu-individu atau kelompok-
kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan
kekuasaan yang ada apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk
mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih
besar daripada korban-korban secara langsung.320
Pengertian terorisme menurut Knet Lyne Oot mengandung beberapa
pengertian yaitu :
1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan
ketakutan atau membuat kehancuran ekonomi atau material.
2. Sebuah metode pemaksaan terhadap suatu tindakan orang lain.
3. Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas.
4. Tindakan kriminal bertujuan politis.
5. Kekerasan bermotif politis.
6. Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.321
Menurut E. V. Walter proses teror memiliki tiga unsur, yaitu :322
1. Tindakan atau ancaman kekerasan.
2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau
calon korban.
3. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa
ketakutan yang muncul kemudian.
Terorisme merupakan masalah nasional maupun transnasional bahkan
internasional membutuhkan penanganan serius yang diwujudkan dalam berbagai
kebijakan pemerintah.
319 Aulia Rosa Nasution,Op.cit, h. 6
320
Mahrus Ali, Op.cit, h. 2
321
Ari Wibowo, Op.cit, h. 62
322
Mahrus Ali, Op.cit, h. 3
Dalam Pasal 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa :
“Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan
maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan
mambahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang
atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia
negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas
umum atau fasilitas internasional.”
Beberapa definisi mengenai terorisme dikemukakan oleh beberapa lembaga
antara lain :
a. US Central Inteligence Agency (CIA)
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan
pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara,
lembaga, atau pemerintah asing.323
b. US Federal Bureau of Investigation (FBI)
Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan seseorang
atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-
elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.324
c. US Departments of States and Defense
Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara
atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan.
Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme
323 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 24
324
Ibid
Internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah
lebih dari satu negara.325
d. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998) terorisme
adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang
terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif,
yang menyebabkan teror ditengah masyarakat, rasa takut dengan melukai
mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau
bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik
maupun pribadi menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk
mengancam sumber daya nasional.
Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak kejahatan dalam
rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak, atau
melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam
hukuman dengan hukuman domestik.326
e. Treaty on Cooperation among the States members of the Commonwealth of
Independent States in Combating Terrorism, 1999
Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman
pidana yang dilakukan dengan tujuan merusk keselamatan publik,
mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk,
dan mengambil bentuk :
1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang
yang dilindungi hukum;
2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda
dan objek materiil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain;
3) Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang
membahayakan bagi masyarakat;
4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan
tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai
pembalasan terhadap aktivitas tersebut;
5) Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi
internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempat-
tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara
internasional;
6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundang-
undangan nasional atau instrument legal yang diakui secara
internasional yang bertujuan memerangi terorisme.327
f. Konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan
yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk
325 Ibid
326
Ibid, h. 25-26 327
Ibid, h. 26-27
teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas.328
g. US Departement of Defense tahun 1990
Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung
ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik
untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan
tujuan politik, agama, atau ideologi.329
Jadi istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki arti bahwa
kekerasan yang dilakukan secara sistematik dan terorganisasi dengan maksud
menakut-nakuti dengan sasaran penduduk sipil demi kepentingan politik. Tidak
jarang aksi terorisme ini menimbulkan efek yang sangat merugikan, karena tidak
hanya merusak fasilitas umum namun juga berakibat pada hilangnya nyawa dan
penyengsaraan orang-orang yang tidak berdosa.
Aksi terorisme dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Secara etimologis
kata tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar feit yang artinya
perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan dikenakan sanksi pidana
bagi yang melanggarnya. Menurut beberapa sarjana Strafbaar feit memiliki beberapa
istilah lain selain tindak pidana, yaitu diantaranya peristiwa pidana, pelanggaran
pidana, perbuatan pidana, delik, dan perbuatan yang dapat dihukum.
Terdapat dua golongan dalam memberikan pendapat mengenai tindak pidana,
yaitu golongan pertama adalah aliran monistis dan golongan kedua adalah aliran
dualistis. Golongan monistis ini terdiri dari D. Simons, Van Hamel, E. Mezger, J.
Bauman, Karni, dan Wirdjono Prodjodikoro. Aliran monistis memandang bahwa
328
Ibid, h. 29 329
Ibid, h. 30
strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan adanya si
pembuat yang dipidana. Oleh karena itu unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak
dipisahkan dengan unsur mengenai perbuatan. Mengenai perbuatan termasuk dalam
kategori segi objektif, dan mengenai orang/si pembuat dikategorikan dalam segi
subjektif. Sehingga hal tersebut menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana
(segi objektif) dan syarat untuk dapat dipidana (segi subjektif) tidak dipisah.330
Sedangkan aliran dualistis memandang adanya pemisahan antara dilarangnya
suatu perbuatan serta akibatnya (sanksi), dan dapat dipertanggung jawabkan si
pembuat. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret),
baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung
jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya dan dijatuhi pidana.331
Aliran dualistis ini terdiri dari H. B. Vos, Pompe, dan Moeljatno.
Dengan melihat kedua aliran tersebut, maka diperlukan syarat-syarat untuk
menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Syarat tersebut
adalah :
1. Adanya syarat yang melekat pada perbuatannya;
2. Adanya syarat yang melekat pada orangnya;
3. Tindakan yang dilakukan bersifat melawan hukum;
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan bagi
pelanggarnya diancamkan pidana.
330 Adami Chazawi, Op.cit, h.76-77
331
Ibid, h.76
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm),
yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal
liability332
.
Jadi pengertian dari tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilarang dan
bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh undang-undang karena
dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban pidana.
Pengertian tersebut menjadi tolak ukur untuk mempertanggungjawabkan
kejahatan terorisme sebagai salah satu tindak pidana, bahkan tindak pidana yang
berkualifikasi pemberatan.
Dalam Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa
“tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Mengenai unsur-unsur tindak
pidana terorisme ini terdapat dalam Bab III, Pasal 9 s/d Pasal 12 Perpu No.1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Jadi tindak pidana terorisme adalah suatu tindakan yang memenuhi unsur-
unsur yang dilarang dan bersifat melawan hukum yang diancam dengan pidana oleh
332 Bismar Nasution, 23 Desember 2009, Kejahatan Korporasi Kejahatan Korporasi dan
Pertanggungjawabanny,file:///D:/D%27Lis/tugas%20kriez/S2/Bahanbahan/TP%20Korporasi/Kejahat
an%20Korporasi%20%C2%AB%20BISMAR%20NASUTION.htm, diakses pada tanggal 20 Oktober
2012.
undang-undang karena dari tindakan tersebut menimbulkan pertanggungjawaban
pidana.
b. Karakteristik Terorisme dan Tipologi Terorisme
Dengan melihat beberapa definisi mengenai terorisme tersebut di atas, dapat
diperoleh beberapa karakteristik yang pada umumnya tersirat dan tersurat pada
definisi-definisi tersebut. Karakteristik tersebut antara lain, bentuk kejahatan yang
terorganisir; adanya kebutuhan dan dukungan financial; membutuhkan akses senjata
dan bahan peledak; aksi yang dipertahankan dengan dukungan politik tertentu.333
Divisi riset Federal (kongres AS) dalam laporan berjudul The Sociology and
Psychologi of Terrorism : Who become a Terrorist and Why?, menyebutkan ada lima
ciri dari kelompok teroris yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-relegius, relegius
baru, revolusioner sosial, dan teroris sayap kanan.334
Menurut Loudewijk F. Paulus karakteristik terorisme ditinjau dari empat
macam pengelompokan, yaitu :
1) Karakter organisasi yang meliputi : organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan
hubungan internasional.
2) Karakteristik operasi meliputi : perencanaan, waktu, taktik, dan kolusi.
3) Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan
membunuh, dan keinginan menyerah hidup-hidup.
333 Ari Wibowo, Op.cit, h. 57
334
Abdul Wahid, dkk., Op.cit h. 33
4) Karakteristik sumber daya, antara lain meliputi: latihan/kemampuan,
pengalaman perorangan dibidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan
transportasi.335
Selain keempat karakteristik di atas, Loudewijk F. Paulus juga
menggolongkan beberapa karakteristik lainnya jika dilihat dari jenis terorisme gaya
baru, yaitu :
1) Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2) Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional
secepat mungkin.
3) Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah
dilakukan.
4) Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama
dengan luasnya permukaan bumi.336
Dari karakteristik-karakteristik terorisme gaya baru tersebut dapat menyerang
tempat ibadah, hotel, supermarket, kantor pemerintahan, tempat hiburan, lembaga
pendidikan, alat transportasi, dan fasilitas umum lainnya tanpa bisa dikendalikan.
Menurut pendapat James H. Wolfe terdapat delapan karakteristik terorisme,
yaitu :
1) Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun
nonpolitis.
335 Mahrus Ali, Op.cit, h. 6
336
Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 34
2) Objek sasaran bisa dari sipil (fasilitas umum) maupun non sipil (fasilitas
militer).
3) Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi
kebijakan pemerintah negara.
4) Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum
internasional atau etika internasional.
5) Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan gangguan
psikologis untuk masyarakat.
6) Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional, yaitu aksi
tersebut dapat dilakukan baik dari warga negara Indonesia itu sendiri, warga
negara asing, atau gabungan dari warga negara Indonesia dengan warga
negara asing.
7) Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah mendapat perhatian media massa
dan untuk menarik perhatian publik.
8) Aktivitas terorisme memiliki nilai mengagetkan dengan maksud menyita
perhatian publik.337
Berkaitan dengan karakteristik keempat di atas, pelanggaran dalam hukum
internasional dapat dilihat dalam peristiwa bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober
2012. Dalam peristiwa tersebut terdapat unsur sengaja untuk menyerang penduduk
sipil yang mayoritas para korbannya adalah warga negara asing.
337 Ibid, h.35-36
Abdul Latif mengemukakan bahwa karakteristik terorisme antara lain :
a) Membenarkan penggunaan kekerasan.
b) Penolakan terhadap adanya moralitas.
c) Penolakan terhadap berlakunya proses politik.
d) Meningkatnya totaliterisme.
e) Menyepelekan kemauan masyarakat beradab untuk mempertahankan diri.338
Mengenai karakteristik terorisme ini, Paul Wilkinson juga memberikan
pendapatnya yaitu dalam aksi teror yang sistematik, rapi, dan dilakukan oleh teroris
politis memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Merupakan intimidasi yang memaksa.
2) Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana
untuk suatu tujuan tertentu.
3) Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat
syaraf, yakni membunuh satu untuk menakuti seribu orang.
4) Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi tujuannya adalah
publisitas.
5) Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara
personal.
6) Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealism yang cukup keras, misalnya
berjuang demi agama dan rasa kemanusiaan.339
Bijak Subianto mengatakan bahwa paling tidak terdapat sebelas karakteristik
terorisme, yaitu :
338 Mahrus Ali, Loc.cit, h. 6
339
Ibid, h. 8-9
1. Aksi terorisme merupakan suatu bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu
kelompok) untuk menekan pemerintah dan/atau masyarakat, agar menerima
tuntutan perubahan sosial maupun politik yang secara umum bernuansa
dan/atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal.
2. Spektrum motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya memiliki
spektrum yang beragam.
3. Komunitas yang sangat spesifik dalam artian ada semacam komunitas
manusia yang terus menerus dicaci maki, ditekan, sehingga terjadi
perlawanan dengan aksi terorisme untuk mempertahankan dirinya dalam
bentuk pembalasan.
4. Aksi terorisme bekerja secara profesional dan dilindungi oleh suatu bentuk
organisasi.
5. Sangat sulit dilacak
6. Upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner, dalam arti
dapat diselesaikan secara hukum, politik, administrasi, dan sebagainya.
7. Secara organisatoris baik dalam pembinaan, pengembangan, dan operasinya
memiliki sayap politik, ekonomi, sosial, dan sayap militer.
8. Selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara, baik
pertukaran intelijen, pelatihan, dan perlengkapan operasi.
9. Dari segi penampilan para teroris sering mengecoh aparat keamanan dan
masyarakat luas dengan penampilan fisik dan identitas yang sering berubah.
10. Aksi teroris lebih gesit dan lincah daripada aparat yang bertanggungjawab
menanganinya.
11. Adanya doktrin-doktrin dalam operasi terorisme yang harus digunakan
sebagai petunjuk pelaksaan, teknis, dan taktis di lapangan.340
Dalam menganalisa tindak pidana terorisme, tidak hanya diperlukan
karakteristik dari terorisme itu saja, namun penting pula diketahui mengenai tipologi
terorisme. Analisa tipologi merupakan salah satu upaya dalam pemberantasan
terorisme. Tipologi terorisme digunakan untuk mengetahui penyebab, strategi, dan
tujuan yang hendak dicapai dari terorisme tersebut.
Mengenai tipologi terorisme ini, Paul Wilkinson menggolongkannya menjadi
4 (empat) macam, yaitu :
1. Terorisme Epifenomenal merupakan terorisme yang berciri-ciri tidak
terencana rapi dan terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit.
2. Terorisme Revolusioner merupakan tipologi terorisme kedua yang bertujuan
untuk mengadakan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada
dengan ciri-ciri selalu berkelompok, struktur kepemimpinan, program,
ideologi, konspirasi, elemen para militer.
3. Terorisme Sybrevolusioner yang bermotifkan politis dengan ciri-ciri
dilakukan oleh kelompok kecil bahkan individu dan sulit diprediksi.
4. Terorisme Represif yang merupakan terorisme yang bermotifkan menindas
individu atau kelompok yang tidak dikehendaki oleh penindas dengan cara
340 Ibid ,h. 6-7
likuidasi yang berciri-ciri teror massa, terdapat aparat teror, polisi rahasia,
teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan dimasyarakat.341
Mulai menggolongkan tipologi terorisme menjadi 5 (lima) macam yang
dikutip dari National Advisory Committee dalam the Report of the Task Force on
Disorder and Terrorism. Tipologi terorisme tersebut yaitu :
a. Terorisme politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dalam masyarakat dengan tujuan politik.
b. Terorisme non-politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk kepentingan
pribadi termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.
c. Quasi terorisme adalah gambaran aktivitas yang bersifat isidental untuk
melakukan kekerasan yang menyerupai terorisme, tapi tidak mengandung
unsur esensialnya.
d. Terorisme politik terbatas menunjuk pada perbuatan terorisme yang dilakukan
untuk tujuan politis tetapi tidak untuk menguasai pengendalian negara.
e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism) adalah terorisme
yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.342
Berdasarkan macam-macam tipologi terorisme tersebut dapat membantu
menganalisa cara-cara yang umum digunakan dalam tindakan terorisme, diantaranya
adalah pengeboman/teror bom, pembajakan, serangan militer dan pembunuhan,
perampokan, penculikan dan penyanderaan, dan dengan cara serangan bersenjata.
341 Abdul Wahid, dkk., Op.cit, h. 35
342
Mahrus Ali, Op.cit, h. 9
Motif dari tindak pidana terorisme tersebut bersifat kompleks, karena tidak
hanya dari faktor psikologis, namun juga faktor politik, agama, sosiologis, sosial
budaya dan faktor lain yang bersumber daripada tujuan yang ingin dicapai.
c. Sejarah Terorisme
Fenomena terorisme sebenarnya sudah lebih dahulu ditunjukkan, daripada
mengenal istilah teror dan terorisme. Istilah teror dan terorisme mulai popular pada
abad ke-18. Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) menyebutkan
bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi
baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang
dikeluarkan Akademi Perancis tahun1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem
rezim teror.343
Menjelang terjadinya Perang Dunia I terorisme hampir terjadi di seluruh
belahan dunia. Pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa
Barat, Rusia, dan Amerika. Hal tersebut terjadi karena negara tersebut meyakini
bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik
maupun sosial dengan membunuh orang-orang yang berpengaruh.
Pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki dan
berakhir dengan bencana pembunuhan missal terhadap warga Armenia pada Perang
Dunia I. Aksi terorisme tersebut diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri
yang berbasiskan ideologi.
343 Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing, Aceh, h.24
Diakhir abad ke-19, memasuki abad ke-20, dan menjelang Perang Dunia II
aksi terorisme digunakan sebagai teknik perjuangan revolusi. Pada jaman Revolusi
Perancis inilah kata teror mulai dikaitkan pada politik. Kata teror digunakan untuk
menyebut tindakan pemerintah yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan
berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan
anti pemerintah.
Sebelum Perang Dunia II terjadi bentuk pertama terorisme yaitu dilakukan
dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua
terorisme terjadi di Aljazair pada tahun 1950-an dengan serangan terhadap
masyarakat sipil untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh
Algerian Nationalist dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga
terorisme dikenal dengan istilah Terorisme Media berupa serangan kepada siapa saja
untuk tujuan publisitas yang muncul pada tahun 1960-an.344
Fenomena terorisme meningkat sejak memasuki tahun 1970-an. Terorisme
mengalami perkembangan, tidak hanya dalam politik tetapi sudah masuk dalam
sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan,
gerilya, dan sebagai sarana menegakkan kekuasaan.345
Memasuki tahun 1990-an, tindakan terorisme mengalami perkembangan dari
segi anggotanya yang multibangsa serta tidak mengenal batas negara. Pelaku
344 Ibid
345
Gede Agung Patra Wicaksana, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana,
Denpasar, h. 51
terorisme membentuk kelompok dengan berbasis jaringan, bukan basis negara. Aksi
ini terlihat pada tragedi WTC yang menewaskan ribuan orang.
Terorisme adalah tindakan kekerasan dengan menggunakan segala cara untuk
mencapai suatu tujuan, baik dalam bentuk pembajakan, penyanderaan, pengeboman,
dan sebagainya. Tindakan tersebut tentu saja sangat merugikan masyakarat sipil yang
tidak jarang menjadi korban. Tindakan terorisme bukanlah tindakan kriminal biasa,
karena dilakukan tidak spontan, melainkan dilakukan secara sistematis, terorganisir,
dam terencana secara apik sehingga menimbulkan dampak yang luas.
BAB III
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
3.1. Dasar Hukum Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Terorisme
Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme
Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum (Machstaat) yang
berlandaskan Pancasila. Setiap perbuatan warga harus ada keselarasan dengan norma-
norma hukum atau perbuatan mana yang dilakukan warga yang dikategorikan
melawan hukum. Mengikuti beberapa pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam suatu negara hukum yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
2. Legalitas (pemerintahan berdasarkan undang-undang).
3. Pembagian kekuasaan.
4. Peradilan administrasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia mengacu pada beberapa unsur tersebut
dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Beberapa unsur negara hukum yang
berhubungan dengan kejahatan terorisme adalah pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dan legalitas. Penanganan tindak pidana terorisme secara hukum
berarti mewujudkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, tuntutan
menegakkan independensi peradilan, dan bentuk implementasi hukum.346
Melalui produk hukum, negara wajib melindungi harkat dan martabat
manusia. Bentuk penghormatan dan perlindungan yang harus diberikan oleh negara
adalah berupa penegakan hukum terhadap setiap perbuatan yang dikategorikan
kejahatan. Penegakan hukum tersebut akan menentukan citra negara hukum. Negara
hukum wajib menempatkan rakyat sebagai subjek yang harus dilindungi. Bentuk
perlindungan yang ditunjukkan berupa penegakan hukum (law enforcement).
Penegakan hukum dalam kejahatan terorisme diwujudkan dengan bentuk
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Selain itu digunakan pula peraturan
lainnya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penegakan hukum
tersebut merupakan perlindungan hukum represif yang berfungsi untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat tindak pidana terorisme yang terjadi.
Berkaitan dengan penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme ini, tidak
terlepas dari penjatuhan pidana bagi pelaku. Beberapa pelaku tindak pidana terorisme
dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana mati dalam kasus tindak pidana terorisme
bom Bali didasarkan pada beberapa ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-
Undang Tindak Pidana Terorisme. Khusus mengenai Undang-Undang Tindak Pidana
346 Abdul Wahid, dkk., Op. Cit, h.67
Terorisme, digunakan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan
Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Penggunaan Perpu ini bertujuan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme diberbagai tempat
telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial sehingga mendesak
untuk dikeluarkan Perpu guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.
Perpu tersebut didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan
membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta
merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena
terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional. Kejahatan tersebut
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, merugikan
kesejahteraan masyarakat, serta terganggunya hubungan antar negara.
Perpu ini juga memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme
yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan
merupakan wujud perlakukan yang bersifat diskriminatif, melainkan merupakan
komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Convention Against Terrorist
Bombing Tahun 1997 dan Convention on the Supression of Financing Terrorism
tahun 1999.
Penerbitan Perpu itu didasarkan pada hak prerogatif Presiden, sesuai dengan
Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, yang pada Pasal 3 Ayat (4), menegaskan, dalam
keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menerbitkan Perpu.
Perpu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Awal gagasan penyusunan undang-undang pemberantasan terorisme di
Indonesia bertolak pada kenyataan perkembangan situasi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan peperangan tidak kunjung selesai antara pasukan TNI dan GAM. Ketika
penyusunan tengah dilakukan dan hampir final maka terjadi peristiwa Bom Bali I
(Tahun 2002) sehingga penyusunan draft ruu dipercepat dan diubah bentuk menjadi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yaitu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan disahkan DPR RI dengan Undang-Undang RI 15 Tahun
2003.347
Dengan undang-undang tersebut maka ancaman dan serangan terorisme baik
yang bersifat internasional maupun kegiatan terorisme lokal atau nasional yang
347 Romli Atmasasmita, 2014, Pemberantasan Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan
Internasional, Bahan Pendidikan & Pelatihan Hakim PerkaraTerorisme & Peradilan Umum Seluruh
Indonesia tanggal 10-15 Maret 2014, Jakarta, (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I), h.2
memuat aspek internasional juga dapat mencegah intervensi pihak asing dengan
alasan memerangi terorisme internasional.348
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penanggulangan tindak pidana terorisme
di Indonesia tidak terlepas dari adanya kebijakan hukum pidana sebagai bentuk reaksi
sosial dan masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh March Ancel yang menyatakan
bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the control of crime by
society”349
(upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan).
Sehingga peran besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak
terelakkan.350
Berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan pada para terdakwa tindak pidana
terorisme bom Bali, dijelaskan dalam putusan pengadilan. Setiap putusan pengadilan
harus disertai dengan bahan pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan
putusan tersebut. Hal ini ada di dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa : “Dalam sidang
permusyawarahan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan”.
348 Romli Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo, Bandung,
(Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II), h.87
349
March Ancel, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem, Rontledge and
Kega Paul, London, h.208-209
350
Johannes Andenaes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend B
Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London, h.86-90
Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mengenai Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa : “putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemindahan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan dalam hal serta
cara yang diatur undang-undang ini. Jadi seorang terdakwa dapat dijatuhi pidana
apabila terdakwa jika di dalam persidangan terbukti secara sah dan menyakinkan
melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, dalam persidangan hakim harus
menyebutkan perbuatan terdakwa yang mana sesuai fakta terungkap dipersidangan
dan memenuhi rumusan pasal tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, hakim harus merumuskan perbuatan terdakwa yang memenuhi
rumusan pasal yang menunjukan adanya tindak pidana terorisme.
Untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku dalam kasus pengeboman
yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 bertempat di Legian Kuta Bali tersebut,
Hakim mengambil keputusan dengan mengacu pada beberapa pasal yaitu dalam
bentuk primair, subsidair, lebih subsidair, dan lebih subsidair lagi.
Untuk dasar hukum primairnya didasarkan pada Pasal 14 jo Pasal 6 Perpu No.
1 Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2
Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP. Pasal ini mengenai Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di Bali
dengan ancaman mati atau pidana penjara seumur hidup.
Kemudian untuk dasar hukum yang subsidair yaitu Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun
2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun
2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dasar hukum yang lebih subsidair adalah Pasal 15 jo Pasal 6 Perpu No. 1
Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2
Tahun 2002 jo Pasal 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Terdakwa bersama
teman-temannya telah melakukan Tindak Pidana Terorisme berupa peledakan bom di
Bali.
Lebih subsidair lagi adalah Pasal 9 Perpu No. 1 Tahun 2002 jo Pasal 1
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu No. 2 Tahun 2002 jo Pasal 1
Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Terdakwa telah
memperoleh, menguasai, membawa, mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut suatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan
maksud melakukan tindak pidana terorisme.
Dalam Pasal 6 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, menjadi Undang-Undang, dinyatakan bahwa :
“setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati …”
Maksud dari kekerasan menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 Undang-
Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
adalah perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan
sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan
kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Sedangkan pengertian ancaman kekerasan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu
setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau
peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut
terhadap orang atau masyarakat secara luas.
Dengan melihat kasus terorisme bom Bali, yang mengakibatkan 202 orang
meninggal dunia, 325 orang luka-luka sehingga akibat dari kejadian tersebut telah
menimbulkan adanya kekerasan yaitu banyaknya orang yang meninggal dunia dan
banyaknya orang yang terluka hingga pingsan dan menjadi tidak berdaya. Adanya
ancaman kekerasan juga terlihat dari peristiwa bom Bali tersebut. Ancaman
kekerasan tersebut berupa perasaan takut dan khawatir yang melanda warga negara
Indonesia, khususnya warga masyarakat Bali. Tidak menutup kemungkinan pula
ancaman tersebut juga berimbas pada warga negara asing yang sedang dan akan
berkunjung ke Bali.
Lebih khusus lagi, penjatuhan pidana mati bagi pelaku adalah karena tidak
hanya sebagai orang yang langsung bertindak sebagai pelaku, namun juga sebagai
otak atau pencetus dan perencana tindak pidana terorisme tersebut. Oleh karena itu
Hakim mengacu pula pada Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu : “setiap orang yang
merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
terorisme dipidana dengan pidana mati …”
Pasal 14 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme tersebut relevan dengan Pasal 55 KUHP. Dasar hukum
tersebut mempertimbangkan unsur dari adanya keterlibatan dalam hal orang yang
melakukan, turut serta melakukan, menyuruh orang lain melakukan perbuatan.
Digunakannya dasar hukum Pasal 55 KUHP tersebut karena dalam Perpu No. 1
Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme tidak memberikan penjelasan secara spesifik tentang apa yang
dimaksud dengan pengertian “orang yang melakukan, turut serta melakukan,
menyuruh orang lain melakukan perbuatan”.
Untuk membentuk persepsi mengenai pengertian tersebut, maka digunakan
pendekatan berdasarkan teori-teori dalam hukum pidana yang kemudian dikaitkan
dengan hukum positif di Indonesia yaitu KUHP. Dalam KUHP khususnya Pasal 55
mengatur mengenai penyertaan (Deelneming). Pasal 55 KUHP menyatakan bahwa :
[1] Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
[2] Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Dari perumusan Pasal 55 KUHP tersebut yang dapat diklasifikasikan sebagai
pelaku ada 4 (empat) macam yaitu :
1) Mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (plegen).
2) Mereka yang menyuruh melakukan suatu perbuatan pidana (doen plegen).
3) Mereka yang turut serta melakukan suatu perbuatan pidana (medeplegen).
4) Mereka yang dengan sengaja menggerakkan (menganjurkan) orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan pidana (uitloking).351
Dengan dasar persepsi yang telah terbentuk dari pengertian dan maksud dalam
unsur-unsur pasal tersebut serta dikaitkan dengan fakta-fakta yang terjadi pada lokasi
kejadian, yang terjadi dipersidangan, dan keterangan-keterangan para saksi maka aksi
terorisme bom Bali tersebut memang dikehendaki oleh para pelaku. Para pelaku telah
351 I Made Widnyana, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, (Selanjutnya disebut I Made Widnyana II) hal.33
memiliki kesadaran akan tugas-tugasnya dalam rangka mewujudkan tujuan yang
hendak dicapainya, yaitu perang terhadap Amerika dan sekutunya. Tujuan tersebut
terlaksana karena adanya kerjasama yang telah disepakati dan terperinci dengan
tugasnya masing-masing diantara para pelaku.
Penjatuhan pidana mati pada beberapa terdakwa berkaitan dengan Pasal 55
KUHP berdasar pada terdapatnya syarat Doen Plegen pada beberapa pelaku, yaitu
bahwa si penyuruh tidak harus melakukan sendiri secara langsung melainkan cukup
dengan menyuruh orang lain. Hal tersebut didasarkan pada keterangan-keterangan
para saksi yang juga sekaligus sebagai pelaku tindak pidana terorisme tersebut. Dari
fakta-fakta dan bukti-bukti tersebut terlihat adanya peranan pelaku yang bekerja di
belakang layar sebagai koordinator peledakan bom di Bali ini yang juga dapat
dikatakan sebagai Actor Intellectual atau Intellectual Dader. Selain adanya Actor
Intellectual, adapula pelaku yang bertugas sebagai eksekutor, seperti pelaksana
dilapangan, peracik dan perakit bom, pembeli bahan-bahan peledak, dan sebagainya.
Maka menurut KUHP pelaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara
bersama-sama merencanakan tindak pidana terorisme.
Dalam tindak pidana terorisme bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober
2002 tersebut, sebanyak 3 (tiga) pelaku yang dijatuhi pidana mati. Penjatuhan pidana
mati tersebut dilakukan karena terbukti telah merencanakan dan menggerakkan orang
lain untuk aksi yang mereka lakukan. Ketentuan pasal ini ditujukan terhadap Actor
Intellectual. Maksud merencanakan dalam ketentuan ini adalah tindakan yang
termasuk mempersiapkan baik secara fisik, financial, maupun sumber daya manusia
yang mendukung aksi terorisme yang mereka inginkan. Makna menggerakkan orang
lain ini adalah melakukan hasutan dan provokasi untuk tercapainya suatu tujuan
dengan memberikan hadiah atau uang atau janji-janji.
Dalam suatu jaringan teroris, terdapat beberapa tingkatan pelaku, yaitu pada
tingkat pertama adalah para teroris pemegang kendali operasi termasuk menyusun
rencana dan menetapkan tujuan, pengawas dari sebuah jaringan teroris. Bagian ini
merupakan bagian yang tergolong sedikit anggotanya, tetapi memiliki pengaruh
sangat besar dalam jaringannya. Berkaitan dengan terorisme bom Bali tersebut,
bagian ini dilakukan oleh Imam Samudera yang disebut sebagai perencana penentu
sasaran dan pengendali operasi. Sedangkan Amrozi dan Ali Gufron disebut sebagai
perencana pengeboman. Akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan
untuk menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku terorisme bom Bali tersebut.
Tingkatan yang kedua adalah para pelaku pelaksana lapangan aksi-aksi
terorisme. Pada tingkatan ketiga adalah para pendukung aktif yang merupakan bagian
yang cukup besar dalam suatu jaringan teroris. Tugas mereka adalah menjaga
kelangsungan kegiatan bagian lain dilapangan seperti, menyediakan dan menjaga
jaringan komunikasi, menyiapkan dan menyediakan tempat persembunyian dan
tempat perencanaan, melaksanakan kegiatan pengintaian dan menyediakan dukungan
pendanaan dan logistik.
3.2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Mati dalam Tindak
Pidana Terorisme Perspektif Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis
Dalam menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, seorang
hakim tidak saja hanya berpedoman pada undang-undang, namun hakim juga
mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain karena seorang hakim memiliki
kebebasan mandiri untuk menentukan putusannya. Selain kebebasan mandiri, seorang
hakim memiliki kebebasan mutlak dan tidak dicampuri oleh pihak lain. Hal ini
disebabkan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif serta
kebebasan yang dimiliki harus berdasarkan rasa keadilan baik terhadap terdakwa
maupun masyarakat dan bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam menjatuhkan putusan, hakim mengalami tingkat kesulitannya
tersendiri, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Terdapat beberapa
pendekatan-pendekatan yang dipergunakan hakim dalam mempertimbangkan
pemidanaan, diantaranya :
1. Pendekatan Keseimbangan
Yaitu keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang
dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara
yaitu masyarakat, korban, dan terdakwa.352
2. Pendekatan Seni (art) dan Intuisi
352 Bagir Manan, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Jakarta, h.51
Pemidanaan adalah diskresi hakim, maka dalam penjatuhan pidana hakim
akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap
pelaku. Hal ini disebut dengan seni menjatuhkan pidana. Sebagai suatu seni,
hakim lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan.353
3. Pendekatan Keilmuan
Bertolak dari proses pemidanaan harus dilakukan secara sistematik dan
kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu
dalam rangka menjamin konsistensi putusan.354
4. Pendekatan Pengalaman
Pengalaman-pengalaman yang panjang sangat berpengaruh pada cara-cara
hakim menjatuhkan putusan seperti pemidanaan.355
Penjatuhan pidana mati bagi 3 (tiga) pelaku tindak pidana terorisme bom Bali
tersebut para Hakim memiliki alasan-alasan dan dasar pertimbangan sendiri. Dalam
kasus terorisme bom Bali tersebut, tidak semua pelaku dijatuhi pidana mati.
Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang hakim
disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si pelaku.
Majelis Hakim dapat menyimpulkan dan mempertimbangkan putusannya dari
bukti-bukti, kenyataan-kenyataan atau keadaan-keadaan yang diketahui selama
melakukan pemeriksaan terhadap pelaku di depan persidangan Pengadilan. Untuk alat
bukti yang di hadirkan di dalam persidangan harus saling berkaitan antara alat bukti
353 Ibid, h.55-56
354
Ibid, h. 56
355
Ibid
satu dengan alat bukti yang lainnya. Hal tersebut dilakukan agar hakim dapat
membuktikan dan memberikan keyakinan hakim serta hakim mendasari pada hati
nurani, tanpa ada kepentingan apapun.
Pertimbangan-pertimbangan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :
1. Perspektif yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan;
2. Perspektif filosofis, mempertimbangkan pada kebenaran dan keadilan;
3. Perspektif sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut keadilan yang dicapai,
diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang
berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan
keadilan masyarakat (social justice).356
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat yang tentunya memcerminkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Keadilan yang dimaksudkan disini adalah keadilan substantif (materiil)
yang sesuai dengan hati nurani hakim, bukanlah keadilan prosedural (formil).
Tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan
dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
356 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, h.126
humanity). Sehingga pemberantasan dan penanggulangannya tentu berbeda dengan
kejahatan-kejahatan biasa. Dengan menjatuhkan pidana mati pada pelaku tindak
pidana terorisme, maka hal tersebut dapat memberikan efek jera di tengah
masyarakat. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan
yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka
lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa.
Salah satu alasan penjatuhan pidana mati oleh Hakim dalam tindak pidana
terorisme, dapat dikaitkan dengan teori tujuan atau teori relatif (doel theorien) yang
bersifat menakut-nakuti dalam teori pemidanaan. Alasan Hakim menjatuhkan pidana
mati bagi pelaku tindak pidana terorisme adalah bukan karena pelaku membuat
kejahatan, melainkan agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Jadi terlihat di sini
bukanlah menekankan pada aspek pembalasannya tetapi lebih pada aspek
menakutkan (pencegah) dari pidana mati tersebut.
Menurut salah satu Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar, dalam
wawancara pada tanggal 27 Februari 2014 yaitu Hakim Hasoloan Sianturi
memberikan pendapatnya mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
suatu putusan pidana dalam proses peradilan, khususnya dalam hal mengadili suatu
kejahatan. Dikatakan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara melakukan
serangkaian tindakan dimulai dari menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan. Hal
tersebut sesuai dengan isi dari Pasal 1 angka 9 KUHAP.
Dari serangkaian tindakan-tindakan tersebut, seorang hakim dituntut untuk
mempertimbangkan hasil pemeriksaan di depan persidangan yaitu dari keterangan
para saksi, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti hingga mendapatkan
fakta-fakta dalam persidangan yang akan dijadikan tolak ukur untuk memberikan
vonis kepada terdakwa. Lebih lanjut Hasoloan Sianturi kurang setuju terhadap
penerapan sanksi pidana mati dalam menilai keefektifan dari suatu pidana terhadap
kejahatan yang dilakukan. Hal tersebut dinilai kurang sesuai dengan hati nurani dan
ajaran agama yang dianut oleh Hasoloan Sianturi sendiri. Meskipun dalam tindak
pidana tersebut terdapat ancaman maksimumnya adalah pidana mati.
Dari beberapa negara saat ini, seperti Swiss, Australia, Italia, Jerman telah
menghapus pidana mati, namun demikian di negara lain sampai saat ini masih
mempertahankan pidana mati sebagai sarana pemulih atas perbuatan-perbuatan yang
sangat tercela, perbuatan yang sangat menggoncangkan rasa keadilan di tengah-
tengah masyarakat. Pidana mati dapat diterapkan ketika tindak pidana terorisme
menimbulkan korban dalam skala besar dan pelakunya dianggap sudah sulit untuk
diperbaiki.357
Dalam wawancara pada tanggal 17 Maret 2014, Hakim Putu Gde Hariadi
yang merupakan Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memiliki pendapat bahwa
pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali merupakan pelaku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, karena pelaku melakukan tindak pidana
357 Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 75
terorisme tersebut didasarkan atas kesadaran, niat dan terencana. Ini memberikan
konsekuensi bahwa dari hal tersebut sudah patut hakim memberikan pertimbangan
untuk menjatuhkan pidana yang seberat-beratnya kepada pelaku, bahkan hukuman
mati sekalipun. Karena dalam Undang-Undang Terorisme dan KUHP masih
diakuinya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini tentu didukung dari
bukti-bukti serta dampak yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut. Namun
hakim harus cermat dan teliti dalam mempertimbangkan hukuman mati tersebut,
karena pelaku tindak pidana terorisme memiliki peran dan tugas yang berbeda-beda
dalam pelaksanaannya.
Hakim Pengadilan Negeri Denpasar lainnya yaitu Cening Budiana memiliki
pendapat yang sama dengan Hakim Putu Gde Hariadi. Meskipun Cening Budiana
menjatuhkan pidana seumur hidup bagi salah satu pelaku tindak pidana terorisme
Bom Bali, namun tidak menutup kemungkinan Cening Budiana akan menjatuhkan
pidana mati bagi pelaku. Penjatuhan pidana tersebut didasarkan atas pertimbangan-
pertimbangan yang berdasar pada aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Dengan
lebih mencermati fakta-fakta hukum dalam persidangan, bukti-bukti, serta dampak
yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Hakim harus memiliki hati nurani yang
bersifat objektif dalam menangani suatu perkara. Hakim harus mempertimbangkan
keadilan dari semua pihak, yaitu pihak korban, pelaku, dan masyarakat. Bom Bali
tersebut tidak hanya merugikan masyarakat Bali saja, namun juga berdampak pada
masyarakat Indonesia bahkan hingga tingkat Internasional.
Dasar pertimbangan dalam penjatuhan pidana mati ini yang juga berkorelasi
dengan Desert Theory (teori ganjaran) yang menggambarkan pemikiran tentang
proporsionalitas dalam pemidanaan. Jadi beratnya sanksi pidana harus seimbang
dengan kesalahan yang dilakukan pelaku. Penjatuhan pidana harus diukur
berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh pelaku tindak pidana.
Sehingga pertimbangan Hakim menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana
terorisme dirasa cukup adil dan berdasar pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Pertimbangan penjatuhan pidana mati secara perspektif yuridis masih sah
untuk dijatuhkan pada beberapa tindak pidana karena sampai saat ini masih jelas
secara formal termuat dalam Pasal 10 KUHP dinyatakan dan diakuinya pidana mati
sebagai pidana pokok. Hal tersebut berkaitan dengan konsep negara hukum, yaitu
menurut Friedman, negara hukum mengandung arti pembatasan kekuasaan negara
oleh hukum. Maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa karena belum adanya
peninjauan maupun pencabutan atas pidana mati, maka dengan demikian pidana mati
masih diperlukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Hukum Pidana
Positif. Sehingga penjatuhan pidana mati tidak melebihi batas kekuasaan negara
karena telah sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia.
Penjatuhan pidana mati tetap diputuskan oleh Majelis Hakim dengan
pertimbangan filosofis yakni siapapun yang melakukan tindak pidana terorisme dan
bertentangan dengan kehidupan manusia yang beradab, haruslah dipandang sebagai
masalah hukum dan penegakan hukum, dan juga merupakan masalah sosial budaya
yang berkaitan erat dengan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan ketahanan bangsa
dan negara. Kebijakan tersebut adalah upaya pencegahan yang ditujukan untuk
memelihara keseimbangan dan kewajiban melindungi kehidupan berbangsa dan
bernegara serta rasa keadilan bagi masyarakat. Berkaitan dengan pertimbangan hakim
dari perspektif yuridis, berkorelasi dengan teori dari Zevenbergen berpandangan
bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud
melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan
mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan.
Pertimbangan yang ditinjau dari perspektif sosiologis adalah terlihat pada
perbedaan penjatuhan pidana terhadap pelaku yang berkaitan dengan tindak pidana
terorisme yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikaji dengan ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa : “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim
dalam menjatuhkan pidana ringan atau berat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Pelaku tindak pidana terorisme tersebut tidak hanya 1 (satu) pelaku, melainkan
beberapa pelaku karena mereka bekerja secara jaringan dan memiliki peran dan tugas
masing-masing. Artinya, meskipun tindak pidana teorisme tersebut termasuk tindak
kejahatan luar biasa, maka seorang hakim juga harus mempertimbangkan nilai-nilai
atau norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat dan sifat baik para pelaku
selain melihat berat ringannya peran yang dilakukan dari masing-masing pelaku.
Misalnya, norma yang berlaku di Madura adalah bahwa bagi pengganggu istri orang
harus dibunuh, karena perbuatan tersebut melecehkan harga diri dan seluruh keluarga.
Pada sebagian besar masyarakat Madura, nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat
tersebut dijunjung tinggi dan berlaku sampai saat ini dengan tujuan untuk
mempertahankan hak-haknya dari gangguan orang lain, sehingga hal tersebut menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana ringan pada terdakwa.
Demikian juga dalam persidangan, jika pelaku tindak pidana terorisme selalu
menunjukkan sifat kooperatif, sopan, dan berkata jujur, semua itu menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan yang pidana yang lebih ringan dari pidana
pelaku lainnya.
Dari fakta-fakta yang dikumpulkan di persidangan, pelaku terbukti telah
merencanakan dan melakukan tindak pidana terorisme yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban secara massal
yakni berupa hilangnya nyawa kurang lebih sebanyak 202 (dua ratus dua) orang serta
korban luka-luka kurang lebih 325 (tiga ratus dua puluh lima) orang dari berbagai
bangsa dan negara. Selain itu mengakibatkan terjadinya kerusakan fasilitas publik
berupa rusaknya jaringan telepon, listrik, saluran air PDAM yang menelan nilai
kerugian ratusan juta rupiah. Menghancurkan dan merusak pula bangunan-bangunan
disekitar tempat terjadinya tindak pidana terorisme sejumlah 422 (empat ratus dua
puluh dua) unit.
Persiapan yang dilakukan oleh para terdakwa tergolong persiapan matang.
Dimulai dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan para terdakwa di beberapa tempat
guna membicarakan rencana dan target pengeboman yang akan mereka lakukan.
Kemudian dari pertemuan tersebut dipersiapkan pula akomodasi seperti rumah
kontrakan yang digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan dan tempat
untuk merakit bom. Tipe rumah yang disiapkan pun adalah rumah yang memiliki
garasi untuk memudahkan para terdakwa bekerja merakit bom. Persiapan selanjutnya
adalah melakukan survei kelapangan dengan cara berkali-kali melewati Jalan Legian
Kuta untuk melihat banyaknya orang asing yang berada di Bali untuk menentukan
sasaran peledakan bom.
Rangkaian-rangkaian kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka melakukan
pengeboman di Legian dan Renon tersebut bermula dari pertemuan-pertemuan para
terdakwa pada bulan Agustus 2002 hingga persiapan-persiapan yang dilakukan di
Bali pada bulan Oktober 2002 terdapat tenggang waktu yang cukup yaitu sekitar 2
bulan sehingga terdapat kesempatan yang matang bagi terdakwa untuk berpikir
tenang dalam membuat rencana peledakan bom Bali. Berdasarkan rangkaian-
rangkaian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbuatan
perencanaan untuk melakukan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh terdakwa
dan unsur merencanakan untuk melakukan tindak pidana terorisme telah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Perencanaan terhadap kasus terorisme bom Bali ini berkaitan pula dengan niat
batin para pelaku yang menjadi tujuan terdakwa untuk memerangi orang Amerika
dan sekutunya. Hal tersebut diwujudkan dengan cara merencanakan peledakan bom
di Bali dengan pertimbangan Bali banyak didatangi oleh wisatawan asing yang oleh
terdakwa dianggap sebagai orang-orang Amerika dan sekutunya. Meskipun tujuan
utama adalah memerangi warga negara Amerika dan sekutunya, namun para
terdakwa menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan akan berdampak pula pada
beberapa orang yang bukan sasaran target untuk diperangi, seperti misalnya warga
negara Indonesia khususnya masyarakat Bali. Dari perencanaan tersebut dilanjutkan
dengan pembagian tugas masing-masing terdakwa.
Tindakan-tindakan para tersangka dilakukan dengan kesadaran penuh, yakni
hendak melakukan pembalasan terhadap perlakukan orang-orang Amerika di
Afghanistan dan untuk itu terdakwa menyadari akibat yang timbul dari perbuatannya
tersebut. Terdakwa juga bahkan memang menghendaki akibat yang terjadi dengan
peledakan bom di Kuta Bali tersebut dengan harapan warga asing yang dianggap oleh
terdakwa sebagai orang Amerika dan sekutunya tersebut menjadi celaka dan
menderita atau tidak berdaya bahkan mati. Sehingga tindakan terdakwa tersebut
adalah merupakan kesengajaan. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja adalah
merupakan sikap batin pelaku. Pelaku mengetahui, menghendaki atau mengerti
tentang perbuatan yang dilakukan serta akibat dari perbuatannya tersebut, dengan
melihat dari rangkaian-rangkaian perbuatan pelaku, keterangan serta hasil
pemeriksaan saksi-saksi di depan persidangan.
Tindakan pengeboman tersebut dilakukan secara melawan hukum, membuat,
menerima, menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, dan mempergunakan bahan peledak dan bahan-bahan kimia
lainnya yang berbahaya dalam rangka kerjasama untuk tujuan melakukan tindak
pidana terorisme. Para terdakwa yang telah dipidana mati merupakan orang yang
cukup mengerti mengenai masalah bom karena telah mempelajarinya dan berlatih
membuat bom di Afghanistan.
Peledakan bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 tersebut tidak
hanya dilakukan di Paddy’s Pub dan Sari Club Kuta, namun dilakukan juga
peledakan bom di Jalan Puputan Renon Denpasar. Kondisi ini menimbulkan suasana
mencekam dan rasa ketakutan masyarakat yang meluas karena tidak hanya tertuju
pada masyarakat Indonesia pada umumnya serta masyarakat Provinsi Bali pada
khususnya, namun tindakan terorisme tersebut juga berdampak besar bagi masyarakat
Internasional. Turis-turis asing beramai-ramai meninggalkan Bali. Wisatawan yang
merencanakan untuk berlibur di Indonesia, khususnya Bali membatalkan niat mereka.
Peristiwa tindak pidana terorisme bom Bali ini menjadi perhatian masyarakat
internasional.
Pelaku tindak pidana bom Bali tidak hanya dari warga negara Indonesia saja,
tetapi juga terdapat andil warga negara asing, seperti Singapura. Hal ini menunjukkan
bahwa tindak pidana ini telah bersifat kejahatan lintas negara, terorganisasi dan
bahkan dapat diduga bahwa tindak pidana ini bersifat Internasional. Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438
(2002) yang simpati kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia serta para korban dan
keluarganya; dan menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor
1373 (2001) untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia
untuk mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa itu dan membawanya
ke Pengadilan.358
Sebelum melakukan tindak pidana terorisme bom Bali, para pelaku juga
melakukan tindak pidana terorisme dengan cara pengeboman dibeberapa tempat di
wilayah Indonesia seperti di beberapa gereja di Batam. Terdakwa bom Bali juga
menyimpan dan memiliki senjata api yang tidak memiliki ijin kepemilikan sejata oleh
negara. Jadi tindakan tersebut telah melanggar peraturan dan dapat mengancam
358 O.C. Kaligis, Op.Cit, h.62
keamanan dan keselamatan masyarakat apabila sampai terjadi penyalahgunaan dari
senjata api tersebut.
Senjata api tersebut digunakan untuk menunjang rencana yang akan mereka
lakukan, salah satunya adalah pengumpulan dana. Mereka secara bersama-sama
menyediakan dana untuk tujuan melakukan tindak pidana terorisme. Dana yang
diperoleh untuk melakukan tindak pidana terorisme bom Bali itu diperoleh dari
perbuatan pidana seperti perampokan dan cara lainnya karena dana yang diperlukan
dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan fakta dipersidangan Majelis Hakim
mempertimbangkan keterangan para saksi, yaitu dalam hal perampokan yang
dilakukan pada Toko Emas Elita di Serang. Salah satu pelaku yang dijatuhi pidana
mati yang merupakan actor intellectual tindak pidana terorisme tersebutlah yang
memberikan pinjaman 2 (dua) pucuk senjata api kepada para pelaku lainnya. Hasil
rampokan kemudian diserahkan dan diterima oleh salah satu terpidana mati. Dari hal
tersebut terlihat bahwa pelaku mengetahui sumber dana tersebut merupakan hasil
kejahatan. Meyakinkan pula secara yuridis bahwa pelaku dengan sengaja
menyediakan dan mengumpulkan dana untuk tujuan digunakan dalam melakukan
tindak pidana terorisme.
Para terdakwa tidak bersedia memberi keterangan dan tidak bersedia
disumpah. Demikian pula Penasehat Hukum para terdakwa keberatan apabila
terdakwa juga memberikan keterangan sebagai saksi dan beranggapan bahwa hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 168 KUHAP. Namun Majelis Hakim sudah
memberikan alasan dan telah menjelaskan bahwa pengertian saksi yang dapat
mengundurkan diri sebagai saksi dengan alasan karena sama-sama sebagai terdakwa
sebagaimana bunyi Pasal 168 KUHAP harus diartikan bahwa diantara saksi dan
terdakwa harus terdapat hubungan saudara dan antara saksi dan terdakwa sama-sama
sebagai terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara yang sama. Selain itu
penolakan terdakwa untuk saling bersaksi di depan persidangan terdakwa lainnya
menurut Majelis Hakim adalah tidak sah. Hal tersebut berdasar pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 1989 K/SIP/89 tanggal 21 Maret 1990 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pengertian sama-sama sebagai terdakwa dalam pengertian Pasal
168 KUHAP tersebut adalah apabila antara saksi-saksi dan terdakwa adalah sama-
sama selaku terdakwa yang diajukan dalam satu berkas perkara. Dalam kasus bom
Bali ini, antara perkara para terdakwa dan perkara para saksi tersebut diajukan dalam
berkas perkara yang berbeda.
Alat bukti petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang dapat memberikan
keyakinan hakim akan terjadinya suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan
alat-alat bukti lain yang digunakan dalam perkara ini. Alat bukti petunjuk ini antara
lain adalah didapat dari keterangan para saksi dan juga para terdakwa bom Bali
tersebut. Keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah dihadapan penyidik.
Meskipun di depan persidangan terdapat ketidaksediaan saksi (terdakwa) untuk
memberikan keterangannya, namun keterangan dalam penyidikan dapat digunakan
sebagai pertimbangan hakim untuk memberikan keyakinan Hakim akan terjadinya
suatu peristiwa dengan mengkaitkannya dengan alat-alat bukti lain yang digunakan
dalam kasus terorisme bom Bali ini.
Selain keterangan dari saksi-saksi yang sekaligus juga menjadi terdakwa,
dipertimbangkan pula keterangan dari saksi-saksi lainnya. Dari keterangan saksi-
saksi tersebut dijelaskan bahwa dampak dari tindakan terorisme tersebut
menyebabkan rasa takut, was-was, dan khawatir serta menimbulkan suasana teror
yang berakibat pada rasa traumatis. Secara meluas masyarakat Bali merasa tercekam
dalam perasaan ketakutan dan kengerian yang dibalut suasana teror karena
masyarakat Bali seakan tidak percaya bahwa Bali yang selama ini selalu penuh
dengan ketenangan dan kedamaian tiba-tiba terjadi peristiwa terorisme bom Bali yang
mengguncang Indonesia hingga internasional. Perekonomian masyarkat Bali juga
mengalami penurunan yang sangat drastis, karena tempat dimana sebagian besar
masyarakat Bali mencari rejeki untuk menopang kehidupan menjadi hancur lebur.
Artshop, restoran, dan hotel sepi kunjungan wisatawan, yang mengakibatkan
perusahaan tersebut tutup. Ini berdampak pada meningkatnya tingkat penggangguran.
Tidak hanya berpengaruh pada perekonomian masyarakat Bali saja, namun bagi
Indonesia karena berkaitan dengan rusaknya citra kepariwisataan.
Dengan rusaknya citra pariwisata Indonesia maka berpengaruh pada
pendapatan negara dan pendapatan masyarakatnya. Hal ini berdampak pada
perekonomian yang tidak stabil hingga menimbulkan krisis moneter dan banyaknya
masyarakat yang kehilangan pekerjaan serta beberapa usaha harus menutup usahanya.
Dampak perekonomian tersebut merupakan kerugian yang bersifat meluas.
Pada praktiknya hakim berani menjatuhkan pidana mati dengan alasan untuk
memenuhi rasa keadilan dan hati nurani karena hakim dalam putusannya harus
berdasarkan pada kerangka hukum yaitu penegakan hukum dan penegakan keadilan.
Atas putusan hakim tersebut yang melakukan penjatuhan pidana mati bagi pelaku
tindak pidana terorisme, haruslah diterima dan dihargai asal saja putusan yang
tersebut berdasarkan pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak dapat hanya
berpatokan pada Undang-Undang saja, tetapi juga hakim bertolak pada hati nurani,
lebih dari itu hakim boleh saja menjatuhkan pidana mati asal putusan tersebut tidak
memiliki kepentingan atau objektifitas dijunjung tinggi.
Mengenai dasar pertimbangan hakim yang menjatuhkan pidana mati tersebut
dilakukan berdasarkan perspektif sosiologis, yaitu dengan mempertimbangkan tata
nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Apabila terjadi
kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan formal (hukum positif)
maka hakim akan diwajibkan untuk berkreativitas, menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai
dasar putusannya (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Tindakan hakim seperti ini memerankan fungsi
rechtsvinding. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Dalam bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan
Peradilan Umum Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12
Maret 2014, Roki Panjaitan yang merupakan seorang Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta mengungkapkan bahwa pentingnya pemberantasan terorisme di
Indonesia didasarkan pada pertimbangan :
• Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan dan peradaban serta merupakan
salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara.
• Terorisme merupakan kejahatan internasional yang menimbulkan bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan
masyarakat.
• Kejahatan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam, mempunyai
implikasi yang bisa merusak hubungan persahabatan antar negara,
menimbulkan saling curiga antara negara bahkan antara kompenen atau
elemen dalam negeri kita sendiri.
Khusus mengenai tindak terorisme yang terjadi di Bali, Roki Panjaitan
menyatakan bahwa implikasi atas kejadian bom Bali tersebut telah menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkan
hilangnya nyawa dan kerugian harta benda. Selain itu memberikan dampak yang luas
terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional serta
mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan pertimbangan
tersebut pelaku tindak pidana terorisme dapat diancamkan sanksi pidana dengan
minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak
pidana terorisme.
BAB IV
PENGARUH PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME
4.1 Proses Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Terorisme merupakan masalah nasional yang harus diperangi oleh seluruh
stakeholder di negara Indonesia, bahkan seluruh dunia karena terorisme merupakan
extraordinary crime. Oleh karena itu dibutuhkan penindakan secara optimal dan
sinergis di dalam menangani masalah tersebut. Terorisme jika tidak ditangani dengan
baik, maka sangat membahayakan keadaan suatu negara tidak terkecuali negara
Indonesia itu sendiri.359
Langkah pemerintah Indonesia dalam menanggulangi
kejahatan terorisme melalui aparat hukum telah diupayakan semaksimal mungkin.
Salah satunya adalah menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme.
Hal ini dilakukan agar tujuan dari sistem pemidanaan dapat dicapai.
Pencegahan individu atas hukuman berarti bahwa pelaku kriminal seharusnya
dapat dicegah melakukan kejahatan baru. Cara yang paling sering digunakan adalah
dengan cara menjebloskan pelaku ke penjara, tanpa melanggar hak hidupnya. Namun,
dengan menjatuhkan pidana mati bagi pelaku dirasa efektif sebagai alat pencegah
359 Nurhadi Syahputra, 2013, Korupsi, Narkoba, Terorisme Sama Bahayanya, Bali Post, Tgl. 3
Desember, h. 6, kolom 2
kejahatan karena adanya jaminan penuh bahwa kejahatan tidak akan bisa dilakukan
lagi secara berulang oleh pelaku yang sama.
Hukuman mati diperlukan untuk melindungi masyarakat. Untuk menanamkan
rasa ketakutan pada masyarakat, eksekusi pidana mati seringkali dipublikasikan.
Semua pidana memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan pengaruh dalam
mencegah kejahatan, namun pidana matilah yang dianggap paling efektif. Pidana
mati tersebut termasuk dalam kategori pencegahan umum, artinya hukuman
memberikan pengaruh kesadaran hukum publik sehingga tindakan kriminal
dipandang sebagai suatu hal yang tidak diinginkan.
Sebagai negara hukum, Indonesia tentu mendasarkan norma ancaman,
penerapan, dan pelaksanaan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik peradilan, pengadilan sudah berulang kali menjatuhkan pidana mati
bagi pelaku kejahatan narkotika serta terorisme. Muladi mengemukakan bahwa ke
depannya pandangan hukuman pidana mati di Indonesia dapat dirumuskan sebagai
pidana perkecualian yang bersifat khusus, sesuai dengan sistem pemasyarakatan.360
Adanya pelimpahan perkara ke pengadilan mengharuskan subsistem
pengadilan melakukan rangkaian kegiatan yang menyangkut persidangan. Bekerjanya
subsistem pengadilan diawali dengan menerima pelimpahan perkara dari penuntut
umum dan kemudian dilanjutkan dengan memutus perkara pidana tersebut
360 Muladi, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang (Selanjutnya disebut Muladi II), h. 157
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak menurut ketentuan yang ada pada
undang-undang.
Khusus untuk proses penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana terorisme
bom Bali dalam persidangan pertama dilakukan pembacaan Surat Dakwaan oleh
Jaksa Penuntut Umum yang dilaksanakan di Gedung Wanita Nari Graha Denpasar
pada tanggal 12 Mei 2003.
Pada sidang selanjutnya adalah pembacaan eksepsi yaitu tanggapan dan atau
keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa atas Surat Dakwaan yang telah dibacakan
oleh Jaksa Penuntut Umum dan begitu seterusnya hingga dianggap cukup. Hakim
kemudian menginjak materi selanjutnya yaitu mengenai pemeriksaan barang bukti
dan berakhir dengan penjatuhan vonis oleh Hakim. Untuk tindak pidana terorisme
bom Bali ini seperti yang telah dijelaskan di atas, tiga terdakwa dijatuhi vonis
hukuman mati dan terdakwa lainnya divonis dengan hukuman yang berbeda-beda.
Kendala yang dihadapi oleh Hakim dalam melaksanakan proses penjatuhan
pidana mati tersebut antara lain :
1. Hakim harus benar-benar mempertimbangkan dengan baik, karena pidana
mati tidak dapat diperbaiki lagi atau diganti kerugiannya apabila terdapat
kesalahan dalam memutus pidana tersebut.
2. Dalam hal mensinkronkan keterangan-keterangan dengan fakta-fakta, bukti-
bukti dengan berita acara pemeriksaan (BAP) itu memerlukan waktu yang
tidak sebentar, bahkan bisa dikatakan agak lama dan cukup sulit.
3. Dalam proses menjatuhkan vonis, dari pihak korban menuntut agar terdakwa
dijatuhkannya pidana mati, namun dari pihak terdakwa meminta agar tidak
sampai dipidana mati. Adanya perbedaan pendapat tersebut membuat hakim
harus jeli mempertimbangkan hasil yang akan diputuskannya. Karena hakim
tidak boleh mempertimbangkan dari satu sisi saja, melainkan harus dapat
mencakup keadilan bagi semua pihak. Tidak hanya dari sisi korban, pelaku,
namun juga dari sisi masyarakat itu sendiri.
Adapun proses penjatuhan pidana mati terhadap terpidana kasus bom Bali tertera
dalam tabel sebagai berikut :
Terpidana Mati Tindak Pidana Terorisme Bom Bali
No. Nama/Jenis
Kelamin/
Warga Negara
Kasus Tahun
Kejadian
Tahun Vonis
Mati
Tahun
Eksekusi
Keterangan
1. Amrozi bin H
Nurhasyim / L
/ WNI
Peledakan
Bom Bali I
(Terorisme)
12
Oktober
2002
7 Agustus
2003
10 November
2008
- Peninjauan Kembali kedua dicabut
- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak
Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian
mengajukan PK ketiga.
- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU
No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam
Persidangan 21 Oktober 2008
- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit
Nirbaya Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah
2 Imam
Samudera / L /
WNI
Peledakan
Bom Bali I
(Terorisme)
12
Oktober
2002
7 Agustus
2003
10 November
2008
- Peninjauan Kembali kedua dicabut
- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak
Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian
mengajukan PK ketiga.
- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU
No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam
Persidangan 21 Oktober 2008
- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya
Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah
3 Ali Gufron / L
/ WNI
Peledakan
Bom Bali I
(Terorisme)
12
Oktober
2002
2 Oktober
2002
10 November
2008
- Peninjauan Kembali kedua dicabut
- Peninjauan Kembali yang diajukan ditolak
Mahkamah Agung 30 Agustus 2007, kemudian
mengajukan PK ketiga.
- Permohonan terdakwa untuk uji materi UU
No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati ditolak Mahkamah Konstitusi dalam
Persidangan 21 Oktober 2008
- Dieksekusi sekitar pukul 00.25 WIB di Bukit Nirbaya
Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme ini bertujuan
untuk upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku harus dijatuhi derita
yang berupa pidana yang dapat memberikan pengajaran bagi pelaku-pelaku tindak
pidana terorisme lainnya menjadi jera. Dengan dijatuhi pidana mati, pelaku juga
terhindar dari adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Kemudian
pidana mati juga berfungsi untuk dijadikan pelajaran bagi setiap masyarakat untuk
tidak melakukan tindak pidana yang serupa, agar tidak dibebankan hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya. Efek jera pidana mati merupakan faktor penting
dalam upaya orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Sehingga
jumlah tindak pidana terorisme dapat ditekan.182
Hingga saat ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar baru sekali melakukan
eksekusi mati terpidana kasus terorisme bom Bali. Wakil Kejaksaan Tinggi Made
Suryatmaja mengatakan untuk seluruh Indonesia terdapat ratusan kasus yang dijatuhi
pidana mati. Namun untuk wilayah Bali ada beberapa kasus diantaranya kasus
narkotika dan pembunuhan berencana. Untuk kasus narkotika yaitu kasus Bali Nine
yang dijatuhi pidana mati adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, serta
seorang warga negara asing kebangsaan Inggris Lindsay June Sandiford. Untuk kasus
pembunuhan berencana putusan pidana mati dijatuhi pada pelaku pembunuhan
182 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan
Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta, h.65
keluarga polisi di Karangasem yaitu Putu Suaka. Semua kasus tersebut sudah
memiliki kekuatan hukum tetap (incrath).183
4.2. Pelaksanaan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela-
rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Hal itu dalam konteks
Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan
bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan
pidana mati hendaklah memperhatikan empat syarat yang merupakan hal penting
yaitu :
1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana
yang bersifat khusus dan alternatif.
2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh
tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa
ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang sakit jiwa tersebut sembuh.
183 Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember, h. 2,
Kolom 3
Dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, ditunjuk sebagai pelaksana pidana mati yang
dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas sebagai pelaksana
pidana mati, memiliki suatu peraturan yang memuat tata cara bertindak yang terarah
dan terorganisir agar pelaksanaan pidana mati dilakukan secara profesional dengan
tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Peraturan tersebut yakni Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati.
Dalam menjalankan tugas eksekusi mati pada ketiga pelaku terorisme bom
Bali, digunakan acuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan
Umum dan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38)
yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden
dengan Undang-Undang.
Dalam persidangan kasus Bom Bali I, tim pengacara muslim yang diberikan
kuasa mewakili ketiga terpidana mati bom Bali tersebut yang terdiri dari Wirawan
Adnan, S.H.; H.M. Mahendradatta, S.H.,M.A., M.H.; H. Achmad Michdan, S.H.;
Akhmad Kholid, S.H.; Qadar Faisal, S.H.; Gilroy Arinoviandi, S.H.; Sutejo Sapto
Jalu, S.H.; Hery Susanto, S.H.; Guntur Fattahillah, S.H.; dan Abdul Rahim, S.H.,
melakukan uji materiil UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Perkara yang diajukan oleh Tim Pembela Muslim yaitu mengajukan
permohanan pengujian undang-undang tentang norma-norma yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 38) yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang.
Dalam petitum Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
1. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 merupakan undang-undang yang
pembentukannya didasarkan pada Penetapan Presiden Republik Indonesia.
Penetapan Presiden a quo, kemudian menjadi undang-undang adalah karena
diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dengan Undang-Undang. Penetapan
Presiden a quo merupakan Penetapan Presiden yang dimaksudkan Pasal 2
Undang-Undang No. 5 Tahun 1969, yang menyatakan bahwa :
“ Terhitung sejak disahkannya undang-undang ini, menyatakan penetapan-
penetapan Presiden dan peraturan-peraturan Presiden sebagaimana termaksud
dalam Lampiran IIA dan IIB undang-undang ini, sebagai undang-undang dengan
ketentuan, bahwa materi penetapan-penetapan Presiden, dan peraturan-peraturan
Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan undang-
undang yang baru.
2. Bahwa Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5
Tahun 1969 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong bukanlah lembaga perwakilan
rakyat, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, karena DPR GR dibentuk
atas dasar Penpres dan anggotanya diangkat oleh Presiden, sedang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 Amandemen
UUD 1945 anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Bahwa pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 adalah sebagaimana
domaksud dalam Pasal 20 Perubahan UUD 1945, namun pemnbentukan
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-Undang No. 5 Tahun
1969 tidak sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945. Dengan demikian tata cara
pelaksanaan pidana mati dengan ditembak hingga mati oleh regu penembak,
yang selama ini dijalankan di Indonesia merupakan tata cara yang didasarkan
pada undang-undang yang pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945.
Menurut Pemohon, Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 juncto Undang-
Undang No. 5 Tahun 1969, adalah undang-undang yang materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian untuk undang-undangnya bertentangan dengan UUD 1945
khususnya Pasal 28 I ayat (1) perubahan kedua yang menyatakan bahwa :
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak nuntuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Dengan melihat pasal tersebut, alasan keberatan Pemohon adalah sebagai
berikut :
1. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer menentukan bahwa pidana mati dengan cara
ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan tafsir bahwa kematian yang akan
diterima oleh terpidana langsung terjadi dalam satu kali tembakan, namun harus
dilakukan secara berkali-kali hingga dinyatakan mati. Dengan demikian, terjadi
penyiksaan sebelum terpidana akhirnya mati.
2. Dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer menegaskan lebih lanjut atas kemungkinan tidak
terjadinya kematian dalam satu kali tembakan, sehingga diperlukan tembakan
pengakhir. Ini berarti bahwa sebelum tembakan pengakhir tersebut dilakukan,
berarti undang-undang mengakui bahwa terpidana masih hidup, padahal terpidana
sudah dalam keadaan berlumuran darah sehingga mengalami keadaan yang amat
menyiksa, sebelum akhirnya mati dengan tembakan pengakhir.
3. Dalam hal menembakkan sasaran tembakan, terdapat dua sasaran yang harus
dilakukan oleh regu penembak. Pada Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor
2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, ditentukan bahwa
sasaran ditembakan pada jantung terpidana. Sedangkan pada Pasal 14 ayat (4)
dinyatakan bahwa sasaran ditembakkan pada kepala tepat di atas telinga terpidana
sebagai tembakan pengakhir apabila terpidana dinyatakan belum mati. Dengan
demikian, tata cara ini tidak memberikan kepastian akan tiadanya unsur
penyiksaan dalam proses kematian terpidana.
4. Meskipun seorang warga negara Indonesia berstatus terpidana mati, namun
menurut UUD 1945, khususnya Pasal 28 I ayat (1), tetap dijamin hak asasi
manusianya, sehingga penyiksaan terhadapnya dengan menggunakan tata cara
pelaksanaan pidana mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964
merupakan pelanggaran atas hak konstitusionalnya. Dengan demikian materi pada
undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Tim Pengacara Muslim dalam pengujian tersebut menghadirkan beberapa
saksi ahli yang terdiri dari ulama, pastur, serta beberapa pakar dibidang ilmu yang
diyakini akan dapat memberikan keterangan mengenai pelaksanaan eksekusi mati
sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Menanggapi permohonan pengujian formil dari pihak Pemohon, Mahkamah
Konstitusi memiliki pertimbangan-pertimbangan yang menjadi jawaban atas dalil-
dalil Pemohon mengenai pengujian formil yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 dilihat dari bentuk hukumnya adalah memang
benar semula Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang tidak dikenal dalam
UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengatur produk hukum dengan nama
Penetapan Presiden. Akan tetapi hal tersebut telah dikoreksi dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1969 atas perintah Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 dan
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968.
Kedua Ketetapan MPRS tersebut isinya adalah perintah untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap status hukum atas Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden. Dengan melihat Konsideran Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 dapat
disimpulkan bahwa Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 termasuk Penetapan
Presiden (Penpres) yang dinyatakan sebagai undang-undang, yaitu menjadi Undang-
Undang Nomor 2/PNPS/1964. Dengan demikian bentuk hukumnya sudah sesuai
dengan UUD 1945.
Dilihat dari prosedur pembentukannya, Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964
tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 memang tidak mengenal produk
hukum Penetapan Presiden. Namun setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1969
menyatakan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 berlaku, maka prosedur
pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945 yang mengungkapkan bahwa ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan
DPR.
Mengenai status lembaga DPR GR, merupakan DPR yang sah pada awal Orde
Baru sebelum DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Presiden dan DPR GR pada
masa itu adalah Presiden dan DPR yang sah pada masa transisi ketatanegaraan dari
Orde Lama ke Orde Baru dan telah diterima dan diakui oleh rakyat Indonesia.
Dasar keberlakuan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 hingga sekarang
adalah Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Sehingga mengenai undang-undang yang baru
yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana mati belum ada, maka masih
digunakannya Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tersebut sebagai dasar
pelaksanaan pidana mati.
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pula terhadap dalil
Pemohon yang berkaitan dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964
tersebut di atas, khususnya Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4), dan Pasal 28 I ayat
(1) UUD 1945. Pertimbangan pertama menanggapi hal tersebut, Mahkamah
Konstitusi mengacu pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).
Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dinyatakan mengenai definisi penyiksaan yang telah merujuk dan
mengutip Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi tersebut. Definisi
penyiksaan yang dimaksud adalah :
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit
atau penderiataan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan
hukumannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan
oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau
orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas
hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat
publik”.
Rasa sakit yang disebut sebagai penyiksaan dalam pelaksanaan pidana mati,
bukanlah sesuatu yang terjadi secara sengaja dan melawan hukum untuk tujuan
tertentu di luar kehendak mereka yang dieksekusi. Rasa sakit yang timbul dan
melekat dalam pelaksanaan pidana mati adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah
dan wajar. Rasa sakit tersebut akan timbul dan melekat dalam tiap cara pelaksanaan
pidana mati, seperti halnya rasa sakit yang dialami oleh wanita yang melahirkan
dengan tujuan medis.
Ukuran yang harus dipedomani adalah menghindari pelaksanaan pidana mati
yang menimbulkan penderitaan terpidana tersebut secara berkepanjangan. Siksaan
yang dirasakan diukur bukan hanya dari sisi subjektif terpidana sendiri melainkan
juga dari sisi objektif masyarakat. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak
sesungguhnya dapat berlangsung dengan cepat apabila tembakan tepat mengenai
jantung terpidana. Apapun cara yang digunakan baik itu dengan cara dipancung,
digantung ataupun ditembak mati dapat menimbulkan kematian secara cepat jika
dilakukan dengan tepat. Hal tersebut dikemukakan sesuai dengan keterangan dari
para ahli dibidang tersebut. Tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa
sakit dalam pelaksanaannya, bahkan semuanya mengandung resiko terjadinya
ketidaktepatan dalam pelaksanaannya. Maka permohonan Pemohon tidak beralasan
menurut hukum dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer pada Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pada pasal-pasal berikutnya
yang diatur dalam Bab II undang-undang tersebut dijelaskan mengenai tata cara
pelaksanaan pidana mati tersebut.
Eksekusi pidana mati tersebut dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan
yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Namun apabila ditentukan lain
oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dapat tidak dilaksanakan dalam daerah hukum
pengadilan dalam tingkat pertama. Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa
orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat
yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan
tersebut.
Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, kemudian
memberikan nasehat kepada Kepala Polisi Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan
pengadilan tingkat pertama tersebut. KAPOLDA kemudian menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati. Selain itu juga KAPOLDA bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati serta menyediakan
tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.
KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya menghadiri pelaksanaan
pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi atau jaksa yang bertanggung
jawab atas pelaksanaannya. Menunggu pelaksanaan pidana mati, Terpidana ditahan
dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa.
Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa
Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana
mati tersebut. Jaksa Tinggi/ Jaksa menerima keterangannya atau pesan terpidana
apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu. Pembela terpidana atas
permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan
pidana mati. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat
dilaksanakan empat puluh (40) hari setelah anaknya dilahirkan.
Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana
mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Untuk pelaksanaan pidana mati,
KAPOLDA membentuk sebuah regu penembak dari Brigade Mobile (Brimob) yang
terdiri dari seorang Bintara (sekarang disebut dengan Brigadir), 12 orang tamtama di
bawah pimpinan seorang perwira. Khusus untuk melaksanakan tugasnya ini, regu
penembak tidak mempergunakan senjata organiknya. Regu penembak ini dibawah
perintah Jaksa Tinggi/Jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi
yang cukup dan terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana
berpakaian sederhana dan tertib. Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati,
Komandan Pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika
terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara
berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, Jaksa Tinggi/ Jaksa dapat
memerintahkan agar terpidana diikat tangan dan kakinya ataupun diikatkan pada
sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati,
maka regu penembak dengan senjata lengkap menuju ketempat yang ditentukan oleh
Jaksa. Jarak antara terpidana dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10
meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. Apabila semua persiapan telah selesai,
maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati dan para
pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. Dengan menggunakan pedangnya
sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap,
kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya
untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke
bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila terpidana
belum menunjukkan tanda kematian maka dilakukan tembakan pengakhir dengan
sasaran tembak pada kepala. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana
dapat minta bantuan seorang dokter.
Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat
terpidana, terkecuali jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa memutus lain. Jika
tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya atau sahabat
terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan cara agama/
kepercayaan yang dianut terpidana.
Eksekusi pelaku tindak pidana terorisme dilaksanakan pada tanggal 10
November 2008 pukul 00.15. Eksekusi ketiga terpidana mati terorisme bom Bali
dilakukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan pidana mati yang diatur pada Undang-
Undang Nomor 2/PNPS/1964. Pelaksanaan pidana mati tersebut dilakukan di depan
tiga regu tembak di Lembah Nirbaya, Pulau Nusakambangan Kabupaten Cilacap
Jawa Tengah. Ketiga jenazah terpidana dimakamkan dikampung halaman mereka
masing-masing.184
Tidak dilakukannya pelaksanaan pidana mati di Bali terhadap pelaku Bom
Bali tersebut memiliki beberapa pertimbangan. Dalam wawancara yang dilakukan
pada tanggal 18 Maret 2014, Jaksa Eddy Arta Wijaya yang merupakan salah satu
perwakilan dari Kejaksaan Negeri Denpasar untuk melaksanakan pidana mati
tersebut, pertimbangan itu adalah dari segi kemanan dan efisiensi, baik itu efisiensi
waktu dan biaya. Pertimbangan keamanan tersebut ditujukan untuk keamanan pelaku
dan pelaksanaan eksekusi tersebut. Selain itu, apabila dilaksanakan di Bali, hal ini
akan memberikan citra bahwa pidana mati tersebut bersifat pembalasan dendam dari
masyarakat Bali terhadap ketiga terpidana mati tersebut. Pertimbangan lainnya adalah
untuk mengefisiensikan waktu dan biaya. Karena terpidana telah menjalani masa
tahanan di LP Nusa Kambangan, apabila dilaksanakan di Bali kembali membutuhkan
184 Yon Artiono Arba’I, Op.cit, h.163
waktu perjalanan dan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dalam perjalanan
tersebut memiliki resiko yang cukup tinggi bagi keamanan terpidana dan petugas.
Sependapat dengan Eddy Arta Wijaya, salah seorang Jaksa di Kejaksaan
Negeri Denpasar Ni Luh Oka Ariani Adikarini menyatakan bahwa pertimbangan
pelaksanaan eksekusi dilakukan di wilayah Nusa Kambangan dikarenanakan faktor
keamanan dan biaya. Dalam pelaksanaan pidana mati, terdapat pula faktor
penghambat yang dihadapi oleh aparat Kejaksaan. Salah satu faktor penghambat
tersebut adalah dibutuhkannya waktu yang cukup lama untuk melaksanakan eksekusi
terhadap terpidana. Hal tersebut terjadi karena adanya upaya hukum yang diajukan
oleh pihak terpidana. Seperti yang terjadi pada kasus terorisme Bom Bali tersebut,
ketiga terpidana mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) hingga tiga (3) kali.
Padahal pada saat itu upaya PK hanya bisa dilakukan satu (1) kali saja, namun untuk
sekarang upaya PK dapat dilakukan hingga tiga (3) kali.
Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar
belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila
pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (Vergeldings Theorien) akan
menimbulkan dua pandangan yaitu kecendrungan memuaskan atau dapat saja tidak
memuaskan. Jika disesuaikan dengan upaya pembalasan, terpidana harus menerima
penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain
adalah lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera
untuk tidak melakukan kejahatan.
Jika dilihat dari filosofi pemidanaan, menurut Hasoloan Sianturi saat penulis
wawancara pada tanggal 28 Februari 2014 menyatakan bahwa, filosofi pemidanaan
tersebut mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Dilihat dari
jaman terdahulu, filosofi pemidanaan ditekankan pada aspek pembalasan. Kemudian
sesuai dengan perkembangan jaman, filosofi tersebut mengalami pergeseran, yaitu
menekankan pada aspek rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana.
Tujuan pemidanaan selain memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk
memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati
bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat agar
masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang
melanggar hukum. Hal ini terkait dengan teori Feurbach mengenai tekanan jiwa
dalam usaha preventif terjadinya tindak pidana. Namun ternyata maksud dan tujuan
itu tidak sepenuhnya tercapai sesuai dengan yang diharapkan, karena kasus tindak
pidana terorisme tetap masih terjadi di Indonesia meskipun sudah terjadi eksekusi
pidana mati terhadap pelaku kejahatan terorisme tersebut.
Dalam wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 17 Maret 2014 dengan
Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Denpasar Romulus Halolongan, memberikan
pendapatnya mengenai tujuan dari suatu pidana. Berbagai jenis pidana, seperti pidana
penjara ataupun pidana mati tidaklah memberikan efek apapun. Terkadang pemikiran
seorang terdakwa suatu tindak pidana yang diancam atau divonis pidana mati akan
berpikir tidak akan sampai dieksekusi. Hak tersebut dikarenakan masih adanya grasi,
amnesty, dan abolisi dalam peradilan di Indonesia. Jadi dalam pemikiran masyarakat,
pidana mati itu hanyalah gertakan vonis, namun pelaksanaannya dapat dikurang-
kurangi menjadi lebih ringan. Berbeda dengan pemikiran masyarakat, para teroris
memiliki keyakinan dan kebenarannya sendiri. Mereka tidak akan takut akan
hukuman mati, karena dalam melancarkan aksinya tidak jarang para teroris bersedia
mengorbankan nyawanya demi tujuan yang hendak mereka capai.
Mengenai penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme, dapat
dikatakan sebagai suatu sarana yang rasional, karena bertolak ukur dari adanya suatu
keefektifan dari jenis pidana tersebut, dengan meletakkan pada keberhasilan suatu
sarana dalam mencapai tujuan.185
Untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari
general deterrence tidak mudah dilakukan, karena mekanisme pencegahan tersebut
tidak diketahui dan tidak sedikit tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tolok ukur yang
digunakan untuk menentukan keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan sanksi
pidana tersebut adalah aspek kepentingan masyarakat, yaitu memberikan
perlindungan pada masyarakat. Namun pengaruh pidana mati terhadap masyarakat
secara keseluruhan merupakan terra incognita, suatu wilayah yang tidak diketahui.186
Oleh sebab itu dalam hal mencegah tindak pidana terorisme, penggunaa sanksi pidana
mati sebagai sarana upaya pencegahan tidak dapat bekerja secara sendiri. Sehingga
sangat dibutuhkan peranan sarana-sarana kontrol sosial untuk dapat mencegah tindak
pidana terorisme, seperti orang tua, kebiasaan-kebiasaan, lingkungan, dan
pemahaman agama serta moral.
185 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, hal.95
186
Ibid, hal.101
Permasalahan terorisme tidaklah semata-mata bagaimana memberantas atau
memerangi terorisme melalui tindakan-tindakan represif melainkan harus merupakan
langkah komprehensif dan berkesinambungan untuk mencegah, meneliti, dan
menangkal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan terorisme, kegiatan teroris,
dan organisasi teroris. Selain itu diperlukan pula upaya menghentikan pendanaan dan
pembekuan aset-aset yang mendukung kegiatan teroris.187
Dalam hal penanggulangan terorisme tidak hanya mencegah adanya terorisme
dari segi paham maupun perwujudan aksi teror, tetapi juga siap menghadapi hingga
meniadakannya. Penanggulangan terorisme berkaitan erat dengan kepentingan
nasional, keselamatan bangsa dan negara. Upaya penanggulangan memerlukan
penanganan dan keahlian khusus mencakup strategi, bentuk, cara, serta alat yang
digunakan.
Romulus Halolongan juga memberikan pendapatnya mengenai
penanggulangan kejahatan, khususnya dalam tindak pidana terorisme. Sebelum
melakukan penanggulangan, hal yang paling utama dilakukan adalah pencegahan.
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Membuat sistem hukum yang diperuntukkan agar dapat mencegah tindak pidana
terlebih dahulu. Terlepas dari adanya pidana atau sanksi pidana untuk terdakwa
tindak pidana terorisme. Memperbaiki atau memperbaharui sistem hukum terlebih
dahulu agar dapat bekerja secara berkesinambungan dalam upaya pencegahan
tindak pidana terorisme.
187 Romli Atmasasmita, Op.cit, h.100
2. Dalam upaya pencegahan yang kedua, mengamankan aliran dana yang diduga
untuk melakukan tindak pidana terorisme
3. Memiliki tim khusus untuk mencegah dan mngurus tindak pidana terorisme untuk
menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan negara. Sebagai contoh,
di negara Amerika memiliki tim khusus yang bernama FBI untuk mencari,
melacak, menangkap, dan mengurus tindakan lainnya dari pelaku suatu tindak
pidana.
4. Dipertimbangkannya anggaran untuk menanggulangi suatu tindak pidana,
khususnya terorisme. Karena untuk pelaksanaan operasionalnya membutuhkan
biaya yang tidak sedikit dan bersifat diluar dugaan.
Beberapa faktor kendala yang dihadapi dalam pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sebagai berikut :
1) Belum optimalnya penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan
terorisme.
2) Rendahnya dukungan masyarakat dalam memerangi kejahatan terorisme. Hal
ini diperkuat dengan adanya sekelompok masyarakat yang memberikan
dukungan kepada kelompok teroris. Sehingga terlihat semakin rendahnya
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta rasa kesadaran bela negara.
3) Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia sebagai faktor pemicu
suburnya gerakan terorisme di Indonesia
4) Kurangnya dukungan media dalam pemberantasan terorisme
5) Kurangnya kerja sama antar lembaga penegak hukum dalam penanggulangan
dan pemberantasan terorisme
6) Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang disalahgunakan oleh
kelompok teroris.
7) Kurang diperbaharuinya Undang-Undang Terorisme untuk mengatur situasi
dan kondisi masyarakat serta peristiwa terorisme dan yang
melatarbelakanginya sekarang karena dibandingkan dengan saat situasi dan
kondisi ketika penyusunan undang-undang tersebut sudah jauh berbeda.
Dengan berpedoman pada adagium dari Francis Bacon, suatu undang-undang
dapat dijadikan upaya pencegahan dini dengan tujuan mengurangi
pelanggaran undang-undang.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme
ditunjukkan dengan menghadirkan pasukan khusus antiteror Tentara Nasional
Indonesia (Kopassus). Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia dijelaskan mengenai peran dan tugas yang
melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
TNI dalam penanggulangan terorisme memiliki tiga (3) pola operasi. Pola
pertama adalah operasi pencegahan yang dilaksanakan untuk mencegah niat
permusuhan, baik antar kelompok masyarakat dengan pemerintah (konflik vertikal)
maupun antar masyarakat (konflik horizontal).188
Pola kedua adalah operasi penindakan, yaitu dilaksanakan apabila operasi
pencegahan tidak berhasil. Operasi penindakan dalam rangka mengatasi konflik
vertikal bertujuan untuk membatasi ruang gerak teroris, pemberontak, atau perusuh
serta menggagalkan dan mengatasi berbagai langkah destruktif musuh. Pelaksanaan
operasi penindakan dilakukan dengan mendayagunakan segala potensi yang tersedia,
baik itu dari segi personil maupun alat sestem senjata dan sistem sosial.189
Dihadapkan dengan ancaman terorisme sebagai musuh bersama, operasi
pencegahan dilakukan oleh TNI sesuai dengan rencana yang ditetapkan untuk
membatalkan atau mencegah aksi terorisme. Jadi aspek preventif merupakan langkah
penting pada tahapan ini. Dalam konteks ini diperlukan kebijakan untuk merumuskan
kebijakan pencegahan dengan mempertimbangkan pengalaman sejarah masa lalu,
perbandingan penanganan di berbagai negara, dan mempertimbangkan aspek sosial
budaya masyarakat.
Pola ketiga adalah operasi pemulihan keamanan, yakni dilaksanakan untuk
konsolidasi kekuatan, rehabilitasi, dan stabilisasi daerah yang rusak baik secara fisik,
maupun non fisik akibat konflik sebelumnya. Dikaitkan dengan penanggulangan
terorisme pada tahap pemulihan, TNI dapat berkoordinasi dengan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT ini diatur dalam Peraturan Presiden No.
188 Marthen Luther Djari, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta, h.155
189
Ibid, h.152-154
46 Tahun 2010 dengan mengemban tugas strategis dalam pemberantasan terorisme
dengan menyusun kebijakan, strategi dan upaya-upaya nasional bidang
penanggulangan terorisme serta mengkoordinasikan dengan instansi pemerintah
terkait.190
Indonesia sebagai bagian dari anggota Asean, mengalami kemajuan dalam
hubungan antara Negara anggota Asean di dalam Konvensi Asean tersebut adalah
pengakuan terhadap isu yurisdiksi kriminal (State Jurisdiction) yang bersifat
transnasional selain yurisdiksi teritorial dan nasional dalam menangani pencegahan
dan pemberantasan terorisme lintas batas Negara. Pengakuan yurisdiksi kirminal
transnasional ini sejalan dengan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnasional Teorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi Indonesia dengan
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi). 191
Menurut Romli Atmasasmita, dalam tulisannya yang berjudul Pemberantasan
Terorisme dari Aspek Hukum Nasional dan Internasional Bahan Pendidikan dan
Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia, yang
diselenggarakan pada tanggal 10-15 Maret 2014 di Jakarta, disebutkan bahwa dalam
strategi menghadapi terorisme di Indonesia, diwujudkan melalui konsep
deradikalisasi yang memiliki asumsi bahwa terorisme identik dengan radikalisme.
190 Ibid, h.160
191
Romli Atmasasmita I, Op.cit, h. 16
Sehingga upaya mengurangi sikap dan perilaku radikal merupakan tujuan utama
untuk mencegah adanya ideologi terorisme yang berkembang.
Strategi baru pencegahan terorisme perlu diperkuat dengan perubahan
paradigma baik dalam hukum pidana materiel dan hukum pidana formil. Perubahan
hukum pidana materiel dilaksanakan dengan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Menetapkan instrumen internasional berkaitan dengan terorisme sebagai
tindak pidana di dalam hukum nasional;
b. Kriminalisasi dengan berpegang teguh pada prinsip hukum dan ICCPR serta
mengkriminalisasi pendanaan untuk terorisme
c. Merumuskan kembali ketentuan tentang “partisipasi” dan “conspiracy” serta
konsep hukum tentang “recruitment” dalam kelompok teroris
d. Menegaskan kembali kepemilikan barang-barang untuk tujuan tindakan
terorisme
Perubahan hukum pidana formil dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
a) Mengintegrasikan mekanisme hukum materiil, hukum formal dan
mengintensifkan informasi dari masyarakat serta perlindungan saksi.
b) Pengendalian dengan membolehkan laporan hasil intelijen sebagai alat bukti
c) Menggiatkan teknik penyadapan dan pengawasan judicial
d) Merumuskan kembali masa penahanan dan teknik interogasi
e) Memperkuat langkah anti-pendanaan terorisme
Selain perubahan hukum pidana materiel dan formil di atas, untuk
memperkuat implementasinya, diperlukan mekanisme kerjasama internasional yang
memadai sehingga diharapkan “proactive law enforcement” memberikan hasil yang
signifikan dalam penuntasan kasus terorisme.
Dalam suatu wawancara siaran langsung pada salah satu televisi swasta, pada
acara Apa Kabar Indonesia yang tayang pada tanggal 14 Desember 2013 pukul 20.44
WITA, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), H. Ansyaad
Mbai menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah mengutamakan tindakan
pencegahan terlebih dahulu dalam upaya memberantas dan menanggulangi terorisme
di Indonesia.
Hal yang harus dicegah adalah paham-paham radikal yang merupakan embrio
dari terorisme. Paham-paham radikal tersebut adalah paham takfir yang memandang
bahwa orang lain itu adalah kafir dan pemahaman jihad adalah perang, namun di
Indonesia bukanlah tempat perang. Jadi di sini perlu diluruskan pemahaman
mengenai jihad dan takfir itu sendiri. Upaya yang dilakukan adalah dengan
melibatkan peran serta seluruh masyarakat Indonesia, baik itu dari aparat pemerintah,
tokoh agama, pendidik dan LSM dengan melalui sarana tempat ibadah, lembaga
pendidikan, dan LAPAS. Dalam memerangi paham radikal ini diperlukan sikap
toleransi dan saling mendengarkan antar sesama umat manusia.
Dalam tulisannya yang berjudul Radikal Terorisme di Indonesia, H. Ansyaad
Mbai juga menyampaikan pendapatnya dalam Pendidikan dan Pelatihan Hakim
PerkaraTerorisme dan Peradilan Umum Seluruh Indonesia di Jakarta pada Maret
2014, menuliskan bahwa penanggulangan radikalisme dan terorisme dapat berjalan
optimal, dengan memaksimalkan partisipasi aktif dari berbagai komponen masyarakat
untuk bersatu padu memberantas terorisme. Hal tersebut dilakukan dengan
menggunakan dua hal yaitu Hard Approach yang merupakan pendekatan dengan
menekankan pada penjaminan keamanan dan penegakan hukum, dan Soft Approach
yaitu pendekatan yang komprehensif, persuasif, penuh kelembutan, dan kasih sayang
dalam dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan terhadap
kedua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi ketiga pelaku tindak pidana
terorisme bom Bali memiliki pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan atas
perspektif yuridis yaitu terbukti melanggar Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juncto Undang-Undang No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan KUHP, perspektif
filosofis yaitu tindak pidana terorisme bertentangan dengan rasa kemanusiaan
yang beradab, dan perspektif sosiologis yaitu merugikan ekonomi, sosial, politik,
hubungan internasional maupun psikologis masyarakat. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut tidak terlepas dari pertimbangan hati nurani hakim.
Hakim juga menilai secara objektif terhadap tindak pidana yang dilakukan,
karena tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang terorganisir dan
tergolong kejahatan luar biasa. Selain itu hakim juga memiliki pertimbangan
yang bersifat memberatkan bagi ketiga terdakwa. Sehingga sanksi pidana mati
bagi pelaku tindak pidana terorisme jika dilihat dari peranan pelaku, dampak
atau akibat perbuatan tersebut maka penjatuhan pidana mati adalah wajar dan
sah.
2. Dalam hal sebagai upaya pencegahan tindak pidana terorisme, penjatuhan pidana
mati bagi pelaku tindak pidana terorisme dapat dijadikan upaya pencegahan,
namun belum berjalan secara optimal. Efek jera diberikan bagi masyarakat,
dengan maksud agar masyarakat memahami dan mengetahui begitu dasyat dan
luar biasanya dampak dari tindakan terorisme. Sehingga memiliki konsekuensi
yang besar pula yaitu adanya pidana mati. Pidana mati merupakan upaya terakhir
dalam usaha pencegahan dan pemberantasan terorisme.
5.2 Saran
1. Untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana terorisme yang semakin
canggih, sebaiknya diperkuat dengan suatu Undang-Undang Terorisme yang
telah diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman dan teknologi
informatika. Bagi Hakim diharapkan tetap memperhatikan dan
mempertimbangkan putusan kasus terorisme terkait dengan putusan-putusan
terdahulu untuk menjaga konsistensi putusan demi kepastian hukum dalam
mengadili perkara terorisme yang terjadi di Indonesia.
2. Sebagai sarana pencegahan dalam tindak pidana terorisme, sebaiknya pidana
mati tetap dipertahankan sebagai pidana terberat. Selain lebih mengoptimalkan
jenis pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana terorisme,
tindakan pencegahan juga harus didukung lebih oleh kekuatan intelijen nasional
dan aparat hukum terkait agar dapat berjalan secara sistematis dan berkelanjutan.
Penting untuk mensosialisasikan pemahaman nilai-nilai agama secara benar dan
utuh kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abidin, Zainal, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Pemidanaan, Pidana,
dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta
Ali, H.Zainuddin,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika,
Jakarta
Ali, Mahrus, 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing,
Jakarta
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Ed.1-4,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Ancel, March, 1965, Social Defence a Modern Approach Criminal Problem,
Rontledge and Kega Paul, London
Andenaes, Johannes, 1965, The General Parts of the Criminal Law of Norway, Frend
B Rthman and Co, Swett Maywell Ltd, London
Araf, Al, dkk, 2010, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta
Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Bantuan Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
__________________, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang
Arba’i, Yon Artiono 2012, Aku Menolak Hukuman Mati Telaah Atas Penerapan
Pidana Mati, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Ashshofa, Burhan, 1998, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, PT Rineka
Cipta, Jakarta
Atmasasmita, Romli, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Cv. Utomo,
Bandung
AZ, Yahya, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan
Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta
Bakhri, Syaiful, 2009, Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, Total Media,
Yogyakarta
Chazawi, Adami, 2011, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan
Batas Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers,
Jakarta
Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar Bali
Friedman, 1960, Legal Theory, Stren & Stou Limited, London
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung
Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung
Gofar, Fajrimei A., 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Asas Legalitas
Dalam Rancangan KUHP, Elsam, Jakarta
Hadjon dkk, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada
University,Yogyakarta
Hamzah, Andi, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Cetakan Pertama, PT Pradnya Paramita, Jakarta
____________, 1994, Azaz-Azaz Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta
Kaligis, O.C, 2003, Terorisme:Tragedi Umat Manusia, O.C Kaligis & Associates,
Jakarta
Kusnadi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat
Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, Jakarta
Lamintang, Djisman Samosir, 1976, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung
Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati
Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta
Luther Djari, Marthen, 2013, Terorisme dan TNI, CMB Press, Jakarta
Manan, Abdul, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenede Media, Jakarta
Manan, Bagir, 2007, Menjadi Hakim Yang Baik, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jakarta
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung
Marwan, M., dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete
Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya
Masyhar, Ali, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Cv. Mandar Maju,
Bandung
Mubarok, Muna Madrah, 2012, Stigma Media dan Terorisme, Bandar Publishing,
Aceh
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Rajawali Pers, Jakarta
Muladi, 2003, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam
Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta
______, 1995, Hak Azasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
______, dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT.
Alumni, Bandung
Nasution, Aulia Rosa, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta
Packer, Herbert L. 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University
Press, California
Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT.Refika
Aditama, Bandung
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,
Bandung
Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,
Remadja Karya, Bandung
Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard of Harvard
University Press, Cambridge Massachusetts
Reksodiputro, Marjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Buku III, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU
Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Media Tama, Jakarta
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Riyanto, Astim, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung
Sahetapy, J.E., 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
Alumni, Bandung
Sakidjo, et. Al., 1990, Hukum Pidana; Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta
Saptomo, Ade, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni,
Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta
Sianturi, S.R., 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Alumni, Jakarta
Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Pertama,
Rineka Cipta, Jakarta
Soesilo, R. 1965, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-
Komentarnya lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor
Sholehuddin, M., 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suarda, I Gede Widhiana, 2011, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringanan dan
Pemberat Pidana, Bayu Media, Jember
Subawa, I Made dkk, 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945,
Wawasan, Denpasar
Suggono, Bambang, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7 , PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Tongat, 2004, Pidana Seumur Hidup (Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia),
UMMPress, Malang
Utari, Sri, 2006, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar
Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004, Kejahatan Terorisme
Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung
Waluyo, Bambang, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta
Wibowo, Ari, 2012, Hukum Pidana Terorisme Kebijakan Formulatif Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Widnyana, I Made, 1988, Pidana dan Permasalahannya, Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
________________, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar
Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubak Agung,
Bandung
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan
Militer
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakukan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di
Bali tanggal 12 Oktober 2002.
DISERTASI :
Artha, I Gede, 2012, Reformulasi Pengaturan Putusan Bebas Dan Upaya Hukumnya
Bagi Penuntut Umum Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Program Studi
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
TESIS :
Wicaksana, Gede Agung Patra, 2008, Kebijakan Pembrantasan Tindak Pidana
Terorisme di Indonesia (Tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
LAIN-LAIN
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III Depdiknas, 2001, Balai Pustaka
Bahan Pendidikan dan Pelatihan Hakim Perkara Terorisme dan Peradilan Umum
Seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 10-15 Maret
2014
MAJALAH DAN KORAN
Fajar Bali, 2013, Incrath Vonis Mati Segera Diproses, Fajar Bali, Tgl. 10 Desember
INTERNET :
M. Lutfi Chakim, 2011, Ruang Lingkup Hak Sipil dan Politik Dalam Konstitusi,
ICCPR, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,
http://lutfichakim.blogspot.com/2011/08/ruang-lingkup-hak-sipil-dan-
politik.html, diakses tanggal 10 Maret 2012.
Makaarim, 2007, Beberapa Pandangan tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan
Relavansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia,
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-
hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-
indonesia/, diakses tanggal 8 Maret 2012.
http://www.kejaksaan.go.id/laporan_tahunan.php?idc=7&idsc=5
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Hasoloan Sianturi, S.H., M.H
TTL : Sisakae / 01 Agustus 1959
NIP : 19590801 198612 1 001
Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S2
2. Nama : Cening Budiana, S.H
TTL : Bebetin / 21 Juli 1959
NIP : 19590721 198803 1 002
Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S1
3. Nama : Putu Gde Hariadi, S.H., M.H
TTL : Bangli / 04 Juli 1970
NIP : 19700704 199403 1 002
Jabatan : Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
Pendidikan: S2
4. Nama : Romulus Halolongan, S.H
TTL : Jakarta / 29 Agustus 1972
NIP : 19720829 199803 1 005
NRP. : 69872083
Jabatan : Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Denpasar
5. Nama : Eddy Arta Wijaya, S.H
TTL : Kintamani / 03 November 1974
NIP : 197410031999031001
NRP. : 69974144
Jabatan : Kasubsi Penuntutan Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar
6. Nama : Ni Luh Oka Ariani Adikarini, S.H., M.H
TTL : Denpasar / 25 Januari 1974
NIP : 197401252003122003
NRP. : 40474316
Jabatan : Jaksa Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar