Upload
falah-herdino
View
9
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
n
Citation preview
Pentingkah Adanya Peraturan Pelarangan Ekspor Bijih Mineral?
Oleh Falah Herdino
1206217490
Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai
peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai
sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari
lahan yang mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses
eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis
yang sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam rangkaian industri tersebut.
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (selanjutnya dalam paper ini disebut UU Minerba), menggantikan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Dalam regulasi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara itu
disebutkan, bahwa perusahaan tambang wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian
barang tambang (smelter). Terhitung, mulai 12 Januari 2014, perusahaan tambang dilarang
mengekspor barang tambang mentah. Misalnya, emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara, dan
bauksit. Tujuan Pemerintah meregulasi UU Minerba ini tentunya demi progress bagi
perkembangan industri pertambangan nasional, serta menguntungkan para pengusaha di sisi
bisnis. Lalu, bagaimana dengan perusahaan yang sudah melakukan pengolahan dan pemurnian
mineral mentah setelah UU Minerba diregulasikan? Bagaimanakah sanksi hukumnya? Atau,
apakah pemerintah akan merumuskan kebijakan regulasi baru lagi? Dan, bagaimana reaksi
Pengusaha? Bagaimana pula dengan resiko terjadinya ancaman. Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terhadap para pekerja perusahaan industri tambang di tahun 2014
Dalam penerapan regulasi ini, pemerintah mendapat respons dari para pengusaha dan
pekerja. Seperti ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan tambang raksasa,
dan penerimaan negara yang berpotensi turun. Dari sumber yang penulis dapatkan, penerimaan
negara turun 45% dikali US$8 miliar dari Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara.
Kedua perusahaan tersebut menopang pendapatan asli daerah Sumbawa Barat dan Timika.
Sumbawa memperoleh pendapatan sebesar 92% dari Newmont, sedang Timika mendapat 96%
dari Freeport. Dan, nasib 22 ribu pekerja di Freeport dan 10 ribu pekerja di Newmont kini
terancam terkena PHK. Selain itu, diperkirakan puluhan industri kabel di Indonesia terancam
gulung tikar. Pada 12 Januari 2014 ini ekspor mineral mentah tidak boleh lagi dilakukan. Jika
ada perusahaan tambang yang masih melakukan ekspor maka dianggap sebagai perbuatan ilegal
sehingga dapat diproses secara hukum. Pelarangan ekspor tersebut sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), dimana pemerintah
sebelumnya sudah memberikan tenggang waktu selama 5 tahun kepada perusahaan swasta untuk
menerapkan kewajiban membangun pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral di dalam
negeri.
Yang menjadi masalah adalah selama kurun waktu 5 tahun (dari 2009 s/d 2014) hampir
tidak ada perusahaan swasta yang membangun smelter dan hal ini lolos dari pengawasan
pemerintah, bahkan terkesan pemerintah melakukan proses pembiaran. Akibatnya hampir tidak
ada perusahaan yang siap mengolah sendiri hasil tambang mineral, jika peraturan itu tetap
dilaksanakan sejumlah perusahaan terancam bangkrut dan balik mengamcam akan melakukan
pemutusan hukuman kerja (PHK) karena perusahaan kehilangan pendapatan.
Rencana penerapan ekspor mineral mentah tersebut mendapat perlawanan dari para
pekerja tambang karena dianggap akan membuat jutaan pekerja tambang terancam terkena PHK.
Pada 2 Januari 2014 aktivis dan pekerja tambang menggelar aksi solidaritas di Tugu Proklamasi
Jakarta.
Berdasarkan sumber yang didapat penulis, saat ini perusahaan-perusahaan tambang telah
melakukan PHK bergiliran kepada ribuan pekerjanya. Bahkan PHK itu dilakukan tanpa
memberikan pesangon kepada para pekerja, perusahaan berpendapat PHK yang dilakukan bukan
karena sebuah perselisihan industri akibat faktor kegagalan produksi dan kesalahan manajemen
perusahaan, melainkan akibat dari kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang akan
diterbitkan pemerintah pada 12 Januari 2014 mendatang. Karena itu para pekerja menuntut agar
pemerintah menyiapkan dana untuk pembayaran pesangon kepada sekitar 40 juta pekerja
tambang dan sektor pekerjaan terkait yang ikut terkena PHK seperti pekerja di kontraktor
pengeboran, dan penyedia logistik. Selain itu pemerintah juga diminta menyiapkan lapangan
pekerjaan bagi pekerja yang terkena PHK massal.
Semangat UU tersebut sangat bagus untuk melindungi kekayaan alam negeri ini yang
berlimpah dari gerogotan korporasi asing. UU ini sangat bagus untuk mendongkrak nilai tawar
industri pertambangan Indonesia yang selama ini terus berada dalam dikte perusahaan asing.
Seharusnya selama masa transisi kurun waktu 5 tahun, pemerintah tidak tinggal diam saja.
Pemerintah sepertinya membiarkan perusahaan asing berjalan sendiri tanpa memberikan
dukungan untuk membentuk aturan, infrastruktur, ataupun intensif yang bisa meringankan
perusahaan dalam membangun smelter. Akibatnya hampir tidak ada perusahaan yang siap
mengolah sendiri hasil tambang mineral. Perusahaan terancam bangkrut dan balik mengancam
akan melakukan PHK karyawan jika larangan ekspor tetap diberlakukan.
Perusahaan juga nampaknya memakai para karyawan yang terlibat dalam pengelolaan
tambang untuk turut menekan pemerintah lewat aksi unjuk rasa yang sudah dilakukan di Jakarta
dan di Kabupaten Sumbawa Barat. Penulis sependapat dengan berbagai kalangan bahwa
pemerintah sepertinya terlihat gamang, di satu sisi pemerintah tampaknya ingin konsisten
menjalankan aturan pelarangan ekspor mineral mentah itu sebagai amanat UU. Pada sisi lain
pemerintah mulai khawatir pelarangan itu akan mengurangi pendapatan negara dari pajak ekspor,
serta kemungkinan PHK sekitar 40 juta karyawan. Bahkan pemerintah cenderung mulai
melunak. Menurut sumber, saat ini sejumlah perusahaan memang masih meminta pengecualian
untuk tidak melaksanakan UU Minerba, dengan alasan menimbulkan dampak negatif. Pihaknya
tetap melaksanakan UU, tapi kepentingan negara yang lebih luas juga kami pikirkan.
Menurutnya, pemerintah memahami dampak negatif penerapan aturan tersebut adalah bakal
adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pelarangan ekspor mineral mentah.
Pemerintah sekarang masih memiliki cukup waktu untuk memikirkan cara mengatasi
dampak negatif UU Minerba. Bagaimana caranya mengambil keputusan tanpa melanggar UU,
tetapi kepentingan lain bisa kita penuhi. Mungkin tidak bisa seluruhnya juga, harus ada
pengorbanan. Menurut penulis, kemungkinan besar pemerintah akan memberikan tambahan
tenggang waktu antara 2 s/d 3 tahun lagi kepada perusahaan untuk menyiapkan smelter. Namun
demikian, diharapkan pemerintah melakukan pengawasan ketat, serta membantu perusahan
dengan berbagai kemudahan sehingga perusahaan mampu membangun smelter tersebut.